Ceritasilat Novel Online

The Rise of Nine 4

The Rise of Nine Karya Pittacus Lore Bagian 4

kulakukan. Dia sudah meninggal. Maafkan aku." Aku duduk

bersimpuh, tapi tetap menyentuh tubuh Crayton.

Sebuah roket menghantam dinding terjauh,

membuat lubang besar di dinding gunung. Dari perjalanan

kami kemari, kami tahu di balik lubang dinding itu ada jurang

sedalam lebih dari setengah kilometer. Angin dingin masuk

mengembus kami. Nomor Delapan menoleh ke arah Nomor

Enam. "Berikan meriam itu kepadaku. Aku segera kembali."

Sejenak Nomor Enam ragu, tapi akhirnya dia menyerahkan

benda itu. Nomor Delapan menghilang. Aku mendongak dan

melihatnya berlari di sepanjang tepi lubang yang meruntuh,

melompat dari satu titik ke titik lain, sementara batu-batu

gunung berjatuhan. Dia terus menembak, bahkan saat

melayang. Segera saja dua pesawat perak Mogadorian

meledak menjadi bola api.

Aku terus menggerakkan tanganku di tubuh Crayton,

tapi Nomor Enam menyentakkanku berdiri. "Hentikan! Dia

sudah tiada." Aku menunduk memandang Crayton, wajahnya

yang kasar, alisnya yang tebal, dan terkenang waktu pertama

kali melihatnya di kafe di Spanyol. Waktu itu aku pikir dia

musuh bebuyutanku. Namun, dia justru menyelamatkan

nyawaku. Aku mengulurkan tangan untuk mencoba lagi, tapi

Nomor Enam memelukku. Aku merasakan air matanya di

leherku. Bibirnya menyentuh telingaku saat dia berbisik,

"Tak ada yang bisa kita lakukan."

Sambil terisak, Ella mengulurkan tangan dan meraih

tangan kiri Crayton. Dia mencium lalu menempelkan tangan

itu di pipinya. "Aku menyayangimu, Papa."

"Aku sungguh-sungguh menyesal," kataku lagi.

Ella mendongak memandangku dan berusaha

mengucapkan sesuatu, tapi tidak bisa. Dengan lembut, dia

meletakkan tangan Crayton di dada Cepan itu, membelainya

sekali lagi, lalu berdiri. Nomor Delapan melakukan

teleportasi ke samping kami dan mengembalikan meriam ke

Nomor Enam. Angin dingin yang kencang kembali berembus

ke arah kami dan membuka sebelah jaket Crayton. Kami

semua melihatnya pada saat yang sama?amplop putih di

saku dalam jaketnya. UNTUK ELLA tertera di bagian luar

amplop itu.

Nomor Enam meraih amplop tersebut dan

menyerahkannya ke tangan Ella. "Ella, dengar aku tahu kau

tak mau meninggalkannya. Kami juga sama. Tapi kalau kita

tidak pergi sekarang, kita bakal mati. Kau tahu kan, Crayton

ingin kita melakukan apa saja agar selamat?" Ella

mengangguk. Nomor Enam memandang Nomor Delapan.

"Oke. Nah, bagaimana cara kita keluar dari neraka ini?

Apakah kita masih bisa melakukan teleportasi walaupun

gunung ini hancur?"

"Ella, pegang Petiku! Marina, ambil Petimu," Nomor

Delapan mengomando sambil menyuruh kami bergegas ke

Loralite biru yang bersinar. "Enam, pegangan ke lengan Ella

atau Marina supaya kita bisa pergi sama-sama." Dia

memandang berkeliling ke arah reruntuhan dengan muram.

"Kuharap ini berhasil."

Nomor Delapan memegang tanganku dan Ella. Nomor

Enam mengaitkan lengannya di sikuku yang lain. Aku

memandang potongan-potongan dinding yang

memperlihatkan masa depan dan masa lalu kami. Aku

memikirkan para Loric yang pernah berada di tempat ini

sebelum kami. Sedih rasanya mengingat kami adalah yang

terakhir melihat gua ini. Namun, aku juga ingat tanggung

jawab sebagai Loric terakhir ada di pundak kami semua. Aku

memandang Crayton untuk terakhir kalinya, berterima kasih

atas semua yang dia lakukan.

"Oke. Kita berangkat," kata Nomor Delapan. Lalu

segalanya jadi gelap.

18

TIBA-TIBA, NOMOR SEMBILAN DUDUK DI UJUNG kursi.

"Astaga! Empat! Lihat ini. Mereka pindah."

"Siapa yang pindah?" Aku mengambil tablet itu dari

tangannya. Posisi titik-titik biru yang menunjukkan diri kami

berubah. Sebagian. Di Jamaika masih ada satu titik biru,

sementara di Chicago ada dua. Namun, sekarang ada tiga di

pantai Afrika dan satu di New Mexico. Walaupun merasa

tenang saat melihat masih ada tujuh titik, aku bingung

bagaimana caranya mereka pindah ke kedua tempat tersebut

secepat itu. "Bagaimana cara mereka melakukan itu?"

"Aku tak tahu," sahut Nomor Sembilan. "Mereka

seperti melakukan teleportasi atau melompat begitu saja.

Mungkin mereka menemukan gerbang bintang atau

semacamnya?"

"Henri bilang gerbang bintang itu tidak ada," aku

membantah sambil menggeleng.

"Yeah, begitu juga alien dari planet lain, menurut

sejumlah orang. Sebenarnya malah banyak orang."

Dia benar. Mungkin Henri salah. "Satu Garde di New

Mexico, Sembilan. Di dekat yang menurutmu mungkin

pesawat kita. Itu pasti bukan kebetulan. Apakah menurutmu

mereka mau ke sana?"

"Wah, kuharap tidak. Ini sama sekali bukan waktu

yang tepat untuk itu. Masih banyak yang harus kita urus

sebelum meninggalkan Bumi."

Aku memandangi titik biru berdenyut di New

Mexico, lalu kembali menekan segitiga hijau yang

memperlihatkan di mana pesawat Lorien disembunyikan. Tak

mungkin Garde satu itu mendarat di dekatnya secara tidak

sengaja. Selain itu, aku diberi tahu bahwa Sarah ada di barat

sana, mungkin bersama Sam. Aku semakin yakin.

"Aku serius, Sembilan. Kita harus ke sana. New

Mexico. Sekarang. Semua yang kita lihat dan kita ketahui

mengarah ke sana, memberi tahu kita harus pergi ke sana

sekarang juga." Aku bergegas keluar dari ruangan itu,

membanting Petiku hingga tertutup, lalu meletakkannya di

samping pintu depan. "BK?" aku memanggil. Bernie Kosar

berderap menghampiri sambil menggonggong tulang.

Nomor Sembilan mengikutiku. "Dude. Pelan-pelan.

Kita tidak akan pergi dan terbang ke New Mexico! Terutama

setelah semua yang kita lihat! Mereka melakukan

teleportasi. Saat kita masuk lift, mereka mungkin sudah di

Antartika! Atau Australia! Masih banyak yang belum kita

ketahui. Kita bahkan tidak tahu pasti apakah itu pesawat kita.

Bagaimana kalau ternyata ini perangkap?" Nomor Sembilan

berjalan ke depan pintu dan menyilangkan lengan. Aku tahu

aku pasti mirip orang gila yang kumat dengan meninju

tombol lift dan berpura-pura Nomor Sembilan tidak ada dan

menghalangi usahaku.

Kata-kata tumpah dari mulutku. "Kita tetap harus ke

sana. Bahkan, walaupun Garde yang kita lihat barusan hilang

sebelum kita sampai. New Mexico tetap satu-satunya tempat

yang harus kita tuju." Aku sangat ingin Nomor Sembilan

sepakat denganku. "Kita bisa membawa senjatamu."

Kepalaku pusing. Aku buru-buru lari ke lemari amunisi di

ruang latihan. Saat sedang melompati matras di dekat lemari,

aku mendengar cincin-cincin logam berdentang di atas

kepalaku. Nomor Sembilan jatuh dari atas, menghalangi

jalanku, dan mengangkat tangannya.

"Whoa. Tunggu dulu, Kawan. Tarik napas," katanya

dengan telapak tangan teracung ke arahku. "Aku pikir kita

harus ke Paradise."

"Yang benar saja? Sekarang kau mau ke Paradise?"

Aku ingin membunuhnya.

"Waktu kau tidur tadi aku berpikir. Kita harus kembali

ke tempatmu menemukan tablet itu. Kau bilang di ruang

rahasia itu ada banyak berkas, belum lagi rangka dan

sejumlah peta. Kupikir kita melewatkan sesuatu, sesuatu

yang bisa menjadi kunci untuk mengalahkan Setrakus Ra."

"Kau tidak mengerti," kataku sambil mendesak

melewatinya. "Ada sesuatu yang terjadi di barat sana, tepat

pada saat ini. Kau punya mobil?"

Dia mendorong punggungku keras-keras. Aku nyaris

jatuh, tapi berhasil mencegahnya. Aku berdiri, masih

memunggunginya, dengan perasaan berang. "Aku punya

mobil, tapi kita harus ke Paradise dulu. Kita harus

menemukan apa pun yang bisa membantu pertarungan kita."

"Tak bakalan." Aku berbalik dan balas

mendorongnya, dan tiba-tiba saja lengan kami sudah saling

terkunci di kepala masing-masing. Nomor Sembilan

menyepak kakiku dan aku jatuh ke lantai.

Bernie Kosar menyalak, menyuruh kami berhenti.

"Tenang, BK," kata Nomor Sembilan sambil

mengayunkan tangan ke arahnya. "Anggap saja ini latihan

ringan sebelum kita pergi ke Ohio."

"Oke. Kita latihan sekarang," aku meludah lalu

berdiri, "dengan semua yang sudah kita pelajari."

Nomor Sembilan melayangkan pukulan dengan cepat

kutangkis. Namun, aku tak dapat menahan tinju kanannya.

Rusukku seakan dihantam palu godam. Saat aku jatuh

berlutut sambil memegangi perut, dia menyepak tulang

dadaku, membuatku jatuh telentang.

"Ayo!" dia meneriakiku. "Lawan aku! Ayo! Kau pikir

kau bisa berlari ke padang pasir dan mengalahkan musuh

yang menghalangi jalanmu, padahal saat ini kau tak sanggup

mengalahkanku?"

Aku melompat berdiri dan melancarkan pukulan

lurus ke perut, membuatnya terkejut. Saat dia membungkuk,

aku melayangkan lutut ke mulutnya.

"Begitu, dong, Empat!" Darah mengucur dari bibirnya

yang robek, tapi dia memandangku dengan girang. Kami

saling mengitari. "Bagaimana kalau begini? Karena kau

memperlihatkan tanda-tanda untuk bertarung dengan layak,

aku akan menawarimu kesepakatan. Kalau kau bisa

mengalahkanku, kita pergi ke New Mexico. Secepatnya.

Bahkan, aku akan membiarkanmu menyetir. Tapi kalau aku

yang menang, kita akan diam di sini beberapa jam lagi,

memikirkan sesuatu, dan menyusun rencana sungguhan.

Setelah itu, kita kembali ke Paradise dan pergi ke sumur itu."

"Dan kau menyebutku pengecut," kataku.

Kami terus saling mengitari, lalu sama-sama

melayangkan pukulan mematikan. Aku mendengar rusuk

Nomor Sembilan patah ketika siku kananku menghantamnya.

Aku mengayunkan sikuku yang satu lagi, tapi dia

melayangkan tendangan keras ke lutut kiriku. Tulang
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rawanku robek dan rasa nyeri membakar kakiku. Walau

terpincang-pincang, aku berhasil melancarkan beberapa

pukulan lagi, tapi aku tak dapat bergerak dan itu sangat

menguntungkan Nomor Sembilan. Dia melompat ke

belakangku lalu menyepak kakiku. Kepalaku menghantam

lantai dan dunia jadi putih. Saat aku sadar, Nomor Sembilan

sudah mengunci lenganku dengan lututnya. Pertarungan

selesai. Begitu juga kesempatan kami menemukan Garde

yang ada di barat sana.

"Biar kuambil batu penyembuhnya," kata Nomor

Sembilan sambil perlahan-lahan berdiri. Dengan pandangan

kabur, aku melihatnya meninggalkan ruangan sambil

memegangi samping tubuhnya. Bernie Kosar mendengking.

"Ini konyol, tahu?" aku berteriak ke arahnya. "Kau tak

bisa mengambil keputusan dengan cara seperti ini! Garde di

New Mexico itu bakal mati sendirian, tapi kau sama sekali tak

peduli!"

Suara Nomor Sembilan membahana di apartemen.

"Kita ini prajurit, Johnny! Dan prajurit itu mati. Kita dikirim ke

sini untuk berlatih dan bertarung, dan sebagian dari kita tak

akan tetap hidup. Begitulah perang."

Dengan kaki yang masih sehat, aku melompat pelan
pelan ke ruang keluarga. Aku dapat melihat matahari

terbenam melalui jendela. BK duduk di lantai, di petak

cahaya yang terakhir, sambil menatapku. Dia meminta kami

duduk dan bicara serta merencanakan langkah berikutnya

dengan kepala dingin.

Nomor Sembilan berjalan masuk sambil

menempelkan batu penyembuh ke rusuknya. Dia

melemparkan batu itu kepadaku dan aku langsung

menempelkannya ke lutut kiriku. Walaupun sakit, aku dapat

merasakan tulang rawanku tersambung kembali secara

perlahan. Batu itu tak perlu waktu lama untuk

menyembuhkan, dan sebentar kemudian rasa sakitnya

lenyap sama sekali. Aku memegang kusen jendela dan

berkata, "Kalau kita tidak ke New Mexico, kita hadapi saja

Setrakus Ra. Sekarang. Aku dan kau. Mungkin kalau kita

mengalahkannya, Mogadorian yang lain bakal mati, dan kita

menyelamatkan dua dunia."

Nomor Sembilan duduk di sofa kulit dan menaikkan

kakinya ke meja kopi kaca. Dia mendesah dan memicingkan

mata. "Maaf, Johnny, walaupun Setrakus Ra mati, para

Mogadorian akan tetap bertempur. Seperti kita yang tetap

bertarung walaupun Pittacus Lore sudah tiada. Berhentilah

mencari jalan keluar yang mudah dan hadapi kenyataan yang

ada. Kita semua akan bertarung sampai Loric terakhir."

Aku memandang ke luar jendela dan menghimpun

kekuatan untuk mengucapkan apa yang ingin kukatakan sejak

membaca surat Henri: "Pittacus belum mati. Akulah

Pittacus."

"Apa katamu?"

Aku berbalik untuk memandangnya. "Aku bilang, aku

ini Pittacus Lore."

Nomor Sembilan bersandar dan tertawa terbahak
bahak sampai-sampai hampir terjungkal dari sofanya. "Kau

Pittacus? Kenapa pula kau berpikir kau ini Pittacus Lore?"

"Aku merasakannya," kataku. "Karena itulah, Lorien

berhibernasi. Pittacus terus hidup dalam diriku."

"Oh, ya? Tahu tidak? Aku rasa aku juga dapat

merasakannya," cemoohnya sambil meraba-raba dada. Dia

bangkit lalu berderap menghampiriku. "Tapi ... eh, kalau kau

itu Pittacus, Tetua Lorien yang paling kuat dan paling bijak,

itu artinya aku baru saja menghajar Pittacus. Kalau begitu,

aku ini apa, ya?"

"Beruntung," sahutku, menyesali kata-kataku

barusan.

"Oh, ya? Sepertinya ada yang ingin tanding ulang."

Cukup, hardik Bernie Kosar. Jangan berkelahi lagi.

Hemat tenaga kalian.

Aku mengabaikannya. "Oke. Kalau begitu, kita

tanding ulang."

"Kalau kau mau melawanku lagi, kali ini kita ke

tempat lain. Dan supaya lebih menarik, Pittacus, bagaimana

kalau kita menggunakan satu benda dari Peti kita?"

"Oke."

Aku membuka Peti dan langsung meraih belati

sepuluh sentimeter milikku. Begitu aku menyentuhnya,

gagang belati itu bergetar dan langsung membalut tinjuku.

Aku melihat abu Mogadorian masih menempel di lekukannya

dan baunya membuatku ingin bertarung.

Nomor Sembilan meraih tongkat perak pendek

dengan tangan kanannya. Oke, itu bikin aku gugup. Aku

sudah melihat caranya menghancurkan semua piken di West

Virginia dengan benda itu. Dia menggerak-gerakkan jari ke

arahku saat melihat belati di tanganku. "Nah, nah, nah. Aku

bilang satu benda."

"Aku pakai belati. Cuma itu. Aku cuma butuh ini."

"Gelang kecilmu yang manis itu bagaimana?"

"Oh, aku lupa. Mungkin memang lebih baik aku pakai

ini. Terima kasih." Aku melemparkan belati kembali ke Peti.

"Ikuti aku," Nomor Sembilan memerintahkan. Aku

mengabaikan Bernie Kosar dan permohonannya agar

berhenti, lalu mengikuti Nomor Sembilan melintasi

apartemen dan masuk ke lift. Kami berdua tak bersuara. Aku

pikir kami akan bertarung di ruang bawah tanah yang gelap di

gedung ini, di antara tiang-tiang dan dinding-dinding semen,

sehingga kekuatan kami tersembunyi dari seluruh dunia.

Namun kami justru naik. Saat pintu lift membuka, Nomor

Sembilan memencet-mencet tombol di samping pintu lain di

hadapan kami sehingga pintu itu terbuka. Kami ada di atap

John Hancock Center.

"Tidak. Tidak mungkin. Orang-orang bisa melihat kita

di atas sini!" kataku sambil menggeleng dan berbalik ke

dalam.

Nomor Sembilan berjalan ke atap. "Tak ada yang

dapat melihat kita di sini. Itulah hebatnya berada di salah

satu gedung tertinggi di kota ini."

Karena tidak mau dianggap takut, aku mengikutinya,

menunjukkan sikap percaya diri yang sama sekali tak

kurasakan. Namun, aku tak siap menghadapi serbuan angin

kencang yang nyaris mendorongku kembali ke pintu. Nomor

Sembilan terus berjalan, dengan rambut berkibar-kibar,

tampak tak terpengaruh oleh kekuatan angin. Kaus putihnya

menggembung di sekeliling tubuhnya dan dia membuka

serta membiarkannya terbang ke tepi. Saat tiba di tengah

atap, dia menyentakkan pergelangan tangan, menyebabkan

kedua ujung tongkat peraknya menjulur hingga panjang

tongkat itu dua meter dan berbinar merah. Dia berbalik ke

arahku dan menekuk telapak tangannya, memanggilku

mendekat. Bagaikan pemain akrobat titi tali, aku menarik

napas dalam dan meletakkan satu kaki di depan kaki yang

lain untuk berjalan ke arahnya. Kami berada di bayangan

raksasa antena putih yang menjulang di ujung atap dan, saat

aku mendekatinya, Nomor Sembilan berbalik dan berlari ke

sana.

Karena tak tahu apa yang akan dia lakukan, aku

berhenti berjalan untuk melihat tindakan berikutnya. Tanpa

menghentikan langkah, dia berlari kencang menaiki antena

sampai tiba di puncak. Puncak antena itu berayun tertiup

angin dan aku merasa pusing memandangi Nomor Sembilan

yang berjalan di atas sana. Dia mengangkat tongkat merahnya

ke atas kepala lalu, sebelum aku sadar apa yang

dilakukannya, dia melemparkan tongkat itu. Begitu tongkat

meninggalkan tangannya, Nomor Sembilan terjun dengan

kepala terlebih dulu ke arahku. Ada dua benda terbang yang

harus kuelakkan. Aku berhasil berguling menghindari tongkat

tajam tepat saat benda itu hampir menyerempetku lalu

menancap miring di tiang logam. Aku berbalik untuk

menghadapi Nomor Sembilan yang mendekat. Saat dia akan

mengenaiku, aku melayangkan tinju yang begitu keras

sehingga dia terbang melintasi atap.

Aku mengulurkan tangan dan mencabut tongkat

merah Nomor Sembilan dari tiang logam tersebut. Henri tak

pernah melatihku dengan benda seperti ini, tapi aku tetap

memutarnya di atas kepala dan menyerbu. Nomor Sembilan

berdiri dan bersiap menghadapi seranganku. Aku

mengayunkan tongkat ke tubuhnya, tapi dia menangkisnya

dengan pergelangan tangan dan langsung meluncurkan

tendangan ke lututku yang baru sembuh. Aku menarik kakiku

sehingga tendangannya meleset, tapi dia berhasil

menangkap tongkatnya. Kami saling berebut tongkat,

mengitar dan menendang, mengelak dan menangkis. Dia

menggunakan telekinesis untuk mengangkat kakiku dari

lantai. Aku berusaha menahan tubuhku, tapi kemudian sadar

aku dapat memanfaatkan itu dengan adanya angin kencang di

sini. Setelah memperhitungkan waktu yang tepat dengan

adanya angin kencang, aku bersalto di atas tongkat dan dalam

waktu sepersekian detik sudah berada di belakang Nomor

Sembilan sambil menempelkan tongkat ke lehernya.

"Saat ini seharusnya kita sudah menuju New

Mexico," kataku sambil menariknya ke pintu yang mengarah

ke lift.

Nomor Sembilan menghantamkan kepalanya ke

belakang, tepat ke hidungku, sehingga peganganku di

tongkat itu lepas. Dia merebut tongkat saat aku terhuyung ke

belakang dan menabrak kotak listrik.

"Kaukah yang bicara itu, Johnny? Atau Pittacus?" dia

bertanya dengan nada mengejek sambil mengayunkan

tongkat. Gelangku melebar tepat waktu untuk menangkis

pukulannya sehingga meleset dan menyebabkan kotak listrik

di sampingku terbelah dua. Bunga api berloncatan ke mana
mana, juga ke balik perisai dan ke tubuhku. Saat bunga api

melompat ke kausku, aku membiarkan api itu menyala dan

menyebar. Perisaiku menyusut, sementara Nomor Sembilan

menatap terpana melihat api menelanku.

Dia menggeleng untuk menghilangkan rasa kagetnya.

"Kenapa kau tidak berubah jadi bola api manusia waktu kita

ada di tim yang sama?" teriaknya.

Api di sekeliling tubuhku berderak dan berdengung

tertiup angin kencang. Aku berjalan ke arahnya. Mungkin

Nomor Sembilan pikir ini semua cuma permainan yang
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyenangkan. Namun aku tidak. "Sudah selesai?"

"Belum." Dia tersenyum.

Aku membentuk bola api kecil di telapak tanganku.

Kupikir aku dapat menunjukkan dengan jelas bahwa aku

tidak menganggap situasi ini lucu kalau aku melemparkan

bola api ke kakinya, tapi dia memukul bola api itu menjauh

dengan tongkatnya seperti seorang pemain hoki. Aku

melontarkan dua bola api lain, masing-masing lebih cepat

daripada yang lain, tapi dia menggunakan telekinesis untuk

menyingkirkan bola api itu. Yang pertama berguling menjauh

dan akhirnya padam sendiri, sementara yang satu lagi sampai

ke dekat kotak kipas angin. Panasnya api menyebabkan kotak

itu meleleh dan angin kencang mengangkat tutup kipas

raksasa itu hingga terbuka.

Aku mengangkat tangan ke atas kepala untuk

membuat bola api seukuran lemari es, tapi saat bola itu

membesar, Nomor Sembilan menyerbu sambil memegang

tongkat di bahu. Dia menancapkan salah satu ujung tongkat

ke lantai, lalu melontarkan tubuhnya dengan kaki di depan

menuju dadaku yang berapi. Dia menjerit kesakitan saat sol

sepatunya mengenai badanku yang terbakar, sementara aku

sendiri terlempar ke belakang. Dunia yang tadinya merah dan

kuning berubah jadi abu-abu dan biru. Pada putaran terakhir,

aku menyadari tubuhku mengarah lurus ke kipas angin tak

bertutup itu. Untunglah aku sempat merentangkan tangan

dan kaki untuk menahan tubuhku, hanya beberapa

sentimeter dari baling-baling kipas. Kipas itu sangat kuat

sehingga nyaris memadamkan apiku yang mulai meredup

sebelum aku menukik dan berguling menjauh.

"Sudah pendinginan, nih?" tanya Nomor Sembilan

dengan tangan di pinggul, seakan hanya mengamati

teknikku. Dia menendang lepas sepatunya yang setengah

meleleh.

"Baru pemanasan!" Aku melompat berdiri dan

bersiap menghadapi serangan berikutnya.

Nomor Sembilan berlari ke kiri dan aku mengikuti.

Dia melompati sejumlah pipa lalu naik ke birai tinggi. Aku

terus mengikuti. Sekarang kami berdua cuma beberapa senti

dari tepi gedung yang tingginya tiga ratus meter dari jalan di

bawah sana. Aku kaget saat melihat Nomor Sembilan

melangkah turun dari birai itu. Aku berteriak dan maju untuk

menangkapnya, tapi saat melakukan itu, ternyata dia tidak

jatuh menuju kematian, tapi berdiri secara horizontal di

jendela sambil menyilangkan lengan dengan wajah

menyunggingkan senyuman lebar khas dirinya. Aku

memutar-mutar lengan dengan panik supaya tidak jatuh

karena tubuhku terlalu miring akibat berusaha meraihnya

tadi. Namun upayaku gagal dan sekonyong-konyong aku

jatuh. Nomor Sembilan berlari menaiki dinding gedung dan

melayangkan tinju ke rahangku dengan keras. Aku terhantam

ke belakang, tapi tak sempat mendarat. Nomor Sembilan

menangkap leherku, berputar, lalu berdiri di tepi birai sambil

memegangiku.

"Nah, Nomor Empat. Kalau mau kuturunkan, dengan

selamat sentosa, katakanlah." Dia memegang tongkat di atas

kepala dengan tangan yang satu lagi. "Katakan kau bukan

Pittacus."

Aku menendangnya, tapi dia memegangku dengan

lengan terulur jauh sehingga aku tak dapat mengenainya dan

hanya berayun ke depan dan ke belakang seperti pendulum.

"Katakan," dia mengulangi dengan gigi digertakkan.

Aku membuka mulut, tapi tak dapat memaksa diriku

menyangkal apa yang kurasa benar. Aku yakin aku adalah

Pittacus Lore. Aku yakin akulah yang dapat dan akan

mengakhiri perang ini. "Kau ingin ke New Mexico untuk

menemukan pesawat kita. Kau tak percaya sedikit pun bahwa

itu mungkin perangkap. Kemudian kau bicara soal

mengalahkan Setrakus Ra, tapi kau tak sanggup

mengalahkanku dalam pertarungan satu lawan satu ini. Kau

bukan dia. Kau bukan Pittacus. Sekarang, lupakan omong

kosong ini. Katakan, Empat."

Dia mengencangkan cengkeramannya di leherku.

Pandanganku kabur. Aku mendongak memandang langit tak

berawan yang berubah jadi merah, tepat seperti malam saat

para Mogadorian menginvasi Lorien. Aku melihat kilasan

wajah-wajah Loric yang terbantai. Jeritan mereka

berdengung di telingaku. Aku melihat ledakan, api, semua

kematian itu. Aku melihat kraul dengan anak-anak Loric di

gigi mereka. Hatiku sangat perih menyaksikan apa yang

mereka alami saat itu sehingga aku tahu, aku mampu

menanggung apa pun yang terjadi padaku saat ini, termasuk

Nomor Sembilan yang meremukkan leherku.

"Katakan!"

"Aku tak bisa," aku berhasil mencicit.

"Kau ini gila!" teriaknya sambil meremas lebih keras.

Sekarang aku melihat born menghujani Lorien. Aku

menyaksikan tubuh-tubuh penduduk planetku yang tercabik,

planetku dihancurkan. Aku memandang ayahku yang sudah

meninggal di salah satu tumpukan jasad-jasad. Dia

mengenakan pakaian perak dan biru. Nomor Sembilan

mengguncangku keras-keras, menyebabkan kakiku berayun

ke sana kemari. "Kau bukan Pittacus!"

Aku menutup mata untuk menghindari gambaran

pembantaian yang membayang di benakku, takut

menyaksikan apa yang bakal muncul di depan mataku. Aku

teringat surat Henri: "Saat kalian bersepuluh dilahirkan,

Lorien melihat kalian memiliki tekad yang kuat, keteguhan

hati, dan juga sifat welas asih. Karena itu, Lorien

menganugerahkan peran yang akan kalian emban: peran

sepuluh Tetua. Ini berarti, seiring dengan waktu, kalian akan

memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada yang

pernah ada di Lorien, jauh lebih kuat daripada kekuatan

sepuluh Tetua yang memberikan Warisan kalian. Para

Mogadorian mengetahui ini. Itulah sebabnya, mereka

memburu kalian dengan tergesa-gesa."

Apa pun artinya itu, aku tahu Nomor Sembilan tidak

akan membunuhku. Setiap Garde sangat penting, baik itu

Pittacus maupun bukan. Bersatu dan bertarung bersama
sama, sebagai sesama Garde, lebih penting daripada

perselisihan antara diriku dan dirinya. Itu cukup

menenangkan, walaupun tubuhku masih berayun-ayun saat

aku merasakan angin sedikit berubah. Cengkeraman di

leherku membuka dan hatiku mencelus saat aku mulai jatuh.

Apakah aku salah? Namun tak sampai sedetik kemudian, aku

merasakan kakiku menyentuh lantai. Saat membuka mata,

ternyata aku sudah kembali ke atap. Nomor Sembilan

berjalan menjauh, dengan kepala ditundukkan. Dia

menyentakkan pergelangan tangannya dan tongkat merah

panjang itu mengerut menjadi sepotong perak. Dia menoleh

sambil berseru, "Lain kali, aku jatuhkan kau!"

19

AKU TERTELUNGKUP DI PASIR PANAS MENYENGAT. Pasir

menyumbat mulut dan hidung, membuatku sulit bernapas.

Aku tahu aku harus berdiri atau berusaha berguling

telentang, tapi tulang-tulangku terlalu nyeri. Aku

memejamkan mata kuat-kuat, berusaha menahan rasa sakit

di sekujur tubuhku. Akhirnya aku berhasil menghimpun

kekuatan untuk bangkit, tapi saat aku menjejakkan tangan

untuk mendorong tubuhku, pasir membakar tanganku. Aku

membiarkan diriku jatuh kembali.

"Marina?" aku mengerang.

Tak ada jawaban. Aku masih tak mampu membuka

mata, tapi aku memasang telinga, berusaha mendengar

tanda-tanda kehidupan. Namun yang terdengar hanyalah

angin dan pasir yang mengenai tubuhku.

Aku berusaha bicara lagi, tapi cuma mampu berbisik.

"Marina? Tolong! Delapan? Ella? Siapa saja?" Saking

bingungnya, aku bahkan memanggil Crayton. Saat menunggu

dan mengharapkan jawaban, aku tersentak karena teringat

jasad Crayton. Aku seakan menyaksikan semua kejadian itu

terulang lagi. Air mata Ella. Serangan Mogadorian.

Mengaitkan tanganku di siku Marina dan Nomor Delapan

yang berkata, "Kita berangkat."

Matahari di atas begitu terik sehingga rambutku

terasa bagaikan selimut api yang menyelubungi leher dan

bahu. Akhirnya, aku berhasil berguling telentang dan

mengangkat lengan untuk menaungi mataku dari cahaya

membutakan. Sambil mengerjap-ngerjap, aku membuka

mata sedikit demi sedikit, perlahan-lahan. Tak terlihat

seorang pun. Cuma pasir. Aku mencoba berdiri lalu

mendengar suara Nomor Delapan bergaung di benakku:

"Kuharap ini berhasil. Aku tak pernah mencoba membawa

orang lain."

Yah, sepertinya memang tidak berhasil. Atau

mungkin justru berhasil, tapi tidak untukku, karena kami

terlalu banyak. Ella dan Marina di mana? Apakah mereka

bersama? Apakah Nomor Delapan bersama mereka? Apakah

kami semua berpencar di berbagai penjuru Bumi? Atau cuma

aku yang sendirian? Dengan panik aku membayangkan

semua kemungkinan. Kalau kami bukan cuma kehilangan

Crayton, tapi juga terpisah, terpencar, kami sangat jauh dari

tujuan kami. Aku merasa mual akibat frustrasi dan panik.

Setelah semua yang kami lakukan, semua yang sudah kami

korbankan untuk pergi ke India dan menemukan Nomor

Delapan?ternyata hasilnya justru lebih buruk daripada tidak

melakukan apa-apa.

Aku sendirian di bawah langit tak berawan dan

matahari terik, tanpa gambaran di mana aku berada atau

bagaimana caraku menemukan makhluk hidup lain, Garde,

atau apa saja. Aku memandang ke segala arah, berharap

melihat Marina terseok di bukit pasir sambil melambaikan

tangan tinggi-tinggi dengan Ella yang tak jauh di belakangnya,

atau Nomor Delapan yang tertawa sambil melakukan gerakan

salto melintasi hamparan pasir. Namun yang kulihat hanyalah

hamparan pasir semata.

Aku memikirkan kata-kata Nomor Delapan mengenai

cara kerja teleportasi. Di mana pun tempatku mendarat ini,

aku yakin aku berada di dekat salah satu bebatuan Loralite

biru. Jadi, walaupun tak punya Pusaka untuk melakukan

teleportasi, aku berharap dapat memanfaatkan Loralite

tersebut. Aku kembali ke posisi merangkak dan mulai
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggali dengan cepat. Aku tak tahu di mana batu itu berada

atau harus mencari di mana, tapi aku putus asa. Begitu putus

asa sehingga aku tak merasakan pasir yang membakar jari
jariku.

Namun yang kutemukan hanyalah batu-batu biasa,

kecil, dan retak. Aku kehabisan napas dan keringat mengalir

dari wajah ke mataku sehingga akhirnya aku berhenti dan

duduk kembali. Aku tak boleh memboroskan sedikit energi

yang kumiliki seperti ini. Aku harus menemukan air dan

tempat perlindungan. Kumiringkan kepala dan

mendengarkan angin, berharap mendapatkan semacam

pertanda, tapi tidak ada apa-apa maupun siapa-siapa. Sejauh

mata memandang, yang ada hanyalah hamparan gurun dan

bukit pasir. Jadi yang bisa kulakukan hanyalah berjalan. Aku

mendongak memandang matahari, menentukan arah dengan

menggunakan bayanganku, dan dengan tertatih-tatih aku

berjalan melintasi gurun.

Aku memutuskan berjalan ke utara. Tanpa

perlindungan dari sinar matahari yang terik, mataku terasa

perih karena keringat yang masuk dan badanku nyeri akibat

pasir panas yang mencambuki sekujur tubuhku. Baru kali ini

aku merasa begitu rapuh. Sejauh mata memandang, yang

terlihat hanyalah pasir tanpa akhir, dan aku tahu tubuhku tak

dapat bertahan lama di bawah sinar matahari yang begitu

terik ini. Aku bersusah payah melangkah beberapa jauh lagi,

lalu menjadi tak terlihat untuk menghindari panas tak

tertahankan itu. Ini akan membuat orang sulit

menemukanku, tapi aku tak punya pilihan lain. Kemudian

aku menggunakan telekinesis untuk melayang di atas Bumi,

menjauhkan kakiku dari pasir yang membakar. Sudut

pandang yang lebih tinggi hanya menegaskan perkiraanku

bahwa cuma ada pasir, pasir, dan lebih banyak pasir. Setiap

kali melewati bukit pasir, aku menyipitkan mata, berharap

melihat jalan atau tanda-tanda peradaban apa saja. Namun

satu-satunya yang berubah, satu-satunya variasi pada

pemandangan berpasir tanpa akhir ini, adalah kaktus

berbunga yang mirip iblis dan potongan kayu yang sudah

membatu. Langit jernih tak berawan mengejekku, tidak

menawarkan segumpal awan putih yang dapat kukendalikan

untuk membentuk badai. Saat merobek kaktus pertama yang

kuhampiri, aku sangat kecewa karena air dalam tumbuhan itu

tak cukup untuk meredakan dahagaku.

Akhirnya, saat energi dan semangatku hampir habis,

gunung-gunung muncul di cakrawala, memberiku sedikit

harapan untuk diselamatkan. Sepertinya gunung-gunung itu

jaraknya satu hari berjalan dari sini, walaupun sulit untuk

mengetahuinya dengan pasti. Yang jelas jaraknya terlalu jauh

sehingga aku tak mungkin mencapainya hari ini, dan itu

cukup membuat harapanku anjlok. Aku tahu aku harus

menemukan tempat berlindung.

Aku menampakkan diri lagi dan berharap ada yang

melihatku. Aku mendongak memandang langit dan melihat

kumpulan awan pertama pada hari ini. Jantungku melompat

dan aku merasakan sedikit lonjakan energi yang tak

kusangka-sangka. Aku berkonsentrasi untuk menciptakan

badai, sekadar badai kecil, di atas kepalaku. Hujannya

singkat, tapi tetap saja rasanya luar biasa. Itu satu-satunya

yang menyebabkan aku tidak ambruk dan menyerah.

Aku berjalan lagi sampai akhirnya tiba di pagar kawat

berduri yang pendek. Di baliknya, samar-samar terlihat jalan

tanah. Itu tanda peradaban pertama yang kulihat, hatiku

sangat senang sehingga aku sanggup mempercepat

langkahku untuk mencapai jalan itu. Aku menyusuri jalan itu

sejauh satu setengah kilometer atau lebih dan akhirnya tiba

di bukit kecil, yang berhasil kudaki dan kulintasi. Ajaibnya, di

balik bukit itu terlihat garis tepi sejumlah bangunan kecil.

Aku tak dapat memercayainya. Haruskah aku

memercayainya? Mungkin itu fatamorgana.

Ternyata bukan. Semakin aku dekat, semakin aku

yakin bangunan-bangunan itu, tanda-tanda kehidupan

tersebut, benar-benar nyata. Sayangnya, semakin aku dekat,

aku juga dapat melihat bangunan-bangunan itu berlubang
lubang, hancur, tinggal rangka-rangka kayu terbengkalai yang

terus-menerus didera padang pasir. Bangunan-bangunan itu

memperlihatkan apa yang terjadi kalau seseorang terdampar

di tempat seperti ini. Aku menemukan kota hantu.

Sebelum membiarkan rasa kecewa membuatku jatuh

berlutut, aku memikirkan apa saja yang mungkin ditinggalkan

di kota ini, sebelum para hantu mengambil alih. Air ledeng?

Sumur? Dengan terseok-seok, aku berkeliling mencari, baik

di luar maupun di dalam bangunan-bangunan itu, berusaha

menemukan sumber air. Aku sangat membutuhkan yang satu

itu. Zat paling penting. Aku harus menemukan air! Semua

orang butuh air, jadi di sini pasti ada air, kan?

Tidak. Atau, setidaknya, aku tak dapat menemukan

setetes air sekalipun. Kupikir seharusnya di sini ada sumur,

tapi ternyata tidak ada. Terkubur pasir? Dicabut oleh alien

dari luar angkasa? Entahlah. Baru kali ini aku merasa begitu

tanpa harapan. Sendirian, tanpa air, tanpa makanan, tanpa

tempat perlindungan yang layak. Aku berteriak sekeras

mungkin, "Ada orang di sini? Tolong! Seseorang! Siapa saja!"

Tiang kayu di sebelah kananku berderak retak. Bukan

jawaban yang kuharapkan.

Aku melongok ke dalam setiap bangunan. Seperti

yang kuduga, setiap bangunan ini lebih kosong daripada

bangunan sebelumnya. Setelah memastikan cuma ada aku,

aku memilih satu pojok bangunan yang kuduga dulunya toko

kelontong untuk beristirahat sejenak. Aku berusaha

membayangkan bangunan ini penuh makanan dan air,

sekadar menghibur diri. Aku berpura-pura memasak

hidangan besar untuk para Garde yang tersisa. Di meja

panjang dalam benakku, Marina duduk di antara Nomor

Delapan dan Ella. Aku menempatkan John di ujung,

sementara aku di ujung yang satu lagi. Aku membayangkan

Nomor Sembilan dan Nomor Lima bersama kami. Mereka

saling bercanda dan berbagi cerita tentang tempat-tempat

yang pernah mereka singgahi. Semua orang tertawa riang,

memuji jamuan yang kusiapkan, dan kepada mereka semua

aku berkata aku senang mereka bisa datang.

"Sejauh ini, kenangan tentang Bumi mama yang

paling kalian sukai?" aku membayangkan Marina bertanya

kepada kami semua.

"Saat ini," John menjawab, "yang ini, di sini. Aman,

bersama kalian semua."

Kami semua sepakat lalu mengangkat gelas karena

berhasil saling bertemu. Nomor Lima bangkit, meninggalkan

ruangan, lalu masuk kembali bersama kue cokelat raksasa.

Semua orang bersorak lalu piring-piring dibagikan. Aku

menyuapkan kue itu ke mulut, rasanya luar biasa lezat.

Tentu saja, semua ini tidak terjadi. Aku cuma orang

gila sebatang kara yang duduk di toko kelontong rusak dan

terbengkalai di tengah gurun. Aku pasti sudah gila karena

saat tersadar dari jamuan makan bersama para Garde

khayalan itu, ternyata aku sedang mengunyah. Mengunyah

udara sambil tersenyum puas. Aku menggeleng sambil

menahan tangis. Aku bertarung melawan para Mog, lolos dari

sel Mogadorian, dan menonton Katarina mati bukan untuk

berakhir di tengah gurun seperti ini. Sendirian pula. Aku

mendekap lututku di dada lalu menyandarkan dahi ke lutut.

Aku harus memikirkan rencana.

Hari masih panas terik saat aku meninggalkan kota

hantu itu. Aku sudah berteduh sejenak, tapi aku harus terus

berjalan sebelum seluruh tenagaku hilang. Setelah berjalan

sekitar satu setengah kilometer melintasi pasir panas

menuju pegunungan, aku merasakan kaki dan perutku

kejang. Aku memusatkan sisa-sisa energi mentalku untuk

mencabut kaktus terdekat dan memeras semulut air dari

sana.

Aku berkonsentrasi untuk menggunakan Pusakaku

dan berusaha memanggil badai dari sedikit awan tipis di atas

sana, tapi aku hanya berhasil membuat segumpal pasir

menyapu dan menguburku hingga ke lutut.

Untuk pertama kalinya, aku bukan cuma gugup

memikirkan apa yang akan terjadi. Aku takut aku bakal mati

di sini. Aku tak punya apa-apa. Para Tetua memilihku sebagai

pejuang untuk menyelamatkan ras kami, tapi aku bakal mati

di tengah gurun.

Aku merasakan diriku mulai panik, benar-benar

hilang kendali diri. Aku cuma punya sedikit pegangan untuk

menyadari aku tak boleh panik?aku begitu rapuh di luar sini

dan semuanya akan berakhir kalau aku tak dapat

mengendalikan diri. Aku begitu putus asa sehingga teringat

jamuan makan bersama para Garde khayalanku tadi. Agar

tetap fokus, aku memikirkan apa yang ingin kukatakan

kepada mereka seandainya bisa.

Hei, Marina. Bagaimana keadaanmu? Aku? Aku di

gurun dan sedang menuju gunung. Sepertinya aku ada di

New Mexico, mengingat apa yang Nomor Delapan katakan

mengenai tempat mana saja yang dapat dia capai dengan

teleportasi. Aku mulai lemah, Marina. Entah berapa lama lagi

aku sanggup bertahan. Aku juga tak tahu di mana kau berada,

tapi kumohon, tolong temukan cara untuk pergi dari tempat

mana pun kau mendarat ke tempat ini dan temukan aku.

Ella? Kau tahu aku juga sedih karena Crayton tewas.

Aku tahu sakitnya seperti apa, melihatnya meninggal dan

meninggalkannya. Aku janji kita akan membalas

kematiannya, dan aku bakal di barisan paling depan. Kalau

aku berhasil keluar dari gurun ini, aku akan membalaskan

dendam Lorien.

Delapan, aku tak dapat menemukan Loralite. Aku tak

melihat tanda-tanda adanya makanan, air, tempat

berlindung, atau peradaban. Aku juga sendirian. Bisakah kau

memberitahuku di mana Loralite itu berada? Aku ingin keluar

dari sini. Aku ingin menemukan kalian.

Aku sama sekali tidak merasa tolol karena

berbincang-bincang dalam hati dengan orang-orang yang

pastilah ada di ujung lain dunia. Aku memejamkan mata dan

dengan putus asa menunggu seseorang menjawab. Tidak ada

yang menjawab, tentu saja. Jadi aku terus berjalan dengan

lesu. Kakiku semakin sulit diayunkan. Langkahku mulai

goyah. Aku terhuyung ke kanan, terseok ke kiri, hampir jatuh,
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi berhasil mencegahnya tepat pada saat terakhir. Namun

pada akhirnya, aku tak sanggup lagi melangkah dan

terjungkal ke depan. Aku memaksa diriku merangkak dan

terus merangkak selama beberapa waktu dengan mata

terpejam akibat matahari menyilaukan. Beberapa lama

kemudian, aku mendongak untuk mengecek apakah matahari

masih di langit dan sekali lagi aku menyangka memandang

fatamorgana saat melihat gerbang dari logam padat beberapa

puluh meter di depanku. Tinggi gerbang itu lebih dari enam

meter, dan di atasnya ada kawat berduri yang melingkar.

Bahkan dari kejauhan pun aku dapat mendengar dengungan

listrik. Pagan itu dialiri listrik. Perlu waktu lama sebelum

akhirnya aku yakin itu bukan fatamorgana.

Walaupun tak tahu apa yang ada di balik gerbang itu,

aku butuh pertolongan, dan saat ini aku sama sekali tak

peduli pertolongan itu datang dari siapa. Aku merayap ke

gerbang itu dan berhasil mendudukkan diri. Kemudian aku

melambaikan tangan tinggi-tinggi, berharap gerbang itu

dipantau.

"Tolong," akhirnya aku berhasil berbisik,

kerongkonganku kering seperti ampelas.

Gerbang itu tidak terbuka dan tak ada seorang pun

yang muncul. Aku membiarkan tubuhku merosot ke pasir.

Kemudian aku menghimpun sisa-sisa kekuatanku untuk

mencoba sekali lagi. Aku berguling hingga tertelungkup lalu

mendorong tubuhku perlahan-lahan sampai berdiri. Aku

memutuskan untuk menguji pagar. Apa bahayanya sedikit

listrik setelah aku nyaris mati kelaparan dan kehausan? Aku

memandang berkeliling dan melihat kaktus kecil. Aku

menerbangkan tumbuhan itu lalu menjatuhkannya ke pagar,

menyebabkan kaktus itu berdesis lalu meledak. Sisa-sisa

gosongnya jatuh ke tanah diiringi asap.

Aku membiarkan tubuhku roboh, mulanya berlutut,

lalu jatuh ke sisi, dan akhirnya berguling hingga telentang.

Aku memejamkan mata. Bibirku yang kering mulai melepuh.

Aku mendengar bunyi samar mesin dari belakang, tapi aku

tak sanggup mengangkat kepala untuk melihat. Aku tahu

kesadaranku mulai hilang. Ada gema yang berputar-putar di

telingaku lalu bunyi pelan drum. Beberapa detik kemudian,

aku sangat yakin aku mendengar Ella.

Di mana pun kau, Enam, kuharap kau baik-baik saja,

katanya.

Aku terkekeh pelan lalu terisak. Aku yakin air mataku

bakal bergulir seandainya masih ada air yang tersisa di

tubuhku.

Aku sekarat di padangpasir, Ella, aku menjawab. Yang

ada pegunungannya. Kita akan bertemu di Lorien suatu hari

nanti, Ella.

Aku mendengar suara Ella lagi, tapi kali ini aku tak

dapat memahami kata-katanya. Suaranya ditenggelamkan

bunyi-bunyian baru di kepalaku, yang kasar dan keras. Lalu

aku merasakannya. Angin kencang meniup rambut ke

wajahku. Perlahan-lahan aku membuka mata dan melihat

tiga helikopter hitam melayang di atasku. Orang-orang

berteriak menyuruhku mengangkat tangan, tapi yang dapat

kulakukan hanyalah menutup mata.

20

ELLA MELAYANG DI ATAS KU. DIA PANIK. MATANYA

membelalak, gelembung udara keluar dari mulutnya. Aku

berusaha memahami apa yang terjadi, bagaimana dia ada di

sini, mengapa ada banyak sekali air. Aku mencoba meraih

tangannya, tapi lenganku tak mau menuruti perintahku. Apa

yang terjadi padaku saat kami melakukan teleportasi? Aku

merasakan wajahku kebas dan ada rasa sakit setengah mati di

balik mataku. Kakiku tak mau menendang, betapapun

kerasnya aku mencoba. Aku cuma mampu memandangi Ella

melayang di atasku semakin tinggi, semakin jauh. Dari mana

semua air ini? Bahu kiriku mulai berguncang, sedetik

kemudian barulah aku sadar seseorang mengguncang

lenganku. Aku melihat Nomor Delapan, rambut ikalnya yang

hitam melayang di sekitar kepalanya seperti halo. Dia

mengaitkan lengan ke bawah ketiakku dan aku berusaha agar

tidak semakin takut karena melihat sorot matanya yang

cemas. Dia berusaha berenang ke permukaan, tapi Peti di

lenganku memberati kami.

Aku membiarkan air yang dingin memasuki paru
paru. Itu satu-satunya yang dapat kulakukan. Nomor Delapan

menendang Peti dari lenganku yang lumpuh lalu

menyentakkanku ke atas. Kami mulai naik. Aku memandang

berkeliling dengan liar, mencari sosok Nomor Enam, tapi dia

tak tampak.

Saat kepalaku muncul di permukaan air, hal pertama

yang kusadari adalah matahari yang panas membara. Air di

mana-mana. Aku melihat Ella di dekatku, menendang
nendang air agar tetap mengapung. Anggota tubuhku mulai

berfungsi setelah beberapa menit di udara segar, jadi aku

juga menendang-nendang air. Nomor Delapan tampaknya

sibuk merutuki keberuntungan kami.

"Enam mana?" aku berseru, dan terbatuk. Aku terus

menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat kalau-kalau

rambut pirang Nomor Enam berayun di permukaan air.

"Aku tidak melihatnya di bawah sana!" Nomor

Delapan berteriak. "Aku tak tahu dia sampai atau tidak!"

"Bagaimana mungkin dia tak sampai?" tanya Ella, rasa

panik kembali terasa dalam suaranya.

Perlahan-lahan Nomor Delapan naik hingga berdiri di

permukaan air. Tampaknya kali ini dia agak kesulitan

melakukannya. Nomor Delapan menendang gelombang air

pelan yang lewat, kesal. "Sialan! Aku tahu aku seharusnya

tidak mencoba melakukan teleportasi dengan begitu banyak

orang!"

"Tapi Nomor Enam di mana? Bagaimana cara

menemukannya?" Ella berseru.

"Entahlah. Kupikir dia masih ada di reruntuhan gua

itu.

Anggota tubuhku mulai dapat digerakkan, dan aku

berusaha menahan kepalaku di atas air. "Apa! Dia bisa

terbunuh kalau masih di sana!"

Ella juga berusaha keras untuk tetap terapung.

Nomor Delapan menariknya sehingga Ella bisa naik ke

punggung Nomor Delapan dan memeluk lehernya erat-erat.

"Dia juga bisa raja ada di tempat lain," kata Nomor Delapan,

berusaha agar tidak terdengar putus asa. "Tapi aku tak tahu di

mana tepatnya."

"Kita di mana?" tanyaku.

"Nah, kalau yang itu aku tahu." Nomor Delapan

terdengar lega karena dapat menjawab dengan pasti. "Saat

ini kita ada di Teluk Aden. Dan itu"?dia menunjuk ke garis

pantai di kejauhan yang tadi tak kulihat?"itu Somalia."

"Dari mana kau tahu?" tanya Ella.

"Aku pernah ke sini," dia menjawab dengan nada

datar. Nomor Delapan tidak mengucapkan apa-apa lagi, jadi

pasti ada kisah lain di balik kata-katanya.

Tidak banyak yang kuketahui tentang Somalia, selain

adanya di Afrika dan selalu ada perang sipil maupun perang

suku yang brutal, belum lagi kemiskinan yang membuat

kepala orang-orangnya panas. Aku tidak tahu apakah aku

sanggup menggunakan telekinesis atau bahkan berenang di

bawah air hingga tiba di pantai. Aku bahkan tak yakin aku

mau melakukannya. Aku perlu berpikir.

"Aku mau ke bawah sebentar. Aku dapat menghemat

tenaga di bawah sana, sementara kita memikirkan apa yang

harus kita lakukan," kataku. Saat turun, aku mendengar Ella

berseru.

"Cari Nomor Enam!"

Kata-katanya memberiku tenaga tambahan.

Memikirkan kemungkinan untuk menemukan Nomor Enam

Baja membuatku lebih bersemangat menyelam. Aku

bergerak jauh ke bawah dan membuka mata. Airnya relatif

biru walaupun tempat ini begitu jauh dari daratan. Ada

gerakan di bawahku dan aku menyelam lebih dalam lalu

menemukan sekelompok ikan tuna. Aku berputar perlahan,

mencari rambut bercat pirang Nomor Enam, dan lebih dari

dua kali lambaian rumput laut mengecohku. Aku mendongak

dan melihat bayangan samar tubuh Nomor Delapan di

permukaan. Karena yakin Pusakaku akan terus berfungsi, aku

turun sampai menyentuh dasar laut. Aku berjalan di

sepanjang dasar laut sambil memandangi air di depanku, lalu

tanpa sengaja aku menabrak sekumpulan terumbu karang

dan menyebabkan lututku luka. Setelah terpaku sejenak

karena rasa nyeri yang menyengat, aku mengulurkan tangan

ke bawah dan menyentuh luka di lututku itu, untuk

menyembuhkannya, tapi ternyata perlu waktu agak lama

sebelum Pusakaku bekerja. Teleportasi tadi pasti

memengaruhi Pusaka maupun kekuatan kami. Aku bersyukur

karena sepertinya napasku baik-baik saja dan hanya dapat

berharap ini tidak lama?aku tak mau kami menjadi tak

berdaya.

Aku terus bergerak dan akhirnya menemukan Petiku

di samping Peti Nomor Delapan, serta melihat batu Loralite

biru besar beberapa meter dari kedua Peti tersebut. Aku

berusaha mengangkat kedua Peti Loric itu, tapi terlalu lemah

bahkan untuk menggesernya. Aku mendongak dan melihat

bayangan Nomor Delapan masih di tempat tadi dan

memutuskan untuk meminta bantuannya.

Saat naik, aku melewati sekelompok ikan oranye

yang cantik. Aku muncul di permukaan. "Tak ada tanda-tanda

Nomor Enam, tapi di bawah sana ada batu Loralite, tepat di

dekat Peti Loric kita," aku melaporkan. "Ayo, kita ambil Peti

itu lalu pergi. Kita pindah ke tempat lain dengan teleportasi,

menyusul Nomor Enam, di mana pun dia mendarat."

"Supaya bisa melakukan teleportasi, kita harus ada

dekat Loralite, kan? Bagaimana aku ke bawah sana?" tanya

Ella. "Aku tak sanggup menahan napas selama itu."

"Tak perlu," Nomor Delapan menenangkan sambil

tersenyum lebar.

"Kau juga punya Pusaka yang bisa membuatmu jadi

torpedo yang bisa dinaiki orang?" tanyaku.

"Lebih bagus lagi," sahut Nomor Delapan. Dia

merogoh saku lalu mengeluarkan kristal biru yang

dimasukkannya ke sana waktu Peti Loricnya baru kembali.
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kristal itu mulai bersinar lalu menembakkan angin yang luar

biasa kencang. Nomor Delapan mengarahkan kristal itu ke

laut sehingga membentuk cekungan dangkal di air di

bawahnya, lalu dia masuk ke cekungan itu. "Ayo! Cepat!"

Aku dan Ella berenang ke cekungan tersebut. Nomor

Delapan mengulurkan tangannya yang bebas dan aku

meraihnya, sementara Ella memegangi tanganku yang satu

lagi.

"Bersiaplah. Kita bakal meluncur ke bawah. Dengan

cepat!" katanya. "Kalian harus tetap bersamaku karena air

akan runtuh di belakang kita. Begitu sampai di dasar, Ella,

bersiaplah untuk menahan napas agak lama supaya aku bisa

mengambil Peti Loric."

"Semuanya, buka mata lebar-lebar dan cari Nomor

Enam!" kataku.

Ella meremas tanganku. "Kalau dia ada di bawah

sana, kita akan menemukannya."

Nomor Delapan mengatur posisi kristal itu sehingga

mengarah ke dasar laut. "Kita berangkat!" dia berseru. Kami

jatuh dengan cepat, angin dari kristal membelah air yang ada

di depan kami lalu air tersebut kembali menyatu beberapa

meter di belakang Ella. Saat ini kami berada dalam

gelembung yang melesat menembus air. Nomor Delapan

berseru riang, dan aku mengikutinya tanpa bisa menahan

diri.

Ella mencengkeram lenganku. "Nomor Enam dalam

bahaya!" katanya. "Dia bilang dia di padang pasir!"

"Apa yang kau bicarakan?" sahutku saat ikan, hiu, dan

cumi-cumi melesat melewati kami. "Kau tahu dari mana?"

Ella ragu sejenak lalu berteriak, "Aku tak tahu! Aku

baru saja bicara dengannya di kepalaku, entah bagaimana!

Dia bilang dia sekarat!"

"Kalau dia ada di padang pasir, itu artinya dia sudah di

New Mexico!" Nomor Delapan berseru.

"Delapan, kita harus ke sana sekarang juga," aku

berteriak.

Begitu mencapai dasar laut, kami berusaha berlari di

dasar yang berlumpur, tapi tidak mungkin bergerak dengan

cepat. Air menyerbu masuk dari belakang kantung udara

kami, sementara kristal itu jadi tak berguna dan

menimbulkan pusaran kecil di depan kami. Aku menoleh ke

belakang untuk memastikan Ella baik-baik saja dan menahan

napasnya. Saat memandang ke depan lagi, Nomor Delapan

sudah berubah wujud menjadi gurita hitam. Dia menjulurkan

dua tentakelnya dan meraih Peti kami sambil memegangi

tangan kami dengan dua tentakel yang lain. Nomor Delapan

menarik kami ke batu Loralite biru bercahaya yang mencuat

dari dasar laut berlumpur. Sebelum sempat melihat Ella lagi,

aku sudah ditelan kegelapan.

21

AKU DAN NOMOR SEMBILAN MENAIKI LIFT TURUN tanpa

bicara. Aku sangat marah dan malu, dan itu tak ada

hubungannya dengan perasaan yang meluap di dalam diriku.

Saat kami masuk ke apartemen, Bernie Kosar melompat

turun dari sofa untuk bertanya apakah kami sudah selesai

dengan semua omong kosong itu.

"Kurasa bukan aku yang menentukan. Menurutmu

bagaimana, Johnny?" gumam Nomor Sembilan. Dia

membuka lemari es dan mengeluarkan sepotong pizza

dingin, membalikkan ujungnya, memasukkannya ke mulut,

menggigit besar-besar, lalu mengunyah dengan berdecak.

Aku menunduk dan menggaruk dagu BK. "Kuharap

begitu."

Dengan mulut penuh pizza, Nomor Sembilan berkata,

"Kemasi tas anjingmu, BK. Kita bakal pergi. Kita ke Kota

Paradise, tempat para gadis cantik berada. Lalu ... aduh,

mandi sana, Empat! Kau bau asap."

"Tutup mulut," kataku sambil menjatuhkan diri ke

sofa. Bernie Kosar memanjat ke pangkuanku, lalu

memandangiku dengan tatapan sedih.

Nomor Sembilan pergi ke koridor. Dia berseru ke

arahku, "Kesepakatan tetap kesepakatan! Kita berangkat ke

Paradise beberapa jam lagi, jadi mungkin kau mau tidur

sebentar setelah mandi. Lalu, hei! Ini namanya jalan-jalan!

Kau tak mungkin kesal dengan yang namanya jalan-jalan!"

Walau lelah, aku berjalan dengan lesu ke kamarku.

Kesepakatan memang kesepakatan. Tempat tidur berderit

saat aku menjatuhkan diri ke sana, tapi setelah beberapa

menit, aku tak tahan dengan bauku sendiri. Aku menyeret

tubuhku ke bawah shower. Airnya tidak terasa cukup panas

di kulit, efek samping Pusakaku. Saat berdiri di bawah

pancuran air, dengan perasaan sangat lelah sehingga tubuhku

bergoyang-goyang, aku memutar ulang adegan perkelahian

kami di atap tadi. Aku berusaha memikirkan mengapa Nomor

Sembilan mengalahkanku, tapi tak berhasil. Aku terlalu lelah.

Kurasa aku bergumam sendiri. Aku mematikan keran dan

mendengarkan air menetes ke lantai kamar mandi.

Kemudian, aku meraih handuk sambil berjalan kembali ke

tempat tidur. Aku butuh istirahat.

Aku masuk ke antara seprai dan selimut, lalu

mematikan lampu dengan menggunakan telekinesis.

Langkah-langkah Nomor Sembilan yang gaduh terdengar saat

dia berjalan ke ruang pengawasan. Aku memejamkan mata.

Saat hampir tertidur, aku mendengar suara. Nomor Sembilan

mengetuk pintuku yang terbuka dengan pelan. Aku

memunggunginya dan tidak bergerak, bahkan pada saat dia

berdeham dengan keras dan mulai bicara. "Hei, Johnny? Aku

minta maaf karena sikapku kasar. Mungkin itu karena aku

lama dikurung yang seperti itu memang memengaruhi diri

kita. Tapi sejujurnya, aku bersikeras kita melakukan ini

karena aku yakin sekali aku benar. Kita harus ke Paradise.

Sekarang. Jadi kuharap kita bisa berteman. Aku ingin

berteman. Dan aku senang kau ada di sini."

Selama dia bicara, aku sama sekali tidak bergerak dan

tertegun karena situasi ini begitu sensitif. Aku tak tahu harus

berkata apa, bahkan saat berbalik dan memandang siluet

Nomor Sembilan yang bersandar membungkuk di kusen

pintu. "Aku juga senang di sini. Trims."

"Sama-sama."

Nomor Sembilan menepuk dinding dua kali,

menunduk memandangi lantai, lalu berbalik dan pergi. Saat

mendengar langkah kakinya menjauhi koridor, mataku

perlahan-lahan terpejam. Setelah beberapa menit, aku

mendengar bisikan samar. Aku tahu sebentar lagi visi atau

mimpi buruk bakal muncul. Walau sadar aku ada di tempat

tidur, aku terpaku di tempat. Aku merasa diriku melayang.

Saat ambang pintu gelap terbentuk di atasku, aku mulai

berputar di udara dengan sangat cepat. Aku meroket

menembus ambang pintu itu dan meluncur dalam

terowongan gelap dengan lengan menempel di sisi tubuh.

Saat hitam berubah jadi biru, bisikan-bisikan itu semakin

keras, mengulangi hal yang sama, lagi dan lagi, ?Ada lebih

banyak yang perlu diketahui."

Terowongan biru itu berubah jadi hijau, lalu dari

hijau berubah kembali jadi hitam. Kemudian, bum! Aku jatuh

dari terowongan itu dan kakiku yang telanjang mendarat di

lantai berbatu yang kukenal. Aku menggerakkan lengan,

tubuhku dapat kukendalikan kembali. Sekali lagi, aku berada

di arena puncak gunung. Aku menoleh ke sana dan ke sini,

mencari Sam, tapi dia tak terlihat di mana pun. Begitu juga

para Garde yang lain. Arena ini benar-benar kosong,

termasuk bangku-bangkunya.

Namun kemudian, sebuah batu hitam di tengah

lantai arena berbalik, dan di baliknya berjongkoklah satu

prajurit Mogadorian bertubuh besar yang mengenakan jubah

hitam compang-camping dan sepatu bot hitam. Kulitnya yang

pucat dan licin mengilap serta pedang yang dipegangnya di

atas kepala tampak berkilauan, seakan-akan bersinar dari

dalam. Saat melihatku, dia berdiri dan mengacungkan

pedang itu dengan sikap mengancam. Pedangnya berdenyut

seakan-akan hidup, bagaikan perpanjangan dari kejahatan

yang menguasainya.

Tanpa ragu, aku menyerbu ke arahnya dengan

telapak tangan menyala menyorotkan sinar terang. Saat

tinggal sembilan meter lagi, aku mengarahkan Lumen ke

kakiku, membakarnya. Api merambat menaiki tubuhku saat

aku melompat. Prajurit itu meloncat ke arahku dan saat kami

bertemu, aku meninju dadanya sampai tembus dan

meninggalkan lubang membara di sana. Dia berubah jadi abu

sebelum jatuh.

Di kananku, batu hitam lain berbalik, memunculkan

Mogadorian berpedang lain. Dua batu lain berbalik di kiriku,

dan aku mendengar yang lain muncul di belakangku. Batu di

bawah kakiku mulai bergetar, dan aku menukik menjauh saat

batu itu berputar dan memperlihatkan Mogadorian yang

memegang meriam. Setelah meninju menembus prajurit

terdekat di kiriku, aku mulai melontarkan bola api,

bertempur dengan kekuatan baru. Gelang merahku menyala

dan membuka dengan sangat cepat sehingga kepala prajurit

raksasa itu terpenggal. Dalam satu menit, aku sudah

menghabisi mereka semua. Adrenalinku mengalir deras, dan

aku mendengar batu-batu bergerak menguak lawanku untuk

babak berikutnya.

Selusin batu berbalik di depanku, lalu lima puluh di

kedua sisiku. Para prajurit Mogadorian terbesar dengan

senjata terbaik yang pernah kulihat mengelilingiku. Aku

membuat lingkaran api kecil di sekeliling tubuh lalu berjalan

mundur, benteng api itu terus mengikuti hingga aku sampai

di dinding arena. Api membakar di antara para Mogadorian

dan aku. Namun, entah mengapa aku merasa posisiku tidak

benar-benar aman.

Aku memperbesar lingkaran api yang

membentengiku hingga mengenai sederet prajurit. Mereka

terbakar, tapi tidak berubah jadi abu, malah berjalan

menembus api dengan senjata diangkat. Aku melemparkan

selusin bola api, tapi kali ini tak ada pengaruhnya. Sesuatu

berwarna merah membelah udara di atas kepalaku, dan aku

melihatnya menembus dada prajurit Mogadorian yang terus

berjalan maju. Aku kenal benda itu. Itu tongkat Nomor

Sembilan. Dia melompat dari bangku kosong dan mendarat di

sampingku. Bahkan di tengah-tengah visi dan serangan ini,
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku merasa lega melihatnya. Aku langsung merasa lebih

aman, lebih yakin bahwa para Mogadorian yang kebal api ini

akan kalah karena sekarang kami berdua.

"Aku senang melihatmu!" aku berseru.

Nomor Sembilan berdiri tepat di sampingku, tapi

sepertinya tidak mendengar suaraku. "Hei, Sembilan!" Aku

berseru lagi, tapi dia tetap tidak bereaksi dan tetap

memandangi para Mogadorian yang berjalan maju.

Saat para prajurit itu tinggal beberapa puluh

centimeter lagi dari kami, tanah di bawah kaki kami mulai

bergetar dan berguncang. Aku berusaha berpegangan ke

dinding, tapi tak berhasil menjaga keseimbangan.

Sekonyong-konyong suara bum yang menggelegar

mengguncang seberang arena dan potongan-potongan batu

hitam menghujani kami. Nomor Sembilan mengelak dari

batu besar, yang kemudian menghantam dinding di

belakangku dan meninggalkan lubang raksasa yang mengarah

ke luar. Aku memandang menembus dinding itu dan melihat

langit biru.

Dari antara debu yang berpusar dan puing-puing yang

beterbangan, sebuah panggung besar naik dari tempat yang

barusan meledak. Di tengahnya ada Setrakus Ra. Mirip

bintang rock jahat, mau tak mau pikiran itu terlintas di

benakku. Bekas luka ungu di sekeliling lehernya menyala

terang di atas tiga liontin biru di dadanya. Yang membuatku

ngeri, begitu dia muncul, apiku padam. Aku berusaha

membakar kakiku dengan Lumen, tapi sekonyong-konyong

telapak tanganku tak mau menyala. Setrakus Ra

menghantamkan ujung tongkat keemasannya sambil

menyapukan pandangan ke bawah dan meraung agar semua

orang diam. Para prajurit di depanku langsung

memperhatikan dan mengalihkan pandangan dariku dan

Nomor Sembilan ke Setrakus Ra. Satu demi satu, mereka

menyandarkan senjata ke samping tubuh mereka.

"Kalian semua terpilih untuk mengakhiri

pertempuran ini!" seru Setrakus Ra. "Pergilah dan hancurkan

anak-anak Loric itu. Setelah mereka mati, kalian harus

membawakan liontin dan Peti Loric mereka kepadaku. Kalian

juga akan menghancurkan teman-teman manusia mereka.

Kalian tidak boleh mengecewakanku!"

Para prajurit Mogadorian bersorak seraya

mengacungkan tinju.

Setrakus Ra menghantamkan tongkatnya ke lantai

batu lagi, menimbulkan dentang menggelegar. "Bangsa

Mogadorian akan memimpin galaksi ini! Semua yang ada di

setiap planet akan jadi milik kita!" Para prajurit bersorak
sorai dan melambaikan senjata mereka di udara.

"Bersama-sama, kita bertarung. Aku akan bertempur

bersama kalian. Bersama-sama, kita akan memenangkan

pertempuran ini dan membantai semua yang hidup di Bumi!"

Aku mencoba menyalakan Lumenku lagi, tapi tetap

gagal. Kemudian aku berusaha mengangkat batu besar tajam

di kakiku dengan menggunakan telekinesis dan

melemparkannya ke Setrakus Ra. Batu itu tidak bergerak.

Gelang perisaiku sudah mengecil kembali dan tidak

menunjukkan tanda-tanda bakal beraksi. Pusakaku?dan

Warisanku?meninggalkanku.

Para prajurit berbalik dan sekali lagi mengacungkan

senjata mereka ke arah kami. Tanpa Pusaka, kami ini sasaran

empuk. Kami harus pergi dari sini. "Sembilan! Lewat sini!"

aku berteriak.

Akhirnya, sepertinya Nomor Sembilan mendengar

kata-kataku. Dia menoleh bingung lalu memandangku. Kami

bergerak ke lubang di dinding. Aku berdiri di sinar matahari

dingin di tepi lubang, lalu melongok ke lembah yang jaraknya

ratusan meter di bawah sana. Aku menengok ke belakang.

Para prajurit Mogadorian menyerbu ke arah kami.

"Kita jalan di lereng gunung," kata Nomor Sembilan.

"Sini. Pegang tanganku."

Aku meraih tangannya. Saat dia melangkahkan kaki

ke lereng puncak gunung yang bersalju itu, barulah kami

sadar Pusaka Nomor Sembilan juga tak berfungsi. Yang terasa

di bawah kakiku bukan gunung melainkan udara. Kami jatuh.

Aku menengok dan melihat Nomor Sembilan yang kaget,

rambut hitam panjangnya berkibar di sekeliling wajahnya. Di

bawah kami, dua pintu gelap mendekat dengan cepat. Aku

bersiap menghadapi tubrukan menyakitkan, perutku bersalto

ke belakang, sementara aku melayang di udara. Aku sangat

kaget saat menembus pintu yang kiri dengan kepala terlebih

dahulu. Tubuhku terus jatuh hingga akhirnya tiba di

terowongan gelap yang berisik akibat dentuman guntur dan

letusan halilintar. Bisikan-bisikan kembali terdengar. Saat

terowongan berubah dari hijau ke biru lalu hitam, aku

kembali mendengar suara parau yang kudengar saat visi tadi

dimulai: "New Mexico".

Aku langsung membuka mata dan duduk, wajahku

basah karena keringat. Aku menyibakkan selimut yang

menempel di tubuhku. New Mexico. Aku melompat dan

berlari menyusuri koridor ke kamar Nomor Sembilan,

bertekad untuk meyakinkannya sekali lagi. Kalau perlu, aku

akan bertarung melawannya lagi. Aku akan terus bertarung

sampai menang.

Saat berdiri di depan pintu kamar Nomor Sembilan,

aku menyalakan Lumen karena merasa perlu memastikan

Pusakaku tidak lenyap. Kemudian, aku mengetuk pintu dan

mendorongnya hingga terbuka. Aku kaget saat melihat

Nomor Sembilan duduk di tempat tidur sambil memegangi

kepala.

"Sembilan," kataku sambil menyalakan lampu, "maaf

aku tahu kita sudah sepakat dan kau mengalahkanku. Tapi

kita harus ke?"

"New Mexico. Aku tahu, Johnny. Aku tahu." Dia

menggeleng. Aku tak tahu apakah dia berusaha bangun atau

berupaya memahami mengapa pikirannya tiba-tiba berubah.

Mungkin keduanya. "Tunggu sampai aku benar-benar

bangun."

"Jadi, kau berubah pikiran?"

Dia menurunkan kakinya ke lantai, satu demi satu.

"Tidak, aku tidak berubah pikiran. Tapi kalau kau jatuh dari

gunung dan bakal mati karena Pusakamu tidak berfungsi, lalu

ada hantu yang terus-terusan berkata ?New Mexico', kau

pasti mendengarkannya."

"Kau juga melihat visi itu?" tanyaku. Rasa tenang

yang muncul di hatiku saat melihat Nomor Sembilan ternyata

itu karena dia benar-benar ada di sana. Ternyata, aku dan

Nomor Sembilan terhubung dan seharusnya aku lebih

menghargainya daripada sebelum ini. Aku harus berhenti

menganggapnya musuh. Nyawa kami bergantung pada itu.

Nomor Sembilan mengenakan kaus dan

melemparkan tatapan mencemooh yang sangat kukenal.

"Bukan, Idiot. Kau belum paham? Aku bukan melihat visi

yang sama. Kita ada dalam visi yang sama. Ini sudah terjadi

sepanjang minggu. Sadar, dong!"

Aku bingung, dan tidak menutup-nutupinya. "Tapi

setiap kali aku bicara tentang visi-visi itu, kau

mengabaikannya. Kau mengabaikanku. Kau bilang itu semua

cuma mimpi dan sebagainya. Kau tahu mimpi-mimpi ini

menyiksaku, Sembilan! Tapi kau bersikap seakan-akan aku ini

gila karena menganggap mimpi-mimpi itu serius!"

"Pertama-tama, kau yakin kau ini Pittacus Lore, jadi

secara teknis kau memang gila. Kedua, aku tidak main-main

dengan pikiranmu. Aku memang mengabaikan visi-visi itu,

pada awalnya. Visiku juga visimu. Kupikir semua itu omong

kosong. Saat Setrakus Ra menyuruhku menyerah, seperti

yang dilakukannya kepadamu dan anak yang satu lagi, aku

pikir visi itu semacam permainan pikiran atau tipu muslihat

para Mogadorian. Aku pikir kita tak boleh memercayainya.

Aku benar-benar yakin, kita tak boleh melakukan apa pun

yang disuruhnya. Sebenarnya, kupikir yang paling aman

adalah melakukan apa raja selain yang dikatakan dalam visi

itu. Namun, kali ini ...," Nomor Sembilan berhenti sejenak,

"kali ini, visi itu terasa seperti peringatan. Peringatan yang

harus kita anggap serius. Sekarang aku benar-benar yakin ada

masalah serius yang bakal terjadi, Empat."

Aku lega karena akhirnya dia memutuskan untuk

mendengarkan, sekaligus kesal karena dia butuh waktu lama

untuk itu. "Itu yang selama ini ingin kukatakan kepadamu!

Oke, kalau begitu. Ayo, kita pergi! Kau sudah tahu bagaimana

cara kita ke sana? Tolong katakan kau dan Sandor punya

helikopter atau pesawat pribadi yang disimpan di suatu

tempat!"

"Maaf, deh, benda-benda itu masih ada di daftar

keinginan kami." Dia menguap dan meregangkan tubuhnya.

"Tapi aku punya mobil di garasi. Dan aku suka menyetir.

Kencang-kencang."

Aku dan Nomor Sembilan mengambil senjata

sebanyak mungkin dibawa dari ruang senjata, memenuhi dua

tas ransel besar dengan senapan, pistol, dan granat. Saat

mengambil peluncur roket, Nomor Sembilan bilang benda itu

tak bakal muat di bagasi. Kami perlu menyisakan ruangan

untuk amunisi. Setelah itu, kami bergegas ke ruang

pengawasan dan mengambil tablet.

Nomor Sembilan duduk dan mulai memencet

tombol-tombol di salah satu komputer. "Aku harus

mematikan ini. Jangan sampai ada tamu tak diundang yang

memakainya. Tolong bantu aku. Sementara aku mengurusi

ini, periksa Garde lain dengan tablet itu."

Aku menekan lingkaran biru di ujung atas dan

menunggu. Aku melihat dua titik biru bersinar di Chicago.

Kemudian aku melihat satu di utara New Mexico, dan satu

yang masih di Jamaika. Aku diam selama beberapa detik,

menunggu tiga titik lain muncul, tapi tidak ada apa-apa.

"Mm, Sembilan? Aku cuma lihat empat," kataku

dengan nada meninggi karena panik. "Cuma ada empat titik

biru!"

Dia merenggut tablet itu dari tanganku. "Coba lihat.

Mungkin karena suatu sebab mereka sedang tak terlacak,"

kata Nomor Sembilan. Tiba-tiba, dia tidak terdengar begitu

yakin dengan dirinya. Dia menekan segitiga hijau, lalu titik
titik hijau berkelap-kelip muncul di peta di New Mexico dan

Mesir, seperti sebelumnya. "Setidaknya mereka bertiga tidak
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawa salah satu pesawat."

Aku ikut mengamati lalu menekan lingkaran yang

biru lagi. Kemudian, aku sadar titik biru di New Mexico itu

sekarang berada pada lokasi yang sama dengan titik hijau.

"Garde yang di New Mexico ada di atas pesawat, kalau itu

memang pesawat."

"Kuharap siapa pun itu sadar ini bakal jadi

penerbangan yang sepi," Nomor Sembilan berkomentar. Aku

menggeleng ke arahnya dan memandang kembali layar tadi,

berusaha memikirkan apa yang harus kami lakukan

selanjutnya.

Lalu aku tersadar. "Sebentar. Entah bagaimana,

pemerintah terlibat dalam semua ini, kan? Apa yang ada di

New Mexico? Area 51! Di situkah titik hijau ini berada? Di

tempat penampakan UFO paling terkenal?" Semuanya mulai

masuk akal.

Nomor Sembilan menarik keyboard mendekat lalu

mulai mengetik dengan cepat. "Kendalikan dirimu, Koboi.

Pertama, Area 51 ada di Nevada. Kedua, kita para alien tahu

tempat itu bohongan. Tempat itu cuma hanggar pesawat

yang tak berarti." Peta New Mexico muncul di layar utama

dan Nomor Sembilan memperbesar bagian utaranya. "Oke,

tunggu sebentar." Dia memandang tablet lalu monitor

komputer. "Nah, ini menarik. Ternyata kau tidak terlalu salah

juga. Tempat yang kita tuju mungkin bukan Area 51, tapi kita

memang akan pergi ke tempat yang sama rahasianya seperti

Area 51."

"Maksudmu?" tanyaku sambil bertanya-tanya

mengapa aku selalu merasa seperti main kejar-kejaran

dengan pemuda satu ini.

Nomor Sembilan mendorong kursinya menjauhi meja

dengan wajah dihiasi senyum puas yang menyebalkan.

"Astaga. Sekarang aku mengerti." Dia menikam layar dengan

jarinya. "Di bagian New Mexico sini ada kota di tengah

padang pasir, namanya Dulce. Pernah dengar? Tidak? Dulce,

seperti Markas Bawah Tanah Dulce yang terkenal, yang

dikendalikan oleh pemerintahan Amerika Serikat. Pesawat

kita pasti ada di sana. Sekarang, aku yakin yang berkedip
kedip di layar itu memang pesawat-pesawat kita! Dengan

berbagai pertimbangan, pemerintah menyebar rumor

mengenai Area 51 untuk menjauhkan para penggemar UFO

dari Dulce."

Mau tak mau, aku tersenyum. "Jadi, sekarang kita

pergi ke markas bawah tanah pemerintah?"

"Kuharap begitu," sahut Nomor Sembilan sambil

mematikan komputer. Dia bahkan membungkuk, sangat

senang dengan dirinya karena berhasil memecahkan semua

itu. "Walaupun pengamanan di tempat itu pasti luar biasa

ketat dan sangat tak mungkin ditembus. Karena itulah,

tempat itu merupakan tempat sempurna untuk

menyembunyikan pesawat kita."

"Atau untuk menyembunyikan berbagai alien yang

ditemukan selama perjalanan," aku menambahkan.

Sejak aku bangun, rasanya seakan-akan semuanya

berbalik. Kami segera bergerak, menumpuk senjata, Peti

Loric kami, serta bekal di lift. BK ikut berdesak-desakan

bersama kami saat pintu lift menutup. Aku kaget

menyaksikan Nomor Sembilan berbicara dengan lembut ke

pintu yang tertutup: "Kau rumah yang indah, Chicago.

Kuharap kita bisa bertemu lagi."

Kami turun dengan cepat. "Hei," kataku, "ingat,

rumah kita yang sesungguhnya itu jauh lebih keren." Nomor

Sembilan tidak mengucapkan sepatah kata pun, tapi aku

melihat bahunya jadi santai.

Pintu lift membuka di garasi bawah tanah. Kami diam

sebentar dan mengamati keadaan sebelum mulai

mengeluarkan barang-barang. Setelah memastikan semua

aman, aku dan Nomor Sembilan memanggul tas-tas lalu BK

mengikuti. Saat berbelok, aku melihat kami berjalan menuju

mobil yang tersembunyi di balik terpal berdebu. Setelah

menyaksikan kemewahan apartemen Nomor Sembilan, aku

dapat membayangkan apa yang bersembunyi di bawah sana.

Aku dapat membayangkan Ferrari kuning, atau sesuatu yang

mentereng seperti itu. Mungkin Porsche convertible putih

atau bahkan Lotus hitam.

Nomor Sembilan pasti membaca pikiranku. Dia

mengedipkan sebelah mata ke arahku, lalu menyentakkan

terpal hingga lepas dan memperlihatkan kendaraan kami. Di

sana, dengan semua keagungannya, duduklah sebuah Ford

Contour berwarna krem yang tua dan usang. Sama sekali

bukan kendaraan supermewah seperti yang kuharapkan, tapi

saat ini aku tak peduli dengan kemewahan. Benda ini

sepertinya malah tidak bakal menyala.

"Kau serius?" aku bertanya tanpa repot-repot

menyembunyikan rasa jijik.

Nomor Sembilan memandangku dengan tatapan

polos tak berdosa, walaupun dia jelas-jelas tahu apa yang

kuharapkan. "Kenapa? Kau berharap melihat Camaro?"

"Bukan, sih. Tapi aku mengharapkan sesuatu yang

tidak berbintik karat. Sesuatu yang tidak terlihat seperti

bakal mati," kataku.

"Tutup mulut dan masuk sana, Johnny," katanya

sambil melemparkan tas ke dalam bagasi. "Kau belum

melihat apa-apa."

22

AKU BANGUN DENGAN PERASAAN DIAYUN KE DEPAN dan ke

belakang. Sekujur tubuhku sakit. Seluruh badanku serasa

terbakar matahari: kerongkongan, kulit, kaki, dan kepala.

Bibirku begitu kering terbakar, aku bahkan tak sanggup

mengatupkannya. Kelopak mataku yang paling parah,

keduanya menolak untuk membuka walaupun aku sangat

ingin melihat di mana aku berada saat ini. Gerakan berayun

dan bergoyang itu terus berlanjut, lalu aku sadar, pasti saat

ini aku berada dalam kendaraan yang sedang bergerak. Aku

berusaha mengangkat tangan ke kepala, tapi ternyata

tanganku diikat ke bawah. Begitu juga kakiku. Sekarang aku

benar-benar sadar. Aku memaksa mataku membuka lalu

memandang berkeliling dengan liar, tapi yang kulihat hanya

kegelapan. Aku memejamkan mata lagi. Matahari gurun pasti

telah membuatku buta.

Aku berusaha berteriak minta tolong, tapi yang

sanggup kulakukan hanyalah terengah dan batuk. Telingaku

mendengar gaung, dan aku berkonsentrasi memperhatikan

ke udara di sekelilingku. Aku kembali batuk dan mendengar

gaung itu lagi. Dari suaranya, aku tabu saat ini aku berada di

ruangan yang sempit, dan ruangan tempatku ini terbuat dari

logam. Rasanya seperti berada di peti mati. Aku merasa

ngeri.

Aku mulai panik. Bagaimana kalau aku tidak buta?

Bagaimana kalau ternyata aku benar-benar sudah mati? Tidak

mungkin. Aku terlalu kesakitan untuk mati. Namun, aku

merasa seperti dikubur hidup-hidup.

Napasku semakin kencang dan memburu, tapi nada

dingin seorang pria menghentikan serangan panikku.

Suaranya keras dan seperti elektronik, asalnya dari pengeras

suara. "Sudah bangun?"

Aku berusaha menjawab, tapi kerongkonganku

terlalu kering. Aku mengetukkan jariku ke bangku dan

menyadari, ternyata bangku itu juga dari logam. Beberapa

detik kemudian, terdengar suara dari kanan, dan aku dapat

merasakan sesuatu diletakkan di sampingku.

"Di sampingmu ada segelas air dengan sedotan.

Minumlah," kata pria itu.

Aku menoleh dan mencari sedotan dengan mulutku.

Kulit bibirku retak saat aku berusaha mengatupkannya di

sekeliling sedotan. Saat menyedot air, aku merasakan

semburat rasa logam seperti darah serta mendengar

dengungan pelan di telingaku. Dengungan yang sama dengan

yang kudengar di gerbang tali. Kotak tempatku berada ini

pasti di aliri listrik.

"Apa yang kau lakukan di gerbang?" tanya pria itu.

Aku kaget mendengar nada suaranya yang begitu netral

setiap kali dia bicara. Tidak ramah, tapi juga tidak

mengancam.

"Tersesat," aku berbisik. "Aku tersesat."

"Mengapa kau tersesat?"

Aku meneguk lagi lalu berkata, "Aku tak tahu."

"Kau tak tahu. Begitu. Nomormu Enam, bukan?"

Aku terbatuk dan tersedak mendengar pertanyaan

itu, dan merutuki diri sendiri dalam hati karenanya. Biasanya

aku lebih tenang dibandingkan ini, tapi matahari benar-benar

membuatku tak mampu berpikir jernih. Kalau tadi dia raga,

sekarang dia pasti yakin dengan jawabannya. Aku bertekad

untuk mengendalikan diri, untuk berhenti melakukan

kesalahan konyol.

Suara itu terdengar kembali. "Nah, Nomor Enam, kau

cukup terkenal di sekitar sini. Video dari SMA di Paradise dan

caramu mengalahkan helikopter di Tennessee itu sangat

mengesankan. Minggu lalu juga ada pertunjukan hebat di

Washington D.C., saat kau mengeluarkan John Smith dan Sam

Goode dari penjara federal. Kau ini seperti putri kesatria

cilik, ya?"

Aku masih bingung dari mana dia tahu siapa aku, lalu

sekarang dia bicara seakan-akan menonton kehidupanku dari

baris depan panggung. Tubuhku berayun keras ke kiri.

Kendaraan ini pasti berbelok, membawaku entah ke mana.

Aku melawan tali di dahiku?tak terjadi apa-apa. Aku

berusaha menggunakan telekinesis, tapi begitu mulai

memusatkan pikiran, rasa sakit bergulung di perutku

sehingga aku nyaris muntah.

"Cobalah tenang. Melawan tak akan menghasilkan

apa-apa. Kau dehidrasi dan kemungkinan besar terkena

serangan panas. Kau akan merasa sakit selama beberapa

waktu."

"Siapa kau?" aku berhasil bertanya, dengan rasa sakit

luar biasa.

"Agen David Purdy, FBI," dia menjawab. Aku merasa

agak lebih baik karena saat ini aku ditawan pemerintah

Amerika, bukan ditangkap oleh Mogadorian. Aku tak sanggup

kalau ditangkap Mogadorian lagi karena aku tahu apa yang

akan terjadi, terutama sekarang, setelah mantra yang dulu
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melindungiku tak lagi berfungsi. Dengan FBI, kesempatanku

untuk selamat meroket. Betapapun agresifnya mereka, agen

FBI bukanlah monster. Saat ini yang kuperlukan hanyalah

sedikit kesabaran. Kesempatan untuk melarikan diri akan

datang. Purdy tidak tahu itu, mungkin dia berasumsi itu

mustahil. Sekarang, aku hanya perlu mematuhi perintahnya.

Rileks. Minum. Menunggu. Mungkin sebaiknya aku

menyelidiki apa yang bisa Agen Purdy ceritakan kepadaku

mengenai apa yang dia ketahui tentang diriku, tentang

semua ini.

"Aku di mana?" tanyaku.

Pengeras suara berdenging sebelum Agen Purdy

menjawab. "Kau di dalam kendaraan. Perjalanannya cuma

sebentar."

Sekali lagi aku berusaha menggunakan telekinesis

untuk membuka ikatan di kakiku, tapi aku masih terlalu

lemah dan upaya itu membuatku mual kembali. Aku

meneguk air beberapa kali lagi supaya punya waktu untuk

berpikir. "Aku dibawa ke mana?"

"Kami berniat mempertemukanmu dengan seorang

teman, atau mungkin sebaiknya kukatakan teman John

Smith. Kau memanggilnya John? Atau Nomor Empat?"

Aku diam sejenak sebelum menjawab. "Aku tak tahu

apa yang kau bicarakan," kataku. "Aku tak kenal orang yang

namanya John Empat."

Tiba-tiba, aku ingat kejadian di gurun, tepat sebelum

aku pingsan di gerbang. Karena waktu itu aku dalam keadaan

setengah sadar, aku tak yakin helikopter yang mendarat di

dekatku itu nyata. Aku ingat mendengar suara Ella. Bukan.

Aku bukan sekadar mendengar suaranya. Kami saling bicara.

Dia bertanya dan aku menjawab. Kalau saat ini FBI

menahanku, pasti waktu itu memang ada helikopter. Kalau

helikopter itu nyata, mungkin aku memang berkomunikasi

dengan Ella. Apakah ada Pusaka baru yang muncul? Tepat

pada saat aku membutuhkannya.

Ella? Kau dengar? Aku mencoba lagi, buat jaga-jaga.

Aku ditahan FBI. Agen bernama Purdy mengurungku dan

kami ada di semacam kendaraan. Purdy bilang jaraknya tidak

jauh, ke mana pun kami menuju.

"Bagaimana caramu sampai di gurun, Nomor Enam?"

suara Purdy menyela. "Bukankah kau baru saja berada di

India bersama teman-temanmu? Ingat? Seperti anak lainnya,

membaca buku lalu diculik di bandara."

Dari mana dia tahu?

"Dari mana kau tahu di mana markas itu berada?"

Suaranya sekarang agak kurang netral. Kurasa aku mendengar

sedikit rasa tidak sabar.

"Markas apa?" tanyaku. Aku kesulitan untuk berpikir

jernih.

"Tempat kami menemukanmu sekarat di padang

pasir itu. Dari mana kau tahu di mana tempat itu?"

Aku mencoba menguji Pusakaku untuk

menghilangkan diri, tapi sekali lagi perutku bergolak keras

dan langsung terasa sakit. Aku sangat ingin bergelung

membentuk bola, tapi ikatan ini menahanku dan rasa sakit

membuat napasku habis.

"Minum airmu," agen itu menyarankan lagi. Suaranya

kembali netral tanpa perasaan.

Seperti yang kulakukan pertama kali, aku mematuhi,

meneguk lalu menunggu. Rasa sakit itu akhirnya memudar,

tapi kemudian gelombang rasa pusing melandaku. Otakku

bagaikan mobil yang meluncur tak terkendali, meliuk ke sini

lalu ke sana. Pikiran-pikiranku, yang terlalu banyak untuk

dipahami, berseliweran dengan kencang. Peristiwa-peristiwa

beberapa hari terakhir berkelebat melewatiku. Aku melihat

diriku memegang lengan Marina tepat sebelum kami

melakukan teleportasi. Aku melihat Crayton terbaring tak

bergerak. Aku menyaksikan diriku mengucapkan selamat

tinggal kepada John dan Sam. Saat aku hampir lupa di mana

aku berada sekarang, suara itu memaksaku kembali ke

situasiku saat ini.

"Di mana Nomor Empat?" Pria ini benar-benar teguh

pendirian.

"Siapa?" aku bertanya sambil memaksa diriku

menyimak kata-katanya. Karena kalau tidak, aku bakal

melakukan kesalahan yang sama seperti barusan.

Tiba-tiba, ketenangan dalam suara itu lenyap sama

sekali. Dia berteriak melalui pengeras suara, "Di mana Nomor

Empat?" Aku berjengit mendengarnya.

"Mampus sana," aku merutuk. Aku tak akan

mengatakan apa-apa kepadanya.

Ella? Marina? Siapa saja? Kalau ada yang

mendengarku, kau harus mengucapkan sesuatu. Tolong! Aku

ada di padang pasir. Aku cuma tahu saat ini aku ada di dekat

markas pemerintah Amerika, dan FBI menawanku. Kami

pergi ke suatu tempat, tapi aku tak tahu di mana. Dan ada

yang salah dengan diriku. Aku tak dapat menggunakan

Pusakaku.

"Kau di India dengan siapa, Nomor Enam? Siapa pria

dan dua gadis itu?"

Aku tetap diam. Aku membayangkan wajah Ella.

Lorien paling muda yang tersisa. Aku tahu itu pasti

membebaninya. Apalagi sekarang, tanpa Crayton. Baru satu

hari yang lalu aku ini melihat mereka, tapi sekarang Crayton

sudah tiada.

"Nomor berapa mereka? Siapa gadis-gadis itu?" Agen

Purdy terdengar tak sabar, walaupun sekarang suaranya lebih

tenang.

"Itu band-ku. Aku main drum. Mereka menyanyi. Aku

suka Josie and the Pussycats. Kalau kau? Aku suka nonton

film kartun lama. Semua anak juga begitu." Bibirku retak dan

berdarah lagi saat aku tersenyum. Aku tak peduli. Aku

merasakan darah di lidahku, lalu tersenyum lebih lebar.

"Enam?" tanya pria itu dengan suara yang lebih

lembut. Kurasa dia sedang melancarkan taktik Polisi Baik.

"Yang di bandara di India bersamamu itu Nomor Lima dan

Tujuh? Pria itu siapa? Gadis-gadis itu siapa?"

Tiba-tiba, aku seakan talc mampu mengendalikan

katakata yang keluar dari mulutku. Suaraku bahkan tidak

seperti suaraku saat aku berkata, "Marina dan Ella. Mereka

itu anak-anak yang sangat manis. Kalau saja mereka agak

lebih kuat." Apa yang kukatakan? Mengapa aku mengucapkan

sesuatu?

"Apakah Marina dan Ella itu rasmu juga? Mengapa

mereka harus lebih kuat? Marina itu nomor berapa?"

Aku kaget saat mulutku membuka untuk menjawab

lagi, tapi kali ini aku berhasil mencegah diriku mengucapkan

sesuatu. Aku memusatkan seluruh energi untuk menemukan

suaraku, untuk bereaksi seperti yang seharusnya. Rasanya

seperti ada peperangan dalam diriku. "Aku tak tahu kau

bicara apa. Kenapa kau terus-terusan membicarakan angka?"

Suara Agen Purdy meledak dalam kotak itu. "Aku

tahu kalian siapa! Kalian dari planet lain! Aku tahu kalian

dipanggil dengan angka! Kami menahan pesawatmu, demi

Tuhan!"

Saat mendengar tentang pesawat kami, benakku

langsung berputar. Aku terkenang perjalanan dari Lorien. Aku

melihat diriku yang masih anak-anak, memandang ke luar

jendela pesawat dan menatap kekosongan ruang angkasa,

sementara kami bergerak menuju Barth. Aku makan di meja

putih panjang dan melihat delapan anak lain yang didampingi

Cepan masing-masing. Seorang anak laki-laki berambut

hitam panjang tertawa dan melemparkan makanan. Anak

perempuan berambut pirang duduk di sampingnya sambil

menyantap sepotong buah tanpa bersuara. Para Cepan di

ujung meja mengawasi anak-anak itu lekat-lekat. Aku

melihat Marina kecil menangis sambil memeluk kaki di dada

dan duduk di lantai di bawah panel kontrol. Cepannya

berlutut di samping Marina, berusaha membujuknya supaya

berdiri. Aku ingat aku bertengkar dengan anak laki-laki

berambut hitam pendek.

Wajah berikutnya yang kulihat adalah Nomor Empat

yang masih kecil. Rambut pirangnya panjang dan

bergelombang. Dia menendang dinding dengan kaki

telanjang, marah karena sesuatu. Setelah itu, dia berbalik,

meraih bantal, kemudian membantingnya ke lantai. Nomor

Empat mendongak, melihatku memandanginya, lalu

wajahnya merona merah. Aku memberikan mainan

kepadanya, yang pernah kucuri darinya. Aku kembali dilanda

perasaan bersalah lagi, yang sama kuatnya seperti saat itu.

Wajah-wajah lain di ruangan memudar.

Kemudian, aku melihat diriku di pelukan Katarina

saat kami mendarat di Bumi. Aku ingat pintu pesawat

membuka.

Dari mana kenangan ini datang? Walaupun sudah

berusaha sekuat tenaga, aku tak pernah bisa mengingat

banyak mengenai perjalanan kami ke Bumi selain beberapa

hal kecil. Aku tak pernah mengingatnya dengan sejelas ini.

"Kau dengar?" teriak Purdy. "Kami sudah bicara

dengan para Mogadorian," katanya. Pertanyaan itu

menyentakkanku ke masa kini dengan keras. "Kau tahu itu?"

"Oh, ya? Mereka bilang apa?" tanyaku, berusaha

supaya terdengar seperti sedang sekadar bercakap-cakap,

tapi aku langsung menyesalinya. Mengapa aku mengaku

mengenal siapa para Mogadorian itu? Sebelum sempat

terlalu menyesali kesalahanku, pikiranku kembali melayang

ke pesawat, ke pintunya yang membuka, ke manusia

berambut cokelat dengan kacamata tebal besar yang berdiri

menunggu untuk menyapa kami. Di tangannya ada koper

serta tablet putih, dan di belakangnya ada kotak besar berisi

pakaian. Entah bagaimana, aku tahu itu ayah Sam. Sam. Oh,

aku sangat ingin bertemu dengan Sam lagi.

"Aku ingin bertemu Sam," aku meracau. Walaupun

tak ingin mengatakan dan mengungkapkan apa-apa lagi

kepada agen itu, aku tak dapat menahan diri. Aku mendengar

suaraku, merasakan pikiranku buram dan lambat. Aku

langsung sadar, pasti air yang kuminum barusan ada obatnya.

Karena itulah, aku tak dapat memusatkan pikiran pada satu

hal. Karena itulah, pikiranku terus melayang ke masa lalu.

Karena itulah, aku merasa kesakitan saat berusaha

menggunakan Pusakaku.
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mencium Sam waktu itu. Seharusnya aku

menciumnya dengan sungguh-sungguh, tapi aku terlalu

mencemaskan apa yang akan John pikirkan.

John. Aku juga mencium John waktu itu. Aku sangat

ingin mencium John lagi. Perutku agak menggeliat saat aku

teringat ketika John meraih bahuku lalu memutar tubuhku

hingga menghadap dirinya, tapi tepat sebelum bibir kami

bersentuhan, rumah itu meledak. Aku merasakan daguku

mendongak saat aku mengulangi adegan itu lagi dan lagi.

Namun kali ini, saat rumah itu meledak, kami berciuman.

Ciuman yang sempurna.

"Sam?" tanya Agen Purdy, membuyarkan lamunanku.

"Kurasa yang kau maksud itu Sam Goode, ya?"

Sekarang aku hanya melihat wajah Sam dan benakku

berputar di luar kendali. "Yeah. Tentu. Aku ingin bertemu

Sam Goode." Aku dapat mendengar suaraku melirih.

"Dia itu salah satu dari kalian? Sam Goode ini nomor

berapa?"

Kelopak mataku semakin berat dan aku mulai

tertidur. Akhirnya obat itu menguntungkanku.

"Enam!" Agen Purdy membentak. "Hei, Enam!

Bangun! Kita belum selesai!"

Teriakannya sangat mengganggu sehingga aku

tersentak, tapi tertahan belenggu.

"Enam? Enam! Di mana Sam Goode? Di mana John

Smith?"

"Akan kubunuh kau," bisikku. Kemarahan dan rasa

frustrasi akibat diikat serta rasa tak berdaya membuatku

kehilangan kendali. "Kalau aku menemukanmu akan

kubunuh kau."

"Aku yakin kau akan mencobanya." Agen itu tergelak.

Aku berusaha menjernihkan pikiran, berkonsentrasi

pada tempat aku berada. Namun dengan sekonyong-konyong

segalanya mulai berputar hingga aku tak sadarkan diri.

Ruangannya kecil dan terbuat dari semen. Di sini ada

toilet, balok semen dengan matras yang diikatkan ke sana,

serta selimut yang terlalu pendek untuk menutupi tubuhku.

Saat ini aku sudah terjaga selama dua jam, mungkin lebih.

Banyak hal yang sulit kupahami. Aku berusaha mengurutkan

kejadian sejak terdampar di padang pasir, menemukan

gerbang, bangun, hingga interogasi mengerikan yang

kualami. Aku harus mengetahui di mana aku berada, berapa

lama waktu yang telah berlalu, dan informasi apa saja yang

tak sengaja kuungkap.

Menata pikiranku tidak mudah. Sejak aku radar di sel

ini, lampu di langit-langit terus-menerus berkelap-kelip.

Kepalaku berdenyut-denyut nyeri. Mulutku kering dan aku

memegangi perutku yang bergolak sambil berupaya

berkonsentrasi pada bagian terpenting yang kuingat,

percakapanku dengan agen itu.

Aku berhasil menghilangkan diri, sekadar melihat

apakah aku mampu melakukannya. Namun begitu

menghilang, aku diserang rasa mual luar biasa seperti saat di

kendaraan tadi, jadi aku langsung menampakkan diri

kembali. Aku tak tahu apakah rasa mual itu disebabkan oleh

obat yang masih ada dalam tubuhku atau karena hal lain.

Aku memejamkan mata selama beberapa menit

supaya tidak melihat cahaya yang berkedap-kedip.

Cahayanya terlalu terang sehingga tidak mungkin menahan

sinar itu sepenuhnya. Aku ingat Agen Purdy bilang dia

berhubungan dengan Mogadorian. Mengapa pemerintah

Amerika bicara dengan Mogadorian? Dan mengapa dia

mengatakan itu kepadaku? Apakah mereka tidak tahu para

Mogadorian itu adalah musuh? Yang masih tak kupahami

adalah berapa banyak yang pemerintah ketahui tentang

diriku, tentang kaumku? Setelah para Mogadorian

menghabisi Garde, mereka akan membunuhi setiap manusia

di Bumi hingga orang terakhir. Apakah pemerintah tidak tahu

itu? Sepertinya para Mogadorian ini memberikan kesan yang

sangat berbeda tentang diri mereka.

Aku mendengar suara laki-laki dari suatu tempat di

atasku. Bukan Purdy, agen yang bicara denganku di kurungan

waktu itu. Aku membuka mata dan mencari ventilasi atau

pengeras suara, tapi tak ada yang dapat kulihat selain cahaya

terang yang berkedap-kedip itu.

"Siap-siap berangkat, Nomor Enam." Panel kecil di

tengah pintu logam terbuka diiringi bunyi berdentang. Aku

terhuyung ke sana dan menemukan gelas plastik berisi cairan

ungu berdiri di rak. Perutku bergolak saat melihatnya.

Kenapa ungu? Apakah air ini ada obatnya seperti air yang

kuminum tadi?

"Kau harus minum air itu sebelum berangkat. Kalau

kau tidak minum, kami terpaksa menyuntikkannya ke

tubuhmu dengan segala cara."

"Mampus sana!" aku berteriak ke langit-langit.

"Minum," suara itu mengulangi, dengan nada yang tidak ingin

dibantah.

Aku mengambil gelas itu dan berjalan ke toilet.

Kemudian aku memegang gelas itu tinggi-tinggi dan

memiringkannya, membuang isinya dengan gaya dramatis.

Tetes air terakhir baru saja akan jatuh saat pintu sel

mengayun terbuka. Sejumlah pria dengan tongkat dan

tameng bergegas masuk mengepungku. Asam di perutku naik

saat aku menyiapkan dan menguatkan diri untuk bertarung

karena aku sadar aku harus menggunakan Pusaka. Aku

memutuskan kali ini aku mampu melakukannya. Mungkin

aku juga dapat memanfaatkan cahaya terang itu.

Aku menyambut petugas pertama dengan

melayangkan tinju ke lehernya. Saat sebuah tongkat

menyambar turun dari arah kiriku, aku menangkap

pergelangan tangan si penyerang lalu memuntir kuat-kuat

sampai mendengar suara patah. Dia menjerit dan

melepaskan tongkatnya. Sekarang aku punya senjata.

Para petugas itu berbaris melingkar mengelilingiku,

tapi di bawah cahaya berkedap-kedip ini gerakan kami

seakan terjadi dalam gerakan lambat dan sulit diikuti. Aku

memilih sasaran secara acak lalu menyerang,

menghantamkan tongkatku ke kedua lututnya. Dia roboh dan

aku meninju orang di sebelahnya. Mengerahkan tenaga

seperti ini menyebabkan rasa mual merayap naik ke

kerongkonganku, tapi aku menelannya kembali. Karena

berhasil menahan mual, aku berharap ini bakal lebih mudah.

Aku menghantamkan ujung belakang tongkatku ke pelipis

orang itu. Salah satu petugas yang tersisa memukul belakang

kepalaku dengan sesuatu, sementara yang satu lagi

menjambak segumpal rambutku. Aku menubrukkan kedua

orang itu satu sama lain dengan telekinesis, menyebabkan

mereka roboh, lalu aku menendang mereka keras-keras.

Rasa mual melumpuhkan tadi mulai melemah dan

menghilang, tapi kekuatanku tidak?kekuatanku kembali.

Dengan bersenjatakan dua tongkat, aku mengalahkan tiga

laki-laki lagi. Saat mereka menembakkan pistol kejut listrik,

aku menghentikan elektrodanya yang tajam di udara lalu

membalikkannya ke si penembak. Akhirnya, jalan menuju

pintu itu kosong dan tampaknya akan tetap begitu. Begitu

melangkahkan kaki keluar sel, aku menguatkan diri lalu

membuat diriku menjadi tak terlihat. Rasanya sakit dan mual

luar biasa, tapi aku tabu aku dapat menahannya. Aku hanya

perlu bertahan sedikit lebih lama, sampai aku bisa keluar dan

menemukan yang lain.

23

SAAT SAMPAI, TUBUHKU TERTELUNGKUP DI RUMPUT basah.

Aku mengangkat kepala dan menekankan tangan ke tanah

untuk mendorong bahuku naik. Terdengar erangan Nomor

Delapan dari suatu tempat di dekatku. Ella memanggil

namaku, tapi kepalaku berdentam-dentam sehingga aku tak

sanggup untuk duduk dan mencarinya.

"Enam?" aku berbisik ke udara. "Kau di sini?"

"Aku tak melihatnya sama sekali, Marina," sahut Ella

sambil menghampiri dan duduk di sampingku. Aku

menempelkan pipi ke rumput lagi dan berbaring diam

selama beberapa menit. Ella menyibakkan segumpal rambut

dari pipiku, tapi aku kebas dan tak merasakan apa-apa. Rasa

mual naik ke kerongkonganku saat aku mendengar Nomor

Delapan terus mengerang. Ella sepertinya tidak terpengaruh.

Aku tak mau melakukan teleportasi lagi.

Aku memandang berkeliling. Pandanganku

mengganda dan aku berupaya keras mengendalikannya.

Dilihat dari betapa hijau dan suburnya tempat ini, jelas lokasi

pendaratan kami ini bukanlah tempat yang kami tuju. "Ini

bukan New Mexico, kan?"

"Dekat pun tidak," bisik Ella.

Saat akhirnya merasa mampu bergerak, walaupun

dengan perlahan, aku mendongak memandang Ella. Mata

cokelatnya sulit dibaca dalam kegelapan. Ini pasti tengah

malam. Aku memandang melewati Ella dan menatap langit

berbintang. Aku kembali teringat laut biru dan Nomor

Delapan yang berubah jadi gurita hitam. Aku juga ingat apa

yang Ella katakan tepat sebelum kami pindah.

"Ella, aku berkhayal atau kau memang berkata kau

bicara dengan Nomor Enam?" Dia mengangguk. "Dalam

benakmu, ya?"

Ella memalingkan muka. "Aku yakin kau pikir aku gila.

Aku sendiri bertanya-tanya apakah itu betul terjadi. Mungkin

aku begitu menginginkannya ...," Ella menggeleng dan

menunduk memandangku, wajahnya serius. "Tidak. Aku

tidak berkhayal. Aku tabu aku bicara dengannya. Enam bilang

dia ada di gurun. Itu artinya dia berhasil sampai di New

Mexico, kan?"

"Ella, kau tidak gila. Aku percaya padamu dan kupikir

kau benar," kataku sambil menekan pelipis yang berdenyut
denyut, berusaha menyingkirkan rasa sakit dan pusing yang

membuatku tak mampu berpikir jernih. "Pasti Pusakamu

muncul. Saat ini kita cuma perlu memikirkan apa yang waktu

itu terjadi supaya dapat melakukannya lagi."

Mata Ella melebar. "Benarkah? Kau pikir ini Pusaka?

Apa namanya?" tanyanya dengan penuh semangat.

"Telepati," suara Nomor Delapan terdengar dari

belakangku.

Aku berguling sambil meringis menahan sakit lalu

memandang Nomor Delapan. Dia berdiri di lempeng batu
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar yang ditopang oleh dua batu abu-abu yang lebih besar


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto The Jungle Book Karya Rudyard Kipling Animorphs 34 Ramalan Prophecy

Cari Blog Ini