Dalam Derai Salju Let It Snow Karya Maureen Johnson, John Green, Lauren Myracle Bagian 1
Dalam Derai Salju
LET IT SNOW
Ebook by pustaka-indo.blogspot.com
" The Jubilee Express" copyright Maureen Johnson, 2008 " A Cheertastic Christmas Miracle" copyright John Green, 2008 " The Patron Saint of Pigs" copyright Lauren Myracle, 2008 All rights reserved.
DALAM DERAI SALJU
oleh Maureen Johnson, John Green, Lauren Myracle
GM 322 01 14 0031
Hak cipta terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Alih bahasa: Rosemary Kesauly, Kristi Ardiana Desain sampul: Martin Dima (martin_twenty1@yahoo.co.id)
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI, Jakarta, 2014 www.gramediapustakautama.com
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN 978 602 03 1151 7 312 hlm; 20 cm
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Let It Snow
Dalam Derai Salju
Daftar Isi
The Jubilee Express Perjalanan Kilat Jubilee
maureen johnson 9
A Cheertastic Christmas Miracle Keajaiban Natal yang Gila
john green 111
The Patron Saint of Pigs Santa Pelindung Babi
lauren myracle 193
The Jubilee Express Perjalanan Kilat Jubilee
Maureen Johnson
Untuk Hamish, yang punya tips andalan untuk menaklukkan turunan bersalju (" meluncurlah menuruni bukit secepat mungkin dan kalau ada yang menghalangi jalanmu, langsung belok" ). Untuk semua orang yang bekerja keras di balik perusahaan besar dan megah, untuk setiap orang yang harus mengatakan grande latte tiga ribu kali sehari, untuk setiap jiwa yang harus berurusan dengan mesin kartu kredit yang macet di tengah musim belanja liburan& ini untuk kalian.
*******
SAAT itu malam sebelum Natal.
Tepatnya, sore hari sebelum Natal. Namun, sebelum aku menggambarkan peristiwa menegangkan itu, ada satu hal yang harus kusampaikan. Berdasarkan pengalamanku, kalau ini kusampaikan belakangan, kau akan terganggu dan tidak bisa berkonsentrasi pada apa pun yang akan kusampaikan.
Namaku Jubilee Dougal. Renungkan hal itu sejenak. Benar, kan? Kalau itu disampaikan dari awal, kedengarannya ti- dak terlalu buruk. Sekarang bayangkan seandainya aku sedang di tengah-tengah cerita panjang (seperti yang akan kuceritakan sebentar lagi), dan aku mengagetkanmu dengan nama itu. " Omongomong, namaku Jubilee." Kau tidak akan tahu harus berbuat apa.
Aku sadar Jubilee mirip dengan nama penari telanjang. Kau mungkin mengira aku pernah bergelantungan di tiang. Tapi tidak. Kalau kau melihatku, kau akan langsung tahu aku bukan penari telanjang (kurasa sih begitu). Rambutku hitam berpotongan bob pendek. Aku kadang memakai kacamata, kadang memakai lensa kontak. Umurku enam belas tahun, aku bernyanyi di paduan suara,
Satu
lapangan, sama sekali tidak ada kaitannya dengan tubuh licin penuh baby-oil yang meliuk-liuk elegan khas penari telanjang. (Aku sama sekali tidak punya masalah dengan penari telanjang seandainya ada penari telanjang yang membaca buku ini. Aku hanya ingin bilang aku bukan penari telanjang. Untuk urusan telanjang-telanjangan, kekhawatiran utamaku adalah soal lateks. Kurasa lateks buruk untuk kulit karena membuat kulit kita tidak bisa bernapas.)
Keberatanku begini, Jubilee itu bukan nama itu semacam perayaan. Tidak seorang pun tahu perayaan macam apa. Pernahkah kau mendengar seseorang mengadakan pesta perayaan Jubilee? Kalau ya, apa kau akan datang? Aku sih tidak. Untuk perayaan semacam itu sepertinya kau harus menyewa balon-balon besar, memasang bendera warna-warni, dan menyusun rencana rumit untuk membuang sampah.
Kalau dipikir-pikir, rasanya itu sama dengan pesta dansa gembi
Namaku ada hubungannya dengan cerita ini, dan seperti yang kukatakan tadi, peristiwanya terjadi di sore hari sebelum Natal. Aku sedang menjalani salah satu hari yang membuatmu merasa kehidupan ini& menyukaimu. Ujian akhir sudah berlalu dan sekolah libur sampai Tahun Baru. Aku sendirian di rumah kami yang terasa sangat nyaman dan hangat. Untuk acara malam itu aku mengenakan pakaian yang kubeli dengan tabunganku rok hitam, celana ketat, T-shirt merah bling-bling, dan sepatu bot hitam baru. Aku sedang meminum eggnog latte yang kumasak sendiri. Semua hadiahku sudah siap dan terbungkus rapi. Semua itu untuk acara penting: jam enam, aku harus ke rumah Noah Noah Price, pacarku untuk acara Smorgasbord Malam Natal tahunan keluarganya.
Smorgasbord Tahunan Keluarga Price merupakan bagian penting dalam sejarah pribadi kami. Itulah yang menyebabkan kami
Price hanyalah satu bintang di langitku& selalu ada, familier, terang-benderang, dan jauh di atasku. Aku kenal Noah sejak kelas empat, tapi itu hanyalah seperti saat aku tahu seseorang dari televisi. Aku tahu namanya. Aku menonton acaranya. Tentu saja, Noah sedikit lebih dekat dari itu& tapi entah kenapa di dunia nyata, dalam kehidupanmu& seseorang bisa terasa sangat jauh dan lebih tidak terjangkau daripada selebriti sungguhan. Kedekatan jarak tidak menghasilkan keakraban.
Aku sudah lama menyukainya, tapi aku tidak pernah terpikir untuk menyukainya, seperti itu. Aku tidak pernah menganggap itu sebagai keinginan yang masuk akal. Noah setahun lebih tua dariku, tiga puluh sentimeter lebih tinggi, bahu bidang, mata cemerlang, dan rambut tebal. Noah itu satu paket lengkap atlet, jago di akademi, menempati posisi penting OSIS tipe orang yang menurutmu pasti hanya pacaran dengan model atau mata-mata atau orang-orang yang punya laboratorium dengan nama mereka sendiri.
Jadi ketika Noah mengundangku datang ke El Smorgasbord pada Malam Natal tahun lalu, sebelah mataku seolah korslet saking girang dan bingungnya. Aku tidak bisa berjalan lurus selama tiga hari penuh setelah mendapatkan undangan itu. Saking parahnya, aku sampai harus dengan sadar latihan berjalan di kamarku sebelum berangkat ke rumahnya. Aku tidak tahu ia mengundangku karena ia menyukaiku, atau karena disuruh ibunya (orangtua kami saling kenal), atau karena ia kalah taruhan. Semua temanku ikut antusias, tapi mereka sepertinya lebih memahami hal itu dibanding aku. Mereka meyakinkanku bahwa Noah sering melirikku saat Lomba Matematika, tertawa saat aku berusaha melontarkan lelucon-lelucon tentang trigonometri, dan menyebutku dalam obrolan.
Semua itu rasanya gila banget& sama anehnya dengan mendapati bahwa seseorang menulis buku tentang hidupku atau semacam
Begitu sampai di sana, hampir sepanjang malam aku nangkring di pojokan sambil mengobrol dengan saudara perempuan Noah. Aku menyukainya, tapi bisa dibilang dia tidak terlalu pintar. Jika topik percakapan hanyalah seputaran merek favorit untuk jaket bertudung, lama-lama semua orang pasti kehabisan bahan, kan? Tapi Elise bisa membicarakan hal itu tanpa henti. Dia punya banyak pendapat mendalam tentang topik itu.
Aku akhirnya bisa menghindar ketika ibu Noah sedang menaruh hidangan baru dan aku bisa mengajukan alasan Permisi-dulu-yaaku-mau-coba-makanan-yang-itu. Aku sama sekali tidak tahu hidangan apa itu, dan ternyata itu adalah acar ikan. Aku mulai mundur, tapi ibunya berkata, " Coba dulu."
Karena pengecut seperti tikus dan takut menolak, aku melakukannya. Tapi ada untungnya juga, karena saat itulah aku melihat Noah sedang memperhatikanku. Ia berkata, " Aku senang kau makan acar ikan itu." Aku menanyakan alasannya karena kurasa aku masih curiga itu semua hanyalah taruhan. (" Oke, aku akan mengundangnya, tapi kalian semua harus memberiku dua puluh dolar kalau aku bisa membuatnya makan acar ikan." )
Dan Noah menjawab, " Karena dari tadi aku makan itu." Aku masih berdiri termangu dengan ekspresi yang menurutku pasti terlihat sangat bodoh, jadi Noah menambahkan, " Dan aku tidak bisa menciummu kecuali kau makan ikan itu juga."
Itu kalimat yang menjijikkan sekaligus luar biasa romantis. Noah bisa saja pergi ke lantai atas dan menggosok gigi, tapi ia menunggu dan mencuri-curi kesempatan di dekat sepiring acar ikan demi aku. Kami menyelinap ke garasi dan bermesraan di bawah rak obeng. Itulah awal semuanya.
Jadi, Malam Natal yang akan kuceritakan ini bukan Malam Natal biasa: ini perayaan setahun hari jadi kami. Aku nyaris tidak percaya
Begini, Noah itu selalu sangat sibuk. Sejak ia muncul ke dunia ini, masih berupa bayi mungil yang berkerut-kerut kemerahan, ia mungkin harus buru-buru didata dan dikeluarkan dari rumah sakit secepat mungkin karena ia harus menghadiri rapat. Sebagai siswa senior, anggota tim sepak bola, dan ketua OSIS, waktu senggangnya nyaris tidak ada. Kurasa selama setahun berpacaran, kami hanya dua belas kali kencan berdua maksudku hanya aku dan Noah, pergi bersama tanpa orang lain. Sekitar sebulan sekali. Tapi kami banyak tampil bersama. Noah dan Jubilee di acara jualan kue OSIS! Noah dan Jubilee di acara penarikan lotere tim sepak bola! Noah dan Jubilee di acara pembagian makanan gratis, di ruang belajar, di rapat panitia acara tahunan&
Noah menyadari hal itu. Dan meski acara keluarga nanti malam dihadiri banyak orang, ia berjanji kami akan punya waktu berduaan. Ia memastikan hal itu dengan ikut bantu-bantu lebih dulu. Kalau kami menghabiskan dua jam di pesta, Noah berjanji kami bisa menyelinap ke ruang belakang untuk bertukar kado dan menonton The Grinch Who Stole Christmas bersama. Lalu Noah akan mengantarku pulang, dan kami bisa mampir sebentar&
Lalu tiba-tiba orangtuaku ditahan polisi dan semua rencana tadi hancur berantakan.
Apa kau tahu Flobie Santa Village? Selama ini Flobie Santa Village menjadi bagian penting di hidupku sehingga aku berasumsi semua orang tahu soal itu, tapi baru-baru ini aku diberitahu bahwa aku terlalu banyak berasumsi, jadi aku akan menjelaskannya.
Flobie Santa Village adalah serangkaian pajangan keramik yang bisa dikoleksi dan digabung-gabungkan untuk membentuk sebuah kota mini. Kedua orangtuaku sudah mengoleksinya sejak aku lahir.
jalan batu mungil dari plastik tersebut. Kami punya semuanya jembatan kembang gula, Danau Snowbegone, toko permen, toko roti jahe, Gang Gulali. Kota mini itu lumayan makan tempat. Orangtuaku membeli meja khusus untuk memajangnya dan meja itu diletakkan di tengah ruang keluarga kami mulai dari Thanksgiving sampai pada Tahun Baru. Dibutuhkan tujuh aki untuk membuat semuanya menyala. Untuk memperkecil dampak buruk lingkungan, dengan penuh perjuangan aku akhirnya berhasil meminta mereka mematikan pajangan itu pada malam hari.
Aku diberi nama sesuai nama gedung No. 4 di Flobie Santa Village, Jubilee Hall Aula Perayaan. Jubilee Hall bangunan terbesar dalam koleksi itu. Itu aula utama tempat hadiah-hadiah dibuat dan dibungkus. Jubilee Hall dihiasi lampu warna-warni, ban berjalan berisi hadiah-hadiah, serta kurcaci-kurcaci kecil yang bergerak seakan sedang mengangkat dan menaruh hadiah. Tangan semua kurcaci di Jubilee Hall ditempeli kado jadi sebenarnya mereka tampak seperti sekumpulan budak yang tersiksa dan harus mengangkat serta menaruh kado yang sama berulang-ulang sampai kiamat atau sampai mesinnya mati. Waktu aku kecil aku sempat mengungkapkan hal itu pada ibuku; dia bilang aku tidak paham inti dari semua itu. Mungkin juga. Kami jelas berbeda haluan soal itu, terutama mengingat fakta bahwa ibuku menganggap bangunanbangunan kecil itu sangat penting sampai-sampai anak tunggalnya diberi nama sesuai dengan salah satunya.
Para pengoleksi Flobie Village cenderung sedikit terobsesi dengan hal itu. Ada begitu banyak seminar, selusin situs Web serius, serta empat majalah soal Flobie Village. Beberapa pengoleksi berdalih pajangan-pajangan itu merupakan investasi. Dan harganya memang mahal. Terutama pajangan-pajangan yang ada nomornya. Kau hanya bisa membelinya di ruang pameran Flobie pada Malam Natal. Kami
tempat itu jadi setiap tahun, pada tanggal 23 malam, orangtuaku berangkat dengan mobil penuh selimut, kursi lipat, serta bekal, lalu mengantre sepanjang malam.
Dulu Flobie membuat seratus pajangan bernomor, tapi tahun lalu mereka menguranginya menjadi sepuluh. Saat itulah situasinya mulai tidak terkendali. Seratus buah saja tidak cukup, apalagi saat jumlahnya dikurangi sampai tinggal sepersepuluh saja. Orang-orang mulai saling cakar dengan beringas. Tahun lalu ada masalah saat orang-orang berusaha mempertahankan tempat mereka di antrean masalah itu memanas sampai orang-orang mulai saling pukul dengan gulungan-gulungan katalog Flobie, saling lempar kaleng kue kering, menginjak-injak kursi lipat satu sama lain, dan menyiramkan cokelat panas ke topi Santa masing-masing. Perkelahian itu cukup konyol dan heboh hingga masuk ke berita lokal. Pihak Flobie berkata mereka akan mengambil " beberapa langkah" agar kejadian serupa tidak terulang lagi, tapi aku sama sekali tidak percaya. Promosi besar seperti itu tidak bisa dibeli.
Tapi aku tidak berpikir soal itu saat orangtuaku berangkat untuk mengantre mendapatkan pajangan No. 68, Hotel Kurcaci. Aku masih tidak berpikir soal itu saat sedang meminum eggnog latte dan mengusir waktu sampai aku harus berangkat ke rumah Noah. Meskipun aku memang merasa orangtuaku terlambat pulang dibanding biasanya. Biasanya mereka pulang dari Flobie sekitar jam makan siang tanggal 24, dan sekarang sudah hampir jam empat sore. Aku mulai melakukan beberapa rutinitas liburan untuk menyibukkan diri. Aku tidak bisa menelepon Noah& Aku tahu ia sibuk menyiapkan Smorgasbord. Jadi aku menambahkan pita ekstra serta hiasan bunga ke kado-kado untuknya. Aku menyalakan semua aki untuk menghidupkan Flobie Santa Village, membuat semua budak kurcaci
menyalakan lampu depan saat melihat Sam berjalan ke rumah kami dengan langkah-langkah tegap bak tentara.
Sam pengacara kami saat menyebut " pengacara kami" , maksudku " tetangga kami yang kebetulan menjadi pengacara yang sangat berpengaruh di Washington D.C." . Sam tipe orang yang kau- inginkan untuk mengurusi perusahaan besar atau membelamu saat kau menghadapi tuntutan jutaan dolar. Tapi dia bukan lelaki yang ramah. Aku baru akan mengundangnya masuk untuk mencicipi eggnog latte-ku yang lezat, tapi dia memotongku.
" Aku punya berita buruk," katanya, mendorongku masuk ke rumahku sendiri. " Ada insiden lagi di ruang pameran Flobie. Masuk. Ayo."
Kupikir Sam akan berkata orangtuaku terbunuh. Nadanya seserius itu. Aku membayangkan tumpukan-tumpukan besar Hotel Kurcaci yang terpental dari ban berjalan lalu mengenai semua orang. Aku pernah melihat gambar-gambar Hotel Kurcaci bangunan itu memiliki menara-menara permen tajam yang bisa dengan mudah menusuk seseorang. Dan kalau ada seseorang yang kemungkinan besar tertusuk Hotel Kurcaci, itu pasti orangtuaku.
" Mereka ditahan polisi," kata Sam. " Mereka dipenjara." " Siapa yang dipenjara?" tanyaku, karena aku sedikit lamban mencerna hal itu dan jauh lebih mudah bagiku untuk membayangkan kedua orangtuaku tertimpa Hotel Kurcaci terbang daripada membayangkan mereka diborgol.
Sam hanya menatapku dan menungguku memahami hal itu sendiri.
" Ada perkelahian lagi saat pajangan-pajangan itu keluar tadi pagi," Sam menjelaskan setelah terdiam sejenak. " Ada yang berebut antrean. Kedua orangtuamu tidak terlibat, tapi mereka tidak bubar saat disuruh polisi. Mereka ikut digiring bersama yang lain. Lima
Kaki-kakiku langsung gemetar, jadi aku duduk di sofa. " Kenapa mereka tidak menelepon?" tanyaku.
" Izin telepon cuma sekali," kata Sam. " Mereka meneleponku karena mengira aku bisa membebaskan mereka. Tapi aku tidak bisa." " Apa maksudmu kau tidak bisa?"
Rasanya tidak mungkin Sam tidak bisa mengeluarkan orangtuaku dari penjara wilayah. Itu seperti mendengar seorang pilot berbicara di interkom, " Hei, semuanya. Aku baru teringat aku tidak terlalu jago mendaratkan pesawat. Jadi aku akan terus terbang berputarputar sampai seseorang menemukan solusi."
" Aku sudah berusaha," Sam melanjutkan, " tapi si hakim bergeming. Dia sudah muak dengan urusan-urusan Flobie, dia ingin menjadikan mereka contoh buat yang lain. Orangtuamu menyuruhku mengantarmu ke stasiun kereta api. Aku cuma punya satu jam, setelah itu aku harus pulang untuk acara makan kue dan nyanyi bersama di jam lima. Seberapa cepat kau bisa berkemas?"
Semua itu disampaikan dengan nada dingin dan serius yang sama dengan nada yang mungkin digunakan Sam saat mencecar para terdakwa tentang alasan mereka lari dari tempat kejadian perkara yang berlumuran darah. Lelaki itu kelihatan tidak senang karena tugas itu dibebankan padanya pada Malam Natal. Meski begitu, seharusnya ia bersikap seperti Oprah, meski sedikit saja. " Berkemas? Stasiun kereta api? Apa?"
" Kau akan ke Florida dan tinggal bersama kakek-nenekmu," kata Sam. " Tidak ada pesawat semua penerbangan dibatalkan karena badai."
" Badai apa?"
" Jubilee," kata Sam pelan-pelan setelah menyimpulkan bahwa aku orang paling tidak peka dengan berita apa pun di planet ini. " Sebentar lagi kita akan dilanda badai paling besar dalam lima
Otakku tidak berfungsi dengan baik semua itu sulit kucerna. " Aku tidak bisa pergi," kataku. " Aku ada janji dengan Noah malam ini. Dan Natal. Bagaimana dengan Natal?"
Sam mengangkat bahu, seakan ingin berkata Natal di luar kendalinya dan sistem peradilan tidak bisa berbuat apa-apa soal itu. " Tapi& kenapa aku tidak tetap di sini saja? Ini gila!" " Orangtuamu tidak ingin kau sendirian sepanjang Natal." " Aku kan bisa ke rumah Noah! Aku harus ke rumah Noah!" " Dengar," kata Sam, " semua sudah diatur. Kita tidak bisa menghubungi orangtuamu sekarang. Mereka sedang diproses. Aku sudah membelikanmu tiket dan aku tidak punya banyak waktu. Kau harus berkemas sekarang, Jubilee."
Aku menoleh dan menatap kerlap-kerlip lampu kota mini di dekatku. Aku bisa melihat bayangan-bayangan para kurcaci terkutuk yang terus bekerja di Jubilee Hall, sinar hangat dari Toko Kue Mrs. Muggin, serta gerak lambat namun ceria Kereta Api Kurcaci yang mengitari rel mungil.
Yang bisa kukatakan hanya, " Tapi& bagaimana dengan desa Flobie ini?"
S ELAMA ini aku belum pernah naik kereta api. Ternyata
kereta api itu lebih tinggi dari yang kubayangkan, dengan jendela-jendela " lantai" dua yang kuduga merupakan gerbong-gerbong tidur. Bagian dalamnya remang-remang dan sebagian besar penumpang yang berjejalan di sana terlihat lumpuh tanpa ekspresi. Aku mengira kereta api itu akan mengeluarkan uap, bergerak terbatabata, lalu melesat seperti roket, karena aku membuang-buang masa remajaku dengan menonton banyak kartun dan seperti itulah kereta api di film-film kartun. Kereta berjalan dengan cuek, seakan sudah bosan berdiri diam.
Tentu saja aku menelepon Noah saat kereta berangkat. Itu pelanggaran kecil dari aturan jangan-telepon-karena-aku-bakal-sibukbanget-sampai-jam-enam-jadi-sampai-ketemu-di-pesta, tapi tentu itu dapat dimaklumi mengingat situasiku. Saat Noah menjawab, terdengar suara-suara ceria di belakangnya. Aku bisa mendengar lagulagu Natal dan denting piring, sangat kontras dengan deru kereta sempit yang membosankan.
" Lee!" kata Noah. " Ini bukan waktu yang tepat. Sampai ketemu
Ia mendesah berat. Kedengarannya ia sedang mengangkat benda berat, mungkin salah satu ham raksasa yang selalu berhasil ibunya dapatkan untuk Smorgasbord. Aku berasumsi ibu Noah mendapat- kannya dari semacam peternakan uji coba tempat babi-babinya diberi sinar laser dan vitamin super sampai panjang tubuh mereka mencapai sembilan meter.
" Hmm& itu masalahnya," kataku. " Aku tidak jadi datang." " Apa maksudmu kau tidak jadi datang? Ada apa?" Aku menjelaskan situasi orangtua-di-penjara/aku-di-kereta-api-ditengah-badai/hidup-tidak-berjalan-sesuai-rencana sebaik mungkin. Aku berusaha terdengar santai, seakan itu peristiwa lucu, agar aku tidak terisak di kereta gelap penuh penumpang berekspresi kosong.
Noah kembali mendesah berat. Sepertinya ia sedang memindah- kan sesuatu.
" Semua akan baik-baik saja," katanya sesaat kemudian. " Sam mengurus semuanya, kan?"
" Kalau maksudmu dia tidak mengeluarkan mereka dari penjara, maka jawabannya ya. Dia bahkan tidak kelihatan khawatir."
" Mungkin itu cuma penjara kecil," jawab Noah. " Tidak apa-apa. Dan kalau Sam tidak khawatir, berarti semua akan baik-baik saja. Aku ikut prihatin. Sampai ketemu satu-dua hari lagi."
" Ya, tapi ini kan Natal," kataku. Suaraku serak dan aku menahan tangis yang tersekat. Noah menungguku tenang.
" Aku tahu ini sulit, Lee," katanya setelah terdiam sejenak, " tapi nanti juga keadaannya kembali baik. Aku yakin. Ini cuma masalah kecil."
Aku tahu Noah sedang berusaha menenangkan dan menghiburku, tapi ia bilang ini masalah kecil? Ini bukan masalah kecil. Masalah kecil itu kalau mobilmu rusak, kau kena flu perut, atau lampu
dan Noah mendesah, menyadari bahwa aku benar. Lalu ia kembali mendesah berat.
" Ada apa?" tanyaku, membersit hidung.
" Aku sedang mengangkat ham berat," katanya. " Aku harus pergi. Dengar, kita akan merayakan Natal begitu kau kembali. Aku janji. Kita bisa mencari waktu. Jangan khawatir. Telepon aku begitu kau sampai, ya?"
Aku berjanji akan melakukan itu. Noah menutup telepon dan pergi menggotong ham. Aku tepekur menatap ponsel yang kini mati.
Terkadang, karena pacaran dengan Noah, aku bisa berempati dengan orang-orang yang menikah dengan politisi. Kau bisa tahu mereka punya kehidupan sendiri, tapi karena mencintai pasangan mereka, mereka ikut terseret ke tengah hingar-bingar politik dalam waktu singkat mereka harus melambai dan tersenyum kosong ke arah kamera sementara balon-balon diterbangkan dan para staf menyuruh mereka menyingkir agar bisa bicara pada si Pasangan- Hidup-yang-Sangat-Penting, dan kebetulan Sempurna.
Aku tahu tidak seorang pun sempurna, di balik semua kesempurnaan tampak luar, pasti ada kehidupan rahasia yang pelik serta kesedihan yang disembunyikan& tapi dengan mempertimbangkan hal itu pun Noah tetap lumayan sempurna. Aku tidak pernah mendengar siapa pun mengatakan hal buruk tentang Noah. Seperti urusan gravitasi, statusnya tidak dipertanyakan lagi. Dengan menjadikanku pacarnya, ia menunjukkan kepercayaannya padaku dan aku jadi ikutan yakin pada diri sendiri. Berdiriku lebih tegak. Aku merasa lebih pede, lebih positif, lebih penting. Noah senang terlihat bersamaku, karena itu, aku juga ikut senang dengan diriku sendiri, kalau itu masuk akal.
Jadi, ya, sikapnya yang penuh dedikasi memang kadang-kadang
tong ham besar untuk ibumu karena ada enam puluh orang yang akan datang ke rumahmu untuk Smorgasbord. Hal itu harus dilakukan. Kita harus bisa menerima baik-buruk seseorang. Aku mengeluarkan iPod dan menggunakan batere yang tersisa untuk melihatlihat foto Noah. Lalu baterenya mati.
Aku merasa sangat kesepian di kereta api itu& rasa kesepian yang aneh dan tidak wajar menyelimuti hatiku. Perasaan itu sedikit di atas ketakutan dan sedikit mirip kesedihan. Lelah, tapi bukan jenis lelah yang bisa hilang setelah kita tidur. Gelap dan muram, tapi keadaan rasanya tidak akan jadi lebih baik kalau lampu-lampu dinyalakan. Tapi setidaknya aku bisa lebih memperhatikan dengan jelas situasi tidak nyaman ini.
Aku terpikir untuk menelepon kakek-nenekku. Mereka sudah tahu aku akan datang. Sam bilang dia sudah menelepon mereka. Mereka pasti senang bicara denganku, tapi aku sedang tidak mood. Kakek-nenekku menyenangkan, tapi mereka gampang cemas. Misalnya kalau supermarket kehabisan piza beku atau sup yang mereka iklankan di selebaran mingguan, padahal kakek-nenekku datang ke situ hanya untuk membeli itu, maka mereka akan berdiri saja sambil bertengkar tentang langkah selanjutnya selama setengah jam. Kalau aku menelepon mereka, semua aspek kunjunganku akan dibahas sampai ke detail terkecil. Selimut seperti apa yang kubutuhkan? Apa aku masih suka cracker? Apa Grandpa harus membeli sampo? Sikap mereka selalu manis, tapi itu agak terlalu berlebihan untuk benakku sekarang ini.
Aku ingin menganggap diriku sebagai pemecah persoalan. Aku akan menghibur diri di tengah situasi mencemaskan ini. Aku merogoh tas untuk melihat benda apa yang berhasil kubawa saat harus buru-buru meninggalkan rumah. Aku mendapati bahwa aku benarbenar tidak siap melakukan perjalanan ini. Aku hanya membawa
beberapa kaus, kacamata. iPod-ku habis batere. Aku hanya membawa satu buku. Northanger Abbey, bagian dari bacaan wajib liburan musim dingin untuk kelas Bahasa Inggris. Bukunya bagus sih, tapi kurang cocok saat kau merasa tangan-tangan nasib buruk sedang merayap mendekat.
Selama sekitar dua jam, aku hanya menatap ke luar jendela saat matahari mulai terbenam, langit berwarna pink permen berubah keperakan, dan salju pertama turun. Aku tahu pemandangan itu indah, tapi ada perbedaan besar antara sekadar tahu dan benar-benar peduli, dan saat itu aku tidak peduli. Salju turun makin lebat dan makin cepat, memenuhi pemandangan sampai semuanya putih. Salju turun dari segala arah sekaligus, bahkan bertiup dari bawah. Menatapnya membuatku pening dan sedikit mual.
Orang-orang menyusuri lorong membawa berkotak-kotak makanan keripik, soda, dan sandwich yang sudah dibungkus. Jelas saja ada semacam sumber makanan di kereta api ini. Sam sempat menyelipkan lima puluh dolar ke tanganku di stasiun, jumlah yang akan langsung dipotong dari uang orangtuaku begitu mereka menghirup udara bebas lagi. Karena tidak ada hal lain yang bisa kulakukan, aku bangkit dan berjalan ke gerbong restorasi, dan di situ aku mendapat informasi singkat bahwa semuanya habis kecuali piza lembek yang dipanaskan di microwave, dua muffin, beberapa permen, sekantong kacang, buah-buahan yang terlihat menyedihkan. Aku ingin memuji persiapan mereka dalam menghadapi serbuan pelanggan saat liburan, tapi pria di belakang konter terlihat sangat kelelahan. Dia tidak butuh kalimat pedasku. Aku membeli piza bundar, dua permen, muffin, kacang, dan cokelat panas. Karena semua makanan laku dengan cepat, menyetok penganan sepertinya langkah cerdas. Aku menyelipkan tip lima dolar ke gelasnya dan dia mengangguk berterima kasih.
dinding kereta. Kereta api itu sekarang berguncang-guncang keras, bahkan saat kami melambat. Angin menderu-deru dari dua sisi. Aku tidak menyentuh pizaku dan bibirku sedikit terbakar gara-gara cokelat panas itu. Memang sudah bisa ditebak.
" Boleh duduk di sini?" tanya sebuah suara.
Aku mendongak dan melihat cowok supertampan berdiri menjulang di dekatku. Lagi-lagi aku memperhatikan hal itu, dan lagi-lagi aku tidak terlalu peduli. Tapi cowok itu jelas lebih asyik dilihat ketimbang salju. Rambutnya segelap rambutku, maksudku, warnanya hitam. Tapi rambutnya lebih panjang. Rambutku hanya sedikit melewati bahu. Sedangkan rambutnya dikucir ekor kuda. Cowok itu kelihatannya orang Indian, dengan tulang-tulang pipi tinggi. Jaket denim tipis yang ia kenakan sepertinya tidak cukup melindunginya dari cuaca dingin. Ada sesuatu pada tatapannya yang membuatku terkesima cowok itu terlihat gundah, seakan ia kesulitan membuat matanya tetap terbuka. Ia baru saja memesan secangkir kopi yang digenggamnya sedikit terlalu erat. " Tentu," kataku.
Cowok itu menunduk saat duduk, tapi aku melihatnya melirik semua makananku dalam kotak. Firasatku mengatakan ia jauh lebih lapar ketimbang aku.
" Makan saja," kataku. " Aku membeli banyak sebelum mereka kehabisan. Aku sebetulnya tidak terlalu lapar. Piza ini bahkan belum kusentuh sama sekali."
Ia sedikit ragu, tapi aku mendorong kotak itu ke arahnya. " Aku tahu kelihatannya mirip tatakan piza," tambahku. " Mereka cuma punya itu. Sungguh.bil saja."
Ia tersenyum sekilas. " Aku Jeb," katanya.
" Aku Julie," jawabku. Aku sedang tidak mood untuk menanggapi komentar seperti " Jubilee? Namamu Jubilee? Coba ceritakan, kau
an? Apa ada petugas yang mengelap tiangnya setelah dipakai?" Se- mua yang sudah kuceritakan pada awal cerita. Kebanyakan orang memanggilku Julie. Noah memanggilku Lee.
" Kau mau ke mana?" tanyanya.
Aku tidak punya cerita lain untuk menutupi situasi orangtuaku dan keberadaanku di situ. Cerita jujur rasanya terlalu aneh untuk orang yang baru kukenal.
" Mau mengunjungi kakek-nenekku," kataku. " Ada perubahan rencana pada saat-saat terakhir."
" Mereka tinggal di mana?" tanyanya, menatap salju yang berputar-putar dan menghujani jendela kereta. Sulit membedakan antara langit dan bumi sekarang. Gulungan salju mendarat menghantam kereta.
" Florida," kataku.
" Jauh juga. Aku mau ke Gracetown, perhentian berikutnya." Aku mengangguk. Aku pernah mendengar nama Gracetown tapi tidak tahu lokasi persisnya. Pasti di suatu tempat di sepanjang jalur bersalju antara aku dan kehampaan. Aku kembali menawarinya kotak makananku, tapi ia menggeleng.
" Sudah cukup," katanya. " Tapi trims pizanya. Aku tadi kelaparan. Kita memilih hari yang salah untuk bepergian. Meski kurasa tidak ada banyak pilihan. Kadang-kadang kita harus melakukan sesuatu yang masih membuat kita ragu& "
" Kau akan menemui siapa?" tanyaku.
Ia menunduk dan melipat piring kertas bekas piza tadi. " Aku ingin menemui pacarku. Maksudku, bisa dibilang pacar. Aku sudah berusaha menghubunginya, tapi tidak ada sinyal."
" Di handphone-ku ada," kataku sembari mengeluarkan ponsel. " Pakai saja punyaku. Pulsaku bulan ini masih banyak." Jeb meraih ponsel itu sambil tersenyum lebar. Saat ia bangkit,
aku tidak sepenuhnya setia pada Noah, aku pasti jatuh hati berat. Jeb berjalan beberapa langkah, ke sudut di sisi lain. Aku melihatnya menekan nomor, tapi ia menutup telepon tanpa bicara sama sekali.
" Tidak tersambung," katanya, kembali duduk dan mengembalikan ponselku.
" Jadi," kataku, tersenyum. " Cewek itu bisa dibilang pacarmu? Kau masih belum yakin kalian pacaran?"
Aku masih ingat masa-masa seperti itu, saat Noah dan aku baru mulai sering jalan bersama dan aku belum yakin bahwa aku pacarnya. Jantungku selalu berdetak tak keruan sepanjang waktu. " Dia selingkuh," kata cowok itu datar.
Oh, aku salah duga. Salah besar. Aku merasakan kepedihannya, tepat di dadaku. Aku benar-benar merasakannya.
" Bukan salahnya sih," kata Jeb sesaat kemudian. " Bukan salahnya sepenuhnya. Aku& "
Aku tidak sempat mendengar ceritanya karena saat itu pintu gerbong terbuka dan terdengar suara jeritan melengking, mirip suara Beaker kakatua berminyak dan mengerikan yang dulu kami pelihara waktu kelas empat. Jeremy Rich mengajari Beaker cara meneriakkan kata pantat. Beaker senang sekali menjerit dan meneriakkan kata pantat, dan dia melakukannya dengan baik. Kau bisa mendengar jeritannya di sepanjang lorong sampai ke toilet cewek. Beaker akhirnya dipindahkan ke ruang guru, kurasa di situ dia bebas mengepakkan sayap berminyaknya dan meneriakkan kata pantat sesuka hati.
Tapi itu bukan Beaker yang meneriakkan kata pantat. Yang masuk ke gerbong ternyata empat belas cewek dengan seragam ketat pemandu sorak yang bertuliskan RIDGE CHEERLEADING di bagian bokong. (Kurasa itu bentuk lain dari jeritan pantat.) Nama
bergerombol di bar makanan kecil sambil menjerit nyaring. Aku sungguh berharap dan berdoa mereka tidak akan berkata " Oh my God!" bersama-sama, tapi doa-doaku tidak dijawab, mungkin karena Tuhan sibuk mendengarkan mereka semua.
" Tidak ada protein tanpa lemak," kata salah satu dari mereka. " Sudah kubilang, Madison. Seharusnya kau tadi makan selada gulung waktu masih sempat."
" Kupikir mereka setidaknya punya dada ayam!"
Dengan kedongkolan yang menetap, kuperhatikan kedua gadis yang sedang bercakap-cakap itu sama-sama bernama Madison. Lebih parah lagi: tiga gadis lainnya bernamaber. Aku merasa terjebak dalam eksperimen sosial yang keluar jalur mungkin sesuatu yang menyangkut kloning.
Beberapa orang dalam kelompok itu menoleh pada kami. Maksudku, ke arah kami. Mereka menoleh ke arah Jeb dan aku. Sebenarnya sih mereka hanya menoleh ke arah Jeb.
" Oh my God!" kata salah seorangber. " Perjalanan ini parah banget gak sih? Lihat saljunya, kan?"
Amber ini lumayan cerdas rupanya. Apa lagi yang akan dia ko- mentari? Kereta api? Bulan? Tingkah laku konyol umat manusia? Kepalanya sendiri?
Aku tidak mengatakan semua itu karena aku tidak ingin tewas di tangan pemandu sorak. Tohber tidak bicara padaku.ber bahkan tidak sadar aku ada di situ. Kedua matanya tertuju pada Jeb. Kau nyaris bisa melihat inti korneanya bergerak sampai semua sudut pandangnya terfokus pada cowok itu.
" Memang parah banget," kata Jeb sopan. " Kami mau ke Florida?"
Cara bicaranya memang seperti itu, seakan itu kalimat tanya. " Cuaca di sana pasti lebih nyaman," kata Jeb.
du sorak regional? Yang lumayan berat karena ini musim liburan? Tapi kami sudah merayakan Natal lebih awal? Kami merayakannya kemarin?"
Saat itulah aku memperhatikan bahwa segala sesuatu di diri mereka terlihat baru. Ponsel-ponsel mengilat, gelang dan kalung mencolok yang terus-menerus mereka mainkan, kuku-kuku yang baru dipoles, iPod yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Amber Satu duduk bersama kami duduk dengan hati-hati, dengan kedua lutut rapat dan tumit dimiringkan keluar. Gaya duduk manis khas seseorang yang sudah terbiasa terlihat menggemaskan di muka umum.
" Ini Julie," kata Jeb, dengan ramah memperkenalkanku pada te- man baru kami.ber menyebutkan padaku bahwa namanyaber, lalu berceloteh memperkenalkan semuaber dan semua Madison di situ. Ada nama-nama lain, tapi bagiku mereka semuaber dan Madison. Rasanya lebihan begitu. Setidaknya aku bisa menyebut nama mereka dengan benar.
Amber mulai berceloteh, menceritakan segala hal tentang kompetisi itu. Ia melakukan hal menakjubkan yaitu mengikutsertakan aku dalam percakapan sekaligus tidak mengacuhkanku pada saat yang sama. Selain itu, ia mengirimkan pesan mental ke arahku benarbenar melalui alam bawah sadar bahwa ia ingin aku bangkit dan memberikan tempat dudukku pada kawanan sesukunya. Sekarang ini saja mereka sudah memenuhi setiap celah di gerbong tersebut. Sebagian bercakap-cakap di telepon, sebagian lagi menghabiskan jatah air, kopi, dan Diet Coke.
Kurasa bukan ini yang kubutuhkan untuk membuat hidupku lengkap.
" Aku akan kembali ke tempat dudukku," kataku. Namun persis ketika aku berdiri, kereta itu tiba-tiba berdecit
minuman panas dan dingin. Roda kereta terus berdecit memprotes selama sekitar semenit, lalu berhenti dengan lonjakan keras. Aku mendengar semua bagasi di sepanjang kereta jatuh berdebum dari kabin-kabin, dan orang-orang terjatuh di tempat mereka berdiri. Orang-orang seperti aku. Aku mendarat menimpa salah satu Madison sementara dagu dan pipiku menempel pada sesuatu. Aku tidak tahu benar apa itu karena lampu-lampu mendadak mati dan menimbulkan teriakan panik. Ada tangan-tangan yang membantuku bangkit dan tanpa melihat pun aku tahu itu Jeb.
" Apa kau baik-baik saja?" tanyanya.
" Kurasa begitu."
Lampu-lampu berkedip-kedip dan satu per satu kembali menyala. Beberapaber berpegangan kuat-kuat ke bar makanan kecil. Ada banyak makanan yang berserakan di lantai. Jeb berlutut memungut sisa-sisa ponselnya yang patah jadi dua. Ia mengusap-usap benda itu seperti sedang merawat bayi burung yang cedera.
Pengeras suara berderak, dan suara yang keluar terdengar cemas sungguhan sama sekali tidak bernada datar dan sok berkuasa seperti yang biasa mereka gunakan saat mengumumkan perhentianperhen-tian di sepanjang jalur.
" Para penumpang yang terhormat," kata suara itu, " dimohon agar tetap tenang. Kondektur akan mengecek kabin untuk melihat apa ada yang terluka."
Aku menempelkan wajahku ke kaca jendela yang dingin untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kami sepertinya berhenti di samping jalan lebar berlajur banyak, semacam jalan tol. Di seberang jalan ada papan tanda kuning yang berbinar, tinggi menjulang. Su- lit untuk membacanya dari balik derai salju, tapi aku mengenali warna dan bentuknya. Itu papan tanda Waffle House. Di luar kereta api, seorang kru tertatih menembus salju sambil menyenter ba
Seorang kondektur perempuan membuka pintu gerbong tersebut dan mulai memeriksa semua orang. Ia tidak memakai topi.
" Ada apa?" tanyaku begitu ia sampai di dekat kami. " Kelihatannya kita terjebak di sini."
Ia membungkuk menatap ke luar jendela, lalu bersiul rendah. " Kita tidak akan ke mana-mana, Sayang," katanya lirih. " Kita berada di luar Gracetown. Jalurnya menurun dan sepenuhnya tertutup salju. Mungkin mereka akan mengirimkan transportasi bantuan untuk menjemput kita besok pagi. Entahlah. Aku tidak berani menjamin. Apa kau terluka?"
" Aku tidak apa-apa," aku meyakinkannya.ber Satu memegangi pergelangannya. "ber!" kataber satunya. " Ada apa?" " Aku terkilir," erangber Satu. " Parah."
" Tapi itu pergelangan andalanmu untuk lompatan basket!" Enam pemandu sorak mengindikasikan (bukan secara bawah sa- dar) bahwa mereka ingin aku menyingkir agar mereka bisa ke situ dan menyuruh anggota mereka yang terluka untuk duduk. Jeb terjebak di tengah kerumunan. Lampu-lampu redup, pemanas mati dengan suara keras, dan pengeras suara kembali menyala.
" Para penumpang yang terhormat," kata suara itu, " kami akan mematikan listrik sebagian untuk menghemat daya. Apabila Anda memiliki selimut atau sweter, Anda disarankan menggunakannya sekarang. Apabila Anda membutuhkan selimut tambahan, kami akan berusaha menyediakannya semampu kami. Apabila ada yang memiliki selimut ekstra, kami harap Anda berkenan membaginya."
Aku kembali menatap papan tanda kuning itu, lalu kembali me- natap gerombolan pemandu sorak. Aku punya dua pilihan aku bisa tetap di situ, di kereta gelap dan dingin yang sedang macet
yang sudah terlalu sering melenceng dari rencana. Pasti tidak sulit menyeberang jalan ke Waffle House. Di situ pasti hangat dan ada banyak makanan. Rencana itu layak dicoba dan kurasa Noah pasti setuju. Proaktif. Pelan-pelan aku menerobos sekawananber agar bisa mendekati Jeb.
" Ada Waffle House di seberang jalan," aku memberitahunya. " Aku akan ke sana dan melihat apa tempat itu buka."
" Waffle House?" jawab Jeb. " Kita kan di luar kota, di jalan I- 40."
" Jangan gila deh," kataber Satu. " Bagaimana kalau keretanya berangkat?"
" Tidak akan," kataku. " Kondekturnya tadi bilang kita terjebak di sini sepanjang malam. Di Waffle House mungkin hangat, ada banyak makanan, dan ada ruang untuk bergerak. Memangnya apa lagi yang bisa kita lakukan?"
" Kita bisa melatih gerakan-gerakan antusias," usul salah satu Madison dengan suara lirih.
" Kau akan pergi sendiri?" tanya Jeb. Aku tahu ia ingin ikut, tapiber sekarang bersandar padanya seakan cowok itu satu-satunya penyelamatnya.
" Aku bakal baik-baik saja," kataku. " Tempatnya cuma di seberang situ kok. Aku minta nomor ponselmu dan& "
Cowok itu mengangkat ponsel rusaknya, mengingatkanku. Aku mengangguk dan menyandang ransel.
" Aku tidak akan lama," kataku. " Aku kan tetap harus kembali. Memangnya aku bisa ke mana?"
A KU mengintip ke luar dari celah pembatas gerbong yang
dingin dan dipenuhi salju tipis karena pintu kereta terbuka. Aku bisa melihat para petugas berjalan di samping kereta sembari membawa senter. Mereka berada beberapa gerbong dari tempatku, jadi aku pun turun.
Tangga-tangga logam itu tinggi, curam, dan sepenuhnya dilapisi salju beku. Selain itu, jarak dari kereta api ke tanah sekitar satu setengah meter. Aku duduk di anak tangga paling bawah yang basah dan menggeser badanku dengan sangat hati-hati sementara derai-derai salju menghujani kepalaku. Aku terjerembap dengan posisi merangkak ke hamparan salju setebal tiga puluh sentimeter. Celana ketatku basah, tapi aku tidak terlalu kesakitan. Aku tidak perlu berjalan jauh. Kami berada persis di samping jalan raya, hanya sekitar enam meter. Aku hanya perlu turun ke jalan, menyeberang, berjalan di bawah jembatan layang, dan aku akan sampai. Itu hanya memakan waktu satu-dua menit.
Baru kali itu aku menyeberangi jalan layang antar kota enam jalur. Sebelumnya aku tidak pernah punya kesempatan dan kalau
Tiga
mobil sama sekali. Hari itu terasa seperti akhir dunia, awal kehidupan baru, lenyapnya rezim lama. Aku butuh lima menit untuk menyeberang karena angin menampar-nampar wajahku dan aku terus-menerus kelilipan butir-butir salju. Begitu sampai di seberang, aku harus melintasi semacam jalan luas yang entah tadinya ditutupi rumput, semen, atau sebetulnya itu bagian dari jalan layang, yang jelas sekarang semuanya putih tertutup salju tebal. Aku tersandung ujung trotoar dan terjatuh. Pakaianku sudah basah kuyup begitu aku sampai di pintu.
Ruangan dalam Waffle House terasa hangat, bahkan terlalu panas sampai-sampai jendelanya beruap dan hiasan-hiasan bertema Natal dari plastik yang ditempelkan di jendela itu merosot turun dan mengelupas. Lagu-lagu Natal standar bergenre jazz lembut berkumandang dari pengeras suara, menularkan wabah ceria bagai serangan alergi. Aroma dominan di tempat itu berasal dari pembersih lantai dan minyak jelantah, tapi tempat itu lumayanlah. Selain itu ada aroma sedap kentang dan bawang yang baru digoreng.
Kalau dari segi orang-orangnya, tempat itu agak menyedihkan. Dari tengah dapur aku mendengar tawa dua lelaki yang terkadang diselilingi suara menepuk bahu dan tawa terbahak. Ada seorang perempuan yang tenggelam dalam kesedihannya sendiri di pojok terjauh, di hadapannya ada piring kosong penuh puntung rokok. Satu-satunya pegawai yang terlihat hanya seorang cowok yang sepertinya seusiaku. Ia berdiri di belakang mesin kasir. Kaus seragam Waffle House-nya panjang dan tidak diselipkan dengan rapi ke dalam celana. Rambut jabriknya mencuat dari topi yang bertengger di kepalanya. Nama DON-KEUN tertulis di name tagnya. Ia sedang membaca novel grafis saat aku masuk. Kedatanganku membuat matanya sedikit berbinar.
" Hei," sapanya. " Kau kelihatan kedinginan."
Dalam Derai Salju Let It Snow Karya Maureen Johnson, John Green, Lauren Myracle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Don-Keun hampir mati kebosanan. Itu terdengar jelas dari nada suaranya serta terlihat dari bahunya yang terkulai lesu di belakang kasir. " Semuanya gratis malam ini," katanya. " Kau boleh memesan apa saja yang kauinginkan. Itu perintah juru masak dan asisten manajer pengganti. Itu aku."
" Trims," kataku.
Ia sepertinya akan mengatakan hal lain, tapi lalu meringis malu saat suara tampar-tamparan di belakang jadi semakin keras. Ada koran dan beberapa cangkir kopi di depan salah satu bangku konter. Aku duduk beberapa langkah di dekat situ, berusaha untuk berbaur. Saat aku duduk, Don Keun tiba-tiba meluncur cepat ke arahku. " Hm& lebih baik kau jangan& "
Ia berhenti bicara dan mundur selangkah saat seseorang muncul dari arah kamar kecil. Ternyata yang muncul lelaki enam puluhan tahun berambut pirang kemerahan yang sedikit gendut dan berkacamata. Oh ya, ia mengenakan pakaian dari kertas aluminium. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia bahkan mengenakan topi aluminium kecil. Sepertimu.
Si Lelaki Aluminium duduk dekat koran dan cangkir-cangkir kopi, lalu mengangguk menyapaku sebelum aku bisa pindah. " Bagaimana kabarmu malam ini?" tanyanya.
" Kurang baik," jawabku jujur. Aku tidak tahu harus menatap ke arah mana ke wajahnya, atau ke tubuh peraknya yang berkilatkilat.
" Malam yang salah untuk keluar rumah."
" Ya," kataku, akhirnya memilih memusatkan pandanganku ke perut mengilatnya. " Malam yang salah."
" Apa kau butuh petugas derek?" " Butuh kalau kau bisa menderek kereta."
Lelaki itu berpikir sejenak. Suasana selalu jadi canggung jika
katamu dengan serius. Canggungnya jadi dobel kalau orang itu kebetulan mengenakan kertas aluminium.
" Terlalu besar," jawab lelaki itu akhirnya sambil menggeleng. " Tidak akan bisa."
Don-Keun juga menggeleng dan melirikku dengan tatapan menjauhlah-selagi-bisa-karena-aku-tidak-bisa-menyelamatkanmu.
Aku tersenyum dan langsung berpura-pura tekun menekuri menu. Rasanya aku lebih baik memesan sesuatu. Aku membaca menu berulang-ulang, seakan aku tidak bisa memutuskan antara waffle sandwich atau hash brown bertabur keju.
" Silakan kopinya," kata Don-Keun, mendekat dan memberiku secangkir. Kopi itu terlampau panas dan berbau tajam, tapi itu bukan saatnya untuk pilih-pilih. Kurasa ia hanya menawariku kesempatan untuk menjauh.
" Kau tadi naik kereta, ya?" kata Don-Keun.
" Ya," kataku, menunjuk jendela. Don-Keun dan si Lelaki Aluminium sama-sama menoleh, tapi badai makin keras dan kereta apiku tidak kelihatan.
" Tidak," kata si Lelaki Aluminium lagi. " Kereta api tidak akan jalan."
Ia membetulkan manset aluminiumnya untuk memberi penegasan.
" Apa itu membantu?" tanyaku, akhirnya merasa perlu membahas hal yang sudah jelas.
" Apanya?"
" Pakaianmu itu. Apa itu mirip pakaian pelari untuk menyelesaikan maraton?"
" Pakaian apa?"
" Kertas aluminium itu."
" Kertas aluminium apa?" tanyanya.
Keun, lalu pindah ke dekat jendela yang kaca-kacanya bergetar dihantam angin dan salju.
Jauh dari situ, acara santap Smorgasbord pasti berlangsung meriah. Semua makanan pasti sudah terhidang: ham-ham mengerikan, daging kalkun berlapis-lapis, bakso, kentang panggang saus krim, puding nasi, kue kering, empat macam acar ikan&
Dengan kata lain, itu saat yang tidak tepat untuk menelepon Noah. Dia memang sempat menyuruhku menelepon begitu aku sampai. Tapi sejauh ini aku baru sampai sini.
Jadi aku menelepon dan panggilanku langsung terhubung ke voice mail. Aku tidak merencanakan kata-kata apa yang akan kuucapkan atau sikap seperti apa yang akan kuambil. Aku akhirnya memilih menggunakan kalimat " lucu-ha-ha" serta meninggalkan pesan singkat yang mungkin terdengar sangat tidak jelas tentang terdampar di kota aneh dekat jalan layang, di Waffle House, bersama lelaki yang mengenakan kertas aluminium. Baru setelah menutup telepon aku sadar Noah akan mengira aku bercanda bercan daan yang aneh dan meneleponnya saat ia sedang sibuk-sibuknya. Pesanku mungkin akan membuatnya kesal.
Aku baru akan menelepon balik dengan nada lebih serius dan sendu untuk mengklarifikasi bahwa semua itu bukan bercandaan saat angin tiba-tiba menderu masuk ketika pintu dibuka dan orang lain hadir di tengah kami. Sosok tinggi, kurus, dan rupanya cowok. Tapi sulit menggambarkannya dengan jelas karena ia memakai kantong plastik di kepala, tangan, dan juga kaki. Berarti kini ada dua orang yang menggunakan bahan non-pakaian sebagai pakaian. Aku mulai tidak menyukai Gracetown.
" Mobilku oleng di Sunrise," kata lelaki itu pada seisi ruangan secara umum. " Terpaksa kutinggal."
Don-Keun mengangguk penuh pengertian.
" Tidak, tidak usah. Saljunya sangat deras, kurasa aku juga tidak akan bisa menemukan mobilku."
Setelah melepas kantong-kantong plastik itu, cowok itu ternyata kelihatan sangat normal. Rambutnya ikal gelap dan basah, ia sedikit kurus, dan jinsnya sedikit kebesaran. Ia menengok ke konter, lalu menghampiriku.
" Apa aku boleh duduk di sini?" tanyanya lirih. Ia mengangguk sedikit ke arah si Lelaki Aluminium. Ia jelas tidak mau duduk di sana.
" Tentu," kataku.
" Dia tidak berbahaya," kata cowok itu. " Tapi bisa mengobrol tanpa henti. Aku pernah terjebak bersamanya selama setengah jam. Dia sangat menyukai cangkir. Dia bisa mengobrol tentang cangkir untuk waktu yang sangat lama."
" Apa dia selalu memakai kertas aluminium?"
" Kurasa aku tidak akan mengenalinya tanpa pakaian itu. Oh ya, namaku Stuart."
" Aku& Julie."
" Bagaimana kau bisa sampai di sini?" tanyanya.
" Kereta apiku," kataku, menunjuk hamparan salju dan kegelapan. " Kami terjebak."
" Kau mau ke mana?" tanya cowok itu.
" Ke Florida. Menjenguk kakek-nenekku. Kedua orangtuaku dipenjara."
Kurasa menyelipkan info itu ke dalam percakapan merupakan langkah yang layak dicoba. Reaksi Stuart di luar dugaanku. Ia tertawa.
" Apa kau bepergian dengan seseorang?" tanyanya. " Aku punya pacar," kataku.
Biasanya aku tidak sebodoh itu, percayalah. Saat itu otakku se
Sudut-sudut bibir Stuart berkerut, seakan ia sedang berusaha menahan tawa. Ia mengetuk-ngetuk meja dan tersenyum, seperti sedang mencoba mengusir momen salah tingkahku itu. Seharusnya aku menggunakan kesempatan yang ia berikan untuk membahas hal lain, tapi tidak bisa. Aku harus berusaha menjelaskan.
" Aku berkata begitu karena& " aku memulai, menyadari bahwa jalan buntu obrolan terbentang luas di hadapanku dan bersiap untuk berlari cepat, " aku seharusnya meneleponnya, tapi tidak ada sinyal."
Ya. Aku mencuri cerita Jeb. Sayangnya, saat aku bicara, aku tidak memperhatikan bahwa ponselku berada tepat di hadapanku, menampilkan garis-garis sinyal yang penuh. Stuart melirik ponsel itu, menatapku, tapi tidak berkata apa-apa.
Sekarang aku benar-benar merasa harus menjelaskan. Aku tidak mungkin melepaskan topik itu sampai ia tahu seberapa normalnya aku.
" Tadi tidak ada sinyal," kataku. " Barusan saja ada." " Mungkin gara-gara cuaca," kata Stuart murah hati. " Mungkin. Aku akan coba telepon lagi sekarang. Sebentar ya." " Silakan, lama juga tidak apa-apa," kata Stuart.
Jawaban yang wajar. Ia hanya duduk denganku untuk menghindari obrolan panjang tentang cangkir dengan si Lelaki Aluminium. Kami kan tidak perlu saling menyesuaikan jadwal. Stuart mungkin lega aku menghindar dari percakapan itu. Ia bangkit dan melepas mantelnya saat aku menelepon. Di balik mantel ia mengenakan seragam Target dan lebih banyak kantong plastik. Sekitar selusin kantong plastik jatuh berceceran dari lipatan-lipatan bagian dalam mantelnya. Ia mengumpulkan kantong-kantong itu dengan tenang.
Saat voice mail Noah kembali terdengar, aku berusaha menyem
tidak mau meninggalkan pesan konyol tambahan di depan Stuart, jadi aku menutup telepon.
Stuart mengangkat bahu memberiku tanda " tidak bisa?" sambil duduk.
" Mereka pasti sibuk dengan Smorgasbord," kataku. " Smorgasbord?"
" Keluarga Noah secara garis besar Swedia, jadi mereka mengadakan Smorgasbord luar biasa setiap Malam Natal."
Aku melihat alis Stuart terangkat saat aku berkata " secara garis besar" . Frase itu sering kugunakan karena itu salah satu frase favorit pacarku. Aku menirunya dari Noah. Seharusnya aku ingat untuk tidak menggunakan frase itu di sekitar orang lain karena itu frase spesial kami. Selain itu, saat sedang berusaha menjelaskan pada orang asing bahwa kau tidak sinting, rasanya kurang tepat kalau kau melontarkan frase seperti " secara garis besar Swedia" . " Semua orang suka Smorgasbord," kata Stuart penuh kebaikan. Sudah waktunya mengganti topik.
" Target," kataku, menunjuk kausnya. Sebetulnya aku berkata, " Tarjey," dengan aksen Prancis yang tidak terlalu lucu.
" Tepat sekali," kata Stuart. " Sekarang kau tahu alasanku mempertaruhkan nyawa untuk pergi bekerja. Kalau pekerjaanmu sepenting pekerjaanku, kau harus mengambil risiko; kalau tidak, kehidupan bermasyarakat akan macet. Cowok itu pasti ingin sekali menelepon."
Stuart menunjuk ke luar jendela, dan aku menoleh. Jeb berdiri di depan bilik telepon umum yang dikelilingi salju setebal tiga puluh sentimeter. Ia sedang berusaha memaksa pintu telepon umum itu agar terbuka.
" Kasihan Jeb," kataku. " Seharusnya aku meminjaminya ponsel
" Oh, itu Jeb? Kau benar& Tunggu& Dari mana kau kenal Jeb?"
" Dia di kereta yang sama denganku. Dia bilang dia mau ke Gracetown. Kurasa sekarang dia akan berjalan kaki atau apa."
" Sepertinya itu telepon yang sangat sangat penting," kata Stuart, menarik lepas hiasan tangkai permen di kaca jendela agar bisa melihat lebih jelas. " Kenapa dia tidak menggunakan ponsel?" " Ponselnya rusak saat kami tabrakan."
" Tabrakan?" ulang Stuart. " Kereta apimu& tabrakan?" " Cuma menabrak salju."
Stuart baru akan mendesak lebih jauh tentang topik kereta api tabrakan itu saat pintu terbuka dan mereka masuk. Empat belasempat belasnya, berteriak, menjerit, dan penuh salju. " Ya Tuhan," kataku.
S ITUASI buruk pasti tambah parah dengan kedatangan em
pat belas pemandu sorak hiperaktif.
Hanya butuh waktu sekitar tiga menit untuk mengubah Waffle House yang tenang dan sederhana itu menjadi kantor baru bagi firma hukumber,ber,ber, dan Madison. Mereka membuka markas di sederetan bilik di pojok seberang kami. Beberapa di antara mereka mengangguk ke arahku dengan ekspresi " oh, bagus deh, kau masih hidup" , tapi sebagian besar di antara mereka tidak tertarik pada siapa pun.
Tapi itu bukan berarti tidak seorang pun tertarik pada mereka. Don-Keun bagaikan terlahir kembali. Begitu rombongan itu datang, ia lenyap sejenak. Kami mendengar pekik kegirangan tertahan dari pojok dapur Waffle House, lalu Don-Keun muncul, wajahnya berbinar-binar bagai seseorang yang baru saja mendapatkan pencerahan rohani. Melihatnya membuatku lelah. Di belakangnya, dua cowok lain mengekor.
" Apa yang kalian butuhkan, Nona-Nona?" seru Don-Keun ceria.
Empat
Rupanya pergelangan tangan lompatan basketnya sudah baikan. Para pemandu sorak itu memang tangguh. Tangguh dan sinting. Siapa yang mau berjalan menembus badai salju untuk berlatih handstand di Waffle House? Padahal aku ke situ untuk menjauhi mereka.
" Nona-nona," kata Don-Keun, " kalian boleh melakukan apa pun yang kalian inginkan."
Amber Satu menyukai jawaban itu.
" Apa kau bisa, hmm, mengepel lantai? Hanya di bagian yang ini nih? Supaya tangan kami tidak kotor? Dan apa kau bisa mengawasi kami?"
Pergelangan kaki Don-Keun nyaris patah saat ia melesat ke lemari alat pel.
Stuart menyaksikan semua itu tanpa suara. Ia tidak terlihat berbinar gembira seperti Don-Keun dan kawan-kawan, tapi suasana tersebut jelas terekam dalam radarnya. Ia memiringkan kepala, seperti sedang berusaha memecahkan persoalan matematika yang sangat rumit.
" Keadaan di sini sepertinya melenceng ke luar jalur biasanya," kata Stuart.
" Ya," kataku. " Bisa dibilang begitu. Apa ada tempat lain? Misalnya Starbucks atau apa?"
Ia nyaris meringis saat aku menyebut Starbucks. Mungkin ia salah satu orang yang anti tempat-tempat franchise seperti itu; cukup aneh juga sebetulnya, mengingat ia sendiri bekerja di Target.
" Starbucks tutup," katanya. " Hampir semua tempat lain juga sama. Paling-paling yang buka cuma Duke and Duchess, tapi itu cuma toko biasa. Ini Malam Natal, dan dengan badai seperti ini& "
Stuart pasti merasakan keputusasaanku dari caraku membentur
" Aku mau pulang ke rumahku," katanya, menggeser tangannya ke seberang meja sebagai bantal pelindung agar aku tidak semakin menyakiti diri sendiri. " Kenapa kau tidak ikut saja denganku? Setidaknya tempatnya terhindar dari salju. Ibuku tidak akan memaafkanku kalau aku tidak menawarimu singgah."
Aku berpikir sejenak. Kereta apiku yang dingin dan terjebak salju ada di seberang jalan. Pilihanku sekarang hanya Waffle House penuh pemandu sorak dan lelaki yang mengenakan Kertas Aluminium Reynolds. Kedua orangtuaku ditahan oleh negara ratusan mil jauhnya. Dan badai salju terbesar dalam lima puluh tahun terakhir sedang menderu-deru di atas kepala kami. Ya, aku perlu singgah di suatu tempat.
Meski begitu, tetap sulit bagiku untuk menghapus sinyal " orang asing = bahaya" yang melintas di benakku, meskipun orang asing itu yang sebetulnya sedang mengambil risiko. Aku yang sepenuhnya terlihat sinting malam itu. Aku tidak akan mengajak diriku sendiri pulang.
" Ini," kata Stuart. " Ini kartu identitasku. Ini kartu pegawai Target. Mereka tidak membiarkan orang sembarangan bekerja di Target. Dan ini SIM-ku& Tolong abaikan potongan rambutnya& . Nama, alamat, nomor jaminan sosial, semuanya ada di situ."
Ia mengeluarkan kartu-kartu itu dari dompet dengan gaya bercanda. Di dompetnya kuperhatikan ada foto Stuart dengan seorang gadis, jelas sekali itu foto prom. Aku mulai tenang. Stuart cowok normal yang punya pacar. Ia bahkan punya nama keluarga Weintraub.
" Berapa jauh rumahmu?" tanyaku.
" Sekitar delapan ratus meter ke arah sana," kata Stuart, menunjuk hamparan pemandangan tidak jelas gundukan-gundukan putih yang mungkin rumah, mungkin pohon, dan mungkin juga replika
" Delapan ratus meter?"
" Sebetulnya sih itu kalau kita lewat jalan pintas. Kalau kita lewat jalan biasa, jaraknya satu setengah kilometer lebih. Tidak parah-parahat kok. Aku tadi sebetulnya ingin jalan terus, tapi tempat ini buka, jadi aku berhenti sebentar untuk mendapatkan kehangatan."
" Apa kau yakin keluargamu tidak keberatan?"
" Ibuku pasti akan mencambukku dengan selang kalau aku tidak menawari seseorang bantuan pada Malam Natal."
Don-Keun melompati konter sambil membawa alat pel, nyaris mencederai dirinya sendiri. Cowok itu mulai mengepel di sekitar kakiber Satu. Di luar, Jeb berhasil masuk ke bilik telepon umum. Ia tenggelam dalam drama hidupnya sendiri. Aku sendirian.
" Oke," kataku. " Aku ikut."
Kurasa tidak seorang pun memperhatikan kami bangkit dan per- gi selain si Lelaki Aluminium. Lelaki itu memunggungi para pemandu sorak dengan tidak acuh, ia melambai pada kami saat kami berjalan ke pintu.
" Kau perlu topi," kata Stuart saat kami melangkah ke ruang depan Waffle House yang dingin membeku.
" Aku tidak bawa topi. Aku kan mau ke Florida." " Aku juga tidak punya topi. Tapi aku punya ini& " Ia mengangkat kantong-kantong plastik itu dan menunjukkan cara memakainya. Ia memasang kantong plastik di kepala, melilitkannya sekali, lalu menyelipkan ujungnya ke dalam. Kini ia seperti memakai sorban dari plastik yang menggembung di bagian atas.ber,ber, danber pasti tidak akan mau memakai kantong plastik di kepala& dan aku merasa perlu membuktikan bahwa aku tidak seperti itu. Dengan penuh kemenangan aku melilitkan kan
" Kau juga harus memakainya di tangan," kata Stuart, menyodorkan beberapa kantong plastik lagi. " Kaki-kakimu bagaimana, ya? Pasti dingin, kan?"
Memang, tapi entah kenapa aku tidak ingin Stuart berpikir aku tidak sanggup mengatasi hal itu.
" Tidak," aku berbohong. " Celana ketatku ini tebal. Sepatu botku juga& kuat. Tapi aku butuh beberapa kantong untuk tanganku." Stuart mengangkat alis. " Yakin?"
" Seratus persen." Aku tidak tahu alasanku berkata begitu. Rasanya berkata jujur berarti mengakui kelemahan.
Stuart harus mendorong keras-keras agar pintu bisa terbuka di tengah terjangan angin dan tumpukan salju. Aku tidak tahu salju bisa berderai sederas itu. Aku memang pernah melihat hujan salju yang menyisakan lapisan setebal tiga atau lima sentimeter, tapi salju yang ini berat dan lengket dengan butiran-butiran sebesar uang logam. Dalam hitungan detik, aku basah kuyup. Aku ragu-ragu di dasar tangga dan Stuart berbalik untuk mengecek keadaanku. " Yakin?" tanyanya lagi.
Aku tahu aku harus berbalik saat itu juga atau harus siap menempuh perjalanan itu.
Aku menoleh sekilas ke belakang dan melihat ketiga Madison sedang membentuk piramid handstand di tengah restoran. " Ya," kataku. " Ayo kita berangkat."
K I melewati jalan kecil di belakang Waffle House, hanya
dipandu lampu-lampu peringatan lalu lintas yang berkedipkedip setiap detik dan menciptakan sebaris sinar kuning di tengah kegelapan. Kami berjalan di tengah jalan, di tengah suasana pascakiamat. Kesunyian menyelimuti selama sekitar lima belas menit. Berbicara hanya memakan energi yang kami butuhkan untuk terus berjalan sementara kalau kami membuka mulut, udara dingin bisa terhirup masuk.
Setiap langkah terasa sungguh berat. Saljunya sangat tebal dan lengket sehingga aku perlu mengerahkan tenaga untuk mengangkat kaki dari jejakku sendiri. Kedua betisku tentu saja dingin membeku sampai ke titik keduanya kembali terasa hangat. Kantong-kantong plastik di kepala dan kedua tanganku terasa efektif. Saat langkahlangkah kami mulai teratur, Stuart membuka percakapan. " Keluargamu sebenarnya di mana?" tanyanya. " Di penjara."
" Yeah. Kau bilang begitu tadi. Maksudku situasi sebenarnya& " " Mereka di penjara," kataku untuk ketiga kalinya.
Lima
paham untuk tidak menanyakan hal itu lagi, tapi ia sepertinya perlu waktu sejenak untuk mencerna jawabanku.
" Karena apa?" kata Stuart akhirnya. " Hmm, mereka terlibat& kerusuhan." " Mereka pendemo, ya?"
" Mereka tukang belanja," kataku. " Mereka terlibat kerusuhan belanja."
Langkah Stuart langsung terhenti.
" Jangan bilang mereka terlibat kerusuhan Flobie di Charlotte." " Itu dia," kataku.
" Astaga! Orangtuamu bagian dari Flobie Five!" " Flobie Five?" tanyaku lemah.
" Flobie Five jadi topik hangat di tempat kerja hari ini. Rasanya setiap pelanggan membahas hal itu. Cuplikan tayangan kerusuhan itu diputar sepanjang hari di siaran berita& "
Berita? Cuplikan tayangan? Sepanjang hari? Oh, bagus. Bagus, bagus, bagus. Orangtua terkenal itu impian semua anak cewek.
" Semua orang menyukai Flobie Five," kata Stuart. " Banyak orang menyukai mereka. Setidaknya, banyak orang menganggap itu lucu."
Lalu ia tersadar berita itu pasti tidak terlalu lucu bagiku dan itulah sebabnya aku berkeliaran di kota aneh pada Malam Natal dengan memakai kantong plastik di kepala.
" Itu membuatmu terlihat sangat keren," kata Stuart, melompat dengan langkah-langkah lebar agar bisa berada di depanku. " CNN pasti mewawancaraimu. Anak perempuan Flobie! Tapi jangan khawatir, aku pasti akan menghalangi mereka!"
Stuart berpura-pura sedang menghalau serombongan reporter dan meninju para fotografer, gerakan yang sulit dilakukan. Aku sedikit
kilatan blitz. Kami memainkan drama itu sebentar. Itu cara yang bagus untuk menghindari kenyataan.
" Itu konyol," kataku akhirnya, setelah aku nyaris jatuh saat se- dang menghindari paparazi khayalan. " Kedua orangtuaku dipen- jara. Gara-gara pajangan keramik rumah Santa."
" Itu lebih baik daripada mengedarkan narkoba," kata Stuart, kembali berjalan di sebelahku. " Benar, kan?"
" Apa kau selalu seceria ini?"
" Selalu. Semua pegawai Target dituntut untuk ceria. Aku seperti Kapten Senyum."
" Pacarmu pasti suka itu!"
Aku hanya berkata begitu agar aku terlihat seperti pengamat yang baik dan pintar. Aku mengira ia akan berkata, " Dari mana kau tahu aku& ?" dan aku akan menjawab, " Aku melihat foto di dompetmu." Dan ia akan menganggapku sangat mirip Sherlock Holmes dan aku tidak akan terlihat sesinting penampilan pertamaku di Waffle House. (Kadang kala kau harus menunggu sedikit untuk penghargaan semacam itu, tapi itu penantian yang pantas).
Tapi Stuart hanya menoleh sekilas ke arahku, mengerjap, lalu kembali menoleh ke jalan sambil melangkah mantap. Keceriaannya hilang dan ia berubah sangat serius.
" Tidak terlalu jauh lagi kok. Tapi sekarang kita harus memutus- kan. Ada dua pilihan dari sini. Mengikuti jalan ini, yang berarti sekitar empat puluh lima menit lagi dengan kecepatan seperti sekarang. Atau jalan pintas."
" Jalan pintas," jawabku cepat. " Pastinya."
" Jalan pintasnya memang jauh lebih pendek. Jalan yang ini memutar sementara jalan pintasnya memotong langsung. Aku pasti akan lewat jalan pintas kalau aku sendirian seperti setengah jam yang lalu& "
Saat berdiri di tengah badai dengan derai salju dan terjangan angin yang menampar-nampar wajah, sementara kepala dan kedua tanganku berbalut kantong plastik, aku sungguh merasa tidak butuh informasi tambahan. Seperti apa pun jalan pintas itu, pasti tidak akan lebih parah dari apa yang sudah kami tempuh. Dan kalau Stuart sudah berencana melewati jalan itu, jelas saja ia bisa melakukannya denganku.
" Oke," kata Stuart. " Intinya jalan pintas ini membuat kita melewati bagian belakang deretan rumah itu. Rumahku ada di belakang situ, kurang-lebih dua ratus meter lagi. Sekitar itulah."
Kami meninggalkan jalanan penuh kerlap-kerlip lampu kuning dan memotong ke jalan gelap di antara deretan rumah. Aku mengeluarkan ponsel dari saku dan mengeceknya saat kami berjalan. Tidak ada telepon dari Noah. Aku berusaha melakukannya diamdiam, tapi Stuart melihatku.
" Tidak ada telepon?" tanyanya. " Belum. Dia pasti masih sibuk." " Apa dia tahu soal orangtuamu?"
" Tahu," kataku. " Aku menceritakan segalanya padanya." " Apa itu juga berlaku sebaliknya?" tanya Stuart. " Apanya yang berlaku sebaliknya?"
" Kau bilang kau menceritakan segalanya padanya," jawab Stuart. " Kau tidak bilang kami menceritakan segalanya pada satu sama lain."
Pertanyaan macam apa itu? " Tentu saja," kataku cepat. " Seperti apa pacarmu, selain secara garis besar Swedia?" " Dia pintar," kataku. " Tapi dia bukan sok pintar dan sering pamer seperti orang-orang yang harus selalu menyebutkan IPK mereka di depanmu, atau secara halus membocorkan nilai ujian mereka atau peringkat kelas atau apalah. Dia pintar alami. Dia tidak perlu
nilai-nilainya bagus. Sangat bagus. Dia pemain bola. Dia ikut Olimpiade Matematika. Dia sangat populer."
Ya, aku mengatakan semua itu. Ya, aku kedengaran seperti sedang promosi. Ya, Stuart kembali menyunggingkan senyum simpul dengan ekspresi Aku-berusaha-tidak-menertawakanmu. Tapi memangnya bagaimana lagi aku harus menjawab pertanyaan itu? Semua orang yang kukenal kenal Noah. Mereka tahu seperti apa dia. Biasanya aku tidak perlu menjelaskan.
" Resume yang bagus," kata Stuart, kedengarannya tidak terlalu terkesan.
" Tapi seperti apa orangnya?" Yapun, percakapan ini akan berlanjut terus.
" Dia& seperti yang baru saja kukatakan."
" Kepribadiannya. Apa dia diam-diam suka menulis puisi? Apa dia menari dalam kamar saat tidak ada yang melihat? Apa dia lucu sepertimu? Apa esensi dirinya?"
Stuart pasti mempermainkan pikiranku dengan urusan esensi ini. Meskipun ia manis juga saat bertanya apa Noah lucu seperti aku. Itu pertanyaan yang manis. Dan jawabannya tidak. Noah punya banyak karakteristik, tapi lucu bukan salah satu di antaranya. Kadang-kadang ia lumayan terhibur melihatku, tapi seperti yang pasti sudah kauketahui sekarang, kadang-kadang aku tidak bisa diam. Pada saat-saat seperti itu, Noah hanya terlihat lelah. " Intens," kataku. " Esensinya intens."
" Intens yang baik?"
" Memangnya aku bakal pacaran dengannya kalau tidak? Apa rumahmu masih jauh?"
Stuart langsung paham dan diam. Kami berjalan tanpa suara sampai kami tiba di lapangan kosong dengan beberapa pohon. Aku bisa melihat bahwa di kejauhan, di atas tanjakan, ada deretan ru
sangat deras memenuhi udara sehingga segala sesuatu tampak buram. Pemandangan itu sebetulnya indah seandainya terasa tidak terlalu menyengat. Kedua tanganku sebegitu dinginnya sampai nyaris terasa panas. Kaki-kakiku nyaris lemas.
Stuart mengulurkan tangan menahanku.
" Oke," katanya. " Aku harus menjelaskan sesuatu. Kita akan melintasi sungai kecil. Sungai itu beku. Aku sempat melihat orangorang berseluncur di atasnya."
" Dalam, tidak?"
" Tidak terlalu dalam. Sekitar satu setengah meter." " Di mana?"
" Kira-kira di depan kita ini," kata Stuart.
Aku menatap lapangan kosong itu. Di suatu tempat di bawah sana ada perairan dangkal yang tersembunyi di bawah salju. " Kita bisa kembali," kata Stuart.
" Kau tadinya akan melewati sungai ini apa pun yang terjadi?" tanyaku.
" Ya, tapi kau tidak perlu membuktikan apa-apa padaku." " Tidak masalah," kataku, berusaha terdengar lebih yakin ketimbang yang sebenarnya kurasakan. " Jadi, kita terus saja berjalan?" " Begitu rencananya."
Jadi itulah yang kami lakukan. Kami tahu sudah menginjak sungai itu saat saljunya tidak terlalu tebal dan permukaan padat yang kami pijak terasa sedikit licin dan berderak. Saat itulah Stuart memutuskan untuk berbicara lagi.
" Cowok-cowok di Waffle House beruntung sekali. Mereka akan menikmati malam terbaik sepanjang hidup mereka," katanya.
Nadanya sedikit menantang, sepertinya ia ingin agar aku memakan umpan itu. Yang berarti seharusnya aku tidak terpancing. Tapi
" Yapun," kataku. " Kenapa sih semua cowok gampangan seperti itu?"
" Seperti apa?" katanya, menoleh ke samping dan sedikit terpeleset.
" Menganggap diri mereka beruntung."
" Karena& mereka terjebak di Waffle House bersama selusin pe- mandu sorak?"
" Dari mana sih asal fantasi arogan itu?" kataku, sedikit lebih ketus daripada yang kumaksud. " Apa cowok-cowok sungguh percaya bahwa seandainya mereka satu-satunya lelaki di suatu tempat, cewek-cewek akan langsung menyerbu mereka? Seakan kami selalu menyergap cowok-cowok yang tersisa dan menghadiahi mereka de- ngan acara bercumbu massal, begitu?"
" Jadi bukan itu yang terjadi?" tanyanya. Aku bahkan tidak mau menanggapi komentarnya. " Tapi apa salahnya dengan pemandu sorak?" tanya Stuart, terdengar sangat puas karena berhasil membuatku terusik. " Maksudku, aku bukannya hanya menyukai pemandu sorak. Aku hanya tidak punya prasangka buruk tentang mereka."
" Itu bukan prasangka buruk," kataku tegas. " Bukan? Lalu apa?"
" Ini tentang konsep pemandu sorak," kataku. " Cewek-cewek, berdiri di pinggiran dengan memakai rok mini, bersorak memberitahu cowok-cowok bahwa mereka hebat. Cewek-cewek itu dipilih karena penampilan mereka."
" Entahlah," kata Stuart dengan nada mengejek. " Menghakimi sekelompok orang yang tidak kaukenal, membuat asumsi macammacam, membicarakan penampilan mereka& kedengarannya sih seperti prasangka buruk, tapi& "
" Aku tidak berprasangka buruk!" bentakku, tidak bisa mengendali
Di atas sana, langit berwarna merah muda kusam keabu-abuan. Di sekeliling kami hanya ada siluet pohon-pohon kurus dan gundul, bagai tangan-tangan kerempeng yang mencuat dari tanah. Di depan sana hanya ada hamparan putih tanah, butir-butir salju yang berputar-putar turun, dengung kesepian angin, serta bayangan rumahrumah.
" Dengar," kata Stuart, masih berniat membuatku kesal, " dari mana kau tahu bahwa pada waktu luang mereka bukan anggota PMR atau apa? Mungkin saja mereka menyelamatkan anak-anak kucing terlantar, membagikan makanan pada orang miskin, atau& "
" Karena mereka tidak melakukan itu semua," kataku, berjalan mendahuluinya. Aku sedikit terpeleset, tapi langsung menyentakkan badan agar kembali tegak. " Pada waktu luang mereka melakukan waxing."
" Kau tidak tahu itu," Stuart berseru dari belakangku. " Aku tidak perlu menjelaskan hal seperti ini pada Noah," kataku. " Dia pasti langsung paham."
" Kau tahu," kata Stuart datar, " meskipun kau menganggap si Noah itu sangat hebat, aku tidak terkesan dengan sikapnya sekarang ini."
Cukup sudah. Aku berbalik dan mulai berjalan ke arah berlawanan dengan langkah-langkah tegap.
Dalam Derai Salju Let It Snow Karya Maureen Johnson, John Green, Lauren Myracle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Kau mau ke mana?" tanya Stuart. " Aduh, jangan begitu& " Ia kelihatannya berusaha membuat komentarnya terkesan bukan masalah besar, tapi aku sudah muak. Aku mengentakkan kaki agar langkahku tetap seimbang.
" Jalan ke sana panjang sekali loh!" kata Stuart, berjalan buruburu untuk mengejarku. " Jangan deh. Serius."
" Maaf," kataku dengan lagak tidak peduli. " Rasanya lebih baik
Ada suara. Suara baru di balik desing angin dan getaran es serta salju. Suara gemertak mirip kayu bakar di tengah api unggun sangat ironis. Langkah kami berdua langsung terhenti. Stuart melirikku cemas.
" Jangan berge& "
Lalu permukaan yang kami pijak runtuh.
M UNGKIN kau belum pernah tercebur ke sungai beku. Ini
lah yang terjadi.
1. Sungai itu dingin. Sebegitu dinginnya sehingga Departemen Informasi dan Pengaturan suhu di otakmu membaca suhu yang tercetak dan berkata, " Aku tidak bisa mengatasi ini. Aku pergi dulu ya." Departemen itu memasang tanda ISTIRAHAT MAKAN SIANG dan melempar semua tanggung jawab ke&
2. Departemen Rasa Sakit dan Proses Kesakitan yang menerima pesan acak-adul tidak jelas dari Departemen Suhu yang sama sekali tidak mereka pahami. " Ini bukan tugas kami," kata departemen itu sambil langsung menekan ber-bagai tombol asal-asalan, memenuhimu dengan berbagai sensasi aneh dan tidak nyaman, kemudian menelepon&
3. Kantor Kebingungan dan Panik, yang selalu siap mengangkat telepon begitu telepon berdering. Setidaknya kantor ini siap mengambil tindakan. Kantor Kebingungan dan Panik selalu senang menekan tombol.
Jadi selama sepersekian detik Stuart dan aku tidak sanggup mela
Enam
kami sedikit pulih, aku akhirnya mampu mencerna apa yang barusan terjadi. Berita bagusnya, kami hanya terbenam sampai ke dada. Setidaknya aku begitu. Airnya hanya setinggi dada. Stuart terbenam sampai ke tengah perut. Berita buruknya, kami berada dalam lubang di tengah hamparan es. Sulit sekali keluar dari lubang semacam itu karena kau lumpuh saking kedinginannya. Kami berdua berusaha memanjat ke luar, tapi lapisan es itu terus berderak dan runtuh setiap kali mendapat tekanan.
Reaksi otomatis kami adalah berpegangan pada satu sama lain. " Oke," kata Stuart, gemetar hebat. " Ini dii& diinginnn. Dan lumayan parah."
" Masa sih?" teriakku. Tapi karena tidak ada cukup udara di paru-paruku yang memampukanku untuk berteriak, kata-kataku tadi terdengar seperti desis mengerikan.
" K-k-kita& harus& m-m-memecahkan esnya."
Ide itu juga sempat terlintas di benakku, tapi aku lebih tenang saat mendengarkan hal itu diucapkan keras-keras. Kami berdua mulai memecahkan es dengan tangan-tangan kaku seperti robot sampai kami menemukan lapisan es yang tebal dan kuat. Airnya sedikit lebih dangkal, tapi tidak terlalu.
" Aku akan mendorongmu naik dengan tanganku," kata Stuart. " Ayo, naik."
Saat aku berusaha menggerakkan kaki, kakiku langsung menolak bekerja sama. Kedua kakiku terasa kebas sehingga tidak berfungsi lagi. Begitu aku bisa menggerakkannya, tangan-tangan Stuart terlalu dingin untuk membantuku. Kami mencoba beberapa kali sampai aku akhirnya menemukan pijakan.
Tentu saja setelah berhasil naik aku menyadari hal penting bahwa es itu licin dan sulit sekali dipegang, apalagi kalau tangan-tangan
rik Stuart yang langsung terbaring di hamparan es.
Kami berhasil keluar. Dan berada di luar anehnya terasa lebih parah dibanding saat masih tercebur.
" T-t-tidak t-t-terlalu ja-ja-jauh lagi," kata Stuart. Sulit sekali memahaminya. Tenggorokanku sendiri terasa bergetar. Stuart meraih tanganku dan menarikku ke arah rumah yang berada persis di puncak tanjakan. Seandainya ia tidak menarikku, aku tidak akan mungkin berhasil menaiki tanjakan itu.
Aku belum pernah sebahagia itu saat melihat sebuah rumah. Cahaya samar kehijauan yang sekali-sekali diselingi kerlap-kerlip merah membingkai rumah itu. Pintu belakang tidak terkunci dan kami melangkah ke surga. Itu memang bukan rumah terkeren yang pernah kumasuki tapi itu rumah yang hangat dan dipenuhi aroma daging kalkun, kue kering, serta pohon cemara.
Stuart tidak berhenti menarikku sampai kami tiba di pintu lain yang ternyata menuju kamar mandi dengan bilik pancuran yang tertutup pintu kaca.
" Sini," katanya, mendorongku masuk. " Mandi. Sekarang. Air hangat."
Pintu dibanting dan aku mendengarnya berlari. Aku langsung melepas semua pakaianku dan tersandung-sandung saat mencari tombol pancuran. Semua pakaianku terasa sangat berat, penuh air, salju, dan lumpur.
Aku berada di bawah pancuran lama sekali, bersandar lemas ke dinding, memenuhi bilik kecil itu dengan uap. Suhu air berubah sekali-dua kali, mungkin karena Stuart juga mandi di tempat lain di rumah itu.
Aku mematikan pancuran saat airnya mulai dingin. Begitu aku melangkah ke tengah kepulan uap tebal, aku melihat bahwa pakaian-pakaianku sudah lenyap. Seseorang sudah mengambilnya dari
dua handuk besar, celana training, kaus tebal lengan panjang, kaus kaki, dan sandal. Semua itu pakaian cowok, kecuali kaus kaki dan sandalnya. Kaus kakinya tebal dan berwarna merah muda sementara sandalnya putih berbulu dan sepertinya sudah sering dipakai.
Aku menyambar pakaian terdekat, kaus tebal itu, dan menutupi tubuh telanjangku meski aku jelas sendirian di kamar mandi itu. Seseorang sempat masuk. Seseorang sempat menyelinap, mengambil pakaianku, dan menggantinya dengan pakaian baru dan kering. Apa Stuart sempat masuk saat aku mandi? Apa ia sempat melihatku telanjang?
Aku buru-buru berpakaian, mengenakan semua yang disiapkan untukku. Aku membuka pintu sedikit dan mengintip ke luar. Sepertinya dapur itu kosong. Aku membuka pintu lebih lebar dan tibatiba seorang perempuan muncul begitu saja. Ia seumuran ibuku, rambutnya ikal pirang dan sepertinya diwarnai dengan pewarna rambut rumahan. Perempuan itu mengenakan kaus tebal lengan panjang bergambar dua koala bertopi Santa yang berpelukan. Namun, satu-satunya hal yang menarik perhatianku adalah mug panas mengepul yang ia pegang.
" Kasihan sekali kau!" katanya. Suaranya sangat keras, tipe orang yang suaranya bisa dengan mudah kaudengar dari seberang lapangan parkir. " Stuart ada di lantai atas. Aku ibunya."
Aku menerima mug itu. Kalaupun isinya racun panas, aku tetap akan meminumnya.
" Kasihan sekali kau," kata perempuan itu lagi. " Jangan khawatir. Kami akan membuatmu hangat lagi. Maaf, aku tidak bisa menemukan pakaian yang lebih cocok untukmu. Itu pakaian Stuart, satusatunya pakaian bersih yang bisa kutemukan di ruang cuci. Aku menaruh pakaianmu di mesin cuci sementara mantel dan sepatumu dijemur di dekat pemanas. Kalau kau perlu menelepon seseorang,
Begitulah perkenalanku dengan ibu Stuart (" Panggil aku Debbie" ). Aku baru mengenalnya selama dua puluh detik dan ia sudah melihat pakaian dalamku serta menawariku pakaian putranya. Perempuan itu langsung menyuruhku duduk di depan meja dapur dan mulai mengeluarkan piring-piring berlapis plastik pembungkus dari lemari es.
" Kami sudah makan Malam Natal saat Stuart masih bekerja, tapi aku memasak banyak! Banyak sekali! Makanlah!"
Ada banyak sekali makanan: daging kalkun dan kentang tumbuk, saus daging, isian kalkun, semuanya lengkap. Perempuan itu mengeluarkan semua masakan dan memaksaku menyantap sepiring besar hidangan, ditambah semangkuk sup pangsit ayam panas. Saat itu aku lapar mungkin itu titik terlapar dalam hidupku.
Stuart muncul dibang pintu. Seperti aku, ia juga mengenakan pakaian hangat. Ia mengenakan celana piama flanel serta sweter panjang dan tebal. Aku tidak tahu& mungkin karena rasa terima kasih yang membuncah, karena aku lega masih hidup, atau karena tidak ada kantong plastik di kepalanya& tapi Stuart lumayan tampan. Semua kekesalanku padanya tadi pun lenyap.
" Kau akan membuat Julie nyaman untuk menginap, kan?" tanya ibunya. " Matikan lampunya supaya itu tidak membuatnya terjaga."
" Aku minta maaf& " kataku. Baru sekarang aku sadar aku sudah mengganggu mereka saat Natal.
" Tidak usah minta maaf! Aku senang kau memutuskan datang kemari! Kami akan menjagamu. Pastikan selimut untuknya cukup, Stuart."
" Pasti akan ada selimut," Stuart meyakinkan ibunya. " Dia butuh selimut sekarang. Lihat. Dia menggigil. Kau juga. Ayo, duduk di sini."
Ibu Stuart tergopoh-gopoh ke ruang tengah. Stuart mengangkat
kembali membawa dua selimut wol. Aku dibalut selimut biru gelap. Perempuan itu benar-benar membungkusku seperti membungkus bayi sampai-sampai aku sedikit kesulitan menggerakkan tangan.
" Kau butuh lebih banyak cokelat panas," katanya. " Atau teh? Kami punya semua jenis teh."
" Beres, Mom," kata Stuart.
" Mau sup lagi? Makan supnya. Itu sup buatan rumah, dan sup ayam seperti antibiotik alami. Setelah kalian berdua kedinginan& "
" Beres, Mom."
Debbie mengambil mangkuk supku yang setengah kosong, mengisinya sampai penuh, dan menaruhnya di microwave.
" Pastikan dia tahu semua tempat penting, Stuart. Kalau kau bu- tuh sesuatu pada malam hari,bil saja. Anggap saja rumah sendiri. Sekarang kau bagian dari kami, Julie."
Aku menghargai kebaikannya, tapi kurasa kalimatnya itu agak aneh.
S TUART dan aku menghabiskan momen-momen tenang
sambil makan dengan lahap setelah Debbie pergi. Tapi aku merasa perempuan itu tidak benar-benar pergi aku tidak mendengar langkah kakinya menjauh. Kurasa Stuart juga merasakan hal sama karena ia terus-terusan menengok ke belakang.
" Sup ini benar-benar enak," kataku, kedengarannya itu komentar yang bagus kalau ada yang menguping. " Aku belum pernah makan sup seperti ini. Pangsitnya& "
" Kau pasti bukan Yahudi," kata Stuart, bangkit dan menutup pintu lipat dapur. " Itu bola-bola daging Matzo."
" Kau Yahudi?"
Stuart mengangkat satu jari, menyuruhku menunggu. Ia mengguncang pintu itu sedikit, dan terdengar langkah-langkah cepat, seakan ada seseorang yang buru-buru menaiki tangga.
" Sori," kata Stuart. " Kukira ada tamu. Pasti itu tikus. Ya, ibuku Yahudi, jadi bisa dibilang aku Yahudi. Tapi ibuku menggemari Natal. Kurasa ia melakukannya agar bisa berbaur di tempat ini. Tapi dia cenderung berlebihan."
Tujuh
ngan, penutup panggangan roti, magnet-magnet lemari es, gorden, taplak meja, dekorasi di tengah meja& semakin kuperhatikan, tema Natal semakin terasa.
" Apa kau memperhatikan hiasan holly elektrik saat masuk kema- ri?" tanya Stuart. " Melihat kondisinya sekarang, rumah kami tidak akan pernah tampil di halaman depan majalah bulanan Yahudi." " Jadi, kenapa& "
Ia mengangkat bahu.
" Karena kebiasaannya memang begitu," katanya, mengambil sepotong daging kalkun, melipatnya, dan memasukkannya ke mulut. " Terutama di sekitar sini. Tempat ini tidak termasuk komunitas Yahudi yang berkembang. Di kelas sekolah Yahudi-ku hanya ada aku dan satu cewek lain."
" Pacarmu?"
Ekspresinya berubah, sekilas dahinya berkerut dan bibirnya berkedut. Kurasa ia menahan tawa.
" Hanya karena cuma kami berdua yang ada di situ bukan berarti kami harus berpasangan," kata Stuart. " Tidak akan ada yang berkata, Oke, duo-Yahudi, menarilah! Bukan, dia bukan pacarku."
" Sori," kataku cepat. Itu kali kedua aku menyinggung soal pacarnya berusaha menunjukkan pengamatanku yang baik dan lagi-lagi ia mengalihkan topik. Cukup sudah. Aku tidak akan menyinggung hal itu lagi. Stuart jelas tidak mau membicarakan pacarnya. Itu sedikit aneh& sepertinya dia tipe cowok yang akan dengan bahagia mengoceh tentang ceweknya selama tujuh jam. Auranya seperti itu.
" Tidak apa-apa." Ia mengambil lebih banyak kalkun, kelihatan- nya sudah lupa bagaimana terkadang aku bisa jadi begitu bodoh. " Aku merasa orang-orang di sini senang dengan keberadaan kami kami. Kami seperti menambah warna baru di lingkungan ini. Sekarang di sini ada taman bermain, tempat daur ulang yang efisien,
" Tapi, apakah tidak aneh?" tanyaku, memungut tempat garam orang-orangan salju. " Semua dekorasi Natal ini?"
" Mungkin. Tapi ini kan cuma liburan besar. Semuanya memang kelihatan palsu, tapi tidak apa-apa. Ibuku senang merayakan segala sesuatu. Sungguh. Kerabat-kerabat kami di tempat lain menganggap kami aneh karena kami punya pohon Natal, tapi pohon kan memang bagus. Pohon sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama."
" Benar," kataku. " Apa pendapat ayahmu?" " Tidak tahu. Dia tidak tinggal di sini."
Stuart sepertinya tidak terbebani dengan fakta tersebut. Ia mengetuk-ngetuk meja untuk mengusir topik itu, lalu bangkit.
" Aku akan menyiapkan tempat untukmu," katanya. " Sebentar, ya."
Aku bangkit dan memperhatikan sekeliling. Ada dua pohon Natal: pohon Natal mungil dekat pigura-pigura foto, serta pohon Natal besar kira-kira dua setengah meter di sudut ruangan. Pohon itu sedikit miring karena berat semua hiasan Natal buatan tangan, lampu-lampu Natal yang dililit berulang-ulang, dan mungkin sekitar sepuluh kotak hiasan rumbai-rumbai dari kertas perak.
Di ruang tengah ada piano yang penuh dengan kertas not balok dengan beberapa coretan tambahan di atasnya. Aku tidak bisa main alat musik, jadi semua musik tampak rumit bagiku tapi yang ini kelihatannya lebih rumit dari yang biasanya. Pasti ada yang jago main piano di situ. Itu bukan sekadar " piano pajangan" .
Namun yang sesungguhnya menarik perhatianku adalah pajangan di atas piano. Pajangan itu lebih kecil dan jauh lebih sederhana dibandingkan punya kami, tapi itu tetap Flobie Santa Village, yang dipagari rangkaian bunga.
wa setumpuk besar selimut dan bantal yang kemudian ditumpahkannya ke sofa.
Tentu saja aku tahu. Mereka punya lima pajangan Merry Men Caf, toko permen, Toko Peralatan Festive Frank, Elfateria, dan toko es krim.
" Kurasa kalian pasti punya lebih banyak dari kami," kata Stuart. " Kami punya lima puluh enam pajangan."
Stuart bersiul kagum dan mengulurkan tangan untuk menyalakan pajangan itu. Tidak seperti kami, mereka tidak punya sistem bagus untuk menyalakan seluruh rumah itu secara bersamaan. Stuart harus memutar tombol di setiap pajangan satu per satu, membuatnya hidup.
" Ibuku menganggap pajangan-pajangan itu semacam investasi," kata Stuart. " Ia menganggap mereka barang berharga." " Mereka semua beranggapan begitu," kataku bersimpati. Aku mengamati pajangan-pajangan itu dengan gaya ahli. Biasanya aku jarang mengungkapkannya, tapi aku sebenarnya tahu banyak soal Flobie Santa Village alasannya sudah jelas. Aku bisa menawar sendiri di pameran apa pun.
Pedang Bayangan Dan Panji Sakti Huan Satria Lonceng Dewa 3 Pangeran Bunga Trio Detektif 14 Misteri Naga Batuk
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama