Ceritasilat Novel Online

Dalam Derai Salju 4

Dalam Derai Salju Let It Snow Karya Maureen Johnson, John Green, Lauren Myracle Bagian 4

"ber," katanya.

" Namamu indah," kataku.

Amber mengangguk, dan matanya terarah ke sekeliling ruangan. Kelihatannya dia ingin pergi, tapi aku tak bisa membiarkannya pergi dulu. Aku berusaha mencari-cari pertanyaan.

" Mmm, ada kabar soal status kereta kalian?" tanyaku. " Kereta kami bahkan mungkin tidak akan pergi besok," katanya kepadaku.

" Yeah, sayang sekali," kataku sambil tersenyum. Aku menengok ke belakang ke arah Billy dan The Duke, tapi cewek itu sudah pergi. Hash brown-nya masih mengeluarkan uap panas di piring; dia menuangkan saus tomat di pinggir piring untuk mencelupkan hash browns seperti yang selalu dia lakukan, tapi dia malah pergi. Aku meninggalkanber dan berjalan menghampiri Billy. " Dia keluar," kata Billy santai.

Siapa sih orang waras yang mau pergi ke luar ketika ada hash brown, ruangan hangat, serta empat belas cheerleader di dalam?

Aku mengambil topi dari konter lalu menggunakannya sampai menutupi telinga, lalu kupasang lagi sarung tangan dan kembali melawan angin. The Duke duduk di trotoar dekat tempat parkir, di bawah kanopi, hanya setengah terlindungi dari salju yang terus turun.

Aku duduk di sebelahnya. " Kau mau kena penyakitandel lagi?"

Dia hanya mengembuskan napas dan tidak memandangku. " Kembali saja ke dalam," katanya. " Bukan masalah besar kok." " Apa yang bukan masalah besar?"

" Tidak ada apa-apa. Kembali saja ke dalam."

" Nothing s Not a Big Deal sepertinya keren juga untuk nama band," kataku. Aku ingin dia memandangku supaya aku mengerti

dungnya merah, dan kupikir dia kedinginan tapi kemudian kupikir dia menangis, dan menurutku ini sangat aneh, karena The Duke tak pernah menangis.

" Aku hanya... aku hanya berharap kau tidak melakukannya di depanku. Maksudku, apa sih menariknya cewek itu? Serius, katakan apa menariknya cewek itu. Atau siapa pun dari mereka."

" Entahlah," kataku. " Kau tadi juga mengobrol dengan Billy Talos."

The Duke mendongak ke arahku lagi, dan kali ini dia benarbenar menatapku saat bicara. " Aku memberitahu Billy bahwa sepertinya aku tidak bisa pergi ke pesta dansa dengannya karena aku tidak bisa memaksa diri berhenti menyukai seseorang."

Pemahaman itu perlahan-lahan datang. Aku menoleh ke arahnya, dan dia berkata, " Aku tahu mereka suka terkikih sedangkan aku benar-benar tertawa, mereka juga menunjukkan belahan dada sedangkan aku tak punya itu. Tetapi, kau tahu kan, aku juga cewek."

" Aku tahu kok kau itu cewek," kataku defensif.

" Sungguh? Apa yang lain juga tahu? Karena aku masuk ke D and D aku dipanggil The Duke. Aku juga disebut sebagai salah satu dari tiga orang majus, yang laki-laki semua. Kalian menyebutku gay ketika kubilang James Bond itu seksi. Dan kau tidak pernah melihatku seperti kau melihat cewek-cewek lain, kecuali& terserahlah. Terserah terserah terserah. Waktu kita berjalan ke sini sebelum si kembar datang, aku sempat berpikir kau melihatku sebagai cewek sungguhan, dan kupikir, hei, mungkin Tobin bukan orang paling brengsek di dunia. Tetapi lalu kau pergi dan aku putus dengan Billy dan kulihat kau malah bicara dengan cewek lain, dengan gaya yang tidak pernah kautunjukkan saat bicara denganku. Kemudian pada saat itu, dengan terlambat, aku paham. Hal

Duke. Kami sama-sama memikirkan hal yang tidak ingin kami pikirkan. The Duke menyukaiku. Aku menunduk. Aku harus benar-benar memikirkannya sebelum aku memandang cewek itu. Oke. Oke. Aku akan menatap The Duke dan kalau dia balas menatapku, aku bakal memperhatikannya baik-baik kemudian menunduk lagi dan memikirkan semuanya dari awal. Hanya satu tatapan.

Aku menoleh ke arah cewek itu. Kepalanya meneleng ke arahku, matanya yang penuh warna tidak berkedip. Dia menggigit bibirnya yang pecah-pecah. Ada seuntai rambutnya keluar dari topi, dan hidungnya berwarna pink, lalu dia menahan bersin. Aku sebetulnya tidak ingin berhenti memandang ke arahnya, tapi akhirnya aku berhenti juga. Aku kembali memandang tempat parkir yang dipenuhi salju di bawah kakiku.

" Maukah kau mengatakan sesuatu, please?" tanyanya. Aku bicara ke arah tanah. " Sejak dulu aku punya pendapat bahwa kau tak boleh mengorbankan cerita tengah yang bahagia dengan harapan mendapatkan akhir yang bahagia, karena aku tak percaya ada akhir yang bahagia. Kau tahu maksudku? Banyak sekali risikonya."

" Kau tahu kenapa aku mau ikut? Kenapa aku mau mencoba lagi naik ke bukit, Tobin? Maksudku, tentu kau tahu alasannya bukan karena aku peduli jika Keun harus nongrong dengan si Kembar Reston atau karena aku ingin melihatmu terpana melihat para cheerleader itu."

" Kupikir karena Billy," kataku.

Dia benar-benar menatapku sekarang, dan aku bisa melihat napasnya di sekitarku di tengah udara dingin, mengelilingiku. " Aku ingin kita bertualang. Aku suka itu. Karena aku bukan entah-siapanama-cewek-itu. Menurutku tidak terlalu sulit berjalan 6,5 kilometer di tengah salju. Aku menginginkannya. Aku menyukainya.

lebih banyak. Lebih dan lebih! Salju membuat semuanya jadi lebih menarik. Mungkin kau tidak seperti itu, tapi kupikir kau seperti itu."

" Aku juga ingin itu," kataku, setengah menyela, tetap tidak me- mandangnya karena takut terhadap apa yang bakal kulakukan kalau aku menatap cewek itu. " Aku ingin salju tetap turun."

" Ya? Bagus. Sangat bagus. Lalu bagaimana kalau salju yang lebih banyak membuat kemungkinan akhir yang bahagia semakin tipis? Oke, mobilnya bermasalah lalu kenapa! Mungkin pertemanan kita akan rusak lalu kenapa? Aku pernah mencium cowok ketika tak ada yang dipertaruhkan dalam hubungan kami, tapi itu hanya membuatku ingin mencium ketika segalanya..."

Aku mendongak saat mendengar kata " tak ada yang dipertaruhkan," dan aku menunggu hingga kata " segalanya" , lalu aku tak sanggup menunggu lagi. Setelah itu tanganku ada di belakang kepalanya, bibirnya menyentuh bibirku, udara dingin pergi dan digantikan kehangatan bibir The Duke, lembut dan manis dan mengan- dung sedikit rasa hash brown. Lalu aku membuka mata dan sarung tanganku menyentuh kulit wajahnya yang pucat karena kedinginan, dan inilah pertama kalinya aku mencium cewek yang kucintai. Ke- tika kami menjauh, aku menatapnya malu dan berkata, " Wow," lalu dia tertawa dan menarikku mendekat lagi, kemudian dari atas dan belakang aku mendengar suara ding dong pada pintu Waffle House yang membuka.

" SINTING. SIALAN. APA. YANG. TERJADI. DI SINI." Aku hanya mendongak pada JP, mencoba menghapus senyuman konyol dari wajahku.

" KEUN!" teriak JP, " CEPAT KE SINI."

Keun muncul dari pintu, menunduk ke arah kami. JP berteriak lagi, " KATAKAN APA YANG BARU SAJA KALIAN LAKU
" Mmm," kataku.

" Kami berciuman," kata The Duke. " Itu gay sekali," kata Keun. " AKU KAN CEWEK."

" Ya, aku tahu, tapi Tobin juga cewek," kata Keun. JP masih berteriak, tak bisa mengontrol suaranya. " APA HANYA AKU ORANG DI DUNIA INI YANG PEDULI TERHADAP PERSAHABATAN KITA? TIDAK ADA LAGI YANG MAU MEMIKIRKAN KEPENTINGAN KELOMPOK KITA?!" " Sana pergi dan pandangi para cheerleader itu," kata The Duke. JP menatap kami sebentar lalu tersenyum. " Pokoknya jaga sikap kalian, jangan jadi cengeng pada satu sama lain." Dia berbalik dan kembali masuk.

" Hash brown-mu mulai dingin," kataku.

" Jika kita masuk, tidak boleh menggoda cheerleader lagi." " Aku hanya melakukannya untuk menarik perhatianmu," aku mengaku. " Boleh tidak aku menciummu lagi?" The Duke mengangguk lalu aku menciumnya. Sebenarnya aku bisa menciumnya selamanya, tetapi akhirnya di tengah ciuman itu, dia berkata, " Aku sebenarnya ingin memakan hash brown itu," jadi aku membukakan pintu dan dia merunduk di bawah tanganku, dan kami makan malam jam tiga pagi.

Kami bersembunyi di balik kulkas besi raksasa itu, sesekali kami diganggu oleh JP yang lewat dan menceritakan detail-detail lucu tentang usaha gagal dirinya dan Keun untuk mengajak bicara para cheerleader itu. Lalu The Duke dan aku tertidur di dapur Waffle House yang berubin merah, bahuku sebagai bantal The Duke, dan jaketku sebagai bantalku. JP dan Keun membangunkan kami pada

akan pergi hingga para cheerleader itu pergi untuk mengantar kami ke Duke and Duchess. Ternyata yang truk derek-nya dikendarai Tinfoil Guy. Tinfoil Guy menderek mobil kami, lalu kuparkir mobil di jalan masuk supaya penyangga rodanya tidak rusak dan menaruh setirnya di garasi. Lalu The Duke dan aku per-gi ke rumahnya dan membuka kado-kado Natal. Aku mencoba tidak terlalu menunjukkan betapa sukanya aku pada The Duke di depan orangtuanya. Setelah itu orangtuaku sampai di rumah, dan aku mengatakan mobil kami rusak saat aku mengantarkan The Duke pulang, mereka marah padaku tapi tidak terlalu lama karena ini Natal dan mereka punya asuransi, lagi pula itu hanya mobil. Aku menelepon The Duke, JP, dan Keun malam itu setelah para cheerleader akhirnya meninggalkan Waffle House dan semua sudah merasakan makan malam Natal masing-masing. Mereka semua mampir ke rumahku, lalu kami menonton dua film James Bond, terjaga sepanjang malam mengingat pengalaman buruk kami. Lalu kami tertidur, kami berempat dalam empat kantong tidur seperti yang biasa kami lakukan sejak dulu. Tidak ada yang berbeda kecuali sekarang aku tidak benar-benar tidur, The Duke juga, dan kami saling menatap sampai akhirnya memutuskan untuk bangun pada jam 4.30 dan berjalan 1,6 kilometer di tengah salju untuk pergi ke Starbucks, hanya kami berdua. Aku berhasil mengatasi menunggu satu orang Prancis yang sepertinya bingung akan sistem pemesanan Starbucks dan akhirnya mendapatkan segelas latte yang mengandung kafein yang sangat kubutuhkan, The Duke dan aku duduk bersebelahan di kursi ungu yang empuk, meluruskan kaki dan tangan di kursi-kursi itu, begitu capek sampai-sampai aku nyaris tak bisa tersenyum. Kemudian kami mengobrol tentang hal-hal tidak penting, The Duke masih sangat mahir dalam hal itu, lalu kami terdiam sesaat dan dia memandangku dengan matanya yang

kata, " Ya Tuhan, aku mencintaimu," lalu dia berkata, " Oh," dan aku menjawab, " Oh yang baik, kan?" dan dia berkata, " Oh terbaik yang pernah ada," dan aku menaruh latte-ku di meja, diselimuti bagian tengah yang bahagia dalam petualangan terbaik hidupku.

The Patron Saint of Pigs Santa Pelindung Babi

Lauren Myracle

Untuk Dad, Sarah Lee, serta kota indah di kaki gunung, Brevard, NC& yang benar-benar penuh anugerah

S ITUASIKU sekarang sungguh menyebalkan. Situasiku seka
rang, dengan pemandangan malam yang sebetulnya indah, serta tumpukan salju setebal satu setengah meter di luar jendela kamarku yang sebetulnya indah, dobel menyebalkan. Dan karena sekarang Natal, nilaiku menjadi tiga kali lipat menyebalkan. Masih ditambah fakta bahwa aku sedih, hampa, dan penuh nestapa karena Jeb tidak ada. Ding-ding-ding! Lonceng di puncak Skala Menyebalkan berdering senyaring-nyaringnya.

Bukannya lonceng Natal, aku malah mendengar lonceng menyebalkan. Keren.

Wow, kau seperti puding figgy, aku membatin, berharap Dorie dan Tegan cepat sampai ke sini. Aku tidak tahu puding figgy itu apa, tapi kedengarannya seperti makanan penutup yang meringkuk kesepian di ujung meja prasmanan karena tidak seorang pun menginginkannya. Sama sepertiku. Dingin, sendirian, dan kemungkinan bergelambir.

Grrrrrr. Aku benci mengasihani diri sendiri, itu sebabnya aku

Satu

reka datang. Tapi mereka kan belum datang, jadi aku tidak bisa mengontrol diriku untuk tidak mengasihani diri sendiri. Karena aku rindu sekali pada Jeb.

Karena kami baru seminggu putus, lukanya masih perih menganga, dan kesalahan tololku yang membuat kami putus.

Karena aku sudah menulis e-mail (konyol?) pada Jeb, memintanya untuk tolong, tolong, tolong sekali menemuiku di Starbucks kemarin supaya kami bisa bicara. Tapi dia tidak pernah muncul. Dia bahkan tidak menelepon.

Dan karena setelah menunggu hampir dua jam di Starbucks, aku begitu membenci hidupku dan diriku sendiri sehingga aku langsung menyeberangi lapangan parkir ke Fantastic Sam dan dengan penuh airmata meminta tukang salon untuk memangkas rambutku sependek mungkin serta mengecat sisanya dengan warna pink. Dia melakukannya, karena kenapa juga dia peduli kalau aku melakukan bunuh diri rambut?

Jadi tentu saja aku mengasihani diri sendiri: aku ayam pink gundul yang patah hati dan muak pada diri sendiri.

" Wow, Addie," kata Mom kemarin sore saat aku akhirnya pulang. " Rambut baru yang lumayan& ekstrem. Diwarnai pula. Rambut pirangmu yang indah."

Aku meliriknya dengan tatapan tolong-tembak-aku-sekarang dan ibuku merespons dengan memiringkan kepala memberi peringatan yang artinya, Awas ya, Sayang, aku tahu kau sakit hati, tapi itu bukan berarti kau boleh melampiaskannya padaku.

" Sori," kataku. " Kurasa aku belum terbiasa dengan rambut baru ini."

" Kayaknya sih& itu memang sulit. Apa yang mendorongmu melakukannya?"

" Entahlah. Aku butuh perubahan."

Ceri, makanan penutup Malam Natal khas keluarga kami, dan aroma asam ceri-ceri yang dilumatkan membuat mataku perih.

" Apa ini ada hubungannya dengan kejadian di pesta Charlie Sabtu lalu?" tanya ibuku.

Kedua pipiku terasa panas. " Aku tidak tahu maksud Mom." Aku mengerjap. " Lagi pula, dari mana Mom tahu soal kejadian di pesta Charlie?"

" Sayang, hampir setiap malam kau menangis sampai ketiduran& "

" Tidak tuh."

" Selain itu kau mengobrol di telepon dengan Dorrie atau Tegan dua puluh empat jam-seminggu."

" Mom menguping percakapan teleponku?" seruku. " Kau menguping percakapan anak perempuanmu sendiri?!"

" Namanya bukan menguping kalau itu memang kedengaran keras-keras."

Aku melongo menatapnya. Ibuku pura-pura terlihat keibuan dengan celemek Natal, membuat Jubilee Ceri berdasarkan resep lama keluarga kami, padahal dia& padahal dia&

Aku tidak tahu seperti apa ibuku itu, yang jelas menguping pembicaraan orang lain benar-benar tindakan buruk, salah, dan jahat.

" Jangan bilang dua puluh empat jam-seminggu ," kataku. " Mom terlalu tua untuk bilang dua puluh empat jam-seminggu ."

Mom tertawa, dan itu membuatku makin kesal, terutama karena ia menahan rasa gelinya dan menatapku ala ibu-ibu yang seakan berpikir, Kasihan, dia masih remaja. Dia memang harus melalui episode patah hati.

" Oh, Addie," kata ibuku. " Apa kau sedang menghukum dirimu sendiri, Sayang?"

sampaikan pada seseorang yang baru potong rambut!" Lalu aku melesat ke kamarku untuk menangis sendirian.

24 jam kemudian, aku masih di kamar. Aku memang sempat keluar untuk makan Jubilee Ceri semalam, juga untuk membuka kado-kado tadi pagi, tapi aku tidak menikmatinya. Hatiku sama sekali tidak dipenuhi kebahagiaan dan keajaiban Natal. Aku bahkan tidak yakin aku masih percaya pada kebahagiaan dan keajaiban Natal.

Aku berguling dan menyambar iPod dari meja samping tempat tidur. Aku memilih daftar lagu " Hari Kelabu" yang berisi semua lagu sedih yang ada di dunia ini, dan menekan play. iPenguin-ku dengan muram mengepak-ngepakkan sayap saat lagu " Fools in Love" berkumandang dari tubuh plastiknya.

Lalu aku kembali ke menu utama dan mencari folder " Foto" . Aku sadar sedang memasuki wilayah berbahaya, tapi aku tidak peduli. Aku memilih album yang kuinginkan dan membukanya.

Foto pertama yang muncul adalah foto pertama Jeb yang kujepret diam-diam dengan ponsel sekitar setahun lalu. Hari itu juga bersalju dan dalam foto itu ada butiran-butiran salju yang tersang- kut di rambut gelap Jeb. Ia mengenakan jaket denim meskipun saat itu suhunya dingin membeku. Aku teringat waktu itu aku berpikir mungkin ia dan ibunya tidak punya cukup uang. Kudengar mereka baru pindah ke Gracetown dari Lahan Khusus Indian Cherokee sekitar 160 kilometer dari sini. Menurutku itu keren. Jeb terlihat sangat eksotis.

Jeb dan aku sama-sama kelas dua SMA dan kami ada di kelas bahasa Inggris yang sama. Ia seksi dan membuat jantung berdebar dengan rambut gondrong hitam yang diekor kuda dan mata gelap. Cowok itu juga sangaaat serius, konsep baru buatku, karena aku sendiri sering sekali bertingkah konyol. Setiap hari ia membungkuk

mengagumi betapa berkilaunya rambutnya serta betapa seksi tulang pipinya. Tapi ia sangat pendiam dan terlihat menjauhi orang lain, bahkan saat aku bersikap sangat ceria.

Saat aku membahas masalah pelik tersebut dengan Dorrie dan Tegan, Dorrie berkata mungkin Jeb merasa tidak nyaman di kota kecil di kaki gunung ini yang semua penduduknya asli orang Selatan, Kristen taat, dan berkulit putih.

" Semua itu kan tidak salah," kataku membela diri karena aku termasuk dalam ketiga kategori tersebut.

" Aku tahu," kata Dorrie. " Aku hanya ingin bilang, mungkin cowok itu merasa seperti orang luar. Mungkin lho." Sebagai salah satu dari dua sebut saja dua anak Yahudi di seluruh SMA kami, kurasa Dorrie tahu betul yang ia bicarakan.

Aku jadi berpikir mungkin Jeb memang merasa seperti orang luar. Apa mungkin itu sebabnya ia selalu makan siang dengan Nathan Krugle, yang jelas tersisih gara-gara terus-terusan memakai koleksi T-shirt Star Trek? Apa itu sebabnya, pagi-pagi sekali, sebelum sekolah dibuka, Jeb bersandar di tembok sambil memasukkan kedua tangan ke saku dan bukan bergabung dengan kami semua sambil bergosip soalerican Idol? Apa mungkin itu sebabnya ia tidak tertarik pada pesona-pesonaku di kelas bahasa Inggris, karena ia merasa terlalu tidak nyaman untuk membuka diri?"

Semakin aku memikirkan hal itu, aku semakin cemas. Seharusnya tidak seorang pun merasa seperti orang luar di sekolahnya sendiri terutama cowok sekeren Jeb, apalagi kami semua, temanteman sekelasnya, sangat ramah.

Setidaknya Dorrie, Tegan, dan teman-teman kami yang lain. Kami semua benar-benar ramah. Murid-murid tukang madat tidak ramah. Mereka kasar. Nathan Krugle juga tidak ramah, dia anak yang getir dan pendendam. Jujur, aku tidak terlalu senang memikir
Lalu suatu hari, setelah terobsesi memikirkan hal itu selama ribuan kali, kecemasanku berubah menjadi rasa capek. Maksudku, serius deh, kenapa Jeb lebih memilih menghabiskan waktu dengan Nathan ketimbang aku?

Jadi hari itu, di kelas, aku menyodoknya dengan bolpen sambil berkata, " Yapun, Jeb. Senyum sedikit kek."

Ia tersentak kaget sampai bukunya jatuh ke lantai. Aku langsung merasa tidak enak. Aku berpikir, Bagus, Addie, bagaimana kalau lain kali kau sekalian saja meniup trompet di telinganya?

Tapi Jeb tersenyum simpul dan ada sorot geli di matanya. Selain itu ada hal lain hal lain yang membuat jantungku berdegup lebih kencang. Wajah Jeb merah merona dan ia buru-buru membungkuk untuk memungut bukunya.

Oh, aku tiba-tiba tersadar. Dia rupanya pemalu.

Sambil bersandar ke bantal, aku menatap foto Jeb di iPod sampai rasa perihnya tidak tertahankan lagi.

Aku memencet tombol di tengah dan foto berikutnya muncul. Itu foto dari Perayaan Hollyhock Malam Natal tahun lalu, hanya dua minggu setelah aku meminta Jeb untuk tersenyum sedikit. Karena Malam Natal selalu terasa sangat panjang, karena semua orang menunggu Natal dengan tidak sabar, aku dan teman-teman datang ke Hollyhock Park sekadar untuk nongkrong sebentar di luar rumah. Aku menyuruh salah satu teman cowokku menelepon Jeb, dan ajaibnya, dia mau ikut.

Kami akhirnya perang salju, cowok lawan cewek, dan itu sangat menyenangkan. Dorrie, Tegan, dan aku mendirikan benteng salju dan membangun sistem distribusi bola salju: Tegan membuat, aku menumpuk, dan Dorrie melempari musuh-musuh kami dengan ketepatan sempurna. Kami berhasil mengalahkan kelompok cowok sampai Jeb diam-diam memutar ke belakang kami dan menyerang
masuk ke hidungku dan sakitnya mintapun, tapi saking kegirangannya aku tidak peduli. Aku berguling, tertawa-tawa, dan wajahnya dekat sekali, hanya beberapa sentimeter dari wajahku.

Itulah momen dalam foto yang saat itu dijepret Tegan dengan ponselnya. Jeb lagi-lagi mengenakan jaket denim warna biru pudar itu sangat seksi dengan kulit gelapnya dan ia juga tertawa. Saat menatap wajah-wajah bahagia kami, aku ingat betul waktu itu Jeb tidak langsung menyingkir. Ia berbaring sambil bersandar ke siku agar tidak menggencetku, dan tawanya pelan-pelan mereda sampai ke momen yang membuatku melayang.

Setelah perang salju, Jeb dan aku pergi minum mocha latte bersama, hanya kami berdua. Aku yang mengusulkan, tapi Jeb langsung menjawab ya tanpa setitik pun keraguan. Kami ke Starbucks dan duduk di sofa berlengan ungu yang sama dekat pintu masuk tempat itu. Aku girang dan gugup; Jeb malu-malu. Lalu ia tidak terlihat malu lagi, atau mungkin hanya sedikit lebih pede, dan ia menggenggam tanganku. Saking kagetnya, aku sampai menumpahkan kopiku.

" Yapun, Addie," katanya. Jakunnya bergetar. " Aku boleh menciummu, kan?"

Jantungku berdegup tidak keruan, dan tiba-tiba akulah yang jadi malu-malu, pokoknya gila banget deh. Jeb mengambil cangkir dari tanganku dan meletakkannya di meja, lalu membungkuk dan mengecup lembut bibirku. Kedua matanya, saat ia akhirnya mundur, kelihatan sehangat lelehan cokelat. Ia tersenyum dan aku yang meleleh menjadi cokelat cair.

Itu Malam Natal paling sempurna seumur hidupku. " Hei, Addie!" seru adik lelakiku dari lantai bawah, tempat ia dan Mom dan Dad sedang bermain Wii hadiah dari Santa. " Mau bertinju denganku?"

" Main tenis mau?" " Tidak."

" Boling?"

Aku mengerang. Wii tidak membuatku bersorak " Wii!" , tapi umur Chris baru delapan tahun. Adikku itu hanya berusaha menghibur.

" Mungkin nanti," seruku.

" Oke," katanya, terdengar langkah-langkahnya menjauh. Aku mendengarnya memberitahu orangtua kami, " Addie bilang tidak." Kesedihanku makin dalam. Mom, Dad, dan Chris ada di lantai bawah bersama, dengan gembira memakai sarung tinju dan menonjok muka satu sama lain, sementara aku murung dan sendirian.

Memangnya itu salah siapa? aku membatin. Oh, diamlah, jawabku sendiri.

Aku melihat foto-foto lain:

Jeb berpose sambil tersenyum lebar memegang Big Cup Reese karena ia tahu itu favoritku dan ia membelikannya untukku.

Jeb, pada musim panas, bertelanjang dada di pesta berenang Megan Montgomery. Yapun, dia tampan sekali.

Jeb, terlihat seksi penuh busa di acara cuci mobil untuk penggalangan dana yang diadakan Starbucks. Aku menatap fotonya dan perutku serasa meleleh. Itu hari yang sangat menyenangkan bukan hanya menyenangkan, tapi juga keren karena tujuannya baik. Christina, manajer shift-ku di Starbucks, melahirkan lebih cepat, dan kami ingin membantunya membayar biaya rumah sakit yang tidak termasuk dalam asuransi.

Jeb bergabung dengan sukarela dan dia benar-benar seksi. Dia tiba jam sembilan pagi dan terus bekerja sampai jam tiga sore, menyikat dan bekerja keras sampai dia benar-benar terlihat seperti

Seluruh Semesta. Dia berbuat lebih daripada sekadar melakukan tanggung jawab sebagai pacar, dan itu membuatku senang. Setelah mobil terakhir meninggalkan lapangan parkir, aku merangkul Jeb dan mendongak menatapnya.

" Kau tidak perlu bekerja sekeras itu," kataku. Aku menghirup aroma busa sabun di tubuhnya. " Kau sudah membuatku terpesona sejak mobil pertama."

Aku ingin bersikap menggoda manja, seperti adegan di Jerry Maguire saat Rene Zellweger berkata pada Tom Cruise, " Kau sudah membuatku terpesona saat berkata halo ." Tapi Jeb mengerutkan dahi dan berkata, " Oh ya? Hmm, bagus deh. Tapi aku tidak terlalu paham maksudmu."

" Ha-ha," kataku, mengira ia ingin lebih banyak dipuji. " Menurutku kau manis sekali karena mencuci mobil seharian. Kalau kau melakukannya untuk membuatku kagum& kau tidak perlu bekerja sekeras itu. Itu saja."

Kedua alisnya terangkat. " Kau mengira aku mencuci semua mobil itu untuk membuatmu kagum?"

Kedua pipiku merah padam saat aku sadar Jeb tidak bercanda. " Hm& sekarang aku tidak berpikir begitu lagi kok."

Saking malunya, aku berusaha mundur menjauh. Dia menahanku. Dia mengecup puncak kepalaku dan berkata, " Addie, ibuku membesarkanku sendirian."

" Aku tahu."

" Jadi aku paham betapa sulitnya itu. Itu saja."

Aku masih sedikit cemberut. Dan memang itu konyol sekali. Tapi meski aku tahu niat Jeb menolong Christina sungguh baik, aku berharap ada sedikiiit saja motivasinya yang berhubungan denganku.

Jeb menarikku ke pelukannya. " Tapi aku senang aku membuat
merasakan kehangatan dada Jeb di balik kaus basahnya. " Aku sangat ingin membuat pacarku kagum."

Aku belum ingin berhenti ngambek. " Jadi aku pacarmu, ya?" Jeb tertawa, seakan aku baru saja bertanya apa langit masih biru. Aku tidak membiarkannya lolos begitu saja, aku mundur dari pelukannya dan menatapnya dengan ekspresi Jadi bagaimana?

Kedua mata hitamnya berubah serius dan ia menggenggam kedua tanganku. " Ya, Addie, kau pacarku. Aku ingin kau jadi pacarku terus."

Di kamar, aku memejamkan mata rapat-rapat karena kenangan itu terlalu pedih. Terlalu pedih, terlalu menyakitkan, rasanya seakan aku kehilangan sebagian diriku, dan memang begitu kenyataannya. Aku menekan tombol off iPod dan layarnya berubah gelap. Musik berhenti dan iPenguin berhenti menari. Penguin itu meringis sedih kau-mematikanku? Dan aku berkata, " Kau dan aku sama-sama sedih, Pengy."

Aku membenamkan diri ke bantal dan menatap langit-langit, mengingat-ingat lagi bagaimana hubunganku dengan Jeb memburuk. Bagaimana aku berhenti jadi pacarnya. Aku tahu benar jawabannya (ih, menjijikkan, aku tidak mau mengingat-ingat itu lagi), tapi aku masih terobsesi menganalisis hal-hal apa yang membuat kami sampai di titik itu, karena sebelum pesta Charlie pun hubungan kami tidak terlalu asyik lagi. Aku tahu Jeb bukannya tidak menyayangiku. Aku tahu dia sayang. Sedangkan aku, aku sangat sayang padanya sampai hatiku terasa sakit.

Kurasa yang menjadi kendala dalam hubungan kami adalah cara kami menunjukkan rasa sayang. Atau untuk kasus Jeb, cara dia tidak menunjukkannya setidaknya itulah yang kurasakan. Menurut Tegan, yang sering sekali menonton acara Dr. Phil, Jeb dan aku berbicara dengan bahasa-bahasa cinta yang berbeda.

seperti waktu dia memberiku ciuman pertama di Starbucks Malam Natal tahun lalu. Aku akhirnya mendapatkan pekerjaan di Starbucks yang sama sebulan setelah itu dan waktu itu aku berpikir, Asyik, kami pasti bisa berciuman seperti itu lagi dan lagi dan lagi.

Tapi itu tidak pernah terjadi, tidak pernah satu kali pun. Meski Jeb sering mampir, dan meski bahasa tubuhku selalu menunjukkan bahwa aku ingin dia menciumku, paling-paling dia hanya menariknarik tali celemek hijauku dari seberang konter.

" Hei, cewek kopi," katanya. Manis juga sih, tapi tidak& cukup.

Itu baru hal pertama. Ada banyak hal lain, contohnya, aku ingin dia meneleponku dan mengucapkan selamat malam setiap malam, sementara dia selalu canggung karena apartemennya sempit. " Aku tidak mau ibuku mendengarku bermanja-manja di telepon," katanya. Selain itu, semua cowok lain santai saja menggandeng tangan pacar mereka di lorong sekolah, tapi setiap kali aku meraih tangan Jeb, dia hanya meremas tanganku cepat dan melepaskan genggamanku.

" Kau tidak suka memegang tanganku, ya?" kataku. " Tentu saja suka," katanya. Sorot matanya menunjukkan rasa sayang yang memang terus kupancing-pancing, dan saat bicara, suaranya serak. " Kau tahu aku senang melakukannya, Addie. Aku senang bermesraan denganmu berdua saja, tapi itu kalau kita benarcuma berdua."

Untuk waktu lama, meski aku memperhatikan semua itu, aku biasanya menyimpannya dalam hati. Aku tidak ingin kelihatan seperti pacar cengeng yang gampang mengeluh.

Tapi waktu kami merayakan hari jadian enam bulan (aku menghadiahi Jeb kumpulan lagu paling romantis sedunia; dan dia tidak memberiku apa-apa), aku langsung kesal. Aku kesal sekali. Jelas
acara pacaran kami sempurna, tapi aku tidak bisa melakukannya sendirian. Kalau itu membuatku jadi kayak pacar cengeng yang gampang mengeluh, biar saja deh.

Waktu perayaan jadian enam bulan itu, Jeb tahu aku kesal dan dia terus-menerus menanyakan alasannya. Akhirnya aku menjawab, " Memangnya menurutmu kenapa?"

" Apa karena aku tidak memberimu kado?" katanya. " Aku tidak tahu kita bakal tukar-tukaran kado."

" Seharusnya kau tahu," gumamku. Esok harinya dia memberiku kalung bergambar hati dari mesin hadiah, tapi dia sudah mengeluarkan kalung itu dari telur plastik dan menaruhnya di kotak perhiasan sungguhan. Aku tidak terlalu terkesan. Esok harinya, Tegan menarikku ke samping dan memberitahuku bahwa Jeb khawatir aku tidak suka hadiahnya karena aku tidak memakai kalung itu.

" Itu kan kalung dari Duke and Duchess," kataku. " Kalung yang sama ada di mesin hadiah koinan dekat pintu keluar. Itu kan cuma kalung mainan menangkan-hadiah-ini!"

" Apa kau sadar berapa koin dua puluh lima sen yang harus Jeb masukkan ke mesin itu sebelum mendapatkan kalungmu itu?" kata Tegan. " Tiga puluh delapan koin. Dia harus bolak-balik menukar koin ke meja layanan pelanggan."

Aku langsung resah. " Maksudmu& "

" Jeb ingin kau mendapatkan kalung yang itu. Yang ada gambar hatinya."

Aku tidak suka cara Tegan menatapku. Aku mengalihkan pandangan. " Tapi kan itu tidak sampai sepuluh dolar."

Tegan terdiam. Aku terlalu takut menatapnya. Akhirnya ia berkata, " Aku tahu kau tidak bermaksud begitu, Addie. Jangan jadi cewek jahat."

Aku tidak mau jadi cewek jahat dan tentu saja aku tidak pe
kan lebih daripada yang bisa Jeb berikan. Dan karena kami terusterusan seperti itu, kami berdua makin merasa tidak nyaman.

Mari kita maju beberapa bulan ke depan, dan coba tebak? Aku masih membuatnya kesal, dan sebaliknya. Tidak selalu, tapi yang jelas sudah lebih dari batas-batas yang sehat, atau apalah itu.

" Kau ingin mengubahku menjadi cowok yang bukan aku," kata Jeb, pada malam sebelum kami putus. Kami duduk dalam mobil Corolla ibunya di luar rumah Charlie, tapi kami belum masuk. Seandainya bisa memutar waktu sampai ke malam itu, aku akan memilih untuk tidak pernah masuk. Sungguh.

" Bukan begitu," kataku padanya. Aku menemukan lubang di jok yang kududuki dan menyelipkan jari-jariku ke busa karet itu. " Memang begitu, Addie," kata Jeb.

Aku mengubah taktik. " Oke, kalaupun itu benar, memangnya itu parah banget, ya? Semua orang selalu berubah demi pasangan mereka, kan? Dalam kisah cinta mana pun, dalam kisah cinta hebat mana pun, kau akan melihat bahwa orang-orang harus mau berubah kalau mereka ingin hubungan mereka berhasil. Misalnya dalam Shrek, waktu Fiona bilang ke Shrek dia sudah muak dengan semua sendawa, kentut, dan semuanya. Shrek waktu itu bilang, Aku ini ogre. Terima saja. Dan Fiona berkata, Bagaimana kalau aku tidak terima? Lalu Shrek mengambil ramuan dan mengubah dirinya menjadi pangeran tampan. Dia melakukannya karena cinta pada Fiona."

" Itu di Shrek Dua," kata Jeb. " Bukan Shrek yang pertama." " Terserah deh."

" Setelah itu Fiona sadar dia tidak ingin melihat Shrek jadi pangeran tampan. Dia ingin Shrek kembali menjadi ogre." Aku mengernyit. Seingatku tidak begitu.

" Intinya, Shrek mau berubah," kataku.

" Cewek juga bisa berubah," kataku. " Terserah deh. Maksudku, kalau kau sayang pada seseorang, kau harus mau menunjukkannya. Kita hanya punya satu kesempatan dalam hidup, Jeb. Satu kesempatan." Kesedihan membuat dadaku terasa sesak. " Masa kau tidak bisa mencoba, kalaupun alasannya hanya karena hal itu penting buatku?"

Jeb berpaling dan menatap ke luar jendela pengemudi. " Aku& aku ingin kau mengikutiku ke pesawat dan menyanyikan lagu sambil menuntunku ke kabin kelas satu, seperti yang Robbie lakukan untuk Julia di The Wedding Singer," kataku. " Aku ingin kau membangun rumah untukku, seperti yang Noah lakukan untuk Allie di The Notebook. Aku ingin kau mengajakku terbang melintasi samudra di haluan kapal! Seperti cowok di Titanic itu, ingat kan?"

Jeb menoleh. " Cowok yang tenggelam itu?"

" Tentu saja aku tidak ingin kau tenggelam. Ini bukan soal tenggelam. Maksudku kau harus sangat mencintaiku sehingga rela tenggelam kalau perlu." Suaraku tersekat. " Aku ingin& aku ingin kau menunjukkan cintamu dengan cara yang hebat."

" Addie, kau tahu aku cinta padamu," kata Jeb.

" Atau cara yang medium juga boleh deh," kataku, masih mendesak soal itu.

Ekspresi putus asa dan kalut berkecamuk di wajah Jeb. " Tidak bisakah kau percaya pada cinta kita tanpa memintaku membuktikannya setiap detik?"

Rupanya tidak, seperti kejadian setelah itu. Bukan, tepatnya bukan kejadian, tapi perbuatanku setelah itu. Karena aku menyebalkan dan aku memang brengsek, dan karena aku sempat minum bir se- harga 38 kali 25 sen, atau bahkan lebih. Atau mungkin bukan 38, tapi yang jelas banyak. Meski aku juga tidak bisa menyalahkan hal

Jeb dan aku masuk ke pesta sendiri-sendiri karena kami masih bertengkar. Aku akhirnya ke ruang bawah tanah bersama Charlie dan cowok-cowok lain sementara Jeb tetap di lantai atas. Belakangan kudengar Jeb ternyata bergabung dengan anak-anak penggila teater dan menonton An Affair to Remember di TV layar datar orangtua Charlie. Itu ironi parah yang seharusnya lucu, tapi kenyataannya tidak.

Di ruang bawah tanah, aku bermain tantangan 25 sen dengan cowok-cowok, dan Charlie mendorongku untuk terus main karena Charlie memang jahat. Setelah permainan itu selesai, Charlie bertanya padaku apa kami bisa mengobrol di suatu tempat, dan seperti orang tolol, aku terhuyung patuh mengikutinya ke kamar kakak cowoknya. Aku sedikit kaget karena sebelumnya Charlie dan aku tidak pernah bicara berdua saja. Tapi Charlie bagian dari kelompok cowok yang sering nongkrong bareng kami. Charlie itu arogan, sok sopan, dan secara garis besar brengshaik, meminjam istilah cowok Korea di sekolah, tapi memang begitulah Charlie. Karena tampangnya mirip model Hollister, ia bisa bersikap brengshaik seenaknya.

Di kamar kakaknya, Charlie menyuruhku duduk di tempat tidur dan berkata bahwa ia butuh nasihat soal Brenna, teman sekelas kami yang kadang-kadang jalan dengannya. Dia menatapku dengan sorot aku-tahu-aku-ganteng-dan-kegantenganku-bakal-kumanfaatkan sambil berkata bahwa Jeb beruntung sekali bisa pacaran dengan cewek sehebat aku.

Aku mendengus dan berkata, " Ya, terserah deh."

" Kalian sedang ada masalah, ya?" tanya Charlie. " Tolong jawab tidak. Kalian tuh pasangan yang serasi banget."

" Benar banget. Makanya sekarang Jeb di lantai atas, entah sedang apa, sementara aku di bawah sini denganmu." Kenapa aku ada di lantai bawah denganmu? aku bertanya-tanya waktu itu. Dan

Charlie mendesak menanyakan detail dengan sikap simpatik dan penuh pesona, dan saat aku berkaca-kaca, dia mendekat untuk menghiburku. Aku protes, tapi Charlie menekankan bibirnya ke bibirku dan lama-lama aku menurut. Pokoknya saat itu ada cowok yang memperhatikanku " cowok yang cakep banget dan karismatik" siapa yang peduli kalau dia cuma main-main?

Aku peduli. Bahkan ketika mengkhianati Jeb saat itu, aku peduli. Aku mengulang-ulang momen itu di kepalaku dan itulah yang paling terasa pedih. Apa yang ada di otakku waktu itu? Jeb dan aku sedang ada masalah, tapi aku masih mencintainya. Aku mencintainya waktu itu dan aku mencintainya sekarang. Aku akan selalu mencintainya.

Tapi kemarin, saat ia tidak datang ke Starbucks, ia mengirimkan pesan yang sangat lantang dan jelas bahwa ia tidak mencintaiku lagi.

L EMPARAN kerikil kecil di kaca jendelaku mengusik acaraku

mengasihani diri sendiri. Aku butuh semenit penuh untuk kembali ke dunia nyata. Ada lemparan lagi dan aku menjulurkan leher dari tempat tidur. Tegan yang berpakaian tebal serta Dorie yang berpakaian lebih tebal lagi berdiri di tumpukan salju. Tangantangan mereka yang bersarung tangan tebal melambai. Dorie memanggilku dengan suara teredam, memintaku turun.

Aku bangkit dan rasa ringan di kepalaku mengingatkanku pada bencana rambutku. Parah. Aku menatap sekeliling, menyambar selimut penutup tempat tidur, lalu melilitkannya di kepala seperti tudung. Sambil menahan kain selimut di bawah dagu, aku berjalan ke jendela dan menyentakkannya sampai terbuka.

" Ayo turun ke lantai dansa!" teriak Dorrie, suaranya terdengar lebih keras.

" Itu bukan lantai dansa," kataku. " Itu salju. Salju dingin dan beku."

" Pemandangannya indah sekali," kata Tegan. " Sini lihat." Katakatanya terhenti. Ia memperhatikanku lekat-lekat dari balik topi

" Hmmm," kataku, melambai menyuruh mereka pergi. " Pulang saja deh. Aku lagi sedih. Nanti kalian ketularan."

" Jangan coba-coba ya," kata Dorrie. " Bukti A: Kau menelepon dan bilang bahwa kau sedang krisis. Bukti B: Kami sudah datang. Sekarang turunlah kemari dan nikmati keajaiban alam ini." " Tidak dulu deh."

" Kau pasti kembali ceria. Sumpah." " Tidak mau. Sori."

Dorrie memutar bola mata. " Cengeng banget sih. Ayo, Tegan." Mereka lenyap dari pandanganku dan beberapa detik kemudian, bel pintu berbunyi. Di kamar, aku mengatur selimutku agar rapi dan terlihat lebih mirip sorban. Aku duduk di ujung tempat tidur, berpura-pura menjadi musafir gurun dengan mata hijau berbinar dan ekspresi sendu kesepian. Aku tahu banyak soal kesepian.

Obrolan ala orangtua samar-samar terdengar dari lorong " Selamat Natal! Kalian berjalan sejauh itu di tengah salju?" yang menyebalkan, Dorrie dan Tegan memilih untuk menjawabnya. Obrolan Natal bernada ceria itu membuatku makin sebal dan bertambah sebal sampai-sampai aku rasanya ingin berteriak ke bawah, " Hei, Cewek-Cewek! Orang sedih yang ingin kalian hibur ada di atas sini nih!"

Akhirnya dua pasang kaki berbalut stoking menaiki tangga. Dorrie yang masuk duluan.

" Fiuhh," katanya, menyibak rambut dari leher sambil mengipasngipas wajah. " Kalau aku tidak duduk, aku bakal ceprotz."
Dalam Derai Salju Let It Snow Karya Maureen Johnson, John Green, Lauren Myracle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dorrie sering sekali berkata " Aku bakal ceprotz" . Itu ekspresi favoritnya yang berarti dia bakal meledak. Dia juga menyukai Cheerwine dan bagel, dan senang sekali berpura-pura dia datang dari Negeri Asal, kurasa itu tempat semua orang Yahudi tinggal sebelum mereka datang keerika. Dorrie sangat bangga menjadi

dengan istilah " keriting Yahudi" . Aku kaget sekali waktu dia bilang begitu, baru setelah itu tertawa. Begitulah Dorrie.

Tegan muncul di belakangnya dengan pipi merah merona. " Yapun, aku keringatan banget," katanya, membuka jaket flanel yang ia pakai di atas T-shirt. " Berjalan kemari nyaris membunuhku."

" Silakan ngoceh deh," kata Dorrie. " Aku berjalan susah payah delapan ribu kilometer dari rumahku ke rumahmu!"

" Maksudmu pasti& enam meter, kan?" kata Tegan. Dia menoleh padaku. " Jaraknya segitu, kan? Enam meter dari rumah Dorrie ke rumahku?"

Aku menatapnya tajam. Kami kan bukan berkumpul untuk membahas topik membosankan soal jarak dari rumah yang satu ke rumah lain.

" Kenapa pakai tutup kepala sih?" tanya Dorrie, duduk di sebelahku.

" Tidak apa-apa," kataku, karena ternyata aku juga tidak ingin membahas soal itu. " Aku kedinginan."

" Oh, ya, pasti." Dorrie menyentakkan selimut itu dari kepalaku, lalu terkesiap kaget. " Oi. Apa yang sudah kaulakukan?" " Trims," kataku masam. " Kau sama parahnya dengan ibuku." " Woaaa," kata Tegan. " Maksudku& woaaa."

" Jadi ini krisismu?" kata Dorrie.

" Sebenarnya bukan."

" Yakin?"

" Dorrie." Tegan menepuknya. " Ini& manis kok, Addie. Kau berani sekali."

Dorrie mendengus. " Begini, kalau ada yang bilang potongan rambutmu berani, mendingan kau kembali ke salon dan minta uang kembali."

" Kau jahat padaku pada saat aku merana, jadi kau tidak boleh ada di tempat tidurku lagi." Aku mengerahkan seluruh kekuatanku dan Dorrie pun terjatuh.

" Kayaknya tulang ekorku patah deh," keluhnya.

" Kalau tulang ekormu patah, kau harus duduk di tempat duduk donat tiup."

" Aku tidak mau duduk di tempat duduk donat tiup." " Aku kan cuma bilang."

" Aku kan tidak jahat padamu saat kau merana," sela Tegan. Ia mengangguk ke arah tempat tidur. " Boleh duduk?" " Silakan saja."

Tegan duduk di tempat Dorrie tadi dan aku berbaring serta menyandarkan kepalaku di pangkuannya. Ia membelai rambutku, awalnya hati-hati, lalu lembut menenangkan.

" Jadi& apa yang terjadi?" tanyanya.

Aku tidak menjawab. Aku ingin bercerita, sekaligus tidak ingin. Lupakan soal rambut" krisis sebenarnya jauh lebih parah sehingga kalau aku bersuara, tangisku pasti meledak.

" Oh, tidak," kata Dorrie. Ekspresinya menunjukkan ekspresi yang tergambar di wajahku. " Oh, yapun."

Tegan berhenti membelai rambutku. " Apa ini masalah dengan Jeb?"

Aku mengangguk.

" Kau sempat ketemu dia?" tanya Dorrie. Aku menggeleng.

" Apa kau sempat bicara dengannya?" Aku menggeleng lagi.

Dorrie dan Tegan berpandangan, kurasa ada komunikasi rahasia di antara mereka. Tegan menyenggol bahuku, menyuruhku du
" Addie, katakan saja pada kami," katanya. " Aku bodoh sekali," bisikku.

Tegan menepuk pahaku, seakan berkata, Kami di sini. Tidak apa-apa. Dorrie mencondongkan badan ke depan dan menyandar- kan dagu ke lututku.

" Pada zaman dulu kala& " pancingnya.

" Pada zaman dulu kala, Jeb dan aku masih pacaran," kataku merana. " Aku sayang padanya, dia sayang padaku. Lalu aku mengacaukan semuanya."

" Peristiwa Charlie," kata Dorrie.

" Kami tahu," kata Tegan, menepukku beberapa kali untuk menghibur. " Tapi itu kan seminggu yang lalu. Apa krisis barunya?" " Selain rambutmu," kata Dorrie.

Mereka menungguku menjawab. Mereka menunggu lebih lama.

" Aku menulis e-mail untuk Jeb," aku mengaku.

" Tidak," kata Dorrie. Ia mebentur-benturkan dahi ke lututku, buk-buk-buk.

" Kupikir kau memberinya waktu untuk menyembuhkan luka," kata Tegan. " Kau kan bilang hal paling baik yang bisa kaulakukan adalah menjauh, sekalipun itu supersulit. Ingat, kan?" Aku mengangkat bahu putus asa.

" Dan bukannya ingin membuatmu kecewa, tapi kupikir Jeb sekarang jalan dengan Brenna," kata Dorrie.

Aku melotot padanya.

" Maksudku, tidak, pasti tidak," Dorrie meralat. " Lagi pula, kalian kan baru putus seminggu. Tapi Brenna mengejar Jeb, kan? Dan seperti yang kita tahu, Jeb tidak menyuruhnya menjauh." " Brenna jahat," kataku. " Aku benci Brenna." " Kupikir Brenna balikan dengan Charlie," kata Tegan.

masalahnya." Ia berpaling pada Tegan. " Kita ingin Brenna balikan dengan Charlie, tapi bukan itu kenyataannya."

" Oh," kata Tegan. Ia masih terlihat bingung.

Aku mendesah. " Ingat kan, Brenna membangga-banggakan diri sehari sebelum libur musim dingin? Dia bercerita berulang-ulang bahwa dia bakalan menemui Jeb selama liburan."

" Kupikir dia hanya berusaha membuat Charlie cemburu," kata Tegan.

" Kita memang berpikir begitu," kata Dorrie, " tapi siapa tahu itu rencana sungguhan& "

" Ahh," kata Tegan. " Paham. Jeb bukan cowok yang senang membuat rencana , kecuali kalau dia benar-benar serius."

" Aku tidak mau Jeb membuat rencana dengan siapa pun terutama Brenna." Aku melotot. " Cewek kulit putih gimbal palsu."

Dorrie mengembuskan napas lewat hidung. " Addie, apa aku bo- leh bilang sesuatu yang tidak ingin kaudengar?"

" Lebih baik jangan."

" Dia tetap bakal bilang," kata Tegan.

" Aku tahu," jawabku. " Aku cuma berharap dia jangan bilang apa-apa."

" Ini gara-gara liburan," kata Dorrie. " Liburan membuat orangorang kesepian."

" Aku tidak kesepian gara-gara itu!" protesku.

" Ya, pasti gara-gara itu. Liburan membuat orang-orang tiba-tiba sangat tergantung dan sangat membutuhkan orang lain dan bagimu efeknya dua kali lebih terasa karena seharusnya kau dan Jeb merayakan setahun jadian. Betul, kan?"

" Kemarin," aku mengaku. " Pada Malam Natal." " Oh, Addie," kata Tegan.

" Apa menurutmu semua pasangan di seluruh dunia selalu bersa
kalinya. " Karena semuanya penuh suasana& Natal dan penuh keajaiban. Tapi ternyata tidak dan semuanya menyebalkan?"

" Jadi soal e-mail yang kaukirimkan padanya itu," kata Dorrie dengan nada jangan-melenceng-dari-masalah. " Apa itu e-mail ucapan Selamat Natal?"

" Bukan."

" Kalau begitu, apa isinya?" Aku menggeleng. " Terlalu pedih." " Bilang saja pada kami," desak Addie.

Aku turun dari tempat tidur. " Tidak mau. Tapi aku bisa menunjukkannya dan kalian bisa membacanya sendiri."

M EREKA mengikutiku ke meja belajar, tempat MacBook pu
tihku menunggu dengan ceria, berpura-pura tidak menjadi bagian dari rasa malu yang kuderita. Stiker-stiker Puffy Chococat memenuhi permukaan MacBook itu; stiker-stiker yang seharusnya kukelupas karena semuanya dari Jeb dan sekarang kami sudah putus. Tapi aku tidak sanggup.

Aku membuka MacBook dan mengeklik Firefox. Aku masuk ke Hotmail, mengeklik folder " Saved" dan mengarahkan kursor ke e-mail memalukan itu. Perutku terasa tegang. Di subjek e-mail tertulis Mocha latte?.

Dorrie duduk di kursi komputer dan bergeser agar Tegan bisa ikut duduk. Ia mengeklik tetikus dan e-mail yang kutulis dua hari lalu muncul di layar, tertanggal 23 Desember:

Hai, Jeb. Aku takut banget saat mengetik kata-kata ini. Parah banget, kan? Kenapa aku bisa takut bicara PADAMU? Aku sudah menulis berbagai versi e-mail ini dan menghapus semuanya. Sekarang aku benar-benar muak pada diriku dalam otakku sendiri. Aku

Tiga

Meski sebetulnya ada sesuatu yang *seandainya saja* bisa ku- hapus kau tahu apa itu. Mencium Charlie adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku minta maaf. Aku sungguh sungguh minta maaf. Aku tahu aku sudah mengatakannya berulang kali, tapi kalaupun aku terus mengucapkannya selamanya, itu tetap tidak cukup.

Kau tahu, di film-film, saat seorang cowok melakukan hal bodoh seperti bermesraan dengan orang lain tanpa sepengetahuan ceweknya, lalu cowok itu biasanya bilang, " Itu bukan apa-apa! Cewek itu bukan siapa-siapa!" Kenyataannya, yang kulakukan padamu bukannya " bukan apa-apa" . Aku melukaimu dan perbuatanku tidak bisa dimaafkan.

Tapi Charlie *memang* bukan siapa-siapa. Aku bahkan tidak mau bicara soal Charlie. Dia yang mendekatiku dan semuanya terjadi& sangat cepat. Itu saja. Sementara kau dan aku, kita waktu itu baru saja berantem konyol, dan aku merasa kesepian atau apalah, atau mungkin aku cuma terlalu kesal, dan semua perhatian dari Charlie terasa menyenangkan. Waktu itu aku tidak berpikir tentang dirimu. Aku hanya berpikir tentang diriku.

Mengungkapkan semua ini benar-benar tidak menyenangkan. Aku merasa menjadi orang paling jahat sedunia.

Tapi ada satu hal yang ingin kusampaikan: aku sudah merusak semuanya, tapi aku belajar sesuatu.

Aku sudah berubah, Jeb.

Aku kangen. Aku sayang padamu. Kalau kau memberiku satu kesempatan lagi, aku akan memberikan seluruh hatiku padamu. Aku tahu kedengarannya norak, tapi itu benar.

Apa kauingat Malam Natal tahun lalu? Tidak usah dijawab. Aku tahu kau masih ingat. Aku ternyata tidak bisa berhenti mengingat malam itu. Mengingatmu. Mengingat tentang kita.

Datanglah dan minum mocha Malam Natal denganku, Jeb. Jam

tapi aku akan ada di sana, menunggumu di salah satu sofa ungu besar itu. Kita bisa ngobrol& dan mungkin lebih dari itu.

Aku tahu aku tidak layak mendapatkan apa-apa, tapi kalau kau menginginkanku, aku milikmu.

XOXO, aku

Aku tahu saat Dorrie selesai membaca karena ia menoleh menatapku sambil menggigit bibir. Sementara Tegan, ia mengeluarkan suara sedih ohhhh, bangkit dari kursi, lalu memelukku erat. Aku langsung menangis, tepatnya menangis sejadi-jadinya dengan sesenggukan sampai aku sendiri terkejut.

" Sayang!" seru Tegan.

Aku mengelap hidung dengan lengan kaus, lalu menarik napas dengan terengah.

" Oke," kataku, tersenyum penuh tangis pada mereka. " Sekarang sudah mendingan."

" Belum," kata Tegan.

" Memang belum," kataku, dan tangisku kembali meledak. Air mataku terasa panas dan asin. Aku membayangkan butir-butir air mata itu melelehkan hatiku. Ternyata tidak. Tetesan air mata itu hanya membuat ujung-ujung hatiku jadi lembek.

Tarik napas dalam-dalam.

Tarik napas dalam-dalam.

Tarik napas dalam-dalam dengan gemetar. " Apa dia membalas e-mailmu?" tanya Tegan.

" Pada tengah malam," kataku. " Bukan tengah malam semalam, tapi tengah malam sebelum Malam Natal." Aku menelan ludah, mengerjapkan mata, lalu kembali mengusap hidung. " Aku menge
balasan apa-apa. Jadi aku akhirnya berpikir, Tidak usah berharap. Kau jahat dan tentu saja dia tidak bakal membalas. Lalu aku mengecek e-mail untuk terakhir kali. Kalian paham, kan?"

Mereka mengangguk. Semua cewek di planet ini paham soal mengecek e-mail untuk terakhir kali.

" Lalu?" kata Dorrie.

Aku membungkuk di dekat mereka dan mengetuk keyboard. Jawaban Jeb muncul.

Addie& tulisnya, dan aku bisa merasakan keheningan Jeb yang menyesakkan dalam titik-titik-titik itu. Aku bisa membayangkannya berpikir dan menghela napas, jari-jarinya melayang di atas keyboard. Akhirnya atau setidaknya begitulah yang kubayangkan dia mengetik, Kita lihat nanti ya.

" Kita lihat nanti ya ?" Dorrie membaca keras-keras. " Jawabannya cuma itu, Kita lihat nanti ya ?"

" Aku tahu. Khas Jeb."

" Hmm," kata Dorrie.

" Kurasa kita lihat nanti ya tidak buruk," kata Tegan. " Dia mungkin tidak tahu harus bilang apa. Dia terlalu sayang padamu, Addie. Aku yakin begitu membaca e-mailmu hatinya langsung terlonjak senang, lalu karena dia Jeb& "

" Karena dia cowok," Dorrie menyela.

" Dia pasti berkata pada diri sendiri, Tunggu dulu. Hati-hati." " Stop," kataku. Semua itu terasa terlalu menyakitkan. " Dan mungkin itu yang dia maksud dengan kita lihat nanti ya ," Tegan tetap melanjutkan. " Dia sedang mempertimbangkan hal itu. Itu bagus, Addie!"

" Tegan& " kataku.

Ekspresinya berubah dari tatapan penuh harap ke tatapan ragu
Dorrie, yang lebih cepat mencerna segala sesuatu, berkata, " Berapa lama kau menunggu di Starbucks?"

" Dua jam."

Ia menunjuk rambutku. " Lalu setelah itu, kau langsung& ?" " Ya. Di Fantastic Sam di seberang jalan."

" Fantastic Sam?" tanya Dorrie. " Kau potong rambut putus di salon yang memberikan hadiah permen dan balon?"

" Mereka tidak memberiku hadiah permen atau balon," kataku muram. " Mereka hampir tutup. Mereka awalnya bahkan tidak mau memotong rambutku."

" Aku tidak paham," kata Dorrie. " Apa kau tahu berapa banyak cewek yang ingin sekali punya rambut seperti rambutmu?"

" Mereka boleh mengambil rambutku kalau mau mengobrakabrik tong sampah."

" Sejujurnya, aku mulai suka dengan warna pink ini," kata Tegan. " Aku bukan sekadar menghibur lho."

" Kau sekadar menghibur," kataku. " Tapi peduliat lah. Ini kan Natal dan aku sendirian& "

" Kau tidak sendirian," Tegan membantah. " Dan aku akan selamanya sendirian& "

" Bagaimana mungkin kau bisa sendirian saat kami berdua ada di sini menemanimu?"

" Dan Jeb& " Suaraku tersekat. " Jeb tidak mencintaiku lagi." " Aku tidak percaya Jeb tidak datang!" kata Tegan. " Rasanya Jeb tidak seperti itu. Kalaupun dia tidak ingin kalian balikan, dia seharusnya tetap datang, kan?"

" Tapi kenapa dia tidak ingin kami balikan?" kataku. " Kenapa?" " Apa kau yakin tidak ada yang salah?" desak Tegan. " Jangan," Dorrie memperingatkannya.

" Jangan apa?" kata Tegan. Ia berpaling padaku. " Apa kau benar
Aku mengambil ponselku dari meja samping tempat tidur dan memberikan benda itu padanya. " Nih, lihat saja sendiri."

Ia membaca log ponselku keras-keras. " Aku, Dorrie, rumah, rumah, rumah lagi& "

" Itu ibuku, ingin tahu aku di mana karena aku pergi lama seka- li."

Tegan mengernyitkan dahi. " Delapan-nol-empat, lima-lima-lima, tiga-enam-tiga-satu? Siapa nih?"

" Salah sambung," kataku. " Aku menjawab tapi tidak ada suara." Tegan memencet tombol dan menempelkan ponselku ke telinganya.

" Kau sedang apa?" tanyaku.

" Siapa pun itu, aku sedang menghubunginya. Siapa tahu saja itu Jeb yang menelepon dari ponsel orang lain?"

" Bukan," kataku.

" Delapan-nol-empat itu nomor Virginia," kata Dorrie. " Apa Jeb sedang melakukan perjalanan misterius ke Virginia?"

" Tidak," kataku. Tegan yang berharap banyak, bukan aku. Meski begitu, saat ia mengangkat jari, jantungku berdegup kencang.

" Hmm, hai," kata Tegan. " Boleh aku tahu siapa yang menelepon?"

" Kau yang menelepon, bego," kata Dorrie.

Tegan bersemu merah. " Sori," katanya ke ponsel. " Maksudku, hmm, boleh aku tahu siapa yang bicara?"

Dorrie menunggu sekitar setengah detik. " Jadi? Siapa yang bicara?"

Tegan mengibas-ngibaskan tangan yang berarti, Sssttt, kau mengganggu konsentrasiku.

" Aku?" katanya ke sosok misterius di seberang. " Tidak mungkin, itu kan gila banget. Kalaupun memang aku yang melempar ponsel

Tegan menjauhkan ponsel itu beberapa sentimeter dari telinganya. Suara-suara mungil mencicit keluar dari speaker, terdengar seperti Alvin and the Chipmunks.

" Umur kalian berapa sih?" kata Tegan. " Hei, ponselnya jangan dioper-oper dong. Aku hanya ingin tahu& Halooo, kita harus kembali ke topik& " Tegan melongo. " Tidak! Tidak akan. Aku akan menutup telepon sekarang, sana pergi& main ayunan."

Ia menutup ponsel. " Percaya tidak?" tanyanya padaku dan Dorrie dengan nada kesal. " Mereka anak-anak umur delapan tahun! Delapan! Dan mereka ingin aku memberitahu mereka bagaimana cara french-kiss dengan cowok. Mereka benar-benar harus diprogram ulang."

Dorrie dan aku berpandangan. Dorrie menoleh pada Tegan dan berkata, " Orang yang menelepon Addie itu anak umur delapan tahun?"

" Bukan cuma seorang. Ada satu grup, semuanya mengoceh terus." Tegan menggeleng. " Semoga kita tidak menyebalkan waktu kita seumuran mereka."

" Tegan?" kata Dorrie. " Kau tidak memberi kami cukup informasi, Sayang. Apa kau berhasil tahu kenapa sekelompok anak dela- pan tahun itu menelepon Addie?"

" Oh. Sori. Kurasa bukan mereka yang melakukannya karena mereka bilang itu bukan ponsel mereka. Mereka bilang mereka menemukan benda itu beberapa jam lalu saat ada seorang cewek yang melemparkannya ke tumpukan salju."

" Bisa tolong jelaskan lagi?" kata Dorrie.

Telapak tanganku terasa gatal. Aku tidak suka ada yang menyebut soal cewek. " Yeah, tolong jelaskan apa sih maksudmu."

" Begini," kata Tegan. " Kurasa mereka tidak tahu apa yang mereka bicarakan, yang jelas mereka bilang ada cewek& "

" Ya. Cewek itu bersama seorang cowok dan mereka berdua jatuh cintaaaa, dan gerombolan anak delapan tahun itu tahu karena mereka melihat si cowok memberikan ciuman basah pada si cewek. Lalu mereka memintaku mengajari mereka french-kiss!"

" French-kiss kan tidak bisa diajarkan lewat telepon," kata Dorrie.

" Lagian umur mereka delapan tahun! Mereka masih kecil! Mereka belum boleh french-kiss titik. Dan memberikan ciuman basah ? Yapun!"

" Hmm, Tegan?" kataku. " Apa cowok itu Jeb?"

Ia langsung berhenti terkikik. Aku sudah membayangkan yang terburuk. Tegan menggigit bibir, lalu menekan tombol redial di ponselku.

" Aku bukan ingin mengobrol," katanya tanpa basa-basi. Ia menjauhkan ponsel itu dari kepalanya, meringis, lalu kembali menempelkannya ke telinga. " Tunggu dulu. Sssstttt! Aku hanya punya satu pertanyaan. Cowok yang bersama cewek itu& seperti apa dia?"

Ocehan Chipmunk berkumandang dari ponsel, tapi kata-kata mereka tidak jelas. Aku memperhatikan wajah Tegan dan menggigiti kuku jempol.

" Hmm, oke," kata Tegan. " Begitu ya? Yapun, manis sekali!" " Tegan," kataku sambil mengertakkan gigi.

" Pergi dulu ya. Dah," kata Tegan, menutup ponsel. Ia menoleh padaku. " Jelas bukan Jeb, soalnya cowok itu berambut ikal. Jadi& hore! Kasus terpecahkan!"

" Kenapa kau tadi berkata yapun manis sekali ?" tanya Dorrie.

" Mereka bilang cowok itu berjoget senang dengan gaya aneh setelah mencium si cewek pelempar ponsel, lalu dia meninju udara sambil berteriak Jubilee! "

" Kenapa sih?" kata Tegan. " Masa kau tidak senang kalau ada cowok yang berteriak jubilee setelah menciummu?"

" Mungkin mereka baru saja menyantap makanan penutup," kataku.

Mereka menatapku.

Aku balas menatap mereka. Aku mengangkat kedua tangan dengan ekspresi Masa kalian tidak mengerti sih? " Dengan ceri? Jubilee Ceri?"

Dorrie kembali berpaling pada Tegan. " Tidak," katanya. " Aku tidak mau ada cowok yang berteriak jubilee soal ceriku."

Tegan terkikik tertahan, lalu terdiam begitu melihat aku tidak tertawa.

" Tapi itu bukan Jeb," ulangnya. " Itu berita bagus, kan?" Aku tidak menjawab. Aku jelas tidak mau Jeb mencium cewekcewek tak dikenal di Virginia, tapi kalau anak-anak cewek delapan tahun anggota Patroli Ciuman itu punya informasi tentang Jeb aku sangat ingin mendengarnya. Katakan saja cowok yang mereka lihat tidak berambut ikal, dan dia bukan mencium seorang cewek, melainkan& terkunci di toilet portabel atau apa. Kalau anggota Patroli Ciuman tadi menyampaikan hal itu pada Tegan, maka ya, itu pasti berita bagus karena itu berarti Jeb punya alasan untuk tidak menemuiku.

Bukannya aku ingin Jeb terkunci di toilet portabel lho. " Addie? Apa kau baik-baik saja?" tanya Tegan. " Apa kalian percaya pada keajaiban Natal?" tanyaku. " Hah?" kata Tegan.

" Aku tidak percaya. Soalnya aku Yahudi," kata Dorrie. " Ya, aku tahu," kataku. " Lupakan saja. Itu cuma pertanyaan konyol."

Tegan menatap Dorrie. " Apa kau percaya pada keajaiban

" Atau, aku tahu! Malaikat!" kata Tegan. " Apa kau percaya pada malaikat?"

Sekarang aku dan Dorrie sama-sama menatapnya. " Kau yang memulai," kata Tegan padaku. " Keajaiban Natal, keajaiban Hanukkah, keajaiban liburan& " Ia mengangkat kedua tangan, seakan lanjutannya sudah jelas. " Malaikat."

Dorrie mendengus. Tapi aku tidak karena mungkin itulah harapan terakhir di hatiku yang kesepian meskipun aku tidak mengucapkannya keras-keras.

" Tahun lalu, pada Malam Natal, setelah Jeb menciumku di Starbucks, dia datang dan menonton It s a Wonderful Life bersama Mom, Dad, Chris, dan aku," kataku.

" Aku sudah pernah melihat film itu," kata Dorrie. " Jimmy Stewart nyaris melompat dari jembatan karena dia depresi soal hidupnya."

Tegan menunjukku. " Dan ada malaikat yang membantunya me- mutuskan untuk tidak melompat. Ya."

" Sebetulnya, dia belum resmi jadi malaikat," kata Dorrie. " Menyelamatkan Jimmy Stewart adalah ujiannya untuk menjadi malaikat. Dia harus membuat Jimmy Stewart sadar bahwa hidupnya berharga."

" Dia akhirnya berhasil, semuanya beres, dan si malaikat mendapatkan sayapnya!" Tegan menyelesaikan kalimat itu. " Aku ingat. Itu di bagian akhir. Lalu ada lonceng perak di pohon Natal dan lonceng itu berbunyi ting-ngeling-ngeling sendiri padahal tidak ada yang menyentuhnya."

Dorrie tertawa. " Ting-ngeling-ngeling? Yapun, Tegan, kau lucu sekali."

Tegan lalu melanjutkan. " Lalu anak perempuan Jimmy Stewart

senyap, ada malaikat yang mendapatkan sayap. " Ia mendesah bahagia.

Dorrie memutar kursi komputer sehingga ia dan Tegan samasama menghadapku. Tegan sempat kehilangan keseimbangan tapi langsung memegang lengan kursi dan menegakkan badan.

" Keajaiban Natal, keajaiban Hanukkah, It s a Wonderful Life?" kata Dorrie padaku. Ia mengangkat alis. " Apa kau bisa menjelaskan benang merahnya pada kami?"

" Jangan lupa soal malaikat," kata Tegan.

Aku duduk di ujung tempat tidur. " Aku tahu kesalahanku sangat parah dan aku tahu aku teramat sangat melukai perasaan Jeb. Tapi aku menyesal. Apa itu sama sekali tidak ada artinya?" " Tentu saja ada artinya," kata Tegan penuh simpati. Kerongkonganku tercekat. Aku tidak berani menatap Dorrie karena aku tahu ia pasti memutar bola mata. " Kalau itu benar," tiba-tiba sulit sekali bagiku untuk melanjutkan kalimatku " lalu mana malaikatku?"

M ALAIKAT, smalaikat," kata Dorrie. " Lupakan saja soal malai
kat."
Dalam Derai Salju Let It Snow Karya Maureen Johnson, John Green, Lauren Myracle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Jangan, jangan lupakan soal malaikat," kata Tegan. Ia menyentil Dorrie. " Kau selalu berpura-pura skeptis, padahal sebenarnya kau tidak begitu."

" Aku bukan skeptis," kata Dorrie. " Aku realis."

Tegan bangkit dari kursi komputer dan duduk di sebelahku. " Hanya karena Jeb tidak meneleponmu, itu bukan berarti apa-apa. Mungkin saja dia sedang pulang ke kawasan Indian, mengunjungi ayahnya. Dia pernah bilang sinyal ponsel di kaws payah, kan?"

Jeb mengajari kami semua untuk menyebut kawasan Indian " kaws" . Itu membuat kami merasa keren dan tahu banyak. Tapi mendengar Tegan mengatakannya hanya mempertebal kegundahanku.

" Jeb memang ke kaws," kataku. " Tapi dia sudah pulang. Dan aku tahu itu karena si jahat Brenna kebetulan saja datang ke Starbucks hari Senin dan kebetulan saja mengoceh soal seluruh jad- wal liburan Jeb saat mengantre menunggu pesanan. Brenna datang

Empat "

Tapi dia bakal datang naik kereta api pada Malam Natal " mungkin aku bakal menjemputnya di stasiun! "

" Jadi itu yang mendorongmu menulis e-mail?" tanya Dorrie. " Karena mendengar Brenna berbicara soal Jeb?"

" Bukan hal itu yang mendorongku, tapi mungkin itu ada hubungannya." Aku tidak suka caranya menatapku. " Jadi?" " Mungkin dia terjebak badai," kata Tegan.

" Dan dia masih terjebak? Dia menjatuhkan ponselnya di tumpukan salju seperti cewek yang ciuman itu, dan itu sebabnya dia belum menelepon? Dia juga tidak punya akses ke komputer karena harus membangun iglo untuk bermalam dan di situ juga tidak ada listrik?"

Tegan mengangkat bahu dengan gugup. " Mungkin." " Aku tidak paham," kataku. " Dia tidak datang, dia tidak menelepon, dia tidak mengirim e-mail. Dia tidak melakukan apa-apa."

" Mungkin dia ingin membuatmu patah hati seperti kau membuatnya patah hati," kata Dorrie.

" Dorrie!" Air mataku kembali bergulir. " Kata-katamu jahat sekali!"

" Atau mungkin juga bukan begitu. Entahlah. Tapi, Adds& kau sangat melukainya."

" Aku tahu! Tadi kan aku bilang begitu!"

" Kau menorehkan luka dalam yang sakitnya akan terasa selamanya. Seperti saat Chloe putus dari Stuart." Chloe Newland dan Stuart Weintraub begitu terkenal di Gracetown High: Chloe terkenal karena selingkuh dari Stuart, dan Stuart terkenal karena tidak bisa move on dari Chloe. Coba tebak di mana mereka putus? Starbucks. Chloe ada di situ bersama cowok lain" dalam toilet! Dasar murahan!" lalu Stuart muncul, dan aku menyaksikan semuanya. " Woaaa," kataku. Jantungku berdegup kencang karena waktu itu

punya hati karena selingkuh dari cowoknya seperti itu. Aku kesal sekali padanya dan menyuruhnya pergi. Christina berbicara empat mata denganku setelah itu. Dia bilang lain kali aku tidak boleh mengusir pelanggan Starbucks hanya karena mereka cewek brengsek yang tidak punya hati.

" Jadi maksudmu& " Aku berusaha menebak ekspresi Dorrie. " Jadi maksudmu aku ini seperti Chloe?"

" Tentu saja tidak!" kata Tegan. " Dia tidak bermaksud berkata bahwa kau seperti Chloe. Dia cuma bilang Jeb itu seperti Stuart. Ya kan, Dorrie?"

Dorrie tidak langsung menjawab. Aku tahu dia bersimpati pada Stuart karena semua cewek yang sekelas dengan kami bersimpati pada Stuart. Stuart cowok yang baik. Chloe memperlakukannya seperti sampah. Tapi sikap protektif Dorrie menjadi lebih serius karena Stuart satu-satunya anak Yahudi lain di sekolah kami, jadi Stuart dan Dorrie punya semacam keterikatan khusus.

Aku membatin bahwa itulah alasan Dorrie menyebut-nyebut soal Stuart dan Chloe. Aku membatin bahwa Dorrie pasti tidak bermaksud membanding-bandingkanku dengan Chloe yang selain berhati batu juga sering memakai lipstik merah yang sama sekali tidak co- cok dengan warna kulitnya.

" Kasihan Stuart," kata Tegan. " Aku berharap dia menemukan pacar baru. Aku berharap dia menemukan seseorang yang layak mendapatkannya."

" Ya, ya," kataku. " Aku setuju Stuart mendapatkan cinta baru. Semangat, Stuart. Tapi Dorrie, aku ingin tanya lagi: jadi menurutmu aku adalah Chloe dalam skenario ini?"

" Tidak," kata Dorrie. Ia memejamkan mata rapat-rapat dan me- mijat-mijat dahi, seakan ia sakit kepala. Lalu ia menurunkan tangan dan balas menatapku. " Adeline, aku sayang padamu. Aku akan

Bulu kudukku merinding karena kalimat apa pun yang menggabungkan " aku sayang padamu" dan " tapi" tidak mungkin bagus. " Tapi apa?"

" Kau tahu, kau sering sibuk memikirkan drama-dramamu sendiri. Maksudku, kami semua juga sering begitu, aku tidak bilang kami tidak pernah begitu. Tapi kau melakukannya setiap waktu. Dan kadang-kadang& "

Aku bangkit dari tempat tidur sambil menarik selimut. Aku kembali melilitkannya di kepala dan memeganginya di bawah dagu. " Ya?"

" Kadang-kadang kau lebih mengkhawatirkan dirimu sendiri dibanding memedulikan orang lain. Kira-kira begitu."

" Jadi kau memang beranggapan aku seperti Chloe! Menurutmu aku cewek brengsek yang tidak punya hati dan hanya mementingkan diri sendiri!"

" Bukan tidak punya hati," kata Dorrie cepat. " Bukan begitu." " Dan bukan& " Tegan menurunkan nada bicaranya " kau tahu. Kau sama sekali bukan begitu."

Fakta bahwa mereka berdua sama sekali tidak menyangkal bagian " mementingkan diri sendiri" tidak luput dari perhatianku. " Astaga," kataku. " Aku sedang mengalami krisis dan kedua sahabatku menyerangku!"

" Kami tidak menyerangmu!" kata Tegan.

" Sori, tidak bisa dengar," kataku. " Terlalu sibuk mementingkan diri sendiri."

" Tidak, kau tidak bisa dengar karena ada selimut yang menutupi telingamu," kata Dorrie. Ia mendekatiku. " Aku hanya ingin bilang& "

" La-la-la! Masih tidak bisa dengar!"

" & menurutku sebaiknya kau tidak balikan dengan Jeb, kecuali

Jantungku berdegup luar biasa kencang. Aneh juga. Aku berada di kamarku yangan bersama dua sahabatku, dan aku ketakutan setengah mati mendengar kata-kata yang akan disampaikan salah satu dari mereka.

" Yakin apa?" kataku akhirnya.

Dorrie menarik tudung kepalaku. " Di e-mailmu, kaubilang kau sudah berubah," katanya hati-hati. " Tapi aku ingin tahu apa kau benar-benar sudah berubah. Maksudku, apa kau sudah benar-benar melakukan introspeksi diri dan mencari tahu apa yang harus kauubah?"

Bintik-bintik hitam meletup di otakku. Bisa jadi aku kepanasan dan sebentar lagi akan pingsan, membenturkan kepalaku, dan mati; selimut di kepalaku mungkin akan berubah merah bersimbah darah.

" Pergi!" kataku pada Dorrie, menunjuk pintu. Tegan terenyak.

" Addie," kata Dorrie.

" Aku serius sana pergi. Jeb dan aku tidak jadian lagi, kan? Soalnya dia tidak muncul. Jadi siapa yang peduli kalau aku benar-benar sudah berubah? Itu sama sekali tidak penting!"

Dorrie mengangkat kedua tangan. " Kau benar. Aku menyebalkan. Kata-kataku tadi kusampaikan pada waktu yang salah."

" Kau seharusnya lebih tahu. Seharusnya kau jadi sahabatku!" " Dia memang sahabatmu," kata Tegan. " Kalian berdua tolong jangan bertengkar!"

Aku memalingkan wajah dan saat melakukannya sekilas aku melihat bayanganku sendiri di cermin rias. Sekilas aku tidak mengenali diri sendiri: rambutku, mataku yang melotot, raut cemas di wajahku. Aku membatin, Siapa cewek gila itu?

" Addie, aku minta maaf," kata Dorrie. " Aku bicara ngawur seperti biasa. Aku hanya& "

Ia tidak menyelesaikan kalimatnya dan kali ini aku tidak berkata, " Kau hanya apa?"

" Aku minta maaf," katanya lagi.

Aku mencengkeram selimutku. Setelah hening cukup lama, aku mengangguk lemah. Tapi kau tetap menyebalkan, batinku, meski aku tahu Dorrie tidak begitu.

Dorrie meremas bahuku, lalu melepaskannya. " Sepertinya memang lebih baik kami pulang. Ya kan, Tegan?"

" Kurasa begitu," kata Tegan. Ia memain-mainkan ujung T-shirtnya. " Tapi aku tidak ingin malam ini berakhir buruk. Maksudku, ini kan Natal."

" Sudah telanjur," gumamku.

" Tidak kok," kata Dorrie. " Kita kan sudah berbaikan. Ya kan, Addie?"

" Aku tidak bicara soal itu," kataku.

" Berhenti," kata Tegan. " Aku punya berita bagus untuk kalian semua sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan kesedihan atau patah hati atau bertengkar." Ia menatap kami berdua dengan memelas. " Kalian mau dengar, kan?"

" Tentu saja," kataku. " Aku jelas mau. Aku tidak tahu si Skeptis mau atau tidak."

" Aku ingin sekali mendengar berita bagus," kata Dorrie. " Ini tentang Gabriel, ya?"

" Gabriel? Siapa Gabriel?" kataku. Lalu aku teringat. " Oh! Gabriel!" Aku tidak menatap Dorrie karena aku tidak ingin ia menggunakan hal itu sebagai bukti bahwa aku hanya memikirkan diri sendiri.

kata Tegan. " Tapi aku tidak mau menyinggung soal itu saat kita masih mengurusi krisis Addie."

" Kurasa kita sudah selesai dengan krisis Addie," kata Dorrie. " Addie? Kita sudah selesai membahas krisismu, kan?" Kita tidak akan pernah selesai membahas krisisku, pikirku. Aku duduk di lantai dan menarik Tegan agar ia duduk di sebe- lahku. Aku bahkan menyediakan tempat untuk Dorrie. " Ceritakan kabar gembiramu," kataku.

" Ini memang tentang Gabriel," kata Tegan. Ia tersenyum. " Gabriel akan datang besok!"

A KU sudah menyiapkan tempat tidurnya," kata Tegan. " Aku

sudah menaruh boneka Piglet agar ia nyaman dan aku juga menyediakan sepuluh pak Dubble Bubble rasa anggur."

" Ah, ya, karena Gabriel suka Dubble Bubble rasa anggur," kata Dorrie.

" Memangnya babi makan permen, ya?" kataku.

" Mereka tidak memakannya, mereka mengunyahnya," kata Tegan. " Aku juga sudah menyiapkan selimut agar dia hangat, tali kekang, serta kotak buang air. Yang belum kusiapkan hanya lumpur untuk tempat Gabriel berguling-guling, tapi rasanya dia bisa berguling-guling di salju. Ya, kan?"

Aku masih kesal soal permen itu, tapi aku memutuskan melupakannya. " Kenapa tidak?" kataku. " Tegan, itu kabar yang sangat bagus!"

Matanya berbinar-binar. " Aku bakal punya babi sendiri. Aku bakal punya babi milikku sendiri. Ini berkat kalian semua!"

Mau-tidak mau aku tersenyum. Selain benar-benar menggemaskan, ada satu hal lain yang menjadi ciri khas Tegan.

Lima "

Ia SANGAT menyukai babi, jadi kurasa kalau ia berkata babi mengunyah permen, maka itu berarti babi mengunyah permen. Tegan pasti paling tahu dibanding orang lain.

Kamar Tegan adalah Pusat Babi. Pajangan porselen babi, patung keramik babi, dan ukiran kayu babi terpajang di semua tempat. Setiap Natal, Dorrie dan aku memberinya babi baru untuk koleksinya. (Tegan dan aku juga memberi Dorrie hadiah Hanukkah tentu saja. Tahun ini kami memesan T-shirt untuknya dari situs keren bernama Putri-Putri Rabbi. T-shirt itu putih dengan lengan baby-doll hitam serta bertuliskan GOT CHUTZPAH?).

Tegan sudah lama sekali ingin punya babi sungguhan, tapi kedua orangtuanya bilang tidak. Sebetulnya, karena ayah Tegan menganggap dirinya lucu, respons standarnya hanya mendengus dan berkata, " Nanti saja kalau babi bisa terbang, Manisku."

Ibunya tidak semenyebalkan itu, tapi tetap saja tidak memberi izin.

" Tegan, anak babi imut yang kaubayangkan itu nantinya akan tumbuh besar sampai beratnya tiga ratus enam puluh tiga kilogram," kata sang ibu.

Aku paham maksud ibunya. 363 kilogram itu sama saja dengan delapan Tegan yang ditumpuk menjadi satu. Memiliki binatang peliharaan yang beratnya delapan kali berat tubuhmu sepertinya bukan ide bagus.

Tapi Tegan menemukan suara genderang! babi cangkir. Jenis babi ini imut banget. Tegan menunjukkan situsnya pada Dorrie dan aku bulan lalu dan kami sibuk menjerit gemas melihat fotofoto babi mini yang benar-benar muat di dalam cangkir. Babi itu nantinya tumbuh sampai hanya seberat dua kilogram, yang berarti hanya seperduapuluh berat Tegan, jelas jauh lebih baik ketimbang babi 363 kilogram.

bicara pada peternak itu. Sementara diskusi itu berjalan, Dorrie dan aku juga berbicara langsung dengan si peternak. Setelah orangtua Tegan resmi mengizinkan, kesepakatan dibuat: babi cangkir terakhir si peternak sudah dibayar dan dipesan.

" Yapun!" Tegan menjerit waktu kami memberitahunya. " Kalian benar-benar sahabat yang paling baik! Tapi& bagaimana kalau orangtuaku bilang tidak?"

" Kami harus mengambil risiko," kata Dorrie. " Babi-babi cangkir itu cepat laku."

" Memang benar," kataku. " Mereka benar-benar terbang cepat dari rak jual."

Dorrie mengerang, membuatku makin menjadi-jadi. Aku berpura-pura mengepak-ngepakkan sayap dan berkata, " Terbanglah! Terbanglah pulang, babi kecil!"

Kami sepenuhnya mengira babi itu sudah sampai di rumah Tegan. Minggu lalu, Tegan mendapat kabar dari si peternak bahwa Gabriel sudah disapih. Tegan dan Dorrie berencana naik mobil ke Peternakan Babi Fancy Nancy untuk menjemput babi itu. Peternakan itu ada di Maggie Valley, sekitar 320 kilometer dari sini, tapi mereka bisa melakukan perjalanan bolak-balik dalam satu hari. Lalu ada badai. Rencana buyar.

" Tapi Nancy semalam menelepon, dan coba tebak," kata Tegan. " Jalan-jalan di Maggie Valley tidak terlalu parah, jadi Nancy memutuskan untuk naik mobil ke Asheville. Dia akan menghabiskan Tahun Baru di sana. Dan karena dia melewati Gracetown, dia akan mampir dan menitipkan Gabriel di Pet World. Aku bisa menjemputnya besok!"

" Pet World yang di seberang Starbucks?" kataku.

" Kenapa di situ?" kata Dorrie. " Apa dia tidak bisa mengantarkannya langsung ke rumahmu?"

Tegan. " Lelaki yang punya Pet World itu kawan baik Nancy. Dia akan meninggalkan kunci untuk Nancy. Nancy bilang dia sudah menempel memo di kandang Gabriel yang tulisannya, Jangan Adopsi ke Luar Babi Ini Kecuali Pada Tegan Shepherd!" " Adopsi ke Luar? " kataku.

" Itu istilah toko hewan untuk jual ," kata Dorrie. " Dan untunglah Nancy menulis pesan soalnya pasti ada ribuan orang yang akan membanjiri toko hewan karena ingin membeli babi cangkir."

" Diam deh," kata Tegan. " Aku akan langsung ke kota untuk menjemputnya begitu mobil pembersih salju lewat." Ia menangkupkan kedua tangannya dalam posisi doa. " Kumohon, kumohon, kumohon, semoga mobil pembersih salju lewat di lingkungan kami pagi-pagi!"

" Mimpi saja terus," kata Dorrie.

" Hei," kataku, mendapat ide. " Besok kan aku kerja, jadi Dad mengizinkanku membawa Explorer."

Dorrie memamerkan otot-otot tangannya. " Addie punya Explorer! Addie tidak butuh mobil pembersih salju!" " Jelas," kataku. " Tidak seperti ahem mobil Civic payah itu." " Hei, jangan jahat pada mobil Civic!" protes Tegan. " Oh, Sayang, kita memang harus sedikit jahat pada si Civic," kata Dorrie.

" Anyway," aku menyela, " aku akan dengan senang hati menjemput Gabriel kalau kau mau."

" Sungguh?" kata Tegan.

" Memangnya Starbucks sungguh bakal buka?" tanya Dorrie. " Kawan," kataku. " Hujan biasa, hujan salju, hujan es, atau hujan badai sekalipun tidak akan pernah membuat Starbucks yang hebat menutup pintu."

" Kawan," balas Dorrie, " itu motto tukang pos, bukan motto

" Tapi tidak seperti tukang pos, Starbucks bersungguh-sungguh. Mereka pasti buka. Aku berani jamin."

" Addie, tebal saljunya hampir tiga meter."

" Christina bilang kami bakal buka, berarti kami bakal buka." Aku menoleh pada Tegan. " Jadi, ya, Tegan, aku akan naik mobil ke kota pagi-pagi sekali besok, dan ya, aku bisa menjemput Gabriel!"

" Horee!" kata Tegan.

" Tunggu dulu," kata Dorrie. " Tampaknya kau lupa sesuatu." Aku mengernyit.

" Nathan Krugle?" katanya. " Dia bekerja di Pet World dan benci setengah mati padamu."

Perutku serasa bagai ditonjok. Saking sibuknya membahas soal babi, aku benar-benar lupa soal Nathan. Bagaimana mungkin aku bisa lupa soal Nathan?

Aku mengangkat dagu. " Kau negatif sekali. Aku bisa kok menghadapi Nathan kalau memang dia bekerja besok, dan kemungkinan besar tidak karena dia mungkin sedang ikut seminar Star Trek atau apa."

" Jadi kau sudah membuat alasan nih?" kata Dorrie. " Tidaaak. Aku hanya menunjukkan sikap yang sama sekali tidak mementingkan diri sendiri. Kalaupun ada Nathan, ini soal Tegan." Dorrie terlihat ragu-ragu.

Aku menoleh pada Tegan. " Aku istirahat jam sembilan pagi dan aku bakal jadi orang pertama yang masuk ke Pet World. Oke?" Aku berjalan ke meja, merobek lembaran memo tempel Hello Kitty, lalu menuliskan Jangan Lupa Babi! dengan bolpoin ungu. Lalu aku berjalan ke lemari, menarik kausku untuk besok, dan menempelkan memo itu ke atasnya.

" Senang?" kataku, menunjukkan kaus itu pada Tegan dan

" Senang," kata Tegan, tersenyum.

" Terima kasih, Tegan," kataku bangga, memberi penekanan agar Dorrie tahu ia harus sedikit belajar memercayai teman. " Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu."

T EGAN dan Dorrie berpamitan dan selama sekitar dua menit

aku lupa soal patah hatiku di tengah semua salam dan pelukan itu. Tapi begitu mereka pergi, bahuku terkulai. Hai, kata kesedihanku. Aku dataaang lagi. Kau merindukanku?

Kali ini kesedihanku membawaku ke kenangan tentang hari Minggu terakhir itu, pagi hari setelah pesta Charlie dan hari terburuk dalam hidupku. Aku naik mobil ke apartemen Jeb ia tidak tahu aku datang dan awalnya ia senang melihatku.

" Kau ke mana semalam?" katanya. " Aku tidak bisa menemukanmu."

Tangisku pecah. Mata hitamnya penuh kecemasan. " Addie, kau masih marah, ya? Apa ini soal pertengkaran kita?" Aku berusaha menjawab. Tapi tidak ada kata-kata yang keluar. " Kita bukan bertengkar serius kok," ia meyakinkanku. " Itu& tidak masalah."

Aku menangis lebih keras dan ia menggenggam tanganku. " Aku sayang padamu, Addie. Aku akan berusaha untuk lebih menunjukkannya. Oke?"

Enam

Seandainya ada pisau di mejanya, aku pasti langsung menusukkannya ke dada.

Tapi aku malah memberitahunya soal Peristiwa Charlie. " Aku minta maaf," kataku sambil terisak. " Kupikir kita bakal bersama selamanya. Aku ingin kita bersama selamanya!"

" Addie& " katanya. Jeb masih berusaha mencerna semuanya, namun saat itu ia lebih cemas karena aku sedih dan aku tahu itu karena aku kenal Jeb. Itulah hal yang paling mencemaskannya. Ia meremas kedua tanganku.

" Hentikan!" kataku. " Jangan bersikap baik padaku saat kita mau putus!"

Jeb bingung berat. " Kita mau putus? Kau& kau ingin bersama Charlie dan bukan aku?"

" Bukan. Yapun, bukan begitu." Aku tersentak menjauh. " Aku selingkuh darimu dan aku sudah merusak semuanya, jadi" aku terisak lagi " jadi aku harus melepasmu!"

Jeb masih belum paham. " Tapi& bagaimana kalau aku tidak mau kita putus?"

Aku nyaris tidak bisa bernapas karena menangis terus, tapi aku ingat waktu itu aku berpikir tepatnya tahu benar bahwa Jeb jauh lebih baik dariku. Ia cowok hebat, cowok paling baik di dunia, dan aku cewek sialan yang sama sekali tidak pantas untuknya. Aku brengshaik. Aku bahkan sama brengshaiknya dengan Charlie. " Aku harus pergi," kataku, beranjak ke pintu.

Jeb menarik pergelanganku. Ekspresinya berkata, Jangan. Kumohon.

Tapi aku harus pergi. Masa Jeb tidak paham?

Aku menarik tanganku dan akhirnya memaksa diri berkata, " Jeb& hubungan kita sudah selesai."

Rahangnya mengeras, dan anehnya aku malah lega. Jeb memang

" Pergilah," katanya. Jadi aku pergi.

Dan sekarang& di sinilah aku. Aku berdiri di dekat jendela kamar tidur, menatap Dorrie dan Tegan yang semakin jauh. Cahaya bulan membuat salju tampak keperakan. Melihat hamparan salju yang membentang itu saja sudah membuatku kedinginan. Aku bertanya-tanya apakah Jeb akan memaafkanku. Aku bertanya-tanya apa aku akan berhenti merasa sedih. Aku bertanya-tanya apa Jeb juga sesedih aku, dan aku terkejut sendiri karena aku berharap ia tidak sedih. Maksudku, aku memang ingin ia sedikit sedih, atau lumayan sedih, tapi aku tidak mau hatinya berubah menjadi gumpalan beku rasa sesal. Jeb memiliki hati yang sangat baik, itulah sebabnya sungguh mengherankan sekali ia tidak muncul kemarin.

Meski begitu, keadaan kacauku sekarang bukan salah Jeb, dan di mana pun ia berada, aku berharap hatinya terasa hangat.

B RRR," kata Christina sambil membuka kunci pintu depan

Starbucks jam 04.30 esok paginya. EMPAT TIGA PULUH! Matahari baru akan terbit satu setengah jam lagi dan lapangan parkir tampak sepi dan muram, hanya dihiasi mobil-mobil berlapis salju di sana-sini. Pacar Christina mengklakson saat berbelok ke Dearborn Avenue. Christina berbalik dan melambai. Sang pacar melaju pergi; sekarang tinggal kami berdua, salju, dan toko yang masih gelap.

Christina membuka pintu dan aku melangkah masuk di belakangnya.

" Di luar dingin banget," kata Christina.

" Jelas," kataku. Aku harus menyetir dengan susah payah dari rumahku, bahkan dengan ban khusus salju. Aku tadi sempat melewati lusinan mobil yang dibiarkan begitu saja oleh para pengendara yang kurang berani. Di salah satu tumpukan salju aku melihat gundukan besar yang sepertinya SUV atau mobil gede lain. Bagaimana itu bisa terjadi? Bagaimana mungkin ada sopir idiot yang tidak melihat dinding salju setebal dua meter?

Sampai ada mobil pengeruk salju, tidak mungkin Tegan bisa

Tujuh "

Aku mengentakkan kaki untuk mengempaskan salju-salju yang menempel, lalu mencopot sepatu bot dan berjalan dengan mengenakan kaus kaki ke ruang belakang. Aku menekan enam tuas yang ada di samping pemanas dan toko itu pun menyala terang.

Kami adalah bintang Natal yang dinyalakan oleh para malaikat, pikirku, membayangkan seperti apa tempat terang ini terlihat dari titik mana pun di kota kecil yang gelap gulita. Tapi Natal sudah berakhir dan tidak ada malaikat.

Aku membuka topi dan mantel, lalu memakai kelom hitam yang sesuai dengan celana hitamku. Aku membetulkan letak memo tempel JANGAN LUPA BABI! di kaus Starbucks-ku yang bertuliskan ANDA PESAN, KAMI BUATKAN. Dorrie sering mengolok-olok T-shirt-ku, sama seperti ia mengolok-olok segala hal tentang Starbucks, tapi aku tidak peduli. Starbucks tempatku berlindung. Starbucks juga tempatku bersedih karena kedai kopi ini menyimpan begitu banyak kenangan tentang Jeb.

Meski begitu, aku terhibur dengan aroma dan rutinitas tempat ini terutama musiknya. Terserahlah kalau dianggap " komersial" atau " produk pabrik" atau apalah, tapi CD-CD Starbucks memang asyik.

" Hei, Christina," seruku, " mau mendengar sedikit Halleluya ?" " Tentu saja," jawabnya.

Aku memasang CD Lifted: Songs of the Spirit (yang memang membuat Dorrie muntah) dan memilih lagu nomor tujuh. Suara Rufus Wainwright berkumandang di udara dan aku membatin, Ah, lagu merdu Starbucks.

Dorrie dan beribu-ribu pengejek Starbucks lain tidak menghargai bahwa orang-orang yang bekerja di Starbucks tetaplah orangorang biasa, sama seperti orang lain. Ya, pemilik Starbucks memang

juga tinggal di Gracetown sama seperti Dorrie. Aku juga. Begitu juga para barista lain. Jadi apa masalahnya?

Aku meninggalkan ruang belakang dan mulai membuka bungkusan kue-kue yang ditinggalkan Carlos, si pengantar makanan. Perhatianku terus-menerus tertuju ke sofa ungu di bagian depan toko, dan air mataku membuat muffin-muffin blueberry rendah kalori yang kupegang terlihat buram.

Hentikan, aku memberi perintah pada diri sendiri. Kendalikan dirimu, atau ini akan menjadi hari yang sangat panjang.

" Whooaaa," kata Christina, kaki-kakinya muncul di hadapanku. " Kau potong rambut."

Aku mendongak. " Hmm& yeah." " Dan mengecatnya pink."

" Itu tidak masalah, kan?"

Starbucks menerapkan peraturan penampilan Jangan Tanya, Jangan Memperlihatkan gelagat yang melarang penggunaan anting hidung, segala bentuk tindik wajah, dan tato yang terlihat yang berarti kau masih boleh bertato dan menindik tubuhmu, tapi itu semua tidak boleh kelihatan. Kurasa aturan itu tidak menyebutkan larangan berambut pink. Tapi soal ini memang tidak pernah disinggung sebelumnya.

" Hmm," kata Christina, mengamatiku lekat-lekat. " Tidak apaapa kok. Aku cuma kaget."

" Aku juga," kataku lirih.

Aku hanya bicara sendiri, tapi ternyata Christina mendengarkan. " Addie, apa kau baik-baik saja?" tanyanya.

" Tentu saja," kataku.

Ia melirik kausku dan mengernyit. " Babi apa yang tidak boleh kaulupakan?"

" Hah?" Aku menunduk. " Oh. Ini& bukan apa-apa." Aku mene
membuat Christina gusar dengan menjelaskan seluruh ceritanya. Setelah menjemput Gabriel nanti, aku akan menyembunyikannya di ruang belakang, jadi Christina tidak perlu tahu.

" Apa kau yakin kau baik-baik saja?" katanya.

Aku tersenyum ceria dan mencopot memo tempel itu. " Sangat baik!"

Christina kembali menyiapkan konter pembuatan kopi dan aku langsung melipat memo itu jadi dua serta menyelipkannya ke saku. Aku membawa kue-kue itu ke etalase kaca, memakai sarung tangan plastik, lalu mulai memindahkan semuanya ke baki. Lagu Hallelujah versi Rufus Wainwright berkumandang di seluruh toko dan aku ikut bersenandung. Suasana tempat itu nyaris menyenangkan, alaala hidup-memang-menyebalkan-tapi-untunglah-ada-lagu-bagus.

Tapi saat aku menyimak liriknya benar-benar menyimak, bukan hanya mendengar sambil lalu perasaan nyaris menyenangkan itu langsung lenyap. Aku selalu mengira lagu itu penuh inspirasi tentang Tuhan atau apa karena semua kata halleluya di dalamnya. Tapi ternyata ada kata-kata lain sebelum dan sesudah halleluya, dan kata-kata itu sama sekali tidak memberi semangat.

Rufus bernyanyi tentang cinta dan betapa cinta tidak akan ada tanpa iman. Aku terdiam karena kata-katanya terdengar sangat familier. Aku menyimak lebih lanjut dan tercengang karena seluruh lagu itu ternyata tentang seorang cowok yang sangat mencintai seseorang, tapi orang yang dicintainya berkhianat. Dan semua nyanyian halleluya yang menyentuh hati itu? Kata-kata itu tidak memberi inspirasi. Semuanya& semuanya halleluya yang " retak dan beku" itu disebut dengan jelas di bagian reff!


Wiro Sableng 161 Perjodohan Berdarah A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya

Cari Blog Ini