Ceritasilat Novel Online

Burungpun Pulang Ke Sarangnya 2

Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal Bagian 2

"Nggak usah malu-malu. Ayo sini sarapan

bareng. Umi juga belum sarapan, kan?" sahut

Misas dari ruang makan.

"Ayo, sini sarapan bareng. Umi juga mau

sarapan," tukas Bu Nyai sambil meraih tangan

Milati, menariknya ke ruang makan.

Mereka makan bersama sambil ngobrol. Milati

sebenarnya sudah terbiasa makan bersama Abah

dan Bu Nyai, tapi ia tak biasa makan bersama

putra Bu Nyai, Misas. Entah ada apa, rasanya ia

menjadi serbasalah, menjadi kikuk saat ada Misas

di hadapannya. Sepertinya akan terasa begitu

untuk seterusnya.

"Abah mana?" tanya Milati basa-basi. Tangan?

nya tiba-tiba bergetar ketika menciduk nasi.

"Abah ada tamu di depan," jawab Bu Nyai

sembari mencomot tempe goreng di depannya.

"Oh iya, Mil, kamu nanti ke pasarnya bareng

Misas sama Syaqib saja sekalian," usul Bu Nyai

tiba-tiba.

Misas dan Milati melongo. Hendak bertatapan

tetapi tak jadi.

"Kenapa? Katanya kamu sama Syaqib mau ke

temanmu, sekalian ke Plaza buat nyari baju. Kan

sejalan. Daripada Milati naik becak sendirian,"

ujar Bu Nyai pada Misas.

Misas hanya mengangguk.

"Ngng... nggak usah, Bu. Biar saya minta

antar Mbak Juwar sebentar. Mas Misas berangkat

duluan saja. Saya juga masih ada perlu sebentar,"

balas Milati. Itu alasan Milati saja. Sebenarnya

ia senang tapi rasa malu dan sungkan tak

mengizinkannya untuk itu, entah mengapa.

"Ya sudah, kalau begitu. Kamu sama Syaqib

berangkat duluan saja, Sas! Sepertinya Syaqib

sudah nunggu di teras, tuh," kata Bu Nyai pasrah.

"Iya, Mi."

Usai makan, Misas masuk ke kamar. Tak lama

kemudian, ia keluar dengan jaket cokelatnya lalu

pamit pada ibunya yang masih mengunyah nasi

di ruang makan.

"Berangkat dulu, Mi. Assalamualaikum,"

pamit Misas sambil mencium tangan ibunya.

"Walaikumsalam," jawab Bu Nyai dan Milati

bersamaan.

Akhirnya Milati berangkat diantar Mbak Ju?war.

Mbak Juwar sebenarnya juga sibuk, jadi Mbak

Juwar hanya bisa mengantar sampai depan pasar,

tak bisa menemaninya.

Setelah berputar-putar sejenak, akhirnya

Milati menemukan toko yang dimaksud. Pasar

yang ada di pusat kota itu memang terkenal besar,

namanya juga Pasar Besar. Kalau dilihat dari atas,

mungkin bentuknya seperti kubus raksasa yang

menancap di tanah dengan atap seng mengilat.

Di jantung pasar itu dibangun pasar swalayan

modern. Anak-anak sekarang menyebutnya mal.

Pasar Besar terletak tidak jauh dari alun-alun,

pusat kota. Transportasi apa pun cukup mudah

menjangkaunya, termasuk becak.

Rasanya matahari belumlah sepenggalah naik,

hari masih muda, masih pagi. Milati keluar dari

toko dengan napas lega. Tadi ia harus mengantre.

Walaupun baru buka, toko roti yang satu itu

sudah ramai dikunjungi pelanggan. Tugas dari

Bu Nyai sudah dilaksanakannya. Ia hendak segera

pulang, tapi rasanya masih terlalu pagi. Milati

memutuskan untuk berjalan-jalan dulu melihat

keramaian pasar, mengamati kebisingan pusat

kota. Siapa tahu ia mendapat inspirasi yang bagus

untuk dituangkan lewat tinta. Ia bisa tenang

karena Bu Nyai sudah membekalinya dengan

ongkos angkot, kalau-kalau Syaqib tak bisa

menjemputnya.

Nuansa kota memang sarat dengan kebisingan,

dengan asap bahan bakar yang melumuri de?

daunan dengan kerak hitam menyebalkan, juga

dengan lalu lalang orang-orang dengan maksud

dan kesibukan masing-masing. Rasanya tak ingin

ia tinggal di perkotaan, begitu benaknya bicara.

Milati gesit menelusuri gili-gili, mendahului

langkah-langkah lamban para peminta-minta.

Milati bisa menghitung para gelandangan

yang duduk lemas menengadahkan tangan

atau mangkuk-mangkuk butut setiap beberapa

langkah. Di satu sisi ia prihatin. Di sisi lain,

ia serbasalah karena memberi?meski hanya

seratus perak?pada seorang peminta-minta

sama saja dengan membunuhnya, yaitu dengan

membiarkannya tenggelam lebih jauh dalam

kemalasan. Meski begitu, ia masih menjatuhkan

seratus-dua ratus perak di tangan mereka yang

menganga. Dengan seratus-dua ratus, Milati bisa

mendapat ucapan terima kasih dan doa kelancaran

rezeki secara gratis.

Meski langkah tak putus dari ayunan, pikiran

bisa menerawang ke mana-mana. Menerawang

kehidupan manusia yang berlapis-lapis dengan

kisahnya sendiri-sendiri, menerawang kisah hi?

dup??nya yang lurus-lurus saja meski berbatu-batu

tajam, menerawang usianya yang kian bertambah

seiring umur dunia yang semakin bertambah

pula. Semakin tua, semakin mendekati titik akhir.

Ah, dunia.

Milati menghentikan langkah ketika pan?

dangan?nya mendarat pada sosok lelaki yang agak

jauh di depannya. Gerak-geriknya mencurigakan.

Wajahnya berewok dan berjerawat. Ia memakai

pakaian kumal berwarna biru pudar bermotif

kotak-kotak, mengenakan rompi jins, tapi tak

beralas kaki. Milati memperhatikan gerak-gerik

lelaki itu dengan saksama, ia seperti mengincar

tas yang dicangklong seorang gadis di depannya.

Copet, pikir Milati.

Benarlah apa yang diduga Milati. Lelaki

mencurigakan itu mulai menggerakkan tangannya

dan siap meraih tas merah muda milik gadis itu.

Ingin rasanya Milati menghentikannya tapi ia

seorang gadis yang lemah, bisa-bisa malah dia

sendiri yang bakal ketiban sial. Namun, ia sudah

telanjur menyaksikannya dan selayaknya ia tak

membiarkan itu terjadi. Sebelum tangan lelaki

itu benar-benar menyentuh tas milik gadis itu,

keluar juga teriakan dari mulut Milati, "Copet,

copeeet...!"

Tak ayal semua pandangan tertuju pada

sumber suara itu, Milati. Termasuk si copet yang

urung menjalankan aksinya.

"Apa? Apa?" gertak si copet ganas sambil

berjalan mendekati Milati.

Orang-orang yang melihat kejadian itu cuma

melihat tanpa berbuat apa pun. Mungkin mereka

harus berpikir beberapa kali untuk berurusan

dengan copet, preman, dan semacamnya. Melihat

tak ada seorang pun yang bernyali membelanya,

Milati memutuskan untuk ambil langkah seribu,

lari. Ia berharap si copet tak mau mengejar seorang

gadis lemah seperti dia.

Ia berlari sambil sesekali menoleh ke belakang.

Sialnya, si copet ternyata mengejarnya juga.

Semakin laju ia berlari. Ia kumpulkan seluruh

tenaga untuk menghindari si copet itu. Hatinya

menjadi sesak tidak keruan, juga takut. Si copet

terus saja mengejarnya.

Milati masih terus berlari, napasnya tidak

beraturan. Kakinya mulai terasa lemas dan

sedikit diserang keram, namun ia takkan hendak

berhenti. Akhirnya, sampailah ia di muka pasar

swalayan yang megah bertingkat dua. Di depan

pintu utama ada dua orang satpam berbadan

besar. Larilah Milati ke sana. Ia berharap satpam

itu menjadi dewa penolongnya. Di depan gerbang

utama, Milati membaca sebuah tulisan press mika

yang tertempel di dinding kaca:

PEMULUNG, PENGEMIS,

GELANDANGAN,

DILARANG MASUK

Milati mengurungkan niatnya untuk merepot?

kan kedua satpam itu. Milati meluncur saja ke

dalam pasar swalayan. Kedua satpam itu sempat

kaget melihat Milati yang lari tunggang-langgang.

Milati menoleh ke belakang, ia masih melihat si

copet mengikutinya. Si copet menghentikan laju

langkahnya dan berusaha masuk swalayan itu

dengan berjalan seperti biasa.

Milati masih deg-degan dan semakin degdegan. Ia berusaha menerobos kerumunan orang

yang sedang asyik memilih baju-baju berdiskon.

Ia juga tak memalingkan pandangan dari copet

yang tak menyerah mengincarnya.

Hati Milati menjadi plong saat ia melihat kedua

satpam itu menghadang lelaki sangar yang tadi

mengejarnya. Ia melihat satpam itu mengacung90

acungkan tangan pada tulisan yang tertempel

di dinding sebelahnya. Milati paham maksud

mereka. Setelah beberapa jenak menenangkan

diri, dan kira-kira si copet itu telah pergi jauh,

Milati memutuskan untuk pulang saja.

Namun, Milati kaget setengah mati ketika

melihat si copet duduk di samping gerbang pagar

pintu utama yang merupakan satu-satunya jalan

keluar-masuk bangunan tersebut. Milati yakin

copet itu menunggunya keluar. Milati membuang
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

niatnya untuk pulang. Ia masuk kembali ke

swalayan dengan rasa takut yang menjadi-jadi.

Di dalam swalayan, ia mengusir rasa takut

dan khawatirnya dengan berputar-putar melihat

baju-baju yang digantung rapi. Ada juga beraneka

jilbab yang menarik perhatiannya. Ah, kapan aku

bisa mempunyai pakaian bagus-bagus seperti itu?

Perhatian Milati menjadi buyar dan pikirannya

kacau ketika ia sadar kembali bahwa di luar ada

bahaya menunggunya. Bagaimana pun, ia tak bisa

mencairkan ketegangannya itu.

Rasanya sudah hampir satu jam ia berada

dalam swalayan. Kembalilah ia mendekati pintu

masuk dengan harapan copet itu sudah tidak di

sana lagi. Namun, lagi-lagi Milati harus mengelus

dada, copet itu masih setia menunggunya di sana.

Rasanya ia ingin menangis. Milati duduk lemas di

tangga, tak ia pedulikan orang-orang yang lalu91

lalang, naik-turun tangga, melihatnya dengan

aneh. Tak ada seorang pun yang mendekatinya

untuk bertanya, "Ada apa, Dik?" atau " Ada yang

bisa saya bantu?".

Tak terasa sudah dua jam ia di sana. Untuk

ketiga kalinya ia mendekati pintu masuk untuk

melihat copet itu masih ada di sana atau tidak.

Alangkah nahasnya, si copet tak juga beranjak

dari tempat itu.

Milati kembali menuju tangga naik dan

duduk dengan pasrah. Saraf-sarafnya benar-benar

terasa lumpuh. Ia tak tahu lagi harus bagaimana.

Dalam keadaan seperti itu tak sempat terpikirkan

olehnya untuk meminta tolong pada siapa pun. Ia

hanya bisa duduk lemas dan berdoa semoga Tuhan

mengirimkan malaikat penyelamat untuknya.

Tiba-tiba, di sela-sela kerumunan pengunjung

toko, Milati melihat seseorang yang tak asing.

Matanya kembali berbinar. Ia bisa kembali

menggerakkan sendi-sendinya yang tadi keram.

Hatinya berdegup. Ia mengucap syukur, Allah

mendengar doanya dan mengirimkan malaikat

penyelamat untuknya.

Milati berlari mendekati sosok itu dan

berteriak, "Mas Misaaas...! "

Misas kaget. Ia semakin kaget ketika tiba-tiba

Milati meraih tangannya dari depan. Wajah gadis

itu terlihat lusuh dan tegang.

Milati segera melepaskan pelukan tangannya.

Dalam keadaan takut seperti itu, siapa pun bisa

hilang kesadaran, juga Milati. Milati menangis

di depan Misas. "Mas, tolong saya, Mas," rengek

Milati. Wajahnya basah oleh keringat dan air

mata.

"Iya, iya. Tenang dulu, Milati. Ini ada apa?"

Misas berusaha menenangkan Milati yang begitu

gugup.

"Saya dikejar-kejar copet."

"Copet?" balas Misas kaget, kedua alisnya yang

tebal beradu menjadi satu.

"Iya, copet."

"Coba kamu duduk dulu, tenang. Coba kamu

cerita. Kok bisa-bisanya kamu berurusan sama

copet?" lanjut Misas sembari menggiring Milati

ke sebuah anak tangga.

Milati duduk memeluk lutut di anak tangga

paling bawah. Misas turut duduk di sampingnya,

mengabaikan tatapan orang-orang di sekeliling

mereka.

Dengan gugup Milati menceritakan se?mua

ke?jadiannya secara runtun. Misas men?dengar?kan?-?

nya dengan tegang.

"Tolong, Mas. Saya harus bagaimana?" desis

Milati.

"Bagaimana, ya?" gumam Misas. Mata mereka

bertemu, dalam keadaan tegang seperti itu sempat

juga hati mereka berdesir. "Sebentar. Kamu

tenang dulu, ya, Mil!" Misas memutar otak untuk

melindungi gadis yang terisak di sampingnya itu.

"Begini saja. Kamu ikut aku dulu. Kita jalan-jalan

dulu, lihat-lihat, siapa tahu ada pakaian yang

cocok buat kamu," lanjut Misas.

Milati mengangguk saja. Ia tak tahu apa yang

direncanakan Misas untuknya. Ia tak peduli.

Entah mengapa ia begitu yakin bahwa Misas akan

senantiasa melindunginya. Entah mengapa pula

ia merasakan kenyamanan yang luar biasa saat

berada di samping lelaki itu. Rasanya, ketakutan

hebat yang semula menderanya hilang begitu

saja, berganti ketenangan yang menyusup seperti

embun yang meresap di pori-pori darah.

Milati belum paham kalau dia sudah terserang

penyakit paling berbahaya di dunia. Ya, penyakit

yang gejalanya mudah ditebak: hati berdegup

hebat tanpa alasan yang jelas saat bertemu

dengan seseorang, nyaman berada di sampingnya,

dirundung rindu saat tak berada di dekatnya, di

mana pun dan kapan pun wajah orang itu tak

pernah mau pergi, namanya menjadi buah mulut

dalam kesendirian, dan suka memandang lekatlekat gambar orang tersebut. Ya, sebuah penyakit,

di mana orang yang terserang tak mau sembuh.

Keduanya berjalan-jalan berkeliling pasar swa?

layan. Mereka berhenti di tempat baju-baju.

"Milati, kamu suka baju yang mana?" tawar

Misas.

"Kenapa?" Milati pura-pura tidak tahu.

"Kamu suka baju yang mana? Ini mumpung

ada rezeki, aku pengin beliin kamu baju. Kamu

pilih saja baju yang kamu suka, biar aku yang

bayarin."

"Jangan, Mas."

"Eit, kamu jangan panggil aku Mas. Biasa saja,

Misas."

"Iya, Mas Misas. Maksud saya, uangnya

jangan dihambur-hamburkan buat hal yang

nggak penting seperti ini."

"Lho, kata siapa nggak penting? Kamu dengar,

ya, justru ini penting banget. Pertama, aku mau

sedekah. Apa sedekah itu nggak penting? Kedua,

aku pengin membuat orang seneng. Membuat

orang seneng itu pahala, lho. Apa kamu nggak

seneng kalau punya baju baru? Ketiga, buat

kenang-kenangan. Yang paling penting, aku

membelikan kamu baju ini agar kamu bisa selamat

dari copet yang tadi ngejar-ngejar kamu itu."

"Maksudnya?"

"Ya, kalau kamu keluar dari sini dengan

penampilan beda, tentunya copet itu nggak bakal

ngenalin kamu, tho?" jelas Misas.

"Cerdas!" gumam Milati lirih. Milati semakin

kagum saja pada sosok di hadapannya itu.

"Kenapa bengong?"

"Eh, bukannya Mas Misas ke sini pakai

mobil?"

"Itu masalahnya. Tadi kan parkirannya penuh.

Ya, mobilnya aku parkir di luar. Kalau nggak

begitu, mungkin kita sudah sampai rumah dari

tadi."

"Oooh!"

"Ya sudah, cepetan kamu pilih baju mana

yang kamu suka."

"Mmm, mana, ya? Menurut Mas Misas, yang

bagus yang mana?"

"Kalau ini bagaimana?" Misas menyodorkan

gamis terusan biru muda dengan bordir bungabunga berwarna sama.

Alangkah terkejutnya Milati melihat gaun

itu. Itu gaun yang sempat menarik perhatiannya.

Baginya cukup aneh, bagaimana Misas tahu kalau

baju itulah yang ia sukai. Jika tadi Milati hanya

berkhayal mempunyai baju itu, kini khayalan itu

jadi nyata oleh Misas.

"Ya. Alhamdulillah. Memang ini yang tadi

saya lirik, Mas!" ucap Milati girang.

"Baguslah kalau begitu. Oh, iya sekalian

jilbabnya. Ini kayaknya serasi dengan bajunya."

"Ya, bener. Itu aja."

"Kamu jangan ngikut gitu, dong. Aku kan

cuma usul. Kamu pilih sendiri aja, mana yang

menurut kamu bagus dan kamu suka."

"Ya. Itu aku suka, yang Mas Misas pilihkan."

"Okelah."

Misas berjalan menuju kasir, Milati mengekor?

nya.

"Mbak, ini langsung dipakai nggak apa-apa,

kan?" tanya Misas pada kasir yang melayaninya.

"Oh iya, bisa. Ruang gantinya di sebelah sana.

Silakan!" jawab kasir itu ramah.

Setelah baju itu dibayar, Milati menuju ruang

ganti. Misas menunggunya di dekat kasir. Tak

berapa lama, Milati muncul dengan gaun terusan

panjang dan jilbab yang baru saja dibeli. Ia tampak

anggun. Misas nyaris tak berkedip melihatnya.

"Sempurna," komentar Misas.

Milati diam. Wajahnya yang memerah tak

membuat keanggunannya hilang.

"Oh iya, ini," Misas merogoh sesuatu dalam

tasnya dan mengeluarkan sebuah kacamata.

"Kamu pakai ini, ya, biar copetnya semakin nggak

ngenalin kamu."

"Ya. Tapi Mas Misas ke sini katanya mau

nyari-nyari baju, dan..." kepala Milati menoleh ke

empat penjuru, matanya terpicing seperti mencari

seseorang, "bukannya tadi Mas Misas berangkat
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bareng Syaqib?" lanjutnya setelah sadar bahwa

mereka hanya berdua.

"Soal nyari baju, gampang. Lain kali juga

bisa. Kalau Syaqib, tadi dia pulang duluan, Umi

nelepon, dia dicari temennya."

"Oooh," Milati mendesis. Sebenarnya kakinya

mulai gemetar.

Mereka berdua melangkah keluar swalayan.

Copet itu bergeming dari tempatnya. Milati

berjalan pelan diiringi Misas. Dan benar, copet

itu sama sekali tak mengenali Milati. Milati lega.

Mereka terus berjalan menuju tempat parkir.

Milati benar-benar lega saat memasuki sedan putih

itu dan duduk di jok belakang. Milati mengucap

hamdallah berkali-kali. Misas tersenyum saja

melihatnya.

Milati merasa lega. Namun, meski hari itu ia

terselamatkan dari incaran copet, ia tidak yakin

akan selamat dari incaran teman-temannya di

pesantren. Karenanya, ia harus mempersiapkan

alasan-alasan yang masuk akal kenapa ia bisa

pulang satu mobil bersama Misas. Itu artinya

ia harus melangsungkan siaran ulang tentang

kisah seorang gadis yang dikejar copet kemudian

diselamatkan oleh seorang pangeran tampan,

Misas.

Milati bertanya-tanya, apa yang sebenarnya

ada di balik kejadian yang menimpanya barusan.

Ah, seperti sebuah rekayasa, seperti sebuah skenario. Ia ke pasar seorang diri, lalu bertemu pre98

man, lalu datanglah seorang penyelamat. Yang tak

habis pikir, mengapa penyelamat itu harus Misas.

Bukankah kejadian seperti itu sering disinetronkan dan akhirnya sang pemuda penyelamat jatuh

hati pada sang gadis yang diselamatkannya?

Sejujurnya, terlepas dari batas sadarnya, Milati

merasakan sesuatu yang beda yang membuatnya

pantas tersenyum-senyum sendiri. Tak pula

Milati bisa memungkiri bahwa hati kecilnya

didera perasaan bersalah, telah berani memikirkan

seorang lelaki yang bukan mahramnya.

Getaran

yang Menyusup

"Khomsa Daqaiq8! Khomsa Daqaiq!"

Tanbih dari speaker musala sudah berkoarkoar. Suaranya nyaring menyelusup ke sudutsudut kamar, ruang TV, bahkan dapur dan ruang

makan. Itu berarti waktu azan kurang dari lima

menit lagi. Para santri harus meninggalkan segala

bentuk aktivitas dan segera berangkat ke musala

untuk menunaikan shalat berjemaah, kecuali

mereka yang uzhur syar?i atau ingin membersihkan

kamar mandi. Para pengasuh disarankan memberi

contoh bagi para santri dengan datang tepat

waktu.

Jadwal muazin dan imam shalat beserta

badal9nya juga tersusun dengan rapi. Yang

berhalangan diwajibkan menghubungi badal

yang berkaitan. Jadi, tak pernah ada cerita muazin

ataupun imam shalat datang telat atau bahkan

kosong. Hal utama yang paling ditekankan di

pesantren ialah shalat berjemaah. Oleh karena itu,

jika tiba waktu shalat, Abah dan Bu Nyai rela turun

tangan untuk ngopyak-ngopyak, membangunkan

para santri yang masih bermalas-malasan.

Azan sudah berkumandang. Untuk menunggu

imam, para santri biasanya melantunkan shalawat.

Mungkin sudahlah masyhur bahwa waktu sela

antara azan dan iqamah merupakan salah satu

8 Lima menit.

9 Pengganti.

waktu mustajab untuk berdoa. Karenanya, mereka

berdoa dengan melantunkan shalawat.

Mendengar anak-anak bershalawat agak la?

ma, Syaqib segera mengenakan peci dan me?

nyambar serbannya, lalu menuju musala. Kali

ini dia mendapat jadwal menjadi imam shalat.

Dilihatnya musala sudah hampir penuh. Abah,

Misas, dan para pengasuh lain juga sudah berbaris

rapi. Seorang santri yang memegang mikrofon

segera berdiri dan mengumandangkan ikamah.

Menghadaplah mereka pada Sang Sesembahan

yang memberi makan pada roh-roh yang lapar,

yang memberi ketenangan pada hati-hati yang

guncang, menyiram embun pada jiwa-jiwa yang

gersang. Sebuah hal terburuk yang tak pernah

diinginkan oleh mereka yang bisa merasakan

nikmatnya shalat ialah meninggalkan shalat atau

tatkala mereka tak lagi bisa shalat. Alangkah

bahagia hamba yang mampu menempatkan

shalat sebagai kebutuhan hidup. Tak ada orang

sakit akan sembuh tanpa penawar, takkan pula

rasa dahaga sirna tanpa tetes air menyentuhnya.

Itulah sebenarnya shalat.

Sehabis shalat, jemaah membentuk lingkaran,

berjabat tangan seraya melantunkan shalawat.

Sebelum anak-anak bubar, Misas memanggil

Syaqib dan membisikkan sesuatu padanya. Misas

melangkah keluar musala, sedangkan Syaqib

meminta anak-anak tetap berkumpul di musala.

"Assalamualaikum. Anak-anak, jangan bubar

dulu. Pak Misas mau menyampaikan sesuatu."

Para santri menjawab salam dari Syaqib

serentak.

"Ada apa sih, Pak?" tanya seorang santri ingin

tahu.

"Pokoknya ada. Yang mau bubar duluan,

silakan, tapi kalau nggak kebagian jangan protes."

"Pak Misas mau bagi-bagi jajan, ya, Pak?"

celetuk seorang santri mungil dengan polosnya.

"Makanya, kalau mau tahu jangan bubar dulu.

Nah, itu Pak Misas sudah datang."

Misas datang dengan dua tas plastik besar di

tangannya. Di belakangnya ada Milati dengan

dua tas plastik yang sama, untuk santri putri.

Misas duduk di sebelah Syaqib, dia hendak

menyampaikan sesuatu.

"Assalamualaikum, Anak-anakku yang manis,"

mulai Misas.

Serentak anak-anak menjawab salam. Riuh.

"Alhamdulill?hi rabbil ??lam?n. Pertama Bapak

ucapkan puji syukur pada Allah karena Bapak

sudah bisa menyelesaikan kuliah Bapak di negeri

jauh sana dengan lancar sehingga bisa segera

pulang ke Indonesia, bisa bertemu dengan kalian

dalam keadaan selamat, sehat walafiat. Sebagai

ungkapan syukur, Bapak ingin berbagi nikmat

bersama kalian. Bapak ada oleh-oleh untuk kalian.

Syaratnya, kalian harus berbaris rapi, nggak boleh

rebutan. Ayo, mulai dari depan sini! Untuk yang

putri sama Bu Milati."

Anak-anak berbaris rapi, maju satu per satu

untuk menerima hadiah dari Misas. Setiap

bingkisan berisi beraneka makanan ringan,

roti, dan sebuah peci bagi setiap santri putra,

dan sebuah kerudung bagi santri putri. Misas

tersenyum lega, senang bisa berbagi kebahagiaan

dengan para santri dan anak-anak yatim. Senyum

anak-anak itu adalah kebahagiaan tersendiri bagi

Misas. Jika para santri sudah mendapatkan hadiah

sendiri-sendiri, untuk para pengasuh jangan

ditanya lagi.

Seperti biasa, pagi-pagi ruang dapur sudah riuh

oleh anak-anak yang tak bisa diam, baik geraknya

maupun suaranya. Milati dan Syaqib mendapat

giliran melayani anak-anak pagi ini. Syaqib yang

mencidukkan nasi, sedangkan Milati membagikan

lauk. Kali ini menunya nasi pecel.

"Tenang, sabar... semua pasti kebagian,"

teriak Milati. Tangannya terus bergerak lincah

menyumpit sayur, menumpahkan sambal di

atasnya, lalu menaburinya dengan cacahan

mentimun dan rempeyek.

"Sudah dibilang, tak perlu saling dorong

begitu. Nanti ada yang jatuh, lho. Tenang,

semua pasti kebagian," sekali lagi Milati teriak,

mengingatkan anak-anak yang masih asyik ber?

desak ria menunggu giliran jatah nasi dan lauk.

"Tiap hari anak-anak begitu. Namanya juga

anak-anak," timpal Syaqib yang merasa teriakan

Milati tak mempan menghardik anak-anak itu.

Milati sama sekali tak menggubris kawannya

itu.

"Pak Syaqib sama Bu Milati dipanggil Bu

Nyai!" Seorang anak berusia enam tahun me?

motong antrean, menghadap Milati dan Syaqib.

Pengasuh lain yang berada di dapur segera

menggantikan Milati dan Syaqib yang bergegas

ke ndalem. Milati ingat, beberapa waktu lalu Bu

Nyai pernah bilang bahwa sekitar hari-hari ini

beliau mau ke Kediri. Istri Mas Misbah, kakak

Misas, sedang hamil tua. Perkiraannya hari

ini ia melahirkan. Bu Nyai serta Abah hendak

menemaninya.

"Dalem, Bu Nyai. Ada apa?" sapa Milati pada

Bu Nyai yang sibuk mempersiapkan sebuah tas

besar. Syaqib hanya mengikuti dari belakang.

"Mil, Qib, maaf. Ibu mau minta tolong lagi

sama kalian."

"Apa yang bisa kami bantu, Bu?"

"Begini, Ibu sama Abah kan mau ke Kediri,

istri si Misbah mau babaran. Insya Allah hari

ini bayinya lahir. Nah, karena itu Ibu mau titip

rumah."

"Ibu nggak nitip pun sudah pasti kami jaga
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti rumah sendiri," tutur Syaqib, tersenyum

genit.

"Iya, Ibu tahu."

"Mas Misas ikut ke Kediri juga, Bu?" tanya

Milati.

"Misas nggak ikut. Makanya nanti tolong

kamu yang masak buat dia. Biasanya dia paling

suka tempe penyet. Kamu nggak usah masak nasi,

nasinya ambil saja dari dapur belakang."

"Inggih, Bu."

"Syaqib jangan lupa bantu Milati. Itu, sama

kamar mandinya Misas, kalau kamu ada waktu

luang, tolong diurus, ya?"

"Beres, Bu."

"Ya sudah, ini seratus ribu. Cukup kan buat

belanja atau kalau perlu apa-apa? Kalau kurang,

minta saja sama Misas."

"Memangnya Ibu di Kediri berapa hari?"

"Mungkin tiga sampai lima hari. Kenapa?"

"Lama sekali," keluh Milati.

"Bu, ayo cepetan! Ngapain, tho? Kok lama

buanget!" teriak Abah dari depan.

"Iya! Ya sudah Mil, Qib. Ibu berangkat dulu,"

ujar Bu Nyai. Ia bergegas menghampiri Abah di

depan.

Tanpa disuruh, Syaqib menyangking tas Bu

Nyai yang hendak dibawa. Milati mengekor Bu

Nyai ke depan.

"Abah nyetir sendiri?"

"Iya, Qib, kan dekat. Kalau jauh, pasti kamu

yang tak kontrak buat nyopir," kelakar Abah.

Bu Nyai tertawa irit, juga Milati. Setelah mobil

yang membawa Abah dan Bu Nyai meninggalkan

halaman, Milati dan Syaqib segera masuk ndalem.

Dalam hati Milati tersenyum-senyum sendiri:

masak buat Misas.

Syaqib kembali ke kamarnya, ada kepentingan.

Milati memulai bersih-bersih, mengelap debudebu di meja, menata rapi segala yang belum rapi,

menyapu, lalu mengepel lantai. Membersihkan

kamar mandi adalah tugas Syaqib.

"Mil, Umi sudah berangkat?" suara Misas

mem?buat Milati hampir terpeleset.

"Iya, sudah, Mas," jawab Milati gemetar. Ia

mencoba mengatur degup jantungnya tetapi tak

berhasil.

"Nggak usah grogi. Hati-hati kalau ngepel.

Tuh, masih basah semua," kata Misas. Ia masuk

kamar sambil berjingkat. Misas menutup

pintu kamarnya. Ia rebahan memeluk bantal,

tersenyum-senyum sendiri. Ia begitu menikmati

ekspresi wajah Milati yang berubah ketika ia tibatiba datang. Ia begitu yakin Milati merasakan

hal yang sama. Ia bisa menangkap ada sesuatu

di antara mereka. Kalau tidak, mengapa degup

jantungnya menjadi-jadi saat menghadapi gadis

itu? Mengapa pula gadis manis itu mengelap

lantai di sebelah dinding sana tetapi wajahnya tak

hilang dari kamarnya?

Sambil mengelap lantai, Milati terus me?

mandangi kamar tempat lelaki yang barusan me?

nyapanya masuk. Ia mempercepat pekerjaannya

dan segera kembali ke kamarnya. Ia takut, senang,

dan merasa bersalah. Lagi-lagi, entah kenapa. Ia

tak tahu.

Waktu makan siang tiba. Milati merengekrengek meminta Syaqib menemaninya ke ndalem.

"Kamu kan bisa sendiri. Ngantar nasi aja

minta diantar."

"Aku nggak minta kamu antar, Qib. Aku cuma

minta, kalau aku lagi di ndalem, lagi bersih-bersih,

masak atau apa, kamu juga menemani aku di

sana."

"Kan sudah ada Mas Misas."

"Justru itu. Aku sungkan kalau ada Mas Misas.

Makanya kamu kuminta nemenin aku di sana.

Nah, kalau Mas Misas keluar, baru kamu boleh

ninggalin aku."

"Aneh. Jangan-jangan kamu suka sama Mas

Misas, ya?"

"Huh!" Milati ngeloyor ke depan membawa

sebakul nasi.

"Iya, iya, tak temenin. Gitu aja marah." Syaqib

mengejar gadis itu.

Milati meletakkan sebakul nasi di meja makan.

Misas asyik menonton berita kriminal siang.

"Siapa itu?" teriak Misas dari ruang depan.

Milati tak menjawab.

"Saya, Mas," jawab Syaqib yang lalu duduk di

sebelah Misas.

"Ooo... kamu. Saya kira siapa. Milati mana?

Kok nggak kelihatan?" tanya Misas polos. Ia tak

sadar kalau gadis yang ia tanyakan ada di ruang

makan belakang dan mendengar pertanyaannya.

Milati yang jadi bahan pembicaraan berbungabunga merasa diperhatikan.

"Itu Milati ada di belakang."

"Ups," Misas menutup mulutnya dengan dua

jari tangan dan berharap gadis yang ada di be?

lakang sana tak mendengar pertanyaannya barusan.

"Kenapa, Mas?"

"Nggak!"

Sementara dua lelaki muda itu berkelakar

sam?bil menonton berita siang, Milati sibuk

me??nyiapkan lauk untuk seorang lelaki yang

pernah menyelamatkannya dari copet. Ia

memasak dengan bersemangat. Panas kompor di

depannya ia rasakan sejuk. Ia kupas bumbu demi

bumbu seperti mengupas perasaan indah yang

terselubung. Ia mengiris sayur laksana memotong

kesepian-kesepian yang hendak terisi.

Pada hari pertama ditinggal Bu Nyai, Milati

sengaja memasak makanan spesial untuk lelaki

yang kata Bu Nyai menyukai tempe penyet itu.

Jika Bu Nyai mengatakan Misas paling suka

tempe penyet, Milati ingat betapa lahapnya Misas

menyantap ayam bakar sepulang dari Yaman.

Untuk itulah Milati sengaja menyajikan menu

ayam bakar pada hari pertama. Milati berharap

Misas makan dengan lahap lalu mengatakan ia

pandai memasak. Tak lebih dari dua jam, menu

makan siang sudah tertata rapi di meja hidang.

Milati malu-malu mempersilakan Misas untuk

makan. Hatinya berdegup-degup lagi. "Mas,

makan siangnya sudah siap."

"Oh, ya? Masak apaan?" tanya Misas basa-basi.

"Ayam bakar."

"Alhamdulillah. Ayo, Qib, makan bareng."

"Nggak, Mas. Saya makan di belakang saja."

"Ah, kamu nggak asyik. Ayo sini makan

bareng. Makan sendiri tuh kurang nikmat."

Syaqib masih sungkan-sungkan. Dengan ma?

ta??nya, Milati mengisyaratkan supaya Syaqib tak

menolak.

"Kamu juga Milati," pinta Misas seperti

memaksa.

"Monggo duluan, saya makannya nanti saja.

Masih ada pekerjaan yang belum selesai." Tanpa

banyak kata Milati berbalik ke belakang dengan

cepat. Misas tak mungkin mengejar hanya untuk

memintanya makan siang bersama. Misas dan

Syaqib segera menyerbu meja makan. Sambil

makan mereka berdialog.

"Qib, enak ya, masakan Milati."

"Kalau soal masak-memasak, dia memang

jagonya, Mas."

"Aku seratus persen percaya. Dia kalau masak

pasti nggak pakai tangan."

"Ah, Mas Misas ini bisa saja. Kalau nggak

pakai tangan, lalu pakai apa? Masa pakai kaki?"

"Milati itu kalau masak pakai hati. Segala

sesuatu yang disentuh dengan hati pasti nikmatnya

beda. Kamu tahu ayam bakar Perak yang kemarin

itu?"

"Iya."

"Nah, itu enak, kan? Tapi kurang nikmat,

soalnya masaknya pakai tangan nggak pakai hati."

"Ooo...." Syaqib mengangguk-angguk untuk

menunjukkan bahwa ia paham dengan apa yang

dibicarakan Misas, padahal ia tak paham sama

sekali apa itu masak pakai tangan atau pakai hati.

Entahlah, apa maksudnya.

"Selain cantik, cerdas, lincah, dan nurut, ter?

nyata Milati itu jago masak juga."

"Iya, dia memang serbabisa. Dulu waktu masih

satu kelas, dia selalu menjadi juara satu, nggak

pernah absen. Suaranya juga bagus, Mas. Dia

pernah memenangkan lomba kasidah. Dia juga

pandai menulis dan berpuisi. Tuh, di kamarnya

ada koleksi pialanya," Syaqib menjabarkan

prestasi Milati. Begitulah orang kalau memendam

rasa, suka membicarakan orang yang ia sukai.

"Qib, apa Milati itu benar-benar yatim piatu?"

"Iya. Dari cerita yang saya dengar, ibunya

meninggal saat melahirkannya, sedangkan ayah?

nya meninggal ketika ia berumur beberapa bulan

dalam kandungan. Milati itu sama seperti saya,

Mas. Bedanya ia ditinggal kedua orangtuanya

saat masih bayi, bahkan masih dalam kandungan,

sedangkan saya sudah usia sembilan tahun. Kami

dari kecil sudah di sini, Mas."

"Ooo, pantesan akrab."

"Siapa bilang, Mas? Dulu kami itu musuh

bebuyutan. Tanya aja sendiri sama dia."

"Masa iya?"
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya."

"Itulah, Qib, seseorang yang hendak ber?

dekatan biasanya diawali dengan berjauhan

dahulu. Maka dari itu."

"Kalau membenci seseorang janganlah mem?

benci dengan sepenuhnya, karena bisa jadi suatu

saat ia menjadi orang yang paling kaucintai. Dan

jika mencintai seseorang, janganlah mencintai

dengan sepenuhnya karena bisa jadi suatu saat

ia menjadi orang yang paling kaubenci," lanjut

Syaqib tak mau kalah.

"Jayyid10. Itu yang mau aku katakan."

Tawa mereka meledak renyah.

"Qib, boleh nggak aku tanya lagi?"

"Selama saya bisa jawab, silakan."

"Selama kamu kenal dia, apa dia pernah dekat

dengan cowok?"

"Pernah."

"Siapa? Pacarnya?"

"Kenalkan!" kata Syaqib sambil mengulurkan

tangan.

Lagi-lagi tawa mereka meledak. Sesekali me?

reka mengontrol dengan menutup mulut atau

begumam " Pssst," supaya tawa mereka tak

terdengar dari luar.

"Mas Misas ini ada-ada saja. Gadis seperti

Milati itu nggak pernah kenal yang namanya

10 Bagus

pacaran. Dia itu antipacaran. Sama cowok pun dia

nggak mau sembarangan kenal. Selama hidupnya

cuma saya seorang laki-laki yang dekat sama dia,

itu pun karena kami memang senasib dari kecil

di panti asuhan ini. Saya sudah dianggap seperti

saudaranya sendiri. Selama kami bergaul, tak

sekali pun Milati membiarkan saya menyentuhnya

walau sekadar berjabat tangan. Dia itu kuat sekali

memegang prinsip. Soal pacaran, dia pernah

cerita sama saya, ia hanya akan berpacaran dengan

suaminya seorang, tentu setelah menikah," Syaqib

menjelaskan agak panjang.

"Oh, begitu, ya. Dia memang gadis yang

hebat." Misas mengangguk-angguk. "Ngomongngomong, Milati itu asli mana, sih?"

"Bantul, Yogyakarta. Kakek dan neneknya

masih ada di sana. Dulu saya pernah diajak Milati

ke rumahnya. Rumahnya masih desa banget."

Misas manggut-manggut. "Satu lagi, Qib."

"Apa?"

"Kamu tahu nggak hari ulang tahun Milati?"

"Pasti tahulah."

"Tanggal berapa?"

"Tujuh. Tanggal tujuh Juli tepatnya."

"Dia lahir tahun berapa, sih?"

"Sama kayak saya, tahun 1986."

"Mmm berarti beda empat tahun sama

saya."

Misas menuliskannya di ponsel, lalu me?

nyimpan dan menandainya dengan peringatan.

Misas melanjutkan makan dengan semangat.

Syaqib lain lagi. Dengan malas ia mengaduk-aduk

nasi di piring tanpa memasukkannya ke mulut.

Misas sendiri mulai menangkap ada perubahan

seketika pada diri Syaqib.

Di dapur belakang, Milati tak sabar menunggu

Syaqib untuk mendengarkan komentar Misas

tentang masakannya dan apa saja yang mereka

bicarakan.

Syaqib datang dengan lesu.

"Bagaimana, Qib?"

"Apanya yang bagaimana?"

"Ya masakanku. Apa Mas Misas suka?"

Syaqib menahan kekecewaannya. Ternyata

Milati masak cuma buat Misas, bukan untuknya.

Seharusnya pertanyaan Milati, "Apa kalian suka?"

Dengan perasaan yang ditahan-tahan, Syaqib

menceritakan kalau sepanjang makan siang

Misas memuji-muji Milati. Memuji masakannya,

menanyakan banyak hal tentang dia, bahkan

menanyakan hari ulang tahunnya. Wajah dan

telinganya menjadi sangat panas ketika Milati

mendengarkan ceritanya dengan senyum se?

mangat yang dahsyat.

Sebuah Surat

Istimewa

Tiga hari saja pesantren ditinggal oleh Abah

dan Bu Nyai, keadaannya sudah berubah. Abah

adalah sosok yang paling ditakuti dan dipatuhi

para santri, sedangkan Bu Nyai adalah sosok

yang paling disungkani. Beberapa hari saja tanpa

Abah dan Bu Nyai, anak-anak sudah berani telat

shalat Subuh berjemaah dan telat ngaji sore. Itu

karena mereka telat bangun. Biasanya Abah dan

Bu Nyai sendiri yang mendatangi kamar-kamar

untuk menggedor-gedor pintu sambil berseru

keras-keras, "Istaiqidh istaiqidh"11.Begitu

mendengar suara Abah dan Bu Nyai, anak-anak

bergegas ke kamar mandi seperti orang kesurupan.

Lain lagi jika yang membangunkan mereka

adalah para pengasuh kamar. Mereka akan tetap

bangun tapi tak beranjak dari tempat tidur,

kecuali para pengasuh menyentuh mereka dengan

cipratan air atau bahkan ujung sapu.

Para pengasuh selalu bangun lebih awal dari?

pada anak-anak karena harus memberi contoh

yang baik bagi asuhan mereka. Jika ada seorang

pengasuh yang berani telat bangun, ia akan

langsung berhadapan dengan teriakan Abah

dan Bu Nyai. Kalau sudah begitu, mereka akan

bingung mau menaruh muka di mana. Itu adalah

sedikit hal yang tak biasa terjadi bila kedua sosok

yang dihormati seantero pesantren itu ada. Ya,

11 Bangun bangun!

itu hanya sedikit hal dari banyak hal yang tak

diharapkan.

Dua hari selepas kepergian Abah dan Bu Nyai,

pesantren dihebohkan dengan kasus kesasarnya

seorang santri putra ke kamar mandi putri yang

cuma terhalang ruang dapur. Dasar cari penyakit.

Untuknya diberikan pelajaran menyikat kamar

mandi sekalian WC-nya sampai mengilat.

Sebenarnya ada yang lebih parah daripada itu.

Kali ini, seorang santri kelas empat SD yang sudah

cukup familier dengan julukan Si Tangan Panjang

yang beraksi. Ia beraksi waktu semua penghuni

pesantren melaksanakan shalat Subuh berjemaah,

termasuk Misas yang menjadi imam shalat. Tak

tanggung-tanggung, yang menjadi targetnya ialah

ndalem. Untung saja Milati memergokinya.

Kebetulan waktu itu Milati ?libur? shalat.

Ia membantu Mbah Nah menyiapkan sarapan

untuk anak-anak. Sebelum subuh, Mbah Nah

harus sudah menyalakan kompor kalau tak mau

anak-anak telat berangkat ke sekolah. Mbah Nah

bisa meninggalkan dapur dan shalat jika ia sudah

meminta tolong pada salah satu pengasuh untuk

menjaga dapurnya sebentar.

Ketika itu Milati bermaksud mengambil

bumbu dapur yang habis. Bila bahan-bahan di

dapur belakang sudah habis, bisa mengambil di

dapur depan, dapur ndalem. Milati kaget melihat

pintu dapur yang sedikit terbuka. Ia masuk. Di

ruang depan, tepat di sekitar kamar Misas, ia

melihat sesosok anak kecil berkelebat masuk ke

kamar.

Perlahan-lahan Milati memasuki kamar Misas

yang pintunya menganga lebar. Ia longokkan

kepala ke seluruh penjuru kamar. Sepi, tapi

berantakan seperti habis diacak-acak. Ia yakin, ini

ada apa-apa. Daun pintu yang ia pegang kemudian

ia tarik maju. Tepat di pojok, di belakang pintu, di

bawah baju-baju yang tergantung rapi, matanya

mendarat pada mata seorang anak kecil yang

mengkerut dengan muka merah. Anak kecil itu

lari keluar kamar dan amblas.

Dalam hati Milati beristigfar. Kasihan. Harus?

kah ia melaporkan kejadian itu pada Abah? Milati

tak tahu lagi harus berbuat apa. Anak itu lebih

dari sering mendapat peringatan, bahkan sanksi.

Namun, itu semua tak lantas menjadikannya

sembuh, malah semakin kambuh.

Misas yang baru selesai melaksanakan shalat

Subuh berjemaah kaget ketika melihat kamarnya

terbuka. Ia lebih kaget lagi ketika melihat Milati

sibuk menata buku-buku dan memunguti kertas

yang berantakan.

"Assalamualaikum. Ada apa, Mil?"

Tak terlintas pada pikiran Milati jika tiba-tiba

saja Misas datang dan melihat ia di kamarnya

seorang diri, sedangkan waktu masih pagi buta.

Memang sudah menjadi kebiasaan, ketika melihat

sesuatu yang berantakan, tanpa menunggu apa

pun Milati langsung merapikannya.

Dengan gugup Milati menjawab salam dan

menceritakan kejadian sebenarnya. Milati cepatcepat membersihkan ruangan Misas supaya ia

bisa lekas keluar dari kamar itu. Benar-benar

menyesakkan kalau sampai ada yang tahu ia berada

di kamar Misas subuh-subuh. Bersih-bersih bisa

dilakukan di lain waktu subuh. Untunglah Misas

pengertian.

Biasanya seusai subuh ia membaca mushaf di

kamar itu, sendiri. Karena kali ini uzur, maka Misas

mengambil mushaf kecilnya dan membawanya ke
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ruang tamu depan.

Dari kamar, Milati bisa mendengar lirih suara

Misas melantunkan bait-bait indah itu. Suaranya

sangat lembut, selembut buluh perindu. Hatinya

bergetar-getar. Yakinlah ia bahwa gerak dan bisik

hatinya ketika melihat Misas, mendengar suaranya

atau bahkan mendengar namanya disebut selama

ini, bukanlah gerak dan bisik sembarangan,

melainkan gerak jiwa menyentuh jiwa, bisik hati

memanggil hati. Ia mulai digoda keasyikan yang

menakutkan. Ia mulai didera ketakutan yang

mengasyikan.

"Mas, kamarnya sudah rapi. Silakan kalau mau

dipakai," ucap Milati. Dadanya semakin berdebar.

"Iya, terima kasih," balas Misas.

Mata mereka bertatapan. Ada debar hebat

di dada mereka masing-masing. Milati segera

memalingkan wajah, lalu mohon diri. Debar itu

mulai berkurang meski bekasnya masih menyalanyala. Debar hatinya naik lagi ketika Misas

memanggilnya.

"Milati, tunggu."

"Iya, Mas."

"Tolong jangan laporkan kejadian ini pada

siapa pun termasuk Abah dan Umi."

"Tapi Mas...." ujar Milati dengan pandangan

yang dilempar ke dinding berlukis.

"Biar saya sendiri yang bicara dengan anak

itu."

"Iya."

Milati beringsut ke dapur belakang untuk

kembali membantu Mbah Nah. Ada pertanyaan

tersisa di benaknya. Mengapa Misas melarangnya

melaporkan pelanggaran yang dilakukan anak

itu? Seperti dirinya, mungkin Misas juga tak

tega kalau anak itu dihukum lagi atau ia berpikir

kalau hukuman fisik dan kekerasan lebih banyak

gagalnya. Untuk itu, Misas coba membantu anak

itu dengan caranya. Di sini kekaguman Milati

pada Misas bertambah lagi.

Milati masih tertegun. Ia merasa senang sekaligus

khawatir. Berkali-kali ia mengenyahkan Misas

dari kepalanya, tapi tak juga bisa. Ia teringat

ketika Misas menatapnya tadi pagi. Tatapan

yang sedikit aneh. Ia menjadi takut tapi tak bisa

menghilangkannya. Istigfar berkali-kali barulah

bisa membuat hatinya tenang.

"Katanya mau bantu masak, kok malah

ngelamun sendiri?" goda Syaqib dari belakang. Ia

tergopoh-gopoh membawa satu galon air.

"Memangnya kenapa?"

"Ya nggak apa apa."

"Qib."

"Ya?" jawab Syaqib sambil membenarkan letak

galon.

"Aku boleh nanya, nggak?"

"Nanya apa?"

"Tapi kamu jangan mikir yang macammacam, lho."

"Iya. Memangnya kamu mau nanya apa?"

balas Syaqib. Ia mulai penasaran.

"Iya, tapi ngobrolnya di belakang sana aja

sambil bantu Mbah Nah masak."

Di ruang belakang ada Mbah Nah yang sibuk

dengan pekerjaannya. Setelah menanyakan apa

yang bisa dibantu, sambil mengupas bumbu dan

mengiris sayur-mayur mereka mulai bercakapcakap.

"Ayo, mau nanya apa?" pancing Syaqib.

"Tapi sekali lagi aku minta kamu jangan

menduga yang macam-macam."

"Iya," Syaqib menegaskan.

"Begini, kamu kan sering ngobrol sama Mas

Misas."

Sampai di sini hati Syaqib mulai tidak enak.

"Iya. Memangnya kenapa?"

"Mas Misas itu orangnya bagaimana, sih?"

Untuk kesekian kalinya, dengan wajah panas

dan dada sesak Syaqib memaksakan diri untuk

tetap bersikap biasa. "Kamu suka sama dia, ya?"

"Nggak tahu," jawab Milati pasrah.

Namun, Syaqib paham, "nggak tahu" di situ

berarti iya. Untuk memutuskan suka atau tidak

pada seseorang tak perlu berpikir panjang. Kalau

tidak, ya tidak. Kalau jawabnya nggak tahu, berarti

masih berpikir ulang untuk mengatakan tidak.

Tak bisa dimungkiri, itu berarti suka.

Syaqib semakin panas. Dengan terpaksa Syaqib

menceritakan apa adanya. Menceritakan bah?wa

Misas sering menanyakan Milati bila sehari saja

ia tak berkunjung ke ndalem. Juga ia ceritakan ke?

pribadian Misas yang ia ketahui tanpa ia kurangi

ataupun ia lebihkan sedikit pun. Dengan jiwa

bergejolak, Syaqib mohon diri dengan alasan yang

tak jelas. Meski begitu, Milati tak jua peka.

Syaqib memasuki kamarnya dengan muka

panas, lalu menutup pintu rapat-rapat. Ia mem?

banting tubuh di sebuah kasur busa tipis,

menutupi wajahnya dengan bantal. Pikirannya

terus mencari-cari kemungkinan bahwa pertanya?

an Milati tentang Misas cuma pertanyaan biasa.

Hatinya kembali sakit ketika menyadari bahwa

tak mungkin seseorang menanyakan kepribadian

seorang lainnya dengan begitu antusias tanpa

ada apa-apa. Ia pun sadar Milati bukanlah siapasiapanya. Milati hanya teman. Dengan kecut

pula ia harus mengakui bahwa yang dirasakannya

bukanlah cemburu seorang teman kepada teman,

melainkan cemburu yang lainnya. Dengan

pikiran menerawang ia memaksakan diri untuk

memejamkan mata, dan ia berhasil.

Semenjak kedatangan Misas, Milati merasa

keadaan pesantren sangatlah berbeda. Ada yang

berubah, namun sulit menelusuri apa yang

berubah. Milati seperti menemukan sebuah obor

yang menyulut api semangat pada setiap aktivitas

yang ia lakukan. Ia bisa merasakan perubahan

pada dirinya, perubahan yang aneh. Dulu,

ketika hendak memasuki pintu ndalem, Milati

merasa biasa-biasa saja. Namun, sekarang seperti

ada yang memompa detak jantungnya dengan

kencang ketika ia menyentuh daun pintu ndalem.

Bila tak melihat Misas mengajar ngaji atau shalat

berjemaah, hatinya mulai tak tenang.

Sepanjang hari ia karam dengan rasa penasaran

akan bagaimana sebenarnya hati seorang Misas.

Berdasarkan kabar-kabar yang ia dapat dari Syaqib

serta gelagat yang ia lihat langsung, cukuplah

menjadi bukti bahwa Misas pun setali tiga uang

dengannya.

Misas sendiri tak menyadari bahwa ia sekarang

sering mengunjungi dapur belakang. Ketika

beberapa saat saja tak melihat Milati ke ndalem,

Misas akan memutar otak untuk bisa mengunjungi

dapur belakang. Biasanya ia mengambil piring di

dapur belakang meskipun sebenarnya piring di

ndalem masih ada, berpura-pura mengambil lauk,

padahal lauk di dapur depan belum habis.

Hatinya akan gusar bilamana Milati tak

ditemuinya di sana. Biasanya ia akan tanyakan

Milati pada Mbah Nah dan memohon untuk

tidak memberi tahu Milati kalau ia mencarinya.

Hatinya akan kembali nyaman ketika dilihatnya

Milati mengiris sayur atau mengupas bumbu

di sana. Ia sangat senang ketika melihat Milati

berpura-pura tidak tahu ia datang. Ketika

beranjak keluar dapur, ia menengok ke belakang

dan sempat memergoki Milati memandanginya.

Ia semakin yakin dengan perasaannya. Sempat

terlintas di otaknya untuk menemui Milati dan

mengatakannya sendiri, mengatakan semua pe?

rasaan yang ia tahan. Ketika Misas termangu se??

orang diri mengharapkan dilipatnya hari su?paya

lekas tiba pada sebuah pertemuan yang men?

debarkan, begitu menyala-nyala. Namun, setelah

bertemu lidah menjadi kaku. Segala kata yang dia

susun berulang-ulang, begitu saja hilang. Untuk

itulah kata-kata yang berhari-hari mengering

dalam benak ia ruahkan dengan tinta di atas

selembar kertas. Dengan begitu lidah takkan kelu,

kata-kata yang ia cipta takkan mudah sirna.

Pada Syaqib, Misas meminta bantuan untuk

menyampaikan surat itu pada Milati. Tanpa ia

sadari, ia telah meremukredamkan hati seorang

teman. Tentu saja Syaqib tak mungkin menolak,

lalu bilang bahwa Milati adalah miliknya. Rasa

sungkan dan hormat yang memenuhi sanubarinya

tak mengizinkannya melakukan hal-hal yang

menebarkan permusuhan. Meski hatinya sakit, ia

tak bisa berbuat banyak karena ia tahu Milati pun

menyimpan perasaan yang sama pada Misas.

Syaqib menghibur hatinya dalam-dalam

dengan selalu mengingat kebaikan Abah dan Bu

Nyai terhadapnya. Tak mungkin ia memaksakan

cinta karena ia sendiri benci akan pemaksaan.

Tiba-tiba ia ingat Fida dan ia bertanya-tanya

apakah di dunia ini benar-benar ada hukum

karma. Syaqib tak hendak menyampaikan surat

itu sendiri. Ia tahu hatinya akan semakin sakit bila

ia menyampaikan surat itu sendiri. Untuk itu, ia

menitipkan surat tersebut pada Mbah Nah.

Pucuk dicinta ulam tiba. Dalam ombangambing penasaran, Milati menerima sepucuk

surat, dan itu dari Misas. Seperti mimpi. Hal

itu adalah hal yang paling dinantikannya selama

bulan-bulan terakhir ini. Kamar ditutupnya rapatrapat, hatinya tak dapat berhenti dari degup yang
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejar-mengejar. Dengan tangan gemetar hebat ia

sobek amplop putih itu. Ia tengkurap memeluk

bantal dan mulai membaca surat itu.

Minggu, 19 Juni 2005

Semesta salam aku haturkan untukmu.

Untuk gadis yang dibawa angin dari surga

bersama gugur bunga-bunga berkelir merah

muda.

Sebelumnya, cawan keringku selalu menanti

anggur maafmu karena hatiku menjadi begitu tidak

tenang setelah aku menuliskan obralan kata-kata

ini untukmu. Namun, jauh tidak tenang lagi bila

perasaan yang mengganggu ini terus kutahan-tahan

karena akhirnya akan meledak juga.

Milati.

Tolong ceritakanlah padaku, apa yang aku

rasakan ini?

Aku merasakan getaran heboh mengguncang

dadaku, dan itu ketika aku bertemu denganmu.

Aku mencari-carimu jika sedikit lama kau tak

datang untuk mengantarkan nasi dan sayur.

Aku dihempas dahsyatnya rindu ketika sehari

saja tak melihatmu.

Bila engkau tak ada di dekatku, segala apa yang

kurasakan ingin kutumpahkan di depanmu, tapi

begitu kaudatang semua hilang.

Milati.

Kan kukatakan padamu sebuah inti hati,

sebentuk syahdu kalbu.

Bahwa padamu aku merasakan apa yang

dirasakan Qais pada Laila.

Bahwa bagimu aku bisa mendermakan apa yang

didermakan Romi pada Yuli.

Bahwa untukmu aku rela mengorbankan apa

yang dikorbankan Sam Pek pada Eng Tay.

Bahwa karenamu aku mampu mengagunkan

apa yang diagunkan Zainuddin pada Hayati.

Milati....

Sungguh aku terlampau lemah, aku sulit

memilah apakah yang kurasakan ini sekadar nafsu

atau cinta. Tapi bukankah sejak zaman azali

begitulah gejala-gejala cinta? Aku takkan melanggar

aturan Allah. Aku hanya ingin mengungkapkan

perasaan dari palung hatiku yang terdalam. Sekali

lagi, jika kaurela menyambutnya, tak pernah salah

sebagai umat Rasulullah kita mengikuti sunahnya

Milati.

Jika aku ceritakan semua perasaan ini, tentu

surat-suratku akan menjadi sebuah antologi hati.

Setelah surat ini sampai di tanganmu, dan mungkin

bila kau menemukan keputusanmu, tetaplah

bersikap biasa padaku. Tolong jangan sampai Abah

atau Umi tahu tentang semua ini. Jika hendak

kaubalas surat ini, titipkanlah pada orang yang

kutitipi surat ini.

Akhirnya.

Kedamaian semoga selalu menyemayamimu.

Salam,

Misas Sururi

Surat itu dilipatnya kembali dan ia lekatkan di

dadanya. Ia tak percaya dengan yang dialaminya

sekarang. Mimpi pun tak pernah seindah

kenyataan yang dihadapinya sekarang.

Ia memejamkan mata dan wajah Misas yang

tampan tersenyum padanya. Jujurlah ia pada

dirinya sendiri bahwa tak pernah ia merasakan

kebahagiaan seperti ini. Ia bangun dari rebahnya,

lalu duduk. Ia menimang dan memeluk bantal

erat-erat sambil tersenyum-senyum sendiri. Bila

memejamkan mata, ia bagaikan sedang berlari129

lari kecil di ruang angkasa, di atas taman bunga

yang adiwarna. Kebahagiaan yang sempurna.

Hari-hari Misas kuyu menantikan surat

balasan dari gadis unik impiannya itu. Seolah

hari-hari ia lewati hanya untuk menanti sebuah

surat. Memang dalam surat yang ia tulis, ia tak

memaksa Milati untuk membalasnya. Tapi entah

mengapa ia selalu gelisah menantikan sepucuk

surat balasan. Setiap Syaqib datang, hatinya

berdebar-debar dibias harapan bahwa Syaqib

membawa surat balasan dari Milati. Satu hari

yang dilaluinya akan terasa lesu jika lagi-lagi

Syaqib datang dengan tangan kosong.

Sudah hampir satu minggu surat yang ia

kirimkan belum ada jawaban. Setiap bertemu

pandang, Misas akan menatap gadis itu lama-lama

seolah meminta pertanggungjawaban atas hatinya

yang diombang-ambing perasaan tanpa kejelasan.

Meski begitu, Misas sangat menikmatinya.

Milati sendiri sengaja tak membalas surat dari

Misas karena beberapa pertimbangan. Pertama

karena ia takut kalau-kalau Abah dan Bu Nyai

tahu. Ia masih ragu untuk menitipkan surat itu

pada Mbah Nah karena Mbah Nah ialah teman

ngobrol setia Bu Nyai. Sebenarnya ia punya

alternatif untuk membalasnya dengan cara bicara

langsung pada yang bersangkutan.

Alasan kedua ialah karena Misas tak sepenuh

hati meminta surat balasan darinya. Sebenarnya

yang kedua ini bukanlah hal yang tepat untuk

dijadikan sebuah alasan, tapi hati orang yang

kasmaran memang cenderung rawan. Alasan

yang ketiga ialah karena Milati cukup menikmati

perasaannya tanpa ikatan apa pun. Ia tak bisa

memprediksikan apa yang akan terjadi bila ia

membalas surat itu.

Alasan berikutnya ialah karena ia sangat senang

melihat orang yang dicintainya itu dipermainkan

oleh rasa penasaran.

Misas tak pernah tahu kalau Milati tak pernah

melewatkan hari tanpa memandangi surat darinya

dan membacanya berulang-ulang, menghayati

huruf per huruf, kata per kata, dan kalimat per

kalimat yang ia tulis.

Tujuh Juli

Milati dan beberapa pengasuh putri sibuk mem?

bantu Bu Nyai di dapur. Kursi-kursi di ruang

depan dikeluarkan semua dan diganti dengan

gelaran karpet tebal. Ruangan ditata sedemikian

rupa dan disemprot pengharum ruangan. Meski

biasanya cukup ramai, hari ini rumah Bu Nyai

akan lebih ramai lagi. Bukan oleh riuh anakanak, melainkan oleh teman-teman Misas selama

kuliah di Yaman. Hari ini mereka akan datang

untuk menghadiri acara rutin tahunan PERMAI:

Perkumpulan Mahasiswa Alumni al-Ahqaaf

Indonesia.

Acara tersebut adalah yang perdana setelah

kelulusan mereka. Teman-teman Misas se?Indo?

nesia akan hadir. Hampir tujuh puluh persen

anggota PERMAI berasal dari Jawa. Dari Jakarta

sampai Madura ada. Yang paling banyak berasal

dari Malang, Kediri, dan Yogya. Dari Sumatra ada

beberapa orang, dari Kalimantan dan Sulawesi

bisa dihitung jari, sementara dari Papua tak ada

sama sekali.

Beranda dan ruang tamu sudah dipenuhi

tamu. Tak kurang dari tujuh puluh orang sudah

hadir. Mereka kebanyakan akhwat. Ikhwan du?

duk lesehan di sisi kiri dan akhwat sebaliknya.

Panitia berkumpul di tengah agak ke pinggir,

merundingkan acara. Sebelum acara dimulai

mereka ngobrol tentang kenangan-kenangan

semasa di negeri orang sambil sesekali menyeruput

air mineral dalam gelas dan mencicipi makanan

kecil. Misas segera mengondisikan peserta ketika

acara hendak dimulai.

Sementara Misas dan anggota PERMAI lain?

nya hanyut dalam acara mereka, anggota sek?

si konsumsi, termasuk Milati, menyiapkan

se??gala sesuatunya. Sambil menunggu waktu

isti?rahat, Milati mengintip dari tirai tebal yang

memisahkan ruang keluarga dan ruang depan.

Terlihat Misas sedang memberi sambutan diselingi

sedikit guyonan segar. Terlihat pula gadis-gadis

menyambutnya dengan semangat.

Milati tenganga, tamunya banyak sekali, pe?

rempuannya cantik-cantik, prianya juga tam?

pan-tampan. Dada Milati terganjal batu ketika ia

melihat gadis-gadis itu menyambut Misas dengan

semangat. Lebih parah lagi ketika tak sengaja

ia memperhatikan beberapa gadis tak berkedip

memandang putra Bu Nyai itu.

Acara per acara, dari pembukaan sampai

mau?idhoh hasanah berlalu dengan lancar. Tak

terasa jam sudah menunjukkan pukul 11.00.

Waktu istirahat tiba. Lagu-lagu berirama Timur

Tengah diputar di sebuah CD player. Minuman

dan makanan dikeluarkan. Beberapa orang,

termasuk Misas, masuk untuk membantu. Para

lelaki membawa nampan berisi beberapa piring

nasi. Yang perempuan mengikuti di belakang,

kemudian menurunkan piring-piring tersebut

dari nampan.

Sehabis makan siang mereka melakukan shalat

berjemaah di musala bersama anak-anak, Abah

sebagai imam. Kali ini musala benar-benar sesak

oleh jemaah. Shalat berjemaah kali ini sengaja

agak diperlambat karena banyak yang harus

mengantre wudu.

Seusai shalat mereka kembali ke tempat semula.

Acara berikutnya adalah ramah tamah atau acara
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

santai. Para tamu yang hendak mencari angin

diperkenankan berjalan-jalan keliling pesantren.

Tentu saja Bu Nyai sudah mengomando anakanak untuk membersihkan pesantren sampai

sudut-sudutnya karena ada tamu yang akan

datang dan kemungkinan besar mampir juga ke

pesantren. Sebuah pantangan bila tamu disuguhi

dengan sesuatu yang amburadul.

Misas bersama beberapa teman perempuannya

bercakap tentang keadaan panti dan pesantren di

taman depan. Di taman depan pesantren terdapat

empat bangunan kecil semacam gubuk yang biasa

digunakan para santri untuk bermain. Beberapa

teman Misas lainnya sedang berjalan keliling

taman, memperhatikan tanaman hias yang teratur

asri.

Di taman depan terdapat tiga pohon besar;

dua pohon trembesi, dan satu pohon beringin.

Ada pula dua batang kelapa kuning yang belum

terlalu tinggi namun sudah berbuah. Lantai

taman itu digelari dengan rumput hijau lembut

yang subur laksana permadani alam. Tepian

belakang ditanami mawar beraneka warna,

sedangkan tepian depan yang melekat dengan

pagar ditumbuhi pohon sayur, kecipir, dan koro.

Bugenvil besar berdiri kokoh di empat sudut

taman. Di sayap kiri dan sayap kanan. Di tengahtengah, di antara dua bugenvil, terdapat bunga

melur rambat. Kalau sudah berbunga, cantiknya

minta ampun, semacam semak hijau tua dengan

bintik putih yang gemebyar seperti bintang.

Wanginya tak ketulungan, seolah-olah seantero

taman disemprot minyak wangi melati.

Ruang sela dari gubuk satu ke gubuk yang lain

ditempati Adenium yang berbunga lebat merah

muda. Lidah Jawa dengan enteng akan menyebut

bunga ini kemboja jepang karena kemboja jawa

biasanya ditanam sebagai penghias kuburan dan

daunnya jauh lebih lebar daripada kemboja jepang.

Kemboja jepang satu batangnya dihargai puluhan

ribu, bahkan ratusan ribu, sedangkan kemboja

jawa bisa diambil bebas di tengah pekuburan.

Bila dibandingkan, sebenarnya bunga kemboja

jawa lebih wangi tetapi wanginya membuat

orang menjadi pusing. Jadi, bunga itu ditanam di

tempat orang mati dengan logika orang mati tak

akan pusing karena bau sekuntum kemboja.

Beberapa tanaman kerdil dengan pot leper

yang unik terpajang di sisi depan masing-masing

gubuk. Orang yang melihat tanaman itu pasti

akan berpikir bagaimana tumbuhan itu bisa hidup

dengan demikian memukau sedangkan ia disiksa.

Bagaimana tidak disiksa, setiap batang pohon imut

itu dililit kawat untuk dibentuk paksa, sedangkan

tempat berpijaknya hanya segenggam tanah dan

beberapa onggok batu padas. Mungkin di sinilah

keunikan bonsai. Ia disiksa sedemikian rupa tapi

tetap bisa bertahan untuk menyenangkan hati

siapa pun yang memandangnya. Mungkin nasib

anak-anak panti, para santri, tak jauh berbeda.

Mereka harus dipaksa dan dibentuk di sebuah

pesantren agar kelak memiliki pribadi yang indah

sehingga bisa bermanfaat bagi orang lain, paling

tidak menyejukkan hati bila dipandang.

Dari jalan besar depan pesantren, taman

itu terlihat seperti rumah makan modern yang

menyuguhkan nuansa alami, dengan gubukgubuk kecil yang berjajar, apalagi ditambah

koperasi pesantren yang terletak agak menjorok

ke dalam di samping ndalem. Untung saja ada

plang nama besar yang melekat di pagar taman

yang memisahkan tepi jalan dan taman sehingga

mengurungkan maksud para pengguna jalan

untuk mampir mengisi perut. Plang nama itu

berbentuk persegi panjang dengan dua tiang kayu

yang menyangganya. Plang itu bertuliskan:

YAYASAN PANTI ASUHAN DAN

PESANTREN ANAK

"Manba?ul Ulum"

"Sas, sebenarnya ini panti asuhan atau pe?

santren, sih?" tanya seorang teman Misas. Misas

menghela napas, menikmati semilir angin dari

pepohonan di sisian gubuk kecil itu.

"Ini panti asuhan, juga pesantren, tapi khusus

pesantren anak." Misas memulai penjelasannya,

"Tempat ini disebut panti asuhan karena di sini

Umi juga mengasuh anak-anak yang sudah tak

memiliki orangtua atau kerabat, juga anak-anak

jalanan. Ada juga beberapa anak yang masih

memiliki orangtua lengkap tetapi si orangtua

menitipkan anak mereka untuk belajar di sini.

Konsep asuhan di sini tak jauh beda dengan

pesantren. Anak-anak di sini digembleng untuk

disiplin waktu, shalat berjemaah, juga belajar baca

tulis Al-Qur`an."

"Terus, para pengasuh dan pengajarnya

diambil dari mana?" telisik pemuda itu.

"Alhamdulillah, kebanyakan pengasuh dan

pengajar di sini dulunya juga dibesarkan di sini."

"Alumni?"

Misas mengangguk sekilas, "Kurang lebih

begitu."

Mereka terdiam sejenak, memperhatikan dua

bocah yang berlarian di samping musala.

"Lalu, mereka digaji?" pemuda itu mulai

bertanya lagi.

"Di tempat seperti ini yang dipentingkan cuma

pengabdian dan keikhlasan." Misas tersenyum

mantab, seakan-akan ia telah melontarkan

jawaban yang paling bijak.

"Iya. Istilahnya, walaupun ikhlas, orang kan

butuh makan."

"Aku kan nggak bilang kalau pengabdian dan

keikhlasan itu bukan berarti tak digaji." Misas

membela diri.

"Berarti mereka digaji?"

"Cuma sekadar uang sabun," sahutnya.

"Oooh.... Ngomong-ngomong, jumlah santri

di sini berapa orang?"

Misas menatap temanya itu sejenak dan

baru menyadari bahwa ia seperti tengah di?

wawancari oleh seorang wartawan yang sedikit

menyebalkan?karna terlalu banyak tanya.

"Kurang lebih ada 140 orang anak," jawabnya

kemudian, "terdiri dari 80 anak asuh dan 60

anak yang dititipkan orangtua mereka. Dewan

pengasuhnya berjumlah 40 orang."

"Lumayan banyak juga, ya," pemuda itu

manggut-manggut dan bertanya lagi, "Untuk

kebutuhan anak-anak, seperti makan, sabun,

sekolah, dan sebagainya, bagaimana?"

Dengan sabar Misas menjabarkan, "Bagi

anak asuh yang tak memiliki keluarga, yayasan

yang menanggung. Anak-anak yang dititipkan

orangtua mereka, biasanya para orangtua me?

nitipkan sejumlah uang untuk keperluan anak

mereka tiap beberapa bulan."

"Berarti beda, dong, antara anak asuh dan

anak yang dititipkan tadi?"

"Beda apanya?"

"Ya dari segi pemenuhan kebutuhan mereka.

Kan untuk anak yang dititipkan ada tunjangan

dari orangtuanya."

"Ah, nggak juga. Tak ada beda ataupun pe?

misahan antara anak asuh dan bukan. Yang

mereka makan sama. Hak dan kewajiban yang

mereka dapat dan laksanakan juga sama."

"Tapi kan kebanyakan di sini anak asuh.

Berapa, delapan puluhan, ya?"

Misas hanya menjawabnya dengan anggukan.

"Itu ditanggung yayasan semua? Wah, hebat,

ya. Lantas, pemasukan yayasan dari mana saja?"

"Hampir lima puluh persen pemasukan

yayasan diperoleh dari usaha Umi sendiri, ber?

tani. Alhamdulilah, Allah menitipkan tanah yang

cukup untuk menghidupi sekian nyawa. Selain

itu juga ada pemasukan dari beberapa donatur

tetap. Masih ada pertanyaan lagi?"

Mendengar kalimat terakhir, pemuda itu

hanya tersenyum, ia baru sadar kalau sudah ter?

lalu banyak tanya. Keduanya hanya tersenyum.

Menikmati semilir angin yang seperti membuai

mereka dalam kantuk.

Azan Asar sudah berkumandang. Para tamu

berbondong-bondong menuju tempat wudu

untuk melakukan shalat Asar bersama. Usai shalat

Asar, mereka kembali berkumpul di ruang depan.

Waktunya penutupan.

Usai acara, para tamu saling berjabat tangan,

putra dengan putra, putri dengan putri. Abah

dan Bu Nyai juga hadir di sana beserta seorang

dai lokal yang tadi memberi mau?idhoh. Usai

penutupan, rumah Bu Nyai menjadi sedikit sepi.

Sebenarnya Misas sudah menawarkan pada rekanrekannya yang datang dari jauh untuk bermalam

di pesantren, di sana ada kamar khusus tamu.

Namun, mereka menolak dengan alasan yang

masuk akal. Misas tahu mereka akan menginap di

hotel karena tidak ingin merepotkan tuan rumah.

Jemaah shalat Magrib dan Isya menjadi separuh

lagi. Keadaan pesantren semakin sepi ketika para

penghuninya sudah kalah diserang lelah setelah

sibuk sepanjang pagi dan siang.

Waktu menunjukkan 23.58 tepat. Misas masih

belum bisa memejamkan mata meski tubuhnya
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terasa remuk. Misas bahagia bersujud syukur,

acaranya dapat berjalan dengan sempurna.

Ingatannya kembali pada kejadian siang tadi

ketika Milati dengan berani bercakap-cakap

dengan beberapa teman lelakinya. Ia tak suka itu.

Ia tak suka kalau Milati terlalu berani.

Drtz drtz. Ponselnya di atas meja bergetar.

Ia membukanya. Ia baca berita peringatan yang

ia set up sendiri. Ia sengaja mengatur pesan

peringatan pada tangal 6 Juli, sehari sebelum ultah

Milati. Dengan begitu ia bisa mempersiapkan

kado untuk Milati. Pesan peringatan itu tertulis:

Milati ULTAH besok.

"Subhanallah, besok tanggal tujuh Juli. Milati

ulang tahun," katanya girang.

Sepanjang malam ia memutar otak, memikir?

kan hadiah yang tepat untuk sang pujaan.

Sepertiga malam ia belum juga lelap. Ia ke kamar

mandi, wudu, dan shalat malam. Ia tertidur,

bersila di atas sajadah ketika sedang wirid. Subuh

ia terbangun, shalat berjemaah, tilawah, dan

kembali memikirkan hadiah yang tepat untuk

Milati.

Sempat tebersit dalam benaknya untuk mem?

belikan pakaian kurung dan jilbab, tapi ia ingat

beberapa waktu lalu sudah membelikannya. Ak?

hir?nya, ia berpikir untuk menghadiahi Milati

sebuah telepon genggam. Sebagian besar pengurus

dan pengasuh sudah memegang ponsel, kecuali

beberapa orang saja termasuk Milati. Syaqib juga

baru dapat paket berisi ponsel dari kerabat satusatunya yang tinggal di Bali. Katanya supaya bisa

berhubungan. Di sisi lain, pertimbangan Misas

sendiri supaya ia bisa lebih leluasa berkomunikasi

dengan Milati.

Sehabis shalat Duha, Misas berangkat ke

pertokoan kota demi sebuah ponsel dan sebuah

harapan akan kebahagiaan seorang gadis. Ia

memilihkan ponsel yang tidak terlalu mahal tapi

pantas dan masih baru. Ia juga mampir ke toko

alat tulis untuk kertas kado dan selotip. Sampai

di rumah, ia segera masuk ke kamar dan sibuk

dengan belanjaannya barusan. Ia menggunting

kertas kado itu, dan membungkusnya sendiri.

Saking asyiknya, ia tidak sadar Umi memasuki

kamarnya.

"Kamu bikin apa, Le? Wah, kado buat siapa

itu? Buat calonmu, tho?"

Misas terkejut. "Ini... ini buat... hm... buat

Milati, Mi," dengan tergagap-gagap Misas men?

jawab.

"Subhanallah. Besok Milati Ulang tahun, ya.

Umi lupa. Biasanya kalau dia ulang tahun, dia

sendiri yang bilang sama Umi untuk mengadakan

syukuran kecil-kecilan, membuat nasi kuning

yang akan dibagikan untuk anak-anak."

"Mungkin Milati memang belum sempat bi?

lang, Mi."

"Iya, mungkin. Itu kamu kasih hadiah apa

buat dia?"

"Hape."

"Feeling kamu memang main. Umi se?benarnya

juga sempat kepikiran mau belikan dia hape

supaya Umi bisa hubungi dia kalau Umi butuh

dan dia pas nggak ada."

"Oh, ya? Ini memang bukan kebetulan, Mi.

Umi jangan kasih tau dia dulu, ya."

"Beres. Yo wis, Umi tinggal dulu. Umi ada

perlu."

"Monggo."

Bu Nyai berjalan meninggalkan Misas yang

masih sibuk dengan kertas kadonya.

Kado sudah siap untuk dihadiahkan besok.

Sekarang tinggal berpikir bagaimana caranya su?

paya besok kado itu sampai ke tangan Milati.

Ia masih berpikir ulang untuk memberikannya

sendiri. Menitipkannya pada anak-anak sungguh

tidak mungkin. Minta tolong Umi, rasanya

sungkan. Minta bantuan Abah, apalagi. Misas tak

sabar menunggu besok.

Hari itu, tanggal 7 Juli pukul 11.00, Milati sibuk

sepulang dari les modiste. Dengan tas yang masih

dicangklongnya ia tak langsung ke kamar, tetapi

mampir ke ndalem buat mengambil es batu untuk

menyegarkan tenggorokannya yang kesat sehabis

berpanas-panas di jalan. Misas yang sedang

membaca buku di ruang tengah melihatnya.

Muncullah sebuah ide. Kebetulan Umi baru

kedatangan tamu.

Misas mendatangi gadis itu. "Mil, maaf. Bisa

minta tolong nggak?"

"Apa, Mas?"

"Tolong buatkan minuman untuk tamu Umi.

Ada tiga orang."

"Iya, Mas."

Misas masuk ke kamar dan menunggu Milati

meletakkan tasnya. Ketika Milati beranjak ke

depan untuk mengantar minuman, dengan lincah

Misas memasukkan bungkusan kado ke dalam

tas Milati yang tergeletak di meja. Misas menarik

napas lega, lalu duduk memegang bukunya

kembali, seolah semua biasa saja.

Milati yang sudah selesai mengantar minuman,

menyambar tasnya tanpa prasangka apa-apa.

Semua beres.

Sesampai di kamar, ia merebahkan diri di

lantai tanpa alas. Hawanya benar-benar panas.

Tas ia lempar begitu saja ke atas kasur. Sampai

azan Zuhur tiba, belum juga ia membuka tasnya.

Sampai habis Isya ia belum tahu kalau di dalam

tasnya ada sebuah barang yang sangat berharga.

Misas yang bertemu Milati menjadi bingung

karena sikap Milati biasa-biasa saja. Ketika

ia bertanya "Bagaimana?" Milati malah balik

bertanya, "Apanya yang bagaimana?"

Sepanjang pagi dan siang ada beberapa teman

yang memberinya ucapan selamat ulang tahun,

termasuk Syaqib dan Bu Nyai. Tapi Misas tak

mengucapkan apa pun. Ketemu malah nanya:

Bagaimana? Apanya yang bagaimana? Kata

Syaqib, Misas sempat tanya ulang tahunnya, tapi

mengapa ia lupa. Perhatiannya sangat tipis.

Milati mengalihkan pikirannya dari Misas,

Misas, dan Misas. Karenanya, ia bermaksud

mengkaji ulang pelajaran les modiste tadi pagi.

Ia membuka tasnya dengan lesu. Alangkah ter?

kejutnya ia ketika melihat sebuah kotak kado

terbungkus rapi. Pikirnya melayang mengingatingat, siapa kira-kira yang menaruh kado itu. Atau

jangan-jangan itu bukan miliknya? Tapi di kulit

kado itu tertulis jelas: Buat Milati Tamama. Ia

yakin sekali kado itu untuknya. Ia buka kado itu

dengan hati-hati agar tak menyobek bungkusnya

sedikit pun.

Anak-anak yang telanjur melihatnya enggan

beranjak. Dengan serius mereka memperhatikan

Milati yang girang dengan kadonya. Anak-anak

memang suka begitu. Waktu belajar sehabis Isya

kadang mereka gunakan untuk bermain atau

keluyuran. Mereka akan kembali rapi dan purapura memelototi buku bila terlihat salah seorang

pengasuh membawa sapu atau kemoceng. Mereka

harus sering-sering diingatkan bahwa mereka

sedang menjalani ujian kelas, harus sering-sering

pula diimingkan pada mereka bahwa setelah ujian

mereka bisa bermain sepuasnya. Dengan agak

jengkel Milati coba memberi pengertian.

"Anak-anak, kalian kan masih ujian. Belajarnya

ditingkatkan, dong! Masa ujian nggak ujian sama

saja?" Milati nyerocos, tetapi anak-anak masih

asyik memperhatikannya membuka kado.

Milati melanjutkan nasihatnya, "Ayo kembali

belajar. Sekarang kan masih ujian, jadi belajarnya

yang sungguh-sungguh. Untuk kebaikan diri

sendiri masa harus dipaksa. Lagian kan pekan

depan kalian sudah libur! Sudah bisa main

sepuasnya."

Milati masih mengomel, yang diajak bicara

malah melongo seperti tak punya telinga. Milati

beranjak dari duduknya dengan geram.

"Ayooo! Belajaaar! Sekarang waktunya

belajar!" Milati mengeluarkan auman singanya.

Anak-anak berhamburan keluar, bahkan ada

yang menangis karena jidatnya terbentur daun

pintu. Dengan dongkol Milati mengantar anak

itu kembali ke ruang belajar sambil membujuknya

supaya diam.

Milati menutup pintu kamarnya kembali.

Ia terkejut bukan kepalang ketika menemukan

sebuah dus ponsel di balik bungkusan kado yang

ia singkap. Ponsel kan mahal. Jangan-jangan

cuma dusnya doang, pikirnya. Selama ia berulang

tahun, hadiah dengan harga termahal yang ia

terima ialah sebuah buku.

Ia bolak-balik benda yang ada di tangannya

seperti orang yang tak percaya telah memenangkan

hadiah undian. Ia temukan juga kartu perdana

dan secarik kertas. Ada tulisan ringkas di sana.

Buat Milati Tamama.

Selamat ulang tahun yang ke-20

Semoga selalu mendapatkan yang terbaik

Segala keinginanmu semoga tercapai

Tolong terimalah hadiah ini sebagai tanda

perhatian dariku dan Umi.
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Salam,

Misas Sururi

Tahu itu dari Misas, Milati terbaring lunglai.

Ia menjadi salah tingkah mendapatkan perhatian

seperti itu. Yang membuatnya agak lega ialah

karena hadiah itu bukan dari Misas semata,

tapi juga dari Umi, Bu Nyai. Misas sengaja

mencantumkan nama Umi di situ karena kalau

tak begitu Milati pasti akan menolaknya.

Milati benar-benar bahagia. Ternyata Bu Nyai

dan putranya sama sekali tak lupa akan hari ulang

tahunnya. Namun, rasanya ada kebahagiaan

yang berbeda pada ulang tahunnya kali ini. Ia

enggan untuk jujur pada dirinya sendiri bahwa

kebahagiaan itu adalah Misas. Misas yang penuh

perhatian.

Milati menyobek segel bungkus ponsel itu

dan membukanya. Kini dia memiliki ponsel. Ia

mengaktifkan ponsel dan kartu perdana yang

disertakan dalam kado tersebut. Selama ini ia

hanya bermimpi memiliki ponsel jelek-jelekan,

tapi ternyata ia mendapatkan yang lebih dari

mimpinya, lagi-lagi karena Misas. Ia mencaricari nomor Misas yang pernah ia catat di sebuah

sobekan kertas. Ia menemukannya. Orang

pertama yang akan dia SMS ialah Misas. Meski

belum pernah punya ponsel, jempol Milati sudah

lihai bermain dengan tombol. Bagaimana tidak, ia

kerap mendapat pinjaman dari temannya sesama

pengasuh sekamar.

Di kamarnya, Misas tak kuasa menahan

gelisah. Berbagai kemungkinan buruk bermain

di benaknya. Jangan-jangan Milati menolaknya.

Jangan-jangan kado itu tak sampai ke tangannya.

Jangan-jangan ia belum membuka tasnya, atau

atau.

Pikirannya yang melayang-layang berhenti

oleh ponselnya yang memekik keras. Sebuah

SMS. Nomor baru, tapi ia seperti tak asing dengan

nomor tersebut. Ia baca pesan teks itu.

Asw. Mas Misas, sebelumnya saya ucapkan

banyak terima kasih atas segala kebaikan antum

juga Umi. Jika Mas Misas berharap saya senang

dengan pemberian Mas Misas, keadaan saya jauh

lebih baik daripada sekadar senang. Saya juga mau

minta maaf karena tidak membalas surat dari Mas

Misas. Tapi jangan khawatir karena Mas Misas

telah mendapatkan apa yang Mas Misas harapkan.

Wass.

Salam

Milati Tamama.

Sepanjang malam Misas memandangi layar

ponselnya itu. Tubuhnya menjadi sangat ringan,

seperti terbang dan singgah di atas awan putih

nan lembut. Perasaannya tak pernah salah,

prasangkanya juga tak ada yang salah. Ia paham

betul akan maksud kata-kata Milati, "Mas Misas

telah mendapatkan apa yang Mas Misas harapkan."

Suara binatang malam berkidung riuh tanpa

mengusik sama sekali. Malam kian larut dengan

hitam, hitam begitu lekat dengan sunyi, sunyi

amatlah satu dengan syahdu, syahdu amatlah

dekat dengan rindu. Dua orang anak manusia

telah dibuai mimpi-mimpi indah. Seperti

pengalaman para pujangga ketika jatuh cinta,

mereka tak bisa tidur. Ketika mata terbuka,

sebuah wajah tersenyum di dinding-dinding dan

di plafon-plafon. Ketika mata dipejamkan, wajah

itu masih saja tersenyum di antara ruangan hitam.

Air wajah mereka ialah mata yang berbinar dan

bibir yang tersenyum, sedangkan hati semriwing.

Waktu terasa ingin mereka dorong dengan paksa

untuk sebuah pertemuan berikutnya. Ruang

seakan ingin mereka tendang untuk tatap pandang

selanjutnya.

Pada sepertiga malam, Milati terbangun se?

perti biasa. Ia pakai sandal tipis berwarna putih,

lantas berjalan seperti seorang maling yang tak

ingin membangunkan siapa pun. Pintu ia angkat

sedikit dan ia tarik dengan sangat hati-hati supaya

tak menimbulkan derit sama sekali. Ia melangkah

dengan tegas, seolah menampari hawa dingin yang

menyapa tubuhnya. Dari jauh ia mendengar suara

gemericik air dari kompleks kamar mandi putra.

Ia berjalan lurus dan kaku, tak memedulikan

dingin, apalagi sepi. Sampai di tempat wudu, ia

berwudu.

Dalam remang lampu 5 watt, ia menggelar

sajadah lalu mengenakan mukena setelah se?

belumnya bermain tombol sejenak dengan

ponsel barunya. Dalam keheningan dan segala

perasaan, ia bermunajat. Biasanya ia takkan

memejamkan mata kembali sampai terdengar Bu

Nyai mengetuk-ketuk pintu dengan keras dan

berteriak "QumiyQumiy"12. Lalu, azan Subuh

menggema.

Misas yang terlelap terlalu malam masih

memeluk guling. Tidaklah ia terbangun bila

12 Bangun bangun. ( untuk perempuan).

tak mendengar ponselnya berdering. Ada pesan

masuk dari Milati.

Asw.

Qum wa badir.

Wa minallaili fatahajjad bihi naafilatan laka

?asa an yab?atsaka rabbuka maqaaman mah?

muudaa.13

Aamiin.

13 "Dan pada sebagian malam hari, bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu.

Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat

yang terpuji." (QS. Al-Isra [17]: 79).

Sepi

Pada masa-masa liburan, keadaan pesantren te?

rasa lengang. Seperti rumah yang ditinggal pergi

penghuninya, seperti masjid yang ditinggal

jemaahnya, seperti stadion usai pertandingan

bola. Sepi. Tak ada suara anak-anak yang ber?

kelakar renyah. Tak ada tangisan-tangisan yang

biasa mengiringi bangun pagi. Tak ada pula suara

anak-anak melantunkan kalam qadim di sore hari.

Suara gemelodak piring di dapur pun menjadi sepi.

Demikianlah yang terjadi pada masa liburan.

Banyak anak yang pulang kampung. Tinggal

beberapa orang saja yang mau bersemadi di

pesantren saat liburan tiba. Di antaranya adalah

mereka yang berumah di seberang pulau. Mereka

tak pernah pulang, orangtua mereka saja yang

menjenguk ke pesantren, itu pun belum tentu

setahun sekali. Anak-anak panti yang tak punya

kerabat sebagai tujuan mudik pun akan tetap

tinggal di pesantren, kecuali ada teman yang mau

mengajak pulang bersamanya.

Liburan ini pesantren benar-benar sepi. Hanya

tujuh orang santri putra dan beberapa santri putri

yang tidak pulang, juga beberapa pengasuh,

termasuk Milati dan Syaqib. Kalau keadaan

pesantren sudah begitu sepi, Milati lebih suka

berjalan menaiki lantai dua, lalu lantai tiga yang

beratap langit. Ia akan berlama-lama di sana.

Kesepian liburan kali ini akan terasa lain.

Tadi Milati mendengar Bu Nyai bilang hari ini

Misas dan Abah akan ke Kediri. Mas Misbah

membutuhkan bantuannya di sana, dan itu

seminggu. Sebenarnya yang diminta ke sana

adalah Abah dan Bu Nyai, tapi karena Bu Nyai

berhalangan, maka yang diminta menggantikan

menemani Abah adalah Misas. Milati yang tahu

kabar tersebut menjadi tidak tenang, gelisah.

Sehari tak mendengar suaranya saja rasanya sudah

melumpuhkan semangatnya untuk beraktivitas.

Ingin dia mengirim pesan lewat SMS untuk

mengungkapkan kegelisahannya tapi ia urungkan.

Ia berharap Misas yang mengirim SMS duluan.

Berulang-ulang ia tengok ponselnya, tak ada pesan

masuk atau apa pun. Ketika sesekali ponselnya

berdering, cepat-cepat ia mengangkatnya sambil

berharap-harap Misaslah yang menghubunginya.

Bila ternyata bukan Misas, ia akan menanggapinya

lemas. Berulang kali ia menepis perasaannya yang

tak keruan terhadap lelaki yang belum menjadi

suaminya itu, tapi tetap tak bisa. Sehabis shalat,

ia gencarkan permohonan supaya perasaannya tak

berlebihan seperti itu. Ia memohon sampai air

matanya mengalir.

Dalam simpuhnya yang layu, ia beristigfar dan

bergumam, "Ini murni perasaan atau perasaan

yang diperbudak hawa nafsu? Apakah seperti

ini yang dulu dirasakan Fida terhadap Syaqib?

Ternyata seperti ini yang namanya cinta. Ya Allah,

apa pun yang menimpa perasaanku ini, janganlah

pernah ini menjauhkanku dari-Mu. Jauhkanlah

aku dari godaan setan yang terkutuk, yang amat

dekat, yang sewaktu-waktu bisa meniupkan

bisikan-bisikan celakanya pada jiwa-jiwa yang

lemah seperti ini. Allahumma a?inny ?alaa dzikrika

wa syukrika wa husni ibadatika...."

Jemaah shalat Asar kali ini cuma memenuhi saf

paling depan. Syaqib yang mengimami. Pada harihari biasa, sehabis Asar pesantren akan gaduh oleh

anak-anak yang hendak mengaji, para pengasuh

akan sangat sibuk. Tapi musim liburan seperti

ini waktu luang melimpah ruah. Para pengasuh

biasa memanfaatkannya untuk berjalan-jalan atau

melakukan hal-hal yang tak bisa mereka lakukan
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada hari biasa. Anak-anak yang tidak pulang

kampung akan menghabiskan hampir setengah

hari di depan televisi.

Milati tengok ponsel yang tergeletak di atas

bantal. Ada pesan masuk dari Misas.

Asw. Mil, sebelumnya saya mohon maaf, tidak

memberi tahu sebelumnya. Sekarang saya dan Abah

sudah ada di perjalanan menuju Kediri. Entah

kenapa, sebenarnya saya sangat berat meninggalkan

pesantren meski cuma satu minggu. Semoga

semuanya berjalan baik dan lancar.

Milati menengadah ke langit-langit kamar.

Ia harus membalas SMS itu. Ia memilih katakata yang hendak ia sampaikan sebagai balasan.

Dengan gugup ia menuliskannya.

Wass. Ya, kepergian Mas Misas tidaklah menjadi

suatu apa. Keperluan keluarga haruslah tetap

diutamakan. Ya, semoga semuanya lancar-lancar

saja. Wass.

Hatinya mencelos ketika tombol OK ia

pencet. Pesan itu sudah dikirimnya lalu delivered.

Ia insaf, semenjak penyakit cinta menjalari

hatinya, ia menjadi sangat pandai bersandiwara

membohongi hatinya sendiri, juga Misas. Ia

juga telah menzalimi perutnya dengan tidak

mengisinya sedari pagi. Semenjak mendengar Bu

Nyai mengatakan Misas akan ke Kediri selama

seminggu, tiba-tiba sarapan menjadi sangat tidak

penting meskipun perutnya terkatung garing.

Biasanya ia berbagi kegelisahan seperti itu

dengan Syaqib, tapi kali ini tidak karena ke?

gelisahan ini bukanlah seperti yang dulu-dulu.

Ia juga enggan memberi tahu sahabatnya itu

bahwa ia telah menemukan tambatan hati.

Tambatan hatinya ialah Misas, bukan orang lain.

Ia bisa mengira jika Syaqib tahu bahwa ia telah

jatuh cinta pada putra Bu Nyai, Syaqib takkan

menyambutnya dengan reaksi apa-apa kecuali

tawa-tawa konyol yang melecehkan. Milati tak

tahu kalau perkiraannya itu salah besar. Jika

Syaqib tahu yang sebenarnya, bukanlah tawa-tawa

konyol yang keluar dari mulutnya, melainkan isak

tangis karam.

Milati masih besimpuh di antara bantal-bantal

yang berserakan. Pikirannya melayang-layang

menggapai segala kemungkinan yang akan ia

alami bila berani mencintai anak Bu Nyai itu.

Bu Nyai pasti telah mencarikan calon istri yang

sesuai dengan anaknya. Misas itu saleh, cerdas

berpendidikan, lulus S2, tampan, berbelas asih,

pokoknya segala kebaikan melekat padanya.

Ia sadar, cinta telah mengubah segala sesuatu

menjadi indah dan baik. Ia berusaha mencaricari kekurangan pada diri Misas tapi ia tidak

menemukannya.

Tak bisa ia bayangkan bila Bu Nyai tahu

anaknya itu telah menitipkan hatinya pada seorang

gadis yang tak punya ayah, tak punya ibu, yang

dititipkan sejak bayi oleh kakek neneknya. Gadis

yang pekerjaan sehari-harinya cuma mengabdi

pada kiai yang membesarkannya, gadis yang

cuma lulus Aliyah. Ah, cukup mengerikan untuk

dilanjutkan. Mengapa pula ia tak memikirkan

itu sejak pertama kali? Seandainya waktu bisa ia

kembalikan, tentu ia akan memilih untuk tak

mengenal Misas sedekat itu. Seandainya jatuh

cinta itu bisa memilih, tentu ia lebih memilih

untuk jatuh cinta pada Syaqib saja, risikonya

lebih kecil. Sayangnya, sejak zaman Nabi Adam,

yang namanya cinta adalah urusan hati. Urusan

hati tak pernah dan tak akan pernah bisa dipaksapaksa.

Tanpa ia sadari matanya basah berkaca. Bulirbulir bening melata membentuk garis cekung

di pipinya yang bersih, terus turun mendarat di

sudut bibirnya. Terasa asin. Ia seka lelehan itu

dengan punggung tangannya. Suasana kamar

yang sudah hening menjadi semakin hening. Ia

membuka lemari dengan perlahan.

Di rak paling atas ia pilah buku demi buku. Ia

menemukannya. Sebuah buku tebal, ukurannya

seadik buku tulis, warnanya biru tua. Itulah

buku pribadi miliknya. Wadah emosi-emosi jiwa.

Teman bisu yang setia mendengar curah marah,

sempit jerit, ranum senyum, dan adu sedu yang

mengalir dari tinta yang mengawin halamanhalaman putihnya. Di buku tercantol pena empat

warna. Milati akan menuliskan sukacita dengan

tinta hijau, kisah-kisah labil yang menyeru

hidupnya ia goreskan dengan tinta hitam, dukacita

dan kepedihan dengan tinta biru, sementara

kekesalan, rasa marah, dan dongkol ia lukiskan

dengan tinta merah. Kali ini ia menuliskannya

dengan tinta biru.

Dalam keramaian, gelak tawa. Kubersiap

Ketika tiba-tiba semua hilang pergi.

Senyap

Yang ingin pergi biarlah menjauh

Biar sepi jangan kesepian

Dalam kesunyian, lengang. Kubersiap

Jika tiba-tiba saja datang ledakan. Meng?

gema

Yang ingin datang biarlah mendekat

Biar ramai jangan berisik

Roda berguling. Muka datang dan ber?

paling

Diri bagai gubuk tempat mampir

Dalam ramai mereka damaiku

Ketika sunyi kunikmati sendiri

Di tengah hamparan permata hijau ke?

hidupan

Kutengadahkan diri beserta hati

Agar tanganku basah oleh berkah

Sehingga napas bertabur ikhlas

Tepat pukul lima sore Misas menginjakkan

kaki di depan rumah Mas Misbah, kakaknya.

Misas sungkem, menyalami dan merangkul

kakak?nya itu penuh rindu. Mas Misbah sungkem,

mencium tangan Abah, lalu mempersilakan

mereka masuk.

"Mas, bagaimana kabar Mbak Nia dan bayi?

nya?"

"Alhamdulillah, semua baik-baik saja. Itu

orangnya."

Mbak Nia yang menggendong bayinya me?

nyambut mereka, lalu menyambar tangan

Abah dan menciumnya. Pada Misas, ia hanya

mengucapkan salam lalu menggodanya, "Wah,

yang sudah lulus S2 tambah ganteng aja. Sudah

punya pandangan belum?"

"Mbak Nia ada-ada saja. Kalau soal pandangan,

sudah banyak yang saya pandang."

Mereka larut dalam tawa-tawa kebersamaan

yang damai.

Mas Misbah mempersilakan Misas dan Abah

untuk beristirahat meluruskan tulang. Mas

Misbah mengantarkan mereka ke kamar belakang

dekat taman. Di sana kamarnya agak luas dan ada

dua dipan di dalamnya. Misas menyalakan AC.

Mereka merebahkan tubuh di sana. Subhanallah...

Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kalian

dustakan?

Sehabis makan malam, Mas Misbah menjelas?

kan bahwa ia mau minta tolong pada Abah

dan Misas untuk menemani istrinya di rumah.

Sebenarnya ia sudah punya seorang pembantu

tapi ia tidak lega kalau tak seorang pun dari

anggota keluarga turut menemani istrinya. Mas

Misbah ada keperluan, ia ada tugas kampus ke

Surabaya selama seminggu. Ia dipercaya untuk

mewakili kampus mengikuti penataran dosen

dan sebuah seminar nasional. Mas Misbah adalah

seorang dosen salah satu perguruan tinggi swasta

di Kediri yang dipimpin oleh mertuanya sendiri,

ayah istrinya.

Pagi-pagi, Mas Misbah dan rombongannya

berangkat ke Surabaya. Tinggallah Misas, Abah,

Mbak Nia dan bayinya, serta seorang pembantu

setianya. Abah dan Misas tak tahu harus melakukan

apa karena semua pekerjaan rumah tangga sudah

dikerjakan oleh si pembantu. Tapi tanpa segan

Misas meminta Mbak Nia dan pembantunya

untuk memanggilnya sewaktu-waktu bila diperlu?

kan. Abah lebih suka menghabiskan waktu

siangnya untuk merawat tanaman di taman be?

lakang. Ada-ada saja yang dilakukan Abah di

sana, seperti menyemai biji-biji bunga matahari,

menyiangi rumput, atau menyirami tanaman.

Beda Abah, lainlah Misas. Ia lebih suka

menghabiskan waktunya di depan komputer

yang terletak di ruang tengah. Ruang tengah

itu juga berfungsi sebagai rumah buku. Di sana

banyak sekali koleksi kitab berbahasa Arab,

dari kitab klasik yang berwarna kuning sampai

kitab karangan ulama terbaru. Yang berbahasa

Indonesia juga ada, bahkan lebih banyak. Dari

buku agama, kamus, ensiklopedia pengetahuan,

sampai buku sastra. Jika Misas jenuh, ia akan

mematikan komputernya dan memilih-milih

buku di sana untuk dibacanya di kamar sebelum

tidur. Mas Misbah menyebut tempat itu sebagai

perpustakaan pribadi.

Dalam keheningan malam, biasanya Misas

kembali teringat gadis nan jauh di mata. Sudah

beberapa hari ini ia tidak menjumpainya, tidak

juga menghubunginya lewat ponsel. Ia sengaja
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin menjajal apakah gadis itu merindukannya

atau tidak. Sudah tiga hari, akhirnya ia tidak

kuat juga. Untuk memancing, ia kirimkan pesan

singkat.

Assalamualaikum, Milati.

Gelisah ia menunggu jawaban. Tak juga

ponselnya berdering. Dengan sabar ia menunggu

hingga akhirnya ponselnya berdering. Dengan

hati berdebar-debar dibukanya pesan itu.

Wa?alaikum salam. Ya?

Begitulah, selanjutnya mereka ngobrol lewat

SMS.

Mil, kamu lagi ngapain?

Lagi nganggur, baca-baca buku. Mas Misas

sendiri lagi ngapain?

Sama. Lagi baca buku. Bagaimana keadaan

pesantren?

Baik-baik saja.

Ada yang nyariin aku nggak?

Nggak.

Umi bagaimana?

Semua baik-baik saja. Kapan antum balik?

Mungkin lusa. Kenapa?

Nggak apa-apa. Cuma nanya.

Mil.

Apa?

Semoga kamu merasakan apa yang aku rasa?

kan....

Misas tak tahan untuk terus berbasa-basi. Ia

luapkan perasaannya yang tertahan-tahan. SMS

terakhir yang ia kirim itu lama tak berbalas

tapi tak apalah. Paling tidak hatinya sudah lega

dan ia bisa berangkat tertidur dengan sedikit

tenang. Sebelum matanya benar-benar terpejam

ponselnya bergetar.

Seseorang yang memburu cinta itu laksana

memburu kijang di tengah rimba belantara.

Bertambah diburu bertambah jauh ia berlari,

akhirnya tersesat dalam rimba dan tak bisa kembali.

Misas tertegun setelah membaca SMS balasan

yang terakhir. Matanya terpicing serius mencaricari maksud kata-kata itu. Setelah merasa

menemukan maksud kata-kata Milati, hatinya

kembali gelisah.

Minggu pagi-pagi sekali, telepon berdering. Misas

yang mengangkatnya.

"Assalamualaikum. Siapa?"

"Ini Misbah."

"Ooo... Mas Misbah. Gimana, Mas, acaranya?

Lancar?"

"Alhamdulillah, kemarin terakhir. Hari ini

sudah bisa pulang. Rumah bagaimana?"

"Alhamdulillah, aman-aman saja."

"Mbakmu ada?"

"Oh ya, sebentar! Mbak Mas Misbah!"

Selang sebentar, yang dipanggil datang.

Misas memberikan gagang telepon kepada kakak

iparnya itu, lalu kembali masuk kamar. Ia senang

bukan kepalang. Hari ini ia sudah bisa pulang ke

pesantren. Pasti Milati gelisah menunggunya di

sana.

"Bah, insya Allah Mas Misbah hari ini pulang.

Kita balik ke pesantren hari ini juga, kan?" Misas

mengabari Abah yang sedang sibuk membolakbalik kitab di tangannya.

"Kenapa kamu terburu-buru? Memangnya

ada apa di rumah?" tanggap Abah santai.

"Ya nggak apa-apa, Bah. Sudah kangen aja

sama rumah."

"Sudahlah, jangan terburu-buru. Santai saja.

Kita balik besok atau lusa."

"Lho? Nanti kan Mas Misbah sudah pulang?

Ngapain kita lama-lama di sini?" Misas keheranan.

"Abah mau ngajak kamu dan Masmu untuk

silaturahmi, sowan ke Kiai Syafi? Pare."

"Ke Kiai Syafi?? Memangnya dalam rangka

apa? Kok tumben sekali?"

"Silaturahmi kan nggak harus dalam rangka apa

pun. Kita cuma mau menyambung silaturahmi,

sekalian mengenalkan kamu pada putri beliau.

Kiai Syafi? sudah sering nanyain kamu."

Misas terdiam. Kaget. Perasaannya mulai tidak

enak.

"Kenapa kamu diam?"

"Nggak apa-apa. Cuma kaget. Kenalan sama

putri Kiai Syafi?? Seperti perjodohan saja."

"Sebenarnya begini, Sas. Niat Abah ke Kediri

ini bukan untuk menemani Mbakmu saja."

"Terus?"

"Beberapa waktu lalu Kiai Syafi? menghubungi

Abah, menanyakan kamu."

"Menanyakan apa, Bah?"

"Kamu kan sudah dewasa. Beliau bermaksud

memintamu untuk meminang putrinya. Beliau

menanyakan kepada Abah, apakah kami sudah

siap atau belum."

"Lalu Abah menjawab apa?"

"Setelah melihat keadaanmu sekarang, Abah

menjawab bahwa kami sudah siap."

"Abah... jangan.... bercanda," kata Misas

tergagap.

"Bercanda bagaimana? Ini serius."

"Kenapa Abah sama Umi nggak bilang ke saya

sebelumnya?" tanya Misas dengan intonasi tinggi,

wajahnya memerah. Ia tampak kecewa.

"Kami sengaja tidak bilang sama kamu supaya

surprise."

"Surprise apanya? Ini namanya Abah sama Umi

egois. Ini menyangkut masa depan saya, Bah! Jadi,

ketika Abah dan Umi memutuskan sesuatu untuk

kehidupan saya, seharusnya minta pertimbangan

saya dulu."

Abah terdiam sejenak ketika melihat emosi

Misas mencuat-cuat. Setelah dilihatnya Misas

agak tenang, barulah Abah melanjutkan."Sas,

apa kamu masih ingat, sewaktu kamu lulus dari

pesantren, cita-cita terbesarmu ialah melanjutkan

kuliah ke luar negeri."

Misas masih diam, tak paham ke mana pem?

bicaraan Abah menjurus.

"Coba kamu ingat-ingat. Meski kamu lulusan

terbaik se-Kediri, kamu takkan mungkin bisa

melanjutkan sekolah ke Yaman kalau Kiai Syafi?

tak berusaha sekuat tenaga untuk membantumu.

Dulu beliau kan salah seorang panitia seleksi

mahasiswa yang hendak dikirim ke Yaman. Kamu

ingat? Waktu kamu daftar dulu itu, sebenarnya

waktu pendaftaran sudah ditutup. Kiai Syafi?lah

yang sekuat tenaga membujuk panitia supaya

kamu tetap bisa masuk daftar calon peserta seleksi.

Bayangkan, dari hampir seribu peserta, cuma

diambil 90 orang. Kamu termasuk di dalamnya.

Melihat kemampuan dan pribadimu, beliau

mati-matian membelamu untuk mendapatkan

beasiswa itu. Bolak-balik Surabaya?Kediri beliau

lakukan, bahkan saat tes di Surabaya pun beliau

yang mengantarmu."

"Lalu, apa hubungannya?"

"Abah masih ingat ketika itu, mungkin kamu

juga masih ingat. Sebelum kamu berangkat ke

Yaman, Kiai Syafi? memberi banyak nasihat

padamu. Salah satunya ialah nasihat tentang

perempuan, supaya kamu berhati-hati dengan

makhluk yang bernama perempuan. Jika kelak

mencari istri, carilah istri sebagaimana yang

dinasihatkan Rasul. Waktu itu kamu mendengar

nasihat Kiai Syafi? sambil manggut-manggut.

Lalu, kamu juga berpesan pada beliau supaya

beliau saja yang mencarikan istri untukmu kelak.

Dengan senang hati beliau menyanggupimu. Lalu

kamu menyebutkan kriteria wanita yang kamu

inginkan, yaitu salihah, berbakti, hafal Al-Qur`an,

kalau bisa cantik. Soal fisik yang terakhirlah.

Dengan semangat dan setengah bercanda Kiai

Syafi? menawarkan putri beliau yang masih belajar

di PIQ Malang. Kamu pun tersenyum lalu bilang,

"Kalau jodoh pasti tak akan ke mana". Dari itulah

Kiai Syafi? benar-benar mengharapkanmu karena

beliau sudah paham benar dengan pribadimu.

Sudah beberapa orang datang untuk melamar

putri beliau tapi beliau tolak. Beliau menunggu

keputusan dari kamu dulu."

Mendengar segala penjelasan Abah, Misas

tergugu bisu. Ia teringat semuanya. Tak tebersit

sama sekali di kepalanya jika pembicaraannya

waktu itu dengan Kiai Syafi? benar-benar telah

mengikatnya. Ia pikir perkataannya waktu itu

hanya perkataan anak ingusan yang belum tentu

bisa dipertanggungjawabkan keseriusannya.

"Misas, kenapa kamu diam? Apa kamu sudah

benar-benar lupa?"

"Iya, Bah, tapi waktu itu saya kan belum tahu

apa-apa. Orangtua bicara apa, ya saya mengalir

saja ikut bicara apa," suara Misas merendah.

"Memangnya kamu kenapa? Apakah kriteria

wanita yang kamu cari kini sudah berubah?"

"Bukan begitu....."

"Lalu apa? Putri Kiai Syafi? itu, pintar, salihah,

hafizah, cantik lagi. Kurang apa, coba? Kamu

memang belum pernah ketemu orangnya, jadi

masih ragu-ragu."

"Bukan itu, Bah, yang jadi pertimbangan

saya."
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu?"

Misas terdiam, tak tahu harus menjelaskan

apa pada Abah. Tidak mungkin ia mengatakan

pada Abah kalau hatinya sudah diambil Milati,

gadis asuhan Abah dan Umi sendiri. Misas sangat

paham Kiai Syafi? tak mungkin memaksanya bila

ia tak mau. Namun, ia juga paham jika menolak

perjodohan itu, banyak sekali kemungkinan

yang tidak diharapkan akan terjadi. Kiai Syafi?

merupakan salah seorang donatur terbesar bagi

panti dan pesantren yang diasuh Abah dan Umi.

Tentu Abah dan Umi akan sangat kecewa dan

tak tahu harus menyembunyikan muka di mana

bila sekonyong koder perjodohan itu dibatalkan.

Haruskah ia meninggikan kebahagiaannya sen?

diri, sementara Abah dan Umi larut dalam ke?

kecewaan?

Mengecewakan kedua orangtua ialah hal

yang paling ia hindari selama hidupnya. Tak

mau sedikit pun ia melukai hati orang-orang

yang membesarkannya itu. Jika ia memang harus

menderita untuk kelegaan hati Abah dan Umi,

itu pun belumlah sepadan dibandingkan kasih

sayang yang telah mereka curahkan sedari ia

kecil. Meski begitu, air matanya kembali tiris bila

teringat seorang gadis yang sekarang ada bersama

Umi. Bila Milati tahu, pastilah hatinya akan

remuk redam sebagaimana yang kini ia rasakan,

atau bahkan lebih karena ia seorang wanita.

Kehendak Jodoh

Minggu siang Mas Misbah sudah sampai

rumah. Wajahnya terlihat kuyu kelelahan. Misas

membantu mengeluarkan koper bawaannya dari

mobil dan menentengnya ke dalam. Sang istri

menyambutnya dengan hangat.

"Mas, mandi air dingin apa air hangat?" tawar

sang istri.

"Dingin saja."

"Mas, kopernya berat banget. Bawa oleh-oleh

apa saja?" tanya Misas menyela.

"Kamu buka sendiri situ, apa isinya. Aku mau

mandi dulu, shalat, terus istirahat. Badanku pegel

semua."

"Yo wis."

Misas meletakkan koper yang dibawanya di

depan TV, di ruang tengah. Ia keluarkan isinya

satu per satu.

"Mas, ini baju kotor apa bersih?" teriak Misas

pada masnya yang sedang berganti pakaian.

"Yang di dalam tas plastik itu kotor."

Misas mengeluarkan baju-baju dari dalam

koper dan memisah-misahkan yang kotor dan

yang bersih.

"Mbok!" teriak Misas memanggil Mbok Sri,

pembantu Mas Misbah. "Maaf, Mbok, ini baju

Mas Misbah. Yang ini bersih, dan yang itu kotor."

"Iya, Mas." Si Mbok mengambil baju-baju

kotor itu dan memasukkannya ke mesin cuci.

Baju-baju bersih ia taruh di tempat setrikaan

untuk disetrika kembali.

Misas masih sibuk mengorek-ngorek isi ko?

per, berharap sang kakak membawakan sesuatu

untuknya. Ia menemukan beberapa bungkus

kurma basah dan anggur kering, beberapa botol

minyak wangi, tasbih, kopiah, kerudung, siwak,

satu plastik besar kacang arab, satu paket kaset

murottal 30 juz, beberapa sarung dan baju koko.

Seperti oleh-oleh orang sepulang haji. Misas dapat

menebak kakaknya itu sempat mampir untuk

berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya.

Mas Misbah yang terlihat segar sehabis mandi

mendekati adiknya yang sudah membongkar

semua isi koper.

"Sudah?" sapa Mas Misbah sambil mem?

benarkan letak leher gamis yang dikenakannya.

"Mas Misbah mampir ke Sunan Ampel, ya?"

"Kamu tahu aja."

"Lha ini ada bukti. Yang buat saya yang mana,

Mas?" tanya Misas sambil memilah-milah barangbarang yang berserakan di depannya.

"Kamu suka yang mana? Ambil aja!"


Raja Naga 08 Ratu Tanah Terbuang Rahasia Lukisan Kuno Seri Pendekar Wiro Sableng 152 Petaka Patung Kamasutra

Cari Blog Ini