God Speed Karya Ghyna Amanda Bagian 3
dan menjadi pemerhati.
Sebenarnya sejak dua hari yang lalu Kai mulai masuk sekolah.
Ia juga sempat beberapa kali menengok kegiatan ekskul basket
di gedung olahraga. Namun tetap saja, Dokter Wahyu belum
bisa memberinya izin untuk turun ke lapangan sebagai pe?
main.
"Kalau cuma olahraga ringan, boleh. Tapi jangan yang beratberat dulu. Kasihan kerja jantungmu," pesannya sebelum Kai
meninggalkan rumah sakit.
Ternyata kondisi Kai masih lemah. Walaupun penyebab
tumbangnya kemarin karena Leo menghajarnya dengan dalih
bertanding, tetap saja, pasti bukan hanya karena itu. Semua
karena fisiknya yang terlalu lemah. Kai berharap tubuhnya bisa
jauh lebih kuat. Sejak diperbolehkan pulang ke rumah, ia
kembali berlatih setiap sore secara diam-diam bersama anakanak di kompleks.
"Kak Kai sekarang udah bisa nembakin bola nih!"
Beberapa di antara mereka bahkan memuji Kai yang akhir?
nya berhasil melakukan lay-up walau gerakannya masih lam?
bat.
"Coba jump shoot, Kak!"
Kai mulai tertarik "Wah, kalau itu sih kayaknya susah. Lay
up aja aku baru bisa nih!"
"Atau coba dunk."
Rasanya lebih tidak mungkin. Kai masih belajar jenis-jenis
tembakan dasar yang ringan dan bisa dipelajarinya dengan
cepat. Ini demi pertandingan final nanti. Kalau tak salah, saat
ini Rey dan yang lainnya masih dalam perjalanan untuk
memperebutkan tiket pertandingan terakhir tingkat kota. Kai
melirik jam di ponselnya, masih pukul empat. Barangkali
pertandingan akan selesai sekitar setengah jam lagi. Dan saat
seluruh anggota timnya berjuang di lapangan, di sini ia juga
berjuang melatih tembakannya.
Sedikit-sedikit Kai bisa melakukan lay up, short shoot, dan
beberapa tembakan dasar. Kalau harus dengan teknik
berputar, membelakangi ring, bahkan dengan satu tangan, ia
belum bisa. Kai merasa perlu membiasakan diri dengan spon?
tanitas menembak dalam pertandingan sebenarnya, bukan
hanya belajar teori.
Karena itu, selesai latihan, ia mengajak anak-anak ini kembali
bertanding three on three. Kai berusaha menyatukan teknik
bergerak cepat dan teknik menembak. Hal yang kini mungkin
juga digunakan Rey dalam pertandingan.
"Aaah capeknya!" Seorang anak berseru setelah lebih
dari lima menit mereka bermain.
Kai tidak menyangka ia bisa kuat selama itu. Maksudnya
lima menit ditambah latihan menembak selama lebih dari
sepuluh menit tadi.
"Kak Kai jago banget!" seru yang lain. "Pasti aslinya atlet
nih! Ya, kan?"
Mendengar semua itu, Kai hanya terkekeh ringan. Dibilang
atlet juga bukan. Kalau cuma pemain cadangan, mungkin iya.
Ia kem?bali teringat pada pertandingan Rey dan yang lainnya.
Apakah pertandingannya sudah selesai? Seharusnya sih begitu,
meng?ingat sudah lewat setengah jam dari terakhir kali ia
mengecek ponsel. Namun Rey belum juga mengabarkan. Apa
jangan-jangan mereka kalah?
Kai menatap layar ponselnya dengan khawatir. Menimbangnimbang, apakah lebih baik ia yang menghubungi mereka?
Sepertinya begitu. Apa pun hasilnya, ia akan berbesar hati.
Tidak akan memprotes walau berarti ini akhir dari segalanya.
Namun, begitu Kai hampir menekan tombol panggil menuju
nomor ponsel Rey, justru Rey yang lebih dulu menelepon?
nya.
"Halo," Kai berucap cepat, "gimana pertandingannya?"
Tidak ada jawaban, bahkan hening. Apakah salah sambung?
Rey tidak bermaksud menelepon Kai, tapi tak sengaja
memencet nomor ponsel Kai?
"Rey?" Sekali lagi Kai bersuara. "Halo, Rey?"
Masih hening. Sampai panggilan yang ketiga, suara-suara
itu muncul. "Kai! Kami menaaang!"
Bukan hanya suara Rey yang terdengar, juga suara Ariana,
Dion, Leo, Arieza, bahkan Rendra. Mereka semua menga?
getkannya. Kai mengelus dada karena kaget, tapi kemudian
tertawa begitu kawan-kawannya bicara bergantian.
"Kai, kami menang! Kami menang! Keren banget, kan?" Ini
pasti Dion.
"Selamat ya, Kai, kamu bisa main di final!" Dan yang ini pasti
Leo.
"Siap-siap buat final, Kai!" Ini Arieza.
"Latihan lagi, jangan lupa istirahat." Itu Rendra dengan
suara kalemnya.
"Kaaai!" Suara itu membuat telinga Kai mendenging, bah?
kan sampai harus menjauhkan ponsel. Siapa lagi kalau bukan
Ariana.
Namun belum sempat Ariana berbicara apa-apa, terdengar
suara pelan, "Ngomongnya jangan kenceng-kenceng, Kak!
Nanti Kai bisa kumat lagi." Suara Rey spontan membuat Kai
terkekeh. "Halo, halo, Kai?" Kini suara saudaranya itu terdengar
lebih jelas dan disertai nada khawatir. "Kami berhasil menang,
Kai. Kita bisa sama-sama main lagi di final nanti!"
"Kalian...." Kai berbicara dengan senyum lebar mengembang
di wajahnya. "Makasih, ya." Hanya itu. Tepatnya, ungkapan
terima kasih karena telah menjadi perpanjangan dari mimpinya
selama ini.
Match #13
ertandingan final di depan mata. Ariana yakin timnya
pasti bisa sampai ke tingkat final walau tidak mudah.
Semakin jauh mereka melangkah, semakin sulit juga
jalan yang akan mereka tempuh. Dan bukan kebetulan pula
akhirnya mereka bertemu kembali dengan tim SMA Buana
Bhayangkara. Tahun lalu mereka sempat adu kekuatan di final.
Pada pertandingan persahabatan sebulan yang lalu, SMA
Serunai Raya tertinggal dari SMA Buana Bhayangkara. Tapi
kini, dengan dua pemain barunya yang andal, Ariana yakin
mereka bisa menang.
"Kalian udah liat sendiri kan, gimana penampilan SMA Buana
Bhayangkara di pertandingan semifinal kemarin?" tanya Ariana
sebelum memulai latihan hari ini. Sebelumnya mereka memang
sempat sama-sama menonton pertandingan semifinal calon
lawan mereka di final. Luar biasa, performa SMA Buana
Bhayangkara lebih baik daripada saat melawan mereka sebulan
yang lalu.
"Bisa dibilang semua pemain inti sekolah ini adalah ace yang
kemampuannya jauh di atas rata-rata. Belum lagi hampir se?
mua bertubuh besar dan punya power yang juga nggak tang?
gung-tanggung," Ariana melanjutkan penjelasannya. "Makanya
kita nggak boleh setengah-setengah. Dan... aku juga udah buat
strategi baru."
Ketika Ariana menyebutkan kata "strategi", yang bergulir
di kepala kebanyakan anggotanya adalah sesuatu yang tidak
masuk akal. Apalagi ketika cewek itu menyeringai lebar sambil
menatap wajah-wajah yang ada di depannya.
"Strategi makan jus buah plus sayur lagi, Na?" Dion bergidik
duluan. Barangkali ia teringat kisah kelam pada pertandingan
setahun yang lalu. "Atau... ngerendam kaki pake air es?"
Dari ucapan itu, terlihat sekali strategi yang biasa diusungkan
oleh Ariana selalu tidak masuk akal. Namun kali ini Ariana
menggeleng pelan. Ia tidak punya urusan dengan Dion beserta
jus buah plus sayurnya. Kali ini Ariana dengan tegas meng?
alihkan pandangan pada si kembar.
"Strategi ini disebut twin position."
Spontan Kai dan Rey bertukar pandang. "Hah?!" Lalu bersa?
maan mereka menatap Ariana.
"Heh, jangan anggap remeh ya!" Ariana tampak kesal. "Me?
mang kesannya biasa aja, tapi kalian pasti akan dibuat bingung
dengan yang namanya keajaiban penciptaan manu?sia." Lalu
Ariana menarik Kai dan Rey kembali ke ruangan ekstrakurikuler,
sementara yang lain seperti biasa mulai latihan di bawah
panduan Rendra.
Mereka bertiga duduk di atas karpet biru di ruangan itu. Rey
dan Kai bertanya-tanya kira-kira apa yang akan Ariana sam?
paikan soal strategi anehnya tadi. Apakah ini berkaitan dengan
perintahnya agar Kai berlatih menembak dan Rey berlatih
bergerak cepat? Sepertinya begitu. Setelah menghilang agak
lama, Ariana kembali dengan setumpuk koran dan peralatan
mencukur.
"Hah! Apaan tuh?!"
Rey yang kelihatannya alergi dengan gunting?karena ia
harus menghindari benda tersebut setiap razia hari Senin?
mengelak duluan.
"Tenang, Rey...." Ariana menyeringai lebar, seringai yang
lebih mencurigakan daripada benda-benda yang dibawanya.
"Aku cuma mau bikin kamu sedikit lebih ganteng kok," lanjut
Ariana lagi sambil menggerak-gerakkan gunting di tangan
kirinya.
Sial, Rey mengumpat dalam hati. Ia bertanya-tanya, memang?
nya di peraturan pertandingan final tidak boleh ada pemain
berambut gondrong?
"Tapi jelas bukan aku yang akan memotong rambutmu,"
ucap Ariana lagi, lalu menyodorkan gunting tersebut pada Kai.
"Kamu yang potong, Kai. Jangan terlalu pendek, pokoknya
harus persis dengan model rambutmu sekarang."
"Hah?" Bahkan Kai saja kaget. Jadi rupanya ide Ariana untuk
memotong rambut gondrong Rey benar? "Tapi aku nggak bisa
pot..."
"Sssh!" sergah Ariana "Mau aku yang potong? Nanti bisabisa telinga Rey ikut kepotong. Atau kamu aja yang po?
tong?"
Mau tak mau keduanya menuruti kemauan Ariana. Wajah
manajer mereka ini ternyata menyeramkan kalau sudah me?
maksa.
Kai tidak bisa menolak. Ini perintah, makanya ia meminta
maaf dulu pada Rey sebelum memotong sebagian rambut
yang seharusnya sudah bisa diikat ekor kuda tersebut.
Untungnya Ariana menyediakan cermin sehingga kalau ada
bagian yang tidak sama antara rambutnya dan Rey, Kai bisa
memotongnya sendiri.
Agak lama prosesi itu selesai. Akhirnya rambut Rey tampak
lebih rapi. Bahkan dengan model rambut begitu, wajahnya
jadi terlihat jelas.
"Nah...," rupanya persiapan menuju strategi Ariana belum
selesai, "Kai, kamu bisa pakai lensa kontak, kan? Lepas kaca?
matamu, oke?"
"Lensa kontak?" Kai pernah memikirkannya. Beberapa kali
ia memang pernah memakai lensa kontak. Lagi pula, kacamata
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cadangannya ini memang kurang bisa diandalkan karena
bagian gagangnya sudah agak kendur. "Aku punya sebenarnya,
tapi jarang dipakai."
"Mulai besok pakai!"
Mendengar perintah tersebut, Kai hanya bisa mengangguk.
Ia akan menyimpan kacamatanya untuk sementara waktu.
Sebenarnya kalau tidak sedang membaca, ia juga tidak begitu
membutuhkan kacamata.
"Sekarang, ayo kita ke lapangan!"
Tanpa banyak tanya, Kai dan Rey mengikuti Ariana ke
lapangan. Mereka tidak pernah mengerti maksud cewek ini.
Sampai setelah mereka memperlihatkan hasil permakan asal
jadi barusan pada anggota tim yang lain, barulah keduanya
mengerti.
"Coba tebak," Ariana memberi tantangan, "yang mana Kai,
dan yang mana Rey?"
"Waaah!" seru Dion. "Ini sih susah!" Cowok itu spontan
mendekati Kai dan Rey, meneliti sudut demi sudut si kembar.
"Rasanya jadi kayak tebak-tebakan ?ayo cari sepuluh perbedaan
di antara dua orang ini? gitu, ya? Mm"
Ariana bangga dengan hasil kerja kerasnya. "Nah, sekarang
coba kalian main." Lalu ia mengoper si bola oranye pada salah
satu dari Kai dan Rey. Ia sendiri sebenarnya sudah tidak bisa
membedakan, dan mencoba mengetes apakah cara ini akan
berhasil jika dipraktikkan di lapangan.
Rey menerima bola lebih dulu, lalu mengopernya kepada
Kai dengan sebuah sunggingan senyum yang jarang
diperlihatkannya. Dulu mereka pernah melakukan ini untuk
mengerjai orang lain. Memakai pakaian yang sama, bertingkah
laku sama, bahkan mengatakan hal yang sama. Serupa tebaktebakan yang menyenangkan. Sampai peristiwa tujuh tahun
yang lalu terjadi, Rey tidak suka jika harus disamakan dengan
Kai lagi. Ia ingin menjadi dirinya, lepas dari Kai yang selama ini
terus membayanginya. Namun di sini, mereka bersama-sama
lagi.
Mereka di lapangan, bermain dengan cara yang sama.
Cara bermain basket yang awalnya sangat terlihat perbe?
daannya kini tampak sama. Kai telah menguasai beberapa
teknik untuk menembakkan bola, beberapa kali mencoba
melempar bola ke dalam ring, dan si bulat oranye tersebut
bersarang dengan sempurna. Begitu juga dengan gerakan Rey
yang kini lebih cepat, cekatan, dan lincah dibanding sebe?
lumnya. Kini mereka tidak hanya punya dua Rey, tapi juga dua
Kai.
Ariana tahu strateginya ini akan berhasil. Bahkan walau Kai
dan Rey memakai seragam, orang yang baru pertama kali
melihat mereka akan kebingungan. Masalahnya hanya satu:
Kai tidak bisa bermain lama. Selalu ada batasan untuknya yang
menjadi pekerjaan rumah bagi Ariana dalam menerapkan
strategi ini.
H-1 pertandingan final. Ariana menghela napas panjang melihat
hasil kerja keras timnya selama lebih dari sebulan terakhir ini.
Mereka bekerja keras?sangat keras?setiap hari. Jika pertan?
dingan final ini berhasil mereka menangkan, pintu menuju
pertandingan tingkat nasional semakin terbuka lebar. Ia sudah
tidak sabar menanti hari besok.
"Ingat strategi kita, jaga stamina kalian untuk besok, tidur
nyenyak, dan," tatapannya tertuju ke wajah-wajah berse?
mangat di hadapannya, "jangan lupa berdoa."
Apa yang akan terjadi besok, biarlah terjadi besok. Bagai?
manapun hasilnya, yang penting mereka sudah berusaha dan
berdoa. Malam ini sepertinya Ariana tidak akan bisa tidur. Tapi
kalau tidak tidur, ia tidak bisa bangun pagi. Semua berpu?tar
cepat dalam kepalanya. Sampai akhirnya kakinya melangkah
ke luar gerbang.
"Kalian!" Ada hal lain yang perlu disampaikannya. "Jangan
lupa, akting!" Ucapan tersebut tentu untuk si kembar yang
kebetulan sedang berjalan bersisian. Ariana hanya melambaikan
tangan sebelum naik ke atas motor yang dikendarai Eza,
sedangkan Kai dan Rey cuma bertukar pandang. Masih belum
mengerti rencana Ariana yang sebenarnya.
"Emangnya kita semirip itu, ya?" Pertanyaan itu terlontar
dari mulut Kai yang kelihatannya agak ragu. "Bukannya kalau
lagi tanding kita pakai seragam, terus aku cuma turun di
kuarter terakhir?"
Rey menatap saudaranya sekilas, lalu ikut berpikir. "Mungkin
ini strategi pengecoh. Selama ini tim lawan kan nggak tau
kalau kita kembar. Nah, makanya Kak Ariana sengaja bikin kita
kayak gini di pertandingan final ini."
"Hm." Kai tidak begitu mengerti, tapi ia mengangguk
saja. "Oh iya, gimana kalau sekalian aja kita tukar posisi?"
Ini ide buruk, Rey tahu, tapi ia tidak bisa berkomentar
banyak melihat antusiasme wajah Kai. "Maksudnya?"
"Mulai hari ini sampai besok aku jadi kamu, kamu jadi
aku. Aku pulang ke rumahmu, kamu pulang ke rumahku," jelas
Kai.
"Bubuat apa?"
"Buat" Kai tersenyum ragu saat mengatakannya. "Sebe?
narnya aku ingin ketemu Mama. Udah lama banget, kan?
Waktu kamu dan teman-teman jenguk aku ke rumah, aku liat
kamu sama Ayah ngobrol di dapur. Liat kalian kayak gitu, aku
jadi ingin ketemu Mama juga. Kayak apa dia sekarang? Yah,
itu aja sih."
Keinginan sederhana yang konyol. Kai tahu kalau tidak
dengan cara ini, mungkin ia tidak akan pernah bisa bertemu
dengan sang ibu. Ada kisah di masa lalu yang membuat mereka
terpisah. Tapi, sepertinya Rey tidak menyetujui usul Kai. Sejak
tadi wajah Rey berubah keruh. Tidak aneh sih, Rey dan sang
ayah bisa dibilang tidak begitu akrab. Mereka sama-sama
pendiam. Kalau bermalam bersama, bisa-bisa keadaan rumah
jadi sesepi kuburan.
"Boleh." Di luar dugaan, Rey malah setuju. "Kita tukar posisi
sampai pertandingan besok selesai, gimana? Anggap aja bikin
surprise sama yang lain."
"Beneran, Rey?"
"Bener!" Rey ikut antusias soal ide konyol ini. "Tapi tetep,
kamu cuma boleh main di kuarter terakhir."
"Tapi aku pakai seragammu, ya?"
"Boleh!"
Kai keluar dari mobil setelah Rey?beserta sopir yang biasa
mengantar?menurunkannya tepat di depan sebuah rumah
sederhana yang lebih kecil daripada rumah yang dulu mereka
tempati. Di bagian depan rumah itu ada plang bertuliskan
"Penjahit Pakaian Pria/Wanita", pekerjaan yang akhirnya di?
geluti sang ibu setelah bercerai dari ayahnya.
Awalnya Kai ragu, bagaimana biasanya Rey masuk rumah?
Apakah mengetuk pintu? Mengucapkan salam? Atau... lang?
sung masuk saja?
Pintunya tidak terkunci. Dari balik jendela, Kai melihat
seorang perempuan yang sudah sangat lama tak ditemuinya
sedang asyik bekerja dengan mesin jahit. Itu ibunya, perem?
puan yang wajahnya sama sekali tak berubah sejak tujuh tahun
yang lalu. Cepat-cepat Kai membuka pintu. Tanpa banyak
bicara ia segera mendekat untuk memeluk perempuan itu
seerat mungkin.
"Lho... Rey!" Benar juga, di sini dirinya menjadi Rey. "Kenapa
kok pulang-pulang langsung meluk-meluk gini? Mau minta
uang? Pasti uang mingguanmu habis ya, buat cukur rambut?
Baru cukur kalau mau ada razia aja sih...."
Setitik air mata yang mengambang di sudut mata akhirnya
pudar karena setelahnya Kai tertawa. Ternyata Rey memeluk
ibunya kalau minta uang saja. "Nggak kok, Ma...." Pelukan ia
lepaskan, lalu perlahan ditatapnya wajah yang terlihat letih
itu. Ibunya mulai menampilkan kerutan di sudut-sudut mata.
Tapi baik suara maupun sikapnya masih sesegar dulu.
"Kamu mandi dulu sana! Masih bau asem gitu udah pelukpeluk." Lalu sang ibu mengambil tas Kai, mengambilkan
handuk, dan mendorong Kai masuk ke kamar mandi. "Kalau
sudah mandi, langsung makan ya. Besok kan kamu mau tan?
ding final, jadi harus makan yang banyak, terus tidur."
Ocehan itu sudah lama tak pernah Kai dengar lagi. Jika
dibandingkan saat ini, kehidupan dengan sang ayah bisa
dibilang terlalu biasa. Bukan berarti ayahnya tidak memberi
perhatian, tapi tetap saja perhatian dari seorang ayah dan ibu
rasanya berbeda. Kai tidak pernah didorong seperti itu hanya
untuk mandi. Tidak pernah juga diingatkan untuk makan yang
banyak karena besok adalah hari besarnya.
Rupanya begini rasanya tinggal bersama ibu yang dulu juga
selalu memperhatikan keadaannya. Kaiat merindukan
masa-masa itu. Ketika ia duduk di meja makan bersama Rey
dan kedua orangtuanya, berebut makanan, dimarahi karena
membuat mangkuk sayur tumpah, lalu menangis bersama saat
dihukum. Semuanya itu memang menyebalkan, tapi sekarang
malah jadi hal yang paling ingin diulangnya.
Berkali-kali pula Kai menahan diri untuk tidak bertanya pada
sang ibu bagaimana keadaannya, pekerjaannya, atau kehi?
dupannya?semua itu tidak bisa ditanyakan karena kini dirinya
adalah Rey. Hingga pada akhirnya sang ibulah yang lebih
banyak bertanya.
"Gimana besok, yakin menang?"
"Mm" Sesuai kebiasaan Rey, Kai menyingkirkan daun
bawang di piring yang tidak disukai kembarannya itu. "Yakin
nggak yakin, harus menang." Supaya aktingnya lebih meya?
kinkan, ia berbicara dengan suara datar.
"Sebetulnya Mama ingin nonton lho, tapi mau gimana lagi,
banyak pesenan akhir-akhir ini." Kai tahu itu, ibunya pasti
bekerja sangat keras demi membiayai kehidupannya bersama
Rey, sama seperti sang ayah yang banting tulang demi mem?
biayai pengobatannya yang mahal. "Oh iya, gimana keadaan
Kai?"
Kai? Ibunya menanyakan kabar... dirinya?
Mendengar pertanyaan itu, spontan Kai berubah kikuk. Kini
ia sebagai Rey membicarakan dirinya sendiri? "Babaik,
Ma."
"Kamu bilang kemarin dia sakit lagi. Sekarang nggak apaapa?" Tebersit ekspresi khawatir yang selalu Kai takutkan dari
wajah sang ibu.
"Ah, dia sehat kok!" serunya agar meyakinkan. "Pokoknya
Mama nggak usah khawatir. Kai sehat, dan sekarang udah bisa
menjaga diri sendiri."
Kai tidak tahu apakah saat mengatakan itu wajahnya terlihat
lucu, atau memang ada yang lucu dari jawabannya. Soalnya
ibunya terkekeh geli. "Kamu yakin banget sih...."
Tentu saja ia yakin. Kai yang dibicarakan adalah dirinya
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri. Namun tentu saja ia tidak bisa mengaku. Kalau meng?
aku sekarang, bisa-bisa ia dipulangkan, walaupun sebenarnya
ia bisa menemui sang ibu sebagai dirinya sendiri.
"Sosoalnya kami kan... kembar."
"Hm... iya deh. Kalau kamu ketemu Kai, nanti Mama titip
salam, ya."
Baru saat itulah, Kai menyunggingkan senyum lebar sambil
mengangguk mantap. Tidak usah titip salam, toh salam itu
sebenarnya sudah tersampaikan.
Match #14
ain Kai, pasti lain pula dengan Rey. Setelah mengantar
Kai ke rumahnya?rumah yang selama ini Rey tempati
bersama ibunya?Rey meneruskan perjalanan ke rumah
yang Kai tempati. Untungnya ia pernah ke sini sewaktu men?
jenguk Kai kemarin. Jadi, ia tidak perlu kebingungan mengenai
seluk-beluk rumah sederhana yang tetap saja lebih besar
daripada rumahnya.
Beruntung, begitu Rey sampai di sana, sang ayah tidak ada.
Katanya kerja lembur, jadi baru pulang agak malam. Seorang
perempuan paru baya membantu Rey menaruh tas dan mem?
buka sepatu. Mungkin dia asisten rumah tangga. Saat Rey ke
sini dulu, perempuan ini tidak ada, jadi kini Rey agak kebi?
ngungan.
"Makannya mau dibawa ke kamar atau di meja makan aja,
Mas?" tanya perempuan tadi saat Rey hampir saja masuk ke
dalam kamar.
"Oh... di kamar aja." Rasanya akan canggung kalau harus
berkegiatan di luar. Ia tidak mau ditanya-tanyai soal kegiatan
Kai hari ini karena Rey agak payah dalam berbohong.
Alhasil, ia masuk ke kamar, merebahkan diri di kasur yang
hangat dan luas, kemudian diam sejenak sebelum melihat
sekelilingnya. Tidak ada yang berubah dari tempat ini. Semua
masih tampak rapi, hanya meja belajar yang agak berantakan
karena mungkin Kai tidak sempat membereskannya. Di sana
juga ada tumpukan novel, komik, sampai ensiklopedia. Tidak
aneh kalau mata Kai jadi minus. Selebihnya, hanya sebingkai
kecil foto keluarga mereka yang selalu Kai simpan. Rey jadi
berpikir, apa yang kira-kira sedang Kai lakukan bersama Mama
sekarang?
Tak lama, pintu diketuk. Perempuan tadi menyembulkan
kepala setelah membuka daun pintu, tapi tangannya tidak
membawa apa-apa. "Mas, Bapak udah pulang. Katanya Mas
makan sama-sama aja di meja...."
Mampus?ayahnya ternyata sudah pulang. Rey tidak bisa
menghindar, karena bisa-bisa dicurigai. Karena itu ia hanya
mengangguk dan beralasan mau ganti baju dulu sebelum
beranjak ke ruang makan. Sebenarnya Rey hanya perlu waktu
untuk mempersiapkan diri. Beberapa kali ia menarik napas
dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Oke,
menjadi Kai pasti tidak akan sulit. Santai saja... santai.
"Duduk, Kai," sang ayah segera memberi instruksi ringan
begitu Rey keluar dari kamar. "Gimana lomba roketnya?"
Lomba roket? Rey sedikit kebingungan, kemudian ia ingat
alasan Kai agar bisa pulang telat selama seminggu terakhir ini.
"O-oh iya, gitu lah...," ucapnya terbata-bata. Apa yang ia
ketahui soal lomba roket? Bahkan tahu ada lomba roket saja
baru sekarang.
"Kenapa, kamu sakit lagi?"
"Hah?" Pertanyaan kali ini lebih mengagetkannya. "Nggak
kok, Yah. Aku baik-baik aja...."
"Kalau lombanya cuma bikin kamu capek, mending nggak
usah ikut lah," ucap ayahnya lagi dengan santai.
"Nggak kok, sama sekali nggak bikin capek," spontan Rey
menyangkal, dan mencoba mencari alasan lain. "Cuma... yah
banyak rapat-rapatnya aja," lanjutnya lagi. "Besok juga kan
ada"
"Oh iya, besok" Seperti teringat sesuatu, sang ayah mem?
buka-buka ponsel. "Dokter Wahyu bilang jadwal check up-mu
ganti jadi besok pagi. Nanti Ayah yang antar, soalnya Ayah
mau konsultasi juga sama beliau."
"Hah?" Rey mengerjapkan mata beberapa kali. "Besok
pagi?" Tunggu, besok pagi ia ada pertandingan final. Bagaimana
mungkin ia harus ikut check up? Lagi pula, dirinya kan tidak
sakit. "Besok pagi aku nggak bisa. Ada technical meeting buat
lomba roket." Alasan apa adanya yang semoga cukup masuk
akal.
"Lho, cuma technical meeting kan bisa diwakilkan."
"Nggak bisa!" seru Rey lagi, mulai panik. Keringat dingin
bercucuran di punggungnya.
"Ya sudah, habis check up nanti langsung Ayah antar ke
sekolah."
Makin kacau rasanya. Bagaimana mungkin minta diantar
Ayah kalau tujuan Rey adalah GOR KONI? Bisa-bisa ketahuan
kalau selama ini Kai main basket. Kemudian tamatlah riwayat
mereka semua.
"Emang jam berapa check up-nya, Yah?"
"Pagi kok, jam delapan. Technical meeting lombamu jam
berapa?"
Rey mengingat-ingat, kalau tak salah Ariana meminta
mereka datang ke tempat pertandingan pukul sembilan walau
sebenarnya baru dimulai pukul sepuluh. "Jam sembilan,"
akhirnya Rey menjawab dengan batas maksimal.
"Oh, ya nggak masalah. Kan rumah sakitnya dekat dengan
sekolah. Eh, technical meeting-nya di sekolah, kan?"
Ingin sekali Rey menjawab "tidak", tapi sayangnya ia tidak
bisa berbuat apa-apa selain menganggukkan kepala. Rey
pasrah. Setelah ini ia harus segera memberitahu Kai. Mungkin
mereka bisa tukar posisi sebelum ia diseret menuju rumah
sakit. Lagi pula, apa yang mau diperiksa kalau ternyata
pasiennya salah?
uuu
Tepat pukul sembilan pagi. Satu, dua, tiga, mm kurang satu.
Ariana menghitung jumlah anggota tim inti beserta pemain
cadangan yang seharusnya mencapai delapan orang, tapi kini
malah berkurang satu. Kai tidak ada! Ia rasanya ingin memben?
turkan kepala ke dinding karena satu kartu ace-nya belum juga
muncul.
Ariana tentu tidak tahu bahwa yang menjadi Rey di sana
adalah Kai, sementara yang belum datang adalah Rey.
Sementara Kai sendiri agak khawatir kalau sesuatu terjadi pada
Rey. Apa jangan-jangan Rey ketahuan? Kalau ketahuan,
seharusnya sang ayah sudah menyeretnya dari tempat ini, dan
kembali memenjarakannya di rumah. Tapi sepertinya bukan
juga. Lalu kenapa?
"Kita tunggu Kai di dalam!" seru Ariana lalu memimpin jalan
menuju ruang ganti di dalam GOR.
Kai sudah berulang kali mencoba menelepon Rey, tapi
konyolnya ternyata ponsel Rey berada dalam mode silent dan
vibrate, dan Kai menemukannya di dalam tasnya sendiri.
Rupanya Rey tidak mengambil benda itu saat mereka bertukar
tas kemarin. Lebih buruk daripada itu, Kai lupa mengambil
obat-obatan miliknya. Mampus! Kai pikir, yang seperti ini tidak
akan terjadi, tapi ternyata ada saja yang namanya kelalaian.
Sekarang, rasa khawatir Kai kian memuncak karena sete?
ngah jam lagi pertandingan dimulai, dan ia telah berganti
pakaian dengan seragam tim bernomor enam milik Rey. Se?
sekali ia melirik ke arah pintu masuk, mencari-cari tanda
keberadaan Rey di sana walau sayangnya tidak ada. Bagaimana
ini? Apa lebih baik ia mengaku pada Ariana saja? Tapi keadaan
tim mereka akan lebih terdesak jika Rey tidak bermain sejak
awal. Lagi pula, bukankah kini Kai adalah Rey dengan segala
penampilan dan keahlian yang sama? Seharusnya tidak masa?
lah. Nanti kalau Rey datang, Kai baru beristirahat sebentar.
Barangkali Rey bangun terlambat atau terjebak macet. Kai
yakin tidak akan lama.
"Sebentar lagi." Akhirnya hanya itu yang ia ucapkan pada
Ariana. "Kai pasti datang, sebentar lagi."
Keyakinan yang entah berasal dari mana, yang jelas Kai
memercayai keyakinannya. Rey baik-baik saja dan pasti akan
datang.
Namun, sampai peluit berbunyi tanda pertandingan dimulai,
Rey tidak juga datang. Hal tersebut jelas memecah konsentrasi
Kai yang berulang kali harus melirik ke arah pintu masuk, juga
bangku pemain cadangan. Belum lagi permainan dari SMA
Buana Bhayangkara ternyata tidak main-main. Ariana benar,
semua pemain dalam tim ini adalah ace. Mereka bertubuh
jangkung dan bermain dengan sangat andal.
"Konsentrasi, Rey! Konsentrasi!" seru Rendra yang kembali
membuat Kai fokus pada permainan. Benar, buat apa ia terus
mengkhawatirkan Rey kalau tidak fokus pada pertandingan?
Bukankah Kai ada di sini untuk Rey? Barangkali Rey hanya
sedikit terlambat. Sedikit demi sedikit Kai mengumpulkan
kembali keyakinannya dan bermain dengan seluruh kemam?
puan yang dimilikinya.
Kai kini tidak hanya menjadi dirinya sendiri, tapi juga menjadi
Rey. Ia tidak hanya bergerak cepat untuk menghindar dan
menyerang, tapi juga harus melakukan tembakan walau dari
jarak yang tidak begitu jauh. Apa pemain lain menyadari Rey
yang ada di lapangan kini bukan Rey yang biasa karena
beberapa kali tembakannya gagal?
Ternyata tidak juga. Ariana meminta time out di pertengahan
kuarter pertama kemudian memberi serangkaian nasihat
pendek. "Rey!" Kai langsung menyadari Ariana memanggil
dirinya. "Tenang, oke? Kai pasti baik-baik aja. Kalau sesuatu
terjadi padanya, pasti ada kabar."
Ariana mengira "Rey" kehilangan fokus sehingga tidak bisa
menembak tepat sasaran seperti biasa karena sedang meng?
khawatirkan keadaan kembarannya.
"Ah!" Lalu Kai teringat sesuatu. "Coba telepon Ayah!"
Daripada kelewat cemas, Kai segera memberikan nomor
ponsel ayahnya pada Ariana. "Tapi jangan ungkit-ungkit soal
basket. Tanya aja gimana keadaan Re, eh, maksudnya Kai."
Hampir saja ia salah bicara. "Tolong ya, Kak..."
Tak bisa menolak, Ariana hanya mengangguk. Tak lama
kemudian wasit kembali meniup peluit. Permainan dilanjutkan,
dan mungkin setelah ini Ariana harus keluar sejenak untuk
"mengarang cerita" dengan ayah Kai daripada melihat "Rey"
yang ada di lapangan terus-terusan terpecah konsentrasi?
nya.
Ariana mencari tempat di luar ruangan yang lebih tenang.
Pertandingan final memang lebih ramai karena diadakan pada
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hari Sabtu ketika hampir semua sekolah libur dan didatangi
oleh seluruh suporter dari kedua sekolah yang bertanding. Di
luar GOR saja masih ramai oleh pedagang minuman atau
penonton yang baru saja datang.
Sebelum melakukan panggilan, Ariana menyiapkan alasan
dulu mengapa ia harus menelepon ayah Kai. Barangkali ber?
bicara soal lomba roket atau sejenis itu. Kai pernah cerita ia
bergabung dengan ekstrakurikuler KIR dan sekarang sedang
sibuk mempersiapkan lomba roket.
Dengan mantap Ariana mengangguk lalu menekan nomor
panggilan tersebut. Selang beberapa saat, suara sambungan
berubah menjadi suara seorang pria yang sepertinya agak
kebingungan.
"Ha-halo," Ariana sendiri agak terbata. "Ehm... apa ini
nomor ayah Kai?"
"Oh ya, saya sendiri. Kenapa, ya?"
"Apa Om lagi bareng Kai?"
"Kai...?" Jeda sesaat. "Tadi kami memang sama-sama dari
rumah sakit." Saat kata "rumah sakit" disebutkan, Ariana
menahan napas sejenak. "Tapi dia sudah saya antar ke sekolah.
Mau technical meeting buat lomba roket itu, kan? Masa sih
belum datang? Sudah dari sepuluh menit yang lalu lho."
"Sesekolah, Om?"
"Iya, sekolah. Kalian technical meeting di sekolah, kan?"
Ingin rasanya Ariana berteriak bahwa seharusnya Kai ke
GOR KONI, tapi apa boleh buat. Tidak mungkin juga, kan?
Bisa-bisa ketahuan nanti kalau selama ini Kai bukannya ikut
lomba roket, tapi pertandingan basket.
"Eeh iya, saya lagi di jalan sih, jadi belum tau Kai udah
sampe atau belum. Kalau gitu makasih ya, Om."
Buru-buru Ariana menutup telepon, lalu menelepon Kai.
Nadanya tersambung, tapi tidak ada yang mengangkat. Apa
karena Kai di jalan? Atau jangan-jangan terjadi sesuatu
dengannya di jalan? Jarak antara GOR KONI dengan sekolah
tidak begitu jauh memang, naik angkutan umum paling hanya
setengah jam. Namun pada hari Sabtu begini, biasanya jalanan
lebih ramai dengan banyaknya mobil wisata dari luar kota.
"Mana sih dia?!" Ariana jadi geram. Kalau Kai tidak datang,
percuma saja ia menyiapkan strategi untuk pertan?dingan kali
ini. "Aaah!" Tak tahan, akhirnya Ariana berteriak di depan
gerbang parkiran GOR. Peduliat kalau ada yang menyangka
dirinya sudah gila. Benar! Ia sudah dibuat gila oleh si kembar
yang sekarang entah ada di mana.
Pertandingan memasuki kuarter kedua. Kai mengecek pon?
selnya di dalam tas. Ada banyak sekali panggilan dari Ariana.
Jelas saja, yang dianggapnya terlambat hari ini adalah Kai,
bukan Rey. Sementara Rey sendiri belum terlihat. Sesuatu
pasti terjadi. Kai benar-benar tak bisa tinggal diam. Ia harus
mencari Rey secepatnya.
"Rey!" Namun, baru saja Kai mau pergi, Ariana menahannya.
"Tadi aku udah telepon ayahmu. Katanya Kai di sekolah, ba?
rangkali sekarang lagi dalam perjalanan ke sini."
"Sekolah?"
"Iya, dia kasih alasan sama ayahnya ada technical meeting
di sekolah. Nggak mungkin kan dia bilang GOR KONI?"
Mendengar itu, Kai merasa sedikit lega. Benar juga, selama
ini ia memberi alasan pada ayahnya soal lomba roket, jadi tidak
mungkin juga kalau Rey diantar langsung ke tempat pertan?
dingan basket. "Jadi... Kai masih di jalan?"
"Kayaknya sih gitu, mungkin lima belas menit lagi sampai.
Kita masih punya kesempatan di kuarter tiga dan empat. Kai
mung?kin bisa datang tepat waktu di kuarter ketiga."
Sekali lagi Kai menghela napas. Saat itu ia sama sekali lupa
akan keterbatasan fisiknya. Satu-satunya yang ia pikirkan
hanya keberadaan Rey. Baguslah jika Rey baik-baik saja. Ia
pasti bisa bertahan setidaknya sampai kuarter terakhir. Pasti
bisa. Kai yakin pada dirinya sendiri. Ia sudah berlatih selama
ini agar fisiknya kuat, agar jantungnya bisa bertahan lebih
lama. Tidak berat, ini tidak berat! bisik hatinya.
Sugesti itu yang membawa Kai kembali ke lapangan untuk
meneruskan kuarter kedua. Bisa dibilang ini adalah sepuluh
menit kedua dirinya bertanding hari ini. Hebat juga, tubuhnya
belum mengaduh nyeri atau linu. Hanya mungkin napas yang
sedikit tidak beraturan, tapi rasanya semua orang di sini pun
merasakan hal demikian.
"Rey, shoot!"
Rendra memberinya operan melambung yang harus ditang?
kap sambil melompat. Kai bisa melakukannya. Ia hanya tinggal
menangkap bola, lalu memasukkannya ke dalam ring yang
berada dekat dengannya. Tidak sulit, kecuali begitu hampir
mendapatkan bola tersebut, seorang pemain dari tim lawan
menepis bolanya cepat.
Bola terpental, dan Kai yang agak terdorong jadi terjatuh.
Rasanya sakit, tapi yang lebih merepotkan adalah dirinya
sedikit terkejut. Dorongan tadi membuatnya sedikit merasakan
nyeri di bagian dada.
"Nggak apa-apa, Rey?" Dion mengulurkan tangan agar ia
bisa bangkit secepatnya.
Kai mengangguk lalu kembali berlari untuk mencuri bola.
Namun, lawan kali ini memang menyebalkan. Mereka sulit
sekali ditaklukkan. Dalam dua kuarter saja skor mereka sudah
berbeda jauh, lebih dari lima belas poin.
Kalau saja... kalau saja yang bermain di sini bukan dirinya,
tapi Rey yang asli, pasti mereka bisa mengejar ketertinggalan
poin lebih baik. Pada pertandingan persahabatan awal semes?
ter lalu tim mereka memang kalah, tapi setidaknya mendapat
skor yang lebih baik daripada saat ini. Waktu itu Rey bermain
maksimal. Jika ditambah dengan kemampuannya sekarang,
menang bukanlah hal yang mustahil.
Namun yang bertanding di sini adalah Kai, yang bahkan
dalam lima menit pertama di kuarter kedua saja sudah ngosngosan. Kai merasa kakinya lemas, tapi ia paksakan untuk
terus berlari. Pandangannya kabur, tapi ia paksakan untuk
terus fokus pada sekelilingnya. Tetapi ketika telinganya kem?
bali berdenging, Kai hanya dapat mendengar suara detak
jantungnya sendiri. Ia terdiam agak lama di sana, sendiri.
Di bangku pemain cadangan, Ariana berusaha memperhatikan
jalannya pertandingan. Sampai di sini mereka masih terdesak,
tapi ia optimis saat Kai datang nanti, situasi pasti akan berbalik
dengan cepat. Ia belum menggunakan strategi andalan dan
si kembar pun belum menunjukkan performa terbaik mere?
Sampai kemudian Ariana mencoba menelepon ponsel Kai
sekali lagi. Kali ini di ruang ganti, karena suasana di luar gedung
benar-benar panas. Walau gemuruh penonton masih terde?
ngar, setidaknya di sini ia bisa duduk santai dan tidak ditubruk
anak-anak yang lewat. Lebih bagusnya, tidak akan ada yang
menyangka ia punya kelainan jiwa jika berteriak seperti tadi.
"Hm... ayo angkat dong!" serunya tidak sabaran. Nada
panggil terputus berubah menjadi nada sibuk. Ini sudah lewat
lima belas menit, seharusnya Kai sudah sampai. Ariana mene?
leponnya sekali lagi. Kali ini ia menutup mulutnya, tidak lagi
mengoceh seperti sebelumnya.
Hingga kemudian ia mendengar nada dering telepon dari
salah satu tas yang berjajar di tempat itu.
"Eh?"
Ariana memutus teleponnya lalu nada dering itu berhenti.
Merasa penasaran, Ariana melakukan panggilan lagi kemudian
suara dering itu terdengar kembali. Tunggu! Ia yang terlalu
penasaran akhirnya mendekati tas tersebut, membukanya
tanpa izin, dan benar saja, sebuah ponsel sibuk bernyanyi
di sana!
"Eh ini?" Saat melihat layar ponsel tersebut, barulah
Ariana sadar. "Ka-Kai?" Mengapa ponsel Kai ada di sini? Ini tas
Rey. Mengapa Kai
Secepat kilat Ariana kembali ke lapangan. Ponsel itu mem?
buatnya menebak yang kini bermain di lapangan adalah Kai,
dan yang sedang dalam perjalanan ke sini adalah Rey! Semoga
tebakannya tidak benar. Semoga. Ariana sangat panik, dan
begitu sampai di lapangan ia melihat sosok salah satu kembar
itu tengah berdiri tanpa mengikuti alur pertanding?an.
"Ganti pemain!" teriaknya pada wasit, namun tentu saja
tidak bisa. "Kubilang, ganti pemain!"
Sudah berapa lama ia membiarkan Kai bermain? Apa yang
terjadi pada Kai kini?
Match #15
okter Wahyu hanya senyum-senyum tipis ketika Rey
duduk di depannya. Dalam hati Rey berdoa semoga
Dokter Wahyu tidak menyadari bahwa ia adalah Rey,
bukan Kai. Apalagi kalau di sampingnya kini sang ayah ikut
duduk dan siap menerima berbagai nasihat sang dokter.
Sungguh, ia pasti akan dicap anak durhaka, dimarahi habishabisan, dan yang paling parah barangkali pertandingan
hari ini akan berantakan jadinya.
"Ayo, Kai, periksa." Tanpa basa-basi lebih dulu, Dokter
Wahyu malah menyuruhnya berbaring di bilik pemeriksaan.
"Tiduran saja seperti biasa," ucap sang dokter lagi. Apa ini
berarti Dokter Wahyu tidak tahu?
Daripada cari masalah, Rey berbaring sesuai instruksi. Tibatiba saja Dokter Wahyu menutup tirai dan menaruh jari
telunjuknya di bibir tanda Rey harus diam. Maksudnya? Sampai
di situ Rey bertanya-tanya dalam hati, tapi akhirnya Dokter
Wahyu berbicara juga dengan suara sangat pelan.
"Jadi Kai ke mana?" Rupanya sang dokter tahu. Tentu
saja, bagaimanapun seorang dokter pasti tahu benar mana
pasien yang benar-benar sakit dan mana yang hanya menjadi
"joki" seperti Rey.
Menanggapi pertanyaan itu, Rey hanya menghela napas.
Apa ia harus menjelaskan mereka bertukar tempat karena
tiba-tiba saja Kai ingin bermalam dengan ibunya? Agak sulit
dan terlalu panjang. "Maaf, Dok, Kai"
Dokter Wahyu lalu tertawa. "Ooh, nggak apa-apa. Kalian
ini. Dasar." Dia menggeleng pelan. "Bilang sama Kai, hari
Senin nanti suruh dia yang ke sini. Kai ya, bukan kembaran?
nya."
Rey mengangguk. Sebenarnya ia masih pasang siaga satu,
takut kalau-kalau setelah ini Dokter Wahyu akan membeberkan
semuanya pada sang ayah. Namun sampai tirai dibuka, lalu ia
kembali duduk di kursi, Dokter Wahyu sama sekali tidak
mengungkit soal itu, bahkan kali ini lebih membicarakan soal
kondisi Kai.
"Saat ini kondisi Kai baik, tapi tentu, jangan dulu melakukan
aktivitas yang berat, apalagi sampai terlalu capek." Dokter
Wahyu melirik ke arah Rey, lalu tersenyum. "Ingat juga, jangan
lupa minum obat. Nah, buat resep tambahan, nanti saya kasih
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hari Senin saja, ya. Obatnya masih banyak, kan?"
Rey yang saat itu ditanya hanya mengangguk. Obat? Obat
apa? Ia mana tahu soal obat.
"Akan lebih baik kalau ada orang yang mengingatkan Kai
soal obat ini. Soalnya penting juga." Lalu lirikan itu kembali
padanya, pada Rey yang sebenarnya sedang panik soal
pertanyaan tadi. Maksudnya Dokter Wahyu ingin Rey ikut
mengingatkan Kai agar minum obat? Menyadari itu, Rey
kemudian mengangguk tanpa banyak bicara.
Sesekali, ketika ayahnya dan Dokter Wahyu berbicara, Rey
mengarahkan pandangan pada jam dinding. Sial, sudah pukul
setengah sembilan ternyata. Pertandingan satu setengah jam
lagi. Kalau pakai acara putar-putar ke sekolah dulu, bisa-bisa
terlambat. Namun, sepertinya sang ayah percaya Rey hanya
akan technical meeting di sekolah sehingga terlihat begitu
santai.
Bagaimana ini? Rey menimbang-nimbang. Sebelum pertan?
dingan dimulai ia sudah harus ada di GOR KONI, tapi perjalanan
dari rumah sakit ke sekolah memakan waktu lima belas menit,
lalu dari sekolah ke GOR bisa setengah jam. Itu kalau lancar.
Akhir minggu begini biasanya macet tak terkira. Apa ia lari
saja? Tapi jaraknya jauh. Bisa-bisa begitu sampai di GOR
staminanya habis duluan.
Kedua tangan Rey tergenggam, saling memijat di antara
jari-jarinya. "Mm Yah." Ia ingin mengingatkan ayahnya ini
hampir pukul sembilan.
"Sebentar, Kai." Diskusinya semakin panjang. Ternyata
bukan hanya konsultasi soal Kai, tapi juga soal kesehatan
macam-macam. Mereka juga membicarakan prosedur operasi,
biaya, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Rey semakin panik. Sudah hampir pukul sembilan. Akhirnya
ia melirik ayahnya lagi. "Aku pergi sendiri ke sekolah deh,
ya?"
"Jangan!" Permintaan itu langsung ditolak ayahnya. "Ya?
ya sudah, iya, sekarang." Akhirnya sang ayah mengalah.
Setelah berpamitan pada Dokter Wahyu, mereka bergegas
menuju mobil.
Pukul sembilan lebih lima menit. Rey terus melihat jam di
dasbor mobil. Ia berdoa dalam hati agar jalanan lancar. Namun
sayang, jalur ke sekolah tiba-tiba saja dialihkan sehingga lebih
memakan banyak waktu. Saat itu Rey ingin sekali menggunakan
ponselnya, tapi betapa bodohnya ia karena meninggalkan
ben?da penting itu di dalam tas yang ditukarnya dengan Kai.
Kalau begini, bisa-bisa ia terlambat.
Rey berusaha mengalihkan pandangan dari jam dan kini
berdoa agar waktu bergerak lebih lambat. Akhirnya ia tiba di
sekolah tepat pukul setengah sepuluh. Tinggal setengah jam
lagi waktunya untuk bisa sampai ke GOR. Begitu mobil ayahnya
tak lagi terlihat, buru-buru ia berlari menuju pangkalan ang?
kutan kota. Doanya sekali lagi, semoga angkutan ini tidak
ngetem lama karena menunggu penumpang.
Namun, lagi-lagi Rey hanya mengumpat dalam hati. Karena
ulah si sopir angkutan kota ini, dirinya bisa sangat terlambat.
Waktu lima menit terbuang percuma di dalam angkutan kota
yang hanya diam. Untungnya, begitu Rey hampir turun, si sopir
segera menyalakan mesin dan siap tancap gas.
Kali ini Rey bertanya-tanya kesialan apa lagi yang kira-kira
akan ia dapatkan. Setiap lima puluh meter mobil berhenti
karena ada penumpang yang turun atau naik. Sopir kembali
memutuskan untuk ngetem di lokasi langganannya. Lalu tibatiba saja si sopir menepi karena ingin membeli rokok.
Grrhhh Lama-lama Rey stres sendiri.
Pukul sepuluh tepat dan Rey masih di jalan! Pertandingan
sudah dimulai dan kini jalanan macet yang menyapanya.
Astaga, apa yang sekiranya terjadi di lapangan? Apa Ariana
memutuskan untuk menurunkan Kai karena Kai sedang men?
jadi dirinya saat ini? Atau Kai mengaku dan ia tetap duduk
manis di bangku pemain cadangan? Opsi kedua terdengar lebih
baik walau tim mereka pasti dibantai habis-habisan.
SMA Buana Bhayangkara bukan tim yang mudah ditaklukkan.
Pada pertandingan awal semester lalu saja tim SMA Serunai
Raya masih kalah. Bagaimana dengan sekarang? Bukannya Rey
bangga pada dirinya sendiri atau menyayangkan ia tidak bisa
hadir lebih awal untuk membawa keajaiban pada timnya, tapi
lebih pada kontribusi yang seharusnya bisa ia berikan pada
tim di saat-saat penting seperti ini.
Kesal, rasanya sangat kesal. Baru di saat seperti ini Rey
menyesali keputusannya bertukar tempat dengan Kai. Kalau
saja kemarin ia tidak menyetujui ide konyol ini, ia pasti sudah
ada di lapangan sekarang. Kai pun dapat melakukan check up
untuk memeriksa kondisi dan mengambil obatnya.
"Eh, tunggu!" Kai teringat sesuatu. "O-obat?"
Jangan bilang kalau Kai memiliki tingkat kebodohan yang
sama seperti Rey yang meninggalkan ponsel di dalam tas.
Cepat-cepat Rey membuka tas, lalu membuka kantong demi
kantong. Rasanya ia melihat sesuatu seperti obat. Se?moga
saja tidak. Semoga saja Kai tidak meninggalkan obatnya di
dalam tas.
Terlambat! Obat itu ada di sana! Tiga jenis, mulai dari pil,
kaplet, juga yang berbentuk serbuk. Kai meninggalkan obatnya
di sini. Ia bermalam tanpa obat-obatan ini dan sekarang...
entah apa yang terjadi!
Belum. Ia masih bisa berlari dan mengikuti alur pertandingan,
walau dengan kaki yang bergerak lambat. Kai tahu, nyeri di
dada kirinya semakin lama semakin menjalar ke bagian tubuh
lainnya. Lebih dari itu, ia juga mulai terengah-engah, padahal
kuarter kedua tinggal sebentar lagi.
Sekilas tadi ia melihat Ariana pergi meninggalkan bangku
pemain cadangan. Apa itu berarti Rey sudah datang? Bagus,
berarti mereka bisa sama-sama bermain lagi di sini. Karena itu
Kai kembali mengangkat kepala, mengusap peluh di wajah,
dan mendribel bola secepat mungkin sampai ke dekat ring.
Sebelum bolanya ditepis lagi, cepat-cepat ia memberikan chest
pass pada Leo di sana. Mereka bermain semakin baik seper?
tinya. Dua poin berhasil ditambahkan walau skor sementara
masih terpaut jauh.
"Sedikit lagi!"
Dion yang kali ini beraksi. Kai berlari di belakangnya. Ketika
pemain tim lawan hampir menahan Dion, bola lalu dipantulkan
ke lantai. Dengan cepat iabil kemudian ia lempar ke dalam
ring melalui jump shoot. Eh? Apa yang baru saja Kai lakukan?
Ia melakukan jump shoot! Dan setelah berputar pelan di tepian
ring, bolanya masuk!
"Yeah!"
Ini jump shoot pertama Kai dalam pertandingan. Kai tahu
rasanya menyenangkan sekali berhasil melakukan itu. Dion
lalu mengusik kepalanya sebagai tanda selamat. Kemudian
mereka kembali lagi ke awal, bersiap dengan serangan
balasan.
Skor kini tinggal selisih sepuluh angka. Bisa dituntaskan
dengan empat kali three point atau lima kali lemparan biasa.
Kai yakin, setelah Rey datang nanti mereka bisa menyamakan
kedudukan. Ia lalu berlari cepat untuk menyusul yang lain di
depannya. Namun tiba-tiba saja kakinya kehilangan tenaga.
Kai kembali terdiam setelah berhasil menahan keseimbangan.
Sayangnya, nyeri yang menjalar di dada tak dapat ditahannya
lagi. Rasanya sakit sangat sakit bahkan membuat tubuh?
nya lemas.
"Ganti pemain!" Lalu suara Ariana terdengar samar. "Ku?
bilang, ganti pemain!"
Apa Ariana tahu yang ada di sana adalah Kai, bukan Rey?
Wasitnya keras kepala. Sayang sekali mereka tidak percaya
perkataan Ariana. Memangnya mereka tidak lihat, sekarang
Kai di tengah lapangan sana terdiam, mencengkeram seragam
birunya tepat di bagian dada? Memangnya mereka tidak
tahu?oh, mereka tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Bahkan
Ariana pun baru mengetahuinya tadi berkat sambungan
telepon yang salah.
"Ini darurat, Pak! Dia bisa mati!" Ariana menunjuk-nunjuk
Kai yang masih saja berusaha bergerak walau oleng. "Rendra!
Bang Eza!" Lalu teriakan Ariana makin menjadi-jadi. Ia sudah
tidak peduli lagi pada mimpinya, semua omong kosong soal
ambisinya, dan tentu saja pertandingan ini. "Leo! Dion! Suruh
Kai keluar dari lapangan! Kubilang, keluarin!"
Ariana hampir saja menyeruak masuk ke tengah lapangan,
tapi tindakannya itu tidak membuat permainan di lapangan
terhenti. Teriakannya kurang keras, kalah keras dibandingkan
sorak-sorai para suporter dan pemain lainnya. Ia tahu namanama yang disebutnya tadi kini mengalihkan pandangan pa?
danya, lalu pada Kai yang tak lama kemudian langsung?
bruk.
Kai jatuh, tersungkur, lalu mengerang dalam diam.
Sekali lagi Ariana berteriak keras. Ia pikir suaranya sudah
cukup keras, tapi rupanya ada yang lebih keras.
"Kai! Kai!"
Suara itu berasal dari orang yang berwujud sama dengan
Kai dan memakai seragam bernomor sembilan.
"Rey!" Orang itu Rey, dan yang ada di lapangan sana adalah
Kai. Ariana merasa begitu bodoh karena tak menyadarinya
lebih awal. Ia yang membuat kedua kembar ini menjadi serupa,
dan ia sendiri yang membuat semuanya jadi berantakan seperti
ini! Astaga! Apa yang telah aku lakukan?!
Rey tidak habis pikir mengapa Kai sampai memaksakan diri
sejauh itu hanya untuk sebuah pertandingan. Bukankah yang
mereka inginkan hanya bermain bersama, bukan mengejar
kemenangan? Kalau begitu, seharusnya Kai duduk manis di
bangku pemain cadangan, mengikuti semua titah Ariana, dan
akhirnya tidak akan jadi seperti ini.
Tiba-tiba saja langkah Rey menjadi lunglai begitu melihat
lagi-lagi Kaibruk di lapangan. Ini yang kedua kali, dan
rasanya Rey semakin tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Ia
selalu datang terlambat. Tidak hanya ketika Leo melakukan
hal buruk pada Kai. Tidak hanya saat ini, tapi juga dulu, tujuh
tahun yang lalu. Kemudian saat rasa panik itu menjalar cepat
dalam benak, ia tak bisa lagi melakukan apa pun selain me?
meluk Kai seerat mungkin dan tidak membiarkan siapa pun
menyentuh saudaranya itu.
"Kai harus dibawa ke rumah sakit, Rey!" Ariana berkata
tegas lalu menarik Rey agar petugas medis bisa memindahkan
tubuh lunglai Kai ke atas tandu. Mereka lalu membawanya ke
pinggir lapangan untuk memberikan pertolongan darurat.
"Aku ikut!"
"Kamu di sini!" Sekali lagi Ariana membentak. Gadis itu
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rupanya sudah bisa sedikit tenang saat wasit meniup peluit
panjang tanda pertandingan dihentikan sementara waktu. Itu
yang Ariana inginkan. Tidak banyak, hanya membuat Kai keluar
dari kewajibannya sebagai pemain dan mendapat pertolongan
secepat mungkin.
"Nggak bisa, aku ikut! Aku nggak peduli denganbisimu
buat menang, atau impian kalian buat jadi juara!" Spontan
ucapan itu keluar dari mulutnya.
Ariana merasa tertampar. Dalam kasus ini, ia yang paling
bersalah. Ia yang memaksa Kai untuk menjadi perpanjangan
mimpinya, ia yang membuat kedua kembar ini memiliki ide
untuk bertukar posisi. Ariana tahu ia yang salah, tapi "Tapi
gimanapun Kai udah mati-matian main sampai di sini!"
Ini bukan soalbisi, impian, atau apalah yang semacam
itu. Ini soal menghargai siapa yang telah bekerja lebih keras,
berlari lebih kencang, melompat lebih tinggi, hanya untuk bisa
bermain bersama.
"Kai menunggumu di lapangan sejak tadi! Ini bukan soal
ambisiku. Ini soal Kai yang udah berjuang sampai di sini!"
Ucapan Ariana membuat Rey tertegun. Ia tak bisa melepas?
kan pandangannya dari Kai yang saat ini sebagian wajahnya
ditutupi masker oksigen. Beberapa orang melakukan pijatan
di dada Kai. Sama persis seperti yang terjadi tujuh tahun yang
lalu, saat itu pun Rey hanya bisa diam mematung.
"Rey!" Suara Ariana memecah lamunan. "Kumohon, Rey...."
Cewek itu tak mampu menahan tangis. "Aku yang salah, tapi
kumohon jangan buat perjuangan Kai sia-sia."
Perjuangan Kai.... Saat memikirkan itu, Rey melihat papan
skor. Mereka masih tertinggal, tapi dengan selisih skor tidak
begitu jauh. Kemudian ia menatap wajah-wajah yang ada di
sana, yang menaruh harap padanya.
"Kai" Rey bahkan berpikir tak akan mampu lagi menyebut
nama itu. "Tolong jaga Kai." Ucapan itu ditujukannya pada
Ariana yang mengangguk mantap.
Ariana lalu bangkit dan berlari mengejar petugas medis yang
siap membawa Kai ke rumah sakit menggunakanbulans.
Ia yang bertanggung jawab atas semua ini, atas apa yang
menimpa Kai saat ini. Dengan erat Ariana menggenggam ta?
ngan Kai yang begitu dingin. Berulang kali ia memanggil na?
manya, berharap Kai "kembali".
Sedangkan Rey memiliki tugas lain yang tidak kalah penting.
Ia akan menjadi perpanjangan mimpi Kai yang telah berjuang
mati-matian. Ariana mungkin salah, tapi semua ini bukan
kesalahan cewek itu saja. Rey yang tak bisa berkata "tidak"
atas ide gila yang berakibat fatal seperti ini, juga bersalah. Rey
tahu kedatangannya terlambat, tapi ia berjanji tidak akan
menyia-nyiakan perjuangan yang telah dilakukan saudaranya
itu.
Rey akan bertanding dan menang, kemudian membawa
kemenangan itu untuk Kai yang telah berjuang lebih dulu!
Match #16
aktu berusia hampir lima tahun, saat pertama kali
memakai seragam hijau muda cerah dengan topi
bulat yang punya kaitan karet sampai ke leher,
Rey selalu bertanya-tanya kenapa ia harus sekolah di TK
sedangkan Kai boleh tidur-tiduran di rumah sepanjang hari?
Mengapa ia harus bangun pagi untuk sekolah sedangkan Kai
hanya mengambil bukunya dan mulai latihan membaca atau
berhitung di meja ruang makan? Saat itu Rey baru menyadari,
walau ia dan Kai anak kembar, tetap saja ada yang berbeda
pada mereka.
Ingatannya terlempar jauh ke masa-masa setelah itu. Kai
selalu mendapat perlakuan khusus. Jika minta sesuatu, Ayah
dan Mama pasti akan segera mengabulkan. Sedangkan Rey
harus bersabar menunggu atau bahkan menjadi tersisih dan
dilupakan. Sama seperti ketika keduanya duduk santai pada
siang hari, ibunya akan lebih dulu bertanya pada Kai apa yang
ingin dimakannya untuk makan siang, sementara Rey digubris
saja tidak pernah.
Mereka kembar, tapi kenapa perlakuan terhadap mereka
berdua berbeda?
Ketidakadilan semakin terasa di rumah kecil itu. Pada Hari
Raya, saat semua keluarga berkumpul, Kai selalu mendapat
hadiah lebih banyak. Bukannya Rey tidak mendapat hadiah,
tapi kadang orang-orang itu bilang, "Ini untuk Kai dulu ya, Rey
nanti." Mereka tersenyum sambil menepuk-nepuk kepalanya.
Nanti? Nanti itu kapan? Bukannya lebih baik bilang langsung saja
kalau hanya ingin memberi untuk Kai? Itu yang selalu ada di
benak Rey. Ia tidak pernah keberatan soal itu, hanya merasa
sedikit sebal.
Awalnya sedikit, tapi lama-lama Rey merasa ada yang salah
dengan semua ini. Terutama saat mereka mulai masuk sekolah
dasar. Seragam yang sama, sepatu yang sama, tas yang sama,
tapi tetap dengan perlakuan berbeda.
Wali kelas mereka, Bu Nurmala, bertanya pada Kai hampir
setiap waktu. Entah apa yang ditanyakannya, tapi kelihatan
bahkan seorang guru yang disanjung-sanjung selama belajar
pun memberi Kai perlakuan istimewa. Mungkin hanya Rey
yang menyadari hal tersebut karena ia yang merasakan lang?
sung dampak ketidakadilan ini.
Mungkin karena Kai pintar. Waktu di kelas satu ia sudah
bisa membaca dengan lancar. Ketika kelas dua Kai bahkan
sudah menguasai perkalian sampai bilangan lima, sedangkan
yang lain masih terseok-seok pada konsep perkalian itu sendiri.
Mungkin ini yang membuat guru-guru perhatian pada Kai.
Sampai di tahun kedua sekolah dasar, Rey masih menyimpan
banyak tanya dan tentunya rasa iri yang tidak pernah bisa ia
adukan. Kedua orangtuanya selalu sibuk dengan urusan Kai,
begitu pula para guru. Orang dewasa baginya sangat menye?
balkan. Untungnya ia punya segudang teman yang bisa meng?
usir rasa menyebalkan itu. Rey sering bermain di luar, sengaja
berlama-lama agar tak perlu susah-susah menekan rasa iri
hatinya pada Kai. Toh selama ini, walaupun Kai selalu unggul
dalam pelajaran di sekolah, sekali pun Rey tidak pernah melihat
Kai bermain di luar bersama anak-anak seusia mereka.
"Saudaramu sombong ya, Rey?"
Saat seorang teman mengatakan itu, Rey merasa ia menang.
Akhirnya ada orang yang mengakui keberadaannya. Mungkin
Rey tak punya orangtua yang perhatian, om dan tante yang
memberinya hadiah, atau guru-guru yang selalu memuji, tapi
ia punya segudang teman yang bisa dibanggakannya.
Setiap sore setelah tidur siang, Rey pasti menyempatkan
waktu untuk bermain di depan rumah. Entah itu petak umpet,
benteng-bentengan, bahkan memanjat pohon demi mendapat
sebiji kecil buah kersen pun ia tidak mau kalah. Sementara Kai
hanya duduk diam di depan rumah. Ia membuka buku cerita
kesukaannya. Rey tahu perhatian Kai tidak tertuju pada buku
tersebut, melainkan pada anak-anak yang berlarian di depan?
nya.
Sampai suatu ketika, ibunya mengatakan sesuatu yang
membuat Rey kesal. "Mulai besok, main saja di rumah sama
Kai. Jangan lari-lari di jalan lagi sama anak-anak di sini."
Sesuatu yang membuat Rey memprotes. "Kenapa nggak
boleh?"
"Soalnya nanti Kai ingin ikut main sama kalian."
"Kalau Kai mau ikut main, bukannya tinggal main aja? Kalau
sore, dia juga nggak ngapa-ngapain, kan? Cuma duduk-duduk
aja di teras."
"Rey!" Ibunya membentak. "Jangan jahat gitu dong sama
saudaramu!"
Jahat...? "Siapa yang jahat?" Rey tidak terima dibilang jahat.
Mana mungkin aku jahat? Bukannya selama ini Kai yang jahat?
pikirnya kesal. Siapa yang sudah mengambil seluruh perhatian
orangtua mereka kalau bukan Kai? Siapa juga yang mengambil
jatah hadiah tiap Hari Raya atau bahkan hari ulang tahun dari
saudara-saudara yang lain kalau bukan Kai? Lalu sekarang, saat
Rey sibuk bersenang-senang dengan temannya, Kai mau
mengambil mereka juga?
"Kamu harus ngerti dong, Rey." Wajah ibunya mengeras,
seperti memohon, tapi dengan tidak ikhlas.
"Ngerti apa lagi? Kayaknya aku udah ngerti kok!"
Rey sudah banyak mengerti dan sebelum ini ia tidak pernah
protes. Ia selalu berusaha menjadi anak yang baik, yang lebih
baik daripada Kai. Rey mungkin tak sepintar Kai, tapi ia juga
tidak terlalu bodoh sampai harus membuat orangtuanya
kecewa. Lebih dari itu, Rey tidak pernah protes. Ia terimaterima saja perbedaan dan segala ketidakadilan di rumah ini.
Tapi kenapa pada akhirnya harus ia lagi yang mengalah?
Sejak saat itu ia membenci Kai. Sesering apa pun kembar?
annya itu mengajak bicara, Rey tidak pernah menggubris.
Begitu pun kalau Kai bertanya, ia tak pernah mau menjawab.
Kalau ia tak boleh memiliki apa pun, Kai juga tidak berhak
mendapatkan semuanya.
Suatu hari, Mas Adi, sepupu jauh yang tinggal menumpang
di rumah mereka, memberi hadiah sebuah bola. Bola tersebut
ukurannya besar, agak berat, dan berwarna oranye dengan
garis-garis melintang yang mengelilinginya.
"Nih, Kai, Rey...." Bola tersebut lalu berputar di ujung
telunjuk Mas Adi. "Namanya bola basket. Keren, nggak?"
Rey sudah menahan diri untuk tidak mengambil bola
tersebut dan memainkannya. Ia tahu apa itu basket. Pak Roni,
guru olahraga di sekolah mereka pernah memperkenalkan
olahraga bola yang bisa mereka mainkan, salah satunya basket.
Walau tidak sepopuler sepak bola, ketika melihat demonstrasi
yang Mas Adi lakukan dengan bola itu, Reyat terpukau.
Bola oranye itu memantul-mantul di lantai semen garasi rumah
mereka, lalu melambung cepat dan masuk ke keranjang yang
dipasang di dinding.
"Aku mau coba!" teriak Rey lantang saat Mas Adi menyo?
dorkan bola. Rey segera merebut bolanya cepat dari Kai yang
sepertinya ingin juga memainkan benda tersebut. "Pokoknya
aku duluan!" Kali ini ia tidak mau mengalah.
"Ya... ya, kalian main berdua lah kalau gitu."
"Nggak mau!" Rey menolak saran Mas Adi barusan.
"Lho, kalau mainnya cuma sendiri sih bukan basket nama?
nya," jelas Mas Adi lagi. "Main basket itu minimalnya berdua.
Nah, yang kayak gitu disebut one on one."
"Wan... on...." Rey gagal mencerna istilah bahasa Inggris
tersebut.
"Intinya, tanding satu lawan satu." Kedua telunjuk Mas Adi
terangkat ketika memberi penjelasan. "Kalian harus saling
merebut bola, tapi dengan cara yang tadi udah Mas kasih tau.
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bolanya dipantul-pantul kalau mau dibawa, habis itu siapa yang
duluan bisa masukin bola ke keranjang," satu telunjuknya
lalu menunjuk keranjang, "dia jadi pemenangnya."
Itulah awal permainan basket mereka. Rey yang lebih aktif
menguasai dengan cepat teknik mendribel bola, dan ia yang
pertama berhasil memasukkan bola ke dalam ring. Dan kini
giliran Kai yang mengekor di belakangnya.
Peristiwa itu terjadi tujuh tahun yang lalu, saat mereka berusia
delapan tahun. Kai tidak tahu mengapa semua orang begitu
baik padanya, tapi dengan banyak syarat yang harus dipenuhi.
Tidak boleh main di luar, olahraga di sekolah kalau terlalu berat
tidak boleh ikut, pulang sekolah harus langsung pulang ke
rumah, main di rumah teman boleh, tapi hanya dengan
tetangga.
Ada banyak sekali peraturan yang dibisikkan padanya setiap
saat. Bukan hanya kedua orangtua, tapi juga guru-guru di
sekolah. Mereka selalu tiba-tiba mendekat, lalu bertanya, "Kai
nggak apa-apa hari ini? Gimana, ada yang sakit, nggak?"
Sakit? Siapa yang sakit?
Kai tidak ingat ia sakit. Sakit bagi anak kecil berarti badannya
panas atau kepalanya pusing. Namun, ia jarang sekali me?
rasakan itu. Hanya kadang-kadang dadanya nyeri lalu setelah
itu tubuhnya akan sangat lemas. Mungkin karena ia juga tidak
begitu ingat apa yang terjadi. Ibunya bilang karena tubuh Kai
kurang kuat. Tubuhnya membutuhkan banyak nutrisi, vitamin,
bahkan obat supaya bisa tumbuh besar dan sehat. Padahal
tubuhnya baik-baik saja, seingat Kai saat itu.
Lalu ia mulai bosan. Tidak ada yang mau bermain dengannya.
Mereka semua lebih memilih Rey yang bisa berlari lebih
kencang dan melompat lebih tinggi. Rey selalu membuatnya
iri karena saudaranya itu tak perlu bertemu dokter setiap
bulan, atau bahkan memakan serbuk yang dicampur air se?
habis makan. Rasanya pahit dan Kai selalu ingin muntah kalau
mencium baunya. Ia tersiksa sendiri sedangkan Rey selalu bisa
tertawa di tengah siksaan ini.
Bahkan Rey bilang terang-terangan tidak suka padanya. Rey
selalu bersikap tak acuh, tidak pernah menggubrisnya, bahkan
menguasai bola oranye yang Mas Adi berikan. Semua itu
mengesalkan. Apalagi Rey selalu bisa memasukkan bola ke
dalam keranjang yang tertempel di dinding garasi sementara
Kai hanya bisa mengikuti gerakannya ke sana kemari.
Kemudian peristiwa itu terjadi.
Rey baru saja pergi bersama teman-temannya untuk melihat
pertunjukan topeng monyet di taman kompleks. Ia mening?
galkan si bola oranye di garasi rumah ketika Kai hampir saja
berlari menyusulnya.
"Kamu main aja di rumah! Jangan ke mana-mana!" Teriakan
Rey menghilang di balik belokan. Sosoknya tak terlihat lagi
sementara Kai hanya bisa termangu di depan pagar.
Hari itu Mas Adi harus wawancara kerja sehingga tak bisa
menemani Kai dan Rey di rumah. Sedangkan kedua orangtua
mereka tentu sedang bekerja keras supaya bisa membayar
dokter dan obat. Padahal Kai selalu merasa tidak perlu. Lebih
baik uangnya dipakai untuk membeli mobil-mobilan atau sepeda
untuk Rey, pikir Kai.
Pikiran itu melesat jauh ketika si bola oranye hanya tinggal
berdua dengannya. Kaiat ingin memainkan bola tersebut,
tapi Mas Adi bilang kalau main sendiri namanya bukan basket.
Jadilah ia hanya mendribel berulang kali sambil latihan melem?
par bola ke dalam keranjang.
Tiba-tiba seorang anak muncul. Namanya Fariz, anak
tetangga sebelah. Anehnya, waktu itu Fariz malah menyapanya
dengan nama yang berbeda.
"Rey! Main, yuk!"
Rey? Hampir Kai protes karena dipanggil Rey. Memang
kebanyakan orang tidak bisa membedakan paras mereka yang
sama, tapi saat itu tiba-tiba Kai berpikir untuk pura-pura
menjadi Rey. Kalau jadi Rey, ia bisa main dengan anak-anak
lain, kan?
Akhirnya, untuk kali pertama Kai tahu mengapa Reyat
senang bermain di luar rumah seperti ini. Mereka main dengan
bola dan batu yang ditumpuk menjadi bentuk menara. Saat
satu tim berhasil meruntuhkan menara batu tersebut, mereka
bertugas menyusunnya lagi menjadi bentuk menara utuh,
sedangkan tim lain akan melempar bola. Jika salah satu pemain
terkena lemparan bola, ia tidak boleh ikut bermain lagi.
Kai pikir, permainan seperti ini tidak akan apa-apa walau
orangtuanya bilang ia tak boleh lari-lari. Mungkin mereka
hanya takut dirinya jatuh. Padahal Kai bisa berlari cepat tanpa
terjatuh. Semua orang memuji gerakannya yang lincah saat
berkali-kali menghindari lemparan bola. Hanya satu, ketika
seorang anak melempar bola tepat mengenai dada Kai, saat
itulah Kai merasakan sakit yang membuatnyabruk dan
hanya bisa mengerang di atas tanah.
Lalu kepanikan terjadi. Anak-anak lain berpikir Kai akan mati.
Mereka saling menyalahkan, menuduh satu sama lain sebagai
penyebab tumbangnya Kai, kemudian berlari ke rumah masingmasing. Beberapa di antaranya, yang mengadu pada ayah dan
ibu mereka, malah disuruh menjauh.
Kai sendirian di sana. Mungkin karena hal seperti ini, tak
ada yang mau bermain dengannya. Ia masih sendiri sampai
tiba-tiba saja Rey muncul menolongnya.
Kejadian tujuh tahun lalu itu sederhana, tapi membuat se?
muanya berantakan. Rey tidak tahu Kai memutuskan bermain
dengan anak-anak di depan rumah. Siapa saja memang bisa
mengajak Kai, tapi mereka tidak pernah tahu apa yang akan
terjadi setelah itu. Rasanya seperti mengaktifkan bom waktu
yang mengerikan. Kai terkapar di jalanan, dikerumuni banyak
orang yang saling menyalahkan. Ia tidak bergerak, hanya
mengerang dan berulang kali bilang sakit.
Suara sirenebulans lalu menjadi penghias suasana sore
itu. Rey merasa kakinya lemas saat orang-orang membawa
Kai ke dalam mobil tersebut, menariknya masuk seperti se?
ngaja mengatakan, "Ini lho yang akan terjadi kalau kalian
melanggar aturan!"
Ingatan Rey selanjutnya adalah tamparan. Rasanya sakit
sekali, tapi ayahnya bilang, gara-gara Rey, Kai merasakan yang
lebih sakit daripada sakitnya. Sebuah rasa sakit yang membuat
Kai terus menangis, berteriak tidak mau disuntik, dan akhirnya
terbaring lemas dengan slang di sana-sini.
"Kamu tahu, Rey? Kai bisa mati! Kalian ini nggak sama,
kondisi kalian berbeda!"
Suara bentakan itu menjadi gaung yang terus mengisi kepala
Rey selama tujuh tahun ini. Padahal mereka terlahir kembar
dengan penampilan yang sama, ulang tahun yang sama, umur
yang sama?tapi mengapa punya nasib berbeda? Mengapa
saat Rey bisa berlari bersama teman-temannya, Kai tidak bisa
ikut? Lalu giliran Kai terbaring sakit, mengapa Rey sama sekali
tidak bisa merasakan sakitnya?
Kalau harus berbeda seperti ini, kenapa mereka harus
dilahirkan kembar?
Telinga Rey berdenging saat peluit berbunyi tanda akhir
kuarter ketiga. Ia tidak bisa melanjutkan pertandingan ini.
Pikirannya melayang jauh, memikirkan nasib Kai. Mengapa
bisa-bisanya ia tetap bertanding selagi Kai mengadu nasib
dengan kematian? Saudara macam apa aku? Bisanya hanya
menyalahkan, sesal Rey.
"Rey...." Perlahan Dion menepuk-nepuk punggungnya.
Rey bahkan tak punya kekuatan untuk berdiri. Kakinya
terlalu lemas dan bahunya begitu berat. Ia hanya bisa duduk,
menunduk, sambil terus mengepalkan tangan.
"Rey." Suara lain memanggil. Kali ini Leo. Rey bisa saja
menyalahkan Leo karena kejadian waktu itu membuat kese?
hatan Kai menurun. Namun percuma. Mau dilihat seperti apa
pun, yang terjadi pada Kai hari ini semua adalah salahnya.
"Rey, please.... Kalau kamu nyerah di sini, gimana Kai yang lagi
berjuang sendiri?"
"Kalian kembar, kan?" Dion menimpali dengan pertanyaan
yang spontan membuat bahu Rey terangkat. "Anak kembar
punya hubungan batin yang kuat, kan?"
Rey tidak mau memikirkan mitos itu. Kalau ia dan Kai punya
hubungan batin yang kuat, seharusnya ia yakin sesuatu akan
terjadi pada Kai, bahkan walau hanya sebuah keyakinan
palsu.
"Leo sama Dion bener, Rey. Kalau kamu nyerah di sini,
mungkin Kai juga bakal nyerah. Kalian lagi sama-sama berjuang,
kan? Walau dengan cara yang beda," Arieza turut menambah?
kan.
Dan saat Rey mengangkat pandangan, ia mendapatkan
kata-kata lainnya dari Rendra. "Kamu nggak mau bikin Kai
kecewa, kan?"
Kedua tangannya terkepal. Entah kekuatan itu masih ada
atau tidak, yang jelas setelah ini mungkin Rey hanya bisa
berlari. Ia menggantungkan harapannya pada nasib, tapi Kai
menggantungkan harapan padanya. Di lapangan ini.
Match #17
uarter terakhir di pertandingan terakhir tingkat kota.
Ariana tahu mereka akan mengukir sejarah baru di sini,
tapi ia lebih memilih berlari ke dalambulans bersama
petugas medis saat mereka datang. Memburu waktu demi
menyelamatkan Kai.
Sederhananya, kejadian seperti ini pernah terjadi setahun
yang lalu. Kecelakaan yang perlahan menjauhkan mimpinya.
Ariana ingat, mungkin saat itu ia berada dalam kondisi yang
sama dengan Kai. Terbaring lemas, tak tahu apa yang terjadi,
dan ketika terbangun, semuanya menghilang. Termasuk mim?
pi-mimpi besarnya selama ini.
Namun, Kai masih punya kesempatan. Ariana yakin Kai dan
Rey adalah dua orang yang Tuhan berikan sebagai pengganti
tangannya. Mereka yang akan menggantikan dirinya meraih
mimpi-mimpi itu. Jadi, mereka tak boleh berhenti sampai di
sini!
Kalau aku menyerah di sini, lalu bagaimana dengan Kai?
Rey mendribel bola sekuat tenaga. Beberapa kali ia harus
memindahkan bola dari tangan kanan ke tangan kiri, memba?
wanya melambung, lalu melemparnya pada Leo yang kini
meng-assist-nya menggantikan Kai. Mereka tidak bisa meng?
gunakan strategi apa pun di saat seperti ini. Jangankan strategi
baru, strategi yang sudah Ariana siapkan saja tak mampu ia
laksanakan. Strategi aneh dan konyol itu sayangnya hanya bisa
dilakukan jika ada Kai di sini. Dan Rey... berlari sendiri.
"Tembak, Rey!"
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Penjagaan terhadap Leo diperketat. Dua pemain lawan
membayanginya. Tentunya Leo tak dapat melakukan apa pun
selain melempar kembali bola tersebut pada Rey. Tepat pada
three point line, sejurus kemudian Rey menembakkan bola,
dan masuk! Sebelumnya, beberapa kali tembakan tersebut
gagal. Rey tahu, salah satu penyebab adalah karena dirinya
tak bisa fokus. Pikirannya terfokus ke Kai, bukan ke lapang?
Namun, kini ia siap. Rey siap kembali bertanding dengan
seluruh kemampuannya. Untuk dirinya, kawan-kawannya, Kai,
dan mimpi-mimpi mereka.
Pertandingan berjalan kembali. Sepuluh menit di kuarter
terakhir tak akan terasa. Untungnya selisih skor kini tak sejauh
sebelumnya. Tertinggal lima angka, ini prestasi yang luar biasa
karena pada saat latih tanding mereka hampir tertinggal
sepuluh angka. Lagi pula, ini bukan akhir dari segalanya.
Bola dikuasai tim SMA Buana Bhayangkara. Para pemainnya
yang bertubuh jangkung mendapatkan banyak kesempatan
untuk melakukan over head pass. Satu-satunya orang yang
bisa melompat tinggi dan menghalau operan tersebut hanya
Dion. Kemudian saat bola terpantul bebas di lantai, giliran
Rendra sebagai forward yang melakukan serangan balik.
Rey tetap di posisinya sebagai shooter. Ia selalu berhenti di
three point line menunggu lemparan bola. Sayangnya, ketika
bola ia dapatkan, dua pemain lawan berjaga di depannya. Ini
lebih sulit. Jika biasanya akan ada Kai yang membantunya
melewati semua ini dengan mengambil bola, lalu mendribel
sampai garis terdepan, kini Rey hanya sendiri. Berulang kali
Rey mengingatkan diri bahwa ia sendirian. Karena sugesti
tersebut, ia selalu merasa tidakan.
Hampir saja Rey tenggelam dalam lamunan lagi ketika Leo
kembali memanggil namanya. Rey mengalihkan perhatian.
Tadinya ia berniat mengoper bola pada Leo, tapi ternyata yang
Rey lakukan hanya berbalik, melangkah ke samping, lalu
melom?pat untuk menembakkan bola. Cara itu berhasil. Bola
masuk dan tiga poin ditambahkan ke dalam skor mereka!
"Yeah! Gitu dong, Rey!"
Dion ber-hi five riang, dan Rey membalasnya disertai segaris
senyum. Ia tidak tahu senyum itu muncul dari mana. Mungkin
dari sedikit kelegaan. Di sini, walau tak ada Kai di lapangan ini,
ia selalu tahu Kai ada bersamanya. Kalau Kai saja bisa menak?
lukkan dua kuarter pertama, mengapa Rey tidak? Ia seharusnya
bisa lebih baik.
Skor hanya tertinggal satu poin.
Ariana masih menggenggam tangan Kai yang dingin dengan
satu tangannya. Sial memang, jalanan macet di akhir pekan
seperti ini. Namun untungnya para petugas medis memiliki
banyak peralatan canggih di dalam sini. Berulang kali mereka
bekerja keras agar kondisi Kai stabil. Yang bisa Ariana lakukan
saat itu hanya memanggil-manggil nama Kai sebanyak mung?
kin.
Hanya doa. Ariana tahu hanya doa yang dapat menyelamatkan
mereka saat ini. Timnya dengan pertandingan mereka, dan
Kai yang berjuang dengan dirinya sendiri di sini. Sayangnya,
walaupun kesempatan itu ada, mereka tak punya banyak
waktu.
Electrocardiograph yang tadinya bernada stabil tiba-tiba saja
berbunyi nyaring dengan tempo cepat. Lampu di bagian atas
kotak tersebut berubah merah. Dua petugas medis menyuruh
Ariana mundur sejenak.
"Apa yang terjadi?" tanya Ariana khawatir karena ia melihat
wajah Kai semakin pucat. Namun, tak ada satu pun dari kedua
petugas ini yang menjawab. Mereka hanya berdiskusi, me?
nyuruh satu sama lain untuk memeriksa ini dan itu. Kemudian
salah satu dari mereka mulai melakukan pijatan dada lagi. "Kai
kenapa? Dia nggak apa-apa, kan?"
Tidak ada yang menggubris. Semua sibuk.
Lalu kotak itu berbunyi lagi, kali ini dengan suara yang
membuat Ariana membesarkan mata. Ia menoleh dan melihat
flatline di sana.
"Kai...." Tidak mungkin, kan? "Kaaai!!!"
Napasnya memburu, terengah-engah di tengah lapangan.
Sepertinya lawan tahu cara menghentikan Rey dalam beberapa
kali sergap. Mereka tahu Rey-lah sang shooter, mesin penem?
bak yang akan terus menambah poin jika dibiarkan. Kali ini
SMA Buana Bhayangkara memilih bertahan. Dalam beberapa
menit mereka berhasil menambah dua angka. Rey juga berhasil
memasukkan dua angka. Skor kini hanya selisih satu angka.
Siapa pun yang lebih dulu berhasil menembakkan bola ke
dalam ring, merekalah yang menjadi pemenang.
Berkat rebound dari Dion, diperkuat penjagaan Arieza dan
Rendra, Leo berhasil mendribel bolanya sampai ke area lawan.
Lalu seperti biasa, semua diserahkan pada Rey yang kini
dibayangi oleh dua, bahkan tiga orang.
Kalau terjepit seperti ini, apa yang harus dilakukan Rey?
Segelintir pertanyaan berhasil melesat dalam benaknya, tapi
Rey tahu ia harus bergerak cepat, kembali mendribel bola,
mengopernya, atau langsung menembak melewati tiga guard
bertubuh besar yang kini menghalangi pandangannya.
Kemudian ia teringat Kai. Kalau Kai, apa yang akan dilaku?
kannya pada saat seperti ini? Kai pasti bisa melewati lawan
dengan mudah. Ia bisa bergerak cepat, memainkan bola de?
ngan lincah, lalu saat fokus lawan melemah, Kai akan me?
ngoper bola tersebut pada Rey.
Dan Kai kini... tidak ada.
"Tembak langsung, Rey!" Suara Rendra terdengar dari
kejauhan, memecah lamunan Rey yang spontan bergerak
mundur beberapa langkah masih dengan bola yang memantulmantul di tangan kanan. Saat itulah ia melihat celah. Celah ini
akan membuatnya maju, tapi jika maju lebih jauh, hanya dua
poin yang bisa didapatkannya. Rey membutuhkan tiga, dan
itu ada di tempatnya berdiri sekarang ini.
Bagaimana?
Cara sebelumnya pasti gagal. Rey harus memikirkan cara
baru. Ia lalu berkelit, tapi penjagaan semakin diperketat. Tim
SMA Buana Bhayangkara sengaja mengulur waktu, padahal
mereka hanya punya waktu kurang dari satu menit.
Saat itulah Rey mengambil keputusan dengan berbagai
risiko. Ia memilih menerobos lawan melalui celah, lalu tiba-tiba
mengoper bola ke belakang, pada Leo. "Tembak langsung!"
serunya.
Leo berdiri mematung, melebarkan mata sebelum cepatcepat melompat dan melambungkan bola dari tempatnya
berada. Three point line. Selain Rey, belum ada yang bisa
melakukannya dengan sempurna. Setidaknya bola tersebut
membentur papan lebih dulu sebelum kemudian masuk!
Peluit panjang dibunyikan. Skor mereka bertambah tiga
poin.
Selanjutnya yang terdengar hanya bunyi teriakan. Menang!
Mereka menang! Leo berhasil memasukkan bola, dan mereka
menang! Semua orang berlari, saling berangkulan. Kecuali
Rey.
Begitu peluit berbunyi, Rey menyingkirkan orang-orang
yang hendak merangkulnya. Ia berlari secepat mungkin ke
arah pintu keluar, tak menghiraukan semua orang yang me?
manggilnya. Hanya ada satu nama di dalam pikirannya kini.
Kai.
Match #18
ey terus berlari, menepis lalu-lalang orang-orang yang
berjalan cepat di sekitarnya, melewati berbagai ken?
daraan yang hampir menghantam tubuhnya, dan
me?lupakan lelah yang dirasakannya. Ia bahkan tidak peduli
dengan pertandingan tadi. Yang ia tahu, Leo berhasil mema?
sukkan bola, lalu wasit meniup peluit tanda berakhirnya per?
tandingan. Setelah itu, ia berlari.
Ke mana? Tidak tahu. Yang pasti rumah sakit. Entahbu?
lans tadi membawa Kai ke rumah sakit mana. Barangkali rumah
sakit yang ia datangi pagi tadi karena suatu kebodohan. Lagilagi Rey mengulang kesalahan yang sama seperti tujuh tahun
lalu. Dulu, gara-gara ia meninggalkan Kai sendirian di rumah,
saudaranya itu terkapar di jalanan dan harus dirawat di rumah
sakit selama berminggu-minggu.
Sebenarnya Rey benci melihat pemandangan buruk itu.
Lorong-lorong rumah sakit, bunyi electrocardiograph, bau
alkohol, serta obat.... Selama Kai dirawat tujuh tahun lalu, mau
tak mau Rey harus berada di sana walau tak ikut terbaring di
ranjang. Namun, yang lebih buruk daripada semua itu, ia me?
lihat Kai terus meraung ketika dokter atau perawat meme?
riksanya. Kai akan menangis keras, meminta tolong padanya,
lalu mengadu. Kenapa semua ini hanya terjadi pada Kai, tidak
padanya juga? Bukankah mereka kembar?
Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Tanya itu terus bergema di dalam kepala Rey. Sejenak ia
berhenti ketika mendengar dering ponsel yang kini ia genggam.
Ponsel miliknya yang tertinggal di dalam tas. Karena benda
itu pula, Kai menjadi begini. Sejak kembali ke pertandingan,
setelah merelakan Kai dibawabulans bersama Ariana,
berkali-kali Rey ingin mengambil ponsel tersebut. Daripada si
bola oranye di pertandingan tadi, sesungguhnya iaat ingin
menggenggam ponsel yang kini ada di tangannya.
Rey menahan napas sejenak, ada SMS dari Ariana. Mata
bulatnya membesar ketika membaca SMS tersebut. Lalu buruburu ia melangkah menuju rumah sakit yang diberitahukan
Ariana melalui ponselnya.
Kadang Rey berpikir, beginikah cara Tuhan menyusun ske?
nario hidupnya?
uuu
Kedua kakinya mati rasa. Sakit dan napasnya seakan di ujung
tanduk. Rey terengah-engah memasuki pintu masuk UGD
rumah sakit. Untungnya rumah sakit itu tidak terlalu jauh dari
tempat pertandingan tadi diadakan. Hanya sekitar lima belas
menit ia berlari sekuat tenaga, dan akhirnya sampai.
Hanya mengandalkan intuisi, Rey lalu menilik ruang demi
ruang. Ia belum menemukan sosok Ariana di sana. Ketika ia
berbelok, dilihatnya cewek itu. Ariana sedang berdiri, menatap
dinding-dinding kaca dengan satu tangan terkepal di depan
dada.
"Kak!" Saat itulah Rey mempercepat langkahnya. "Kak
Aria"
Tak sempat Rey mengucapkan dengan jelas nama itu, tibatiba saja Ariana sudah menghambur untuk memeluknya. Ariana
menangis, tangis yang sangat keras dalam pelukan yang sa?
ngat erat. Hal ini membuat Rey agak canggung, tapi ia sendiri
tak bisa banyak bicara selain menepuk kepala Ariana sembari
memalingkan wajah ke balik dinding kaca.
Kai ada di sana, terbaring. Awalnya Rey mengira Ariana ber?
bohong dengan apa yang ditulisnya di pesan tadi, tapi begitu
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihat bagaimana wajah para dokter di dalam sana, barulah
Rey mengembuskan napas lega. "Kai"
Ariana mengangkat wajah, lalu tersenyum. Rey tahu senyum
apa itu. Ia pun tidak bisa menahan diri untuk melebarkan se?
nyum.
"Kai selamat," Ariana berbisik dalam hela tangisnya. "Kai
selamat...!"
Tak lama kemudian, didorong para perawat, Kai yang
terbaring tenang di atas tempat tidurnya dibawa keluar dari
ruang UGD. Rey tak kuasa untuk tidak mendekat. Langkahnya
terayun spontan sampai para perawat harus menghentikan
sejenak laju ranjang tersebut.
"Kaaai!!!" Rey berseru tertahan. Ditiliknya sosok serupa di
sana yang perlahan membuka mata. Kai benar-benar selamat.
Ia masih hidup! "Kai...."
"Maaf, Rey." Sebuah bisikan dari balik masker oksi?
gen yang membungkam hidung dan mulut Kai terdengar.
"Maaf ya, Rey." Kemudian Kai tersenyum.
"Kai...." Rey tahu betapa dirinya ternyata secengeng Ariana
yang masih sibuk dengan air matanya. Namun ia harus me?
nyampaikan kabar tersebut. "Kai, kita menang! Kita me?
nang!"
Senyum di wajah Kai semakin lebar. Senyum tanda ke?
hidupannya.
"Jadi begitulah ceritanya...." Ariana menghela napas panjang
setelah menceritakan bagaimana aksi dramatis di dalam
ambulans ketika mengantar Kai ke rumah sakit. "Kupikir jan?
tungnya berhenti berdetak saat itu juga, tapi ternyata tidak.
Ah... untungnya tepat waktu."
"Mungkin lain kali kamu nggak usah naikbulans lagi,
Na," tiba-tiba saja Arieza berkomentar. "Keseringan naik?
bulans, kamu... jadi agak lebay gitu."
Semua tertawa, tepatnya menertawakan Ariana.
"Sssh! Di rumah sakit nggak boleh ketawa!"
Benar, mereka masih di rumah sakit, di ruang rawat tempat
Kai terbaring. Kondisi Kai memang belum stabil, tapi dalam
beberapa hari ia sudah boleh dijenguk, bahkan piala serta
sertifikat penghargaan untuk kejuaraan basket tingkat kota
mampir sebentar di kamarnya ini.
"Seumur-umur," ucap Kai dengan nada lemah, "baru sekali
ini aku punya medali." Ia mengangkat tinggi medali emas,
menatap bangga medali tersebut. "Dan mungkin cuma ini
satu-satunya."
Ucapan Kai tersebut membuat tawa dan cengiran mereda.
Kalau Rey, setelah ini mungkin masih akan mengejar mimpimimpi besar timnya untuk sampai ke pertandingan tingkat
nasional. Ia masih punya banyak kesempatan, bahkan untuk
menjadi seorang pemain profesional. Sementara Kai...
sepertinya harus memutuskan untuk berhenti.
"Aku akan kembali ke Singapura," katanya lagi. "Rencananya
tahun ini, kalau nggak ada halangan, aku akan menjalani
operasi."
Saat kata "operasi" meluncur, spontan Rey menoleh.
"Opoperasi?"
"Iya." Kai mengangguk santai. "Kalau berhasil, mungkin aku
bisa rehat beberapa bulan. Habis itu" Matanya menatap
satu per satu kawan-kawannya di ruangan itu. "Masih boleh
kan, aku main bersama kalian?"
Tak ada yang bisa menahan senyum, bahkan Rey sekalipun.
Apalagi Dion, yang langsung berseru penuh semangat, "Boleh,
Kai! Boleh banget! Bang Dion pasti nunggu kamu pulang dan
main sama-sama kita lagi!"
Seperti biasa, ocehan Dion mampu membuat tawa meng?
hiasi seluruh ruangan. Tetapi, sepertinya masih ada ragu yang
mengganjal di hati Rey. Tak tahu apa, tapi rasanya ada banyak
hal yang belum ia sampaikan.
Tanpa harus menunggu tawa teman-temannya mereda, Rey
menoleh pada Kai sesaat, lalu mengatakan, "Maaf ya, Kai."
Maaf karena aku tak bisa menjadi saudara yang baik. Maaf
karena aku selalu berburuk sangka padamu. Maaf karena aku
pernah menjauh. Maafnya mungkin tidak cukup, tapi setidaknya
sudah bisa mengembalikan hubungan mereka sebagai
saudara.
"Yooosh!" Seruan Ariana memecah keheningan sesaat.
"Kalau gitu, kita harus menang di pertandingan tingkat
provinsi! Jadi pas Kai balik, kita udah siap buat pertandingan
tingkat nasional!"
"Kalian harus menang!" Kai mengulurkan kepalan tangan?
nya.
"Pasti!" Kemudian yang lain menyusul, menyatukan kepalan
tangan dalam satu lingkaran.
"Kami pasti menang buatmu, Kai," tambah Rey penuh
keyakinan.
"Buat mimpi kalian juga," Kai membalas.
Dan Ariana menutup kalimat mereka, "Buat mimpi kita se?
mua."
Match #end
etiap orang berhak punya mimpi, bahkan jikalau mim?
pinya terlalu egois atau hampir mencelakakan orang
lain. Mimpiku dibayarat mahal olehku, oleh kami,
dan oleh mereka semua. Sampai-sampai kadang aku berpikir,
apakah mimpiku terlampau jauh hinggaat sulit digapai?
Dulu kupikir satu tangan cukup untuk mengganti apa yang
hilang dariku. Tapi kupikir benar juga, walau aku masih punya
satu tangan, tanganku yang lain tetap tak bisa kugunakan.
Apa gunanya kalau begini? Aku masih tetap seperti orang
cacat.
Tuhan pun mengirimkan satu lagi, yang serupa namun tak
sama. Kedua tanganku mungkin memiliki kekurangan dan
kelebihan yang berbeda-beda, tapi mereka saling menyem?
purnakan. Hingga kemudian, keduanya membantuku untuk
menggapai mimpi yang selama ini menjadi realisasi dari segala
keegoisanku.
Mereka jatuh-bangun menghadapi banyak hal, menjadi kuat,
dan semakin kuat. Mereka berdua sederhana, mereka berdua
bukan sekadar tangan. Mereka adalah dua sayap yang ditanam?
kan di punggungku, agar aku yang telah kehilangan tanganku
ini dapat terus terbang, meraih mimpi-mimpi tinggiku bersama
mereka. Ya, bersama mereka selalu. Kai dan Rey.
Tamat
Wiro Sableng 153 Misteri Bunga Noda Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Naskah Laut Mati Makhtutat Al Bahri Al
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama