Diary Princesa Karya Swistien Kustantyana Bagian 1
Diary Princesa
Swistien Kustantyana 901 14 0774
ebook by pustaka-indo.blogspot.com
Cetakan Pertama, Februari 2014
Penulis
Swistien Kustantyana Penyunting
Laras Sukmaningtyas Perancang Sampul Neelam Naden Aldy Akbar
Penataletak Isi Aldy Akbar
KuStANtyANA, Swistien Diary Princesa
Jakarta; Ice Cube, 2014 x + 260 hlm.,13 x 19 cm; ISBN 978-979-91-0679-7 Dicetak oleh Pt Gramedia, Jakarta. Isi di luar tanggung jawab percetakan.
Ucapan Terima Kasih
Sudah berapa kali coba saya ikutan lomba menulis? Kalau mau lebay, jawabannya ratusan kali. Dan saya enggak pernah menang. Ahaha. Kasihan sekali ya saya ini.
tapi, seperti kata Guntur Alam, " Nulis terus saja, t. Lamalama juga nanti tuhan kasihan lihat usaha kamu." Saya pikir sekaranglah waktunya tuhan kasihan sama saya. Buktinya novel ini terbit juga meski saya bukan juara satu, dua, atau tiga.
Jadi, saya berdoa tadi pagi, " Allah yang Maha Menakjubkan, terima kasih ya untuk kesempatan yang keren ini. Selanjutnya, beri saya kesempatan-kesempatan lain yang sama kerennya atau bahkan lebih keren lagi. Aamiin."
Dan orang pertama yang patut dihujani terima kasih adalah editor saya, Laras Sukmaningtyas. Bagi saya dia serupa convenience store yang buka 24/7. Selalu siap siang malam, sedia ide-ide yummy, dan bikin hati sejuk. (Laras = 7-Eleven)
Lalu, ada Nuri Dhea S yang percaya pada saya " melebihi kepercayaan saya pada diri sendiri. " Novelmu pasti terbit. Pasti," begitu katanya. Dialah yang terus-menerus meyakinkan saya sejak draft pertama novel ini. Saya tak tahu bagaimana membalas kebaikan hatinya itu selain dengan menawarkan persahabatan yang tulus.
Ucapan Terima Kasih
Sejuta terima kasih juga saya berikan untuk Farick Ziat, yang selalu berhasil membuat saya tersanjung dengan kalimatnya, " Aku selalu menjadi pengagum setiamu, Ndut." Dia tak pernah bosan mengulang kalimat itu setiap kali kami berbincang melalui telepon.
untuk pelajaran menulis, saya ingin berterima kasih kepada AS Laksana, Kurnia Efendi, dan Gol A Gong. Betapa beruntungnya saya pernah menjadi murid kalian. terima kasih banyak untuk segala ilmu yang telah dibagikan.
Ken terate, Prima Putranti, dan Norman Erikson Pasaribu " tiga nama yang harus saya sebutkan di sini karena saya mengagumi talenta mereka yang luar biasa. terima kasih untuk saat-saat menyenangkan bersama kalian.
Fajar S Pramono " satu-satunya sahabat yang bisa mati bosan saking seringnya saya bilang, " Aku cinta kamuuu." Dalam kamus kami, " aku cinta kamu" berarti " terima kasih banyak!" .Dear Pendek, terima kasih untuk persahabatan luar biasa selama lima tahun ini.
Jika saya harus membentuk pasukan khusus pendukung Swistien, saya yakin nama-nama ini akan berada di garda depan: Papah Kusnoto, Mamah tanti, Irine Kusumatantya, Hangga Prio Kustanto, Ety Setyawati, uky Setya Herlangga, Septina Indrayani, Aifah Muharikah, Azizah Nur Hapsari, Suci Widya, yosmina tapilatu, Nidya J Astrini, Ahmad Fathoni and his Angelina Gunawan, Vincentia Narastuti, Atiek Pratitis Lestari, Pipit Kastuhandani, R. Estu Wijayanti,Venny Mandasari, Nuning tri Wulandari, Raya Henri Batubara, Jitheng Asmoro, Andi Harwis, Moh. Syamsul Falah, dan yasin Setiawan. terima kasih banyak untuk segala doa, dukungan, dan kasih sayang yang berlimpah.
Selanjutnya saya ingin berterima kasih kepada my dear Raden Husein Suhada. Dia pernah berkata," Aku yakin bisa bahagia bersamamu dan bisa membahagiakanmu." untuk kalimat semanis itu, bagaimana saya harus berterima kasih? (Aku sayang kamu. Kamu tahu itu.)
Dan untuk kalian yang berjasa namun tak tertulis di sini, juga untuk kalian yang membaca buku ini, saya mengucapkan terima kasih banyak. " Aku cinta kalian." :)
Jakarta, November 2013 Swistien Kustantyana
Untuk Irine Kusumatantya, Nuri Dhea S, dan Raden Husein Suhada.
satu
" Yang benar saja! Kamu nggak pernah sadar kalau
kamu ini cantik?"
Aku mendengus kesal. Novel yang terbuka di tanganku segera kututup. Dua baris judul dan nama pengarangnya yang tercetak dalam huruf pink keriting membuatku mendengus lagi. Dalam hitungan ketiga, novel itu melayang melewati tempat tidur dan mendarat di dekat pintu kamar.
Ada apa sih dengan para penulis itu? Mereka selalu saja menjadikan cewek-yang-nggak-sadar-kalau-dia-cantik sebagai tokoh utamanya. Apa menariknya? Memangnya nggak boleh cewek yang sadar akan kecantikannya jadi tokoh utama?
Seperti aku misalnya.
Oke, begini ya. Kuberitahu kau sesuatu. Jika di luar sana puluhan atau mungkin ratusan cewek berusaha menutupi ketidakpercayaan diri mereka, aku malah sibuk menutupi kepercayaan diriku yang rasanya membludak. Benar. Aku tidak bohong, kok.
Aku ini cantik. Semua orang juga tahu aku cantik. Wajahku oval dengan tatanan proporsional; hidung mancung, mata jernih, bibir penuh, tulang pipi yang bagus. Ditambah kulit yang kuning langsat. Rambutku mirip rambut di iklan sampo, panjang lurus hitam legam.
tambahan lagi aku hampir selalu ranking satu di kelas. Jadi selain cantik, aku juga bisa dibilang pintar. Aku tak pernah lalai mengerjakan PR, dan semua guru menyukaiku karena aku murid yang manis. Sementara itu, keluargaku termasuk ke dalam kelas menengah ke atas. Papap bekerja sebagai peneliti dan Mamam memiliki toko kue yang cukup sukses. Jadi, semua orang juga tahu aku berkecukupan.
Dengan tiga hal itu, wajar saja kan kalau aku tumbuh sebagai remaja yang percaya diri? tapi kenapa sih tidak ada tokoh utama dalam novel remaja yang seperti aku? Itu salah satu alasan kenapa aku tidak suka membaca novel, terutama novel remaja. Well, aku tahu novel-novel itu ditulis, dicetak, dan diter bitkan berdasarkan permintaan pasar. Secara tidak langsung mereka, para penulis dan penerbit itu, tahu di luar sana ada jauh lebih banyak cewek yang tidak cantik sekaligus tidak percaya diri. Mungkin ada yang cantik tapi tidak percaya diri. Atau tidak cantik tapi percaya diri. tapi porsi kombinasi yang pertamalah yang mendominasi.
Nah, lalu kenapa para penulis itu tidak memikirkan cewek-cewek seperti aku ini? yang memang sadar kalau aku ini cantik. yang percaya diri juga. Apa mere ka pikir hidup cewek-cewek seperti aku ini begitu sempurna dan aku tak perlu lagi dihibur mela lui novel? Yeah, siapa pun pasti akan menyukai novel yang " ya-ampun-aku-banget" . Seperti para tokoh di novel itu " cewek yang enggak-sadarkalau-me reka-cantik. Setelah membaca novel dengan tokoh seperti itu, diharapkan cewek-cewek itu terhibur dan men dapatkan semangat baru dan bahkan mungkin bisa mencegah mereka untuk bunuh diri. Kubilang bunuh diri karena cewek-cewek dengan tipe itu cenderung mudah depresi dan ujung-ujungnya ingin bunuh diri.
Ngomong-ngomong tentang terhibur, men da pat kan semangat baru, dan mencegah bunuh diri, mungkin tiga alasan itu yang membuat Jinan gemar membaca. Buku yang kulempar barusan kuambil dari rak bukunya.
Oh ya. Jinan itu kakakku. Kau akan menganggapnya aneh atau malah menyukainya setelah selesai menyi mak seluruh ceritaku. Atau mungkin kau akan mela kukan keduanya; menganggapnya aneh sekaligus me nyu kainya, seperti yang selama ini aku lakukan.
" Kamu lempar buku lagi?" suaranya terdengar bah kan sebelum aku sempat menyelesaikan satu ta rik an napasku.
Jinan berdiri di ambang pintu kamar yang sedikit terbuka. Rambut landaknya terlihat lebih landak hari ini. Penampilannya jauh berbeda dariku. Rambutnya dipotong pendek seperti rambut cowok. Kulitnya cokelat terbakar matahari, hidungnya tidak mancung, dan bibirnya biasa saja. yang lainnya juga biasa saja. tak ada yang menonjol dari wajah Jinan. Jika kau cowok dan berpapasan di jalan dengannya, kau tak akan menolehkan kepalamu untuk melihatnya dua kali. Begitu.
Jinan memungut novel tipis yang kulempar tadi, lalu meletakkannya di meja.
" tumben nggak lewat pintu ajaib," cibirku. Sebetulnya kamar tidurku dan kamar tidur Jinan adalah sebuah kamar yang besar. Dulu memang satu kamar besar. tapi sejak dua tahun lalu kamar ini dibagi menjadi dua dengan partisi berupa rolling door garasi mobil. Aku tidak sedang bercanda.
Gara-gara menonton serial gossip girl, Jinan memaksa Mamam membayar tukang untuk memasang rolling door sebagai partisi. Niatnya sih keren, tapi bunyinya bikin aku enggak tahan. Rolling door itu akan menimbulkan bunyi bising bagi telinga siapa pun yang masih normal.
Iya, hasilnya tidak sekeren partisi kamar Daniel dan Jenny Humphrey.
Itu kesintingan Jinan yang pertama. Dia selalu saja terobsesi dengan semua cerita novel yang sudah diba canya dan semua cerita ilm yang ditontonnya. Dia akan selalu berusaha mewujudkan apa pun yang dia sukai dari novel atau ilm. Biasanya detail yang unik seperti rolling door itu.
Pernah selama seminggu penuh aku mengucapkan syukur pada tuhan karena Jinan tidak memaksa Mamam membelikan rak buku sebagai partisi seperti dalam drama Korea Love Rain. Oh ya tuhan. Itu mengerikan. Jika kau belum pernah menonton serial itu, kusarankan jangan. tak usah menontonnya karena ceritanya enggak banget. Aku hanya ikut menonton beberapa kali saat Jinan menontonnya. Dan ide rak buku sebagai partisi itu jadi yaik karena digunakan untuk kepentingan adegan intip mengintip.
Kau tahu maksudku? Jika tidak, sini kuceritakan. Hampir di semua drama seri Korea, selalu ada adegan atau bagian cerita yang sama. Seperti misalnya, ke sem patan si cowok dan si cewek tinggal satu rumah. Entah bagaimana caranya " dari yang masuk akal sampai yang keterlaluan nggak masuk akalnya. Nah, dalam Love Rain ini, kamar si cowok dan si cewek sebelahan, terhubung dengan connected door. tapi tidak ada temboknya. Pembatas kamar itu ada lah sebuah rak buku, yang jika kau ambil satu buku nya kau bisa mengintip sedang apa dia di kamar seberang sana. yaik, kan? Sudah kubilang.
Jadi, rolling door masih jauh lebih baik. tapi kalau rolling door itu, aduh& berisik.
" Macet dibuka dari sana," sahut Jinan sambil membuka rolling door.
" Seingatku kamu masih punya pintu kamarmu sendiri," kataku setengah berteriak.
Selain memaksa Mamam memasang rolling door, Jinan juga memaksa Mamam membuatkan satu lagi pintu. yah, apa susahnya menjebol tembok? Kenapa Jinan tidak minta dibangunkan tembok beton sekalian sebagai partisi abadi kamar kami?
" Kamu punya pintu kamar sendiri," teriakku lagi karena Jinan tidak menjawab.
Sekali lagi aku mendengus kesal. Kulangkahkan kaki menuju meja rias dan kuambil satu botol kuteks warna hijau limau dan kuoleskan ke kuku keling kingku yang kiri. tujuh belas tahun hidup bersama Jinan membuatku tak heran lagi saat dia tak menjawab atau tak merespons sedikit pun apa yang kukatakan. Jinan pernah bilang aku punya hak untuk bertanya, dan dia punya hak untuk menjawab. Atau tidak.
terserahlah.
Suara pintu lemari yang dibuka menghentikan kegiatanku meniup-niup kuteks. Kepalaku menoleh memandang Jinan yang berdiri di depan lemarinya.
Ada dua tumpukan baju di lantai. yang satu tumpukan baju berwarna hitam. yang satunya lagi berwarna-warni. Warna-warni ala Jinan tentu saja. Abu-abu gelap. Abu-abu gelap banget. Cokelat gelap. Biru tua. Apa pun deh yang enggak jauh-jauh dari warna gelap.
" Mau kamu apakan?" keningku berkerut melihat Jinan memandangi tumpukan baju itu.
Jinan tak menjawab.
Hanya orang tabah yang bisa berteman dengannya. Jinan begitu seenaknya. Jika dia sedang gembira, dia akan menjawab pertanyaan apa pun yang kau ajukan dengan jawaban yang super panjang dan super detail. Mungkin kau bisa membuat satu novel dari jawaban Jinan. tapi jika dia sedang dalam kondisi seperti saat ini (baca: manyun " super bad mood), jangan harap dia akan menjawab pertanyaanmu.
Aku tak pernah punya pilihan. Suka atau tidak, dia kakakku.
Suara ketukan di pintu kamar Jinan membuatku me nolehkan kepala ke arah pintu. Melihat Jinan yang bergeming, aku beranjak melewati rolling door menuju pintu itu dan membukanya. Sosok Nathan menjulang di ambangnya.
" Hai," senyum Nathan terkembang lebar sekali. Wajahku menghangat. " Eh, hai," kataku. Hanya Nathan yang bisa membuatku salah tingkah.
" Sedang apa kalian?" suara Nathan membuatku mundur sedikit, membiarkannya masuk ke dalam kamar kami.
Aku berjalan menyeberang ke bagian kamarku sendiri dan duduk di depan meja rias. Jinan masih sibuk dengan baju-bajunya.
" Rolling door di dalam kamar itu keren," kepala Nathan mendongak memandang rolling door yang dibuka hampir seluruhnya.
Yeah, hanya Nathan yang bilang rolling door itu keren. Aku sih tidak.
" Hei, kamu mau bantu aku nggak?" seruku pada Nathan. Aku memberinya tatapan memelas. tatapan yang sumpah mati bisa membuat cowok menuruti apa saja maumu. Aku sudah melatihnya jutaan kali.
" Membantu Princesa? tentu saja aku mau," Nathan tersenyum manis sekali. Lagi-lagi dia membuat wajahku hangat. Nathan berjalan menghampiriku yang masih duduk di kursi yang sama.
" Oleskan kuteks ini ke jari kelingkingku yang kanan," kataku sambil mengambil botol kuteks hijau limau dan menyodorkannya ke tangan Nathan.
tangan Nathan menerima botol mungil itu, lalu ia mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar. Pandangan Nathan tertuju pada sebuah kursi di kamar Jinan. Dia pun berjalan ke kamar Jinan, mengambil kursi, dan mele takkannya di samping tempat tidurku. tanpa banyak bicara Nathan mulai sibuk membuka tutup botol dan perlahanlahan mengoleskan kuteks hijau limau itu ke kelingkingku. Aku mengawasi setiap gerakannya. Matanya tak berkedip, keningnya berkerut, alisnya bertaut. Dia tampak begitu serius. Begitu tampan.
Nathan adalah satu-satunya teman Jinan yang menjadi pengunjung tetap rumah kami. Sebelumnya Jinan tidak pernah punya teman dekat, atau tampaknya seperti itu. Kurasa hanya Nathan yang mampu dan mau jadi temannya. Hanya dia yang mau berkunjung ke rumah kami secara rutin tanpa membuat Mamam khawatir dengan kehadiran seorang cowok di rumah saat Mamam dan Papap tidak ada.
Nathan itu malaikat dari surga.
Jadi saat ini aku sudah lupa aku ini manusia mortal yang hidup di bumi dengan kakak satu-satu nya yang super aneh bernama Jinan. Kupikir aku hidup selamanya di surga dan sibuk mengenyam ke ba ha giaan dengan pasangan hidupku, malaikat Nathan.
" Sudah," suara Nathan menarikku kembali men jadi manusia mortal. " Kau mau seluruh kukumu ku war nai?"
Aku menggeleng. " Nggak usah. Kelingking saja. Kalau aku sampai tertangkap guru BP karena mengecat kuku, akan kubilang ini bukan cat kuku. Ini air mata bidadari surga yang khusus menetes di keling king manusia dan akan berubah warna sesuai karakter manusia itu. Di kelingkingku, air matanya berubah menjadi hijau limau." Kupandangi Nathan sambil mengedipkan sebelah mata. Ia tertawa. " Aku tak tahu ada cerita semacam itu." Kukibaskan tangan kananku dan berkata enteng, " Itu karanganku saja, kok."
Suara lemari yang ditutup membuatku dan Nathan menolehkan kepala ke arah Jinan. Dia sekarang berusaha memeluk semua pakaian yang semula ada di lantai.
Ada satu keranjang cantik warna pink di pojok kamarku untuk menampung baju kotor. Kuambil keranjang itu dan kuletakkan di depan Jinan. " Nih, pakai punyaku. Mau kamu apain sih baju-baju itu?"
Jinan tak menjawab. Ia memasukkan semua baju-bajunya ke dalam keranjang dan melangkah keluar. Aku dan Nathan mengikutinya hingga ke bagian belakang rumah.
Rumah kami tak begitu besar, hanya terdiri dari enam ruangan. tapi di bagian belakang rumah ada kebun mungil yang diurus Papap dan Mamam. Papap menanam ketela atau apa pun yang ingin dia tanam. Sementara Mamam menanam dan merawat bunga.
Persis di dekat pintu belakang, ada tempat cucian dan jemuran. Mesin cuci, ember, pancuran, tali jemuran, semua ada di situ.
Kau tahu, hidup Jinan selalu penuh drama. Seperti rangkaian sinetron kejar tayang di Indonesia Raya. Dan aku selalu menjadi penonton setianya. Seperti sekarang ini saat kulihat Jinan sibuk mencelup satu per satu baju-baju yang tadi dibawanya dari kamar ke dalam sebuah ember berisi air berwarna hitam pekat.
" Jinan," suara Nathan menyiratkan jika ia tercengang dengan apa yang Jinan lakukan, dan eks presinya menunjukkan ia begitu terkesima dengan kelakuan Jinan.
Dia baru berteman dengan Jinan setahun ini. Aku sudah menjadi adiknya selama 17 tahun. Jadi, pantas saja jika ia tercengang. Dan terkesima. Aku sih tidak.
Jinan bergeming. Ia seperti berada di dunia lain. Kutebak ia tak mendengar panggilan Nathan. Kuseret dua kursi dan kusodorkan satu untuk Nathan. Kami berdua duduk memandangi Jinan.
" Dia sedang meniru Samantha," kataku.
" ya?" Nathan menolehkan kepalanya ke arahku. Keningnya berkerut.
Aku tersenyum. " Jinan selalu meniru siapa pun yang disukainya. Sekarang ini dia sedang meniru Samantha, yang mencelup semua bajunya ke dalam warna hitam, dalam novel all-american girl karya Meg Cabot."
Alih-alih menampilkan ekspresi ngeri, mata Nathan malah berbinar. Seolah aku baru saja memberitahunya kalau Jinan itu memenangkan kontes kecantikan. Aku jadi lumayan kesal.
" Begitu ya?"
" Kau tak pernah sadar setahun ini? Rolling door di kamar kami?"
Nathan manggut-manggut. " Pantas," katanya. " Pantas apanya?"
" Banyak perbuatan Jinan yang mengingatkanku pada sesuatu, tapi kadang aku lupa apa itu."
Lalu Nathan menceritakan pengalamannya minum bir untuk yang pertama kalinya dengan Jinan. Saat itu Jinan ngotot memintanya untuk membeli bir di supermarket karena ia penasaran seperti apa rasa bir. Nathan yang heran tetap membelikannya sebotol bir yang kemudian dibuang Jinan ke tong sampah setelah tegukan pertama. " ternyata enggak enak," begitu kata Jinan. Seminggu kemudian barulah Nathan tahu Jinan penasaran dengan rasa bir setelah membaca novel tipis karya Haruki Murakami. Nathan menyebutkan judulnya, tapi aku lupa.
Aku tertawa mendengar cerita Nathan. Itu lumayan lucu. " Kenapa kamu mau berteman dekat dengan Jinan? Dia kan aneh. Setidaknya 29 dari 30 cowok yang mengenalnya akan bilang Jinan aneh. Hanya satu yang menganggapnya tidak aneh. Dan itu kamu."
Senyum menyembul di wajah Nathan. " Jinan itu tak pintar berpura-pura. Itu kenapa aku suka ber teman dengannya."
Aku menghela napas. Begitu ya. tak pintar berpurapura a.k.a. ekspresif a.k.a. kau bisa membaca apa yang ada di hati dan kepala Jinan hanya dengan melihat ekspresi wajahnya.
untuk waktu yang cukup lama aku dan Nathan duduk diam memandangi Jinan yang sedang menjemur semua bajunya yang kini sewarna jelaga. Minggu siang itu mataharinya lumayan terik, ditambah angin yang semilir membuatku yakin baju-baju Jinan akan kering dengan cepat. Ranting-ranting kurus dari pohon-pohon di kebun belakang rumah bisa kulihat bergoyang-goyang tertiup angin. Ingatanku melayang-layang ke suatu masa saat aku dan Jinan berada di kebun itu.
Aku lupa kapan tepatnya peristiwa elang raksasa ini terjadi. Apakah saat itu aku kelas 3 dan Jinan kelas 5? Atau kami lebih muda dari itu? Entahlah. yang jelas kuingat, hari itu terik sekali. Aku ingat aku meneguk jus bikinan Mamam di kulkas hingga tandas. tV di ruang tengah masih menyala. Suaranya bisa kudengar di dapur. Aku me mutar dvd ilm kartun yang dibeli Mamam untukku. Saat aku membuka pintu kulkas lagi untuk mengambil sebutir buah apel, Jinan datang dan mengambil sebongkah roti.
Aku mengernyit ketika Jinan beranjak ke pintu belakang rumah, membukanya, dan menghilang di baliknya.
Bergegas kuikuti Jinan karena penasaran apa yang akan dilakukannya dengan sebongkah roti di tangan. Dan di sanalah dia.
Jinan sibuk menebarkan remah-remah roti mulai dari pintu belakang hingga ke halaman kebun yang terletak di bagian belakang rumah. Aku ingat dia baru saja selesai membaca buku cerita tentang se orang puteri yang mempunyai elang raksasa. Jinan memin jam buku itu dari perpustakaan sekolah.
" Aku ingin terbang seperti puteri itu, Cesa," katanya saat kutanya untuk apa dia menebarkan remah-remah roti seperti itu.
" Remah-remah roti itu untuk elang raksasa?" tanyaku tak percaya. Mataku membulat menatap Jinan yang mengangguk.
" Jinan! Di sekitar sini nggak ada elang raksasa. Meskipun ada, elang itu nggak akan bisa melihat remah-remah roti sekecil ini," aku nyaris berteriak.
Dalam silsilah keluarga, peran resmiku memang sebagai adik dan Jinan sebagai kakak. Aku lahir 1,5 tahun setelah Jinan. tapi dalam kehidupan nyata, aku lebih bisa berpikir logis daripada dia. Jinan berharap ada elang raksasa yang turun di kebun kami dan memakan remah-remah roti itu? Lalu dia akan menungganginya keliling dunia seperti dalam buku dongeng itu? yang benar saja.
" Kamu hanya harus mempercayainya, Cesa. Semua akan terjadi jika kamu mempercayainya," Jinan tak memedulikan protesku.
Aku tak mengatakan apa pun lagi. yang kulakukan hanya lah berdiri mematung memandangi Jinan. Di bawah terik matahari Jinan masih giat menebarkan remah-remah roti. Itu tindakan paling bodoh yang bisa dilakukan oleh anak SD seusia kami. Maksudku, jika memang Jinan mengharapkan elang raksasa, bukankah seharusnya dia me ne barkan daging ayam yang dipotong besar-besar? Atau bahkan ayam mati saja tak perlu dipotong? Atau kam bing sekalian? Sapi?
Ayolah. Remah-remah roti! Siapa coba yang akan memakan snack imut seperti itu?
Jawabannya adalah semut.
Mamam marah sekali karena jemuran kami dipenuhi semut. Jinan dihukum membersihkan tempat yang penuh semut itu sekaligus membersihkan kebun. Mamam tak mau mendengar lagi cerita ten tang elang raksasa. Jika Jinan benar-benar ingin terbang, Mamam akan membelikannya tiket pesawat untuk liburan. Dengan satu syarat: Jinan harus ranking satu. Mamam berani bilang seperti itu ka rena Jinan memang tak pernah ranking satu. tidak sepertiku yang hampir selalu ranking satu. tapi kau tahu, meski aku sering ranking satu, Mamam tak per nah menawariku tiket pesawat.
Itu curang.
ef
A ku meneguk susu rasa plain yang tinggal setengah
gelas hingga tandas. tunggu. Plain itu bukan rasa. Plain artinya tidak berasa. Ah, sialan. Siapa yang peduli jika pilihan kata yang kugunakan salah? Mungkin hanya Jinan.
" Jinan di mana?" Mamam datang dengan satu loyang kue kering rasa keju berbentuk bintang.
Aku menggeleng dan mengambil satu bintang, lalu kumasukkan ke mulutku.
Dini hari tadi aku mendengar isakan tangis dari kamarnya. Rolling door yang tertutup rapat masih me mungkinkanku untuk mendengar setiap isakan Jinan. Dulu, sebelum ada rolling door itu, aku harus rela kurang tidur karena menemaninya menangis. Dia kuat melakukannya berjam-jam. Menangis, maksudku.
tadi malam saat mataku masih terbuka lebar dan memandangi bintang-bintang di langit kamar, aku memikirkan segalanya. Segala yang diucapkan oleh Nathan ten tang Jinan. Ia menyukai Jinan karena Jinan tak pandai berpura-pura. Aku ragu Nathan akan tetap berpendapat sama jika ia hidup serumah dengan Jinan dan harus berinteraksi dengannya mini mal 16 jam setiap hari.
Begini ya, memiliki teman yang jujur dan tak suka berpura-pura itu mungkin rasanya sama seperti memiliki tiket nonton konser Big Bang atau Suju atau One Direction atau siapalah. tapi jika mau melihatnya dengan keju juran yang luar biasa, aku lebih memilih teman yang pandai berpura-pura. Atau teman yang memiliki poker face. Begitulah.
teman dengan poker face itu tak menunjukkan ekspresi apa pun di wajahnya. Jadi kita nggak bakalan tahu apakah dia sedang sedih, marah, kecewa, senang atau lainnya. Banyak orang tak suka dengan teman macam begini. Alasan mereka sih karena mereka tak tahu apa yang dipikir kan si teman. Menurutku itu konyol. untuk apa coba mereka merasa insecure? Aku lebih suka teman dengan poker face karena aku tak perlu tahu apa yang mereka pikir kan. Kadang ada hal-hal yang memang tak perlu kita ketahui. Menurutku sih begitu.
Mungkin aku lebih menyukai si poker face karena aku sudah sedemikian terbiasa dengan Jinan. Dia terlalu jujur, terlalu ekspresif, hingga di satu titik kadang hal itu malah membuatku tidak nyaman.
Selama ini warna langitku banyak terpengaruh oleh mood Jinan. Jika dia sedang senang, dia akan ter senyum, bahkan tertawa sepanjang waktu. Menyenandungkan lagu favoritnya sambil memekik gembira. Atau bahkan menari di dapur, di ruang tamu, di ruang makan, di mana pun dia bisa menari. Saat-saat seperti itu langitku akan berwarna biru cerah. Sebaliknya, jika Jinan sedang bad mood, manyun sepanjang waktu, atau bahkan lebih parah, menangis selama berjam-jam seolah besok kiamat dan dia nggak bisa nangis lagi, saat itulah langitku berwarna kelabu.
Aku tahu tidak seharusnya aku terpengaruh seperti itu. Seharusnya aku tak menyerahkan perasaanku pada Jinan. Atau pada siapa pun. Seharusnya aku bisa bahagia jika memang aku ingin bahagia. tapi nyata nya tidak segampang itu.
Sekarang kau tahu kan kenapa aku lebih suka poker face?
Bunyi langkah kaki yang diseret membuat Mamam menolehkan wajahnya. Dan aku berani bersumpah mata Mamam hampir meloncat dari rongganya saat melihat Jinan mengenakan baju dan celana hitam. Mamam nggak akan selebay itu jika baju dan celana yang dipakai Jinan memang sudah berwarna hitam sejak awal. tapi ini kan hasil celupan. Mamam pasti tahu itu.
Jinan duduk di seberangku dan Mamam. tanpa mengucapkan apa pun, dia meneguk susu cokelatnya. Sekali teguk, tanpa bernapas, susu itu pun tandas. Setelah itu dia mengambil sandwich isi daging asap buatan Mamam. Jinan makan dengan lahap.
" Bukannya blus yang kamu pakai itu harusnya berwarna biru pucat?" tanya Mamam.
Jinan tidak menjawab. Seperti biasa, dia sedang diculik makhluk dari planet lain. Dia tak berada di bumi bersama kami.
" tadi malam ada peri jelaga datang. Dia menyulap semua baju Jinan jadi hitam," kataku akhirnya. Aku berdiri dan mengambil kotak kue yang sudah disiapkan Mamam. " Jinan! Cepat! Aku nggak mau terlambat," ucapku setengah membentak.
Mamam menghadiahiku tatapan tajam. " Bicaralah lebih halus. Mamam tidak pernah mengajarimu untuk bicara sekeras itu. Dan cobalah panggil Jinan " kakak" . Dia kakakmu, Cesa."
Aku memutar bola mataku. Memanggil Jinan " kakak" ? tak usah ya.
Sudah kubilang, jarak usiaku dengan Jinan hanya 1,5 tahun. Sekarang ini aku kelas 12 dan Jinan semester 3. Dia mengambil jurusan Sastra Inggris. Jurusan yang me nurutku sama sekali tidak keren. untuk apa coba kau mempelajari novel-novel penulis yang sudah mati? Heming way, Faulkner, Frost, Wilde, dan entah sia pa lagi yang mengisi daftar bacaan Jinan semester ini. Aku mengetahuinya karena ia menuliskannya di se lem bar kertas dan menempelkannya di dinding kamar.
tadinya aku ingin mengambil jurusan Psikologi. Jurusan yang lebih bergengsi daripada Sastra Inggris. Dan sepertinya keren bisa memahami perilaku dan pemikiran orang lain. tapi jika aku membayangkan pasien pertamaku pastilah Jinan, aku jadi ogah.
Aku sudah masuk ke dalam mobil bersama Bang Jaja ketika Jinan muncul di ambang pintu. Sebetulnya Bang Jaja itu sopir toko kue Mamam yang bertugas mengantarkan pesanan kemana-mana. tapi Mamam memberinya tugas ekstra untuk mengantarkanku dan Jinan setiap pagi karena sekolahku dan kampus Jinan berdekatan.
Langit cerah dan Bang Jaja bersenandung ceria. Kurasa lagu nostalgia dari radio membuatnya bahagia. Sementara aku dan Jinan berdiam diri sepanjang jalan. Jinan sibuk dengan novelnya walaupun aku tahu dia tak membacanya sama sekali. Sejak tadi halamannya tak dibalik, masih saja di halaman yang sama.
Seingatku sejak kemarin siang Jinan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia jadi lebih zombie daripada zombie itu sendiri. Dan sekarang ini yang bisa kulakukan hanyalah memandang keluar jendela dan memutar beberapa kenanganku bersama Jinan. Salah satunya saat dia patah hati dua tahun lalu.
Aku kelas 10. Jinan kelas 12. Saat itu ia jatuh cinta dengan ketua osis. Namanya takuya, campuran Jepang-Indonesia. Pilihan yang salah menurutku untuk jatuh cinta. Memang sih jatuh cinta itu tidak bisa diatur dengan siapa. tapi menurutku jatuh cinta itu bisa direm. Kalau memang sudah tidak mungkin lewat jalan yang itu, ya dihentikan saja. Injak rem, putar arah, pindah ke jalan lain.
tapi tentu saja tidak dengan Jinan. Dia tak pernah punya rem dalam hidupnya.
Jika dia sudah suka dengan seseorang, dia akan menunjukkan rasa sukanya itu. Mungkin dia tidak bermaksud seperti itu. tapi seperti kataku tadi, Jinan ter lalu ekspresif. Dia terlalu jujur. Nah, dalam hal ini, me miliki poker face itu jauh lebih menguntungkan, bukan?
Siang itu aku berjalan menuju kelas Jinan. Aku ingin menanyainya apakah ia akan pulang bersamaku atau tidak. Ponselnya mati sejak pagi. Dan untuk sampai ke kelasnya, aku harus berjalan melewati taman yang persis terletak di tengah sekolah. Jika kau berdiri menghadap sekolah, ruang kelasku ada di sebelah kirimu dan ruang kelas Jinan di sebelah kananmu. Kira-kira begitu.
Saat melewati taman itulah aku melihat Jinan berdiri di depan takuya. Mereka berdua tampak terlalu serius hingga tak tahu saat aku menyelinap di balik pohon besar untuk ikut mendengarkan pembicaraan. Well, Jinan pernah bercerita tentang dosa paling berat yang dibacanya di novel he Kite Runner. Aku masih bisa mengingatnya dengan sangat jelas. Dosa paling berat itu pencurian. Jika kau membunuh, itu berarti kau mencuri hak orang lain untuk hidup. Jika kau berbohong, kau mencuri hak orang lain untuk mengetahui kebenaran.
Ada perasaan bersalah yang menyusup ke hatiku. Aku mencuri dengar. Apakah itu termasuk dosa paling berat? tapi aku juga berhak tahu apa yang terjadi siang itu karena aku yakin seyakin-yakinnya apa yang kudengar akan membantuku jika mood Jinan jumpalitan.
" Aku suka kamu," kata Jinan tegas.
Oh ya tuhan. Aku menepuk keningku dua kali. tuh kan apa kubilang. Jinan itu seperti itu. Kenapa sih dia suka membuat cowok takut? Kenapa sih dia nggak bisa play smooth?
Kulihat takuya bergerak-gerak gelisah. Ia tak mengatakan apa pun. Beberapa detik kemudian, dengan mengunci matanya ke mata takuya, Jinan berkata lagi, " Aku hanya ingin bilang itu kok. Aku hanya ingin kamu ta hu. Aku tidak berharap kau mau jadi pacarku atau apa."
Demi surga! Rasanya aku kepingin pingsan. Jinan itu... Aduh.
takuya menggaruk rambutnya beberapa kali. Lalu, dengan pelan ia berkata, " Aku sudah punya pacar. Kupikir kau tahu itu. Jolie. Aku pacaran sama Jolie." Ia berhenti sejenak kemudian memandang Jinan. " Aku pergi dulu ya. Maaf."
takuya pergi. Jinan masih berdiri di tempat yang sama. Lalu dari tempatku berdiri, kulihat tubuhnya mulai gemetar. Dan tak lama kemudian dia ambruk ke hamparan rumput di taman. Jinan menangis tanpa suara. Aku berlari cepat ke arahnya. Kupeluk dia erat dan kubisikkan katakata di telinganya.
" Ssshhh, Jinan. Ayo pulang saja. menangis di rumah saja ya."
Jinan menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia menolak ku. Dia berusaha melepaskan diri. Napasnya tersengalsengal karena tangis tanpa suara itu.
" Jinan," kataku lagi dengan nada lebih lembut. " Kau tak ingin Kenshin kecewa kan? Kenshin memintamu menangis di rumah saja. Oke?"
Jinan mengerjapkan matanya. Menatapku seolah baru menyadari aku ini adiknya. Lalu ia mengangguk, bangkit berdiri, dan mulai berjalan. Aku menghela napas lega. Kuikuti ia dan berjalan di sampingnya. tinggi badan kami yang hampir sama memungkinkanku melingkarkan tanganku ke bahunya.
Dan Jinan menepati janjinya. Ia tak menangis sepanjang perjalanan dengan taksi ke rumah siang itu. Jika pun dia menangis, dia tak membiarkan air matanya keluar. Setelah di rumah, dia menangis sejadi-jadinya. Ia menangis berjam-jam. Ia tak mau makan, tak mau mandi, tak mau melakukan apa pun selain menangis.
Melihatnya meringkuk seperti itu, menangis terusterusan, aku jadi tak tega. Aku duduk di pinggiran tempat tidur. Satu tanganku mengelus bahunya. " Kau tahu, Kenshin tak suka kau menangis. Kenshin lebih suka Jinan yang ceria."
tampaknya kali ini Jinan tidak mendengarkan. Kenshin tidak mampu menolongnya lepas dari tangisan merana. Aku menghela napas.
Kadang Jinan memang kelewatan. Kerja otaknya yang seringnya tidak selaras dengan kerja otak sebagian besar orang lain, termasuk aku, berpikir bahwa Kenshin Himura adalah sosok nyata" bukannya tokoh komik Jepang. Dan dia lebih mendengarkan kata-kata " Kenshin" daripada aku atau Mamam atau bahkan Papap.
tapi sekarang ini bahkan Kenshin tak mampu menolongnya. Jinan terus menangis karena hatinya pasti sakit sekali. Ditolak itu memang menyakitkan. Jika bagi orang normal ditolak itu menyakitkan, maka bagi Jinan ditolak itu sejuta kali lebih menyakitkan. Masih bagus dia hanya menangis. Masih bagus dia tidak membuat rencana untuk bunuh diri.
Dan... masih bagus aku tetap mau menemaninya... *
" Kamu mau melamun selamanya atau bagaimana?" suara Jinan membuatku terkejut. ternyata mobil kami sudah sampai di depan sekolah. Aku mendengus, lalu mem buka pintu mobil, melambaikan tangan seka darnya, dan mulai berjalan menuju kelas.
Aku masih memikirkan Jinan ketika Sisil me nyu sulku dan mengoceh ceria. Sisil temanku satu meja di kelas.
" Cesa! tebak apa yang sekarang kubawa?" Sisil berusaha menyembunyikan sesuatu yang dia bawa di tangan kanannya.
Aku pura-pura tidak tahu. Kugelengkan kepala dan memasang raut muka ingin tahu.
" Surat!" Sisil memekik gembira. Ia lalu menyo dorkan amplop putih bersih.
Keningku mengernyit. " Surat? Siapa coba yang mau nulis surat hari gini?" Dan aku tak perlu me nung gu jawaban dari Sisil karena ada nama yang tertera jelas di bagian belakang amplop. Vendetta.
" Karena Vendetta cowok cool yang bergaya vintage," Sisil tertawa bahagia seolah-olah dialah yang menerima surat itu.
" Isinya apa?" ucapku malas.
" Mana kutahu," Sisil mengangkat bahu. " tapi pasti lah tak jauh-jauh dari pernyataan cinta," ucap Sisil bahagia, mendekap surat itu" sekali lagi, seolah-olah surat itu untuknya.
Aku memilih diam selama beberapa detik. Langkah kaki kami semakin mendekati ruang kelas di sayap sebe lah kanan sekolah. Dulu Jinanlah yang selalu ber jalan ke arah kanan dan aku ke kiri. Sekarang aku menempati kelas yang sama dengan yang ditempati Jinan dulu.
" Cesa! Nonton yuk sore nanti," tiba-tiba sosok Aksel mendekatiku dan Sisil. Dia cowok jangkung yang menyenangkan. Dia menjadi teman dekatku sejak tahun lalu. Dan yah, dia menyukaiku.
" Nonton? Asyiik. Sip! Nanti sore ya," aku tersenyum dan mengacungkan jempolku ke Aksel yang kemudian tertawa senang. Dia melambaikan tangan nya dan kembali ke kelasnya yang terletak di sebelah kelasku.
Sisil memberiku tatapan iri. Setidaknya itu yang bisa kulihat. Dia sering memberiku tatapan seperti itu. tunggu saja, sebentar lagi dia akan mengoceh ten tang betapa beruntungnya aku karena aku baik hati, pintar, cantik, dan karena tiga hal itulah banyak cowok yang menyukaiku.
" Enak banget deh jadi kamu, Cesa. Kamu itu cantik, pintar. udah gitu baik lagi. Makanya ba nyak yang suka sama kamu, ya," kata Sisil sambil meman dangiku. tuh kan, apa kubilang.
Aku tertawa. " Kamu juga cantik," kataku. " tapi nggak secantik kamu," sergah Sisil. " Kamu juga pintar."
" tapi nggak sepintar kamu." " Kamu juga baik hati."
" tapi nggak sebaik hati kamu." " Iya juga sih," kataku akhirnya. " Sialan!" pekik Sisil.
Kami berdua tertawa terbahak-bahak.
Beberapa menit kemudian, Sisil pergi menyapa beberapa teman, sedangkan aku memilih untuk du duk sambil mem buka buku catatan matematika. tapi pikiranku malah melayang ke Jinan.
Aku tak tahu apa yang menyebabkanku seperti ini. Maksudku, jika dihitung dengan benar, frekuensi aku memikirkan Jinan jauh lebih sering dibandingkan frekuensi aku memikirkan diriku sendiri. Sisil bilang aku pastilah orang yang beruntung karena disukai banyak sekali cowok. tapi apakah benar begitu? Mung kin iya, aku ini beruntung. tapi apakah aku bisa menikmati semua perhatian yang diberikan cowok-cowok itu? Jawabannya tidak terlalu. Atau tidak selalu.
Yeah, bagaimana kau bisa bersuka ria saat ada cowok yang menyatakan perasaan cintanya padamu, tapi pada saat yang bersamaan kakakmu menangis tanpa henti? Dalam situasi seperti itu, kau tak punya pilihan, kan? Meninggalkan kakakmu yang rapuh kukira bukanlah pilihan. Kecuali jika kau ini monster. Dan aku bukan monster.
" Kamu di mana sih?" tanya Aksan. Suaranya betul-betul terdengar kesal.
Diary Princesa Karya Swistien Kustantyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku berjingkat menjauhi tempat tidur Jinan agar ia tak mendengar apa pun yang dikatakan Aksan melalui telepon.
" Di rumah," jawabku lirih. Aku memandang Jinan yang masih meringkuk, lalu membuka pintu kamar, dan berjalan menuju bagian belakang rumah. Aku duduk di kursi menghadap kebun, berharap waktu bisa kuputar ulang.
Aksan pacar pertamaku yang serius di SMA. Aku pernah punya beberapa pacar saat SMP dan saat awal masuk SMA, tapi semuanya begitu-begitu saja. tak ada yang berkesan. Aku bahkan lupa kenapa aku mau saja pacaran dengan mantan-mantanku itu. tapi aku masih ingat kenapa aku putus dengan mereka. Alasannya klise: aku tidak perhatian.
Bagaimana bisa aku memperhatikan pacarku seperti cewek lain memperhatikan pacarnya jika aku harus memberikan perhatian ekstra ke Jinan? Oke, mungkin ini terdengar menggelikan. Aku memang lebih muda dari Jinan. Dia kakakku. Bukankah seharusnya dia yang super perhatian ke aku, adiknya? Bukankah seharusnya dia yang bisa bersikap jauh lebih dewasa? Seharusnya sih begitu. tapi nyatanya tidak.
Emosi Jinan jumpalitan. Sejak pertama kali aku bisa mengingat, dia sudah seperti itu. Dan kemudian aku berperan sebagai katarsis untuknya. Atau semacam itu. Aku yang menjaga dia agar tetap baik-baik saja. Aku yang menjaganya tetap hidup sampai sekarang.
Jinan berhutang banyak nyawa padaku. termasuk saat aku harus kehilangan Aksan demi menjaganya agar tetap hidup.
Sore itu aku sudah berjanji akan nonton bareng Aksan. tiket sudah dibeli. Rencana sudah rapi diatur termasuk dinner di sebuah resto chic untuk merayakan sebulan jadian kami. Well, menurutku sebulan jadian itu sudah hebat. Selama SMP dan awal masuk SMA, seingatku tiap cowok yang kupacari hanya bertahan sekitar satu mingguan. Dua minggu paling lama.
Aku ingin sesuatu yang berbeda setelah aku masuk SMA. Aku ingin umur pacaranku lebih lama. Kira-kira begitu. tapi belum apa-apa semuanya hancur gara-gara Jinan.
ya, siang itu seusai sekolah aku harus menemani Jinan pulang karena menangis setelah ditolak takuya. Aku lupa memberitahu Aksan hingga sore harinya. ternyata dia mencari-cariku. Dia menungguku di bioskop tempat kami akan menonton. Dan aku tidak muncul.
Aku sudah mengatakan alasan yang sebenarnya kepada Aksan; aku harus menemani Jinan karena dia sedang bersedih. Dan seperti yang sudah-sudah, Aksan tidak mengerti. Sama dengan mantanku atau temanku yang lain. Mereka tak mengerti. Mereka akan menyahut, " Biarkan saja Jinan. Memangnya dia akan mati kalau kamu pergi?"
Mereka tak tahu Jinan bisa menjadi begitu mengerikan. Mereka tak tahu Jinan benar-benar bisa mati jika aku pergi.
ef
tiga
P intu gerbang depan rumah berderit saat kubuka
paksa. Kuperhatikan roda-roda kecil yang mengering. Mereka butuh oli agar tak mendecit lagi. Kujadwalkan sore nanti untuk melumasi roda-roda pintu gerbang ini. Sekarang ini aku hanya ingin tidur. Entah ya, aku merasa sangat lelah. Mungkin karena drama hari libur kemarin. Jinan mencelupkan semua bajunya ke dalam warna hitam. Jika bukan drama, apa coba namanya?
Aku mendesah. Aku selalu menyalahkan Jinan atas semuanya. Jika aku lelah sedikit seperti ini, aku akan dengan mudah menyalahkannya. Salah Jinan karena emosiku ikut teraduk saat melihatnya menangis. Salah dia jika aku tak bisa tidur nyenyak setiap kali ia merasa depresi dan menangis semalaman.
Salah Jinan. Salah Jinan. Salah Jinan.
Padahal aku tahu semua itu bukan salahnya. Setidaknya bukanlah salah Jinan seutuhnya. Aku seharusnya bisa memiliki kontrol atas diriku sendiri. tapi lebih mudah memang menimpakan kesalahan pada orang lain.
Kunci yang kumasukkan ke lubang pintu depan tidak bisa kuputar. Aku mengernyit. Perlahan kubuka pintu itu dan benar saja pintu itu tidak terkunci. Kening ku semakin mengernyit. Siang-siang seperti ini siapa sih yang di rumah? Mamam selalu ada di toko setiap hari. Papap pergi ke luar kota seminggu ini. Lalu, siapa coba yang di rumah?
Aku berjingkat masuk ke dalam rumah. Suara tangis yang menyambut membuatku kaget. tangis itu berasal dari dapur. Langkah kakiku kupercepat. Di sana kutemukan Mamam dengan celemeknya sedang membuat kue. tidak ada yang aneh sebetulnya. Mem buat kue itu pekerjaan Mamam. Membuat kue itu hobi Mamam. Dan aku sering sekali melihatnya di dapur dengan celemek.
tapi aku tak pernah melihatnya seperti ini. Berdiri, membuat kue, menangis.
Mamam menangis. Aku tak pernah melihatnya menangis sebelumnya.
" Mam," aku memanggil Mamam.
Kau tahu pakar kuliner yang sering muncul di tV ber nama Sisca Soewitomo? Mamam mirip sekali dengan dia. Rambutnya berombak, dipotong tepat di bawah telinga. Badannya tidak langsing, tidak juga gemuk. Berisi mungkin kata yang tepat untuk men deskripsikan badan Mamam. Jari-jari tangannya seperti pisang mas yang gen dut. Sosok Mamam betul-betul cocok menjadi sosok orang yang pintar me masak dan membuat kue.
Dia agak terkejut melihatku. Segera diusapnya air mata yang membuat pipinya tak berwarna putih segar seper ti biasanya. " Kamu kenapa sudah di rumah jam segini, Ces?"
Aku beringsut duduk di depan konter mem per hatikan Mamam yang sedang mengaduk adonan. " Mamam juga kena pa sudah ada di rumah jam segini?" aku bertanya balik.
" toko sepi. Mamam hanya ingin istirahat di rumah," jawabnya singkat. Mamam menambahkan susu ke dalam adonannya.
Aku tahu itu bohong. toko kue Mamam tak pernah sepi. Dan istirahat itu identik dengan tidur kan? Atau setidaknya berbaring dengan tidak melakukan apa pun. Atau nonton tV deh. Atau baca buku. Atau apa punlah. tapi tidak membuat kue di dapur. Apalagi sambil menangis. Setidaknya menurutku sih seperti itu.
" Papap kapan pulang sih, Mam? Cesa kira minggu ini sudah akan ada di rumah," kataku sambil meraih gelas yang disodorkan Mamam. Kuteguk air putih di dalam nya dengan rakus.
Mamam tak menjawab pertanyaanku. Ia me lanjutkan menggoreng panekuk di wajan. Aku meli hatnya dari balik konter.
Jika Mamam mirip sekali dengan Sisca Soewitomo, menurutku Papap agak mirip Jeremy teti. Setidaknya jika aku melihat Jeremy di tV, aku akan teringat Papap. Dan begitu juga sebaliknya.
Seperti yang sudah kubilang, Papap peneliti di bidang sosial dan masyarakat. Pekerjaannya meneliti sebuah masyarakat tertentu. Seperti misalnya Papap mendapatkan dana untuk meneliti masyarakat Badui, dia akan tinggal di sana minimal satu minggu. Kemudian dia akan membuat laporan. Papap juga akan menulis ulasan tentang masyarakat Badui dan nanti nya pasti dimuat di koran-koran. Itu kenapa Papap jarang di rumah.
Kau tahu, kebiasaan Mamam tidak menjawab pertanyaan saat ia tidak ingin menjawab betul-betul diwaris kan pada Jinan. Kau tahu rasanya kan jika bertanya dan tidak mendapatkan jawaban? Gigit jari ya gigit jari saja deh. Kadang rasanya aku ingin menggigit jariku sampai putus saking frustrasinya.
Mamam tenggelam dalam dunianya. Siang ini dunianya adalah dunia panekuk. Aku mendesah. Ada apa sih dengan orang-orang ini? Jinan dan Mamam mirip. Mereka sering tidak berada di dunia ini. Itu yang sering kurasakan. Jika mereka sudah tenggelam di dunia mereka, aku tak bisa melakukan apa pun.
Aku meneguk habis air di dalam gelas dan tanpa bicara apa-apa pergi ke kamarku (dan kamar Jinan tentu saja).
tas kuletakkan begitu saja di lantai dekat tempat tidur. Rolling door terbuka. Jarang sekali Jinan meninggalkan rolling door itu terbuka seperti sekarang. Meski jika aku ingin pun aku bisa membukanya sen diri. tapi aku jarang melakukannya. Maksudku, mem buka rolling door itu saat Jinan tak ada di kamar.
Aku melangkahkan kaki ke arah kamar Jinan. Ada kertas-kertas baru yang bermunculan di temboknya. Kertas putih dengan coretan spidol pink dan ornamen hati dari stiker yang dibelinya denganku dulu.
tatsuya.
Hanya itu yang bisa kubaca karena sisanya ditulis dalam aksara Jepang. Aku mengerutkan kening. tatsuya dan ornamen hati? Bukan takuya ya? Kugaruk kepalaku.
Ada buku bahasa Jepang di meja. Aku tergelitik untuk membukanya. Aku tahu membuka-buka milik orang lain tanpa izin itu tidak sopan. tapi aku ingin tahu siapa itu tatsuya. Kenapa Jinan tidak pernah cerita ya?
Di halaman pertama buku catatan itu tertanggal beberapa hari yang lalu. Oh, mungkin itu kenapa Jinan belum bercerita. Jinan akan menceritakan se mu anya jika moodnya sedang bagus. Jika ia sudah mulai mengoceh, ia tak akan bisa berhenti bicara. Seperti bendungan yang jebol. Atau lebih seksinya, seperti dam yang ambrol. Itu kata Jinan.
Saat itu lewat tengah malam. Jinan duduk tegak di sampingku yang berbaring mengantuk di tempat tidur. Entah sudah berapa jam Jinan duduk tegak seperti itu. Jika sedang bersemangat, dia mampu melakukan hal yang sama untuk jangka waktu yang menurutku sangat lama. Ratusan tahun kalau perlu.
" Kamu kalau lagi kepingin ngomong sama persis seperti bendungan yang jebol," kataku setelah mendengarkan monolog Jinan selama berjam-jam tentang semua hal dalam hidupnya yang menurutnya aku perlu tahu" yang berarti hampir semuanya. Atau malah betul-betul semuanya. " Bukan bendungan yang jebol!" katanya. " Lalu apa?" aku menguap.
" Dam yang ambrol." " Sama saja."
" tentu enggak. Dam yang ambrol terdengar lebih seksi. Aku membacanya di novel Murakami."
" terserahlah. Aku mengantuk, Jinan. Ceritanya besok lagi ya," kataku seraya menarik selimut sebatas kepala. Lalu aku meringkuk tidur. Malam itu aku bermimpi tentang bendungan yang jebol. Atau yeah, dam yang ambrol. *
Aku tersenyum mengingat Jinan. Kadang ia bisa menjadi teman yang sangat menyenangkan. Ia tak pernah memposisikan dirinya sebagai kakak. Ia selalu menganggapku teman. Itu yang aku suka.
Hanya gara-gara bendungan yang jebol dan dam yang ambrol Jinan menceritakan novel Murakami itu dengan lengkap dari awal hingga akhir.
Aku mengetahui banyak sekali cerita novel dari Jinan.
Dia membaca banyak sekali buku. Aku tak suka membaca. Deretan huruf-huruf mungil itu membuatku pening. Aku lebih suka mendengarkan ocehan Jinan tentang semua buku yang sudah dibacanya. Hanya kadang-kadang saja aku membaca. Seringnya itu karena Jinan memaksaku membaca. Dan seringnya pula aku tak selesai membaca buku-buku itu.
" Kenapa kau suka membaca?" tanyaku setiap kali melihat Jinan asyik dengan buku di tangannya.
" Kenapa kau tak suka membaca?" jawabnya tanpa merasa perlu mengangkat wajahnya yang tenggelam di buku itu.
Percakapan yang sama selalu terulang antara aku dan Jinan.
Di halaman pertama buku itu tertulis tatsuya Sensei. Sensei? Guru bahasa Jepang Jinan dong. Aku tertawa. Dalam hal jatuh cinta, Jinan nomor satu. Ia tak pernah meme dulikan umur, latar belakang, kepribadian, atau apa pun deh. Selama dia suka, hajarlah. Haha. terkadang aku iri dengan kemampuannya untuk jatuh cinta. Aku sendiri selalu pernuh perhitungan. Dengan Aksan misalnya. Mantanku yang paling lama di SMA. Aku memper hitungkan semuanya, termasuk perasaanku. Seperti misalnya aku harus pandai mengerem perasaanku. Aku tak pernah mengizinkan diriku ini lebih jatuh cinta dari si cowok. Kau pasti tahu maksudku, kan?
Jadi, entah bagaimana caranya aku selalu berusaha membuat si cowok itu menyukaiku lebih dari aku menyukainya. Jadi, aku memberikan kenangan sebanyak mung kin untuk si cowok. Jadi, jika memang kami putus, bukan akulah yang menangis tersedu-sedu (seperti yang sering dilakukan Jinan). Bukan akulah yang meratapi perpisahan kami. tapi si cowok itulah yang pasti akan meratap. Seperti Aksan yang merengek minta balikan setelah seminggu putus. Ih, tak usah ya. Kamu sendiri yang mutusin, kenapa sekarang minta balik? Aku senang sekali ketika bisa mengucapkan kalimat itu.
Jinan tidak seperti itu. Dalam hal ini, pikirannya lebih lurus dari jalan tol mana pun. Jika dia suka, ya suka. Jika tidak, ya tidak. Sudah itu saja. Kadang aku iri dengan dia yang bisa bersikap seperti itu. Dia tak pernah khawatir jika tak ada yang menyukainya. Namun bagiku, itu sebuah mimpi buruk.
" Ayolah, Jinan. Kamu ini menarik sebetulnya. Kamu nggak jelek-jelek amat, kok," kataku saat kami duduk satu meja menyantap makan malam. Jinan menyuapkan satu sendok makanan ke dalam mulutnya sementara matanya terus menyusuri baris demi baris kalimat novel yang diletakkan di meja.
" Kamu dengar aku nggak sih?" aku mulai kesal. Jinan menutup novelnya lalu memberiku tatapan yang sepertinya aku ini alien.
" Oke, aku ini menarik. Lalu?" satu alisnya terangkat. Dia menyuapkan satu sendok lagi makanan ke dalam mulutnya dan mengunyah dalam irama yang sama.
Aku berpura-pura mendesah. " Iya, kamu ini menarik. tapi kamu nggak bisa play smooth. Kalau kamu bisa, pastinya takuya nggak akan lari seperti kemarin itu."
" Play smooth? Apa itu?" alisnya sekarang bertaut, menimbulkan beberapa kerutan tipis di keningnya.
" Kau tahulah. Dekati dia. Kasih perhatian. Sedikit demi sedikit. Jadilah teman dekatnya dulu. Lama-lama kan dia suka kamu. Begitu. Bukannya main tembak aja seperti kemarin. Lalu, ending-nya nangis deh berhari-hari."
Jinan mencibir. " Aku tidak mau terjebak dalam konstruksi sosial yang diciptakan para lelaki." Ha? Dia ngomong apa sih?
" Play smooth itu kan ide tolol para lelaki untuk menyenangkan ego mereka. Seperti kucing yang ingin terus-terusan disayang. Semakin banyak yang mengeluselus ya mereka semakin senang. Cowok itu seperti itu. Bayangkan ya jika ada sepuluh cewek yang play smooth ke satu cowok, apa nggak kesenengan tuh cowok? Dan kenapa sih harus seperti itu? Maksudku sah-sah aja bagi cowok untuk langsung nembak tanpa pedekate. Dan banyak juga kok yang sukses. Nembak tanpa pedekate, maksudku. Nah, kenapa cewek nggak boleh begitu juga?
Kenapa cewek nggak boleh nembak duluan apalagi tanpa pedekate? Kenapa cewek harus selalu menunggu? Kenapa cewek harus play smooth? Aku nggak ngerti," oceh Jinan.
tuh kan. Bendungan yang jebol. Eh, dam yang ambrol.
" tapi kalau kamu bersikap seperti itu ya nggak akan ada yang mau sama kamu," aku terdengar seperti membela diri sendiri. Membela diri dari apa? Aku pun bingung.
" Nggak masalah. Dunia ini nggak akan berakhir kok kalau aku nggak punya pacar," katanya lagi.
Sekarang sih nggak masalah. tapi nanti kalau moodnya lagi nggak bagus, kalau dia lagi merasa kesepian, uh pasti deh jadi gloomy. Jadi mellow yellow ow ow. Nangis berhari-hari.
" tapi kamu nggak pernah punya pacar. Aku sudah berganti pacar beberapa kali," sahutku sekenanya. Memang benar kok. Jinan kelas 12, aku 10. tapi Jinan belum pernah pacaran sekali pun. Aku gonta-ganti pacar melulu. " Itu prestasi buat kamu?" ucap Jinan pedas. Skakmat. Sialan. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Berakhirlah sesi ceramah tentang play smooth yang gagal total itu. (Seharusnya akulah yang menceramahi Jinan, tapi kenapa jadi terbalik?)
tatsuya Sensei. Aku menggumamkan nama itu dalam hatiku. tatsuya. takuya. Kenshin Himura. Haruki Murakami. Sepertinya Jinan terobsesi dengan cowok produk Jepang.
Aku pernah sekali menanyakan kepadanya kenapa dia memilih untuk kuliah di jurusan Sastra Inggris, bukannya Sastra Jepang, mengingat dia menggilai apa pun yang berbau Jepang.
" Kamu kan suka Jepang. Kenapa nggak kuliah di Sastra Jepang aja?" tanyaku di suatu siang saat kami berdua duduk di ayunan di kebun belakang rumah.
Kepala Jinan mendongak. tatapannya beralih dari buku yang dibacanya ke mataku. Dia menjawab singkat, " Hemingway lahir lebih dulu daripada Murakami."
Oke. Sebetulnya aku bingung dengan jawaban Jinan. Maksudnya apa sih? Apa urusannya dengan Hemingway dan Murakami? Masak iya siapa lahir du luan menentukan di jurusan mana Jinan kuliah. Aku yang terlalu bodoh atau Jinan yang terlalu rumit untuk di mengerti? Oh, absurd. Bukan rumit, tapi absurd. Aku belajar kata itu dari Jinan.
" Bukannya Kenshin lahir pada era Meiji?" kataku akhirnya karena aku masih bingung dengan jawaban Jinan. Aku ikut membaca koleksi komik Samurai X milik Jinan. Dan aku tahu Kenshin lahir lebih dulu daripada Hemingway. Sepertinya sih begitu.
" Setahuku Kenshin tidak menulis buku," sahut Jinan tak acuh.
Oh, begitu. Jadi bukan hanya masalah siapa lahir duluan. tapi lahir duluan dan menulis buku.Oke, aku selalu kalah dalam percakapan seperti ini. Sepertinya aku harus mencari tahu apakah Kenshin Himura menulis buku atau tidak. Atau mungkin diari. Siapa tahu.
" Jinan pulaangg. Tadaimaa," suara Jinan menggelegar hingga ke dalam kamar. Cepat-cepat kututup bukunya dan melompat ke atas kasurku. Oh sial. Aku bahkan belum ganti baju. Rasanya seperti pencuri yang tertangkap basah (kenapa harus basah sih? Oh, lupakan. Aku terdengar seperti Jinan).
" Princesa! Adikku sayang! Kenapa kamu tidur masih pakai seragam?" Jinan sudah duduk di tempat tidurku. Aku membuka mata dan pura-pura menguap.
" Ada apa sih? Berisik tahu nggak," kataku pura-pura kesal. Aku terlalu banyak berpura-pura siang ini.
Pintu terbuka lebih lebar. Nathan berdiri di ambang pintu. Aku langsung bangun dari posisi tidur ku dan ber sandar di kepala ranjang. Sudah hampir setahun ini Nathan selalu datang ke rumah kami, tapi aku belum terbiasa dengan kehadirannya hingga sekarang. Dia selalu saja membuatku grogi.
" Ayo, Jinan. Sebarkan kabar gembira itu," kata Nathan sambil tersenyum super lebar. Dia duduk di sebelah Jinan. Dalam posisi duduk berdampingan seperti itu, Jinan dan Nathan cocok sekali jadi sepasang kekasih. Dan pemikiran itu membuatku sebal.
" Kamu dapat door prize apa?" tanyaku, " tumben." Jinan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum, lalu membuka apa yang sejak tadi digenggamnya. " tattaa... lihat ini!"
Aku menyipitkan mata agar dapat melihat apa yang tertulis di kertas itu dengan jelas. Nilai hasil ujian atau tugas kuliah atau semacamnya. A+.
" Wow," kataku. Seingatku selama setahun Jinan kuliah, dia belum pernah mendapatkan nilai setinggi itu. Biasanya Jinan mendapatkan A saja tanpa embel-embel plus di bela kangnya.
" Dia satu-satunya yang mendapatkan A+," kata Nathan bangga sambil menatap Jinan seolah Jinan baru saja mendapatkan beasiswa untuk belajar di planet Mars sela ma setahun.
" Nilai apa sih?" tanyaku akhirnya karena tak tahan dengan tatapan Nathan untuk Jinan.
" Introduction to Literature," seru Jinan.
" Kami semua diminta membaca cerpen he Lottery karya Shirley Jackson. Dan tugas kami adalah merespons karya itu dengan cara apa pun," kata Nathan penuh semangat.
" Seperti misalnya membuat puisi, atau lagu, atau apa pun deh," sambung Jinan.
" Aku membuat lagu bersama satu temanku. Aku main gitar dan temanku yang nyanyi. Sebetulnya aku ingin satu kelompok dengan Jinan, tapi aku tahu dia nggak bisa nyanyi. Lagi pula Jinan bilang dia ingin bekerja sendirian.
Jinan satu-satunya yang bekerja sendirian. yang lain bekerja dalam satu tim. Minimal dua oranglah. tapi Jinan hebat. Dia berani sendirian. Dia juga satu-satunya yang men dapatkan A+," oceh Nathan.
" Memangnya Jinan ngapain?" tanyaku.
" Aku membuat sekuel he Lottery," jawab Jinan bangga. Seringaian membuat wajahnya terlihat konyol sekarang. Sebetulnya Jinan tak begitu bisa tersenyum. Dia hanya bisa menyeringai atau tertawa sekalian.
" Membuat apa?" tanyaku lagi.
" Sekuel. Lanjutan cerita dari he Lottery. Jinan hebat kan?" mata Nathan berbinar-binar memandangi Jinan. Dan ya tuhan, Jinan tersipu-sipu.
Mereka tampak seperti pasangan yang baru saja jadian. yang cowok memuji, yang cewek tersipu-sipu. Rasanya aku ingin kabur saja dari kamar ini.
" Kamu ingin tahu cerita he Lottery, Cesa?" tanya Jinan sambil berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir.
Itu pertanyaan retoris. Sebentar lagi dia akan mengoceh kan plot cerita itu tanpa kuminta.
" Ceritanya mengerikan sekali," suara Jinan terdengar sangat melodramatis.
tuh kan apa kubilang.
" Di sebuah desa setiap tahunnya diadakan penarikan undian. Sama seperti lotere. tapi bukan untuk dapat hadiah duit atau apa. Lotere ini diadakan untuk memilih satu orang yang akan dilempari batu sampai mati. Mengerikan ya?"
" Kenapa harus dilempar batu?"
" Itu tradisi saja. Awalnya tidak tahu bagaimana atau mungkin kepercayaan kuno untuk menjaga agar panen mere ka selalu berhasil. Mungkin lotere dengan korban yang dilempari batu membuat para dewa senang. Kadang dewa di langit sana kurang hiburan. Mereka nggak punya dvd," kata Nathan.
Aku tertawa terkekeh-kekeh. Aku menyukai lelucon konyol dari Nathan. Dia itu lucu sekali. Aku nggak pernah tahu apakah yang dikatakannya itu memang benar atau hanya bercanda saja. tapi siapa sih yang peduli? Apa pun yang keluar dari mulut Nathan selalu menarik untuk di dengarkan. Lelucon yang dilontarkannya selalu bisa membuatku tertawa.
" Dewanya masokis," kataku sambil terkikik. " Kita itu harus mempertanyakan segala hal yang sudah menjadi tradisi di lingkungan kita. Apalagi tradisi yang tak masuk akal. Kadang kita menerimanya begitu saja karena sudah terkonstruksi sejak lama. Dibutuhkan pemikiran jernih dan lapang untuk mengkritisi itu. Jadi aku menulis sekuel cerpen itu dengan menghadirkan sepasang suami istri yang pindah ke desa itu dan istrinya mati karena dia mendapatkan lotere. Suaminya enggak terima dan akhirnya membunuh tetua yang keukeuh mempertahankan tradisi he Lottery," kata Jinan.
Oh ya ampun. Jinan banget. Dia mempertanyakan hampir semuanya.
" Dan kamu dapat A+ untuk itu?" aku bertepuk tangan. Ini juga hal yang kusukai dari Jinan. Dia berani sendirian. Bekerja sendirian seperti itu sementara semua temannya bekerja dalam tim. Dia tak takut menjadi berbeda. Sementara aku, aku nggak akan pernah memilih bekerja sendirian jika memang ada pilihan bekerja dalam tim.
" Kamu tahu apa yang lebih hebat?" dengan mata yang masih berbinar Nathan memandangku. " Sydney, dosen kami, menyuruhnya untuk mencoba mengirimkan artikel ke koran," kata Nathan sambil menyebutkan beberapa koran berbahasa Inggris terkenal. " Keren kan?" lanjutnya.
Jinan terkikik. Kemudian menari-nari hingga ia mencapai kamarnya di balik rolling door. Aku bangkit dan mengambil secara acak pakaian dari dalam lemari. Seharusnya aku senang melihat Jinan sesenang itu. Kan aku sering mengeluhkan Jinan jika moodnya sedang buruk. Mood nya yang buruk, depresinya yang berkepanjangan, akan sangat mempengaruhiku. Langitku akan menjadi gelap. Aku sudah bilang kan? Nah, seharusnya sekarang ini aku senang dong ya. tapi nyatanya tidak. Aku malah manyun. Dan aku sibuk mengutuki diriku sendiri.
Aku berganti pakaian di kamar mandi yang terletak di dekat pintu belakang. Lalu aku berjalan menuju ruang tengah, mengempaskan tubuh ke sofa besar dan memilih Discovery Channel.
Perhatianku tak sepenuhnya tertuju pada ular bera - cun ya ng mem punyai tanduk di gurun Sahara. Pikiranku mela ya ng pada Nathan. Berlebihan tidak kalau kukatakan aku tidak ikut senang dengan kebahagiaan Jinan karena sebenarnya aku cemburu pada Jinan? Dia sangat diperhatikan oleh Nathan.
Secara isik aku lebih cantik dari Jinan. Bukan hanya aku yang bilang, tapi hampir semua orang yang mengenal kami berdua. tubuhku kurus sedangkan Jinan berisi. tidak gendut tapi berisi. Kau tahu maksudku, kan? Kulitku kuning langsat dan kulitnya sawo matang. Rambutku lurus panjang sebahu sementara rambut Jinan pendek seperti landak. Dia tak memerlukan jel rambut untuk membuat rambutnya berdiri.
Dalam hal otak, aku lebih bagus untuk ilmu-ilmu pasti. Matematika, kimia, isika. tiga mata pelajaran yang begitu ditakuti Jinan. Dia lebih suka mempelajari bahasa dan sastra. Dan kepribadian kami berbeda jauh. Langit dan bumi. timur dan barat. Jinan tak punya rem. Gampangnya seperti itu. Emosinya seperti roller coaster. Atau yoyo. Naik turun. Sementara aku, kepribadianku standar saja seperti cewek lainnya.
Banyak yang bilang aku baik hati. ya karena kita semua dituntut untuk baik hati, kan? Bagusnya sih baik hati secara tulus ikhlas. tapi kalau belum mampu seperti itu, ya berpura-pura baik hati juga sudah lumayan. Masalahnya adalah seperti yang sudah kukatakan, Jinan sama sekali tak bisa pura-pura. Kau bisa melihat apa isi otaknya hanya dengan memandang wajahnya saja. Dan menurutku dunia ini seringnya tidak adil. Dunia ini tak begitu bisa menerima orang-orang seperti Jinan, yang akan mengatakan apa pun dari hatinya.
termasuk sederet cowok yang pernah ditaksirnya. Sejak kami berdua memasuki masa remaja bertahuntahun lalu, tentu saja kami saling mengetahui kisah cinta masing-masing. Aku jauh lebih hafal siapa saja yang masuk ke dalam hidup Jinan dibandingkan Jinan menghafal deretan cowok yang masuk ke dalam hidupku. Yeah, alasannya tentu bisa ditebak. Sedikit sekali cowok yang bisa menerima Jinan yang seperti itu.
Bahkan mungkin satu-satunya cowok yang melihat Jinan sebagai cewek yang pantas diidolakan adalah Nathan. Itu alasanku menyukai Nathan.
Duh, bagaimana aku harus menjelaskannya ya. Jika kami pergi berdua ke mana pun, pasti mata cowok-cowok itu akan lebih memandangku. Jika kami berdua berkenalan dengan cowok, pasti cowok itu akan jatuh cinta padaku. Dan Jinan tak pernah keberatan dengan itu. Dia tak pernah iri padaku. Dia tidak peduli masalah begituan. Beda sekali dengan Sisil yang sering memberiku tatapan iri. Kadang ketidakpedulian Jinan pada hal-hal seperti itu membuatku jengkel juga. Maksudku, teman semejaku saja melontarkan tatapan iri karena aku disukai banyak cowok. tapi kakakku sendiri tidak.
Nathan masuk dalam hidup Jinan saat dia mulai kuliah. Dan menjadi teman dekat dua bulan setelahnya, tepat pada saat Jinan kepingin mati saja karena bubar dengan pacar pertamanya (dan pacar terakhirnya " untuk sementara ini" karena dia belum punya pacar lagi). Nathan berbeda sekali dengan cowok-cowok lain karena dia masih tetap menyukai Jinan walaupun sudah bertemu aku. Bukannya aku kepedean atau bagaimana. Oh tapi ayolah. Aku kan lebih cantik. Seharusnya kan Nathan jatuh cinta padaku. Aku tak keberatan dia berteman dengan Jinan. tapi ya itu tadi, seharusnya dia jatuh cinta padaku, bukan pada Jinan.
Sebenarnya aku tak tahu apakah Nathan sudah nembak Jinan atau belum. tapi sepertinya sih belum karena kalau sudah, Jinan pasti akan menceritakannya padaku. Setahuku mereka berteman dekat. Karena Jinan masih sempat naksir tatsuya, sensei-nya. Jika dia sudah berkomitmen pacaran sama Nathan, dia pasti nggak akan melirik cowok lain, sekeren apa pun cowok itu (untuk yang satu ini Jinan patut dikasih empat jempol deh).
Yeah, hanya tuhan yang tahu kenapa Nathan dan Jinan enggak jadian.
Dan hanya tuhan juga yang tahu kalau aku betulbetul suka sama Nathan. Aku menjomblo hampir setahun lamanya gara-gara Nathan. Apakah aku bodoh? Enggak juga sih. Statusku memang jomblo, tapi aku selalu saja pergi malam mingguan. Selalu saja ada yang mengajakku jalan. Aku tak seperti Jinan yang menghabiskan hampir seluruh malam minggunya membaca di kamar.
" tanduk si viper itu cantik sekali," suara Nathan membuat jantungku hampir berhenti berdetak. Dia mengempaskan dirinya di sebelahku. Matanya terpancang pada ular berbisa sewarna gurun. Sementara mataku terpancang pada sosoknya.
Ada satu momen yang membuat Nathan menjadi milikku seutuhnya. Momen itu adalah menonton Discovery Channel atau National Geographic bersama. Seperti seka rang ini. Aku suka sekali menonton ilm dokumenter ten tang hewan-hewan. Mereka menakjubkan. Jinan tak begitu menyukainya. Dia lebih tertarik pada hidup orangorang. Sementara Nathan juga menggemari ilm-ilm dokumenter tentang hewan. Kami sering menonton bersama. Pada momen itulah aku merasa Nathan menjadi milikku. Bukan Jinan.
" Kau tahu Steve Irwin?" mata Nathan membulat.
Saat itu kami bertiga bermain menyebutkan satu nama terkenal. Jika tak ada yang mengenal nama itu padahal dia benar-benar orang terkenal, kami akan memberinya poin. Poin yang terbanyak akan menang dan boleh minta ditraktir apa saja.
Jinan mudah sekali ditebak karena ia selalu menyebutkan nama pengarang favoritnya. Nathan selalu bisa menjelaskan pengarang yang disebutkan Jinan. Dan meskipun tak suka membaca, aku familiar dengan beberapa nama karena Jinan selalu mengoceh tentang mereka.
Saat tiba giliranku untuk menyebutkan nama terkenal, aku menyebut nama Steve Irwin. Kupikir Jinan dan Nathan tidak tahu. Aku sudah membayangkan minta ditraktir di restoran Jepang yang baru dibuka di Grand Indonesia. tapi ternyata Nathan tahu! Yeah, hal itu membuatku seratus kali lebih bahagia dibandingkan ditraktir makan di Grand Indonesia.
" Kamu tahu Steve Irwin?" mataku ikut membulat. " tentu saja! Dia legenda!" kata Nathan penuh semangat.
Kami berdua kemudian mengobrol seru tentang Steve Irwin. Sementara Jinan diam memandangi kami, dan setelah sekitar lima belas menit, dia menyingkir. Permainan sebut nama berakhir begitu saja. Hari itu tak ada yang menang dan kalah. tak ada yang ditraktir dan menraktir. yang ada hanya aku yang bahagia setengah mati.
Akhirnya ada satu hal yang aku tahu tapi Jinan tidak tahu. Dan itu adalah Steve Irwin. Dia adalah pemandu acara he Crocodile Hunter yang pernah tayang di Animal Planet. Waktu kecil aku selalu mengikuti pertualangan Steve dari keping dvd punya Papap.
Menurutku, yang membuatnya super keren adalah karena Steve Irwin bekerja bersama istrinya, terri. Bahkan anak perempuan mereka, Bindi, mempunyai acara sendiri yang juga ilm dokumenter tentang hewan. tapi Steve Irwin meninggal di usia yang termasuk muda. Sekitar 44 tahun. Dia meninggal setelah dadanya tertusuk ekor ikan pari saat bekerja membuat ilm dokumenter. Kisah hidupnya tragis, ya?
" Keren ya jika punya minat yang sama dengan istri. Bahkan anak pun ketularan seperti Bindi itu," kata Nathan sambil tersenyum lebar.
Oh, menikah denganku saja, Nathan. Bukankah kita sudah punya minat yang sama?
Malam itu aku bermimpi membuat ilm dokumenter tentang satwa liar yang hidup di sungai Amazon bersama Nathan dan dua anak kami yang masih kecil-kecil. Nama mereka Bindi dan Sanca. Bindi karena aku betul-betul ingin anakku seperti Bindi, anak Steve Irwin yang mempunyai acara tV itu. Dan Sanca karena Nathan menyukai jenis ular itu. Kami mendirikan tenda bersama kru ilm dan bekerja dengan penuh semangat. Belum pernah aku merasa sebahagia itu. Rasanya aku rela tidur seratus tahun lamanya jika mimpiku terus-terusan seperti itu.
Hari ketika aku mengetahui Nathan menyukai Steve Irwin dan malam ketika aku bermimpi bersama Nathan berpertualang di sungai Amazon sudah kunobatkan menjadi hari dan malam terindah dalam hidupku. Suatu hari nanti saat akhirnya aku menikah dengan Nathan, aku tentu saja akan menceritakan semua ini padanya. Bahwa aku sudah tahu kami memang ditakdirkan sebagai pasangan suami istri yang akan mengarungi laut kebahagiaan bersama-sama.
Yeah, kayak aku bakalan menikah dengan Nathan saja.
ef
empat
P agi itu akan menjadi pagiku yang seperti biasanya jika
Vendetta tak berdiri di dekat pintu kelasku. Dia meman dangku tanpa berkedip hingga aku menghampirinya dan berdiri tepat di depannya. tangan kanannya menyodorkan dua potongan kertas yang setelah kulihat adalah tiket bioskop.
" Nanti malam nonton yuk," katanya. Wajahnya tanpa ekspresi. Aku tak bisa menebak apa yang dipikirkannya. Poker face.
" Oke," jawabku sambil tersenyum. Kuambil dua tiket itu dari tangannya dan tanpa mengatakan apa-apa lagi aku masuk ke dalam kelas.
" Ketemu langsung di Blitz Megaplex, ya! Grand Indonesia! Jam tujuh!" aku yakin teriakan Vendetta terdengar hingga ke dalam kelas.
" Kencan lagi ya?" tanya Sisil dengan mata berbinar. Aku hanya tersenyum. Aku sedang malas ditanya macam-macam. Sisil adalah tipe orang yang akan menanyaimu macam-macam saat ia tahu kau akan berkencan. Nonton di mana? Sama siapa saja? Ketemu di sana atau dijemput? Nanti pulangnya bagaimana? Makan popcorn plain atau caramel?
Saat ada konsultasi profesi dan jurusan yang diinginkan untuk kuliah, aku menebak profesi yang paling cocok untuk Sisil ada wartawan. Lebih spesiiknya wartawan infotainment. tapi aku harus kecewa karena profesi nomor satu yang cocok untuk Sisil adalah pendidik. Nggak salah tuh?
" Sebetulnya kamu lebih suka Aksel atau Ven? Kamu milih siapa?" Sisil sudah mengganti pertanyaannya tanpa menunggu jawaban dariku.
Aku tak memilih keduanya. tak akan. Jawabku dalam hati.
Aku memilih Nathan. Jika boleh. Jika bisa. *
" Jinan, bagaimana jika kita jatuh cinta pada orang yang sama?" suatu hari aku bertanya seperti itu. Aku lupa kapan tepatnya. Apakah saat kami berdua sama-sama SMA? Atau saat aku SMP dan Jinan SMA? Aku lupa.
" Kau boleh memilikinya jika memang kamu mau," sahut Jinan tak acuh.
" Kamu nggak akan marah?" tanyaku.
Jinan menggeleng. " Jika dia benar-benar menyukaiku, dia akan memilihku tanpa kuminta, Ces," katanya.
Aku terdiam. Aku tahu aku tidak puas dengan jawabannya. Menurutku tidak begitu.
" tapi bukannya kamu harus berusaha untuk mendapat kannya? Bukannya kamu harus menunjukkan bahwa kamu mencintainya? untuk meyakinkannya, begitu."
" Lalu, jika dia tetap memilihmu, aku nggak bisa apaapa kan?" Jinan memandangku.
Iya juga sih.
" Kamu nggak akan marah?" aku bertanya untuk yang kedua kalinya.
Jinan menggeleng sekali lagi. " Sudah kubilang. Jika dia benar-benar menyukaiku, dia akan memilihku, bukannya kamu. Jika memang dia lebih memilihmu, ya sudah kan. un tuk apa mempertahankan orang yang memang tidak benar-benar menyukai kita?"
Jinan seringkali membuatku bingung. Saat dia bicara seperti itu, dia terlihat sangat percaya diri. Maksudku, jika aku menjadi dia, tentu saja aku marah jika adikku merebut pacar ku, walaupun seperti yang kubilang Nathan dan Jinan tidak pernah mengumumkan mereka pacaran. Jika aku menjadi dia, aku akan melakukan segalanya untuk mempertahankan Nathan. Dia itu cowok yang mendekati sempurna. Kulitnya bersih dan terawat. tidak putih, tidak juga sawo matang seperti kulit Jinan. Hidungnya berukuran pas dengan alisnya yang lebat. Bibir Nathan bagus. Aku tak ahli mendeskripsikan seseorang dengan kosakata yang terdengar romantis (seperti misal nya wajahnya bercahaya bak bulan purnama). tapi intinya Nathan itu tampan.
Dan Nathan itu baik hati. Siapa coba yang mau mengunjungi rumah sahabatnya hampir setiap siang atau sore? Yeah, walaupun Nathan sering bercanda kepada Mamam alasan dia rajin datang ke rumah adalah karena Nathan berharap mendapat makan siang atau makan malam gratis. Dia kan anak kos yang harus berhemat. tapi aku tak begitu saja percaya. Dia peduli pada Jinan, dia menyukai Jinan. Dia tetap sabar seandainya pun Jinan tidak menganggapnya ada. Atau jika Jinan sedang tidak ingin diganggu. Seperti malam itu.
Mamam sedang menonton televisi. Papap tidak ada " sepert i biasa. Jinan mengurung diri di kamarnya setelah sebe lum nya memberitahu Nathan, " Aku sedang ingin sendirian. Aku ingin belajar bahasa Jepang."
Dan ya memang betul dia belajar bahasa Jepang. tapi ayolah, Nathan sudah ada di rumah ini untuknya. Seharusnya Jinan lebih bisa menghargai Nathan, kan? Jinan kan bisa belajar di ruang tamu atau dimanalah. Dan Nathan bisa duduk di sampingnya tanpa membuat Jinan merasa tergang gu. Jika aku menjadi Jinan, aku akan melakukan itu. tapi Jinan kadang-kadang egois sekali. Jika dia sedang tidak ingin digang gu, ya sudah tak ada yang bisa mengganggunya. tidak juga gempa bumi. Atau tornado" jika memang tornado bisa terjadi di Jakarta. Nathan menghampiriku yang sedang duduk dengan buku bertebaran di meja makan. Wajahku tampak kusut atau mungkin seperti itu karena Nathan mengerutkan keningnya dan kemudian berkata, " Ada yang bisa kubantu? Diam-diam aku ini jago matematika loh."
Aku tersenyum, lalu menyodorkan buku PR yang sebagian besar tidak kumengerti walaupun sudah kubaca berkali-kali. Nathan duduk di sampingku dan mulai mengerjakan soal-soal itu di selembar kertas. Aku hanya perlu melihatnya menuliskan tiap jawaban yang sepertinya memang ditulisnya dengan lambat agar aku bisa memperhatikan. Dan aku mengerti sendiri tanpa dijelaskan. Menurutku hal itu brilian. Iya, cara Nathan mengajariku dalam diam.
Kemudian dia menuliskan beberapa soal serupa dan memberiku waktu beberapa menit untuk menjawab. Seperti itu berulang-ulang. Hingga kemudian Mamam muncul di ruang makan dan menyuruh kami berdua makan. Sudah jam sembilan rupanya. Aku sedikit kesal karena rasanya waktu melesat begitu cepat saat aku berdua dengan Nathan. Sebe tulnya aku tak keberatan mengerjakan sejuta soal matematika jika itu berarti aku mendapatkan waktu ekstra bersama Nathan.
tapi yang terjadi tidak seperti itu. Waktu tak bisa menjadi karet elastis yang bisa dipanjang-panjangkan. Mamam menutup buku-buku yang berserakan lalu membawakan roti daging asap untuk makan malam. Nathan membantu Mamam membawa puding dan buahbuahan dari dalam kulkas. Lalu kami bertiga pun makan bersama.
Nathan orang yang menyenangkan sekali. Bahkan Mamam pun menyukainya. Kami mengobrolkan banyak hal yang terjadi di sekitar kami. Dan aku semakin menyukai Nathan karena dia mengetahui banyak hal. Dia bisa diajak bicara mengenai kenaikan harga BBM yang berimbas pada kenaikan harga-harga kue di toko Mamam. Mamam tak mau mengurangi bahan baku kuenya. Mamam memilih menaikkan harga meski dia sedikit khawatir hal itu akan membuatnya kehilangan pelanggan.
" Jangan khawatir, Mam," kata Nathan" dia memanggil Mamam dengan sebutan Mam juga seperti aku dan Jinan memanggil Mamam. " Orang-orang itu akan berani membeli kualitas kok," katanya lagi. Senyumnya mengembang, membuat kerut khawatir di kening Mamam menghilang, lalu berganti menjadi senyum lebar.
Aku ikut tersenyum. Nathan gampang sekali menularkan kebahagiaan. Kadang menurutku dia bersikap jauh lebih dewasa dari Jinan maupun aku walaupun umur kami bisa dibilang sebaya.
Setelah makan malam, Nathan menawarkan diri untuk membantu Mamam mencuci piring" hal yang tak akan pernah kulakukan. Menawarkan diri untuk mencuci piring, maksudku. Selama ini jika Mamam tidak menyuruhku men cuci piring, jangan harap aku mau melakukannya. Jadi, tindakan Nathan menawarkan diri itu bagiku seperti tindakan heroik penyelamatan sebuah kota dekat pelabuhan dari serangan bajak laut. Oke, aku berlebihan. tapi setidaknya kau bisa mengerti maksudku, kan?
Aku memberitahu Mamam bahwa sebaiknya dia melan jutkan nonton televisi saja. Biarlah aku dan Nathan yang mencuci piring. Kasihan Mamam malam-malam begini harus terkena air dingin. Mendengar kalimatku itu Mamam mengernyit. tapi Mamam pergi meninggalkan kami tanpa berkata apa-apa lagi.
Mencuci piring berdua dengan Nathan! Apa sih yang bisa lebih romantis dari itu? Rasanya aku ingin berteriak karena begitu bahagia.
Eh tapi, aku tidak sebahagia itu karena ternyata piring dan gelas yang harus kami cuci tak membutuhkan waktu semalaman untuk menyelesaikannya. Jika tahu begini, tadi aku akan makan dengan menggunakan sepuluh piring yang berbeda. Seratus piring kalau perlu.
Jadi aku bisa mencuci piring dengan Nathan semalaman.
Malam itu Vendetta bergaya lumayan. Vintage seperti yang sering digambarkan oleh Sisil. Bukan jadul yang norak. tapi vintage. Berkelas. Sepertinya aku harus mengakui kalau Jinan benar dalam hal pemilihan kata. Rasa yang didapatkan berbeda dari kata vintage dan jadul. Begitu juga dengan bendungan yang jebol dan dam yang ambrol.
Ven mengenakan kemeja putih yang sepertinya menempel di tubuhnya itu. Lalu vest kulit warna cokelat yang juga pas sekali dengan ukuran tubuh Ven. Dia mengenakan celana yang juga pas dengan kakinya. Sepatunya boots cokelat tua. tas kulit cokelat kecil tergantung di salah satu bahunya.
Gaya vintage membuat Ven terlihat jauh lebih tua dari umur sebenarnya. Ditambah lagi badan Ven yang bongsor. Oya, kumis tipis di atas bibirnya juga berperan besar membuatnya terlihat lebih tua. Sebenarnya Ven itu tampan. Hidungnya mancung, kulitnya putih, rambutnya ikal. tapi sekali lagi, dia kelihatan lebih tua. Jika kebetulan kau berpapasan denganku dan Ven, kau pasti akan mengira aku sedang bersama mahasiswa tingkat akhir. Atau mungkin eksmud yang berkantor di Sudirman. Dan eerr, aku tak begitu suka kumis. Meski tipis. Hanya kau yang kuberi tahu tentang hal ini, ya.
untuk mengimbangi Ven, aku memilih baju yang lumayan bergaya vintage. Kupakai vintage dress-ku yang ber warna peach dan lat shoes yang warnanya senada dengan tasku, cokelat muda. Sengaja kupilih dress itu agar aku dan Ven bisa terlihat serasi. Entah ya, aku suka sekali memperhatikan pasangan-pasangan yang menonton atau sekadar jalan-jalan bersama. Kadang aku merasa kesal jika gaya mereka terlalu jauh berbeda. Seperti misalnya si cewek sudah berdandan habis-habisan, dengan memakai wedges manis setinggi sembilan senti dan dress keren di atas lutut, tapi kemudian si cowok hanya mengenakan jins belel dan kaos. yah, walaupun aku tahu jins belel dan kaos yang dipakainya itu bermerek, tetap saja akan lebih baik jika si cowok memakai kemeja ditambah aksesoris semacam topi atau apalah.
Ven menungguku di dekat pintu masuk Blitz Mega plex Grand Indonesia. Ia melambaikan tangan ketika melihatku datang. Wajahnya terlihat bahagia. Aku memasang senyum terbaik saat kami berdua berdiri berhadapan. " Kukira kamu nggak datang," katanya. " Kukira juga begitu," kataku.
Sebetulnya aku sedikit berbohong. Mana mungkin aku tidak datang. Mana mungkin aku melewatkan cowok keren seperti Vendetta. Oke, dia mungkin sedikit aneh (dan kelihatan tua). Siapa coba yang mau menulis surat? Hanya Vendetta. Lumayan aneh menurutku. tapi dia keren (meski, again, kelihatan tua). titik. tak ada yang perlu diributkan lagi. Lagi pula, dia memberiku dua tiket itu. Maksudku, baru dia cowok yang kukenal yang mengajakku menonton dengan cara begitu. Biasanya kan kami akan membeli tiket langsung di Blitz atau 21. Atau jika si cowok sudah membeli tiket, ya dia akan memegangnya sampai kami bertemu di bioskop. Begitu.
Diary Princesa Karya Swistien Kustantyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi Ven berbeda. Aku selalu menyukai sesuatu yang berbeda.
Kecuali Jinan. tentu saja.
Aku tak bilang aku tidak menyukai Jinan. Bagaimana bisa aku tidak menyukainya. Dia kakakku. Kami dididik Mamam untuk saling menyukai. Atau saling menyayangi. tapi seperti yang sudah sering kuceritakan, Jinan berbeda. Berbeda dari aku dan sebagian besar ma nu sia yang kukenal. Dan aku tak begitu menyukainya karena perbedaan itu. (Aku tak tega mengatai Jinan aneh.)
Ven menggandeng tanganku saat mengantri untuk membeli popcorn. Aku meminta popcorn karamel ukur an paling besar dan iced cappuccino. Ven mengocehkan banyak hal terutama tentang motor kesukaannya. Aku baru tahu Ven termasuk cowok ceriwis. tapi tetap saja cowok ceriwis paling keren adalah Nathan. Obrolannya lebih ber bobot. Ayolah, Ven bicara tentang motor. Sementara Nathan bicara tentang sesuatu yang lebih esensial dari itu. tentang BBM! Kalau motor tidak diisi bensin, motor itu nggak bisa jalan kan ya? (Ngomong-ngomong aku tahu kata esensial itu dari Jinan " tentu saja. Dan memang ter dengar lebih keren daripada kata penting.)
Filmnya membosankan. Aku tak ingin mencerita kannya di sini demi kesehatan mentalku sendiri (aku pernah de ngar kalau menceritakan sesuatu yang membuatmu kesal hanya akan membuatmu menebarkan energi negatif, dan aku sedang tidak ingin menebarkan energi negatif seka rang). Sepanjang ilm itu pikiranku melayang-layang. Seperti yang bisa kau tebak, Jinan termasuk salah satu yang melayang-layang di kepalaku. Satu yang mendominasi kalau boleh jujur.
Jinan memfotokopi kertas dengan nilai A+nya sebanyak empat lembar. Satu ditempelnya di tembok, tepat di bagian samping sehingga dia bisa selalu membacanya ketika mau tidur. Satu ditempelkannya di meja belajar. Satu lagi di bagian depan lemari. Satu lembar sisanya dilipat persegi dan dimasukkan ke dalam dompet. Menurut Jinan lipatan kertas itu jimat. Menurutku itu sinting.
Sejak mendapatkan nilai A+, dia tak bisa berhenti tersenyum. Aku senang tentu saja, tapi aku juga sibuk bertaruh dengan diriku sendiri berapa lama senyum itu bertahan. Kutebak satu minggu jika tak ada hal penting " eh, esensial" apa pun yang terjadi. tiga hari jika ada hal yang membuatnya jengkel.
Dengan mood baik seperti itu, Jinan akan menjawab pertanyaan apa pun yang aku tanyakan. Kesempatan itu tentu tidak kusia-siakan. Aku pun bertanya tentang alasannya men celup semua pakaian ke dalam warna hitam. Jinan ter diam selama beberapa detik. Lalu, " Karena satu hari sebelum hari itu aku bertemu dengan tatsuya Sensei. Dia mengingatkanku pada takuya. Aku merasa marah. Sedih. Jengkel. Kecewa. Semua perasaan itu bercampur aduk."
" Apa mencelupkan semua bajumu jadi warna hitam bisa menyelesaikan masalah?" aku memicingkan mata.
" ya iyalah," jawab Jinan sambil menatapku seolah aku ini sinting.
Nah. Jinan itu gila, kan? Dia yang sinting tapi dia menganggapku sinting karena tak bisa mengerti bagaimana baju berwarna hitam bisa menyelesaikan masalah.
Coba deh pikirkan secara serius. Dilihat dari sudut mana pun, mencelup seluruh pakaianmu ke dalam warna hitam tidak akan membantu menyelesaikan masalahmu. Oh, tunggu. Aku lupa. Jinan kan meniru apa yang dilakukan Samantha. Di novel all-american girl, Samantha mencelup semua bajunya dengan warna hitam karena ingin semua orang tahu jika dia sedang berduka memikirkan nasib generasinya yang tidak punya perhatian pada isu-isu penting dunia. Atau setidaknya mirip-mirip itu. Aku lumayan lupa.
" Kamu mencelup bajumu dengan warna hitam karena kamu ingin semua orang tahu kamu berduka karena tatsuya?" tanyaku ngeri. Setidaknya alasan Samantha mencelup semua bajunya ke dalam warna hitam lebih masuk akal daripada alasan Jinan.
Jinan mengangkat bahunya kemudian berlalu begitu saja.
Jinan itu sinting, kan?
tangan Vendetta yang menyentuh tanganku membuatku tersentak. Sepanjang ilm tadi dia menggenggam tanganku bebe rapa kali. Well, dia sopan. Maksudku, tidak kurang ajar. Eh, menggenggam tangan itu kurang ajar nggak sih? Me nu rutku sih tidak. Jadi kubiarkan saja dia menggenggam tanganku. Aku tersenyum padanya saat dia tersenyum padaku.
" Kita keluar nanti saja ya, tunggu yang lain keluar dulu," katanya.
Aku mengangguk dan memperhatikan beberapa pasangan yang bergandengan tangan saat keluar. Ven juga mem perhatikan mereka. Lalu dia berdiri dan menarikku berdiri. Kami berjalan keluar sambil bergandengan tangan. Persis seperti pasangan-pasangan yang tadi kuperhatikan.
" Kamu cantik," itu kalimat pertama Ven ketika kami sudah berada di luar teater.
" Banyak yang bilang seperti itu," jawabku sekenanya. Vendetta terkekeh. " Dengar-dengar kamu juga pintar," katanya lagi.
" Nilai-nilaiku membuktikannya," aku berusaha menyeringai semanis mungkin. tersenyum semanis mungkin itu gampang. tapi menyeringai semanis mungkin? Kau harus mencobanya sendiri.
tangan kami masih saling terkait ketika kami berada di eskalator.
" Cesa, aku suka kamu," ucap Ven seraya menatapku. Oh tuhan. Jangan bilang Vendetta akan menyatakan cintanya di eskalator ini. Jangan jangan jangan. Kumohon, tuhan. Ngomong-ngomong, kalimat " aku suka kamu" itu sudah termasuk pernyataan cinta belum sih?
Sepertinya tuhan sedang berpihak padaku sekarang ini. Belum sempat aku merespon kata-kata Ven tadi, dia tertawa. " Jangan bilang banyak juga yang suka kamu." tawaku berhamburan. Kami berdua tertawa-tawa. Sepertinya Ven tertawa karena dia merasa sudah mem buat lelucon yang konyol. Sementara aku tertawa karena merasa terselamatkan. Aku tak harus mendengar pertanyaan Ven selanjutnya, " Apa kamu suka aku juga?" Well, sebetulnya tak masalah aku harus mendengar pertanyaan semacam itu yang sudah sering sekali kudengar dari cowok-cowok lain. tapi yang tidak kusuka adalah aku harus menjawabnya.
" Aku punya teman yang motornya mirip motormu," kataku berusaha cepat-cepat mengalihkan pembicaraan sebelum tawa Ven berhenti.
Dan sampai kami berdua berdiri menunggu taksi, Ven masih mengoceh seru tentang motornya.
" Kuantar pulang naik taksi ya?" tawar Ven. Aku menggeleng. " Nggak perlu. Sudah malam. Mungkin lain kali saja."
Vendetta tersenyum. Syukurlah dia bukan tipe cowok pemaksa. " Baiklah. Lain kali ya," katanya tepat pada saat taksi datang.
Aku mengangguk dan masuk ke dalam taksi. Kulambaikan tangan sebentar sebelum taksi melaju meninggalkan sosok Vendetta. Aku menguap beberapa kali dan teringat Papap. Sejak kecil aku tidak dekat dengan Papap. tapi nggak bisa dibilang juga aku dekat dengan Mamam. Mungkin lebih tepatnya aku tipe anak yang tidak dekat dengan kedua orangtua.
Aku tidak bisa mengingat awalnya bagaimana bisa se perti itu. Aku hanya ingat sebuah fakta bah wa Papap sering sekali ke luar kota, sejak dulu hingga sekarang. Itu kenapa aku tak bisa merasa dekat dengan Papap. Bagaimana bisa aku merasa dekat dengan orang yang tak pernah meluangkan waktunya bersamaku?
Lagi pula Papap juga bukan tipe orang ramah yang akan menyapamu duluan meskipun kau diam. Dia tipe orang yang menunggu untuk disapa. Well, aku lumayan sering me nyapa teman-temanku. Jika tidak, nggak mungkin kan aku mendapatkan predikat baik hati yang membuat banyak cowok menyukaiku? tapi entah karena alasan apa, aku segan menyapa Papap (Atau enggan ya? Sepertinya aku harus bertanya pada Jinan bedanya segan dan enggan dalam kasusku ini).
taksi berhenti di depan rumah. Jinan tampak duduk di beranda dengan buku di tangannya. Dia suka membaca di mana saja. Jika bosan di dalam kamar, Jinan akan membaca di ruang tamu, ruang makan, dapur, bahkan tempat jemuran. Malam ini dia memilih teras depan.
Jinan memandangku sebentar saat aku membuka pintu gerbang. Lalu dia tenggelam lagi dalam bukunya. Derit bunyi roda pintu terdengar. Aku lupa mengoleskan oli ke roda-roda itu.
Aku duduk di samping Jinan. Kuteguk kopi hitam yang tinggal setengah di atas meja. Jinan penggila kopi hitam. " Kamu nggak dingin duduk di sini?" tanyaku seraya merapatkan tanganku.
Jinan menutup bukunya lalu memandangku. Alih-alih menjawab pertanyaanku, dia bertanya, " Kamu nonton sama siapa?"
" Ven," jawabku tak acuh. " Dia siapa?"
" temanku."
Setelah itu Jinan bermonolog betapa aku ini selalu menonton dengan cowok berbeda setiap malam minggu. Bahkan hari-hari biasa pun kadang aku pergi nonton dengan cowok berbeda pula. Aku mengoreksinya dengan bilang tidak setiap minggu aku pergi keluar sama cowok. Ada juga malam minggu yang kuhabiskan di rumah. tapi aku tidak tega menyebutkan " terutama jika moodmu sedang buruk" . tapi memang kenyataannya seperti itu kok. Saat mood Jinan sedang buruk, aku pasti tidak ke mana-mana. Apa dia lupa hal itu? Aku lumayan kesal juga jadinya.
" Lagi pula nggak ada yang bisa kukerjakan di rumah. Bosan di rumah melulu," sahutku sekenanya.
" Kamu bisa membaca, menonton dvd, atau apalah un tuk menyibukkan dirimu sendiri," sahut Jinan tak mau kalah.
" Loh kencan dengan cowok kan juga bagian dari menyibukkan diri sendiri," aku mencibir.
" Melihat caramu menyibukkan diri sendiri, aku jadi kasihan sama kamu," katanya tanpa melihatku.
Aku jadi jengkel. Lalu tanpa kurencanakan, kalimatka limat itu cepat sekali meluncur dari mulutku, " Aku le bih kasihan sama kamu. Sejak putus sama Abim, kamu nggak pernah kencan sekali pun. Padahal sudah satu tahun kan?"
Wajah Jinan menegang. Matanya mendelik ke arahku.
" Jinan, aku... aku... aku nggak bermaksud begitu," kataku terbata-bata. tapi Jinan tidak menyahut. Dia mengangkat novelnya hingga menutupi wajahnya. Aku jadi tidak tahu apa yang dia pikirkan. Akhirnya aku memilih untuk masuk ke dalam rumah.
Cara berpikirku dan Jinan seringkali berbeda. Seperti tadi saat Jinan mengasihaniku dan aku mengasihaninya. tahun lalu Jinan pernah punya pacar. Abim pacar perta manya. Seumur hidup yang kuhabiskan bersama Jinan, aku belum pernah melihatnya sebahagia itu. Jinan betulbetul menyukai Abim. Selama dua bulan itu dia sungguh terlihat bahagia. Iya, umur pacarannya dengan Abim dua bulan saja. Setelah hubungan mereka bubar, Jinan belum pernah terlihat lagi menyukai cowok lain. Dalam hal ini Nathan tidak dihitung karena Jinan menganggapnya sahabat.
Jika aku mengingat apa yang terjadi tahun lalu, rasanya seperti kembali masuk ke neraka. Iya, benar. Aku tidak sedang melebih-lebihkan. Jinan tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia ditinggal Abim begitu saja. Kadang aku merasa begitu marah sama Abim. tidak seharusnya dia seperti itu. Maksudku, walaupun aku sering tidak mengerti Jinan, walaupun aku sering menganggapnya aneh, tapi sebenarnya Jinan orang baik.
Jinan pantas mendapatkan perlakuan yang jauh lebih baik dari cara Abim memperlakukannya. Ayolah, jika memang Abim sudah tak suka lagi pada Jinan, katakan sesuatu. Berikan alasan yang masuk akal. tidak hanya pergi meninggalkan Jinan begitu saja.
" Sudahlah Jinan. Kamu sudah menangis tiga hari tiga malam tanpa henti," kataku yang berdiri di samping tempat tidur sambil setengah putus asa memandangi Jinan yang terkubur di balik selimut. Isak tangisnya masih terdengar dan hanya akan berhenti jika dia jatuh tertidur karena kelelahan. Siapa bilang menangis tidak melelahkan?
Perlahan Jinan menyingkap selimutnya. Dia memandangiku. Aku iba pada matanya yang seperti mata panda terkena bola. Bengkak dan dihiasi lingkaran hitam. Dia me nyusut matanya berkali-kali. tapi rasanya percuma saja karena air matanya terus turun.
" Abim mutusin aku karena dia nggak punya waktu buat aku, Ces," kata-kata Jinan terputus-putus seperti lagu di MP3 saat laptopku nge-hang.
" Mungkin memang dia nggak punya waktu," kataku sambil mengelus bahu Jinan.
" tapi dia punya waktu untuk twitteran, fb-an, dan seabrek socmed lainnya," ujung kalimat Jinan tak begitu ter dengar karena dia menangis lagi.
Oh ya tuhan. Aku tidak mengerti Abim. Aku tidak mengerti bagaimana cowok-cowok itu berpikir. Maksudku, kalau memang sudah tidak suka, kenapa sih tidak bilang saja tidak suka. Selesai urusan, kan. Kenapa harus bilang tak punya waktu padahal sudah jelas-jelas dia punya waktu untuk lainnya. Hal itu hanya akan memperburuk perasaan. Apalagi jika cewek itu seperti Jinan.
" Aku nggak berharga ya, Ces," kata Jinan di sela isak tangisnya.
Nah, kan. Apa kubilang.
" Aku nggak berarti," katanya lagi.
Aku tak tahu harus menyahut apa. Aku tak tahu harus berkomentar apa.
" Dia buat aku merasa nggak berharga, Ces. Dia buat aku merasa nggak berarti. Dia jahat."
Aku tidak tega melihat Jinan menangis dan meratap seperti itu.
" Dia punya waktu untuk teman-temannya. Dia selalu punya waktu untuk meng-update statusnya. Di twitter, di Facebook, di mana aja. tapi nggak pernah punya waktu buat aku. Padahal aku nggak rewel. Aku nggak minta banyak dari dia. tapi aku tetap disingkirkan dari hidupnya. Seolah aku ini pengganggu. Aku ini nggak berharga buat dia, Cesa. Kalau aku ini berharga dia pasti mempertahankan aku kan. Dia pasti ingin bersamaku. Aku ini nggak pantas untuk dicintai, Ces."
Air mataku menggenang. Oh sialan. Aku tidak boleh ikut menangis. tapi jika melihat Jinan menangis seperti itu, meratap seperti itu, siapa pun pasti akan iba.
" Abim yang brengsek, Jinan. Bukan kamu yang tidak berharga. Kamu tentu saja pantas dicintai. Kamu itu baik hati. Abim enggak bisa melihat semua itu. Dia brengsek. titik," kataku akhirnya. " Sudahlah. Ayo mandi, kita pergi nonton. Atau makan sushi. Atau apa pun yang kamu suka. Kamu sudah tiga hari ini nggak keluar rumah, kan? Kamu nggak kuliah. Ayolah."
" Abim jahat, Cesa. Dia jahat. Aku salah apa sama dia," Jinan melolong. Air matanya mengalir lebih deras dari sebelumnya.
tiba-tiba saja aku ingin membunuh Abim. Sepanjang yang kutahu, Jinan memang nggak salah apa-apa sama dia. Jinan selalu memperlakukan Abim dengan baik. Jinan bahkan enggak rewel seperti aku. Aku selalu minta nonton setiap malam Minggu ketika punya pacar. Aku selalu minta ditelepon pagi, siang, malam. Aku selalu minta diperhatikan. Sedangkan Jinan tidak.
Jinan pandai menyibukkan dirinya sendiri. tak pernah kulihat dia memandangi ponsel gara-gara menunggu sms dari Abim, seperti yang sering kulakukan ketika punya pacar (atau tidak). Setahuku Jinan juga tidak pernah marah saat Abim tidak muncul selama dua minggu. Dia datang dan pergi seenaknya, tapi Jinan tetap menyayanginya.
Aku memang tidak mengerti Abim. tapi aku lebih tidak mengerti Jinan. Sudah tahu Abim seperti itu, kenapa Jinan begitu menyayanginya? Memangnya nggak ada cowok lain yang jauh lebih baik dari Abim sialan itu? Kupikir pasti banyak.
Malam itu aku tidur di samping Jinan. Dia masih terisak-isak. Matanya masih bengkak. Beberapa kali dia memanggil nama Abim dalam tidur. Aku merasa sangat marah pada Abim.
Seharusnya Abim tahu Jinan mempunyai masalah dengan emosinya. Dia pasti sadar kalau emosi Jinan naik turun seperti roller coaster. Menurutku lebih gampang turunnya daripada naiknya. Jinan cepat sekali depresi. Dia punya masalah dengan rasa percaya diri dan perasaan tidak berharga.
Orang lain yang tidak mengenal Jinan pastilah akan bingung. Karena di satu sisi, bisa dibilang Jinan terlihat sangat percaya diri. Maksudku, dia tidak butuh cowok untuk menyibukkan dirinya. Lihatlah aku. Aku selalu butuh cowok untuk membuatku sibuk. Aku selalu butuh perhatian dari mereka. Bukankah itu berarti aku malah tidak percaya diri? Jinan tidak seperti aku. Jika tidak ada yang menyukainya, dia baik-baik saja. Dia tidak butuh perhatian sejuta cowok. Dia bisa menenggelamkan dirinya dalam tumpukan buku dan berkeping-keping dvd.
tapi di sisi lainnya, Jinan tidak punya rasa percaya diri sama sekali. Seperti yang terjadi sekarang ini. Dia merasa tidak cukup baik karena Abim meninggalkannya. Jinan selalu menyalahkan dirinya sendiri. Rasa depresinya akan berlarut-larut jika tidak ditolong secepatnya. tapi bagaimana aku harus menolongnya? Aku sendiri tidak tahu. Aku adiknya dan seharusnya paling mengerti Jinan. tapi aku tak mampu menolongnya. Aku merasa buruk pada diriku sendiri.
Paginya aku bangun kesiangan. Jauh lebih siang dari biasanya aku bangun setiap hari Minggu. Saat aku melihat ke arah samping, Jinan sudah tidak ada di tempat tidur. Aku menggeliat lalu mencoba mencari Jinan ke seluruh rumah. Dia sedang mandi ternyata. Mamam sudah pergi ke tokonya. Catatan di pintu kulkas hanya memberitahu apa saja yang harus Jinan dan aku lakukan.
" Jinan, cepetan mandinya. Gantian," aku berteriak. Aku mengisi gelas kosong di tanganku dengan air mineral dari dispenser. Kuteguk hingga tak bersisa. Belum ada sahutan dari Jinan.
Kulangkahkan kakiku ke depan kamar mandi dan kuketuk pintu untuk memastikan Jinan baik-baik saja di dalam sana. Keningku mengernyit ketika kuperhatikan pintu itu ternyata tidak dikunci dari dalam. Kubuka pintu itu dengan cepat. Sepertinya jantungku meloncat ke lantai yang basah saat aku melihat pemandangan di dalam kamar mandi.
Jinan duduk dalam posisi meringkuk di sudut. Dia memeluk kakinya dan bersandar pada tembok. Di dekatnya ada gayung kosong, gelas yang penuh dengan air bening, dan yang membuat jantungku akan meloncat untuk kedua kalinya adalah piring kecil yang berisi pil warna-warni.
tanganku gemetar menyentuh piring itu. Kutuang semua ke dalam toilet. Lalu kantong plastik hitam yang semula tidak kuperhatikan kuambil dan setelah kubuka aku hampir menangis. Gunting dan kemasan bermacam-macam obat. tampaknya Jinan mengambil semua persediaan obat di kotak P3K dan mungkin dari kamar Mamam. Dia menggunting satu demi satu kemasan obat itu, lalu mengumpulkannya di piring kecil.
tangisku pecah dan aku terduduk di samping Jinan. Kupeluk dia yang tetap diam. Aku tahu tidak seharusnya menangis seperti itu. Aku tahu seharusnya aku tegar dan mem bujuk Jinan untuk keluar dari kamar mandi. tapi aku takut. Aku takut kehilangan dia, kakakku satu-satunya.
untuk waktu yang tak bisa kutebak berapa lama, ada gerakan kecil dari kepala Jinan. Kemudian dia berbisik, " Aku ingin mati, Cesa. Aku nggak berharga."
" Enggak boleh! Kamu enggak boleh mati, Jinan!" aku melolong.
" Aku ingin Abim merasa bersalah seumur hidupnya.
Aku ingin perasaan bersalah menghantuinya. Aku ingin dia tahu aku mati karena dia." Suara Jinan begitu lemah. untuk sesaat aku takut dia mati setelah menyelesaikan kalimatnya.
" Kamu harus hidup, Jinan! untuk aku! Persetan dengan Abim! Aku nggak mau sendirian!" aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak bisa membayangkan hidupku tanpa Jinan. Aku tidak ingin hidup tanpa dia.
Saat itu aku betul-betul berharap Abim melihat semua ini. Kadang orang-orang yang tak mengerti Jinan akan mencibir atau bahkan tertawa karena menganggap Jinan terlalu berlebihan, terlalu mendramatisasi segalanya. termasuk sekarang ini.
ya tuhan. Cuma diputusin saja kepingin mati. Enggak banget sih.
Mereka akan berpikir seperti itu. Mereka tidak tahu jika orang-orang seperti Jinan memang tidak diberkahi dengan perasaan dan emosi yang normal. Sedikit saja mereka dibuat merasa tidak berharga, mereka akan depresi dan ujungnya ingin mati. Aku benci orang-orang seperti mereka yang tidak mengerti Jinan. Aku benci Abim yang membuat Jinan seperti ini.
Hari itu rasanya neraka pindah ke rumah kami.
ef
lima
A kulah yang pertama kali pulang ke rumah sore itu.
Kakiku kuselonjorkan di atas meja, punggungku kusandarkan ke sofa yang empuk dan tanganku sibuk memasukkan sendok demi sendok es krim ke dalam mulut. Sementara mataku terpancang pada kehidupan ubur-ubur di layar televisi.
Suara pintu dibuka membuatku menoleh. Mamam datang dengan satu tas jinjing besar. Wajahnya terlihat sumringah. Aku jarang melihat Mamam berwajah bungah.
" Beli apa itu Mam?" tanyaku seraya menarik kaki. Mamam tidak menjawab. Dia hanya meletakkan belanjaannya di dekat kakiku, lalu duduk selonjoran di karpet. Punggungnya bersandar di sofa tempat aku duduk. Aku mengenal Mamam lumayan baik. Jadi aku tahu itu tandanya aku harus membuka tas belanja Mamam, lalu mem berikan ekspresi dan pujian yang menyenangkan. Mamam pasti akan menyukainya. Itu akan membuatnya ba hagia. Jika dia bahagia, kadang Mamam memberiku uang saku lebih.
Kuletakkan kotak es krimku. Kuraih tas belanjaan Mamam. Kukeluarkan semua isinya dan tawaku ber hamburan. Dvd drama seri Korea!
" Astaga, Mamam! Ngapain beli dvd sebanyak ini?" aku masih saja tertawa.
Melihatku yang tertawa, Mamam tersenyum lebar. Kali ini aku tertawa karena betul-betul merasa geli. Kuteliti satu demi satu judul di setiap kemasan dvd. Beberapa judulnya bahkan ada yang sama dengan milik Jinan. untuk urusan drama, Jinan mengoleksi dvd drama Jepang dan Korea. Dan aku masih ingat beberapa judul karena pernah menontonnya bersama Jinan.
" Mamam akan rajin nonton drama Korea mulai dari sekarang," kata Mamam. Senyumnya masih terkembang lebar. " Kadang lebih mudah mengikuti cerita hidup orang lain daripada mengikuti cerita hidup kita sendiri. Kalau Mamam hanyut dalam cerita di drama itu, Mamam akan lupa drama kehidupan milik Mamam sendiri, kan?"
Kalimat-kalimat itu terdengar sangat familiar. tawaku mengudara untuk yang kesekian kali. " Jinan yang bilang begitu, Mam?"
" Aku bilang apa?" sosok Jinan tiba-tiba saja terlihat berdiri di samping Mamam yang masih duduk di karpet. " Sore, Mam, Cesa," sapa Nathan di balik bahu Jinan. " Ini loh! Masak Mamam beli dvd Korea sebanyak ini," kataku nyaris histeris sambil menunjukkan semua dvd yang dibeli Mamam. Mata Jinan melotot memandangi tumpukan dvd itu.
tawaku tak bisa berhenti melihat reaksi Jinan. tuh kan apa kubilang, Jinan saja kaget melihat Mamam memborong dvd sebanyak itu.
" Lah, Mamam kenapa beli dvd sebanyak ini? Ada yang sama lagi judulnya dengan yang Jinan punya. Ckckck," Jinan berdecak. Lalu duduk di sampingku dan ikut meneliti satu demi satu judul itu.
ternyata Mamam sudah tak ada bersama kami. Nathan juga menghilang. Mereka berdua pasti sedang di dapur atau ruang makan. Mamam suka sekali memberi Nathan makanan. Kadang kupikir Mamam memperlakukan Nathan seperti kucing kecil yang kelaparan. Setiap kali Nathan datang, Mamam akan menawarinya berbagai macam kue yang ada di rumah. Nathan juga diharuskan makan di rumah kami. (Aku tahu analogiku buruk. Kucing kecil tapi dikasih kue? Mana ada? Oh, lupakan saja.)
Jika benar Nathan seperti kucing kecil, aku mau-mau saja membelainya setiap waktu.
Nathan sedang duduk dengan satu porsi besar puding cokelat di depannya. Mamam bercerita dengan penuh semangat tentang pelanggannya di toko yang selalu memesan kue tart setiap hari Selasa pertama di awal bulan. Pelanggannya itu orang super kaya yang selalu ingin merayakan ulang tahunnya pada Selasa pertama setiap bulannya. Nathan mendengarkan dengan tekun sambil sesekali menyuapkan puding ke dalam mulutnya. Dia kemudian memberikan komentar yang menyenangkan. Atau merespons di saat yang tepat. Dia akan mengernyit jika memang cerita Mamam membutuhkan respons seperti itu. Dia akan memekik jika cerita Mamam mengherankan.
Pokoknya Nathan benar-benar bisa menjadi pendengar yang baik. Itu kenapa Mamam menyukainya.
Itu juga salah satu alasan kenapa aku menyukai Nathan.
Aku memperhatikan wajah Mamam yang bersinar. Jarang sekali Mamam menampilkan ekspresi seperti itu. Dan belakangan ini hanya Nathan yang mampu membuat Mamam berekspresi semacam itu. Jika tak ada Nathan, Mamam akan memasang wajahnya yang biasa; wajah lelah, bosan, atau sedih.
Kerutan di sudut mata Mamam dan di sudut bibirnya mem buatnya terlihat jauh lebih tua. Atau memang Mamam sudah tua? Aku menghela napas, berusaha meng usir perasaan bersalah yang merayapi hatiku karena tidak perhatian pada Mamam. tapi Mamam juga tidak per hatian pada kami. Maksudku, perhatian Mamam hanya sebatas memberikan apa yang kami butuhkan. Makanan, pakaian, uang saku. Mamam (dan Papap) memenuhi kebutuhan kami yang semacam itu. tapi kebutuhan kami yang lain, seperti perhatian, kasih sayang, pujian, mereka berdua hampir tak pernah memberikannya.
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine Wiro Sableng 110 Rahasia Patung Menangis Pendekar Rajawali Sakti 11 Jago Jago
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama