Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith Bagian 6
menggerutu.
Strike mencoba taktik lain.
"Kau kenal Kieran cukup baik, ya?" dia bertanya, berusaha mem?
buru binar yang sempat menerangi wajah Rochelle ketika nama itu di?
sebut.
"Yeah," jawab Rochelle salah tingkah. "Aku sering ketemu dia kalau
sama Lula. Selalu dia yang menyetir."
"Kieran bilang, Lula menulis sesuatu di mobil, sebelum sampai di
Vashti. Apakah dia menunjukkannya padamu, atau memberikannya
padamu?"
"Nggak tuh," kata Rochelle. Dia menjejalkan kentang goreng ke
mulut, lalu melanjutkan, "Aku nggak lihat yang kayak gitu. Kenapa,
apa itu?"
"Aku tidak tahu."
"Mungkin daftar belanja atau apa?"
Robert Galbraith
"Yeah, polisi juga berpendapat begitu. Kau yakin tidak melihat dia
membawa secarik kertas, surat, atauplop?"
"Yakin banget. Kieran tahu kau menemuiku?" tanya Rochelle.
"Ya, aku memberitahu dia, kau ada dalam daftarku. Dia mem?
beritahuku kau dulu tinggal di St. Elmo."
Sepertinya ucapan itu membuatnya senang.
"Kau tinggal di mana sekarang?"
"Memangnya kenapa?" tanya Rochelle, mendadak galak.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya berbasa-basi."
Jawaban itu memicu dengus geli dari Rochelle.
"Aku tinggal di Hammersmith sekarang."
Dia mengunyah selama beberapa saat, lalu, untuk pertama kalinya,
memberikan informasi tanpa diminta.
"Kami sering mendengarkan Deeby Macc di mobilnya. Aku,
Kieran, dan Lula."
Lalu dia mulai nge-rap
No hydroquinone, black to the backbone,
Takin? Deeby lightly, better buy an early tombstone,
I?m drivin? my Ferrari?fuck Johari?got my head on straight
Nothin? talks like money talks?I?m shoutin? at ya, Mister Jake.
Dia tampak bangga, seakan-akan telah mendudukkan Strike pada
tempatnya, tanpa bisa membantah.
"Itu dari Hydroquinone," katanya. "Di album ?Jake On My Jack?."
"Hydroquinone itu apa?" tanya Strike.
"Pemutih kulit. Kami sering nge-rap dengan jendela mobil di?
turunkan," Rochelle bercerita. Senyum nostalgia yang hangat mem?
buat wajahnya bersinar, menyibakkan kesan biasa pada wajahnya.
"Kalau begitu, Lula ingin bertemu dengan Deeby Macc, ya?"
"Yeah, memang," kata Rochelle. "Dia tahu Deeby suka padanya,
dan dia senang. Kieran juga girang banget, dia minta Lula mengenal?
kan mereka. Dia juga ingin ketemu Deeby."
Senyumnya sirna. Dia memainkan burgernya dengan tampang mu?
rung, lalu berkata
"Cuma itu yang kau mau tahu? Aku harus pergi."
Dekut Burung Kukuk
Rochelle mulai melahap sisa makanannya, menjejalkan burger ke
mulutnya.
"Lula pasti sering mengajakmu pergi ke mana-mana, ya?"
"Yeah," sahutnya dengan mulut penuh makanan.
"Kau pernah pergi ke Uzi dengannya?"
"Pernah. Sekali."
Dia menelan makanannya, lalu mulai bicara tentang tempat-tempat
lain yang pernah dikunjungi pada masa awal persahabatannya dengan
Lula. Kendati Rochelle berusaha keras menghalau kesan bahwa dia
terkagum-kagum dengan gaya hidup seorang wanita multijutawan, te?
tap saja ceritanya terdengar bak kisah dongeng. Lula telah menyeret
Rochelle dari dunia suram kehidupan di hostel dan kelompok terapi,
lalu membawanya, seminggu sekali, menuju pusaran dunia mewah
yang menyenangkan. Strike memperhatikan, sedikit sekali yang di?
ceritakan Rochelle tentang Lula sebagai pribadi, bukan Lula si peme?
gang kartu plastik ajaib yang telah membeli tas, jaket, perhiasan, serta
berbagai kebutuhan dasar seperti Kieran yang muncul secara berkala,
bagaikan jin baik hati, untuk menjemput Rochelle dari hostelnya. De?
ngan gembira dia menggambarkan secara mendetail hadiah-hadiah
yang dibelikan Lula untuknya, toko-toko tempat Lula membawanya,
restoran dan bar tempat mereka pergi bersama, tempat-tempat yang
didatangi selebriti. Namun, sepertinya Rochelle tidak terkesan sama
sekali dengan mereka?setiap nama yang disebutnya diiringi komen?
tar merendahkan.
"Dia bajingan." "Cewek plastik semuanya." "Mereka nggak ada
hebat-hebatnya."
"Kau pernah bertemu dengan Evan Duffield?" tanya Strike.
"Dia." Sepatah kata itu sarat rasa muak. "Cowok goblok."
"Oh ya?"
"Ya. Tanya saja Kieran."
Rochelle memberi kesan dia dan Kieran berdiri di pihak yang
sama, waras, bagaikan pengamat tak berkepentingan yang menyaksi?
kan tingkah polah orang-orang dungu yang memenuhi dunia Lula.
"Gobloknya bagaimana?"
"Dia memperlakukan Lula seperti tahi."
"Misalnya bagaimana?"
Robert Galbraith
"Jual cerita," sahut Rochelle sambil mencomot kentang gorengnya
yang terakhir. "Lula pernah mengetes semua orang. Kami diberi cerita
yang beda-beda untuk melihat cerita mana yang sampai di koran.
Cuma aku yang tutup mulut, yang lain bocor semua."
"Siapa saja yang dites?"
"Ciara Porter. Dia, Duffield. Si Guy Summy itu," Rochelle meng?
ucapkan nama Guy seperti "hai", "tapi menurut Lula, bukan dia. Bikin
alasan buat dia. Tapi dia memanfaatkan Lula seperti yang lain-lain."
"Caranya bagaimana?"
"Dia nggak ingin Lula kerja untuk orang lain. Cuma ingin Lula
kerja di perusahaannya, jadi dia yang dapat semua publisitasnya."
"Jadi, setelah Lula mendapati dia bisa memercayaimu..."
"Yeah, lalu dia belikan aku telepon."
Ada jeda sekejap.
"Jadi dia bisa kontak aku kapan pun dia mau."
Sekonyong-konyong dia menyambar Nokia pink gemerlapan itu
dari meja dan menyusupkannya dalam-dalam di saku mantelnya yang
tebal.
"Kurasa kau harus membayar sendiri tagihannya sekarang, ya?" ta?
nya Strike.
Strike menduga Rochelle akan membentaknya dengan perintah
untuk mengurusi urusannya sendiri, tapi gadis itu berkata
"Keluarganya nggak sadar mereka masih bayar tagihan telepon ini."
Dan sepertinya pikiran itu membuatnya dihinggapi kegembiraan
yang jail.
"Apakah Lula yang membelikanmu jaket itu?" tanya Strike.
"Nggak," tukas Rochelle, membela diri dengan gusar. "Aku beli sen?
diri, aku sudah kerja sekarang."
"Oh ya? Kau kerja apa?"
"Apa urusanmu?" tanya Rochelle lagi.
"Hanya keingintahuan yang sopan."
Senyum kecil yang singkat menyentuh bibir yang lebar itu, dan
Rochelle mengalah lagi.
"Aku kerja siang di toko di jalan dekat tempatku yang baru."
"Kau tinggal di hostel lain?"
"Nggak," ucap Rochelle, dan Strike merasakan lagi sikap menutup
Dekut Burung Kukuk
diri itu, penolakan untuk menjawab kalau Strike mendesak lebih jauh.
Dia mengubah taktik.
"Kau pasti terguncang sekali waktu mengetahui Lula meninggal,
ya?"
"Yeah, memang," kata Rochelle datar; lalu, menyadari apa yang
baru saja dia ucapkan, dia mundur kembali. "Aku tahu dia depresi,
tapi nggak menyangka orang akan melakukan itu."
"Jadi maksudmu, Lula tidak kelihatan ingin bunuh diri ketika kau
bertemu dengannya hari itu?"
"Nggak tahu. Aku kan nggak lama ketemu dia."
"Di mana kau waktu mendengar dia meninggal?"
"Aku di hostel. Banyak yang tahu aku kenal dia. Janine mem?
bangunkanku dan memberitahu."
"Dan kau langsung berpikir dia bunuh diri?"
"Yeah. Aku harus pergi sekarang. Harus pergi."
Rochelle telah memutuskan dan Strike dapat melihat dia tidak
mampu lagi mencegahnya pergi. Setelah kembali mengenakan jaket
bulu yang mencolok itu, Rochelle mencangklongkan tasnya di bahu.
"Salam buat Kieran ya."
"Yeah, nanti kusampaikan."
"Sampai jumpa."
Dia berjalan satu langkah demi satu langkah keluar dari restoran,
tanpa sekali pun menengok ke belakang.
Strike mengamatinya melewati jendela dengan kepala tertunduk
dan alis berkerut dalam, sampai gadis itu hilang dari pandangan. Hu?
jan sudah berhenti. Sambil melamun dia menarik nampan ke arahnya
dan menghabiskan beberapa batang kentang goreng terakhir.
Kemudian dia berdiri dengan begitu mendadak, sampai-sampai ga?
dis bertopi yang sedang mendekat untuk membersihkan meja terlom?
pat kaget sambil memekik kecil. Strike terburu-buru keluar dari res?
toran McDonald?s itu dan menyusuri Grantley Road.
Rochelle sedang berdiri di sudut jalan, terlihat jelas dalam mantel
bulu magentanya, membaur dalam kerumunan orang yang sedang me?
nunggu lampu lalu lintas berganti warna di jalur penyeberangan. Dia
sedang mencerocos di Nokia pink-nya yang berhias kristal. Strike ber?
hasil menyusulnya, menyusup ke dalam kelompok di belakangnya,
Robert Galbraith
menjadikan tubuhnya yang besar sebagai senjata, supaya orang-orang
menepi untuk menghindarinya.
"...ingin tahu dengan siapa dia membuat janji temu malam itu...
yeah, dan?"
Rochelle berpaling, mengamati lalu lintas, dan menyadari Strike
tepat berada di belakangnya. Dia langsung menjauhkan ponsel dari
telinga, menekan tombol, memotong pembicaraan itu.
"Apa?" dia bertanya dengan agresif.
"Kau menelepon siapa?"
"Bukan urusanmu, keparat!" katanya marah. Para pejalan kaki yang
sedang menunggu langsung menoleh ke arah mereka. "Kau mengikuti?
ku?"
"Yeah," kata Strike. "Dengarkan."
Lampu berganti warna. Hanya mereka yang tidak segera beranjak
menyeberang jalan, dan orang-orang menyikut dan menyenggol me?
reka.
"Kau mau memberiku nomor ponselmu?"
Mata banteng yang marah itu membalas tatapannya, tak terbaca,
datar, menyimpan rahasia.
"Untuk apa?"
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kieran yang minta," Strike berbohong. "Aku lupa. Katanya, mung?
kin kacamata gelapmu ketinggalan di mobilnya."
Strike tidak berharap Rochelle percaya, tapi sejenak kemudian
Rochelle mendiktekan nomornya, yang dia tulis di balik salah satu
kartu namanya sendiri.
"Itu saja?" tanya Rochelle lagi dengan galak, lalu dia menyeberang
sampai median jalan, karena lampu lalu lintas sudah berganti warna
lagi. Strike terpincang-pincang mengikutinya. Rochelle tampak marah
dan gugup karena dibuntuti.
"Apa sih?"
"Kurasa kau mengetahui sesuatu yang tidak kaukatakan padaku,
Rochelle."
Gadis itu membelalak galak.
"Nih, simpanlah," kata Strike sambil mengeluarkan kartu nama lain
dari saku mantelnya. "Kalau ada hal lain yang ingin kauberitahukan
padaku, telepon saja, oke? Hubungi nomor ponsel itu."
Dekut Burung Kukuk
Rochelle tidak menyahut.
"Kalau Lula sebenarnya dibunuh," kata Strike, sementara mobilmobil melaju di sekitar mereka dan hujan menciptakan titik-titik ber?
kilau di selokan dekat kaki mereka, "dan kau mengetahui sesuatu, bisa
jadi kau juga terancam bahaya."
Perkataannya itu memunculkan senyum kecil yang puas diri dan
meremehkan. Rochelle tidak menganggap dirinya dalam bahaya. Me?
nurutnya, diaan.
Lampu hijau berbentuk manusia berjalan itu pun muncul. Rochelle
mengibaskan rambutnya yang kering dan kaku, lalu beranjak untuk
menyeberang jalan, dengan penampilannya yang biasa, pendek, dan
gempal, masih mencengkeram ponsel di satu tangan dan kartu nama
Strike di tangan lain. Strike berdiri seorang diri di median jalan,
mengamati gadis itu dengan perasaan gelisah dan tak berdaya.
Rochelle mungkin tidak pernah menjual ceritanya ke koran, tapi, ken?
dati Strike menganggap jaket itu sangat jelek, dia tidak percaya
Rochelle telah membeli jaket rancangan desainer itu dengan upah
hasil kerjanya di toko.
Persimpangan Tottenham Court dan Charing Cross Road masih
tampak kacau-balau, dengan lubang yang menganga di jalan, lorong
yang dibatasi papan putih, dan para pekerja dengan helm pengaman.
Sambil merokok, Strike menyusuri jalur sempit yang dibatasi pagar
besi, melewati mesin-mesin yang bergemuruh penuh hasil galian, para
pekerja yang berteriak-teriak, dan lebih banyak bor lagi.
Dia merasa letih dan kesakitan; sadar betul akan rasa nyeri di
tungkainya, sadar betul akan tubuhnya yang belum mandi, makanan
berminyak yang terasa berat di dalam perutnya. Menuruti dorongan
hati, dia mengambil jalan memutar di Sutton Row, menjauh dari ke?
bisingan proyek pengerjaan jalan, dan menelepon Rochelle. Panggilan
itu diterima voicemail, tapi suara Rochelle yang parau itulah yang me?
nyambutnya gadis itu tidak memberinya nomor palsu. Strike tidak
meninggalkan pesan; dia sudah mengatakan semua yang terpikir oleh?
nya?tapi tetap saja dia cemas. Dia separuh berharap tadi memutus?
kan untuk nekat saja membuntuti Rochelle, dengan diam-diam, men?
cari tahu di mana gadis itu tinggal.
Kembali di Charing Cross Road, dengan langkah timpang me?
lewati keremangan jalur pejalan kaki sementara, dia menuju kantor?
nya. Dia teringat bagaimana Robin membangunkannya tadi pagi ke?
tukan yang sopan, secangkir teh, dan topik ranjang lipat yang
dihindari dengan hati-hati. Seharusnya dia tidak boleh membiarkan
itu terjadi. Ada banyak jalan menuju keintiman, selain mengagumi
Dekut Burung Kukuk
bentuk tubuh seorang wanita dalam balutan gaun ketat. Dia tidak
ingin menjelaskan mengapa dia tidur di kantor; dia tidak menyukai
pertanyaan-pertanyaan pribadi. Namun, dia telah membiarkan situasi
muncul, sehingga akhirnya Robin memanggilnya Cormoran dan me?
nyuruhnya mengancingkan kemejanya dengan benar. Semestinya dia
tidak boleh bangun kesiangan.
Sambil menaiki tangga besi, melewati pintu Crowdy Graphics yang
tertutup rapat, Strike bersumpah akan memperlakukan Robin dengan
kewibawaan yang dingin selama sisa hari itu, untuk menebus sepetak
perut berbulu yang sempat terlihat tadi pagi.
Baru saja keputusan itu diambilnya dengan bulat, dia mendengar
lengking tawa yang tinggi dari kantornya sendiri, juga suara dua pe?
rempuan yang berbicara bersamaan.
Strike terpaku, memasang telinga, panik. Dia belum membalas
telepon Charlotte. Dia berusaha menangkap nada suara dan gaya bi?
cara perempuan itu; sangat besar kemungkinan Charlotte datang sen?
diri dan memikat sang pegawai temporer dengan pesonanya, menjalin
pertemanan dengan sekutu Strike, mencemari stafnya dengan versi ke?
benaran menurut Charlotte.
"Hai, Stick," sapa suara yang riang begitu dia membuka pintu kaca
itu.
Adiknya, Lucy, sedang duduk di sofa yang melesak, menggenggam
secangkir kopi, dengan tas-tas belanjaan Marks and Spencer dan John
Lewis menggunung di sekitarnya.
Semburan kelegaan yang mula-mula dirasakan Strike ditingkahi
kekhawatiran kecil mengenai apa yang tengah dibicarakan Lucy dan
Robin, dan seberapa banyak kehidupan pribadinya yang kini mereka
ketahui. Sembari membalas pelukan Lucy, dia memperhatikan bahwa
Robin, sekali lagi, telah menutup pintu ruang dalam, menyembunyi?
kan ranjang lipat dan tas bepergian itu.
"Robin bilang, kau baru keluar untuk menyelidik." Lucy tampak
bersemangat, seperti bila dia pergi seorang diri, tanpa dibebani Greg
dan bocah-bocah lelakinya.
"Yeah, itulah yang kadang kala dilakukan detektif," sahut Strike.
"Baru belanja?"
"Ya, Sherlock, sudah jelas, kan."
Robert Galbraith
"Mau keluar minum kopi?"
"Aku sudah minum kopi, Stick," kata Lucy sambil mengacungkan
cangkirnya. "Kau tidak terlalu pintar hari ini. Jalanmu agak pincang,
ya?"
"Rasanya sih tidak."
"Kapan terakhir kali kau menemui Mr. Chakrabati?"
"Belum lama," Strike berdusta.
"Kalau boleh," kata Robin sambil mengenakan mantelnya, "aku
mau keluar makan siang, Mr. Strike. Aku belum sempat makan."
Tekadnya sesaat yang lalu untuk memperlakukan Robin dengan
sikap menjaga jarak sekarang bukan saja tidak perlu, tapi justru akan
terkesan jahat. Robin jauh lebih diplomatis daripada wanita mana pun
yang pernah ditemuinya.
"Tidak apa-apa, Robin, silakan," ujarnya.
"Senang bertemu denganmu, Lucy," kata Robin, lalu dengan lam?
baian tangan dia menghilang, menutup pintu kaca di belakangnya.
"Aku suka padanya," kata Lucy dengan antusias, begitu langkah
Robin terdengar berdentang-dentang menjauh. "Dia baik. Kau harus
mengusahakan dia bekerja tetap di sini."
"Ya, dia memang baik," ujar Strike. "Kalian tadi menertawakan apa,
sampai terpingkal-pingkal begitu?"
"Oh, tunangannya?cowok itu sepertinya agak mirip Greg. Robin
bilang, kalian sedang menangani kasus penting. Tenang saja. Dia tidak
mengungkapkan rahasia apa pun kok. Dia hanya berkata itu kasus bu?
nuh diri yang mencurigakan. Kedengarannya tidak menyenangkan."
Lucy memandanginya dengan tatapan penuh arti yang sengaja tak
dihiraukannya.
"Bukan yang pertama kali. Aku juga pernah menangani kasus-ka?
sus semacam ini di angkatan darat."
Tetapi dia tidak yakin Lucy mendengarkan ucapannya. Lucy me?
narik napas panjang. Strike tahu artinya.
"Stick, kau dan Charlotte putus, ya?"
Lebih baik diselesaikan sekarang.
"Ya, benar."
"Stick!"
"Tidak apa-apa, Luce. Aku tidak apa-apa."
Dekut Burung Kukuk
Namun, suasana hati Lucy yang riang langsung sirna dalam sem?
buran kemarahan dan kekecewaan. Strike menanti dengan sabar, lelah
dan kesakitan, sementara Lucy melampiaskanarahnya dia sudah
menduga sejak lama, sudah menduga Charlotte akan melakukannya
lagi; Charlotte telah merayu Strike menjauh dari Tracey, juga dari
karier yang hebat di angkatan darat, membuatnya merasaat tak
percaya diri, membujuknya tinggal bersama, kemudian mendepak?
nya?
"Aku yang mengakhiri hubungan, Luce," sela Strike, "dan Tracey
dan aku sudah selesai sebelum..." tapi upayanya ini sama sia-sianya se?
perti memerintah lava mengalir ke arah berlawanan mengapa dia ti?
dak pernah menyadari Charlotte tidak pernah berubah, bahwa
Charlotte kembali kepadanya hanya karena tertarik dengan drama ke?
hidupannya, tertarik dengan luka dan medalinya? Si jalang itu ber?
peran sebagai malaikat perawat, lalu bosan; dia berbahaya dan jahat;
dia mengukur kebanggaan dirinya berdasarkan kekacauan yang dia
sebabkan, bersukacita di atas rasa sakit yang dia timbulkan...
"Aku yang meninggalkan dia, itu pilihanku..."
"Selama ini kau tinggal di mana? Kapan ini terjadi? Jalang keparat
itu?tidak, maaf, Stick, aku tidak mau pura-pura lagi?selama ber?
tahun-tahun dia memperlakukanmu seperti tahi?oh, Tuhan, Stick,
kenapa kau dulu tidak menikah dengan Tracey saja?"
"Luce, janganlah kita membahas ini lagi."
Strike menyingkirkan beberapa kantong belanja John Lewis yang
di?lihatnya penuh dengan celana dan kaus kaki kecil untuk anak-anak
Lucy, lalu mengenyakkan diri dengan berat di sofa. Dia tahu penam?
pilannya lusuh dan kacau-balau. Tampaknya Lucy sudah hampir me?
nangis; hari liburnya di kota jadi berantakan.
"Kau tidak memberitahuku karena kau sudah menduga aku akan
jadi begini, ya?" kata Lucy akhirnya, menelan ludah.
"Itu memang jadi pertimbangan."
"Baiklah, maaf," ujar Lucy, masih kesal, matanya berkaca-kaca.
"Tapi jalang itu, Stick. Oh, Tuhan, tolong katakan padaku kau tidak
akan kembali padanya. Katakan padaku."
"Aku tidak akan kembali padanya."
"Kau tinggal di mana?di tempat Nick dan Ilsa?"
Robert Galbraith
"Tidak. Aku punya tempat di Hammersmith," cuma itu yang ter?
lintas di kepalanya, area yang sekarang diasosiasikan dengan kaum
tunawisma, "kamar kos kecil."
"Oh, Stick... tinggallah dengan kami!"
Sesaat dia dapat membayangkan kamar cadangan yang seluruhnya
didekorasi warna biru, juga senyum Greg yang dipaksakan.
"Luce, aku senang di tempatku sekarang. Aku hanya ingin bekerja
dan sendirian dulu."
Perlu waktu setengah jam lagi untuk menyingkirkan Lucy dari
kantornya. Lucy merasa bersalah karena telah naik darah; minta maaf,
lalu berusaha membenarkan tindakannya, yang memicu serangkaian
ungkapan kebencian lagi terhadap Charlotte. Ketika akhirnya dia me?
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mutuskan untuk pergi, Strike membantunya membawakan tas-tas
belanjaan sampai lantai dasar, berhasil mengalihkan perhatian Lucy
dari kardus-kardus berisi barang kepunyaannya yang masih ditumpuk
di puncak tangga, dan akhirnya memasukkan Lucy ke taksi hitam di
ujung Denmark Street.
Wajah Lucy yang bulat dan ternoda maskara luntur menatapnya
dari balik jendela belakang. Strike memaksakan senyum lebar dan me?
lambai sebelum menyulut sebatang rokok lagi. Rasa-rasanya, "simpati"
Lucy itu nyaris sama menyiksanya dengan beberapa teknik interogasi
yang diterapkan di Guantanamo.
Robin sudah terbiasa membeli sebungkus sandwich untuk Strike ber?
sama makan siangnya sendiri, kalau kebetulan Strike ada di kantor
pada jam makan siang. Lalu dia akan mengambil sendiri uang ganti?
nya dari peti kas.
Namun, hari ini dia tidak buru-buru kembali. Meskipun Lucy
sepertinya tidak tahu-menahu, Robin memperhatikan betapa tidak se?
nangnya Strike ketika mendapati mereka sedang bercakap-cakap. Raut
wajah Strike ketika memasuki kantor semuram tampangnya ketika
pertama kali mereka bertemu.
Robin berharap dia tidak mengatakan apa pun yang tidak disetujui
Strike. Lucy tidak dengan sengaja mengorek-ngorek cerita, tapi per?
tanyaan-pertanyaan yang diajukannya memang sulit dijawab.
"Kau sudah pernah bertemu Charlotte?"
Robin menduga yang dimaksud adalah mantan istri atau pacar
cantik jelita yang dilihatnya pada pagi pertama itu. Tabrakan yang
nyaris terjadi itu tidak bisa dibilang pertemuan resmi, jadi dia men?
jawab
"Belum, belum pernah."
"Aneh." Lucy menyunggingkan senyum kecil yang tidak tulus. "Ku?
pikir dia pasti ingin bertemu denganmu."
Entah untuk alasan apa, Robin merasa perlu menjawab
"Aku hanya pegawai temporer."
Robert Galbraith
"Tetap saja," ujar Lucy, yang sepertinya lebih memahami jawaban?
nya ketimbang Robin sendiri.
Kini, sambil menyusuri rak yang dipenuhi berbagai jenis keripik
tanpa benar-benar menaruh perhatian, barulah dia mulai dapat men?
cerna maksud kata-kata Lucy itu. Robin merasa Lucy bermaksud
memujinya?tapi baginya sungguh tidak pantas bila Strike melakukan
apa pun yang menunjukkan ketertarikan kepadanya.
("Matt, sumpah deh, kalau kau melihat dia... dia besar dan tam?
pangnya seperti petinju yang babak belur. Diaat sangat tidak me?
narik, aku yakin umurnya di atas empat puluh, dan..." dia mencari-cari
kesalahan penampilan Strike lagi, "rambutnya agak seperti rambut ke?
maluan."
Matthew baru merelakan Robin melanjutkan pekerjaannya dengan
Strike setelah dia menerima pekerjaan di konsultan media itu.)
Secara acak Robin mengambil dua kantong keripik salt and vinegar,
lalu menuju kasir. Dia belum memberitahu Strike bahwa dia akan
keluar dua setengah minggu lagi.
Lucy beralih dari topik Charlotte hanya untuk menginterogasi
Robin mengenai berapa banyak bisnis yang mengalir ke kantor kecil
yang kusam itu. Robin berusaha memberikan jawaban sesamar mung?
kin. Intuisinya mengatakan, jika Lucy tidak tahu seburuk apa ke?
uangan Strike, itu dikarenakan Strike tidak ingin adiknya tahu. De?
ngan harapan Strike akan senang jika Lucy beranggapan bisnis sedang
baik, Robin menyinggung bahwa kliennya yang terakhir cukup kaya.
"Kasus perceraian, ya?" tanya Lucy.
"Bukan," Robin menjawab, "ini kasus... aduh, aku sudah menan?
datangani perjanjian kerahasiaan... dia diminta menyelidiki kasus bu?
nuh diri."
"Astaga, pasti tidak menyenangkan bagi Cormoran," kata Lucy, de?
ngan sentuhan nada aneh dalam suaranya.
Robin kebingungan.
"Dia belum cerita padamu? Maaf, biasanya orang sudah tahu tanpa
diberitahu. Ibu kami?groupie, ya, istilahnya??lumayan terkenal."
Tiba-tiba senyum Lucy tampak dipaksakan, dan nada suaranya, wa?
laupun dia berusaha menjaganya tetap dingin dan tak peduli, kini ter?
dengar getir. "Semua ada di internet. Zaman sekarang ini, apa sih yang
Dekut Burung Kukuk
tidak ada di sana? Dia meninggal karena overdosis. Orang bilang, dia
bunuh diri, tapi Stick selalu menganggap mantan suaminyalah yang
bertanggung jawab. Tidak ada bukti apa pun. Stick marah sekali.
Urusan itu memang sangat memalukan dan mengerikan. Barangkali,
klien Stick memilihnya justru karena alasan itu?kasus bunuh dirinya
karena overdosis, kan?"
Robin tidak menyahut, tapi tidak jadi masalah, karena Lucy me?
lanjutkan tanpa menunggu jawaban
"Ketika itulah Stick keluar dari universitas dan bergabung dengan
polisi militer. Keluarga kami sangat kecewa. Dia sangat pintar, kau
tahu?anggota keluarga kami tidak ada yang kuliah di Oxford?tapi
tahu-tahu saja dia mengemasi barang-barangnya, lalu bergabung de?
ngan angkatan darat. Dan sepertinya itu cocok untuknya; dia sangat
bagus dalam pekerjaannya. Sejujurnya, aku menyayangkan dia keluar
dari angkatan darat. Dia bisa saja tetap di sana, bahkan dengan, kau
tahu... kakinya..."
Robin sama sekali tidak menampakkan ekspresi bahwa dia tidak
tahu?matanya bahkan tidak mengerjap.
Lucy menyesap tehnya.
"Jadi kau berasal dari Yorkshire sebelah mana?"
Obrolan mereka mengalir mulus sejak itu, sampai saat Strike ma?
suk ketika mereka sedang menertawakan penggambaran Robin ten?
tang upaya terakhir Matthew melakukan sendiri perbaikan peralatan
rumah.
Namun, sewaktu Robin berjalan kembali ke kantor membawa
sandwich dan keripik kentang, perasaan ibanya kepada Strike justru
semakin menjadi. Pernikahan Strike?atau, kalau mereka belum me?
nikah, hubungan seriusnya?gagal, dia kini tidur di kantornya, dia
pernah terluka saat perang, dan sekarang Robin mengetahui bahwa
ibunya meninggal dalam situasi yang meragukan dan mengenaskan.
Robin tidak mendustai diri bahwa rasa iba ini tidak ditingkahi rasa
penasaran. Dia yakin, tidak lama lagi dia akan berusaha mencari tahu
perihal detail-detail kematian Leda Strike di internet. Namun, pada
saat bersamaan, dia juga merasa bersalah karena satu bagian ke?
hidupan Strike yang semestinya tidak dia ketahui telah diperlihatkan
kepadanya, seperti pemandangan sepetak perut berbulu yang tak se?
Robert Galbraith
ngaja terpampang tadi pagi. Dia mengenal Strike sebagai pria yang
bermartabat dan mandiri; hal-hal inilah yang dia sukai dan dia ka?
gumi dalam diri Strike, kendati manifestasi kualitas-kualitas ter?
sebut?ranjang lipat, barang-barang dalam kardus di luar, wadah-wa?
dah Pot Noodles kosong di tempat sampah?justru memancing
cibiran dari orang seperti Matthew, yang berasumsi bahwa siapa pun
yang hidup dalam kondisi tidak nyaman pastilah karena orang itu ma?
las atau sembrono.
Ketika kembali, Robin tidak yakin apakah dia hanya membayang?
kan atmosfer yang agak tegang di kantor. Strike sedang duduk di de?
pan komputer di meja Robin, sibuk mengetik, dan meskipun sempat
mengucapkan terima kasih atas sandwich itu, tak seperti biasanya
Strike tidak mengalihkan perhatian dari pekerjaannya selama sepuluh
menit untuk mendiskusikan kasus Landry.
"Aku perlu komputer sebentar. Kau tidak apa-apa, kan, duduk di
sofa dulu?" tanya Strike padanya tanpa berhenti mengetik.
Robin bertanya-tanya apakah Lucy memberitahu Strike apa yang
tadi mereka obrolkan. Semoga tidak. Kemudian dia jengkel sendiri ka?
rena merasa bersalah; toh dia tidak melakukan kesalahan. Kegusaran?
nya itu membendung rasa penasaran tentang Rochelle Onifade, dan
apakah Strike berhasil menemukannya.
"Aha," ucap Strike.
Di situs sang desainer Italia, dia menemukan mantel bulu tiruan
warna magenta yang dipakai Rochelle tadi pagi. Mantel itu baru ter?
sedia untuk dibeli dua minggu lalu, dan harganya seribu lima ratus
pound.
Robin menunggu Strike menjelaskan seruannya tadi, tapi Strike
diam saja.
"Kau menemukan dia?" tanya Robin, ketika akhirnya Strike ber?
balik dari komputer untuk membuka bungkus sandwich.
Strike menceritakan pertemuan mereka, tapi seluruh antusiasme
dan ucapan terima kasihnya tadi pagi, ketika dia menyebut Robin
"genius" berulang kali, kini tak tersisa lagi. Karena itu, nada bicara
Robin ketika melaporkan perburuan teleponnya pun tak kalah dingin?
nya.
"Aku menelepon Law Society tentang konferensi di Oxford tanggal
Dekut Burung Kukuk
7 Januari," ujarnya. "Tony Landry hadir. Aku pura-pura telah bertemu
dia di sana, tapi kehilangan kartu namanya."
Strike tidak tampak terlalu tertarik dengan informasi yang tadi di?
mintanya, tidak juga memberikan pujian atas inisiatif Robin. Per?
cakapan itu menyurut dalam ketidakpuasan kedua belah pihak.
Konfrontasi dengan Lucy membuat Strike lelah; dia hanya ingin
menyendiri. Dia juga menduga Lucy telah memberitahu Robin ten?
tang Leda. Adiknya membenci kenyataan bahwa ibu mereka hidup
dan mati dalam kondisi tidak layak, namun bila dilanda suasana hati
tertentu dia seperti kerasukan dorongan yang paradoks untuk mem?
bicarakan semuanya, terutama dengan orang tak dikenal. Mungkin itu
semacam katup pengaman, karena di antara teman-temannya di ling?
kungan perumahan pinggir kota dia harus menutup masa lalunya
rapat-rapat. Atau mungkin Lucy justru membawa pertempuran itu ke
teritori musuh, ingin tahu apa yang telah mereka ketahui tentang
hidupnya, sehingga dia berusaha menumpas keingintahuan apa pun
sebelum sempat tumbuh. Tetapi, Strike tidak ingin Robin tahu perihal
ibunya, atau tentang kakinya, atau tentang Charlotte, atau topik-topik
menyakitkan lain, yang selalu dikorek-korek Lucy saban kali berada
cukup dekat dengannya.
Dalam keletihannya, dalam suasana hatinya yang buruk, dengan ti?
dak adil Strike telah memproyeksikan kepada Robin kejengkelannya
kepada kaum perempuan pada umumnya, yang sepertinya tidak per?
nah bisa membiarkan seorang pria sendiri saja. Dia mempertimbang?
kan untuk membawa pekerjaannya ke Tottenham selama sisa hari itu,
tempat dia dapat duduk dan berpikir tanpa interupsi, tanpa dicecar
dengan permintaan untuk menjelaskan.
Robin sangat peka atas perubahan atmosfer itu. Mencontoh sikap
Strike yang sedang mengunyah tanpa suara, dia pun membersihkan
remah-remah makanan dari bajunya, lalu menyampaikan pesan-pesan
telepon sepanjang pagi itu dengan nada resmi dan dingin.
"John Bristow menelepon, memberitahukan nomor ponsel Marlene
Higson. Dia juga berhasil menembus Guy Som?. Dia bersedia ber?
temu denganmu hari Kamis pagi pukul sepuluh di studionya di
Blunkett Street, kalau waktunya cocok. Itu di Chiswick, dekat Strandon-the-Green."
Robert Galbraith
"Bagus. Terima kasih."
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka nyaris tidak bertukar kata lagi hari itu. Strike menghabis?
kan sebagian sore harinya di bar, baru kembali pukul lima kurang se?
puluh menit. Suasana canggung di antara mereka masih bertahan, dan
untuk pertama kalinya, Strike senang melihat Robin pergi.
Bagian Empat
Optimumque est, ut volgo dixere, aliena insania frui.
Dan yang paling baik, sebagaimana kata pepatah, adalah
mengambil untung dari kegilaan orang lain.
Pliny Tua, Historia Naturalis
Strike pergi ke ULU pagi-pagi untuk mandi, lalu memilih pakaian?
nya dengan lebih cermat, pada pagi hari kunjungannya ke studio Guy
Som?. Dari penjelajahannya di situs sang desainer, dia tahu Som?
mendukung pemakaian benda-benda seperti kulit samakan yang su?
dah pecah-pecah, dasi dari anyaman logam tipis, dan ikat kepala hi?
tam yang seperti terbuat dari topi bowler lama yang digunting puncak?
nya. Dengan setitik rasa pemberontakan, Strike mengenakan setelan
jas biru tua yang konvensional dan nyaman, yang dia kenakan sewaktu
ke Cipriani.
Studio yang dia cari adalah bekas gudang dari abad kesembilan be?
las yang berdiri di sisi utara Sungai Thames. Permukaan sungai ber?
kilat-kilat menyilaukan mata ketika dia berusaha mencari pintu
masuk yang tidak diberi tanda dengan jelas. Bagian luarnya tidak
memberikan petunjuk apa pun mengenai kegunaan bangunan itu.
Akhirnya dia menemukan bel pintu yang tersembunyi dan tak ber?
tanda, lalu pintu terbuka secara otomatis dari dalam. Lorong yang ko?
song namun lapang itu dingin karena pengatur suhu udara. Bunyi ge?
merincing dan berkeletak mendului masuknya seorang gadis berambut
merah seperti tomat, yang mengenakan pakaian hitam-hitam dari
ujung kepala sampai ujung kaki serta bertumpuk-tumpuk gelang pe?
rak.
"Oh," ucapnya ketika melihat Strike.
"Saya punya janji temu dengan Mr. Som? pukul sepuluh," Strike
memberitahunya. "Cormoran Strike."
Robert Galbraith
"Oh," ucap gadis itu lagi. "Oke."
Dia menghilang ke arah yang sama dari tempatnya muncul tadi.
Strike memanfaatkan waktu dengan menghubungi nomor ponsel
Rochelle Onifade, seperti yang telah dia lakukan sepuluh kali sehari
sejak berpisah dengan gadis itu. Tidak ada jawaban.
Satu menit lagi berlalu, kemudian, seorang lelaki kulit hitam ber?
tubuh kecil tiba-tiba menghampiri Strike; seperti kucing, melangkah
tanpa suara di atas sol sepatu karet. Dia berjalan dengan goyangan
pinggul yang dilebih-lebihkan, bagian atas tubuhnya tidak bergerak
kecuali bahu yang sedikit berayun demi keseimbangan, sementara ke?
dua lengannya hampir geming.
Guy Som? hampir tiga puluh senti lebih pendek daripada Strike
dan lemak tubuhnya mungkin seperseratus tubuh Strike. Bagian de?
pan kaus hitamnya yang ketat didekorasi ratusan paku perak mungil
yang membentuk wajah Elvis sehingga berkesan tiga dimensional, se?
olah-olah dadanya adalah papan mainan Pin Art. Mata yang meman?
dang akan semakin dibuat bingung karena terlihat geliat otot perut
yang kencang di balik balutan Lycra ketat itu. Ada motif garis halus
pada jins kelabunya yang pas tubuh, dan sepatunya seperti terbuat
dari suede sekaligus kulit samakan berwarna hitam.
Wajahnya tampak kontras dengan tubuhnya yang ramping dan liat,
karena menampilkan lekuk-lekuk yang berlebihan. Matanya belok se?
hingga menyerupai ikan, seolah-olah memandang dari sisi kepalanya.
Pipinya bulat bak apel berkilau dan bibirnya yang penuh berbentuk
oval lebar. Kepalanya yang kecil nyaris bulat sempurna. Som? seperti
terbuat dari kayu eboni halus yang dipahat tangan seorang ahli yang
kemudian bosan dengan kehebatannya sendiri, dan mulai melenceng
ke arah yang ganjil.
Dia menyodorkan tangan dengan sedikit membengkokkan perge?
langannya.
"Yeah, aku bisa melihat sedikit Jonny di sana," katanya sambil me?
nengadah memandang wajah Strike; suaranya kemayu dan lamatlamat beraksen Cockney. "Tapi lebih butch."
Strike menjabat tangannya. Ada kekuatan yang mengejutkan dalam
jemari itu. Si gadis berambut merah datang kembali dengan bunyi ge?
merincing.
Dekut Burung Kukuk
"Aku akan sibuk selama satu jam, Trudie, jangan ada telepon," kata
Som? kepadanya. "Bawakan teh dan biskuit ya, darling."
Lalu dia berputar layaknya penari, memberi isyarat pada Strike
agar mengikutinya.
Di koridor yang bercat putih mereka melewati pintu yang terbuka,
dan seorang wanita oriental separuh baya yang hidungnya pesek mem?
balas tatapan Strike dari balik bahan transparan keemasan yang di?
sampirkannya pada kapstok; ruangan itu terang benderang bagaikan
kamar operasi, tapi dipenuhi bangku kerja, acak-acakan dan sarat gu?
lungan kain, dindingnya penuh kolase sketsa, foto, dan catatan. Se?
orang wanita mungil berambut pirang, mengenakan pakaian yang di
mata Strike tampak seperti bebat hitam berbentuk tube, membuka
pintu dan menyeberangi koridor di depan mereka; tatapannya sama
dingin dan kosongnya seperti Trudie si rambut merah. Strike merasa
salah tingkah seperti raksasa, bagaikan mammoth berbulu panjang
yang berusaha membaur di antara monyet-monyet capuchin.
Dia mengikuti sang desainer yang melenggang hingga ke ujung
koridor dan menaiki tangga spiral dari besi dan karet, menuju ruang
kerja persegi empat yang luas dan putih. Jendela-jendela setinggi
langit-langit di sepanjang sisi kanan memperlihatkan pemandangan
menakjubkan Sungai Thames dan pesisir selatan. Seluruh dinding
putih sisanya digantungi foto. Yang menyita perhatian Strike adalah
poster raksasa "Fallen Angels" yang tersohor itu di dinding seberang
meja Som?. Namun, setelah mengamati lebih cermat, dia menyadari
foto itu bukanlah adegan yang dikenal oleh seluruh dunia. Dalam
versi ini, Lula menengadah dalam ledakan tawa batang lehernya yang
kuat mencuat dari rambut panjang yang sedikit berantakan karena ke?
gembiraannya, sampai-sampai puncak payudaranya yang gelap terlihat.
Ciara Porter mendongak menatap Lula, wajahnya menampakkan ge?
jala tawa juga, tapi lebih lambat memahami leluconnya perhatian pe?
mirsa, seperti versi foto yang lebih terkenal, seketika tertambat pada
Lula.
Lula hadir di foto-foto lain; di semua foto yang lain. Di sebelah
kiri, di antara sekelompok model yang mengenakan gaun longgar
transparan beraneka warna pelangi; di sebelah sana, tampak samping,
dengan kertas emas pada bibir dan kelopak mata. Pernahkah dia bela?
Robert Galbraith
jar cara mengatur wajahnya dalam komposisi paling fotogenik, se?
hingga dapat memproyeksikan emosi dengan sedemikian indahnya?
Ataukah dia sekadar permukaan yang transparan sehingga segenap
perasaannya dapat terpancar apa adanya?
"Parkir saja semaumu," kata Som? sambil duduk di kursi di bela?
kang meja baja dan kayu hitam yang penuh dengan sketsa; Strike me?
narik kursi yang terbuat dari selembar plastik bening yang dibentuk.
Di meja teronggok kaus bergambar Putri Diana dengan dandanan ala
Madonna Meksiko, gemerlapan dengan pecahan kaca dan manik-ma?
nik, lengkap dengan jantung hati berapi yang terbuat dari kain satin
mengilap, dihiasi mahkota miring yang dibordir.
"Kau suka?" tanya Som?, memperhatikan arah tatapan Strike.
"Oh, yeah," dusta Strike.
"Laris manis di mana-mana, dapat surat penuh cercaan dari kaum
Katolik, Joe Mancura memakainya di Jools Holland. Aku sedang ber?
pikir untuk menggunakan wajah William di kaus lengan panjang un?
tuk koleksi musim dingin. Atau Harry, mungkin, dengan AK47 untuk
menutupi penisnya?"
Strike tersenyum tipis. Som? menyilangkan tungkai dengan aksi
berlebihan, lalu berkata, dengan keberanian yang mengejutkan
"Jadi, si Akuntan berpikir Cuckoo mungkin telah dibunuh? Aku
selalu memanggil Lula ?Cuckoo?," tambahnya, tanpa diperlukan.
"Ya. John Bristow sebenarnya pengacara."
"Aku tahu, tapi aku dan Cuckoo selalu menyebutnya si Akuntan.
Well, aku sih, kadang-kadang Cuckoo ikut-ikutan, kalau sedang ban?
del. Dia selalu ingin tahu berapa persen yang didapat Cuckoo dan
berusaha memeras setiap sen dari semua orang. Kurasa dia mem?
bayarmu dengan upah minimum detektif?"
"Sebenarnya, dia membayarku dobel."
"Oh. Yah, dia mungkin lebih murah hati setelah bisa bermain-main
dengan uang Cuckoo."
Som? menggigiti kukunya, dan Strike langsung teringat Kieran
Kolovas-Jones; si perancang dan pengemudi itu memiliki perawakan
yang serupa, kecil namun proporsional.
"Baiklah, aku agak jahat," kata Som?, mencabut jarinya dari mulut.
"Aku tidak pernah suka pada John Bristow. Dia selalu menggerecoki
Dekut Burung Kukuk
Cuckoo tentang apa saja. Duh, urus masalahmu sendiri deh. Keluar
dari lemari dong. Kau pernah dengar nyanyian puja-pujinya untuk
ibunya? Kau sudah bertemu dengan pacarnya? Cewek itu cuma dijadi?
kan kedok."
Dia mencerocos dalam rentetan kalimat meracau yang penuh ke?
bencian, lalu berhenti untuk membuka laci tersembunyi di mejanya,
dan dari sana mengeluarkan sekotak rokok mentol. Strike sudah
memperhatikan kuku-kuku Som? yang habis digerigiti.
"Keluarganya adalah penyebab utama anak itu begitu kacau. Aku
sering bilang padanya, ?Tinggalkan saja mereka, Say, buka lembaran
baru.? Tapi dia tidak mau. Begitulah Cuckoo, mengeluhkan masalah
yang itu-itu saja tanpa mencari jalan keluarnya."
Dia menawarkan rokok putih itu kepada Strike. Strike menolak,
lalu Som? menyulut sendiri dengan Zippo bergravir. Sambil men?
jentikkan tutup pemantik itu, dia berkata
"Kuharap akulah yang kepikiran untuk memanggil detektif parti?
kelir. Tapi tak pernah terlintas di kepalaku. Aku senang ada orang
yang melakukannya. Aku tidak percaya dia bunuh diri. Terapisku ber?
kata, itu penyangkalan. Aku datang ke terapi dua kali seminggu, bu?
kan berarti ada pengaruhnya. Kalau aku bisa mendesain di bawah
pengaruh Valium, aku akan ngemil pil itu seperti Lady Bristow. Tapi
aku sudah mencobanya seminggu setelah Cuckoo meninggal, dan aku
jadi seperti zombi. Kurasa obat itu telah membantuku melalui pe?
makaman."
Bunyi gemerincing dan berkeletak-keletuk di tangga spiral meng?
umumkan kembalinya Trudie, yang muncul dari lantai sedikit demi
sedikit. Dia meletakkan nampan lak hitam di meja, dengan dua gelas
teh ala Rusia yang berhias sulur-sulur perak, berisi cairan hijau pucat
mengepul-ngepul dengan daun layu yang terapung di atasnya. Di
nampan itu juga ada sepiring biskuit tipis yang seperti terbuat dari
arang. Strike mengenang pai, kentang, dan tehnya yang sewarna kayu
mahoni di Phoenix dengan penuh nostalgia.
"Terima kasih, Trudie. Danbilkan asbak, darling."
Gadis itu ragu-ragu, hendak melancarkan protes.
"Lakukan saja," hardik Som?. "Aku bos di sini, aku bisa membakar
Robert Galbraith
gedung ini sampai habis kalau mau. Cabut baterai alarm kebakarannya
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalau perlu. Tapibil dulu asbaknya.
"Alarmnya bunyi minggu lalu, mengaktifkan semprotan air di lantai
bawah," Som? menjelaskan kepada Strike. "Jadi sekarang para sponsor
tidak mau siapa pun merokok di dalam gedung. Mereka boleh menye?
lipkan aturan itu ke lubang pantat mereka yang sempit."
Dia mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya me?
lalui lubang hidung.
"Kau tidak mengajukan pertanyaan? Atau kau mau duduk saja di
sana dengan tampang menakut-nakuti sampai seseorang menyembur?
kan pengakuan?"
"Kita bisa melakukan tanya-jawab," kata Strike sambil mengeluar?
kan notes dan bolpoinnya. "Kau sedang di luar negeri ketika Lula me?
ninggal, bukan?"
"Aku baru kembali, beberapa jam sebelumnya." Jemari Som? yang
menjepit rokok berkedut sedikit. "Aku baru dari Tokyo, nyaris tidak
tidur selama delapan hari. Mendarat di Heathrow sekitar setengah se?
belas malam dengan jet lag parah yang paling menyebalkan. Aku tidak
bisa tidur di pesawat. Aku mau tetap terjaga kalau pesawatku nyus?
ruk."
"Naik apa sepulangnya dari bandara?"
"Taksi. Elsa mengacaukan pemesanan mobil. Seharusnya ada sopir
yang menjemputku di sana."
"Elsa itu siapa?"
"Gadis yang kupecat karena mengacaukan pemesanan mobil. Aku
tidak sudi harus mencari-cari taksi selarut itu."
"Kau tinggal sendiri?"
"Tidak. Tengah malam aku sudah selimutan di ranjang bersama
Viktor dan Rolf. Kucing-kucingku," tambahnya dengan seringai kecil.
"Aku minumbien, tidur beberapa jam, lalu terbangun pukul lima
pagi. Aku menghidupkan Sky News dari ranjang, lalu ada laki-laki
yang memakai topi kulit domba yang jelek sekali berdiri di jalan tem?
pat tinggal Cuckoo, mengatakan dia sudah mati. Teks berjalan di ba?
wah layar juga bilang begitu."
Som? mengisap dalam-dalam rokoknya, dan asap putih meliuk ke?
luar dari mulut bersamaan dengan kata-kata berikutnya.
Dekut Burung Kukuk
"Aku nyaris mati berdiri. Kupikir aku masih tidur, atau terbangun
di dimensi yang salah atau apa... aku langsung menelepon semua
orang... Ciara, Bryony... telepon mereka sibuk semua. Dan selama itu
aku menonton televisi, berpikir mereka akan mengumumkan ada ke?
salahan, bahwa itu bukan dia. Aku terus berdoa yang mati si gelan?
dangan itu. Rochelle."
Dia terdiam, seakan-akan mengharapkan komentar dari Strike.
Strike, yang selama Som? berbicara terus mencatat, kini bertanya sam?
bil terus menulis
"Kau kenal Rochelle?"
"Yeah. Dia pernah diajak Cuckoo ke sini sekali waktu. Memoroti?
nya sampai habis."
"Mengapa kau berkata begitu?"
"Dia benci Cuckoo. Iri setengah modar. Di mataku itu kelihatan je?
las, walaupun Cuckoo tidak bisa melihatnya. Dia itu cuma mau enak?
nya, tidakbil pusing Cuckoo hidup atau mati. Beruntung juga dia,
ternyata...
"Jadi, semakin lama menonton berita, semakin aku yakin ada yang
tidak beres. Aku berantakan."
Jari-jarinya gemetar sedikit pada batang putih yang disedotnya itu.
"Mereka bilang, ada tetangga yang mendengar pertengkaran; jadi
tentu saja aku langsung teringat Duffield. Menurutku, Duffield-lah
yang mendorongnya dari jendela. Aku sudah siap memberitahu semua
orang bajingan macam apa dia; aku sudah siap berdiri di pengadilan
dan bersaksi tentang karakter si bangsat itu. Dan kalau abu ini jatuh
dari rokokku," lanjutnya dengan nada yang persis sama, "akan kupecat
sundal kecil itu."
Seakan-akan Trudie bisa mendengar perkataan itu, langkahnya ter?
dengar semakin keras sampai dia muncul lagi di ruangan dengan na?
pas tersengal-sengal dan membawa asbak kaca yang berat.
"Terima kasih banyak lho," sindir Som? dengan tajam, saat Trudie
meletakkan asbak itu di depannya dan terbirit-birit turun lagi.
"Mengapa kau berpikir Duffield pelakunya?" tanya Strike begitu
dia memperkirakan Trudie sudah di luar jangkauan pendengaran.
"Siapa lagi yang diizinkan Cuckoo masuk ke flatnya pada jam dua
pagi?"
Robert Galbraith
"Kau kenal Duffield dengan baik?"
"Cukup baik, untuk ukuran keparat itu." Som? meraih cangkir teh
mint-nya. "Mengapa perempuan selalu begitu? Cuckoo juga... padahal
dia tidak bodoh?bahkan, dia itu sebenarnya pintar sekali?jadi, apa
yang dia lihat dalam diri Evan Duffield? Mari kuberitahu," katanya,
tanpa menunggu jawaban. "Yang bikin klepek-klepek adalah lagak pu?
jangga-teraniaya itu, omong kosong luka-batin, gaya genius-yang-ter?
siksa itu. Sikat gigimu, cecunguk. Kau bukan Byron."
Dibantingnya gelas itu di meja, lalu dia menggenggam siku kanan?
nya dengan tangan kiri, menenangkan lengannya yang gemetar, lalu
kembali menyedot rokoknya dalam-dalam.
"Laki-laki tidak akan sudi meladeni bajingan macam Duffield.
Cuma perempuan yang mau. Insting keibuan yang kebablasan, kalau
kubilang."
"Jadi menurutmu dia mampu membunuh Lula?"
"Tentu saja," kata Som? merendahkan. "Tentu saja dia mampu. Di
dalam diri kita semua, di suatu tempat, ada kemampuan untuk mem?
bunuh, jadi kenapa ada pengecualian untuk Duffield? Dia itu mental?
nya seperti anak dua belas tahun yang kejam. Aku bisa membayang?
kan dia mengamuk, marah-marah, lalu?"
Dengan tangannya yang bebas dari rokok dia membuat gerakan
menyentak yang geram.
"Aku pernah melihat dia membentak Cuckoo. Pada pesta setelah
peragaan busana, tahun lalu. Aku menengahi mereka; kubilang pada
bajingan itu, dia boleh memukul aku sebagai gantinya. Badanku
mungkin kecil," kata Som?, wajahnya yang bulat penuh tekad, "tapi
aku akan membela diri melawan bangsat teler kapan saja. Dia juga
teler waktu pemakaman."
"Oh ya?"
"Yeah. Jalan terhuyung-huyung, matanya menerawang. Tidak ada
rasa hormat sama sekali. Sayangnya aku sendiri dalam pengaruh obat
tidur, kalau tidak aku pasti sudah mengatakan pendapatku tentang
dia. Pura-pura sedih, dasar keparat munafik."
"Kau tidak pernah berpikir itu bunuh diri?"
Mata Som? yang ganjil dan menjorok itu menatap Strike bagaikan
bor.
Dekut Burung Kukuk
"Tidak pernah. Duffield bilang dia ada di tempat bandarnya, purapura pakai topeng serigala. Alibi kampret macam apa itu? Kuharap
kau memeriksa dia. Kuharap kau tidak terpesona dengan ketenaran?
nya, seperti polisi."
Strike ingat komentar Wardle tentang Duffield.
"Kupikir mereka tidak menganggap Duffield memesona."
"Kalau begitu, selera mereka lebih baik daripada sangkaanku," ujar
Som?.
"Mengapa kau yakin sekali itu bukan bunuh diri? Lula punya ma?
salah kejiwaan, bukan?"
"Ya, tapi kami punya kesepakatan, seperti Marilyn Monroe dan
Montgomery Clift. Kami bersumpah, kalau salah satu dari kami ber?
pikir serius tentang bunuh diri, kami akan menelepon yang lain. Dia
pasti akan meneleponku."
"Kapan terakhir kali kau mendengar kabar darinya?"
"Dia meneleponku hari Rabu, waktu aku masih di Tokyo," sahut
Som?. "Anak bodoh itu selalu lupa ada perbedaan waktu delapan jam.
Dering teleponku kumatikan pada pukul dua pagi, jadi aku tidak
menjawabnya; tapi dia meninggalkan pesan, dan dia tidak menunjuk?
kan tanda-tanda ingin bunuh diri. Dengar saja sendiri."
Dia merogoh lacinya lagi, menekan beberapa tombol, lalu meng?
ulurkan ponsel kepada Strike.
Kemudian, Lula Landry berbicara dengan jelas dan nyata di telinga
Strike, suaranya agak parau, dengan bergurau menirukan logat
Cockney.
"Kau nggak apa-apa, kan, darlin?? Mau kasih kabar, aku tidak yakin
apakah kau akan menyukainya, tapi ini penting, dan aku senang sekali
jadi harus memberitahu seseorang. Telepon aku kalau bisa, oke?
Nggak sabar lagi, mwah mwah."
Strike mengembalikan ponsel itu.
"Kau sempat membalas teleponnya? Apakah akhirnya kau tahu
soal berita penting itu?"
"Tidak." Som? melumat rokoknya dan langsung meraih sebatang
lagi. "Orang-orang Jepang itu menjadwalkanku dalam rapat beruntun.
Setiap kali teringat olehku untuk menelepon dia, selalu ada perbedaan
waktu. Ya sudahlah... sejujurnya, kupikir aku tahu apa yang mau dia
Robert Galbraith
katakan, dan aku memang sama sekali tidak senang. Menurutku, dia
hamil."
Som? mengangguk beberapa kali dengan rokok yang baru disulut
terjepit di antara gigi-giginya. Lalu dicabutnya rokok itu untuk ber?
kata
"Yeah, kupikir dia sudah membuat dirinya hamil."
"Dengan Duffield?"
"Oh, kuharap bukan. Waktu itu aku belum tahu mereka sudah ba?
likan lagi. Cuckoo tidak akan punya nyali tidur dengan bajingan itu
kalau aku ada di sini; tidak, dia menunggu sampai aku ada di Jepang,
jalang kecil licik itu. Dia tahu aku benci laki-laki terkutuk itu, dan dia
peduli pada pendapatku. Aku dan Cuckoo sudah seperti keluarga."
"Mengapa kaupikir dia mungkin hamil?"
"Dari suaranya. Kau sudah dengar sendiri?dia gembira sekali...
aku punya firasat. Hal seperti itulah yang mungkin dilakukan Cuckoo,
dan dia berharap aku sama gembiranya dengan dia, sementara dia
mencelakakan kariernya, mencelakakan aku, yang mengandalkan dia
untuk meluncurkan lini aksesoriku yang baru..."
"Apakah itu kontrak lima juta pound yang diberitahukan kakaknya
kepadaku?"
"Ya, dan aku yakin si Akuntan mendesaknya untuk menunggu
sampai mendapatkan sebanyak mungkin," kata Som? dengan kilasan
kegeraman. "Cuckoo tidak seperti itu, tidak akan memeras aku sampai
habis. Dia tahu proyek itu keren, dan akan membawanya ke tingkat
yang belum pernah dicapainya kalau dia yang menjadi dutanya. Me?
mang tidak seluruhnya urusan uang. Semua orang mengasosiasikan
dirinya dengan rancanganku; terobosan besarnya terjadi pada saat pe?
motretan Vogue, ketika dia mengenakan gaun Jagged-ku. Cuckoo me?
nyukai pakaian-pakaianku, dia menyayangiku, tapi lalu orang sampai
pada tingkat tertentu, dan semua orang mengatakan nilainya lebih
tinggi, tapi mereka lupa siapa yang menempatkan mereka di sana, dan
tahu-tahu saja semua menyangkut soal keuntungan."
"Kau tentunya beranggapan dia memang pantas, dengan kontrak
senilai lima juta pound itu?"
"Yah, boleh dibilang aku mendesain seluruh koleksi itu untuk dia,
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jadi kalau tiba-tiba ada berita kehamilan, itu benar-benar nggak lucu.
Dekut Burung Kukuk
Dan aku bisa membayangkan Cuckoo mendadak jadi tolol, mengabai?
kan semuanya, tidak ingin meninggalkan bayi sialan itu. Begitulah dia;
selalu mencari orang untuk ditumpahi cinta, selalu mencari keluarga
pengganti. Bristow sekeluarga itulah yang sudah merusak dia se?
lamanya. Mereka hanya mengadopsi dia sebagai mainan untuk Yvette,
sundal paling menakutkan di dunia."
"Dalam arti bagaimana?"
"Posesif. ?Sakit?. Tidak mau melepaskan Cuckoo dari pengawasan?
nya, takut dia tahu-tahu mati, seperti anak yang digantikan posisinya
oleh Cuckoo. Lady Bristow selalu datang ke peragaan, bikin jengkel
semua orang, sampai penyakitnya terlalu parah sehingga dia tidak bisa
pergi. Lalu ada pamannya, yang memperlakukan Cuckoo seperti sam?
pah sampai Cuckoo mulai menghasilkan banyak uang. Baru sesudah
itu dia lebih menaruh hormat. Keluarga Bristow itu memang tahu
benar nilai uang."
"Mereka keluarga berada, bukan?"
"Alec Bristow sebenarnya tidak meninggalkan warisan sebanyak itu,
kalau menilai secara relatif. Bila dibandingkan uang sungguhan. Tidak
seperti ayahmu. Eh," kata Som?, sekonyong-konyong mengalihkan
arah percakapan, "bagaimana ceritanya anak Jonny Rokeby bisa jadi
detektif partikelir?"
"Karena memang itu pekerjaannya," sahut Strike. "Lanjutkan ten?
tang keluarga Bristow."
Som? tampaknya tidak tersinggung diperintah seperti itu; bahkan
dia tampak menikmatinya, kemungkinan karena ini pengalaman yang
tidak biasa baginya.
"Aku hanya ingat Cuckoo pernah memberitahuku bahwa sebagian
besar warisan Alec Bristow dalam bentuk saham di perusahaan lama?
nya, padahal Albris sudah kembang-kempis ditekan resesi. Perusahaan
itu kan bukan Apple. Penghasilan Cuckoo sudah jauh melebihi me?
reka semua sebelum usianya menginjak dua puluh."
"Apakah foto itu," kata Strike sambil menunjuk poster besar "Fallen
Angels" di dinding belakangnya, "bagian dari kampanye lima juta
pound itu?"
"Ya," jawab Som?. "Dimulai dengan empat tas itu. Dia memegang
?Cashile? di situ; aku memberinya nama-nama Afrika, demi dia. Dia
Robert Galbraith
begitu terobsesi pada Afrika. Ibu kandungnya yang pelacur itu, yang
dia temukan dari kedalaman bumi, memberitahu dia bahwa ayahnya
berdarah Afrika, sehingga Cuckoo langsung terobsesi dengannya;
bicara tentang kuliah di sana, melakukan pekerjaan sukarela... tidak
peduli kalau pelacur itu mungkin sudah tidur dengan lima puluh ang?
gota geng kriminal Jamaika. Afrika, dengkulmu," cemooh Guy Som?
seraya menggerus puntung rokoknya di asbak kaca. "Sundal itu hanya
mengatakan pada Cuckoo apa yang ingin dia dengar."
"Dan kau memutuskan untuk menggunakan foto itu untuk kam?
panye iklan, walaupun Lula baru saja...?"
"Itu dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan." Som? melibas
kata-kata Strike dengan suara lantang. "Tidak pernah dia tampak se?
cantik itu. Seharusnya itu adalah penghormatan baginya, bagi kami.
Dia sumber inspirasiku. Kalau bajingan-bajingan itu tidak bisa me?
mahaminya, persetan dengan mereka. Pers di negara ini lebih rendah
daripada sampah. Menghakimi orang seenak udel."
"Pada hari dia meninggal, beberapa tas dikirim ke Lula..."
"Ya, itu dari aku. Aku mengirimkan satu dari tiap jenis," kata Som?
sambil memberi isyarat ke arah poster itu dengan lambaian rokok
barunya, "dan aku juga mengirimkan beberapa pakaian untuk Deeby
Macc dengan kurir yang sama."
"Apakah dia memesannya, atau...?"
"Gratis, Say," ucap Some dengan nada mengalun. "Bisnis bagus. Be?
berapa sweter bertudung yang dibuat khusus dan beberapa aksesori.
Tidak ada salahnya mendapat dukungan selebriti."
"Dia pernah memakai baju-baju itu?"
"Entahlah," kata Som?, suaranya lebih sendu. "Ada hal-hal lain yang
kupikirkan keesokan harinya."
"Aku pernah melihat rekaman YouTube di mana Deeby mengena?
kan sweter bertudung dengan paku-paku, seperti itu," kata Strike sam?
bil menuding dada Som?. "Berbentuk kepalan tangan."
"Yeah, itu salah satunya. Pasti ada yang mengirimkan barang-ba?
rang itu kepadanya. Yang satu berbentuk tinju, yang satu lagi pistol,
dan beberapa lirik lagunya di bagian belakang."
"Lula bilang padamu soal Deeby Macc yang akan tinggal di flat di
bawahnya?"
Dekut Burung Kukuk
"Oh, yeah. Dia tidak cukup bersemangat. Aku selalu bilang pada?
nya, babe, kalau orang ini menulis tiga lagu tentang diriku, aku akan
menunggu telanjang di balik pintu depan waktu dia datang." Som?
mengembuskan asap dalam dua semburan panjang dari lubang hi?
dungnya, matanya mengerling ke arah Strike. "Aku suka yang besar
dan kasar," katanya. "Tapi Cuckoo tidak. Yah, lihat saja siapa yang ber?
sama dia. Aku sering berkata padanya, kau yang selalu mengoceh soal
akarmu, jadi carilah pemuda hitam yang baik dan hidup mapan.
Deeby bangsat yang sempurna; kenapa tidak?
"Peragaan busana musim lalu, aku menyuruhnya jalan di catwalk
diiringi lagu Deeby, Butterface Girl. ?Hei, sundal, kau bukan apa-apa,
ambil cermin yang tidak berdusta. Sudahlah, lupakan saja, girl, karena
kau bukan Lula.? Duffield jengkel sekali."
Som? merokok selama beberapa saat tanpa suara, matanya tertuju
pada foto-foto di dinding. Strike bertanya
"Di mana kau tinggal? Di sekitar sini?" meskipun dia sudah tahu
jawabannya.
"Tidak, aku di Charles Street, di Kensington," jawab Some. "Pin?
dah ke sana tahun lalu. Jauh banget dari Hackney, memang, tapi ma?
kin lama makin menyebalkan, jadi aku harus pindah. Terlalu merepot?
kan. Aku besar di Hackney," dia menjelaskan, "waktu aku masih jadi
Kevin Owusu yang tidak istimewa. Aku mengubah namaku waktu
pergi dari rumah. Seperti kau."
"Aku tidak pernah menggunakan nama Rokeby," kata Strike, mem?
balik halaman notesnya. "Orangtuaku tidak pernah menikah."
"Kita semua tahu itu, Say," kata Som? dengan kilasan senyum licik.
"Aku mendandani ayahmu untuk pemotretan Rolling Stone tahun lalu
setelan pas badan dan bowler sobek. Kau sering bertemu dengannya?"
"Tidak," sahut Strike.
"Tidak, ya? Well, kau akan membuat dia kelihatan tua sekali, bu?
kan?" kata Som? sambil terkekeh. Dia bergerak-gerak gelisah di tem?
pat duduknya, menyulut sebatang rokok lagi, menjepitnya di antara
bibir, lalu menyipitkan mata pada Strike di antara kepulan asap men?
tol.
"Kenapa sih kita membicarakan diriku? Orang memang biasa
Robert Galbraith
langsung menceritakan kisah hidupnya, ya, begitu kau mengeluarkan
notes itu?"
"Kadang-kadang."
"Kau tidak mau minum tehnya? Aku tidak menyalahkanmu sih.
Aku sendiri tidak tahu kenapa minum cairan itu. Ayahku bakal kena
serangan jantung kalau dia minta teh dan dikasih yang kayak begini."
"Keluargamu masih tinggal di Hackney?"
"Aku belum mengecek," kata Som?. "Kami tidak bicara. Apa yang
kukatakan, kulakukan, mengerti?"
"Mengapa kaupikir Lula mengubah namanya?"
"Karena dia benci nama keluarganya, sama seperti aku. Dia tidak
ingin diasosiasikan dengannya lagi."
"Kalau begitu, mengapa memilih nama yang sama dengan Paman
Tony?"
"Pamannya tidak terkenal. Namanya bagus. Deeby tidak akan bisa
menulis Double L U B Mine kalau namanya Lula Bristow, bukan?"
"Charles Street tidak terlalu jauh dari Kentigern Gardens, bukan?"
"Sekitar dua puluh menit jalan kaki. Aku ingin Cuckoo pindah de?
nganku ketika dia bilang tidak bisa lagi tinggal di rumah lamanya, tapi
dia tidak mau; sebaliknya, dia malah memilih penjara bintang-lima
itu, hanya untuk menghindari pers. Mereka yang mendorongnya ke
tempat itu. Mereka ikut bertanggung jawab."
Strike teringat kata-kata Deeby Macc Pers keparat memburunya
sampai ke jendela itu.
"Dia mengajakku melihat tempat itu. Mayfair, penuh orang Rusia
dan Arab, dan bajingan seperti Freddie Bestigui. Kubilang padanya,
sweetie, kau tidak bisa tinggal di sini. Di mana-mana marmer, marmer
tidak chic untuk iklim kita... rasanya seperti tinggal di dalam kuburan?
mu sendiri..."
Suaranya memelan, lalu dia melanjutkan
"Sudah beberapa bulan dia stres. Ada penguntit yang mengirim
surat-surat ke pintu rumahnya pada pukul tiga pagi; Cuckoo ter?
bangun gara-gara bunyi kotak surat. Hal-hal yang dikatakan ingin di?
lakukan orang itu pada Cuckoo... dia jadi takut. Lalu dia putus de?
ngan Duffield, dan paparazzi nongkrong di depan rumahnya setiap
saat. Lalu dia tahu mereka menyadap telepon-teleponnya. Ditambah
Dekut Burung Kukuk
lagi dia harus menemukan ibunya yang sundal itu. Dia tidak kuat lagi.
Dia ingin pergi dari semuanya, ingin merasaan. Sudah kubilang
agar dia pindah ke tempatku, tapi dia malah membeli mausoleum ter?
kutuk itu.
"Dia membelinya karena bangunan itu seperti benteng, dengan
pengamanan dua puluh empat jam. Dia pikir dia akanan dari se?
mua orang, tidak akan ada orang yang bisa menjangkaunya.
"Tapi dia membencinya dari semula. Sudah kuduga. Dia terkucil?
kan dari segala hal yang dia sukai. Cuckoo menyukai warna dan suara.
Dia senang berada di jalanan, dia suka berjalan kaki, bebas.
"Salah satu alasan polisi mengatakan itu bukan pembunuhan
adalah karena jendela-jendela yang terbuka. Dia sendiri yang mem?
bukanya; hanya ada sidik jarinya di pegangan jendela. Tapi aku tahu
kenapa dia membuka jendela-jendela itu. Dia selalu membuka jen?
delanya, bahkan ketika udara dingin membeku, karena dia tidak tahan
dengan keheningan. Dia senang bisa mendengarkan suara-suara
London."
Suara Som? telah kehilangan nada licik dan sinisnya. Dia ber?
deham dan melanjutkan
"Dia berusaha terhubung dengan sesuatu yang nyata?kami sering
membicarakan itu. Itu persoalan besar kami. Itulah yang membuatnya
akrab dengan si Rochelle sialan itu. Itu contoh kasus ?selamat karena
anugerah Tuhan?. Cuckoo berpikir begitulah dirinya kalau dia tidak
dilahirkan cantik, kalau keluarga Bristow tidak mengadopsinya men?
jadi mainan bagi Yvette."
"Ceritakan tentang penguntit itu."
"Sakit jiwa. Orang itu berpikir mereka menikah atau apa. Dia
mendapat perintah menjaga jarak dan perawatan kejiwaan yang harus
dijalani."
"Kau tahu di mana dia sekarang?"
"Kurasa dia dideportasi kembali ke Liverpool," kata Som?. "Tapi
polisi sudah memeriksanya. Kata mereka, dia terkurungan pada
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malam Cuckoo meninggal."
"Kau kenal pasangan Bestigui?"
"Hanya tahu dari yang diceritakan Lula kepadaku, bahwa si suami
orangnya mesum dan istrinya seperti patung lilin berjalan. Aku tidak
Robert Galbraith
perlu kenal wanita itu. Aku tahu tipenya. Cewek kaya yang kerjanya
menghambur-hamburkan uang suaminya yang jelek. Mereka datang
ke peragaanku. Mereka ingin jadi temanku. Mendingan aku berteman
dengan pelacur yang jujur."
"Freddie Bestigui ada di rumah pedesaan yang sama dengan Lula
pada akhir minggu sebelum kematiannya."
"Yeah, aku dengar. Dia memang selalu bernafsu pada Lula," kata
Som? sambil lalu. "Lula juga tahu. Bukan sesuatu yang mengherankan
dalam hidupnya, kau ngerti, kan? Tapi dari yang diceritakan padaku,
laki-laki itu tidak pernah melakukan apa pun selain berusaha meren?
dengi dia kalau naik lift."
"Kau tidak pernah berbicara dengan Lula setelah akhir pekan di
tempat Dickie Carbury itu, bukan?"
"Tidak. Apakah dia melakukan sesuatu? Kau tidak mencurigai
Bestigui, bukan?"
Som? duduk tegak di kursinya, matanya menatap tajam.
"Brengsek... Freddie Bestigui? Yah, dia memang bajingan, aku tahu
itu. Aku kenal seorang gadis... yah, dia temannya teman... dia bekerja
di perusahaan produksi Bestigui, dan Bestigui mencoba memerkosa?
nya. Tidak, aku tidak mengada-ada," kata Som?. "Sungguhan. Me?
merkosa. Cewek ini dibuatnya mabuk setelah jam kerja, lalu menekan?
nya di lantai. Seorang asisten lain ponselnya ketinggalan dan harus
kembali ke kantor, lalu memergoki mereka. Bestigui membungkam
mereka berdua dengan uang. Semua orang menyuruh gadis itu me?
nuntut bajingan itu, tapi dia mengambil uangnya dan kabur. Orang bi?
lang, Bestigui suka mendisiplinkan istri keduanya dengan cara-cara
yang ?sakit??karena itulah istrinya pergi dengan membawa uang tun?
jangan tiga juta; dia mengancam akan membocorkannya ke media.
Tapi Cuckoo tidak akan pernah mengizinkan Freddie Bestigui masuk
ke flatnya pada pukul dua pagi. Seperti yang kubilang tadi, gadis ini
tidak bodoh."
"Apa yang kauketahui tentang Derrick Wilson?"
"Siapa dia?"
"Petugas keamanan yang berjaga pada malam dia meninggal."
"Tidak tahu."
"Orangnya bertubuh besar, dengan aksen Jamaika."
Dekut Burung Kukuk
"Mungkin fakta ini membuatmu kaget, tapi tidak semua orang ku?
lit hitam di London saling mengenal."
"Aku hanya ingin tahu apakah kau pernah bicara dengannya, atau
mendengar Lula berbicara tentang dia."
"Tidak, kami punya hal-hal yang lebih menarik dibicarakan ke?
timbang satpam itu."
"Begitu juga dengan sopirnya, Kieran Kolovas-Jones?"
"Oh, aku tahu Kolovas-Jones," kata Som? dengan mencibir. "Selalu
berpose setiap kali dia pikir aku melihat ke luar jendela. Dia itu se?
meter terlalu pendek untuk jadi model."
"Lula pernah membicarakan dia?"
"Tidak. Untuk apa?" tanya Som? tak sabar. "Dia kan sopir."
"Kolovas-Jones mengatakan mereka cukup dekat. Dia pernah bi?
lang, Lula memberinya jaket rancanganmu. Harganya sembilan ratus
pound."
"Bukan soal penting," kata Som? dengan rasa muak yang enteng.
"Jaket rancanganku yang pantas harganya di atas tiga ribu. Aku hanya
perlu menempelkan logo itu pada setelan olahraga, dan akan terjual
seperti kacang goreng. Bodoh saja kalau aku tidak melakukannya."
"Yeah, aku baru mau tanya soal itu," kata Strike. "Lini, eh, ready-towear, ya?"
Som? tampak geli.
"Betul. Itu pakaian yang dibuat tidak berdasarkan ukuran, me?
ngerti? Kau membelinya di rak toko."
"Begitu. Apakah terjual luas?"
"Barang-barang itu ada di mana-mana. Kapan terakhir kali kau
masuk toko pakaian?" tanya Som?, matanya yang belok menjelajahi jas
biru tua Strike. "Yang kaupakai itu apa sih, setelan mafia?"
"Yang kaumaksud ?di mana-mana?..."
"Depstor terkemuka, butik, online," Som? mencerocos. "Kenapa?"
"Salah satu orang yang terlihat di kamera CCTV sedang berlari
dari area tempat tinggal Lula malam itu mengenakan jaket dengan
logomu di bajunya."
Som? mengedikkan kepalanya sedikit, tanda penyangkalan dan ke?
jengkelan.
"Dia dan satu juta orang lainnya."
Robert Galbraith
"Kau tidak melihat??"
"Aku tidak melihat sampah itu," tukas Som? dengan sengit.
"Semua?semua liputan itu. Aku tidak ingin membacanya, tidak ingin
memikirkannya. Aku mengeluarkan perintah agar menjauhkan semua
itu dariku," katanya sambil mengibaskan tangan ke arah tangga, ke
arah stafnya. "Yang kutahu adalah dia sudah mati dan Duffield ber?
tingkah seperti orang yang menyembunyikan sesuatu. Hanya itu yang
aku tahu. Sudah cukup."
"Oke. Masih soal pakaian, di foto terakhir Lula, di mana dia ber?
jalan masuk ke gedung, sepertinya dia mengenakan gaun dan mantel..."
"Yeah, dia mengenakan Maribelle dan Faye," sahut Som?. "Gaun itu
bernama Maribelle?"
"Yeah, mengerti," kata Strike. "Tapi pada waktu kematiannya, dia
mengenakan sesuatu yang berbeda."
Ucapan Strike itu sepertinya membuat Som? terkejut.
"Oh ya?"
"Ya. Di foto-foto polisi, jenazahnya?"
Tapi Som? mengangkat lengannya dalam isyarat membantah,
membela diri, lalu dia berdiri dengan napas memburu dan meng?
hampiri dinding pajangan, di mana Lula menatap dari berbagai foto?
tersenyum, penuh perenungan, tampak damai. Ketika sang perancang
berbalik ke arah Strike, mata aneh yang menjorok itu basah.
"Sialan," katanya dengan suara rendah. "Jangan bicara seperti itu
tentang dia. ?Jenazah?. Kau memang bangsat berdarah dingin, ya?
Tidak heran Jonny tidak terlalu menyukaimu."
"Aku tidak bermaksud membuatmu marah," kata Strike tenang.
"Aku hanya ingin tahu apakah kau bisa memperkirakan alasan dia
berganti baju ketika sampai di rumah. Sewaktu dia jatuh, dia me?
ngenakan celana panjang dan atasan berpayet."
"Bagaimana aku bisa tahu alasan dia ganti baju?" tanya Som?, be?
rang. "Mungkin dia kedinginan. Mungkin dia? Keparat. Goblok se?
kali. Bagaimana aku bisa tahu?"
"Aku hanya bertanya," kata Strike. "Aku pernah membaca entah di
mana, kau memberitahu pers bahwa dia meninggal dengan mengena?
kan salah satu gaunmu."
"Itu bukan aku, aku tidak pernah memberikan pernyataan. Ada
Dekut Burung Kukuk
sundal tabloid yang menelepon ke kantor dan menanyakan nama gaun
itu. Salah seorang penjahit memberitahunya, lalu mereka menyebut
dia juru bicaraku. Bilang bahwa aku ingin mendapat publisitas dari
situ, dasar jalang keparat."
"Apakah kau bisa membantu menghubungkanku dengan Ciara
Porter dan Bryony Radford?"
Som? kelihatan limbung, bingung.
"Apa? Oke..."
Tapi dia mulai menangis sungguh-sungguh; tidak seperti Bristow
yang terisak-isak dan tersedu sedan, melainkan tanpa suara, dengan
air mata mengalir menuruni pipinya yang gelap dan halus, menetes ke
kausnya. Dia menelan ludah dan memejamkan mata, berbalik me?
munggungi Strike, menyandarkan keningnya di dinding, tubuhnya
gemetar.
Strike menunggu dalam diam sampai Som? menyeka wajahnya be?
berapa kali dan berbalik menghadapinya lagi. Dia tidak menyebutnyebut soal air mata, tapi kembali ke kursi, duduk, lalu menyulut ro?
kok. Setelah dua atau tiga isapan yang dalam, dia berkata dengan
suara datar dan tanpa emosi
"Kalau dia berganti pakaian, itu karena dia sedang menunggu sese?
orang. Cuckoo selalu memilih pakaian yang sesuai. Dia pasti sedang
menunggu seseorang."
"Yah, itu juga pendapatku," kata Strike. "Tapi aku tidak ahli soal
wanita dan pakaian mereka."
"Memang tidak," kata Som?, dengan senyum tipis yang licik itu,
"kelihatannya memang tidak. Kau ingin bicara dengan Ciara dan
Bryony??
"Akan membantu."
"Mereka berdua melakukan pemotretan denganku hari Rabu nanti
Arlington Terrace 1 di Islington. Kalau kau datang sekitar pukul lima,
mereka akan bebas bicara denganmu."
"Kau baik sekali, terima kasih."
"Aku tidak baik," kata Som? pelan. "Aku ingin tahu apa yang ter?
jadi. Kapan kau akan bicara dengan Duffield?"
"Begitu aku bisa bertemu dengannya."
"Dia pikir dia lolos, keparat kecil itu. Lula pasti ganti baju karena
Robert Galbraith
dia tahu Duffield akan datang, ya kan? Walaupun mereka bertengkar,
dia tahu Duffield akan mengikutinya. Tapi dia tidak akan mau bicara
padamu."
"Dia akan bicara padaku," ujar Strike ringan, seraya memasukkan
notesnya dan melirik jam tangan. "Aku sudah menyita waktumu.
Terima kasih sekali lagi."
Ketika Som? mengantar Strike menuruni tangga spiral dan melalui
koridor berdinding putih itu, gayanya mulai kembali. Pada saat me?
reka berjabatan di lobi yang dingin itu, tidak tersisa setitik pun ke?
sedihan yang tadi ditunjukkan.
"Turunkan berat badanmu," katanya pada Strike sebagai salam per?
pisahan, "nanti kukirim sesuatu yang ukurannya XXL."
Sewaktu pintu gudang itu menutup di belakang Strike, dia men?
dengar Som? memanggil si gadis berambut tomat di meja depan. "Aku
tahu apa yang ada di kepalamu, Trudie. Kau membayangkan dia me?
ngerjaimu dengan kasar dari belakang, kan? Ya, kan, darling? Tentara
yang besar dan kasar," lalu terdengar pekik tawa Trudie yang terkejut.
Belum pernah terjadi Charlotte menerima saja sikap diam Strike. Ti?
dak ada telepon atau pesan lanjutan; dia tetap berpura-pura bahwa
pertengkaran terakhir mereka yang menjijikkan dan meledak dengan
kejam telah mengubah dirinya selamanya, menyapu habis seluruh
cintanya, dan menyucikannya dari kemarahan. Namun, Strike me?
ngenal Charlotte seperti bakteri yang diam di dalam darahnya selama
lima belas tahun; tahu bahwa satu-satunya respons Charlotte terhadap
rasa sakit adalah dengan melukai sedalam mungkin, tanpa memeduli?
kan harga yang harus ditanggungnya sendiri. Apa yang akan terjadi
bila dia menolak menemui Charlotte, dan terus menolak? Itu satusatunya strategi yang belum pernah dia coba, satu-satunya yang ter?
sisa.
Sesekali, ketika benteng perlawanan Strike sedang rendah (larut
malam, seorang diri di ranjang lipat) infeksi itu akan kambuh lagi pe?
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nyesalan dan kerinduan akan melongokkan kepalanya, dan dia dapat
melihat Charlotte begitu dekat, cantik, telanjang, membisikkan katakata cinta; atau menangis tanpa suara, berkata bahwa dia memang bu?
suk, rusak, mustahil, namun Strike adalah yang terbaik dan yang pa?
ling sejati baginya. Kemudian, fakta bahwa dia hanya beberapa tombol
jauhnya dari Charlotte, terasa seperti penghalang yang terlalu rapuh
untuk melawan godaan. Kadang-kadang dia lalu keluar dari kantong
tidurnya dan melompat-lompat dalam kegelapan ke meja Robin yang
ditinggalkan, menyalakan lampu, lalu menghabiskan berjam-jam me?
Robert Galbraith
neliti berkas kasus. Sekali-sekali dia bahkan menghubungi ponsel
Rochelle Onifade, tapi gadis itu tidak pernah menjawab.
Pada hari Kamis pagi, Strike kembali ke dinding luar Rumah Sakit
St. Thomas, menunggu tiga jam dengan harapan dapat bertemu
Rochelle lagi, tapi gadis itu tidak muncul. Dia sudah menyuruh Robin
menelepon rumah sakit, tapi kali ini mereka tidak bersedia berkomen?
tar atas ketidakhadiran Rochelle, dan menolak segala upaya permin?
taan untuk mendapatkan alamatnya.
Jumat pagi, saat Strike kembali dari perjalanan ke Starbucks, dia
mendapati Spanner di kantornya, tidak duduk di sofa, melainkan di
meja Robin. Dengan sebatang rokok lintingan tergantung tak tersulut
di bibirnya, dia membungkuk di atas Robin, tak seperti biasanya sok
melucu, karena Robin tertawa dengan agak enggan, seperti seorang
perempuan yang sebenarnya senang, tapi berharap menunjukkan de?
ngan jelas bahwa dia bertahan.
"Apa kabar, Fed? Aku membawa Dell-mu kembali."
"Bagus. Double decaf latte," kata Strike pada Robin, meletakkan mi?
numan itu di dekatnya. "Tidak usah," tambahnya ketika Robin meraih
dompetnya.
Robin sangat tidak senang harus menagihkan kemewahan-ke?
mewahan kecil seperti itu ke peti kas. Dia tidak menyatakan ke?
beratan di depan tamu mereka, tapi mengucapkan terima kasih, lalu
kembali ke pekerjaannya dengan memutar kursi sedikit searah jarum
jam, menjauh dari kedua pria itu.
Korek yang menyala mengalihkan perhatian Strike dari double
espresso-nya ke arah tamunya.
"Dilarang merokok di kantor ini, Spanner."
"Apa? Kau kan merokok seperti lokomotif."
"Tapi tidak di sini. Ayo ikut aku."
Strike menggiring Spanner masuk ke ruang kerjanya dan menutup
pintu rapat-rapat.
"Dia sudah bertunangan," kata Strike sembari duduk.
"Tidak ada harapan, ya? Ah, ya sudahlah. Kabari aku kalau per?
tunangannya batal. Dia itu tipeku banget."
"Kurasa kau bukan tipenya."
Spanner menyengir paham.
Dekut Burung Kukuk
"Ikut antre, ya?"
"Tidak," sahut Strike. "Aku kenal tunangannya, akuntan pemain
rugby. Orang Yorkshire, bersih, dagu kokoh."
Dia telah menciptakan gambaran yang sangat jelas tentang
Matthew, padahal belum pernah melihat fotonya.
"Siapa tahu, dia mungkin senang kalau sang penghibur agak lebih
kasar," kata Spanner sambil meletakkan laptop Lula Landry di meja
dan duduk di depan Strike. Dia mengenakan kaus lengan panjang
yang sudah agak kumal dan sepatu sandal; saat itu hari yang paling
hangat sepanjang tahun ini. "Aku sudah melihat-lihat barang rong?
sokan ini. Kau mau detail teknisnya?"
"Tidak, tapi aku perlu tahu apakah kau bisa menjelaskannya de?
ngan gamblang di pengadilan."
Untuk pertama kalinya, Spanner benar-benar kelihatan tertarik.
"Kau serius?"
"Sangat. Apakah kau mampu membuktikan pada pengacara pem?
bela bahwa kau menguasai pekerjaanmu?"
"Tentu saja."
"Kalau begitu, beri aku hal-hal yang penting saja."
Spanner bimbang sejenak, berusaha membaca mimik wajah Strike.
Akhirnya dia mulai
"Password-nya Agyeman, dan di-reset lima hari sebelum dia me?
ninggal."
"Ejaannya?"
Spanner mengejanya, lalu, yang mengejutkan Strike, dia menam?
bahkan "Itu nama keluarga. Asal Ghana. Dia menyimpan laman
SOAS?School of Oriental and African Studies?di folder bookmark.
Lihat ini."
Sementara dia berbicara, jari-jari Spanner yang lincah mengetukngetuk keyboard. Dia menampilkan laman itu, yang diberi garis tepi
hijau terang, dengan bagian-bagian tentang sekolah, berita, staf, maha?
siswa, perpustakaan, dan sebagainya.
"Tapi, pada saat kematiannya, laman ini terbuka begini."
Dengan bunyi berkeletak ribut dia membuka laman yang nyaris
sama, tapi, seperti yang kemudian ditampilkan kursor yang bergerak
Robert Galbraith
cepat itu, itu adalah tautan obituari seseorang bernama Profesor J. P.
Agyeman, Profesor Emeritus Politik Afrika.
"Dia menyimpan laman ini," kata Spanner. "Dan history internetnya
menunjukkan dia menjelajahazon untuk mencari buku orang ini
pada bulan sebelum dia meninggal. Sekitar saat itu dia melihat banyak
buku tentang sejarah dan politik Afrika."
"Ada bukti dia mendaftar di SOAS?"
"Tidak ada di sini."
"Ada lagi yang menarik di internet?"
"Satu hal lain yang menarik perhatianku adalah satu file foto yang
besar dihapus pada tanggal 17 Maret."
"Bagaimana kau tahu?"
"Ada perangkat lunak yang membantumu mengembalikan file-file
yang bahkan sudah dihapus dari hard drive," kata Spanner. "Kaupikir,
bagaimana polisi bisa menangkap para pedofil itu?"
"Kau bisa mengambilnya kembali?"
"Ya, sudah kusimpan di sini." Diberikannya memory stick kepada
Strike. "Kuduga kau tidak mau aku mengembalikannya ke komputer."
"Tidak?jadi, foto-foto itu...?"
"Tidak ada yang istimewa. Hanya dihapus. Seperti yang kukata?
kan, orang awam tidak menyadari harus ada usaha yang lebih keras
ketimbang sekadar memencet ?delete? kalau kau mau menyembunyikan
sesuatu."
"Tujuh belas Maret," kata Strike.
"Yeah. Hari St. Patrick."
"Sepuluh minggu setelah kematiannya."
"Bisa jadi polisi," usul Spanner.
"Bukan polisi," bantah Strike.
Setelah Spanner pergi, dia bergegas ke kantor luar dan me?
nyingkirkan Robin dari mejanya, supaya dia bisa melihat foto-foto
yang sudah dihapus dari laptop. Dia dapat merasakan gairah Robin
ketika dia menjelaskan apa yang telah dilakukan Spanner, lalu dibuka?
nya file di dalam memory stick itu.
Selama sepersekian detik, ketika foto pertama muncul di layar,
Robin takut mereka akan melihat sesuatu yang mengerikan; bukti tin?
dak kriminal atau sesuatu yang melenceng. Dia baru mendengar ten?
Dekut Burung Kukuk
tang disembunyikannya foto-foto online yang berkaitan dengan kasus
pelecehan yang gawat. Namun setelah beberapa menit, Strike me?
nyuarakan perasaannya.
"Hanya foto-foto biasa."
Strike tidak terdengar kecewa seperti yang dia rasakan, dan Robin
agak malu sendiri; apakah dia ingin melihat sesuatu yang mengerikan?
Strike menurunkan layar, foto-foto gadis-gadis yang tertawa, sesama
model, dan kadang-kadang selebriti. Ada beberapa foto Lula bersama
Evan Duffield, beberapa di antaranya jelas diambil oleh salah satu dari
mereka berdua dengan memegang kamera sejauh jangkauan lengan,
keduanya tampak teler atau mabuk. Som? tampil beberapa kali; Lula
terlihat lebih formal, lebih serius, di sampingnya. Ada banyak foto
Ciara Porter bersama Lula di bar, berdansa di kelab, dan cekikikan di
sofa di flat yang penuh orang.
"Itu Rochelle," kata Strike tiba-tiba, menunjuk wajah kecil yang
cemberut di bawah ketiak Ciara dalam suatu foto bersama. Kieran
Kolovas-Jones ikut dalam foto itu, berdiri di belakang, tersenyum le?
bar dan gembira.
"Aku minta tolong," kata Strike sesudah melihat-lihat sekilas fotofoto yang berjumlah 212 itu. "Telitilah semua foto ini, carilah, atau se?
tidaknya identifikasi orang-orang terkenal, supaya kita bisa mulai
mencari tahu siapa yang menginginkan foto-foto hilang dari laptop?
nya."
"Tapi di sini tidak ada yang tampak memberatkan," kata Robin.
"Pasti ada," ujar Strike.
Dia kembali ke ruang kerjanya, lalu menelepon John Bristow (se?
dang rapat, tidak boleh diganggu; "Tolong beritahu dia secepatnya
agar menelepon saya"), Eric Wardle (voicemail "Aku punya pertanyaan
tentang laptop Lula Landry"), dan Rochelle Onifade (kalau-kalau saja;
tidak ada jawaban; tidak bisa meninggalkan pesan "Voicemail penuh").
"Aku masih belum berhasil menghubungi Mr. Bestigui," kata Robin
pada Strike, ketika dia muncul dari ruang dalam dan mendapati
Robin sedang melakukan pencarian internet terhadap wanita beram?
but cokelat tak teridentifikasi yang berpose dengan Lula di pantai.
"Aku sudah menelepon lagi tadi pagi, tapi dia tidak mau membalas
Robert Galbraith
teleponku. Aku sudah mencoba semua; pura-pura jadi segala macam
orang, sudah mengatakan ini masalah mendesak?apa yang lucu?"
"Aku hanya bertanya-tanya mengapa orang-orang yang mewawan?
caraimu selama ini tidak menawarkan pekerjaan kepadamu," kata
Strike.
"Oh," ucap Robin, pipinya merona sedikit. "Sudah kok. Semuanya.
Aku sudah menerima pekerjaan personalia itu."
"Oh. Begitu," kata Strike. "Kau tidak bilang. Selamat ya."
"Maaf, kupikir aku sudah memberitahumu," Robin berbohong.
"Jadi kau akan pergi... kapan?"
"Dua minggu lagi."
"Ah. Kuduga Matthew pasti senang, ya?"
"Ya," sahut Robin, agak tertegun, "memang."
Seolah-olah Strike tahu Matthew sama sekali tidak senang Robin
bekerja untuknya; tapi itu mustahil; dia berhati-hati untuk tidak me?
nunjukkan sedikit pun ketegangan yang terjadi di rumah.
Telepon berdering, dan Robin menjawabnya.
"Kantor Cormoran Strike... Ya, dengan siapa saya berbicara?...
Derrick Wilson," kata Robin pada Strike seraya mengoperkan gagang
telepon.
"Derrick, hai."
"Mister Bestigui sedang pergi selama beberapa hari," kata suara
Wilson. "Kalau kau mau datang melihat-lihat gedung..."
"Aku akan sampai di sana setengah jam lagi," kata Strike.
Dia melompat berdiri, menepuk-nepuk saku untuk memastikan
dompet dan kuncinya di sana. Namun Strike langsung menyadari ke?
kecewaan Robin, walaupun dia tidak berhenti memeriksa foto-foto
yang tampak tak bersalah itu.
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau mau ikut?"
"Ya!" sahut Robin dengan gembira, lalu menyambar tas dan me?
matikan komputernya.
Pintu depan berat yang bercat hitam di Kentigern Gardens nomor
18 itu terbuka ke area lobi berlantai marmer. Tepat di seberang pintu
masuk berdiri meja kayu mahoni yang dibuat khusus. Di sebelah
kanannya terdapat tangga, yang langsung berbelok dan menghilang
dari pandangan (anak tangga marmer, dengan pegangan dari kayu dan
kuningan); pintu lift keemasan; dan pintu kayu berwarna gelap yang
tertutup di dinding bercat putih. Di atas kubus putih pajangan di su?
dut antara pintu itu dan pintu depan, terdapat karangan bunga lili
oriental warna merah jambu gelap di dalam vas tube yang tinggi,
harumnya semerbak dalam udara yang hangat. Dinding sebelah kiri
dilapisi cermin, menjadikan area itu terlihat dua kali lebih luas dari?
pada ukuran sebenarnya, memantulkan Strike dan Robin yang sedang
memandang, pintu lift, serta kandelar bergaya modern yang ter?
gantung dalam kubus-kubus kristal di atas kepala mereka, dan meja
sekuriti tampak seperti kayu berpelitur yang panjang tak terkira.
Strike teringat kata-kata Wardle "Flat-flat yang terbuat dari mar?
mer dan sebangsanya... seperti hotel bintang lima." Di sebelahnya,
Robin berusaha keras tidak memperlihatkan rasa takjubnya. Jadi
beginilah kehidupan kaum multijutawan. Dia dan Matthew tinggal di
lantai bawah rumah kopel kecil di Clapham; ruang duduknya hampir
seluas area istirahat untuk petugas keamanan di sini, yang ditunjuk?
kan pertama kali oleh Wilson. Ruangan itu hanya cukup untuk meja
Robert Galbraith
kerja dan dua kursi, kotak yang tergantung di dinding untuk semua
kunci induk, serta pintu lain yang menuju bilik toilet yang kecil.
Wilson mengenakan seragam hitam yang modelnya seperti se?
ragam polisi, dengan kancing-kancing kuningan, dasi hitam, dan ke?
meja putih.
"Monitor-monitor," dia menunjukkan pada Strike sewaktu mereka
keluar dari ruang belakang dan berhenti di belakang meja, tempat ter?
dapat empat layar kecil hitam-putih yang tersembunyi dari pandangan
tamu. Salah satunya berasal dari kamera di atas pintu depan, menyaji?
kan pandangan terbatas ke arah jalan; yang lain menampilkan peman?
dangan kosong yang sama di garasi bawah tanah; layar ketiga mem?
perlihatkan halaman belakang nomor 18 yang kosong, yang terdiri
atas pekarangan rumput, tanaman mahal, dan dinding belakang tinggi
yang pernah dipanjat Strike; layar keempat memperlihatkan bagian
dalam lift yang tidak bergerak. Selain monitor-monitor itu, ada dua
panel kontrol untuk alarm bersama serta pintu-pintu yang menuju ko?
lam renang dan garasi, lalu ada dua telepon, satu tersambung ke luar,
yang lain terhubung ke ketiga flat di atas.
"Yang itu," kata Wilson sembari menunjuk pintu kayu, "pintu ke
gym, kolam, dan garasi mobil." Menuruti permintaan Strike, dia mem?
bawa mereka ke sana.
Gym itu kecil, tapi dindingnya dilapisi cermin seperti di lobi, jadi
tampak dua kali lebih luas. Dengan satu jendela menghadap ke jalan,
ruangan itu berisi satu treadmill, alat dayung, step machine, serta satu
set beban.
Pintu mahoni kedua menuju tangga marmer sempit diterangi
lampu-lampu dinding, yang membawa mereka ke bordes yang lebih
rendah, tempat terdapat pintu bercat biasa yang menuju garasi mobil
bawah tanah. Wilson membukanya dengan dua anak kunci, Chubb
dan Yale, lalu menjentikkan sakelar. Area yang diterangi nyaris sepan?
jang jalan itu sendiri, penuh mobil Ferrari, Audi, Bentley, Jaguar, dan
BMW yang masing-masing bernilai jutaan pound. Di dinding sebe?
rang terdapat pintu-pintu dengan selang sekitar enam meter, pintu se?
perti yang tadi mereka masuki jalan masuk dari rumah-rumah di se?
panjang Kentigern Gardens. Pintu-pintu elektrik dari arah Serf ?s Way
Dekut Burung Kukuk
berada paling dekat dengan nomor 18, dibingkai cahaya siang yang
menembus celah-celahnya.
Robin bertanya-tanya apa yang dipikirkan kedua lelaki yang tak
bersuara di sebelahnya. Apakah Wilson terbiasa dengan gaya hidup
mewah orang-orang yang tinggal di sini; terbiasa dengan garasi bawah
tanah, kolam renang, dan Ferrari? Apakah Strike berpikir (seperti
dirinya) bahwa deretan panjang pintu itu melambangkan kemung?
kinan-kemungkinan yang tidak pernah dipikirkannya kesempatan un?
tuk mondar-mandir tanpa ketahuan di antara rumah-rumah ini, ke?
sempatan untuk bersembunyi dan melarikan diri dengan banyak
cara?sebanyak rumah-rumah yang ada di sepanjang jalan ini? Tapi
kemudian dia melihat sejumlah moncong hitam dari berbagai titik di
dinding atas yang tertutup bayang-bayang, memberikan rekaman ke
layar monitor yang tak terhitung banyaknya. Adakah kemungkinan
kamera-kamera tersebut luput dari pengamatan malam itu?
"Oke," kata Strike, dan Wilson membawa mereka kembali ke tang?
ga marmer, lalu mengunci pintu garasi.
Mereka menuruni tangga pendek lain lagi, bau khlorin tercium se?
makin tajam seiring tiap undakan, sampai Wilson membuka pintu di
bawah. Seketika mereka disergap gelombang udara hangat, lembap,
dan sarat bahan kimia.
"Ini pintu yang tidak terkunci malam itu?" tanya Strike pada
Wilson, yang mengangguk seraya menjentikkan sakelar lagi, dan ca?
haya pun membanjir.
Mereka menyusuri tepi kolam yang lebar dan berlapis marmer, tapi
saat itu ditutup plastik tebal. Dinding seberang, lagi-lagi, dilapisi cer?
min. Robin melihat mereka bertiga berdiri dengan pakaian lengkap di
sana, tampak tak selaras di antara lukisan dinding yang menggambar?
kan tumbuh-tumbuhan tropis dan kupu-kupu yang membubung
hingga ke langit-langit. Kolam renang itu lima belas meter panjangnya,
di ujung yang jauh terdapat jacuzzi segi delapan, dan di belakangnya
lagi terdapat tiga ruang ganti dengan pintu yang dapat dikunci.
"Tidak ada kamera di sini?" tanya Strike sambil memandang ber?
keliling. Wilson menggeleng.
Robin dapat merasakan keringat mulai merembes di tengkuk dan
ketiaknya. Area kolam renang ini sangat pengap, dan dia senang bisa
Robert Galbraith
naik tangga mendului kedua pria itu kembali ke lobi, yang terasa la?
pang dan segar. Seorang wanita pirang bertubuh mungil datang ketika
mereka pergi, mengenakan baju kerja pink, jins, dan kaus, serta mem?
bawa ember plastik berisi perlengkapan bersih-bersih.
"Derrick," katanya dengan bahasa Inggris berlogat kental, ketika
petugas keamanan itu muncul dari lantai bawah. "Aku perlu kunci
untuk nomor dua."
"Ini Lechsinka," kata Wilson. "Petugas kebersihan."
Dia mengulas senyum manis pada Robin dan Strike. Wilson
beranjak ke belakang meja mahoni dan memberikan anak kunci dari
meja, lalu Lechsinka naik tangga sambil membawa ember, pinggulnya
yang terbalut jins ketat bergoyang dan berayun dengan menggoda.
Strike, yang menyadari lirikan Robin, segera mengalihkan pandang de?
ngan enggan.
Strike dan Robin mengikuti Wilson naik ke Flat 1, yang dibukanya
dengan kunci induk. Pintu yang menuju tangga, Strike melihat, me?
miliki lubang pengintip model lama.
"Tempat tinggal Mister Bestigui," Wilson mengumumkan sambil
menonaktifkan alarm dengan memasukkan kode pada panel di se?
belah kanan pintu. "Lechsinka sudah masuk ke sini tadi pagi."
Strike dapat mencium bau cairan pembersih dan melihat jejak me?
sin penyedot debu pada karpet putih di lorong yang diterangi lampulampu kuningan, dengan deretan lima pintu bercat putih bersih. Dia
memperhatikan panel kontrol alarm yang tersembunyi di dinding
kanan, di sebelah kanan lukisan sureal kambing-kambing dan gembala
yang melayang di atas pedesaan berwarna biru. Vas tinggi berisi
anggrek berdiri di meja lak hitam di bawah lukisan Chagall itu.
"Bestigui ke mana?" tanya Strike pada Wilson.
"LA," sahut si petugas keamanan. "Kembali dua hari lagi."
Ruang duduk yang dibanjiri cahaya itu memiliki tiga jendela tinggi,
masing-masing dengan balkon batu sempit di depannya; dindingnya
berwarna biru Wedgwood dan hampir segala sesuatu yang lain ber?
warna putih. Semuanya rapi, elegan, dan proporsional. Di sini pun
terdapat lukisan yang luar biasa, sureal, mengerikan lelaki mengena?
kan topeng burung hitam dan membawa lembing, bergandengan de?
ngan tubuh wanita abu-abu yang tidak berkepala.
Dekut Burung Kukuk
Di ruangan inilah Tansy Bestigui mengaku telah mendengar suara
pertengkaran dua lantai di atasnya. Strike mendekati jendela-jendela
panjang itu, memperhatikan penguncinya yang modern, ketebalan
kusennya. Sama sekali tidak terdengar suara dari jalan, walaupun
telinganya hanya berjarak satu senti dari kaca yang dingin. Balkon di
luar sempit, dengan pot-pot berisi tanaman yang digunting mem?
bentuk kerucut.
Strike beranjak menuju kamar tidur. Robin tetap di ruang duduk,
perlahan-lahan berputar di tempat, mengamati kandelar kaca Venesia,
babut berwarna biru muda dan merah muda lembut, TV plasma yang
sangat besar, meja makan bergaya modern dari kaca dan besi serta
kursi-kursi besinya yang berlapis bantalan sutra, juga objets d?art di
meja sisi dari kaca dan di rak perapian dari pualam putih. Dengan
agak sedih dia teringat sofa IKEA yang dibangga-banggakannya hing?
ga detik ini?tapi kemudian dengan sengatan rasa malu terbayang
olehnya ranjang lipat Strike di kantor. Menangkap pandangan Wilson,
dia berkata, tanpa sadar meniru perkataan Eric Wardle
"Dunia yang berbeda, ya?"
"Yeah," sahut Wilson. "Kau tidak bisa punya anak di sini."
"Tidak," ulang Robin. Sudut pandang Wilson itu sama sekali tidak
pernah terlintas di kepalanya ketika mengamati ruangan ini.
Sang detektif keluar dari kamar tidur, jelas tenggelam dalam pi?
kirannya sendiri, lalu menghilang ke lorong.
Sebenarnya, Strike sedang membuktikan pada diri sendiri rute
logis dari kamar tidur ke kamar mandi melalui lorong, yang sama se?
kali tidak melewati ruang duduk. Lebih jauh lagi, dia yakin bahwa
satu-satunya tempat di dalam flat di mana Tansy dapat melihat jatuh?
nya Lula Landry?dan menyadari apa yang sedang dilihatnya?adalah
dari ruang duduk. Kendati Eric Wardle menyatakan sebaliknya, orang
yang berdiri di kamar mandi hanya bisa melihat sebagian kecil jendela
yang dilewati Landry ketika jatuh. Pada malam hari, orang tidak
mungkin merasa cukup yakin bahwa dia telah melihat manusia jatuh,
lebih-lebih dapat mengindentifikasinya dengan pasti.
Strike kembali ke kamar tidur. Setelah kini tinggal sendiri, Bestigui
menempati sisi ranjang yang paling dekat dengan pintu dan lorong,
menilai dari berbagai pil, kacamata, dan buku-buku yang ditumpuk di
Robert Galbraith
meja nakas. Strike ingin tahu apakah begini juga pengaturannya ketika
dia masih tidur bersama istrinya.
Kamar pakaian yang luas dengan pintu-pintu becermin berada di
sisi lain kamar tidur. Lemari-lemari itu penuh setelan buatan Italia
dan kemeja dari Turnbull & Asser. Dua laci dangkal khusus me?
nyimpan manset emas dan platina. Ada lemari besi di belakang panel
palsu di bagian belakang rak sepatu.
"Kurasa sudah semuanya," Strike memberitahu Wilson saat ber?
gabung kembali dengan kedua orang di ruang duduk.
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wilson menyetel alarm lagi ketika mereka meninggalkan flat itu.
"Kau mengetahui semua kode flat-flat di sini?"
"Ya," jawab Wilson. "Harus, kalau-kalau ada yang berbunyi."
Mereka menaiki tangga ke lantai dua. Tangga itu berbelok-belok
tajam mengikuti terowongan lift, menciptakan rangkaian tikungan
buta. Pintu Flat 2 sama persis dengan Flat 1, tapi yang ini terkuak le?
bar. Mereka dapat mendengar mesin penyedot debu Lechsinka ber?
derum di dalam.
"Sekarang ada Mister dan Missus Kolchak di sini," Wilson mem?
beritahu. "Orang Ukraina."
Lorongnya serupa bentuknya dengan Flat 1, dengan ciri-ciri yang
sama, termasuk panel kontrol di tembok yang berada di sisi kanan
pintu depan; tapi ubin koridor tidak dilapisi karpet. Cermin berlapis
cat emas digantung di depan pintu masuk, alih-alih lukisan, dan dua
meja kayu kurus yang tampak rapuh berdiri di masing-masing sisi,
dengan lampu-lampu Tiffany di atasnya.
"Apakah mawar dari Bestigui diletakkan di meja seperti itu?" tanya
Strike.
"Ya, di salah satu meja seperti itu," sahut Wilson. "Tapi sudah di?
kembalikan ke ruang duduk sekarang."
"Dan kau meletakkan meja itu di sini, di tengah-tengah lorong de?
pan, dengan vas mawar di atasnya?"
"Yeah, Bestigui ingin Macc langsung melihatnya begitu dia masuk,
tapi kau bisa lihat sendiri, masih ada banyak tempat untuk bergerak
di sekelilingnya. Tidak perlu disenggol sampai jatuh. Tapi polisi itu
memang masih muda," kata Wilson toleran.
Dekut Burung Kukuk
"Di mana letak tombol panik yang kaukatakan padaku?" tanya
Strike.
"Di sini," kata Wilson, membawanya dari lorong ke kamar tidur.
"Ada satu di dekat ranjang, dan satu lagi di ruang duduk."
"Semua flat memilikinya?"
"Ya."
Posisi kamar tidur, ruang duduk, dapur, dan kamar mandi boleh
dibilang identik dengan Flat 1. Berbagai aksesorinya pun mirip, sam?
pai ke pintu-pintu cermin di ruang pakaian, yang juga diperiksa oleh
Strike. Ketika dia membuka pintu dan mengamati pakaian dan mantel
wanita seharga ribuan pound, Lechsinka muncul dari kamar tidur
membawa ikat pinggang, dua dasi, dan beberapa gaun di dalam kan?
tong plastik binatu yang disampirkan di lengannya.
"Hai," sapa Strike.
"Halo," kata Lechsinka sambil menuju pintu di belakang Strike dan
menarik keluar rak dasi. "Permisi."
Strike menepi. Gadis ini pendek dan menarik dengan gaya gadis
remaja, bukan hidung pesek dan mata khas orang Slavia. Dia meng?
gantungkan dasi-dasi itu dengan rapi sementara Strike mengamati.
"Aku detektif," ujar Strike. Lalu dia ingat bahwa Eric Wardle meng?
gambarkan kemampuan bahasa Inggris gadis ini "payah".
"Seperti polisi," dia menerangkan.
"Ah, polisi."
"Kau ada di sini, pada hari sebelum Lula Landry meninggal?"
Perlu beberapa kali percobaan untuk menyampaikan dengan tepat
apa yang dia maksud. Ketika gadis itu akhirnya mengerti, dia tidak
menunjukkan keberatan menjawab pertanyaan-pertanyaan, asal dia
dapat memasukkan pakaian-pakaian itu sambil berbicara.
"Aku selalu bersih tangga dulu," katanya. "Miz Landry bicara keras
sekali sama kakaknya; kakaknya marah-marah karena dia memberi
pacarnya uang banyak, dan dia tidak bagus sama laki-laki itu.
"Aku bersihkan nomor dua, kosong. Sudah bersih. Cepat."
"Derrick dan orang dari perusahaan keamanan itu ada di sana
waktu kau bersih-bersih?"
"Derrick dan...?"
"Tukang servis? Tukang alarm?"
Robert Galbraith
"Ya, tukang alarm dan Derrick. Ya."
Strike dapat mendengar Robin dan Wilson bercakap-cakap di lo?
rong, tempat dia meninggalkan mereka.
"Kau menyetel alarm lagi setelah selesai bersih-bersih?"
"Nyalakan alarm? Ya," katanya. "Satu sembilan enam enam, sama
dengan pintu, Derrick yang kasih tahu."
"Dia memberitahumu angkanya sebelum dia pergi dengan tukang
alarm?"
Sekali lagi, butuh beberapa kali percobaan untuk menerangkan inti
pertanyaannya, dan ketika Lechsinka mengerti, dia tampak tak sabar.
"Ya, aku sudah bilang. Satu sembilan enam enam."
"Jadi kau menyetel alarm setelah selesai bersih-bersih di sini?"
"Nyalakan alarm. Ya."
"Dan tukang alarm itu, bagaimana tampangnya?"
"Tukang alarm? Tampang?" Dia mengerutkan kening dengan ma?
nisnya, hidungnya yang mungil mengernyit sedikit, lalu mengangkat
bahu. "Tidak lihat mukanya. Tapi biru?semua biru..." tambahnya,
dan dengan tangan yang tidak membawa gaun-gaun dalam kantong
plastik, dia membuat gerakan menyapu tubuhnya.
"Baju terusan?" usul Strike, tapi gadis itu hanya menatap tak me?
Pelarian Karya Alviorita Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Mawar Jepang Karya Rei Kimura
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama