The Rise of Nine Karya Pittacus Lore Bagian 2
tadi. Seorang prajurit keluar dari van merah, lalu mengangkat
sebuah peluncur roket ke bahunya. Aku melihat kesempatan.
Aku menyodok Komandan dengan kakiku. "Aku
segera kembali."
Dia tak sempat membantah karena aku sudah berlari
ke hutan. Saat Komandan tak dapat melihatku lagi, aku
menggunakan Pusakaku untuk menghilang lalu berlari
kencang menuruni lembah. Prajurit tadi sudah membidik
truk kami, tapi sebelum dia sempat menarik pelatuk, aku
merebut peluncur roket itu dari bahunya dan
menghantamkan ujung lain peluncur roket itu ke perutnya.
Dia terbungkuk dan jatuh sambil menjerit. Begitu mendengar
keributan, si pengemudi bergegas menghampiri dengan
pistol di tangan. Aku mengarahkan peluncur roket tadi ke
mukanya. Dia cuma perlu waktu sepersekian detik untuk
menyimpulkan bahwa peluncur yang melayang-layang ini
bakal menyasarnya, lalu berbalik dan berlari dengan tangan
terangkat.
Aku membidik pikap karatan yang sekarang sudah
kosong lalu menarik pelatuk. Roket meluncur dari senjataku.
Gelombang api meledak di bawah pikap itu,
menerbangkannya setinggi sembilan meter di udara. Mobil
yang terbakar itu menghantam tanah dengan keras,
memantul, berguling-guling ke depan dengan cepat, lalu
menabrak bagian belakang SUV kami dengan keras. Aku
memandang SUV kami terdorong ke depan, lalu meluncur
pelan ke arah gundukan-gundukan kecil di jalan yang
menghalangi kami untuk terus. Tiga puluh detik berikutnya
dipenuhi ledakan beruntun memekakkan telinga karena
gundukan-gundukan di jalan itu meledak, sementara para
prajurit menembak membabi-buta ke segala penjuru. Ribuan
burung mengepak terbang dari pohon-pohon di sekeliling
kami, suara mereka segera ditenggelamkan oleh bunyi-bunyi
amunisi. Aku benar. Itu memang ranjau. Sekarang SUV kami
hanyalah onggokan logam berasap.
Yang jelas, ini Baru awalnya. Atraksi utamanya?
kendaraan yang dilengkapi senjata, tank kecil, unit misil
bergerak?masih bergerak mendekati gunung ini. Begitu juga
dengan prajurit infanteri yang jumlahnya pastilah beberapa
ribu orang. Lima atau enam helikopter tempur terbang di
atas. Saat mendengar bunyi berderu, aku berbalik untuk
melihat peluncur misil bergerak ke atas dan berputar, mulai
bekerja. Ujung lima misil putih bergerak ke arah tempat
perlindungan Marina dan Crayton. Terlihat gerakan di
deretan pohon itu, lalu prajurit muda Komandan Sharma
bergegas turun ke lembah. Dia tidak bersenjata dan berlari
tepat ke peluncur misil tadi. Mulanya kupikir dia mau
mengorbankan diri untuk menyelamatkan teman-temanku,
tapi tak ada yang menembaknya. Prajurit itu berhenti saat
tiba di peluncur dan mulai menunjuk ke arah atas sisi
gunung, tempat Crayton dan Marina bersembunyi. Peluncur
itu terangkat beberapa puluh senti lagi dan mengatur arah
bidikannya.
Prajurit itu pengkhianat. Dia anggota kelompok yang
berusaha membunuh kami! Hal berikutnya yang kulihat
adalah prajurit itu melayang di udara, direnggut ke atas oleh
kekuatan telekinesis. Marina pasti juga menyadari itu.
Namun mungkin sudah terlambat. Prajurit itu sudah
memberitahukan lokasi Marina.
Aku memandang ke arah peluncur misil dan
menghimpun kekuatan untuk mengubah arah terbang misil
itu begitu ditembakkan. Saat aku mulai berkonsentrasi,
peluncur lain menyala dan membidikkan misilnya tepat ke
arahku. Walaupun aku tak terlihat, pasukan itu tabu tadi ada
roket yang ditembakkan dari tempatku berdiri. Aku cuma
mampu mengurusi salah satunya. Tak ada waktu untuk lari.
Namun aku bisa memilih. Menyelamatkan Crayton dan
Marina atau menyelamatkan diriku sendiri.
Peluncur yang mengarah ke gunung mulai
menembak. Misil-misil meluncur sambil menjerit, mengarah
lurus ke bukit. Aku berhasil mengendalikan dan
mengarahkan misil-misil itu ke tanah hingga meledak, tepat
pada saat peluncur kedua menembak. Aku menoleh dan
melihat ujung putih misil bergerak ke arahku. Aku tak sempat
melakukan apa pun. Namun, tiba-tiba misil-misil itu
berbelok dan kembali menuju pasukan serta peluncur yang
menembakkannya. Misil-misil itu berpencar ke lima
kendaraan berbeda, meledakkan semuanya.
Marina. Dia menyelamatkan nyawaku. Kami bekerja
sama seperti yang seharusnya. Pikiran itu membuatku lebih
yakin untuk menyudahi semua ini dan mencari Nomor
Delapan. Aku ingin mengirimkan pesan kepada sisa pasukan
itu, jadi aku berhenti menggunakan Pusakaku dan
memperlihatkan diri. Aku berkonsentrasi lalu, dengan
menggunakan telekinesis, mengendalikan api dari tempat
ledakan misil-misil tadi. Aku menyebarkan api itu ke jalan
untuk menelan sisa pasukan tersebut. Satu demi satu, api-api
itu melahap deretan kendaraan dan meledakkannya, seperti
ledakan berantai. Pesanku dipahami. Sisa prajurit Front
Perlawanan Dewa mulai mundur. Sesaat, aku tergoda untuk
melakukan pembalasan kecil. Namun itu kejam, tidak perlu,
dan begitu khas para Mogadorian. Aku sadar fantasiku untuk
bersikap kejam terhadap mereka yang menyelamatkan diri
tak akan membantu kami saat ini.
"Ya! Lari sana! Kalau tidak, api ini sudah menunggu
untuk menghabisi kalian!" Saat orang terakhir lenyap dari
pandangan, aku berbalik dan berjalan ke arah bukit. Aku
harus menemukan teman-temanku.
8 A
SAPNYA TEBAL, TAPI SEGERA MENIPIS. DARI posisiku di
lantai, aku dapat melihat lusinan kaki dan sepatu bot hitam.
Aku menaikkan pandangan dan melihat lusinan senapan,
semuanya diacungkan ke kepalaku.
Pandanganku bergerak dari bot tebal hingga ke
masker gas, lega karena mereka manusia dan bukan
Mogadorian. Namun, manusia mana yang punya senjata
Mogadorian? Sebuah laras pistol didorongkan ke belakang
kepalaku. Biasanya, aku dapat menggunakan telekinesis
untuk menepiskan dan melemparkan senjata itu sejauh satu
kilometer ke pegunungan, tapi rasa nyeri dari gelang yang
kupakai terlalu kuat sehingga aku tak mampu menghimpun
tenaga. Salah satu pria mengucapkan sesuatu kepadaku, tapi
aku tak dapat berkonsentrasi untuk menyimak kata-katanya.
Aku mencari titik fokus untuk membantuku menahan
rasa sakit, dan melihat Nomor Sembilan mengerang di
karpet. Dan tempatku berada, dia tampak kesulitan bernapas
dan sepertinya tak mampu menggerakkan lengan serta
kakinya. Karena ingin membantunya, aku berusaha berdiri,
tapi begitu bergerak aku ditendang kembali ke bawah. Aku
berguling telentang dan sekonyong-konyong tabung panjang
ditempelkan ke mata kiriku. Di dalam tabung itu ada ratusan
cahaya dan aku memandang cahaya-cahaya itu berpusar
menyatu menjadi satu sinar hijau utuh. Ini betul-betul
meriam Mogadorian. Meriam yang melumpuhkanku di luar
rumah kami yang terbakar di Florida dulu. Dengan mataku
yang satu lagi, aku memandang ke samping senjata dan
melihat seorang pria bermantel cokelat. Dia mengangkat
maskernya, memperlihatkan lingkaran rambut putih serta
hidung gemuk bengkok yang sepertinya sudah beberapa kali
patah. Aku juga ingin mematahkannya.
"Jangan bergerak," dia menggeram ke arahku, "kalau
tidak, aku tarik pelatuknya."
Aku melirik Nomor Sembilan yang tampaknya mulai
pulih. Dia duduk dan memandang berkeliling sambil
berusaha menyingkirkan ekspresi bingung di wajahnya. Pria
yang menempelkan meriam ke wajahku memandang Nomor
Sembilan. "Sedang apa kau?" tanyanya.
Nomor Sembilan tersenyum ke arahnya, dengan
sorot mata jernih dan tenang. "Berusaha memutuskan siapa
yang kubunuh duluan."
"Suruh dia diam!" perintah seorang wanita sambil
berjalan masuk ke rumah. Dia juga membawa meriam
Mogadorian. Dua pria menekankan sepatu bot mereka ke
bahu Nomor Sembilan dan memaksanya kembali berbaring
di lantai. Wanita itu memberi isyarat ke arahku, lalu
seseorang memegang bahuku dan menarikku berdiri. Pria
lain meraih pergelangan tanganku untuk memasang borgol.
"Keparat!" dia berseru tersetrum, saat menyentuh
gelang merahku. Mungkin aku memang tidak tahu apa
kegunaan gelang ini, tapi aku suka bagian yang ini.
Setelah berdiri, aku mengamati keadaan. Ada
sepuluh atau dua belas orang bermasker dan semuanya
memegang senapan. Sepertinya pria dan wanita yang tadi
bicara adalah pemimpin mereka. Aku mencari Bernie, tapi
tidak melihatnya. Meskipun begitu, aku dapat mendengar
suaranya di benakku.
Tunggu. Kita lihat apa yang mereka inginkan dan apa
yang mereka ketahui.
"Kalian mau apa dengan kami?" aku bertanya pada si
pria berhidung patah.
Dia tergelak dan memandang si wanita. "Kita mau
apa, Agen Khusus Walker?"
"Untuk awalnya, aku ingin tahu siapa temanmu yang
di sana itu," jawab wanita itu sambil mengacungkan meriam
ke Nomor Sembilan.
"Aku tak kenal dia," kata Nomor Sembilan. Dia
meniup rambut dari wajahnya dan tersenyum. "Aku cuma
mampir untuk menawarkan alat penyedot debu. Tempat ini
mirip pembuangan sampah dan kupikir dia perlu alat itu."
Pria itu berjalan mengelilingi Nomor Sembilan. "Jadi
itu isi peti bagus ini? Penyedot debu?" Dia mengangguk ke
salah satu petugas lalu berkata, "Mari kita lihat penyedot
debu ini. Aku mungkin mau satu."
"Silakan." Senyuman Nomor Sembilan tampak
mengancam. "Sedang ada diskon. Beli dua bayar tiga."
Sekejap aku dan Nomor Sembilan saling tatap.
Kemudian Nomor Sembilan mengalihkan pandangan ke
dinding, tempat seekor ngengat berputar-putar di dekat
langit-langit. Bernie Kosar. Aku yakin Nomor Sembilan juga
mendengar perintah BK untuk menunggu dan melihat apa
yang terjadi. Aku bertanya-tanya apakah dia mampu
mengendalikan diri. Seorang prajurit memasangkan borgol
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke tangan Nomor Sembilan, dan temanku itu langsung duduk
kembali. Aku dapat melihat borgol di pergelangan tangannya
sudah rusak. Dia cuma pura-pura dengan menyatukan
tangannya.
Nomor Sembilan hanya menunggu waktu yang tepat
untuk menyerang. Aku tak tabu apakah dia berniat mematuhi
perintah BK. Aku menggerakkan kedua lengan di
punggungku, pelan-pelan memutuskan borgol dengan
mudah. Apa pun yang terjadi nanti, sebaiknya aku bersiap
siap.
Orang-orang mengelilingi Peti Loric Nomor Sembilan.
Salah satu dari mereka menghantamkan popor senapan
berkali-kali ke gembok yang mengunci Peti itu, tapi tanpa
hasil. Dia menghantam beberapa kali lagi, benar-benar
frustrasi.
"Kalau ini bagaimana?" Agen Khusus Walker
mengeluarkan revolver. Dia menembak gembok, tapi
pelurunya justru memantul dan nyaris mengenai kaki
seorang petugas.
Pria berhidung patah mencengkeram tengkuk Nomor
Sembilan, menariknya berdiri, lalu mendesaknya maju.
Nomor Sembilan yang tak mampu pura-pura terborgol lagi
membiarkan borgol dan rantainya jatuh, sementara dia
sendiri mendarat di lantai dengan bertumpu pada tangan dan
lutut. Karena sadar tangan Nomor Sembilan sekarang tak lagi
terborgol, pria itu berseru ke belakang, "Ambil borgol lain!
Yang ini rusak!"
Dengan dagu menempel ke dada, seluruh tubuh
Nomor Sembilan bergetar karena tertawa. Dia menjulurkan
kaki lalu melakukan push-up. Kemudian dia melakukannya
lagi. Seorang petugas menyepak tangan kanan di bawah
tubuh Nomor Sembilan, tapi dia tidak goyah. Dia melakukan
push-up lagi hanya dengan tangan kiri. Petugas tadi
menendang tangan kirinya, tapi gerakan Nomor Sembilan
sangat cepat sehingga tidak terjungkal. Tangan kanannya
langsung menyentuh lantai dan dia melakukan push-up satu
tangan, memamerkan sikap tubuhnya yang sempurna. Empat
petugas melompat ke arahnya, masing-masing memegang
lengan dan kakinya, tapi Nomor Sembilan tetap tertawa.
Tiba-tiba, aku juga ikut tergelak. Dia memang layak diacungi
jempol. Selera humornya yang aneh itu menular.
Agen Khusus Walker memandangku. Aku menarik
tanganku dari punggung dengan perlahan, memperlihatkan
borgol rusak yang bergantung di pergelangan tangan. Aku
menggerak-gerakkan jari-jariku, lalu dengan santai
meletakkan tangan ke belakang kepala dan mulai bersiul.
Agen Khusus Walker menyipitkan mata sambil
memperlihatkan ekspresi melotot mengintimidasi. "Kau tahu
apa yang terjadi pada anak-anak sepertimu di penjara?"
tanyanya.
"Mereka kabur? Seperti aku waktu itu?" Aku
melebarkan mata sambil memandang dengan ekspresi tanpa
dosa.
Aku mendengar Nomor Sembilan terbahak melihat
sikapku dari balik tumpukan petugas. Harus kuakui, dia
memang menimbulkan keasyikan yang aneh dalam peristiwa
ini. Sekarang senyumanku melebar. Aku tahu orang-orang ini
cuma berusaha melakukan pekerjaan mereka. Mereka yakin
mereka melindungi negara mereka. Namun saat ini aku
membenci mereka. Aku benci mereka karena menghambat
kami dan aku benci wanita yang bersikap sok kuat seperti
pria ini. Aku benci mereka punya meriam Mogadorian.
Namun, yang paling membuatku benci kepada mereka
adalah karena mereka bekerja sama dengan Sarah untuk
menangkap aku dan Sam minggu lalu. Aku bertanya-tanya
apa yang mereka janjikan kepada Sarah sebagai imbalan
untuk menjebakku. Apakah mereka mempermainkan
perasaan Sarah? Meyakinkan Sarah bahwa dia dapat
menyelamatkanku dengan membiarkan orang-orang ini
menangkap kami? Apakah mereka bilang Sarah boleh
mengunjungiku saat aku menebus apa yang katanya adalah
kesalahanku? Aku memandang ke arah Bernie Kosar, tapi
ngengat itu sudah tidak ada. Pada saat yang sama, seekor
kecoak gendut berwarna cokelat dan putih merayap menaiki
kakiku, lalu masuk ke saku celana jinsku.
Nomor Sembilan bersedia menahan diri, BK
memberitahuku. Tapi aku tak tahu seberapa lama. Cari tahu
semua yang kau bisa, secepatnya.
Pria yang memimpin menepukkan tangan untuk
menarik perhatian yang lain. "Oke! Bawa anak-anak ini
sebelum teman-teman kita muncul."
"Siapa teman kalian?" aku bertanya, walaupun sangat
yakin pemerintah Amerika Serikat dan para Mogadorian
bekerja sama, entah karena alasan apa. Itu satu-satunya
penjelasan mengapa mereka menggunakan senjata
Mogadorian untuk melawan kami. "Siapa yang
kedatangannya tak kalian inginkan?"
"Diam!" bentak Agen Khusus Walker. Dia
mengeluarkan ponsel dan memutar satu nomor. "Kami akan
membawanya, plus satu lagi," katanya ke ponsel itu. "Dua
peti. Tidak, tapi kita akan membukanya. Sampai nanti."
"Siapa itu?" tanyaku. Dia mengabaikanku dan
menyimpan ponselnya.
"Hei, Kawan. Kukira kau mau beli penyedot debu,"
kata Nomor Sembilan kepadaku. "Aku benar-benar harus
menjualnya. Bos bakal membunuhku kalau aku pulang
dengan kardus penuh penyedot debu tak laku."
Mereka menarik Nomor Sembilan berdiri. Dia
meregangkan punggungnya dan tersenyum, seperti kucing
yang puas karena kenyang makan tikus. "Aku tak peduli
kalian membawa kami ke mana, tak ada penjara yang dapat
mengurung kami. Kalau kalian tahu siapa kami, kalian tak
akan buang-buang waktu dengan omong kosong ini."
Agen Khusus Walker tertawa. "Kami tahu kalian
siapa. Kalau kalian sepintar atau setangguh yang kalian kira,
kami tak mungkin menemukan kalian."
Para petugas mengangkat Peti Loric kami dan
berjalan keluar pintu. Borgol baru dipasangkan di
pergelangan tangan kami. Mereka bahkan memasang tiga
borgol di pergelangan tangan Nomor Sembilan.
"Kau tidak tahu kami apa yang bisa kami lakukan,"
ujar Nomor Sembilan dengan nada supermanis saat mereka
membawa kami melintasi halaman depan. "Kalau aku mau,
aku sanggup membunuh kalian semua dalam sekejap. Kalian
beruntung sekali karena aku ini anak baik-baik. Untuk saat
ini."
9 K
AMI SAMPAI DI SUATU GERBANG. DI BALIKNYA ada jalan
sempit yang mengarah lurus ke gunung. Crayton memintaku
menutupi jejak di belakang kami, sementara Nomor Enam
berjalan di depan bersama Komandan Sharma. Aku bertanya
tanya apakah pengkhianatan prajuritnya memengaruhi
komandan itu. Aku bertanya-tanya apakah dia akan
mempertanyakan kesetiaan pasukannya saat kembali
memimpin. Aku tak dapat membayangkan menanyakan itu
kepada Komandan Sharma, tidak tanpa mengatakan
seharusnya dia mengetahuinya. Tentu saja, mungkin
seharusnya dia tahu.
Aku memegang ranting pohon kecil dari Peti Loricku.
Aku harus mengetahui kegunaan benda ini. Waktu aku
memegang benda ini untuk pertama kalinya?saat pertama
kali aku membuka Peti Loric milikku, waktu di biara Santa
Teresa, ketika Adelina masih hidup?aku tak sempat
mengetahui kegunaannya. Namun aku ingat saat
mengulurkan ranting ini keluar jendela, aku merasakan
semacam gaya magnet. Hampir secara naluriah, aku
mengusap permukaannya yang mulus dan tak berkulit
dengan ibu jariku. Setelah sesaat, aku melihat ranting ini
memengaruhi pohon-pohon yang kami lewati. Aku
membidik dan berkonsentrasi memikirkan apa yang
kuinginkan dari pohon-pohon itu. Sebentar kemudian, aku
mendengar akar-akar pohon berderak dan ranting-rantingnya
bergemerisik. Aku berbalik dan berjalan mundur sambil
meminta pohon-pohon di tepi sana menjaga kami. Pohon
pohon itu menekuk dan saling lilit sehingga tak ada yang bisa
mengikuti kami. Aku sangat ingin membantu, sangat ingin
tidak menjadi beban, dan juga menggunakan Warisanku
untuk menolong kami, dan setiap kali sebuah pohon
meresponsku, rasanya sekujur tubuhku dibasuh rasa lega.
Kami berjalan nyaris tanpa berbicara. Sekali, untuk
meredakan kebosanan dalam perjalanan, aku menurunkan
ranting tepat di depan wajah Nomor Enam dan
menggelitiknya. Dia menepiskan ranting itu seraya terus
berjalan, memusatkan perhatian pada keadaan di depan.
Sambil berjalan, aku memikirkan Nomor Enam.
Keberaniannya saat menghadapi para prajurit tadi. Dia selalu
tenang, dingin, dan terkendali. Dia memimpin dan
mengambil keputusan seolah-olah itu hal yang sangat wajar
baginya. Suatu hari nanti, aku bakal menjadi seperti dirinya.
Aku yakin.
Aku bertanya-tanya apa pendapat Adelina tentang
Nomor Enam?dan tentang diriku saat ini. Aku bertanya
tanya sehebat apa diriku saat ini andaikan dulu Adelina
melatihku. Aku sadar tahun-tahun yang kuhabiskan di panti
asuhan tanpa adanya bimbingan dari Adelina menyebabkan
aku tidak menjadi seperti yang seharusnya. Aku tidak sekuat
dan sepercaya diri Nomor Enam. Pengetahuanku bahkan
tidak sebanyak Ella. Aku berusaha mengubur kekecewaanku
dan memikirkan tindakan mulia Adelina yang terakhir. Dia
berlari menyerbu Mogadorian itu tanpa takut, hanya
bersenjatakan pilau dapur. Aku berusaha menghentikan
kenangan itu sebelum sampai pada saat kematiannya.
Namun, aku jarang berhasil melakukannya. Seandainya dulu
aku punya keberanian untuk bertarung bersama Adelina atau
tahu cara menggunakan telekinesis untuk membuka
cengkeraman si Mogadorian di leher Adelina. Andai raja dulu
aku begitu, mungkin saat ini Adelina sedang berjalan
bersama kami.
"Kita istirahat di sini," kata Komandan Sharma,
suaranya membuyarkan pikiranku. Dia menunjuk sepasang
batu besar datar yang bermandikan sinar matahari sore. Aku
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat melihat sungai kecil yang dialiri air segar tepat di
belakang batu itu. "Tapi tidak lama-lama. Kita harus sudah
jauh mendaki gunung itu sebelum malam tiba," lanjutnya
sambil mendongak memandang langit sore.
"Kenapa? Apa yang terjadi saat malam tiba?" tanya
Nomor Enam.
"Hal-hal yang sangat aneh. Hal-hal yang belum siap
kalian saksikan." Komandan Sharma melepaskan sepatu dan
kaus kakinya, menggulung ujung celananya secara asal
asalan, lalu berjalan ke sungai.
Crayton juga melepaskan sepatu dan kaus kakinya,
lalu menyusul Komandan. "Kau tahu, Komandan, kami sudah
memercayaimu secara membabi buta dengan mengikutimu
ke gunung ini. Setidaknya kau dapat menjawab pertanyaan
kami saat kami bertanya. Kami punya mini yang sangat
penting. Dan kami ingin kau menghargainya."
"Aku menghargai kalian," Komandan menenangkan.
"Tapi aku cuma mematuhi perintah Wisnu."
Crayton menggeleng frustrasi dan berjalan lebih jauh
ke arah hulu sungai. Aku melihat Ella berjalan menjauh dan
duduk sendirian di salah satu batu besar di samping sungai.
Dia terus mengenakan kacamata gelapku di sepanjang
perjalanan. Sekarang dia memanfaatkan kesempatan ini
untuk membersihkan kacamata itu menggunakan bajunya
dengan saksama. Saat melihatku memandangnya, dia
mengulurkan kacamata itu ke arahku. "Maaf, Marina. Aku tak
tahu kenapa aku terus memakainya. Tapi?"
"Tak apa, Ella. Benda ini membantumu melihat
serangan sebelum kami semua melihatnya. Kita mungkin tak
tahu kegunaan kacamata ini, tapi sepertinya kau dapat
menggunakannya dengan baik."
"Sepertinya begitu. Aku penasaran apakah aku bisa
membuat kacamata ini melakukan yang lain."
"Apa yang kau lihat waktu kita berjalan tadi?" tanya
Nomor Enam.
"Pohon, pohon, dan pohon lagi," jawab Ella. "Aku
terus menunggu sesuatu terjadi, atau melihat sesuatu yang
aneh. Seandainya aku bisa memastikan bahwa itu artinya tak
ada sesuatu yang perlu kulihat." Aku tahu Ella kesal dengan
dirinya, bukan terhadap kacamata itu.
Menggunakan ranting kecil di tanganku, aku
membengkokkan sebuah pohon besar untuk menaungi batu
besar tersebut. "Yah, coba terus."
Ella memegang kacamata hitam itu ke cahaya. Saat
dia membalikkan kacamata, aku merasa dapat membaca
pikirannya yang berterima kasih kepadaku karena
membuatnya merasa sebagai bagian dari tim dan melakukan
sesuatu yang bagus.
Aku memandang Nomor Enam yang sedang
meregangkan tubuh di tanah. "Kalau kau bagaimana, Enam?"
tanyaku. "Mau mengecek benda-benda di Petiku?"
Dia berdiri, menguap, lalu memandang jalan. "Kurasa
tidak, terima kasih. Mungkin nanti."
"Oke," kataku. Aku berjalan ke sungai lalu
mencipratkan air ke wajah serta tengkukku. Saat aku akan
minum, Komandan Sharma keluar dari sungai dan berkata
sudah saatnya pergi. Kami bersiap untuk mendaki gunung.
Aku meraih Peti Loricku dan mengempitnya di pinggul.
Jalan itu sekonyong-konyong jadi lebih terjal.
Herannya lagi, jalan itu juga begitu licin dan tidak berbatu,
seakan-akan baru Baja dilanda badai sampai bersih. Kami
kesulitan menjejakkan kaki. Crayton berusaha berlari untuk
mendapatkan momentum, tapi dia terpeleset dan jatuh ke
tanah.
"Ini mustahil," katanya sambil bangkit dan
membersihkan diri. "Kita harus menerobos hutan kalau mau
naik."
"Tidak," tukas Komandan Sharma dengan lengan
terentang seperti pemain akrobat titi tali. "Kita tak boleh
mengatasi rintangan dengan melarikan diri. Kita tak perlu
buru-buru, yang penting jangan berhenti."
"Tak masalah kalau kita berjalan lambat-lambat?
Padahal orang ini baru saja bilang bahwa hal-hal sangat aneh
terjadi pada malam hari," Nomor Enam mendengus. "Kupikir
sebaiknya kau mengatakan berapa jauh lagi kita harus
berjalan. Kalau jaraknya lebih dari tiga jam jalan kaki,
menurutku sebaiknya kita masuk ke hutan dan melupakan
rintangan tandasnya sambil memelototi Komandan Sharma.
Aku memandangi ranting kecil di tangan lalu suatu
ide muncul di benakku. Aku memusatkan pikiran ke arah
pohon-pohon di sekeliling kami, menurunkan dahannya di
kanan dan di kiri. Tiba-tiba, kami punya cara untuk menghela
diri kami ke atas, panjat tali ala Lorien. "Bagaimana kalau
begini?" aku bertanya.
Nomor Enam meraih dahan dan mengetes
kekuatannya, lalu berjalan naik beberapa meter. Dia
menoleh lalu berseru, "Brilian, Marina! Kau hebat!"
Aku terus membengkokkan pohon, sementara kami
naik. Ella yang masih mengenakan kacamata hitam
mengamati hutan di sekeliling kami dan sesekali menoleh ke
belakang. Begitu jalan tersebut mendatar dan kami dapat
memijak dengan lebih mudah, Nomor Enam mulai berlari
naik lebih dulu dari kami seraya sesekali berbalik untuk
melaporkan apa yang dilihatnya di depan sana. Setiap kali,
kata-katanya sama: "Tak ada apa-apa." Akhirnya, dia kembali
dan mengatakan ada persimpangan di depan sana. Saat
mendengar itu, Komandan Sharma tampak heran dan
mempercepat langkahnya.
Begitu tiba di persimpangan, Komandan Sharma
mengernyit. "Ini baru."
"Bagaimana mungkin?" tanya Crayton. "Kedua jalan
ini tampak persis sama. Keduanya tampak sering dilintasi.
Komandan Sharma mondar-mandir di depan
persimpangan. "Aku jamin jalan di kiri ini tadinya tidak ada.
Kita sudah sangat dekat dengan Wisnu. Kita ke sini." Dia
berjalan dengan yakin ke jalan di sebelah kanan dan Crayton
mengikuti.
"Sebentar," Ella memanggil. "Aku tak melihat apa
pun di kanan. Kacamata ini cuma memperlihatkan
kehampaan gelap."
"Itu yang perlu kudengar," ujar Nomor Enam.
"Tidak. Kita ke kanan," Komandan membantah
Nomor Enam. "Aku sudah sering berjalan di sini, Sayang."
Nomor Enam berhenti, lalu perlahan-lahan berbalik dan
memandang Komandan Sharma.
" Jangan panggil aku ?sayang'," Nomor Enam
memperingatkan.
Saat Komandan Sharma dan Nomor Enam saling
melotot, aku melihat sesuatu yang digoreskan di mulut jalan
sebelah kiri. Gambar itu begitu tipis, panjangnya juga cuma
beberapa senti sehingga aku harus mengamatinya lekat
lekat. Namun tidak salah lagi. Angka delapan.
"Menurut ini, Ella benar. Kita ke kiri," kataku sambil
menunjuk angka itu.
Nomor Enam berjalan ke tanda tersebut, lalu
menggoreskan ujung sepatunya ke bawah angka delapan.
"Pengamatan bagus, Marina." Crayton juga
memandang tanda itu dan tersenyum.
Kami kembali berbaris seperti sebelumnya, dengan
Nomor Enam dan Komandan Sharma yang enggan di depan,
sementara aku di paling belakang. Jalan itu pelan-pelan
menanjak dan mulai berbatu. Tiba-tiba, aliran air muncul dari
depan jalan, mengagetkan kami semua. Batu-batu di bawah
kaki kami segera menjadi pulau-pulau kecil. Aku melompat
dari satu batu ke batu lain, tapi beberapa menit kemudian
batu-batu itu sudah terbenam. Tiba-tiba, kami berjalan di
sungai.
Ella yang pertama kali angkat suara. "Mungkinkah
kacamata ini salah? Mungkin ini bukan jalan yang benar."
"Tidak. Ini benar," kata Komandan sambil menunduk
untuk menyapukan ujung jarinya di permukaan air. "Aku
pernah melihat tanda seperti ini." Kami sama sekali tak
mengerti apa maksud komentarnya yang aneh itu, tapi kami
sudah sejauh ini dan hanya bisa terus.
Arus sungai semakin deras dan kami semakin sulit
melawannya. Kami terus mendaki jalan itu dengan susah
payah sampai airnya setinggi pinggang Ella dan aku kesulitan
menjaga keseimbangan. Namun akhirnya, dengan kecepatan
yang sama seperti tadi, aliran air melambat. Jalan tersebut
juga mendatar dan berujung di kolam air besar. Dinding batu
kasar berdiri di belakang danau itu, dan empat air terjun
tercurah dari atas, menghantam air.
"Apa itu?" Ella menunjuk.
Di tengah-tengah danau itu, batu besar putih muncul
ke permukaan. Di batu itu ada patung biru mengilap pria
bermahkota dengan empat tangan.
"Dewa Wisnu yang Sakti," bisik Komandan Sharma.
"Seben tar. Itu Nomor Delapan? Patung?" Nomor
Enam terheran-heran sambil memandang Crayton.
"Apa yang dia pegang?" tanya Ella. Aku mengikuti
arah pandangannya dan melihat masing-masing tangan
patung itu memegang benda: bunga merah muda, kulit
kerang putih, tongkat emas, dan di ujung salah satu jari
telunjuknya ada cakram biru kecil yang mirip CD.
Komandan Sharma berjalan ke danau. Dia tersenyum.
Tangannya gemetar. Kemudian dia menoleh ke arah kami.
"Wisnu merupakan Dewa Tertinggi. Di tangan kirinya adalah
sangkakala atau terompet kulit kerang untuk menunjukkan
kemampuannya membuat dan menjaga jagat raya, dan di
bawahnya adalah gada untuk menandakan kuasanya
menghancurkan kecenderungan materialistis dan kejahatan.
Di tangan kanannya adalah chakra, untuk menunjukkan
pikiran spiritual yang murni, dan di bawahnya adalah bunga
teratai yang indah."
"Yang menggambarkan kesempurnaan Ilahi dan
kemurnian," Crayton menambahkan.
"Antara lain begitu! Betul, Mr. Crayton. Bagus sekali."
Aku menatap patung itu, memandang wajah birunya
yang tenang, mahkota emas, dan benda-benda di tangannya,
lalu aku merasa lupa segalanya. Lupa tentang pertempuran di
kaki gunung dan kehebohan di Spanyol. Tentang Adelina,
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
John Smith, dan Hector. Lupa tentang Peti Loricku, Lorien,
dan kenyataan bahwa saat ini aku berdiri di air dingin. Energi
yang mengalir dalam tubuhku terasa begitu menakjubkan.
Dilihat dari kedamaian di wajah teman-temanku, tampaknya
energi itu menular. Aku menutup mata dan merasa
terberkati dengan berada di sini.
"Hei! Dia hilang!" Ella berseru. Aku membuka mata
cepat-cepat dan melihat Ella melepaskan kacamata
hitamnya. "Wisnu hilang!"
Ella benar?batu besar putih di tengah danau itu
kosong. Aku memandang Nomor Enam dan Crayton. Mereka
sudah siaga, siap menghadapi bahaya. Aku memandang
berkeliling. Apakah ini perangkap?
"Sekarang dia akan menguji kalian," ujar Komandan
Sharma, menyela pikiranku. Dia satu-satunya di antara kami
yang tidak terkejut melihat lenyapnya Wisnu. "Karena inilah,
aku membawa kalian ke sini."
Kami melihatnya berbarengan. Sesuatu berdiri di
puncak dinding kasar di atas kolam dan menghalangi sinar
matahari, menimbulkan bayangan panjang berbentuk aneh
di air. Sosok tersebut berjalan pelan menyusuri puncak
dinding bergerigi sampai di air terjun keempat paling kiri.
"Komandan?" tanyaku. "Itu siapa?"
"Itu ujian pertama kalian," jawab Komandan Sharma
sambil melangkah ke tepi danau yang berumput. Kami semua
mengikuti tanpa mengalihkan pandangan dari sosok
tersebut.
Sedetik kemudian, sosok itu terjun dengan
anggunnya dari tebing. Aku melihat keanehan pada sosok itu,
kakinya pendek sementara tubuhnya besar dan bundar. Dia
jatuh dengan pelan, hampir seperti melayang, seakan-akan
dapat mengendalikan gravitasi. Saat menembus permukaan
kolam, tidak ada air yang menciprat. Beriak pun tidak. Nomor
Enam meraih dan meremas liontin biru besar yang
tergantung di lehernya. Ella mundur beberapa langkah
menjauhi danau.
"Ini mungkin perangkap," kata Crayton pelan,
menyuarakan ketakutanku. "Siap-siap bertarung."
Nomor Enam melepaskan liontinnya, lalu menggosok
kedua tangannya. Aku menurunkan Peti Loricku lalu meniru
gerakan Nomor Enam itu, tapi karena merasa konyol, aku
memandang berkeliling secara sembunyi-sembunyi untuk
melihat kalau-kalau ada yang memperhatikan. Untunglah
mereka semua sibuk. Masalahnya begini, Nomor Enam tahu
cara bertempur. Dia sudah berlatih seumur hidupnya. Setiap
hal yang dia lakukan ada tujuannya. Sementara itu, aku cuma
menggosok tanganku. Dengan perlahan, aku menurunkan
tanganku kembali ke samping.
"Dia akan menguji kalian satu per satu," Komandan
menerangkan. Nomor Enam mendengus.
"Bukan kau yang bikin aturan. Bukan untuk kami,"
tukas Nomor Enam. Dia memandang Crayton yang
mengangguk.
"Komandan, kami ke sini bukan untuk timpal Crayton.
"Kami ke sini untuk mencari teman kami, bukan untuk diuji
atau bertarung."
Komandan Sharma mengabaikan Crayton dan
berjalan ke petak rumput kecil lalu duduk. Aku sama sekali
tak menyangka dia mampu duduk dengan posisi bunga
teratai. "Satu per satu," ujar Komandan Sharma dengan
tenang.
Makhluk?atau apa pun dia?yang barusan
menyelam ke danau masih di bawah air. Aku satu-satunya
yang memiliki Pusaka untuk menemuinya di bawah sana. Aku
tahu apa yang harus kulakukan. Namun tetap saja aku
terkejut saat mendengar mulutku mengucapkan, "Aku
duluan."
Aku memandang Nomor Enam. Dia mengangguk dan
aku menyelam ke danau. Air yang dingin itu semakin gelap
saat aku berenang semakin dalam. Mataku terbuka, awalnya
aku cuma mampu melihat air keruh sejauh beberapa senti di
depanku. Namun mataku segera terbiasa dan aku dapat
memandang jauh menembus danau, kemampuanku untuk
melihat dalam gelap sangat berguna. Aku membiarkan air
memasuki paru-paru, dan rasa tenang yang familier
membasuh tubuhku. Aku mulai bernapas dengan normal,
membiarkan Pusakaku mengambil alih.
Aku tiba di dasar danau yang berlumpur lalu
berputar, memandang ke segala arah mencari makhluk yang
tadi terjun dari tebing. Sesuatu bergerak di kanan pundakku.
Aku berputar untuk melihat sosok yang datang menghampiri.
Dia mengenakan mahkota emas di rambut hitam legamnya
yang pendek. Alisnya setengah lingkaran sempurna, dan
hidungnya ditindik cincin emas. Anehnya dia tampak indah.
Aku tak dapat mengalihkan pandanganku darinya.
Aku berdiri diam dan menunggu untuk melihat apa
yang diinginkannya. Dia mendekat. Saat jaraknya tinggal
beberapa meter dariku, aku dapat melihatnya dengan lebih
jelas, dan aku ternganga. Yang tadi kusangka badan yang
bundar dan aneh, ternyata merupakan tubuh kura-kura. Aku
terkesima, mengamatinya untuk melihat apa yang akan dia
lakukan. Aku terkejut saat dia menerjang ke arahku dan
memukul dengan kedua tangan kanannya.
Aku berputar ke belakang. Kekuatannya
mendorongku begitu cepat sehingga aku terpana. Namun itu
tidak lama. Kakiku segera menemukan dasar danau yang
berlumpur dan aku berputar dengan panik, berusaha
mencarinya dalam kegelapan, semua indraku waspada dan
siaga. Sesuatu menepuk bahuku dan aku berbalik untuk
melihat pria kura-kura biru itu. Sialan. Gerakannya cepat. Dia
mengedipkan sebelah mata ke arahku lalu mengayunkan
kedua tangan kirinya, tapi kali ini aku siap menghadapinya.
Aku mengangkat lengan dan lututku tepat waktu untuk
menangkis pukulannya. Lalu aku menjejakkan telapak kakiku
ke dadanya dan menendang sekuat mungkin. Aku berbalik
dan menghampirinya dari belakang, membelitkan lenganku
ke lehernya, dan mencari sesuatu, apa saja, yang dapat
kujadikan senjata. Saat melihat batu besar mencuat dari
lumpur di depan kami, aku menggunakan telekinesis untuk
mengarahkannya ke si Kura-Kura Alien, mengerahkan
segenap kekuatanku untuk menariknya di air. Dia melihat
batu itu datang. Saat batu itu tinggal beberapa senti lagi
sebelum menghantamnya, dia menghilang begitu saja. Puf.
Akibatnya, batu tersebut malah menghantamku dan aku
jatuh ke lumpur.
Aku berbaring di sana dengan linglung, menunggu
kura-kura itu muncul kembali. Namun dia tidak muncul.
Akhirnya, aku memutuskan untuk naik ke permukaan.
Hal pertama yang kulihat saat muncul adalah Nomor
Enam yang sedang berdiri di tepi air, mencariku. "Apa yang
terjadi?" serunya.
"Dia lulus." Komandan Sharma mengangguk. "Kau
baik-baik saja?" Ella berteriak. "Aku tak dapat melihat apa
pun melalui kacamata ini."
"Aku baik-baik saja," aku balas berseru. Aku memang
baik-baik saja.
"Apa maksudmu dia lulus?" Crayton bertanya pada
Komandan. "Itu salah satu ujian?"
Komandan tersebut hanya tersenyum damai dan
mengabaikan Crayton.
"Oke, siapa berikutnya?" Sambil melintasi air, aku
mengikuti telunjuk Komandan yang mengarah jauh ke atas.
Aku berbalik dan melihat sosok gelap di dinding kasar itu
lagi. Kali ini wujudnya adalah pria raksasa berjanggut dengan
kapak di tangan.
Nomor Enam masuk ke air hingga air mencapai
lututnya saat aku naik dan memeras air dari rambutku yang
panjang dan gelap. Dia tampak penuh tekad baja dan percaya
diri saat berkata, "Aku."
Sosok itu berjalan ke air terjun ketiga lalu terjun. Kali
ini ada percikan besar saat dia masuk ke danau. Kami dapat
melihat permukaan air beriak saat sosok itu berjalan di
bawah air menuju Nomor Enam. Kemudian ujung kapaknya
muncul di danau, diikuti dengan kepalanya yang besar.
Nomor Enam tidak berjengit atau berubah ekspresi sama
sekali saat pria itu sudah muncul sepenuhnya dan berdiri
menjulang satu meter lebih tinggi darinya di tepi danau yang
dangkal.
Raksasa itu menggeram dan melolong sambil
mengayunkan kapak. Nomor Enam melompat menghindar.
Sebelum raksasa itu menarik kapaknya lagi, Nomor Enam
menendang gagang kayu kapak itu, mematahkannya jadi dua.
"Bagus, Enam!" Ella bersorak.
Raksasa tersebut mengayunkan tinjunya ke arah
Nomor Enam yang mengelak dengan mudah, dengan
membungkuk dan meliuk. Detik berikutnya, Nomor Enam
sudah mendaratkan tendangan ke lutut raksasa itu. Saat si
Raksasa membungkuk dan melolong kesakitan, Nomor Enam
meraih ujung gagang patah yang mengapung lewat, lalu
mengayunkannya ke kepala si Raksasa. Makhluk itu lenyap
sebelum kapak tersebut mengenainya.
"Apa-apaan ini?" tanya Nomor Enam sambil menoleh
ke kanan dan ke kiri dengan liar, waspada kalau-kalau
makhluk tadi muncul kembali.
Komandan Sharma tersenyum tenang. Orang ini
mulai membuatku kesal. "Itu ujian lain, dan kau lulus. Masih
ada satu lagi."
Sebelum ada yang bicara, kami mendengar raungan.
Aku terhuyung mundur ngeri memandang makhluk yang
muncul dari air. Makhluk itu tingginya lebih dari tiga meter,
berkepala singa dan bertubuh manusia. Di masing-masing sisi
tubuhnya ada lima lengan berotot yang ditekuk. Makhluk itu
mengguncangkan air dari surainya seraya berjalan ke tepi
danau, lalu menyerbu ke arah Ella sambil melepaskan
raungan kedua.
"Oh. Ya ampun," ucap Ella dengan mulut ternganga
dan mata membelalak.
"Tidak," kata Crayton sambil melangkah ke depan
Ella. "Kau tidak siap untuk ini?ini terlalu berlebihan."
Ella memegang lengan Crayton. Senyum simpul
tersungging di wajahnya dan dia seakan berubah dari anak
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang ketakutan menjadi Garde yang siap bertempur. "Tak
apa. Aku bisa melakukannya."
Nomor Enam menghampiriku. Kami siap bertarung
kalau Ella membutuhkan kami. Makhluk itu bergerak ke arah
Ella, sementara dia mengenakan kacamataku lagi. Lalu,
makhluk itu menyerang.
Makhluk singa itu mengayunkan kesepuluh
tangannya ke arah Ella. Namun, Ella menunduk dan mengelak
dari setiap tangan itu seakan-akan mampu melihat setiap
tinju yang akan dilayangkan. Pohon di belakang Ella-lah yang
akhirnya terkena pukulan. Potongan-potongan besar kayu
beterbangan di sekeliling Ella, mengenai wajah makhluk tadi,
memantul di dadanya. Tanpa melarikan diri dan tanpa
melawan, Ella mengitari batang pohon, terus mengelak
kesepuluh tinju tersebut. Pohon itu terus menerima
hantaman. Tiba-tiba, Ella berteriak. "Oh, tidak! Apa yang
kulakukan?"
Sebelum memahami apa maksudnya, terdengar
bunyi derak keras lalu batang pohon besar itu mencondong
ke depan. Pohon itu nyaris meremukkan makhluk singa tadi,
tapi dia langsung lenyap seperti sosok-sosok sebelumnya.
Saat pohon tersebut roboh, sebuah ranting menyeret
kacamata hitam dari wajah Ella, menyebabkannya remuk
tertimpa batang pohon yang besar itu. "Marina,
Aku tabu kacamata ini bakal rusak, tapi aku tak
mampu mencegahnya."
Aku, Crayton, dan Nomor Enam berlari menghampiri
Ella yang sedang memandangi sisa-sisa kacamata di kakinya
dengan tatapan ngeri. "Ella! Tak usah memikirkan kacamata
itu. Kau berhasil bertahan dan makhluk tadi lenyap. Yang
penting kau selamat. Aku sangat bangga padamu," aku
memberitahunya.
"Ella, yang tadi itu luar biasa!" Nomor Enam memuji.
"Selamat," ujar Komandan Sharma yang masih duduk
tenang seperti Buddha. "Kalian baru raja mengalahkan tiga
awatara Wisnu. Kalian lulus ujiannya. Yang pertama tadi
adalah Kurma, setengah manusia setengah kura-kura yang
mengaduk lautan kuno agar para dewa yang cinta kedamaian
lainnya dapat menjadi abadi kembali. Pria yang membawa
kapak tadi adalah Parasurama, brahmana kesatria pertama.
Yang terakhir adalah salah satu inkarnasi Wisnu yang paling
kuat, sang Manusia-Singa, Narasinga. Sekarang, kita tunggu
kedatangan Wisnu."
"Kami sudah bosan menunggu," geram Crayton
sambil memandang Komandan, dengan rahang dikatupkan
dan tinju dikepalkan di samping tubuh. "Sebaiknya dia
menunjukkan diri, secepatnya."
"Tenang, tenang," terdengar suara seorang remaja
yang muncul dari rumput tinggi di belakangku. "Komandan
ini hanya mengikuti perintahku. Aku cuma berhati-hati."
Kami menyaksikan patung Wisnu melangkah dari
rumput ke arah kami, hidup dan tersenyum.
"Aku sudah lama sekali menanti kalian."
10
AKU DUDUK DI KURSI LOGAM DALAM KURUNGAN pleksiglas
di bagian belakang truk kecil. Tanganku diborgol ke kursi dan
pergelangan kakiku ditahan belenggu berat. Sebuah tali kulit
melintang di dahiku, menahan kepalaku ke dinding
pleksiglas di belakang. Aku menghadap samping truk, tapi
masih dapat menoleh untuk melihat Nomor Sembilan, yang
juga berada di dalam kandang pleksiglas, beberapa meter
dari kandangku. Di depanku seorang penjaga mengawasi
kami. Aku tabu aku mampu membebaskan diri dalam
sekejap, tapi kata-kata BK, yang masih bersembunyi di
sakuku, benar. Kami harus menyelidiki apa yang mereka
ketahui dan bagaimana hal itu dapat membantu kami. Nomor
Sembilan pasti setuju untuk melakukan ini karena dia tidak
melakukan apa-apa, padahal dia sangat sanggup
menghancurkan belenggu yang menahannya. Di kurungan
kami ini ada banyak gembok dan satu-satunya cara untuk
bicara melalui pleksiglas tebal ini adalah melalui delapan
lubang kecil di pintu kurungan. Mesin truk menyala, tapi
kami belum bergerak sedikit pun.
Agen Khusus Walker duduk di bangku logam panjang
dekat bagian depan truk. Kakinya yang satu menginjak
Petiku, sementara kakinya yang lain menginjak Peti. Nomor
Sembilan. Meriam Mogadorian terbaring di pangkuannya.
Pria berhidung bengkok duduk di sampingnya dengan
meriam yang satu lagi. Walker berbisik ke ponsel sambil
sesekali melirik ke arah kami. Aku nyaris dapat mendengar
apa yang dia ucapkan, menangkap kata-kata seperti pacar dan
tak berdaya. Aku ingat waktu di gunung dulu, Nomor
Sembilan bilang dia mampu mendengar dari jarak berkilo
kilometer. Kuharap dia menangkap lebih banyak
dibandingkan aku.
"Hei, John!" Nomor Sembilan berseru.
Si penjaga berbalik menghadap kandang Nomor
Sembilan dan membidikkan senapan ke kepalanya. "Kau!
Diam!"
Nomor Sembilan mengabaikannya. "Johnny! Kapan
kau mau keluar dari sini? Aku tak tahu kau bagaimana, tapi
yang jelas aku bosan dan ingin ganti pemandangan." Dia
sangat senang membuat orang kesal. Aku mulai memahami
keasyikannya.
Agen Khusus Walker menutup ponsel dan mencubit
batang hidungnya. Wanita itu tampak seperti orangtua atau
guru yang kesal, rasa lelahnya menyebabkan sikap
berkuasanya lenyap. Kemudian dia menarik napas dalam
dalam dan duduk tegak, seakan-akan telah memutuskan
sesuatu. Dia mengetuk jendela, menyuruh si sopir
menjalankan truk.
Agen Khusus Walker berdiri dan berjalan
menghampiri kami, menjaga tubuhnya tetap tegak sambil
mengangkat meriam di atas kepala. Dia berhenti di depanku.
Tatapannya tidak seperti tadi. Dia seakan-akan menyesal
karena menangkap kami. Atau menyesal dengan apa yang
akan dia lakukan. Atau keduanya.
"Bagaimana caramu menemukan kami?" aku
bertanya.
"Kau tahu caranya," sahutnya.
Gelang masih di pergelangan tanganku. Selama
beberapa menit terakhir ini, gelang itu diam, tapi begitu si
Agen berbicara, gelang itu mulai berdengung lagi.
Nomor Sembilan berseru, "Hei! Aku sungguh
sungguh soal bosan di sini. Aku tak berminat lagi buat
bermanis-manis. Terserah kau saja, tapi kau harus tahu kau
cuma punya waktu sedikit sebelum aku memutuskan untuk
menghibur diriku. Kau dapat memberi tahu kami apa yang
kau ketahui saat ini juga, atau aku akan keluar dari sini dan
memaksamu memberitahuku. Coba tebak, mana yang bikin
hariku jadi lebih asyik?"
Pria berhidung bengkok perlahan-lahan bangkit dari
bangku dan mengacungkan meriamnya ke arah Nomor
Sembilan. "Kau pikir kau ini siapa, Nak? Kau bukan di posisi
yang bisa mengancam kami."
"Apa pun rencana kalian, aku jamin, aku pernah
melalui yang lebih buruk," balas Nomor Sembilan.
"Aku tahu pasti di mana kau berada sebelum ini. Kau
mengerti? Kami sudah tahu." Pria itu terdengar kesal dengan
sikap sok hebat Nomor Sembilan.
"Agen Purdy," Walker memanggilnya. "Turunkan
senjatamu. Sekarang."
Agen itu mulai menurunkan meriamnya dan aku
memutuskan untuk bersenang-senang. Kurasa Nomor
Sembilan memengaruhiku. Dengan telekinesis, aku merebut
meriam itu dari tangan Agen Purdy dan melemparkannya ke
belakang truk. Senjata itu menghantam pintu belakang, lalu
mendarat di lantai diiringi suara berdentang. Pada saat yang
sama, truk kami berbelok tajam dan Agen Purdy terlempar ke
arahku sehingga bahu kanannya menghantam kurunganku.
Aku menahannya di tempat dengan telekinesis.
"Dasar ke ..."
"Apakah kau tidak tahu seharusnya kau mengenakan
sabuk pengaman, Agen Pretty?" Nomor Sembilan tertawa.
"Keselamatan itu sangat penting! Nih, ambil punyaku. Kau
cuma perlu masuk ke sini untuk mengambilnya."
Agen Purdy berkata, "Entah bagaimana caramu
melakukan ini, tapi sebaiknya kau menghentikannya." Dia
berusaha terdengar mengerikan, tapi sulit untuk terdengar
mengancam dengan posisinya yang seperti itu.
Aku memajukan tubuh, memutuskan tali yang
melintang di dahiku dengan mudah. Waktu bermain-main
sudah selesai. "Agen Purdy, kau tahu di mana Sam Goode
berada?"
"Kami menahan Sam," sahut Agen Khusus Walker
sambil memandangku. Suaranya tenang, tapi meriamnya
diacungkan ke arahku.
Sesaat, aku begitu kaget mendengar potongan
informasi baru tersebut sehingga tak mampu berpikir dan
tanpa sengaja melepaskan Agen Purdy. Dia jatuh ke lorong.
Mereka menahan Sam? Jadi Setrakus Ra bukan
menyiksanya di gua seperti yang kulihat dalam visiku?
Apakah Sam baik-baik raja? Saat akan bertanya di mana Sam
berada, aku melihat sinar di tabung meriam Agen Khusus
Walker berpusar. Cahaya itu hitam dan merah, bukan hijau.
Agen Khusus Walker menyeringai saat melihat
wajahku yang kaget. "Kalau kau beruntung, John Smith, atau
siapa pun namamu, kami akan memperlihatkan video
tentang teknik interogasi yang kami gunakan terhadap Sam.
Kalau kau benar-benar beruntung, kami akan
memperlihatkan video tentang pacar kecilmu yang berambut
pirang itu. Siapa namanya?"
"Oooooohhhh, sialan," rutuk Nomor Sembilan. Aku
dapat mendengarnya nada geli di suaranya karena dia tahu
apa yang akan terjadi. "Kacau, deh."
Perlu beberapa detik sebelum akhirnya aku mampu
berbicara. "Sarah," bisikku. "Aku tahu dia bekerja sama
dengan kalian. Apa yang kalian katakan kepadanya sampai
dia bisa mengkhianatiku?"
Agen Purdy meraih meriamnya lalu duduk kembali di
bangku. "Kau bercanda? Gadis itu tak mau mengatakan apa
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun, dan percayalah, kami sudah menanyakan banyak hal
dengan banyak cara. Dia tidak mengatakan apa-apa kepada
kami. Dia jatuh cinta."
Sekali lagi, aku tercenung. Aku sangat yakin Sarah
bekerja sama dengan pemerintah untuk menangkapku. Saat
bertemu dengannya di Paradise minggu lalu, tingkahnya
sangat aneh. Dia menemuiku di taman, tapi kemudian dia
mulai mendapat SMS aneh?pada pukul dua dini hari.
Beberapa detik kemudian, kami sudah dikepung agen-agen
dan dirobohkan ke tanah. Aku tak dapat memikirkan
penjelasan lain. Pasti SMS itu penyebabnya. Pesan-pesan itu
pasti dari polisi. Dari mana lagi mereka tahu aku dan Sam ada
di sana? Sialan. Sekarang aku tak tahu harus berpikir apa. Dan
dia masih cinta padaku?
"Di mana dia?" aku mendesak.
"Nun jauh di sana," sahut Agen Khusus Walker.
Apakah dia mengejekku?
"Siapa yang peduli?" Nomor Sembilan berseru
menyela. "Gambaran besarnya, Johnny, gambaran besarnya!
Sarah tidak ada di sana! Begitu juga Sam!"
Aku mengabaikan Nomor Sembilan. Karena tahu
pemerintah Amerika Serikat menahan Sam dan Sarah, aku
memutuskan untuk menemukan keduanya. Aku sedang
memikirkan tindakan selanjutnya, pertanyaan berikutnya,
saat merasakan Bernie Kosar merayap naik dari saku jinsku.
Sebentar lagi kita harus pergi, katanya. Bawa wanita
itu supaya dia bisa menuntun kita kepada Sam dan Sarah.
"Sembilan," aku berseru. "Kau sudah siap pergi?"
"Oh, ya. Sudah siap sejak lama. Aku benar-benar
kebelet kencing."
Agen Khusus Walker mengalihkan pandangan ke
Nomor Sembilan lalu kembali menatapku. Karena tidak tahu
harus membidikkan meriam ke mana, dia mengacungkannya
ke arahku dan Nomor Sembilan secara bergantian. Agen
Purdy kembali berdiri dan melakukan yang sama. Penjaga di
belakang truk mengacungkan senapannya ke arah kami.
"Kalau mereka bergerak, tembak apa saja asalkan
bukan organ vitalnya!" perintah Agen Purdy sambil bergerak
untuk berdiri berdempetan dengan Agen Khusus Walker.
Bernie Kosar melompat dari pangkuanku lalu
merayap naik ke pintu kaca. Dia mengepakkan sayap kecoak
kecilnya ke arahku dan menyuruh hitung sampai lima.
"Eh, Sembilan?" tanyaku.
"Sudah sampai tiga, Kawan," katanya.
Walker membentak menyuruh kami diam. Gelangku
bergetar dan mengirimkan ribuan tusukan jarum ke atas serta
ke bawah pergelangan tanganku, tapi aku mengabaikannya.
Nomor Sembilan menghancurkan semua belenggunya
seakan-akan benda-benda itu bukan apa-apa lalu berdiri. Aku
melakukan yang sama, walaupun dengan lebih banyak usaha.
Nomor Sembilan menendang dinding depan kurungan
pleksiglasnya, menyebabkan semua dinding terlepas dari
bingkai. Saat dia melangkah ke luar, si penjaga
menembaknya. Nomor Sembilan tersenyum sambil
mengangkat tangan dan menghentikan peluru-peluru itu di
udara. Saat dia menurunkan tangannya, peluru-peluru
tersebut jatuh satu per satu ke lantai.
Dia memandangku, "Perlu bantuan, Kawan?" Setelah
dinding kurunganku ditendangnya, aku melangkah ke luar.
BK merayap kembali ke sakuku.
Sebelum si penjaga sempat bertindak, aku
menggunakan telekinesis untuk melemparkannya ke langit
langit dan menikung senjatanya menjadi logam tak berguna.
Agen Khusus Walker dan Purdy menembakkan meriam
Mogadorian mereka ke arah kami, tapi Nomor Sembilan
menghentikan arus yang keluar dari senjata tersebut. Dia
tersenyum dan menggoyangkan jarinya ke kedua agen
tersebut. "Ck, ck, ck. Seharusnya kalian lebih pintar." Nomor
Sembilan memandangku. "Siap-siap, Johnny, kita bakal
berputar!"
Sekonyong-konyong, truk kami terbang dari jalan dan
mulai berguling. Tanpa peringatan, Nomor Sembilan
meraihku dan mengaitkan lengan, menarikku bersamanya
hingga aku dapat menjejakkan kaki. Kami berlari ke dinding
kiri truk, bergerak seperti hamster dalam roda sehingga kami
tetap horizontal, sementara truk terguling-guling. Logam
meremuk di sekeliling kami, percikan api menghujan dari
setiap sudut, dan si penjaga serta kedua agen itu tampak
bagaikan boneka kain yang terlempar-lempar ke segala arah.
Tubrukan itu menyebabkan pintu belakang terbuka dan saat
truk selesai berguling, kami melompat keluar. Sejumlah
kendaraan polisi meluncur di belakang kami dan semuanya
mengerem kuat-kuat, sementara sirenenya masih meraung
raung.
"Hei, John!" Nomor Sembilan memanggil, tak
terpengaruh oleh semua itu.
"Yeah?" kataku sambil menggoyangkan kepala untuk
menghilangkan perasaan pusing akibat truk yang tadi
berguling-guling. Kami berdua tidak mengalihkan pandangan
dari kerumunan mobil polisi dengan lampu berkelap-kelip.
Nomor Sembilan mulai melangkah kembali ke truk
dan aku mengikutinya. "Kita harus mengambil Peti kita
kembali, dan melakukan yang BK suruh tadi, juga membawa
agen wanita itu."
"Benar." Aku menepuk sakuku, memastikan BK masih
di sana.
"Nah, kau urus itu sementara aku urus yang ini."
Nomor Sembilan mengangkat dua mobil polisi dari tanah
dengan telekinesis, polisi di dalamnya berusaha keluar.
Aku bergegas kembali ke truk yang sekarang berasap
di parit. Aku melompat masuk, menghindari penjaga dan
Agen Purdy yang mengerang di lantai, lalu mencari Peti kami.
Agen Khusus Walker duduk bersandar di sisa-sisa bangku
logam sambil memandangi darah di tangannya dengan
linglung. Rambut merahnya terjuntai melewati bahu, dan ada
luka goresan panjang di samping wajahnya. Meriam
Mogadorian tercerai berai di kakinya. Dia memandangiku
mengambil dan mengempit Peti kami, lalu aku berlutut di
depannya.
"Kau ikut kami." Itu bukan permintaan.
Dia membuka mulut untuk bicara, dan darah mengalir
keluar. Saat itulah, aku melihat sepotong logam yang
mencuat dari bahunya. Aku meletakkan salah satu Peti dan
berusaha mengangkat wanita itu, tapi dia mengerang dan
batuk darah lagi. Aku melepaskannya, khawatir kalau aku
menggerakkannya lagi dia bakal kehabisan darah dan mati
sebelum aku tahu di mana Sarah dan Sam berada.
"Di mana mereka?" tanyaku. "Beni tahu aku
sekarang! Sebentar lagi kau bakal mati. Aku sedang berusaha
menyelamatkan Bumi dan teman-temanku. Beni tahu aku! Di
mana Sam dan Sarah?"
Kepala Agen Khusus Walker terkulai ke arahku dan
matanya yang hijau membelalak, seakan-akan baru kali ini
melihatku. Bunyi tembakan di luar semakin dekat. "Kau ...
kau alien," akhirnya dia berbisik.
Aku meninju dinding truk dengan frustrasi. "Ya,
memang! Tapi aku di sini untuk membantu, kalau kalian mau
membiarkanku! Sekarang, sebelum kau kehabisan waktu,
kehabisan napas, katakan di mana mereka! Di Washington?"
Napasnya tersengal-sengal dan dia seperti tak dapat
mendengar atau melihatku. Dia bakal pingsan. Kesadarannya
bakal hilang dan aku masih tak tahu di mana Sam dan Sarah
berada. 'Tiba-tiba, suaraku mengecil. "Katakanlah di mana
mereka. Kumohon." Tatapan kami bertemu dan aku tahu aku
berhasil membujuknya.
Mulut Agen Khusus Walker membuka untuk
mengucapkan kata-kata, perlu beberapa kali sampai akhirnya
dia berhasil bersuara. "Di barat. Di ...," lalu suaranya
menghilang dan matanya menutup. Tangannya yang
berdarah mengepal lalu melemas. Seluruh tubuhnya
mengendur.
"Tunggu! Bertahanlah!" Aku meraih Petiku dengan
panik dan berusaha membukanya supaya dapat mengambil
batu penyembuh. Yang kupikirkan hanyalah kalau aku bisa
menyembuhkannya, dia akan mengatakan di mana Sam dan
Sarah berada. Begitu meletakkan tanganku di gembok Peti,
sekelompok polisi melompat masuk dari ujung truk yang
terbuka dengan senjata terhunus.
"Menyingkir dari agen itu! Ayo! Kalau tidak, kami
tembak! Tiarap! Tangan di belakang! Sekarang!" Mereka
menyalakkan perintah ke arahku, tapi aku tak dapat
mematuhinya. Aku tak mau mematuhinya. Aku harus
mengambil batu penyembuh. Aku harus mendengar Agen
Khusus Walker bicara. Aku mengulurkan tangan untuk
membuka Peti, lalu mendengar polisi itu berteriak, "Angkat
tangan. ANGKAT TANGAN. ANGKAT TANGAN!" Aku tetap
mengulurkan tangan ke Petiku.
Tembakan pertama meledak dan langsung diikuti
lusinan tembakan lain. Saat peluru-peluru itu melesat ke
arahku, pergelangan tanganku terasa semakin gatal. Rasanya
tidak sakit lagi. Lalu gelang itu mulai membesar,
menyelubungi seluruh lenganku dengan selapis materi
merah, yang kemudian melebar dan membuka seperti
payung. Aku tak tahu apa yang terjadi dan aku benar-benar
tak peduli. Yang ada di pikiranku cuma batu penyembuh dan
tubuh lunglai Walker yang begitu dekat, tapi begitu tak
berguna. Tiba-tiba, aku sudah berada di balik perisai setinggi
dua meter yang melengkung ke atas kepala dan ke bawah
kakiku. Peluru-peluru tadi mental dari tamengku.
Orkestra tembakan meletus, dan peluru-peluru
memantul dari perisaiku. Setelah beberapa menit, tembakan
itu berkurang, seperti popcorn microwave yang hampir
matang. Saat akhirnya tembakan berhenti, materi merah tadi
menciut kembali menjadi selubung lengan, lalu mengerut
menjadi gelang yang membuat pergelangan tanganku
kesemutan. Semua itu terjadi begitu saja. Aku menunduk,
terpukau dengan betapa efektifnya benda itu dan betapa
tepat waktunya.
Walker masih terbaring pingsan di kakiku. Para polisi
dengan pistol teracung di bagian belakang truk tadi sudah
hilang, tapi aku mendengar bunyi tembakan di luar. Aku
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tercabik antara keinginan untuk mencari batu penyembuh
demi memulihkan Walker dan pergi keluar untuk melihat
kalau-kalau Nomor Sembilan butuh bantuan. Aku ingin
membangunkan Walker, memaksanya mengatakan di mana
Sam dan Sarah berada, tapi aku tak dapat membiarkan Nomor
Sembilan sendirian kalau dia dalam bahaya. Aku
memutuskan Walker bakal bertahan?dia tak bakal pergi ke
mana pun dan aku hanya perlu berdoa semoga dia tidak mati.
Kesempatan itu kumanfaatkan untuk mengempit kedua Peti
Loric dan lari keluar. Begitu tiba di luar, aku melihat para
polisi berlari menjauh. Entah apa yang Nomor Sembilan
lakukan waktu aku di dalam sana dan mengenal gelangku
dengan lebih baik, yang jelas para polisi itu tampak
ketakutan.
"Sembilan!" aku berseru. "Sebenarnya kau apakan
mereka?"
Dia tersenyum. "Cuma mengangkat mereka semua
sekitar sembilan meter dari tanah pakai telekinesis.
Kemudian aku beri mereka pilihan: naik lagi atau minggat.
Keputusan mereka yang bijaksana patut diacungi jempol,
bukan?"
"Sepertinya mereka membuat pilihan yang benar,"
aku berkomentar.
"Hei, kupikir kita bakal membawa agen wanita itu,"
Nomor Sembilan heran.
"Dia masih di dalam?dia pingsan dan aku mau
menggunakan batu penyembuh untuk menyembuhkannya,
tapi aku ingin mengecekmu dulu, memastikan kau baik-baik
saja," aku menerangkan.
"Dude, kau mencemaskan aku? Aku bisa mengurus
ini. Kita perlu agen itu untuk memberi tahu ke mana kita
pergi! Kau kan yang ngotot tidak mau pergi ke tempat lain,
selain ke tempat teman-temanmu. Ingat?" Nomor Sembilan
memungut senapan serbu dan menembakkannya ke udara.
"Masuk ke sana dan bawa dia! Aku di luar sini, bersenang
senang dengan mainan tentara."
Para polisi itu terus mundur dengan berjalan kaki,
sebagian bersembunyi di balik pohon di tepi jalan. Nomor
Sembilan mengarahkan pistol ke atas kepala mereka.
Senapan itu bergetar di bahunya dan peluru melesat
menembus dahan-dahan tinggi. Aku dapat mendengarnya
terkekeh-kekeh menikmati pemandangan itu saat aku
berjalan kembali ke truk.
Aku membuka Peti dan mengeluarkan batu
penyembuh, lalu merunduk ke dalam truk untuk melihat
separah apa luka Walker.
Namun, dia tidak ada di sana. Aku memandang
berkeliling, seakan-akan dia sanggup berdiri dan bergerak ke
bagian lain truk. Aku benar-benar bingung dengan apa yang
kulihat. Dengan apa yang tidak kulihat. Di sini tidak ada siapa
siapa. Tubuh-tubuh yang beberapa menit lalu masih ada,
sekarang sudah tidak ada. Sialan.
Aku marah terhadap diriku. Aku tak percaya betapa
parahnya kekacauan yang kubuat. Kami bukan cuma tidak
tahu di mana mereka mengurung Sam dan Sarah, tapi
kemungkinan besar Purdy dan Walker masih ada di luar sana.
11
NOMOR DELAPAN DUDUK DI RUMPUT. DANAU di
belakangnya tenang dan hening. "Aku dikenal dengan banyak
nama. Sebagian memanggilku Wisnu, sementara yang lain
memanggilku Paramatma atau Parameswara. Aku juga
dikenal memiliki sepuluh awatara, kalian sudah bertemu dan
bertarung melawan yang tiga. Dengan cukup sukses, kalau
boleh kutambahkan."
"Kalau yang tiga tadi itu awataramu, mereka adalah
bagian darimu. Itu artinya, kau merasa perlu mengibarkan
bendera perang terhadap tiga gadis yang berusaha
menemuimu," Crayton menghardik. "Kau itu seharusnya
memerankan dewa yang cinta damai, bukan?"
"Ada banyak hal yang harus kau jelaskan," Marina
menambahkan.
Nomor Delapan tidak gentar menghadapi kemarahan
kami dan terus duduk. "Aku harus memastikan kalian sesuai
dengan pengakuan kalian. Aku harus memastikan kalian
sudah siap bertemu denganku. Aku minta maaf kalau
perasaan kalian, atau yang lainnya, terluka. Kalian semua
sudah membuktikan diri, kalau itu membuat kalian merasa
lebih baik."
Aku muak. Aku lelah dan lapar. Belum lagi aku sudah
terbang melintasi Bumi dan melawan tentara demi tiba di
sini. Aku ingin jawaban. Aku berdiri dengan tinju terkepal di
samping. "Aku akan menanyakan sesuatu, kalau kau tidak
menjawabku dengan terus terang, kami pergi. Ini bukan
diskusi filosofis, dan kau tak berhak menguji kami Kau ini
Nomor Delapan atau bukan?"
Dia mendongak memandangku dan mengerucutkan
bibirnya. Warna kulitnya yang biru berubah jadi cokelat
gelap. Saat dia mengguncangkan kepala, mahkotanya jatuh
dan rambut hitamnya berubah menjadi rambut ikal tebal
dengan potongan acak. Dua lengannya juga lenyap. Dalam
sekejap mata, seorang remaja bertelanjang dada duduk di
rumput di hadapan kami. Komandan Sharma terkesiap.
Anak ini agak kurus, tapi kekar. Bibirnya penuh dan
alisnya hitam tebal. Harus kuakui, dia keren. Di lehernya
tergantung liontin Lorien biru.
Dia salah satu dari kami.
Ella memandang Crayton, yang mengembuskan napas
panjang dan membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu,
tapi Nomor Delapan bicara duluan.
"Awalnya Cepanku menamaiku Joseph, tapi setelah
itu aku punya banyak nama. Di daerah ini, orang-orang
mengenalku dengan nama Naveen." Dia berhenti sejenak
dan memandangku, lalu mengangkat kaki celananya yang
compang-camping untuk menunjukkan simbol Satu, Dua, dan
Tiga Loric yang tertera di pergelangan kakinya. "Kalau kalian
ingin mengetahui sebutan Loric-ku, maka ya, kalian dapat
menyebutku Nomor Delapan."
Kemarahan yang bergolak di dadaku meletup dan
lenyap Kami menemukan anggota Garde lain Kami
bertambah kuat.
Crayton maju dan mengulurkan tangan. "Kami
mencarimu, Nomor Delapan. Kami sudah menempuh jarak
yang jauh. Aku Crayton, Cepan Ella."
Nomor Delapan berdiri dan menjabat tangan Crayton.
Dia tinggi. Setiap otot di tubuhnya dan juga perutnya sangat
terlatih. Pasti dia terus berlatih selama bertahun-tahun ini,
bertahan hidup sendirian di pegunungan ini.
Ella juga berdiri. "Aku Ella," katanya. "Aku Nomor
Sepuluh."
"Wow!" ujar Nomor Delapan. Dia menatap mata Ella.
"Apa maksudmu kau Nomor Sepuluh? Kami cuma
bersembilan. Siapa yang bilang kau ini Nomor Sepuluh?"
Tiba-tiba, Ella menciut menjadi gadis enam tahun.
Kurasa semua orang bakal mengalami krisis kepercayaan diri
kalau identitasnya dipertanyakan oleh mantan patung.
Crayton menyenggol Ella, lalu sekonyong-konyong dia
kembali menjadi dirinya yang tinggi dan berusia sebelas
tahun.
Nomor Delapan menanggapi dengan meninggikan
tubuhnya satu setengah meter lebih tinggi. "Cuma itu
kemampuanmu, Sepuluh?"
Air muka Ella penuh tekad, tampaknya dia berusaha
tumbuh beberapa tahun lagi. Namun tidak ada yang terjadi.
Setelah beberapa detik, dia mengangkat bahu. "Sepertinya
begitu."
Crayton memandang Nomor Delapan. "Nanti
kujelaskan, tapi ada pesawat lain yang meninggalkan Lorien
setelah kalian. Aku dan Ella ikut pesawat itu. Waktu itu dia
masih bayi."
"Segitu saja, atau masih ada Nomor Tiga Puluh Dua
yang perlu aku tabu?" tanya Nomor Delapan sambil menciut
ke tingginya semula. Suaranya serak, tapi juga ramah. Aku
baru menyadari ternyata matanya berwarna hijau gelap dan
sangat indah. Dilihat dari wajah Marina, sepertinya dia juga
menyadari itu. Aku tak dapat menahan senyum saat Marina
menyelipkan rambutnya ke balik telinga dengan gugup.
"Ella yang terakhir," sahut Crayton. "Ini Nomor Enam,
dan ini Marina, Nomor Tujuh. Sepertinya kau mampu
berubah wujud. Ada hal lain yang perlu kami ketahui?" tanya
Crayton.
"Aku memang punya Pusaka itu," kata Nomor
Delapan. "Dan juga yang lainnya."
"Oh, ya? Seperti apa?" tanya Marina.
Nomor Delapan berbalik, lalu melompat-lompat di
permukaan danau seakan-akan terbuat dari es padat. Saat dia
berjalan mengitar kembali ke arah kami, dia mulai berlari lalu
meluncur berhenti, mengirimkan ombak ke arah Marina.
Namun, Marina tak membiarkan anak baru itu
menyombongkan diri. Tanpa berjengit, dia mengangkat
tango dan menghentikan air itu di udara lalu mendorongnya
kembali ke arah Nomor Delapan dengan telekinesis. Nomor
Delapan meniup ombak itu tinggi ke udara seperti geyser.
Karena tak mau ketinggalan dalam permainan apa pun yang
mereka lakukan, aku mengendalikan udara dan
menggunakannya untuk mendorong geyser itu melintasi
danau hingga dinding air mengepung Nomor Delapan dari
tiga sisi.
"Apa lagi yang kau bisa?" aku berteriak dengan suara
menantangnya untuk melanjutkan ini.
Nomor Delapan menghilang dari balik kepunganku
dan sekejap kemudian muncul kembali di bebatuan runcing
di atas danau. Dia lenyap lagi lalu muncul beberapa senti di
depan hidungku.
Kedekatan Nomor Delapan yang begitu tiba-tiba
membuatku terkejut sehingga secara refleks aku
melayangkan tinju ke rusuknya. Dia mengerang dan
terhuyung ke belakang.
"Enam! Apa yang kau lakukan?" teriak Marina.
"Maaf," jawabku. "Refleks."
"Aku pantas mendapatkannya," ujar Nomor Delapan,
menepiskan sikap Marina yang melindungi.
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi kau bisa teleportasi?" tanya Marina. "Keren
banger."
Tiba-tiba, Nomor Delapan muncul di samping Marina
sambil menyandarkan lengan dengan santai ke bahunya.
"Aku penggemar teleportasi," cetus Nomor Delapan santai.
Marina terkikik dan menepiskan Nomor Delapan. Terkikik?
Yang benar saja?
Nomor Delapan tersenyum, menghilang, lalu tiba
tiba sudah berdiri di bahu Crayton, sambil menyeimbangkan
diri dengan lengan dilingkarkan dan kaki gemetaran secara
dramatis. "Tapi kadang-kadang aku mendarat di tempat yang
konyol." Tiba-tiba, Nomor Delapan menjadi badut kami.
Aku terpana dengan sikapnya yang senang beranda
gurau, tidak tahu apakah itu kelebihan atau kekurangan. Aku
memutuskan untuk menganggap itu sesuatu yang positif.
Aku dapat membayangkan kekesalan dan kebingungan di
wajah para Mogadorian sebelum anak ini mengubah mereka
jadi abu. Crayton memajukan tubuhnya dan, seolah-olah
mereka pernah melatih gerakan tersebut, Nomor Delapan
bersalto turun, lalu bertepuk tangan, puas dengan dirinya.
"Cepanmu mana?" tanya Marina.
Wajah Nomor Delapan yang ceria jadi serius. Kami
semua mengerti apa artinya. Aku langsung teringat saat
Katarina dibungkam dan dirantai ke dinding. Aku juga
memikirkan John dan Cepannya, Henri. Aku segera
menyingkirkan kenangan itu sebelum air mataku keluar.
"Sudah berapa lama?" tanya Crayton dengan lembut,
mengungkapkan pertanyaan yang ada dalam benak kami
semua.
Nomor Delapan berputar untuk memandang padang
berumput tinggi di belakang kami. Dengan kekuatan
pikirannya, dia menyibakkan rumput itu ke kanan dan ke kiri
sehingga membentuk jalan kecil. Dia mendongak
memandang matahari terbenam. "Dengar, kita harus pergi
dari sini mumpung masih terang. Aku akan cerita tentang
Reynolds dan Lola sambil jalan."
Komandan Sharma mengejar Nomor Delapan dan
meraih pergelangan tangannya. "Aku bagaimana? Apa yang
bisa kulakukan untukmu? Katakanlah, tolong." Dia
membuatku terkejut. Karena terlalu sibuk dengan acara
perkenankan, dan karena dia juga tidak bersuara, aku benar
benar lupa dengan perannya dalam semua ini.
"Komandan," kata Nomor Delapan, "kau sudah
menjadi teman setiaku dan aku ingin berterima kasih
kepadamu dan prajuritmu atas semua kerja keras kalian.
Wisnu pasti sangat puas dengan pengabdian kalian.
Sayangnya, sekarang kita harus berpisah."
Air muka Komandan Sharma menunjukkan dengan
jelas bahwa dia pikir dia akan terus mengikuti Nomor
Delapan.
"Tapi aku tak mengerti. Aku sudah melakukan semua
yang kau minta. Aku membawa teman-temanmu. Orang
orangku mati demi dirimu."
Nomor Delapan memandang mata Komandan
Sharma. "Aku tak pernah menginginkan ada yang mati
untukku. Karena itulah, aku menolak meninggalkan gunung
itu dan berjalan bersamamu di jalanan. Aku menyesal karena
banyak yang tewas, lebih menyesal daripada yang kau kira.
Percayalah, aku tahu seperti apa rasanya kehilangan orang.
Namun saat ini kita harus berpisah." Dia bersikap tegas, tapi
aku dapat melihat dia melakukan ini dengan berat hati.
"Tapi?"
Nomor Delapan menyela. "Selamat tinggal,
Komandan."
Pria itu berbalik dengan air muka kecewa. Pria
malang. Namun, dia itu prajurit yang tahu kapan harus
menuruti perintah dan kapan harus menerima keadaan. "Kau
meninggalkanku."
"Tidak," ujar Nomor Delapan. "Kau yang
meninggalkan aku. Kau pergi untuk melakukan sesuatu yang
lebih besar dan lebih baik. Seorang bijak pernah berkata
kepadaku bahwa kita hanya bisa bertemu orang yang lebih
baik kalau kita meninggalkan orang yang baik. Kau akan
bertemu Wisnu-mu, dan kau hanya bisa mengenalnya
setelah aku pergi."
Menyaksikan ini rasanya berat. Komandan Sharma
membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu, tapi
menutupnya lagi saat Nomor Delapan berbalik dan berlalu
tanpa menoleh. Awalnya, kupikir sikap Nomor Delapan itu
terlalu keras. Namun, aku sadar ini adalah cara terbaik untuk
melakukan apa yang harus dilakukannya.
"Hei! Tunggu!" Crayton berseru memanggil Nomor
Delapan. "Kaki gunung di sebelah sana. Kita harus pergi ke
bandara."
"Pertama-tama, aku perlu menunjukkan sesuatu
kepada kalian semua," Nomor Delapan balas berseru. "Dan
kita mungkin tak butuh bandara."
"Kau mau ke mana? Ada banyak hal yang belum kau
ketahui. Kita perlu duduk dan bicara, kita harus menyusun
rencana!" kata Crayton.
"Andai aku tidak merusak kacamata itu," Ella
menyesali. "Kita tak bisa mengikuti dia begitu saja tanpa tahu
ke mana dia membawa kita atau tanpa mengetahui apakah
ini ide yang bagus. Dia pikir dia tahu segalanya, tapi mungkin
tidak."
Kami memandang Crayton memikirkan apa yang
harus dilakukan. Aku tahu apa yang menurutku harus kami
lakukan. Kami akhirnya menemukan anggota Garde lain, dan
kami harus terus bersama. Aku mengangguk ke arah sosok
Nomor Delapan yang menghilang dengan cepat. Crayton
memandangku lalu balas mengangguk. Dia mengangkat Peti
Marina dan mulai berjalan menyusul Nomor Delapan. Tanpa
berkata-kata, Marina dan Ella bergandengan dan mulai
mengikutinya. Aku berjalan di belakang mereka. Aku
menggunakan kemampuan pendengaranku untuk
mendengarkan suara Komandan Sharma pergi dari tempat
kami meninggalkannya, tapi tidak terdengar apa-apa. Aku
dapat membayangkannya berdiri di sana, tercenung
membisu lama setelah kami pergi. Aku mengerti mengapa ini
harus dilakukan, tapi aku tetap merasa kasihan terhadap pria
itu. Ditinggalkan, setelah selama ini begitu setia. Aku
memandang punggung Nomor Delapan yang tegak di
depanku, dan aku merasa kasihan kepada mereka berdua.
Nomor Delapan terus berjalan. Kami mengikutinya
menuruni bukit dan tiba di lembah besar. Ke mana pun aku
memandang, ada Pegunungan Himalaya yang puncaknya
terselimuti salju. Saat kami lebih dekat, tampak petak-petak
hutan dengan ladang-ladang penuh bunga kuning dan ungu
di antaranya. Indah sekali. Kami menikmati semua itu samba
berjalan, lalu Crayton memecahkan keheningan.
"Jadi, siapa Reynolds dan Lola?"
Nomor Delapan memelankan jalannya sehingga kami
dapat berjalan bersama. Dia merunduk untuk memetik
segenggam bunga ungu lalu meremasnya sampai hancur.
"Reynolds itu Cepanku. Dia sering tertawa. Dia selalu
tertawa. Dia tertawa saat kami melarikan diri, saat kami tidur
di bawah jembatan, atau bersembunyi di gudang bocor
seseorang saat musim hujan." Nomor Delapan memandang
kami bergantian. "Apakah kalian ingat dia?"
Kami semua menggeleng, termasuk Crayton.
Seandainya aku ingat. Tapi umurku barn dua tahun saat kami
melakukan perjalanan.
Nomor Delapan melanjutkan, "Dia itu Loric yang
hebat dan teman yang lebih baik lagi. Tapi Lola ... Lola adalah
manusia yang dicintai Reynolds sejak kami baru tiba di sini.
Itu delapan tahun yang lalu. Mereka bertemu di pasar, dan
sejak saat itu keduanya tak terpisahkan. Reynolds jatuh cinta
setengah mati. Tak lama kemudian, Lola pindah dan hidup
bersama kami. Dia jarang meninggalkan rumah kami." Nomor
Delapan menendang sepetak bunga. "Seharusnya aku tahu
Lola tak dapat dipercaya, dari caranya memandangku, dari
sikapnya yang selalu ingin tahu di mana aku berada atau apa
yang kulakukan. Aku tak mengizinkannya mendekati Peti
Loricku, tak peduli berapa kali dia mencoba. Namun,
Reynolds sangat memercayainya dan akhirnya memberi tahu
Lola siapa kami sebenarnya. Dia memberitahukan segalanya
kepada perempuan itu."
"Itu bukan tindakan yang cerdas," aku berkomentar.
John memberi tahu Sarah, dan lihat saja apa akibatnya.
Memercayai manusia dengan menceritakan rahasia kami
adalah tindakan yang sangat berisiko. Cinta hanya
membuatnya jadi semakin berisiko.
"Aku tak dapat menggambarkan betapa marahnya
aku. Saat menyadari apa yang Reynolds lakukan, aku sangat
murka. Aku dan dia bertengkar selama berhari-hari. Padahal
kami tak pernah bertengkar. Aku sangat memercayai
Reynolds. Aku bukannya tiba-tiba jadi tidak percaya pada
Reynolds. Tapi Lola. Saat itulah, Lola mengajak kami naik ke
gunung bersama untuk hiking dan kemping. Katanya dia tahu
tempat yang sempurna. Dia meyakinkan Reynolds bahwa
acara itu akan membantu Reynolds berbaikan denganku,
mendekatkan kami. Aku pikir rencana Lola supaya aku dan
Reynolds berbaikan itu tak mungkin berhasil, tapi aku tetap
mengikutinya." Dia berhenti berjalan cukup lama untuk
menunjuk ke puncak gunung di utara. "Kami pergi ke gunung
yang itu. Aku membawa Peti Loricku. Waktu itu aku sudah
dapat melakukan teleportasi, sudah punya telekinesis, dan
kekuatanku luar biasa?selain itu, aku perlu berlatih dan
kupikir udara gunung akan membantuku jadi lebih kuat dan
lebih cepat. Namun begitu kami tiba, Lola terus berusaha
memisahkan kami. Dia melakukan segala hal supaya
Reynolds meninggalkanku sendirian. Pada akhirnya, dia
harus melakukan Rencana B." Nomor Delapan berbalik dan
kembali berjalan. Kami memberinya beberapa langkah untuk
menenangkan diri.
"Apa rencana B itu?" tanya Marina dengan lembut,
berusaha membuatnya melanjutkan.
"Pada malam ketiga di pegunungan, Lola pergi untuk
mengumpulkan kayu bakar, meninggalkanku dan Reynolds
berdua untuk pertama kalinya sejak perjalanan dimulai. Aku
tahu ada yang salah. Aku dapat merasakannya. Tak lama
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian, Lola kembali?bersama selusin prajurit
Mogadorian. Reynolds, yang terlalu mencintai Lola, patah
had sebelum sempat merasa takut. Dia berteriak ke arah
Lola, meminta Lola menjelaskan mengapa dia melakukan itu
kepadanya, kepada kami, kepadaku. Salah satu prajurit
Mogadorian melemparkan sekantung penuh koin emas ke
arah Lola. Para Mogadorian berjanji untuk memberinya
banyak uang atas jasa-nya itu." Nomor Delapan mencibir saat
mengucapkan kata itu. "Seperti anjing yang melompat saat
dikasih makan, Lola langsung melemparkan diri ke arah uang
itu. Kejadiannya begitu cepat. Dia melemparkan diri, salah
satu Mogadorian mengangkat pedang bercahaya dan
menikam punggungnya, dan kantung koin itu meledak di kaki
Lola. Aku dan Reynolds hanya berdiri terpaku
memandanginya mati."
Aku menahan dorongan untuk berlari ke depan,
meraih tangan Nomor Delapan, dan meremasnya untuk
menunjukkan aku sangat memahami perasaannya. Aku
memandang punggungnya yang tegak dan kukuh,
memandangi langkahnya yang panjang-panjang, dan tahu
saat ini dia merasa ingin sendirian. Setidaknya, itulah yang
kuinginkan saat teringat kematian Katarina.
Kata-katanya yang terakhir, mati, bergantung di
udara. Akhirnya, Crayton berdeham dan berkata, "Kami tak
perlu mendengarkan lebih jauh. Kau boleh berhenti kalau
mau."
"Mereka tak dapat membunuhku." Suara Nomor
Delapan terdengar lebih keras, seolah-olah dia berusaha
mengubur kenangan menyedihkan itu. Aku tahu trik itu.
Jarang berhasil. "Bahkan saat pedang mereka berhasil
mengenaiku, menembus leher atau menghunjam perutku,
aku tidak mati. Yang mati justru mereka. Sabetan-sabetan
mematikan yang harusnya membunuhku justru menewaskan
mereka. Mereka tak dapat membunuhku karena mantra
pelindung itu, dan aku melakukan semua yang bisa
kulakukan untuk melindungi Reynolds. Namun kekacauan itu
membuat kami terpisah, dan aku terlambat melakukan
teleportasi. Reynolds sudah ...." Dia berhenti sejenak. "Salah
satu Mogadorian mengambil Petiku. Aku berusaha
menghentikannya. Aku meraih salah satu pedang mereka
dan berusaha menikam perut Mogadorian itu, tapi aku
rneleset. Tapi aku yakin tangannya terpenggal. Yah, akhirnya
dia melarikan diri. Setelah dia lari ke hutan, aku melihat
pesawat perak kecil melesat ke udara menembus
pepohonan. Aku membunuh Mogadorian lainnya." Suaranya
begitu dingin, begitu tanpa emosi, membuatku bergidik.
"Cepanku juga sudah meninggal," ucap Marina pelan
setelah beberapa saat.
"Aku juga," aku menimpali. Aku melirik Ella, yang
mendekat ke Crayton. Setidaknya Ella masih punya Crayton.
Semoga kami tidak kehilangan Cepan terakhir yang kami
kenal.
Langit di atas kami menjadi gelap dalam sekejap.
Marina dengan sukarela berjalan di depan sehingga dapat
memimpin jalan dengan kemampuannya memandang dalam
gelap. Aku tersenyum saat Marina memegang tangan Nomor
Delapan, senang ada yang berusaha menenangkannya.
"Aku menghabiskan banyak waktu di pegunungan
ini," ujar Nomor Delapan.
"Sendirian saja?" tanya Ella.
"Kebanyakan sendirian. Aku tak tahu harus ke mana.
Lalu suatu hari, aku bertemu seorang laki-laki tua. Dia duduk
di bawah pohon dengan mata tertutup, berdoa.
Kemampuanku berubah wujud muncul beberapa bulan
sebelum itu, jadi aku mendekatinya dalam wujud kelinci
hitam kecil. Kakek itu merasakan aku mendekat dan tertawa
sebelum membuka matanya. Ada sesuatu di wajahnya yang
membuatku percaya. Mungkin itu karena dia membuatku
teringat Reynolds, sebelum Lola muncul dalam hidup kami.
Jadi aku melompat ke semak-semak lalu berteleportasi ke
belakang deretan pohon di arah yang berlawanan. Saat aku
mendekatinya lagi, dengan wujudku yang biasa, dia
menawarkan selada kepadaku. Jelas dia tahu itu aku, akan
selalu tahu itu aku, apa pun wujud yang kugunakan."
"Kita sampai di danau lain," kata Marina, menyela
kata-kata Nomor Delapan. Karena tak ada yang bicara, aku
dapat mendengar bunyi air memukul-mukul dan air terjun
yang tenang di kejauhan sana.
"Ya, kita sudah dekat," Nomor Delapan mengamini.
"Sebentar lagi kita makan dan tidur."
"Lalu, apa yang terjadi? Dengan pria tua itu?" tanya
Crayton.
"Namanya Devdan dan dia itu orang yang sangat
tercerahkan secara spiritual. Dia mengajariku semua hal
tentang Hinduisme dan Wisnu. Aku berpegangan pada
ceritanya. Dalam benakku, cerita-cerita itu mewakili cara kita
menyelamatkan Lorien. Dia mengajariku seni bela diri kuno
India, seperti kalaripayat, silambam, dan gatka. Aku berlatih
menggunakan Pusakaku, kekuatanku, untuk melihat
seberapa jauh aku dapat memanfaatkan apa yang kupelajari
darinya.
Suatu hari, aku pergi untuk menemuinya di tempat
kami yang biasa, tapi dia tidak ada. Aku kembali ke sana
setiap hari. Namun, dia tak pernah kembali dan aku sendiri
lagi. Beberapa bulan kemudian, barulah aku bertemu
Komandan Sharma dan tentaranya yang sedang latihan." Dia
ragu sebentar sebelum melanjutkan. "Sayangnya?atau
untungnya, aku tak tahu?saat itu aku sedang berwujud
Wisnu, jadi mereka bersumpah untuk melindungiku dari
segala macam kejahatan. Aku tahu mereka melakukan itu
karena aku sedang menggunakan wujud yang mereka
sembah. Sebenarnya aku tak suka memanfaatkan
kepercayaan mereka, tapi aku tetap melakukannya. Kurasa
aku lebih tidak suka sendirian."
Marina mulai memimpin kami mengitari danau.
Nomor Delapan menyuruhnya menuju air terjun yang
suaranya dapat kami dengar dari jauh.
"Apakah para Mogadorian itu kembali?" tanya
Crayton.
"Ya. Mereka sering datang menggunakan pesawat
Perak kecil itu, berputar-putar di sekeliling gunung untuk
melihat apakah aku masih di sini. Namun, aku tinggal
berubah jadi lalat atau semut, dan mereka pun pergi."
Crayton berkata, "Itu sejalan dengan semua laporan
penampakan UFO di daerah ini."
"Ya, itu mereka," sahut Nomor Delapan. "Setiap kali
datang, mereka jadi semakin ceroboh sehingga ketahuan.
Beberapa hari terakhir ini, aku tidak melihat satu pun
pesawat, tapi mereka lebih sering datang dalam enam atau
delapan bulan terakhir Kurasa itu artinya keadaan mulai
memanas."
"Benar," kataku. "Kita saling bertemu dan bergabung.
Aku, Marina, dan Ella bergabung di Spanyol beberapa hari
yang lalu. Nomor Empat di Amerika, menunggu kami
kembali. Lalu sekarang kami menemukanmu. Tinggal Nomor
Lima dan Nomor Sembilan."
Nomor Delapan terdiam sejenak. "Terima kasih
sudah jauh-jauh datang ke sini untukku. Sudah lama sekali
aku tak punya teman bicara. Membicarakan hidupku yang
sebenarnya."
Sekarang air terjun itu tinggal beberapa langkah lagi.
"Sekarang apa?" aku harus berteriak supaya terdengar karena
air terjunnya begitu bising.
"Kita memanjat!" Nomor Delapan balas berseru
sambil memberi isyarat ke arah dinding batu licin di hadapan
kami.
Aku meletakkan tanganku di permukaan licin batu itu
dan menjejakkan kaki mencari pijakan. Kakiku langsung selip.
Saat akan mencoba sekali lagi, aku mendengar suara Nomor
Delapan di kejauhan, di atasku. Dia sudah di puncak,
meneriakkan sesuatu ke arah kami. Teleportasi ternyata
lebih keren daripada yang kukira. Mungkin malah lebih bagus
daripada kemampuan menjadi tak terlihat. Aku bertanya
tanya apakah kami dapat menggabungkan kedua kekuatan
itu.
"Gunakan telekinesismu untuk melayang naik," ujar
Marina kepadaku. "Kau bawa Ella. Aku bawa Crayton."
Aku menuruti sarannya dan kami pun melayang.
Terbang ternyata jauh lebih mudah daripada yang kusangka.
Ternyata di puncak sana adalah tempat Nomor Delapan
berkemah. Sebentar kemudian, kami sudah duduk
mengelilingi api dan memasak sayuran dalam panci besar.
Pepohonan di atas kepala kami membentuk kanopi yang
rimbun dan, dengan air di bawah sana, ini tempat yang
sempurna untuk bersembunyi. Gubuk lumpur Nomor
Delapan tampak muram sekaligus ideal. Dindingnya tidak
rata dan pintunya berbentuk lonjong miring, tapi juga hangat
dan kering, serta beraroma bunga segar. Di dalamnya ada
tempat tidur gantung buatan sendiri dan sebuah meja kecil.
Tiga permadani warna-warni tergantung di dinding.
"Tempatmu bagus juga," aku mengomentari sambil
berjalan kembali mendekati api. "Aku sudah lama jadi
pelarian sampai lupa seperti apa rasanya memiliki rumah.
Gubuk sekalipun."
"Ada sesuatu yang istimewa di sini, dan sepotong
hatiku akan selalu tetap di sini. Aku akan sangat
merindukannya," kata Nomor Delapan sambil memandang
berkeliling dengan perasaan sayang.
"Jadi, itu artinya kau ikut kami?" tanya Marina.
"Tentu saja. Sudah saatnya kita bergabung, bekerja
sama. Sekarang Setrakus Ra ada di sini, karena itu aku harus
pergi bersama kalian."
"Dia di sini?" tanya Crayton, tiba-tiba gelisah. Nomor
Delapan menyuap makanannya. "Dia tiba beberapa hari yang
lain. Dia mengunjungiku dalam mimpi."
12
KAMI MELOMPAT NAIK KE KERETA BARANG DI West Virginia.
Aku berusaha untuk tidur, tapi terlalu banyak pikiran yang
berseliweran di benakku. Aku menyipitkan mata agar
terbiasa dengan matahari pagi yang menembus celah pintu
berkisi-kisi. Aku lega melihat kami masih mengarah ke barat.
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cuma itu yang dikatakan Agen Khusus Walker sebelum
menghilang: barat. Jadi ke situlah kami pergi. Aku berusaha
untuk tidak berpikir mungkin dia sengaja menipu kami. Aku
meyakinkan diriku bahwa waktu itu Agen Khusus Walker
mengira dia bakal mati dan tidak akan rugi apa-apa dengan
menceritakan yang sebenarnya kepadaku.
Aku berguling telentang. Langit-langit gerbong kereta
ini kotor dan dinodai berbagai warna. Kupusatkan pandangan
ke titik biru gelap yang berada tepat di atas kepalaku begitu
lama hingga akhirnya tertidur. Aku bermimpi, yang sering kali
terjadi. Namun mimpi kali ini berbeda, lebih seperti mimpi
buruk daripada suatu visi.
Aku kembali berada di West Virginia, dalam sel
penjara. Namun kali ini, sel itu kosong dan ada cahaya terang
dari atas. Sangkar lonjong tempat Sam dikurung, sekarang
kosong. Satu-satunya yang menandakan Sam pernah ada di
sana adalah genangan darah yang masih basah di Lantai. Aku
berjalan ke tengah-tengah sel dan mencari-cari dengan panik
sambil berusaha meneriakkan namanya, tapi begitu
membuka mulut, sinar terang dari atas itu masuk ke
kerongkonganku, mencuri napasku, membuatku tersedak.
Aku jatuh merangkak, berusaha bernapas.
Masih terengah-engah, aku mendongak. Kali ini aku
ada di arena besar, dengan ribuan Mogadorian menggila di
tribun. Mereka berseru-seru dan melemparkan benda-benda
ke arahku, sementara perkelahian di antara mereka pecah.
Lantai arena ini terbuat dari batu hitam berkilau. Aku bangkit
dari posisi merangkak dengan tubuh gemetar. Saat
melangkah maju, tanah di belakangku runtuh, meninggalkan
jurang hitam. Di atasku ada lubang raksasa dan dari lubang ini
aku melihat sekelompok awan berarak melintasi langit biru.
Beberapa saat kemudian, barulah aku sadar di mana aku
berada?di dalam puncak gunung.
"Empat!" Itu suara Nomor Sembilan. Nomor
Sembilan! Aku tidak sendirian. Aku mencari-cari berkeliling
dan berusaha berteriak untuk menyahut, tapi
kerongkonganku masih tersumbat. Seberkas sinar lolos dari
mulutku. Secara naluriah, aku berputar dan berusaha
mengarahkan sinar itu hingga mendarat di Nomor Sembilan.
Dia di seberang arena, tapi sesuatu menghalangi
pandanganku. Sam. Dia berdiri di antara kami, pergelangan
tangannya dibelenggu. Agen Purdy dan Agen Khusus Walker
berdiri di belakang Sam sambil membidikkan meriam
Mogadorian ke dadanya. Tanpa ragu, aku berlari menuju
sahabatku, batu di belakangku runtuh seiring langkahku.
Raungan penonton semakin membahana sampai-sampai
terasa memekakkan telinga.
Saat aku hampir tiba di tempat mereka, batu hitam
tempat para agen itu berdiri runtuh, dan mereka jatuh
bersamanya.
"Tolong! Tolong! Tolong aku!" teriak Sam sambil
meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari belenggunya.
Aku berusaha menggunakan telekinesisku untuk
membebaskannya, tapi gagal. Aku mencoba menggunakan
Lumenku, tapi telapak tanganku tetap gelap. Pusakaku tidak
berfungsi.
"Bawa yang lainnya, John," kata Sam kepadaku.
"Bawa mereka semua."
Suara Sam terdengar aneh, seperti bukan suaranya.
Seolah-olah seseorang?atau sesuatu?yang jahat berbicara
melalui dirinya.
Tiba-tiba, seorang remaja kurus berkulit gelap yang
pernah muncul di visiku sebelum ini berdiri di sampingku.
Sekali lagi, dia tampak transparan, seperti hantu. Saat
melihat ada liontin Loric di lehernya, aku mengulurkan
tangan ke arahnya. Namun, dia menggeleng ke arahku dan
mengangkat satu jari ke bibir. Anak itu melompat ke arah
Sam, lalu memanjat lengan dan tubuhnya hingga mencapai
tangan Sam yang dibelenggu rantai. Aku memandanginya
mengerahkan tenaga untuk menarik belenggu itu, dan aku
dapat melihat kekagetan di wajahnya saat dia menyadari
tubuhnya tidak kuat untuk melakukannya.
Dalam visiku yang terakhir, dia bertanya aku nomor
berapa, dan aku merasa sangat ingin memberitahunya. Aku
batuk, berdeham, dan menyadari suaraku sudah kembali.
Aku berteriak, "Aku Nomor Empat!" tepat pada saat arena itu
menjadi hening.
"Kau sudah mengambil keputusan?" tanya Sam. Dia
terus meliuk dan meronta di belenggunya, sementara anak
yang tadi masih berusaha memutuskan rantai di atas Sam.
Sam memandang lurus ke arahku dan aku dapat melihat
warna matanya yang merah marun gelap. Itu bukan Sam,
kataku kepada diri sendiri.
Seketika, tubuh Sam mulai bergetar sehingga
pegangan anak tadi lepas dan aku hanya dapat memandang
ngeri saat dia jatuh dan lenyap dalam jurang yang menelan
para agen tadi. Binar ungu mengelilingi Sam, dan rantai itu
putus sendiri. Sam tidak jatuh seperti para agen maupun
anak tadi, dia justru melayang, tertahan di udara. Lampu
sorot mendadak menyala dan aku menyaksikan, dengan tidak
percaya, saat Sam tumbuh dan berubah?menjadi Setrakus
Ra. Tiga liontin Loric di leher Setrakus Ra berbinar terang,
begitu juga goresan ungu yang mengelilingi lehernya. "Kau
menginginkan manusia ini kembali?" dia berseru.
"Aku akan merebutnya kembali!" aku berteriak
murka. Aku terpaku di tempatku berdiri, di sekelilingku
hanya ada jurang, tak ada tempat berpijak untuk
mendekatinya.
Setrakus Ra melayang pelan ke tanah. Dia mendarat
dan batu-batu itu tidak menunjukkan tanda-tanda runtuh
seperti yang kami alami. "Kau menyerahkan diri? Baiklah.
Aku terima liontinmu sekarang."
Aku menunduk dan liontinku sudah lenyap. Aku
mendongak lagi dan melihat liontinku itu sudah tergantung
dari tinju raksasa Setrakus Ra. Bibirnya yang pecah-pecah
membuka dan menyeringai miring, memperlihatkan gigi
giginya yang tajam.
"Tidak! Aku tak akan menyerah!" Begitu
mengucapkannya, leherku sekonyong-konyong terasa berat.
Liontinku kembali.
Anak laki-laki tadi meloncat dari jurang tempatnya
jatuh dan mendarat di dekat Setrakus Ra, dengan kepala
terangkat tinggi-tinggi. Dia ikut berteriak bersamaku, "Aku
tak akan menyerah! Biarkan Devdan pergi, dan lawan aku!"
"Waktunya habis," ujar Setrakus Ra. Aku sadar dia
berbicara kepada kami berdua?ternyata sejak tadi dia bicara
kepada kami. Dia berusaha menyuruh kami menyerahkan
diri. Apakah Setrakus Ra pikir dia dapat meyakinkan kami
berdua untuk menyerahkan diri karena percaya dia akan
membiarkan yang lainnya hidup? Aku hanya bisa berdoa
semoga yang lain tidak terjebak tipu muslihatnya.
Tiba-tiba, aku hanya melihat noda biru di langit-langit
gerbong kereta. Aku langsung duduk, berusaha
menyingkirkan mimpi yang membuat kepalaku pusing.
Aku menyentuh gelang di pergelangan tanganku.
Sebelum masuk ke visiku, mimpi burukku, aku tadi baru
mengetahui ternyata gelang itu dapat kulepaskan dengan
cara berkonsentrasi terhadap kemampuannya. Namun begitu
gelang tersebut lepas, aku merasa tidak aman tanpanya dan
buru-buru memasangnya kembali. Aku menyentuhnya lagi
dan bertanya-tanya apakah ketergantunganku terhadap
gelang ini sesuatu yang bagus atau malah buruk. Tiba-tiba,
sesuatu yang kecil menubruk punggungku, membuat aku
melompat berdiri dan berbalik.
Jelas aku masih tegang akibat mimpiku tadi. Ternyata
cuma Bernie Kosar yang kali ini berwujud anjing beagle,
jelmaannya yang paling kusukai.
"Mimpi buruk lagi?" Nomor Sembilan menguap dari
pojok. Dia duduk di Peti Loricnya sambil menggambar simbol
di dinding dengan paku, gambaran seseorang yang tidak
tegang. Telapak kakinya yang telanjang tampak hitam.
"Mimpiku semakin aneh," kataku sambil berharap
tidak terdengar setegang perasaanku. Aku tak mau Nomor
Sembilan menilaiku sebagai anak yang ketakutan karena
mimpi buruk. "Dan kupikir yang lainnya juga memimpikan hal
yang sama pada saat yang sama."
Nomor Sembilan mengangkat paku itu untuk
mengamatinya dengan saksama. Dia memiringkan kepala,
seolah-olah paku itu bukan benda amat biasa melainkan
spesimen langka di dunia. Dengan lidah terjulur ke salah satu
sisi bibir, dia terlihat seperti sedang memusatkan seluruh
energinya ke paku tersebut. Lalu dia tersenyum simpul dan
membengkokkan benda itu di antara jarinya,
mematahkannya jadi dua bagian yang sama persis. Nomor
Sembilan memandangku. "Terus, apa artinya? Kau pikir
mereka semua melihat suatu visi tertentu? Atau, mereka
mengalami malam penuh aksi seperti dirimu?"
Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Aku selalu melihat
anak kurus berambut hitam ikal ini. Dia mengenakan salah
satu liontin kita, jadi kupikir dia itu salah satu dari kita. Kami
menyadari kehadiran yang lain, tapi entah bagaimana
kejadian dalam mimpi itu seakan diatur untuk dirinya dan
juga diriku. Aku juga melihat dirimu dalam visi-visi ini."
Nomor Sembilan mengerutkan kening, lalu membuka
Peti Loricnya dan mencari-cari di dalam sana. Aku berharap
dia mengeluarkan sesuatu yang dapat membantuku
menerjemahkan visiku, membantuku memahami apa yang
seharusnya kulakukan dengan visi-visi itu. "Aku ingin
mencoba menghubungi yang lain dengan menggunakan batu
merah, tapi kurasa pemerintah menyadapnya, entah dengan
cara apa. Betul-betul menyebalkan." Dia duduk kembali
dengan wajah frustrasi.
Aku berjalan melintasi gerbong kosong ke tempatnya
duduk. Di tangannya ada kubus kuning yang belum pernah
kulihat. "Menurutmu apa artinya, kalau pemerintah sudah
menyadap batumu? Bagaimana itu bisa terjadi? Maksudku,
pasti Mogadorian yang melakukannya, tapi bagaimana cara
mereka meyakinkan pemerintah untuk bekerja sama?"
Nomor Sembilan memandangku tak percaya. "Kau
serius? Siapa yang peduli mengapa mereka bekerja sama
atau apa yang dikatakan para Mog untuk membujuk
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemerintah memihak mereka? Yang jelas, mereka memang
bekerja sama. Pemerintah Amerika Serikat dan Mogadorian
bekerja sama! Jelas sekali bagi mereka itu, kita ini pihak yang
jahat!"
"Tapi para Mog akan menghancurkan Bumi?atau
lebih parah dari itu?begitu berhasil menyingkirkan kita.
Apakah pemerintah tidak tahu? Bukankah sudah jelas kita ini
pihak yang baik?"
"Sepertinya tidak. Siapa yang tahu, apa yang
sebenarnya terjadi? Mungkin mereka saling memanfaatkan,
sama-sama saling berusaha mengkhianati yang lain. Apa pun
itu, pemerintah pastilah meremehkan para Mogadorian.
Kalau tidak, mereka bakal ketakutan setengah mati." Nomor
Sembilan memasukkan kubus kuning itu ke mulutnya. Rasa
puas terpampang di wajahnya.
"Apa itu?" tanyaku.
"Kubus ransum," katanya dengan suara tak jelas. "Ini
pengganti makanan. Tinggal diisap lalu pelan-pelan benda ini
akan membuat kita kenyang. Cari saja. Mungkin kau juga
punya satu."
Aku membuka Peti Loricku dan mencari kubus
kuning. Tanganku melewati tablet putih yang kami temukan
di kantor rahasia Malcolm Goode di sumur, dan aku
menyempatkan diri untuk menekan tombolnya. Masih mati.
Aku mendorong benda itu ke pinggir. Tidak ada kubus
kuning, tapi ada kubus biru. Aku menunjukkan kubus itu
kepada Nomor Sembilan. "Menurutmu benda ini fungsinya
Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit Fear Street Rumah Setan 3 House Of Evil Manusia Harimau Jatuh Cinta Serial
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama