Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith Bagian 2
Kendati ranjang lipat ini tampak begitu seadanya dan tak mengun?
dang di bawah cahaya lampu bohlam telanjang, tetap saja lebih mewah
dibandingkan dengan tempat-tempat itu.
Kegiatan berbelanja hal-hal yang dia perlukan, dan menyusun ke?
butuhan mendasar untuk dirinya sendiri, berangsur-angsur mengem?
balikan Strike pada kondisi militer yang sangat dikenalnya, melakukan
apa yang perlu dilakukan, tanpa pertanyaan maupun keluhan. Di?
buangnya wadah Pot Noodle, lalu dia mematikan lampu dan duduk di
meja tempat Robin telah menghabiskan waktunya sepanjang hari.
Sembari menyusun komponen-komponen mentah arsip baru?
folder bersampul keras, kertas kosong dan klip acro, notes tempat dia
mencatat wawancara dengan Bristow, selebaran dari Tottenham, kartu
nama Bristow?dia memperhatikan laci-laci yang kelihatan baru di?
rapikan, tidak adanya debu di monitor komputer, tidak adanya cangkir
kosong dan tetek-bengek berantakan, dan bau Pledge yang tercium
samar-samar. Penasaran, dia membuka kaleng peti kas, dan di sana,
dalam tulisan tangan Robin yang rapi dan bulat-bulat, tertera catatan
bahwa dia berutang pada Robin 42 pence untuk biskuit cokelat tadi.
Strike mengeluarkan empat puluh pound uang Bristow dari dompet
dan memasukkannya ke kaleng. Lalu, setelah berpikir sebentar, dia
menghitung koin sejumlah 42 pence dan meletakkannya di atasnya.
Berikutnya, di salah satu buku bergaris yang telah diatur Robin de?
ngan rapi di laci teratas, Strike pun menulis dengan cepat dan lancar,
dimulai dengan tanggal. Catatan wawancara Bristow dirobeknya dan
dilampirkannya terpisah pada arsip tersebut; tindakan yang telah dia
lakukan sejauh ini, termasuk panggilan telepon ke Anstis dan Wardle,
juga dicatat, beserta nomor telepon mereka (tapi detail-detail teman
Strike yang lain, yang memberikan nama-nama serta alamat-alamat
yang berguna, tidak dicantumkan di arsip).
Terakhir, Strike memberikan nomor seri pada kasus baru itu, yang
ditulisnya beserta judul Kematian Seketika, Lula Landry, pada punggung
buku. Kemudian diletakkannya arsip tersebut di rak, di ujung paling
kanan.
Sekarang, akhirnya, dia membukaplop yang menurut Bristow
berisi petunjuk-petunjuk vital yang telah dilewatkan polisi. Tulisan
Dekut Burung Kukuk
tangan sang pengacara rapi dan mengalir, miring ke belakang dengan
baris-baris yang rapat. Seperti yang telah dijanjikan Bristow, sebagian
besar isinya adalah mengenai gerak-gerik seorang pria yang dia sebut
"Pelari".
Si Pelari adalah pria kulit hitam jangkung, wajahnya tertutup skarf,
yang tampak pada rekaman kamera bus larut malam dengan trayek
Islington menuju West End. Orang itu naik bus sekitar lima puluh
menit sebelum Lula Landry meninggal. Berikutnya, dia terlihat pada
rekaman CCTV yang diambil di Mayfair, sedang berjalan ke arah
tempat tinggal Landry, pada pukul 01.39. Di kamera dia terlihat ber?
henti sejenak dan tampaknya meneliti secarik kertas (mgkn alamat
atau arah? Bristow menambahkan dengan rajin pada catatannya), se?
belum berjalan keluar dari bidang pandang.
Rekaman dari kamera CCTV yang sama tak lama kemudian mem?
perlihatkan si Pelari berlari cepat melewati kamera pada pukul 02.12
dan menghilang dari pandangan. Pria kulit hitam kedua juga berlari?
mgkn mengintai? Terhenti ketika sedang berusaha mencuri mobil? Ada
alarm mobil yang berbunyi di sekitar belokan pada saat itu, begitu
Bristow menulis.
Terakhir, ada rekaman CCTV seorang pria kulit hitam yang sangat
mirip dengan si Pelari sedang berjalan di jalan yang dekat dengan Gray?s
Inn Square, beberapa mil jauhnya, pada pagi hari sesudah kematian
Landry. Wajahnya masih belum ketahuan, begitu Bristow menulis.
Strike berhenti untuk menggosok-gosok mata, seketika mengernyit
karena dia lupa bahwa sebelah matanya memar. Dia sekarang berada
pada kondisi pening dan gelisah, pertanda kelelahan yang luar biasa.
Sambil menggeramkan keluhan panjang dia meneliti catatan Bristow,
dan dengan sebelah tangan yang berbulu dia memegang bolpoin, siap
untuk menulis catatannya sendiri.
Bristow mungkin mempraktikkan hukum dengan objektif dan
tanpa emosi di tempat kerja yang telah memberinya kartu nama yang
elegan, tapi isiplop tersebut hanya menegaskan pendapat Strike
bahwa kehidupan pribadi kliennya itu didominasi obsesi tanpa jun?
trungan. Entah bagaimana mulanya obsesi Bristow pada si Pelari
itu?barangkali karena diam-diam Bristow menyimpan rasa takut
Robert Galbraith
pada sosok simbolis penjahat urban, kriminal berkulit hitam, atau ada
alasan lain yang lebih dalam, lebih personal. Rasanya mustahil kalau
polisi belum menyelidiki si Pelari serta rekannya (mungkin pengintai,
mungkin pencuri mobil), dan polisi pasti memiliki alasan yang cukup
kuat untuk menyisihkan orang itu dari kecurigaan.
Sambil menguap lebar-lebar, Strike membalik ke halaman kedua
catatan Bristow.
Pada pukul 01.45, Derrick Wilson, petugas keamanan yang ber?jaga di
meja depan malam itu, merasa tidak enak badan dan pergi ke
kamar mandi di belakang, dan berada di sana selama kurang-lebih
seperempat jam. Oleh karena itu, selama lima belas menit sebelum
kematian Lula, lobi gedung apartemen itu kosong dan siapa pun bisa
masuk dan keluar tanpa dilihat. Wilson baru keluar dari kamar
mandi setelah Lula jatuh, ke?tika dia mendengar jeritan Tansy
Bestigui.
Jendela kesempatan ini persis sekali dengan waktu yang
dibutuhkan si Pelari untuk sampai di Kentigern Gardens 18 jika dia
melewati kamera keamanan di pertigaan Alderbrook dan Bellamy
Road pada pukul 01.39.
"Dan bagaimana," gumam Strike sambil memijit keningnya, "dia
bisa tahu si satpam ada di WC dengan hanya melihat melalui pintu
depan?"
Aku sudah bicara kepada Derrick Wilson, yang dengan senang hati
diwawancarai.
Dan berani taruhan, kau membayar dia untuk itu, pikir Strike
sambil memperhatikan nomor telepon petugas keamanan itu di bawah
kalimat penutup.
Dia meletakkan bolpoin yang tadinya hendak dia gunakan untuk
menambahkan catatannya sendiri, lalu menyematkan catatan Bristow
di arsip. Selanjutnya dia mematikan lampu meja dan terpincang-pin?
cang ke toilet di luar untuk kencing. Setelah menggosok gigi di atas
Dekut Burung Kukuk
wastafel yang retak, dia mengunci pintu kaca, menyetel jam bekernya,
lalu menanggalkan pakaian.
Dibantu cahaya lampu neon jalanan di luar, Strike membuka
ikatan kaki palsunya, mencopotnya dari tunggul kakinya yang sakit,
melepas pelapis gel yang tidak lagi memadai untuk menahan rasa
nyeri. Diletakkannya kaki palsu di sebelah ponsel yang sedang dicharge, lalu dia menggeliat-geliat masuk ke kantong tidur dan berba?
ring telentang dengan tangan di belakang kepala, memandangi langitlangit. Sekarang, seperti yang telah dia khawatirkan, kelelahannya yang
amat sangat justru tidak mampu menenangkan benaknya yang ter?
pacu. Infeksi yang sudah lama itu kambuh kembali; menyiksanya, me?
nyeretnya dengan paksa.
Apa yang sedang dia lakukan sekarang?
Kemarin malam, di semesta paralel, dia tinggal di apartemen yang
cantik di bagian kota London yang paling mahal, dengan seorang wa?
nita yang membuat setiap pria yang melihatnya memandang Strike
dengan iri hati yang ditingkahi rasa tidak percaya.
"Kenapa kau tidak tinggal bersamaku saja? Oh, demi Tuhan, Bluey,
bukankah itu masuk akal? Kenapa tidak?"
Sejak awal Strike tahu bahwa itu kesalahan. Mereka sudah pernah
mencobanya, dan setiap kali justru lebih kacau balau daripada se?
belumnya.
"Kita kan sudah bertunangan, demi Tuhan. Kenapa kau tidak mau
tinggal bersamaku?"
Ketika hendak kehilangan dia selamanya, Charlotte telah me?
ngatakan hal-hal yang semestinya menjadi bukti bahwa dia tidak akan
pernah berubah lagi?sama seperti tungkai Strike yang tinggal satu
setengah.
"Aku tidak membutuhkan cincin. Jangan konyol, Bluey. Kau perlu
uangnya untuk modal usahamu."
Strike memejamkan mata. Setelah tadi pagi, tidak mungkin mereka
kembali lagi. Sudah terlalu sering Charlotte berbohong, mengenai se?
suatu yang terlalu serius. Tapi Strike merunutkannya lagi, seperti
hitung-hitungan yang sudah lama diselesaikannya, khawatir dia telah
melakukan kesalahan mendasar. Dengan susah payah Strike menyatu?
kan tanggal-tanggal yang selalu berubah, keengganan Charlotte untuk
Robert Galbraith
bertanya pada apoteker atau dokter, kemarahan Charlotte tiap kali
Strike memintanya melakukan klarifikasi, kemudian pernyataan yang
tiba-tiba bahwa itu sudah hilang, tanpa sedikit pun bukti mengenai
kebenarannya. Di samping begitu banyak keadaan yang mencurigakan,
Strike juga memegang pengetahuan yang dengan susah payah didapat?
kannya tentang kondisi mythomania Charlotte?kecenderungan untuk
berbohong?kebutuhannya untuk memprovokasi, menantang, meng?
uji.
"Jangan berani-berani kau menginvestivigasi aku. Jangan berani-be?
rani kau memperlakukanku seperti prajurit yang teler. Aku bukan ka?
sus untuk dipecahkan. Seharusnya kau mencintai aku, tapi kau bah?
kan tidak percaya pada apa pun yang kukatakan tentang hal ini..."
Namun, kebohongan-kebohongan yang dia katakan telah berkelin?
dan terlalu erat dengan segenap dirinya dan kehidupannya, sehingga
untuk hidup bersama Charlotte dan mencintainya berarti terjalin per?
lahan-lahan dengan semua itu, bergumul dengan Charlotte untuk me?
munculkan kebenaran, berjuang untuk mempertahankan pijakan pada
realitas. Bagaimana itu bisa terjadi, bahwa dirinya?yang sejak usia sa?
ngat muda selalu perlu menyelidik, selalu mencari tahu dengan pasti,
selalu memeras kebenaran dari teka-teki yang paling kecil sekalipun?
dapat jatuh cinta, dan begitu lama, pada seorang wanita yang me?
mintal dusta semudah wanita lain bernapas biasa?
"Sudah berakhir," dia berujar pada diri sendiri. "Memang harus ter?
jadi."
Namun, dia tidak ingin memberitahu Anstis dan tidak sanggup
memberitahu siapa pun?belum. Dia memiliki teman-teman di se?
luruh London yang akan menyambutnya dengan senang hati di rumah
mereka, yang akan membuka kamar tamu dan lemari pendingin me?
reka, menawarkan penghiburan dan bantuan. Meski demikian, harga
yang harus dibayar untuk ranjang nyaman dan makanan rumah itu
adalah duduk di meja makan setelah anak-anak yang berpiama naik
ke tempat tidur, lalu menghidupkan kembali pertarungan final yang
menjijikkan dengan Charlotte, menyerahkan diri pada simpati penuh
kegusaran dan rasa iba dari pacar atau istri teman-temannya.
Dia masih bisa merasakan kaki yang hilang itu, yang direnggut dari
tungkainya dua setengah tahun lalu. Di sana, di bawah kantong tidur,
Dekut Burung Kukuk
dia mampu menggerakkan jari-jari kaki yang lenyap itu kalau dia mau.
Kendati Strike dilanda keletihan luar biasa, perlu beberapa saat se?
belum dia dapat terlelap, dan ketika akhirnya berhasil, Charlotte me?
nyelusup keluar-masuk mimpinya; cantik, getir, dan kejam, meng?
hantui benaknya.
Bagian Dua
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Non ignara mali miseris succurrere disco.
Tak asing dengan berbagai kemalangan, aku belajar
meringankan penderitaan orang lain.
Virgil, Aeneid, Buku I
"?Dengan bergulung-gulung berita cetak dan berjam-jam acara tele?
visi yang dicurahkan untuk membahas topik meninggalnya Lula
Landry, jarang sekali muncul pertanyaan ini mengapa kita peduli?
"?Dia cantik, tentu saja, dan gadis-gadis cantik telah berhasil mem?
bantu penjualan surat kabar sejak Dana Gibson menggambar ilustrasi
wanita-wanita berkelopak mata sendu untuk majalah New Yorker.
"?Dia juga berkulit gelap, atau paling tidak, kulitnya senuansa caf?
au lait yang nikmat, dan kita senantiasa diberitahu bahwa hal ini me?
representasikan kemajuan dalam industri yang hanya peduli pada tam?
pilan permukaan. (Saya curiga jangan-jangan karena warna caf? au lait
sedang "in" musim ini? Apakah terjadi kenaikan tajam jumlah wanita
berkulit gelap yang masuk ke industri setelah meninggalnya Landry?
Apakah gagasan kita mengenai kecantikan wanita telah diubah secara
drastis oleh kesuksesannya? Apakah Barbie berkulit hitam kini lebih
laris daripada yang berkulit putih?)
"?Keluarga dan handai taulan Landry tentu sangat berduka, dan
saya menyampaikan belasungkawa yang mendalam. Namun, kita,
publik pembaca dan pemirsa, tidak mengalami dukacita pribadi untuk
membenarkan ekses ini. Setiap hari banyak wanita muda meninggal
dengan "tragis" (yang artinya, secara tidak wajar) dalam kecelakaan
mobil, akibat overdosis, dan terkadang karena mereka berusaha tidak
makan apa-apa demi menyesuaikan diri dengan standar bentuk tubuh
yang dilambangkan oleh Landry dan sebangsanya. Ketika membalik
Robert Galbraith
halaman, sempatkah kita memikirkan gadis-gadis ini sekadarnya, dan
mengabaikan wajah mereka yang biasa-biasa saja??"
Robin berhenti sebentar untuk menyesap kopi, lalu berdeham.
"Sejauh ini terdengar menggurui," gerutu Strike.
Dia duduk di ujung meja Robin, menempelkan foto-foto di map
yang terbuka, menomori masing-masing foto, serta menuliskan des?
kripsi subjek di halaman sebaliknya. Robin melanjutkan membaca dari
tempat yang dia tinggalkan, dari monitor komputernya.
"?Ketertarikan kita, bahkan dukacita yang tidak proporsional ini,
patut dipertanyakan. Sebelum Landry terjun menyambut ajalnya,
bolehlah kita bertaruh bahwa puluhan ribu wanita bersedia bertukar
tempat dengannya. Setelah jenazahnya yang remuk disingkirkan,
gadis-gadis muda menangisinya sambil meletakkan karangan bunga di
bawah balkon flat Landry yang bernilai 4,5 juta poundsterling. Tidak
adakah seorang calon model yang merasa kecil hati dan urung me?
ngejar ketenaran di tabloid setelah kebangkitan dan kejatuhan Lula
Landry yang brutal??"
"Oh, sudahlah," kata Strike kesal. "Eh, maksudku dia, bukan kau,"
tambahnya cepat-cepat. "Yang menulis perempuan, kan?"
"Ya, namanya Melanie Telford," jawab Robin, menaikkan layar
hingga ke awal tulisan, menampakkan potret seorang wanita separuh
baya berambut pirang dengan dagu tebal. "Anda mau aku melompati
sisa artikel?"
"Tidak, tidak, teruskan."
Robin berdeham sekali lagi dan melanjutkan.
"?Jawabannya tentu saja tidak.? Itu mengacu pada calon model yang
merasa kecil hati."
"Ya, aku tahu."
"Baik... ?Seratus tahun setelah Emmeline Pankhurst, satu generasi
wanita muda yang baru melalui usia puber mengejar status yang tak
lebih daripada boneka kertas, sosok perlambang yang datar dan tak
bertekstur, dengan kisah petualangan hasil rekaan yang menyembunyi?
kan kelainan serta tekanan yang menyebabkan dia harus melompat
dari jendela lantai tiga. Penampilan adalah segalanya desainer Guy
Som? dengan segera memberitahu media massa bahwa gadis itu ter?
jun dengan mengenakan salah satu gaun karyanya, yang langsung ter?
Dekut Burung Kukuk
jual habis dalam kurun waktu dua puluh empat jam setelah kematian
Landry. Tidak ada iklan yang lebih baik selain Lula Landry memutus?
kan untuk bertemu penciptanya dengan mengenakan rancangan Som?.
"?Tidak. Bukan kepergian wanita muda ini yang kita tangisi, karena
bagi kebanyakan dari kita, dia tak lebih nyata daripada gadis-gadis
Gibson yang tercipta dari ujung pena Dana. Yang kita tangisi adalah
citra fisik yang berpendar di antara halaman-halaman tabloid dan ma?
jalah selebriti; citra yang telah berhasil menjual pakaian, tas, dan ga?
gasan tentang ketenaran yang, setelah wafatnya, terbukti melompong
dan begitu sesaat bagai gelembung sabun. Kalau mau jujur, sebenarnya
kita kehilangan tingkah polah menghibur si gadis semampai penyuka
hura-hura, dengan kehidupan kacau-balau penuh narkoba, pakaian
mahal, dan pacar putus-sambungnya, yang tidak lagi dapat kita nik?
mati sepak terjangnya.
"?Layaknya pernikahan selebriti, pemakaman Landry diliput de?
ngan gegap gempita di majalah-majalah kacangan yang memangsa
kaum pesohor, dan boleh dipastikan penerbitnyalah yang berkabung
paling lama. Kita diizinkan melihat para selebriti beruraian air mata,
namun keluarga Landry sendiri hanya ditampilkan dalam foto sekecil
mungkin; bagaimanapun, mereka memang kelompok yang paling ti?
dak fotogenik.
"?Tetapi, kehadiran salah seorang pelayat sungguh-sungguh me?
nyentuh hati saya. Ketika menjawab pertanyaan seorang lelaki yang
mungkin tidak dia ketahui adalah reporter, wanita ini mengungkapkan
bahwa dia bertemu dengan Landry di panti perawatan, dan bahwa ke?
mudian mereka berteman. Gadis ini mengambil tempat di bangku
belakang untuk mengucapkan selamat jalan, lalu menyelinap pergi
tanpa banyak bicara. Dia tidak menjual kisahnya, tidak seperti banyak
orang yang bergaul dengan Landry semasa hidupnya. Hal itu mem?
beritahu kita sesuatu yang menyentuh mengenai sosok Lula Landry
yang sesungguhnya, bahwa dia telah menggugah perasaan sayang yang
tulus dari seorang gadis biasa. Sementara kita??"
"Apakah nama si gadis biasa dari panti perawatan itu disebutsebut?" Strike menyela.
Robin memindai artikel itu tanpa suara.
"Tidak."
Robert Galbraith
Strike menggaruk dagu yang cukurannya tidak rapi.
"Bristow sama sekali tidak menyebut-nyebut teman dari panti pe?
rawatan."
"Menurut Anda itu penting?" tanya Robin penuh semangat, ber?
putar di kursinya dan menghadap Strike.
"Mungkin menarik juga kalau bisa berbicara dengan orang yang
mengenal Landry dari terapi, bukan dari kelab malam."
Semula Strike hanya meminta Robin mencari berita-berita me?
ngenai Landry di internet karena tidak ada tugas lain yang bisa dia
berikan kepada gadis itu. Robin sudah menelepon Derrick Wilson, si
petugas keamanan, dan mengatur pertemuan dengan Strike pada hari
Jumat pagi di Phoenix Caf? di Brixton. Kiriman pos hari ini hanya
terdiri atas dua kiriman reguler dan surat tagihan final; tidak ada tele?
pon, dan Robin sudah merapikan segala sesuatu di kantor itu yang
bisa diurutkan sesuai alfabet, ditumpuk rapi, atau diatur sesuai jenis
dan warna.
Terinspirasi keahlian Robin dalam pencarian Google hari sebelum?
nya, Strike memberinya tugas yang tak seberapa penting ini. Selama
sekitar satu jam Robin telah membacakan cuplikan-cuplikan tulisan
mengenai Landry dan kenalan-kenalannya, sementara Strike menyu?
sun dengan rapi tumpukan bon, tagihan telepon, serta foto-foto yang
berkaitan dengan satu-satunya kasus lain yang dia tangani saat ini.
"Bagaimana kalau aku mencoba mencari tahu lebih jauh tentang
gadis itu?" tanya Robin.
"Boleh," sahut Strike sambil lalu, mengamati foto pria botak gemuk
bersetelan jas yang difoto bersama gadis berambut merah yang molek
dalam balutan jins ketat. Pria itu adalah Mr. Geoffrey Hook; si ram?
but merah tidak memiliki kesamaan apa pun dengan Mrs. Hook?se?
belum kedatangan Bristow di kantor ini, Mrs. Hook adalah klien
tunggal Strike. Strike menyusupkan foto itu ke dalam map Mrs. Hook
dan memberinya label No. 12, sementara Robin berbalik kembali ke
komputer.
Selama beberapa saat suasana hening, hanya terdengar gemeresik
foto-foto dibalik dan keletak-keletik kuku pendek Robin di atas tuts.
Pintu ruang dalam di belakang Strike ditutup untuk menyembunyi?
kan ranjang lipat dan semua tanda hunian. Udara dipenuhi semerbak
Dekut Burung Kukuk
bau jeruk artifisial, karena Strike menyemprotkan pengharum ruangan
murahan banyak-banyak sebelum Robin datang. Strike perlu duduk di
meja Robin, tapi, agar Robin tidak mengira dia memiliki ketertarikan
seksual sewaktu mengambil tempat di seberang mejanya, dia purapura baru melihat cincin pertunangan Robin, dan selama lima menit
penuh mengobrol sopan perihal sang tunangan. Strike kemudian me?
ngetahui bahwa pria itu adalah akuntan yang baru lulus bernama
Matthew, bahwa Robin pindah ke London dari Yorkshire bulan lalu
untuk tinggal bersama Matthew, dan bahwa pekerjaan temporer ini
adalah langkah sementara yang diambilnya sebelum mendapatkan pe?
kerjaan tetap.
"Mungkinkah gadis itu ada dalam foto-foto ini?" tanya Robin se?
telah beberapa saat. "Gadis yang dari panti perawatan itu."
Di layar dia menampilkan foto-foto berukuran sama, masing-ma?
sing memperlihat satu atau dua orang yang mengenakan pakaian ber?
warna gelap, semua berjalan dari sisi kiri ke kanan, menuju upacara
pemakaman. Di semua foto itu, besi penahan jalan dan wajah-wajah
yang kabur menjadi latar belakang.
Di antara foto-foto itu, yang paling memukau adalah foto seorang
gadis tinggi semampai berkulit pucat dengan rambut keemasan, di ke?
palanya bertengger rangkaian jala hitam dan bulu. Strike mengenali
dia, karena semua orang pun tahu siapa dia Ciara Porter, model yang
menghabiskan waktu paling lama bersama Lula pada hari kematian?
nya, teman yang dipotret bersama Landry untuk salah satu foto yang
paling terkenal sepanjang kariernya. Porter tampak cantik jelita dan
bermuram durja ketika dia berjalan menuju upacara pemakaman Lula.
Sepertinya dia datang sendiri, karena tidak ada tangan yang menyo?
kong lengannya yang kurus maupun menyentuh punggungnya yang
panjang.
Di sebelah foto Porter terlihat foto pasangan yang diberi ke?
terangan Produser film Freddie Bestigui dan istrinya, Tansy. Bestigui pe?
rawakannya seperti banteng, dengan kaki pendek, dada bidang, dan
leher tebal. Rambutnya kelabu dan dipotong cepak, wajahnya bak
onggokan kusut berlipat-lipat, dengan kantong dan tahi lalat, dan dari
sana hidungnya yang besar menjorok keluar bagaikan tumor. Meski
demikian, dia tampak mengesankan dalam mantel hitam yang mahal,
Robert Galbraith
dengan istrinya yang muda dan kurus kering menggandeng lengannya.
Tansy sendiri hampir tak terlihat sama sekali, tenggelam di balik ke?
rah mantel yang dinaikkan dan kacamata hitam yang lebar.
Di deretan paling bawah dari antara foto-foto utama ini, terdapat
foto Guy Som?, desainer. Dia adalah pria kulit hitam kurus yang me?
ngenakan mantel berwarna biru gelap dengan potongan tak biasa.
Kepalanya menunduk dan ekspresinya tak terbaca karena wajahnya
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertutup bayang-bayang dari cahaya yang jatuh di kepalanya yang ge?
lap, namun tiga giwang berlian di cuping telinga yang menghadap ka?
mera menangkap cahaya lampu kilat dan berkilauan bagaikan bintang.
Seperti Porter, tampaknya dia juga datang tanpa ditemani siapa pun,
meskipun beberapa pelayat yang tidak layak mendapatkan foto ter?
sendiri sempat tertangkap dalam bingkai fotonya.
Strike menarik kursi lebih dekat ke monitor, tapi tetap menjaga ja?
rak sejangkauan lengan dari Robin. Salah satu wajah yang tak di?
identifikasi, separuh terpotong tepi foto, adalah John Bristow, yang da?
pat dikenali dari bibir atasnya yang pendek dan giginya yang mirip
kelinci. Lengannya merangkul seorang wanita tua dengan ekspresi te?
gang dan rambut putih, wajahnya cekung dan pucat pasi, kedukaannya
yang gamblang sungguh menyentuh. Di belakang mereka berdiri se?
orang pria bertampang arogan yang memberikan kesan dia sangat
muak dengan lingkungan tempatnya berada.
"Aku tidak melihat seorang pun yang mungkin adalah si gadis biasa
itu," kata Robin sambil menurunkan layar untuk meneliti foto-foto
lain yang menampilkan orang-orang rupawan dan terkenal yang tam?
pak sedih dan muram. "Oh, lihat... itu Evan Duffield."
Pria itu mengenakan kaus hitam, jins hitam, serta mantel hitam
bergaya militer. Rambutnya juga hitam. Wajahnya bergaris tajam dan
tirus, mata birunya dingin dan menatap langsung ke kamera. Meski?
pun lebih tinggi daripada dua orang yang mengapitnya, dia tampak sa?
ngat rapuh dibandingkan kedua orang yang lain seorang pria besar
bersetelan jas dan seorang wanita lebih tua yang tampak gelisah, mu?
lutnya terbuka dan gerakannya seolah sedang menyibak kerumunan di
depan mereka. Trio ini membuat Strike membayangkan orangtua
yang sedang membawa anak mereka yang sakit menjauh dari pesta.
Dekut Burung Kukuk
Strike juga memperhatikan, kendati Duffield tampak bingung dan se?
dih, dia sempat membubuhkan eyeliner dengan cukup baik.
"Lihat karangan bunga itu!"
Duffield naik ke puncak layar dan menghilang Robin berhenti di
foto karangan bunga raksasa yang tadinya Strike kira berbentuk hati,
tapi baru kemudian dia sadari lengkungan itu menggambarkan se?
pasang sayap malaikat, yang terbuat dari rangkaian bunga mawar pu?
tih. Foto yang lebih kecil memperlihatkan kartu yang menyertainya
dari jarak dekat.
"?Beristirahatlah dengan tenang, Angel Lula. Deeby Macc?," Robin
membaca keras-keras.
"Deeby Macc? Rapper itu? Jadi mereka saling kenal, ya?"
"Tidak, kurasa tidak. Tapi dia menyewa flat di gedung apartemen
Lula, dan Lula disebut-sebut dalam beberapa lagunya, bukan? Pers sa?
ngat bersemangat karena rapper itu menginap di sana..."
"Pengetahuanmu cukup banyak dalam hal itu."
"Oh, Anda tahulah, dari majalah," sahut Robin tak jelas, sembari
melihat-lihat foto-foto lain.
"Kenapa namanya ?Deeby? sih?" Strike menyuarakan kebingungan?
nya.
"Sebenarnya itu inisial namanya, ?D. B.?," Robin mengejanya dengan
jelas. "Nama aslinya Daryl Brandon Macdonald."
"Kau penggemar rap, ya?"
"Bukan," jawab Robin, masih mengamati layar dengan saksama.
"Aku hanya mengingat hal-hal seperti itu."
Robin menutup foto-foto yang tadi dia tampilkan dan mulai
mengetik lagi. Strike kembali ke foto-fotonya sendiri. Foto yang berikut
memperlihatkan Mr. Geoffrey Hook sedang mencium temannya yang
berambut merah, tangannya meraba sebelah bokong lebar yang terbalut
kain kanvas, di luar stasiun kereta bawah tanah Ealing Broadway.
"Coba lihat. Ini ada cuplikan rekaman di YouTube," kata Robin.
"Deeby Macc berbicara tentang Lula setelah dia meninggal."
"Mari kita lihat," kata Strike sambil memajukan kursinya, lalu, se?
telah berpikir lagi, mundur sedikit.
Rekaman video kabur selebar tiga kali empat inci itu pun mulai
bergerak hidup. Seorang pria kulit hitam bertubuh besar yang me?
Robert Galbraith
ngenakan semacam sweter bertudung dengan gambar kepalan tinju
yang terbuat dari paku-paku di dadanya duduk di kursi kulit hitam,
menghadapi pewawancara yang tidak terlihat di layar. Rambutnya ber?
potongan cepak dan dia mengenakan kacamata hitam.
"...bunuh dirinya Lula Landry?" tanya si pewawancara, yang ber?
logat Inggris.
"Benar-benar kacau, man, kacau banget," jawab Deeby, tangannya
mengusap kepala yang nyaris plontos. Suaranya pelan, dalam, dan pa?
rau, dengan cadel yang hampir tak terdengar. "Begitulah yang mereka
lakukan terhadap kesuksesan mereka memburumu, mereka men?
cabikmu. Itulah akibat kedengkian, kawan. Pers keparat memburunya
sampai ke jendela itu. Biarkan dia beristirahat dengan tenang. Dia su?
dah mendapatkan kedamaian itu sekarang."
"Sambutan yang mengejutkan bagimu sesampainya di London,"
kata si pewawancara, "apalagi karena dia, apa ya, melayang melewati
jendelamu?"
Deeby Macc tidak langsung menjawab. Dia duduk bergeming, me?
natap si pewawancara dari balik kacamatanya yang gelap. Kemudian
dia berkata
"Aku tidak berada di sana. Atau ada orang yang bilang aku ada di
sana?"
Dengking gugup si pewawancara membungkam tawa yang sudah
telanjur menganga.
"Astaga, tidak, tidak?bukan begitu..."
Deeby memalingkan muka dan berbicara kepada seseorang yang ti?
dak terlihat di kamera.
"Menurutmu aku perlu membawa pengacara?"
Si pewawancara tertawa menjilat bagaikan ringkikan kuda. Deeby
kembali berpaling kepadanya, tetap tidak tersenyum.
"Deeby Macc," kata si pewawancara tanpa menarik napas, "terima
kasih atas waktunya."
Tangan putih tampak terulur melewati layar; Deeby mengangkat
kepalan tangannya. Tangan putih itu berubah pikiran dan keduanya
beradu tinju. Seseorang yang tak terlihat tertawa mengejek. Video itu
berakhir.
"?Pers keparat memburunya sampai ke jendela itu?," Strike me?
Dekut Burung Kukuk
ngutip, menggulirkan kursinya kembali ke tempat asal. "Pandangan
yang menarik."
Dia merasakan ponselnya bergetar di saku celana, lalu dikeluarkan?
nya. Melihat nama Charlotte tercantum di pesan pendek itu membuat
adrenalin menyembur ke seluruh tubuhnya, seolah-olah dia baru me?
lihat sekilas binatang pemangsa yang mengendap-endap.
Aku akan keluar rumah hari Jumat pagi antara jam 9 dan 12
kalau kau mau mengambil barang-barangmu.
"Apa?" Dia merasa Robin baru saja mengatakan sesuatu.
"Aku berkata, ada artikel mengerikan tentang ibu kandungnya."
"Oke. Bacakan."
Disusupkannya ponsel kembali ke saku. Ketika dia kembali me?
nundukkan kepalanya yang besar ke arah arsip Mrs. Hook, pikiranpikirannya bergema bagaikan gong yang dipukul di dalam rongga ke?
palanya.
Charlotte bersikap masuk akal namun justru mencurigakan; ber?
lagak dewasa dan tenang. Dia telah membawa duel mereka yang ber?
kepanjangan ke tingkat yang lebih tinggi, yang belum pernah dicapai
dan belum pernah diuji "Mari kita melakukan ini seperti layaknya
orang dewasa." Barangkali akan ada sebilah belati yang ditikamkan ke
punggungnya ketika dia masuk melalui pintu depan flat; barangkali
dia akan masuk ke kamar tidur dan menemukan mayat Charlotte de?
ngan pergelangan tangan diiris, tergeletak dalam genangan darah yang
sudah mengental di depan perapian.
Suara Robin seperti derum monoton alat pengisap debu di latar
belakang. Dengan susah payah, Strike mengembalikan fokus per?
hatiannya.
"?...menjual kisah romantis hubungannya dengan seorang pria kulit
hitam kepada sebanyak mungkin jurnalis tabloid yang bersedia mem?
bayar. Namun, tidak ada yang romantis mengenai cerita Marlene
Higson itu, seperti yang diingat oleh tetangga-tetangga lamanya.
"?Dia itu pelacur,? kata Vivian Cranfield, yang tinggal di flat di atas
Higson pada saat dia sedang mengandung Landry. ?Laki-laki keluarmasuk flatnya setiap jam, siang-malam. Dia tidak pernah tahu siapa
Robert Galbraith
sebenarnya ayah bayi itu, bisa siapa saja. Dia tidak pernah mengingin?
kan bayi itu. Aku masih ingat anak itu di lorong, menangis, sendirian,
sementara ibunya sibuk dengan pelanggan. Anak kecil ini nyaris be?
lum bisa berjalan, masih memakai popok... pasti ada orang yang
menghubungi Dinas Sosial, sebelum terlambat. Untunglah dia di?
adopsi, itu yang terbaik baginya.
"?Kenyataan ini tentu akan mengejutkan Landry, yang sudah bicara
panjang-lebar di depan pers mengenai reuninya dengan ibu kandung?
nya yang telah lama hilang...? Ini ditulis," Robin menjelaskan, "sebelum
Lula meninggal."
"Ya," timpal Strike, lalu tiba-tiba menutup mapnya. "Kau mau
jalan-jalan?"
Kamera-kamera itu tampak seperti kotak-kotak sepatu jahat yang
bertengger di puncak tiang, masing-masing memiliki mata tunggal
berwarna hitam. Mereka menghadap ke arah yang berlawanan, me?
natap sepanjang Alderbrook Road yang dipadati pejalan kaki dan lalu
lintas. Kedua sisi trotoar penuh toko, bar, dan kafe. Bus-bus ber?
tingkat bergemuruh lalu-lalang di jalur bus.
"Di sinilah si Pelari Bristow tertangkap kamera," kata Strike, lalu
berbalik memunggungi Alderbrook Road untuk menatap ke arah
Bellamy Road yang lebih tenang dan diapit rumah-rumah tinggi dan
besar, menuju jantung area permukiman Mayfair. "Dia lewat sini dua
belas menit setelah Lula jatuh... ini pasti rute paling cepat dari
Kentigern Gardens. Bus-bus malam lewat sini. Lebih gampang men?
cari taksi. Bukan berarti itu langkah yang pintar kalau kau baru saja
melakukan pembunuhan."
Dia kembali mengubur wajah di buku peta A-Z yang sudah kumal.
Strike sepertinya tidak khawatir orang akan menyangka dia turis. Ti?
dak akan jadi masalah juga, pikir Robin, mengingat ukuran tubuhnya
yang besar.
Selama kariernya yang singkat sebagai pegawai temporer, Robin
sudah pernah diminta melakukan beberapa tugas di luar pekerjaan
sekretariat, dan karena itu agak gugup ketika Strike mengajaknya
jalan-jalan. Namun, dia senang karena bisa membebaskan Strike dari
dugaan ketertarikan seksual. Perjalanan lumayan jauh sampai ke tem?
Robert Galbraith
pat ini hampir seluruhnya dilewatkan dalam diam. Strike tampak si?
buk dengan pikirannya sendiri, hanya sesekali melihat peta.
Namun, setibanya mereka di Alderbrook Road, Strike berkata
"Kalau kau melihat apa pun, atau memikirkan apa pun yang belum
terpikir olehku, bilang saja, ya?"
Mendebarkan juga Robin menganggap dirinya memiliki kemam?
puan mengamati, dan bangga karenanya. Itu salah satu sebab diamdiam dia masih memendambisi masa kecilnya, yaitu pekerjaan pria
besar di sampingnya ini. Dengan penuh perhatian dia mengedarkan
pandang ke kedua ujung jalan, dan berusaha membayangkan apa kirakira yang dilakukan seseorang pada malam turun salju, dengan suhu
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di bawah titik beku, pada pukul dua dini hari.
"Lewat sini," Strike menyela sebelum ide apa pun terlintas di pi?
kirannya, jadi mereka pun berjalan bersisian di sepanjang Bellamy
Road. Jalan itu melekuk ke kiri dan lurus sejauh kira-kira enam pu?
luhan rumah, yang hampir serupa satu sama lain, dengan pintu bercat
hitam mengilap, susuran tangga mengapit undakan putih bersih, dan
pot-pot dengan tanaman dipangkas rapi. Di sana-sini terdapat patung
singa marmer dan plakat krom, menerakan nama dan titel profesional;
lampu kandelar berkilauan dari jendela-jendela lantai atas, dan salah
satu pintu terbuka, memperlihatkan ubin hitam-putih bak papan
catur, lukisan-lukisan cat minyak dalam bingkai keemasan, serta tang?
ga bergaya zaman George.
Sambil berjalan, Strike memikirkan beberapa informasi yang ber?
hasil ditemukan Robin pagi itu di internet. Seperti kecurigaan Strike,
Bristow tidak jujur ketika mengatakan bahwa polisi tidak berusaha
melacak jejak si Pelari dan rekannya. Terkubur di antara timbunan li?
putan media yang masih bertahan di dunia maya, terdapat permintaan
agar kedua orang itu menyatakan diri, tapi sepertinya tidak mem?
buahkan hasil.
Strike tidak sependapat dengan Bristow bahwa hal itu membukti?
kan polisi tidak kompeten, atau adanya tersangka pembunuhan yang
belum diselidiki. Alarm mobil yang berbunyi tiba-tiba sekitar waktu
kedua orang itu kabur dari area mungkin menjadi alasan mereka eng?
gan datang ke polisi. Lebih jauh lagi, Strike tidak tahu apakah Bristow
familier dengan berbagai kualitas rekaman kamera keamanan, tapi dia
Dekut Burung Kukuk
sendiri memiliki banyak pengalaman dengan gambar hitam-putih ka?
bur yang sulit sekali dikenali.
Strike juga memperhatikan bahwa Bristow tidak mengatakan se?
patah kata pun, secara langsung maupun di dalam catatannya, me?
ngenai bukti DNA yang diperoleh di dalam flat adiknya. Mengingat
polisi dengan segera mencoret si Pelari dan temannya dari penye?
lidikan lebih lanjut, Strike curiga tidak ditemukan DNA asing di sana.
Namun, Strike tahu orang-orang pengkhayal itu akan dengan senang
hati mengabaikan hal-hal sepele seperti bukti DNA, dengan alasan
kontaminasi atau persekongkolan. Mereka hanya melihat apa yang
ingin mereka lihat, mata mereka buta terhadap kebenaran tak ter?
bantahkan yang tidak sesuai harapan.
Tetapi, pencarian Google pagi itu telah menunjukkan adanya ke?
mungkinan penjelasan mengapa Bristow begitu menaruh minat pada
si Pelari. Adik Bristow telah mencari asal-usul biologisnya, dan ber?
hasil melacak ibu kandungnya, yang terdengar seperti wanita dengan
moral meragukan. Tentu saja, pengungkapan seperti yang telah di?
temukan Robin di internet itu bukan saja tak mengenakkan bagi
Landry, tapi juga bagi keluarga yang mengadopsinya. Apakah ketidak?
stabilan Bristow (Strike tidak dapat berpura-pura bahwa kliennya
tampak seperti orang yang seimbang lahir-batin) membuatnya yakin
bahwa Lula, yang hidupnya cukup beruntung, telah mencobai takdir?
Apakah dia berpikir Lula hanya mencari gara-gara dalam upayanya
menggali rahasia asal-usulnya; bahwa Lula telah membangunkan iblis
yang menjangkaukan lengan jauh dari masa lalu, dan kemudian mem?
bunuhnya? Itukah sebabnya kehadiran seorang lelaki kulit hitam di
dekat Lula begitu mengganggu Bristow?
Semakin dalam Strike dan Robin memasuki kantong hunian kaya
itu hingga mereka tiba di sudut Kentigern Gardens. Seperti Bellamy
Road, area itu memancarkan aura kesejahteraan yang tertutup dan
mengintimidasi. Rumah-rumahnya bergaya zaman Victoria, dinding
bata merah dengan ornamen batu dan jendela beratap di keempat
lantainya, serta balkon sempit berdinding batu. Teras sempit dari mar?
mer putih membingkai tiap pintu masuk, dengan tiga jenjang putih
dari trotoar menuju pintu bercat hitam mengilap. Semuanya dirawat
dengan biaya mahal, bersih dan teratur. Hanya sedikit mobil yang di?
Robert Galbraith
parkir di jalan ini; ada rambu kecil yang menyatakan bahwa diperlu?
kan izin khusus untuk keistimewaan tersebut.
Setelah pita polisi disingkirkan dan para wartawan tidak lagi me?
menuhi tempat ini, nomor 18 membaur kembali dalam keanggunan
harmonis dengan lingkungannya.
"Dia jatuh dari balkon lantai paling atas," kata Strike, "sekitar dua
belas meter."
Dia memandangi tampak muka gedung yang anggun itu. Balkonbalkon di ketiga lantai teratas sempit, Robin memperhatikan, nyaris
tidak ada ruang untuk berdiri di antara jendela tinggi dan pagar.
"Masalahnya," Strike berkata pada Robin sambil menyipitkan mata
ke arah balkon di atas mereka, "mendorong orang dari ketinggian itu
tidak menjamin orang itu akan mati."
"Oh?tapi, masa sih?" Robin memprotes, merenungkan betapa
tinggi jarak antara balkon teratas dan trotoar yang keras di bawah.
"Kau akan kaget kalau tahu yang sesungguhnya. Aku menghabis?
kan sebulan di ranjang, di sebelah pria Welsh yang diempas bom dari
gedung setinggi itu. Kedua tungkai dan pinggulnya hancur, dia meng?
alami perdarahan dalam yang parah, tapi masih hidup sampai seka?
rang."
Robin melirik Strike, bertanya-tanya mengapa Strike harus berada
di ranjang selama satu bulan penuh, tapi detektif itu sepertinya tidak
sadar, dan kini memasang tampang cemberut ke arah pintu depan.
"Keypad," gumamnya, memperhatikan kotak logam dengan tom?
bol-tombol, "dan kamera di atas pintu. Bristow tidak menyebut-nyebut
soal kamera. Mungkin baru."
Dia berdiri selama beberapa menit, menguji beberapa teori di ha?
dapan bangunan-bangunan berdinding bata merah bak benteng yang
intimidatif dan sangat mahal itu. Mengapa Lula Landry memilih ting?
gal di sini? Daerah Kentigern Gardens yang tenang, tradisional, dan
kaku ini tentunya lebih cocok untuk golongan kaya dari jenis yang
berbeda konglomerat Rusia dan Arab, raksasa korporasi yang harus
membagi waktu antara tinggal di kota dan properti di pedesaan;
wanita-wanita yang tidak menikah, perlahan-lahan melayu di antara
koleksi benda seni mereka. Dia berpendapat, ini pilihan tempat ting?
gal yang janggal bagi seorang gadis 23 tahun yang, menurut semua
Dekut Burung Kukuk
artikel yang dibacakan Robin tadi, bergaul dengan kalangan trendi
dan kreatif, dengan penampilan yang lebih sesuai dengan gaya jalanan,
bukan gaya salon.
"Penjagaannya kelihatan sangat ketat, ya?" kata Robin.
"Ya. Padahal sekarang tidak ada gerombolan paparazzi yang ber?
jaga-jaga seperti pada malam itu."
Strike bersandar di pagar besi hitam nomor 23, memandangi no?
mor 18. Jendela-jendela tempat tinggal Landry lebih tinggi daripada
flat-flat di bawahnya, dan balkonnya, tidak seperti dua yang lain, tidak
dipenuhi tanaman yang dipangkas rapi. Strike mengeluarkan kotak ro?
kok dari saku dan menawarkannya kepada Robin; Robin menggeleng,
terkejut, karena dia tidak pernah melihat Strike merokok di kantor.
Setelah menyulut rokok dan mengisapnya dalam-dalam, Strike ber?
kata, dengan mata terpaku pada pintu depan
"Menurut Bristow, malam itu ada orang masuk dan keluar, tanpa
ketahuan."
Robin, yang sudah memutuskan bahwa gedung itu tak tertembus,
mengira Strike akan melecehkan teori itu?tapi dia keliru.
"Kalau benar," kata Strike, tatapannya masih tertuju pada pintu,
"berarti itu telah direncanakan sebelumnya, dan direncanakan dengan
baik. Tidak mungkin ada orang yang bisa melewati para fotografer,
kode masuk, petugas keamanan, dan pintu dalam yang tertutup, lalu
keluar lagi dengan hanya mengandalkan keberuntungan. Masalahnya,"
dia menggaruk-garuk dagu, "perencanaan semacam itu tidak sesuai de?
ngan pembunuhan yang begitu serampangan."
Menurut Robin, pemilihan kata sifat itu kurang pantas.
"Mendorong orang dari balkon adalah tindakan yang didorong
emosi sesaat," Strike menjelaskan, seolah-olah dapat merasakan Robin
mengernyit dalam hati. "Kalap. Gelap mata."
Bagi Strike, keberadaan Robin cukup menyenangkan dan mene?
nangkan, bukan hanya karena Robin membantah setiap patah kata
yang diucapkannya dan tidak repot-repot berusaha memecahkan sikap
diamnya, tapi juga karena cincin safir kecil di jari manis itu, yang se?
perti tanda titik yang rapi sampai di sini saja, tidak lebih jauh lagi.
Kondisi itu sesuai dengan harapan Strike. Dia jadi bebas pamer, de?
Robert Galbraith
ngan cara yang sangat tidak berlebihan; itu salah satu dari sedikit ke?
senangan yang masih dinikmatinya.
"Tapi bagaimana kalau pembunuhnya sudah di dalam?"
"Itu jauh lebih mungkin," sahut Strike, dan Robin merasa puas
pada diri sendiri. "Dan kalau pembunuhnya sudah di dalam, kita pu?
nya pilihan si satpam, salah satu atau kedua Bestigui, atau orang tak
dikenal yang sudah bersembunyi di dalam gedung tanpa sepenge?
tahuan siapa pun. Kalau pelakunya salah satu dari pasangan Bestigui,
atau Wilson, tidak ada ada masalah keluar-masuk; yang harus mereka
lakukan hanya kembali ke tempat mereka seharusnya berada. Tetap
ada risiko Lula masih hidup, cedera, untuk menceritakan yang se?
benarnya, tapi kejahatan tak terencana yang gelap mata seperti ini le?
bih mungkin dilakukan oleh salah satu dari mereka. Bertengkar, lalu
didorong dengan kalap."
Strike mengisap rokoknya dan kembali mengamati bagian depan
gedung itu, terutama antara jendela-jendela di lantai satu dan di lantai
tiga. Yang paling memenuhi pikirannya adalah Freddie Bestigui, si
produser film. Dari sumber yang ditemukan Robin di internet, dia se?
dang tidur ketika Lula Landry jatuh dari balkon dua lantai di atasnya.
Fakta bahwa istri Bestigui sendiri yang membangunkan semua orang
dan bersikeras bahwa si pembunuh masih ada di atas sementara sang
suami ada di sampingnya, menyiratkan bahwa dia tidak menganggap
suaminya bersalah. Meski begitu, Freddie Bestigui adalah laki-laki
yang jaraknya paling dekat dengan gadis itu pada saat kematiannya.
Orang awam, menurut pengalaman Strike, akan terpaku pada motif;
sementara kaum profesional akan menempatkan kesempatan pada
urutan pertama.
Tanpa sadar menegaskan keawamannya, Robin berkata
"Tapi mengapa orang memilih waktu tengah malam untuk ber?
tengkar dengannya? Tidak ada desas-desus bahwa Lula tidak rukun
dengan tetangganya, bukan? Dan Tansy Bestigui tentu tidak dapat
melakukannya, kan? Untuk apa dia lari ke bawah dan memberitahu
petugas keamanan kalau dia yang mendorong Lula dari balkon?"
Strike tidak langsung menanggapi; sepertinya dia sedang mengikuti
rentetan pikirannya sendiri, dan satu-dua detik kemudian baru men?
jawab
Dekut Burung Kukuk
"Bristow sangat terpaku pada rentang waktu seperempat jam se?
telah adiknya masuk, setelah para fotografer pergi dan si satpam me?
ninggalkan mejanya karena sakit perut. Itu berarti selama beberapa
waktu lobi bisa dilewati begitu saja?tapi bagaimana orang dari luar
gedung tahu bahwa Wilson meninggalkan posnya? Pintu depan itu ti?
dak terbuat dari kaca."
"Tambahan lagi," sela Robin dengan tangkas, "mereka harus tahu
kode untuk membuka pintu depan."
"Orang suka ceroboh. Kecuali petugas keamanan mengubah kode
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
secara berkala, orang-orang yang tak diinginkan bisa saja mengetahui
kode itu. Mari kita melihat-lihat ke sana."
Mereka berjalan tanpa berkata-kata sampai ke ujung Kentigern
Gardens. Di sana terdapat gang yang membujur agak miring di bela?
kang blok gedung tempat tinggal Landry. Strike geli ketika memper?
hatikan gang itu masih disebut Serf ?s Way, atau Jalan Pelayan. Lebar?
nya cukup untuk dilalui satu mobil, penerangannya cukup dan tidak
ada tempat untuk bersembunyi, dengan dinding tinggi dan halus di
kedua sisi lorong berbatu-batu bulat itu. Mereka sampai di sepasang
pintu garasi besar yang dioperasikan secara elektrik, dengan tulisan
PRIBADI besar-besar ditempelkan di dinding di sebelahnya. Pintu
itu menuju area parkir bawah tanah bagi para penghuni Kentigern
Gardens.
Ketika kira-kira mereka telah sampai di belakang rumah nomor
18, Strike melompat, berpegangan pada puncak dinding, lalu meng?
hela diri ke atas. Dia melihat petak-petak panjang taman kecil yang
dirawat dengan cermat. Di antara taman dan rumah, ada lorong tang?
ga gelap menuju lantai bawah tanah. Kalau ada orang yang ingin me?
manjat bagian belakang rumah, menurutnya, mereka membutuhkan
tangga, atau rekan yang menambatkan tali, serta tali yang kuat.
Dia melepaskan pegangan dan melorot turun dinding, lalu menge?
luarkan gerungan tertahan ketika mendarat pada kaki palsunya.
"Tidak apa-apa," kata Strike ketika Robin menyuarakan kekha?
watirannya. Robin sudah melihat ketimpangan itu, dan bertanya-tanya
apakah pergelangan kaki Strike terkilir.
Gesekan pada tunggul pahanya lebih menyakitkan ketika dia ter?
tatih-tatih di jalan berbatu bulat. Karena konstruksi pergelangan kaki
Robert Galbraith
palsunya yang kaku, lebih sulit berjalan di atas permukaan yang tidak
rata. Penuh penyesalan Strike mempertanyakan diri sendiri apakah
dia tadi benar-benar perlu melompat ke atas dinding. Robin memang
gadis yang cantik, tapi tidak akan sanggup menandingi wanita yang
baru saja dia tinggalkan.
"Dan kau yakin dia detektif sungguhan, ya? Semua orang bisa me?
lakukannya. Semua orang bisa meng-Google siapa saja."
Matthew sedang jengkel setelah hari kerja yang panjang, klien yang
kecewa, dan pertemuan yang tidak memuaskan dengan atasan baru?
nya. Dia tidak senang karena tunangannya menyimpan kekaguman
yang menurutnya naif dan tidak pada tempatnya kepada pria lain.
"Dia tidak meng-Google orang," kata Robin. "Akulah yang mengGoogle, sementara dia mengerjakan kasus lain."
"Yah, aku tidak menyukai kondisinya. Dia tidur di kantornya,
Robin, kau tidak menganggap ada yang aneh?"
"Sudah kubilang, kurasa dia baru saja pisah dari pasangannya."
"Yeah, aku yakin begitu," timpal Matthew.
Robin menumpuk piring Matthew di atas piringnya dengan suara
keras, lalu beranjak ke dapur. Dia marah pada Matthew, dan agak
kesal juga pada Strike. Dia senang melacak kenalan-kenalan Lula
Landry di internet tadi pagi, tapi setelah Matthew memberinya sudut
pandang lain, sepertinya Strike telah memberinya tugas tak berarti
hanya untuk mengisi waktu.
"Dengar. Aku tidak bermaksud apa-apa," kata Matthew dari pintu
dapur. "Aku hanya merasa orang itu agak aneh. Dan kenapa sih, harus
jalan-jalan sore segala?"
"Itu bukan jalan-jalan sore, Matt. Kami pergi ke tempat kejadian?
Robert Galbraith
kami pergi untuk melihat tempat yang menurut klien telah terjadi se?
suatu."
"Robin, tidak ada perlunya sok misterius begitu," ujar Matthew
sambil tertawa.
"Aku sudah menandatangani perjanjian kerahasiaan," tukas Robin
dari balik bahunya. "Aku tidak bisa memberitahumu tentang kasus
itu."
"Kasus."
Matthew mendengus dengan tawa mengejek lagi.
Robin mondar-mandir di dapur yang kecil, menyimpan kembali
bumbu-bumbu, membanting pintu lemari. Setelah beberapa lama,
sambil mengamati sosok Robin yang bergerak ke sana kemari,
Matthew pun merasa sikapnya agak berlebihan. Didekatinya Robin
dari belakang ketika dia sedang membuang sisa makanan ke tempat
sampah, memeluknya, membenamkan wajah di lehernya, dan mem?
belai payudara yang masih memar akibat kecelakaan yang disebabkan
Strike dan yang telah mencoreng pandangan Matthew terhadap pria
itu selamanya. Dia membisikkan kata-kata maaf ke rambut Robin
yang sewarna madu, tapi tunangannya melepaskan diri dari pelukan?
nya untuk meletakkan piring-piring di bak cuci piring.
Robin merasa martabat dirinya dipertanyakan. Strike sepertinya
tertarik pada hal-hal yang dia temukan di internet. Strike juga me?
nyatakan terima kasih atas efisiensi dan inisiatifnya.
"Ada berapa jadwal wawancara minggu depan?" tanya Matthew
ketika Robin menghidupkan keran.
"Tiga," serunya mengatasi suara semburan air yang deras, sembari
menggosok piring yang paling atas dengan sekuat tenaga.
Robin menunggu sampai Matthew pergi ke ruang duduk sebelum
mematikan keran. Dia melihat ada secuil kacang polong yang ter?
sangkut pada cincin pertunangannya.
Strike tiba di flat Charlotte pada pukul setengah sepuluh hari Jumat
pagi. Dengan begitu, pikirnya, Charlotte memiliki waktu setengah jam
untuk benar-benar pergi sebelum dia masuk, dengan anggapan
Charlotte memang bermaksud pergi, alih-alih bersembunyi menung?
gunya. Bangunan-bangunan putih yang megah dan anggun di sepan?
jang jalan yang lebar, pohon-pohon sycamore, toko daging yang seperti
terjebak pada era 1950-an, kafe yang dipenuhi kelompok atas kelas
menengah, restoran modern?semua itu selalu terasa tak nyata dan
artifisial di mata Strike. Barangkali karena sejak dulu dia sudah men?
duga, di lubuk hatinya, bahwa dia tidak akan tinggal lama, bahwa ini
bukanlah tempatnya.
Sampai saat dia membuka kunci pintu depan, Strike masih meng?
harapkan Charlotte akan ada di sana; tapi begitu melangkahibang
pintu, dia tahu flat itu kosong. Keheningannya memiliki kualitas ge?
ming yang hanya dapat dirasakan dalam ketidakpedulian ruanganruangan yang tak berpenghuni, dan bunyi langkahnya terdengar
begitu asing dan gaduh ketika dia menyusuri koridor.
Empat kotak kardus berdiri di tengah-tengah ruang duduk, dibiar?
kan terbuka agar dapat dia teliti isinya. Di sana terdapat barang-ba?
rangnya yang murahan dan bekas diperbaiki, ditumpuk-tumpuk se?
perti dagangan obral besar-besaran. Diangkatnya beberapa benda
untuk memeriksa yang di bawahnya, tapi sepertinya tidak ada yang te?
lah dihancurkan, disobek-sobek, maupun disiram cat. Orang-orang
Robert Galbraith
lain seusianya memiliki rumah dan mesin cuci, mobil dan televisi,
perabotan dan taman dan sepeda gunung dan mesin pemotong rum?
put dia memiliki empat kotak kardus berisi sampah, serta serangkaian
kenangan yang tidak serasi.
Ruangan sunyi tempatnya berdiri itu memperlihatkan selera bagus
yang penuh kepercayaan diri, dengan permadani antik dan dinding
yang dicat merah muda seperti kulit, perabotan berkualitas bagus dari
kayu berwarna gelap dan rak-rak yang sarat buku. Satu-satunya yang
berubah sejak Minggu malam lalu adalah benda yang kini berdiri di
meja kaca samping sofa. Pada Minggu malam, di sana terdapat foto
dirinya dan Charlotte, sedang tertawa di pantai di St. Mawes. Seka?
rang, foto hitam-putih ayah Charlotte yang sudah meninggal terse?
nyum ramah pada Strike dari bingkai perak yang sama.
Di atas rak perapian tergantung potret Charlotte pada usia delapan
belas, dalam lukisan cat minyak. Lukisan itu memperlihatkan wajah
bak malaikat Florence dalam gelombang rambut hitam yang lebat. Ke?
luarga Charlotte adalah jenis keluarga yang memesan pelukis untuk
mengabadikan kaum mudanya latar belakang keluarga yang sungguh
asing bagi Strike, yang belakangan dipahaminya bagaikan suatu negara
asing yang berbahaya. Dari Charlotte, dia mendengar bahwa harta se?
banyak itu dapat hidup bersandingan dengan ketidakbahagiaan dan
kekejaman. Keluarga Charlotte, kendati dengan tata krama, ke?
anggunan, gaya, pendidikan, dan kadang kala keeksentrikan mereka,
malah lebih gila dan lebih aneh dibandingkan keluarga Strike. Justru
itulah unsur yang mengikat mereka dengan kuat, ketika dia dan
Charlotte mulai dekat.
Suatu pikiran asing menyusup ke benaknya sekarang, ketika Strike
memandangi potret itu inilah alasan lukisan ini dibuat, yaitu supaya
pada suatu hari, mata cokelat kehijauan itu dapat menatapnya pergi.
Tahukah Charlotte bagaimana rasanya menjelajah flat yang kosong itu
di bawah pengawasan wajah delapan-belas-tahunnya yang begitu me?
nakjubkan? Sadarkah Charlotte bahwa lukisan itu melakukan tugas
pengawasan dengan lebih baik ketimbang jika dia sendiri hadir di sini?
Strike berbalik, masuk ke ruangan-ruangan lain, tapi Charlotte ti?
dak menyisakan apa pun untuk dia lakukan. Setiap jejak dirinya, dari
benang gigi hingga sepatu tentaranya, sudah dimasukkan ke kardus.
Dekut Burung Kukuk
Dia memandangi kamar tidur dengan perhatian yang tersita sepenuh?
nya, dan kamar itu, dengan lantai kayu gelap, tirai putih, dan meja
riasnya yang cantik, membalas tatapannya dengan kalem dan tenang.
Ranjang, seperti potret tadi, tampak seperti sesuatu yang hidup dan
bernapas. Ingatlah apa yang telah terjadi di sini, dan apa yang tidak
akan pernah terjadi lagi.
Strike membawa keempat kotak kardus tadi satu per satu ke
undakan pintu depan, pada perjalanan terakhir bertemu dengan te?
tangga sebelah yang mencibir, yang sedang mengunci pintu depannya.
Orang itu mengenakan kaus rugby dengan kerah dinaikkan, dan selalu
siap tertawa meringkik sampai tersengal-sengal jika Charlotte sedikit
saja mengucapkan sesuatu yang pintar.
"Sedang beres-beres?" tanya laki-laki itu.
Strike menutup pintu Charlotte rapat-rapat.
Di depan cermin di lorong depan, dia mengeluarkan kunci pintu
dari gantungannya, lalu diletakkannya dengan hati-hati di meja ber?
bentuk bulan separuh, di sisi mangkuk berisi potpourri. Bayangan
wajahnya yang terpantul di kaca penuh carut dan dekil; matanya ma?
sih sembap, dengan memar kuning dan ungu. Suara dari tujuh belas
tahun lalu terdengar di telinganya dalam keheningan itu "Bagaimana
bangsat Rambut Jembut macam kau bisa melakukannya, Strike?" Dan
memang sulit dipercaya, pikirnya sembari berdiri di lorong yang tidak
akan pernah dilihatnya lagi.
Satu momen kegilaan terakhir, suatu jeda di antara detak jantung,
seperti yang telah mendorongnya untuk menghambur keluar mengejar
Charlotte lima hari yang lalu dia akan tetap di sini, menunggu
Charlotte kembali, lalu menangkupkan tangan di wajahnya dan ber?
kata, "Mari kita mencoba lagi."
Tetapi mereka sudah pernah mencobanya lagi, berulang kali, dan
selalu saja, tiap kali gelombang pertama kerinduan itu menyurut, ke?
kacauan masa lalu yang buruk terpampang lagi, bayang-bayangnya me?
ngerudungi segala sesuatu yang mereka coba bangun kembali.
Ditutupnya pintu depan itu untuk terakhir kali. Si tetangga
peringkik sudah pergi. Strike mengangkat keempat kardus menuruni
undakan menuju trotoar, lalu berdiri untuk mencegat taksi hitam.
Strike memberitahu Robin bahwa dia akan terlambat datang ke
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kantor pada hari kerja Robin yang terakhir. Dia telah memberikan
kunci cadangan pada gadis itu dan menyuruhnya masuk saja.
Robin sebenarnya agak tersinggung dengan kata "terakhir" yang di?
ucapkan Strike dengan ringan. Hal itu menyatakan bahwa sebaik apa
pun hubungan mereka, kendati tetap berjarak dan profesional, Strike
tidak sabar untuk segera mengusirnya. Betapa pun kantornya jauh le?
bih terorganisir; betapa pun kamar kecil mengerikan di luar pintu
kaca itu jauh lebih bersih; betapa pun bel pintu di bawah sekarang
tampak lebih pantas tanpa secarik kertas lusuh tertempel di sana, tapi
namanya tertera dalam huruf ketikan di dalam wadah plastik (perlu
setengah jam dan dua kuku patah untuk membuka wadah itu); betapa
pun efisiennya dia menerima pesan-pesan telepon Strike; betapa pun
pintarnya dia telah mendiskusikan pembunuh Lula Landry yang se?
benarnya nyaris bisa dipastikan tidak pernah ada.
Strike jelas-jelas tidak mampu mempekerjakan sekretaris temporer.
Dia hanya memiliki dua klien, dia sepertinya tak memiliki tempat
tinggal (seperti yang berulang kali disinggung Matthew, seolah-olah
tidur di kantor adalah pertanda kebejatan yang tak terampuni). Robin
tentu saja mengerti, dari sudut pandang Strike, tidak masuk akal
untuk mempertahankan dia. Namun sebenarnya dia tidak menunggununggu datangnya hari Senin. Akan ada kantor baru lagi (Temporary
Dekut Burung Kukuk
Solutions telah menelepon untuk memberitahukan alamatnya), kantor
yang pasti rapi, terang, sibuk, penuh perempuan penggosip seperti
sebagian besar kantor semacam itu, semua sibuk melakukan aktivitas
yang nyaris tak bermakna bagi Robin. Dia mungkin tidak percaya
pembunuh itu ada; dia tahu Strike juga berpendapat begitu; tapi pro?
ses membuktikan ketidakberadaan itu sangatlah memikat baginya.
Bagi Robin, sepanjang minggu itu begitu menggairahkan, lebih
daripada yang berani diakuinya kepada Matthew. Seluruhnya?bah?
kan menelepon rumah produksi Freddie Bestigui, BestFilms, dua kali
sehari, dan permintaannya untuk dihubungkan kepada si produser di?
tolak mentah-mentah?telah memberinya arti penting yang jarang dia
alami selama masa kerjanya. Robin terpikat dengan apa yang terjadi di
dalam benak orang lain dia sudah setengah jalan di fakultas psikologi
ketika suatu insiden tak terduga menghabisi karier kuliahnya.
Pukul setengah sebelas, Strike masih belum kembali ke kantor, tapi
seorang wanita bertubuh gempal yang tersenyum gugup, mengenakan
mantel oranye dan topi baret rajut warna ungu telah datang. Inilah
Mrs. Hook, nama yang familier di telinga Robin karena dia satu-satu?
nya klien Strike yang lain. Robin mempersilakan Mrs. Hook duduk di
sofa melesak di samping meja kerjanya, serta menyuguhkan secangkir
teh. (Sesudah Robin dengan canggung memberikan gambaran me?
ngenai Mr. Crowdy yang genit di lantai bawah, Strike telah membeli
cangkir murah dan sekotak teh celup.)
"Aku tahu aku datang terlalu pagi," kata Mrs. Hook untuk ketiga
kalinya, tanpa hasil berusaha menyesap teh yang mendidih. "Aku be?
lum pernah melihatmu. Kau baru, ya?"
"Saya temporer," jawab Robin.
"Seperti yang mungkin sudah kauduga, ini soal suamiku," kata
Mrs. Hook tanpa mendengarkan jawaban Robin. "Kurasa kau sering
melihat wanita seperti aku, ya? Ingin mengetahui yang terburuk. Be?
berapa lama aku ragu-ragu terus. Tapi ini yang terbaik, bukan? Lebih
baik tahu. Kupikir Cormoran ada di sini. Dia sedang keluar me?
nangani kasus lain?"
"Betul," sahut Robin, walaupun dia menduga Strike sedang me?
lakukan sesuatu menyangkut kehidupan pribadinya yang misterius?
Robert Galbraith
ada kesan enggan dan menutup diri ketika Strike memberitahu dia
akan datang terlambat.
"Kau tahu siapa ayahnya?" tanya Mrs. Hook.
"Tidak, saya tidak tahu," jawab Robin, mengira mereka sedang
membicarakan suami wanita malang ini.
"Jonny Rokeby," ujar Mrs. Hook dengan semacam kepuasan yang
dramatis.
"Jonny Roke?"
Robin menahan napas. Pada saat bersamaan dia menyadari bahwa
yang dimaksud Mrs. Hook adalah Strike, dan bahwa sosok raksasa
Strike tampak menjulang di balik pintu kaca. Dia dapat melihat Strike
membawa sesuatu yang besar.
"Tunggu sebentar, Mrs. Hook," katanya.
"Apa?" tanya Strike sambil mengintip dari balik kotak kardus, saat
Robin melesat keluar dari pintu kaca dan menutupnya.
"Mrs. Hook ada di sini," bisiknya.
"Oh, demi setan. Dia datang satu jam lebih cepat."
"Aku tahu. Kupikir Anda mungkin mau, mm, membereskan kantor
sedikit sebelum menerima dia di sana."
Strike menurunkan kardus itu di lantai besi.
"Aku harus membawa naik kardus-kardus ini dari bawah," katanya.
"Biar kubantu," Robin menawarkan diri.
"Tidak, kau masuk saja dan ajak dia mengobrol. Dia ikut kursus
keramik, dan menurutnya suaminya tidur dengan akuntannya."
Strike tertatih-tatih menuruni tangga, meninggalkan kotak itu di
sebelah pintu.
Jonny Rokeby?mungkinkah?
"Dia sudah datang, sebentar lagi," Robin memberitahu Mrs. Hook
dengan ceria, kembali ke mejanya. "Mr. Strike bilang, Anda ikut kur?
sus keramik. Sejak dulu saya ingin mencoba..."
Selama lima menit berikutnya, Robin hampir tidak menyimak
penjelasan kursus keramik serta pemuda manis dan penuh pengertian
yang mengajarnya. Kemudian pintu kaca itu terbuka dan Strike
masuk, tanpa dibebani kotak-kotak kardus, tersenyum sopan pada
Mrs. Hook yang terlompat untuk menyambutnya.
"Oh, Cormoran, matamu itu!" katanya. "Kau dipukul orang?"
Dekut Burung Kukuk
"Tidak," sahut Strike. "Kalau Anda bersedia menunggu, Mrs.
Hook, saya akan mengambil arsip Anda."
"Aku tahu aku datang terlalu pagi, Cormoran, dan aku minta
maaf... Aku sama sekali tidak bisa tidur semalam..."
"Biar sayabil cangkir Anda, Mrs. Hook," kata Robin, dan ber?
hasil mengalihkan perhatian si klien sementara Strike menyusup masuk
ke ruang kerjanya yang berisi ranjang lipat, kantong tidur, serta ketel.
Beberapa menit kemudian, Strike muncul kembali dalam kabut
wangi jeruk artifisial, dan Mrs. Hook masuk ke kantor Strike sambil
melempar tatapan khawatir ke arah Robin. Pintu tertutup di bela?
kangnya.
Robin duduk kembali di mejanya. Surat-surat yang datang pagi ini
sudah dibuka dan diperiksa. Dia berayun-ayun di kursi putar, lalu
beringsut ke komputer dan dengan lagak santai membuka Wikipedia.
Kemudian, dengan ringan, seolah-olah jari-jarinya tidak menyadari
apa yang mereka lakukan, dia mengetikkan dua nama Rokeby Strike.
Lema itu muncul seketika. Paling atas terdapat foto hitam-putih
pria yang wajahnya terkenal selama empat dekade. Dia memiliki wajah
sempit dan mata liar bak Harlequin yang mudah digambar karikatur?
nya?mata kirinya agak tidak seimbang karena sedikit menyipit;
mulutnya menganga lebar, keringat membanjiri wajahnya, rambutnya
berkibar ketika dia menjerit ke mikrofon.
Jonathan Leonard "Jonny" Rokeby, lahir 1 Agustus 1948, adalah
vokalis utama band 70-an The Deadbeats, anggota Rock and Roll
Hall of Fame, beberapa kali memenangkan Grammy...
Strike sama sekali tidak serupa dengannya; satu-satunya kemiripan
hanya ada pada ketidakseimbangan mata itu, yang di wajah Strike
diakibatkan kondisi sementara.
Di bagian bawah lema itu Robin membaca
...album multi-platinum Hold It Back pada tahun 1975. Tur di
Amerika yang memecahkan rekor itu terpaksa dihentikan karena
gitaris baru mereka David Carr ditangkap pada suatu penggele?
dahan narkoba di LA...
Robert Galbraith
hingga sampai pada Kehidupan Pribadi
Rokeby menikah tiga kali dengan kekasihnya semasa kuliah seni,
Shirley Mullens (1969-1973), dan memiliki satu anak perempuan,
Maimie; dengan model, aktris, dan aktivis HAM, Carla Astolfi
(1975-1979), dan memiliki dua anak perempuan, presenter tele?
visi Gabriella Rokeby dan desainer perhiasan Daniella Rokeby;
dengan produser film Jenny Graham (1981-sekarang), dan memi?
liki dua anak laki-laki, Edward dan Al. Rokeby juga mempunyai
anak perempuan, Prudence Donleavy, dari hubungannya dengan
aktris Lindsey Fanthrope, serta anak laki-laki, Cormoran, dengan
seorang supergroupie 1970-an, Leda Strike.
Pekikan tajam yang nyaring terdengar dari ruangan di belakang
Robin. Dia terlompat berdiri, kursi berodanya melejit menjauh. Jeritan
itu semakin keras dan semakin tinggi. Robin berlari dan membuka
pintu ruang dalam.
Mrs. Hook, yang tidak lagi dibalut mantel oranye dan baret ungu,
mengenakan semacam baju luar bermotif bunga-bunga di atas jins, su?
dah menghambur ke arah Strike dan sedang memukuli dadanya, sam?
bil mengeluarkan suara seperti ketel mendidih. Jeritan satu-nada itu
melengking terus, sampai suatu ketika Mrs. Hook merasa perlu me?
narik napas atau dia akan tercekik.
"Mrs. Hook!" seru Robin, dan ditariknya lengan bergelambir wa?
nita itu dari belakang, berusaha membebaskan Strike dari tanggung
jawab untuk mempertahankan diri dari serangan. Mrs. Hook ternyata
jauh lebih kuat daripada tampaknya; meskipun sempat berhenti untuk
mengambil napas, dia terus memukuli Strike sampai Strike mau tak
mau mencengkeram kedua pergelangan tangan Mrs. Hook dan meng?
angkatnya.
Pada saat itu, Mrs. Hook berkelit membebaskan diri dari pegangan
yang longgar, lalu berbalik ke arah Robin, melolong seperti anjing.
Sembari menepuk-nepuk punggung wanita yang menangis terisakisak itu, Robin menggiringnya tanpa susah payah kembali ke ruang
luar.
"Sudah, Mrs. Hook, sudah," katanya menghibur, membimbing wa?
Dekut Burung Kukuk
nita itu duduk di sofa. "Biar sayabilkan secangkir teh. Sudah, tidak
apa-apa."
"Saya sangat menyesal, Mrs. Hook," kata Strike dengan resmi dari
ambang pintu ruangannya. "Tidak pernah mudah mendengar berita
seperti ini."
"Ku-kukira itu Valerie," Mrs. Hook merintih, kedua tangannya me?
megangi rambutnya yang berantakan, duduk berayun maju-mundur di
sofa sambil mengerang. "Ku-kukira itu Valerie, buk-bukan?b-bukan
adikku sendiri."
"Sayabilkan teh!" bisik Robin, terkejut ngeri.
Dia sudah hampir sampai ke pintu sambil membawa ketel ketika
teringat dia telah meninggalkan kisah hidup Jonny Rokeby terpam?
pang di monitor komputernya. Akan terlihat aneh bila dia buru-buru
kembali untuk mematikan monitor di tengah-tengah krisis ini, jadi
Robin segera keluar dari ruangan, berharap Strike akan terlalu di?
sibukkan oleh Mrs. Hook sehingga tidak menaruh perhatian.
Perlu waktu empat puluh menit lagi bagi Mrs. Hook untuk me?
nandaskan cangkir teh keduanya dan tersedu sedan hingga meng?
habiskan setengah gulung tisu yang diambil Robin dari toilet di luar.
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akhirnya wanita itu pun pergi, membawa map penuh berisi foto yang
memberatkan beserta indeks rincian waktu dan tempatnya. Dadanya
megap-megap, tangannya masih menyeka mata yang basah.
Strike menanti sampai Mrs. Hook tak terlihat lagi di ujung jalan,
lalu keluar sambil bersenandung riang untuk membeli sandwich bagi?
nya dan Robin, yang kemudian mereka nikmati bersama di meja
Robin. Itu tindakan paling bersahabat yang dia lakukan selama se?
minggu yang mereka habiskan bersama, dan Robin yakin ini karena
Strike akan segera bebas darinya.
"Kau tahu aku akan keluar nanti sore untuk mewawancarai
Wilson?" Strike bertanya.
"Petugas keamanan yang diare itu," kata Robin. "Ya, tahu."
"Kau pasti sudah pergi saat aku kembali, jadi aku akan menanda?
tangani kartu absenmu sebelum aku pergi. Dan, terima kasih untuk..."
Strike mengangguk ke arah sofa yang sekarang kosong.
"Oh, tidak masalah. Wanita malang."
"Ya. Tapi dia sudah mendapatkan bukti-buktinya. Juga," Strike me?
Robert Galbraith
neruskan, "terima kasih untuk semua yang telah kaulakukan selama
minggu ini."
"Sudah tugasku," sahut Robin ringan.
"Kalau saja aku bisa membayar gaji sekretaris... tapi kurasa kau
bisa mendapatkan gaji besar sebagai asisten pribadi seorang bos kaya."
Entah mengapa Robin merasa tersinggung.
"Bukan pekerjaan seperti itu yang kuinginkan," ujarnya.
Ada keheningan yang agak berat.
Strike sedang bergumul dengan diri sendiri. Sungguh muram
membayangkan meja Robin yang akan kosong minggu depan; dia me?
nyukai keberadaan Robin yang tidak menuntut, dan efisiensinya sung?
guh menyegarkan. Tetapi tentunya menyedihkan, bukan?belum lagi
boros?kalau dia harus membayar seseorang untuk menjadi teman,
seolah-olah dia semacam pengusaha kaya zaman Victoria yang sakitsakitan? Temporary Solutions menagih komisi dengan rakus; Robin
adalah kemewahan yang tidak mampu dibayarnya. Fakta bahwa Robin
tidak bertanya apa pun tentang ayahnya (karena Strike melihat lema
Jonny Rokeby di Wikipedia pada layar komputer) membuatnya se?
makin kagum pada Robin, karena hal itu menunjukkan pengendalian
diri yang tidak biasa, dan sering kali itulah standar yang dia gunakan
untuk menilai kenalan baru. Tapi itu juga tidak membantu dalam segi
praktis yang harus dia hadapi Robin harus pergi.
Meski demikian, perasaannya terhadap Robin hampir serupa de?
ngan yang dirasakannya pada ular rumput yang berhasil dijebaknya di
Hutan Trevaylor ketika umurnya sebelas, yang memaksanya melaku?
kan negosiasi panjang dan lama dengan Bibi Joan "Please... Izinkan
aku memeliharanya... please..."
"Sebaiknya aku berangkat sekarang," katanya setelah menanda?
tangani kartu absen Robin, lalu membuang bungkus sandwich dan bo?
tol air yang kosong ke tempat sampah di bawah meja. "Terima kasih
untuk segalanya, Robin. Semoga berhasil dalam pencarian pekerjaan?
mu."
Strike mengambil mantel, lalu keluar melalui pintu kaca.
Di puncak tangga, persis di tempat dia nyaris membunuh dan
akhirnya menyelamatkan Robin, Strike berhenti. Insting menggarukgarukkan cakarnya seperti anjing yang menuntut perhatian.
Dekut Burung Kukuk
Pintu kaca terbanting membuka dengan bunyi keras di belakang?
nya dan Strike berbalik. Wajah Robin merah padam.
"Begini," kata Robin. "Kita bisa membuat kesepakatan sendiri. Kita
bisa meninggalkan Temporary Solutions, dan Anda bisa membayarku
langsung."
Strike bimbang.
"Agen pekerjaan tidak akan menyukainya. Kau bisa masuk daftar
hitam mereka."
"Tidak apa-apa. Ada tiga wawancara untuk pekerjaan permanen
minggu depan. Kalau Anda tidak keberatan aku pergi sebentar untuk
wawancara?"
"Ya, tidak masalah," kata Strike sebelum dapat mencegah diri sen?
diri.
"Well, kalau begitu, aku bisa tinggal selama satu atau dua minggu
lagi."
Jeda. Akal sehat bertempur singkat dan kejam dengan insting dan
harapan, dan langsung ditumpas habis.
"Yeah... baiklah. Nah, kalau begitu, maukah kau mencoba meng?
hubungi Freddie Bestigui lagi?"
"Tentu saja," sahut Robin, menyembunyikan kegembiraannya di
balik sikap efisien yang kalem.
"Sampai bertemu hari Senin, kalau begitu."
Itu senyum lebar pertama yang berani diberikannya kepada Robin.
Strike sempat mengira dia akan jengkel pada diri sendiri, namun saat
melangkah keluar ke siang hari yang sejuk itu dia tidak memiliki pe?
nyesalan, justru rasanya mendapat suntikan optimisme baru.
Sekali waktu Strike pernah mencoba mengingat-ingat berapa banyak
tempatnya bersekolah pada masa remaja, dan hitungannya sampai
pada angka tujuh belas, namun dia curiga telah melupakan beberapa.
Dia tidak menyertakan periode dua bulan sekolah-di-rumah ketika
dia beserta ibu dan adik tirinya tinggal di hunian ilegal di Atlantic
Road, Brixton. Pacar ibunya saat itu, musisi Rastafaria kulit putih
yang menamakan dirinya sendiri Shumba, merasa bahwa sistem se?
kolah terlalu menekankan nilai-nilai patriarkal dan materialistik, dan
tidak ingin anak-anak "angkat"-nya ternoda. Hal utama yang dipelajari
Strike selama masa pendidikan dua bulan yang singkat itu adalah
bahwa cannabis, bila dikonsumsi secara spiritual, dapat mengakibatkan
kebodohan dan paranoia pada pemakainya.
Dalam perjalanan menuju kafe untuk bertemu dengan Derrick
Wilson, dia mengambil rute memutar yang tak perlu melalui Brixton
Market. Bauis kios-kios bertenda; supermarket terbuka yang ber?
aneka warna, bercampur bau asing buah-buahan dan sayur-mayur dari
Afrika serta Kepulauan Karibia; tukang daging halal dan tukang cu?
kur yang memamerkan poster berbagai model rambut keriting dan ke?
pang, serta barisan kepala plastik mengenakan wig di etalase?semua
itu membawa Strike kembali ke 26 tahun lalu, pada bulan-bulan dia
menjelajahi Brixton bersama Lucy, adik tirinya, sementara ibunya dan
Shumba bergeletakan malas di atas kasur tipis yang kotor di rumah
Dekut Burung Kukuk
ilegal itu, sambil teler membicarakan konsep-konsep spiritual penting
yang sebaiknya diajarkan kepada anak-anak.
Lucy yang baru berusia tujuh tahun ingin memiliki rambut seperti
gadis-gadis Karibia itu. Dalam perjalanan jauh kembali ke St. Mawes
yang telah mengakhiri kehidupan mereka di Brixton, dari bangku
belakang Morris Minor milik Paman Ted dan Bibi Joan, Lucy me?
nyatakan keinginannya yang sangat akan rambut kepang-kepang kecil
yang dihiasi manik-manik. Strike ingat Bibi Joan dengan tenang mem?
benarkan bahwa gaya rambut itu cantik, tapi kerutan di antara kedua
alisnya tampak jelas dari kaca spion tengah. Selama bertahun-tahun
Joan sudah mencoba untuk tidak mengatakan hal-hal yang buruk ten?
tang ibu mereka. Strike tidak pernah mengerti bagaimana Paman Ted
bisa menemukan di mana mereka tinggal?dia hanya tahu, pada suatu
siang dia dan Lucy masuk ke rumah itu dan mendapati kakak ibu me?
reka yang bertubuh raksasa sedang berdiri di tengah-tengah ruangan,
mengancam akan menghajar Shumba. Dalam dua hari, dia dan Lucy
kembali ke St. Mawes, kembali ke sekolah dasar yang beberapa kali
mereka tinggalkan, kembali berkawan dengan teman-teman lama se?
olah-olah mereka tidak pernah pergi, dan dengan segera kehilangan
logat bicara yang mereka kembangkan untuk kamuflase, ke mana pun
Leda membawa mereka.
Dia tidak membutuhkan petunjuk arah yang diberikan Derrick
Wilson kepada Robin, karena sudah lama dia tahu Phoenix Caf? di
Coldharbour Lane itu. Sesekali, Shumba dan ibunya mengajak mereka
ke warung makan kecil yang mirip pondok dicat cokelat itu, dan (ka?
lau bukan vegetarian seperti Shumba dan ibunya) mereka bisa me?
mesan menu sarapan besar yang enak, dengan telur dan bacon ditum?
puk tinggi, serta bercangkir-cangkir teh sewarna kayu jati. Tempat itu
masih seperti yang diingatnya nyaman, hangat, dan lusuh, dinding
cerminnya memantulkan meja-meja berlapis Formica dengan motif
kayu, lantai ubin merah tua dan putih yang sudah lawas, dan langitlangit sewarna tapioka yang tertutup kertas dinding. Pelayan setengah
baya yang gempal itu rambutnya diluruskan dan dipotong pendek,
mengenakan anting-anting panjang dari plastik oranye. Dia menepi
untuk memberi jalan Strike yang melewati konter.
Seorang pria Karibia bertubuh gempal duduk sendiri di salah satu
Robert Galbraith
meja sambil membaca Sun, di bawah jam plastik bergambar Pukka
Pies yang terkenal.
"Derrick?"
"Ya... kau Strike?"
Strike menjabat tangan Wilson yang lebar dan kering, lalu duduk.
Dia memperkirakan, kalau sedang berdiri, Wilson hampir setinggi
dirinya. Otot dan lemak membuat lengan sweternya menggelembung,
rambutnya dipotong cepak dan wajahnya dicukur bersih, dengan mata
menyipit seperti buah almond. Strike memesan pai dan kentang tum?
buk dari papan menu yang ditulis tangan, senang karena bisa me?
nagihkan 4,75 pound ke pengeluaran.
"Ya, pie ?n? mash-nya enak di sini," kata Wilson.
Aksen Karibia samar-samar menghiasi logat London-nya. Suara?
nya dalam, tenang, dan terukur. Strike membayangkan, dia akan tam?
pak meyakinkan dalam seragam satpamnya.
"Terima kasih mau bertemu denganku. John Bristow tidak senang
dengan hasil penyelidikan kasus adiknya. Dia memintaku meneliti
bukti-buktinya lagi."
"Ya," sahut Wilson, "aku tahu."
"Dia membayarmu berapa untuk bicara denganku?" tanya Strike ri?
ngan.
Wilson mengerjap, lalu terkekeh dengan suaranya yang dalam, agak
merasa bersalah.
"Dua puluh lima pound," sahutnya. "Tapi apa salahnya kalau bisa
membuat orang itu tenang, ya kan? Nggak akan mengubah apa pun.
Dia memang bunuh diri kok. Tapi tanya sajalah. Aku nggak keberatan
menjawab."
Dia menutup koran Sun itu. Di halaman depan terpampang foto
Gordon Brown dengan kantong mata hitam dan tampak letih.
"Kau pasti sudah membahas segalanya dengan polisi," kata Strike
sambil membuka notes dan meletakkannya di samping piringnya, "tapi
akan baik kalau bisa mendengar, secara langsung, apa yang terjadi ma?
lam hari itu."
"Yeah, nggak masalah. Oh, Kieran Kolovas-Jones mungkin mau da?
tang," tambah Wilson.
Sepertinya dia beranggapan Strike sudah tahu siapa orang itu.
Dekut Burung Kukuk
"Siapa?" tanya Strike.
"Kieran Kolovas-Jones. Dia sopir Lula. Dia juga ingin bicara de?
nganmu."
"Oke, bagus," ujar Strike. "Kapan dia akan kemari?"
"Nggak tahu. Dia sedang kerja. Dia akan datang kalau bisa."
Pelayan itu meletakkan cangkir teh di hadapan Strike, yang meng?
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ucapkan terima kasih, lalu mengeklik ujung bolpoinnya. Sebelum dia
sempat mengajukan pertanyaan apa pun, Wilson berkata
"Kau mantan militer, kata Mister Bristow."
"Ya," jawab Strike.
"Keponakanku di Afghanistan," kata Wilson, lalu menyesap tehnya.
"Provinsi Helmand."
"Resimen apa?"
"Korps Perhubungan," sahut Wilson.
"Sudah berapa lama dia di sana?"
"Empat bulan. Ibunya tidak bisa tidur," Wilson berkata. "Kenapa
kau keluar?"
"Kakiku kena ledakan bom," Strike menjawab dengan kejujuran
yang tidak biasa.
Pernyataan itu hanya sebagian benar, tapi bagian itulah yang paling
mudah dikatakan kepada orang tak dikenal. Dia bisa saja tetap di ke?
satuan; mereka ingin dia tinggal; tapi kehilangan betis dan kaki hanya
memicu keputusan yang sudah menyelinap keluar-masuk kesadaran?
nya selama beberapa tahun terakhir itu. Dia tahu titik baliknya se?
makin dekat; titik ketika dia, kalau tidak keluar, akan merasa terlalu
berat untuk pergi, terlalu sulit untuk kembali ke kehidupan sipil. Ang?
katan darat membentukmu selama bertahun-tahun, hampir tanpa sa?
dar; menggerusmu ke dalam kesesuaian standar, hingga lebih mudah
menyerahkan diri dihanyutkan gelombang pasang kehidupan militer.
Strike tidak pernah sepenuhnya tenggelam, dan memilih pergi se?
belum itu terjadi padanya. Sampai sekarang pun dia mengenang Ca?
bang Investigasi Khusus dengan rasa sayang yang tidak dipengaruhi
hilangnya sebelah tungkainya. Dia akan senang kalau bisa mengingat
Charlotte dengan rasa sayang murni yang serupa.
Wilson menanggapi penjelasan Strike dengan anggukan perlahan.
"Berat," ujarnya dengan suaranya yang dalam.
Robert Galbraith
"Belum ada apa-apanya dibandingkan dengan beberapa yang lain."
"Ya. Ada orang di peleton keponakanku yang mati karena ledakan
bom dua minggu lalu."
Wilson menghirup tehnya.
"Bagaimana hubunganmu dengan Lula Landry?" Strike bertanya,
bolpoinnya siaga. "Kau sering bertemu dia?"
"Cuma saat keluar-masuk melewati meja. Dia selalu bilang halo,
tolong, dan terima kasih, dan itu lumayan banget ketimbang bajinganbajingan kaya yang lain," kata Wilson ringkas. "Kami pernah ngobrol
lama tentang Jamaika. Dia sedang berpikir mau terima kerjaan di
sana; tanya padaku sebaiknya tinggal di mana, seperti apa di sana.
Dan aku dapat tanda tangannya untuk ulang tahun keponakanku,
Jason. Kuminta dia menandatangani kartu, kukirim ke Afghanistan.
Hanya tiga minggu sebelum dia meninggal. Sejak itu dia menanyakan
Jason dengan menyebut namanya tiap kali aku bertemu dia, dan aku
suka dia karena itu, ngerti, kan? Sudah lama aku kerja di bidang ke?
amanan. Sebagian orang ini berharap kau menghadang peluru untuk
mereka, tapi tidak mau repot-repot mengingat namamu. Ya, dia oke."
Pesanan Strike datang, panas mengepul. Kedua laki-laki itu diam
sejenak dengan khidmat tatkala mengamati piring yang penuh. De?
ngan berliur, Strike mengambil pisau dan garpu, lalu berkata
"Bisakah kau menceritakan dengan urut apa yang terjadi pada ma?
lam Lula meninggal? Dia keluar jam berapa?"
Petugas keamanan itu menggaruk lengannya sambil berpikir, me?
naikkan lengan sweternya. Strike melihat beberapa tato di sana, salib
dan inisial.
"Pasti tak lama selewat pukul tujuh. Dia bersama temannya, Ciara
Porter. Pas mereka keluar, Mr. Bestigui masuk. Aku ingat, karena dia
bilang sesuatu pada Lula. Aku tidak mendengar apa yang dikatakan.
Tapi Lula tidak suka. Kelihatan dari tampangnya."
"Tampangnya bagaimana?"
"Tersinggung," sahut Wilson, sudah siap dengan jawabannya. "Lalu
di monitor kulihat dua gadis itu masuk ke mobil mereka. Kami punya
kamera di atas pintu. Terhubung ke monitor di meja, supaya kami
bisa melihat siapa yang minta dibukakan pintu."
"Apakah ada rekamannya? Bisa kulihat?"
Dekut Burung Kukuk
Wilson menggeleng.
"Mr. Bestigui tidak suka ada alat seperti itu di pintu. Tidak boleh
ada alat perekam. Dia yang pertama kali membeli flat, sebelum se?
luruhnya selesai dibangun, jadi punya hak bicara."
"Kalau begitu, kamera itu cuma lubang intip yang canggih?"
Wilson mengangguk. Ada parut halus dari bawah mata kiri hingga
ke tengah tulang pipinya.
"Yeah. Jadi aku lihat gadis-gadis itu masuk ke mobil. Kieran, orang
yang akan menemui kita di sini, bukan sopir yang bertugas malam itu.
Semestinya dia menjemput Deeby Macc."
"Siapa sopir Lula malam itu?"
"Orang yang namanya Mick, dari Execars. Pernah jadi sopir Lula.
Aku lihat para fotografer itu mengerubungi mobil waktu mereka
pergi. Sudah semingggu mereka mengendus-endus, karena mereka
tahu Lula kembali dengan Evan Duffield."
"Apa yang dilakukan Bestigui, begitu Lula dan Ciara pergi?"
"Dia mengambil kiriman pos dari mejaku dan naik tangga ke flat?
nya."
Strike meletakkan garpu setiap kali sesudah menyuap, untuk men?
catat.
"Ada orang lain yang keluar-masuk setelah itu?"
"Ya, orang katering?mereka ke flat Bestigui karena akan ada tamu
malam itu. Sepasang orangerika datang selewat pukul delapan
dan naik ke Flat Satu, dan tidak ada yang masuk atau keluar lagi sam?
pai mereka pergi, hampir tengah malam. Tidak lihat orang lain lagi
sampai Lula pulang, sekitar setengah dua.
"Aku dengar paparazzi meneriakkan namanya di luar. Sudah ba?
nyak yang datang waktu itu. Sebagian mengikuti Lula dari kelab ma?
lam, dan sudah banyak yang menunggu di sini, menunggu Deeby
Macc. Seharusnya dia datang sekitar pukul setengah satu. Lula me?
mencet bel dan aku membukakan pintu."
"Dia tidak memasukkan kode angka di keypad?"
"Karena banyak orang yang mengikuti dia, dia ingin segera masuk.
Mereka berteriak-teriak, semakin mendesak dia."
"Memangnya dia tidak bisa masuk lewat garasi bawah tanah untuk
menghindari mereka?"
Robert Galbraith
"Ya, kadang-kadang itu yang dia lakukan kalau Kieran yang me?
nyopirinya, karena Lula memberinya akses pintu garasi elektrik. Tapi
Mick tidak punya, jadi terpaksa dia turun di depan.
"Aku bilang selamat pagi, dan aku bertanya tentang salju, karena
ada salju di rambutnya. Dia menggigil, memakai gaun kecil yang tipis
begitu. Dia bilang suhunya di bawah beku, pokoknya semacam itulah.
Lalu dia bilang sesuatu tentang paparazzi itu, ?Kuharap mereka ming?
gat saja. Mereka akan tetap di sini semalaman?? Kujawab, mereka ma?
sih menunggu Deeby Macc; orang itu terlambat datang. Lula ke?
lihatan jengkel. Lalu dia naik lift ke flatnya."
"Dia kelihatan jengkel?"
"Ya, jengkel sekali."
"Jengkel sampai bisa bunuh diri?"
"Tidak," sahut Wilson. "Jengkel yang marah sekali."
"Setelah itu apa yang terjadi?"
"Setelah itu," Wilson bercerita, "aku harus ke belakang. Perutku
mulai tidak enak. Aku harus ke kamar mandi. Mendesak, kau tahu,
kan. Aku ketularan Robson. Dia tidak masuk karena sakit perut. Aku
masuk sekitar lima belas menit. Tidak ada pilihan lain. Tidak pernah
berak seperti itu.
"Aku masih di WC ketika mendengar jeritan itu. Tidak," dia me?
ngoreksi diri sendiri, "yang pertama kali kudengar adalah bunyi keras.
Bunyi keras di kejauhan. Belakangan kusadari, itu pasti mayat?Lula,
maksudku?yang jatuh.
"Baru setelah itu jeritan itu terdengar, semakin nyaring, menuruni
tangga. Jadi aku menaikkan celanaku dan berlari ke lobi, dan di sana
ada Mrs. Bestigui mengenakan pakaian dalam, gemetar dan menjeritjerit seperti wanita gila. Dia bilang Lula mati, didorong dari balkon
oleh seseorang yang ada di flatnya.
"Kuminta dia tetap di tempat dan aku berlari ke pintu depan. Dan
di sanalah dia. Tergeletak di tengah jalan, wajahnya terbenam di salju."
Wilson meneguk tehnya, lalu sembari menggenggam cangkir itu
dengan tangannya yang besar, dia berkata
"Separuh kepalanya pecah. Darah mengalir di salju. Aku menduga
lehernya patah. Dan ada?yah."
Bauis otak manusia yang tak keliru lagi seperti langsung me?
Dekut Burung Kukuk
rasuk ke lubang hidung Strike. Sudah sering dia mencium bau itu.
Kau tidak akan pernah bisa melupakannya.
"Aku lari lagi ke dalam," Wilson melanjutkan. "Pasangan Bestigui
ada di lobi. Mr. Bestigui berusaha mengajak istrinya ke atas, memakai
baju, tapi istrinya masih melolong-lolong. Aku minta mereka menele?
pon polisi dan mengawasi lift, kalau-kalau dia turun lewat situ.
"Aku menyambar kunci induk dari ruang belakang dan lari ke atas.
Tidak ada orang di tangga. Aku membuka kunci pintu flat Lula?"
"Tidak terpikir olehmu untuk mengajak orang lain, untuk mem?
pertahankan diri?" Strike menyela. "Kalau kaupikir ada orang di da?
lam? Orang yang baru saja membunuh seorang wanita?"
Ada jeda panjang, yang paling panjang sejauh ini.
"Aku tidak berpikir itu perlu," kata Wilson. "Kupikir aku bisa me?
lawan dia, tidak masalah."
"Melawan siapa?"
"Duffield," sahut Wilson pelan. "Kupikir Duffield yang ada di atas."
"Kenapa?"
"Kupikir dia pasti masuk waktu aku di kamar mandi. Dia tahu
kode pintunya. Kupikir dia pasti naik dan Lula membiarkannya ma?
suk. Aku pernah dengar mereka bertengkar. Aku pernah dengar dia
marah-marah. Yeah. Kupikir dialah yang mendorong Lula.
"Tapi waktu aku sampai di flat, tempat itu kosong. Aku melongok
ke tiap ruangan dan tidak ada orang di sana. Aku membuka lemarilemari pakaian, tidak ada siapa-siapa.
"Jendela ruang duduk terbuka lebar. Suhunya di bawah titik beku
malam itu. Aku tidak menutupnya, tidak menyentuh apa-apa. Aku
keluar lagi dan menekan tombol lift. Pintunya langsung terbuka; ma?
sih di lantai flat Lula. Kosong.
"Aku lari ke bawah lagi. Pasangan Bestigui sudah di dalam flat ke?
tika aku melewati pintu mereka; aku bisa mendengar suara mereka;
Mrs. Bestigui masih menangis keras dan Mr. Bestigui masih mem?
bentak-bentak dia. Aku tidak tahu apakah mereka sudah menelepon
polisi. Kuambil ponsel dari meja sekuriti, lalu keluar lewat pintu
depan, kembali ke Lula, karena?yah, aku tidak suka meninggalkan
dia tergeletak sendiri di sana. Aku baru mau menelepon polisi, untuk
Robert Galbraith
memastikan mereka datang, tapi aku mendengar sirene sebelum me?
nekan angka sembilan. Cepat juga mereka datang."
"Salah satu Bestigui menelepon mereka, bukan?"
"Ya, si suami. Dua polisi berseragam datang dengan mobil hitamputih."
"Oke," kata Strike. "Aku ingin jelas dalam satu hal ini kau percaya
yang dikatakan Mrs. Bestigui bahwa dia mendengar suara laki-laki di
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lantai paling atas?"
"Oh, ya," sahut Wilson.
"Kenapa?"
Kening Wilson agak berkerut, dia berpikir, matanya memandang
ke jalanan di balik bahu kanan Strike.
"Pada waktu itu dia tidak memberitahumu detail apa pun, kan?"
tanya Strike. "Tidak menjelaskan apa yang dia lakukan ketika men?
dengar suara laki-laki ini? Tidak menjelaskan mengapa dia belum ti?
dur pada pukul dua dini hari?"
"Tidak," jawab Wilson. "Dia tidak pernah memberikan penjelasan
apa pun padaku. Memang begitulah dia, kau tahu. Histeris. Gemetar
seperti tikus kecemplung got. Dia terus-menerus berkata, ?Ada lakilaki di atas, dia yang mendorong Lula.? Dia ketakutan setengah mati.
"Tapi tidak ada siapa pun di sana; aku berani bersumpah atas
anak-anakku. Flat itu kosong, lift kosong, tangga kosong. Kalau benar
ada orang, ke mana dia pergi?"
"Polisi datang," kata Strike, pikirannya kembali ke jalanan bersalju
yang gelap itu, serta mayat yang hancur. "Apa yang terjadi selanjutnya?"
"Sewaktu Mrs. Bestigui melihat mobil polisi dari jendelanya, dia
langsung turun ke bawah mengenakan jubah rumah, suaminya berlari
mengikutinya. Mrs. Bestigui keluar ke jalan, ke salju, dan mulai ber?
teriak-teriak pada mereka bahwa ada pembunuh di dalam gedung.
"Saat itu lampu mulai menyala di mana-mana. Wajah-wajah mun?
cul di jendela. Separuh penghuni jalan itu terbangun. Orang-orang
mulai keluar ke trotoar.
"Salah seorang petugas menunggu jenazah, memanggil bantuan le?
wat radionya, sementara yang satu lagi masuk bersama kami?aku
dan suami-istri Bestigui. Dia menyuruh mereka kembali ke flat dan
menunggu, lalu dia menyuruhku mengantarnya. Kami naik ke lantai
Dekut Burung Kukuk
paling atas lagi; aku membuka pintu Lula, memperlihatkan flat itu
padanya, jendela yang terbuka. Dia memeriksa seluruh tempat itu.
Aku menunjukkan lift, yang masih berhenti di lantai itu. Kami turun
lagi lewat tangga. Dia bertanya tentang flat yang tengah, jadi kubuka
flat itu menggunakan kunci induk.
"Tempat itu gelap, dan alarm berbunyi ketika kami masuk. Se?
belum aku bisa menemukan tombol lampu atau keypad alarm, polisi
itu berjalan ke arah meja di tengah-tengah ruang depan dan menabrak
vas mawar yang besar. Vas itu jatuh dan pecahannya berserakan ke
mana-mana?gelas, air, dan bunga bertebaran di lantai. Belakangan
itu bikin masalah besar...
"Kami memeriksa tempat itu. Kosong, semua lemarinya, semua
ruangannya. Jendelanya tertutup dan diselot. Kami kembali ke lobi.
"Saat itu polisi berpakaian sipil sudah datang. Mereka minta kunci
ke ruang olahraga di lantai bawah, kolam, dan tempat parkir. Salah
satunya naik untuk mendengar pernyataan Mrs. Bestigui, yang satu
lagi ke depan, memanggil bantuan, karena semakin banyak tetangga
yang keluar ke jalan, dan separuhnya berbicara di telepon sambil ber?
diri di sana, beberapa lagi mulai memotret. Polisi berseragam berusaha
menyuruh mereka pulang. Saat itu turun salju, deras sekali...
"Ketika forensik datang, mereka mendirikan tenda di lokasi mayat
itu. Pers datang hampir bersamaan. Polisi membentangkan pita sam?
pai separuh jalan, membuat blokade mobil."
Piring Strike sudah licin tandas. Dia meminggirkannya, memesan
teh lagi untuk mereka berdua, lalu kembali meraih bolpoin.
"Berapa orang yang bekerja di nomor delapan belas?"
"Ada tiga petugas keamanan?aku, Colin McLeod, dan Ian
Robson. Kami bekerja bergiliran, selalu ada orang yang bertugas se?
panjang hari dan malam. Semestinya aku libur malam itu, tapi
Robson meneleponku sekitar pukul empat sore, katanya dia sakit pe?
rut, benar-benar parah. Jadi kubilang aku akan tinggal, mengisi giliran
kerja berikutnya. Dia akan menggantinya bulan depan supaya aku bisa
membereskan urusan keluarga. Aku berutang padanya.
"Jadi seharusnya bukan aku yang di sana," kata Wilson, dan sejenak
dia duduk diam, membayangkan apa yang dapat terjadi.
Robert Galbraith
"Petugas-petugas lain itu baik-baik saja hubungannya dengan
Lula?"
"Ya, mereka pasti akan mengatakan hal yang sama. Gadis itu baik."
"Ada orang lain lagi yang bekerja di sana?"
"Kami punya beberapa petugas kebersihan, orang Polandia. Bahasa
Inggris mereka payah. Kau tidak akan mendapat apa-apa dari mereka."
Strike berpikir sambil mencatat di notes Cabang Khusus yang di?
tilapnya pada salah satu kunjungan terakhirnya ke Aldershot. Me?
nurutnya, kesaksian Wilson sangat berkualitas ringkas, akurat, dan
hasil dari pengamatan yang baik. Sangat sedikit orang yang dapat
menjawab pertanyaan yang diajukan dengan tepat, lebih sedikit lagi
yang dapat mengatur pikirannya sehingga tidak diperlukan perta?
nyaan-pertanyaan lanjutan untuk menggali informasi. Biasanya Strike
menjadi seperti ahli arkeologi di tengah-tengah reruntuhan kenangan
orang-orang yang mengalami trauma?dia pernah menjadi orang ke?
percayaan para preman, dia mendesak orang-orang yang ketakutan,
melempar umpan kepada yang berbahaya, dan memasang perangkap
bagi yang licik. Tak satu pun keahlian ini dibutuhkan untuk me?
wawancarai Wilson?sayang sekali bila bakatnya tersia-sia hanya un?
tuk mengejar paranoia John Bristow yang tak berdasar.
Meski demikian, Strike memiliki kebiasaan yang tidak dapat di?
sembuhkan, yaitu melakukan sesuatu dengan menyeluruh. Tidak akan
terpikir olehnya untuk menyingkat wawancara dan menghabiskan
waktu dengan berbaring di ranjang lipat dalam pakaian dalamnya
sambil merokok. Karena kecenderungan dan pelatihannya, karena dia
berutang rasa hormat kepada diri sendiri dan kepada kliennya, dia
melanjutkan dengan kecermatan yang membuatnya dihormati se?
kaligus dibenci di angkatan darat.
"Bisakah kita kembali sebentar dan merunutkan kejadian sepan?
jang hari sebelum kematiannya? Pukul berapa kau sampai di tempat
kerja?"
"Sembilan, seperti biasa. Menggantikan Colin."
"Apakah ada catatan siapa saja yang keluar-masuk gedung?"
"Ya, siapa pun yang datang dan pergi harus dicatat, kecuali peng?
huni. Ada bukunya di meja."
"Kau ingat siapa saja yang keluar-masuk hari itu?"
Dekut Burung Kukuk
Wilson ragu-ragu.
"John Bristow datang mengunjungi adiknya pagi itu, bukan?"
Strike memberi semangat. "Tapi Lula memintamu agar tidak meng?
izinkan dia masuk?"
"Bristow yang bilang padamu, ya?" tanya Wilson, tampak agak lega.
"Ya, itu yang diminta Lula. Tapi aku kasihan pada orang itu, kau
tahu? Dia membawa kontrak yang harus diberikan kepada adiknya,
dia khawatir soal itu, jadi kuizinkan naik."
"Setahumu, ada orang lain lagi yang masuk?"
"Ya, Lechsinka sudah datang. Salah satu petugas kebersihan. Selalu
datang pukul tujuh. Dia sedang mengepel tangga waktu aku masuk.
Tidak ada lagi yang masuk, sampai orang dari perusahaan keamanan
datang untuk memeriksa alarm. Kami melakukannya tiap enam bulan.
Dia pasti datang sekitar jam sembilan empat puluh?sekitar itulah."
"Kau kenal orang itu, petugas dari perusahaan keamanan?"
"Tidak, dia orang baru. Masih muda. Mereka selalu mengirim
orang yang beda-beda. Mrs. Bestigui dan Lula masih di rumah, jadi
orang ini kuantar ke flat tengah dulu, lalu aku menunjukkan panel
kontrol dan dia mulai. Lula keluar waktu aku masih di sana, me?
nunjukkan kotak sekering dan tombol panik."
"Kau melihat Lula keluar?"
"Ya, dia melewati pintu yang terbuka."
"Dia menyapa?"
"Tidak."
"Katamu, biasanya dia menyapa."
"Kurasa dia tidak melihatku. Kelihatannya dia sedang buru-buru.
Dia mau menengok ibunya yang sakit."
"Bagaimana kau tahu, kalau dia tidak bicara padamu?"
"Sidang pendahuluan," sahut Wilson singkat. "Aku menunjukkan
semuanya pada teknisi keamanan itu, lalu aku turun lagi, dan setelah
Mrs. Bestigui pergi, aku membawa orang itu masuk ke flat Bestigui
untuk memeriksa alarmnya juga. Aku tidak perlu menunggui dia ka?
rena posisi kotak sekering dan tombol panik sama saja di semua flat."
"Di mana Mr. Bestigui waktu itu?"
"Sudah pergi ke kantor. Pukul delapan dia pergi, setiap hari."
Tiga laki-laki mengenakan helm proyek dan jaket warna kuning
Robert Galbraith
neon masuk ke kafe dan duduk di meja di dekat mereka, koran di?
kepit di bawah ketiak, sepatu bot kotor dengan tanah yang menempel.
"Kira-kira berapa lama kau meninggalkan meja untuk mengantar
teknisi keamanan itu?"
"Mungkin sekitar lima menit di flat tengah," jawab Wilson. "Satu
menit di flat-flat yang lain."
"Kapan orang itu pergi?"
"Menjelang siang. Aku tidak ingat tepatnya."
"Tapi kau yakin dia pergi?"
"Oh, ya."
"Ada lagi yang datang?"
"Ada beberapa kiriman, tapi lumayan sepi dibandingkan dengan
hari-hari sebelumnya selama minggu itu."
"Awal minggu itu sibuk, ya?"
"Ya, banyak yang datang dan pergi, karena Deeby Macc akan da?
tang dari LA. Orang-orang dari rumah produksi keluar-masuk Flat
Dua, mengecek tempat yang disiapkan untuknya, mengisi kulkas, dan
sebagainya."
"Kau ingat ada kiriman apa saja hari itu?"
"Paket-paket untuk Macc dan Lula. Dan bunga mawar?aku
membantu orang yang mengirim mawar itu, karena ternyata besar se?
kali," Wilson mengembangkan lengan untuk menunjukkan ukurannya.
"Vas itu buesar sekali, dan kami menempatkannya di lorong depan
Flat Dua. Itulah vas mawar yang kemudian pecah."
"Kau bilang, itu jadi masalah besar. Apa maksudnya?"
"Karangan bunga mawar itu dari Mr. Bestigui untuk Deeby Macc,
dan waktu dia dengar vas itu pecah, dia mengamuk. Teriak-teriak se?
perti orang gila."
"Kapan kejadiannya?"
"Waktu polisi ada di sana. Waktu mereka berusaha menanyai istri?
nya."
"Seorang wanita baru jatuh melewati jendelanya dan mati, dan dia
07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Pendekar Naga Putih 54 Racun Ular Karang Pendekar Muka Buruk Karya Tjan I D
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama