Ceritasilat Novel Online

Cinta Masa Lalu 1

Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz Bagian 1



Cinta

Masa Lalu

Nima Mumtaz

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

PENERBIT PT ELEX MEDIA KOMPUTINDO

Cinta Masa Lalu

Nima Mumtaz

Penerbit PT Elex Media Komputindo

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang

Diterbitkan pertama kali oleh tahun 2014 oleh

Penerbit PT Elex Media Komputindo

Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta

188140194

ISBN: 978-602-02-3101-3

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan

menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa

izin tertulis dari Penerbit.

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab Percetakan

Jakarta, aku pulang

Kulangkahkah kaki pelan di tangga pesawat.

Berlama-lama, menikmati angin yang berembus

pelan, angin Jakarta. Sengaja kumenunggu penumpang lain turun lebih dulu, agar tak perlu berdesakdesakan dengan yang lain. Setelah melewati pintu

pemeriksaan di bandara, aku bergegas menuju pintu

keluar. Inilah enaknya bepergian hanya menggunakan tas ransel, bisa keluar tanpa menunggu bagasi.

Huaaaahhh kuembuskan napas kencang.

Rasanya melegakan sekali. Jakarta ... I?m back.

Setelah lima atau enam tahun. Entahlah, aku malas

menghitungnya. Banyak alasan yang membuatku

malas mengingatnya.

Menyusuri bandara yang ramai sedikit melelahkan, tapi perjalanan dari Jogja yang pendek menyisakan banyak tenaga untukku. Tak banyak hal-hal

yang berubah, Jakarta tetap seperti dulu. Padat,

macet, panas, tapi rasanya sangat menyenangkan,

begitu familier. Tak ada hal yang lebih menyenangkan selain pulang kampung bukan?

Nima Mumtaz

Jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi,

saat taksi yang kutumpangi keluar tol dalam kota.

Aku memang sengaja naik penerbangan pagi agar

tak terlalu siang sampai di rumah. Dengan senyum

bodoh aku membuka gadgetku. Inginnya, sih, ngerjain orang rumah dengan telepon mendadak gitu

tapi segera kuurungkan, aku takut tawaku akan meledak di telepon nantinya.

Taksi yang membawaku menuju rumah pun

terseok-seok mengantre di jalan raya yang selalu

penuh sesak. Dulu mungkin aku akan kesal setengah mati dengan keadaan ini, tapi sekarang? Apa

sajalah, Pak, yang penting aku sampai di rumah.

Perlahan ketika taksi memasuki perumahan

tempatku tinggal, jantungku berdebar keras. Heiii

... kenapa ini, bukankah aku akan pulang ke rumahku sendiri? Heran kenapa rasanya aneh, seperti akan

menghadapi sesuatu yang besar. Aku ingat saat pementasan drama di SMA dulu, persis seperti ini.

Deg-degan gak jelas.

Tapi kira-kira Mama sama Papa kaget, gak, ya

melihat aku pulang. Trus kabarnya Juna yang super

duper jahil itu gimana, ya? Apakah dia tetep playboy dan narsis gak ketulungan. Kakakku Mbak

Sierra dan suaminya Mas Ezra, juga anaknya si kecil

Ariella. Iihh, kangen banget sama mereka.

Niatnya sih surprise buat mereka. Abis kangen

banget, sih. Mereka hanya mengunjungiku dua kali

setahun ke Jogja, pada saat aku libur semester. Itu

pun dengan personel seadanya. Kadang Juna gak

Cinta Masa Lalu

ikut, atau Mbak Era gak ikut atau bahkan Papa

yang absen. Jadinya aku gak pernah bener-bener

ngerasain namanya kumpul sama keluarga. Padahal

mengingat aku anak bontot di keluarga ini harusnya

kan aku yang paling banyak diperhatiin dan dimanja, tul, gak ??

"Mamaaaa ... aku pulaaaaaannnnggggg!" teriakku sambil membuka pintu pagar yang berat.

Duuuh, kenapa juga, sih, Papa gak ganti pintu

pagar yang udah dari tahun jebot ini. Perasaan pintu

pagar ini dari jaman aku masih kecil banget, deh.

Nah sekarang aku udah segede ini masih aja konsisten dengan pintu pagar jadul. Ganti, kek, yang

lebih modern dikit gitu. Ah, kepulanganku kali ini

bukan untuk mengurusi pintu pagar. Aku kangen

banget sama Mama, Papa, Juna, rumah.

Kulihat tak banyak hal yang berubah dari rumahku. Rumah tempat aku dilahirkan, bertingkat dua.

Masih dengan cat biru mudanya, masih ada juga

kursi teras berwarna putih yang tampak sudah setua

usia rumahku. Juga bunga-bunga yang pastinya dirawat dengan sayang oleh mama. Ahhh Mama

aku berlari menuju rumah bersamaan dengan pintu

depan yang terbuka lebar menunjukkan seraut wajah yang kurindukan.

"Mama...!" kutubruk badannya yang masih terlihat syok.

Kami berpelukan di tangga pendek teras. Mama

betapa aku kangen banget sama Mama. Kuhirup

aroma wangi tubuhnya. "Mama."

Nima Mumtaz

"Vio ... Viona ini beneran kamu? Kok gak ngasih

kabar kalo mau dateng? Ya, ampuun, Vio?" Mama

menjauhkan tubuhku sambil meraba wajahku dan

kembali memelukku erat. Ahh ... pasti Mama kangen banget sama aku.

"Hehehehe kan mau ngasih surprise buat

semua!" ujarku nyengir tak terkendali. Tapi tak

urung mataku berkaca-kaca juga. Sudah sangat

lama.

"Papa sama Juna ke mana, Ma? Kok kayanya

sepi?" tanyaku sambil menggandeng tangan Mama

memasuki rumah.

"Ah ... iiituu ... ada di belakang semua. Mmhhh

sebaiknya kamu istirahat dulu di kamar, ya, sayang. Pasti capek banget, kan. Nanti Mama masakin buat kamu, deh, kamu mau makan apa?"

Mama bicara tanpa henti. Kurasakan tangannya

dingin dalam genggamanku dan ini mengherankan.

Ada apa? Mama tampak gugup saat menyeretku

menuju tangga lantai dua ke tempat kamarku dulu,

seperti menghindarkanku dari sesuatu. Tapi apa?

"Gak, ah, aku mau ketemu Papa sama Juna dulu,

istirahatnya kan bisa nanti," kataku sambil melangkahkan kaki ke halaman belakang rumahku.

"Junaaaaa ... gua pulaaaanggg ... ARJUNA

NARENDRA RUSLAAANNN Woooiii!!"

"Vio ... ehhh, Vio ... Junanya lagi ... eh ... lagi."

Tergagap Mama seperti kesulitan bicara.

"Apaan sih, Maaa Juna kenapa?"

Cinta Masa Lalu

Mama kenapa, sih, makin membuatku curiga

aja. "Kenapa sih, Ma, kok kayanya Mama gak

seneng banget aku balik," ujarku sewot berbalik

menghadap Mama lagi.

"Enggak, maksud Mama emang kamu gak

capek? Ketemu Juna sama Papa kan bisa nanti."

Mama mengelak dan tampak tersenyum dipaksa.

"Eh, gimana kuliahmu di sana? Itu rumah kontrakanmu masih yang dulu kan, ya?" Mama sangat

gugup. Ada apa, sih??

"Maammm ak."

"Omaa ... kok lama banget, siihh, siapa tamunya

Oma??"

Tiba-tiba sebentuk suara bening sukses menghentikan rentetan kalimat yang rencananya akan

kulontarkan pada mamaku tersayang.

Aku berbalik dan membeku, tubuhku dingin. Sesosok tubuh mungil, dengan rambut panjangnya

yang ikal besar besar, muncul dari balik pintu yang

menuju halaman belakang. Pipinya chubby, mata

bulat indahnya menatapku tanpa kedip. Mata itu

... oh tidak ... mata itu.... Aku tau mata yang sangat mirip dengan mata itu. Apakah dia apakah

dia?

"Daiva...."

Suara maskulin yang sungguh sangat jauh berbeda dengan suara papa, Juna dan Mas Ezra menyahut

dari belakang gadis cilik itu.

Nima Mumtaz

Tanpa menoleh pun aku tau siapa dia. Suara itu,

orang itu, yang pastinya akan kubenci seumur

hidupku, penyebab semua mimpi burukku. Suara

itu mimpi burukku!!!

Darahku rasanya mendidih. Kenapa dia ada di

sini!! Kenapa dia masih berani menampakkan muka

busuknya di sini!! Ingin rasanya kutinju manusia

brengsek itu!!

Semua diam, dan tak ada yang berusaha menjelaskan ataupun meluruskan situasi. Kemarahan sudah

sampai di ubun-ubunku, siap meledak dalam hitungan detik.

Perhatianku teralih pada tangan kecil yang menarik tangan laki-laki yang berdiri di belakangnya,

dan lelaki itu?aku tak sudi menyebut namanya?

menunduk dan mendekatkan kepalanya ke arah gadis kecil itu. Walaupun tak bersuara, aku bisa melihat gerakan bibirnya bertanya pada lelaki itu.

"Mommy?????"

Dan untuk waktu yang lama sangat lama ...

dia?lelaki itu?mengangguk.

Duniaku rasanya berhenti berputar.

Love at first sight?

Mei 2005

Kuhentikan mobil di depan sebuah rumah bercat

biru muda yang tampak ramai itu. Hhhhhhh

kuhela napas bosan? sengaja?sumpah deh aku

tuh sengaja banget. Biar cewek ini tau banget kalau aku bosen setengah mati sama dia, apa-apaan

ini!! Masa aku mau diajak ke tempat keluarganya

sih, apa coba tujuannya?? Ngenalin ke keluarganya

gitu, kalau aku pacar dia?? Ciihhh ... asal tau saja,

nona, aku gak pernah niat jadiin kamu pacarku.

Kalau udah bosen, pasti aku tinggalin seperti semua

cewek-cewek lain.

Eh, tapi tunggu ... nyicipin aja belum, nih, body

bohay. Dia sih sok jual mahal, sok alim, sok gak

mau. Padahal sumpah, deh, aku ngiler banget ngeliat betapa seksinya perempuan satu ini. Untuk sementara mungkin aku memang harus puas sama tubuh Melly ... Merry ... Sherry..?? Ahhhh, whatever.

Nima Mumtaz

Rasanya memang tak perlu mengingat perempuanperempuan yang sering kupakai memuaskan libido.

"Mas Dave ayo, ah," rajuk dia manja

"Ck ... apaan, sih, Ghea, kan bukan aku yang

minta diajak ke rumah kamu," kataku kesal.

Pertama kali bertemu Ghea, dua minggu yang

lalu di pub milik Andro temanku. Pub itu tempat

aku biasa berkumpul dengan teman-temanku, menikmati musik, minuman, dan perempuan tentu

saja. Dia ada di sana, seolah mengumpankan dirinya pada singa lapar dengan hanya memakai tank

top ketat?tanpa bra?dan hot pants yang benerbenar hot. Aku sudah setengah gila melihat kaki

jenjangnya yang berbungkus boot merah. Belumbelum aku membayangkan kaki jenjangnya yang

masih menggunakan boot itu memeluk pinggangku erat. Ahhhh membayangkannya saja sudah

membuatku setengah keras.

Tentu saja aku mengincarnya, dan memang

malam itu kami berakhir dengan cumbuan panas
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di mobilku. Memang rencana awalku gagal untuk

membawanya ke kamar hotel. Tapi paling tidak,

area dadanya sudah jadi milikku. Namun yang

membuatku kesal setengah mati adalah sikapnya

yang sok alim, sok gak mau berbuat lebih jauh dari

itu. Tapi dari liukan tubuhnya, desahan napasnya,

dan erangan liar yang keluar dari tenggorokannya,

aku yakin dia sudah terbiasa dengan sesi panas kami

di jok mobil sebelum denganku. Aku tau kau tak

selugu itu, Nona.

Cinta Masa Lalu

"Iya ... tapi kan aku mau kenalin kamu ke

Mama-Papa, sekalian nih kan ada acara keluarga.

Ini rumah tante aku, semua keluarga besar lagi

ngumpul. Katanya kamu mau serius sama aku,

makanya kuajak kenalan sama mereka semua.

Setelah itu kan kita gampang kalo mau ngomongin

hal-hal lain yang lebih jauh. Ya ya...?? Lagian,

Mas, kalau Mama Papa udah ngasih restu, kan kita

bisa kalau mau ngapa-ngapain." Ghea masih saja

membujukku manja, sambil kedip-kedip gak jelas.

Mungkin tujuannya biar tampak seksi, tapi sumpah

malah pingin nyolok matanya. Tapi tunggu!! Kalau

udah ada restu bisa ngapa-ngapain gitu kan kata

Ghea tadi?? Kalau begitu, ya sudahlah, kuturuti saja

perempuan satu ini.

Akhirnya dengan langkah malas kuikuti juga

Ghea memasuki halaman rumah itu. Seketika terdengar suara-suara ramai teriakan anak-anak kecil

meningkahi siang terik ini.

Aku terganggu, sumpah. Gak biasanya aku

menghadapi keramaian seperti ini. Hellooo gue

David Raditya Arkhan, harus ber-haha-hihi gak

jelas dengan emak-emak, bapak-bapak, nenek-nenek, dan anak-anak kecil berisik. Oohh, please

ini bukan level gua, man.

"Ghea ... heii ... kata mama kamu, kamu gak

jadi dateng, sayang?" Seorang perempuan seumuran Mami mungkin?atau lebih muda?tersenyum

menghampiri kami dan memeluk erat Ghea dan

diakhiri dengan mengelus rambut pendek Ghea

Nima Mumtaz

pelan. Awas aja kalau tante-tante ini melakukan hal

yang sama padaku. Aduuhh seleraku kan gak tuatua amat!!

"Eehh ... iya nih, Tante, tadinya sih gitu, karena

banyak kerjaan di kantor. Sabtu begini disuruh lembur sama bos. Tapi ternyata udah selesai jam segini.

Eh, iya, Tante, kenalin dulu, dong, ini Mas Dave,

pacar Ghea."

Aku menaikkan alisku heran, dari dimensi waktu yang mana aku jadian ama anak ini, sembarangan banget nih bocah. Tapi tak apalah. Ikutin aja.

Bukannya dia tadi udah ngasih kode?

"David, Tante."

"Wahhhh ... Ghea udah bawa calon, kenalin Mas

Dave, saya Rosita tantenya Ghea. Panggil aja Tante

Rosie. Aduuhh pinter banget, sih Ghe nyari calon.

Gagah, ganteng begini. Pasti mama kamu seneng

banget punya calon mantu begini. Mas Dave tinggal di mana?" Tante Rosita sepertinya punya napas

cukup panjang untuk mengucapkan kalimat tanpa

jeda.

Kupasang senyum semanis mungkin, jujur ya

aku udah biasa kok dipuji kayak gitu, ?gagah, tampan, ganteng, baik, kaya, keren, seksi? tapi plissss,

deh, jangan pernah pake kata unyu-unyu. Sumpah

geli rasanya.

"Saya di daerah selatan, Tante." Aku berusaha

bersopan santun.

"Ooo di selatan. Eh iya, ini jam segini baru

dateng udah pada makan, belum? Sana gih, Ghe,

Cinta Masa Lalu

ajak mas Dave-nya makan, sekalian bareng Vio,

Juna, sama Diaz di belakang," Tante Rosita mengelus bahu Ghea pelan.

"Iya, Tan. Eh, Mama di mana ya, Tan?" tanya

Ghea.

"Kayanya tadi di ruang tengah masih ngobrol

sama nenek, mau ketemu mama-papamu dulu?"

Tante Rosita tersenyum padaku?lah kok padaku,

sih?

"Iya nih, makasih ya tante cantik, yuk, Mas."

Ghea pun menyeretku ke arah ruangan yang disebut Tante Rosita. Maunya, sih, nolak ajakan si

Ghea, cuma nanti kalau bikin keributan kan berabe

juga jadinya.

"Maaammm ... Paappp ... Oma...." Ghea menghampiri segerombolan orang tua aneh (eh???) yang

tengah mengobrol di sofa. Seorang ibu-ibu berambut sama pendeknya dengan Ghea, dengan dandanan super menor duduk di sebelah seorang bapak

berkemeja putih yang tampak asyik ngobrol dengan

seorang ibu-ibu yang rambutnya telah seluruhnya

memutih.

"Ghea, baru dateng, sayang?" sapa ibu menor

tadi yang aku perkirakan mamanya Ghea?soalnya

gak mungkin mamanya ibu yang rambutnya putih

itu, kan?

"Mam, Pap, Oma, kenalin nih, pacar Ghea,

Mas Dave." Ghea menyeretku makin mendekat

pada mereka. Dan dengan usaha sekuat mungkin

aku menyalami mereka sambil berusaha menunjuk11

Nima Mumtaz

kan kalau aku dulu pernah sekolah?menunjukkan

kesopanan maksudku?dan duduk di kursi di hadapan mereka.

"Jadi nak Dave ini sudah berapa lama berhubungan sama Ghea?" tembak mamanya langsung.

Mamanya melihatku penuh penilaian. Aku tak

suka tatapannya.

"Sebulanan gitu, deh, Mam," sambar Ghea.

Eh? Otomatis kutolehkan kepalaku ke arah

Ghea. Kok dia yang jawab?

"Umurnya berapa nak Dave," sambung si nenek

tua.

"Dua sembilan jalan. Iya kan, Mas?" Ghea kembali menjawab sambil menegaskan kembali padaku.

"Mas Dave ini putranya pak Salim Arkhan lho,

pap. Papa tau kan Arkhan group yang itu?" Ghea

tersenyum puas pada orangtuanya.

Seketika raut wajah perempuan yang tadi dikenalkan Ghea sebagai mamanya berubah total. Aku

nyaris memutar mataku melihat ekspresinya yang

seperti itu. Kegembiraannya sama sekali tak ditutupinya. Mungkin dia baru tau kalau anaknya berhubungan dengan pewaris tunggal Arkhan group

yang ITU.

"Jadi kapan kalian menikah?" si Om berkemeja

putih?yang pasti papanya Ghea?ikut bertanya.

"Yah itu kan tergantung kapan Mas Dave ngelamar Ghea, Pap."

Gila nih orang sekeluarga gak ada basa-basinya,

hobinya langsung tembak di tempat. Beneran aku

bisa vertigo kalau kelamaan di sini.

Cinta Masa Lalu

Aku malas menjawab, hanya memberikan senyum kecut yang benar-benar kecut kurasa. Setelah

dari sini aku akhiri saja semuanya. Males banget

sih sama cewek yang ketauan banget cuma duit

aja di otaknya. Ironisnya emaknya sepaham dan

sependapat tentang itu. Gue juga bisa dapet lusinan

kalau yang begini, mah.

Setelah berkenalan dengan mama papanya, neneknya, budhenya, omnya dan entah siapa yang aku

gak jelas juntrungan ikatan saudaranya, di sinilah,

di halaman belakang yang penuh dengan bungabunga norak dan ditata dengan selera kampungan,

aku bergabung dengan adik dan sepupu Ghea yang

masih bocah. Gimana enggak bocah, adeknya baru

lulus SMA dan sepupunya baru semester dua kuliah.

Ghea memang bercerita kalau di keluarga besarnya dari pihak ibu, dia gak punya saudara seumuran, kalau gak beberapa tahun di atasnya, yah

jauh di bawahnya.

Dengan malas kuikuti percakapan gak mutu

mereka, mataku sudah hampir menutup ketika

tatapanku tertuju pada perempuan muda yang sedang berjalan ke arah kami. Dia cantik dengan

caranya sendiri, manis mungkin, tapi ... ah, cantik

aja deh. Rambutnya yang panjang dikucir tinggi,

lesung pipinya tercetak jelas di kedua sisi pipinya.

Senyumnya, ahh senyumnya mengirimkan pesan

jutaan watt ke selangkanganku. Dia bahkan tak

Nima Mumtaz

memakai baju seksi. Tapi gairahku otomatis bangkit

melihatnya.

Matanya yang lebar dan besar tampak sangat

cantik di wajah lonjongnya. Hidungnya mancung,

pas sekali untuk komposisi wajahnya. Pandanganku

teralihkan lagi ke bibirnya, bibir merah mudanya ...

ahhhh rasanya aku bisa membayangkan sejuta hal

tentang bibir itu.

Tanpa sadar aku telah menahan napas, debaran

jantungku berpacu kencang tak seperti yang kumau.

Ada kehangatan menjalar di tengkukku, merayap

perlahan menuruni punggungku dan berdiam di

perutku. Aliran darah yang deras melewati nadiku

dan melesat kencang mengirimkan ribuan rasa dan

pertanda. Ada rasa familier di bawah sana. Aku baru

sadar. Aku sangat terangsang.

Heiiii kenapa ini, aku kan gak kenal dia, dan

sejak kapan aku begitu perhatian pada detail wajah

seorang gadis? Dia bahkan hanya mengenakan celana training panjang dan T-shirt putih bergambar

Mickey mouse.

"Eh, Mbak Ghe, baru dateng, Mbak?" si cewek

berlesung pipi itu menyapa Ghea. Dia menghampiri kami dan bercipika-cipiki pada Ghea. Nyaris

aku mengerang mencium aroma tubuhnya yang begitu dekat.

"Iya, Vi, yah maklumlah pegawai kelas rendah

kayak mbak kan harus menyesuaikan jadwal pak

bos." Ghea melirikku manja. "Mas, ini kenalin

Cinta Masa Lalu

sepupuku yang lain, Viona. Anaknya Tante Rosie

juga, adeknya Juna," sambung Ghea

"David," kujabat erat tangannya, Jadi namanya

Viona.

"Viona, Om."

Glekkk!!!!

Om? Gua dipanggil Om. Siallll?kaca, mana

kaca??gua gak setua itu, kan?

Dan sudah begitu saja.

Dengan santainya dia menghampiri Juna dan

Diaz dan duduk di antara mereka berdua sambil

menyantap makanannya yang porsinya naudzubilah. Terus terang aku belum pernah ngeliat cewek

dengan nafsu makan abnormal kaya dia. Tapi entah

kenapa perhatianku malah makin tertuju padanya.

Aku yang semula tak tertarik dengan urusan

anak-anak kecil ini mencoba menarik perhatiannya,
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masuk dalam obrolan mereka. Dan entah dari planet mana cewek satu ini, dia bahkan tak melirikku,

dia malah asyik makan sambil memperlihatkan entah apa di ponselnya pada Diaz dan mereka tertawa

bersama. Sialll!! Huh ... bahkan semua orang pun

mengakui ketampanan dan pesonaku itu mencapai

angka 11 untuk skor 1-10. Bagaimana mungkin

gadis ingusan ini bahkan tak memandangku sama

sekali.

Eh, tunggu ... tapi sejak kapan sih aku tertarik

pada gadis ingusan, menurut Ghea gadis ini bahkan

baru mau lulus SMA. Damn!!! Apakah aku berubah

jadi pedofil sekarang?

Nima Mumtaz

"Jadi Diaz dan Vio baru lulus? Rencananya

mau lanjut ke mana?" tanyaku mencoba berbasabasi. Setelah entah berapa kali topik obrolan yang

kusodorkan mentah dengan suksesnya di hadapan

mereka.

"Kalo Diaz rencananya mau ke Harapan bangsa,

Mas, ngambil ekonomi. Tapi yah masih nunggu

pengumuman dari sekolah sih." Diaz memandangku polos

Gw gak nanya lu bocah " Ooohh ... kalo Vio,"

Kupandang wajah manis yang masih asik mengunyah di depanku. Dan dia hanya mengangkat bahunya sodara-sodara.

Sebenarnya aku sudah terlalu marah. Marah

karena rasa tertarikku yang tak wajar. Marah karena

ternyata aku kalah oleh gairah yang benar-benar butuh dipuaskan. Marah karena dia bahkan tak tertarik padaku, tak melirikku, tak menginginkanku

seperti aku menginginkan dia!

Brengseeekkk Gua harus dapetin nih cewek.

Apa pun taruhannya. Yahh mungkin dua sekaligus? Kutersenyum sambil melirik Ghea dan Vio bergantian.

Dia yang datang

dari masa lalu

"NGAPAIN

DIA DI SINI ... DASAR

SETAAAN BENCONG MUKA DUA ...

ANJING KAMPUNG BUDUKAN BRENGSEEEKKK!!!"

Sudah setengah jam lebih kuberteriak bagai

orang gila di kamarku. Menendang apa pun yang

bisa kutendang, melempar apa pun yang bisa

kulempar. Dan ini dia barang terakhir yang tersisa,

kulemparkan vas bunga kristal?yang Mama beli di

Bali ketika aku lulus SMP?ke tembok dan hanya

melotot menyaksikan serpihan-serpihannya menyebar ke lantai kamarku. Napasku terengah-engah,

dan aku yakin tampangku pasti sangat kacau.

"Vio sabar sayang," Mama mengelus bahuku

lembut.

"MAMA BELAIN DIA, BAJINGAN GOT

YANG NGERUSAK MASA DEPANKU, MA?"

Nima Mumtaz

Aku berteriak ke arah Mama.

"Astagfirullahaladzimm ... Viona, Mama cuma

minta kamu sabar, nak, sabar," kata Mama dengan

suara bergetar.

Napasku masih memburu, kuhempaskan

tubuhku ke kasur dan memejamkan mataku.

Hahhhhh rasanya masih berat sekali, sakit sekali

mengingat semuanya. Dadaku masih terasa sesak, sakit....? Tahun-tahun yang sudah berlalu, kesempatan yang hilang, apa yang terenggut paksa

dariku, cintaku yang telah pergi ... semuanya membayang lagi, tepat di depan mata.

AAAAAAARRRGGGHHHHHHHHH......

Kudengar isakan pelan Mama. Mama menangis? Kenapa? Sedih? Malu? Kesal? Dengar aku

teriak? Kami sama-sama terdiam walaupun tangan

Mama masih mengusap rambutku pelan. Aku yakin teriakanku terdengar sampai ke rumah tetangga,

tapi apa peduliku? Sebodo amat.

Aku gak nyangka enam tahun menghabiskan ratusan sesi dengan Tante Meiske?psikiaterku?harus sia-sia karena aku sama sekali gak bisa ngontrol

emosi saat berhadapan lagi dengan siluman mesum

itu.

Lagian apa sih yang dia lakuin di sini ? Ngapain

juga dia deketin keluargaku lagi?? Dasar Setan!!

Tok ... tok ... tok.

?Ketukan di pintu terasa mengganggu.

Cinta Masa Lalu

"Mam, Iva nangis, tuh, sedih banget kayanya.

Udah dibujukin dari tadi, tapi gak mempan juga,"

Juna melangkahkan kaki ke kamarku dan duduk

santai di sampingku.

"Iva mau apa Juna??" Mama masih saja mengusap rambutku

"Mas Dave ngajak Iva pulang, tapi Ivanya gak

mau. Papa juga bingung mau gimana. Anaknya

mojok di deket tangga. Coba, deh, Mama yang ke

sana."

Whattt??? Mas?? Sejak kapan Juna manggil setan

itu dengan sebutan mas? Apa lagi sekarang yang diumpetin dari aku!!

"Ya udah mama keluar bujukin Daiva dulu,

mama ke bawah ya, nak, boleh, kan??" Mama

mengecup dahiku singkat. Aku pun tak mengiyakan

atau menolak permintaan mama. Lagian udah ada

Juna di sini, paling gak, ada yang nemenin aku.

"Vio ... Vio ... jauh-jauh bertapa di Jogja bukannya

makin feminin kaya putri keraton malah udah kaya

preman blok M, lu." Dengan santainya Juna menoyor kepalaku kasar.

"Apaan, siih, maksud lu apa sih, J, kenapa lu

jadi gini? Lu inget kan siapa dia, tau kan siapa dia??

Lu sekarang mihak si BAJINGAN BUSUK YANG

AMORAL ITU?" Suaraku meninggi. Aku gak habis

pikir, ada apa, sih, dengan orang-orang di rumah

ini. Papa lagi, bukannya ke kamarku, kangen-kangenan, malah entah apa yang dilakuin bareng si

buduk brengsek itu.

Nima Mumtaz

"Ck Vio, mulut lu kayak gak disekolahin aja.

Heh, kampus lu itu kampus paling mahal, loh, di

Jogja, apa mereka gak ngajarin tatakrama di sana?

Bisa-bisanya lu tuh masih suka bahasa kebon binatang kaya gitu, nyebut, neng!" Juna ikut merebahkan tubuhnya di sampingku.

"Kampret lu, kesambet setan mana sih J, sok

nasehatin pula." Aku masih saja sewot padanya.

Kubalikkan badan memunggunginya.

Kami terdiam lama sekali, entah apa yang Juna

pikirin. Tapi aku sendiri sedang berusaha mengontrol emosiku agar tak meledak lagi.

"Hhhhaaahhh" Juna mengembuskan napasnya lelah.

"Gua cuma mencoba berdamai dengan semuanya, Vi, dengan masa lalu lo, dengan masalah lo,

dan dengan keadaan." Aku bingung dengan kata

kata Juna. Tak mengerti, perlahan kuberbalik pada

punggungku menghadapnya. Kupandangi dia, apa

sih maksudnya anak ini.

"Oke, lu memang terluka, sakit, dan entah berapa banyak kosakata yang bisa gambarin keadaan lu.

Tapi itu sudah terjadi Vi, kita gak bisa ngubah apa

pun, kan? Kita hanya bisa memperbaikinya, mencoba menjadikannya lebih baik." Juna balik menatapku.

"Masa lalu biarlah tetap menjadi milik masa

lalu, apa pun yang kita perbuat sekarang gak akan

bisa memengaruhinya. Kita hanya bisa memperbai20

Cinta Masa Lalu

kinya karena akan sangat besar efeknya buat masa

depan kita nanti."

Kata-katanya mirip kalimat yang sering diucapkan Tante Meiske,?

"Dave mungkin brengsek, bajingan, amoral, bejat, bolehlah lu sebut apa pun lagi tentang dia dan

semua kesialan yang diakibatkannya ke lu, tapi itu

dulu, Viona. Sekarang tolong liat sisi lainnya, masih ada Daiva yang butuh perhatian yang utuh, keluarga yang sayang sama dia, yang melengkapi apa

yang gak bisa dia rasain. Itu yang membuat gua bisa

berdamai dengan keadaan."

Juna mengakhiri penjelasannya dan kami pun

terdiam. Tapi jujur saja aku masih terlalu murka

dengan semuanya. Apalagi melihat mereka berdua

merebut perhatian yang semestinya hanya untukku.

?Daiva ... jadi namanya Daiva???

Bayangan gadis kecil dengan rambutnya yang

ikal besar-besar, mata beningnya yang bulat, wajah

polosnya yang seperti selalu berharap kembali menyerbu otakku. Dia cantik.

"Vio..." Mama masuk kembali ke kamarku.

"Viona, anak Mama yang cantik, eemm ... bisa

gak Mama minta sesuatu ke kamu, sayang?" Mama

menatapku dengan khawatir.

"Apa, Ma?" Tanpa menoleh kujawab saja Mama

asal.

"Mmm itu ... Iva masih nangis aja, Dave udah

bujukin dia pulang, tapi dianya gak mau. Bahkan

Papa pun gak bisa ngebujuk mereka berdua." Mama

Nima Mumtaz

menghela napas pelan. "Sayang, boleh, ya, Iva sama

Dave nginep di sini, mama nanti bilangin mereka

biar gak deket-deket kamu deh, ya sayang??" Mama

menatapku penuh pengharapan.

Aku terdiam, Juna bahkan tak melihat ke arahku. Dia sepertinya sibuk dengan lamunannya. Dia

menginap di sini? Harus membayangkan seatap

dengannya saja membuatku seperti ingin makan

orang! Tapi seraut wajah mungil itu kembali

mendominasi isi kepalaku.

"Terserah," jawabku pendek

"Makasih, ya, sayang." Mama tersenyum dan

mengembuskan napas lega padaku.

"Tapi Vio beneran, ya, Ma, gak mau liat mereka

selama Vio di sini."

Mama hanya tersenyum sedih padaku. Kemudian mengangguk.

Entah untuk berapa lama waktu yang sangat panjang kami terdiam, Juna mengakhirinya dengan

bertanya tentang skripsiku yang sebenarnya ingin

kulupakan sejenak.

"Minggu depan gua sidang, doain ya, J."

Akhirnya seharian itu kuhabiskan dengan melepas kangen dengan Juna, kakakku?dan aku gak

sudi manggil dia mas atau kak?yang hanya beda

setahun denganku itu.

Cinta Masa Lalu

"Mbak Sierra kok gak ke sini, sih, J, bukannya tadi

elu udah nelpon dia?" Kami sedang duduk di ayunan kembar di belakang rumah menikmati malam

yang mulai turun. Ayunan ini masih saja ada, padahal umurnya sudah lebih dari 15 tahun. Dan ayunan ini sengaja dibikin dua?kembar?mengingat

umurku dan Juna yang gak beda jauh dan selalu

berebut apa pun di masa kecil kami.

"Ariella lagi demam, katanya sih kalau besok

pagi udah baikan dia ke sini, lagian gak ada yang

nganter, Vi, Mas Ezra lagi tugas ke Sorong."

Sierra, kakak sulungku yang berprofesi sebagai

dokter anak memang tinggal di Bogor, lumayan

jauh dari rumah kami. Dan dia dengan kesibukannya memang jarang berkunjung. Sedang suaminya,

Mas Ezra, kerja di perusahaan pengeboran minyak.

Walaupun bukan bagian lapangan, tapi tetap saja

Mas Ezra sering ditugaskan ke luar daerah.

Tapi aku udah kangen banget sama Ariella keponakanku yang cantik dan lucu itu. Tanpa sadar
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku tersenyum, dan itu pun tak lepas dari perhatian

Juna.

"Ngapa lu senyum-senyum gak jelas gitu?" Juna

menatapku heran

"Gak papa, inget Ariella aja." Aku masih saja

belum bisa melepaskan senyum tolol dari wajahku.

"Ariella udah gede sekarang, kelas tiga SD. Dia

sering nanyain ke Mbak Sierra kapan dia bisa punya

adek. Untung aja ada baby D. Jadi Mbak Era gak

kewalahan jawab tuntutan dia."

Nima Mumtaz

Mbak Era memang sudah gak bisa punya anak

lagi setelah rahimnya diangkat karena komplikasi

saat persalinan Ariella.

"Baby D?" aku mengernyit bingung. Siapa baby

"Ck baby D. DAIVA. Anak lu, Vio," Juna

menatapku sebal. Dan seolah tak memperhatikan

air mukaku yang berubah tak suka, dia malah makin menjadi.

"Namanya Daiva Saraswati Arkhan, dia udah

di TK B, harusnya tahun ini masuk SD, Maret

kemaren dia genap enam tahun. Coba lu liat pas

dia ulang tahun kemaren Vi, pasti gemes banget.

Dia cantik pake gaun putih. Tema pestanya princess

gitu, deh. Ada tuh foto-fotonya kalau lu mau liat."

Tanpa henti Juna terus mengoceh di depanku.

"Kenapa sih J lu ceritain ini ke gue?" Tanpa sadar

aku sudah berdiri dari posisiku semula.

"Biar lu nyadar kalau lu tuh punya anak yang

cantik, pinter, lucu, dan setengah mati kangen sama

elu." Juna menanggapi santai.

"TRUS, TUJUAN LU?" Suaraku pun meninggi

menantang Juna.

"Vio, dia cuma anak kecil tanpa dosa yang kebetulan terjebak di situasi yang gak menguntungkan." Juna masih saja berbicara seperti tanpa emosi.

Datar.

"Kalau dia bisa milih, dia tentu akan milih dilahirkan dalam keluarga yang utuh. Dengan kedua

orangtua yang sayang sama dia, bukan situasi kaya

Cinta Masa Lalu

gini. Coba pikirin itu aja Vi. Buka mata, buka hati.

Coba kalau lu ada di posisi Daiva, lu pasti gak mau

kan disalahin atas ketidakbahagiaan nyokap lu."

Juna menatap mataku tajam, langsung ke dalamnya, seolah dia bisa membaca seluruh isi kepalaku.

Lama kami terdiam, Juna malah asik bermain

ayunan sendiri. Sedang aku hanya duduk di ayunanku dan melihat dia yang berayun pelan sambil

bersenandung lirih.

Ini memang sungguh tak adil. Bagi dia, bagiku

juga. Tapi ... ahhh aku masih bingung bagaimana

harus bersikap.

"Yuk, ah makan, laper, nih." Tiba-tiba Juna

berdiri dan menggandengku. Berdua kami beriringan menuju rumah saat telingaku sayup-sayup

mendengar suara bening merdu anak kecil dari jendela kamar yang baru saja kami lewati. Otomatis

langkahku terhenti....

One and one I love my mommy

Two and two I love my daddy

Three and three I love Uncle J

One two and three I love every body

Entah kenapa hatiku terasa sangat pedih mendengarnya.

Daiva

Tentang kamu

Mei 2005

Alunan musik yang menghentak menyambutku

di pub ini, baru jam sepuluh malam, tapi suasana

tempat ini sudah sedemikian ramainya. Dance

floor lumayan penuh dengan liukan tubuh-tubuh

pengunjung yang mengikuti musik arahan DJ.

Pub ini rupanya cukup populer di kalangan

anak muda ibukota, konsep pub dance yang diusung

Andro memang sedang digemari sekarang ini. Andro

cukup jeli menangkap minat pasar. Untuk ukuran

pemula dia sudah cukup sukses mengelola tempat

ini. Belum juga setahun tempat ini berdiri, sudah

dua cabang lagi dibukanya di Jogja dan Semarang.

Aku membayangkan kalau aku membuat tempat semacam ini juga, mungkin di Bandung atau

di luar pulau sekalian. Hah, yang pastinya mami

akan menyiapkan pisau daging untuk mencincang

halus diriku. Mami dan papi memang cukup bermoral untuk urusan beginian. Pasti mereka akan

Cinta Masa Lalu

menuduhku berbisnis esek esek?dan itu tepat

sekali?secara terselubung. Yaahh, memang gak

sepenuh nya salah, sih, aku kan dulu selalu tertidur

saat pelajaran Pendidikan Moral Pancasila pas SD,

jadi wajar saja kalau moralku tak semulia Tuan dan

Nyonya Arkhan yang mengukuhkan diri sebagai

orangtua biologisku. Aku saja kadang masih heran,

kok bisa ya aku punya orangtua sebaik dan sealim

mereka. Mengingat tingkahku yang berlawanan

dengan mereka. Pemikiran tentang ini membuat

aku terkekeh geli saat menuju konter bartender.

"Lagi seneng, Mas, kok ketawa-ketawa sendiri?"

Rian menyapa sambil mengelap gelas di tangan

nya dan tersenyum manis ke arahku. Bartender

Andro yang satu ini memang cukup ?cantik? untuk

ukuran laki-laki. Pantas saja si Andro kebat-kebit

tiap berdekatan dengan dia. Yup, bener banget,

selera Andro memang bukan dengan makhluk

feminin. Tapi dengan sesama kami. Emansipasi.

Begitu selalu yang didengungkan Andro bila kutanya alasannya. Bahh, emansipasi macam apa

itu! Untung saja dia gak suka aku?secara aku sangat tampan dan menawan serta memesona?atau

menulariku dengan kebiasaannya ini.

"Yang lain mana, Ri?" balasku tanpa menjawab

pertanyaan Rian tadi.

"Udah naik, Mas, tapi masih ada satu, tuh, ketinggalan," Rian mengarahkan ujung dagunya ke

ujung konter.

Nima Mumtaz

Aku melongo ke arah yang ditunjuk Rian. Di ujung

konter seorang laki-laki dan perempuan tak memedulikan sekitarnya tengah asyik menempel ke tembok. Sekali lihat aku bisa memastikan apa yang terjadi, lokasi yang sedikit nyempil tertutup pot besar

bunga hidup, penerangan yang remang-remang,

gerak tubuh yang sinkron, mulut bertemu mulut,

dan jeansnya yang sedikit melorot. Gila, segitu gak

tahannyakah sampai-sampai Julian gak sempet cari

kamar?

"Pantes lu betah berdiri di sini, Ri."

"Hehehehehe lumayan, Mas, live attraction.

Gratis lagi," Rian nyengir padaku.

"Ati-ati lho, ntar kalo lu pingin bingung lagi. Ok

deh, gua ke atas ya, ntar kalau udah selesai suruh

Julian langsung naek."

"Siip, Mas, eh mas minum apa?"

"Vodkatini. Pake zaitun. Banyakin esnya,"

teriakku seraya berlari menaiki tangga ke atas. Di

lantai dua memang ada ruang VIP yang disediakan

Andro untuk kami di pub ini. Semuanya bisa kami

lakukan di sini, kecuali ngeseks. Untuk urusan satu

itu, Andro melarang keras kami memakai ruangan

ini.

"Hai Bro tumben telat, ke mana aja?" Andro

menempelkan tinjunya ke arah tinjuku?salam khusus kami?dan mengajakku duduk di sofa cokelat

yang sudah dihuni Alex dan Broto (jangan ketawa

ya denger namanya, karena ini sudah kulakukan

dari pertama kali kukenal si Broto?gila hare gene

Cinta Masa Lalu

tahun 2005 masih ada nama Broto Subroto?gak

kreatif banget bapaknya, yak?).

"Biasalah, tuan Salim Arkhan maunya kan yang

serba perfect kalo nyangkut kerjaan, jadi gua masih ketahan di sana, untung aja bisa kabur. Kalo gak

kayanya semaleman gua dipasung di kantor," gerutuku sambil melepas jas dan dasi dan meletakkannya di bahu sofa.

"Hahhahahaa gila, lu, sama bokap sendiri

kaya gitu. Ntar juga semuanya jadi punya lu kan,

bro," Alex menunjukku santai dengan botol birnya.

"Iya, tapi kan nunggu bokap pensiun dulu, dan

itu masih lama kayanya. Nah sementara itu kan gua

pinginnya menikmati indahnya dunia," jawabku

santai, namun pandanganku ke arah Andro yang

tak berkedip melihat Rian yang mengantar minumanku.

"Thanks ya, Ri."

"Sama-sama. Ada lagi, Mas?"

"Gak itu aja." Dan Rian pun segera berlalu.

"Udahlah, kenapa gak lu tembak aja sih bro?"

kataku pada Andro yang masih menatap kosong ke

arah pintu yang tertutup setelah Rian keluar.

"Itu sama aja ngumumin ke dunia kalau gua gay.

Nyokap bisa jantungan Dave, belum lagi bokap bisa

stroke mendadak. Udah gitu Rian gak mau, gua bisa

keilangan bartender handal di sini." Andro merebahkan dirinya ke punggung sofa dan memejamkan

mata. Aku hanya bisa menatapnya prihatin. Aku

Nima Mumtaz

rasa dia suka banget sama Rian, dia gak mau hanya

punya hubungan sesaat dengan bartendernya itu.

Di antara kami berempat Andro memang yang

paling penuh perhitungan dalam bertindak, meski

itu mengorbankan dirinya sendiri. Dia juga yang

selalu menjadi ?tempat pulang? saat kami semua ada

dalam masalah. Singkat kata Andro itu seperti kakak

tertua buat kami. Dan sekarang melihat dia seperti

itu mau tak mau akupun ikut sedih, bagaimanapun

dia teman baikku.

"Eh, ke mana Julian kok gak nongol dari tadi?"

Broto mengalihkan perhatian.

"Ada tuh di bawah lagi ngosongin stok sperma,"

jawabku asal sambil menyesap minumanku.

"Toilet?" Koor suara bariton memaksaku mengangkat wajah dari gelasku.

"Tembok. Ujung konter bartender." Cengiranku

membuat mereka melongo

Sunyi.

Lalu....

"Huahahahahhahahahaaaaa...."

Bersamaan dengan itu pintu terbuka dan makhluk yang kami bicarakan masuk dengan segelas sherry di tangannya.

"Wah, gua ketinggalan apa, nih. Hei, apa yang

lucu, bro? "Julian duduk di satu-satunya kursi di

depanku

"Huahahahhahahahahahaaaa...."

Cinta Masa Lalu
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat dia, tawa kami makin kencang, seperti sinetron-indonesia yang selalu bersambung di

tiap episode. Gak pernah berhenti. Sedang orang

yang kami bicarakan hanya memandang kami tak

mengerti.

"Heii kenapa, sih?" Julian tampak sangat kebingungan melihat kami semua.

"Gimana rasanya tembok dingin pub gua bro?"

Andro nyengir lebar ke arah Julian setelah dia berhasil mengendalikan tawanya.

"Shit ... siapa yang liat?" Julian membanting

gelasnya kasar ke meja.

"Setengah isi pub, plus gua," jawabku santai.

Kami memang memiliki kode etik dalam hal

menebar benih pada perempuan-perempuan yang

kami comot sembarangan. Salah satunya tidak

melakukannya di tempat umum. Kan gak lucu kalau foto-foto kami sebagai pewaris tahta kerajaan

bisnis menyebar di media cetak maupun dunia

maya. Bisa-bisa orangtua kami akan kelimpungan

menangkis gosip dan berita yang beredar. Jadi bisa

dipastikan kalau salah satu dari kami melakukannya

akan jadi bahan ejekan yang tak kan pernah habis.

"Namanya Rheina. Gua gak tahan banget bro,

gila liar banget tuh cewek. Mungkin dulu lahir di

pedalaman Afrika bareng cheetah gunung di sana."

Julian menggelengkan kepalanya. "Dia temennya

cewek boot merah yang lu samber waktu itu Dave."

Julian menatapku dari balik gelas sherrynya.

"Ghea."

Nima Mumtaz

"Iya, dia. Eh, gua jarang liat lo jalan bareng dia,

ganti cewek mana, nih?" Julian memainkan gelasnya.

"Udah bosen sebenernya, tapi gua penasaran sama sepupunya." Ingatanku melayang pada

sesosok cantik berlesung pipi dengan senyum

menawan, ahhh ... Viona.

"Udah lu garap dua-duanya?" Alex memainkan

gadgetnya. Pasti dia mencoba mencari kontak suplier cewek kami malem ini.

"Belom, si Ghea itu jinak-jinak merpati, sok-sok

tarik ulur ke gua. Makanya ngebosenin. Kalau sepupunya...." Suaraku mengambang, ragu.

"Kenapa sepupunya?" Andro langsung menyambar.

"Dia baru genap 18 tahun dua minggu lalu,"

ujarku santai.

Tiga pasang mata menatapku horor.?"Huaaaaha

hahahhahahahahhaaaaaa...."

Ledakan tawa rasanya mampu menggetarkan

VIP room ini. Dan seperti saat kami menertawakan

Julian tadi, kali ini pun mereka tertawa tanpa henti.

Broto bahkan sampai membungkuk menahan perutnya. Rasanya nasibku sungguh mengenaskan

sampai tawa mereka bisa langsung kuartikan sebagai ejekan murni. Aku tau pasti apa yang mereka

pikirkan. Ya ampuunn, kenapa juga aku harus cerita

tadi, ya? Padahal aku tau pasti mereka bakalan menertawakanku.

Tiba-tiba Alex menempelkan gadget 5 inch-nya

ke telinganya "Ya. Oke, suruh langsung naik aja ke

Cinta Masa Lalu

lantai dua." Tanpa basa-basi ditutupnya lagi handphone-nya.

"Orderan datang, dan buat lu Mr.Lolita kompleks, special gua pesenin dua." Alex tertawa lebar

ke arahku.

Yeeaaayyyy threesome lagi malam ini....

Viona

"Maaammm ... jalan dulu, yaaa." Aku berteriak ke

pintu yang mengarah ke taman belakang rumah

sambil mencomot sebuah apel di atas meja makan.

"Ke mana Vio? Sendiri?" Mama muncul dari balik pintu masih memegang gunting bunganya.

"Kan tadi pagi Vio udah bilang mau jalan sama

Diaz ke toko buku, trus mau makan trus klo masih

sempet nonton juga," kataku sambil menggigit apel

di tangan.

Aku dan Diaz. Hubungan kami memang lebih

dari sepupu. Tapi pacaran? Rasanya enggak. Karena

baik aku dan dia gak pernah ngungkapin apa pun

tentang perasaan kami. Gak tau apa sebutannya

kalau ke mana-mana selalu bareng, ngapa-ngapain

bareng juga. Tapi gak ada apa-apa, haiii ... aku juga

bingung.

"Hallahhhh alesannnnn, mau kencan tu ma

sama Diaz. Dia mau ngabisin waktu berdua sebelum berangkat ke Wellington nanti," Juna berjalan

santai ke arah sofa di ruang tamu sambil menyambar apel yang sedang kupegang.

Nima Mumtaz

"Junaaaaa ... rese? banget, sih. Itukan apel gue!"

Kuambil sebutir jeruk dan kulemparkan ke arah kepalanya sebal.

"Gak kena ... gak kena weeeekkkkk ... hahahahahaa...." Juna menutup kepalanya dengan bantal

kursi kemudian meleletkan lidah padaku.

"Mama, Juna tuh usil banget...."

"Heiii, sudah ... sudah ... kalian ini udah pada

gede masih aja berantem. Malu nanti kalau ketauan

Ariella. Masa om dan tantenya sikapnya masih kaya

anak-anak gitu." Mama menengahi kami yang masih saling melotot?oke ini lebay aku yang melotot,

Juna enggak?dan meleletkan lidah.

"Udah ngapa, Vi, lu cari aja nanti cowok di

Wellington sana. Masa iya jauh-jauh ke New

Zealand dapetnya Diaz. Gak ngembangin keluarga

itu namanya."

"Tapiiii ... yahhh gua ngerti, sih, mungkin nanti di sana yang mau sama elu cuma biri-biri atau

kanguru kesepian yang gak dapet jodoh hahahhahhaha." Juna terbahak tanpa mengalihkan perhatiannya dari majalah Rolling Stone di pangkuannya.

"Junaaaaaaa ... beneran, ya, lu tuh makhluk paling rese yang gue kenal. Ngomong aja lu iri, iya,

kan? Lu iri kan karena gue yang dapet beasiswa.

Sedang lu nyoba gak pernah nembus, ngaku aja,

deh. Dan satu info lagi buatmu tuan Arjuna jelek,

gue gak pacaran sama Diaz, titik." Kuberikan tatapan mengintimidasi sambil berkacak pinggang di

depannya.

Cinta Masa Lalu

Yup bener banget pemirsah, diriku confirm untuk

beasiswa study di Victoria University of Wellington.

Jadi bisa dibilang ini adalah bulan-bulan terakhirku

di Jakarta.

"Gue iri ama elu?? Hai ... hai ... ngaca dulu,

nona. Mana mungkin gw iri dengan kondisi elu

yang serba pas-pasan gitu. Muka PAS gak kebagian

cakep, dada PAS gak kebagian isi, bokong PAS datar

banget, otak juga PAS lagi dibutuhin baru kerja. Ck

... ck ... ck ... sebenarnya apa yang diliat Diaz dari

lu, Vio?" Juna menekankan kata kata penghinaannya padaku.

"Mamaaaa...."

Iiihhhh, inilah yang paling kusebelin dari Juna.

Dia gak pernah mempan diintimidasi ataupun di

pojokin. Selalu saja bisa membalikkan keadaan dan

membuatku mati kutu. Kalau sudah begini mamalah yang jadi tumpuan terakhirku.

"Junaaa ... sudah kenapa, sih? Kasian adikmu

udah mau nangis gini, kira-kira dikit kenapa kalau

mau ngejahilin." Mama memelukku erat.

"Yee ... Vionya aja yang cengeng, Mam. Baru

digituin udah nangis, udah ngambek. Itu baru

ketemu Juna, kalau kamu ketemu orang yang lebih

usil gimana, Vi?" Juna melirikku tak peduli.

"Masalahnya Juna, di dunia ini tuh gak ada yang

lebih usil dari elu. Semua jenis keusilan udah terwakili sama lu." Kuhadiahkan pelototanku yang

paling lebar padanya.

Nima Mumtaz

"Ada apa ini, kok kayanya rame banget." Suara

berat Papa menghentikan Juna dari apa pun yang

akan diucapkannya padaku.

"Biasa, Pap, si cengeng lagi ngambek." Cengiran

lebar Juna membuatku ingin melemparnya dengan

vas bunga di atas meja.

"Vio itu ada Diaz di luar katanya kalian mau

jalan ke toko buku, ya? " Papa meletakkan tasnya

dan langsung duduk di samping Juna yang wajahnya berbinar dan secepat kilat melesat keluar sambil

meraih gitar. Kalau Sabtu begini papa memang pulang cepet, bahkan seringnya sebelum makan siang

sudah nyampe rumah.

"Iya, Pap, kok gak diajak masuk sekalian

Diaznya," aku merapikan rambutku yang sedikit

berantakan.

"Diaznya gak mau. Enakan di luar katanya, banyak angin. Gimana berkas kamu buat ke Victoria,

udah beres semua?" tanya papa sembari menerima

segelas air putih yang diangsurkan Mama.

"Siip, Pap, formulir kesehatan sama hasil X-ray

udah diambil kemaren, aplikasi buat visa pelajarnya

juga udah lengkap, dokumen yang perlu di-copy

juga udah semua. Tinggal ngurus SKCK, Pap, ntar

hari Senin aja. Pokoknya kalo semuanya lancar, Vio

udah bisa berangkat tiga bulan lagi."

"Jangan lupa cek ulang semuanya, konfirmasi

lagi juga ke pihak Victorianya. Jangan sampai ada

yang terlewat."

"Oke, deh papa ganteng. Udah, ah, jalan dulu.

Kasian Diaz nungguin."

Cinta Masa Lalu

Aku segera mencium punggung tangan Mama

dan Papa untuk berpamitan, dan berlari ke teras di

mana Diaz sudah menungguku.

"Pokoknya kalo elu maen-maen sama dia, gua

hajar lu."

Suara Juna yang penuh ancaman terdengar samar di telingaku. Kenapa lagi nih si raja usil?

"Kenapa J, kamu ngomong apaan sama Diaz?"

kuberikan lirikan paling sinisku pada Juna.

"Enggaaaakk gak ada apa-apa!" Juna dan

Diaz menjawab berbarengan. Loh kok si Diaz ikut

berkonspirasi sama Juna, sih? Ini mencurigakan

banget. Diaz kan pendiem, dia nurut banget jadi

anak. Pasti Juna ngajak yang aneh-aneh nih sama

Diaz.

"Udah, ah, jalan, yuk. Gak usah ngurusin Juna

lagi."

"Ecieeee yang gak sabar mau kencaan. Jangan

pergi dulu, gua pengen nyanyi buat lu Vio." Juna

memetik gitarnya setelah melihatku bersiap menyeret tangan Diaz ke mobilnya.

Kuangkat alisku heran, Juna? Nyanyi buat aku?

Tumben banget dia baek gini.

Jreengggg....

tunggulah aku di Jakartamu

tempat labuhan semua mimpiku

tunggulah aku di kota itu

tempat labuhan semua mimpiku

(reff. Tunggu aku di Jakarta by sheila on7)
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nima Mumtaz

Ggrrrrrrr....

JUNAAAAAAAA....

David

Hampir dua minggu sejak aku bertemu dengan

nona kecil itu. Masih kuingat dengan jelas bagaimana dia, tertawanya, senyumnya, cara bicaranya, suaranya, bahkan lirikan tak sukanya padaku. Ya, ampuunn ... sejak kapan aku terobsesi pada perempuan

seperti ini. Dan memang baru kusadari sebelum

aku pulang dari rumahnya waktu itu, kalau Viona

benar-benar tak suka padaku. Yah, maaf saja kalau

aku telat menyadarinya, jendral! Selama ini aku kan

selalu digilai perempuan dari berbagai usia. Jadi kalau sampai ada yang gak suka, ya salahkan saja diri

sendiri kalau aku sampai gak nyadar.

Tapi ini sangat menyebalkan, konsentrasiku

sungguh-sungguh terganggu sekali dua minggu

belakangan ini. Sangat tidak nyaman ketika harus

menandatangi kontrak kerja sama dengan klien,

yang terbayang malah wajah mungilnya dengan

tawa renyahnya. Atau ketika kemaren malam aku

sibuk di kamar hotel bersama dua cewek Uzbek

pesenan Alex?memproduksi keringat bersama?

malah senyum berlesung pipit itu yang kulihat di

wajah cewek- cewek itu. Dan itu cukup membuatku

meneriakkan namanya saat klimaks.

Cinta Masa Lalu

Malam itu juga aku seperti orang kesetanan,

sampai-sampai aku sedikit kasian sama cewek panggilan itu, yang harus melayaniku berkali-kali di atas

ranjang. Aku seperti gelap mata, karena malam itu

aku benar-benar membayangkan tubuh mungilnya

yang ada di bawahku, bibir tipisnya yang kucumbu,

erangannya saat aku memesrai seluruh tubuhnya.

Ahhhhh ... Viona.

Aku gelisah dan galau. Yup, bener banget G-AL-A-U. Mungkin itulah yang ditangkap Andro di

wajahku siang ini saat kami berencana lunch bersama di restoran Jepang milik keluargaku di salah

satu mall besar di kawasan Jakarta Pusat.

"Kenapa, bro, kusut banget muka. Banyak kerjaan?" Andro menepuk bahuku pelan.

Hah, dia ngomomg apa tadi?

"Lu ada masalah, ya?"

Andro kembali mencecarku dengan pertanyaan

menyelidiknya. Di antara ketiga sahabatku yang

lain, Andro memang yang paling peka terhadap

perubahan suasana hatiku. Hal yang paling kusukai

darinya adalah dia gak pernah menertawakan apa

pun kondisiku. Tak pernah pula memaksaku bercerita kalau aku tak ingin.

"Apa? Eh, enggak. Cuma ... cuma keinget sesuatu aja." Aku bingung bagaimana harus menjelaskannya pada Andro.

Masa aku harus menjelaskan kenapa aku seperti

ini. Bahkan aku sendiri juga masih bingung dengan

apa yang kurasakan. Apa aku harus cerita kalau aku

Nima Mumtaz

terobsesi pada gadis kecil yang bahkan baru genap

berumur 18 tahun? Gak lucu, kan, beneran gak

lucu banget.

Kemudian langkahku terhenti tiba-tiba di pintu

restoran ini. Lucky me. Di sana kulihat seorang gadis menuju sebuah tempat di sudut kiri restoran. Dia

memakai capri pants berwarna gelap, T-shirt putihnya tampak pas sekali membalut tubuh mungilnya,

dia memakai sneakers merah tanpa kaos kaki dan tas

selempang kecil menggantung di pinggangnya. Jika

di kesempatan pertama kulihat rambut panjangnya

diikat tinggi, kini rambutnya tergerai?tertutup kupluk mungil cantik berwarna beige ?membentuk

gelombang indah di punggungnya. Cantik. Beneran

seperti ABG.

Ya ampuuunnnn. .. gua bener-bener pedofil.

"Kenapa, bro?" Andro mungkin kaget karena

aku berhenti mendadak.

"Bukan kenapa tapi siapa," pandanganku tetap

terarah pada Viona

"Lolita???" tanyanya mengangkat alis setelah

mengikuti arah mataku, dan aku hanya bisa mengangguk lemah pada Andro.

Lolitaku, nona kecilku, ahhh Viona.

"Yuk, kita gabung mereka aja." Tanpa ragu kuseret

Andro menuju meja Viona dan ... Diaz?

"Eh ... bro ... Dave ... serius, lo?? Eh ... gak enak,

ah."

Cinta Masa Lalu

Andro masih meneriakkan protesnya saat kami

tiba di meja mereka.

"Heii ... Diaz kebetulan banget ketemu di sini,

apa kabar?" Kutepuk bahu Diaz pelan. Tak kupedulikan gerutuan Andro yang sepertinya sangat keberatan.

"Eh, baik, Mas, makan juga di sini, Mas. Vio,

kamu masih inget kan sama...."

"Om Dave? Pacarnya mbak Ghea, kan?" sambar

Viona tanpa ragu.

Seketika kudengar suara batuk Andro di sampingku. Haahhh aku tau, dia pasti pura-pura batuk

buat nyamarin ketawanya yang hampir meledak

gara-gara panggilan ?Om? dari Viona padaku. Sialan

Vio dan mulut lancangnya, rasanya aku perlu memberi pelajaran keras pada mulut lancangnya itu.

"Eh, iya, ini temanku Andro. An, ini Diaz adeknya Ghea, dan ini Viona sepupunya Diaz. Nah berhubung kita semua udah ada di sini, kami gabung

aja sama kalian, ya," kataku tanpa memedulikan tatapan protes Andro dan wajah Diaz yang tampak keberatan serta lirikan Vio yang tampaknya tak setuju.

Masa bodolah dengan kesopanan. Aku benarbenar digantung penasaran dua minggu ini. Dan

ini kesempatan yang gak boleh disia-siakan sama

sekali.

Akhirnya kami pun bergabung dengan dua remaja itu makan siang bersama. Aku duduk di samping

Diaz dan memaksa Andro duduk di samping Viona.

Bukan apa-apa, aku ingin puas memandang wajah

Nima Mumtaz

cantik kurang ajar di depanku ini. Lagi pula Aku

yakin tak akan tahan lama-lama kalau nekat duduk

di samping Vio. Tanganku yang terkenal aktif dan

terampil ini bisa-bisa merusak makan siang kami

dengan jeritan Vio.

Kami memesan set teppanyaki, sushi, sashimi,

dan beberapa side order. Aku tau selera makan

Vio begitu besar sehingga tak tanggung-tanggung

dalam memesan menu. Lagi pula rasanya aku selalu

kelaparan bila menatapnya terlalu lama. Benar saja,

dia tak tampak jaim makan di depan kami semua.

Entah mengapa itu malah membuatku makin tertarik padanya.

Tapi yang makin membuatku sakit dan tersiksa di sini adalah saat aku gak bisa mengalihkan

perhatianku dari cara dia makan. Mulutnya yang

menggembung karena penuh, bagaimana kalau mulut itu penuh karena sesuatu yang lain? Cara dia menjilat jarinya, bagaimana kalau lidah itu menjilati kulitku, bibirnya yang sesekali digigitinya, bagaimana

kalau aku saja yang gigit Vio? Arghhh.

"Kalian berdua dari mana tadi, kebetulan banget, ya, kita bisa ketemu di sini," suara Andro menyadarkanku dari lamunan liar. Aduh sudah berapa

lama aku gak gabung sama obrolan mereka?

"Dari toko buku, Mas, rencananya sih abis ini

mau nonton kalau gak kesorean."

Diaz terlihat lancar mengobrol dengan Andro,

sedang Vio seperti biasa asyik dengan acara makannya. Ke mana kelebihan makanan yang dikonsum42

Cinta Masa Lalu

sinya. Makannya banyak banget, tapi badannya

tetep bagus. Ya, ampun kalau kelamaan begini bisabisa aku mikir mesum lagi tentang Viona.

"Jadi kapan kamu masuk kuliah Diaz, jadi di

Harapan Bangsa?" tanyaku berbasa-basi sambil menyesap ocha di cawan keramik cantik yang sangat

mungil untuk ukuran tanganku.

"Masih awal Agustus, Mas. Iya di Harapan

Bangsa, mau ke mana lagi. Papa kan donatur di situ,

jadi maunya papa aku gak ke mana-mana. Vio, tuh,

yang keren, Mas. Dia ke Wellington, dapet beasiswa

di Victoria University."

Kalimat terakhir Diaz sukses menghentikan ocha

di tenggorokanku. Setelah bersusah payah menelan

cairan tawar yang kini berasa seperti duri di leherku,

kupusatkan perhatianku seluruhnya pada Vio yang

sedang menelan potongan terakhir sushinya.

"Kamu ... ke ... New Zealand, Vio." Suaraku tak

lebih keras dari bisikan. Andro langsung menatapku

waspada. Dan Vio yang sedari tadi asyik menekuni

sushi di depannya mengangkat wajah dan langsung

menatap mataku.

"Iya, Om, kenapa? Ada yang salah?"

Kutarik napas dalam dan mengembuskannya

pelan.

Aku harus cepat.

Dan Matahari pun Tenggelam

Kulemparkan kunci Lexusku pada Andro. "Lu yang

bawa bro, takut gak konsen gua."

Kurenggut pintu mobil kasar dan segera menghempaskan tubuh penatku di kursi penumpang.

Kalau tadi ketika aku datang ke sini dengan rasa galau, kini aku pulang dengan rasa nenek moyangnya

galau?apa namanya, ya??frustrasi, dan bingung

tingkat tinggi.

Vio ke Wellington? Damn!!! Aku bahkan belum

menyiapkan rencana apa pun untuk mendekatinya

ketika kabar itu kuterima. Menurut Diaz tadi, dia

akan berangkat kira-kira tiga bulan lagi. Kenapa

semua serba tak terduga begini, sih? Brengsek!!!!

Mau gak mau aku harus menempuh jalan pintas

buat dapetin Vio.

Viona ... bagaimanapun caranya kamu harus

jadi milikku!

Alunan Shut U-nya Simple Plan menyadarkanku

dari lamunan

"Ya!" ujarku kasar tanpa melihat ID caller di teleponku.

Cinta Masa Lalu

"Mas Dave, ke mana aja sih kok gak pernah nelepon atau nyamperin Ghea, Ghea kangen lho, Mas,

kita hang out yuk, Mas."

Suara serak-serak basah yang dipaksa mendesah

itu makin membuatku kesal.? F*ck!!!! What a bad

day....

"Gua sibuk, lu kalo mau jalan, jalan aja sendiri,"

kataku dengan ketus dan sedikit tinggi.

"Iiiiihhhhh, kenapa sih, Mas, lagi capek, ya? Mau

Ghea pijitin? Ghea ke apartemen Mas Dave, ya sekarang, ntar dijamin capeknya langsung ilang, deh hihihihi."?

Kalau dulu kikikan suaranya membuatku gemas,

maka kali ini membuatku kesal dan naik darah.

"Ghea tolong jangan telepon aku dulu, kamu

tuh ganggu banget."

Saat itu juga kututup telepon tanpa basa-basi

lagi pada Ghea dan mengaktifkan mode silent.

Dengan mata tertutup kupijit keningku lelah.

"Bro beneran, deh lu kacau banget, mau ke

tempat gua minum dulu?" Suara itu membuatku

berpaling pada makhluk di sampingku. Aku sampai lupa kalau aku bersama Andro dan sekarang

aku tersadar kalau kami sedang melaju kencang di
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan tol.

"Gak, tetep ke rencana semula. Gua anterin lu

ke rumah bokap lu baru balik lagi. Bokap lu pasti

marah kalo lu sampe telat, ya, kan?"

"Lu yakin? Gua takut lu kenapa-kenapa kalo balik sendiri ngeliat kondisi lu kaya gini. Kenapa sih,

Nima Mumtaz

masih mikirin lolita? Lu gak serius kan mau ngejar

dia?" Andro menatapku tajam dari balik kemudi.

"Gua harus dapetin dia, gak bisa enggak.

Harus!!"

Inilah aku, mungkin karena kebiasaan sebagai

anak tunggal yang selalu dimanjakan sedari kecil

dan selalu mendapat apa pun yang kumau. Maka

aku tak bisa melepas apa pun yang kuincar. Dan aku

benar-benar menginginkan Viona.

"David Raditya, lu beneran sinting. Ya, ampuunn ... dia bahkan masih anak-anak. Gua yakin

banget dia masih virgin."

Aku sinting? Mungkin. Tapi aku gak peduli.

"Kali ini please lu dengerin gua. Tinggalin dia,

cari yang lain. Gua punya firasat gak enak tentang

ini Dave." Andro menatapku marah, tangannya

masih di kemudi namun setengah badannya sudah

menghadapku.

"Gak usah elu, gua juga yakin banget dia masih

virgin, dan gua berniat ngerubah status itu sebelum

dia berangkat ke Wellington, kebetulannya lagi gua

belum pernah nidurin perawan." jawabku muram.

"Astagaa... lu sarap Dave. Kenapa gak sama

Ghea aja sih. Atau lu cari cewek yang lain yang lebih

dewasa. Apa sih yang ngebuat lu tertarik sama dia.

Selama ini lu bergaul sama perempuan yang matang

dan udah berpengalaman kan, kenapa tiba tiba napsu sama anak bau kencur gitu, sih?"

Andro masih saja mencecarku dengan pertanyaan yang makin membuatku pusing. Kenapa

Cinta Masa Lalu

malah dia yang kesel, ya, rasanya aku bisa ngeliat

kepalanya berasap saat menceramahiku tadi. Pikiran

usil itu membuatku terkekeh geli.

"Gak tau, An, dia polos banget. Rasanya gua

bisa ngeliat apa yang dia pikirin cuma dari tatapan

matanya aja, dia tipe orang yang ngeliat segala sesuatunya hitam dan putih aja. Polos, manis, cantik,

dia gak pura-pura. Gak suka ya gak suka aja, gak

berusaha ditutupinya sama sekali. Lu liat kan tadi,

betapa gak sukanya dia ke gua." Pandanganku menerawang pada jalanan di depanku.

Mengingatnya membuat darahku berdesir ringan.?Viona ... you make me crazy.

"Itu karena dia masih kecil oneng!!!!! Haaahhhhh

kayanya gua harus ngejauhin ponakan gua dari

lu, sob." Andro menggerutu kesal padaku.

"Gak separah itulah bro, lu pikir gua pedo apa?

Gak tau, ya rasanya gua penasaran banget sama

Viona. Pernah, gak, sih, lu terobsesi banget sama

sesuatu, dan gak bisa ngelepas itu sama sekali.

Gua ngerasain itu sekarang. Dan gua yakin beberapa taun lagi dia pasti seksi banget." Senyumku

mengembang membayangkan Viona polos?dalam

arti sebenarnya.

"Kalau gitu tunggu beberapa tahun lagi. Paling

gak ntar lu gak kayak om-om yang suka macarin

anak SMP."

"Apa bedanya? Paling juga beberapa bulan di

Wellington nanti dia gak sepolos pas berangkat dari

sini. Kaya gak tau pergaulan di sana aja. Gua mau

Nima Mumtaz

cepet-cepet karena gak mau keilangan momen ini,

bro. Klo emang dia bentar lagi gak virgin, mendingan gua perawanin aja dulu dari sini," ujarku

enteng.

"Terserahlah, gua gak akan ikutan kali ini, resiko

tanggung sendiri." Wajah Andro berkerut masam

padaku.

"Ya iyalah, gua emang gak pernah niat ngundang

lu ke ranjang bareng gua dan Vio. Ada juga ntar gua

yang lu grepe-grepein."

"Sialan." Andro menonjok lenganku pelan sambil tersenyum lebar.

"O, ya, ntar malem lu dateng kan ke bachelor

party-nya Yudhi?" sambung Andro ketika kami berbelok keluar tol.

"Males gua sebenernya, paling begitu doang,

gak napsu. By the way kenapa juga adek lu itu tibatiba mau merit." Fokusku berpindah padanya yang

mendadak terkekeh geli.

"Ceweknya bunting, dia nuntut minta di kawinin segera sebelum perutnya gede," Andro

menjelaskan ringan.

"What? Hahahhahahahaa bego banget, sih,

Yudhi, gugurin aja kenapa? Kaya jaman kompeni

aja, klo bunting gak kudu kawin, kan? Atau mungkin cewek itu sengaja ngejebak adek lu?" Aku masih

saja terkekeh geli. Yudhi adalah adik bungsu Andro,

umurnya mungkin masih 24 tahun. Dan dia sekarang mau nikah? Ya ampuunn sedih banget hidup

dia.

Cinta Masa Lalu

"Kayanya mereka saling cinta, deh." Andro

tersenyum tipis padaku.

"Cinta, makan tuh cinta. Masih kecil pada mau

kawin." Aku mencibir pada Andro.

"Lu tau kan adek gua yang satu itu paling lurus di antara sodara gua yang laen, dia beneran niat

tanggung jawab sama cewek ini."

"Lurus kok hamilin anak orang. Tapi jujur ya bro

gua gak kebayang kudu ngabisin umur buat kawin

trus punya anak heeeehhhh rasanya wasting

time banget." Aku bergidik memikirkan makhlukmakhluk mungil yang menyebalkan sedang berlarian dan melempar apa saja yang dilaluinya. Belum

lagi perempuan dengan daster kumal dan rol rambut tinggi. Ihh ... betapa hidup penuh penderitaan.

"Perempuan itu buat dinikmati, bukan buat ditungguin seumur hidup."

"Jadi lu gak ada niatan buat nikah?" Andro nyengir lebar ke arahku.

"Mungkin nanti, kalau gua udah puas nikmatin

idup. Atau kalau umur gua udah sebokap. Kalau

sekarang, mah, jauh-jauh deh dari kata itu."

Nikah? NO WAY.

Kawin? YES.

Obrolan itu pun menutup perjumpaan kami

siang ini, karena mobilku sudah memasuki kompleks tempat orangtua Andro tinggal.

****

Nima Mumtaz

Kulirik Omega di pergelangan tanganku. Hampir

jam tujuh. Terlalu pagi. Apa yang akan kulakukan

sepagi ini di apartemenku? Aku sedang tak ingin tidur lagi. Balik ke kantor? Males, ah, aku gak mau

hidup cuma diperbudak kerjaan.

Semalam akhirnya aku memutuskan untuk

ke pesta bujangannya Yudhi di pubnya Andro.

Namun bahkan para penari striptis itu tak mampu

menawarkan suasana hatiku yang kacau. Liukan tubuh-tubuh nyaris telanjang?yang akhirnya telanjang juga?dan tawa penonton malah membuat

kepalaku nyaris pecah. Aku pun bersembunyi di

kantor Andro dan melarikan frustrasiku pada cairan

nikmat yang kusebut alkohol. Tanpa perempuan

kali ini.

Dan pagi ini, setelah pulih dari hangover, kularikan Lexusku menyusuri jalanan ibukota yang masih

tampak lengang. Aku tak ingin terlalu lama berkumpul dengan yang lain sambil menyadari kondisi

yang pastinya kacau setelah pesta bujangan.

Entah setan apa yang merasuki otak kacauku,

kubelokkan mobil ke arah taman kota yang bisa dipastikan selalu ramai di minggu pagi. Huufftttttt

rasanya aku perlu pengalih perhatian sejenak. Aku

masih ingat dulu Mami dan Papi sering mengajakku

ke taman ini di hari Minggu. Aku bahkan masih

ingat ada tukang siomay mangkal di bawah pohon

di sisi barat taman ini, Mami dan Papi dulu sering

mengajakku makan di situ.

Salim dan Deasy Arkhan memang down to earth

banget untuk ukuran pencetak duit di negeri ini.

Cinta Masa Lalu

Tak jarang mereka bergaul bahkan makan di warung kaki lima tanpa takut telihat oleh rekan-rekan

bisnisnya dari kalangan jet set. Lingkup gaul Mami

dan Papi memang beragam, dari kalangan high class,

sampai pegawai biasa dekat dengan mereka. Hah

... itulah yang membuatku heran. Bagaimana bisa

orang sebaik mereka menjadi orangtuaku.

Ke sanalah tujuanku, bukannya aku lelaki sentimentil yang suka mengenang masa lalu. Tapi

entah kenapa, rasanya menikmati seporsi siomay

panas merupakan hal sempurna untuk mengawali

hari ini.

Dengan tergesa kulangkahkan kaki panjangku

ke sisi barat taman ini. Sambil mengecek notifikasi

di gadgetku. Ya ampun, 26 misscall dan 17 SMS,

semuanya dari Ghea. Segera kuhapus semua tanpa

melihat isinya. Perempuan satu ini benar-benar

bebal dan menjengkelkan. Kurasa sudah saatnya

aku mendepaknya daripada aku harus menghadapi

rengekannya setiap hari.

Nah, itu dia gerobak abang tukang siomaynya,

aku tak yakin apakah penjualnya tetap sama. Tapi

seingatku memang wajah penjualnya seperti itu.

Asli Indonesia, tanpa hidung mancung ataupun

rambut berwarna?yang menurutku akan terlihat

sangat lucu dipadukan dengan kulit cokelat karamelnya?dan tinggi standar orang Indonesia. Tiba

tiba....

Brukkk....

Aawwww ... aduuuuuhhh!

Nima Mumtaz

Sesosok tubuh mungil berjongkok di bawahku,

bisa kulihat piring styrofoamnya tergeletak di tanah

lengkap dengan siomay yang berceceran di sekitarnya. Dia tampak mengaduh, bangkit berdiri sambil menepuk-nepukkan tangan di celana pendeknya, berusaha menghilangkan kotoran yang melekat

di sana. Aku menelan ludah keras.

Wow ... kebetulan yang sangat kebetulan. Tuhan

pasti sedang baik padaku.

V... I ... O ... N ... A....

"Heii, kalau jalan liat-liat, dong!" semburnya ke

arahku.

Bisa kulihat ekspresi terkejutnya saat menyadari

akulah yang ada di hadapannya. Bibirnya mengerut

marah dan dia menatapku tajam. Ohhh, aku malah

makin gemas terhadapmu, gadis kecil. Rupanya gadis kecil ini selesai lari pagi, bisa kulihat keringatnya

mengalir menuruni leher putihnya dan menghilang

dibalik T-shirt V neck-nya. Aw... aw ... aku nyaris

mengerang. Rasanya bisa kudengar suara iblis yang

tertawa amat dekat di kupingku.

"Bukannya kamu yang menabrakku gadis kecil,

dan aku sangat percaya kau harus mengganti rugi

atas ini," kataku sambil menunjuk kemeja biruku
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terkena saus siomay.

"Jangan panggil aku gadis kecil, aku udah gede

tau!!"

Aku ingin membuktikannya, nona.

"Berapa aku harus bayar biaya laundry-nya." Dia

mengeluarkan dompetnya dan hendak mengeluar52

Cinta Masa Lalu

kan beberapa lembar rupiah dari sana. Oohh, tak

semudah itu gadis kecil dan bukan itu rencanaku

untukmu.

"Kaupikir kemeja ini cukup hanya di-laundry

saja, keme....

"Berapa harganya!" Dia melotot padaku dan bibirnya membentuk garis tipis. O ... o ... hati-hati

mempermainkan bibirmu, nona. Kau membangunkan singa lapar.

"Kau harus ikut aku ke apartemenku dan mencucikan kemeja ini untukku. Kemeja ini tak ternilai

harganya."

"Apa? Kemeja apa, sih, yang segitunya dibelain.

Mendingan aku laundry-in aja, deh. Sini buka

cepetan!" Tampak kesal dia merengut makin dalam.

"Hei, kaupikir aku percaya pada jasa laundry??

Kemeja ini diberi nenekku yang sudah meninggal.

Apa kau pikir bisa memanggil nenekku kemari kalau kemeja ini rusak?"

Oke, aku gak sepenuhnya jujur, kemeja ini

kubeli sendiri. Tapi bagian nenekku meninggal itu

bener, sumpah. Nenekku meninggal ketika aku masih berumur empat bulan di perut Mami. Jangan bilang aku curang, ya, bukankah semuanya dihalalkan

dalam perang? Dan ini adalah perang antara egoku

melawan ego nona kecil ini.

Kulihat dia terdiam dan tampak menimbangnimbang sesuatu.

"Kucuci di rumahku saja, ya?" dia mengerutkan

dahinya dan menggigit bibirnya.

Nima Mumtaz

Ouchhhh ... demi pencipta kegantengan dan

segala pesonaku. Gadis ini sungguh menggemaskan.

"Enggak bisa, ikut aku sekarang. Kau pikir cewek-cewek di sini gak pada pingsan ngeliat aku bertelanjang dada kalau kemeja ini kulepas sekarang!"

Segera kutarik lengannya ke arah mobilku terparkir

dan memaksanya masuk ke kursi penumpang. Tak

memberi sedikit pun ruang untuknya membantah.

Aku ingin tertawa keras melihat dia yang tampak kebingungan karena tiba-tiba saja sekarang sudah ?kuculik?. Sepanjang jalan dia tampak berpikir

keras.

Perjalanan kami ke apartemenku cukup singkat

mengingat ini adalah minggu pagi, sehingga jalanan

jauh dari macet. Dia tampak gugup dan sedikit takut ketika kuseret ke gedung apartemen mewahku

di lantai lima sebuah kompleks perkantoran elite di

Jakarta Selatan.

Viona

Dasar sombong, bisa-bisanya aku berurusan lagi

dengan orang ini. Idiiihhh, mimpi apa, sih, aku semalem sampai ketemu orang yang sok kecakepan

ini. Sumpah demi apa pun aku gak pernah suka

om-om sombong ini. Dari pertama dia dibawa

Mbak Ghea ke rumah aku udah gak respek sama

dia. Tatapannya melecehkan banget. Sering banget

Cinta Masa Lalu

mulutnya mencibir, kayaknya dia tipe orang yang

selalu memandang rendah orang lain. Dasar orang

kaya sombong.

Harusnya kan aku sedang bersama Diaz sekarang

ini. Dia bilang mau menemaniku lari pagi karena

ada sesuatu yang ingin dibicarakannya denganku.

Eh, aku lupa mengiriminya pesan agar menungguku di tempat biasa. Tapi aku kan cuma sebentar

di sini, gak mungkin kan nyuci baju sampai siang?

Atau kutelepon aja biar dia jemput aku di sini, ya?

"Heeiii ... malah melamun. Ini bajuku. Tapi

tunggu dulu, aku mau pake kamar mandinya." Dia

menyerahkan kemejanya yang kotor padaku.

"Iya ... iya, aku pasti cuciin. Gak usah kasar gitu,

kali, dan jangan pake lama, ya, di kamar mandi."

"Ini sementara nungguin aku, minum ini dulu."

Om Dave menyodorkan gelas tinggi berisi minuman berwarna kuning keemasan padaku.

Sebenernya, sih, aku haus banget, tapi gengsi,

deh, mau minta minum sama orang sombong ini.

"Apa ini, Om?"

"Bensin campur, ya minuman, lah. Abisin, ya."

Dia ngeloyor pergi ke pintu yang kupikir mungkin

adalah kamarnya atau kamar mandi. Gak taulah.

Apaan, sih, dasar orang tua aneh dan sombong.

Tapi lumayanlah sedikit ada baik hatinya orang ini,

ngasih minum selagi nungguin dia. Kudaratkan

pantatku di sofa putih yang menghadap ke arah

televisi flat yang menempel di dinding. Karena memang sangat haus, segera saja kutenggak isi gelas

Nima Mumtaz

yang dia berikan padaku. Uhuk ... uhuk ... hueekkk

apa, sih, ini? Kok aneh banget rasanya. Pait-pait gak

jelas gini, jangan-jangan racun lagi yang dia kasih.

Dasar orang aneh, bahkan dia pun berencana membunuhku saat ini. Huhhh.

Eh, tapi begitu di lidah berasa agak-agak manis

gitu dan anget di tenggorokan. Eehhmm mungkin

salah kali, ya, aku cara minumnya. Mungkin tadi

terlalu keburu-buru minumnya jadi berasa aneh.

Kuraih remote televisi dan mencari channel yang

menarik sambil menyesap sedikit demi sedikit

minuman di tanganku. Ehm ... ehmm ... enak, sih,

tapi kenapa lama-lama tenggorokanku berasa kering

banget, rasanya aku butuh air putih. Tapi kok badan

dan wajahku kok berasa hangat, apa aku demam??

Rasanya tadi aku baik-baik saja, deh.

"Eh, nona kecil, silakan kalau mau pakai kamar

mandi." Om Dave keluar dari kamar hanya berbalut

handuk di pinggangnya, dia bersandar di dinding

dekat pintu.

Iiihhhh, gak sopan banget nih orang. Aku kan

udah gede, kok dia gak nyadar, sih, kalau kelakuannya itu memalukan. Risih banget tau ngeliatnya!

Segera saja kubangkit dari sofa, aku ingin secepat

mungkin keluar dari tempat ini.

Tapi ... tapi ... eeeehhhhh ... kenapa ini. Kok kepalaku rasanya berputar. Lantai yang kupijak rasanya bergoyang. Mataku pun berasa berkabut kaya

belum cuci muka pagi-pagi. Adudududuhhhhh ...

yahhh, jatuh deh ... jatuh, deh ... eh ... eh ... tapi

tangan siapa ini pegang-pegang.

Cinta Masa Lalu

Om Dave ada di sana, memegang tubuhku erat,

senyum mengembang di bibir sempurnanya. Dia

gak pake baju dan tampak seksi banget. Astagaaaa

apa aku udah gila, ya, kok bisa-bisanya mikir

begitu. Kugelengkan kepala mencoba mengusir apa

pun yang barusan melintas di otakku.

Tapi beneran perutnya rata kayak artis-artis film

di tivi. Dadanya lebar dan kekar. Otot lengannya

keras. Apa ini yang disebut seksi? Aduuhh, senyumnya maniss banget.

"Tau gak, Vio, kamu cantik banget."

David

Kuseret tangan Vio ke ruang tengah apartemenku.

Dia hanya menurut dengan wajah ditekuk. Ya ampun, nona kecil, membacamu semudah melihat BH

sekertarisku dari baju transparannya. Dia tampak

bingung, bimbang dan kesel tentu saja.

Inginnya aku membawanya ke kamarku dan

langsung menelanjanginya di sana. Tapi aku sedang

tak ingin perlawanan hari ini. Aku ingin menikmati

permainan dan tubuhnya semaksimal mungkin.

Lagi pula badanku rasanya gerah dan lengket sekali.

Hahhh gak akan nikmat rasanya bercinta dengan

kondisi seperti ini. Oke, pertama mandi dulu.

Tapi sebelumnya harus kubikin dulu anak ini

teler. Kayanya kasih sedikit alkohol aja bisa melayang dia. Hehehe ... maaf, nona, aku memang jahat.

Tapi apa boleh buat, aku gak sabar lagi, catet itu,

Nima Mumtaz

GAK SABAR LAGI. Gairahku benar-benar mencapai puncaknya hari ini. Ahhh.

Dia pun menerima segelas sherry yang kusodorkan dengan wajah curiga.

"Apa ini, Om?"

"Bensin campur, ya minuman, lah. Abisin, ya,"

jawabku asal. Segera kutinggalkan dia ke kamar

mandi. Sekarang biarlah alam yang bekerja.

Kali ini sengaja aku berlama-lama mandi.

Kubersihkan tubuhku secermat mungkin. Aku

ingin memberikan yang terbaik pada nona kecil itu.

Kulirik ranjang ukuran king di kamarku. Rapi

karena semalam memang tak kutiduri dan?ironisnya?bersprei putih bersih.

Kulihat dia duduk sambil menonton televisi.

Tangannya memegang remote, dia tampak gelisah.

Kulirik gelasnya tinggal setengah. Ahhh, setan pun

rasanya ikut berpesta denganku.

"Eh, nona kecil, silakan kalau mau pakai kamar

mandi." Kucoba menarik perhatiannya. Benar saja,

dia langsung menoleh ke arahku.

Matanya tak fokus, dan kedua pipinya memerah. Cantik sekali. Dia bangkit dan berjalan ke

arahku, namun langkahnya goyah dan dia terjatuh

tepat pada saat kutangkap tubuh mungilnya.

Kutatap langsung ke manik matanya "Tau gak,

Vio, kamu cantik banget." Lalu kukecup lembut

bibirnya, dan matanya melebar kaget. Tangannya

mendorong dadaku lemah. Tapi maaf, nona, aku

yang berkuasa sekarang. Kembali kucium bibirnya

Cinta Masa Lalu

dalam dan basah. Manis sekali. Aku sangat yakin

ini ciuman pertamanya. Dia meronta kehabisan

napas. Segera saja ciumanku berpindah ke pipinya,

lehernya, dan telinganya. Kudengar desah lembut

dari bibirnya.

"Om Dave ahhhh."

Ha ... sebaiknya kubawa saja Vio ke kamarku,

dan menikmati Minggu pagiku yang indah.

Selaksa Rasa Tentang Kamu

ama bener-bener nepatin janjinya. Sepanjang

siang, sore bahkan ketika makan malam tak kutemui

wajah kutu busuk itu dan anaknya?ok, anakku

juga?di sekitar rumah. Ini membuatku nyaman

berkeliaran dan menginspeksi sudut-sudut rumah

yang telah lama kutinggalkan. Hanya ketika hendak

makan malam saja sempet kudengar si kecil Daiva

bernyanyi, itu pun dari balik jendela. Entah kenapa

suaranya yang jernih dan lembut menggetarkanku.

Jujur saja di antara ratusan malam-malam yang

kulalui sendirian di Jogja sana, kadang aku memikirkan nasib bayi yang pernah berbagi hidup
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

denganku sembilan bulan lamanya. Bagaimana dia?

Sedang apa dia? Seperti apa rupanya? Bagaimana

kehidupannya sekarang? Bahkan terkadang tak sengaja kuraba perut datarku saat kulihat ibu-ibu

hamil yang kutemui di jalan.

Bayi perempuan, itu saja yang aku tau tentang

dia. Bahkan wajahnya pun tak kulihat dulu. Sesaat

setelah melahirkan, bayi itu sudah dibawa keluar

Cinta Masa Lalu

dari ruang bersalin dan aku tak pernah melihatnya

lagi, sampai sekarang.

Sembilan bulan dia ada di perutku. Walaupun

tak mau, bayi itu yang selalu bersamaku saat aku

menangis, berteriak, mengumpat, marah-marah,

bahkan menghujat kehendak Tuhan. Aku tak mau

dia ada?kuakui itu?tapi ketika aku sudah merasakan tendangan lembutnya di perutku, sering kuberpikir tentang warna biru atau pink yang akan

mendominasi kamarku nantinya. Tentang boneka

atau mobil-mobilan yang akan dimainkannya. Ya,

aku masih mengingat saat-saat itu.

Tapi apakah aku benci dia? Aku tak tau. Hanya

saja aku merasa hidup sungguh tak adil padaku, dan

makin tak adil dengan kehadiran bayi kecil itu (sial

kenapa juga, sih, namanya mirip bencong muka

dua itu?)

Andai Daiva tak ada, mungkin aku sudah menyelesaikan study-ku di Victoria University, kalau

Daiva tak ada, sekarang ini mungkin aku sedang

mengejar beasiswa Fulbright di Amerika, mungkin

kalau Daiva tak ada, orangtuaku tak akan pernah

dipermalukan dan direndahkan keluarga Ghea, dan

mungkin kalau Daiva tak ada aku dan Diaz ... ck

... ah ... berjuta pengandaian dan kemungkinan terbayang di depanku.

Tapi ada benernya juga, sih, apa yang dibilang Juna, Daiva gak salah sama sekali dalam hal

ini. Tapi aku gak salah juga, kan? Aku bahkan gak

ngerti apa-apa. Salahin saja si brengsek itu. Entah

Nima Mumtaz

kenapa Tuhan menciptakan setan satu itu. Sering

aku bertanya-tanya apa yang Tuhan rencanakan

dengan jalan hidupku hingga mengirimkan tikus

got itu padaku.

Namun apakah berarti aku harus mulai membuka diri pada Daiva? Apakah aku harus mencoba

mengenalnya? Beneran, gak, sih yang dibilang Juna

tadi kalau Daiva kangen banget sama aku? Ah ...

sebenernya aku lebih suka dia gak tau sama sekali

tentangku. Tapi dari yang kulihat siang tadi, aku yakin dia mengenalku. Tapi dari mana? Bukankah dia

sama sekali belum pernah bertemu denganku?

Hahhhhhh ... puseeeeeeennngggggg....

Kutatap langit-langit kamar yang berwarna soft

pink. Membuatku mengingat masa lalu. Menyisakan

perih yang dalam. Enam tahun lebih kutinggalkan

kamar ini. Banyak kenangan pedih yang ingin kuhapus di sini. Bagaimanapun kamar ini tempatku

menangis berbulan-bulan meratapi nasib. Kamar

ini juga saksi bisu betapa semua ide gila mengakhiri

hidup kurencanakan. Akan tetapi, di kamar ini juga

tersimpan romansa manis masa remaja yang sedang

jatuh cinta pada sahabatnya. Kamar ini ... ahhh aku

gak sanggup tidur di sini malam ini.

Akhirnya kuputuskan ke kamar Juna yang ada di

ujung lorong lantai dua. Lampunya masih menyala,

itu tandanya dia belum tidur, kan?

"Junaaa gua tidur bareng elu, ya!" Tanpa

mengetuk pintu aku nyelonong masuk ke kamarnya yang didominasi warna hijau. Segera saja

Cinta Masa Lalu

aku bergelung di tempat tidur di samping Juna yang

sedang membaca entah buku apa di pangkuannya.

"Iisshh ... malu-maluin lu, Vi, udah tua juga masih mau tidur bareng gua. Gak nyadar apa, uban

udah pada berebut numbuh gitu." Tanpa mengalihkan pandangan dari buku di pangkuannya, dia

mencibirku. Dulu memang kami sering berbagi

tempat tidur. Sampai-sampai Mama sering bilang

kalau kami tuh kembar gak jadi.

"Biarin ... weeekkk, gua kan masih imut, masih lucu lagi." Kujulurkan lidah dan berganti posisi

tengkurap. Kuedarkan pandangan ke seluruh kamar

Juna yang masih kuingat setiap detailnya.

"Kamar lu rapi banget J, tumben, nih. Bisa bebenah sekarang?" Oke, aku takjub sekarang.

Juna adalah satu-satunya makhluk yang kukenal

yang gak bisa bedain baju bersih dan kain lap?

agak lebay, ya? Ya, udahlah gak usah dipikirin?

kamarnya lebih menyerupai kandang ayam hingga

sering membuat Mama berteriak protes.

"Gue kan emang gak pernah tidur di sini lagi

Vio, dua minggu sekali gua nginep di kamar ini.

Selebihnya, ya, tinggal di tempat gualah." Juna masih saja menekuni bukunya.

"Eh lu tinggal di mana emang? Kok gue gak

pernah tau?"

"Gue udah punya apartemen, iya, sih, cicilannya baru selesai delapan bulan lagi. Tapi intinya kan

gue udah gede, udah waktunya gue mandiri, dong.

Masa iya ntar gue kawin bini gue mau tinggal di

Nima Mumtaz

sini bareng Mama Papa." Senyum kecil menghiasi

bibirnya.

"Hahahhaaha ... bisa mikir juga lu, ya. Tapi kenapa cuma dua minggu sekali, gak tiap minggu aja,

sih, J. Kan kasian Mama Papa di rumah sendirian.

Mereka pasti kesepian."

Juna menutup buku tebal yang dibacanya,

menatapku ragu, kemudian berbaring miring ke

arahku dan melihatku tepat di mata.

"Sibuk Vio, selain itu karena Daiva nginep di sini

cuma dua minggu sekali. Weekend lain dia nginep di

rumah eyangnya atau di rumahnya sendiri."

Owww ... tentang Daiva lagi. Kok rasanya Juna

emang berkeras membawa Daiva dalam setiap topik

obrolan kami, ya, sengajakah?

Menyadari perubahan air mukaku, Juna telentang dan mengalihkan tatapannya ke langit-langit

kamar. "Gue tau lu pasti kesel. Cuma, coba, sih, Vi,

sekali-kali kita bahas masalah ini dengan kepala dingin dan pikiran terbuka. Sampai kapan lu mau lari

dari masalah ini??"

Aku masih diam, apa memang nasib, ya. Lari ke

Juna biar gak inget lagi jaman itu, eh malah diajakin

ngobrol tentang itu lagi.

"Daiva punya segalanya, Eyang yang mencintainya,

Oma Opa yang sayang sama dia, Om yang ganteng?di bagian ini dia nyengir lebar?sepupu

yang cantik, Budhe dan Pakde yang sudah menganggapnya anak sendiri, juga Daddy yang sangat

Cinta Masa Lalu

memujanya. Satu yang dia gak punya, Mommy-nya

yang ilang."

Juna memejamkan mata dan tersenyum getir.

Dahinya berkerut dalam.

"Mas Dave berusaha menyempurnakan apa pun

untuk Daiva. Pendidikan terbaik, fasilitas nomer

satu, keamanan dan kenyamanan, serta keluarga

yang lengkap. Dia gak lelah mengenalkan Daiva

pada kami, Mama, Papa dan aku serta keluarga

Mbak Sierra, sejak Daiva mengenal dunia ini. Dia

rela menempuh macet berjam-jam demi membawa

Daiva ke sini tiap dua minggu. Memberikannya

pada Mama-Papa dan menunggu di mobilnya

sampai sore karena kami tetap gak suka dia masuk

rumah.

"Hingga pada akhirnya secara bertahap kami

bisa menerima dia, si brengsek arogan yang narsisnya gak ketulungan. Walaupun dia tak pernah meminta penerimaan itu pada kami.

"Dia ingin Daiva tumbuh normal, senormal

anak yang lain. Dia gak ingin saat besar nanti Daiva

merasa minder atau menyalahkan dirinya sendiri.

Dia mengenalkannya pada silsilah keluarga, dari

mana dia berasal. Tentu saja Daiva sering bertanya ke mana mommy-nya, dan Mas Dave akan

selalu bilang bahwa mommy-nya sedang sekolah

di tempat yang jauh sekali. Dan tak bisa seringsering pulang. Dia sebenarnya juga bingung waktu

kutanya bagaimana kalau Daiva makin gede dan

ingin ketemu lu. Katanya itu urusan nanti." Juna

tersnyum pahit padaku.

Nima Mumtaz

"Sampai akhirnya dia nyadar tentang foto lu di

rumah ini dan dia tau kalau lu satu-satunya orang

yang gak pernah dia liat dan dikenalin daddy-nya

padanya. Pada akhirnya dia pun nanya apa ini

mommy-nya. Dan Mas Dave yang emang gak pernah bisa boong sama Iva cuma mengiyakan tanpa

berniat memberi penjelasan lebih jauh."

Tiba-tiba Juna mengembuskan napasnya pelan,

bergetar. Matanya berkaca-kaca.

"Sejak itu dia selalu ngeliatin foto lu Vi, bahkan

di ulang tahunnya yang kelima dia minta rambutnya

dibikin poni, persis kaya lu waktu SMP. Mama Papa

nangis waktu itu karena dengan polosnya dia bilang

dia mau kaya mommy-nya biar Daddy, Oma-Opa,

Uncle J, Budhe-Pakde, dan Kakak Ariella gak kangen sama Mommy. Karena dia bilang dia kangen

banget sama mommy-nya."

Aku tak bisa berkata apa-apa, mataku panas.

Namun aku bertekad tak akan meneteskan setitik

air pun dari sana. Sudah cukup, terlalu banyak.

"Seminggu abis itu dia demam, sakit, kecapean

kata dokter.Waktu gua ke rumahnya dia lagi tidur

sambil ngumpetin foto lu di balik selimutnya. Dia

ngigo manggilin mommy-nya. Mas Dave nangis

waktu itu. Dia sedih karena satu-satunya yang gak

bisa dia kasih, itulah yang dipinginin Daiva."

Juna berhenti bercerita, kulihat ada setitik air di

sudut matanya. Juna nangis? Jeda panjang ketika

kami sibuk dengan pikiran masing masing.

Cinta Masa Lalu

Daiva...

"Lu udah gak benci sama dia?" Satu pertanyaan

yang kulontarkan membuat Juna menoleh padaku.

"Gua kan udah bilang Vio, gua nyoba berdamai

dengan keadaan." Juna kembali mengembuskan

napasnya. Tampak sangat lelah.

"Dulu setelah Iva lahir, sebenernya Mama pingin

ngurus dia sendiri. Tapi kami semua terlalu sibuk

ngurus kepindahan lu ke Jogja. Dan melalui masamasa sampai lu bisa dibilang normal untuk kembali

menjalani hidup. Akhirnya Mas Dave yang ngurus Daiva. Sendirian aja, karena orangtuanya juga

terlalu stres dengan keadaan waktu itu. Om Salim

sempet menderita stroke ringan waktu itu."

Aku terenyak, satu fakta yang aku gak pernah

tau.
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, dia tak diacuhkan keluarganya. Gua gak tau

apakah karena itu atau karena setan emang udah

bosen nempel di otaknya, dia berubah, sangat drastis." Juna tersenyum sendu.

"Gue salut, dulu dia bener-bener sabar ngurus

Daiva. Dia sendiri yang bawa Iva ke dokter buat

imunisasi, juga belanja baju dan keperluan Daiva

sendiri ke supermarket. Pertama kali Mama ngebolehin dia nginep di sini gue kaget banget, pas pagipagi ngeliat dia ketiduran di sofa sambil mangku

Daiva. Katanya Iva gak bisa tidur di tempat asing,

jadinya rewel. Terpaksalah bayi itu dia ayun ke sana

kemari semaleman."

Nima Mumtaz

"Mungkin penebusan dosa, mungkin juga penyesalan atau mungkin perasaan bersalah berlebihan yang membuat dia seperti itu. Yang pasti dia bukan lagi Dave yang gue kenal dulu."

Tiba-tiba Juna berbalik menatapku "Vio, gua

gak minta lu maafin dia ataupun lu bersikap baik

sama dia. Itu hak elu. Gua cuma mau lu ngerti

alasan kita semua nerima dia. Gua bisa liat kok lu

gak terima sama sikap kami. Tapi ada satu yang gua

mohon ke elu, Vio, adekku yang paling cantik, tolong terima Daiva. Bagaimanapun, dia tetep anak

kamu." Juna mengelus kepalaku pelan.

Aku hanya bisa diam menerima semua penjelasan yang masuk bertubi-tubi. Rasanya otakku berontak gak mau nerima. Terlalu banyak. Bukan ini yang

kuharapkan dari kepulanganku. Bukan ini yang kuharapkan menyambutku kembali.

Dan heii ... apa tadi yang dibilang Juna? Adekku

yang cantik? Seingetku dalam 25 tahun hidupku ini

belum pernah Juna memanggilku dek atau menggunakan otoritasnya sebagai kakak padaku. Aku masih

saja diam, mencoba mencerna semuanya pelanpelan. Memprosesnya dalam kepalaku dan menyaringnya dalam otakku yang gak seberapa besar.

"Ke bawah, yuk, ah, bikin cokelat panas, kangen

gue minum cokelat panas malem-malem bareng lu."

Tiba-tiba saja Juna menarik tanganku dari ranjang

menghentikan semua hal yang sedang berperang

dalam benakku.

Cinta Masa Lalu

Kami sedang menyesap secangkir cokelat panas dalam diam ditemani setoples kecil chocho

chips cookies di meja dapur, benar-benar seperti

mengenang masa lalu. Dulu kami memang sering

banget bangun tengah malam membuat keributan

di dapur demi secangkir cokelat panas yang akan

membuat Mama mengomel di pagi hari karena

meja yang tak pernah kami bereskan dari bekasbekas cokelat bubuk dan susu. Kebiasaan yang akan

selalu berulang dan kami pun tak akan kapok walaupun Mama pada akhirnya akan menghukum

kami berdua.

Betapa waktu tujuh tahun telah mengubah banyak hal. Aku benar-benar merindukan saat-saat

seperti ini. Eh, apakah Juna masih suka melakukan

ritual cokelat panas kami, ya?

Tiba-tiba aku menyadari bahwa selama hampir

tujuh tahun ini tak ada apa pun yang kuketahui tentang keluargaku. Aku terlalu sibuk dengan duniaku

sehingga tak acuh dengan sekitar.

"Eh, J, lu udah kelar, kan, ya, kuliahnya? Kerja

di mana sih sekarang?" Aku bertanya sambil menghirup aroma cokelat yang menenangkan.

"Ealah, Vio ... Vio. Gue lulus dari kapan tau,

baru sekarang lu nanya. Gue udah kerja sekarang,

jadi asisten engineer." Kemudian Juna menyebutkan

sebuah perusahaan yang kutau berkantor pusat di

Jakarta Selatan.

"Keren, dong. Pantes lu bisa nyicil apartemen

segala. Tapi emang gaji asisten engineer cukup gitu

buat beli apartemen?" Aku mencibir ke arahnya.

Nima Mumtaz

"Kan gue bisnis sampingan yang laen, Vi. Belajar

bisnis dikit-dikitlah. Gue pingin mandiri, masa iya

mau selamanya jadi karyawan."

Aku hendak membuka mulut untuk bertanya

tentang kerjaan Juna lebih lanjut ketika ada sosok yang amat kubenci berdiri kaku di pintu yang

menghubungkan dapur dan ruang makan. Dia

tampak ragu dan berniat untuk berbalik ketika Juna

memanggilnya.

"Mau bikin susu buat Iva, Mas"

"Eh ... i ... iiya, mmhh ... mungkin ... mungkin

... nnanti aja." Suaranya gugup, bergetar.

"Gak papa sekarang aja, kasian Daiva ntar gak

bisa tidur lagi, loh." Juna berkata sambil melontarkan tatapan?gak usah protes lu?padaku.

Dengan langkah ragu dia berjalan melewati kami

menuju kitchen set di mana ada deretan toples beraneka warna berjejer rapi. Rupanya ada susu Daiva

di situ. Dan aku hanya bisa memelototi cangkirku

yang hampir kosong ketika Juna dengan santainya

mengajak si buduk itu ngobrol.

"Denger-denger Bhatara group mau ambil alih

kantorku loh, Mas, tau gak kabar itu?"

Sialan Juna. Ngapain sih dia begini. Ini kan

bikin aku lebih lama denger suaranya.

"Sebenernya itu udah lama J, perusahaan kamu

itu udah gak sehat sejak lama. Pemiliknya udah

mencoba banyak cara nyelametin tempatnya. Tapi

gak ada yang percaya sama managemen lama.

Gosipnya sih mere...."

Cinta Masa Lalu

"Daddy...."

Semua mata beralih ke asal suara bening itu.

Semuanya diam, bahkan si setan mesum yang sedang bicara tadi pun diam. Dan di sana kulihat sesosok kecil memakai piama bergambar Angry Bird

menatapku malu-malu. Takut, rindu, kecewa? Ahh,

entahlah apa yang kaupikirkan, Daiva. Mata polosnya tak lepas dariku barang sebentar.

"Haiii baby ... kok nyusul, sih? Daddy

kelamaan, ya? Maaf, ya. Yuk, kita balik lagi."

Kulihat si buduk itu menggendong Daiva pada

tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegang susu yang tadi dibuatnya. Gerakannya tampak

luwes sekali. Tiba-tiba Daiva berbalik menatapku

dan melambaikan tangannya ringan.

Kaget, itulah yang kurasakan. Untuk apa dia

melambaikan tangannya padaku. Bagai robot, tanpa sadar kuangkat tangan kananku dan membalas

lambaian tangannya. Segera saja senyum manis terukir di bibirnya. Satu yang baru saja kusadari, dia

memiliki lesung pipit yang sama persis denganku.

David

Badanku rasanya sudah remuk, tiap sendinya sudah menjeritkan protes berharap diistirahatkan.

Aku baru tiba tengah malam tadi karena ada urusan mendadak yang harus kuselesaikan di Makassar.

Aku tak membawa Iva kali ini karena masih hari

sekolah, dan juga karena ini di luar jadwal.

Nima Mumtaz

Sengaja kutitipkan Iva di rumah Mama karena

memang weekend ini jatah kami berlibur di sini.

Dan di sinilah aku, di halaman belakang keluarga

Ruslan, memperhatikan bidadari kecilku yang sedang berlari, melompat dan bernyanyi riang menarik perhatian Oma, Opa, Uncle dan daddynya.

Melihat dia yang tertawa lepas, penat di tubuhku

rasanya menguap entah ke mana.

Enam tahun sudah usianya, rasanya baru kemarin kugendong dia setelah suster membawanya

keluar dari ruang bersalin. Baru kemarin kuganti

popoknya. Baru kemarin aku bertemu dokter untuk

janji imunisasi. Tapi ternyata waktu berlalu begitu

cepat. Dia sudah menjadi gadis kecil yang sangat

cantik, mengingatkanku pada umurku juga yang

sudah bertambah tua.

Kulihat juga sudah banyak perubahan pada

Mama dan Papa yang sedang tersenyum pada

Daiva. Sudah banyak uban yang menghiasi rambut

Papa, kerut-kerut di sekitar mata dan mulutnya pun

terlihat jelas. Dan walaupun masih terlihat cantik,

tapi gurat-gurat kelelahan tetap terlihat membayang

di sekitar mata Mama.

Aku bersyukur, sangat. Untuk apa yang telah

kudapatkan sejauh ini. Untuk apa yang telah

Tuhan anugerahkan padaku. Walaupun apa yang

kurasakan sekarang harus melalui proses panjang

yang terlalu banyak rasa sakitnya, tapi itu sepadan

dengan adanya Daiva, pelipur duka lara bagi kami

semua.

Cinta Masa Lalu

"Daddy ... Iva punya tebakan." Suara melengking putriku menarikku dari berjuta lamunan.

Mata bulatnya menatapku cerah, senyum lebarnya

mengingatkanku pada sosok cantik yang hanya

akan berani kukenang. Si nona kecil.

"Kenapa kambing bau banget?"

Dia mengerutkan bibirnya, mengejekku yang sedang berpikir keras.

"Kambing memang dari sononya bau, kan?

Kadang udah jadi sate pun masih aja bau. Mau

dikasih parfum sebanyak apa juga tetep akan bau,

right?"

"Nyerah, Dad? Uncle J? Oma? Opa? Gak ada

yang tau, kan? Semuanya nyerah, yaa?" Dia berkacak pinggang melihat kami yang kebingungan dengan pertanyaannya

"Kambing bau karena keteknya ada empat.

Uncle J yang keteknya ada dua aja bau banget, apalagi kambing."

Dan meledaklah tawa kami berempat melihat

Daiva yang menutup hidungnya dramatis sambil

menunjuk ke arah Juna.

"Enak aja ngatain Uncle bau. Awas, ya nanti gak

ajakin kamu jalan-jalan lagi." Juna menangkap putri

kecilku yang hendak berlari padaku meminta perlindungan.

Kami semua hanya tertawa melihat Iva yang

berteriak-teriak karena Juna tanpa ampun mengelitiknya.

Nima Mumtaz

"Uncle J jeleekkkk aaa ... ampuunn ... lepass

... Daddy." Iva berteriak kencang namun Juna

masih saja menguncinya dalam pelukannya.

"Awas, ya, kalau Iva ulangin lagi, Uncle J gak

mau ajakin Iva maen ke rumah Kakak Liel."

"Kalau Uncle J gak ajakin Iva ke rumah Kakak

Liel, Iva bilangin Oma kalau Uncle J pacarnya banyak." Meleletkan lidah, Iva mengejek Juna.

"Tuh, kan, pasti ini Juna yang ngajarin. Jangan

ngajak Iva ngobrol aneh-aneh, dong. Masa anak

sekecil ini udah ngerti soal pacar." Mama menegur

Juna yang masih memeluk Iva.

Aku hanya bisa tertawa pelan, Juna dan Iva memang selalu seperti ini, saling ejek tanpa ada satu

pun yang mau mengalah. Mama bahkan pernah

bilang kalau mereka seperti Juna dan dia saat dulu.

"Kok kayanya ada suara orang di luar, ya? Tamu

mungkin. Mama liat dulu, ya." Mama bangkit dari

duduknya dan masuk ke dalam rumah.

Aku sedang membalas email yang masuk di gadgetku ketika Daiva berteriak minta turun dari pangkuan Juna dan menanyakan omanya yang tak kunjung kembali.

"Susul aja, sayang, Oma ada di dalem, lagi ada

tamu mungkin." Meletakkan cangkir tehnya, Papa

menarik tangan Juna untuk mengajaknya bermain

catur.

"Papa, mah, senengnya maen catur sama Juna,

sekali-kali sama Mas Dave, kenapa, Pa?" Juna memberengut kesal.
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cinta Masa Lalu

"Kalau sama Dave dia pasti gak mau menang,

maunya ngalah terus sama Papa. Jadinya gak asik

maen sama dia. Gak ada perlawanan." Papa mendengus kesal.

Aku hanya bisa tertawa. Yahhh, kan gak enak

menang terus lawan orang tua. Ini juga menyelamatkanku dari keharusan bermain catur dengan

Papa. Karena Papa kadang tak tau waktu kalau sedang ingin bermain catur.

"Omaa kok lama banget, siihh, siapa tamunya, Oma?"

Daiva nekat menyusul omanya masuk. Mungkin

tamu Mama penting, kurasa aku harus mengajak

Iva tidur siang atau main di kamar agar tak mengganggu Mama.

"Daiva...." Langkahku terhenti, aku membeku,

tak tau apa yang harus kulakukan. Dia ada di sana...

si nona keciku. Duniaku rasanya berhenti berputar

di mana sekarang kuberpijak. Dia ada di sini?

Tarikan lembut Daiva pada lenganku segera

menyadarkanku. Matanya penuh kebingungan.

Aku membungkuk, mendekatkan kepalaku ke arah

wajah mungil putriku. Tangannya dingin, dia pasti

sangat gugup, aku tau itu.

"Mommy...?" tanyanya tanpa suara.

Oh, Tuhan, apa yang harus kukatakan pada malaikat kecilku ini? Melihat mata beningnya yang

penuh pengharapan, dan seolah kubisa menangkap

debar jantungnya yang memburu. Apakah aku harus berbohong padanya? Tapi mungkinkan? Entah

Nima Mumtaz

sudah berapa banyak waktu yang dihabiskan putriku untuk mempelajari detail foto orang yang dia

sebut mommy. Entah sudah berapa kali dia bertanya tentang mommy. Dan entah sudah berapa

gambar yang dia buat tentang mommy, daddy, dan

dirinya sendiri. Tapi aku takut melanggar janjiku

pada Viona jika kukatakan yang sebenarnya. Ahh

Tuhan.

Aku hanya bisa menganggukkan kepala lemah,

pasrah terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya.

Seketika itu kulihat dua bola bening itu berkacakaca, dan dia memelukku erat. Terisak di leherku.

Putriku, aku tau bagaimana perasaanmu.

Segera aku bawa Daiva ke kamar yang kami tempati, mengantisipasi segala kemungkinan yang akan

terjadi. Aku tau ini pasti akan sangat mengejutkan

Vio. Aku tak mau terjadi sesuatu yang buruk mengingat tidak stabilnya emosi Vio.

Benar saja, tak lama kudengar suara gaduh dari

lantai dua, kamar Viona. Suara tumbukan, barang

yang pecah, jeritan dan umpatan-umpatan kasar.

Tuhan, aku tak ingin Iva mendengar semua ini.

Segera kuberlutut di depan Iva yang duduk di atas

tempat tidur kami. Aku harus menghindarkannya

dari semua ini.

"Daiva mmhh Daddy masih banyak banget

kerjaan yang harus diselesaikan. Banyak juga pekerjaan yang Daddy tinggal di rumah. Malam ini kita

pulang, ya, tidur di rumah."

Cinta Masa Lalu

Bisa kulihat sinar matanya meredup, suram.

Kepalanya menunduk. Kesedihan tercetak jelas di

wajah mungilnya.

"Tapi ini kan baru Sabtu, Daddy, biasanya kan

kita pulang Minggu sore, masih semalem lagi kita

di sini. Iva gak mau pulang." Kemudian sebutir air

mata jatuh di pipi chubby-nya.

Tuhan, haruskah semua ini kau persulit? "Iya,

Daddy tau. Tapi sekarang ini Daddy bener-bener

banyak kerjaan, baby, mmm, gimana kalau nanti

kerjaan Daddy udah selesai, Daddy ajak Iva jalanjalan ke kebun binatang?"

Daiva masih menggeleng. Tapi aku sudah membulatkan tekad. Segera saja kuberekan barang-barang kami dan menuntun Daiva keluar.

Juna duduk di anak tangga, sedang Papa mengetuk-ngetukkan sandalnya di lantai. Wajah mereka

tegang.

"Mau ke mana Dave?" Papa tampak kaget melihatku yang menenteng tas menginap kami.

"Pulang, Pa," jawabku singkat. Mereka pasti

mengerti, kan? ini situasi yang sangat sulit untuk

kami semua. Tapi kulihat ketidaksetujuan dari

tatapan Juna. Kemudian bisa kurasakan Iva melepaskan genggaman tanganku dan duduk di sudut

kaki tangga.

Hahhhh ... harusnya aku tau, takkan semudah

itu membujuk Daiva. Dia takkan menyerah kalah


Goosebumps 5 Kutukan Makam Mummy Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi

Cari Blog Ini