Ceritasilat Novel Online

Dekut Burung Kukuk 7

Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith Bagian 7

ngerti. "Oke, setelah itu kau bersih-bersih di mana?"

"Nomor satu," kata Lechsinka, kembali ke tugasnya menggantung

pakaian, bergerak di sekitar Strike untuk mencari rak yang benar.

"Bersihkan jendela besar. Miz Bestigui bicara di telepon. Marah. Nga?

muk. Dia bilang tidak mau bohong lagi."

"Dia tidak mau bohong?" ulang Strike.

Lechsinka mengangguk, berjinjit untuk menggantung gaun pan?

jang.

"Kau dengar dia bicara di telepon," ulang Strike pelan-pelan, "bah?

wa dia tidak mau bohong lagi?"

Kembali Lechsinka mengangguk, wajahnya kosong, polos.

"Lalu dia lihat aku dan dia teriak ?Pergi sana, pergi!?"

"Oh ya?"

Sekali lagi Lechsinka mengangguk dan terus melakukan pekerjaan?

nya menyimpan pakaian.

"Di mana Mr. Bestigui?"

Dekut Burung Kukuk

"Tidak ada."

"Kau tahu dia bicara dengan siapa? Di telepon?"

"Tidak." Tapi kemudian, dengan gaya bersekongkol, dia berkata,

"Perempuan."

"Perempuan? Bagaimana kau bisa tahu?"

"Teriak-teriak di telepon. Aku dengar suara perempuan."

"Mereka ribut? Bertengkar? Mereka saling bentak? Keras, ya?"

Strike mendengar dirinya sendiri meniru gaya bahasa orang yang

tidak fasih berbahasa Inggris. Lechsinka manggut-manggut lagi sambil

membuka laci-laci untuk mencari tempat ikat pinggang, satu-satunya

benda yang kini tergantung di lengannya. Sesudah menggulung ikat

pinggang itu dan menyimpannya, dia menegakkan tubuh dan berjalan

pergi, masuk ke kamar tidur. Strike mengikuti.

Sementara Lechsinka membereskan ranjang dan merapikan meja

nakas, Strike mengetahui bahwa gadis itu membersihkan flat Lula

Landry paling akhir hari itu, setelah sang model pergi untuk mengun?

jungi ibunya. Dia tidak melihat sesuatu yang tidak biasa, tidak juga

melihat secarik kertas biru, entah bertulisan atau tidak. Tas-tas Guy

Som?, dan berbagai barang untuk Deeby Macc, diterima petugas ke?

amanan pada saat dia menyelesaikan pekerjaannya, dan hal terakhir

yang dia lakukan hari itu adalah membawa hadiah-hadiah pemberian

si perancang ke flat Lula dan flat Macc.

"Lalu kau menyetel alarm lagi setelah meletakkan barang-barang

itu di dalam?"

"Nyalakan alarm, ya."

"Di flat Lula juga?"

"Ya."

"Satu sembilan enam enam di Flat Dua?"

"Ya."

"Kau ingat apa yang kauletakkan di flat Deeby Macc?"

Dia terpaksa memeragakan beberapa benda itu, tapi berhasil me?

nyampaikan bahwa dia ingat ada dua atasan, ikat pinggang, topi, sa?

rung tangan, dan (dia memeragakannya dengan tangan melingkari

pergelangan), manset.

Setelah menyimpan benda-benda ini di rak terbuka di kamar pa?

kaian supaya Macc dapat melihatnya, dia menyetel alarm, lalu pulang.

Robert Galbraith

Strike berterima kasih padanya, lalu tinggal sedikit lama lagi untuk

mengagumi bagian belakang tubuh yang terbalut jins ketat itu semen?

tara Lechsinka membungkuk untuk merapikan pelapis tempat tidur.

Kemudian, barulah dia bergabung dengan Robin dan Wilson di lo?

rong.

Sembari mereka melanjutkan naik tangga ke lantai tiga, Strike

mengecek cerita Lechsinka dengan Wilson, yang membenarkan bahwa

dia telah menyuruh teknisi itu menyetel alarm ke 1966, seperti pintu

depan.

"Aku hanya memilih nomor yang mudah diingat Lechsinka, karena

sama dengan pintu depan. Macc bisa menggantinya kalau mau."

"Kau ingat bagaimana rupa tukang servis itu? Kau bilang dia

baru?"

"Masih muda sekali. Rambutnya sampai sini."

Wilson menyentuh pangkal lehernya.

"Kulit putih?"

"Ya, putih. Kelihatannya belum cukur."

Mereka tiba di pintu depan Flat 3, yang pernah menjadi tempat

tinggal Lula Landry. Robin merasakan debar-debar di dadanya?rasa

takut, gairah?ketika Wilson membuka pintu bercat putih halus yang

ketiga, dengan lubang pengintip kaca sebesar lubang peluru.

Flat paling atas itu rancangannya berbeda dari dua yang lain lebih

kecil sekaligus lebih lapang. Belum lama didekorasi ulang seluruhnya

dalam nuansa krem dan cokelat. Guy Som? memberitahu Strike bah?

wa penghuni flat yang terkenal itu menyukai warna, namun tempat ini

sekarang sama hambarnya seperti kamar hotel mewah. Tanpa suara,

Strike memimpin jalan ke ruang duduk.

Karpetnya tidak seempuk dan sehalus di flat Bestigui, tapi terbuat

dari serat kasar sewarna pasir. Strike menggeserkan tumitnya di sana;

tidak meninggalkan bekas atau jejak.

"Apakah lantainya seperti ini sewaktu Lula tinggal di sini?" dia ber?

tanya pada Wilson.

"Ya. Dia sendiri yang memilihnya. Karpet ini baru, jadi dibiarkan

tetap di sini."

Alih-alih jendela-jendela panjang seperti di flat-flat bawah yang

masing-masing memiliki balkon sempit, flat penthouse ini mempunyai

Dekut Burung Kukuk

sepasang pintu kaca yang membuka ke arah balkon lebar. Strike mem?

buka kunci dan pintu-pintunya, lalu melangkah ke luar. Robin tidak

senang melihat Strike melakukannya; setelah melirik wajah Wilson

yang pasif, dia berbalik dan menatap bantalan kursi dengan motif

hitam-putih, berusaha tidak memikirkan apa yang telah terjadi di sini

tiga bulan sebelumnya.

Strike memandang ke jalan di bawah, dan Robin mungkin akan

terkejut kalau mengetahui bahwa yang dia pikirkan tidak sesteril dan

sedingin yang Robin sangka.

Strike membayangkan seseorang yang telah kehilangan kendali se?

penuhnya; seseorang yang menghambur ke arah Landry sementara dia

berdiri, langsing dan cantik, dalam pakaian yang dipilihnya untuk ber?

temu tamu yang dia nanti-nantikan; seorang pembunuh yang telah

menjadi gelap mata dalamarahnya, separuh menyeret, separuh

mendorong Lula, dan akhirnya, dengan kekuatan keji seorang maniak

yang didorong motivasi penuh, melempar tubuh Lula. Detik-detik

yang diperlukan tubuh Lula untuk melayang di udara menuju beton

di bawah, yang hanya kelihatan empuk karena tertutup salju, pastilah

terasa seperti seabad lamanya. Lula menggapai-gapai, berusaha men?

cari pegangan di udara kosong yang tanpapun, kemudian, tanpa

kesempatan untuk berbaikan, untuk menjelaskan, untuk memberikan

warisan atau memohonpunan, tanpa kemewahan yang didapatkan

orang-orang yang sudah diberitahu tentang kematian mereka, dia pun

kandas di jalan.

Yang mati hanya bisa berbicara melalui mulut orang-orang yang di?

tinggalkan, dan melalui tanda-tanda yang terserak di belakang mereka.

Strike telah merasakan seorang perempuan yang hidup di balik katakata yang dia tulis untuk teman-temannya; dia telah mendengar suara

gadis itu di telepon yang menempel di telinga; namun sekarang, ketika

menatap hal terakhir yang dilihat Lula dalam keadaan hidup, Strike

merasa sangat dekat dengannya. Kebenaran berangsur-angsur muncul

dari banyaknya detail yang tidak saling terkait. Yang tidak dia miliki

hanyalah bukti.

Ponselnya berdering ketika dia berdiri di sana. Nama John Bristow

dan nomornya muncul di layar. Dia menerimanya.

"Hai, John, terima kasih sudah membalas teleponku."

Robert Galbraith

"Tidak masalah. Ada kabar?" tanya pengacara itu.

"Mungkin. Aku sudah meminta seorang pakar untuk meneliti

laptop Lula, dan dia mendapati ada satu file foto yang dihapus setelah

Lula meninggal. Kau tahu tentang itu?"

Kata-katanya disambut keheningan yang pekat. Satu-satunya

alasan Strike yakin sambungan telepon ini tidak terputus adalah ka?

rena dia masih bisa mendengar suara-suara di belakang Bristow.

Akhirnya pengacara itu berkata, nada suaranya berubah

"Dihapus setelah Lula meninggal?"

"Begitulah yang dikatakan pakar ini."

Strike melihat sebuah mobil melaju perlahan di jalan di bawah,

lalu berhenti separuh jalan. Seorang wanita turun, berbalut mantel

bulu.

"Ma-maafkan aku," Bristow tergagap, suaranya terdengar sangat

terguncang. "Aku hanya?hanya shock. Mungkin polisi yang meng?

hapusnya?"

"Kapan laptop itu dikembalikan kepadamu?"

"Oh... bulan Februari, kurasa, awal Februari."

"File ini dihapus pada tanggal 17 Maret."

"Tapi?tapi itu tidak masuk akal. Tidak ada yang tahu passwordnya."

"Yah, jelas ada orang yang tahu. Kau pernah berkata, polisi mem?

beritahukan password-nya pada ibumu."

"Ibuku jelas tidak mungkin menghapus?"

"Aku tidak bilang begitu. Mungkinkah dia meninggalkan laptop itu

terbuka, dan aktif? Atau dia pernah memberikan password-nya pada

orang lain?"

Strike menduga Bristow pasti sedang di kantornya. Dia dapat

mendengar suara-suara lamat-lamat di latar belakang, dan, di ke?

jauhan, seorang wanita tertawa.

"Kurasa itu mungkin saja," ujar Bristow perlahan-lahan. "Tapi siapa

yang mau menghapus foto? Kecuali... tapi, ya Tuhan, sungguh me?

ngerikan..."

"Ada apa?"

"Mungkinkah salah satu perawat itu yang mengambilnya? Untuk

dijual ke koran? Tapi itu prasangka yang buruk... perawat..."

Dekut Burung Kukuk

"Pakar itu cuma tahu bahwa foto-foto itu dihapus; tidak ada bukti

apakah dikopi atau dicuri. Tapi seperti yang kaubilang?apa pun

mungkin terjadi."

"Tapi siapa lagi?maksudku, tentu saja aku tidak ingin berpikir

perawatlah yang melakukan itu, tapi siapa lagi yang mungkin? Laptop

itu ada di tempat ibuku sejak polisi mengembalikannya."

"John, kau tahu siapa saja yang mengunjungi ibumu selama tiga

bulan terakhir?"

"Kurasa aku tahu. Maksudku, tentu saja aku tidak bisa yakin

benar..."

"Tentu. Yah, itulah susahnya."

"Tapi mengapa?mengapa ada orang yang melakukan itu?"

"Aku bisa memikirkan beberapa alasan. Akan sangat membantu

bila kau dapat menanyai ibumu tentang hal ini, John. Apakah dia me?

nyalakan laptop itu pada pertengahan Maret. Apakah ada tamu yang

menyatakan ketertarikan pada laptop itu."

"Akan?akan kucoba." Bristow terdengar sangat tertekan, nyaris

menangis. "Beliau sangat lemah sekarang."

"Aku prihatin," kata Strike dengan resmi. "Aku akan segera meng?
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hubungimu lagi. Sampai jumpa."

Dia mundur dari balkon dan menutup pintu-pintunya, lalu ber?

balik menghadap Wilson.

"Derrick, bisakah kau menunjukkan padaku bagaimana kau me?

meriksa tempat ini? Bagaimana urutan kau memeriksa ruanganruangan ini malam itu?"

Wilson berpikir sejenak, lalu berkata

"Aku masuk ke sini dulu. Melihat berkeliling, melihat pintu-pintu

terbuka. Tidak menyentuhnya. Lalu," dia memberi tanda agar mereka

mengikutinya, "aku melihat ke sini..."

Robin yang berjalan mengikuti kedua pria itu memperhatikan

perubahan halus dalam cara Strike berbicara pada si petugas ke?

amanan. Dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan lugas yang singkat,

fokus pada apa yang dirasakan, disentuh, dilihat, dan didengar Wilson

pada tiap langkah yang diambilnya di dalam flat itu.

Di bawah bimbingan Strike, bahasa tubuh Wilson pun ikut ber?

ubah. Dia mulai memeragakan caranya memegang kenop pintu, melo?

Robert Galbraith

ngok ke dalam ruangan, mengedarkan pandang ke segala penjuru. Ke?

tika menyeberang ke satu-satunya kamar tidur, Wilson melakukannya

dengan berlari kecil, merespons perhatian Strike yang terfokus pada?

nya; dia berlutut untuk mendemonstrasikan bagaimana dia melongok

ke bawah ranjang, dan atas dorongan Strike dia bisa mengingat ada

selembar gaun yang teronggok di bawah kakinya; dia membawa me?

reka dengan wajah penuh konsentrasi ke kamar mandi, lalu menun?

jukkan bagaimana dia berputar untuk mengecek ke balik pintu se?

belum berlari cepat (dia nyaris menirukannya, kedua lengannya

bergerak-gerak heboh ketika berjalan) kembali ke pintu depan.

"Kemudian," kata Strike, membuka pintu dan memberi isyarat agar

Wilson melaluinya, "kau keluar..."

"Aku keluar," Wilson mengulang, dengan suaranya yang dalam, "te?

rus memencet tombol lift."

Dia menirukan gerakan menekan tombol, lalu pura-pura membuka

pintunya dalam kegugupan untuk segera melihat apa yang ada di

dalam.

"Tidak ada apa-apa?jadi aku langsung lari ke bawah lagi."

"Apa yang kaudengar sekarang?" tanya Strike sambil mengikuti dia;

keduanya sama sekali tidak memperhatikan Robin, yang menutup

pintu flat di belakangnya.

"Di kejauhan?pasangan Bestigui saling teriak?dan aku berbelok

di sudut ini dan?"

Wilson berhenti mendadak di tangga. Strike, yang sepertinya su?

dah menduga akan terjadi sesuatu seperti ini, ikut berhenti juga.

Robin seketika menabraknya, diiringi permintaan maaf berkali-kali

yang dipotong Strike dengan mengangkat tangan, seolah-olah, pikir

Robin, Wilson dalam keadaan trans.

"Lalu aku terpeleset," kata Wilson. Suaranya terdengar kaget. "Aku

lupa. Aku terpeleset. Di sini. Terjengkang. Jatuh terduduk dengan

keras. Ada air. Di sini. Tetesan air. Di sini."

Wilson menunjuk tangga.

"Tetesan air," ulang Strike.

"Ya."

"Bukan salju."

"Bukan."

Dekut Burung Kukuk

"Bukan jejak kaki yang basah."

"Tetesan air. Besar-besar. Di sini. Kakiku melejit dan aku terpele?

set. Lalu aku langsung berdiri dan terus berlari."

"Kau memberitahu polisi tentang tetesan air itu?"

"Tidak. Aku lupa. Sampai barusan. Aku lupa."

Sesuatu yang mengganggu Strike selama ini akhirnya menjadi jelas.

Dia mengembuskan napas panjang dengan puas, lalu menyengir. Dua

orang yang lain hanya menatap tak mengerti.

Akhir pekan membentang di hadapan, hangat dan kosong. Strike

kembali duduk di depan jendela yang terbuka, merokok serta meng?

awasi orang-orang yang berbelanja dan lalu-lalang di sepanjang Den?

mark Street. Laporan kasus itu terbuka di pangkuannya, berkas polisi

ada di meja. Dia membuat daftarnya sendiri tentang hal-hal yang ma?

sih harus diperjelas, dan menyaring informasi membingungkan yang

telah dikumpulkannya.

Sejenak lamanya dia merenungkan foto tampak depan rumah no?

mor 18 itu pada pagi hari setelah kematian Lula. Ada perbedaan kecil,

tapi bagi Strike sangat siginifikan, antara tampak depan ketika itu dan

yang sekarang. Dari waktu ke waktu dia beranjak ke komputer; sekali

untuk mencari agen yang mewakili Deeby Macc, kemudian untuk

mencari harga saham Albris. Notesnya terbuka di sebelahnya pada ha?

laman yang penuh kalimat dan pertanyaan terpotong, semua dalam

tulisan tangannya yang rapat dan runcing. Ketika ponselnya berdering,

ditempelkannya ponsel itu ke telinga tanpa memeriksa siapa yang ada

di seberang sana.

"Ah, Mr. Strike," terdengar suara Peter Gillespie. "Baik sekali Anda

mau menjawab telepon."

"Oh, halo, Peter," kata Strike. "Sekarang Anda disuruh kerja selama

akhir pekan juga, ya?"

"Beberapa dari kita tidak punya pilihan kecuali bekerja pada akhir

Dekut Burung Kukuk

pekan. Anda tidak pernah membalas telepon-telepon saya selama hari

kerja."

"Saya sibuk sekali. Bekerja."

"Begitu. Apakah itu artinya kami bisa mengharapkan pembayaran

secepatnya?"

"Saya harap begitu."

"Anda harap begitu?"

"Ya," sahut Strike. "Dalam beberapa pekan ke depan, semestinya

saya akan bisa memberi Anda sesuatu."

"Mr. Strike, sikap Anda sungguh mengejutkan. Anda sudah ber?

sedia membayar Mr. Rokeby tiap bulan, dan sekarang pembayaran

Anda sudah terlambat sampai?"

"Saya tidak bisa membayar kalau tidak punya uangnya. Kalau

Anda mau sabar, semestinya saya akan dapat melakukan pembayaran

segera. Bahkan mungkin sekaligus."

"Saya khawatir itu tidak bisa diterima. Kecuali Anda bisa mem?

bayar kewajiban Anda sampai sekarang?"

"Gillespie," potong Strike, matanya menatap langit yang terang di

luar jendela, "kita sama-sama tahu Jonny tidak akan memerkarakan

anaknya yang pahlawan perang berkaki-satu untuk pembayaran pin?

jaman yang bahkan tidak akan cukup untuk membayar kepala pe?

layannya. Aku akan mengembalikan uangnya, dengan bunga, dalam

dua bulan mendatang, dan dia boleh menyimpannya di selipan pantat

atau membakarnya, kalau dia mau. Katakan padanya bahwa aku bi?

lang begitu, dan sekarang enyahlah."

Strike menutup telepon, mencatat dalam hati bahwa dia hampir ti?

dak naik pitam, bahkan masih merasa riang.

Dia terus bekerja hingga larut malam, di kursi yang kini sudah di?

sebutnya kursi Robin. Hal terakhir yang dia lakukan sebelum berang?

kat tidur adalah menggarisbawahi, tiga kali, kata-kata "Malmaison

Hotel, Oxford" dan melingkari nama "J. P. Agyeman".

Negara ini sedang terhuyung menuju hari pemilu. Strike tidur

lebih awal pada hari Minggu, setelah menonton kekacauan, pernya?

taan balasan, serta janji-janji yang dikumpulkan di TV portabelnya.

Ada kesan muram dalam setiap laporan berita yang disaksikannya.

Utang nasional begitu besarnya sampai-sampai tidak dapat dipahami.

Robert Galbraith

Akan terjadi pemotongan anggaran, siapa pun yang menang; pemo?

tongan yang dalam dan menyakitkan; dan kadang-kadang, dengan

kata-kata mereka yang licin, para pemimpin partai mengingatkan

Strike pada ahli bedah yang pernah memberitahunya dengan hati-hati

bahwa dia mungkin akan mengalami ketidaknyamanan; mereka yang

secara pribadi tidak akan pernah merasakan sakit yang hendak mereka

timbulkan.

Pada Senin pagi, Strike bersiap-siap untuk pertemuan di Canning

Town, tempat dia akan bertemu dengan Marlene Higson, ibu kan?

dung Lula Landry. Pengaturan wawancara ini sungguh sulit. Sekretaris

Bristow, Alison, menelepon Robin untuk memberitahukan nomor

Marlene Higson, lalu Strike sendiri yang meneleponnya. Kendati wa?

nita itu jelas-jelas kecewa bahwa orang tak dikenal yang meneleponnya

itu bukan jurnalis, awalnya dia menyatakan kesediaan untuk men?

jumpai Strike. Dia kemudian menelepon ke kantor, dua kali pertama

untuk bertanya pada Robin apakah sang detektif bersedia membayar

ongkos perjalanannya ke pusat kota, yang dijawab dengan negatif; ke?

dua, dengan sangat tersinggung, untuk membatalkan pertemuan. Tele?

pon kedua dari Strike menghasilkan kesepakatan tentatif untuk ber?

temu di bar dekat tempat tinggalnya; lalu dengan pesan suara dia

menyatakan pembatalan sekali lagi.

Kemudian Strike menelepon untuk ketiga kalinya dan memberi?

tahu wanita itu bahwa dia yakin penyelidikannya sudah sampai pada

tahap akhir, dan setelah ini bukti-bukti akan dibeberkan di hadapan

polisi, yang pada akhirnya, dia yakin, akan menciptakan ledakan publi?

sitas. Sesudah dipikir-pikir lagi, Strike berkata, kalau tidak dapat

membantu, mungkin memang lebih baik dia dihindarkan dari banjir

pertanyaan dari media. Marlene Higson langsung menyambar bahwa

dia berhak menyatakan semua yang dia ketahui, dan Strike akhirnya

bersedia bertemu dengan dia, seperti yang pernah diusulkan, di bar

Ordnance Arms pada hari Senin pagi.

Strike naik kereta ke stasiun Canning Town. Tempatnya meng?

hadap Canary Wharf, dengan bangunan-bangunan futuristik yang

mengilap, mirip serangkaian kubus metal yang berkilauan di cakra?

wala; ukurannya, seperti utang nasional, mustahil diperkirakan dari

kejauhan. Tapi setelah beberapa menit berjalan, dia sudah berada se?

Dekut Burung Kukuk

jauh-jauhnya dari dunia korporasi yang cemerlang penuh orang ber?

setelan jas. Terjepit di antara pembangunan sisi dermaga, tempat se?

bagian para ahli keuangan itu tinggal dalam polong-polong buatan

desainer yang rapi, Canning Town mengembuskan kemiskinan dan

kepapaan. Strike sudah lama mengenalnya, karena ini adalah tempat

tinggal kawan lama yang memberinya lokasi Brett Fearney. Dia me?

nyusuri Barking Road, punggungnya menjauhi Canary Wharf, me?

lewati gedung bertanda "Kills 4 Communities". Dia mengerutkan ke?

ning sejenak, sebelum menyadari seseorang telah menghapus satu

huruf "S" dari "Skills 4 Communities", yang adalah suatu pusat ke?

giatan. Artinya jadi sungguh berbeda.

Ordnance Arms berada di sebelah English Pawnbroking Company

Ltd. Bar itu besar, beratap rendah, dicat warna putih gading. Interior?

nya tidak neko-neko dan fungsional, dengan jam-jam dinding kayu

yang dipajang pada sebidang tembok bercat terakota serta karpet me?

rah bermotif ramai sebagai satu-satunya kompromi terhadap sesuatu

yang dangkal seperti dekorasi. Selain itu, terdapat dua meja biliar be?

sar, bar panjang yang mudah diakses, dan area kosong yang cukup luas

untuk para peminum yang mondar-mandir. Sekarang, pada pukul se?

belas pagi, tempat itu kosong, hanya ada seorang pria tua bertubuh

kecil di sudut dan gadis pelayan yang ceria, yang memanggil satu-satu?

nya pelanggan dengan nama "Joey", lalu memberi Strike petunjuk arah
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke bagian belakang.

Yang disebut "beer garden" itu ternyata halaman belakang beton

yang suram, dengan gentong-gentong dan satu meja kayu, tempat se?

orang wanita duduk di kursi plastik putih, tungkainya yang gemuk di?

silangkan dan rokoknya dijepit di sebelah pipi kanan. Ada kawat ber?

duri di atas dinding yang tinggi, dan sepotong kantong plastik

tersangkut di sana, mengepak-ngepak ditiup angin. Di balik dinding

itu, berdiri menjulang satu blok besar rumah susun bercat kuning,

tanda-tanda kemelaratan tampak jelas dari balkon-balkonnya.

"Mrs. Higson?"

"Panggil aku Marlene, love."

Wanita itu mengamatinya dari atas ke bawah, dengan senyum ma?

las dan tatapan memahami. Dia mengenakan atasan buntung Lycra

pink di bawah jaket abu-abu bertudung, serta legging yang berhenti

Robert Galbraith

tanggung di atas pergelangan kakinya yang putih-kelabu. Ada sandal

jepit jelek di kakinya dan banyak cincin emas di jari-jarinya; rambut?

nya yang kuning, dengan akar cokelat beruban yang sudah panjang, di?

ekor kuda dengan karet rambut dari bahan handuk yang dekil.

"Mau kubelikan minum?"

"Aku mau satu pint Carling, kalau kau memaksa."

Cara wanita itu mencondongkan tubuh ke arahnya, caranya me?

nepiskan rambut kuning itu dari matanya yang berkantong, bahkan

caranya menjepit rokok, terasa genit namun tidak menyenangkan.

Mungkin dia tidak tahu cara lain berkomunikasi dengan jenis kelamin

laki-laki. Strike mendapati wanita ini menjijikkan sekaligus menyedih?

kan.

"Kaget?" tanya Marlene Higson, sesudah Strike membawakan bir

untuk mereka berdua dan bergabung dengannya di meja. "Benar ba?

nget, waktu aku lepaskan dia untuk selamanya. Hatiku hancur waktu

dia pergi, tapi kupikir aku memberinya hidup yang lebih baik. Aku

nggak mungkin kuat. Kupikir dia akan dapat semua yang nggak akan

bisa kuberikan. Aku dibesarkan dalam keluarga miskin, miskin banget.

Kami nggak punya apa-apa. Blas."

Dia membuang muka dari Strike, menyedot rokok Rothman?s-nya

dalam-dalam. Sewaktu mulutnya mengerut menjadi garis-garis tajam

di sekitar rokok itu, kelihatannya seperti anus kucing.

"Dez, pacarku, nggak senang?kau tahu, karena kulitnya berwarna,

jelas itu bukan anaknya. Makin lama makin hitam lho. Waktu dia

lahir, dia kelihatan putih. Tapi aku nggak akan melepaskan dia kalau

masa depannya nggak lebih baik, dan dia pasti nggak akan kehilangan

aku, kan dia masih kecil. Kuberi dia awal yang baik, mungkin, saat dia

sudah besar, dia akan mencariku. Dan mimpiku jadi nyata," tambah?

nya dengan pameran kesedihan yang berlebihan. "Dia datang cari aku.

"Biar kuberitahu sesuatu yang aneh ya," katanya tanpa menarik na?

pas. "Teman lakiku bilang padaku, seminggu sebelum aku dapat tele?

pon dari dia, ?Kau tahu kau mirip siapa?? katanya. Aku bilang, ?Jangan

tolol,? tapi dia bilang, ?Banget kok. Matanya, juga bentuk alis, ya

nggak??"

Dia menatap penuh harap pada Strike, yang tidak dapat memaksa

Dekut Burung Kukuk

diri untuk memberikan tanggapan. Rasanya mustahil wajah Nefertiti

itu bisa berasal dari kekacauan bernuansa kelabu-ungu ini.

"Kau bisa melihatnya dari foto-fotoku waktu lebih muda," kata wa?

nita itu dengan agak jengkel. "Intinya, kupikir aku memberinya hidup

yang lebih baik, lalu mereka memberikannya pada keparat-keparat itu,

maafkan bahasaku. Kalau tahu begitu, aku nggak akan menyerahkan

dia, itu yang kubilang padanya. Bikin dia nangis. Aku akan jaga dia

dan nggak akan kubiarkan pergi.

"Oh, yeah. Dia bicara padaku. Tumpah semuanya. Dia cukup ru?

kun dengan ayahnya, dengan Sir Alec. Kedengarannya dia oke. Ibunya

itu yang perempuan gila. Oh, yeah. Pil. Macam kacang goreng saja. Ja?

lang kaya itu minum pil untuk sarafnya. Lula bisa bicara padaku,

ngerti? Yah, namanya juga ikatan batin, ya nggak. Nggak bisa diputus

itu, darah.

"Lula takut sama perempuan itu, kalau dia pergi cari ibu kandung?

nya. Dia khawatir apa yang bakal dilakukan si sapi itu kalau pers tahu

tentang aku, tapi yah, bagaimana lagi, kalau kau terkenal kayak dia,

mereka bisa tahu semuanya, kan? Oh, tapi mereka banyak bohongnya.

Yang mereka bilang tentang aku, aku masih mikir mau menuntut.

"Aku tadi lagi omong apa? Oh, ya, ibunya. Aku bilang pada Lula,

?Kenapa khawatir, love? Kedengarannya kau lebih baik tanpa mereka.

Biar saja dia ngamuk kalau tidak ingin kita bertemu.? Tapi Lula itu

anak baik, dia tetap menengok ibunya, demi kewajiban.

"Yah, dia sudah punya hidup sendiri, dia bebas ngapain saja, kan?

Dia punya Evan, pacarnya. Asal kau tahu, aku sebenarnya tidak se?

tuju," kata Marlene Higson, sok memegang disiplin. "Oh, yeah. Main

narkoba. Aku sudah lihat banyak yang kayak begitu. Tapi harus ku?

akui, sebenarnya anak itu manis. Harus kuakui. Dia nggak ada hu?

bungannya dengan semua itu. Aku yakin."

"Pernah bertemu dia?"

"Tidak, tapi Lula menelepon dia sekali waktu sedang bersamaku,

dan aku dengar mereka ngobrol di telepon, dan sepertinya mereka pa?

sangan yang manis. Nggak, aku nggak bisa bilang yang jelek-jelek ten?

tang Evan. Dia nggak ada hubungannya, sudah terbukti. Asal dia ber?

sih, aku mau kasih restu. Aku bilang pada Lula, ?Ajak dia ke sini, mau

lihat apakah aku setuju,? tapi nggak pernah dia lakukan. Evan selalu

Robert Galbraith

sibuk. Dia sebenarnya cakep, di balik rambutnya itu," kata Marlene.

"Kau bisa melihatnya di semua fotonya."

"Lula pernah cerita tentang tetangga-tetangganya?"

"Oh, si Fred Bistigwui itu? Yeah, dia cerita. Mau ngajak main film.

Kubilang, kenapa nggak? Duitnya banyak. Kalaupun dia nggak suka,

uangnya lumayan lho. Dia bisa dapat, berapa, setengah juta?"

Bola matanya yang merah menyipit; selama sejenak itu dia seakanakan terkesima, hanyut dalam lamunan tentang jumlah uang yang

begitu besar dan mencengangkan sehingga berada jauh di luar apa pun

yang pernah diketahuinya, seperti citra tentang sesuatu yang tak ter?

hingga. Hanya dengan mengucapkannya, dia bagai merasakan ke?

kuatan uang itu, mengecap mimpi kelimpahan itu di dalam mulutnya.

"Kau pernah mendengar dia bicara tentang Guy Som??"

"Oh, yeah, dia suka pada Gi, anak itu baik padanya. Kalau aku sih

lebih suka tipe yang klasik. Dia bukan gayaku."

Lycra warna pink manyala yang membebat ketat lemak yang me?

ruah di atas garis pinggang legging-nya itu berguncang ketika dia men?

condongkan tubuh ke depan untuk mengetukkan rokoknya di asbak.

"?Dia seperti saudaraku sendiri,? kata Lula, lalu kubilang, ngapain

punya saudara pura-pura, kenapa kita nggak coba cari bocah-bocahku

yang lain? Tapi dia nggak tertarik."

"Bocah-bocahmu?"

"Anak-anak laki-lakiku. Yeah, aku punya dua lagi setelah dia satu

dengan Dez, satu dengan yang lain. Dinas Sosial mengambil mereka,

tapi kubilang pada Lula, dengan uangmu kita bisa cari mereka, kasih

aku dikit saja, yah, sekitar dua ribu, aku akan cari orang untuk me?

nemukan mereka, menjaganya supaya nggak bocor ke pers, aku yang

akan tangani sendiri, kau nggak usah repot-repot. Tapi dia nggak ter?

tarik," ulang Marlene.

"Kau tahu di mana anak-anakmu berada?"

"Mereka dibawa waktu masih bayi, aku nggak tahu di mana me?

reka sekarang. Aku punya masalah. Aku nggak akan bohong padamu,

hidupku sulit."

Lalu wanita itu bercerita, panjang-lebar, tentang kehidupannya

yang merana. Kisah itu mengerikan, penuh dengan pria-pria kejam,

ditambah masalah kecanduan dan kebodohan, ketelantaran dan ke?

Dekut Burung Kukuk

miskinan, serta insting pertahanan hidup bak hewan yang terpaksa

meninggalkan bayi-bayi tercecer di belakangnya, karena bayi-bayi me?

nuntut keterampilan yang tak pernah dikembangkan oleh Marlene.

"Jadi kau tidak tahu di mana dua anakmu sekarang?" tanya Strike

dua puluh menit kemudian.

"Ya nggaklah, gimana bisa tahu?" kata Marlene, yang sekarang

menjadi getir. "Toh dia nggak tertarik. Dia sudah punya kakak kulit

putih, kan? Dia mengejar keluarga kulit hitam. Itu yang paling dia

inginkan."

"Dia bertanya padamu tentang ayahnya?"

"Yeah, aku cerita semua yang kutahu. Dia mahasiswa Afrika. Ting?

gal di atasku, nggak jauh di jalan ini juga, di Barking Road, dengan

dua orang lain. Sekarang di bawahnya jadi tempat agen lotre. Orang?

nya cakep. Beberapa kali bantu aku bawa belanjaan."

Kalau mendengar cerita Marlene, pertemuan itu berlanjut ke hu?

bungan yang kaku ala zaman Victoria; seolah-olah dia dan si maha?

siswa Afrika tidak melakukan lebih dari sekadar berjabat tangan pada

bulan-bulan pertama hubungan mereka.

"Lalu, karena dia membantuku beberapa kali, suatu hari aku meng?

ajaknya masuk, kau tahu, cuma mau bilang terima kasih. Aku bukan

orang yang suka berprasangka buruk. Semua orang sama buatku. Aku

cuma mengajak, mau minum? Lalu," Marlene mulai dihantam ke?

nyataan keras di antara penggambaran tentang cangkir-cangkir teh

dan pernak-pernik manis, "tahu-tahu aku mengandung."

"Kau memberitahu dia?"

"Oh, yeah, dan dia bilang akan membantu dan ikut menanggung

beban tanggung jawab, dan memastikan aku baik-baik saja. Lalu dia

mulai kuliah lagi. Dia bilang akan kembali," kata Marlene dengan ge?

ram. "Lalu dia kabur. Selalu begitu, bukan? Aku bisa apa, lari ke

Afrika untuk mencari dia?

"Aku tidak sedih kok. Tidak bikin aku hancur; aku sudah bersama

Dez waktu itu. Dia nggak keberatan ada bayi itu. Aku pindah ke tem?

pat Dez nggak lama setelah Joe pergi."

"Joe?"

"Itu namanya. Joe."

Marlene mengucapkannya dengan yakin sekali, tapi, pikir Strike,

Robert Galbraith

mungkin karena kebohongan itu telah diucapkannya berulang-ulang,

cerita itu menjadi begitu mudah, otomatis.

"Nama belakangnya?"

"Nggak ingat lagi. Kau seperti dia. Itu sudah dua puluh tahun

yang lalu. Mumumba," kata Marlene Higson, nekat. "Pokoknya begitu?

lah."

"Mungkin Agyeman?"

"Bukan."

"Owusu?"

"Sudah kubilang," katanya garang, "Mumumba atau apalah gitu."

"Bukan Macdonald? Atau Wilson?"

"Kau mabuk, ya? Macdonald? Wilson? Dari Afrika?"

Strike menyimpulkan bahwa hubungannya dengan si Afrika tidak

meningkat sampai bertukar nama keluarga.

"Dan kau tadi bilang dia mahasiswa? Kuliah di mana?"

"College," ujar Marlene.

"Yang mana, kau ingat?"

"Nggak tahu. Boleh minta rokoknya?" tambah Marlene dengan

nada lebih ramah.

"Yeah, silakan saja."
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia menyulut rokok dengan pemantik plastiknya sendiri, menge?

pulkan asap dengan antusias, lalu, melunak karena tembakau gratis

itu, dia berkata

"Mungkin ada hubungannya dengan museum. Atau dekat mu?

seum."

"Dekat museum?"

"Yeah, karena aku ingat dia bilang, ?Kadang-kadang aku mengun?

jungi museum kalau ada waktu.?" Caranya menirukan membuat si

mahasiswa Afrika terdengar seperti pria Inggris kelas atas. Marlene

mencibir, seolah-olah pilihan rekreasi itu absurd, dungu.

"Kau bisa ingat museum mana yang dikunjunginya?"

"Itu?Museum Inggris atau apa," katanya, lalu dengan kesal, "Kau

seperti dia. Gimana aku bisa ingat setelah lama sekali?"

"Dan kau tidak pernah berjumpa dengan orang itu lagi setelah dia

pergi?"

Dekut Burung Kukuk

"Nggak," jawab Marlen. "Memang nggak berharap juga." Dia me?

nyesap birnya. "Mungkin sudah mati," katanya.

"Kenapa kau bilang begitu?"

"Afrika, kan?" kata Marlene. "Dia bisa saja ketembak, kan? Atau ke?

laparan. Atau apalah. Kau tahu keadaan di sana."

Strike tidak tahu. Dia ingat jalanan yang panas di Nairobi; hutan

tropis Angola yang terlihat dari angkasa, kabut menggantung di atas

kehijauan, dan ketika helikopter menukik, keindahan yang tiba-tiba

dan menakjubkan, air terjun di punggung gunung yang hijau subur;

serta wanita Masai itu, dengan bayi di dadanya, duduk di atas kotak

sementara Strike menanyainya dengan susah payah tentang tuduhan

pemerkosaan, Tracey dengan kamera video di sebelahnya.

"Kau tahu apakah Lula berusaha mencari ayahnya?"

"Ya, dia berusaha mencarinya," ujar Marlene tak peduli.

"Bagaimana?"

"Dia memeriksa arsip universitas," kata Marlene.

"Tapi kalau kau tidak ingat ke mana dia pergi..."

"Nggak tahu, kata Lula tempatnya ketemu, tapi tidak bisa me?

nemukan orangnya. Mungkin nama yang kuingat memang benar,

entahlah. Dia tanya-tanya terus; bagaimana tampangnya, di mana dia

kuliah. Kubilang padanya, dia tinggi dan kurus dan kau mungkin akan

berterima kasih karena mewarisi bentuk telingaku, bukan dia, karena

dia nggak akan mungkin jadi model kalau kupingnya lebar seperti

gajah."

"Apakah Lula pernah membicarakan teman-temannya?"

"Oh, yeah. Ada sundal kecil hitam itu, Raquelle, atau entah siapa

namanya. Memoroti Lula sebisanya. Oh, memang berhasil, kau tahu.

Pakaian, perhiasan, dan entah apa lagi yang didapat sundal itu. Aku

pernah bilang pada Lula, ?Aku nggak keberatan punya mantel baru.?

Tapi aku nggak mau memaksa, kan. Kalau Raquelle sih, nggak pernah

merasa rikuh."

Dia mendengus, lalu mengosongkan gelasnya.

"Kau pernah bertemu Rochelle?"

"Itu namanya, ya? Yeah, sekali. Dia datang dengan mobil bersopir

untuk menjemput Lula yang sedang menemui aku. Lagaknya sok

Robert Galbraith

ningrat, melongok dari jendela belakang, menyeringai padaku. Dia

pasti kehilangan semua itu sekarang. Tidak ada lagi yang bisa diporoti.

"Dan ada Ciara Porter itu," Marlene maju terus, dengan kebencian

yang lebih lagi, kalau itu masih memungkinkan, "tidur dengan pacar

Lula begitu dia mati. Dasar jalang kotor."

"Kau kenal Ciara Porter?"

"Pernah lihat di koran. Evan pergi ke tempatnya, kan? Setelah ber?

tengkar dengan Lula. Pergi ke Ciara. Dasar lonte."

Sementara Marlene berbicara, semakin tampak jelas bahwa Lula

dengan tegas memisahkan ibu kandungnya dari teman-temannya, ke?

cuali pertemuan sekilas dengan Rochelle. Dengan begitu, jelas pula

bahwa opini dan kesimpulan Marlene atas teman-teman sepergaulan

Lula hanya didasarkan pada liputan-liputan media yang dilahapnya

dengan rakus.

Strike memesan minuman lagi, lalu mendengarkan Marlene men?

jelaskan betapa ngeri dan kagetnya dia ketika mendengar (dari te?

tangga yang berlari masuk membawa koran, pagi-pagi sekali tanggal

delapan) bahwa putrinya tewas karena jatuh dari balkon. Setelah di?

tanyai dengan hati-hati, terbukti bahwa Marlene tidak pernah ber?

temu Lula lagi selama dua bulan sebelum kematiannya. Strike kemu?

dian mendengarkan cerocosan marah tentang perlakuan yang dia

terima dari keluarga angkat Lula, setelah kematian model itu.

"Mereka tidak mau aku ikut-ikut, terutama paman keparat itu. Su?

dah ketemu dia, ya? Tony Landry keparat itu? Aku mengontaknya

tentang pemakaman, tapi malah diancam. Oh, yeah. Diancam. Ku?

bilang padanya, ?Aku ini ibunya. Aku berhak datang.? Lalu dia bilang

padaku bahwa aku bukan ibunya, si jalang gila itulah ibunya, Lady

Bristow. Aneh, karena aku ingat menjebolkan dia keluar dari perutku.

Maaf kalau kasar, tapi itulah adanya. Dan dia bilang aku menimbul?

kan penderitaan, karena bicara pada pers. Mereka datang mencari

aku," katanya dengan geram kepada Strike. "Pers yang menemukan

aku. Tentu saja aku cerita dari sisiku. Ya nggak?

"Yah, aku nggak mau bikin geger, terutama di pemakaman, nggak

mau mengacaukan suasana, tapi aku juga nggak disuruh minggir

begitu saja. Aku duduk di belakang. Aku lihat si Rochelle keparat itu

Dekut Burung Kukuk

di sana, menatapku seperti aku sampah. Tapi akhirnya nggak ada yang

mengusirku.

"Mereka dapat apa yang mereka mau, keluarga terkutuk itu. Aku

nggak dapat apa-apa. Sama sekali. Bukan itu keinginan Lula, aku tahu

sekali. Dia pasti ingin aku dapat sesuatu. Tapi," kata Marlene dengan

sikap yang menurutnya adalah martabat diri, "bukan berarti aku pe?

duli soal uang. Buat aku bukan soal uangnya. Nggak ada yang bisa

menggantikan anak gadisku, mau sepuluh atau dua puluh juta.

"Asal kau tahu, dia pasti marah sekali kalau tahu aku nggak dapat

apa-apa," lanjutnya. "Dengan banyaknya uangnya, orang nggak percaya

waktu kubilang aku nggak dapat apa-apa. Kesulitan bayar sewa, pada?

hal anakku sendiri meninggalkan uang berjuta-juta. Tapi, yah, begitu?

lah. Yang kaya tetap kaya, kan? Mereka tidak butuh, tapi nggak me?

nolak kalau dapat sedikit lagi. Entah bagaimana si Landry itu bisa

tidur nyenyak, tapi itu urusannya sendiri."

"Apakah Lula pernah bilang padamu dia akan mewariskan sesuatu?

Dia pernah menyinggung soal surat wasiat?"

Marlene sepertinya langsung waspada mendengar ada sepercik ha?

rapan.

"Oh, yeah, dia bilang akan mengurusku. Yeah, dia bilang akan me?

mastikan aku baik-baik saja. Kaupikir aku sebaiknya memberitahu

seseorang? Soal ini?"

"Kurasa tidak akan ada bedanya, kecuali dia sudah membuat surat

wasiat dan mewariskan sesuatu untukmu," ujar Strike.

"Mungkin sudah mereka hancurkan, bangsat-bangsat itu. Bisa saja.

Manusia macam itulah mereka itu. Apalagi pamannya. Nggak ada

yang terlalu rendah untuk dilakukan."

"Maaf kalau telepon Anda belum dibalas," ujar Robin pada si penele?

pon, sebelas kilometer jauhnya, di kantor. "Mr. Strike sangat sibuk

saat ini. Kalau Anda bersedia meninggalkan nama dan nomor telepon,

saya akan memastikan beliau menelepon Anda sore ini."

"Oh, tidak perlu," kata wanita itu. Suaranya terdengar menyenang?

kan dan terpelajar, dengan sedikit kesan parau, seolah-olah kalau dia

tertawa akan terdengar seksi dan berani. "Sebenarnya tidak perlu se?

kali bicara langsung dengannya. Bisakah kau menyampaikan pesan

dariku? Aku hanya ingin memberi peringatan, itu saja. Astaga... ini

agak memalukan; kalau bisa, bukan begini caraku menyampaikannya...

Tapi, yah, sudahlah. Bisakah kau memberitahu dia bahwa Charlotte

Campbell menelepon, dan bahwa aku bertunangan dengan Jago Ross?

Aku tidak ingin dia mendengarnya dari orang lain, atau membacanya

di koran. Orangtua Jago sudah mengumumkannya di Times. Sungguh

mengerikan."

"Oh. Baiklah," kata Robin. Benaknya seketika lumpuh, begitu pula

bolpoinnya.

"Terima kasih banyak?Robin, kan? Trims. Bye."

Charlotte lebih dulu memutus sambungan. Robin meletakkan ga?

gang telepon perlahan-lahan, merasa sangat gundah. Dia tidak ingin

menyampaikan kabar itu. Robin mungkin satu-satunya utusan yang

harus melakukannya, tapi dia merasa itu berarti akan melancarkan se?

rangan pada kegigihan Strike untuk menjaga kehidupan pribadinya

Dekut Burung Kukuk

tetap tertutup, pada tekadnya untuk menghindari topik kardus-kardus

berisi barang-barang pribadinya, ranjang lipat, serta bekas makan ma?

lam di tempat sampah setiap pagi.

Robin menimbang pilihan-pilihannya. Dia bisa saja tidak menyam?

paikan pesan itu dan hanya memberitahu Strike agar menelepon

Charlotte, supaya wanita itu sendiri yang melakukan pekerjaan kotor?

nya (begitu istilah Robin). Tapi, bagaimana kalau Strike tidak mau

menelepon, dan orang lain memberitahunya tentang pertunangan itu?

Robin tidak tahu apakah Strike dan mantannya (pacar? tunangan?

istri?) punya banyak teman yang sama-sama mereka kenal. Kalau

misalnya dia dan Matthew putus, kalau Matthew bertunangan dengan

wanita lain (ada yang terasa melintir di ulu hatinya hanya dengan

membayangkan hal itu), semua teman dekat dan keluarganya akan ter?

libat, dan pasti akan berbondong-bondong memberitahunya; dia sen?

diri, rasanya, lebih memilih diberi peringatan dini dengan cara seter?

tutup mungkin.

Tatkala dia mendengar Strike menaiki tangga hampir satu jam ke?

mudian, terdengar sedang berbicara di ponsel dan dalam suasana hati

yang bagus, Robin merasakan tikaman tajam kepanikan di perutnya,

seperti kalau hendak menghadapi ujian. Ketika Strike membuka pintu

kaca, dan Robin melihat dia tidak memegang ponsel melainkan se?

dang menyanyi rap dengan suara pelan, perasaannya semakin galau.

"Fuck yo? meds and fuck Johari," gumam Strike yang sedang mem?

bawa kardus kipas angin. "Siang."

"Halo."

"Rasanya kita membutuhkan ini. Sumpek sekali di sini."

"Ya, bagus sekali."

"Baru dengar lagu Deeby Macc di toko," Strike memberitahu Robin

seraya meletakkan kipas angin itu di sudut dan melepas jaket?nya. "

?Apa, apa, lalu and Ferrari, Fuck yo? meds and fuck Johari.? Entah siapa

itu Johari. Mungkin sesama rapper yang bermusuhan dengannya?"

"Bukan," kata Robin, berharap suasana hati Strike tidak seceria ini.

"Itu istilah psikologi. Jendela Johari. Intinya tentang sebaik apa kita

mengenal diri sendiri, dan sebaik apa orang lain mengenal kita."

Strike yang sedang menggantung jaket langsung berhenti dan me?

natapnya.

Robert Galbraith

"Kau tidak mungkin mengetahui itu dari majalah Heat."

"Tidak. Aku sempat kuliah psikologi. Lalu keluar."

Diam-diam Robin merasa, dengan memberitahu Strike mengenai

kegagalan pribadinya, dia dapat memuluskan jalan sebelum menyam?

paikan kabar buruk itu.
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau keluar dari universitas?" Tidak seperti biasanya, Strike ke?

lihatan tertarik. "Kebetulan. Aku juga. Jadi kenapa ?fuck Johari??"

"Deeby Macc pernah mengikuti terapi sewaktu di dalam penjara.

Dia jadi tertarik dan banyak membaca tentang psikologi. Kalau itu

aku dapat dari koran," tambah Robin.

"Kau seperti tambang yang penuh informasi berguna."

Sekali lagi Robin merasa perutnya mencelus, seperti dijatuhkan

dari ketinggian lorong lift.

"Ada telepon untukmu waktu kau pergi. Dari Charlotte Campbell."

Strike berpaling cepat, keningnya berkerut.

"Dia memintaku menyampaikan pesan padamu, yang intinya,"

Robin mengalihkan pandangan ke samping, ke arah telinga Strike, "dia

bertunangan dengan Jago Ross."

Pandangannya, tanpa sanggup ditahan, beralih kembali ke wajah

Strike, dan Robin merasakan sesuatu yang dingin menyergapnya.

Salah satu kenangan masa kecil Robin yang paling awal dan paling

nyata adalah hari ketika anjing keluarga mereka dimatikan. Dia sen?

diri masih terlalu kecil untuk memahami apa yang dikatakan ayahnya;

dia tidak pernah risau tentang keberlangsungan keberadaan Bruno,

anjing Labrador kesayangan kakak sulungnya. Karena bingung dengan

kemurungan orangtuanya, Robin berpaling pada Stephen untuk men?

cari petunjuk bagaimana harus bersikap, dan seluruh rasaannya

pun runtuh, karena untuk pertama kali dalam hidupnya yang masih

dini, Robin menyaksikan kebahagiaan dan rasa nyaman terkuras habis

dari wajah Stephen yang kecil dan riang, bibirnya memutih ketika mu?

lut itu menganga. Dia mendengar lolongan yang lepas tanpa sadar da?

lam kesenyapan yang mendahului jeritan Stephen yang penuh nestapa,

kemudian Robin pun menangis, tanpa dapat ditenangkan?bukan

untuk Bruno, melainkan untuk dukacita yang menghancurluluhkan

kakaknya.

Dekut Burung Kukuk

Strike tidak langsung berbicara. Kemudian, dengan teramat susah

payah, dia berkata

"Begitu. Terima kasih."

Strike masuk ke ruang dalam, lalu menutup pintunya.

Robin terenyak kembali ke kursinya, merasa seperti algojo. Pe?

rasaannya bingung tak menentu. Dia mempertimbangkan mengetuk

pintu itu lagi, menawarkan secangkir teh, tapi lalu memutuskan untuk

tidak melakukannya. Selama lima menit dia mengatur benda-benda di

mejanya dengan gelisah, sesekali melirik pintu ruang dalam yang ter?

tutup, sampai akhirnya pintu itu terbuka, dan dia terlompat, purapura sibuk dengan papan ketiknya.

"Robin, aku mau keluar sebentar," kata Strike.

"Oke."

"Kalau jam lima aku belum kembali, kunci saja pintunya."

"Ya, tentu."

"Sampai ketemu besok."

Strike mengambil kembali jaketnya, lalu pergi dengan langkahlangkah tegap yang tidak berhasil mengelabui Robin.

Pekerjaan jalan itu melebar seperti bekas luka; tiap hari ada pe?

nambahan pada bagian yang semrawut, juga pada struktur sementara

yang didirikan untuk melindungi pejalan kaki dan memungkinkan

mereka meniti jalan melalui kekacauan itu. Tidak sedikit pun Strike

memperhatikan semua itu. Dia hanya melangkah otomatis melalui

papan-papan yang goyah menuju Tottenham, yang diasosiasikannya

sebagai tempat pelarian dan perlindungan.

Seperti Ordnance Arms, tempat itu sepi, hanya ada satu pengun?

jung; seorang pria tua yang duduk tepat di balik pintu masuk. Strike

membeli satu pint Doom Bar dan duduk di salah satu sofa rendah

berlapis kulit merah yang menempel di dinding, hampir di bawah

gadis Victoria berwajah sentimental yang menebarkan kelopak bunga

mawar, manis, polos, sederhana. Dia minum bir itu seperti obat, bu?

kan demi kenikmatan, melainkan hanya mengejar hasil akhirnya.

Jago Ross. Charlotte pasti sudah kontak lagi dan bertemu dengan?

nya sementara mereka masih bersama. Bahkan Charlotte, dengan ke?

kuatannya yang menyihir lelaki, dengan keahliannya yang penuh per?

caya diri, tidak akan bisa beralih status dari teman lama ke tunangan

Robert Galbraith

dalam kurun tiga minggu. Dia pasti menemui Ross diam-diam, se?

mentara bersumpah cinta mati pada Strike.

Hal ini menyajikan sudut pandang yang berbeda terhadap bom

yang dijatuhkan Charlotte padanya satu bulan sebelum hubungan me?

reka berakhir, juga keengganan Charlotte memperlihatkan bukti, tang?

gal yang terus berubah-ubah, serta akhir yang tiba-tiba.

Jago Ross pernah menikah sekali. Dia punya anak. Charlotte men?

dengar desas-desus bahwa dia jadi peminum. Mereka menertawakan

keberuntungan Charlotte lolos dari pria itu bertahun-tahun yang lalu;

Charlotte bahkan menyatakan rasa ibanya pada istri Ross yang ma?

lang.

Strike membeli gelas kedua, lalu ketiga. Dia ingin meredam do?

rongan-dorongan, yang berderak-derak seperti arus listrik, untuk

mencari Charlotte, untuk berteriak, untuk mengamuk, memukul ra?

hang Jago Ross sampai patah.

Tadi pagi dia tidak makan di Ordnance Arms, sejak itu pun tidak

makan apa-apa, dan sudah lama sekali dia tidak mengonsumsi begitu

banyak alkohol sekali pesan. Hanya satu jam yang dibutuhkan untuk

mengubahnya dari kondisi peminum bir yang tenang, soliter, dan pe?

nuh tekad, menjadi mabuk berat.

Ketika ada sesosok ramping dan pucat muncul di mejanya, awalnya

Strike mengatakan dengan suara berat bahwa orang itu salah orang

dan salah meja.

"Tidak kok," kata Robin tegas. "Aku hanya mau minum juga, oke?"

Kemudian Robin meninggalkan Strike menatap tas tangan yang

diletakkannya di bangku. Tas itu terasa akrab dan nyaman, cokelat,

agak lusuh. Biasanya Robin menggantungkannya di gantungan mantel

di kantor. Strike tersenyum ramah pada tas itu, lalu bersulang untuk?

nya.

Di bar, petugas bar yang masih muda dan bertampang malu-malu

berkata pada Robin "Kurasa dia sudah minum cukup banyak."

"Itu bukan salahku," tegurnya.

Robin tadi mencari Strike di Intrepid Fox, yang paling dekat de?

ngan kantor, di Molly Moggs, Spice of Life, serta Cambridge. Totten?

ham adalah bar terakhir yang dicobanya.

" ?Napa sih?" tanya Strike, ketika dia kembali duduk.

Dekut Burung Kukuk

"Tidak kenapa-kenapa," sahut Robin, menyesap birnya. "Aku cuma

ingin memastikan kau baik-baik saja."

"Kunggapapa," kata Strike, lalu, dengan susah payah, "aku

nggapapa."

"Bagus."

"Cuma me?ayakan pe?tunangan tunanganku," katanya sambil meng?

angkat gelasnya yang kesekian dalam sulangan yang tak stabil. "Se?

ha?usnya dia nggausah ninggalin dia. Tidak," katanya, lantang dan jelas,

"usah. Meninggalkan. The Hon?ble. Jago Ross. Yang adalah bajingan

keparat."

Boleh dibilang dia meneriakkan kata terakhir. Sudah ada lebih ba?

nyak orang di bar itu sekarang dibandingkan ketika Strike tiba, dan

sepertinya semua mendengar suaranya. Mereka sudah melirik-lirik ke

arah Strike dengan khawatir, bahkan sebelum dia berteriak. Tubuh se?

besar dia, dengan pelupuk mata turun dan ekspresi bermusuhan,

membuat orang tidak berani mendekat; mereka mengitari mejanya

jauh-jauh dalam perjalanan ke kamar kecil, seolah-olah jaraknya tiga

kali lebih panjang.

"Bagaimana kalau kita jalan-jalan?" usul Robin. "Cari makan?"

"Kau tau, nggak?" kata Strike sambil mencondongkan tubuh dan

bertelekan siku di meja, hampir menjungkirkan gelasnya. "Kau tau

nggak, Robin?"

"Apa?" kata Robin sambil memegangi gelas Strike. Mendadak dia

ingin sekali cekikikan. Banyak pengunjung lain mengamati mereka.

"Kau gadis yang baik," kata Strike. "Bener. Kau o?ang baik. Aku

bisa lihat," katanya sambil mengangguk khidmat. "Ya. Kulihat."

"Terima kasih," kata Robin sambil tersenyum, berusaha tidak ter?

tawa.

Strike bersandar lagi di kursinya, memejamkan mata, lalu berkata

"Sori. Aku mabuk."

"Ya."

"Nggak sering belakangan ini."

"Memang."

"Belum makan apa-apa."

"Bagaimana kalau kita pergi dari sini dan cari makan?"

Robert Galbraith

"Yeah, oke," kata Strike, masih dengan mata terpejam. "Dia bilang

dia hamil."

"Oh," ucap Robin, sedih.

"Yeah. Bilang padaku. Lalu dia bilang hilang. Nggak mungkin

punyaku. Nggak cocok tanggalnya."

Robin menahan diri untuk tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak

ingin Strike ingat bahwa dia telah mendengar ucapannya itu. Strike

membuka mata.

"Dia meninggalkannya untukku, dan sekarang dia meninggalkan?

nya... bukan, dia meninggalkanku untuk dia..."

"Aku ikut sedih."

"...meninggalkanku untuknya. Jangan sedih. Kau orang baik."

Strike mengeluarkan rokok dari saku, lalu menyelipkan satu di

antara bibirnya.

"Kau tidak boleh merokok di sini," Robin mengingatkan dengan

lembut. Tapi petugas bar, yang sepertinya sudah menunggu-nunggu

kesempatan, langsung menghampiri mereka, tampangnya tegang.

"Kau harus keluar kalau mau merokok," katanya pada Strike keraskeras.

Strike menatap pemuda itu dengan mata nanar, terkejut.

"Tidak apa-apa," kata Robin pada petugas bar, lalu meraih tasnya.

"Ayo, Cormoran."

Dia berdiri?besar, canggung, terhuyung?meluruskan tubuhnya

dari ruang sempit di meja, lalu memelototi si petugas bar. Robin tidak

menyalahkan orang itu karena langsung mundur selangkah.

"Nggak usah teriak," kata Strike padanya. "Nggak usah. Nggak so?

pan."

"Oke, Cormoran, ayo kita pergi," kata Robin, menepi untuk mem?

berinya jalan.

"Bentar, Robin," kata Strike dengan sebelah tangannya yang besar

teracung. "Bentar aja."

"Oh, Tuhan," bisik Robin.

"Kau pe?nah ikut tinju?" tanya Strike pada si petugas bar yang tam?

pak ketakutan.

"Cormoran, ayo."

"Aku dulu petinju. Di angkatan."

Dekut Burung Kukuk

Di bar, seseorang nekat menceletuk, "Aku mau saja jadi penantang?

nya."

"Ayolah, Cormoran," kata Robin. Digamitnya lengan Strike, dan

yang melegakan serta membuatnya agak kaget, Strike menurut. Dia

jadi teringat menarik kuda Clydesdale besar di peternakan pamannya

dulu.
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam udara segar di luar, Strike bersandar ke salah satu jendela

Tottenham, lalu berusaha mati-matian menyulut rokoknya, tapi gagal.

Akhirnya Robin terpaksa menyalakan pemantiknya.

"Yang kaubutuhkan sekarang adalah makanan," kata Robin, semen?

tara Strike merokok dengan mata terkatup, berdirinya agak miring se?

hingga dia khawatir Strike akan jatuh. "Supaya kau sadar."

"Aku nggak mau sadar," gerutu Strike. Tubuhnya yang miring se?

makin miring, tapi dia tidak jadi jatuh setelah berhasil menyeimbang?

kan diri dengan beberapa langkah geragapan ke samping.

"Ayolah," ajak Robin lagi, lalu dia membimbing Strike melewati

jembatan kayu yang terbentang di atas lubang di jalan, tempat mesinmesin dan para pekerja akhirnya menutup hari kerja dan tak lagi ber?

suara.

"Robin, tau nggak, aku dulu petinju?"

"Tidak, aku tidak tahu," jawabnya.

Robin bermaksud membawanya kembali ke kantor dan memberi?

nya makan di sana, tapi Strike tiba-tiba berhenti di depan warung ke?

bab di ujung Denmark Street dan sudah menyelonong masuk sebelum

Robin sempat mencegahnya. Duduk di trotoar, pada satu-satunya

meja di luar, mereka berdua makan kebab, dan Strike bercerita pada?

nya tentang karier bertinjunya di angkatan darat, sesekali melenceng

untuk mengingatkan Robin bahwa dia orang baik. Robin berhasil

membujuk agar Strike memelankan suaranya. Dampak alkohol yang

telah diminumnya masih terlihat, dan sepertinya makanan tidak ba?

nyak membantu. Ketika Strike ke kamar kecil, perginya lama sekali,

sampai-sampai Robin khawatir dia jatuh tak sadarkan diri di sana.

Melirik jam tangannya, Robin melihat saat itu sudah pukul tujuh

lewat sepuluh. Dia menelepon Matthew, memberitahu bahwa dia se?

dang menghadapi situasi mendesak di kantor. Matthew tidak terde?

ngar senang.

Robert Galbraith

Strike berkelok-kelok kembali ke luar, menabrakbang pintu ke?

tika muncul. Dia mengenyakkan tubuh dengan mantap di jendela dan

berusaha menyulut rokok lagi.

"R?bin," kata Strike, menyerah, dan menatapnya. "R?bin, tahu nggak

arti mo... momen..." Dia cegukan. "Momen kairos."

"Momen kairos?" ulang Robin, sepenuh hati berharap bahwa arti?

nya tidak menjurus seksual, sesuatu yang tak bakal dia lupakan se?

sudahnya, terutama karena pemilik warung kebab itu menguping dan

sekarang menyeringai di belakang mereka. "Tidak, aku tidak tahu.

Bagaimana kalau kita kembali ke kantor?"

"Kau nggak tahu artinya?" tanya Strike sambil menyipitkan mata

ke arahnya.

"Tidak."

"Yunani," ujar Strike. "Kairos. Momen kairos. Yang artinya," lalu dari

suatu tempat dalam otaknya yang terendam alkohol, Strike berhasil

mengais kata-kata dengan kejelasan yang mengejutkan, "momen yang

istimewa. Momen yang bermakna. Momen puncak."

Oh, astaga, pikir Robin, semoga kami tidak sedang mengalaminya.

"D?n tahu nggak kau, R?bin, momen kami, ?ku dan Charlotte?"

tanya Strike sambil menatap kejauhan, rokoknya yang tak tersulut ter?

kulai di antara jemarinya. "Waktu dia masuk bangsal?aku di r?mah

sakit lama s?kali, ?dah dua tahun nggak ketemu dia?tahu-tahu aja?

aku lihat dia di pintu dan s?mua orang m?noleh dan lihat dia juga, dan

dia jalan di bangsal tanpa omong apa-apa," dia menarik napas, lalu

cegukan lagi, " ?an dia cium aku s?telah dua tahun, ?an kami balikan lagi.

Nggak ada yang bicara. Indah sekali. Wanita paling cantik yang pe?nah

kulihat. Momen t?baik dalam hidupku yang t?kutuk?s?luruh hidupku

yang t?kutuk ini. Maaf, ya, R?bin," tambahnya, "aku nggak sopan. Maaf

lho."

Robin merasakan dorongan untuk tertawa sekaligus menangis yang

sama kadarnya, meskipun dia tak tahu mengapa dia merasa sesedih

itu.

"Mau kusulutkan rokokmu?"

"Kau orang baik, Robin, tahu nggak?"

Dekat belokan ke Denmark Street, Strike berhenti mendadak, tu?

buhnya masih terayun-ayun seperti pohon ditiup angin, dan memberi?

Dekut Burung Kukuk

tahu Robin dengan suara lantang bahwa Charlotte tidak mencintai

Jago Ross; semua itu permainan belaka, untuk menyakiti dia, Strike?

untuk melukainya separah mungkin.

Di luar pintu kantor yang dicat hitam, Strike menghentikan

langkah lagi, mengangkat kedua tangan untuk mencegah Robin meng?

ikutinya ke atas.

"Kau harus pulang s?karang, R?bin."

"Aku mau memastikan kau sampai di atas dengan selamat."

"Nggak. Nggak. ?Dah nggapapa. Aku mau muntah. Kakiku goyah.

Dan," kata Strike, "kau tidak ?ngerti lelucon lama yang nggak lucu itu,

ya? Tahu nggak? Aku sudah tahu banyak s?karang. Pe?nah kuberitahu?"

"Aku tidak mengerti maksudmu."

"Nggapapa, R?bin. Pulanglah s?karang. Aku mau muntah."

"Kau yakin...?"

"Maaf aku nggak sopan, mengumpat terus. Kau orang baik, R?bin.

Dah, ya."

Robin berpaling ke belakang ketika sampai di Charing Cross Road.

Strike melangkah pelan-pelan dengan kikuk, langkah orang yang sa?

ngat mabuk, menuju ujung jalan Denmark Place yang kotor. Di sana,

tak diragukan lagi, dia akan muntah di gang yang gelap, sebelum ter?

tatih-tatih naik ke ranjang lipat dan pemanas airnya.

Tidak ada batas yang jelas antara tidur dan terjaga. Pada mulanya dia

tersungkur dalam alam mimpi penuh pecahan logam, reruntuhan, dan

jeritan, bergelimang darah dan tak mampu bicara; lalu dia tengkurap

dengan wajah menempel di ranjang, bersimbah keringat, kepalanya

bagaikan bola yang berdenyut-denyut menyakitkan, dan mulutnya

yang menganga terasa kering dan busuk. Cahaya matahari yang mem?

banjir melalui jendela tak bertirai bagaikan mengampelas bola mata?

nya bahkan ketika kelopaknya menutup merah darah, dengan pem?

buluh-pembuluh kapiler yang menyebar bagaikan jaring-jaring hitam

halus di atas titik-titik cahaya kecil yang tajam.

Dia terbaring di atas kantong tidurnya dengan pakaian lengkap,

kaki palsunya masih terpasang, seolah-olah dia tumbang ke sana.

Ingatan-ingatan menikam seperti serpihan kaca yang menerobos

pelipisnya membujuk petugas bar bahwa satu gelas lagi bukan ide

yang buruk. Robin, di seberang meja, tersenyum kepadanya. Bisakah

dia makan kebab dalam kondisinya saat itu? Pada suatu ketika dia

ingat berkutat dengan ritsletingnya, sudah sangat ingin kencing tapi ti?

dak berhasil membebaskan ujung kemeja yang tersangkut di ritsleting.

Disusupkannya tangan ke bawah?bahkan gerakan kecil ini mem?

buatnya ingin mengerang atau muntah?dan mendapati, dengan sedi?

kit lega, bahwa ritsletingnya tertutup.

Perlahan-lahan, seperti orang yang sedang menyeimbangkan

muatan yang rapuh di atas bahunya, Strike menghela tubuhnya ke

Dekut Burung Kukuk

posisi duduk, lalu menyipitkan mata di dalam ruangan yang terang

benderang itu, tanpa mengetahui jam berapa, atau bahkan hari apa

itu.

Pintu antara ruang dalam dan ruang luar kantor tertutup, dan dia

tidak mendengar suara gerakan apa pun di sisi yang lain. Barangkali

pegawai temporernya sudah pergi untuk selamanya. Kemudian dia

melihat bentuk persegi putih di lantai, tepat di balik pintu, yang tam?

paknya telah disisipkan melalui celah bagian bawah. Strike merangkak

hati-hati, lalu memungut sesuatu yang dia sadari kemudian adalah

pesan dari Robin.

Dear Cormoran (sepertinya tidak mungkin kembali ke "Mr.

Strike" sekarang),

Aku sudah membaca daftar hal-hal yang harus diselidiki lebih

jauh, yang ada di bagian depan arsip. Kupikir aku bisa menindak?

lanjuti dua hal yang pertama (Agyeman dan Malmaison Hotel). Kau

bisa menghubungiku di ponsel kalau menurutmu sebaiknya aku kem?

bali ke kantor.

Aku sudah menyetel jam beker di luar pintumu untuk pukul dua

siang, jadi kau akan punya cukup waktu mempersiapkan diri untuk

janji temu pukul lima di Arlington Place, untuk mewawancarai Ciara

Porter dan Bryony Radford.

Ada air, parasetamol, dan Alka-Seltzer di meja di luar.

Robin

NB. Tidak perlu malu tentang yang tadi malam. Kau tidak

melakukan atau mengatakan apa pun yang pantas disesalkan.

Strike duduk bergeming di ranjang lipatnya selama lima menit pe?

nuh, mencengkeram kertas itu, bertanya-tanya apakah dia akan mun?

tah, tapi sinar matahari yang hangat di punggungnya terasa nyaman.

Yang terjadi kemudian adalah empat butir parasetamol dan segelas

Alka-Seltzer, yang boleh dibilang memutuskan pertanyaannya tentang

muntah, diikuti dengan lima belas menit di toilet lembap, yang meng?

hasilkan polusi udara dan suara; tapi selama itu dia bertahan berkat

Robert Galbraith

rasa syukur karena Robin tidak ada. Di ruang luar kantornya, dia mi?

num dua botol air dan mematikan alarm, yang sempat mengguncang

otaknya yang berdenyut-denyut di dalam tengkoraknya. Setelah mem?

pertimbangkannya masak-masak, dia memilih setelan baju bersih,

mengambil sabun, deodoran, alat cukur, krim cukur, dan handuk dari

tas bepergiannya, menarik celana renang dari bagian bawah salah satu

kardus di luar, mengeluarkan sepasang kruk logam abu-abu dari

kardus yang lain, lalu terpincang-pincang menuruni tangga besi de?

ngan tas olahraga tersandang di bahunya dan kruk di tangan yang

lain.

Dia membeli cokelat Dairy Milk ukuran besar untuk dirinya sen?

diri dalam perjalanan ke Malet Street. Bernie Coleman, kenalannya di

Korps Medis Angkatan Darat, pernah menjelaskan pada Strike bahwa

sebagian besar gejala-gejala pengar sesudah mabuk yang parah di?

sebabkan dehidrasi dan hipoglikemia, yang merupakan akibat tak ter?

hindarkan dari muntah-muntah yang berkepanjangan. Strike mengu?

nyah cokelatnya pelan tapi pasti, kruk terjepit di bawah lengan, dan

tiap langkah menggetarkan kepalanya, yang masih terasa seperti di?

jerat kawat yang sangat ketat.

Namun, dewa mabuk yang tertawa-tawa itu masih belum mening?

galkannya. Seraya menikmati keterpisahan dari realitas dan dari se?

sama umat manusia, dia menuruni undakan ke kolam renang ULU

dengan rasa berhak yang tidak pura-pura. Seperti biasa tidak ada yang

menghalanginya, tidak juga satu-satunya orang yang ada di ruang

ganti. Orang itu, setelah satu kali menatap penuh minat ke arah kaki

palsu yang sedang dilepas Strike, dengan sopan menjaga matanya ter?

arah ke tempat lain. Setelah menyimpan kaki palsu di loker bersama

baju kotor, dan meninggalkan pintunya tetap terbuka karena tidak pu?

nya koin untuk menyewa kuncinya, Strike menuju pancuran dengan

bantuan kruk, perutnya tumpah di atas pinggang celana renangnya.

Sambil bersabun, dia menyadari cokelat dan parasetamol tadi mu?

lai menunjukkan khasiat mengobati rasa mual dan sakitnya. Sekarang,

untuk pertama kalinya, dia berjalan keluar ke kolam besar. Hanya ada

dua mahasiswa di sana, keduanya berada di jalur cepat dan mengena?

kan kacamata renang, tak peduli pada apa pun kecuali kehebatan diri

Dekut Burung Kukuk
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri. Strike menuju sisi yang jauh, meletakkan kruk dengan hatihati di samping undakan, lalu mencelupkan diri di jalur lambat.

Seumur hidup, tak pernah dia merasa begitu tidak bugar. Dengan

canggung dan oleng, dia terus berenang ke sisi lain kolam, tapi air

yang bersih dan sejuk itu menenangkan jiwa dan raganya. Tersengalsengal, dia menyelesaikan satu jalur dan beristirahat di sana, lengan?

nya yang tebal terbentang lurus di dinding kolam?bersama dengan

air kolam berbagi tanggung jawab untuk mendukung tubuhnya yang

berat. Dia menatap langit-langit yang tinggi dan putih.

Permukaan air berombak kecil, sisa gelombang yang terkirim dari

atlet-atlet muda di sisi lain kolam menggelitik dadanya. Nyeri di

kepalanya sudah mereda, menjauh, bagaikan titik merah manyala yang

terlihat dari balik kabut. Bau kaporit tajam dan klinis mengisi lubang

hidungnya, tapi tidak lagi membuatnya ingin muntah. Perlahan-lahan,

seperti orang yang mencabut perban dari luka yang mulai kering,

Strike mengalihkan perhatian pada masalah yang berusaha dibenam?

kannya dalam alkohol.

Jago Ross; dalam segala hal merupakan antitesis Strike tampan

bagaikan pangeran bangsa Arya, pemilik dana perwalian, dilahirkan

untuk memenuhi posisi yang sudah ditunjuk di dalam keluarga dan di

dunia; lelaki dengan seluruh kepercayaan diri yang dapat diberikan

oleh dua belas generasi keluarga yang garis darahnya terdokumentasi

dengan baik. Dia meninggalkan berderet-deret pekerjaan prestisius,

mengembangkan masalah ketergantungan alkohol yang sulit dibasmi,

dan berperilaku kejam seperti hewan yang tidak memiliki disiplin.

Charlotte dan Ross adalah bagian dari jaringan keluarga berdarah

biru sekolah negeri yang berkelindan rapat, saling terhubung melalui

bergenerasi-generasi kawin silang dan ikatan almamater. Sementara

air menjilat dadanya yang berbulu lebat, Strike bisa melihat dirinya,

Charlotte, dan Ross dari kejauhan, dari ujung teleskop yang salah, se?

hingga alur cerita mereka menjadi jelas menunjukkan perilaku seharihari Charlotte yang gelisah, dorongannya untuk mencapai emosi lebih

tinggi yang secara umum diekspresikan dalam tindakan yang

destruktif. Dia telah berhasil menjerat Jago Ross sebagai piala ke?

menangan pada usia delapan belas, sampel terbaik dari kaumnya serta

simbol puncak dari tipe yang paling sesuai kehendak orangtuanya.

Robert Galbraith

Mungkin Jago Ross target yang terlalu mudah, terlalu diharapkan, se?

hingga kemudian dia mendepak Jago Ross demi Strike, yang, kendati

cerdas, merupakan hal terlarang bagi keluarga Charlotte; bagai anjing

campuran yang tak dapat dikategorikan ke kotak mana pun. Setelah

bertahun-tahun, apa lagi yang dapat dilakukan seorang wanita yang

selalu mengharapkan badai emosional, kecuali meninggalkan Strike

lagi dan lagi, hingga akhirnya tak ada pilihan lain untuk pergi dengan

penuh kemegahan selain menutup lingkaran dengan sempurna, kem?

bali ke tempat Strike dulu menemukannya?

Strike membiarkan tubuhnya yang sakit mengambang di air. Kedua

mahasiswa yang berlomba itu masih mengayuh lengan bolak-balik di

jalur cepat.

Strike kenal Charlotte. Charlotte sedang menunggu dia untuk me?

nyelamatkannya. Itulah ujian yang paling final, paling kejam.

Dia tidak berenang kembali ke sisi seberang, melainkan merayap ke

samping di dalam air, menggunakan kedua lengannya untuk menceng?

keram dinding kolam seperti yang dilakukannya saat menjalani fisio?

terapi di rumah sakit.

Setelah kaki palsu dipasang kembali, dia bercukur di atas wastafel

dengan handuk dililitkan di pinggang, lalu mengenakan pakaian de?

ngan kecermatan ekstra. Dia tidak pernah memakai setelan jas dan

kemeja terbaik yang dimilikinya. Itu hadiah dari Charlotte pada ulang

tahunnya yang terakhir pakaian yang sesuai untuk sang tunangan.

Dia ingat wajah Charlotte yang berbinar di depan cermin setinggi ba?

dan ketika Strike mengamati dirinya yang sekali-kalinya tampil begitu

bergaya. Sejak itu, jas dan kemeja tersebut tetap tergantung di dalam

kantongnya, karena dia dan Charlotte tidak sering keluar setelah bu?

lan November yang lalu; ulang tahunnya adalah hari bahagia terakhir

yang mereka lewatkan bersama. Tak lama sesudah itu, hubungan me?

reka terseok kembali ke kegetiran yang terasa familier, kembali ke

rawa-rawa tempatnya pernah terbenam, walau kali ini mereka sudah

berjanji akan menghindarinya.

Dia bisa saja membakar setelan itu. Namun, dalam semangat pem?

berontakan, dia memilih untuk mengenakannya, menanggalkan selu?

ruh konotasi yang terkait dengannya, dan membiarkannya menjadi ha?

nya sepotong pakaian. Potongan jas itu membuatnya terlihat lebih

Dekut Burung Kukuk

ramping dan lebih bugar. Dibiarkannya kancing teratas kemeja putih

itu terbuka.

Selama di angkatan darat, Strike memiliki reputasi bisa pulih de?

ngan cepat dari konsumsi alkohol yang berlebihan. Laki-laki yang me?

natapnya dari cermin kecil itu parasnya pucat, dengan lingkaran ke?

unguan di bawah mata, namun dalam setelan buatan Italia itu dia

tampak lebih baik dibandingkan selama berminggu-minggu ini.

Akhirnya lebam gelap di matanya hilang, dan parut-parut di wajah

juga sudah sembuh.

Makanan yang ringan dan dipilih dengan saksama, banyak air pu?

tih, perjalanan sekali lagi ke kamar mandi restoran, beberapa butir pil

pereda sakit; kemudian, pada pukul lima, dia tiba tepat waktu di

Arlington Place nomor 1.

Pintu itu dibuka, setelah ketukan kedua, oleh seorang wanita yang

mengenakan kacamata berbingkai hitam, berambut bob kelabu, de?

ngan wajah gusar. Wanita itu membiarkannya masuk dengan tampang

enggan, lalu berjalan cepat menyeberangi ruang depan berlantai batu

yang menampilkan tangga dengan susuran besi tempa yang menga?

gumkan, sambil berteriak, "Guy! Strike siapa gitu?"

Terdapat ruangan-ruangan di kedua sisi lorong. Di sebelah kiri ada

sekelompok orang yang sepertinya semua mengenakan pakaian hitamhitam, berdiri rapat sambil memandang ke arah sumber cahaya kuat

yang tak terlihat oleh Strike, namun menyinari wajah-wajah mereka

yang terpaku.

Som? muncul, berjalan melalui pintu itu ke ruang depan. Dia juga

mengenakan kacamata, yang membuat wajahnya lebih tua; jinsnya

longgar dan sobek-sobek, kaus putihnya bergambar mata yang bagai?

kan meneteskan darah berkilauan, yang setelah diamati lebih teliti ter?

nyata adalah payet-payet merah.

"Kau harus menunggu," ujarnya singkat. "Bryony sibuk, dan Ciara

masih berjam-jam lagi. Kau boleh parkir di dalam sana kalau mau,"

dia menunjuk ruangan sebelah kanan, terlihat tepi meja yang dipenuhi

nampan-nampan makanan, "atau kau bisa berkeliling dan menonton

seperti keparat-keparat tak berguna itu," lanjutnya, tiba-tiba meninggi?

kan suara dan memelototi kerumunan pria dan wanita muda elegan

Robert Galbraith

yang sedang memandangi sumber cahaya. Mereka langsung bubar,

tanpa protes, beberapa masuk ke ruangan di seberang lorong.

"Setelanmu lebih bagus, omong-omong," tambah Som?, dengan

lambaian tangan khasnya. Dia berderap kembali ke ruangan tempat?

nya berasal.

Strike mengikuti perancang itu, mengisi tempat yang dikosongkan

oleh para penonton yang telah diusir dengan kasar. Ruangan itu pan?

jang dan nyaris kosong, tapi ornamen di tepi langit-langit, dindingdinding pucat yang kosong, serta jendela-jendela yang tak bertirai

memberinya atmosfer kemegahan yang sendu. Ada kelompok orang

lagi, termasuk fotografer pria berambut panjang yang tengah mem?

bungkuk di atas kameranya, berdiri di antara Strike dan adegan yang

berlangsung di ujung ruangan, yang terang benderang oleh aneka ra?

gam pencahayaan dan layar pemantul. Di sana terdapat kursi-kursi

lama dan lusuh yang ditata dengan berseni, ada satu yang dibiarkan

terbalik, serta tiga orang model. Masing-masing sangat berbeda dari

yang lain, proporsi wajah dan bentuk tubuh mereka termasuk langka,

tepat berada di antara kategori aneh dan mengesankan. Dengan sosok

yang sama-sama ramping, Strike berasumsi mereka telah dipilih ka?

rena kekontrasan warna kulit yang dramatis. Duduk terbalik di atas

kursi bak Christine Keeler, dengan tungkai panjang terbuka yang di?

balut legging putih namun telanjang dari pinggang ke atas, adalah se?

orang gadis berkulit sehitam Som?, dengan mata Afrika yang menyipit

dan menggoda. Berdiri di atasnya, dengan rompi putih berhias rantai

yang panjangnya hanya menutupi kemaluannya, ada seorang gadis

Eurasia cantik berambut panjang lurus dengan poni asimetris. Di sisi

yang lain, bersandar miring pada punggung kursi, adalah Ciara Porter;

putih bagaikan pualam, dengan rambut pirang yang lembut dan pan?

jang, mengenakan jumpsuit terusan semitransparan yang memperlihat?

kan dengan jelas putingnya yang pucat dan tegak.

Sang penata rias, yang nyaris sama jangkung dan kurusnya dengan

para model, sedang membungkuk di atas si gadis kulit hitam, me?

nepuk sisi hidungnya dengan bedak. Ketiga model itu menunggu

tanpa suara pada posisi masing-masing, geming seperti potret, wajah

mereka kosong tanpa ekspresi, menunggu aba-aba. Orang-orang lain

di dalam ruangan (fotografer yang tampaknya memiliki dua asisten;

Dekut Burung Kukuk

Som? yang sedang menggerigiti kukunya, ditemani si perempuan ber?

kacamata yang tampak marah itu) semua berbicara dalam gumam pe?

lan, seakan-akan takut mengganggu suatu kesetimbangan yang rapuh.

Akhirnya si penata rias bergabung dengan Som?, yang berbicara

cepat kepadanya tanpa terdengar suaranya, tangannya bergerak-gerak;

Bryony kembali ke bawah lampu yang benderang dan, tanpa berbicara

kepada si model, mengatur lagi rambut panjang Ciara Porter; Ciara

tidak menunjukkan tanda-tanda dirinya menyadari sedang disentuh,

tapi menunggu dalam keheningan yang sabar. Bryony mundur kembali

ke bayang-bayang, menanyakan sesuatu pada Som?; Som? menang?

gapi dengan kedikan bahu dan memberinya instruksi lagi yang mem?

buat Bryony mengedarkan pandangan sampai matanya menangkap

Strike.

Mereka bertemu di kaki tangga yang indah tadi.

"Hai," bisik Bryony. "Ayo masuk ke sini."

Dia mengajak Strike ke ruangan di seberang lorong, yang agak le?

bih kecil daripada yang pertama dan dipenuhi meja panjang penuh

berisi hidangan prasmanan. Beberapa rak panjang beroda di dekat

perapian marmer tampak penuh dijejali baju-baju berhias payet,

kerut-kerut, dan bulu yang diatur sesuai warna. Para penonton yang

diusir tadi, kesemuanya berusia dua puluhan, sedang berkumpul di

ruangan ini; berbicara lirih, mengudap dengan malas dari piring-piring

keju mozzarella dan ham Parma, saling berbicara atau sibuk sendiri

dengan ponsel mereka. Beberapa mengamati Strike dengan pandangan

menilai ketika dia mengikuti Bryony masuk ke ruang kecil di belakang

yang sudah dialihfungsikan menjadi ruang rias sementara.

Dua meja dengan cermin-cermin besar berdiri di depan jendela

lebar yang menghadap kebun cemara. Kotak-kotak plastik hitam yang

ada di sana-sini mengingatkan Strike pada kotak perlengkapan Paman

Ted yang dibawanya kalau pergi memancing, tapi milik Bryony ini

laci-lacinya penuh bedak dan cat beraneka warna; tube dan kuas di?

atur berjajar di atas handuk yang ditebarkan di meja.

"Hai," katanya lagi, dengan suara normal. "Astaga. Tegang sekali

sampai nyaris meledak, ya? Guy memang selalu perfeksionis, tapi ini

sesi pemotretannya yang pertama sejak Lula meninggal, jadi diaat

sangat tegang."

Robert Galbraith

Rambut Bryony berwarna gelap dan dipotong dengan gaya acakacakan; kulitnya pucat, ciri-ciri wajahnya menarik. Dia mengenakan

jins ketat yang membalut tungkainya yang panjang dan agak meleng?
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kung, rompi hitam, beberapa utas kalung emas tipis tergantung di

lehernya, cincin-cincin di jari dan jempolnya, juga semacam sepatu

balet dari kulit hitam. Bagi Strike, sepatu jenis ini malah agak menim?

bulkan kebalikan dari efek afrodisiak, karena mengingatkan dia pada

sepatu lipat Bibi Joan yang suka dibawa-bawanya di dalam tas, dan le?

bih jauh lagi mengingatkan Strike pada sendi jempol kaki yang me?

nonjol dan kulit yang kapalan.

Strike mulai menerangkan apa yang dia harapkan dari Bryony, tapi

Bryony segera memotongnya.

"Guy sudah bilang semuanya. Mau rokok? Kita bisa merokok di

sini kalau pintu ini dibuka."

Sesudah Bryony berkata begitu, dikuakkannya pintu yang meng?

arah langsung ke area taman yang berlantai semen.

Dia menyisihkan beberapa benda di meja rias yang berantakan,

lalu bertengger di situ; Strike mengambil salah satu kursi yang kosong

dan mengeluarkan notesnya.

"Oke, mulailah," kata Bryony, lalu, tanpa memberi Strike kesem?

patan untuk bicara, "Sebenarnya, aku tidak berhenti berpikir tentang

sore hari itu. Sedih sekali."

"Kau kenal Lula dengan baik?" tanya Strike.

"Ya, lumayan baik. Aku meriasnya untuk beberapa pemotretan,

juga untuk Rainforest Benefit. Waktu kubilang padanya aku bisa me?

lakukan threading alis..."

"Bisa melakukan apa?"

"Threading alis. Seperti mencabuti alis, tapi pakai benang?"

Strike tidak mampu membayangkan cara kerjanya.

"Begitu..."

"...dia memintaku melakukan itu di rumahnya. Paparazzi selalu me?

ngelilinginya, sepanjang waktu, bahkan saat dia pergi ke salon. Me?

mang gila. Jadi, aku membantu dia."

Bryony memiliki kebiasaan mengedikkan kepala untuk menepiskan

poni yang panjang dari matanya, dan bunyi napasnya terdengar. Seka?

Dekut Burung Kukuk

rang dia mengibaskan rambut ke satu sisi, menguraikannya dengan

jari, lalu menatap Strike dari balik poninya.

"Aku sampai di sana sekitar pukul tiga. Dia dan Ciara senang se?

kali dengan kedatangan Deeby. Gosip cewek, kau tahu, kan. Aku tidak

pernah menyangka apa yang kemudian terjadi. Tidak pernah."

"Lula bersemangat sekali, ya?"

"Oh, astaga, banget. Menurutmu bagaimana? Bagaimana perasaan?

mu kalau ada orang yang menulis lagu tentang... Yah," katanya dengan

tawa kecil yang mendesah, "mungkin ini sesuatu yang cewek banget.

Deeby sangat karismatik. Lalu, Ciara memintaku merawat kukunya.

Akhirnya aku merawat kuku mereka berdua sekalian, jadi aku pasti

ada di sana sekitar tiga jam. Yeah, lalu aku pulang sekitar pukul enam."

"Jadi menurutmu suasana hati Lula sangat bersemangat, ya?"

"Ya. Well, kau tahulah, dia sepertinya juga sedang memikirkan hal

lain; dia terus-menerus mengecek ponselnya. Ponsel itu ada di pang?

kuannya selama aku merapikan alisnya. Aku tahu artinya pasti Evan

membuatnya galau lagi."

"Dia berkata begitu?"

"Tidak, tapi aku tahu kalau Lula sedang sangat marah pada Evan.

Kaupikir, kenapa dia bilang begitu pada Ciara tentang saudaranya?

Bahwa dia akan meninggalkan semua pada saudaranya?"

Bagi Strike, logika ini agak kebablasan.

"Kau juga mendengar dia berkata begitu?"

"Apa? Tidak, tapi aku dengar-dengar tentang itu. Maksudku, se?

sudahnya. Ciara yang memberitahu kami semua. Kurasa aku sedang

di kamar mandi waktu Lula bilang begitu. Pokoknya, aku percaya ba?

nget. Banget."

"Kenapa begitu?"

Bryony tampak bingung.

"Well?Lula sangat menyayangi kakaknya, bukan? Astaga, itu jelas

sekali. Kakaknya itu mungkin satu-satunya orang yang bisa dia andal?

kan. Beberapa bulan sebelumnya, sekitar waktu dia dan Evan putus

untuk pertama kali, aku sedang mendandani Lula untuk peragaan bu?

sana Stella, dan dia memberitahu semua orang bahwa kakaknya bikin

dia sangat jengkel, karena terus mengomelinya tentang Evan yang ha?

nya memoroti dia. Dan kau tahu, sore terakhir itu Evan pasti bikin

Robert Galbraith

masalah lagi, jadi Lula berpikir bahwa James?namanya James,

kan??mungkin James memang benar selama ini. Dia selalu yakin

kakaknya hanya memikirkan yang terbaik untuknya, meski kadang-ka?

dang agak bossy. Ini bisnis yang sangat eksploitatif, kau tahu. Semua

orang punya agenda."

"Menurutmu, siapa yang punya agenda dengan Lula?"

"Oh, astaga, semua orang," ujar Bryony sambil melambaikan ta?

ngannya yang memegang rokok, isyaratnya mencakup ruanganruangan tak berpenghuni di luar. "Lula itu model paling hot, semua

orang menginginkan sepotong dirinya. Maksudku, Guy?" Tapi

Bryony terdiam tiba-tiba. "Yah, Guy itu pengusaha, tapi dia benarbenar memuja Lula. Dia ingin Lula pindah dan tinggal dengannya se?

telah ada masalah penguntit itu. Guy masih belum berdamai dengan

kematian Lula. Dengar-dengar, dia berusaha menghubungi Lula me?

lalui cenayang. Margo Leiter yang memberitahuku. Guy masih sedih

sekali. Tidak bisa mendengar nama Lula tanpa meneteskan air mata.

Ya, sudahlah," kata Bryony, "hanya itu yang aku tahu. Aku tidak per?

nah membayangkan sore itu kali terakhir aku melihat Lula. Maksud?

ku, astaga."

"Apakah dia membicarakan Duffield, ketika kau?eh?threading

alisnya?"

"Tidak," jawab Bryony, "tapi tentunya dia enggan bicara, kan, kalau

Evan membuatnya marah?"

"Jadi, sejauh yang kauingat, kebanyakan dia hanya bicara soal

Deeby Macc?"

"Yah... aku dan Ciara yang lebih banyak bicara soal dia sih."

"Tapi menurutmu Lula sangat bersemangat akan bertemu Deeby

Macc?"

"Astaga, iya banget."

"Apakah kau melihat selembar kertas biru dengan tulisan tangan

Lula waktu kau ada di flatnya?"

Bryony mengibaskan rambutnya menutupi wajah lagi, lalu me?

nyisirnya dengan jari.

"Apa? Tidak. Tidak, aku tidak melihat apa pun yang seperti itu.

Kenapa? Apa itu?"

"Entahlah," ujar Strike. "Karena itu aku ingin tahu."

Dekut Burung Kukuk

"Tidak, aku tidak melihatnya. Biru, ya? Tidak."

"Apakah kau melihat kertas apa pun dengan tulisan tangannya?"

"Tidak, aku tidak ingat melihat kertas. Tidak." Dia mengibaskan

rambut dari wajahnya. "Maksudku, hal seperti itu mungkin berge?

letakan saja, tapi aku tidak akan memperhatikannya."

Ruangan itu dingin dan lembap. Barangkali wajah Bryony yang

berubah warna itu imajinasi Strike belaka, tapi dia tidak sekadar

membayangkan bagaimana Bryony menumpangkan sebelah kakinya di

atas lutut dan mengamati sol sepatu baletnya untuk memeriksa se?

suatu yang tidak ada di sana.

"Sopir Lula, Kieran Kolovas-Jones..."

"Oh, cowok cakep itu?" kata Bryony. "Kami sering menggoda Lula

tentang Kieran. Cowok itu naksir berat padanya. Kurasa Ciara

kadang-kadang memakai dia sekarang." Bryony tertawa kecil penuh

arti. "Ciara itu punya reputasi anak gaul yang suka bersenang-senang.

Maksudku, kita memang menyukai dia, tapi..."

"Kolovas-Jones berkata, Lula menuliskan sesuatu di secarik kertas

biru di kabin belakang mobilnya, sesudah meninggalkan flat ibunya

hari itu..."

"Kau sudah bicara pada ibu Lula? Wanita itu agak aneh."

"...dan aku ingin tahu apa itu."

Bryony menjentikkan puntung rokoknya ke luar pintu yang ter?

buka dan beringsut gelisah di atas meja.

"Kertas itu isinya bisa apa saja," kata Bryony. Strike menunggu da?

tangnya saran, dan tidak kecewa. "Mungkin daftar belanja, atau apa?

lah."

"Yeah, bisa jadi. Tapi, katakan saja itu surat bunuh diri..."

"Tapi bukan?maksudku, itu konyol sekali?bagaimana mungkin?

Siapa yang menulis surat bunuh diri jauh sebelum waktunya, lalu

minta wajahnya dirias dan pergi berdansa? Tidak masuk akal sama se?

kali!"

"Memang kemungkinannya kecil, aku setuju, tapi barangkali ada

baiknya mengetahui apa sebenarnya itu."

"Mungkin tidak ada hubungannya dengan kematiannya. Bisa saja

itu surat untuk Evan atau apa, memberitahunya bahwa dia marah se?

kali?"

Robert Galbraith

"Sepertinya baru larut malam harinya Lula marah pada Evan. Lagi

pula, untuk apa dia menulis surat, padahal dia punya nomor telepon

Evan dan akan bertemu dengannya malam itu?"

"Entahlah," kilah Bryony dengan resah. "Aku cuma bilang, itu bisa

saja sesuatu yang tidak ada kaitannya."

"Dan kau yakin kau tidak pernah melihat kertas itu?"

"Ya, aku cukup yakin," ujar Bryony, rona wajahnya meningkat. "Aku

ada di sana untuk bekerja, bukan mengintip-intip barang-barangnya.

Sudah selesai?"

"Yeah, kurasa itu saja yang perlu kutanyakan tentang sore hari itu,"

kata Strike, "tapi kau mungkin bisa membantuku untuk soal lain. Kau

kenal Tansy Bestigui?"

"Tidak," sahut Bryony. "Hanya kenal kakaknya, Ursula. Beberapa

kali dia memintaku meriasnya untuk pesta-pesta besar. Dia menyebal?

kan."

"Bagaimana?"

"Dia itu tipe wanita kaya yang manja?well," kata Bryony sambil

mengerucutkan bibirnya, "sebenarnya dia tidak sekaya yang dia mau.

Kakak-beradik Chillingham itu mengejar pria-pria tua yang punya

kantong uang; keduanya seperti rudal pelacak harta. Ursula pikir dia

menang lotre ketika menikah dengan Cyprian May, tapi pria itu tidak

punya cukup banyak untuknya. Ursula sudah empat puluh lebih seka?

rang; kesempatannya tidak sebanyak dulu lagi. Kurasa karena itulah

dia belum bisa ?naik kelas?."

Lalu, karena merasa nada suaranya perlu diberi penjelasan, Bryony

melanjutkan

"Maaf, tapi dia menuduhku mendengarkan pesan voicemail di

ponselnya." Penata rias itu melipat lengan di depan dada, matanya me?

lotot pada Strike. "Maksudku, yang benar saja. Dia melempar ponsel?

nya kepadaku dan menyuruhku meneleponkan taksi untuknya, tanpa

bilang tolong atau terima kasih. Aku kan disleksia. Aku memencet

tombol yang keliru, dan tahu-tahu saja aku dibentak-bentak sampai

kepalanya hampir meledak."

"Menurutmu, kenapa dia marah sekali padamu?"

"Kurasa karena aku mendengar suara laki-laki yang bukan suami?

Dekut Burung Kukuk

nya mengatakan bahwa dia sedang berbaring di kamar hotel dan

membayangkan menjilati dia," ujar Bryony kalem.

"Jadi barangkali dia sudah naik kelas?" tanya Strike.
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu bukan naik kelas namanya," kata Bryony, tapi lalu dia buruburu menambahkan, "maksudku, pesannya norak sekali. Sudahlah,

aku harus kembali ke sana, kalau tidak Guy bisa mengamuk."

Strike membiarkan dia pergi. Setelah itu, dia menulis catatan se?

panjang dua halaman lagi. Bryony Radford terbukti bukan saksi yang

dapat diandalkan, sangat mudah dipengaruhi dan suka berbohong,

tapi dia telah mengatakan lebih banyak daripada yang disadarinya.

Pemotretan itu masih berlangsung selama tiga jam lagi. Strike me?

nanti di taman, merokok dan minum air dari botol, sementara senja

turun. Dari waktu ke waktu dia masuk ke rumah itu untuk mengecek

kemajuan, yang sepertinya berjalan sangat lambat. Sesekali dia melihat

atau mendengar Som?, yang sepertinya kehilangan kendali emosi,

membentakkan perintah-perintah pada si fotografer atau kerocokeroco berbaju hitam yang beterbangan di sekeliling rak-rak pakaian.

Akhirnya, hampir pukul sembilan, setelah Strike makan beberapa

potong pizza yang dipesan si asisten penata gaya yang kecapekan dan

pemberengut, Ciara Porter menuruni tangga tempat dia berpose ber?

sama dua koleganya, lalu bergabung dengan Strike di ruang rias yang

sedang dibereskan oleh Bryony.

Ciara masih mengenakan gaun mini kaku keperakan yang dia

kenakan pada sesi pemotretan terakhir. Ceking dan kerempeng, kulit?

nya sepucat susu, rambutnya nyaris putih, dan kedua mata birunya

berjauhan. Ciara meluruskan tungkainya yang jenjang dan mengena?

kan sepatu platform yang diikatkan dengan tali perak meliliti betisnya,

lalu menyulut Marlboro Lights.

"Wah, aku tidak percaya kau anaknya Rokers!" ujarnya mendesah,

matanya yang bagaikan batu chrysoberyl hijau keemasan melebar, bibir?

nya yang penuh menganga. "Aneh sekali! Aku kenal dia; dia mengun?

dang aku dan Looly ke peluncuran album Greatest Hits-nya tahun

lalu! Dan aku kenal saudara-saudaramu, Al dan Eddie! Mereka

Dekut Burung Kukuk

memang bilang padaku punya saudara di angkatan darat! Yapun.

Keren. Kau sudah selesai, Bryony?" tambah Ciara dengan tajam.

Si penata rias tampak sengaja berlama-lama membereskan per?

alatan kerjanya. Kini irama kerjanya dipercepat, sementara Ciara me?

rokok dan mengawasinya tanpa suara.

"Yap, sudah selesai," akhirnya Bryony berkata dengan ceria, me?

nyandang kotak berat di bahunya dan mengangkat beberapa wadah

lain dengan kedua tangan. "Sampai ketemu, Ciara. Selamat tinggal,"

tambahnya pada Strike, lalu pergi.

"Dia itu selalu mau tahu, tukang gosip pula," Ciara memberitahu

Strike. Dikibaskannya rambutnya yang panjang dan putih, lalu dia

mengatur tungkainya yang gelisah dan bertanya

"Kau sering bertemu Al dan Eddie?"

"Tidak," jawab Strike.

"Dan ibumu," ujar Ciara tak peduli, mengembuskan asap dari sudut

bibirnya. "Maksudku, dia itu legenda. Kau tahu, dua musim lalu

desainer Baz Carmichael membuat koleksi yang dinamakan ?Super?

groupie?? Seluruh koleksinya terinspirasi sepenuhnya dari Bebe Buell

dan ibumu. Rok maksi, kemeja tak berkancing, sepatu bot?"

"Aku tidak tahu," kata Strike.

"Oh, pokoknya begini deh?kau tahu komentar keren tentang rokrok Ossie Clark, bagaimana laki-laki menyukainya karena, kau tahu,

bisa diangkat dengan gampang untuk bercinta dengan cewek-cewek

itu? Itu kan menggambarkan seluruh era ibumu."

Dia mengibaskan rambut dari matanya lagi dan menatap Strike,

bukan dengan tatapan dingin dan penuh penilaian yang tak sopan

seperti Tansy Bestigui, namun dengan kekaguman yang tampak jujur

dan apa adanya. Sulit bagi Strike untuk memutuskan apakah gadis ini

tulus, atau sedang memerankan karakternya sendiri; kecantikannya

menghalangi, seperti jaring laba-laba tebal yang membuat orang sulit

melihatnya dengan jernih.

"Nah, kalau kau tidak keberatan, aku ingin bertanya tentang Lula."

"Oh, yapun. Ya. Ya. Aku ingin membantu. Sewaktu aku dengar

ada orang yang sedang menyelidikinya, aku bilang, wah, bagus. Akhir?

nya."

"Benarkah?"

Robert Galbraith

"Ya, tentu saja. Seluruh kejadian itu begitu mengejutkan. Aku sulit

percaya. Dia masih ada di ponselku, lihatlah."

Dia merogoh-rogoh tasnya yang sangat besar, akhirnya mengeluar?

kan iPhone putih. Sambil mencari-cari di daftar kontak, dia men?

condongkan tubuh ke arah Strike, memperlihatkan nama "Looly". Bau

parfumnya manis sekaligus pedas.

"Aku terus berharap dia akan meneleponku," kata Ciara, sejenak

berubah sendu, lalu diselipkannya kembali ponselnya ke dalam tas.

"Aku tidak sanggup menghapus namanya; sudah berkali-kali aku mau

melakukannya, tapi tiba-tiba kuputuskan untuk tidak melakukannya."

Dia berdiri dengan gelisah, melipat sebelah tungkainya yang pan?

jang di bawah tubuhnya, lalu duduk kembali dan merokok dalam

diam selama beberapa saat.

"Kau bersama dia hampir sepanjang hari itu, bukan?" tanya Strike.

"Jangan ingatkan aku, sialan," kata Ciara sambil memejamkan mata.

"Sudah jutaan kali aku memikirkannya. Berusaha memahami dalam

kepalaku bagaimana orang bisa berubah dari benar-benar gembira

menjadi mati dalam beberapa jam saja."

"Dia benar-benar gembira?"

"Yapun, lebih gembira daripada yang pernah kulihat selama

minggu terakhir itu. Kami baru kembali dari pemotretan untuk Vogue

di Antigua, dia dan Evan kembali bersama, dan mereka melakukan

upacara komitmen. Segalanya fantastis baginya. Dia ada di surga langit

ketujuh."

"Kau datang ke upacara komitmen ini?"

"Oh, ya," jawab Ciara sambil menjatuhkan puntung rokoknya ke

dalam kaleng Coke, yang kemudian mati dengan bunyi desis. "Ya

ampun, pokoknya romantis banget. Evan boleh dibilang melakukannya

dengan spontan di rumah Dickie Carbury. Kau tahu Dickie Carbury,

pengusaha restoran itu? Dia punya rumah yang bagus sekali di Cost?

wolds, dan kami semua ada di sana akhir pekan itu. Evan membeli se?

pasang gelang dari Fergus Keane untuk mereka berdua, keren banget,

dari perak oksidasi. Evan memaksa kami semua turun ke danau se?

telah makan malam, dalam udara dingin dan bersalju, lalu dia men?

deklamasikan puisi yang dia tulis untuk Looly, lalu memasangkan

gelang itu di tangannya. Looly tertawa-tawa keras, tapi kemudian

Dekut Burung Kukuk

tahu-tahu saja dia membalas dengan puisi yang dikenalnya. Walt

Whitman. Pokoknya," kata Ciara, mendadak berubah serius, "sungguh

menakjubkan, mengetahui puisi yang tepat untuk diucapkan, begitu

saja. Orang sering menganggap model itu bodoh, kau tahu." Dikibas?

kannya rambutnya lagi, lalu dia menawarkan rokoknya pada Strike

sebelum mengambil satu untuk dirinya sendiri. "Aku bosan memberi?

tahu orang bahwa aku punya kursi yang kutunda di Cambridge."

"Oh, ya?" tanya Strike, tak berhasil menyembunyikan keterkejutan

dalam suaranya.

"Ya," kata Ciara sambil mengembuskan asap dengan cantik, "tapi,

kau tahu, pekerjaan modeling ini berjalan baik sekali, jadi aku mau

menundanya setahun lagi. Pekerjaan ini membuka banyak pintu, kau

tahu?"

"Jadi, upacara komitmen ini terjadi pada?seminggu sebelum Lula

meninggal?"

"Ya," jawab Ciara, "Sabtu sebelumnya."

"Dan itu hanya bertukar puisi dan gelang. Tidak ada janji, tidak

resmi?"

"Tidak, itu tidak mengikat secara hukum atau apa. Pokoknya hanya

momen yang indah dan sempurna. Well, kecuali Freddie Bestigui, dia

agak menyebalkan. Tapi setidaknya," Ciara mengisap rokoknya dalamdalam, "istrinya itu tidak ikut."

"Tansy?"

"Tansy Chillingham, ya. Perempuan jalang. Tidak heran mereka

mau cerai; mereka itu hidup sendiri-sendiri, kau tidak pernah melihat

mereka pergi keluar bersama.

"Sejujurnya, Freddie tidak terlalu payah akhir pekan itu, mengingat

reputasinya yang buruk. Dia hanya menjemukan, terus berusaha

mengambil hati Looly, tapi dia tidak jahat seperti yang orang bilang.

Aku pernah mendengar cerita tentang cewek ini, yang benar-benar

naif, yang dia janjikan peran di film... Yah, aku tidak tahu apakah

cerita itu benar." Ciara menyipitkan mata sejenak, memandang ujung

rokoknya. "Cewek itu tidak pernah melaporkannya."

"Kau bilang Freddie menyebalkan. Seperti apa?"

"Oh, yapun, dia terus menyudutkan Looly, mengatakan dia akan

hebat sekali di layar, dan betapa hebat ayahnya."

Robert Galbraith

"Sir Alec?"

"Ya, Sir Alec, tentu saja. Yapun," kata Ciara, matanya melebar,

"kalau saja Freddie Bestigui tahu siapa ayah kandungnya, Looly pasti

girang sekali! Itu kan boleh dibilang impian hidupnya! Tidak, Freddie

hanya bilang kenal Sir Alec bertahun-tahun yang lalu, dan mereka

berasal dari East End manor, atau apa, jadi boleh dibilang dia itu ba?

pak permandiannya atau apa. Kurasa dia bermaksud melucu, tapi ma?

salahnya tidak lucu. Pokoknya, semua orang bisa lihat dia berusaha

membujuk Looly ikut main filmnya. Tingkahnya menyebalkan pada

upacara komitmen; dia teriak-teriak terus, "Aku yang menyerahkan

mempelai wanita.? Dia mabuk, minum banyak sepanjang makan ma?

lam. Dickie terpaksa menyuruh dia tutup mulut. Lalu setelah upacara,

kami semua minum sampanye di rumah, dan Freddie minum lebih

banyak lagi. Dia terus-terusan berseru pada Looly bahwa dia akan jadi

aktris hebat, tapi Looly tidak peduli. Tak menggubrisnya sama sekali.

Dia hanya berpelukan dengan Evan di sofa, terlihat begitu..."

Dan tiba-tiba saja, air mata berkilauan di mata Ciara yang digaris

dengan kohl, lalu ditumpasnya air mata itu dengan kedua telapak

tangannya yang putih dan lentik.

"...saling tergila-gila. Dia bahagia. Aku tidak pernah melihatnya se?

bahagia itu."

"Kalian bertemu lagi dengan Freddie Bestigui, kan, pada malam se?

belum kematian Lula? Bukankah kalian berpapasan di lobi, sebelum

kalian keluar?"

"Ya," kata Ciara, masih menepuk-nepuk matanya. "Bagaimana kau

tahu?"

"Wilson si petugas keamanan yang memberitahu. Dia pikir

Bestigui mengatakan sesuatu pada Lula, yang tidak disukainya."

"Ya, dia benar. Aku sudah lupa. Freddie mengatakan sesuatu ten?

tang Deeby Macc, tentang Looly yang senang sekali dia datang, bahwa

dia ingin menyatukan mereka dalam satu film. Aku tidak ingat persis?

nya, tapi kesannya mesum, kau tahu?"

"Apakah Lula tahu Bestigui dan ayah angkatnya pernah berteman?"

"Dia bilang padaku, baru saat itu dia tahu. Di flat, dia selalu ber?

usaha menghindari Freddie. Looly tidak suka pada Tansy."

"Kenapa?"

Dekut Burung Kukuk

"Oh, dia memang tidak pernah tertarik pada omong kosong ma?

cam itu, suami siapa yang punya yacht paling besar. Dia tidak ingin

bergaul dengan kalangan mereka. Dia jauh lebih baik daripada me?

reka. Jauh banget dari kakak-beradik Chillingham."

"Oke," kata Strike, "bisakah kauceritakan padaku dengan urut apa

yang terjadi sepanjang sore dan malam ketika kau bersamanya?"
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ciara menjatuhkan puntung rokok keduanya di kaleng Coke de?

ngan desis pelan, dan langsung menyulut satu lagi.

"Yeah. Oke, biar kupikir dulu. Well, aku bertemu dengan Looly di

flatnya siang itu. Bryony datang untuk merapikan alisnya, dan akhir?

nya kami berdua dimanikur. Pokoknya, sore itu acara cewek."

"Bagaimana tampaknya dia?"

"Dia..." Ciara ragu-ragu sejenak. "Yah, dia tidak terlalu gembira se?

perti sepanjang minggu itu. Tapi bukan berarti dia ingin bunuh diri.

Pokoknya nggak mungkin."

"Kieran, sopirnya, merasa dia terlihat aneh ketika meninggalkan

rumah ibunya di Chelsea."

"Oh, yapun. Yah, wajar saja, bukan? Ibunya sakit kanker, kan?"

"Apakah Lula membicarakan ibunya, ketika bertemu denganmu?"

"Tidak, tidak juga. Maksudku, dia cerita baru saja menengok ibu?

nya, karena ibunya agak, kau tahulah, agak menurun kondisinya se?

telah operasi, tapi tidak ada yang berpikir Lady Bristow akan mening?

gal. Operasi itu seharusnya menyembuhkan dia, bukan?"

"Apakah Lula menyinggung alasan lain kenapa dia tidak segembira

sebelumnya?"

"Tidak," kata Ciara sambil menggeleng-geleng perlahan, rambut

panjangnya yang putih terjurai di sekeliling wajahnya. Disisirnya ram?

butnya ke belakang, lalu disedotnya rokok dalam-dalam. "Dia memang

kelihatan agak murung, agak tidak fokus, tapi kupikir itu karena dia

baru saja menengok ibunya. Hubungan mereka agak aneh. Lady

Bristowat sangat protektif dan posesif. Looly merasa klaustrofobik,

kau tahu."

"Kau melihat Lula menelepon seseorang ketika bersamamu?"

"Tidak," kata Ciara, setelah terdiam penuh perenungan. "Aku ingat

dia bolak-balik mengecek ponselnya, tapi dia tidak bicara pada siapa

Robert Galbraith

pun, sejauh yang bisa kuingat. Kalau dia menelepon, pasti dilakukan?

nya diam-diam. Dia memang keluar-masuk ruangan. Entahlah."

"Bryony bilang, dia sepertinya sangat bersemangat soal Deeby

Macc."

"Oh, demi Tuhan," ujar Ciara tak sabar. "Semua orang juga ber?

semangat soal Deeby Macc?Guy dan Bryony dan?yah, aku juga

sih," katanya dengan kejujuran yang meluluhkan hati. "Tapi Looly

tidak terlalu terusik. Dia mabuk kepayang dengan Evan. Sebaiknya

kau tidak percaya pada semua yang dikatakan Bryony."

"Apakah kau ingat Lula memegang secarik kertas? Kertas biru, de?

ngan tulisan tangannya?"

"Tidak," jawab Ciara lagi. "Kenapa? Apa itu?"

"Aku belum tahu," sahut Strike, dan tahu-tahu saja Ciara seperti

baru disambar geledek.


Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Fear Street Terperangkap Trapped Lembah Nirmala Karya Khu Lung

Cari Blog Ini