Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz Bagian 4
sangat memenuhi syarat, kok, jadi suami dan ayah
yang baik. Dan dia masih sah sebagai suami kamu."
Mbak Era nyengir puas.
"Iiihhh ... Mbak Era ngomong apa, sih?" Kurasa
wajahku terbakar malu. Beneran kan bahas ginian.
"Emang psikiater lu gak pernah ngebahas beginian, Vio? " Juna akhirnya bersuara di antara kunyahan keripik kentangnya.
"Tau gak, muka lu udah kayak anak ABG baru
dapet haid pertama trus dicium cowok yang dia demenin. Merah, malu tapi pingin hehehehheehe."
"Junaaaaaa." aku makin kesal karena tawa
Juna tak juga berhenti.
"Tante Meiske dulu sering bilang kalo hubungan
intim antara dua orang yang saling suka, saling cinta
itu beda banget sama hubungan karena perkosaan.
Tapi ... tapi ... aku bahkan gak bisa dan gak pernah
bayangin, Mbak. Ck ... ah, gak tau lah." Aku makin
bingung dengan arah pembicaraan kami. Kenapa
jadi merembet ke sini, ya?
Kan aku hanya mau curhat soal kissing scene yang
gak sengaja aku lakuin sama Dave, yang kebetulan
juga aku nikmatin sih #Eh....
"Ya, jelas bedalah, Vi, kalo sama yang lu suka tuh
enak banget, Vi, sumpah deh, enak banget. Pingin
Nima Mumtaz
nambah bolak-balik malah." Perkataan Juna yang
asal menghasilkan tepukan pelan Mbak Era pada
kepala Juna.
"Apaan, sih, Mbak? Kok jadi Mbak Era yang
gak terima. Sekarang Juna tanya, enak kan, Mbak?
Beneran, kan? Kalo enggak, Mbak Era gak mungkin
mau bolak-balik sama Mas Ezra."
"Junaaaaaa!" Aku dan Mbak Era kompak teriak
di kuping Juna yang cengar-cengir gak jelas. Dia
seperti tak peduli dan melanjutkan kunyahan
keripiknya.
"Sekarang Mbak tanya, ada yang gak kamu suka
dari Dave? Kalau ada, apaan? Soalnya jujur, ya, Vi,
Mbak Era gak bisa objektif kalo ditanyain pendapat
tentang Dave. Mbak rasa Mama Papa juga udah
telanjur nganggep Dave itu menantu yang baik.
Dan kalo emang kamu mutusin mau membangun
keluarga sama dia, Mbak ikhlas, kok. Malahan
Mbak tenang karena Mbak tau banget Dave itu seperti apa." Mbak Era tersenyum sayang padaku.
"Dave itu ganteng banget, cakepnya gak ketulungan, seksi lagi, baek pula, dadanya bidang, ototnya kekar, grrrrr gak nahaaaaannnnn."
"Junaaaaaaaaaaa...."
Juna hanya terbahak sambil beralih untuk merebahkan kepala di pangkuan Mbak Era. Dasar bujang kolokan!
"Kalau memang gak ada yang ganjel di hati
kamu tentang Dave, mungkin ini saat bagi kalian
untuk menumbuhkan perasaan suka. Lama-lama
Cinta Masa Lalu
pasti bisalah. Lagian kan ada Iva, itu bisa jadi perekat yang kuat, lho, buat hubungan suami-istri."
"Sebenernya ... sebenernya kemaren dia sempet
... sempet bilang kalo dia suka gitu, deh, Mbak,
sama Vio." Aku hanya bisa menunduk. Sumpah,
deh, aku malu. Aku gak pernah punya obrolan macem ini dengan kakakku.
"Itu mah semua orang di sini juga tau kali, Vi,
Mbak Era juga salah, sih, ngomongnya. Bukan
mereka berdua, tapi Vio yang kudu nyadar ada pangeran di depan mata yang bertaun-taun nungguin
dia. Eeehhh, dia malah nyari kodok, berharap tuh
kodok bisa jadi pangeran." Sambar Juna terlihat tak
puas dengan jawabanku.
Apa kata Juna tadi, nungguin bertahun-tahun?
Masa, sih?
"Mbak rasa kamu perlu tanya hati kamu, Vi,
jangan karena emosi aja. Kalau kamu emang mau
nerima dia, jangan karena kepaksa. Pikirin baikbaik. Kalau kamu butuh waktu, ambil sebanyak
apa waktu yang kamu mau. Ini hidup kamu, kamu
yang akan menjalaninya ke depan. Tapi pastiin kalo
kamu udah menentukan yang terbaik."
"Tapi, Mbak, mmhhh ... beneran gitu dia suka
sama aku?? Maksudku kami kan gak pernah bertemu, ini bahkan baru dua minggu sejak tujuh tahun
lalu." Ragu kubertanya pada Mbak Era yang malah
tersenyum lebar.
"Menurut kamu? Tanya hati kamu, Vio. Coba
lihat sekitar kamu. Coba rasakan dari sikapnya, dari
Nima Mumtaz
perilakunya, dari perkataannya, adakah sinyal itu.
Mbak kan udah bilang, Mbak gak bisa objektif lagi
kalau bicara masalah David. Mbak ngeliat dia sama
kayak Mbak ngeliat kamu dan Juna. Walaupun secara umur tuaan dia, sih, daripada Mbak," Mbak
Era terkekeh pelan.
Dave. Aku mencoba mengingat interaksi kami
dua minggu terakhir ini. Dia emang baik, sih, gak
pernah marah, sabar banget, suaranya lembut, ibadahnya juga rajin, perhatian, senyumnya manis,
mmhh ... emang ganteng banget, sih. Idiiiihhh Vio
periksa otak, dooongggg!!!!!!!!!
"Huuuu ... dasar emak-emak labil, udah, ah, gua
mau tidur. Capek dengerin curhatan Vio yang geje."
Juna menyeret langkahnya keluar ruangan setelah
menoyor kepalaku pelan.
****
Pagi ini aku, Juna, Ariel, dan Iva lari pagi keliling
kompleks. Setelah dua kali putaran kami sepakat
langsung pulang karena sudah sangat lapar. Tapi
aku dikejutkan dengan adanya Alphard Vellfire putih yang terparkir di luar pagar rumah. Itu mobil
Dave, kok dia ada di sini??
Iva yang tampaknya menyadari itu langsung berlari ke dalam rumah dan tak lama aku mendengar
teriakannya.
"Daddy!"
Cinta Masa Lalu
Otomatis kepalaku berputar ke arah Juna yang
tersenyum lebar.
"Biar lu gak kangen, Vi, gua baek, kan??"
Cengirannya hanya kubalas pelototanku yang
kuusahakan selebar mungkin.
Dia di sana, memangku Iva sambil mendengarkan cerita Iva yang seolah tiada henti. Ada bayangan
hitam di bawah matanya, wajahnya kuyu, matanya
pun tampak sangat lelah. Sepanjang rahangnya tampak menghitam karena tak bercukur, dia tampak
berantakan. Eh, kenapa gue rajin banget perhatiin
dia, sih?
"Daddy, semalem Iva maen sama Kakak Liel
sampe malem dibolehin sama Mommy, Iva juga
gak bangun-bangun pas malemnya, soalnya Iva
udah capek maen terus-terusan, terus, ya, Budhe bikinin puding cokelat eeenaaakkk banget buat Iva.
Terus..... "
Aku langsung ke ruang makan mencari Mbak
Era, ada Mbok Nah yang sedang menyeduh sepoci
teh di pantry.
"Mbok, biarin Vio aja yang ngasih tehnya ke depan. Sana, Vi, anterin teh buat Dave, kasian banget
kayak orang gak keurus gitu." Mbak Era bicara tanpa mengalihkan pandangan dari apel yang sedang
dikupasnya.
Dengan berat hati kubawa juga teh itu pada
Dave yang menerimanya dengan ekspresi tak percaya. Dan memang dia tampak sangat berantakan.
Entah kenapa rasa bersalah menyerangku tiba tiba.
Nima Mumtaz
Dia seperti hendak mengatakan sesuatu namun
membatalkannya lagi. Ada yang berdesir ringan saat
mata kami bertemu, ah.
"Udah sarapan?" Dengan nekat kutanyakan itu
padanya yang hanya dibalas gelengan kepalanya
yang lemah.
"Yuk, ke dalem, Mbok Nah bikin nasi goreng.
Kalo gak mau, ada roti bakar juga tadi kayanya."
Kami duduk diam di meja makan. Hanya Iva
yang berceloteh ringan tentang aktivitasnya sejak
tak bertemu Dave. Seperti biasa Dave sangat sabar
mendengarkannya dan sesekali menimpali dengan
gumaman ringan atau pujian pada Iva.
"Papa mau ke bengkel, nih, ganti oli. Ada yang
mau ikut, gak?" Papa memutar-mutar kunci mobil
di tangannya dan menanyai kami ringan. Ih, Papa
apaan, sih, ke bengkel ngajak-ngajak.
"Mama ikut, deh, Sierra kamu gak ikut?" Mama
memandang Mbak Era penuh arti.
Hah, Mama mau ikut ke bengkel? Anehnya
Mbak Era malah ikut dan terburu-buru mengambil
tasnya.
"Baby D ikut Kak Liel, yuk, sama Bunda?" Suara
Ariel yang berdiri di pintu ruang makan membuatku heran.
"Ariel mau ikut ke bengkel juga? Bunda juga ke
bengkel?" Aku tau suaraku menyiratkan ketidakpercayaan. Tapi mau gimana lagi, aku beneran gak percaya Mbak Era mau bersusah-susah ke bengkel. Dia
Cinta Masa Lalu
paling anti dengan suasana bengkel yang katanya
jauh dari kata steril.
"Iya, mau belanja ke mal sekalian sama Mama.
Yuk, Daiva ikut Budhe?" Mbak Era juga mengajak
Iva yang melihat mereka bingung.
Ke mal jam segini?
"Gak usah, Mbak Era, baby D sama Juna aja.
Yuk, sayang, ikut sama Uncle J aja," tanpa basa-basi
Juna mengangkat Iva dari kursinya tanpa meminta
persetujuan kami dulu.
"Mbok Nah, bantuin Juna, yuk. Cepetan, ah,
masaknya bisa bulan depan lagi. Ikut Juna lebih
penting." Juna meraih tangan Mbok Nah yang memegang plastik belanjaan dari tukang sayur. Wajah
Mbok Nah tampak sangat bingung.
"J, mau ke mana?" teriakku saat mereka baru
melewati pintu yang menghubungkan ruang makan
dan ruang tengah.
"Ke mini market depan, beli kulkas."
Hah kulkas? Di mini market?
Sepertinya semua orang memang sengaja menghindar. Tapi apa maksudnya coba? Kami malah
makin canggung sarapan hanya berdua. Tak tau
apa yang harus diobrolkan, tak tau harus melihat
ke mana. Tak tau apa lagi yang akan kami lakukan
sehabis ini.
Sialnya jantungku kumat lagi seperti kemaren
saat di dekat dia, berdansa tap tanpa henti. Ya, ampun, aku dan dia bahkan gak ngelakuin apa-apa!
"Mmhhh ... Vio, makasih, ya."
Nima Mumtaz
"Hm...."
Entah kenapa aku ingin tertawa ngeliat dia salah
tingkah. Tangannya bergerak-gerak gelisah. Dia
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga keliatan sangat kebingungan, sama, sih, aku
juga sebenernya.
"Kok gak diabisin nasi gorengnya? Gak enak, ya?
Sini aku buang aja."
"Enggak kok, enak ... enak, kok." Gugup Dave
menjawabku. Dan dengan terburu-buru dia menghabiskan nasi goreng di piringnya hingga hampir
tersedak. Dia bahkan terbatuk-batuk ringan.
"Isshhh ... jangan buru-buru kenapa, kayak anak
kecil aja." Kuangsurkan segelas air putih yang langsung diterimanya.
Ha!!!
Tangan kami bersentuhan sekilas, dan entah kenapa seperti ada tegangan listrik ribuan volt yang
disalurkannya padaku. Menggigit permukaan kulit, mengagetkanku. Refleks kulepaskan gelas di
tanganku yang segera ditangkapnya dengan satu
tangan dan tangan yang lain memegang tanganku.
Ahhhh, tegangan itu makin besar, makin parah.
Aku diam, jantungku makin melompat-lompat, ada
perasaan hangat dari jemarinya mengaliri nadiku.
Membuat napasku memburu, membuat dadaku
terasa berat. Tiba-tiba dia melepaskan tanganku dan
menggumamkan maaf. Aku kehilangan.
Sama-sama kami diam, tak ada yang memulai
pembicaraan. Beberapa kali kupergoki dia mem242
Cinta Masa Lalu
buang muka saat bertemu pandang denganku. Dia
ngeliatin aku diem-diem, ya?
Kurasakan pipiku terbakar malu, saat aku teringat lagi apa yang kami lakukan kemarin siang.
Mmhh ... mungkin, gak, ya kami melakukannya
lagi? Ya Tuhan, jangan biarin dia tau apa yang aku
pikirin!!
"Mmm, Dave, kapan kita pulang??"
Ya, Tuhan, aku pun kaget dengan apa yang kutanyakan. Maksudnya aku mau ikut dia balik lagi,
gitu? Tapi bukankah kami belum membicarakan
apa pun? Kenapa aku mau balik lagi ke rumahnya?
Kami harus bicara, kan? Iya, kan? Tapi ... bicara apa,
Dave memandangku tak percaya, matanya berbinar penuh harap, ada senyum di ujung bibirnya.
"Ka ... kapan pun kamu mau, Vi."
David
Aku tak percaya, Vio mau pulang lagi? Terima kasih, Tuhan. Aku bahkan tak berani berharap terlalu
tinggi saat berangkat pagi tadi.
Aku bersyukur mempunyai ipar yang baik
macam Juna dan Mbak Era. Aku yakin ini semua
tak lepas dari peran mereka berdua. Kemarin sebenarnya aku sudah patah arang dan nyaris pasrah
menerima semua ini. Tapi telepon dari Juna menga243
Nima Mumtaz
getkanku tengah malam tadi. Dia memberiku kesempatan untuk mengejar Vio. Dia bilang masih
ada harapan untukku meraih hatinya. Thanks, J,
kurasa aku berutang banyak padamu.
Walaupun aku tetap tak tau bagaimana sebenarnya perasaan Vio. Tapi seperti janjiku pada Juna,
aku akan terus memperjuangkan Viona, sampai kapan pun.
Kami berpamitan pulang bersamaan dengan
Mas Ezra yang datang menjemput Mbak Era.
Setelah berbasa-basi sebentar kami pulang sambil
membawa tentengan?Juna?untuk diantar ke
apartemennya di sekitar Sudirman.
Karena sudah menjelang siang kami memutuskan sekalian mampir ke restoran Jepang kesukaan
Iva di Pacific Place. Karena Juna menggandeng
Iva, maka mau tak mau Vio berjalan beriringan
denganku. Aku tak tau apa yang dia pikirin. Tapi
sejak di mobil tadi dia memang tak banyak bicara.
Untunglah lift yang kami naiki ramai, jadi tak banyak yang harus kami bicarakan untuk berbasa-basi.
"Kamu gak papa, Vi?" Kuberanikan diri bertanya pada Vio.
Beberapa kali pandangan kami bertemu, kulihat wajahnya merona merah. Ada senyum yang
berusaha ditahannya. Dia juga jadi sedikit salah
tingkah.
"Laper." Aku pun hanya bisa tersenyum mendengar jawaban singkatnya. Dari ekor mataku kulihat Juna menahan tawanya. Awas kau Juna!
Cinta Masa Lalu
Keluar di lantai lima Iva segera berlari riang
menuju restoran yang kami tuju, untunglah ada
Juna yang sigap mengejarnya.
"Di mana sih, Dave? Masih jauh, ya? Laper, nih,
Dave." Vio memegang ujung kemejaku sambil terus
bertanya. Suaranya manja, lembut terdengar di telingaku.
Aku benar-benar ingin tertawa mendengarnya.
Viona, kau mengombang-ambingkan perasaanku
beberapa hari ini. Bahkan saat ini pun aku tak tau
apa yang benar-benar kau pikirkan. Kalau saja bisa,
aku ingin sekali membaca hatimu.
Gemas, ingin kucubit pipinya yang dikembungkan. Viona, kamu bener-bener bikin aku frustrasi.
"Bentar lagi kok, Vi, atau kamu mau makan apa
yang lain dulu di sini?"
"Enggak, ah. Ayo cepetan, ah. Kelamaan, deh."
Wajahnya memberengut kesal dan dia menarik
ujung kemejaku.
Namun entah setan mana yang nempel di otakku, karena tiba-tiba kugandeng tangannya dan menariknya ke dekatku. Aku sudah sangat takut kalaukalau dia akan berlari pergi ataupun langsung mendorongku menjauh. Tapi aku seperti ingin melompat kegirangan saat kulihat senyum kecil bermain di
bibirnya. Ah, Viona....
"VIO ... VIONA ... VIONA GAYATRI...."
Panggilan bertubi-tubi itu menghentikan langkahku dan Vio. Kami pun berbalik berbarengan.
DIAZ??
Saat Cinta Begitu Dekat
Diaz??
Dia ada di sini??
Diaz melangkah mantap menuju tempat kami
berdua berdiri. Dia terlihat tegang. Melihatnya saat
ini tiba-tiba aku merasa sedikit minder. Penampilan
Diaz mencerminkan seorang eksekutif muda yang
sukses. Sedang aku saat ini hanya memakai kemeja
biru lusuh dan kelihatan seperti orang baru sembuh
dari sakit parah berhari-hari. Kenapa aku bertemu
sainganku justru bukan pada saat terbaikku, sih??
Aku jelas berbeda dengan Diaz sekarang.
Dibanding Vio dan Diaz, aku memang jauh lebih
tua, 12 tahun! Pasti kulitku tak terlihat segar lagi,
ada banyak kerut dan keriput, otot yang kendur
mungkin juga tampangku yang keliatan sudah agak
berumur. Aku takut, apakah Vio akan begitu jelas
melihat perbedaan itu sekarang?
Kulirik Vio, sekilas kulihat raut bahagia di wajahnya. Senyumnya lebar, cerah seperti matahari
pagi. Kesadaran utuh menghantamku. Tentu saja
Cinta Masa Lalu
Vio bahagia, Diaz cinta pertamanya, kan? Diazlah
satu-satunya lelaki yang pernah dekat dengan Vio,
dan sekarang mereka bertemu lagi.
Tangan kami masih bertaut, tapi mata Vio tak
lepas dari Diaz yang kini sudah ada di depan kami.
"Vio ... hai...."
"Hai Di...."
Mereka tak bersentuhan atau bicara banyak,
tapi tatapan mata mereka mengatakan banyak.
Hal-hal yang tak pernah terucap atau bahkan tersimpan sekian lama. Hanya mata yang berbicara,
hanya mata yang mengungkapkan bahasa hati. Aku
merasa bagai orang asing, orang yang tak diundang
dalam reuni penuh romansa keduanya.
"Bisa kita bicara, hanya berdua. Aku dan kamu?"
Lirikan Diaz padaku mengirimkan genderang perang yang nyaring kudengar.
Apa maunya bocah ini. Merayu istriku di depan
mukaku? Ingin kutonjok saja wajahnya, agar Vio
gak kebayang lagi, atau parahnya Vio suka lagi sama
dia. Eh, kenapa aku jadi sewot sendiri, ya?
"Mmhhh ... bicara?? Mmhhh ... Dave?" Vio
menatapku dan terlihat gugup. Tapi yang mengagetkanku kenapa dia seperti meminta izinku?
"Mas...." Diaz menyapaku dan kami berdua sama-sama enggan berjabat tangan.
"Hai, Diaz, apa kabar? Sendirian?" Kucoba bersopan santun pada satu-satunya sainganku kini.
"Baik, Mas, iya tadi abis meeting di RitzCarlton, mampir ke sini mau makan siang. Gimana,
Nima Mumtaz
Vio?" Pengalihan topik pembicaraan yang tiba-tiba
membuat Vio kaget. Dia terlihat gugup. Ragu dia
menatapku lagi.
Tatapan penuh cinta dan rindu tampak jelas
pada mata Diaz. Bahkan orang buta pun pasti bisa
melihatnya. Apa yang bisa kulakukan dalam situasi
seperti ini? Walaupun tak rela, aku harus melepasnya, kan? Bagaimanapun Diaz adalah orang pertama dalam hati istriku. Aku juga tak mungkin bisa
mencegahnya. Mungkin memang pasrah dalam
hubunganku dengan Vio adalah jalan terbaik.
"Go on, aku di sana. Kalau nanti mau ditungguin, kami menunggu. Tapi kalau mau pulang
sendiri nanti aku duluan," kataku sambil menunjuk
restoran Jepang yang tadinya kami tuju.
"Mmhhh ... Iva gimana? Ntar kalo dia nyariin
aku?" Wajahnya berkerut kebingungan. Dia mengguncang pelan tanganku yang menggenggamnya.
Andai saja situasinya tak seperti ini tentu aku akan
merasa sangat bahagia karena pastinya dia gugup
karena aku.
"Nanti aku yang bilangin Iva, kamu pergi aja
sana." Getir, pahit kurasakan di mulut. Aku hanya
ingin kamu bahagia Vio, hanya itu.
"Makasih, ya, Dave, kita mau ke mana, Di?" Vio
tersenyum lebar padaku dan langsung mengalihkan
perhatiannya pada Diaz.
"Kamu lagi pingin makan apa Vio, pasta? Sea
food? Atau yang agak ringan aja, pancake, misalnya."
Cinta Masa Lalu
"Yang bikin kenyang aja, Di. Indonesian food
aja, deh. Lagi pingin makan banyak pake nasi, nih."
"Ya, udah kita ke sop buntut Bogor, ada tuh di
situ, enak, deh."
Obrolan mereka bahkan terdengar sangat alami,
mengalir. Dan aku hanya bisa berdiri seperti penonton di luar garis permainan.
Mereka pun pergi meninggalkanku yang hanya
bisa menatap keduanya sampai mereka tak terlihat
lagi. Aku masih berdiri di sana, entah apa yang kutunggu. Mungkin aku setengah berharap Vio tibatiba kembali dan membatalkan rencananya dengan
Diaz. Tapi mungkinkah? Masih kulihat titik di mana
mereka berbelok tadi, aku menunggu, mungkin.
Kosong, hanya itu yang kurasa. Ada sesuatu yang
tercabut dari dasar hatiku. Perih, sakit.
Getaran di saku celana menyadarkanku, Juna.
Ahh, aku terlalu lama membiarkan Iva dan Juna
menunggu. Walaupun ada kehampaan yang kurasa,
tapi aku tetap harus melanjutkan semuanya, kan?
Termasuk segala kemungkinan yang akan terjadi
setelah pertemuan Vio dan Diaz nanti.
Iva. Terlebih Iva, aku harus menyiapkan perasaannya kalau saja hal terburuk akan terjadi. Dan hatiku, bagaimana dengan hatiku? Aaarrrggghhhhhh ...
hanya Tuhan yang tau.
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kok lama sih Dad, Mommy mana??" Iva melancarkan protesnya saat aku tiba di meja mereka.
Suara Iva yang merajuk membawaku kembali pada
kenyataan. Tapi juga kembali mengingatkanku
Nima Mumtaz
pada Vio. Dalam banyak hal Iva sangat mirip dengan Vio, bahkan cara merajuknya diturunkan Vio
100% pada Iva.
"Mommy gak makan siang bareng kita, sayang,
Mommy ketemu sama temennya tadi."
"Siapa, Mas?" Juna bertanya. Ekspresinya sedikit
tak peduli karena dia terlalu sibuk mengutak-atik
gadgetnya.
"Diaz."
Jawabanku yang super pendek rupanya langsung
mengalihkan perhatian Juna. Wajahnya tampak
gelap.
"Di mana mereka ?" Juna berdiri, siap mencari
Vio kurasa.
Kutahan tangan Juna dan memberi isyarat gelengan kepala.
"Tapi, Mas!"
"Gak usah, J, Vio udah gede. Biarin dia nentuin
apa yang dia mau. Kita dukung aja dia." Mulutku
seperti terbakar. Aku benar-benar seperti orang munafik. Jujur aku gak ikhlas mengatakan semua ini.
Mendukung Vio? Bagaimana kalau dia memang
nantinya pergi meninggalkanku dan Iva. Aku hanya
manusia biasa. Sekuat apa pun aku mencoba, rasanya ini berat. Terlalu berat.
Juna menatap mataku lama dan memutuskan
duduk kembali di kursinya. Iva melihat pada kami
bergantian, tak mengerti.
"Mommy gak ke sini, Dad? Gak makan
sama kita?" Mata bening Iva menatapku lurus.
Cinta Masa Lalu
Mengharapkan jawaban yang kutau akan menyakitinya.
Wajahnya terlihat sangat kesal hingga ada air
yang menggenang di pelupuk matanya saat aku
menggelengkan kepala pelan.
Kuusap rambut panjang putriku perlahan. Masa
depan Iva dan kebahagiaan Vio itu yang terpenting.
Hatiku? Masa bodoh.
Perlahan dengan perasaan pahit, kututup hatiku
rapat, menguncinya, membuangnya jauh.
****
Diaz!!
Beneran kan itu Diaz? Ihh, beneran gak nyangka banget bisa ketemu dia di sini. Setelah berapa
lama? Enam? Tujuh, ya tujuh tahun aku gak ketemu
dia. Rasanya baru kemaren dia anter-jemput aku
ke sekolah, berburu komik tua di Kwitang, makan
bakso di perempatan deket sekolahan, nongkrong
tiap weekend berdua. Ah, Diaz, sepupuku tersayang,
temen sebangkuku dari TK, Diaz....
Dia berubah jauh banget. Dia lebih tinggi dari
yang kuingat, walaupun masih lebih tinggi Dave,
sih. Badannya juga makin berisi, nyaris kekar gak
kayak dulu kerempeng kayak orang kurang makan,
tapi kayaknya sih masih bagusan badan Dave, deh,
dia lebih proporsional. Pas gitu keliatannya. Diaz
juga makin keren, pake jas dan dasi bikin dia makin
Nima Mumtaz
keliatan dewasa. Walaupun kalau mau bilang dewasa, mah, menang Dave ke mana-mana. Apalagi
kalo ngeliat Dave pake baju kerja gitu keren and cool
banget keliatannya.
Lahh ... lah ...lah ... kok aku jadi bandingin Diaz
sama Dave, sih? Dasar Vio gila ...Vio gila....
Dan di sinilah aku, di restoran yang menyajikan
sop buntut berdua hanya dengan Diaz. Dia masih
menatapku dari tadi, agak risih juga, sih, diliatin
kayak gitu. Tapi berhubung laper, aku makan dulu
aja, deh, urusan Diaz mah entaran ajah.
"Kamu gak berubah, ya, Vi, masih rakus kayak
dulu." Cengiran lebarnya bener-bener ngingetin
aku sama Diaz yang kuinget. Betapa rindunya aku
saat-saat seperti ini.
"Ya, iyaa laahh, emang kudu gimana? Jadi aneh,
gitu? Gue kan banyak makan gini emang dari dulu,
Di."
"Di?? Tau gak, Vi, yang manggil aku kayak gitu
cuma kamu, loh." Tersenyum dia masih menatapku. Aku jengah.
"Gimana kabar kamu, Vio?" Matanya masih
menatapku lekat.
"Seperti yang kamu liat, sehat, baik-baik aja,
masih idup." Kujawab dia dengan mulut penuh.
Beneran deh kata Diaz, sop buntut di sini Te O Pe
Be Ge Te.
Eh, Iva, Juna sama Dave udah makan belum, ya?
Coba mereka ikutan makan di sini.
Cinta Masa Lalu
"Di mana kamu tinggal sekarang?" Dia
mengaduk jus alpukatnya pelan.
"Jogja, aku kuliah di sana. Tapi gak tau rencana
abis wisuda, aku belum mutusin apa-apa."
Membicarakan Jogja dan wisuda, aku baru beneran mikirin apa rencana ke depanku. Mau tak
mau pula aku inget sama Iva. Apa, ya, rencanaku
nanti, gak mungkin kan aku kerja di Jogja dan
ninggalin Iva di sini. Tapi kalau tinggal di sini, apa
aku harus tinggal bareng Dave lagi? Pembicaraanku
dan Mbak Siera semalem kuingat lagi, tak sadar
aku tersenyum, kurasakan wajahku menghangat.
Dave....
"Hellooo ... Vioo.... " Diaz melambai-lambaikan
tangannya di depan wajahku. Upss, aku melamun,
ya, tadi?
"Eh ... eh ... enggak, kok. Sorry. Mmhhh ...
kamu gak makan, Di?" Kulihat dia sejak tadi hanya
mengaduk jusnya tanpa memakan sop pesanannya.
"Mikirin apa, sih, Vi, serius amat?" Diaz tak
menjawab pertanyaanku, matanya tetap tertuju padaku. Dan ini sangat mengganggu.
Aku hanya tersenyum, tiba-tiba gugup kembali
mendatangiku. Kok aneh, ya, rasanya?
"Aku kangen kamu, Vi," tiba-tiba saja dia meraih
tanganku, menggenggamnya erat. Rasanya aneh
banget. Rasanya gak sama kayak kemaren waktu
Dave megang tanganku.
Aku gugup, pasti. Pura-pura kuraih gelas jus
dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku
Nima Mumtaz
masih memegang sendok. Menghindari tangan
Diaz maksudku.
Tapi sepertinya Diaz tak mau mengerti itu,
diraihnya kedua tanganku dan digenggamnya eraterat.
"Jangan menghindar dariku, Vio, udah terlalu
lama aku nunggu saat-saat seperti ini. Terlalu lama
aku nungguin kamu."
"Eh, emm ... Diaz gak enak, ah, diliatin banyak
orang. Lagian kan kita di sini mau makan." Kembali
kutarik tanganku dari genggaman Diaz. Kenapa aku
malah keingetan Dave, ya? Genggaman tangannya,
kehangatan dan kenyamanan yang kurasakan kemarin begitu jelas terekam di otakku. Gak kayak gini!
Diaz membiarkan tangan kananku terlepas, tapi
tidak tangan kiriku. Dibawanya tangan kiriku ke
mulutnya dan dikecupnya ringan.
Jantungku berdetak keras, memburu. Ada titik
keringat kurasakan di tengkukku. Rasa ini familier,
rasa yang sama. Takut!!
"Mmhh ... mhh ... kamu berubah, Di. Keren
sekarang, kerja di mana?" Kualihkan perhatian Diaz
dengan menanyakan kerjaan dia sekarang. Perlahan
kutarik tanganku. Perutku mual.
Kulihat Diaz terpaksa melepaskan tanganku.
Kuraih kembali gelas jusku, kupegang dengan dua
tangan. Membawanya ke depan dadaku dan purapura menyesap sedotan. Aku panik.
"Aku bantuin Papa sekarang, megang bagian
keuangan. Sebenernya aku, sih, pingin kuliah lagi,
Cinta Masa Lalu
ngambil kedokteran gitu. Sama kayak rencanaku
dulu. Tapi kamu tau sendiri, kan, mamaku gimana."
Ingatanku kembali pada Tante Ayumi juga
Ghea. Wajah mereka yang marah, teriakan mereka
di halaman belakang rumah Mbak Sierra adalah kenangan terakhirku tentang mereka.
Kuletakkan gelasku lagi. Kemarahan perlahan
menguasaiku, mengalahkan rasa takutku tadi.
"Gimana kabar keluargamu sekarang?" Suaraku
sedingin ekspresiku. Kurasa Diaz menyadarinya
karena sikapnya pun berubah kaku.
"Baik, Kak Ghea udah nikah. Tinggal di Cirebon
sekarang. Mama sehat-sehat aja, Papa masih ngurus perusahaan." Diaz diam beberapa saat sebelum
kembali melanjutkan.
"Vio, atas nama keluargaku aku minta maaf
atas apa yang sudah dilakukan Mama ke keluargamu. Aku tau itu agak berlebihan, hanya karena
persoalan laki-laki sampai memutuskan hubungan
keluarga. Tapi kamu juga aneh deh, Vi, udah tau
Mas Dave itu tunangan Kak Ghea, kamu embat
juga." Tawa gugup Diaz makin membuatku marah.
Simpul kemarahan yang kutahan sekian lama yang
mengikatku erat karena perlakuan keluarganya seperti hendak meledak saat ini juga.
Berani-beraninya Diaz mengecilkan semua yang
dilakukan kakaknya yang gila, juga emaknya yang
gak waras itu.
"Kamu mengecilkan semuanya, Di? Kamu
pikir itu AGAK BERLEBIHAN? Kamu tau yang
Nima Mumtaz
sebenernya, gak, sih? Setelah mama kamu dan
Ghea melabrakku, merendahkan dan menuduh keluargaku yang tidak-tidak. Setelah papaku dipecat
dari perusahaan yang bahkan bukan hak keluarga
kamu! Setelah keluargaku ditinggal dalam keterpurukan, sendirian, karena mama kamu dendam
setengah mati padaku. Kau bilang itu AGAK
BERLEBIHAN?? Kamu ngerti gak, sih, apa yang
terjadi padaku? Kamu bilang apa tadi, ngembat tunangan Ghea? Mikir pake otak, Di, ngomong pake
rahang!!" Kutumpahkan kekesalanku pada Diaz.
Tak kupedulikan tatapan orang-orang pada
kami. Diaz seperti merasa bersalah. Dia makin gugup. Mungkin juga dia merasa malu pada pengunjung lain yang melihat aneh kepada kami.
"Vio ... Vio ... kurasa kita harus selesaikan kesalahpahaman ini, Vi. Maaf, aku bener-bener minta
maaf. Apa ... apa kamu gak bisa maafin keluargaku,
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Vi?"
"Aku mungkin bisa maafin keluarga kamu, Di,
tapi bagaimana dengan keluargaku? Kami semua
dalam kondisi sangat terpuruk ketika mama kamu
dan Ghea dateng. Mungkin gak semudah itu meminta maaf pada mereka." Nyaris berbisik kubuang
pandanganku ke arah lain.
Lama kami sibuk dalam lamunan masing-masing. Sebelum akhirnya Diaz menggumamkan pertanyaannya lagi.
"Apa kamu ... apa kamu sekarang sama dia, Vi??"
"Apa itu penting, Di?"
Cinta Masa Lalu
"Kamu tau, waktu Mama bilang kalo kamu
sama Dave, aku hancur, Vi. Aku putus asa. Aku gak
pingin hidup lagi. Aku tau waktu itu kita gak ada
hubungan khusus, tapi apa kamu gak tau perasaanku Vio?"
"Kenapa kamu gak nyari tau, Di?"
"Kamu pikir aku harus gimana? Kucari kamu
ke rumahmu, kucoba menghubungi semua kontak
keluarga kamu. Tapi gak ada, gak ada apa pun yang
aku dapet. Lalu kudengar kamu membatalkan beasiswa ke Victoria, aku makin bingung, Vi. Terlebih
lagi waktu kudengar kalau kamu hamil, dan menikah diam-diam dengan dia. Kamu pikir aku harus
gimana, Vio??"
"Aku gak punya pilihan lain selain percaya apa
kata Mama kalo kamu berusaha ngerebut dia dari
Ghea." Diaz menatapku, dia terlihat terluka.
"Jadi sebenarnya apa yang terjadi, Vio? Apa bener yang dibilang Mama kalau kamu telanjur tidur
sama dia lalu hamil waktu itu, Vi?"
Kutatap langsung ke matanya. Kemarahan menguasaiku, namun berusaha kuatur napasku agar
aku tak meledak saat ini juga. Bagaimanapun Diaz
gak salah dalam hal ini.
"Kupikir kamu yang paling mengerti aku saat
itu, Di, ternyata kamu sama aja dengan keluargamu
yang lain!" Kekecewaan kentara jelas dalam suaraku.
Diaz, dari dulu dia memang cuma boneka emaknya.
Gak pernah bisa ngelakuin apa pun tanpa perintah
emaknya juga.
Nima Mumtaz
Diaz menghela napas panjang. Matanya
menerawang jauh.
"Apa gadis kecil tadi putrimu, Vi? Dia mirip
banget kamu. Cantik, cantik banget."
Iva. Tiba-tiba aku kangen banget sama Iva. Apa
dia nyariin aku sekarang ya? Iva ... Dave ... tiba-tiba
aku ingin pulang.
"Tapi apa pun itu, Vio, aku cinta kamu. Aku mau
kita kayak dulu lagi, aku mau kita sama-sama. Aku
gak peduli sama masa lalu kamu. Aku gak peduli
yang terjadi sama kamu dulu. Aku cuma mau kamu
dan aku hidup bareng."
Aku tersentak kaget, mencoba menyelami
maksud perkataan Diaz. Aku dan dia hidup bareng?
Segera bayanganku dan Diaz berjalan beriringan di
sebuah taman penuh bunga ada di mataku. Kami
berdua sama-sama tertawa melihat gadis kecil menari dan menyanyi di depan kami riang gembira.
Tangannya yang besar dan kekar membelai perutku
yang membuncit, aku bahagia. Sangat. Kemudian
dia meraih daguku, menciumku hangat, penuh cinta. Kutatap matanya ... matanya ... Dave??
Kugoyangkan kepala berulang kali, mencoba
membuang entah apa pun yang melintas liar di
benakku. Suara Diaz yang akhirnya membawaku
kembali ke dalam sadarku.
"Vio, aku cinta kamu, banget. Dan aku mau
nerima kamu juga anak kamu. Aku mau kita samasama.
Cinta Masa Lalu
Marry me, Viona, please."
Hahhh????
****
Kubolak-balik lagi majalah bisnis di tanganku.
Entah berapa ratus kali kucoba memfokuskan perhatianku pada berita utama yang dibahas di sini.
Tapi tak ada satu kalimat pun masuk ke sistem kerja
otakku. Kembali kuraih gadgetku, mencari game
yang bisa kumainkan, ini saran Juna. Kalau dia sedang stres, game online adalah teman baiknya, tapi
aku bahkan tak bisa mengerti apa pun yang nampak
di layar mungilku.
Hanya wajahnya, hanya senyumnya yang tampak, yang kuingat. Aku tergoda untuk menelepon
Andro, aku ingin mampir ke tempatnya, menikmati
musik dan juga segelas atau dua gelas vodka atau
martini atau brandi atau, apa pun terserahlah. Aku
hanya ingin melupakan semua ini sebentar saja,
hanya sebentar.
Acara makan siang kami berantakan karena Iva
ngambek. Dia gak mau makan dan meminta cepetcepet pulang. Walaupun akhirnya Iva mau juga
makan sedikit-sedikit setelah Juna setengah mati
membujuknya, tapi tetap saja aku bisa melihat kesedihan yang dalam dari matanya.
Kami pulang duluan, Vio gak mau ditungguin.
Tentu saja. Harusnya aku udah bisa nebak itu, kan?
Dan ini sudah jam lima sore, tapi Vio belum juga
Nima Mumtaz
pulang. Atau apakah dia gak pulang? Ataukah dia
gak akan pernah pulang ke sini lagi?
Bayangan Vio bersama Diaz menari-nari di
mataku. Di mana Vio sekarang? Apakah bersama
Diaz? Di rumahnya mungkin? Atau di apartemennya ? Atau mereka ke....
Dadaku sesak, ada sesuatu yang mengimpitnya,
membuatku susah bernapas. Tuhan, kalau Kau ciptakan rasa sakit ini untukku agar dia bahagia, aku
rela, Tuhan. Sangat rela. Tapi kira-kira dikit, dong,
aku juga capek kali! Bagaimanapun aku manusia
biasa....
Sayup-sayup kudengar suara siulan kecil dari
arah ruang tamu. Vio?? Dia pulang??
Bergegas aku keluar ruang kerjaku. Berusaha
memastikan apakah itu benar dia, atau aku sudah
setengah gila sampai berhalusinasi. Tapi itu memang dia, sedang melompati tangga satu per satu
dengan gembira, terlihat seperti menari.
"Vio...."
Dia berbalik melihat ke arahku, kaget kurasa.
Lalu kulihat senyumnya, lebar bahagia, lepas. Rona
merah pada pipinya membuat dia makin cantik. Ah,
Vio....
"Dave, hai ... mmhhh ... Iva mana?" Ragu dia
bertanya, kenapa kurasa dia sedikit gugup, ya?
"Ada di kamar, belum bangun. Mungkin kecapean, tadi maen lama sama Juna tau-tau sama-sama
ketiduran mereka."
Cinta Masa Lalu
"Juna ada di sini? Kok gak diusir aja anak satu
itu."
Aku hanya bisa tersenyum kecil melihat Vio yang
tampak sewot. Kuhampiri sofa panjang di dekatku
untuk duduk di sana. Aku gak mau kakiku terlihat
gemetar di depan Vio. Lagi pula aku bingung dengan apa yang harus kulakukan.
Aku heran saat Vio berjalan pelan ke arahku
dan duduk di sofa yang sama denganku. Tak terlalu
jauh, juga tidak terlalu dekat. Dia terlihat gugup.
Aku? Sangat!!
Tak ada yang memulai obolan bahkan tak ada
suara sekecil apa pun dari kami berdua.
"Diaz melamarku."
Kalau ada petir yang menyambar di dekat kupingku mungkin bunyinya dan rasa kagetnya akan
kalah dengan apa yang baru saja kudengar. Diaz
melamar Vio!
Seketika saja ada lubang besar menganga dalam
hatiku, membuat lukaku yang dalam makin bertambah dalam. Kucoba menggigit kuat-kuat gerahamku, menahan getaran yang kurasakan, menahan
air yang siap menetes di ujung mata. Aku kalah!
"Selamat." Bahkan rasanya aku tak bisa mendengar suaraku sendiri yang menyerupai bisikan.
"Mmmhhh ... kamu gak papa??"
Aku? Gak papa? Kenapa juga mesti kau tanya
itu, Vio? Apakah aku terlihat tidak apa- apa? Apa
aku terlihat baik-baik saja?
Nima Mumtaz
Tapi hanya tawa sumbang yang mampu kuperdengarkan pada Vio. Ingat Dave, demi Vio demi
Vio.
"Dave mmhhh ... kayaknya ... kayaknya aku
mau percepat kepulanganku ke Jogja, deh. Mingguminggu ini aja, ya?"
Oh, good .. lengkaplah sudah. Bahkan dia pun
ingin cepat pergi dariku. Hatiku terpilin perih, lagi.
"Jadi ... Dave ... kan ... berdua ... kamu...."
Sayup kudengar suara Vio. Tapi sepertinya telinga
dan otakku sudah tak bisa berkoordinasi lagi. Tak
ada yang bisa dicerna. Buntu.
"Daddy...." suara lembut dan berirama itu begitu dekat, sangat dekat. Tapi itu bukan Iva. Bukan
suara Daiva, itu ... Vio??
Bagai robot kupalingkan wajah ke arah suara
itu, di sana, Vio mencondongkan tubuhnya sangat
dekat denganku. Tampak khawatir.
"Kok bengong, mikirin apa, sih??"
Ahh Vio, kenapa harus seperti ini?? Aku bisa
gila, Vi.
Kami saling menatap, lama. Tak seorang pun
berinisiaif melepaskan kontak ini. Kususuri setiap
jengkal wajahnya dengan mataku, alisnya yang melengkung bagai diukir, mata indahnya yang bening,
bibir tipisnya yang berwarna pink, hidung mancungnya, kulitnya yang putih mulus, Vio....
"Kok ngeliatin aku kayak gitu sih?" Tiba- tiba
wajahnya memerah, dan dia menggigit bibirnya.
Malu.
Cinta Masa Lalu
Kuserap semua ekspresinya, menyimpan rapat
dalam memori otakku. Agar aku bisa tetap memilikinya walaupun hanya dalam ingatan.
"... Gimana...??"
"Dave ... ihhhhh ... Daviiidddddd!"
"Hahhhhh ... eh ... eh ... apa, Vio? Kamu tadi
ngomong apa??" Waduuhh aku ngelamunin apaan,
ya, kok sampe Vio ngajak ngobrol aku gak ngeh
sama sekali.
"Iiiihhh ... tuh, kaaan, kamu gak mau dengerin
aku. Aku gak mau ngomong lagi, ahh...."
Aku bengong, Vio ngambek? Dia membalikkan
badannya memunggungiku. Viona, kenapa saatsaat seperti ini kamu malah manja sama aku, sih,
Vi. Nyiksa banget. Bener-bener nyiksa.
"Vio ... Viiiooo...." Dia masih memunggungiku,
beneran kesel nih anak.
"Vio cantik, ngadep sini, dong, kalo ngadepnya
ke situ siapa yang mau liat wajah cantik kamu."
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Haaaahhhh gomball!!! Aku ngegombalin Vio ...
Ya, ampuuunnn. Pasti kadar stresku udah di ambang batas mengkhawatirkan.
Apa kamu mau ditendang Vio, sih, Dave?? Kok
nekat pake rayuan anak SMA gitu. Tuhan....
Di luar dugaan, Vio sedikit menghadapkan
badannya kembali padaku. Wajahnya bersemu
merah, dia menggigiti bibirnya. Ada sedikit senyum
malu-malu tersisa di sana.
Ya Tuhan, izinkan aku menikmati saat-saat seperti ini sebentaaaarr saja. Mungkin saat ini Vio
Nima Mumtaz
hanya menganggapku teman, kakak atau apalah
yang bisa diajaknya ngobrol. Paling tidak, aku tetap
bisa menikmati senyum dan keceriannya.
"Maaf tadi aku gak perhatiin kamu, mau ngomong apa tadi?" Kulihat lagi ke wajahnya yang makin merah dan masih tersenyum malu. Tangannya
saling meremas, dia gelisah.
"Minggu ini, bisa gak ke Jogja. Aku mau ketemu
Tante Meiske lagi. Aku pengennya kamu nganterin
aku terapi bareng gitu." Suaranya perlahan mengecil
dan hilang di ujung.
Tunggu, ada yang gak aku ngertiin, nih, di sini.
Aku nganterin Vio ke Jogja. Terapi bareng psikiater.
Emang keliatan, ya, aku depresi banget?? Sampe Vio
nyaranin kami terapi bareng.
"Gimana? Bisa gak?"
"Aku keliatan depresi banget, ya, Vi? Keliatan
hampir gila, ya?" Takut-takut kutanyakan hal itu
pada Vio. Bagaimanapun aku gak mau nyinggung
dia.
"Kok malah ngomong kayak gitu, sih?! Dasar
David jelekk!"
Aku pun hanya bengong melihat dia menjauhiku menuju pantry sambil mengentak-entakkan
kakinya.
Aku salah ngomong lagi, ya?? Kok Vio kesel banget kayanya.
Segera kususul Vio, dia sedang berdiri di depan
jendela lebar yang mengarah ke taman belakang
Cinta Masa Lalu
rumah sambil memegang gelas besar berisi air putih. Wajahnya cemberut. Aduuhh kenapa lagi nona
kecil ini?
"Vio, maafin kalau aku salah. Ya, maaf, ya."
Vio hanya melirik sekilas ke arahku. Bibirnya
mencebik kesal. Kalau saja hubunganku dengannya
seperti suami istri lainnya, pasti aku cium habishabisan bibirnya itu.
Aduuuhhh Dave, mikir dong, mikir, dong. Dia
udah dilamar Diaz, Dave. Mikiiiirrrr.
"Dave, mmmhhh ... kamu tau, gak, kalau ... kalau ... aku masih suka takut sama gak nyaman kalau
sama cowok?" Vio berbisik pelan. Aku mengangguk
singkat. Aku selalu mendapat laporan berkala dari
psikiater, Vio. Ini juga yang membuat rasa bersalahku kian tak habis padanya.
"Aku gak mau gini terus-terusan, Dave, aku
mau kita terapi bareng, biar kamu ngerti juga. Biar
... biar ... kita tuh tau, apa ... apa yang musti kita
lakuin, mmhh ... mmhh ... terapi pasangan, gitu."
Speechless.
Tunggu, jangan sampe salah lagi, nih, kali ini.
Maksudnya cewek cantik nan seksi ini apaan, sih?
Dia minta aku dan dia terapi pasangan untuk ngatasin trauma dia?itu yang kutangkep?kenapa
sama aku? Trus Diaz??
"Diaz gimana?"
Seketika kulihat perubahan di ekspresi Vio.
Wajah merah malu-malunya tetap merah. Tapi kali
ini sepertinya dia marah.
Nima Mumtaz
Ow ... ow ... salah apa lagi gue??
"Kok Diaz siihh, kenapa jadi ngomongin Diaz?
Kamu tuh iiihhh ... kamu tuh emang laki-laki paling nyebelin, jelek, gak pengertian, eh ... eh ... paling narsis, sombong, pervert ... semuanya...!"
Dengan kesal dia meletakkan gelasnya di meja
makan dan menuju pintu ke taman belakang.
Beneran, kan, dia marah. Aduuhh, apalagi yang
salah kumengerti, coba? Eh, dia bilang apa tadi?
Pervert? Emang dia bisa ngerti isi otakku, ya, selama
ini?
Kususul dia yang sedang berdiri di dekat ayunan Daiva. Kok aku ngerasa kayak kejar-kejaran, ya,
sama Vio. Pindah-pindah tempat gak jelas gitu.
Persis film India.
"Kan katanya tadi Diaz ngelamar kamu, makanya aku nanyain Diaz." Aku berkata takut-takut
padanya yang beralih duduk di ayunan Daiva. Aku
masih pingin nikmatin gaya manja Vio juga wajah
malu-malunya, jadi beneran, deh, aku takut kalau
dia marah lagi.
"Kan aku bilang dia ngelamar aku. Aku gak bilang kalau aku mau sama dia, kan?" Dia mendelikkan mata indahnya padaku.
Tunggu!!! Jadi Viio gak mau sama Diaz? Jadi
mereka gak akan nikah?? Serius, nihhh?? Serius,
kan, ya?? Ya ampun. Beneran pingin jingkrak-jingkrak di sini.
"Lagian ... lagian kan kamu sendiri kemaren
yang bilang ... yang bilang ... kalo ... kalo ... kamu
Cinta Masa Lalu
mau bikin aku jatuh cinta sama kamu, mmhh ...
mmhhh ... aku ...aku masih nunggu itu." Gugup,
suaranya pelan menghilang di ujung.
Haahhh!!!!
Vio????
Viona
Iiiihhhh Vioo ... apaan, coba, ngomong kayaak gitu.
Gak ada gengsinya sama sekali ngomong kayak gitu
sama cowok. Kayak nembak langsung. Tapi biarin
aja, dehh. Lagian dari tadi si David gila ini telmi
banget. Beneran telmi. Masa iya kudu dijelasin satusatu gitu.
Nah, kan dia diem lagi, pasti bengong lagi, tuh.
Masa iya dia nganggep aku mau nikah sama
Diaz, yang bener aja. Tapi mungkin memang bukan
salahnya juga, sih, sampe nganggep kayak gitu.
Makan siangku bersama Diaz berlanjut dengan
obrolan sampai sore, Diaz akhirnya bisa menerima
keputusanku dengan ikhlas. Aku baru nyadar kalau
perasaanku ke Diaz gak lebih dari rasa sayang pada
teman masa kecil, pada orang yang paling dekat
denganku dari dulu. Akhirnya tadi kami bisa tertawa lepas lagi seperti dulu.
Dave berjalan ke arahku, kulihat kakinya ditekuk. Dia duduk pada lututnya di depanku. Aku
tak berani menatapnya. Malu, deh, sumpah.
"Vio, kamu ngomong apa tadi?" Suaranya lembut banget, seperti berbisik.
Nima Mumtaz
Tuh, kan, pasti dia telmi lagi. Suruh ngulangin
lagi?? Deeuuuhhh ogah!!!
"Vio ... Viona sayang...."
Apaa??? Dia ngomong apa tadi?? Sayang?? Dasar
laki-laki suka gombal. Deeuuuuhhh, jangan sampe
muka keliatan merah. Iihh, malu banget, dehh,
beneran. Lagian Dave juga gombal banget, ih.
Tapi jantungku kayaknya udah bener-bener mau
lompat pas Dave pelan banget megang jari-jariku.
Cuma jari, Vio ... ya ampun.
"Vio kamu serius?" Perlahan dia meraih tanganku lagi, digenggamnya erat.
Tuh, kan, rasanya nyaman banget, hangat gitu.
Tapi jantungku kayaknya udah berdansa dengan
lagu disko remix.
"Jadi ... jadi kamu mau buat nyoba nerima aku?
Buat suka sama aku? Cinta sama aku??" Mamaaaa
aku harus jawab apaaa?? Adududuhhhh ... Dave,
ih gombal ahhhh....
Pelaannn banget ujung jari-jarinya ngelus pipiku. Ada rasa hangat yang lama-lama berubah panas
di sana. Aduuhhh, Maaammm, kok tambah degdegan, ya.
"Mommy...."
"Ya, Daddy...."
Dibawanya daguku menghadapnya, jarinya
mengelus bibir bawahku lembut. Mau tak mau aku
menghadapnya, melihat pada alisnya yang membingkai mata indahnya, pada rahangnya yang kokoh, wajah tampannya membuatku tak bosan selalu
melihatnya. Dan bibirnya ... ahh.
Cinta Masa Lalu
Matanya menatapku sayu. Rasanya aku terhanyut di dalam sinar matanya. Eh, kayaknya
aku pernah liat tatapan dia yang kayak gini, deh.
Mmhhh bukannya itu kayak kemaren pas dia
mau...?? Ya, ampuun, jangan bilang kalau dia mau
... kalau dia mau....
Aroma parfum bergamotnya membuatku melayang, memenuhi kepalaku dengan sejuta sensasi
indah yang memabukkan. Aku berjuang untuk menarik oksigen di sekitarku, ada getaran aneh yang
kembali kurasakan di punggungku, merayap turun
ke perut, Dave...
Wajahnya sejajar denganku, dia begitu dekat,
sangat dekat. Bahkan napasnya membelai ringan
wajahku. Mataku fokus pada bibirnya yang setengah terbuka. Dave.
"Sorry gua cut. Ada anak di bawah umur yang
masih butuh bimbingan orangtua kalo ngeliat adegan ini."
Suara dari arah balkon mengagetkanku.
Gelagapan kami berdua seperti maling tertangkap
basah.
Juna dan Iva berdiri di sana tersenyum sangat
lebar ke arah kami. Ya, ampunn, barusan aku mau
ngapain?? Iva ngeliat? Juna juga? Sialan pasti gak
akan habisnya ini jadi bahan ejekan Juna padaku.
Sialnya lagi Dave cuma senyum-senyum gak jelas.
Dia menarikku dekat, meraih pinggangku lembut.
Membuat jantungku berkejaran tak berirama. Iihh,
dasar David gila!!
Nima Mumtaz
"Mommy ... Daddy!" Iva melambaikan tangan pada kami berdua. Dan aku mengikuti Dave
melambai balik pada Iva.
Juna pulang jam sepuluh malem, tapi sepanjang
waktu itu seperti siksaan yang gak ada habisnya.
Dengan cengiran kurang ajarnya sepanjang sisa
hari itu dia nyanyi lagu jadulnya Dewa yang judulnya Lagu Cinta kayaknya. Apa maksudnya coba??
Nyindir gitu? Iddiiihhh, lagian sapa juga yang lagi
jatuh cinta??
Belum lagi Juna selalu deketin Iva terus bilang,
"Baby D, cium Uncle J, doongg ... kangen, nih,
sama baby D."
Iva yang gak ngerti apa-apa dengan sukarelanya
nyium pipi Juna yang abis itu senyum lebar, selebar
lapangan. Trus dengan sombongnya dia akan bilang
gini ke Dave, "Mas liat, dong, Juna dapet ciuman
manis dari Iva. Mas Dave mau gak?" Sambil ngelirik-lirik aneh ke aku. Maksudnya apa coba! Dan
itu terjadi berkali-kali sampai waktunya aku menidurkan Iva lagi.
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang lebih menjengkelkan lagi adalah saat dia
mau pulang dan berniat meminjam mobil.
"Mas boleh pinjem Lexusnya, gak?"
"Boleh."
"Kalo Alphard?"
"Bawa aja, J."
"Kalo Camry-nya?"
Cinta Masa Lalu
"Ambil."
"Ngapain, sih, deket ini pesen taksi aja kenapa?"
Beneran, deh, aku yang sewot sama Juna kalo kayak
gini. Kenapa minjem mobil aja pake acara milih.
Aduuuhhhh.
"Eh, Nyonya, kalau sekarang gua minta semua
mobil itu juga pasti dikasih sama Mas Dave, iya
gak, Mas??" Juna tersenyum penuh konspirasi yang
hanya dibalas senyum manis Dave.
Aku jatuh cinta
Tu kesekian kali
Baru kali ini kurasakan
Cinta sesungguhnya
Tak seperti dulu
Nyanyian Juna yang seperti orang gila membuatku ingin melempar kepalanya yang keras dengan gelas kristal yang kupegang.
Iiiiiihhhhh ... mimpi apaaa punya kakak nyebelin macem Juna!
Tapi sepertinya semuanya sudah pada tempatnya, seperti memang pada tempatnya. PAS.
Rasanya wajar banget saat kami berdua menidurkan
Daiva bersama. Dengan Iva tiduran di antara aku
dan Dave, jari tangan Dave yang membelai rambutku ringan sambil dia membacakan dongeng.
Semuanya memang sudah pada tempatnya. Wajar,
tidak kurang ataupun lebih. PAS.
Nima Mumtaz
"Dave, memangnya dulu kamu udah mau nikah, ya, sama Ghea?" Kuberanikan menanyakan
hal itu saat kami sedang duduk bersama di sofa depan televisi yang tak ditonton. Aku menyandarkan
kepala ke punggung sofa dengan kaki ditekuk di
bawah tubuhku, menghadapnya yang posenya pun
sama denganku. Dia menggenggam tanganku erat
dari tadi, jempolnya membentuk pola-pola abstrak
di punggung tanganku. Bibirnya tak berhenti menyunggingkan senyum manis sedari tadi. Rasanya
sekarang ini dia lebih banyak senyum. Jauh lebih
banyak dari pertama aku kenal dia dulu.
"Enggak, siapa bilang?" Pertanyaanku tadi sejenak menghentikan aktivitasnya, yang kemudian
diteruskannya lagi.
"Ghea sama Tante Ayumi. Lagian kayaknya dulu
hubungan kamu sama Ghea udah serius banget."
Dia diam beberapa saat sambil mengembuskan
napasnya ringan sebelum menjawab.
"Viona, kamu tau, kan, kalau dulu hidupku itu
kacau banget. Coba kamu sebut apa hal paling buruk yang pernah dilakuin orang. Semuanya udah
pernah aku lakuin kecuali satu, bunuh manusia.
Sama halnya dengan hubunganku sama perempuan.
Dulu bagiku perempuan itu buat temen tidur aja,
gak pernah lebih. Aku gak pernah punya niatan untuk terikat dalam pernikahan sampai yahhh paling
enggak umurku udah di atas 60 tahun, atau ketika
aku bosen untuk seneng-seneng. Ghea adalah salah
satu perempuan koleksiku yang rencananya emang
mau aku tidurin aja."
Cinta Masa Lalu
Aku terkesiap. Dave kayak gitu? Dia pasti menyadari kekagetanku. Tapi dia tetep nerusin ceritanya.
"Ghea itu perempuan social climber. Matrenya
gak ketulungan. Dia manfaatin apa yang dia punya untuk menarik laki-laki yang dia incer. Aku
salah satu yang kena. Sebenernya aku udah hampir
ninggalin dia saat itu karena sikapnya yang sok jual
mahal. Aku tau, kok, perempuan mana yang beneran suka sama aku atau suka sama isi dompetku.
Sebelum aku ninggalin dia, aku dikenalin sama keluarga besarnya sebagai calon suami. Padahal sama
sekali gak ada pembicaraan mengarah ke situ antara aku dan dia. Itu membuatku tersinggung sebenernya. Tapi bahkan saat itu aku gak bisa marah."
"Kenapa?"
"Kamu gak inget di mana Ghea ngenalin aku ke
keluarga besarnya??"
Dia menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum
padaku, jangan-jangan....
"Di rumahku?"
"Ya, di rumahmu, minggu kedua bulan Mei tahun 2005. Pertama kalinya aku liat kamu. Cewek
ABG yang sama sekali gak ngelirik aku, gak tertarik
padaku, gak jaim, apa adanya, polos, dan entah
berapa panjang deskripsi tentang kamu yang buat
aku gak bisa tidur malem itu. Bahkan saat itu, Vi,
aku gak nyadar kalau aku udah suka sama kamu."
Dicubitnya pelan hidungku.
Nima Mumtaz
Wajahku memanas, maksudnya Dave suka dari
pertama ketemu aku gitu??
"Saat itu aku bertekad ngejar kamu, sampai
kamu bener-bener tergila-gila sama aku. Gak peduli
berapa umurmu, gak peduli kamu sepupu Ghea.
Dan aku gak akan ninggalin Ghea kalau aku belum
dapetin kamu, karena lewat Ghealah aku bisa tau
banyak tentang kamu."
"Kamu sama Ghea udah pernah ... udah pernah
... mmhhh ... mhh ... udah pernah...?"
"Tidur bareng maksud kamu?? Enggak. Gak
pernah. Kan udah aku bilang tadi, kalau aku udah
mau ninggalin dia. Pernah, sih, dia dateng tengah
malem ke apartemenku, tapi kutolak."
"Kenapa?" Aku gak ngerti, deh, Dave, nolak
Ghea? Eh, ini yang diomongin Ghea, loh, ya ... yang
cantik, yang bodynya bagus, yang ... perfectolah pokoknya.
"Waktu itu dia datang saat aku sedang stres banget mikirin kamu."
"Aku?? Kok bisa?"
Sesaat dia memandangku, tampak ragu seperti
menimbang-nimbang sesuatu sebelum akhirnya
menjawab lagi.
"Sesudah hari itu Vio, hari di mana aku berbuat nekat padamu, aku makin sinting karena gak
tau di mana kamu. Aku mencoba berkali-kali ke
rumahmu, menelepon rumahmu, mencari nomor
telepon seluruh keluargamu, tapi gak ada hasil sama
sekali. Aku bahkan memakai pengaruhku untuk
Cinta Masa Lalu
mengecek ke imigrasi apakah kamu sudah berangkat ke New Zealand. Dan tetap nihil. Aku frustrasi
karena nyaris dua bulan gak ada kabar apa pun tentang kamu. Saat seperti itu dia datang seperti penyakit yang nyodorin diri, kamu pikir aku harus
gimana?" Matanya menatapku sedih.
"Kamu nyariin aku??" Beneran, deh, aku gak
percaya, buat apa dia nyariin aku?
"Sebelumnya ketertarikanku pada wanita hanyalah soal seks, itu berlaku juga pada Ghea. Tapi
hari itu, saat bersamamu aku merasakan satu hal
yang lain. Kamu seperti ... seperti memang seharusnya untukku. Obsesiku padamu bukan tentang seks
lagi. Aku ingin memilikimu, hanya untukku. Sejak
hari itu apa pun yang kulihat, yang kudengar, yang
kurasa, yang kuinginkan hanya kamu. Aku kecanduan Vio, kecanduan kamu." Dia menatapku mesra
... ehh beneran gak, sih, gitu tatapan mesra??
"Saat itu bahkan aku sudah menyuruh orang
kepercayaan Papi pergi ke Wellington nyari rumah
atau apartemen atau flat buat aku dan kamu. Karena
aku gak akan pernah bisa jauh-jauh dari kamu lagi,
Vio. Aku berencana mengunjungi kamu sesering
mungkin di sana. Kau tau ini bahkan jadi bahan
tertawaan teman-temanku. Mereka tau aku dulu
sesumbar bahwa aku akan buat kamu tergila-gila
padaku. Nyatanya yang terjadi adalah aku sudah
gila ngejar-ngejar kamu yang bahkan gak pernah
suka sama aku. Ironis, bukan?"
Nima Mumtaz
Aku cuma bisa bengong. David?? We O We.
WOW. Semua pertanyaan sepertinya terbang dari
otakku saat ini. Aku gak pernah nyangka perasaan
Dave padaku sudah dimulai dari dulu.
"Kamu penasaran banget sama hubunganku
dengan Ghea, kenapa?" Dia menyelipkan seutas
rambutku ke belakang telinga. Rasanya merinding
gimanaaa gitu.
"Ya, enggak, sih, kan aku selalu dituduh ngerebut kamu dari Ghea selama ini. Mmhhh ... eh kau
gak mau tau kabar Ghea sekarang?" Aku meliriknya
penasaran.
"Penting, gitu??" Tangan kanannya masih
menggenggam tanganku, sedang tangan kirinya
mempermainkan rambutku.
"Tadi Diaz cerita kalau sekarang Ghea tinggal
di Cirebon dengan suaminya. Ini pernikahan keduanya. Tadinya dia nikah sama pengusaha batubara di Kalimantan, tapi mereka cerai, Kata Diaz, sih,
karena KDRT gitu. Trus anaknya diasuh sama suaminya. Om Arman dan Tante Ayumi gak bisa berbuat apa-apa, karena yang mereka adepin lebih punya pengaruh gede. Sampai sekarang bahkan Ghea
gak pernah bisa ketemu sama anaknya. Kasian, ya,
Dave?"
"Hmmm...."
"Trus yang bikin Diaz kesel, semua kejadian
itu bahkan gak bikin Tante Ayumi kapok, dia masih aja nyuruh Ghea buat nyari calon suami kaya
dengan alesan biar bisa mengangkat derajat dan
Cinta Masa Lalu
bisa menunjang hidup mereka di hari tua. Tante
Ayumi juga berusaha ngejodohin Diaz sama anak
relasi bisnisnya Om Arman. Aku sedih, deh Dave
dengernya."
"Hhmmm...."
"Iiiihhh, kok cuma ... hmm ... hmm ... gitu aja,
sih, ngomong yang lain kenapa?" Kesel banget, deh,
kumat lagi, kan, leletnya Dave.
"Diihhh kok sewot gitu, sih, Vi, ntar kalo aku
ngomong banyak dikira aku masih perhatian sama
Ghea, ntar kamu marah lagi, cemburu." Dia senyum-senyum masih mempermainkan rambut panjangku. Tuhh, kan dia mahhh gituuu....
"Deeuuuhhh cemburu? Sama kamu? Ngapainnn,
ogah!!!"
"Isshhh, Vio cantik, loh, kalau marah."
"Apaan siihh, David gila."
"Gak papa, aku memang gila karena kamu."
Senyum lebarnya mau tak mau kuakui memang
manis banget.
Gombal banget, ya, ih beneran, deh. Kayaknya
lama-lama deket Dave bisa bikin aku sakit jantung
mendadak plus demam plus ketidakstabilan emosi.
"Vio, boleh gak aku nanya? Bukannya Diaz itu
cinta pertama kamu?? Kenapa kamu menolaknya?"
Dia tampak berusaha menyembunyikan ketertarikannya dengan sikap sedikit cuek.
"Penting, gitu??" kulirik dia penuh arti.
Dia tersenyum lebar menyadari kalau kata-katanya aku balikin.
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nima Mumtaz
"Enggak, sih, sama sekali gak penting. Bahkan
aku gak peduli kalau kamu nolak dia karena kasian
aja sama aku. Yang penting kamu mau sama aku,
aww ... aww ...aduuhh, Vio ... ihh tangannya usil,
ah." Dia meringis saat jariku mencubit perutnya
... ehhmm perutnya rata, deh, kayaknya berotot
gitu. Jadi penasaran kayak apa dia kalau ... haaaa
.... Vioooo.....
"Gak tau, ya. Kayaknya dulu aku deket banget
sama dia. Bahkan banyak yang bilang kalo kami tuh
pacaran. Tapi setelah ketemu dia lagi tadi siang, aku
baru nyadar kalau perasaan nyamanku, senengku
sama dia itu gak lebih dari saudara. Bagaimanapun
dia satu-satunya temenku dari dulu. Kami besar bersama, sekolah di tempat yang sama, juga saling tau
apa pun tentang kami masing-masing. Tapi bahkan
waktu tadi dia pegang tanganku perasaan gak nyaman itu juga ada." Aku menggelengkan kepala mengusir kebingungan yang mampir di otak kecilku.
"Kamu gak nyaman sama sentuhan Diaz? Kenapa
sama aku sekarang, juga kemaren, sepertinya kamu
gak papa? Padahal ... padahal ... kan aku yang bikin
kamu kayak gini." Dahinya berkerut dalam, kenapa
bagiku itu tampak nggemesin banget, ya?
"Aku juga gak tau, Dave. Aku cuma ngerasa nyaman aja dengan semua ini." Wajahku rasanya terbakar malu.
Sangat perlahan tangannya memegang sisi wajahku menghadapnya. "Viona, aku ... aku tak ingin
berharap banyak, tapi ... tapi bisakah kau definisi278
Cinta Masa Lalu
kan hubungan kita sekarang?" Dia menatapku
penuh tanya.
"Aku ... aku gak tau, Dave, tapi ... tapi bisakah
kita jalani dulu seperti sekarang ini?" Kulihat Dave
tersenyum malu mendengar jawabanku.
"Yah, walaupun umurku udah gak muda lagi,
kupikir gak ada salahnya kalo aku pacaran, kan,
dengan kamu, pacar pertamaku."
Aku merona malu. Haaa ... pacaran???
****
Hubungan Viona dan David yang makin membaik
membuat kedua keluarga mereka dilingkupi kebahagiaan yang dalam. Kedua keluarga memberikan
kesempatan pada mereka untuk menjajaki hubungan lebih jauh. Tak jarang keduanya makan malam
romantis yang memang sudah disiapkan orangtua
mereka. Atau Juna yang juga sering memberikan
tiket nonton bioskop atau konser dengan alasan
sayang tiketnya nganggur karena dia gak jadi pergi
dengan pacarnya. Sierra pun mulai sering menculik Daiva untuk menginap di kediamannya di
Bogor. Sepertinya keluarga besar mereka memang
sangat mengharapkan mereka menjadi keluarga
yang benar-benar utuh seperti pasangan lain pada
umumnya.
Orangtua David sangat gembira dengan kemajuan ini. Maminya bahkan sempet menangis bahagia
Nima Mumtaz
saat Dave menceritakan kemajuan hubungannya
dengan Viona. Mereka juga berkeras kalau mereka
berdua tidak bersedia dipanggil Om dan Tante lagi
oleh Vio. Melainkan harus Mami dan Papi. Mau tak
mau Vio pun pasrah menerimanya. Keduanya bukannya tak tau tipu muslihat yang dirancang keluarga mereka. Tapi keduanya juga sepertinya memang
ingin membawa hubungan ini berhasil.
Terapi pasangan yang mereka lakukan di Jogja
pun berjalan dengan baik. David mengikuti setiap
sesi terapi, menghadapi trauma dan ketakutan terdalam Viona yang sebenarnya?menurut psikiater
Viona?mengalami kemajuan yang sangat pesat
sejak kepulangannya ke Jakarta. Dr. Meiske mengatakan kalau selama ini akar dari trauma Viona
yang berkepanjangan karena Viona masih belum
bisa menerima dan memaafkan serta mempunyai
rasa percaya diri yang sangat rendah dalam suatu
hubungan karena peristiwa tujuh tahun yang lalu.
Dr. Meiske sampai mengatakan keunikan
hubungan Viona-Dave di mana Dave digambarkan mengidap Lima syndrome karena ketertarikan
emosi dan kebutuhannya yang sangat besar pada
Viona.
Walaupun seringkali Dave menolaknya dalam
gerutuan panjang di rumah mereka, "Bodo amat,
ah, mau dibilang aku yang sakit, kek, mau dibilang
aku yang abnormal kek, yang penting istriku cepet
sembuh." Kata-kata yang hanya akan dibalas Viona
dengan tawanya yang renyah.
Cinta Masa Lalu
Jarak Jogja-Jakarta seperti tak ada artinya untuk
Dave yang harus bolak-balik urusan pekerjaan di
Jakarta juga terapi bersama Vio di Jogja.
Sierra sebenarnya menyarankan untuk berganti
psikiater di Jakarta. Tapi Dave menolak dengan alasan ingin menikmati semuanya senormal mungkin.
Lagi pula dr. Meiske sudah menangani Viona enam
tahun terakhir, jadi Dave menganggap ini adalah
pilihan terbaik.
Keduanya benar-benar menikmati semuanya,
dan seperti janji Dave, hubungan mereka layaknya
orang pacaran. Ditambah bonus Daiva tentu saja.
Selalu ada janji makan siang bersama atau janji kencan yang tak lagi disponsori keluarga melainkan inisiatif mereka sendiri.
Selalu ada bunga atau kadang cokelat yang diberikan yang membuat Viona tersenyum malu.
Selalu ada ciuman kecil di pipi yang dicuri Dave
dari Vio yang membuat wajahnya spontan memerah.
Lambat tapi pasti peningkatan hubungan mereka terlihat jelas. Vio dan Dave tak segan lagi saling
menggoda entah itu dari perkataan ataupun sentuhan. Bahkan di depan orangtua mereka terkadang
Dave dengan sengaja merengkuh Viona dalam
dekapannya serta memeluknya erat dan lama. Tentu
saja awalnya Viona malu, tapi dia tak pernah menolaknya.
Bagaimana dengan hubungan "suami-istri" mereka? Masih dalam tahap pendekatan. Begitulah
Nima Mumtaz
istilah yang selalu Dave pakai untuk menggambarkannya. Mereka tetap tidur terpisah, entah itu
saat di Jakarta ataupun saat mereka ada di Jogja. Ini
salah satu upaya juga untuk tetap mempertahankan
otak mereka berdua?terlebih Dave?tetap lurus.
Dari Davidlah Viona belajar menikmati setiap
sentuhan, setiap belaian, setiap sensasi rasa yang tak
pernah dikenalnya. Dia sangat menghormati Viona.
Dave selalu meminta izin atas apa yang akan dilakukannya, entah itu sentuhannya maupun ciumannya. Bahkan mereka tak pernah membuka baju sedikit pun. Hal ini malah makin membuat keduanya
makin frustrasi. Tapi Dave bertekad membuat ini
berhasil dan tak akan merusaknya sedikit pun.
"Dave ... aku ... aku ... aku gak tau apakah aku bisa
... apa aku bisa untuk melakukan ini sama kamu, tapi
... tapi bisakah ... bisakah kau memberiku waktu,
maukah kamu menungguku?" Vio berbisik parau di
sela-sela ciuman panas Dave suatu malam saat mereka sedang bergumul di sofa di rumah mereka.
"Ambil waktu sebanyak kamu mau, sayang, aku
sudah menunggumu lebih dari tujuh tahun. Dan
aku gak keberatan menunggu sedikit lebih lama
lagi." Dave memandang Vio dengan mata berkabut
gairah.
Selama ini hanya itulah hal paling jauh yang
mereka lakukan, ciuman panas di sofa yang akhirnya hanya akan membawa mereka berdua samasama frustrasi karena Dave akan segera menghentikannya bila dirasa dia tak bisa mengontrol diri.
Cinta Masa Lalu
Cumbuan panas penuh gairah mereka akan selalu berhenti pada titik di mana mereka belum mau
berhenti. Tapi mereka menikmatinya, dan menganggap ini adalah suatu proses menuju sesuatu yang
lebih baik.
Mereka makin mengenal satu sama lain, Viona
yang emosinya kadang tidak stabil bisa diimbangi
dengan kematangan sikap dan sifat Dave. Usia
mereka yang terpaut cukup jauh malah membuat
hubungan mereka makin berwarna dengan perbedaan kebiasaan dan hobi serta cara pandang mereka
dalam menghadapi setiap masalah.
Perasaan saling membutuhkan dan saling menyayangi yang tumbuh makin kuat di antara mereka menyadarkan satu fakta tak terbantahkan yang
baru disadari Viona, satu rasa yang baru kali ini diketahuinya....
"Sayang, apakah kau akan menuntutku atas ini?"
Dave melambaikan sebundel kertas di hadapan
Viona suatu malam.
"Apa itu Dave?" Viona yang sedang membuatkan susu Daiva mengernyit keheranan.
David melambaikan tangan ke arah sofa sebagai
isyarat agar Viona bergabung dengannya.
"Oke ini dia. Poin satu pihak kedua tidak boleh
dengan sengaja ataupun tidak menemui pihak pertama dalam bentuk apa pun. Poin dua, pihak kedua
harus segera menceraikan pihak pertama begitu pihak pertama melahirkan, poin...."
Nima Mumtaz
Viona terkesiap kaget, dia sadar ini adalah salinan perjanjian pra nikah mereka dulu. Dia tak
menyangka kalau Dave masih menyimpannya.
"Dave, udah. Jangan diterusin, cukup."
"Kamu serius? Aku pribadi gak ingin lagi ada
sampah seperti ini, Vio. Tapi aku perlu tau apakah
kamu masih menginginkannya atau tidak." Dave
menatap Vio serius.
"Buang, aku gak butuh apa pun lagi. Aku cuma
mau kamu dan Iva, kita hidup normal dan bahagia
seperti ini." Viona meringkuk dalam pelukan Dave
yang segera disambut hangat suaminya.
"Itu bagus, karena aku sudah melanggar poin
satu dan dua juga poin tiga yang bunyinya, pihak
kedua tidak boleh memberikan ataupun meminta
apa pun pada pihak pertama...."
"Iya, deh, kamu udah ngasih banyak ke aku dan
aku belum pernah kasih apa-apa ke kamu." Viona
cemberut kesal pada Dave yang terkekeh pelan karena kekeliruan Viona menangkap maksudnya.
"Aku sudah memberikan diriku, hatiku, juga jiwaku padamu, dan aku sangat memohon untuk kau
memberikan hatimu untukku, hanya itu. I love you,
darling."
Viona terpaku diam, selama ini dia tak pernah
mengungkapkan perasaannya pada David, tapi harusnya David tau kan perasaannya? Apakah dia gak
bisa menangkap semuanya dari sikap dan perilaku
Viona? Tapi mungkin semua itu butuh penegasan,
Cinta Masa Lalu
bukan? Butuh kata cinta untuk tau bahwa kau yakin
untuk dicintai.
"I love you too. I love you too, darling."
David membeku mendengar ungkapan cinta
yang tak pernah diduganya akan secepat ini dari
Viona. Hatinya membuncah penuh kebahagiaan.
Hanya ungkapan penuh syukur yang dipanjatkan
pada Tuhan betapa akhir kisah sedihnya adalah
perasaannya yang berbalas. Indah. Cinta. Inilah
cinta.
Seminggu sebelum Viona diwisuda, Dave memberikan kejutan dengan lamaran mendadak.
"Tapi Dave, bukankah kita memang suami istri?" Ragu Viona menimang cincin berlian di tangannya.
"Aku tau, tapi tujuh tahun yang lalu kau menikah denganku dengan banyak keterpaksaan, dengan
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu banyak perjanjian, dengan begitu banyak
duka. Aku ingin memperbaiki semuanya sayang."
"Viona Gayatri Ruslan. Aku berjanji akan selalu
mencintaimu, akan selalu menjagamu, akan bersamamu dalam setiap fase hidupmu. Menjadikan kau
prioritas utama dalam hidupku dan berbagi setiap
keindahan dan kebahagiaan yang bisa kuberikan
padamu. Tolong menikahlah denganku. Temanilah
aku yang sudah mulai tua ini sampai kau bosan, dan
jadilah ibu dari anak-anakku yang lainnya nanti."
Dave berlutut di depan Viona yang dengan berlinang air mata mengiyakan lamaran David yang
dianggapnya sangat aneh itu.
Nima Mumtaz
Viona nyaris syok menerima rincian keuangan
rumah tangga yang diberikan Dave kepadanya.
Sederet kartu debit dan kredit diterimanya dengan
tangan gemetar. Dia tau suaminya kaya, tapi dia tak
pernah tau sekaya apa suaminya ini.
"Kamu gak takut kalau aku cuma mau morotin
harta kamu?"
"Baguslah, itu berarti gak ada lagi alesan kamu
ninggalin aku. Karena terus terang aja uangku
masih sangat banyak dan aku masih sangat kaya.
Bahkan tanpa warisan Papi." Dave menyeringai
nakal padanya yang dibalas cubitan kencang pada
pinggang Dave.
Ayah Viona menikahkan David dan Viona sehari sesudahnya di rumah David yang hanya dihadiri kedua keluarga mereka juga keluarga Mbok
Rum dan Mbok Nah.
Semuanya tentu sangat gembira. Mereka semua
tak bisa menyembunyikan kelegaan dan kebahagiaan mereka saat akad nikah sudah selesai. Mama Vio,
Mami Dave, juga Sierra, Mbok Nah, dan Mbok
Rum tak henti-hentinya menangis haru. Bahkan
Juna yang sepertinya tak bisa lepas dari mulut usilnya hanya bisa memeluk Dave erat dan mengucapkan selamat, matanya tampak berkaca kaca, terharu.
Tapi yang membuat Viona salah tingkah adalah
Daiva yang tampaknya sangat gembira di pangkuan
eyangnya.
"Kakak Liel aku malam ini mau nginep di rumah
Oma sama Uncle J, besok di rumah Eyang, terus besoknya lagi di rumah Kakak Liel, ya?"
Cinta Masa Lalu
"Lho, kenapa Iva, kok gak bobo di rumah aja?"
Dave mengernyit heran mendengar celoteh putrinya.
"Kata Uncle J, Mommy sama Daddy mau bikinin dedek bayi buat Iva, jadi Iva gak boleh di
rumah dulu biar bikin dedeknya bisa cepet jadi."
Mata Iva bersinar polos.
Juna hanya bisa pasrah saat tangan Vio mencubit
pahanya keras.
Mereka berdua memang tak menginginkan pernikahan ini dijadikan konsumsi publik, selain karena memang waktunya mendadak, tapi juga karena
pernikahan mereka memang masih sah di mata hukum. Jadi memang semuanya dilaksanakan sesederhana mungkin.
Namun kedua orangtua David berkeras akan
mengadakan pesta besar selepas wisuda Viona
dengan alasan syukuran. Walaupun Vio yakin ini
adalah resepsi terselubung yang diadakan oleh keluarga Arkhan.
Viona mengeringkan rambutnya pelan. Jantungnya
berdebar kencang. Bayangan tentang apa yang
menunggunya di kamar membuat pipinya menghangat, tapi dia juga takut karena memang tak tau
apa yang akan dilakukan atau dihadapinya. Iva
benar-benar diculik mamanya, bahkan Mbok Rum
dipaksa Mami Dave untuk libur tiga hari dan dipulangkan ke rumahnya di Purworejo hari ini juga.
Jadi mereka berdua benar-benar sendirian di rumah
malam ini.
Nima Mumtaz
Dave sedang duduk di kursi, kemeja putihnya
digulung lengannya sampai siku, tiga kancing teratasnya dibuka. Entahlah, tapi saat itu juga Vio seakan baru menyadai kalau dia mempunyai suami
yang sangat-sangat tampan. Gak malu-maluinlah
kalau diajak kondangan.
Dave mengangkat wajahnya saat tau Viona telah
keluar dari kamar mandi. Dia tersenyum gugup.
Ragu dihampirinya Vio yang berdiri di dekat ranjang.
"Hai...."
"Hai...."
"Kamu capek? Mau kupijit?"
"Emmm, enggak. Ada juga kamu yang harusnya
kupiijit."
Tak ada yang berani memulai apa pun, tapi kemudian Vio tersentak saat jemari Dave mengelus
pipinya pelan. Sangat pelan. Kemudian kedua tangannya memegang kedua sisi kepalanya dan membawa wajah mereka berdekatan.
Vio tak bisa menolak ciuman manis Dave.
Ciuman pertama mereka sebagai suami-istri.
Ciuman yang lambat dan mesra yang lama-lama
berubah menjadi ciuman panas penuh nafsu. Vio
tak menyadari apa-apa saat tubuhnya sudah terbaring di ranjang dengan Dave yang menindihnya
rapat.
Bibir mereka berdua sama laparnya, saling meminta, saling mengambil, berpagutan dalam irama
indah gairah yang berteriak minta dipuaskan.
Cinta Masa Lalu
Tangan mereka berdua saling mencari, saling
meraba bahkan Viona seperti tak sabar saat tangannya melucuti kancing kemeja Dave, yang akhirnya
segera diambil alih dengan tangan Dave yang menyentakkan kemejanya, membuat kancing-kancing
bajunya beterbangan.
Tangan Viona yang ingin tau meraba kulit dada
Dave penasaran, membuat Dave menahan napas
kemudian bibirnya mendesis kencang saat Viona
mengecup dadanya ringan.
"Vio...." suara Dave serak, sarat oleh gairah.
Dengan tak sabar dibawanya lagi Viona dalam
ciuman dalam yang panjang. Memainkan lidahnya menjelajahi mulut Vio dengan penuh gairah.
Bibirnya dengan cepat berpindah ke leher Viona
menciuminya dengan buas. Ada yang berbeda
malam ini, seperti ada sesuatu yang kurang dalam
setiap ciuman mereka, berbeda dengan cumbuancumbuan mereka sebelumnya, keduanya selalu
menginginkan lebih.
Tangan Dave meraba seluruh bagian wajahnya
yang kemudian diikuti dengan ciuman kecil yang
membuat hasratnya makin berkobar. Ketika tangan
Dave berada di dada Vio, dengan tatapan penuh
harap Dave meminta izin Viona.
"Boleh sayang...??"
Viona hanya menganggukkan kepala karena dia
sendiri tak bisa menahan hasratnya begitu lama.
Bagai kesetanan Dave terburu-buru membuka pakaian Vio hingga tak ada apa pun yang mengha289
Nima Mumtaz
langi pandangannya. Inilah malam pertama mereka
saling menjelajahi tubuh masing-masing. Saat Dave
mengagumi segala keindahan di hadapannya, meresapinya dengan tatapan gairah, menegaskannya
dengan belaian dan remasan lembut, memilikinya
dengan setiap kecupan dan isapan penuh cinta.
Viona terbang, melayang terbawa gairahnya sendiri,
mengerang dalam alunan lagu indah yang disebut
nafsu.
Viona melenguh keras saat bibir Dave menjelajahi seluruh bagian tubuhnya, mencium, menjilat
menggigit. Dan saat Viona berada di puncak gairahnya dia merasakan kehilangan yang tiba-tiba
karena Dave beranjak dari ranjang dan menatapnya
tersiksa.
"Dave...."
"Ma ... maaf Vio aku gak bisa. Kupikir ini
sudah lebih dari cukup. Aku gak bisa." Masih terengah Dave meraih kemejanya yang sudah terlempar kelantai.
"Ke ... ke ... kenapa Dave, kamu ... kamu gak
mau sama aku...?" Viona merapatkan selimut ke
dadanya, menatap Dave bingung.
David segera merengkuh Vio dalam pelukannya,
mendekapnya erat.
"Enggak, sayang, kalau aku gak pergi sekarang,
aku takut aku gak akan bisa berhenti. Aku gak tahan
Vio," David berbisik tersiksa di telinga Viona.
"Kalau begitu jangan berhenti Dave ... jangan
pernah berhenti." Viona menatap mata suaminya
penuh dengan keyakinan dan penyerahan.
Cinta Masa Lalu
"Vio...." wajah Dave berkerut penuh pertentangan.
Namun saat Viona meraba lembut setiap senti
wajahnya, juga dadanya, dan ketika Vio mencium
tepat di mana jantungnya berada, Dave sudah tak
bisa menahan diri lagi.
Direngkuhnya tubuh Vio dan dibawanya istrinya dalam puncak kenikmatan penuh gairah mereka. Penyatuan fisik yang telah lama mereka nantikan.
Di atas hamparan sprei putih yang kusut, tubuh
mereka bermandikan keringat. Hanya irama napas
mereka yang memelan yang terdengar. Viona terbaring di atas tubuh Dave.
Ada keheningan yang manis, kesunyian yang begitu indah. Menikmati waktu sesaat setelah bercinta
tak pernah dirasakan Dave akan sedamai ini.
"Apa aku menyakitimu?" Dave membelai rambut Vio lembut, dirasakannya istrinya menggeleng
pelan.
"Apa aku menakutimu?"
"Sedikit."
Jawaban Viona begitu mengagetkan Dave yang
segera membawa wajah Vio menghadapnya.
"Benarkah sayang, maaf ... maafin aku."
"Aku takut atas apa yang baru kutau, yang baru
kukenal. Aku tak menyangka rasanya ... rasanya
begitu ... begitu indah. Apakah akan selalu begini,
Dave?"
Nima Mumtaz
"Ya, enggaklah. Aku akan membuatmu merasakan yang lebih indah lagi, lebih nikmat lagi dari
yang tadi."
Viona merona merah di bawah tatapan lembut
Dave.
"Vio, aku tadi gak pake pengaman, aku yakin
kamu juga gak minum pil. Kalau kamu hamil gimana?" Dave menatap Vio was-was. Bagaimanapun
dia ingat saat kehamilan Viona yang pertama. Vio
depresi berat.
"Aku gak khawatir, kok, kan aku punya suami
yang sangat kaya, bahkan duitnya masih sangat banyak walaupun tanpa warisan Papi mertuaku yang
katanya termasuk sepuluh pengusaha paling kaya di
Indonesia."
Dave hanya terbahak kencang dan mempererat Viona dalam pelukan dan cumbuan panasnya.
Segera dibaliknya lagi tubuh Viona hingga berada
di bawahnya
"Ok, sayang, sesi kedua."
EPILOG
"Waduuuhh, Mami jangan bikin hidup Dave
susah dong, Mam. Kalau begini ntar bisa-bisa
nyampe rumah Dave langsung dicincang." Dengan
tampang sememelas mungkin aku memohonmohon pada Mami. Tapi tampaknya Mami tetap
kekeuh pada pendiriannya.
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekali enggak tetep enggak. Urusan nanti kamu
dicincang di rumah sama Vio itu kan derita kamu,
bukan derita Mami." Aku hanya bisa menatap ngeri
pada Mami yang tersenyum sadis padaku.
"Papi...." Semoga kali ini Papi mau menolongku. Tolong, ya Tuhan.
"Kalau Papi, sih, setuju-setuju saja sama Mami
kamu. Malahan bagus, Dave, sekalian buat ngelatih
dia jadi salah satu pewaris Arkhan group. Biarin dia
di sini beberapa hari lagi." Papi tersenyum dengan
perasaan puas.
"Papi!! Dewangga baru empat belas bulan, masa
iya mau diajarin bisnis. Enggak, ah, Dave mau ajak
pulang sekarang."
"Eiitsss, gak bisa, gak bisa. Berani kamu pegang
cucu Mami ada Tarjo yang siap ngelempar kamu
Nima Mumtaz
ke jalanan. Papi usir aja anak ini dari sini, daripada
nanti dia bikin rusuh." Mami segera menggendong
putraku yang tersenyum dengan gigi kotaknya yang
baru empat biji. Bahkan bayi itu pun sepertinya
menikmati penderitaanku!
Papi hanya tertawa melihat perseteruanku dan
Mami, namun langsung mengabaikan wajah cemberutku dengan berkonsentrasi pada koran di tangannya.
Kalau saja tak ingat ada Vio yang siap mengacungkan golok padaku jika gagal membawa Dewa
pulang ke rumah, mungkin kondisi ini akan membuatku tertawa keras. Sekarang ini Mami dan Papi
tampaknya lebih sayang pada Daiva, Dewa, dan
Vio, sedang aku seperti dianaktirikan oleh mereka
berdua. Aneh, bukan??
Sejak tak lagi mendapat asupan ASI enam bulan
yang lalu, Dewangga Putra Arkhan, anak keduaku
memang seperti piala bergilir dari satu rumah ke
rumah yang lain. Entah itu rumah mami, Mama,
ataupun Mbak Era. Akulah yang menjadi korban
dari semua ini, entah itu korbannya Vio yang bisa-bisa mengomel panjang lebar karena aku gagal
membawa Dewa pulang ataupun korban dari ketega-an mereka mereka yang suka ?menyandera?
Dewa.
Daiva juga jarang berada di rumah kalau liburan
atau weekend. Kalau saja dia tak sekolah mungkin
dia akan lebih sering jadi korban penyanderaan juga
oleh keluargaku dan keluarga Vio.
Cinta Masa Lalu
Walaupun jujur aja, sih, ada baiknya juga gak
ada anak-anak di rumah. Waktuku dengan Vio
jadi makin banyak. Aku bener-bener bisa mesramesraan dan romantis-romantisan tanpa gangguan
sama sekali.
Selain kasus ?penculikan anak? pernikahanku
dengan Vio sungguh melebihi ekspektasiku selama
ini. Dukungan keluarga yang begitu besar membuat
kami dapat melalui kerikil-kerikil kecil permasalahan rumah tangga. Apalagi saat Vio hamil dua bulan sesudah pernikahan ?kedua? kami, hal itu makin
menyempurnakan pernikahan kami yang memang
sudah sempurna.
Awal-awal pernikahan kami masih seperti masa
masa pacaran. Aku mengenalkannya dengan semua
temanku, bahkan aku sering membawanya nongkrong di pub Andro yang buntutnya tentu saja aku
akan digoda habis-habisan oleh kwartet bujang gak
laku itu.
Yah mereka masih suka kumpul-kumpul bareng
walaupun hanya dengan empat personel. Karena
memang aku gak pernah lagi gabung sejak pernikahan pertamaku dulu dengan Vio. Andro masih
konsisten dengan pub-nya. Bahkan sekarang kami
bekerja sama karena dia membuka cabang pub-nya
di hotelku yang baru kubuka di Makassar. Julian
?jatuh miskin? karena memutuskan keluar dari perusahaan ayahnya dan merintis perusahaan sendiri.
Broto mengikuti panggilan jiwanya menjadi dokter
dan tak memedulikan ancaman ayahnya yang akan
Nima Mumtaz
mencoretnya dari pewaris kalau dia tak segera bergabung kembali ke perusahaan. Alex masih setia
dengan suplier cewek yang selalu dihubunginya dan
masih menikmati gaya hidup flamboyannya. Dari
keempatnya hanya Julian dan Broto yang sudah
serius berpikir untuk menikah, mereka akhirnya
menemukan belahan jiwa mereka dengan cara mereka masing- masing.
Bahkan setelah dua tahun lebih pernikahan-kedua-ku dengan Vio kadang aku masih merasa kami
baru menikah beberapa hari saja. Aku masih saja
melihat dia seperti remaja 18 tahun yang kukenal
dulu. Gaya cueknya dan sikap sok gak butuhnya
masih bertahan sampai sekarang.
Pipinya pun masih suka merona merah saat kugoda, dia juga masih salah tingkah kalau aku memperlakukannya kelewat mesra di depan keluarga
kami. Sikap mesra yang kata Juna seperti ?pasangan
lanjut usia tak tau malu?. Haiisshh ... itukan kata
Juna yang emang gak laku-laku.
Ahh, mengingat Vio membuatku ingin segera
sampai di rumah. Perasaan bahagia memenuhi dadaku, belum-belum aku sudah sangat merindukannya. Aarrgghhh Viooo.
****
"Ini bukan berarti aku maafin kamu lho Dave."
"Hmm...."
Cinta Masa Lalu
"Pokoknya kamu besok balik lagi ke rumah
Mami sama ke rumah Mbak Era. Ambil semua anak
kita." Aku kesal banget sama Dave. Masa iya anak
direlain gitu nginep kelamaan.
"Hmm...."
Tapi Dave kayak gak dengerin sama sekali.
Dia masih sibuk menciumi lekukan leherku, juga
bahu telanjangku. Tangannya masih rajin bergerilya di seluruh permukaan kulitku. Sesekali lidahnya
menjilati telingaku dan menggigit juga. Ini sangat
mengganggu!
"Dave..!!!"
"Hmmmmmm ... kenapa sayang, mau lagi, ya
... iya...??"
"Setooooop ... ah ... Daaavve...."
Kudorong tangannya yang masih berusaha
memelukku. Dia benar-benar bisa memanipulasi
situasi. Aku sangat yakin dia pasti tau aku akan
marah besar karena dia gak bisa bawa Dewa dan
Iva pulang. Tapi dengan curangnya dia menyeretku
dengan aktivitas ranjang yang panas sore ini. Entah
kenapa aku gak pernah bisa menolak dan melawan
godaan dan kebutuhannya.
Ya, Dave memang seperti dewa seks bagiku.
Bahkan sejak awal menikah aku gak mampu menolak apa pun maunya kalau sudah berhubungan
dengan hal satu ini. Eerrrr ... mungkin karena aku
juga sangat menyukainya. #Eh??
Matanya masih bersinar nakal melihat tubuh
polosku yang kini tak tertutup selimut.
Nima Mumtaz
"Kalau kamu gak berhenti, nanti anakmu yang
ini aku gak kasih nama belakang Arkhan trus langsung aku titipin Mbak Era biar jadi anak adopsinya
Mbak Era." Kupelototi dia galak.
"Iya ... iya ... enggak, sayang... ampun, deh.
Maaf, ya, maap, deh. Sekarang janji gak usil lagi,
deh, tapi boleh peluk kaya tadi, ya?" Dia kembali
merengkuhku dalam pelukan hangatnya.
"Kamu yakin, sayang, gak mau tau ini cowok
apa cewek?" Dave membelai perutku yang membuncit dengan lembut.
"Enggak, ah, biar jadi surprise. Yang penting kan
anaknya sehat Dave."
Kehamilan ketigaku kali ini benar-benar tanpa
rencana. Saat itu Dewa baru sembilan bulan dan
masih kuberikan ASI eksklusif. Aku yang tiba-tiba
pingsan satu siang di rumah Mami membuat kalang kabut semua orang. Dan setelah membuat kehebohan yang super lebay di rumah sakit mewah
di Jakarta Pusat, baru, deh, ketauan kalau aku sudah hamil empat minggu. Tentu saja Mama senang,
apalagi Mbak Era. Mami bahkan menangis haru
dan langsung menelepon Papi mengabarkan berita
ini dengan nyaris histeris. Aku yang bengong, hahh
hamil lagi?? Dave?? Kalau aja staf rumah sakit bisa
diajak dansa, pasti dia nyewa semua staf, dokter dan
pasiennya sekalian untuk ber-harlem shake.
"Gak usah pusing gitu kenapa, babe, biarin ajalah, mungkin Mami masih kangen sama Dewa,
Ariel kan juga sayang banget sama Iva. Biarin
Cinta Masa Lalu
mereka liburan bentaran di sana." Bisikan Dave tepat di kupingku, membuatku merinding.
"Masalahnya, Dave, aku kan bukan indukan
kucing yang kerjaannya beranak terus. Masa Mbak
Era udah pesen lagi kalau dia masih mau nampung
dua atau tiga anak kita nanti. Mama katanya kesepian pingin ngurus cucu juga. Trus Mami juga gitu,
katanya suruh bikin lagi anak yang banyak, alesannya lebih konyol lagi, biar gampang bagi-bagi jatah
perusahaannya. Emang kita pabrik anak, apa?" Aku
bersungut kesal pada Dave.
Tawa seraknya membuatku menoleh,
"Sayang, kalau aku keseringan hamil terus
badanku bengkak jelek trus kendur trus gak cantik
lagi gimana?"
Jujur aku agak khawatir sekarang. Usia Dave
yang menginjak 39 tahun malah membuat dia makin keren, berwibawa dan so hawt ... oh my....
Sedang aku dua tahun ini sibuk hamil dan ngurus anak.
"Kalau itu bisa bikin cowok-cowok jauhin kamu
trus bikin kamu gak akan ninggalin aku, aku pastiin
kamu hamil tiap tahun!"
"Dave...!!!!"
"Awww ... awww ... adduuuhh ... babe. Kalau
kamu gigit aku sekali lagi, beneran, deh, kamu gak
bakalan keluar kamar sampe besok pagi. Yakin banget aku."
"Mesum!!"
Nima Mumtaz
"Biarin, kamu juga suka banget, kan?" Kata-kata
usilnya cukup untuk membuat kami tertawa bahagia.
Yah, jangan harap pernikahanku dengan Dave
akan seperti pernikahan orang-orang pada umumnya. Aku masih sering bermanja padanya, bahkan mengatai dan mengomeli Dave saat aku kesal
padanya. Dia pun akan membalas dengan langsung
membawaku masuk kamar, bahkan saat di rumah
Mami atau di rumah mamaku. Ups....
Kemesraan dan keromantisan Dave gak pernah
berkurang, sesendok pun enggak. Makin hari aku
ngerasa perasaanku ke dia makin besar, pun sebaliknya dia padaku. Ahhh, inilah bahagia. Inilah
Cinta.
Yang lebih mengharukan adalah usaha Dave
menjembatani perpecahan di keluarga besarku.
Diam-diam salah satu anak perusahaannya menjalin kerja sama dengan perusahaan kakek. Aku gak
tau gimana detailnya karena emang aku gak ngerti
masalah itu. Tapi yang pasti adalah hubungan kami
Cinta Masa Lalu Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan semua anggota keluarga besar kakek perlahan mulai membaik.
Saat kutanyakan apa maksud Dave dengan semua
itu, dengan entengnya dia menjawab, "Jangan anggap aku malaikat, dong, sayang, ini masalah bisnis
aja, kok. Kalau dengan begini hubungan keluarga
kamu jadi baik, pasti aku lakuin dari dulu. Dan satu
lagi, dengan begini Diaz gak akan berani macemmacem ngelirik istriku. Kalau dia nekat kayak gitu,
Cinta Masa Lalu
aku pastiin perusahaannya bangkrut kurang dari
2x24 jam!!"
Haaa ... Dave??
Dasar suami aneh. Padahal dia tau pasti, sepupu
tersayangku itu akan menikah dua bulan lagi dengan Rika, pacarnya semasa kuliah dulu. Masiiihh
aja ngebahas Diaz ... ck.
"Sayang...."
"Hmmm...."
"Kamu tau gak, sih, kenapa Juna belakang jadi
aneh begitu?"
Satu lagi yang bikin aku takjub adalah kedekatan Dave dan Juna yang unik. Mereka mirip kakak
adek?dengan Dave yang jadi kakaknya?mengingat betapa bencinya Juna ke Dave dulu, pasti gak
ada yang bisa nyangka kalau mereka bisa sedekat itu.
Kadang malah aku ngerasa kalo Juna itu beneran
adeknya Dave, deh. Belakangan ini memang Juna
kulihat seperti orang bingung, dan menurutku tempat paling tepat bertanya adalah suamiku sendiri.
"Dia sedang bingung dengan hatinya, Vio."
"Hahhhh ... Juna? Serius, sayang? Sama siapa?"
"Hmm ... sama ceweklah."
"Cewek m ... mmannaa ... ah ... Dave ... ih ...
berenti...!"
"Hmm ... kenapa ... aku suka, kok."
"Taddi ... ah ... kammmuu ... billaangg ... ah,
Daavvee ... aku ggak bissa mmikiirrr ... ahhhh...."
Nima Mumtaz
"Gak usah mikir, sayang, cukup nikmatin.
Masih banyak waktu juga buat ngomongin Juna."
"Tapi Dave ... ak ... mmppffff ... ahhhhhh...."
The end
*Bonus Scene
Daiva?s Love
akak ini cantik sekali, rambutnya panjang dan
hitam kayak rambut Iva. Mata kakak ini mirip sama
mata Budhe Era, tapi senyumnya kayak senyum
Uncle J. Kalau ketawa kakak ini juga cantik banget.
Tiap ke rumah Opa pasti Iva gak pernah bosen liatin foto kakak ini.
Tapi sayang banget, Iva gak pernah ketemu kakak
ini. Dia gak pernah dateng ke rumah Opa. Padahal
fotonya ada banyak banget di sini. Apa mungkin ini
pacarnya Uncle J, ya? Waahhh bisa jadi ini pacarnya
Uncle J. Iihh ntar Iva godain, ah Uncle J.
Tapi kalau Iva nanya ke Uncle J, pasti gak mau
jawab. Ah Iva mau tanya Daddy aja, deh, pasti
Daddy mau kasih tau Iva.
Daddy lagi ngobrol sama Oma Opa, Iva takut
gangguin. Kata Daddy kalau lagi ngobrol orang dewasa Iva gak boleh ikutan. Tapi apa iya Daddy lagi
ngobrol orang dewasa?
"Heeii sweetie ... sini, sayang, kok di pintu aja?"
Berarti Daddy gak lagi ngobrol orang dewasa
Nima Mumtaz
kan? Soalnya Iva malah dipanggil. Malahan Iva dipangku sama Daddy. Beneran, ah, Iva mau nanya.
"Daddy, boleh gak Iva nanya?"
"Boleh, dong, nanya apa, sayang?"
"Tapi Dddy gak boleh boong, ya. Jawabnya yang
beneran yaa...?"
Yaahh, Daddy sama Oma Opa malah ketawa.
Ntar kalo Iva diketawain gara-gara nanyain pacar
Uncle J, gimana, dong. Nanti pasti Daddy tanyain
Iva, dari mana Iva tau kata-kata "pacar" kalo udah
gitu nanti Uncle J pasti dimarahin sama Oma. Pasti,
deh.
"Mmhhh ... Daddy, kakak cantik ini siapa sih,
Dad? Fotonya banyak banget di sini? Tapi kok Iva
gak pernah liat kakak ini?"
Kok Daddy malah langsung diem pas Iva nunjukin foto kakak tadi, ya. Oma sama Opa juga langsung diem, gak ada yang ketawa lagi.
"Iihh, kenapa gak ada yang jawab Iva, sih? Daddy
katanya mau kasih tau, ini siapa Daddy?"
Kenapa Daddy malah merem lama banget, sih.
Daddy bobok, ya? Gak jawab-jawab pertanyaan Iva.
"Iva sama Oma, yuk, kita bikin puding cokelat
kesukaan Iva, ya?" Oma ngajakin Iva bikin puding
cokelat. Tapi Iva mau tau dulu siapa kakak ini.
"Daddy ... kenapa? Kakak ini siapa, Daddy?"
"Daiva sayang, ini ...ini ... ini Mommy, sayang.
Mommy-nya Iva. Cantik, ya, kayak Iva, kan? Tu liat
di foto ini senyumnya sama kayak Iva, ada lesung
pipitnya. Mirip sama Iva, kan?"
Cinta Masa Lalu
Jadi ini Mommy-nya Iva? Cantik banget. Nanti
Iva bawa foto ini ke sekolah, ah, Iva mau tunjukin
sama Nabila, Arya, Shakira, juga Maureen. Iva mau
tunjukin kalau Iva punya mommy. Iva mau tunjukin juga ke Willy si anak nakal yang suka ngejekin Iva gak punya mommy. Iva mau tunjukin ke
BuGuru, Iva mau kasih tau ke semuanya kalau Iva
punya Mommy.
Ini Mommy-nya Iva. Iva punya mommy yang
cantik banget.
Tapi kenapa Daddy sedih, ya, pas liatin foto
Mommy? Daddy kan gak pernah sedih. Gak pernah
marah juga. Daddy selalu senyum ke Iva. Daddy
kenapa?
Apa Daddy kangen sama Mommy? Kata Daddy,
Mommy sekolah jauh banget. Kata Daddy, Mommy
sekolahnya lama, jadi gak pulang-pulang. Pasti
Daddy kangen sama mommy, pasti Oma sama Opa
kangen juga sama Mommy. Orang Iva aja kangen.
Iva pingin ketemu Mommy.
*****
"Iva, kok gak ikut doa sama-sama? Biasanya Iva
teriak amin paling kenceng kalo Opa baca doa, kenapa, sayang?"
"Iva mau doa sendiri Daddy, Iva mau doa yang
sungguh-sungguh biar Tuhan dengerin doa Iva."
"O, ya ... Iva mau doa apa?"
Nima Mumtaz
"Daddy, dengerin, ya, ntar Daddy bilang amin
kalau Iva udah selesai baca doanya. Ok, Dad?"
"Oke, baby."
"Ya Tuhan, tolong kabulin doa Iva. Tolong bawa
Mommy pulang ke sini. Iva pingin banget Mommy
pulang ke sini. Iva kangen sama Mommy, Daddy
juga kangen sama Mommy. Semua kangen sama
Mommy. Iva pingin banget ketemu sama Mommy
Iva. Iva janji Iva gak nakal, Iva mau jadi anak baik.
Iva janji gak bakalan nyusahin Mommy. Iva cuma
mau punya Mommy sama Daddy. Tolong, ya,
Tuhan. Amiinnn."
Tamat
The Da Vinci Code Karya Dan Brown Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Pendekar Pedang Matahari 4 Neraka
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama