Cinta Tak Pernah Tua Karya Benny Arnas Bagian 2
tukang kayu tu menaruh hati pada bekas kekasih karibnya.
Tak kusangka kalau Mukhlisin menyukai perempuan itu.
Asal kau tahu saja, ya. Mayang itu sudah disumpahi si Samin jadi perawan sampai mati!"
"Kau yakin Samin menyumpahinya begitu?"
"Bisa saja. Apalagi sejak pinangannya ditolak oleh keluarga Mayang puluhan tahun lalu, Samin cuma menyendiri
di pelosok Muarakelingi dan tak pernah ke kota."
"Menyendiri?"
"Ya."
"Sama seperti Mukhlisin?"
"Mungkin karena mereka sama-sama berperang dulunya."
"Tapi kan hanya Samin yang diakui sebagai veteran,
Mukhlisin tidak?"
"Mukhlisin sibuk memikirkan jodohnya yang tak sampai-sampai."
"Sibuk dengan kecubungnya!"
"Kecubung binal!"
"Dasar tua bangka binal!"
"Tak ada bini, kecubung pun jadi!"
"Hahahaha ."
Demi Tuhan, aku tak melakukannya, gumam Mukhlisin
dengan bibir bergetar.
Memang, ketika kantuk menyerangnya pagi tadi, ia menyandarkan diri ke tiang pondok yang berada tak jauh dari
rimbun kecubung yang ditanamnya empat tahun yang lalu.
Ia sungguh tak mampu melawan kehendak matanya sebab
semalaman begadang menunggu durian jatuh. Ia sadar, sebenar sadar, kala itu seorang perempuan yang kerap hadir
dalam mimpi basahnya, datang menghampirinya. Seperti
biasa, kulitnya kuning duku, wajahnya cantik bercahaya,
dagunya lekuk mangga, rambutnya disanggul sekenanya
. Dan tentu saja tubuhnya dibalut gaun landung berwarna putih susu yang sedikit transparan, dengan kalung berwarna hijau berkilau di lehernya yang jenjang. Mukhlisin
hakulyakin kalau kedatangan perempuan mirip bidadari
itu adalah hadiah dari Tuhan karena ia menunggui durian seraya mengirim Surah Yasin kepada almarhum kedua
orangtuanya hingga sepuluh kali.
Tiba-tiba ingatannya memberontak. Bila memang itu
mimpi, mengapa pagi tadi pakaianku tergantung di semak
pakis di dekat batang kecubung. Mukhlisin melongok ke dalam sarau-saraunya. Selain beberapa ikat kayu kering, ada
lima buah durian, dua ikat pakis, dan sembilan papan petai.
Tak ada bunga-bunga kecubung di sana! Ia menatap langit
dengan mata yang mengandung api. Beberapa saat kemudian, ia mengempaskan kasau hingga sarau-sarau beserta isinya berhamburan di jalanan. Orang-orang di tepi jalan yang
memerhatikannya sedari tadi, terenyak menyaksikan gerakan mendadaknya. Mukhlisin memutar badan dengan tangan
kanan menghunus mandau. Dalam dua-tiga kejap, ia sudah
berlari meninggalkan arah pasar. Orang-orang ketakutan
dan berlarian masuk ke dalam rumah.
Ternyata setali tiga uang saja dengan Negara dan Si
Samin, rupanya kalian juga nak mengolok nasibku, Kecubung Keparat!
. 69
Senapan Bengkok
Saban menyusuri jalan setapak yang melingkari
dua RT di Ulaksurung, kau selalu mengenakan
seragam dan aksesori kebanggaanmu: baju dan
celana panjang bahan dril warna cokelat muda,
bros lambang veteran warna emas yang melekat
di atas kantong baju, topi seperti kopiah berwarna
senada?juga ada bros dengan ukuran lebih kecil
melekat di bagian kirinya, sepatu kain berwarna
hitam model zaman perjuangan, dan ikat pinggang
hitam yang sudah berserabut.
KAU SANGAT BANGGA mengenakannya. Apalagi ketika
orang-orang menyapamu Kek Vet, singkatan dari Kakek
Veteran, kau sungguh tersanjung.
Sebenarnya, ingin sekali kau menunjukkan senapan
berpeluru yang kaugunakan ketika bergerilya mengusir Belanda di Musirawas dulu, tapi niat itu tak pernah terlaksana. Bukan lantaran senjata itu hadiah dari Morgan Mistee, seorang kompeni yang menerakan kisah asmara yang
mati-matian hendak kau buang dari ingatan dan kehidupan, melainkan karena memamerkan senapan itu membuat
seorang renta sepertimu menjadi sangat kekanak-kanakan.
Lagi pula, hal itu akan memancing pihak berwajib menyita
barang kebanggaanmu itu. Kau pun menyimpan senjata itu
di dalam peti, yang terbuat dari kayu pelawan dengan ukiran daun sedingin di bagian penutupnya, di bawah kolong
tempat tidurmu.
Siang Ahad itu, sesuatu terjadi di rumahmu. Kejadian
itu telah membuktikan bahwa kata-kata bisa menindas.
Dan penindas adalah penjajah. Penjajah seharusnya disingkirkan, ditembak mati dengan senapan pejuang!
SEJAK MENIKAHI PEREMPUAN yang berusia dua puluh
tahun lebih muda darimu itu, kebanggaanmu sebagai seorang bekas pejuang diinjaknya pelan-pelan. Orang-orang
memang tak habis pikir dengan keputusanmu menikah
lagi. Pertama, tentu saja karena usiamu sudah delapan puluh empat tahun ketika itu. Kedua, dari riwayat dua suaminya terdahulu, gelar "Perempuan Serakah" kadung melekat pada Salma. Dampaknya, sebagian tetangga tidak lagi
menaruh hormat padamu. Oh, sesungguhnya, kau pun tak
mengerti bagaimana libidomu menggeliat saban melihat
Salma dan Marla, dua janda tanpa anak, lewat di depan rumahmu. Walau sudah berumur, jejak kecantikan masa lalu
masih terendus di gurat wajah kedua perempuan itu. Namun, semua orang kampung tahu kalau Marla lebih menggilaimu?menggilai hartamu). Jiwa pejuangmu menolak
hal yang mudah direnggut. Kau menyukai tantangan dan
kerja keras. Salma, dengan watak keras dan emosionalnya,
menyuguhkannya.
Tapi banyak pula yang menertawakan kebodohan Salma. Perempuan itu baru tahu kalau beberapa kavling tanah
di Kenanga Dua, ternyata sudah kauwariskan pada anakanakmu. Maka, tak butuh waktu lama, Salma pun menunjukkan tabiat aslinya.
Sejak tahun lalu, Salma mulai banyak tingkah. Minta
dibelikan ini-itu. Satu bulan lalu, kau membelikannya sepeda motor setelah menguras semua isi tabunganmu. Satu
minggu yang lalu, Salma hampir berhasil merayumu untuk menjual puluhan hektar tanah yang baru kautanami
anakan karet dan rumah yang sekarang kalian tempati. Untunglah, Misral berhasil menggagalkan rencana itu. Anak
bujang hasil pernikahan pertamamu dengan Maisarah itu,
memang kerap menentang apa pun yang kaulakukan. Tentu saja termasuk perkawinan keduamu ini dan penjualan
puluhan hektar tanah dan rumah ini.
TANGGAL MERAH YANG keparat.
Tepat pukul dua siang. Terik matahari mengurapi tanah, pepohonan, dan orang-orang yang dikerubungi kekesalan. Termasuk orang-orang di utara Lubuklinggau: sepasang suami-istri yang timpang usia, pemikiran, tabiat, dan
tujuan hidup.
"Kau harusnya sadar, Samin!" Salma memasukkan bayam dari baskom ke dalam kuali. Terdengar suara ribut
minyak panas yang lebih dahulu melayukan irisan bawang
dan cabe merah. "Yang harusnya kau dengar itu aku; istrimu, bukannya Si Misral yang seharian bermain dengan Didin, anaknya Bi Sumarah, bahkan makan-minumnya juga
di rumah mereka. Kalau sekiranya tak mampu memenuhi
keinginan istri, tak usah menikah saja seharusnya!"
Kau yang sedari tadi menyimak saja, kali ini mendongak. Sungai yang tenang di kedua ceruk matamu menjadi
lautan api. Kau sungguh tak bisa terima. Bagaimana mungkin istrimu sudah berani memanggilmu "Samin" saja.
"Di ranjang, kau juga tak ada taji lagi!" Salma mengambil mangkuk melamin. Tumis bayam itu akan segera ditiriskan. "Jangan-jangan kau tak pernah bergerilya. Masa?
bekas pejuang cepat lunglai seperti pelepah kering. Atau
kalau ibarat senapan, kau itu senapan bengkok!"
Kau berjalan ke arah pintu dapur. Tanpa Salma sadari,
kau menguncinya. Kau beralih ke pintu depan. Juga menguncinya. Lalu, kau masuk kamar. Merangkak di bawah
ranjang. Membuka peti kayu.
"Jadi, tak usah kaudengarkan anak bujangmu yang sok
peduli itu. Kalau menjual rumah ini terlalu berat, jual saja
tanah yang belum bisa menghasilkan apa-apa itu. Lagi
pula, kan bukan jaminan anakan karet yang baru ditanam
akan tumbuh besar dan siap disadap! Aku mau buka salon
saja biar bisa memberi makan pejuang abal-abal seperti
kau!" Salma meletakkan mangkuk yang berisi tumis bayam
di atas meja dengan serampangan. "Masa? tiap hari aku
harus memetik bayam yang dipetik di halaman belakang.
Dimasak tanpa vetsin pula seperti keinginanmu. Lebih banyak repotnya daripada enaknya! Lagi pula, kau tak juga
berubah jadi Popeye walau makan bayam terus. Tahu kau,
Popeye? Badanmu saja yang sepertinya masih gagah, tapi
kalau diajak ?bermain?, malah lemas tak bertenaga! Kau."
Kautodongkan moncong senapan itu ke arah Salma. Telunjukmu menyentuh pelatuk. Dua detik kemudian, teriakan istrimu menembus langit.
Keesokan harinya kau mendapati fotomu di halaman
muka koran lokal. O, pasti para tetangga telah melaporkanmu ke polisi. Ah, untung saja kau sempat melarikan diri
ke sebuah pondokan tak terpakai di kampung sebelah. Kau
memang tak pernah ingin jadi buronan. Tapi, dalam keadaan seperti ini, status itu lebih menguntungkan daripada
duduk di kursi pesakitan menunggu hakim menghukummu
di persidangan. Kaucabuti bros-bros kebanggaanmu dengan penuh emosi hingga kantung baju dan topimu sedikit
robek. Kau buang topimu ke tanah. Kau kusal-kusal rambutmu yang penuh uban, seolah hendak mencerabutnya
dari kepala. Kau benar-benar kesal!
Kau merutuki banyak hal. Tentang kekhilafanmu yang
melampauibang batas, senapan yang seharusnya sudah
kauserahkan kepada negara sejak 40 tahun yang lalu, istri
yang begitu lancang menginjak-injak harga diri dan kerentaanmu, dan ketakpedulian anak-cucumu.
Hari sudah malam ketika gendang telingamu menangkap suara derap langkah seseorang. O, bukan satu, melainkan banyak orang! Kau segera menuruni pondok dengan
jantung yang berdegup serampangan. Berlari ke bawah pohon durian yang disemaki karimunting. Kau berjongkok,
menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara atau bergerak sebab nyamuk rimba dan semut merang menggigit lenganmu. Dari balik semak, matamu yang mulai rabun mengerahkan penglihatan terbaiknya, telingamu memasang
gendang pendengaran yang paling sensitif, dan lenguh napasmu diatur sedemikian rupa agar gerakan daun-daun tidak mencurigakan.
Orang-orang itu pulang dengan membawa dua buah
bros dan topi veteranmu. Lututmu sedikit bergetar ketika,
sebelum meninggalkan pondokan itu, salah satu dari mereka mengatakan bahwa benda-benda itu adalah barang bukti. Oh, dua kata itu seperti mantera yang siap menyeretmu
ke dalam jeruji.
Hari, pekan, dan bulan pun berlalu. Penyamaranmu selalu gagal dikenali. Kedatanganmu ke lapak barang bekas
di pasar pucuk, dua hari setelah peristiwa naas itu, telah
memperpanjang napas pelarianmu. Kumis palsu, kacamata
cokelat bergagang tebal, dan sebuah topi pet hitam, berhasil menyulap dirimu menjadi Kek Pet?Kakek Bertopi Pet,
bukannya Kek Vet?Kakek Veteran. Tentu saja, dalam kurun waktu itu, fotomu tak lagi terpampang dalam berita
atau maklumat pembunuhan.
Banyak yang tak menyadari kalau sebenarnya kau tak
ke mana-mana. Kau masih berada di Lubuklinggau. Memang, Lubuklinggau bukanlah kota metropolitan, tapi cukup luas dengan masyarakat yang berlomba-lomba mengadopsi gaya hidup kota besar. Tegur sapa, saling senyum,
apalagi bertukar kabar, sudah jarang ditebar orang-orang
yang sebenarnya kerap berjumpa di tengah keramaian. Hal
itu memang menyedihkan dalam pandangan kebudayaan
Timur, namun menjadi angin segar bagi pelarianmu. Oh
tiba-tiba kau teringat mendiang istri pertamamu dan Misral. Kau tak habis pikir, bagaimana bisa Tuhan menjemput
istri sebaik Maisarah, dan membiarkan dirimu hidup bersama anak bujang yang selalu menentang.
Kau sangat sedih.
Tiba-tiba, kau merasa, apa-apa yang dikatakan Salma,
ada benarnya. Kau adalah seorang tua tak berguna. Kaupandangi seragam kebanggaan yang melekat di tubuhmu.
Air matamu jatuh.
Sehina-hinanya seorang pejuang, ia adalah pahlawan,
pekikmu dalam hati. Kini, pipimu sudah basah.
Seorang pahlawan tidak akan membunuh musuh dalam keadaan tak berdaya!
Tapi, pribumi yang merendahkan pejuang tak ubahnya
pengkhianat, dalihmu tak mau kalah.
Ya, Salma memang salah, tapi ia wanita, tidak berada
di medan tempur pula, kau tega mau membunuhnya?
Kau diam.
Kalau memang begitu, kau pengecut!
Tidak, tidak! Aku tidak akan melakukannya! Pekikmu
penuh sesal. Kau menggeleng-gelengkan kepala. Kedua tanganmu menutup telinga. Kini, tak hanya wajahmu yang
berurai air mata, tapi sekujur tubuhmu juga asin oleh keringat ketakutan.
Lalu, untuk apa kautodongkan senapan itu ke arah
Salma? Untuk apa kaukaitkan telunjukmu pada pelatuknya?
Kaukerjap-kerjapkan matamu. Tiba-tiba pandanganmu
bertabrakan dengan pintu dapur yang masih menganga
dan jam dinding tua yang bertengger di antara dapur dan
ruang depan. Pukul dua lewat dua menit sepersekian detik?dua detik menuju menit ketiga.
Kau beristighfar berkali-kali. Kau gegas menarik telunjukmu dari pelatuk. Menurunkan senapan. Lalu menyem77
bunyikannya di belakang lemari yang berjarak setengah
depa darimu. Kau mengembuskan napas lega sebelum
mengambil topi veteran yang terkait di tanduk rusa yang
dipaku di dinding dapur. Tak jauh darimu, Salma baru saja
kembali dari rak piring dengan membawa sebuah piring,
sebuah sendok, dan segelas air putih.
Cinta Tak Pernah Tua Karya Benny Arnas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku mau makan dulu. Piring, sendok, dan air minum,
kauambillah sendiri," ujarnya tanpa menoleh. Beberapa
saat kemudian, terdengar bunyi kecipak yang dihasilkan
oleh makanan, gigi, dan lidah, yang berseteru di dalam mulut istrimu.
Kaupandangi Salma lekat-lekat. Dia memang terlalu
muda untukmu. Wajar kalau Misral tak merestui perkawinanku. Kau beranjak meninggalkan dapur. Kaukenakan
ikat pinggangmu yang sudah berserabut.
Makan siang pukul dua, sudah terlalu telat, pikirmu.
Lagi pula, aku tidak lapar. Ah, dulu kami berperang dengan
makan ulat dan daun-daun dan minum air sungai dalam
beberapa pekan, batinmu seraya tersenyum bangga.
Di luar, mata lamurmu memandang matahari yang tibatiba tersenyum sangat teduh. Senyumnya serupa senyum
perempuan. Perempuan-perempuan yang sempat mengisi
masa mudamu berlesatan dalam pikiran. Gairahmu kembali bergelora. Kau melangkah meninggalkan rumah.
Menuju kediaman Marla.
. 79
Batubujang
Alamakjang, seperti tak berotak saja apa yang
berlaku di muka Anas! Ia benar-benar tak habis
pikir, bagaimana penduduk menjadi sebegitu
bodohnya. Mereka menyemen parit dengan
batamerah, bahkan sebagian lebih gawat lagi,
melakukannya dengan batako.
APA KIRANYA YANG telah membuat pikiran mereka tidak menimbang banyak dampak yang mungkin sekali timbul dari tindakan yang tak kuat alibinya itu. Takkah mereka tahu kalau batamerah lebih banyak menguras rupiah
daripada batubujang? Takkah jua mereka berpikir bahwa
semakin berbilang masa, batamerah lebih mudah digerus
air, walaupun orang-orang itu telah bertahan dengan ruparupa alasan yang terkesan terlalu dibuat-buat (batamerah
akan dilapisi semen, salah satunya)? Tetap, batubujang lebih baik dibandingkan batamerah itu. Batin Anas memuncak, meredam lenguh durja.
Bila mencari dan menjual batubujang bukanlah satusatunya pekerjaan yang dapat mengepulkan asap dapur
dua beranak di sebuah gubuk di lereng Bukit Sulap itu,
Anas takkan kesal dan memendamarah seperti ini.
Anas juga tak habis pikir, bagaimana penduduk bisa lebih mendengarkan ajakan pemerintah kota. Orang-orang
berseragam cokelat muda itu selalu berseru panjang lebar
perihal penggunaan batamerah untuk menyemen parit dan
membuat jalan-jalan kecil (mereka menyebutnya "trotoar")
di pinggir jalan raya yang baru mulai dibangun beberapa
minggu yang lalu. Mengapa pula penduduk patuh pada
orang-orang LSM yang katanya cinta lingkungan tapi tak
sedikitpun peduli pada kehidupan orang lain. Para ?pecinta
alam? itu selalu berkoar mengajak orang-orang kampung
agar tidak menggunakan batubujang bila hendak menyemen parit, memperkuat dinding-dinding beton rumah tua,
atau bentuk pekerjaan lain, yang memungkinkan batubujang dipilih sebagai bahan bakunya.
O, bukan! Lebih tepatnya, mereka melakukan itu untuk membuat Pak Mur dan Anas mati secara perlahan. Tak
bisa berteriak karena tiada lagi napas, separuh sekalipun;
tak lagi mampu mengabar-ngabar akan keadaan badan karena tenaga pun tak cukup sudah; tak lagi mampu menggunungkan batubujang di pekarangan yang tak luas itu
.... Akhirnya Anas dan Pak Mur mati diam-diam. Dikubur
diam-diam pula di pemakaman umum Lubuk Senalang.
Ah, sejatinya Anas tak terlalu penting diharapkan mati
oleh orang-orang kota dan penduduk-penduduk?yang sudah terpengaruh oleh mereka, karena sebenarnya Pak Mur
lebih mereka harapkan menguzur hidupnya. Tamat segera.
Lelaki itu seolah telah menikung mereka untuk jadi seperti orang-orang kota tersebut: orang-orang?yang tampaknya?tak kurang uang dan terhormat di tengah masyarakat.
Blender lebih dianjurkan daripada jelapang, dan lesung lebih disarankan terbuat dari kayu. Itu yang Anas
rekam dalam benaknya setelah beberapa kali kedatangannya di kedai Mang Sarin, Nek Ijah, dan Wak Komar. Untung saja mereka tak menyarankan mengganti batubujang
dengan batamerah, koral, atau bahkan semen saja untuk
memfondasi rumah mereka, batin Anas.
Tapi ada kabar yang lebih anyar, yaitu orang-orang
Ulaksurung dan Lorongkandis menjuluki Pak Mur sebagai
batubujang itu sendiri. Rasa teriris ulu hati Anas mendengar semua ?omong-kotor? orang-orang di kedai, ibu-ibu
yang mengerumuni gerobak sayur, atau berandalan di
posko-posko?yang katanya tempat pemuda berucap santun, berkumpul untuk memikirkan hal-hal yang berguna?
yang tak jelas ujung faedahnya itu.
"Tak beranak pula Batu itu, Mir?"
"Macam mana dengan Anas tu, Jali?"
"Ehem," Mang Jali membuat batuk kecil, memberi isyarat bahwa Anas baru saja menyambangi warung; menukar
beberapa lembar ribuan dengan kopi dusun buatan Nek
Ijah, si pemilik kedai. "Yang jelas lelaki tua di lereng bukit
itu tak ubahnya seperti batu yang tiba-tiba sudah ada. Malangnya ia terus membujang. Tak ada yang mau berkawin
dengannya." Mang Jali sengaja mengeraskan suara.
Anas mendengus, melirik tajam.
"Hei Jali, tak senang tampaknya anak Batu tu!" Mang
Amir mengangkat sebelah kakinya ke atas dudukan bambu.
"Hei, Anas! Tak senang kau, hah?!" Mang Jali menantang. Tampaknya Mangir sukses memanas-manasinya.
"Yakin kau anaknya Si Mur, heh?" Mang Jali terkekeh.
Diikuti Mangir seraya menyeruput gelas kopi keduanya. "Kalau tak percaya sama kami, kau tanyalah pada Wak
Mukhlisin yang sering cari kayu ke Bukit Sulap tu!"
Anas melirik sekilas. Ia tahu, tukang kayu itu orang
yang baik. Tak mungkin ia bersekutu dengan Mang Jali
dan kawan-kawannya. Benar saja, tak berselang lama, Wak
Mukhlisin meninggalkan kedai.
"Kau berkabarlah pada Si Batu Lapuk: Bapak kau tu!
Kami tak nak longsor di Bukit Botak tu terjadi pula di
Ulaksurung ni!" Belum puas rupanya Mang Jali.
Anas bergegas mengambil uang kembalian dari tangan
keriput Nek Ijah yang mengulum seringaian.
"Hoi!" Mang Jali berteriak. "Batubujang Bapak kau tu!"
Dan, pecahlah tawa di kedai itu.
Anas bergeming. Dengan kaki telanjang, ia papas gapura kampung. Melindas kerikil-kerikil yang menyamak
debu. Gemuruh tawa dan ejekan dari kedai Nek Ijah makin
singup seiring lebar derap langkah Anas, memapas bumi
yang berderik. Panas, panas, panas!
DI BALIK ALASAN akan ketakutan pada longsor, banjir,
dan kemarahan alam lainnya, Anas dan Pak Mur bersedekap dengan pedih. Merana seperti kupu-kupu yang hidup
di taman yang bebungaannya hanya menguncup, tak kunjung mekar. Batubujang-batubujang yang menggunung di
depan dan belakang rumah hanya membisu, seperti Pak
Mur yang saban pagi dan petang terus memandanginya
tanpa suara. Sungguh, hampir tiada yang bisa mereka andalkan lagi untuk menyambung napas.
Anas pun tak dapat berbuat banyak, kecuali menghibur
bapaknya bahwa uang dan beras simpanan mereka masih
cukup untuk mengula-gulai perut hingga beberapa hari ke
depan. Dan beberapa waktu belakangan ini, kondisi kejiwaan dan kesehatan Pak Mur makin memprihatinkan.
Saban bakda Magrib, Pak Mur sering berbicara sendiri di
hadapan batubujang yang menggunung di sudut-sudut pekarangan. Kadang Pak Mur hanya mencangkung di salah
satu gundukan. Kadang mengelus-elus batu-batu bisu itu.
Kadang juga menciuminya dengan mata terpejam. Yang
tak kadang-kadang adalah, Pak Mur mengempaskan batubujang yang satu ke gundukan batubujang lainnya.
Ketika malam mulai menyeruak, badan Pak Mur juga
sering menggigil kedinginan. Biasanya Anas mengeluarkan
semua selimut dan kain sarung dari lemari untuk menghangatkan tubuh lelaki tua yang sudah mulai ringkih itu. Pak
Mur baru akan berhenti mengigil ketika pekatnya kelam
memaksa mata tuanya menutup untuk sementara, sampai
bedug menggema di seantero Ulaksurung.
"Pak, apa benar yang Mang Jali katakan?"
"Dengan siapa dia mengumpat orang, Nas?"
"Mangir, Bi Nur, Wak Soleh, Cik Rika "
"Memangnya dari kedai mana lagi kau, Nas?!" Muka
Pak Mur memerah.
"Entah, ini yang keberapa kali aku mendengar omongkotor orang-orang itu tentang kita, Pak." Anas menggamit
kedua bibirnya ke dalam hingga membentuk garis. "Mmm
," Anas menata kata, "apa kita menyakiti mereka tanpa
kita merasa melakukannya, Pak?"
PRAAAK!
Pak Mur menendang kursi kayu hingga terpelanting.
Refleks Anas menunduk, memagari wajah dengan kedua
tangannya. Hampir saja lapak-duduk itu menindihnya.
"Kau membela mereka, hah? Kau membela orang kota,
LSM, Jali-Sinting, Ijah-Lampir tu, hah?!"
Anas tak menyahut. Bergegas ke belakang, menjerang
air panas.
Sebentar lagi bumi akan pekat. Seperti biasa, kopi pahit seakan-akan telah menjadi teman setia Pak Mur sejak
batubujang di pekarangan rumahnya tiada yang berupaya
menawar, apalagi membeli. Dan sebagai anak bujang seorang, Anas selalu setia membuatkannya minuman hitamkelat itu, sebelum menemaninya menceracau lepas pada
langit buram dan angin malam yang menusuk paru-paru;
di antara gundukan-gundukan batubujang yang siap beradu-dentam: pecah satu-satu diadu Pak Mur. Saat itulah,
Anas mengakhiri tugasnya menemani sang bapak. Ya, siapa pula yang mau mati diremuk batubujang, walaupun
bapak sendiri pula yang melakukannya?
Seperti biasa, ketika malam melarut, Pak Mur masuk
ke kamar pengapnya karena sekujur tubuh menggigil kedinginan. Anas pun akan kembali menemani, menghangatkan badannya dengan sarung-sarung dari lemari kayu mereka. Begitulah terus berulang beberapa hari terakhir ini.
Lagi dan lagi. Terus dan terus. Tampaknya semua takkan
berhenti sampai ada yang hendak membangun rumah,
membeli batubujang.
"Kau dengar juga Jali mencarut, ngomong kotor, di kedai
Nek Ijah di simpang menuju jembatan Dusun Linggau tu?"
"Di Jalan Bangka, Pak," sahut Anas dari dapur. Tangannya mengaduk-aduk kopi sambil mengamati ceret aluminium yang terpanggang di antara dua batubujang hitam yang
memekang; mengapit tetungkuan yang mulai mengarang
dan mengabu.
"Sama saja itu, Setan!"
Anas menghela napas, menghentikan adukan sejenak.
"Semaunya saja orang-orang LSM tu. Mereka kira mereka paling suci! Paling tahu kehidupan banyak orang! Bukit
Sulap ni tak akan tergerus air hujan, tak akan cepat longsor, dan tak akan mengirim banjir untuk penduduk di sini
hanya karena kita mencungkil beberapa batubujang di tepi
sungai yang mengalir di kakinya, Nas," Pak Mur mengerasngeraskan suara seakan-akan hendak memastikan Anas
benar-benar mendengarkan semuanya dari dapur.
"Mungkin mereka takut seperti yang terjadi di Bukit Botak, Pak." Anas kembali melanjutkan adukan. Dia belum
berani beranjak ke ruang depan. Pak Mur masih menceracau. Sebentar lagi batubujang-batubujang di sekitar rumah
akan jadi sasarannya.
"Bohong itu! Jangan kau jadi iblis juga, Nas?"
Anas meniup tungku. Dia harus menjerang air lagi sebagai persiapan. Sudah kebiasaan, Pak Mur akan minta tambah kopi lagi.
Gerimis mulai menabuh seng-seng berkarat. Anas telah
berada di hadapan Pak Mur, menghidangkan kopi pahit.
Tabuhan seng makin ramai.
"Tak keluar, Pak?" Anas mendudukkan tubuhnya tepat
di hadapan Pak Mur, di depan meja kayu yang melapuk.
Biasanya malam yang masih muda seperti ini, selalu dimanfaatkan Pak Mur untuk bersantai di antara gundukan
batubujangnya, menghirup empat-lima gelas kopi.
"Bodoh, kau! Hujan di luar!"
Angin menderu. Langit muntah satu-satu. Jarum-jarum
air bersicepat menyeruduk tanah.
"Pak, petang tadi Anas ke kedai Nek Ijah."
Pak Mur menatap sinis.
Hujan melebat.
"Ngomong apa mereka?"
"Kita harus segera pindah dari sini, Pak. Katanya orangorang kota akan membangun pila. Entah apa pula itu, aku
tak begitu tahu. Tapi sepertinya pila itu serupa tempat
menginap"
"Besar uap orang-orang kota itu, Nas!"
"Tapi kukira yang besar uap itu Mang Jali, Pak!"
Pak Mur mendongak. Dahinya mengernyit.
"Mang Jali sudah menandatangani semacam surat kuasa atas tanah ini, Pak."
"Setan nian kau Jali!" Dada Pak Mur megap-megap.
"Mau bersengketa dia dengan kita, Nas!" Pak Mur bangkit,
menuju halaman yang mulai becek.
Cinta Tak Pernah Tua Karya Benny Arnas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara gemuruh di luar.
"Suara apa itu, Pak?"
"Awas kau, Jali!" Pak Mur tak memedulikan kata-kata
Anas. Pak Mur mulai memungut beberapa batubujang yang
sedang-sedang ukurannya, lalu memasukkannya ke dalam
karung lusuh. "Kuremukkan kepala Jali itu, Nas!"
Tiba-tiba Pak Mur berteriak hebat. Diikuti Anas.
"KURANG AJAR NIAN kau, Mur!!!" Jali geram. Naik turun
bahunya menahan marah yang melahar. Matanya membelalak memandangi tumpukan batamerahnya dari balik gorden tua. Bi Nun menyodorkan segelas air putih pada suaminya. Berusaha menenangkan.
CRAAANK!
Jali kadung durja. Air berlompatan melumuri lantai buram yang kini berserakan beling
"Coba kalau ia tak bersikeras tinggal di sana. Tidak
mencungkil batubujang saban hari, pasti tak seperti ini jadinya. Dasar batubujang! Tua-Bujang, Tua-Bangka, TuaMati pula kau!"
Bi Nun terpekur, duduk di tepi dipan.
"Tak jadi kaya kita, Dik! Tak jadi orang kota membuat
pila di situ!"
"Kasihan Anas, Kak." Mata Bi Nun menerawang Bukit Sulap yang terbingkai jendela. Gundukan hijau itu kini
mencokelat-liat.
"Untuk apa pula kasihan dengan anak tak berbapak tu!"
Mang Jali menoleh. Berkacak pinggang.
"Sudahlah, Kak." Suara Bi Nun agak serak. Matanya hangat. "Bukankah Kakak juga akan dapat berkah darinya.
Batamerahmu akan makin dicari orang. Kita harusnya menaruh kasihan pada Anas yang tak tahu apa-apa itu."
"Untung tak banyak ulah anak tu! Untung juga dia mati
dengan laki-laki gila itu! Tak ada yang mau berumah tangga dengan bapak-tirinya itu. Sampai tua pula tak berbini,
tak beranak, tak bergaul, tak pula berpenghidupan selain
dari batubujangnya itu! Pasti dia juga mati tertimpa batubujangnya. Dia itu pulalah yang sebenarnya batubujang
tu! Batubujang mati ditimpa batubujang pula ...."
Bi Nun tak hirau lagi dengan kata-kata suaminya. Ia
mengambil selendang hitam di atas lemari tuanya, kemudian mengusap matanya yang memerah sebelum menutup
kepalanya yang bersanggul malang.
"Ke mana kau, Dik? Tak kaudengar lagi kata-kataku?"
"Di kedai Wak Komar tadi, kudengar mayat Kak Mur
dan Anas baru diangkat dari timbunan longsor. Mungkin
siang ini dua beranak itu akan dikubur. Sebenci-bencinya
kau pada mereka, beradat sedikitlah sebagai laki-laki, Kak."
Mang Jali beringsut mengambil kopiah hitam. Mengikuti langkah istrinya ke Lubuk Senalang.
. 92
Belajar Setia
Pada kedatangan tak diundang dan tanpa
pemberitahuan, pemuda enam belas tahun itu
sudah menyiapkan sebuah cerita untuk Mayang,
perawan yang saban petang selalu menyendiri
di simpang kabupaten
(kebiasaan yang sudah berumur seperempat abad).
NAMUN ALIH-ALIH MENDENGARKANNYA, perempuan
itu bahkan tidak serta-merta bisa menerima kedatangan
seorang tak dikenal. Pemuda itu berusaha tampak tenang,
seolah sudah mengantisipasi semua kemungkinan. Ia katakan bahwa sudah hampir dua tahun ia mencarinya. Jadi,
adalah konyol apabila ia harus kembali tanpa menuntaskan
maksudnya.
Saya datang dari Binjai, sebuah dusun di Muarakelingi,
katanya. Namun apalah arti sebuah tempat bagi kedatangan yang tiba-tiba. Mayang bergeming seperti tidak mendengar apa-apa. Bagi si pemuda, itu pertanda baik. Apalagi
perempuan itu lalu membuka daun pintu lebih lebar dan
menyilakannya masuk. Ah, lampu-lampu di sepanjang jalan-tujuannya mulai menyala.
Namun, baru saja ia duduk di kursi rotan tua dalam
rumah papan itu, perempuan itu sudah mengejutkannya.
"Namamu Musmulikaing," begitu gumamnya. Intonasinya
datar sehingga kalimat itu tak menjadi kalimat tanya. Dan
ia sepertinya memang tak memerlukan jawaban. Ia hanya
menatap si pemuda tanpa selidik. "Aku tak pernah berpikir kalau kali ini mimpiku akan jadi kenyataan." Lalu ia
berlalu ke bilik belakang, menyeka tirai kerang yang sudah
jarang dan renggang.
Pemuda itu diam. Matanya mengekor punggung si perempuan yang lenyap di balik bilik.
"Sudah puluhan tahun, ada suara yang selalu berdenging dalam mimpi-mimpiku. Seorang pemuda bernama
Musmulikaing akan datang dalam waktu dekat." Suara Mayang terdengar jelas dari balik bilik kayu itu. Sesekali bunyi
sendok yang beradu dengan cangkir sayup mengetuk gendang telinga. "Namamu memang rada aneh tapi kedengarannya tak asing. Aku tak tahu kapan dan di mana namamu
pernah kuakrabi. Ah biarlah, namanya juga mimpi, kadang
tak bisa dinalar." Perempuan itu sudah kembali menerobos
tirai dengan secangkir teh hangat di tangan kirinya. "Tapi
mimpi kali ini, bagaimanapun, rasanya ada yang lain." Ia
meletakkan cangkir teh itu di atas meja lalu duduk di kursi
rotannya. "Minumlah. Tamu adalah raja. Apalagi tamu dari
alam mimpi." Ia tertawa kecil, seperti mengejek kata-katanya sendiri.
Pemuda itu cengengesan. Tangan kanannya menggaruk
kepalanya yang tidak gatal.
"Di zaman sekarang, mimpi yang benar-benar mengisyaratkan sebuah kejadian sudah langka. Mimpi tak lebih
sebagai perpanjangan kehendak seseorang; apa-apa yang
tidak atau belum mampu diraih di alam nyata, ia bawa ke
dalam tidurnya. Mimpi yang begitu, yang disebut bunga tidur, mimpi yang tak berguna!"
"Lalu untuk apa seseorang dalam mimpi itu men?
datangimu?" tanya pemuda itu setelah menyeruput teh.
Untuk membawa gadis yang sudah kuanggap sebagai
anak kembali kepadaku, batin Mayang sebelum menggeleng. "Tapi bukannya, kau ingin bercerita?"
SYAHDAN, SEORANG LELAKI mengungkapkan rahasia
terbesar dalam hidupnya.
Ketika masih muda, ia menjalin hubungan dengan seorang gadis. Pemuda itu ingin mempersembahkan kejutan
kepada gadisnya dengan meminangnya tiba-tiba. Benar!
Apa yang ia lakukan memang mengejutkan. Pinangannya
ditolak. O, bagaimana ia lupa kalau seseorang yang lahir,
tinggal, dan berdikari di Binjai, dusun rumah tinggi yang
hidup dari menyadap karet dan menjaring ikan seluang di
anak Sungai Musi, taklah mampu berdiri di atas anak tangga yang sama dengan gadis keturunan pesirah di Kayuara.
Tercorenglah keluarga besar sang pemuda. Betapa malunya. Sang gadis benar-benar kecewa dengan apa yang
keluarganya perbuat. Ia memang menyesalkan tingkah kekasihnya yang tiba-tiba datang dengan dua puluh orang sanak-kerabat, dua belas nampan berisi bejek ketan hitam,
enam tandan pisang tanduk, dan sepikul beras dayang
rindu. Namun, sungguh, semuanya menguap dan menjadi tak berarti bila dibandingkan dengan ketakterimaannya
atas kepongahan keluarganya. Maka, lewat seorang pesu95
ruh yang setia, ia mengirimkan sepucuk surat kepada si pemuda. Ternyata maksud tak selamanya selaras dengan kenyataan. Surat yang dilemparkan si pesuruh?sebagaimana
amanah si gadis?lewat daun jendela kamar si pemuda, tertangkap pandang oleh ayah si pemuda.
Sebuah rencana pembalasan pun disiapkan. Sang Ayah
tak pernah menyampaikan surat itu kepada putranya. Bahkan, hingga ia meninggal dan putranya meminang seorang
perempuan yang masih berkerabat jauh satu tahun kemudian. Apa yang dilakukan putranya tak lain sebab kekecewaan yang menggunung pada kekasihnya yang tak mengirim setangkai kabar pun setelah pengusiran itu. Bagi si
pemuda, peristiwa memalukan itu bagai menegaskan bahwa gadis itu sengaja menjauh darinya, melepas hubungan
yang sudah sekian lama dikebat .
Maisarah Syukur, demikian nama istrinya. Pernikahan
mereka menghadirkan tiga anak bujang. Mursal, Badri, dan
Misral. Sayang sekali, hujan panas merenggut dua anak pertamanya. Dan inilah muslihat hujan panas itu: hujan yang
membawa petaka, petaka yang menumbuhkan petaka-petaka lainnya di masa depan, termasuk petaka pada hubungannya dengan sang istri. Sejak kehilangan dua putra mereka,
hujan panas memorak-porandakan hubungan asmara mereka berdua. Entah karena ajal yang sudah tiba atau rajaman
muslihat hujan nan keparat, sang istri meregang nyawa satu
tahun usai melahirkan anak yang ketiga. Di saat yang berdekatan, sahabat dekat ayahnya memberikan ia sebuah surat.
Surat yang disimpan mendiang ayahnya sekian lama.
"Maaf, seharusnya surat ini kusampaikan tak lama setelah kepergian ayahmu, tapi aku lupa," ujarnya memohon
pemakluman. "Maafkanlah ayahmu. Tentu dia tak bermaksud buruk seperti perkiraanmu setelah membaca surat dari
kekasihmu di Kayuara ini nantinya."
Betapa terpukulnya laki-laki itu begitu mengetahui rahasia di balik gagalnya pertemuan itu; pertemuan di simpang kalangan dekat pohon merbau di Muarabeliti jelang
terbenamnya matahari yang tak pernah ia beritakan kepada putranya.
Namun nasib sudah menjadi kerak. Penyesalan adalah
saudara kembar ratapan. Dan haram bagi seorang pejuang memelihara perasaan tak berguna itu. Maka, ia pun
membesarkan putra semata wayangnya sendirian. Ia ingin
membuktikan pada mendiang ayahnya, bahwa cintanya
kepada gadis Kayuara itu takkan luruh hingga kapan pun,
oleh apa pun.
"SIMPANG MUARABELITI?IBUKOTA Kabupaten?" Tibatiba perempuan itu menyela.
Pemuda itu mengangguk.
"Petang?"
Pemuda itu mengangguk lagi.
"Jadi surat itu tak pernah dibacanya? Apakah laki-laki
itu tahu bahwa, hingga saat ini, gadisnya masih melajang?"
Pemuda itu diam.
" dan hidup sebatang kara karena keluarganya tak
sudi punya anak pembangkang, tak sudi serumah dengan
gadis yang mencintai pemuda tak sepadan." Tiba-tiba perempuan itu bangkit dari tempat duduknya. "Mengapa,
mengapa ceritamu."
"Ya, mungkin Ibu heran mengapa ceritaku sangat mirip
dengan kisah hidup Ibu, bukan? Ibu pernah tinggal di Kayuara?"
"Jangan sok tahu!" Suara Mayang meninggi.
"Bukannya Ibu yang sok tahu?" Pemuda itu balas berseru. "Ibu sok tahu kalau gadis dalam ceritaku masih melajang hingga kini!"
Mayang tercenung seperti terenyak. Lalu perlahan ia
kembali duduk. "Ternyata penantianku adalah panggilan
tanpa bunyi dan jawaban." Suaranya terdengar lempang
tanpa gairah. Matanya memerah.
"Penantian? Menantikan laki-laki dalam ceritaku?" Suara pemuda itu lirih, hampir tak terdengar.
Mayang tak menjawab. Hanya air matanya yang tibatiba meleleh.
"Menantikan Samin?" Suara pemuda itu bagai tercekat.
"Dan kau adalah Musmulikaing." Suara Mayang memarau. Ada senyum tipis, sangat tipis, menggurat di bibir perempuan itu. Ia menyeka air matanya dengan ujung baju
katunnya.
"Bukan!" tukas pemuda itu cepat. "Aku ."
"Ya, aku memang salah. Kau memang tidak akan memberikanku kabar yang terang tentang anak gadisku di kota;
benarkah ia melacur atau telah disihir Tuhan jadi pinang
sebatang pinang merah!" potong Mayang tak kalah cepat.
"Aku salah. Kau adalah buah perkawinan Samin dengan
Maisarah yang tak berumur lama. Ohhh .."
Mulut pemuda itu terkunci.
"Dan gadis Kayuara itu adalah Mayang Nilamsari binti
Umar Hamid, kan?!"
Pemuda itu tiba-tiba merasa kerongkongannya menyempit.
Perempuan itu kini tersenyum, benar-benar tersenyum.
"Terimakasih atas ceritamu. Ayahmu memang pujangga
ulung. Untuk menjelaskan semua keganjilan masa silam
kami, ia bahkan merasa perlu mengutusmu untuk bertandang dalam mimpi-mimpiku sebelum akhirnya hadir di hadapanku."
Pemuda itu tersenyum, senyum yang lebih mirip seringaian.
"Aku tidak marah pada Samin. Tak ada guna. Aku bahkan memaklumi perkawinan itu. Cinta yang tulus adalah
tinta daun bilau yang menetes di kain kafan, nodanya takkan terkelupas apalagi terhapus oleh air hujan sekalipun. O
ya, sampaikan pada ayahmu: ?Ada salam dariku.?"
Pemuda itu bangkit dari tempat duduknya. Sebenarnya
ia ingin menjelaskan kalau namanya adalah Misral, bukan
Musmulikaing. Tapi hal itu menjadi tidak penting lagi ketika mendapati kenyataan yang begitu menggetarkan: seorang perempuan rela melajang hingga usianya merayap
separuh abad.
Pemuda itu mencium punggung tangan Mayang dengan
takzim, seolah tengah mengucapkan selamat tinggal kepada ibu kandungnya, untuk membawa kabar gembira nan
memilukan ke tepian anak Sungai Musi lalu menyampaikannya kepada Samin. Kepada ayahnya.
100
101
Tupai-tupai Jatuh dari Langit
Setelah perhatianmu dirampas tupai-tupai yang
tiba-tiba saja bermain di hutan kecil di belakang
rumahmu, kau akhirnya tahu kalau Tuhan sangat
memerhatikanmu. Kau seperti baru menyadari,
setahun sungguh terlalu lama untuk sepasang ujung
tali yang memilin sendiri dan gagal bertemu satu
Cinta Tak Pernah Tua Karya Benny Arnas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama lain dalam ikatan yang longgar. Kau terlalu
penakut untuk menamainya ketidakadilan,
seolah-olah "adil" adalah kosa kata yang terlalu
tinggi untuk seorang perempuan
lima puluh tiga tahun sepertimu.
SEJAK HARI PERTAMA kehadiran Dewi dalam kehidupanmu dan Samin, kau bisa mematut diri di depan cermin
lebih dari tujuh kali sehari. Kau hanya akan berhenti bila
tiba-tiba kesadaran akan usia mengentak. Kau masih ingat,
walaupun dipinang Samin di usia hampir empat puluh, kau
masih seorang perawan. Banyak yang menyesali keputusanmu menerima pinangan duda itu. Walaupun bekas pejuang, orang-orang kadung menjuluki Samin sebagai Lelaki
Tua Pemalas karena menelantarkan ladang dan hidup paspasan dengan gaji veterannya.
"Hebat nian Wak Samin tu. Dijeratnyalah Rukiah yang
pandai berkebun tu agar hidupnya tak berkekurangan!"
Kau tahu, kata-kata pedas itu adalah jejarum busuk
yang menghambur-melesat-menusuk telinga kananmu.
Untuk mengeluarkannya lewat telinga kirimu, bukan perkara mudah. Rasa perih akan menjalari sekujur tubuhmu
yang mulai merenta. Kau memang berusaha menaklukkan
rasa sepi yang terus menerus melilitmu, namun selalu gagal.
"Lagi pula, memangnya kau tak malu dengan Maisarah?
Kau lupa kalau bekas istri Samin tu teman sepermainanmu
waktu muda, hah?!" Kau tak ingat, siapa lagi yang melesakkan jarum-jarum itu ke dadamu!
"Nah sekarang kau dapat azabnya, Kiah! Sekali kawin,
ditikam lanang gatal!" Seminggu yang lalu, kakak perempuan satu-satunya yang datang dari Musirawas untuk
berobat ke Lubuklinggau, rupanya juga membawa jarumjarum untuk ditusukkan ke tubuhnya.
"Bukan salah Bang Samin, Kak." Kau berusaha membela suamimu.
"Hah, apa bedanya Dewi denganmu dulu? Dewi juga
seusia kau waktu dikawini Samin."
"Bang Samin sudah jadi duda ketika mengawiniku," balasmu tak mau kalah.
"Jadi maumu kau tak usah dimadu? Biar Samin menceraikanmu dulu sebelum mengawini Dewi. Begitu? Mengapa
kau tak menuntut, tapi malah bertahan menjadi budaknya
menanam bibit karet di kebunnya setahun ini?"
Kau terdiam. Jarum-jarum yang dibawa saudaramu itu,
rupanya lebih tajam, kotor, dan beracun.
PUKUL EMPAT petang tadi, lewat orang suruhannya, Samin kembali membatalkan janji menginap di rumahmu
malam Ahad ini?saking kerapnya laki-laki delapan puluhan tahun itu melakukan hal serupa, kabar mengecewakan itu tidak kaurasakan sebagai ketiba-tibaan, atau sebaliknya, kabar tiba-tiba itu tak kaurasakan sebagai sesuatu
yang mengecewakan.
Ah, di mana-mana istri muda lebih segar dan menggairahkan, batinmu antara pasrah dan marah.
Setelah melemparkan songkok ke atas dipan, lewat jendela kamar yang berhadapan dengan halaman belakang
yang dirimbuni pohon rambai, pinang merah, pohon srikaya, dan semak-semak yang tak kau tahu namanya; pandanganmu bertabrakan dengan tingkah tiga ekor tupai di
dahan pohon rambai yang terkecil.
Sebenarnya hanya ada dua ekor tupai yang bergelayut.
Atau lebih tepatnya lagi, hanya seekor tupai yang salah satu
kaki belakangnya menggelayut di dahan. Namun karena salah satu kaki depannya justru berpautan dengan salah satu
kaki belakang tupai di bawahnya, bisa saja dikatakan kalau
ada dua ekor tupai yang bergelayut di dahan. Sementara
tupai ketiga, yang menengadah ke kedua tupai yang bergelayutan itu, tampaknya juga ingin ikut bergelayutan seperti
mereka. Sebenarnya bisa saja ia bergelayut di dahan yang
lain, namun bergelayutan bersama tampaknya lebih menyenangkan. Ia sangat menantikan tupai yang kedua mengulurkan salah satu kaki depannya lebih ke bawah lagi agar ia bisa
ikut bergelayutan. Harapannya seperti terkabul ketika tupai
yang kedua menjulurkan salah satu kaki depannya. Di salah
satu kaki depan itu terselip setangkai bunga ara berwarna
ungu. Ia sempat bertanya-tanya, untuk apa bunga itu. Ia memang menyukai bunga, tapi bukan saat ini. Ia lebih membutuhkan uluran kaki daripada bunga ara berwarna ungu. Ia
tak menyambut bunga ara ungu itu. Namun begitu, ia tetap
menengadah. Masih berharap kedua tupai, khususnya tupai
yang kedua, menangkap keinginannya: mengulurkan salah
satu kakinya lebih rendah untuk ia sambut sehingga mereka
bertiga bergelayutan bersama.
Tidak! Kau tidak melihatnya seperti itu!
Pemandangan itu kau tafsir penuh drama dan kepekaan
yang rinci: Tupai yang salah satu kakinya bergelayut di dahan dan tupai yang mencangkung di bawah dengan kepala
menengadah adalah tupai betina, sedangkan tupai yang di
tengah, yang mengulurkan setangkai bunga ara ungu adalah pejantan,
Kau geram sekali melihat pemandangan itu. Ketiga tupai itu seperti tengah mereka-ulang apa yang bergeliat dalam rumah tanggamu saat ini. Tiba-tiba kau sangat berharap, tupai yang mencangkung di bawah tidak menyambut
uluran bunga ara ungu itu. Pun bila tupai jantan itu mengulurkan tangannya lebih rendah pun, kau berharap tupai
betina itu mengabaikannya saja. Kau ingin sekali tupai betina itu pergi saja dari sana. Entah bergelayutan di dahan
yang lain, atau bergelayutan dengan tupai jantan yang lain,
kau tak peduli. Ditunggu dan ditunggu, tupai betina itu tak
juga pergi-pergi. Kau pun mengambil beberapa kerikil dari
halaman. Kauarahkan lemparanmu ke tupai betina yang
tak tahu malu itu. Tak berapa lama kemudian, tupai betina
itu lari ke semak-semak dengan mengeluarkan suara terkaing-kaing karena lemparanmu mengenai salah satu kaki
mungilnya. Sementara kedua tupai yang bergelayutan itu
tak mengubah posisi mereka. Di matamu, mereka seperti sepasang sejoli menertawakan musibah yang menimpa
tupai ketiga. Mereka seperti Samin dan Dewi yang kerap
mengejek kebodohanmu. Setangkai bunga ara ungu yang
tadi terselip di jemari salah satu kaki depan tupai jantan
itu pun kini jatuh, tergeletak di tanah.
Tiba-tiba kau merasa sangat bersalah.
O, seharusnya kedua tupai yang tak tahu diri itulah yang
kusambit dengan kerikil, sesalmu sembari balik badan,
masuk ke rumah, ke kamar mungilmu yang lembab. Kau
gegas ke kamar mandi. Kau berharap air yang mengguyur
tubuhmu serta-merta mengusir kekesalanmu pada tupaitupai di belakang rumahmu itu.
Kau menyenandungkan Seroja tanpa lirik sembari
mengusal rambutmu yang basah dengan handuk. Pukul
enam petang ini kau akan ke utara kampung. Sudah lama
nian kau tidak salat berjamaah di masjid sana. Mungkin
karena curahan air yang membersihkan tubuhmu barusan
serta-merta menjernihkan pikiran, kau seperti tersadar betapa Tuhan sangat menyayangi orang yang teraniaya. Ya,
pemandangan di belakang rumah petang ini, adalah sesuatu yang patut kausyukuri.
Usai mengenakan telekung, kau menuju masjid dengan
langkah lebih yakin dan dada lebih lapang dari biasa. Tebersit keinginanmu untuk membagikan pelajaran yang kau
dapat dari tiga ekor tupai itu kepada ibu-ibu yang kaute
mui di masjid nanti. Sepanjang perjalanan, kau tak henti
berzikir dengan sebuah tasbih di tangan kanan. Sungguh,
sejak Samin membelah hatinya, kau belum pernah melalui
petang Sabtu tanpa gelisah seperti ini.
Samin memang tak tahu diri. Sudahlah tua, masih
juga mau memberi janji sebelum kemudian mengingkarinya. Bagaimanapun bunga ara ungu itu seperti kebanyakan bunga. Bila tak segera ditanam, mana mungkin akan tumbuh apalagi berbuah. Esok, aku minta cerai
saja! Walaupun suara hati kecilmu yang lain berusaha menenangkan: Terlalu dini mengambil keputusan, Kiah. Satu
tahun itu sebentar. Sabarlah. Siapa tahu Tuhan sedang
mengujimu sebagai istri yang saleha.
Di halaman belakang rumahmu, tupai-tupai yang tadi
bermain di dahan pohon rambai, terbang ke langit. Tugas
mereka sudah selesai.
CATATAN: Cerita ini adalah terjemahan
bebas penulis atas foto ini:
108
Senja yang Paling Ibu
Mukadimah
Sungguh, aku merinduinya. Rindu ini umpama subuh yang
mengkhitbah bukit dengan cincin embunnya. Gunung,
laut, dan lembah, yang melempar kami ke titik entah, justru mengantarku ke senja yang memayungi pinang-pinang
merah; ketika kupungut butir-butir nasihat kehidupan darinya, kubawa ke kota yang jauh dari kelebatan baju kurungnya. Tanpa disadari, telah kuperam semua. Dan kini,
di senja yang tak lagi ibu, butir-butir itu menetas. Kutandai
mereka dengan dua nama: yang satu Kenangan, yang satu
lagi Nostalgia.
Sejak Itu Aku Memanggilnya Ibu
Hikayat sederhana ini melibatkan senja, aku, dan seorang
wanita yatim-piatu. Yang terakhir adalah perempuan yang
menemukanku teronggok di bak sampah di tepi jalan raya.
Ia memang tak seperti wanita kebanyakan. Ia tumbuh dalam keluarga kaya yang mencintai ilmu namun diperbudak
harta. Sayang sekali, jangankan mengembuskan ruh di rahimnya yang sepi, Tuhan bahkan terus mengujinya dengan
kesendirian. Hidup tanpa suami. Hingga kini. Hingga hikayat ini kukhatami.
Ah, akulah yang paling mengertimu, Ibu: Betapa kau tak
bisa melupakan cinta pertamamu.
Ibu adalah wanita paling setia yang pernah kutemukan.
Setia pada lelaki bekas pejuang di Muarakelingi itu, dan
tentu saja setia menyayangiku, mengasihiku, mendoakanku, menungguiku.
Maka, adalah mafhum bila ia selalu berkoar kepada sesiapa yang meragukanku sebagai buah-hatinya.
Apakah ada yang dapat membantah itu? Tanyanya bagai
menyimpan kegeraman. Melahirkan atau menemukan, itu
hanya perkara cara. Dan yang terang adalah, Tuhan sangat
baik kepadaku. Ia tak ingin aku meregang nyawa demi berketurunan. Aku tinggal memungutmu, membesarkanmu
dengan layak, lalu bermaklumat bahwa aku sudah menjadi
ibu. Ibu yang diberi kemudahan. Ya, bila Maryam melahirkan tanpa suami, maka aku memiliki anak tanpa melahirkan. Aku tak habis pikir, bagaimana orang-orang menyebut
ini kehinaan! Tidakkah ini lebih layak dinamai keistimewaan?!
Sejak itu, aku memanggilnya Ibu.
Pohon Tumbuh Tak Tergesa-gesa
Menjelang keberangkatan, telah kukais ilmu di sebuah
sekolah. Ketika itu usiaku tujuh belas. Empat puluh tiga
tahun lebih muda dari Ibu. Bakda menghelat Zuhur berjamaah, makan siang bersama, dan menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah, seperti biasa kami bercengkerama
di rusbang yang ditanam di bawah pinang-pinang merah.
Memang, selain dipagari sirih yang meliuk-liuk di antara rerumpun bambu kuning sebatas pinggang, ditumbuhi
rerimbun melati, sirih, pare, pisang kipas, dan beberapa
pohon kelapa setinggi tiang listrik, pinang-pinang merah
juga menjulang di beberapa sudut pekarangan.
Awalnya kukira Ibu hanya ingin menunjukkan tiga helai
kain berwarna cerah yang baru dibelinya di pasar siang itu.
Ternyata dugaanku tergelincir. Kain-kain itu bukanlah taplak meja baru. Kerudung, begitu Ibu menyebutnya.
Kau sudah beberapa kali datang-bulan, Nak. Bukan hanya tak berhak menolak pemberian ini, kau juga harus memerhatikan raut wajahmu, kusut-tidaknya baju kurungmu,
basah-keringnya bibir merahmu, dan santun-tidaknya tindak-tandukmu, bila hendak keluar rumah. Kau harus segera menyempurnakan agama. Kawinlah, Nak.
Aku terperanjat. Bagaimana Ibu dapat serta-merta
mencuatkan rencana ini?
Dan bagai tak bersalah, Ibu justru tersenyum sembari
melipat kain-kain itu.
Bukankah Ibu tahu kalau besok aku hendak menyeberang pulau?
Dan kau keberatan mengenakan kerudung baru?
Bukan, Bu. Tentulah tak perlu kuperkarakan itu. Maksudku, mengapa Ibu tiba-tiba mengatakan ini?
Ibu terkekeh. Wajahku masam. Aku benar-benar tak
mengerti. Aku jengkel.
Wanita yang berkuliah tak harus perawan, kan? Bila
ingatan Ibu tak silap, bukankah kau sendiri yang dulu bi111
lang: banyak yang telah beranak-pinak, mencari ilmu bakda SMA? Ibu bagai memojokkanku.
Ah Ibu, mungkin kau terlalu uzur hingga tak menangkap muara kekesalanku. Namun, aku tak hendak menyusur sungai tak berhilir, maka kudaratkan perahu pertahananku: kutolak keinginan Ibu yang tiba-tiba itu.
Dan hebatnya, Ibu bagai tak memahami bahasa tubuhku.
Termasuk bila bujang alim di kampung sebelah yang
meminangmu?
Ya Tuhan, siapa pula yang Ibu maksudkan. Ini bukan
waktu yang tepat membincangkan itu, pekikku dalam hati.
Bicaralah, Nak. Ibu mencari-cari mataku. Bibirnya
membekap senyum yang siap-siap meloncat. Kau orang
beradat, bukan? Diam maknanya "iya", bukan?
Aku masih hendak kuliah, Bu! jawabku sedikit keras.
Aku benar-benar kesal.
Tanpa laki? Ibu memastikan.
Tanpa suami, kutegaskan.
Kau yakin? Ibu menatapku dalam.
Nasihat-nasihatmu selalu bersamaku, Bu.
Kau hakulyakin? Ibu berusaha meyakinkan dirinya.
Bukankah Ibu bilang Tuhan lebih dekat dari urat leherku?
Cinta Tak Pernah Tua Karya Benny Arnas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Senyum yang dibekapnya sedari tadi kini meloncat.
Menghamburkan kekehan sengau yang tak terlalu sedap didengar. Tak lama Ibu bangkit. Beralih ke sisi kanan lepau.
Anakku...
Dari pembukaannya, aku tahu Ibu akan berpetuah.
... kau lihat ini, sebelah tangannya menunjuk anakan pinang yang batangnya belum merah penuh.
Benar kan dugaanku!
Pohon yang kelak menjadi tiang merah yang begitu indah dan jemawa. Dengan pelepah-pelepah yang siap
memayungi akar-akarnya nun jauh di bawah, ia akan semampai bagai hendak menusuk langit. Ia menjulang tanpa
pernah kau tahu kapan ia memanjang, kapan ia menumbuhkan daun, pelepah, bunga, putik, dan akhirnya berbuah. Kita bahkan tak pernah mau tahu bahwa tunasnya setengah mati bertahan ketika daun-daun mudanya dipatuk
ayam dan dimakan kambing, batangnya yang masih lembut
diombang-ambing angin yang memuting dan hujan yang
lebat tak kepalang, atau pelepah-pelepahnya yang masih
lembek kadang dipetik anak-anak yang jahil. Lihat, pada
waktunya, ia tak hanya hidup, ia bahkan menumbuhkan
tunas baru!
Ibu memelukku. Erat sekali. Lama sekali.
Pohon tumbuh tak tergesa-gesa, Anakku, bisiknya lirih.
Dan kuingin kau pun begitu: terus tumbuh tanpa terpengaruh setan-setan yang siap mencengkeram ketika jiwamu
keropos, ketika kau tak berjalan di atas doa-doaku.
Baru kusadari. Ibu tengah memancingku membuka
bekal yang selalu ia berikan sedari aku kecil. Ya, Ibu tak
mungkin melarangku melintas pulau. Ibu takkan menjegal
langkahku untuk menangguk ilmu. Ibu takkan memaksaku berkerudung. Ibu pun tak hendak memaksaku menerima pinangan pemuda itu?yang aku yakin dia pun tak tahu
siapa. Ibu hanya ingin tahu sedalam apa telah kuselami
sungai karomahnya, telah berapa banyak kutangkap ikanikan hikmah yang berkecipakan di dalamnya.
Pergilah, Nak! Tumbuhlah! Dan pulanglah sebagai pinang merah yang menjulang!
Kami mengakhiri pelukan. Berlalu ke pekarangan belakang. Azan baru saja merundukkan matahari.
Senja yang Paling Ibu
Tak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Itulah kalimat
yang kerap dilafal Ibu dengan sangat fasih saban kami
menghabiskan senja (termasuk bakda Ashar ini). Biasanya
Ibu akan menjabarkan bagai mengutarakan petuah baru.
Semua sudah ketentuan-Nya, Nak, lanjutnya. Ibu dipilih-Nya untuk membesarkanmu. Itulah kenyataan yang
terbentang. Tentu Ibu tak menerimamu begitu saja. Ada
sehimpunanah yang menyertai kehadiranmu. Dan itu
membuatku belajar bagaimana menjadi ibu yang sebenar
ibu. Menanam cinta, menyiram kasih sayang, memelihara
amanah, dan merelakan waktu merapat demi menjadikanmu orang yang baik. Mata Ibu sangat teduh.
Orang baik yang sukses, Bu, ujarku seolah-olah mengoreksi nasihatnya.
Ibu tersenyum, sebelum melempar tanya: Kaukutip dari
buku apa kata-kata itu?
Wajahku merah apel. Kugamit bibir hingga membentuk
garis. Ah, bagaimana Ibu tahu itu....
Ibu merangkulku. Kepalaku jatuh di bahunya. Tangan
kanannya membelai rambutku. Lembut. Hangat. Ada kedamaian yang lamat-lamat menyelusup dalam aliran darahku. Aku ingin berlama-lama seperti ini, Ibu.
Kau tahu siapa yang layak disebut orang sukses, Anakku?
Aku mendongak.
Ibu balas memandangku.
Ah, Ibu sengaja menggantungkan jawaban. Ia melepas
lenguh kecil. Kemudian melirikku. Lalu mengulum senyum. Sepertinya Ibu sangat senang melihatku dililit penasaran. Kucubit pinggangnya yang mulai menggelambir. Ibu
menggeliat kecil. Geli.
Kualat kau, Nak! Ibu menepuk-nepuk kepalaku dengan
air muka semringah-raya. Aku tertawa kecil. Kusurukkan
kepala di antara dada dan lehernya. Ah, bahagianya aku.
Jadilah orang yang baik, Anakku.
Hening.
Bukankah itulah sukses yang sebenarnya? lanjut Ibu.
Aku masih bergeming. Menyuling makna dari katakatanya barusan. Ibu terlampau sederhana memandang sesuatu, pikirku.
Ibu menatap kosong ke depan. Dari posisiku, dapat kulihat kuncup dagunya yang mulai berkerut, gigi-giginya
yang masih putih, dan sepasang bibirnya yang jingga oleh
sari sirih. Kulingkarkan tanganku di pinggang Ibu. Ia balas
memelukku. Kami bagai hendak menegaskan bahwa perpisahan takkan kuasa mengaburkan cinta.
Ibu, bisikku pelan penuh perasaan.
Ibu mengangguk di balik bahuku.
Aku ingin seperti Ibu. Memaknai hidup dengan sederhana saja, kutekuk daguku di punggungnya.
Ibu mengelus rambutku. Hidup sebatang kara tidaklah
lurus-lurus saja, Anakku. Ibu harus melakoninya dengan
waspada dan pantang kalah. Tak ada yang sederhana, kecuali doa yang kadang begitu enggan kita kirim ke langit.
Kauperlakukanlah setiap perkara sebagai ibadah karena hidup yang sejati adalah hari ini! Ibu melepas rangkulannya.
Ia bidik mataku dengan tatapan yang tepat mengarah ke
bulatan hitam di dalamnya.
Ya, hidup adalah hari ini, Anakku. Kemarin sudah berlalu, dan esok belumlah tiba! Ibu mencium keningku.
Kubalas mencium Ibu. Di pipinya yang keriput. Aku
bergumam lirih di telinganya yang disaput beberapa helai
rambut yang sudah sepia: Aku akan menjadi anakmu yang
baik, Bu. Akan kutunjukkan baktiku. Suatu waktu, akan
kubelikan Ibu kain lasem bercorak burung murai dan kembang mangkok. Akan kunaikhajikan Ibu. Akan kubangun
rumah mungil dengan pekarangan luas agar Ibu dapat leluasa berkebun melati dan menanam sirih. Akan...
Tiba-tiba Ibu menepuk pundakku seolah memintaku menghentikan serentetan bualan. Kupikir ia hendak
mengingatkan bahwa senja sudah terlampau tua, sebentar
lagi Magrib mengundang malam, dan kami harus segera
masuk, mengambil lipatan telekung di bilik salat. Ternyata tidak! Kedua tangan Ibu malah meraih bahuku. Ia goncangkan tubuhku bersamaan mutumanikam yang disemburkannya dalam kata-kata.
Ibu tak ingin kauburu harta-harta itu lalu memberikan
satu atau beberapa untuk Ibu urus, Nak. Tidak! Tubuhku
masih digoncang-goncangnya. Ibu bagai ingin menunjukkan betapa kata-katanya harus kusimak dengan saksama.
Pelihara saja harta yang telah kaubawa sejak lahir, Nak.
Kejujuran, kasih sayang, mencintai sesama, suka menolong.... Bukankah harta-harta itu menyertai semua manu116
sia? Termasuk padamu ketika berhasil keluar dari gua yang
menyuruk di antara pangkal paha betina bertaring itu! Suara Ibu makin meninggi. Ia berhenti tepat ketika tabuhan
bedug mengejutkan sunyi yang memeluk semesta. Seolah
tak memedulikan satu-dua bulir yang menyeruak dari ceruk mataku, Ibu bangkit dari duduknya. Meninggalkanku
sendiri. Seperti senja yang tiba-tiba saja sudah pergi. Seperti senja terakhir itu. Senja yang paling ibu.
Memeluk Ibu
Pipiku basah. Aku tak sabar menyongsong malam. Memeluk Ibu dalam mimpi yang mustajab. Aku takut mene?
muim?u, Ibu. Bukan, bukan karena kabar burung yang mengatakan bahwa kini kau menjadi gila oleh cinta pertama
yang tak kunjung tertuntaskan (benarkah kau masih setia
menunggu laki-laki itu di Simpang Muarabeliti).
Bukan karena itu, Bu! Bukan!
Aku akan menggigil oleh semua risalah yang kautumpahkan, hingga membuatku terjerengkang ke jurang yang
dalam tak tepermanai.
Oh Ibu, aku tahu kau takkan mencekikku walaupun, karena aibku, mulut orang-orang kampung takkan lelah memuntahkan racun ke bilik ketenteramanmu. Aku tahu kau
takkan melupakanku walaupun namamu telah kuusir dari
ingatan sejak perpisahan sepuluh tahun lalu. Aku tahu kau
takkan membunuhku walaupun demi bertahan hidup, kutangguk rupiah dari selangkanganku....
Khatimah
Sungguh, aku merinduimu, Ibu. Rindu ini umpama subuh yang mengkhitbah bukit dengan cincin embunnya.
Gunung, laut, dan lembah yang melempar kita ke titik entah, justru mengantarku ke senja yang memayungi pinangpinang merah; ketika kupungut butir-butir nasihat kehidupan darimu, kubawa ke kota yang jauh dari kelebatan
baju kurungmu. Tanpa disadari, telah kuperam semuanya.
Dan kini, di senja yang tak lagi ibu, butir-butir itu menetas.
Kutandai mereka dengan dua nama: yang satu Kenangan,
yang satu lagi Nostalgia.
Tidak! Kutandai mereka dengan tiga nama: yang satu
Kenangan, yang satu Nostalgia, yang satu lagi Kerinduan.
....
O Ibu, seperti apa kau kini?
. 119
. 120
. 121
Cahaya dari Barat
Di usia yang makin condong ke barat,
sudah seharusnya aku mensyukuri kehidupan yang
serba lebih di rumah megah yang kubangun
empat tahun lalu ini. Awalnya rumah yang terletak
di perbatasan Sumatera Selatan-Lampung ini tak
kuberi nama. Namun karena saking panjangnya,
penduduk sekitar menjulukinya Rumah Panjang.
Aku pun tak keberatan. Bagaimana tidak dikatakan
"panjang", luas keseluruhan rumah yang
berdinding kayu meranti, berlantai kayu sungkai,
beratap genteng cokelat, dengan enam puluh pilar
batangan kayu merbau ini, merupakan hasil
perkalian antara setengah lapangan sepakbola dan
lapangan voli. Sungguh rumah kayu raksasa yang
begitu indah dan memukau, itulah kiasan yang
kerap kubisikkan di sanubari ketika
memandangnya dari kejauhan.
DANAU RANAU YANG apabila ditarik garis lurus bumi
terletak di belahan barat semesta ini, berhadapan langsung
dengan beranda Rumah Panjang. Mereka hanya dipisahkan oleh rerimbunan hutan belukar kecil, tempat aneka se122
rangga memadu kasih bila kemarau tiba. Danau ini juga
memiliki pesona yang tak kalah dengan Rumah Panjang.
Danau yang dipenuhi bebatuan warna-warni di dasar tepiannya ini mengaliri air beningnya dengan perlahan, hingga
bila hari cerah akan menjadi tempat langit bercermin, memamerkan bentangan jubah birunya yang teduh.
Rumah ini kubangun ketika dua puluh hektar kebun karetku memasuki usia siap sadap bersamaan dengan harga
karet di pasaran yang menembus batas harga tertinggi dalam sejarah. Hingga kini, perkebunan itulah yang menghidupiku dan menyempurnakan gelar "Pejuang"-ku di masa
lalu dengan "Orang Kaya nan Terpandang" di hulu waktu. Oleh karena itu, sudah saatnya pula bagiku menyendiri, memikirkan dan merenungi hal-hal yang berbau langit, serta mengakhiri semua kecongkakan, ketakpedulian,
ketamakan, kebencian, kerakusan, dan sifat buruk lainnya.
Tentu semua sifat buruk itu tidak lahir karena predikat bekas pejuang yang melekat padaku, tapi karena kekayaanku
yang melimpah. Aku juga sudah berniat untuk menjadikan
Dewi Haliza sebagai pendamping hidupku yang terakhir
setelah empat pernikahan sebelumnya berujung perpisahan. Sungguh, aku ingin melakukan banyak kebajikan dengan sempurna di hari lahirku tahun ini. Untuk itu semua,
beberapa bulan yang lalu kuputuskan menyambut ulangan kesembilan puluh kehidupanku di Bumi dengan mengurung diri di bilik belakang, bagian paling timur Rumah
Panjang ini.
Beberapa hari yang lalu, dua seragam veteran dan senapan tua kesayanganku telah kupetikan, bersamaan de123
ngan penyerahan surat kuasa pengambilan gaji atas nama
perjuanganku di masa lampau pada pengurus masjid terdekat. Aku harus menanggalkan kesombongan yang selalu
tumbuh saban aku melihatnya. Foto-foto istriku terdahulu yang selama ini kusimpan tanpa sepengetahuan Dewi,
telah kubakar diam-diam di belakang rumah pada tengah
malam beberapa hari yang lalu. Dan sejak subuh pertama
dalam hitungan sembilan puluh hari menjelang usia sembilan puluh; sepanjang hari kuberzikir, mengkaji Kitab
Kuning, mengulang-ulang Al Matsurat, dan melakukan beragam ibadah lainnya. Ya, usia yang menua, tidak membuatku makin lemah. Kebiasaanku berjalan kaki ke perkebunan dan beribadah di masjid (walaupun tidak serajin saat
ini) membuat fisikku tidak renta seperti manula kebanyakan. Tuhan memang takkan menyulitkan hamba yang ingin
menuju rumah-Nya dengan jalan kebaikan.
Istri dan anak-anakku sangat mendukung ritual pertobatan ini. Aku memang telah mengutarakan keinginanku
pada mereka perihal mengkhususkan sembilan puluh hari
penuh untuk beribadah sebelum tepat usiaku menginjak
kepala sembilan. Walaupun, sempat singgah di telingaku
tentang keheranan anak-anak terhadap waktu yang kupilih. Kenapa harus di akhir hayat? Ah, mereka kerap dihelat oleh usia. Yang tua bukan jaminan akan lebih dahulu
meninggal dari yang muda. Mereka memang tak mencuri
sifat "berterima tanpa berbantah" yang melekat pada Sang
Ibu. Ya, istriku sungguh membanggakan dan membahagiakanku. Ia yang lebih banyak melaksanakan apa yang jadi
keputusanku. Tentu bukan sekadar karena ia penurut, me124
lainkan karena ia juga meyakini kemaslahatan yang ditimbulkan oleh kepatuhannya. Hingga hari ini, ia selalu setia
mengantarkan aneka makanan, minuman dan buah-buahan di jam-jam makanku. O, betapa beruntungnya aku memiliki bidadari yang penuh pengertian dan rasa hormat
pada suami seperti Dewi.
Sebagaimana keluargaku ketahui, setelah melewati semuanya, tepatnya di pengulangan hari lahirku nanti, aku
akan menyumbangkan sebagian besar hartaku untuk
orang-orang miskin di kampung ini; mewakafkan ratusan
hektar tanahku di Muarakelingi, Selangit, Remban, Cecar,
Pasenan, dan Megang Sakti, untuk dibangun panti asuhan
dan masjid; dan tentu saja memenuhi harapan utama keluargaku agar aku berbaur dengan penduduk, memenuhi
Cinta Tak Pernah Tua Karya Benny Arnas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
undangan hajatan, menjenguk mereka yang sakit, melayat
ke rumah duka, dan sering-sering ke masjid untuk mengimami salat berjamaah, mengisi ceramah, khotbah Jumat,
dan masih banyak lagi kegiatan ibadah lainnya yang telah
kususun. Dan hari ini, ketujuh anakku tersedu-sedan di tikar bengkuang yang melapisi lantai bilik ini ketika kusampaikan bahwa surat wasiat telah kusiapkan, dan yang terpenting adalah aku memohon dengan sangat agar mereka
menunaikan senarai keinginan itu apabila ayahnya dipanggil Yang Kuasa sebelum sempat melihat semburat cahaya
di subuh lusa.
"TUHAN, ESOK PENYENDIRIAN ini akan berakhir. Kalau
memang Kauperkenankan aku mewujudkan semua rencana kebaikan maka aku adalah hamba-Mu yang paling ber125
syukur, namun apabila Kau jemput aku sebelum semuanya
terwujud, aku percaya Engkau lebih mengetahui apa yang
tidak aku ketahui."
Entah mengapa bakda zikir senjaku, bibir ini bergetar
hebat melafalkan munajat yang sudah untuk kesekian kalinya kuutarakan tersebut.
Hatiku benar-benar biru. Kuberharap kelam segera menjalari semesta agar sujud panjangku dapat segera
memapas ujung senyapnya. Dan di senja ini, ketika azan
bersenandung dari masjid tua di seberang hutan cemara, hatiku makin biru memandang kumpulan kelelawar
yang berbaris panjang melukis mega. Bahkan mereka pun
menghormati panggilan-Nya, pulang sejenak ke balik bukit sebelum mencicit malam yang dipandang siang. Aku
menangis untuk kesekian kalinya.
"Ke puskesmas, Bah. Bakda Magrib tadi kaki kanan
cucu kita, Kiesya, digigit ular. Kata Kiesya, ularnya besar
dan bertanduk," jawab istriku, ketika kutanya perihal ketidakhadiran putra keempatku Hadi di malam yang meranjak tua ini.
"Heh," bibirku menyeringai, "sampaikan pada Hadi, jangan biarkan anaknya terlalu sering nonton TV. Mana ada
ular bertanduk. Latihlah ia bela diri, berenang, atau menunggang kuda-kuda kita yang di kandang di belakang rumah. Masak pejuang punya cucu tukang khayal!"
"Bah, Anita, anak Bi Salma menikah dengan Rieka," Halimah, anak perempuanku satu-satunya mengadu.
"Mereka tidak melakukannya di Belanda dan Jerman
sebagaimana yang lain, tapi di sini, di kampung kita, Bah!"
Bahri, si sulung menimpali dengan kesal.
Kutatap mereka bergantian. Kupaksa jiwaku mati rasa.
"Maimunah yang sudah tiga bulan mengandung anak
haramnya, keguguran dua hari yang lalu, begitupun Ineta,
Masna, Bi Alwe, Bi Mira, dan "
"Tak bisakah kalian simpan semuanya hingga esok?!"
tukasku dengan dengan nada tinggi. Aku kembali menuju
kursi goyang rotan di samping jendela. Kubuka halaman
demi halaman Tazkiyatun Nafs-nya Said Hawa. Sekali lagi,
kupaksa jiwaku mati rasa.
"Abah" Istriku menggantung kalimatnya.
Sekilas kutatap wanita renta di hadapanku itu, "Bakda
Subuh, kumpulkan saja semua penduduk kampung di pekarangan rumput jepang kita. Sudah saatnya semua janji
ditunaikan!" ujarku penuh keyakinan.
"Sudah diberitahu semua, Bah." Wanita yang telah menemaniku selama tiga puluh tahun tersebut mengangguk
sebelum memberi isyarat kepada anak-cucunya untuk bergegas meninggalkan bilik ini.
SEPERTI BIASANYA, SETELAH menyelesaikan dua puluh
dua sujudku di malam yang hampir disalip fajar, kubuka
jendela tua kamar ini. Aku benar-benar merasa sangat lalai
selama ini, ketika puluhan hari belakangan baru kusadari
bahwa menanti subuh dari bilik kayu ini adalah penggalan
waktu yang begitu indah, menyentuh, mengharukan, dan
menyadarkan bahwa aku memang tiada ada apa-apanya di
hadapan Sang Pencipta Bumi. Dan dari penggalan waktu
tersebut, detik-detik yang selalu memaksa mata tuaku menahan perih adalah ketika sang surya malu-malu menam127
pakkan lazuardi kuning telurnya di tengah bacaan Quranku yang diseruput angin. Sungguh, ingin rasanya memaksa
subuh betah di peraduannya, menghalau siang agar tidak
buru-buru mengajak matahari melintasi pucuk-pucuk cemara yang menyesaki hamparan tanah merah kebun ini.
Dan, adalah kebahagiaan yang sangat bagiku, ketika
menyadari bahwa detik ini usiaku genap sembilan puluh
tahun. Beberapa saat lagi aku akan menjemput Subuh terindah itu, mencium lantai kayu nan dingin ini dengan sujudku yang paling panjang.
Kulirik jam tua kompeni di sudut bilik. Pukul empat lewat
sepuluh menit. Kubersila menghadap barisan cemara yang
masih berselimutkan malam. Kubuka pertengahan juz tiga
puluh. Kuberharap, di saat mentari menyemburat, aku telah
lima kali mengkhatamkan Quran dalam penyendirian ini.
Kulalui surat demi surat. Kuresapi Al Qhasiyah, kudalami Al Zalzalah, dan tepat di ayat terakhir Al Qori?ah, aku
baru tersadar kalau telah mengaji cukup lama, aku terlalu
khusyuk membaca setiap ayat, sampai-sampai tidak sadar
kalau mega telah menjemput cahaya walaupun masih tampak sangat redup.
Kuterkesiap mendengar dentingan nyaring enam kali,
"Apakah tak ada yang berazan di masjid kampung ini," gerutuku. "Astaghfirullahuladzim." Aku belum menunaikan
sujud panjangku. Gegas kuturuni tangga rumah panggung
ini, berwudu dengan khusyuk.
Mega mulai dipenuhi rona jingga. Entah hanya ilusi atau
nyata, di balik hutan cemara ini, kudengar gemuruh suara
ratusan, atau ribuan, atau jutaan orang berteriak panik.
Ah, begitulah penduduk kampung ini. Begitu riuh kalau
menanti pembagian sedekah. Mereka tak akan melewatkan
pagi di mana aku akan berderma, mengabdikan hidupku
untuk mereka, hamba-hamba-Nya yang diutus sebagai
jembatan untuk memudahkanku menjejaki surga, batinku.
Hatiku sangat sejuk subuh ini.
Kubersiap melafal takbir sebelum terdengar ketukan
yang membabi buta di pintu tua bilik ini.
"Ada apa?!" Mataku membelalak. "Biarkan Abah menunaikan subuh yang kesiangan ini terlebih dahulu. Suruh
penduduk yang berkumpul itu bersabar!" bentakku.
Istri dan anak-anakku menangis tua, tak ketinggalan para menantu dan cucuku yang menceracau dalam
sedu-sedan yang tampak begitu berlebihan. Mereka saling berpelukan, seakan-akan saling menguatkan, saling
melindungi. Mereka berjalan perlahan memasuki bilik
penyendirianku. Tiba-tiba secara bersamaan mereka menatapku dalam, dalam sekali. Dalam tangis yang sangat,
mata mereka seakan-akan berbicara, mengharapkan sesuatu yang mereka sendiri sudah tahu bahwa aku tak akan
mungkin dapat memenuhinya.
Sungguh, aku tak mengerti dengan semua keganjilan
ini. Kutinggalkan saja mereka. Langkahku terburu-buru
menuju sajadah yang sedari tadi telah terbentang. Tibatiba mataku menangkap jarum tua yang berputar pelan di
sudut bilik.
Enam lewat tiga puluh, kuberdesis lirih.
Aku bertambah bingung ketika tak tahu apa yang harus
kulakukan di hadapan sajadah. Aku mendadak lupa banyak
hal. Aku lupa bagaimana salat, bagaimana melafalkan surat-surat pendek, bahkan bibirku tak mampu mengeja basmallah. Aku panik. Kutatap lukisan alam yang dibingkai
jendela lapuk bilik ini. Kulihat pucuk-pucuk cemara masih menengadah ke langit buram. Batinku menangkap ada
yang kurang. Ada keganjilan di sana.
"Bukankah seharusnya sudah terang?" Aku mengucekucek mata. "Bukankah seharusnya?" Aku ternganga. Tubuhku bergetar hebat. Anak, istri, menantu dan cucuku
telah memelukku serampangan. Rumah panjang ini menggemakan gemuruh permohonan-permohonan yang berbalut bingar penyesalan, ketidaksiapan, dan ketakberdayaan.
"Masih belum sadarkah Abah?" Suara istriku memarau
basah.
Aku tergugu. Menggeleng ragu.
"Cahayanya dari barat, Bah "
Aku terduduk layu di pelukan subuh yang makin tua.
Tak ada lagi mentari yang saban pagi hinggap di pucukpucuk cemara. Rupanya ia ingin menjenguk pagi di beranda Rumah Panjang ini, di tepian Danau Ranau yang mengalir tenang.
Di belahan barat bumi yang makin tua, mentari menyapa manusia untuk yang terakhir kalinya.
Lalu.... raungan mahanyaring menyapu seantero semesta. Bumi goncang. Rumah mengertas. Gunung mela?yang.
Gedung mengawang. Kami tak ada apa-apanya lagi.
Israfil baru saja meniup sangkakalanya.
Tamat
Pendekar Bloon 17 Persekutuan Orang Satria Gendeng 01 Tabib Sakti Pulau Pendekar Rajawali Sakti 212 Setan Alam
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama