Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz Bagian 2
sebelum seluruh kekuatannya habis?dia memang
Nima Mumtaz
mewarisi bakat keras kepala yang cukup besar dari
dua orang yang sangat keras kepala.
Setengah jam itu kami bertiga berusaha keras
membujuk Daiva?lebih tepatnya aku membujuk
Iva pulang sedang Juna dan Papa membujukku
tinggal?tapi aku tak mau keadaan makin runyam.
Aku harus menghindarkan kami semua dari kondisi
tak enak ini. Dan aku yang harus mengalah, kan?
karena ini memang bukan rumahku.
"Jangan pergi dulu, Mama sedang membujuk
Vio di atas." Papa kembali meyakinkanku.
"Nggak papa, Pa. belum saatnya ini semua terjadi. Saya gak mau Vio syok. Sebaiknya saya segera
pulang." Walaupun aku sendiri tak yakin saat melihat Iva menangis dalam diam.
Ketika Juna kemudian naik ke lantai dua, aku
tak tau apa yang dilakukannya sampai akhirnya
Mama turun dan membujuk Daiva. Menenangkan
tangisannya.
Tapi Daiva tetaplah Daiva, dia bahkan tak mau
mengangkat wajahnya yang disembunyikan di kedua lututnya yang ditekuk. Dan aku hampir kehilangan akal ketika kemudian dia mengangkat
muka menatap Mama. Mata beningnya terluka.
Seketika hatiku hancur ketika bibir mungilnya melempar pertanyaan yang tak pernah kuduga.
"Kenapa Iva harus pulang, Oma? Apa salah
Iva? Apa Mommy gak mau ketemu Iva, Oma? Apa
Mommy benci sama Iva? Kenapa Oma?"
Cinta Masa Lalu
Mama tergagap, berusaha menyembunyikan
air mata yang gagal dicegahnya turun, kemudian
membawa putri kecilku dalam dekapannya. Aku
terduduk, tak tau lagi apa yang harus kulakukan.
Suaranya yang sarat akan kesakitan menyayat hatiku
tajam. Putriku, maafin Daddy, sayang.
Aku tak tau apa yang kemudian diusahakan
Mama, Papa dan Juna. Tapi pada akhirnya kami
kembali menginap malam itu, dengan satu syarat
dari Mama, bahwa kami tak boleh menampakkan
diri sama sekali pada Viona.
Apa pun lah, Mam, yang penting aku tak harus
melihat tangisan bidadari kecilku lagi.
****
Bayangan Viona yang kulihat tadi siang tetap menari di depan mataku. Dia sudah sangat berubah,
jauh berbeda dari yang terakhir kulihat tujuh tahun
yang lalu. Tentu saja dia masih cantik?makin cantik kurasa?namun dia lebih tinggi, pipinya tak lagi
chubby seperti remaja dan sorot matanya, itu yang
membuatku tersiksa, sorot matanya penuh dendam. Dendam yang amat dalam. Dan aku sangat
menyadari kepada siapa dendam itu ditujukan.
Taukah Viona aku sangat merindukanmu.
Kupejamkan mata mencoba untuk tidur, juga
untuk menghapus semua yang serasa berputar di
depan mata bagai kilasan flash back sebuah film
Nima Mumtaz
dokumenter. Namun gagal. Rupanya dosa ini terlalu besar kubuat untuk mendapat pengampunan.
Kulirik jam di atas meja, 01.15 ketika kulihat
putriku terbangun dan meminta segelas susu.
Kebiasaannya dari kecil kalau terbangun di tengah
malam. Aku pun bergegas ke dapur untuk memenuhi permintaannya. Kebetulan aku juga sangat
haus, dan air yang ada di teko sudah habis kuminum tadi.
Langkahku terhenti di pintu ruang makan. Ada
dia di sana.
Kulihat dia dan Juna sedang memegang cangkir
dan ngobrol bersama. Tuhan, aku rindu senyum
itu, raut wajah bahagia itu. Aku sangat rindu. Tapi
kemudian dia terdiam melihatku, bisa kulihat tubuhnya menegang. Oh, bumi, telan saja aku karena
telah menghilangkan senyum dari wajah itu hanya
dengan kehadiranku. Karena telah menghilangkan
sinar bahagia dari hidupnya.
Tapi Juna memang selalu menjadi penyelamat.
"Mau bikin susu buat Daiva, Mas?"
"Eh ... i ... iiya, mmhh ... mungkin ... mungkin
... nnanti aja." Aku panik, terjebak dalam situasi tak
nyaman.
"Gak papa sekarang aja, kasian Daiva ntar gak
bisa tidur lagi, loh."
Sepertinya aku tak punya pilihan selain menurut
apa kata Juna. Dan dasar Juna, dia berusaha menghilangkan kekakuan di antara kami dengan mena80
Cinta Masa Lalu
nyakan tentang akuisisi Bhatara group pada kantor
tempatnya bekerja?pertanyaan yang sudah kami
bahas panjang lebar pagi tadi?bagaimanapun,
thanks, J.
Suara Daiva memutuskan obrolan terpaksa
kami, juga menempatkanku di posisi mundur. Satu
yang kutau setelah itu, senyum bahagia Daiva yang
tak kumengerti.?
Ada apa, sayang?
Mendung Itu Bernama Luka
2005
Viona
Apakah malam sudah datang?? Kenapa semuanya
gelap?
Sunyi sekali. Kenapa tubuhku terasa nyeri, sakit
semua, seluruhnya, terutama di sana.
Kenapa lari pagi kali ini sungguh melelahkan?
Mungkinkah aku kurang pemanasan. Tapi tubuhku
sangat sakit, terlalu sakit.
Dingin, sangat dingin. Terlalu dingin.
Hari ini pun terasa aneh, sangat aneh. Sungguh
terlalu aneh.
Mama....
Papa....
Juna....
Semuanya ke mana?
Mana Diaz? Bukannya dia menungguku?
Aku harusnya menelepon Diaz, ya, kan?
Cinta Masa Lalu
Tapi mana handphoneku?
Kenapa semuanya dingin?
Kenapa semuanya sakit?
Mama....
Arjuna
Ada yang aneh dengan Vio.
Aku ingat hari itu, kami baru pulang dari resepsi
pernikahan Mas Arif?adik Mas Ezra?di Bogor.
Karena Mama kangen dengan Ariella, sekalian
saja kami mampir di rumah Mbak Sierra hingga
sore hari, sampai akhirnya kami tiba rumah sudah
malam.
Sebenernya, sih, kami tak berniat meninggalkan
Vio di rumah. Tapi aku meyakinkan Mama dia tak
akan pulang cepat karena kemaren Diaz sudah bilang akan menemani Vio lari pagi di taman, merencanakan aksi romantis buat nembak Vio?finally
nyadar juga dia kalau suka sama Vio. Akhirnya
Mama Papa pun setuju karena memang tak akan
lama lagi Vio meninggalkan Indonesia. Kami memang sudah sepakat apa pun yang Vio mau akan
diturutin, asal Vio seneng di hari-hari terakhirnya
di sini.
Keanehan pertama kusadari ketika kami tiba
di rumah. Tak ada suara Vio yang melengking
menyambut kami. Aku sebenernya yakin banget
dia akan marah-marah dan mengoceh tiada henti
Nima Mumtaz
karena kami mampir ke rumah Mbak Sierra tanpa
dia. Dia sayang banget sama si kecil Ariella, jadi
pastinya dia akan ngambek berhari-hari kalau tau
kami tak menyertakannya. Tapi saat kami datang,
rumah sangat sepi. Gak ada tanda-tanda keberadaan
Vio.
Mbok Nah bilang Vio pulang jam setengah
empat sore, langsung masuk kamar dan tak keluar
lagi. Setengah empat sore? WOW, ke mana aja tuh
bocah berdua seharian. Tapi yang makin aneh kata
mbok Nah Vio gak turun lagi, bahkan untuk makan
malam! ini sudah super duper aneh. Vio, si omnivora?bahkan kalau ban mobil bisa dimakan pasti
akan diganyangnya?gak makan malem? Apalagi
dia baru lari pagi. Bisa dipastiin dia akan nguras
kulkas sepulang jogging. Tapi mungkin Diaz sudah
membawanya makan di luar, hhhmm mungkin
saja. Walau tetep aneh menurutku.
Kudengar suara shower ketika melewati kamar
Vio. Pintu kamarnya sedikit terbuka, lampunya tak
menyala. Tumben Vio mandi jam segini, biasanya
dia kan gak pernah mandi malem-malem. Lagi kesambet kali ni bocah, dasar aneh.
Angka di jam sudah menunjukan pukul sepuluh
malam, mataku pun sudah berat rasanya memelototi deretan angka-angka yang seakan mengejekku
riang. Dosen statistikku kali ini gak tanggung-tanggung ngasih tugas. Sampai modul yang kupegang
Cinta Masa Lalu
lecek, tetep aja otakku gak kebuka buat kelarin
tugas yang segambreng ini.
Bosennnn banget....
Lebih baik aku tidur aja sekarang dan membangunkan Vio tengah malam nanti untuk ritual
cokelat panas kami.
Akan tetapi, sudah lima belas menit berlalu,
mataku tetap tak mau terpejam. Aku butuh penyegaran dan seperti biasa penyegaran itu adalah Vio.
Ah, kangen banget aku sama adekku satu itu.
Gak akan lengkap hari ini tanpa teriakan kesal juga
cibiran mautnya.
Seperti kebiasaanku tiap malam untuk mengusilinya, dengan nekat aku masuk ke kamarnya
yang anehnya gak dikunci. Ini makin aneh lagi, Vio
selalu mengunci pintu kamarnya saat mau tidur.
Dia takut aku masuk dan mengerjainya, itu yang
selalu dia katakan.
Kamarnya gelap, jendelanya belum ditutup?
jam segini? Pintu kamar mandi terbuka, tapi lampunya gak nyala dengan suara shower yang mengalir
tanpa ada suara lain. Tunggu, bukannya tadi ketika
aku lewat ada suara shower, dan itu sudah sejam
yang lalu! Vio mandi selama itu? Aneh, ke mana
Vio? Setelah menutup jendela dan menyalakan lampu aku masuk kamar mandi berniat menutup keran
shower ketika kulihat sesosok tubuh meringkuk di
lantai kamar mandi. Dia basah kuyup.
Jantungku berhenti berdetak. Setankah? Tapii....
VIO!!!!!!!!
Nima Mumtaz
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"MAMA....!!!!!!!!!"
"PAPA...!!!!!!!!!!!"
Aku berteriak keras. Kepanikan menyerbuku.
Segera kuangkat tubuh mungil Vio ke atas ranjang. Aku tak peduli pada tubuhnya yang basah, aku
tak peduli bajuku juga basah, aku tak peduli pada
karpet kamar yang basah, aku tak peduli. Kenapa
kamu, Dek????
Tubuhnya dingin, sangat dingin. Jari-jarinya
mengerut, bibirnya membiru dengan wajah pucat
bagai kapas, kulitnya seperti tak pernah dialiri darah.
Aku pikir Vio pingsan di kamar mandi, tapi
anehnya matanya terbuka, tatapannya kosong, dia
sadar. Dan hanya menggumamkan kata ?mama?.
Mama menangis histeris, Mbok Nah mengganti
baju Vio dengan menangis, Papa menelepon dokter
panik. Aku hanya mondar-mandir kebingungan.
Kutelepon Diaz, ingin tau yang terjadi. Ponselnya
mati, kutelepon rumah Om Arman, namun kata
Tante Ayumi Diaz mendaki gunung Gede bersama
teman-teman pencinta alamnya. Dan baru akan
pulang tiga hari lagi. Mereka berangkat dari Jakarta
siang hari menuju Bogor. Berarti siang tadi Vio gak
bareng Diaz, lalu dia sama siapa?
Keadaan makin sulit saat Vio tak mau diperiksa oleh dokter, dia menjerit panik dan meringkuk
ketakutan. Dia tak berhenti menangis dan hanya
mencari Mama.
Cinta Masa Lalu
Dokter bilang Vio dehidrasi berat dan syok.
Syok? Kenapa? Dokter merekomendasikan Vio
diopname di RS. Tapi sepertinya keadaan tak memungkinkan. Vio seperti terserang panik parah dan
ketakutan akut. Akhirnya dia hanya dipasang infus
agar tak makin kehilangan nutrisi berlebih.
Malam itu Vio tidur dalam pelukan Mama
setelah meminum obat penenang dari dokter. Aku
dan Papa ikut tidur di kamar Vio, tapi kami samasama tak bisa memejamkan mata barang sebentar.
Kenapa kamu, Dek?
Pagi itu aku telepon Mbak Sierra, dia berjanji akan
segera datang setelah izin cuti ke Rumah Sakit untuk hari ini. Vio sudah bangun dan hanya meringkuk seperti bayi di ranjangnya. Tubuhnya berbalut
bedcover tebal. Dia sudah berhenti menangis, tapi
dia sangat diam dan tatapannya kosong.
Membawa semangkuk bubur ayam, aku duduk
di tepi ranjang di dekatnya. Dia hanya melihatku
dengan sinar mata hampa saat kupanggil namanya
untuk kelima kalinya. Selanjutnya dia hanya menggeleng atau mengangguk.
"Vio, boleh gak aku peluk kamu?" kataku setelah
bingung dengan sikapnya sepanjang pagi ini. Dia
pun hanya mengangguk dan bergerak bagai robot
ke arahku, menyandarkan kepalanya di dadaku.
"Kamu kenapa, sih, Vi, ngomong, dong, sama
aku." Dia pun kembali menggeleng.
"Makan, ya?" Dia mengangguk.
Nima Mumtaz
Lalu kusodorkan sesendok demi sesendok bubur
ke mulutnya, yang kemudian langsung ditelannya
tanpa berpikir. Aku mencoba mengajaknya mengobrol. Tapi malah seperti orang bodoh yang ngobrol
dengan boneka. Setelah seperempat mangkuk aku
mencoba membuat lelucon untuk membuat dia tertawa.
"Kamu, tuh, baru juga mau ditembak Diaz udah
kaya gini. Jangan bilang kamu syok gara gara Diaz
minta kamu jadi pacarnya, ya. Apa kalian udah
jadian sekarang? Gak usah ngumpetin apa-apa, deh,
sama aku, kemaren Diaz udah ngomong, kok, tentang rencana nembak kamu di taman kota." Panjang
lebar aku nyerocos tanpa henti saat kemudian kurasakan tubuhnya membeku di pelukanku. Dia menolehkan kepalanya padaku seperti robot, matanya
menatapku tak berkedip, setetes air mata jatuh dari
matanya yang sudah bengkak diikuti setetes lagi dan
ratusan tetes berikutnya. Tapi tetap tak ada suara
apa pun yang keluar dari mulutnya.
Ya, Tuhan, Dek, kamu kenapa?
Siang hari ketika Mbak Sierra dateng kami sudah
berharap banyak, semoga kali ini Vio mau diperiksa sama Mbak Era. Tapi tampaknya harapan itu
tak akan terwujud. Vio malah panik ketika Mbak
Sierra hendak menempelkan stetoskop ke dadanya.
Dia menjerit dan menendang apa pun yang ada di
dekatnya. Mama syok dan menangis. Kami semua
makin tak mengerti.
Cinta Masa Lalu
"Juna, ceritakan pada Mbak apa yang terjadi."
Mbak Era menginterogasiku di ruang makan saat
Mama dan Papa menemani Vio di kamar.
"Aku juga gak tau pasti, Mbak, kemaren dia
berangkat jogging jam enam pagi ke taman kota
karena Diaz ngajak ketemu di sana. Juna, sih, tau
kalau Diaz mau nembak Vio, makanya kami semua
ngebiarin Vio pergi dan gak ke resepsinya Mas Arif.
Pulang dari rumah Mbak Era udah jam sembilan
malem, saat itu Vio udah masuk kamar. Kata Mbok
Nah, Vio pulang jam setengah empat sore langsung
masuk dan gak keluar kamar sampai Juna nemuin
dia di kamar mandi jam sepuluh malem." Aku
menjelaskan dengan runtut kejadian semalem.
"Diaz?"
"Kata Tante Ayumi si Diaz pergi bareng tementemennya ke gunung Gede, kemaren siang mereka
berangkat dari Jakarta dan baru balik tiga hari lagi."
"Dan dia bersikap seperti itu dari semalem, J?"
"Iya, Mbak, teriak, ketakutan dan menangis gak
berenti-berenti. Dia juga gak mau ada orang deketdeket dia selain Mama, Papa, sama aku, Mbak."
Bisa kulihat kekhawatiran yang amat nyata di mata
Mbak Era ketika kutatap dia.
"Aku bingung, Mbak, kenapa, ya, sama Vio?"
"Aku curiga, J, tapiii ... ahhh mungkin kita harus
minta pendapat profesional dulu."
"Maksud Mbak Era??"
"Aku pikir keadaan Vio lebih parah dari yang
kita duga di permukaan. Ehh, siapa yang mengantar
Nima Mumtaz
Vio kemarin? Atau dia naik taksi ke rumah? Barangbarangnya gimana?"
"Kata Mbok Nah Vio dianter pake mobil bagus,
Mbak, tapi Mbok Nah juga gak tau jenis mobilnya
atau siapa yang mengantar. Dompet dan ponselnya
utuh dan gak cacat sama sekali." Kutatap Mbak Era
yang tampak makin bingung.
Kemudian Mbak Era mengeluarkan ponselnya
dan menelepon seseorang
"Halo Dokter Dita, maaf mengganggu, iya,
bener ini Sierra. Gini, Dok, saya mau minta tolong
bisa...?" Setengah jam kemudian Mbak Era mengakhiri panggilannya setelah ngobrol panjang dengan rekan sejawatnya.
Wajahnya tampak sangat tertekan. Lama Mbak
Era hanya termenung seperti tak memedulikan sekitarnya lagi. Aku bahkan nyaris yakin kalau Mbak
Era lupa aku ada di sana saat kemudian dia memanggil namaku lemah.
"Juna, Mbak Era belum yakin seperti apa keadaannya, tapi Mbak curiga...."
Mbak Era menggantung kalimatnya, dan ini
malah membuatku panik. Ada air menggenang di
pelupuk matanya.
"Mbak Era ngasih tau kamu sekarang biar kamu
bisa nyiapin diri dan juga Mama dan Papa kalau
benar ini kejadiannya, J." Suara Mbak Era bergetar
hebat, air matanya deras mengalir.
"Kenapa, Mbak?" Kugoncangkan bahunya
meminta penjelasan.
Cinta Masa Lalu
"Sepertinya ... sepertinya ... Viona mengalami
pelecehan ... pelecehan ... sek ... seksual."
APA!!!!!!!!!!!
Seakan jutaan petasan meledak tepat di telingaku. Duniaku berhenti di tempat kuberpijak. Ini
bercanda, kan? Ini gak bener, kan? Vioku ... boneka
kecilku ... adikku, ya Tuhan....
ARRRRGGGHHHHH!!!!
Aku tak menyadari apa pun ketika akhirnya
kurasakan bibir gelas yang dingin menempel di mulutku. Setelah seteguk besar air dingin, Mbak Era
memelukku erat, matanya masih basah. Aku hancur, rasanya aku tak akan sanggup menerima semua
ini. Ya Allah, aku gak bisa jagain adekku. Ini semua
salahku.
Sore itu ketika akhirnya psikolog temen Mbak
Era menegaskan kondisi mental Vio, kami semua
syok. Sebenarnya teman Mbak Era belum berani
memastikannya karena membutuhkan pemeriksaan
fisik. Tapi sepertinya pemeriksaan fisik itu tak akan
pernah bisa dilakukan karena Vio sama sekali tak
mengizinkan orang lain membuka bajunya. Dia tak
berhenti menjerit dan menangis saat ada orang tak
dikenalnya mendekat.
Mama pingsan berkali-kali, Mbak Era tak berhenti menangis di kamarnya, Papa sangat syok
dan mengurung diri di ruang kerjanya. Aku hanya
bisa duduk berselonjor di depan kamar Vio tanpa
melakukan apa pun. Bagaimana aku bisa menatap
mata Vio untuk tahun-tahun yang akan datang.
Nima Mumtaz
Bagaimana aku bisa tertawa lagi di depannya. Tanpa
melihat kehancurannya, tanpa melihat jiwanya yang
patah.
Tuhan ... dia baru 18 tahun, dia masih sangat
muda. Dia bahkan masih sering tidur bersama
Mama Papa. Dia masih suka menggunakan pita
warna-warni pada jepit rambutnya. Dia masih
anak-anak. Kenapa Tuhan?
Siapa? Siapa bajingan ituuuuu??
AKAN KUPATAHKAN TANGAN ORANG YANG
SUDAH MENYENTUH VIOKU, AKAN KUHAJAR
DIA SAMPAI DIA MENYESAL SUDAH PERNAH
DILAHIRKAN KE DUNIA INI....
INGIN KUBUNUH DIAAAAA....
Sejak saat itu hari-hari di rumah kami berlangsung muram. Mama masih saja suka menangis. Di
malam hari kami selalu saja mendengar teriakan Vio
yang terbangun dari tidurnya, yang pada akhirnya
dia tak akan bisa tertidur lagi dan hanya meringkuk
gemetaran dan menangis tanpa suara.
Saat bertemu Diaz tiga hari berikutnya jawabannya makin membuatku bingung. Diaz bilang hari
itu Vio gak pernah dateng menemuinya, makanya
dia berpikir Vio menghindarinya karena takut
akan pernyataan cintanya. Itulah mengapa Diaz
nekat menerima tawaran temannya untuk mendaki
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gunung Gede hari itu.
Cinta Masa Lalu
Mbak Era meyakinkan Mama Papa untuk meminta bantuan psikiater agar kondisi kejiwaan Vio
tak terganggu. Papa menyetujui saja karena kami
rasa tak ada pilihan lain lagi.
Vio pun masih tak bisa diajak bicara. Dia hanya
diam dan meneteskan air mata saat kami menyinggung kejadian Minggu pagi itu.
Papa pun mengurus ini ke pihak yang berwajib
dengan bantuan teman Papa di Mabes Polri. Tapi
tampaknya semuanya menemui jalan buntu karena
tak ada satu petunjuk pun yang mengarah pada tersangka.
Kami melakukan semua itu dengan sembunyi-sembunyi. Tak ada siapa pun yang diberi tau, bahkan tidak saudara dekat. Karena kami tak ingin Vio nantinya menanggung malu di masa depannya. Kami tak
pernah tau sampai kapan Vio seperti ini.
Vio juga diungsikan ke tempat Mbak Era di Bogor.
Untuk suasana baru, begitu alasan Mbak Era.
Kebetulannya juga intensitas tugas luar Mas Ezra
yang tinggi membuat Mbak Era dan Ariel sering ditinggal pergi, sehingga Mas Ezra malah senang saat
Mama dan Vio pindah ke sana. Papa pun sering bolos kerja untuk menemani Vio di Bogor. Kuliahku
pun terganggu karena aku lebih sering mengendarai
motorku berkeliling Jakarta mencari entah apa yang
kucari.
Nima Mumtaz
David
Kuperhatikan sebongkah es yang perlahan jatuh di
dalam gelas. Ada dua pecahan besar di sana, berdesakan memperebutkan tempat yang tak begitu luas.
Kutuang lagi isi botol di depanku untuk mengisi
gelasku yang telah kosong sedari tadi. Entah sudah
berapa gelas wine mengaliri tenggorokanku. Malam
ini aku ingin minum, minum, dan minum.
Masa bodo dengan semua. Aku lelah, sangat.
Mmmhhh ... mungkin ikutan karaoke di bawah
asyik juga hehe, pemikiran iseng itu melintas di kepalaku.
Tidak, aku tak mabuk, jangan khawatirkan itu
kawan. Daya tahan tubuhku cukup baik pada alkohol. Aku hanya frustrasi. Ya, seorang David Raditya
Arkhan bisa frustrasi juga akhirnya.
Aku tenggelam dalam frustrasiku karena aku
tak kunjung mendapat kabar dari si nona kecilku,
Viona. Sudah sebulan lebih dari hari Minggu pagi
yang fantastis di apartemenku. Sebenarnya aku
berniat menemuinya lagi Senin berikutnya. Tapi
ternyata mendadak aku harus menggantikan Papi
ke Batam untuk pembukaan hotel baru kami, dilanjutkan dengan konferensi bisnis di Bangkok selama
empat hari. Setelah kembali ke Jakarta aku seperti
kehilangan jejak Viona.
Kudatangi rumahnya tapi kondisinya kosong,
terkunci. Kucoba menelepon rumahnya, tapi tak
ada satu pun yang mengangkat, kucoba mencari
Cinta Masa Lalu
nomor ponselnya melalui Ghea?setelah transaksi
bibir kami di mobilku, juga sebagasi penuh belanjaan yang berisi berbagai benda bermerk luar negeri?tapi nomornya pun tak aktif. Aku pusing,
pusiiiiiing banget.
Aku tak bisa melupakannya, bener-bener gak bisa.
Rasanya semua hal mengingatkanku pada dia. Rambutnya, wajahnya, kulitnya, suaranya aaaarghhh.
Kemarin aku meminta Alex memesankan satu
cewek untukku. Aku makin frustrasi karena sebulan lebih tak bercinta. Perempuan itu sudah melepas
semua bajunya, telanjang bulat di depanku, kuminta dia berputar, menari atau apalah terserah agar dia
bisa membangkitkan nafsuku. Tapi tak ada apa pun.
Bahkan desir halus pun tidak.
Aku selalu membandingkan apa pun dengan
Vio. Rambut perempuan itu tak sepanjang Vio, bibirnya tebal tak seperti bibir Vio. Dadanya terlalu
besar. Dia terlalu tinggi, kulitnya terlalu putih, tak
ada lesung pipit pada senyumnya, pahanya terlalu
ramping. AKU MAU VIO.
Viona kamu ke mana, sih???
"Makin kacau." Andro bergumam sambil memutarmutar gelasnya.
Alex dan Julian menatap Andro bingung." Gua
ketinggalan apa, nih?" Julian bertanya tak mengerti.
Nima Mumtaz
Aku pun menoleh ke arah Andro tak mengerti.
Apa yang dia bilang tadi?? Dia ngajak aku ngobrolkah?? O, ya aku sedang ada di markas kami di pub
Andro, kan? Kenapa bisa lupa gini, ya.
"Gua bilang tuan David Raditya Arkhan ini
makin kacau, liat aja udah berapa batang rokok dia
isep. Hampir sebotol wine dia minum sendirian.
Tampilannya juga kayak gak mandi lima hari, kucel, berantakan." Andro menjelaskan pada Alex dan
Julian.
"I see, kenapa Dave? Saham lu jatoh? Atau lu
dicoret jadi pewaris tunggal jaringan hotel Arkhan
Group?" Alex bertanya padaku santai.
"Hah, kalau cuma dicoret dari warisan bokapnya
dia mah pasti masih tenang-tenang aja, dia kan masih punya simpenan dari warisan kakeknya." Andro
terkekeh geli. "Pasti lolita, kan, Dave?"
Kepalaku mulai berdenyut ringan. Ingatan tentang Vio makin memperparahnya.
"Gua gak bisa nemuin dia, gak tau di mana dia."
Masih kulihat titik-titik embun di gelasku.
"Siapa, sih?" Alex dan Julian bersamaan menatapku.
"Sepupu Ghea, yang waktu itu kita obrolin.
Siapa bro namanya? Vina?" Andro tersenyum padaku.
Julian terbatuk, hampir saja dia menyemburkan
minumannya, "Lu becanda, kan, Dave? Heeiii lu
bilang dia baru delapan belas."
Cinta Masa Lalu
"Vio, Viona namanya. Dan delapan belas tahun
itu udah gede secara hukum, bro, lagian gua juga
udah telanjur."
"Maksud, lu?" Julian dan Andro bersamaan berteriak padaku.
Hhhhhhh kuletakkan gelasku di meja dan
menatap mereka bergantian. "Gua udah nidurin dia
sebulan yang lalu dan sekarang gua kebingungan
karena gua gak bisa nemuin dia, puasss? Ada yang
mau ditanyain lagi?"
Julian melotot, Alex menatapku tak percaya sedangkan Andro hanya mengangkat alisnya.
"Kenapa lu cari lagi dia? Bukannya tujuan lu
udah lu dapet? Selesai, kan?" Andro kembali memainkan gelasnya.
Kurebahkan punggung ke sandaran sofa dan
memejamkan mataku, lelah.
"Justru itu, gua gak bisa, sob. Gua pingin ketemu
dia lagi, rasanya gak cukup cuma sekali. Dia melebihi ekspektasi gua selama ini. Gua mau dia jadi
milik gua, gua gak mau dia jadi milik orang lain.
Kayanya gua mau jadiin dia pacar, deh, gimana
menurut lu?" Bayangan Viona melintas lagi di mataku.
"Katanya lu gak mau terikat dulu, gak ada
komitmen sampai lu tua, mau seneng-seneng dulu,"
Andro mencibir padaku.
"Gua gak bilang mau kawin sekarang, bro, gua
cuma bilang mau jadiin dia pacar. Gak rela gua
kalau nanti dia nemu cowok baru di Wellington."
Nima Mumtaz
Kubentak Andro yang malah terkekeh geli mendengar jawabanku.
"Terus sekarang masalahnya?" Alex bertanya
sambil memainkan gadgetnya. Hahhh pasti pesen
cewek lagi!!
"Gua gak bisa nemuin dia, dan ini udah lebih
dari sebulan. Gua udah ke rumahnya, nyari nomor
teleponnya, nanya ke Ghea. Dan sebelum lu tanya,
dia belum berangkat ke Wellington karena gua juga
udah cek ke imigrasi." Aku makin kesel aja sama
mereka.
"Weiiitttssss ... sampai segitunya? Gua rasa
bakalan panjang kisah kali ini atau mungkin dia gak
puas ama performa lu di ranjang bro, makanya dia
gak mau ketemu lu lagi?" Julian terbahak-bahak di
sambung dengan Alex yang terkekeh di sampingnya.
"Sialan ... serius, sob, gua gak minat becanda." Kulemparkan bungkus rokok ku pada kepala
Julian.
Tawa mereka bertiga makin membuatku kesal.
Masih untung Broto berhalangan datang sehingga
koor tawa itu gak maksimal volumenya.
"Udahlah, gua cabut duluan." Kusambar jas
yang tadi kutinggalkan di lengan sofa.
"Tunggu, Dave, cewek-cewek ini gimana?
Bentaran lagi mereka datang." Alex berusaha menahanku.
"Ambil aja semua, Lex, gua gak minat. Satusatunya yang gua mau lagi ngilang sekarang." Tos
Cinta Masa Lalu
Alex dan Julian membuatku tersenyum. Andro
menatapku tajam.
"Yakin mau balik sekarang, Dave? Mau gua anter?" Andro mengantarku sampai pintu.
"Gak usah, bro, gua bisa balik sendiri. Lagian
gua juga butuh sendirian." Kutepuk bahunya lemah.
"Oke, tapi hati-hati di jalan Dave, gua gak pernah ngeliat lu kaya gini. Kalau boleh gua kasih saran, sih, kali ini lu kejar cewek yang satu ini." Aku
melihat kesungguhan di matanya. Dan itu cukup
untuk malam ini.
****
Guyuran air dingin membuatku tenang, mendinginkan apa pun yang mencoba keluar dari otakku yang panas. Sengaja kuberlama-lama di shower,
menikmatinya. Mau tak mau aku pun mengingat
Minggu pagi hari itu. Dia pun ada di sini, di kamar
mandiku yang luas, rasanya aku tak akan pernah
bisa lupa, saat kuusap tubuhnya, kubelai kelembutan rambutnya, kurengkuh dia dalam pelukanku,
menciumnya dengan segenap rasa yang kupunya,
lalu kulihat setitik air jatuh dari matanya. Hahhhh
apakah karena air mata itu aku tak bisa melupakannya? Viona....
Suara bel pintu berulang-ulang menyadarkanku,
bukankah ini sudah larut? Dengan hanya memakai
jubah kamar mandi kubergegas ke ruang tamu untuk membuka pintu. Jam setengah satu malam!
Nima Mumtaz
Siapa, sih, bertamu saat jamnya kuntilanak berkeliaran begini? Penting banget gitu sampe gak bisa
nunggu besok pagi. Kenapa juga resepsionis gak
nelepon aku dulu. Semoga bukan sesuatu yang gawat.
What the Fu*ck !!!!?Ghea !!!!
Memakai gaun hitam berpotongan dada rendah
yang sangat pendek dan ketat, dia tersenyum genit
ke arahku. Dirapikannya rambutnya yang pendek
yang sekarang dicat cokelat gelap
"Mau apa kamu, Ghe? Seberapa penting urusan
kamu sampai mengganggu istirahatku selarut ini?"
Nada bicaraku yang resmi, tegas, dan dingin menghilangkan semua ekspresi menggoda yang dia berikan padaku.
"Mm ... Ghea kebetulan lewat deket-deket sini,
sekalian mampir aja. Kebetulan juga kan kita udah
hampir dua minggu gak ketemu. Mm ... Mas Dave
kenapa? Capek, ya? Ghea temenin ya, Mas?" Dia
mengelus bahuku. Jujur saja aku makin gak suka
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama pendekatan cewek ini.
"Itu aja? Sebaiknya kamu pulang, Ghe, ini udah
malem. Aku juga gak ada waktu buat kamu," kataku
dingin.
Kudorong pelan tubuh Ghea, memaksanya keluar. Dan segera menutup pintu di belakangku agar
kami hanya ngobrol di luar apartemenku. Rasanya
Cinta Masa Lalu
memang tak sopan, tapi peduli setan dengan kesopanan sekarang ini. Gua gak butuhhhh!!
"Mas Daaaveee, kenapa siihhh? Kok Ghea gak
boleh masuk? Mas Dave capek, ya?" Ghea makin
menyebalkan dengan menggelendot manja di lenganku.
"Ghea, cukup! Sebaiknya kamu pulang sekarang. Dan satu lagi camkan ini baik-baik. Jangan.
Pernah. Ke sini. Lagi." Kurenggut lengan atasnya
dan kuhentakkan kasar.
"Mas!! Kita udah sepakat untuk membawa
hubungan ini ke arah yang serius, kan? Aku udah
bilang sama Mama Papa kalau kita mau nikah,
Mas!!! Kenapa sekarang Mas ngomongnya begini?"
"Mas marah karena kita gak pernah melakukan
itu?? Kalau memang itu sebabnya, sekarang aja kita
lakukan, Mas, Ghea udah dateng buat Mas Dave."
Ghea mendekat, mencoba meraih tanganku. Itu
membuatku bergidik. Ini sungguh sangat m-e-nj-i-j-i-k-k-a-n.
Kupegang kedua sisi tubuhnya, dan berbisik di
telinganya pelan. "Denger, Ghea, kamu sungguh
sangat menyedihkan. Di mataku kamu sungguh
murahan!!" Kutekankan setiap kata padanya, berharap dia mengerti.
"Aku gak pernah niat serius sama kamu, kamu
yang meyakinkan diri kamu sendiri kalau hubungan
kita permanen. Bagiku kau tak lebih dari wanitawanita lain yang hanya akan berakhir di ranjangku.
Nima Mumtaz
Ingat itu." Kudorong kasar tubuhnya ke arah dinding.
"Kkka ... ka ... kamu ... hhhaaahhhhh
bajingan kau, David. Kamu pasti akan menyesali
ini. Dan ingatlah satu hal, kamu tak akan pernah
mendapat kan perempuan lain yang lebih baik dari
aku." Matanya menyala marah. Entah mengapa ini
membuatku gembira sekali.
"Aku akan mendapatkannya, pasti. Dan dia
beribu kali jauh lebih baik dari kamu, Ghea."
Kutinggalkan Ghea yang masih tampak kaget dan
segera berbalik membuka pintu apartemenku.
"Selamanya kau hanya akan mendapat perempuan yang melihat uangmu, David. Kau lebih menyedihkan, asal kau tau itu." Ghea berteriak marah
padaku.
Kupalingkan wajahku padanya, hanya sedikit,
"Paling tidak, Viona tak pernah minta apa pun padaku."
Segera kututup pintuku meninggalkan Ghea
yang terbelalak kaget di belakangku.
Que Sera sera
Arjuna
Hampir dua bulan kami menyepi di rumah Mbak
Era di Bogor. Suasana di sini sungguh menenangkan. Pemukiman tempat Mbak Era tinggal adalah
kawasan yang sedang dikembangkan oleh developer
lokal. Tempatnya yang memang jauh dari keramaian
membuat kami merasa sangat nyaman.
Segalanya bergerak lamban, sangat lamban.
Namun kami semua jadi semakin dekat dengan
Vio. Entah siapa yang memulai, tapi kami semua
kompak mematikan ponsel. Bahkan Mbak Era pun
mencabut telepon rumahnya, dan membeli nomor
baru untuk keperluan yang urgent. Papa sangat jarang pulang ke Jakarta, beliau berangkat bekerja
dari Bogor. Untungnya Papa bekerja di perusahaan
keluarga rintisan kakek. Dan direktur utamanya
adalah Om Arman?ayah Diaz?jadi tak menjadi
masalah besar ketika di minggu-minggu awal Papa
sering membolos.
Nima Mumtaz
Banyak sekali perubahan dari Vio sejak hari itu.
Dia sekarang jadi suka marah-marah tanpa alasan
jelas. Dia pun masih suka berdiam diri, melamun
untuk waktu yang lama. Lalu tiba-tiba menangis.
Tiap malam pun dia masih suka bermimpi buruk.
Aku bertekad akan menemaninya, sampai kapan
pun. Hingga dia bisa melewati ini. Hingga dia bisa
hidup normal. Sering kuajak dia jalan malam-malam
menaiki motorku keliling kota Bogor. Terkadang
seperti orang gak punya tujuan jelas kami menempuh jarak yang jauh hanya untuk menikmati satu
cup es krim durian di samping Stasiun Bogor.
Vio sudah mulai mau bicara, semua tak terlepas
dari bantuan Tante Dita?psikiater temen Mbak
Era?yang rutin datang seminggu dua kali buat Vio.
Dia mulai suka mengobrol dengan si kecil Ariella
yang baru berumur dua tahun. Ini malah makin
membuat Mama khawatir. Tapi kata Tante Dita
itu adalah proses penyembuhan buat Vio. Orang
dengan trauma parah macam Vio butuh tempat
bicara, bercerita. Dan mungkin itu didapat dari
Ariella yang bahkan tak mengerti apa yang dia bicarakan. Yang hanya bisa mendengar dan menerima
tanpa mengatakan tapi. Lambat laun dia akan mulai
terbuka pada orang lain, begitu kata Tante Dita
Siang itu aku dan Vio berada di halaman belakang rumah Mbak Era. Membentangkan tikar
pandan di bawah pohon jati emas, aku bersandar
pada batangnya yang kokoh?membaca seri pertama tetralogi karya penulis Indonesia yang katanya
Cinta Masa Lalu
lagi booming?sambil mengelus perlahan rambut
panjang Viona yang merebahkan kepalanya di pangkuanku. Kupikir dia sudah tidur menikmati semilir
angin dan cuaca yang memang selalu mendung di
Bogor ketika tiba-tiba kudengar suara Viona berbisik pelan.
"Aku benci dia, J, benci banget. Kenapa juga aku
harus ketemu orang kayak dia. Kalau saja hari itu
aku gak ketemu dia...."
Jantungku berdentam keras. Tanganku dingin.
Vio mau membicarakannya!! Ayolah, Vio, katakan
padaku apa yang terjadi hari itu, sayang.
Tiba-tiba Vio duduk dan menatap langsung ke
arah mataku.
"Juna a ... a ... aku gak punya apa-apa lagi, dia
udah ambil semuanya. A ... a ... a ... aku ... aku...."
Vio mendekap erat lututnya, menenggelamkan kepalanya dan terisak pelan.
"Vio ... Vio ... kamu masih punya aku Vio, juga
Mama, Papa, Mbak Era, Ariella juga Mas Ezra.
Kami semua sayang kamu, Vio." Kupeluk erat tubuhnya yang hanya bergerak maju-mundur dan
mencoba untuk menghindar dariku.
Dia menggelengkan kepalanya, tubuhnya tegang
"Tapi aku... aku... aku udah gak kayak dulu lagi J.
Aku ... aa ... akuu ... kotorrr, J...." Suaranya berubah
panik. Air matanya membanjir.
Jadi benar???
"Ssstttt ... Vio ... dengerin aku, Vi. Kamu selalu
punya kami, apa pun yang terjadi." Kupegang sisi
Nima Mumtaz
kepalanya dan kembali merengkuhnya dalam pelukanku.
"Apa kamu gak jijik sama aku, J?"
"Vio, sampai kapan pun kamu adekku yang paling cantik, lucu, pinter, dan baik. Gak ada yang buruk ataupun kotor di mata Tuhan, begitu pula kamu
bagiku, Vi. Apa pun itu, bagaimanapun itu, inget,
sayang, kami mendukungmu." Kurasakan pelukannya makin erat di tubuhku.
Entah berapa lama kami berpelukan seperti itu,
ketika akhirnya aku lontarkan pertanyaan yang
hampir membuatku sinting. Siapa tau kali ini Vio
mau ngomong lebih jauh?hanya mencoba keberuntungan kurasa.
"Vio."
"Hhmmm...."
"Boleh aku tau tentang hari Minggu itu, Vi?"
Bisa kurasakan kegugupan melanda Vio, bahkan
aku nyaris bisa mendengar detak jantungnya yang
berkejaran. Ayolah Vio, ceritakan, katakan siapa bajingan itu!!
Bibirnya bergetar. "Aku lagi di taman nungguin
Diaz, dia ... dia gak dateng-dateng, J, aku udah lari
seputaran, trus aku mau ...mau ...makan siomay."
Suaranya perlahan menghilang, Cmon Vi ... lanjutin.
Tenang Juna, jangan maksa ... jangan maksa.
"Trus ... trus ... aku gak sengaja nabrak dia, kemejanyaa kotor, trus ... trus ... dia marah, trus ...
Cinta Masa Lalu
trus ... dia bawa aku ke apartemennya, katanya
kemejanya harus ... harus cepetan dicuci.
Tergagap dia mulai bercerita lalu dia kembali
diam, matanya kosong seakan dia gak ada di sini,
seperti trance ke masa lalu. Aaaarrggghhh ... Vioooo....
"Lalu dia kasih aku minum, J, trus dia ... dia...."
Suaranya kembali menghilang dan kulihat
setetes air meluncur mulus di pipinya. Kemudian
dia menatapku. "Junaa hiks."
Viona, betapa berat yang harus kamu rasain,
Dek. Dia masih terisak kencang di dadaku dan
memelukku erat.
"Siapa dia, Vi? Tolong kasih tau aku." Kutahan
suaraku agar tak berteriak marah saat itu juga.
"Dia ... dia...."
"VIONA...!!!!!"
Sebuah teriakan dari dalam rumah Mbak Era
mengagetkan kami berdua. Mbak Ghea dan Tante
Ayumi berjalan cepat ke arah kami dengan muka
yang tampak menunjukkan kemarahan. Marah?
Kenapa?
"Rupanya kamu ngumpet di sini, ya, pantes dicari ke mana-mana gak bisa nemuin keluarga kamu
semua. Dasar anak kecil tak tau diri. Kamu pikir
kamu udah bisa apa? Kamu punya apa, ha? Sampai
berani-beraninya bertingkah semau kamu seperti
ini!!" Tante Ayumi tampak mengerikan berbicara
dengan nada tinggi pada kami.
Tuhan ... apa lagi ini???
Nima Mumtaz
Viona ketakutan dan bersembunyi di balik
punggungku. Tangannya yang dingin mencengkeram erat pinggangku. Bisa kudengar napasnya
terengah-engah.
Mama berlari menghampiri kami, sepertinya
sama bingungnya denganku.
"Mbakyu, ada apa ini? Kenapa nyariin Viona
kayak gini?? Sebaiknya kita ngobrol baik-baik di
dalem, Mbak." Mama bertanya pelan, menenangkan.
"Rosie, gak usah kamu belain anak perempuan
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kamu yang masih bau kencur ini. Aku gak tau apa
lagi yang bisa dia lakukan kalau sudah besar nanti,
kalau sekarang aja dia bisa securang ini."
"CUKUP! Kalau Tante gak bisa ngomong baikbaik, sebaiknya Tante gak usah ada di sini. Juna rasa
Tante gak berhak ngomong gitu ke Vio." Aku benarbenar marah. Merasakan tubuh Vio yang bergetar
hebat di belakangku makin membuatku marah.
"Arjuna, sabar, nak!" Mama memperingatkanku.
"Oohh ... jadi kamu tau apa yang dilakukan
adikmu, Juna, aku curiga jangan-jangan kalian sekeluarga ini memang berkomplot ngadalin orang, ya.
Sudah berapa korban kamu, Vio?"
PLAAAKKK !!!!!!!!!!!
Tubuhku bergetar hebat, tanganku perih. Tanpa
kusadari baru saja aku menampar mulut lancang
Ghea.
"KAMU...!!!!"
"JUNA...!!!."
Cinta Masa Lalu
"YA, ALLAH...!!!"
Tiga suara terdengar berbarengan. Tante Ayumi dan
Ghea menatapku marah, Ghea memegang pipinya
yang merah, Mama mendekap erat dadanya dan
Tante Ayumi menunjuk mukaku sambil berteriak
marah.
"KAMU TAU?? ADIK KAMU INI SUDAH
MEREBUT CALON SUAMI GHEA. SAYA GAK TAU
APAKAH SEBEGITU MISKINNYA KELUARGA
KALIAN HINGGA MENGAMBIL JALAN SEKOTOR
INI. KAMU TAU RUPANYA MANA PANCINGAN
BESAR VIO. TAU MANA YANG BERDOMPET
TEBAL. APA KAMU MAIN DUKUN VIO SAMPAI
DAVE MENINGGALKAN GHEA."
Rasanya ingin kutampar juga mulut Tante
Ayumi gila yang sudah berteriak-teriak mengatai
keluargaku yang tidak-tidak ketika suara jeritan Vio
mengalihkan semua perhatianku.
Vio pingsan, ambruk di belakang punggungku
setelah jeritan histerisnya membuat bulu kudukku
merinding. Kubopong tubuh kurus Vio ke dalam
rumah. Tak kupedulikan lagi dua perempuan gila
yang harusnya kutendang sedari tadi. Aku takut Vio
makin syok dengan semua kejadian yang serba mendadak dan bertubi-tubi begini.
Menggunakan taksi aku dan Mama membawa
Vio ke rumah sakit tempat Mbak Era bertugas.
Kuhubungi Papa di kantor. Kurasa kali ini kami
Nima Mumtaz
benar-benar harus memaksa Vio untuk tinggal di
rumah sakit dan mendapatkan bantuan yang lebih
intensif dari para profesional.
Viona
Kepalaku pusing banget, sakit, dan rasanya berputar.
Badanku lemes, gak enak sangat tidak nyaman.
Samar kudengar suara pelan di sekitarku, hanya
berbisik tapi cukup jelas didengar telingaku yang
setengah sadar ini. Tapi aku tak berani membuka
mata.
Mama sama Juna mana, ya?
"Ma, maaf ya tadi Juna kasar sama Ghea dan
Tante Ayumi. Juna gak mau Mama malu tapi Juna
gak tahan denger omongan Tante Ayumi tentang
Vio dan keluarga kita."
Itu suara Juna ngobrol sama Mama, kah?
"Gak papa, Arjuna, kalau kamu tadi gak gituin
mereka, Mama yakin Mama yang bakalan nabok
Ghea."
Oke bener, itu suara Mama.
Perlahan kilasan kejadian di halaman belakang
rumah Mbak Era menghampiri otakku. Hhh
sesak banget, rasanya napasku hilang. Apa yang
dikatakan bangsat itu sampai keluarga Ghea memperlakukan keluargaku serendah itu! Bajingan kau,
Dave!
Air mata hampir tak bisa kutahan.
Cinta Masa Lalu
"Kasian Vio, ya, Mam, kenapa juga dia harus
mengalami ini."
?Oohh Juna andai kau tau....
Pelan kudengar suara berdetak ubin yang diinjak
sepatu bersol tebal. Siapa pun dia, kedatangannya
menghentikan obrolan Mama dan Juna.
"Gimana, Era?"
"Hasil pemeriksaan dan tes darahnya udah keluar, Mam."
Itu Mbak Sierra, kah? Sepertinya suara Mbak
Era sedih. Kenapa, Mbak? Pemeriksaan siapa? Siapa
yang dites darah?
"Mama yang kuat, ya, Mam, yang sabar. Kita hadapi ini bareng-bareng dan saling menguatkan aja,
ya, Mam." Suara Mbak Era hampir pecah. Kenapa
sih, Mbak? Aku mau denger juga, kan?
"Kenapa, Sierra? Kenapa dengan Vio?" Suara
Mama tak sabar.
"Menurut hasil lab Vio ... Vio...."
"Kenapa, Mbak, kenapa dengan Viona?"
"Vio hamil, Mam."
Hamil?
APAAAA!!!!
Kepalaku berdenyut, makin lama makin parah.
Kemudian semuanya terasa ringan. Dan aku tak
ingat apa pun lagi.
****
Nima Mumtaz
Papa mengabulkan keinginanku untuk pulang
ke Jakarta seminggu kemudian. Selama itu aku
berusaha tampak ceria, aku ingin membuat mereka
yakin kalau aku baik-baik saja. Rencanaku sudah
bulat!
Kubilang kalau aku bosen di Bogor, kangen
sama rumah yang sudah lama banget kutinggalkan
di Jakarta.
Aku gak sanggup kalau terus-terusan begini. Bisa
kulihat tatapan sedih Mama dan Papa padaku. Juna
yang suka over protektif juga makin membuatku
yakin dengan tindakanku. Aku sangat tau sebabnya
dan aku gak mau mereka malu dengan keadaanku
nanti.
Mereka masih tak mengatakan apa pun padaku.
Tidak tentang kehamilanku. Tapi Mama selalu
memberikan vitamin dan beberapa pil yang aku tak
tau fungsinya untuk apa. Tapi kalau untuk bayi ini
aku tak sudi meminumnya. Mama juga selalu memberikan padaku makanan yang menurutku bergizi
tinggi. Apa maksud Mama? Mau memberi makan
bayi setan ini? Aaarrggghhh.
"Mama nanti sore Vio jalan-jalan, ya, Mam."
Sesantai mungkin kuminta izin pada Mama saat
Mama sedang menyisir rambutku di kamar.
"Ke mana, sayang, Juna yang anterin, ya?"
Mama berbisik pelan setelah agak lama seperti menimbang-nimbang sesuatu.
"Cuma ke toko buku kok, Mam. Vio jalan sendiri aja, deh, Mam, gak usah ngerepotin Juna se112
Cinta Masa Lalu
gala." Kuyakinkan Mama agar bisa lewat dari penjagaan Juna yang menurutku terlalu berlebihan.
"Vio boleh ke mana aja, sayang, tapi Juna harus
anter, ya, biar Mama tenang." Mama mengelus-elus
rambutku dengan sayang.
Yahh mungkin aku harus mencari cara biar bisa
lepas dari pengawasan Juna nanti.
"Oke, deh, Mam, makasih, ya." Kurebahkan
kepalaku ke pangkuan Mama, merasakan kasih sayangnya yang begitu besar, yang mungkin tak akan
pernah bisa kubalas.
"Mama tau, gak, Vio sayaaanng banget sama
Mama. Mama jaga kesehatan, ya, jangan capekcapek. Vio gak mau Mama sakit." Kupeluk Mama,
kuhirup wangi tubuhnya, menguncinya dalam
memoriku. Mungkin untuk yang terakhir kalinya.
Sore itu akhirnya Juna benar-benar mengantarku
ke toko buku?walaupun gak ada yang kubeli?
mengajakku makan di restoran favorit kami, dan
menawarkanku nonton, tapi segera kutolak saat
kulirik jam sudah menunjukkan pukul sembilan
malam.
"Pulang yuk, J, udah cukup buat aku."
"Yakin, udah puas jalannya? Kalau gak, ke distro
langganan, yuk." Juna masih berusaha membujukku. Tapi aku menolaknya mantap. Akhirnya Juna
mengalah dan membawaku keluar dari pelataran
parkir mal.
Nima Mumtaz
"J, ntar lewatin Merdeka Selatan, ya, aku mau
liat Monas," kataku pada Juna saat kami sudah
melaju di jalanan yang padat.
"Lah makin jauh kali, Vi, kalau mau balik."
"Gak papa, J, sekali-kali keliling muter-muter
kan asyik." Alesan paling payah yang pernah kubuat
sebenarnya.
Setelah berputar-putar tak tentu arah, aku meminta Juna mampir ke gedung apartemen mewah di
kompleks perkantoran di Kebayoran Baru....
"J aku mau mampir dulu ke sini, kamu tunggu
aja ya. Aku cuma bentar, kok," kataku pada Juna
yang masih bengong.
"Siapa yang tinggal di sini? Kamu punya temen
di sini? Mau ngapain, sih, Vi, aku temenin, ya?"
Juna menatapku curiga yang masih diam.
"Siapa yang tinggal di sini?" Juna masih ngotot
bertanya. Haruskah kuberitahu Juna? Bagaimana
kalau dia curiga? Tapi sepertinya dia tak akan melepaskanku begitu saja.
"Tunangannya Ghea," jawabku pendek. Aku tak
mau menyebut namanya.
"Mas Dave? Ya, ampun Vio, udahlah gak usah
ngurusin mereka lagi, repot amat. Biarin aja si Ghea
sama emaknya ngebacot sembarangan. Pulang aja,
deh. Lagian kamu mau ngapain ketemu Mas Dave?
Mau nanyain apa masalahnya, mau ngejelasin gitu?"
Juna sangat tak setuju denganku.
"Justru aku mau ini langsung selesai, gak mau
tambah panjang. Gak enak lagi kalau ada masalah
Cinta Masa Lalu
dibiarin aja tanpa diselesaiin." Aku makin bingung
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memberikan alasan pada Juna.
"Ya, udah, gua temenin."
"Enggak, J, ini masalahku, harus aku selesaiin
sendiri. Aku cuma bentar kok, sabar, ya." Berusaha
senormal mungkin aku meyakinkan Juna. Plis, jangan curiga Juna.
"Ok, gak pake lama dan gue nungguin di lobi,
ya." Aku mengangguk pasrah. Kurasa ini adalah
penawaran terbaik yang bisa kudapet malam ini.
Setelah meyakinkan sekuriti yang melihat dengan tampang kasian padaku akhirnya aku bisa naik
lagi ke lantai lima tempat bajingan itu tinggal.
Dengan jantung berdebar kupencet bel pintu
berulang-ulang. Semoga saja dia ada di rumah. Aku
bener-bener harus ketemu dia malam ini, harus!!
Pintu terbuka, dia ada di sana. Bajingan busuk
itu. Dia menatapku seolah tak percaya, lama, kemudian tersenyum lebar.
"Hai babe, I miss you." Suaranya berbisik parau.
"I miss you too." Kulayangkan sebilah pisau lipat
ke arah jantungnya.
Arjuna
Vio mau jalan-jalan, begitu kata Mama siang tadi.
Aku langsung berhenti dari kunyahanku yang nanggung, heran. Memang Vio makin aneh sekarang.
Gak mau tinggal di Bogor lagilah, kadang-kadang
Nima Mumtaz
jadi sok cerialah, yang lebih parah Vio sekarang suka
ngomong tentang perpisahan. Apa sebegitu parah
traumamu, Vio? Dan sekarang Vio minta jalanjalan? Bukannya dia sekarang paling anti dengan
keramaian?
Kami belum memberi tau Vio tentang kehamilannya, Mama takut dia makin depresi. Tapi
kami juga gak tau sampai kapan menyembunyikan
ini dari Vio. Tubuhnya makin kurus, wajahnya
pucet banget, bayangan hitam di bawah matanya
membuat dia makin mengerikan. Tatapannya sering
kosong, gak ada lagi sinar di matanya seperti dulu.
Dia seperti mati, seperti mayat hidup.
Setelah masuk ke toko buku dengan tujuan gak
jelas, karena sepertinya Vio gak bener-bener niat ke
sini. Dia cuma berdiri seperti kebingungan. Aku
mengajaknya makan di restoran favorit kami dulu,
yang menyajikan sop iga kesukaan Vio. Tapi bahkan Vio seperti tak pernah menyadari keadaannya,
di mana dia, apa yang dimakannya, juga apa yang
dilakukannya. Aku bahkan nyaris yakin dia melupakan kehadiranku.
Kuhentikan Innova Papa di depan bangunan
mewah apartemen yang ingin dituju Vio, ngapain
lagi ke sini coba nih bocah? Apa katanya tadi? Ini
tempat tinggal Mas Dave? Ya ampuunnnn masih
aja Vio ngurusin masalah orang. Jujur aja aku masih
dendam banget sama Tante Ayumi dan Ghea karena
kejadian hari itu. Walaupun Om Arman udah min116
Cinta Masa Lalu
ta maaf tapi tetep aja hatiku sakit melihat Vio yang
dihina seperti itu.
Dan sekarang Vio berusaha menyelesaikan ini
dengan tunangan Ghea. Plis deh, Vi, gak usah jadi
pahlawan kesiangan, napa? Kalau mereka putus bukan salah Vio, kan?
Tapi akhirnya aku setuju aja, lagi males juga
debat sama Vio. Dia minta aku nunggu di lobi.
Setelah bisa ngerayu mbak resepsionis yang cantik
dan sekuriti?aku rasa mereka kasian ngeliat tampang Vio yang sangat menyedihkan?Vio pun diizinkan masuk (semudah itu?)
Sebenarnya perasaanku gak enak banget. Seperti
ada sesuatu yang salah, tapi apa? Ahh ... mungkin
aku hanya terlalu capek. Tapi beneran seperti ada
seesuatu yang gak bener.
Kubuka lembaran koran yang tergeletak di meja,
mencoba mengalihkan perhatian dari apa pun yang
membuatku gak nyaman. Ingatanku melayang pada
siang di halaman belakang Mbak Era. Pada cerita
Vio yang cuma sepotong-sepotong, yang belum
pernah kucerna baik-baik di otakku yang rasanya
overload ini.
Ketemu di taman ... kemejanya kotor (heeiiiii
... siapa orang gila pake kemeja buat lari pagi?)
Memaksa Vio ikut ke apartemennya dengan alesan
buat nyuci kemejanya yang kotor (alesan paling busuk yang gua pernah denger). Kepalaku berdenyut,
seperti ada sesuatu yang salah di sini. Tapi apa??
Nima Mumtaz
Pandanganku beralih ke mbak resepsionis yang
cantik dan sekuriti yang tampak lelah namun sangat
ramah?bahkan ngejagain apartemen pun harus selalu rapi dan senyum terus gitu, ya ?
Tunggu! apartemen taman kota kukirakira jarak apartemen yang tak terlalu jauh dengan
taman kota.
Ghea yang marah marah. Jangan-jangan...???
Tante Ayumi yang mengatakan kalau Vio ngerebut Dave dari Ghea ... mungkinkah? Ooohhh tidak!!
"Pak di mana David tinggal? Lantai berapa,
Pak??" Panik kutarik lengan sekuriti yang tampak
kaget di depanku. Dia segera menepiskan tanganku
dan tampak tersinggung.
"Heii, nak, pelan-pelan. Buat apa kamu mau tau
di mana Pak David tinggal? Saya tadi sudah baik
hati lho mengizinkan adikmu itu naik, sekarang
kamu mau apa?" si sekuriti terlihat marah padaku,
tapi aku tak peduli.
"Tolong, Pak, bilang aja, di mana David? Ini
tentang keselamatan adik saya, Pak!!"
"Saya sudah bilang ke kamu...."
"Ada urusan apa kamu sama David?" Suara lembut yang tegas memotong kalimat sekuriti di hadapanku.
Seorang perempuan dengan penampilan mahal
dan terlihat cerdas melihatku dengan pandangan menilai. Sepertinya dia mengenal David.
Cinta Masa Lalu
Tapi mungkinkah? Kurasa aku harus mencoba
peruntunganku.
"Bisa, gak, Bu, kita bahas itu nanti, saya khawatir sama adik saya. Saya janji ceritain semua ke
Ibu nanti." Hampir saja aku berteriak histeris.
Dia melihatku tak berkedip, ada keraguan pada
matanya sebelum akhirnya dia memutuskan.
"Pak Rojali, temani kami naik ke tempat David.
Saya rasa anak muda ini sangat serius." Perempuan
itu mengajak sekuriti yang segera menggiring kami
memasuki lift yang membawa kami ke tempat di
mana David tinggal.
Tuhan jangan biarkan hal buruk terjadi pada
Vio. Debar jantungku seolah berlomba dengan
waktu. Aku hanya bisa berkomat-kamit mengucapkan semua doa yang kubisa. Tolong, ya Tuhan.
Jagalah adikku.
Rasanya lama sekali ketika lift akhirnya berhenti di
lantai lima. Segera saja kuberlari keluar, hanya untuk mendapati David yang sedang mendekap tubuh
Vio di lantai. Aku lega, sebelum akhirnya kulihat
darah berceceran di karpet dan juga sweater putih
Vio yang sudah berubah merah.
David
"Mami kan cuma khawatir sama kamu David, apa
gak boleh seorang ibu khawatir sama putranya
Nima Mumtaz
sendiri?" Aku hanya setengah mendengarkan suara
Mami yang sepertinya tak akan berhenti ngoceh
malam ini.
Oke ini menyebalkan, sangat menyebalkan.
Dua bulan lagi umurku genap 30 tahun dan Mami
masih memperlakukan aku seperti bayi, bayi besar!
Kesal, kurenggut pintu kulkas mencari sebotol air
dingin untuk meredam emosiku. Aku kan gak mau
marah-marah di depan Mami.
"Oke, sekarang Mami udah liat, kan? Dave masih hidup dan sehat-sehat aja." Kurentangkan tanganku di depan Mami agar Mami bisa memeriksaku dengan jelas.
"Tapi bukan itu yang Mami liat, Dave. Nih mata
kamu merah, berkantong lagi, pucet, dan ini nihh,
udah berapa hari kamu gak bercukur? Mami rasa
kamu juga kurusan sekarang. Kamu tampak berantakan banget, sayang, gak keurus! Gini kok dibilang
baik-baik aja." Mami cemberut menatapku.
"Papi bilang kamu sekarang sering terlambat.
Gak fokus di kerjaan, bahkan suka marah-marah.
Ada apa sebenernya sama anak Mami ini?" Mami
menuntunku duduk di sofa putih di depan televisi,
masih sambil menumpahkan apa pun yang mengganggu pikirannya.
Seperti dugaanku, pasti Papi yang ngelapor ke
Mami. Karena kemaren sebenarnya Papi sudah menyinggung ini saat mengajakku makan siang bersama. Tapi seperti biasa, Papi tak pernah puas dengan
Cinta Masa Lalu
usahanya sendiri menegurku. Pasti akan ada andil
Mami, tapi tak kusangka akan secepat ini!
Oke, inilah bagian paling menyebalkan menjadi
anak tunggal keluarga Arkhan. Perhatian berlebih
seperti seorang bayi besar yang siap ditimang padahal kau gak pake popok lagi!
"Apa ada masalah dengan pekerjaan? Atau dengan perempuan?"
Refleks kutengok Mami yang tiba-tiba tersenyum lebar. "Ngeliat respons kamu sepertinya bener ini masalah perempuan."
Hah, bagaimana mungkin Mami bisa menyimpulkan secepat ini. Aku gak ngomong apa-apa, kan,
tadi?
"Ih, Mami apaan, sih. Enggak ... gak ... gak, gak
ada itu perempuan. Dapet kesimpulan dari mana
Mami sampai bilang begitu." Kutenggak banyakbanyak air dingin di tanganku.
"Mami kenal anak Mami, inget lho, Mami
yang mengandung dan melahirkan kamu. Masa iya
Mami gak tau sifat dan sikap kamu. Jadi bener, kan,
ini soal perempuan?" Aku hanya bisa diam, tak tau
apa yang bisa kukatakan pada Mami. Dari dulu hal
paling susah memang menghindar dari tatapan laser Deasy Arkhan yang seakan bisa menembus kerja
otak dan kedalaman hati (jiaaahhh).
"Jadi siapa dia, kapan Mami dikenalin sama
calon mantu Mami, sayang? Atau Mami harus
langsung melamar ke orangtuanya?" Hampir saja
kutersedak air yang berhenti terpaksa di tenggo121
Nima Mumtaz
rokanku. Kutatap wajah Mami kaget. Apa
ngelamar??
Entah kenapa bayangan Vio yang berbalut gaun
putih lebar tiba-tiba melintas di otakku. Begitu cantik tersenyum ke arahku. Membawa buket bunga
dia menggenggam tanganku erat. Ahh, Vio, di mana
kamu, sayang??
"Mami apa-apaan sih...."
"Dave, Mami sama Papi udah gak muda lagi.
Kami juga kangen pingin dapet menantu, ingin
segera menimang cucu. Sama siapa lagi kalau gak
sama Dave Mami mintanya. Lagi pula umur kamu
pun sudah cukup kalau mau berumah tangga. Kalau
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dave memberikan itu sama Mami, pasti Mami
seneng banget, deh, nak." Mata Mami tampak berbinar cerah menatapku. Tampak harapan besar di
sana. Itu sudah lebih dari cukup untuk menghentikan komentar sadis yang sudah di ujung lidahku.
Oke, kurasa cukup sudah untuk malam ini.
Aku gak mau larut dalam suasana mellow. Kalau
ini diteruskan pasti akan melebar ke mana-mana.
Dan pembicaraan tentang menantu dan cucu pasti
akan berubah menjadi pemaksaan agar aku segera
menikah. Kurasa sekarang waktunya ngusir Mami
pulang.
"Oke, deh, nanti kalau calonnya udah siap David
bawa ke rumah Mami, Mami mau berapa? Tinggal
bilang sama Dave. Nah, sementara itu Mami nunggu di rumah aja, ya." Aku beranjak dari sofa menggandeng lengan Mami menuju pintu.
Cinta Masa Lalu
"Kamu ini Dave, diajak ngomong serius malah
bercanda begini. Ini kamu ngusir Mami, ya? Biar
gak diajak ngobrolin menantu lagi, kan?"
"Yeee ... sapa juga yang ngusir Mami. Dave cuma
khawatir, gak baik cewek keluar sendiri malemmalem. Makanya baiknya Mami pulang aja, ya."
Mami mencubit lenganku pelan. "Bisa aja kamu.
Ya udah, Mami pulang. Tapi inget, ya, besok malem
dinner di rumah.
"A y ... ay ... captain, siap mengikuti instruksi."
Kuhormatkan tangan gaya pramuka dan Mami pun
tertawa lebar.
Setelah cipika-cipika gak jelas, akhirnya proses
pengusiran mamiku yang cerewet itu sukses besar.
Hhmmmm ... mungkin besok-besok aku harus
mempelajari jurus-jurus jitu menghindar dari intervensi orangtua.
Rasanya malam ini aku butuh berendam dalam
air panas. Kerjaan yang numpuk?juga dia?membuatku sangat-sangat lelah. Aku ingin melepaskan
sejenak beban di otakku. Tadi aku sudah berniat
mampir di pub Andro, tapi entah kenapa alkohol
dan perempuan tak lagi menarik perhatianku sekarang.
Baru saja hendak beranjak ke kamar ketika
kudengar bel pintu berbunyi. Hadeeehhh ... jangan
bilang Mami kelupaan sesuatu sampai balik lagi ke
sini. Bel pintu yang berulang dan tak sabar membuatku makin kesal. Kusentakkan pintu dan siapsiap cemberut saat kulihat dia di sana.
Nima Mumtaz
Viona!!!
Gadis yang kurindukan dua bulanan ini ada
di depan pintuku, benarkah ini dia? Ataukah aku
sudah terlalu lelah hingga berfantasi liar dan menghadirkan dia di depanku? Sebegitu kangennyakah
aku pada Viona? Ya, aku merindukannya, ya aku
menginginkannya. Vionaku.
Dia tampak lemah, sweater putihnya tampak
kebesaran di tubuhnya yang mungil dan ringkih.
Apa kamu baik-baik saja, Vio? Ke mana kamu selama ini? Berjuta pertanyaan yang ingin kulontarkan
pada gadis yang jadi obsesiku selama ini.
"Hai, babe, I miss you." Hanya itu yang bisa kuucapkan padanya, mewakili sejuta rasa yang ingin
kucurahkan padanya. Ahh, Vio taukah kamu.
"I miss you too." Tanpa kuduga dia melayangkan
sebuah benda tajam yang tampak berkilat terkena
cahaya lampu.
Untunglah gerak refleksku cukup baik. Segera
kutangkap kedua tangannya dan menguncinya
dalam pelukanku. Dia masih memberontak dan
berteriak-teriak gak jelas. Shit!! Kamu kenapa, Vio?
Kudorong dia ke dinding, mengunci tubuhnya
dengan tubuhku, kutangkupkan kedua pipinya,
mengarahkannya padaku.
"Hei, Vio, kamu kenapa?" Kutatap langsung ke
manik matanya, dia menangis.
"Aku benci kamu ... benci kamu ...benci!" Isakan
lemahnya menyayat hatiku.
Cinta Masa Lalu
Apakah apa yang kulakukan padanya sebegitu dibencinya sampai dia bersikap seperti ini?
Sepertinya hari itu dia tak menunjukkan sikap
aneh. Tapi tunggu, hari itu aku bahkan tak sempat berpikir yang lain, hanya dia, hanya tubuhnya.
"Vio aku...."
"Kenapa kamu gak mati aja ... kenapa!!!"
Teriakannya mengagetkanku. Apa maksudmu,
Vio?
"Kalau begitu, aku mau kau liat aku mati, Dave,
di depanmu. Agar kau selalu ingat ini, agar kau tak
bisa melakukan ini pada yang lain." Kutatap dia
makin tak mengerti. Kemudian terlambat kusadari,
dia yang masih memegang pisau di tangannya menyayat pergelangan tangan kirinya. Tepat di depan
mataku.
Vio.
Kuraih tubuhnya yang merosot di karpet dalam
pelukanku. "Viona ... kamu gila, Vio...!!!"
Kutekan nadinya untuk menghentikan pendarahan yang makin deras. Panik meyerangku.
Bagaimana ini. Aku tak peduli pada darah yang
tercecer di mana-mana. Tak adakah orang di sekitar
sini? Vio.
"Aku benci kamu Dave ... aku benci bayi ini.
Aku gak mau bayi ini."
Waktu seakan berhenti, kutatap matanya yang
basah. Apa katanya tadi? Bayi? Otakku rasanya berhenti bekerja. Bayi?
Bayi.
Nima Mumtaz
"Viona!!!!!!"
Suara teriakan dari lift yang terbuka tak mampu
menguak kabut dalam kepalaku.
Lalu semuanya berjalan cepat, sangat cepat. Aku tak
tau apa dan bagaimana, yang pasti aku sekarang ada
di ruang tunggu UGD rumah sakit yang jaraknya
cukup dekat dengan apartemenku.
Ada orangtua Vio di sana, keduanya menangis.
Mamanya bahkan tampak histeris, juga seorang
perempuan yang tak kukenal, panik. Ada juga Bang
Rojali sekuriti apartemenku?ngapain dia di sini?
Mami yang bingung dan panik yang bolak-balik
menempelkan ponsel ke telinganya. Semuanya tampak membingungkan....
Tiba-tiba seorang anak muda?itu Juna kakaknya Vio, kan??muncul dari dalam sebuah
ruangan. Berjalan ke arahku cepat dan meraih kerah
kemejaku?heeiii ... apa-apaan ini???
"ELU KAN YANG NGELAKUIN INI KE
ADEK GUA? ELU YANG PERKOSA DIA SAMPAI
DIA HAMIL, KAN!!! SEKARANG ELU PUASS
HAAAAHHH!!!! BANGSATTT LU BAJINGAN
PALING BUSUK YANG PERNAH GUA TEMUIN.
MATI LUUU!"
Lalu kurasakan nyeri di rahang kiriku, sesak
di dada juga sakit di ulu hati. Bocah sableng itu
memukulku??
Anehnya otakku benar-benar lamban bekerja.
Aku tak berbuat apa-apa, hanya diam, menyerah
Cinta Masa Lalu
kalah. Entah berapa lama itu berlangsung sampai
kemudian kurasakan tubuh Juna menjauh dariku
yang sudah terbaring di lantai rumah sakit. Kulihat
Bang Rojali dan beberapa laki-laki yang gak kukenal
memegang Juna yang masih berteriak-teriak seperti
orang gila.
"AWAS LU JANGAN LARI DARI GUA, PEMERKOSA ... GUA BUNUH LU!!!!"
Ditolong beberapa orang yang tak kuingat siapa,
aku mencoba bangkit dan meraih sebuah kursi untuk duduk. Saat itulah kulihat Papi di sana, berdiri
tak jauh dariku dengan Mami yang memegang lengan Papi dan menangis.
Aww ... pipiku nyeri, kuusap darah di sudut bibirku. Kampret si Juna.
"Benar itu Dave? Benarkah apa yang dikatakan
anak tadi?"
Papi nanyain aku, kah? Ahh kenapa otakku
rasanya bebal sekali malam ini?
Aku hanya diam tak tau harus mengatakan apa.
Papi memandangku sedih, sangat sedih.
"Apa pernah Papi ngajarin kamu seperti itu,
David? Apa pernah Papi mengarahkan kamu untuk menjadi manusia yang bejat seperti itu?" Emosi
tampak berbayang jelas di wajah Papi. Tapi terlihat
kalah dengan kelelahan.
"Kamu liat sekarang dia Dave, liat!!! Dia cuma
gadis kecil. Dia punya orangtua, dia punya saudara.
Apa kamu gak mikir apa-apa sebelum melakukan
sesuatu, Dave? Di mana otakmu?"
Nima Mumtaz
"Papi hanya mengharapkan kamu jadi manusia
bener, yang berguna buat orang lain, bukan seperti
ini. Apa mau kamu, David? Belum puas kamu buat
Mami sama Papi susah?" Suara Papi melemah dan
tampak basah. Papi menangis?
"Papi gagal jadi orangtua. Gagal ... ini salah
Papi, Mam." Papi merangkul Mami yang menangis
kencang. Aku masih gak bisa mikir apa-apa.
"Sekarang terserah apa maumu, David Raditya.
Urus hidupmu sendiri, kamu sudah cukup dewasa
menanggung semua dosamu." Papi memalingkan
muka dariku.
Rasanya tak pernah Mami dan Papi seperti ini.
Tidak ketika aku mengamuk memecahkan lemari
piala di SD-ku dulu. Atau ketika kurusak BMW
baru tetanggaku ketika aku SMP, atau bahkan saat
aku terlibat tawuran yang menyebabkan kebakaran
di sekolahku. Tidak juga saat entah berapa ratus kenakalan lain yang menyebabkan fasilitas publik rusak. Papi gak pernah marah, Papi gak pernah sedih,
Papi gak pernah nangis.
Papi hanya akan bilang, ?Jangan ulangin, ya,
Dave.? Hanya itu. Itu aja....
Aku syok! Papi!! Mami!!
Sebegitu besarnyakah aku menyakiti kalian?
Pikiranku makin kosong saat Mami dan Papi
berjalan ke arah orangtua Vio, menundukkan
kepala, terlihat sangat terpukul.
"AJARIN ANAK LU DENGAN BERADAB,
PERCUMA KALIAN PUNYA BANYAK HARTA TAPI
KELAKUAN SEPERTI BINATANGGG!!"
Cinta Masa Lalu
Heiii, apa-apaan Juna berteriak begitu pada Papi
dan Mami. Gak ada seorang pun yang berani berkata kasar pada Papi. Tapi anehnya, Papi hanya diam,
dan menunduk.
"Saya mohon, maafkan saya dan keluarga saya.
Ini kesalahan saya, saya gagal sebagai orangtua. Saya
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mohon maaf sekali atas kelakuan anak saya yang
merugikan keluarga Bapak." Papi terisak pelan, Papi
menangis???
"ELU PIKIR SEMUDAH ITU HAAAHHH! LIAT
ADEK GUA DI DALEM SONO SEKARAT, GUA
GAK TAU APA BESOK DIA MASIH IDUP ATAU
ENGGAK. LU PIKIR CUKUP DENGAN KATA
MAAF!!!"
"Juna!" Seorang perempuan menahan tangan
Juna yang emosi.
Mami menangis makin keras, kemudian satu hal
yang tak pernah kulihat seumur hidupku terjadi di
depan mataku.
Papi berlutut di depan keluarga Vio sambil
menangis.
"Kami mohon, maafkan kami, ampuni kami.
Apa pun itu akan saya tanggung. Tapi saya mohon,
maafkan kami."
Papi? Seorang Salim Arkhan berlutut memohon
ampunan untukku? Papi yang sangat ditakuti karyawannya, yang sangat disegani relasi bisnisnya,
yang sangat dihormati sebagai tokoh masyarakat,
berlutut?
Nima Mumtaz
Rasanya badanku tak bertulang, aku merosot dari kursi yang kududuki. Pikiranku hampa.
Sebegitu besarkah kesalahanku? Blank ... semuanya
tak bisa kumengerti, kosong.
Sehari, dua hari, seminggu, setahun?? Entahlah aku
tak tau. Yang pasti semua berjalan tepat di mataku.
Viona kritis, keluarganya menunggui dia dengan
berjuta kesedihan yang tak pernah kulihat. Mami
ikut menunggui Viona, Papi pun sering datang bergantian dengan Mami. Aku ada di sana, tapi bagaikan sekarung sampah yang tak dilihat atau dipedulikan baik oleh orangtuaku ataupun keluarga Vio.
Papi tak pernah melihatku, apalagi bicara padaku. Mami selalu menatapku sedih, air mata masih
saja mengalir deras tiap bertatapan langsung denganku.
Entah kapan atau pada hari ke berapa Vio
akhirnya sadar. Ajaibnya bayinya pun selamat.
Tampak kulihat kelegaan di raut wajah keluarganya.
Bergantian mereka menemui Vio, Mami Papi pun
berkesempatan menengoknya. Sedang aku hanya
bisa berdiri di sini, dari jarak yang cukup jauh, melihat mereka semua tanpa bisa melakukan apa-apa.
Lega. Aku juga merasakannya. Aku juga tak
mau Vio pergi. Tak akan pernah rela. Aku tak akan
pernah mau kehilangan dia. Baru kusadari itu sekarang. Dan bayi? Kami akan punya bayi? Benarkah?
Sekarang semua rasanya bisa pelan-pelan tercerna
otakku. Vio, aku, dan bayi kami.
Cinta Masa Lalu
Aku mau bertemu dia.
Vio. Aku mau kamu tau aku gak mau kehilangan kamu, sayang. Kurasa aku bisa membesarkan
bayi itu bareng kamu, asal kamu ada terus bareng
aku. Aku mau kamu, Vio....
Kulangkahkan kaki ke ruang perawatan Vio,
hanya untuk mendapati Juna yang mendorongku
kasar.
"Jangan deketin adek gua, atau gua patahin kaki
sama tangan elu." Kebenciannya tampak kental
menguar di udara sekitar kami. Tapi aku tak ada
waktu untuk ini. Aku harus ketemu Vio.
"Aku mau ketemu Viona."
"Jangan harap lu bisa menampakkan muka busuk lu itu di depan adek gua." Juna menggeram
marah padaku.
Menjauh dari Juna kuhampiri kedua orangtua
Vio yang duduk di kursi depan ruang perawatan
Vio. Mereka tak melihatku sama sekali. Di sampingnya Mami dan Papi pun melengos tak mau memandangku.
"Maafkan saya. Ampuni saya. Saya memang bejat dan kotor. Ini semua murni salah saya. Tapi saya
sangat menyesal. Saya ingin bertanggung jawab atas
semuanya."
Semuanya diam, hening mendengar apa yang
kukatakan.
"Saya mohon, izinkan saya menikahi Vio."
Nima Mumtaz
Daiva
Seberkas sinar matahari kurasakan di wajahku.
Silau. Eerrggghhh ... siapa, sih, iseng banget buka
jendela. Kupicingkan mata dan sesaat mengalami
disorientasi. Lalu aku segera tersadar, aku di kamar Juna. Yah, semalem akhirnya aku tidur di kamar Juna setelah menghabiskan secangkir cokelat
panas dan beberapa buah cookies. Hhmm ... pasti
badanku bakalan membengkak saat pulang ke Jogja
nanti. Padahal selama ini aku paling anti makan apa
pun selepas jam tujuh malam.
Dan seperti kebiasaanku selama ini, aku tak
akan bisa tidur lagi kalau sudah terbangun. Kalau
dipaksain tidur lagi pasti kepalaku akan pusing
nantinya. Ini pasti kerjaan Juna, dia pasti sengaja
bukain jendela biar aku gak bangun siang. Dassarrr
Junnnnaaaa.
Kuhampiri jendela lebar di sebelah kiri kamar,
berniat menikmati pagi ini setenang mungkin.
Jendela kamar Juna langsung mengarah ke halaman belakang rumah, ke taman asri yang selalu dirawat Mama. Dulu aku sangat suka ada di tempat
Cinta Masa Lalu
ini bersama Juna, kami bisa menghabiskan waktu
berjam-jam nongkrong di sini. Mengobrol, ngerjain PR, bahkan saat-saat kabur dari omelan Mama.
Mengingat saat itu aku jadi tersenyum sendiri.
Suara gerutuan anak kecil mengalihkan perhatianku. Di sana, di ayunan kembarku ada Daiva
yang tampaknya sedang kesal pada laki-laki itu.
Daiva tampak sangat cantik memakai baju terusan
selutut berwarna putih tanpa lengan dikombinasi
polkadot black legging.
"Masih lama gak, Daddy?" Suara merajuknya
terdengar menggemaskan di telingaku. Wajahnya
cemberut dan tampak memerah.
"Bentar sweetie. Bro, ntar gua telepon lagi, ya.
Pokoknya proposalnya lu masukin aja, deh, ntar gua
tinggal ACC ... bye."
Kemudian laki-laki itu menggendong Daiva ke
kursi taman di dekat pot-pot anthurium. Di tangannya ada sisir kecil dan sebuah kotak entah berisi apa. Lalu dengan tangannya yang besar perlahan
disisirnya rambut Daiva dan dipisahkan dalam satuan kecil-kecil, dibentuknya kepang kecil dari arah
depan yang kemudian menyatu di bagian tengah.
Menyisakan rambut panjang yang tergerai di bagian
belakang kepalanya. Cantik banget, dan membuatku sukses bengong melihatnya.
"Di bagian atasnya mau dipakein jepit kecilkecil, gak?" Laki-laki itu bertanya setelah mengikat
kepangnya dengan karet warna-warni yang diambilnya dari kotak kecil yang tadi dibawanya.
Nima Mumtaz
"Kalo kata Daddy?" Gadis kecil itu bertanya
dengan tatapan memuja.
"Hhmmm gak usah, ya, ntar keliatan rame
banget. Begini aja Iva udah cantik, kok."
"Thanks ya, Dad." Suara bening itu melengking
tinggi. Lalu dia melingkarkan tangannya pada leher
laki-laki itu, memeluknya erat.
"Iya, sayang."
Speechless. Aku gak bisa ngomong apa-apa.
"Kalo gua punya anak nanti, sumpah deh gua gak
mau ngepangin rambut anak gua. Kalo perlu gua
gundulin rambutnya biar gak disuruh nyisirin."
Suara Juna tepat di telinga, mengagetkanku.
"Iiiihhhhh, apaan, sih? Juna jelek." Kudorong
tubuhnya pelan. Tapi aku malah ditariknya kembali
ke tepi jendela tempatku mengintip tadi.
"Noh liatin aja di bawah. Sebagai lelaki paling
ganteng di rumah ini, gua ngerasa cukup Mas Dave
aja yang ngelakuin ini. Gua gak ikutan. Abis ini dia
pasti nyuapin Iva sambil nyanyi-nyanyi kaya orang
gila." Juna terkekeh di belakangku, dan karena tubuhku terkunci di antara lengannya aku gak punya
pilihan selain ngeliat pemandangan di bawah kami.
"Ini mah masih belum parah, Vi, lu gak tau
kan gua pernah diajak Mas Dave ke mal mutermuter dua jam cuma mau nyari legging buat Iva.
Beeeuuhhh bener-bener nyiksa, deh. Apalagi pas
kami jalan masih lengkap pake baju kerja gitu.
Cinta Masa Lalu
Mana Iva juga ikutan lagi, gua berasa kaya keluarga
kecil bahagia yang di tipi-tipi gitu, deh. Bedanya ini
bukan cewek sama cowok tapi cowok semua orangtuanya. Mati gaya beneran, deh, pas ada cewek-cewek ngeliatin. Langsung berasa turun pasaran gua."
Muka Juna tampak aneh saat bercerita, setengah geli
setengah kesal kurasa.
Aku terkikik geli, gak bisa ngebayangin mereka
bertiga berjalan bersama bergandengan di mal. Ayah
ibu dan anaknya. Emang bener kata Juna, gambaran
keluarga kecil?eh keluarga?
Pandanganku kembali melayang ke bawah. Pada
dua makhluk yang sedang bernyanyi riang bersama.
Ada rasa asing yang menyelinap tanpa permisi di hatiku. Saat kulihat senyum ceria itu, tawa riang yang
memecah suasana pagi. Laki-laki itu tanpa canggung bernyanyi dan menari bersama Daiva. Sambil
sesekali menyuapkan nasi pada mulut mungil yang
terkadang protes dengan gerakan ayahnya yang gak
sinkron. Tanpa sadar aku tersenyum sedih, ada yang
kurang, ada yang tak lengkap pada mereka.
"Kenapa mereka di situ?" tanyaku pada Juna
yang kemudian menatapku sebal.
"Biasanya kan elu bangun siang, trus Iva sama
Mas Dave bangun subuh. Jadi kata Mama gak papa
kalo mereka keluar kamar. Lu tenang aja ngapa sih,
Vi, Mas Dave itu orang yang nepatin janji, kok. Dia
gak bakalan sengaja nampakin diri depan muka lu."
Juna menjelaskan panjang lebar, tanpa tau maksud
pertanyaanku.
Nima Mumtaz
"Maksud gue Arjuna jelekkk, kenapa mereka
makannya di belakang, bukannya di ruang makan
dodol." Beneran dodol banget nih si Juna, pingin
kutoyor aja kepalanya yang besar itu.
"Oohh itu karena tempat favorit Iva, ya, di
taman belakang, maen ayunan trus bantuin Mama
ngurusin tanemannya. Walaupun kadang Iva malah
bikin bunga Mama rusak." Juna terkekeh pelan.
"Gua inget banget, deh, Iva pernah ngegundulin
aglonema punya Mama, padahal pas jaman booming
dulu, itu Aglonema pernah ditawar orang sepuluh
juta gak dilepas, loh. Abis itu Mas Dave langsung
beliin Mama puluhan pot aglonema berbagai jenis,
karena Mama gak mau nerima uang ganti rugi dari
Mas Dave."
"Pernah juga anggrek Mama yang jenis vanda dicabutin sama Iva, dibikin masak-masakan. Padahal
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tau, gak, Vi, itu anggrek yang baru segede jempol
Iva aja harganya 200 ribuan."
Aku tersenyum takjub mendengar cerita Juna
tentang Iva. Gadis kecil yang baru kutau kemarin,
tapi mendengar ceritanya aku serasa telah lama
sekali mengenalnya. Daiva.
"Lasaknya sama, deh, kayak elu, Vi. Mama cuma
ketawa aja kalau Iva bikin masalah di taman belakang, ntar Mama pasti langsung bilang, emaknya
juga dulu gitu, hahahahhaaha."
Juna tertawa lantang. Aku ikut tertawa mendengarnya. Benarkah? Aku membayangkan Iva yang
membuat kesal semua orang karena keusilannya?
Cinta Masa Lalu
paling tidak, itulah yang selalu dikatakan Mama
padaku dulu?namun tetap membuat gemas semua
orang.
Suara tertawa Juna yang lantang membuat Iva
yang ada di bawah langsung melihat ke arah kami
dan langsung berteriak girang memanggil Juna.
Tapi bagai seorang pengecut, aku merundukkan kepalaku ke bawah jendela. Aku gak siap bertatapan
dengan mata itu. Mata polos yang kelihatan begitu
berharap milik Daiva.
"Uncle J...." Suaranya riang tanpa beban.
"Iya, sayang, bentaran Uncle turun, ya."
"Yuk, Vi, ikutan." Juna menarik tanganku yang
segera kuentakkan.
"Enggak, ah, sono lu ke bawah sendiri, gak usah
ajak-ajak gue." Kataku sedefensif mungkin, aku gak
mau kalau kali ini nyerah pada Juna.
"Yeee ini bocah, lu gak usah deket-deket Mas
Dave, maen sama Iva aja, yuk," Juna membujukku
dengan senyum manisnya. Tapi aku tetap bergeming. Akhirnya Juna yang mengalah dan tak memaksaku kembali.
"O, ya, tadi Mbak Era nelpon katanya gak
bisa dateng, Ariel masih demam. Jadi kita yang ke
Bogor!" teriak Juna sebelum dia menghilang di balik
pintu.
Lengkingan tawa kembali terdengar, dan bagaikan magnet aku tertarik kembali ke jendela untuk
melihat pusat suara di bawah sana. Dia cantik, sangat cantik. Keriangannya membuatku tak ingin
Nima Mumtaz
melepas pandanganku darinya. Ada getar yang tak
kumengerti saat kulihat tawa renyahnya, kepolosannya. Seperti ada ruang kosong yang terisi kembali
dalam dasar hatiku. Ahh ... Daiva.
Sambil bersiul ringan kutenteng tas dan sneaker-ku
menuruni tangga, nyaris bersamaan dengan lakilaki itu dan Iva yang keluar dari kamar tamu yang
berseberangan dengan kaki tangga. Langkahku terhenti, mereka pun sama. Bahkan laki-laki itu sedikit
salah tingkah. Dari ekor mata kulihat dia sudah rapi
dan menenteng tas besar yang bisa kupastiin itu
adalah tas mereka menginap. Akhirnyaaa ... pulang
juga mereka!
Tak tau apa yang harus kulakukan, aku pun
hanya berdiam di anak tangga ketiga. Kuharap dia
duluan yang berlalu dari hadapanku. Tapi dia sepertinya juga sangat canggung dengan kondisi ini.
Daaann, seperti biasa, Juna memang selalu datang
di waktu dan tempat yang tepat. Dia datang dengan
sekantong keripik kentang di tangannya.
"Balik sekarang, Mas?"
"Iya, kasian rumah ditinggalin kelamaan."
"Bareng kita aja, yuk, aku sama Vio mau ke
Bogor, ke rumah Mbak Era." Dengan wajah tanpa
dosa Juna menawarkan tumpangan pada lelaki itu.
Langsung saja aku mendelikkan mataku pada
Juna. Idihh, nih anak gak sensitif banget, sih. Aku
harus semobil sama dia? No Way!!
Cinta Masa Lalu
"Gak usah, J, aku udah pesen taksi, kok," suara
lelaki itu menyahut.
"Yeeee ... kalau bisa bareng kenapa gak bareng
aja, sih? Iya gak, Vi?" Juna melemparkan pertanyaan
bernilai jutaan rupiah padaku.
"Enggak," jawabku ketus dan aku pun segera
ngeloyor pergi menuju ruang depan. Gak mau lama-lama beromong kosong dengan mereka.
"Uncle J mau ke tempat Kakak Liel?" Suara bening itu terdengar lemah sebelum aku mencapai
teras.
Sembari memakai sneaker-ku, aku setengah
mendengar instruksi Mama tentang semua bawaan
yang Mama titipin buat Ariella. Hmm, pasti salah
satu isinya semur daging favorit Mbak Era dan
Ariel. Enak banget mereka bisa sering-sering ngerasain masakan Mama. Gak kayak aku yang jauh di
Jogja. Hanya bisa ngebayangin kalau lagi pingin
masakan rumah.
Aku tak tau apa yang Juna dan laki laki itu bicarakan sampai akhirnya Juna datang ke tempatku
berdiri dan kembali membujukku menyertakan lelaki itu dan Iva.
"Juna, gue bilang enggak ya enggak. Kenapa sih
lu maksa banget." Kubentak dia yang masih saja berkeras mengantar Iva pulang sebelum kami ke Bogor.
"Ya elah, Vi, kan searah. Kasian, tuh, Iva, dia
pengen sebenernya ikut ke rumah Ariella, tapi Mas
Dave takut lu ngamuk, makanya dia ngebujukin Iva
pulang aja."
Nima Mumtaz
"Itu kan urusan dia J, bukan urusan gua."
"Ya ampun Vio pala lu keras banget sih,
banyak makan nanas sama daun paya sono biar empukan dikit." Terlihat kesal Juna mengambil tempat
duduk di depan Mama.
"Hushh, kalian berdua ini masih suka bertengkar kalau ketemu, apa gak sadar kalau udah pada
gede, ya." Suara Papa mengalihkanku dari komentar
sadis yang ingin kulontarkan pada Juna.
Lah, ini salahnya Juna, kan? Dia yang mulai.
Udah tau aku gak suka banget sama orang itu, kenapa masih nawarin buat barengan? Ya, jangan salahin
kalau aku nyolot.
"Vio, apa gak bisa kalau Dave sama Iva jalan
barengan. Kalian kan searah??" Papa menarikku
duduk di antara beliau dan Mama di kursi teras putih kami. Wajahnya serius menatapku.
"Gak, ahh, males banget, sih, Papa ikut-ikutan
Juna lagi."
Mama dan Papa hanya menggeleng pelan, pastinya mereka harus ngertiin aku kan. Iya, kan??
Tiittt ... tiiittttt....
Suara klakson taksi menarik perhatian Juna.
"Tungguin bentaran, Pak!!! Mas Dave, taksinya
dateng!" Segera saja Juna berteriak bergantian ke
dalam dan luar rumah.
Sengaja kupalingkan muka saat mereka berdua
berpamitan pada Papa dan Mama, bisa kurasakan
Cinta Masa Lalu
tatapan Daiva tak lepas dariku. Tubuhnya terlihat
kaku ketika lelaki itu menariknya paksa ke arah taksi yang menunggu di jalanan depan rumah. Kutatap
punggungnya yang menghilang ke dalam taksi. Dia
pergi.
"Vio, kata gua, lu mah lebih childish dari Iva,
deh. Pantesnya, mah, ya, Iva yang jadi emaknya
trus lu jadi anaknya." Juna yang sudah berdiri di depanku menjentik dahiku pelan.
"Jangan paksa gua kenapa, sih, J? Ini gak semudah yang lu pikir, tau?" Aku berbisik lemah pada
Juna. Mau tak mau kuakui ini menjadi sangat sulit untukku sekarang. Mentalku tak kupersiapkan
untuk menghadapi ini semua. Aku sama sekali tak
menyangka akan menghadapi hal ini saat berangkat
kemarin.
"Iva...!"
Kudengar suara lelaki itu berteriak tertahan
bersamaan dengan suara tapak kecil berlari kembali menuju rumah. Dia menghampiri kami, lalu
berjalan perlahan ke tempat di mana aku duduk.
Tubuhku membeku, bibirku kelu. Tak tau apa yang
harus kulakukan ataupun katakan. Dia berdiri di
depanku, begitu dekat, mata kami terkunci.
"Mommy cepet pulang, ya, Iva tungguin
Mommy di rumah."
Aku makin syok kala tangan kecil itu meraih
punggung tanganku dan menciumnya takzim. Ada
kehangatan mengalir dari sana, menyalurkan energi
luar bisa besar padaku. Ingin rasanya kuelus rambut
Nima Mumtaz
panjang nan lembut itu, ingin rasanya kuhirup
aroma tubuh mungil itu Tapi anehnya aku hanya
bisa diam, dan terhanyut dalam mata beningnya.
"Iva sayang Mommy."
Hanya itu, hanya itu yang dikatakannya sebelum akhirnya dia berlari kembali ke arah taksi yang
akhirnya membawanya pergi. Air mataku menetes
satu per satu, akhirnya menjadi begitu deras tak
dapat kucegah. Ada yang tercabut dalam diriku,
meninggalkan luka lain di atas luka yang sudah mulai kering. Tapi kali ini rasanya beda. Rasanya ada
bagian diriku yang menghilang.
Semuanya diam, bahkan Juna yang biasanya
bermulut nyinyir. Mama, Papa, dan Juna memandang ke berbagai arah kecuali padaku. Hatiku perih,
sakit. Entah kapan terakhir kali kumerasa sesakit
ini. Entah kenapa juga aku merasa seperti ini.
"Udah siap jalan, Vi?" bisikan Juna mengoyak
keheningan dan menyadarkanku kalau kami harus
segera berangkat ke Bogor.
****
"J, mmhhh ... kenapa lu manggil dia, Mas?" Aku
membuka obrolan ketika kami sedang melaju di
Tol Jagorawi. Ini pertanyaan yang nyaris membuatku ngamuk pada Juna. Rasa penasaranku sudah
membuatku membuang harga diri dengan menanyakan langsung pada Juna.
Juna melirikku singkat dan tersenyum sedih sebelum menjawab pertanyaanku.
Cinta Masa Lalu
"Sampai Iva umur dua tahun gue gak sudi sama
sekali manggil namanya. Lu tau, kan, seberapa
bencinya gue sama dia dulu. Tapi waktu memang
obat yang mujarab buat semua luka dan dendam.
Gue ngeliat kesungguhan, kesabaran, dan ketelatenan dia ngurus Iva dan menghadapi kami semua.
Gue pikir dia gak akan tahan dengan sikap kasar
gue, atau Mbak Era yang sumpah gue gak nyangka
banget bisa sesadis itu kalau ngomong sama dia.
Bahkan Mama juga selalu bersikap dingin. Tapi
dia selalu nerima apa pun perlakuan kami semua
padanya."
"Lama-lama kami tersentuh juga. Gak pernah
gue denger dia ngeluh sedikit pun. Tidak waktu semaleman Iva rewel pas numbuh gigi, atau Iva seharian muntah-muntah sakit perut karena Ariel ngasih
dia rujak buah. Kesabarannya itu akhirnya meluluhkan Mbak Sierra, dia yang pertama mulai bisa
menerima Mas Dave. Kata Mbak Era, bahkan Mas
Ezra aja gak bisa sesabar dan setelaten itu ngurus
Ariel. Sejak itu kami dikit-dikit bisa bersikap lebih
manis padanya. Tau gak, Vi, dia gak pake baby sitter, lho, ngasuh Iva. Di rumah dia cuma dibantuin
Mbok Rum sama suaminya yang merangkap pembantu sama tukang kebun buat ngurus Iva."
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Panggilan mas itu juga sebagi bentuk penghargaan gua ke dia, selama tahun-tahun yang sudah lewat dalam dia membesarkan Iva. Gua gak nyangka
aja dia bisa berubah drastis kaya gitu. Awal-awal
gua masih curiga sama dia. Lu tau, dulu gua sering
Nima Mumtaz
buntutin dia ke mana-mana. Cuma mau mastiin
kalau dia masih sebejat yang dulu, kalau dia hanya
pura-pura berubah. Gua berharap nemuin dia lagi
mabok atau maen perempuan atau apalah yang
menguatkan kebencian gua ke dia. Tapi sampai gua
kayak orang gila semuanya gak terbukti."
"Gua salut sama dia, Vi. Lu liat sendiri, kan,
hasil didikannya dia. Walaupun kerasnya sama
kayak elu, tapi Iva jauh lebih dewasa dari anakanak seumurnya. Dia juga sopan banget kalau sama
orang yang lebih tua. Kadang gua gak nyadar kalau
umurnya baru enam tahun, soalnya gua biasa cerita
tentang cewek-cewek gua ke Iva. Hahahhahhahaha."
Tawa Juna yang memekakkan telinga langsung
kusambut dengan cubitan panjang di pinggangnya.
"Aw ... aw ... aw... iiihhhh sadis lu, Vi." Wajah
Juna memberengut kesal, sebelum akhirnya melanjutkan lagi ceritanya.
"Sebenernya lucu juga, ya, gua manggil dia
mas. Padahal secara status kan dia adek ipar gue.
Harusnya gue dong yang dipanggil mas sama dia
hehehehe." Juna kembali terkekeh geli menertawakan dirinya sendiri.
"Juna, dia bukan laki gua." Aku menggeram
marah padanya yang hanya tersenyum kecil.
"Salah satu syarat lu sebelum akad nikah dulu
emang dia kudu cerein lu kalo Iva udah lahir. Tapi
coba lu inget-inget, deh. Lu pernah, gitu, nerima
surat cere? Enggak, kan, Vi?? Mas Dave gak mau cerai, Vio. Alesannya waktu itu dia mau bertanggung
Cinta Masa Lalu
jawab sepenuhnya ke elu dan Daiva. Cuma dia gak
mau itu dibahas lebih lanjut. Dia mau ngebiarin
semua berjalan apa adanya." Suaranya perlahan
menghilang. Kami sama-sama diam kemudian.
Sedikit-sedikit kucerna kembali semua omongan
Juna. Benarkah dia sudah berubah? Lelaki itu, yang
kubersumpah akan membencinya seumur hidupku.
Laki-laki bejat yang sudah merusak jalan hidupku.
Rasanya itu sulit diterima akal sehat. Dia gak mungkin bisa, kan? Sekali brengsek tetap brengsek, kan?
Tapi aku melihatnya sendiri, bagaimana cara dia
mengasuh Iva, terlihat jelas kasih sayang dan cinta
yang amat dalam seorang ayah pada anaknya. Mau
tak mau harus kuakui itu.
"Apa maksud lu bertanggung jawab sepenuhnya?" Aku terusik dengan kalimat Juna sebelumnya.
Juna melihatku sekilas kemudian tersenyum sinis. Pandangannya tetap terarah ke depan sebelum
akhirnya menjawab pertanyaan ku.
"Lu pikir siapa yang selama ini bayarin kuliah lu
yang mahal itu? Biaya hidup lu sehari-hari? Biaya
psikiater langganan lu? Kartu debit yang gua yakin
isinya gak sedikit. Kehidupan lu di Jogja yang kata
gua mah terlalu mewah buat ukuran mahasiswa. Lu
pikir dari siapa duitnya? Rumah yang lu tempatin
sekarang itu Vi, bukan kontrakan kalo lu mau tau.
Itu rumah yang dibeliin Dave atas nama elu. Belum
lagi pembantu, juga satpam yang 24 jam jagain
rumah. Itu Mas Dave semua yang kasih. Bukan
Papa!"
Nima Mumtaz
Rasanya seperti ada yang menamparku keras
sekali. Perih dan panas serta sangat mengagetkan.
Kemarahan perlahan mengaliri darahku. Berdenyut
pelan ke setiap sel tubuhku. Darahku mendidih.
Kulemparkan tasku ke dashboard. Rasanya ingin
kucekik Papa, Mama, juga Juna. Aku merasa murahan banget.
"SIALAN ... KENAPA, SIH, PAPA TEGA BEGINI?
INI SAMA AJA NUKAR APA YANG DIA LAKUIN
KE GUA PAKE DUIT. INI JUAL BELI. BRENGSEK
KALIAN SEMUA!"
Tiba-tiba Juna membanting setir ke kiri dan
menepikan CRV putihnya di pinggir jalan tol.
Diraihnya kedua bahuku kasar dan diguncangkannya.
"Denger, tuan putri!! Memangnya lu tau kehidupan kami semua di sini abis lu ke Jogja? Apa
yang lu tau, ha? Kalau lu mau tau, Papa dipecat
dari perusahaan kakek karena Tante Ayumi masih dendam sama elu yang dianggapnya ngerebut
calon menantu potensialnya. Ketika Papa join dengan kenalannya buat ngerintis usaha baru, semua
modalnya dibawa kabur, Papa ditipu habis-habisan,
meninggalkan utang bertumpuk dan Papa terpaksa
menggadaikan rumah yang bahkan saat itu Papa
gak tau gimana nebusnya."
"Sementara itu kami harus perhatiin kehidupan dan perasaan lu di Jogja. Siapa yang ngebantu
waktu itu Vio?? Gak ada! Gak ada sodara yang
dateng, karena kami dikucilin keluarga besar yang
Cinta Masa Lalu
terpengaruh sama Tante Ayumi. Gak ada temen
Papa yang dateng buat bantu karena hutang Papa
yang sangat besar. Papa stres, Mama sakit-sakitan
karena cobaan yang datang bertubi kayak gak pernah berenti. Cuma Mas Dave yang dateng, cuma
dia yang nawarin Papa pinjeman karena Papa gak
mau nerima duit cuma-cuma dari Mas Dave. Itu
pun Mas Dave gak mau semua orang tau, termasuk Mama, Mbak Era juga gue yang akhirnya tau
karena gak sengaja."
"Bukan cuma elu yang sakit waktu itu Vi, semua
orang! Lu bayangin gimana perasaan Papa Mama
yang ancur, harus ngeliat anaknya depresi dan
nyaris gila, keluarga kita dikucilin dengan tuduhan
tak berdasar, dihujat habis-habisan karena semua
orang pada akhirnya tau lu punya anak tapi gak ada
yang tau kapan lu kawin!!"
"Mama Papa tetep gak mau klarifikasi ke keluarga besar gimana kejadian sebenernya tentang
elu, Ghea, dan Dave, karena kami semua gak mau
elu malu nantinya. Karena kami semua belum ada
yang tau seberapa besar keberhasilan terapi elu. Mas
Dave ngeyakinin Papa sedari awal kalau dia sangat
serius bertanggung jawab sama lu, Vi. Bukan hanya
masalah duit di sini. Dia udah nganggep Mama
sama Papa orangtuanya sendiri. Gua mau lu tau kita
semua melanjutkan hidup juga di sini yang pada
akhirnya bisa berdamai dengan keadaan." Napas
Juna terengah-engah. Matanya melotot marah.
Nima Mumtaz
Aku syok, dobel syok. Benarkah selama ini
seperti itu kejadiannya? Aku tak bisa berkata apa
pun, rasanya paru-paruku bocor, gak bisa nampung
sekecil apa pun udara di sana. Jadi selama ini?
"Sebenernya gue gak mau cerita semua ini ke elu,
Vi, Mas Dave juga ngelarang. Mas Dave gak mau lu
tau apa pun tentang ini. Dia gak pernah mempermasalahkan kebencian lu ke dia. Dia ngerasa sangat
pantas menerimanya. Mas Dave udah bahagia hidup
kayak gini. Dia ngerasa cukup dengan penerimaan
Papa, Mama, Mbak Era, Mas Ezra, Ariella, juga gue.
Papa Mama juga gak mau lu tau, mereka takut lu
jadi ngerasa bersalah. Tapi gua gak tega ngeliat sikap
lu ke Daiva. Percaya sama gue, Vio, dia sayang banget sama elu, dia kangen banget sama elu. Dia gak
salah ... gak salah...." Juna meletakkan kepalanya di
kemudi, lelah.
Aku nyaris tak menyadari ada garis basah di
pipiku. Air mata lagi? Bukankah aku sudah bersumpah gak akan nangis lagi? Bukankah aku sudah
bersumpah gak akan ngebiarin semua rasa sakit merenggut hatiku lagi? Tapi aku menangis sekarang,
dan tadi, dan semalam, dan kemarin. Ahh sudah begitu banyak air mata. Bahkan tanpa kumenyadarinya. Kesedihan tak bernama menyeruak mendominasi hatiku. Seegois itukah aku? Tuhan!!!!
Aku bingung, kecewa, takut, sedih dan entah
rasa apa yang tak kutau berebutan hadir menyita
tempat di otakku. Ini banyak, terlalu banyak. Aku
gak sanggup menangung semua fakta ini sendirian.
Cinta Masa Lalu
Mama, Papa, Juna, Mbak Era, Ariella, Mas Ezra ...
bayangan mereka melintas cepat di kepalaku yang
segera berganti dengan wajah Daiva dan lelaki itu.
Kami sama-sama diam, lelah dengan fakta yang
dimuntahkan paksa. Aku pun tak tau seperti apa
perasaanku sekarang. Namun kesunyian ini terusik
dengan alunan Better Man-nya Robbie Wiliams dari
ponsel Juna.
"Halo Tante Deasy...."
"Lagi di tol, Tante, mau ke Bogor."
"A-ppa?"
"Ok ...ok ... kami ke sana sekarang."
Juna panik, sangat. Aku yang tak mengerti hanya menatapnya bingung. Juna mengemudikan
mobilnya seperti orang kesetanan. Aku makin bingung ketika dia keluar pintu tol Citeurep dan balik
arah lagi menuju Jakarta. Dan selama itu dia diam,
fokus ke jalanan, tapi aku melihat dia mengejapngejapkan matanya seperti mengusir air mata yang
datang.
"J, kenapa?"
Dia menggeleng pelan, tapi makin menambah
kecepatan mobilnya. Aku makin panik saat dia dengan marah mengumpat supir mobil pick up pengangkut sayuran yang gak mau minggir dari jalanan.
Kulihat dia seperti mengetatkan rahang menahan
sesuatu.
"Arjuna, kenapa...!!" Tak tahan kuteriaki saja dia.
"Mas Dave, Vio taksinya tabrakan."
Nima Mumtaz
Aku tak tau bagaimana aku sampai di sini. Yang
aku tau sekarang aku diseret Juna berlari di lorong
rumah sakit yang terasa dingin. Terengah-engah
kami sampai di depan sebuah ruangan berwarna
putih. Di sana sudah ada Mama dan seorang perempuan yang sesenggukan di bangku di depan ruangan. Juga Papa bersama seorang laki-laki yang mengobrol dengan suara pelan. Mereka terlihat sangat
sedih. Serentak mereka menoleh pada kami yang
baru datang.
"Ma ... Pa, gimana?" Juna bertanya hampir kehabisan napas
Tak kusangka tangisan Mama bertambah kencang. Lalu perempuan tadi menghampiriku, kemudian memelukku erat. Siapa dia?
"Viona...."
Tangisannya kencang, sarat dengan kesedihan
yang dalam.
"Dave gak papa, tapi Iva...."
Itu suara Mama, bukan?
Iva? kenapa Iva?
Bagai robot aku melangkah ke ruangan di depanku.
Melalui kaca beningnya bisa kulihat sosok tubuh kecil tertidur di atas ranjang. Berbagai selang berebut
menguasai tubuh mungilnya. Masker oksigen bagai
topeng kegelapan yang menghalangiku menatap
wajah cantiknya. Monitor di samping tempat tidur
menunjukan grafik yang tak kutau apa maknanya.
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gadis kecilku.
Cinta Masa Lalu
Ada ketakutan yang tiba-tiba menyelinap di
hatiku. Bagaimana kalau dia pergi? Bagaimana kalau dia tak akan pernah membuka matanya lagi?
Bagaimana kalau aku bahkan tak sempat berbicara
padanya. Anakku ... dia anakku.
Rasanya kakiku tertarik otomatis memasuki ruangan itu. Di sana, lelaki itu memegang tangan Iva,
mengajaknya mengobrol sambil menyenandungkan
lagu yang di telingaku terasa bagai ratapan kematian
karena bercampur isakan tangis. Dia menangis?
Kepalaku berputar, terhantam oleh kesadaran di
sisi otak kecilku.
Deja vu.
Seperti tujuh tahun lalu.
David
Kalau ada yang mengatakan bahwa untuk mencapai
kebahagiaan harus banyak pengorbanan dan rasa
sakit, aku setuju. Sangat setuju. Tapi jujur, aku tak
sanggup Tuhan. Aku lelah, rasanya aku ingin menyerah atas semua ini. Bukan tentang aku, bukan
untuk rasa sakitku. Aku yakin aku sangat pantas
menerimanya. Tapi ini untuk bidadari kecilku.
Untuk setengah jiwaku.
Melihatnya terbaring dibelit bermacam selang
begitu merobek jiwaku. Matanya tak kunjung terbuka, lelap dalam tidur yang damai. Swettie ... kau
pasti sangat sakit sekarang.
Nima Mumtaz
Tuhan kenapa tak Kau berikan saja padaku
semua deritanya. Kenapa tak Kau timpakan saja
padaku semua sakitnya. Gantikan aku untuknya
Tuhan, kumohon. Jangan hukum aku seperti ini.
Aku hanya bisa menangis untuknya, untuk melarutkan semua kesedihan dalam lautan air mata.
Tapi bukankah aku hanya bisa menerima? Aku tak
mungkin menyalahkan siapa pun bukan? Haruskah
menyalahkan sopir taksi yang membuat kami seperti ini? Haruskah menyalahkan keadaan kenapa kami
terjebak di antaranya, atau menyalahkan nasib yang
memang tak berpihak padaku. Tidak, bukan? Aku
sudah belajar untuk tak pernah menyalahkan apa
pun atau siapa pun selama tujuh tahun ini. Inilah
rencana Tuhan.
Kugenggam erat jemari mungilnya yang dingin.
Menempelkannya di wajahku, menghirup aroma
wanginya. Wajah malaikatnya tampak pucat tertutup masker oksigen. Aliran air mata tak bisa kucegah lagi.
"Iva ... bangun, baby. Daddy sayang kamu,
nak...."
"Daddy janji bawa Iva ke pantai, nanti kita bikin
istana pasir, ya, sayang...."
"Daddy janji ntar kita nonton Disney lagi, ya
sayang, tapi bangun dulu, nak, Daddy kangen."
"Bangun Daiva."
"Bangun sayang...."
Ada yang mendekat dari belakangku, aku bisa
merasakannya, tapi tak kupedulikan. Melewatiku
Cinta Masa Lalu
dia mendekat ke sisi lain ranjang Iva, aku tak peduli.
Yang aku mau cuma putriku bangun, hanya Daiva.
Kulihat dia mengelus tangan putriku pelan,
ragu. Aku tau tangan itu. Vio? Dia datang?
Matanya fokus pada putri kami, bibirnya bergetar, air mata membanjiri pipinya.
Apa kau sedih untuk putri kita, Vio? Apa kau
menangis untuknya?
Lalu aku mendengar dia memanggil putri kecil
kami, tergagap, sedih.
"Daiva ... bangun, sayang."
"Ini Mommy, nak ... Mommy pulang buat
Iva."
Karena Kucinta Kamu
2005
Bughhhh...dugh...dughh..
"JUNA!!"
"Davee!"
Aku mendengar bunyinya bahkan sebelum
merasakannya. Rahangku kebas, sakit di seluruh tubuhku, perih, sesak di ulu hati. Jeritan mami dan
teriakan orang-orang kudengar kemudian.
"SETAN LU, GAK USAH NUTUPIN KEBEJATAN LU PAKE KEDOK PERNIKAHAN. LU PIKIR
GUA BAKALAN NGEBIARIN LU NYAKITIN ADEK
GUA LAGI. JANGAN MIMPI TIKUS GOT!!!"
Kuraba rahangku, nyeri lalu ada rasa asin di
mulut. Kurasa bibirku pecah lagi. Wajah terbalik
mami dan papi yang pertama kali kulihat memberitahukanku kalau aku sekarang telentang di lantai.
Kucoba bangkit pada posisi semula, namun seper154
Cinta Masa Lalu
tinya tak ada lagi kekuatan yang ada di tubuh ini.
Kembali aku terjatuh di lantai yang dingin.
Kenapa aku selemah ini? Tak ada tenaga sedikit
pun yang kupunya. Mengingatkanku kapan terakhir kali perutku terisi nasi, kemaren? Atau... entahlah. Aku sudah lupa banyak hal.
Mami menjerit histeris lagi, tapi papi mencengkeram erat lengan mami yang sepertinya hendak
menolongku.
Aku tak peduli itu, aku tak peduli apapun. Aku
hanya ingin bertemu Vio, hanya vio.
Juna masih tampak sangat emosi, dia dipegangi
oleh seorang laki-laki dan perempuan yang tak
kukenal. Tapi tatapan mereka menyiratkan satu hal
yang sama. Kebencian yang amat dalam padaku.
"Saya ingin bertanggung jawab penuh pada Vio.
Tolong ijinkan saya." Lemah suaraku hampir berbisik.
"JANGAN HARAP SETAN! PAPA, JUNA MAU
BAWA PERGI VIO DARI SINI. JUNA GAK SUDI
IBLIS INI MAKIN NGERUSAK VIO. KALAU PERLU
GUGURIN AJA KANDUNGANNYA."
Bagai orang gila Juna berteriak kesetanan padaku.
Apa! Vio mau pergi?
Lalu bayi kami?
Digugurkan?
Tidak ... tidak boleh.
Itu bayiku, buah cintaku bersama Vio.
Nima Mumtaz
Enggak ... gak boleh ... kalau dia pergi aku gak
bakalan ketemu dia lagi
Enggak ...Vio....
Kucoba berdiri, namun lagi-lagi aku hanya bisa
terjatuh. Kakiku gemetaran, sisi tubuhku terasa sangat sakit.
Tapi aku harus mencegah Vio pergi. Ini gak boleh. Vioku ... bayiku....
Merangkak kuhampiri kursi di mana papa-mama Vio duduk. Sakit ini gak seberapa, gak ada artinya dari pada aku harus kehilangan Viona.
"Daveee...." Mami histeris di kursinya. Namun
Papi bergeming.
Bugh..
Kembali kurasakan nyeri menyengat sisi tubuhku sebelah kiri. Aku kembali jatuh terlentang. Ada
apa denganku?
Kulihat Juna yang berdiri sangat dekat dariku,
tetap dipegangi dua orang yang tak kukenal tadi.
Wajahnya tampak terbakar kemarahan. Dia menendangku? Benarkah?
Tapi tidak, tak ada urusan dengan Juna. Aku
mau Viona.
Dari ekor mataku kulihat Mami menangis di
pelukan Papi yang memejamkan mata. Nyeri yang
hebat menyerang sisi tubuh kiriku. Kenapa sakit
banget, ya? Apa rusukku retak? Atau patah, mungkin? Ah... itu gak penting.
Viona....
Cinta Masa Lalu
Saat merangkak dengan kedua lutut dan tanganku pun terasa susah, aku hanya bisa menyeret
tubuhku sebisa mungkin. Tangisan Mami makin
kencang kudengar. Tapi itu tak penting.
Kuraih sepatu papa Vio, kugoncangkan semampuku. Papanya harus tau, harus mengerti....
"Saya mohon, izinkan saya menikahi Viona."
Joko Sableng 12 Warisan Laknat Prabu Siliwangi Bara Di Balik Pendekar Naga Putih 113 Makhluk Haus
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama