Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz Bagian 3
Kulihat ekspresi wajahnya dingin dan mengeras.
Dia menggeleng pelan.
Tidak!
"Saya mohon, izinkan saya menikahi Viona."
Dia bahkan tak melihatku, wajahnya tetap kaku.
Oh tidak ... tidak ... Vio ...Vioku....
Kurasakan panas di pelupuk mataku. Dan sebelum aku menyadarinya pipiku sudah basah oleh
air mata yang tak dapat kubendung lagi. Kenapa
rasanya sesakit ini. Aku gak mau ini, aku gak mau
begini.
Vio ... enggak ...enggak ... aku gak mau kehilangan Vio....
"Saya mohon ... saya mohon .... apa pun .. apa
pun akan saya lakukan. Tapi tolong izinkan saya
menikahi Vio, izinkan saya memilikinya. Kami mau
punya bayi. Tolong ... tolong ... saya mohon ... saya
mohonnn." Bagai kaset rusak kuulang lagi permohonanku pada Papa Vio.
Mami menangis histeris, tapi aku bahkan tak
melihatnya. Juna masih berteriak-teriak seperti masih ingin menendangku. Aku tak peduli.
Lantai rumah sakit terasa dingin dan membuatku makin nyeri, tapi itu gak penting.
Nima Mumtaz
Kemudian telingaku berdenging, kepalaku berat sekali. Rasanya semuanya berputar. Tak ada apa
pun lagi yang sanggup ditangkap indraku. Tak ada
teriakan Juna, tak ada tangisan Mami, tak ada. Rasa
sakitku pun perlahan memudar, kemudian tak ada
apa-apa yang kurasa.
Bahkan ketika ada darah mengalir dari hidungku, aku sudah mati oleh perasaanku.
Aku cuma mau Vio. Hanya Vio.
****
Putih ... hanya putih. Semuanya putih. Hanya itu
yang kulihat saat aku membuka mata. Aku tak tau
kenapa aku bisa sampai ada di sini. Aku juga tak
tau berapa lama aku tertidur. Satu kesadaran yang
datang tiba-tiba saat ku melihat selang infus di
pergelangan tanganku. Aku di rumah sakit.
Vio ... mana Vio ... aku harus bertemu Viona.
Dengan semua tenaga yang kupunya, aku berusaha bangkit dari ranjang. Namun kurasakan ada
tangan yang menahanku mencabut jarum infus.
Mami menggeleng pelan padaku. Wajahnya sembap, matanya menyiratkan kesedihan yang amat
dalam.
"Mami ... mami...."
Aku harus bilang ke Mami kalau aku mau cari
Vio. Mami pasti mau ngerti, kan? Mami pasti mau
ngabulin apa mauku, kan?
Cinta Masa Lalu
"Sssttt ... udah sayang, tidur aja, ya. Mami
jagain kamu di sini, nak." Mami memaksaku kembali rebah. Mengelus lembut rambutku. Persis seperti dulu saat aku kecil.
"Mami ... Vio, Mam. Dave mau ketemu Vio.
Mamii ... tolongin Dave, Maamm." Kuguncang
tubuh Mami semampuku. Air mata kembali deras
mengalir di wajahnya. Kenapa, Mam?
Mami hanya menatapku dengan sayang.
"Dave, kenapa harus begini ... kenapa ... bisakah
kamu melupakan dia, David? Bisa, sayang?"
Apa tadi kata Mami, melupakan? Maksudnya?
Vio, kah?
"Vio, Mam?"
Mami hanya mengangguk lemah. "Lupakan
dia, Dave. Orangtuanya gak setuju kamu menikahi
Viona. Papi pun enggak mau kamu menikahinya
kalau kamu masih saja seperti ini. Biar Mami sama
Papi yang mengambil alih tanggung jawab untuk
semuanya. Orangtua Vio akan mengirimnya ke pergi. Untuk melanjutkan hidupnya yang baru."
Apa ... apa kata Mami tadi? Vio pergi? Enggak
... enggak boleh.
Gak boleh ... ini gak boleh!!
Kutepiskan tangan Mami kasar. Aku harus nyari
Vio. Harus!!
Sengatan rasa nyeri di tubuh sebelah kiriku
membuatku limbung saat aku melompat dari atas
ranjang. Kenapa ini?
Nima Mumtaz
"Dave ... jangan maksain diri. Rusuk kamu retak. Sudah ayo istirahat, sudah Dave...!" Mami
menarikku ke tempat tidur kembali, masih dengan
linangan air matanya.
"Mami, enggak, Mam. Aku harus nemuin Vio,
Mam. Dave mau nikahin Vio, Mami. Dave mau
punya anak. Anak Dave, Mami ... Mami...." Mami
merengkuhku dalam pelukannya, mendekap tubuhku erat, kami merosot di kaki ranjang. Menangis
bersama.
Kepalaku rebah di pangkuan Mami, ada damai yang
kurasa. Seperti aku dibawa ke masa itu, saat aku
masih merasakan nyaman dalam dekapan Mami.
Berlindung pada dadanya yang hangat. Aku ingin
kembali pada masa itu, masa lalu itu. Saat aku belum mengenal apa-apa. Hanya Mami hanya Papi.
Air yang menitik ke dahiku membuatku mendongak, Mami menangis. Air matanya deras mengalir,
tak terbendung. Orangtuaku tak pernah menunjukkan emosi berlebih, entah itu kemarahan entah itu
kesedihan. Mereka selalu bisa mengontrolnya dengan manis. Tapi entah sudah berapa kali aku membuat Mami dan Papi menangis dalam jangka waktu
yang sesingkat ini.
Apakah sebegitu besar dosaku? Apa sebegitu besar kesalahanku?
Mami ... Papi ... Vio....
"Kenapa harus begini, Dave, kenapa ... kenapa
jalan hidup mu harus seperti ini...."
Cinta Masa Lalu
Mami ... kuhapus setitik air di pipinya, di sudut
matanya, pada pelupuk matanya yang sudah bengkak, di sana rasanya bisa kulihat luka yang teramat
dalam.
"Mam, bantu Dave, Mam. Bantuin Dave. Dave
janji, bersumpah, Dave akan berubah. Dave mau
mulai hidup baru, Mam. Dave mau buat Mami
sama Papi maafin Dave. Please, Mami, sekali ini aja
bantu Dave. Setelah ini Dave gak akan minta apa
pun sama Papi, sama Mami. Tolong, Mam." Mami
memelukku makin erat, tangisan kami berdua makin kencang. Aku sudah tak peduli apa pun. Aku
mau Vio-ku.
****
Ada suara suara berbisik pelan, sangat pelan untuk
bisa kutangkap. Kucoba membuka mataku, namun
cahaya berlebih menyilaukan membuatku terpejam
lagi. Ada sesuatu di wajahku, risih. Kucoba membuangnya saat kemudian kusadar tangan kiriku dibebat, sedang ada jarum infus di tangan kananku.
Di mana ini?
"Dia sadar ... ya Tuhan ... Dokteerrrr...."
Teriakan-teriakan lain kudengar kemudian. Tapi
aku masih tak tau, di mana ini? Kenapa, apa? Aku
tak bisa berpikir sedikit pun.
Nima Mumtaz
Ada seseorang meraih tanganku, membuka kelopak mataku dan menyorotnya dengan senter kecil.
Kenapa ini?
Kebingungan menyerangku. Semuanya terasa
begitu cepat. Ada banyak orang datang. Semua
orang bicara bersama, semua orang bergerak bersama. Aku bahkan tak menyadari apa lagi yang dilakukan orang itu padaku.
Mama ... mana Mama??
Kucoba memanggil Mama, tapi hanya erangan
rendah dari tenggorokanku. Perih banget.
"Viona, kamu bisa dengar saya? Apa yang kamu
rasakan sekarang?"
Seorang perempuan menggerak-gerakkan tangannya di hadapanku. Aku tak tau apa maunya,
apa maksudnya. Ahh aku lelah sekali.
"Maa...."
"Tanda vitalnya baik. Gerak refleksnya juga
bagus semua. Bu, saya rasa Anda sudah bisa
mendampinginya."
Wajah Mama yang lelah memenuhi mataku,
matanya bengkak. Kenapa Mama?
Kucoba kembali meraih sesuatu yang menempel
di wajahku, risih banget. Tapi Mama meraih tanganku dan menahannya.
"Jangan sayang. Istirahat, ya. Vio mau apa sayang? Mau Mama ambilin sesuatu? Vio mau makan
atau minum? Atau Vio mau sama Papa atau Juna?
Ada Mbak Era juga Mas Ezra di sini. Vio mau
ditemenin siapa, sayang?"
Cinta Masa Lalu
Mama terus saja berbicara. Aku bahkan tak bisa
menangkap apa yang dikatakan Mama. Lalu perlahan ingatanku yang buram kembali. Mama, Papa,
Mbak Era, Juna, Dave, bayi.... Tidak!!
Jadi aku masih hidup? Aku masih harus merasakan semua ini? Aku gak mau begini. Aku gak
mau!!!
Mama mengelus sudut mataku, mengeringkan
air mata yang tak kusadar telah mengalir.
"Jangan sayang, jangan nangis. Mama sayang
Vio, Papa, Juna, Mbak Era, Mas Ezra juga Ariella
semuanya sayang banget sama Vio. Jangan begini
lagi, ya, nak, jangan tinggalin Mama, Vio." Mama
menangis tersedu. Memelukku erat yang masih terbaring lemah.
"Ma...."
"Iya sayang, kita laluin ini semua bareng-bareng,
ya. Vio gak sendiri. Vio masih punya kami semua
di sini. Ya, Vio, janji ya, sayang, jangan begini lagi.
Jangan pernah berniat tinggalin kami semua Vio."
Mama menangis makin kencang. Mencium
telapak tanganku dan mengelus-elus rambutku.
Mama ...
****
Semuanya di sini, bahkan Mas Ezra yang jarang kulihat karena selalu sibuk kerja pun datang. Juna tak
pernah pergi dari sisiku. Dia selalu ada di samping163
Nima Mumtaz
ku dan menggenggam erat tanganku. Untuk saat ini
aku merasa tenang. Ya, aku masih punya keluarga.
Masih ada Juna juga.
Tapi bagaimana dengan bayi ini, bayi brengsek
ini? Aku hamil. Hamil dari laki-laki bajingan itu.
Aku gak mau ini, gak mau!! Tuhan ... sekejam inikah Kau padaku? Dosa apa aku padamu, Tuhan,
hingga kau berikan semua kesialan ini padaku?
"Vio...."
Suara lembut Papa membuyarkan lamunanku.
Papa tampak ragu, berkali-kali mengembuskan
napas berat.
"Vio ada yang mau bertemu denganmu."
"Enggak. Gak usah, ngapain sih, Pa? Papa masih mau kasih kesempatan keluarga bajingan itu
deketin Vio? Apa Papa mau Vio tambah sakit, Pa!"
Geraman kasar Juna membuatku bingung.
Apa maksudnya?
"Juna, Papa ini sudah jadi orangtua. Papa tau
perasaan mereka, dan papa akan melakukan hal
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang sama kalau di posisi mereka." Tampak lelah
Papa menjelaskan pada Juna. Apa, sih, maksud
Papa?
"Orangtua David ingin bertemu kamu Vio.
Mereka minta waktu sebentar. Papa sama Juna di
sini kalau kamu takut."
Orangtua bajingan itu mau bertemu denganku? Untuk apa? Panik, kuremas tangan Juna.
Dia mengangguk mantap, walaupun bisa kulihat
ketidaksetujuannya.
Cinta Masa Lalu
"Jangan pergi ... jangan pergi.." Kenapa suaraku
tak bisa lebih keras dari ini ?
"Enggak sayang. Aku di sini nemenin kamu terus, aku gak akan pergi." Juna mencium keningku,
menyalurkan kekuatanku yang tadi menguap. Ya,
aku bisa. Pasti bisa.
Melewati pintu kulihat seorang laki-laki dan
perempuan setengah baya berjalan ke arahku. Inikah
mereka? Kurasa iya, melihat ada beberapa kemiripan di wajah mereka dengan bangsat pemerkosa itu.
Mereka tampak sedih, bahkan mata ibu itu tampak sangat bengkak. Apa dia juga banyak menangis? Untuk apa dia menangis? Menangisi kebejatan
anaknyakah?
Kupalingkan wajahku ke jendela. Tak sudi aku
melihat muka-muka mereka. Bagiku mereka sama
saja dengan setan mesum itu.
Tak ada yang memulai apa pun, semua diam.
Ada gerakan gelisah di kaki ranjang, aku tak tau
siapa itu. Gak penting juga buatku, kan?
"Viona, terima kasih sudah bersedia menemui
kami. Kami ingin meminta maaf. Saya tau tak ada
kata yang cukup untuk mewakili permintaan maaf
kami. Kami sungguh menyesali semua ini, tapi
kami akan menanggung semua akibat dari perbuatan David. Semua tanggung jawab akan kami pikul.
Apa pun itu bentuknya. Tapi saya mohon dengan
sangat, berilah keluarga kami maaf, berilah kami
ampunan."
Nima Mumtaz
Lelaki itu bicara dengan suara bergetar, tak lama
kemudian suara tangisan perempuan terdengar. Juna
masih menggenggam tanganku erat. Papa duduk di
sisi ranjang yang lain, mengelus rambutku. Panas
kurasakan lagi di mataku. Enggak, aku gak mau
nangis lagi, aku capek. Capek banget.
"Sudah? Pergi kalau emang gak ada lagi yang
mau diomongin. Vio mau istirahat. Gua juga udah
mulai mual dengerin semua omong kosong ini."
Suara ketus Juna menyadarkanku kalau dua orang
itu masih ada bersama kami.
"Mau bobok? Gua temenin, Vi. Istirahat, ya
sayang." Elusan lembut Juna menenangkanku. Tak
berhenti dia mengusap rambutku dengan sayang,
senandung kecil keluar dari mulutnya. Ini memberikan efek menenangkan buatku, tak lama seperti
ada kabut tipis yang menyelubungi kesadaranku.
Ngantuk lagi
Tak tau berapa lama aku tertidur saat samar-samar
suara teriakan Juna merangsek masuk pada kesadaranku. Juna kenapa? Ah, mungkin aku cuma mimpi.
"SETAN ... PERNIKAHAN ... TIKUS...." Itu
suara Juna, kan?
"...VIO ... IBLIS ... RUSAK ... GUGURIN...."
Ada apa ini? Kenapa dengan Juna?
"JUNA...."
"DAVE...."
Cinta Masa Lalu
Ada suara jeritan perempuan dan laki-laki bersamaan. Itu suara Mbak Era, kan? Mas Ezra juga.
Trus satu lagi suara siapa?
Aku ingin bangun, tapi kantuk itu terlalu pekat
kurasa.
Mama ... Papa ... Juna ... aku hilang lagi.
****
"Vio ayo dong sesuap lagi, ya, Mama janji ini yang
terakhir, ya?" Wajah Mama tampak sangat berharap.
Sendok yang dipegangnya masih di depan mulutku,
sebenarnya aku sudah sangat kenyang. Lagi pula ada
sedikit mual yang kurasa. Tapi demi Mama gak papalah, sesendok bubur toh gak akan ada bedanya,
kan?
"Mam, kok Juna gak ada, Mam, ke mana, sih,
Juna?" Kuputar-putar gelas minum yang diberikan
Mama.
"Tadi, sih, katanya mau ke kafetaria nyari kopi.
Udah Mama suruh tidur di sini, tapi dia gak mau."
Mama merapikan selimutku dan memijit lembut
kakiku.
Mama kelihatan sangat lelah, kantong matanya
tampak jelas, wajahnya pun pucat sekali. Aku tau
Mama kurang tidur dan sangat banyak menangis,
Papa juga. Tapi tak ada satu pun yang menampakkannya padaku. Juna yang lebih parah, aku belum
pernah melihatnya tidur sama sekali. Walaupun
Nima Mumtaz
katanya dia selalu tidur kalau aku tidur. Tapi aku
tetap tidak yakin, dia selalu ada. Bahkan saat aku
terbangun pada malam hari dia masih saja terjaga.
"Mama gak bobok? Ntar Mama kecapean, lho."
"Enggak, Vio, Mama mau nungguin Vio di sini.
Vio mau apa, sayang?"
Aku hendak menjawab pertanyaan Mama saat
kudengar gerutuan Juna dari pintu. Juna masuk
dengan wajah sangat marah diikuti Papa, Mbak Era,
dan Mas Ezra. Wajah mereka sama-sama kesal akan
sesuatu. Tapi sepertinya mereka bertekad menyembunyikannya dariku. Karena begitu masuk tampak
sekali mereka berpura-pura senang. Lirikan tajam
Mama pada Juna makin meyakinkanku kalau ada
yang salah di sini.
"Kenapa, J? Ada yang salah?" Kubertanya pada
Juna yang diam di sisi kiri ranjangku.
"Gak papa, Vi. Salah apaan, gak ada apa-apa,
kok. Eh, nyanyi lagi yuk, kamu mau dinyanyiin
apa?" Juna berusaha mengalihkan perhatianku dengan gitar yang dibawanya. Tapi aku gak akan
nyerah.
"Tolong, dong, Vio udah bosen sama semuanya.
Vio gak mau ada yang ditutup-tutupin lagi. Vio
benci jadi orang yang terakhir tau. Apalagi kalau itu
menyangkut hidup Vio." Sengaja kutekankan katakata sinis pada mereka semua.
"Apaan, sih, Vi, gak ada yang ditutupin, kok.
Semua baik-baik aja. Loh itu kok makannya gak
diabisin. Mau aku yang suapin?" Perubahan arah
Cinta Masa Lalu
pembicaraan yang tiba-tiba oleh Juna makin membuatku sebal.
"Papa ada apa? Mbak Era? Mas Ezra? Apa gak
ada yang mau ngomong sama Vio?" Suaraku terdengar tinggi bahkan di telingaku sendiri. Aku
makin kesal saat semuanya diam. Tak ada satu pun
yang berusaha menjelaskannya padaku.
"Vio kamu...."
Praaang!!.
"Viona...!!!!" Lima suara berbeda berbarengan
menyebut namaku. Aku bahkan tak sepenuhnya
menyadari apa yang kulakukan. Tanganku gemetaran, napasku terengah. Apa aku marah? Entahlah.
Hanya saja aku bosan dan mulai mati rasa dengan
dengan situasi ini.
Aku hanya bisa memandangi pecahan gelas yang
tadi kulempar ke tembok, Mama menangis.
"Ada yang mau jelasin ke Vio?" Dingin kutatap
mereka bergantian. Namun semuanya tetap diam.
"Vio ... sebenarnya ... sebenarnya Papa bingung
menyikapi ini." Papa tampak sulit mengatakan
maksudnya. Berkali-kali Papa mengembuskan napas berat.
"Papa, udahlah, gak usah diperpanjang lagi. Juna
gak setuju. Juna lebih suka dia busuk di penjara!!"
Juna tampak emosi. Tunggu apa ini maksudnya.
"Juna tolong lihat segala sesuatunya dari berbagai aspek. Jangan turutkan emosi dalam hal ini.
Kamu pikir Mbak Era seneng dengan situasi ini?"
Mbak Era memotong tajam perkataan Juna.
Nima Mumtaz
"Mbak Sierra rela kalau Vio sakit lagi, Mbak?
Kita hampir kehilangan Vio, Mbak, besok apa
lagi!!" Juna kembali berteriak marah.
Aku? Jadi beneran ini tentang aku? Lalu apa
maksudnya?
"Tolong bisakah kita hentikan ini ... sudah cukuppp...." Suara basah Mama bercampur tangis.
Kemudian tak ada yang bicara, semua diam.
Bahkan tak ada yang bernapas dengan keras.
"Papa bisa tolong jelasin ke Vio. Vio mau tau
semuanya." Papa melihatku bimbang.
"Gak usah, Vi. Gak perlu. Buat apa, sih, udahlah
lupain aja." Juna kembali memotong apa pun yang
hendak Papa katakan.
"Kalau itu berhubungan dengan hidupku, J, aku
perlu tau. Sekecil apa pun itu. Pa, tolong bilang ke
Vio." Aku tetap berkeras.
Jeda panjang sampai akhinya Papa menjatuhkan
bomnya. "David ingin menikahimu."
APA...!!
Apa yang Papa katakan tadi? Tolong bilang kalau
aku salah dengar. Tolong katakan kalau Papa bercanda, tolong!!
Menikah? Aku harus menikah dengannya? Lebih
baik aku mati saja. Apa yang ada di otak bajingan
mesum itu sampai berani-beraninya meminta ini
dariku? Apa dikiranya akan mudah saja memper170
Cinta Masa Lalu
dayai keluargaku? Apa dikiranya dengan semua
yang dia punya bisa membeli kami? Tidak! Aku tak
akan pernah sudi melakukan itu!!
"Udah. Gak usah dipikirin. Gue bilang juga apa,
gak usah ngebahas semua omong kosong ini. Biarin
aja anjing busuk itu mati pelan-pelan," Juna meraih
kedua sisi wajahku dan berbisik penuh kebencian.
"Tidak hanya nasib Viona yang kita bicarakan di
sini Juna. Masih ada yang lain. Tolong pikirin itu!"
Mbak Era menyela Juna tajam, ada ketidaksetujuan
di matanya.
"Mbak, kalau memang khawatir dengan nasib
bayi ini, Juna siap jadi bapaknya. Biar aja Juna nanti
yang ngurus. Juna mau bawa Vio pergi dari sini.
Juna mau mulai hidup baru bersama Vio dan bayi
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini. Mama sama Papa gak usah khawatir, Juna pasti
bisa. Gak butuh segala hal menjijikkan yang disebut
pernikahan kalau hanya membicarakan bayi setan
ini!" Juna berteriak di ruangan yang tak seberapa
besar ini.
Bayi, o ya, aku hampir saja melupakannya. Aku
sedang hamil. Aku sedang mengandung anak bangsat itu.
"Dan sebagai apa? Sebagai kakak adik? Sebagai
suami istri? Heiii ... pikirin lagi, anak muda. Hidup
itu tak semudah membalikkan telapak tangan.
Kamu gak akan pernah tau apa yang kamu hadapi
di luar sana. Mengingat umur kalian yang masih
sangat muda. Kamu juga belum pernah merasakan
pengalaman hidup sendirian. Satu lagi, status apa
Nima Mumtaz
yang bisa kau berikan pada pada bayi ini nantinya. Kalau hanya memikirkan bayi ini pun Mbak
Era masih bisa mengurusnya, Juna, masih bisa dia
kuangkat anak. Tapi aku juga seorang ibu, J, aku
bisa merasakan apa yang anakku rasain. Aku bisa
tau kalau dia sedang sedih, sakit, seneng. Lalu apa
yang akan Vio bilang padanya kalau dia kangen
sama anaknya mungkin lima belas tahun nanti ?Hai,
nak, Tante kangen sama kamu? begitu!!" Kalimat
Mbak Era yang berapi-api membuat Juna diam.
Begitu juga aku.
"Juna, kamu dan Viona masih sama-sama muda.
Jalan kalian berdua masih cukup panjang. Mungkin
sekarang kamu bisa ngomong begini. Tapi entah
apa yang kamu pikirin lima atau sepuluh tahun
yang akan datang. Kita sedang membicarakan nasib
satu nyawa baru Juna."
Suara lembut Mama mengusik bimbangku. Satu
nyawa baru? Ya nyawa baru yang sekarang tertanam
di tubuhku. Yang di dalamnya mengalir darah busuk bajingan itu.
"Kalau begitu gugurkan saja." Terkejut, kumenoleh pada suara dingin Juna yang menatapku
tanpa ekspresi.
"Juna!!! Bisa-bisanya kau berpikir begitu. Lalu
apa bedanya kamu dan David?" Tatapan sinis Mbak
Era membuat Juna marah. Terlihat jelas api yang
Cinta Masa Lalu
membakar matanya. Sepertinya dia sudah bersiap
melontarkan kata-kata pedas berikutnya.
"Maaf, bisakah kita bicarakan ini dengan kepala
dingin. Emosi tak akan membuat kita mengambil keputusan yang benar. Saya rasa pertama-tama
kita perlu tanya pendapat Viona. Bagaimanapun
ini adalah hidup Viona, dia yang akan menjalaninya." Kumenoleh pada Mas Ezra yang masih tampak tenang. Jarang sekali Mas Ezra mengutarakan
pendapatnya. Selama ini Mas Ezra lebih banyak
diam dan mengemukakan pikirannya hanya pada
Mbak Era.
Aku? Pendapatku? Tentu saja aku gak mau bayi
ini. Tentu saja aku mau si setan bejat itu mati saja.
Tentu saja aku mau ini hanya mimpi. Dan tentu
saja aku mau hidupku kembali seperti dulu. Tapi
bisakah???
"Aku gak mau bayi sialan ini. Aku gak mau."
Suaraku hanya berupa bisikan kecil. Tak bisa lebih
dari itu.
"Apa kau tau resiko menggugurkan kandungan,
Viona? Terburuknya adalah kematian. Selain itu bisa-bisa rahim dan indung telurmu rusak. Kau tau apa
akibatnya? Bisa jadi anakmu selanjutnya menderita
cacat bawaan atau lebih parahnya kau tak akan bisa
punya anak lagi. Cukup aku saja yang merasakan
sedihnya, Vio. Walaupun sudah ada Ariella, apa kau
pikir seorang perempuan tak akan sakit bila tak bisa
hamil lagi??" Mbak Era menatapku dingin, dingin
Nima Mumtaz
sekali. Mas Ezra memeluknya erat. Mengusap-usap
lembut lengannya, menenangkan.
Aku lupa, lupa sama sekali kalau Mbak Era tak
akan pernah bisa punya anak lagi karena rahimnya
harus diangkat setelah kelahiran Ariel dulu. Ruptur
uteri yang dialami Mak Era hampir merenggut
nyawanya, yang akhirnya membuat Mas Ezra mengambil keputusan paling aman saat itu. Kelahiran
Ariella yang dipercepat dan berujung pada pengangkatan rahim karena adanya komplikasi.
Kurasa inilah satu-satunya alasan Mbak Era mencoba membuatku mempertahankan kandunganku
saat ini. Sedikit tempat di otakku memahami itu.
Tapi selain dari itu? Kenyataan aku akan punya bayi
sungguh tak pernah terlintas sedikit pun di kepalaku.
"Apakah menikah satu-satunya jalan? Apakah
aku memang harus melakukannya?" kuberpaling
pada Mama yang masih sesenggukan di sisi ranjangku.
"Pernikahan akan membuat status hukum anak
ini jelas. Anak di luar nikah hanya akan mempunyai
hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.
Dia tak akan mempunyai hak waris dari keluarga
ayahnya. Itu mungkin tak akan menjadi masalah
bagi kita. Akan tetapi, bagaimana stigma masyarakat kita yang masih memandang anak di luar nikah adalah anak haram yang selalu dipertanyakan
kedudukannya. Bahkan mengurus akta kelahirannya saja masih susah. Belum lagi cemoohan yang
Cinta Masa Lalu
akan diterima anak ini nantinya." Mata Mas Ezra
lekat menatapku setelah uraiannya.
Ragu kubertanya pada Papa lewat tatapan
mataku.
"Sekali lagi Papa hanya mengkondisikan diri
pada posisi mereka. Bagaimana kalau ini menimpa
keluarga kita. Papa punya Sierra, Viona, dan Arjuna.
Papa membayangkan apa yang akan Papa lakukan
jika ini terjadi pada Juna...."
"Juna gak serendah itu, Pa...."
Papa tampak kaget dengan nada bicara Juna
yang tajam.
"Papa bukannya mengharapkan kau juga
melakukan hal seperti ini Juna. Papa hanya memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Melihat reaksi orangtuanya, Papa sangat yakin kalau orangtuanya sangat terpukul dan tak pernah
menginginkan hal ini." Suara Papa berat dan dalam,
sangat getir.
"Mama juga tak tega melihat ibu dan ayahnya
berulang kali memohon pada kita. Mama juga
membayangkan bagaimana kalau kita ada di posisi
mereka." Mama bersuara kemudian. Kepahitan jelas
terlihat dari ekspresi Mama.
Menikah karena hamil setelah diperkosa. Dan
aku baru 18 tahun. Ini jelas tak pernah terbayangkan semula. Bahkan dalam mimpiku yang paling
buruk. Tapi benarkah aku harus menjalaninya ?
Bayi, aku akan segera punya bayi. Tak tau berapa
lama lagi, karena aku juga tak tau berapa usia ke175
Nima Mumtaz
hamilanku. Mampukah aku? Aku tak tau apa-apa
tentang bayi.
Membayangkannya saja membuatku takut.
Dan apakah aku harus hidup bersamanya? Bersama
bangsat pemerkosa itu? Aku yakin aku akan bunuh
diri berulang kali kalau sampai aku melihatnya setiap hari. Aku bahkan tak akan bisa bertahan terlalu
lama bila menghirup udara yang sama dengan bajingan itu.
Lalu apa yang harus kulakukan?? Tuhaaannn....
"Papa, baiklah, aku akan menikah. Tapi ada
syaratnya...."
Papa, Mama, Mas Ezra dan Mbak Era tampak
kaget dengan keputusanku. Juna terlihat marah seperti ingin melempar sesuatu.
****
Esoknya banyak sekali kesibukan di kamar perawatanku. Hari ini aku menikah. Ya menikah.
Dengan orang yang tak pernah kubayangakan akan
menjadi suamiku.
Suami? Cihh, aku saja jijik menyebutnya.
Keluarganya menerima semua syarat dariku,
tanpa terkecuali. Kemarin Papa dan Mas Ezra segera
mengurus semua dokumen yang diperlukan sekalian menyewa pengacara untuk membuat surat perjanjian seperti yang kuinginkan. Dan hari ini pernikahan itu akan dilangsungkan di sini, di ruangan
yang sarat dengan bau obat ini.
Cinta Masa Lalu
Aku bahkan tak memakai gaun putih berenda
dengan ekor yang panjang. Aku juga tak mengenakan veil di kepalaku dengan hiasan bunganya. Tak
ada buket mawar pink yang kupegang. Aku juga
tak memakai sepatu cantik yang dirancang khusus
setinggi tujuh senti. Aku juga tak melihat bungabunga bertebaran di sekelilingku. Tak ada foto prewedding yang dipasang di tiap sudut, tak ada juga
tamu-tamu yag melimpah yang memberikanku
ucapan selamat. Tidak ada. Semua keinginan tentang pernikahan yang sempat jadi impianku tak
ada yang terwujud, satu pun. Dan itu karena setan
buduk itu.
Dari ekor mataku kulihat dia masuk dipegangi
kedua orangtuanya. Sesekali rautnya seperti menahan sakit. Wajahnya lebam di sana sini, dengan mata
kiri bengkak kehitaman. Dia terus menatapku, aku
tau itu. Tapi aku bahkan tak sudi repot-repot meliriknya.
"Kau apakan dia?" Aku berbisik pada Juna yang
mendekapku di dadanya. Aku memang tetap tidur
di atas ranjangku, dengan Juna yang memelukku
erat. Sedang mereka yang akan melakukan prosesi
pernikahan duduk pada karpet yang sudah disiapkan pihak rumah sakit.
"Sedikit tendangan, juga bogem mentah.
Sebenarnya sih aku belum puas. Hanya saja Mbak
Era dan Mas Ezra melarangku melanjutkannya.
Tapi aku bisa sedikit tersenyum Vi, kudengar rusuknya retak, ada cedera otot di paha dan kau bisa
Nima Mumtaz
liat, dia gak bisa banggain muka busuk ya sekarang."
Juna terkekeh pelan. Aku pun sedikit tersenyum.
"Makasih ya, J."
"Itu bukan apa-apa, Vi. Apa pun akan kulakukan untukmu. Yah, paling enggak aku bisa latihan
dikitlah. Udah lama gak ke dojo, paling enggak sempai bisa bangga. Gak sia-sia aku pegang sabuk biru,
ternyata kalau cuma buat rusuk retak setan macam
dia mah gampang banget." Juna memelukku makin
erat.
"Viona, kamu mau duduk di bawah?" Kumenoleh pada Mama yang sudah berdiri di sisi ranjangku.
Aku menggeleng pelan. "Aku mau sama Juna aja
di sini, Mam."
"David ingin bicara sebentar denganmu, kamu
mau?" Mama berbisik pelan.
"Gak usah macem-macem, deh. Pake acara mau
ketemu segala. Gak usah. Apa belum cukup dengan
pernikahan konyol ini. Dikasih ati minta jantung,
gak tau diri banget, sih." Juna yang menyahut kali
ini. Dengan suara cukup keras kurasa untuk bisa
didengar kami semua yang ada dalam ruangan ini.
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mama tak membantah apa pun perkataan Juna.
"Ya, udah gak papa. Ini cincinnya, sayang, nanti
Vio mau pake sendiri apa Juna yang pakein?" Mama
mengangsurkan sebuah kotak beludru mungil berwarna hitam.
Aku melihatnya jijik. Cincin? simbol pernikahan, buat apa aku memakainya. Itu malah akan
membuat aku terlihat terikat padanya.
Cinta Masa Lalu
"Gak mau. Vio gak mau pake cincin atau apa
pun dari dia. Itu juga ada dalam syaratnya, kan,
Mam. Gak usah dibahas atau diakalin, lah." Aku
meradang. Bisa-bisanya ada hal seperti ini.
Setelah Papa dan Mas Ezra memeriksa semua
kelengkapan dokumen yang diperlukan dan aku
menandatangani entah apa yang aku pun malas
membacanya. Semuanya siap. Itu yang Papa bilang.
Akad nikah akan dilaksanakan saat ini juga.
Air mataku luruh seketika. Aku terisak lagi
dalam pelukan Juna. Inilah nasibku. Kupejamkan
mata, berusaha membuang semua gambaran yang
melintas di otakku, saat kudengar suaranya berucap.
"Saya terima nikahnya Viona Gayatri Ruslan
binti Ferdian Agastya Ruslan dengan maskawin
tersebut tunai."
Aku dan Kamu
Aku terpaku. Hanya bisa menatapnya dan tak bisa
berpaling ke mana pun. Vio?
"Sayang, Mommy pulang sayang, Mommy
dateng buat Iva. Bangun baby bangun."
Air matanya makin deras, isakannya makin kencang. Vio?
"Iiivaaa." Vio meratap sedih. Napasnya tersengal, air mata membanjiri wajah cantiknya.
Tuhan ... kenapa seperti ini jalan yang harus dilalui putriku untuk bisa mendapat perhatian mommy-nya? Kenapa harus dengan kesakitan macam
ini. Adilkah ini?
Inginnya aku merengkuh tubuhnya, membawanya dalam pelukanku, menyalurkan kekuatan yang
bisa membuat kami sama-sama bersabar dalam
situasi ini. Tapi mungkinkah? Pastinya dia tak sudi
bersamaku, kan?
Dia meggenggam erat tangan putriku, menangis
kencang, menggumamkan kata-kata maaf.
Cinta Masa Lalu
Juna dan Mama Rosie datang kemudian, menenangkan Vio yang nyaris histeris. Sedang Mami dan
Papi menatap iba pada kami.
Ya, memang menyedihkan, bukan? Betapa rumit
dan berlikunya kisah hidup putriku atau mungkin
kisahku??
"Ini ... Ini ... salah Vio, Mama ... ini salah Vio.
Kalau Vio nganter Iva dulu pasti ... pasti ... gak kayak gini kejadiannya." Vio tersedak tangisnya sendiri dalam pelukan Mama.
"Vio, kamu gak boleh nyalahin diri sendiri begitu, nak, ini sudah takdir dari-Nya. Kita gak boleh
salahin siapa pun." Mama kembali menenangkan
Vio yang masih saja menangis.
"Vio belum pernah ngobrol sama dia, Mam.
Vio juga belum pernah meluk dia, Vio belum
pernah gendong dia ... Ivaa ... bangun Ivaa ... banguuunnnn."
Tangisannya mengalihkanku dari kepedihanku
sendiri. Seharusnya aku, kan, yang memeluknya?
Seharusnya aku, kan, yang menenangkannya? Tapi
apa yang kulakukan, aku hanya bisa diam dan
menatap kosong ke arahnya. Aku masih sulit memahami semua ini.
"Iva bangun sayang, banguun Iva ... Mommy
pulang sayang Mommy pulang Mommy
janji Mommy gak pergi lagi, tapi bangun, nak ...
bangun."
Hatiku perih mendengarnya. Andai Iva bisa mendengar hal ini dia pasti bahagia sekali. Mommynya
Nima Mumtaz
datang. Orang yang paling dirindukan pulang. Air
mataku luruh lagi.
"Vio sabar, ya, sayang. Kita doakan semuanya
baik-baik saja, ya. Kita carikan yang terbaik buat
pengobatan Iva. Mami sama Papi pasti akan mengusahakan semuanya." Mami mengelus rambut
Vio pelan.
Vio yang sepertinya kebingungan hanya menatap Mama.
"Ini mami sama papinya Mas Dave, Vio." Mama
menjelaskan pada Vio yang bertanya lewat tatapan
matanya.
"Ma ... makasih, Tante."
Dalam keadaan biasa mugkin aku akan tersenyum menggoda Mami. Gak akan pernah terbayangkan di benak Mami kalau menantunya memanggilnya dengan sebutan ?tante?. Tapi aku hanya
bisa mengangkat alis memaklumi.
Vio masih menangis, dia menggenggam tangan
Iva erat, menciuminya sesekali. Anak kita, Vio, anak
kita.
Kedatangan dokter Sigit membungkam tangisan
Vio, hanya isakannya yang masih terdengar pelan.
"Semua keluarga terdekat pasien, kan? Oke, kalau
begitu saya akan jelaskan di sini saja," Dokter Sigit
kembali melanjutkan setelah melihat anggukanku.
"Ini hasil CT Scan-nya, kita bisa lihat, bersih.
Tidak ada perdarahan atau pembengkakan pada
otak, aman berarti. Akan tetapi, tungkai kanan
Cinta Masa Lalu
putri Bapak retak dari bawah lutut sampai atas mata
kaki, jadi perlu digips. Selain dari itu hanya memarmemar di permukaan kulit. Untuk retaknya jangan
terlalu dikhawatirkan, hanya retak halus seperti
garis rambut, mungkin sekitar dua minggu gipsnya
bisa dibuka. Lagi pula karena Daiva masih dalam
masa pertumbuhan maka masa penyembuhannya
akan relatif lebih cepat."
"Tapi kenapa dia gak bangun-bangun, Dok?"
Masih sesenggukan Vio bertanya sambil terus
menggenggam tangan Iva.
"Daiva baru mengalami benturan, Bu, ada trauma di kepalanya. Walaupun sifatnya sangat ringan,
dia butuh waktu. Tapi saya pastikan secara umum
kondisinya sangat baik. Dia anak yang kuat," dr.
Sigit tersenyum meyakinkan, sebelum akhirnya
melanjutkan kembali.
"Yang saya khawatirkan justru Pak David."
Aku? Kenapa aku? Aku baik-baik saja, kan? Aku
hanya bisa melongo memandang dr. Sigit, kebingungan.
"Dave kenapa, Dok?" Mami menatapku khawatir.
"Pak David belum mendapat perawatan medis apa pun sejak tiba di sini. Dari luar memang
hanya kelihatan lecet-lecet dan luka ringan, tapi
sangat rentan infeksi. Selain itu mengingat adanya
benturan juga pada kepala Pak David, dan tadi juga
Pak David sempat tidak sadar, saya takut adanya
Epidural hematoma, ya...."
Nima Mumtaz
"Apa itu, Dok??" Papi memotong tak sabar.
"Perdarahan yang terjadi di antara tulang kepala
dan selaput pembungkus otak. Jika parah ini bisa
mengakibatkan kematian. Biasanya penderita tidak
mengalami gejala atau keluhan apa pun, makanya
cenderung disepelekan. Tau-tau pasien tidak sadar
dan meninggal."
"Maka dari itu saya menyarankan Pak David
segera melakukan CT Scan serta diobservasi minimal 24 jam ke depan." Dokter Sigit mengakhiri
penjelasannya
Papi Mami menatapku dengan ketakutan.
Mama Papa juga tampak sangat khawatir. Juna memandang ke arah lain dan Vio ... dia tetap menatap
putriku, sepertinya dia tidak mendengar penjelasan
dokter.
"Dokter segera lakukan apa pun yang perlu dilakukan. Saya tidak mau tau, yang penting nyawa
anak saya tertolong. Kalau memang perlu dirujuk
ke rumah sakit yang lebih besar atau ke luar negeri
sekalian, hal itu harus segera dilakukan!!" Papi berkata tegas pada dr. Sigit.
Aduh, mulai lagi, deh, kumat nih Papi. Apa-apa
pasti dibikin berlebihan.
"Gak usah, Pap, Dave gak papa, kok. Dave mau
nemenin Iva aja di sini." Kuremas kembali tangan
bidadari kecilku. Sayang, bangun, nak.
"David. Mami minta tolong kamu nurut aja
apa kata dokter, gak ada ruginya, kan? Mami gak
mau kalau nanti terjadi sesuatu tapi kita terlambat
Cinta Masa Lalu
mengambil tindakan." Mami menatapku khawatir.
Matanya berkaca-kaca, aku yakin tak akan lama lagi
Mami pasti menangis.
"Mami apa-apaan, sih, Dave gak papa, Mam.
Gak usah ngomong aneh-aneh gitu, deh. Justru
sekarang yang perlu kita perhatiin Iva. Lagi pula
tadi dr. Sigit cuma bilang dicurigai. Bukan berarti
diagnosa pasti, kan?" Aku gak ngerti dengan pikiran Mami sama Papi. Kami di sini karena Iva, kan?
Kenapa aku yang dikhawatirin?
"Udahlah, Mas, tinggal jalan aja. Ntar kalau
hasilnya negatif kan bisa langsung balik ke sini.
Kalau positif kan bisa langsung ditangani, ya kan?"
Juna tampak sangat serius menanggapi.
"Pak David, perdarahan ini biasa disebut silent
killer karena tak pernah menunjukkan gejala apa
pun. Pasien juga cenderung tak merasakan ada yang
aneh pada dirinya. Akan tetapi akibatnya sangat fatal bila tak cepat ditangani." Dr. Sigit menatapku
tajam. Tampak berkeras sekali. Semua orang kecuali
Vio menatap langsung padaku.
"Baiklah, saya mau melakukan CT Scan. Tapi
nanti kalau anak saya sudah bangun. Sekarang
bisakah kita konsentrasi hanya pada Iva?" Aku
mengembuskan napas lelah. Kenapa, sih, dengan
orang-orang ini. Kurasa mereka terlalu khawatir
padaku. Kekhawatiran yang tidak perlu kurasa.
Sebenarnya yang aku khawatirin kalau aku melakukan CT Scan sekarang adalah kalau Iva bangun dan
Nima Mumtaz
mencariku, tapi gak bisa nemuin aku. Dia pasti
akan sangat khawatir.
Iva gak suka rumah sakit. Dia gak suka suasananya, gak suka baunya, gak suka tampang dokter-dokter dan susternya. Aku gak tau dari mana
dia mendapat ketakutan itu. Mengingat aku ataupun dia sangat jarang bersentuhan langsung dengan
rumah sakit. Tapi tetap saja, Iva benci rumah sakit.
"Dave...."
Leherku rasanya kaku saat ada suara lembut
menggumamkan namaku. Aku ingin menengok ke
asal suara itu. Tapi rasanya sungguh sulit. Itu ... itu
suara Vio, kan? Apa barusan dia bilang? Dave? Dia
manggil aku? Beneran gak, sih?
Perlahan kuangkat kepalaku, dia melihatku.
Tidak, bukan ... bukan ke mataku. Mungkin kerah
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baju? Atau kancing atau saku kemeja? Aku tak tau.
Tapi dia melihat ke arahku.
Semuanya pun diam, apa mereka sama tak percayanya seperti aku? Aku ingin melirik ke Juna tapi
aku tak ingin mengalihkan mataku dari wajahnya.
Vio....
"Aku ... maksudku, kamu ... sebaiknya kamu ... i
... i ... ikutin apa kata dokter. Mmmhh, ntar ... ntar
aku yang tungguin Iva di ... di sini." Dia gugup.
Tapi apa katanya tadi? Dia ngomong sama aku,
kan? Bener kan, ya?
Aku hanya melongo menatapnya. Beneran aku
gak ngeh apa yang dia bilang tadi. Maksudnya?
Kenapa otakku lambat banget mikirnya? Tadi dia
Cinta Masa Lalu
bilang apa? Ingin rasanya kuminta dia mengulangnya lagi.
Tak ada suara yang keluar, bahkan dr. Sigit pun
diam, dan aku masih melihat ke arah Vio yang kini
menunduk menatap tangan Iva di genggamannya.
"Tuh, kan, Mas, Vio juga maunya Mas diperiksa
dulu. Iya, kan, Vi? Dia pasti gak mau jadi janda
cepet-cepet."
"Juna!!! Isshhhh." Kudengar Mama menepuk
bahu Juna yang kurasa cukup keras
"Sorry, Mam, bro, just kidding." Kulihat Juna
yang tersenyum lebar sambil mengedipkan sebelah
matanya ke arah Vio. Huh, aku tau pasti apa yang
Juna pikirkan. Tapi aku sedikit tak peduli dengan
itu, aku masih bingung dengan sikap Vio.
"Oke, saya ikut, Dok." Akhirnya aku menyerah
beberapa saat kemudian. Setelah gagal mencari
makna perkataan Vio tadi.
Rasanya aku bisa mendengar embusan napas
lega dari orang orang di ruangan ini. Dan sebelum
aku mengikuti dr. Sigit keluar, kusempatkan melihat ke arah Vio, dan heii ... dia sedang menatapku!!
Viona
Aku tak tau apa yang merasukiku sampai-sampai
aku ikut angkat bicara membujuk?oke kusebut
namanya?Dave?nurutin apa kata dokter. Aku
pikir harusnya sekarang ini kami saling mengerti
Nima Mumtaz
kondisi masing-masing. Kalau memang dokter sudah menyatakan bahaya, harusnya dia ikutin saran
dokter, kan? Iya, kan?
Memangnya dia gak mikir kalau sudah terjadi apa yang dikhawatirkan dokter dan tak ada
yang bisa dilakukan untuk menyelamatkannya?
Bagimana dengan orangtuanya? Bagaimana dengan
Iva? Dan aku tentu berubah status menjadi janda
yang di_tinggal mati suaminya ... iisshhh apa, sih,
yang kamu pikirin Vio....
Aku bisa melihat kebingungan di matanya. Gak
usah dia, aku juga bingung dengan sikapku sendiri.
Kurasa otakku perlu disetel ulang biar fresh.
Hanya dalam waktu kurang dari 36 jam hidupku berubah haluan. Kalau kemarin aku datang
ke Jakarta hanya sebagai mahasiswi tingkat akhir
yang ingin sedikit berlibur karena tekanan skripsi,
maka saat ini aku adalah seorang ibu yang sedang
menunggui putrinya di rumah sakit.
Skripsi?? Astaga?? Minggu depan aku sidang!!!!
Apa aku harus kembali ke Jogja? Tapi kapan?
Dokter bilang tadi gips Iva baru akan dibuka setelah
dua minggu. Masa iya aku mau ninggalin dia sebelum gipsnya dibuka. Oke, opsi kedua bawa Iva
ke Jogja? Tapi apa Dave mau ngizinin? Tapi kurasa
kalau aku bawa Iva ke Jogja dan meminta tolong
Mama Papa ikut, Dave gak akan keberatan, kan??
Tapi bagaimana kalau dia melarang? Tapi aku kan
ibunya, aku punya hak kan bawa dia, iya, kan?
Cinta Masa Lalu
Ahh ... gak taulah. Pusing juga, kenapa semua
serba mendadak begini. Mungkin aku harus menyimpan ini dulu sampai nanti kondisinya lebih
memungkinkan.
Aku masih sibuk dengan lamunanku ketika
kurasakan gerakan kecil dalam genggamanku. Iva!!
matanya berkedip lemah.
"Juna panggil dokter. Iva sadar!!" Kuteriaki Juna
yang tampaknya asyik memainkan gadgetnya. Dia
segera berlari keluar ruangan yang akhirnya segera
kusesali, kenapa gak kupencet aja tombol emergency
di samping tempat tidur Iva agar lebih cepat!!!
Dokter segera melakukan pemeriksaan menyeluruh
pada Iva. Menurut dokter kondisi fisik dan tanda vitalnya baik semua. Bahkan masker oksigennya pun
sudah bisa dilepas.
Walaupun tampak lemah dan pucat, matanya
berbinar bahagia, dia tak melepaskan pandangannya ke arahku bahkan selama dokter memeriksanya.
Tapi aku tau ada keresahan dalam tatapannya. Dia
mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. Dan
seperti dugaanku semula, Dave-lah yang pertama
ditanyakannya.
"Mommy, Daddy ke mana??"
"Daddy lagi diperiksa sama pak dokter sayang.
Bentar lagi pasti balik ke sini."
"Beneran, Mom?? Daddy gak papa, kan??"
Nima Mumtaz
Ya ampun, apa Iva bisa merasakan apa yang dirasakan Dave? Atau memang dia hanya khawatir aja?
Tapi aku juga heran, udah lebih dari satu jam, tapi
Dave dan orangtuanya belum juga kembali.
"Iya, sayang, Daddy gak papa. Tadi dokter cuma
mau periksa aja, kok. Kalo gak percaya, tanya aja
Oma." Aku mencoba meyakinkan Iva.
Iva melihat ke arah Mama, bertanya lewat tatapan matanya.
"Iya, sayang, Daddy gak papa, kok. Sebentar
lagi pasti ke sini." Bisa kulihat Iva rileks mendengar
jawaban Mama.
Dia mengulurkan tangannya ke arahku yang
segera kusambut. "Mommy boleh Iva peluk
Mommy?"
Mata beningnya penuh harap, meminta dengan sangat. Segera kuraih dia dalam pelukanku,
mendekapnya erat. Merasakan debar jantung kami
yang jadi satu, menyatukan harapan yang terjalin
dalam ikatan yang baru.
"Iva sayang Mommy, sayang banget sama
Mommy. Mommy jangan tinggalin Iva, ya. Jangan
pernah tinggalin lagi." Suaranya basah, anakku.
Kubiarkan air mata mengalir deras. Aku tak peduli
lagi pada apa pun pada siapa pun. Putriku membutuhkanku. Aku ibunya. Mommy-nya. Sayang.
Melepaskan pelukanku, dia menatapku lekat.
Ada kebahagiaan di wajahnya, ada banyak pengharapan di matanya. Diusapnya pipiku yang basah
Cinta Masa Lalu
dengan tangan mungilnya. Dipelajarinya setiap detail wajahku.
"Iva kangen Mommy."
Dia tersenyum manis sekali ke arahku. Ahh
putriku.
Sore harinya baru aku tau kalau Dave dirawat di
kamar sebelah Iva?aku tau pasti banyak uang
yang terlibat di sini. Sejak kapan ruang perawatan
anak-anak dan dewasa bercampur?hingga memudahkan Mama Papa dan orangtuanya bergantian
menunggui Iva dan Dave. Walaupun aku masih tak
tau kenapa Dave dirawat. Mama, Papa, dan Juna
gak ngasih tau aku. Orangtua Dave juga.
Karena sangat penasaran aku nekat bertanya
pada dr. Sigit di depan kamar perawatan?supaya
Iva gak denger?ketika visit pasien malam harinya.
"Dok, bagaimana hasil pemeriksaan Dave? Apa
sebegitu parahnya sampai harus dirawat?" Ragu kubertanya.
Dr. Sigit tak tampak kaget pada pertanyaanku.
Apa dr. Sigit menyadari kalau hubunganku dan
Dave sungguh aneh sebagai suami istri?
"Ada perdarahan di kepala Pak David, tapi sifatnya ringan dan sangat sedikit sehingga tidak berbahaya. Jadi tindakan kami saat ini hanya mempertahankan suplai darah, oksigen, dan zat gizi yang
kuat pada otaknya sambil menunggu darahnya
terserap sendiri oleh jaringan otak. Masalahnya
Nima Mumtaz
adalah adanya pembengkakan yang dikhawatirkan
menekan otak. Kalau itu sampai terjadi, akibatnya
sangat fatal untuk keselamatan Pak David sendiri. Saat ini kami memberikan obat-obatan untuk
menekan pembengkakan itu agar tidak bertambah
parah dan mengenai batang otak."
"Tapi memang pemberian obat ini pun tetap
perlu pengawasan ketat minimal 5-7 hari ke depan
untuk melihat hasilnya dan juga memantau efek
samping dari obat yang saat ini dipakai. Jadi selama
masa itu Pak David diharapkan bed rest." Suara dr.
Sigit lembut seperti berusaha menenangkan.
"Apakah tidak ada jalan lain, Dok, operasi misalnya?"
"Pak David menolak untuk operasi, karena masa
pemulihan sesudah operasi cenderung lebih lama
daripada pemakaian obat. Pak David takut putrinya
mengkhawatirkan beliau. Jadi beliau memilih pengobatan yang paling tidak berisiko."
Aku termangu. Hingga saat dr. Sigit meninggalkanku pun aku tak menyadarinya. Jadi Dave?
Kenapa tidak ada yang memberitahuku? Dan Daiva,
bagaimana aku bisa menjelaskan pada dia?
Malam itu juga dengan sangat terpaksa aku bicara dengan Mama, Papa, Dave dan orangtuanya
untuk mengambil langkah-langkah yang bisa diambil untuk situasi saat ini. Mengingat Iva selalu sedih,
bahkan aku sempat melihatnya menangis sore tadi
merindukan Dave.
Cinta Masa Lalu
Walaupun awalnya Dave menolak?dia beralasan takut Iva panik melihatnya terbaring di ranjang
rumah sakit?tapi kami akhirnya memutuskan
untuk meminta pihak rumah sakit memindahkan
Dave ke ruangan Iva agar Iva tidak selalu khawatir.
Dengan Dave dan Iva dirawat di ruangan yang sama
paling tidak akan membuat mereka berdua tenang.
Dengan begitu diharapkan proses penyembuhan
mereka pun bisa lebih cepat.
Tak kusangkal Dave seperti tak percaya saat aku
menyetujui pengaturan ini. Berkali-kali dia mencuri
pandang ke arahku dan seperti bengong memikirkan sesuatu. Oke, aku pikir ini saatnya menyingkirkan egoku sebentar aja, kan, demi Iva. Sementara
berdamai dengan keadaan tak ada salahnya kupikir,
untuk saat ini saja.
Tapi aku tetap tak mengerti arti sorot matanya
saat tak sengaja kami bertemu pandang. Seperti ada
kerinduan di sana? Tapi, ahh buat apa? Gak mungkin bukan? Buat apa dia rindu padaku? Tak ada arti
apa pun aku baginya, bukan? Satu-satunya yang
bisa membuat kami saat ini dalam kondisi begini
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya Iva. Hanya Iva!
Tapi mau tak mau aku kembali mengkhawatirkan skripsiku. Kalau sampai seminggu ke depan
Dave masih harus tinggal di RS, pastinya dia gak
bakal ngizinin Iva aku bawa ke Jogja. Hhhhhhh.
****
Nima Mumtaz
Ini malam keempat Iva dan Dave dirawat di rumah
sakit. Selama itu aku pun ikut menginap di sini.
Sebenarnya ruang perawatan di sebelah sudah disewa juga oleh keluarga Dave. Untuk jaga-jaga kalau-kalau ada yang mau menginap. Tapi aku menolak tidur di sana. Lagi pula kamar yang Iva tempati
sangat luas bahkan setelah ditambah tempat tidur
Dave.
Walaupun berulang kali Dave menawarkan aku
menempati tempat tidurnya?dan dia akan tidur
bersama Iva?agar aku tak sakit leher, aku tetap
memilih sofa lipat yang menurutku lebih dari cukup untukku. Hah, dia pasti bercanda, bisa-bisa Iva
beneran patah kaki kalau tertimpa badannya yang
besar itu kalau mereka tidur di ranjang yang sama.
Bahkan setelah empat hari selalu ada suasana canggung di antara kami. Selalu ada saja yang
membuang muka lebih dulu kalau tak sengaja kami
bertatapan langsung. Tapi sepertinya saat ini kerja
sama tanpa kata antara aku dan Dave berjalan cukup baik. Kami berdua sama-sama bisa menekan
ego dan gengsi ketika di depan Iva.
Ada saat-saat tanpa sengaja kuperhatikan Dave,
dia banyak berubah. Tak seperti Dave yang dulu
kukenal. Tak ada lagi sorot mata merendahkan, melecehkan, atau sok superior padanya. Pembawaannya
juga banyak berubah. Dia jauh lebih ... apa, ya ...
lebih matang mungkin, lebih dewasa, lebih jantan
dan kuakui dia cukup ehm ... tampan.
Haiyaaa Viooooo ... otakmu melantur ke mana?
Cinta Masa Lalu
"Vio...."
Punggungku rasanya kaku, Dave memanggilku?
Sebenarnya aku sedikit takut dia marah padaku
karena?secara langsung atau tidak?mengakibatkan kecelakaan ini. Aku masih ingat ketika pertama
kali aku tiba di kamar ini dan dia masih menangis,
dia mendiamkanku. Sampai saat ini. Bahkan ketika
aku berbicara padanya waktu itu dia hanya diam.
"Vio kamu sudah tidur?"
Jujur saja beberapa hari menginap di sini kami
tak pernah ngobrol secara langsung. Selalu saja ada
Mama, Papa, Juna, Tante Deasy, Om Lim, atau
dokter dan suster di antara kami ketika dia memulai
percakapan. Tapi saat ini hanya tinggal kami berdua
dan Iva sudah tertidur, kuakui itu cukup membuatku takut.
"Vio, boleh aku bicara denganmu?" Suaranya
pelan, lembut terdengar.
Aku mengangguk dan duduk di sofa lipat yang
biasa kutiduri saat malam. Kupusatkan perhatianku
pada kaki meja dihadapanku.
"Mau ngomong apa?" Aku beralih menatap ke
arahnya yang perlahan mengatur duduknya di tepi
ranjang.
"Kamu ... kamu gak capek?" Gugup dia bertanya lagi. Gugup? Kenapa?
Aku menggeleng pelan.
"Kamu ... kamu ... kamu udah makan?"
Aku mengangguk. Bukannya dia tadi liat aku
makan? Kok masih nanya, sih!
Nima Mumtaz
Huuuufffffhhhh....
Dia mengembuskan napas pelan, terlihat sangat
gugup.
"Vio, makasih, ya, sudah mau merawatku dan
Daiva selama ini. Aku gak tau kalau gak ada kamu
akan jadi apa Iva melihatku sama-sama dirawat di
sini. Sejak dulu dia benci rumah sakit."
Dia kembali terlihat gugup. Matanya memandang ke berbagai arah. Aku gak tau apa yang dia
mau omongin, apa cuma itu? Mau basa-basi, ya?
"Vio ... aku ... aku tau aku tak pantas meminta
ini. Aku memang jahat, aku bejat, dan entah kata
apa yang bisa mewakili sikapku dulu. Tapi tapi
aku ingin minta maaf padamu, Vio. Aku memohon
ampunanmu. Atas semua kesalahanku, atas semua
kebejatanku, atas semua hal buruk yang menimpamu karena aku."
"Maaf atas setiap tetes air matamu selama tujuh
tahun ini, maaf atas semua luka yang kau rasakan,
maaf atas semua hal yang tak bisa kau raih karena
aku. Maaf karena akulah penyebab kegagalan demi
kegagalanmu. Maaf untuk semua sakitmu, untuk
semua perihmu, untuk semua dukamu. Maaf
karena hadirku menggoreskan tinta hitam dalam
perjalanan hidupmu."
Suaranya bergetar, basah. Aku tau dari suaranya
kalau dia menangis dan aku pun tak bisa menahan
air yang menggenang di ujung mataku. Dave meminta maaf padaku? Setelah tujuh tahun, inikah
akhirnya? Tujuh tahun yang kulewati penuh dengan
Cinta Masa Lalu
dendam, inikah akhirnya? Rasanya masih sulit untuk kupercaya.
Aku makin tak percaya saat dia perlahan berjalan ke arahku. Jantungku berdentam. Aku ingin
lari. Tapi yang bisa kulakukan hanyalah menatap ke
arahnya yang tak melepas pandangannya padaku.
Dia berhenti tak jauh dari tempatku duduk, dan dia
berlutut!
"Maaf ... maafkan aku, Viona."
****
David masih berlutut. Bahunya gemetar menahan
isakan tangis penyesalan yang telah lama dipendamnya. Sebenarnya Dave takut, sangat takut. Tapi inilah saatnya, saat meminta pengampunan dari orang
yang telah sangat dilukainya, yang amat sangat
membencinya. Orang yang telah dicabut semua kebahagiaan dan jalan hidupnya. Sumber beban hatinya selama tujuh tahun terakhir.
Vio pun tergugu, dia tak kalah terguncang dengan konfrontasi yang telah lama dihindarinya.
Tapi mau tak mau harus dihadapinya. Ditatapnya
laki-laki itu, yang pernah amat sangat dibencinya,
yang pernah sangat ingin dibunuhnya, yang telah
menghancurkan semua asa, cita-cita dan harga dirinya.
Nima Mumtaz
Tapi dia lelaki yang sama, yang selalu menghapus
air mata putrinya, yang rela bangun tengah malam
demi segelas susu, yang tak pernah lelah menggantikan tugasnya, yang bahkan rela mengorbankan apapun demi kebahagiaan sang bidadari kecil.
Dia, lelaki yang sama, ayah dari anaknya, suaminya.
Apakah sudah saatnya mengubur semua duka,
semua lara, semua dendam? Demi sebuah ketenangan jiwa, demi sebuah asa baru dalam hidupnya,
demi Daiva, demi sebuah maaf.
Apakah sudah saatnya, membuka pintu yang
baru. Menutup semua kenangan buruk. Membuang
semua duri dan kerikil dalam jalan hidup?
Apakah sudah saatnya, memulai hidup yang
baru. Memaafkan kesalahan masa lalu.
Daiva Dave.
"Aku memaafkanmu." Bisikan Viona lirih bercampur tangis. "Aku memaafkanmu."
David kembali terguncang dalam tangis. Pun
Viona.
Keluarga
Hubungan kami membaik setelah malam itu, tapi
kecanggungan itu masih ada. Jarak itu juga masih
ada. Ini wajar saja menurutku, mengingat hubungan
buruk kami tujuh tahun terakhir. Tak akan mungkin bisa dihapus dengan kedekatan beberapa hari
saja. Tapi paling tidak, aku sudah berani memandangnya lebih lama, atau dengan sengaja memanggil namanya tanpa takut dia marah. Ahh, Vio....
Yang paling bahagia dari kemajuan ini tentu saja
Daiva. Dia menyadari perubahan yang terjadi pada
hubungan kami. Biasanya aku dan Vio saling diam,
sekarang ini dengan pedenya aku selalu mengucapkan selamat pagi padanya. Menanyakannya apakah
sudah makan dan pembicaraan-pembicaraan kecil
lainnya.
Daiva tak henti-hentinya tersenyum senang,
bahkan sering merajuk pada Vio. Kadang ada saja
komentar polosnya yang membuat kami sama-sama
memerah malu. Seperti siang ini saat Vio sedang
Nima Mumtaz
menyuapi Iva, dia dengan polosnya bertanya pada
Vio.
"Mommy, kok Mommy gak nyuapin Daddy?
Dad kan lagi sakit juga." Pertanyaan ini sukses
membuat aku dan Vio bengong. Dan walaupun
kulihat keterpaksaan di wajah Vio, dia mengambil
nampan tempat makanku dan mulai menyuapiku.
Indahnya dunia rasanya seperti mimpi.
Ingin aku menghentikan waktu di saat seperti ini.
Menikmati wajah cantik setengah malu, tapi kesal
Viona. Tak pernah kami sedekat ini sebelumnya,
bahkan aroma tubuhnya menghantamku keras dan
sukses membuatku pusing mengkhayalkan yang
?iya-iya?. Setengah mati kutahan senyumku yang sudah di ujung bibir. Entah berapa ribu kali kuimpikan saat seperti ini. Punya keluarga yang baik-baik
saja, istri cantik serta putri jelita yang selalu ada di
sampingku. Ah ... rasanya sudah ada di tepian surga.
Sialnya itu tak berlangsung lama karena bertepatan dengan kunjungan keluarga Mbak Era dan ...
si usil Juna.
"Ahaiiiii ada keluarga kecil bahagia sejahtera
di sini." Juna tersenyum menjengkelkan padaku dan
Vio yang hanya melotot sadis padanya.
"Ya, elahhhhh, mesra amat, Bu, kayak penganten baru pake acara suap-suapan. Mau juga, dong,
kakakmu yang ganteng ini disuapin." Juna terkekeh
geli dan melemparkan kedipan nakal pada Vio.
Kulihat Vio seperti ingin melempar sendok di
tangannya pada Juna kalau saja tak terusik dengan
Ariella dan Daiva yang sedang asyik mengobrol.
Cinta Masa Lalu
Ariel naik ke ranjang Iva dan ikut berbaring di
sampingnya. Cekikikan mereka berdua mengobrol
seperti ABG yang sedang merumpi dan tak memedulikan sekitarnya. Kata Mama memang mereka
berdua adalah versi baiknya Juna-Vio. Karena tak
pernah sekali pun Ariel mengusili Iva. Vio tampak
keheranan dengan perilaku mereka berdua, sedang
Juna hanya memberikan tatapan baru-tau-dia padaku.
"Hei, Dave, gimana? Ada perkembangan lebih
lanjut?" Mas Ezra duduk di kursi yang ditinggalkan
Vio dan bergabung dengan Juna di sofa.
"Baik, Mas, hari ini dosis obat sudah diturunin.
Tapi kata dokter masih perlu diobservasi untuk
kelanjutan pengobatannya. Cuma kasian Iva, sih,
Mas, sebenarnya dia sudah boleh pulang dari kemaren, tapi dia gak mau karena ngeliat saya masih harus di sini." Aku memberi penjelasan pada mereka.
"Coba nanti aku bicara sama dokter yang
merawat kamu, Dave, siapa tau dengan profesi kami
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang sama, jadi lebih memudahkan aku mencerna
penjelasan beliau. Aku juga pingin tau kondisi
kamu sebenarnya itu seperti apa." Mbak Era tampak
serius menaggapi.
"Kenapa gak coba ke Singapura aja, siapa tau
mereka lebih paham." Mas Ezra menatapku tak
mengerti.
"Gak usahlah, Mas. Saya percaya kok sama dokter-dokter di sini. Lagi pula sampai saat ini gak ada
Nima Mumtaz
keluhan yang berarti, kok. Saya harap, sih semua
kekhawatiran dokter gak terjadi."
Keributan kecil di sofa lipat yang diduduki Juna
dan Vio tak urung membuat perhatian kami teralih.
"Ya elu tinggal ngomong sama dia kenapa, sih
Vi, takut amat, dia kan laki lu." Juna tampak santai
menanggapi apa pun yang sedang dibicarakan Vio
sambil menggigit apel di tangannya.
"Issshhh sialan elu, J. Gak bisa ya diajak
curhat, gue butuh advis, elunya malah gitu. Sial
banget gua punya sodara kayak elu. Kalau bisa, gue
minta tuker, deh, sama yang lebih baek dari lu."
Vio melotot dan seperti ingin mencekik Juna yang
malah tersenyum lebar.
"Kalo gak ada gue, entar lu kangen, Vi, rugi loh
gak punya sodara seganteng gue." Perkataan Juna
barusan sukses menghasilkan sambitan koran pada
paha Juna.
Apa pun yang mereka bicarakan pasti berhubungan denganku. Kenapa Vio gak ngomong langsung, ya, padaku. Tapi sudahlah, nanti kutanyakan
saja pada Juna.
"Heh kalian berdua ini, bisa gak, sih, akur dikit.
Vio hati-hati kamu bersikap dan berucap, apa pun
yang kamu lakukan pasti nanti ditiru sama baby D.
Kamu juga Juna, inget umur, usil gak kira-kira!!"
Mbak Era tampak kesal saat melewati mereka berdua keluar ruangan. Nasihat Mbak Era tadi kompak membuat Juna dan Vio meleletkan lidah pada
Cinta Masa Lalu
punggung Mbak Era yang menghilang di balik pintu. Haa ...istriku....
"Hehhehehehe kamu pasti akan heran, Dave,
kalau melihat mereka berdua kelamaan di satu ruangan. Gak akan ada habisnya bertingkah. Ini masih mendingan, dulu pas masih ABG mah Vio cengeng banget, kalau Juna udah usil pasti Vio nangis
trus ngumpet di punggung Mama. Abis itu Sierra
pasti marah-marah gak jelas, deh, karena kesel sama
tingkah mereka berdua." Mas Ezra terkekeh geli
sambil pandangannya terarah pada Vio dan Juna
yang melihat kami dengan muka masam.
"Daddy, boleh gak Kakak Liel tulisin gips Iva?"
Suara bening Iva menarik perhatianku.
"Boleh, sayang, Kakak Liel mau tulisin apa?"
"Ariel mau gambarin aja boleh, gak, Om Dave?"
"Boleh, Ariel." Mereka berdua segera tertawa
gembira mendengar jawabanku. Ariel pun segera
mengambil spidol dan mulai mencoret-coret gips
Iva.
Kami masih mengobrol tepatnya aku dengan
Mas Ezra serta Vio dengan Juna ketika Mbak Era
masuk bersama dr. Sigit.
Dokter Sigit mengatakan kalau sebenarnya aku
sudah boleh pulang dengan beberapa syarat, di antaranya aku harus tetap beristirahat di rumah, dan
harus ada yang mengawasiku terus-menerus. Selain
itu, jika ada keluhan-keluhan aku harus langsung ke
rumah sakit sesegera mungkin.
Nima Mumtaz
Aku bilang aku akan mempertimbangkan dan
membicarakan ini dulu dengan keluargaku.
Viona
Saat Mbak Era berpamitan pulang. Bisa kulihat
kesedihan Iva karena harus berpisah dengan Ariel.
Aku takjub, benar-benar takjub atas kedekatan dan
rasa saling memiliki antara mereka berdua. Andai
saja Mbak Era masih bisa memiliki anak, mungkin Ariella tak kan kesepian seperti ini. Tapi kalau
Ariel punya adik, mungkin juga dia tak akan terlalu
peduli pada Iva. Ahh, rencana Tuhan memang selalu indah pada akhirnya.
"Baby D, kalau minggu depan nginep di rumah
Oma bilang Kakak, ya. Nanti Kakak Liel pasti dateng
nginep juga." Kulihat Ariel mengecup sayang rambut Iva, yang hanya dibalas anggukan singkat Iva
yang tampak menyembunyikan air matanya.
"Sssttt ... jangan nangis, ya, sayang. Nanti kalau
Iva udah sembuh kita maen ke rumah Kakak Liel,
ya." Berusaha kutenangkan Iva dalam pelukanku.
"Beneran, Mom?" Pelukannya makin erat
kurasa, masih ada sisa-sisa isakannya.
"Iya sayang, Mommy janji." Aku mengangkat
wajahku dari Iva hanya untuk bertemu pandang
dengan Dave yang tak lepas memperhatikan kami
berdua. Tatapannya aneh dan tak bisa kumengerti.
"Vio, anterin Mbak Era ke mobil, yuk." Mbak
Era berhenti di pintu saat Mas Ezra, Juna, dan Ariel
sudah keluar ruangan.
Cinta Masa Lalu
Aku heran, pasti ada yang mau diomongin, nih,
sampe Mbak Era meminta waktuku sendirian.
"Iva Mommy pergi dulu, ya, anterin Budhe ke
bawah." Iva hanya mengangguk sambil kembali berbaring miring di bantalnya. Dia masih sedih.
"Dokter bilang, kondisi Dave sudah membaik,
dosis obatnya pun sudah diturunin. Tadi saat kutanya sakit kepala yang dialaminya juga sudah sangat berkurang. Tapi hal itu bukan berarti dia sudah sembuh. Dia sudah boleh pulang, tapi harus
ada yang mengawasi dia secara ketat. Kamu bisa?"
Kata-kata Mbak Era sukses membuatku menghentikan langkah saat kami sedang berada di koridor
rumah sakit.
"Maksud Mbak Era?"
"Ya dia butuh seseorang untuk mengawasinya.
Dia masih gak boleh kerja dulu, jauh dari tekanan
juga, rutin minum obat. Gak mungkin dia minta
Mbok Rum ngawasin dia terus-terusan. Kamu kan
nggak ngapa-ngapain. Kalau ada yang ngawasin
Dave kan nanti Iva dan Dave bisa pulang barengan
gitu. Gak repot, kan?" Mbak Era mengerutkan kening penuh tanya padaku.
"Lagian gak bagus buat Iva kalau kelamaan di
rumah sakit, Vio. Sebersih dan sebagus apa pun
ruangannya tetep aja ada potensi besar tertular penyakit lain. Entah itu dibawa dokter, suster, udara,
semua mungkin nularin penyakit. Apalagi buat Iva
Nima Mumtaz
yang usianya masih segitu," wajah cantiknya tampak
kesal.
"Artinya aku harus tinggal bareng sama dia,
dong, Mbak??"
"Ya, iyalah. Dia pasti akan lebih nyaman dan
rileks kalau di rumahnya sendiri."
"Tapi, Mbak?"
"Yah, itu kalau kamu mau, sih. Mbak cuma
mikir praktisnya aja. Kalau sampe harus nyari perawat khusus agak repot. Karena Dave sama Iva
itu gak terlalu suka ada orang asing di rumahnya.
Lagian kan cuma buat beberapa hari. Tapi semua,
sih, terserah kamu, Vio. "
"Mbak sebenernya ... sebenernya aku mau pulang ke Jogja besok. Soalnya Senin aku sidang," ragu
kutatap mata Mbak Era.
"Kamu mau ke Jogja? Kamu mau ninggalin baby
D sendirian di sini?" Mbak Era menatapku dengan
sorot mata tak percaya.
"Itulah, Mbak, aku juga bingung."
"Bundaaaaaa...."
Suara Ariel yang tampak kesal menghentikan
obrolan kami.
"Ya, sayang, bentaran lagi!! Vio kurasa kamu harus membicarakan ini sama Dave. Tapi semua keputusan terserah kamu. Pikirin baik-baik. Oke, deh,
aku pulang, ya." Mbak Era mencium pipiku singkat
dan segera berlari menghampiri Ariel dan Mas Ezra
yang sudah berbelok di ujung koridor.
Cinta Masa Lalu
Aku bingung, sangat. Tapi aku harus segera memutuskan. Mungkin itu membuat mukaku yang ditekuk terasa tak menyenangkan. Hal itu juga yang
ditangkap Dave karena begitu masuk kamar dia
langsung menanyaiku.
??Ada yang mau kamu bicarakan sama aku? Kuliat
kamu seperti sedang banyak pikiran?" Dave duduk
di pinggiran ranjang, intens menatapku. Sedang Iva
kulihat sudah pulas memeluk boneka beruangnya.
Aku masih ragu, haruskah kukatakan padanya??
Dia masih melihatku, menunggu.
"Aku ... aku ... besok aku mau balik ke Jogja."
Ragu kumelihat ke arahnya.
Wajahnya menegang, tapi kemudian ekspresinya berubah datar.
"Ooohh ... oke. Ada yang kamu butuhin?"
"Enggak makasih. Tapii ... tapi aku mau bawa
Iva ke sana."
Kulihat dia tampak terkejut. Tapi berusaha menahan dirinya untuk tetap tenang.
"Daiva masih sakit, Viona. Tak bisakah menunggu sampai dia sembuh? Gipsnya bahkan belum boleh dibuka."
"Aku tau, tapi ... tapi ... Senin ini aku sidang
skripsi. Jadi ... jadi ... aku harus segera ke sana. Dan
aku ... aku gak bisa ninggalin Iva sendirian." Kenapa
aku gugup begini, ya. Seperti sedang menghadapi
vonis dokter tentang sakit menular yang parah.
"Masih ada aku di sini. Pergilah kalau kau
mau pergi." Suaranya dingin dan dia mengalihkan
pandangannya dariku.
Nima Mumtaz
Ada rasa sakit yang aneh saat dia melakukan itu.
Kenapa suaranya sangat dingin, terkesan tak peduli.
Kenapa dia membuang muka, apakah dia tak mau
melihatku lagi?
"Maksud kamu?? Kamu mau misahin aku dari
Iva, kamu ... kamu ... kamu mau aku pergi dari Iva."
Tak kusadari suaraku sudah naik dari level bicara
normal.
Dave melihat ke arah tempat tidur Iva, di sana
putri kami masih tidur lelap. Tampaknya tak terganggu suaraku yang sedikit melengking tinggi.
"Aku gak bilang apa pun Vio, aku hanya bilang
kalau kamu mau pergi, pergi aja. Lagi pula bisa dibilang kalau Iva masih sakit. Kalau kamu khawatir gak
ada yang nungguin Iva, masih ada aku di sini. Lagi
pula, kamu tau, kan, di mana kalau mau ketemu
Iva." Dave mengembuskan napas pelan dan memijat keningnya lelah.
Kesal, kuhempaskan tubuh ke sofa. Meringkuk
mencari kehangatan yang mungkin bisa kudapat.
Hhhuuuhhhh ... kenapa gak ada yang ngertiin aku!
Aku juga pusing, kaliii!! Ingin rasanya menjerit
kencang, hingga kusadar beberapa saat kemudian
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mataku sudah panas. Ini yang paling tak kusuka saat
emosiku naik turun. Gampang nangis. Hiksss.
Lama tak ada yang bersuara, kami sama-sama
berpikir dalam diam atau begitulah yang kupikir.
Mungkin juga dia tidur, aku tak tau.
"Oke, bagaimana kalau kita bicarakan ini
dengan lebih baik Viona?" Dave memecah kesu208
Cinta Masa Lalu
nyian yang terbentang di antara kami beberapa
saat kemudian.
Kemudian kulihat dia turun dari ranjang dan
berjalan ke arahku. Sesaat dia terlihat ragu kemudian, dia duduk di ujung lain sofa yang kutiduri.
"Jadi kamu mau pergi ke Jogja besok karena
Senin sidang? Dan kamu mau bawa Iva ke sana
karena takut gak ada yang nungguin Iva, begitu?"
Dave bertanya kemudian, suaranya lembut menenangkan.
Aku mengangguk pasrah. Kenapa saat aku pingin marah gini dia malah bersikap kayak gitu, sih,
maunya kan kalo marah ada lawannya. Nah kalo
kayak gini, dengan suara dia yang lemah lembut
dan tampak sangat sabar gitu, kok aku jadi yang
ngerasa bersalah ya....
"Kalau kamu mau pulang gak papa, kok, aku
masih bisa jagain Iva di sini. Kalau kamu mau segera
balik lagi ke sini, kamu tau harus pergi ke mana
nyari dia. Lagian, toh sidang cuma sehari, kan?"
Tatapan Dave lembut padaku. Entah kenapa aku
sedikit salah tingkah.
"Aku udah janji gak ninggalin Iva, lagian kan
dia masih digips, kamunya juga masih sakit. Aku
gak mungkin pergi saat situasinya seperti ini. Kata
Mbak Era tadi pun sebenernya gak bagus buat
Iva kalau terlalu lama tinggal di rumah sakit."
Kuberikan penjelasan yang paling kubisa pada
Dave yang entah kenapa seperti ada senyum bermain di bibirnya.
Nima Mumtaz
"Terlepas dari sidang itu, apa kamu memang
ingin pulang ke Jogja, Vio?"
"Aku gak punya pilihan, kan? Walaupun sebenarnya aku gak pingin balik ke sana. Cuma, empat tahun kuliahku bakalan sia-sia aja nantinya!!" Suaraku
kembali naik tanpa kusadari.
"Itu aja kekhawatiran kamu?? Mmhhh ... boleh gak aku sedikit membantu?" Ekspresinya serius
menatapku.
"Maksudnya? Kamu mau apa?" Otomatis
kutegakkan tubuh. Aku bingung dengan arah pembicaraan Dave.
"Kuharap kamu gak tersinggung dengan usulku.
Sebelumnya aku mau tanya, wisudanya bulan apa?"
"Akhir September, kenapa??"
"Bagaimana kalau jadwal sidangmu ditunda
sampai bulan depan, sambil nunggu Iva sembuh.
Jadi nanti bisa sekalian libur sekolah? Masih keburu
buat wisuda, kan?" Matanya bertanya penuh harap.
"Gak bisa Dave, jadwal itu kan sudah disusun
sedemikian rupa, gak bisa diotak-atik semau kamu
sendiri, memangnya kampusku itu punya moyang
kamu, apa!!"
Iiihhh ingin kucekik aja nih si David gila!! Enak
aja dia bilang mundurin sidanglah, sekalian liburanlah. Mentang-mentang punya duit gitu jadi bisa
ngatur semuanya!!
Tapi dia hanya diam dan sedikit gelisah, tampak
merasa bersalah. Dia tak membantah ataupun menyela ucapanku barusan. Jantungku berdetak keras
menyadari satu hal.
Cinta Masa Lalu
"Tunggu, jangan bilang kalau ... jangan bilang
kalau." Aku bahkan tak sanggup meneruskan apa
yang ingin kukatakan.
"Yayasan yang menaungi kampus tempatmu kuliah memang milik Mami. Tapi untuk operasional
dan managemennya kami bekerja sama dengan
lembaga pendidikan setempat. Kuharap kamu tidak tersinggung." Dave menatapku dengan tatapan
seakan meminta maaf.
"Jadi ... jadi ... selama ini...." Aku tak percaya!!!
Aku seperti kehilangan napas. Megap-megap mencari suplai oksigen yang masih mungkin bisa kuhirup.
****
"Sialaaaannnn" Vio menggeram keras, berusaha tidak berteriak kencang. Dia mondar-mandir
mengentak-entakkan kaki. David hanya bisa memandangnya pasrah. Bersiap menghadapi apa pun
yang akan dilakukan istrinya.
"Jadi ... jadi ... jadi apa pun yang aku mau dan
aku lakukan pastinya akan kembali padamu, kan,
Dave?? Apakah akan begitu juga saat kamu menginginkan sesuatu aku harus menurutinya sebagai
balas budi?" Vio menatap Dave tajam.
"Aku tak akan pernah meminta apa pun padamu,
Viona. Hidupmu adalah hidupmu. Aku hanya ingin
mempermudah sesuatu yang bisa kupermudah. Dan
Nima Mumtaz
kurasa ini hanya kebetulan saja. Kau ingat, kan, saat
memilih tempat kuliah dulu, bukan aku atau orangtuamu. Tapi kamu sendiri yang melakukannya? Aku
juga tak pernah mencampuri masalah akademis dan
juga pergaulanmu di sana." Suara Dave lembut dan
terkontrol. Ini sedikit menggoyahkan Viona.
Vio gamang, di saat dia ingin menumpahkan
segala amarah pada satu-satunya orang yang ada di
depannya, dia teringat kalau Dave sedang sakit. Ya,
otak Dave memang sakit! Dalam arti kiasan dan sebenarnya. Itu menurut Viona.
Mereka saling bertatapan dengan intensitas sama
besarnya, sama kuatnya. Davelah yang pertama memutus kontak mata itu dan bangkit dengan alasan
akan tidur siang.
"Sekali lagi semua terserah padamu Viona, aku
tak akan pernah memaksa apa pun. Putuskanlah
sendiri apa yang ingin kau jalani."
****
Sudah seminggu ini Vio tinggal di rumahku?maaf,
rumah kami?walaupun kulihat dia masih tampak
kesal, akhirnya dia menyetujui usulku saat di rumah
sakit. Hanya dengan mengangkat telepon, masalah
sidang skripsi Vio terselesaikan. Haa ... kau harus
mulai terbiasa dengan apa pun yang bisa kulakukan,
Vio!!
Cinta Masa Lalu
Semua tampaknya berjalan sangat baik. Bahkan
menurut pemeriksaan terakhir dari dokter, aku sudah tak perlu mengonsumsi obat yang rasanya pahit
dan gak enak itu. Saat ini aku hanya minum suplemen yang diresepkan dokter. Gips Iva pun sudah
dibuka, dan menurut dokter orthopedi yang menanganinya, tungkai kanannya udah tidak apa-apa.
Aku juga masih belum masuk kerja. Semua hal
mengenai pekerjaan sudah dipegang Papi.
Waktunya honeymoon?begitu kata Papi?
haiiissshhhh honeymoon dari Hongkong! Megang
aja gak pernah apalagi yang lain.
Semuanya tampak seperti sudah semestinya.
Dari luar kami tampak seperti keluarga bahagia,
normal. Tiap pagi Vio menyiapkan sarapan, kami
pun selalu makan bersama, nonton TV bersama,
menikmati waktu bersama. Tiap malam kami berdua pun bergantian membacakan dongeng untuk
Iva sebelum dia tidur. Menunggunya terlelap sampai akhirnya akan kuantar Vio ke pintu kamarnya
dan mengucapkan selamat malam. Seperti remaja
pulang kencan.
Gak pernah aku ada dalam kondisi senyaman
ini, bisa melihat istriku setiap hari dan menikmati
hari-hari bersama keluarga yang lengkap. Dia selalu
menyiapkan keperluan Iva, juga tak pernah telat
memberikan obat atau suplemenku. Sore hari biasanya kami habiskan bertiga di teras belakang yang
kusulap semirip mungkin dengan halaman belakang
rumah Vio. Senyumku akan sangat lebar dan tak
Nima Mumtaz
bisa kutahan saat Vio datang membawa secangkir
teh untukku dan susu buat Iva. What a beautiful life!
Ini menyenangkan, sangat menyenangkan. Tapi
sungguh menyiksa. Bagaimanapun aku adalah lelaki
normal. Sepintar apa pun aku menekan kebutuhanku tujuh tahun terakhir ini, tapi melihat perempuan
yang terakhir kali kau tiduri dan selalu jadi fantasi
seksualmu berkeliling rumah tiap hari seperti matador yang melambaikan kain merah pada banteng
yang marah, bagaimana menurutmu? Ya, aku frustrasi.
Jadi sekarang ini menurutku, ya, frustrasi itu
adalah saat pagi kau bangun tidur melihat perempuan cantik dengan rambut setengah basah sedang
menyiapkan sarapan. Frustrasi adalah saat siang hari
kau melihat seorang perempuan tengkurap di karpet menggoyang-goyangkan kaki sambil membaca
buku. Frustrasi adalah saat kau melihat perempuan
cantik itu bercanda dengan putrimu, bergelung di
antara bantal-bantal sofa tapi kau tak bisa ikut bermain karena takut dia akan menolakmu. Frustrasi
itu adalah saat kau antarkan dia sampai pintu kamarnya dan mengucapkan selamat malam sambil
menahan keinginan mendorongnya masuk. Dan
masih ada ratusan definisi frustrasi lain yang tiap
hari aku alami.
Aku sendiri tak tau kenapa aku sering berpikiran
mesum tentang Viona akhir-akhir ini. Kalau cari
pembenaran, sih, mungkin karena aku tak pernah
Cinta Masa Lalu
serumah dengan perempuan lain sebelumnya. Atau
mungkin itu karena Viona? Entahlah, yang pasti
aku sudah mencoba untuk melihat dengan persepsi
yang sama saat melihat Mbok Rum melintas di depanku. Dan tentu saja hasilnya tak sama, jendral!
Siang ini kami sedang menonton Upin Ipin the
Movie untuk yang ke ... entah berapa puluh kalinya. Mungkin kalau kaset itu bisa berteriak, dia
akan menjerit keras minta ampun saking seringnya
diputar oleh Iva. Mereka berdua tiduran di sampingku yang bersandar di kaki sofa. Sesekali mereka cekikikan melihat tampang Tuk Dalang dan
Sally. Aku? Tentu saja melihat pemandangan indah. Kapan lagi bisa bebas melihat kaki Vio yang
hanya berbalut celana pendek selutut mempertontonkan betis putih mulus. Membayangkan apa dan
bagaimana yang bisa kulakukan dengan betis itu
nyaris membuatku mengerang. Ya ampuun David,
itu bahkan hanya betis!
"...Ya kan, Dad? Daddy." Goncangan Iva pada
lenganku membuatku gelagapan. Apa? Tadi Iva
nanya apa, ya?
"Ii ... iiiyyyaa, sayang, kenapa?" Huffhh hampir
saja!
"Ntar kalo ada Disney On Ice lagi kita nonton,
kan? Mommy nanti diajakin bareng, kan? Ya, kan,
Dad?" Mata polos Daiva menatapku
Nima Mumtaz
"Tentu ... tentu ... nanti kita ... kita sama-sama
nonton." Aduh, kenapa aku jadi gugup gini, ya?
"Dave kamu gak papa? Kok mukamu merah?
Sakit ya, pusing lagi? " Vio mengubah posisinya
menjadi setengah duduk, rambut panjangnya yang
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bergelombang besar-besar tampak acak-acakan
membingkai wajahnya yang menawan yang di
mataku tampak WOW. Matanya melebar, dahinya
berkerut dan dia menggigit bibirnya tampak sangat
khawatir.
Ya, Tuhan ... terima kasih atas siksaan ini!!!!
"Aku? Aku ... aku baik-baik aja. Mungkin ...
mungkin aku ... aku cuma butuh minum." Berusaha
kukendalikan suaraku yang kurasa sedikit bergetar.
Berkali-kali aku menelan ludah melihat dia dalam
pose seperti itu.
"Bentar ya, aku ambilin," Vio pun segera bergegas ke arah pantry.
Huufffhhhhh ... kuembuskan napas, lega, lega
banget. Vio pasti akan lari kalau tau apa yang selalu
kupikirkan tentang dirinya.
Aawwwww....
Vio???
Aku langsung berlari secepat yang aku bisa begitu mendengar teriakan Viona. Dia sedang berdiri
di samping dispenser sambil memegang tangannya
sendiri.
"Kenapa, Vi??"
"Air panas. Aku salah pencet tadi. Maunya yang
biasa malah yang kupencet air panasnya." Mukanya
berkerut kesakitan.
Cinta Masa Lalu
"Sini...." Tanpa pikir panjang kuraih jari tengahnya yang nyaris melepuh dan mengisapnya
pelan. Dia terkesiap.
"Ddddavee...."
Mata kami bertemu. Entah untuk berapa lama
aku tak tau. Sedetik? Semenit? Sejam? Aku tak tau.
Yang aku tau aku hanya ingin menikmati tenggelam
dalam danau bening matanya.
Kugenggam erat tangannya di antara dada kami
yang nyaris menempel. Entahlah bahkan aku tak tau
apa yang akan kulakukan, hanya Tuhan yang tau.
Bibirnya bergetar dan aku hanya bisa menelan
ludah.
Perlahan kuturunkan wajah sejajar dengan wajahnya. Dekat, sangat dekat. Mata kami masih
bertaut. Kumiringkan kepala, menunggu sesaat penolakan darinya, tapi dia hanya diam. Debar jantungku berkejaran. Kurasa aku juga bisa merasakan
detak jantungnya yang abnormal.
Tangannya dingin dan mengepal erat dalam
genggamanku.
Haruskah kulanjutkan? Bagaimana kalau dia
menolakku. Bagaimana kalau aku salah mengartikan sikap diamnya? Saat aku ragu dia memejamkan
mata pasrah.
Tuhan!
Bayangan Masa lalu
ku tersentak mendapati jariku dalam mulutnya.
Apa yang dia lakukan? Jantungku berdebar kencang, berlompatan seakan berusaha mendesak keluar. Aku gugup, tentu saja. Tak pernah aku sedekat
ini dengan seorang pria sebelumnya, kecuali Juna.
Kutunggu perasaan itu, rasa tak nyaman yang biasanya datang saat seorang pria mendekatiku atau
mencoba menyentuhku. Tapi, tak ada!
Dia masih menggenggam erat tanganku saat kuberanikan diri menatap matanya. Aku tak mengerti
arti tatapan sayunya serta ekspresi sedihnya. Berkalikali kulihat dia menelan ludah dan bibirnya tampak bergetar. Namun saat wajahnya sejajar dengan
wajahku, kurasakan ada getaran aneh mengaliri
darahku, merayap turun ke perut, menggelepar,
menggeliat, mendesak. Apa ini?
Harusnya aku lari, bukan? Harusnya aku teriak,
harusnya aku menamparnya, harusnya kudorong
dia, tapi kenapa tanganku kaku? Kenapa lidahku
kelu, kenapa tubuhku membeku? Kenapa?
Cinta Masa Lalu
Napasnya hangat di lekukan leherku saat wajahnya hanya terpaut beberapa senti saja dariku.
Meremangkan bulu kuduk, membangunkan ribuan
saraf yang sebelumnya tak kutau ada. Jantungku
rasanya telah meninggalkan tempatnya yang nyaman selama ini, sebab tak ada lagi yang kurasa, tak
ada lagi yang kudengar dan sebelum kumenyadari
apa pun, mataku telah terpejam.
Hangat.
Begitulah yang kurasa saat bibirnya menyentuh
lembut bibirku. Namun hanya sebentar karena dia
kembali menjauh, tapi itu tak lama. Sesaat kemudian kurasakan sesuatu yang hangat dan basah menyentuh bibir bawahku, menelusurinya berulangulang. Lagi dan lagi. Lidahnya kah? Namun otakku
sepertinya bekerja seribu kali lebih lambat saat ini.
Ketika lidahnya membuka bibirku, memaksa masuk, membelai lembut langit-langit mulutku, membelit lidahku, mengenalkanku pada rasa yang tak
kutau, ada yang meleleh di dasar perutku, ada sesuatu yang mengimpit dadaku, aku hilang, lenyap
bagai tak ada. Karena kemudian yang kutau, yang
kurasa yang kudengar hanya dia?Dave.
****
David mencium Viona mesra, lambat, hangat, dan
dalam. Bibirnya mengambil, meminta, menghisap
seolah tak ada lagi yang dibutuhkannya saat Itu.
Nima Mumtaz
tangannya telah berpindah pada punggung dan
pinggul gadis itu. Hingga Viona refleks berpegangan erat pada lehernya, seakan menggantungkan
hidupnya.
David mencium Viona mesra, lambat, hangat,
dan dalam. Bibirnya mengambil, meminta, mengisap seolah tak ada lagi yang dibutuhkannya saat
Itu. tangannya telah berpindah pada punggung dan
pinggul gadis itu. Hingga Viona refleks berpegangan erat pada lehernya, seakan menggantungkan
hidupnya.
Saat Dave mengangkat kepala, meninggalkan
Vio dengan bibir basah dan rasa kehilangan yang
dalam. Dilihatnya mata itu, mata indahnya menatap sayu, berharap.
David sudah tak peduli apa pun ketika kemudian tangannya berpindah ke sisi wajah Vio, didorongnya Viona ke tembok di belakangnya mengunci
tubuh gadis itu dengan tubuhnya, menikmati setiap
rasa yang ditimbulkan olehnya. Kemudian David
kembali menciumnya dengan hasrat liar yang sekian
lama ditahan yang nyaris meledak setiap harinya.
Yang terdengar kemudian hanya erangan dan
lenguhan penuh gairah dari keduanya. Tubuh mereka saling menempel, menggeliat seirama dengan
pagutan liar yang nyaris brutal. Rasanya tak ingin
berhenti, tak ingin berakhir. Napas Viona terengah saat ciuman Dave berpindah pada rahangnya, mengecup lehernya, menggigiti telinganya.
Dunianya hilang.
Cinta Masa Lalu
Kenapa ini??
Namun lagi-lagi itu hanyalah sebuah pertanyaan
yang tak butuh jawaban saat bibir Dave kembali
padanya. Menciumnya penuh hasrat dan mesra. Vio
merasa jarak mereka terlalu jauh, tanpa sadar ditariknya lagi Dave ke arahnya, dia ingin lebih dekat,
dekat dan dekat lagi.
Glompraaaannnnngggggggg!!!!!!!!!!!!!!!!!
"Elah dalahhh, Gustiiiii ... eh ... eh ... eh ... ma
... ma ...maaf, Den ... maaf, Non."
Dengan tampang horor Mbok Rum segera berlari keluar tanpa membereskan peralatan masak
yang tak sengaja dijatuhkannya.
Saat itulah kesadaran perlahan menghampiri Viona.
Kakinya serasa berpijak lagi saat tadi dia terasa melayang tinggi. Namun David seolah tak peduli dengan interupsi tadi, bibirnya masih saja mencaricari.
Viona nyaris syok menyadari keadaannya.
Tangannya masih mencengkeram erat rambut
Dave, sedang tangan Dave di dalam T-shirtnya,
mengelus kulit punggungnya ringan, merengkuhnya dalam dekapan erat. Tubuh mereka menempel
bagai puzzle. Ini salah!
"Dave...." Viona berbisik lemah di antara napasnya yang masih memburu.
"Hmmmm...." Dave menggigit lembut telinga
Vio, membuatnya merinding dan mengerang pelan.
Jantung gadis itu berlomba dalam diam.
Nima Mumtaz
"Dave ...stoppp...!" Dengan tenaganya yang
nyaris habis Vio berusaha mendorong bahu David
lemah.
"Vio ...Vio...." David menempelkan dahinya
pada Vio dan membisikkan namanya berulangulang. Wajahnya tampak sangat tersiksa.
"Aku ... mau sendiri, Dave."
"Vio aku ... aku...."
"Dave, please??"
Dengan berat hati perlahan David melepaskan Viona yang telah memalingkan wajahnya. Dia
berusaha mencari dalam penolakan gadis itu. Viona
menyilangkan tangannya di depan dada, seolah berlindung dari sesuatu.
"Vio... aku...."
"Tinggalin aku...."
"Tapi, Vi...."
Wajah David berkerut bingung mencoba memahami.
"Daddy ... Mommy...."
Lengkingan Suara Daiva mengagetkan keduanya. Dan dengan langkah kalah David menjauh
meninggalkan Viona yang perlahan terduduk di
tempatnya.
****
Kuraba bibirku yang masih terasa lembap, panas,
dan berdenyut-denyut. Kenapa ini? Kenapa aku
bersikap seperti ini? Kenapa aku membiarkan dia
Cinta Masa Lalu
menyentuhku lagi? Harusnya aku menolaknya,
kan? Harusnya ini tak boleh terjadi. Tapi kenapa?
Beberapa hari kemarin mungkin aku akan berpendapat kalau aku berada di posisi sangat nyaman
sekarang. Hidupku dengan Dave dan Iva tampak
sangat sempurna. Kami bisa saling memahami dan
saling mengerti. Dia juga tak pernah bersikap aneh
dan macam-macam padaku. Dia juga sangat sopan
dan tak pernah menunjukkan maksud buruk. Tapi
siang ini, kenapa jadi begini?
Harusnya aku tau tinggal di rumah ini beresiko
sangat besar untukku. Tapi aku rela melakukan ini
demi Iva, demi putriku. Kalau saja gak inget semua
yang udah dia lakukan buatku dan keluargaku,
mungkin aku gak akan sudi repot repot begini. Aku
benci dia, benci ... benci ... benci.
Setelah ini rasanya aku gak bisa ketemu dia lagi.
Aku gak akan mau!
Kupencet speed dial di gadgetku. Aku butuh bicara.
Heh ngapain lu gangguin gua Maghrib begini?
"Masih jam empat kali, J, lagian lu jahat amat,
sih, ama gue." Kucoba mengontrol suaraku. Entah
kenapa aku ingin menangis mendengar suaranya.
Itu kalo elu di Jakarta, Vi, gua kan lagi di Maumere.
"Ngapain lu jauh banget dari rumah, tumben
sih lu pergi gak ngasih tau gue?"
Kerja, lah ... gua ada dinas luar, udah lima hari
ini. Lagian sejak kapan gua harus laporan ama elu.
Nima Mumtaz
Lu kan udah punya laki, ada juga laki lu yang harusnya laporan kalo mau pergi-pergi.
Mendengar jawabannya mau tak mau air mataku
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menetes tak terkendali. Isakan kecil lolos dari bibirku. Mungkin Juna menyadari itu karena sesaat
kemudian dia terdengar panik.
Vio ... lu kenapa? Lu gak papa, Vi? Di mana lu
sekarang!
Tangisanku makin keras mendengar kepanikannya. J, aku butuh kamu....
"VIONA bilang, Vi, lu kenapa!?" Teriakannya tak
juga bisa membendung tangisanku.
"Hiks ... lu ... hiks ... pulang ... hiks ... kapan ... hiks
... J ... gue ... hiks ... mau ... ngobrool." Aku tersengal kata-kataku sendiri. Aku sungguh butuh Juna.
"Viona, lu kenapa?? Bilang ke gua, Vi!"
Bisa kurasaka kepanikan Juna yang luar biasa.
Napasnya terengah, kurasa saat ini dia tengah mondar-mandir kebingungan.
Lama aku terisak, tapi berusaha mengatur suaraku.
"Gue gak papa, J, gue cuma butuh ngobrol, gue
kangen elu." Aku menjawab setelah bisa mengendalikan diri.
Dia diam sesaat, akhirnya mengalah.
"Ok, besok gue udah pulang, kok. Ke rumah
Mama, ya. Pesawat gue jam lima WITA."
Setelah berbasa-basi ringan aku memutuskan
sambungan teleponku dengannya. Kurebahkan
Cinta Masa Lalu
tubuhku dan berusaha melupakan kejadian siang
tadi. Aku bodoh....
Kulirik jam, sudah lewat tengah malam. Tapi
mataku masih saja tak mau terpejam. Kuraba bibirku lagi. Lalu bayangan kejadian siang tadi lewat
tanpa permisi. Sialnya bukan kelebatan cepat, tapi
bagai slow motion, adegan itu terpeta jelas di otakku,
utuh. Tanpa sensor sama sekali.
Kenapa rasanya seperti ini? Jadi begini rasanya
berciuman? Kuraba lagi bekas ciumannya di leherku, di telingaku. Bahkan aroma parfumnya pun
masih menempel di bajuku. Kenapa pula aku gak
mandi tadi?
Ada sisi hatiku yang menyukai ini, sensasi baru
yang tak pernah kukenal. Aku tersenyum kecil melihat tanda merah di leherku, bekas ciumannya.
Tapi ... tapi aku gak boleh begini, bukan? Aku
benci dia, kok. Beneran aku benci dia. Aku gak suka
dia, gak boleh suka sama dia.
Aaaarrrrgghhhhhh ... David.
David
Bodoh ...bodoh ...bodoh...!
Harusnya kau bisa mengendalikan dirimu sendiri,
David. Kenapa dengan bodohnya kau melepaskan
singa lapar dalam dirimu? Dasar bodoh!
Nima Mumtaz
Memangnya kau belum puas menunggunya tujuh tahun? Kau mau menunggu lebih lama lagi? Satu
langkah majumu kemarin harus rela kau bayar dengan tiga langkah mundur saat ini!
Kuteriaki diriku berulang-ulang. Kutinju berkali-kali bantal di tempat tidurku.
BODOOOOHHHHHH!
Sepanjang siang ini aku tak melihat Vio lagi.
Mbok Rum bilang Vio ingin istirahat, bahkan
makan malam pun dia minta diantar ke kamarnya.
Aku harus menenangkan Iva yang bolak-balik nanyain mommy-nya. Terpaksa aku bilang Vio tidur
siang, dan setengah memaksa Iva untuk tidur siang
juga agar tak kembali menanyakan Vio dan aku bisa
puas merutuki kebodohanku sendiri.
Tapi mau tak mau aku ingat lagi kejadian tadi,
dan ingatan itu makin menyiksaku.
Halus kulitnya, lembut rambutnya, manis bibirnya. Ahhh Vio....
Desahan dan erangan dari mulutnya masih terngiang jelas di telingaku. Vio....
Mata sayunya, bibir basahnya, ini menyiksaku,
sangat. Anganku melayang jauh, bagaimana kalau
tadi Mbok Rum gak dateng, bagaimana kalau tadi
hanya ada kami berdua. Apa yang akan terjadi, apa
yang akan kami lakukan. Arrggghhh.
Nyaring deringan telepon membuyarkan semua
imajinasi liarku. Melihat ID caller di ponselku, aku
tau apa yang akan dia tanyakan.
Video call dari Juna.
Cinta Masa Lalu
Pagi ini aku liat dia sudah duduk bersama Iva untuk sarapan. Matanya sedikit sembap dan bengkak,
sepertinya dia kurang tidur. Apa dia semalaman
menangis?? Ya, Tuhan, betapa sering kubuat gadis
ini terluka.
Dia tak mau melihat padaku sama sekali. Selalu
saja dia membuang muka bila di dekatku. Beberapa
kali kumencoba mendekatinya untuk meminta
maaf, tapi dia selalu menjauh. Dia hanya mengobrol dan bercanda dengan Iva. Dia sepertinya
menganggapku tak ada.
Bisa kusimpulkan kalau dia berusaha membuat
semua menjadi senormal mungkin untuk Iva, dia
tak mau Iva melihat kalau kami ada masalah.
Aku tak tau apa yang harus kulakukan kini.
Terasing di rumahku sendiri. Makin parah saat
Mbok Rum selalu terlihat bersalah di depanku.
Mbok Rum memang tau kisahku, juga betapa
buruknya hubunganku dengan ibu dari anakku.
Karena sebelumnya beliau bekerja di rumah mami.
Berusaha sediam mungkin aku merapatkan diri
di dekat kamar Iva, mendengar putriku sedang asyik
mengobrol dengan istriku. Yah, aku memang seperti
maling saat ini, mengendap-endap supaya orang tak
tau apa yang akan kulakukan. Tapi aku tak tahan
untuk tak mendengar suaranya sebentar saja.
Setelah kupikir-pikir mungkin aku termakan
omonganku sendiri, dulu aku selalu memohon pada
Tuhan agar mengembalikan Vio pada kami. Tak apa
Nima Mumtaz
dia tak menganggapku ada, asal Iva selalu merasakan kasih sayang mommy-nya.
Dan sekarang, Voila!! Terkabul kurasa. Karena
melihat betapa sayangnya Vio pada Iva mampu menumbuhkan rasa iriku. Iri karena aku merasa bagai
angin di dekat Vio.
"Iva, Mommy nanti sore mau ke rumah Oma,
Iva ikut, ya, sayang." Suara lembut itu menghantam
kesadaranku.
Aku membeku. Vio mau pergi? Dia mau pergi
dariku?
****
"Iva, Mommy mau ke rumah Oma nanti sore,
Iva ikut, ya, sayang," kataku pada Iva yang sedang
asyik mewarnai sambil tiduran di karpet kamarnya.
Langsung saja Iva mengalihkan konsentrasinya dari
gambar yang sedang diwarnainya.
"Nginep, gak, Mom? Telepon Kakak Liel, ya,
Mom?" Dia langsung mengubah posisinya menjadi
duduk, wajahnya langsung bersinar bahagia saat
melihatku mengangguk.
"Yeeeeaayyyyy Iva ke rumah Oma ... Iva ke
rumah Oma ... maen sama Kakak Liel lagi yeeaayyy!"
Aku tersenyum lebar menyaksikan putriku
melompat-lompat kegirangan. Namun senyumanku terpaksa kusimpan jauh saat kulihat Dave berdiri
di ambang pintu menatapku.
Cinta Masa Lalu
"Iva, sayang, Iva sama Mbok Rum dulu, ya.
Daddy mau ngobrol sama Mommy." Dave tetap
menatapku saat mengatakan itu pada Iva yang terlihat kebingungan.
Dia mau bicara denganku? Aduh, bagaimana ini.
Aku gak siap, beneran, deh, aku gak siap. Dia mau
ngomong apa? Aku harus gimana? Aduh Mama ...
jantungku kembali melompat-lompat.
"Obrolan orang dewasa ya, Dad?" Iva menatapku dan Dave bergantian. Dia memang tau kalo ada
kode ?obrolan orang dewasa? maka dia harus menyingkir. Tapi saat ini kurasa dia benar benar bingung melihat ekspresi kami berdua.
"Kamu mau pergi ke rumah Mama??" tanyanya
padaku saat Iva sudah turun ke bawah.
Aku hanya mengangguk tanpa menatapnya.
Aku belum bisa.
"Boleh aku ikut?"
Aku menggeleng. Dia mengembuskan napasnya
putus asa.
"Ini salahku, kan?"
Aku hanya diam, tak tau apa yang harus kukatakan.
Perlahan dia berjalan ke arahku, namun menghentikan langkah sebelum benar-benar ada di depanku. Duduk pada lututnya dia menghadapku.
Matanya sayu menatapku. Ya ampun, jantungku
seperti berlari sprint mencapai garis finis. Ada yang
menggelepar di dasar perutku. Aduh, aku harus
Nima Mumtaz
segera pergi dari sini. Kalau enggak aku gak yakin
bisa menolak apa yang akan dia lakukan.
"Vio, aku ... aku tau aku salah. Aku minta maaf.
Tapi kumohon, Vi jangan pergi, jangan tinggalin
aku. Apa pun akan kulakukan, apa pun yang kau
minta, Vi, tapi tolong tetap di sini, Vio."
Suaranya bergetar, bahunya terkulai lemah dan
dia menundukkan kepalanya dalam. Aku makin
kaget saat dia meraih kakiku, matanya menatapku
penuh tekad.
"Aku tau kamu belum bisa sepenuhnya maafin
aku, tapi tolong kasih aku waktu, Vi, kasih aku
waktu buat ngerebut hati kamu, kasih aku waktu
buat kamu mau nerima aku, kasih aku waktu buat
kamu jatuh cinta sama aku. Aku butuh kamu, Vio,
aku butuh kamu."
"Aku cinta kamu, Vio, aku mau nunggu sampai
kapan pun, sampai kamu sadari itu. Tapi aku mau
kamu tau aku gak bisa apa-apa tanpa kamu."
Apa!? Apa dia bilang tadi? Dia ... dia ... dia bilang ... tapi ... tapi....
Dia bilang dia cinta aku? Tapi bagaimana mungkin? Ini bahkan baru dua minggu sejak kami ketemu
lagi. Pasti dia bohong, kan? Dia bilang gitu biar
aku gak pergi bawa Iva, kan? Sejak awal dia emang
gak rela kalau aku bawa Iva pergi. Iya, kan? Ini gak
mungkin, apa dia tau kalau perasaanku sudah melunak padanya dan dia memakainya sebagai senjata?
Enggak, aku harus pergi sekarang.
"Tapi, aku harus pergi Dave, maaf."
Cinta Masa Lalu
Dia tersentak, wajahnya berkerut sedih. Beberapa kali dia membuka mulut seperti hendak mengatakan sesuatu namun dibatalkannya lagi. Dia
tampak tersiksa. Tapi kenapa??
"Vio, bagaimana dengan Iva? Jangan lakukan
ini, Vi, kumohon?" Bibirnya bergetar seperti menahan tangis.
"Aku gak bawa lari Iva, kalo itu yang kamu
takutin," bisikku pelan. Kutinggalkan dia yang
menunduk dalam.
"I love you, Viona I love you."
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kudengar bisikan lemahnya saat aku mencapai
pintu. Tapi aku mau pulang. Aku gak bisa di sini
lebih lama lagi. Atau aku akan menerima penyataan
cintanya mentah-mentah. Ini gak bener, ini salah,
sangat salah.
Wajah Dave yang tampak tersiksa saat melepas
kami membayangiku sepanjang perjalanan ke
rumah Mama. Untunglah Iva bisa dibujuk hingga
dia gak nangis minta Dave ikut. Dengan adanya
Ariella nanti juga pasti dia akan mudah dialihkan
perhatiannya. Bagian paling sulitnya adalah menjawab pertanyaan Papa yang menanyakan kenapa
Dave gak ikut. Kubilang aja dia lagi banyak kerjaan
hingga memutuskan untuk membiarkan aku dan
Iva hanya pergi berdua. Walaupun aku seperti melihat kilat ketidakpercayaan Papa padaku dari matanya.
"Sekarang ceritain kenapa lu kemaren nangisnangis, Vi." Juna menginterogasi tanpa basa-basi.
Nima Mumtaz
Dia masih tampak lelah tapi terlihat segar sehabis
mandi. Mbak Era masih diam karena tak tau persoalannya. Kami bertiga berkumpul di kamarku
setelah kami menidurkan Iva dan Ariel di kamar
Mbak Era.
Aku menarik napas berat, tak tau dari mana
memulainya. Kutatap Mbak Era dan Juna bergantian.
"Aku ... maksudku Dave, kemaren ... kemaren
... kami ... maksudku dia ... dia nyium aku." Aku
menundukkan wajah. Entah kenapa aku merasa
malu sekali pada Juna dan Mbak Era.
"Trus?" kali ini Mbak Era buka suara.
"Mbak, masa aku harus jelasin, sih! Aku ... ihh
... Mbak Era ... ihhhh!" Kenapa Mbak Era malah
begini, aku kan mau curhat. Kenapa dia sok bego
begini, sih.
"Trus kenapa lu nangis-nangis nelpon gua?
Kurang?" Juna menatapku polos
Kuhadiahkan sebuah bantal pada kepala Juna.
Enak aja, ngomong apa dia?
"Yee ni anak ditanyain serius juga malah nimpuk, sekarang gua nanya ke lu, Vi. Gimana rasanya
ciuman ama dia?" Pertanyaan Juna mengagetkanku.
Kurasakan wajahku menghangat sekarang.
"Kok elu malah ngebahas ini sih, J?"
"Ya elu aneh, sih, Vi. Kalian ini kan suami
istri, lu mau ciuman, kek, mau cipokan, kek,
nge-seks, kek, mau ngapain, kek itu wajar, neng!
Kenapa lu malah nangis-nangis gitu, sih?" Juna
Cinta Masa Lalu
tampak malas dan merebahkan tubuhnya di atas
karpet kamarku.
"Heh bahasa kamu, J, jaga yang baik kenapa,
sih?" Pelototan Mbak Era hanya dibalas cengiran
lebar Juna.
"Mbak, kita ngomong sama anak udah gede,
Mbak. Kalo di depan Ariel, atau Daiva, sih, perlu
dijaga. Eh, Vi, gua mau nanya, jujur ya, jawabnya.
Emang lu masih takut gitu sama cowok?" Pertanyaan
Juna yang berbalik arah mengagetkanku.
"Mmhh ... mmmhh ... aku ... aku gak tau, J.
Aku kan gak pernah sengaja deket-deketin cowok.
Jadi...."
"Nah kemaren pas lu ciuman ama Mas Dave,
kan, pasti deket, tuh, rasanya gimana?"
Pasti wajahku sudah sangat merah sekarang.
Sialan Juna nanyanya kenapa gini banget, sih?
Namun tanpa sadar kuraba bibirku pelan. Aku
masih ingat jelas saat lidahnya membelai bibirku,
menyalurkan rasa nikmat yang baru aku tau.
Sentuhannya di tubuhku membawaku dalam pusaran gairah yang....
"Naaahhh ketauan, kan? Enak, kan, Vi? Liat,
Mbak, dia ampe merem-merem gitu. Pasti dia inget
Mas Dave, tuh, sekarang. Enak, kan, Vi ciuman?
Apalagi sama orang yang kita demenin. Deg-degan,
gak, Vi? Gak pengen berenti, ya, Vi? Grepe-grepe
juga, kan, Vi? Gak enak loh kalo bibir ama bibir
doang, tangannya juga kudu jalan, Vi, biar makin
menghayati." Juna menepuk-nepuk kepalaku pelan
yang kemudian diiringi tawa keras Mbak Era.
Nima Mumtaz
Aku malu banget, emang aku merem tadi, ya?
Masa, sih? Dan apakah tadi aku juga menyentuh.
Aaahhhh tidak!!
"Ahh kurasa aku emang gak bisa ngikutin obrolan kalian berdua, apalagi kamu, J, bikin Mbak sakit
perut. Eh, tapi, Vi, serius sekarang, nih. Sebenernya
apa, sih, yang kamu bingungin dari ciuman kamu
sama Dave?" Mbak Era mengalihkan perhatian
sepenuhnya padaku.
"Aku gak tau, Mbak, aku bingung, aku.... "
"Gue rasa, ya, Vio ini bingung, kenapa ciumannya cuma bentaran. Iya, gak, Vi? Yaaaa adek
kecil gue sekarang udah gede, udah bisa cipokan,
yeeeaaayyyyy." Kucubit perut Juna yang berteriak
kegirangan sambil berkelit ke belakang punggung
Mbak Era.
"Trus yang bikin bingung apa, Vio? Kamu bingung sama perasaanmu? Kamu takut atas apa yang
Dave lakukan di masa lalu? Atau kamu takut karena
kamu juga nikmatin?" Suara Mbak Era serius sekarang.
Hah, aku gak percaya harus mulai obrolan kayak
gini dengan kakakku. Ya ampuunn, sumpah, deh,
malu banget. Masa ngomongin hal-hal beginian.
Jangan bilang kalau abis ini Mbak Era mau ngebahas sexual education. Iiihhhh ... gak, ah!!!
"Vio, kamu tuh udah gede, lho, Dek, 25 tahun.
Udah punya anak lagi. Masa iya pikiran kamu masih sepolos itu. Emang, sih, pengalaman seksual
kamu sangat-sangat terbatas dan traumatis, tapi bu234
Cinta Masa Lalu
kan berarti kamu menghindari segala jenis kontak
seksual, kan, Vi. Ayo, dong, mulai belajar membuka diri. Mbak rasa pengalaman seksual David
udah banyak, mengingat track record dia di masa
lalu. Jadi dia bisa dijadiin tutor. Bonusnya lagi, dia
Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi Merival Mall 10 Kemenangan Manis Prabu Siliwangi Bara Di Balik
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama