Ceritasilat Novel Online

Dekut Burung Kukuk 1

Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith Bagian 1



DEKUT BURUNG KUKUK

THE CUCKOO?S CALLING

oleh Robert Galbraith

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

GM 402 01 14 0002

Hak cipta terjemahan Indonesia

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Alih bahasa Siska Yuanita

Alih bahasa puisi hlm 7 dan 517 M. Aan Mansyur

Desain sampul Marcel A.W.

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

anggota IKAPI, Jakarta, 2014

www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN 978-602-03-0062-7

520 hlm; 23 cm

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab Percetakan

Untuk Deeby yang sesungguhnya

dengan ucapan terima kasih

Kenapa kau lahir saat salju membuat langit bungkuk?

andai saja kau tiba ketika musim dekut burung kukuk,

atau saat buah-buah anggur di tandan meranum hijau,

atau, setidaknya, saat kawanan burung camar berkicau,

sehabis menempuh perjalanan jauh yang ganas

menyelamatkan diri dari serangan musim panas.

Kenapa kau mati saat bulu-bulu domba dipangkas?

andai saja kau pergi ketika buah-buah apel ranggas,

atau saat gerombolan belalang berubah jadi masalah,

dan lahan gandum semata hamparan jerami basah,

dan napas angin berembus sangat berat

sebab semua hal indah tiba-tiba sekarat.

Christina G. Rossetti, A Dirge/Sebuah Ratapan

Prolog

Is demum miser est, cuius nobilitas miserias nobiitat.

Sungguh celaka orang yang cacat celanya menjadi ikut

terkenal karena ketenarannya.

Lucius Accius, Telephus

Gaung di jalanan terdengar seperti dengung lalat. Para fotografer ber?

diri berkerumun di balik garis batas yang dijaga polisi, kamera mereka

yang berbelalai panjang siap siaga, napas mereka mengepul seperti

uap. Salju jatuh berderai di atas topi dan pundak; jari-jari yang ter?

bungkus sarung tangan mengusap lensa kamera. Dari waktu ke waktu

terdengar semburan bunyi klik-klik yang tak beraturan sementara para

pengamat itu mengisi waktu dengan memotret tenda kanvas putih di

tengah jalan, pintu masuk bangunan apartemen dari batu bata merah

di belakangnya, serta balkon di lantai tertinggi dari mana mayat itu

terjatuh.

Di belakang kerumunan padat paparazzi itu berjajar mobil-mobil

van putih dengan antena parabola besar di atap, dan para jurnalis ber?

bicara, beberapa dengan bahasa asing, sementara para juru suara yang

mengenakan headphone berkeliaran di sekitar mereka. Pada saat jeda

pengambilan gambar, para reporter itu mengentak-entakkan kaki sam?

bil menghangatkan tangan di dekat teko kopi panas di kafe yang di?

padati pengunjung, di suatu jalan tak jauh dari sana. Untuk mengisi

waktu, para juru kamera bertopi wol mengambil gambar punggung

paparazzi, balkon, dan tenda yang berisi mayat, lalu berganti posisi

untuk mendapatkan sudut pandang lebar yang menjangkau seluruh

kekacauan yang telah meledak di jalanan Mayfair yang tenang dan

bersalju itu, dengan pintu-pintu bercat hitam dibingkai teras ber?

dinding batu putih dan diapit tanaman yang dipangkas rapi. Pintu

masuk nomor 18 dipagari pita polisi. Aparat polisi, sebagian para ahli

forensik yang mengenakan seragam putih-putih, terlihat samar-samar

di lorong masuk di dalamnya.

Stasiun-stasiun televisi sudah mengabarkan berita tersebut be?

Robert Galbraith

berapa jam lalu. Anggota masyarakat menyemut di kedua ujung jalan,

ditahan oleh lebih banyak petugas kepolisian; sebagian sengaja datang

untuk menonton, sebagian lagi memperlambat langkah dalam per?

jalanan ke tempat kerja. Banyak yang mengacungkan telepon seluler

tinggi-tinggi untuk mengambil gambar sebelum melanjutkan per?

jalanan. Seorang pria muda, yang tidak tahu balkon mana yang di?

maksud, memotret semua balkon satu per satu, meskipun balkon yang

di tengah dipadati deretan tanaman rendah, tiga pohon berdaun lebat

yang berbentuk bulat rapi, yang nyaris tidak menyisakan tempat un?

tuk manusia berdiri.

Sekelompok perempuan muda datang membawa bunga, direkam

ketika sedang memberikan bunga-bunga itu kepada polisi. Para pe?

tugas yang menerimanya belum memutuskan tempat untuk meletak?

kannya, lalu dengan salah tingkah menyimpan bunga-bunga itu di

belakang mobil van polisi, sadar betul bahwa kamera-kamera sedang

menyorot setiap gerak-gerik mereka.

Koresponden dari kanal berita 24 jam terus-menerus menyampai?

kan komentar dan spekulasi di sekitar sedikit fakta yang mereka ke?

tahui.

"...dari apartemen penthouse-nya pada sekitar pukul dua dini hari

tadi. Polisi mendapat laporan dari petugas keamanan gedung..."

"...belum ada tanda-tanda polisi akan memindahkan jenazah ter?

sebut, yang menimbulkan spekulasi..."

"...tidak ada keterangan apakah dia sedang sendiri ketika jatuh..."

"...polisi telah masuk ke gedung dan akan melakukan pencarian me?

nyeluruh."

Cahaya dingin menerangi bagian dalam tenda. Dua pria sedang ber?

jongkok di dekat jenazah, akhirnya siap memindahkannya ke kantong

mayat. Darah dari kepala mengalir di antara salju. Wajahnya hancur

dan bengkak, sebelah matanya mengerut, yang sebelah lagi memper?

lihatkan seiris warna putih keruh di antara kelopak yang bengkak.

Ketika payet-payet yang menghiasi baju atasannya berkeredap karena

sedikit perubahan cahaya, ada kesan meresahkan saat seolah-olah wa?

nita itu bernapas kembali, atau menegangkan otot-ototnya, siap untuk

Dekut Burung Kukuk

bangkit berdiri. Salju jatuh di kanvas tenda bagaikan bunyi jemari

yang mengetuk-ngetuk.

"Manabulans sialan itu?"

Kemarahan Inspektur Polisi Roy Carver sudah menggunung. Dia

adalah pria tambun dengan wajah sewarna daging kornet, di bagian

ketiak kemejanya biasanya terdapat lingkaran keringat, dan persediaan

kesabarannya yang tipis sudah habis berjam-jam yang lalu. Dia berada

di sini nyaris sama lamanya dengan mayat itu; kakinya begitu ke?

dinginan sampai-sampai tak lagi terasa, dan kepalanya pening karena

dia kelaparan.

"Ambulans akan tiba dua menit lagi," kata Sersan Polisi Eric

Wardle, yang tidak sengaja menjawab pertanyaan atasannya ketika dia

memasuki tenda dengan ponsel menempel di telinga. "Sedang dicari?

kan tempat."

Carver menggerutu. Sumbunya yang pendek semakin parah karena

dia yakin Wardle justru senang dengan kehadiran para fotografer. Pria

itu tampan dengan wajah bak remaja, rambutnya tebal bergelombang

dan kini beku karena salju. Menurut Carver, Wardle sengaja berlamalama pada kesempatan langka mereka harus keluar dari tenda.

"Paling tidak, gerombolan ini akan pergi begitu mayatnya di?

pindahkan," kata Wardle, masih memandang ke luar ke arah para

fotografer.

"Mereka tidak akan minggat selama kita masih memperlakukan

tempat ini seperti TKP," tukas Carver.

Wardle tidak menjawab tantangan yang tak terucapkan itu. Tetap

saja Carver meledak.

"Anak malang ini terjun. Tidak ada orang lain di sana. Yang kau?

sebut saksi itu teler?"

"Ambulans datang," potong Wardle, dan yang membuat Carver

muak, bawahannya itu kembali menyusup keluar dari tenda untuk

menunggubulans di hadapan kamera-kamera.

Liputan peristiwa itu telah menyisihkan berita-berita politik, perang,

serta bencana, dan tiap versi dihiasi foto-foto wajah sempurna wanita

yang telah mati itu, tubuhnya yang ramping dan indah. Dalam be?

Robert Galbraith

berapa jam saja, sedikit fakta yang diketahui telah menyebar bagaikan

virus ke jutaan orang pertengkaran dengan sang pacar yang tersohor

di depan banyak mata, perjalanan pulang seorang diri, teriakan yang

terdengar, dan kejatuhannya yang final dan fatal...

Sang kekasih kabur ke fasilitas rehabilitasi, tapi langkah-langkah

polisi tak terbaca; orang-orang yang pernah bersama korban pada ma?

lam sebelum kematiannya terus dibayang-bayangi; beritanya mengisi

ribuan kolom berita cetak dan berjam-jam siaran televisi, dan wanita

yang bersumpah telah mendengar pertengkaran kedua tepat sebelum

tubuh itu terjun sesaat menikmati ketenarannya, dan dianugerahi foto

yang lebih kecil di sebelah gambar-gambar mendiang gadis yang cantik

jelita itu.

Namun, disambut erangan kekecewaan yang nyaris terdengar, saksi

itu dinyatakan telah berbohong, dan pada gilirannya dia pun dilarikan

ke fasilitas rehabilitasi, yang disusul kemunculan tersangka utama?

bagaikan boneka lelaki dan perempuan di dalam rumah mainan

penunjuk cuaca yang tidak akan pernah keluar bersama-sama.

Jadi itu memang peristiwa bunuh diri, dan setelah jeda singkat

yang mencengangkan, berita kembali meruap kendati tidak gegap

gempita seperti sebelumnya. Mereka menulis bahwa gadis itu tidak se?

imbang, tidak stabil, tidak siap memasuki dunia gemerlap yang telah

dia peroleh melalui keliaran dan kecantikannya; bahwa dia bergaul de?

ngan kalangan berduit danoral yang telah menggerogotinya; bahwa

dekadensi kehidupan barunya telah menjerumuskan kepribadian yang

memang sudah rapuh sejak mula. Dia menjadi contoh kisah moralitas

yang dibebani Schadenfreude?kesenangan di atas penderitaan orang

lain?dan begitu banyak kolumnis yang membandingkannya dengan

kisah Icarus, sampai-sampai majalah Private Eye membuat liputan

khusus.

Kemudian, akhirnya, kegemparan itu mereda sendiri hingga men?

jadi basi, dan bahkan para jurnalis kehabisan bahan untuk diberita?

kan?namun itu pun sudah menjadi basi karena terlalu sering diucap?

kan.

Tiga Bulan Kemudian

Bagian Satu

Nam in omni adversitate fortunae infelicissimum est genus

infortunii, fuisse felicem.

Sungguh, dalam setiap perubahan nasib baik, yang paling

tidak bahagia adalah golongan orang-orang malang yang

dulu pernah bahagia.

Boethius, De Consolatione Philosophiae

Selama dua puluh lima tahun hidupnya, Robin Ellacott sudah meng?

alami berbagai drama dan peristiwa, namun dia tidak pernah bangun
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pagi dengan kepastian bahwa dia akan mengingat hari yang akan ber?

langsung ini sepanjang hayatnya.

Tak berapa lama selewat tengah malam, Matthew, kekasih jangka

panjangnya, melamar Robin di bawah patung Eros di tengah-tengah

Piccadilly Circus. Dalam kelegaan yang mendebarkan sesudah Robin

menerima pinangan itu, Matthew mengaku bahwa semula dia beren?

cana melamar di restoran Thailand tempat mereka baru saja me?

nikmati makan malam, tapi dia lebih suka melakukannya tanpa pa?

sangan di meja sebelah yang tak saling berbicara dan menguping

seluruh pembicaraan mereka. Karena itu Matthew mengusulkan me?

reka berjalan-jalan sesudahnya, kendati Robin memprotes karena me?

reka harus bangun pagi-pagi keesokan harinya. Akhirnya Matthew

mendapat inspirasi spontan, lalu membawa Robin yang kebingungan

ke undakan di bawah patung itu. Di sana, sesudah mencampakkan

rasa jengah ke angin yang dingin (dengan cara yang bukan-Matthewbanget), Matthew melamarnya dengan sebelah kaki berlutut, di depan

tiga gelandangan yang berkerumun di undakan sambil berbagi sesuatu

yang mirip sebotol sabu-sabu.

Menurut Robin, itu adalah lamaran paling sempurna dalam sejarah

perkawinan. Matthew bahkan sudah menyiapkan cincin di dalam

sakunya, yang sekarang Robin kenakan; sebutir safir dengan dua ber?

Robert Galbraith

lian, ukurannya pas sekali, dan sepanjang perjalanan ke kota dia terus

memandangi cincin di tangan yang diletakkannya di pangkuan. Kini,

dia dan Matthew akan memiliki cerita, cerita keluarga yang lucu,

cerita yang dikisahkan kepada anak-anak, yaitu bahwa rencana

Matthew (Robin sangat senang Matthew telah merencanakannya)

gagal total, dan berubah menjadi sesuatu yang spontan. Robin me?

nyukai gelandangan-gelandangan itu, bulan, serta Matthew yang me?

rona dan panik, berlutut di satu kaki; dia menyukai Eros, Piccadilly

tua yang kotor, juga taksi hitam yang mengantar mereka pulang ke

Clapham. Dia bahkan sudah hampir menyukai seluruh London, yang

selama sebulan sejak kepindahannya kemari tidak pernah disukainya.

Bahkan para komuter berwajah pasi dan pemarah yang berdesakdesakan di sekitarnya di dalam gerbong kereta ini seperti memantul?

kan semburat keemasan dari kilau cincinnya. Ketika pada hari bulan

Maret yang dingin itu dia muncul di permukaan dari stasiun bawah

tanah Tottenham Court Road, diusapnya bagian bawah cincin platina

itu dengan ibu jari, dan dirasakannya ledakan kebahagiaan sampaisampai dia berpikir akan membeli majalah pengantin pada jam makan

siang nanti.

Mata para lelaki singgah agak lama pada dirinya ketika Robin me?

langkah di antara proyek perbaikan jalan di ujung Oxford Street sam?

bil mengamati secarik kertas di tangan kanannya. Menurut standar

apa pun, Robin adalah gadis cantik; tinggi semampai dan sintal, de?

ngan rambut pirang kemerahan yang menggelombang sementara dia

berjalan cepat, udara dingin menambah rona pada pipinya yang pucat.

Ini hari pertamanya untuk kontrak kerja sekretariat yang akan ber?

langsung satu minggu. Dia bekerja sebagai pegawai temporer sejak

pindah ke London bersama Matthew, tapi itu tidak akan berlangsung

lebih lama, karena dia sudah mendapat beberapa panggilan wawancara

pekerjaan yang "pantas".

Sering kali, bagian paling sulit dalam melakukan pekerjaan se?

potong-sepotong yang sungguh membosankan ini adalah menemukan

kantor yang dituju. Setelah dia meninggalkan kota kecil di Yorkshire,

London terasa luas, rumit, dan tak tertembus. Matthew sudah mem?

peringatkannya agar tidak berjalan ke mana-mana dengan wajah ter?

benam dalam buku peta A-Z, yang akan membuatnya kelihatan se?

Dekut Burung Kukuk

perti turis dan rentan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Karena

itu dia lebih sering mengandalkan peta yang digambar dengan jelek

oleh seseorang di kantor agennya. Dia tidak yakin hal ini bisa mem?

buatnya terlihat lebih mirip orang yang lahir dan dibesarkan di

London.

Barikade besi dan dinding plastik biru Corimec yang mengelilingi

proyek perbaikan jalan itu membuatnya lebih sulit menentukan arah,

karena menutupi sebagian ancar-ancar yang tertera di atas kertas di

tangannya. Dia menyeberangi jalan yang porak-poranda di depan blok

perkantoran tinggi?ditandai dengan nama "Centre Point" di peta?

nya?yang tampak menyerupai wafel beton raksasa dengan jendelajendela persegi yang rapat dan seragam, lalu memilih jalan yang kirakira akan membawanya ke arah Denmark Street.

Hampir tanpa sengaja dia menemukan jalan itu, setelah menyusuri

jalan sempit bernama Denmark Place yang muncul di sebentang jalan

pendek penuh toko beraneka warna etalasenya sarat gitar, keyboard,

dan berbagai pernak-pernik yang berhubungan dengan musik. Bari?

kade merah-putih mengelilingi lubang terbuka lain di jalan, dan para

pekerja berjaket warna neon menyapanya dengan suitan jail pagi hari,

yang pura-pura tidak didengarnya.

Robin melirik jam tangan. Dengan tenggang waktu yang biasa di?

sisihkannya kalau-kalau dirinya tersesat, dia tiba lebih awal lima belas

menit dari jadwal. Pintu bercat hitam gedung kantor yang dicarinya

berada di sebelah kiri 12 Bar Caf?. Nama penghuni kantor tersebut

dituliskan pada secarik kertas bergaris yang ditempelkan di sebelah

tombol bel ke lantai dua. Pada hari biasa, tanpa cincin baru yang ber?

kilauan di jarinya, Robin akan menganggap semua itu menyebalkan.

Namun hari ini, kertas kotor dan cat pintu yang mengelupas itu, se?

perti para gelandangan tadi malam, hanya menjadi detail-detail me?

narik pada latar belakang kisah cintanya yang gemilang. Diliriknya lagi

jam tangannya (batu safir itu berkilau dan jantungnya melompat se?

dikit; dia sanggup menyaksikan batu itu berkilauan selama hidupnya),

lalu dengan semburan euforia memutuskan untuk naik lebih awal dan

menunjukkan bahwa dirinya bersemangat melakukan pekerjaan yang

sama sekali tidak penting.

Dia baru hendak menekan tombol bel ketika pintu hitam itu ter?

Robert Galbraith

buka dari dalam, dan seorang wanita menghambur ke luar. Pada satu

detik yang membeku ganjil, kedua wanita itu saling menatap ke dalam

mata yang lain, ketika masing-masing bersiap mempertahankan diri

sebelum terjadi tabrakan. Indra-indra Robin tak seperti biasa sangat

peka pada pagi hari yang ajaib ini. Wajah putih yang terlihat selama

sepersekian detik itu meninggalkan kesan yang begitu mendalam se?

hingga, sesudah mereka berhasil saling menghindari dan mencegah

tabrakan, setelah wanita itu bergegas menyusuri jalan, memutari be?

lokan, dan menghilang dari pandangan, Robin yakin dia akan dapat

menggambarkan wanita itu berdasarkan ingatan saja. Bukan sekadar

keelokan sempurna wajah itu yang telah meninggalkan impresi pada

benak Robin, melainkan juga ekspresinya murka, tapi anehnya juga

begitu bergelora.

Robin menahan daun pintu sebelum kembali menutup di lorong

tangga yang remang-remang. Tangga besi model lama melingkari lift

sangkar burung yang sama kunonya. Sambil berkonsentrasi agar tumit

sepatu tingginya tidak terjepit di lubang-lubang anak tangga besi, dia

terus naik hingga puncak tangga lantai satu, melewati pintu dengan

poster berbingkai bertulisan Crowdy Graphics, lalu melanjutkan pen?

dakian. Ketika mencapai pintu kaca di lantai di atasnya, barulah

Robin menyadari, untuk pertama kali, bidang usaha apa yang menjadi

penugasannya kali ini. Kantor agen kerjanya tidak pernah memberi?

tahukan apa pun. Nama yang tercantum pada kertas di samping tom?

bol bel di luar itu kini tertera kembali dalam bentuk sablon di panel

kaca C. B. Strike, dan, di bawahnya, Detektif Partikelir.

Robin berdiri geming, mulutnya agak ternganga, sejenak meng?

alami momen keterpukauan yang tidak akan pernah dipahami siapa

pun yang pernah mengenalnya. Tak pernah dia memberitahu siapa

pun (bahkan Matthew) perihalbisi rahasia seumur hidupnya yang

kekanak-kanakan. Dan betapa ajaib karena terjadinya hari ini, di

antara semua hari! Seolah-olah Tuhan telah mengedipkan mata pada?

nya (dia juga mengaitkannya dengan keajaiban hari ini; dengan

Matthew dan cincin itu, walaupun, setelah dipikir-pikir kembali, tidak

ada hubungannya sama sekali).

Seraya meresapi momen itu, Robin mendekati pintu bersablon

nama itu perlahan-lahan. Diulurkannya tangan kirinya ke arah pe?

Dekut Burung Kukuk

gangan pintu (batu safir itu kini tampak gelap dalam penerangan

remang-remang), tapi sebelum sempat disentuhnya, pintu kaca itu ter?

buka.

Kali ini, tidak ada lagi kata nyaris. Seorang laki-laki besar dengan

penampilan berantakan keluar membabi buta dan menabrak dirinya;

Robin serta-merta terpental, tasnya melayang, lengannya menggapaigapai, mundur ke arah bukaan menganga di samping tangga yang me?

matikan.

Strike menyerap daya tabrakan itu, mendengar jeritan melengking,

dan bereaksi berdasarkan insting lengannya diulurkan sejauh mung?

kin, menyambar segenggam pakaian dan daging; pekik kesakitan ke?

dua menggema di dinding-dinding batu, kemudian, dengan puntiran

dan tarikan keras, dia berhasil menyeret gadis itu kembali berpijak di

lantai yang kokoh. Pekikan gadis itu masih menggaung di dindingdinding, dan Strike menyadari dia sendiri telah berteriak, "Demi

Tuhan!"

Gadis itu membungkuk dan merintih kesakitan sambil bersandar

ke pintu kantor. Melihat bagaimana dia meringkuk miring dengan

satu tangan terkubur di balik kelepak mantelnya, Strike menduga dia

telah menyelamatkan gadis ini dengan cengkeraman keras pada payu?

dara kirinya. Rambut pirang yang tebal dan bergelombang menutupi

sebagian wajah yang merah padam, tapi Strike dapat melihat air mata

kesakitan menyelinap dari sebelah matanya yang tak terpejam.

"Sialan?maaf ya!" Suaranya yang lantang menggema di tangga.

"Aku tidak melihatmu?tidak menyangka akan ada orang di sini..."

Dari bawah kaki mereka, si desainer grafis aneh dan penyendiri

yang menempati kantor di bawah berseru, "Ada apa di sana?" dan se?

saat kemudian terdengar gerutuan teredam dari atas, menandakan

bahwa manajer bar di lantai dasar, yang menghuni flat loteng di atas

kantor Strike, juga terganggu?barangkali telah terbangun gara-gara

keributan itu.

Dekut Burung Kukuk

"Masuklah..."

Strike mendorong pintu dengan ujung jemari supaya tidak terjadi

kontak fisik lagi dengan si gadis yang masih meringkuk di sana, lalu

menggiringnya masuk ke kantor.

"Ada masalah?" tanya si desainer grafis dengan nada mengeluh.

Strike membanting pintu kantornya.

"Aku tidak apa-apa," Robin berdusta dengan suara bergetar, masih

membungkuk dengan tangan di dada, membelakangi si detektif. Satudua detik kemudian dia menegakkan tubuh dan berbalik, wajahnya

merah padam dan matanya masih basah.

Penyerangnya yang tak sengaja itu bagaikan raksasa; tinggi badan?

nya, lebatnya rambut di tubuhnya, ditambah perut yang agak mem?

buncit, memberinya kesan bak beruang grizzly. Sebelah mata pria itu

sembap dan lebam, dengan goresan luka tepat di bawah alisnya. Ada

setitik darah kering pada jejak cakaran bergaris putih di pipi kirinya,

juga di sisi kanan lehernya yang tebal, yang terlihat di balik kerah

kemeja kusutnya yang terbuka.

"Anda M-Mr. Strike?"

"Ya."

"A-aku pegawai temporer."

"Apa?"

"Pegawai temporer. Dari Temporary Solutions."

Nama agen kerja itu tidak berhasil menghapus mimik heran dari

wajah Strike yang babak belur. Mereka saling memandang, takut dan
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bermusuhan.

Seperti Robin, Cormoran Strike pun tahu bahwa selamanya dia

akan mengingat dua belas jam terakhir ini sebagai rentang waktu yang

mengubah hidupnya. Sekarang, tampaknya Takdir telah mengirim

utusan yang mengenakan mantel hujan warna krem untuk menan?

tangnya dengan fakta bahwa kehidupannya sedang menggelegak me?

nuju bencana. Seharusnya tidak ada pegawai temporer yang datang

hari ini. Dia telah memberhentikan pendahulu Robin untuk menyu?

dahi kontrak.

"Kau dikirim untuk berapa lama?"

"S-seminggu dulu awalnya," jawab Robin, yang tak pernah disam?

but dengan begitu tidak antusias.

Robert Galbraith

Dengan cepat Strike menghitung dalam hati. Tarif tinggi yang di?

tetapkan agen itu akan membawa utangnya ke taraf gawat yang tak

dapat dipulihkan lagi; bahkan bisa menjadi peringatan terakhir yang

sering disebut-sebut kreditornya.

"Permisi sebentar."

Strike keluar dari ruangan melalui pintu kaca, langsung berbelok

kanan ke kamar kecil yang suram. Di sana dia mengunci pintu, lalu

menatap cermin yang retak dan buram di atas wastafel.

Bayangan yang balas menatapnya tidak kelihatan tampan. Strike

memiliki dahi tinggi dan menonjol, hidung lebar dan alis tebal bak

Beethoven muda yang senang bertinju?kesan itu dipertegas oleh

mata yang bengkak dan menghitam. Rambutnya yang tebal dan ikal

seperti karpet menjelaskan mengapa dia mendapat berbagai nama ju?

lukan ketika remaja, salah satunya "Rambut Jembut". Dia tampak le?

bih tua daripada 35 tahun usianya.

Setelah menutup lubang dengan sumbat karet, dia mengisi wastafel

yang retak dan kusam itu dengan air dingin, menghela napas dalamdalam, lalu mencelupkan kepalanya yang berdenyut-denyut hingga ter?

benam sepenuhnya. Air meluap menumpahi sepatunya, tapi dia tidak

menghiraukannya demi sepuluh detik di dalam keheningan yang di?

ngin dan membutakan.

Berbagai bayangan kejadian malam sebelumnya bermain di benak?

nya mengosongkan tiga laci dan menumpahkan barang-barang milik?

nya ke dalam tas bepergian, sementara Charlotte membentak-bentak

dia; asbak yang mengenai tulang alisnya ketika dia menoleh ke arah

Charlotte dari pintu; jalan kaki menyeberangi kota yang gelap menuju

kantornya, tempat dia tidur selama satu-dua jam di kursi kerja. Ke?

mudian, adegan final yang buruk setelah Charlotte berhasil melacak?

nya pagi-pagi sekali, untuk menikamkan sisa-sisa belati yang belum

berhasil dia benamkan ketika Strike meninggalkan flatnya; tekad

Strike untuk membiarkan Charlotte pergi setelah mencakar wajahnya

dan menghambur keluar; dan momen kesetanan ketika dia melompat

untuk mengejar Charlotte?pengejaran yang berakhir dengan cepat

karena intervensi tak sengaja seorang gadis yang tidak tahu apa-apa

dan kehadirannya tak diharapkan, yang terpaksa dia selamatkan dan

kemudian harus ditenang-tenangkan.

Dekut Burung Kukuk

Dia muncul dari air yang dingin dengan tarikan napas keras dan

gerungan, wajah dan kepalanya nyaman karena kebas dan semriwing.

Dengan handuk bertekstur kasar yang tergantung di belakang pintu,

dia menggosok wajah dan rambutnya hingga kering, lalu menatap ba?

yangannya yang muram sekali lagi. Luka parut yang sudah dibersih?

kan dari noda darah itu kini hanya terlihat seperti bekas lipatan ban?

tal. Charlotte pasti sudah sampai di stasiun bawah tanah sekarang.

Salah satu pikiran gila yang telah mendorongnya untuk mengejar

Charlotte adalah ketakutan bahwa Charlotte akan terjun ke rel. Sekali

waktu dulu ketika mereka masih pertengahan dua puluhan, setelah

suatu pertengkaran hebat, Charlotte naik ke puncak gedung dengan

terhuyung-huyung mabuk, bersumpah akan melompat. Mungkin se?

baiknya dia bersyukur karena Temporary Solutions memaksanya

membatalkan pengejaran itu. Setelah peristiwa dini hari tadi, tidak

ada jalan kembali. Kali ini, semua harus berakhir.

Sambil menjauhkan kerah kemeja yang basah dari lehernya, Strike

membuka selot pintu yang sudah karatan, keluar dari toilet, lalu kem?

bali masuk lewat pintu kaca.

Di jalan, bor mulai berderum. Robin berdiri di dekat meja mem?

belakangi pintu; dia terburu-buru menarik tangannya dari bagian de?

pan mantelnya ketika Strike memasuki ruangan. Dari situ Strike tahu

gadis itu telah memijat-mijat dadanya lagi.

"Itu?apakah kau tidak apa-apa?" tanya Strike, memastikan pan?

dangannya tidak tertuju pada area yang cedera.

"Aku tidak apa-apa. Begini. Kalau aku tidak dibutuhkan, lebih baik

aku pergi," kata Robin dengan penuh martabat.

"Tidak?bukan begitu," ujar suara yang keluar dari mulut Strike,

meskipun Strike mendengarkannya dengan muak. "Seminggu?ya,

tidak apa-apa. Eh... ini surat-surat yang baru masuk..." Diraupnya

surat-surat dari keset sambil berbicara, lalu dijatuhkannya ke meja ko?

song di depan Robin, sebagai isyarat perdamaian. "Yah, kau bisa mulai

membuka surat-surat itu, menjawab telepon, pokoknya berberes?

password komputernya Hatherill23, biar kutuliskan..." Dia menulis di

bawah tatapan Robin yang waspada dan tak yakin. "Nah, ini dia?aku

akan ada di dalam situ."

Strike masuk ke ruang dalam, menutup pintu perlahan-lahan di

Robert Galbraith

belakangnya, lalu berdiri geming, menatap tas bepergian di bawah

mejanya yang kosong. Di dalam tas itu terdapat semua yang dia miliki,

karena dia yakin tidak akan pernah lagi melihat sembilan puluh per?

sen benda miliknya yang dia tinggalkan di flat Charlotte. Benda-benda

itu barangkali akan lenyap sebelum makan siang; dibakar habis, di?

buang, dicabik-cabik dan dihancurkan, disiram cairan pemutih. Di

jalan di bawah, bor masih bergemuruh tanpa henti.

Dan sekarang, mengenai kemustahilan membayar utang-utangnya

yang menggunung; konsekuensi berat yang akan mengikuti kegagalan

bisnisnya; kelanjutan kisah yang, meski belum diketahui, merupakan

suatu keniscayaan menakutkan setelah dia meninggalkan Charlotte.

Dalam kelelahannya, kengerian itu seperti menjulang di hadapannya

dalam suatu kaleidoskop horor.

Tanpa menyadari tubuhnya bergerak, Strike mendapati dirinya

kembali di kursi tempat dia menghabiskan sisa malam sebelumnya.

Dari balik dinding tipis terdengar bunyi-bunyi gerakan teredam. Si

Temporary Solution pasti sedang menghidupkan komputer, dan sesaat

lagi akan mengetahui bahwa selama tiga minggu terakhir ini dia tidak

pernah menerima email yang berkaitan dengan pekerjaan. Lalu, me?

nuruti permintaan Strike sendiri, gadis itu akan mulai membuka ta?

gihan-tagihan finalnya. Lelah, kesakitan, dan lapar, Strike menurun?

kan kepalanya ke meja lagi, menutup mata dan telinga dengan

lengannya yang melingkar, supaya dia tidak perlu mendengar rasa

malunya digelar telanjang oleh orang tak dikenal di ruang sebelah.

Lima menit kemudian terdengar ketukan di pintu dan Strike, yang

sudah berada dibang alam tidur, serta-merta terlompat di kursinya.

"Maaf?"

Alam bawah sadarnya sudah terjalin dengan Charlotte lagi; sung?

guh mengejutkan melihat seorang gadis asing masuk ke ruangan. Ga?

dis itu telah melepas mantelnya, memperlihatkan sweter berwarna

krem yang berpotongan pas badan, bahkan sedikit menggoda. Strike

mengarahkan tatapannya ke garis rambut gadis itu.

"Ya?"

"Ada klien datang menemui Anda. Boleh dipersilakan masuk?"

"Ada siapa?"

"Klien, Mr. Strike."

Dia menatap gadis itu selama beberapa saat, berusaha mencerna

informasi tersebut.

"Oh, begitu. Oke?tunggu sebentar, beri aku waktu dua menit,

Sandra, setelah itu baru persilakan orang itu masuk."

Gadis itu berlalu tanpa berkata apa-apa.

Strike hanya menyisihkan waktu tak sampai sedetik untuk ber?

tanya pada diri sendiri mengapa dia memanggil gadis itu Sandra, lalu

melompat berdiri dan mulai membereskan diri supaya penampilan

dan baunya tidak terlalu kentara seperti pria yang belum berganti pa?

kaian sejak kemarin. Dia menyusup ke bawah meja untuk membuka

tas bepergiannya, mengambil tube pasta gigi, dan memencet odol se?

Robert Galbraith

panjang satu jari ke mulutnya yang terbuka. Saat itu barulah dia me?

nyadari dasinya yang basah karena terendam air di wastafel dan ba?

gian depan kemejanya yang ternoda titik-titik darah, jadi direnggutnya

kedua potong pakaian itu, kancing-kancing terpental-pental di dinding

dan lemari arsip, kemudian ditariknya kemeja yang bersih meski kusut

masai dari dalam tas, dan dikenakannya dengan jari-jari yang tebal

dan geragapan. Setelah menyurukkan tas bepergian itu di belakang

lemari arsip yang kosong sehingga tak kelihatan, cepat-cepat dia kem?

bali duduk dan jarinya mencungkil sudut mata kalau-kalau ada ko?

toran. Sementara itu, benaknya sibuk berpikir apakah yang disebut

klien ini benar-benar klien, apakah orang ini siap membayarkan se?

jumlah uang sungguhan untuk layanan penyelidikannya. Strike bela?

kangan menyadari, selama kurun waktu delapan belas bulan ketika ke?

uangannya menukik menuju kehancuran, bahwa hal-hal seperti itu

tidak boleh disepelekan. Dia masih mengejar dua klien yang belum

membayar penuh tagihan mereka; yang ketiga tidak bersedia mem?

bayar sepeser pun karena penemuan Strike tidak memenuhi seleranya.

Karena utangnya semakin menggunung serta harga sewa kantor di

pusat kota London mengancam huniannya sekarang, Strike tidak

mampu melibatkan pengacara. Metode-metode penagihan utang yang

kasar dan keras menjadi bahan utama fantasinya akhir-akhir ini?

sungguh memuaskan kalau dia bisa melihat para penunggaknya yang

paling sombong menciut di bawah bayang-bayang tongkat pemukul

bisbol.

Pintu terbuka lagi. Strike segera mencabut telunjuknya dari lubang

hidung dan duduk tegak, berusaha menampilkan mimik cerah dan

awas di atas kursinya.

"Mr. Strike, ini Mr. Bristow."

Calon klien itu mengikuti Robin masuk ke ruangan. Kesan yang

langsung tertangkap cukup menyenangkan. Lelaki tak dikenal ini

mungkin penampilannya agak lemah dan mirip kelinci, dengan bibir

atas pendek yang tidak berhasil menutupi gigi depannya yang besar;

rambutnya sewarna pasir, dan matanya, kalau ditilik dari kacamatanya,

pasti rabun jauh; tapi setelan jasnya yang kelabu gelap dijahit dengan

apik, dan dasi biru muda dingin itu, juga jam tangan dan sepatunya,

tampak mahal.

Dekut Burung Kukuk

Kemeja putih halus milik sang tamu membuat Strike semakin sa?

dar akan ribuan kerut di bajunya sendiri. Dia berdiri dan menampil?

kan seluruh tinggi badannya di hadapan Bristow, mengangsurkan ta?

ngan yang berbulu, dan berusaha menampik keunggulan dandanan

tamunya dengan memancarkan kesan bahwa dirinya pria yang terlalu

sibuk untuk menghiraukan soal setrika.

"Cormoran Strike. Apa kabar?"

"John Bristow," kata pria itu sambil menjabat tangannya. Suaranya

menyenangkan, berkesan terdidik, tak yakin. Pandangannya diam agak

lama pada mata Strike yang bengkak.
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah Bapak-bapak ingin minum teh atau kopi?" tanya Robin.

Bristow meminta kopi hitam di cangkir kecil, tapi Strike tidak

menjawab; tatapannya baru saja menangkap seorang wanita muda ber?

alis tebal yang mengenakan setelan tweed kedodoran, duduk di sofa

yang lapisannya sudah tipis di dekat pintu ruang luar. Kenyataan itu

menumbuhkan harapan bahwa ada dua klien potensial yang datang

pada waktu bersamaan. Tentunya tidak mungkin dia dikirimi seorang

pegawai temporer lagi, bukan?

"Anda minum apa, Mr. Strike?" tanya Robin.

"Apa? Oh?kopi hitam dengan dua gula, Sandra, terima kasih,"

ujarnya sebelum sempat menahan diri. Dilihatnya bibir gadis itu se?

dikit berkerut ketika dia menutup pintu, dan baru pada saat itu Strike

ingat bahwa dia tidak memiliki kopi, gula, maupun cangkir.

Setelah dipersilakan duduk oleh Strike, Bristow mengedarkan pan?

dang ke sekeliling kantor yang lusuh itu dengan tatapan yang menurut

Strike mengandung kekecewaan. Calon klien ini terlihat gugup dan

merasa bersalah, ekspresi yang diasosiasikan Strike dengan para suami

yang curiga, tapi ada kesan berwibawa dalam diri Bristow, yang ter?

utama disampaikan oleh setelannya yang mahal. Strike bertanya-tanya

bagaimana Bristow bisa menemukan dirinya. Sulit mengandalkan pro?

mosi dari mulut ke mulut ketika klien satu-satunya tidak mempunyai

teman (seperti yang dikatakan wanita itu sambil terisak-isak di tele?

pon).

"Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda, Mr. Bristow?" tanya

Strike sambil kembali bersandar di kursinya.

Robert Galbraith

"Begini?mm?sebenarnya, saya ingin memastikan dulu... Saya

rasa kita pernah bertemu sebelum ini."

"Oh ya?"

"Anda tidak akan ingat pada saya, karena sudah bertahun-tahun

yang lalu... tapi saya rasa Anda dulu teman adik saya, Charlie. Charlie

Bristow. Dia meninggal?dalam suatu kecelakaan?ketika usianya

sembilan tahun."

"Demi Tuhan," ujar Strike. "Charlie... ya, saya ingat."

Memang benar, dia ingat jelas sekali. Charlie Bristow salah satu te?

man yang dikumpulkan Strike selama masa kecilnya yang rumit dan

nomaden. Charlie bocah yang sangat menarik, liar, dan bandel, pe?

mimpin geng paling keren di sekolah baru Strike di London?Charlie

hanya perlu melihat si anak baru berbadan besar dengan aksen

Cornwall kental itu, dan langsung diangkatnya Strike sebagai teman

baru sekaligus letnannya. Selama dua bulan yang penuh semangat me?

reka menumbuhkan persahabatan dan kelakuan nakal. Strike?yang

selalu terpikat dengan rumah tangga anak-anak lain, dengan keluarga

yang waras dan kamar tidur tetap yang ditempati selama bertahun-ta?

hun?menyimpan kenangan yang jernih akan rumah Charlie yang be?

sar dan mewah. Ada lahan berumput yang panjang dan disinari mata?

hari, rumah pohon, dan es soda lemon yang disajikan ibu Charlie.

Kemudian, datanglah kengerian tak terbayangkan pada hari per?

tama masuk sekolah setelah libur Paskah, ketika guru wali kelas me?

reka memberitahu bahwa Charlie tidak akan kembali, bahwa dia telah

meninggal karena sepeda yang dikendarainya melewati tepi jurang be?

kas tambang yang dalam, ketika berlibur di Wales. Guru mereka itu

wanita tua yang kejam, dan tidak mampu menahan diri memberitahu

seluruh kelas bahwa Charlie, seperti yang mereka semua ingat, sering

kali tidak mematuhi perintah, padahal dia telah jelas-jelas dilarang ber?

sepeda ke dekat-dekat jurang itu, tapi tetap saja dia melakukannya,

mungkin untuk pamer. Namun, si guru terpaksa menghentikan per?

ingatannya karena dua anak perempuan yang duduk di baris depan

mulai menangis.

Sejak hari itu, Strike seperti melihat wajah tertawa bocah beram?

but pirang setiap kali dia melihat, atau bahkan sekadar membayang?

kan, jurang bekas tambang. Dia tidak heran apabila setiap anak di

Dekut Burung Kukuk

kelas Charlie Bristow juga menyimpan kengerian yang sama tentang

palung yang besar dan gelap, kedalamannya yang tak terkatakan, serta

batu-batunya yang tanpapun.

"Ya, saya ingat Charlie," ujarnya.

Jakun Bristow berkedut-kedut.

"Ya. Well, semua karena nama Anda. Saya ingat betul Charlie se?

ring membicarakan Anda selama liburan itu, pada hari-hari sebelum

dia meninggal. ?Temanku, Strike?, ?Cormoran Strike,? begitu katanya.

Nama yang tidak biasa, bukan? Dari manakah nama ?Strike? itu, apa?

kah Anda tahu? Saya tidak pernah menjumpai nama itu di tempat

lain."

Strike tahu, Bristow bukan orang pertama yang menyambar topik

penunda?cuaca, denda lalu lintas, pilihan minuman panas ke?

sukaan?demi menangguhkan pembicaaan apa pun yang telah mem?

bawa mereka datang ke kantornya.

"Saya diberitahu itu ada hubungannya dengan jagung," jawab

Strike, "soal mengukur jagung."

"Benarkah? Tidak ada kaitannya dengan pemukulan, atau pe?

mogokan, ha ha... Tidak, ya... Jadi begini. Saya mencari orang yang da?

pat membantu saya dalam suatu urusan, dan saya melihat nama Anda

di buku telepon," lutut Bristow mulai memantul-mantul, "Anda mung?

kin bisa membayangkan bagaimana?yah, rasanya seperti?seperti

pertanda. Pertanda dari Charlie. Yang mengatakan bahwa saya tidak

keliru."

Jakunnya bergerak-gerak lagi ketika dia menelan.

"Oke," cetus Strike dengan hati-hati, berharap orang ini tidak

menganggap dia sebagai perantara ke dunia lain.

"Ini tentang adik perempuan saya," kata Bristow.

"Begitu. Apakah dia terlibat masalah?"

"Dia sudah meninggal."

Strike berhasil menahan diri untuk tidak mengatakan, "Lho, dia

juga?"

"Saya turut berduka," ujarnya dengan hati-hati.

Bristow menerima ucapan belasungkawa itu dengan kedikan ke?

pala.

Robert Galbraith

"Saya?ini tidak mudah. Pertama-tama, Anda harus tahu bahwa

adik saya adalah Lula Landry."

Harapan, yang tadinya sempat dilambungkan dengan kemungkinan

dia akan mendapat klien, perlahan-lahan turun seperti batu nisan gra?

nit yang mendarat dengan hantaman menyiksa di ulu hati Strike. Pria

yang duduk di hadapannya ini pengkhayal berat, kalau bukan se?

penuhnya gila. Mustahil ada dua kristal es yang identik, sama mus?

tahilnya dengan kenyataan bahwa pria pucat pasi seperti kelinci ini

berasal dari gen yang sama dengan Lula Landry yang berkulit bak pe?

runggu, bertubuh kencang, dengan kecantikan bagaikan irisan berlian

sempurna.

"Orangtua kami mengadopsi dia," Bristow berkata lemah, seolaholah dia tahu apa yang dipikirkan Strike. "Kami semua diadopsi."

"Begitu," gumam Strike. Dia memiliki daya ingat yang akurat. Se?

waktu membayangkan rumah yang besar, sejuk, dan rapi beserta

tamannya yang luas itu, dia teringat seorang ibu yang luwes dan

berambut pirang menguasai meja piknik, seorang ayah yang intimi?

datif dengan suaranya yang lantang dan jauh, kakak laki-laki bertam?

pang masam yang hanya menusuk-nusuk kue buahnya, serta Charlie

yang melawak dan membuat ibunya tertawa?tapi tidak ada anak pe?

rempuan yang lebih kecil.

"Anda pasti tidak pernah bertemu dengan Lula," lanjut Bristow,

lagi-lagi seperti mendengar Strike menyuarakan isi pikirannya.

"Orangtua saya baru mengadopsi dia setelah Charlie meninggal. Lula

berumur empat tahun ketika datang ke keluarga kami; selama be?

berapa tahun sebelumnya dia dirawat dinas sosial. Umur saya hampir

lima belas. Saya masih ingat berdiri di pintu depan dan melihat ayah

saya menggendong dia di jalan masuk mobil. Lula mengenakan topi

rajut kecil warna merah. Ibu saya masih menyimpan topi itu."

Lalu, dengan tiba-tiba, dengan mengejutkan, tangis John Bristow

pecah. Dia terisak-isak sambil menutupi mulut dengan tangan, pun?

daknya membungkuk, tersedu sedan, sementara air mata dan ingus

mengalir di antara jari-jarinya. Setiap kali dia hampir dapat mengen?

dalikan diri, sekejap kemudian isakannya pecah lagi.

"Maafkan saya?maaf?ya Tuhan..."

Dekut Burung Kukuk

Sambil terengah dan cegukan, dia mengusapkan lipatan sapu?

tangan ke balik kacamata, berusaha menguasai diri.

Pintu kantor terbuka dan Robin masuk sambil membawa nampan.

Bristow memalingkan wajah, pundaknya naik-turun dan berguncangguncang. Dari pintu yang terbuka Strike sekilas melihat wanita ber?

setelan di ruang luar, yang sekarang merengut ke arahnya dari balik

koran Daily Express.

Robin menyajikan dua cangkir, wadah susu, mangkuk gula, dan se?

piring biskuit cokelat?kesemuanya belum pernah dilihat Strike?lalu

tersenyum sopan ketika menerima ucapan terima kasih dan beranjak

hendak keluar.

"Tunggu sebentar, Sandra," kata Strike. "Bisakah kau...?"

Dicabutnya secarik kertas dari meja dan diletakkan di atas lutut?

nya. Sementara Bristow masih mengeluarkan suara berdeguk-deguk,

Strike menulis dengan cepat, sejelas yang bisa dia lakukan

Tolong Google Lula Landry dan cari tahu apakah dia diadopsi, dan

kalau ya, oleh siapa. Jangan bicarakan yang kaulakukan ini dengan

wanita yang di luar (apa yang dilakukannya di sini?). Tulis jawaban

pertanyaan di atas dan bawa kepadaku, tanpa menyebutkan apa

yang telah kautemukan.

Diserahkannya kertas itu kepada Robin, yang menerimanya tanpa

berkata-kata dan keluar dari ruangan.

"Maaf?maaf sekali," kata Bristow sambil tersengal, ketika pintu

sudah tertutup. "Ini?saya tidak biasanya?saya sudah kembali be?

kerja, menemui klien..." Dia menarik napas dalam beberapa kali. De?

ngan mata merah, dia semakin mirip kelinci albino. Lutut kanannya

masih memantul-mantul.

"Ini saat-saat yang tidak mudah," katanya dengan suara berbisik,

menghela napas berkali-kali. "Lula... dan ibu saya sedang sakit parah..."

Strike mulai berliur melihat biskuit cokelat itu, karena rasanya su?

dah berhari-hari dia tidak makan; tapi dia akan terkesan tidak ber?

simpati kalau makan sementara Bristow memantul-mantul, mende?

ngus-dengus, dan mengusap-usap mata. Bor masih bertalu-talu

seperti senapan mesin di jalanan di bawah.

Robert Galbraith

"Ibu saya seperti menyerah begitu saja sejak Lula meninggal.

Remuk redam. Seharusnya kankernya sudah hilang, tapi ternyata me?

nyerang kembali, dan kata dokter tidak ada lagi yang bisa mereka

lakukan. Maksud saya, ini sudah kali kedua. Dia mengalami gun?

cangan batin sesudah peristiwa yang menimpa Charlie. Ayah saya me?

ngira, kedatangan seorang anak akan membuatnya lebih baik. Mereka

selalu menginginkan anak perempuan. Tidak mudah mengurus per?

mohonannya, tapi Lula berdarah campuran, jadi lebih sulit ditempat?

kan. Begitulah," dia menyudahi sambil menahan isakan, "akhirnya me?

reka berhasil mendapatkan dia.

"Lula sejak dulu c-cantik jelita. Dia ditemukan k-ketika sedang

berbelanja di Oxford Street bersama ibu saya. Dikontrak oleh Athena,

salah satu agen model prestisius. Dia menjadi model purnawaktu
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

s-sejak umur tujuh belas. Ketika dia meninggal, kekayaannya bernilai

sepuluh juta dolar. Entah kenapa saya menceritakan semua ini. Ba?

rangkali Anda sudah tahu. Semua orang tahu?mengira mereka

tahu?segala hal tentang Lula."

Diambilnya cangkir dengan gugup, tangannya bergetar sampaisampai kopinya tumpah ke celana panjangnya yang rapi.

"Persisnya, apa yang Anda ingin saya lakukan?" Strike bertanya.

Bristow meletakkan kembali cangkirnya di meja dengan gemetar,

lalu menangkupkan kedua tangan erat-erat.

"Orang bilang, adik saya bunuh diri. Saya tidak percaya."

Strike ingat gambar-gambar di televisi kantong mayat hitam di

atas ranjang dorong, berpendar-pendar dihujani cahaya lampu kilat

ketika dipindahkan kebulans, para fotografer berkerumun ketika

ambulans mulai bergerak, mengangkat kamera ke arah jendela yang

gelap, cahaya putih memantul di kaca hitam. Dia tahu tentang ke?

matian Lula Landry lebih banyak daripada yang diinginkannya, sama

seperti yang dialami setiap manusia waras di Inggris. Dibombardir

berita itu, mau tak mau orang jadi menaruh minat, dan tahu-tahu

saja, begitu banyak informasi yang kauketahui, begitu banyak opini

yang terbentuk tentang fakta-fakta kasus itu, sehingga kau tidak akan

diizinkan duduk di kursi juri.

"Sudah dilakukan penyelidikan, bukan?"

"Ya, tapi polisi yang bertanggung jawab atas kasus itu sudah yakin

Dekut Burung Kukuk

dari awal bahwa Lula bunuh diri, hanya karena dia mendapat pera?

watan lithium. Banyak hal yang dilewatkan polisi itu?beberapa

bahkan diunggah ke internet."

Bristow mengetukkan ujung telunjuknya di meja Strike yang ko?

song, di tempat yang sepantasnya dihuni komputer.

Ketukan sopan terdengar dan pintu terbuka; Robin masuk, mem?

berikan kertas terlipat kepada Strike, lalu keluar lagi.

"Maaf, permisi sebentar," kata Strike. "Saya sedang menunggununggu pesan ini."

Dibukanya kertas itu di lututnya supaya Bristow tidak bisa melihat

dari sebaliknya, dan membaca

Lula Landry diadopsi oleh Sir Alec dan Lady Yvette Bristow pada

umur empat tahun. Dia dibesarkan dengan nama Lula Bristow, tapi

kemudian mengambil nama gadis ibunya ketika mulai berkarier

sebagai model. Dia memiliki kakak laki-laki bernama John, penga?

cara. Gadis yang menunggu di luar adalah pacar Mr. Bristow dan

sekretaris di biro hukumnya. Mereka bekerja untuk Landry, May,

Patterson, biro hukum yang didirikan oleh kakek Lula dan John dari

pihak ibu. Foto John Bristow yang terdapat di laman biro hukum

LMP sama dengan orang yang duduk di depan Anda.

Strike meremas catatan itu dan melemparnya ke tempat sampah di

dekat kakinya. Dia tertegun. John Bristow ternyata bukan pengkhayal,

dan dia, Strike, sepertinya mendapat pegawai temporer yang memiliki

inisiatif serta tata bahasa yang sangat baik.

"Maaf, silakan lanjutkan," dia berkata kepada Bristow. "Anda tadi

sampai di mana?penyelidikan?"

"Ya," kata Bristow sambil menyeka hidung dengan saputangan yang

basah. "Well, saya tidak menyangkal bahwa Lula bermasalah. Dia telah

membuat Mum kalang kabut. Masalahnya itu bermula hampir ber?

samaan dengan saat ayah kami meninggal?Anda mungkin sudah

pernah mendengarnya, karena tak kurang-kurang diberitakan di me?

dia massa... Dia dikeluarkan dari sekolah karena urusan narkoba. Dia

lari ke London, Mum menemukan dia hidup sembarangan dengan

para pemadat, narkoba memperparah kondisi kejiwaannya, lalu dia ka?

Robert Galbraith

bur dari panti perawatan?terjadi kehebohan dan drama tiada henti.

Namun, pada akhirnya mereka menyadari dia menderita bipolar, dan

diberi obat-obatan yang sesuai. Sejak itu, asal Lula minum obatobatannya, dia baik-baik saja. Tidak akan ada orang yang tahu bahwa

dia memiliki masalah kejiwaan. Koroner pun mengakui bahwa dia

mengonsumsi obatnya, autopsi membuktikan hal itu.

"Tapi polisi dan koroner tidak mau melihat lebih jauh di balik ke?

nyataan bahwa gadis ini pernah memiliki masalah kejiwaan. Mereka

bersikeras dia depresi, tapi saya yakin Lula sama sekali sedang tidak

depresi. Saya bertemu dengannya pada pagi hari sebelum dia me?

ninggal, dan dia baik-baik saja. Segalanya sedang berlangsung baik,

terutama kariernya. Dia baru menandatangani kontrak yang akan

memberikan pemasukan lima juta selama dua tahun; dia meminta

saya meneliti kontrak itu bersamanya, dan kesepakatan itu sangat

menguntungkan. Desainer yang mengontraknya adalah teman baik?

nya, Som??saya rasa Anda pernah mendengar namanya? Dan

jadwalnya sudah penuh untuk berbulan-bulan ke depan. Akan ada

pemotretan di Maroko, dan Lula suka bepergian. Jadi Anda lihat,

tidak ada alasan apa pun bagi Lula untuk bunuh diri."

Strike mengangguk sopan, dalam hati tidak terlalu terkesan. Me?

nurut pengalamannya, orang yang menghabisi nyawanya sendiri bisa

saja pura-pura menaruh minat pada masa depan yang tidak akan me?

reka jalani. Suasana hati Landry yang cerah berbunga-bunga pada pagi

hari bisa saja berubah gelap dan tanpa harapan seiring berjalannya

hari dan separuh malam menjelang kematiannya. Strike tahu hal

seperti itu bisa terjadi. Dia ingat seorang letnan King?s Royal Rifle

Corps, yang terbangun pada malam seusai perayaan ulang tahunnya,

di mana dia menjadi jantung dan jiwa pesta. Dia meninggalkan ca?

tatan untuk keluarganya, memberitahu mereka agar menelepon polisi

dan tidak masuk ke garasi. Mayatnya ditemukan tergantung dari

langit-langit garasi oleh putranya yang berusia lima belas tahun, yang

tidak tahu tentang surat itu ketika dia bergegas melewati dapur me?

nuju garasi untuk mengambil sepeda.

"Bukan hanya itu," ujar Bristow. "Ada bukti, bukti nyata. Tansy

Bestigui, misalnya."

"Dia tetangga yang mengaku mendengar pertengkaran di lantai

Dekut Burung Kukuk

atas?"

"Itu dia! Dia mendengar suara laki-laki berteriak di atas, tepat se?

belum Lula terjun dari balkon! Polisi mengabaikan pengakuannya,

murni karena?yah, dia mengonsumsi kokain. Tapi bukan berarti dia

tidak tahu apa yang dia dengar. Sampai hari ini Tansy bersikeras bah?

wa Lula bertengkar dengan seorang laki-laki beberapa detik sebelum

dia jatuh. Saya tahu karena baru-baru ini saya membicarakan hal itu

dengannya. Biro hukum kami menangani kasus perceraiannya. Saya

yakin akan dapat membujuk Tansy untuk bicara dengan Anda.

"Kemudian," lanjut Bristow sambil mengamati Strike dengan gu?

gup, berusaha mengukur reaksinya, "ada rekaman kamera CCTV. Se?

orang pria berjalan ke arah Kentigern Gardens sekitar dua puluh me?

nit sebelum Lula jatuh, lalu ada rekaman lagi yang menunjukkan pria

yang sama berlari tunggang langgang dari Kentigern Gardens setelah

Lula jatuh. Polisi tidak pernah tahu siapa orang itu, tidak berhasil me?

lacaknya."

Dengan kesungguhan yang gelisah, Bristow kini mengeluarkan se?

pucukplop yang sedikit kusut dari saku jasnya dan mengacungkan?

nya.

"Saya sudah menuliskan semuanya. Waktu dan segalanya. Semua

ada di sini. Anda akan lihat sendiri bagaimana semua itu sesuai."

Kemunculanplop itu tidak menambah keyakinan Strike akan

penilaian Bristow. Sudah sering dia diberi bukti semacam itu catatan

hasil obsesi tunggal dan salah arah, rentetan pikiran mendukung teori

kacamata kuda; tabel waktu rumit yang direkayasa supaya sesuai de?

ngan kebetulan-kebetulan yang tak masuk akal. Kelopak mata kiri si

pengacara berkedut-kedut, sebelah lututnya naik-turun gelisah, dan

jari-jarinya mengulurkanplop itu dengan gemetar.

Selama beberapa saat Strike membandingkan tanda-tanda kete?

gangan itu dengan sepatu Bristow yang jelas-jelas buatan tangan, juga

arloji Vacheron Constantin yang sesekali tampak di pergelangan yang

pucat kala tangannya berisyarat. Pria ini sanggup dan bersedia mem?

bayar, barangkali mau melakukannya cukup lama sehingga memung?

kinkan Strike melunasi satu angsuran pinjaman yang paling mendesak

dalam barisan utangnya.

"Mr. Bristow?"

Robert Galbraith

"Panggil aku John."

"John... aku akan jujur kepadamu. Kurasa tidak benar kalau aku

menerima uangmu."

Bercak-bercak merah muncul di leher Bristow yang pucat dan di

wajahnya yang tak istimewa, sementaraplop itu masih teracung di

tangannya.

"Apa maksudmu, tidak benar?"

"Kematian adikmu barangkali sudah melewati penyelidikan yang

paling saksama. Jutaan orang, media dari berbagai belahan dunia, se?

mua mengikuti tiap gerak-gerik polisi. Kasus ini pasti ditangani de?

ngan lebih teliti ketimbang yang lain-lain. Bunuh diri memang ke?

jadian yang sulit diterima?"

"Aku tidak terima. Aku tidak akan pernah terima. Dia tidak mung?

kin bunuh diri. Ada orang yang mendorongnya dari balkon itu."

Di luar, mesin bor mendadak berhenti, sehingga suara Bristow ber?

gema lantang di dalam ruangan; kemurkaannya khas seorang lelaki le?

mah lembut yang telah didesak hingga ke batasnya yang terjauh.

"Aku mengerti. Aku paham. Kau jenis yang itu, ya? Semacam psi?

kolog jadi-jadian? Charlie sudah mati, ayahku sudah mati, Lula sudah

mati, dan sekarang ibuku sekarat?aku kehilangan semua orang, dan

yang kubutuhkan adalah psikolog yang membantuku dalam masa ber?

kabung, bukan detektif. Kaupikir aku tidak pernah mendengarnya ra?

tusan kali sebelum ini?"

Bristow bangkit berdiri, tampak mengesankan dengan gigi kelinci

dan kulitnya yang bebercak merah.

"Aku ini orang yang lumayan kaya, Strike. Maaf kalau terdengar

kasar, tapi ya sudahlah. Ayahku mewarisiku dana perwalian yang lu?

mayan besar. Aku sudah mengecek tarif layanan bisnis ini, dan se?

benarnya bersedia membayar dobel."

Tarif dobel. Prinsip Strike, yang tadinya teguh dan tak tergoyah?

kan, telah menerima pukulan nasib berkali-kali?dan ini adalah han?

taman yang membuatnya terkapar. Dirinya yang paling mendasar

sudah bersorak gembira membayangkan kemungkinan yang menye?

nangkan upah kerja sebulan akan cukup untuk membayar si pegawai

temporer dan beberapa tunggakan sewa; dua bulan, utang-utang yang

lebih mendesak... tiga bulan, sebagian besar kredit bank akan dapat

Dekut Burung Kukuk

dilunasi... empat bulan...

Tetapi Bristow sedang berbicara dari balik bahunya sambil beran?

jak menuju pintu, mencengkeram dan meremasplop yang tidak

bersedia diterima Strike.

"Aku memang ingin kau yang menangani ini karena Charlie, tapi

aku sudah mencari tahu tentang dirimu, dan aku tidak sepenuhnya

goblok. Kau dulu di cabang investigasi khusus, polisi militer, bukan?

Mendapat penghargaan pula. Harus kukatakan bahwa aku tidak ter?

kesan dengan kantormu," Bristow nyaris berteriak sekarang, dan Strike

menyadari suara-suara perempuan di ruang luar tak lagi terdengar,

"tapi rupanya aku keliru, rupanya kau sanggup menolak pekerjaan.

Baiklah! Lupakan saja. Aku yakin akan dapat mencari orang lain un?

tuk melakukan pekerjaan ini. Maaf sudah mengganggu!"

Percakapan kedua lelaki itu dapat didengar dari balik dinding tipis,
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan semakin lama semakin keras. Kini, dalam kesunyian yang me?

nyusul berhentinya dentuman bor, kata-kata Bristow terdengar se?

jelas-jelasnya.

Hanya untuk kesenangannya sendiri, dalam semangat hari yang

bahagia ini, Robin berakting meyakinkan memerankan sekretaris tetap

Strike, dan tidak memperlihatkan pada pacar Bristow bahwa baru se?

tengah jam dia bekerja untuk detektif partikelir itu. Sebisa mungkin

dia menyembunyikan tanda-tanda terkejut dan senang ketika

teriakan-teriakan itu tiba-tiba terdengar, namun secara instingtif dia

langsung berpihak pada Bristow, apa pun penyebab konfliknya. Pe?

kerjaan Strike dan lebam di matanya memberikan kesan glamor yang

kasar, tapi sikapnya terhadap Robin sungguh payah dan payudara kiri?

nya masih nyeri.

Pacar Bristow sudah memandangi pintu yang tertutup sejak suara

kedua pria itu mulai terdengar mengatasi bunyi bor. Wanita ini pe?

rawakannya besar dan gelap, dengan rambut bob lepek dan alis yang

semestinya menyatu kalau saja tidak dirapikan. Secara natural tam?

pangnya terlihat marah. Robin memperhatikan bahwa pasangan cen?

derung memiliki kadar kemenarikan yang setara, walaupun tentu saja

dengan faktor-faktor lain seperti uang orang sering kali mendapatkan

pasangan dengan penampilan yang jauh lebih menarik. Menurut

Robin, sungguh manis bahwa Bristow?dengan setelannya yang bagus

Dekut Burung Kukuk

dan biro hukumnya yang prestisius, dan sesungguhnya bisa mengincar

wanita lain yang lebih cantik?telah memilih gadis ini, yang menurut

Robin lebih hangat dan baik hati daripada penampilan luarnya.

"Kau yakin tidak mau minum kopi, Alison?" tanya Robin.

Gadis itu berpaling, seakan-akan kaget diajak bicara. Sepertinya

dia sudah lupa Robin ada di sana.

"Tidak, terima kasih," jawabnya, dengan suara berat yang ternyata

merdu. "Sudah kuduga dia akan marah," tambahnya, dengan rasa puas

yang aneh. "Aku sudah berusaha membujuknya agar tidak melakukan

ini, tapi dia tidak mau dengar. Sepertinya orang yang mengaku de?

tektif ini menolaknya. Baguslah."

Kekagetan Robin pasti terlihat, karena Alison melanjutkan, dengan

sedikit jejak ketidaksabaran

"Lebih baik bagi John kalau dia mau menerima fakta-faktanya.

Lula bunuh diri. Seluruh keluarga sudah menerima itu, aku tidak me?

ngerti kenapa John tidak bisa."

Tidak ada gunanya berpura-pura tidak mengerti apa yang Alison

katakan. Semua orang tahu apa yang telah terjadi pada Lula Landry.

Robin ingat benar di mana dia berada ketika mendengar bahwa sang

model terjun dan mati pada suatu malam beku di bulan Januari dia

sedang berdiri di depan wastafel di dapur rumah orangtuanya. Berita

itu didengarnya di radio, dan dia memekik kecil, lalu terbirit-birit dari

dapur dalam piamanya untuk memberitahu Matthew, yang menginap

selama akhir pekan itu. Bagaimana kematian seseorang yang tak

pernah kaukenal begitu memengaruhimu? Robin sangat mengagumi

penampilan Lula Landry. Dia tidak terlalu menyukai warna kulit dan

rambutnya sendiri yang pucat seperti nona pemerah susu. Lula

Landry gelap, berkilau, mungil, dan agresif.

"Dia belum lama meninggal."

"Sudah tiga bulan," kata Alison, lalu mengibaskan koran Daily

Express-nya. "Apakah orang ini bagus?"

Robin sempat menangkap ekspresi jijik Alison ketika mengamati

kondisi ruang tunggu sempit yang lusuh dan jelas tampak kumuh ini,

dan baru saja di internet dia melihat kantor megah dan mengilap tem?

pat wanita ini bekerja. Karena itu, jawabannya lebih untuk memper?

tahankan martabat diri, bukan karena keinginannya membela Strike.

Robert Galbraith

"Oh, ya," jawab Robin dengan tenang. "Dia salah satu yang terbaik."

Dengan pisau surat dia membuka sepucukplop warna merah

jambu berhias gambar anak-anak kucing dengan gaya seorang wanita

yang setiap hari berkutat dengan krisis yang lebih rumit dan lebih me?

narik ketimbang yang dapat dibayangkan Alison.

Sementara itu, Strike dan Bristow berdiri berhadapan di ruang da?

lam kantor itu, yang satu murka, yang lain berusaha mencari jalan un?

tuk membalik posisi tanpa menggembosi harga dirinya sendiri.

"Yang kuinginkan, Strike," kata Bristow dengan suara parau, wajah?

nya yang tirus membara, "adalah keadilan."

Seolah-olah Bristow telah menyentuh garpu tala yang tak kasat?

mata; sepatah kata itu berdentang di dalam ruangan yang muram, me?

mancing nada yang tak terdengar namun bergema lantang dalam dada

Strike. Bristow berhasil menemukan pemantik yang selama ini di?

lindungi Strike ketika segala sesuatunya hancur lebur menjadi debu.

Dia berdiri dalam keputusasaannya akan uang, tapi Bristow telah

memberinya alasan lain yang jauh lebih baik untuk menumpas keraguraguannya.

"Oke. Aku mengerti. Aku sungguh-sungguh, John, aku mengerti.

Kembalilah kemari dan duduklah. Kalau kau masih membutuhkan

bantuanku, aku mau memberikannya."

Bristow mendelik kepadanya. Tidak ada sedikit pun suara di dalam

ruangan kecuali teriakan para pekerja di bawah.

"Kau ingin?eh, istrimu??untuk masuk kemari?"

"Tidak," Bristow menjawab, masih tegang, tangannya menggeng?

gam kenop pintu. "Alison berpendapat aku sebaiknya tidak melakukan

ini. Sebenarnya aku sendiri tidak mengerti mengapa dia ingin ikut.

Barangkali berharap kau akan menolakku."

"Silakan duduk. Mari kita bahas soal ini dengan sepantasnya."

Bristow bimbang, lalu bergerak kembali ke kursi yang tadi dia ting?

galkan.

Pengendalian dirinya akhirnya kalah, Strike mencomot biskuit co?

kelat itu dan menjejalkannya utuh-utuh ke dalam mulut. Diambilnya

notes yang belum digunakan dari laci meja, dibaliknya sampul depan,

lalu dia meraih bolpoin dan berhasil menelan biskuit itu bersamaan

dengan Bristow yang kembali ke tempat duduknya.

Dekut Burung Kukuk

"Boleh kulihat itu?" pinta Strike, menunjukplop yang masih di?

cengkeram Bristow.

Si pengacara mengulurkan benda itu seolah-olah masih tidak yakin

apakah dia dapat memercayakannya kepada Strike. Strike yang tidak

ingin membaca isinya di hadapan Bristow, meletakkannya dengan te?

pukan kecil, untuk menunjukkan bahwaplop itu sekarang adalah

komponen yang berharga dalam penyelidikan. Lalu dia siap dengan

bolpoinnya.

"John, akan sangat membantu kalau kau bersedia memberikan

ringkasan mengenai apa yang terjadi pada hari adikmu meninggal."

Pada dasarnya Strike orang yang metodis dan teliti, dan dia dilatih

untuk melakukan penyelidikan dengan standar tinggi dan ketat. Per?

tama-tama, biarkan saksi menceritakan kisah mereka dengan cara me?

reka sendiri arus yang tak terbendung sering kali memunculkan

detail-detail, hal-hal yang tampak tidak penting, tapi nantinya menjadi

potongan-potongan bukti yang sangat berharga. Begitu banjir impresi

dan ingatan pertama itu selesai dipanen, tiba waktunya untuk meng?

gali dan mengatur fakta-fakta dengan cermat dan akurat orang-orang,

tempat-tempat, benda-benda...

"Oh," ucap Bristow, yang sepertinya tidak yakin dari mana harus

mulai setelah ledakan kemarahan tadi, "aku tidak tahu... sebentar..."

"Kapan terakhir kali kau melihatnya?" pancing Strike.

"Itu pasti?ya, pada pagi hari sebelum dia meninggal. Kami... kami

sempat ribut, sebenarnya, walaupun untungnya kami berbaikan se?

telah itu."

"Pukul berapa itu?"

"Masih cukup pagi. Sebelum pukul sembilan, aku hendak berang?

kat ke kantor. Barangkali sembilan kurang seperempat?"

"Kalian bertengkar tentang apa?"

"Oh, tentang pacarnya, Evan Duffield. Mereka baru berbaikan lagi.

Keluarga kami mengira mereka sudah putus, dan kami senang. Orang

itu mengerikan, pemadat dan tukang pamer kronis, pokoknya orang

yang berpengaruh paling buruk bagi Lula.

"Aku mungkin agak terlalu galak, aku?ya, bisa kubayangkan seka?

rang. Aku sebelas tahun lebih tua daripada Lula. Aku cenderung pro?

Robert Galbraith

tektif, kau mengerti. Mungkin kadang-kadang bossy. Dia selalu me?

ngatakan aku tidak pernah mengerti."

"Mengerti apa?"

"Yah... segalanya. Dia punya banyak isu. Isu bahwa dia diadopsi.

Isu bahwa dia satu-satunya yang berkulit gelap dalam keluarga yang

semuanya berkulit putih. Dia selalu bilang hidupku mudah... Entah?

lah. Barangkali dia benar."

Matanya mengerjap-ngerjap cepat di balik kacamata. "Pertengkaran

itu sebenarnya kelanjutan dari pertengkaran kami di telepon malam

sebelumnya. Aku tidak percaya dia begitu bodohnya mau kembali

pada Duffield. Kelegaan kami ketika mereka putus... maksudku,

mengingat sejarahnya dengan obat-obatan terlarang, kalau dia ber?

hubungan dengan pemadat..." Bristow menghela napas. "Dia tidak per?

nah mau mendengar. Dia marah sekali padaku. Bahkan dia mem?

berikan instruksi pada satpam gedung flatnya agar tidak mengizinkan

aku masuk keesokan paginya, tapi?well, Wilson toh membiarkan aku

masuk juga."

Pasti memalukan, pikir Strike, terpaksa tergantung pada ke?

murahhatian penjaga pintu.

"Sebenarnya aku tidak bermaksud naik ke flatnya," kata Bristow

dengan sedih, bercak-bercak warna mulai terlihat lagi di lehernya yang

kurus, "tapi aku membawa kontrak dengan Som? yang harus kukem?

balikan padanya. Dia memintaku menelitinya dan kontrak itu harus

dia tanda tangani... Lula bisa sangat cuek dengan hal-hal semacam itu.

Singkatnya, dia tidak terlalu senang karena aku diizinkan naik, dan

kami bertengkar lagi, tapi dengan cepat mereda. Tak lama kemudian

dia tenang.

"Lalu kukatakan padanya bahwa Mum pasti akan senang dikun?

jungi. Mum baru saja keluar dari rumah sakit. Operasi histerektomi.

Lula bilang, dia mungkin akan menjenguknya nanti, di flat Mum, tapi

belum pasti. Ada hal-hal yang harus dia lakukan."

Bristow menghela napas panjang; lutut kanannya mulai naik-turun

lagi, dan kedua tangan yang jarinya berbonggol-bonggol itu saling me?

remas seakan-akan dia sedang mencuci tangan.

"Aku tidak ingin kau berpikiran buruk tentang Lula. Orang-orang

menganggap dia egois, tapi dia anak bungsu di keluarga kami, dan lu?

Dekut Burung Kukuk

mayan dimanja. Lalu dia sakit dan, tentunya, menjadi pusat perhatian.

Kemudian dia terjun ke dunia yang luar biasa, dengan orang-orang

dan segala sesuatu yang berpusat pada dirinya, dan diburu oleh papa?

razzi. Itu bukan kehidupan yang normal."

"Memang bukan," timpal Strike.

"Nah, jadi aku memberitahu Lula bahwa Mum merasa lemah dan

kesakitan, Lula bilang dia mungkin akan datang menjenguk. Aku

pergi, lalu mampir sebentar ke kantor untuk mengambil berkas-berkas

dari Alison, karena aku ingin bekerja di flat Mum sembari menemani?

nya. Berikutnya, aku bertemu dengan Lula di flat Mum, menjelang

siang. Dia duduk bersama Mum selama beberapa waktu di kamar

tidur, sampai pamanku datang menjenguk. Lula mampir ke ruang
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerja untuk berpamitan padaku. Dia memelukku sebelum..."

Suara Bristow pecah, dia duduk memandangi pangkuannya.

"Kopi lagi?" usul Strike. Bristow menggelengkan kepalanya yang

tertunduk. Untuk memberinya kesempatan menguasai diri kembali,

Strike mengambil nampan dan menuju ruang luar.

Pacar Bristow mendongak dari surat kabarnya ketika Strike keluar,

memberengut. "Kalian belum selesai?" dia bertanya.

"Rupanya belum," sahut Strike, tanpa berusaha menampilkan se?

nyum. Alison memelototinya ketika Strike berbicara pada Robin.

"Bisakah aku minta secangkir kopi lagi, eh...?"

Robin berdiri dan menerima nampan itu darinya tanpa berkatakata.

"John harus kembali ke kantor pukul setengah sebelas," Alison

memberitahu Strike, dengan suara lebih keras. "Kami harus pergi pa?

ling lambat sepuluh menit lagi."

"Akan kuingat," Strike meyakinkannya dengan mimik datar se?

belum kembali masuk dan mendapati Bristow duduk seperti sedang

berdoa, kepala tertunduk di atas kedua tangan yang saling meng?

genggam.

"Maafkan aku," katanya perlahan, ketika Strike duduk kembali.

"Masih sulit membicarakan hal ini."

"Tidak apa-apa," kata Strike sambil mengambil notesnya lagi. "Jadi,

Lula datang mengunjungi ibumu? Pukul berapa itu?"

"Sekitar pukul sebelas. Semua muncul dalam sidang pendahuluan,

Robert Galbraith

apa yang dia lakukan sesudah itu. Lula minta diantar sopir ke butik

kesukaannya, lalu kembali ke flat. Dia ada janji di rumah dengan

penata rias kenalannya, dan temannya, Ciara Porter, juga datang ber?

gabung. Kau pasti tahu Ciara Porter, model juga. Sangat pirang. Me?

reka pernah difoto bersama sebagai malaikat, kau mungkin pernah

melihatnya telanjang, hanya mengenakan sayap dan membawa tas ta?

ngan. Som? menggunakan foto itu dalam kampanye iklannya setelah

Lula meninggal. Orang-orang bilang itu sangat tidak pantas.

"Jadi Lula dan Ciara menghabiskan waktu sepanjang sore itu di flat

Lula, lalu mereka pergi untuk makan malam, di mana mereka ber?

temu dengan Duffield dan beberapa orang lain. Mereka semua lanjut

ke kelab malam Uzi, dan berada di sana sampai lewat tengah malam.

"Kemudian Duffield dan Lula bertengkar. Banyak yang melihat ke?

jadian itu. Duffield sempat mencengkeram Lula untuk mencegahnya

pergi, tapi Lula meninggalkan kelab itu seorang diri. Sesudah itu se?

mua orang menganggap Duffield-lah yang melakukannya, tapi ter?

nyata alibinya sangat kuat."

"Lolos karena alibi yang diberikan bandar narkobanya, bukan?"

tanya Strike sambil tetap menulis.

"Ya, benar. Kemudian?kemudian Lula kembali ke flatnya sekitar

pukul satu lewat dua puluh. Dia difoto ketika masuk. Kau mungkin

ingat foto itu. Sesudahnya, foto itu terpampang di mana-mana."

Strike ingat salah satu wanita di dunia yang paling sering difoto,

kepala tertunduk, bahu membungkuk, mata redup, lengan terlipat me?

meluk tubuhnya sendiri, memalingkan wajah dari para fotografer.

Begitu keputusan bunuh diri itu ditetapkan secara resmi, foto itu ber?

ubah makna menjadi mengerikan seorang wanita muda yang cantik

jelita dan kaya raya, tak sampai satu jam sebelum kematiannya, ber?

usaha menyembunyikan kegalauannya dari lensa-lensa yang selama ini

menjadi teman yang begitu memujanya.

"Apakah biasanya memang selalu ada fotografer yang menunggu di

luar pintunya?"

"Ya, terutama kalau mereka tahu dia sedang bersama Duffield, atau

kalau mereka ingin memotretnya pulang dalam keadaan mabuk. Tapi

malam itu bukan hanya Lula yang mereka tunggu. Seorang rapper

Amerika seharusnya datang ke gedung yang sama; Deeby Macc nama?

Dekut Burung Kukuk

nya. Perusahaan rekamannya menyewakan apartemen di bawah flat

Lula. Pada akhirnya dia tidak jadi bermalam di sana. Dengan polisi

yang menguasai gedung, lebih mudah kalau dia dibawa ke hotel. Tapi,

para fotografer yang mengejar mobil Lula ketika dia meninggalkan

Uzi, bergabung dengan yang sudah menunggu Macc di luar gedung

apartemen, jadi cukup besar kerumunan yang ada di luar pintu ma?

suk, walaupun mereka semua pergi tak lama setelah Lula masuk.

Entah bagaimana, mereka mendapat kisikan bahwa Macc tidak akan

datang ke sana sampai berjam-jam ke depan.

"Malam itu dingin menggigit. Turun salju. Suhu di bawah titik

beku. Jadi jalanan kosong ketika dia jatuh."

Bristow mengerjap dan menyesap kopi yang sudah dingin. Strike

berpikir tentang paparazzi yang telah pergi sebelum Lula Landry jatuh

dari balkonnya. Bayangkan, pikirnya, berapa harga foto yang meng?

abadikan Landry ketika terjun menuju maut?barangkali cukup un?

tuk pensiun.

"John, pacarmu bilang kau perlu berada di suatu tempat pukul se?

tengah sebelas."

"Apa?"

Bristow seperti baru tersadar dari mimpi. Dia mengecek jam

tangannya yang mahal, terkesiap.

"Ya Tuhan, aku tidak sadar sudah di sini begitu lama. Jadi?se?

sudah ini bagaimana?" dia bertanya, agak kebingungan. "Kau akan

membaca catatanku?"

"Ya, tentu saja," Strike meyakinkan dia, "dan aku akan menelepon?

mu dua hari lagi kalau sudah memulai pekerjaan awal. Kuharap akan

ada lebih banyak pertanyaan nanti."

"Baiklah," kata Bristow, beranjak berdiri dengan ekspresi melamun.

"Nih?ini kartu namaku. Dan bagaimana pembayarannya?"

"Tarif sebulan di depan sudah cukup," kata Strike. Menumpas rasa

malu yang mulai timbul, mengingat-ingat bahwa Bristow sendiri yang

telah menawarkan tarif dobel, Strike menyebutkan jumlah yang luar

biasa. Dengan gembira dia melihat Bristow tidak memprotes, tidak

pula bertanya apakah Strike menerima kartu kredit, bahkan tidak

menjanjikan akan mengirim uangnya nanti?dia hanya mengeluarkan

buku cek sungguhan serta bolpoin.

Robert Galbraith

"Kalau bisa, seperempatnya tunai saja," tambah Strike, mencoba

peruntungannya lagi. Untuk kedua kalinya pagi itu dia tercengang se?

waktu Bristow berkata, "Aku memang sudah bertanya-tanya apakah

kau lebih suka..." lalu menghitung segepok lembaran lima puluhan di

luar jumlah yang tertulis di cek.

Mereka keluar ruangan pada saat Robin hendak masuk mengantar?

kan kopi Strike. Pacar Bristow berdiri begitu pintu terbuka, melipat

korannya dengan gaya orang yang sudah dibiarkan menunggu terlalu

lama. Wanita itu hampir setinggi Bristow, perawakannya tegap, de?

ngan ekspresi masam dan tangan yang besar seperti lelaki.

"Jadi kau menerima pekerjaannya, ya?" dia bertanya pada Strike.

Strike mendapat kesan wanita ini mengira dia memanfaatkan pacar?

nya yang kaya. Kemungkinan besar itu benar.

"Ya, John mempekerjakanku," sahutnya.

"Oh, well," ucapnya tidak ramah. "Kau tentu senang, John."

Sang pengacara tersenyum kepadanya, lalu wanita itu mendesah

dan menepuk lengannya, bagaikan ibu yang toleran namun agak jeng?

kel pada anaknya. John Bristow mengangkat tangan sebagai isyarat sa?

lut, lalu mengikuti pacarnya keluar, dan langkah mereka berdentangdentang ketika menuruni tangga besi.

Strike berpaling pada Robin, yang sudah duduk kembali di depan

komputernya. Kopi Strike ada di sebelah tumpukan surat yang sudah

dipilah rapi dan dibariskan di meja kerja.

"Terima kasih," kata Strike sambil menyesap kopi, "juga untuk ca?

tatannya tadi. Kenapa kau jadi pegawai temporer?"

"Apa maksudnya?" tanya Robin, curiga.

"Kau bisa mengeja dan tata bahasamu bagus. Kau cepat tanggap.

Kau menunjukkan inisiatif?dari mana cangkir-cangkir dan nampan

ini berasal? Kopi dan biskuit?"

"Aku meminjam semuanya dari Mr. Crowdy. Kukatakan padanya,

kita akan mengembalikannya sebelum waktu makan siang."

"Mr. siapa?"

"Mr. Crowdy, pria yang di lantai bawah. Desainer grafis itu."

"Dan dia meminjamkannya begitu saja padamu?"

"Ya," sahut Robin, agak defensif. "Kupikir, kalau sudah menawar?

kan kopi pada klien, kita harus menyediakannya, bukan?"

Penggunaan kata ganti orang pertama jamak itu terasa seperti te?

pukan lembut pada kepercayaan dirinya.

"Well, efisiensi seperti yang kautunjukkan itu jauh melebihi apa

pun yang pernah diberikan Temporary Solutions, percayalah padaku.

Maaf kalau aku terus memanggilmu Sandra?dia gadis yang terakhir

di sini. Siapa namamu sebenarnya?"

"Robin."

Robert Galbraith

"Robin," ulangnya. "Nah, itu gampang diingat."

Sempat terlintas di benak Strike untuk bergurau tentang Batman

dan rekannya yang terandal, tapi lelucon garing itu mati di bibirnya

saat rona merah terang merebak di wajah Robin. Strike menyadari,

sudah terlambat untuk membelokkan kata-katanya menjadi sesuatu

yang berbeda makna. Robin berputar di kursi, kembali menghadapi

monitor komputer, sehingga Strike hanya dapat melihat tepi pipinya

yang membara. Selama satu detik yang membeku dalam rasa malu ke?

dua belah pihak, ruangan itu seolah-olah menyurut menjadi sebesar

bilik telepon umum.

"Aku mau keluar sebentar," kata Strike sambil meletakkan kopinya

yang nyaris tak tersentuh, melipir ke arah pintu, lalu mengambil man?

tel yang tergantung di sebelahnya. "Kalau ada yang menelepon..."

"Mr. Strike?sebelum Anda pergi, kurasa Anda harus melihat ini."

Dengan wajah masih merona, dari tumpukan teratas surat yang su?

dah dibuka di sebelah komputernya, Robin mengambil selembar ker?

tas surat merah muda terang denganplopnya, yang keduanya telah

dia masukkan ke kantong plastik bening.

"Ini surat ancaman pembunuhan," ujarnya.

"Oh, ya," kata Strike. "Tidak usah dikhawatirkan. Surat seperti itu

datang sekitar seminggu sekali."

"Tapi?"

"Itu dari mantan klien yang kecewa. Agak sinting. Dia pikir aku

akan tertipu dengan kertas itu."

"Ya, tapi?bukankah sebaiknya dilaporkan ke polisi?"

"Maksudmu, memberi mereka bahan lelucon?"

"Ini tidak lucu, ini ancaman pembunuhan!" sanggah Robin, lalu

Strike menyadari mengapa surat itu, sekaligusplopnya, disimpan di

dalam kantong plastik. Agak tersentuh juga dia.

"Arsipkan saja bersama yang lain," kata Strike sambil menuding

lemari arsip di sudut. "Kalau dia memang bermaksud membunuhku,

dia sudah melakukannya sejak dulu. Di suatu tempat kau akan me?

nemukan surat-surat semacam itu dalam rentang waktu enam bulan.

Tidak apa-apa, kan, kalau kau menjaga benteng sebentar selama aku

keluar?"

"Aku akan berusaha," jawab Robin, dan Strike geli mendengar nada

Dekut Burung Kukuk

kesal dalam suaranya, dan kekecewaannya yang kentara karena tidak

ada orang yang akan mencari sidik jari pada surat ancaman pem?

bunuhan bergambar kucing itu.
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau kau perlu aku, nomor ponselku ada di kartu di dalam laci

paling atas."

"Baik," sahut Robin tanpa menatap laci maupun dirinya.

"Kalau kau mau keluar makan siang, silakan saja. Ada kunci ca?

dangan di meja entah di mana."

"Oke."

"Sampai jumpa, kalau begitu."

Strike berhenti tepat di luar pintu kaca, di dekat pintu kamar

mandi kecil yang lembap. Rasa mulas di perutnya semakin menyakit?

kan, tapi dia merasa bahwa efisiensi Robin, juga kepedulian yang tidak

sentimental terhadap keselamatan dirinya, layak mendapat pertim?

bangan. Setelah memutuskan untuk menunggu sampai tiba di bar,

Strike menuruni tangga.

Di tepi jalan dia menyulut rokok, belok ke kiri dan melintas di de?

pan 12 Bar Caf? yang masih tutup, terus menyusuri Denmark Place

yang sempit, melewati etalase penuh gitar beraneka warna, dindingdinding yang ditempeli berbagai selebaran, menjauh dari dentam bor

yang tak habis-habisnya. Setelah mengitari tumpukan material jalan di

ujung Centre Point, dia melewati patung besar Freddie Mercury yang

berwarna keemasan dan berdiri menjulang di pintu masuk Dominion

Theatre di seberang jalan; kepalanya tertunduk tinjunya teracung ting?

gi, bagai dewa kekacauan dari zaman lampau.

Bar Tottenham dengan tampak muka bergaya era Victoria yang ru?

mit itu muncul dari balik tumpukan material dan proyek jalan. Strike,

yang dengan gembiraat menyadari banyaknya uang tunai di dalam

sakunya, mendorong pintu bar dan masuk ke suasana zaman Victoria

dengan kayu mengilap dan logam berlapis krom berkilauan. Partisi

pendek dengan kaca buram, bilik sofa berlapis kulit yang sudah tua,

cermin bar yang dilapisi cat keemasan, patung kerubim dan trompet,

semua menyatakan dunia yang penuh percaya diri dan teratur, sung?

guh kontras dengan jalanan di luar yang porak-poranda. Strike me?

mesan segelas besar Doom Bar, lalu membawanya ke bagian belakang

bar yang nyaris kosong. Dia meletakkan gelasnya di meja bundar

Robert Galbraith

tinggi, di bawah kubah kaca berwarna-warni mencolok, lalu langsung

menuju kamar kecil pria yang berbau pesing.

Sepuluh menit kemudian, merasa lebih nyaman, Strike sudah me?

nenggak sepertiga isi gelas, membuatnya semakin kebas akibat ke?

letihannya. Bir asal Cornwall itu mengingatkannya akan kampung ha?

laman, kedamaian, dan rasaan yang sudah lama hilang. Di

seberangnya tergantung lukisan besar dan kabur yang menggambarkan

gadis zaman Victoria, menari dengan bunga mawar di tangannya. De?

ngan genit gadis itu menatapnya dari balik hujan kelopak bunga,

payudaranya yang besar tertutup kain putih?dia hampir sama nyata?

nya dengan wanita sungguhan, sama nyatanya dengan meja tempat ge?

lasnya berdiri, sama nyatanya dengan pria gemuk dengan rambut ekor

kuda yang menyajikan bir dari gentong berpompa di bar.

Dan kini pikiran Strike merayap kembali ke Charlotte, yang jelasjelas nyata; cantik, berbahaya seperti rubah yang tersudut, pintar, ka?

dang-kadang lucu, dan, seperti yang dikatakan sahabat Strike yang

paling karib, "kacau sampai ke dalam-dalamnya". Apakah kali ini

benar-benar sudah selesai? Diselimuti kelelahan, Strike teringat

adegan-adegan semalam dan tadi pagi. Akhirnya Charlotte melakukan

sesuatu yang tidak dapat dimaafkannya, dan kepedihan itu, tak di?

ragukan lagi, akan lebih menyakitkan begitu efek anestesi alkohol me?

mudar tapi sementara itu, ada beberapa hal praktis yang harus di?

hadapi. Selama ini mereka tinggal di flat milik Charlotte, rumah

bandar yang mahal dan bergaya di Holland Park Avenue. Dan karena

itu pula, sejak pukul dua dini hari tadi, secara sukarela dia menjadi

tunawisma.

("Bluey, tinggallah bersamaku. Demi Tuhan, kau tahu itu masuk

akal. Kau bisa menabung sambil membangun bisnismu, dan aku bisa

merawatmu. Sebaiknya kau tidak sendiri selama masa pemulihan.

Bluey, jangan tolol..."

Tidak akan ada lagi yang memanggilnya Bluey. Bluey sudah mati.)

Selama hubungan mereka yang panjang dan penuh pasang-surut,

ini pertama kalinya dia pergi. Tiga kali sebelumnya, Charlotte-lah

yang minta putus. Selalu ada semacam pemahaman tak terkatakan di

antara mereka, jika Strike yang pergi, jika dia yang memutuskan tidak

tahan lagi, perpisahan itu akan sangat berbeda dari yang diputuskan

Dekut Burung Kukuk

oleh Charlotte. Perpisahan yang sudah-sudah, meskipun menyakitkan

dan berantakan, tidak pernah terasa final.

Charlotte tidak akan berhenti sampai dapat melakukan pem?

balasan setimpal dengan menyakiti Strike sama parahnya. Kejadian

pagi ini, ketika Charlotte berhasil melacaknya sampai ke kantor, se?

kadar icip-icip dari apa yang akan terjadi dalam bulan-bulan, bahkan

tahun-tahun, mendatang. Strike tidak pernah mengenal siapa pun

yang begitu bernafsu membalas dendam.

Strike terpincang-pincang menuju bar, memesan segelas bir lagi,

lalu kembali ke meja untuk melakukan perenungan muram itu lebih

jauh. Dengan meninggalkan Charlotte, dia berada dibang kemis?

kinan. Sumur utangnya begitu dalam, hanya John Bristow-lah yang

berhasil mencegahnya menjadi gelandangan yang tidur di emper ba?

ngunan. Apabila Gillespie mencabut pinjaman yang berlaku sebagai

persekot kantornya, Strike tidak punya pilihan selain menggembel.

("Saya hanya menelepon untuk mengecek keadaan, Mr. Strike, ka?

rena pembayaran bulan ini belum juga diterima... Bisakah kami me?

nerimanya dalam beberapa hari?")

Dan di atas semua itu (karena dia sudah mulai memeriksa ke?

kurangan-kekurangan dalam hidupnya, kenapa tidak sekalian saja?),

berat badannya naik belakangan ini, hampir sepuluh kilogram. Jadi

bukan saja dia merasa gemuk dan tidak bugar, kenaikan bobot itu juga

menambahkan tekanan yang tak perlu pada tungkai bawah prostetik?

nya, yang kini dia sandarkan pada besi krom di bawah meja. Jalannya

mulai sedikit timpang karena tambahan bobot itu menyebabkan ge?

sekan yang menyakitkan. Jalan kaki menyeberangi London pada te?

ngah malam, dengan tas bepergian tersandang di bahunya, juga tidak

membantu. Karena menyadari dirinya nyaris menjadi fakir miskin,

Strike bertekad untuk menekan biaya perjalanan semurah mungkin.

Dia kembali ke bar untuk memesan gelas ketiga. Di mejanya di ba?

wah kubah, dia mengeluarkan ponsel untuk menghubungi temannya

di Kepolisian Metropolitan?mereka baru berteman beberapa tahun,

tapi persahabatan itu terbentuk dalam kondisi yang tidak biasa.

Kalau Charlotte satu-satunya orang yang memanggilnya "Bluey",

Inspektur Polisi Richard Anstis satu-satunya orang yang memanggil

Robert Galbraith

Strike "Mystic Bob". Nama itu diucapkannya dengan lantang ketika

dia mendengar suara temannya di telepon.

"Mau minta tolong," kata Strike pada Anstis.

"Sebutkan."

"Siapa yang menangani kasus Lula Landry?"

Sementara Anstis mencari nomor telepon yang diperlukan, dia me?

nanyakan bisnis Strike, kaki kanannya, dan tunangannya. Strike ber?

bohong mengenai status ketiganya.

"Senang mendengarnya," sahut Anstis riang. "Oke, ini nomor

Wardle. Dia oke; terlalu mengagumi diri sendiri, tapi lebih baik kau

berurusan dengan dia daripada dengan Carver?dia itu bangsat. Aku

akan bicara dengan Wardle dulu. Kalau kau mau, aku bisa menele?

ponnya sekarang."

Strike mencabut brosur turis dari rak kayu di dinding dan me?

nyalin nomor Wardle pada bagian kosong di sebelah foto pasukan

berkuda.

"Kapan kau mau mampir ke rumah?" tanya Anstis. "Ajaklah

Charlotte."

"Yeah, tentu. Nanti kutelepon. Baru saja ada pekerjaan."

Setelah menutup telepon, Strike duduk merenung beberapa saat,

lalu menelepon seseorang yang dikenalnya jauh lebih lama daripada

Anstis, dengan jalan hidup yang sama sekali berbeda.

"Mau menagih utang budi, Bung," kata Strike. "Perlu informasi."

"Tentang apa?"

"Apa saja. Aku perlu sesuatu yang bisa kuberikan untuk tawar-me?

nawar dengan polisi."

Percakapan itu berlangsung selama dua puluh lima menit, dengan

jeda berkali-kali yang makin lama makin panjang dan menekan, hing?

ga akhirnya Strike diberi alamat dan dua nama, yang langsung di?

tulisnya di sebelah foto pasukan berkuda. Bersama informasi itu dia

juga diberi peringatan, yang tidak dia tulis tapi diingat-ingatnya, ka?

rena itu memang dimaksudkan sebagai rahasia. Percakapan itu di?

sudahi dengan nada ramah. Strike, yang kini menguap lebar-lebar,

menghubungi nomor Wardle, dan dijawab hampir seketika oleh suara

keras yang ketus.

"Wardle."

Dekut Burung Kukuk

"Ya, halo. Namaku Cormoran Strike, dan?"

"Kau apa?"

"Namaku," kata Strike, "Cormoran Strike."

"Oh, ya," sahut Wardle. "Anstis baru saja menelepon. Kau detektif

itu? Anstis bilang, kau tertarik membicarakan kasus Lula Landry?"

"Ya," kata Strike lagi, bertahan untuk tidak menguap sembari

mengamati langit-langit yang dilukisi adegan pesta minum-minum

yang berubah menjadi pesta para peri Midsummer Night?s Dream,

laki-laki dengan kepala keledai. "Tapi sebenarnya aku membutuhkan

berkasnya."

Wardle tertawa.

"Aku tidak berutang nyawaku, Bung."

"Ada informasi yang mungkin menarik bagimu. Kupikir kita bisa

barter."

Ada jeda singkat.

"Kuanggap kau tidak bersedia membahas pertukaran ini melalui

telepon?"

"Benar," jawab Strike. "Di mana tempat favoritmu untuk minum

segelas bir setelah hari kerja yang panjang?"

Setelah mencatat nama bar di dekat Scotland Yard, dan menyetujui

waktu seminggu dari sekarang (tidak bisa mencocokkan tanggal yang

lebih cepat), Strike mengakhiri percakapan.

Ceritanya tidak selalu semulus ini. Beberapa tahun lalu, dia mam?

pu menuntut kepatuhan para saksi dan tersangka; dia seperti Wardle,

pria yang waktunya lebih berharga daripada sebagian besar teman se?

pergaulannya, dan yang bisa memilih waktu, tempat, serta berapa

lama pembicaraan akan berlangsung. Seperti Wardle, dia tidak mem?

butuhkan seragam; dia senantiasa berbalut otoritas dan kekuasaan.

Kini, dia adalah pria timpang dengan kemeja kusut, memanfaatkan

kenalan-kenalan lama, berusaha membuat kesepakatan dengan polisi

yang dulu pasti akan senang menerima telepon darinya.

"Bangsat," kata Strike keras-keras ke dalam gelasnya yang bergema.

Bir ketiga itu menggelincir turun dengan mudah, dan kini hanya ter?

sisa sedikit di gelas.

Ponselnya berdering. Melirik layar, dia melihat nomor telepon kan?

tor. Tak ayal, Robin pasti berusaha mengabarkan bahwa Peter

Robert Galbraith

Gillespie menagih utang. Dibiarkannya panggilan itu masuk ke kotak

suara, lalu dia menenggak habis isi gelasnya dan pergi.
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jalanan terang benderang dan dingin, trotoar basah, genangan-ge?

nangan air sesekali memancarkan warna keperakan ketika awan ber?

gerak menutupi matahari. Strike menyulut sebatang lagi di luar pintu

bar, lalu berdiri merokok dibang pintu Tottenham, mengamati

para pekerja yang sibuk di sekitar lubang di jalan. Rokoknya habis, dia

terseok-seok menyusuri Oxford Street untuk mengulur waktu sampai

si Temporary Solution pergi dari kantor, supaya dia bisa tidur dalam

damai.

Robin menunggu sepuluh menit untuk memastikan Strike tidak akan

kembali, sebelum mulai menelepon dengan ceria menggunakan pon?

selnya. Teman-temannya menerima berita pertunangannya dengan pe?

kik kegirangan atau komentar iri, yang sama-sama membuat Robin

senang. Pada jam istirahat makan siang, dia memberi dirinya waktu

satu jam. Dia pergi membeli tiga majalah pengantin dan sebungkus

biskuit pengganti (peti kas kantor yang berupa kaleng biskuit yang di?

beri label itu berutang 42 pence padanya), lalu kembali ke kantor yang

kosong, dan selama empat puluh menit melihat-lihat buket bunga ser?

ta gaun-gaun pengantin dengan gembira, merinding penuh kegairahan.

Seusai waktu makan siang yang dia atur sendiri, Robin mencuci

dan mengembalikan cangkir serta nampan Mr. Crowdy, sekaligus bis?

kuitnya. Robin memperhatikan Mr. Crowdy berusaha keras memper?

panjang percakapan mereka ketika dia muncul untuk kedua kalinya,

juga tatapan pria itu tanpa sadar beralih dari mulut ke dadanya. Robin

bertekad untuk menghindari Mr. Crowdy selama sisa minggu ini.

Tetap saja Strike belum kembali. Karena ingin melakukan sesuatu,

Robin merapikan isi laci-laci meja, membuang apa pun yang menurut?

nya adalah akumulasi sampah pegawai-pegawai temporer sebelum

dirinya dua batang cokelat yang berdebu, pengikir kuku yang sudah

botak, dan banyak potongan kertas yang mencantumkan nomor-no?

mor telepon tak bernama serta coretan-coretan tak berarti. Ada seko?

tak klip logam acro model lama yang tidak pernah dilihatnya se?belum

Robert Galbraith

ini, juga notes kecil biru polos yang lumayan banyak jumlahnya?

meski tak bertanda, notes-notes itu berkesan resmi. Menurut Robin

yang berpengalaman dalam dunia perkantoran, notes-notes itu ditilap

dari lemari persediaan suatu institusi resmi.

Sesekali telepon kantor berdering. Bos barunya sepertinya me?

miliki banyak nama julukan. Seorang pria minta berbicara pada

"Oggy", yang lain minta disambungkan dengan "Monkey Boy", semen?

tara suara yang tegas dan ketus meminta agar "Mr. Strike" membalas

telepon Mr. Peter Gillespie sesegera mungkin. Sesudah masing-masing

telepon itu Robin menghubungi ponsel Strike, tapi hanya diterima ko?

tak suara. Karena itu dia meninggalkan pesan-pesan verbal, mencatat

nama masing-masing penelepon beserta nomornya di Post-it, masuk

ke kantor Strike, dan menempelkannya dengan rapi di meja kerja.

Bor masih bergemuruh tak kenal lelah di luar. Sekitar pukul dua,

langit-langit berderit ketika penghuni flat di atas menjadi lebih aktif?

tanpa suara itu, bisa saja Robin hanya seorang diri di gedung ini.

Kesendirian itu, ditambah perasaan bahagia murni yang mengan?cam

akan meledak dalam dadanya setiap kali pandangannya jatuh pada

cincin di tangan kirinya, membuatnya lebih berani. Dia mulai

membersihkan dan merapikan ruangan kecil yang dalam kurun waktu

ini berada di bawah kendalinya.

Kendati kantor ini terkesan lusuh, juga kesan kumuh yang menye?

limuti semuanya, Robin segera mengenali ketegasan struktur organi?

sasional yang selaras dengan kebiasaannya sendiri yang rapi dan

teratur. Folder karton cokelat (terasa kuno pada era plastik berwarna

ma?nyala) diatur pada rak di belakang mejanya sesuai kronologi waktu,

masing-masing dengan nomor seri tertera di punggungnya. Dia mem?

buka salah satu folder itu dan melihat klip-klip acro tadi digunakan

untuk menyatukan lembaran-lembaran lepas dalam mapnya masingmasing. Kebanyakan material di dalam map-map itu ditulis dengan

tulisan tangan yang sulit dibaca. Barangkali beginilah cara kerja polisi;

mungkin Strike adalah mantan polisi.

Robin menemukan tumpukan surat ancaman pembunuhan merah

jambu seperti yang dikatakan Strike tadi di laci tengah lemari arsip, di

samping map tipis perjanjian kerahasiaan. Dia mengambil selembar

perjanjian kerahasiaan itu dan membacanya formulir yang simpel, me?

Dekut Burung Kukuk

minta pihak yang bertanda tangan agar tidak mendiskusikan, di luar

jam kerja, nama maupun informasi apa pun yang mungkin mereka

lihat dan dengar selama jam kerja. Robin mempertimbangkannya se?

jenak, lalu dengan hati-hati membubuhkan tanda tangan dan tanggal

pada salah satu dokumen itu, membawanya masuk ke kantor Strike,

dan meletakkannya di meja, supaya Strike dapat menambahkan tanda

tangannya sendiri di atas titik-titik yang tersedia. Menandatangani

perjanjian kerahasiaan satu-pihak itu kembali mendatangkan kesan

mistis, bahkan glamor, yang tadi dia bayangkan berada di balik pintu

kaca bersablon nama, sebelum daun pintu itu terbuka dan Strike nya?

ris membuatnya terjungkal di tangga.

Setelah meletakkan formulir di meja Strike, barulah Robin melihat

tas bepergian yang disurukkan di sudut, di belakang lemari arsip.

Ujung kemeja yang kotor, jam beker, serta kantong perlengkapan man?

di mengintip di antara ritsleting yang terbuka. Robin menutup pintu

antara ruang dalam dan ruang luar kantor, meskipun secara tak se?

ngaja dia telah melihat sesuatu yang personal dan memalukan. Dia

menggabungkan fakta-fakta tentang si wanita cantik jelita berambut

gelap yang tadi pagi menghambur keluar dari gedung, luka-luka

Strike, dan apa yang tampak seperti?setelah dia pikir-pikir lagi?pe?

ngejaran yang sepenuh hati meski agak terlambat. Dalam aura ke?

bahagiaan dan kebaruan pertunangannya, Robin merasa iba kepada

siapa pun yang tidak seberuntung dirinya dalam kehidupan cinta?

nya?rasa kasihan di sini sesungguhnya adalah kegembiraan murni

yang dia rasakan kala memikirkan hidupnya sendiri yang bagaikan di

surga.

Pada pukul lima sore, masih tanpa kehadiran bos temporernya,

Robin mengizinkan dirinya sendiri pulang. Dia bersenandung pelan

sembari mengisi daftar absennya, lalu nyanyiannya semakin keras saat

mengancingkan mantelnya. Dia mengunci pintu kantor, menyelipkan

kunci cadangan ke kotak pos, lalu melangkah dengan hati-hati me?

nuruni tangga besi, pulang ke Matthew.

Siang hari itu Strike menghabiskan waktu di Gedung Union, Uni?

versity of London. Dengan melangkah penuh tujuan melewati re?

sepsionis sambil memasang tampang sedikit merengut, dia berhasil

menggunakan pancuran kamar mandi tanpa ditanya maupun diminta

menunjukkan kartu mahasiswa. Kemudian dia makan roti ham dan

sebatang cokelat di kafe gedung tersebut. Sesudahnya, dia berjalan ke

sana kemari dengan pandangan kosong saking lelahnya, sesekali mero?

kok di sela-sela kunjungan ke toko-toko murah untuk berbelanja ke?

butuhan, menggunakan uang dari Bristow, karena sekarang dia tidak

lagi punya tempat tinggal. Malam harinya, dengan beberapa kardus

besar diletakkan di sebelah bar, dia berkubang di sebuah restoran

Italia, memutar-mutar birnya sampai dia hampir lupa mengapa dia

membunuh waktu.

Menjelang pukul delapan, barulah dia kembali ke kantor. London

pada jam ini adalah saat yang paling disukainya; hari kerja sudah usai,

jendela-jendela bar tampak hangat dan berkilauan seperti batu mulia,

jalanan berdengung penuh kehidupan, serta gedung-gedung yang ajek

dan tak kenal lelah, tampak lembut dalam cahaya lampu jalan, aneh?

nya terasa menenangkan. Kami sudah sering melihat yang seperti diri?

mu, begitu seolah-olah mereka berbisik menghibur, sementara dia ber?

jalan timpang di sepanjang Oxford Street sambil membawa ranjang

lipat dalam kardus. Tujuh setengah juta jantung berdetak berdesakdesakan di kota yang sudah tua dan terengah-engah ini, dan banyak

Dekut Burung Kukuk

yang merasa jauh lebih kesakitan daripada dirinya. Sambil berjalan le?

tih melewati toko-toko yang mulai tutup, sementara langit berubah

biru indigo di atasnya, Strike menemukan ketenangan dalam keluasan

dan ketakbernamaan ini.

Butuh upaya yang lumayan juga untuk membawa ranjang lipat itu

naik tangga besi ke lantai dua, dan ketika akhirnya dia tiba di pintu

yang mencantumkan namanya, rasa nyeri di tungkai kanannya sudah

teramat menyiksa. Sejenak dia membungkuk, menumpukan seluruh

berat badannya ke kaki kiri, tersengal-sengal di pintu kaca, melihat

kaca itu berembun.

"Dasar keparat gendut," ujarnya keras-keras. "Dinosaurus tua loyo."

Sambil mengusap keringat di kening, dia membuka kunci pintu,

lalu menyeret berbagai belanjaannya melewatibang pintu. Di ruang

dalam dia menggeser meja kerjanya ke samping dan mendirikan ran?

jang itu di sana, membuka gulungan kantong tidur, lalu mengisi ketel

murahan dengan air dari keran di kamar kecil di luar pintu kaca.

Makan malamnya mi instan Pot Noodle, yang dipilihnya sendiri

karena mengingatkan dia akan jenis makanan yang dulu dibawanya

dalam paket ransum asosiasi yang mendarah daging antara makanan

kering yang dapat dengan cepat dipanaskan dan tempat istirahat

buatan, otomatis membuatnya meraih makanan itu. Ketika air dalam

ketel sudah mendidih, dituangkannya ke dalam mangkuk, lalu dia ma?

kan mi instan itu dengan garpu plastik yang tadi dicomotnya dari kafe

Gedung Union University of London. Sambil duduk di kursi kerjanya,

dia menatap ke bawah, ke arah jalan yang nyaris kosong, lalu lintas

bergemuruh lewat di ujung jalan pada petang hari itu, bunyi bas yang

dalam berdentam dari dua lantai di bawahnya, di 12 Bar Caf?.

Dia pernah tidur di tempat-tempat yang lebih buruk. Lantai batu

di gedung parkir bertingkat di Angola; pabrik logam yang baru saja

dibom, tempat mereka mendirikan tenda dan keesokan paginya ter?

bangun dengan terbatuk-batuk karena jelaga hitam; dan, yang paling

buruk, asrama komune yang lembap di Norfolk, tempat ibunya mem?

bawa dia dan salah seorang adik perempuan tirinya, ketika mereka

berumur delapan dan enam tahun. Dia juga teringat betapa tidak nya?

man ranjang rumah sakit tempatnya berbaring selama berbulan-bulan,

berbagai hunian ilegal (juga bersama ibunya), dan hutan yang dingin

Robert Galbraith

membekukan ketika dia berkemah selama pelatihan-pelatihan militer.


Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Pedang Siluman Darah 18 Munculnya Ratu

Cari Blog Ini