Corat Coret Di Toilet Karya Eka Kurniawan Bagian 1
Corat-Coret di Toilet
CORAT-CORET
DI TOILET
dan Cerita-cerita Lainnya
EKA KURNIAWAN
Ebook by pustaka-indo.blogspot.com
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
? Eka Kurniawan
GM 201 01 14.0015
Desain sampul oleh Eka Kurniawan
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building, Blok 1 Lt. 5
Jl. Palmerah Barat No. 29-37, Jakarta 10270
Anggota IKAPI, Jakarta 2014
Setter isi: Fitri Yuniar
Diterbitkan pertama kali oleh PT Gramedia Pustaka Utama,
April 2014
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN: 978-602-03-0386-4
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Daftar Isi
Dongeng Sebelum Bercinta, 11
Peter Pan, 1
Teman Kencan, 30
Rayuan Dusta untuk Marietje, 38
Hikayat Si Orang Gila, 48
Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam, 57
Siapa Kirim Aku Bunga?, 67
Tertangkapnya Si Bandit Kecil Pencuri Roti, 77
Kisah dari Seorang Kawan, 85
Dewi Amor, 93
Kandang Babi, 104
Peter Pan
Beberapa tahun sebelum aksi-aksi paling subversif, Tuan
Puteri masih mengingat pertemuan dirinya dengan si
orang menyebalkan itu; orang yang dengan kurang ajar
membuatnya menunggu dan bersiap menjadi perawan
tua. Ia sedang duduk di sana, di samping tangga dengan
wajah cemberut, ketika Tuan Puteri menghampirinya
dan mencoba menghibur hanya karena Tuan Puteri benci melihat wajah kusut seperti itu. Si laki-laki menoleh,
laki-laki yang telah memutuskan tanggal 10 April sebagai hari perkawi?n an mereka dan berkata bahwa kau
cantik, ia memang kurang ajar, sebelum keluhan yang
sesungguhnya keluar: ia seperti kesakitan bicara tentang
buku Immanuel Kant yang dimakan kutu buku atau tikus, dengan halaman yang lepas-lepas dan sebagian bab
bahkan hilang, serta kertas yang patah-patah di perpustakaan kami. Ia bilang buku seperti itu tak layak dicuri
dan itu yang membuatnya tampak tak berbahagia.
Saat itu mereka sama-sama mahasiswa baru. Dan
tak lama setelah itu Tuan Puteri segera mengenalnya
dengan lebih baik: ia memang tak begitu bahagia karena
kehidupan ini menurutnya menyebalkan dan ia memang
pencuri buku. Dalam pengakuannya, ia mencuri buku
dari perpustakaan-perpustakaan yang tersebar di seluruh pelosok kota, dari toko-toko buku maupun dari toko
loakan. Ia berkata bahwa mencuri buku merupakan tindakan terkutuk, dan ia melakukannya dengan harapan
bisa ditangkap sehingga ia akan tahu bahwa pemerintah
memang mencintai buku dan benci para pencuri buku.
Tapi dasar ia memang malang, ia tak juga ditangkap
meskipun sudah ribuan buku ia curi.
"Terhadap pemerintah busuk macam begitu," ka?
tanya suatu waktu di hari yang tak terlupakan oleh Tuan
Puteri karena kalimat tersebut menjadi kalimat pembuka yang aneh sebelum laki-laki itu mengatakan bahwa
ia jatuh cinta kepadanya dan ingin menjadi kekasihnya,
melanjutkan, "Kita harus mengumumkan perang geril?
ya." Itu bukan kata-kata omongan kosong, tapi nyaris
ia lakukan benar seandainya tindakan-tindakan paling
subversif di tahun yang paling panas itu tak pernah terjadi. Ia belum sempat mengumumkan perang gerilyanya
ketika segala sesuatu seolah berakhir.
Dengan caranya sendiri ia mulai mencoba mereali?
sasikan gagasannya tentang perang gerilya. Ia menempel
poster Che Guevara di kamar pondokannya dan terobsesi untuk melakukan kontak dengan para gerilyawan yang
ada di muka bumi. Ia juga membaca ribuan buku curian
yang menumpuk di kamarnya, sekadar mencari alasan
yang tepat untuk mengumumkan perang. Tuan Puteri
berkata kepadanya, di mana-mana rakyat begitu miskin
sementara para pejabat hidup mewah. Negara sudah di
ambang bangkrut karena utang luar negeri dan sang diktator sudah terlalu lama berkuasa, menutup ke?s empatan
kerja bagi orang yang memiliki bakat menjadi presiden.
Menurut Tuan Puteri, itu semua alasan yang cu?k up untuk mengumumkan perang gerilya, tetapi laki-laki itu
keberatan. Katanya, alasan seperti itu sudah terlalu ba?
nyak diketahui orang, tapi nyatanya tak seorang pun menyatakan perang karena itu.
"Lebih baik kita perang karena alasan yang lebih
logis," katanya. "Yakni karena pemerintah tak menangkapku, si pencuri buku perpustakaan."
Itulah yang terjadi. Bersama sepuluh orang teman?
nya, ia memulai aksi politik pertamanya dengan demons?
trasi di depan gedung perpustakaan. Menurutnya, mere?
ka adalah cikal-bakal pasukan pemberontaknya. Dan
ge?rom?b olan anak-anak itu, yang lebih mirip sebuah tim
se?p ak bola daripada calon gerilyawan, mulai meneriakkan yel-yel pada pukul sembilan ketika perpustakaan
penuh pengunjung. Mereka juga bernyanyi-nyanyi dan
diakhiri dengan pembacaan tuntutan yang revolusioner:
berikan perlakuan yang lebih manusiawi terhadap bukubuku tersebut. Demonstrasi berakhir tak populer, tanpa
liputan surat kabar dan hanya mendapat cibiran mahasiswa lain. Laki-laki penuh obsesi ini tak mendapatkan
kader tambahan: ia bahkan kehilangan sepuluh dari
sepuluh calon pasukan gerilyanya. Itu kenangan yang
lumayan pahit untuk dikenang.
Tapi dari pandangan matanya yang tajam, orang
segera akan tahu bahwa ia bukan pemuda yang mudah
patah semangat. Lebih dari itu, ia punya bakat luar bia?
sa mengumpulkan orang, mengorganisasikannya, yang
pada akhirnya ia persiapkan menjadi individu-individu
yang militan. Terutama melalui puisi-puisinya, bocah
yang se?s ungguhnya tak berminat menjadi penyair itu
telah mendapatkan banyak pengikut setia yang pada
awalnya datang untuk mendengarkan puisi-puisi tersebut. Karya-karyanya, yang sedikit berbau romantik telah menghipnotis banyak orang yang membaca maupun
mendengar. Bahkan Tuan Puteri sendiri masih ingat, tak
lama sebelum hari subversif itu, dalam sebuah kunju?
ngan mendadak dan hanya diiringi satu pengawal, Presiden menyempatkan diri datang ke kota ini dan menemui
laki-laki itu di pondokannya. Tuan Puteri sendiri ada
di sana ketika itu, tak lama setelah mereka menikmati
sedikit ciuman dan Presiden berkata:
"Tuan Penyair, aku membenci puisi-puisimu. Ia begitu menusuk dan melukai hatiku. Hentikanlah membacanya dan terutama menulisnya."
Setelah itu Presiden menghilang. Entah bagaimana
ia menghilang: setengah jam kemudian ia sudah muncul di televisi dalam acara siaran langsung rapat koordinasi kabinet yang penuh lelucon tak lucu. Sementara itu, kekasih Si Tuan Puteri hanya tertawa sambil
menghabiskan tiga bungkus rokok untuk menghilangkan
ketegangan sesaat dan berkata bahwa kata-kata Presiden
kepada?nya sama artinya dengan pengumuman perang. Ia
akan melade?n inya, begitu ia berkata kepada Tuan Puteri.
Pada waktu itu ia sudah dipanggil dengan nama Peter Pan, si tokoh dongeng yang konon tak pernah mau
dewasa. Dilihat dari satu sisi, ia memang mengingatkan orang kepada Peter Pan. Bertahun-tahun ia tak juga
lulus kuliah, bahkan ketika Tuan Puteri menyelesaikan
tingkat doktoral, ia belum juga mendapatkan gelar sarjana. Orang kemudian menuduhnya tak mau menjadi tua,
ingin tetap menjadi mahasiswa, tetap merasa berumur
belasan tahun dan karenanya ia mulai dipanggil Peter
Pan. Peter Pan sendiri tak begitu keberatan, hanya karena ia memang menyukai nama-nama tokoh fiksi dan
bukan berarti alasan-alasan orang yang kemudian memberinya nama Peter Pan benar. Bagaimanapun semua itu
terjadi karena aktivitas revolusionernya yang semakin
menyita waktu sehingga ia tak sempat masuk lagi ke
ruang kuliah.
Suatu hari, tak lama setelah demonstrasi pertama
yang gagal itu, ia berkenalan dengan seorang penjual
buku impor bekas yang membuka toko kecil di perkampungan turis. Sebagian besar pengunjungnya turis-turis
bule yang datang untuk membeli novel atau buku pan?
duan, atau bahkan menjual dan kadangkala menukarnya.
Sekali-dua kali datang mahasiswa, tak pernah menjual
tapi hanya menonton dan kalau ada uang sekali-kali
membeli. Peter Pan datang ke tempat itu bersama Tuan
Puteri atas rekomendasi seorang kawan yang sedikit
dendam kepada si pemilik toko buku dengan harapan
Peter Pan akan mencuri banyak buku dari sana dan
membuatnya bangkrut. Di luar harapannya, Peter Pan
menjadi begitu akrab dengan si pemilik toko mengingat
latar belakang mereka yang begitu doyan membaca.
Ia bilang kepada si penjual buku bahwa ia punya
banyak buku. Ya betul, banyak sekali. Tiga ribu. Aku
ingin menjual itu semua. Setitik rencana meletup di
otaknya yang brilian dan itu ia katakan kepada si pemilik toko. "Untuk modal perang gerilya," katanya.
Dan akhirnya buku-buku itu jadi modal pertama?
nya melakukan serangkaian tindakan subversif. Ia mulai mencetak selebaran-selebaran gelap, berisi hasutanhsutan dan referensi-referensi politik, dan dengan itu ia
mulai mengumpulkan orang.
Bertahun-tahun kemudian orang lupa kepada jasa
buku-buku itu sebagaimana banyak orang kini lupa kepada Peter Pan sendiri. Hanya Tuan Puteri yang ingat,
termasuk bagaimana Peter Pan membiayai kehidupan
gerakannya se?t elah uang hasil penjualan buku hanya
tinggal dongengnya saja. Peter Pan, sebagaimana dikenal
kawan-kawannya ketika itu, memang penyair betul: hanya
seorang penyair yang mencintai bunga sedemikian rupa.
Ia menanami halaman rumah kontrakan tempat gerakan
mereka berawal dengan bunga-bunga. Disi?r amnya setiap
pagi dan sore hari dengan kasih sayang seorang dewa,
membuat mereka mekar sepanjang waktu. Dan ketika
ia petik, ia kelompokkan dalam tiga atau empat tangkai
serta ia jual di bulevar kampus, dan orang-orang membelinya dengan rasa haru. Dari sanalah ia masih mampu
mencetak selebaran-selebaran politiknya. Namun ketika
kawan-kawannya mulai jatuh miskin yang diakibatkan
tak datangnya lagi kiriman uang dari orang tua mereka
karena pilihan mereka untuk ikut bersama dengannya
menyusun kekuatan perang gerilya, ia terpaksa merelakan tanaman bunganya diganti menjadi kebun singkong,
ubi, jagung dan segala macam tanaman yang bisa mereka makan bersama. Tapi sungguh, ia bukan orang yang
mudah kehabisan akal. Peter Pan diingat Tuan Puteri
sebagai orang yang juga mampu mengumpulkan sosoksosok ajaib dalam mengumpulkan uang. Tuan Puteri
masih ingat kepada seorang atlet bilyar yang memilih
bergabung dengan gerakan yang dibangun Peter Pan,
meninggalkan karir olahraganya yang nyaris gemilang
dan memutuskan bertaruh dari rumah bilyar satu ke rumah bilyar yang lain. Sembilan berbanding satu, ia selalu menang. Ia memasok banyak uang untuk kembali
mencetak selebaran dan poster-poster perjuangan.
Begitulah Peter Pan berjuang, hingga suatu waktu
sebagian besar mahasiswa, buruh, para pedagang, pegawai kantoran, dan bahkan para pegawai negeri mulai turun ke jalan secara serempak. Mereka berkumpul
bersama dalam satu kesepakatan bahwa sang diktator
memang tak layak lagi dipertahankan. Senyumnya yang
Corat Coret Di Toilet Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sering muncul di televisi dan tercetak di uang kertas sudah mulai terasa menyebalkan. Hari-hari dilewati hanya
dengan turun dan turun ke jalan dalam satu hiruk-?p ikuk
yang sama: Turunlah, Tuan Presiden, sebelum kami
membakarmu hidup-hidup dalam api revolusi. Itulah
hari yang paling subversif selama kekuasaan sang diktator yang sudah mulai berka?r at.
Tapi di saat yang hampir bersamaan, Peter Pan me?
nerima nasibnya yang paling tragis. Setelah ia mengetahui dirinya sebagai salah satu orang yang paling dicari oleh tangan-tangan berdarah sang diktator, ia mulai
bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain. Hingga
suatu ketika, tiga orang yang penuh horor menangkapnya di rumah Tuan Puteri, tepat di depan sang kekasih. Meskipun tampak tak berdaya, ia masih sosok yang
mengagumkan: matanya masih menyala dan ia masih
menyanyikan himne perjuangannya ketika mereka me?
ringkus dirinya. Mulutnya dibungkam, kepalanya ditutup dengan kain hitam, dan ia diseret ke hadapan Tuan
Puteri yang hanya mampu melolong tanpa suara. Itulah
saat terakhir ia melihat kekasihnya.
Bagaimana nasibnya setelah itu, tak banyak yang
tahu. Mungkin hanya sang diktator sendiri yang tahu.
Bahkan ketika sang diktator akhirnya tumbang oleh aksi-aksi jalanan, oleh kerusuhan yang melanda kota-kota
karena ribuan buruh dipecat dari pabrik-pabrik, dan
oleh perang antara tentara dan mahasiswa yang membanjirkan darah di layar televisi dan surat kabar, kami
tak juga menemukan Peter Pan. Bahkan bau mayatnya
pun tak tercium oleh hidung kami. Peter Pan lenyap,
hanya menjadi legenda dan mitos di antara kami yang
menjadi tak berdaya.
Dan demikianlah, pada tanggal 10 April yang dijanjikan itu, hampir dua tahun setelah tumbangnya sang
diktator yang menyedihkan, Tuan Puteri melangsungkan
pernikahan yang mereka rencanakan. Peter Pan diwakili
oleh sekumpulan puisi, karena hanya itulah yang ter?
tinggal dari dirinya. Aku sendiri menghadiri pernikahan
itu, menyaksikan Tuan Puteri menangis sebagaimana
kami yang hadir juga menangis.
Sementara itu, meskipun telah dua tahun ditumbangkan, sang diktator masih memelihara senyumnya.
Ia masih sehat, masih menjijikkan, masih kaya, dan yang
paling menyebalkan ia masih berkuasa tanpa harus duduk
di kursi kepresidenan. Peter Pan si kekasih Tuan Pu?
teri telah berjuang terlalu banyak untuk kehancurannya,
tapi itu terasa sia-sia. Terlalu mahal untuk hasil yang tak
ada artinya. Itulah yang membuat Tuan Puteri dan kami
memang layak menangis. Kami mengangkat penguasa
yang baru, tapi ia tak pernah dapat menyentuh kejahatan
sang diktator, dan lebih menyedihkan, juga tak mampu
mengembalikan Peter Pan kepada kami. Senyum yang
terkutuk itu bahkan masih tercetak di uang kertas.
Atas fakta-fakta seperti itu, tak lama setelah resepsi
pernikahannya yang ganjil, Tuan Puteri berkata kepada
kami mencoba menghibur diri sendiri: "Sebagaimana
se?r ing kita baca di novel dan komik," katanya, "Penjahat
besar yang keji, bengis, kotor dan bau neraka memang
susah dikalahkan dan susah mati."
Siapa penjahat besar yang dimaksud Tuan Puteri,
kupikir aku tak perlu menuliskannya.
2000
Dongeng Sebelum
Bercinta
Beberapa saat sebelum pernikahannya, Alamanda me?
minta kepada calon suaminya untuk mendengarkan do?
ngeng sebelum mereka bercinta di malam pertama. Dan
karena begitu jatuh cinta kepada Alamanda, sang calon
suami mengabulkan permintaan itu. Ia bahkan menambahkan permohonan aneh tersebut sebagai mas kawinnya.
"Kita akan bercinta begitu dongengnya selesai," kata
Alamanda dengan kemanjaan yang dibuat-buat.
"Ya," kata si calon suami dengan penuh nafsu. "Kau
pasti akan memberiku dongeng tentang siluman mesum."
Alamanda tersenyum dan berkata, "Aku akan do?
ngengi kau Alice?s Adventures in Wonderland."
Upacara pernikahan mereka pun kemudian berlangsung. Sebuah pesta yang agak menjemukan bagi
Ala?m anda. Si calon suami sebenarnya bukan orang asing
baginya. Ia kakak sepupunya dan ketika kecil mereka
bahkan bermain bersama. Itulah mengapa ia menganggap upacara pernikahan itu agak menjemukan: perni?
kah?a nnya hanya dihadiri kerabat-kerabat mereka yang
melimpah seperti pasukan perang, tapi tak satu pun sa?
habat dekatnya yang tampak. Ini bisa dimaklumi. Upacara pernikahannya berlangsung tanpa rencana yang
panjang dan agak mendadak, serta dilaksanakan bukan
di kota yang ditinggalinya selama tiga tahun terakhir, di
mana kebanyakan sahabatnya berada.
Dan di malam pertama setelah hiruk-pikuk yang
menyebalkan, mereka kemudian berbaring di atas tempat tidur mereka yang menawan dengan warna kuning
menggoda, warna kegemaran Alamanda. Kamar pengan?
tinnya dihias sedemikian rupa, dengan udara semerbak
aroma mawar yang sepenuhnya memancing hasrat si
suami. Tapi ia sudah berjanji untuk bersabar sementara
Alamanda mulai mendongeng.
"Alice anak badung yang malas membaca ...." Begitu dongeng itu berawal.
Sebenarnya Alamanda tak mahir mendongeng. Tapi
setidaknya ia pernah mendengar dongeng dan mencoba
meniru cara seseorang mendongeng. Satu jam lebih ia
mendongeng hingga berhenti setelah napasnya tersengal-sengal. Ia minum air putih dari gelas yang tergeletak di samping tempat tidur, lalu menoleh ke sang suami
yang tengah berbaring menatap langit-langit dengan
jemu dan bahkan gemas.
"Kau boleh peluk aku, Sayang!" kata Alamanda
merasa kasihan.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan itu, si suami merengkuh tubuh Alamanda yang dibalut pakaian tidur.
"Tapi kita tak akan bercinta sebelum dongengku selesai." Alamanda mengingatkan.
"Kalau begitu cepatlah selesaikan," kata si suami tak
sabar.
"Kau mendengarkan tidak?"
"Tentu saja, Sayang."
"Sampai di mana barusan?"
"Alice minum sesuatu dari botol."
"Oh ya," kata Alamanda sambil memejamkan mata?
nya. "Tapi aku lelah, Sayang," katanya kemudian. "Do?
ngengnya kita lanjutkan besok saja. Bersambung."
Ia hanya mendengarkan gerutuan kecil suaminya.
Keesokan harinya mereka berkemas, siap pergi
berbulan madu yang diharapkan si suami sebagai saat
terindah bagi mereka. Bersenang-senang di Pulau Bali,
berbaur dengan orang-orang dari penjuru dunia seperti
anak-anak hilang. Bahkan hal ini sudah dijanjikan si
suami beberapa waktu sebelum mereka menikah.
Yah, suaminya cukup banyak uang untuk janji seperti
itu. Ini yang agak menghibur Alamanda. Ia punya sebuah
toko, warisan dari ayahnya yang cukup memberinya ba?
nyak keuntungan. Lagipula si suami sebenarnya cukup
tampan juga: putih dan tinggi serta agak bisa berpikir.
Cuma sayang saja Alamanda tak begitu mencintainya.
Tapi kenapa ia begitu nekat mempertaruhkan
hidupnya menikah dengan lelaki itu?
"Ibu dan ayahku tak pernah saling mencintai sebe?
lumnya. Tapi nyatanya mereka bisa sampai memiliki
lima anak. Begitulah, kuharap aku bisa mencintainya sedikit demi sedikit," kata Alamanda kepada Mei ketika
ia naik kapal di Pelabuhan Semarang, siap pulang dan
memutuskan menikah di kampung halamannya.
Kenyataannya ia dalam keadaan tak berdaya. Ia seolah sudah ditakdirkan untuk bersanding dengan si orang
menyebalkan itu sejak ia berusia sepuluh tahun. Ia sampai sekarang tak habis pikir kenapa ayahnya sesinting itu
menjodohkan dirinya dengan sepupunya sendiri bahkan
sejak ia masih bau ingus. Pada awalnya Alamanda mencoba bersekongkol dengan sepupunya agar perjodohan
sial itu bisa gagal. Tapi brengsek, si sepupu malah jatuh
cinta kepadanya dan serius ingin menjadikannya sebagai isteri. Alamanda sampai curiga jangan-jangan lelaki
ini tak benar-benar cinta kepadanya, tapi memang tak
mampu mencari perempuan lain.
Tapi apa pun yang terjadi, ia akhirnya jadi isterinya.
Ia ternyata bukan gadis kuat yang mampu memberontak terhadap kutukan indah si ayah. Ia pun bukan gadis
yang keras kepala ketika menghadapi sepupunya yang
hampir menangis memohon kepadanya agar mau menjadi isteri.
Begitulah akhirnya di sini, di Bali, Alamanda mencoba mencintainya. Sedikit demi sedikit.
Mereka menghabiskan pagi hari yang semarak
?de?ngan menelusuri Pantai Kuta, duduk di pasir yang basah dan mencoba tampak romantis. Kemudian mereka
berjalan menelusuri trotoar berebut dengan para turis,
belanja kaus oblong dan suvenir di Toko Joger, makan
di restoran seafood, diantar taksi untuk keliling sampai
Denpasar dan kembali ke hotel mereka yang terletak di
jalan menuju Bandara Ngurah Rai menjelang malam.
Dengan tubuh yang kelelahan akhirnya mereka
masuk kamar dan terkapar di atas tempat tidur. Meski?
pun begitu, si suami menatap Alamanda pada wajah
cantiknya yang menggoda. Ia belai rambutnya, ia cium
pipinya dan juga bibirnya yang tipis memerah, serta le?
hernya yang jenjang. Tangannya menggapai kancing
baju dan jari-jarinya dengan lincah mencoba membuka
blus yang dikenakan sang isteri. Alamanda segera berbisik lembut:
"Kita akan melanjutkan dongeng itu."
Si suami berguling menjauh, memeluk guling dan
menggigit ujung bantal. Ia lebih memilih tidur bahkan
sebelum Alamanda melanjutkan dongeng Alice?s Adventures in Wonderland tersebut.
Alamanda bangkit dan duduk di tepian tempat tidur, memandang si suami yang ngorok tanpa malu. Kasihan juga sebenarnya. Tapi bagaimana lagi, dongengnya
sebelum bercinta ia anggap sebagai perlawanan terhadap
kekolotan tradisi keluarganya.
Sebenarnya, bukan tak pernah Alamanda
mem?????berontak terhadap perampasan haknya untuk menentukan sendiri pendamping hidup. Sewaktu ia masih di sekolah menengah, ia kencan dengan teman
sekelasnya. Favorit jago olahraga, tampan meskipun
selera humornya agak parah. Ia merasa tersanjung bisa
mendapatkannya karena seluruh anak gadis di sekolah
mendambakan lelaki ini.
Pernah ia ingin berbuat nekat agar si ayah tahu benar bahwa ia tak mencintai dan tak ingin menikah dengan sepupunya. Suatu waktu ketika ia dan kekasihnya
serta beberapa teman pergi tamasya, ia menculik sang
kekasih ke sebuah hutan kecil dan merajuk:
"Sayang, perkosalah aku!"
Sang kekasih hanya diam mematung. Bahkan memegang tangannya pun tidak. Ya ampun, belum pernah
ia membayangkan ada lelaki menolak tawaran indah
macam begitu.
Dan ketika suatu waktu mereka tengah berduaan
kembali, Alamanda merajuk sekali lagi:
"Culiklah aku, Sayang, dan kita akan kawin lari ...."
"Jangan bodoh!" kata si kekasih. Gemetar.
Begitulah. Sesungguhnya sang kekasih memang
bukan orang yang pantas untuk diharapkan menjadi
seorang pembebas: tak lama sejak peristiwa konyol itu
mereka kemudian lulus dari sekolah menengah dan kisah
cinta mereka pun berakhir begitu saja. Sang kekasih konon melanjutkan karier masuk ke Angkatan Laut. Ingin
sekali waktu itu Alamanda menulis surat kepada Yang
Terhormat Tuan Panglima, memberi tahu bahwa tentara telah melakukan kesalahan besar menerima seorang
pengecut macam itu! Ya, pengecut yang telah mencam?
Corat Coret Di Toilet Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pakkannya lagi ke dalam totalitarianisme sang ayah yang
kaku. Uh, brengsek!
Tak sadar, Alamanda benar-benar mengumpat se?
hingga suaminya terbangun. Ia berbalik dan memeluk
Alamanda, mencumbu dan merayunya:
"Sayang, mari kita bercinta."
"Dongengnya belum selesai," kata Alamanda.
"Tapi aku ingin bercinta."
"Diam!" kata Alamanda marah. "Kau kan sudah janji mau mendengarkan dongeng sebelum kita bercinta!"
Mendengar nada suara Alamanda yang meninggi,
nya?l i si suami menjadi ciut. Ia berbalik lagi, mendekap
guling lagi, menggigit ujung bantal lagi dan ngorok
lagi.
Alamanda melanjutkan lamunannya.
Pemberontakannya yang kedua ia lakukan ketika
menjadi mahasiswi di Yogyakarta. Jauh dari keluarga,
ia seolah memperoleh kebebasannya. Ia kencan dengan
seorang gembel. Seorang mahasiswa dengan prestasi
agak buruk: miskin, pemabuk dan hidup hanya untuk
bermain musik bersama teman-temannya. Tapi ia sangat
romantis, dan di matanya ia melihat suatu keberanian
hidup. Si gembel suatu ketika pernah berkata:
"Orangtuaku tuan tanah licik, borjuis menyebalkan.
Walaupun miskin, aku telah terbebas dari mereka dan
tak ada kesulitan kalau harus membebaskan seorang lagi.
Apalagi gadis secantikmu, Alamanda."
Mereka kemudian melalui empat belas bulan
yang indah sampai pemberontakan ini tercium hingga
seberang pulau. Ayahnya berang dan mengancam tak
akan mem?b iayai hidupnya lagi jika masih bersama si
gembel. Dan sepupunya: ia bahkan menyempatkan diri
datang ke Yog?y a.
"Sayang," kata sepupunya. "Aku sudah melamar kepada ayahmu."
"Begitu?" Alamanda berkata acuh tak acuh. "Kapan
kau akan menikah dengan ayahku?"
"Denganmu, Sayang."
"Uh." Alamanda hanya bisa memonyongkan mulutnya. Lalu ia berdiri dan menoleh. "Dengar, Sepupu.
Kau rugi besar kawin denganku karena aku gadis yang
urakan, tak bisa mengurus rumah."
"Kita akan punya pembantu."
"Aku tak bisa memasak."
"Kita akan makan di restoran."
"Kau ini tolol atau goblok, sih?" tanya Alamanda
kesal.
"Ayahmu dan aku sudah memutuskan pernikahan
kita tanggal dua belas bulan depan."
"Apa?"
"Kau mau mas kawin apa?"
Alamanda nyaris pingsan ketika itu. Seperginya
si sepupu, ia menghabiskan hari-harinya yang terasa
berge?r ak cepat dengan mencoba mabuk sebagaimana kebiasaan si gembel sampai ia tak bisa menahan diri untuk
tidak bercerita kepadanya.
Di luar dugaan, si gembel hanya berkata:
"Sekarang terserahmu, Alamanda. Kalau kau kawin
dengan sepupumu itu, kau mungkin hidup enak. Kau
tak akan dikucilkan ayah, ibu dan saudara-saudaramu.
Kau punya rumah besar, kendaraan, bisa nonton MTV,
makan di kafe dan hiduu indah. Atau kau memilih
kawin denganku? Ayahmu tak akan menganggau
anak lagi dan kau terpaksa tinggal di pondokanku yang
cuma tiga kali tiga meter dan kalau hujan deras agak
sedikit basah di pojok sebelah kiri. Juga harus mencuci
bajumu sendiri, juga harus makan yang tak enak, karena
kita tak akan punya banyak uang. Tapi kau punya bonus:
suami yang romantis dan cerdas, hahaha ...."
Alamanda tak berani mengambil suami yang romantis dan cerdas serta memutuskan pulang sebagai gadis yang kalah.
"Nah, kan!" Tiba-tiba suara suaminya membuyarkan semua lamunannya.
"Kenapa?" tanya Alamanda.
"Aku ngompol," jawab si suami.
"Sebesar ini kau ngompol?"
"Bukan ngompol anak-anak, Sayang."
Ingin sekali Alamanda tertawa dengan kekonyolan
itu, tapi ia tahan. Ia hanya melotot, membuat si suami
menciut kembali nyalinya.
Ketika malam telah benar-benar hening, kecuali
nada monoton dari laut, Alamanda kemudian ikut berbaring kembali. Menarik selimutnya dan tertidur dengan harapan mimpi indah bercinta dengan si gembel
yang telah di?t inggalkannya.
Bulan madu mereka yang ternyata tak begitu indah
karena dongeng Alamanda tak kunjung selesai berakhir
seminggu kemudian. Mereka harus kembali dan memulai hidup sosial mereka sebagai pasangan yang pura-pura
serasi.
Hingga suatu hari, tepatnya di hari keempat puluh
dua pernikahannya, Mei sahabatnya menelepon di tengah malam ketika tarif telepon sedang murah meriah.
Me?reka mengobrol dan membicarakan banyak hal sampai kemudian Mei menjerit terkejut.
"Apa? Kau belum bercinta dengan suamimu?"
"Ya."
"Lebih dari sebulan? Kau gila?"
"Aku sudah berjanji untuk mendongeng Alice?s Adventures in Wonderland. Setiap malam aku mendongeng
dan sampai sekarang dongengnya belum selesai. Bahkan
aku belum masuk bagian Through the Looking Glass."
"Kau ini gila atau sinting? Selesaikan dongengmu
malam ini juga dan kau rasakan bagaimana rasanya bercinta. Dengar, kau bukan Syahrazad yang lihai ?m embual.
Pada saatnya, suamimu akan bosan dan mungkin ia memutuskan memenggal kepalamu dengan golok."
"Tapi aku takut."
"Takut apa?"
"Takut ia tahu kalau aku tidak perawan."
Alamanda kemudian teringat malam-malamnya
bersama si gembel dalam permainan cinta yang indah.
Pada malam-malam seperti itu si gembel akan mendo?
ngeng, sebuah dongeng pendek yang tidak bersambung,
sebelum mereka dengan liar bercinta.
2000
Ia membuka pintu toilet sambil menikmati bau cat yang
masih baru. Pintu ditutupnya kembali, dikunci dari da
lam, dan beberapa waktu kemudian ia sudah berdiri di
depan lubang kakus, membuka celana. Desis air memancar tercurah ke lubang kakus sambil menyebarkan
bau amoniak, dan mimik si bocah menyeringai penuh
kepuas?a n. Setelah semuanya tumpah, ia mengkopatkapitkan apa yang dipegangnya, dan disiram dengan
beberapa tetes air dari gayung: sisanya dicurahkan ke
lubang kakus. Celana ditutup lagi.
Bocah itu berumur dua puluh tahun, berpakaian
gaya anak punk, dan terkagum-kagum dengan dinding
toilet yang polos. Baru dicat dengan warna krem yang
centil. Ia merogoh tas punggungnya dan menemukan
apa yang dicarinya: spidol. Dengan penuh kemenangan,
ia menulis di dinding, "Reformasi gagal total, Kawan!
Mari tuntaskan revolusi demokratik!"
Pukul tujuh pagi, ketika para mahasiswa belum membuat
kegaduhan di ruang kuliah mereka, seorang bocah sudah
menyerbu toilet yang terdapat persis di bawah tangga.
Ia punya sedikit kelainan dengan salurannya: tampaknya
beser. Mungkin karena sering minum kopi, atau jarang
berolahraga. Setelah ritual paginya yang membosankan,
ia menatap tulisan di dinding yang mencolok itu dengan
gemas.
Dengan sebuah pena, ia membuat tanda panah dari
kalimat yang terbaca, dan menulis, membalas, "Jangan
memprovokasi! Revolusi tak menyelesaikan masalah.
Bangsa kita mencintai kedamaian. Mari melakukan perubahan secara bertahap."
Dan gadis itu kemudian muncul, seorang gadis tomboi
yang konon suka bertualang. Ia mengenakan celana jins
ketat, dan kaus oblong yang kedombrangan; lubang le?
hernya kadang merosot, sekali-dua kali mempertonton?
kan isinya yang tanpa bra. Ia benci saat-saat pipis, karena merasa repot harus membuka celananya. Pernah ia
pipis sambil berdiri, mengikuti kebiasaan buruk anak
laki-laki, agar praktis, tapi hasilnya kurang memuaskan.
Air menyebalkan itu tumpah ke mana-mana, termasuk
meleleh di celananya. Tapi hidup di dunia sudah ditakdirkan untuk pipis, maka pipislah ia di toilet yang sama.
Meskipun merepotkan.
Dan seperti kebanyakan konsumen toilet, ia tertarik
dengan coretan di dinding, dan tergoda untuk ikut
berkomentar pula. Dicarinya spidol di tasnya, tapi ia
hanya me?n emukan lipstik. Maka menulislah ia dengan
lipstik setelah membuat tanda panah, "Kau pasti antek
tentara! Antek orde baru! Feodal, borjuis, reaksioner
goblok! Omong-kosong reformasi, persiapkan revolusi!"
Dua hari berlalu tanpa kejadian yang menghebohkan di
toilet, sampai seorang anak yang lain masuk. Ia membuka celananya, dan kemudian jongkok di atas kakus.
Plung! Plung! Terkejutlah ia dengan bunyi yang nya?
ring itu. Dibukanya keran air agar suaranya menyaingi
bunyi ?plung, plung? yang menjijikkan. Malu. Dan sambil menikmati saat-saat penuh bau itu, si bocah mulai
membacai tiga kalimat yang tertulis di dinding. Ia tersenyum dengan tulisan terakhir, dan membayangkan gadis
macam apa yang menuliskannya.
Setelah cebok, ia pun mengambil pena dan ikut
berkomentar dengan penuh gairah, "Hai, Gadis! Aku
suka gadis revolusioner. Mau kencan denganku?"
Kemudian di siang bolong, muncullah seorang gadis
lain dan dari jenis yang lain. Seorang hedonis yang
suka dandan. Tas mungilnya yang sungguh-sungguh
mungil, penuh dengan tetek-bengek alat perang seorang
gadis ganjen. Dan kemunculannya di toilet, jelas tak
semata-mata untuk pipis atau bikin konser ?plung,
plung?, bahkan tidak pula untuk sekadar cuci tangan dan
meludah. Ia hampir setiap hari berkunjung ke toilet, tak
lain dan tak bukan untuk merenovasi wajahnya yang berantakan setelah beberapa jam terkucel-kucel. Ia kurang
percaya diri dan tentunya harus berdandan.
Si gadis berdiri di samping bak mandi, menatap
bayangan wajahnya di cermin mungil yang ia genggam. Ditaburinya wajahnya yang mesum dengan pupur
agak tebal, lalu seputar matanya dihiasi lagi dengan eye
shadow. Tak lupa perona pipi. Rambutnya yang acakacakan, disisirinya lagi, dipasangi bando, jepit, dan pita
sekaligus. Bibirnya yang sudah pucat, disapu pula de?
ngan warna merah menyala, semerah bendera nasional,
dan ketika itulah ia membaca segala unek-unek orang
di dinding. Sambil tertawa centil, ia ikut menulis, juga
dengan lipstik, "Mau kencan denganku? Boleh! Jemput
jam sembilan malam di cafe. NB: jangan bawa intel."
Entah hari yang ke berapa setelah toilet tampil dengan
cat barunya, muncullah ke toilet tersebut seorang lakilaki. Tubuhnya besar dan agak tinggi, dengan rambut
pendek sisa digundul. Kumis dan janggut tipis menghiasi mukanya yang putih. Di telinga kirinya tergantung
an?t ing-anting norak, dan lehernya diganduli empat atau
lima kalung. Kemeja yang dikenakannya, model longgar
Corat Coret Di Toilet Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari kain jumputan, dan celananya baggy. Orang kalau
melihatnya, pasti menduga ia seorang homo, meskipun
agak sulit untuk membuktikannya.
Bahkan melalui apa yang kemudian ditulisnya di
din?d ing, yang merupakan ungkapan politis-ideologisnya,
ia tetap tidak bisa dipastikan apakah sungguh-sungguh
punya kecenderungan seksual itu atau tidak. Beginilah
apa yang ia tulis: "Kawan, kalau kalian sungguh-sungguh re?volusioner, tunjukkan muka kalian kalau berani.
Jangan cuma teriak-teriak di belakang, bikin rusuh,
dasar PKI!"
Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani
masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristiwa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bangsat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir
semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah
menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk
toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roketroket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemudian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampahsampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan
di lubang kakus.
Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa
dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam
toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak!
Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu
dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang
berlangsung, dan anak itu meluncur dari ruang kuliah
sambil memegangi bagian depan celananya. Takut kebobolan. Ia masuk ke toilet pertama di lantai atas. Terisi.
Toilet ke?d ua, juga terisi. Toilet pertama lantai bawah,
juga terisi. Kakinya mulai gemetaran, lompat sana lompat sini, mempertahankan diri jangan sampai jebol di
ruang dan waktu yang tidak semestinya. Karena sudah
tidak tahan, maka masuklah juga ia ke toilet sialan itu.
Dalam satu gerakan tergopoh, ia berdiri dengan pasrah,
dan wussssh ....
Selama itu ia tahan napas dan memejamkan mata.
Namun kemudian, ia memutuskan untuk melakukan
suatu tindakan heroik, guna mengakhiri sumber horor di
toilet ini. Masih sambil memejamkan mata, dan menutup hidung, ia mengguyur lubang kakus, menyerang
onggokan-onggokan yang nyaris sudah tanpa bentuk,
hingga semuanya larut dan menghilang.
Si bocah merasa lega, dan mulailah ia membaca
pesan-pesan di dinding dengan kemarahan yang tersisa
dari tragedi yang baru saja terjadi. Ia ambil spidolnya,
warna biru, dan segera ikut menulis, "Ini dia reaksioner
brengsek, yang ngebom tanpa dibanjur! Jangan-jangan
tak pernah cebok pula. Hey, Kawan, aku memang PKI:
Penggemar Komik Indonesia. Kau mau apa, heh?"
Semua orang tahu belaka, toilet itu dicat agar tampak
bersih dan terasa nyaman. Sebelumnya, ia menampilkan
wajahnya yang paling nyata: ruangan kecil yang marjinal, tempat banyak orang berceloteh. Dindingnya penuh
de?n gan tulisan-tulisan konyol yang saling membalas,
tentang gagasan-gagasan radikal progresif, tentang ajak?
an kencan mesum, dan ada pula penyair-penyair yang
pui?s inya ditolak penerbit menuliskan seluruh masterpiece-nya di dinding toilet. Dan para kartunis amatir,
ikut menyemarakkannya dengan gagasan-gagasan ?the
toilet comedy?. Hasilnya, din?d ing toilet penuh dengan
corat-coret nakal, cerdas maupun goblok, sebagaimana
toilet-toilet umum di mana pun: di terminal, di stasiun,
di sekolah-sekolah, di stadion, dan bahkan di gedunggedung departemen.
Karena kemudian menjadi tampak kumuh, sang
dekan sebagai pihak yang berwenang di fakultas, memutuskan untuk mengecat kembali dinding toilet. Maka
terhapuslah buku harian milik umum itu. Tapi seperti
kemudian diketahui, tulisan pertama mulai muncul, lalu
ditanggapi oleh tulisan kedua, dan ramailah kembali
dinding-dinding toilet dengan ekspresi-ekspresi yang
mencoba menyaingi kisah-kisah relief di dinding candi.
Kenyataan ini, membuat gelisah mahasiswa-mahasiswa
alim, yang cinta keindahan, cinta harmoni, dan menjunjung nilai-nilai moral dalam standar tinggi.
Salah satu mahasiswa jenis ini, kemudian masuk toilet, dan segera saja merasa jengkel melihat dinding yang
beberapa hari lalu masih polos, sudah kembali dipenuhi
gagasan-gagasan konyol dari makhluk-makhluk usil. Ia
bukan seorang vandalis dan tak pernah berbuat sesuatu
yang merusak, tapi kali ini ia menjadi tergoda luar biasa.
Tentu saja karena jengkel. Maka ia pun ikut menulis,
walau hatinya nyaris menangis, "Kawan-kawan, tolong
jangan corat-coret di dinding toilet. Jagalah kebersihan.
Toilet bukan tempat menampung unek-unek. Salurkan
saja aspirasi Anda ke bapak-bapak anggota dewan."
Alkisah, di bawah tulisan si mahasiswa alim itu, tertulislah puluhan komentar dalam satu minggu. Hampir
seratus setelah satu bulan kemudian. Tak jelas siapa saja
yang telah ikut menulis, membuat dinding toilet semakin berubah wajah, kembali ke hakikatnya yang paling
kumuh. Tanggapan-tanggapan atas usul si mahasiswa
alim, ditulis de?n gan baragam alat: pena, spidol, lipstik,
pensil, darah, paku yang digoreskan ke tembok, dan ada
pula yang menuliskannya dengan patahan batu bata atau
arang. Betapa inginnya mereka menanggapi, sehingga
berlaku pepatah secara sempurna: tak ada rotan, akar
pun jadi.
Tulisan pertama berbunyi: "Aku tak percaya bapakbapak anggota dewan, aku lebih percaya kepada dinding
toilet."
Tulisan kedua berbunyi: "Aku juga."
Dan seratus tulisan tersisa, juga hanya menulis,
"Aku juga."
1999
Teman Kencan
Presiden yang menyebalkan itu tumbang sudah. Ter
haru aku dibuatnya, seolah lembar-lembar Tumbangnya
Seorang Diktator Gabriel Garc?a M?rquez menjelma.
Bagaimana tidak, berbulan-bulan, bahkan dua atau tiga
tahun lamanya, telah banyak yang kukorbankan untuk
peristiwa indah ini. Kuliahku terbengkalai, ayah dan ibu
dan adik-adikku lama tidak aku jumpai, dan yang lebih
menyedihkan: kekasihku minggat.
Aku tengah menyendiri di dalam kamarku ketika
kupikirkan hal itu lagi. Oke, kataku, aku harus memulai
hidup lagi. Besok aku kembali masuk ruang kuliah, dan
kalau sempat berlibur seminggu pulang ke rumah. Nah
sekarang, malam Minggu, ada bagusnya cari teman kencan.
Wajah cantik seorang gadis tiba-tiba muncul di
otakku, seperti potongan klip iklan yang memotong
secara kurang ajar sebuah acara televisi. Ia tersenyum
menawarkan diri, "Kencanilah aku, bebas ketombe dan
bisa menghilangkan sakit hati. Jika sakit berlanjut,
segera hubungi dokter."
Aku membalas senyumnya dan keluar dari rumah
pondokanku yang sudah sepi, memburu telepon umum
terdekat, dengan rokok bertengger di bibir.
Nurul, nama gadis itu. Aku punya nomor teleponnya, dan siapa tahu ia bisa diajak kencan? Aduh, tibatiba aku jadi gugup. Berjalan mondar-mandir, seperti
anjing cari tiang buat pipis. Rokok yang baru terbakar
setengahnya kubuang, lalu menyalakan yang baru, dan
kubuang lagi. Keringat mulai membuat parfumku terasa
sia-sia. Tapi antrean telepon sudah lenyap, tinggal aku
sendirian.
Nekat.
Aku masuk kotak telepon dan mulai beraksi. 5 ... 8
... 3 ....
"Hallo?"
"Hallo," kataku. "Bisa bicara dengan Nurul?"
"Mbak Nurulnya pergi sama Mas Rudi. Mau pesan?"
"Yeah. Bakso satu porsi, tanpa mie, dan es teh!"
umpatku sambil menutup telepon dengan gemas.
Hancur sudah harapanku untuk kencan malam
Ming?g u dengan si cantik Nurul. Aku bersandar ke din?
ding kotak telepon. Tidak! Aku masih ingat nomor telepon gadis lain. Sophia. Tidak betul-betul cantik. Tapi
apa peduliku, aku butuh teman kencan. Masih untung
kalau dia mau menerima teleponku dan mempersilakan
aku datang ke rumahnya.
4 ....
Maka kuangkat kembali gagang telepon. 5 ... 6 ...
Tut, tut, tut.
Tanda peringatan, suara perempuan, menyerbu teli?
ngaku, "Telepon yang Anda tuju sedang sibuk. Cobalah
beberapa menit lagi ...."
"Ehm, maaf, Nona. Ngomong-ngomong, kalau be
gitu bisakah kau kencan denganku?"
"The destination you are calling ...."
Kututup telepon dengan nafsu.
Kemudian aku terdampar di warung angkringan. Hanya
berdua saja dengan si penjual. Katanya, memang selalu
sepi di setiap malam Minggu. Baru ramai selewat jam
sembilan malam. Aku tersenyum kecut, merasa ter?
sindir.
Aku makan nasi bungkus dan minum teh jahe tanpa
banyak omong. Disambung dengan ? lagi-lagi ? rokok.
Kepala menoleh ke kiri-ke kanan, tak tahu mau berbuat apa. Pulang? Konyol, dan memalukan! Anak-anak
pondokan terbang semua, sedang asyik masyuk dengan
kekasih mereka. Tak sudi aku pulang hanya bengong dan
jadi penjaga rumah. Kau pikir aku Jin Iprit?
Maka kubaca judul berita dari koran lama bekas
bungkusan nasi. "Desy Ratnasari Menikah 20 Februari
1999". Di sampingnya terpampang foto sang artis, leng
kap de?n gan senyum dan pipi menggemaskan. Aku jadi
ingat de?n gan senyum dan pipi yang seperti itu.
Ayu, kekasihku yang minggat itu, memanglah pu
nya senyum yang bisa bikin kasmaran siang dan malam,
tujuh hari tujuh malam, dalam sekali lirik. Gila. Sa?y ang
sekali dia minggat sudah, dan aku masih ingat kata-?k ata
terak?h irnya di telepon, "Oke, Boy. Aku punya dunia
sendiri, dan kau pun punya dunia sendiri. Kita tidak bisa
bersatu. Kau terlampau asyik dengan duniamu. Baiknya
kita berhenti saja sampai di sini. Selamat jalan, Anak
Manis!"
Yeah, Anak Manis, katanya!
Aku mulai termenung-menung memikirkan diri?
nya. Kerinduanku muncul lagi tanpa permisi, membuat
aku jadi malu sendiri. Hey, siapa tahu dia belum punya
kekasih baru. Dan kita, aku dan Ayu, bisa merajut kembali tali kasih yang hilang. Bolehlah dicoba ....
Teracuni oleh gagasan itu, aku jadi bersemangat
kembali. Malam Mingguku masih punya harapan untuk menjadi meriah. Apalagi membayangkan Ayu bisa
menjadi kekasihku lagi. Sumpah, kalau itu terjadi, akan
kupasrahkan seluruh cintaku kepadanya. Aku jadi bergairah, bahkan berahi, dan segera kulemparkan uang dua
ribu rupiah di depan penjual warung angkringan.
"Selebihnya ambil saja," kataku, dengan lagak se?
orang dermawan.
"Lebih apaan? Kurang tiga ratus rupiah, Mas!"
biji.
Corat Coret Di Toilet Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku nyengir dan kuberi dia logam seratusan tiga
Di telepon umum, aku mendapat giliran setelah
?s e?p uluh menit antre. Tak mungkin aku lupa nomor
telepon pondokan Ayu. Kami sempat berpacaran hampir dua tahun, dan di masa-masa yang paling romantis
dalam hubu?n gan kami, aku dan Ayu kadang menelepon
satu sama lain sehari sekali. Kuangkat gagang telepon,
dan kupijit tuts-nya. 5 ... 8 ... 7 ....
"Hallo?"
"Hallo. Mbak Nunik, kah?"
"Iya. Mau ketemu siapa?"
"Ayu."
"Ayu? Ayu sudah pindah."
Brengsek! Aku menatap gagang telepon tak percaya. Apakah Tuhan memang menginginkan malam
Mingguku hancur berantakan, seperti Hiroshima dan
Nagasaki?
"Tapi kami punya nomor teleponnya."
Ternyata Tuhan masih mencintaiku!
Maka kuhubungi Ayu di nomor telepon barunya. 5
... 6 ... 3 ....
"Hallo?"
"Hallo ... Ayu?"
"Iya. Siapa?"
"Kau lupa suaraku?"
"Masya Allah. Apa kabar, Sayang? Kau di Yogya?
Sehat-sehat saja? Masih hidup?"
Aku tersenyum mendengar suaranya yang membius.
Jantungku bergetar hebat oleh sambutannya yang meriah.
"Aku baik-baik saja."
"Tidak diculik?" tanyanya lagi.
"Tidak."
"Tidak ditembak?"
"Tidak."
"Syukurlah," katanya. "Lalu apa sekarang kerjamu?"
"Yeah, beginilah," kataku, dengan nada yang sung
guh abstrak. "Luntang-lantung sendirian, tak punya teman ...."
"Mampirlah sini kalau kau mau."
Jebakanku mengena!
"Aku punya sebotol Coca Cola, sekotak Dunkin?
Donuts ...."
"Aku tak punya alamatmu," kataku memotong.
Maka ia memberiku alamat rumahnya.
Kutelusuri jalanan yang gelap dan sepi sambil ku?
nyanyikan "Hymne Darah Juang" dengan kencang, tapi
segera kuhentikan karena merasa tidak cocok dengan
suasana romantis yang sedang kubangun. Lalu kuganti,
menyanyikan "Dari Sabang sampai Merauke" ....
Rumah pondokan Ayu yang baru tak sulit aku cari.
Dalam lima belas menit, aku sudah berdiri di depan
gerbang. Di depanku berderet kamar-kamar pondokan
? yang dirancang menyerupai paviliun dengan terasteras sendiri. Aku langsung menuju kamar pojok. Kamar
Ayu, bekas kekasihku yang sekarang kuharapkan mau
kembali menjadi milikku.
Ada topeng hiasan tertempel di pintu. Kuambil dan
kukenakan, lalu kuketuk pintu.
Pintu terbuka.
"Trick or treat!"
Ia, si cantik itu, tertawa di hadapanku, dengan kemanjaannya yang tak pernah berlalu.
"Copot topengmu," katanya.
Aku balas tertawa dan mengembalikan topeng di
tempatnya.
"Kubilang copot topengmu." Ia mengulangi.
"Sudah!" Aku bingung.
Tawanya yang manis kudengar lagi. "Maaf, aku lupa
wajahmu sejelek topeng."
Aku nyengir sambil duduk di kursi yang ada di teras
depan kamarnya.
Ia duduk di seberang meja, pada kursi sejenis. De?
ngan malu-malu kutatap dirinya. Ia masih cantik seperti
dulu juga, walaupun ada perubahan di sana-sini. Dulu
rambutnya panjang melewati bahu, sekarang ia memotong pendek. Tanpa bisa kucegah, mulutku berkata
membabi-buta:
"Kau tambah cantik, Ayu!"
Ia menoleh padaku, dan ada kulihat pipinya merona merah. Tapi matanya tidak memancarkan citra yang
malu-malu, seperti dulu waktu pertama kali kurayu. Matanya melotot gemas. Katanya:
"Kau merayu lagi!"
Aku cuma tertawa.
"Tapi ...." kataku. "Sekarang kau lebih subur. Naik
berapa kilo? Tidak diet?"
"Subur katamu?"
Aku mengangguk.
"Bodoh! Bukan subur. Aku hamil."
"Kau hamil?" tanyaku tersentak.
"Iya. Aku sudah kawin. Kau belum tahu itu, ya?"
ta?nyanya sambil memanggil seseorang dari dalam kamarnya.
Aku memandang perutnya yang buncit, dengan mulut terbuka. "Jadi ...." Tenggorokanku terasa kering. "Kau
sudah kawin?" Aku balas bertanya. Pelan, monoton, dan
menyedihkan.
1999
Rayuan Dusta untuk
Marietje
Aku datang ke Batavia pada tahun 1869 sebagai prajurit bayaran. Aku sebenarnya tidak ahli perang, tapi aku
membual kepada orang yang merekrutku bahwa aku di
Belanda sempat jadi tukang pukul. Bayangkan, tukang
pukul! Betapa kagumnya komandanku hingga ia mempekerjakanku dan menempatkanku di sebuah benteng
kecil di Ancol. Yeah, aku memang pembual. Pendusta
nomor satu di Belanda, bahkan mungkin se-Eropa.
Kenekatanku mengarungi samudra ke daerah asing
ini harap dimaklumi: aku miskin dan yatim piatu. Kata
orang, yang kudengar dari mulut ke mulut, Hindia
Belanda menjanjikan segalanya. Tanah menghampar, tak
ada bandingannya dengan Belanda yang cuma sepijakan
kaki. Juga emas, belum ada yang menggali. Juga permatapermatanya. Terutama rempah-rempahnya. Aku tergiur
benar untuk datang demi mengubah nasibku. Dan
begitulah hingga akhirnya kakiku menjejak tanah Hindia
Belanda. Di sini, segalanya cukup menyenangkan, kecuali
satu: aku tak punya pacar!
Susah sekali cari pacar. Aku ingin punya kekasih
bule, dengan rambut pirang, hidung mancung dan mata
biru. Wuah, itu jenis langka di Hindia Belanda! Padahal umurku sendiri ... dua puluh dua pada tiga bulan
yang akan datang. Kawan-kawanku di benteng, beberapa
ada yang nekat mengambil kekasih gadis-gadis pribumi.
Huh! Hitam, dekil, bodoh, ... aku sendiri tak berselera.
Memang, tak semua gadis pribumi seperti itu. Ada juga
yang cantik luar biasa, lebih cantik dari gadis Spa?n yol
yang pernah aku lihat (apalagi gadis Belanda): kulit
kuning langsat, hidungnya mencuat ramping, rambut
hitam panjang, dan matanya begitu jernih. Tapi kawan,
jangan harap prajurit bayaran seperti aku bisa dapat gadis pribumi macam begitu. Jenis yang seperti ini, hanya
ada di keraton. Ya betul, puteri-puteri keraton! Bahkan
Gubernur Jenderal sendiri belum tentu bisa kawin dengan mereka.
Karena itu, kalau tak ada kerusuhan-kerusuhan yang
membuat kami harus pergi perang, aku lebih banyak tidur melamun. Kawan-kawanku sering meledek keego
isanku untuk memiliki kekasih bule, tapi dengan terusterang kukatakan pada mereka bahwa aku ingin menjaga
kemurnian darahku. Darah Eropa dengan keluhuran
peradaban, pengetahuan, filsafat dan tetek-bengeknya!
Dengan alasan seperti itu, kawan-kawanku akhirnya
t? utup mulut dan beberapa di antaranya jadi malu sudah
berkasih-kasih dengan gadis pribumi. Rasain!
Setelah perdebatan kecil seperti itu kami lalu ngobrol ke sana-kemari untuk menghilangkan kejenuhan.
Beberapa orang yang sudah tua bercerita tentang pertempuran-pertempuran hebat yang mereka ikuti. Misalnya Perang Diponegoro tahun 1825 sampai tahun 1830.
Atau Perang Jagaraga di Bali tahun 1846 sampai 1849.
Asyik sekali mendengar cerita seperti itu, terutama kalau yang bercerita si August tua, pensiunan prajurit asal
Perancis yang mengaku pernah berhadapan secara langsung dengan Pangeran Diponegoro.
"Tuan Diponegoro menghadiahi aku bekas luka di
punggung," katanya bangga. "Dan Gubernur de Kock
kasih aku penghargaan juga."
Ingin rasanya aku dapat kesempatan seperti itu.
Tapi sayang, tak ada lagi perang-perang hebat sekarang
ini, dan aku jadi lebih banyak nganggur. Kalau sudah
nganggur, aku jadi lebih suka tidur dan melamun. Dan
kalau sudah tidur dan melamun, aku jadi teringat dengan gadis berkulit bule, berhidung mancung, bermata
biru dan berambut pirang. Oh ...
Ngomong-ngomong aku jadi teringat Marietje.
Dulu kami sama-sama pernah bekerja di sebuah toko
roti di Delft. Ia yang dua tahun lebih muda dari aku,
jadi pelayan toko dan aku sendiri penjaga. Kami sempat
saling suka (aku yakin!), sebelum aku kemudian memutuskan buat pergi ke Hindia Belanda. Oh Tuhan, kenapa
orang-orang bule hanya ada di Eropa saja? Aku mulai
ngomel-ngomel sendiri dan ... lagi-lagi teringat Marietje. Kau tahu kawan, dia sebenarnya tak cantik benar.
Mukanya sedikit berjerawat, dan dia agak cerewet. Juga
sebenarnya tak terlalu cerdas, terbukti tak tahu di mana
letak negeri Perancis (kebodohan macam begini hanya
bisa disaingi suku barbar Hindia Belanda!). Tapi aku
suka, dan jatuh cinta kepadanya. Matanya itu lho, genitnya minta ampun. Ia suka melirik aku sekali-kali.
Sayang sekali Marietje tak bisa datang ke Hindia
Belanda.
"Kenapa tidak kau kirim surat saja kepadanya, dan
suruh ia datang ke sini?" tanya seorang kawan yang men?
dengar kisah cintaku yang menyedihkan ini.
"Jangan belagak dungu," kataku. "Kau tahu kenapa
ia tak bisa datang."
Ya benar, dia seharusnya tahu Marietje tak mungkin
bisa datang ke Hindia Belanda. Seperti kau tahu, jarak
Belanda sampai negeri barbar ini jauh sekali. Kata orang,
itu sama artinya menjelajahi separuh bumi! Bayangkan, gadis-gadis Eropa yang manis dan cantik itu harus
meng?a rungi petualangan gila macam begitu. Ya, waktu
aku berlayar, kami sempat mau tenggelam dihantam badai di te?n gah samudra (entah samudra apa namanya, aku
sendiri sedang mabuk laut ketika itu). Dan ketika kami
singgah di Marseille sebelumnya, penumpang kapal
sempat bentrok dengan buruh pelabuhan sebelum dilerai
pasukan kerajaan. Bayangkan jika gadis-gadis Belanda
ikut perjalanan kami dan jadi korban petualang?a n gilagilaan itu.
Dan kenyataannya, memang sudah jadi peraturan
untuk tidak membawa gadis Belanda ke Hindia, karena
sulitnya perjalanan seperti yang aku ceritakan. Huh, tapi
kalau dipikir-pikir, peraturan itu konyol. Ambil Marietje sebagai contoh: ia gadis yang tangguh dan perjalanan separuh bumi tak akan menyulitkannya. Tapi
mau bagaimana lagi, aturan itu bahkan sudah ada sejak gerombolan hebat Jan Pieterzoon Coen datang di
Batavia tahun 1619. Waktu itu si Coen sendiri hendak
bawa gadis-gadis Belanda, demi terjaganya darah murni
Eropa (Coen memang cerdas, kuakui!). Tapi rencananya
gagal, gara-gara ditolak Heeren sialan! (Maaf, maksudku
Corat Coret Di Toilet Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerombolan Yang Mulia Heeren xvii).
Begitulah, hingga sekarang peraturan konyol itu
tak juga dicabut, dan meranalah aku si prajurit bayaran
karena Marietje-ku tercinta tak dapat datang temui aku
di Hindia Belanda. Menyebalkan!
Kemudian terdengarlah suara seorang temanku, de?
ngan nada putus asa: "Lupakan semua itu, memang beginilah nasib prajurit bayaran macam kita."
"Ngomong apa kau?" bentakku. Orang ini, bukannya menghibur, malah terasa meledek.
"Kau tahu, sejak zaman VOC masih jabang bayi
hingga sekarang, para pejabat tinggi boleh bawa isteri
dan anak-anak gadisnya. Peraturan konyol itu hanya
berlaku buat kita ..."
Kuakui ia benar. Tapi mana mungkin aku berani
melawan Gubernur Jenderal? Apalagi melawan Kerajaan, biar jaraknya setengah bumi sekalipun?
Sampai titik ini aku jadi putus asa. Sungguh! Malah
sudah dipikir-pikir untuk pulang saja ke Belanda. Tapi
ternyata itu bukan perkara gampang. Aku sudah tak
punya sanak keluarga di sana, sementara aku tak punya
keahlian apa pun. Aku tak yakin masih bisa membual ke
sana-kemari. Dengar-dengar di Belanda dan bahkan di
Eropa sudah makin banyak pembual. Tak mungkin aku
bisa bertahan jadi pendusta. Paling-paling jadi penjaga
toko roti lagi. Dan lagi pula, kehidupanku di Hindia Belanda cukup makmur dan menyenangkan, asal per?s oalan
kesepianku kepada seorang gadis bule terobati. Wuah,
pusing!
Atau aku ambil gadis pribumi sebagai kekasih?
Hiii ... aku bergidik ngeri. Kalau dipikir-pikir, mungkin sebenarnya ada gadis-gadis anak petani atau nelayan
di pedalaman yang cantik. Memang tak bermata biru,
berkulit bule, berambut pirang dan berhidung mancung,
tapi pokoknya cantik. Ah, tapi yang begitu pasti sudah
diambil pejabat buat simpanan. Oh Tuhan, masa aku
akan dijadikan bujang lapuk? Brengsek!
Namun ketika aku sudah begitu putus asanya, dan
bahkan dengan setengah gila hendak menceburkan diri
ke laut, aku memperoleh berita luar biasa itu. Keajaiban
dunia, Kawan! Demi dewa-dewa takhayul para penduduk pribumi yang barbar, aku berterima kasih kepada
peristiwa hebat ini: Terusan Suez dibuka tahun 1869
dan peme?r intah Kerajaan Belanda memperbolehkan gadis-gadisnya yang cantik dan manis berlayar ke Hindia
karena jarak sudah lebih dekat. Aku berteriak-teriak di
sepanjang pantai, berloncat-loncat kegirangan dan bermimpi Marietje datang menemuiku. Marietje, kekasihku
yang kutunggu-tunggu. Seperti apa sekarang? Apakah
jerawatnya sudah hilang? Apakah sudah lebih cerdas?
Ah, peduli amat dengan jerawat dan kecerdasan. Ia mau
datang dan jadi kekasihku, bagiku sudah cukup.
Maka segera saja aku kirim surat buat Marietje, menyuruhnya datang ke Hindia Belanda mempergunakan
kapal pertama yang bakal lewat di Terusan Suez. Ku?
tambahkan juga bahwa aku masih sayang kepadanya dan
tiap malam selalu memimpikannya (oh ya, kalimat yang
ter?a khir itu sungguh-sungguh bukan dusta!).
Banyak temanku yang juga mengirim surat untuk
kekasih-kekasih mereka di Eropa. Yang lebih tua, tentu
saja memanggil isteri dan anak-anaknya. Bahkan para
prajurit yang sudah punya kekasih pribumi tanpa malumalu kirim surat juga ke Belanda, membujuk agar kekasih bulenya berkenan datang ke Hindia: negeri perawan
yang indah. Aku tersenyum mengejek kepada merekamereka itu. Huh, dasar laki-laki mata-ke-ranjang, kataku dalam hati.
Kapal pertama yang melayari Belanda-Hindia me?
lalui Terusan Suez akhirnya datang. Hiruk-pikuk sekali
keadaannya. Kami semua menunggu di pelabuhan. Kapal,
sungguh mati, memang penuh dengan gadis-?g adis. Jantungku berdegup kencang melihat wajah-wajah cantik
berambut pirang itu. Gadis-gadis sewarna dan sedarah denganku! Para suami menjemput isteri dan anakanaknya, dan para bujangan menjemput gadis-gadis
kekasihnya. Aku menerobos mencari Marietje. Di mana
Marietje? Marietje-ku sayang?
Kawan, aku hanya memperoleh sepucuk surat, dan
bukannya Marietje. Di surat itu Marietje bilang bahwa
ia baru saja memperoleh kenaikan upah di toko roti tempatnya bekerja, dan sayang rasanya untuk meninggalkan
itu semua demi Hindia Belanda.
"Marietje bodoh!" pekikku jengkel, membuat
kawan-kawan di sampingku terloncat karena terkejut.
"Apa artinya upah beberapa gulden di toko roti diban?
dingkan kemakmuran di Hindia Belanda?" Geram sekali
aku dibuatnya.
Tapi beberapa temanku mencoba menenangkan
aku. Salah satunya berkata dengan lemah-lembut, "Cobalah kau kirimi lagi dia surat. Mungkin kau perlu lebih
me?r ayu. Bukankah kau perayu ulung? Pembual? Pendus?
ta? Yakinkan Marietje-mu sehingga ia rela tinggalkan
toko roti terkutuk itu demi kau."
Aku menganggung-angguk.
"Katakan kepadanya bahwa Hindia Belanda begitu
kaya," temanku yang lain mengompori. "Katakan juga
bahwa kita, pemuda-pemuda Belanda, akan menak?
lukkan seluruh daratan dan lautan Hindia Belanda.
Mengambil harta karunnya, dan berkuasa atasnya. Itu
yang kami katakan kepada kekasih-kekasih kami se?
hingga mereka mau datang. Kau kan tahu sendiri, gadisgadis Eropa mata duitan."
Aku mengangguk lagi setuju, dan segera saja kutulis
kembali surat. Marietje sayang, kataku, akan kutaklukkan negeri barbar ini demi kau. Kupersembahkan alamnya yang indah, emas, intan, permata yang melimpah,
dan semuanya demi kau. Aku bergairah kembali dengan
rayuan gombalku. Kukatakan pula, aku rela mengangkat
senjata untuk itu semua.
Dan memang Marietje akhirnya datang.
Ia tersenyum kepadaku. Kawan-kawanku, ia tampak
lebih dewasa sekarang. Jerawatnya sudah agak hilang,
dan itu membuatnya jadi lebih cantik. Ia pun tampaknya
tak lagi bodoh. Ia bilang, ia tahu di mana negeri Perancis. Ia bahkan dengan bangga berkata bahwa ia tahu juga
di mana Inggris dan Spanyol.
Bahagia sekali aku.
Kemudian, Marietje kekasihku berkata: "Sayangku,
mana negeri yang akan kau taklukkan demi aku?"
Maka bersama pemuda-pemuda Belanda yang gagah berani, aku mengangkat senjata. Berperang di barat
dan di timur, menaklukkan seluruh negeri antah berantah ini. Memang ada perlawanan-perlawanan hebat, tapi
kami selalu menang! Sejarah kemudian mencatat, kami
berjaya di tanah barbar tersebut. Bendera Kerajaan Belanda berkibar di seluruh pelosok, merah, putih, biru.
Kami persembahkan negeri kaya raya ini untuk raja dan
ratu kami yang mulia. Oh tidak, tentu saja untuk kekasih-kekasih kami tercinta. Dan bagiku sendiri, terutama
untuk Marietje tersayang, yang sudah tak berjerawat dan
sedikit agak pintar.
Begitulah cerita penaklukan kami yang gilang-gemilang. Penaklukan di atas kebodohan makhluk-makhluk
negeri tak bernama ini ? kami sendiri yang kemudian
memberinya nama Hindia Belanda.
2000
Hikayat Si Orang Gila
Orang gila itu tidak bernama, sedang duduk di pojok
jalan. Di atasnya, selembar kain koyak dengan kata ?re?
ferendum? yang nyaris tak terbaca masih membentang. Ia
berdiam di situ, di sudutnya yang paling aman, menatap
nanar pada hal-hal yang baginya sendiri terasa ajaib.
Jauh di luar sana, salak senapan bersahutan seperti
serigala di malam purnama. Orang-orang, para penghuni kota mungil itu, ribut berlarian dengan teriakanteriakan yang tidak mungkin dipahami Si Orang Gila.
Mereka menjinjing barang-barang yang dikemas dalam
buntalan-buntalan kecil, dan keluar rumah dalam gerak?
an-gerakan bergegas. Berebut?a n naik ke atas truk-truk
yang seketika sudah dijejali manusia.
"Orang Gila!" teriak seseorang tiba-tiba di sampingnya.
Si Orang Gila menoleh. Seorang gadis tengah
berdiri di depannya, menatapnya dengan cemas.
"Ayo pergi! Kau bisa mati di sini!" Ia memperingatkan.
Si Orang Gila hanya memandangnya tanpa reaksi.
Ia mengenalinya sebagai gadis yang hampir tiap pagi
memberi?nya makanan, tak lebih dari itu. Sampai sejauh
ini, ia pun hanya menduga si gadis akan memberinya
sesuatu yang dapat dimakan.
"Ayo, tinggalkan kota!" kata si gadis lagi.
Masih tak ada reaksi.
Kemudian rentetan senjata mulai terdengar kem
bali. Bergemuruh dan bersahutan. Bergerak semakin
mendekat.
"Cut Diah! Cepat kau! Berangkat kita!" seorang
perempuan tua berteriak dari atas truk.
Si gadis masih menatap Si Orang Gila dengan ce
mas, dan perlahan mundur berlari menuju truk.
Setelah beberapa hari berlalu, kini ia merasa lapar. Di
kota kecil yang mati itu ia terseok sendirian, mencoba
mengais sampah. Tiada juga ada makanan. Ia telah kalah
gesit dengan tikus-tikus dan kucing liar. Tak ada lagi Cut
Diah yang berbaik hati memberinya makanan. Juga tak
ada Wak Haji yang kerap memberinya roti dari toko.
Ia terdampar kemudian di sebuah bangunan seko
lah yang separuh hangus terbakar. Papan tulis, kursi dan
meja telah menjadi arang. Foto presiden (presiden lama
yang sudah terguling, bukan karena penguasa sekolah
tidak tahu keberadaan presiden yang baru, tapi hal sepele
mengganti foto tidak sempat mampir di ingatannya),
masih tergantung sebelum dilalap api.
Asap hitam membumbung di mana-mana dan Si
Orang Gila masih tidak menemukan sesuatu untuk dimakan.
Ia mulai asing dengan dunia dan dengan apa yang
terjadi. Ketika siang datang dan pemberontakan di dalam perutnya semakin menjadi-jadi, ia mencoba masuk
ke dalam rumah-rumah yang tersisa melalui pintu atau
jendela yang telah dibongkar secara paksa oleh seseorang. Tapi ia tetap tak menemukan apa-apa.
Akhirnya ia mengulum potongan kayu dan duduk
lemas di trotoar.
Dari arah selatan berjalan perlahan sebuah truk
tentara yang memuat sekelompok prajurit. Suara mesinnya yang meraung-raung masih terkalahkan oleh teriak
nyanyi?a n kelompok prajurit itu. Mereka berdendang,
berjingkrak-jingkrak, sampai truk kadang oleng dibuatnya. Menyanyikan lagu-lagu kemenangan yang mirip
nada orang-orang mabuk daripada nada patriotik para
pahlawan.
Makhluk-makhluk seperti itulah, manusia yang
hidup, yang kadang muncul di atas truk-truk di hadapan
Si Orang Gila di hari-hari belakangan ini. Selebihnya
ha?nya kesunyian. Dan mereka bukanlah orang-orang
yang boleh diharapkan bagi Si Orang Gila. Kelakuan mereka menyebalkan, kadang melemparinya dengan benda
macam apa pun atau menggertaknya dengan tembakan.
Naluri Si Orang Gila seolah mengatakan bahwa mereka
bukanlah malaikat penolong bagi perutnya yang kelaparan.
Para prajurit di atas truk semakin ribut ketika me?
reka melewati Si Orang Gila. Lagu semakin keras ber
baur dengan teriakan-teriakan yang lucu menurut mereka.
Si Orang Gila, sebagaimana seharusnya, tidak
peduli.
"Teman-teman," kata seorang prajurit. "Aku yakin
ia salah satu anggota gerombolan itu."
Corat Coret Di Toilet Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Betul!"
"Ayo bunuh!"
Dan meletuslah senjata-senjata, melemparkan pe?
luru-peluru ke arah Si Orang Gila. Tapi semuanya luput.
Mungkin Tuhan melindungi si orang kelaparan itu, atau
mungkin juga karena tololnya para penembak. Siapa
yang tahu? Hingga kemudian truk sudah menjauh meninggalkan sisa-sisa lagu dan tawa yang sumbang.
Dini hari yang beku datang tanpa diiringi nyanyian bu
rung-burung sebagaimana biasa, karena burung-burung
pun pergi mengungsi, bermigrasi ke kantung-kantung
yang lebih bersahabat. Bahkan burung gereja yang hanya
terbang sepuluh-dua puluh meter pun, telah menghilang
tanpa jejak.
Embun menetes-netes membasahi puing-puing kota,
membasuh bara api yang masih memerah di ?s ana-sini.
bau karbon terhirup di mana-mana, membubung di
udara bercampur dengan bau mesiu.
Si Orang Gila terbangun karena perasaan dingin
yang menggigilkan tubuhnya, ditambah rasa lapar yang
tak kunjung pergi. Ia belum juga makan sejak serangan
lapar itu menyerang pertama kali. Lemah, gemetar dan
merana, ia duduk di trotoar. Mulai terbiasa dengan kesunyian yang menyapanya.
Nalurinya yang terus bekerja memaksanya berdiri
ketika matahari muncul dan mulai menghangatkan kota
mungilnya. Ia mulai memeriksa tong-tong sampah lagi,
sesuatu yang sudah dilakukannya berkali-kali dan tetap
tak menemukan makanan. Matanya mulai menatap sayu,
sedih dan menderita. Tubuhnya yang kotor dan dekil,
yang dibalut celana pendek dan oblong terkoyak-koyak,
tak dapat menyembunyikan kepucatan kulitnya.
Dan ia mulai menjilati daun-daun basah. Meminum
airnya dan mengunyah daunnya. Pahit. Ia lepahkan lagi.
Ia ingin makan. Ia lapar.
Nun jauh di sana, di suatu tempat, bunyi mesin
perang mulai terdengar lagi. Mulanya perlahan, lalu mulai bersahutan. Terseok-seok menopang tubuhnya yang
hanya meninggalkan belulang, kaki Si Orang Gila mulai
melangkah menelusuri jalan menuju sumber bunyi itu.
Mungkin ia hanya menduga salakan senapan pembunuh
itu bisa memberinya makan. Memberi sesuatu untuk perutnya yang menyedihkan itu.
Maka ia tinggalkan kota kecilnya yang telah
?d emi?k ian ia akrabi. Tak ada orang yang melepas kepergiannya, pun tak ada orang yang menangis untuknya.
Ia mulai masuk jalanan berbatu dengan tanah liat
yang mengering pecah-pecah. Di sana-sini banyak bekas
jejak roda truk yang besar, membentuk jalur-jalur semrawut tanah liat. Debu beterbangan diterpa kakinya
yang di?s eret-seret. Kehadiran Si Orang Gila disambut
kesuraman lain bebukitan, yang semak-semaknya merengut pilu.
Bahkan bangkai cacing pun tak ia temukan untuk
dimakan. Si Orang Gila terus berjalan di tengah rasa
laparnya.
Ia sudah terkapar tak berdaya ketika sampai di pinggir?
an sebuah desa. Amblas bersama tanah, debu dan belu
kar. Tak jauh darinya, bunyi senapan nyaring terdengar.
Menderu membabi-buta melemparkan bau mesiu.
Matanya nanar menatap perkampungan dan bi
birnya bergetaran hebat. Di sanalah, di sanalah, otaknya
bekerja dengan susah-payah, di sanalah kau bisa temu
kan makanan untuk menunaikan tugas besar kehidupan:
berperang melawan kematian.
Lalu mesin perang semakin galak terdengar, di?s usul
oleh deru telapak kaki dari arah desa. Sekonyong-kon
yong ia saksikan orang-orang berhamburan, berlarian.
Teriakan nyaring, ribut, ketakutan, berbaur membentuk
harmoni yang mengibakan, dilatari bunyi letusan senjata.
Si Orang Gila hanya menatap kosong dan mengerang
tanpa makna, kecuali hasrat membunuh rasa laparnya,
pada orang-orang itu. Perempuan-perempuan menggendongi anak-anak mereka yang masih kecil sambil mena?
ngis dan mencoba menghentikan anak mereka yang
menjerit-jerit. Yang laki-laki, kebanyakan tua, membawa
apa saja yang bisa mereka bawa.
Seseorang sempat mendengar erangan Si Orang
Gila. Ia berhenti dan menatapnya.
"Orang Gila, kau bisa mati di sini!"
Kemudian ia berlalu lagi, mengikuti rombongan
penduduk yang terbirit-birit. Lari ketakutan dari moncong-moncong senjata.
Dengan tenaganya yang tersisa, Si Orang Gila me?
rangkak menelusuri jalan setapak menuju perkampung?
an. Rombongan yang bergegas itu telah hilang, hanya
meninggalkan jejak-jejak kaki di jalanan berdebu. Juga
darah yang tercecer-cecer. Pergi jauh, meninggalkan sua?
ra jeritan pilu pengungsi yang tak berdosa.
Tinggallah Si Orang Gila yang tengah memperjuangkan hidupnya pula dari kelaparan. Sekarang, apa
beda?nya mereka dengan Si Orang Gila? Sama-sama
korban perang-perangan konyol yang menyedihkan.
Bermenit-menit berlalu dan Si Orang Gila terus menye?
ret tubuhnya. Seperti binatang korban perburuan.
Usahanya yang demikian itu nyatalah tidak sia-sia.
Namun serombongan prajurit kemudian muncul dari
lubang-lubang gelap hutan rimba, menyerbu desa yang
telah ditinggalkan penghuninya itu. Si Orang Gila hanya bisa menatap bagaimana mereka menembak membabi-buta, lalu tertawa penuh kemenangan disambung
lagu-lagu monoton yang membosankan.
Orang-orang itu mulai masuk menggeledah setiap
rumah sambil berteriak-teriak, dan setelahnya rumahrumah itu mereka bakar, menyisakan puing-puing dan
bara dan abu. Memang bagi seorang prajurit tiada yang
menyenangkan daripada memperoleh rampasan perang
dan itu mereka perlihatkan tanpa malu-malu.
Secepat mereka datang, secepat itu pula mereka
pergi. Membawa apa pun yang dapat mereka bawa. Pergi
mencari ladang perburuan yang baru.
Si Orang Gila akhirnya sampai pula di desa itu, desa
yang telah menjadi sampah, hancur-lebur tanpa berdaya.
Ia hanya menemukan rumah-rumah yang telah menjadi arang; tak dapat diharapkan. Meskipun begitu ia
seharusnya cukup bersyukur ketika menemukan sebuah
rumah yang tampaknya masih utuh, walau di sana-sini
jelas begitu porak-poranda, serta pada kenyataan bahwa
ia masih hidup.
Dengan tulang, daging dan darah yang tersisa, Si
Orang Gila memasuki rumah tersebut. Sebagaimana di
luar, ia saksikan kehancuran itu di dalam. Porak-poranda
ditebas sangkur dan peluru.
Tapi ia tak menemukan apa-apa untuk dimakan.
Apa pun isi rumah tersebut, tentunya telah dibawa oleh
si pemilik. Dan kalau saja ada satu hal yang tersisa, tentu
telah digondol oleh para prajurit yang menjarah. Tak ia
temukan apa-apa. Bahkan remah-remah nasi pun tidak
ada. Ia lapar dan tergeletaklah ia mulai mengerang.
Tanpa makan berhari-hari dan kemudian demam, Si
Orang Gila akhirnya mati di situ. Terkapar tak bernyawa.
1999
Si Cantik yang Tak
Boleh ?K eluar Malam
Pada ulang tahunnya yang ketujuh belas, Si Cantik kembali meminta diizinkan keluar malam, sebagai hadiah
terindah yang paling layak untuknya.
"Baiklah," kata si ayah. "Mari kita keluar bersama
Ibu."
Maka mereka menghabiskan malam itu dengan belanja di super market, makan di kafe, nonton bioskop,
dan berakhir ketika Si Cantik sudah tertidur di kursi
belakang mobil mereka.
Itu benar-benar mimpi buruk bagi Si Cantik.
Ulang tahunnya yang ketujuh belas berlalu begitu saja
tanpa satu harapan untuk bisa menghadiri pesta teman-?
temannya, atau berkemah di pinggir pantai, atau nonton
konser, atau apapun menghabiskan malam di luar rumah
bersama para sahabatnya.
Hingga malam-malam selanjutnya ia lewatkan dengan rutinitas yang mulai menyebalkan. Ia memutar
ulang beberapa seri Tom & Jerry sampai ia beranggapan
telah menontonnya lebih sering dari siapa pun, bahkan
lebih sering dari Hanna-Barbera sendiri. Atau membacai novel-novel sampai ia menjadi tukang dongeng termashyur di kelasnya. Dan kadang ia lewatkan malam hanya dengan mendengar siaran radio sampai kenal siapa
orang yang paling rajin menelepon meminta lagu dan
kirim salam.
Ketika kebosanan mulai menyumbat semua selera?
nya, ia akhirnya memberanikan diri bicara kepada ayahnya kembali.
"Dengar, Ayah," katanya. "Aku sudah besar sekarang. Kenapa tidak boleh juga keluar malam? Aku yah,
kadang-kadang ingin ngobrol dengan teman-temanku."
"Kau bisa ngobrol di sekolah, kan?"
"Ibu guru melarang kami ngobrol di kelas, Ayah,"
kata Si Cantik.
"Atau sore. Kau kan bisa bertemu teman-temanmu."
"Di kota yang mengibakan ini?" tanya Si Cantik
sambil duduk dengan anggun di depan ayahnya. "Pikirkanlah hal ini, Ayah: Nita pergi les piano, Yuri pergi
les tari, juga Adinda, juga Arina, dan aku sendiri les
bahasa dari Senin sampai Sabtu."
"Kau bebas di hari Minggu."
"Kadang-kadang aku ingin ngobrol di malam Rabu
atau malam Jumat," kata Si Cantik cemberut.
Satu minggu kemudian, ia menemukan sebuah pesawat telepon di samping tempat tidurnya. Dan ayahnya
berdiri di pintu dan berkata: "Kau punya nomor telepon
sendiri, dan kau boleh ngobrol sepuasnya tanpa harus
keluar malam."
Dengan penuh dendam, ia berkenalan dengan seorang negro dari Perancis. Ia sering meneleponnya, bahkan nyaris tiap malam. Namun bulan berikutnya, sang
ayah sudah menutup teleponnya lagi, karena gajinya bulan lalu habis untuk membayar tagihan rekening telepon.
Si Cantik tersenyum puas. Tapi si ayah tetap tidak
bermurah hati mengizinkan Si Cantik untuk keluar
malam.
Beberapa hari setelah itu, ia kemudian mengundang teman-temannya dan membuat keributan sampai
pagi. Tapi itu tak berarti sama sekali untuk menggoyang
pendirian si ayah. Si Cantik tampak mulai putus asa.
Suatu malam, pasangan itu masuk ke kamar mereka: ayah dan ibunya. Mereka tampak serasi sepenuhnya,
seperti Beauty and the Beast. Si ibu yang anggun kurus
dan tinggi seperti setangkai lilin, dan si ayah yang besar berewokan dan kumis menyeramkan. Mereka duduk
di tepian tempat tidur dan si ibu dengan lemah-lembut
bicara:
"Ayolah, Sayang," katanya. "Anak itu sudah cukup
besar untuk menjaga dirinya."
"Memang benar," kata si ayah. "Tapi apa kau ingin?
anakmu dirampok dan mayatnya ditemukan pagi-?
pagi sudah membeku di pinggir selokan? Atau hancur
diperkosa teman kencannya hingga gila dan hilang ingatan dan tak tahu jalan pulang? Atau mungkin pertama kali ia mengenal rokok dari teman-temannya, lalu
mencoba mabuk, lalu mencoba drug, dan lalu kau harus
meluang?k an waktu untuk menengok dia di pusat rehabilitasi Atau kalau tidak kau harus menemuinya di
tahanan khusus perempuan?"
Si ibu menghela napas dan tak menyerah. "Kau ingat. Sayang. Kita dulu kadang-kadang keluar malam.
Corat Coret Di Toilet Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nonton konser atau ikut pesta. Tak ada orang merampokku. Dan kau tak memerkosaku juga. Dan tahu tidak,
aku hanya minum obat flu, tak lebih."
"Yeah " kata si ayah sambil menguap. "Itu karena
dulu kau pacaran denganku." Kalimat itu berakhir de?
ngan sebuah dengkuran halus.
Sang istri cuma mengangkat bahu, ikut masuk ke
dalam selimut sebelum tertidur sambil memeluk suaminya.
Tak jauh dari kamar mereka, Si Cantik belum juga
tidur ketika waktu telah lewat tengah malam. Ia duduk di
balik jendela kamarnya. Tirainya dibuka lebar sehingga
ia bisa memandang bulan yang hampir purnama, menggantung di langit yang gelap berbintik-bintik oleh bintang yang pucat. Ia duduk termenung, membayangkan
seorang pangeran datang dengan pedang dan kuda putih
membebaskan dirinya, persis seperti dalam cerita Cinderella. Atau Count Dracula sebagaimana diceritakan
Bram Stoker, datang untuk membawanya ke kerajaan
malam. Tanpa sadar ia berharap jadi vampir, hidup abadi
dengan malam-malamnya. Hidup indah hanya untuk tidur, minum dan bercinta. Tapi ketika ia mulai menyadari
kalau semua khayalannya tak lebih dari dongeng omongkosong, ia mulai menangis tersedu-sedan, hingga ia tertidur dalam penderitaannya.
Si Cantik terbangun di pagi hari oleh mimpi buruk
olok-olok temannya. Karena semua orang tahu belaka
kalau ia tak boleh keluar malam. Kalaupun bisa ke?l uar, Si
Cantik akan dikawal oleh pasangan penjaga yang aneh:
si ayah yang galak dan si ibu yang tak berdaya. Keluarga
macam itu seperti lumbung lelucon bagi teman-teman
sekolahnya, dan itu membuat Si Cantik tambah menderita.
Penderitaan itu semakin menjadi-jadi ketika
menjelang hari kenaikan kelas, ia jatuh cinta kepada
seorang pemain teater sekolah. Sebagaimana tahuntahun sebelumnya, acara kenaikan kelas selalu dihiasi
berbagai macam acara kesenian murid. Dan laki-laki itu,
konon akan memerankan Romeo dalam salah satu drama termashyur Shakespeare yang diadaptasi total oleh
ke?l ompok teater anak-anak kelas dua menjadi tontonan
yang penuh lelucon dan banyolan serta akhir yang tidak
terlalu tragis. Setiap usai sekolah, sebelum ia berangkat ke tempat les, Si Cantik menyempatkan diri melihat ke?l ompok itu berlatih di belakang aula, dan menjadi tergila-gila kepada si Romeo (sebaiknya ia disebut
Romeo saja karena toh ia akan memerankan Romeo).
Rayuan-rayuannya yang gombal, seluruhnya seolah ditujukan kepada Si Cantik sampai ia merasa yakin rela
minum racun asal bisa menjadi kekasih abadi si Romeo.
Lagipula si Romeo ternyata mengambil les Inggris pada
hari Selasa dan Kamis serta Belanda di hari Sabtu, pada
jadwal dan kelas yang sama dengan Si Cantik. Hanya
saja sebelum?nya Si Cantik memang tak begitu memperhatikan hal itu. Dan pada minggu kedua sejak latihan
pertama Romeo and Juliet, mereka sudah begitu akrabnya, dan sekonyong-konyong si Romeo mengumbar
rayuannya kepada Si Cantik. Tanpa basa-basi yang terlalu bertele-tele, ia bilang kalau ia jatuh cinta kepada
Si Cantik. Itu waktu mereka bertemu di bangku paling
belakang kantin sekolah.
Si Cantik dengan gugup dan muka pucat berkata,
"Beri aku waktu memikirkannya."
Memikirkan apa? Tentu saja bukan soal ya atau
Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo Pendekar Rajawali Sakti 212 Setan Alam Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama