The Rise of Nine Karya Pittacus Lore Bagian 3
sama?"
Dia mengangkat bahu. "Entah. Kita tak bakal tahu
kalau belum dicoba. Coba saja."
Setelah ragu sejenak, aku meletakkan benda itu di
lidah lalu mulutku langsung dipenuhi air sedingin es. Cuma
sedikit yang berhasil kutelan karena kemudian air itu masuk
ke saluran yang salah, membuatku tersedak dan
menjatuhkan kubus tadi ke lantai. Nomor Sembilan
meludahkan kubus kuning ke tangannya lalu menawarkannya
kepadaku, tapi aku menolak.
"Kau kan perlu makan," katanya.
Bernie Kosar menghampiri Nomor Sembilan dan
membuka mulut. "Tentu saja, BK," ujar Nomor Sembilan
dengan patuh, lalu meletakkan kubus kuning itu di lidah
Bernie Kosar.
"Setidaknya kita mengarah ke barat, tempat Sam dan
Sarah berada. Aku bosan lari dan bersembunyi, lari dan
bersembunyi. Yang penting, kita harus menemukan mereka."
"Yah, oke, itu katamu. Selama setahun terakhir ini
aku dikurung dan disiksa. Bergerak dan memegang kendali
tentang di mana aku berada dan apa yang kulakukan di sana,
bukanlah sesuatu yang ingin kulepaskan dalam waktu dekat.
Santai saja, Johnny. Aku punya ide dan kau harus ingat
rencananya. Kita tak akan membuang waktu demi mencari
teman-teman manusiamu. Kita akan menghubungi yang lain
dan bertemu. Saat sudah siap, kita akan menghadapi
Setrakus Ra. Begitu urutannya."
Aku berbalik dan meninju samping gerbong barang
itu hingga berlubang, menyebabkan roda kereta bergoyang
nyaris anjlok. Aku march dan merasa bakal kehilangan
kendali. "Bagaimana kita bisa bertemu mereka kalau satu
satunya alat komunikasi kita dipantau? Menurutku sebaiknya
kita ke California, atau fasilitas pemerintahan apa saja yang
ada di barat sana, lalu kita paksa mereka melepaskan Sarah,
kalau tidak kita akan meledakkan sesuatu! Atau, kita
mengancam akan memberi tahu media bahwa pemerintah
bekerja sama dengan alien jahat. Kita lihat saja bagaimana
jadinya."
Nomor Sembilan tertawa dan menggeleng. "Mm,
tidak. Itu tak bakal terjadi."
"Yah, sial. Aku tak tahu harus mengusulkan apa.
Bagaimana kalau kita kembali ke Paradise untuk melihat
apakah Sarah ada di sana? Setelah memastikan dia aman, aku
janji akan melupakan ini. Saat ini kita seharusnya di dekat
Ohio, kan?"
Nomor Sembilan berjalan ke lubang dinding yang
barusan kubuat dan mengintip. Suaranya pelan saat dia
bicara. "Bagiku ini semua kelihatannya sama. Kau tahu, Bumi
tak ada apa-apanya dibandingkan Lorien. Memang sih, ada
tempat-tempat indah di Bumi, tapi seluruh Lorien itu indah.
Lorien itu planet tercantik di segala penjuru galaksi. Kau
sendiri lihat kan, Lorien seperti apa? Dalam visimu?" Aku
kaget melihat sikapnya yang tiba-tiba penuh semangat.
Membicarakan Lorien membuat wajahnya tampak senang
dan santai, baru kali ini aku melihatnya begitu. Untuk
pertama kalinya, aku melihat anak yang kangen rumah.
Namun itu cuma sebentar. Air mukanya langsung berubah
kembali menampakkan topeng yang sinis dan angkuh.
"Kita tidak akan ke Ohio untuk mengecek apakah
teman manusia-mu aman dan nyaman. Ini bukan rumah kita,
Empat. Manusia-manusia ini bukan saudara kita. Semua yang
kita lakukan di Bumi ini adalah untuk rumah kita yang
sesungguhnya, untuk saudara kita yang sebenarnya, untuk
para Tetua yang mengorbankan hidup mereka demi
memasukkan kita ke pesawat."
Nomor Sembilan mundur, mengayunkan tinju dan
menjebol dinding gerbong, tepat di samping lubang
buatanku. Tidak seperti lubangku, tinjunya begitu keras dan
sangat cepat sehingga roda-roda di bawah kami tidak
bergerak. Dia melongok ke luar melewati lubang tersebut
dan menarik napas dalam-dalam, sementara rambut
hitamnya berkibar tertiup angin, kemudian dia menarik
kepalanya ke dalam. Dia mengepalkan tinju lalu
memandangku. "Kalau di hatimu tak ada Lorien, kau harus
mengatakannya sekarang juga. Aku tak mau mondar-mandir
bersama pengkhianat. Satu-satunya yang harus kita lakukan
adalah menjadi kuat sepenuhnya agar dapat mengalahkan
Setrakus Ra dan pasukannya. Cuma itu. Paham?"
Aku memutuskan untuk tetap diam. Perasaanku
terhadap Sam dan Sarah tak akan pernah berubah. Aku tahu
itu. Namun, kata-kata Nomor Sembilan mengenai prioritas
kami itu benar. Kami tidak dapat membantu siapa pun kalau
tidak meningkatkan kekuatan, dan itu hanya dapat dilakukan
kalau kami menemukan yang lain. Aku harus berkonsentrasi
pada Lorien. Setelah kami mengalahkan Setrakus Ra, Sam dan
Sarah?serta semua orang di Bumi?akan selamat. Aku
mengangguk.
Nomor Sembilan duduk dan menutup mata dengan
tinju terkepal erat di lutut hingga buku-buku jarinya
memutih. "Kita baru saja melewati tanda yang kukenal. Jarak
kita tinggal beberapa ratus kilometer dari rumah
persembunyian yang dibuat Cepanku. Kita bisa ke sana,
memesan pizza, mungkin nonton TV sebentar. Kau bisa
duduk-duduk, mengeluh, dan memikirkan hal-hal
menyedihkan tentang Sarahmu yang malang dan tersesat.
Aku akan keluar, mencari cewek cantik untuk dikencani
selama satu jam atau lebih, kemudian kita akan memikirkan
cara lain untuk berkomunikasi dengan yang lain."
BK menjatuhkan kubus kuning dari mulutnya dan
memandangku. Dia bahkan tak perlu meminta. Kuletakkan
kubus biruku ke lidahnya dan dia menutup mulut, lalu
mendesah senang.
Aku memandang Nomor Sembilan. Dia begitu yakin
dengan dirinya, begitu percaya diri. "Bagaimana caranya?
Makrokosmos disadap! Kita tak punya cara lain untuk
berkomunikasi dengan yang lain!"
"Tidak, ini sempurna," ujar Nomor Sembilan dengan
penuh semangat. "Kau harus melihat tempatku, Empat.
Keren banget. Apa pun yang kita mau akan kita peroleh. Apa
pun yang kita butuhkan akan kita dapatkan. Kita akan
istirahat dan berlatih sampai kita sangat siap menghadapi apa
pun yang datang. Lalu, kita cari cara mengontak Garde yang
lain."
13
AKU BERBARING TERJAGA SELAMA BERJAM-JAM, duduk, dan
memandangi api di luar gubuk. Di dalam, Ella tidur di tempat
tidur gantung, sementara Nomor Enam dan Crayton
mendengkur di balik selimut di lantai. Setelah beberapa saat,
api yang tadinya menjilat-jilat dan berderak berubah jadi
bara api. Aku memandang asap yang membubung lalu
melayang-layang di bawah kanopi pohon. Akhirnya, api itu
padam seluruhnya.
Aku tak bisa tidur. Selama bertahun-tahun, aku
terkurung sendirian di panti asuhan, hanya ditemani rasa iri
dan rasa marah. Sekarang, akhirnya, aku dapat melepaskan
perasaan itu. Saat ini aku percaya tak ada yang tidak dapat
kami lakukan, karena kami semua sudah bersatu. Jadi aku
heran mengapa kekosongan di hatiku ini masih terasa setiap
kali ada waktu untuk berpikir. Aku tahu ini perasaan apa. Aku
kesepian. Tapi aku tidak sendirian, aku terus memberi tahu
diriku itu.
Aku memandang Nomor Delapan yang sedang tidur
sedekat mungkin dengan api agar hangat. Di bawah sinar
fajar, sosoknya yang meringkuk seperti itu membuatnya
tampak kecil. Tidurnya tidak nyenyak di balik selimut tipis
dari anyaman tumbuhan rambat. Aku melihatnya bergerak
gerak gelisah, menyapukan tangan ke rambut yang kusut.
Bara api kunyalakan agar udara lebih hangat dan suara
berderaknya membuat Nomor Delapan berbalik. Aku tak
mengerti mengapa, tapi aku merasa perlu melindunginya.
Pada saat yang sama, aku memikirkan lengannya yang
berotot dan aku ingin dia melindungiku. Pasti ini Jaya tarik
dari orang yang sifatnya berlawanan. Dia itu ceria sementara
aku, yah, tidak.
Dahi Crayton berkerut-kerut cemas saat dia bangun
lalu membangunkan yang lain. Kami semua berusaha
menghilangkan kabut kantuk secepat mungkin. Aku tahu
Crayton sedang memikirkan cara supaya kami semua bisa
naik pesawat.
Aku teringat visi Nomor Delapan mengenai Setrakus
Ra. Dia itu ancaman paling mengerikan, jauh lebih seram
dibandingkan segerombolan Mogadorian bersenjata. Aku
tahu Crayton merasa kami belum siap menghadapi Setrakus
Ra. Pusaka kami belum cukup kuat. Kami juga belum sempat
belajar cara bertarung bersama. Selain itu, kami harus
menemukan Nomor Empat, Nomor Lima, dan Nomor
Sembilan sebelum menghadapi ancaman seperti Setrakus Ra.
Aku mengungkapkan itu semua tadi malam, tapi Nomor
Delapan menggeleng, frustrasi dengan segala keraguan itu.
"Aku yakin kita sanggup mengalahkannya, bersama-sama,"
katanya. "Aku pernah melihat Setrakus Ra dalam mimpiku
dan merasakan kekuatannya. Aku tahu apa yang sanggup
dilakukannya. Namun aku juga tahu apa yang sanggup kita
lakukan, dan itu jauh lebih hebat daripada apa pun yang
dapat dia lakukan. Aku yakin kita bisa. Tapi itu tak akan
terjadi kalau ada dari kita yang tidak yakin."
"Aku setuju kita harus mengalahkan Setrikus Ra. Tapi
kita harus menemukan yang lain dulu. Kemungkinan untuk
mengalahkan Setrakus Ra akan lebih besar kalau kalian
semua bersatu," Crayton membantah. Aku dapat mendengar
kekhawatiran dalam kata-kata Crayton.
Nomor Delapan bersikukuh, sangat yakin kami sudah
cukup untuk mengalahkan Setrakus Ra. "Mimpiku
menuntunku kepada kalian semua. Mimpiku mengatakan
kita mampu melakukannya. Kita tak boleh melarikan diri,
bahkan walaupun itu untuk mencari yang lain."
Sekarang, Nomor Delapan berdiri dan meregangkan
tubuhnya, menyebabkan kausnya terangkat dan
memperlihatkan sedikit bagian perutnya. Dia menunduk lalu
mengambil tongkat jalan dan memutarnya. Aku tak dapat
mengalihkan pandanganku darinya. Perasaan ini Baru dan
aneh bagiku, membuatku merasa malu tapi sekaligus senang.
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi kalian mau ke mana?" tanya Nomor Delapan sambil
memandang kami semua.
"Pantai Timur Amerika Serikat," jawab Nomor Enam.
Dia menyepak bagian bawah tongkat jalan Nomor Delapan
yang sedang berayun, membuat tongkat itu terlempar dan
berpindah ke tangannya. Mereka berdua seperti sepasang
pelawak. Nomor Enam melemparkan tongkat itu kembali,
lalu Nomor Delapan melemparkan diri dengan gaya
berlebihan untuk menangkap tongkat itu, tapi meleset
dengan sengaja. Permainan mereka seperti saling goda.
Harus kuakui, itu membuatku cemburu. Walaupun ingin, aku
tak mungkin bisa bersikap seperti itu dengan Nomor
Delapan, atau orang lain. Namun, Nomor Enam
melakukannya dengan mudah. Tak heran, mereka berdua
menikmatinya.
"Oke. Kalau kalian mau pergi ke sana, kita punya
beberapa pilihan. Pesawat? Apakah kita punya cukup banyak
uang untuk membeli tiket buat kita semua?"
Crayton menepuk saku bajunya sambil mengangguk.
"Uang bukan masalah."
"Bagus. Kita kembali ke New Delhi, beli tiket, dan
sekitar sehari kemudian kita sudah di Amerika. Atau, kita bisa
tiba di New Mexico dalam beberapa jam."
"Tak semua dari kita bisa teleportasi," Nomor Enam
mengingatkan, iseng menggambar di tanah dengan jari
kakinya.
"Mungkin kita bisa," sahut Nomor Delapan dengan
wajah tersenyum licik. Nomor Enam menggambar lingkaran
dan Nomor Delapan mengulurkan kakinya untuk
menambahkan dua mata, satu hidung, dan satu lengkungan
membentuk wajah tersenyum. Lalu mereka saling
tersenyum. "Kita cuma perlu berjalan sebentar, dan
percayalah padaku." Jelas sekali dia senang merahasiakan
sesuatu dari kami. Aku melihat yang lain mengangguk ke
arahnya, yakin dengan sikap percaya diri Nomor Delapan
sampai-sampai lupa menanyakan detailnya. Aku tak mau jadi
orang pertama yang mengingatkan bahwa kami tak tahu apa
yang ada dalam pikirannya.
"Kedengarannya lebih cepat daripada pesawat," kata
Ella. "Juga jauh lebih keren."
"Aku tertarik mendengarnya," tambah Crayton sambil
menghela Peti Loricku ke bahunya. "Kau harus menunjukkan
apa yang kau bicarakan, semakin cepat semakin baik. Kalau
Setrikus Ra sudah ada di Bumi, kita harus bergegas."
Nomor Delapan mengangkat satu jari, menyuruh
Crayton bersabar. Lalu dia melepaskan kaus dan celananya.
Wow. "Tidak sebelum renang pagiku," katanya.
Dia berlari ke tepi tebing tempat air terjun tercurah.
Tanpa menghentikan langkah, dia terjun dengan lengan
terentang. Layaknya burung, dia tampak melayang, menaiki
gelombang udara. Aku bergegas ke tepi tebing dan
memandang dari pinggir, tepat pada saat dia berubah wujud
dan masuk ke air sebagai ikan cucut merah lalu muncul
kembali sebagai dirinya sendiri. Tiba-tiba, aku merasakan
dorongan untuk melompat, dan aku mengikutinya.
Air terasa dingin mengejutkan saat aku mencebur,
tapi saat muncul untuk menarik napas, aku merasakan
wajahku merona. Aku kenapa sih? Biasanya aku tidak
seimpulsif ini.
"Terjunmu bagus," Nomor Delapan memuji sambil
berenang menghampiri, lalu menendang-nendang air di
dekatku. Dia menggoyangkan kepalanya, menyebabkan
rambut ikalnya yang hitam berkilau mengibas ke sana
kemari. "Kau lebih suka dipanggil Marina atau Tujuh?"
"Aku tak peduli. Apa sajalah," kataku, merasa malu.
"Aku suka Marina," sahut Nomor Delapan,
memutuskan untuk kami berdua. "Baru pertama kali ke India,
Marina?"
"Ya. Aku lama di Spanyol. Di panti asuhan."
"Panti asuhan, ya? Setidaknya di sekitarmu ada
banyak anak, kau bisa punya teman. Tidak seperti aku."
Aku dapat melihat betapa kesepiannya dia selama ini
sehingga memutuskan untuk tidak mengoreksinya dengan
bercerita bahwa anak-anak lain membenciku dan aku tak
punya teman sampai Ella muncul. Aku cuma mengangkat
bahu. "Mungkin. Sekarang aku lebih bahagia.
"Tahu tidak? Aku menyukaimu, Marina," katanya. Dia
terdengar seperti memutar namaku di mulutnya,
menikmatinya. "Kau pendiam, tapi asyik. Kau
mengingatkanku pada?"
Tiba-tiba, cipratan besar muncul tepat di antara aku
dan Nomor Delapan, gelombangnya menjauhkan kami. Aku
melihat Nomor Enam muncul, rambut pirangnya yang basah
terjuntai mulus di punggung. Tanpa mengucapkan sepatah
kata pun, dia kembali menyelam sambil menarik Nomor
Delapan. Aku ikut menyelam, menyaksikan mereka bergulat
di bawah air sampai Nomor Delapan tertawa serta memohon
ampun dan Nomor Enam melepaskannya.
"Wow, kau kuat," kata Nomor Delapan saat muncul di
permukaan sambil terbatuk.
"Jangan lupa itu," Nomor Enam memperingatkan
sambil menyeringai. "Nah, bisakah kita pergi dari sini?"
Menyaksikan Nomor Enam dan Nomor Delapan saling
belit membuatku cemburu, tapi ini bukan waktunya untuk
itu. Aku menyelam hingga kepalaku terbenam untuk
menenangkan diri. Aku membiarkan air memasuki paru
paruku, tenggelam dan tenggelam, sampai jari kakiku
menyentuh dasar danau yang berlumpur dan berbatu. Lalu
aku duduk di lumpur dan berusaha berpikir jernih. Aku marah
terhadap diriku karena merasa begitu rapuh. Ini perasaan
suka! Cuma itu. Memangnya aku benar-benar peduli apakah
Nomor Delapan lebih suka rambut pirang sempurna Nomor
Enam dibandingkan rambutku? Maksudku, Nomor Enam
bukan ancaman bagiku. Kami harus bekerja sama sebagai tim,
saling percaya. Aku tak mau marah terhadap Nomor Enam,
terutama setelah semua yang dilakukannya untukku. Aku
mondar-mandir sejenak di dasar danau, berharap
memikirkan kata-kata cerdas untuk diucapkan saat muncul
nanti. Aku bisa melakukannya.
Aku Baru sadar telah berjalan tepat ke bawah air
terjun yang jatuh ke danau. Tempat ini jernih dan berkilau.
Tiba-tiba, aku melihat sesuatu yang bersinar. Benda perak
panjang terkubur di dasar danau yang berlumpur.
Aku mendekat supaya dapat mengamatinya. Benda
itu panjangnya sekitar empat setengah meter dan, saat
mengitarinya, aku kaget karena ternyata benda itu semacam
kokpit di balik kaca jendela yang panjang. Kemudian aku
melihat Peti Loric, tergeletak begitu saja di kursi di dalam
kokpit itu. Aku tak dapat memercayai ini?mungkinkah ini
pesawat perak yang Nomor Delapan lihat terbang pergi
waktu Mogadorian menyerbu, ketika Cepannya terbunuh?
Aku mendengar pekikan teredam, ternyata itu suaraku. Aku
meraih pegangan di badan pesawat itu dan menarik. Tidak
bergerak. Tekanan di dasar danau ini sangat kuat, tapi aku
terus menarik dan segera saja pintu kokpit itu berayun
membuka. Air dari luar menyerbu masuk dan bercampur
dengan air yang terperangkap di dalam. Peti Loric itu terasa
licin saat aku meraihnya dan bergegas ke permukaan.
Yang pertama kulihat adalah Nomor Enam dan Nomor
Delapan yang sedang duduk di rumput sambil mengobrol.
Ella memutar-mutar tongkat jalan Nomor Delapan di atas
kepala lalu ke depan. Crayton memandangi Ella dengan dagu
ditopangkan ke tangan. Ella melihatku keluar dari air dan
menancapkan tongkat itu ke rumput.
"Marina!" dia memanggil.
"Akhirnya muncul juga! Tadi kau ke mana?" Nomor
Delapan berseru sambil berjalan ke tepi danau.
"Keluarlah, Marina," panggil Nomor Enam. "Kita harus
pergi sekarang!"
Aku keluar dari air sambil mengangkat Peti Loric
tinggi-tinggi supaya mereka dapat melihatnya. Aku tak
memedulikan air berlumpur menjijikkan mengucur keluar
dari peti itu dan menjatuhi kepalaku. Aku tersenyum lebar
sekali, sampai-sampai wajahku sakit. Aku senang melihat
tampang mereka, dengan mulut ternganga dan mata
membelalak. Aku sangat menikmatinya sampai-sampai
menggunakan telekinesis untuk mengapungkan Peti Loric itu
di atas Nomor Delapan dan Nomor Enam, lalu
membiarkannya melayang di udara.
"Lihat apa yang kutemukan, Delapan!"
Nomor Delapan menghilang dari rumput dan muncul
kembali di udara di samping Peti. Dia merangkul dan
memeluknya, walaupun benda itu penuh lumut dan
segalanya. Kemudian dia lenyap lalu muncul kembali di tepi
danau, dengan Peti Loric di tangan. "Aku tak percaya,"
akhirnya Nomor Delapan mampu berkata. "Ternyata selama
ini Petiku ada di sini." Dia tampak terkesima.
"Petinya ada di dalam pesawat Mog di dasar danau,"
kataku sambil berjalan keluar dari air.
Nomor Delapan menghilang lagi, lalu muncul tepat di
depanku sampai-sampai hidung kami bersentuhan. Sebelum
aku sempat menikmati napasnya yang hangat di wajahku, dia
sudah mengangkat dan menciumku keras-keras sambil
memutar tubuhku. Tubuhku tegang dan tahu-tahu aku
bingung tanganku harus kuapakan. Aku benar-benar tak tahu
harus melakukan apa, jadi aku membiarkannya saja. Dia
terasa asin sekaligus manis. Seluruh dunia seakan lenyap dan
aku merasa seperti melayang di kegelapan.
Saat dia menurunkanku, aku menjauhkan diri dan
menatap matanya. Sekilas lihat saja aku tahu momen
romantis nan indah ini hanyalah ungkapan rasa terima
kasihnya yang spontan. Tidak lebih, tidak kurang. Idiot. Aku
harus menyingkirkan perasaan sukaku kepadanya.
"Aku tak pernah berenang ke sini. Sejak awal, aku
selalu terjun dari sisi sebelah sana," Nomor Delapan
menjelaskan. "Selalu di area itu." Dia menggeleng. "Terima
kasih, Marina."
"Mm, sama-sama," bisikku, masih linglung akibat
ungkapan terima kasihnya yang pertama tadi.
"Nah, karena kau sudah memeluk Petimu, apakah
kau tak mau membukanya?" tanya Crayton. "Ayolah!"
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh! Ya, tentu saja!" seru Nomor Delapan, lalu dia
melakukan teleportasi kembali ke arah Petinya.
Nomor Enam menghampiriku. "Marina! Itu hebat
sekali!" Dia memelukku, lalu menjauhkan tubuh untuk
mengguncang bahuku sambil tersenyum penuh arti. Dengan
suara rendah, dia berbisik, "Aku berhalusinasi atau barusan
kau dicium?"
"Aneh, ya?" bisikku sambil memandangnya mencari
cari tanda kecemburuan. "Tapi sepertinya itu tidak berarti
apa-apa."
"Sama sekali tidak aneh. Kurasa itu hebat," balasnya,
jelas-jelas senang untukku, seperti teman, atau kakak. Aku
malu dengan diriku karena barusan merasa cemburu
kepadanya. Kami berdua memandang Nomor Delapan,
sementara Ella menirukan bunyi drum untuk mengumumkan
Peti akan dibuka.
Nomor Delapan menempelkan telapaknya ke
gembok. Sekonyong-konyong, gembok berguncang dan Peti
itu terbuka. Dia langsung memasukkan tangannya sampai
siku, berusaha menyentuh semuanya sekaligus. Dia tampak
begitu gembira, seperti seorang anak dengan peti mainan.
Kami semua berkerumun dan menonton. Aku dapat melihat
sebagian batu di sana mirip punyaku, tapi benda-benda
lainnya sangat berbeda. Ada cincin kaca, tanduk melengkung,
serta potongan kain hitam yang berkilau biru dan merah saat
Nomor Delapan menyentuhnya. Dia meraih sepotong emas
tipis sepanjang pensil dan mengangkatnya. "Ah, senang
melihat-mu lagi."
"Apa itu?" tanya Nomor Enam.
"Aku tak tahu nama aslinya, tapi aku menyebutnya
Duplikator'." Nomor Delapan memegang benda itu di atas
kepala, seperti tongkat sihir. Lalu dia mengayunkan
pergelangan tangannya dan tongkat tadi melebar dan
memanjang ke bawah, seperti gulungan kertas. Sebentar
kemudian, ukurannya sudah sebesar bingkai pintu. Nomor
Delapan melepaskan benda itu dan bingkai pintu tersebut
melayang di depannya. Dia mundur dan kami dapat melihat
sepasang tangan dan kaki saat Nomor Delapan mulai
melompat-lompat.
"Oke," kata Nomor Enam. "Itu benda paling aneh
yang pernah kulihat."
Nomor Delapan berteleportasi ke samping Nomor
Enam dan berdiri di sana sambil memiringkan kepala dan
menggaruk dagu, seakan-akan sedang menilai suatu
pertunjukan. Kami kembali memandang bingkai pintu
keemasan itu. Tangan dan kaki itu masih terus bergerak
dengan kecepatan seperti tadi. Sebentar sekarang Nomor
Delapan ada dua! Yang berdiri di samping Nomor Enam
sambil bertepuk tangan, membuka telapak tangan, lalu
tongkat emas tadi mengerut dan melesat kembali ke
tangannya. Dengan segera, Nomor Delapan yang kedua
lenyap.
"Mengesankan," Crayton berkomentar sambil
bertepuk tangan dengan lambat dan keras. "Itu pasti bakal
berguna. Setidaknya, kau bisa membuat pengalih perhatian
yang sempurna."
"Aku menggunakannya beberapa kali untuk
menyelinap masuk ke rumah kami," Nomor Delapan
mengakui. "Reynolds tak pernah tahu apa yang dapat
kulakukan. Bahkan sebelum dia meninggal, aku selalu
berusaha mencari tahu apa yang dapat kulakukan dengan
Pusakaku."
Crayton melemparkan pakaian Nomor Delapan ke
arahnya lalu mengangkat Petiku. "Sekarang, kita benar-benar
harus pergi."
"Oh, ayolah," ujar Nomor Delapan sambil
mengenakan celana. Seraya melompat-lompat, dia
mengedip-ngedipkan mata ke arah Crayton dan berkata
dengan nada membujuk, "Aku baru saja mendapatkan
kembali Petiku. Tak bisakah aku melepas kangen? Aku sangat
merindukannya."
"Nanti," sahut Crayton singkat. Namun saat dia
berbalik ke arah kami, aku dapat melihatnya tersenyum.
Nomor Delapan melemparkan potongan emas tadi ke
dalam Peti, lalu mengeluarkan kristal hijau dan
memasukkannya ke saku. Dia menutup Peti lalu
mengangkatnya sambil mendesah dramatis. Kemudian
dengan gaya sok sedih, dia berkata, "Yah, baiklah. Pertemuan
kami harus menunggu. Ikuti aku, semuanya."
"Sesering apa Setrikus Ra mengunjungimu dalam
mimpi?" tanya Crayton. Kami sudah berjalan lebih dari lima
jam, menaiki gunung pelan-pelan. Nomor Delapan
memimpin kami menyusuri jalan berliku yang lebih pantas
disebut birai daripada jalan. Di mana-mana ada selapis tipis
salju, anginnya juga luar biasa kencang. Kami semua
kedinginan, tapi Nomor Enam melindungi kami dengan
Pusakanya, mendorong angin dan salju dari tempat kami
berada. Pengendalian cuaca adalah salah satu Pusaka yang
berguna. Itu jelas.
"Dia sudah sering bicara denganku, berusaha
mengecohku dan membuatku marah," Nomor Delapan
menjelaskan. "Tapi karena sekarang dia ada di Bumi, dia
semakin sering datang. Mengejekku, membohongiku, dan
sekarang dia berusaha membujukku untuk mengorbankan
diri agar kalian semua bisa pulang ke Lorien. Akhir-akhir ini
dia sering mendatangiku."
"Apa maksudnya itu? ?Mendatangimu'?" tanya
Crayton .
"Tadi malam, dalam suatu visi, dia memperlihatkan
Devdan, temanku, tergantung di rantai. Aku tak tahu apakah
itu visi dari sesuatu yang benar-benar terjadi atau sekadar
tipu muslihat, tapi visi itu membuat pikiranku kacau."
"Nomor Empat juga melihatnya," Nomor Enam ikut
nimbrung.
Nomor Delapan berbalik dengan wajah kaget lalu
berjalan mundur, berusaha memahami semua itu. Kakinya
nyaris tergelincir dari birai, membuatku terkesiap dan
mengulurkan tangan dengan cemas. Namun dia terus
berbicara tanpa limbung. "Tahu tidak? Kurasa semalam aku
melihatnya. Aku baru ingat sekarang. Rambutnya pirang?
Tinggi?"
"Lebih ganteng darimu? Yep, itu dia," sahut Nomor
Enam seraya tersenyum.!
Nomor Delapan berhenti berjalan mundur dan
wajahnya tampak serius. Jurang di kiri kami dalamnya hampir
enam
ratus meter. "Kalian tahu, selama ini kupikir aku adalah itu,
tapi kurasa aku salah," ujarnya seraya merenung.
"Berpikir kau itu adalah apa?" aku bertanya, berharap
dia menjauhi tepi jurang.
"Garde yang memiliki kekuatan Pittacus Lore."
"Kenapa kau berpikir begitu?" tanya Crayton.
"Karena Reynolds bilang Pittacus dan Setrakus Ra
selalu mampu berkomunikasi satu sama lain. Tapi sekarang,
setelah tahu Nomor Empat juga dapat melakukannya, aku
jadi bingung."
Nomor Delapan mulai berjalan maju lagi saat Ella
bertanya, "Apa maksudmu memiliki kekuatan Pittacus Lore?"
"Masing-masing dari kita ditakdirkan melanjutkan
peran sepuluh Tetua yang asli, jadi kupikir itu artinya salah
satu dari kita akan menjalankan peran Pittacus dan juga
memiliki kekuatannya," Nomor Enam menjelaskan.
"Begitulah yang dikatakan Cepan Nomor Empat dalam
suratnya. Aku membacanya dengan mata kepalaku sendiri.
Pada akhirnya, kita seharusnya jadi lebih kuat daripada
mereka. Itu sebabnya, sekarang para Mogadorian bergegas
sebelum kita jadi lebih berbahaya, mampu melindungi diri
kita sendiri serta menyerang mereka." Dia memandang
Crayton yang mengangguk mendengarkan kata-katanya.
Aku merasa aku ini satu-satunya yang cuma tahu
sedikit?tidak sama sekali, malah?mengenai sejarahku.
Adelina tak mau memberitahuku apa-apa atau menjawab
satu pertanyaanku sekalipun, bahkan memberi petunjuk
mengenai apa yang dapat kulakukan suatu hari nanti.
Sekarang, aku ketinggalan jauh dibandingkan yang lainnya.
Satu-satunya Tetua yang kuketahui cuma Pittacus, mana aku
tahu aku bakal jadi Tetua yang mana. Saat ini yang bisa
kulakukan hanyalah percaya aku akan mengetahui siapa
diriku pada waktunya. Terkadang, aku jadi sedih saat
memikirkan hal-hal yang seharusnya sudah kuketahui dan
juga ketika memikirkan seperti apa masa kanak-kanakku
seharusnya. Namun, sekarang bukan saat yang tepat untuk
menyesali apa yang tak dapat diubah.
Ella berjalan di sampingku, tangannya bergesekan
dengan tanganku. "Kau tampak sedih. Kau baik-baik Baja.?
Aku tersenyum kepadanya. "Aku tidak sedih. Tapi aku
kesal pada diriku. Aku selalu menyalahkan Adelina karena
Pusakaku tidak berkembang seperti yang seharusnya. Tapi
lihat Nomor Delapan. Dia kehilangan Cepannya, tapi dia
memanfaatkan apa pun yang ada dan terus belajar."
Kami berjalan tanpa berkata-kata selama beberapa
menit sampai akhirnya Nomor Delapan berbicara.
"Pernahkah kalian berpikir pasti akan lebih mudah
seandainya para Tetua memberikan Warisan kita dalam
ransel terkunci?" tanya Nomor Delapan sambil memindahkan
Petinya ke lengan yang lain.
Aku memandang Crayton dengan perasaan bersalah.
Aku bergerak untuk mengambil Petiku darinya, tapi dia cuma
mendorongku menjauh dengan lembut.
"Saat ini biar aku yang mengurusnya, Marina. Aku
yakin sebentar lagi kau bisa menanggung bebannya
sendirian, tapi aku akan membantu selama aku bisa."
Kami berjalan beberapa lama lagi hingga jalan di tepi
jurang itu tiba-tiba berakhir di tebing terjal. Saat ini kami
beberapa puluh meter dari puncak, dan aku memandang
Himalaya yang membentang di sebelah kiriku. Pegunungan
tersebut begitu luas dan seakan tak berakhir.
Pemandangannya juga begitu memesona. Aku berharap bisa
mengingat ini selamanya.
"Jadi, sekarang ke mana?" tanya Nomor Enam sambil
memandang sangsi ke gunung itu. "Tak mungkin kita naik ke
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
puncak sana. Namun sepertinya tak ada pilihan lain."
Nomor Delapan menunjuk dua batu besar tinggi yang
bersandar ke lereng gunung lalu mengepalkan tangan. Batu
besar itu berpisah dan memperlihatkan tangga batu
melengkung berliku di baliknya serta mengarah ke dalam
gunung. Kami mengikuti Nomor Delapan ke tangga. Aku
merasa klaustrofobia sekaligus rapuh. Kalau ada yang
mengikuti kami, di sini tak ada jalan keluar.
"Hampir sampai," ujar Nomor Delapan sambil
menoleh.
Tangga itu dingin, dan rasa dinginnya seakan
menembus kaki dan tubuhku. Akhirnya, kami sampai ke gua
batu besar yang seakan dipahat dalam gunung.
Kami masuk dan memandang berkeliling dengan
terpana. Langit-langit gua itu tingginya beberapa puluh
meter dan dindingnya mulus serta mengilap. Dua garis
vertikal setinggi beberapa meter yang berjarak satu setengah
meter dipahat dalam-dalam di salah satu dinding. Sebuah
segi tiga biru kecil terletak di antara kedua garis tersebut,
dan di atasnya ada pahatan tiga garis horizontal melengkung.
"Itu semacam pintu?" tanyaku sambil menelusuri
garis-garis tersebut dengan mataku.
Nomor Delapan menyisih agar kami semua dapat
melihat lebih jelas. "Itu bukan semacam pintu. Itu memang
pintu. Itu pintu menuju tempat-tempat jauh di Bumi."
14
AKU MENARIK TUDUNG KE KEPALA DAN MEMBUNGKUKKAN
bahu. Nomor Sembilan mengenakan topi bisbol kotor dan
kacamata hitam retak yang ditemukannya di lapangan langsir
kereta tempat kami melompat turun. Setelah satu jam
berjalan ke selatan, kami berdiri bersandar di dinding peron,
menanti kereta api lain. Yang satu ini kereta layang. Warga
Chicago menyebutnya el, singkatan dari elevated atau
"layang". Peti Loric di lengan kami tampak menonjol
dibandingkan koper dan ransel penumpang lain, tapi aku
berusaha sebaik mungkin untuk bersikap santai. Bernie
Kosar, yang sekarang berwujud bunglon, tidur dengan
nyaman di balik kausku. Nomor Sembilan masih agak kesal
karena aku tak percaya ada yang membuat rumah
perlindungan di area padat penduduk. Aku tahu Henri tidak
akan pernah memilih tempat yang terbuka seperti itu.
Kami tidak berbicara saat kereta memasuki stasiun
dengan bergemuruh. Bel berbunyi, pintu-pintu terbuka, dan
Nomor Sembilan memimpinku ke gerbong terakhir. Saat
kereta berangkat, kami memandangi Kota Chicago yang
perlahan-lahan semakin dekat.
"Nikmati saja pemandangannya," kata Nomor
Sembilan. Dia terlihat semakin rileks begitu kami mendekati
kota. "Aku ceritakan lebih banyak setelah kita turun."
Aku belum pernah ke Chicago. Kami meluncur
berderu melintasi berbagai kawasan dan rasanya sudah
melewati jutaan apartemen dan rumah. Jalan-jalan di bawah
penuh mobil, truk, orang, anjing yang sedang dibawa jalan
jalan, maupun bayi yang didorong dalam keretanya. Semua
orang tampak senang, juga aman. Aku tak dapat mencegah
diriku berharap seandainya aku salah satu dari mereka.
Hanya pergi ke kantor atau ke sekolah, mungkin berjalan
jalan dengan Sarah dan minum kopi. Kehidupan yang normal.
Gagasan yang sederhana, tapi nyaris tak terbayangkan.
Kereta berhenti, orang-orang menghambur turun, sementara
yang lainnya mendesak masuk. Kereta kami jadi sesak
sehingga dua gadis, satu berambut pirang dan satu lagi
berambut gelap, terpaksa berdiri bersandar ke tubuh kami.
"Seperti yang kubilang," kata Nomor Sembilan sambil
tersenyum senang, "nikmati Baja pemandangannya."
Setelah beberapa menit, si Pirang menendang Peti di
kakiku. "Au! Ya ampun. Kotaknya besar banget!"
"Penyedot debu." Aku gugup dan satu-satunya yang
muncul di benakku adalah cerita Nomor Sembilan malam itu.
"Kami, eh, sales."
"Oh, begitu?" tanya si Rambut Gelap. Dia tampak
kecewa. Aku agak sedih. Bahkan, aku sendiri kecewa dengan
kehidupan fiktifku.
Nomor Sembilan melepaskan kacamata hitamnya
yang retak dan menyikut rusukku. "Bercanda. Temanku pikir
dia ini lucu. Sebenarnya, kami bekerja untuk seorang
kolektor barang seni dan kami sedang membawa artefak
artefak ini ke Art Institute of Chicago."
"Oh, ya?" tanya si Pirang. Kedua gadis itu saling
pandang dan tampak senang. Saat kembali memandang kami,
dia menyelipkan rambutnya ke balik telinga. "Aku murid di
sana."
"Yang benar?" tanya Nomor Sembilan sambil
tersenyum riang.
Si Rambut Gelap membungkuk, mengamati ukiran
rumit pada tutup Petiku dengan penuh rasa ingin tahu. Aku
tak suka melihatnya terlalu dekat dengan Petiku. "Apa
isinya? Harta karun bajak laut?"
Seharusnya kami tidak bicara dengan mereka.
Seharusnya kami tidak bicara dengan siapa-siapa. Kami bukan
lagi remaja biasa yang berusaha berbaur dengan manusia di
sekitar kami. Kami ini alien buronan yang baru saja
menghancurkan armada mobil pemerintah. Kepalaku ada
harganya dan aku yakin mereka juga sudah menaruh harga
untuk Nomor Sembilan. Kami seharusnya bersembunyi di
tempat sepi, di Ohio, atau jauh di barat. Di mana saja asalkan
bukan di kereta penuh sesak di tengah-tengah Chicago,
menggoda gadis-gadis! Aku membuka mulut untuk
mengatakan Peti kami kosong supaya mereka berhenti
bertanya-tanya dan tidak mengganggu kami, tapi Nomor
Sembilan bicara duluan. "Mungkin aku dan temanku bisa
mampir ke tempat kalian nanti malam untuk menunjukkan
apa isinya dengan senang hati."
"Kenapa tidak sekarang saja?" desak si Rambut Gelap
sambil memberengut.
Nomor Sembilan memandang ke kiri lalu ke kanan,
mendramatisasi suasana. "Karena aku belum memercayai
kalian. Kalian ini agak, eh, mencurigakan. Mengerti, kan? Dua
gadis cantik seperti kalian, seakan-akan muncul dari film
mata-mata." Dia mengedipkan sebelah mata ke arahku. Tiba
tiba aku paham: Nomor Sembilan juga tak pintar menghadapi
perempuan seperti aku. Dia mengatasinya secara berlebihan
dan tampak agak konyol karenanya. Itu membuatku semakin
menyukainya, bahkan walaupun dia benar-benar
mempermalukan kami.
Kedua gadis itu saling pandang lalu tersenyum. Si
Pirang merogoh tasnya, menyoretkan sesuatu di secarik
kertas, lalu menyerahkannya kepada Nomor Sembilan. "Kami
turun di stasiun berikutnya. Telepon aku setelah pukul tujuh,
nanti kita pikirkan kita bertemu kapan dan di mana. Aku
Nora." Aku kaget karena aksi Nomor Sembilan berhasil.
"Aku Sarah," ujar si Rambut Gelap. Tentu saja itu
namanya. Aku menggeleng. Kalau itu bukan pertanda bahwa
kami harus menyudahi percakapan ini sekarang juga, aku tak
tahu apa artinya itu.
Nomor Sembilan mengulurkan tangan untuk
menjabat tangan mereka. "Aku Tony, dan si Ganteng di
sampingku ini Donald." Aku menggertakkan gigi sambil
melambai sopan ke arah mereka. Donald?
"Oke," kata Sarah. "Nah, sampai nanti." Kereta
berhenti dan kedua gadis itu turun. Nomor Sembilan
bersandar dan melambai ke arah mereka melalui jendela.
Setelah kereta beranjak dari stasiun, dia terkekeh sendiri.
Dia tampak sangat puas.
Aku menyikut rusuknya. "Kau gila, ya? Kenapa kau
sengaja menarik perhatian seperti itu kepada dirimu?
kepada kita? Kau tak berhak menyeret-nyeret aku ke dalam
kebodohanmu. Lagi pula, kok bisa-bisanya kau menawari
mereka untuk melihat isi Peti kita? Mari kita berdoa semoga
gadis yang cukup bodoh untuk menelan bualanmu juga cukup
tolol untuk memikirkannya matang-matang!" Aku lebih
menyukai Nomor Sembilan saat dia tampak seperti
pecundang.
"Tenang, Donald. Jangan mencicit ketakutan sekeras
itu. Ini masalah kecil. Kita tak akan kenapa-kenapa di sini."
Dia bersandar kembali dengan tangan dilipat di belakang
kepala. Namun, saat bicara lagi dia tidak terdengar begitu
bangga. "Tahu tidak? Sandor pasti bakal bangga sekali
terhadapku. Aku yakin kau tidak tahu, tapi biasanya aku
sangat gugup di dekat perempuan. Dan semakin aku
menyukai perempuan itu, semakin parah jadinya. Tapi
sekarang tidak lagi. Setelah semua yang kualami setahun
terakhir ini, tak ada lagi yang bisa bikin aku takut."
Aku tidak menjawab. Aku duduk melorot di kursi dan
memandang kota yang semakin lama semakin tinggi dengan
arsitektur yang semakin menarik. Ada teater, toko, dan
restoran cantik yang semuanya dibalut kaca. Sebagian
gedung bersinar sangat terang tertimpa sinar matahari
sehingga aku harus menaungi mataku. Mobil-mobil
menyumbat jalanan di bawah kami, bunyi klaksonnya sampai
ke kereta yang kami naiki. Tempat ini sangat berbeda dari
Paradise, Ohio. Kereta kami berhenti dan bergerak lagi
melewati dua stasiun, lalu Nomor Sembilan menyuruhku
berdiri. Kami akan turun di stasiun berikutnya. Semenit
kemudian, kami sudah berjalan di timur Chicago Avenue
sambil mengempit Peti masing-masing. Danau Michigan ada
di depan kami.
Saat kerumunan orang di sekitar kami menipis,
Nomor Sembilan berkata, "Sandor cinta Chicago. Selain itu,
dia pikir bersembunyi di tempat terbuka seperti kota ini
adalah tindakan cerdas. Tidak mungkin tampak menonjol,
selalu ada kerumunan orang untuk menghilang, begitulah.
Maksudku, pikirkan saja, di mana lagi kita bisa jadi anonim
selain di kota yang sibuk?"
"Henri tak akan pernah melakukannya. Dia bakal
ketakutan kalau berada di kota seperti ini. Dia benci berada
di tempat yang tidak memungkinkannya mengawasi setiap
orang yang bisa jadi mengawasi kami. Mengawasiku."
"Itu sebabnya, Sandor adalah Cepan terbaik yang
pernah ada. Dia punya aturan, tentunya. Yang pertama dan
yang paling penting, jangan bodoh'." Nomor Sembilan
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendesah. Ajaibnya, dia sama sekali tidak merasa
pembicaraan mengenai Sandor ini sangat mengesalkan dan
meremehkan.
Aku kesal dan aku tak peduli kalau perasaanku itu
terlihat. "Oke, kalau Sandor memang sehebat itu, kenapa aku
menemukanmu di sel penjara Mogadorian?" Aku langsung
merasa bersalah setelah mengucapkannya. Nomor Sembilan
merindukan Sandor, dan saat ini kami berada di tempat
terakhir mereka, tempat Sandor mengatakan kepada Nomor
Sembilan bahwa dia aman. Aku tahu betapa berartinya kata
kata seperti itu.
Nomor Sembilan berhenti berjalan, tepat di tengah
tengah sudut ramai tempat orang-orang berlalu-lalang
melewati kami. Dia melangkah mendekatiku sampai hidung
kami nyaris bersentuhan. Tinjunya terkepal, giginya
digertakkan. "Kau menemukanku di sel itu karena aku
melakukan kesalahan. Itu kesalahanku, bukan kesalahan
Sandor. Tahu tidak? Mana Cepanmu? Kau pikir Cepanmu jauh
lebih baik daripada Cepanku? Sadar, idiot! Mereka berdua
sudah meninggal, jadi aku benar-benar yakin tidak ada yang
lebih baik dibandingkan yang lain."
Aku menyesali kata-kataku, tapi aku muak dengan
Nomor Sembilan yang berusaha menindasku. Aku
mendorongnya. "Jangan macam-macam, Sembilan. Aku
serius. Jangan macam-macam. Dan berhentilah bicara
kepadaku seakan-akan aku ini adikmu."
Lampu berganti lalu kami menyeberangi jalan,
dengan dada panas. Aku mengikutinya ke Michigan Avenue
dan kami berjalan tanpa bersuara. Mulanya aku terlalu marah
sehingga tidak memperhatikan sekelilingku, tapi perlahan
lahan aku menyadari pencakar-pencakar langit yang
menjulang di atasku. Mau tak mau, aku pun
memperhatikannya. Kota ini luar biasa. Aku memandang
berkeliling. Nomor Sembilan melihatku mengagumi kota ini,
kota-nya, dan aku merasakan suasana hatinya melunak.
"Kau lihat yang hitam besar dengan antena putih di
atasnya?" tanya Nomor Sembilan. Dia tampak senang melihat
gedung itu sehingga aku lupa kalau aku kesal padanya. Aku
memandang ke arah yang ditunjuknya. "Itu John Hancock
Center. Gedung nomor enam paling tinggi di negara Mi. Dan,
adikku, itulah tempat yang kita tuju."
Aku meraih lengan Nomor Sembilan dan menariknya
ke tepi trotoar. "Sebentar. Itu rumah perlindunganmu? Salah
satu gedung tertinggi di kota ini tempat kita bersembunyi?
Kau bercanda, ya? Itu gila."
Nomor Sembilan tertawa menyaksikan wajahku yang
terheran-heran. "Ya, aku tahu. Itu ide Sandor. Semakin
kupikirkan, semakin aku sadar Sandor itu brilian. Kami tinggal
di sini selama lebih dari lima tahun, tanpa masalah.
Bersembunyi di tempat terbuka, Kawan. Bersembunyi di
tempat terbuka."
"Oke. Kau lupa tentang bagian di mana kau
tertangkap? Kita tidak akan tinggal di sana, Sembilan. Tidak
akan sama sekali. Kita harus kembali ke kereta dan
memikirkan rencana baru."
Nomor Sembilan merenggut lengannya dari
cengkeramanku. "Kami tertangkap, Donald, karena seseorang
yang kusangka teman. Dia bekerja sama dengan para Mog
dan aku terlalu bodoh sehingga tidak memperhatikan itu. Dia
mengkhianatiku, sementara aku terbutakan oleh
keseksiannya, karena itulah Sandor tertangkap. Aku
menyaksikan Sandor disiksa, tapi tak dapat melakukan apa
apa untuk menghentikannya. Orang yang paling kusayangi di
dunia ini. Pada akhirnya, satu-satunya yang dapat kulakukan
untuk Sandor adalah mengakhiri penderitaannya. Kematian.
Hadiah yang sangat berarti." Senyum lebar di wajahnya tak
dapat menyembunyikan kepedihan dalam suaranya. "Satu
tahun kemudian, aku melihat muka jelekmu di luar sel
penjaraku." Dia menunjuk ke arah John Hancock Center. "Di
atas sana, kita aman. Itu tempat teraman di dunia."
"Kita bakal terperangkap," kataku. "Kalau para
Mogadorian menemukan kita di sana, tak ada tempat untuk
kabur."
"Oh, lihat saja." Dia mengedipkan sebelah mata dan
berjalan menuju gedung itu.
Tiba-tiba, aku sangat menyadari berapa banyak orang
yang melewati kami. Aku gugup setengah mati, tanpa satu
petunjuk pun mengenai tempat lain yang bisa kutuju. Satu
satunya yang aku tahu pasti adalah para Mogadorian semakin
pintar berbaur, jadi aku sama sekali tidak yakin kami akan
menyadari kalau ada Mogadorian yang lewat. Pikiran itu
membuatku sangat ketakutan sehingga aku berjengit saat
memikirkannya. Aku juga harus berasumsi ada ribuan kamera
di seluruh Chicago, dan karena para Mogadorian bekerja
sama dengan pemerintah, para Mog itu pasti dapat
mengaksesnya. Bagus. Kami masuk acara Candid Camera
mematikan tanpa bisa melakukan apa-apa. Di dalam, di
dalam bangunan mana saja, pasti lebih aman daripada berdiri
di luar sini. Aku menunduk dan mengikuti Nomor Sembilan.
Lobi gedung Hancock Center luar biasa mewah. Ada
grand piano, mebel kulit, dan kandelir berkilauan. Di ujung
sana, aku melihat dua meja satpam. Nomor Sembilan
memberikan Petinya kepadaku, lalu membuka topi. Salah
satu satpam, pria botak berbadan besar, duduk di balik meja.
Saat melihat Nomor Sembilan, dia berseru senang dan
melompat berdiri.
"Hei! Lihat, siapa yang datang! Kau tidak menulis
surat, tidak menelepon, ke mana saja kau?" tanya satpam itu
sambil mengguncang tangan Nomor Sembilan, sementara
tangan yang lain memegangi lengan yang satunya. Dia berdiri
sambil tersenyum ke arah Nomor Sembilan. Sepertinya si
anak hilang sudah kembali, atau semacamnya.
Nomor Sembilan tersenyum lebar dengan akrab ke
arahnya, lalu memegang bahu pria itu, "Oh, kurasa
pertanyaan yang lebih bagus lagi adalah aku belum pernah ke
mana?"
"Lain kali, beri kabar saat kau pergi. Aku khawatir!
Nah, pamanmu mana?" Dia melongok melewati bahu Nomor
Sembilan, seakan-akan berharap Sandor muncul dari
belakangnya.
Nomor Sembilan langsung menjawab, "Eropa.
Prancis, sebenarnya." Tanpa berjengit, tanpa apa-apa. Dia
hebat. Aku yakin ini pasti sulit buatnya.
"Ada acara kuliah tamu semacam itu?"
"Yep," sahut Nomor Sembilan. Dia mengangguk ke
arahku. "Acaranya lama, jadi dia pikir mungkin sebaiknya
sekalian saja jadi dosen permanen. Aku tinggal bersama
temanku Donald di South Side. Kami harus tinggal di atas
beberapa lama supaya bisa mengerjakan tugas sejarah. Lihat
kotak-kotak ini, kami harus bekerja berbulan-bulan!"
Aku menunduk memandang Peti di lenganku dan
satpam tadi menyisih supaya kami bisa lewat. "Sepertinya
kalian sudah punya rencana. Hei, senang bertemu
denganmu, Donald. Sukses dengan proyeknya!"
"Sama-sama," kataku. "Terima kasih!" Aku berusaha
terdengar ramah, tapi ternyata sulit. Nomor Sembilan jelas
tidak keberatan satpam ini tahu kapan dia datang dan pergi,
menyadari saat dia tidak ada, juga mengarang alasan yang
mungkin nantinya bakal sulit dibuktikan. Namun, aku
mendengar suara Henri di benakku, mengingatkanku bahwa
kami seharusnya melakukan yang berlawanan dari ini. Aku
berusaha meredakan ketegangan yang membuat perutku
mulas. Tidak ada gunanya ragu-ragu.
Kami berjalan menuju lift, lalu Nomor Sembilan
menekan sebuah angka. Lampu di atas salah satu pintu lift
menyala dengan tanda panah ke atas.
"Eh, hei, Stanley?" Satpam tadi berlari kecil
menghampiri kami sehingga kunci di ikat pinggangnya
berayun-ayun tepat pada saat kami akan melangkah
melewati pintu lift.
Aku memandang Nomor Sembilan sambil meringis.
"Stanley?" ucapku tanpa suara. Itu lebih jelek daripada
Donald!
"Jangan sekarang," dia bergumam.
"Ada banyak paket untukmu. Kami menyimpannya di
gudang. Kami tak tahu di mana kau berada dan kau tidak
meninggalkan alamat untuk meneruskan surat. Mau
diantarkan ke atas?"
"Kami berbenah dulu, mungkin satu jam lagi?" pinta
Nomor Sembilan.
"Oke, Bos." Si Satpam memberi hormat saat kami
melangkah ke dalam lift.
Begitu pintu ditutup, aku merasakan Bernie Kosar
merayap dari salah satu bahuku ke bahu yang lain, lalu
kembali lagi. Dia bilang dia bosan bersembunyi. "Sebentar
lagi," kataku.
"Betul, BK," Nomor Sembilan menimpali. "Kita baru
saja tiba di rumah. Akhirnya."
"Kok, kau yakin sekali tempat ini masih jadi
rumahmu? Maksudku, kau kan sudah lama pergi." Sepertinya
tak ada situasi atau gagasan apa pun yang dapat membuat
Nomor Sembilan meragukan apa yang dia yakini. Seandainya
aku bisa seperti itu. Bahkan, walaupun dia tidak selamanya
benar, sikap Nomor Sembilan yang seperti itu
menjadikannya anggota tim yang baik, bahkan pejuang yang
hebat.
"Sandor sudah mengurus semuanya. Pembayaran
tempat ini dilakukan secara otomatis dari akunnya. Kami
hanya memberi gambaran samar mengenai pekerjaannya.
Kami juga biasa memberikan alasan mengenai tamu' kalau
pergi selama berbulan-bulan. Orang-orang memercayainya."
Nomor Sembilan menekan serangkaian angka di
papan tombol kecil di bawah nomor-nomor lantai dan lift
pun melesat ke atas. Angka-angka meningkat dengan begitu
cepat sehingga aku nyaris tak sempat memikirkan sejauh apa
kami naik. Setelah melewati lantai delapan puluhan, kami
mulai melambat. Lift berhenti dan pintunya terbuka tanpa
bunyi, lalu kami melangkah masuk ke sebuah apartemen.
Aku menatap kandelir kristal raksasa yang tergantung di atas
dua sofa di ruang keluarga. Semuanya tampak putih terang
dengan pinggiran keemasan.
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ini apartemenmu? Kau bercanda, ya?" aku terpana.
"Yep, kami punya pintu masuk pribadi," katanya
menjawabku yang terlongong-longong.
Kupikir cuma orang-orang di TV yang hidup seperti
ini. Aku benar-benar bingung menghadapi kenyataan bahwa
tempat ini milik Garde.
Saat melihat kamera di pojok kanan atas ruangan
yang mengarah pada kami, aku langsung menutupi wajah.
Namun, Nomor Sembilan menjelaskan itu kamera jarak
pendek yang hanya dapat dimonitor dari dalam apartemen.
"Silakan," katanya sambil membungkuk rendah dan
merentangkan lengan untuk mempersilakan dengan gaya
anggun yang berlebihan.
"Aku tak percaya seluruh lantai ini milik kalian,"
komentarku sambil memandang ke sana kemari dengan
mulut ternganga.
Aku mendengar Nomor Sembilan mengusap dinding
sambil berkata, "Dua lantai, sebenarnya." Dia menekan saklar
lain, lalu lusinan tirai gelap terangkat dan menampakkan
jendela setinggi dinding. Ruangan ini pun bermandikan
cahaya matahari. Bernie Kosar melompat keluar dari jaketku
dan berubah jadi anjing beagle. Aku menghampiri jendela,
lalu menatap keluar menyaksikan pemandangan. Luar biasa.
Seluruh Kota Chicago terbentang di bawah sana. Danau
Michigan tampak seperti lembaran biru terang di sebelah
kiri. Aku meletakkan Peti Loricku di sebuah kursi mewah, lalu
menempelkan dahi ke jendela. Saat menunduk memandang
atap-atap gedung lain, aku mendengar sesuatu mulai
berderu di belakangku, lalu merasakan embusan angin segar
dari ventilasi di dekat kaki.
"Lapar?" tanpa Nomor Sembilan.
"Ya," aku menyahut. Aneh sekali, tapi dari ketinggian
ini semuanya tampak palsu: mobil, perahu di air, kereta yang
mengular di rel layang. Anehnya, aku merasa aman,
maksudku benar-benar aman. Aku merasa seakan-akan di
atas sini tak ada yang dapat menyentuhku, menangkapku.
Sudah lama sekali aku tak merasa seperti ini. Aneh.
Aku mendengar pintu kulkas dibuka. "Aku senang
akhirnya bisa santai," seru Nomor Sembilan dari dapur. "Hei,
anggap saja rumah sendiri. Mandilah, lalu makan pizza beku.
Kita punya waktu untuk santai dan tidur sebelum menelepon
gadis-gadis itu. Kapan terakhir kalinya kau bisa mengatakan
itu? Wah, senang rasanya bisa pulang."
Sulit mengalihkan pandangan dari pemandangan
yang begitu memesona itu. Saat ini yang kuinginkan cuma
berdiri di sini, tepat di titik ini, dan menikmati perasaan
aman ini. Seandainya Henri, Sarah, Sam, dan Nomor Enam di
sini bersamaku, pastilah rasanya lebih bagus lagi.
Sesuatu yang lembut dan bergemeresak mengenai
belakang kepalaku. Energy bar?makanan batangan
pengganti energi.
"Biar kuantar kau melihat-lihat." Nomor Sembilan
tampak bersemangat, seakan-akan tak sabar untuk
memamerkan mainannya.
Aku mengunyah makanan batangan tadi sambil
berjalan melintasi ruang keluarga yang dipenuhi sofa empuk
dan kursi kulit. Televisi layar datar raksasa tergantung di atas
perapian marmer, dan di meja kopi kaca ada vas berisi
anggrek palsu. Setiap permukaan perabotan itu diselimuti
selapis tipis debu. Nomor Sembilan bilang, dia akan
menyuruh pelayan membersihkannya sambil menyapukan
jari di salah satu meja yang tertutupi debu. Dia membuka
pintu pertama di sebelah kanan koridor.
Aku terkejut. Dua prajurit Mogadorian raksasa
berkulit putih, berambut hitam panjang, serta mengenakan
jubah panjang hitam berdiri di dalam sana dengan senjata
teracung siap menembak. Latihan bersama Sam dan Nomor
Enam selama berminggu-minggu memicu instingku sehingga
aku langsung berlari ke arah Mogadorian terdekat sambil
merunduk di bawah meriamnya untuk melayangkan pukulan
ke dagu yang diikuti tendangan telak ke perut. Mog itu
tercenung dan roboh ke belakang. Aku memandang
berkeliling mencari sesuatu untuk menikamnya, tapi yang
kulihat hanyalah barbel dan sarung tinju. Pada saat yang
sama, Nomor Sembilan berlari menyerbu dan menendang
selangkangan Mogadorian yang satu lagi secara main-main
lalu menjentik hidungnya. Mogadorian itu limbung lalu
terguling miring. Sedetik kemudian, barulah aku sadar kedua
Mogadorian itu cuma boneka. Nomor Sembilan menunduk
dan saat napasnya sudah pulih, dia menepuk punggungku.
"Wah, wah, wah, refleksmu luar biasa!" dia tergelak.
Pipiku panas. "Kau kan bisa memperingatkanku."
"Mana bisa? Aku sudah merencanakan ini sejak kita
naik el. Wah, keren sekali!"
Bernie Kosar masuk ke ruangan itu dan mengendus
kaki karet Mogadorian yang kujatuhkan. Dia mendongak
memandangku.
"Ini buat latihan, BK," Nomor Sembilan menjelaskan
sambil membentangkan lengan lebar-lebar dengan dada
membusung karena bangga. "Kami menyebutnya Aula
Kuliah."
Aku memandang berkeliling untuk pertama kalinya.
Ruangan ini besar dan kosong. Di ujung sana ada panel
kontrol, seperti kokpit. Nomor Sembilan berjalan ke sana,
duduk di kursi konsol, lalu mulai menjentikkan saklar dan
mengetikkan perintah. Dari dinding, langit-langit, dan lantai,
muncullah senjata dan peralatan bertarung. Dia memutar
kursinya untuk menghadap ke arahku, tak sabar melihat
seberapa terkesannya aku. Aku langsung iri karena pastilah
dia menghabiskan banyak waktu di sini. Dan itu terlihat jelas.
"Ini ...," aku menaikkan pandangan ke langit-langit.
Aku tak mampu berkata-kata. Semua ini membuatku malu
dengan apa yang selama ini kulakukan. Tempat latihanku,
kalau bisa disebut begitu, hanyalah salju di halaman
belakang, atau dengan Nomor Enam dan Sam di kolam
renang. Tiba-tiba, aku kesal karena Henri sering membawa
kami pergi dan tidak memberiku latihan yang jelas-jelas
kubutuhkan untuk melakukan tugasku. Kalau kami membuat
tempat yang mirip ini, mungkin saat ini aku sudah seyakin
dan sekuat Nomor Sembilan. Mungkin Sandor memang
Cepan yang lebih baik.
"Kau belum melihat bagian terbaiknya," kata Nomor
Sembilan.
Kami berjalan melintasi ruang latihan, lalu dia
memutar kunci pintu yang mirip lemari besi di dinding
belakang. Di sana ada banyak rak senjata: pistol, pedang,
pisau, peledak, dan sebagainya. Ada juga dinding yang
seluruhnya berisi amunisi.
Nomor Sembilan menarik senapan otomatis besar
dengan teropong di atasnya dari sebuah rak, lalu
membidikkannya ke arahku. "Kau bakal kaget kalau tahu
betapa mudahnya membeli benda-benda ini. Internet
memang keren."
Dia berjalan ke arahku sambil membawa senjata itu
dan menekan tombol di atas bahuku. Sisi seberang ruangan
membuka, menguak lapangan tembak yang lebih panjang
daripada arena boling. Nomor Sembilan meraih sekotak
peluru dan mengisi senapan itu. Aku menyaksikannya
menghabisi kertas sasaran yang jauhnya 27 meter. "Jangan
khawatir. Ruangan ini sangat kedap suara, lagi pula kita tinggi
di atas sini jadi tak akan ada yang dengar."
Pintu di ujung koridor mengarah ke ruang
pengawasan. Nomor Sembilan menghampiri saklar lampu di
dekat pintu depan, lalu menekan saklar tersebut sambil
menyandarkan dan mendekatkan wajahnya ke dekat saklar.
Cahaya biru pucat mengenai matanya dan komputer
menyala. Pemindai retina. Keren. Keren sekali. Jelas Sandor
mampu membuat sistem keamanan berteknologi tinggi. Di
sana ada banyak komputer dan ada lebih banyak monitor.
Kami melihat rekaman dari semua kamera di John Hancock
Center, semua yang ada di seratus lantainya, plus?
tampaknya?rekaman dari setiap kamera di kota yang
dikendalikan Departemen Kepolisian Chicago. Nomor
Sembilan menyentuh sesuatu di keyboard dan monitor
terbesar di ruangan ini menyala, memperlihatkan foto
seorang pria berotot dengan setelan hitam Italia. Kainnya
yang bagus dan potongannya sempurna tampak jelas
walaupun foto itu buram. Pria itu berambut hitam dan
berjanggut tebal, serta sedang memegang dua laptop. Aku
memandang Nomor Sembilan, bertanya-tanya mengapa dia
memperlihatkan foto itu kepadaku.
"Itu Sandor," kata Nomor Sembilan setelah semenit.
Suaranya berbeda, tidak sepongah biasa. Dia menoleh ke
arahku. Aku mendengar kerapuhan. "Ayo. Kau harus
mengambil keputusan, keputusan yang sangat penting." Dia
berhenti sejenak untuk menambah kesan dramatis. "Mau
kamar yang mana? Di sini ada beberapa kamar. Santai saja.
Pizza-nya tak bakal lama."
15
CRAYTON MELANGKAH DI ANTARA MARINA DAN Ella untuk
melihat garis-garis yang dipahat ke lereng gunung dengan
lebih saksama. Dia menekankan telapak tangan ke tengah
tengah pintu tersebut, lalu menjauhkan tangannya.
"Menarik. Benda ini hangat. Apa tepatnya yang kau maksud
saat berkata pintu ini menuju tempat-tempat jauh di Bumi?"
"Jadi begini," Nomor Delapan menjelaskan, "aku
cuma mampu melakukan teleportasi sejauh enam puluh
meter. Mungkin tujuh puluh lima meter. Semakin jauh aku
pergi, semakin buruk ketepatanku. Aku pernah mencoba
berteleportasi ke puncak pohon yang jaraknya sekitar seratus
meter, tapi aku malah mendarat di antara singa gunung dan
anak-anaknya. Keadaannya kacau sekali. Kemampuan
teleportasi ini sangat luar biasa dan sering kali berguna, tapi
tidak semudah yang terlihat. Namun, dari dalam gua ini aku
dapat melakukan teleportasi ke seluruh dunia."
Aku menyentuh lereng gunung itu dan dapat
merasakan kehangatan bergerak dalam diriku. "Caranya?"
Nomor Delapan menyisih agar Ella dan Marina dapat
menyentuh pintu tersebut. "Tebakan terbaikku adalah ini
gua Loric kuno atau mungkin salah satu markas Loric. Aku
cukup beruntung menemukannya, dan lebih beruntung lagi
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena berhasil mengetahui apa yang dapat kulakukan di sini.
Apa pun ini, aku bukanlah Loric pertama yang datang ke sini."
Begitu kata-kata itu selesai diucapkan, aku dilanda
rasa cemas dan adrenalinku langsung menderas. Aku tahu
Crayton memikirkan yang sama karena dia menyentakkan
kepala untuk memandang ke arah kami datang, lalu ke
arahku. Karena tahu apa yang akan Crayton katakan, aku
bergegas ke jalan itu sambil mendengarkan kalau-kalau ada
gerakan. Kalau ini gua Loric kuno, mungkin Mogadorian
mengawasinya. Bisa jadi ada prajurit yang menunggu kami
atau alat yang telah dipasang untuk memberitahukan
kedatangan Lanai kepada mereka.
Aku memandang Nomor Delapan. "Kau gila, ya? Apa
kau ini sudah tak waras? Sebenarnya, mungkin kami-lah yang
tak waras. Kami tolol sekali karena membabi-buta
mengikutimu ke tempat persembunyian Loric yang sudah
diketahui! Tempat ini mungkin sudah dipasangi perangkap!"
Saat kata-kataku meresap, Marina dan Ella mendekat ke arah
kami.
"Hei! Hei! Dengar, aku minta maaf," kata Nomor
Delapan sambil menjatuhkan Petinya. "Aku sering ke sini
tanpa ada kejadian apa-apa sehingga aku rasa tidak ada
bahaya."
"Tak perlu buang-buang waktu untuk minta maaf atau
mengkritik," ujar Marina sambil melangkah maju. "Tunjukkan
saja cara membukanya supaya kita bisa pergi ke ujung dunia.
Atau setidaknya ke tempat lain!"
Crayton mengangguk, sambil memandang ke
sekeliling dengan curiga. "Benar. Ayo masuk, setidaknya kita
tidak begitu mudah diserang di sana."
Nomor Delapan mengangkat liontinnya ke atas
kepala, lalu mengulurkan tangan ke segitiga biru itu. "Kalian
harus melihat apa yang akan terjadi," katanya sambil
tersenyum. Kemudian, dia menempelkan liontinnya ke
segitiga biru.
Mulanya tidak ada sesuatu yang terjadi, tapi setelah
sejenak yang menegangkan, garis-garis pahatan itu mulai
menjadi dalam dan saling mengulur. Nomor Delapan
membiarkan liontinnya jatuh ke dada. Debu menyembur ke
terowongan dan kami mundur beberapa langkah. Saat semua
garis sudah bersentuhan dan tepi pintu itu tampak jelas,
pinggiran sebelah kanannya memisah dari permukaan gua
lalu berayun membuka. Udara hangat meniup kami, dan kami
semua berdiri diam, terpesona memandang Cahaya biru dari
dalam.
Energi yang terasa mengalir dalam tubuhku begitu
luar biasa sehingga aku menjadi benar-benar tenang.
"Cahaya biru itu apa?" akhirnya aku bertanya.
"Itulah yang membuatku mampu melakukan
teleportasi keliling dunia," jawab Nomor Delapan, seolah
olah itu suatu konsep yang mudah dipahami.
Ella berjalan mendekati bukaan itu. "Aku merasa ada
yang aneh dalam tubuhku."
Marina berkata, "Sama."
Sambil tersenyum, Nomor Delapan merunduk
melewati pintu, yang langsung diikuti Crayton dan Ella. Aku
masuk paling akhir Saat kami menaiki tangga lain, Nomor
Delapan berbicara.
"Beberapa tahun lain, saat Pusakaku semakin kuat,
aku mulai mengalami mimpi yang sangat jelas, seperti mimpi
dengan Setrikus Ra dan Nomor Empat yang kulihat akhir
akhir ini. Aku belajar banyak tentang Lorien, juga mengenai
para Tetua. Aku juga belajar tentang sejarah kita di Bumi,
bagaimana kita membantu penduduk Mesir membangun
piramida bahwa dewa-dewa Yunani itu sebenarnya Loric
bahwa kita mengajarkan strategi militer kepada bangsa
Romawi, dan sebagainya. Di salah satu mimpiku itu, ada
tentang berpindah di Bumi dan bagaimana Loric
menggunakannya. Gunung ini ada dalam mimpiku. Aku
mengenali gunung ini karena saat itu kami sudah pindah ke
India. Setelah mimpi itu, aku ke sini dan mulai mencari. Saat
itulah, aku menemukan ini semua."
"Luar biasa," Marina berkomentar.
Tangga itu berakhir di ruangan lain. Langit-langitnya
berbentuk kubah dan ditopang sejumlah tiang runcing. Aku
sadar kami ada di dalam puncak gunung. Ruangan ini kosong
kecuali bagian tengahnya, tempat serangkaian bebatuan
rumit yang membentuk pola memancar dari satu batu biru
sentral seukuran bola basket, seperti pusaran air.
"Loralite," bisik Crayton. Dia melangkah ke tengah
gua dan meletakkan Peti Loric Marina. "Itu batu Loralite
terbesar yang pernah kulihat."
"Apakah Loralite itu yang membuatmu mampu pergi
ke mana pun yang kau inginkan?" tanya Marina sambil
memandang Nomor Delapan.
"Nah, itu masalahnya," Nomor Delapan mendesah,
"aku tak dapat pergi ke mana pun yang kuinginkan. Cuma ke
enam atau tujuh tempat yang jauh. Setelah berulang kali
mencoba dan mendarat di tempat-tempat yang tak
kuinginkan, barulah aku sadar aku hanya dapat melakukan
teleportasi menuju tempat dengan batu Loralite besar
seperti ini."
"Jadi kita bisa pergi ke mana?" tanyaku.
"Yah, sejauh ini aku sudah ke Peru, ke Pulau Paskah,
Stonehenge, Teluk Aden dekat Somalia?tapi aku tidak
menyarankan yang satu itu karena berbagai alasan?dan aku
pernah sampai ke gurun di New Mexico."
"New Mexico," sergahku seraya memandang Crayton.
"Kalau kita ke sana, kita tinggal melintasi wilayah itu dan
bertemu John dalam waktu kurang dari sehari. Kita dapat
bergerak dengan lebih mudah begitu tiba di Amerika."
Crayton berjalan ke dinding sambil memandangi
tanda-tanda yang ada di sana. "Tunggu dulu .... Kau bilang kau
tak dapat mengendalikan ke mana kau pergi? Itu tidak
sebagus yang kuharapkan."
"Benar. Tapi kalau kita sampai di tempat selain New
Mexico?kalau tempat itu yang kita tuju?kita cuma perlu
melakukan teleportasi lagi sampai tiba di sana. Tidak terlalu
buruk," kata Nomor Delapan.
"Apakah kau dapat membawa kami semua
bersamamu?" tanyaku. "Kalau kemampuanmu melakukan
teleportasi ini mirip dengan kemampuanku menjadi tak
terlihat, kita mungkin punya masalah. Aku cuma mampu
membuat orang lain jadi tak terlihat kalau mereka
memegang tanganku."
"Sejujurnya, aku tak tahu. Aku tak pernah mencoba
membawa orang lain," Nomor Delapan mengakui.
"Mungkin kau bisa jalan dua kali," Marina
mengusulkan.
"Gambar ini bagus sekali," Crayton menyela sambil
menyuruh kami mendekat ke dinding gua. "Mungkin di sini
ada petunjuk untuk kita."
Dia benar. Dinding oranye itu dipenuhi ratusan
simbol, lukisan, dan ukiran, tinggi hingga ke ujung kubah.
Aku berjalan menghampiri dan tertarik melihat
lukisan planet berwarna hijau pucat. Aku langsung tahu itu
Lorien, dan kerongkonganku serasa tersumbat. Di bawah
planet itu tampak lukisan biru sesosok wanita yang berdiri di
samping seorang pria, masing-masing memegang bayi yang
sedang tidur. Garis cahaya putih putus-putus memancar dari
bagian bawah Lorien dan berakhir tepat di atas keempat
sosok itu. Di samping kepala si wanita, dengan gaya lukisan
yang berbeda, terukir tiga kolom simbol alien. "Apa ini?" aku
berbisik, bingung.
Beberapa langkah di sebelah kiriku tampak sketsa
hitam sederhana dari sebuah pesawat ruang angkasa
berbentuk segitiga. Di sayapnya ada simbol dan spiral rumit,
sementara di hidungnya yang tumpul ada rasi bintang kecil
yang berpusar. Nomor Delapan berjalan ke sampingku dan
menunjuk rasi bintang itu. "Lihat! Polanya sama dengan batu
batu di sini."
Aku berbalik untuk membandingkan keduanya?dia
benar. Sekonyong-konyong aku berpikir seandainya Katarina
ada di sini dan melihat semua ini. Aku bertanya-tanya apakah
dia tahu sesuatu tentang ini. Aku memandang Crayton yang
sedang memeriksa gambar-gambar di langit-langit. "Kau tahu
sesuatu tentang ini?" tanyaku.
"Waktu itu kami meninggalkan Lorien dengan
tergesa-gesa. Planet itu diserang oleh para Mogadorian. Kami
tak punya waktu untuk mengumpulkan semua informasi yang
kita butuhkan. Kami tahu tempat-tempat seperti ini ada, tapi
tak ada yang tahu di mana tepatnya tempat-tempat ini
berada atau apa kegunaannya. Jelas dari semua informasi
yang berhasil kami kumpulkan sebelum berangkat masih ada
hal-hal penting yang tidak kami dapatkan," dia menerangkan.
"Ikuti aku, semuanya," Nomor Delapan berseru
sambil memberi isyarat agar kami mengikutinya ke pojok
gelap ruangan itu. "Ini lebih aneh lagi."
Dia berhenti di depan ukiran raksasa. Tinggi ukiran itu
tiga meter dan panjangnya enam meter serta dibagi menjadi
adegan-adegan berbeda. Seperti buku komik. Di panel
pertama ada pesawat ruang angkasa dengan sembilan anak
yang berdiri di depannya. Wajah mereka digambar secara
detail, dan aku langsung dapat melihat yang mana diriku.
Melihat diriku yang masih kecil membuatku terpana.
"Apakah ini ada di sini waktu kau pertama kali
menemukan gua ini?" Crayton mengalihkan pandangan dari
dinding untuk bertanya pada Nomor Delapan.
"Ya," jawabnya. "Semua ini ada di sini, seperti yang
kalian lihat sekarang."
"Siapa yang membuatnya?" tanya Marina sambil
memandang dinding itu ke atas dan ke bawah dengan nada
kagum.
"Aku tak tahu." Crayton berdiri berkacak pinggang
sambil mengamati dinding. Aku tak suka melihatnya bingung
seperti itu.
Panel berikutnya memperlihatkan selusin sosok
gelap yang kuduga adalah para Mogadorian. Mereka
membawa pedang dan pistol. Sosok yang ada di tengah dua
kali lebih besar dibandingkan yang lain. Setrakus Ra. Mata
kecil dan mulut datar para Mogadorian itu begitu akurat,
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu hidup, sehingga aku merasa punggungku bergidik.
Pandanganku berpindah ke kanan, adegan berikutnya
memperlihatkan seorang gadis yang terbaring dalam
genangan darah. Aku membandingkan wajahnya dengan
yang ada di panel pertama, pasti Nomor Satu. Nomor Dua,
juga perempuan tapi lebih muda daripada Nomor Satu, juga
tergeletak di bawah kaki satu Mogadorian. Mati. Perutku
serasa terbalik saat melihat tubuh Nomor Tiga, seorang anak
laki-laki, ditembus pedang di dalam hutan. Panel terakhir di
deretan atas memperlihatkan Nomor Empat melarikan diri
dari dua prajurit Mogadorian, melompati sinar yang
ditembakkan dari salah satu senjata mereka. Tanpa sadar,
aku terkesiap. Di latar belakangnya ada gedung besar yang
terbakar.
"Astaga. Itu sekolah John," kataku sambil menunjuk
panel tersebut.
"Apa?" tanya Marina.
Aku menikam dinding itu dengan jariku. "Kebakaran
di sekolah John setelah kami bertarung melawan para
Mogadorian. Aku ada di sana! Ini sekolah John!"
"Kalau begitu, yang di langit itu kamu?"
Aku memandang lebih dekat dan melihat sosok kecil
dengan rambut panjang melayang di atas sekolah. "Oke, ini
benar-benar menyeramkan. Ya, itu aku. Aku tidak mengerti.
Bagaimana mungkin?"
"Lihat, ini Nomor Lima?" Ella menyela sambil
menunjuk panel pertama di deretan bawah. Satu sosok
berdiri di puncak pohon pines sambil melemparkan sesuatu
ke arah tiga Mogadorian di bawah sana.
"Ini luar biasa. Semuanya ada di sini. Semuanya
sudah digambarkan," kata Crayton. "Seseorang meramalkan
ini semua!"
"Tapi siapa?" tanyaku.
"Oh, tidak," aku mendengar Marina berbisik. "Siapa
itu? Siapa lagi yang mati?"
Aku memandang dua panel berikutnya dengan cepat,
yang menggambarkan kami bertemu, lalu ke panel yang
memperlihatkan aku dan Marina berdiri di samping danau.
Kemudian, aku melihat John berlari keluar dari mulut gua
bersama seseorang. Aku tak tahu siapa dia, mungkin Sam.
Aku tak tahu karena kepala anak itu memandang ke arah lain.
Akhirnya, aku melihat panel yang sedang Marina pandangi.
Satu Garde berdiri dengan tangan terentang, sebuah pedang
menghunjam tubuhnya dalam-dalam Sulit untuk melihat
siapa Garde itu karena bagian wajahnya dicungkil dari
dinding. Tepat di bawahnya, di lantai, ada potongan
potongan batu.
"Apa yang terjadi di sini?" tanyaku. "Kenapa cuma
wajah yang satu itu yang hilang?" Nomor Delapan diam,
kepalanya menunduk. "Kau yang melakukannya?"
"Tak ada yang bisa mendikte apa yang akan terjadi,"
katanya.
"Jadi kau merusaknya? Buat apa? Supaya tidak
terwujud?" tanya Crayton.
"Tadinya aku tak tahu apa arti semua ini. Aku tak
kenal kalian. Aku pikir ini cuma cerita, setidaknya sampai?
"Apakah itu aku?" Marina menyela. "Apakah yang
mati itu aku?"
Aku juga punya pertanyaan yang sama. Apakah orang
yang ditembus pedang itu aku? Itu pikiran yang mengerikan.
"Kita semua bakal mati, Marina, suatu hari nanti,"
kata Nomor Delapan dengan suara yang aneh.
Ella menyendok kepingan-kepingan batu itu dan
mengamatinya, membaliknya.
Crayton melangkah ke depan Nomor Delapan.
"Merusaknya bukan berarti semua itu tak akan terjadi.
Menyembunyikan informasi dari kami tidak mengurangi
kebenarannya atau membuatnya tidak akan terwujud.
Apakah kau akan mengatakan siapa Garde itu?"
"Aku membawa kalian semua ke sini bukan untuk
memeriksa bagian dinding yang tercungkil itu," kata Nomor
Delapan. "Kalian harus terus melihatnya?lihat dua panel
terakhir."
Dia berhasil meraih perhatian kami lagi. Kami tidak
akan menghasilkan manfaat apa-apa kalau sibuk membahas
siapa dari kami yang terbunuh oleh pedang itu. Jadi kami
kembali memperhatikan dinding tersebut. Di panel yang
Nomor Delapan tunjuk, Setrakus Ra terbaring di tanah
dengan pedang diacungkan ke lehernya. Namun, kami tak
bisa menebak siapa sosok pemegang pedang itu. Di samping
kiri dan kanannya ada Mogadorian yang terbaring mati. Di
panel terakhir, ada planet berbentuk aneh yang terbelah
dua. Bagian atasnya tampak seperti Bumi, dan aku dapat
melihat Eropa dan Rusia. Namun bagian bawah planet itu
ditutupi garis-garis panjang bergelombang. Planet itu tampak
mati dan tandus. Sebuah pesawat kecil mendekati bagian
atas planet dari kiri, sementara pesawat kecil lain mendekati
bagian bawahnya dari kanan.
Aku berusaha memahami apa arti ini semua saat
mendengar Ella terkesiap.
"Ini Nomor Delapan."
Kami semua menoleh dan memandang Ella yang
sedang menempelkan potongan-potongan batu dari lantai ke
wajah Garde yang dicungkil tadi. Dia berhasil menyatukan
potongan-potongan itu. Yang mati dalam gambar tersebut
adalah Nomor Delapan.
"Itu tidak berarti apa-apa," kata Nomor Delapan
dengan tegas.
Marina memegang tangan Nomor Delapan dengan
lembut. "Hei, itu cuma gambar."
"Kau benar," Crayton menimpali dengan pelan. "Itu
cuma gambar."
Nomor Delapan menjauh dari Marina dan berjalan
kembali ke tengah gua. Kami masih terpaku di tempat kami
berdiri, di depan dinding besar yang menggambarkan cerita
yang seharusnya tidak diketahui orang lain. Seseorang telah
meramalkan kematian Nomor Delapan. Dilihat dari betapa
tepatnya panel-panel lain, sulit untuk memikirkan argumen
meyakinkan bahwa mungkin panel yang satu ini salah. Tak
heran Nomor Delapan selalu bercanda. Dia selalu bertindak
seakan-akan punya alasan untuk tidak berhati-hati seperti
kami. Dia berusaha untuk bersembunyi dari takdir, mungkin
terbang di hadapannya. Aku kembali memandang dua panel
terakhir. Mulanya aku lega melihat Setrakus Ra dengan
pedang diacungkan ke lehernya. Namun, gambar ini
memperlihatkan bahwa dia masih hidup, dan itu membuatku
kesal. Kemudian, apa arti panel terakhir itu? Panel itu
menunjukkan konfrontasi yang jelas-jelas masih berlangsung
dengan hasil yang masih tidak jelas. Lalu, mengapa planet ini
terbagi dua? Apa yang akan terjadi?
Crayton memungut Peti Loric Marina, berjalan
menghampiri Nomor Delapan, lalu merangkulnya. Dia mulai
bicara dengan pelan.
"Menurutmu apa yang dikatakan Crayton ke Nomor
Delapan? Apa yang dapat Crayton katakan supaya dia merasa
lebih balk?" Marina berbisik sambil memandangku.
Begitu aku beranjak untuk mengikuti Crayton
menenangkan. Nomor Delapan, ledakan mengguncang gua,
dan gelombang api memasuki pintu. Marina meraih lenganku
saat aku mendengar Ella menjerit di seberang ruangan.
Tiang-tiang runcing yang menahan langit-langit jadi retak,
mulai bergoyang, dan patah. Potongan yang besar jatuh ke
arah Ella, dan aku menggunakan telekinesis untuk
melindunginya, melemparkan batu-batu yang runtuh
menjauhinya. Aku memandang ke arah Crayton dan Nomor
Delapan tepat pada saat Nomor Delapan lenyap.
"Apa yang terjadi?" teriak Marina sambil
menggunakan telekinesis untuk melindungi kami dari puing
puing yang jatuh, sementara aku melindungi Ella.
"Entahlah," sahutku panik sambil berusaha melihat
menembus asap dan debu.
Tiba-tiba, Nomor Delapan muncul kembali di tengah
ruangan. Darah mengalir dari luka di samping tubuhnya,
wajahnya pucat. "Mogadorian!" teriaknya. "Mereka di sini."
16
AKU BERBARING DI TEMPAT TIDUR, MENIKMATI kamar yang
kupilih serta bantal super nyaman yang kutemukan di sana.
Saat hampir tertidur, aku mendengar bunyi pintu depan
dibuka dan suara Nomor Sembilan berbicara pelan kepada
seseorang. Aku duduk waspada, jantungku serasa berdetak di
telinga. Lalu aku sadar?itu pasti petugas gedung yang
membawakan kotak-kotak ke atas. Aku kembali berbaring.
Bernie Kosar menjilat telapak kakiku dan mengatakan dia
mau cari makan.
"Semenit lagi," kataku kepadanya. Aku menatap
langit-langit dengan tangan dilipat di belakang kepala.
Di langit-langit itu ada tekstur samar. Kelopak mataku
kembali terasa berat. Detik berikutnya, aku sudah tidak
memandang langit-langit lagi. Aku berada di luar gedung dan
ada salju.
"Konsentrasi, John!" terdengar seseorang berkata
dari belakangku. Aku berbalik dan melihat Henri memegang
banyak pisau dapur dengan satu pisau di atas bahu.
"Henri! Di mana ini?" aku berseru ke arahnya.
"Kepalamu terantuk?" tanya Henri. Dia mengenakan
jins dan sweter putih yang sama-sama robek dan bernoda
darah. Di belakangnya ada cahaya biru, tapi saat aku berusaha
mengulurkan leher untuk mengintip ke belakang sana, Henri
jadi marah. "Ayo, John! Kau kan sudah pernah ke sini
bersamaku. Kau harus konsentrasi! Sekarang!"
Sebelum aku sempat membantah, Henri melontarkan
pisau itu ke arahku dan pada detik terakhir, aku berhasil
menangkisnya sehingga tidak mengenai wajahku. Henri
melemparkan pisau kedua, lalu yang ketiga, kemudian yang
keempat. Aku menangkis pisau-pisau itu, tapi sepertinya
pisau di tangan Henri tidak habis-habis. Aku terus menangkis,
tapi semakin lama semakin sulit. Pisau-pisau itu makin lama
makin cepat, terlalu cepat.
"Kita tidak perlu terus-terusan melarikan diri!" aku
berteriak ke arahnya sambil mengelak dari dua pisau
sekaligus.
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Henri melemparkan pisau berikutnya dengan begitu
kencang sehingga tanganku berdarah saat menangkisnya. Dia
berteriak, "Tak semua orang bisa tinggal di Chicago di awan,
John!"
Begitu pisau berikutnya datang, aku menangkap
pegangan pisau itu lalu melontarkannya ke tanah bersalju,
menyebabkan salju di sekitarnya menghitam. Aku
menangkap pisau lain lalu melemparkannya ke bawah.
"Kalau kita menemukan tempat yang tepat, kita bahkan bisa
punya rumah sungguhan! Kita tak pernah mencoba itu! Dan
kau memilih Paradise? Dari semua tempat yang ada?"
"Aku mengusahakan yang terbaik! Lagi pula, Malcolm
Goode ada di sana! Kau menemukan tablet itu, John! Tapi
kau belum menggunakannya!" Henri berteriak.
Cahaya biru di belakangnya lenyap, lalu kegelapan di
salju mulai merembes dan menyebar keluar sehingga kami
seakan-akan mengarungi laut hitam. Henri menarik pisau
besar ke atas kepala, lalu melemparkannya ke arahku. Saat
berusaha mempertahankan diri, tanganku seakan terikat ke
tubuhku. Aku menyaksikan pisau terbang berputar-putar dan
sadar pisau itu akan menancap tepat di antara kedua mataku.
Saat pisau itu nyaris menghunjamku, sebuah tangan raksasa
terulur dan menangkapnya. Tangan Setrakus Ra. Dengan satu
gerakan mulus, dia menggenggam pisau itu erat,
menyentakkannya ke atas bahu, lalu melontarkannya
kembali ke arahku.
Saat ujung pisau itu menghunjam tengkorakku,
Setrakus Ra berseru, "Pizza-mu dingin!"
Aku duduk dan tiba-tiba sudah kembali di tempat
tidur, di menara Hancock. Tubuhku basah kuyup oleh
keringat dan napasku terengah-engah. Nomor Sembilan
berdiri di ambang pintu sambil membawa piring berisi pizza.
Mulutnya penuh dan dia terus mengunyah sambil bicara,
"Aku serius. Kau harus makan mumpung masih panas. Lagi
pula, aku masih ingin latihan sebelum kita berkencan ganda."
"Aku melihat Setrakus Ra lagi," kataku. Aku tahu
suaraku terdengar datar. Lidahku serasa lengket. "Juga
Henri."
Nomor Sembilan menelan dan mengayunkan
tangannya yang masih memegang setengah potongan pizza.
"Oh, ya? Lupakan saja. Itu cuma mimpi. Itulah yang kukatakan
pada diriku sendiri, dan biasanya berhasil."
"Bagaimana caramu membuatnya berhasil?" tanyaku,
tapi dia sudah pergi. Aku meluncur turun dari tempat tidur
dan berjalan terhuyung ke koridor. Aku melihat Bernie Kosar
melahap daging yang sudah dicairkan di lantai dapur. Pizza
ku tersaji di meja, masih mengepul. Sudah lama aku tidak
memimpikan Henri dan aku sulit menyingkirkan visi tadi.
Sambil makan pizza, aku memikirkan pisau-pisau yang
melayang, salju, bagaimana kami saling berteriak?lalu aku
tersadar. Tadi Henri menyebut-nyebut soal tablet. Selama
ini, aku belum melakukan apa-apa selain memandangi benda
itu. Aku baru meluangkan sedikit waktu dengan benda itu
dan kesal karena tablet itu tidak berfungsi. Aku menurunkan
Petiku dari kursi, membukanya, lalu mengeluarkan tablet
tersebut.
Tablet itu masih kosong seperti setiap kali saat aku
melihatnya. Cuma kotak logam putih dengan layar kosong,
mall, tak berguna. Aku tak dapat menghidupkannya. Aku
membalik benda itu dan memeriksa colokannya yang kecil.
Bentuknya segitiga, tidak seperti colokan yang pernah
kulihat.
"Sembilan," aku memanggil.
Dia menyahut dari arah ruang pengawasan, "Di sini!"
Aku menjejalkan sepotong pizza ke mulutku dan
mengunyah sambil berjalan, membawa tablet itu bersamaku.
Nomor Sembilan duduk di kursi putar dengan kaki menjulur
ke atas meja panjang di antara monitor- monitor. Sebagian
besar monitor itu terbagi empat. Nomor Sembilan menekan
keyboard di pangkuannya dan monitor-monitor tersebut
berputar. Tidak ada yang memperlihatkan sesuatu yang
menarik.
Nomor Sembilan tersenyum lebar. "Ada yang mau
dicek?"
"Yeah. Masukkan nama, 'Sarah Hart'."
Nomor Sembilan menjambak rambut hitamnya yang
panjang. "Aaargh! Kau serius? Isi pikiranmu itu cuma satu,
ya? Dengan semua kegilaan yang terjadi ini, itu hal pertama
yang kau pikirkan?"
"Itu satu-satunya yang terpikir olehku," kataku.
"Lakukan sajalah."
Nomor Sembilan mengetikkan nama Sarah dan aku
kecewa karena yang muncul cuma daftar kegiatan sekolah.
Aku meminta Nomor Sembilan mencari "Paradise, Ohio,"
"Sam Goode", "John Smith", dan "Henri Smith". Yang muncul
cuma hal-hal yang sudah kulihat: sekolah yang hancur,
tuduhan terorisme lokal, hadiah yang ditawarkan untuk
informasi yang dapat membantu agar kami ditahan atau
ditangkap. Aku meletakkan tablet putih itu ke meja di
depanku, lalu mendorongnya ke arah Nomor Sembilan.
"Dengar, Sembilan. Aku perlu bantuanmu dengan ini." Aku
menceritakan visiku kepadanya, juga kata-kata Henri tentang
tablet itu.
"Dude, kau harus tenang," kata Nomor Sembilan.
"Aku lupa kau selalu menganggap mimpi-mimpi itu penting.
Aku akan mencoba sesuatu dengan tablet ini."
"Silakan," kataku sambil mendesah.
Nomor Sembilan membalikkan tablet itu beberapa
kali serta menyentuh setiap senti layarnya. Kemudian, dia
memeriksa colokan di belakang dan berdecak. "Sepertinya
...," suaranya melirih karena dia memutar kursi. Dia berjalan
ke pojok ruangan tempat setumpuk kotak cokelat yang sudah
dibuka, lalu mencari-cari dalam dua kotak yang atas sambil
berkata, "Waktu mereka mengantarkan barang yang dikirim
untuk Sandor tali, aku meminta mereka mengambilkan ini
dari gudang. Kupikir mungkin di dalamnya ada sesuatu yang
dapat memberiku ide untuk berkomunikasi dengan yang lain
...." Dia menyingkirkan dua kotak pertama itu, lalu menarik
kotak ketiga dari tumpukan, membuka tutupnya,
mengeluarkan dua laptop baru dari dalam, lalu berseru,
"Bingo!" Dia berdiri, dengan ekspresi senang, sambil
mengacungkan kabel hitam tebal. Yang luar biasa, salah satu
ujung kabel itu berbentuk segitiga?seperti colokan
berbentuk segitiga di tabletku.
"Dari mana itu?"
"Entahlah. Sandor membawa barang-barang ini di
pesawat yang mengantarkan kita ke sini. Aku tak pernah
melihat sebagian besarnya, apalagi menyelidiki cara
menggunakannya. Beberapa kali aku berusaha menyelidiki
apa kegunaan benda-benda ini, tapi Sandor selalu bersikap
protektif, dan aku tak pernah berhasil menemukan apa-apa.
Maksudku, aku nyaris tak dapat membedakan antara mana
barang Bumi dan barang kami, dan itu sama sekali tidak
membantu."
Dia membawa kabel yang ditemukannya itu dan
mendekatkan ujung segitiganya ke colokan berbentuk
segitiga di tabletku. Kami menahan napas saat Nomor
Sembilan memasukkan ujung kabel itu ke colokan. Pas. Kami
berdua mendesah lega. Dengan perlahan, dia memasukkan
ujung kabel yang lain ke slot USB komputer terdekat. Garis
horizontal hitam muncul di layar tablet, dan beberapa detik
kemudian kami sudah memandang peta Bumi. Satu demi
satu, tujuh titik biru berkedap-kedip muncul: dua di Chicago,
empat di India atau Cina, dan satu lagi sepertinya di Jamaika.
"Hmm," kata Nomor Sembilan sambil berbisik,
"kurasa itu kita. Maksudku, kita semua."
"Kau benar Itu kita, kita semua," bisikku. "Dengan
benda ini, kita bahkan tak butuh makrokosmos."
"Sebentar. Ada tujuh titik, tapi kita kan cuma
berenam," kata Nomor Sembilan sambil mengerutkan
kening.
Aku bersandar. "Aku pernah bilang kan ada pesawat
lain?"
"Betul, betul," katanya, tiba-tiba bersemangat untuk
memperhatikanku.
"Nah, kita tahu di sana ada bayi. Ini artinya pesawat
itu sampai di Bumi! Dan itu artinya?"
"Setrakus Ra harus melawan kita bertujuh, bukan
berenam," Nomor Sembilan menyela. "Makin ramai makin
asyik."
Sementara kami mencerna informasi baru itu, sebuah
kotak kecil berisi segitiga hijau muncul di sudut kanan atas
layar tablet. Aku menekan segitiga itu dan dua titik hijau
kecil muncul di peta. Yang satu di Amerika Serikat Barat Daya,
sementara yang satu lagi di utara Afrika, mungkin Mesir.
"Itu apa, ya?" tanyaku. "Menurutmu mungkinkah itu
bom nuklir? Born Mogadorian? Sialan. Mereka tak akan
meledakkan Bumi, kan?"
Nomor Sembilan menepuk punggungku. "Tidak. Coba
pikirkan. Peta yang memperlihatkan kita, pastilah ditujukan
untuk, yah, kita. Born Mogadorian tidak cocok dengan itu.
Kurasa itu pesawat kita!"
Aku tak mampu berkata-kata. Itu masuk akal. Kalau
itu benar, sesuatu yang terlalu luar biasa sehingga aku tak
berani memikirkannya juga mungkin benar. Setelah Setrakus
Ra mati dan Bumi selamat, kami benar-benar dapat pulang ke
Lorien. Kami dapat membantu planet itu bangun dari
hibernasinya. Kami bisa pulang. Tiba-tiba, aku sangat ingin
tahu di mana tepatnya titik yang ada di Barat Daya itu berada,
titik yang paling dekat dengan kami. "Di mana ini?" aku
bertanya sambil menunjuk titik itu.
Nomor Sembilan membuka peta di salah satu
monitor, lalu berkata, "Yang di barat itu ada di New Mexico,
yang satunya lagi di Mesir."
Saat mendengarnya berkata "di barat", aku langsung
teringat kata-kata terakhir Agen Khusus Walker. Tanpa
berpikir lagi, aku langsung memutuskan. "Kita harus ke sana.
New Mexico."
17
BEGITU NOMOR DELAPAN MUNCUL DENGAN TUBUH
bersimbah darah, aku langsung berlari menghampiri dan
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meletakkan tanganku di lukanya. Darahnya mengalir ke
jariku, lalu turun ke pergelangan tanganku. Saat ledakan lain
mengguncang gua, kami roboh ke tanah. "Maaf," bisiknya.
"Ini salahku."
"Ssst. Aku mampu menyembuhkanmu. Ini Pusakaku.
Coba tenang sebentar." Rasa dingin mengalir dari ujung
jariku ke rusuknya, tubuh Nomor Delapan langsung kaku
karena nyeri. Ledakan terus berdatangan dan Nomor Delapan
meringis setiap kali mendengarnya, tapi aku menatap
matanya dalam-dalam, memaksanya tetap bersamaku.
"Tenang. Nomor Enam ada di sini. Dia sanggup menangani
ini. Kita akan baik-baik sal a." Aku terdengar sangat mantap,
berusaha meyakinkan kami berdua.
"Mungkin ini saat kematianku, mungkin gambar itu
keliru," katanya.
Aku menekan lebih keras dan akhirnya merasa luka
Nomor Delapan mulai menutup sebagai reaksi terhadap
sentuhanku. Aku menggeleng kuat-kuat. "Tidak. Bukan
sekarang."
Dalam kekacauan, aku melihat Nomor Enam
mendorong Ella dan Crayton ke balik tumpukan besar batu
yang runtuh. Kemudian dia memandang Nomor Delapan
serta aku dan tiba-tiba kami terangkat dari tanah, melayang
ke arah mereka. Saat Nomor Enam menurunkan kami, dia
berkata, "Kalian semua diam di sini. Aku akan menghilang
dan mengecek keadaan. Sembuhkan dia, Marina." Dia
mengedipkan sebelah mata ke arahku. Suaranya
memberitahuku bahwa kami akan baik-baik saja kalau kami
semua ingat apa yang dapat kami lakukan. Satu-satunya cara
agar selamat dari ini adalah dengan bekerja sama.
"Akan kucoba," kataku, tapi dia sudah tak terlihat. Di
bawah tanganku, paru-paru Nomor Delapan berusaha
mengimbangi Pusakaku. Wajahnya memucat. Aku dapat
merasakan bagian dalam tubuhnya bergerak, seakan-akan
menolak kekuatanku. Tapi tidak. Itu tak mungkin. Pasti
lukanya lebih parah daripada yang kuduga. Atau, Pusakaku
melemah. Namun itu tidak boleh. Aku mulai panik dan
berjuang melawan perasaan mual di perutku. Aku harus
berkonsentrasi pada Nomor Delapan, jangan sampai
pikiranku teralihkan oleh kejadian di sekeliling kami.
Aku mendengar tembakan dan teriakan samar para
prajurit Mogadorian. Aku hanya dapat membayangkan apa
yang Nomor Enam lakukan di luar sana. Dia bisa tak kenal
ampun saat perlu, sangat ganas bagi siapa pun yang
mengancamnya?atau kami.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Crayton sambil
menunggui Nomor Delapan. Dia memandang wajah Nomor
Delapan yang kesakitan dan wajahku yang panik secara
bergantian.
Ella menggenggam tangan Nomor Delapan supaya
memusatkan perhatian kepadanya. "Tak apa. Rasanya
memang bakal sakit, Delapan, tapi kemudian akan membaik.
Percayalah kepadaku." Aku menyaksikan kata-kata Ella
membuat Nomor Delapan tenang dan dia mulai mengangguk
sambil meringis.
Kami mendengar benturan memekakkan di atas
kepala kami. Retakan muncul di langit-langit gua dan
menyebar ke segala arah dengan cepat. Kubah itu bagaikan
kepingan puzzle yang sewaktu-waktu bakal hancur. Tiba-tiba,
batu pertama runtuh. Batu seukuran mobil terjun ke arah
kami. Walau tak ingin menarik sentuhan penyembuhku, aku
terpaksa menyingkirkan tanganku dari samping tubuh Nomor
Delapan supaya dapat memusatkan energi untuk menghalau
batu itu dengan telekinesisku. Saat meletakkan tanganku
kembali di luka Nomor Delapan, rasanya seperti mulai dari
awal lagi. Aku berusaha menenangkan diri. Lukisan di gua
mungkin memperlihatkan Nomor Delapan yang sekarat, tapi
itu bukan di sini, bukan seperti ini.
"Peti Marina mana?" tanya Ella. "Mungkin di sana ada
sesuatu yang bisa membantu."
Crayton berdiri. "Kedua Peti itu ada di seberang. Biar
kuambil."
"tangan!" Ella mencengkeram pergelangan lengan
baju Crayton, tapi dia sudah berlari pergi. Aku hanya bisa
memandang tanpa daya. Potongan-potongan langit-langit
terus beruntuhan, sementara Ella berteriak agar Crayton
kembali, menunggu Nomor Enam. Benakku berpacu. Nomor
Enam di luar sana, bertarung sendirian melawan sepasukan
Mogadorian, dan aku sadar aku harus melupakan itu dan
memusatkan energiku ke Nomor Delapan. Aku dapat
merasakan tubuhnya menyerah terhadap rasa sakit. Aku juga
dapat merasakan luka yang sepertinya tak dapat
kusembuhkan dengan cepat untuk menyelamatkannya. Aku
memicingkan mataku keras-keras dan berdoa dalam hati agar
dia merespons Pusakaku saat melihat lukanya kembali ke
ukuran semula, seakan-akan aku belum menyentuhnya.
"Ella." Aku memandangnya, mataku digenangi air
mata. "Tidak berhasil. Aku tak tahu harus apa!"
Ella berkata dengan penuh tekad. "Kita butuh dia,
Marina. Konsentrasi. Kau bisa."
Aku berusaha menenangkan napasku dan melihat
Crayton mengelak dari batu besar yang runcing dan hampir
mengenainya. "Delapan, bertahanlah. Aku akan melakukan
ini, kau akan segera sembuh," kataku saat matanya
memejam. Aku menulikan diri dari hiruk-pikuk serangan,
menenangkan rasa histeris yang meluap di dadaku, lalu aku
berkata kepada diriku, Aku mampu menyembuhkan Nomor
Delapan. Aku akan menyembuhkannya dan Nomor Enam
akan mengatasi para Mog. Kami punya misi dan ini bukan
akhir. Aku duduk tegak, napasku melambat serta kembali
normal, dan bola es seakan terbentuk di antara tulang
belikatku. Es itu mengalir deras menuruni punggung dan jari
jariku. Kekuatannya nyaris mendorongku menjauh, tapi jari
jariku tetap berada di luka Nomor Delapan. Aku merasakan
sesuatu terjadi di dalam tubuh Nomor Delapan dan napasku
semakin cepat. Jantungku berdetak begitu kencang sehingga
aku pikir bakal meledak. Lalu Nomor Delapan membuka
mata.
"Berhasil!" Ella berseru.
Pusing luar biasa menerpaku. Aku goyah, tapi
bertahan agar tetap tegak saat luka Nomor Delapan
menutup. Aku dapat merasakan rusuknya yang patah kembali
ke tempat semula di bawah tanganku. Setelah beberapa
detik, aku duduk bersandar. Aku sangat lelah sehingga nyaris
tak mampu membuka mata. Aku menarik napas dalam
dalam, sementara Nomor Delapan duduk. Dia menyentuh
dadanya yang barusan terluka, merasakan rusuknya, lalu
mengulurkan tangan untuk memegang tanganku.
"Aku belum pernah merasakan yang seperti itu," kata
Nomor Delapan kepadaku dengan tatapan heran. "Aku tak
tahu bagaimana mengungkapkan terima kasihku." Saat aku
membuka mulut untuk menjawab, Nomor Enam tiba-tiba
muncul.
Enam memegang meriam Mogadorian. Wajahnya
berlumuran abu hitam. Dia kehabisan napas, tapi tetap
terkendali. "Aku berhasil membuat mereka mundur, tapi aku
perlu bantuan di luar sana."
Nomor Delapan berdiri dengan terhuyung-huyung.
"Oke."
"Yang aku maksud Marina," kata Nomor Enam sambil
mengamati ruangan dan langsung melihat Nomor Delapan
masih belum mampu menolong siapa pun. Aku tersanjung
karena dia ingin aku bertarung bersamanya, tapi aku tahu
tubuhku terlalu lemah untuk berdiri. "Crayton mana?" tanya
Nomor Enam sambil memandang berkeliling.
Aku begitu sibuk menyembuhkan Nomor Delapan
sampai-sampai melupakan Crayton. Aku berbalik cepat tepat
pada saat Crayton menarik Peti Loric dari bawah reruntuhan.
Kemudian dia mengangkat kedua Peti itu dan mulai berjalan
ke arah kami. Tepat pada saat Nomor Enam bergerak untuk
membantu, sebuah ledakan menghancurkan sisa langit
langit. Potongan besar batu bersalju jatuh ke gua, diikuti
hujan ratusan peluru. Nomor Delapan berdiri di depan Ella,
menangkis reruntuhan dan peluru dengan telekinesisnya.
Nomor Enam mulai menembakkan meriam Mogadorian ke
langit yang terkuak. Terdengar ledakan lain jauh di atas, dan
beberapa detik kemudian, pesawat perak seperti yang
kulihat di dasar danau menabrak gunung yang runtuh tepat di
atas kami. Prajurit Mogadorian yang terluka berusaha keluar
dari kokpit dengan panik. Aku berusaha berdiri saat Mog itu
meninju kaca hingga berlubang. Sebelum dia sempat
menarik tubuhnya keluar, aku menggunakan telekinesis
untuk mengangkat dua batu besar lalu meremukkan
Mogadorian itu di antara batu tersebut. Awan abu melayang
turun.
Sebuah roket memasuki gua, meledakkan dinding di
dekat Crayton. Ukiran panel yang barusan membuat kami
semua terpesona hancur. Ledakan itu juga membuat Crayton
terlempar ke tengah gua, mendarat di samping batu Loralite
biru, sementara kedua Peti meluncur di lantai. Dia tidak
bergerak. Aku tercenung?kejadiannya begitu cepat.
"Papa!" Ella menjerit.
Walaupun dinding di sekeliling kami berjatuhan, aku
dan Ella menyerbu ke samping Crayton. Dia memegang
sebelah tangan Crayton. Aku meletakkan tanganku di tubuh
Crayton dan menutup mata, mencari tanda-tanda kehidupan.
Aku mencari sesuatu yang dapat kuperbaiki, yang dapat
kusembuhkan, tapi aku tak menemukan apa pun.
"Selamatkan dia!" Ella menjerit ke arahku, wajahnya
yang mungil tampak begitu pedih. "Marina, tolonglah. Kau
bisa melakukannya! Kau bisa menyembuhkannya!"
"Aku mencobanya," kataku sambil terisak. Crayton
sudah meninggal. Cepan Ella sudah tiada.
"Berkonsentrasilah seperti waktu menyembuhkan
Nomor Delapan! Kau bisa melakukannya lagi!" Ella berteriak
panik sambil membelai kepala Crayton dan menepuk
tangannya.
Di sudut mataku, aku dapat melihat Nomor Enam
berlari ke arah kami sambil menembakkan meriam ke langit.
Nomor Delapan muncul di sampingku dengan teleportasi. Dia
mencondongkan tubuhnya dan berkata, "Kau dapat
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyembuhkannya. Ayolah, Marina."
Aku mulai menangis. Aku tak dapat melakukannya!
Aku tahu tak ada sesuatu yang bisa kusembuhkan, tapi aku
berusaha memanggil Pusakaku lagi dan lagi, memohon agar
ini berhasil. Namun Crayton sudah meninggal, dan Pusakaku
tak bisa apa-apa. Aku menggerakkan tanganku ke dada dan
perutnya yang remuk. Aku dapat merasakan semua tulangnya
yang patah di bawah tanganku. Ella bergerak ke belakangku
dan mendorong bahuku, menekankan tanganku lebih keras
ke tubuh Crayton.
Nomor Enam berhenti menembak dan meraih
lenganku. Dia menatap mataku. Aku menggeleng.
Ella jatuh berlutut, terisak. Dia merangkak ke arah
Crayton dan berbisik ke kupingnya, "Izinkan Marina
menyembuhkanmu. Kumohon jangan pergi. Kumohon,
Papa." Dia mendongak memandangku, air mata mengaliri
pipinya. Lalu, dia berkata dengan sengit, "Kau bahkan tidak
berusaha, Marina! Kenapa kau tak mau mencoba?"
Aku menyeka air mata dengan bahuku. "Aku sudah
berusaha, Ella. Aku mencobanya, tapi tak ada yang bisa
Ilusi Scorpio Karya Robert Ludlum Joko Sableng 42 Rahasia Darah Kutukan Pendekar Gila 5 Kelelawar Iblis Merah
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama