Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith Bagian 5
itu masih belum muncul, dan si asisten tadi sudah memanggil dua
koleganya ke etalase untuk membantunya. Sementara itu, Robin ber?
keliling tanpa berbicara pada Strike, mengambil berbagai macam gaun
dan ikat pinggang. Pada saat mantel berpayet itu akhirnya berhasil di?
keluarkan dari etalase, ketiga petugas penjualan yang terlibat dalam
proses pengambilannya merasa memiliki andil dalam masa depan si
mantel, sehingga ketiganya menemani Robin ke ruang ganti, salah satu
menawarkan diri membawakan tumpukan barang yang telah dia pilih,
sementara dua yang lain mengusung mantel itu.
Dekut Burung Kukuk
Ruang-ruang ganti itu berupa rangka-rangka besi yang ditutup
kain sutra tebal warna krem, seperti tenda. Sementara menempatkan
diri sedekat mungkin untuk menguping apa yang terjadi di dalam,
Strike merasa dirinya baru mulai mengapresiasi bakat-bakat sekretaris
temporernya yang luar biasa.
Robin telah mengambil barang-barang senilai sepuluh ribu pound
ke dalam ruang ganti, mantel itu sendiri seharga separuhnya. Dia ti?
dak akan pernah berani melakukan ini dalam kondisi normal, tapi se?
suatu seperti menjangkitinya pagi ini kenekatan dan keberanian. Dia
sedang membuktikan sesuatu kepada dirinya sendiri, kepada Matthew,
bahkan kepada Strike. Ketiga asisten itu turun tangan melayaninya,
menggantung gaun dan meluruskan lipatan berat mantel itu. Robin
sama sekali tidak merasa jengah karena tidak akan mampu membeli
ikat pinggang yang paling murah sekalipun, yang kini disampirkan di
kedua lengan si rambut merah bertato, juga karena gadis-gadis ini ti?
dak akan menerima komisi yang tak pelak lagi mereka harapkan.
Robin bahkan membiarkan si gadis berambut pink untuk mencari
jaket emas yang dia yakin akan pantas sekali untuk Robin, dan akan
cocok dengan gaun hijau yang tadi diambilnya.
Robin lebih jangkung daripada gadis-gadis itu, dan ketika dia
mengganti mantelnya dengan mantel berpayet itu, mereka semua ter?
kesiap dan memuji-muji.
"Aku harus memperlihatkannya pada kakakku," kata Robin pada
mereka, setelah mengamati pantulannya dengan tatapan kritis. "Ini
bukan untukku, tapi untuk istrinya."
Lalu dia melenggang keluar dari ruang ganti dengan ketiga asisten
tadi mengiringinya. Gadis-gadis kaya di dekat rak-rak pakaian me?
noleh untuk menatap Robin dengan mata disipitkan, ketika Robin
bertanya dengan lantang
"Bagaimana pendapatmu?"
Strike harus mengakui, mantel yang menurutnya kelihatan sangat
buruk di manekin itu kini tampak lebih bagus dikenakan Robin.
Robin berputar di depannya, dan mantel itu gemerlapan seperti kulit
kadal.
"Boleh juga," komentar Strike, hati-hati menyatakan pendapat
Robert Galbraith
maskulinnya, dan para asisten itu tersenyum maklum. "Ya, lumayan
bagus. Berapa?"
"Tidak terlalu mahal, untuk standarmu," sahut Robin, sambil me?
lirik para dayang-dayangnya. "Sandra pasti suka," ujarnya tegas pada
Strike, yang terkejut lalu menyeringai. "Lagi pula, ini kan ulang tahun?
nya yang keempat puluh."
"Dia bisa mengenakannya dengan apa saja," si gadis rambut gulali
berusaha meyakinkan Strike dengan antusias. "Sangat fleksibel."
"Oke, aku mau coba gaun Cavalli tadi," ujar Robin dengan ringan
dan tak peduli, lalu berbalik ke ruang ganti.
"Sandra menyuruhku ikut dia," Robin memberitahu ketiga asisten
itu, sementara mereka membantunya melepas mantel, lalu membuka
ritsleting gaun yang ditunjuknya. "Untuk memastikan dia tidak me?
lakukan kesalahan tolol lagi. Dia membelikan anting-anting yang sa?
ngat mengerikan untuk ulang tahun Sandra yang ketiga puluh?
harganya mahal banget, tapi tidak pernah dia keluarkan dari lemari
besi."
Robin tidak tahu dari mana dia mengarang semua itu; dia hanya
merasa ilham datang begitu saja. Setelah menanggalkan sweter dan
roknya, dia menggeliatkan tubuh untuk masuk ke gaun hijau-racun
yang melekat di badan. Sosok Sandra menjadi semakin nyata seiring
dia mengoceh agak manja, sedikit jemu, sambil minum anggur
mengaku pada adik iparnya bahwa kakaknya (bankir, pikir Robin,
walaupun Strike tidak terlalu sesuai dengan gambaran idealnya ten?
tang seorang bankir) sama sekali tidak memiliki selera.
"Jadi dia berkata padaku, ajak dia ke Vashti dan suruh dia mem?
bongkar dompetnya. Oh, ya, ini bagus."
Sebenarnya lebih dari bagus. Robin menatap pantulan dirinya. Se?
lama hidup dia tidak pernah mengenakan apa pun yang begitu indah.
Gaun hijau itu dirancang dengan ajaib sehingga membuat pinggang?
nya tampak mungil, memahat sosoknya dalam lekuk yang luwes,
membuat lehernya yang pucat tampak lebih jenjang. Dia bak dewi ular
dalam balutan warna hijau kebiruan yang berkilauan. Para asisten itu
mendesah dan berbisik penuh kekaguman.
"Berapa?" tanya Robin pada si rambut merah.
"Dua ribu delapan ratus sembilan puluh sembilan," ujar gadis itu.
Dekut Burung Kukuk
"Tidak ada artinya baginya," cetus Robin enteng, lalu keluar dari
balik tirai untuk memamerkannya pada Strike, yang mereka temukan
sedang mengamati setumpuk sarung tangan di meja bundar.
Komentarnya tentang gaun hijau itu hanya "Yeah." Strike nyaris tak
melempar pandangan ke arahnya.
"Well, mungkin warnanya tidak cocok untuk Sandra," kata Robin,
mendadak merasa sangat malu. Bagaimanapun, Strike bukan kakak?
nya atau pacarnya; barangkali sandiwaranya ini agak kebablasan,
mungkin dia tidak perlu melenggang-lenggok di hadapan Strike dalam
balutan gaun ketat. Dia masuk kembali ke ruang ganti.
Hanya mengenakan bra dan celana dalam, dia berkata
"Terakhir kali Sandra datang kemari, Lula Landry sedang berada
di kafe kalian. Sandra bilang, aslinya dia tampak lebih menakjubkan.
Bahkan lebih cantik daripada di foto."
"Oh, ya, memang," si rambut pink membenarkan, sambil mematut
jaket keemasan yang tadi diambilkannya untuk Robin. "Dia sering se?
kali datang kemari, setiap minggu. Kau mau mencoba ini?"
"Dia ada di sini pada hari dia meninggal," ujar si rambut gulali,
membantu Robin menyusupkan lengan ke jaket keemasan itu. "Bah?
kan, dia ada di ruang ganti ini, benar-benar yang ini."
"Oh ya?" ucap Robin.
"Tidak bisa dikancingkan di bagian dada, tapi keren juga kok, ka?
lau dibiarkan terbuka," kata si rambut merah.
"Tidak, tidak bisa, Sandra lebih besar daripada aku lho," kata
Robin, tanpapun mengorbankan bentuk tubuh kakak ipar kha?
yalannya. "Aku mau mencoba gaun yang hitam itu. Jadi Lula Landry
sungguh-sungguh ada di sini pada hari dia meninggal?"
"Oh, ya," kata si gadis berambut pink. "Duh, menyedihkan. Benarbenar menyedihkan. Kau mendengar dia, kan, Mel?"
Si rambut merah bertato, yang sedang mengacungkan gaun hitam
dengan dalaman renda, menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.
Mengamati dia dari cermin, Robin melihat gadis itu kelihatan enggan
membicarakan apa yang sengaja atau tidak sengaja telah didengarnya.
"Dia bicara pada Duffield, kan, Mel?" si rambut pink yang cerewet
berusaha memancingnya.
Robin melihat Mel mengerutkan kening. Kendati gadis itu bertato,
Robert Galbraith
Robin berpendapat Mel mungkin lebih senior daripada kedua gadis
yang lain. Sepertinya dia menganggap salah satu tugasnya adalah men?
jaga kerahasiaan apa pun yang terjadi di balik tenda sutra krem ini.
Sementara itu, kedua gadis yang lain sudah tak sabar ingin membahas
gosip itu, terutama kepada perempuan yang demikian getol ingin se?
gera membelanjakan uang kakaknya yang kaya raya.
"Pasti sulit tidak mendengar apa yang terjadi di dalam?apa sih
ini?tenda ini," komentar Robin dengan agak tersengal, sementara dia
bersusah payah menyusupkan tubuhnya ke dalam gaun hitam berenda
dengan bantuan ketiga asisten itu.
Mel sedikit mengalah.
"Ya, memang. Padahal banyak orang datang kemari dan mencero?
cos tentang apa saja yang mereka suka. Mau tidak mau, kau men?
dengar banyak hal dari balik ini," katanya sambil menunjuk tirai sutra
mentah yang kaku itu.
Sekarang Robin terpenjara dalam balutan renda dan kulit. Dengan
napas tertahan dia berkata
"Lula Landry mestinya lebih berhati-hati, dengan pers yang mem?
buntutinya ke mana-mana."
"Yeah," sahut si rambut merah. "Mestinya begitu. Maksudku, aku
sih tidak pernah membocorkan apa yang kudengar, tapi orang lain kan
mungkin saja melakukannya."
Mengabaikan fakta bahwa si rambut merah jelas telah men?
ceritakan apa yang dia dengar pada kolega-koleganya, Robin memuji
sikapnya yang langka itu.
"Kalau begitu, kau pasti memberitahu polisi, ya?" katanya sambil
meluruskan gaun itu dan menyiapkan diri untuk ritsleting yang akan
ditarik ke atas.
"Polisi tidak pernah datang kemari," si gadis rambut gulali berkata
dengan nada menyesal. "Aku bilang, Mel seharusnya memberitahu me?
reka apa yang dia dengar, tapi dia tidak mau."
"Tidak penting kok," timpal Mel cepat-cepat. "Tidak akan mengu?
bah apa-apa. Maksudku, dia tidak ada di sana, kan? Itu sudah ter?
bukti."
Strike telah beringsut sedekat mungkin ke arah tirai sutra itu, se?
Dekut Burung Kukuk
berani yang dapat dia lakukan tanpa memancing tatapan curiga dari
pengunjung toko dan asisten yang lain.
Di dalam bilik ganti, si gadis berambut pink bersusah payah me?
narik ritsleting. Perlahan-lahan tulang rusuk Robin terbebat korset
dengan tulang-tulangnya yang tersembunyi. Strike yang sedang me?
nguping sangat bingung karena pertanyaan Robin berikut terdengar
seperti erangan.
"Maksudmu, Evan Duffield?"
"Ya," sahut Mel. "Jadi tidak masalah, kan, apa yang sebelumnya dia
katakan pada Duffield? Cowok itu bahkan tidak ada di sana."
Selama beberapa saat keempat wanita itu merenungi pantulan
Robin di cermin.
Robin mengamati dua pertiga payudaranya yang terbebat rapat
oleh kain ketat itu, sementara sisanya tumpah dari garis leher. Dia
berkata, "Kurasa gaun ini tidak akan muat untuk Sandra. Tapi," sam?
bungnya dengan napas yang lebih leluasa ketika si rambut gulali me?
nurunkan ritsleting, "tentunya kau memberitahu polisi apa yang dia
katakan, bukan? Biar saja mereka yang memutuskan apakah itu pen?
ting atau tidak."
"Sudah kubilang, kan, Mel?" tegur si gadis rambut pink. "Aku su?
dah bilang begitu padanya."
Seketika Mel bersikap membela diri.
"Tapi dia tidak ada di sana malam itu! Dia tidak pernah pergi ke
flatnya! Dia pasti bilang pada Lula, dia harus melakukan sesuatu dan
tidak bisa menemuinya, karena kemudian Lula bilang, ?Kalau begitu
sesudah itu saja, aku akan menunggu, tidak masalah. Toh aku mung?
kin baru pulang setelah jam satu. Datang, ya? Please.? Dia memohon
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu. Lagi pula, ada kawannya di dalam bilik. Temannya itu pasti
mendengar semua dan sudah memberitahu polisi, bukan?"
Robin mengenakan mantel gemerlapan itu lagi, hanya demi meng?
ulur waktu. Dengan lagak sambil lalu, dia bertanya sembari mematutmatut diri di depan cermin
"Tapi dia jelas-jelas sedang bicara pada Evan Duffield, kan?"
"Tentu saja," sahut Mel, seakan-akan Robin telah menghina ke?
pandaiannya. "Memangnya siapa lagi yang akan dia minta datang ke
tempatnya selarut itu? Dia kedengaran ingin sekali bertemu."
Robert Galbraith
"Oh, Tuhan, matanya itu," kata si gadis dengan rambut gulali. "Dia
tampan sekali. Dan aslinya sungguh berkarisma. Dia pernah satu kali
datang kemari bersama Lula. Astaga, seksi banget deh."
Sepuluh menit kemudian, Robin telah memeragakan dua baju lagi
untuk Strike dan menyetujui pendapatnya?di hadapan gadis-gadis
itu?bahwa mantel berpayet itulah yang paling bagus di antara semua.
Mereka memutuskan (dengan persetujuan para asisten) bahwa besok
dia harus mengajak Sandra kemari untuk melihatnya sendiri sebelum
mereka menyelesaikan transaksi. Strike memesan mantel seharga lima
ribu pound itu atas nama Andrew Atkinson, memberikan nomor
ponsel palsu, lalu meninggalkan butik bersama Robin dengan salam
ramah yang bertubi-tubi, seolah-olah mereka benar-benar telah meng?
habiskan banyak uang di sana.
Selama lima puluh meter mereka berjalan tanpa suara, lalu Strike
menyulut rokok, dan berkata
"Sungguh mengesankan."
Robin berbinar-binar bangga.
Strike dan Robin berpencar di stasiun New Bond Street. Robin naik
kereta kembali ke kantor untuk menelepon BestFilms, mencari nomor
telepon bibi Rochelle Onifade dalam daftar telepon online, dan meng?
hindari Temporary Solutions ("Kunci pintunya," begitu saran Strike).
Strike membeli surat kabar dan naik kereta ke Knightsbridge, lalu,
karena waktunya masih panjang, berjalan kaki ke Serpentine Bar and
Kitchen, tempat yang dipilih Bristow untuk janji temu makan siang
mereka.
Perjalanan itu membawanya menyeberangi Hyde Park, menyusuri
jalur pejalan kaki yang diapit pepohonan dan melewati jalur berkuda
yang berpasir di Rotten Row. Selama di Tube dia mencatat garis besar
kesaksian gadis bernama Mel itu, dan kini, di bawah naungan de?
daunan hijau bermandi matahari, benaknya mengelana, berhenti pada
kenangan tentang Robin berbalut gaun hijau ketat itu.
Dia tahu Robin agak bingung melihat reaksinya. Namun, ada ke?
san intim yang aneh pada momen itu, tepat ketika dia justru sedang
tidak menginginkan keintiman, terutama dengan Robin?Robin yang
cerdas, profesional, dan pengertian. Dia sangat menyukai keberadaan
gadis itu, dan bersyukur karena Robin menghargai privasi Strike serta
mengendalikan rasa ingin tahunya. Hanya Tuhan yang tahu, pikir
Strike sambil menghindari seorang pesepeda, betapa langka dia me?
nemui kualitas semacam itu, terutama dalam diri seorang wanita.
Meski demikian, dia juga senang karena sebentar lagi akan terbebas
Robert Galbraith
dari Robin; fakta bahwa Robin akan segera melanjutkan hidup telah
menciptakan pagar batas yang menyenangkan antara mereka, seperti
cincin pertunangan itu. Dia menyukai Robin, dia bersyukur atas gadis
itu; setelah pagi ini, dia bahkan terkesan oleh Robin. Namun, dengan
penglihatannya yang sehat dan libidonya yang normal, setiap hari ke?
tika Robin membungkuk di atas monitor komputernya, Strike juga di?
ingatkan bahwa Robin adalah gadis yang sangat seksi. Tidak cantik je?
lita seperti Charlotte, tapi tetap saja menarik. Fakta itu pun
ditampilkan dengan begitu gamblang di hadapannya ketika tadi Robin
berjalan keluar dari ruang ganti dalam balutan gaun hijau ketat itu,
dan sebagai konsekuensinya dia benar-benar harus membuang muka.
Dia tidak menuduh Robin sengaja memprovokasinya, tapi dia juga
mengerti betapa rapuh keseimbangan yang harus dijaga demi ke?
warasannya sendiri. Robin satu-satunya manusia hidup yang ber?
hubungan langsung dengannya sehari-hari. Strike tidak menganggap
kecil kondisinya yang sedang lemah terhadap pengaruh, dan melalui
kata-kata yang tak jelas dan bimbang, dia juga mendapat kesan bahwa
tunangan Robin tidak senang karena Robin meninggalkan agensinya
demi kesepakatan khusus ini. Lebihan bila pertemanan yang se?
dang bersemi ini tidak dibiarkan menjadi terlalu hangat, lebih baik
jika kekaguman terhadap figur Robin yang dibalut kain melekat tubuh
itu tidak dinyatakan secara terang-terangan.
Strike tidak pernah ke Serpentine Bar and Kitchen. Restoran itu
berada di danau, bangunan memukau yang lebih mirip pagoda ber?
gaya futuristik. Atap tebalnya yang putih tampak seperti buku terbuka
yang diletakkan terbalik, disokong struktur gelas yang berbiku-biku.
Pohon dedalu raksasa membelai dinding restoran itu dan menyentuh
permukaan air.
Meskipun hari itu sejuk dan berangin, pemandangan danau tam?
pak menakjubkan di bawah cahaya matahari. Strike memilih meja di
luar, tepat di tepi air, memesan segelas bir Doom Bar, lalu membaca
korannya.
Bristow sudah terlambat sepuluh menit ketika seorang pria jang?
kung bersetelan jas mahal dan tampak terpelajar, dengan rambut se?
warna rubah, berhenti di meja Strike.
"Mr. Strike?"
Dekut Burung Kukuk
Pada usia akhir lima puluhan, dengan rambut yang masih lebat, ra?
hang kokoh, dan tulang pipi yang tinggi, pria ini serupa aktor hampirterkenal yang memerankan pengusaha kaya dalam film serial. Strike,
dengan memori visual yang sangat terlatih, langsung mengenalinya
dari foto-foto yang ditemukan Robin di internet. Inilah pria jangkung
di pemakaman Lula Landry yang menampilkan ekspresi muak terha?
dap sekelilingnya.
"Tony Landry. Paman John dan Lula. Boleh saya duduk?"
Barangkali boleh dikatakan bahwa senyumnya merupakan contoh
paling sempurna seringai sopan tanpa ketulusan; hanya memamerkan
deretan geligi putih yang rapi. Landry melepaskan mantel, menyam?
pirkannya di punggung kursi di depan Strike, lalu duduk.
"John masih tertunda di kantor," ujarnya. Angin sepoi meniup ram?
butnya, memperlihatkan bagian pelipis yang menipis. "Dia meminta
Alison menelepon untuk memberitahu Anda. Kebetulan saya sedang
melewati meja Alison, jadi saya pikir lebih baik saya datang untuk me?
nyampaikan pesan itu sendiri. Dengan demikian saya punya kesem?
patan untuk bicara empat mata dengan Anda. Saya sudah menunggu
Anda untuk menghubungi saya. Saya tahu Anda tidak terburu-buru
menghubungi semua kontak keponakan saya sekaligus."
Dia mengeluarkan kacamata bergagang baja dari saku jas, lalu me?
ngenakannya dan membaca menu sebentar. Strike meneguk birnya
dan menunggu.
"Saya dengar, Anda sudah berbicara dengan Mrs. Bestigui?" tanya
Landry sambil meletakkan menu, melepas kacamata, lalu menyusup?
kannya lagi ke saku.
"Betul," sahut Strike.
"Ya. Well, Tansy berniat baik, tapi dia sama sekali tidak membantu
dirinya sendiri dengan mengulang cerita yang sudah terbukti tidak
benar menurut polisi. Sama sekali tidak membantu," ulang Landry de?
ngan nada memperingatkan. "Itu juga yang sudah saya katakan kepada
John. Kewajibannya yang terutama adalah terhadap klien biro hukum?
nya, apa yang terbaik untuknya.
"Saya pesan ham hock terrine," tambahnya kepada pramusaji yang
lewat, "dan air minum. Dalam botol." Dia melanjutkan, "Well, mungkin
lebih baik tidak perlu tedeng aling-aling, Mr. Strike.
Robert Galbraith
"Untuk banyak sebab, yang kesemuanya beralasan, saya tidak se?
tuju bila kematian Lula diutak-atik lagi. Saya tidak berharap Anda se?
tuju dengan saya. Bagaimanapun, pekerjaan Anda memang menggaligali aib dari tragedi keluarga."
Pria itu sekali lagi menyunggingkan senyumnya yang agresif dan
dingin.
"Bukan berarti saya tidak bersimpati. Kita semua harus bekerja un?
tuk hidup, dan pasti ada banyak orang yang menganggap profesi saya
juga bersifat parasit seperti pekerjaan Anda. Tapi barangkali akan
membantu kita berdua bila saya meletakkan fakta-fakta di hadapan
Anda, fakta-fakta yang saya yakin tidak diungkapkan oleh John."
"Sebelum kita sampai di sana," Strike berkata, "apa sebenarnya yang
menyibukkan John di kantor? Kalau dia tidak sempat datang, saya
akan mengatur janji temu lagi dengannya?masih ada beberapa orang
yang harus saya temui siang ini. Apakah dia masih disibukkan dengan
urusan Conway Oates?"
Strike hanya tahu apa yang dikatakan Ursula, bahwa Conway
Oates adalah pakar keuanganerika, tapi penyebutan nama klien
yang sudah meninggal itu menimbulkan dampak yang dia harapkan.
Keangkuhan Landry, keinginannya untuk mengendalikan pertemuan
ini, pembawaan superiornya, seketika sirna, hanya menyisakan ke?
marahan dan keterguncangan.
"John tidak?mungkinkah dia...? Ini rahasia perusahaan!"
"Bukan John," kata Strike. "Mrs. Ursula May yang pernah me?
nyinggung ada sedikit masalah dengan wasiat Mr. Oates."
Jelas-jelas kebingungan, Landry tergagap, "Saya?saya kaget se?
kali?saya tidak menyangka Ursula?Mrs. May..."
"Jadi John akan lama? Atau Anda memberinya pekerjaan yang
membuatnya sibuk selama jam makan siang?"
Dengan senang Strike menyaksikan Landry bergumul dengan
emosinya, berusaha kembali menguasai dirinya dan pertemuan ini.
"John akan kemari sebentar lagi," akhirnya Landry berkata. "Seperti
yang sudah saya katakan, saya berharap dapat memberitahukan be?
berapa fakta kepada Anda, secara empat mata."
"Baik, kalau begitu, saya membutuhkan ini," kata Strike sambil me?
ngeluarkan notes dan bolpoin dari sakunya.
Dekut Burung Kukuk
Begitu melihat kedua benda itu, Landry terlihat sama gelisahnya
seperti Tansy.
"Tidak perlu dicatat," ujarnya. "Yang mau saya katakan tidak ada
kaitannya?tidak secara langsung?dengan kematian Lula. Artinya,"
tambahnya dengan cermat, "tidak akan menambahkan apa pun pada
teori apa pun selain bunuh diri."
"Tidak apa-apa," kata Strike, "saya ingin memiliki notula."
Landry seperti hendak memprotes, tapi lalu mengurungkan niat.
"Baiklah, kalau begitu. Pertama-tama, Anda harus tahu bahwa ke?
ponakan saya, John, sangat sedih atas kematian adik angkatnya."
"Sangat dimengerti," komentar Strike, memiringkan notes itu su?
paya si pengacara tidak dapat membaca, lalu menulis kata-kata sangat
sedih hanya untuk membuat Landry jengkel.
"Ya, sudah sewajarnya. Dan meskipun saya tidak akan me?
nyarankan seorang detektif partikelir menolak klien atas dasar kondisi
klien yang sangat tertekan?seperti yang saya katakan tadi, kita semua
harus bekerja untuk hidup?dalam hal ini..."
"Menurut Anda, semua ini hanya khayalannya?"
"Saya tidak akan mengatakannya dengan cara seperti itu, tapi kalau
mau jujur, ya. John telah beberapa kali mengalami dukacita mendadak,
lebih sering daripada yang pantas dialami kebanyakan orang dalam hi?
dupnya. Anda mungkin tidak tahu dia pernah kehilangan seorang
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adik..."
"Ya, saya tahu. Charlie dulu teman sekolah saya. Karena itulah
John menghubungi saya."
"Anda dulu sekolah di Blakeyfield Prep?"
"Cuma sebentar. Sebelum ibu saya menyadari dia tidak mampu
membayar uang sekolahnya."
"Begitu. Saya tidak tahu. Meski begitu, mungkin Anda tidak se?
penuhnya menyadari... John selalu?mari kita menggunakan istilah
kakak saya?sangat tegang. Orangtuanya harus memanggil psikolog
setelah kematian Charlie. Saya bukan ahli kejiwaan, tapi menurut
saya, meninggalnya Lula, akhirnya, telah mendorongnya melewati ba?
tas..."
"Pilihan kalimat yang tidak mengenakkan, tapi saya mengerti mak?
Robert Galbraith
sud Anda," ujar Strike sambil menulis Bristow jadi gila. "Bagaimana
tepatnya John melewati batas?"
"Well, banyak yang akan berkata bahwa membuka kembali kasus
ini adalah keputusan yang sangat tidak rasional dan tidak bermanfaat,"
ujar Landry.
Bolpoin Strike tetap siaga di atas notesnya. Sejenak rahang Landry
bergerak-gerak seperti sedang mengunyah, lalu dia berkata dengan
tegas
"Lula adalah penderita bipolar yang melompat dari jendela setelah
bertengkar dengan pacarnya yang pemadat. Tidak ada misteri. Me?
mang sangat mengerikan bagi kami semua, terutama ibunya yang ma?
lang, tapi demikianlah fakta-faktanya yang tidak menyenangkan. Saya
terpaksa mengambil kesimpulan bahwa John sedang mengalami se?
macam guncangan jiwa, dan, kalau Anda tidak keberatan saya bicara
terus terang..."
"Silakan."
"...kolaborasi Anda justru mendukung penyangkalannya yang tidak
sehat terhadap kebenaran ini."
"Yaitu bahwa Lula bunuh diri?"
"Putusan yang juga telah disepakati polisi, ahli patologi, dan ko?
roner. John, untuk alasan-alasan yang tidak saya ketahui, bersikeras
membuktikan ini adalah pembunuhan. Saya tidak tahu bagaimana
menurut dia hal itu akan membuat kami semua merasa lebih baik."
"Yah," kata Strike, "orang-orang yang berdekatan dengan peristiwa
bunuh diri sering kali merasa bersalah. Mereka merasa, kadang-ka?
dang tanpa alasan yang masuk akal, bahwa seharusnya mereka bisa
lebih membantu. Putusan pembunuhan akan membebaskan keluarga
dari rasa bersalah itu, bukan?"
"Kami semua tidak perlu merasa bersalah," kata Landry, nadanya
sedingin baja. "Lula menerima perawatan medis terbaik sejak usia re?
maja, juga seluruh dukungan materi yang dapat diberikan keluarga
angkatnya. ?Manja? mungkin istilah yang paling pas untuk meng?
gambarkan keponakan angkat saya, Mr. Strike. Ibunya secara harfiah
rela mati baginya, dan betapa kecil ucapan terima kasih yang dia te?
rima."
"Menurut Anda, Lula tidak tahu terima kasih, begitukah?"
Dekut Burung Kukuk
"Keterangan terkutuk itu tidak perlu ditulis. Ataukah catatan
Anda itu ditujukan untuk koran kuning?"
Strike ingin tahu bagaimana Landry telah menyabotase kesan ter?
pelajar yang tadi dibawanya ke meja. Pramusaji datang dengan pe?
sanan Landry. Dia tidak mengucapkan terima kasih kepada gadis itu,
malah memelototi Strike sampai gadis itu pergi. Lalu dia berkata
"Anda menggali-gali di tempat yang berbahaya. Sejujurnya, saya
tercengang ketika mengetahui niat John. Tercengang."
"Dia tidak pernah menyatakan kepada Anda keraguannya terhadap
teori bunuh diri itu?"
"Dia sangat terguncang, tentu saja, seperti kami semua, tapi saya
jelas tidak ingat ada yang pernah menyinggung soal pembunuh."
"Apakah Anda dekat dengan keponakan laki-laki Anda, Mr.
Landry?"
"Apa kaitannya dengan apa pun?"
"Mungkin bisa menjelaskan mengapa John tidak memberitahu
Anda apa yang dia pikirkan."
"Saya dan John memiliki hubungan kerja yang baik."
" ?Hubungan kerja??"
"Ya, Mr. Strike kami bekerja bersama. Apakah kami dekat di luar
kantor? Tidak. Tapi kami sama-sama terlibat dalam perawatan kakak
saya?Lady Bristow, ibu John, yang sekarang penyakitnya sudah da?
lam tahap kritis. Percakapan-percakapan kami di luar jam kerja biasa?
nya menyangkut Yvette."
"Di mata saya, John sepertinya anak yang berbakti."
"Dia hanya memiliki Yvette sekarang, dan kondisi ibunya itu jelas
tidak membantu kesehatan mentalnya sendiri."
"Dia tidak hanya memiliki ibunya. Ada Alison, bukan?"
"Saya tidak tahu apakah hubungan itu serius."
"Mungkin salah satu motivasi John dalam mempekerjakan saya
adalah keinginan untuk menyajikan kebenaran kepada ibunya sebelum
wafat?"
"Kebenaran tidak akan membantu Yvette. Tidak ada orang yang se?
nang menerima kenyataan bahwa mereka menuai apa yang telah me?
reka tabur."
Strike tidak berkata apa-apa. Seperti yang dia harapkan, pengacara
Robert Galbraith
itu tidak dapat menahan godaan untuk menjelaskan kalimatnya, dan
tak berapa lama dia menerangkan
"Sejak dulu Yvette sangat keibuan. Dia sangat memuja bayi." Dia
berbicara seolah-olah hal itu agak menjijikkan, semacam kelainan.
"Dia pasti menjadi jenis wanita memalukan yang memiliki dua puluh
anak kalau saja dapat menemukan pria yang cukup subur. Untunglah
Alec steril?John pernah cerita soal itu?"
"Dia pernah memberitahu saya, Sir Alec Bristow bukan ayah kan?
dungnya, kalau itu yang Anda maksud."
Kalaupun Landry kecewa karena bukan dia yang pertama kali
memberitahu Strike, dia maju terus.
"Yvette dan Alec mengadopsi dua anak lelaki, tapi Yvette tidak
tahu cara mendidik mereka. Pada dasarnya, dia ibu yang payah. Tidak
punya kendali, tidak memiliki disiplin. Terlalu memanjakan dan
terang-terangan tidak mau melihat apa yang terjadi di bawah hidung?
nya. Saya tidak bermaksud mengatakan itu semua akibat didikan?
nya?siapa yang mengetahui persis pengaruh genetiknya?tapi John
anak yang perengek, cengeng, dan tidak mandiri, sementara Charlie
jelas-jelas nakal dan tidak bertanggung jawab, yang mengakibatkan?"
Tiba-tiba Landry terdiam, pipinya merah padam.
"Yang mengakibatkan dia jatuh ke jurang yang dalam?" usul Strike.
Dia mengatakannya untuk mengamati reaksi Landry, dan ke?
inginannya terpuaskan. Landry bagaikan terowongan yang menciut,
pintu di ujung sana menutup rapat.
"Tanpa perlu menjelaskannya secara mendetail, ya, benar. Dan su?
dah terlambat bagi Yvette untuk menjerit-jerit dan mencakar-cakar
Alec, lalu jatuh pingsan di lantai. Kalau saja dia memiliki setitik pe?
ngendalian diri, anak itu tidak akan pergi hanya untuk melawan katakata ibunya. Saya ada di sana," kata Landry, suaranya membatu. "Pada
kunjungan akhir pekan. Waktu itu Minggu Paskah. Saya baru dari
desa, dan ketika kembali menemukan mereka semua sedang mencari
Charlie. Saya langsung menuju jurang bekas tambang itu. Saya sudah
menduga. Dia dilarang pergi ke sana?maka di sanalah dia berada."
"Anda yang menemukan jenazahnya?"
"Benar."
"Pasti sangat menyedihkan."
Dekut Burung Kukuk
"Ya," jawab Landry, bibirnya nyaris tidak bergerak. "Memang."
"Dan setelah Charlie meninggal, barulah kakak Anda dan Sir Alec
mengadopsi Lula?"
"Itu mungkin hal paling tolol yang pernah disetujui Alec Bristow,"
kata Landry. "Sudah jelas-jelas Yvette tidak kompeten sebagai ibu,
bagaimana dia bisa lebih berhasil sesudah ditinggalkan Charlie? Tentu
saja, sejak dulu dia menginginkan anak perempuan, bayi perempuan
yang bisa didandani dengan warna merah jambu, dan Alec mengira itu
akan membuatnya bahagia. Dia selalu memberi Yvette apa pun yang
dia kehendaki. Alec sudah kesengsem padanya sejak Yvette menjadi
juru ketik, dan dia orang asli East End yang tak terpoles. Yvette me?
mang selalu suka yang agak kasar."
Strike bertanya-tanya apa sebenarnya sumber kemarahan Landry.
"Anda tidak terlalu rukun dengan kakak Anda, Mr. Landry?" tanya
Strike.
"Kami rukun, hanya saja saya tidak buta kalau menyangkut Yvette,
Mr. Strike, juga kemalangannya yang sebenarnya diakibatkan ke?
salahan-kesalahannya sendiri."
"Apakah sulit bagi mereka untuk mendapatkan izin adopsi lagi se?
telah Charlie meninggal?" tanya Strike.
"Saya berani berkata itu akan sulit, kalau saja Alec bukan jutawan,"
kata Landry sambil mendengus. "Saya tahu pihak berwenang prihatin
dengan kondisi kejiwaan Yvette, dan mereka berdua sudah cukup ber?
umur. Sayang sekali permintaan mereka dikabulkan. Tapi Alec me?
miliki sumber-sumber yang tak terbatas, juga segala macam kontak
asing dari zaman dia berdagang di pasar. Saya tidak tahu detail-detail?
nya, tapi saya berani bertaruh ada uang yang berpindah tangan di
suatu tempat. Meski begitu, dia tidak bisa mendapatkan ras Kaukasia.
Dia membawa anak yang tak diketahui asal-usulnya ke dalam
keluarga, untuk dibesarkan oleh wanita depresi dan histeris yang tidak
memiliki penilaian baik-buruk. Tidak mengherankan bagi saya kalau
hasilnya juga bencana. Lula sama tidak stabilnya seperti John dan liar
seperti Charlie, dan Yvette sama sekali tidak tahu cara mengurusnya."
Sambil berlagak mencoret-coret di depan Landry, Strike bertanyatanya apakah keyakinan Landry tentang pengaruh genetik itu men?
jelaskan obsesi Bristow pada asal-usul Lula yang berkulit gelap. Tentu?
Robert Galbraith
nya Bristow sangat mengenal cara pandang pamannya selama
bertahun-tahun; anak-anak menyerap pandangan-pandangan keluarga
mereka pada tataran yang dalam dan instingtif. Strike sendiri, sebelum
ada sepatah kata pun diucapkan di depannya, dalam lubuk hatinya su?
dah tahu bahwa ibunya tidak seperti ibu-ibu yang lain, bahwa (kalau
dia percaya ada kode tak terucap yang menyatukan orang-orang de?
wasa di sekelilingnya) ada sesuatu yang memalukan tentang ibunya.
"Saya rasa, Anda sempat bertemu Lula pada hari dia meninggal?"
tanya Strike.
Bulu mata Landry begitu pirang sehingga tampak keperak-perakan.
"Maaf?"
"Ya..." Strike membalik-balik notesnya dengan gaya berlebihan, ber?
henti di halaman yang kosong melompong. "...Anda bertemu dia di flat
kakak Anda, bukan? Ketika Lula mengunjungi Lady Bristow?"
"Siapa yang memberitahu? John?"
"Semua ada di berkas polisi. Tapi benar, bukan?"
"Ya, memang benar, tapi saya tidak mengerti relevansinya dengan
apa pun yang sedang kita bicarakan."
"Maaf. Waktu Anda datang tadi, Anda berkata sudah menunggu
saya menghubungi Anda. Saya mendapat kesan Anda akan dengan se?
nang hati menjawab pertanyaan."
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Landry seperti orang yang benar-benar mati kutu.
"Tidak ada yang perlu saya tambahkan, selain keterangan yang su?
dah saya berikan kepada polisi," akhirnya dia berkata.
"Dan itu adalah," kata Strike, membuka-buka halaman kosong lagi,
"Anda mampir untuk menjenguk kakak Anda pagi itu, bertemu de?
ngan keponakan Anda, lalu Anda mengemudi ke Oxford untuk meng?
hadiri konferensi mengenai perkembangan internasional dalam hukum
keluarga?"
Lagi-lagi rahang Landry bergerak-gerak seperti mengunyah angin.
"Betul," tandasnya.
"Jam berapa Anda sampai di flat kakak Anda?"
"Pasti sekitar pukul sepuluh," sahut Landry setelah diam sejenak.
"Apakah Anda tinggal lama di sana?"
"Setengah jam, barangkali. Mungkin lebih lama. Saya tidak ingat
lagi."
Dekut Burung Kukuk
"Dan dari sana Anda langsung mengemudi ke konferensi di
Oxford?"
Dari balik bahu Landry, Strike melihat John Bristow mendatangi
seorang pramusaji; dia tampak kehabisan napas dan agak acak-acakan,
seperti baru berlari. Tas kerja kulit tergantung di tangannya. Bristow
mengedarkan pandang sambil agak terengah-engah, dan ketika me?
lihat belakang kepala Landry, Strike mengira raut Bristow tampak ke?
takutan.
"John," sapa Strike, sewaktu kliennya itu mendatangi mereka.
"Halo, Cormoran."
Landry tidak mengalihkan tatapan ke arah keponakannya, tapi me?
raih pisau dan garpu, lalu mulai mengiris terrine-nya. Strike bergeser
untuk memberi tempat bagi Bristow duduk berseberangan dengan
pamannya.
"Kau sudah bicara pada Reuben?" tanya Landry dengan nada di?
ngin kepada Bristow, sesudah menelan terrine-nya.
"Ya. Kubilang aku akan menelitinya sore ini dan menjelaskan se?
mua deposit dan penarikan."
"Aku baru bertanya pada pamanmu tentang pagi hari sebelum Lula
meninggal, John. Ketika dia datang ke flat ibumu," kata Strike.
Bristow melirik Landry.
"Aku ingin tahu apa yang terjadi dan terucap di sana," Strike me?
lanjutkan, "karena, menurut sopir yang mengantar Lula pulang dari
flat ibunya, Lula tampak gelisah."
"Tentu saja dia gelisah," tukas Landry. "Ibunya sakit kanker."
"Operasi yang baru dia jalani seharusnya menyembuhkan, bukan?"
"Yvette baru menjalani histerektomi. Dia sangat kesakitan. Lula
pasti sangat kecil hati melihat ibunya dalam kondisi seperti itu."
"Apakah Anda banyak berbicara dengan Lula, ketika bertemu
dengannya?"
Kebimbangan sekejap.
Dekut Burung Kukuk
"Hanya mengobrol kecil."
"Dan Anda berdua, apakah sempat mengobrol?"
Bristow dan Landry tidak saling menatap. Jeda yang lebih lama,
beberapa detik, sebelum Bristow berkata
"Aku sedang bekerja di ruang kerja. Aku mendengar Tony datang,
mendengarnya berbicara pada Mum dan Lula."
"Anda tidak menengok untuk menyapa?" tanya Strike pada Landry.
Landry memandanginya dengan mata yang seolah-olah bergolak
mendidih, pucat di bawah bulu mata yang juga pucat.
"Sebenarnya, tak seorang pun di sini berkewajiban menjawab per?
tanyaan-pertanyaan Anda, Mr. Strike," kata Landry.
"Tentu saja tidak," Strike membenarkan, lalu mencatat sesuatu
yang tak terbaca di notesnya. Bristow menatap pamannya. Landry
sepertinya mempertimbangkan ulang perkataannya.
"Dari pintu ruang kerja saya bisa melihat John sedang sibuk be?
kerja, dan saya tidak ingin mengganggunya. Saya duduk dengan Yvette
di kamarnya sebentar, tapi dia masih mengantuk karena obat-obatan?
nya, jadi saya meninggalkan dia bersama Lula. Saya tahu," kata Landry
dengan nada kebencian yang nyaris tak terdengar, "tidak ada yang di?
inginkan Yvette selain Lula."
"Catatan telepon Lula menunjukkan dia menghubungi ponsel
Anda berkali-kali sejak dia meninggalkan flat Lady Bristow, Mr.
Landry."
Paras Landry merah padam.
"Anda berbicara dengannya di telepon?"
"Tidak. Saya mematikan volume ponsel saya; saya sudah terlambat
datang ke konferensi itu."
"Ponsel bisa bergetar, bukan?"
Strike penasaran apa yang akhirnya akan membuat Landry angkat
kaki dari sini. Dia yakin waktunya tak lama lagi.
"Saya melirik ponsel saya, melihat itu dari Lula, dan memutuskan
dia bisa menunggu," sahutnya singkat.
"Anda tidak membalas teleponnya?"
"Tidak."
"Tidakkah dia meninggalkan pesan, memberitahu Anda apa yang
ingin dibicarakannya?"
Robert Galbraith
"Tidak."
"Agak aneh, bukan? Anda baru saja bertemu dengannya di tempat
tinggal ibunya, dan Anda berkata tidak ada hal penting yang di?
bicarakan, tapi hampir sesorean dia menghabiskan waktu berusaha
menghubungi Anda. Bukankah kelihatannya ada hal mendesak yang
perlu dia katakan kepada Anda? Atau dia ingin meneruskan pem?
bicaraan sebelumnya di flat?"
"Lula itu tipe gadis yang bisa menelepon orang tiga puluh kali ber?
turut-turut, untuk alasan sepele. Dia anak yang sangat manja. Dia ber?
harap orang akan melompat siaga begitu namanya muncul di layar
ponsel."
Strike melirik ke arah Bristow.
"Kadang-kadang?dia?seperti itu," gumam kakak Lula.
"Apakah menurutmu kegelisahan adikmu murni karena ibumu tam?
pak lemah sesudah operasinya, John?" Strike bertanya pada Bristow.
"Sopir adikmu, Kieran Kolovas-Jones, merasa kasihan kepadanya ka?
rena dia keluar dari flat itu dengan suasana hati yang sangat berbeda."
Sebelum Bristow sempat menjawab, Landry meninggalkan ma?
kanannya, berdiri, dan mulai mengenakan mantel.
"Apakah Kolovas-Jones ini pemuda aneh berkulit gelap itu?" dia
bertanya, menatap ke bawah ke arah Strike dan Bristow. "Orang yang
ingin Lula mencarikan pekerjaan modeling atau akting?"
"Dia memang aktor, ya," kata Strike.
"Ya. Pada ulang tahun Yvette yang terakhir sebelum dia jatuh sakit,
saya punya masalah dengan mobil saya. Lula dan orang ini diminta
menjemput saya ke jamuan makan malam itu. Hampir sepanjang per?
jalanan Kolovas-Jones ini mendesak Lula agar menggunakan penga?
ruhnya pada Freddie Bestigui untuk mencarikan audisi untuknya. Pe?
muda yang sangat mengganggu. Dia tampak akrab dengan Lula. Tentu
saja," tambahnya, "semakin sedikit yang saya ketahui tentang kehi?
dupan cinta keponakan perempuan saya, semakin baik."
Landry melemparkan lembaran sepuluh pound ke meja.
"Kuharap kau segera kembali ke kantor, John."
Dia berdiri dan jelas-jelas menunggu tanggapan, tapi Bristow tidak
menaruh perhatian. Matanya membelalak, menatap gambar berita
yang tadi sedang dibaca Strike ketika Landry datang?foto seorang
Dekut Burung Kukuk
tentara berkulit hitam dalam seragam Batalion II The Royal Regiment
of Fusiliers.
"Apa? Ya. Aku akan langsung kembali," dengan perhatian terbelah
dia menjawab pamannya, yang menatapnya dengan dingin. "Maaf,"
kata Bristow pada Strike, begitu Landry berlalu. "Hanya saja,
Wilson?Derrick Wilson, kau tahu, petugas keamanan itu?dia pu?
nya keponakan di Afghanistan. Sejenak kupikir, astaga... tapi bukan
dia. Namanya bukan itu. Perang ini sungguh mengerikan, bukan? Dan
apakah pantas dibayar dengan begitu banyak nyawa?"
Strike mengangkat beban dari kaki palsunya?perjalanan melewati
taman tadi tidak membantu lecet pada ujung tungkainya. Dia hanya
menggumam tak jelas.
"Mari kita berjalan kaki," kata Bristow setelah mereka selesai ma?
kan. "Aku ingin menghirup udara segar."
Bristow memilih rute paling lurus, yang mengharuskan mereka
melewati lapangan rumput luas yang tidak akan dipilih oleh Strike,
karena medan seperti itu membutuhkan lebih banyak energi ketim?
bang jalan aspal. Ketika mereka melewati kolam air mancur untuk
mengenang Putri Diana, yang mendesis, berdenting, dan menyembur
di sepanjang kanalnya yang terbuat dari granit Cornwall, tiba-tiba saja
Bristow berkata, seakan-akan Strike bertanya kepadanya
"Tony tidak pernah menyukaiku. Dia lebih menyukai Charlie.
Orang bilang, Charlie mirip Tony dulu, waktu masih kecil."
"Dia tidak membicarakan Charlie dengan penuh kasih sayang se?
belum kau datang, dan sepertinya dia juga tidak sabaran terhadap
Lula."
"Dia memberimu ceramah tentang pandangannya terhadap here?
ditas?"
"Sudah sewajarnya."
"Yah, dia jelas tidak malu mengatakannya. Hal itu membuat ikatan
antara Lula dan aku semakin erat, karena Paman Tony menganggap
kami tidak layak. Untuk Lula bahkan lebih buruk lagi; setidaknya,
orangtua kandungku kulit putih. Tony bukan orang yang bebas pra?
sangka. Tahun lalu kami memiliki pegawai pelatihan asal Pakistan; ga?
dis itu salah satu yang terbaik yang pernah kami miliki, tapi Tony me?
rongrongnya hingga pergi."
Robert Galbraith
"Mengapa kau mau bekerja dengannya?"
"Mereka memberiku penawaran yang bagus. Ini perusahaan ke?
luarga. Kakekku yang mendirikannya, walau bukan berarti hal itu ada
pengaruhnya bagiku. Tidak ada yang ingin dituduh melakukan nepo?
tisme. Tapi ini salah satu biro hukum keluarga terbaik di London, dan
ibuku senang karena aku mengikuti jejak ayahnya. Apakah Tony sem?
pat menyerang ayahku?"
"Tidak juga. Dia hanya menyinggung Sir Alec mungkin telah
memberikan uang pelicin demi mendapatkan Lula."
"Oh ya?" Bristow terdengar kaget. "Kurasa itu tidak benar. Lula di?
rawat di panti. Aku yakin prosedurnya diikuti dengan benar."
Ada jeda sunyi sejenak, kemudian Bristow berkata, dengan agak
malu-malu
"Kau, eh, tidak terlalu mirip ayahmu."
Ini kali pertama Bristow mengakui secara tidak langsung bahwa
dia mungkin agak kebablasan membaca tautan Wikipedia ketika se?
dang meriset detektif partikelir.
"Memang tidak," Strike setuju. "Aku persis dengan pamanku, Ted."
"Kurasa kau dan ayahmu tidak?eh?maksudku, kau tidak meng?
gunakan namanya?"
Strike memahami rasa penasaran seorang pria dengan latar bela?
kang keluarga yang tidak biasa dan menimbulkan banyak korban?se?
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perti dirinya.
"Aku tidak pernah menggunakan namanya," jawab Strike. "Aku ini
hasil kecelakaan di luar nikah yang berakibat Jonny kehilangan istri?
nya dan beberapa juta pound dalam bentuk tunjangan. Kami tidak de?
kat."
"Aku mengagumimu," kata Bristow, "karena hidup di jalanmu sen?
diri. Karena tidak tergantung kepadanya." Dan ketika Strike tidak
menjawab, dia menambahkan dengan gugup, "Kuharap kau tidak ke?
beratan aku memberitahu Tansy tentang siapa ayahmu? Karena?ka?
rena itu membantu agar dia mau bicara padamu. Dia terkesan dengan
orang-orang terkenal."
"Semuanya boleh-boleh saja demi mendapatkan pernyataan dari
saksi," sahut Strike. "Kau bilang Lula tidak menyukai Tony, tapi dia
mengambil nama pamanmu untuk nama profesionalnya?"
Dekut Burung Kukuk
"Oh, bukan begitu. Dia memilih Landry karena itu nama gadis
Mum, tidak ada hubungannya dengan Tony. Mum senang sekali. Ku?
rasa sudah ada model lain yang bernama Bristow. Lula lebih suka
menjadi yang teristimewa."
Mereka berjalan di antara para pesepeda, orang-orang yang piknik
di bangku taman, yang membawa anjing jalan-jalan, pesepatu roda.
Strike berusaha menutup-nutupi langkahnya yang semakin tidak sta?
bil.
"Kurasa Tony tidak pernah benar-benar mencintai siapa pun se?
lama hidupnya," tiba-tiba Bristow berkata, ketika mereka berhenti un?
tuk memberi jalan pada seorang anak yang mengenakan helm dan ter?
huyung-huyung di atas skateboard. "Di pihak lain, ibuku sangat
penyayang. Dia sangat mencintai ketiga anaknya, dan kadang-kadang
aku berpikir Tony tidak senang. Aku tidak tahu sebabnya. Mungkin
memang begitulah dia.
"Terjadi perpecahan antara dia dan orangtuaku setelah Charlie me?
ninggal. Seharusnya aku tidak boleh tahu, tapi aku mendengar banyak
hal. Boleh dibilang Tony menyalahkan Mum atas kecelakaan Charlie,
bahwa Charlie bandel tidak terkendali. Ayahku langsung mengusir
Tony dari rumah. Mum dan Tony baru benar-benar berbaikan setelah
Dad meninggal."
Strike lega ketika akhirnya mereka sampai di Exhibition Road, dan
ketimpangannya tidak terlalu tampak.
"Apakah menurutmu pernah ada apa-apa antara Lula dan Kieran
Kolovas-Jones?" tanya Strike sambil menyeberang jalan.
"Tidak. Tony hanya melompat ke kesimpulan paling buruk yang
bisa dipikirkannya. Dia selalu mengasumsikan yang terburuk kalau
menyangkut Lula. Oh, aku yakin Kieran sama sekali tidak keberatan,
tapi Lula sangat kasmaran dengan Duffield?sayang sekali."
Mereka menyusuri Kensington Road, dengan taman yang penuh
pepohonan di sebelah kiri, lalu masuk ke teritori kediaman duta besar
dan royal college yang berdinding batu putih.
"Menurutmu, mengapa pamanmu tidak menyapamu ketika dia da?
tang mengunjungi ibumu pada hari dia baru keluar dari rumah sakit?"
Bristow tampakat sangat resah.
"Apakah ada perselisihan di antara kalian?"
Robert Galbraith
"Bukan... bukan begitu," sahut Bristow. "Di kantor, kami sedang
mengalami banyak tekanan. Aku?seharusnya tidak boleh bilang. Ke?
rahasiaan klien."
"Apakah ada hubungannya dengan wasiat Conway Oates?"
"Bagaimana kau tahu?" tanya Bristow tajam. "Ursula yang mem?
beritahumu?"
"Dia sempat menyinggungnya."
"Demi Tuhan. Sama sekali tidak ada kerahasiaan. Sama sekali."
"Pamanmu sulit percaya bahwa Mrs. May tidak bisa menjaga ke?
rahasiaan."
"Pasti begitu," ujar Bristow sambil tertawa mengejek. "Ini soal?
yah, aku yakin bisa memercayaimu. Hal-hal seperti ini sangat sensitif
bagi biro seperti kami. Karena tipe klien yang biasa datang kepada
kami?yang memiliki nilai kekayaan tinggi?bila ada sedikit saja
desas-desus penipuan, akibatnya bisa fatal. Nilai bisnis Conway Oates
yang ada pada kami cukup besar. Dananya ada dan dapat dipertang?
gungjawabkan, tapi para ahli warisnya serakah, dan menurut mereka
dana itu salah atur. Mengingat betapa sensitifnya pasar belakangan ini,
dan semakin tidak jelasnya instruksi-instruksi Conway seiring waktu,
seharusnya mereka bersyukur masih ada jumlah yang bisa diwariskan.
Tony jengkel sekali dengan seluruh urusan ini dan... well, dia orang
yang suka menyebar kesalahan. Terjadi keributan. Aku juga mendapat
kritik tajam. Kalau dengan Tony, memang biasanya aku ikut kena."
Strike bisa menduga, dari suasana hati Bristow yang terasa se?
makin berat, bahwa mereka sudah dekat dengan kantornya.
"Aku kesulitan menghubungi dua saksi yang berguna, John. Dapat?
kah kau menghubungkanku dengan Guy Som?? Orang-orangnya se?
pertinya tidak ingin ada yang mendekati dia."
"Bisa kucoba. Akan kutelepon dia sore ini. Dia memuja Lula. Se?
mestinya dia bersedia membantu."
"Dan ibu kandung Lula."
"Oh, ya." Bristow mendesah. "Aku punya detail-detailnya di suatu
tempat. Wanita mengerikan."
"Kau pernah bertemu dengannya?"
"Tidak, aku hanya tahu dari yang diceritakan Lula padaku, dan se?
mua yang tertulis di koran. Lula sangat bertekad mencari tahu asal242
Dekut Burung Kukuk
usulnya, dan kurasa Duffield mendorongnya?aku sangat curiga
dialah yang membocorkan cerita itu ke media, walau Lula selalu me?
nyangkal... Pokoknya, Lula berhasil melacak wanita bernama Higson
ini, yang memberitahu bahwa ayahnya dulu mahasiswa Afrika. Aku
tidak tahu apakah itu benar. Yang pasti, itulah yang ingin didengar
Lula. Imajinasinya melanglang liar kurasa dia membayangkan dirinya
adalah putri yang hilang dari seorang politikus terkenal, atau putri
kepala suku."
"Tapi dia tidak pernah melacak ayahnya?"
"Aku tidak tahu, tapi," kata Bristow, menunjukkan antusiasme ter?
hadap pertanyaan apa pun yang dapat menjelaskan pria kulit hitam
yang terlihat di kamera di dekat flat Lula, "aku pasti orang terakhir
yang diberitahunya."
"Kenapa begitu?"
"Karena kami sempat bertengkar hebat soal itu. Ibuku baru saja
didiagnosis kanker uterin sewaktu Lula mulai giat mencari Marlene
Higson. Aku berkata pada Lula bahwa perhitungan waktunya tidak
tepat untuk mulai mencari akarnya, tapi dia?well, kalau menyangkut
keinginannya, dia seperti memakai kacamata kuda. Kami saling me?
nyayangi," kata Bristow, mengusap wajahnya dengan lelah, "tapi per?
bedaan usia memang membuat kami sering bertengkar. Aku yakin dia
berusaha mencari ayahnya, karena itulah yang paling dia inginkan
mencari akar kulit hitamnya, menemukan jati diri."
"Apakah dia masih berhubungan dengan Marlene Higson sampai
dia meninggal?"
"Kadang-kadang. Aku merasa Lula sebenarnya ingin memutus ko?
neksi itu. Higson wanita yang mengerikan, tak kenal malu. Dia men?
jual ceritanya kepada siapa pun yang mau membayar, dan sayangnya
banyak sekali yang bersedia. Ibuku sangat sedih atas seluruh perkara
itu."
"Ada beberapa hal lain yang ingin kutanyakan kepadamu."
Pengacara itu memperlambat langkah tanpa diminta.
"Sewaktu kau pergi ke flat Lula pagi hari itu, untuk mengembali?
kan kontrak Som?, apakah kau melihat orang yang mungkin berasal
dari perusahaan keamanan? Datang untuk mengecek alarm?"
"Maksudmu tukang servis?"
Robert Galbraith
"Atau tukang listrik. Mungkin memakai baju kerja terusan?"
Ketika Bristow mengerutkan wajah sambil mengingat-ingat, gigi?
nya yang tonggos semakin maju.
"Aku tidak ingat... sebentar... Waktu aku lewat flat di lantai dua...
ya, ada orang di sana yang sedang sibuk dengan sesuatu di dinding...
Mungkin itu dia?"
"Mungkin. Bagaimana tampangnya?"
"Yah, dia memunggungiku. Aku tidak bisa melihat wajahnya."
"Apakah dia bersama Wilson?"
Bristow berhenti di trotoar, kelihatan agak bingung. Tiga pria dan
satu wanita bersetelan jas bergegas melewati mereka, sebagian mem?
bawa map.
"Kurasa," dia agak terbata-bata, "kurasa mereka berdua ada di sana,
membelakangiku, waktu aku turun lewat tangga. Mengapa kau ber?
tanya? Apa pentingnya?"
"Mungkin tidak penting," sahut Strike. "Tapi bisakah kau meng?
ingat sesuatu? Warna rambut atau warna kulit, mungkin?"
Semakin kebingungan, Bristow menjawab
"Sayangnya aku tidak terlalu memperhatikan. Kurasa..." Dia me?
ngerutkan wajah lagi, berkonsentrasi. "Aku ingat orang itu memakai
baju biru. Maksudku, kalau ditanya lagi, aku akan bilang dia kulit pu?
tih. Tapi aku tidak berani bersumpah."
"Kurasa tidak perlu," ujar Strike, "tapi itu membantu."
Dia mengeluarkan notes untuk membantu mengingat pertanyaan
apa yang ingin dia ajukan kepada Bristow.
"Oh, ya. Menurut keterangannya kepada polisi, Ciara Porter ber?
kata Lula memberitahu bahwa dia ingin meninggalkan segalanya ke?
padamu."
"Oh," ucap Bristow tidak antusias. "Itu."
Dia mulai melangkah perlahan, dan Strike mengikutinya.
"Salah satu detektif yang bertanggung jawab atas kasus itu mem?
beritahuku Ciara bilang begitu. Inpektur Polisi Carver. Sejak awal dia
yakin Lula bunuh diri. Dan sepertinya dia berpikir kalau Lula mem?
bicarakan hal semacam itu dengan Ciara, berarti dia memang sudah
berniat bunuh diri. Bagiku itu logika yang aneh. Bukankah surat wa?
siat tidak berlaku jika itu peristiwa bunuh diri?"
Dekut Burung Kukuk
"Kaupikir Ciara Porter mengarang saja?"
"Bukan mengarang," kata Bristow. "Mungkin melebih-lebihkan. Ku?
rasa begini Lula mengatakan sesuatu yang manis tentang diriku, ka?
rena kami baru saja berbaikan. Ciara, setelah mengingat-ingat kembali,
berasumsi Lula memang sudah memikirkan bunuh diri, mengubah su?
rat wasiatnya. Gadis itu memang?tidak terlalu pintar."
"Sudah dilakukan pencarian atas surat wasiat, bukan?"
"Oh, ya. Polisi sudah mencari dengan teliti. Kami?pihak ke?
luarga?tidak berpikir Lula pernah membuat surat wasiat; penga?
caranya tidak tahu jika pernah ada surat wasiat, tapi sudah dilakukan
pencarian. Tidak ada yang ditemukan; mereka sudah mencari di
mana-mana."
"Tapi, marilah kita berandai-andai sebentar bahwa Ciara Porter ti?
dak salah ingat tentang apa yang dikatakan adikmu..."
"Tapi Lula tidak akan pernah meninggalkan segalanya untukku se?
orang. Tidak akan."
"Mengapa tidak?"
"Karena itu berarti memutus ibu kami sama sekali, dan itu akan
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyebabkan sakit hati yangat sangat," Bristow menjelaskan de?
ngan serius. "Bukan soal uangnya?Dad mewariskan cukup banyak
untuk Mum?tapi lebih karena pesan yang disampaikan, kalau dia
mengabaikan ibu kami begitu saja. Surat wasiat dapat menjadi pe?
nyebab segala macam sakit hati. Sudah sering aku melihatnya."
"Apakah ibumu sudah membuat surat wasiat?" tanya Strike.
Bristow tampak terperanjat.
"Eh?ya, aku yakin begitu."
"Bolehkah aku tahu siapa ahli warisnya?"
"Aku belum melihatnya," kata Bristow kaku. "Apa hubungannya...?"
"Semuanya relevan, John. Sepuluh ribu pound adalah uang yang sa?
ngat banyak."
Bristow tampaknya berusaha memutuskan apakah Strike hanya
bersikap tidak peka atau sengaja menyerang. Akhirnya dia berkata
"Mengingat tidak ada anggota keluarga lain, kurasa Tony dan aku
adalah ahli waris utama. Kemungkinan ada satu atau dua badanal
juga; ibuku sangat murah hati kepada badanal. Namun?dan aku
yakin kau mengerti," bercak merah jambu merona semakin terang di
Robert Galbraith
leher Bristow yang kurus, "aku tidak tergesa-gesa mencari tahu isi wa?
siat terakhir ibuku, mengingat apa yang harus terjadi kalau surat wa?
siat itu dibacakan."
"Tentu saja," kata Strike.
Mereka sampai di kantor Bristow, bangunan polos delapan lantai
dengan lorong masuk yang gelap. Bristow berhenti di dekat pintu ma?
suk dan berpaling pada Strike.
"Kau masih menganggap ini semua angan-anganku saja?" dia ber?
tanya, sementara dua wanita bersetelan gelap bergegas melewati me?
reka.
"Tidak," jawab Strike, cukup jujur. "Tidak."
Air muka Bristow yang biasa-biasa saja itu tampak cerah sedikit.
"Aku akan menghubungimu perihal Som? dan Marlene Higson.
Oh?aku hampir lupa. Ini laptop Lula. Sudah ku-charge, tapi ada
password-nya. Teknisi polisi sudah memecahkan password-nya, dan
mereka memberitahu ibuku, tapi ibuku lupa dan aku tidak pernah
tahu. Mungkin ada di berkas polisi?" tambahnya penuh harap.
"Sejauh yang kuingat, tidak ada," kata Strike, "tapi semestinya ini
bukan masalah besar. Di mana laptop ini berada sejak Lula mening?
gal?"
"Disimpan polisi, dan sejak itu, di tempat ibuku. Hampir semua
barang milik Lula ada di tempat Mum. Dia belum memutuskan akan
diapakan."
Bristow mengangsurkan tas kerja itu kepada Strike dan mengang?
kat tangan sebagai salam. Kemudian, dengan sedikit menegakkan
bahu, dia menaiki undakan dan menghilang di balik pintu-pintu biro
hukum keluarga itu.
Gesekan antara ujung tungkai Strike yang diamputasi dan kaki palsu
itu menjadi semakin menyakitkan seiring tiap langkah, sementara dia
berjalan menuju Kensington Gore. Sedikit berkeringat di balik man?
telnya yang tebal, dengan matahari yang bersinar lemah dan menjadi?
kan taman berkilauan di kejauhan, Strike bertanya pada diri sendiri
apakah kecurigaan aneh yang mencengkeramnya kuat-kuat ini sekadar
bayang-bayang yang bergerak di kedalaman kolam berlumpur tipuan
cahaya, ilusi riak permukaan air yang ditiup angin. Apakah pasir
hitam yang beringsut itu akibat kibasan ekor licin, atau tak lebih ber?
arti ketimbang semburan gas ganggang? Ataukah ada sesuatu yang
mengendap-endap, menyamar, terkubur di dalam lumpur, sesuatu
yang pernah berusaha dijaring jala lain tanpa hasil?
Dalam perjalanan menuju stasiun Kensington, dia melewati
Queen?s Gate di Hyde Park; berukir-ukir, merah berkarat, dan dihiasi
simbol kerajaan. Sebagai orang yang mengamati segalanya, Strike
memperhatikan ukiran rusa betina dan rusa muda di satu pilar, dan
rusa jantan di pilar lain. Manusia sering kali mengasumsikan adanya
simetri dan kesetaraan di tempat yang seharusnya tak ada. Sama, na?
mun sungguh-sungguh berbeda... Laptop Lula Landry semakin keras
membentur-bentur tungkainya yang semakin terpincang-pincang.
Dalam kondisinya yang kesakitan, macet, dan frustrasi, masih ada
yang harus didengarnya dari Robin saat dia kembali ke kantor pada
pukul lima kurang sepuluh menit Robin belum juga dapat menembus
Robert Galbraith
resepsionis di kantor produksi Freddie Bestigui, dan dia juga belum
berhasil menemukan nama Onifade dengan nomor British Telecom di
daerah Kilburn.
"Tentu saja, kalau dia bibi Rochelle, bisa saja dia memakai nama
lain, bukan?" ujar Robin sambil mengancingkan mantel dan bersiapsiap pergi.
Strike mengiyakan dengan letih. Begitu masuk ke kantor tadi, dia
langsung menjatuhkan diri di sofa yang sudah melesak, dan Robin be?
lum pernah melihatnya seperti itu. Wajahnya menggerenyit.
"Anda tidak apa-apa?"
"Ya. Tidak ada tanda-tanda dari Temporary Solutions siang tadi?"
"Tidak," sahut Robin sambil menalikan ikat pinggang mantelnya
erat-erat. "Mungkin mereka percaya waktu aku bilang aku Annabel.
Aku berusaha meniru logat Australia."
Strike menyeringai. Robin menutup laporan interim yang tadi di?
bacanya sambil menunggu Strike kembali, lalu mengembalikannya de?
ngan rapi di rak, mengucapkan selamat malam pada Strike, dan me?
ninggalkan dia duduk di sana, dengan laptop masih tergeletak di
sampingnya di atas pelapis sofa yang sudah aus.
Ketika langkah Robin tidak lagi terdengar, Strike mengulurkan le?
ngan sejauh-jauhnya ke samping untuk mengunci pintu kaca itu, lalu
melanggar aturannya sendiri, yaitu merokok di dalam kantor pada hari
kerja. Dijepitnya sigaret yang telah tersulut di antara geligi, lalu dia
menarik pipa celana panjang dan membuka pengait yang menahan
kaki palsu pada pahanya. Kemudian dia mengelupas pelapis gel dari
tunggul kakinya dan memeriksa ujung tibia yang diamputasi itu.
Seharusnya dia memeriksa permukaan kulit itu setiap hari, kalaukalau terjadi iritasi. Kini dia melihat jaringan bekas luka itu merah
dan meradang. Ada beraneka ragam krim serta talek di dalam lemari
kamar mandi Charlotte yang dikhususkan untuk merawat sebidang
kulit ini, yang tidak mengira akan menghadapi kekuatan-kekuatan
yang tak diperkirakan akan terjadi. Barangkali Charlotte telah melem?
par talek dan Oilatum itu ke dalam salah satu kardus yang belum di?
bongkar? Tapi dia tidak sanggup mengerahkan energi untuk mencari,
dan dia belum ingin memasang kaki palsu itu lagi. Jadi dia duduk saja
Dekut Burung Kukuk
di sofa sambil merokok?dengan separuh bawah pipa celana panjang?
nya terkulai kosong?tenggelam dalam lamunan.
Benaknya melanglang. Dia berpikir tentang keluarga, tentang
nama, juga tentang masa kecil John Bristow dan masa kecilnya sendiri,
yang dari luar tampak sangat berbeda, tapi sebenarnya begitu serupa.
Di dalam keluarga Strike juga ada sosok-sosok hantu suami pertama
ibunya, misalnya, yang jarang dibicarakan, hanya disebut-sebut untuk
menandaskan bahwa sejak semula ibunya memang membenci per?
nikahan. Bibi Joan, dengan ingatan lebih tajam daripada Leda yang se?
lalu samar-samar, bercerita bahwa Leda, yang waktu itu berusia de?
lapan belas, kabur dari suaminya setelah baru dua minggu menikah.
Motivasi Leda menikah dengan Strike Sr. (yang menurut cerita Bibi
Joan datang ke St. Mawes bersama rombongan pasar malam) hanya?
lah untuk memiliki gaun baru dan nama baru. Leda lebih setia kepada
nama mantan suaminya yang tidak biasa itu ketimbang pada pria
mana pun. Dia meneruskan nama itu kepada putranya, yang tidak
pernah bertemu dengan pemilik aslinya, laki-laki yang sudah lama
pergi sebelum dia lahir.
Rokok Strike mengepul, dia terbenam dalam lamunan, hingga ca?
haya di dalam kantornya melembut dan temaram. Kemudian, akhir?
nya, dia berjuang untuk berdiri dengan satu kaki, memantapkan diri
dengan bantuan kenop pintu dan palang besi di dinding di luar pintu
kaca, lalu melompat-lompat untuk memeriksa kardus-kardus yang
masih ditumpuk di puncak tangga, di luar kantornya. Di bagian dasar
salah satu kardus itu ditemukannya produk-produk dermatologi yang
diciptakan untuk meredakan rasa panas dan gatal di ujung tunggul
tungkainya, lalu dia memulai upaya memperbaiki kerusakan yang
awalnya diakibatkan perjalanan jauh menyeberangi London sambil
memanggul tas bepergian.
Pada pukul delapan malam itu, hari lebih terang daripada dua
minggu lalu. Strike duduk, untuk kedua kalinya dalam sepuluh hari,
di Wong Kei, restoran Cina berdinding putih dengan jendela yang
menghadap tempat permainan bernama Play to Win. Sungguh me?
nyakitkan menyematkan kaki palsunya kembali, dan jauh lebih me?
nyiksa ketika dia harus berjalan menyusuri Charing Cross Road, tapi
dia membenci sepasang kruk metal kelabu yang juga dia temukan di
Robert Galbraith
salah satu kardus, relik dari masa ketika dia baru keluar dari Rumah
Sakit Selly Oak.
Sambil makan bakmi ala Singapura dengan satu tangan, Strike me?
meriksa laptop Lula Landry yang terbuka di meja, di sebelah kaleng
birnya. Casing komputer berwarna pink tua itu bermotif bunga-bunga
ceri. Tak terpikir oleh Strike betapa tidak serasinya sosoknya yang
besar dan penuh bulu itu membungkuk di atas komputer pink yang
telah dipercantik dengan feminin, tapi pemandangan itu memancing
cibiran dari dua pelayan yang berkaus hitam.
"Bagaimana kabarmu, Federico?" tanya seorang pria muda berwa?
jah pucat dengan rambut berantakan pada pukul setengah sembilan.
Pendatang baru itu, yang langsung mengenyakkan diri di kursi di
seberang Strike, mengenakan jins, kaus motif psychedelic, sepatu
Converse, dan tas kulit tersandang diagonal di pundaknya.
"Pernah lebih buruk," geram Strike. "Apa kabar? Mau minum?"
"Yeah, aku mau bir."
Strike memesankan minuman untuk tamunya yang biasa dipang?
gilnya Spanner, walau sudah lama sekali dia melupakan alasannya.
Spanner memiliki gelar nomor satu di bidang ilmu komputer, dan
bayarannya jauh lebih tinggi daripada yang tampak dari cara ber?
pakaiannya.
"Aku tidak lapar, baru makan burger setelah kerja," kata Spanner
sambil menatap menu. "Tapi mau sup. Sup pangsit satu," tambahnya
pada pelayan. "Pilihan laptopmu sangat menarik, Fed."
"Bukan punyaku," sahut Strike.
"Pekerjaan itu, ya?"
"Yeah."
Strike memutar komputer itu menghadap Spanner, yang lalu me?
meriksa mesin itu dengan campuran rasa tertarik dan tak acuh, khas
orang-orang yang tidak menganggap teknologi sebagai musuh, me?
lainkan sekadar bagian dari kehidupan sehari-hari.
"Sampah," kata Spanner riang. "Di mana selama ini kau sembunyi,
Fed? Orang-orang mulai khawatir."
"Baik sekali mereka," kata Strike dengan mulut penuh bakmi. "Tapi
tidak perlu."
"Aku ke tempat Nick dan Ilsa beberapa malam yang lalu, dan kau?
Dekut Burung Kukuk
lah satu-satunya topik yang dibahas. Mereka bilang, kau tenggelam
dalam bumi. Oh, terima kasih," kata Spanner, ketika sup itu tiba.
"Yeah, mereka menelepon flatmu, tapi selalu diterima mesin penjawab.
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menurut Ilsa, pasti masalah cewek."
Sekarang terlintas dalam pikiran Strike bahwa cara terbaik untuk
memberitahu teman-temannya mengenai pertunangannya yang batal
adalah melalui Spanner yang tidak terlibat secara emosional. Spanner
adik sahabat lama Strike, dan dia tidak tahu serta tidak peduli pada
sejarah panjang hubungan Strike dan Charlotte. Karena Strike tidak
menginginkan pertemuan penuh simpati dan kata-kata penghiburan
post-mortem, tapi juga tidak mau selamanya berpura-pura bahwa dia
dan Charlotte masih bersama, dia mengatakan bahwa dugaan Ilsa itu
benar, dan akan lebih baik jika teman-temannya berhenti menelepon
ke flat Charlotte.
"Sayang sekali," komentar Spanner dengan sikap yang begitu khas
dirinya, hanya menunjukkan sedikit kepedulian terhadap penderitaan
manusia, terlebih di depan tantangan teknologi yang tersaji di
hadapannya. Dengan sendok dia menuding laptop Dell itu dan ber?
tanya, "Jadi, kau mau apa dengan ini?"
"Polisi sudah memeriksanya," kata Strike, merendahkan suaranya,
meskipun hanya dia dan Spanner yang tidak berbicara bahasa Kanton
di tempat itu. "Tapi aku menginginkan opini kedua."
"Teknisi polisi lumayan bagus. Rasanya aku tidak akan menemu?
kan apa pun yang belum mereka temukan."
"Mungkin mereka tidak mencari hal-hal yang tepat," kata Strike,
"dan mereka mungkin tidak menyadari artinya kalaupun pernah me?
nemukannya. Sepertinya mereka hanya tertarik pada email-email yang
terakhir, dan aku sudah melihat semuanya."
"Kalau begitu, apa yang harus kucari?"
"Semua aktivitas pada tanggal 8 Januari dan semua yang mengarah
ke tanggal itu. Pencarian internet terakhir, hal-hal semacam itu. Aku
tidak punya password-nya, dan aku lebih suka tidak bertanya pada me?
reka kecuali perlu sekali."
"Semestinya tidak ada masalah," kata Spanner. Dia tidak menulis
semua instruksi ini, tapi mengetiknya di ponsel. Spanner sepuluh ta?
Robert Galbraith
hun lebih muda daripada Strike, dan lebih suka tidak menggunakan
bolpoin. "Ini punya siapa sih?"
Ketika Strike memberitahunya, Spanner berkata
"Model itu? Wow."
Tetapi, ketertarikan Spanner pada umat manusia, bahkan yang ter?
kenal dan sudah mati, dikalahkan oleh kecintaannya pada komik lang?
ka, inovasi teknologi, serta band-band yang namanya tidak pernah di?
dengar Strike. Setelah menyuap beberapa sendok sup, Spanner
memecahkan keheningan di antara mereka dengan bertanya riang soal
berapa Strike akan membayar jasanya.
Sesudah Spanner pergi dengan mengepit laptop pink itu di bawah
ketiaknya, Strike terpincang-pincang kembali ke kantor. Dengan hatihati dia membasuh ujung tungkai kanannya malam itu, lalu mengoles?
kan krim pada jaringan kulit yang meradang. Untuk pertama kalinya
dalam berbulan-bulan, dia minum obat pereda sakit sebelum menyu?
sup masuk ke kantong tidur. Sambil berbaring, menunggu rasa nyeri
itu dimatikan, dia mempertimbangkan apakah sebaiknya membuat
janji dengan dokter di pusat rehabilitasi tempat dia seharusnya me?
lapor. Berkali-kali telah dijelaskan kepadanya tentang gejala-gejala ter?
cekik, konsekuensi tak terhindarkan bagi mereka yang diamputasi na?
nah dan pembengkakan. Dia bertanya-tanya apakah dia sedang
mengalami gejala-gejala awal, tapi dia ngeri membayangkan harus
kembali ke koridor-koridor yang berbau disinfektan itu, dokter-dokter
yang menunjukkan minat yang dingin terhadap bagian tubuhnya yang
dimutilasi, penyesuaian-penyesuaian kecil terhadap kaki palsunya yang
membutuhkan kunjungan-kunjungan lebih lanjut ke dunia berjas pu?
tih yang dia harap sudah ditinggalkannya selamanya. Dia takut diberi
saran agar mengistirahatkan kakinya, agar menghindari terlalu banyak
berjalan; pemaksaan untuk kembali menggunakan kruk, tatapan orang
tak dikenal ke arah pipa celana yang dilipat, dan pertanyaan anakanak kecil dengan suara mereka yang melengking.
Ponselnya yang seperti biasa di-charge di lantai di sebelah ranjang
lipat tiba-tiba bergetar, menandakan ada pesan masuk. Senang dengan
adanya pengalih perhatian dari kakinya yang berdenyut-denyut nyeri,
Strike menggapai-gapai dalam gelap dan memungut ponselnya dari
lantai.
Dekut Burung Kukuk
Tolong, bisakah kau meneleponku sebentar kalau ada waktu?
Charlotte
Strike tidak percaya pada hal-hal seperti cenayang dan kemampuan
psikis, tapi jalan pikirannya yang tidak rasional mengatakan bahwa
entah bagaimana Charlotte dapat merasakan dia baru saja memberi?
tahu Spanner; seakan-akan Strike telah menggetarkan tali tegang tak
kasatmata yang masih mengikat mereka, ketika dia menyatakan secara
resmi status hubungan mereka sekarang.
Dia menatap pesan itu seolah-olah wajah Charlotte yang terpam?
pang di situ, seolah-olah dia dapat membaca raut wajahnya pada layar
kecil kelabu.
Tolong. (Aku tahu kau tidak perlu melakukannya aku hanya me?
minta, dengan baik-baik.) Menelepon sebentar. (Aku berhak meminta
berbicara denganmu, jadi kita bisa melakukannya dengan cepat dan
mudah; tidak perlu ada pertengkaran.) Kalau ada waktu. (Aku cukup
sopan dengan berasumsi hidupmu sangat sibuk tanpa diriku.)
Atau, mungkin begini Tolong. (Kalau kau menolak berarti kau ba?
jingan, Strike, dan kau sudah cukup menyakitiku.) Menelepon sebentar.
(Aku tahu kau mengira aku akan bikin ribut; well, jangan khawatir,
pertengkaran terakhir itu, ketika kelakuanmu benar-benar seperti tahi,
menyudahi keinginanku berhubungan denganmu selamanya.) Kalau
ada waktu. (Karena, jujur saja, sejak dulu aku hanya diselipkan di an?
tara urusan angkatan darat dan hal-hal apa pun yang harus didahulu?
kan.)
Apakah sekarang ada waktu? Strike bertanya pada diri sendiri
sambil berbaring dengan rasa nyeri yang masih belum tersentuh efek
pil-pil itu. Dia melirik jam sebelas lewat sepuluh menit. Jelas
Charlotte masih terjaga.
Dia meletakkan kembali ponsel di lantai, tempat benda itu diisi
kembali dayanya tanpa bersuara. Dia mengangkat lengan yang berbulu
menutupi mata, menghalangi berkas-berkas cahaya di langit-langit
yang tercipta karena cahaya lampu jalanan menembus kerai jendela.
Melawan kehendaknya, di pelupuk matanya terbayang Charlotte se?
perti ketika pertama kali dia melihatnya, ketika Charlotte duduk sen?
Robert Galbraith
diri di langkan jendela pada suatu pesta mahasiswa di Oxford. Tak
pernah Strike melihat apa pun yang begitu cantik sepanjang hidup?
nya?dan itu pula yang dirasakan semua yang hadir, kalau menilai
dari lirikan para lelaki, tawa dan obrolan yang terlalu keras, serta ba?
hasa tubuh berlebihan yang ditujukan ke arah sosok Charlotte yang
diam.
Sambil menatap dari seberang ruangan, Strike yang berumur sem?
bilan belas tahun itu dihinggapi dorongan yang sama dengan yang di?
rasakannya pada masa kecil setiap kali salju turun semalaman di ta?
man Bibi Joan dan Paman Ted. Dia ingin jejak-jejak kakinyalah yang
pertama kali menciptakan lubang-lubang dalam dan gelap di per?
mukaan yang halus dan menggoda itu dia ingin mengganggu dan
mengusiknya.
"Kau mabuk," temannya memperingatkan, ketika Strike meng?
umumkan niatnya untuk menghampiri gadis itu dan berbicara de?
ngannya.
Strike tidak membantah. Dia menenggak habis sisa bir ketujuhnya,
lalu melangkah dengan penuh tekad ke langkan jendela tempat gadis
itu duduk. Samar-samar dia menyadari orang-orang di sekitarnya me?
nonton, mungkin siap menertawakannya, karena dia bertubuh besar,
berperawakan seperti Beethoven yang suka tinju, dan ada noda saus
kari di bagian depan kausnya.
Charlotte mendongak ketika Strike sampai di dekatnya, dengan
matanya yang lebar, rambut gelap yang panjang, serta belahan dada
pucat dan lembut yang terlihat dari kemejanya yang menganga.
Selama masa kecilnya yang sungguh tak biasa dan nomaden, Strike
selalu dicabut dan dicangkokkan ke berbagai macam kelompok anak,
sehingga dirinya memiliki keterampilan sosial yang maju; dia tahu
cara berbaur, membuat orang lain tertawa, membuat dirinya diterima
oleh hampir siapa saja. Malam itu, lidahnya kebas dan kelu. Dia ingat
tubuhnya agak terhuyung.
"Kau mau sesuatu?" tanya Charlotte.
"Yeah," jawab Strike. Dia menarik kausnya dan menunjukkan noda
saus kari itu. "Menurutmu, bagaimana cara terbaik untuk membersih?
kan ini?"
Dekut Burung Kukuk
Melawan kehendak hatinya (Strike dapat melihat dia berusaha me?
nahan diri), Charlotte terkikik.
Beberapa waktu kemudian, seorang titisan Adonis bernama The
Honourable Jago Ross, yang dikenal Strike hanya dari sosok dan
reputasinya, masuk ke ruangan bersama serombongan temannya yang
juga berasal dari keluarga ningrat. Pemuda itu menemukan Strike dan
Charlotte duduk berdampingan di langkan jendela, asyik mengobrol.
"Kau berada di ruangan yang salah, Char sayang," kata Ross, me?
mamerkan haknya dengan nada membujuk yang arogan. "Pesta
Ritchie ada di atas."
"Aku tidak mau ikut," ucap Charlotte, memalingkan wajahnya yang
tersenyum kepada Ross. "Aku harus pergi untuk membantu Cormoran
merendam kausnya."
Dengan demikian, di depan publik Charlotte telah mendepak
pacarnya yang lulusan Harrow demi Cormoran Strike. Itu adalah mo?
men kemenangan paling hebat selama sembilan belas tahun hidup
Strike di depan khalayak, dia memboyong Helen dari Troya tepat di
bawah hidung Menelaus, dan dalam kegembiraan dan keheranannya
sendiri, dia tidak mempertanyakan keajaiban itu, tapi hanya me?
nerimanya.
Sesudah itu barulah dia menyadari, kejadian yang terlihat seperti
kebetulan atau takdir itu sebenarnya telah sengaja dirancang oleh
Charlotte. Charlotte mengakuinya beberapa bulan kemudian bahwa
dia, untuk menghukum Ross atas suatu kesalahan, sengaja masuk ke
ruangan yang keliru, lalu menunggu seorang laki-laki, siapa saja, untuk
mendekati dia; bahwa dia, Strike, hanyalah alat untuk menyiksa Ross;
bahwa Charlotte tidur dengan Strike pada dini hari itu dengan se?
mangatarah dan pembalasan dendam yang keliru disangka Strike
sebagai gairah.
Di sana, pada malam pertama itu, dimulailah segala sesuatu yang
kemudian memisahkan mereka dan selalu menarik mereka kembali
kecenderungan Charlotte merusak diri, kesembronoannya, tekadnya
untuk menyakiti; ketertarikannya yang enggan tapi murni terhadap
Strike, dan tempatnya berlindung dari dunia tertutup tempat dia tum?
buh, yang menerapkan prinsip-prinsip yang dibenci sekaligus dilakoni?
nya. Dengan itu, dimulailah hubungan yang pada akhirnya membawa
Robert Galbraith
Strike berbaring di sini, di ranjang lipatnya, lima belas tahun kemu?
dian, didera lebih dari sekadar rasa sakit fisik, dan berharap dirinya
dapat mengempaskan kenangan tentang Charlotte.
Pada saat Robin tiba keesokan paginya, untuk kedua kalinya dia me?
nemukan pintu kaca itu terkunci. Dia masuk dengan kunci cadangan
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang kini telah dipercayakan Strike kepadanya, lalu mendekati pintu
ruang dalam dan berdiri diam, memasang telinga. Setelah beberapa
detik, dia mendengar suara pelan yang tak pelak lagi adalah dengkur
orang yang sedang tertidur nyenyak.
Keadaan ini menyajikan perkara yang rumit kepadanya, karena ke?
sepakatan tak tertulis mereka untuk tidak menyebut-nyebut soal ran?
jang lipat, atau tanda-tanda hunian apa pun yang ada di tempat ini. Di
pihak lain, Robin harus mengutarakan sesuatu yang mendesak kepada
atasan sementaranya. Dia ragu-ragu, mempertimbangkan pilihanpilihannya. Jalan termudah adalah berusaha membangunkan Strike
dengan membuat suara berisik di ruang luar, tapi itu akan makan
waktu terlalu lama, padahal beritanya tidak dapat menunggu. Karena
itu, Robin menghela napas dalam-dalam dan mengetuk pintu.
Strike langsung terjaga. Selama satu detik dia berbaring dalam dis?
orientasi, melihat cahaya siang hari yang menegurnya dari balik jen?
dela. Kemudian dia ingat meletakkan kembali ponselnya setelah mem?
baca pesan dari Charlotte, dan seketika menyadari dia telah lupa
memasang alarm.
"Jangan masuk!" serunya.
"Mau minum teh?" tanya Robin dari balik pintu.
"Yeah?yeah, aku mau. Nanti aku keluar," tambah Strike keras-ke?
Robert Galbraith
ras, untuk pertama kalinya berharap dia telah memasang selot pada
pintu ruang dalam. Kaki palsunya berdiri bersandar pada dinding, dan
dia hanya mengenakan celana dalam bokser.
Robin segera berlalu dan mengisi ketel, sementara Strike berjuang
membebaskan diri dari kantong tidur. Dia berpakaian dengan cepat,
memasang kaki palsu dengan serampangan, melipat ranjang, mendo?
rong meja kembali ke tempatnya. Sepuluh menit setelah Robin me?
ngetuk pintu, dia terpincang-pincang keluar dari ruangan dengan bau
deodoran menguar tajam. Dia mendapati Robin duduk di mejanya,
tampak bersemangat mengenai sesuatu.
"Tehnya," kata Robin, menunjuk cangkir yang mengepul.
"Terima kasih. Tunggu sebentar," katanya, lalu keluar untuk ken?
cing di kamar mandi di luar pintu kantor. Sambil menutup ritsleting,
dia menangkap bayangan wajahnya di cermin, tampak berantakan dan
tak bercukur. Untuk kesekian kalinya, dia menghibur diri bahwa ram?
butnya tampak sama saja dalam keadaan disisir maupun tidak.
"Aku punya kabar," kata Robin, ketika Strike masuk kembali me?
lalui pintu kaca dan mengulang ucapan terima kasihnya sambil meng?
ambil cangkir teh itu.
"Ya?"
"Aku berhasil menemukan Rochelle Onifade."
Strike menurunkan cangkirnya.
"Yang benar. Bagaimana...?"
"Di berkas aku melihat dia menjadi pasien rawat jalan di St.
Thomas," kata Robin penuh semangat, wajahnya merona dan bicara?
nya cepat, "jadi aku menelepon rumah sakit tadi malam, pura-pura
menjadi dia, dan aku bilang aku lupa jam berapa harus datang. Me?
reka memberitahuku, Kamis pagi pukul setengah sebelas. Masih ada
waktu," dia melirik monitor komputer, "lima puluh lima menit."
Mengapa tak pernah terpikir olehnya untuk menyuruh Robin me?
lakukan ini?
"Kau genius, kau benar-benar genius..."
Tehnya tumpah ke tangan, dia meletakkan cangkir di meja Robin.
"Kau tahu di mana tepatnya...?"
"Unit psikiatri di belakang bangunan utama," jawab Robin antu?
sias. "Jadi, masuk dari Grantley Road, di sana ada area parkir kedua..."
Dekut Burung Kukuk
Dia memutar monitor menghadap Strike untuk menunjukkan peta
St. Thomas. Strike melirik pergelangan tangannya, tapi jam tangannya
masih di dalam.
"Masih bisa terkejar kalau berangkat sekarang," Robin mendesak?
nya.
"Ya?kuambil barang-barangku dulu."
Strike segera mengambil jam tangan, dompet, rokok, dan ponsel?
nya. Dia sudah hampir mencapai pintu sambil menjejalkan dompet di
saku belakang, ketika Robin berkata
"Eh?Cormoran..."
Sebelum ini Robin tidak pernah menyebut nama kecilnya. Strike
menduga karena itulah wajah Robin sedikit memerah?tapi lalu dia
menyadari Robin menunjuk perutnya. Ketika menunduk, Strike meli?
hat dia telah mengancingkan kemejanya dengan keliru, sehingga mem?
perlihatkan sepetak perut yang begitu berbulu sampai-sampai mirip
sabut kelapa.
"Oh?iya?trims..."
Robin mengalihkan pandangan dengan sopan ke arah monitor se?
mentara Strike melepas kancing dan menyematkannya kembali de?
ngan benar.
"Sampai nanti."
"Ya. Dah," kata Robin sambil tersenyum ketika Strike melesat per?
gi. Sesaat kemudian Strike kembali, napasnya tersengal.
"Robin, aku ingin kau mengecek sesuatu."
Robin sudah siap dengan bolpoinnya, menunggu.
"Ada konferensi hukum di Oxford pada tanggal 7 Januari. Paman
Lula Landry, Tony, menghadirinya. Hukum keluarga internasional.
Apa pun yang bisa kaudapatkan. Terutama tentang keberadaannya di
sana."
"Baik," kata Robin sambil mencatat.
"Trims. Kau benar-benar genius."
Kemudian dia pergi, dengan langkah-langkah tak seimbang, menu?
runi tangga besi.
Robin bersenandung sendiri sambil menyiapkan diri di mejanya,
tapi kegembiraannya sedikit surut sementara dia menghirup teh. Dia
Robert Galbraith
sedikit berharap Strike akan mengajaknya menemui Rochelle Onifade,
yang bayang-bayangnya telah dia buru selama dua minggu ini.
Jam padat sudah berlalu, kerumunan di Tube pun menipis. Strike
senang mendapatkan tempat duduk, karena tunggul tungkainya masih
nyeri. Tadi dia sempat membeli sebungkus Extra Strong Mints di kios
stasiun sebelum naik kereta, dan sekarang mengemut empat sekaligus,
untuk menutupi kenyataan bahwa dia belum sempat membersihkan
gigi. Pasta dan sikat giginya tersimpan di dalam tas bepergian, walau?
pun lebih praktis bila dia tinggalkan saja di wastafel gompal di kamar
mandi. Sambil menatap bayangannya lagi di kaca jendela kereta yang
gelap, jenggot yang tak dicukur dan penampilan keseluruhan yang tak
terawat, dia bertanya pada diri sendiri mengapa harus mempertahan?
kan ilusi bahwa dia memiliki tempat tinggal lain, padahal tak perlu di?
ragukan lagi bahwa Robin tahu dia tidur di kantor.
Ingatan dan penguasaan peta Strike lebih dari cukup untuk me?
nemukan pintu masuk unit psikiatri Rumah Sakit St. Thomas, dan
dia tiba di sana tanpa halangan pada pukul sepuluh lewat sedikit. Se?
lama lima menit dia memastikan pintu otomatis itu satu-satunya
pintu masuk di Grantley Road, lalu mengambil posisi di dekat din?
ding batu di area parkir, sekitar dua puluh meter dari pintu gedung,
sehingga dia dapat melihat siapa pun yang keluar-masuk.
Tahu bahwa gadis yang dia cari kemungkinan tak punya rumah
dan berkulit hitam, selama di kereta dia telah memikirkan masak-ma?
sak strategi untuk menemukan gadis itu, dan menyimpulkan hanya
ada satu pilihan yang bisa dilakukan. Karena itu, pada pukul 10.20,
ketika dia melihat seorang gadis kulit hitam tinggi-kurus berjalan
cepat menuju pintu masuk, dia memanggil (meskipun gadis itu pe?
nampilannya terlalu bersih, terlalu rapi)
"Rochelle!"
Gadis itu menengok untuk melihat siapa yang berseru, tapi terus
berjalan tanpa menunjukkan tanda-tanda dia mengenali nama itu, dan
masuk ke gedung. Berikutnya datang pasangan berkulit putih; lalu se?
kelompok orang dari berbagai ras dan umur, yang menurut perkiraan
Strike adalah pekerja rumah sakit, tapi demiannya dia berseru lagi
Dekut Burung Kukuk
"Rochelle!"
Beberapa dari mereka menoleh, tapi langsung kembali mengobrol
dengan sesamanya. Setelah menghibur diri bahwa yang sering keluarmasuk pintu itu cukup terbiasa dengan sifat eksentrik orang-orang
yang mereka temui di sini, Strike menyulut rokok dan menunggu.
Pukul 10.30 datang dan pergi, tapi tidak ada gadis kulit hitam
yang melewati pintu itu. Barangkali Rochelle tidak datang, atau dia
menggunakan pintu lain. Angin bertiup sehalus bulu, menggelitik
tengkuknya sementara dia merokok, mengamati, menunggu. Gedung
rumah sakit itu sangat besar, kubus beton dengan jendela-jendela per?
segi empat?pasti ada banyak pintu masuk di tiap sisinya.
Strike meluruskan tungkainya yang terluka, yang masih sakit, lalu
kembali mempertimbangkan kemungkinan untuk menemui dokter.
Berada dekat dengan rumah sakit saja telah membuatnya agak ter?
tekan. Perutnya menggemuruh. Dalam perjalanan kemari tadi dia me?
lewati warung McDonald?s. Kalau sampai tengah hari Rochelle tidak
muncul, dia akan makan di sana.
Dua kali dia menyerukan "Rochelle!" pada wanita berkulit hitam
yang masuk dan keluar gedung. Kedua wanita itu menoleh, hanya un?
tuk melihat siapa yang berteriak, dan salah satunya menghadiahinya
tatapan muak.
Kemudian, tak lama selepas pukul sebelas, seorang gadis kulit hi?
tam bertubuh pendek gempal keluar dari rumah sakit dengan langkah
kikuk yang berayun ke kiri-kanan. Strike yakin benar dia belum me?
lihat gadis itu masuk, bukan hanya karena cara berjalannya yang ber?
beda, tapi karena gadis itu mengenakan mantel pendek berwarna me?
rah jambu manyala dari bulu tiruan, yang sama sekali tidak cocok
untuk tinggi maupun lebar badannya.
"Rochelle!"
Gadis itu berhenti, berpaling, dan melihat berkeliling dengan muka
cemberut, mencari orang yang telah memanggil namanya. Strike ber?
jalan timpang menghampirinya, dan gadis itu memelototinya dengan
tatapan curiga yang sudah sewajarnya.
"Rochelle? Rochelle Onifade? Hai. Namaku Cormoran Strike. Bisa
bicara sebentar?"
"Biasanya aku masuk dari Redbourne Street," Rochelle memberi?
Robert Galbraith
tahu Strike lima menit kemudian, setelah Strike mengarang cerita ten?
tang bagaimana dia bisa menemukan gadis itu. "Aku keluar lewat sini
karena mau ke McDonald?s."
Jadi, ke sanalah mereka pergi. Strike membeli dua kopi dan dua
biskuit besar, lalu membawanya ke meja dekat jendela tempat
Rochelle menunggu dengan curiga sekaligus penasaran.
Gadis ini sangat biasa. Kulitnya yang berminyak dan sewarna ta?
nah gosong penuh jerawat dan bintil, matanya kecil dan dalam, gigigiginya kuning dan tak rapi. Rambutnya yang diluruskan dengan ba?
han kimia memperlihatkan akarnya yang hitam sepanjang sepuluh
senti, lalu lima belas senti berikutnya berwarna merah tembaga yang
kasar. Jinsnya ketat dan terlalu pendek, tas kelabunya mengilap dan
sepatu putihnya tampak murahan. Namun, walau jaket bulu tiruan
yang berwarna mencolok itu tampak tidak menarik di mata Strike,
kualitasnya sungguh berbeda lapisan dalamnya tampak bagus ketika
Rochelle menanggalkannya, dari sutra bermotif, dengan label
desainer?bukan Guy Som? (seperti yang dia harapkan, teringat email
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lula Landry kepada perancang itu) melainkan nama Italia yang belum
pernah didengarnya.
"Kau benar-benar bukan jurnalis?" tanya Rochelle dengan suara
rendah yang parau.
Selama berada di luar rumah sakit tadi Strike telah menyusun
penjelasan identitas yang cukup meyakinkan.
"Tidak, aku bukan jurnalis. Seperti yang telah kukatakan, aku ke?
nal kakak Lula."
"Kau temannya?"
"Ya. Well, bukan teman sih, sebenarnya. Dia menyewa jasaku. Aku
detektif partikelir."
Seketika, Rochelle tampak benar-benar ketakutan.
"Kenapa kau mau bicara denganku?"
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan..."
"Tapi kenapa kau mau bicara denganku?"
"Tidak ada apa-apa kok. John tidak percaya Lula telah bunuh diri,
itu saja."
Strike menduga, satu-satunya alasan Rochelle tidak beranjak dari
tempat duduknya adalah karena dia takut Strike akan menyusun
Dekut Burung Kukuk
dugaan tertentu atas kepergiannya yang tiba-tiba. Ketakutannya itu
sungguh berlebihan dibandingkan dengan kata-kata dan sikap yang
ditunjukkan Strike.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," Strike meyakinkannya lagi.
"John ingin aku memeriksa lagi situasinya, hanya itu?"
"Dia bilang, aku ada hubungan dengan kematiannya?"
"Tidak, tentu saja tidak begitu. Aku hanya berharap kau bisa ber?
cerita padaku tentang kondisi mentalnya saat itu, apa yang terjadi se?
belum kematiannya. Kau sering bertemu dengannya, bukan? Kau
mungkin bisa bercerita padaku apa yang terjadi dalam hidupnya ke?
tika itu."
Rochelle seperti hendak mengutarakan sesuatu, lalu berubah pi?
kiran dan berusaha minum kopinya yang masih mendidih.
"Jadi gimana?kakaknya mau membuktikan dia nggak bunuh diri?
Maksudnya, dia didorong dari jendela, gitu?"
"Menurutnya, itu mungkin saja."
Rochelle seperti sedang berusaha memahami sesuatu, mencoba
menguliknya di dalam benaknya.
"Aku nggak perlu bicara denganmu. Kau bukan polisi sungguhan."
"Memang benar. Tapi, masa sih kau tidak mau membantu mencari
tahu apa?"
"Dia lompat," Rochelle Onifade berkata dengan tandas.
"Apa yang membuatmu sangat yakin?" tanya Strike.
"Pokoknya aku tahu."
"Sepertinya kejadian itu sangat mengejutkan bagi semua orang
yang mengenal dia."
"Dia depresi. Yeah, dia minum obat untuk itu. Seperti aku. Ka?
dang-kadang obat itu menang. It?s an illness," kata Rochelle, walaupun
kata-katanya terdengar seperti "it?s a nillness".
Nillness, ketiadaan, pikir Strike, perhatiannya teralih sejenak. Dia
sadar dia kurang tidur. Nillness. Ketiadaan. Ke sanalah Landry telah
pergi. Ke sanalah mereka semua, termasuk dia dan Rochelle, akan me?
nuju. Kadang kala illness berangsur-angsur berubah menjadi nillness,
seperti yang terjadi pada ibu Bristow... kadang kala nillness bangkit
dan mencegatmu tiba-tiba, seperti trotoar beton yang membentur
tempurung kepalamu hingga pecah.
Robert Galbraith
Kalau dia mengeluarkan notes, Strike yakin Rochelle akan me?
nutup mulut, atau bahkan langsung angkat kaki. Karena itu dia terus
mengajukan pertanyaan seringan mungkin, tentang bagaimana mula?
nya Rochelle datang ke klinik, bagaimana pertama kali dia bertemu
dengan Lula.
Sarat kecurigaan, awalnya Rochelle hanya menjawab pendek-pen?
dek, tapi lama-kelamaan, perlahan-lahan, dia menjadi lebih terbuka.
Sejarah hidupnya sendiri sungguh mengibakan. Pelecehan pada usia
dini, dinas sosial, penyakit kejiwaan yang berat, rumah penitipan, dan
tindak kekerasan yang memuncak pada kondisi tunawisma pada usia
enam belas. Dia pernah ditabrak mobil, dan sebagai akibat tak lang?
sung berhasil mendapatkan perawatan kesehatan yang baik. Ketika
berada di rumah sakit, perilakunya yang ganjil membuat luka-luka
fisiknya sulit dirawat, sehingga akhirnya dipanggillah seorang psikiater.
Kini dia dalam perawatan obat-obatan, dan bila obatnya diminum de?
ngan benar, gejala-gejalanya sangat berkurang. Betapa menyedihkan,
sekaligus mengharukan, pikir Strike, bahwa klinik rawat jalan tempat
Rochelle bertemu dengan Lula Landry itu sepertinya telah menjadi
acara yang dinantikannya tiap minggu. Dengan nada hangat Rochelle
juga bercerita tentang psikiater muda yang mengelola kelompok itu.
"Jadi di sanalah kau dulu bertemu Lula?"
"Kakaknya nggak pernah bilang?"
"Tidak secara mendetail."
"Ya, dia masuk kelompok kami. Dia ditempatkan."
"Dan kalian jadi sering mengobrol?"
"Yeah."
"Kalian jadi berteman?"
"Yeah."
"Kau datang ke rumahnya? Berenang di kolam?"
"Memangnya nggak boleh?"
"Bukan begitu. Aku cuma tanya."
Dia melunak sedikit.
"Aku nggak suka berenang. Nggak suka mukaku tenggelam di air.
Aku berendam di jacuzzi. Dan kami suka belanja dan sebagainya."
"Dia pernah bercerita tentang tetangga-tetangganya, orang-orang
yang ada di gedungnya?"
Dekut Burung Kukuk
"Bestigui itu? Dikit. Dia nggak suka mereka. Yang cewek jalang,"
kata Rochelle, mendadak keji.
"Kenapa kau bilang begitu?"
"Kau pernah ketemu dia? Dia melihatku seperti aku ini kotoran."
"Apa pendapat Lula tentang dia?"
"Nggak suka. Juga suaminya. Suaminya itu mengerikan."
"Mengerikan bagaimana?"
"Pokoknya gitu deh," ujar Rochelle tak sabar, tapi karena Strike tak
juga berkata apa-apa, dia melanjutkan. "Selalu berusaha mengajaknya
ke bawah kalau istrinya sedang keluar."
"Lula pernah mau turun?"
"Nggak bakalan," timpal Rochelle.
"Kau dan Lula sering sekali mengobrol, ya?"
"Yeah, awalny? Yeah, benar."
Rochelle memandang ke luar jendela. Hujan yang tiba-tiba turun
menjebak para pejalan kaki yang tak waspada. Butir-butir transparan
berbentuk elips menghujani jendela kaca di samping mereka.
"Awalnya?" tanya Strike. "Semakin lama kalian semakin jarang
mengobrol?"
"Aku harus pergi sebentar lagi," kata Rochelle dengan sok agung.
"Banyak yang harus dilakukan."
"Orang seperti Lula," ujar Strike, mencoba dengan hati-hati, "bisa
jadi sangat manja. Memperlakukan orang lain dengan buruk. Mereka
terbiasa dituruti?"
"Aku bukan pembantu ya," bantah Rochelle sengit.
"Mungkin karena itu dia menyukaimu? Mungkin dia melihatmu
sebagai orang yang setara?bukan yang suka nebeng?"
"Yeah, bener banget," sahut Rochelle, kemarahannya mereda. "Aku
tidak terkesan dengannya."
"Kau mengerti kenapa dia ingin kau jadi temannya, orang yang le?
bih membumi..."
"Yeah."
"...dan penyakit kalian sama, bukan? Jadi kau lebih bisa memahami?
nya ketimbang orang-orang lain."
"Dan aku hitam," ujar Rochelle, "dan dia ingin merasa benar-benar
hitam."
Robert Galbraith
"Dia membicarakan hal itu denganmu?"
"Yeah, pastinya," sahut Rochelle. "Dia mau tahu dari mana asalnya,
di mana tempatnya."
"Dia bercerita padamu dia berusaha mencari pihak keluarganya
yang berkulit hitam?"
"Yeah, pastinya. Dan dia... yeah."
Rochelle menginjak rem begitu tiba-tiba, sehingga nyaris kasat?
mata.
"Dia pernah menemukan siapa pun? Ayahnya?"
"Nggak. Nggak pernah menemukan dia. Nggak mungkin."
"Oh ya?"
"Oh, ya."
Rochelle mulai makan dengan cepat. Strike khawatir dia akan per?
gi begitu makanannya habis.
"Apakah Lula sedang depresi ketika kau menemui dia di Vashti, se?
belum dia meninggal?"
"Yeah, banget."
"Dia bilang padamu apa sebabnya?"
"Nggak harus ada sebabnya. It?s a nillness."
"Tapi dia memberitahumu dia sedang murung, kan?"
"Yeah," dia menjawab setelah ragu-ragu sejenak.
"Seharusnya kalian makan siang bersama, bukan?" tanya Strike.
"Kieran memberitahuku dia mengantar Lula untuk menemuimu. Kau
kenal Kieran, kan? Kieran Kolovas-Jones?"
Raut wajahnya melembut, sudut-sudut bibirnya terangkat.
"Yeah, aku kenal Kieran. Yeah, dia memang mau menemuiku di
Vashti."
"Tapi tidak jadi makan siang?"
"Tidak. Dia lagi buru-buru," kata Rochelle.
Dia menunduk untuk menyesap kopi lagi, menutupi wajahnya.
"Mengapa dia tidak meneleponmu saja? Kau punya ponsel, kan?"
"Punyalah," jawabnya dengan ketus dan gusar, lalu dari saku mantel
bulunya dia mengeluarkan ponsel Nokia model standar yang di?
tempeli butir-butir kristal warna pink norak.
"Menurutmu, kenapa dia tidak menelepon saja untuk mengabari
dia tidak dapat menemuimu?"
Dekut Burung Kukuk
Rochelle memelototinya.
"Karena dia nggak suka pakai telepon, karena mereka suka ngu?
ping."
"Jurnalis?"
Rochelle hampir menghabiskan biskuitnya.
"Jurnalis tidak akan terlalu peduli kalau dia berkata tidak bisa da?
tang ke Vashti, kan?"
"Nggak tahu."
"Waktu itu kau tidak menganggap ada yang aneh, karena dia da?
tang jauh-jauh untuk memberitahu bahwa dia tidak bisa makan
siang?"
"Yeah. Nggak juga," kata Rochelle. Lalu, mendadak cara bicaranya
lancar sekali. "Kalau kau punya sopir, nggak masalah, kan? Kau bisa
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pergi ke mana saja kau mau, nggak jadi lebih mahal juga, tinggal su?
ruh antar ke sana, ke sini, ya kan? Dia kebetulan lewat, jadi dia mam?
pir dan bilang tidak bisa lama-lama karena dia mau ketemu si Ciara
Porter sialan itu."
Rochelle sepertinya langsung menyesali penggunaan kata "sialan"
yang seperti mengkhianatinya itu, lalu bibirnya mengerucut seolaholah untuk memastikan tidak ada lagi kata umpatan yang terlontar.
"Cuma itu yang dia lakukan? Dia mampir ke toko, berkata, ?Aku ti?
dak bisa lama-lama, aku harus pulang dan menemui Ciara?, lalu pergi
begitu saja?"
"Yeah, kurang-lebih gitu," ujar Rochelle.
"Kieran bilang, biasanya kau diantar pulang setelah ketemuan."
"Yeah," ucap Rochelle. "Dia sibuk banget hari itu."
Rochelle gagal menutupi kejengkelannya.
"Ceritakan padaku apa saja yang terjadi di toko itu. Apakah kalian
mencoba-coba baju?"
"Yeah," jawab Rochelle setelah jeda sesaat. "Dia." Ragu-ragu lagi.
"Gaun panjang Alexander McQueen. Orang itu bunuh diri, kan," tam?
bahnya dengan suara pelan.
"Kau masuk ke ruang ganti bersamanya?"
"Yeah."
"Apa yang terjadi di dalam ruang ganti?" Strike menyemangatinya.
Mata Rochelle mengingatkan Strike pada seekor banteng yang
Robert Galbraith
pada masa kecilnya pernah berdiri berhadapan dengannya kedua
mata itu berjarak dekat, seolah-olah tenang, tak terselami.
"Dia coba gaun itu," sahut Rochelle.
"Dia tidak melakukan yang lain lagi? Tidak menelepon seseorang?"
"Tidak. Eh, yah. Mungkin juga."
"Kau ingat dia menelepon siapa?"
"Nggak."
Rochelle meneguk minumannya, menutupi wajahnya lagi dengan
cangkir kertas.
"Evan Duffield?"
"Bisa jadi."
"Kau ingat apa yang dia katakan?"
"Nggak."
"Salah seorang asisten di toko itu mendengar suaranya, mengata?
kan dia sedang menelepon. Sepertinya Lula membuat janji untuk me?
nemui seseorang di flatnya larut malam. Lewat tengah malam, me?
nurut gadis itu."
"Oh ya?"
"Jadi mestinya itu bukan Duffiled, kan, karena Lula akan bertemu
dengannya di Uzi?"
"Kau tahu banyak, ya?" katanya.
"Semua orang tahu mereka bertemu di Uzi malam itu," Strike
menjelaskan. "Ada di semua surat kabar."
Manik mata Rochelle yang membesar dan mengecil nyaris tidak
terlihat karena bola matanya yang juga hampir hitam.
"Yeah, benar juga," dia mengakui.
"Apakah itu Deeby Macc?"
"Bukan!" Dia membantah sambil terbahak. "Dia nggak tahu no?
mornya."
"Orang-orang terkenal bisa saja mendapatkan nomor telepon satu
sama lain," kata Strike.
Raut wajah Rochelle seperti tertutup awan. Dia melirik layar yang
gelap di ponselnya yang berwarna pink norak.
"Rasanya Lula tidak punya nomornya," kata Rochelle.
"Tapi kau mendengar dia mengatur janji temu dini hari itu dengan
seseorang?"
Dekut Burung Kukuk
"Nggak," jawab Rochelle, menghindari tatapan Strike, memutarmutar sisa kopi di cangkir kertasnya. "Aku nggak ingat yang kayak
gitu."
"Kau mengerti arti pentingnya hal ini?" tanya Strike, hati-hati men?
jaga suaranya agar tidak terdengar mengancam. "Kalau Lula membuat
janji temu dengan seseorang pada saat dia meninggal? Polisi tidak per?
nah tahu soal ini, bukan? Kau tidak pernah memberitahu mereka?"
"Pergi dulu ya," katanya sambil melempar remah biskuitnya, lalu
menyambar tali tas murahannya dan melotot pada Strike.
Strike berkata
"Sudah hampir makan siang. Mau kubelikan makan siang lagi?"
"Nggak."
Tapi Rochelle bergeming di tempatnya. Strike bertanya-tanya se?
miskin apa gadis ini, apakah dia makan dengan teratur. Ada sesuatu di
balik sikap pemarah itu yang menyentuh hati Strike martabat diri
yang kuat, kerapuhan.
"Yeah, oke deh," kata gadis itu, lalu menjatuhkan tasnya dan kem?
bali mengenyakkan diri di kursi yang keras. "Aku mau Big Mac."
Strike khawatir Rochelle akan kabur sementara dia membeli ma?
kanan di konter, tapi ketika dia kembali dengan dua nampan, gadis itu
masih di sana?bahkan mengucapkan terima kasih dengan suara
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Pedang Kunang Kunang Karya S D Liong
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama