Ceritasilat Novel Online

Cinta Tak Pernah Tua 1

Cinta Tak Pernah Tua Karya Benny Arnas Bagian 1



Cinta Tak Pernah Tua

oleh

Benny Arnas

ebook by pustaka-indo.blogspot.com

GM 20101140034

Copyright ?2014 Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Kompas Gramedia Building Blok I lt. 5

Jl. Palmerah Barat No. 29?37

Jakarta 10270

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit Gramedia Pustaka Utama

Anggota IKAPI, Jakarta, 2014

Cetakan pertama September 2014

Ilustrasi

Abdullah Ibnu Thalhah

Setter

Nur Wulan Dari

www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

Atau isi seluruh buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

ISBN: 978-602-03-0899-9

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab Percetakan

Daftar Isi

1. Pengelana Mati dalam Hikayat Kami

2. Gulistan 14

3. Orang Inggris

4. Pohon Tanjung Itu Cuma Sebatang

5. Muslihat Hujan Panas

6. Bunga Kecubung Bergaun Susu

7. Senapan Bengkok

8. Batubujang 82

9. Belajar Setia

10. Tupai-tupai Jatuh dari Langit

11. Senja yang Paling Ibu

12. Cahaya dari Barat

Catatan 131

Pengarang 132

Terima kasih tak terhingga kepada para apresiatorku

yang selalu memiliki waktu untuk melahap draf-drafku:

Mulyadi, Muttaqwiati, dan Aida Radar.

Terkhusus untuk inspirator buku ini:

Neknangku H.ja HK,

veteran yang pantang menjadi tua demi ke Mekkah

Pengelana Mati dalam Hikayat Kami

Kepada mereka, ingin kukenalkan dirimu.

Karena kau adalah mula segala cerita dan hikayat

di atas hikayat. Ini tentang raibnya tukang

kawin yang paling kerap menghampiri punggung

Bukit Siguntang yang kehilangan pita suara sejak

pertama kali Tuhan onggokkan di tanah lahir kami.

Tukang kawin itu pada mulanya bukan tukang

kawin, melainkan seorang pujangga yang

dicinta-gilai oleh rerimbun kecubung dan

semak-semak yang kehilangan nama. Dan

pujangga itu, bukan seorang pengarang atau

perawi sajak-sajak dari Tanah Melayu, melainkan

pengelana yang paling tangguh setelah nabi-nabi.

Tentu saja bukan pengelana sembarang pengelana,

melainkan pengelana cinta. Dan pengelana cinta itu

adalah kau!

PADA SUATU HARI kau mengunjungi tanah kelahiranku.

Orang-orang bilang, kau sudah dua kali mati. Kematian

keduamu disebabkan kiamat yang hanya terjadi di tempat

tinggalmu?menimpa kau dan keluargamu di rumah kayu

mahapanjang dan tentu saja sangat megah. Dan aku tak

peduli dengan cerita itu.

Itulah sebabnya kuceritakan ini.

ENTAH BAGAIMANA, KAU singgah di sebuah rimba karet di Belalau, daerah di tepi Jalan Lintas Sumatera. Kau

masuk ke dalamnya. Apakah begini tabiat seorang pengelana? Kaususuri rimbun ilalang dan rumput kanji, semak

putri malu dan batang-batang buah pena yang menyerupai kerimunting merangas, dan cendawan-cendawan yang

menumpang bernaung di tunggul-tunggul yang kehilangan

nyawa. Kau menebas-terabas semuanya seolah kau hafal

seluk-beluk rimba itu, padahal paha hingga kakimu hanya

dilapisi jins belel dan sepatu jelajah dari kulit buaya.

Memasuki rimba adalah mengarungi hidup, ujarmu suatu hari ketika beberapa orang menanyakan kegemaranmu

mengelana. Tak usah banyak berpikir untuk menjalaninya.

Saya sudah diembuskan ke bumi ini, pun kalian. Tak ada

alasan untuk memikirkan banyak hal. Bukankah kecakapan paling didambakan adalah ketika melakukan banyak hal

tanpa harus berpikir lebih dulu; seperti mengikat tali sepatu, seperti menebas semak, seperti menginjak rumputrumput yang berpelukan, seperti menginjak jamur-jamur

yang seolah tak punya bilik yang layak untuk berkembangbiak?

Ya, kau tampak sangat cuek, sekilas. Namun begitu, tak

banyak yang tahu kalau kau juga memiliki sisi kehidupan

yang lain; perasaan yang halus dan selalu sarat filosofi.

Setiap bunga yang kautemui, kau pandang dengan sorot

mesra, seolah mereka adalah para bidadari yang terperangkap dalam mahkota. Ah, bahkan kepada bebunga pun nalu7

ri liarmu tak bisa kausembunyikan. Kau juga merasa perlu

memejamkan mata ketika menciumnya demi menunjukkan

betapa kau melakukannya dengan sepenuh jiwa. Lalu sorot

matamu meredup. Kau bagai menyampaikan permintaan

maaf yang mendalam. Begitulah yang kaulakukan ketika

akan memetik bunga-bunga, termasuk bunga kecubung.

Bunga kecubung memang selalu menarik perhatianmu.

Menurutmu, kecubung adalah bunga yang paling rendah

hati. Ketika bunga-bunga lain berlomba memamerkan cerlang warna dan lekuk mahkota kepada matahari, ia malah

sebaliknya; lingkar mahkotanya yang bergelombang adalah

rok noni Belanda yang landung, mekar menunduk mencari

tanah yang terselimuti daun-daunnya yang gugur.

Bagimu, kecubung juga teladan yang paling indah untuk kebersamaan dan kesetia?kawan?an. Lihatlah, batinmu entah kepada siapa, kecubung tak pernah mekar sendiri-sendiri. Mereka melakukan banyak hal bersama-sama.

Menguncup bersama. Mekar bersama. Gugur pun begitu.

Hebatnya, batangnya tak pernah sepi dari bunga. Selalu

saja, bila segerombol bunga sudah luruh, payung-payung

hijau bening yang dibuka terbalik sudah bergelantungan di

cabang-cabangnya yang berair pada esok paginya.

Kecubung adalah bagaimana seharusnya para pemuda

dipersiapkan dan dimunculkan dengan penuh perhitungan,

gumammu seperti berbisik kepada tumbuhan-tumbuhan

lain. Maka, bila mendapati kecubung bermekar, kau bukan hanya memetiknya, tapi juga akan kembali esok hari,

esok harinya lagi, atau esok harinya lagi, sampai bunganya

berganti dengan kecubung-kecubung yang lain. Kau benar8

benar ingin belajar menjadi tahu diri, suka berbagi, dan

memberi kesempatan kepada yang dini dari kecubung.

Tidak hanya itu, aroma air yang menguar darinya membuat kecubung tampil sebagai bunga yang paling bersahaja

di matamu. Seperti teratai, kecubung tak suka mengenakan

parfum atau wewangian yang dapat saja membuat keberadaannya terancam. Kecubung bukannya menyadari tentang

bahaya itu, ia hanya memelihara apa yang Tuhan berikan

dengan semestinya. Ia pun tumbuh, berputik, mekar, gugur, dan begitu seterusnya.

Ah, kau memang pandai mencipta kias, wahai pengelana.

Itulah julukan yang orang-orang sematkan padamu.

Pun ketika orang-orang menemukanmu tergelantung di

dahan pohon merbau yang besar di Lubuklinggau pada

suatu waktu. Di mulutmu tersembul kepala tupai?seolaholah kau mengembuskan napas terakhir karena terlalu bernapsu melumat tubuh tupai itu. Kepalamu yang diikat kain

semacam kafieh terjuntai ke bawah dengan dua kaki yang

terikat lurus di atas. Posisi matimu yang begitu mengingatkan orang-orang pada kecubung yang mekar namun tak

kunjung luruh. Batang-batang kecubung di sekitarmu tak

satu pun yang berbunga, seolah takut dilumat tupai-tupai

itu, seolah tak ingin dipetik hantumu, atau seolah menghormatimu sebagai raja dari segala raja kecubung karena

posisi tubuhmu saat ini, atau seolah memberi kabar kepada

sesiapa yang singgah di rimba itu agar tidak menganggap

remeh kecubung!

Begitulah kisah hidupmu yang kutahu. Seorang pengelana yang gagah, menyukai tantangan, dan tak takut mati!

Orang-orang sudah lupa dengan gelar pejuang kemerdekaan yang pernah kau sandang. Kau adalah seorang pujangga, begitu orang-orang menyebutmu akhir-akhir ini.

Pujangga, bagi mereka, adalah orang yang mampu memenuhi hasrat-bahagianya lewat kata. Dan meskipun itu

adalah masa lalumu sebelum kiamat-sangat-kecil mematikan dan menghidupkanmu kembali, riwayatmu dengan banyak istri adalah salah satu keberhasilan seorang pujangga.

Bagi pujangga sejati, kata-kata bukan sekadar untuk dipadu-padan atau dilafal saja, tapi lebih dari itu. Kata-kata

harus menjelma perbuatan, kebaikan, dan keberhasilan. Untuk sampai pada kemampuan itu, mengelana ke mana saja:

dari pulau ke pulau, dari hati ke hati (tak harus dari pelaminan ke pelaminan), adalah keniscayaan. Lalu, kalau memang begitu, apakah para pujangga yang suka menyendiri di

dalam kamar, membujang hingga waktu meninggikan dan

menggemukkan pepohonan, hidup dengan pabrik asap yang

mengepul dari bibir yang legam, dan berkutbah dari dalam

gubuknya yang pesing, benar-benar pujangga?atau mereka

sekadar pengelana, yang tak pernah ke mana-mana, yang takut menyusuri rimba?

DAN KAU, PENGELANA!

Kedatanganmu ke rimba Belalau yang masih merimba

atau ke Jalan Lintas Sumatera yang masih terang atau ke

bunga-bunga kecubung yang merunduk karena rasa malu

telah gagal menyembunyikan kehilangan yang terlanjur

moksa sebelum cerita ini dimaklumatkan adalah bagian

dari gerilyamu untuk menjumpai kawan dan tempat baru,

juga merenungi pengalaman, pelajaran, dan cinta yang tak

pernah menua.

Mereka, mungkin akan bertanya: setelah ini apakah tukang kawin atau pejuang atau pengelana atau pujangga seperti kau akan hidup lagi?

Mungkin tidak. Mungkin pula iya.

O ya, kematianmu kali ini membuat orang-orang kampung berdebat perihal tulisan yang akan diukir di nisanmu.

Entah bagaimana dan siapa yang mengusulkan, keesokan harinya sudah tertulis saja di nisanmu:

Samin.

Tanpa tanggal lahir.

Tanpa tanggal wafat.

Tiga ekor tupai sedang bergelayutan di ranting pohon

kelor yang tumbuh dua meter dari kuburanmu.

Gulistan

Walaupun telah berusia lebih dari separuh abad,

kalian masih ingat, ingat sekali, kalau kalian

bepergian ke kampung tetangga

di pengujung Sakban.

BAKDA ZUHUR, KALIAN menumpang sebuah bus yang

semua bangkunya sudah terisi untuk dua jam perjalanan ke depan. Sungguh, kalian tak habis pikir bagaimana

orang-orang muda di dalam bus membiarkan saja dua

orang tua berdiri dengan sebelah tangan berpegangan pada

besi terentang di atas lorong yang membagi barisan tempat

duduk. Di sekitar kalian; sepasang muda-mudi duduk berdempetan, mulut empat lelaki pecandu kretek yang menjelma pabrik asap, beberapa lelaki yang kalian taksir berusia

empat puluhan mengutuk pemerintah yang batal menaikkan harga BBM padahal sudah berdrum-drum bensin ditumpuk di halaman belakang rumah, tiga pemuda sibuk

memamerkan kelebihan fisik pacar masing-masing, ibu-ibu

muda asyik dengan gadget (sesekali mereka merutuki Innova pribadi yang mogok?sepertinya mereka adalah anggota DPRD yang baru saja mengunjungi daerah pemilihan

terpencil) .

Kalian berdua hanya bersipandang, sesekali memejamkan mata demi mencegah diri dari mengumpat dan membicarakan dosa-dosa orang lain.

O, betapa ujian kesabaran tak pilih usia.

Ah, kalian juga masih ingat. Baru setengah perjalanan,

bus tiba-tiba berguncang, lalu berguling menurun, seperti

tersungkur ke lembah yang sesak oleh pohon-pohon besar,
Cinta Tak Pernah Tua Karya Benny Arnas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semak-semak berduri, dan rumput-rumput tinggi tak bernama. Kalian tak menyangka, di balik belantara, ada sebuah taman yang indah.

Bagaimana kami dapat terdampar atau terlempar atau

tersuruk di tempat ini, bisik hati kalian masing-masing.

Lalu, lalu kalian seolah terpisah, dan masing-masing

berjumpa dengan seseorang yang berasal dari seberkas cahaya.

KAU MELIHAT LESATAN - lesatan cahaya putih kemerahmerahan. Lalu cahaya itu meliuk-liuk sebelum menjelma

seorang gadis. Sebelum terpikat pada kecantikannya, kau

sudah takjub pada apa-apa yang kautemui di taman.

Mana langit mana laut. Begitu kebingunganmu bermula. Ya, sama-sama biru bentangan alam itu. Selendang

samudera yang beriak menjadi tudung nan indah, dan kibaran horison menjelmabal bagi daratan yang penuh

lekuk dan celah. Kau memandang riakan langit dan ketenangan samudera dengan degup jantung yang melampaui

kecepatan kayuh kaki kuda kala berlari. Berulang kali kau

kucek mata demi memastikan apa yang kau pijak dan apa

yang memayungimu bukan sekadar ketakwajaran yang

mengundang decakan ganjil, bukan pula ilusi yang iseng

menyambangi.

Mana puisi mana sabda, telingamu pun kehilangan

kepekaan. O, tidak! Mungkin tidak begitu tepatnya, tapi

pendengaranmu tiba-tiba kehilangan gendang yang tabuhannya selalu memberitahu nama setiap suara dan perbincangan. Pandanganmu menyapu sekeliling, bagai meminta

penjelasan perihal telinga yang bantut bekerja. Tapi, untuk

apa risau dengan karunia bila pikiran pun kehilangan pelabuhan untuk menambatkan nalar dan logika.

Maka, gemericik aliran sungai yang menabrak bebatuan

pun tak ubahnya tetesan air gua yang tak ingin menjadi

stalagtit-stalagmit.

Maka, cericit beburung adalah denting musik paling

merdu yang pernah menggema di mayapada.

Mana angin mana udara, kau juga hampir tak memikirkan. Selayang pandang, dua zat itu tak ada bedanya. Ya,

angin mungkin lahir dari rahim udara, anak yang ketika

remaja dibiarkan berkeliaran; kadang membuat sesiapa

terlelap karena kesiurnya, kadang membuat rumah-rumah

poranda karena kumparannya, kadang membekukan aliran darah sebab kedatangannya yang serta-merta. Namun

ternyata angin ini tidak seperti itu. Ia adalah udara bersih nan jernih, yang lesap ke dalam tubuh hingga darahmu

suci dengan merahnya, hingga air matamu manis dengan

beningnya.

Lalu, mana rindu, mana tak tahu?

Ya, kau seolah mengenal gadis itu. Di salah satu sudut

taman yang penuh dengan bunga tanpa ranting itu, hanya

ada kau dan dia. Sungguh, kau tak kuasa menamakan perasaan yang tengah menguncup.

Kau memandang gadis itu dengan saksama. Dari kepala

hingga ujung jari kaki. Kau seolah mengenal dia dengan baik.

Bahkan bisa kaubayangkan apa-apa yang ada dalam hatinya

(entah bagaimana, kau bagai lupa ajaran agama; kau merasa tak perlu beristighfar sebab memikirkan sesuatu yang?

mungkin seharusnya?haram bagimu).

Wajah gadis itu bening. Bening sekali. Matanya berbinar?titik hitam di dalamnya seperti pusaran yang menyimpan godaan tak tetanggungkan. Meskipun begitu, sedikit

pun kau tak khawatir. Kau merasa nyaman sekali, padahal

kau sangat yakin kalau gadis itu bukan muhrimmu. Kalian

bahkan terlibat pembicaraan basa-basi berkepanjangan. Kalian saling menanyakan kabar, alamat, hal-hal yang gemar

dilakukan, warna kesukaan, dan tentu saja nama masingmasing. Kau melakukan semuanya tanpa merasa risih, tanpa

merasa canggung, apalagi malu dengan kesalehan yang kau

pelihara selama ini.

Ah, bagaimana kalau banyak orang yang melihat kami

berdua, pikirmu sedikit cemas. Tapi setelah memastikan

bahwa tidak ada siapa-siapa, perasaanmu pun sedikit lega.

Kau sesungguhnya tahu kalau Tuhan maha melihat. Bahkan hati kecilmu sempat nyeletuk; apakah Dia juga ada di

taman yang menakjubkan ini?

O tidak, gumammu seolah sadar dari kekurangajaran

dugaanmu. Tuhan pasti ada. Di mana-mana. Tapi entah

aku yang salah karena kalap dengan gadis yang menjelma

bidadari atau apa, aku merasa Tuhan meridhoi apa yang

kulakukan ini. Ah, jangan-jangan gadis ini adalah jodoh sejatiku.

"Lalu, lalu, bagaimana dengan perempuan yang kau pinang 10 tahun lalu?" tanya gadis itu, seolah menangkap kegelisahanmu. "Apakah kau tidak bahagia dengannya? Apa

yang kurang darinya?"

Kau terdiam. Menekuk dagu. Bukan, bukan karena takut

pada pandangannya, melainkan bingung bagaimana dapat

kauingkari pertautanmu dengan istri selama ini.

"Maksudku begini" Nada suaramu ragu-ragu. "Hmm,"

kau masih ragu-ragu seperti hendak menceritakan kekurangan, "istriku," lanjutmu tertahan. "Istriku tidak dapat

memberikan keturunan, bahkan di usia pernikahan yang

mendaki tahun ke-10."

Gadis itu senyam-senyum.

"Mengapa kau tersenyum begitu? Apa ada yang aneh

dengan kata-kataku?" tanyamu penasaran.

"Tidak," jawabnya. "Aku hanya ingin tahu. Apakah kau

pikir istrimu mandul, atau jangan-jangan "

Belum selesai kalimat gadis itu, kau menyela, "Ya, aku

tahu maksudmu. Kau memang benar. Bisa saja aku yang

mandul. Bisa saja aku yang salah. Tapi, tapi, tapi, kami sudah

sama-sama memeriksakan diri ke dokter. Hasilnya sungguh

melegakan. Kami berdua tidak memiliki kekurangan untuk

berketurunan. Tapi, ya, kenyataannya begini. Entah dokter

itu yang salah, kami yang salah, atau Tuhan menganggap

kami belum cukupanah."

"Aku bahagia sekaligus bangga dapat mengenal laki-laki

sepertimu."

Wajahmu merah kembang sepatu.

"Kau tidak egois. Aku yakin istrimu adalah wanita yang

beruntung. Kau jangan terpedaya oleh penampilanku. Pasti

kau mengira aku berusia tujuh belas tahun, kan?"

Warna kembang sepatu di wajah laki-laki itu berubah

menjadi ungu.

"Tak usah malu." Wajah gadis itu semringah. "Aku tahu

semua tentangmu. Tentang anak-anakmu terdahulu. Tentang anak-anak asuhmu. Tentang perjuanganmu mengusir

penjajah di zaman dahulu. Tentang hasil ladang yang kalian sumbangkan untuk masjid dan para manula yang kehilangan daya untuk bekerja. Termasuk hal-hal yang kaulakukan saban Ramadan."

Kau mengernyitkan dahi.

"Setiap Ramadan, kau dan istrimu beribadah sebulan penuh, bukan? Bahkan kalian sengaja ke ladang setengah hari

karena tak ingin waktu salat sunnah, membaca Quran, dan

menghadiri majelis hikmah, banyak tersita."

Kau takjub, benar-benar takjub; bagaimana ia mengetahui semuanya.

"Lalu, sebenarnya siapa kau, wahai Gadis yang Mengetahui Segalanya?"

Gadis itu mendekatimu. Kau mematung, seakan-akan

aliran darahmu ditotok. Ia membisikkan sesuatu di telingamu, sesuatu yang lembut, yang bertiup, berselancar di sepanjang nadi, dan menancap di katup jantungmu. Sungguh,

sepertinya kau mengakrabi suaranya. Kau tersenyum, tersenyum malu, ketika mengetahui sekaligus menyadari: gadis

itu mengetahui kepura-puraanmu, kepura-puraan kalian.

Ah, memang drama yang indah, batinmu gembira.

TAK KALAH DENGAN suamimu, kau juga takjub tak kepalang.

Kau berjumpa dengan seorang pemuda yang tampan perkasa. Seperti inikah Nabi Yusuf, dugamu tak percaya. Namun cepat-cepat kau beristighfar ketika ingat suamimu. Tapi

di mana imammu itu, kau pun tak tahu. Kepalamu sudah cukup bergasing dengan apa-apa yang ada di hadapanmu.

Kau tak kuasa membedakan, mana pinang mana kelapa.

Setiap pohon menjulang bagai tiang cahaya tanpa bohlam. Pelepahnya adalah sayap merak yang riap dengan

rumbai yang belum pernah kau lihat. Daun-daunnya seperti mutumanikam yang membentang dalam warna hijau kulit nangka. Lalu, bunga-bunga putih susu yang merimbuni

tetangkai yang menyeruak di pucuk-pucuknya memancar

cerlang; sinarnya menerangi hingga radius 200 mil di sekitarnya (ah, betapa!). Buahnya? Buahnya adalah bola-bola air

yang menggelantung di udara yang kapan saja dapat berubah

bentuk, warna, dan aroma.

Mana padi mana ilalang, kau jua tak kuasa mencuatkan

jawab.

Rerumputan, begitu akhirnya pikiranmu memberi nama.

Rerumputan yang senantiasa bersujud; tak peduli siang atau

malam, tak peduli pagi atau petang, tak peduli ke mana jarum jam bergasing seharian. Memang, sebagaimana rerumputan, kerimbunannya menyerupai batalion hobbit berbaju hijau yang bertiarap. Saban pucuknya melambai, wangi

gurun menguar dan sejuknya air terjun merayap. Setiap itu

pula, langit akan menjadi biru terang?bukan biru yang sendu. Resapilah; cericit dan koak burung-burung pun tidak lagi

mendenyarkan daun telinga, namun membuat dadamu makin lapang dan perasaanmu makin bungah, seolah ada kebahagiaan yang tiba-tiba menyerlah!

Lalu, lalu bebunga yang menghampar itu, membuatmu

tak berdaya melukiskan, seperti apa nian dadamu bergemerincah: mana mawar, mana raya?

Ya, kau memang sangat menyukai kedua bunga itu. Selintas, raya adalah kembang sepatu dengan kelopak berlapis-lapis. Dari jauh, raya tampak seperti bunga mawar raksasa. Namun, kau begitu terkejut ketika mendapati; bunga

yang awalnya kauniatkan untuk dihadiahkan kepada suamimu itu, ternyata bukan raya, bukan juga mawar raksasa!

Kau kehabisan kata untuk menamakan bunga yang

tangkainya berada dalam genggamanmu kini. Apalagi, aromanya ya aromanya seperti campuran dari puluhan atau

ratusan atau ribuan atau jutaaan wangi yang selama ini belum pernah kaubaui!

Lalu, mana mawar, mana raya?

Lalu, mana taman, mana surga, Abang?

"Abang?" tanya pemuda itu, "Kenapa kau memanggilku

seolah kita sudah saling mengenal, seolah aku kekasihmu?"

Ia nyengir kuda, namun binar matanya berusaha menggoda.

Kauseri-serikan wajah. Kau kikuk, tak tahu ke mana harus membuang muka. Kau menyesal sudah memanggil pemuda itu "Abang". Oh, bagaimanapun, pemuda itu telah

menyadarkanmu agar tidak menebas kesalihan yang telah

kautumbuhkan bertahun-tahun dalam sekali perbincang21

an. Tiba-tiba kau merasa sangat kesal kenapa bisa terseret

ke taman ini.

"Tenanglah. suamimu tak ada di sini." Pemuda itu seolah mencoba menenangkan.

"Ini bukan tentang ada-tidaknya suamiku, melainkan layak-tidaknya seorang perempuan bersuami berduaan denganmu di sini, di taman ini. Oh, kita seperti sepasang kekasih yang sedang memakan buah kuldi!"

"Apakah kau yakin Tuhan juga ada di tempat ini? Bukankah Dia memiliki taman-Nya sendiri?"

"Surga?" tebakmu.

"Mungkin lebih dari itu," tukas pemuda itu.

"Lalu taman ini?" Nada pertanyaanmu seperti kecewa.

"Kenapa?" Pemuda itu memicingkan sebelah mata seperti mengejek. "Kau menganggap taman ini sebagai surga?"

Kau terdiam, malu. Wajahmu pucat dan benyai.

"Memangnya siapa kau?" Pemuda itu meremehkanmu.

"Lalu di mana suamiku?" Perasaanmu tak tentu. Cemas,

takut, dan bingung, bersigesek dalam dadamu.

"Jangan-jangan dia yang ke surga!" Ia lipat kedua tangan di dada.

"Lalu inikah neraka?" Kau mulai sedikit panik.

"Aku tidak bilang begitu." Nada suaranya seperti mengejek.

"O, tidak!" Kau memegangi kepala, meremas-remas

rambut, kebingungan. "Apakah niat kami hijrah ke kota

tetangga itu salah lantaran kami meninggalkan anak-anak

itu?"

"Maksudmu?" tanyanya pura-pura tak tahu.

"Akulah yang mengajak suamiku meninggalkan kota

kami. Tapi, suamiku sudah mengamanahi seseorang untuk

mengurus anak-anak asuh kami dengan gaji veterannya setiap bulan. Lengkap dengan sejumlah uang dan bekal makanan."

"Dan suamimu menurut saja karena ia juga ingin punya

anak, kan?"

"Bukan!" Kau mengelak. "Eh, iya." Kau segera meralat

sanggahan. "Kami mengasuh banyak anak seharusnya memang bukan untuk memancing Tuhan untuk mengasihani

kami. Seharusnya pula, hijrah kami semata demi ibadah

yang lebih khusyuk selama Ramadan, bukan meninggalkan

kota yang kami rasai makin lama makin kotor." Kau merasa

sangat malu, malu sekali. "Ah, bagaimana kami menjadi sefasik ini!" Kini kau menyesal sekali.

"Tidakkah kalian tahu, kalau setelah hijrahnya Rasulullah, tak ada lagi hijrah di muka Bumi ini, kecuali kesungguh-sungguhan untuk berbuat baik?"

Kini, malumu bersitumpuk. O, siapa nian pemuda ini,

batinmu antara takjub dan penasaran.

"Lagi pula, kau menikah ketika usiamu lewat empat puluh, kan? Kalian masih berharap dilimpahi keajaiban, begitu? Memangnya siapa kalian? Kalian hidup di zaman apa,

tahun berapa?"

Kini tubuhmu menggigil.

"Tidakkah kalian malu?" Telunjuknya menuding wajahmu. "Kalian seolah tak mampu mengasinkan lautan sendiri, lalu ingin pindah ke pulau garam yang berada tak jauh

dari samudera."

Wajahmu mendongak. Bahumu berguncang meredam

buncah. "Mungkin kami memang salah. Kami hanya ingin

mencoba-coba dan kami alpa kalau itu bukan tindakan yang

baik. Kemarin seharusnya menjadi Ramadan kami yang kesepuluh sebagai suami-istri. Ramadan adalah bulan yang
Cinta Tak Pernah Tua Karya Benny Arnas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mustajab untuk terus mengecambahkan harapan dengan

doa-doa, bukan? Termasuk berharap dijatuhi keajaiban?

Ah, sepertinya kami memang salah, ya. Pikiran kami terlalu

singkat." Wajahmu seperti kembang sepatu yang tergeletak

di dekat api yang membara. "Kami hanya berpikir, siapa tahu

beribadah, termasuk beri?tikaf, di kota yang terkenal dengan

kemakmuran masjidnya, dapat membuat Tuhan memercayai kami tahun ini."

Pemuda itu menatapmu dalam, tajam, dan runcing sekali. Lalu dari kedua bahunya, menyembul sepasang sayap.

Sayap itu berbulu cahaya. Lalu, lalu ia terbang. O tidak,

bukan terbang, melainkan lesap ke dalam cahaya. Cahaya

yang tidak menyilaukan, tapi menenangkan, menenteramkan, menyejukkan, dan melindungi.

Kau mendekati cahaya itu.

Cahaya yang berbentuk seperti manusia.

Kau tak tahu, dari mana keberanian menyusup dalam

dirimu. Kau menghampiri telinga kanan pemuda cahaya

itu, dan membisikkan kalimat yang kau sendiri tak me?

ngerti dari mana kata-katanya kaudapatkan, bagaimana lidahmu begitu lancar melafalkan:

"Jangan saling menipu, Sayang. Kita sama-sama tahu

kalau kecelakaan bus itu tidak terjadi kemarin, tapi dua

ribu empat ratus tiga puluh satu tahun yang lalu. Kita juga

sama-sama tahu kalau kita sudah saling mengenal sedari tadi, sedari dulu. Kau sudah meminangku lebih dari sepuluh ribu tahun yang lalu, kan? Hmm, apakah kita akan

bercinta lagi di taman ini untuk yang kesekian kalinya? Kupikir, Tuhan akan mengembuskan ruh baru ke rahimku.

Bukan saja karena kita berdoa di tempat yang indah, tapi

juga karena kita memanjatkkannya di pintu gerbang Ramadan."

Kalian sama-sama mengaminkan, lalu berpelukan, bermesraan. Selanjutnya ah sebaiknya memang tidak diceritakan. Yang terang, kalian juga seolah tak peduli, lupa,

atau sengaja tak hendak bertanya:

Taman apa tempat kalian kini berada?

Orang Inggris

Entah bagaimana harus kumukadimahi.

Yang terang, tiba-tiba lelaki itu hadir saja. Ia kerap

menyelinap dalam mimpiku (sebagaimana

dirawikan Al Ramni, kitab perihal kepercayaan

orang-orang Sumatera, tanda-tanda yang

menyertainya menunjukkan itu adalah mimpi yang

sahih), namanya menyeruak dari mulut beberapa

kakek pemakan daun?mereka mengaku berusia di

atas seratus lima puluh tiga tahun?di paha

Gunung Jempol ketika kami bercakap-cakap,

ia juga terserlah dalam ingatan tentang kehidupanku di masa lalu (tentu tak perlu kutanya: apakah

kalian juga meyakini kehidupan seseorang yang

berulang di masa yang lain?).

PADA TANGGAL SEMBILAN belas September, dua ratus

tiga puluh tahun yang lalu, ia meninggalkan Benteng Marlborough. Di waktu yang sama, aku meninggalkan Lubuklinggau menuju Jambi dengan berkuda. Di Pargarradin,

kami berpapasan di semacam simpang yang membelah

rimba. Kami saling melempar senyum. Keheranan menyergap ketika kudapati ia tak menunggang kuda (perasaanku

mengatakan, ia akan melakukan perjalanan jauh). Keherananku bertambah kala kusadari bahwa rambutnya berwarna kuning rotan. Setahuku, tak pernah ada seseorang

berbau kompeni menyusuri hutan dengan berjalan kaki

(kompeni? Ah, mengingat kata itu membuat jurang di dadaku makin menganga).

Ia bagai mengendus isi kepalaku. Ia mendekatiku dan

berkata (bukan merayu), sudikah aku memberi tumpangan.

Ah, ia terlalu percaya diri. Aku tak terlalu menyukai lagaknya. Lagi pula, tak lazim seekor kuda ditunggangi dua

orang. Ia juga orang yang baru kukenal. Aku tak tahu apakah ia orang baik-baik atau sebaliknya. Dan belum tentu

kami memiliki tujuan yang sama.

Baru saja hendak kutanggapi, ia mengulurkan tangan.

Kami berjabat tangan. Erat. Ia menatapku. Hangat. Aku alihkan pandangan. Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang tak

biasa. Ia menyebutkan nama. Nama yang sangat tidak Melayu. Nama yang bisa kulafal namun tak yakin mampu kutuliskan. Baru saja kusebut namaku, ia langsung bertanya (bagai

memastikan), apakah aku akan melewati Kalindang.

O o, bagaimana ia tahu!

Aku memang akan ke Jambi. Namun, aku berencana menyambangi Kadras, Singkut, Gunung Ayu, dan Kalindang,

terlebih dahulu. Jangan-jangan ia memang orang baik hingga Tuhan berkenan menjatuhkan keberuntungan atasnya;

bagai mengutusku untuk memudahkan perjalanannya.

Tanpa meminta persetujuanku, ia menginjitkan sebelah kaki lalu melompat ke atas pelana. Duduk di belakangku. Sembari berteriak kuentakkan tali kekang. Seperti biasa

kuda itu akan meringkik beberapa kejap sebelum mengangkat rendah kedua kaki depannya, dan melaju.

Kukatakan kepada Charles?demikian aku memanggil

kawan baruku itu?tentang daerah tujuan akhirku. Entah,

apakah ia memang tak menetapkan tujuan sebelumnya, atau

sejatinya ia memang hendak ke Tanah Batanghari Sembilan,

aku tak mengerti. Tiba-tiba saja ia memintaku membawanya

ke Jambi. Lagi, aku memenuhi keinginannya. Ah, bagaimana

aku sangat baik hati hari itu.

Aku tunaikan semua keperluanku di daerah-daerah

yang kusinggahi. Membeli tiga kantung tembakau di rumah pesirah di Kadras. Membeli dua pikul terong panjang

dari para petani di perkebunan rakyat di Singkut. Membeli

dua ikat sapu lidi dari pembuat gula aren di Gunung Ayu.

Di Kalindang sendiri, aku membeli sekeranjang kapulaga

di perkebunan dekat perbatasan.

Ketika kutanya apa yang hendak dilakukan di Kalindang,

ia memintaku melupakan pertanyaan itu. Sebenarnya aku

sedikit tersinggung oleh sikapnya, tapi aku berusaha tak

mengambil hati. Aku tak ingin bertanya lebih jauh sebab aku

memang bukan orang yang nyinyir. Ia hanya mengatakan

bahwa, di Jambi nanti ia hendak berburu murai. Aku tergelak. Kukatakan, di rimba sepanjang anak Sungai Musi, burung itu juga banyak beterbangan. Ia terkejut. Ia tepuk bahuku bagai memastikan kesungguhan kata-kataku. Aku sedikit

tak mengacuhkannya, walaupun dengan sedikit berseloroh

kubalik bertanya; apakah karena kabar usang tentang burung itu, ia hendak membatalkan niat ikut denganku, apakah

ia minta diantar balik ke rimba tempat kami bersua tadi, atau

bahkan minta ditunjuki dusun-dusun di Musirawas yang terbentang di sepanjang tubir anak Sungai Musi. Ia setengah

terkekeh. Aku tahu ia malu dan tak enak hati.

Sesampai di Jambi, aku antar apa-apa yang kubawa dari

tempat-tempat yang kusinggahi tadi ke rumah-rumah penduduk yang memesannya. Ya, aku adalah pedagang sambungan. Demikian orang-orang menyebut apa yang kulakoni. Pekerjaan itu bukan untuk mencari untung, tapi untuk

membuat pengembaraan memiliki sedikit alasan. Aku sendiri, sejak ditinggal kekasih yang mati ditembak kompeni,

kerap menyusuri punggung Bukit Siguntang seorang diri.

Sejak itu pula, aku muak pada kawan-kawan pengusung

bambu runcing yang kerap mengataiku sebagai laki-laki

yang tak peduli pada negeri yang terus ditindas ini.

Aku bertanya, mau ke mana lagi ia? Apakah perlu kubantu, paling tidak kukawani, berburu murai?

Ia menepuk dahi. Ugh! Aku lupa! Kita harus membeli

senapan angin, katanya seolah baru menyadari kealpaannya. Atau... kau membawa panah, tanyanya sambil melihat

ke barang-barang bawaanku di pelana kuda.

Aku tersenyum kecil. Kutunjukkan ketapel yang sedari

tadi kukalungi. Kuambil sebiji kerikil. Kupinta ia menunjuk

sembarang benda. Telunjuknya mengarah ke bawah sebatang pohon. Jaraknya empat kaki dari kami. Sebuah pauh?

jenis mangga-manggaan seukuran kedondong (Bila ingin

merasai seasam-asamnya buah, ciciplah pauh. Serta-merta muka akan kusut seperti santung, kain yang sudah diseterika saja permukaannya kerut seribu)?tergeletak. Tampaknya pauh itu baru saja jatuh dari pohon.

Kuambil kerikil sebesar biji salak. Kumasukkan ke kantung karet ketapel. Kulepas tembakan. Dash! Pauh bergerak mundur sejari kelingking. Buah itu sudah mengandung

kerikil. Aku tersenyum jemawa. Charles mengangguk-angguk sebelum mengacungkan jempol kanannya ke arahku.

Ia memungut kerikil-kerikil yang ada di dekatnya. Ia dapat

dua genggam. Disimpannya di kedua saku celana. Kuserahkan ketapel kepadanya. Kami ikatkan kuda di sebatang pohon sungkai. Kami memasuki rimba.

Seperempat perjalanan, Charles mengatakan bahwa ini

adalah kali ketiga ia berburu murai di situ. Kata-katanya

benar atau tidak, aku tak tahu. Kupikir ia sedang menyindirku yang sedari tadi berada di depannya seolah menjadi

penunjuk jalan. Kupelankan langkah. Ia berjalan di depan.

Ia katakan pula, ia sudah berkeliling Sumatera sejak sepuluh tahun yang lalu. Dan hingga kini ia benar-benar tak

tahu kalau murai tak hanya terdapat di Jambi. Kutanyakan, apakah ia pernah mengunjungi Simpang Semambang,

Muara Kelingi, Suro, Karangpanggung, Maur.... Ia menggeleng. Aku tersenyum miring, mengejek.

Kelak aku akan ke sana untuk melihat murai-murai itu,

ujarnya datar, seolah menyangsikan kata-kataku.

Kini ia balik bertanya. Tentang pekerjaanku. Matanya

berbinar ketika mendengar jawabanku.

Kau juga pengembara, tebakku dengan raut semringah.

Ia menggeleng sebelum mengangguk ragu. Aku orang

yang suka bepergian demi ilmu dan kebahagiaan, katanya.

Sama saja, sambarku.

Tidak, jawabnya tak kalah cepat. Aku bekerja untuk perpustakaan pribadiku di Greenwich, imbuhnya.

Perpustakaan? Aku sangat tertarik dengan perpustakaan. Terdengar sangat beradab. Maukah kau mengajakku ke

sana, pintaku.

Ia melipat daging dahi. Kau sungguh-sungguh, tanyanya

seolah tak percaya.

Aku mengangguk yakin.

Baiklah, katanya. Tapi ada syarat, lanjutnya sembari

menarik kedua ujung bibir melengkung ke atas.

Aku tak sabar mendengarkan syarat yang ia ajukan. Ia

kembali tersenyum. Kali ini lebih lebar dan lebih lama.

Biarkan aku yang memimpin pengembaraan ini ....

Satu bulan?

Itu sudah paling lama.

Baiklah.

Maka, bakda mendapatkan tujuh ekor burung murai lalu

menyimpannya dalam bakul anyaman yang kubawa, ia jelaskan jalur pengembaraan. Aku menurut saja. Kami mulai

mendaki bukit-bukit yang merupakan batas kekuatan kompeni. Bukit-bukit yang ditumbuhi pohon-pohon yang tinggi.

Dusun pertama di balik bukit bernama Kalubak. Dusun ini terletak di tepi Sungai Musi. Kami kembali berburu murai di sini. Alangkah senangnya ia. Selanjutnya, kami

menuju Kapiyong dan Paramu. Di kedua tempat ini, penduduknya mengirimkan hasil ladang ke Palembang melalui perahu-perahu dari Ogan Komering. Sebenarnya, kami

ingin menumpang salah satu perahu (seperti apa nian pemandangan sepanjang anak Sungai Musi?), namun karena

rasa letih mulai menyerang, kami membatalkan niatan itu.

Kami rehat di Tabat Bubut pada tanggal sepuluh Oktober. Ia sempat mengutarakan pendapatnya tentang daerah

sekitar Sungai Musi. Dari tanahnya yang berwarna hitam

malam, daerahmu benar-benar subur, ujarnya seolah-olah

pakar tanah.

Pada tanggal sebelas Oktober, kami hendak melintasi

perbukitan dan menuju Ranna-Lebar. Kami tersesat di hutan. Perjalanan kami pun melenceng. Kami tiba di Beyol

Bagus, sebuah dusun yang masih dalam kekuasaan kompeni. Kami sempat sarapan kepar?demikian penduduknya

menyebut ubi jalar?yang direbus. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Gunung Raja. Sebagian perjalanan

dilakukan menyusuri Ayer Bagus, anak Sungai Bengkulu.

Dasar sungai ini terbentuk dari batu-batu besar. Sungai

ini melewati daratan yang ditutupi rimba. Di sini, Charles

mengucapkan banyak terimakasih. Ia sudah puas, rupanya. Ia ingin menikmati perjalanan sendirian sebagaimana

aku?yang lagi-lagi katanya?mungkin juga ingin kembali

ke Lubuklinggau.

Aku akan ke Bentiring, katanya. Burung-burung murai

itu untukmu saja, lanjutnya sembari nyengir.

Dengan apa kau akan ke sana, tanyaku seolah-olah

mencemaskannya.

Aku selalu menggunakan jalur ini, katanya sembari menunjuk sungai yang berkelok.

Aku sempat memicingkan mata?memastikan kesahihan kata-katanya?sebelum ia mengajakku masuk rimba di

tepi sungai. Kami menebang bambu dan menebas akar beringin yang menjuntai. Kami mengikat bambu-bambu de34

ngan akar beringin itu. Kami membuat rakit. Aku kagum

kepadanya. Tak pernah terpikir olehku, aliran Sungai Gunung Raja akan membawanya ke Bentiring.

Matahari, angin, dan lambaian pohon-pohon, adalah

kompas yang paling mujarab, katanya seperti menjawab

pertanyaanku tentang penunjuk arah apa yang ia bawa.

Bambu sepanjang enam depa ia jadikan kayuhan. Setelah mengucapkan "sampai jumpa", ia lajukan rakit meninggalkanku yang termangu. Aku tak tahu apa yang sebenarnya

baru saja kualami. Siapa nian si Charles itu. Mengapa aku

sangat baik hati; menemani pengembaraannya hampir satu

bulan lamanya. Mengapa pula aku ... o o, aku baru ingat. Ya,

ketika punggung Charles ditelan kelokan sungai, aku baru

sadar bahwa ia belum memberitahu kapan aku akan diajak

ke negerinya. Apakah ia lupa dengan kesepakatan itu? O tidak! Aku tiba-tiba merasa diperdayai. Kuputar kepala. Menoleh kudaku. Aku cemas bila perbekalanku diambilnya.

Ternyata semua masih utuh. Ah, aku makin bingung!

Aku pikir Charles takkan mengingatku lagi. Namun, dua

pekan kemudian, kehadiran seorang kurir di beranda rumah panggungku, membuyarkan dugaan itu. Ia menyerahkan gulungan daun lontar sebelum pergi.

Kubuka lamat-lamat.

Tiba-tiba jarak antardegup jantungku makin rapat. Ah,
Cinta Tak Pernah Tua Karya Benny Arnas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengapa aku jadi berlebihan seperti ini. Ya, Tuhan! Dari

Charles. Charles Miller, demikian tertulis di sana. Ia masih

mengingatku... bagaimana bisa? Ohhh.... Pekan depan ia

akan ke Lubuklinggau. Ia memintaku menunggu di dekat

rumah tinggi pesirah di simpang jalan menuju kabupatenan.

Aku terpaku. Terharu. Bahagia yang sangat. Aku bukan

membayangkan seperti apa perpustakaannya, atau memastikan Greenwich itu di Holand atau di Inggris. Aku membayangkan perjalanan panjang yang membahagiakan dengan

seseorang yang gagah seperti Charles. Aku bagai dibekap

deja vu. Ya, perasaanku pernah berkebat-kebit seperti ini

ketika menanti saat-saat perjumpaan dengan kekasihku dahulu, Morgan Mistee, sebelum kami kedapatan tengah bergumul di rimba Selangit. Kompeni tak pernah menolerir

hubungan sejenis?walaupun aku pernah menangkap basah

Van de Trecht, komandan di gugus Sumatera Bagian Selatan,

sedang menyodomi seorang bocah pribumi di belakang pabrik gula Meneer Lock.

Waktu itu Morgan berteriak menyuruhku pergi jauh.

Sendirian ia menghadapi dua kompeni bersenjata itu. Aku

tahu, ia takkan menang. Ia hanya bermaksud merepotkan

mereka agar jejakku tak sempat terendus. Tiba-tiba terdengar bunyi desing di udara. Ya, Morgan rela mati demi menyelamatkanku. Oh.... Waktu itu kuobrak-abrik rimba dengan air mata yang ruah di wajah.

Sejak itu aku memutuskan berhenti bergerilya menjadi pejuang. Ya, awalnya kisah asmaraku dengan pemuda

berkulit merah itu hanya demi alasan pengintaian. Aku tak

pernah sadar kalau aku telah menjadi seperti dirinya. Sakit yang menerbitkan candu yang ganjil. Sakit, namun tak

pernah jera menjadi tersiksa. Ah, sudahlah! Aku tak mau

mengkambinghitamkan kekeliruanku dalam menanam benih asmara. Yang terang, kepergian Mistee benar-benar

menikung jalan hidup, berpikir, dan gairah hidupku. Pe
ristiwaku telah menjadikanku pengembara sembari berdoa,

suatu waktu Tuhan akan mengirimkan Mistee yang baru

untukku. Dan... berlebihankah bila kukatakan, tampaknya

Tuhan baru saja mengabulkannya?

ENTAH BAGAIMANA HARUS kukhatimahi. Yang terang,

ia tak pernah datang. Atau masa lalu memang enggan mengirimnya kepadaku? Aku yakin, ia pernah mati-matian

merayu Izrail agar menunda tugasnya untuk beberapa waktu. Dan itu dilakukan bukan karena hidup yang terlanjur

ia nikmati, namun karena belum tertunainya sebuah janji;

mengajakku menyinggahi negerinya suatu hari.

O ya, aku juga sudah malas berdoa agar Tuhan mengirimkan Mistee yang baru, o, bukan, maksudku, Charles

yang baru....

Aku ingin membangun hidup yang lurus, memiliki istri

dan anak-anak, serta membuat mereka bangga pada seorang laki-laki?atau seorang pengembara atau seorang pejuang?sepertiku.

CATATAN: Charles Miller adalah orang Inggris yang tekun mencatat apa-apa yang ia temui dalam perjalanannya mengelilingi dunia.

Tulisannya sangat memperhatikan detil; geografi, tipografi, keadaan

sosial, kebudayaan, dan cerita-cerita yang hidup di tempat itu. Ia kadang disebut sejarawan, etnolog, dan etolog. Sayang, tak banyak catatannya tentang Sumatera terarsipkan.

Pohon Tanjung Itu Cuma Sebatang

Ketika Didin mengantar surat itu pada awal

Februari 1996, keinginannya berjumpa Misral

menjelma gunung berapi yang hendak meletus.

Sudah tiga puluh tahun mereka tak bertemu.

BAPAK RINDU SEKALI padamu, Nak. Kau pun begitu,

kan? Datanglah ke sini. Ajak Rosnah dan anak-anakmu.

Sindulami pasti sudah punya adik, kan? Berlebaranlah di

sini, atau bahkan sahur dan berbukalah di rumah ini.

Lamat-lamat ia keluarkanplop berstempel Kantor

Pos Aceh Besar yang hanya berisi selembar surat itu. Ia

elus-elus surat yang masih terlipat itu dengan penuh perasaan. Ia belum berani membuka apalagi membacanya.

Perasaannya terlalu berkebat-kebit. Ia masukkan lagi surat

itu ke dalamplop. Dicium-ciumnyaplop itu dengan

mata terpejam dan hidung yang sedikit mengendus, seolah bau tubuh anak semata wayangnya menguar dari kertas

itu. Ia melangkah ke lemari merbau tanpa ukiran di kanan pintu kamarnya. Dimasukkannyaplop itu ke dalam

saku safari veterannya yang tergantung di sisi kanan bagian dalam lemari.

Lalu telapak tangan kanannya menyusur ke bawah lipatan baju di sisi kiri. Beberapa saat kemudian, selembar

kertas mengilap seukuran kartu pos dikeluarkan dari lipatan. Ia elus-elus foto yang bagian belakangnya sudah agak

menguning itu.

Foto itu datang lima tahun setelah kepergian Misral. Di

sana, seorang laki-laki berkumis tipis dan rambut disisir

klimis ke belakang, mengenakan kemeja kuning dan celana kecubung warna susu, duduk di kursi kayu, memangku seorang gadis kecil yang mungkin usianya belum genap

tiga tahun. Di sampingnya, duduk pula seorang perempuan dengan baju terusan berwarna kulit labu dan kerudung

merah bata. Mereka bertiga tersenyum bersahaja seperti

mengumumkan kebahagiaan yang sesuai takaran. Di belakang foto berlatar rumah panggung itu tertulis nama istri

dan anak pertama Misral. Oh, ia kini dikerubungi penyesalan mendalam.

Maafkan Bapak, Misral. Bapak baru menyadari kesalahan justru ketika kau sudah pergi. Seharusnya kepergian dua kakakmu, Mursal dan Badri, cukuplah memberi

pelajaran tentang kehilangan. Tapi Bapak abai. Sungguh,

Bapak tak menyangka kau akan mengembara ke ujung

pulau. Bukankah Bapak hanya memintamu pergi ke Kayuara untuk menyampaikan permintaan maaf pada perempuan itu? O, anakku, atau, setelah kuceritakan kisah

rahasia itu padamu, justru membuatmu tambah membenciku? Bapak memang bukan laki-laki yang peka, Nak. Ia

mengusal-ngusal rambutnya karena sesal yang mendalam.

O ya, bagaimana kau membiayai sekolahmu di negeri orang, Nak? Mencoba ia melarikan lamunan. Apakah di

sana kau bertemu induk semang yang mulia hatinya. Kalau

tak begitu, bagaimana kau bisa kawin? Apa sekarang kau

sudah berdikari sebagai insinyur atau pegawai pertanahan atau guru sekolah seperti cita-citamu dulu. Bapak rindu

sekali, Nak. Bapak juga ingin menggendong anak-anakmu,

bermain-main dengan mereka sebagaimana dulu Bapak

sempat bermain-main sebentar denganmu.

Ia menutup lemari merbaunya. Baru dua langkah meninggalkan tempat pakaian itu, pandangannya mengarah

ke luar jendela samping. Ia melihat seekor induk ayam sedang membagikan cacing-cacing yang baru dikais dari tanah gembur di sekitar pohon tanjung pada anak-anaknya

yang berkeriapan. Anak-anak ayam itu berkerumun di antara daun-daun tanjung yang jatuh berserakan. Sebenarnya

halaman yang luas itu lebih layak disebut kebun pisang,

tapi saban orang baru bertanya letak rumahnya pada tetangga sekitar, mereka akan menyebut pohon tanjung yang

menjulanglah sebagai penanda. Ya, pohon yang kata orangorang dulu seusia dengannya itu terlalu perkasa dibanding

pohon-pohon pisang yang tumbuh hanya seperdelapan

tinggi batangnya. Kanopi dan rumpun bunganya makin

hari makin rimbun walaupun daun dan bunganya jatuh tak

pandang waktu. Sebenarnya ada dua pohon tanjung di halaman. Namun entah mengapa, tak lama setelah kepergian

Misral, pohon tanjung yang lebih kecil meranggas perlahan-lahan sebelum mati. Kini, pohon tanjung yang tumbuh

di halamannya cuma sebatang. Oh, pemandangan petang

itu benar-benar mengejeknya.

Andai saja ibumu tidak keburu meninggal, mungkin semuanya tidak akan begini, Misral. Kau lebih banyak ber41

main dengan Didin, anak tetangga di belakang rumah.

Bapak baru mendongengimu sebelum tidur atau bermain

kapal-kapalan dari pelepah pisang denganmu bila sedang

ingin saja. Maafkan Bapak, Misral. Seharusnya Bapak bisa

menyekolahkanmu di Sekolah Rakyat atau mengantarmu

ke taman-taman bermain peninggalan Belanda yang banyak dibangun di Kayuara, tapi Bapak terlampau sibuk

bergerilya mencari istri-istri baru. Kau pasti sangat kesal

ketika baru masuk sekolah pada umur sepuluh tahun. Bapak memang bekas pejuang tak berguna. Bapak kira dengan menikahi Salma, kau akan beroleh kasih sayang yang

layak, ternyata tidak.

Kali ini ia tak mampu menahan laju air penyesalan itu

keluar dan jatuh dari kelopak matanya. Semakin ia kusal

matanya, semakin basah matanya. Semakin basah punggung tangannya, semakin basah pipi keriputnya.

Setelah menceraikan Salma karena tabiatnya yang tak

bisa berlaku hormat pada suami, nyinyir menanyakan harta dan warisan, dan gemar berkerumun dengan para tetangga untuk membincangkan kesia-siaan, ia menikahi

Marla, anak pesirah di Pulopanggung, dusun rumah tinggi

di bantaran anak Sungai Musi. Tapi pernikahan ketiga itu

hanya bertahan dua tahun begitu mengetahui Marla memiliki anak gadis yang bekerja sebagai pelacur di kota.

"Tak kusangka, lagak kalian sangat alim, ternyata anak

gadismu malah ?berjualan?, bukannya kuliah. Anak tentu

tak berbeda dengan induk!" hardiknya sebelum menalak

Marla yang tak diberi kesempatan bicara.

PADA TAHUN 1950, memang banyak anak muda yang

bergelar pejuang walaupun hanya sempat berjuang kurang

dari sepuluh tahun, tentu saja termasuk Tanjung Samin

bin Muhammad Abduh, pemuda yang sudah bergerilya

di hutan-hutan Musirawas sejak usianya lima belas tahun

pada 1939.

Sebagaimana arti nama "Tanjung", ia adalah pejuang

muda yang gagah dan rupawan. Walaupun lebih sering

dipanggil "Samin" daripada "Tanjung", hal itu tak mengurangi pesona yang memancar dari dirinya. Adalah wajar

bila Maisarah Syukur, gadis kampung yang pada 1949 itu

berusia dua puluh tahun, langsung mengiyakan pinangan

yang diantar oleh kerabat ayahnya. Kala itu, status yatim

piatu tidak membuat harga dirinya jatuh. Terlebih kabar

yang berembus menyebutkan ia diwarisi puluhan hektar

tanah di kabupaten. Sepeninggal Belanda, Jepang memang

tak sempat menjejakkan kaki di Musirawas sehingga kebun-kebun karet dikuasai oleh tetua-tetua adat. Walaupun kini, kebun karet itu lebih layak disebut rimba karena

tak terurus, tapi banyak tetua adat yang sudah berpikiran

maju; membabat rimba itu menjadi lahan baru. Salah satunya adalah Muhammad Abduh yang meninggalkan warisan

tanah luas tak kepalang kepada anak bujangnya.

"Bila kau mau, tanah ini bisa kautanami ulang dengan

anakan karet. Bila kau tekun mengontrol orang-orang

upahan, hasilnya akan dapat membuatmu hidup layak di

kemudian hari," pesan Sang Ayah kala itu.

Hingga kini, nasihat itu hanya mengawang dalam keinginan yang tak kunjung dilaksanakan. Entah bagaimana,

hasratnya bertualang dalam perkara asmara, lebih kuat

dan menggejolak.

Ketika hendak menikah yang keempat kalinya, seperti biasa, Misral menentang. Padahal tujuan pernikahan itu salah

satunya adalah untuk memperbaiki hubungannya dengan

Misral. Ya, ia berharap, Rukiah benar-benar akan mengurus

ia dan anaknya. Namun Misral yang berusia 16 tahun tak tahan diolok-olok teman-temannya sebagai anak kucing jantan yang senang menelantarkan jalang.

"Tabiat Bapak seperti pohon tanjung. Makin tua makin

gemar bercabang dan menggugurkan daun." Entah dari

mana Misral mendapatkan perumpamaan itu. "Lalu apa

arti cerita Bapak beberapa waktu yang lalu tentang si Mayang tu? Mayang apanya? Mayang nian atau mayang bunga

tanjung?"

"Tahu apa kau tentang pohon dan mayang bunga tanjung,

hah? Pernah kau merasakan perjuangan kami mengusir para

penindas berkulit jagung itu? Tabiat orang Timur itu mengusir kompeni, bukan meladeni mulut burung kuau di luar

sana. Mereka tak tahu sakitnya ditusuk mata tombak dan pedihnya hantaman peluru!"

Celakanya, Misral melawan. Entah dari mana remaja yang sedang tumbuh mencari jati diri itu mendapatkan

perumpamaan, ia mengatakan bahwa apa yang bapaknya

lakukan sejatinya lebih tajam dari mata tombak dan hantaman peluru!

Pecahlah perang. Sebagai pejuang, bapaknya pantang

kalah. Pada pengujung Juni 1966 itu, ia mengusir Misral

seperti mengusir kompeni dari kampungnya.

Bagaimanapun, tubuh ayah dan anak dialiri oleh darah

yang sama. Setelah Rukiah tak memberinya apa-apa (tidak

anak, tidak pula kebahagiaan), ia didera kemurungan yang

panjang karena rindu pada Misral yang mencabik-cabik.

Akhirnya, untuk pertama kalinya, ia digugat istri untuk

mengakhiri hubungan.

Kesepian pun bersekongkol dengan matahari yang bersinar saban pagi dan bersembunyi kala magrib. Rasa hampa menyebabkan kebahagiaan masa lampau dan kerinduan

tak tepermanai bertabrakan. Jiwanya lumpuh. Ia termakan kutukan Misral. Ia menjelma batang tanjung yang tua,

kering, rapuh, mudah terbakar oleh sengat matahari dan

membusuk oleh hujan lebat.

Awalnya ia pikir Tuhan bersimpati pada nasibnya ketika pak pos datang mengantarplop yang hanya berisi

selembar foto Misral dan keluarganya pada musim kemarau 1971. Tapi ternyata foto itu adalah senjata bermata dua

yang kuasa mengantar kebahagiaan sekaligus membangkitkan penyesalan. Ia berharap, Misral akan memberinya

lebih dari sekadar foto pada kiriman berikutnya, namun

ditunggu dan ditunggu, pak pos tak kunjung datang.

Setelah 1980-an, ketika negara sudah mengakui veteran,

Didin, teman sepermainan Misral yang diterima menjadi

pegawai di kantor pos Lubuklinggau, selalu menyambanginya saban awal bulan. Tapi bukan untuk mengantarkan

foto atau surat dari Misral, melainkan biaya hidup yang sudah dianggarkan negara untuk bekas pejuang sepertinya.

Siang Selasa itu, Tuhan seperti mengabulkan harapan

laki-laki delapan puluh satu tahun itu. Didin datang bukan

hanya untuk mengantar uang bulanan, melainkan juga setangkai kembang kebahagiaan.
Cinta Tak Pernah Tua Karya Benny Arnas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dulu Wak Samin sempat cerita kalau Misral merantau ke Aceh, ?kan? Nah, ini dikirim dari sana, Wak," Didin

menyerahkan sebuahplop dengan wajah yang tak kalah

berserinya dengan air muka si penerima.

Setelah mendiamkan surat itu beberapa waktu, ia menahan hasrat untuk membacanya. Ia sempatkan menunaikan

Ashar sekaligus mengirimkan doa untuk kesehatan Misral

dan keluarganya terlebih dahulu. Sebuah surat yang dinanti-nanti memang harus dibaca dengan perasaan tenang

dan hati yang lapang.

Surat itu tidak panjang seperti yang diharapkan.

Pekan ketiga Januari 1996.

Teriring salam kerinduan dari kaki Gunung Seulawah.

Bapakku, dengan berat hati, kabar duka ini Rosnah

antarkan.

Bang Misral sudah meninggal dunia dua hari sebelum

surat ini ditulis. Pagi itu angin gunung berembus sangat

kencang, jembatan kayu yang membelah Sungai Tanoh

Abee yang dangkal dan berbatu, patah ketika Abang tengah mengayuh sepeda angin menuju SD tempat ia biasa

mengajar. Bukan sengaja telat mengirimkan kabar duka

ini, tapi sesuaianah Abang ketika sekarat di puskesmas; ia tak mau kematiannya merepotkan Bapak karena

tak mungkin Bapak akan ke Aceh Besar untuk menghadiri

permakamannya. Terlalu jauh, melelahkan, dan memakan biaya dan waktu yang tak sepadan. Walaupun tak

bisa berhari raya bersama Bapak tahun ini, insya Allah

kalau masa masih berkenan, aku dan tiga cucu Bapak;

Sindulami, Baiti, dan Anas yang masih berumur satu tahun, akan ke Lubuklinggau satu-dua tahun ini.

Wassalam,

Rosnah.

Ia tercenung. Baru sadarlah ia, kedatangan Didin tadi

bukan untuk mempersembahkan kembang yang ingin ia

namai kegembiraan, melainkan menaburkannya di atas pusara kepedihan.

Tangannya bergerak pelan menghapus air mata yang jatuh tiba-tiba. Seperti digerakkan sesuatu yang gaib, kakinya melangkah ke arah lemari merbaunya.

Ia kembali mengeluarkan foto lama itu.

Ia elus-elus wajah Misral di sana, seolah lekuk pipinya,

bangir hidungnya, dan minyak rambutnya, dapat ia rasakan.

Keriapan anak-anak ayam yang berebutan cacing masih

menyambangi gendang telinga. Selain melayangkan daundaun yang menguning dan kesat, sebatang pohon tanjung

tua di halaman juga menggugurkan bunga-bunga putih seukuran jempol orang dewasa.

Misral benar, ada yang lebih tajam dari mata tombak

dan lebih mematikan dari peluru.

Muslihat Hujan Panas

Entah bagaimana Maisarah harus marah pada

hujan deras yang turun siang itu. Lebih sepuluh

tahun menghindari Samin, baru kali ini ia dibuat

tak kuasa menentang gejolak alam. Rasanya ingin

sekali ia menampar mulut bekas suaminya yang

terus menceracau tentang gaji veterannya itu.

Kehadiran Samin, di bawah pohon merbau tempat

ia berteduh, hanya membuat kegeramannya pada

hujan panas dan cerita-cerita yang menyertainya

makin menggunung.

SUNGGUH, KETAKUTAN, KEBENCIAN, dan trauma Maisarah pada hujan panas tak lagi tertakar. Dua anaknya

yang baru menginjak remaja meninggal dunia karenanya.

Mursal ditemukan mengapung di bantaran Sungai Kasie

di kaki Bukit Sulap. Sekujur tubuhnya membiru, perutnya

kembung. Ia memang sangat gemar mandi di dekat lubuk

di siang hari. Sudah sering orang-orang mengingatkan tapi

sesering itu pula ia mengabaikannya. Bahkan, seperti di siang naas itu, ketika hujan panas pun, ia bersikeras menceburkan diri di lubuk seorang diri. Sepandai apa pun ia

berenang, ketika air pasang tak kepalang, hanya ada dua

kemungkinan baginya: pusaran lubuk akan mengisapnya atau arus pasang akan menyeretnya hingga tubuhnya

mengapung.

Dua tahun berikutnya, Badri, adik Mursal, menyusul. Di

usia yang sama dengan meninggalnya si kakak, Badri tewas

jatuh dari pohon kelapa dengan tubuh terbakar. Ia disambar petir ketika sedang memetik kelapa muda di perkebunan Haji Maulana di siang panas bedengkang. Memang tak

ada yang menyangka kalau awan berwarna santan dapat

menurunkan hujan dan diterabas petir.

Sejak itu, gairah hidup Samin-Maisarah meredup perlahan-lahan. Kehilangan telah menyadarkan mereka bahwa, seperti kata orang-orang tua dulu, anak adalah bulan

purnama di dalam rumah. Kepergian mereka menyebabkan hidup tak ubahnya seperti meraba dalam lorong yang

gelap. Saban hujan turun di tengah hari yang kerontang,

Maisarah seperti diseret ke labirin kesedihan yang panjang,

penuh liukan, dan tentu saja gelap. Samin, mungkin karena

sadar posisinya sebagai imam, mencoba menguat-nguatkan

diri dan menyalurkan kekuatannya pada Maisarah. Tapi

sia-sia, Maisarah seperti tak menganggapnya. Bahkan ketika Samin mengutarakan maksudnya untuk memiliki keturunan lagi, Maisarah muntab.

"Hah, masih sempat pula kau mengurus kenikmatan dunia, Samin?! Lagi pula usiaku hampir empat puluh.

Malu! Apa kata orang kampung. Cukuplah kematian Mursal dan Badri memberi pelajaran tentang malu!"

"Mengapa kau bicara seperti itu, Mai? Seperti tak ada

adat kau? Tak pernah kau mengaji tentang menghormati

suami? Sedih itu diperbolehkan Tuhan, tapi jangan berpanjangan. Begini akibatnya, kau jadi melawan. Lagi pula,

aku tak paham ?malu? macam apa yang kaubicarakan?"

"Hah, berlapis nian kalimatmu, Samin. Yang mana harus kujawab? Kesedihan ini terlanjur hidup dengan malu

yang harus ditanggung. Nah, kau malah minta anak lagi!"

Samin melangkah keluar, menutup daun pintu hingga

mengeluarkan bunyi yang membuat bahu Maisarah sedikit

terangkat. Sejak itu, lorong kehidupan yang mereka lalui

bukan hanya gelap, tapi juga sunyi dan menyeramkan.

Ketakterimaan Maisarah atas kematian tragis dua anak

bujangnya bukan tanpa alasan. Ia menderita demam lebih

dari empat puluh hari usai melahirkan. Dua bulan sebelumnya, Mak Juming, dukun beranak di Jalan Kacung, harus mengurut perut buncitnya hingga ia harus merasakan

sakit yang sangat demi mengembalikan bayinya yang sungsang ke posisi normal.

Oh, bila pun harus sesegera itu, batin Maisarah, tidak

bisakah Tuhan memilih cara yang tak membubungkan rasa

malu. Ya, pada kerabat dan orang-orang yang bertandang ke Ulaksurung saban Ramadan, Lebaran, dan Hari

Pasar, bagaimana harus kuceritakan ketika tanpa sengaja mereka menyelipkan pertanyaan:

"Bagaimana ceritanya dua anak bujangmu tu?"

"Benarkah kabar yang beranak-pinak tu; mereka mati di

bawah hujan panas?"

"Apa, Mai? Mursal yang lihai berenang tu mati hanyut

dan Badri yang suka bermain di pohon jambu di belakang

rumah Wak Bidin tu mati disambar petir?"

Tentu saja, Samin pun beroleh pertanyaan yang sama

pada beberapa kesempatan yang tak mengenakkan, dan

ia menceritakan saja yang sebenarnya. Ia tahan-tahankan

saja sebak yang memenuhi dada dan kelopak mata. Baginya, semuanya sudah digariskan Tuhan. Tak ada seorang

pun yang ingin ditimpa tangga musibah hingga sedemikian

sakitnya. Tapi Tuhan sudah memilih keluarganya sebagai

bahan pelajaran. Tentu, pemahaman ini tak datang sertamerta karena mulut kecubung orang-orang kampung mekar dan melebar semaunya. Sejak hubungannya dengan

Maisarah menghambar, ia memilih lebih banyak berada di

masjid. Ia akan pulang bila perasaan ingin melihat Maisarah bangkit tiba-tiba.

Dua tahun yang lalu, entah iblis dari mana yang menyambangi mereka berdua, di usia yang sudah berkepala

lima, Maisarah pikir, Samin tak mampu lagi menuntunnya

berjalan di lorong yang gelap.

"Pikirkanlah lagi, Mai," ujar Samin penuh harap, "Berita

buruk baunya lebih busuk, lebih cepat menyebar dan menyeret perhatian. Bukan hanya orang-orang Ulaksurung,

tapi juga Pasarsatelit, Kenanga, Megang Ujung, hingga Batuurip, akan bersorai karena mendapat kue yang sedap untuk dilahap dalam pergunjingan."

Kata-kata Samin itu seperti bola karet membentur tembok. Maisarah tetap berkeras menginginkan perpisahan.

Menurutnya, Samin lebih mementingkan ibadahnya daripada berada di rumah apalagi bekerja untuk menyambung hidup.

"Aku saja makan dari menjual hasil kebun di simpang Belalau," ujar Maisarah penuh kemarahan. "Sudah lima tahun

ini kau tak lagi menyadap karet. Kau selalu berdalih kalau sebentar lagi pemerintah akan menggaji bekas pejuang. Kabar

itu sudah jadi kotoran kerbau baunya. Dari tahun 1970 aku

dengar kabar itu di radio. Dan sekarang, tahun 1982 beberapa bulan lagi datang, masih pula kau membawa-bawa janji

palsu pemerintah itu! Aku tak butuh lagi. Kalaupun perjuanganmu melawan Belanda akan dibayar, kau tentu makin

betah tinggal di masjid karena tak perlu lagi bekerja. Masuk

surga sendirian, itu kan maumu?!"

Samin menghela napas, tak tahu harus berkata apa.

"Sudahlah!" lanjut Maisarah. "Nasi yang ditanak sudah

mutung. Makin dikais kemudharatan yang akan ditimbulkan perceraian ini, hanya keraknya yang dapat. Makin pahit di lidah, pedas saja di telinga."

Maka, sejak itu, lorong gelap yang mereka lewati pun

bercabang.

Meskipun begitu, sepekan sekali, sepulang dari salat

Jumat, Samin menyempatkan diri mengunjungi Maisarah

walaupun perempuan itu tak pernah membukakan pintu

untuknya, bila pun pintu itu terbuka, akan sesegera ditutupnya dari dalam. Dalam beberapa kesempatan dan kebetulan, mereka kerap terperangkap dalam hiruk-pikuk keramaian. Namun Maisarah selalu lihai menghindar. Dalam

hati, ia selalu mengutuk hilangnya rasa malu Samin. Sudah

bercerai, masih pula merasa halal!

Hingga siang Ramadan 1993 itu pun tiba.

Di bawah rindangnya pohon merbau, kaki Maisarah seperti diikatkan ke batangnya yang besar. Hujan panas turun bersamaan dengan gemuruh langit yang menakutkan.

Sungguh, di saat seperti itu, sebenarnya Maisarah membutuhkan tempat untuk melabuhkan pelukan, ketakutan,

kesedihan, dan trauma masa lalu. Dan Tuhan seperti mengabulkan suara hatinya, ketika seorang laki-laki kurus

yang memayungkan kepalanya dengan tas tentara berlari

ke arahnya. Mereka sama-sama terperanjat begitu menyadari siapa yang ada di hadapan.

"Aku tadi melihatmu di pemakaman umum Lubuksenalang, Mai. Kau menziarahi Mursal dan Badri beberapa

saat setelah aku menaburkan bunga tanjung di atas tanah

kuburan mereka. Berziarah di ujung bulan puasa memang

dianjurkan. Sayang sekali mereka tak bisa berlebaran bersama kita, Mai. O ya, rasanya kita belum bermaafan, kan?"

Maisarah bergeming. Wajahnya kusut. Bibirnya bergetar. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada.

"Kau kedinginan, Mai?"

Tak ada jawaban.

"Oh, aku baru sadar, ini sedang hujan panas. Kau tentu

teringat"

Maisarah melirik dengan raut muka tak nyaman hingga bekas suaminya itu tak jadi melanjutkan kata-katanya.

Maisarah pun melangkah ke balik batang hingga tubuhnya

tak lagi tampak oleh Samin.

Samin melangkah mendekat ke arah batang yang kini

memisahkan mereka. Di bawah guyuran hujan panas dan

gemuruh petir, mereka menyandarkan diri di batang yang

sama dengan posisi saling membelakangi. Maisarah menengadah ke kanopi merbau yang sesekali meneteskan

air. Tak terasa, sudah hampir dua jam ia melarutkan diri

dengan menghitung daun-daun yang jumlahnya ia taksir

mengalahkan jumlah hari semasa hidupnya. Bersamaan

dengan hujan yang mulai mereda, Maisarah mendengar

suara ribut di belakang.

Benar-benar laki-laki tak tahu malu, gerutunya, sibuk

berkicau seakan-akan aku masih tulang rusuknya!

Maisarah memutar badan, melongok ke balik batang.

Ketika hendak memuntahkan kekesalan kepada Samin, lidahnya kaku.

"Ada apa, Mai? Seperti melihat Izrail saja kau?" tanya

Mukhlisin, penjual kayu keliling, begitu mendapati kedua

mata Maisarah seperti hendak keluar. "Dari tadi kuajak bicara, tak juga menyahut. Kukira kau sedang sakit gigi atau

demam," imbuh Mukhlisin dengan sedikit kesal.

"Kenapa kau ikut berteduh di sini? Katanya kau juga sekutunya Samin bergerilya dulu. Bagaimana bisa kau takut

hujan panas pula?" tanya Maisarah, ketus.

"Ah, mengigau kau, Mai!" Mukhlisin mengibaskan tangan kanannya. "Mengapa pula kau bawa-bawa Samin.

Mau muntah aku dengar nama bekas laki kau tu! Yang berperang aku, malah dia yang dapat tunjangan veteran!"

"Nah, mengapa kau melebar ke mana-mana?"

"Kau yang mulai, Mai? Kau yang bawa-bawa Samin segala!"

"Kau yang tak lihai menangkap pertanyaanku, Tukang

Kayu!"

"Pertanyaanmu lebih mengigau lagi!"

"Kau yang mengigau, Pak Tua!"

"Kau yang miring!" Mukhlisin muntab. "Mana mungkin

hujan turun di musim kemarau "

Maisarah tak berminat mendengarkan kelanjutan kalimat Mukhlisin. Ia tergesa-gesa meninggalkan pohon merbau

dengan bunyi gigi bergemerutupan karena kesal. Bagaimana mungkin aku masih memikirkan Samin keparat itu! Ia
Cinta Tak Pernah Tua Karya Benny Arnas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan apa-apa lagi bagiku, bukan! Maisarah mengintip

matahari dengan sebelah tangan menudungi mata.

Ia mengingat-ingat, esok, Lebaran yang keberapakah

yang ia lalui seorang diri?

. 57

Bunga Kecubung Bergaun Susu

Pada akhirnya, sesuai arti namanya, Mukhlisin

harus ikhlas menerima kenyataan. Bukan sekadar

kenyataan bahwa Negara tak mengakuinya sebagai

bekas pejuang atau kenyataan bahwa justru Samin,

teman seperjuangannya, yang mendapat tunjangan

dari pemerintah setiap bulan, tapi juga kenyataan

bahwa mungkin saja ia adalah seorang perjaka

paling tua yang pernah ada!

DI USIA LEWAT tujuh puluh, Mukhlisin masih belum kawin. Memang banyak laki-laki yang tak kawin-kawin hingga usia tua, tapi mereka sudah tak perjaka karena tergoda

berbuat ?nakal? dengan beberapa wanita yang rela menanggalkan keperawanan tersebab rayuan atau muslihat rupiah.

Tidak, itu tak terjadi pada Mukhlisin!

Ia memang tidak rajin ke masjid tapi bukan berarti tak

pernah salat. Walaupun tak pernah khatam Quran, ia hafal

Surah Yasin yang saban malam Jumat ia bacakan buat kedua orangtuanya yang sudah tiada. Tentang tampang, ia memang tidak tampan, namun tutur katanya sangatlah sopan

walau sesekali ia marah pada anak-anak yang kerap mencuri kayu keringnya untuk dijadikan senapan-senapanan atau

pada orang-orang yang meragukan perjuangannya di masa

perang kemerdekaan. Dan kini, sebagai seorang pencari

kayu, walaupun jauh dari yang dikatakan kaya, ia tak punya

utang. Singkat kata, hidupnya tak banyak tingkah.

Maka, ia sungguh bingung dengan apa yang menimpanya. Bukan lagi tentang kiprahnya di medan perang yang

tak pernah terakui. Bukan! Bukan itu! Namun ia kerap bertanya sendiri, apa yang menyebabkan Tuhan tak menunjuk

satu wanita pun untuk mendampingi hidupnya. Ini tak berarti Mukhlisin merutuki ketentuan-Nya. Ia percaya, manusia yang merana di dunia, akan memiliki nasib sebaliknya

di akhirat. Ya, bila Mukhlisin ingin marah, sudah lelah ia.

Bila ingin mengutuk, pasti bosan Tuhan mendengarnya.

Bila ingin menangis, malu ia pada usia. Bila ingin bercerita,

kepada siapa seorang sebatang kara sepatutnya mengaitkan rasa percaya?

Saban pagi hingga matahari membuat tubuh kehilangan bayangan, Mukhlisin mencari kayu ke hutan-hutan.

Kadang ke hutan Bukit Sulap tempat pondoknya berada,

kadang ke hutan Belalau, kadang ke hutan di sepanjang

bantaran Sungai Kelingi, kadang ke hutan-hutan kecil di

Kenanga, Kayuara, atau Batuurip. Ia baru akan menjual

kayu-kayu kering itu ke pasar usai Zuhur atau jelang Ashar

atau keesokan paginya. Namun sebenarnya, jarang sekali

ia menjualnya ke pasar karena sepanjang perjalanan menuju pasar, biasanya barang bawaannya habis dibeli orangorang. Ia memang tak pernah memberi harga tinggi. Hanya

lima ribu rupiah untuk seikat yang berisi sepuluh potong

kayu. Ah, apalah arti uang sejumlah itu di masa sekarang.

Mungkin karena kasihan pada seorang tua sepertinya, para

pembeli sering membayar lebih. Bagai tahu berterima kasih, Mukhlisin membalasnya dengan memberikan apa pun

yang menyertai kayu-kayu kering di dalam sarau-sarau

yang diikatkan pada kedua ujung kasau yang dipanggulnya.

Kadang ia memberi cendawan yang dipungut dari tunggultunggul, kadang satu-dua tandan pisang, kadang jantung

pisang, kadang beberapa ikat pakis yang ia petik di hutan.

Dan yang tak kadang-kadang adalah, selalu ada beberapa

tangkai bunga kecubung di dalam keranjang anyamannya

itu. Bunga-bunga itu kerap ia tawarkan kepada orangorang yang membeli kayu keringnya, walaupun jarang sekali ada yang mau menerimanya, selain satu-dua anak perempuan yang suka pada bunga.

Tentang bunga kecubung itu, orang-orang kampung tak

lagi menyelipkannya dalam perbincangan. Musim gunjing

itu sudah lewat. Dulu, ketika usia Mukhlisin belum lima

puluh, banyak yang bilang, kecubung-kecubung itu adalah

jelmaan peri hutan. Di malam hari, mereka menjelma perempuan yang sangat cantik. Peri-peri hutan itulah yang

menemani malam-malam sunyi si tukang kayu. Sebenarnya ada lagi kabar-kabar yang lain, namun gemanya kalah

nyaring dibanding kabar kecubung jadi-jadian. Tentu saja

Mukhlisin mengetahui kabar keparat itu. Pernah ia memberi pelajaran beberapa perempuan yang tertangkap basah

sedang menggunjingkan kecubung-kecubungnya. Ia mengambil semua kecubung dari dalam sarau, membawanya ke

hadapan mereka, lalu meremas semuanya hingga hancur

tak berbentuk.

"Bila benar kecubung-kecubung yang barusan hancur

ini adalah peri hutan, maka matilah mereka, atau terkutuklah aku!" ujarnya penuharah kala itu.

Entah karena gentar pada kemarahan Mukhlisin atau memang zaman yang sudah bergasing terlalu cepat hingga kabar-kabar itu pun tenggelam oleh riuhnya perbincangan tentang harga karet yang anjlok, harga bawang dan jengkol yang

naik, dan susahnya daging sapi didapatkan di pasar-pasar;

tak ada lagi yang menggunjingkan bunga kecubungnya.

Mukhlisin sempat berpikir, jangan-jangan desas-desus

perihal kecubung jadi-jadian itulah yang membuat jodohnya makin menjauh. Namun sangkaan itu segera ditepisnya begitu waktu berlarian. Ia pun sempat menyoal

pekerjaannya sebagai aral hingga tulang rusuk kirinya tak

kunjung menemukan jalan pulang. Siapa yang sudi menikah dengan tukang kayu? Tapi, lagi-lagi, ia malu sendiri:

mengapa pula aku harus malu dengan pekerjaanku; bukankah selama ini, kayu-kayu kering itu menghidupiku

dan memberiku banyak kebahagiaan?

Mencari kayu kering telah menjadikan Mukhlisin se?

orang pengembara. Dengan sarau di punggung dan mandau

di tangan, tak jarang ia membuat jalan sendiri untuk menerabas kerimbunan tanpa menyebabkan banyak kerusakan.

Ya, Mukhlisin tak pernah menggunakan manda???unya untuk

menebang pohon atau menebas dahan yang dirimbuni daun,

bunga, dan buah-buah. Ia hanya menebang batang dan

menebas dahan yang meranggas. Dengan cara seperti itu,

pengembaraan sederhana itu memberinya gairah dan ketenangan. Sampai-sampai ia sempat berpikir, jangan-jangan

hutan dan kayu-kayu kering yang ada di dalamnya adalah

belahan jiwa yang sebenarnya. Maka, seperti ada bagian tubuhnya yang terluka dan mengucurkan darah bila tak sengaja ia dapati pohon besar ditebang atau semak-semak hijau

ditebas semaunya oleh mereka yang memiliki kapak atau

bahkan mesin chainsaw. Ia pernah menegur mereka, namun alih-alih malu atau merasa bersalah, para penganiaya

hutan itu malah balik mengancam. Mukhlisin baru tahu kalau para pengguna mesin chainsaw itu dikawal orang-orang

bersenjata. Ia masih tak habis pikir, bagaimana aparat bisa

menjadi kacung. Atau mereka itu bukan aparat, melainkan

orang-orang hebat yang bisa beroleh senjata dengan cara di

luar perkiraan? Ia lelah dan marah pada dirinya yang tak bisa

berbuat apa-apa.

TIGA PULUH TAHUN yang lalu, ketika kesedihan merundungnya karena alasan yang bertindihan?tubuh yang

masih membujang dan hutan-hutan banyak yang berubah

menjadi persawahan, Mukhlisin duduk bersandar di bawah batang durian yang besar. Tiba-tiba pandangannya

bertabrakan dengan beberapa batang kecubung yang semua bunganya sedang mekar ke bawah. Bunga-bunga kecubung itu seperti berempati kepadanya, ikut merasakan

kepedihan dan kekesalan panjang yang mengerubunginya.

Ia mendekati kecubung-kecubung yang menunduk itu, memandangi mereka lekat-lekat. Ia tak tega memetiknya. Mengagumi tidak harus memiliki, apalagi menyakiti, batinnya.

Ajaib, semua kecubung yang mekar itu tiba-tiba begitu

memesonanya!

Di mata bujangan empat puluh tahun, kecubung-kecubung itu tak ubahnya bidadari yang kerap hadir dalam

mimpi basahnya: kulitnya kuning duku, wajahnya cantik

bercahaya, dagunya lekuk mangga, rambutnya disanggul

sekenanya. O ya, sang bidadari juga sangat anggun dalam

balutan gaun landung berwarna susu, dengan kalung berkilau berwarna daun di lehernya yang jenjang.

Ah, lekas Mukhlisin kibaskan khayalan itu dengan penuh kegeraman dan sakit hati. Mahkota bunga kecubung

di hadapannya itu memang merekah sangat lebar, tembus

pandang, dan warna putih susunya menenangkan untuk

dipandang; kelopak mungilnya yang berwarna hijau, menyejukkan perasaan; dan tangkai sarinya yang menjulang

tampak bersih dan menerbitkan keindahan .

Sejak itu, beberapa tangkai kecubung selalu menyertainya. Ya, menyertai dengan sendirinya. Mukhlisin tak merasa memetik kecubung-kecubung itu karena ia memang tak

sampai hati melukai tangkainya. Awalnya ia heran, namun

itu tak berlangsung lama. Kesendirian mengajarinya peka

terhadap keajaiban. Ya, siapa yang akan percaya pada cerita seorang bujang tukang kayu? Bila berjalan di tengah kesunyian, ia akan mengajak kecubung-kecubung dalam sarau

bercerita. Tak ada pendengar sebaik dan sekhidmat kecubung. Ia memang sempat merasa sangat menyesal ketika

meremas lima tangkai kecubung beberapa tahun kemudian.

Ia mengutuk kebodohannya yang tunduk pada bisik-bisik

kecubung-kecubung sehingga meremukkan mereka. Betapa

kecubung-kecubung itu rela berkorban agar aku tak dikatakan beristri dengan siluman, sesalnya kala itu.

Hingga, di siang Jumat yang terik itu, keanehan terjadi.

Dalam perjalanan menuju pasar usai salat Jumat di

masjid di lereng Bukit Sulap, Mukhlisin sangat heran karena tak seorang pun yang membeli kayu keringnya. Tak

lama kemudian ia mendengar kabar yang berhasil membekapnya dalam ketakutan. Orang-orang kampung menjulukinya Perjaka Tua Pecah Bulu. Bagaimana mungkin aku dikatakan laki-laki yang tak mampu menahan nafsu hingga

melampiaskannya kepada apa pun yang dapat merangsang birahi? Mukhlisin sangat tak terima dan sakit hati.

Barulah ketika celetukan ibu-ibu di pinggir jalan mengetuk

gendang telinganya, nyalinya ciut dan rasa malunya membubung.

"Pagi tadi, anak-anak yang sedang mencari buah para

di lereng bukit, menemukan si tukang kayu sedang memeluk batang kecubung yang sedang lebat-lebatnya berbunga.

Kata mereka lagi, batang kecubung itu sampai patah. Dan

si tua gila itu berguling-guling dengannya seperti sedang

bergulat dengan perempuan di atas ranjang. O ya, tukang

kayu itu telanjang ketika melakukannya!"

"Haram jadah!"

"O ya, ia juga menyebut-nyebut nama perempuan!"

"Siapa?"

"Mayang!"

"Mayang?"

"Ya. Dasar bujang liat! Ternyata selama ini diam-diam


Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Pasukan Mau Tahu Misteri Di Teater Kecil

Cari Blog Ini