Ceritasilat Novel Online

Dekut Burung Kukuk 8

Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith Bagian 8

"Ya Tuhan?maksudnya dia meninggalkan surat? Oh, Tuhan. Edan

kalau begitu! Tapi?tidak mungkin! Itu berarti dia sudah, apa ya, me?

mutuskan untuk melakukannya."

"Mungkin bukan itu," kata Strike. "Ketika diwawancarai polisi, kau

menyinggung bahwa Lula menyatakan niat untuk meninggalkan se?

galanya pada saudaranya, kan?"

"Ya, betul," Ciara menjawab dengan kesungguhan hati sambil

mengangguk-angguk. "Ceritanya begini. Guy mengirimi Looly tas-tas

keren dari lini terbarunya. Aku tahu dia tidak akan mengirimnya

padaku, walau aku juga ada di iklan itu. Singkatnya, aku membuka

bungkus tas yang putih, Cashile, dan tas itu cantik banget; Guy mem?

buat lapisan dalam dari sutra yang bisa dilepas, dan dicetak dengan

motif Afrika yang bagus, khusus untuk Looly. Jadi aku bilang, ?Looly,

kau mau mewariskan ini padaku?? Hanya main-main. Lalu dia bilang,

denganat serius, ?Aku akan meninggalkan segalanya pada saudara?

ku, tapi aku yakin dia akan memperbolehkanmu mengambil apa pun

yang kau mau.?"

Strike mengamati dan menyimak untuk menangkap tanda-tanda

Ciara berbohong atau melebih-lebihkan ceritanya, tapi kata-kata itu

mengalir dengan mudah, dan kedengarannya pun jujur.

"Ucapannya itu agak aneh, bukan?" tanya Strike.

"Yeah, kurasa begitu," kata Ciara sambil mengguncangkan rambut?

Dekut Burung Kukuk

nya ke depan wajah lagi. "Tapi Looly memang seperti itu. Kadang-ka?

dang dia bisa agak gelap dan dramatis seperti begitu. Guy suka bilang

begini, ?Jangan terlalu cuckoo, Cuckoo.? Maksudnya, jangan jadi terlalu

gila. Yah, pokoknya," Ciara mendesah, "dia tidak menangkap kodeku

soal tas Cashile itu. Aku berharap dia langsung memberikannya pada?

ku; toh dia sudah punya empat."

"Apakah kau menilai kau dekat dengan Lula?"

"Oh, yapun, jelas, superdekat, dia cerita padaku segalanya."

"Beberapa orang pernah menyinggung Lula tidak mudah percaya

pada orang lain. Dia takut yang dia percayakan akan bocor ke pers.

Aku diberitahu, dia pernah menguji orang untuk melihat apakah dia

bisa memercayai mereka."

"Oh, yeah, dia memang agak paranoid setelah ibu kandungnya

menjual cerita tentang dia. Dia bahkan bertanya padaku," kata Ciara,

tangannya yang menjepit rokok melambai ringan, "apakah aku pernah

memberitahu orang lain bahwa dia kembali dengan Evan. Maksudku,

yang benar sajalah. Tidak mungkin dia bisa menutup-nutupi itu. Semua

orang membicarakannya. Aku bilang padanya, ?Looly, hal yang lebih

buruk ketimbang dibicarakan orang adalah tidak dibicarakan sama se?

kali.? Itu Oscar Wilde," tambahnya manis. "Tapi Looly tidak menyukai

sisi itu dari ketenarannya."

"Menurut Guy Som?, Lula tidak akan kembali pada Duffield kalau

dia tidak sedang berada di luar negeri."

Ciara melirik ke arah pintu, lalu memelankan suaranya.

"Guy mungkin berpikir begitu. Dia itu sangat protektif pada Looly.

Dia memuja Looly, benar-benar menyayanginya. Menurutnya, Evan ti?

dak baik bagi Looly, tapi jujur saja deh, dia tidak kenal Evan yang se?

sungguhnya. Evan itu memang kacau, tapi sebenarnya dia baik. Dia

pergi mengunjungi Lady Bristow belum lama ini, dan aku bilang

padanya, ?Kenapa, Evan, kenapa kau menempatkan dirimu pada posisi

itu?? Karena, kau tahu kan, keluarga Looly membencinya. Kau tahu

apa yang dia katakan? ?Aku hanya ingin berbicara dengan orang yang

sama pedulinya seperti aku bahwa dia sudah pergi.? Maksudku, sedih

banget, kan?"

Strike berdeham.

Robert Galbraith

"Pers menghajar Evan habis-habisan, pokoknya sangat tidak adil.

Tidak ada yang benar di mata mereka."

"Duffield datang ke tempat tinggalmu, kan, pada malam Lula me?

ninggal?"

"Oh, Tuhan, ya. Dan itulah!" kata Ciara dengan sengit. "Mereka

memberi kesan seolah-olah kami tidur bersama atau apa! Evan tidak

bawa uang, dan sopirnya menghilang entah ke mana, jadi dia jalan

jauh-jauh menyeberangi London supaya bisa menginap di tempatku.

Dia tidur di sofa. Jadi kami sedang bersama ketika mendengar berita

itu."

Diangkatnya rokok ke bibirnya yang penuh dan diisapnya dalamdalam, tatapannya tertuju ke lantai.

"Sungguh mengerikan. Kau tidak bisa membayangkan. Mengeri?

kan. Evan... oh, Tuhan. Lalu," dia berkata dengan suara yang tak lebih

keras daripada bisikan lirih, "mereka semua bilang itu dia. Setelah

Tansy Chillingham mengatakan dia mendengar pertengkaran. Pers

menggila. Pokoknya mengerikan."

Dia mendongak menatap Strike, rambutnya ditahan dengan tangan

agar tak jatuh ke wajah. Pencahayaan ruangan yang tajam itu justru

menegaskan struktur tulangnya yang sempurna.

"Kau belum bertemu dengan Evan, ya?"

"Belum."

"Kau mau? Kau bisa ikut denganku sekarang. Evan bilang, dia

akan ke Uzi malam ini."

"Bagus sekali."

"Oke. Sebentar."

Dia melompat berdiri dan memanggil melalui pintu yang terbuka

"Guy, sweetie, aku bisa pakai baju ini malam ini? Untuk ke Uzi?"

Som? memasuki ruangan kecil itu. Dia terlihat kelelahan di balik

kacamatanya.

"Baiklah. Pastikan kau difoto. Kalau rusak, akan kugugat pantat

putihmu yang kurus itu."

"Tidak akan rusak. Aku mau mengajak Cormoran bertemu Evan."

Ciara memasukkan rokoknya ke tas yang besar itu, yang sepertinya

juga memuat pakaian siang harinya, lalu menyandangnya di bahu. Di

Dekut Burung Kukuk

atas tumit tinggi sepatunya, dia hampir sama jangkungnya dengan

sang detektif. Som? mendongak menatap Strike, matanya menyipit.

"Pastikan kau menghajar bajingan kecil itu."

"Guy!" tegur Ciara, wajahnya cemberut. "Jangan jahat."

"Dan hati-hati, Master Rokeby," tambah Som? dengan sentuhan

nada mencibir itu. "Ciara ini jalang yang berbahaya, ya kan, Say? Dan

dia seperti aku. Sukanya yang besar."

"Guy!" Ciara pura-pura ngeri. "Ayo, Cormoran. Aku punya sopir di

luar."

Strike, yang sebelumnya sudah diperingatkan, sama sekali tidak he?

ran melihat Kieran Kolovas-Jones. Tapi si pengemudi terang-terangan

kaget melihat dia. Kolovas-Jones membukakan pintu penumpang bela?

kang, wajahnya hanya diterangi lampu temaram dari dalam kabin

belakang, tapi Strike menangkap perubahan ekspresi ketika dia me?

lihat orang yang bersama Ciara.

"Malam," kata Strike seraya memutari mobil untuk membuka

pintunya sendiri dan masuk di sebelah Ciara.

"Kieran, kau sudah pernah bertemu Cormoran, kan?" tanya Ciara

sambil memasang sabuk pengaman. Roknya sudah terangkat sampai

ke pangkal pahanya yang jenjang. Strike tidak terlalu yakin dia me?

ngenakan apa pun di baliknya. Yang jelas, Ciara tidak mengenakan bra

se?waktu memakai jumpsuit putih tadi.

"Hai, Kieran," sapa Strike.

Si pengemudi mengangguk pada Strike dari kaca spion, tapi tidak

mengucapkan apa pun. Sikapnya sangat profesional, walau Strike

tidak yakin begitulah kebiasaannya tanpa ada detektif di sekitarnya.

Mobil itu menjauh dari trotoar. Ciara mulai mengaduk-aduk isi

tasnya lagi; dia mengambil parfum dan menyemprot dirinya dengan

murah hati dalam lingkaran besar di sekitar wajah dan pundaknya,

lalu memulaskan lip gloss di bibir, sembari berbicara.

"Aku butuh apa ya? Uang. Cormoran, maukah kau berbaik hati

menyimpankan ini di sakumu? Aku tidak mau membawa-bawa tas

Dekut Burung Kukuk

raksasa itu." Diraupnya segepok lembaran dua puluhan dan diberikan?

nya pada Strike. "Kau memang manis sekali. Oh, aku juga perlu pon?

sel. Kau masih punya saku untuk ponselku? Yapun, tas ini beran?

takan sekali."

Dia menjatuhkan tas itu ke lantai mobil.

"Waktu kau bilang bahwa impian hidup Lula adalah menemukan

ayah kandungnya..."

"Oh, jelas sekali. Itu saja yang selalu dia bicarakan. Dia senang

sekali waktu si sundal itu?ibu kandungnya?mengatakan bahwa

ayahnya orang Afrika. Guy selalu bilang itu omong kosong, tapi dia

memang benci wanita itu."

"Dia pernah bertemu Marlene Higson, ya?"

"Oh, tidak, Guy hanya membenci, apa ya, gagasan tentang dia. Guy

bisa melihat betapa bersemangatnya Looly, dan dia ingin melindungi

Looly dari kekecewaan."

Begitu banyak perlindungan, pikir Strike, sewaktu mobil itu me?

mutari belokan yang gelap. Apakah Lula serapuh itu? Belakang kepala

Kolovas-Jones tampak kaku, tegak. Matanya bolak-balik melirik wajah

Strike, lebih sering daripada yang sepantasnya.

"Kemudian Looly pikir dia mendapat petunjuk tentang orang

itu?ayah kandungnya?tapi langsung ketemu jalan buntu. Yeah, me?

nyedihkan. Dia benar-benar mengira akan dapat menemukan orang

itu, lalu segalanya seperti lepas dari genggamannya."

"Petunjuk apa itu?"

"Pokoknya tentang di mana college itu berada. Sesuatu yang dikata?

kan ibunya. Looly mengira dia sudah menemukan tempatnya, lalu dia

mencari di arsipnya atau apa, bersama temannya yang lucu itu, yang

namanya..."

"Rochelle?" usul Strike. Mobil Mercedes itu sekarang berderum di

sepanjang Oxford Street.

"Yeah, Rochelle, benar. Looly bertemu dia di rehab atau apa, ka?

sihan pokoknya. Looly itu manisnya tidak ketolongan. Suka mengajak

si Rochelle belanja dan sebagainya. Pokoknya, mereka tidak bisa me?

nemukan orang itu, atau tempatnya yang keliru, atau apalah. Aku ti?

dak ingat."

"Apakah dia mencari laki-laki bernama Agyeman?"

Robert Galbraith

"Kurasa dia tidak pernah memberitahuku nama itu."

"Atau Owusu?"

Ciara mengalihkan matanya yang indah ke arah Strike dengan tak?

jub.

"Itu nama asli Guy!"

"Aku tahu."

"Oh, ya Tuhan," Ciara terkikik. "Kalau ayah Guy sih tidak pernah

kuliah. Dia sopir bus. Dia memukuli Guy karena Guy suka menggam?

bar sketsa gaun. Karena itulah Guy mengubah namanya."

Mobil itu kini melambat. Antrean yang panjang, empat orang di

masing-masing baris, tampak mengular sampai sepanjang blok, meng?

arah ke pintu masuk tersembunyi yang bisa saja dikira rumah hunian

milik pribadi. Sekelompok sosok berbaju gelap berkerumun di sekitar

pintu masuk yang berpilar putih.

"Paparazzi," kata Kolovas-Jones, angkat suara untuk pertama kali?

nya. "Hati-hati saat turun dari mobil, Ciara."

Kolovas-Jones turun dari kursi pengemudi dan memutar ke pintu

belakang sebelah kiri; namun paparazzi sudah mulai berlarian; priapria berpakaian gelap yang tampak mengancam, mengangkat kamerakamera berbelalai panjang sedekat mungkin.
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ciara dan Strike muncul di bawah kilasan cahaya yang bagaikan

tembakan senapan. Bola mata Strike seketika disilaukan cahaya putih

yang membutakan; dia menunduk, tangannya secara instingtif meling?

kari lengan atas Ciara Porter yang ramping, dan didorongnya Ciara ke

arah bidang gelap kosong yang melambangkan tempat perlindungan,

ketika pintu-pintu itu terbuka secara ajaib untuk menyambut mereka.

Orang-orang yang mengantre berteriak-teriak, memprotes betapa

gampangnya mereka masuk, yang lain menjerit girang; kemudian

kilatan cahaya itu berhenti, dan mereka berada di dalam, dengan de?

ngung riuh serta bunyi bas yang dalam dan tiada henti.

"Wow, kau punya insting arah yang tajam," kata Ciara. "Aku biasa?

nya hanya mencelat ke arah para bouncer dan mereka harus mendo?

rongku masuk."

Jejak cahaya ungu dan kuning masih terpatri di bidang pandang

Strike. Dilepasnya lengan Ciara. Gadis itu begitu pucat hingga tampak

berpendar bagai fosfor dalam keremangan. Lalu mereka terdesak lebih

Dekut Burung Kukuk

jauh ke dalam kelab, bersamaan dengan masuknya belasan orang lagi

di belakang mereka.

"Ayo," kata Ciara sambil menyelipkan tangannya yang lembut dan

berjari-jari panjang dalam genggaman Strike, lalu ditariknya Strike di

belakangnya.

Wajah-wajah berpaling ketika mereka melalui kerumunan yang

sesak, keduanya jauh lebih tinggi daripada sebagian besar pengunjung

kelab. Strike dapat melihat apa yang tampak seperti akuarium panjang

di dinding-dindingnya, berisi gumpalan-gumpalan mengambang, yang

mengingatkan dia akan lava lamp milik ibunya dulu. Ada sofa-sofa

kulit hitam panjang di sepanjang dinding, dan, lebih jauh lagi, bilikbilik yang terletak dekat lantai dansa. Sulit menilai seberapa besar

kelab itu, karena banyak cermin yang diletakkan di tempat-tempat

yang tepat; pada suatu ketika, Strike melihat sekilas bayangan dirinya

sendiri, tepat di depan, kelihatan seperti bodyguard berpakaian bagus

di belakang peri ramping berpendar keperakan, yang adalah Ciara.

Musik berdentam-dentam melalui setiap bagian dirinya, bergetar me?

lalui kepala dan badannya; kerumunan di lantai dansa itu begitu padat

sehingga mustahil membayangkan mereka masih dapat menapakkan

kaki dan menggoyangkan tubuh.

Lalu mereka pun tiba di pintu berlapis bantalan, yang dijaga pen?

jaga berkepala botak yang menyeringai pada Ciara dan memperlihat?

kan dua gigi emasnya, lalu membuka pintu tersembunyi itu.

Mereka memasuki area bar yang lebih tenang walaupun hampir

sama sesaknya, yang disediakan khusus untuk para pesohor dan

teman-teman mereka. Strike melihat seorang presenter televisi yang

mengenakan rok mini, aktor drama televisi, komedian yang lebih ter?

kenal karena selera seksualnya; lalu, di sudut yang jauh, tampaklah

Evan Duffield.

Pemuda itu mengenakan skarf bermotif tengkorak yang dilingkar?

kan di leher serta jins hitam, duduk di sambungan dua sofa kulit

hitam panjang, lengannya terentang di kedua sisi punggung sofa, tem?

pat teman-temannya, kebanyakan perempuan, duduk berdesak-de?

sakan. Rambut gelapnya yang panjang hingga ke bahu telah dicat pi?

rang; parasnya pucat dan tirus, dan ada lingkaran ungu gelap di

sekeliling matanya yang biru turkois.

Robert Galbraith

Kelompok Duffield itu seperti memancarkan daya magnetis ke se?

luruh ruangan. Strike melihat efeknya dalam lirikan sembunyi-sem?

bunyi yang diarahkan para pengunjung kepada mereka, juga karena

adanya ruang antara yang kosong di sekitar mereka, ruang orbit yang

lebih luas daripada yang disediakan untuk orang lain. Duffield dan

rombongannya seperti tak menyadari hal itu, tapi Strike melihat bah?

wa itu hanya sandiwara yang dibawakan dengan ahli. Mereka, semua?

nya, memiliki kewaspadaan hewan mangsa yang dikombinasikan de?

ngan sikap arogan-santai binatang predator. Dalam rantai makanan

terbalik kaum selebriti, hewan-hewan buas yang besarlah yang di?

buntuti dan diburu?dan kini mereka sedang menikmati apa yang

menjadi hak mereka.

Duffield sedang berbicara pada seorang wanita seksi berambut co?

kelat. Bibir wanita itu terbuka sementara dia mendengarkan, hampir

tenggelam dalam pesona Duffield. Sementara Ciara dan Strike ber?

jalan mendekat, Strike melihat Duffield mengalihkan pandang dari si

rambut cokelat selama sepersekian detik, melakukan penilaian cepat

sekitar area bar, mengukur tingkat perhatian ruangan, Strike men?

duga, sekaligus mencari kemungkinan lain yang ditawarkan.

"Ciara!" teriaknya parau.

Si seksi berambut cokelat tampak mengempis ketika Duffield me?

lompat berdiri dengan gesit. Kurus namun berotot, dia menyusup

keluar dari balik meja untuk memeluk Ciara, yang dua puluh senti

lebih tinggi darinya di atas sepatu platform itu. Ciara melepaskan ta?

ngan Strike untuk membalas pelukannya. Selama beberapa saat yang

gemerlapan, seluruh bar itu seakan-akan diam dan mengamati; lalu

mereka seperti tersadar, kembali ke percakapan dan minuman masingmasing.

"Evan, ini Cormoran Strike," kata Ciara. Dia mendekatkan mulut?

nya ke telinga Duffield dan Strike membaca bibirnya, bukan mende?

ngar suaranya, yang mengatakan, "Dia anak Jonny Rokeby!"

"Oke, mate?" tanya Duffield sambil mengulurkan tangan. Strike

menjabatnya.

Seperti kebanyakan playboy kronis yang pernah ditemui Strike,

suara dan tingkah laku Duffield agak ganjen. Mungkin pria semacam

itu menjadi sedikit kemayu karena selalu dikelilingi perempuan, atau

Dekut Burung Kukuk

mungkin itu cara untuk membuat sasarannya lengah. Dengan lam?

baian tangannya, Duffield memberi isyarat agar yang lain bergeser di

bangku sofa untuk memberi tempat bagi Ciara; si rambut cokelat ter?

lihat patah hati. Strike dibiarkan mencari bangku pendek untuk diri?

nya sendiri, lalu menyeretnya ke meja dan bertanya pada Ciara apa

minuman yang dia inginkan.

"Ooh, aku mau Boozy-Uzi," katanya, "dan pakai saja uangku,

sweetie."

Koktail yang dipesannya itu berbau Pernod yang tajam. Strike

membeli air dalam botol, lalu kembali ke meja. Ciara dan Duffield

hampir beradu hidung sekarang, asyik mengobrol; tapi ketika Strike

meletakkan minuman mereka, Duffield berpaling.

"Jadi apa pekerjaanmu, Cormoran? Bisnis musik?"

"Bukan," jawab Strike. "Aku detektif."

"Edan," kata Duffield. "Kali ini, siapa yang telah kubunuh?"

Kelompok di sekelilingnya tersenyum hambar, atau gugup, tapi

Ciara berkata

"Jangan bergurau, Evan."

"Aku tidak bergurau, Ciara. Kau akan tahu kalau aku bergurau, ka?

rena pasti lucu sekali."

Si rambut cokelat terkikik.

"Kubilang, aku tidak bergurau," bentak Duffield.

Si rambut cokelat seperti baru saja ditampar. Yang lain-lain seperti

menciut mundur, bahkan di tempat mereka yang sempit; mereka

mulai mengobrol sendiri-sendiri, untuk sementara mengabaikan Ciara,

Strike, dan Duffield.

"Evan, jangan jahat," kata Ciara, tapi teguran itu lebih terdengar se?

perti belaian ketimbang sengat, dan Strike memperhatikan lirikan

Ciara pada si rambut cokelat tidak menyisakan rasa iba.

Duffield mengetuk-ngetukkan jarinya di tepi meja.

"Jadi, kau detektif jenis apa, Cormoran?"

"Partikelir."

"Evan, darling, Cormoran disewa oleh kakak Looly..."

Tapi Duffield rupanya telah melihat seseorang atau sesuatu yang

menarik di bar, karena dia langsung melompat berdiri dan menghilang

di antara kerumunan di sana.

Robert Galbraith

"Dia memang agak ADHD," kata Ciara, meminta maaf. "Tam?

bahan lagi, dia masih sedih sekali soal Looly. Sungguh," katanya ber?

sikeras, separuh marah, separuh geli, ketika Strike mengangkat se?

belah alis dan menatap penuh arti ke arah si sintal berambut cokelat,

yang kini duduk memeluk gelas mojito kosong dengan tampang men?

derita. "Ada sesuatu di jasmu yang keren itu," tambah Ciara, lalu dia

mencondongkan tubuh ke depan untuk menepiskan sesuatu yang me?

nurut Strike adalah remah-remah pizza. Strike menangkap aroma ma?

nis dan pedas parfum Ciara. Bahan bajunya yang keperakan begitu

kaku sehingga menganga terbuka, menjauh dari tubuhnya seperti

perisai, memberinya pandangan tak terhalang ke arah payudaranya

yang kecil dan putih, serta puncaknya yang tegak dan sewarna mu?

tiara.

"Kau pakai parfum apa?"

Ciara mengacungkan pergelangan tangannya di bawah hidung

Strike.

"Parfum baru Guy," jawabnya. "Namanya ?prise?bahasa Prancis

yang artinya ?kasmaran?, kau tahu?"

"Yeah," sahut Strike.

Duffield kembali sambil membawa minuman, menyibak jalan di

antara kerumunan dengan wajah-wajah yang memandangi dia, ter?

sedot oleh auranya. Tungkainya yang terbalut jins ketat ibarat pipa hi?

tam, dan matanya yang berlingkaran gelap membuatnya tampak se?

perti tokoh Pierrot dalam pantomim Prancis.

"Evan, Sayang," kata Ciara, ketika Duffield sudah duduk kembali,

"Cormoran sedang menyelidiki?"

"Dia sudah tahu kok," Strike memotong perkataan Ciara. "Tidak

perlu."

Menurut Strike, sang aktor juga mendengarnya. Duffield meneng?

gak minumannya dengan cepat, melempar satu-dua komentar ke arah

kelompok di samping mereka. Ciara menyesap koktailnya, lalu me?

nyikut Duffield.

"Bagaimana syuting filmnya, sweetie?"

"Oke. Yah, gitu deh. Bandar narkoba yang ingin bunuh diri. Tidak

susah, kan."

Dekut Burung Kukuk

Semua orang tersenyum, kecuali Duffield sendiri. Dia mengetukngetukkan jemarinya di meja, lututnya bergerak mengikuti.

"Bosan nih," dia mengumumkan.

Dia melirik ke arah pintu, dan kelompok itu mengamati dia, tam?

pak jelas di mata Strike bahwa mereka ingin diajak serta.

Duffield memandangi Ciara dan Strike bolak-balik.

"Mau ikut ke tempatku?"

"Keren," pekik Ciara, dan dengan lirikan manis penuh kemenangan

ke arah si rambut cokelat, diteguknya minumannya sampai habis.

Di luar area VIP, dua gadis mabuk menghambur ke arah Duffield;

salah satunya mengangkat baju atasannya dan meminta Duffield

membubuhkan tanda tangan di payudaranya.

"Jangan mesum, love," ujar Duffield sambil maju melewatinya. "Kau

ada mobil, Cici?" teriaknya seraya menoleh ke belakang, sambil men?

cari jalan melewati kerumunan, tidak menghiraukan teriakan-teriakan

dan jari-jari yang menunjuk.

"Ada, sweetie," Ciara balas berteriak. "Biar kutelepon dia. Cormoran,

darling, kau bawa ponselku, kan?"

Strike bertanya-tanya apa pendapat paparazzi di luar ketika me?

lihat Ciara dan Duffield meninggalkan kelab bersama-sama. Ciara
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berteriak ke iPhone-nya. Mereka tiba di pintu; Ciara berkata,

"Tunggu?dia akan kirim pesan kalau sudah tepat di luar pintu."

Dia dan Duffield sama-sama terlihat gelisah; waspada, sadar-diri,

seperti pesaing yang menunggu memasuki gelanggang. Kemudian

ponsel Ciara berdengung.

"Oke, dia sudah di depan," katanya.

Strike mundur untuk memberi kesempatan Ciara dan Duffield

keluar lebih dulu, lalu berjalan cepat ke pintu penumpang depan; se?

mentara itu Duffield berlari memutari bagian belakang mobil dalam

banjir jepretan cahaya menyilaukan dan pekik jerit dari antrean, lalu

masuk ke bangku belakang bersama Ciara, yang sudah dibantu masuk

oleh Kolovas-Jones. Strike membanting pintu depan, memaksa dua

pria yang sedang memberondong Ciara dan Duffield dengan jepretan

kamera untuk melompat mundur.

Kolovas-Jones sepertinya membutuhkan waktu lama sekali untuk

masuk kembali ke mobil; Strike merasa bagian dalam kabin Mercedes

Robert Galbraith

itu seperti tabung uji, tertutup sekaligus terpapar, sementara lampu

kilat semakin gencar berpendaran. Lensa-lensa ditempelkan ke jendela

samping dan depan; wajah-wajah tak ramah mengambang di ke?

gelapan, sosok-sosok hitam timbul-tenggelam di depan mobil yang tak

bergerak. Di balik ledakan-ledakan cahaya itu, bayang-bayang keru?

munan yang membentuk antrean seperti membengkak, bersemangat,

dan ingin tahu.

"Jangan lama-lama, keparat!" Strike menggeram pada KolovasJones yang menginjakkan kaki dalam-dalam di pedal gas. Paparazzi

yang memblokir jalan beringsut mundur, masih sambil memotret.

"Bye-bye, lonte," kata Evan Duffield dari kursi belakang sewaktu

mobil menjauh dari tepi jalan.

Tapi para fotografer itu berlari-lari di samping mobil, lampu kilat

masih berkeredapan di kedua sisi. Sekujur tubuh Strike dibanjiri ke?

ringat; mendadak dia seperti kembali berada di jalan tanah kuning di

dalam kendaraan Viking yang berguncang-guncang, dengan suarasuara mirip kembang api membahana di langit Afghanistan; dia me?

lihat seorang remaja berlari di jalan di depan, menyeret seorang bocah

lelaki kecil. Tanpa sadar teriakannya menggelegar, "Rem!"; dia me?

lompat maju dan menyambar Anstis, yang baru dua hari menjadi

ayah, duduk tepat di belakang pengemudi. Hal terakhir yang dia ingat

adalah teriakan protes Anstis, dan dentum besi teredam ketika tubuh?

nya menghantam pintu belakang, sebelum Viking itu luluh lantak di?

iringi ledakan yang memekakkan telinga, lalu dunia menjadi gambaran

kabur penuh rasa sakit dan teror.

Mercedes itu sudah berbelok ke jalan yang hampir kosong. Strike

menyadari dia telah menahan diri begitu tegang sampai-sampai otototot betisnya yang tersisa terasa nyeri. Di spion samping dia bisa me?

lihat dua sepeda motor, masing-masing dengan boncengannya, meng?

ikuti mereka. Putri Diana dan jalur bawah tanah di Paris;bulans

yang membawa jenazah Lula Landry, dengan kamera-kamera yang ter?

angkat tinggi ke arah kaca gelap yang melaju cepat?dua pikiran itu

berlintasan di benaknya sementara mobil melesat di jalanan yang

gelap.

Duffield menyulut rokok. Dari sudut matanya, Strike melihat

Kolovas-Jones mengerutkan kening pada penumpangnya dari kaca

Dekut Burung Kukuk

spion tengah, namun tidak mengajukan keberatan. Setelah beberapa

jenak, Ciara mulai berbisik-bisik pada Duffield. Strike merasa men?

dengar namanya disebut.

Lima menit kemudian, mereka berbelok di sudut dan lagi-lagi me?

lihat, di depan, kerumunan kecil fotografer yang mengenakan pakaian

hitam-hitam. Paparazzi mulai memotret dan berlari mendekat begitu

mobil itu muncul. Sepeda motor tadi berhenti di belakang mereka;

Strike melihat empat laki-laki berlari untuk menangkap momen se?

waktu pintu mobil dibuka. Adrenalin menyembur Strike memba?

yangkan dirinya melompat keluar dari mobil, mengirim pukulan-pu?

kulan, sehingga kamera-kamera mahal itu pecah berhamburan di jalan

beton sementara para pemiliknya kocar-kacir. Dan seolah-olah dapat

membaca pikiran Strike, Duffield berkata, dengan tangan siaga di

pintu mobil

"Hajar bangsat-bangsat itu, Cormoran, perawakanmu sudah men?

dukung."

Pintu-pintu terbuka, udara malam, dan lebih banyak lagi kilasan

cahaya menyilaukan. Seperti banteng, Strike berjalan cepat dengan ke?

pala tertunduk, matanya tertuju pada sepatu tinggi Ciara?dia tidak

mau matanya dibutakan cahaya-cahaya itu. Mereka berlari menaiki

tiga undakan, Strike di belakang; dan dialah yang membanting pintu

di depan muka para fotografer itu.

Sejenak Strike merasakan semangat persekutuan dengan kedua

orang itu setelah melalui pengalaman diburu bersama. Lobi kecil yang

penerangannya temaram itu terasaan dan ramah. Paparazzi masih

berseru satu sama lain di sisi lain pintu, dan teriakan-teriakan mereka

membuatnya teringat tentara yang sedang menginspeksi suatu ba?

ngunan. Duffield sedang sibuk dengan pintu dalam, mencoba-coba

berbagai anak kunci.

"Aku baru pindah ke sini beberapa minggu lalu," dia menjelaskan,

dan akhirnya berhasil membuka pintu dengan dorongan bahunya. Se?

telah melewatibang pintu, dia mengguncang lepas jaketnya yang

pas badan, melemparnya ke lantai di dekat pintu, lalu memimpin

jalan?pinggulnya yang kurus berayun-ayun, hanya sedikit lebih

kalem daripada gaya berjalan Guy Som??melewati koridor pendek

menuju ruang duduk, kemudian menyalakan lampu-lampu.

Robert Galbraith

Ruangan yang hampir kosong dan didekorasi warna kelabu dan

hitam elegan itu tampak porak-poranda dan berbau asap rokok, ganja,

dan uap alkohol. Strike teringat masa kecilnya dengan jelas.

"Harus kencing dulu," Duffield mengumumkan, lalu sambil me?

noleh ke belakang sebelum menghilang, dia berkata, dengan acungan

ibu jari, "Minuman ada di dapur, Cici."

Ciara tersenyum pada Strike, lalu keluar melalui pintu yang di?

tunjuk Duffield.

Strike menebarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.

Ruangan ini tampak seperti telah ditinggalkan oleh orangtua berselera

bagus yang memercayakan flat itu kepada anak mereka yang remaja.

Setiap permukaan penuh barang, kebanyakan dalam bentuk kertas de?

ngan coret-coretan. Tiga gitar disandarkan di tembok. Meja kaca pen?

dek yang morat-marit dikelilingi sofa hitam-putih, menghadap TV

plasma besar. Benda-benda yang semrawut itu meluap dari meja ke

karpet hitam di bawahnya. Di balik jendela-jendela panjang dengan

gorden kelabu tipis, Strike dapat melihat sosok para fotografer yang

masih mengendap-endap di bawah lampu jalan.

Duffield kembali sambil menarik ritsleting celananya. Ketika men?

dapati dirinya hanya berdua dengan Strike, dia terkekeh gugup.

"Anggap saja rumah sendiri, bung besar. Hei, sebenarnya aku kenal

ayahmu."

"Oh ya?" ucap Strike, lalu duduk di salah satu kursi berlengan ber?

bentuk kubus yang berbantalan empuk dan dilapisi kulit kuda poni.

"Yeah. Ketemu beberapa kali," kata Duffield. "Dia keren."

Duffield mengambil gitar, mulai memetik-metik nada, lalu berubah

pikiran dan menyandarkan instrumen itu kembali ke dinding.

Ciara masuk lagi, membawa sebotol anggur dan tiga gelas.

"Kau tidak bisa menyewa pembantu, Sayang?" Ciara bertanya pada

Duffield dengan nada menegur.

"Semuanya menyerah," jawab Duffield. Dia melempar dirinya me?

lompati punggung sofa dan mendarat dengan tungkainya terbentang

di lengan kursi. "Dasar tidak punya stamina."

Strike menyisihkan benda-benda yang bertebaran di meja pendek,

supaya Ciara dapat meletakkan botol dan gelas-gelas itu.

Dekut Burung Kukuk

"Kupikir kau pindah ke tempat Mo Innes," kata Ciara sambil me?

nuangkan anggur itu.

"Yeah, itu tidak berhasil," ujar Duffield, menyisir segala tetekbengek di meja untuk mencari rokok. "Freddie menyewakan tempat

ini padaku untuk sebulan, sementara aku bolak-balik Pinewood. Dia

ingin menjauhkanku dari tempat nongkrongku yang biasa."

Jari-jarinya yang kotor melewati sesuatu yang tampak seperti se?

untai rosario; bermacam-macam bungkus rokok kosong dengan kar?

tonnya yang sebagian sudah dirobek; tiga pemantik, salah satunya

Zippo bergravir; kertas papir Rizla; kabel ruwet yang tidak tersam?

bung ke peralatan apa pun; sekotak kartu; majalah musik yang me?

nampilkan foto hitam-putih Duffield yang murung di sampul depan?

nya; surat-surat yang sudah dibuka maupun yang belum; sepasang

sarung tangan kulit hitam yang kusut; banyak uang receh; dan, di

dalam asbak porselen bersih di tepi kekacauan itu, satu manset perak

berbentuk pistol kecil. Akhirnya dia berhasil menggali sebungkus

Gitanes dari bawah sofa, menyulutnya sebatang, mengembuskan asap

panjang ke arah langit-langit, lalu berbicara pada Ciara, yang kini me?

nempatkan diri di sofa sebelah kanan kedua pria itu sambil menyesap

anggurnya.

"Mereka akan bilang kita tidur bareng lagi, Ci," katanya sambil me?

nunjuk jendela, ke arah sosok-sosok fotografer yang menunggu sambil

mondar-mandir.

"Dan apa yang akan mereka katakan tentang Cormoran?" tanya

Ciara sambil melirik Strike. "Threesome?"

"Sekuriti," ujar Duffield sambil menilai Strike dengan mata me?

nyipit. "Perawakannya seperti petinju. Atau petarung. Kau tidak mau

minuman sungguhan, Cormoran?"

"Tidak, terima kasih," jawab Strike.

"Kenapa, AA atau karena tugas?"

"Tugas."

Duffield mengangkat alis dan mencibir. Dia tampak gugup, sesekali

melempar tatapan ke arah Strike, mengetuk-ngetukkan jemarinya di

meja kaca. Sewaktu Ciara bertanya apakah dia sudah mengunjungi

Lady Bristow lagi, sepertinya dia lega karena diberi topik baru.

Robert Galbraith

"Jelas nggak. Sekali sudah cukup. Mengerikan. Perempuan malang.

Sekarat pula."

"Tapi kau baik sekali mau pergi ke sana, Evan."

Strike tahu Ciara berusaha menunjukkan sisi terbaik Duffield.

"Kau kenal baik dengan ibu Lula?" tanya Strike pada Duffield.

"Tidak. Aku hanya pernah bertemu dengannya satu kali sebelum

Lu meninggal. Dia tidak setuju denganku. Tidak ada anggota keluarga

Lu yang setuju. Entahlah," dia beringsut gelisah, "aku hanya ingin

bicara dengan seseorang yang benar-benar peduli dia sudah mati."

"Evan!" Ciara cemberut. "Aku peduli dia sudah meninggal. Maaf

ya!"

"Yeah, well..."

Dengan salah satu bahasa tubuh ganjilnya yang luwes dan feminin,

Duffield meringkuk di kursi sehingga hampir menyerupai janin, sam?

bil mengisap dalam-dalam rokoknya. Di meja di belakang kepalanya,

diterangi cahaya lampu yang berbentuk kerucut, terdapat foto besar

dirinya bersama Lula Landry, jelas-jelas diambil pada sesi pemotretan

mode. Mereka pura-pura sedang bergelut di depan latar belakang pe?

pohonan palsu; Lula mengenakan gaun merah yang menyapu lantai,

Duffield mengenakan setelan hitam ramping dengan topeng serigala

penuh bulu yang dinaikkan ke keningnya.

"Kira-kira apa yang akan dikatakan ibuku kalau aku yang mati?
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orangtuaku memintakan surat perintah pengadilan untukku,"

Duffield memberitahu Strike. "Well, ayahku sih, sebenarnya. Hanya

karena aku pernah mencuri TV mereka beberapa tahun lalu. Tahu,

nggak," tambahnya sambil menjulurkan leher ke arah Ciara, "aku su?

dah bersih selama lima minggu dan dua hari."

"Hebat sekali, baby! Fantastis!"

"Yeah," sahut Duffield. Dia berputar menghadap ke depan lagi.

"Kau tidak mau mengajukan pertanyaan padaku?" dia bertanya pada

Strike. "Kupikir kau sedang menyelidiki kasus pembunuhan Lu?"

Sikap sok berani itu dilemahkan oleh jari-jarinya yang gemetaran.

Lututnya mulai memantul-mantul gelisah, mirip John Bristow.

"Menurutmu itu pembunuhan?" tanya Strike.

"Bukan." Duffield menyedot rokoknya pelan-pelan. "Yeah. Mungkin.

Entahlah. Bagaimanapun, pembunuhan lebih masuk akal daripada

Dekut Burung Kukuk

bunuh diri. Karena dia tidak akan pergi tanpa meninggalkan pesan

untukku. Aku terus menunggu ada pesan yang muncul, kau tahu, dan

sesudah itu barulah aku yakin itu memang sungguh-sungguh terjadi.

Aku tidak menganggap itu nyata. Aku bahkan tidak bisa mengingat

pemakamannya. Kepalaku kacau-balau. Aku minum banyak obat

sampai-sampai tidak bisa jalan. Kupikir, kalau saja aku bisa mengingat

pemakamannya, mungkin lebih mudah untuk menerimanya."

Diselipkannya rokok di antara bibirnya, lalu dia kembali me?

ngetuk-ngetukkan jemari di tepi meja kaca. Sejenak kemudian, rupa?

nya tidak senang dengan Strike yang mengamati dalam diam, dia me?

nuntut

"Tanyalah sesuatu, kalau begitu. Siapa yang menyewamu?"

"Kakak Lula, John."

Jari-jari Duffield berhenti mengetuk.

"Keparat kaku mata duitan itu?"

"Mata duitan?"

"Dia sangat terobsesi dengan cara Lu membelanjakan uangnya sen?

diri, seolah-olah dia punya andil dalam urusan terkutuk itu. Orang

kaya selalu menganggap orang lain cuma numpang hidup, kauperhati?

kan, tidak? Seluruh keluarga sialan itu menganggap aku cuma meng?

incar uangnya, dan setelah beberapa waktu," diacungkannya telunjuk

ke pelipisnya, memuat gerakan memutar, "ide itu masuk, menanamkan

prasangka, kau tahu?"

Disambarnya salah satu Zippo dari meja dan mulai menjentikkan?

nya, berusaha menyalakan apinya. Strike mengamati percikan api biru

kecil yang langsung mati lagi, sementara Duffield terus berbicara.

"Kuduga dia menganggap Lu akan lebih baik bersama akuntan

kaya macam dia."

"Dia pengacara."

"Terserah. Apa bedanya sih? Pokoknya pekerjaannya adalah mem?

bantu orang-orang kaya mendapat sebanyak mungkin uang, kan? Dia

kan punya dana perwalian sialan dari Daddy, jadi apa urusannya de?

ngan cara adiknya membelanjakan uangnya sendiri?"

"Apa persisnya yang dibelanjakan Lula sampai membuatnya ke?

beratan?"

"Barang-barang untukku. Seluruh keluarga terkutuk itu sama saja;

Robert Galbraith

mereka senang-senang saja kalau Lu melempar uang pada mereka, asal

tetap di dalam keluarga, semua oke-oke saja. Lu tahu mereka itu

brengsek, tapi seperti yang kubilang, tetap saja mereka berhasil. Me?

nanamkan gagasan di kepalanya."

Duffield melempar Zippo itu kembali ke meja, menekuk lututnya

ke dada, dan melotot pada Strike dengan mata turkoisnya yang me?

resahkan.

"Jadi, dia berpikir aku yang melakukannya, ya? Klienmu itu?"

"Tidak, kurasa tidak," kata Strike.

"Kalau begitu dia sudah mengubah pendapatnya yang cupet itu,

karena kudengar dia berkeliling memberitahu semua orang bahwa

akulah yang melakukannya, sebelum mereka memutuskan Lu bunuh

diri. Tapi, aku punya alibi yang kuat, jadi persetan dengannya. Per?

setan. Mereka. Semua."

Gelisah dan tegang, dia berdiri, menambahkan anggur ke gelas

yang nyaris tak disentuhnya, lalu menyulut rokok lagi.

"Apa yang dapat kauceritakan tentang hari Lula meninggal?" tanya

Strike.

"Malam harinya, maksudmu."

"Apa pun yang terjadi sepanjang hari sampai kejadian itu mungkin

saja penting. Ada beberapa hal yang ingin kuperjelas."

"Yeah? Silakan saja."

Duffield menjatuhkan diri di kursi lagi, menarik lututnya ke dada

lagi.

"Lula menelepon berkali-kali sekitar tengah hari sampai pukul

enam sore, tapi kau tidak menjawab telepon."

"Tidak," jawab Duffield. Dia mulai mengutak-atik lubang kecil di

lutut jinsnya, seperti anak kecil. "Well, aku sibuk. Kerja. Menggarap

satu lagu. Tidak mau membendung alirannya. Inspirasi."

"Jadi kau tidak tahu dia meneleponmu?"

"Ya, aku tahu. Aku lihat nomornya muncul." Dia menggosok-gosok

hidung, diluruskannya tungkai ke meja kaca, lalu bersedekap dan ber?

kata, "Aku sedang ingin memberinya pelajaran. Biar saja dia bertanyatanya apa yang kulakukan."

"Kenapa kaupikir dia membutuhkan pelajaran?"

"Rapper keparat itu. Aku ingin Lu pindah bersamaku sementara

Dekut Burung Kukuk

bajingan itu tinggal di gedungnya. ?Jangan konyol, memangnya kau

tidak percaya padaku??" Caranya menirukan suara dan ekspresi Lula

sangat mirip perempuan. "Aku bilang padanya, ?Kau jangan tolol. Tun?

jukkan padaku bahwa aku tidak perlu khawatir, dan tinggal ber?

samaku.? Tapi dia tidak mau. Jadi kemudian kupikir, permainan sialan

ini bisa dimainkan dua orang, darling. Kita lihat saja apakah kau me?

nyukainya. Jadi aku mengundang Ellie Carreira ke tempatku, dan

kami menulis bareng, kemudian kuajak Ellie ke Uzi. Lu tidak bisa me?

ngeluh. Itu urusan bisnis kok. Hanya menulis lagu. Hanya teman, se?

perti dia dan gangster-rapper itu."

"Bukankah dia belum pernah bertemu Deeby Macc?"

"Memang belum, tapi bajingan itu sudah menunjukkan niatnya se?

cara terang-terangan, kan? Kau sudah dengar lagunya? Lu menjeritjerit senang karenanya."

"?Bitch you ain?t all that...?" Ciara mulai mengutip dengan patuh, tapi

tatapan galak Duffield membungkamnya.

"Dia meninggalkan pesan di voicemail untukmu?"

"Yeah, beberapa kali. ?Evan, telepon aku dong. Ini mendesak. Aku

tidak mau bilang di telepon.? Selalu saja urusannya mendesak kalau dia

ingin tahu apa yang sedang kulakukan. Dia tahu aku marah. Dia kha?

watir aku akan menelepon Ellie. Dia agak keberatan dengan Ellie, ka?

rena tahu aku pernah tidur dengannya."

"Dia bilang itu urusan mendesak, dan dia tidak ingin membicara?

kannya di telepon?"

"Ya, itu hanya caranya supaya aku menelepon dia. Salah satu per?

mainan kecilnya. Dia bisa cemburu berat, Lu itu. Dan manipulatif."

"Kau tahu kenapa hari itu dia juga menelepon pamannya berulang

kali?"

"Paman siapa?"

"Namanya Tony Landry, pengacara juga."

"Dia? Lu tidak mungkin menelepon dia, Lu benci dia lebih dari?

pada kakaknya."

"Lula telah menelepon pamannya, berulang kali, sekitar waktu

yang sama ketika dia berusaha meneleponmu. Meninggalkan pesan

yang kurang-lebih sama."

Robert Galbraith

Duffield menggaruk dagunya yang tidak bercukur dengan kukukuku yang kotor, memandangi Strike.

"Aku tidak tahu soal apa itu. Mungkin tentang ibunya. Lady B

akan masuk rumah sakit atau apa."

"Kau tidak berpikir ada sesuatu yang terjadi pagi itu yang menurut

Lula ada kaitannya denganmu dan pamannya, atau yang menyangkut

kepentingan kalian?"

"Tidak ada urusan yang berkaitan denganku sekaligus paman ke?

parat itu," jawab Duffield. "Aku pernah bertemu dia. Dia hanya ter?

tarik pada harga saham dan segala omong kosong itu."

"Mungkin sesuatu tentang dia, sesuatu yang pribadi?"

"Kalau benar begitu, Lu tidak akan menelepon bajingan itu. Me?

reka tidak saling menyukai."

"Kenapa kau berkata begitu?"

"Yang dia rasakan terhadap pamannya sama seperti yang kurasakan

pada ayahku. Dua-duanya menganggap kami ini sampah tak berguna."

"Lula membicarakan hal itu denganmu?"

"Oh, ya. Pamannya menganggap masalah kejiwaannya itu hanya

untuk cari perhatian, perilaku nakal. Membebani ibunya. Sikapnya

agak menjilat begitu dia mulai dapat banyak uang, tapi Lu tidak lupa."

"Dan Lula tidak memberitahumu kenapa dia meneleponmu bolakbalik, begitu dia sampai di Uzi?"

"Nggak," sahut Duffield. Dia menyulut rokok lagi. "Dia marah

begitu sampai, karena Ellie ada di sana juga. Tidak senang sama sekali.

Suasana hatinya pas sekali, bukan?"

Untuk pertama kalinya dia minta dukungan Ciara, yang menang?

gapi dengan anggukan sedih.

"Dia tidak sungguh-sungguh bicara denganku," ujar Duffield. "Ke?

banyakan hanya bicara denganmu, bukan?"

"Ya," jawab Ciara. "Dan dia tidak mengatakan apa-apa padaku,

yang bikin dia marah atau apa."

"Beberapa orang berkata padaku ponselnya disadap..." Strike mulai,

tapi Duffield memotongnya.

"Oh, ya, mereka mendengarkan pesan-pesan kami selama ber?

minggu-minggu. Mereka tahu di mana kami bertemu dan semuanya

itu. Anjing-anjing keparat. Kami ganti nomor telepon begitu tahu apa

Dekut Burung Kukuk

yang terjadi, dan sejak itu kami jadi berhati-hati sekali dengan pesanpesan yang kami tinggalkan."

"Jadi, kalau ada sesuatu yang penting atau meresahkan yang ingin

diberitahukan Lula, kau tidak kaget kalau dia tidak mau mengatakan?

nya secara eksplisit di telepon?"

"Ya, tapi kalau urusan terkutuk itu memang penting, dia pasti

memberitahuku di kelab."

"Tapi tidak?"

"Tidak, seperti kubilang, dia tidak bicara padaku sepanjang ma?

lam." Seruas otot melejit di rahang Duffield yang kokoh. "Dia terusterusan mengecek jam di ponsel sialannya. Aku tahu apa maksudnya;

dia berusaha bikin aku marah. Menunjukkan padaku seolah-olah dia

sudah tak sabar ingin pulang dan bertemu Deeby Macc keparat itu.

Dia menunggu sampai Ellie ke kamar kecil, lalu berdiri dan mem?

beritahuku dia akan pergi, bilang gelangku akan dia kembalikan; ge?

lang yang kuberikan padanya pada upacara komitmen kami. Dia me?

lempar gelang itu di meja di depanku, sementara semua orang

menonton. Jadi kuambil gelang itu, dan aku berkata, ?Ada yang mau?

Aku kelebihan.? Lalu dia minggat."

Dia berbicara seolah-olah Lula tidak meninggal tiga bulan se?

belumnya, seolah-olah peristiwa itu baru terjadi kemarin, dan masih

ada kesempatan untuk berbaikan kembali.

"Tapi kau berusaha menahan dia, bukan?" tanya Strike.

Duffield menyipitkan mata.

"Menahan dia?"
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau mencengkeram lengannya, menurut saksi-saksi."

"Masa sih? Aku tidak ingat."

"Tapi Lula melepaskan diri, dan kau tetap di Uzi, begitu?"

"Aku menunggu sepuluh menit, karena aku tidak mau memberinya

kepuasan dengan mengejarnya di depan semua orang itu. Lalu aku

meninggalkan kelab dan menyuruh sopir mengantarku ke Kentigern

Gardens."

"Memakai topeng serigala," timpal Strike.

"Yeah, supaya bangsat-bangsat itu," dia mengangguk ke arah jen?

dela, "tidak menjual foto-fotoku yang lagi kelihatan mabuk atau teler.

Mereka sebal sekali kalau kau menutupi wajah. Mencegah mereka

Robert Galbraith

menguntungkan diri sendiri seperti parasit. Salah satu berusaha me?

narik Wolfie dariku, tapi aku berhasil menahannya. Aku masuk ke

mobil dan memberi mereka foto Wolf mengacungkan jari tengah dari

jendela belakang. Sampai di pojok jalan Kentigern Gardens, terlihat

paparazzi di mana-mana. Aku yakin dia sudah masuk."

"Kau tahu kode pintunya?"

"Sembilan belas enam enam. Tapi aku yakin dia sudah menyuruh

sekuriti agar tidak mengizinkanku naik. Aku tidak mau masuk di de?

pan semua orang itu, lalu diusir lima menit kemudian. Aku berusaha

menelepon dia dari mobil, tapi dia tidak mau mengangkat. Kupikir

dia mungkin sudah turun untuk mengucapkan selamat datang pada

Deeby Macc keparat itu. Jadi aku pergi mencari orang yang menyedia?

kan obat pereda sakit."

Dilumatnya rokoknya di selembar kartu main yang bertengger di

tepi meja, lalu dia merogoh-rogoh mencari tembakau lagi. Strike, yang

ingin memperlancar jalannya pembicaraan, menawarkan rokoknya

pada Duffield.

"Oh, trims. Trims. Yeah. Well, aku menyuruh sopir mengantarku

dan aku pergi ke tempat temanku, yang sudah memberikan ke?

terangan lengkap pada polisi, mungkin begitu dalam bahasa Paman

Tony. Sesudahnya aku berkeliaran sebentar, ada rekaman kamera di

pom bensin yang bisa membuktikannya, lalu sekitar, entahlah... jam

tiga? Jam empat?"

"Setengah lima," cetus Ciara.

"Yeah, aku pergi ke flat Ciara untuk tidur."

Duffield menyedot rokoknya, mengawasi ujungnya membara, lalu,

sambil mengepulkan asap, dia berkata riang

"Jadi, pantatkuan, kan?"

Strike tidak menyukai rasa puas diri itu.

Duffield menarik lututnya ke dada lagi.

"Ciara membangunkanku dan memberitahuku. Aku tidak?rasa?

nya aku?yeah, well. Seperti di neraka."

Dilipatnya lengan di atas kepala, lalu Duffield memandangi langitlangit.

"Aku tidak bisa... tidak bisa percaya. Tidak bisa percaya."

Dan di bawah tatapannya, Strike melihat pemahaman itu akhirnya

Dekut Burung Kukuk

menguasai Duffield, bahwa gadis yang dibicarakannya dengan remeh,

yang olehnya sendiri telah dipancing, ditantang, dan dicintainya, se?

benarnya tidak akan pernah kembali; bahwa gadis itu telah terempas

hancur di aspal berlapis salju; dan bahwa gadis itu serta hubungan

mereka tidak akan dapat lagi diperbaiki. Sejenak, seraya menatap

langit-langit putih yang polos, wajah Duffield menjadi tampak menye?

ramkan ketika mulutnya membentuk semacam seringai lebar; suatu

ekspresi mengernyit menahan rasa pedih, upaya luar biasa yang perlu

dilakukan untuk menghalau air mata. Lengannya terkulai turun, lalu

dia membenamkan wajah di antara lengannya, keningnya disandarkan

di lutut.

"Oh, Sayang," kata Ciara, yang kemudian meletakkan gelas anggur?

nya di meja dengan bunyi keras dan mengulurkan tangan untuk me?

nyentuh lutut kurus itu.

"Ini yang bikin aku kacau-balau," kata Duffield dengan suara berat

dari balik lengannya. "Kacau-balau. Aku ingin menikah dengannya.

Aku cinta dia, keparat. Persetan, aku tidak mau bicara tentang ini

lagi."

Duffield melompat bangkit dan meninggalkan ruangan, sembari

mendengus-dengus dan menyapukan hidungnya ke lengan baju.

"Sudah kubilang, kan," Ciara berbisik pada Strike. "Dia berantakan."

"Oh, entahlah. Sepertinya dia sudah membereskan ulahnya. Bebas

heroin selama sebulan."

"Itulah. Dan aku tidak mau dia jatuh lagi."

"Ini lebih mudah daripada kalau dia diwawancarai polisi. Ini sih

sopan."

"Tapi tampangmu tidak enak. Sungguh. Keras sekali, seolah-olah

kau tidak percaya pada apa pun yang dia katakan."

"Menurutmu dia akan kembali, tidak?"

"Ya, tentu saja. Tolonglah, baik-baiklah sedikit..."

Ciara buru-buru duduk kembali sewaktu Duffield masuk ke

ruangan; wajahnya muram dan lenggangannya tak seberapa genit. Dia

melempar diri kembali ke kursi yang tadi dia tempati, lalu berkata

pada Strike

"Aku kehabisan rokok. Boleh minta satu lagi?"

Robert Galbraith

Dengan enggan, karena rokoknya tinggal tiga batang, Strike meng?

angsurkannya, menyulutkannya, lalu berkata

"Tidak apa-apa kalau kita bicara lagi?"

"Tentang Lula? Kau boleh bicara, kalau mau. Aku tidak tahu apa

lagi yang bisa kukatakan padamu. Aku tidak punya informasi lain."

"Kenapa kalian putus? Yang pertama kali, maksudku. Aku me?

ngerti kenapa dia memutuskanmu di Uzi."

Dari sudut matanya, Strike melihat Ciara membuat ekspresi jeng?

kel; rupanya pertanyaan ini tidak termasuk kategori "baik-baik".

"Keparat. Apa hubungannya sih?"

"Semuanya relevan," sahut Strike. "Semua memberikan gambaran

tentang apa yang terjadi dalam hidupnya. Semua menjelaskan kenapa

dia mungkin bunuh diri."

"Kupikir kau sedang mencari pembunuh?"

"Aku mencari kebenaran. Jadi, apa sebabnya kalian putus, pertama

kali?"

"Brengsek, apa pentingnya sih?" Duffield meledak. Seperti yang su?

dah diperkirakan Strike, emosinya gampang meletup dan sumbunya

pendek. "Apa? Kau mau bilang aku yang salah kalau dia melompat

dari balkon? Apa hubungannya alasan putus kami pertama kali de?

ngan semua ini, goblok? Itu dua bulan sebelum dia mati. Brengsek.

Aku bisa saja menyebut diriku detektif dan mengajukan pertanyaanpertanyaan tolol. Pasti bayarannya mahal, ya, kalau kau bisa mendapat

klien kaya yang goblok?"

"Evan, jangan," kata Ciara, resah. "Kau bilang mau membantu..."

"Yeah, aku mau membantu, tapi kalau kayak begini memangnya

adil?"

"Tidak apa-apa kalau kau tidak mau menjawab," ujar Strike. "Ti?

dak ada kewajiban untuk menjawab."

"Tidak ada yang perlu kusembunyikan, itu hanya urusan pribadi,

bukan? Kami putus," dia berseru, "karena masalah obat, dan keluarga?

nya dan teman-temannya meracuni otaknya tentang aku, dan karena

dia jadi tidak percaya pada siapa pun karena pers keparat itu, ngerti?

Karena seluruh tekanan itu."

Lalu Duffield mengacungkan tangannya membentuk cakar dan

Dekut Burung Kukuk

menangkupkannya seperti earphone ke telinganya, mendorong-dorong

kedua sisi kepalanya.

"Tekanan, tekanan, karena itulah kami putus."

"Waktu itu kau sering mengonsumsi narkoba, bukan?"

"Yeah."

"Dan Lula tidak menyukainya?"

"Yah, semua orang di sekitarnya memberitahu bahwa dia tidak me?

nyukainya."

"Siapa, misalnya?"

"Misalnya keluarganya, misalnya si Guy Som? keparat itu. Dasar

banci kaleng keparat."

"Waktu kau bilang Lula tidak memercayai siapa pun karena pers,

apa maksudnya?"

"Sialan, sudah jelas, kan? Memangnya kau tidak tahu, dari ayah?

mu?"

"Aku tidak tahu apa-apa tentang ayahku," sahut Strike dingin.

"Well, mereka menyadap ponselnya, man, dan itu membuat pe?

rasaan tidak enak; kau tidak bisa membayangkan? Dia mulai takut

orang akan menjual cerita tentang dirinya. Berusaha mengingat-ingat

apa yang dia katakan di telepon, apa yang tidak, dan siapa yang mung?

kin menjualnya ke koran dan sebagainya. Mengacaukan pikirannya."

"Apakah dia menuduhmu menjual cerita?"

"Tidak," bentak Duffield. Lalu, dengan sama ngototnya, "Yeah, ka?

dang-kadang. Bagaimana mereka tahu kita akan ke sini, bagaimana

mereka tahu aku berkata begitu padamu, bla bla bla... Aku bilang

padanya, itu semua sepaket dengan ketenaran, tapi dia pikir dia bisa

lolos begitu saja."

"Tapi kau tidak pernah menjual cerita tentang dia ke media?"

Strike mendengar Ciara menarik napas tajam.

"Tidak, tidak pernah," kata Duffield pelan, menatap mata Strike

tanpa mengerjap. "Tidak, aku tidak pernah melakukannya. Oke?"

"Kalian berpisah berapa lama?"

"Dua bulan, kurang-lebih."

"Tapi kalian kembali lagi, kapan?seminggu sebelum dia mening?

gal?"

"Ya. Di pesta Mo Innes."

Robert Galbraith

"Dan kalian mengadakan upacara komitmen itu empat puluh de?

lapan jam kemudian? Di rumah Carbury di Cotswolds?"

"Yeah."

"Dan siapa saja yang tahu itu akan dilakukan?"

"Kejadiannya spontan kok. Aku membeli gelang-gelang itu dan

kami melakukannya begitu saja. Bagus sekali, man."

"Memang," Ciara membenarkan dengan sedih.

"Jadi, kalau pers bisa tahu secepat itu, berarti ada orang di sana

yang memberitahu mereka?"

"Yeah, kurasa begitu."

"Karena ponselmu tidak disadap, kan? Kau pasti akan mengganti

nomor."

"Aku tidak tahu apakah ponselku disadap. Tanya saja pada ba?

jingan yang melakukannya."

"Apakah Lula membicarakan denganmu keinginannya untuk me?

lacak ayahnya?"

"Dia kan sudah mati... eh, maksudmu ayah kandungnya? Yeah, dia

memang tertarik, tapi tidak berhasil, bukan? Ibunya saja tidak tahu

orangnya yang mana."

"Lula tidak pernah memberitahumu apakah dia berhasil menemu?

kan apa pun tentang ayahnya?"

"Dia memang berusaha, tapi usahanya buntu. Jadi dia memutuskan

akan mengambil kursus studi Afrika. Itulah yang akan menjadi ayah?

nya. Seluruh benua Afrika. Som? sialan itu yang ada di belakangnya,

ikut campur seperti biasa."
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maksudnya bagaimana?"

"Apa pun yang dapat membawanya pergi dariku berarti bagus. Apa

pun yang mengikat mereka bersama. Som? itu bangsat posesif kalau

menyangkut Lu. Dia jatuh cinta pada Lu. Aku tahu dia banci,"

Duffield menambahkan dengan tak sabar, ketika Ciara mulai mem?

protes, "tapi dia bukan yang pertama yang kutahu bertingkah aneh

pada teman perempuan. Dia mau sama siapa saja, laki-laki, tapi tidak

mau Lu lepas dari pandangannya. Dia bisa ngambek berat kalau Lu

tidak menemui dia, tidak mau Lu kerja untuk orang lain.

"Dia benci padaku. Sama-sama, keparat. Dia mendorong-dorong

Lu ke arah Deeby Macc. Dia pasti senang sekali kalau Lu tidur de?

Dekut Burung Kukuk

ngannya. Mendengarkan semua detailnya. Ingin Lu mengenalkan me?

reka, baju-bajunya difoto dengan si gangster sebagai modelnya. Som?

itu bukan orang bodoh. Dia selalu memanfaatkan Lu untuk bisnisnya.

Berusaha mendapatkannya dengan harga murah dan gratis, dan Lu

terlalu tolol untuk membiarkannya."

"Som? yang memberimu ini?" tanya Strike, menunjuk sarung ta?

ngan kulit hitam di meja pendek. Dia mengenali logo GS emas kecil

di bagian pergelangannya.

"Apa?"

Duffield membungkuk dan mengait sebelah sarung tangan itu de?

ngan telunjuknya, menjuntaikannya di depan mata, mengamatinya.

"Brengsek, kau benar. Ini boleh masuk tempat sampah, kalau

begitu." Dan dia melempar sarung tangan itu ke sudut, mengenai gitar

yang terabaikan, yang lalu memperdengarkan gema nada yang kosong.

"Ini dari pemotretan," kata Duffield, menunjuk sampul majalah hitamputih itu. "Som? tidak akan mau memberiku apa pun. Kau masih pu?

nya rokok?"

"Sudah habis," Strike berdusta. "Kau mau memberitahuku kenapa

kau mengundangku ke rumahmu, Evan?"

Ada keheningan yang panjang. Duffield mendelik pada Strike, yang

merasa si aktor tahu bahwa dia berbohong soal rokok yang habis.

Ciara juga menatapnya, bibirnya sedikit terbuka, simbol kebingungan

yang jelita.

"Kenapa kaupikir ada sesuatu yang mau kukatakan padamu?" balas

Duffield sambil mencibir.

"Kurasa kau tidak mengajakku ke sini hanya untuk beramahtamah."

"Entahlah," ujar Duffield dengan nada keji yang terdengar jelas.

"Mungkin aku berharap kau lucu, seperti bapakmu?"

"Evan," tegur Ciara.

"Oke, kalau tidak ada lagi yang perlu kaukatakan padaku..." kata

Strike sambil bangkit dari kursi. Yang membuat Strike agak terkejut,

dan membuat Duffield sangat tidak senang, Ciara meletakkan gelas

anggurnya yang kosong dan meluruskan tungkainya yang panjang, ber?

siap-siap beranjak.

"Baiklah," ujar Duffield tajam. "Ada satu hal."

Robert Galbraith

Strike duduk lagi di kursinya. Ciara mengangsurkan sebatang

rokoknya kepada Duffield, yang menerimanya sambil menggumamkan

terima kasih, lalu Ciara pun duduk sambil mengawasi Strike.

"Silakan," kata Strike, sementara Duffield mengutak-atik peman?

tiknya.

"Baiklah. Aku tidak tahu apakah ini penting," kata si aktor. "Tapi

aku tidak ingin kau memberitahu siapa pun dari mana kau mendapat?

kan informasi ini."

"Aku tidak bisa menjamin itu," sahut Strike.

Duffield memasang tampang masam, lututnya memantul-mantul;

dia merokok sambil menunduk menatap lantai. Dari sudut matanya,

Strike melihat Ciara sudah membuka mulut untuk berbicara. Diang?

katnya tangan untuk mencegah Ciara berbicara.

"Well," kata Duffield, "dua hari lalu aku makan dengan Freddie

Bestigui. Dia meninggalkan BlackBerry-nya di meja ketika pergi ke

bar." Duffield mengepulkan asap dan bergerak-gerak gelisah. "Aku

tidak mau dipecat," katanya sambil melotot pada Strike. "Aku mem?

butuhkan pekerjaan terkutuk ini."

"Teruskan," kata Strike.

"Dia mendapat email. Aku melihat nama Lula. Aku membacanya."

"Oke."

"Email itu dari istrinya. Bunyinya kira-kira begini, ?Aku tahu se?

mestinya kita bicara dengan perantaraan pengacara, tapi kalau kau ti?

dak bisa memberikan yang lebih baik daripada 1,5 juta pound, aku

akan memberitahu semua orang di mana tepatnya aku berada sewaktu

Lula Landry mati, dan bagaimana tepatnya aku sampai di sana, karena

aku sudah muak kauperlakukan seperti sampah. Ini bukan ancaman

kosong. Aku mulai berpikir sebaiknya aku memberitahu polisi.? Atau

begitulah kurang-lebih," Duffield berkata.

Sayup-sayup, dari balik jendela bertirai, terdengar suara beberapa

paparazzi tertawa riuh.

"Itu informasi yang sangat berguna," Strike berkata pada Duffield.

"Terima kasih."

"Aku tidak ingin Bestigui tahu akulah yang memberitahumu."

"Kurasa namamu tidak perlu disinggung-singgung," ujar Strike

sambil bangkit berdiri lagi. "Terima kasih untuk airnya."

Dekut Burung Kukuk

"Sebentar, sweetie, aku ikut," kata Ciara, ponsel menempel di

telinga. "Kieran? Kami akan keluar sekarang, aku dan Cormoran. Se?

karang. Dah, Evan sayang."

Ciara membungkuk dan mengecup kedua belah pipi Duffield, se?

mentara Duffield baru beranjak dari kursinya, tampangnya ke?

bingungan.

"Kau boleh tidur di sini kalau?"

"Tidak, sweetie, aku ada kerjaan besok siang; perlu tidur supaya

cantik," katanya.

Cahaya-cahaya lampu kilat kembali menyilaukan Strike sewaktu

dia melangkah keluar, tapi paparazzi tampak bingung kali ini. Se?

mentara dia membantu Ciara menuruni tangga dan mengikutinya ma?

suk ke mobil, salah satu orang itu berteriak pada Strike "Kau siapa

sih, bangsat?"

Strike membanting pintu sambil menyengir. Kolovas-Jones kembali

ke kursi pengemudi; mobil meninggalkan tepi jalan, dan kali ini tidak

ada yang mengejar mereka.

Setelah sekitar satu blok berlalu dalam suasana senyap, KolovasJones melihat ke spion dan bertanya pada Ciara

"Pulang?"

"Rasanya begitu. Kieran, maukah kau menghidupkan radio? Aku

ingin dengar musik," katanya. "Lebih keras lagi, sweetie. Oh, aku suka

ini."

Lagu Telephone dari Lady Gaga memenuhi mobil.

Ciara berpaling pada Strike sementara cahaya oranye lampu jalan

berkelebatan di wajahnya yang menawan. Napasnya berbau alkohol,

kulitnya berbau parfum yang manis dan pedas.

"Kau tidak mau bertanya apa-apa lagi padaku?"

"Tahu, nggak?" kata Strike. "Ada sesuatu yang ingin kutanyakan.

Kenapa perlu ada lapisan yang bisa dilepas di bagian dalam tas?"

Ciara menatapnya beberapa saat, lalu terkekeh-kekeh geli, tubuh?

nya miring ke arah bahu Strike, menyikut dia. Dengan luwes dan

ringan, dia tetap menyandarkan diri di bahu Strike sambil berkata

"Kau memang lucu."

"Tapi kenapa?"

"Well, tas itu jadi lebih, apa ya, individual. Kau bisa beli beberapa

Robert Galbraith

untuk gonta-ganti, kau bisa mencabutnya dan memakainya seperti

skarf; cantik sekali. Kainnya sutra, dengan pola yang bagus. Tepinya

yang beritsleting itu sangat bergaya rock-and-roll."

"Menarik," kata Strike, sementara Ciara menempelkan pahanya de?

ngan ringan di paha Strike, lalu kembali tertawa kecil dengan suara

rendah.

Call all you want, but there?s no one home, begitu Lady Gaga ber?

nyanyi.

Suara musik menyamarkan percakapan mereka, namun mata

Kolovas-Jones acap kali beralih dari jalanan ke spion tengah. Setelah

satu menit berlalu, Ciara berkata

"Guy benar, aku memang suka yang besar. Kau sangat butch. Dan,

yah, galak. Dan itu seksi."

Setelah satu blok, Ciara berbisik

"Kau tinggal di mana?" sambil mengusapkan pipinya yang halus di

pipi Strike, seperti kucing.

"Aku tidur di ranjang lipat di kantorku."

Ciara terkikik lagi. Jelas sekali dia agak mabuk.

"Kau serius?"

"Yeah."

"Kalau begitu, kita ke tempatku saja, ya?"

Lidahnya sejuk dan manis dan menyisakan rasa Pernod.

"Kau pernah tidur dengan ayahku?" Strike berhasil bertanya, di

antara kecupan-kecupan Ciara pada bibirnya.

"Tidak... Yapun, tidak pernah..." Tawa kecil lagi. "Rambutnya

dicat... kalau dari dekat sekali, warnanya ungu... Aku sering me?

nyebutnya buah prem rock-and-roll..."

Lalu, sepuluh menit kemudian, suara tegas di benak Strike men?

desaknya agar tidak membiarkan hasrat menggiringnya pada rasa

malu. Dia melepaskan diri untuk menarik napas dan berbisik

"Kakiku cuma satu."

"Jangan konyol..."

"Tidak konyol... kakiku kena ledakan bom di Afghanistan."

"Anak malang..." bisik Ciara. "Biar kuelus-elus supaya tidak sakit."

"Yeah?itu bukan kakiku... Tapi membantu..."

Robin berlari mendaki tangga besi yang berdentang-dentang itu de?

ngan sepatu bertumit pendek yang dipakainya kemarin. Dua puluh

empat jam yang lalu, setelah tak berhasil menyingkirkan kata

"gumshoe"* dari benaknya, dia telah memilih sepatunya yang paling ti?

dak cantik untuk berjalan kaki seharian. Hari ini, dengan suntikan se?

mangat karena apa yang telah berhasil diperolehnya, sepatu hitam tua

itu boleh dibilang sama glamornya dengan sepatu kaca Cinderella.

Tidak sabar ingin segera memberitahu Strike segala sesuatu yang telah

dia temukan, dia nyaris berlari sepanjang Denmark Street di antara

reruntuhan yang diterangi cahaya matahari. Dia yakin sekali bahwa

perasaan canggung apa pun yang masih tersisa setelah acara mabuk

Strike dua malam yang lalu akan sepenuhnya terlupakan oleh kegem?

biraan karena penemuan mengejutkan yang dilakukannya seorang diri

kemarin.

Namun, sewaktu sampai di bordes lantai dua, langkah Robin ter?

henti mendadak. Untuk ketiga kalinya, pintu kaca itu terkunci, dan

kantor di baliknya tampak gelap dan sunyi.

Robin masuk dan melakukan pengamatan cepat terhadap buktibukti. Pintu ke ruang dalam terbuka lebar. Ranjang Strike terlipat dan

tersimpan rapi. Tidak ada tanda-tanda bekas makan malam di tempat

sepatu bot dengan sol karet yang melebar hingga ke atas untuk melindunginya dari

air, namun juga istilah slang yang berarti "detektif "

Robert Galbraith

sampah. Monitor komputer gelap, ketel dingin. Robin terpaksa

mengambil kesimpulan bahwa Strike tidak (demikianlah kata-katanya

sendiri) melewatkan malam di rumah.

Dia menggantung mantel, lalu dari tasnya mengeluarkan notes ke?
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cil, menghidupkan komputer, dan, setelah beberapa menit menunggu

dengan penuh harap namun tanpa hasil, dia mulai mengetik rang?

kuman dari apa yang telah ditemukannya hari sebelumnya. Dia nyaris

tidak tidur karena begitu bergairah ingin segera memberitahu Strike

secara langsung. Mengetikkan laporan itu menjadi antiklimaks yang

terasa getir. Di mana dia?

Sementara jari-jarinya melesat di atas papan tuts, muncullah ke?

mungkinan jawaban yang tidak disukainya. Kendati dia begitu patah

hati mendengar kabar pertunangan mantan kekasihnya, tidak mung?

kinkah Strike telah pergi untuk memohon pada wanita itu agar tidak

menikah dengan orang lain? Bukankah dia sudah menyerukan ke selu?

ruh penjuru Charing Cross Road bahwa Charlotte tidak mencintai

Jago Ross? Barangkali itu benar; barangkali Charlotte menghambur ke

pelukan Strike, dan mereka sekarang sudah berbaikan kembali, ber?

baring dalam tidur dengan tubuh terjalin erat, di suatu rumah atau

flat yang telah mengusirnya empat minggu yang lalu. Robin teringat

pertanyaan serta tuduhan tak langsung Lucy terhadap Charlotte, dan

menurutnya reuni semacam itu tidak akan berdampak baik bagi pe?

kerjaannya. Bukan berarti itu penting, Robin mengingatkan diri sendiri

sambil mengetik dengan sengit, dan dengan banyak kesalahan yang ti?

dak sesuai dengan karakternya. Toh kau akan pergi dari sini seminggu

lagi. Pikiran itu membuatnya lebih risau.

Kemungkinan lain, tentu saja, Strike mendatangi Charlotte dan

Charlotte menolaknya. Dalam hal itu, masalah keberadaan Strike

menjadi lebih mendesak, bukan lagi perkara pribadi. Bagaimana kalau

dia pergi, tanpa kendali dan tanpa ada yang melindungi, mabuk berat

lagi? Jari-jari Robin yang sibuk mulai melambat dan akhirnya berhenti

di tengah-tengah kalimat. Dia berputar di kursinya, menatap telepon

kantor yang membisu.

Bisa jadi dia satu-satunya orang yang tahu bahwa Cormoran Strike

tidak berada di tempat seharusnya dia berada. Mungkin sebaiknya dia

menelepon ke ponselnya? Tapi bagaimana kalau dia tidak menjawab?

Dekut Burung Kukuk

Berapa jam lagi dia bisa membiarkan waktu berlalu sebelum menghu?

bungi polisi? Ide untuk menelepon Matthew di kantornya dan me?

minta nasihat darinya sempat mampir ke pikiran Robin, tapi dienyah?

kan dengan segera.

Dia dan Matthew bertengkar ketika Robin pulang sangat terlam?

bat setelah mengantar Strike kembali ke kantornya dari Tottenham.

Lagi-lagi Matthew berkata bahwa dia naif, mudah dipengaruhi, dan

terlalu mudah iba pada nasib malang; bahwa Strike hanya mau men?

cari sekretaris dengan bayaran murah, dan menggunakan pemerasan

emosional untuk mendapatkan keinginannya; bahwa Charlotte itu

mungkin tidak nyata, hanya tipuan rumit untuk mengundang simpati

dan pertolongan Robin. Kemudian Robin naik pitam, dan berkata,

jika ada orang yang memeras dia itu adalah Matthew sendiri, dengan

rengekannya yang tiada henti tentang gaji yang seharusnya dia bawa

pulang, serta tuduhan bahwa Robin tidak berandil mengusung beban

bersama. Tidakkah Matthew melihat bahwa dia senang bekerja untuk

Strike, tidakkah sempat terlintas dalam benak akuntannya yang tak

peka bahwa Robin mungkin tidak mengharapkan pekerjaan yang sa?

ngat menjemukan di bagian personalia? Matthew terperangah, lalu

minta maaf (walaupun tetap menyimpan hak untuk mencela perilaku

Strike); namun Robin, yang biasanya ramah dan mudah berdamai, te?

tap bersikap dingin dan marah. Gencatan senjata yang diberlakukan

keesokan paginya penuh percikan permusuhan, terutama dari Robin.

Sekarang, dalam kesunyian, sambil memandangi telepon, sebagian

kemarahan yang tertuju pada Matthew itu meluap ke Strike. Di mana

dia? Apa yang dia lakukan? Mengapa dia bertingkah tak bertanggung

jawab seperti yang dituduhkan Matthew? Sementara Robin ada di

sini, menjaga benteng, dan Strike mungkin sedang mengejar mantan

tunangannya, dan tidak menghiraukan pekerjaan mereka...

...pekerjaannya...

Suara langkah di tangga Robin merasa mengenali ketidakseim?

bangan yang hampir tak kentara pada langkah Strike. Dia menunggu,

menatap garang ke arah tangga, sampai dia yakin suara langkah itu

berlanjut melewati bordes pertama; kemudian dengan teguh dia ber?

balik di kursinya, menghadap monitor, dan mulai mengetuk-ngetuk

papan tuts lagi, sementara detak jantungnya berlomba.

Robert Galbraith

"Pagi."

"Hai."

Diliriknya Strike sekilas sambil terus mengetik. Strike tampak le?

lah, tak bercukur, dan tak seperti biasa berpakaian bagus. Dalam be?

naknya Robin langsung mengonfirmasi bahwa Strike telah berupaya

melakukan rekonsiliasi dengan Charlotte; kalau melihat dia, tampak?

nya upaya itu berhasil. Dua kalimat berikut dicemari banyak ke?

salahan ketik.

"Bagaimana keadaan?" tanya Strike, memperhatikan rahang Robin

yang terkatup rapat dan sikapnya yang dingin.

"Baik," sahut Robin.

Robin bermaksud meletakkan laporan yang telah diketiknya tanpa

cela di hadapan Strike, lalu, dengan ketenangan yang sedingin es,

membicarakan pengaturan kepergiannya. Dia mungkin akan memberi

saran agar Strike menyewa karyawan temporer minggu ini, supaya se?

belum pergi dia dapat memberikan instruksi mengenai pengelolaan

kantor sehari-hari.

Strike, yang nasib buruknya telah berbalik dengan cara yang luar

biasa beberapa jam lalu dan kini mengalami sesuatu yang mirip pe?

rasaan melayang setelah berbulan-bulan, sudah berharap untuk ber?

temu dengan sekretarisnya. Dia tidak memiliki niat sedikit pun untuk

menceritakan kegiatan yang dia lakukan malam sebelumnya (atau pa?

ling tidak, bukan kegiatan yang justru telah menyembuhkan egonya

yang tercabik-cabik), karena secara instingtif dia memang selalu tutup

mulut dalam hal-hal semacam itu, lagi pula dia berharap masih dapat

menjaga garis batas yang tersisa, yang telah diobrak-abrik oleh kon?

sumsi Doom Bar yang lumayan banyaknya. Namun, dia juga telah

merancang pidato permintaan maaf atas sikapnya yang tidak pantas

dua malam sebelumnya, pernyataan terima kasih yang terbuka, serta

rangkuman dari semua kesimpulan menarik yang telah ditariknya dari

wawancara kemarin.

"Mau minum teh?"

"Tidak, terima kasih."

Strike melihat jam tangannya.

"Aku hanya terlambat sebelas menit."

"Terserah kau mau datang jam berapa. Maksudku," Robin ber?

Dekut Burung Kukuk

maksud mundur beberapa langkah karena dia merasa nada suaranya

terlalu bermusuhan, "bukan urusanku apa yang kau?jam berapa kau

sampai di sini."

Sebelumnya Robin telah membayangkan berbagai tanggapan yang

menenangkan dan penuhpun terhadap permintaan maaf Strike

atas tingkah laku mabuknya 48 jam lalu, namun sekarang dia merasa

sikap Strike tak pantas karena tidak merasa malu maupun menunjuk?

kan penyesalan.

Strike menyibukkan diri dengan ketel dan cangkir-cangkir, dan se?

lang beberapa menit, dia meletakkan secangkir teh yang mengepul di

samping Robin.

"Sudah kubilang aku tidak?"

"Bisakah kautinggalkan sebentar dokumen yang sangat penting itu

sementara aku mengatakan sesuatu kepadamu?"

Robin menyimpan laporan itu dengan beberapa ketukan tegas, lalu

berbalik menghadap Strike, lengannya bersedekap rapat di dada.

Strike duduk di sofa tua itu.

"Aku ingin minta maaf atas kejadian dua malam lalu."

"Tidak perlu," sahut Robin dengan suara pelan dan kaku.

"Ya, perlu. Tidak banyak yang bisa kuingat. Kuharap aku tidak

bertingkah norak."

"Tidak."

"Kau mungkin sudah memahami intinya. Mantan tunanganku

baru bertunangan dengan pacar lamanya. Perlu tiga minggu saja bagi?

nya setelah kami putus untuk mendapatkan cincin lain di jarinya. Itu

cuma istilah; aku tidak pernah memberinya cincin; tidak pernah pu?

nya uang untuk membelinya."

Dari nada bicaranya, Robin menyimpulkan tidak ada rekonsiliasi

yang terjadi; tapi kalau begitu, di mana dia menghabiskan malam hari

tadi? Dia menurunkan tangan dan tanpa berpikir meraih cangkir teh?

nya.

"Bukan tanggung jawabmu untuk mencariku seperti itu, tapi ba?

rangkali kau telah mencegahku tersungkur ke selokan atau memukul

seseorang, jadi aku berterima kasih."

"Tidak masalah," kata Robin.

"Dan terima kasih untuk Alka-Seltzer-nya," Strike berkata.

Robert Galbraith

"Membantu, tidak?" tanya Robin, masih ketus.

"Aku hampir muntah di sini," kata Strike, memukul lembut sofa

tua yang sudah reyot itu, "tapi begitu efeknya bekerja, sangat mem?

bantu."

Robin tertawa, dan Strike ingat, untuk pertama kalinya, pesan

yang diselipkan Robin di celah pintu ketika dia tidur, dan alasan yang

diberikannya atas kepergiannya yang penuh pengertian.

"Baik, aku sudah ingin mendengar bagaimana kemajuanmu ke?

marin," Strike berbohong. "Jangan bikin aku tegang."

Robin merekah seperti bunga teratai.

"Aku baru mengetiknya..."

"Langsung saja, dan kau bisa menyimpannya di arsip nanti," kata

Strike, sambil membatin kalau ternyata tak berguna dia bisa mem?

buangnya dengan mudah.

"Oke," kata Robin, bergairah sekaligus gugup. "Well, seperti yang

kukatakan di pesanku, aku lihat kau ingin memeriksa Profesor

Agyeman, dan Malmaison Hotel di Oxford."

Strike mengangguk, diam-diam bersyukur telah diingatkan, karena

dia belum berhasil menggali detail-detail pesan Robin itu, yang di?

bacanya satu kali dalam keadaan pengar yang menyakitkan.

"Jadi," kata Robin, agak terengah, "pertama-tama aku pergi ke

Russell Square, ke SOAS, School of Oriental and African Studies. Itu

yang kaumaksud di catatanmu, bukan?" tambahnya. "Aku memeriksa

peta tempatnya dekat dengan British Museum. Itu kan, arti coretcoretan itu?"

Strike mengangguk lagi.

"Nah, aku pergi ke sana dan pura-pura sedang menulis disertasi

tentang politik Afrikan, dan aku mencari informasi tentang Profesor

Agyeman. Belakangan, aku berbicara pada sekretaris yang sangat

membantu di departemen politik, yang pernah bekerja untuk profesor

itu, dan dia memberiku banyak informasi mengenai dia, termasuk

bibliografi dan biografi singkat. Orang itu pernah belajar di SOAS se?

bagai mahasiswa strata satu."

"Oh ya?"

"Ya," ujar Robin. "Dan aku dapat fotonya."

Dekut Burung Kukuk

Dari dalam notesnya, Robin mengeluarkan selembar fotokopi, lalu

menyerahkannya pada Strike.
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Strike melihat pria kulit hitam dengan wajah panjang dan tulang

pipi tinggi; rambut cepak yang mulai kelabu, jenggot, dan kacamata

berbingkai emas yang digantungkan di telinga yang sangat lebar. Dia

memandangi foto itu untuk waktu yang lama, dan ketika akhirnya

berbicara lagi, Strike berkata

"Ya Tuhan."

Robin menunggu, hatinya melambung.

"Ya Tuhan," ujar Strike lagi. "Kapan dia meninggal?"

"Lima tahun lalu. Sekretaris itu sedih ketika membicarakannya.

Dia bilang, profesor itu begitu pintar, dan orangnya sangat baik hati

dan manis. Kristen yang taat."

"Ada keluarga?"

"Ya. Dia meninggalkan seorang janda dan seorang anak laki-laki."

"Anak laki-laki," ulang Strike.

"Ya," kata Robin. "Dia di angkatan darat."

"Di angkatan darat," ucap Strike, bagaikan gema suara Robin yang

dalam dan sedih. "Jangan bilang."

"Dia di Afghanistan."

Strike berdiri dan mulai mondar-mandir, foto Profesor Josiah

Agyeman masih di tangannya.

"Kau tidak dapat nama resimennya, ya? Tidak masalah sih. Bisa

kucari," kata Strike.

"Sempat kutanyakan sih," kata Robin sambil membaca catatannya,

"tapi aku tidak terlalu paham?apakah ada resimen bernama Sappers

atau apa?"

"Pasukan zeni," kata Strike. "Aku bisa memeriksanya."

Dia berhenti di sebelah meja Robin, lalu menatap wajah Profesor

Josiah Agyeman lagi.

"Aslinya dia berasal dari Ghana," Robin memberitahu. "Tapi ke?

luarganya tinggal di Clerkenwell sampai dia meninggal."

Strike mengembalikan foto itu pada Robin.

"Jangan sampai hilang. Bagus sekali, Robin."

"Bukan itu saja," kata Robin dengan wajah memerah, begitu ber?

semangat dan berusaha menahan senyumnya. "Aku naik kereta ke

Robert Galbraith

Oxford siang harinya, ke Malmaison. Kau tahu, hotel itu tadinya

bekas gedung penjara?"

"Oh ya?" ucap Strike sambil kembali mengenyakkan diri di sofa.

"Ya. Bagus juga sebenarnya. Yah, pokoknya, aku berpura-pura jadi

Alison dan mengecek apakah Tony Landry ketinggalan sesuatu di

sana..."

Strike menghirup tehnya, berpikir bahwa agak tidak masuk akal

mengirim seorang sekretaris ke sana setelah tiga bulan berselang.

"Yah, tapi itu kesalahan."

"Masa sih?" kata Strike, menjaga nadanya tetap netral.

"Ya, karena Alison benar-benar pergi ke Malmaison pada tanggal

tujuh, berusaha mencari Tony Landry. Sangat memalukan, karena sa?

lah satu gadis petugas resepsionis sedang bertugas hari itu, dan dia

ingat Alison."

Strike menurunkan cangkirnya.

"Wah," ucapnya, "kalau itu benar-benar menarik."

"Aku tahu," timpal Robin antusias. "Jadi kemudian aku harus ber?

pikir cepat."

"Kau bilang padanya namamu Annabel?"

"Tidak," cetus Robin sambil tertawa kecil. "Aku bilang, yah, oke,

aku mau jujur saja; aku ini pacarnya. Dan aku menangis sedikit."

"Kau menangis?"

"Tidak terlalu sulit sih," kata Robin, agak kaget sendiri. "Aku lang?

sung meresapi peran itu. Aku berkata padanya, kupikir dia punya

affair."

"Bukan dengan Alison, kan? Kalau mereka pernah melihat Alison,

mereka tidak mungkin percaya..."

"Tidak, tapi aku bilang, kurasa dia tidak di hotel itu sama sekali...

Pendeknya, aku agak bikin keributan kecil, dan gadis yang pernah

bicara pada Alison itu membawaku menyingkir dan berusaha me?

nenangkanku. Dia bilang, mereka tidak dapat memberikan informasi

tentang orang lain tanpa alasan yang sahih, ada kebijakan, dan sebagai,

dan sebagainya... kau tahulah. Tapi, hanya supaya aku berhenti me?

nangis, akhirnya dia memberitahuku bahwa Tony Landry mendaftar

masuk hotel pada malam hari tanggal enam, dan keluar lagi tanggal

delapan pagi. Waktu keluar, dia mengeluh karena diberi koran yang

Dekut Burung Kukuk

keliru, jadi gadis itu ingat. Jadi Tony Landry benar-benar ada di sana.

Aku bahkan sempat bertanya sedikit, yah, dengan histeris, bagaimana

dia yakin itu Landry, lalu gadis itu menggambarkannya dengan men?

detail. Aku tahu tampangnya, kan," tambah Robin, sebelum Strike

sempat bertanya. "Sebelum pergi aku sudah mengecek fotonya di situs

Landry, May, Patterson."

"Kau brilian," puji Strike, "dan semua ini mencurigakan. Apa yang

dikatakan gadis itu tentang Alison?"

"Alison datang dan meminta bertemu dengan Landry, tapi Landry

tidak ada. Tapi mereka mengonfirmasi bahwa Landry menginap di

sana. Kemudian Alison pergi."

"Aneh sekali. Seharusnya kan Alison tahu Landry mengikuti

konferensi itu; jadi kenapa dia pergi ke sana?"

"Entahlah."

"Karyawan hotel yang sangat membantu ini, apakah dia melihat

Landry pada waktu lain, selain saat masuk dan keluar?"

"Tidak," sahut Robin. "Tapi kita tahu dia pergi ke konferensi itu,

bukan? Aku sudah mengeceknya, ingat?"

"Kita tahu dia mendaftar, dan mungkin mengambil tanda penge?

nalnya. Kemudian dia menyetir kembali ke Chelsea untuk mengun?

jungi adiknya, Lady Bristow. Kenapa?"

"Yah... dia sedang sakit."

"Masa? Dia baru saja menjalani operasi yang seharusnya menyem?

buhkan dia."

"Histerektomi," kata Robin. "Kubayangkan, orang tidak akan me?

rasa sehat setelah itu."

"Jadi kita punya seorang pria yang tidak begitu menyukai kakak?

nya?aku dengar sendiri dari mulutnya?yang percaya bahwa kakak?

nya baru saja menjalani operasi yang dapat menyelamatkan nyawanya,

dan dia tahu kakaknya punya dua anak yang bisa mengurusnya. Apa

yang begitu mendesak sehingga dia pergi mengunjungi kakaknya?"

"Yah," kata Robin, tidak terlalu yakin, "kurasa... karena dia baru

saja keluar dari rumah sakit..."

"Dengan asumsi bahwa dia sudah tahu itu sebelum pergi ke

Oxford. Jadi kenapa dia tidak tinggal saja dulu, menengok kakaknya

kalau memang harus, lalu baru siang harinya pergi ke konferensi?

Robert Galbraith

Kenapa dia harus menyetir delapan puluhan kilometer, menginap di

penjara yang sudah dipermanis ini, pergi ke konferensi, mendaftar

ulang, lalu kembali ke kota?"

"Mungkin dia ditelepon bahwa kondisi kakaknya tidak baik, atau

se?macam itu? Mungkin John Bristow meneleponnya dan meminta dia

datang?"

"Bristow tidak pernah berkata dia meminta pamannya untuk

mampir. Menurutku mereka sedang tidak saling berbicara saat itu.

Mereka sama-sama menghindar kalau menyangkut topik kunjungan

Landry itu. Keduanya tidak suka membicarakannya."

Strike berdiri dan mulai mondar-mandir lagi, langkahnya agak tim?

pang, nyaris tidak memperhatikan nyeri di tungkainya.

"Tidak," katanya, "Bristow meminta adiknya, yang tak diragukan

lagi adalah kesayangan ibunya, untuk datang berkunjung?itu masuk

akal. Meminta adik ibunya, yang sedang berada di luar kota dan bu?

kan penggemar ibunya yang paling setia, meminta dia mengalihkan

perjalanan jauh-jauh untuk menengok ibunya... rasanya tidak logis.

Dan sekarang kita tahu bahwa Alison pergi mencari Landry di hotel?

nya di Oxford. Itu berarti satu hari kerja. Apakah Alison mengecek

Landry atas prakarsanya sendiri, ataukah ada orang yang menyuruh

dia?"

Telepon berdering. Robin mengangkatnya. Strike terkejut ketika

Robin berbicara dengan akses Australia yang sangat tidak wajar.

"Oh, maaf, dia tidak di sini... Tidak... Tidak... Aku tidak tahu di

mana dia... Tidak... Namaku Annabel..."

Strike tertawa tanpa suara. Robin memasang tampang pura-pura

tersiksa. Setelah satu menit berlalu dalam aksen Australia yang buruk,

dia menutup telepon.

"Temporary Solutions," kata Robin.

"Aku sudah pernah bicara dengan banyak Annabel. Itu lebih mirip

aksen Afrika Selatan daripada Australia."

"Sekarang aku mau dengar apa yang terjadi denganmu kemarin,"

kata Robin, tak sanggup lagi menyembunyikan ketidaksabarannya.

"Kau bertemu dengan Bryony Radford dan Ciara Porter?"

Strike memberitahukan segala yang terjadi, hanya melangkaui

peristiwa yang terjadi setelah perjalanannya ke flat Evan Duffield. Dia

Dekut Burung Kukuk

memberikan penekanan pada Bryony Radford yang bersikeras me?

nyatakan bahwa disleksialah yang telah menyebabkan dia mendengar?

kan pesan voicemail Ursula May, pada Ciara Porter yang terus-me?

nerus berkata tentang Lula yang akan meninggalkan segalanya pada

saudaranya, pada Evan Duffield yang jengkel karena Lula terusmenerus mengecek waktu ketika di Uzi, dan pada email ancaman yang

dikirim Tansy Bestigui kepada suaminya.

"Jadi, ada di mana Tansy Bestigui malam itu?" tanya Robin, yang

telah mendengarkan setiap patah kata dalam cerita Strike dengan per?

hatian yang memuaskan hati. "Kalau saja kita bisa tahu..."

"Oh, aku yakin aku tahu di mana dia berada waktu itu," ujar

Strike. "Yang sulit adalah membuat dia mengakuinya, dengan risiko

hilangnya kesepakatan uang jaminan jutaan pound dari Freddie. Kau

pasti akan tahu juga, kalau mau meneliti foto-foto polisi lagi."

"Tapi..."

"Cobaati foto-foto bagian depan gedung pada pagi hari Lula

meninggal, lalu ingat-ingat bagaimana rupanya ketika kita melihatnya.

Akan bagus untuk pelatihan menjadi detektif."

Robin mengalami semburan semangat dan kebahagiaan, yang se?

ketika diempas penyesalan yang dingin, karena dia akan meninggalkan

tempat ini untuk pekerjaan di personalia.

"Aku perlu ganti baju," Strike memberitahu sambil berdiri. "Mau?

kah kau mencoba menelepon Freddie Bestigui lagi?"

Strike menghilang ke ruang dalam, menutup pintu di belakangnya,

lalu mengganti setelan keberuntungannya (begitulah dia menyebutnya

mulai sekarang) dengan kemeja lama yang nyaman, serta celana pan?

jang yang lebih longgar. Ketika dia melewati meja Robin menuju ka?

mar mandi, Robin sedang menelepon, dengan ekspresi tekun dan da?

tar yang menggambarkan orang yang diminta menunggu. Strike

menyikat gigi di wastafel retak, merenungkan betapa mudah hidupnya

bersama Robin sekarang setelah secara tak langsung dia mengakui

bahwa dia tinggal di kantor. Dia kembali dan menemukan Robin ti?

dak lagi menelepon, tampangnya jengkel.

"Kupikir mereka tidak mau repot-repot lagi menyampaikan pesan?

ku," dia memberitahu Strike. "Mereka bilang, dia ada di Pinewood

Studios dan tidak bisa diganggu."
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Robert Galbraith

"Ah, well, setidaknya kita tahu dia sudah pulang dari luar negeri,"

kata Strike.

Strike kemudian mengambil laporan interim dari lemari arsip, du?

duk di sofa, dan mulai menambahkan catatan-catatannya mengenai

percakapan kemarin, tanpa suara. Robin mengamati dengan kerlingan

mata, kagum melihat betapa cermatnya Strike melakukan tabulasi atas

semua penemuannya, membuat catatan spesifik perihal bagai?mana, di

mana, dan dari siapa dia mendapatkan setiap potong informasi.

Setelah keheningan yang panjang, ketika Robin membagi waktunya

antara diam-diam mengamati Strike bekerja dan meneliti foto bagian

depan Kentigern Gardens nomor 18 di Google Earth, dia bertanya,

"Kurasa kau harus sangat hati-hati, ya, kalau-kalau kau melupakan se?

suatu?"

"Bukan hanya itu," jawab Strike, terus menulis tanpa mendongak.

"Kau tidak mau menyisakan tempat pijakan sedikit pun untuk penga?

cara pembela."

Dia berbicara dengan tenang, dengan begitu masuk akal, sehingga

Robin merenungkan implikasi kata-kata Strike itu selama beberapa

saat, kalau-kalau dia salah paham.

"Maksudmu... pada umumnya?" kata Robin akhirnya. "Pada prin?

sipnya?"

"Tidak," kata Strike sambil melanjutkan laporannya. "Maksudku,

secara spesifik aku tidak ingin memberikan kesempatan lolos pada

pengacara pembela tersangka pembunuhan Lula Landry, hanya karena

dia berhasil menunjukkan bukti bahwa aku tidak mencatat dengan

baik, dan karenanya mempertanyakan kredibilitasku sebagai saksi."

Strike sedang pamer lagi, dan dia menyadari itu; tapi dia tidak

sanggup menahan diri. Dia sedang seru-serunya, begitu menurut

istilahnya sendiri. Orang mungkin akan mencelanya karena merasakan

kegembiraan di tengah-tengah penyelidikan pembunuhan, namun dia

memiliki kemampuan menemukan humor di saat-saat yang lebih

kelam.

"Robin, kau tidak bisa keluar sebentar untuk membeli sandwich?"

tambahnya, hanya supaya dia bisa mendongak dan puas melihat

ekspresi Robin yang terperangah.

Dekut Burung Kukuk

Dia menyelesaikan catatannya selama Robin pergi, dan baru hen?

dak menelepon rekan lamanya di Jerman ketika Robin menghambur

masuk kembali, membawa dua bungkus sandwich dan surat kabar.

"Fotomu ada di halaman depan Standard," dia mengumumkan de?

ngan napas tersengal.

"Apa?"

Foto itu memperlihatkan Ciara mengikuti Duffield masuk ke flat?

nya. Ciara tampak mencengangkan; selama sepersekian detik Strike

seperti kembali ke pukul setengah tiga dini hari tadi, ketika Ciara ter?

baring, putih dan telanjang, di bawahnya, rambutnya yang halus dan

panjang tergerai di bantal bagaikan putri duyung, sementara gadis itu

berbisik dan mengerang.

Strike memusatkan perhatiannya kembali gambarnya agak terpo?

tong di foto itu, sebelah lengan terangkat untuk menghalangi papa?

razzi.

"Tidak apa-apa," katanya pada Robin sambil mengangkat bahu,

mengembalikan koran itu. "Mereka pikir aku pengawal."

"Katanya," ujar Robin sambil membuka halaman dalam, "Ciara me?

ninggalkan flat Duffield bersama pengawalnya pada pukul dua."

"Nah, itu dia."

Robin memandangi Strike. Ceritanya tentang apa yang terjadi se?

malam berhenti pada dirinya, Duffield, dan Ciara di flat Duffield.

Robin begitu terpikat pada berbagai bukti yang digelar di hadapannya,

sehingga lupa bertanya-tanya di mana Strike tidur semalam. Dia ha?

nya beranggapan Strike meninggalkan model dan aktor itu bersama.

Strike tadi tiba di kantor masih mengenakan pakaian yang ada di

foto ini.

Robin membuang muka, lalu membaca beritanya di halaman dua.

Inti tulisan itu adalah Ciara dan Duffield berasyik masyuk, sementara

orang yang disebut pengawal itu menunggu di lorong.

"Apakah aslinya dia juga cantik sekali?" tanya Robin dengan sikap

biasa yang tak meyakinkan, sembari melipat koran Standard itu.

"Ya," jawab Strike singkat, dan bertanya-tanya apakah dia hanya

membayangkan satu patah kata itu mengandung sesumbar. "Kau mau

yang keju dan acar atau telur mayo?"

Robin memilih asal saja dan kembali ke mejanya untuk makan.

Robert Galbraith

Dugaan barunya perihal keberadaan Strike pada malam sebelumnya

telah menebarkan awan mendung bahkan pada kegairahannya atas ke?

majuan kasus itu. Akan sulit menyatukan kesannya tentang Strike se?

bagai pria romantis yang kurang mujur, dengan fakta bahwa Strike

(rasanya sulit dipercaya, namun Robin mendengar sendiri upaya

Strike yang payah untuk menyembunyikan rasa bangganya) telah

tidur dengan seorang supermodel.

Telepon berdering lagi. Strike, yang mulutnya penuh roti dan keju,

mengangkat tangan untuk mencegah Robin, menelan makanannya,

lalu menjawab telepon itu sendiri.

"Cormoran Strike."

"Strike, ini Wardle."

"Hai, Wardle, bagaimana?"

"Tidak begitu baik, sebenarnya. Kami baru saja menarik mayat

dari Thames, dan dia punya kartu namamu. Ingin tahu apakah kau

bisa membantu kami."

Sejak Strike memindahkan barang-barangnya dari flat Charlotte,

baru kali ini dia membenarkan alasan untuk naik taksi lagi. Dia

mengawasi argometernya dengan dingin, sementara taksi melaju ke

arah Wapping. Sopir taksi itu bersikeras memberitahunya mengapa

PM Gordon Brown adalah bangsat yang bikin malu. Strike duduk da?

lam diam sepanjang perjalanan.

Ini bukan kamar mayat pertama yang dikunjungi Strike, dan jelas

bukan mayat pertama yang dilihatnya. Dia sudah nyaris imun pada

kerusakan luka tembak; tubuh yang cabik, koyak, dan robek, jerohan

terbuka seperti yang dipajang di toko daging, mengilat dan berdarahdarah. Strike tidak pernah merasa jijik; bahkan mayat yang dimutilasi,

putih dan dingin di laci lemari pendingin, menjadi steril dan standar

bagi orang dengan profesinya. Namun, mayat yang mentah, belum di?

proses dan belum terlindung di balik prosedur resmi, itulah yang ke?

rap muncul lagi dan merayap ke dalam mimpi-mimpinya. Ibunya di

rumah duka, dalam gaun panjang tak berlengan favoritnya, tirus tapi

tampak muda, tanpa bekas jarum suntik yang terlihat. Sersan Gary

Topley terkapar di jalan berdebu yang bersimbah darah di Afghanis?

tan, wajahnya tak tergores sedikit pun, tanpa tubuh di bawah dada?

nya. Sementara Strike tergeletak di tanah yang panas, dia berusaha ti?

dak menatap wajah Gary yang hampa, takut melirik ke bawah dan

melihat seberapa banyak tubuhnya sendiri yang hilang... tapi dia ber?

Robert Galbraith

ingsut cepat ke dalam kekosongan sehingga dia tidak mengetahuinya

sampai terjaga di rumah sakit perang...

Pada dinding bata telanjang di ruang antara yang sempit di kamar

mayat itu, tergantung poster lukisan Impresionis. Strike memusatkan

pandangannya pada gambar itu, bertanya-tanya di mana dia pernah

melihatnya, dan akhirnya ingat bahwa gambar yang sama tergantung

di atas rak perapian di rumah Lucy dan Greg.

"Mr. Strike?" kata petugas kamar mayat berambut kelabu yang me?

longok dari pintu bagian dalam, mengenakan jas putih dan sarung ta?

ngan karet. "Masuklah."

Para kurator mayat ini hampir selalu orang-orang yang ramah dan

riang. Strike mengikutinya masuk ke udara dingin ruang dalam yang

terang benderang dan tak berjendela, dengan pintu-pintu baja lemari

pendingin di dinding sebelah kanan. Lantai keramik yang sedikit mi?

ring mengarah ke saluran pembuangan di tengah ruangan, lampulampunya menyilaukan. Semua suara bergema di seluruh permukaan

yang keras dan mengilap, seolah-olah ada serombongan lelaki yang

berderap memasuki ruangan.

Troli besi sudah disiapkan di depan salah satu pintu lemari pen?

dingin, dan di sebelahnya berdiri kedua polisi reserse, Wardle dan

Carver. Yang pertama menyapa Strike dengan anggukan dan gumam

salam; yang kedua, dengan perut buncit, wajah penuh bopeng, dan

bahu jas penuh ketombe, hanya menggerung.

Petugas kamar mayat tadi menurunkan tuas besi tebal di pintu

lemari pendingin. Muncul bagian atas tiga kepala tak dikenal, satu di

atas yang lain, masing-masing ditutupi kain putih yang sudah lemas

dan tipis karena seringnya dicuci. Petugas itu mengecek label yang di?

sematkan pada kain yang menutupi kepala yang tengah; tidak ada

nama, hanya tanggal hari kemarin yang dicoretkan di sana. Dengan

mulus dia menarik mayat itu keluar pada nampan perpanjangannya

dan dengan efisien menurunkannya di troli yang sudah menunggu.

Strike melihat rahang Carver bergerak-gerak ketika dia melangkah

mundur, memberi petugas itu ruang untuk mendorong troli menjauh

dari pintu lemari pendingin. Dengan bunyi bantingan yang berden?

tang, mayat-mayat yang lain hilang dari pandangan.

"Kita tidak membutuhkan ruang pengamatan karena hanya kita

Dekut Burung Kukuk

yang ada di sini," ujar petugas itu cepat. "Cahayanya paling baik di

tengah-tengah," tambahnya, memosisikan troli itu tepat di sebelah lu?

bang saluran air, lalu menyibakkan kain penutup.

Tubuh Rochelle Onifade tersingkap, bengkak dan menggembung,

wajahnya tak akan pernah lagi menampilkan ekspresi curiga, diganti?

kan semacam mimik heran yang kosong. Dari deskripsi singkat yang

diberitahukan Wardle melalui telepon, Strike sudah bisa menduga

siapa yang akan dilihatnya sewaktu kain putih itu dibuka, tapi tetap

saja ketakberdayaan manusia yang mati itu menamparnya bagaikan

pertama kali. Ketika dia menunduk memandanginya, mayat itu tam?

pak lebih kecil daripada ketika Rochelle duduk di depannya, makan

kentang goreng, dan menyembunyikan informasi.

Strike memberitahu mereka namanya, mengejanya supaya petugas

kamar mayat dan Wardle dapat menuliskannya dengan akurat pada

papan jepit dan notes mereka; dia juga memberi mereka satu-satunya

alamat Rochelle yang diketahuinya Hostel St. Elmo untuk Tuna?

wisma, di Hammersmith.

"Siapa yang menemukan dia?"

"Polisi perairan yang memancing dia larut malam kemarin," Carver

berkata untuk pertama kalinya. Suaranya yang beraksen London

selatan mengandung nada permusuhan yang tak salah lagi. "Mayat

biasanya baru muncul ke permukaan sekitar tiga minggu, bukan?"

tambahnya, menujukan komentar itu?lebih berupa komentar dari?

pada pertanyaan?kepada petugas kamar mayat, yang berdeham kecil

dan hati-hati.

"Itu waktu rata-rata yang umum, tapi aku tidak heran bila ternyata

lebih cepat pada kasus ini. Ada indikasi-indikasi tertentu..."

"Yah, kita akan tahu dari ahli patologi," kata Carter, mengabaikan?

nya.

"Tidak mungkin tiga minggu," kata Strike, dan petugas kamar ma?

yat itu menyunggingkan senyum kecil solidaritas kepadanya.

"Kenapa tidak?" tuntut Carver.

"Karena aku membelikannya burger dan kentang goreng dua ming?
Dekut Burung Kukuk The Cuckoos Calling Karya Robert Galbraith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gu yang lalu."

"Ah," ucap si petugas, mengangguk pada Strike di atas mayat itu.

"Aku baru mau berkata bahwa banyak karbohidrat yang dikonsumsi

Robert Galbraith

sebelum kematian dapat memengaruhi kemampuan mengapungnya.

Ada penggelembungan juga..."

"Waktu itu kau memberinya kartu namamu, bukan?" Wardle ber?

tanya pada Strike.

"Yeah. Aku heran kartu itu masih terbaca."

"Kartu itu diselipkan bersama kartu bus Oyster, dalam wadah

plastik di saku belakang jinsnya. Plastik itu yang melindunginya."

"Dia memakai baju apa?"

"Mantel bulu tiruan warna pink yang besar. Seperti Muppet yang

dikuliti. Jins dan sepatu kets."

"Itulah yang dia pakai sewaktu aku membelikan dia burger."

"Kalau begitu, isi perutnya memberikan perkiraan akurat?" pe?

tugas kamar mayat itu mulai berbicara.

"Apakah kau tahu dia punya kerabat?" tanya Carver pada Strike.

"Ada bibi yang tinggal di Kilburn. Aku tidak tahu namanya."

Segaris bola mata yang mengilat terlihat di balik kelopak mata

Rochelle yang hampir tertutup; terang, khas orang yang mati teng?

gelam. Ada bekas gelembung darah di lipatan sekitar lubang hidung?

nya.

"Bagaimana tangannya?" tanya Strike pada petugas kamar mayat

itu, karena tubuh Rochelle tertutup sampai dada.

"Tidak usah pedulikan tangannya," tukas Carver. "Kami sudah se?

lesai di sini, terima kasih," katanya pada petugas itu keras-keras, suara?

nya bergaung di dalam ruangan; lalu kepada Strike "Kami ingin bi?

cara denganmu. Mobil ada di luar."

Dia membantu polisi dalam penyelidikan mereka. Strike ingat per?

nah mendengar kalimat itu di siaran berita sewaktu dia masih bocah,

terobsesi dengan setiap aspek pekerjaan polisi. Ibunya selalu menya?

lahkan ketertarikan dini yang aneh ini pada kakaknya, Ted, seorang

mantan polisi militer. Bagi Strike, dia adalah sumber berbagai cerita

menegangkan tentang perjalanan, misteri, dan petualangan. Mem?

bantu polisi dalam penyelidikan mereka?sebagai anak umur lima ta?

hun, Strike membayangkan warga negara yang baik dan tak ber?

kepentingan, secara sukarela menyisihkan waktu dan energi untuk

membantu polisi, yang memberinya kaca pembesar dan tongkat, dan

mengizinkannya bekerja di balik anonimitas yang mendebarkan.

Dekut Burung Kukuk

Kenyataannya seperti ini ruang interogasi yang kecil, dengan se?

cangkir kopi dari mesin yang diberikan Wardle. Sikap Wardle kepada?

nya tidak mengandung permusuhan seperti yang meletup-letup dari

setiap pori-pori Carver, namun juga tidak ada setitik pun keramahan?

nya yang dulu. Strike menduga atasan Wardle tidak mengetahui se?

luruh interaksi mereka sebelum ini.

Nampan hitam kecil di atas meja yang penuh carut marut, berisi

uang receh sejumlah tujuh belas pence, satu anak kunci Yale, dan kartu

bus yang terlindung dalam wadah plastik; kartu nama Strike sudah

berubah warna dan kusut, tapi masih terbaca.

"Bagaimana dengan tasnya?" tanya Strike pada Carver, yang duduk

di seberang meja, sementara Wardle bersandar ke lemari arsip di su?

dut. "Abu-abu. Tampak murahan, plastik. Tidak ketemu, ya?"

"Dia mungkin meninggalkannya di kamar kosnya, atau di mana

pun dia tinggal," kata Carver. "Orang yang bunuh diri umumnya tidak

bawa tas sebelum melompat."

"Menurutku dia tidak melompat," kata Strike.

"Oh, masa sih?"

"Aku tadi ingin melihat tangannya. Dia tidak suka wajahnya ter?

benam dalam air, dia berkata begitu padaku. Kalau orang meronta di

dalam air, posisi tangannya?"

"Well, senang sekali mendengar pendapat ahlimu," potong Carver

dengan sindiran tajam. "Aku tahu siapa kau, Mr. Strike."

Dia bersandar di kursinya, tangan terlipat di belakang kepala,

memperlihatkan noda basah keringat di ketiak kemeja. Bau badan

yang tajam dan masam terembus ke seberang meja.

"Dia mantan Cabang Khusus," cetus Wardle, dari sebelah lemari

arsip.

"Aku tahu," bentak Carver, mengangkat alisnya yang tebal dan ber?

taburan ketombe. "Aku sudah dengar dari Anstis tentang kakinya dan

medali penyelamatan. Resume yang penuh warna."

Carver menarik tangan dari belakang kepalanya, lalu membungkuk

ke depan dan melipat tangan di atas meja. Warna kulitnya yang se?

perti daging cincang dan lingkaran ungu di bawah matanya sama se?

kali tidak tampak lebih baik di bawah pencahayaan lampu neon.

"Aku juga tahu siapa ayahmu dan sebagainya."

Robert Galbraith

Strike menggaruk dagunya yang belum dicukur, menunggu.

"Kepingin jadi kaya dan terkenal seperti Daddy, ya? Karena itukah

semua ini?"

Carver memiliki biji mata biru terang dan bola mata merah, yang


Bangau Sakti Sin Hok Sin Cin Karya Chin Misteri Pulau Neraka Ta Xia Hu Pu Qui Pendekar Rajawali Sakti 214 Setan Gembel

Cari Blog Ini