Dalam Derai Salju Let It Snow Karya Maureen Johnson, John Green, Lauren Myracle Bagian 3
Aku merasakan benturan kecil dan menduga Carla melompati trotoar; kini kami bergerak mundur menuruni bukit, melewati halaman para tetangga selagi mobil ini seolah mengeruk salju setinggi setengah ban. Kami terguling mundur melewati rumah-rumah de- ngan jarak sangat dekat, begitu dekat sampai-sampai aku bisa meli- hat hiasan di pohon Natal mereka melalui jendela ruang keluarga. Ajaibnya, Carla berhasil menghindari truk pikap yang diparkir di jalan masuk salah satu rumah. Dan selagi melihat deretan kotak surat, mobil-mobil, dan rumah-rumah yang makin dekat dari kaca spion, aku melirik sekilas ke arah JP. Dia tersenyum. Hal terburuk yang mungkin terjadi akhirnya benar-benar terjadi. Dan ada sepercik kelegaan saat aku menyadari itu, mungkin. Pokoknya, sesuatu dalam senyumnya membuatku ikut tersenyum.
Aku menoleh ke arah The Duke, lalu melepaskan tanganku dari setir. Dia menggeleng seolah marah, tapi dia juga tertawa keras. Untuk mendemonstrasikan seberapa jauh aku tak bisa mengontrol Carla, kupegang setir dan mulai kuputar ke kanan dan kiri dengan dramatis. The Duke tertawa lagi dan berkata, " Tamatlah kita." Kemudian tiba-tiba saja remnya mulai berfungsi, dan kurasakan
yang mulai datar kembali kami berhenti perlahan-lahan. JP bicara terlalu keras, mengatakan, " Astaga, aku tak percaya kita belum mati. Kita sama sekali tidak mati!"
Aku melihat sekeliling untuk melihat keadaan. Kira-kira 2,5 meter dari pintu penumpang ada rumah pasangan suami-istri yang sudah pensiun, Mr. dan Mrs. Olney. Salah satu lampunya menyala, dan sedetik kemudian aku melihat Mrs.Olney, mengenakan gaun tidur putih, wajahnya hampir menempel ke kaca, menatap kami dengan terngaga. The Duke memandang ke arah Mrs. Olney dan memberi hormat. Aku mengganti persneling Carla dan dengan hati-hati keluar dari halaman rumah keluarga Olney, mengarah kembali ke tempat yang kuharap adalah jalanan. Setelah itu aku memarkir mobil dan melepaskan tanganku yang gemetaran dari setir.
" Oke," kata JP, berusaha menenangkan diri. " Oke. Oke. Oke." Dia menarik napas, lalu berkata, " Luar biasa! Roller coaster terbaik sepanjang masa!"
" Aku hanya berusaha tidak mengompol," kataku. Aku siap untuk kembali ke rumah kembali nonton film James Bond begadang sampai larut malam makan popcorn, tidur beberapa jam, lalu merayakan Natal bersama The Duke dan orangtuanya. Sudah tujuh belas setengah tahun aku hidup tanpa kehadiran para cheerleader dari Pennsylvania. Aku pasti bisa melewati satu hari lagi tanpa mereka.
JP terus bicara. " Sepanjang waktu tadi aku berpikir, man, aku akan mati saat memakai setelan ski biru muda. Ibuku bakal harus mengidentifikasi mayatku, dan dia akan menghabiskan sisa hidupnya dengan berpikir bahwa saat tidak ada yang melihat, anaknya suka berpakaian seperti bintang porno dari tahun 1970-an yang kena hipotermia."
" Sepertinya aku bisa melewati malam ini tanpa makan hash brown," kata The Duke.
ingin merasakan naik roller coaster lagi, tapi aku sudah tidak kuat. Aku menelepon Keun, jemariku gemetar saat menekan nomor speed dial-nya.
" Dengar, man, kami bahkan tidak bisa keluar dari Grove Park. Terlalu banyak salju."
" Dude," kata Keun. " Coba lebih keras. Teman-teman Mitchell bahkan belum berangkat. Dan Billy menelepon dua anak kuliahan yang dia kenal dan menyuruh mereka membawa bir, karena satusatunya cara untuk membuat gadis-gadis itu mau mengobrol dengan Billy adalah saat mereka mabuk Hei! Maaf, Billy baru saja memukulku dengan topi kertasnya. Sekarang ini aku yang jadi asisten manajer, Billy! Dan aku akan melaporkan kelaku Hei! Pokoknya datanglah. Aku tak mau terjebak di sini bersama Billy dan segerombolan orang mabuk yang ceroboh. Restoranku bakal hancur, dan aku akan dipecat, dan... kumohon."
Di belakang, JP bersorak, " Roller coaster! Roller coaster! Roller coaster!" Aku menutup ponsel dan berbalik ke arah The Duke. Aku baru akan mencoba melobi mereka agar mau pulang saja ketika ponselku berdering lagi. Ibuku.
" Tidak bisa dapat mobil. Kami sudah kembali ke hotel," katanya. " Delapan menit lagi sudah Natal, dan aku sebenarnya mau menunggu, tapi ayahmu sudah capek sekali dan ingin segera tidur, jadi kami akan mengatakannya sekarang saja." Ayahku mendekat ke telepon, dan aku bisa mendengar ucapan " Selamat Natal" darinya yang kurang dan satu oktaf lebih rendah dari suara Mom yang keras.
" Selamat Natal," kataku. " Telepon saja kalau ada apa-apa, kami masih punya dua film Bond yang belum ditonton." Tepat sebelum Mom menutup telepon, fitur call waiting di ponselku berbunyi. Keun. Aku memencel tombol speaker.
" Dude, kau baru selesai menelepon. Kami masih di dasar bukit," kataku. " Sepertinya kami akan pulang saja, man."
" Cepat. Ke sini. Sekarang. Aku baru tahu siapa saja yang diundang Mitchell: Timmy dan Tommy Reston. Mereka dalam perjalanan. Kalian masih bisa mengalahkan mereka. Aku tahu kau bisa! Harus! Malam Natal Ceria-ku tidak bakal dirusak oleh si Kembar Reston!" Lalu dia menutup telepon. Keun memang agak dramatis, tapi aku paham maksudnya. Si Kembar Reston memang bisa merusak nyaris apa pun. Timmy dan Tommy Reston adalah kembar identik yang sama sekali tidak mirip satu sama lain. Berat Timmy tiga ratus pound, tapi tidak gemuk. Dia hanya kuat, dan sangat cepat, dan karena itulah dia pemain terbaik dalam tim futbol kami. Tommy, di sisi lain, bisa memasukkan dirinya ke salah satu kaki celana jins Timmy, tapi kekurangan fisiknya dia bayar dengan agresivitas yang besar. Saat kami SMP, Timmy dan Tommy sering berkelahi dengan hebat di lapangan basket. Kurasa tidak satu pun dari mereka masih punya gigi asli saat ini.
The Duke menoleh ke arahku. " Oke, ini bukan lagi hanya tentang kita, atau tentang cheerleader. Ini tentang melindungi Keun dari si Kembar Reston."
" Jika mereka terjebak salju di dalam Waffle House sampai beberapa hari dan kehabisan makanan, kalian pasti tahu apa yang akan terjadi," kata JP.
The Duke menanggapi lelucon JP. Dia memang pintar soal itu. " Mereka bakal jadi kanibal. Dan Keun akan jadi korban pertamanya"
Aku menggeleng. " Tapi mobilnya," kataku.
" Pikirkan para cheerleader itu," mohon JP. Tetapi aku bukan memikirkan para cheerleader itu saat mengangguk. Aku berpikir soal mencapai puncak bukit, soal jalanan tanpa salju yang bisa mem
T he Duke, seperti biasa, punya rencana. Kami masih parkir
di tengah jalan ketika dia memberitahukan rencananya pada kami. " Jadi, masalahnya adalah kita tidak punya cukup kecepatan untuk menaiki bukit. Kenapa? Karena kita tidak membawa cukup kecepatan saat menuju bukit. Jadi mundurlah sejauh yang kau bisa, lalu injak gas sekuat mungkin. Kita akan mencapai bukit dengan jauh lebih cepat, dan momentumnya akan membawa kita naik sampai puncak."
Rencana itu tidak kedengaran terlalu menarik, tapi aku tak bisa memikirkan rencana lain yang lebih baik, jadi aku menyetir mundur sejauh mungkin sampai bukit di depan kami hampir tidak terlihat di antara salju yang turun dengan cepat dan tersorot lampu mobil. Aku tidak berhenti sampai aku berada di depan halaman rumah seseorang dan ada pohon ek yang menjulang tinggi hanya beberapa meter di belakang bumper Carla. Aku memutar ban sedikit supaya bisa menyingkirkan sedikit salju yang padat. " Sudah pakai sabuk pengaman?" tanyaku. " Ya," mereka menjawab bersamaan.
Lima
" Sudah," kata The Duke. Aku melihat sekilas ke arahnya. Dia tersenyum dan menaikkan sebelah alis. Aku mengangguk pada- nya.
" Aku butuh hitungan mundur, Teman-teman."
" Lima," kata mereka serempak. " Empat. Tiga." Aku mengeser persneling ke posisi netral dan mulai menekan gas, membuat mesinnya meraung. " Dua. Satu." Aku mengganti persneling ke posisi Drive dan kami melaju cepat, makin cepat di antara momen-momen meluncur di atas lapisan salju. Kami mencapai bukit dengan kecepatan enam puluh empat kilometer per jam, 25 kali lebih cepat daripada batas kecepatan di Groove Park. Aku menegakkan tubuh di kursi, menekan sabuk pengaman, seluruh bobot tubuhku terarah ke pedal gas, tapi roda berputar dan kami mulai melambat, jadi aku kehilangan semangat.
" Ayolah!" kata The Duke.
" Kau pasti bisa, Carla," JP menggumam pelan dari kursi bela- kang, lalu Carla terus maju, perlahan-lahan melambat secara bertahap.
" Carla, cepat bawa badanmu yang rakus bensin ini ke puncak bukit!" teriakku sambil memukul setir.
" Jangan mengejeknya," kata The Duke. " Dia butuh disemangati dengan lembut. Carla sayang, kami menyayangimu. Kau mobil yang baik. Dan kami percaya padamu. Kami percaya padamu seratus persen."
JP mulai panik. " Kita tidak mungkin berhasil."
The Duke menjawab dengan nada menenangkan, " Jangan dengarkan dia, Carla. Kau pasti bisa melakukannya." Aku bisa melihat puncak bukit itu lagi, juga aspal jalanan yang saljunya baru dikeruk di atas sana. Carla seperti berpikir, Aku pasti bisa, Aku pasti bisa, dan The Duke terus mengelus-elus dasbor sambil mengatakan,
pagi dan hal pertama yang kupikirkan adalah aku menyayangi mobil ibu Tobin. Aku tahu itu aneh, Sayang, tapi aku benar-benar menyayangimu. Dan aku tahu kau bisa melakukan ini."
Aku terus menekan pedal gas, dan ban mobil terus berputar. Kecepatan kami melambat jadi delapan mil per jam. Kami mendekati tembok salju setinggi satu setengah meter tempat alat pengeruk salju mengumpulkan semua salju itu, menghalangi jalur kami. Kami sudah sangat dekat. Spidometer di mobil kini menunjukkan angka delapan kilometer per jam.
" Ya Tuhan, jalannya masih jauh," kata JP, suaranya pecah. Aku melirik lewat kaca spion. Memang masih jauh.
Kami masih bergerak maju, tapi nyaris tidak. Bukitnya terlihat makin jelas, tapi kami tidak akan mencapainya. Aku tetap menginjak gas sekencang mungkin. " Carla," kata The Duke, " Ini saatnya mengatakan yang sebenarnya padamu. Aku jatuh cinta padamu. Aku ingin bersama-sama denganmu, Carla. Aku belum pernah merasa seperti ini terhadap m..."
Roda mobil tersangkut di salju tepat ketika aku menginjak pedal gas sampai pedalnya nyaris menyentuh lantai, dan kami melaju ke tembok salju itu, ketinggian salju sampai mencapai bagian dasar kaca depan, tapi kami berhasil melewatinya, setengah menaiki tembok itu dan setengahnya lagi melewatinya. Carla berhenti di sisi lain tembok salju itu, kemudian aku menginjak rem selagi kami mendekati rambu tanda berhenti. Bagian belakang Carla mengikuti, dan tiba-tiba saja bukannya berada di rambu berhenti, kami malah sudah berada di jalan raya, menghadap ke arah yang benar. Aku melepaskan kaki dari pedal rem dan mulai melaju di jalan raya.
" YESSSSSS!" teriak JP dari kursi belakang. Dia bergerak mendekati The Duke dan mengacak-acak rambut keriting cewek itu. " KITA MELAKUKAN PEKERJAAN LUAR BIASA KARENA TI
" Kau memang tahu caranya bicara dengan mobil," kataku pada The Duke. Aku bisa merasakan tekanan darahku di seluruh tubuh. The Duke kelihatan luar biasa tenang saat menyugar rambut agar rambutnya kembali seperti semula.
" Masa-masa genting membutuhkan cara-cara luar biasa," jawabnya.
Delapan kilometer pertama perjalanan kami sangatlah menyenangkan jalan raya berkelok-kelok di antara pegunungan, dan itu membuat perjalanan kami agak berbahaya. Tetapi hanya ada mobil kami di jalanan, dan meski jalanan basah, taburan garam membuatnya tidak sampai dilapisi es. Selain itu, aku mengendarai mobil dengan kecepatan dua puluh mil per jam dan dengan hati-hati, jadi belokan-belokan yang kami lalui tidak terlalu terasa mengerikan. Kami semua diam cukup lama memikirkan tentang usaha menaiki bukit tadi, mungkin meskipun sesekali JP mengembuskan napas dengan keras dari mulut dan berkata, " Aku tidak percaya kita masih hidup," atau variasi lain dengan tema yang sama. Salju terlalu tebal dan jalanan terlalu basah untuk mendengarkan musik, jadi kami hanya duduk diam.
Setelah beberapa lama, The Duke berkata " Sebenarnya ada apa sih dengan kau dan cheerleader?" Dia menanyakan itu padaku; aku tahu karena selama beberapa bulan aku sempat berkencan dengan cheerleader bernama Brittany. Tim cheerleader di sekolah kami sebenarnya lumayan bagus; umumnya mereka atlet yang lebih bagus daripada tim futbol yang mereka soraki. Mereka juga terkenal karena membuat banyak orang patah hati Stuart Weintraub, cowok yang dilihat Keun di Waffle House, dia benar-benar hancur karena cheerleader bernama Chloe.
" Tidak," kataku, mencoba serius. " Itu hanya kebetulan. Aku menyukainya bukan karena dia cheerleader. Maksudku, dia itu baik, bukan?"
The Duke mendengus. " Ya, baik dengan cara Joseph-Stalin yang berkata aku-akan-menghancurkan-musuh-musuhku."
JP berkata pada The Duke, " Britanny memang baik. Dia hanya tidak menyukaimu karena dia tidak paham."
" Tidak paham apa?" tanya The Duke.
" Tidak paham bahwa kau bukan, kau tahu, ancaman. Seperti, kebanyakan cewek, kalau punya pacar, mereka tidak akan mau pacar mereka nongkrong terus dengan cewek lain. Dan Britanny tidak paham bahwa kau, kau tahu, bukan benar-benar cewek."
" Kalau maksudmu adalah aku tidak suka majalah tentang se- lebriti, memilih makan daripada anoreksia, tidak suka nonton acara TV tentang model, dan benci warna pink, maka ya. Aku bangga karena dianggap bukan benar-benar cewek."
Memang benar Brittany tidak suka The Duke, tapi cewek itu juga tidak suka JP. Dia bahkan tidak benar-benar menyukaiku. Semakin sering kami nongkrong bersama, semakin sering pula Britanny kesal mendengar leluconku, sopan santunku saat makan, dan semuanya, karena itulah kami putus. Sebenarnya, itu bukan masalah besar untukku. Aku memang sedih waktu dia mencampakkanku, tapi kasusku bukan seperti kehancuran Weintraub. Aku tidak pernah mencintai Britanny, sepertinya. Itu bedanya. Cewek itu memang manis dan pintar dan lumayan enak diajak ngobrol, tapi kami tidak pernah benar-benar bicara banyak. Aku tak pernah merasa banyak hal dipertaruhkan dalam hubungan kami, karena aku tahu bahwa hubungan itu akan berakhir. Rasanya dia tak pernah cukup sepadan dengan risikonya.
mengungkitnya, mungkin hanya demi kepuasan karena berhasil membuatku kesal. Atau mungkin karena dia tak punya drama sendiri untuk dibicarakan. Sebenarnya banyak cowok yang menyukai The Duke, tapi sepertinya dia tidak tertarik pada siapa pun. Dia tidak akan bicara terus-menerus tentang seorang cowok dan betapa keren cowok itu, bagaimana cowok itu kadang memperhatikannya tapi kadang juga tidak, pokoknya semua omong kosong itu. Aku suka itu. Pokoknya The Duke normal: dia suka bercanda dan membicarakan film, dan dia tidak keberatan berteriak atau diteriaki. Dia lebih normal daripada kebanyakan cewek
" Aku tidak punya preferensi khusus pada cheerleader," ulangku. " Tapi," kata JP, " kita sama-sama suka cewek seksi yang suka makan Twister. Bukan soal cheerleader-nya, Duke; tapi soal mencintai kebebasan, harapan, dan semangat nasionalismeerika yang gigih."
" Yeah, sebut saja aku tidak patriotik, tapi aku tidak mengerti apa bagusnya cheerleader. Bersorak-sorak kan tidak seksi. Yang agak ber- nuansa gelap baru seksi.bivalen itu seksi. Melihat-lebih-dalamdaripada-pandangan-pertama itu seksi."
" Yang benar saja," kata JP. " Karena itulah kau kencan dengan Billy Talos. Jadi pelayan di Waffle House sama sekali tidak mencerminkan sisi suram dan gelap."
Aku memandang sekilas ke kaca spion untuk melihat apakah JP bercanda, tapi sepertinya tidak. The Duke memukul lutut JP dan berkata, " Itu hanya pekerjaan."
" Tunggu, kau kencan dengan Billy Talos?" tanyaku. Sebagian besar aku terkejut bukan hanya karena sepertinya The Duke tidak akan pernah berkencan dengan siapa pun, tapi juga karena Billy Talos jenis cowok yang suka bir dan futbol sementara The Duke adalah tipe cewek yang menyukai Shirley Temple dan pertunjukan
The Duke tidak mengatakan apa-apa beberapa saat. " Tidak. Dia hanya mengajakku ke Pesta Dansa Musim Semi."
Aku tidak mengatakan apa-apa. Rasanya aneh The Duke mence- ritakan sesuatu pada JP tapi tidak padaku. JP berkata, " Jangan tersinggung ya, tapi Billy Talos itu agak berminyak tidak, sih? Menurutku, kau bisa memeras rambutnya setiap satu-dua hari sekali, dan kau bakal bisa menghentikan ketergantunganerika Serikat akan minyak negara lain."
" Tidak tersinggung kok," kata The Duke sambil tertawa. Jelas sekali dia tidak terlalu tertarik pada Billy. Tapi tetap saja, aku tidak bisa membayangkan The Duke bersama Billy Talos kecuali soal rambut berminyaknya, sepertinya dia tidak lucu ataupun menarik. Tapi terserahlah. The Duke dan JP ganti mengobrol tentang menu Waffle House, tentang apakah roti bakar kismis di sana lebih enak daripada roti bakar biasa. Itu jadi latar belakang suara yang cukup menyenangkan bagiku selagi menyetir. Kepingan salju jatuh ke kaca depan dan meleleh dengan cepat. Wiper mobil menyingkirkan saljusalju itu. Lampu depan mobil yang menyorot tinggi menyinari salju dan jalanan yang basah, dan aku bisa melihat cukup banyak aspal untuk tahu batas lajurku dan ke mana kami mengarah.
Aku bisa saja menyetir lama sekali sebelum mulai merasa capek, tapi ini hampir tiba waktunya untuk berbelok ke arah Sunrise Avenue dan jalan lurus melewati pusat kota lalu ke arah jalan interstate dan Waffle House. Sudah jam 12:26. Pagi. " Hei," kataku, memotong obrolan mereka. " Apa?" tanya The Duke.
Aku mengalihkan pandangan sekilas dari jalanan untuk bicara langsung ke arahnya.
" Selamat Natal."
" Selamat Natal," jawabnya. " Selamat Natal, JP."
T salju di kedua sisi Sunrise Avenue banyak seka
li, setinggi mobil kami, dan aku merasa kami seolah berkendara di dasar papan setengah lingkaran untuk snowboarding yang tak ada ujungnya. JP dan The Duke diam, kami semua berkonsentrasi pada jalanan. Kami masih harus melewati beberapa kilometer untuk sampai di pusat kota. Waffle House sekitar satu setengah kilometer di timur kota, dekat perbatasan negara bagian. Keheningan kami terganggu oleh suara lagu rap tahun 90-an dari ponsel JP. " Keun," katanya. Dia menyalakan speaker.
" KALIAN SAMPAI MANA?"
The Duke berbalik supaya suaranya bisa didengar. " Keun, lihat ke luar jendela dan beritahu apa yang kaulihat."
" Biar kuberitahu apa yang tidak kulihat! Aku tidak melihatmu dan JP dan Tobin di tempat parkir Waffle House! Tidak ada kabar dari teman-teman kuliah Mitchell, tapi Billy baru dapat kabar dari si kembar: mereka hampir berbelok di Sunrise."
" Kalau begitu kitaan, karena kami sudah di Sunrise," kataku.
Enam
Tunggu, sebentar& mereka sedang melatih gerakan piramida, dan mereka memintaku untuk menjaga mereka. Menjaga mereka. Kau tahu apa artinya itu? Kalau jatuh, mereka akan jatuh ke pelukanku. Jadi aku harus pergi." Aku mendengar suara Keun menutup telepon.
" Tekan gasnya lebih kencang," kata JP. Aku tertawa dan tetap menyetir mobil dengan kecepatan stabil. Kami hanya perlu menjaga agar tetap berada di depan si kembar.
Kalau soal meluncur menuruni jalanan dengan mobil SUV, Sunrise Avenue tidak terlalu buruk, karena tidak seperti jalan kebanyakan di Gracetown, jalannya cukup lurus. Dengan jalur roda yang memanduku, kecepatanku naik jadi empat puluh kilometer per jam. Aku mengira-ngira kami akan tiba di pusat kota dua menit lagi, lalu makan cheesy waffle yang merupakan menu spesial Keun yang tak ada di menu pada jam sepuluh malam. Aku membayangkan waffle itu akan dilapisi keju Kraft leleh, terasa manis sekaligus asam, rasa yang kuat dan kompleks yang membuat makanan itu tak bisa dibandingkan dengan rasa lainnya, hanya dapat dibandingkan dengan perasaan. Chessy waffle, dalam pikiranku, teraa seperti cinta tapi tanpa adanya rasa takut akan perpisahan, dan saat kami sampai di belokan 90-derajat Sunrise Avenue yang harus dilalui sebelum jalurnya berubah lurus sampai ke pusat kota, aku hampir bisa merasakan makanan itu.
Aku bersiap berbelok, tepat seperti yang kupelajari saat les menyetir: tanganku berada di posisi jam dua dan sepuluh, aku memutar setir sedikit ke arah kanan sambil menekan rem pelan-pelan. Tetapi Carla tidak merespons dengan baik. Mobil ini tetap berjalan lurus.
" Tobin," kata The Duke. Lalu, " Belok, belok, Tobin, belok," katanya lagi.
ke arah kanan dan menginjak rem. Laju kami memelan selagi mendekati tumpukan salju, tapi kami tidak berbelok sedikit pun. Sebaliknya, kami malah menabrak dinding salju dengan suara kencang
Sialan. Carla oleng ke arah kiri. Kaca depan jadi seperti dinding putih yang dihiasi sedikit aspal hitam.
Begitu kami berhenti, aku memutar kepala tepat waktu sehingga bisa melihat gumpalan-gumpalan salju es turun di belakang mobil, mulai menutupi mobil kami. Aku merespons perkembangan ini dengan mengucapkan kata canggih yang terkenal sering kukatakan. " Sial sial sial sial sial sial sial bodoh bodoh bodoh bodoh bodoh sial."
T he Duke mengulurkan tangan lalu mematikan mesin mo
bil. " Menghindari risiko terkena racun karbon monoksida," katanya singkat, seolah saat ini kami tidak berada dalam masalah besar, enam belas kilometer dari rumah.
" Keluar dari belakang!" perintahnya, dan wibawa pada suaranya membuatku tenang. JP beringsut sampai ke bagian paling belakang dan membuka atap mobil. Dia langsung keluar. The Duke mengikuti, lalu aku juga, kakiku yang pertama keluar. Kini setelah aku bisa berpikir lagi, akhirnya aku bisa mengartikulasikan perasaanku terhadap kejadian ini dengan lancar. " Sial sial sial!" Kutendang bumper belakang Carla, tepat saat salju turun membasahi wajahku. " Ini ide bodoh yapun orangtuaku sial sial sial."
JP menaruh tangannya di bahuku. " Semua akan baik-baik saja."
" Tidak," kataku." Tidak akan. Dan kau tahu itu."
" Ya, semua akan baik-baik saja," JP berkeras. " Kau tahu? Semuanya akan benar-benar baik-baik saja, karena aku akan menggali mobil ini keluar dari salju, dan seseorang akan lewat, dan kita akan
Tujuh
kembar juga tidak akan meninggalkan kita di tengah salju sampai mati kedinginan.
The Duke melihatku dari atas hingga ke bawah lalu menyeringai. " Bolehkah kutunjukkan," katanya, " seberapa besar sebentar lagi kau bakal menyesal karena kau tidak mendengarkan saranku soal sepatu saat tadi di rumahmu?" Aku menunduk ke arah tetesan salju yang jatuh di sepatu Puma-ku, lalu mengernyit.
JP tetap bersemangat. " Ya! Semua akan baik-baik saja! Pasti ada alasan mengapa Tuhan memberiku lengan dan perut berotot, dude. Agar aku dapat menggali mobilmu keluar dari tumpukan salju ini. Aku bahkan tidak butuh bantuan kalian. Kalian ngobrol saja, dan biarkan Hulk ini menunjukkan kemampuannya."
Aku melihat ke arah JP. Beratnya mungkin sekitar 65 kilogram. Tupai mungkin memiliki otot yang lebih mengagumkan daripada dirinya. Tetapi JP tidak terpengaruh apa pun. Dia mengikatkan tali telinga topinya. Dia merogoh pakaian saljunya yang sangat ketat, mengeluarkan sarung tangan, lalu kembali ke mobil.
Aku tidak tertarik untuk membantu, karena aku tahu itu akan sia-sia. Carla tenggelam kira-kira 1,8 meter ke dalam tumpukan salju yang hampir setinggi kepalaku, dan kami bahkan tidak memiliki sekop. Aku hanya berdiri di jalan di sebelah The Duke, menyeka seuntai rambut basah yang keluar dari topiku. " Sori," kataku kepada The Duke.
" Eh, ini bukan salahmu. Ini salah Carla. Kau kan tadi sudah memutar setirnya. Carla saja yang tidak mendengarkan. Aku tahu aku seharusnya tidak mencintainya. Dia seperti yang lain, Tobin: begitu aku menyatakan cinta, dia meninggalkanku."
Aku tertawa. " Aku tidak pernah meninggalkanmu," kataku sambil menepuk-nepuk punggungnya.
" Yeah, tapi kan, (a.) aku tidak pernah menyatakan cinta padamu,
" Tamatlah kita," kataku sambil melamun dan melihat ke arah JP yang menggali di sekitar tempat duduk penumpang. Dia terlihat seperti tikus kecil, dan yang mengejutkan, cara itu cukup efektif.
" Yeah, aku sudah mulai kedinginan," kata The Duke, lalu berdiri di sebelahku, bagian samping tubuhnya menempel ke tubuhku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana dia bisa kedinginan di bawah balutan jaket ski tebal yang dipakainya, tapi itu bukan masalah. Itu mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian di luar. Aku mengulurkan tangan lalu mengusap topinya dan merangkulnya. " Duke, apa yang harus kita lakukan?"
" Ini mungkin lebih seru daripada apa yang bisa terjadi di Waffle House," katanya.
" Tetapi Waffle House punya Billy Talos," kataku sambil mengejeknya. " Sekarang aku tahu kenapa kau ingin pergi. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan hash brown!"
" Semuanya berhubungan dengan hash brown," jawab Duke. " Seperti yang dikatakan sang penyair: Banyak hal tergantung pada hash brown berwarna keemasan, berlapis minyak, dengan telur orak-arik di sampingnya."
Aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Aku hanya mengangguk dan memandang lurus ke jalanan, bertanya-tanya kapan ada mobil datang untuk menyelamatkan kami.
" Aku tahu ini sangat menyebalkan, tapi yang jelas ini Natal paling penuh petualangan."
" Yeah, yang juga merupakan pengingat bagus kenapa secara umum aku tidak suka petualangan."
" Tidak ada salahnya kok kadang-kadang mengambil sedikit risi- ko," kata The Duke, mendongak ke arahku.
" Aku sangat tidak setuju, dan ini semakin membuktikan maksudku. Aku mengambil risiko, dan sekarang Carla terjebak di salju,
" Aku janji semuanya akan baik-baik saja," kata The Duke dengan suara yang tenang.
" Kau memang pandai melakukan itu," kataku. " Maksudku, pandai mengatakan hal-hal gila dengan cara yang bisa membuatku percaya."
Dia berjinjit, memegangi pundakku, dan menatapku, hidungnya kemerahan dan basah karena salju, wajahnya sangat dekat dengan wajahku. " Kau tidak suka pemandu sorak. Menurutmu mereka payah. Kau suka cewek imut yang lucu dan emo yang bakal kusukai untuk diajak nongkrong."
Aku mengangkat bahuku. " Yeah, itu tidak berhasil," kataku. " Sialan." Dia tersenyum.
JP muncul dari terowongan saljunya, menyingkirkan salju dari jaket ungunya dan memberi pengumuman, " Tobin, aku punya sedikit kabar buruk, tetapi aku tidak mau kamu merespons berlebihan." " Oke," kataku, gugup.
" Aku sungguh tidak bisa mencari cara mudah untuk mengatakan ini. Mmm, menurutmu, berapa jumlah roda yang ideal yang seharusnya dimiliki Carla saat ini?"
Aku menutup mata dan membiarkan kepalaku berputar-putar, lampu jalanan menyinari kelopak mataku, dan salju jatuh mengenai bibirku.
JP meneruskan, " Karena jika aku harus jujur sepenuhnya, menurutku seharusnya Carla memiliki empat roda. Tetapi saat ini hanya ada tiga roda yang melekat padanya, jumlah yang tidak ideal. Untungnya, roda keempat tidak berada jauh, tetapi sayangnya aku bukanlah orang yang jago dalam pemasangan roda." Aku menarik topi hingga menutupi wajah. Perasaan kacau yang
merasa kedinginan kedinginan di pergelangan tangan, tempat sa- rung tanganku tidak bertemu dengan jaket, kedinginan di wajah, dan kedinginan di kaki, tempat salju yang meleleh sudah membasahi kaus kakiku. Orangtuaku tidak akan memukulku atau mengecapku memakai hanger panas atau semacamnya. Mereka terlalu baik untuk melakukan semua hal kejam itu. Tetapi justru karena itulah aku merasa sangat tidak enak: mereka tidak pantas punya anak yang membuat satu roda hilang dari Carla yang merupakan mobil kesayangan mereka dalam perjalanan untuk merayakan jamjam pagi Natal yang singkat bersama empat belas pemandu sorak.
Seseorang menarik topiku. Ternyata JP. " Kuharap kau tidak akan membiarkan masalah kecil seperti tidak punya mobil menjauhkan kita dari Waffle House," katanya.
The Duke, yang bersandar di bagian belakang Carla yang setengah terbuka tertawa, tapi aku tidak.
" JP, saat ini bukan waktunya untuk bercanda ha-ha," kataku. Dia berdiri lebih tegak, seperti mengingatkanku bahwa dia sedikit lebih tinggi daripadaku, lalu maju dua langkah ke tengah jalanan sehingga berdiri tepat di bawah lampu jalan. " Aku tidak mencoba melucu ha-ha," katanya. " Apakah memercayai mimpi itu lucu? Sehingga rintangan bisa diatasi itu lucu? Apakah mengatasi rintangan untuk mewujudkan mimpi-mimpi tersebut jadi kenyataan itu lucu ha-ha? Apakah ketika Huckleberry Finn belayar naik perahu rakit menyusuri ratusan kilometer Sungai Mississippi untuk bercumbu dengan pemandu sorak abad ke-21 itu lucu ha-ha? Apakah menurutmu lucu ha-ha ketika ribuan orang di Bumi mengabdikan diri untuk mengeksplorasi luar angkasa agar Neilstrong bisa bermesraan dengan pemandu sorak di bulan? Tidak! Dan bukan hal yang lucu ha-ha jika kita percaya bahwa pada malam luar biasa
untuk sampai ke papan petunjuk Waffle House yang berwarna kuning!"
" Tiga orang Majus," kata The Duke tanpa semangat. " Oh, ayolah!" kata JP. " Aku tidak mendapatkan apa-apa untuk itu? Serius?!"
Sekarang dia berteriak di tengah suara salju yang meredam suarasuara lain, dan suara JP terdengar seperti satu-satunya suara di dunia ini bagiku. " Kau mau lagi? Aku masih punya yang lain. Para hadirin, ketika orangtuaku meninggalkan Korea tanpa apa pun kecuali pakaian yang mereka pakai dan sejumlah harta yang mereka kumpulkan dari bisnis perkapalan, mereka memiliki mimpi. Mereka memiliki mimpi bahwa suatu hari nanti di tengah puncak bukitbukit bersalju di bagian barat North Carolina, anak laki-laki mereka akan kehilangan keperjakaannya dengan pemandu sorak di dalam kamar mandi wanita di Waffle House tak jauh dari jalan raya antar-negara bagian. Orangtuaku sudah mengorbankan begitu banyak hal untuk mimpi ini! Dan oleh karena itu kita harus meneruskan perjalanan ini meskipun banyak masalah dan kesulitan yang kita alami! Bukan untukku maupun untuk para pemandu sorak itu, tapi untuk orangtuaku, dan tentunya untuk semua imigran yang datang ke negara hebat ini dengan harapan suatu saat nanti, bagaimanapun caranya, anak mereka akan mendapatkan sesuatu yang tidak pernah mereka dapat dalam hidup: bercumbu dengan pemandu sorak.
The Duke bertepuk tangan. Aku tertawa, tetapi aku mengangguk ke arah JP. Semakin kupikirkan, semakin bodoh rasanya jika kami pergi untuk nongkrong bersama para pemandu sorak yang bahkan tidak kami kenal, yang akan berada di kota ini hanya untuk satu malam. Bukannya aku tidak suka ide bermesraan dengan pemandu sorak, tapi aku punya beberapa pengalaman dalam kehidupan nyata, dan meskipun itu lumayan asyik, tetapi rasanya tidak sebanding
rugi apa dengan meneruskan sesuatu yang memang sudah membuatku rugi? Paling rugi hidupku, dan kini aku lebih mungkin selamat dengan harus berjalan 4,8 kilometer ke Waffle House daripada enam belas kilometer ke rumah. Aku merangkak ke bagian belakang SUV, mengambil beberapa selimut, memastikan bahwa semua pintu terkunci, lalu meletakkan tanganku pada bumper Carla dan berkata, " Kami akan kembali untukmu."
" Itu benar," The Duke berkata dengan menenangkan pada Carla. " Kami tidak pernah meninggalkan teman."
Kami belum juga berjalan lebih dari seratus langkah melewati belokan ketika aku mendengar gemuruh suara mesin. Si kembar.
S i mengendarai Ford Mustang tua yang gagah dan
berwarna merah ceri bukan jenis mobil yang terkenal memiliki kendali bagus di tengah cuaca buruk. Jadi aku yakin mereka juga tidak akan bisa berbelok dengan sempurna, mungkin mereka bakal berhenti di belakang Carla. Tetapi saat mesin mobil mulai meraung, The Duke tetap mendorongku dan JP ke sisi jalan yang lain.
Mereka datang dengan berderu di belokan Mustang itu membentuk kepulan debu di belakangnya, bagian belakang mobil oleng tapi entah bagaimana tetap berhasil berada jalur si kecil Tommy Reston memutar setir bolak-balik dengan gila-gilaan. Ternyata dia pengemudi yang andal di jalanan bersalju, dasar si kecil menyeramkan.
Perbedaan ukuran tubuh mereka begitu jelas terlihat karena Mustang kini miring ke kiri, tempat Timmy Reston yang bertubuh raksasa duduk di kursi penumpang. Aku bisa melihat Timmy tersenyum, ada lesung pipit kira-kira sedalam 2,5 senti di pipinya yang lebar dan tebal itu. Tommy menghentikan Mustang kira-kira lima
Delapan
belas meter di depan kami, membuka jendela, lalu melongokkan kepala ke luar.
" Ada masalah dengan mobil kalian?" tanyanya.
Aku mulai berjalan mendekati mobilnya. " Yeah, yeah," kataku. " Kami menabrak gundukan salju. Aku lega sekali bertemu kalian. Apa kalian bisa memberi kami tumpangan sampai ke pusat kota?"
" Tentu," katanya. " Masuklah." Tommy memandang melewatiku, lalu dengan nada khusus berkata, " Hai, Angie." Teknisnya, itu nama The Duke.
" Hai," balas cewek itu. Aku berbalik ke arah mereka dan melambai agar JP dan The Duke mendekat. Aku hampir tiba di Mustang itu sekarang. Aku tetap berdiri di sisi pengemudi, memikirkan tidak mungkin aku bisa masuk ke kursi belakang di belakang Timmy.
Aku sudah sejajar dengan kap mobil ketika Tommy berkata, " Kau tahu? Aku punya ruang di belakang untuk dua pecundang." Kemudian dengan lebih keras sehingga JP dan The Duke bisa men- dengarnya, dia berkata, " Tapi aku tidak punya ruang untuk dua pecundang dan satu pelacur." Dia menginjak pedal gas, dan selama beberapa detik roda Mustang berputar tapi tidak terjadi apa-apa. Aku cepat-cepat meraih hendel pintu, tapi saat jariku sampai di sana, Mustang sudah melaju. Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh di atas salju. Mustang yang melewatiku melemparkan salju ke wajah, leher, dan dadaku. Aku meludahkan sebagian salju itu lalu melihat Timmy dan Tommy melesat ke arah JP dan The Duke.
Mereka berdiri bersama di sisi lain jalan, dan The Duke menggusah Timmy dan Tommy dengan kedua tangan. Selagi Mustang mendekat, JP melangkah pendek ke jalanan dan mengangkat sebelah kaki dari tanah. Tepat saat Mustang melaju lewat, dia menendang panel belakang mobil. Tendangannya pelan, agak seperti tendangan cewek. Aku bahkan tidak mendengar kakinya menyentuh
imbangan mobil dan seketika Mustang itu oleng ke samping. Tommy pasti mencoba mempercepat laju mobil sambil berbelok, tapi usahanya tidak berhasil. Mustang itu keluar dari jalanan dan masuk ke tumpukan kerukan salju, yang kelihatan hanyalah lampu remnya.
Aku cepat-cepat bangkit dan berlari ke arah JP dan The Duke. " Astaga!" kata JP, memandang kakinya. " Aku kuat sekali!" The Duke bergerak penuh tekad ke arah Mustang. " Kita harus membantu mereka keluar," katanya. " Mereka bisa mati di sana."
" Biar saja," kataku. " Maksudku, setelah apa yang mereka lakukan? Lagi pula, mereka menyebutmu pelacur!" Tetapi untuk sesaat aku melihatnya tersipu malu meskipun pipinya memang sudah memerah. Sejak dulu aku benci kata itu, dan aku jadi sangat kesal karena mendengar kata itu ditujukan pada The Duke, karena meskipun itu sangat konyol dan sama sekali tidak benar, dia tetap akan malu dan dia tahu bahwa kami tahu dia malu, dan... sudahlah. Pokoknya kata itu membuatku kesal. Tetapi aku tidak mau menarik lebih banyak perhatian ke masalah ini dengan mengatakan apa pun.
Tetapi tetap saja The Duke jadi marah nyaris seketika. " Oh yeah," katanya, memutar bola mata. " Tommy Reston menyebutku pelacur. Wah-wah. Itu namanya menyerang sisi kewanitaanku. Terserahlah. Aku hanya senang seseorang akhirnya mengakui adanya kemungkinan aku ini makhluk yang punya sisi sensual!"
Aku memandangnya bingung. Aku terus berjalan menghampiri Mustang bersamanya, dan ahkirnya berkata, " Jangan marah, tapi aku tidak mau menganggap siapa pun yang suka Billy Talos sebagai makhluk yang punya sisi sensual."
The Duke berhenti, berbalik, dan menatapku. Dengan sangat serius dia berkata, " Kau bisa diam tidak tentang dia? Sebenarnya
Aku tidak mengerti kenapa dia sangat marah terhadap hal itu, di tengah situasi ini. Kami sudah biasa saling mengejek. " Memangnya kenapa?" tanyaku defensif.
Lalu The Duke menjawab, " Oh Tuhan, lupakan saja. Pokoknya bantu saja aku membantu menyelamatkan misoginis idiot ini dari keracunan karbon monoksida."
Dan kami memang bakal melakukan itu, aku yakin. Kalau perlu, kami bakal menghabiskan berjam-jam untuk mengeluarkan kedua anak Reston itu. Tetapi ternyata usaha kami tidak dibutuhkan, karena Timmy Reston orang terkuat di dunia dengan gampangnya mendorong ribuan kilogram salju dan dengan sukses membuka pintu mobil. Dia bangkit, hanya bahu dan kepalanya yang berada di atas tumpukan salju, dan berteriak, " Kau. Akan. Mati."
Tidak jelas apakah " kau" yang diucapkan Timmy maksudnya subjek tunggal, yang berarti JP, yang ternyata sudah mulai berlari, atau " kau" subjek jamak, yang berarti sekelompok orang termasuk aku. Apa pun maksudnya, aku berlari, sambil mendorong The Duke agar juga berlari. Aku tetap berdiri di belakang The Duke karena tak mau dia terpeleset tanpa sepengetahuanku. Aku berbalik untuk mengecek perkembangan si kembar dan melihat bahu serta kepala Timmy Reston berusaha keluar dari tumpukan salju. Aku melihat kepala Tommy muncul di tempat Timmy tadi keluar dari mobil, dan dia meneriakkan sederetan kata membingungkan dengan marah. Kata-katanya seolah bertabrakan sehingga aku bisa merasakan kemarahan serius di dalamnya. Kami melewati mereka saat mereka masih berusaha keluar dari tumpukan salju, lalu kami terus berlari. " Ayolah, Duke," kataku.
" Aku... sudah berusaha," jawabnya, bernapas di sela-sela kata yang dia ucapkan. Kini aku bisa mendengar mereka berteriak, dan ketika aku menoleh sekilas ke belakang, kulihat mereka sudah ber
mengejar kami selangkah demi selangkah. Ada terlalu banyak salju di kanan-kiri sehingga kami hanya bisa berlari di jalan raya. Tetapi jika ini dilanjutkan, sebentar lagi si kembar akan menangkap kami lalu kemungkinan besar bakal menonjok ginjal kami.
Aku pernah dengar bahwa dalam keadaan krisis yang intens adrenalin seseorang dapat naik begitu tinggi sehingga selama periode waktu yang singkat dia bisa mendapatkan kekuatan super. Dan mungkin hal itu menjelaskan kenapa aku bisa menarik The Duke, menggendongnya di bahu kananku, lalu berlari seperti pelari cepat Olimpiade melewati jalanan bersalju yang licin.
Aku menggendong The Duke selama beberapa menit sebelum aku bahkan mulai merasa capek, tak sekali pun menengok ke belakang dan memang tak perlu, karena The Duke yang melihat ke belakang untukku sambil berkata, " Terus terus, kau lebih cepat daripada mereka sungguh sungguh," dan meskipun dia bicara pada- ku seperti saat bicara pada Carla dalam perjalanan naik bukit tadi, aku tak peduli cara itu berhasil. Ucapannya membuat kakiku terus bergerak, lenganku merangkul pinggang dan sebagian punggungnya, dan aku terus berlari sampai kami tiba di jembatan kecil di atas jalanan berlajur dua. Aku melihat JP berbaring telungkup di bagian samping jembatan. Kupikir dia tergelincir, jadi aku me- lambat untuk membantunya, tapi dia hanya berteriak, " Jangan, jangan, terus lari terus lari!" Jadi aku pun terus berlari. Aku mulai kehabisan napas dan The Duke terasa lebih berat di bahuku. " Bolehkah aku menurunkanmu?" tanyaku.
" Ya, sebenarnya aku juga jadi agak mual."
Aku berhenti dan membiarkannya turun, lalu berkata, " Kau duluan." The Duke melesat tanpaku, dan aku membungkuk, dengan tangan memengangi lututku, melihat JP berlari ke arahku. Di be- lakang sana aku melihat si kembar sebenarnya, aku bisa melihat
nya yang superbesar. Aku tahu kini situasinya tanpa harapan si kembar pasti bakal menangkap kami, tapi aku percaya kami tetap harus melawan. Aku menarik serangkaian napas yang cepat dan dalam ketika JP mendekatiku, lalu aku mulai berlari lagi, tapi dia menarik mantelku dan berkata, " Jangan. Jangan. Lihatlah."
Jadi kami berdiri di jalanan itu, udara yang basah membakar paru-paruku, Tommy makin dekat, wajahnya yang gendut didominasi raut cemberut. Lalu, tiba-tiba saja, Tommy jatuh terjerembap ke tanah, seolah dia baru ditembak dari belakang. Dia bahkan tak punya waktu untuk mengulurkan tangan untuk menahan jatuhnya. Timmy tersandung tubuh Tommy lalu terkapar juga di salju.
" Sebenarnya apa yang tadi kaulakukan?" tanyaku sementara kami mulai berlari ke arah The Duke.
" Aku menggunakan semua sisa benang gigiku, membuat jebakan di antara kedua sisi jembatan. Aku menaikkannya sedikit persis setelah kau dan The Duke lewat," katanya.
" Itu keren sekali," kataku.
" Tetapi sekarang gusiku sudah mulai kecewa padaku," gumamnya sebagai jawaban. Kami tetap berlari kecil, tapi sekarang aku tak mendengar suara si kembar lagi. Dan waktu aku menoleh sekilas ke belakang, aku hanya bisa melihat salju yang terus berjatuhan.
Saat kami berhasil menyusul The Duke, bangunan-bangunan bata di pusat kota mengelilingi kami, dan akhirnya kami berhasil keluar dari Sunrise dan memasuki Main Street yang saljunya baru dikeruk. Kami masih berlari kecil, meskipun aku hampir tak bisa merasakan kakiku lagi karena kelelahan dan kedinginan. Aku tak bisa mendengar suara si kembar, tapi aku masih takut pada mereka. Tinggal 1,6 kilometer lagi. Kami bisa sampai dalam dua puluh me- nit asalkan kami tetap berlari-lari kecil.
The Duke berkata, " Telepon Keun, cari tahu apakah cowok
Masih menjaga kecepatan lari, kuambil ponsel dari kantong jins, lalu kutelepon Keun. Seseorang bukan Keun menjawab pada nada sambung pertama.
" Keun ada?"
" Ini Tobin?" Aku mengenali suara itu. Billy Talos. " Ya," kataku. " Hei, Billy."
" Hei, apa Angie bersamamu?" " Eh, ya," kataku.
" Kalian sudah dekat, ya?"
Aku menjawab dengan bertaruh, tidak tahu apakah dia bakal menggunakan informasi ini untuk membantu teman-temannya. " Lumayan," kataku.
" Oke. Ini Keun," katanya. Lalu suara Keun yang keras terdengar di telepon. " Ada apa! Kau di mana! Dude, sepertinya Billy jatuh cinta. Saat ini dia duduk dengan salah satu cewek Madison. Ada beberapa Madison di sini. Dunia ini dipenuhi Madison yang ajaib!"
Aku melirik The Duke untuk mengecek apakah dia mendengar sesuatu dari telepon, tapi dia hanya memandang lurus ke depan, masih berlari pelan. Kupikir Billy menanyakan The Duke karena ingin bertemu dengannya, bukan karena tidak mau cewek itu memergokinya berusaha bermesraan dengan cewek lain. Payah. " TOBIN!" Keun berteriak di telingaku.
" Ya, ada apa?"
" Uh, kau yang meneleponku," katanya.
" Benar, yeah. Kami sudah dekat. Kami ada di ujung Main Street dan Third Street. Seharusnya kami bisa sampai di sana setengah jam lagi."
" Sempurna, menurutku kalian masih bisa sampai pertama kali. Rupanya cowok-cowok kuliahan itu terjebak dan minggir entah di
" Bagus. Oke, aku akan telepon lagi kalau sudah dekat." " Luar biasa. Oh, hei, kalian bawa Twister, kan?"
Aku memandang JP, lalu The Duke. Aku menutup speaker telepon dan bertanya, " Kita bawa Twister-nya, kan?"
JP berhenti berlari. The Duke mengikuti. JP berkata, " Sial, kita meninggalkannya di dalam Carla."
Aku melepaskan tangan dari speaker, lalu berkata, " Keun, maaf, man, tapi kami meninggalkan Twister-nya di mobil." " Itu tidak bagus," katanya dengan nada sedikit kejam. " Aku tahu. Ini menyebalkan. Maaf."
" Aku akan telepon kau lagi," katanya, lalu menutup telepon.
Kami berjalan selama beberapa menit sebelum Keun menelepon lagi. " Dengar," katanya, " kami mengadakan voting, dan sayangnya kau harus kembali ke mobil untuk mengambil Twister itu. Suara mayoritas setuju tidak ada yang boleh masuk jika tidak membawa Twister."
" Hah? Siapa yang bilang begitu?" " Billy, Mitchell, dan aku."
" Ayolah, Keun. Bujuk mereka atau semacamnya! Carla sekarang berada dua puluh menit perjalanan dengan berjalan kaki, melewati angin kencang. Lagi pula, si Kembar Reston ada di belakang sana, entah di mana. Buat agar salah satu dari mereka mengubah pilihan!"
" Sayangnya, posisinya tiga lawan nol." " Apa? Keun? Kau juga tidak memihak kami?"
" Aku menganggap pilihanku bukan sebagai ketidakberpihakan pada kalian," jelasnya. " Aku menganggapnya sebagai keberpihakan pada Twister."
mendengar ucapan Keun, tapi kini mereka memandangku dengan gelisah.
Dalam Derai Salju Let It Snow Karya Maureen Johnson, John Green, Lauren Myracle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Aku tidak bercanda soal Twister," kata Keun. " Kau masih bisa sampai di sini pertama kali! Cepat!"
Aku menutup telepon dan menarik topiku sampai menutupi wajah. " Kata Keun, dia tidak akan membolehkan kita masuk jika tidak membawa Twister," kataku.
Aku berdiri di bawah kanopi kafe dan mencoba menyingkirkan salju dari sepatu Puma-ku yang membeku. JP berjalan mondar-mandir, kelihatan sangat gelisah. Tak seorang pun mengatakan apa-apa selama beberapa saat. Aku tetap memandang ke arah jalanan, mencari-cari si Kembar Reston, tapi mereka sama sekali tidak terlihat. " Kita tetap akan ke Waffle House," kata JP.
" Ya, benar," kataku.
" Kita akan ke sana," katanya. " Kita akan kembali lewat rute yang berbeda sehingga tidak bakal bertemu si Kembar Reston, mengambil Twister, lalu kita akan pergi ke Waffle House. Hanya butuh satu jam jika kita cepat."
Aku menengok ke arah The Duke yang sedang berdiri di sampingku di bawah kanopi. Dia akan memberitahu JP. Dia akan bilang pada JP agar kami menyerah saja dan menelepon 911, berharap seseorang dapat menjemput kami. " Aku ingin hash brown," kata the Duke di belakangku. " Aku ingin hash brown yang banyak, enak, dan berlapis keju. Aku ingin hash brown yang dipotong-potong, diberi topping, dan dicincang."
" Yang kau mau adalah Billy Talos," kataku.
Dia menyikutku. " Kubilang diam soal itu, demi Tuhan. Jawabannya tidak. Aku mau hash brown. Hanya itu. Aku lapar, dan ini je
kita akan kembali untuk mengambil Twister itu." Lalu dia berjalan pergi, dan JP mengikutinya. Aku masih berdiri di bawah kanopi kafe sesaat, tapi aku memutuskan bahwa suasana hati buruk saat bersama teman-temanmu jauh lebih baik daripada suasana hati buruk tanpa mereka.
Saat aku berhasil mengejar mereka, tudung kepala kami ditutup rapat-rapat untuk menahan angin selagi kami menyusuri jalanan yang paralel dengan Sunrise. Kami harus berteriak agar bisa mendengar ucapan yang lainnya, dan The Duke berkata, " Aku senang kau di sini," dan aku balas berteriak, " Trims," dan dia teriak lagi, " Sejujurnya, hash brown tak ada artinya tanpamu."
Aku tertawa dan mengatakan bahwa " Hash Brown Means Nothing Without You" merupakan nama yang keren untuk band.
" Atau judul lagu," kata The Duke, lalu dia mulai menyanyikan lagu-lagu glam rock, tangannya pura-pura memegang mikrofon sam- bil menyanyikan lagu balada secara akapela. " Oh, I deep fried for you / But now I weep n cry for you / Oh, babe, this meal was made for two / and this hash browns mean nothing, oh these hash browns mean nothing, yeah these HASH BROWNS MEAN NOTHIN without you."
T he Duke dan JP menyusuri jalanan dengan cepat mereka
memang tidak berlari, tapi jelas mereka berjalan lumayan cepat. Kakiku terasa membeku, dan aku capek karena tadi menggendong The Duke, jadi aku sedikit tertinggal dan angin yang bertiup kencang berlawanan arah dengan kami membuatku bisa mendengar obrolan mereka, tapi mereka tak bisa mendengar apa pun yang kukatakan.
The Duke sedang bicara (lagi) bahwa cheerleading bukanlah olahraga, lalu JP menunjuk cewek iu lalu menggeleng tegas. " Aku tidak mau mendengar komentar negatif lagi tentang cheerleader. Jika bukan karena mereka, siapa yang akan memberitahu kita kapan dan bagaimana kita harus bahagia pada acara olahraga? Jika bukan karena cheerleader, bagaimana cewek-cewek tercantik dierika bisa mengikuti olahraga yang sangat penting untuk mendapatkan hidup yang sehat?"
Aku berjuang menyusul mereka supaya bisa terlibat dalam obrolan tersebut. " Selain itu, tanpa cheerleader, apa yang akan terjadi pada industry rok mini poliester?" tanyaku. Mengobrol membuat acara
Sembilan
" Benar sekali," kata JP, mengusap hidung ke lengan baju terusan ayahku. " Belum lagi industri pom-pom. Apa kau sadar berapa banyak orang di dunia ini yang bekerja dalam proses pembuatan, distribusi, dan penjualan pom-pom?"
" Dua puluh?" tebak The Duke.
" Ribu!" jawab JP. " Dunia ini pasti berisi jutan pom-pom milik jutaan cheerleader. Dan kalau aku dianggap bersalah karena ingin jutaan cheerleader itu mengusapkan pom-pom mereka ke dada, yah, aku tidak mau menjadi benar, Duke. Aku tak mau jadi benar." " Kau memang lucu sekali," kata The Duke. " Sekaligus genius." Aku tertinggal lagi dari mereka, tapi aku tetap berjalan dengan susah payah, tidak seperti orang lucu maupun genius. Melihat JP memamerkan selera humornya dan melihat The Duke menanggapi memang selalu menyenangkan. Kami butuh lima belas menit untuk kembali ke lokasi Carla berada melalui rute yang tidak melewati Sunrise (dan, semoga, si kembar). Aku masuk mobil dan mengambil Twister, lalu kami berjalan melewati pagar yang digembok dan melewati halaman belakang seseorang dalam berjalan lurus ke barat, menuju jalan raya. Kami memperkirakan si kembar akan mengambil rute yang kamibil tadi. Rute itu lebih cepat, tapi kami semua setuju bahwa kami tidak melihat permainan Twister di tangan Timmy ataupun Tommy, jadi bukan masalah kalau mereka menga- lahkan kami.
Kami berjalan dalam diam untuk waktu yang lama, melewati rumah-rumah berkerangka kayu gelap, dan aku memegang Twister di atas kepala untuk menahan sebagian salju agar tidak mengenai wajahku. Timbunan salju tigginya kira-kira sudah segagang pintu di salah satu sisi jalan, dan aku memikirkan seberapa banyak salju
lain selain di sini. Sudah ribuan kali aku berjalan atau menyetir di blok ini. Aku bisa mengingat kapan pepohonan mati gara-gara penyakit, juga kapan pepohonan baru ditanam di halaman-halaman ini. Di seberang pagar aku bisa melihat sampai sejauh satu blok menuju Main Street, tempat yang kukenal lebih baik lagi: aku tahu setiap galeri yang menjual lukisan tradisional pada turis, setiap toko luar ruangan yang menjual sepatu bot untuk hiking, yang kuharap saat ini kupakai.
Tetapi sekarang semuanya jadi berbeda, segalanya diselimuti warna putih yang sangat murni, samar-samar tampak mengancam. Tidak ada jalanan ataupun trotoar tapak di bawahku, tidak ada hidran pemadam kebakaran. Semua putih, seolah tempat itu dibungkus kertas kado berupa salju. Dan bukan hanya kelihatannya yang berbeda, aromanya juga berbeda. Udara di sini terasa tajam karena dingin dan keasaman salju yang basah. Lalu keheningan yang menyeramkan ini, hanya ada ritme stabil dari sepatu kami. Aku bahkan tak bisa mendengar apa yang dibicarakan JP dan The Duke yang berada beberapa meter di depanku selagi aku tersesat di dunia yang putih ini.
Dan sepertinya aku berhasil meyakinkan diri bahwa kamilah satu-satunya orang yang masih bangun di seluruh bagian barat North Carolina seandainya saja kami tidak melihat lampu-lampu terang dari toko serbaada Duke and Duchess ketika kami berbelok dari Third Street dan memasuki jalan Maple.
Alasan kami memanggil The Duke dengan sebutan " The Duke" adalah karena saat kami kelas delapan, suatu kali kami pergi ke toko Duke and Duchess. Dan hal unik di toko itu adalah mereka tidak akan memanggilmu " Sir" atau " Ma" , tapi mereka akan
Nah, The Duke agak terlambat memasuki masa pubertas, dan dia selalu memakai celana jins dan topi bisbol, terutama waktu SMP. Jadi hal yang dapat diprediksi pun terjadi: suatu hari kami pergi ke Duke and Duchess untuk membeli Big League Chew atau Mountain Dew Code Red atau apa pun yang kami pakai untuk membuat gigi kami busuk minggu itu, dan setelah membayar, petugas toko mengatakan, " Terima kasih, Duke."
Nama itu pun bertahan. Sampai pada suatu titik, sepertinya waktu kelas sembilan, kami semua makan siang, lalu JP dan aku menawarkan untuk memanggilnya Angie, tapi dia bilang tidak suka dipanggil Angie. Karena itulah kami tetap memanggilnya The Duke. Itu cocok untuknya. Postur tubuhnya sempurna, dan sepertinya dia memang cocok jadi pemimpin alami, dan meskipun sekarang dia tidak kelihatan mirip cowok lagi, seringnya dia tetap bersikap seperti cowok.
Ketika kami menyusuri jalan Maple, aku sadar JP memperlambat langkah agar bisa berjalan di sebelahku.
" Ada apa?" tanyaku.
" Dengar, kau baik-baik saja?" tanyanya. Dia mengulurkan tangan ke atas dan mengambil Twister dari tanganku, lalu mengepit benda itu.
" Mmm, ya?"
" Karena kau berjalan, seperti, entahlah. Seperti kau tak punya pergelangan kaki dan lutut?" Aku menunduk dan ternyata benar, aku berjalan dengan sangat aneh, jarak di antara kedua kakiku terlalu lebar dan agak memutar, lututku bahkan tidak tertekuk, aku seperti koboi yang sudah lama sekali menunggang kuda. " Huh," kataku sambil melihat cara berjalanku yang aneh. " Hmm. Sepertinya kakiku hanya sangat kedinginan."
" PERHENTIAN DARURAT SINGKAT!" JP berteriak. " Ada
Aku menggeleng; aku baik-baik saja, sungguh, tapi The Duke berbalik dan melihat cara jalanku lalu berkata, " Ke D and D!"
Lalu mereka berlari pelan dan aku berjalan dengan goyah. Mereka sampai lebih dulu di D and D. Ketika aku masuk, The Duke sudah ada di kasir, membayar empat pasang kaus kaki putih.
Kami bukan satu-satunya pelanggan di situ. Ketika aku duduk di salah satu bilik dalam " kafe" miniature D and D, aku melirik sekilas ke bilik terjauh: di sana, dengan cangkir panas di hadapan- nya, duduklah Tinfoil Guy.
A pa ?" tanya JP pada Tinfoil Guy saat aku menarik
lepas kaus kakiku yang basah. Agak sulit mendeskripsikan Tinfoil Guy, karena dia kelihatan agak berbulu tapi secara umum seperti cowok normal yang lebih tua kecuali untuk fakta bahwa dia tak pernah dalam situasi apa pun keluar rumah tanpa menutupi seluruh tubuhnya dengan kertas timah. Aku melepaskan kaus kakiku yang hampir membeku. Kakiku biru dan pucat. JP menawarkan tisu kertas padaku untuk membersihkan kaki ketika Tinfoil Guy berbicara.
" Apa kabar kalian bertiga, pada malam ini?" Tinfoil Guy selalu berbicara seperti itu, seolah hidup adalah film horor dan dia si tokoh maniak yang memegang pisau. Tetapi orang-orang menganggapnya tidak berbahaya. Dia mengajukan pertanyaan itu pada kami bertiga, tapi dia menatap hanya ke arahku.
" Coba kupikir," jawabku. " Mobil kami kehilangan salah satu bannya dan kakiku mati rasa."
" Kau kelihatan sangat kesepian di luar sana," katanya. " Seperti pahlawan hebat yang melawan cuaca."
Sepuluh "
kau mengajukan pertanyaan padanya! aku mengomeli diri sendiri. Dasar sopan santun selatan yang bodoh.
" Aku sedang menikmati mi yang sangat mengenyangkan," katanya. " Aku memang suka mi yang enak. Setelah itu, sepertinya aku akan keluar untuk jalan-jalan lagi."
" Kau tidak kedinginan, memakai semua kertas timah itu?" Kenapa aku tidak bisa berhenti bertanya!
" Timah apa?" tanyanya.
" Eh," kataku, " benar." The Duke membawakan kaus kaki baru padaku. Aku memakai sepasang, lalu sepasang lagi, kemudian pa- sangan kaus kaki ketiga. Aku menyimpan kaus kaki keempat untuk jaga-jaga jika nanti aku butuh kaus kaki yang kering. Aku nyaris tak bisa memasukkan kaki ke sepatu Puma-ku, tapi tetap saja aku merasa terlahir jadi manusia baru ketika aku berdiri untuk meninggalkan tempat itu.
" Senang bertemu denganmu," kata Tinfoil Guy kepadaku. " Oh, ya," kataku. " Selamat Natal."
" Semoga nasib membawamu dengan selamat sampai ke rumah," responsnya. Benar. Aku jadi kasihan pada wanita di belakang konter kasir yang terjebak bersamanya. Ketika aku berjalan keluar, wanita penjaga kasir berkata padaku, " Duke?"
Aku berbalik. " Ya?"
" Aku tadi dengar percakapan kalian," katanya. " Tentang mobilmu."
" Yeah," kataku. " Menyebalkan."
" Dengar," katanya. " Kami bisa mendereknya. Kami punya truk." " Sungguh?" tanyaku.
" Ya, sini, beri aku sesuatu untuk menuliskan nomornya untukmu." Aku merogoh kantong dan menemukan lembar bon. Dia menuliskan nomor telepon dan namanya, Rachel, dengan tulisan
" Yeah. Totalnya 150 dolar dolar ditambah lima dolar per 1,6 kilometer, karena ini hari libur, cuaca buruk, semacam itulah."
Aku meringis tapi mengagguk. Jasa derek yang mahal jauh lebih baik daripada tidak ada derek sama sekali.
Kami belum juga sampai di jalan raya aku berjalan dengan kesadaran dan penghargaan baru untuk jari-jari kakiku saat JP berjalan menjejeriku dan berkata, " Jujur, fakta bahwa Tinfoil Guy berumur empat puluhan dan masih hidup memberiku harapan bahwa aku masih mungkin memiliki masa depan yang lumayan sukses."
" Yeah." The Duke berjalan di depan kami, mengunyah Cheetos. " Dude," kata JP. " Apakah kau memperhatikan bokong The Duke?"
" Apa? Tidak." Dan hanya dalam berbohong itu aku justru menyadari bahwa aku memang sedang memperhatikan bagian belakang tubuh cewek itu, meskipun tidak secara spesifik ke bokongnya." The Duke berbalik. " Apa yang kalian bicarakan?" " Bokongmu!" teriak JP berteriak di tengah angin. Dia tertawa. " Aku tahu itulah yang kau mimpikan saat kau sendirian di malam hari, JP."
Dia memperlambat jalan dan kami menyusulnya. " Sungguh, Duke?" kata JP sambil merangkul bahunya. " Aku harap ini tidak akan menyinggung perasaanmu, tapi kalau aku sampai bermimpi bermesraan denganmu, aku bakal harus mengambil alam bawah sadarku dari tubuhku, lalu memukulinya sampai mati menggunakan tongkat."
The Duke mengalahkan ucapan JP dengan balasannya yang percaya diri, seperti biasa. " Itu sama sekali tidak menyinggungku," jawabnya. " Jika kau tidak melakukannya, aku yang bakal melakukannya
melihat apakah aku tertawa atau tidak sebenarnya ya, tapi dengan tenang.
Kami sedang berjalan melewati Governor s Park, taman bermain terbesar di kota ini, saat di kejauhan aku mendengar suara mesin yang keras dan kuat. Selama beberapa saat kukira itu suara mobil si kembar, tapi ketika aku melihat ke belakang dan selagi mobil itu melaju di bawah lampu jalan, aku bisa melihat lampu di atas atap mobil tersebut. " Polisi," kataku cepat, lalu melangkah menuju taman dengan semangat. JP dan The Duke cepat-cepat pergi dari jalanan. Kami merunduk, bersembunyi di balik tumpukan salju ketika polisi itu mulai berjalan lewat, lampu sorot dari mobil itu melengkung menyinari taman.
Setelah si polisi pergi barulah terpikir olehku untuk berkata, " Dia mungkin bisa memberi kita tumpangan tadi." " Ya, ke penjara," kata JP.
" Yah, tapi kita tidak melakukan apa pun yang melanggar hukum," kataku.
JP merenung beberapa saat. Berada di luar rumah pada jam 2.30 pagi pada hari Natal memang terasa salah, tapi bukan berarti itu memang salah. " Jangan bodoh," kata JP.
Benar juga. Aku melakukan hal paling tidak bodoh yang bisa kupikirkan, yaitu berjalan maju beberapa langkah melalui salju setinggi setengah betis dari jalanan dan masuk ke Governor s Park. Lalu aku sengaja menjatuhkan diri ke belakang, ke atas salju, dengan tangan terentang karena saljunya tebal dan lembut. Aku berbaring di sana beberapa saat lalu menggerak-gerakkan tangan hing- ga terbentuk siluet malaikat di salju. The Duke terjun ke salju dan mendarat dengan posisi menelungkup. " Malaikat salju dengan payudara!" katanya. JP berlari dulu sebelum meloncat ke salju, mendarat
dengan hati-hati di sebelah jejak tubuhnya dan berkata, " Sketsa bentuk tubuh dalam investigasi pembunuhan!"
" Apa yang terjadi pada orang itu?" tanyaku.
" Seseorang mencoba mengambil Twister-nya, lalu dia mati dengan heroik untuk mempertahankan Twister itu.
Aku bangun dengan cepat dari malaikat saljuku lalu membuat malaikat salju lagi, tapi kali ini aku menggunakan sarung tangan untuk memberi malaikat saljuku tanduk. " Iblis salju!" teriak The Duke riang. Dengan semua salju di sekeliling kami, aku merasa kembali jadi anak kecil dalam balon tiup itu aku tidak akan kesakitan meskipun jatuh. Aku tidak bisa dilukai apa pun juga. The Duke berlari ke arahku, bahunya turun dan kepalanya menunduk, lalu menubruk dadaku, membuatku jatuh. Kami mengenai tanah bersama-sama lalu momentumku membuatku berguling sehingga aku berada di atasnya, wajahnya sangat dekat dengan wajahku se- hingga napas kami yang sangat dingin bercampur. Aku merasakan berat tubuhnya dan sesuatu mencelus di perutku saat dia tersenyum padaku. Ada sepersekian detik jeda waktu ketika seharusnya aku bisa berguling menjauh tapi tidak kulakukan, lalu dia mendorongku dan berdiri, membersihkan salju di mantelnya dan menjatuhkan salju-salju itu ke tubuhku yang masih rentan.
Kami berdiri, lalu kembali ke jalanan untuk meneruskan perjalanan. Saat ini tubuhku lebih basah dan kedinginan dibandingkan sepanjang malam ini, tapi kami hanya berjarak 1,6 kilometer dari jalan besar, dan jarak dari sana ke Waffle House dapat ditempuh dengan berlari-lari kecil.
Awalnya kami berjalan bersama, The Duke bicara agar aku hatihati jangan sampai kena frostbite, dan aku bicara tentang betapa banyak kesulitan yang kulalui untuk mempertemukan The Duke dengan pacarnya yang berminyak itu, dan The Duke menendang
rapa waktu, jalanan mulai dipenuhi salju lagi, lalu aku berjalan di atas jejak ban mobil yang sepertinya masih baru, mungkin bekas ban mobil polisi tadi. JP berjalan di atas salah satu jejak tersebut, aku di sisi yang lain. The Duke berjalan beberapa langkah di depan kami. " Tobin," kata JP tiba-tiba. Aku mendongak dan dia ada persis di sebelahku, berjalan di atas salju. " Bukannya aku mendukung ide ini," katanya, " tapi kupikir mungkin kau suka The Duke."
T he Duke hanya berjalan di depan kami dalam sepatu bot
tingginya itu, mengenakan tudung jaket dan kepalanya tertunduk. Ada hal unik tentang cara cewek berjalan khususnya saat mereka tidak memakai sepatu cantik atau semacamnya, ketika mereka hanya memakai sepatu kets bagaimana kaki mereka terhubung dengan pinggul. Pokoknya, The Duke sedang berjalan, dan ada sesuatu dalam cara berjalannya, sebenarnya aku jijik pada diri sendiri karena memikirkan sesuatu itu. Maksudku, sepupu-sepupu perempuanku mungkin berjalan dengan cara yang sama, tapi intinya adalah kadang kau menyadarinya dan kadang tidak. Ketika Britanny si cheerleader berjalan, kau bakal menyadarinya. Ketika The Duke yang jalan, kau tidak akan menyadarinya. Biasanya.
Aku menghabiskan waktu lama sekali untuk memikirkan tentang The Duke dan cara jalannya dan rambut keriting basahnya yang tergerai di punggung, juga bagimana ketebalan mantelnya membuat kedua lengan cewek itu sedikit menonjol keluar dari tubuhnya. Dan semua itu, semua itu membuatku jadi butuh waktu yang cukup lama sebelum akhirnya aku menjawab JP. " Jangan jadi bajing
Sebelas
Dia menjawab, " Kau menghabiskan waktu yang sangat lama untuk memikirkan jawaban berkuaitas itu."
" Tidak," kataku. " Aku tidak suka The Duke, bukan seperti yang kaupikirkan. Aku pasti memberitahumu jika memang begitu, tapi itu sama seperti naksir sepupu sendiri."
" Lucu juga kau mengatakannya, karena sebenarnya aku punya sepupu yang sangat seksi."
" Menjijikkan."
" Duke," panggil JP. " Apa kemarin katamu soal naksir sepupu sendiri? Bahwa ituan?"
Dia berbalik ke arah kami dan terus berjalan, punggungnya melawan angin, salju bertiup di sekelilingnya dan di sekeliling kami juga. " Tidak, tidak sepenuhnyaan. Menaikkan risiko cacat pada bayi. Tetapi aku pernah membaca buku sejarah, bahwa ada kemungkinan 99.9999 persen bahwa setidaknya salah satu dari kakek-kakek kita menikah dengan sepupu dekat mereka."
" Jadi yang maksudmu adalah, tidak ada salahnya pacaran dengan sepupu."
The Duke berhenti sebentar lalu ikut berjalan bersama kami. Dia mendesah keras. " Bukan begitu maksudku. Selain itu, aku sudah bosan bicara soal pacaran dengan sepupu dan cheerleader seksi."
" Apa yang harus kami bicarakan, kalau begitu? Cuaca? Sepertinya akan turun salju," kata JP.
" Jujur, aku lebih suka bicara soal cuaca."
Aku berkata, " Kau tahu, Duke, ada juga cheerleader cowok. Kau bisa bermesraan dengan mereka."
The Duke berhenti bicara dan terlihat marah. Wajahnya mengerut ketika dia berteriak padaku. " Kau tahu? Semua ini sangat seksis. Oke? Aku tak suka jadi, seperti penjaga para cewek atau semacamnya, tapi kalian menghabiskan semalaman penuh bicara soal ber
pom-pom sangat seksi, semuanya. Itu seksis, oke? Cheerleader cewek memakai rok mini yang jadi fantasi para cowok! Hanya berasumsi mereka mau bermesraan dengan kalian juga seksis! Aku sadar kalian punya kebutuhan untuk dekat-dekat dengan cewek, tapi bisakah kalian tidak terlalu sering membicarakan itu di depanku?!"
Aku menunduk melihat salju yang berjatuhan. Aku merasa seperti baru saja ketahuan menyontek di ujian atau semacamnya. Aku ingin berkata bahwa aku sebenarnya tidak peduli lagi apakah kami pergi ke Waffle House atau tidak, tapi aku hanya diam. Kami bertiga tetap berjalan sejajar. Angin berputar-putar di belakang kami, dan aku tetap menunduk, berusaha membiarkan angin mendorongku sampai ke Waffle House.
" Maaf," aku mendengar The Duke berkata pada JP. " Tidak, ini salah kami," jawabnya tanpa memandang The Duke. " Sikapku seperti bajing lompat. Kami hanya perlu& entahlah, kadang sulit mengingatnya."
" Yeah, mungkin aku harus lebih menonjolkan payudaraku atau semacamnya." The Duke mengatakan itu dengan keras, seolah aku harus mendengarnya.
Selalu ada risiko itu: sesuatu berawal baik, baik, baik, baik, baik, dan baik, tapi suatu saat mendadak semuanya terasa janggal. Seketika, seorang cewek melihatmu menatapnya, kemudian dia tak mau bercanda lagi denganmu karena dia tidak mau kelihatan seperti merayu, karena dia tak ingin kau mengira dia menyukaimu. Itu bencana besar, selalu, ketika dalam hubungan antarmanusia, seseorang mulai keluar dari batasan antara berteman dan berciuman. Menghancurkan batasan itu bisa menghasilkan cerita bahagia di tengah-tengahnya oh lihat, kami menghancurkan tembok itu, kini aku akan melihatmu sebagai cewekku, dan kau akan melihatku sebagai cowokmu, dan kami akan memainkan permainan seru berju
Sana. Kadang, kebahagiaan di tengah cerita terlihat begitu hebat sehingga kau meyakinkan diri bahwa itu rasanya akan hebat bukan hanya di bagian tengah, namun akan jadi hebat selamanya.
Sayangnya, bagian tengah itu tidak akan jadi bagian akhir. Yang jelas cerita bagian tengah itu tidak menjadi bagian akhir dengan aku dan Britanny. Padahal aku dan Brittany bukan teman dekat. Tidak seperti The Duke. The Duke adalah sahabatku, kalau aku harus memilih. Jika aku harus memilih satu orang untuk diajak pergi ke pulau terpencil, aku akan memilih The Duke. Jika aku harus memilih satu CD yang bisa kubawa, aku akan memilih The Earth is Blue and Orange, CD yang dibuatkannya untukku Natal tahun lalu. Jika aku harus memilih satu buku yang bisa kubawa, aku akan membawa buku paling panjang yang pernah kusukai, The Book Thief, yang direkomendasikan The Duke. Dan aku tidak mau ingin memiliki cerita tengah yang bahagia dengan The Duke dengan bayaran Bencana Mengerikan Selamanya.
Tetapi (dan inilah salah satu keberatan terbesarku soal pikiran manusia): ketika kau memikirkan sesuatu, akan sangat sulit untuk berhenti memikirkannya. Dan aku sudah mulai memikirkan pikiran itu. Kami mengeluh tentang cuaca yang dingin. The Duke terus menahan ingus karena kami tidak punya tisu dan tentunya dia tak mau membuang ingus di tanah. JP, setelah setuju untuk tidak membicarakan cheerleader lagi, terus saja bicara tentang hash brown.
Yang dimaksud JP dengan " hash brown" sebenarnya hanyalah simbol untuk cheerleader itu jelas sekali karena dia bicara tentang, " Hal favoritku tentang hash brown di Waffle House adalah karena mereka memakai rok pendek yang mungil." " Hash browns selalu bahagia. Dan itu itu menular. Melihat hash brown gembira membuatku bahagia."
Sepertinya asalkan JP yang bicara, The Duke tidak kesal. Dia
hash brown. " Pasti semuanya hangat sekali," katanya. " Renyah, ke- emasan, dan lezat. Aku mau pesan empat porsi besar. Lalu juga pesan roti panggang kismis. Ya Tuhan, aku suka roti panggang kismis itu. Mmm, pasti akan penuh karbohidrat yang luar biasa." Aku bisa melihat perbatasan antar negara bagian di kejauhan, salju me- numpuk di sisi jembatan. Waffle House sepertinya masih berjarak sekitar delapan ratus meter lagi, tapi sekarang kami kami tinggal berjalan lurus. Huruf-huruf berwarna hitam di kotak-kotak kuning mereka menjanjikan waffle keju, senyum nakal Keun, dan jenis cewek-cewek yang akan akan membuat tidak memikirkan hal itu jadi lebih mudah.
Dan ketika kami terus berjalan, aku mulai melihat cahaya muncul dari tebalnya salju. Awalnya bukan papan tanda Waffle House, tapi cahaya yang dipancarkannya. Kemudian akhirnya aku melihat papan tanda itu, menjulang di atas restoran kecil itu, lebih besar dan lebih terang daripada yang bakal dialami restoran bobrok itu, huruf-huruf hitam dalam kotak-kotak kuning itu menjanjikan kehangatan dan makanan: WAFFLE HOUSE. Aku berlutut di tengah jalanan dan berteriak: " Kita menemukan keselamatan bukan di istana atau kastel. Tetapi di Waffle House!"
The Duke tertawa, mengangkat lenganku. Topinya yang dipenuhi es tertarik ke bawah sampai menutupi kening. Aku menatapnya dan dia menatapku, dan kami tidak berjalan. Kami hanya berdiri di sana, matanya sangat menarik. Bukan menarik dalam arti yang biasa, misalnya berwarna sangat biru, atau sangat besar, atau dilindungi oleh bulu mata yang panjangnya tidak wajar. Yang menarik perhatianku dari mata The Duke adalah warnanya sangat kompleks dia sering bilang warna matanya seperti dasar tempat sam- pah, perpaduan antara hijau, cokelat, dan kuning. Tetapi dia hanya merendahkan diri. Dia memang selalu merendah.
Aku mungkin bakal terus menatapnya dengan mulut terngaga sementara dia balas menatapku dengan bingung seandainya aku tidak mendengar suara mesin dari kejauhan lalu menengok ke bela- kang dan melihat mobil Ford Mustang merah berbelok dengan cepat. Aku meraih lengan The Duke lalu kami berlari ke arah tumpukan salju. Aku mencari JP di jalanan, ternyata dia sudah lumayan jauh di depan kami. " JP!" teriakku. " SI KEMBAR!"
J P berbalik. Dia memandang kami, menumpuk di salju. Dia
melihat ke arah mobil itu. Tubuhnya membeku sesaat. Lalu dia berbalik lagi ke arah jalanan dan mulai berlari, kakinya bagai kelebatan energi. Dia berlari cepat ke arah Waffle House. Mustang si kembar meraung melewati The Duke dan aku. Si kecil Tommy Reston mencondongkan tubuh ke luar jendela yang terbuka sambil mengacungkan Twister dan berkata, " Kami akan membunuh kalian nanti."
Untuk saat ini sepertinya mereka puas membunuh JP saja, dan selagi mereka terus melaju ke arah JP, aku berteriak, " Lari, JP! Lari!" Aku yakin dia tak bisa mendengarku di tengah raungan Mustang, tapi aku tetap berteriak, teriakan putus asa terakhir pada alam liar. Sejak detik itu, The Duke dan aku hanyalah saksi.
Keunggulan jarak JP menipis dengan segera dia berlari dengan sangat kencang, tapi dia sama sekali tak punya kesempatan mengalahkan Ford Mustang yang dikendarai dengan sangat baik ke Waffle House.
" Padahal aku benar-benar ingin makan hash brown" kata The
Dua Belas
" Yeah," jawabku. Mustang sampai di titik bisa menyusul JP, tapi JP menolak berhenti berlari ataupun menyingkir dari jalanan. Klakson terus berbunyi selagi kulihat lampu rem Mustang itu me- nyala, tapi JP tetap berlari. Dan sekarang aku menyadari strategi gila JP: dia sudah menghitung bahwa jalanannya tidak cukup lebar bagi mobil Mustang untuk menyalipnya apalagi dengan tumpukan salju di kedua sisi, dan dia percaya si kembar tidak mungkin menabraknya. Buatku, sepertinya itu penilaian yang sangat longgar terhadap kebaikan si kembar, tapi selama beberapa waktu, setidaknya, strategi itu berhasil. Klakson Mustang terus berbunyi kencang tapi tanpa hasil karena JP terus berlari di depan mobil itu.
Sesuatu berubah di sudut mataku. Aku mendongak ke arah jalan raya lalu melihat sosok dua orang berbadan besar berjalan pelan menuju jalan keluar, membawa tong yang terlihat sangat berat. Tong bir. Cowok-cowok kuliahan itu. Aku menunjuk ke atas pada The Duke, dan matanya terbelalak.
" Jalan pintas!" teriak The Duke, lalu cewek itu lari cepat ke arah jalan raya, melesat melewati tumpukan salju. Aku belum pernah melihatnya berlari begitu cepat, dan aku tak tahu apa yang dia pikirkan, tapi dia jelas punya rencana, jadi aku mengikutinya. Kami berlari cepat mendaki ke arah pinggiran jalan antar negara bagian itu, saljunya cukup padat sehingga kami bisa memanjatnya dengan mudah. Saat aku melompati pagar pembatas, aku dapat melihat JP di sisi underpass yang lain, masih berlari. Tetapi Mustang sudah berhenti; lalu Timmy dan Tommy Reston mencoba berlari langsung mengejarnya.
The Duke dan aku berlari ke arah cowok-cowok kuliahan itu, dan akhirnya salah satu dari mereka mendongak dan berkata, " Hei, apa kau..." tapi dia tidak melanjutkan kalimatnya. Kami langsung berlari melewati mereka, dan The Duke berteriak kepadaku, " Ke
Twister dan melempar kotak itu ke tengah jalan raya. Aku menyimpan pemutarnya kuat-kuat di antara gigi yang kukatupkan, dan karpetnya di tangan, dan sekarang, akhirnya, aku tahu apa yang dia mau kami lakukan. Mungkin si kembar lebih cepat. Tetapi dengan ide brilian The Duke, aku sadar kami masih punya kesempatan.
Ketika kami mencapai bagian awal turunan jalur keluar, aku membuka karpet Twister dalam satu gerakan. The Duke melompat dan mendarat di bokong, lalu aku mengikutinya sambil menaruh jarum pemutar itu di bawahku. Lalu dia berteriak, " Kau harus menggali saljunya dengan tangan kanan supaya kita bisa terus berjalan ke arah kanan," dan aku menjawab, " Oke. Oke." Kami mulai meluncur, dengan kecepatan meningkat, dan ketika jalur keluarnya berbelok, aku langsung menggali salju dengan tanganku, dan kami berbelok cepat. Aku bisa melihat JP sekarang ada di gendongan Timmy Reston, berusaha memperlambat tubuh besar Timmy yang menuju Waffle House, meski dengan sia-sia.
" Kita masih bisa melakukannya," kataku, tapi aku ragu. Lalu aku mendengar suara berisik di atas kami, dan aku berputar untuk melihat tong bir meluncur ke bawah dengan cepat. Mereka mencoba membunuh kami. Itu sangat-sangat tidak sportif!
" AWAS TONG!" teriakku, dan The Duke memutar kepalanya. Tong itu melompat ke arah kami dengan penuh ancaman. Aku tak tahu berapa berat tong bir, tapi melihat usaha kedua cowok itu membawanya, aku membayangkan tong itu cukup berat untuk membunuh dua anak SMA yang menaiki papan seluncur di hari Natal. Kepala The Duke masih menengok ke belakang, melihat tong itu mendekat, tapi aku terlalu takut. Lalu dia berteriak, " Sekarang, belok belok belok," lalu aku memasukkan tanganku ke salju dan dia berguling ke arahku, hampir mendorongku keluar dari karpet Twister. Kemudian segala hal seolah melambat dan aku melihat
atas titik-titik merah di karpet Twister tempat The Duke duduk tadi. Tetapi tong itu tidak mengenai kami, menabrak susuran pembatas jalan dan memantul kembali. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah itu, tapi aku mendengarnya: tong bir itu menghantam sesuatu yang tajam lalu meledak seperti bom bir.
Ledakannya begitu kencang sampai-sampai Tommy, Timmy, dan JP berhenti bergerak setidaknya selama lima detik. Ketika mereka mulai berlari lagi, Tommy menabrak balok es dan jatuh terjerembap. Ketika melihat saudara kembarnya jatuh, Timmy si raksasa tiba-tiba mengubah taktik: bukannya mengejar JP, dia berlari melalui tumpukan salju dan berlari menuju Waffle House sendirian. JP, yang berada beberapa langkah di depannya, cepat-cepat melakukan gerakan yang sama sehingga mereka kini mereka mengarah ke pintu dengan sudut yang sedikit berbeda. The Duke dan aku sudah dekat sekarang cukup dekat dengan bagian bawah dari turunan dan aku merasakan perlambatannya sekaligus cukup dekat sehingga aku dapat mendengar si kembar berteriak kepada JP dan satu sama lain. Aku bisa melihat ke balik jendela Waffle House yang berembun separuhnya. Para cheerleader dalam baju latihan hijau. Dikucir kuda.
Tetapi ketika kami berdiri dan aku melipat karpet Twister, aku tahu kami tidak sedekat itu dengan Waffle House. Timmy berada di jalur dalam menuju pintu depan Waffle House dan ketika dia menggerakkan lengan dengan kuat, kotak Twister itu kelihatan sangat mungil dalam tangannya yang gemuk. JP mendekat dari sudut berbeda, berlari sepenuh kekuatan melewati salju setinggi betis. The Duke dan aku berlari secepat yang kami bisa, tapi kami masih ter- tinggal di belakang. Aku berharap JP dapat berhasil, sampai Timmy berjarak hanya tinggal beberapa langkah dari pintu dan aku sadar dia akan jadi orang pertama yang memasuki pintu. Perutku mence
mengorbankan banyak hal. The Duke tidak akan mendapatkan hash brown, dan aku tidak akan dapat cheesy waffle.
Lalu, saat Timmy mulai mengulurkan tangan ke arah pintu, JP menyambar. JP meloncat di udara, meregangkan tubuh seperti pemain futbol yang berusaha meraih lemparan bola atas, dia terlihat seperti melompat dari trampolin. Pundaknya menubruk dada Timmy Reston, dan mereka berdua jatuh ke semak-semak penuh salju di dekat pintu. Lalu JP yang berdiri pertama, berlari ke arah pintu, membukanya, dan mengunci Timmy dari dalam. The Duke dan aku sudah sangat dekat dengan Waffle House sekarang, cukup dekat untuk mendengar suara teriakan gembira melalui kaca. JP mengangkat tangan ke atas kepala, mengepalkan tangan seperti akan meninju, lalu teriakan penuh kegembiraan terus terdengar selama beberapa menit.
Selagi JP mantap melihat ke kegelapan ke arah kami dengan tangan terangkat, aku melihatnya saat Keun yang menggunakan topi hitam bertuliskan " WH" dan memakai kaus putih bergaris-garis kuning serta celemek cokelat mengagetkan JP dari belakang. Keun melingkarkan lengan di pinggang JP dan mengangkatnya, JP terus mengangkat tangan di atas kepala. Para cheerleader, yang berkumpul di ujung bilik-bilik, hanya memandang mereka. Aku menoleh ke arah The Duke, yang tidak memperhatikan kejadian tapi malah memandangku, lalu aku tertawa, dan dia juga tertawa.
Tommy dan Timmy memukul-mukul jendela sesaat, tapi Keun mengangkat tangan seperti berkata, Apa yang bisa kulakukan? Lalu mereka menyerah dan berjalan kembali ke Mustang. Saat berjalan mendekati Waffle House, kami melewati mereka, dan Timmy seperti mau menerjangku dengan kejam, tapi dia tidak melakukan apa
cowok kuliahan tadi berusaha keluar dari jalan keluar di jalan raya.
The Duke dan aku akhirnya tiba juga di depan pintu, dan aku menarik pintu; Keun membukanya sambil berkata, " Secara teknis, seharusnya aku tidak memperbolehkan kalian masuk, karena hanya JP yang mengalahkan si kembar Reston. Tetapi kau yang membawa Twister. " Kami mendorongnya melewatinya, dan udara hangat menerpa wajahku. Aku bahkan tidak sadar betapa tubuhku kebas karena kedinginan, tapi setelah masuk dan mendapat udara hangat, tubuhku kembali hidup. Karpet Twister yang sedikit basah dan jarum pemutarnya kuletakkan di lantai, lalu aku berteriak, " Twister sudah tiba!"
Keun berteriak, " Hore!" tapi berita ini sama sekali tidak menarik perhatian para cheerleader berpakaian hijau di seberang ruang makan.
Aku meraih Keun dan memeluknya dengan sebelah tangan se- mentara sebelah lagi mengacak-acak rambutnya. " Aku butuh cheesy waffles,at sangat," kataku kepadanya. The Duke memesan hash brown lalu menjatuhkan diri di salah satu bilik dekat jukebox. JP dan aku berdiri di dekat konter sarapan pagi dan mengobrol dengan Keun sementara dia memasak.
" Sepertinya para cheerleader itu tidak, kau tahu, menempelimu ke mana-mana."
" Ya," katanya, memunggungi kami selagi dia memasak dengan panggangan waffle.
" Ya. Tadinya aku berharap Twister akan mengubah itu. Walaupun mereka mencoba menggoda si Mr. Aku-Punya-Rambut- Gondrong-Yang-Dikucir-Kuda-Tetapi-Aku-Tetap-Macho," kata Keun sambil menggerakkan kepala untuk menunjuk cowok di salah satu meja, " tapi sepertinya dia terobsesi pada pacarnya."
Twister yang basah teronggok di lantai, benar-benar diabaikan oleh para cheerleader.
JP mendekatkan tubuh padaku, melihat ke arah para cheerleader, lalu menggeleng. " Aku baru sadar bahwa aku bisa melirik mereka dengan canggung sambil makan setiap kali makan siang, setiap hari."
" Yeah," kataku.
" Maksudku, jelas sekali mereka tidak ingin mengobrol." " Benar sekali," kataku. Mereka berkumpul mengelilingi tiga meja dalam lingkaran yang tidak sempurna. Mereka bicara dengan sangat cepat, juga sangat intens. Aku bisa mendengar beberapa kata, tapi kata-kata itu tidak masuk akal untukku herkies, kewpies, dan rambut sambungan. Mereka membicarakan kompetisi cheerleader. Ada beberapa topik yang menurutku lebih tidak menarik dibandingkan kompetisi cheerleader. Tetapi tidak banyak. " Hei, si tukang ngantuk sudah bangun," kata JP.
Aku melihat ke arah meja yang dimaksud JP dan melihat cowok bermata hitam dan rambut dikucir kuda menyipitkan mata ke arahku. Aku langsung mengenali cowok itu. " Cowok itu bersekolah di Gracetown," kataku.
" Ya," jawab Keun. " Jeb."
" Benar," kataku. Jeb kelas sebelas. Aku tidak mengenalnya dengan baik, tapi sering melihatnya. Dia sepertinya juga mengenaliku karena dia berdiri dan berjalan ke arahku.
" Tobin?" katanya.
Aku mengangguk lalu menjabat tangannya. " Kau kenal Addie?" tanyanya.
Aku memandangnya bingung. " Kelas sebelas? Cantik?" tanyanya. Mataku terarah ke atas. " Mmm, tidak?"
ngar putus asa dan bingung karena aku tidak kenal cewek yang sedang dia bicarakan.
" Mmm, maaf, dude. Sama sekali tidak ingat."
Mata Jeb terpejam. Aku melihat sekujur tubuhnya melemas. " Kami mulai berkencan pada Malam Natal," katanya, menatap ke kejauhan.
" Kemarin?" tanyaku sambil berpikir, Kalian baru berkencan sehari dan sekarang sekacau ini? Ini alasan baru untuk menghindari kisah tengah yang bahagia.
" Bukan kemarin," kata Jeb lelah. " Satu tahun dari kemarin." Aku menengok ke arah Keun. " Dude," kataku. " Kondisinya buruk sekali."
Keun mengangguk sambil membolak-balik hash brown pesanan The Duke di panggangan. " Aku akan memberinya tumpangan ke kota pagi ini," kata Keun. " Tetapi, kau tahu aturannya kan, Jeb?"
Jeb menjawabnya dengan gaya seolah Keun sudah memberitahukan aturan itu ribuan kali. " Kita tidak akan pergi sampai semua cheerleader pergi."
" Itu benar, Sobat. Mungkin sebaiknya kau kembali tidur." " Tapi," kata Jeb, " tapi kalau kau bertemu dengannya, bisakah kaubilang bahwa aku, mmm, terlambat?"
" Sepertinya bisa," kataku. Aku pasti tidak tampak menyakinkan, karena dia berbalik dan membuat kontak mata dengan The Duke.
" Katakan padanya aku akan datang," kata Jeb, dan anehnya The Duke paham. Atau terlihat paham. Atau semacam itu, pokoknya The Duke mengangguk dengan cara yang seolah mengatakan Yeah, aku akan memberitahunya, jika aku kebetulan bertemu cewek yang tidak kukenal dalam tumpukan salju jam empat pagi. Lalu The Duke tersenyum penuh simpati pada Jeb, dan lagi-lagi aku memikirkan
Senyuman The Duke sepertinya membuat Jeb senang. Cowok itu kembali duduk merosot di kursinya.
Aku mengobrol dengan Keun sampai dia selesai membuat waffleku lalu memberikannya untukku saat masih beruap panas. " Ya Tuhan, kelihatannya enak sekali, Keun," kataku, tapi dia sudah berbalik untuk menyajikan hash brown The Duke di piring. Keun sedang mengangkat piring itu waktu Billy Talos muncul, menyambar piring tersebut, lalu mengantarkannya pada The Duke, dan duduk di sebelah cewek itu.
Aku melirik ke arah mereka beberapa kali, mereka mencondongkan tubuh ke seberang meja dan mengobrol intens. Aku ingin menyela dan memberitahu The Duke bahwa tadi Billy menggoda salah satu dari cewek-cewek Madison saat kami melalui salju dengan penuh kesulitan, tapi aku sadar itu sama sekali bukan urusanku.
" Aku akan berbicara dengan salah satu dari mereka," kataku pada JP dan Keun.
JP tidak percaya. " Salah satu dari siapa? Para cheerleader?" Aku mengangguk.
" Dude," kata Keun. " Aku sudah mencoba semalaman. Susah sekali mengobrol dengan mereka. Mereka duduk terlalu dekat sehingga kau tak bisa berbicara dengan salah satu dari mereka. Dan kalau kau berusaha bicara dengan mereka semua, mereka akan mengabaikanmu."
Tetapi aku harus bicara dengan salah satu dari mereka. Atau setidaknya terlihat begitu. " Seperti singa yang berburu kijang," kataku saat kami memperhatikan kawanan itu dengan intens. " Kau hanya perlu mencari satu yang terpisah dari kawanan, lalu" seorang cewek berambut pirang dan bertubuh mungil berbalik dari kelompoknya " tinggal terkam," kataku sambil melompat dari kursi. Aku berjalan ke arahnya dengan penuh tekad. " Aku Tobin," kata
Hidup Abadi Eternally Karya Maureen Wallbanger Karya Alice Clayton Fear Street Cheerleaders Musibah Ketiga
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama