Ceritasilat Novel Online

Dalam Derai Salju 2

Dalam Derai Salju Let It Snow Karya Maureen Johnson, John Green, Lauren Myracle Bagian 2

" Begini," kataku, menunjuk Merry Men Caf, " yang satu ini lumayan berharga. Lihat batu bata dan kusen jendela hijaunya? Ini pajangan generasi pertama. Pada tahun kedua, semua kusen jendela dicat hitam."

Aku mengangkatnya dengan hati-hati dan mengecek bagian bawahnya.

" Ini bukan pajangan bernomor," kataku, memperhatikan bagian dasarnya. " Meski begitu& pajangan generasi pertama dengan perbedaan yang bisa dilihat tetap bagus. Selain itu mereka berhenti membuat Merry Men Caf lima tahun lalu, jadi harganya jelas lebih tinggi. Yang ini nilainya mungkin sekitar empat ratus dolar, tapi

" Oh, ya. Adikku yang melakukannya." " Kau punya adik?"

" Rachel," kata Stuart. " Umurnya lima tahun. Jangan khawatir. Kau akan bertemu dengannya. Dan itu lumayan keren."

" Kurasa keren bukan kata yang tepat. Mungkin tepatnya sayang sekali."

Stuart mematikan semua pajangan. " Siapa yang main piano?" tanyaku.

" Aku. Itu bakatku. Kurasa semua orang pasti punya bakat." Stuart menunjukkan ekspresi konyol yang membuatku tertawa. " Jangan menganggap enteng hal itu," kataku. " Banyak universitas yang menyukai orang-orang dengan bakat musik."

Yapun, aku kedengaran terlalu& aku kedengaran seperti orang-orang yang hanya melakukan sesuatu karena mereka pikir itu akan membuat mereka gampang diterima di kampus keren. Aku kaget saat menyadari bahwa itu kalimat Noah. Selama ini aku tidak pernah menganggap itu kalimat orang sok.

" Sori," kataku. " Aku cuma lelah."

Stuart melambaikan tangan, seakan aku tidak perlu menjelaskan atau meminta maaf.

" Ibu-ibu juga beranggapan begitu," katanya. " Dan para tetangga. Aku semacam monyet pertunjukan di daerah sini. Untungnya aku memang suka main piano, jadi semuaan. Jadi& semua selimut dan bantal ini untukmu, dan& "

" Aku baik-baik saja," kataku. " Ini cukup. Kau sungguh baik hati karena mengajakku menginap."

" Sudah kubilang, tidak masalah."

Ia berbalik dan beranjak pergi, lalu berhenti di tengah tangga. " Hei," katanya, " maaf ya aku tadi bersikap menyebalkan, saat kita sedang berjalan kaki. Aku cuma& "

kedinginan dan jadi mudah kesal. Jangan khawatir soal itu. Aku juga minta maaf. Trims ya."

Ia sepertinya hendak mengatakan hal lain, tapi tidak jadi dan hanya mengangguk lalu menaiki tangga. Aku mendengarnya sampai ke atas, lalu turun lagi beberapa langkah. Ia mengintip dari pegangan tangga paling atas.

" Selamat Natal," tambahnya sebelum berlalu.

Saat itulah gelombang kesedihan menerjangku. Mataku berkacakaca. Aku rindu keluargaku. Aku rindu Noah. Aku rindu rumah. Semua orang di situ sudah melakukan yang terbaik, tapi mereka bukan keluargaku. Stuart bukan pacarku. Aku berbaring lama sekali, berguling bolak-balik di sofa, mendengarkan dengkuran anjing di suatu tempat di lantai atas (kurasa itu dengkuran anjing), menghabiskan dua jam yang berlalu sangat pelan diiringi bunyi jam dinding yang berdetak keras.

Aku tidak tahan lagi.

Ponselku ada di saku mantel, jadi aku mencari-cari tumpukan pakaianku. Aku menemukannya di ruang cuci. Mantelku digantung dekat mesin pemanas. Rupanya ponselku tidak suka direndam air dingin. Layarnya kosong. Pantas saja tidak ada kabar dari Noah.

Ada telepon di konter dapur. Aku mengendap-endap, menurunkan telepon itu dari gantungan, lalu menekan nomor Noah. Noah baru menjawab setelah dering keempat. Suaranya lelah dan berat. " Ini aku," bisikku.

" Lee?" katany serak. " Jam berapa sekarang?"

" Jam tiga pagi," kataku. " Kau tidak pernah menelepon balik." Terdengar suara mendengus, sepertinya Noah sedang menjernihkan pikiran.

" Sori. Aku sibuk sepanjang malam. Tahu sendirilah, ibuku dan Smorgasbord. Kita bicara besok saja, ya? Nanti kutelepon setelah

Aku terdiam. Aku baru saja menghadapi badai terhebat setahun ini beberapa tahun tepatnya aku tercebur ke sungai beku, kedua orangtuaku dipenjara, dan dia masih tidak bisa bicara denganku?

Tapi& Noah baru saja menghabiskan malam melelahkan, sepertinya tidak ada gunanya membuang-buang cerita dan memaksanya mendengarkanku saat ia masih setengah mengantuk. Orang-orang tidak bisa sepenuhnya bersimpati padamu kalau kau membangunkan mereka, dan aku butuh Noah dalam kondisi seratus persen sadar. " Baiklah," kataku. " Besok."

Aku memanjat lagi ke gua selimut dan bantal. Semuanya berbau tajam dan tidak familier. Bukan bau tidak enak hanya bau tajam deterjen yang belum pernah kucium.

Kadang-kadang aku tidak memahami Noah. Kadang-kadang aku bahkan merasa ia hanya berkencan denganku sebagai bagian dari rencananya, seakan ada daftar dalam formulir pendaftaran universitas yang harus dicentang, misalnya, " Apa kau punya pacar lumayan pintar yang berbagi mimpi yang sama denganmu dan siap menerima terbatasnya waktu yang kaumiliki? Seseorang yang senang mendengarkanmu berbicara tentang pencapaian-pencapaian hebatmu selama berjam-jam?"

Tidak. Aku pasti berpikir begitu karena takut dan kedinginan, karena aku berada di tempat asing dan jauh dari keluargaku, karena aku stres orangtuaku ditahan gara-gara kerusuhan soal pajangan keramik. Kalau aku tidur, otakku akan kembali normal.

Aku memejamkan mata dan merasa bahwa seluruh dunia dipenuhi salju. Aku sedikit pening, agak mual, lalu tertidur lelap, lelap sekali, memimpikan sandwich waffle serta para pemandu sorak yang melakukan split di atas meja.

P AGI datang dalam wujud anak berumur lima tahun yang

langsung melompat ke perutku. Kedua mataku tersentak membuka karena berat tubuhnya.

" Siapa kau?" katanya girang. " Aku Rachel!"

" Rachel! Berhentilah melompat-lompat di atasnya! Dia sedang tidur!"

Itu suara ibu Stuart.

Rachel seperti Stuart-mini dengan wajah berbintik-bintik, rambut acak-acakan baru bangun tidur, serta senyum lebar. Aroma Cheerios menempel di tubuhnya dan ia perlu mandi. Debbie juga ada di situ, memegang secangkir kopi sambil menyalakan Flobie Santa Village. Stuart muncul dari arah dapur.

Aku tidak suka terbangun dan mendapati orang-orang dari tadi mondar-mandir di dekatku dan sempat melihatku tidur. Sayangnya, itu lumayan sering terjadi. Aku jagoan soal tidur. Aku pernah tidur terus saat alarm kebakaran berbunyi nyaring. Selama tiga jam. Di kamar tidurku.

" Kami akan menunda acara membuka kado," kata Debbie. " Jadi

Delapan

Mereka jelas melakukannya demi aku karena tidak ada hadiah untukku. Wajah Rachel terlihat seperti akan terbelah jadi dua, seperti sepotong buah yang terlalu matang. Stuart melirik ibunya, seakan bertanya apa itu benar-benar ide bagus.

" Kecuali Rachel," kata Debbie cepat.

Sungguh menakjubkan melihat betapa cepatnya suasana hati anak kecil berubah. Rachel berubah dari gundah gulana menjadi riang gembira hanya dalam kurun waktu yang biasanya dibutuhkan untuk bersin.

" Tidak," kataku. " Kalian juga harus membuka kado." Debbie menggeleng kuat-kuat sambil tersenyum.

" Stuart dan aku bisa menunggu. Bagaimana kalau kau bersiap untuk sarapan?"

Aku menyeret langkah ke kamar mandi dengan kepala tertunduk, berupaya melakukan perbaikan penampilan pagi hari. Rambutku terlihat seperti sedang audisi untuk acara komedi sementara kulitku kering dan pecah-pecah. Aku mengerahkan usaha terbaik dengan air dingin dan sabun tangan berukir, yang intinya, tidak banyak perubahan.

" Apa kau ingin menelepon keluargamu?" tanya Debbie waktu aku muncul. " Ingin mengucapkan selamat Natal pada mereka?" Aku melirik Stuart, meminta bantuan untuk yang satu ini. " Itu agak sulit," kata Stuart. " Mereka bagian dari Flobie Five." Stuart jujur sekali. Tapi Debbie sepertinya tidak kaget. Matanya berbinar-binar seperti sedang bertemu selebriti.

" Orangtuamu ikut kerusuhan itu?" tanyanya. " Yapun, kenapa kau tidak bilang? Aku sangat menyukai Flobie Santa Village. Konyol sekali menjebloskan mereka ke penjara. Flobie Five! Oh, aku yakin penjara mengizinkan mereka bicara di telepon dengan putri

Stuart mendongak penuh arti padaku, seakan berkata, Sudah kubilang.

" Aku tidak tahu mereka ada di penjara apa," kataku. Aku langsung merasa bersalah begitu mengucapkannya. Kedua orangtuaku merana di dalam sel di suatu tempat, dan aku bahkan tidak tahu tempatnya.

" Itu sih mudah saja. Stuart, coba lihat di internet dan cari tahu di penjara mana mereka berada. Pasti ada di berita."

Stuart sudah berjalan ke luar ruangan dan berkata akan mengeceknya.

" Stuart jago banget untuk hal-hal seperti itu," kata Debbie. " Hal-hal seperti apa?"

" Oh, dia bisa menemukan apa pun di internet."

Debbie tipe orangtua yang masih belum paham bahwa menggunakan internet sama sekali bukan keahlian khusus dan siapa pun bisa menemukan segala macam hal di internet. Aku tidak mengatakan hal itu karena tidak ingin membuat orang merasa sudah melewatkan informasi yang sangat jelas meskipun itulah yang sebenarnya terjadi.

Stuart kembali membawa informasi tersebut dan Debbie langsung menelepon.

" Aku akan membuat mereka mengizinkanmu berbicara dengan kedua orangtuamu," katanya, menutupi gagang telepon dengan tangan. " Mereka belum tahu betapa ngotot& Oh, halo?"

Sepertinya mereka sedikit menyulitkan, tapi Debbie berhasil menekan mereka. Sam pasti kagum. Ia mengoper telepon itu padaku dan meninggalkan dapur sambil tersenyum lebar. Stuart ikut keluar sambil menggendong Rachel yang meronta-ronta.

" Jubilee?" kata ibuku. " Sayang! Apa kau baik-baik saja? Apa kau baru sampai ke Florida? Bagaimana Grandma dan Grandpa? Oh,

" Aku bukan di Florida. Keretanya tidak sampai ke sana. Aku di Gracetown."

" Gracetown?" ulang ibuku. " Kau baru sampai ke situ? Oh, Jubilee& kau di mana? Apa kau baik-baik saja? Apa kau masih di kereta api?"

Aku sedang tidak ingin menceritakan semua kejadian selama 24 jam terakhir, jadi aku menyampaikan versi singkatnya.

" Kereta apinya terjebak salju," kataku. " Kami harus turun. Aku bertemu beberapa orang dan menginap di rumah mereka."

" Beberapa orang?" Nada ibuku meninggi penuh kecemasan, nada yang menunjukkan bahwa ia khawatir aku tinggal dengan para pengedar narkoba dan pemerkosa. " Orang-orang macam apa?"

" Orang-orang baik, Mom. Seorang ibu dan dua anak. Mereka punya Flobie Santa Village. Tidak sebesar punya kita, tapi ada pajangan yang sama. Mereka punya toko permen, dengan etalase lengkap. Mereka juga punya toko roti jahe. Mereka bahkan punya Merry Men Caf generasi pertama."

" Oh," kata ibuku, terdengar lega.

Kurasa orangtuaku beranggapan bahwa para pengoleksi Flobie pastilah lumayan bermoral baik. Orang-orang dengan kelainan sosial tidak akan mungkin punya kesabaran untuk dengan hati-hati memasang orang-orangan jahe mungil di jendela toko roti. Padahal ba- nyak orang akan menganggap hal itu sebagai salah satu ciri-ciri orang sinting. Kurasa sinting bagi satu orang berarti waras untuk orang lain. Selain itu, kurasa aku lumayan cerdik dengan menggambarkan Stuart sebagai salah satu dari " dua anak" , bukannya " cowok bertopi kantong plastik yang kujumpai di Waffle House" .

" Apa kau masih di sana?" tanya ibuku. " Bagaimana dengan keretamu?"

gundukan salju. Mereka harus memadamkan listrik dan pemanas. Itu sebabnya kami turun."

Lagi-lagi aku lumayan cerdas dengan menyebut " kami" dan bu- kan " hanya aku sendiri yang menyeberangi jalan tol enam jalur di tengah badai salju" . Aku juga tidak berbohong. Jeb, semuaber, dan semua Madison juga menyeberang setelah aku meninggalkan jejak di jalur itu. Saat berumur enam belas tahun, kau harus pintar-pintar mengedit percakapan.

" Bagaimana& " Bagaimana cara bertanya pada ibumu tentang keadaan di penjara?

" Kami baik-baik saja," kata ibuku tabah. " Kami& Oh, Julie. Oh, sayang. Aku minta maaf sekali soal ini. Aku sungguh minta maaf. Kami tidak bermaksud& "

Tangis ibuku sepertinya hampir meledak, dan itu berarti tangisku juga akan meledak jika aku tidak mencegahnya.

" Aku baik-baik saja," kataku. " Orang-orang di sini merawatku dengan baik."

" Boleh aku bicara dengan mereka?"

Mereka berarti Debbie, jadi aku memanggil ibu Stuart. Debbie berbicara di telepon dan mengobrol dari hati-ke-hati khas ibu-ibu, membahas kecemasan tentang anak-anak secara umum dengan wajah berkerut sedih. Debbie pintar sekali membuat ibuku tenang dan dari pembicaraannya, sepertinya ia tidak akan membiarkanku pergi ke mana pun selama setidaknya satu hari penuh. Aku mendengarnya menolak mentah-mentah pikiran bahwa keretaku pasti bisa berangkat dan aku bisa sampai ke Florida.

" Jangan khawatir," katanya pada ibuku. " Kami akan merawat anak perempuanmu ini. Kami punya banyak makanan lezat dan kami akan membuatnya tetap nyaman dan hangat sampai semuanya lancar lagi. Dia akan mendapatkan liburan yang menyenangkan. Percayalah.

Jeda sejenak saat ibuku melengking mengucapkan rasa terima kasih dengan penuh keakraban antar-ibu.

" Tidak ada yang direpotkan!" Debbie terus bicara. " Kami senang menerimanya. Semangat Natal memang seperti ini, kan? Jaga diri baik-baik di sana. Kami semua penggemar Flobie mendukungmu."

Saat menutup telepon, Debbie mengusap air mata dan menulis serangkaian nomor di magnet bloknot " Daftar Kurcaci" lemari esnya.

" Aku harus menelepon untuk mengecek kereta apiku," kataku. " Kalau boleh."

Tidak ada yang mengangkat telepon, mungkin karena itu hari Natal, tapi pesan di mesin perekam berkata bahwa ada " penundaan penting" . Aku menatap ke luar jendela saat pesan itu menyebutkan pilihan-pilihan yang tersedia. Salju masih terus turun. Pemandangannya memang bukan pemandangan kiamat seperti semalam, tapi derai-derai salju masih cukup deras.

Debbie tetap di situ sejenak, lalu beranjak pergi. Aku menekan nomor Noah. Ia mengangkat telepon pada dering ketujuh. " Noah!" kataku lirih. " Ini aku! Aku& "

" Hei!" katanya. " Dengar, kami semua baru mau sarapan." " Aku baru saja melalui malam yang sulit," kataku. " Oh, tidak. Sori, Lee. Dengar, nanti kutelepon sebentar lagi, ya. Aku punya nomornya. Selamat Natal!"

Tidak ada kalimat " Aku sayang kamu" . Tidak ada " Liburanku hampa tanpamu" .

Aku tidak tahan lagi. Kerongkonganku tersekat karena menahan tangis, tapi aku tidak mau jadi cewek yang menangis tersedu-sedu saat pacar mereka tidak bisa mengobrol& meskipun situasiku sedi
" Tentu," kataku, menjaga agar suaraku tetap tenang. " Sampai nanti, ya. Selamat Natal."

Lalu aku berlari ke kamar mandi.

K AU tidak bisa menghabiskan waktu terlalu lama di kamar

mandi tanpa menimbulkan kecurigaan. Kalau sudah lebih dari setengah jam, orang-orang akan menatap lekat-lekat ke pintu dan mengkhawatirkanmu. Aku berada di kamar mandi selama itu, duduk dalam bilik pancuran dan menutup pintunya, terisak-isak ke handuk kecil bertuliskan BIARKAN SALJU TURUN!.

Ya, biarkan salju turun. Biarkan salju turun dan terus turun menguburku. Trims, Hidupku, ini lucu sekali.

Aku sedikit takut keluar, tapi begitu aku melakukannya, dapur itu ternyata kosong. Tapi tempat itu sedikit lebih ceria. Ada lilin Natal di konter dekat kompor, lagu-lagu Bing Crosby berkumandang keras, seteko kopi panas mengepul serta sepotong kue sudah menunggu di konter. Debbie muncul dari ruang cuci di samping kompor.

" Stuart sedang kusuruh ke tetangga sebelah, meminjam snowsuit untuk Rachel," katanya. " Punya Rachel yang lama sudah kekecilan. Tetangga kami punya yang seukuran dengannya. Sebentar lagi Stuart kembali."

Sembilan

Ia mengangguk penuh arti padaku, seakan berkata, Aku tahu kau butuh waktu sendiri. Aku memberimu kesempatan.

" Trims," kataku, duduk di belakang meja.

" Aku juga sudah berbicara dengan kakek-nenekmu," Debbie menambahkan. " Ibumu memberitahuku nomor mereka. Mereka cemas, tapi aku sudah menenangkan mereka. Jangan khawatir, Jubilee. Aku tahu liburan Natal kadang sedikit sedih, tapi kami akan berusaha membuat liburan kali ini istimewa untukmu."

Rupanya ibuku sudah memberitahukan nama asliku padanya. Debbie mengucapkannya dengan hati-hati, seakan ia ingin aku tahu ia sudah mengingat nama itu baik-baik dan sikapnya tulus.

" Biasanya orangtuaku sangat baik," kataku. " Baru kali ini aku mengalami liburan yang buruk."

Debbie bangkit dan menuangkan kopi untukku, lalu meletakkan cangkirnya di depanku, bersama segalon susu dan tempat gula rak- sasa.

" Aku tahu ini pasti pengalaman buruk untukmu," katanya, " tapi aku percaya ada mukjizat. Aku tahu kedengarannya norak, tapi aku sungguh percaya. Aku rasa kedatanganmu kemari adalah mukjizat kecil untuk kami."

Aku mendongak saat ia menuangkan susu ke kopiku dan nyaris membuat seisi cangkir luber. Aku sempat melihat tanda di kamar mandi bertuliskan ADA PELUKAN GRATIS DI SINI! Itu memang tidak aneh Debbie jelas orang yang sangat baik tapi ia sedikit terlalu sentimental.

" Trims," kataku ragu-ragu.

" Maksudku begini& Stuart hari ini terlihat sangat bahagia dibanding hari-hari belakangan& Mungkin seharusnya aku tidak cerita, tapi& Hmm, mungkin dia sudah cerita sendiri. Dia sudah cerita pada semua orang, dan kalian berdua sepertinya cocok, jadi& "

" Tentang Chloe," kata Debbie terbelalak. " Dia belum cerita, ya?"

" Siapa Chloe?"

Sebelum bercerita, Debbie bangkit dan mengiriskan sepotong besar kue untukku. Maksudku sepotong kue yang tebal. Setebal Harry Potter nomor tujuh. Aku bisa membuat pencuri pingsan dengan potongan kue itu. Tapi setelah mencicipinya, ukuran kue itu terasa pas. Debbie tidak main-main untuk urusan mentega dan gula.

" Chloe itu," katanya, merendahkan suara, " mantan pacar Stuart. Mereka putus tiga bulan lalu, dan Stuart& bagaimana ya, Stuart itu manis sekali& dia sedih sekali gara-gara itu. Chloe jahat sekali padanya. Jahat sekali. Setelah sekian lama, baru tadi malam aku melihat binar-binar kebahagiaan kembali hidup dalam diri Stuart. Saat kau duduk di sini bersamanya."

" Aku& apa?"

" Stuart itu hatinya baik," Debbie melanjutkan, tidak memperha- tikan bahwa aku mematung di tengah-tengah menyuap kue. " Wak- tu ayahnya, dan ayah Rachel, mantan suamiku, meninggalkan kami, umurnya baru dua belas tahun. Tapi kau seharusnya melihat betapa ia membantuku dan betapa ia menjaga Rachel. Stuart benarbenar cowok yang baik."

Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Membahas putusnya Stuart bersama ibunya benar-benar membuatku tidak nyaman. Orang bilang sahabat baik semua cowok adalah ibunya. Tapi yang lebih tepat sebenarnya: germo terbaik setiap cowok adalah ibunya. Ungkapan itu jelas memiliki alasan kuat.

Yang lebih parah lagi, kalau situasinya memang bisa bertambah parah, dan sepertinya memang bisa& akulah salep yang menyembuhkan luka-luka hati putranya. Mukjizat Natalnya. Debbie akan

dengan kaus-kaus tebal yang kebesaran. Aku akan menjadi Pengantin Flobie.

" Kau tinggal di Richmond, kan?" Debbie terus mengoceh. " Berarti itu sekitar& dua-tiga jam dengan mobil& ."

Saat aku sedang berpikir untuk kembali mengunci diri di kamar mandi, Rachel muncul daribang pintu sambil melompat-lompat, ia berseluncur ke arahku dengan sandalnya. Ia memanjat naik ke pangkuanku dan memperhatikan kedua mataku lekat-lekat. Ia tetap perlu mandi.

" Ada apa?" tanyanya. " Kenapa kau menangis?"

" Dia kangen keluarganya," kata Debbie. " Ini Natal, dan ia tidak bisa bertemu keluarganya karena salju turun."

" Kami akan menjagamu," kata Rachel, meraih tanganku dan mengeluarkan suara imut " kuberitahu rahasiaku ya" ala anak kecil yang sangat menggemaskan. Namun mengingat komentar terakhir ibunya, kalimatnya itu terasa sedikit mengancam.

" Itu manis sekali, Rachel," kata Debbie. " Sekarang ayo gosok gigi seperti anak perempuan yang sudah besar. Jubilee bisa menggosok gigi loh."

Bisa, tapi belum. Tidak ada sikat gigi di ranselku. Aku benarbenar sedang kalut saat berkemas.

Aku mendengar pintu depan terbuka dan sesaat kemudian Stuart muncul di dapur membawa snowsuit.

" Aku barusan harus melihat dua ratus foto di bingkai foto digital," katanya. " Dua ratus. Mrs. Henderson ingin agar aku paham betul betapa kerennya bingkai foto yang bisa memuat dua ratus foto. Apa aku sudah bilang ada dua ratus foto di dalamnya? Begitulah."

Ia meletakkan snowsuit itu, lalu pamit untuk mengganti jinsnya yang basah kuyup karena salju.

mengajak nona kecil ini bermain di luar supaya kau bisa beristirahat. Kau dan Stuart sama-sama kedinginan semalam. Tetaplah di sini dan jaga badanmu agar tetap hangat, setidaknya sampai kami bisa mendapat info tentang kereta apimu. Aku sudah berjanji pada ibumu untuk menjagamu. Kau dan Stuart bisa duduk-duduk di rumah. Minum cokelat panas, makan, masuk ke dalam selimut& "

Dalam situasi lain, aku pasti akan berasumsi bahwa kalimat terakhir tersebut berarti, " Masuklah ke dalam dua selimut berbeda yang jaraknya beberapa meter dari satu sama lain, kemungkinan besar dengan dijaga serigala di antara kalian." Biasanya kalimat seperti itulah yang dimaksud para orangtua. Aku merasa Debbie asyik-asyik saja dengan kegiatan apa pun yang akan kami lakukan. Kalau kami berniat duduk di sofa sambil berduaan dalam selimut agar tubuh kami tetap hangat, Debbie tidak akan keberatan. Debbie mungkin justru akan menurunkan suhu pemanas dan menyembunyikan semua selimut kecuali satu. Ia mengambil snowsuit itu dan berangkat mencari Rachel.

Itu benar-benar mengejutkan sampai-sampai aku melupakan traumaku.

" Kau terlihat pucat," kata Stuart begitu ia kembali. " Apa ibuku menakut-nakutimu?"

Aku tertawa sedikit terlalu keras dan terbatuk-batuk karena tersedak kue. Stuart menunjukkan ekspresi yang sama seperti saat di Waffle House semalam, saat aku mengoceh tentang secara garis besar Swedia dan sinyal buruk di ponselku. Tapi seperti semalam, ia tidak berkomentar apa-apa soal sikapku. Ia hanya menuang secangkir kopi untuk dirinya dan melirikku dari sudut mata.

" Ibuku akan mengajak adikku jalan-jalan sebentar," katanya. " Jadi cuma ada kita berdua nih. Apa yang ingin kaulakukan?"

L IMA menit kemudian kami sudah duduk di ruang tengah,

di antara kerlap-kerlip Flobie Santa Village. Stuart dan aku duduk di sofa, tapi bukan seperti yang mungkin Debbie harapkan, berpelukan di bawah selimut yang sama. Kami menggunakan dua selimut berbeda dan aku duduk sambil melipat kaki, membentuk pagar pelindung dengan lututku. Di lantai atas, aku bisa mendengar teriakan tertahan Rachel yang dipaksa mengenakan snowsuit.

Aku memperhatikan Stuart lekat-lekat. Cowok itu masih terlihat tampan. Tidak sama dengan Noah. Noah bukannya tidak bercela. Dia tidak punya karakteristik khusus. Dia hanya punya serangkaian karakteristik yang secara umum saling melengkapi satu sama lain dan membentuk satu paket lengkap yang kelihatan menarik dalam pakaian yang tepat. Dia tidak sok keren, tapi anehnya selalu bisa menebak trend baru. Contohnya dia akan mengenakan kemeja dengan salah satu sisi dimasukkan sementara sisi lain dikeluarkan, lalu kau akan melihat bahwa di katalog fashion semua cowok memakai kemeja seperti itu. Noah selalu selangkah lebih maju. Gaya berpakaian Stuart sama sekali tidak keren. Ia mungkin ti
Sepuluh

dak terlalu tertarik dengan pakaian dan menurut tebakanku, ia sama sekali tidak tahu bahwa ada cara-cara lain untuk mengenakan kaus dan jins. Ia menarik lepas sweater dan di baliknya ia memakai T-shirt merah polos. Itu mungkin terlalu biasa bagi Noah, tapi Stuart benar-benar santai, jadi T-shirt itu kelihatan cocok-cocok saja. Dan meski T-shirt itu longgar, Stuart ternyata lumayan berotot juga. Beberapa cowok bisa memberi kejutan seperti itu.

Kalaupun ia tahu rencana gila ibunya, ia tidak menunjukkannya. Ia melontarkan berbagai komentar lucu tentang hadiah-hadiah Rachel sementara aku tersenyum kaku, berpura-pura mendengarkan.

" Stuart!" Debbie berseru. " Bisa kemari, tidak? Snowsuit Rachel macet."

" Sebentar ya," kata Stuart.

Ia menaiki tangga dua-dua sementara aku turun dari sofa dan mengamati pajangan-pajangan Flobie. Mungkin kalau aku bisa mengobrolkan nilai-nilai potensial pajangan-pajangan itu, ia akan berhenti berbicara padaku soal Stuart. Tentu saja rencana itu bisa menjadi bumerang dan justru membuatnya makin menyukaiku.

Ada semacam bisik-bisik diskusi keluarga di atas sana. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Rachel dan snowsuit itu, tapi kedengarannya cukup rumit. Stuart berkata, " Mungkin kalau dia kita pegang terbalik& "

Ini pertanyaan lain: Kenapa Stuart tidak menyinggung soal Chloe ini padaku? Kami memang bukan sahabat atau apa, tapi kami sepertinya akur, dan Stuart merasa cukup nyaman untuk mencecarku soal Noah. Kenapa ia tidak mengatakan sesuatu saat aku menyinggung soal pacarnya, terutama kalau Debbie benar dan ia sudah bercerita pada semua orang soal itu?

Bukannya aku peduli. Itu jelas bukan urusanku. Stuart mungkin

tidak berniat untuk dekat denganku. Kami berteman. Teman baru, tapi tetap saja cuma teman. Aku, lebih dari siapa pun, tidak boleh menghakimi seseorang hanya karena orangtuanya bersikap aneh dan membuatnya terjebak dalam situasi canggung. Aku, yang orangtuanya di penjara dan yang berlari tengah malam di tengah badai. Kalau ibunya punya DNA makcomblang yang sedikit menakutkan, itu bukan salah Stuart.

Saat mereka berdua turun (Rachel dalam gendongan Stuart karena anak itu kelihatannya tidak bisa bergerak dalam snowsuit itu), aku merasa lebih rileks soal seluruh situasi itu. Stuart dan aku sama-sama korban tingkah laku orangtua kami. Dalam hal itu, ia seperti kakak lelaki buatku.

Begitu Debbie menyenggol Rachel yang terbungkus seperti mumi ke luar rumah, aku sudah berhasil menenangkan diri. Sekitar satu jam ke depan, aku akan menghabiskan waktu yang tenang dan santai bersama Stuart. Aku senang kalau ada dia, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saat aku berbalik untuk memulai waktu yang tenang dan santai tersebut, kuperhatikan Stuart duduk dengan dahi berkerut. Ia menatapku lekat-lekat.

" Boleh tanya sesuatu, tidak?" katanya. " Hm& "

Ia menjalin jari-jari tangannya dengan gugup. " Bagaimana cara menanyakannya, ya? Aku mau tanya. Aku barusan mengobrol dengan ibuku, dan& "

Tidak. Tidak, tidak, tidak, tidak. " Namamu Jubilee?" katanya. " Serius?"

Aku mengenyakkan badan di sofa dengan lega, membuatnya terlonjak sedikit. Topik yang biasanya kuhindari& kini menjadi topik yang paling indah dan kusambut dengan baik. Jubilee merasa penuh kemenangan.

" Siapa tuh Jubilee Hall?"

" Bukan siapa. Apa. Itu salah satu pajangan Flobie. Kau tidak punya. Tidak apa-apa. Silakan tertawa. Aku tahu itu konyol."

" Aku diberi nama sesuai nama ayahku," kata Stuart. " Nama awal dan nama tengah yang sama. Itu sama konyolnya." " Masa sih?" tanyaku.

" Setidaknya kau kan masih punya desa Santa itu," kata Stuart santai. " Ayahku tidak pernah ada."

Harus kuakui itu kesimpulan yang tepat. Stuart tidak terdengar getir soal ayahnya. Sepertinya hal itu sudah lama berlalu dan tidak penting lagi dalam hidupnya.

" Aku tidak kenal Stuart mana pun," kataku. " Kecuali Stuart Little. Dan kau."

" Benar banget. Siapa sih yang menamai anak mereka Stuart?" " Siapa yang menamai anak mereka Jubilee? Itu bahkan bukan nama. Benda juga bukan. Memangnya apa sih jubilee itu?"

" Itu semacam perayaan, kan?" kata Stuart. " Kau ini seperti perayaan keliling yang meriah."

" Aduh, tidak tahu deh."

" Nih," kata Stuart, bangkit dan mengulurkan tangan mengambil salah satu hadiah Rachel. Itu permainan bernama Perangkap Tikus. " Ayo, kita main."

" Itu kan punya adikmu," kataku.

" Terus kenapa? Aku juga tetap harus main ini dengannya nanti. Lebih baik belajar dulu. Kelihatannya bagiannya banyak sekali. Ini cara yang bagus untuk menghabiskan waktu."

" Aku tidak pernah bisa sekadar menghabiskan waktu," kataku. " Aku merasa aku harus melakukan sesuatu."

" Seperti apa?"

" Seperti& "

Noah bukan cowok yang senang santai-santai. Untuk bersenang-senang, kami memperbarui situs Web OSIS.

" Kurasa," kata Stuart, mengangkat kotak Perangkat Tikus dan melepas tutupnya, " kau pasti punya kehidupan keren di kota besar. Dari mana pun kau berasal."

" Richmond."

" Richmond yang keren. Tapi di Gracetown ini, bersantai itu semacam seni. Nah& kau mau warna apa?"

Aku tidak tahu kegiatan apa saja yang dilakukan Debbie dan Rachel, yang jelas mereka berjalan-jalan di tengah salju sampai dua jam lebih Stuart dan aku main Perangkap Tikus selama itu. Pada kali pertama, kami mencoba melakukannya sesuai aturan, tapi Perangkap Tikus punya banyak sekali alat dan unit yang bisa berayun dan menjatuhkan kelereng. Untuk ukuran mainan anak-anak, Perangkap Tikus itu cukup rumit.

Begitu kami bermain lagi untuk kedua kali, kami menciptakan semua aturan baru yang lebih kami sukai. Stuart benar-benar teman yang menyenangkan sangat menyenangkan sampai-sampai aku tidak sadar (tidak terlalu) bahwa Noah lama sekali tidak menelepon balik. Saat telepon berdering, aku melompat.

Stuart yang mengangkat telepon karena itu rumahnya, dan ia mengoper telepon ke arahku dengan ekspresi aneh, seakan ia sedikit tidak senang.

" Siapa itu?" tanya Noah saat aku berbicara di telepon. " Itu Stuart. Aku menginap di rumahnya." " Bukannya kau ke Florida?"

Di belakang Noah, aku mendengar suara-suara ribut. Musik,

" Kereta apiku terjebak salju," kataku. " Kami menabrak timbunan salju. Aku akhirnya turun dan berjalan ke Waffle House, dan& " " Kenapa kau turun?"

" Karena ada banyak pemandu sorak," kataku sambil mendesah. " Pemandu sorak?"

" Intinya aku akhirnya ketemu Stuart dan menginap di rumahnya. Dalam perjalanan kami tercebur ke sungai beku. Aku tidak apa-apa, tapi& "

" Wow," kata Noah. " Kedengarannya rumit banget." Akhirnya. Noah paham.

" Dengar," katanya. " Kami mau main ke rumah tetangga. Nanti kutelepon sekitar sejam lagi dan kau bisa menceritakan semuanya."

Aku menjauhkan gagang telepon dari telingaku saking kagetnya. " Noah," kataku, kembali bicara. " Dari tadi kau mendengarkanku, tidak?"

" Dengar. Pokoknya kau harus cerita semua. Kami tidak akan lama kok. Paling-paling satu-dua jam."

Dan Noah pun pergi. Lagi.

" Cepat sekali," kata Stuart, muncul di dapur dan beranjak ke kompor. Ia menjerang air di ketel.

" Dia harus pergi," kataku lesu. " Dia pergi begitu saja? Tolol juga ya." " Kenapa itu tolol?"
Dalam Derai Salju Let It Snow Karya Maureen Johnson, John Green, Lauren Myracle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Menurutku sih begitu. Kalau aku pasti khawatir. Aku gampang khawatir."

" Kau tidak kelihatan gampang khawatir," gerutuku. " Kau terlihat sangat senang."

" Orang kan bisa senang sekaligus khawatir. Aku pasti khawatir."

" Badai ini misalnya," kata Stuart, menunjuk jendela. " Aku sedikit khawatir mobilku bakal hancur terkena pengeruk salju." " Perenungan yang dalam banget," kataku.

" Memangnya aku harus bilang apa?"

" Kau tidak harus bilang apa-apa," jawabku. " Tapi bagaimana kalau badai ini merupakan bukti bahwa ada perubahan iklim? Atau bagaimana dengan orang-orang sakit yang tidak bisa ke Rumah Sakit karena salju?"

" Noah bakalan bilang begitu, ya?"

Aku tidak terlalu senang mendengar ia tiba-tiba menyinggung soal pacarku. Stuart tidak salah. Noah memang akan berkata begitu. Tebakannya tepat dan sedikit menakutkan.

" Tadi kau bertanya," kata Stuart, " dan aku memberitahukan jawabanku. Apa aku boleh mengatakan sesuatu yang benar-benar tidak ingin kaudengar?" tanyanya.

" Tidak."

" Dia mau putus denganmu."

Begitu Stuart mengatakannya, perutku serasa ditonjok. " Aku hanya berusaha membantu. Maaf ya," Stuart melanjutkan, mengamati ekspresiku. " Tapi dia memang mau putus denganmu."

Saat Stuart masih bicara pun aku tahu dalam hati bahwa ia sedang menyampaikan sesuatu yang mengerikan, sesuatu yang& kemungkinan besar benar. Noah menghindariku seakan aku ini tugas meskipun Noah selalu mengerjakan tugas. Ia selalu menyambut semua tugas. Hanya aku yang ia hindari. Noah yang cakep, populer, keren dalam semua level, sekarang menyingkirkanku. Kesadaran itu terasa perih. Aku benci Stuart karena berkata begitu dan ia perlu tahu itu.

" Apa kau cuma bilang begini gara-gara Chloe?" tanyaku. Berhasil. Stuart sedikit tersentak. Rahangnya bergerak-gerak, lalu

" Biar kutebak," katanya. " Ibuku yang cerita, ya?" " Ibumu tidak cerita semua."

" Ini tidak ada hubungannya dengan Chloe," kata Stuart. " Masa?" jawabku. Aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi antara Stuart dan Chloe, tapi aku mendapatkan reaksi yang kuinginkan.

Stuart berdiri dan kelihatan sangat tinggi dari posisiku. " Ini tidak ada hubungannya dengan Chloe," kata Stuart lagi. " Apa kau ingin tahu dari mana aku tahu apa yang akan terjadi?"

Sebenarnya tidak, aku tidak ingin tahu. Tapi Stuart tetap akan mengatakannya.

" Pertama, dia menghindarimu saat Natal. Mau tahu orang seperti apa yang melakukan itu? Orang yang ingin putus dengan seseorang. Kau tahu kenapa? Karena hari-hari penting membuat mereka panik. Hari libur, ulang tahun, hari jadian& mereka merasa bersalah, dan mereka tidak sanggup merayakannya bersamamu."

" Dia cuma sibuk," kataku lemah. " Dia punya banyak kegiatan."

" Begini ya, kalau aku punya pacar, dan orangtua pacarku ditangkap pada Malam Natal, dan dia harus naik kereta api di tengah badai salju& sepanjang malam ponselku pasti kubawa ke mana pun. Dan aku akan menjawab telepon. Pada dering pertama. Setiap kali. Aku akan terus menelepon pacarku agar bisa tahu keadaannya."

Aku terdiam. Stuart benar. Seharusnya Noah memang melakukan semua itu.

" Selain itu, kau baru saja memberitahunya bahwa kau tercebur di sungai beku dan terjebak di kota asing. Dan dia menutup telepon? Kalau aku, aku akan melakukan sesuatu. Aku akan datang kemari, peduliat dengan salju. Mungkin itu kedengarannya ko
ku? Kalau dia tidak putus denganmu, kau yang harus mencampakkannya."

Stuart mengatakan semua itu dengan terburu-buru, seakan katakata itu tertiup oleh semacam topan emosional dari dalam dirinya. Tapi kata-katanya ada benarnya, dan itu sangat& menyentuh. Aku tahu Stuart bersungguh-sungguh. Ia mengatakan semua hal yang kuharap akan dikatakan Noah. Kurasa Stuart merasa bersalah karena sekarang ia bergerak gelisah tanpa suara, menunggu apakah kata-katanya tadi membuatku tersinggung. Baru satu-dua menit kemudian aku bisa bicara lagi.

" Aku perlu waktu sebentar," kataku akhirnya. " Apa ada tempat& untuk menyendiri?"

" Kamarku," kata Stuart. " Kamar kedua di sebelah kiri. Sedikit berantakan sih, tapi& "

Aku bangkit dan meninggalkan meja.

K AR Stuart berantakan. Ia tidak bercanda. Kamarnya

benar-benar bertolak belakang dengan kamar Noah. Satusatunya benda yang berdiri tegak hanyalah pigura foto di atas rak yang berisi foto yang sama dengan yang kulihat di dompetnya. Aku mendekat dan mengamati foto itu. Chloe benar-benar cantik. Aku serius. Rambutnya cokelat gelap dan panjang. Bulu matanya lebat, saking lebatnya mungkin bisa digunakan untuk mengepel lantai. Senyumnya lebar dan riang. Kulitnya kecokelatan alami dengan bintik-bintik yang manis. Chloe itu cantik sampai ke tulang.

Aku duduk di tempat tidur Stuart dan berusaha berpikir, tapi yang ada di kepalaku hanya dengung samar. Dari lantai bawah, aku mendengar alunan piano yang sangat indah. Stuart sedang memainkan lagu-lagu Natal. Ia punya gaya sendiri tidak seperti orangorang yang hanya bermain mengikuti not. Stuart seperti pemain piano di restoran atau di lobi hotel. Bisa juga di tempat yang lebih baik sih, tapi aku baru pernah melihat pemain piano di tempattempat seperti itu. Di luar jendela, dua burung kecil merapat di dahan, mengguncang-guncang salju dari tubuh mereka.

Sebelas

Ada telepon di lantai Stuart. Aku memungut dan menekan nomor pacarku. Noah kedengaran sedikit kesal saat mengangkat telepon.

" Hei," katanya. " Ada apa nih? Kami baru mau keluar dan& " " Dalam dua puluh empat jam terakhir," kataku, menyelanya, " kedua orangtuaku ditangkap polisi. Aku naik kereta api yang terjebak badai salju. Aku berjalan berkilo-kilometer mengarungi salju tebal dengan memakai kantong plastik di kepala. Aku tercebur ke sungai dan terpaksa tinggal di kota asing bersama orang-orang yang tidak kukenal. Dan alasanmu karena tidak bisa bicara denganku sebenarnya apa sih? Karena ini Natal?"

Kata-kataku membuat Noah terdiam. Sebenarnya bukan itu yang kuinginkan, tapi aku lega karena ia ternyata masih punya rasa malu.

" Kau masih mau pacaran denganku tidak sih?" tanyaku. " Jujur deh, Noah."

Hening untuk waktu lama di ujung sana. Rasanya terlalu lama sehingga jawabannya tidak mungkin, " Ya. Kaulah cinta sejatiku."

" Lee," kata Noah, suaranya lirih dan tegang. " Sebaiknya kita tidak membahas ini sekarang."

" Kenapa?"

" Ini kan Natal."

" Justru itu alasan yang baik untuk bicara, kan?" " Kau kan tahu situasi di sini seperti apa."

" Dengar ya," kataku dengan nada mulai marah. " Kau harus bicara padaku karena aku mau putus."

Aku nyaris tidak memercayai kata-kata yang baru saja meluncur dari bibirku. Kata-kata itu sepertinya berasal dari suatu celah dalam diriku, jauh melampaui ruang penyimpanan kata-kata yang biasanya, melampaui berbagai pikiran& Kata-kata itu berasal dari ruang

Hening lama.

" Oke," kata Noah. Aku tidak bisa mendeteksi nada bicaranya. Mungkin saja sedih. Mungkin juga lega. Ia tidak memintaku menimbang ulang. Ia tidak menangis. Ia tidak melakukan apa-apa. " Terus?" tanyaku.

" Terus apa?"

" Kau tidak mau berkata apa-apa?"

" Aku sudah sadar sejak agak lama," kata Noah. " Aku juga berpikiran sama. Dan kalau memang ini yang kauinginkan, bagaimana ya, kurasa ini memang jalan terbaik, dan& "

" Selamat Natal," kataku. Aku menutup telepon. Tanganku gemetaran. Seluruh tubuhku juga. Aku duduk di ranjang Stuart dan memeluk diriku sendiri. Di lantai bawah, alunan piano berhenti dan seluruh rumah tenggelam dalam kesunyian.

Stuart muncul di pintu, mendorongnya dengan hati-hati. " Hanya mengecek apa kau baik-baik saja," katanya.

" Sudah kulakukan," jawabku. " Aku mengangkat telepon dan melakukannya begitu saja."

Stuart mendekat dan duduk. Ia tidak merangkulku. Ia hanya duduk di sampingku, lumayan dekat, namun ada sedikit jarak di antara kami.

" Noah kedengarannya tidak terkejut," kataku. " Cowok brengsek memang seperti itu. Apa katanya?" " Dia bilang sudah tahu sejak lama dan ini memang jalan terbaik."

Entah kenapa aku jadi cegukan. Kami sama-sama berdiam diri cukup lama. Kepalaku pening.

" Chloe seperti Noah," kata Stuart akhirnya. " Sangat& sempurna. Cantik. Nilainya bagus. Dia ikut paduan suara, senang kegiatanal, dan kau pasti suka yang ini& dia pemandu sorak."

" Aku tidak pernah tahu alasannya pacaran denganku. Aku cuma cowok biasa, sedangkan dia Chloe Newland. Kami pacaran empat belas bulan. Kami tadinya lumayan bahagia, setahuku sih begitu. Setidaknya, aku bahagia. Yang menjadi masalah, Chloe selalu sibuk, lama-lama makin sibuk, dan tambah sibuk lagi. Terlalu sibuk untuk singgah di lokerku, mampir ke rumah, atau menelepon, atau mengirim e-mail. Jadi aku yang mampir ke rumahnya. Dan meneleponnya. Dan mengiriminya e-mail."

Seramnya, semua itu terdengar sangat familier.

" Suatu malam," Stuart melanjutkan, " kami seharusnya belajar bareng dan Chloe tidak muncul. Aku naik mobil ke rumahnya, tapi ibunya bilang Chloe tidak ada. Lalu aku mulai agak cemas karena biasanya Chloe setidaknya akan mengirim SMS kalau dia ingin membatalkan janji. Jadi aku mulai naik mobil berkeliling, mencari mobilnya maksudku, Gracetown kota kecil, jadi tempat nongkrong memang tidak banyak. Aku menemukan mobilnya di depan Starbucks, masuk akal juga sih. Kami sering belajar bareng di situ karena& lingkungan sosial memang tidak memberi kita pilihan lain, kan? Kadang-kadang pilihannya cuma Starbucks atau mati."

Sekarang Stuart menarik-narik jari-jarinya sendiri dengan marah.

" Aku tadinya mengira," kata Stuart terus terang, " aku yang salah. Mungkin kami memang sebetulnya janjian di Starbucks dan aku yang lupa. Chloe tidak terlalu suka datang ke rumahku. Kadangkadang ibuku membuatnya takut, kalau kau bisa percaya itu."

Stuart mendongak, seakan menungguku tertawa. Aku tersenyum sedikit.

" Aku sangat lega begitu melihat mobilnya di situ. Aku lumayan kesal setelah berkeliling cukup lama. Aku merasa seperti orang

suk, tapi dia tidak ada di meja mana pun. Addie, salah seorang temanku, sedang menjaga konter. Aku bertanya apa dia melihat Chloe karena mobil pacarku ada di situ."

Stuart mengacak-acak rambut sampai rambutnya mencuat tinggi. Aku menahan diri untuk tidak merapikan rambutnya. Aku lebih suka melihatnya seperti itu. Entah kenapa rambutnya yang mencuat ke atas membuatku merasa lebih baik menghilangkan sedikit rasa perih di dadaku.

" Addie menatapku sedih dan berkata, Kayaknya Chloe ke toilet deh. Aku tidak mengerti kenapa ia harus terlihat sedih kalau Chloe cuma ke toilet. Jadi aku membeli minuman, membelikan Chloe juga, lalu duduk dan menunggu. Hanya ada satu toilet di Starbucks kami, jadi lama-lama Chloe toh pasti keluar juga. Aku tidak membawa laptop atau buku, jadi aku cuma duduk sambil menatap lekat-lekat dinding penuh mural dekat pintu toilet. Aku merasa sangat bodoh karena sudah kesal pada Chloe dan membuatnya menunggu. Lalu aku mulai sadar Chloe rupanya lama sekali berada di toilet. Addie masih menatapku dengan sedih dan akhirnya menghampiri serta mengetuk pintu toilet. Chloe keluar. Bersama Todd, si Puma."

" Todd, si Puma?"

" Itu bukan julukan. Dia memang benar-benar si Puma. Dia maskot sekolah kami. Dia mengenakan kostum puma, melakukan tarian-tarian puma, pokoknya semua deh. Selama semenit, otakku berusaha memproses semuanya& berusaha memikirkan kenapa Chloe dan Todd si Puma ada di toilet Starbucks. Kurasa awalnya aku masih berharap tidak terjadi apa-apa karena toh semua orang tahu mereka berdua ada dalam toilet. Tapi melihat ekspresi Addie, lalu ekspresi Chloe aku tidak menatap Todd semua akhirnya jelas. Aku tidak tahu apa mereka masuk ke toilet karena melihatku

bunyi dari pacarmu dalam toilet bersama si Puma& detail-detail lain rasanya tidak penting."

Untuk sementara, aku sudah lupa dengan percakapanku di telepon tadi. Aku berada di Starbucks bersama Stuart, melihat pemandu sorak yang tidak kukenal muncul dari toilet bersama Todd si Puma. Dalam bayanganku, Todd benar-benar memakai kostum puma, meskipun pasti bukan begitu yang sebenarnya terjadi. " Apa yang kaulakukan?" tanyaku.

" Tidak ada."

" Tidak ada?"

" Tidak ada. Aku hanya berdiri di situ, mengira aku akan muntah saat itu juga. Tapi Chloe marah besar. Padaku."

" Kok bisa begitu?" kataku, ikut marah atas nama Stuart. " Kurasa dia ketakutan karena ketahuan dan itu satu-satunya reaksi yang terlintas di benaknya. Dia menuduhku memata-matainya. Dia menyebutku posesif. Dia bilang aku terlalu sering memaksanya. Kurasa maksudnya memaksa secara emosional, tapi yang jelas semuanya terdengar parah banget. Jadi setelah semua itu, Chloe membuatku terkesan seperti cowok aneh di depan semua pengunjung Starbucks, yang berarti sama saja dengan seluruh penduduk kota ini karena berita dengan cepat menyebar luas di sini. Aku sebenarnya ingin berkata, Kau yang bercumbu dengan si Puma di toilet Starbucks. Bukan aku penjahat dalam kisah ini. Tapi aku tidak ber- kata begitu karena aku memang tidak sanggup berkata apa-apa. Jadi kelihatannya aku seperti mengiyakan saja kata-katanya. Seakan aku benar-benar mengakui bahwa aku memang posesif, tukang paksa, penguntit cabul& bukannya cowok yang cinta setengah mati padanya, cowok yang sudah setahun lebih mencintainya, yang rela melakukan apa saja yang dia minta& "

Pada saat baru putus, mungkin Stuart sering sekali bercerita soal

hat kaku. Ekspresinya tidak banyak berubah semua emosinya sepertinya tumpah ke tangan. Ia sudah berhenti menarik-narik jarinya, tapi sekarang tangannya sedikit gemetar.

" Addie akhirnya mengajaknya keluar untuk menenangkannya," kata Stuart. " Begitulah semuanya berakhir. Dan aku mendapat latte gratis. Jadi aku tidak rugi-rugiat. Aku langsung terkenal sebagai cowok yang dicampakkan di muka umum setelah ceweknya selingkuh dengan si Puma. Tapi intinya& yang ingin kukatakan setelah semua cerita tadi. Intinya, cowok itu& "

Stuart menunjuk marah ke telepon.

" Cowok itu brengsek. Meskipun kau pasti sudah tahu itu sekarang."

Semua kenangan tahun lalu berputar ulang di benakku dalam kecepatan kilat, tapi aku menyaksikan semuanya dari sudut berbeda. Itu aku, digandeng Noah yang berjalan di depanku, ia menarikku di sepanjang lorong, berbicara pada semua orang kecuali aku. Aku duduk di sampingnya di barisan depan pada pertandingan-pertandingan basket sekolah meskipun Noah sudah tahu bahwa sejak wajahku terkena bola yang melenceng, aku selalu takut duduk di baris depan. Meski begitu, kami tetap duduk di situ, aku terpaku ketakutan, menyaksikan pertandingan yang tidak pernah kuanggap menarik. Ya, aku memang duduk bersama para senior kelas atas saat makan siang, tapi topik percakapannya selalu diulang-ulang. Mereka hanya bicara tentang betapa sibuknya mereka semua dan tentang menyusun resume yang bagus untuk mendaftar kuliah. Tentang pertemuan-pertemuan mereka dengan petugas perekrut dari kampus-kampus. Tentang cara mereka mengatur jadwal secara online. Tentang siapa saja yang menulis rekomendasi untuk mereka.

Yapun& aku sudah bosan selama setahun penuh. Aku sudah

tang aku. Cowok itu memberikan perhatian. Rasanya lain, sangat akrab sehingga aku sedikit malu, tapi yang jelas menyenangkan. Mataku berkaca-kaca.

Melihat hal itu, Stuart menegakkan badan dan membuka tangannya sedikit, seakan menyuruhku berhenti berusaha tegar. Kami sempat bergeser mendekat dan ada energi yang kuat di antara kami. Ada suatu perasaan yang nyaris tumpah ruah. Aku mulai bersiapsiap untuk menangis meraung-raung, namun hal itu membuatku marah. Noah tidak pantas mendapatkan air mataku. Aku tidak akan menangis.

Jadi aku mencium Stuart.

Maksudku, aku benar-benar menciumnya. Aku mendorongnya. Ia balas menciumku. Ciuman yang asyik. Tidak terlalu kering, tidak terlalu basah. Ciuman itu sedikit tergesa-gesa, mungkin karena kami sama-sama tidak siap mental, jadi kami berdua berpikir, Oh, oke! Ciuman! Ayo! Cepat! Lebih intens! Gunakan lidah!

Baru sekitar semenit kemudian kami mulai tenang dan ber- ciuman dengan lebih santai. Aku merasa seperti terbang, tapi tibatiba terdengar hentakan kaki serta teriakan-teriakan keras dari lantai bawah. Rupanya Debbie dan Rachel memilih momen itu untuk mengikat anjing-anjing salju dan kembali dari perjalanan mereka mengelilingi Gracetown. Mereka masuk ke rumah dengan sangat ribut, seperti orang yang baru saja keluar dari hujan atau derai salju. (Kenapa cuaca dingin selalu membuat orang lebih berisik?" )

" Stuart! Jubilee! Aku membawa cupcake istimewa dari Santa!" teriak Debbie.

Kami berdua tidak bergerak. Aku masih bersandar ke atas tubuh Stuart, menekannya ke bawah. Kami mendengar Debbie menaiki tangga setengah jalan, lalu rupanya ia melihat lampu kamar tidur menyala.

rang juga atau aku akan melepaskan macan!" Tapi Debbie bukan orangtua normal, jadi kami mendengarnya terkikik geli sambil mengendap-endap menjauh dan berkata, " Sssttt! Rachel! Ayo ikut Mommy! Stuart lagi sibuk!"

Kemunculan Debbie di tengah adegan itu membuatku mual. Stuart memutar bola mata karena malu. Aku melepaskannya dan ia melompat bangkit.

" Aku harus turun," katanya. " Kau baik-baik saja, kan? Apa kau butuh sesuatu atau& "

" Aku baik!" kataku, tiba-tiba terdengar girang berlebihan. Tapi sekarang rasanya Stuart sudah terbiasa dengan taktik-taktikku, semua upayaku untuk membuat diriku terlihat waras. Tentu saja ia langsung meninggalkan ruangan.

M AU tahu berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk putus

dari pacarku yang " sempurna" dan bermesraan dengan cowok baru? Semua itu makan waktu& tunggu sebentar& dua puluh tiga menit. (Aku sempat melirik jam dinding Stuart waktu aku mengangkat telepon. Bukannya aku menggunakan stopwatch atau apa.)

Meski sangat ingin melakukannya, aku tidak bisa bersembunyi di lantai atas selamanya. Cepat atau lambat aku harus turun dan menghadapi dunia. Aku duduk di lantai dibang pintu dan memasang telinga baik-baik, mencari tahu apa saja yang sedang terjadi di lantai bawah. Yang kudengar hanya Rachel yang sedang membanting-banting mainan. Lalu aku mendengar seseorang berjalan ke luar. Itu saat yang tepat. Aku menuruni tangga pelan-pelan. Di ruang tengah, Rachel sedang mengutak-atik Perangkap Tikus yang masih tergeletak di meja. Ia nyengir lebar ke arahku. " Kau tadi main dengan Stuart, ya?" tanyanya.

Pertanyaan itu penuh arti. Aku perempuan yang sangat kotor dan anak umur lima tahun pun tahu itu.

" Ya," kataku, berusaha mempertahankan martabatku yang tersisa.

Dua Belas

" Kami tadi main Perangkap Tikus. Bagaimana saljunya tadi, Rachel?"

" Mommy bilang Stuart menyukaimu. Aku bisa masukin kelereng ke hidung lho. Mau lihat?"

" Aduh, sebaiknya jangan& "

Rachel memasukkan salah satu kelereng Perangkap Tikus ke hi- dung. Ia lalu mengeluarkan benda itu lagi dan mengangkatnya tinggi-tinggi. " Lihat, kan?" katanya.

Oh, aku jelas melihatnya. " Jubilee? Kau ada di situ?"

Debbie muncul di pintu dapur, wajahnya merona, ia kelihatan sudah puas berolahraga, dan badannya basah.

" Stuart sedang ke seberang jalan untuk membantu Mrs. Addler menyekop salju dari jalan masuk," kata Debbie. " Stuart melihat Mrs. Addler kesusahan. Perempuan itu setengah buta, salah satu matanya terbuat dari kaca, dan punggungnya sering encok. Kalian tadi& bersenang-senang, kan?"

" Lumayan," kataku kaku. " Kami main Perangkap Tikus." " Sekarang istilahnya seperti itu, ya?" tanya Debbie, nyengir penuh arti ke arahku. " Aku harus memandikan Rachel dulu. Silakan saja kalau ingin membuat cokelat panas atau apa pun yang kauinginkan ya!"

Untungnya Debbie tidak menambahkan " calon mempelai remaja untuk putraku satu-satunya" .

Ia menarik Rachel sambil berkata terang-terangan, " Ayo, kita bisa ke lantai atas sekarang." Aku dibiarkan sendirian bersama cokelat panas, rasa malu, serta nestapa. Aku berjalan ke jendela ruang tengah dan melongok ke luar. Stuart memang kelihatan sedang membantu tetangga yang membutuhkan. Tapi sebenarnya ia pasti sedang menghindar dariku. Pasti begitu. Kalau jadi dia, aku juga

Aku akan terus terjatuh berputar-putar, terbenam makin dalam dan makin jauh ke dalam lumpur pekat tingkah laku asal-asalan. Seperti orangtuaku yang dipenjara, aku bagai pagar listrik. Memang lebih baik menyekop beberapa ton salju untuk tetangga yang setengah buta sambil berharap aku pergi jauh.

Memang itu yang harus kulakukan. Pergi jauh. Keluar dari rumah ini dan dari kehidupan Stuart dengan harga diri yang masih tersisa. Aku harus pergi dan kembali ke kereta apiku yang sebentar lagi pasti bisa berangkat.

Aku bergerak secepat mungkin setelah mengambil keputusan itu. Aku berlari ke dapur, mengambil ponselku dari konter, lalu memukul-mukulkannya sedikit sambil menekan-nekan tombol on/off. Kupikir cara itu tidak akan berhasil, tapi ternyata masih ada harapan. Beberapa detik kemudian, ponselku menyala dengan susah payah. Layarnya tidak pas di tengah dan tulisan-tulisan di ponsel itu acak-acakan, tapi setidaknya benda itu bisa menyala.

Pakaian, mantel, sepatu, serta tasku ada di ruang cuci samping dapur dengan tingkat kekeringan berbeda-beda. Aku berpakaian dan memasukkan kaus tebal yang tadi kupakai ke mesin cuci. Ada tempat khusus kantong plastik di sudut ruangan, jadi aku mengambil sekitar sepuluh kantong. Aku merasa tidak enak karena mengambil barang orang tanpa permisi, tapi kantong plastik kan tidak bisa disebut " barang" . Kantong plastik seperti tisu, tapi lebih murah. Terakhir, aku mengambil salah satu label alamat dari agenda di atas konter. Aku akan mengirimi mereka kartu begitu sampai rumah. Aku memang gila, tapi aku orang gila yang sopan.

Aku jelas harus lewat pintu belakang, pintu yang kami lewati semalam. Kalau aku lewat pintu depan, Stuart akan melihatku. Salju ternyata menggunung di luar pintu, tebalnya sekitar enam puluh sentimeter saljunya bukan lagi salju basah seperti semalam.

ngotot karena terbakar rasa bingung dan panik, seperti yang kukatakan sebelumnya, kedua perasaan itu selalu siap bekerja. Aku mendorong pintu itu dengan sekuat tenaga sampai daun pintu akhirnya bergetar sedikit. Aku sempat khawatir daun pintu bakal patah. Kalau itu terjadi, perjalanan pulangku bakal sedikit rumit. Aku bisa membayangkannya dengan jelas: Stuart atau Debbie menemukan daun pintu rusak yang terlepas dari engsel-engselnya, tergeletak begitu saja di salju. " Gadis itu masuk, menyerang anak laki-laki itu, mencuri kantong plastik, dan merusak pintu saat melarikan diri," pasti itu yang tertulis di BAP. " Mungkin gadis itu dalam perjalanan untuk mendobrak masuk ke penjara dan mengeluarkan orangtuanya."

Aku berhasil membuka pintu itu sedikit untuk menyelipkan badanku ke luar, membuat tanganku lecet dan kantong-kantong itu sobek. Begitu aku sudah di luar, pintu itu malah macet sehingga aku harus menghabiskan dua-tiga menit untuk mendorongnya sampai tertutup kembali. Urusan pintu beres dan aku menghadapi masalah lain. Aku tidak bisa melewati rute seperti saat datang karena tidak ingin tercebur lagi di sungai beku. Selain itu mustahil bagiku untuk menemukan jalan setapak tersebut. Semua jejak kaki kami sudah lenyap. Aku berada di tanjakan kecil. Di depanku ada pohon-pohon gundul yang terlihat asing serta bagian belakang selusin rumah yang semuanya terlihat mirip. Satu-satunya tempat yang kukenali adalah sungai yang berada jauh di bawah sana, mungkin di suatu tempat di antara pohon-pohon. Cara palingan adalah berjalan sedekat mungkin dengan deretan rumah itu dan mencari jalan lewat beberapa halaman belakang. Setelah itu aku bisa sampai ke jalan utama dan dari situ, menurut asumsiku, pasti aku akan lebih mudah menemukan jalan ke jalan tol, Waffle House, dan keretaku.

Kompleks rumah Stuart tidak rapi dan teratur seperti jalan-jalan di Flobie Santa Village. Rumah-rumah di situ sepertinya berdiri secara acak posisinya asal-asalan dan tidak sejajar, seakan siapa pun yang merancang kompleks itu berkata, " Baiklah, kita ikuti saja kucing ini, dan setiap kali ia duduk, kita bangun rumah di tempat itu." Saking pusingnya, aku bahkan tidak tahu lagi letak jalan besar. Belum ada jalanan yang dikeruk dan lampu-lampu jalan yang semalam menyala kini mati. Langit berwarna putih, bukan merah muda terang seperti semalam. Itu pemandangan tersuram yang pernah kulihat dan tidak ada rute jelas yang bisa kulalui.

Saat aku berjalan dengan susah payah di jalanan kompleks, aku memiliki banyak waktu untuk merenungkan hal apa yang baru saja kulakukan pada hidupku. Bagaimana aku harus menjelaskan berakhirnya hubunganku pada keluargaku? Mereka menyayangi Noah. Memang tidak sesayang aku, tapi yang jelas, mereka sangat sayang padanya. Kedua orangtuaku kelihatan bangga karena aku punya pacar keren. Tapi toh saat ini kedua orangtuaku ada di penjara gara-gara Hotel Kurcaci Flobie, jadi mungkin mereka harus menentukan prioritas dengan lebih baik. Selain itu, kalau aku bilang sekarang aku lebih bahagia, mereka pasti menerima hal itu.

Teman-temanku, orang-orang di sekolah& itu lain cerita. Aku tidak pacaran dengan Noah agar populer itu cuma bonus. Dan tentu saja ada Stuart.

Stuart, yang baru saja melihatku melalui berbagai pelangi emosi dan pengalaman. Aku sudah melewati spektrum orangtua-baru-sajadipenjara, terjebak-di-kota-asing, gila-dan-tidak-bisa-diam, sinispada-cowok-tak-dikenal-yang-mencoba-membantu, baru-putus, dan spektrum yang paling ekstrem: melompat-menerjangmu-secara-takterduga.

Aku benar-benar mengacaukan semuanya dengan sangat, sangat,

menyakitkan ketimbang cuaca dingin ini. Beberapa jalan kemudian, aku baru menyadari bahwa aku bukan menyesal soal Noah, tapi soal Stuart. Stuart yang menyelamatkanku. Stuart yang kelihatan benar-benar ingin menghabiskan waktu denganku. Stuart yang berkata terang-terangan dan memintaku untuk lebih menghargai diri sendiri.

Karena semua alasan yang sudah kudata tadi, Stuart yang itu pasti lega karena aku sudah pergi. Selama berita-berita tentang penangkapan orangtuaku tidak terlalu mendetail, aku pasti tidak akan terlacak. Maksudku, tidak terlalu terlacak. Mungkin Stuart bisa menemukanku secara online, tapi dia pasti tidak akan mencari. Apalagi setelah tingkah anehku tadi.

Kecuali kalau aku tiba-tiba muncul di pintu rumahnya lagi. Setelah satu jam berputar-putar di kompleks itu, aku beru sadar akan bahaya yang mengancam. Aku menatap sederetan rumah konyol yang sama, terjebak di jalan buntu. Sekali-sekali aku berhenti dan menanyakan arah pada orang-orang yang sedang menyekop salju di jalan masuk mereka, tapi mereka semua kelihatan khawatir begitu tahu aku berniat berjalan sejauh itu dan tidak mau memberitahukan arahnya. Sedikitnya separuh dari mereka mengajakku masuk dulu dan menghangatkan diri, dan tawaran itu memang manis, tapi aku tidak mau lagi mengambil risiko. Aku sudah masuk ke salah satu rumah di Gracetown dan lihat bagaimana akhirnya.

Saat aku sedang berjalan dengan langkah-langkah berat melewati sekelompok gadis kecil yang sedang terkikik senang di salju, rasa putus asa tiba-tiba melingkupiku. Air mataku mengembang dan nyaris tumpah. Kaki-kakiku terasa kebas. Kedua lututku kaku. Dan saat itulah aku mendengar suaranya di belakangku. " Tunggu," kata Stuart.

Langkahku terhenti. Melarikan diri sudah kelihatan cukup ko
memang tidak bisa) berbalik dan menatapnya. Aku mencoba mengatur ekspresiku agar terlihat sesantai mungkin dan seakan berkata " Wah, kok bisa ketemu lagi, ya? Lucu banget!" . Namun karena otot-otot rahangku kaku, aku yakin benar bahwa yang terlihat hanya ekspresi " wajahku beku!" .

" Maaf," kataku sambil tersenyum kaku. " Kupikir aku harus kembali ke kereta api dan& "

" Ya," kata Stuart, menyela kata-kataku. " Sudah kuduga." Stuart bahkan tidak menatapku. Ia mengeluarkan topi yang sedikit norak dari saku. Kelihatannya itu salah satu topi Rachel karena ada pom-pom di bagian atasnya.

" Kurasa kau pasti butuh ini," kata Stuart, mengulurkan topi itu. " Pakai saja. Rachel tidak akan minta topi ini dikembalikan."

Aku mengambil topi itu dan memakainya karena kelihatannya ia akan tetap berdiri di situ sambil mengulurkan topi sampai salju meleleh. Topi itu sedikit sesak, namun tetap terasa hangat menutupi kedua telingaku.

" Aku mengikuti jejakmu," kata Stuart, menjawab pertanyaan yang tidak kulontarkan. " Salju membuatnya mudah." Aku dibuntuti, seperti beruang.

" Maaf sudah menyusahkanmu," kataku.

" Tidak susah kok. Kau baru berjalan sekitar tiga blok. Kau berputar-putar terus di sekitar sini."

Beruang tolol.

" Aku tidak percaya kau berjalan kaki dengan pakaian seperti itu," kata Stuart. " Seharusnya kau memintaku menemanimu. Kau tidak mungkin sampai dengan cara seperti ini."

" Aku baik-baik saja," kataku cepat. " Tadi ada orang yang menjelaskan arahnya."

" Kau tahu, kau sebenarnya tidak perlu pergi."

apa. Stuart mengira aku diam karena ingin ia pergi, jadi ia mengangguk.

" Hati-hati ya. Tolong beritahu aku kalau kau sudah sampai, ya? Telepon atau& "

Tiba-tiba ponselku berdering. Nada deringnya juga pasti sudah rusak karena air sehingga sekarang terdengar melengking tinggi mirip suara putri duyung yang mukanya ditinju. Kaget. Marah. Kesakitan. Penuh air.

Itu Noah. Di layar ponsel yang rusak, yang tertera hanya panggilan dari " Mobg" , tapi aku tahu maksudnya. Aku tidak mengangkat telepon dan hanya tertegun menatap benda itu. Stuart juga. Gadis-gadis kecil di sekeliling kami tertegun menatap kami tertegun menatap benda itu. Ponsel berhenti berdering, lalu kemudian berdering lagi. Benda itu bergetar ngotot dalam genggamanku.

" Maaf kalau aku seperti orang bodoh," kata Stuart, berbicara mengatasi bunyi ribut itu. " Dan kau mungkin tidak peduli apa pendapatku, tapi tolong jangan jawab telepon itu."

" Apa maksudmu kau seperti orang bodoh?" tanyaku. Stuart terdiam. Dering ponsel berhenti, lalu kembali terdengar. Mobg benar-benar ingin bicara padaku.

" Aku dulu memberitahu Chloe aku akan menunggunya," kata Stuart akhirnya. " Aku bilang aku akan menunggu selama mungkin. Chloe bilang tidak usah, tapi aku terus menunggu. Selama berbulan-bulan aku bertekad tidak akan melirik cewek mana pun. Aku bahkan berusaha tidak melirik para pemandu sorak itu. Maksudku melirik, bukan melirik biasa."

Aku tahu maksudnya.

" Tapi aku memperhatikanmu," ia melanjutkan. " Dan itu membuatku gila, bahkan sejak menit pertama. Aku bukan hanya memperhatikanmu, tapi aku juga bisa melihat bahwa kau pacaran de
Seperti itulah situasiku dulu. Meski sepertinya sekarang cowok itu menyadari kesalahannya."

Stuart mengangguk ke arah ponsel yang kembali berdering. " Aku tetap senang kau datang," katanya. " Jangan menyerah dan balik ke cowok itu, oke? Jangan sampai. Jangan balik ke cowok itu. Dia tidak layak mendapatkanmu. Jangan biarkan dia menipumu."

Ponselku terus berdering, berdering, dan berdering. Aku melirik layar sekali lagi, menatap Stuart, lalu mengangkat tangan dan melempar telepon itu sejauh mungkin (sayangnya, ternyata tidak terlalu jauh). Benda itu lenyap di tengah salju. Anak-anak perempuan berusia delapan tahun yang sejak tadi terpukau melihat gerak-gerik kami, langsung mengejar benda itu.

" Ponselku hilang," kataku. " Ups."

Untuk kali pertama sejak tadi, Stuart benar-benar mendongak menatapku. Aku sudah berhenti menyunggingkan senyum aneh. Stuart maju, mengangkat daguku, dan menciumku. Menciumku, menciumku. Aku tidak merasakan cuaca dingin dan sama sekali tidak peduli pada gadis-gadis kecil yang sekarang memegang ponselku sambil berseru, " UuuuUUUuuuUUuuu."

" Ada hal penting," kataku, setelah kami berhenti berciuman dan rasa berputar-putar di kepalaku reda. " Tolong& jangan terlalu cerita banyak dulu pada ibumu. Kurasa dia punya pikiran macam-macam."

" Apa?" tanya Stuart, berlagak lugu sambil merangkul dan menuntunku kembali ke rumahnya. " Masa sih orangtuamu tidak bersorak girang dan melotot senang saat kau bermesraan dengan seseorang? Di tempat asalmu, hal seperti itu dianggap aneh, ya? Tapi kurasa mereka kan tidak bisa melihat apa-apa. Maksudku, dari penjara."

" Diam, Weintraub. Kalau aku mendorongmu ke salju, anak-anak perempuan itu pasti langsung menyerbu dan memakanmu."

pada kami saat ia berkendara lebih jauh ke tengah Gracetown. Kami semua minggir membiarkannya lewat Stuart, aku, dan anakanak perempuan itu. Stuart membuka ritsleting mantelnya dan mengundangku masuk ke pelukannya. Kami pun berjalan mengarungi salju.

" Kau mau pulang ke rumahku lewat jalan yang panjang?" tanyanya. " Atau lewat jalan pintas? Kau pasti kedinginan." " Jalan yang panjang," jawabku. " Jelas jalan yang panjang."

A Cheertastic Christmas Miracle Keajaiban Natal yang Gila

John Green

Untuk Ilene Cooper, yang membimbingku melewati begitu banyak badai salju

J P, The Duke, dan aku sedang menonton film keempat dalam

James Bond maraton kami saat ibuku menelepon rumah untuk keenam kalinya dalam kurun waktu lima jam. Aku bahkan tidak melirik nama di layar telepon. Aku tahu Mom yang menelepon. The Duke memutar bola mata dan menghentikan filmnya sementara. " Apa dia pikir kau bakal pergi? Sekarang kan ada badai salju."

Aku mengangkat bahu dan mengangkat telepon.

" Tidak beruntung," kata Mom. Di balik telepon, terdengar suara kencang yang bicara tentang pentingnya menjaga keamanan dalam negeri.

" Maaf, Mom. Itu menyebalkan."

" Ini konyol!" teriak Mom. " Kami tidak bisa mendapatkan tiket penerbangan ke mana pun, apalagi ke rumah." Sudah tiga hari mereka terjebak di Boston. Ada konferensi para dokter. Dia mulai kesal soal menghabiskan masa Natal di Boston ini. Seolah Boston zona perang saja. Sejujurnya, aku malah sedikit senang tentang itu. Ada sesuatu dalam diriku yang menyukai segala drama dan ketidaknya
Satu

" Ya, itu menyebalkan," kataku.

" Seharusnya akan beres besok pagi, tapi semuanya kacau sekali. Mereka bahkan tidak bisa menjamin kami bisa sampai rumah besok. Ayahmu sedang mencoba menyewa mobil, tetapi antreannya panjang sekali. Dan, meskipun kami berhasil menyewa mobil lalu menyetir semalaman, kami baru akan sampai jam delapan atau sembilan pagi! Padahal kita tidak boleh merayakan Natal secara terpisah!"

" Nanti aku pergi ke rumah The Duke saja," kataku. " Orangtuanya sudah bilang aku bisa menginap di sana. Aku akan ke sana, membuka hadiah Natal, dan bercerita tentang bagaimana orangtuaku menelantarkanku, dan mungkin The Duke akan memberiku sebagian hadiah Natal-nya karena dia kasihan ibuku tidak menyayangiku." Aku menengok sekilas pada The Duke, dan cewek itu menyengir.

" Tobin," kata Mom dengan nada tidak setuju. Mom memang bukan tipe orang yang lucu. Sebenarnya, itu cocok dengan pekerjaannya maksudku, tentu kau tidak mau punya dokter bedah kanker yang berjalan memasuki ruang periksa dan berkata " Ada lakilaki masuk ke bar. Bartendernya bilang, Mau pesan apa? Lalu laki-laki itu berkata, Kau punya apa? Dan bartendernya menjawab, Aku tidak tahu aku punya apa, tapi aku tahu kau punya apa: Melanoma stadium empat ."

" Maksudku, aku akan baik-baik saja. Apakah kalian akan kembali ke hotel?"

" Sepertinya, kecuali ayahmu mendapatkan mobil. Dia baik sekali menghadapi semua ini."

" Oke" kataku. Aku melihat ke arah JP, dan cowok itu bicara tanpa suara. Tutup. Teleponnya. Aku sangat ingin kembali ke sofa dan duduk di antara JP dan The Duke lalu kembali menonton

" Apakah semua baik-baik saja di sana?" tanya Mom. Yapun.

" Yeah, yeah. Maksudku, saat ini turun salju. Tetapi The Duke dan JP di sini. Dan mereka tidak akan bisa menelantarkanku juga, karena mereka akan membeku kalau mencoba berjalan pulang ke rumah masing-masing sekarang. Kami menonton film James Bond. Listrik masih menyala, semuanya masih beres."

" Telepon aku jika terjadi sesuatu. Apa pun." " Yup, mengerti," kataku.

" Oke," jawab Ibu. " Oke. Ya Tuhan, aku minta maaf tentang semua ini, Tobin. Aku sayang padamu. Aku minta maaf."

" Tidak apa-apa, Mom, bukan masalah besar," jawabku, karena memang ini bukan masalah besar. Aku di sini, rumah besar tanpa pengawasan orang dewasa, dengan dua sahabatku duduk di sofa. Bukannya aku tidak suka orangtuaku, mereka orang baik, tapi mereka bisa tinggal di Boston sampai Tahun Baru dan aku juga tidak akan kecewa.

" Aku akan meneleponmu dari hotel," kata Mom. Sepertinya JP mendengar suara Mom di telepon, karena dia menggumam, " Aku yakin kau pasti akan melakukannya," saat aku mengucapkan selamat tinggal.

" Menurutku, ibumu punya penyakit sulit berpisah," kata JP setelah aku menutup telepon.

" Yah, ini kan Natal," kataku.

" Dan kenapa kau tidak datang saja ke rumahku saat Natal?" tanya JP.
Dalam Derai Salju Let It Snow Karya Maureen Johnson, John Green, Lauren Myracle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Makanannya tidak enak," jawabku. Aku berjalan memutari sofa dan duduk di tengah sofa.

" Rasis!" seru JP.

" Itu bukan rasisme!" kataku.

" Tidak, dia tidak bilang begitu," kata The Duke, sambil mengangkat remote control untuk memulai filmnya lagi. " Dia bilang, makanan Korea yang dimasak ibumu tidak enak."

" Tepat sekali," kataku. " Aku lumayan suka makanan di rumah Keun."

" Kau bajing lompat," kata JP. JP biasanya menggunakan katakata itu kalau sudah tidak tahu lagi harus menjawab apa. Sebagai komentar balasan, sebenarnya itu lumayan bagus. The Duke memulai filmnya lagi, lalu JP berkata, " Kita seharusnya menelepon Keun."

The Duke menghentikan filmnya lagi lalu mencondongkan tubuh, melewatiku, untuk berbicara langsung pada JP. " JP," katanya. " Ya?"

" Apa kau bisa berhenti bicara supaya aku bisa kembali menikmati tubuh Daniel Craig yang sangat bagus?"

" Itu gay banget," kata JP.

" Aku kan cewek," kata The Duke. " Normal kalau aku tertarik pada cowok. Nah, kalau kubilang badanmu seksi, itu baru gay, karena tubuhmu mirip cewek."

" Oh, kena kau," kataku.

The Duke memandangku dan berkata, " Tetapi, JP masih lebih maskulin dibandingkan denganmu."

Aku tidak punya respons apa pun untuk kalimat itu. " Keun masih di tempat kerja," kataku. " Dia dapat bayaran dua kali lipat pada malam Natal."

" Oh ya," kata JP. " Aku lupa Waffle Houses itu seperti kaki Lindsay Lohan: selalu buka."

Aku tertawa; The Duke kemudian menyalakan lagi filmnya. Daniel Craig keluar dari air, memakai Euro boxer yang digunakan sebagai baju renang. The Duke menghela napas sementara JP

mendengar suara klik klik pelan di sebelahku. JP. Sedang menggunakan benang gigi. Dia memang terobsesi dengan benang gigi.

" Menjijikkan," kataku. The Duke menghentikan film sejenak dan cemberut ke arahku. Raut cemberutnya tidak kelihatan menyeramkan atau jahat; dia mengerutkan hidung bagian atasnya dan memonyongkan bibir.

Tetapi dari matanya, aku bisa melihat dia sangat marah terhadapku. Dan walaupun begitu, matanya masih terlihat cantik dan penuh senyum.

" Ada apa sih?" kata JP, benang gigi yang digunakannya menjuntai keluar dari mulut di sela-sela gigi geraham.

" Pakai benang gigi di depan umum. Itu& Sudah, singkirkan saja."

Dia melakukannya dengan enggan, sambil mengatakan kata-kata akhir. " Dokter gigiku bilang, dia belum pernah lihat gusi yang lebih sehat dari gusiku. Belum pernah."

Aku memutar bola mata. The Duke menyingkirkan sejumput rambut keriting yang terlepas ke belakang telinga dan menyetel kembali film Bond yang sedang kami tonton. Aku menonton selama beberapa menit, tetapi setelah itu aku memandang ke luar jendela, di kejauhan lampu jalanan menyinari salju seperti miniatur miliaran bintang jatuh. Meskipun aku benci membuat orangtuaku jadi susah pulang atau membuat mereka tidak bisa merayakan Natal di rumah, tetap saja aku ingin sekali salju turun lebih banyak.

T berdering sepuluh menit setelah kami kembali

menonton film.

" Ya Tuhan," kata JP sambil mengambil remote TV untuk menekan tombol PAUSE.

" Ibumu lebih sering menelepon daripada pacar yang posesif," tambah The Duke.

Aku melompat ke balik sofa dan mengambil telepon. " Hei," kataku, " ada apa?"

" Tobin," jawab suara di seberang. Ternyata bukan ibuku. Tetapi Keun.

" Keun, bukankah kau " " Apa JP bersamamu?" " Ya."

" Kau bisa pakai speaker?" " Uh, kenapa kau ma "

" APA KAU BISA PAKAI SPEAKER?" dia berteriak. " Tunggu sebentar." Sambil mencari tombol speaker, aku berkata, " Ini Keun. Dia mau bicara lewat speaker. Tingkahnya aneh."

bahwa matahari terbuat dari massa gas yang berpijar atau bahwa kemaluan JP kecil."

" Jangan bicara ke arah sana," kata JP.

" Jangan ke arah mana? Ke dalam celanamu sambil membawa kaca pembesar hanya untuk mencarinya?"

Aku menemukan tombol speaker dan memencetnya. " Keun, kau bisa mendengarku?"

" Ya," jawabnya. Ada banyak suara berisik di latar belakang. Suara cewek-cewek. " Kalian harus mendengarkanku."

JP berkata pada The Duke, " Sejak kapan cewek dengan payudara paling kecil di dunia boleh meragukan bagian tubuh pribadi orang lain?" The Duke melempar bantal ke arah JP.

" KALIAN HARUS DENGARKAN AKU SEKARANG!" teriak Keun dari telepon. Semua langsung diam. Keunat sangat pintar, dan dia selalu bicara seolah-olah semua kata-kata sudah dia hafalkan. " Oke. Jadi, manajerku tidak masuk hari ini karena mobilnya terjebak salju. Sekarang aku jadi koki dan asisten manajer pengganti. Ada dua karyawan lain di sini mereka adalah (satu) Mitchell Croman dan (dua) Billy Talos." Mitchell dan Billy satu sekolah dengan kami, meskipun tidak akurat kalau kubilang aku kenal baik dengan mereka, berdasarkan pertimbangan betapa ragunya aku mereka bisa mengenali aku di antara sebaris orang-orang. " Sampai sekitar dua belas menit lalu, malam ini lumayan sepi. Pelanggan kami hanya Tinfoil Guy dan Doris, perokok berumur paling panjang se-Amerika. Kemudian cewek ini muncul, setelahnya Stuart Weintraub" teman sekelas kami yang lain, cowok yang baik " tiba dengan berpayung tas-tas belanja Target. Tas-tas itu mengalihkan perhatian Tinfoil Guy sedikit, dan aku hanya membaca The Dark Knight dan..."

" Keun, apakah ada intinya?" tanyaku. Kadang dia suka mengoceh

" Oh tentu ada intinya," jawab Keun. " Ada empat belas inti. Karena kira-kira lima menit setelah Stuart Weintraub muncul, Tuhan yang Maha Baik dan Maha Kuasa melihat Keun hamba- Nya, dan mengantarkan empat belas cheerleader dari Pennsylvania mengenakan pakaian latihan mereka masuk ke Waffle House yang sederhana ini. Teman-teman, aku tidak bercanda. Waffle House sekarang dipenuhi cheerleader. Kereta mereka terjebak salju, jadi mereka akan menginap semalam di sini. Mereka mabuk kafein. Mereka sekarang sedang split di meja sarapan.

" Biar kujelaskan dengan sejelas-jelasnya: saat ini ada Keajaiban Natal yang Ceria di Waffle House. Saat ini aku menatap cewek-cewek itu. Mereka begitu hot sampai-sampai bisa melelehkan salju. Bahkan bisa membuat waffle menjadi matang. Saking hot-nya mereka bisa bukan, pasti bakal menghangatkan tempat di hatiku yang sudah lama sekali dingin sampai-sampai aku lupa tempat itu sebenarnya ada.

Suara seorang cewek suara yang ceria sekaligus merayu berseru ke telepon. Tepat pada saat itu aku sudah berdiri tepat di atas speaker, menatapnya nyaris khidmat. JP berada di sebelahku. " Apakah itu teman-temanmu? Ya Tuhan, katakan pada mereka untuk membawakan Twister!"

Keun kembali bicara. " Dan sekarang kalian tahu apa yang dipertaruhkan di sini! Malam paling hebat dalam hidupku baru saja dimulai. Dan aku mengundang kalian untuk ikut bersamaku, karena aku sahabat paling baik sepanjang masa. Tapi ini masalahnya: setelah aku menutup telepon ini, Mitchell dan Billy akan menelepon teman mereka. Dan sebelumnya kami sudah setuju hanya ada cukup tempat untuk semobil penuh cowok di sini. Aku tidak bisa mengecilkan perbandingan antara cheerleader dan cowok di sini. Nah, aku yang menelepon pertama karena aku jadi asisten manajer

tidak akan gagal. Aku tahu aku dapat mengandalkan kalian untuk mengirim Twister permintaan mereka. Teman-teman, semoga perjalanan kalianan dan cepat. Tetapi jika kalian meninggal dunia malam ini, meninggallah dengan tenang karena kalian mengorbankan nyawa untuk hal mulia. Mengejar cheerleader."

J P dan aku bahkan tidak repot-repot menutup telepon. Aku

hanya bilang, " Aku harus ganti baju," dan JP bilang, " Aku juga," dan setelah itu aku bilang, " Duke: Twister! Di dalam lemari permainan!"

Aku berlari ke lantai atas, kaus kakiku meluncur di lantai kayu di dapur, tersandung-sandung memasuki kamar tidurku. Kubuka pintu lemari dan dengan penuh semangat mulai memilih-milih baju di antara tumpukan kemeja di lantai dengan harapan kosong bahwa di dalamnya bakal ada kemeja yang sempurna, kemeja garis-garis tidak kusut yang mengesankan, " aku kuat dan tangguh tapi ajaibnya juga pendengar yang baik, punya ketertarikan sejati dan tak lekang akan sorakan-sorakan serta para cheerleader yang memimpin para penonton bersorak. Sayangnya kemeja seperti itu tidak ada. Dengan segera aku memilih T-shirt Threadless kuning yang kotor tapi keren dan memadukannya dengan sweter hitam berleher V. Aku melepaskan celana jins yang kugunakan untuk menonton film James Bond bersama The Duke dan JP dan cepat-cepat memakai jins warna gelapku yang bagus.

Tiga

ke kamar mandi dan dengan panik memakai deodoran di ketiak. Kupandang diriku di depan cermin. Aku terlihat lumayan, kecuali rambutku yang entah bagaimana tampak asimetris. Cepat-cepat aku kembali ke kamar, mengambil mantel musim dinginku dari lantai, memasukkan kaki ke sepatu Puma, lalu berlari turun dengan sepatu yang baru setengah terpakai, berteriak, " Semua siap? Aku sudah siap! Ayo berangkat!"

Ketika aku tiba di lantai bawah, The Duke masih duduk di tengah sofa, menonton film Bond. " Duke. Twister. Jaket. Mobil." Aku berbalik dan memanggil ke arah atas, " JP, kau di mana?" " Kau punya mantel ekstra?" jawab JP.

" Tidak, pakai punyamu!" aku berteriak.

" Tapi aku cuma memakai jaket!" dia balas berteriak. " Ayo cepat!" Entah kenapa, The Duke masih belum mematikan film. " Duke," ulangku. " Twister. Jaket. Mobil."

Dia menghentikan filmnya dan berbalik ke arahku. " Tobin, bagaimana konsep neraka menurutmu?"

" Sepertinya itu jenis pertanyaan yang bisa dijawab di dalam mobil!"

" Karena konsep neraka menurutku adalah menghabiskan keke- kalan di Waffle House yang penuh cheerleader."

" Oh, ayolah," kataku. " Jangan jadi seperti idiot."

The Duke berdiri, sofa masih berada di antara kami. " Jadi kau bilang kita harus keluar rumah dalam badai salju terburuk selama lima puluh tahun terakhir dan menyetir sejauh empat puluh kilometer untuk nongkrong bersama cewek-cewek asing yang konsep kesenangannya adalah memainkan permainan yang dibuat untuk anak umur enam tahun, dan aku yang idiot?" Aku menengok ke belakang, ke arah tangga. " JP! Cepat!"

menyeimbangkan kepentingan untuk cepat-cepat dan tetap tampil menawan!"

Aku berjalan memutari sofa dan memeluk The Duke. Aku tersenyum pada cewek itu. Sudah lama sekali kami berteman. Aku mengenalnya dengan baik. Aku tahu dia benci cheerleader. Aku tahu dia benci cuaca dingin. Aku tahu dia benci harus meninggalkan sofa saat film James Bond sedang diputar.

Tetapi The Duke sangat menyukai hash brown di Waffle House. " Aku tahu ada dua hal yang tak bisa kautolak," kataku padanya. " Yang pertama adalah James Bond."

" Benar," jawabnya. " Apa hal satunya?"

" Hash brown," kataku. " Hash brown yang keemasan dan sangat lezat di Waffle House."

Dia tidak memandangku, tidak juga. Dia memandang melewatiku, melewati dinding-dinding rumah, ke arah salju di luar. Matanya menyipit selagi dia memandang ke kejauhan. Dia sedang memikirkan hash brown.

" Kau bisa melihat hash brown tersebar di panggangan, dipenuhi bawang bombay, lalu ditaburi keju," kataku.

The Duke mengerjap keras lalu menggeleng. " Ya Tuhan, aku selalu dihancurkan oleh kecintaanku terhadap hash brown! Tapi aku tidak mau terjebak di sana semalaman."

" Hanya satu jam, kecuali kau menikmatinya," janjiku. Dia mengangguk. Begitu dia mengenakan mantel, aku membuka lemari permainan dan mengambil kotak Twister yang ujung-ujungnya sudah terlipat.

Ketika aku berbalik, JP berdiri di depanku. " Astaga," kataku. Dia sepertinya menemukan pakaian mengerikan di pojok hitam lemari

bagian kakinya mengecil, topi bertutup telinga ada di kepalanya. " Kau kelihatan seperti penebang kayu yang punya kesukaan aneh terhadap barag-barang bayi," kataku.

" Diam, bajing lompat," jawab JP singkat. " Ini seksi gaya gunung salju, baju ini seolah mengatakan, Aku baru turun dari gunung setelah seharian menyelamatkan nyawa banyak orang bersama Patroli Ski ."

The Duke tertawa. " Sebenarnya, baju itu seolah mengatakan, Hanya karena aku bukan astronaut wanita pertama, bukan berarti aku tidak bisa mengenakan pakaian terbang mereka ." " Astaga, oke, aku akan ganti baju," katanya " TIDAK ADA WAKTU!" seruku.

" Kamu seharusnya pakai sepatu bot," kata The Duke, melihat sepatu Puma-ku.

" TIDAK ADA WAKTU" seruku lagi.

Aku membawa mereka ke garasi, kemudian kami berada di dalam Carla, Honda SUV putih milik orangtuaku. Delapan menit sudah berlalu sejak Keun menutup telepon. Keunggulan kami mungkin sudah lenyap. Sekarang jam 11:42 malam. Pada malam yang normal, butuh kira-kira dua puluh menit untuk sampai ke Waffle House.

Nantinya akan terbukti malam itu bukanlah malam normal.

K memencet tombol pintu garasi, aku baru mulai

menyadari besarnya rintangan yang akan kami hadapi: tembok salju setinggi enam puluh senti yang menempel di depan garasi. Sejak kedatangan The Duke dan JP kira-kira waktu makan siang, setidaknya tumpukan salju sudah bertambah 45 sentimeter lagi.

Aku mengganti persneling Carla ke mode four-wheel drive. " Aku akan langsung, eh... Apa menurut kalian sebaiknya langsung kuterjang saja?"

" POKOKNYA CEPAT," kata JP dari kursi belakang. The Duke berhasil mengambil posisi duduk di samping pengemudi. Aku menarik napas dalam-dalam dan perlahan memundurkan Carla. Mobil itu naik sedikit ketika kami mengenai tumpukan salju tapi berhasil menyingkirkan sebagian besar saljunya, dan aku mulai menyetir mundur di jalan masuk rumah. Sebenarnya, lebih pas dibilang berseluncur mundur di atas es daripada menyetir, tapi cara itu berhasil. Tidak lama setelah itu, lebih karena keberuntungan dan bukan karena keterampilan, mobil kami berhasil keluar dari jalan

Empat

Salju di jalanan tingginya kira-kira tiga puluh sentimeter. Seluruh jalanan di daerah kami belum digarami ataupun dikeruk.

" Ini cara mati yang konyol sekali," kata The Duke, dan aku mulai setuju dengannya. Tetapi dari pintu belakang JP berteriak, " Orang-orang Sparta! Malam ini kita akan makan malam di Waffle House!"

Aku mengangguk, mengganti persneling, dan menginjak pedal gas. Ban berputar dan terus berputar, kemudian kami melaju, salju yang turun seolah jadi hidup saat terkena sorot lampu mobil. Aku tak bisa melihat trotoar dengan jelas, apalagi garis pemisah lajur di jalanan, jadi seringnya aku hanya berusaha tetap menyetir di jalur di antara deretan kotak surat.

Bentuk Grove Park agak mirip mangkuk, jadi untuk keluar dari daerah ini kau harus melewati bukit kecil. JP, The Duke, dan aku tumbuh di daerah Grove Park, dan sudah ribuan kali aku melewati bukit itu.

Jadi masalah potensial itu bahkan tidak terlintas di benakku saat kami mulai mendaki bukit. Tetapi tak lama kemudian aku menyadari bahwa banyaknya tekanan yang kuberikan pada pedal gas sama sekali tidak memengaruhi kecepatan mobil saat kami menaiki bukit. Aku mulai merasakan sepercik rasa takut.

Kecepatan mobil mulai turun. Aku menekan pedal gas, lalu mendengarkan ban mobil yang berputar di salju. JP mengumpat. Tetapi mobil masih merangkak naik perlahan, dan sekarang aku bisa melihat puncak bukit serta aspal hitam di jalan besar yang saljunya sudah dikeruk di atas kami.

" Ayolah, Carla," gumamku.

" Tambahkan gasnya," saran JP. Aku melakukannya, lalu ban mobil berputar lebih cepat, tapi tiba-tiba Carla berhenti mendaki. Ada jeda yang lama antara saat Carla berhenti maju dan saat

Itu momen tenang, waktu untuk merenung. Secara umum aku tidak suka mengambil risiko. Aku bukan jenis orang yang mendaki Jalur Gunung Appalachia atau menghabiskan liburan musim panas dengan belajar di Ekuador, atau bahkan jenis orang yang suka makan sushi. Ketika kecil, saat aku mengkhawatirkan banyak hal sehingga tidak bisa tidur, Mom selalu bertanya, " Memangnya hal terburuk apa yang mungkin terjadi?" Mom mengira itu bisa menenangkanku dia pikir itu akan membuatku sadar bahwa kemungkinan aku membuat kesalahan pada PR matematika kelas dua tidak akan berdampak buruk terhadap kualitas hidupku. Tetapi bukan itu yang terjadi. Yang terjadi adalah aku malah benar-benar memikirkan hal terburuk yang mungkin terjadi. Misalnya saja aku khawatir aku membuat kesalahan dalam PR matematika kelas dua. Mungkin guruku, Ms.Chapman, bakal memarahiku. Dia tidak akan benarbenar marah, tapi mungkin dia kesal dengan tidak kentara. Mungkin kekesalannya yang tidak kentara itu bakal membuatku sedih. Dan mungkin aku bakal menangis. Semua orang akan mengataiku cengeng, dan itu akan membuatku terisolasi secara sosial, dan karena tidak ada yang mau berteman denganku, aku akan mencari kenyamanan dalam narkoba, dan saat kelas lima aku bakal overdosis heroin. Kemudian aku akan mati. Itulah hal terburuk yang dapat terjadi. Dan itu memang dapat terjadi. Dan dulu aku selalu memikirkan situasi-situasi semacam ini dengan sangat detail, hanya untuk mencegahku jadi overdosis heroin dan/atau mati. Tetapi sekarang aku membuang cara berpikir itu jauh-jauh. Untuk apa? Untuk sekelompok cheerleader yang tidak kukenal? Bukannya aku tidak suka cheerleader, tapi aku yakin ada banyak hal lain yang lebih baik untuk berkorban.

Aku merasakan The Duke memandangiku, dan aku balas memandangnya. Matanya besar, bulat, terlihat takut, dan mungkin sedikit

aku benar-benar memikirkan hal terburuk yang mungkin terjadi: ini. Anggaplah aku selamat, tapi orangtuaku pasti bakal membunuhku karena aku membuat mobil jadi rusak. Aku bakal dihukum selama bertahun-tahun mungkin berdekade-dekade. Aku bakal harus bekerja ribuan jam selama musim panas untuk membayar biaya perbaikannya.

Lalu hal yang tak terhindarkan terjadi. Mobil kami mulai berjalan mundur ke arah rumah. Aku menginjak rem. The Duke menarik rem tangan, tapi Carla tetap meluncur mundur dengan jalur zig zag, hanya sesekali merespons upayaku memutar setir dengan panik.


Dewa Linglung 1 Raja Raja Gila Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap

Cari Blog Ini