Ceritasilat Novel Online

Burungpun Pulang Ke Sarangnya 1

Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal Bagian 1



Dan Burung-Burung Pun Pulang ke Sarangnya

Mashdar Zainal

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

? 2014, PT Elex Media Komputindo, Jakarta

Hak cipta dilindungi undang?undang

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Elex Media Komputindo

Kompas - Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta 2014

188141380

ISBN: 978-602-02-4294-1

Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau mem?

perbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin

tertulis dari penerbit.

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab percetakan

Persembahan

Untuk seorang wanita yang

tak pernah mengenal nama huruf,

Ibu, tanpamu, jutaan huruf dalam buku ini

takkan pernah lahir.

Kekata dan

Terima Kasih

Alhamdulillah.

Rasanya tak ada kata yang lebih pantas diucapkan

selain itu. Berkat kekuatan dan ghirah yang di?

anugerahkan-Nya-lah, lembar-lembar ini benarbenar menjadi buku yang bisa Anda baca dan

(mungkin, semoga) bisa Anda ambil tamsilnya.

Yang Mahapuitis telah menyematkan imajinasi

dan kata-kata, kemudian gerak jemari melepas?

kannya, maka kini, kertas dan tinta menyem?pur?

nakannya. Lewat kepala rapuh ini, sebuah ingatan

semasa remaja telah disemayamkan dan akhirnya

menjelma buku ini.

Ketika sebuah buku lahir, maka seorang

bayi telah lahir. Itu hanya sekadar ibarat. Ketika

seorang bayi lahir, ia akan terus tumbuh menjadi

semakin sempurna sebagai sosok manusia. Pun

buku ini. Ia telah mengalami kisah yang berliku

untuk sampai di meja penerbit hingga akhirnya

bertakdir di tangan para pembaca. Sebuah

buku tak ubahnya nyawa yang mampu berbisik

dan bercerita dengan caranya sendiri. Tentu

saja. kelahirannya diharapkan memberi sebuah

manfaat dengan caranya sendiri.

Sebagaimana penulis pemula pada umumnya,

semangat menulis pun kerap pasang surut. Ba?

nyak sekali pihak yang (secara langsung dan tak

langsung) selalu menyulut semangat saya un?tuk

terus menulis, memperbaiki, menulis la?gi, mem?

perbaiki lagi, dan seterusnya. Buku ini lahir juga

karena hal-hal sederhana dan tak pernah kita sadari

semacam itu. Oleh karena itu, ruahan terima kasih

tentu saja perlu saya sampaikan, terutama untuk

dua perempuan yang banyak merevisi hidup

saya, ibu dan istri saya tercinta. Selanjutnya,

kepada kawan-kawan dan para penulis yang selalu

menyemangati dengan memamerkan karya-karya

mereka?itu suntikan semangat paling ampuh.

Ucapan terima kasih juga saya haturkan kepada

rekan-rekan di Penerbit Quanta yang dengan

lapang hati bersedia menerima dan menerbitkan

naskah sederhana ini. Terakhir, khususon kepada

Mbak Linda selaku editor buku ini, jika sebuah

buku adalah anak dan seorang penulis adalah

orangtua yang melahirkannya, maka seorang

viii

editor adalah guru yang membimbingnya dan

menjadikannya lebih baik.

Semoga cerita sederhana ini dapat men?

cerahkan, menginspirasi, atau sekurang-kurang?

nya menghibur. Selamat membaca.

Penulis

Daftar Isi

Persembahan................................................ vi

Kekata dan Terima Kasih............................vii

1. Bait-Bait Puisi di Sore Hari.......................1

2. Persahabatan Senasib...............................27

3. Namanya Misas.......................................66

4. Si Penyelamat..........................................79

5. Getaran yang Menyusup.......................100

6. Sebuah Surat Istimewa..........................116

7. Tujuh Juli..............................................132

8. Sepi.......................................................154

9. Kehendak Jodoh....................................173

10. Hurin ?In...............................................186

11. Pulang...................................................201

12. Melawat................................................214

13. Kebenaran yang Getir............................224

14. Menitis Majnun....................................234

15. Sebuah Coba.........................................241

16. Pengorbanan.........................................248

17. Sembuh Tak Kunjung............................258

18. Pernikahan dan Ratapan........................271

19. Tinggal Kisah........................................287

20. Satu Tiang Lain Tali..............................298

21. Tulisan-Tulisan Milati...........................311

22. Nazar Seorang Penulis...........................327

23. Surat Cinta Alamat Celaka....................332

24. Hati Seorang Istri..................................348

25. Mukadimah Malapetaka........................354

26. Urusan Hati..........................................379

27. Selamat Jauh..........................................387

28. Firasat dalam Surat................................395

29. Catatan Hati yang Mendung.................403

30. Mengawal Sesal.....................................414

31. Guncangan............................................420

32. Dan Burung-Burung Pun Pulang

ke Sarangnya.........................................434

Tentang Penulis........................................449

Bait-bait Puisi

di Sore Hari

Nun jauh di ketinggian, di ranting-ranting malam

yang mulai mengembang, burung-burung be?

terbangan, beriringan, pulang ke sarang-sarang

mereka.

Matahari tampak seperti sorot mata yang lelah,

yang begitu pasrah dan merendah, menjalankan

titah. Sinarnya yang jingga dan matang bagaikan

sendang, tak henti-henti membasuh jiwa-jiwa

yang lelah. Angin yang semilir memberi kesejukan

buat jisim-jisim yang terpuruk. Sebuah lukisan,

bukan kata-kata. Sungguh merana bagi siapa

yang enggan memandangnya. Lebih merana lagi

bagi siapa yang memandangnya tapi masih harus

berpikir ulang untuk mengakui betapa hebat Sang

Pelukisnya. Yang paling merana adalah mereka

yang memandangnya, mengakui kehebatan Pe?

lukis??nya, lalu melupakannya begitu saja.

Di ketinggian, seorang gadis tengah bercumbu

dengan senja, dengan buku harian yang seperti

menyimpan setiap detail rahasia hidupnya. Ia

menuliskankan sajak-sajaknya. Cahaya jingga

tum?pah di kerudungnya.

Perjalananku bagaikan air, mengalir saja

lewati beribu alam

Riak gemericiknya mesra, sama tapi selalu

berganti

Ada kala kuterjang dangkal, batu kering

dan padas licin mengisapiku

Kan kulewat penat kulalu hakikat, ku?

rangkul segala apa dalam sejukku

Namun ada kala kujelang muara, kan ku?

sulam arus kan tenang

Kan kusujud kubasuh kalut, biar kurebah di

ruang tirta

Perjalananku bagaikan angin, berembus

saja mengarungi berjuta bentuk

Desah desirnya lembut, sama meski ber?

ganti

Ada saat kutampar bingar, asap-asap

sombong meracuniku

Kan kubadai dan hitam kubawa terbang,

kugiring segala apa dalam semilirku

Dan ada kala kusaput hawa, kan kuhabis

segala bengis

Kan kukikis sebentuk tangis, biar kurehat

di rongga bayu

Tenang, ia menorehkan bait-bait itu sendiri,

bagai tenggelam di dunianya sendiri. Dia yang

merangkainya sendiri, mendendangkannya sen?

diri. Di sebuah tempat tinggi, lantai puncak beratap

langit lepas, lantai puncak sebuah bangunan yang

bersejarah bagi para penghuninya. Penghuni

Yayasan Panti Asuhan dan Pesantren Anak ?Man?

ba?ul Ulum? yang berdiri di tanah Tanjung, pe?

dalaman Nganjuk, Jawa Timur. Di ketinggian ia

berdiri, menyanyi, berpuisi, mencurahkan hati,

dan memanjakan dirinya dengan belaian angin di

sore hari; seorang diri.

Ia biasa melakukan itu pada sore hari seusai

menjemur cuciannya atau saat ia sekadar ingin

disentuh embusan angin. Atau kadang, ketika

ingin menangis, ia akan menaiki tangga untuk

sampai di puncak lantai tiga itu, lalu ia akan

me?nepi, merapat dengan pagar yang setinggi

ping?gulnya. Di sana ia akan membentangkan

kedua tangan, lantas memejamkan mata untuk

membiarkan angin membawa terbang sesak di

dadanya, juga genangan kecil di matanya. Hanya

itu yang paling ia sukai untuk mengisi kekosongan

waktu setiap matahari terapung menghilang. Ia
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

takkan beranjak dari tempatnya berdiri sebelum

lazuardi di barat benar-benar menjadi merah.

Magrib.

Sore itu adalah bagian dari sore-sore yang lain

saat ia larut dalam ritualnya sendiri. Mengadukan

kerinduan pada sosok-sosok yang hilang sebelum

sempat ia temui. Sosok ayah sebagai curahan lelah,

sosok ibu sebagai aduan rindu. Sosok yang belum

pernah ia rasakan sentuhan kasihnya. Hanya itu.

Pada dasarnya, tak banyak alasan baginya untuk

bersedih-sedih tapi hati seseorang siapa yang tahu.

Boleh wajah ceria, hati luka siapa yang tahu. Boleh

bibir tersenyum, hati menangis juga tak ada yang

tahu. Bagaimana pun, Milati adalah gadis yang

sudah cukup banyak belajar mengendalikan diri

dan hati sehingga segala kesedihan itu hampirhampir tidak terlukis di wajahnya, kecuali pada

saat-saat tertentu.

"Milati, Bu Nyai memintamu menemuinya!

Sekarang!"

Teriakan keras itu menyambar tiba-tiba, mem???

buyarkan kedekatannya dengan langit, ke?asyikan?

nya dengan angin. Suara itu bagaikan petir yang

kecil berkilat tapi cukup untuk membuatnya ter?

sentak dari lamunan. Ia membenci itu, tapi se?

kadarnya saja. Ia tak lagi asing dengan suara pa?

rau yang meneriaki namanya dari bawah sana. Ia

adalah Syaqib, yang sama seperti dirinya dalam

segala hal, juga kehidupannya yang bebas terlepas

sejak kecil tanpa kedua orangtua. Milati tak heran

kalau suara yang berteriak di bawah ialah Syaqib,

hanya dia yang tahu dan mau tahu segala tentang

dirinya. Takkan ada orang yang tahu di mana

Milati menghabiskan sorenya selain Syaqib.

Dengan sedikit malas, Milati balas mene?

riakinya. "Iya, aku akan segera turun."

Segera ia berlari menuruni anak tangga lantai

demi lantai. Ketika sampai di anak tangga terakhir

sebelum kakinya menyentuh tanah, ia meloncat.

"Dipanggil Bu Nyai, tuh!"

"Ada apaan lagi, sih?"

"Yah, mana kutahu. Buruan!" ucap Syaqib

sem?bari berlalu begitu saja.

Milati mengekor di belakang Syaqib, lalu

memasuki pintu ndalem1 sedangkan Syaqib nge?

loyor ke aula asrama.

Milati berjalan pelan. Matanya tertuju pada

seorang perempuan berkebaya cokelat muda

berkerudung tipis, sang pemilik yayasan yang

biasa dipanggil Bu Nyai. Bu Nyai terlihat sibuk

di depan sebuah kompor lecek, suara kemerotak

terdengar dari luar pintu dapur. Seperti biasa,

Bu Nyai sibuk menggoreng opak singkong

yang menjadi kesukaan anak-anak. Milati yang

biasa membantu Bu Nyai menggorengnya, lalu

membungkusnya. Setelah rapi, kerupuk itu akan

digantung di depan koperasi panti. Yang berminat,

akan menarik bungkusan itu dan meletakkan uang

500 perak di stoples bekas biskuit yang diletakkan

di sebelahnya."Bu Nyai memanggil saya?" sapa

Milati lembut.

Bu Nyai tak menyahut. Mungkin suara Milati

ditelan kemerotak opak singkong yang sedang

1 Sebutan untuk rumah kiai.

mekar saat digoreng. Milati mendekat dan berdiri

di belakang Bu Nyai. Bu Nyai tersentak kaget

dengan kedatangan Milati yang sekonyong koder

berdiri di sebelah kirinya.

"Masya Allah, jantungku copot," ucap Bu

Nyai sambil mengelus dada. "Kamu bikin Ibu

kaget. Nggak salam nggak apa. Muncul gitu saja,"

lanjut Bu Nyai.

"Saya sudah salam, Bu. Ibu, sih, terlalu kon?

sentrasi goreng-gorengnya, sampai suara saya

nggak kedengaran. Ibu panggil saya, ada apa?"

"Itu, lho, minyak gorengnya habis. Tolong

kamu ambilkan di warung Pak Hadi. Sudah ada

catatannya, kok. Kamu tinggal ambil saja."

"Inggih,2 Bu. Ambil berapa liter?"

"Yang sudah bungkusan satu kiloan saja, ambil

dua. Oh iya, sekalian tepung terigunya, sekilo

saja."

"Tembakaunya jangan lupa, satu kilo," teriak

Abah dari kamar depan.

"Tuh, tambah tembakau satu kilo." "Siap ber??

ang?kat, Boss!" ucap Milati konyol. Tangannya

diletakkan di pelipis seperti pasukan upacara yang

sedang hormat pada bendera. Milati beranjak, Bu

Nyai tersenyum-senyum saja melihat ulah anak

asuhnya yang cantik, lincah tapi nurut itu. Bu

Nyai merawat Milati semenjak ia ke?cil, kalau tidak

2 Iya (Bahasa Jawa halus).

salah waktu itu umur Milati masih tiga tahun,

neneknya waktu itu masih agak muda, sekitar 50

tahun. Neneknya sendiri yang mengantarkannya

ke yayasan yang menaungi panti asuhan, pesantren

anak, dan madrasah sore itu.

Waktu itu, Milati sudah menjadi yatim piatu.

Sebelum dibawa ke panti, ia hidup bersama

kakek dan neneknya saja. Kata nenek Milati,

ibunya meninggal saat melahirkannya, sedangkan

ayahnya meninggal karena serangan jantung saat

Milati berumur tiga bulan dalam kandungan.

Kisahnya memang menyedihkan. Kakek nenek

Milati mengantarkannya ke yayasan bukan

karena tak mampu menanggung biaya hidup

ataupun sebab lainnya. Milati dibawa ke panti

dengan harapan Milati kelak menjadi seorang

gadis yang cerdas berilmu; menguasai ilmu dunia

tanpa kebobolan ilmu akhirat. Supaya kelak

menjadi perempuan salihah yang bisa mendoakan

orangtuanya, setidaknya begitu.

Kakek nenek Milati sendiri bukanlah orang

berpendidikan. Mereka tak pandai baca tulis,

meskipun sekadar mengeja a-ba-ta-tsa, apalagi

ngaji. Kendati demikian, mereka tak pernah lepas

diri sebagai hamba Allah yang teguh menjalankan

kewajiban sebagaimana layaknya hamba. Meski

kakek nenek Milati buta baca lumpuh tulis,

mereka acap mengikuti pengajian-pengajian di

kampung. Mereka merasa butuh seperti butuhnya

orang kegelapan pada dian. Dari pengajianpengajian itulah mereka tahu bahwa dalam hal

beribadah, shalat tak boleh ditinggalkan. Apa pun

alasannya.

Bagi orang-orang berusia lanjut, menghafal

bacaan shalat bukanlah hal yang sekadar sulit,

tapi sangatlah sulit. Karena memang sudah

telanjur, apa boleh buat. Namun, jika nasi sudah

jadi bubur, tidak berarti semua hangus pupus.

Jika nasi sudah menjadi bubur, yang harus kita

lakukan ialah mempersiapkan kacang, seledri,

bawang goreng, sedikit daging ayam, dan kecap.

Jadilah bubur ayam istimewa yang disuka siapa

saja.

Intinya, tak pernah ada kata terlambat dalam

pencapaian kebaikan. Itulah, meski kakek ne?

nek Milati tak tahu bacaan shalat, mereka tak

pernah meninggalkan shalat. Shalat merupakan

kewajiban, tidak bisa bukanlah alasan yang te?

pat untuk meninggalkan shalat. Selama hayat

masih dikandung badan, istilah belajar tak boleh

disudahi. Belajar ialah keharusan. Yang namanya

keharusan tentu harus dilakukan, sebisanya.

Mereka melakukan shalat sebisanya, mereka bisa

membaca kalimah thayyibah untuk mengganti

lafal shalat yang mereka tak bisa.

Kakek nenek Milati sejak lahir tak begitu

mengenal bangku sekolah ataupun pesantren.

Itu karena orangtua mereka tak begitu peduli

dengan ilmu. Jika ditelusuri, entahlah yang se?

perti itu salah siapa. Kakek nenek Milati tak mau

mengulang sejarah. Mereka ingin mengubah

sejarah dengan membawa Milati ke panti asuhan

yang merangkap sebagai pesantren anak Manba?ul

ulum, yang berarti sumber ilmu. Milati akan

mendapat ruahan ilmu dari sumbernya: Panti

Asuhan dan Pesantren Anak Manba?ul ulum.

Milati adalah gadis panti kesayangan Bu Nyai.

Sewaktu kecil gadis itu memang dekil ingusan,

nakal, suka membuat ulah, dan selalu mengganggu

teman-temannya. Pada temannya yang lelaki pun

ia tak mau kalah. Pernah suatu ketika ia dihukum

oleh ustaz karena mendorong seorang teman se?

bayanya hingga tenggelam ke kolam yang dalam?

nya dua meter. Kolam itu terletak di depan mu?

sala panti, biasanya digunakan untuk wudu orang

dewasa. Untuk anak-anak tersedia kolam di

sebelahnya yang dalamnya selutut orang dewasa.

Semua orang di panti tahu bahwa teman yang

didorong Milati itu kini jadi teman dekatnya:

Syaqib.

Tapi itu dulu. Kini Milati sudah bukan

Milati kecil. Umurnya sudah 19 tahun. Kini

Milati adalah gadis yang cantik parasnya, lincah

geraknya, cerdas pikirannya, dan yang paling

disukai Bu Nyai ialah ia penurut tetapi punya

prinsip. Intinya, Milati telah menjadi gadis yang

manis perangainya.

Di sisi lain, Milati tergolong gadis yang melan?

kolis sempurna. Ia suka melamun, menyendiri

dengan alam, dan meluapkan perasaan dengan

gores?an kata-kata di atas kertas. Hatinya akan
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergetar bila mendengar kata-kata puitis sekelas

rangkaian kata yang terekam dalam syahdu indah

Al-Qur`an. Pernah ia meraih juara satu saat lomba

baca puisi yang diambil dari terjemah Al-Qur`an.

Ia suka sekali berteriak lirih di bawah atap langit

ataupun di ketinggian.

Sejak kecil Milati sudah terbiasa dengan ke?

hidupannya di panti. Ia sudah belajar mandiri

sejak masuk sekolah dasar; mandi sendiri, juga

mencuci pakaian sendiri. Mungkin kenyataan

meng??ajarkannya harus seperti itu. Di panti asuh?

an memang tak ada tempat dan waktu untuk

bermanja-manja. Usia anak yang masih kecil

bukanlah alasan tepat untuk bermanja-manja.

Justru dari usia mula itulah anak harus belajar

untuk hidup meski masih sulit untuk memahami

bahwa hidup adalah perjalanan panjang yang

harus ditempuh dengan langkah sendiri tanpa

harus minta gendong sama orang lain.

Barangkali ada pendapat yang mengatakan

bahwa panti adalah tempat mengintimidasi anak

karena penerapan kemandirian pada anak ter?

sebut. Namun, apakah memanjakan anak secara

berlebihan sehingga menjadikannya lumpuh pada

masa remaja, bukan intimidasi yang sebenarnya?

Seorang yang bijak tentu tak akan beranalisis

demikian dangkal.

Rasanya sangat berlebihan jika panti asuhan

dikatakan sebagai tempat yang penuh dengan

kesedihan. Tak banyak yang tahu bahwa anakanak yang berstatus yatim, piatu, ataupun yatim

piatu juga memiliki kebahagiaan sendiri. Di panti,

seorang yatim bisa mendapatkan kebahagiaan dari

yatim lainnya, sebut saja berbagi yang merupakan

hal yang sangat menyenangkan.

Kebahagiaan mereka adalah saat bisa ber?

main gundu bersama setelah pulang sekolah. Ke?

bahagiaan mereka adalah saat bisa makan bersama

di atas gelaran tikar tanpa harus membeda-beda?

kan apa yang mereka telan. Kebahagiaan mereka

ialah saat puasa atau Lebaran tiba, berkah akan

menghambur dalam benak mereka, tentang ba?

ju baru yang sama, tentang ketupat dan opor

yang sama. Ya, kebahagiaan mereka adalah ke?

bersamaan. Di dalamnyalah Milati dan Syaqib

men?jalaninya. Sebagai sesama anak yatim piatu;

dua orang yatim piatu.

Sewaktu kecil, Milati dan Syaqib selalu mem?

buat ramai panti dengan pertengkaran me?reka.

Milati tak penah mau kalah. Sikap Milati beranjak

berubah saat dia masuk MTs. Ia mulai malu untuk

berteriak-teriak di depan orang banyak, siapa pun

itu. Ia mulai bisa mengalah saat beradu mulut

dengan teman. Ia pun mulai bisa berkerudung

secara benar dan berpakaian rapi. Ia pun perlahan

mulai menjadi lembut meski tetap lincah. Masa

kecil memang kadang indah untuk dikisahkan,

meski kadang memalukan.

Milati dan Syaqib mulai dekat saat mereka

sudah duduk di kelas dua Tsanawiyah; satu kelas.

Syaqib banyak bertanya tentang pelajaran yang tak

ia paham pada Milati. Mereka pun sering saling

menitip surat izin saat salah satu dari mereka uzur

untuk masuk. Yang membuat mereka bertambah

karib ialah Bu Nyai. Milati dan Syaqib samasama menjadi anak asuh kepercayaan Bu Nyai.

Bu Nyai kerap menyuruh mereka berdua bila

ada keperluan-keperluan seperti mengambil dana

dari para donatur panti atau berbelanja untuk

kebutuhan anak-anak.

Mereka berdua juga suka membantu Mbah

Nah, juru masak satu-satunya di panti itu. Di

dapur, mereka sering ngobrol tentang pelajaran

ataupun kejadian di sekolah. Juga tentang ke?

hidupan mereka. Itulah yang menjadikan ke?

duanya sahabat karib. Di mana ada Milati, di

situ ada Syaqib. Bu Nyai kadang khawatir dengan

kedekatan mereka, meski paham betul kepribadian

anak-anak yang diasuhnya sedari kecil itu.

Suatu sore Bu Nyai memanggil mereka berdua.

Bu Nyai meminta mereka untuk duduk dengan

tenang. Dengan lembut Bu Nyai memulai katakatanya. "Mil, Qib, sebelumnya Ibu mau minta

maaf...."

"Iya, Bu. Ada apa, tho? Sepertinya kok penting

banget," Milati menyela.

"Iya. Begini, Mil, Qib. Ini soal kalian. Banyak

pengasuh yang mengeluh sama Ibu tentang

kedekatan kalian berdua."

Milati dan Syaqib mengernyitkan dahi men?

dengar kata-kata Bu Nyai.

Bu Nyai melanjutkan kata-katanya, "Begini,

kalian kan tahu sendiri, selain sebagai panti asuhan,

tempat yang kita diami ini juga menyandang label

pesantren. Meski hanya pesantren anak-anak,

tetap saja pesantren. Pernah kalian lihat pengasuh

pesantren yang berlainan jenis tapi ke mana-mana

berduaan?"

"Maaf, Bu Nyai, tapi kami berdua cuma ber?

teman, kok. Nggak ada hubungan apa-apa antara

kami berdua," Syaqib membuka mulut.

"Iya, Ibu paham. Bukannya Ibu melarang

kalian berteman. Berteman kan nggak harus selalu

runtang-runtung3 ke mana-mana berdua, tho? Ya,

sebenarnya nggak apa-apa. Ibu sendiri sebenarnya

juga senang melihat kalian berkumpul, rukun,

sudah kayak saudara. Ibu paham dengan kalian

berdua. Tapi yang lain? Ingat, kalian jangan

menyamakan mereka dengan Ibu. Berteman

kan nggak harus selalu berdekatan. Ibu tahu

sendiri kalo kalian ke musala berduaan, ke dapur

berduaan, ke mana-mana berduaan. Untung juga

Abah nggak banyak tahu, kalau Abah tahu, kalian

pasti habis kena semprot. Di luar itu, Ibu yakin

kalian berdua sudah paham hukum berikhtilat

antara laki-laki dan perempuan yang bukan

mahram."

"Iya, kami paham, Bu. Tapi dari pelajaran yang

saya paham, hubungan atau komunikasi antara

laki-laki dan perempuan tidaklah menjadi masalah

selama yang berhubungan bisa menjaga batasbatas adab berikhtilat. Toh saya dan Syaqib belum

pernah sekali pun bersentuhan, kulit bertemu

kulit," kilah Milati kritis. Ia mencoba menjelaskan

apa yang ia ketahui dan apa yang ingin ia ketahui.

Adapun Syaqib hanya mematung.

"Mil, kamu benar, tetapi kamu juga harus tahu

bahwa indra manusia lebih dari satu. Bukan hanya

tangan atau peraba, tapi juga ada penglihatan,

3 Pergi bersama-sama ke sana kemari lebih dari dua

orang.

pendengaran, penciuman, dan pengecap. Masih

ada satu lagi yang lebih rawan kena penyakit, yaitu

hati. Taukah kau, bahwa setan bisa dengan mudah

melantunkan bisikan-bisikan celakanya pada se?

tiap indra manusia, tanpa terkecuali? Ibu yakin

kalian berdua pernah mendengar sabda Rasulullah

bahwa pandangan ibarat anak panah setan yang

bisa menghunjam ke dalam hati dan melemahkan

keimanan manusia. Ingat, ya, jika ada dua orang,

laki-laki dan perempuan berduaan, sebenarnya

mereka bukan hanya berdua melainkan bertiga.

Yang ketiga itu ialah setan," ujar Bu Nyai kepada

kedua anaknya yang masih terbengong-bengong.

Hening sejenak. Tak selang lama, Bu Nyai

melanjutkan kata-katanya dengan penuh ke?

lembutan, "Sekali lagi, Mil, Qib, Ibu sama sekali

tak bermaksud mengatakan bahwa kalian tak

bisa menjaga diri. Ibu sama sekali tak bermaksud

begitu."

"Bu," Milati menyela lagi, "berarti kalau se?

seorang bisa menjaga diri masing-masing, men?

jaga indra masing-masing, menjaga hati masingmasing, hubungan ukhuwah antara laki-laki dan

perempuan diperkenankan?"

"Islam tak pernah melarang jalinan ukhuwah

pada sesama manusia, baik sesama laki-laki

maupun perempuan. Yang perlu kalian catat dan

garis bawahi ialah ukhuwah, persaudaraan, atau

persahabatan bukan berarti memperkenankan

berikhtilat atau berbaur secara bebas. Ya, setan itu

ada di mana-mana. Kenapa juga kita mendekati

setan bila kita bisa menjauhinya? Bukankah setan

itu musuh kita?"

Syaqib mengangguk paham. "Daripada meng?

undang setan, lebih baik kita mengusirnya.

Mencegah itu lebih baik," katanya.

"Inggih, Bu Nyai. Kami minta maaf. Itu tak

pernah terpikirkan oleh kami berdua. Mulai hari

ini kami berjanji akan menjaga jarak. Ya, Qib, ya?"

Syaqib mengangguk sepakat.

Sejak mendapat peringatan dari Bu Nyai,

mereka memang jarang terlihat berduaan. Mereka

hanya terlihat berdua kalau Bu Nyai menyuruh

mereka belanja atau bersih-bersih ndalem. Meski

begitu, komunikasi mereka tetap berjalan lancar.

Mereka tetap bertemu tapi hanya sekadarnya.

Lembaga yang diasuh Abah dan Bu Nyai memang

tidak terlalu besar. Kurang lebih ada sekitar 80

anak asuh (dari yatim piatu sampai anak jalanan),

60 santri, dan sekitar 40 orang dewan pengasuh

atau asatidz. Di sana tak ada pembedaan ataupun

pemisahan antara anak asuh dan santri.

Dalam bangunan yang lebarnya setengah hek?

tare itu berdiri 25 ruang kamar; 10 kamar untuk

santri putra beserta pengasuhnya, dan 15 untuk
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

santri putri beserta pengasuhnya. Setiap kamar

dihuni oleh 6 sampai 8 santri yang didampingi

oleh 2 orang pengasuh. Setiap kamar mempunyai

nama masing-masing. Milatilah yang berinisiatif

mengganti nama kamar yang dulunya cuma

disebut kamar A, B, C, dan seterusnya itu menjadi

kamar yang disebut kamar Abu Bakar Ash-Shidiq,

kamar Ali bin Abi Thalib, kamar Khadijah, dan

sebagainya.

Asrama santri putra dan putri dipisahkan oleh

sebuah musala yang cukup besar serta sebuah

aula yang terletak di depannya. Dapur dan ruang

makan yang terletak paling belakang merupakan

ruang pemisah bagi kamar mandi putra dan kamar

mandi putri. Dapur itu biasa disebut dengan

dapur belakang. Meski disebut dapur, luasnya tak

kalah dengan aula. Ada dua jalan masuk menuju

dapur belakang. Yang pertama ialah pintu depan,

santri putri biasa ke dapur lewat pintu itu. Pintu

yang kedua terletak di samping, dari arah kamar

santri putra.

Dapur belakang tertata cukup rapi, paling

ujung ialah tempat khusus untuk memasak. Di

sana ada empat kompor minyak dan satu kompor

gas. Kompor gas biasanya digunakan kalau perlu

saja. Kompor-kompor itu berjajar rapi, tidak

terlalu dekat dengan dinding. Dengan begitu,

dinding tak mudah dihinggapi kerak asap hitam

yang merusak pemandangan. Di ruang khusus

masak itu terdapat satu meja tanggung, satu dipan

kecil dari bambu, serta sebuah rak besar tempat

perkakas masak. Ruang berikutnya ialah ruang

khusus tempat piring. Di situ ada satu rak piring

besar serta tempat gelas dan sendok.

Di arah berlawanan, terdapat tiga wastafel

besar yang biasa digunakan untuk mencuci ta?

ngan sekaligus mencuci piring. Anak-anak me?

mang diwajibkan mencuci piring sendiri usai

makan. Ruang dapur yang paling luas ialah ruang

makan. Di sana ada beberapa meja dan bangku

panjang seperti di kantin-kantin. Di setiap sudut

ruang tersebut terdapat empat dispenser, anakanak akan mengantre minum di situ.

Santri putra dan putri memang makan di satu

ruangan. Namun, di setiap dinding di sebelah

meja makan tertulis jelas mana tempat untuk

putri dan mana untuk putra. Meski di ruang

makan terdapat meja kursi, anak-anak lebih

suka menyisihkan meja kursi itu dan menggelar

tikar, atau makan di depan TV bagi santri putra.

Sebagian santri putri lebih suka makan di dalam

kamar ataupun di taman belakang kamar mereka.

Di belakang tiap kamar terdapat taman dengan

penataan yang sama, juga bunga yang sama. Selain

taman belakang, terdapat juga taman depan.

Disebut taman depan karena taman itu terletak di

depan pesantren, depan ndalem. Ukurannya jauh

lebih luas daripada taman belakang dan bunganya

pun beraneka ragam. Anak-anak paling suka

bermain di sana.

Jumlah santri putri memang separuh lebih

banyak daripada santri putra. Hampir 75 persen

penghuni panti itu adalah anak-anak, dari usia

pra-TK hingga remaja, dari yatim piatu hingga

anak orang berpunya juga ada.

Orang-orang kaya yang menitipkan anak

mereka di tempat ini beralasan tidak mempunyai

waktu untuk mengurus anak karena kesibukan

mereka. Daripada si anak kurang mendapat per?

hatian dan kemudian salah pergaulan, mereka

memutuskan untuk menitipkan anak mereka

ke pesantren anak saja. Namun, penghuni panti

pesantren yang paling banyak ialah anak-anak

dari kalangan orang tak punya atau anak jalanan

yang telantar. Di sana mereka menemukan dunia

baru sebagai titian menuju masa depan mereka.

Tentang anak-anak panti memang banyak

sekali cerita yang rasanya layak untuk dikisahkan.

Cerita tentang para balita tanpa orangtua yang

sering buang air di sembarang tempat dan me?

repotkan sang pengasuh, cerita tentang anak-anak

kecil yang sudah berani mengirim surat cinta pada

lawan jenisnya, juga cerita pengambilan barang

santri oleh santri lain tanpa izin alias ghosob4. Itu

semua sudah biasa, bukan lagi menjadi hal yang

baru.

Kesemuanya itu merupakan tantangan bagi

para pengasuh dan ustaz-ustazah, bagaimana

kreativitas mereka untuk menghadapi makhluk

kecil yang mempunyai karakter beraneka ragam

itu. Mungkin perlu juga pendidikan bagi orang

dewasa mengenai cara menghadapi anak-anak.

Selain belajar, setiap manusia yang sehat jasmani

rohani juga memiliki kewajiban untuk mengajar,

memberikan apa yang didapat untuk orang lain

yang belum mendapatkannya. Tak perlu jauhjauh, karena akan tiba saatnya nanti?mau tidak

mau?mereka harus mendidik anak-anak mereka

sendiri.

Sepulang dari warung Pak Hadi dan mem?

bantu Bu Nyai sebentar, Milati sudah harus

bersiap untuk mengajar ngaji anak-anak. Anakanak paling suka diajar oleh Milati. Anak-anak

suka menyebutnya sebagai ustazah sabar. Milati

memang sangat suka pada anak-anak dan anakanak juga menyukainya.

Sore itu, ketika hendak ke kamar mandi,

Mi?lati mendengar suara anak menangis. Ia men?

4 Memakai barang milik orang lain tanpa seizin yang

punya.

cari sumber suara itu. Di kamar Siti Khadijah

yang terletak paling ujung sebelum kamar man?

di terlihat banyak anak berkerumun. Milati

membubarkan mereka.

"Ayo, bubar, bubar! Mandi, mandi! sebentar

lagi jam ngaji, lho! Ayo buruan! Nanti kalau

terlambat tak suruh berdiri, lho. Ayo cepat!"

seru Milati pada anak-anak sambil mengibaskan

handuknya.

Anak-anak pun berhamburan menuju kamar

mandi dengan membawa handuk dan sabun

masing-masing. Tinggallah di kamar itu seorang

anak perempuan berusia 4 tahun bernama Indah

bersama Ustazah Juwar yang sedang memarahinya

tanpa jeda. Ustazah Juwar menjewer kuping

Indah yang masih menangis sambil membentakbentaknya.

"Anak nakal! Disuruh mandi nggak mau. Mau

kamu apa? Lihat itu badanmu kotor, bau. Temantemanmu sudah pada mandi, tinggal kamu yang

belum. Eh... kok masih nangis? Diam! Diam,

nggak! Ayo mandi!" teriak Ustazah Juwar sambil

menyeret Indah dengan paksa.

"Indah kenapa, Bu?" tanya Milati kalem.

"Ini bocah manja banget, nakal. Masa ngengek5

di tempat tidur. Disuruh mandi nggak mau,

malah nangis. Aku jengkel, Mil. Mana harus

5 Buang air besar.

bersihin bekas beraknya itu. Hhh! Siapa yang

nggak marah menghadapi anak seperti Indah ini?

Mana sebentar lagi aku harus ngajari anak-anak

tsanawi ngaji. Aku juga belum mandi, belum apaapa. Waktuku sudah habis hanya untuk merayu

bocah aleman ini mandi. Hhh...!" jawab Ustazah

Juwar emosi.

Sebenarnya Milati tak sependapat dengan

perlakuan Bu Juwar. Toh, tak semua anak kecil

bisa nurut kalau dikasari. Yang ada nanti malah

berontak, benci, dan dampaknya juga tidak bagus

bagi perkembangan si anak. Tapi ia takut Bu

Juwar malah tersinggung, dikira ia menggurui. Bu

Juwar kan seniornya.

"Biar saya tangani saja, Bu. Bekas beraknya

biar nanti saya yang bersihkan. Sekarang ibu

mandi dulu aja," tanggap Milati.

"Bener, Mil? Kamu bisa ngurus anak manja

ini?"

"Iya, Bu. Jangan khawatir."

"Ya sudah kalo begitu. Aku mandi dulu. Kamu

urus tuh Indah. Ndah, tuh sama Bu Milati. Ibu

capek. Kalo nggak mau, seret saja, Mil. Sekali-kali

anak itu perlu dikerasi," ujar Bu Juwar sebelum

melangkah ke kamar mandi.

"Iya, Bu, tenang saja."

Tanpa membuang waktu lagi, Bu Juwar segera

meninggalkan kamar itu.

"Indah, Indah pengin jadi anak pinter, nggak?"

Milati merayu anak kecil itu. "Anak pinter itu

nggak nakal. Nurut sama ustazah. Terus kalau

mau buang air, Indah harus ngomong dulu sama

ustazah. ?Ustazah, Indah mau ee?!? Gitu. Kalo

Indah ee?-nya di kamar, nanti kan kamarnya bau.

Kalau kamarnya bau, nanti nggak ada teman yang

mau sekamar sama Indah. Indah mau tinggal di

kamar sendirian?" rayu Milati lembut.

Si anak tak menyahut tapi isaknya sudah mulai

reda.

"Kok Indah diam saja? Sekarang Indah mandi,

ya? Sama Bu Milati, ya?"

Anak itu masih diam saja.

"Kenapa Indah nggak mau mandi? Lihat tuh,

badan Indah kotor, bau. Nanti terlambat ngaji,

lho," bujuk Milati.

Indah menggeleng-geleng.

"Kenapa? Indah nggak mau ngaji? Ya sudah,

nggak ngaji nggak apa-apa, tapi Indah mandi, ya?

Habis mandi pakai baju yang bagus. Nanti Bu

Milati beliin permen stroberi. Indah kan pinter,
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ya?"

Indah mengangguk.

Hati Milati plong bisa membujuk anak itu.

Milati menuntun Indah ke kamar mandi dan

memandikannya dengan lembut dan penuh kasih.

Seusai memandikan Indah, Milati mendandani

Indah dengan pakaian Lebaran kemarin yang

paling disukai Indah. Setelah itu, ia mendudukkan

Indah di kasur.

"Tuh, kalau sudah mandi Indah jadi cantik,

kan? Harum, lagi," ujar Milati. "Indah, Indah

duduk sini dulu, ya? Ibu mau membersihkan

kamar sebentar."

Indah mengangguk.

Milati singgah di kamarnya sebentar, ia

mengambil sebungkus snack dan memberikannya

pada Indah kecil. "Indah, Bu Milati bawa

makanan kecil, nih. Ibu bukain, ya? Ibu bersihbersih kamar dulu. Indah duduk aja di sini."

Sementara Indah sibuk dengan makanannya,

Milati membersihkan kamar yang berantakan

dan bau itu dengan telaten. Bel sudah berbunyi.

Jam mengaji sudah dimulai. Kamar sudah bersih

dan rapi. Indah dititipkannya sebentar pada

Dewi, salah satu santriwati, untuk ditinggalnya

membersihkan badan. Seusai mandi, Indah di?

bawa?nya ikut mengajar. Suara anak-anak ber?

sahutan membaca Kalam Qodim6. Ramai sekali.

Suasana pesantren seperti itulah yang paling

dirindukan oleh Milati.

6 Syair Arab yang menerangkan keistimewaan Al-Qur`an,

biasanya dibaca sebelum mengaji (Al-Qur`an).

Jika suasana sore riuh oleh anak-anak yang

mengaji, baca tulis Iqra? ataupun Al-Qur`an,

pukul sepuluh malam suasana akan sangat

lengang. Itulah waktu bagi para pengasuh serta

para ustaz-ustazah untuk belajar, mengkaji kitab

kuning yang dibimbing oleh Abah atau Bu Nyai.

Persahabatan

Senasib

Fajar kadzib tersingkir oleh fajar shadiq yang

menyingsing, disusul gema azan Subuh. Dengung

nyamuk dan kerik jangkrik pelan-pelan mulai

menghilang. Langit masih remang-remang. Rem?

bulan separuh sisa semalam masih tampak, meski

warnanya berubah putih pucat. Satu dua bintang

masih tampak tercecer di penjuru langit. Angin

terasa begitu basah. Seperti tanah dan rumputrumput.

Pagi yang cerah dinaungi langit nan gagah.

Langit yang sama memayungi Panti dan Pe?

santren Manba?ul Ulum. Hari libur adalah hari

yang dinanti-nantikan para santri. Hari Ahad

adalah waktu yang tepat untuk bersenang-senang.

Sekolah libur pada hari Ahad. Pengurus pesantren

menetapkan kebijakan bahwa hari libur pesantren

juga pada hari yang sama, bukan hari Jumat.

Sesekali anak-anak perlu diberi kesempatan untuk

menyegarkan pikiran mereka yang cukup tegang

oleh kegiatan pesantren selama enam hari suntuk.

Meski hari libur, tak jarang anak-anak di?

kerahkan untuk kerja bakti membersihkan seantero

pesantren. Anak-anak juga tak pernah menyiakan

kesempatan sepekan sekali itu. Anak-anak maniak

film kartun akan bersemadi di depan TV dari pagi

sampai azan Zuhur memanggil. Anak-anak yang

suka berpetualang biasanya akan berangkat ke

sawah-sawah atau sungai untuk memancing ikan

ataupun belut. Yang pasti, libur sepekan sekali itu

adalah jadwal wajib mencuci baju. Para asatidz

juga akan sibuk dengan keperluan masing-masing

yang tak perlu di beberkan satu per satu.

Lain halnya dengan Milati dan Syaqib. Bia?

sa?nya mereka akan menyempatkan untuk mem??

bantu Abah dan Bu Nyai sebisa mereka, en?tah itu

membersihkan ndalem, membantu masak, atau

menguras bak mandi. Tentu saja se?telah keperluan

mereka sendiri selesai.

Ahad ini mereka diminta Bu Nyai untuk

membantu membuat kue dalam rangka syukuran

kedatangan Misas, putra bungsu Bu Nyai yang

telah menyelesaikan kuliahnya di Universitas

Al-Ahq?f, Yaman. Mungkin pekan depan putra

kesayangan Bu Nyai itu datang. Pada Milati

dan Syaqib, Bu Nyai acap menceritakan putra

kebanggaannya itu.

"Bu, Mas Misas kan datang masih sepekan

lagi. Kok buat kuenya sekarang? Apa nanti nggak

basi?" tanya Milati heran.

Syaqib diam saja, tak seperti biasanya. Wajah?

nya terlihat murung.

"Memang, insya Allah Misas datang pekan

depan, tapi kan nggak ada salahnya kita mulai

persiapan dari sekarang. Persiapan kita bukan

cuma buat kue saja, lho, Mil. Masih banyak yang

belum kita siapkan. Tuh kardus juga masih utuh,

belum diapa-apain," jelas Bu Nyai sambil terus

mengadon kue.

"Kuenya?"

"Kalau soal kue tenang saja. Ibu kan jagonya

buat kue kering. Wis tho kalau yang buat Ibu,

sebulan juga nggak bakalan basi. Ada rahasianya,

lho, itu," sambung Bu Nyai bangga.

"Oooh, " Milati mengangguk-angguk.

"Ah, mosok. Coba!" ledek Abah yang tiba-tiba

muncul dari kamar mandi lalu mencomot kue

yang sudah matang di nampan.

Milati tertawa.

"Oh, iya. Bener kuenya memang mak nyusss...."

komentar Abah yang langsung ngeloyor ke ruang

tengah.

"Qib, kamu kenapa? Dari tadi kok diam saja?

Biasanya kamu kan suka ngoceh," tanya Milati

pada Syaqib.

"Nggak ada apa-apa, kok. Orang ngitung

sendok nggak boleh diganggu," sanggahnya. Tapi

Milati tahu Syaqib sedang menyembunyikan

sesuatu. Itu terlihat dari raut muka dan nada

bicaranya.

"Ngitung sendok apa mikirin yang lain?" goda

Bu Nyai.

"Ah, Ibu," Syaqib mulai menyungging senyum.

Lesung pipinya yang cuma satu jadi kelihatan.

"Qib, tolong kamu pergi ke pasar dulu.

Belikan tepung roti sama kismis, sekalian isi galon

air. Sama minyak juga, ya," pinta Bu Nyai.

"Inggih, Bu."

"Aku ikut! " pinta Milati latah.

"Kamu ngapain ikut? Sudah, di sini saja

bantuin Ibu. Kamu lupa, ya, kita nggak boleh

berduaan?" jawab Syaqib jutek.

"Sudah, nggak apa-apa. Biar kamu nggak

kerepotan, nanti Milati saja yang ke toko kue,"

Bu Nyai mengizinkan.

Sebenarnya Milati ingin ikut Syaqib karena

hendak menanyakan ada apa dengan Syaqib,

dari tadi pagi kelihatan murung. Kapan lagi ada

kesempatan bisa ngobrol dengan sahabatnya itu

kalau nggak nyuri-nyuri? Di pesantren mereka

ngobrol sekadarnya saja. Sungkan karena sudah

dapat peringatan dari Bu Nyai. Mau ngobrol di

ndalem juga sungkan sama Abah dan Bu Nyai.

Syaqib dan Milati meluncur dengan becak

butut milik koperasi pesantren dengan membawa

galon air dan jerigen minyak. Syaqib yang meng?

ayuh. Dalam perjalanan, mereka mulai meng?

obrol.

"Kenapa nggak pakai sepeda motor saja? Kan

lebih enak, lebih cepat. Nggak capek," protes

Milati.

"Aku yang ngonthel kok kamu yang protes?"

"Aku nggak protes. Aku cuma kasian sama

kamu. Ngonthel."

"Motornya kehabisan bensin. Aku lagi bokek.

Kalau kamu ada duit buat beli bensin, sekarang

kita balik lagi."

"Nggak usah. Kamu biar olahraga."

"Ngomong aja kalau kamu juga bokek."

"Hihihi," Milati cekikikan.

"Tuh, kan!"

"Qib, aku mau tanya tapi jawab jujur, ya?

Kamu kenapa? Kok kelihatan murung begitu?"

tanya Milati serius.

Yang ditanya cuek saja, seperti tak mendengar

apa-apa.

"Qib, kamu dengar nggak aku tanya?" ulang

Milati jengkel.

"Heh? Dengar. Sudah kubilang nggak ada apaapa, kok," Syaqib menghentikan becaknya lalu

turun di depan sebuah kios kecil pengisian ulang

air minum.

"Galonnya ditinggal aja dulu. Diambil pulang?

nya nanti. Biar nggak otang-otong7," saran Milati.

"Iya," Syaqib kembali mengayuh becaknya.

"Qib, bener kamu nggak mau cerita?" tanya

Milati lagi.

"Nggak ada apa-apa, kok. Cuma masalah

kecil."

7 Ke sana kemari dengan membawa barang.

"Kalau boleh tahu, soal apaan, sih? Bukan soal

cewek, kan? "

"Bener. Soal cewek."

"Soal cewek!" Milati kaget.

Syaqib mulai bercerita. "Iya. Sudah dua kali
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku mendapat surat kaleng, isinya ancaman. Aku

khawatir Abah dan Bu Nyai tahu."

"Maksud kamu?"

"Cewek itu suka sama aku, tapi aku tidak.

Masalahnya dia itu nekat. Maksa."

"Nekat bagaimana?"

"Dia minta aku tukar cincin dengannya."

"Dia minta kamu nikahin dia?"

"Belum, tapi aku yakin arahnya ke situ. Aku

yakin lama-lama dia pasti minta aku menikahinya.

Dia benar-benar memaksaku. Pakai mengancamku

segala. Kalau aku tak menggubrisnya, dia akan."

Syaqib menggantung kata-katanya.

"Dia akan apa?"

"Dia akan bunuh diri."

"Bunuh diri? Kok jadi sinetron?" Milati

terkejut bukan main. Kok ada cewek yang rela

mati demi seorang lelaki?

"Ini serius. Aku sendiri juga bingung. Dia

sepertinya yakin sekali dengan perasaannya."

"Kapan dan bagaimana ceritanya kamu bisa

kenal sama cewek nekat begitu?"

"Aku kenal cewek itu juga nggak sengaja.

Pertama kenal, kurang lebih dua bulan lalu. Waktu

itu aku pulang dari Jombang. Mungkin kamu

masih ingat, waktu itu aku sampai pesantren jam

sebelas malam. Kan kamu yang bukain gerbang.

Nah, itu gara-gara cewek nggak jelas ini. Aku

kenal dia di angkot. Ceritanya, cewek itu turun

dari angkot. Nah, uang yang dia sodorkan untuk

bayar angkot itu seratus ribuan, sedangkan sopir

nggak punya uang kecil. Si sopir marah-marah.

?Kalau mau tukar uang jangan sama sopir dong,

Mbak!? kata-kata sopir itu ketus.

"Sebenarnya cewek itu mau ambil uang di

rumahnya yang katanya di ujung gang. Tapi sopir

itu minta barang jaminan dari cewek itu, hape atau

kalung, khawatir kalau cewek itu kabur. Cewek itu

menolak memberikan barang jaminan. Sopir itu

marah-marah lagi. Ia mau mengantarkan cewek

itu sampai depan rumahnya tapi ia minta bayaran

lima kali lipat. Gila tuh sopir. Cewek itu diam,

matanya sudah berkaca-kaca. Sopir itu masih juga

membentak-bentaknya. Para penumpang lain

mengeluh minta cepet tanpa ada satu pun yang

mau membantu cewek itu.

"Sebenarnya aku ingin membantunya tapi

uangku waktu itu benar-benar ngepres. Kalau

mau bantu cewek itu bayar ongkos angkot, aku

harus rela berjalan kaki sejauh enam kilometer.

Kamu kan tahu dari jalan utama ke pesantren

musti oper dua kali. Entah siapa yang menyuruh,

akhirnya aku melepaskan uang tiga ribu rupiah

milikku buat ongkos angkot cewek itu. Nggak

apa-apalah. Sekali-kali jalan-jalan malam. Itungitung olahraga, meski sampai di pesantren Bu

Nyai harus bangun karena mendengar ketukan

pintu gerbang dari seng itu. "

"Kenapa kamu nggak turun aja, nganterin

gadis itu sampai rumahnya di ujung gang? Dia

kan bisa langsung ganti uang kamu itu."

"Mana mungkin aku turun, itu sudah malam.

Angkot sudah sepi. Kalau aku turun, belum tentu

aku dapat angkot lagi setelahnya, lagi pula mana

mau si sopir nungguin aku."

"Iya, ya," Milati mengangguk paham, "Terus,

kamu kenalan?"

"Bukan kenalan sih, dia cuma tanya nama

dan nomor telepon. Katanya sih supaya dia bisa

balikin uangku. Ya, aku kasih aja. Pertama, dia

nelepon aku minta ketemuan di dekat masjid

kota. Dia mau balikin uang dan traktir aku sebagai

rasa terima kasih katanya. Aku nggak bisa nolak.

Kedua, ia nelepon lagi, katanya ia kagum padaku.

Dia pengin kenal lebih dekat sama aku. Sejak itu

aku menjadi agak risih aja.

"Pernah dia ngajak ketemuan lagi. Dia

ajak aku ke alun-alun kota. Aku sungkan mau

menolaknya, khawatir dia kecewa. Di jalan dia

gandeng-gandeng tanganku gitu. Sudah aku

bilang jangan, nggak enak dilihat orang. Dia

cuek aja. Aku tinggal aja dia pulang. Dia teriakteriak sendiri kayak orang gila. Sebenarnya aku

nggak tega melihatnya tapi dia juga nggak bisa

menempatkan diri. Sampai akhirnya kalau dia

nelepon tak pernah aku terima. Aku selalu buat

alasan-alasan supaya bisa jauh dari dia, supaya dia

nggak kejar-kejar aku lagi. Lama sekali dia nggak

nelepon ke panti. Aku lega. Tapi kelegaan itu

sebentar saja. Aku mendapat kiriman surat kaleng

tanpa alamat pengirim. Aku tahu itu dari dia,"

tutur Syaqib. Wajahnya menyiratkan kekesalan.

"Kenapa kamu nggak terima dia aja lalu kalian

menikah," ujar Milati enteng.

"Pernikahan dini?" Syaqib tertawa sinis, ia

menganggap Milati sedang bercanda, "Lagi pula

aku nggak suka sama dia, lanjutnya santai."

"Nggak suka? Kenapa? Apa dia kurang cantik?"

Milati mencoba menelisik.

"Kurasa perangainya yang kurang cantik."

Syaqib seperti tak peduli.

"Kamu nggak boleh mengklaim seperti itu,"

balas Milati tak terima.

"Aku tidak mengklaim. Dia sendiri yang

mengklaim dirinya. Mana ada gadis baik-baik

yang kerjaannya ngejar-ngejar cowok sampai

seperti itu? Main ancam pula. Aku jadi muak,"

Syaqib mendengus.

"Tapi seharusnya sikapmu tidak begitu."

Milati memelankan suaranya.

"Oke, oke, sebenarnya ini bukan masalah dia

cantik atau tidak cantik. Bukan pula masalah suka

tidak suka."

"Lantas?" Alis Milati nyaris menyatu.

"Karena hatiku sudah untuk orang lain." Balas

Syaqib ragu-ragu.

"Siapa?" Milati masih mengejar jawaban

Syaqib berikutnya.

"Nggak penting buat kamu." Jawab Syaqib

sambil membuang muka dari Milati. Ia ingin

sahabatnya itu sadar, bahwa ia tak suka direcoki

dengan pertanyaan-pertanyaan yang enggan ia

jawab.

"Hmm...." Milati mengangguk-angguk.

"Terkadang ada beberapa hal yang tak harus

dikatakan, bahkan pada orang terdekat sekalipun.

Kalau tak begitu, kita telanjang di mana-mana,

dong!" dalih Syaqib.

"Kamu memang pintar berdalih" sindir Milati,

"Terus suratnya dikirim lewat pos?" tanyanya

kemudian.

"Tidak, dititipkan sama anak-anak."

"Kok bisa? Ia tahu dari mana kalau kamu di

sini tinggal sama anak-anak? Terus kenapa dia

nggak langsung saja datang ke panti?"

"Embuh lah. Mungkin ia memata-mataiku.

Apa alasan dia aku juga nggak tahu," ujar Syaqib

pasrah.

"Kamu nggak tanya sama anak-anak, siapa

yang ngasih surat itu?" tanya Milati lagi masih

dengan wajah serius.

"Kata anak-anak dikasih sama Mbak yang

naik sepeda motor, suruh kasih ke Pak Syaqib,"

jawab Syaqib datar.

"Kamu tidak membalasnya?"

"Buat apa?" suara Syaqib sedikit meninggi

membuat Milati sedikit mengkerut.

"Yang seperti itu perlu diakhiri dengan

tanggung jawab dan kelembutan, Qib. Bukan

kabur seperti yang kamu lakukan ini," jawab

Milati lirih, persis seperti ibu yang mewejangi

anaknya.

"Wis emboh, aku pusing," Syaqib menutup

mukanya dengan dua telapak tangan.

"Eh, boleh nggak aku lihat suratnya?" incar

Milati lagi.

"Iya, nanti aku kasih lihat, sekarang ada di

kamar. "

"Kamu yang sabar aja, ya!"

"Memangnya ada pilihan lain?" dari mimiknya

bicara, Milati tahu bahwa sahabatnya itu benarbenar kesal. Setelah saling diam beberapa jenak,

Milati memohon diri dari sahabatnya itu dengan

perasaan iba sekaligus jengkel.

Milati duduk menyelonjorkan kedua kakinya

yang pegal, menyandarkan punggungnya di tubuh

dipan. Di tangannya, sebuah buku terbuka tapi

urung ia baca. Matanya lebih asyik menerawang

ke luar jendela. Terlihat pohon jambu air dengan

buahnya yang lebat. Di dahannya ada burungburung kecil yang seru bermain, meloncat dari

satu dahan ke dahan yang lain. Sesekali, burungburung kecil itu menyenggol bunga jambu

berserabut putih halus yang kemudian jatuh

berhamburan indah ke tanah. Ada juga beberapa

burung yang lebih besar membawa rumput kering

untuk dijadikan sarang.

Tiba-tiba ia rindu akan sosok ibu dan ayah.

Burung-burung pun memiliki ayah dan ibu. Meski

ia hidup cukup bahagia di panti dan pesantren,

tanpa mengurangi rasa syukur, sejatinya ia masih

merasa iri bila melihat seorang anak dipeluk

oleh ibunya dengan segenap kasih. Pikirannya

melayang.

"Bu Milati!" seorang anak tiba-tiba membuka

pintu kamar. Pintu itu berderit hebat.
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Milati kaget. Ia menyeka kedua matanya, lalu

menampilkan wajah cerah di depan anak-anak.

"Iya. Ada apa, Sayang?" katanya lembut.

"Ini buku dari Pak Syaqib," balas bocah itu

manja.

Milati mengangkat kedua alis, tak paham.

Sepertinya ia tak hendak meminjam buku apa

pun pada Syaqib. Sebuah buku prosa Kahlil

Gibran, Dongeng Sang Perawan.

Milati membuka lembar demi lembar. Ia

menemukan dua buah amplop surat berwarna

biru muda dan merah muda. Di luar amplop itu

hanya tertulis "To: Syaqib" tanpa alamat pengirim.

Ia baru paham itu surat dari cewek yang Syaqib

ceritakan. Ia memang hendak tahu isi surat itu. Ia

merebahkan diri, menyandarkan kepala di bantal

yang ditumpuk dua, lalu membuka amplop yang

berwarna biru. Di dalamnya ada dua lembar

kertas berwarna sama, baunya wangi. Ia mulai

membaca surat itu.

Selasa, 12 April 2005

Dear, Syaqib.

Salam rinduku.

Wahai pemuda yang wajahnya tak mau enyah.

Sebelumnya aku meminta semesta maafmu

karena terlalu lancang dan gegabah. Tapi sungguh

aku bukan orang yang pandai menahan perasaan,

kecuali menahan tangis. Jika kau tak ingin me?

nyiksaku, mengapa kau menyiramkan air garam ke

hati yang penuh luka ini?

Waktu itu. Saat kejadian di angkot itu. Saat

pertama mataku menatap matamu. Apakah kau

tak pernah merasakannya? Seharusnya kau tak perlu

berbaik hati membayar ongkosku. Seandainya kau

tahu kebingunganku menghadapi sopir angkot itu

tak ada apa-apanya dibandingkan kebingungan

yang menderaku karenamu.

Rasanya aku menyesal menolak membayar sopir

itu lima kali lipat karena dengan itu aku harus

mencari penawar untuk hatiku yang tidak keruan

yang nilainya berjuta kali lipat. Aku benar-benar

menyesalkan pertemuan itu. Namun, semua sudah

terjadi. Juga sudah terjadi sesuatu dengan hatiku.

Dan itu kau penyebabnya.

Cinta memang bukan hal yang bisa dipaksakan

tapi aku yakin cinta bisa diusahakan. Tolonglah

aku.

Hatiku semakin remuk saja ketika kurasakan

kau semakin jauh dariku. Kutahu kau sengaja. Jika

aku salah atas apa yang kurasakan, apakah lantas

aku harus menanggungnya sendiri? Aku telanjur

jatuh dan aku tak akan pernah mau berdiri lagi

sebelum kau mau menuntunku.

Wahai pemuda yang suaranya selalu terngiang.

Jika saja kau merasakan apa yang aku rasakan,

mungkin kau takkan mudah mencercaku. Sungguh

bukan aku sendiri yang memaksa hatiku untuk

condong kepadamu. Buktinya, tetap saja senyum

manismu itu tak mau pergi meski sekuat tenaga

aku usir. Buktinya, tetap saja suaramu terngiang

meski telingaku ini kututup rapat. Mengapa hatiku

bergetar begitu saja saat namamu disebut? Begitu

lama aku ingin meluapkan kata-kata hati yang

memang tak terbendung lagi ini. Aku ingin kau

melihatnya, mendengarnya, dan merasakannya.

Syaqibku, aku gersang dan hanya sentuhanmu

yang bisa menyejukkannya meski kau tak pernah

sudi menyentuhku. Akan kubiarkan aku semakin

panas dan hilang terbakar.

Syaqibku, aku pecah dan tatapan matamulah

yang bisa menyatukannya meski kau selalu me?

mandangku dengan sebelah mata. Biarkan aku

semakin koyak dan menjadi puing-puing.

Syaqibku, aku kacau dan pelukanmulah yang

bisa menenangkannya meski kau selalu jijik tuk

mendekatiku. Biarkan diriku menjadi goyah dan

gila.

Cinta memang bukan hal yang bisa dipaksakan

tapi aku yakin cinta bisa diusahakan. Tolonglah

aku.

Jika kau masih punya belas asih, kumohon temui

aku hari Rabu sore, di taman dekat masjid kota.

Aku menunggumu.

Dariku yang gila.

Surat itu sangat berlebihan. Milati tertegun

usai membacanya. Batinnya turut bergejolak.

Begitukah jika seorang perempuan sudah terkena

panah eros. Milati khawatir jika kelak ia jatuh

cinta pada seseorang yang tidak mencintainya.

Wajah Syaqib sebentar berkelebat di benaknya.

Ada apa sebenarnya pada diri Syaqib sehingga

seorang cewek bisa bertekuk lutut seperti itu?

Diam-diam ia bersimpati pada Syaqib tetapi di

sisi lain ia merasa iba pada gadis yang mabuk

kepayang itu. Seandainya aku yang mengalaminya.

Milati tersadar dari pikirannya yang me?

nerawang. Ia membuka amplop kedua yang ber?

warna merah muda. Kali ini hanya satu lembar

folio berwarna putih biasa.

Kamis, 14 April 2005

Dear, Syaqib.

Salam segala.

Wahai pemuda yang tak punya belas kasih.

Aku yakin kau tak tahu bahwa kemarin sore ada

seorang anak manusia didera gelisah hebat. Ia rela

membiarkan dirinya dibakar matahari sore yang

masih menyengat, ia rela wajahnya ditampari debu

jalanan. Ia menunggu seseorang yang dianggapnya

punya maaf dan belas kasih. Dan ia salah.

Satu jam dua jam ia masih setia menunggu

seperti seorang anak menunggu ibunya dari pasar.

Setiap ada angkot berhenti, ia mengamati wajahwajah yang ada di dalamnya. Siapa tahu dia yang

dinantikan ada di dalamnya, kemudian turun

untuk menyapanya. Tapi ia tak mendapatkan apa

pun. Ia harus memendam kekecewaan seiring azan

Magrib yang perkasa, yang seperti mengusirnya

untuk segera pulang, untuk tidak banyak berharap.

Ia kembali dengan hati tidak tenang. Semalam ia

tak dapat menenangkan dirinya sehingga ia menulis

surat ini.

Wahai pemuda yang tak kenal maaf.

Kukatakan padamu, betapa sombongnya eng?

kau betapa pengecutnya engkau. Kau seperti

seorang perempuan yang lari dari kenyataan.

Meski begitu kukatakan juga bahwa hatiku tak

bisa menghapusmu meski satu detik meski satu

detik. Yang paling terakhir, sekali lagi kutantang

kau untuk menemuiku, menatap mataku, meng?

ucapkan bahwa kau bisa mengusahakan cinta itu

dengan sebuah cincin.

Aku akan menunggumu dengan dua cincin di

tanganku. Untukku dan untukmu. Hanya itu.

Rasanya tak perlu orang lain untuk menyaksikannya.

Biar sumpahmu sendiri yang menyaksikannya. Itu

harapan terakhirku. Kutunggu kau Minggu sore di

tepi Sungai Brantas, dekat jembatan besar.

Kali ini aku pasrah. Jika kau benar-benar tak

datang, biarkan aku menenggelamkan perasaan ini

untuk selamanya bersama aliran Sungai Berantas

yang besar dan bisa menghanyutkan apa saja,

mungkin juga cintaku. Aku benar-benar tak peduli,

karena selama hayatku masih dikandung badan,

perasaan yang menyiksa ini tak pernah mau hilang.

Sekali lagi, aku tak peduli. Semoga kau paham

kata-kataku ini. Artinya, jika kau tak datang, kau

takkan pernah melihatku lagi. Selamanya.

Wahai pemuda yang.

Kutunggu kehadiranmu atau kautunggu mayat?

ku ditemukan dengan cinta yang tak pernah me?

nemukannya.

Benar-benar kutunggu.

Dariku yang semakin gila.

Milati ingat, Minggu sore adalah hari ini.

Ia bergegas ke asrama pria untuk memastikan

keberadaan Syaqib di kamarnya. Kalau tidak

ada, berarti dia menemui perempuan itu. Ia tak

peduli pernah diperingatkan oleh Bu Nyai. Ini

menyangkut hidup dan mati.

Ternyata Syaqib baru bangun tidur. Dengan

malas Syaqib membuka pintu kamar.

Milati segera menyeretnya ke dapur. "Heh,

kaulupa atau memang sengaja? Kau mau mem?

bunuh gadis itu?" pekiknya.

"Aku tak mau membunuh siapa pun," ujar

Syaqib santai.

"Cepat! Sekarang kaubersihkan muka lalu

temui gadis itu daripada nanti kuceritakan semua

pada Bu Nyai! Sesekali kau harus dipaksa."

"Lho, kenapa jadi kamu yang memaksaku?

Sekali tak mau, aku tetap tak mau."

"Qib, kau jangan bercanda!"

"Aku tak bercanda. Sungguh, aku muak de?

ngan pemaksaan seperti itu."

"Kau benar-benar sudah tak punya hati. Benar,

kau pengecut."

"Dengar, Milati. Aku tak suka kaubicara

begitu," balas Syaqib dengan nada tak kalah

sengit. "Kau harus tahu aku memutuskan ini

bukan tanpa pertimbangan. Pertama, aku tidak

mencintainya. Jika aku memenuhi permintaan

gadis tak jelas itu, sama saja aku menyerahkan diri
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk mati. Kedua, aku sangat tidak suka dipaksa.

Ketiga, aku tak yakin ia benar-benar berani

menjatuhkan diri di arus Sungai Berantas yang

ganas itu. Kalaupun ia mati, itu bukan karena aku

tapi karena kebodohannya sendiri."

"Kau egois!" teriak Milati marah.

"Terserah kau mau bilang apa. Aku tak peduli.

Meskipun kau sahabatku, kali ini kau tak bisa

memaksaku. Tak bisa. Camkan itu!" suara Syaqib

bergetar. Ia menutup pintu keras-keras.

Milati kaget. Belum pernah Syaqib mem?

bentak-bentak dan mengacung-acungkan tangan

seperti itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, Milati pergi

begitu saja. Syaqib sempat melihat mata Milati

yang berkaca. Syaqib hanya duduk memegangi

kepala dengan kedua tangannya. Rasa dongkol,

marah, menyesal, dan kasihan bercampur aduk

jadi satu.

Dengan sigap Milati menyambar kereta angin

yang disandarkan di depan musala, ia tak peduli

itu milik siapa. Ini urusan hidup dan mati.

Ia meluncur cepat dengan sepeda itu menuju

tepian Sungai Berantas, dekat jembatan yang

dimaksudkan gadis itu. Jaraknya lumayan jauh.

Jika ditempuh dengan sepeda motor tanpa

macet mungkin 45 menit sampai. Kini ia hanya

bersepeda. Tak ada kendaraan lain. Untungnya ia

sudah tahu tempat itu. Ia mengayuh sepedanya

dengan tergesa, khawatir terlambat.

Keringat mulai membasahi jilbabnya. Setelah

hampir satu jam, ia sampai juga di tepi sungai.

Napasnya tersengal-sengal. Pakaiannya basah oleh

keringat. Sempat juga ia menaiki tanggul tepian

sungai itu. Sepedanya ia bawa serta. Matanya

memandangi hamparan tanggul tepian sungai

yang agak silau oleh matahari sore. Tak ada siapa

pun. Hatinya tegang. Kembali ia mengarahkan

mata ke seluruh penjuru tanggul. Ia melihat

seseorang gadis duduk terpaku di tepi tanggul

sungai. Benar-benar di tepi. Milati ragu. Apakah

benar gadis itu?

Perlahan Milati mendekatinya. Ia mengucap

salam tapi tak ada jawaban. Gadis itu menoleh ke

arah Milati. Terkejut. Masih ada bekas air mata

yang mulai kering di pipinya.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Milati lirih, agak

ragu.

Gadis itu tetap mematung, seolah tak ada

siapa pun di dekatnya.

"Apa kamu menunggu Syaqib?" lanjut Milati.

"Syaqib? Di mana dia?" sambut gadis itu

gamang.

"Aku yang diutus Syaqib untuk menemuimu."

"Sekarang di mana Syaqib? Kamu siapa?"

"Marilah kita duduk dengan tenang dulu.

Aku akan menjelaskan semuanya nanti. Aku

saudaranya dan dia sekarang baik-baik saja."

"Kenapa ia tak datang sendiri?"

Milati terdupak dengan pertanyaan itu. Tak

mungkin ia mengatakan Syaqib sengaja tak mau

datang dengan alasan yang bila ia katakan, gadis

itu akan benar-benar terjun ke sungai.

"Mmm... Syaqib sedang tak enak badan.

Ia demam dari kemarin. Seharian tak mau

makan. Sebenarnya ia hendak datang sendiri

tapi tubuh lemahnya tak mengizinkan. Jadi, dia

mengutusku," sahut Milati mengarang cerita.

"Apa itu benar?"

Milati mengangguk.

Milati menarik tangan gadis itu dan mem?

bawanya duduk di atas sebuah batu kali di bawah

pohon beringin yang rindang. Gadis itu pasrah.

"Kenalkan dulu, saya Milati Tamama," Milati

mengulurkan tangan.

"Fida," gadis itu menyambut. Suaranya serakserak lemah.

Milati baru tahu gadis itu bernama Fida.

Syaqib juga tak pernah menyebutkan nama gadis

itu kecuali dengan sebutan ?gadis yang tidak jelas?.

"Sebelumnya maaf. Aku tak bermaksud sok

akrab atau bagaimana, tapi aku bisa memahami

apa yang sedang kaurasakan," ujar Milati lirih.

Gadis itu hanya menyahut dengan anggukan

ragu.

Milati melanjutkan kata-katanya, "Syaqib

ingin aku menyampaikan sesuatu padamu. Apa

kau benar-benar mau mendengarkan aku bicara,

tanpa beban dan tanpa paksaan?"

Gadis itu tak menoleh sedikit pun tapi ia

mengangguk.

"Saya sudah tahu semua tentang kamu dan

Syaqib. Apa kau benar-benar mencintainya?"

Gadis itu mengangguk lagi.

"Fida, sekali lagi aku minta maaf. Aku tak

bermaksud mencampuri urusanmu. Aku juga

tak bermaksud sok bijak atau apa. Aku hanya

ingin menyampaikan apa yang ingin disampaikan

Syaqib."

Gadis itu melirik ke arah Milati, lalu kembali

mengempaskan pandangan ke sungai.

"Fida, aku yakin engkau tahu apa itu cinta.

Mungkin kau hanya belum mengerti apa itu

cinta. Aku juga yakin, sama sekali tak pernah

terpikirkan olehmu bahwa cinta dan keinginan

tidaklah sama. Pertama, tentang cinta. Kau

menyukai Syaqib hanya karena dirinya adalah

jelmaan dari dirimu. Kau mencintai Syaqib

karena ia memiliki banyak kesamaan denganmu.

Semua itu berbaur menjadi satu sehingga kau

merasa sangat mencintainya, padahal sejatinya

kau hanya mencintai dirimu sendiri. Semua yang

kautuntut dari Syaqib ialah demi kebahagiaanmu

sendiri, bukan kebahagiaannya. Jujurlah, jika

seseorang yang kaucintai begitu tersiksa demi

kebahagiaanmu sendiri, apa kau benar-benar

menyebut itu bahagia?

"Memang benar, cinta tak bisa dipaksakan tapi

bisa diusahakan. Untuk mengusahakan cinta kau

juga harus tahu bahwa seseorang membutuhkan

modal cinta. Jika modal itu tak ada sama sekali,

usaha untuk sebuah cinta tak lain hanyalah

merupakan penyiksaan diri.

"Fida, kau mungkin tak pernah tahu bahwa

Syaqib sudah cukup menderita. Jika kau memang

benar-benar mencintainya, kau bisa meredakan

derita itu. Ingatlah dan jujurlah pada dirimu sendiri

bahwa kebahagiaan itu adalah melihat orang

yang kita cintai berbahagia. Cinta itu kekuatan,

kekuatan untuk melepaskan. Jika kau mencintai

seseorang, bebaskanlah dia. Jika dia kembali

kepadamu, maka dia adalah milikmu. Jika tidak,

berarti dia telah menemukan kebahagiaannya.

Jika kau benar-benar mencintainya, kau tak akan

mengusik kebahagiaannya. Tujuan cinta adalah

kebahagiaan, bukan yang lain. Jika kita berani

mencintai, berarti kita harus belajar melepaskan

rasa takut, curiga, dan ego. Apakah kau sudah

melakukannya?"

Sepanjang senja itu, Fida hanya bisa terdiam

mendengarkan Milati berbicara panjang lebar

tentang cinta. Mata Fida kembali basah.

"Fida, telah berapa kali kaupertimbangkan

sehingga kauberani mengambil keputusan nekat

yang tak bijak seperti ini? Kini kutanya, kau

muslimah, kan? Kau tentu paham bagaimana

Islam mengajarkan cinta. Mungkin kau lupa,

di dunia ini tak ada sesuatu pun yang tak bisa

diakhiri. Jika kau mengakhiri cinta dengan bunuh

diri, itu namanya mati konyol. Seseorang yang

mengakhiri hidupnya dengan mati konyol itu

namanya apa? Biar kau menjawabnya sendiri.

"Fida, apakah kau tak punya sedikit pun

rasa kasihan pada ibu dan ayahmu? Kaurela

meninggalkan ibumu yang susah payah me?

ngandungmu, ayahmu yang rela berkorban apa

pun demi kebahagiaanmu, demi seorang lelaki,

lelaki yang kaukenal secara kebetulan di angkot,

lelaki yang belum tentu bisa membahagiakanmu.

Cobalah kaupikirkan itu. Apakah itu adil? Aku

yakin orangtuamu tak pernah meminta balasan

apa pun darimu. Mereka tak menginginkan

balasan apa pun, kecuali kebahagiaanmu. Jika

jalan seperti ini cukup membuatmu bahagia,

lakukanlah apa yang ingin kaulakukan.

"Tidakkah kausadar bahwa secara tidak langsung kau telah berbuat zalim pada banyak orang?

Pada keluargamu, pada Syaqib, bahkan pada dirimu sendiri. Mungkin benar cinta itu buta sehingga membutakan rasa untuk mensyukuri bah52

wa kehidupan ini merupakan nikmat, anugerah.

Kau harus tahu bahwa anu?ge?rah kehidupan jauh

lebih berharga daripada cinta yang kaupikirkan

itu. Cinta adalah bagian dari kehidupan. Apakah

kaurela menghancurkan sesuatu yang besar demi

sesuatu yang merupakan bagian kecil dari sesuatu

yang besar itu?"

Gadis itu tetap diam meski isaknya semakin

menjadi-jadi. Ia memeluk tas kecil yang dibawa?

nya. Pandangannya masih menunduk.

Milati memperhatikan gadis itu. "Kedua, ten??

tang keinginan-keinginan. Ini yang sering mencelakakan manusia. Jika kau telah benar-benar

bisa membedakan cinta dan keinginan-keinginan,

perjalanan cintamu tak akan sampai seperti ini.

Aku telah membaca surat-suratmu untuk Syaqib.

Tentang rindu, ingin selalu berdekatan, tak mau
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jauh, dan seterusnya, dan seterusnya. Apa itu yang

namanya cinta?

"Kembali kukatakan padamu, coba kau te?

lusuri, apa yang membuatmu begitu kacau,

dan tidak tenang. Pasti kaujawab cinta. Jika

cinta jawabannya, tentu kau belum bisa me?

ngendalikan yang namanya cinta. Kau belum

bisa mengendalikan cinta karena kau belum

bisa mengendalikan dirimu. Kau belum bisa

mengendalikan dirimu karena kau belum

menyerahkan dirimu pada yang memiliki dirimu.

Kembalikanlah semua pada Zat yang memiliki

dirimu, memiliki Syaqib, memiliki segalanya.

Pernahkah kau mencoba pasrah, menyerahkan

dirimu yang lemah? Pasrah bukan berarti kalah.

"Kautahu mengapa manusia cenderung suka

sesuatu yang berasal dari tanah? Tumbuh-tum?

buhan, buah-buahan, semua berasal dari tanah.

Mengapa manusia menyukainya? Ya, karena

manusia juga berasal dari tanah. Jika manusia

tidak menyukai makanan yang berasal dari saripati

tanah, bisa dipastikan dia sakit, tidak sehat.

Begitu pula hati kita, roh kita. Semua berasal dari

Allah. Sudah selayaknyalah kita menyukai segala

sesuatu yang berasal dari-Nya. Shalat, zikir...

adalah makanan dari-Nya untuk rohani kita. Jika

kita tidak menyukai semua yang berasal dari-Nya,

roh kita benar-benar sakit. Tanyakan pada dirimu

sendiri, hatimu sakit atau tidak?"

Fida bergeming, air matanya meleleh. Tatapnya

mengisyaratkan bahwa ia mulai tenang.

Milati menarik lembut tangan gadis itu

dan membawanya mundur beberapa langkah

dari tepian sungai. "Apa kau merasa lebih baik

sekarang?" tanya Milati.

Fida mengangguk sambil menyeka air mata?

nya.

Di bawah terlihat arus Sungai Berantas yang

deras bercampur lumpur. Di atas terlihat matahari

jingga mengapung indah. Angin dari tengah

sungai semilir menerpa wajah mereka berdua.

Fida berjalan pelan mendekat kembali ke

bibir sungai. Mata Milati terpicing, namun ia tak

bergerak. Milati cukup yakin Fida takkan berbuat

konyol dengan menerjunkan diri ke dasar sungai.

Milati memperhatikan Fida dengan saksama,

menunggu apa yang hendak dilakukannya.

Fida terpekur dalam-dalam, memperhatikan

arus sungai yang beriak-riak, kasar dan meng?

hanyutkan apa saja. Air itu mengalir ke hilir

hingga menemukan muara yang tenang. Mungkin

seperti itulah keadaan hatinya sekarang setelah

sebelumnya bergejolak tak keruan. Baru kali ini

ia menerima kata-kata yang demikian menohok

benak sadarnya. Tak ada satu alasan pun untuk

tidak membenarkan petuah Milati untuknya. Tak

ada pula jalan keluar yang membuatnya lebih

tenang selain yang disarankan Milati.

Begitu saja rasa malu menyentil palung hati?

nya, entah malu pada siapa. Yang jelas, tanpa

bisa membantah, ia merasa bahwa semua yang

ia terima selama ini tak jauh dari apa yang ia

lakukan. Ia sadar sepenuhnya bahwa sesuatu yang

disebut manfaat tak sedikit pun menyenggol apaapa yang telah ia usahakan.

Satu hal lagi yang membuatnya sangat malu.

Ia merasa bisa mendapatkan ketenangan jiwa dan

kebahagiaan tanpa harus mendekatkan diri pada

Tuhan. Nyatanya, ia tak mendapatkan secuil pun

dari apa yang disebut sebagai kebahagiaan, apalagi

ketenangan jiwa. Jika pada jalan itu ia tersesat,

satu-satunya jalan ialah ia harus kembali ke jalan

yang benar-benar terang adanya. Sudah, titik. Tak

ada lagi suara-suara yang sering meniupkan syak

di kalbunya. Rasanya kebenaran itu sudah tak bisa

lagi ia bantah. Kini ia baru sadar ia malu kepada

siapa.

"Fida?" tegur Milati lagi. "Aku benar-benar

merasa lebih baik, Milati," ujar Fida, seolah

paham akan kekhawatiran Milati.

"Syukurlah."

"Iya, terima kasih," Fida tersenyum.

"Cobalah pejamkan kedua matamu!" pinta

Milati tiba-tiba.

Fida memejamkan mata. Begitu mudah gadis

itu menurut.

"Bentangkan kedua tanganmu!"

Gadis itu menurut lagi.

"Rasakan semilir angin ini! Dapatkah kau

merasakannya?" kata Milati lagi.

"Iya, kaubenar Milati. Indah."

"Beristigfarlah pada-Nya."

Fida bergumam lirih. Beristigfar.

"Fida, apa kau sudah shalat Asar? Waktunya

hampir habis, lho!"

"Bbb belum, " jawab Fida terbata.

Milati tahu Fida masih belum terbiasa.

"Aku sudah shalat tapi kalau kau mau, aku

bisa menemanimu mampir di masjid kota untuk

shalat Asar. Di sana ada mukena."

"Tentu. Milati, aku sangat berterima kasih

padamu. Mungkin kamulah orang yang dikirim

Tuhan untuk menyadarkan hamba-Nya yang

awam ini. Berkat kamu, aku dapat banyak

wawasan. Semoga kelegaan seperti ini akan

terus bersemayam dalam hidupku. Terima kasih,

Milati," ucap Fida bersemangat. Ia berpikir tak

ada buruknya mengubah diri menuju sesuatu

yang lebih baik, meskipun sekonyong koder. Toh,

ia masih ingat bagaimana caranya shalat meski ia

lupa kapan terakhir kali shalat. Shalat. Ya, kata itu

terdengar akrab tapi asing di telinga Fida.

"Alhamdulillah. Ayo!" ajak Milati.

Milati memboncengkan Fida menuju masjid.

Dalam pejalanan, mereka kembali bercakapcakap. Fida yang memulainya.

"Mil, boleh nggak aku ikut mengabdi di

pesantren kamu itu?"

Milati kaget bukan kepalang, tetapi ia berusaha

menjawab dengan bijak. "Benarkah? Kalau kau

memang berniat seperti itu, aku bersyukur sekali.

Saranku, sebelum kau mengambil keputusan,

pikirkanlah dulu matang-matang. Jangan sertamerta."

"Iya, saya sudah memikirkan dan mem?per?

timbangkannya."

"Mengurus anak kecil bukanlah hal yang

mudah, Fid. Anak-anak panti itu tak seperti

anak-anak biasa. Badungnya minta ampun. Kau

harus mempersiapkan mental yang kuat untuk

menghadapi mereka."

"Iya, aku tahu."

"Kalau boleh tahu, alasan kau apa, sih? Kok

punya rencana seperti itu?"

"Alasan? Apakah seseorang yang hendak insaf

harus memiliki alasan yang tepat?"

Milati terdiam.

"Mil," Fida terdiam sejenak, "apa yang kau

lakukan saat menemukan sebuah jalan yang

benar-benar kauyakini kebenarannya? Tentu kau

akan mengikuti jalan itu, kan? Bagiku, pesantren

tempat kaubelajar berbagi ilmu dan kebajikan

itu ialah jalan bagiku, jalan untuk membiasakan

diri pada hal-hal yang nantinya bisa mengantarku

pada ketenangan, lahir batin. Oh, aku paham.

Pasti kau mengira Syaqiblah alasanku. Yah,

entahlah. Yang kutahu, hidup di dekat orang yang

kita cintai tapi tidak mencintai kita, itu sangat

menyiksa. Mungkin dalam hal itu aku harus

berusaha menahan diri dan hati. Tenang saja, Mil,

aku akan belajar beramal tanpa tendensi apa pun."

"Iya, memang. Segala amal yang kita lakukan

hendaknya karena Allah, mengharap rida Allah.

Bagaimana pun, kamu kan harus minta izin pada

kedua orangtuamu. Iya, kan?"

"Aku yakin mereka mengizinkan, bahkan

dapat kupastikan mereka akan pingsan saking

senangnya. Bagaimana tidak, anaknya yang

urakan akhirnya bertobat juga," Fida setengah

tertawa. "Tolong, ya. Coba tanyakan pada

pengasuh pesantrenmu, apa aku diperkenankan

mengabdi di sana."

"Oh, Abah dan Bu Nyai? Kalau mereka gam?

pang. Masalahnya sekarang cuma ada padamu.

Pikirkan dulu matang-matang. Kalau bisa, shalat

istikharah."

"Oke, aku pertimbangkan lagi. Kalau sudah

dapat jawaban, besok pagi aku ke tempatmu."

"Oke, deh! Yuk, kita sudah sampai, nih."

Mereka turun dari sepeda dan me?nyandar?

kannya di bawah pohon. Milati mengantar Fida

ke tempat wudu putri. Usai shalat, Fida terlihat

menulis sesuatu. Milati menunggunya dengan

tenang. Mereka berpelukan untuk berpisah. Fida

menitipkan selembar kertas untuk Syaqib.

Ketika beduk Magrib bertalu dan azan mulai

dikumandangkan, Milati baru sampai di latar

pesantren. Suara Syaqib yang mengumandangkan

azan terdengar merdu mendayu.

Usai shalat berjemaah, Syaqib menemui

Milati. "Mil, kamu dari mana?"

"Menemui Fida."

"Fida? Bagaimana keadaannya sekarang?"

tanya Syaqib penasaran.
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Milati tidak menjawab.

"Apa kamu masih marah padaku?" Syaqib

tampak menyesal.

"Apa kamu masih peduli padanya?" balas

Milati.

Syaqib membisu.

"Alhamdulillah, ia sekarang baik-baik saja.

Aku sudah bicara panjang lebar dengannya.

Ia minta maaf. Ini ada titipan darinya." Milati

menyerahkan selembar kertas.

"Memangnya kaubicara apa saja dengannya?"

"Kau tak perlu tahu. Itu urusan perempuan,"

sahut Milati singkat sambil melangkah ke asrama

putri.

"Mil, Milati!" Syaqib memanggil-manggil.

Namun, yang dipanggil bablas.

Di kamar, Sayqib merebahkan diri di atas

sajadah kumal. Ia membuka lipatan kertas itu dan

membacanya.

Minggu, 17 April 2005

Kepada: Syaqib di singgasana kedamaian

Assalamualaikum.

Wahai pemuda yang telah aku zalimi.

Selama ini aku benar-benar mabuk sehingga

diriku tak bisa kukendalikan. Kini aku melepaskan?

mu meskipun kau tak pernah aku belenggu. Kini

aku membebaskanmu meski aku tak pernah me?

menjarakanmu. Kini carilah kebahagiaanmu. Aku

akan mencari sendiri kebahagiaanku. Jika kau

mendapatkan kebahagiaanmu, aku juga telah men?

dapatkan kebahagiaanku dengan sendirinya.

Kini aku insaf bahwa rasa ingin memiliki

bukanlah cinta karena cinta adalah kekuatan untuk

melepaskan. Melepaskan rasa takut, curiga, dan ego.

Kautahu? Aku meminjam kata-kata itu dari

Milati. Mungkin kaukenal gadis manis itu. Dia

telah mengajariku banyak hal tentang hidup,

tentang cinta. Aku sangat bahagia dia mau menjadi

sahabatku. Di sisi maaf kuucapkan juga kata terima

kasih yang mendalam karena kau telah mengutus

seorang Milati untuk menemuiku sehingga aku bisa

mengenal seorang perempuan salihah seperti dia.

Takkan panjang-panjang lagi aku mengobral

kata. Di waktu seperti ini, kata-kataku kelu,

tintaku kabur. Aku tak meminta apa pun darimu

selain maaf karena maafmu sudah mencukupi

segalanya. Aku yakin kau bukan orang yang tidak

mengenal maaf.

Sekian dan terima kasih.

Mufida

Syaqib melipat kertas itu kembali. Hatinya

merasa lega sekaligus iba pada gadis itu. Namun,

yang berkelebat dalam benaknya hanyalah Milati,

gadis yang cerdas dan memiliki kepedulian besar

pada seorang sahabat; padanya, juga pada Fida

yang baru dikenalnya.

Malam itu ia tak bisa memejamkan mata. Ia

penasaran, apa sebenarnya yang dikatakan Milati

pada Fida sehingga gadis itu berbalik 180 derajat

seperti itu. Dari surat yang dikirimkan Fida

untuknya, dari bahasanya yang memakai salam,

Syaqib bisa menebak apa saja yang dikatakan

Milati pada Fida. Ah, Milati bagaimana hendak

kuucapkan terima kasihku ini?

Semalaman ia hanya bisa menatap langitlangit kamar, sulit sekali memejamkan mata.

Bayangan Milati menerornya begitu saja. Ia

khawatir dengan dirinya, ia khawatir Milati mulai

mengusai hatinya. Dengan paksa ia memejamkan

mata dan melantunkan istigfar panjang hingga

lelap menjemputnya.

Sehari setelah berkenalan dengan Milati, Fida

mengunjungi panti. Ia minta bertemu Milati.

Seorang santri memanggilkan Milati. Milati

mengajaknya ke ruang tamu ndalem, tapi Fida

menolak dengan dalih lama: sungkan. Akhirnya,

mereka bercakap-cakap di musala.

"Mil, bagaimana? Apa kamu sudah bilang

sama Bu Nyai?"

"Belum. Aku minta kamu pikirkan lagi."

"Iya, sudah aku pikirkan masak-masak. Aku

juga sudah minta pertimbangan pada kedua

orangtuaku. Mereka mengizinkan. Mereka berdua

senang sekali."

"Alhamdulillah. Kalau begitu, no problem.

Ayo, aku antar ke ndalem. Sowan sama Abah dan

Bu Nyai."

"Yuk."

Mereka berdua beranjak ke ndalem. Ketika

hendak keluar musala, mata Syaqib menangkap

sosok mereka berdua. Ia kaget bukan kepalang.

Begitu pula dengan Fida. Tanpa menghiraukan

Syaqib ataupun Fida, Milati terus menarik tangan

Fida untuk menemui Abah dan Bu Nyai.

Milati mempersilakan Fida untuk duduk, ke?

mudian ia ke belakang untuk memanggil Abah

dan Bu Nyai. Setelah agak lama, Bu Nyai muncul

dari ruang tengah, sedangkan Abah tak bisa di?

ganggu.

"Siapa, Mil?" tanya Bu Nyai lembut tanpa

meninggalkan senyum.

"Ini teman Milati, Bu. Namanya Fida. Fida,

ini Bu Nyai."

Fida menjabat tangan Bu Nyai dan mencium?

nya.

Milati meneruskan kata-katanya, "Maksud

teman saya ini datang kemari ialah untuk meminta

restu Ibu."

"Restu apa?"

"Teman saya ini bermaksud mengabdikan

dirinya di pesantren ini sekaligus menimba ilmu

dari Abah juga Bu Nyai."

"Alhamdulillah, Ibu sangat senang. Tapi

ya beginilah keadaannya. Gedung dan kamarkamarnya masih seperti itu. Anak-anaknya juga

nakal-nakal. Jadi, Bu Fida siap-siap mental saja,"

canda Bu Nyai.

"Insya Allah, Bu," jawab Fida santun.

"Ya sudah. Milati, kamu antar teman kamu ke

kamar yang kiranya masih lowong."

"Itu kamar saya, Bu."

Milati memohon diri, lalu meninggalkan

ruang tamu. Ia mengantar Fida ke kamarnya.

Fida tampak senang. Setelah Fida selesai me?

rapikan tempat tidur dan menata pakaian, Milati

mengantar Fida berkeliling kamar untuk me?

ngenalkannya pada para pengasuh dan para santri.

Namanya Misas

Milati semalaman tidak tidur kecuali sebentar.

Semalam dia membantu Bu Nyai membungkus

jajanan untuk acara syukuran kedatangan Misas.

Kabarnya Misas datang nanti malam dan acara

syukuran akan dilaksanakan besok malam. Di

acara syukuran tersebut Bu Nyai akan meng?

undang tetangga sekampung, juga para kiai

sahabat Abah dan para wali santri. Mungkin

kakek Milati juga datang. Milati sudah sangat

rindu pada kakeknya itu. Sudah hampir setengah

tahun ia tidak bertemu dengan kakek neneknya.

Pernah tebersit dalam pikirannya bahwa ia

ingin boyong saja dari pesantren agar bisa men?

jaga kakek neneknya yang semakin renta. Tapi ia

tak bisa meninggalkan anak-anak. Bu Nyai pun

pasti akan mencegahnya. Kata Bu Nyai, tanpa

Milati pesantren terasa mati. Bu Nyai malah

meminta agar Milati saja yang membawa kakek

dan neneknya ke pesantren. Dengan begitu ia

bisa tetap menjaga keduanya tanpa harus me?

ninggalkan pesantren. Milati sebenarnya setuju

dengan saran dari Bu Nyai itu tapi kakek dan

neneknya yang menolak.

Siang begitu perkasa. Usai Zuhur, Bu Nyai

dan keluarga bersiap-siap untuk ke Surabaya,

menjemput Misas di Bandara Juanda. Tadi pagi

Misas menelepon ke rumah, minta dijemput

sekitar pukul tujuh malam. Milati diajak serta

untuk membantu membawa barang-barang

Misas, juga untuk menemani Bu Nyai. Syaqib

pasti ikut karena dia yang menyetir.

Sedan putih milik Abah sudah dikeluarkan

dari kandangnya dan diparkir di depan pintu

gerbang pesantren. Milati membawa tas plastik

berisi beberapa botol air dan sedikit makanan.

Bu Nyai membawa tas tangan tanggung dan

tas kecil putih berisi mukena. Meski udara dan

hawa menyengat tak bersahabat, Abah dan

Bu Nyai terlihat bersemangat. Cinta memang

bisa mengubah segala sesuatu yang makruh

menjadi indah. Kurang lebih begitulah cinta dan

kerinduan seorang Abah dan Bu Nyai pada Misas,

anak mereka. Cinta kasih seorang ibu tak pernah

sepadan dibandingkan dengan apa pun, juga tidak

dengan panas matahari yang menyengat.

Sebelum Abah dan Bu Nyai berangkat, anakanak mencium tangan mereka dengan khidmat,

seperti mencium tangan orangtua sendiri. De?

mikian juga para asatidz. Setelah mengucapkan

salam, mereka masuk ke mobil. Rasanya bagaikan

masuk ke oven saja.

Syaqib menyalakan AC. Semerbak wangi

apel memenuhi ruangan mobil. Panasnya juga

mulai mereda. Abah duduk di depan di samping

sopir, Syaqib. Milati dan Bu Nyai duduk di jok

belakang. Mobil meluncur perlahan. Dari kaca
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakang mobil, Milati dapat melihat anak-anak

kecil itu melambaikan tangan: dadah!

Beberapa saat kemudian, mobil memasuki

jalan utama menuju Surabaya. Syaqib melajukan

mobil. AC dimatikan dan jendela dibuka sedikit.

Kalau mobil sudah melaju, biasanya rasa panas

akan dikalahkan oleh semilir angin kencang dari

luar mobil meskipun kadang bercampur asap

dan debu. Perjalanan memang sedikit macet.

Sekarang ini jumlah mobil, motor, dan kendaraan

lain penyebab polusi hampir sama dengan jumlah

manusia. Mungkin orang-orang berpunya merasa

lebih baik jika setiap kepala memiliki kendaraan

sendiri.

Itu hanya salah satu alasan mengapa macet

selalu ada. Macet itu bukan suatu halangan,

melainkan suatu risiko. Kalau tak mau ada macet,

protes saja pada penemu mobil atau motor?

sengaja sepeda tak disebutkan karena sepeda

adalah kendaraan antimacet, bisa lewat loronglorong kecil, bisa juga diangkat kalau jalanan

sempit atau becek. Yang paling penting, nggak

bakalan kena tilang pak polisi karena nggak ada

yang bisa dimakan dari sepeda?mengapa pula

mereka menemukan kendaraan penyebab macet?

Kalau tak ada mobil atau motor, pasti tak ada

yang namanya macet, hanya saja silakan ngonthel

atau jalan kaki menuju tempat kerja.

Waktu Asar tiba, Bu Nyai dan rombongan

sudah sampai di Mojokerto dan berhenti untuk

istirahat sejenak dan shalat Asar. Mereka me?

lanjutkan perjalanan setelah beristirahat sekitar

dua puluh menit. Perjalanan begitu bising oleh

mesin-mesin penghasil asap. Seisi mobil sudah

dibuai mimpi, selain Syaqib.

Sebenarnya Syaqib merasa cukup lelah dan

mengantuk tapi sopir selalu dilarang tidur.

Jangankan tidur, bicara saja dilarang. Untuk alasan

kenapa dilarang, rasanya tak perlu dijelaskan lagi.

Dari kaca spion muka, Syaqib dapat melihat

Milati yang sedang tidur. Meski begitu, ia tetap

terlihat cantik. Lambat laun Syaqib merasa

kekagumannya terhadap Milati itu berlebihan. Ia

segera menepisnya.

Jalan perempatan, lampu merah menyala.

Syaqib menghentikan mobilnya. Seisi mobil tak

ada juga yang bangun. Seorang anak kecil bertopi

dekil melambai-lambaikan tangannya dari luar

kaca. Syaqib paham maksudnya. Syaqib membuka

kaca itu separuh. Sayang ia tak memegang uang

receh sama sekali, apalagi yang tidak receh. Di laci

mobil juga kosong. Mau membangunkan yang

tidur, Syaqib tak sampai hati. Membangunkan

orang tidur ialah hal yang tak disukainya, kecuali

darurat. Apa boleh buat, ia telanjur membuka

kaca itu. Ia melihat dua gepok kacang rebus dan

tiga bungkus tahu Sumedang di sebuah kantung

kresek. Diberikannya satu gepok kacang rebus

dan satu bungkus tahu pada anak itu, tak lupa ia

bilang "maaf tak ada uang receh, adanya sedikit

makanan ini!". Anak kecil itu menerima dengan

senang hati dan ucapan terima kasih, lalu pergi.

Perhentian lampu merah seperti ini adalah

sebuah kesempatan bagi para pedagang kaki dua

untuk menjajakan dagangannya, juga bagi para

penyanyi jalanan. Jalanan beraspal panas dan

berdebu tak menyurutkan nyali mereka untuk

mendapatkan sesuap nasi. Syaqib dapat melihat

semangat dari wajah-wajah mereka yang hitam

terpanggang panas jalanan, wajah-wajah yang

teroles asap hitam kendaraan yang tak pernah

habis.

Di samping rasa ibanya itu, Syaqib bertanyatanya, sempatkah wajah mereka yang tebal

dan hitam itu tersentuh air wudu. Dalam

keadaan hidup yang sulit seperti itu, jika mereka

masih mengerjakan shalat, itu adalah hal yang

layak untuk disalutkan. Jika tidak, sungguh

memprihatinkan. Bagaimana tidak? Dunia jauh

di angan, akhirat kabur di tangan. Ketika me?

lihat serba-serbi kehidupan seperti itu, sudah

selayaknya kita tak pernah berhenti merangkai

syukur. Jika diperhatikan, kehidupan di panti

ataupun pesantren ternyata memang lebih baik.

Secara tidak sengaja, matanya kembali me?

natap Milati dari kaca spion depan. Ia menjadi

enggan mengalihkan pandangannya. Sekali lagi,

kekagumannya terhadap gadis itu memang ber?

lebihan. Dia merasakannya sendiri. Pikirannya

menerawang.

Tin tin tin. Suara klakson bertubitubi dari belakang mengagetkannya. Ia tak sadar

lampu merah sudah padam dan lampu hijau

menyala. Buru-buru ia tancap gas. Seisi mobil

kaget, terbangun semua.

Tepat pukul enam petang mereka sampai di

bandara. Jalan memang sedikit macet. Setelah

memarkirkan mobil, mereka mencari musala

untuk shalat Magrib. Sebenarnya mereka juga

bisa melakukan jamak takhir tapi waktu rasanya

agak luang sehingga mereka memutuskan untuk

mencari musala saja, sekalian meluruskan kaki.

Jam menunjukkan pukul tujuh tepat. Bu Nyai

mulai gelisah.

"Bah, ini sudah jam tujuh, lho. Misas kok

belum telepon, ya? Kemarin kalau sudah sampai

katanya mau langsung telepon?" ucap Bu Nyai

resah.

"Kalau belum telepon, ya berarti belum sampai,

Bu! Nanti kalau sampai, pasti dia telepon," sahut

Abah.

Belum lama Abah berbicara, ponsel di saku

Abah sudah bergetar.

"Ini pasti Misas," duga Abah. Benar, memang

Misas. Abah mengaktifkan loudspeaker ponsel.

"Assalamualaikum. Abah sekarang di mana?

Alhamdulillah, ini pesawat sudah landing. Saya

baru turun dari pesawat," suara Misas nyaring

terdengar dari peranti komunikasi itu.

"Walaikumsalam. Abah juga sudah sampai di

bandara. Ini Abah masih di musala. Bagaimana?

Kamu tunggu di mana? Biar kami ke sana!"

"Abah sama siapa?"

"Ini ada Umi, Syaqib, juga Milati."

"Mas Misbah nggak ikut, Bah?"

"Istri kakakmu sedang hamil tua. Jadi, nggak

bisa ditinggalkan."

"Oh, kalau begitu biar Misas saja yang ke

musala. Syaqib saja suruh ke sini, bantuin bawa

koper."

"Ya sudah. Wassalamualaikum," Abah me?

nutup telepon. "Qib, tolong kamu susul Misas.

Kalau dia belum datang, tunggu saja di dekat

loket. Kamu masih ingat, kan, sama Misas?"

"Iya, Bah. Tentu saya masih ingat," jawab

Syaqib yang kemudian berlalu.

Abah dan Bu Nyai sudah tak sabar untuk

memeluk putra kesayangan mereka itu. Milati juga

tak sabar untuk melihat bagaimana wajah Misas

sekarang. Sudah lama sekali dia tak melihatnya.

Terakhir dia melihat wajah Misas adalah ketika

Misas masih duduk di kelas tiga Madrasah Aliyah.

Waktu itu Misas masih mondok di Lirboyo,

Kediri. Sesekali saja ia pulang. Setamat dari

Kediri, Misas langsung melanjutkan S1 di Yaman

atas biaya dari pemerintah karena dia memang

murid yang berprestasi.

Begitu lulus S1, tak juga ia mau pulang ke

Indonesia. Sebenarnya, uminya memintanya

untuk pulang dan melanjutkan S2 di Indonesia

saja. Apa boleh buat, Misas lebih betah di Yaman

sehingga setelah tamat S1 ia melanjutkan S2 di

universitas yang sama.

Selama hampir tujuh tahun Misas kuliah di

Yaman, baru tiga kali ia pulang. Pertama ialah

sekitar empat setengah tahun yang lalu. Kebetulan

waktu itu Milati pas mudik, jadi mereka tak bisa

bertemu. Yang kedua ialah dua tahun lalu. Waktu

itu Milati masih duduk di kelas Tsanawi dan ia tak

terlalu peduli. Yang ketiga ialah sekarang ini.

Milati sudah lama tak menatap wajah put?

ra Bu Nyai yang katanya tampan itu secara

langsung. Paling-paling hanya melihat fotonya

yang dipajang di kamar yang sering ia bersihkan.

Setiap kali Milati melihat foto Misas itu, hatinya

berdesir. Entahlah. Wajahnya memang tampan

tapi sepertinya bukan itu yang membuat dada

Milati berdesir. Wajah itu begitu teduh. Entah

mengapa hati Milati menjadi berdebar menunggu

kedatangan Misas, padahal mereka tidak pernah

dekat sebelumnya.

Setelah agak lama, di kejauhan terlihat Syaqib

membawa sebuah koper besar. Di sebelahnya ada

seorang laki-laki dengan tas punggung dan koper

kecil. Wajahnya putih bersih dengan jenggot dan

kumis tipis. Dialah Misas. Secara tidak sengaja

mata mereka bertemu sekilas dari kejauhan. Hati

Milati semakin berdesir.

"Bu, itu Mas Misas!" teriak Milati.

Bu Nyai berlari menyongsong anaknya itu.

Abah menyusul. Misas mencium tangan kedua

orangtuanya itu dengan mata berkaca-kaca.

"Misas," Bu Nyai memeluk dan mencium

anaknya itu dengan air mata berlinang. Rindu
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lama ia tahan akhirnya meluap juga bersama

air mata. Sudah dua tahun lebih mereka tak

bertemu. Suasana menjadi haru bahagia, tak

ada sepatah kata pun terucap. Kebahagiaan

bertemu dengan orang-orang tercinta memang

sulit untuk dilukiskan dengan apa pun, kecuali

dengan air mata. Bu Nyai belum juga melepaskan

pelukannya.

"Bu, sudah, ayo masuk mobil," pinta Abah.

Melihat Bu Nyai yang memeluk anaknya

dengan penuh cinta, Milati ikut terharu. Ia

menjadi rindu pada ibunya meski tak pernah

melihat wajahnya sekalipun. Ternyata Syaqib juga

merasakan hal yang sama. Dua orang yatim piatu

yang merindukan sentuhan seorang ibu.

Syaqib meletakkan koper besar di bagasi

belakang. Misas duduk di depan, menggantikan

tempat Abah. Sementara itu, jok belakang diisi

tiga orang: Abah, Bu Nyai, dan Milati.

Sepanjang perjalanan pulang, Misas bercerita

banyak tentang Yaman dan apa saja yang

dialaminya selama dua tahun terakhir ini. Tak

terasa mereka sudah sampai Jombang. Di daerah

Perak, Misas minta berhenti sebentar untuk

mampir ke sebuah warung lesehan ayam bakar.

Meski sudah agak malam, warung itu masih

buka. Mereka sekalian shalat Isya, kebetulan ada

musalanya. Mereka shalat dulu, kemudian makan.

"Ayam bakarnya saja dua," pesan Misas pada

seorang pelayan yang menunjukkan menu.

"Iya. Minumnya apa, Mas?" tanya pelayan itu.

"Saya teh jahe aja. Abah sama Umi apa? Syaqib

sama siapa?"

"Milati!" sahut Milati segera.

"Ya, Milati. Pesen sendiri, ya. Terserah kalian.

Tenang saja, saya yang bayarin."

"Iya, Mas," jawab Syaqib dan Milati bersamaan.

"Abah jeruk anget saja," ujar abah.

"Umi juga, Qib. Mil kamu apa?"

"Sama."

Tak lama kemudian, datang dua orang pelayan

dengan dua ingkung ayam bakar, lima porsi nasi,

tak lupa lalapan dan sambelnya. Tak lama, datang

lagi seorang pelayan dengan lima gelas panjang

minuman, satu teh jahe dan empat jeruk anget.

Mereka mulai makan. Misas makan dengan lahap.

Setiap pulang ke Indonesia, Misas tak pernah lupa

mampir ke warung kesukaannya itu.

Satu ingkung ayam akhirnya dibungkus, di?

bawa pulang. Satu ingkung saja ternyata sudah

berlebihan. Setelah itu, mereka bergegas pulang.

"Qib, biar saya saja yang nyopir," pinta Misas

pada Syaqib.

"Nggak usah, Mas, biar saya saja. Mas Misas

pasti capek. Kan dari perjalanan jauh."

"Nggak apa-apa. Saya tahu kamu capek, dari

berangkat pasti kamu yang nyopir, kan? Wis,

nggak apa-apa. Kamu istirahat dulu sebentar."

"Iya, Qib. Kamu istirahat saja dulu, biar si

Misas yang nyopir. Mumpung dia semangat," sela

Bu Nyai.

"Ya sudah kalau begitu. Monggo."

Jadilah dalam perjalanan dari Jombang sampai

ke rumah, Misas yang menjadi sopir. Yang

lain tertidur. Juga Milati. Sesampai di rumah,

pesantren sudah lengang. Lampu-lampu kamar,

musala, juga ruang tamu ndalem sudah dimatikan.

Itu berarti para penghuninya sudah tidur. Pintu

gerbang sudah ditutup. Misas membunyikan

klakson beberapa kali sehingga seorang santri

membukakan pintu gerbang. Mobil segera di?

masukkan ke kandangnya. Rasa lelah dan payah

menyerang mereka berlima.

Tak ada yang harus dilakukan kecuali me?

rebah??kan diri menikmati anugerah malam dan

kalau sempat nanti sepertiga malam bangun

untuk tahajud. Mereka biasa melakukan tahajud

kecuali bila tidur mengalahkan mereka.

Sehabis meletakkan beberapa barang bawaan

Misas, Milati dan Syaqib kembali ke kamar

masing-masing. Milati ke kamar mandi dulu

sebelum tidur untuk mencuci kaki, tangan, dan

muka, kemudian menggosok gigi.

Di kamarnya, Syaqib belum bisa tidur meski

matanya terasa berat dan tulang belulangnya

terasa lemas. Ia teringat saat tatapan Misas dan

Milati bertemu secara tidak sengaja di bandara.

Seperti ada sesuatu. Syaqib tidak dapat merayu

hatinya untuk menganggap hal itu biasa-biasa

saja. Dadanya sedikit sesak.

Si Penyelamat

Sehabis shalat Subuh berjemaah dan ngaji pagi,

anak-anak antre mandi. Setelah berseragam rapi,

mereka akan berbaris di depan pintu dapur dengan

piring dan sendok masing-masing. Dua atau

kadang tiga orang pengasuh duduk di samping

meja makan. Mereka bertugas mengambilkan

nasi dan lauk bagi anak-anak.

Dapur akan benar-benar ramai ketika waktu

makan tiba. Anak-anak mendapatkan jatah ma?

kan tiga kali dalam sehari, yaitu pagi sebelum

berangkat sekolah, siang sepulang sekolah se?

belum Zuhur, dan bakda Asar sehabis ngaji sore

menjelang Magrib. Malam adalah waktu untuk

belajar. Di luar waktu makan, dapur akan terasa

sepi. Hanya ada Mbah Nah, si juru masak,

yang sibuk dengan tugasnya. Sesekali Milati

membantunya.

Bila anak-anak sudah berangkat ke sekolah,

barulah para pengasuh mendapat giliran untuk

sarapan. Para pengasuh putri biasanya lebih suka

makan di kamar masing-masing, sedangkan para

pengasuh putra bisa makan di mana saja. Di

dapur, di depan TV, bahkan di depan kamar.

Untuk mendapat seporsi sarapan, para peng?

asuh juga perlu antre, tetapi antrean mereka

tak seperti anak-anak yang harus berbaris rapi

dengan piring dan sendok di tangan. Jika anakanak suka berceloteh ke mana-mana yang tak

ada artinya saat mengantre, para pengasuh juga

melakukan hal yang sama, tingkatannya saja

yang berbeda. Biasanya mereka membicarakan

kelakuan anak-anak yang bandel dan suka anehaneh atau menceritakan pengalaman lucu mereka.

Yang jelas, pembicaraan mereka tidak akan jauhjauh amat dari persoalan-persoalan yang terjadi

di pesantren itu. Kebetulan, yang menjadi topik

obrolan mereka kali ini adalah Misas, putra Bu

Nyai yang baru tiba dari Yaman.

"Mil, Mas Misas itu orangnya kayak gimana,

sih? Aku kok penasaran," tanya Rahma, salah

seorang pengasuh putri.

"Memangnya kenapa? Kamu naksir?" sahut

Milati enteng.

"Cuma nanya aja. Denger-denger, orangnya

cakep. Bener nggak, sih?"

"Nanti kamu juga bakal tahu sendiri."

"Ya nggak gitu, Mil. Tadi malam kan kamu

ikut jemput ke Surabaya. Nggak apa-apa, dong,

bagi-bagi cerita."

"Ssst. " desis Milati lirih.

"Assalamualaikum." Misas tiba-tiba muncul

dari pintu samping dapur. Para pengasuh putri

kaget dan bengong, meski salam dari Misas

sempat mereka jawab.

"Maaf, mengganggu pembicaraan kalian," lan?

jut Misas.

"Nggak apa-apa, Mas," jawab para pengasuh

putri seperti koor.

"Milati dipanggil Umi," ujar Misas.

"Ya. Ada apa, Mas?" balas Milati.

"Itu, Umi ada perlu sama kamu."

"Iya, saya akan segera ke sana."

"Ya sudah, saya duluan. Monggo dilanjut ngob?

rolnya. Assalamualaikum," ujar Misas dengan

senyum mengembang.

"Oh, iya. Monggo, Mas. Walaikumsalam," ja?

wab para pengasuh putri, masih dengan koor

mereka.

Milati beranjak ke ndalem, mengikuti Misas

yang berjalan duluan. Para pengasuh putri yang

tadi bengong, kini ribut membicarakan Misas.

"Masya Allah.... Itu tho yang namanya Mas

Misas? Cakep banget."

"Cieee yang terpesona." goda Fida.

"Eh, tapi tadi Mas Misas dengar pembicaraan

kita nggak, ya?" tanya Rahma cemas.

"Makanya jangan genit gitu, dong," sahut Bu

Juwar.

"Siapa yang genit? Tapi memang masya Allah...

gantengnya," Rahma membela diri.

"Kenapa? Kamu terpesona pada pandangan

pertama?"

"Apaan, sih? Mana mau dia sama saya?"

"Ya, kamu minta mukjizat aja," ejek Bu Juwar

lagi.

Rahma tak menjawab.

Milati berjalan lambat di belakang Misas. Misas

mempercepat jalannya. Ia tahu Milati berjalan

lambat karena sungkan hendak jalan bersamaan

atau mendahuluinya. Misas masuk lewat dapur,

Milati lurus lewat ruang tengah, meski di ruang

tengah mereka bertemu juga. Bu Nyai sudah

menunggu di sana.
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Alhamdulill?h, kamu tak tunggu-tunggu

akhirnya datang juga," ujar Bu Nyai ramah.

"Inggih...."

"Kamu nganggur, kan?"

"Iya, Bu. Apa yang bisa saya bantu?"

"Ibu mau minta tolong lagi. Kamu tahu kios

kue Prima Rasa, kan? Depan Pasar Besar sebelah

studio foto itu, lho."

Milati berpikir sejenak. "Oh, tempat beli

tepung roti kemarin, ya?"

"Iya."

"Tapi ini mau beli apa lagi, Bu? Rotinya kan

sudah jadi."

"Cuma pesen saja. Selain buat sendiri, Ibu

juga pesen roti dari sana. Nah, kemarin kan

Ibu pesennya cuma seratus lima puluh kotak.

Ternyata setelah dihitung-hitung, tamunya insya

Allah lebih dari seratus lima puluh. Nah, tugas

kamu ke sana bawa bon ini, lalu bilang rotinya

nambah lima puluh kotak lagi. Jadi, pas dua ratus.

Paham, kan?"

Milati mengangguk-angguk paham.

"Ngomong-ngomong, kamu sudah sarapan

belum?"

"Sebenarnya belum. Tapi ke pasar dulu nggak

apa-apa kok, Bu."

"Eh, jangan. Kamu harus sarapan dulu. Nanti

perut kamu sakit, lho!"

"Kalau begitu saya ke belakang dulu, Bu.

Sarapan dulu."

"Ngapain ke belakang? Di sini juga ada nasi.

Sama saja, tho? Itu Misas juga lagi sarapan."

"Sungkan, Bu," ujar Milati malu-malu.

"Walah, pakai sungkan segala. Jangan malumalu sama Misas," balas Bu Nyai.


Wiro Sableng 025 Cinta Orang Orang Gagah Pendekar Elang Salju Karya Gilang Tiga Maha Besar Karya Khu Lung

Cari Blog Ini