Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo Bagian 3
lalu kuletakkan lagi ke tempatnya semula. Rasanya ingin
sekali meminjam buku-buku itu. Untuk mendapatkan bukubuku seperti itu di daerah ini sangat sulit. Perpustakaan
umum milik pemerintah saja tidak memiliki koleksi yang
lengkap untuk buku-buku sastra.
Bahkan buku-buku yang ditulis oleh penulis lokal saja
sangat sedikit berada dalam daftar koleksi perpustakaan
daerah. Nasib toko buku juga sama. Tidak memiliki koleksi
buku sastra dan budaya yang bagus dengan terbitan tahun
terbaru. Kota ini masih tertinggal jauh. Tidak ada Gramedia
Book Store di sini.
Ampon kecil serius mengikuti pelajaran yang kuberikan.
Hari itu dia belajar berhitung dan mengeja huruf abjad dalam
bahasa Inggris. Ampon kecil, anak yang cerdas. Dia mudah
memahami apa yang kusampaikan.
Cinta Kala Perang
Anak ini memang unik, meskipun sedang serius belajar,
sempat-sempatnya dia membuat lucu, sehingga aku tertawa
terkekeh. Misalnya dia memperlihatkan kemampuannya
melipat kelopak mata bagian atas, sehingga kulit mata
bagian dalamnya terlihat keluar. Memerah dengan mata biji
mata didelikkan ke atas, seperti monster dalam film hantu.
Tidak terasa sudah sejam setengah aku berada di
ruangan Ampon. Aku memberikan tugas hafalan buat
Ampon kecil. Setiap kali mendapat tugas hafalan, Ampon
sela?lu minta hadiah. Bagitu juga dengan hari itu.
"Kalau Adek bisa hafal. Nanti Kak Tari, kasih Adek apa?"
pintanya dengan tangan bersedekap di dada.
Anak ini memang pandai sekali menggerakkan tubuh
sesuai dengan permintaannya. Dia bersidekap seakan ingin
menodongku. Menunjukkan kegalakannya dengan mimik
yang dibuat seserius mungkin tanpa senyum melingkari
wajah.
"Daaaapaaat... permen," teriakku sambil menggelitiki
Ampon kecil.
"Masa Kak Tari, kasih permen terus. Adek mau, Kak Tari
ajak Adek jalan-jalan, bisa? Adek mau makan es krim."
"Anak pintar. Kak Tari setuju. Tos dulu, Sayang." Aku
mengangkat tangan dan menyatukannya dengan tangan
Ampon kecil. Dia tertawa terkekeh-kekeh.
Mendung menggantung di langit. Udara dingin mulai
menusuk tulang. Sore itu, angin kencang luar biasa. Hujan
belum juga turun. Daun-daun beterbangan entah ke mana.
Aku meminjam beberapa buku di rak ruangan belajar Ampon
pada Bu Yoga. Bu Yoga dengan senang hati mempersilakan
aku untuk memilih buku yang kuinginkan.
Cinta Kala Perang
Ketika aku beranjak pulang, meniti tangga. Bu Yoga
melarangku. Angin terlalu kencang. Hujan akan turun. Bu
Yoga khawatir aku akan kehujanan sebelum mendapatkan
angkutan umum.
"Bang Ampon, kamu antar Nak Tari ya. Pakai mobil saja,
agar tidak kehujanan. Mobil ada di garasi. Nak Tari, diantar
sama Ampon saja, biar tidak ke hujanan." Bu Yoga memanggil
Dek Ampon dan Bang Ampon buat anaknya. Panggilan Dek
atau Bang hanya membedakan mana yang lebih tua antara
anak-anaknya.
Aku menolak lembut tawaran Bu Yoga. Namun, wanita
paruh baya ini tidak memberikan izin pulang jika naik
angkutan umum. Angin menampar wajahku. Debu-debu beterbangan, menggulung ke atas dan hilang. Bu Yoga, menawarkan aku untuk menginap di rumahnya. Segudang alasan
telah kuutarakan. Namun, Bu Yoga tetap tidak mengizinkan
aku pulang sendiri dengan angkutan umum.
"Beuk mbantah hai Neuk. Geulanteu rayeuk that di
langet. Jangan bantah saya. Petir terlalu besar di langit."
Bang Ampon, mengambil mobil Pak Wa, abang Pak Yoga,
di garasi mereka. Keluarga itu tidak memiliki mobil. Namun,
mobil Pak Wa selalu terparkir di rumah itu. Bahkan kuncinya
juga diserahkan pada Bu Yoga.
"Beluhen Nyak Gam. Bek balap-balap. Hati-hati Ampon.
Jangan ngebut." Bu Yoga mengingatkan putra sulungnya.
" Kalau gitu Tari pamit dulu Bu. Assalamualaikum."
"Walaikumssalam."
Dalam perjalanan kami hanya diam, tidak ada yang ber?
suara. Bisu. Hanya deru angin yang terdengar semakin ken?
cang. Hujan mulai turun satu-satu. Musik sendu mengiringi
Cinta Kala Perang
perjalanan menuju pusat kota, menuju rumah kosku. Kilatan
petir terlihat jelas. Seakan-akan ingin mem?belah bumi.
Menyanyat-nyanyat setan di bumi, begitu kata orangtua
zaman dulu. Sesekali Bang Ampon mengikuti lirik lagu yang
mengalun pelan dari tape recoreder mobil.
"Tinggal di mana?"
Aku terkejut mendengar suara Bang Ampon. Khayalku
tentang masa depan hilang, begitu saja. Khayalan yang selalu
kuimpikan, hidup sejahtera, memiliki anak yang lucu dan berderma pada sesama.
"Lagi melamun ya?"
"Ah tidak. Aku tinggal di Darsa.... Darussalam," ujarku
sambil berusaha tenang. Aku malu ketahuan sedang melamun.
Bang Ampon bercerita tentang masa sekolahnya di se?
kolah favorit di Jalan Darussalam. Setiap Sabtu sore, dia
dan kawan-kawannya selalu memancing ke pelabuhan milik
perusahaan minyak. Sekitar tiga kilometer dari Sekolah
Menengah Atas favorit di daerah itu. Aku hanya men?dengar?
kan dan sesekali tertawa, mengikuti pembicaraan Bang
Ampon.
Tidak terasa kami sudah memasuki Jalan Darussalam.
Bang Ampon sangat hafal akan jalan ini.
"Tidak banyak yang berubah," katanya. Dia meng?henti?
kan mobilnya tepat di gang depan rumah kosku. Bang Ampon
menawarkan agar dia mengantar sampai depan rumah kos.
Namun, dengan halus kularang dia. Aku takut, akan ada gosip
dari tetangga.
Cinta Kala Perang
"Terima kasih Bang. Maaf jadi merepotkan."
"Ah tidak apa-apa. Biasa saja, sekaligus saya jalanjalan," Bang Ampon tersenyum, perlahan mobil itu pun
berjalan sampai hilang di tikungan.
Bang Ampon seakan tak asing bagiku. Aku pernah meli?
hatnya sebelumnya. Namun, entah di mana? Kucoba me?
mutar kembali memoriku. Susah payah kucoba untuk meng?
ingatnya, namun tidak berhasil. Aku pasrah. Mungkin setelah
mandi dan segar kembali, aku bisa mengingat di mana sosok
itu kutemui.
Belum sempat aku istirahat. Ibu kos telah mengha?dang?
ku. Dia tersenyum-senyum geli. Dia menceritakan, ada
seorang militer yang mengaku saudaraku dan mencariku.
"Katanya mau ketemu kamu."
"Saya tidak punya saudara. Saya sendiri di sini." Aku
membantah.
"Lalu siapa dia?" Ibu kos mengerutkan dahinya. Dia juga
menceritakan ciri-ciri pasukan penjaga keamanan negara
yang berkunjung siang tadi. Militer itu mengaku namanya
Topan Nugraha.
Aku tidak habis pikir mengapa Topan mencariku ke
rumah. Entahlah, semuanya kuserahkan pada Allah. Yang
menjadi kehendak-Nya tak mungkin bisa kutepis. Tangan?
ku terlalu kecil, bagai sapu lidi yang hanya mampu meng?
gerakkan daun-daun kering. Aku hanya meminta agar Allah
selalu melindungi setiap detak jantung dan denyut nadiku.
Mungkin Topan ada perlu atau kebetulan sedang di
kota ini dan hanya ingin singgah sebentar, pikirku menepis
prasangka buruk tentang Topan.
Cinta Kala Perang
Suara mengaji mulai terdengar dari meunasah.
Lantunan ayat suci itu bukan dari kaset yang diputar di
meunasah. Suara merdu, mendayu dan merdu itu pasti
milik bilal meunasah. Saban sore, ketika langit mulai me?
me?rah dan senja akan turun, bilal Tengku Saleh selalu
mengaji. Menandakan waktu shalat Magrib segera tiba.
Memperingatkan seluruh masyarakat agar segera meng?
akhiri aktivitasnya.
Aku mandi dan memasak untuk makan malam. Ibu
kos santai sambil membaca beberapa ayat Al-Qur?an di
ruang tamu. Baginya, hidup ini adalah pengabdian buat
Sang Khalik. Usianya telah senja. Namun, jiwanya untuk
beribadah tidak pernah senja dan hilang dalam kegelapan
malam.
Entah mengapa, sejak Ibu kos menceritakan kedatangan
Topan Nugraha ke rumah, pikiranku tertumpu pada personel
militer itu. Senyumnya dan gaya bicaranya melintas saban
detik. Di saat aku merenung apa yang terjadi padaku, wajah
Bang Ampon, putra Pak Yoga juga melintas.
Aku heran, apa yang terjadi padaku. Allah, tolonglah
hamba-Mu ini. Hamba tidak tahu, apakah ini cinta atau
dosa yang sangat besar dalam kehidupan hamba. Hamba
bimbang. Mengapa kedua laki-laki itu berada di benakku.
Saat hamba duduk, membaca dan saat menjelang shalat.
Hamba tidak tau, apakah ini namanya cinta? Apakah hamba
jatuh hati pada mereka? Apakah hamba telah melakukan
kesalahan hingga bayang mereka selalu menjelma?
Setelah kuperhatikan, kedua lelaki ini memiliki daya
tarik tersendiri. Apakah kelak, aku akan mendapatkan pen?
dam?ping selembut Topan Nugraha, atau secerdas Bang
Cinta Kala Perang
Ampon. Aku bigung. Anganku melayang jauh ke langit ke?
tujuh. Membayangkan hidup yang sejahtera dengan rumah
sederhana dan anak-anak bermain di taman, menunggu
ayahnya pulang kerja. Khayalanku, akankah menjadi nyata?
Kedua pria itu tak pernah bicara langsung tentang
cinta dan keinginan berumah tangga. Mereka hanya diam.
Meskipun Bang Ampon serius menanyakan kegiatanku pada
Ampon kecil, apakah itu sudah berarti cinta?
Sedangkan Topan Nugraha, memperhatikanku, mengi?
rimkan bunga, mendatangi rumah kosku, apakah itu juga
cinta? Entahlah. Mungkin, hanya waktu yang bisa men?????
jawab semua itu. Waktu pula yang akan membuktikan
kegundahanku malam ini, gundah seorang dara yang meng?
inginkan hidup sejahtera dan bahagia selamanya. Semoga,
Engkau kabulkan doa hamba ya Rab yang Maha segalanya.
Doa itu yang kupanjatkan usai shalat Magrib. Aku ber?
harap, agar semua yang kujalani mengalir dengan baik,
tenang menuju muara yang jernih. Tidak seperti derasnya
aloen buluek (tsunami), yang menelan semua orang, rumah
dan harta benda di sebagian tanah Iskandar Muda ini.
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
BAB 12
Penyakitku
Cinta Kala Perang
ami mengevaluasi seluruh data korban dan solusi
yang telah kami berikan pada korban konflik di daerah
itu. Masing-masing pekerja LSM sibuk mempresentasikan
progres program yang didampingi. Kami mengitari meja
bundar di ruang rapat, udara dingin menyemburi wajahwajah penat. Sesekali, Indah melempar kelakar-kelakar kecil
mengurai ketegangan. Dan semua peserta rapat tertawa
lepas sejenak, setelah itu serius kembali membahas evaluasi
program.
Salah satu yang kulaporkan dalam rapat itu adalah
cerita tentang Cut Nyak yang telah kembali ke kampungnya.
Trauma perlahan hilang dan dia kembali tersenyum me?
nyambut mata hari pagi. Memulai kehidupannya dan mena?
pak masa depan. Begitu laporanku pagi itu.
Sementara Indah melaporkan bagaimana upaya advokasi
dan penemuan korban hilang di kawasan pedalaman di
seluruh kecamatan. Sebagian ditemukan tewas, dan kasus
itu telah dilimpahkan pada staf advokasi hukum. Indah juga
melaporkan temuan mereka ke Komisi Nasional Hak Azasi
Manusia (Komnas HAM) dan kedua belah pihak yang tengah
merenda benang-benang perdamaian abadi.
Direktur utama terlihat puas dengan hasil kerja kami
satu bulan terakhir ini. Menurutnya upaya untuk mewu??
judkan kedamaian abadi di daerah ini harus terus dikon?
trol. Korban konflik pascaperdamaian maupun saat
konflik berkibar harus dilindungi dan diberikan perhatian
khusus bagi mereka. Hakikatnya manusia harus menolong
sesama. Begitu nasihat yang diberikannya pagi itu. Tugas
selan?jutnya harus menuju kabupaten tetangga. Harian
lokal, memberitakan ditemukan mayat tanpa identitas di
Cinta Kala Perang
kabupaten itu. Jaraknya sekitar satu jam dengan meng?
guna?kan sepeda motor dari kantor kami.
"Selamat bekerja dan tetap semangat. Pekerjaan ini
sangat mulia, mendampingi masyarakat korban dan mem?
berikan yang terbaik buat mereka. Allah akan merestui
langkah kita," ucap direktur utama lantang dan menutup
rapat pagi itu.
Aku, Indah dan seorang sopir segera menuju lokasi ke?
jadian. Kota itu baru saja memerdekakan diri dari kabupaten
induknya, Kota Juang. Perkembangan kota sangat pesat.
Pembangunan di sana sini. Siang-malam, pekerja bangunan
terus meneteskan keringat untuk sesuap nasi di sudut kota
itu. Mengebut bangunan rampung sebelum masa kontrak
berakhir. Bahkan, kini kemegahan kota itu mengalahkan kota
induknya, yang kata banyak orang sebagai kota terkaya di
provinsi ini.
"Lagi-lagi pembunuhan. Bosan aku." Indah mengomel
sendiri.
Tatapan matanya lurus ke depan. Ia menghubungi
relawan PMI kabupaten itu untuk membantu kami menuju
lokasi penemuan mayat. Menurut relawan PMI, beberapa
orang pasukan keamanan negara sudah berada di lokasi
kejadian. Mayat belum diangkat, karena, sebelumnya masya?
rakat setempat menyarankan agar menunggu warga yang
mengenali mayat itu.
Indah juga menghubungi tim pelindung kami. Setiap
kami ke lapangan, selalu ada dua orang staf kantor sebagai
bodyguard yang memantau gerakan kami dari jarak jauh.
Ini untuk menjaga keselamatan kami di lapangan. Oleh
karena, tidak jarang aktivis hilang saat melaksanakan tugas
Cinta Kala Perang
di lapangan. Mungkin direktur utama tidak menginginkan
karyawannya juga menjadi korban konflik. Sehingga siapa
?pun yang ditugaskan ke lapangan, selalu dipantau dan
dipastikan pulang dalam kondisi selamat.
"Ini sudah menjadi tugas. Janganlah bosan. Ini bagian
dari ibadah, Ndah." Aku menjawab sambil mengamati
jalanan menuju lokasi kejadian.
Kiri-kanan jalan dipenuhi pohon kelapa menjulang tinggi.
Nyiurnya meliuk-liuk diterpa angin. Terasa sejuk. Meski
begitu, sangat tidak nyaman duduk di mobil Panther yang
kami tumpangi. Jalan berlubang, membuat Panther bergerak
pelan. Menguncang-guncang tubuh kami di dalam. Terkadang
sopir sulit memilih membedakan lubang yang lebih kecil dan
dangkal, agar mobil tak terlalu berguncang hebat.
Entah kenapa, kepalaku pusing. Aku mual. Beberapa kali
aku muntah dalam kantong plastik yang kami bawa. Tidak
biasanya aku muntah. Apakah karena guncangan dahsyat
mobil? Entahlah. Seakan ada sesuatu yang mengadukngaduk perutku. Lalu naik ke tengkuk dan seolah mau keluar
lewat mulut. Namun, tidak bisa keluar, seperti terjepit di
kerongkongan.
Indah mengurut tengkukku dengan minyak kayu putih.
Perasaanku sedikit lega. Meskipun Indah tampak khawatir,
aku tidak menghiraukannya. Kuyakinkan dia, bahwa aku baikbaik saja. Mungkin hanya masuk angin.
Kami melewati Geulumpang Dua, kota kecamatan yang
terkenal dengan kenikmatan satenya. Kota ini menyimpan
segudang sejarah bagi seluruh rakyat.
Gelumpang Dua merupakan salah satu kebanggaan dae?
rah itu. Di mana setiap kali masyarakat dari kabupaten lain
Cinta Kala Perang
menuju ibu kota provinsi, pasti singgah untuk menikmati
sate daerah itu. Di kota itu, puluhan penjual sate berjajar di
pinggir jalan. Ada pula yang khusus membuka warung untuk
berjualan sate.
Kami mulai masuk ke perkampungan, jauh dari pusat
kota. Perkampungan nelayan itu tampak asri. Nyiur hijau
kelapa memanggil-manggil para pendatang yang baru
menginjakkan kaki ke desa itu. Terdengar deburan ombak
berkejaran menyisir pantai dengan pasir putih. Jam baru
menujukkan pukul 12.00 WIB. Sekitar empat boat kecil
milik nelayan diparkir rapi. Tali boat ditambatkan ke pohon
kelapa.
Di depan pantai itulah, di antara sela-sela pohon kelapa,
orang-orang berkerumun. Sebagian menutup mata ngeri.
Sebagian lagi menutup hidung, mungkin tak sanggup men?
cium bau busuk.
Tubuh kurus terbujur kaku. Warga menutupnya dengan
kain batik panjang lusuh. Bau tak sedap keluar dari tubuh
yang membiru dengan luka lebam di wajahnya. Pria ber?
kumis dengan rambut kriting dan wajah mulai mem?bengkak
itu tak dikenali.
Satu dua warga mendekat. Lalu membuka kain penutup,
menutup hidung dan pergi. Mereka tak mengenalinya.
Matahari mulai naik sejengkal. Hangat mulai terasa
menge?luarkan keringat dan membuat baju basah. Semburat
wajah tegang terlihat dari rona wajah warga. Beberapa
pasukan keamanan negara dan brigade tempur lengkap
dengan senjata, memperhatikan setiap masyarakat yang da?
tang dan pergi. Aku dan Indah turun, disambut oleh rela?wan
PMI yang telah kami hubungi sebelumnya.
Cinta Kala Perang
Aku mencatat beberapa hal yang penting, menghimpun
keterangan saksi mata dan hal-hal lainnya. Aku berharap,
lelaki ini memiliki keluarga dan jenazahnya bisa dimakamkan
di pemakaman keluarga atau desa tempat tinggalnya.
Indah berbincang dengan beberapa relawan PMI. Kemu?
dian berbicara dengan pasukan penjaga keamanan negara di
lokasi itu. Sebagian personel militer yang diajak bicara tidak
mau memberikan keterangan. Seorang militer dengan topi
putih mirip blangkon Jawa mendekat ke arah Indah.
"Akhinya kita bertemu lagi, Mbak Indah," sapanya.
"Oh Pak Topan Nuggraha. Sudah pindah ke mari, rupa?
nya?"
"Ya, beginilah nasib kami. Dipindahkan sesuka hati
atasan, menetap sebentar lalu pergi lagi. Seperti burung
yang tidak memiliki sarang." Nada suaranya mengeluh.
Seperti?nya dia bosan dengan runtinitas yang terus ber?
pindah-pindah, dari satu gampong (desa) ke gampong lain?
nya. Dari desa ke gunung, turun ke desa lagi, ke gunung lagi,
entah sampai kapan. Wajahnya menyiratkan kebosananan
yang dalam. Setelah menghimpun beberapa keterangan
warga, aku mendekat ke arah Indah.
" Mbak Tari, maaf atas kelancangan saya kemarin. Me
mengirimkan bunga buat Anda."
Topan angkat bicara. Pandangan matanya dibuang ke
tempat lain, ke kerumunan warga yang datang dan pergi
melihat jenazah tanpa identitas itu. Kami terdiam agak lama.
" Tidak apa. Terima kasih bunganya."
Kepalaku pusing tiba-tiba. Pandangan mataku kabur.
Kulitku meruam merah. Ada apa denganku? Indah dan Topan
masih mengobrol tentang kondisi keamanan akhir-akhir ini.
Cinta Kala Perang
Jenazah itu telah diangkat ke mobil ambulans untuk divisum
di Rumah Sakit Umum Daerah. Lamat-lamat terdengar suara
mereka. Makin kecil dan hilang entah ke mana.
Aku terbangun. Entah jam berapa saat itu. Aku teringat
belum shalat Zuhur dan Asar. Hatiku tidak nyaman jika belum
melunasi janjiku dengan Allah. Ruangan di sekitarku tam?pak
putih bersih dengan gorden abu-abu. Ini bukan kamarku.
Lalu di mana aku?
Perlahan kugerakkan tangan dan seluruh ototku. Terasa
sangat berat. Sulit untuk digerakkan. Kuhimpun tenaga untuk
menggerakkan tubuh. Tapi tak bisa.
Kulihat Indah duduk sambil memegang buku catatan
kuliah di tangannya. Memang kami harus pandai membagi
waktu, agar kuliah terus melaju seperti roda yang terus ber?
putar. Tanpa henti, meski sibuk dengan kegiatan, kuliah tetap
nomor satu. Itu komitmenku dan Indah.
Bang Ampon kulihat juga ada di sana, seperti biasa sibuk
dengan buku-bukunya. Pak Yoga dan istrinya juga ada di
ruangan itu.
"Jangan terlalu banyak bergerak. Kamu masih sakit,"
Bang Ampon, mengingatkanku. Wajahnya terlihat sangat
letih. Entah berapa lama dia sudah berada di ruangan itu.
Wajah-wajah kurang tidur mereka terlihat jelas. Mata sayu
dengan raut wajah kumal.
"Di mana aku?"
"Jangan terlalu banyak bicara Neuk. Kamu harus istirahat.
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tenang saja, kami di sini menunggumu," istri Pak Yoga
Cinta Kala Perang
menya??hut lembut. Tangannya membelai kepalaku. Tanpa
men?jawab pertanyaanku.
Kulihat pergelangan tanganku. Ada selang infus di sana,
melingkar ke atas dan di atasnya botol cairan menetes
pelan.
Astagfirullah. Aku berada di rumah sakit untuk pertama
kalinya. Mataku nanar menatap dinding putih rumah sakit.
Bayang Emak ada di sana. Menghampiriku, bercerita tentang
hidup dan kehidupan. Menasihatiku makna kehidupan dan
kasih sayang. Memilih pendamping hidup yang tepat dan
lainnya.
Aku menangis sekuat tenaga. Aku meminta agar Emak
tidak meninggalkanku. Jeritanku tidak didengar Emak.
Pesannya hanyalah hiasi hidup penuh makna, berbagi pada
sesama. Dan, jangan pernah salah dalam memilih. Entah
memilih apa yang dimaksud Emak, aku tidak mengerti. Dia
mengecup keningku, lalu pergi di telan kabut putih.
"Emak... jangan pergi! Jangan tinggalkan Tari... Mak.
Emaaaak!" Aku berteriak sekuat tenaga.
Sebuah sentuhan mengejutkan aku. Tangan itu sangat
asing bagiku.
"Maaf Mbak Tari. Mbak Tari mengigau. Sekarang saya cek
dulu kondisi Mbak Tari."
"Jangan sentuh saya. Saya mohon. Di mana Indah, Bang
Ampon, Pak Yoga dan istrinya? Di mana mereka?"
Aku tidak memberikan izin Topan Nugraha memeriksaku.
Aku teringat, bahwa dia militer, dan aku takut.
Topan Nugraha hanya tersenyum. Dia menjelaskan
Ampon dan keluarganya baru saja pulang, setelah sema?
laman berjaga di sini. Sedangkan Indah sedang keluar men?
Cinta Kala Perang
cari sarapan pagi. Pria berjanggut tipis ini mengabulkan
permintaanku. Tangannya berhenti kaku, tak melanjutkan
peme?riksaan. Lalu, stetoskop dimasukkannya ke saku depan
jas putih.
Aku bersyukur dia tidak memeriksaku tanpa ditemani
Indah. Aku takut dia berbuat jail padaku. Sejenak kemudian,
Indah masuk. Senyumnya mengembang di balik pintu.
"Sudah sadar Nona Manis? Sekarang biarkan dokter
Topan memeriksamu."
Indah membelai kepalaku. Aku baru tahu kalau aku di?
rawat di rumah sakit milik militer. Rumah sakit militer satusatunya di daerah ini.
Topan Nugraha rupanya diperbantukan sementara waktu
untuk bekerja di rumah sakit itu. Dia tenaga medis di kesa?
tuannya. Gelar dokter diambilnya di universitas ternama
negeri ini.
Saat jarum suntik masuk ke pipa infus, mataku mulai
kabur. Wajah Indah tak cantik lagi, hanya bayang-bayang yang
bergerak pelan dan kabur.
Ibu kosku datang menjenguk dan membawa perlengkapan
untuk bermalam. Indah dipanggil Dokter Topan ke ruang
medis.
"Dokter, apa sebenarnya penyakit Tari? Kok sebentar-se?
bentar pingsan?"
Cinta Kala Perang
"Huh, saya harus mengatakan apa Mbak? Tapi, saya
harap jangan diberi tahu padanya. Penyakit yang dide?ri?
tanya tergolong sukar disembuhkan. Penyebabnya belum
jelas sam?pai sekarang. Sistem kekebalan tubuhnya rendah.
Siste?mik Lupus Eritematosus (SLE), itu nama penyakit?nya.
"Tolong dijelaskan detailnya dokter? Apakah masih bisa
disembuhkan?" tanya Indah meminta penjelasan lebih
detail. Wajahnya pucat pasi mendengar jenis penyakit yang
diderita Tari. Penyakit yang tidak pernah didengarnya sebe?
lum?nya.
Dokter militer itu menjelaskan tentang SLE yang menge?
pung tubuh Tari. Penyakit ini merupakan penyakit radang
multi?sistem yang penyebabnya belum diketahui dengan jelas.
Meskipun demikian terdapat banyak bukti bahwa pato?genesis
SLE terdapat multifaktor, dan ini? mencakup pengaruh faktor
genetik, lingkungan dan hor?mo?nal terhadap sistem imun
tubuh.
Gejala klinisnya sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem
dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu
sistem?yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem
imun.
Penyebaran penyakit dapat spontan atau didahului oleh
faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari,
infeksi virus atau bakteri, obat misalnya golongan sulfa,
peng?hentian kehamilan dan trauma fisis atau psikis. Setiap
serangan biasanya disertai gejala?umum yang jelas seperti
demam, kelelahan yang hebat, nafsu makan berkurang,
berat badan menurun dan iritasi. Namun ciri yang
paling menonjol adalah demam, kadang-kadang disertai
Cinta Kala Perang
menggigil. Layaknya seperti orang yang terkena demam
berdarah.
Dokter itu berhenti sesaat. Blangkon putih mirip surban
miliknya dibuka dan diletakkan di atas meja kerja.
"Tolong jelaskan lebih detail lagi Dokter. Saya tidak ingin
teman saya mengalami penyakit buruk dan tidak dapat di?
sembuhkan." Dua butir jernih jatuh ke pipi Indah. Matanya
merah, suaranya mulai serak akibat tangis yang ditahan.
Dokter Topan menuruti permintaan Indah. Dia men?
jelaskan penyakit ini juga mengakibatkan lutut,?perge?langan
tangan terasa lemah dan sulit digerakkan, ruam kulit ber?
bentuk kupu-kupu, mengeluarkan darah segar pada hidung
seperti orang mimisan dan warna pipi meruam merah. Selain
itu, penyakit ini juga menganggu fungsi ginjal.
Susunan saraf pusat, dapat berupa psikosis organik dan
kejang-kejang. Pasien yang mengidap penyakit ini me?nun?
jukkan gejala halusinasi, disorientasi, sukar meng?hitung
dan tidak sanggup mengingat kembali gambar-gambar yang
pernah dilihat. Sampai saat ini SLE belum dapat disem?
buhkan secara sempurna. Tapi pengobatan yang tepat
dapat menekan gejala klinis dan komplikasi yang mung?
kin terjadi, dengan begitu bisa mengurangi rasa sakit.
Program pengobatan yang tepat sangat individual, berbeda
penanganan antara pasien yang satu dengan pasien lainnya,
meski?pun mengidp penyakit yang sama.
Dokter mengakhiri penjelasan tentang penyakit Tari
dalam bahasa kedokteran yang sangat susah dimengerti oleh
masyarakat awam. Menurutnya, Tari telah kena SLE di bagian
ginjalnya. Mungkin, Tari jarang makan teratur dan selalu
berpikir keras. Kini, ginjal dara itu telah rusak, tidak bisa
Cinta Kala Perang
bekerja maksimal. Akhirnya, dokter Topan, menganjurkan
untuk melakukan cuci darah seminggu sekali.
Semburat merah tampak jelas di wajah Indah. Keningnya
mengerut. Berpikir keras tentang penyakit sohibnya itu.
Dia memikirkan bagaimana nasib temannya setelah keluar
dari rumah sakit. Untuk mencuci darah, setiap pekan butuh
biaya yang sangat besar. Indah pusing, namun dia tidak bisa
memberi tahu Tari masalah itu. Minimal untuk sementara
waktu. Dia khawatir Tari syok dan penyakitnya tambah parah.
Biarlah kupikirkan jalan terbaik, pikirnya sambil me?
lang?kah menuju kamar 301 di mana Tari dirawat. Namun,
menurut dokter, pengobatan secara rutin dan menahun bisa
memperpanjang umur Tari. Ini kabar bahagia yang diterima
Indah.
BAB 13
Kepergian
Cinta Kala Perang
eberapa hari di rumah sakit, aku merasa seperti setahun
di penjara. Tak bisa beraktivitas, tulang-tulangku se?
akan patah. Lemah dan sulit digerakkan. Ingin rasanya aku
menjerit.
Indah dan kawan-kawan kantor setia menemaniku.
Begitu juga Pak Yoga sekeluarga, Ampon kecil setiap senja
selalu menyetor muka dan celotehan lucu untukku. Ampon
kecil pula yang membuatku gembira dan suntuk yang meng?
gulung di kepala hilang seketika. Aku berutang budi pada
keluarga keturunan bangsawan itu.
Jika malam tiba, giliran Bang Ampon menemaniku ber?
sama Indah. Dia selalu tertawa, untuk mengiburku. Membuat cerita-cerita lucu yang mengundang gelak tawa.
"Jangan tertawa Bang Ampon, tertawamu aneh," ucapku
sambil minum obat yang diberikan Indah.
"Tapi kamu suka kan?" ujarnya sambil tertawa tertekehkekeh.
Jujur, aku merasa tertawa laki-laki ini unik, banyak hal
aneh pada dirinya. Tawanya meledak terbahak-bahak, lalu
di???sambung cekikikan kecil melengking. Aku senang terta?
wa?nya itu. Bahkan terkadang, saat aku melihat Bang Ampon
dan Indah bercengkerama lewat tengah malam, ada rasa lain
di hatiku. Aku merasa cemburu melihat kedekatan mereka.
Entah?lah, mengapa aku seperti ini? Waktu akan menjawab itu.
Banyak kejadian aneh terjadi padaku selama di rumah
sakit. Namun, aku selalu menganggapnya humor dan tidak
perlu dipikirkan. Aku ingin segera keluar dari kamar putih ini
dan beraktivitas lagi.
Mendung menggulung, di luar gerimis turun perlahan.
Entah mengapa, hari itu hatiku gelisah. Resah, tak ada
Cinta Kala Perang
penyebabnya. Setiap tarikan napasku terasa berat. Sosok
yang kutunggu-tunggu tak juga muncul. Akhir-akhir ini aku
mulai menyukai sosok pria itu. Berjanggut tipis dan selalu
mengenakan blangkon putih, bersih, dan rapi.
Tidak ada seorang pun yang menjagaku. Aku sendiri.
Terasing dalam hening yang membekap ruang putih ini.
Bang Ampon, Ampon kecil, Indah dan ibu kos, satu pun
tidak terlihat. Mungkin mereka keletihan dan ingin istirahat.
Kudengar suara langkah yang mendekat. Membuka
pintu. Tampak seorang suster dan dokter datang memeriksa
ke??adaan tubuhku.
"Sendiri Mbak?" sapanya hangat penuh senyum.
"Ya, mungkin kawan-kawan lagi ada kesibukan."
"Sebentar ya Mbak, kita periksa," ucap dokter itu sambil
melepaskan stetoskop yang menggantung di lehernya.
Aku heran, mengapa hari ini, dokternya bukan Topan
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nugraha? Lelaki yang tersimpan di relung hatiku. Aku bim?
bang dan tidak berani memastikan. Benarkah aku suka pada
Topan?
"Semuanya normal Mbak. Mungkin dua hari lagi, Mbak
bisa pulang," sang suster tersenyum sambil mengambil
resep yang ditulis dokter. Dokter tua dengan kacamata
tebal menggantung di atas ujung hidungnya itu pun ter?
senyum.
Umumnya dokter memang memiliki senyum khas tersen?
diri sekadar untuk menghibur para pasiennya. Mereka di
wajibkan memiliki mother insting, insting keibuan. Andai?kan
dokter tidak memiliki rasa itu, rasa keibuan yang mengayomi,
mengasihi, mungkin semua pasien akan mengeluh dan pro?
tes ke rumah sakit.
Cinta Kala Perang
Dokter itu pamit. Suaranya tegas, agak serak dan lembut
tidak dibuat-buat. Mirip sekali dengan sikap seorang Ayah
pada anaknya.
"Suster, dokternya ganti ya? Atau karena Dokter Topan
kena piket nanti malam?"
"Tidak, Mbak Tari. Dokter Topan ditarik kesatuannya.
Nanti sore semua pasukan militer nonorganik kembali ke
markas besar."
Bagai petir kalimat itu di telingaku. Aku tidak tahu seluruh
pasukan penjaga keamanan negara ditarik dari daerah
ini. Sejak berada di rumah sakit, tak pernah kulihat koran.
Televisi di kamarku jarang sekali dihidupkan. Kata dokter,
aku tidak boleh berpikir keras. Harus tenang dan tidak boleh
mendengar suara gaduh termasuk menonton televisi.
Aku belum sempat mengucapkan terima kasih pada
Topan. Ada rasa bersalah hinggap di dada. Bagaimana pun, ia
berjasa membantuku selama di rumah sakit. Mungkin Topan
mengira aku tipe manusia yang tak tahu berterima kasih.
Mungkin Topan, mengira semua sukuku, sepertiku. Tak bisa
mengucapkan terima kasih meski telah ditolong. Aku mengu?
tuk diriku sendiri.
Gerimis tampak memutih di luar. Hujan turun perlahan.
Menyapa bumi dengan lembut dengan sapuan air yang
menitik. Kaca bening rumah sakit berembun terkena tempias
hujan yang turun semakin deras.
Kupandangi hujan itu. Di satu sisi, aku ingin bertemu
Topan. Di sisi lain, aku tidak ingin dikatakan, wanita yang tak
bisa menjaga marwah. Tidak! Aku harus berterima kasih.
Kucari ponselku, namun tidak ketemu. Entah mengapa, di saat
pen?ting seperti ini benda kecil itu tak terlihat.
Cinta Kala Perang
Pinggangku terasa sakit. Mungkin, terlalu banyak ber?
gerak. Kuhentikan dan pasrah pada yang Mahakuasa.
Kuserahkan diriku pada-Nya. Biarlah Allah menjadi saksi,
bahwa aku masih tahu berterima kasih. Tidak sombong dan
angkuh. Merinding bulu kudukku mendengar kata sombong
dan angkuh itu. Aku ingat pesan Emak dulu, beliau selalu
marah jika nada bicaraku menjurus ke sombong, takabur,
dan lain sebagainya.
Pintu berderit. Indah melangkah perlahan. Di tangan?
nya segenggam anggrek kuning menyala. Baunya meme?
nuhi ruangan. Harum. Terlihat, secarik kertas di atas kun?
tum anggrek warna kuning dengan bintik-bintik merah itu.
Mungkin, dia sedang jatuh cinta pikirku, tanpa memeduli?
kannya. Aku sibuk dengan khayalan tentang masa depan dan
kehidupan pribadiku setelah keluar dari rumah sakit.
"Lihatlah, siapa yang mendapat bunga?" Indah ter?
senyum. Memberikan bunga itu padaku.
"Aku?"
"Ya iya lah. Memang hantu?"
Sekelebat tergambar jelas wajah Bang Ampon, namun
sekelebat kemudian muncul wajah Topan, militer yang baik.
Sopan dan suka membantu. Sangat jarang, militer yang
lembut. Militer memang dididik tegas, dan cepat dalam ber?
tindak.
Selamat tinggal Tari. Semoga cepat sembuh dan rajin
minum obat.
(TOPAN NUGRAHA)
Cinta Kala Perang
Kalimat itu membuatku sedih bercampur senang. Sedih,
karena aku kehilangan seorang yang baik. Senang, karena
dia mengucapkan sebuah ucapan, yang menurutku penuh
perhatian. Mungkin tafsiranku salah. Tapi, itulah yang ku?
rasakan.
Kuambil ponselku yang ternyata disimpan Indah.
Kuminta nomor seluler Topan dari Indah. Kuucapkan terima
kasih yang tak terhingga. Aku tidak bisa mengantarkannya ke
pelabuhan. Mereka berangkat dengan menggunakan kapal
perang milik angkatan laut negara.
Aku ingin mengatarkan Topan. Melihatnya menaiki
kapal laut dan melambaikan tangan. Sudah menjadi rahasia
umum, prajurit lajang selalu mencari pasangan di tempat
tugas mereka. Tiba-tiba pergi dan jarang kembali. Hanya
satu atau dua prajurit saja yang kembali dan meminang dara
daerah ini. Selebihnya, hanya ucapan selamat tinggal. Pergi
tak kan kembali.
Dalam hati aku mengucapkan selamat jalan untuk Topan,
semoga sampai dengan selamat di tujuan. Jika ada waktu
luang, berkunjunglah ke daerah ini untuk sekadar melepas
rindu pada rencong, pada kopi, pada sate matang dan pada
sayur kuah pliek. Kupejamkan mata, untuk mengucapkan
kalimat itu dalam hati.
Aku kehilangan Topan. Inikah cinta atau apa namanya?
Aku tidak mengerti. Topan telah pergi, meninggalkan seram?
bi daerah ini dengan sejuta kisah yang kelak mungkin akan
ditulisnya ke dalam biografi seperti yang dilakukan para
jenderal republik ini.
BAB 14
Goresan Hati
Cinta Kala Perang
agai tersengat petir. Itu yang kurasakan saat mendengar
cerita Indah. Napasku seakan berhenti.
Sepulang dari kantor Indah langsung menuju rumah
kosku dan menemaniku di rumah. Katanya untuk merayakan
kesembuhanku. Bahkan, gadis manis ini sempat belanja di
Pasar Sore, membeli aneka macam sayur untuk masak kuah
pliek, dan setumpuk engkot jurbok (tongkol), untuk dimasak
asam keueng (asam pedas).
Sejak kecil aku dibiasakan Emak untuk memakan masakan
khas daerah ini. Kata Emak, Abiku sangat senang makan
dengan lauk kuah pliek atau asam keueng. Sejak aku menetap
di kota ini, lidahku semakin terbiasa dengan masakan itu. Kini,
masakan itu resmi menjadi makanan favoritku.
Setelah makan malam bersama Ibu kos. Indah men?
ceritakan penyakit yang kualami. Awalnya dia tidak mau
bercerita. Namun, hatiku tak tenang. Aku terus memaksa.
Masya Allah, aku terkena SLE. Wajib melakukan pen?
cucian darah sekali dalam seminggu. Hancur seluruh
senyuman yang kukumpulkan sejak sore tadi. Hilang entah
ke mana. Penyakit itu tak pernah kupikirkan sebelumnya.
Aku tidak bisa membayangkan penyakit itu. Tidak bisa memi?
kirkan, dari mana mengambil uang untuk mencuci darah.
Haruskah aku mati? Haruskah aku mengalah dengan
penyakit ini? Dan haruskah cerita hidupku tertutup dengan
SLE? Penyakit yang membuat ginjalku tak berfungsi mak?
simal.
Kulihat wajah Indah terkulai lemas. Dara ini setia mene?
maniku selama aku berada di rumah sakit, bahkan sejak aku
mengenalnya. Kesetiaannya sungguh tak terhingga. Bagai
laut tak bertepi. Setia menemaniku selama ini.
Cinta Kala Perang
Aku semakin rapuh menatap wajah gadis ini. Semangatku
untuk bangkit dan mewujudkan cita-cita mulai memudar.
Rasanya tidak ada gunanya meraih cita-cita. Setiap detik SLE
itu selalu menggerogoti tubuh dan urat sarafku, jantungku
dan bagian organ tubuhku yang lain. Dari mana aku punya
uang untuk berobat ke rumah sakit?
"Huhhhh."
Angin bertiup lewat jendela. Menyibak gorden dengan
kasar. Malam kian pekat. Aku tak dapat memejamkan mata.
Rasanya bayang-bayang kematian itu sangat dekat. Tepat
di sampingku. Jiwaku tak tenteram. Kumohon pada Sang
Khalik, agar diberi kesempatan untuk menghirup udara esok
pagi. Terlalu sedikit amal yang kubawa mati. Aku belum siap
untuk menghadap dan mempertranggungjawabkan seluruh
perbuatanku di punggung bumi ini. Terlalu sedikit kebaikan
yang kuperbuat.
Kubasuh muka dan s alat tahajud. Kularutkan diri dengan
asma-Nya. Jam dinding berdentang tiga kali. Nyanyian jang?
krik menyanyat kepiluan malam. Membelah dan meng?
hancurkan sang raja hitam. Menganggu atau meng?hibur
orang-orang yang tengah terbuai lelap.
Mataku tetap belum bisa terpejam. Bayang-bayang SLE
itu semakin mendekat. Aku takut. Pikiranku menerawang
entah ke mana, tak tentu arah. Sesekali aku teringat pada
Topan, dan beberapa menit kemudian aku teringat akan
kebaikan Bang Ampon.
"Masihkah aku bisa melihat, atau, mendengar suara
mereka esok? Meski hanya sebatas teman, aku ingin men?
dengar suara mereka."
Cinta Kala Perang
Aku bertanya pada malam. Namun, malam hanya diam,
bisu. Bertanya pada angin, tak juga menemukan jawaban.
Masihkah aku bisa menghirup napas besok pagi?
Kucoba menenangkan diri. Langkah, rezeki, pertemuan
dan maut, semua telah diatur sejak aku dalam kandungan.
Aku telah ditakdirkan untuk merasakan SLE ini. Aku harus
siap menghadapinya. Aku harus siap, siap untuk mati.
Namun, aku tidak mau pasrah. Aku tidak mau mati, aku
harus berobat. Allah memberikan waktu untukku, agar
berobat dan terus berusaha untuk sembuh. Orang Aceh
menamsilkan, pat ujeun yang hana pirang, tidak ada hujan
yang tak berhenti. Aku harus sembuh. Seluruh penyakit ada
obatnya. Cepat atau lambat, pasti aku bisa sembuh.
Kubuka buku rekeningku, jumlahnya tak seberapa.
Mungkin hanya cukup untuk sebulan cuci darah. Kubuka map
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
warna merah dalam laci belajarku, tempat selama ini, aku
menyimpan seluruh surat dari kawan-kawanku. Kubaca satusatu. Berharap membaca akan menimbulkan rasa kantuk.
Kulihat, selembar surat terselip rapi dalam map itu. Tidak
biasanya aku melipat surat dengan rapi, bahkan kesannya
sangat khusus. Biasanya, aku memasukkan surat begitu saja.
Tanpa ada lipatan, apalagi lipatan yang rapi. Kubuka lipatanlipatan kertas itu. Ternyata, surat itu, dari Bu Keunchik. Surat
itu kuterima setahun yang lalu. Dalam surat itu, Bu Keuchik
mengatakan, sebagian hasil sewa sepetak kebun peninggalan
Emak telah ditabungnya.
"Sewaktu-waktu kamu perlu uang, sudah ada simpanan,"
katanya dalam surat yang mulai kusam itu.
Kepalaku berpikir keras. Aku menimbang sejenak, kemu?
dian mengambil selembar kertas. Kutulis, surat untuk Bu
Cinta Kala Perang
Keuchik, agar mengirimkan uang tabungan itu, dan sebagian
hasil sewa kebun untukku.
Ibu
Bu anakmu yang selama ini alfa memberi kabar. Tidak
ada niat sedikit pun di hati ini, untuk melupakan Ibu
dan keluarga di sana. Masyarakat dan kebun-kebun
serta sawah di sana. Setiap malam menyapa, aku selalu
teringat akan Ibu, merindukan Ibu dan desau angin di
Kaki Leuser yang menjulang. Menyaring udara untuk
kita.
Ibu, saat detak jantung ingin pulang, menjenguk
kampung. Selalu saja terkendala dengan penghematan
biaya. Biaya untuk pulang sangat mahal, Ibu.
Sehingga, saya putuskan untuk memendam rindu ini.
Rindu pada Bu Keunchik dan pada kampung kita yang
hijau.
Ibu, aku ingin menceritakan, Romi telah pergi selamalamanya. Doakan aku agar tegar dalam menghadapi
semua cobaan ini.
Maaf Ibu
Kedatangan surat ini bukan bermaksud membuat ibu
gelisah. Tidak. Saya baru saja mengalami cobaan dari
Allah. Saya terkena SLE, penyakit yang merusak fungsi
ginjal dan harus cuci darah sekali dalam seminggu.
Saya ingin, minta tolong pada Ibu, agar hasil kebun
dan hasil sewa lainnya dapat dikirimkan ke saya, untuk
Cinta Kala Perang
menutupi biaya berobat. Doakan saya Ibu, agar mampu
melewati ini. Doakan juga agar kuliah saya, segera selesai,
dan ilmu yang saya dapat diberkati oleh Allah. Amin.
Hormat, sujud saya buat Pak Keuchik dan masyarakat
kita di sana. Doakan, doakanlah saya, Ibu.
Sembah sujud ananda,
Cut Tari
Tanganku gemetar melipat surat itu. Kurapikan kembali
semua surat dan memasukkan ke dalam map. Besok, akan
kukirim surat ini. Dari kota ini ke kampung halamanku surat
itu akan sampai dalam tujuh hari. Ditambah tujuh hari lagi
dari kantor pos pusat di tengah kota ke kantor pos kecamatan
di dekat kampungku.
"Lima belas hari, surat itu akan sampai di tangan Bu
Keuchik, begitu juga sebaliknya," pikirku.
Subuh mulai menjemput. Terdengar azan dari meunasahmeunasah. Kubangunkan Indah untuk shalat Subuh. Kularut?
kan diri dan memohon pada Allah Swt., agar diberi kekuatan
untuk tegar menghadapi cobaan ini.
Indah sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi. Suara sendok
beradu dengan kuali terdengar berisik. Tak lama kemudian,
terdengar suara gorengan. Ah, Indah memang cekatan
menyiapkan aneka masakan.
Cinta Kala Perang
Pagi itu, tiga piring nasi goreng dan telur mata sapi
dihidangkan di meja kayu, yang kami jadikan sebagai meja
makan. Denyut-denyut kecil, mulai menyerang kepalaku.
Mungkin, karena tidak tidur semalaman. Indah, memberikan
sebutir vitamin penambah darah. Aku masih memijat-mijat
keningku.
"Minum ini, agar lebih fit," ujarnya.
Kepalaku di penuhi segudang masalah. Terutama penya?
kitku, dan kuliah yang mendekati puncak. Bendera kuliahku,
hampir sampai di ujung tiang. Aku tidak ingin bendera itu
turun dengan sendirinya. Aku ingin, bendera kuliahku sampai
ke puncak dan berkibar. Perkasa menerpa angin dan terik
mentari.
Semester ini, aku mengambil Kuliah Kerja Nyata, meng?
ab?di pada masyarakat di perkampungan paling ujung barat
kota. Salah satu daerah hitam yang paling parah mengalami
konflik.
Di daerah itu, setiap hari terdengar ledakan bom dan suara
rentetan senjata. Perlahan, Subuh menghilang. Pagi mulai
tersenyum, menawarkan kesegaran embun putih. Perlahan,
makin terang. Tidak ada niat sedikit pun untuk mandi pagi
itu. Semangatku masih labil, tidak menentu. Seakan aku
kehilangan fondasi yang kini dimakan rayap. Seakan aku akan
tumbang. Tak sanggup dan malas untuk menghadapi gelom?
bang kehidupan.
Setelah sarapan, kubuka buku agendaku. Hari ini aku
ke kampus dan mengambil jadwal keberangkatan KKN,
check up, ke rumah sakit dan masuk kantor. Serta sorenya,
mengajar Ampon kecil.
Cinta Kala Perang
"Bagaimana dengan anak itu? Sudah lama aku tidak
bertemu."
Tidak terasa, hampir satu bulan aku berada di rumah
sakit. Selama itu pula aku tak melakukan kegiatan apa pun.
Termasuk mengajar Ampon kecil. Aku rindu dengan senyum
dan kelucuannya.
Kukumpulkan semangat yang tersisa, bergegas ke kamar
mandi. Menguyur tubuh agar segar merasuk ke seluruh
pori-pori. Sejam kemudian, aku tiba kampus. Gedung
men?julang tinggi itu menyambut semua orang. Memamer??
kan keko?kohannya. Seakan memerikan tawa untuk seluruh
maha?siswa. Kantor jurusanku berada di lantai dua. Rasa??
nya aku tak sanggup berjalan ke atas. Kuseret kakiku, ber?
hen?ti sejenak. Memegangi pembatas tangga. Lalu berjalan
lagi.
Aku harus menang dari penyakit ini, pikirku. Kulewati
tangga melingkar. Napasku tidak teratur.
"Masuk Tari. Kamu kelihatan pucat hari ini." Senyum
ketua jurusanku menyapu semua letih yang kurasakan.
"Iya Bu," jawabku singkat.
Aku berbicara sejenak dengan staf jurusanku. Bu Ainol,
ketua jurusan menyarankan aku agar beristirahat penuh
di rumah. Aku juga meminta agar konsultasi skripsi bisa
dilakukan setiap kali aku bisa ke kampus. Kuceritakan penya?
kitku. Wanita paruh baya, dengan bibir sensual, jilbab besar
dan baju kurung ini menyetujui. Dia siap menerima kapan
pun aku bisa ke kampus.
"Terima kasih, Bu. Saya pamit."
Kulihat sinar matanya menyejukkan hati. Dosen yang
satu ini memang sangat berbeda. Nada bicaranya selalu
Cinta Kala Perang
menyentuh, menenangkan jiwa yang gersang. Penam?
pilannya penuh wibawa. Selalu terbalut dengan jilbab besar
dan baju longgar. Membuatnya semakin cantik dengan
cahaya wajahnya yang mengilap. Bersinar.
Kuhentikan becak menuju kantor di Jalan Merdeka Timur.
Meskipun kantor memberi izin cuti, aku tetap harus kerja.
Aku tidak ingin terkurung dengan penyakitku di kamar kos.
Penyakit yang setiap tarikan napas kupikirkan. Aku ingin
mengurangi penyakit itu dengan menyibukkan diri. Semakin
aku diam, penyakit itu semakin terasa. Sebaliknya, jika aku
sibuk, aku merasa segar, sehat dan tak ada yang sakit. Hanya
sesekali meringis menahan ngilu pada persendian tulang.
Kulawan penyakit ini.
Sampai di kantor, seperti biasa, office boy, kantor selalu
membukakan pintu bagi para tamu dan siapa pun yang akan
memasuki kantor itu.
"Sudah sembuh, Kak?" tegurnya. Senyum, Ismail, office
boy itu tampak tidak dibuat-buat.
"Ada surat tuh, Kak." Tangannya menunjuk ke meja,
tempat surat itu di letakkan.
"Terima kasih, Ismail." Aku tak pernah memanggilnya
dengan sapaan "Is" menyingkat namanya, seperti kawankawan lainnya. Aku sangat menghargai namanya. Singkat,
namun diambil dari nama salah satu Nabi. Sebagian teman
memanggilnya dengan sebutan Is. Sebagian lagi memang?
gilnya Mae. Warga lazim menyingkat nama. Jika Ismail maka
dipanggi Mae. Jika Abdul Muthalib dipanggil Leb atau Taleb.
Cinta Kala Perang
Kubuka, amplop itu perlahan. Tidak ada nama pengi?
rimnya. Perlahan, kusobek amplop, mengambil kertas di
dalamnya.
Buat Tari
di Tempat
Assalamualaikum
Semoga Allah selalu melindungi kita, dalam menja?
lankan aktivitas yang teramat berat. Rutinitas yang
mungkin bagi orang di negerimu hal biasa. Sejujurnya
ingin kusebut, diriku sebagai pecundang selama di
Serambi Mekkah-mu. Ah..begitulah orang-orang
menyebutnya. Pecundang, karena aku melaksanakan apa
pun perintah satuan. Meski terkadang nuraniku berbeda
pandang dengan satuan. Namun, bagi kami, perintah
harus dilaksanakan. Tak perlu membantah jika tak mau
dapat masalah.
Terkadang, kami ingin tersenyum melihat fenomena
daerahmu. Tersenyum, bukan karena kami dan aku
khususnya, ingin melecehkan warga di sana. Ah, betapa
bodohnya aku, menceritakan ini padamu. Tapi, jujur
sejak kecil aku tidak pernah diajarkan untuk berbohong
dan menipu diri
Sejak kecil aku di titip di Pesantren Gontor. Dari situ aku
belajar banyak tentang nilai-nilai Islam Meskipun aku
berusaha mengikuti perkembangan Zaman. Tapi, satu
pesan yang selalu dititip pada kami back to basic, Islam.
Cinta Kala Perang
Wo, mengapa aku menceritakan masa kecilku padamu.
Tapi, terserahlah, aku ingin menceritakan diriku
seluruhnya. Aku tidak ingin menipu diriku. Aku tidak
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingin sakit dengan rasa ini.
Sejak aku dipaksa meninggalkan daerahmu, karena
waktu tugas yang telah usai aku sangat kecewa. Kecewa,
mengapa kami harus mematuhi jalur Komando.
Komando pusat, telah menginstruksikan agar kami
pulang ke markas masing-masing. Tak boleh untuk
mengatakan tidak atau membantah. Semuanya harus
menjawab, ?Siap" dan" Iya". Kami hanya mengenal
patuh pada atasan. Tidak lebih dan tidak kurang.
Cerita lucu yang kubilang tadi adalah mengapa rakyat
hanya pasrah akan nasibnya? Mengapa mereka tidak
meminta, berdemo, seperti di kotaku, agar konflik
di negerimu tidak diselesaikan dengan senjata dan
bom, juga amis darah. Jika pun ada yang berdemo,
kuperhatikan jumlahnya sanggup dihitung jari tangan.
Sebagai manusia, kami juga takut akan bom dan
mesiu musuh. Dari referensi, sebelum kami berangkat
daerahmu, aku ketahui, masyarakatmu sangat santun.
Dan, kulihat di perkampungan juga seperti itu. Santun
dan sopan. Mungkin, perang yang membuat mereka
tak berani bersuara. Wajar saja. Dalam setiap perang,
masyarakatlah yang menjadi korban. Korban tanpa dosa
di negeri yang tak bertuan. Dalam perang, yang kutahu,
yang menjadi tuan hanyalah senjata. Peluru. Bom.
Cinta Kala Perang
Aku juga tahu, betapa heroiknya pahlawan-pahlawan
tempo dulu dari daerahmu itu. Mereka gagah melawan
Belanda. Jujur, aku masuk satuan pengamanan negara,
terinspirasi karena film-film budaya yang digarap
sutradara hebat negeri ini. Aku suka, membela negara
dan rakyat. Dalam perang, keduanya terkadang bertolak
belakang. Ada orang yang mengatasnamakan rakyat,
sehingga rakyat juga terkena imbas, dari perbuatannya.
Rakyat pula yang meringis pilu, saat peluru dan rumah
mereka dibakar. Aku tidak sanggup melihat kenyataan
itu. Tidak. Hatiku selalu menolak. Namun, karir
dan pekerjaanku di situ. Aku terus melaju, meskipun
terpaksa. Terpaksa, karena hati tidak terima.
Aku kehilangan jati diri. Heroisme yang kubanggakan
selama ini, entah pergi ke mana. Aku tidak tahu.
Entahlah, aku hanya pasrah pada Yang Di Atas akan
dosa-dosku. Namun, aku harus berterus terang. Jangan
tertawa, karena kejujuran bukan untuk ditertawakan.
Aku ingin jujur, sekali lagi, aku tidak ingin sakit karena
rasa ini.
Sejak aku melihatmu pertama kali, aku tersentuh.
Tersentuh, karena betapa besar perhatianmu terhadap
sesama. Meskipun aku tahu itu pekerjaanmu. Namun,
dari sinar mata, aku membaca, kamu melakukannya
dengan tulus. Setulus, saat kamu mendekap Cut Nyak
di bahumu, korban pemerkosaan di Langkahan itu. Aku
sadar bahwa kamu bersih.
Cinta Kala Perang
Tari,
Entah mengapa, sejak aku kecil, aku tidak pernah takut
pada apa pun. Aku dikenal pemberani di kesatuan. Tapi,
mengenalmu, aku tidak berani mengatakan apa pun.
Padahal aku aku, ingin mengatakannya. Mengatakan,
aku simpati padamu. Selalu memikirkanmu, sejak kita
bertemu, dan, selalu mencari tahu tentang dirimu.
Aku bohong, kalau aku ditugaskan kesatuan untuk
bertugas di rumah sakit. Aku memang dokter. Tapi,
dokter di rumah sakit militer daerahmu, juga masih
cukup untuk mengobati dan melayani pasien. Aku yang
meminta komando operasi, agar ditempatkan di rumah
sakit militer daerah selama kamu sakit. Tujuanku,
agar, aku bisa selalu melihatmu, memastikanmu sehat
dan tersenyum menyambut pagi. Sebenarnya aku iri
melihat Ampon dan Indah yang selalu bersamamu.
Saat aku di tarik ke kesatuan dan pulang melalui
Pelabuhan Krueng terus ke markas di Jakarta, ingin
rasanya aku meneleponmu. Meminta sebaris doa
darimu, agar kapal tidak tenggelam dan aku sampai di
tujuan. Aku tidak berani.
Jujur, dalam pikiranku, hanya kamu saat ini. Ingin
rasanya kembali ke Serambi, negerimu. Jika, ada
penugasan ke sana, mungkin aku prajurit yang men?
daftar pertama kali di kesatuan. Aku ingin ke negerimu
dan bertemu kamu lagi. Itu saja, tidak lebih dan tidak
kurang.
Cinta Kala Perang
Rasanya malam ini, bintang begitu terang. Aku gembira
sekali, karena semua yang kuceritakan, akhirnya ter?
kabulkan. Terserah apa pun penilaianmu padaku. Tapi,
yang jelas, aku sangat sangat mengharapkanmu
menjadi istriku. Ibu dari anak-anakku. Itu saja. Maaf,
bila mengganggu waktumu.
Wassalamualaikum
Topan Nuggraha
Jl. Imam Bonjol, RT 2, RW 6 Jakarta Selatan
Email. topan gmail.com
Di sudut hati aku harus mengakui, hatiku goyah usai mem?
baca surat itu. Tergugah. Kubalas surat itu melalui alamat
email Topan. Aku tidak sanggup lagi ke kantor pos. Aku juga
tidak ingin merepotkan orang lain.
Aku dapat memahami apa yang kamu rasakan, Topan.
Aku merasakan hal yang sama. Waktu yang akan
menjawab, semua cerita tentang kita.
Cut Tari.
BAB 15
Ibu Kota
Cinta Kala Perang
dara dingin menusuk pori ketika kumasuki ruang cuci
darah di Rumah Sakit Umum Cut Meutia. Tiga ranjang
tersusun rapi. Di samping ranjang sebuah mesin dengan tiga
selang melingkar tertata rapi. Ujung selang tersambung ke
dalam mesin. Ujung lainnya sepertinya akan ditusukkan ke
tubuh manusia. Dua berisi cairan putih berada di kaki depan
mesin. Mesin itu berukuran setengah meter dengan tinggi
sekitar satu meter.
"Silakan berbaring. Rileks saja, tidak akan sakit," kata
seorang perawat. Di dadanya tertulis nama Rita.
Aku berbaring mengikuti perintah perawat muda berkulit
putih dengan lipstik merah marun ini.
"Sebentar ya. Saya panggilkan dokternya," sambung
Rita.
Hening. Hanya terdengar deru mesin bercampur dengan
deru pendingin ruangan. Baru kali ini aku cuci darah. Ah,
entahlah. Sakit atau tidak sama saja. Aku harus melewatinya.
Hentakan tumit sepatu mendekat. Dokter muncul.
"Sudah siap? Santai saja, tak akan lama," katanya, lalu meng?
ambil dua selang. "Sudah dipastikan steril suster?" tanyanya.
"Sudah dokter. Sudah steril," jawab Rita singkat.
Dokter berjilbab ungu dengan kemeja warna senada itu
tersenyum. Memintaku rileks. "Siap? Mari kita mulai."
"Siap dokter," jawabku.
Cuci darah ini penting dilakukan agar ginjalku tetap
berfungsi. Ginjal yang sudah rusak karena penyakitku tak
mampu bekerja untuk membersihkan darah dan menyu?
plainya ke seluruh jaringan tubuh.
Dokter itu mengajak bicara. Menanyakan apakah aku
membawa buku atau alat musik agar lebih santai menjalani
Cinta Kala Perang
proses pencucian darah. Butuh waktu sekitar tiga jam
menajalani proses ini. Tiba-tiba, terasa ada yang menusuk
lenganku. Dua selang tadi tertanam dalam nadi di tangan
kananku.
"Sudah, proses cuci darah sedang dimulai. Nikmati saja,"
kata dokter sembari meninggalkan ruangan.
Kupejamkan mata, mencoba untuk tertidur. Instrumen
musik dari telepon genggamku memenuhi ruangan. Hanya
aku yang berbaring di kamar itu. Perawat tadi menunggu di
sudut ruangan. Sibuk memencet-mencet tombol telepon
genggamnya. Pelan-pelan, musik itu masuk ke otakku, mem?
buatku mengantuk dan tertidur.
Terasa suasana hening. Namun, tiba-tiba tanganku di?
gamit. Terasa ada yang menyentuh kulitku. Merapikan kain di
tubuhku. Aku menggeliat. Membuka kelopak mata. Senyum
Rita menyambut.
"Sudah selesai. Sekarang sudah bisa pulang," katanya.
Aku bergegas. Ternyata, cuci darah tak seseram yang
kubayangkan. Hanya butuh waktu tiga jam. Maka, proses
cuci darah pun selesai. Yang mencemaskan justru biaya yang
harus dikeluarkan. Uang tabunganku akan terkuras untuk
membayar biaya cuci darah ini. Sekali cuci darah butuh uang
sekitar Rp500.000.
Aku keluar ruang itu setelah mengucapkan terima kasih
pada Rita. Lalu bergegas menuju kampus.
Sekarang, kuliahku hampir selesai. Nilai Kuliah Kerja Nyata
(KKN) sangat memuaskan. Dan, kemarin, skripsiku disidang?
kan. Aku melaluinya dengan baik. Kegiatan les mulai jarang,
Ampon Kecil sudah semakin besar. Anak kecil itu disibukan
dengan kegiatan mengaji saat sore hari.
Cinta Kala Perang
Setiap Jumat pagi, aku masih menjalani rutinitas ke
Rumah Sakit Umum Cut Mutia. Membersihkan darah yang
terkena SLE kronis ini. Tabunganku kian hari, kian menipis.
Gajiku hampir semuanya untuk berobat dan cuci darah.
Aku bosan bertemu dokter, setiap Jumat. Namun, inilah
yang harus aku lakukan. Hidup harus berlanjut, karena
hidup harus mengalir dan berbagi dengan sesama manusia,
sebelum mataku tertutup untuk selamanya.
"Tari, kamu ditugaskan untuk mengikuti pelatihan resolusi
konflik di Jakarta. Tiket pesawat telah disiapkan. Ini tiket dan
undangannya."
Indah memberikan amplop putih padaku. Akhir-akhir
ini, kantorku, selalu memberi penugasan ringan untukku.
Mereka mengerti dengan kondisiku.
"Sekaligus bisa jalan-jalan, kan?" ujar Indah sambil
berjalan memasuki ruang kerjanya.
Aku senang melihat undangan itu. Paling tidak, aku bisa
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengistirahatkan pikiranku yang selama ini tersita oleh
penya?kit. Aku ingin fokus pada ilmu yang kuterima, apa pun
jenisnya. Termasuk pelatihan ini. Pelatihan ini, menjadi se?
buah rekreasi pikiran bagiku.
Sore ini, aku pamit pada Pak Yoga, dan Ampon Kecil.
Tujuanku, agar Ampon Kecil, tidak menunggu kehadiranku
selama aku di Jakarta.
Saat aku menginjakkan kaki ke rumah itu kulihat Bang
Ampon sibuk dengan laptop di depannya. Senyum Bu Yoga
menyambutku ramah, egitu juga Ampon Kecil.
Cinta Kala Perang
"Kak, jangan lupa oleh-oleh buat Dek Ampon ya."
tangannya menarik tanganku meminta persetujuan.
"Iya, nanti Kakak belikan."
"Hati-hati di jalan. Kabari kami kalau sudah sampai
Neuk," Bu Yoga yang selalu menyapaku dengan Nak, meng?
ingatkanku.
Lalu, Bu Yoga meminta Bang Ampon mengantarkanku
pulang. Dia bergegas, mematikan laptop lalu mengambil
kunci mobil. Bola matanya penuh makna. Menyesal rasanya
aku melihat bola mata tajam dan bening itu.
Besok, aku berangkat pukul 24.00 WIB, tengah malam
menuju Medan. Subuh tiba di Medan dan pukul 09.00 pagi
langsung ke Jakarta dengan maskapai penerbangan milik
pemerintah yang menjadi langganan kantorku.
Bang Ampon dan Indah mengantarkan keberangkatanku dari
terminal Bus Cunda. "Di lihat dulu, ada yang ketinggalan?"
Bang Ampon mengingatkan.
"Sudah, semuanya sudah beres."
"Hati-hati di jalan." Indah memelukku.
"Ya, jaga dirimu." Bang Ampon menambahkan. Lelaki
kekar dengan tinggi 175 cm ini mengingatkan cuaca tengah
buruk, memintaku untuk selalu waspada.
Akhir-akhir ini musibah penerbangan kerap terjadi. Sebu?
lan terakhir, lima pesawat jatuh dari langit negeri ini. Indah,
menginstruksikan aku agar sebelum terbang ke Jakarta harus
mengirimkan kabar untuknya.
Cinta Kala Perang
"Agar kami tidak khawatir, beu teugeuh-teugeuh bak
jalan. Hati-hati di jalan," ujarnya dengan logat khas bahasa
lokal daerah ini.
Mobil perlahan meninggalkan Indah dan Bang Ampon
serta kota migas itu. Entah mengapa, terkadang aku iri
melihat Indah, berdiri di samping Bang Ampon. Entahlah,
aku sendiri tidak mengerti, mengapa harus iri melihat
mereka?
Detik-detik berikutnya, tembang Melly Goeslaw dengan
suara lembutnya, menemani perjalananku. Aku teringat
beberapa kliping koran di kantor, tahun 2000-2004 tidak ada
bus yang lalu lalang. Jalan-jalan seakan mati dan mencekam.
Tidak ada jerit mesin mobil yang menghubungkan Aceh
dan Sumatra Utara. Semuanya sepi. Hanya kidung jangkrik
yang terdengar menangis. Kian malam, kian pilu. Meratapi,
kenapa setiap malam, tidak ada mobil yang melintas. Jika
pun ada, pasti akan terjadi pertumpahan darah karena
perang sering meletus di sepanjang jalan.
Nyanyian jangkrik malam itu membuatku pilu. Merinding
karena, sejak damai terjadi di negeri ini, perampokkan ber??
senjata terjadi di mana-mana. Daerah persawahan, di
Peureulak satu di antara sekian banyak daerah yang sering
terjadi perampokan. Kemarin, koran lokal membuat head?
line, "Perampokan Mobil, Satu Tewas, Dua luka-luka."
Bergidik bulu kudukku membayangkan peristiwa sadis
itu dan aku seolah-olah berada di tengah kawanan peram?
pok.
Aku memejamkan mata untuk menghilangkan rasa takut.
Semuanya kuserahkan pada Yang Di Atas. Manusia hanya
meminta, Allah yang menentukan segalanya.
Cinta Kala Perang
Melly Goeslaw terus memperdengarkan suara emasnya,
membuai penumpang yang mulai melalang buana ke
alam maya. Alam mimpi yang memesona, menawarkan
sejuta keindahan. Hanya satu atau dua orang terdengar
bercengkerama.
Burung besi itu mendarat di Bandara Sukarno Hatta. Bebe?
rapa orang terlihat memegang papan yang bertuliskan nama
orang lain.
Kuperhatikan satu per satu, karena aku dijemput oleh
panitia pelaksana kegiatan itu. Kulihat, seorang laki-laki tua,
melirik ke kiri dan kanan. Di tangannya, karton berwarna
ungu, tertulis namaku.
Kuhampiri bapak itu. Hari pertama pelatihan berjalan
lancar. Kutekadkan hati untuk melihat Topan Nuggraha.
Sudah setahun, lelaki yang berhasil menarik simpatiku itu
tidak memberi kabar. Dalam hati, aku berharap, kelak entah
kapan, aku bisa mendampingi hidupnya.
Mungkin, dia tidak memberi kabar, karena harus ber?
hemat untuk menabung dan mempersiapkan perni?kahan?
nya. Aku tahu, gaji militer di negeri ini sangat kecil.
Selama acara aku banyak mendapat pengalaman ten?
tang bagaimana menangani konflik antarumat beragama,
kon?flik bersenjata, konflik antarsuku dan lain sebagainya.
Aku bertemu dengan seluruh aktivis cinta perdamaian
dari selu?ruh negeri ini. Mereka sering kali meminta aku
ber?cerita tentang penanganan konflik yang kami lakukan.
Bebe?rapa aktivis bahkan mendaulatku untuk berbagi cerita
Cinta Kala Perang
di dalam forum itu. Aku memaparkan konsep-konsep
penguatan masyarakat sipil di daerahku dan memberikan
pendam?pingan pada masyarakat di ujung Sumatra itu.
Usai acara, aku bulatkan tekad untuk menuju alamat
rumah yang pernah diberikan Topan. Aku sulit untuk mem?
biasakan diri dengan gaya hidup masyarakat di ibu kota
negara ini. Mereka sibuk dengan kegiatan sendiri, tidak
menghiraukan orang lain. Tidak ada senyum dan salam
seperti di daerahku.
Dengan menumpang TAXI aku menuju rumah Topan.
Hatiku bergemuruh melihat rumah itu. Rumah sederhana,
tipe 36 namun ditata rapi dilengkapi dengan tanaman hias
di taman yang luas. Indah sekali. Beberapa anggrek dan
mawar dari taman itu, seakan tersenyum ke arahku. Arloji di
tanganku menunjukkan angka 19.00 WIB.
Tak seharusnya aku mendatangi rumah lelaki itu. Ah, tapi
sekadar silaturahmi mungkin tak ada salahnya. Aku sedikit
ragu. Kulirik jam tangan. Aku masih punya sedikit waktu
sebelum jadwal keberangkatanku malam ini, di penerbangan
terakhir.
"Kok sepi, padahal baru jam segini?" Aku ragu membuka
pintu gerbang. Tidak ada tanda-tanda ada kehidupan di
dalam rumah itu.
Bismillah, kulangkahkan kaki. Kuketuk pintu dan kuucap?
kan salam. Sunyi, lama baru terdengar ada jawaban dari
dalam rumah.
"Silakan masuk, Tante," ujar bocah berusia kira-kira lima
tahun itu. Gadis mungil itu, cantik dan sopan. Wajahnya
mirip Topan. Ah, mungkin, adik bungsunya, ujarku dalam
hati.
Cinta Kala Perang
"Siapa, Sella?"
Suara Topan terdengar dari dalam rumah. Aku ingat
betul suara itu. Aku kenal betul. Tidak salah lagi, Topan, pasti
sedang tidak dinas malam ini. Aku bicara sendiri dalam hati.
Sejurus kemudian, Topan muncul. Aku tidak bisa ber?
napas, termenung di depan pintu. Diam tak bergerak sedikit
pun. Topan, masih seperti yang dulu, kekar, tidak ada yang
berubah, sedikit pun. Hanya sekarang dia terlihat lebih kurus
dibanding setahun lalu.
"Tari?"
Topan tergagap, gadis kecil tadi menarik tanganku.
"Tante, ayo masuk. Nanti, kelamaan buka pintu. Nyamuknyamuk di luar pada masuk, Tante." Anak cerdas itu meng?
ingatkanku untuk masuk.
Topan mempersilakan aku duduk, di sofa warna ungu itu.
Sella, si gadis kecil duduk di pangkuannya.
"Siapa yang datang, Pa?"
Terdengar suara dari dalam kamar. Suara perempuan.
Jantungku berdebar kencang. Suara itu, menyebutkan kata
"Pa" di ujung kalimatnya. Siapa yang dia maksud dengan
"Pa"? Topan
"Tamu dari Aceh," suaranya setengah berteriak.
Dadaku semakin bergemuruk, berguncang kuat. Wanita
itu pun keluar dengan seulas senyum, seakan menghujamku.
"Eh, ada tamu. Kenalkan, Ratih Widyaningsih," wanita itu
menjulurkan tangannya. Aku gugup bukan kepalang.
"Tari, Cut Tari," kusambut tangannya.
"Mari Sella, sama Mama. Kita buat minum untuk Tante."
"Nggak mau, Adek mau sama Papa," anak itu merengek
sambil memeluk tangan Topan.
Cinta Kala Perang
"Ya sudah, tapi ingat. Jangan naa kal," Wanita itu me?
nuju dapur. Mendengar percakapan itu, membuatku lemah.
Mataku tak bisa menahan butir benih perlahan mengalir di
pipi. Aku tidak sanggup menahannya. Aku berharap Topan
masih sendiri. Bukan berstatus ayah dan suami dari wanita
lain.
"Jadi... kamu?" suaraku terputus. Aku tidak sanggup
duduk lebih lama di rumah itu. Tubuhku lemah, hatiku
bergemuruh kencang.
Kulangkahkan kaki dan berlari sekuat tenaga. Aku tidak
menghiraukan suara Topan yang mencoba menahanku.
Kuhentikan TAXI dan langsung menuju bandara.
"Tari, aku bisa jelaskan semuanya. Aku mencintaimu.
Ceritanya panjang, jangan pergi!" teriak Topan. TAXI terus
berjalan. Aku tak ingin menoleh ke belakang. Melihat Topan
mengejar TAXI yang kutumpangi.
Mengapa ini terjadi padaku? Di saat hatiku mulai tumbuh
rasa itu, mengapa dia menipuku? Apakah aku ditakdirkan
selalu mengalami cobaan? Kapan bahagia itu datang?
Mengapa?
Aku menangis sesenggukkan. Kukeluarkan semua air
mata. Rasanya, esok, aku tidak akan memiliki air mata lagi.
BAB 16
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pulang
Cinta Kala Perang
e mana tamunya Pa?"
"Sudah pulang," Topan menjawab sekenanya. Wajah?
nya murung, tak seperti biasanya.
"Siapa wanita itu?" Ratih mulai curiga. Matanya tajam
menatap wajah Topan, dari ujung kaki hingga kepala. Dia
perhatikan detail perubahan raut wajah dan gerak-gerik sang
suami.
"Teee... teman sewaktu bertugas di Aceh." Topan kikuk.
Dia berdiri dari kursi tamu, menghadap ke jendela depan
rumah. Matanya datar menatap ke jalanan, menikmati lalu
lalang kendaraan.
Pria berjenggot itu tak berani memandang istrinya.
Dia berupaya bersikap senetral mungkin, namun tak bisa.
Hatinya gundah setelah kedatangan Tari. Tak pernah terlintas
di benak Topan untuk menyakiti Tari. Hatinya tak bisa
berbohong. Topan mencintai istri dan Tari. Dua wanita hebat,
cantik dan memiliki daya tarik tersendiri.
"Cukup! Jangan berbohong! Jujurlah, aku tidak akan
marah."
Suara Ratih mulai meninggi. Wajahnya memerah, napas?
nya tersengal-sengal menahan amarah.
Topan tak langsung menjawab. Ditariknya napas dalamdalam. Dia tak ingin menceritakan hal yang sebenarnya,
namun dia juga tak mau terlalu lama berdusta. Menyimpan
rahasia. Seolah dia hanya mencintai seorang wanita yang kini
menjadi istrinya. Dia menceritakan rasa cintanya pada Tari.
Wajahnya disembunyikan ke lutut, suaranya serak.
Perlahan dia menceritakan hubungannya dengan Tari. Tak
ada janji akan menikah dengan Tari. Tak pula banyak kesem?
patan untuk memadu kasih di arena perang. Namun, cinta
Cinta Kala Perang
butuh kejujuran. Dia mencintai Tari sepenuh jiwa. Meski tak
saling jumpa, namun jiwa menyatukan keduanya.
Jauh di relung hati, Topan tidak ingin menyakiti Ratih
yang selama ini menemani hidupnya. Namun, dia harus jujur.
Jujur terkadang memang menyakitkan. Kelopak sayu itu
mulai merah. Buliran putih, jatuh perlahan di pipi Ratih.
"Maafkan aku, Ma?"
Ratih tak bersuara. Hening agak lama. Suaranya hilang di
tenggorokan, ditelan tangis yang mulai terdengar. Hatinya
sedih bagai disayat sembilu.
"Pergilah, kejar dia. Aku dapat merasakan, apa yang dia
rasakan," nada kalimat itu putus-putus, hilang ditelan suara
tangis. Topan, ragu untuk bergerak dari duduknya.
"Pergilah, aku aku merelakanmu," Ratih menunduk,
"jangan ragu. Mantapkan hati," katanya sambil menyeka air
mata.
Malam terus bergulir. Hujan mulai menyiram bumi.
Rintik yang kian deras itu seakan memahami suasana hati
Topan. Ditekannya, pedal gas mobil semakin dalam. Topan
tidak memperhitungkan jalan yang licin. Saat itu, yang ada di
pikiran?nya, hanyalah Tari. Mengejar Tari dan menjelaskan apa
yang terjadi.
Mobil dengan kecepatan tinggi itu menyalip mobil dan
sepeda motor di depannya. Naas tak bisa dielakkan, saat
Topan melewati mobil kijang di depannya, dari arah ber?
lawanan muncul truk besar.
Brak!
Truk mengempaskan mobil sedan biru tua miliknya.
Brak!! Tabrakan tak dapat dielakkan. Topan terjungkal
keluar dari dalam mobil. Mobil itu terbalik, tubunya penuh
Cinta Kala Perang
luka. Orang-orang mengerumuni lokasi kecelakaan. Darah
segar terus mengalir, dari mulutku. Perlahan sangat per?
lahan, dari mulutnya terdengar lafaz-lafaz Al-Qur?an. Sese?
kali, nama Tari keluar dari mulutnya. Tabrakan itu meng?
akibatkan kemacetan.
Seorang warga berinisiatif mengambil telepon genggam
dari celananya. Lelaki tua itu mencari nama Tari, untuk
meng????hubungi wanita yang disebut-sebut oleh korban kece?
la?kaan itu.
"Ketemu! Ini dia."
Lelaki tua itu bicara sendiri. Ditekannya tanda panggilan
untuk menghubungi nomor Tari. Sementara Topan meringis
menahan pedih tak terperi.
Kumasuki bandara megah dengan tubuh lunglai. Semangatku
hilang seketika. Kupaksa kaki menuju loket check in di ban?
dara termegah kedua di negeri ini.
Wahai bungong ceudah hana ban, tamse nyak dara
yang cantek rupa. Diteka bana dijak peuayang .
Uroe ngon malam bungong digoda
(Wahai bunga cantik tiada tara, seperti perawan
cantik rupawan. Datang penyakit menyakiti.
Siang dan malam bunga digoda)
Nada dering telepon genggamku berbunyi nyaring. Lagu itu
sengaja kuatur untuk nada panggilan masuk. Tak kuhiraukan
Cinta Kala Perang
panggilan itu. Jiwaku galau. Malam ini aku tak ingin di?
ganggu. Ingin sendiri dalam sunyi.
" Diangkat dulu, Mbak."
Petugas mengingatkanku. Terpaksa kuangkat panggilan
itu. Aku tidak ingin sedihku diketahui orang lain, karena sedih
bukan untuk dipamerkan.
"Ada apa lagi?" suaraku langsung menunggu melihat
nama Topan tertera di layar.
"Maaf, Anda Nyonya Tari? Pemilik telepon genggam ini
mengalami kecelakaan. Sekarang, tepat berada di Gerbang
Tol Jagorawi. Segeralah ke mari," ujar suara di seberang.
Aku menutup mulutku. Topan kecelakaan. Kusimpan luka
yang baru saja menganga di jiwa. Aku harus kembali, Topan
membutuhkan pertolonganku. Aku harus kembali.
"Tiketnya?" suara petugas itu memanggilku, namun tak
kuhiraukan. Aku berlari menuju pintu keluar bandara.
"Cepat ya Pak!" kataku pada sopir TAXI. Gerimis masih
memeluk Jakarta. Beberapa ruas jalan, tampak banjir seba?
tas mata kaki. Pikiranku tak menentu, malam kian mem?
belenggu. Kelabu.
Kulihat masyarakat berkerumun di pinggir jalan tol.
Tampak, dua mobil, hancur dan terpental ke luar ruas jalan.
Kubayar TAXI tanpa melihat argometer. Kusibak kerumunan
orang-orang yang mengelilingi tubuh Topan yang terbujur
kaku. Napasnya melemah. Darah terus mengalir, dari hidung,
telinga dan kepalanya.
"Topan," aku menjarit, tak sanggup menahan tanggis.
" Aku titip Sel la, maafkan aku."
"Tidak, kamu harus bertahan. Harus ya, kamu pasti
sembuh," ucapku tak karuan.
Cinta Kala Perang
Aku membawa Topan ke rumah sakit terdekat. Beberapa
saksi mata kejadian ikut menemaniku. Korban lainnya dalam
kecelakaan itu hanya mengalami luka ringan.
Ambulans berjalan. Sirinenya menjerit sekencang-ken?
cang?nya. Aku berusaha untuk memberi semangat hidup pada
Topan.
"Topan, kamu harus selamat. Kamu, akan sembuh.
Tenang?lah, minta pertolongan pada Allah. Ayo berdoalah,
Allah pasti membantu."
"Ta ri. Maa. afkan, aa ku," bibir Topan lalu meng?
gumamkan syahadat.
Aku menjerit sekuat tenaga. Topan telah pergi. Seluruh
persendianku seakan lumpuh total. Aku tidak bisa berbuat
apa-apa. Air mataku mengalir deras, bagai aliran sungai.
Topan mengembuskan napas terakhirnya di depanku. Tepat
di depan pintu unit gawat darurat (UGD) rumah sakit. Semua
perawat merapikan tubuhnya. Membersihkan darah dan
mendorongnya ke kamar mayat. Topan telah pergi selamalamanya.
Sementara itu, di Rumah Topan Ratih pingsan. Sella, menjerit
memanggil tetangga. Anak kecil itu menangis sekuat tenaga.
Tetangga datang satu per satu. Mengangkat tubuh Ratih yang
tersungkur di lantai.
Ratih memegang dadanya. "Sakit sekali," ujarnya me?
ringis.
Beberapa tetangga mengangkat tubuhnya ke tempat tidur.
Sella, tak henti-hentinya menangis. Perlahan mata Ratih
Cinta Kala Perang
tertutup rapat. Rupanya kejadian yang baru saja ia alami tak
sanggup ditopang oleh tubuhnya. Jantungnya terlalu lemah.
Kulangkahkan kaki menuju rumah Topan. Aku ingin
mem?beri tahu Ratih, Topan telah pergi. Pergi meninggalkan
orang-orang yang sangat dicintainya. Aku terkejut melihat
kerumunan orang di rumah itu.
Aku termangu di pintu melihat tubuh yang terbujur kaku
ditutup kain di ruang tengah. Ratih? Apakah Ratih juga ?
Langit seakan meledak di atasku. Aku tak dapat menyem?
bunyikan kesedihanku. Topan dan Ratih kembali ke sisi-Nya
dalam waktu yang hampir bersamaan.
Setelah melalui hari-hari yang berat di Jakarta, aku
memutuskan segera kembali ke Aceh. Tubuh dan jiwaku
lelah. Kesehatanku merosot drastis. Uang bekalku juga sudah
habis. Tiba di Aceh, aku ternyata langsung dirawat di rumah
sakit.
Keluar dari rumah sakit, kutenangkan diri beberapa hari
di rumah kos. Beberapa teman kampus menjengukku.
Setelah pulih, aku mengurus banyak hal di kampus.
Ternyata ketua jurusanku memanggilku.
"Saya sudah baca hasil akademikmu di kampus. Sangat
memuaskan. Hari ini, saya ajak kamu bergabung di kampus.
Menjadi asisten dosen. Kamu punya peluang untuk men?
dapatkan beasiswa S2."
Tawaran itu tak pernah kuduga sebelumnya. Aku ter?
diam, air mata menitik. Allah Mahasuci, Maha Mengetahui.
Kuterima tawaran itu. Allah aku tak bisa berkata-kata, Engkau
telah memberikan yang terbaik buatku.
Cinta Kala Perang
Satu siang, Bang Ampon, aku dan Indah janjian makan
bersama. Suasana hening di warung lesehan di pinggir jalan
negara itu. Hanya kami bertiga. Denting-deting gitar meme?
nuhi warung.
Aku duduk persis di depan Bang Ampon. Indah di sam?
pingku. Lama kami terdiam. Sibuk dengan makanan di depan
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kami. Setelah menyeruput jus jeruk, kami duduk santai.
Berbincang ringan.
Bang Ampon agak kikuk, seakan ada hal yang ingin
dibicarakannya. "Tari, sudah lama aku ingin mengatakannya.
Tapi, aku tak bisa," kata Bang Ampon memecah kesunyian.
Indah senyum-senyum sendiri.
"Mau ngomong apa? tanyaku heran.
Tak pernah kulihat Bang Ampon seserius ini. Dia meng?
geser duduknya, agak mendekat. Sesekali menggaruk kepala?
nya. Lalu hening agak lama.
"Aku takut, kamu menolaknya. Selama ini, aku selalu
mencari tahu tentangmu melalui Indah. Indah pula yang
selalu setia memberi informasi," kata Bang Ampon.
"Maksudnya apa? Tari tak paham maksud pembicaraan
Bang Ampon," tanyaku lagi. Aku menoleh ke arah Indah yang
tersenyum sejak tadi.
"Tari, kamu harus tahu, pulsaku sering habis untuk mem?
beri tahu keadaanmu pada Bang Ampon. Terimalah cinta?
nya," ucapnya sambil melirik genit.
Aku menatap Bang Ampon tak mengerti, "Bagaimana
dengan penyakitku?"
"Aku menerimamu tuh, apa adanya. Jangan khawatir, aku
sangat serius," ucap Bang Ampon mantap.
Cinta Kala Perang
Aku masih terdiam, belum menemukan kalimat untuk
menjawab tawaran Bang Ampon. Apakah aku sudah siap
menikah? Apakah aku menerimanya menjadi suamiku?
"Diam tanda setuju," celetuk Indah.
Aku menunduk, lalu menatap Bang Ampon salah tingkah.
Wajahku terasa menghangat, pasti sekarang merah padam.
Bang Ampon senyum-senyum melihat reaksiku.
Kumantapkan hati menerima tawaran Bang Ampon. Kuberi??
tahu Bu Keuchik dan Pak Keuchik akan niatku untuk meni?
kah. Mereka setuju dan bersedia hadir di saat ijab kabul
penikahanku.
Pak Yoga melamarku di depan Bu Keuchik, Pak Keuchik
serta ibu kosku. Acara pernikahan berlangsung sederhana.
Beberapa sastrawan ternama di negeri ini turut hadir. Meski
sederhana, pesta pernikahanku berlangsung khidmat.
Saat malam tiba, saat tamu mulai pulang satu-satu. Kini
surga itu telah datang. Surga kebahagiaan. Allah, terima
kasih atas apa yang telah Kau berikan. Lelaki yang baik kini
telah menjadi suamiku. Surga itu perlahan mendekat dan
membawaku terbang ke alam kebahagiaan.
TAMAT
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh Wiro Sableng 151 Sang Pembunuh
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama