The Rise of Nine Karya Pittacus Lore Bagian 5
lagi.
Aku duduk, berguling ke posisi merangkak, lalu
bangkit berdiri dengan goyah. Sambil berkacak pinggang, aku
berputar dan menyadari tempat ini tampak sangat familier,
tapi bukan karena aku pernah ke sini. Aku tahu tempat ini
dari gambar-gambar, dari buku. Aku menatap Nomor Delapan
lagi. "Kita betul-betul ada di?"
"Stonehenge? Oh, yeah."
"Wow," bisikku sambil kembali berputar pelan untuk
mengamati pemandangan. Ella menghampiri batu yang
tingginya sekitar tujuh meter, lalu mendongak sambil
mengusap permukaannya.
"Menakjubkan, ya?" katanya.
Aku memahami keinginan untuk mengulurkan tangan
dan menyentuh batu itu. Maksudku, ini Stonehenge. Karena
tak mampu menahan diri, aku pun ikut menyentuh. Batu
batu itu dingin dan mulus, dan menyentuhnya saja
membuatku merasa seakan-akan berumur tiga ribu tahun.
Sebagian batu tampak utuh sempurna, sementara batu-batu
lainnya hanya berupa sisa-sisa dari batu yang dulunya utuh.
Kami berjalan-jalan berkeliling selama beberapa saat,
mengamati apa yang hanya dilihat kebanyakan orang di buku
dari dekat.
"Delapan? Telepati itu sebenarnya apa? Kau tahu cara
menggunakannya? Bagaimana caraku mengendalikannya?"
Ella bertanya.
"Telepati itu kemampuan untuk mengirimkan pikiran
kepada orang lain sehingga seseorang dapat berkomunikasi
dengan benak orang lain. Ayo, cobalah kepadaku."
Ella berjalan mengitar lalu berhenti di depan Nomor
Delapan. Dia memejamkan mata. Aku menonton sambil
berpikir hebat sekali kalau ternyata Pusaka Ella memang
muncul. Dengan kemampuannya itu, kami dapat mengontak
para Garde di mana pun mereka berada di dunia ini. Setelah
beberapa detik, Ella membuka mata dan memandang Nomor
Delapan. "Kau mendengarku?"
"Tidak," jawab Nomor Delapan sambil menggeleng
sedih. "Kau harus terus mencobanya. Memang perlu waktu
untuk memahami cara menggunakan Pusaka kita. Telepati
pasti juga sama."
Bahu Ella tetap merosot karena kecewa. "Omong
omong, Petimu di sang," katanya sambil menunjuk.
Nomor Delapan memandangku sambil meregangkan
tubuh ke kanan dan ke kiri. "Aku perlu waktu untuk
memulihkan diri dari yang terakhir itu. Aku ingin kondisiku
kuat kembali saat kita mencoba ke New Mexico lagi, oke?"
Dia memanjat batu terdekat.
"Entahlah." Aku mendesah. "Aku merasa sangat tidak
enak setelah teleportasi terakhir ini. Luka-luka sih tidak, tapi
teleportasi membuatku mual. Aku tak tahu apakah sanggup
melakukannya lagi. Lagi pula, kita kan bisa saja berakhir di
dasar laut seperti sebelumnya? Saat ini mungkin Nomor
Enam dalam masalah besar, tapi kita cuma melompat dari
satu tempat ke tempat lain. Kita mungkin tak akan pernah
sampai di New Mexico!"
"Aku tahu, aku tahu," kata Nomor Delapan sambil
melompat turun dari batu dan menepiskan debu dari
celananya. "Aku tahu ini menyebalkan sekali. Tapi
melakukan sesuatu itu lebih baik daripada diam saja. Selain
itu, yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah terus mencoba
sampai tiba di tempat yang seharusnya. Kita bertiga harus
terus bersama, terus mencoba, dan kita akan menemukan
Nomor Enam." Aku tak tahu dari mana datangnya ketenangan
dan keyakinannya itu.
Ella berjalan ke balik sekelompok batu saat aku
berkata, "Ada cara lain untuk bepergian dari satu tempat ke
tempat lain. Kita bisa mencari bandara lalu terbang dari sini
ke sana."
Nomor Delapan menggaruk dagu lalu mulai berjalan
sambil merenung. Aku mengikutinya ke tengah-tengah
Stonehenge. "Kalau Nomor Enam memang dalam masalah,
pesawat bukan solusinya. Perlu waktu lama sekali untuk
sampai ke sana." Dia berhenti sejenak lalu berbalik dan
menatapku. "Selain itu, aku melihat kita menemukannya."
Aku memandang Nomor Delapan dengan bingung, tapi dia
cuma meringis dan mengangkat bahu. Apa maksudnya?
"Delapan. Kau mendapat visi? Apa lagi yang kau
lihat? Siapa lagi yang kau lihat?"
Dia mengangkat bahu. "Tak banyak yang bisa
kuceritakan. Aku cuma melihatnya, atau merasakannya.
Kurasa ini Pusaka yang belum kupahami. Seperti
indra keenam, begitulah kira-kira gambaran yang bisa
kuberikan."
"Jadi kau tahu kami ke India dengan cara itu?" aku
bertanya.
"Yeah," dia mengamini. "Aku tak dapat
mengendalikannya. Citra-citra ini berkelebat begitu saja."
Kami terus berjalan ke sekelompok batu padat dan
menemukan Ella duduk bersandar di batu sendirian. Saat
kami mendekat, dia mendongak dan berkata, "Aku terus
mencoba bicara dengan Nomor Enam, tapi tak ada apa-apa.
Mungkin telepati itu hanya imajinasiku."
Aku berlutut di samping Ella lalu memeluknya. "Perlu
waktu, Ella. Aku tahu saat Pusakaku pertama kali muncul, dan
biasanya itu saat aku marah atau dalam bahaya. Pusaka
muncul ketika kita sangat membutuhkannya, saat
kemampuannya dapat menyelamatkan kita. Pusaka yang
membuatku mampu bernapas dalam air muncul saat aku
nyaris tenggelam. Selain itu, mungkin teleportasi ini
memengaruhimu, jadi perlu waktu sebelum kemampuan itu
berfungsi lagi." Aku meremas bahunya.
"Itu betul. Waktu aku pertama kali melakukan
teleportasi," Nomor Delapan menimpali, "Cepanku nyaris
ditabrak taksi. Aku muncul begitu saja di sampingnya, seperti
ini," sambil menjentikkan jari. "Karena itulah, aku dapat
menariknya ke pinggir."
"Aku rindu Crayton," kata Ella. "Dia selalu
membantuku dengan hal-hal semacam ini. Bagaimana kalau
aku sama sekali tidak dapat membantu para Garde? Kadang
kadang, aku berpikir seandainya saja para Tetua tidak
memilihku," suaranya melirih dan dia duduk merosot,
tampak nelangsa sekali.
"Ella," Nomor Delapan melangkah maju, "Ella. Lihat
aku. Kau tak boleh berpikir seperti itu. Kami sangat senang
kau ada di sini. Kami membutuhkanmu. Kalau kau tidak di
sini, kami akan mencarimu. Kau berada tepat di tempat yang
seharusnya. Benar, kan, Marina?"
"Ella, kau ingat apa yang sering kita katakan dulu,
waktu di panti asuhan? Kita ini satu tim. Itu hal penting. Kita
saling menjaga." Saat berbicara begitu, aku sadar
keenggananku untuk melakukan teleportasi lagi itu egois.
Satu-satunya harapan yang kami miliki untuk menemukan
yang lain adalah dengan pergi ke New Mexico. Cara paling
aman dan paling cepat untuk sampai di sana adalah dengan
teleportasi, bahkan walaupun itu artinya kami harus
mendarat di tempat yang salah beberapa kali lagi. Aku tak
akan membiarkan rasa takutku membahayakan orang lain.
Saat salah satu dari kami lemah, yang lainnya harus lebih
kuat. Aku meremas bahu Ella lagi. "Kita akan ke New Mexico,
menemukan Nomor Enam, lalu melanjutkan perjuangan
kita."
Ella mengangguk, tapi tetap diam.
Kami semua berjalan keluyuran, sibuk dengan pikiran
masing-masing. Aku tahu aku perlu waktu untuk
menjernihkan pikiran dan memulihkan tenaga, baik fisik
maupun mental sebelum kami melanjutkan. Tempat ini
begitu damai dan tenang, sangat cocok untuk berpikir. Satu
jam kemudian, aku berjalan ke tengah lingkaran dan melihat
Nomor Delapan membungkuk, mengangkat sebuah batu
stonehenge, lalu menjatuhkannya.
"Delapan! Apa yang kau lakukan?" teriakku waswas.
"Kau ingat di mana kita berada? Ini tempat kuno, suci, dan
bernilai sejarah! Kau tak boleh melemparkan batu-batu!
Kembalikan semua batu itu ke tempat asalnya!"
Sebelum dia sempat mengembalikan batu-batu itu,
aku sudah menggunakan telekinesisku dan melakukannya.
Aku ingin meninggalkan tempat ini tepat seperti waktu kami
menemukannya.
Nomor Delapan mendongak memandangku, kaget
melihatku marah. "Aku sedang mencari batu Loralite. Aku
tahu batu itu setengah terkubur di sekitar sini, di bawah
salah satu batu, dan kita harus menemukannya kalau ingin
pergi," jelasnya.
"Kau harus mengembalikan batu-batu itu tepat ke
tempat semula setelah selesai mencari," aku menggerutu.
"Stonehenge itu salah satu tempat paling terkenal di Bumi.
Jangan merusaknya." Aku bosan meninggalkan kehancuran di
mana-mana.
Nomor Delapan mengintip secara hati-hati ke bawah
sebuah batu lalu mengembalikannya dengan lemah lembut
ke tempat semula, dengan gaya yang berlebihan. "Aku cuma
ingin berkata bahwa Stonehenge ada di sini karena Loric.
Reynolds bilang kita membangun ini sebagai makam bagi
para Loric yang gugur dalam pertempuran di Bumi."
"Oh, ya? Ini kuburan?" tanya Ella sambil berjalan di
belakangku dan memandang berkeliling dengan penuh rasa
ingin tahu.
"Dulunya," kata Nomor Delapan sambil menepuk
sebuah batu besar, "setidaknya selama ribuan tahun. Lalu
para manusia mulai mengintip-intip dan melakukan semua
penelitian yang sangat mereka cintai. Tidak ada yang dapat
menandingi misi untuk memahami segalanya, bahkan
walaupun tak ada yang perlu diketahui. Apa pun lah. Aku
akan menghormati penempatan batu-batu ini." Dia
melanjutkan kegiatannya seakan-akan sedang berjingkat
jingkat di kebun tulip.
"Biar kubantu." Dengan hati-hati, aku berjalan di
antara batu-batu, membantu Nomor Delapan mencari
Loralite, melayangkan sejumlah batu beberapa senti dari
tanah, lalu menurunkannya kembali ke tempat semula. Saat
pindah ke kelompok batu lain, aku mendengar suara orang
berseru dari kejauhan. Aku melongok melewati batu dan
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihat dua pria berseragam berlari menuju monumen ini
dengan sinar senter yang berayun-ayun di kegelapan. Aku
dan Ella merunduk di balik formasi batu terdekat dan
terbesar.
"Sialan," bisikku. "Semuanya sembunyi."
Kami dapat melihat cahaya senter mereka menyorot
tanah, dan setiap kali salah satu sinar itu mendekati kami,
kami beringsut pindah ke batu lain tepat pada waktunya.
"Aku yakin aku mendengar sesuatu di sini. Suara
anak-anak," kata penjaga yang bertubuh lebih kecil.
"Oke. Nah, mana mereka?" tanya penjaga yang satu
lagi sambil melihat berkeliling. Ada sejumput nada tidak
percaya dalam suaranya.
Kedua pria itu diam sejenak. Aku mengintip
melewati batu untuk melihat penjaga yang bertubuh besar
memandang berkeliling dengan kesal karena tidak ada tanda
tanda adanya penyusup. Kemudian sesuatu menarik
perhatiannya, tapi aku tak dapat melihat apa benda itu. Aku
khawatir. Apa yang dia temukan? "Bill? Sini! Lihat ini!
Menurutmu ini datang dari mana?"
"Hmm. Entahlah. Yang jelas itu tak ada di sini tadi,"
balas yang lain.
Aku nyaris melompat saat Nomor Delapan muncul di
sampingku. "Mereka menemukan Peti kita," bisiknya. "Aku
akan melemparkan penjaga itu ke padang rumput, oke? Kita
harus menemukan Loralite supaya bisa pergi dari sini, dan itu
tak akan terjadi sebelum kedua orang itu pergi. Aku juga
tidak akan membiarkan mereka pergi membawa Peti kita."
Suaranya muram.
Saat mau mengatakan jangan, otakku berdengung.
Setelah gema statis singkat, aku mendengar suara Ella di
kepalaku: Aku dapat mengalihkan perhatian mereka,
sementara kalian mencari Loralite. Aku memandang Ella
dengan kaget, dengan mata membelalak.
Ella meremas tanganku dan berbisik, "Aku dapat
mengalihkan perhatian mereka?"
"Aku sudah mendengarmu," aku memotong. "Ella,
aku mendengarmu di kepalaku!"
Dia tersenyum lebar. "Sudah kuduga kali ini berhasil.
Wow! Aku berhasil!" bisiknya riang.
"Hei, kalian berdua, pelan-pelan, dong," desis Nomor
Delapan. "Punya ide?"
"Aku punya ide," Ella menyahut. Dia menyusut
menjadi anak usia enam tahun, berlari menjauh melewati
lingkaran terluar batu-batu, kemudian berjalan kembali
menuju kedua penjaga tersebut. Dengan suara semirip anak
kecil, dia memanggil, "Daddy? Daddy di mana?"
"Halo?" sahut salah satu penjaga. "Siapa di sana?"
Nomor Delapan melakukan teleportasi saat aku
memandang Ella. Dia berdiri diam sambil melindungi mata
dari cahaya senter kedua penjaga itu. Ella itu aktris yang
hebat. Dia benar-benar terdengar seperti anak yang tersesat
dan ketakutan. "Aku mencari ayahku. Kalian melihatnya?"
"Apa yang kau lakukan di sini, Nak? Orangtuamu di
mana? Kau tahu ini jam berapa?"
Saat penjaga itu mendekatinya, Ella mulai terisak,
membuat kedua pria tersebut berhenti di tempat. "Nah, nah,
tenang. Jangan menangis," bujuk pria yang bertubuh besar.
Ella mengucurkan air mata dan berkata, kali ini
dengan lebih keras, "Jangan sentuh aku!"
"Hei, hei, tak ada yang menyentuhmu," sahut
penjaga yang lain dengan khawatir. Mereka saling pandang,
bingung karena tak tahu harus bagaimana menghadapi Ella.
"Psst, Marina," bisik Nomor Delapan. Dia di
belakangku sambil mengempit Peti di kanan dan di kiri. "Kita
harus menemukan Loralite. Sekarang! Ella tak mungkin
mengalihkan perhatian kedua penjaga itu selamanya!"
Kami berlari ke tengah Stonehenge. Aku dan Nomor
Delapan mencari di bawah setiap batu yang kami temukan
dengan secepat mungkin. Saat tinggal sedikit lagi batu yang
perlu kami periksa, terdengar suara kedua penjaga yang
kembali ke arah kami sambil membawa Ella yang masih
terisak.
"Oke, kurasa saatnya pengalih perhatian yang lain,"
kata Nomor Delapan yang lenyap kembali. Dia muncul
kembali di lingkaran terluar batu-batu itu, meletakkan
tangannya di salah satu batu tegak, lalu mendorong kuat
kuat. Aku cuma bisa memandang ngeri sambil terpaku. Batu
besar itu goyah dan mulai condong ke belakang, dan batu
horizontal yang ada di atasnya ikut jatuh. Kemudian Nomor
Delapan mulai berteriak, "Tolong! Tolong! Batunya jatuh!
Stonehenge-nya runtuh!" Aku ingin bunuh dia, seenaknya
merusak bebatuan ini. Aku mengepalkan tinju di samping
tubuh dan tersadar di tanganku masih ada batu kecil. Aku
membungkuk dan dengan hati-hati, dengan sia-sia,
mengembalikan batu itu ke tempatnya semula.
Kedua penjaga itu berlari menuju arah suara Nomor
Delapan. Begitu sinar senter mereka mengenai batu yang
jatuh, mereka berteriak panik. Penjaga yang kecil lari terbirit
birit ke antara dua batu vertikal, tapi terlambat. Kedua batu
tersebut bertumbukan dan mulai condong ke kanan. Batu
horizontal di atasnya menghantam tanah dengan keras. Aku
ternganga saat satu demi satu batu-batu itu miring, seperti
rangkaian domino.
"Kode Hitam! Kode Hitam!" teriak penjaga yang
berbadan besar ke walkie-talkie-nya, lalu melemparkan
benda itu ke tanah. Dia memeluk satu batu vertikal besar
yang masih tegak, berusaha menghentikan batu itu ikut jatuh
bersama batu lainnya dengan sekuat tenaga. Namun sia-sia.
Batu besar itu tetap jatuh.
Nomor Delapan muncul kembali di belakangku dan
mendorong dua batu kecil, lalu sekonyong-konyong cahaya
biru redup menyinari kakinya. "Ketemu! Di sini!" bisiknya
dengan riang. Walaupun lega mendengarnya menemukan
Loralite, aku terlalu sibuk memperhatikan kehancuran
Stonehenge sehingga tidak merasa senang. Aku tak percaya
Nomor Delapan melakukannya. Aku marah. Ella berlari
melewatiku, sementara aku bergegas ke bawah salah satu
dari beberapa batu yang masih tetap berdiri dan
menggunakan telekinesis untuk memperlambat gerakan
batu-batu besar itu.
Penjaga yang bertubuh besar menahan batu
berikutnya yang bakal miring, diikuti penjaga yang satu lagi.
Aku berkonsentrasi ke batu mereka dan menahannya supaya
tetap tegak. Saat batu itu ditubruk batu lain yang jatuh, aku
menahannya agar tidak miring. Kedua penjaga itu merosot
dari batu tersebut dan terduduk di rumput, terkejut karena
tiba-tiba mereka jadi kuat. Setelah itu, aku membalikkan
efek domino tadi sehingga batu-batu yang sudah jatuh
bergerak naik dan mendorong batu yang lain hingga kembali
berdiri, lalu aku menahannya seperti semula. Kemudian,
dengan menggunakan sedikit kekuatan yang tersisa, aku
mengangkat batu-batu horizontal dari tanah dan
mengembalikannya ke atas batu-batu tersebut.
Para penjaga memandangi semua ini dengan mulut
ternganga, terlalu terkesima untuk menjawab suara cemas
putus-putus yang keluar dari walkie-talkie mereka.
"Marina," Ella berbisik. "Hei. Marina, kita harus pergi.
Sekarang. Ayo."
Aku berjalan mundur ke tengah monumen dengan
perasaan lega dan siap untuk pergi karena telah berhasil
merapikan kembali semua batu tersebut.
Aku menghampiri Nomor Delapan dan
menyentakkan Petiku darinya. Meskipun masih marah dan
tak mampu memandangnya, aku meraih tangan Nomor
Delapan. Ella membawa Peti Nomor Delapan sambil
memegangi tangannya yang lain. Kami berdiri bersama di
atas Loralite biru. Hal terakhir yang kudengar sebelum
ditelan kegelapan adalah suara penjaga yang bertubuh besar
?terdengar lelah dan ingin segera mengakhiri petualangan
ini?menjawab walkie-talkie yang sudah diambilnya
kembali, "Maaf, keliru."
24
AKU MENGHILANGKAN DIRT DAN BERSEMBUNYI DI balik
deretan loker di koridor gelap yang panjang. Rasa sakit dan
mual akibat menggunakan Pusakaku begitu kuat sehingga
aku bergelung meringkuk sambil menekankan kedua tongkat
ke rusuk untuk mengurangi rasa sakit. Sambil menyandarkan
kepala yang berkeringat ke dinding semen yang dingin, aku
berusaha menarik napas dan berharap rasa sakitnya segera
memudar. Sudah banyak koridor yang kulewati, tapi aku
khawatir jangan-jangan aku hanya berputar-putar. Sejauh ini,
aku sudah menemukan hanggar kosong dan banyak pintu
yang dikunci secara elektronik. Dari pengalaman Sam dan
John yang ditangkap polisi waktu itu, aku tahu telekinesis
kami tidak berfungsi terhadap listrik. Aku memikirkan John
dan Sam juga Marina dan yang lainnya. Kuharap mereka baik
baik saja, atau setidaknya tidak mengalami sakit seperti aku.
Aku membayangkan John dan Sam menantiku di tempat
pertemuan kami. Seharusnya beberapa hari lagi kami
bertemu di sana. Apa yang akan mereka pikirkan kalau aku
tidak ada di sana. Aku begitu frustrasi?dan takut?sehingga
merasa kehabisan napas. Tetapi, pikiran semacam ini tidak
ada gunanya, jadi aku kembali berkonsentrasi memikirkan
cara keluar dari tempat terkutuk ini.
Seakan dikomando, alarm berbunyi. Begitu dimulai,
bunyi memekik di atas kepala itu seakan tiada akhirnya. Aku
sadar aku harus segera menguatkan diri. Secepatnya. Semua
orang mencariku. Sebuah kendaraan kecil terbuka yang
ditumpangi sejumlah prajurit bersenjata melintasi koridor
panjang ini. Setiap kali melihat kendaraan itu lewat, aku
tergoda untuk menarik para penumpangnya keluar,
melompat naik, lalu pergi. Namun, aku yakin tak akan bisa
pergi jauh. Lagi pula, kalau aku melakukan itu, aku harus
mengorbankan apa yang membuatku di atas angin saat ini.
Mereka tidak tahu di mana aku berada.
Aku tidak lagi mencoba berkomunikasi dengan Ella.
Jelas aku cuma berkhayal waktu itu. Sekarang aku sendirian.
Aku harus berhenti bicara dengan diriku sendiri dan
menemukan sesuatu yang dapat digunakan untuk
menghancurkan pintu lalu keluar dari sini. Kurasa aku ada di
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bawah tanah. Andai aku tahu berapa dalam.
Lampu-lampu di koridor menyala. Dari pengalaman,
aku tahu itu artinya ada sensor gerak yang terpicu. Sesaat
kemudian, aku mendengar kendaraan bergerak ke arahku.
Aku meremas perut, menghilang, lalu merasakan sakit
teramat sangat yang sudah kuduga bakal terjadi. Dengan air
mata mengaliri muka akibat derita luar biasa, aku
merapatkan tubuh ke dinding dan memandangi kendaraan
berisi tiga prajurit tersebut merayap menujuku. Saat
kendaraan itu melintas di depanku, aku menghantamkan
salah satu tongkat ke wajah si pengemudi. Wow, kepala itu
darahnya banyak, ya? Hidung, mulut, dahi, semuanya
memancarkan darah seperti geyser. Luka yang (seakan)
spontan itu menyebabkan si pengemudi menjejak pedal gas
keras-keras dan banting setir ke arah dinding. Dia pingsan.
Dua prajurit lainnya melompat ke lantai semen. Mereka
mengamati muka si pengemudi lalu, setelah melihat tak ada
sesuatu di sekitar sini yang mungkin menyebabkan luka,
meraih walkie-talkie. Namun aku sudah menduganya. Aku
menghampiri untuk menumbukkan kepala laki-laki terdekat
ke atap kendaraan lalu menyepak kakinya. Prajurit ketiga
berbalik untuk melihat apa yang terjadi, dan aku
menghantamkan kepalanya juga. Aku merenggut salah satu
tanda pengenal lalu berlari.
Aku perlu mencari tahu ke mana aku harus pergi dari
sini. Secepatnya. Aku tak bisa terus-terusan tak tampak.
Aku menggunakan tanda pengenal itu untuk
melewati pintu yang dikunci secara elektronik dan tiba di
koridor yang benar-benar berbeda dari koridor lain yang
telah kulihat. Karena harus menghentikan rasa mual dan rasa
sakit, aku menampakkan diri kembali dan langsung merasa
lega. Aku memandang berkeliling dan berusaha melihat di
mana aku berada. Koridor ini lebih besar dibandingkan yang
lain, dengan langit-langit tinggi yang berbentuk kubah dan
dipahat dari batu pasir. Dua pipa kuning besar menempel di
sepanjang dinding, diapit kabel-kabel listrik kendur. Aku
sampai di belokan koridor lalu mengintip dari sudut. Tidak
seorang pun yang terlihat. Kusandarkan punggung ke dinding
lalu bergeser pelan-pelan dan berbelok. Di depanku ada
pintu merah dengan tanda: BAHAYA. KHUSUS PERSONEL
BERWENANG. PESAWAT SATU.
Aku membuka pintu itu dengan telekinesis sambil
menahan sakit, tapi kunci listrik lain menahan pintu itu tetap
tertutup. Saat akan mencoba tanda pengenal lagi, aku
mendengar langkah kaki yang bergerak cepat ke arahku. Aku
kembali menghilang, tapi perutku langsung bergolak
menyakitkan sehingga aku roboh ke lantai. Aku tak sanggup
lagi. Tidak. Di sekitar belokan, seseorang berseru, "Rasanya
aku mendengar sesuatu dari sini!"
Dari tempatku di lantai, nyaris tak mampu untuk
tetap talc tampak, aku menyambar pergelangan kaki penjaga
yang lewat. Dia jatuh tersungkur, memberiku cukup waktu
untuk menggesekkan kartu yang kucuri ke kunci elektronik.
Pintu membuka dan aku menyelinap masuk.
Aku berdiri di peron logam berjeruji, jauh di atas tiga
rangkai rel kereta api yang mengarah dan menghilang di
terowongan bulat. Satu trem dengan tiga gerbong kosong,
serta ditempeli sejumlah simbol pemerintahan Amerika
Serikat, berhenti di rel dekat peron. Dari balik pintu di
belakangku, penjaga yang tadi kujatuhkan berteriak ke
sekelompok pria yang baru saja tiba di tempat kejadian. Aku
terhuyung-huyung menuruni tangga, lalu melompat ke
dalam pintu trem yang terbuka sambil menarik tuas pertama
yang kulihat.
Kepalaku tersentak ke belakang saat trem meluncur
bagai roket. Lampu-lampu merah dan kegelapan panjang di
terowongan bulat itu berkelebat cepat sampai-sampai
tampak kabur. Aku terus meluncur kencang, tanpa melambat,
di bawah dua peron berjeruji seperti yang ada di tempatku
masuk tadi. Tiba-tiba, rel menukik dan membelok ke kanan,
dan aku meluncur kencang jauh di atas kanal panjang berisi
air. Aku berharap trem ini akan mengeluarkanku di padang
pasir. Namun trem tersebut malah melambat lalu berhenti di
bawah peron lain. Pastilah di tempat-tempat tertentu trem
ini berhenti secara otomatis. Pintu membuka dan aku berlari
menaiki tangga. Aku menampakkan diri kembali dan sangat
senang karena perutku tidak sakit lagi, meski sadar ini tidak
akan selamanya begitu. Aku membutuhkan Pusakaku supaya
bisa keluar dari sini.
Aku menarik napas dalam-dalam dan dengan hati
hati mencoba membuka pintu di ujung atas tangga. Tidak
terkunci. Dengan perlahan, aku membuka pintu itu sedikit
untuk mengintip apa yang ada di baliknya Sebelum aku
sempat melihat dengan jelas, pintu menjeblak terbuka,
menyebabkan bahuku tersentak menyakitkan. Aku
berhadapan dengan seorang penjaga yang membawa senjata
yang kukenal di bahunya?meriam Mogadorian. Begitu dia
meraihnya, meriam tersebut berdengung menyala diiringi
kilatan cahaya. Namun sebelum penjaga itu sempat menekan
pelatuknya, aku menerjang sehingga kami menabrak dinding
batu. Penjaga itu bergegas maju dan berusaha menahanku
dengan melingkarkan lengan kekarnya di pinggangku. Aku
menjauh dari jangkauannya lalu menyepak kaki si penjaga,
menjatuhkannya. Tengkoraknya berderak mengerikan begitu
menubruk lantai. Aku meringis, tapi tak berhenti untuk
memikirkannya. Dengan cepat, aku mendorong tubuhnya
masuk ke terowongan lalu menutup pintu. Aku meraih
meriamnya lalu berlari.
Aku memandang berkeliling untuk melihat di mana
aku berada. Tiang-tiang besar mulus menopang langit-langit
terowongan yang berliku-liku ini. Aku lari zig-zag di antara
tiang-tiang itu sambil memasang telinga kalau-kalau ada
penjaga lain. Aku berpikir dengan cepat, menyeleksi apa
yang kulihat, berusaha menyatukannya. Pertama-tama,
mengapa prajurit itu punya meriam Mogadorian? Apakah dia
mendapatkan meriam dari Mogadorian yang tertangkap?
Atau apakah para Mogadorian memasok senjata untuk
pemerintah? Terowongan itu bercabang dan aku melambat,
berusaha memutuskan harus ke mana. Aku tak melihat
sesuatu yang dapat membantuku memutuskan, jadi aku
memikirkan saat terakhir kali menghadapi jalan bercabang.
Waktu di Himalaya, yang membuat Komandan Sharma kaget.
Aku ke kiri.
Pintu pertama yang kulihat di kiri terbuat dari kaca. Di
baliknya, aku dapat melihat ilmuwan dengan jubah putih dan
masker mondar-mandir di suatu tempat yang mirip taman
besar serta dipenuhi tumbuhan hijau tinggi. Di atas mereka,
ratusan lampu terang bergantung rendah dari langit-langit.
Seorang wanita berambut merah dan bersetelan
gelap masuk melalui pintu lain, lalu berjalan menghampiri
salah satu pria berjubah putih di depan ruangan. Lengan
kanan wanita itu disangga kain gendongan dan ada perban di
pipinya. Dia memandangi si ilmuwan yang menuangkan
cairan dari botol ke satu bagian taman di dekat mereka. Aku
terheran-heran menyaksikan tumbuhan-tumbuhan yang ada
di sana bertambah tinggi beberapa puluh sentimeter,
sementara ujung-ujungnya bercabang dengan cepat. Sulur
putih menyebar ke segala arah, membentuk kanopi tebal di
atas kepala mereka. Ilmuwan itu menulis sesuatu di papan
catatannya lalu mengangkat kepala untuk bicara dengan
wanita tadi. Aku tak sempat menunduk untuk bersembunyi
sehingga tatapan kami beradu menembus pintu kaca. Aku
mengangkat meriam Mogadorian ke arahnya dengan
perlahan dan menggeleng. Kuharap ilmuwan itu merasa dia
hanya orang biasa yang akan menghindari pertarungan.
Namun aku kurang beruntung. Aku menyaksikan ilmuwan itu
memasukkan tangan ke saku. Sialan. Dia memicu sesuatu.
Aku mendengar suara dari atas kepalaku dan nyaris
terhantam lempeng logam tebal yang turun di depan pintu
kaca untuk melindunginya. Alarm berbunyi. Aku tahu seluruh
area ini bakal terkunci. Aku tak boleh tertangkap. Sambil
bersiap menghadapi rasa sakit yang menguasai tubuhku, aku
menghilang.
Tepat waktu. Prajurit tumpah memenuhi terowongan
dan aku beringsut di sepanjang dinding untuk menghindari
mereka. Rasa sakit maupun gelombang mual itu tidak
muncul. Pengaruh obat apa pun yang mereka berikan
kepadaku itu pasti sudah hilang. Aku sangat lega, walaupun
tak punya banyak waktu untuk menikmatinya. Pintu di
kananku membuka diiringi bunyi klik. Tanpa berpikir, aku
melompat melewatinya dan tahu-tahu aku sudah berada di
koridor putih sempit yang dipagari pintu-pintu lain. Di tengah
koridor itu ada seorang prajurit yang berjalan mundur dari
salah satu pintu.
"Diamlah," dia berkata ke ruangan itu. "Dan kau harus
makan sesuatu."
Dia menarik pintu hingga menutup lalu berbalik dan
beranjak pergi. Namun, aku sudah berdiri di sana dan
melayangkan tinju kanan ke rahangnya, merobohkan prajurit
itu. Aku melihat kunci tergantung di ikat pinggang pria itu,
menariknya lepas, lalu dengan panik menjejalkan kunci ke
pintu yang baru saja ditutupnya, satu per satu, sampai
menemukan yang pas. Kurasa orang yang tadi diajaknya
bicara bukan temannya, dan saat ini aku butuh sekutu. Aku
mendorong pintu hingga terbuka untuk melihat apakah hari
ini aku bisa punya teman baru.
Begitu melihat apa yang ada di hadapanku, aku
terkesiap kaget. Aku tak tahu apa yang kuharapkan, tapi yang
jelas aku tidak menduga akan melihat gadis yang meringkuk
di sudut itu. Tubuhnya kotor dan di pergelangan tangannya
ada memar merah tebal. Namun, aku langsung
mengenalinya. Sarah Hart. Pacar John sekaligus orang yang
membuat John ditangkap polisi saat kami kembali ke
Paradise malam itu.
Dengan goyah dia berdiri, menggunakan kedua sisi
dinding untuk menyokong tubuhnya. Dia menguatkan diri
untuk menghadapi siapa pun yang melewati pintu. Dari sorot
matanya yang ketakutan, aku tahu dia hanya mengalami hal
hal buruk saat pintu dibuka. Aku sengaja tidak menampakkan
diri saat menyeret prajurit yang pingsan itu dari koridor ke
dalam ruangan. Membiarkannya di koridor hanya akan
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengundang orang untuk menyelidiki, dan aku tak
menginginkan tamu. Prajurit itu kudorong ke pojok, berharap
dia tidak terlihat kamera, kalau di sini memang ada kamera.
Aku menutup pintu.
"Sarah?" aku memanggil dengan pelan.
Dia menoleh dan memandang ke arah suaraku, tapi
dengan tatapan bingung. "Siapa? Di mana kau?" "Ini aku,
Enam," bisikku. Dia terkesiap pelan.
"Enam? Di mana kau? Di mana John?" tanyanya
dengan suara gemetar.
Aku terus bicara dengan pelan karena tak yakin kami
benar-benar hanya berdua. "Aku tak terlihat. Duduklah
seperti tadi, pura-pura aku tak di sini. Tundukkan kepalamu
supaya kita bisa bicara. Aku khawatir mereka mengamatimu
lewat kamera."
Sarah kembali merosot ke sudut lalu menarik
lututnya ke dada. Dia menundukkan kepala, membiarkan
rambutnya terjuntai ke depan dan menghalangi seluruh
wajahnya. Aku berjalan menghampiri lalu duduk di lantai di
sampingnya.
"John di mana?" dia berbisik.
"John di mana?"Aku tak dapat menyembunyikan
kemarahan dalam suaraku. "Kau dapat melupakan John,
Sarah. Seharusnya kau tahu di mana John berada. Lagi pula,
kau menjebaknya, kan? Dia dipenjara karena kau. Lalu, aku
mengeluarkannya. Sekarang aku ingin tahu, apa yang kau
lakukan di sini?"
"Mereka membawaku ke sini," dia menjawab dengan
suara gemetar.
"Siapa yang membawamu ke sini?"
Bahu Sarah berguncang saat dia menangis pelan ke
lututnya. "FBI. Mereka terus bertanya di mana John berada
dan aku terus menjawab aku tak tahu. Kau harus
memberitahuku di mana John berada. Aku harus memberi
tahu mereka, kalau tidak mereka akan membunuh semua
orang yang kukenal!" Dia terdengar putus asa.
Aku tak dapat mengatakan aku bersimpati padanya.
"Itulah yang terjadi saat kau berkhianat, Sarah. Kau tahu
perasaan John terhadapmu. Kau tahu dia memercayaimu.
Namun, kau memanfaatkan itu demi menyelamatkan orang
orang ini. Sekarang, mereka memperalatmu. Nah, cepat, beri
tahu aku apa yang kau katakan kepada mereka tentang John!"
"Aku tak tahu apa yang kau bicarakan," Sarah
membantah, dan dia mulai terisak keras. Mau tak mau, aku
merasa kasihan karena melihatnya seperti ini. Apa yang
mereka lakukan terhadapnya? Rambut Sarah yang panjang
menutupi wajah dan lengannya, dan dia tampak begitu kecil
dan mungil. Aku merasakan kemarahanku lenyap dan
menyandarkan tanganku ke punggungnya.
"Maaf," bisikku.
Begitu aku menyentuhnya, dia menarik napas dan
menoleh ke arah suaraku. Aku tak dapat melihat mata Sarah
yang biru karena saat ini matanya merah. Agar dia mendapat
kekuatan supaya sanggup melakukan apa yang harus kami
lakukan, aku menampakkan diri sekejap, menunjukkan
meriam Mogadorian di tanganku, lalu menghilang lagi. Aku
melihat senyum simpul di wajah Sarah sebelum dia kembali
memandang lutut. Dia mendesah, menarik napas dalam, lalu
berkata dengan nada yang lebih mantap, "Aku senang
melihatmu. Kau tahu di mana kita berada?"
"Kurasa kita di New Mexico, di markas bawah tanah.
Sudah berapa lama kau di sini?"
"Entahlah," sahutnya sambil menyeka air mata yang
jatuh ke kaki.
Aku berdiri dan berjalan ke pintu untuk
mendengarkan. Tidak terdengar apa-apa. Walau tahu aku
membuang-buang waktu yang berharga, aku tetap harus
menanyakannya. "Aku tak mengerti, Sarah. Kenapa kau
menjebak John? Dia cinta kepadamu. Kupikir kau
menyayanginya."
Sarah berjengit seakan-akan aku menamparnya.
Suaranya bergetar saat dia menjawab, "Aku benar-benar tak
mengerti apa yang kau bicarakan, Enam."
Aku harus memejamkan mata dan menarik napas
beberapa kali supaya suaraku tidak meninggi, menahan
marah. "Aku bicara tentang waktu John datang pada malam
itu demi menyatakan cintanya yang tak pernah mati
kepadamu. Ingat? Ponselmu bergetar pada pukul dua pagi,
lalu semenit kemudian polisi datang? Itu yang aku bicarakan.
Kau bikin John patah hati dengan membuatnya ditahan."
Sarah mulai mengangkat kepala untuk menjawab, tapi aku
berbisik untuk mengingatkannya agar tetap menunduk.
Dia kembali menyandarkan kepala di lutut lalu
menyahut dengan nada datar. "Aku tak bermaksud begitu.
Aku tak punya pilihan. Tolonglah. Di mana John? Aku harus
bicara dengannya."
"Aku juga ingin bicara dengannya. Aku ingin bicara
dengan mereka semua! Tapi pertama-tama, kita harus
memikirkan cara keluar dari sini," aku berkata dengan nada
mendesak.
Suara Sarah lemas saat dia bicara lagi. "Tak ada jalan
keluar. Kecuali kalau kau mau bertarung melawan seribu
Mogadorian."
"Apa?" Aku berbalik ke arahnya. Apa maksudnya? Ini
fasilitas pemerintah Amerika, bukan markas Mogadorian.
"Kau melihat mereka? Mogadorian? Mereka di sini?"
Sekilas air muka Sarah tampak sayu. Dia tidak lagi
seperti gadis yang kulihat di Paradise, gadis manusia yang
John cintai dan membuat John rela melakukan apa saja demi
dirinya. Aku tak ingin memikirkan apa yang dilakukan FBI dan
para Mogadorian terhadapnya. "Ya. Aku melihat mereka
setiap hari."
Udara seakan terempas keluar dari tubuhku. Aku
memang sudah mencurigai itu, tapi tetap saja aku kaget
karena ternyata dugaanku benar. "Yah, sekarang aku di sini,"
aku mengumumkan, berusaha membesarkan hati salah satu
dari kami. "Aku janji, Mogadorian berikutnya yang kau lihat
akan kuhajar."
Sarah tertawa pelan ke kakinya. Bahunya tampak
sedikit lebih santai dibandingkan waktu aku masuk tadi.
"Kedengarannya bagus. Enam, tolonglah, bisakah kau
mengatakan di mana John berada? Apakah dia baik-baik saja?
Apakah aku bisa menemuinya?"
Aku tahu dia mencemaskan Nomor Empat, tapi aku
mulai terganggu karena dia terus-terusan menanyakannya.
"Sejujurnya, aku belum bertemu dengannya, Sarah. Kami
berpisah. Dia pergi bersama Sam dan Bernie Kosar untuk
mengambil Peti Loricnya kembali, sedangkan aku pergi ke
Spanyol untuk menemui salah satu Garde. Seharusnya tiga
hari lagi kami bertemu, tapi kurasa itu tak akan terjadi."
"Di mana? Kalian harus bertemu di mana? Beni tahu
aku. Aku sedih sekali karena tak tahu di mana dia berada."
"Saat ini, tak masalah kami akan bertemu di mana
karena aku tak akan ada di sana," aku meledak. "Kita harus
memikirkan cara keluar dari sini."
Sarah berjengit mendengar kemarahan dalam
suaraku. Dia mencoba lagi. "Di mana yang lain? Di mana
Nomor Lima?" Sarah bertanya.
Aku mengabaikannya?jelas sekali dia tidak
menyimak kata-kataku. Aku mendekati pintu dan
menempelkan telingaku lagi. Terdengar suara langkah
langkah kaki pasti ada lebih dari satu orang?yang berjalan di
koridor. Aku menimbang-nimbang kemungkinan. Aku dapat
memancing mereka ke dalam sel atau mengalahkan mereka
di tempat mereka berada. Yang mana pun yang kupilih, aku
tahu aku harus menghadapi mereka, membuat Sarah menjadi
tak terlihat, lalu memilih melarikan diri ke mana.
Sarah berdiri. "Bagaimana Nomor Tujuh, Delapan,
dan Sembilan? Di mana mereka? Apakah mereka bersama
sama?"
Kalau Sarah tidak berhenti bicara, dia bakal membuat
kami tertangkap, atau lebih parah dari itu. Aku berdesis ke
arahnya, "Sarah! Cukup! Hentikan!" Aku menempelkan
telinga ke pintu lagi dan langsung sadar ada yang salah.
Koridor itu sepertinya dipenuhi orang. Kami terperangkap.
Aku berbalik untuk memberi tahu Sarah, tapi dia seperti
sedang kejang-kejang. Aku tertegun melihat tubuhnya
melonjak-lonjak di lantai sel.
"Sarah!" Aku menampakkan diri dan berlari
menghampiri untuk mencegah kepalanya menghantam lantai
semen. Apakah dia dibius?
Tubuh Sarah bergetar begitu kencang sampai-sampai
tampak kabur. Aku hanya dapat menonton tanpa daya saat
garis putih muncul dan mengelilingi tubuhnya. Aku
mengulurkan tangan, tapi garis itu berubah jadi hitam
sebelum jariku menyentuhnya. Aku berusaha menghentikan
kejang-kejang Sarah dengan telekinesis, tapi begitu mencoba
berkonsentrasi, otakku seakan terbakar, seolah-olah ada
energi gelap luar biasa yang memasuki tengkorakku. Tiba
tiba saja aku sudah jatuh ke belakang samba memegangi
kepalaku yang berdenyut-denyut dengan mata terpicing
rapat-rapat. Saat membuka mata lagi, aku tak dapat
memercayai apa yang kulihat. Kulit Sarah Hart menggelap,
tubuhnya juga meninggi hingga dua meter. Rambut
pirangnya memendek hingga menjadi rambut hitam yang
dipangkas pendek. Wajahnya berubah jadi wajah monster
jahat. Bekas luka ungu muncul di salah satu sisi lehernya yang
sekarang besar, lalu perlahan-lahan memanjang sampai ke
kerongkongan. Saat akhirnya berhenti memanjang, bekas
luka itu mulai bersinar.
Apakah aku baru saja menyaksikan Sarah berubah
jadi Setrakus Ra? Walau tak pernah melihat Setrakus Ra, aku
sudah mendengar cukup banyak sehingga punya gambaran
mengenai apa, atau siapa, yang kupandangi saat ini.
Pintu mendadak terbuka dan sejenak aku tak bisa
melihat akibat sinar biru terang dari Setrakus Ra. Lalu
sekonyong-konyong, selusin prajurit Mogadorian menyerbu
masuk, dengan meriam teracung siaga.
Aku berusaha menghilang, tapi tak terjadi apa-apa.
Aku tak sempat memikirkan mengapa. Aku meraih meriam
yang kuletakkan di lantai sebelum menolong Sarah,
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melompat, lalu menembakkannya ke salah satu Mogadorian.
Dia menjadi awan abu yang runtuh di kakiku. Aku terus
menembak, membunuh dua lagi, tapi saat berbalik untuk
mencari korban berikutnya, aku tersentak ke belakang dan
tercekik liontinku. Aku dapat menoleh cukup jauh untuk
melihat aku dipegangi makhluk mengerikan yang tadinya
Sarah. Dia memutarku, menepiskan meriam dari tanganku
dengan telapak tangannya yang besar, lalu menyentakkanku
ke wajahnya. Pada jarak sedekat ini, aku dapat melihat kulit
gelapnya yang penuh bekas luka kecil seakan-akan disayat
sayat silet.
Aku berkonsentrasi untuk mengangkat senjataku dari
lantai, tapi meriam itu tetap tergeletak di sana. Pusakaku
tidak berfungsi! Tanpa Pusaka, aku lemah. Malah lebih parah
dari lemah. Namun, aku tidak menyerah.
"Katakan di mana mereka!" raung Setrakus Ra. Dia
menarik keras rantai yang melilit leherku. Aku memandangi
bekas luka ungunya yang tampak lebih terang saat dia
bertanya, "Di mana mereka, Nomor Enam?"
"Terlambat," aku berbisik segagah yang kubisa.
"Sekarang kami terlalu kuat dan kami akan mendatangimu.
Lorien akan hidup kembali dan kami akan menghentikanmu.
Tamparannya begitu keras sampai-sampai pipiku
kebas dan telingaku berdenging. Aku memaksakan diri untuk
terus menatapnya. Setrikus Ra menarik bibirnya yang pecah
pecah dan memperlihatkan dua deret gigi-geligi yang tajam
dan jelek. Dia begitu dekat sehingga pandanganku agak
buram, jadi aku mencari sesuatu untuk kutatap. Aku memilih
gigi yang terbelah dua dan mengucurkan cairan hitam kental.
Aku tak yakin mengapa, tapi gigi itu menimbulkan efek aneh
dan membuat Setrakus Ra tampak tidak terlalu mengerikan.
Giginya menjijikkan.
"Katakan, tiga hari lagi kau harus bertemu Nomor
Empat di mana?"
"Di bulan," aku menjawab.
"Kau akan mati di depan mereka. Aku sendiri yang
akan membunuhmu."
Aku tidak menjawab. Aku bahkan tidak menyadari
Setrakus Ra berbicara saat dia mengencangkan
cengkeramannya. Liontin yang aku dan John temukan di
sumur di Ohio, yang ada di rangka raksasa itu, melesak ke
belakang leherku saat ditarik semakin kencang. Saat Setrikus
Ra menarik rantai lebih keras lagi, aku teringat wajah John
saat kami berlatih bersama, aku melihat para Garde duduk
mengelilingi meja putih di pesawat, dan aku tersenyum. Aku
bangga karena para Tetua memilihku. Demi menghormati
mereka, atau aku tak akan mengemis-ngemis supaya tidak
dibunuh.
"Jadi kau di sini, Nomor Enam." Aku langsung
mengenali suara itu. Agen Purdy. Aku membuka mata dan
melihat laki-laki tua. Salah satu lengannya digips dan
wajahnya memar-memar. Dia berjalan ke arahku dan aku
melihat langkahnya pincang.
Begitu dia cukup dekat, aku meludahi sepatu
kulitnya. Setrikus Ra tertawa tepat di telingaku.
Agen Purdy memandang ke atas kepalaku dan
berbicara dengan Setrakus Ra. "Berhasil mendapatkan
informasi yang kau cari? Kau tahu di mana mereka?"
Setrikus Ra menggeram dan aku dilecutkan ke
dinding sebagai jawaban, lututku yang paling dulu
menghantam semen. Saat tubuhku mengenai lantai, rantai
liontinku langsung ditarik supaya aku berdiri. Aku dapat
merasakan rusukku terpengaruh benturan tadi, kurasa
beberapa rusukku retak. Aku kesulitan bernapas. Sekali lagi
aku berkonsentrasi untuk mengangkat meriam dari lantai,
tapi senjata itu tak bergerak.
"Senang melihatmu bergabung dengan kami di sini,
Enam," kata Purdy. "Kulihat kau sudah bertemu Setrakus
Ra."
"Pengecut," aku berbisik. Dengan atau tanpa Pusaka,
aku akan mengalahkannya atau mati.
"Pengecut? Kau yang melarikan diri dariku," bantah
Setrakus Ra.
Aku menatap matanya yang berwarna merah gelap
lurus-lurus. "InI namanya pengecut. Pasti kau merasa tak
mampu membunuhku kalau kondisiku fit. Itulah yang
kusebut pengecut." Bekas luka Setrakus Ra
menyala lagi, sangat terang dibandingkan barusan. Aku kaget
karena rantai di sekeliling leherku melonggar. "Masukkan dia
ke tempat gadis yang satu lagi," katanya sambil menarik
liontin ke atas kepalaku. Hatiku mencelus saat aku melihat
liontinku tergantung dari tangannya. Dia memandangku dan
tersenyum. "Aku akan bertarung melawanmu, Nomor Enam.
Sendirian. Dan kau akan mati. Dengan sangat
cepat."
Aku diseret keluar dari sel, bagian atas kakiku
menyapu semen. Lalu sesuatu yang keras menghantam
belakang kepalaku. Aku menutup mata?lebih baik mereka
mengira aku pingsan supaya aku bisa mengamati ke mana
mereka menyeretku. Satu kali belok kanan dan dua kali belok
kiri. Terdengar suara pintu dibuka dan aku didorong ke
depan. Aku terhuyung dan menubruk sesuatu yang lembut.
Mataku masih kupejamkan saat merasakan seseorang
memelukku. Begitu membuka mata, aku kaget, untuk yang
kedua kalinya dalam satu jam terakhir, saat melihat Sarah
Hart.
25
NOMOR SEMBILAN MEMBAWA FORD KREM KAMI meluncur
menyusuri jalan antarnegara bagian. Sambil menatap barisan
panjang jagung di ladang, aku berusaha membayangkan
seperti apa ladang itu jika dilihat dari angkasa. Aku tak dapat
berhenti memikirkan pesawat kami yang ada entah di bagian
mana gurun di New Mexico. Setelah bertahun-tahun
melarikan diri, bersembunyi, dan berlatih, akhirnya semua
hampir selesai. Pusaka para Garde sudah muncul dan mereka
berkumpul. Setrakus Ra datang ke Bumi untuk bertarung.
Saat semua ini selesai, ada pesawat kami yang akan
membawa kami pulang ke Lorien.
"Aku bosan," Nomor Sembilan mengeluh. "Ceritakan
sesuatu. Ceritakan tentang Sarah. Secantik apa dia?"
"Lupakan. Dia itu di luar jangkauanmu," aku
menyahut.
"Empat, kalau kau bisa mendekatinya, pasti aku
punya kesempatan. Apalagi dengan mobil ini."
Mobil ini. Nomor Sembilan membiarkanku
berkubang dalam kesedihan saat pertama kali melihat mobil
ini diparkir. Maksudku, setelah menyaksikan seperti apa
hidup Sandor dan Nomor Sembilan, wajar saja kan, kalau aku
membayangkan mobil mewah? Namun ternyata, penampilan
itu menipu. Ford ini menyembunyikan asetnya.
Dari luar, mobil ini seperti sesuatu yang biasa terlihat
di daerah kumuh. Namun bagian dalamnya ternyata dipenuhi
teknologi paling canggih yang pernah kulihat. Aku merasa
seperti James Bond. Ada detektor radar, laser jammer?alat
untuk menghindari deteksi kecepatan mobil, dan jendela
gelap antipeluru. Saat Nomor Sembilan ingin istirahat, mobil
ini dapat menyetir secara otomatis. Dengan menekan
tombol, turet senjata berlaras besar keluar dari kap mobil.
Tentu saja, kendali senjata itu ada di setirnya. Nomor
Sembilan mendemonstrasikan senjata tersebut di jalan
panjang sepi di selatan Illinois, memuntahkan sekian banyak
peluru di sebuah gudang terlantar. Selama ini, aku cuma
pernah mengendarai mobil pikap usang dan mobil-mobil
bekas lain yang Henri temukan?jenis yang dapat kami
tinggalkan begitu saja. Dia tidak akan pernah membuat mobil
yang seperti ini, yang bakal menunjukkan terlalu banyak
bukti saat kami tinggalkan. Sekali lagi, ini menunjukkan
perbedaan kedua Cepan kami.
Nomor Sembilan mengangkat tangan dari setir dan
mengatupkannya seakan berdoa. "Kumohon, katakanlah.
Ceritakan lagi seperti apa Sarah ini. Sudah berjam-jam aku
memandang jagung. Aku rela melakukan apa pun supaya bisa
memikirkan sesuatu yang cantik."
Aku menoleh ke arah ladang sambil mengatupkan
bibir rapat-rapat. "Tak akan."
"Dude, mungkin dia tidak membuatmu ditangkap
polisi. Ayolah! Kenapa sih, kau protektif sekali?"
"Aku bahkan tak tahu apakah dia benar-benar
membuatku ditangkap. Aku tak tahu siapa yang harus
kupercaya. Kalau Sarah memang melakukannya, aku yakin dia
punya alasan. Mungkin dia dibohongi atau dipaksa." Terlalu
banyak pertanyaan mengenai Sarah yang berseliweran di
benakku. Andai aku dapat bertemu dan bicara dengannya.
"Oke, oke. Lupakan itu sebentar. Ceritakan saja
seperti apa dia. Aku benar-benar ingin tahu. Aku janji tak
akan berkomentar." Aku tahu Nomor Sembilan tak akan
menyerah. "Demi undang-undang Loric, kalau memang ada."
"Tentu saja ada! Kau dan Sandor terlalu sibuk
menikmati hidup dan bermain-main dengan mainan kalian
sampai-sampai melupakan hal mendasar seperti undang
undang Loric," aku menghardik. Kami tidak bicara selama
beberapa menit. "Oke, jadi Sarah itu seperti Mi. Kau tahu
seperti apa rasanya saat bicara dengan gadis cantik, lalu dia
hanya memperhatikanmu dan segalanya berjalan dengan
sangat baik?"
"Yeah."
"Lalu kau merasa seperti bersama gadis tercantik di
negara bagian, mungkin malah di negara ini, mungkin bahkan
di Bumi ini. Saat dia melangkah masuk, ruangan sekonyong
konyong jadi cerah. Semua orang ingin menjadi sahabatnya,
menikahinya, atau keduanya. Kau dapat
membayangkannya?"
Senyuman Nomor Sembilan melebar. "Yeah. Oke.
Aku dapat membayangkannya."
"Nah, itulah Sarah. Dia gadis cantik yang
mencerahkan ruangan. Dia memperlakukan orang seakan
akan orang itu orang paling penting yang ditemuinya. Saat dia
tersenyum, oh Tuhan, rasanya dunia begitu indah dan hal lain
jadi tidak penting. Di atas semua itu, dia itu orang paling
manis, paling cerdas, dan paling kreatif yang pernah kutemui.
Dia juga menyayangi binatang dan pernah?"
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dude. Aku tak peduli apakah dia itu baik kepada
anak anjing. Beni tahu aku perinciannya, seperti apa
wajahnya, penampilannya."
Baru kali ini aku bertemu orang yang begitu
memaksa. Aku mendesah. "Rambutnya pirang, matanya biru.
Tinggi dan langsing?dan kau harus lihat dia memakai sweter
merah miliknya. Dia cantik luar biasa saat memakai sweter
itu."
Nomor Sembilan melolong ke langit-langit, membuat
Bernie Kosar di kursi belakang terbangun. Aku menudingkan
jari ke arah Nomor Sembilan. "Hei! Kau kan sudah janji tidak
akan berkomentar, ingat? Demi undang-undang Loric?"
"Oke, oke," sahut Nomor Sembilan. "Terima kasih
atas perinciannya. Sepertinya Sarah ini benar-benar cantik.
Nah, sekarang ceritakan tentang Nomor Enam."
Dia menggosok kedua tangannya sambil tersenyum
lebar penuh minat.
"Tak akan!"
"Yah, ayo dong, Johnny."
Aku tertawa. Mustahil aku tak ingin membicarakan
Nomor Enam. "Oke. Nomor Enam. Sebentar. Yah, pertama
tama, dia itu orang paling kuat yang pernah kukenal."
Nomor Sembilan mendengus. "Yang benar saja. Aku
yakin sanggup mengalahkannya."
"Entahlah. Tunggu sampai kau bertemu dengannya."
Dia memandang spion dan merapikan rambutnya.
"Hmm, aku tak sabar."
"Rambutnya hitam panjang, dan tampangnya seperti
sedang kesal?"
"Pernah tidak kau memperhatikan ada perasaan
mendebarkan saat seorang gadis marah dengan kita?" Nomor
Sembilan merenung sambil mengetuk-ngetuk dagunya
seakan-akan dia benar-benar memikirkan itu dalam-dalam.
Tiba-tiba, aku merasa bersalah. Seharusnya aku tidak
bicara seperti ini, terutama dengan Nomor Sembilan. Aku
juga seharusnya tidak membanding-bandingkan Nomor Enam
dengan Sarah seperti ini, seakan-akan ini kompetisi?
terutama karena mereka saling benci. Sarah membenci
Nomor Enam karena semua yang kukatakan tentang Nomor
Enam pada malam saat Sarah membuatku ditangkap.
Sementara itu, Nomor Enam membenci Sarah karena aku
mempertaruhkan nyawa kami hanya demi menemui Sarah,
padahal saat itu Nomor Enam membutuhkan bantuanku. Juga
karena dia pikir Sarah mengkhianati kami. "Aku merasa tak
enak membicarakan Nomor Enam. Kurasa sebaiknya kau
bertemu dengannya dan menyimpulkan sendiri."
Nomor Sembilan menggeleng. "Kau ini pengecut."
Selama beberapa saat, kami berkendara tanpa
bercakap-cakap. Tanda-tanda jalan memberi tahu di mana
kami berada. Aku mengecek tablet lagi. Berkat Nomor
Sembilan dan kecintaan Sandor terhadap elektronik, aku
dapat menghubungkan tablet ini ke komputer mobil.
Sekarang aku melihat sinar berkelip yang mewakili aku dan
New Mexico di timur Oklahoma, satu yang masih di New
Mexico, juga titik keempat yang bergerak cepat ke utara di
atas Samudra Atlantik. Tiga titik yang sebelumnya hilang,
muncul lagi di Inggris, tapi aku masih tidak mengerti
bagaimana mereka bisa tiba di sana dengan begitu cepat dari
India. Aku memutuskan untuk mengecek setiap lima atau
sepuluh menit demi memastikan tak ada titik yang hilang
lagi.
Aku memandang ke luar jendela, mengamati tanda
tanda yang kami lewati. Saat sudah lebih dari setengah jalan
menuju New Mexico, aku melihat jarum meteran bensin
mendekati EMPTY?KOSONG. Aku menunjuknya dan Nomor
Sembilan berbelok ke pemberhentian truk. Dia menyuruhku
membuka laci dasbor. Dua gulung uang seratusan dolar jatuh
ke pangkuanku.
"Wow," kataku sambil menangkapnya.
"Ambilkan satu," pinta Nomor Sembilan.
Aku menarik selembar dan menyerahkan uang itu
kepadanya. Dia membuka tangki bensin lalu keluar dari
mobil. Aku memasukkan beberapa lembar uang ke sakuku
lalu mengembalikan sisanya ke laci dasbor. Karena lelah, aku
menarik tuas untuk merebahkan kursi, menyandarkan
kepalaku, lalu memejamkan mata. Bernie Kosar memajukan
tubuhnya dan menjilat pipiku, membuatku terkekeh.
Walaupun rasanya lelah sampai ke tulang, aku berusaha
untuk tidak terlelap. Aku tak sanggup menghadapi apa yang
datang bersama tidur. Aku bosan menghadapi Setrakus Ra
dalam mimpi.
Aku membiarkan pikiranku melayang kepada Sarah
dan Nomor Enam, kuharap mereka berdua baik-baik saja.
Kemudian aku memikirkan Sam. Aku masih tak percaya aku
meninggalkan sahabatku. Aku meyakinkan diriku bahwa aku
tak punya pilihan. Perisai energi biru melumpuhkanku dan
aku cuma cari mati kalau kembali ke dalam. Walaupun itu
benar, aku tetap merasa buruk.
Lamunanku buyar akibat bunyi klik keras dari pompa
bensin yang selesai mengisi. Dengan mata masih tertutup,
aku menarik napas dalam untuk menikmati detik-detik
keheningan sebelum Nomor Sembilan masuk ke mobil.
Namun keheningan terus berlanjut. Nomor Sembilan tidak
masuk dan mengoceh. Aku membuka mata dan menoleh ke
pompa bensin, tapi di sana tidak ada siapa-siapa. Mana dia?
Aku memandang berkeliling di pom bensin itu. Tidak ada
apa-apa. Dengan perasaan cemas, aku keluar diikuti Bernie
Kosar yang melompat menyusul lalu mengunci pintu.
Pertama-tama aku masuk ke bangunannya?Nomor
Sembilan tidak ada di sana. Kemudian, aku keluar ke tempat
parkir yang dipenuhi truk gandeng. Dengan pendengaranku
yang tajam, aku mendengar suara Nomor Sembilan, dan aku
tahu dia baik-baik saja sekaligus kesal. Aku dan Bernie Kosar
berlari menuju suaranya, berbelok-belok mengitari sejumlah
truk, dan melihat Nomor Sembilan berdiri di antara dua
pemuda dengan kaus berlumuran darah. Di depan Nomor
Sembilan ada tiga sopir truk bertubuh besar yang berteriak
ke wajahnya.
"Kau bilang apa barusan?" tanya sopir truk yang di
tengah. Janggut merah lebat menutupi wajah pria bertopi
kuning itu.
"Kau tuli, ya?" tantang Nomor Sembilan sambil
mengucapkannya jelas-jelas seakan-akan sedang bicara
dengan orang idiot. "Aku bilang, tanganmu seperti
perempuan. Maksudku, lihat saja pergelangan tanganmu
itu." Mengapa sih, dia selalu cari masalah?
?Ada apa?" aku menyela sambil berjalan
menghampiri.
Sopir truk di kanan, pria tinggi yang mengenakan
kacamata pilot, memandangku. Dia menudingkan jarinya ke
wajahku dan berseru, "Urusi urusanmu sendiri, berengsek!"
Saat aku mendekat, sopir truk di kiri meludahkan cairan
cokelat panjang ke kakiku.
"Sejauh yang aku ketahui," Nomor Sembilan
menoleh untuk menjelaskan kepadaku, "orang-orang gendut
ini marah pada kedua pemuda kecil ini. Mereka ini
menumpang ke salah satu truk dan menjanjikan uang yang
tak mereka miliki. Jadi sekarang, laki-laki gendut ini mau
menghajar pemuda-pemuda kecil ini dengan lengan mereka
yang kecil dan mirip perempuan."
Aku memandang para sopir truk itu, tiga lelaki
gendut, dan berusaha bersikap ramah. "Oke. Yah, ini tak ada
hubungannya dengan kami, dan kami harus pergi. Jadi,
Bapak-Bapak, aku minta maaf atas nama temanku yang jelas
jelas tidak tahu kapan harus mengurusi urusannya sendiri."
"Yeah," si sopir truk berjanggut menggeram ke arah
Nomor Sembilan. "Pergi dari sini, Nak, dan biarkan kami
mengurusi makhluk-makhluk tak berguna ini."
Kemudian, barulah aku memandang para penumpang
itu. Dari baunya, sepertinya mereka sudah cukup lama di
jalan. Umur mereka pasti tak lebih dari delapan belas tahun,
mungkin malah lebih muda. Saat para sopir truk itu bergerak
mendekati mereka dengan sorot mata kejam, kedua pemuda
tersebut saling pandang dengan panik. Tiba-tiba, Nomor
Sembilan sudah melangkah ke depan kedua pemuda itu dan
berkata, "Aku tak peduli siapa menjanjikan apa kepada siapa.
Kalau kau menyentuh anak-anak ini lagi, akan kuhancurkan
semua lengan celaka kalian."
Aku menyela di antara Nomor Sembilan dan ketiga
sopir truk yang sekarang sangat berang, menahan kedua
pihak agar tidak maju. Bernie Kosar menyalak dengan sikap
mengancam. "Oke, oke. Hentikan." Aku memandang Nomor
Sembilan, memintanya mendengarkanku. "Kita tidak bisa
melakukan ini. Kita harus pergi ke tempat yang sangat
penting. Sekarang," kataku. Aku merogoh saku dan
memandang para sopir truk itu. "Berapa yang anak-anak ini
janjikan kepada kalian?"
"Seratus dolar," jawab sopir berkacamata pilot.
"Oke," kataku sambil menarik selembar uang seratus
dolar dari saku. Mata para sopir truk itu membelalak saat
melihat uang sebesar itu dan aku langsung menyadari
keadaan justru makin kacau.
"Kenapa pula kau beri mereka sesuatu, Johnny?"
Nomor Sembilan heran.
Aku merasakan tangan gemuk seorang sopir truk di
bahuku. Dia meremas bahuku sambil berkata, "Aku bilang
seratus dolar? Maksudku seribu. Johnny."
"Gila!" teriak salah satu pemuda itu. "Kami tak
pernah bilang mau memberimu uang!"
Aku berbalik menghadapi para sopir itu sambil
melambaikan uang tadi seperti bendera. "Seratus dolar,
Bung. Ambillah. Anggap ini tip atas pelayanan yang baik, atau
imbalan supaya tidak memukul, terserahlah mau disebut
apa. Ambillah!"
"Aku bilang seribu," kata pria di kiri sambil meludah
lagi, kali ini tepat ke sepatuku. "Apa kau tuli?" Geraman
rendah terdengar dari kerongkongan Bernie Kosar.
Nomor Sembilan bergerak maju, tapi aku
mendorongnya mundur dan berbalik memandangnya.
"Tidak! Tak ada gunanya!" Aku mendekatkan wajahku ke
wajahnya. Dia harus mengerti aku serius. Aku tak akan
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membiarkannya melakukan ini. "Tolonglah. Pikirkan Sandor
ingin kau melakukan apa. Dia pasti ingin kau meninggalkan
ini. Aku ingin kau meninggalkan ini," aku berbisik.
"Kalian tak bakal dapat apa-apa!" Nomor Sembilan
berteriak kepada para sopir truk itu melewati bahuku.
Aku mendorongnya mundur, ke arah mobil, lalu
berbalik tepat pada saat sopir truk berjanggut mengeluarkan
pisau dari saku. "Semua uangmu! Sekarang!" Kedua sopir truk
yang lain mengapitku.
"Dengar," kataku sambil merendahkan suara,
berusaha mengendalikan situasi, "silakan ambil seratus dolar
itu dan pergi. Kalau tidak, aku tak akan menahan temanku ini.
Percayalah, kalian tak akan mau itu terjadi. Kalian tak tahu
dia bisa apa dan pasti kalian tak ingin mengetahuinya."
Aku tidak terlalu kaget saat jawabannya datang dalam
bentuk tinju yang mengarah dari kanan dan dapat kuelakkan
dengan mudah. Aku meraih pergelangan tangannya lalu
menjatuhkan sopir truk itu. BK berdiri di dekatnya, masih
menggeram, dan orang itu menciut mundur.
"Giliranku!" ujar Nomor Sembilan dengan riang
sambil mendorongku menyingkir.
Sopir truk berjanggut mengayunkan pisau dengan liar
ke arah Nomor Sembilan yang mengelak dengan mudah.
Pada ayunan berikutnya, Nomor Sembilan merunduk di
bawah pisau lalu melayangkan tinju ke bawah ketiak sopir
tersebut, membuatnya menghantam tanah. Dia menyepak
pisau dari tangan si sopir dan senjata tajam itu meluncur ke
bawah truk. "Seharusnya kalian mendengarkan kata-kata
temanku yang bijaksana ini. Kalian tidak ingin macam-macam
dengan kami."
"Oke, oke. Kita pergi dari sini," kataku sambil
memegang bahu Nomor Sembilan. "Sekarang, kita semua
pergi. Ayo!"
Aku mendengar pistol dikokang. Kami terdiam. Sopir
berkacamata pilot mengayunkan Desert Eagle kaliber 0,5 ke
arah kami. Aku tak tahu apa-apa tentang senjata, tapi aku
yakin yang satu ini hantamannya sangat kuat. Dia terdengar
sangat serius saat bertanya, "Siapa yang mati duluan?"
Tentu saja, Nomor Sembilan melangkah maju sambil
menyilangkan lengan di dada. "Aku."
Sopir itu mengacungkan pistol ke wajah Nomor
Sembilan, lalu tertawa karena mengira dia cuma sok berani.
"Jangan macam-macam, Nak. Membunuhmu bakal bikin
hariku meriah."
"Yah, kalau begitu tembak saja. Tak ada gunanya
menunda-nunda memeriahkan harimu. Sepertinya hari
harimu biasanya tidak asyik," tantang Nomor Sembilan. Aku
mendesah, tahu ini bakal berakhir kacau. Setelah itu akan
ada perhatian yang tidak kami butuhkan.
Lalu segalanya terjadi dengan sangat cepat. Pertama
tama, tiba-tiba terdengar ledakan sangat keras dari truk di
dekat kami, mengagetkan sopir yang mengacungkan pistol
dan menyebabkannya menembak. Nomor Sembilan
menghentikan peluru tersebut dengan telekinesis, hanya
beberapa senti dari hidung. Sambil tersenyum lebar dan
memiringkan kepala, dia membalik peluru dan
mengirimkannya kembali ke si penembak. Karena melihat
peluru menyasarnya, sopir itu berbalik lalu berlari secepat
yang bisa dilakukan kakinya.
Aku menoleh memandang Nomor Sembilan. Dia
terlalu menikmati ini. Aku tahu apa yang akan dia lakukan
dan aku tahu itu ide yang sangat buruk. "Jangan. Sembilan.
Jangan lakukan," kataku sambil menggeleng, walaupun tahu
dia akan tetap melakukannya.
Nomor Sembilan tertawa dan pura-pura tak berdosa.
"Jangan lakukan apa? Ini?"
Aku dan dia memandang peluru yang masih
melayang di tempat Nomor Sembilan menghentikannya di
dekat si sopir truk tadi. Dia tertawa terkekeh lalu
mengirimkan peluru itu untuk mengejar sopir yang kabur
tadi, tepat ke bokongnya. Sopir itu roboh sambil menjerit
sekuat tenaga. Nomor Sembilan menatap sopir truk yang
lain. Sepertinya mereka bakal terkencing-kencing karena
ketakutan. Nomor Sembilan tersenyum ke arah sopir-sopir
itu dan aku tahu dia belum selesai mempermainkan mereka.
Dia berkata, "Tahu tidak? Kurasa kalian harus menebus
kesalahan teman kalian yang kasar itu. Nah, ini yang harus
kalian lakukan. Kalian rogoh saku kalian, pelan-pelan sekali,
lalu keluarkan dompet kalian. Kemudian, berikan setiap
dolar yang kalian miliki kepada pemuda-pemuda baik ini
karena sudah merepotkan mereka," katanya sambil memberi
isyarat kepada kedua pemuda tadi. "Kurasa kalian tak ingin
mengetahui apa yang akan kulakukan kalau kalian tidak
menurut. Cepat!" Kedua sopir truk itu mengangguk, lalu
merogoh saku mereka.
Kedua pemuda yang menumpang itu tampak sangat
heran menyaksikan kejadian tersebut. "Eh, terima kasih,"
kata salah satunya.
"Tak masalah," ujar Nomor Sembilan saat uang itu
berpindah tangan. Tangan semua orang kecuali kami tampak
gemetaran.
"Asal tahu saja, kami tak pernah menjanjikan uang
kepada mereka. Mereka cuma mencoba menakuti kami. Kami
benar-benar bokek," kata yang satu lagi.
"Aku percaya. Nah, sekarang kalian tidak bokek lagi,"
sahut Nomor Sembilan seraya tersenyum. "Anggap saja aku
tahu seperti apa rasanya berkeliaran dan hidup di jalanan.
Sulit bagi seorang anak untuk mendapatkan uang." Dia
memandangku untuk mendapatkan penegasan. Aku
tersenyum ke arah anak-anak itu lalu memandang Nomor
Sembilan kembali dan menunjukkan perasaanku yang kesal.
Dia mengangkat bahu. "Semoga tumpangan berikutnya lebih
baik!" Lalu dia berbalik dan berlalu, diikuti aku dan BK.
Saat sampai di mobil, kami naik lalu pergi tanpa
berkata-kata. Setelah satu atau dua menit, Nomor Sembilan
mengulurkan tangan dan menyalakan radio. Dia mengetuk
ngetukkan jari di setir seirama lagu.
"Apa yang kau lakukan barusan?" aku membentak
sambil meninju bahunya. "Jangan beri aku omong kosong
soal anak kecil malang dan sopir truk yang sangat jahat! Kau
cuma menghibur diri dan pamer! Tahu tidak? Itu bisa
membahayakan kita berdua, selain memperlama kita sampai
di tempat yang harus kita tuju. Yang benar dong, Sembilan!
Kendalikan dirimu!"
Nomor Sembilan mencengkeram setir dengan begitu
kuat sampai buku-buku jarinya memutih, dan aku dapat
melihat rahangnya dikatupkan begitu keras sehingga otot
ototnya berkedut. "Aku bukan pamer dan aku bukan
menghibur diri." Aku menunggunya melanjutkan,
menjelaskan, tapi dia tidak akan mengatakan apa-apa lagi.
Apa sih yang bikin dia marah?
"Jadi apa? Kau cuma membela dua manusia yang
ditindas? Padahal, kau pernah bilang tak ada gunanya buang
buang waktu dan energi untuk manusia?" Dia berjengit saat
aku mengembalikan kata-katanya.
"Aku tak suka penindas. Tak ada orang yang berhak
mengambil atau menyakiti orang lain hanya karena mereka
bisa begitu. Aku tak akan membiarkan mereka
melakukannya. Dan aku memastikan mereka tak akan
melakukannya lagi." Suaranya datar. Dia menoleh ke arahku,
ke wajahku yang kaget, lalu kembali menatap jalan. "Kenapa
sih, kau kaget begitu? Aku ini humanis."
Aku menggeleng. Setiap kali aku merasa telah
mengenal siapa Nomor Sembilan sebenarnya, dia melakukan
suatu tindakan yang membalik penilaianku dan justru
membuatku semakin menyukainya. Aku mengangkat bahu,
menyandarkan kepala ke belakang, dan memalingkan muka,
menatap pemandangan yang berkelebat di jendela. Aku
mengetukkan jari ke sandaran lenganku mengikuti musik.
"Aku tak tahu," kataku.
Dia duduk dengan santai di kursinya, lalu tersenyum
puas seperti Nomor Sembilan yang kukenal. "Ya. Nah,
sekarang kau tahu. Sekarang kau tahu."
26
KEPALAKU DI PANGKUAN SARAH HART, SARAH HART yang
sesungguhnya, dan jari-jarinya membelai rambutku. Aku
menatap hampa ke langit-langit, lalu mengangkat tangan dan
menyentuh leherku. Luka yang mengelilingi leherku pasti
dalam. Aku ingin duduk, tapi rusuk dan lututku yang memar
tidak memungkinkan untuk itu.
Aku malu karena begitu mudah ditaklukkan Setrikus
Ra. Betapa aku sangat lemah di hadapan kekuatannya yang
luar biasa. Aku sudah membunuh banyak prajurit
Mogadorian. Kepala mereka kupenggal saat aku menyerang
dengan senjata yang kukendalikan menggunakan pikiranku.
Sejak Pusakaku muncul, aku selalu siap untuk bertarung
tanpa kenal takut, tak peduli siapa atau apa yang kuhadapi.
Sampai saat ini. Setrakus Ra memegang rantai liontin dan
mengayun-ayunkan tubuhku seakan-akan aku ini boneka
kaki. Aku tak berdaya di hadapannya. Dia bahkan membuat
Pusakaku hilang. Aku mendapatkan kesempatan untuk
membunuh Setrakus Ra, menyelamatkan Lorien, dan
mengakhiri perang ini, tapi aku dilibas begitu Baja layaknya
nyamuk yang menjengkelkan.
"Enam? John masih hidup?" Sarah bertanya dengan
hati-hati. "Aku tahu kau kesakitan, tapi bisakah kau
memberitahuku?"
"Ya. Dia masih hidup," bisikku. Aku dapat merasakan
Sarah mengembuskan napas karena lega.
Setelah sejenak, dia bertanya lagi, "Kau baik-baik
Baja?"
"Entahlah," kataku. Aku menolehkan wajah supaya
bisa memandang mata Sarah yang lelah lalu berusaha
tersenyum. Tubuhku sangat lelah. Kelopak mataku
mengerjap-ngerjap saat aku membuka mulut untuk bicara,
"Dia menjadi dirimu. Monster itu menipuku. Dia membuatku
menyangka dia itu kau."
Tanpa memperlihatkan tanda-tanda kebingungan,
Sarah mendengarkan lalu menggeleng dan memalingkan
muka. "Aku tahu. Dia menunjukkannya kepadaku. Beberapa
hari yang lalu dia masuk ke selku. Kupikir dia mau
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membawaku kembali ke ruangan tempat ...," suaranya
melirih dan dia terdiam sejenak, lalu dia berdeham dan
menegakkan tubuh, "ruangan dengan semua mesin dan
lampu yang berkedap-kedip. Rasanya saat di sana aku jadi
gila dan seluruh tubuhku sakit. Sulit dijelaskan. Tapi ternyata
dia datang bukan untuk membawaku ke suatu tempat. Dia
cuma berdiri, tanpa mengatakan apa-apa. Lalu tubuhnya
mulai menyentak-nyentak, dia seperti kejang. Kemudian dia
mulai menyusut, dan ... bum!--aku seperti melihat diriku di
cermin. Saat dia bicara, yang terdengar bukan suaranya tapi
suaraku. Aku mencoba memukul dan mencungkil matanya,
tapi dia menghajarku habis-habisan sampai ... Yah, begitu
bisa berdiri lagi, aku menangkapmu saat kau dilemparkan ke
sini."
"Syukurlah." Aku mencoba tertawa, tapi tawa itu
tertahan di kerongkonganku. "Sungguh, terima kasih."
" Sama-sama." Dia menunduk dan tersenyum ke
arahku, dan aku merasa dia pasti sangat ketakutan. Aku
sendiri tadi sangat ketakutan, lebih daripada biasanya,
padahal aku dilahirkan dan dibesarkan untuk melakukan ini.
Ini hidupku, bukan hidup Sarah, setidaknya untuk jangka
panjang.
"Ada yang bikin aku bingung. Kenapa dia tahu banyak
tentang dirimu? Bagaimana caranya mengecohku selama
itu?"
"Mereka tahu segalanya, Enam," jawab Sarah dengan
nada sangat serius.
Aku berguling pelan-pelan dari pangkuannya untuk
mendorong tubuhku berdiri, berusaha mengabaikan tulang
rusukku yang memelas agar aku tetap duduk "Apa
maksudmu, semuanya? Tentang siapa? Dan apa yang kau
ketahui? Tentang ini semua?"
Sarah memalingkan muka. "Meskipun yang kutahu
cuma sedikit, aku memberitahukan semuanya kepada
mereka," katanya setelah semenit. "Aku tak dapat mencegah
diriku Mereka selalu membawaku ke ruangan itu,
mengikatku, lalu menyuntikkan obat ke tubuhku. Kemudian,
mereka mengajukan pertanyaan yang sama, lagi dan lagi.
Setelah beberapa saat, mulutku bergerak begitu saja
walaupun aku menyuruhnya berhenti. Aku tak dapat
berhenti bicara." Sarah menutupi wajah dengan tangan dan
terisak. "Aku memberi tahu mereka semuanya, mengulangi
setiap percakapan, kata demi kata."
Aku duduk bersandar di dinding dan membiarkan
rasa sakit melanda tubuhku. "Kalau John bertemu Setrakus
Ra dan meyakini itu kau, aku tak tahu apa yang akan terjadi."
Sekonyong-konyong Sarah terdengar panik. "Kita
harus keluar dari sini! Kita harus menghentikannya!
Bagaimana caranya supaya kita bisa memperingatkan John?"
"Aku tak tahu apakah aku siap untuk melarikan diri."
"Apa? Kenapa?" tanyanya heran.
Aku berdiri dengan lunglai sambil memegangi
rusukku. "Aku sudah bertemu Setrikus Ra dan aku ingin
punya kesempatan untuk melawannya lagi. Dia
membiarkanku hidup, dan sekarang, aku akan
membunuhnya." Kata-kataku pasti terdengar lebih
mematikan seandainya aku tidak limbung sedikit pun, tapi
aku bersungguh-sungguh dengan segenap hati.
Sarah berdiri dan kali ini aku dapat mengamatinya
baik-baik. Wajahnya kotor dan memar, rambut pirangnya
terjuntai lemas di bahu, tapi dia tetap cantik. Bagian bawah
sweter merahnya robek dan dia tidak mengenakan sepatu.
Berdirinya juga agak goyah. Sarah menatapku dengan
pandangan ragu. "Lihat dirimu, Enam. Kau terluka. Kau benar
benar terluka. Kau sadar barusan kau bilang apa? Kau gila
kalau mau melawannya sendirian. John akan datang, lihat
saja. Percayalah. John akan datang, dan dia akan
menyelamatkan kita, juga Sam. Aku yakin itu."
"Sam di sini? Kau yakin? Kau benar-benar
melihatnya?"
Sarah mengatupkan rahangnya. "Mereka
melemparkan Sam ke sini bersamaku satu kali. Dia tidak
sadar, tubuhnya luka-luka dan penuh memar. Seperti aku."
Lalu energi seakan menguap dari tubuh Sarah dan suaranya
jadi lesu. "Tapi aku tahu aku tak dapat lagi memercayai
semua yang kulihat atau kudengar."
Membayangkan Sam yang berdarah-darah di sel ini
membuat hatiku meradang. Apa yang terjadi di gua
Mogadorian itu? Aku meninju dinding semen, dan terkejut
saat melihat semennya jadi pecah. Kekuatanku kembali. Rasa
tidak sakit. Pusakaku kembali. Aku menatap mata Sarah
lurus-lurus. "Sarah, apakah malam itu kau menjebak John di
taman bermain? Katakan."
Tanpa bimbang sedikit pun, dia menjawab, "Tentu
saja tidak. Aku mencintai John. Aku memang bingung
tentang, yah, tentang segalanya dan ada banyak yang perlu
kupahami. Tapi aku tak akan pernah mengkhianati kalian,
terutama pada John."
Aku melihat air mata menggenangi matanya dan aku
tahu dia mengatakan yang sebenarnya. "Walaupun John itu
alien, kau tetap mencintainya? Kau tak peduli?"
Sarah tersenyum "Aku tak dapat menjelaskannya.
Aku tak dapat menjelaskan seperti apa rasanya cinta itu
bagiku, bagaimana cinta mengisi hatiku dan menguatkanku
untuk terus, tapi aku tahu cinta itu kuat dan indah, dan aku
tahu begitulah perasaanku terhadap John. Aku mencintainya,
dan aku akan selalu mencintainya." Sekadar mengucapkan
kata-kata itu keras-keras membuat tubuhnya lebih tegak.
Sarah tampak lebih kuat dan yakin.
Keyakinannya itu menggugahku. Aku memikirkan apa
yang terjadi antara aku dan John, ciuman itu serta segalanya.
Aku tidak mencintai John seperti Sarah. Dia jelas-jelas
percaya John adalah satu-satunya untuknya, di seluruh jagat
raya ini.
"Tahu tidak? Akhir-akhir ini aku teringat kenangan
lama, tentang perjalanan kami ke Bumi. Aku dan John selalu
bertengkar," kataku, suaraku lembut.
"Benarkah?" tanyanya, tak sabar ingin mendengar
apa pun yang bisa kuceritakan kepadanya.
"Yah, bukan bertengkar sungguhan. Lebih seperti aku
menekannya dan mengambil mainannya."
Kami tertawa dan dia meraih tanganku. Aku
menyesal Sarah ada di sini karena kami. Aku tak akan
mengecewakannya. Dia begitu yakin dengan apa yang kami
lakukan dan siapa diri kami, aku dapat melihat itu di
wajahnya. "Aku akan mengeluarkanmu dari sini, oke? Aku
akan membawamu kembali kepada John," kataku.
"Kuharap begitu," sahutnya dengan lembut.
"Kita juga akan mencari Sam dan mengeluarkannya
dari sini. Lalu kita akan bergabung dengan Nomor Tujuh,
Delapan, dan Sepuluh, mencari Nomor Lima, kemudian
memikirkan semuanya sebagai satu tim." Tangannya yang
kugenggam membuatku semakin kuat, semakin yakin.
"Tunggu. Nomor Sepuluh? Kupikir kalian cuma
bersembilan."
"Banyak hal yang tidak kau ketahui, hal-hal yang baru
saja kami ketahui," kataku samba menyentuh luka di
sekeliling leherku. Rasanya masih sakit, tapi sepertinya
sudah mulai sembuh. Aku bertanya-tanya apakah ada Pusaka
baru yang muncul.
Sarah memelukku, tapi cuma sebentar. Pintu berayun
terbuka dan selusin prajurit Mogadorian berbaris masuk
sambil mengacungkan meriam ke dadaku.
"Menghilanglah," Sarah berbisik pelan. "Ayo."
Aku mengecek rusukku dan menggerakkan leher.
Rasanya lebih baik dibandingkan lima menit lalu. Ini
seharusnya cukup. "Tidak. Aku tak mau lari lagi."
Wanita berambut merah yang kulihat di ruangan
kebun berjalan terpincang-pincang memasuki sel. Aku
memandang lengannya yang di gendongan dan perban di
pipinya, serta berpikir seandainya akulah yang menyebabkan
dia begitu. Siapa pun yang bersekutu dengan Mogadorian
dan menyiksa anak-anak di markas bawah tanah rahasia layak
mengalami seperti dia, bahkan lebih. Apakah wanita ini tahu
siapa sebenarnya para Mogadorian itu? Apa tujuan mereka?
Wanita itu mengerucutkan bibirnya yang pucat dan
menatapku. "Nah, kau yang akan bertarung melawan
Setrakus Ra?"
Aku melangkah maju. "Benar. Siapa kau?"
"Siapa aku?" dia bertanya, terkejut karena aku berani
bertanya begitu. Sepertinya dia tidak terbiasa menghadapi
orang yang mempertanyakan haknya untuk berada di mana
pun, memintanya menjelaskan siapa dirinya.
"Yeah, kau, berengsek." Apa dia pikir aku bakal
menghormatinya karena kedudukannya? "Aku barusan
bertanya, siapa kau dan kenapa pula kau bekerja sama
dengan mereka? Kau tahu apa yang akan dilakukan para
Mogadorian itu?
Apa rencana mereka? Setelah mendapatkan apa yang
mereka inginkan, para Mogadorian itu akan menghancurkan
Bumi. Dan kau tidak cuma membantu, tapi bahkan menggelar
karpet selamat datang terkutuk untuk mereka! Apakah
mereka mengatakan mengapa mereka di sini? Apakah kau
menanyakannya?" Aku berang dan putus asa. Wanita ini
harus mendengarku. Dia harus memahami apa yang
dipertaruhkan di sini.
Air mukanya tak berubah. "Aku tahu semua yang
perlu kuketahui. Mereka di sini karena mereka mencarimu
dan teman-temanmu. Sebagai imbalan atas bantuan kami,
mereka akan membantu kami dengan hal-hal yang penting
untuk keamanan. Aku juga akan memberitahumu satu
rahasia kecil. Aku ingin sekali bertemu lagi dengan Nomor
Empat dan teman alien gilanya. Aku akan jadi yang pertama
menembak mereka, dan aku akan melakukannya dengan
senang hati."
Aku dan Sarah saling pandang. Teman alien? Siapa
yang dia bicarakan? Apakah John bertemu Garde lain?
"Para Mogadorian itu akan membantumu dengan hal
hal seperti apa?" tanyaku.
"Yah, untuk awalnya," dia menjelaskan sambil
memberi isyarat ke arah meriam Mogadorian, "kami
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendapat ini. Ribuan senjata alien dengan kemampuan yang
tak mungkin dibuat di Bumi, yang aksesnya tak dimiliki
musuh-musuh kami. Dengan teknologi mereka, Pentagon
akan berada tahunan cahaya di depan angkatan bersenjata
lain di Bumi ini Kami akan menjadi tak terkalahkan." Aku
merasa jijik dan memastikan perasaanku itu tampak.
"Setrakus Ra juga memberi kami iridium, zat yang sangat
jarang ditemukan di Bumi, dan kami telah membuat
terobosan ilmiah yang akan menghasilkan miliaran dolar
untuk negara ini. Selain itu, pemerintah Amerika Serikat
sangat berminat menemukan planet lain yang mampu
menyokong kehidupan, dan para Mogadorian sudah
memberikan informasi mengenai itu." Saat berhenti bicara,
dia berdiri sambil menyilangkan lengan di depan dada
dengan sikap menantang.
"Apakah para Mogadorian ini memberitahumu
tentang apa yang mereka lakukan saat mereka menemukan
planet lain yang mampu menyokong kehidupan? Aku beri
tahu, ya. Mereka menghancurkan planet itu," aku berteriak di
wajahnya. "Kali ini kalian salah pilih, Kawan. Aku dan teman
temanku sedang mencoba menghentikan mereka.
"Cukup. Setrakus Ra memanggilmu. Lewat sini.
Sekarang." Wanita itu menepi supaya aku bisa lewat.
Aku tahu aku dapat mengalahkannya dan semua
prajurit ini. Namun itu hanya menunda apa yang kuinginkan
?mengalahkan Setrakus Ra. "Walaupun aku sangat tergoda
untuk membunuhmu saat ini juga, kupikir sebaiknya kau
kusimpan untuk Nomor Empat dan teman alien gilanya," aku
mencibir. "Kalau Setrakus Ra ingin melakukannya sekarang,
ayo." Aku mendesak melewati wanita itu dan berjalan keluar
sel.
"Enam!" Sarah berseru. "Hati-hati!"
Aku berjalan di koridor dengan diapit para musuh.
Kami melintasi banyak koridor, melewati sejumlah pintu,
dan beberapa menit kemudian, aku sudah berdiri di dalam
sebuah ruangan raksasa. Ruangan ini cukup besar untuk
sepasukan tank. Juga cukup untuk pertarungan berskala
besar.
Pintu terbanting dan aku mendengarnya terkunci di
belakangku. Sekarang, ruangan ini sangat gelap sehingga aku
sulit melihat sejarak enam puluh sentimeter di depanku,
apalagi ujung ruangan. Aku beranjak menuju apa yang kupikir
adalah tengah ruangan, sambil melayang di atas lantai untuk
menguji telekinesisku. Saat merasa sudah di tengah ruangan,
aku menutup mata dan berbalik, meraba udara dengan
benakku. Aku merasakan dua lusin atau lebih makhluk
memasuki ruangan tanpa bersuara. Itu membuatku kecewa.
Yang kuinginkan adalah pertarungan satu lawan satu.
Saat membuka mata, kedua mataku sudah hampir
terbiasa dengan kegelapan. Andai aku punya Pusaka Marina
yang membuatku dapat melihat dalam gelap, tapi
penglihatanku saat ini sudah cukup. Prajurit Mogadorian
berderet di dinding belakang. Mereka mengenakan jubah
hitam kasar dan sepatu bot hitam sambil memegang pedang
melintang di depan tubuh mereka. Tubuh mereka lebih besar
dibandingkan kebanyakan Mogadorian yang pernah kulawan,
tapi aku tahu aku sanggup membunuh mereka. Pintu di
belakangku membuka, dan selusin prajurit lain masuk.
"Hei! Apa-apaan ini? Setrakus Ra!" Aku berteriak ke
langit-langit, lalu berputar untuk memastikan semua
Mogadorian itu melihatku dan menyadari lawan mereka ini
bukan pengecut. "Kupikir kau mau bertarung melawanku!"
Sebagian dinding di belakang ruangan meledak dan
pemimpin Mogadorian itu muncul. Tiga liontin Loric berayun
dari lehernya yang mengerikan. Aku berniat untuk
mengambil kembali ketiga liontin itu. Setrakus Ra
merentangkan lengannya dan berseru, "Pertama-tama,
buktikan kalau kau pantas!"
Sepertinya itu komando untuk menyerang karena
semua prajurit meneriakkan pekik peperangan sambil berlari
menyerbu ke arahku.
Aku berlari ke kanan dan mulai bertarung melawan
mereka, satu demi satu.
27
ANGIN, PASIR PANAS, HAWA TERIK MEMBAKAR, serta sakit
kepala yang berdenyut-denyut menyambutku di tujuan
teleportasi kami berikutnya. Aku berusaha menaungi mata
dari sinar matahari membutakan sambil berbaring telentang,
memulihkan diri. Selamat datang di New Mexico.
"Oh, yeah," Nomor Delapan mengerang, tapi
terdengar puas. "Kita sampai."
Aku tersenyum, tapi tetap di tempatku berada
supaya sakit di kepalaku berkurang sebelum mencoba
bergerak.
"Ella?" aku memanggil.
"Aku di sini, Marina," dia balas berseru. "Lihat kita di
mana! New Mexico!"
"Akhirnya. Kau sudah mencoba menghubungi Nomor
Enam lagi?"
"Sudah. Belum berhasil."
Aku berdiri pelan-pelan. Nomor Delapan merangkak
di dasar bukit pasir, tersengal-sengal seperti akan muntah.
Sepertinya teleportasi kali ini lebih memengaruhinya
dibandingkan yang sebelum-sebelumnya. Ella memegang
tengkuknya. Kedua Peti Loric berada di dekatnya. Aku
berputar 360 derajat dan melihat hanya ada pasir, pasir, dan
lagi-lagi pasir di segala penjuru. Serta sedikit kaktus. "Kita ke
mana?"
Ella dan Nomor Delapan menaiki bukit dan berdiri di
sampingku. Setelah semenit, Ella menunjuk ke utara dan
berkata, "Lihat! Nomor Enam bilang dia sekarat di padang
pasir yang ada gunungnya."
Aku menyipitkan mata dan memandang ke arah yang
Ella tunjuk. Garis samar puncak pegunungan beriak di kabut
sore.
"Kalau begitu, kita ke sana," kata Nomor Delapan.
"Setelah kemampuan teleportasiku pulih, kita bisa bergerak
cepat dengan melompat. Untuk sementara ini, kita jalan."
Kami mengangkat Peti dan mulai berjalan ke utara.
"Ella," kataku, "kau harus terus mencoba menghubungi
Nomor Enam. Kalau kau tak dapat menghubunginya, mungkin
kau bisa mencoba Nomor Empat, atau bahkan mencoba yang
lain, Nomor Lima atau Nomor Sembilan." Upaya kami ke sini
menyebabkan kami kehilangan banyak waktu. Mungkin Ella
bisa mengetahui sesuatu yang dapat membantu kami
menghemat waktu.
Nomor Sembilan mengamati peta yang
ditampilkannya pada layar di tengah setir. Dia memandang
berkeliling, menatap gurun tak berujung di sekeliling kami.
Menurut GPS mobil, di dekat sini ada terowongan bawah
tanah. Kami cuma perlu mencari pintu masuknya. Aku
menekan segitiga hijau di tablet dan melihat jarak kami dari
pesawat cuma dua atau tiga kilometer. Saat menekan
lingkaran biru, aku berseru, "Sembilan! Mereka di sini!"
"Siapa yang di sini?" dia bertanya sambil
memandangi cakrawala.
"Tiga titik biru yang pindah-pindah itu. Sekarang
mereka di sini, di New Mexico!"
Nomor Sembilan merebut tablet dari tanganku lalu
bersorak. "Astaganaga. Tak diragukan lagi, kita ada di tempat
yang benar. Ke mana pun terowongan itu mengarah?siapa
pun yang ada di sana?ini semua akan berakhir." Dia
memandangku dengan mata berbinar-binar.
"Benar. Awal dari akhir." Aku mulai radar ini akan
menjadi pertarungan hidup kami.
"Di sini, di tempat ini-lah kita melakukan apa yang
seharusnya," kata Nomor Sembilan. "Kau harus bertarung
lebih ganas daripada sebelumnya, Empat. Kau harus seperti
hewan buas. Lalu aku? Aku akan mencari Setrakus Ra,
mencabut kepalanya, kemudian membungkus dan
mengirimkannya kembali ke Mogadore disertai pita merah
besar. Lorien akan bangkit dari abu." Suaranya bergetar
penuh emosi, bersama semua kemarahan terpendam dan
semangat juang yang selalu dibawanya.
Bernie Kosar menyalak dari kursi belakang. Nomor
Sembilan menoleh memandangnya sambil tersenyum.
"Kau juga, BK. Kau, kawanku, akan berkelahi habis
habisan."
Aku membayangkan seperti apa rasanya bertemu
semua Garde, sesuatu yang sejak lama tidak pernah
kubayangkan. Aku memandang ke cakrawala. Benakku begitu
jernih dan terbuka terhadap segala kemungkinan. Rasanya
bagus. Tiba-tiba, suara samar seorang gadis bergaung di
kepalaku. Awalnya pelan dan putus-putus seperti sinyal
radio yang jelek, tapi kemudian suara itu semakin jelas.
Empat? Nomor Empat? Kau bisa mendengarku?
"Ya, ya! Aku bisa mendengarmu!" aku berseru keras
keras sambil mengangguk kuat-kuat. "Siapa ini? Di mana
kau?"
Nomor Sembilan melongo memandangku. "Mm,
Kawan. Aku harap kau dapat mendengarku. Aku di sini."
"Bukan kau. Aku mendengar suara perempuan. Kau
dengar dia? Dia baru saja bicara denganku."
Nomor Empat? Aku Nomor Sepuluh. Kau bisa
mendengarku? Ini mungkin tak ada gunanya, aku tak tahu
apakah aku benar-benar bicara dengan seseorang. Mungkin
aku tak akan pernah bisa melakukannya tanpa bantuan
Crayton.
"Tuh! Terdengar lagi," aku berseru penuh semangat.
Nomor Sembilan memandangku seakan-akan aku benar
benar gila. "Sembilan! Dia baru saja mengatakan yang lain!
Kau dengar dia? Dia bilang dia Nomor Sepuluh! Dia seperti
ada di kepalaku."
"Nomor Sepuluh! Bayi dari pesawat kedua! Kalau
begitu, jangan cuma duduk-duduk sambil memandangiku
seperti itu! Jawab dia, Bodoh!"
Mudah saja dia bicara. Aku pikir ada Pusaka baru yang
muncul?untuk kami berdua. Perlu latihan untuk
mengetahui cara mengaktifkan Pusaka pada saat yang kita
inginkan. Karena menyadari aku tak boleh menyia-nyiakan
waktu untuk menemukan caranya, aku menarik napas dalamThe Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam dan mengabaikan suara-suara di kepala maupun di
sekelilingku lalu berkonsentrasi. Aku berusaha menciptakan
kembali perasaan yang kurasakan beberapa menit yang lalu,
tepat sebelum mendengar suara itu. Tadi aku merasa tenang,
terbuka, dan entah bagaimana terhubung.
Aku dapat mendengarmu, aku berusaha mengatakan
itu di kepalaku. Tidak ada apa-apa. Aku menunggu sebentar
lalu mencoba lagi. Nomor Sepuluh?
Nomor Empat! Kau mendengarku?
"Dia mendengarku!" aku tertawa sambil memandang
Nomor Sembilan dengan bangga.
"Bilang kita akan ke kota dan menyudahi hari ini,"
kata Nomor Sembilan. "Bilang kita bisa mampir dan
menjemputnya saat ke Lorien, di mana pun dia berada."
Di mana kau? aku mendengarnya bertanya. Aku
bersama Nomor Tujuh dan Nomor Delapan di gurun di New
Mexico. Kami sedang berusaha menemukan dan
menyelamatkan Nomor Enam.
"Dia bilang apa?" Nomor Sembilan berseru. Aku tahu
dia sangat kesal karena tak dapat mendengar percakapan
kami, tapi saat ini aku tak bisa bicara dengannya. Aku harus
berkonsentrasi untuk mendengar suara Nomor Sepuluh dan
menjawab.
Apa maksudmu? Di mana Nomor Enam? Kami juga di
New Mexico. Aku bersama Nomor Sembilan dan kami ada di
gurun, sedang mencari markas bawah tanah.
Aku memandang ke arah pegunungan. "Kita harus
menemukan terowongan itu. Cepat!" aku mendesak Nomor
Sembilan.
"Dia bilang dia di mana?"
"Dia bilang dia di sini, di gurun, bersama Nomor
Tujuh dan Nomor Delapan. Mereka berusaha menyelamatkan
Nomor Enam. Pasti dia yang waktu itu kita lihat di peta." Aku
tahu seharusnya aku tidak khawatir Nomor Enam mampu
menjaga diri. Namun tetap saja aku cemas.
"Dia pasti di dalam Dulce. Ayo, kita can dia." Jarijari
Nomor Sembilan merentang di atas monitor. Peta berganti
warna dan seperti memindai area tersebut, lalu akhirnya
memperlihatkan batang kaktus bercabang lima yang jaraknya
kurang-lebih empat ratus meter dari tempat kami. Aku dapat
melihat tepi terowongan bawah tanah di bawahnya. "Ha!
Boleh juga, dasar pemerintah licik sialan. Suruh Nomor
Sepuluh cepat-cepat ke sini!"
Bisakah kau mengatakan di mana kau berada,
Sepuluh? Kami menemukan terowongan masuk menuju
markas itu. Kami rasa Nomor Enam ditahan di sana. Kami ada
di mobil cokelat yang sedang parkir di pinggir jalan.
Setelah sejenak, dia berkata, Kami bisa ke tempat
kalian dengan teleportasi. Bagaimana caraku menemukan
kalian?
"Mereka tak tahu cara menemukan kita," aku
melaporkan kepada Nomor Sembilan.
"Mungkin kita bisa mengirimkan sinyal dengan suatu
cara? Berengsek! Seharusnya peluncur roket itu kita bawa!"
Dia memukul setir dengan telapak tangan lalu menatap ke
luar jendela dan menggeleng.
"Kita tak butuh peluncur roket," kataku yang tersadar
sambil melompat keluar dari mobil. Aku membidikkan
telapak tangan ke langit biru dan menyalakan Lumen, lalu
mengayunkannya ke depan dan ke belakang.
Cari cahaya di langit, kataku ke Nomor Sepuluh.
Selama satu menit, tidak terdengar apa-apa. Kuharap
hubungan kami belum terputus. Sepuluh? Cari cahaya di
langit.
Kami melihatnya! jawab Nomor Sepuluh akhirnya.
"Mereka ke sini," aku berseru ke mobil sambil terus
menyorotkan Lumen ke udara. Aku ingin memberi mereka
cukup waktu untuk melihat di mana posisi kami tepatnya.
"Kita cuma perlu duduk diam dan menunggu."
"Akan kucoba," kata Nomor Sembilan sambil
mengamati monitor di setir lagi. Namun, dia mulai tak bisa
diam. "Wah, aku tak percaya kita menemukan mereka!"
Akhirnya, aku memadamkan Lumenku dan naik ke
mobil. Tiba-tiba, kami mendengar suara yang jelas-jelas
suara helikopter.
"Mm, Johnny?" Nomor Sembilan memanggil.
"Mereka ke sini bukan dengan helikopter, kan?"
"Sialan," aku merutuk. Bernie Kosar melompat ke
pangkuanku dan meletakkan kaki depannya di pintu untuk
memandang ke luar jendela. Kami bertiga menatap
helikopter-helikopter bergerak di langit dari cakrawala
berkabut. Sejumlah helikopter bergerak bergerombol lalu
berhenti dan melayang tepat di atas kami. Aku
berkonsentrasi ke helikopter yang ada di depan dan
menggunakan telekinesisku untuk melemparkannya kembali
ke tempat asalnya. Setelah itu, aku menurunkannya, dengan
cukup keras sehingga helikopter tersebut tak akan terbang
lagi dalam waktu dekat.
"Itu pasti FBI. Mereka bikin aku kesal, nyaris seperti
para Mogadorian. Pasti tadi mereka sedang mencari kita lalu
melihat sinarmu!" Nomor Sembilan berseru. Turet senjata di
kap mobil muncul. Nomor Sembilan membidik, kemudian
menembakkan tembakan peringatan ke kanan helikopter
yang lain, lalu ke kiri. Begitu dia berhenti menembak,
helikopter-helikopter itu turun dan melayang tepat di atas
kami. Begitu aku akan menyingkirkan helikopter berikutnya
dengan telekinesis, Nomor Sembilan berseru.
"Lihat ke jalan," katanya. Aku memandang ke kiri dan
melihat awan debu raksasa membubung dari barisan panjang
mobil hitam. Bernie Kosar menyalak dan mencakar pintu.
Pintu mobil kubuka dan dia langsung berubah jadi elang
raksasa serta terbang ke langit. Aku berlari mengitar menuju
bagasi mobil lalu meninju dan membukanya. Aku membuka
salah satu tas, mengeluarkan empat senapan otomatis, dan
melemparkan dua senapan ke samping pintu Nomor
Sembilan. Mobil- mobil di kejauhan sudah menembak. Aku
merayap ke atas mobil kami dan membidik, sementara
Nomor Sembilan memuntahkan peluru ke helikopter yang
datang. Dari sudut mataku, aku melihat Bernie Kosar
menukik ke samping helikopter itu. Dia berhasil meraih salah
satu pilot dengan cakarnya, lalu merenggut dan menarik pilot
itu, menggunakan paruhnya yang kuat untuk merobek sabuk
pengaman yang menahan pilot tersebut di kursi. Setelah
pilot itu berhasil ditarik lepas, BK menjatuhkannya ke pasir.
Helikopternya jatuh dan meledak. Iring-iringan mobil hitam
membelok mengitari api itu dan aku menarik pelatuk kedua
senapan, menghabisi roda depan dua mobil pertama. Iring
iringan itu tidak berhenti, tapi setidaknya tembakanku
menghambat mereka.
Helikopter yang tersisa menyebar di langit, lalu
menyerbu kami dari berbagai arah. Gumpalan pasir meledak
berhamburan di sekeliling kami. Salah satu helikopter
terbang tepat ke atas kepala kami dan aku berguling
menyingkir dari jalur tembakannya.
Aku berusaha menjernihkan pikiran. Itu tidak mudah,
tapi aku mulai tahu apa yang harus kulakukan supaya bisa
berkonsentrasi untuk berkomunikasi. Aku menarik napas
dalam beberapa kali dan menenangkan pikiran. Nomor
Sepuluh? Di mana kau? Kami diserang.
Kami mendengarnya, jawabnya. Sebentar lagi kami
sampai. Dia menjawab dengan tenang, meski disertai sedikit
rasa khawatir. Walaupun begitu, aku senang karena tahu
yang lain sedang ke sini.
Aku beringsut dan melihat dua helikopter hitam
berbelok ke kiri, lalu pergi menuju arah yang berlawanan
sambil menembakkan misil demi misil ke sasaran baru. Itu
pasti mereka! Aku hanya mampu membelokkan tiga roket,
tapi seseorang berhasil membelokkan yang lainnya.
"Sepuluh dan yang lain hampir sampai!" aku
berteriak ke arah Nomor Sembilan melalui jendela
pengemudi. Tiba-tiba, turet senjata di kap depan meledak,
menerbangkan logam panas melewati kepalaku. Aku
berguling dari atap mobil tepat pada saat rentetan peluru
membelahnya jadi dua.
Nomor Sembilan melompat keluar dari mobil dan
meraih dua senapan yang tadi kulemparkan ke pasir di
samping pintunya. "Sepertinya kita menghadapi pertarungan
sungguhan. Aku sudah menunggu ini seumur hidup ."
Helikopter-helikopter berputar balik lalu berbaris di
atas mobil-mobil yang masih jauh di sana, bersatu
membentuk barisan terdepan. Nomor Sembilan mengangkat
tangan, dan tiba-tiba truk hitam paling depan terangkat
dengan cepat seperti pesawat ruang angkasa yang meroket
menuju angkasa luar. Saat dia membalikkan tangannya,
mobil itu melesat kencang menuju tanah. Kami dapat
mendengar penumpang mobil itu menjerit-jerit. Tepat
sebelum menghantam tanah, mobil itu berhenti, lalu
terempas dengan keras. Orang-orang di dalamnya segera
keluar dengan kaki gemetaran dan mencari tempat untuk
lari. Saat mendengar bunyi mobil terempas, Bernie Kosar,
yang masih berbentuk elang, mendarat di balik puing-puing
mobil di jalan dan berubah wujud menjadi hewan buas.
Kendaraan-kendaraan di belakang sana berbelok tajam ke
arah gurun untuk menghindarinya, sebagian malah berputar
balik. Bernie Kosar meraung.
Nomor Sembilan masuk ke kursi belakang mobil dan
melemparkan Peti kami ke pasir. Dia membuka Petinya,
mengeluarkan untaian batu hijau dan tongkat perak, lalu
berlari mundur menuju kekacauan itu sambil berseru, "Kau
tunggu yang lain. Aku dan BK akan segera kembali!"
Aku balas berseru, "Jangan sampai kelihatan seperti
yang menikmati ini! Dan pastikan kau tidak meledakkan jalan
masuk ke markas militer itu!" Sebuah helikopter berayun
dari arah kanan. Ketika aku mau menyentakkan hidung
helikopter itu dengan telekinesis, sesuatu merobek kaki
kiriku. Aku jatuh terjungkal ke pasir, dibutakan rasa sakit.
Rasanya begitu familier sehingga aku berguling di tanah dan
menjerit sekuat tenaga. Aku tahu apa artinya ini. Luka
membakar kakiku. Seorang Garde gugur.
Segalanya terhenti. Pikiran bahwa salah satu dari
kami tewas menyapuku dan aku terdiam akibat duka lara
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang begitu dalam sehingga serasa tenggelam ditelan pasir.
Berkurang lagi satu prajurit yang akan me- rebut Lorien
kembali, satu prajurit yang akan bertempur untuk
menyelamatkan Bumi dan semua makhluk hidupnya. Dua
misil menghantam mobil kami, meledakkannya sampai
hancur berkeping-keping.
Tembakan menghujaniku. Namun, gelangku melebar
jadi perisai tepat pada saatnya. Aku senang karena Warisanku
berfungsi pada saat marabahaya akan mengenaiku?
walaupun aku tak mengerti mengapa gelang ini tidak
melindungiku sejak tembakan pertama. Peluru terus
menghantam perisaiku dari jarak dekat. Saat akhirnya bisa
memeriksa luka baru di pergelangan kakiku, aku kaget karena
Pendekar Hina Kelana 15 Badai Selat Pria Bersetelan Coklat Man In Brown Fear Street Rumah Setan 3 House Of Evil
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama