Diary Princesa Karya Swistien Kustantyana Bagian 3
Aku menghela napas. Seharusnya aku mengetahuinya dan tak perlu mempertegasnya seperti ini. Aku memarahi diriku sendiri. Sekarang dadaku semakin sakit saja dan perutku semakin mulas.
" Perasaan Jinan untuk Abim sama dengan perasaanku untuk dia. Atau kurang lebih seperti itu. Aku bisa melihat dari matanya saat bicara tentang Abim," kata Nathan. Matanya menerawang.
" Sampai kapan kamu menyimpan perasaan itu?" pertanyaanku membuat Nathan memejamkan matanya sebentar, lalu menatapku.
" Nggak tahu juga. Sampai aku bosan dengan sendirinya kali. Atau sampai aku lelah," senyumnya merekah.
Dan detik itu aku tahu aku sama sekali tak ada di hatinya.
Kau tahu, sebagian besar cowok yang kukenal selalu menyimpan dua atau tiga cewek di hati mereka. Saat pedekate dengan cewek A, dia juga menyimpan secuil rasa suka untuk cewek B. Jadi jika pedekatenya gagal total, dengan mudah cowok itu mengalihkan kemudi ke cewek B.
Aku juga begitu sih. Sampai aku bertemu Nathan. Setahun ini aku hanya menyukainya. Aku nggak pacaran dengan cowok lain. Meski, yah, aku tetap saja pergi menonton dengan cowok mana pun yang menyukaiku (dengan syarat aku juga sedikit menyukainya). tapi Nathan berbeda. Dia menyukai Jinan. Setiap hari dia bersama Jinan. Aku cemburu sekali dengan kenyataan itu.
" Pulang yuk," rasanya aku tak bisa duduk lebih lama lagi di sini dan mendengarnya berbicara tentang Jinan.
Nathan mengangguk dan kami pun berjalan keluar dari mal. Aku dan dia tak banyak bicara sepanjang perjalanan pulang. Nathan terlihat memandang keluar jendela, tenggelam dalam pikirannya. Dan aku memandangnya, tenggelam dalam pikiranku. Aku yakin pikiran kami berdua bermuara pada satu hal yang sama: Jinan.
Perjalanan kembali ke rumah malam itu tak memakan waktu lama. Atau setidaknya itulah yang kurasakan. Sepertinya baru beberapa menit yang lalu aku duduk berdua dengan Nathan di salah satu sudut food court, mendengarkannya mengoceh tentang Jinan, dan sekarang aku sudah berada di dapur bersamanya. Dan Jinan, tentu saja.
" Ke mana saja kalian?" tanya Jinan saat Nathan berdiri di sampingnya. Jinan memasak mie rebus. Kepulan asap dari panci yang terbuka menebarkan aroma lezat di seluruh ruangan.
Aku duduk di salah satu kursi dan memandangi mereka berdua. Jinan yang tetap berdiri menghadap panci dan Nathan yang berdiri rapat di sampingnya. " Mengantarkan Cesa membeli sesuatu," kata Nathan. " Kenapa aku tidak diajak?" protes Jinan.
" Karena Cesa ingin kasih surprise buat kamu." " Oh ya?" suara Jinan meninggi tanda dia senang sekali. Dia menolehkan kepalanya ke arahku dan bertanya, " Benar, Ces?"
Aku mengangguk.
" Sini biar kubereskan," kata Nathan. tangannya sigap mengambil alih sendok dan garpu dari tangan Jinan.
Jinan pergi menghampiriku. Dengan matanya yang berbinar, dia bertanya, " Kamu mau kasih surprise apa?" Aku tersenyum. Kusodorkan novel yang kubeli. Melihat plastik Kinokuniya, Jinan menjerit histeris.
" Wah! Buku! Kinokuniya!" Dia terlihat senang sekali. Dengan gerakan sigap Jinan membuka plastik itu dan setelah tahu buku yang di dalamnya, dia segera menghambur ke arahku. Jinan memelukku erat sekali.
Aku tertawa dan menepuk-nepuk punggungnya. " Baca ya. Nanti ceritakan ke aku."
Nathan datang dengan mangkuk besar di tangannya. Diletakkannya mangkuk itu di meja persis di depan Jinan. Nathan mengambil buku di tangan Jinan, lalu meletakkan sendok di tangan Jinan. " Makan dulu. Bacanya nanti setelah makan."
Wajah Jinan berseri-seri. Aku tahu dia bahagia sekali. Dia menganggukkan kepalanya dengan bersemangat, lalu menyendok kuah yang masih panas. Ditiupnya kuah di dalam cekungan sendok itu. Nathan tertawa. Dia mengambil satu lembar halaman koran yang ada di meja makan, lalu melipatnya dua kali. tangannya mengipasngipas mie dalam mangkuk itu.
Oh sudah cukup. Aku tak tahan lagi.
Aku bangkit dari posisi dudukku. tak ada satu kata pun yang terlontar saat kakiku melangkah pergi meninggalkan mereka berdua. Itu yang membuatku tak tahan. Kadang saat Nathan dan Jinan sedang fokus melakukan satu hal berdua, meski hanya makan mie, mereka seolah tak memedulikan hal lain yang terjadi di sekitar mereka. Nathan akan sepenuhnya fokus pada Jinan. Setiap kali melihat Jinan, matanya bersinar. Itu membuatku jengkel. Seperti malam ini.
Aku masuk ke dalam kamar, duduk di tepi tempat tidur, dan menyusut air mataku perlahan. Kuambil ponsel dari dalam tas dan kuketik beberapa kalimat untuk Aksel. Aku ingin dia menjemputku pergi dari rumah ini secepat mungkin. Aku ingin dia membawaku pergi barang satu atau dua jam, sekadar untuk menjernihkan pikiranku. Entah ya, rasanya sekarang ini aku tidak bisa berpikir karena dadaku terlalu sesak.
Secepat mungkin aku berganti baju, memoleskan bedak tipis-tipis, dan menyemprotkan sebanyak mungkin body mist ke tubuh. Aku memang sengaja tidak mandi karena aku tidak mau bertemu dengan Jinan dan Nathan. Kamar mandi di rumah kami hanya satu. Karena itulah aku memilih untuk tidak mandi.
Aksel datang sebentar kemudian. tanpa berpamitan, aku pergi ke luar bersamanya. Saat ditanya akan ke mana, aku hanya menjawab keliling-keliling saja dengan mobil. Aku hanya perlu pergi sejenak dari rumah. Aksel mengangguk mengerti. tanpa bertanya, dia mengarahkan mobilnya ke arah Kota. Kami menyusuri jalan Sudirman dalam diam. Jalanan cukup lengang karena jam di tanganku menunjukkan pukul sembilan.
" Kamu baik-baik saja?" akhirnya Aksel bertanya. Aku ingin mengangguk, tapi ternyata tidak bisa. Aku ingin menjawab bahwa semuanya baik-baik saja. tapi yang terjadi malah sebaliknya. Air mataku meleleh seperti lilin terkena api. Dalam waktu beberapa detik, tangisku membesar menjadi isakan-isakan yang membuat dadaku sakit.
Aksel meletakkan tangannya di bahuku. Dia tak menepuk-nepuk bahuku kali ini. Dia hanya meletakkan tangannya di bahuku hingga tangisku mereda setelah beberapa saat.
Lalu seperti dam yang ambrol, aku menceritakan semuanya pada Aksel. tentang Jinan, tentang Nathan, tentang perasaanku. tidak benar-benar semuanya, tapi secara garis besar Aksel pasti mengerti apa yang kurasakan sekarang ini hingga membuatku menangis terisak-isak di dalam mobilnya.
Aksel tidak menyela sedikit pun. Dan saat isakku bertambah keras atau suaraku melengking, dia meletakkan lagi tangannya di bahuku hingga emosiku mereda. Aku menyukai caranya menenangkanku itu.
tapi kemudian ada secuil rasa cemas setelah aku selesai bercerita. Apakah Aksel akan tetap menyukaiku setelah tahu aku begitu menyukai Nathan? Apakah Aksel akan tetap menyukaiku setelah tahu tentang Jinan? Apakah Aksel akan merasa dimanfaatkan setelah tahu semuanya? Apakah dia tak akan mengajakku nonton atau sekadar hang out setelah ini?
Seribu macam pertanyaan menyesaki benakku dan aku terlalu takut jika salah satu kekhawatiranku itu terbukti.
Kadang di saat seperti ini aku sungguh iri dengan Jinan. Dia tak pernah bergantung pada cowok. Maksudku jika Jinan ada di posisiku sekarang ini dia tak akan takut seandainya Aksel pergi meninggalkannya. Bahkan mungkin dia sama sekali tidak mengkhawatirkan akibat apa pun setelah bercerita. Jinan tak takut jika tak ada orang yang mengaguminya. Sementara aku takut sekali.
" Sudah lumayan lega?" kata-kata Aksel terdengar setelah isakku berhenti sepenuhnya. Dia menepikan mobilnya di ruas jalan antara Grand Indonesia dan Plaza Indonesia. Kami sudah melewati dua mal besar ini tadi dan memutar balik saat tiba di Kota. Dan Aksel memilih untuk menghentikan mobilnya di sini.
Aku mengangguk. Perasaan lelah datang dan membuatku sedikit mengantuk. Mungkin karena aku belum beristirahat sejak pergi ke sekolah tadi pagi. Dan menangis itu memang melelahkan.
" Sebentar," kata Aksel seraya membuka pintu mobil. Kulihat dia berjalan menuju penjual minuman di tengah jalan, lalu kembali dengan dua botol minuman di tangan.
Pintu mobil terbuka, Aksel mengempaskan dirinya ke kursi dan menyodorkan dua botol ke arahku. " Kamu mau yang mana?"
Kupilih botol air mineral, dan Aksel langsung membuka botol teh, meneguknya hingga setengah. Aku mengikutinya, membuka tutup botolku dan meneguk isinya dengan rakus. Oke, selain lelah, aku juga haus.
" Aku menyedihkan ya?" kataku tertawa.
Aksel menggeleng. " tidak kok. Kamu manusiawi. Kalau aku di posisimu, belum tentu akan setegar kamu." Jeda memenuhi udara.
Lalu dia meraih tanganku, menggenggamnya, dan berkata, " Aku suka kamu, Cesa. Dan seperti cowok normal lainnya, aku berharap kamu juga suka aku. Aku ber harap kita pacaran. tapi aku nggak ingin kamu terpaksa me lakukannya. Maksudku, sampai detik ini pun aku belum nembak kamu. ya karena aku tahu di hatimu, kamu masih menyukai seseorang. Sebelumnya aku tidak tahu. tapi malam ini aku tahu. Aku nggak bisa maksa kamu menyukaiku. Sama seperti kamu nggak bisa memaksa Nathan menyukaimu. Atau Nathan memaksa Jinan menyukainya."
Aku memandang mata Aksel yang jernih. Dipandang dari jarak sedekat ini, dia terlihat lebih tampan dari biasanya. Dan di mata jernihnya itu tak ada sedikit pun kebohongan. Aku jadi lebih menyukai Aksel daripada sebelumnya.
" Ah, ruwet sekali ya," katanya. Aku tergelak mendengar nadanya berbicara.
" Kenapa tuhan tidak membuat segala sesuatunya lebih sederhana ya? Seperti misalnya kamu menyukaiku dan Jinan menyukai Nathan."
" Aku juga pernah berpikir seperti itu," kataku. " tapi kalau jalan ceritanya seperti itu, tidak ada menariknya dong. Hidup ini jadi datar. tidak ada konlik.
Nggak ada seru-serunya. Kalau ditulis jadi novel, enggak akan ada yang beli," katanya.
Aku dan Aksel tergelak-gelak. Hatiku sudah kembali menghangat. Pikiranku sudah lumayan jernih. Aku balas menggenggam tangan Aksel. " terima kasih ya. Kamu baik sekali. Aku tidak bermaksud memanfaatkanmu. Aku hanya butuh teman."
Aksel tersenyum. " Aku tahu kamu bukan cewek jahat yang suka memanfaatkan cowok-cowok. tapi kalaupun iya, aku nggak keberatan dimanfaatin sama kamu kok."
" Gombal," aku merajuk. Aku meninju lengan Aksel perlahan. Dia tertawa-tawa.
" Ayo pulang. Sudah malam. Besok kita harus pergi ke sekolah, kan," kataku.
" Siap!" kata Aksel riang. Dua tanganku disatukan dalam genggamannya. Setelah beberapa detik, dia melepaskan genggamannya dan mulai menyetir mobil. Perlahan mobil kami bergerak menembus malam menuju rumahku.
Aksel banyak tertawa dan banyak bicara sepanjang perjalanan pulang itu. Baru kali ini aku mendengarnya bicara begitu banyak. Dia bercerita tentang segala hal yang disukainya. Kurasa dia melakukan itu untuk menghiburku. Dan aku menghargainya. Sungguh.
Mobil merapat dan berhenti di depan gerbang rumah. Aku berterima kasih sekali lagi. Dan memandangi mobil Aksel hingga menghilang di tikungan.
Kukeluarkan serenceng kunci dari dalam tas. Aku dan Jinan sudah sejak lama diberikan serenceng kunci oleh Mamam. Dulu aku merasa senang karenanya. Punya kunci rumah itu berarti aku bisa pulang kapan saja, bukan? Itu surga bagi anak seumurku. tapi sekarang aku jadi benci memikirkannya. Mamam sengaja memberikan kunci rumah agar dia tidak perlu bangun malam untuk membukakan gerbang dan pintu rumah atau bagaimana?
ternyata pintu gerbang tidak dikunci. Kulihat teras dengan seksama. Jinan duduk di salah satu kursi dengan buku di tangannya. Aku menutup gerbang dan mengunci gemboknya. Kulangkahkan kakiku perlahan dan melihat Jinan tanpa ekspresi. Jinan jarang seperti itu, berwajah tanpa ekspresi, maksudku.
" Kamu dari mana?" tanyanya.
Aku duduk di kursi yang kosong. Kuluruskan kakiku tanpa menjawab pertanyaan Jinan. Mataku menatap berba gai tanaman di taman depan. Selama Mamam tidak ada, Bang Jajalah yang merawat tanaman-tanaman itu. Aku dan Jinan tak begitu suka dengan tanaman maupun bunga.
" Kupikir kamu tidur. Jadi aku nggak khawatir sama sekali," katanya. " Pas Nathan sudah pulang, kucari kamu di kamar dan kamu nggak ada. Coba bayangkan bagaimana khawatirnya aku ini. Dan ponselmu kamu matikan. Kamu itu kadang keterlaluan sekali."
Aku memejamkan mata mendengarkan omelan Jinan. Dia tidak marah, aku tahu itu. Dia hanya mengomel.
Mungkin ada banyak yang tak suka diomelin seperti aku yang diomelin Jinan sekarang ini. tapi aku tidak keberatan diomelin seperti ini. Karena aku suka. Ah, bagaimana bilangnya ya. Begini, Mamamku itu tipe ibu yang tak pernah mengkhawatirkan anak-anaknya. Hampir tak pernah. Aku tidak bisa mengingat kapan terakhir kali dia mengkhawatirkanku dan Jinan. Jika aku pulang telat, tak akan ada sms atau telpon bernada khawatir yang mencariku. Berbeda dengan cerita Sisil yang kerap ditelpon mamanya jika dia pulang telat sedikit saja. Sisil iri karena aku tak pernah dicari. Aku sebaliknya. Iri dengan Sisil karena selalu dicari.
Kau tahu, ada jenis orang yang kadang ingin sekali kau benci tapi nggak bisa. Seperti contohnya Jinan ini. Kadang ada saat aku betul-betul ingin membencinya. Karena aku harus menjaganya ketika dia depresi agar tidak bunuh diri. Karena aku harus selalu mengalah menghadapi moodnya yang berubah-ubah. Karena dia sering mengacaukan jadwal kencanku. Karena dia selalu menyeretku ke mood depresinya. Dan hal-hal semacam itu.
tapi seberapapun besarnya usahaku untuk membencinya, tetap nggak bisa. Aku tak bisa membenci Jinan. Dia kakakku. Aku tak punya pilihan selain menyayanginya, kan? Lagi pula Jinan satu-satunya orang yang secara konstan mengkhawatirkanku. Jinan satusatunya orang yang selalu mencariku ketika aku nggak ada. Dia satu-satunya orang yang selalu melindungiku.
Seperti saat Jinan melindungiku sore itu, tiga tahun yang lalu.
Saat itu Jinan kelas 10 dan aku kelas 8. Papap masih lumayan sering tinggal di rumah. Papap melarangku dan Jinan untuk pergi nonton di hari Minggu. Aku lupa apa alasannya.
Saat itu Jinan menjadi anak yang sangat baik dan penurut. Dia tak keberatan untuk tidak pergi menonton di hari Minggu karena dia punya setumpuk buku untuk dibaca. tapi aku tidak terima larangan yang tidak masuk akal seperti itu. Jika alasannya tidak boleh pulang malam, ya mungkin aku bisa menerimanya. tapi waktu itu aku ingin menonton siang hari. Bersama pacarku.
Aku sering heran dengan Jinan. untuk hal-hal tertentu dia itu pemberontak. Dia selalu melakukan apa yang disukainya tanpa peduli pendapat orang lain. tapi dalam hal dilarang keluar rumah di hari libur, dia patuh sekali. Maka akulah yang jadi pemberontak saat itu. Aku mengendap-endap keluar rumah dan pergi menonton dengan pacarku.
Aku tak begitu ingat tepatnya pukul berapa tiba di rumah. yang kuingat aku tiba di rumah sebelum makan malam. Jadi mungkin pukul enam atau tujuh. Sekali lagi aku mengendap-endap masuk ke dalam rumah. tak ada siapa pun sehingga aku bisa menarik napas lega. Papap mungkin sedang keluar. Jadi aman, rahasiaku melanggar aturan tidak akan ketahuan.
tapi aku salah rupanya. Papap duduk di kursi persis menghadap ke arah pintu. Semula aku mengira lampu ruang tamu yang belum dinyalakan itu karena tidak ada orang di rumah. ternyata lampu itu sengaja tidak dinyalakan agar aku tidak tahu ada Papap yang menungguku.
Saat mataku sudah bisa menyesuaikan dengan keadaan temaram di ruang tamu dan melihat sosok Papap beberapa langkah di depanku, tiba-tiba lampu menyala dan kulihat Papap mengambil vas bunga di meja lalu melemparkannya ke arahku. Entah gerak releksku yang bagus atau karena mata Papap tak begitu tajam, vas milik Mamam melayang melewatiku dan menghantam pintu. Vas itu terjatuh di lantai, mengeluarkan bunyi berdenting-denting.
Kudengar langkah kaki yang cepat menuju ke tempatku berdiri. Sebelum aku sadar apa yang terjadi selanjutnya, Jinan sudah memelukku. Dan detik berikutnya terdengar bunyi hantaman dan lagi, bunyi dentingan benda pecah. Mataku hampir lepas dari rongganya saat aku melihat gelas yang berisi kopi pecah berkeping-keping di dekat kaki Jinan dan kakiku. tanganku yang kemudian memeluk Jinan membuatku tersadar kopi itu menyiram punggungnya. Bunyi hantaman tadi ternyata tubrukan gelas dengan punggung Jinan.
Aku menggigil memandang Papap. Entah apa yang kurasakan saat itu. Perasaan marah, takut, murka bercampur jadi satu. Membuat dadaku sakit sekali. Papap berdiri meninggalkan kami berdua begitu saja. Dan kalian tahu apa yang Mamam lakukan? Dia berdiri memandangi kami berdua. Lalu berlalu begitu saja.
" Kamu baik-baik saja?" suaraku pecah bersama tangis yang tak lagi bisa kutahan.
" Aku yang seharusnya tanya. Kamu nggak kena pecahan belingnya, kan?" Jinan melepaskan pelukannya, lalu meman dangiku dari rambut hingga ujung kaki.
Aku menggeleng sambil mengusap air mata yang sudah turun. " Ayo ke kamar saja. Ganti bajumu, Jinan," kataku.
Jinan tak menjawab sepatah kata pun, tapi dia melangkah mendahuluiku ke kamar. Aku mengikutinya. Setelah kami berdua tiba di dalam kamar, aku menangis sejadi-jadinya. Aku meminta maaf pada Jinan berulang kali. Karena akulah dia terguyur air kopi itu. Jinan berusaha menenangkanku yang histeris. Dia bilang hal itu bukan salah siapa-siapa. Jika memang harus ada yang disalahkan, maka Papaplah orangnya. Papap memperlakukan kami seperti bukan manusia. Bahkan hewan pun tak pantas dilempar dengan vas bunga atau gelas kopi. Orang kedua yang pantas disalahkan adalah Mamam karena dia tak pernah berbuat apa pun untuk mencegah Papap atau menegurnya. Dia juga tak pernah menolong kami dalam keadaan seperti ini. Jinan berkata seperti itu.
Aku terus menerus menangis. Dan tangisku bertambah keras saat kulihat bekas memar di punggung Jinan. Mulai saat itu aku tak punya pilihan lain selain menyayangi Jinan. Seaneh apa pun dia, sesering apa pun dia menyeretku ke dalam pusaran depresi, aku selalu menyayanginya. Karena Jinan satu-satunya orang yang berlari untuk melindungiku.
Jika aku berada di posisi Jinan saat itu, aku tak yakin akan melakukan hal yang sama. Berlari untuk memeluk adikku dan merelakan punggungku sendiri terkena lemparan gelas dan siraman kopi.
hat s why I have no choice but to love you, Jinan.
ef
sepuluh
A wan di langit bergulung-gulung mendung. Langkah
kaki kupercepat. Cuaca belakangan ini begitu tidak tertebak. Kadang cerah kadang mendung, sedetik kemudian hujan badai dengan bonus pohon tumbang di mana-mana. Jakarta juga tidak tertebak. tapi kalau Jakarta sih, tidak tertebaknya itu tentang macet. Aku dan Jinan hampir selalu berangkat bersama naik mobil pagipagi. Jam pergi kami sama. tapi jam kedatangan kami di sekolah dan kampus selalu berbeda. tergantung macet atau tidaknya. Dan macet itu tergantung apa ya? Entah.
tidak tertebak itu sama juga dengan Jinan. Detik ini dia bisa menjadi anak manis yang pemalu. tapi detik berikutnya dia bisa berubah menjadi monster mengerikan. Atau mungkin Jinan itu lautan ya. Kadang tenang kadang berombak menghancurkan.
Ah sialan. Ngapain coba aku memikirkan awan, macet Jakarta, Jinan, dan lautan?
Kugoyangkan kepala ke sana kemari berulangkali, berharap pikiran-pikiran yang tadi berlompatan keluar.
Aku ingin kepalaku kosong pagi ini. Aku ingin kepalaku ringan. Itu harapan yang tak muluk di pagi hari, kan?
" Kamu lagi ngapain sih?" suara dari arah samping membuatku menolehkan kepala. Di sisiku sudah berdiri Sisil yang memberiku tatapan aneh. " telingamu kemasukan air?"
" Enggak," keningku mengernyit. " Kok kepalamu digoyang-goyangin?"
" Mengeluarkan hal-hal yang nggak penting dari dalam tempurung kepala," aku menyeringai.
Sisil memandangku dengan tatapan yang lebih serius. " Berhasil?" tanyanya.
Mau tak mau aku tertawa. Kadang Sisil bisa menjadi begitu konyol. Dia satu-satunya teman yang bisa meladeniku bertingkah konyol.
" Pulang sekolah temenin aku ke Plaza Senayan, yuk," ucap Sisil. Satu tangannya menggandeng tanganku. Dia tipe orang yang suka bergandengan tangan dengan siapa pun.
Aku memandangi pucuk-pucuk daun yang ber goyang tertiup angin sebelum menjawab pertanyaan Sisil. Beli apa? Kenapa harus di Plaza Senayan? Hanya dua pertanyaan yang kuberikan, tapi Sisil menjawabnya sebanyak satu lembar folio penuh (itu jika dia menuliskannya di selembar kertas).
Sisil ingin membeli hadiah untuk mamanya. tas Charles & Keith atau Marie Claire atau apalah. Aku tak bisa mengingatnya dengan baik. Bukan tak bisa sih. Meski ingatanku tak seperti Dr. Spencer Reid di Criminal Minds (dia punya eidetic memory atau photographic memory " aku menonton Criminal Minds karena Jinan menontonnya), tapi ingatanku lumayan kuat. Jika tidak begitu, nggak mungkin kan aku selalu ranking satu. Akui sajalah kemampuan mengingat itu kemampuan yang paling penting saat kau harus melewati masa-masa sekolah.
Fokus ingatanku berpijak pada Nathan. Aku tahu sebuah buku yang ingin dimilikinya dan aku betulbetul ingin membeli buku itu untuknya. Nathan ingin memiliki novel fantasi remaja berjudul Eon. Aku lupa nama penulisnya.
untuk orang-orang seperti Jinan dan Nathan, diberi buku itu seperti diberi separuh surga. Kubilang separuh karena aku tak bisa membayangkan jika diberi surga seutuhnya. Dan kubilang surga karena ya siapa sih yang nggak mau masuk surga? Dan ya siapa sih yang tak suka kejutan menyenangkan? Semua orang pasti suka. termasuk Nathan. Dan siapa tahu jika memberi buku itu berarti membuat Nathan memberiku perhatian lebih. Lebih sedikit saja aku sudah senang.
Seharian itu kulewatkan dengan sibuk mengerjakan segudang soal latihan. Kau tahu kan sepuluh hal paling menyiksa di sekolah? PR dan tugas yang seolah tak ada habisnya adalah salah satu dari yang sepuluh itu. Aku tidak bohong. Sungguh. Penderitaanmu akan bertambahtambah saat menjelang ujian. Soal-soal latihan ujian menyerbumu. Membuatmu mabuk kepayang. Oke, aku meracau. Lupakan saja.
Awan yang terus bergulung mendung dan angin semilir yang tak berhenti bertiup membuatku mengantuk. Rasanya waktu berputar sangat cepat ketika bel pulang berbunyi dan Sisil dengan sigap mengemasi seluruh buku dan peralatan sekolahnya.
" C mon! Let s go!" serunya ceria.
Aku tersenyum, menguap sekali, dan memasukkan benda-benda milikku yang masih berada di atas meja ke dalam tas.
" Kita ke sana naik mobilku saja ya. Pak udin sudah jemput," kata Sisil, masih dengan ekspresi ceria.
Aku hanya menganggukkan kepala. tiba-tiba aku teringat Mamam. Seandainya membeli tas Charles & Keith atau Marie Claire itu bisa membuatnya bahagia dan ceria seperti Sisil sekarang ini ya. Pastilah aku rela menghabiskan seluruh tabunganku untuk mentraktir Mamam tas apa pun yang dia mau. tapi nyatanya tidak se mudah itu. Aku jadi berpikir apakah orang dewasa memang lebih sulit untuk bahagia. Apakah semakin kita dewasa semakin kecil kemungkinan untuk bahagia? Buktinya Mamam masih suka menangis sendirian malam-malam. Padahal dia sudah membuat kue setiap hari, yang adalah hobinya, passion-nya. Mamam juga sudah membeli setumpuk dvd korea. tapi tetap saja Mamam tidak bahagia.
Kalau seperti itu, aku tidak ingin tumbuh dewasa. Mobil yang membawa kami berdua berhenti tepat di depan pintu Plaza Senayan. Sisil langsung menarik tanganku dan dengan sangat bersemangat berceloteh tentang warna-warna tas koleksi milik mamanya. Aku mendengarkan dengan tekun, sesekali memberikan komentar.
Beberapa menit kemudian, kami sudah berdiri di depan deretan tas warna-warni. Dan itu membuatku lumayan senang. Aku bersemangat memberi komentar untuk setiap tas yang ditunjuk Sisil. Pipiku lumayan bersemu merah saat Sisil meletakkan kedua tangannya di bahuku dan bilang, " Aku nggak tahu apa jadinya membeli tas hadiah untuk mama tanpa bantuanmu, Cesa. Kau ini keren sekali. Benar-benar tahu tas mana yang cocok untuk mamaku. Aku senang sekali. terima kasih ya."
Kau pernah mendengar profesi shop consultant atau personal shopping consultant? Selain ingin menjadi desainer, aku ingin sekali bekerja sebagai shop consultant. tentunya menyenangkan sekali ya bisa bekerja seperti itu. Mempelajari kepribadian orang kemudian bisa memilihkan baju atau asesoris yang tepat. Lalu orang itu merasa puas atau bahagia sekali hingga memberi kita pujian bertubi-tubi. Persis seperti yang dilakukan Sisil barusan.
" urusanku sudah selesai. Kamu jadi beli buku di Kinokuniya?" suara Sisil menarikku kembali ke dunia nyata dari khayalan menjadi shop consultant.
Aku mengangguk sebagai jawabannya.
" Sejak kapan kamu suka membaca? Buku bahasa Inggris pula," tanya Sisil heran.
tawaku terlepas begitu saja. " tentu saja buku itu bukan buat aku."
" untuk Jinan?" Aku menggeleng. " Nathan?" tebaknya.
" Kok tahu?" ekspresi kaget yang muncul di wajahku pastilah sudah cukup sebagai jawaban bahwa tebakannya benar.
" Siapa lagi sih orang-orang dalam hidup kamu yang bisa tahan membaca novel tebal berbahasa Inggris? Seingatku cuma Jinan dan Nathan. Enggak mungkin kan kamu kasih novel untuk Ven atau Aksel?"
" Enggak mungkin juga kan aku kasih novel untuk kamu?" kataku sambil meleletkan lidah.
Sisil tertawa lalu menggandeng tanganku. " Mari kita beli buku untuk Mr. Nathan, pujaan hati Nona Cesa."
" Kok tahu?" kataku lagi. Suaraku pastilah terdengar kaget. Maksudku, aku tak pernah sekali pun curhat tentang Nathan. Enggak pernah. Selama ini kupikir Sisil hanya tahu tentang Vendetta dan Aksel dan mungkin beberapa cowok yang menyukaiku. tapi bukan Nathan. Dan seingatku aku nggak pernah cerita juga aku naksir Nathan. Kalau pun aku cerita pastilah cerita itu melibatkan Jinan. tak pernah hanya Nathan.
" Mau tahu banget atau mau tahu aja?" Sisil mengedipngedipkan matanya beberapa kali. Aku tahu dia sengaja menggodaku. Kulepaskan genggaman tangannya dan kakiku naik dua langkah di atas eskalator yang mengantar kan kami ke Kinokuniya.
" Dooo ngambek," Sisil tertawa keras sekali. Sialan. " Princesa Sayang, berapa lama sih kita sudah berteman? tanpa perlu kamu bilang pun aku sudah tahu sejak dulu kamu menaruh hati pada Nathan. Matamu yang selalu berbinar dan suaramu yang sarat kebahagiaan sudah lebih dari cukup sebagai indikasi kamu naksir Nathan. Atau lebih tepatnya kamu cinta Nathan."
Aku menatap Sisil takjub. " ya ampun, kamu menelan pil apa sih kok bahasamu jadi ajaib begitu?"
Sisil tertawa lepas. " Berhenti menggodaku, Sisil," aku merajuk.
" Oke. Aku berhenti." tawanya hilang seketika. Dengan wajah sangat serius Sisil menatapku, lalu berkata, " Aku ingin melihat-lihat aksesoris lucu yang ada di sana." Dia meluruskan lengan kanannya, lalu mengarahkan telun juk nya ke bagian aksesoris. " Kamu pergi sendiri cari buku enggak apa-apa, kan? Siapa yang selesai duluan yang menghampiri yang belum selesai. Oke?"
Sebelum sempat aku menjawab pertanyaannya, Sisil sudah melenggang pergi. Aku tersenyum memandangi sosoknya yang makin menjauh. Aku melangkah ke arah yang berlawanan. Eon, novel fantasi karya Alison Goodman (aku sudah googling tadi, mencari nama penulisnya), terletak di sisi pojok kanan. Buku-buku fantasi terletak di bagian yang lumayan tersembunyi di Kinokuniya ini. Kubilang tersembunyi karena bukan merupakan rak utama best seller yang terletak di dekat pintu masuk. Aku mengetahui letaknya karena Nathan menunjukkannya kepadaku saat dia mengantarkanku membeli he Silver Linings Playbook untuk Jinan.
Sebetulnya Nathan sudah membaca Eon. temannya, Sari " atau siapalah" meminjaminya. Nathan membaca Eon yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dia jatuh cinta sama Eon. Jatuh cinta yang sebenarbenarnya dengan novel itu. Nathan ingin membeli versi aslinya dalam bahasa Inggris. tapi hingga sekarang dia belum sempat membeli, entah karena apa. Dan aku ingin memberinya hadiah novel itu.
Kakiku seperti terpaku ke bumi saat tiba di bagian buku-buku fantasi. Dua sosok yang begitu kukenal berdiri beberapa langkah di depanku. Mereka berdiri di balik rak buku. Aku baru bisa melihatnya setelah sebegini dekat. Jinan dan Nathan.
Mereka berciuman.
Singkat. Sebentar. tapi aku melihatnya. Aku terlanjur melihatnya.
Rasanya seperti digulung ombak pasang terbesar di lautan. Atau mungkin pusaran tornado yang paling dahsyat. Aku tidak bisa bernapas dalam pusaran itu. Dada ini sesak sekali.
Nathanlah yang pertama kali memandang ke arahku. Dia terkejut tentu saja. Sedetik kemudian Jinan mengikuti arah pandangan Nathan. Dia pun terkejut. Ah, mereka seperti pencuri tertangkap basah. Mereka memang pencuri. Mereka mencuri berciuman di tempat seperti ini. Dan aku memergokinya. Aku, Princesa.
" Cesa," Nathan menyebut namaku.
Jinan tak berkata apa-apa. Kemarahan mengepungku dari segala penjuru. Aku benci Jinan! Lupakan jika aku pernah bilang aku menyayanginya! Lupakan jika aku pernah bilang aku selalu mengerti dia. Aku benci.
" Dasar munaik!" desisku tepat di depan wajah Jinan. Kami berdiri berhadapan dengan jarak hanya beberapa sentimeter. Aku bukanlah Jinan yang bisa berteriak-teriak kalap di depan semua orang.
" Apa kamu bilang?" Jinan menarik tubuhnya menjauhiku dan menaikkan nada bicaranya satu oktaf lebih tinggi .
" Ssshh," suara Nathan membuatku semakin ingin menangis. " Jangan bertengkar di sini. tidak enak dilihat orang banyak. Ayo kita duduk bersama, kita bicarakan baik-baik. ya?"
Satu tangan Nathan meraih tangan Jinan dan satunya lagi meraih tanganku. Aku menepiskannya, begitu juga dengan Jinan. Nathan memandang kami berdua, lalu berjalan menuju pintu keluar. Aku mengikutinya. Bagaimana pun Nathan benar. Aku tidak ingin menjadi tontonan banyak orang karena ribut di Kinokuniya. Kejadian ribut di Blitz Megaplex masih membekas di benakku. Dan aku tak mau hal itu terulang lagi.
ternyata Jinan mengikuti kami berdua. Nathan langsung masuk ke kedai Starbucks di dekat pintu masuk Kinokuniya. Dia menunjuk ke satu meja kosong dengan empat kursi kayu. Dengan sudut matanya Nathan memintaku dan Jinan duduk di situ. Sekali lagi aku menurut. Aku duduk di salah satu kursi, dan Jinan juga melakukan hal yang sama. Sementara Nathan membeli minuman untuk kami bertiga.
Aku merasa sudah seabad menunggu sebelum Nathan datang membawa dua minuman berukuran grande. Dia meletakkannya di meja dan kembali lagi ke konter untuk mengambil satu minuman berukuran sama. Aku menyesap kopiku dan bergantian memandang Jinan dan Nathan. Kemarahan yang sempat mereda menggulungku lagi.
" Apa maksudmu menyebutku munaik?" suara Jinan terdengar dingin. Dia mengatakannya tanpa menatapku.
Aku memandang Jinan dengan penuh kebencian. " tentu saja kamu munaik. Kamu bilang kamu nggak suka Nathan. Kamu bilang kamu hanya menyukainya sebatas sahabat. tapi tadi apa coba? Kamu cium dia!"
" Aku nggak cium dia! Kami berciuman!" Jinan melotot ke arahku.
" terserahlah apa namanya," kataku sengit. Biasanya aku akan menganggap hal ini lucu. Kebiasaan Jinan mengoreksi kalimat-kalimat yang kukatakan. tapi sekarang tidak lucu sama sekali. Aku marah. Aku merasa dikhianati. Dan Jinan perlu tahu itu.
Nathan tak mengatakan apa pun. Itu membuatku sedikit marah. Seharusnya dia membelaku. Seharusnya dia membenci Jinan, seperti yang kurasakan sekarang.
" Aku selalu mengalah sama kamu sejak dulu, Jinan. Aku selalu mengerti mood-mu yang seperti roller coaster. Aku selalu menemanimu menangis. tapi untuk hal yang satu ini, kenapa kamu nggak bisa mengalah untuk aku? Kenapa kamu nggak bisa melakukan sesuatu untuk aku?" " Hal apa?" tanya Jinan tak acuh.
Aku jadi ingin mencakar wajahnya. " tentang Nathan!" kataku setengah berteriak. " Ssshh," Nathan menepuk-nepuk punggung tanganku. Aku menepiskannya sekali lagi.
" Nathan kenapa?" kali ini Jinan memandangku. " Oh ya ampun. Kamu pura-pura bodoh atau gimana," aku balas memandang Jinan dengan perasaan muak. " Kamu tahu sejak dulu Nathan suka kamu. tapi coba lihat bagaimana kamu memperlakukan dia. Kamu juga tahu sejak dulu aku suka Nathan. Kalau kamu memang nggak suka Nathan, kenapa sih kamu nggak relakan dia saja buatku, Jinan? Dulu kamu pernah bilang kan kalau cowok itu memang lebih memilihku, kamu akan lepaskan dia. Kamu bilang untuk apa mempertahankan cowok yang nggak segitu sayangnya sama kamu. Begitu kan katamu dulu? tapi kenapa kamu nggak melepaskannya juga? Kamu nggak nerima Nathan jadi pacarmu, tapi kamu juga nggak mau lepasin dia. Maumu apa sih, Jinan? Kamu itu munaik, tahu nggak sih." Napasku memburu ketika aku me nyelesaikan kalimat terakhir.
Jinan memandangku lekat-lekat. Lalu dia memandang Nathan. " Kalau begitu kita tanya Nathan saja. Jika memang harus memilih, dan sepertinya begitu, kamu milih siapa, Nat? Aku atau Cesa?"
Nathan bergerak gelisah di tempat duduknya. Pandang annya berpindah-pindah dari Jinan ke aku dan se balik nya. " Aku tidak ingin menjawabnya," dia berkata lirih.
" Oh, kamu gunakan hakmu untuk tidak menjawab ya," Jinan mendengus.
Kemudian kami terdiam. Sibuk dengan pikiran masingmasing. Nathan menyesap kopinya yang sudah tinggal sedikit, kelihatan sekali kalau ia begitu kikuk. Aku sibuk menenangkan diriku sendiri. Rasa marah yang kurasakan sekarang membuatku ingin sekali menangis. Kulihat Jinan tertunduk, diam, lalu tak lama ia terisak pelan. Aku dan Nathan serempak memandanginya.
Dulu aku pasti akan segera memeluknya saat dia terisak seperti itu. Aku akan membujuknya untuk berhenti menangis. tapi tidak sekarang. tidak setelah apa yang dia lakukan padaku.
" Kenapa kamu harus serakah sih, Cesa?" kata Jinan di sela isak tangisnya. " Banyak cowok yang suka kamu.
Kamu cantik, pintar, pandai bergaul. Semua cowok juga pasti jatuh cinta sama kamu. Sedangkan aku? yang suka aku cuma satu. Nathan. Hanya dia saja yang menyukaiku. tapi kenapa kamu juga harus merebut yang satu itu? Apa segudang cowok yang kamu ajak nonton setiap malam Minggu itu nggak cukup? Kenapa kamu juga menyukainya? Kenapa kamu juga ingin memilikinya?"
Aku termenung mendengar kata-kata Jinan. Aku serakah? Kata-kata itu berputar-putar di kepalaku seperti gasing.
" Di sini kalian rupanya," suara ceria yang kukenali se bagai suara Sisil terdengar di telingaku. Kulihat sosoknya ber - diri di samping Jinan. Senyum cerianya menghilang be gi tu melihat ekspresi wajahku. Jinan menyusut air matanya.
Aku berdiri dan menghampiri Sisil. tanpa berkata apa pun, kuraih tangannya, dan mengajaknya keluar dari Starbucks. Rasanya aku bisa mati sesak napas jika terus menerus berada di dekat Jinan dan Nathan. Sisil mengikutiku tanpa bicara. tangannya meremas tanganku beberapa kali. Kupikir dia ingin meyakinkanku kalau semua akan baik-baik saja.
Pandanganku kabur oleh air mata. Dan tiba-tiba saja aku sudah terisak-isak sambil berjalan kaki. Sisil menepuknepuk punggungku. " Sshh, menangisnya di mobil saja ya, Cesa Sayang."
Lalu kudengar Sisil menelpon sopirnya, memintanya siap menjemput kami di pintu masuk utama.
tak banyak yang bisa kuingat dalam perjalanan pulang itu selain aku yang sibuk menangis di bahu Sisil dan dia yang sibuk menenangkanku. Aku merasa sangat merana karena sebagian dari kata-kata Jinan betul adanya. Hampir semua cowok menyukaiku. Hell, siapa sih yang nggak suka cewek cantik, pintar, dan baik hati seperti aku? terserah jika aku akan dianggap arogan atau apa. tapi memang kenyataannya seperti itu.
tapi yang membuat kenyataan itu menjadi ironis adalah ketika satu cowok yang kusukai tidak menyukaiku. Hati Nathan hanya untuk Jinan. Kenyataan itu membuatku sakit. Kenapa Nathan tidak jatuh cinta sama aku saja? Kenapa aku jatuh cinta sama dia? Isakanku semakin hebat saat aku mengingat hal ini.
Jinan benar. Dalam beberapa hal, dia lebih mengalah dibandingkan aku.
Saat itu aku kelas 3 dan Jinan kelas 5. Mamam membelikan kami satu set mainan Barbie dan Ken. " Ini untuk kalian berdua. Main bersama-sama," kata Mamam yang disambut dengan ciuman dariku dan Jinan karena kami begitu gembira.
Bisa dibilang Mamam tak pernah membelikan mainan satu-satu untukku dan Jinan. Mamam akan membelikan kami berdua satu mainan dengan harapan kami akan bermain bersama dan belajar mengalah atau belajar toleransi atau semacam itulah. Mungkin niat Mamam itu berhasil. Mungkin tidak. Karena sering kulihat sirat kecewa dari wajah Jinan saat dia harus mengalah padaku.
" Boleh kupinjam Barbie sebentar saja?" kata Jinan sambil terus menatap Barbie berbaju pink di tanganku. Aku menggeleng tegas. Bagaimana mungkin aku menyerahkan Barbie kepada Jinan padahal aku belum mengganti-ganti semua bajunya? Mamam membeli selusin pakaian Barbie berwarna-warni. Mulai dari gaun pesta hingga kostum tenis.
Aku mengangkat wajahku yang sejak tadi takjub memandangi gaun pesta Barbie. Kulihat Jinan bermain dengan Ken yang mengenakan kemeja biru berco rak paisley dan celana selutut biru muda cerah. Baju Ken hanya dua. Kemeja biru itu dan setelan jas. Membosankan sekali pakaiannya. Aku nggak pernah mau bermain dengan Ken.
Entah sejak kapan Jinan mulai berhenti bermain Barbie dan Ken bersamaku. Aku tak pernah benarbenar menyadarinya karena setiap kali aku mengajaknya bermain, Jinan selalu mengangguk. Dia akan duduk di dekatku dengan membawa sebuah buku. tak pernah lagi dia memintaku meminjamkan Barbie barang sebentar. Dia tak lagi peduli pada Barbie atau Ken. Boneka cowok dengan baju menyedihkan itu menjadi lebih menyedihkan karena hanya tergeletak di samping Jinan.
Kurasa Jinan meminta Mamam membelikannya buku cerita. tentu saja Mamam tidak menolak. Sudah kubilang selama buku itu untuk kami berdua, Mamam akan membelikannya. Jinan cerdas kukira. Karena aku tak pernah sekali pun meminjam bukunya. Satu-satunya hal yang bisa dia miliki secara utuh tanpa harus berbagi denganku. Buku. Mungkin itulah awal mula Jinan gila membaca.
" Jinan, apa kau marah karena tak kukasih pinjam Barbie?" tanyaku suatu hari saat kami sibuk bermain bersama. Aku asyik bersama Barbie dan Ken. Jinan asyik dengan bukunya.
" Enggak," jawabnya singkat. Matanya tetap terpaku pada buku yang terbuka di tangannya.
" tapi kamu nggak pernah main bareng lagi denganku," kataku setengah merajuk.
Jinan mengangkat wajahnya dari buku dan memandangi ku. " Karena aku punya Barbie sendiri di sini dan lebih asyik karena ada ceritanya. tidak hanya menggantiganti baju sepertimu," katanya sambil menunjukkan buku yang dia baca. Halaman yang terbuka memang bergambar puteri seperti Barbie dengan unicorn putih keperakan. Pertama kali aku melihatnya, aku tak tahu kuda bertanduk putih cemerlang itu bernama unicorn. Jinan yang memberitahuku tentang itu.
Ingatanku melompat lagi ke suatu masa saat kami jauh lebih dewasa. Jika tak salah ingat kami berdua samasama bersekolah di SMP saat itu. Mamam dan Papap berlibur ke Bali. Oleh-oleh untuk kami berdua adalah kain pantai. yang satu berwarna dasar abu-abu pucat dengan motif keperakan. yang satunya lagi biru dengan motif keunguan. Mata Jinan terpancang pada kain yang berwana abu itu. Aku tahu dia begitu menginginkannya. tapi dia selalu mengizinkanku memilih terlebih dahulu. Jinan selalu begitu. Aku tak begitu tahu alasannya mengapa dia berbuat seperti itu.
Sebetulnya aku tak begitu peduli apakah aku mendapatkan kain pantai yang berwarna abu keperakan atau biru keunguan. Dua-duanya bagus menurutku. Duaduanya aku suka. tapi karena aku sudah melihat mata Jinan yang menyiratkan dia ingin kain pantai berwarna abu, secara otomatis aku mengambilnya. Iya, kain pantai abu keperakan itu.
Binar di mata Jinan meredup setelah melihat aku memilih kain yang diinginkannya. Kedua matanya penuh dengan kecewa. Dan aku menikmati saat-saat itu. Saat aku bisa memiliki yang Jinan ingin miliki. Ada perasaan puas yang kurasakan.
Aku tercengang dengan pemikiranku sendiri. Setelah memutar ulang beberapa kenangan bersama Jinan, aku merasa sedikit terpukul. Apakah yang dikatakan Jinan memang benar? Bahwa aku ini serakah. Bahwa aku ini sebenarnya tak pernah mau mengalah.
Selama ini aku selalu merasa akulah yang selalu mengalah. Aku yang selalu menemani Jinan ketika ia menangis. Aku yang selalu mengerti dia. Aku, aku, aku, dan aku. tapi apakah sebetulnya memang seperti itu?
Kepalaku berdenyut. Kubuka pintu kulkas dan kuambil satu kaleng kopi dingin milik Jinan. Aku membuka tutupnya dan menghabiskannya dalam beberapa teguk. Bahkan aku sering mengambil minuman kopi berkaleng milik Jinan di kulkas tanpa izinnya. Dia tak pernah protes. tak pernah sekali pun memintaku berhenti mengambil miliknya. tak pernah sekali pun memintaku mengganti minuman-minuman itu.
Kulihat jam dinding yang menunjukkan pukul lima. Sudah hampir sejam yang lalu Sisil mengantarkanku pu lang ke rumah. Seperti biasa, rumah sepi. Aku menghabiskan sejam terakhir untuk menangis sambil memutar ulang kenanganku bersama Jinan. Kenangan-kenangan itulah yang membuatku didera perasaan bersalah sekarang. Aku serakah. tampaknya Jinan benar.
Dan apakah rasa sukaku pada Nathan hanya karena aku tidak rela Jinan mendapatkan apa yang layak dia dapatkan. Kau mengerti maksudku? Nathan menyukai Jinan. Sudah kubilang kan baru kali ini ada cowok keren yang lebih menyukai Jinan ketimbang aku. Dan itu membuatku sedikit marah. Jujur saja, rasanya memang sedikit marah. Apakah keinginanku untuk memiliki Nathan hanya karena aku merasakan kepuasan tersendiri jika bisa mengambil milik Jinan? Seperti dulu saat aku selalu memilih apa yang disukainya. Seperti dulu saat aku tak pernah meminjaminya Barbie.
Sebentuk perasaan bersalah merayapi hatiku. tapi aku tak mau berlarut-larut. Aku banyak belajar dari Jinan. Aku tak ingin seperti dia. Aku tak ingin menangis berjam-jam hingga mataku bengkak seperti mata panda. Aku merasa bersalah. ya sudah. Lalu apa? Lalu bagaimana? Aku sendiri masih tak tahu.
Jika saja aku bisa mengabaikan Nathan seperti aku mengabaikan Ken. Jika saja aku bisa membiarkan Jinan memiliki Nathan seperti dulu aku membiarkannya memiliki Ken. tentu semua ini akan menjadi jauh lebih mudah.
Seandainya semudah itu.
ef
sebelas
S emalam Jinan pulang larut. Entah di mana dia meng
habiskan waktunya seharian. Kutebak dia pergi ke perpustakaan, membaca sampai matanya keriting. Lalu dia akan pindah ke Seven Eleven. Membaca lagi, sampai keriting lagi. Atau mungkin dia menghabiskan waktunya di kos Nathan. Berdua saja dengan Nathan. Memikirkan kemungkinan Jinan berduaan dengan Nathan membuat dadaku sesak.
Diary Princesa Karya Swistien Kustantyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mamam pulang tak kalah larut. Wajahnya kusut saat aku berpapasan dengannya di dapur. Kami berbincang sedikit. Sepulang dari Bali, Mamam langsung mengurus perceraiannya dengan Papap. Mamam mengeluhkan mahalnya biaya pengacara. Dia tak se dikit pun menanyakan kabarku. Atau kabar Jinan. Ah, kabar kami berdua tak begitu penting dibandingkan dengan biaya mahal menyewa pengacara, kan?
Ingin sekali aku menangis ketika memikirkan semua itu. tapi sekarang ini aku berada di kelas dan aku tak boleh menangis. tepat pada saat selesai membersit hidungku, Sisil masuk dengan pandangan khawatir. Dia berjalan ke arah meja kami dan langsung mengempaskan dirinya di kursi.
" Aku baik-baik saja," kataku sebelum Sisil memberiku pertanyaan bagaimana keadaanmu? .
Sisil tersenyum senang melihatku. " Baguslah," katanya. " Aku mengkhawatirkanmu semalaman." Aku percaya. Sisil itu tipe teman yang benar-benar teman. Dia akan mengkhawatirkan temannya yang sedang sedih, kadang sampai dia jadi ikut kepikiran juga.
Suara langkah kaki yang berbondong-bodong ke luar kelas membuatku dan Sisil bertukar pandang.
" Ada apa?" tanyaku pada seorang teman yang masuk lagi ke dalam kelas setelah sebelumnya ikut berbondongbondong ke luar kelas.
" Ada yang berantem!" jawabnya singkat. " Siapa?" tanyaku lagi.
" Itu, si Vendetta."
Sekali lagi aku bertukar pandang dengan Sisil. Dan tanpa aba-aba kami menghambur ke luar kelas. ternyata semakin banyak teman-teman yang berlari ke lapangan di belakang sekolah. Aku dan Sisil hanya perlu mengikuti mereka saja.
Sesampainya di sana, betapa terkejutnya aku ketika tahu dengan siapa Vendetta berkelahi. Oh, ya tuhan. Vendetta berkelahi dengan Aksel. Apakah penyebabnya aku? Aku ngeri jika jawabannya iya.
Seragam Vendetta dan Aksel mirip dengan seragam yang belum dicuci di iklan deterjen. Penuh lumpur. Warna cokelatnya di mana-mana. Aku mendesah. Vendetta kelihatan baik-baik saja, tapi ujung mulut Aksel berdarah. Bibirku berkedut ngilu melihatnya. tak lama setelah aku dan Sisil tiba di lapangan belakang itu, dua orang guru BP datang dan menggiring Vendetta dan Aksel ke kantor. Beberapa teman minggir memberi jalan dan langsung pergi mengikuti rombongan guru dan murid itu. Mereka pasti penasaran dengan hukuman yang akan dijatuhkan pada Ven dan Aksel.
Aku melangkahkan kakiku dengan lesu. Kenapa sih hidup ini penuh dengan cobaan? Kemarin insiden Jinan dan Nathan. Sekarang Vendetta dan Aksel. Besok apa lagi? Nggak bisa ya aku hidup tenang sehari saja? Rasanya kepalaku sekarang ini sedang mengepul dan ingin sekali aku mencelupkannya ke dalam seember besar air es.
" Kenapa sih mereka berantem?" satu suara di belakangku terdengar.
" Gara-gara cewek. Ven bilang Aksel merebut ceweknya," sahut yang lain.
" Kamu tahu siapa ceweknya? Hebat amat bisa bikin cowok berantem."
" Kelas 12, katanya. Princesa."
ya tuhan. Bisa tolong beri aku seember air es sekarang?
Aku mempercepat langkah kaki. Demi bumi dan langit dan segala makhluk, aku tak ingin mendengar lanjutan percakapan tadi. Entah siapa yang bicara di belakangku itu. Entah mereka pernah tahu wajah Princesa atau tidak. Entah itu menyindir atau memang mereka tak tahu Princesa. Aarrgghh. Entahlah. Kepalaku berdenyut sekarang.
Panggilan Sisil untuk melambatkan langkah tak kuhiraukan. Aku hanya ingin cepat sampai di kelas. Aku hanya ingin duduk dan menenggelamkan diri di lautan soal Fisika. Atau Kimia. Atau apa sajalah. Asal bukan Vendetta, Aksel, Jinan atau Nathan. Damn.
Seharian itu aku benar-benar menenggelamkan diriku di lautan soal seperti yang kubilang. Mungkin aku akan selamanya tenggelam jika Sisil tidak menepuk bahuku tepat setelah bel pulang berbunyi. Aku menengadah. Kuikuti telunjuk Sisil yang mengarah ke pintu. Di sana kutemukan sosok Aksel dengan seragam yang penuh dengan noda tanah. Dia menyeringai ke arahku sambil melambaikan tangan. Atau sebetulnya dia mencoba untuk tersenyum. tapi karena bibirnya pecah, dia hanya bisa menyeringai.
tanpa membalas senyumnya (atau seringaiannya), juga lambaian tangannya, aku mulai mengemasi buku-bukuku. Kelas sudah mulai sepi. Hampir semua teman sekelas sudah keluar. tinggal aku dan Sisil dan beberapa teman. Sisil memandangku khawatir.
" Kau yakin nggak apa-apa kutinggal pulang dulu?" tanyanya sambil mengawasiku.
Aku berhenti berkemas-kemas. Kuusahakan untuk tersenyum, mencoba meyakinkan Sisil bahwa aku baikbaik saja. " Iya, kamu pulang duluan aja. Kamu ada les piano kan hari ini?"
Sisil mendesah. " Aku bisa membatalkannya kalau kamu butuh aku, Cesa."
" Nggak usah. terima kasih," tolakku. " Aku akan baikbaik saja. Janji!"
Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, Sisil akhirnya pergi meninggalkanku. Aksel melangkah masuk ke dalam kelas. Dia duduk di sebelahku, menungguku selesai memasukkan segala macam buku dan peralatan sekolah ke dalam tas.
" Long time no see," katanya dan mencoba tersenyum. Kubilang mencoba karena hasilnya bukan senyuman yang tampak, tapi seringaian.
" Kamu kurang kerjaan banget sih berantem sama Ven," kataku akhirnya setelah selesai berkemas. Kutatap matanya yang jernih. Aku suka mata Aksel yang berwarna kecokelatan itu.
" Dia bilang kamu pacarnya. Katanya aku merebut kamu dari dia. Itu nggak benar, kan?" rahangnya mengeras.
Bahuku terkulai lesu. " Harus kubilang berapa juta kali lagi sih? Aku bukan pacarnya. Sepertinya Vendetta sakit jiwa," gerutuku.
" Bukan sepertinya lagi. Dia memang sakit jiwa," cengiran lebar menghiasi wajah Aksel sekarang.
" Sudah tahu Ven itu sakit jiwa, kenapa kamu penuhi tantangannya untuk berkelahi?" aku merajuk. Jika waktu bisa diputar ulang, aku tetap tak ingin Ven dan Aksel berkelahi. Benar.
" Karena aku suka sama kamu," jawab Aksel singkat. Dia menatapku lekat.
Jawaban yang singkat itu dan tatapan yang lekat itu membuatku tubuhku membeku. Selama beberapa detik aku tidak bergerak sama sekali. Hanya mataku yang berkedip-kedip memandangnya. Mata Aksel yang jernih tidak menyimpan kebohongan secuil pun tentang pernyataannya barusan. Bahwa dia menyukaiku.
tentu saja aku sudah tahu Aksel suka aku. Sejak dulu juga sudah tahu. untuk apa coba dia mengajakku nonton dan segala macam jika dia tidak menyukaiku. Aksel juga pernah bilang dia menyukaiku, meski menurutku itu bukan pernyataan cinta. tapi yang barusan itu termasuk pernyataan cinta meski tidak ada kata cinta di dalamnya. Lalu ke mana kalimat, " Kamu mau jadi pacarku?"
" Aku suka kamu, Cesa. Suka sekali. Sejak dulu. Kalau boleh lebay, aku ingin bilang, aku cinta kamu. Mau nggak kamu jadi pacarku?" suara Aksel sejernih matanya. Dan itu semakin membuatku membeku.
Oke, kedengarannya memang lebay. tapi benar itu yang kurasakan kok.
" Kamu berniat jawab pernyataan cintaku atau mau jadi patung selama-lamanya?" ujar Aksel, menahan tawa.
Aku tersipu-sipu mendengar gurauannya. " Rencananya jadi patung aja biar dicium. Kan puteri tidur harus dicium pangeran dulu biar bangun dari tidurnya. Kalau jadi patung ya dicium juga dong biar berubah jadi manusia lagi," kataku manja.
" Oh begitu. Jadi minta dicium nih?" kata Aksel sambil mencondongkan badan ke arahku.
Aku menjerit. " Enggaakk."
Melihat reaksiku Aksel tertawa. " PHP nih. Pemberi Harapan Palsuuu."
Aku ikut tertawa. Rasanya ingin kuhentikan waktu saat itu juga ketika aku dan Aksel tertawa bersama. Hidup ini terasa ringan. Kepalaku juga terasa ringan.
" Jawabanmu apa dong, Cesa? Kamu mau jadi pacarku?" Aksel sudah tak lagi tertawa. Wajahnya berubah serius. Aku kikuk dibuatnya.
" Ces..." Aksel memanggilku yang masih bergeming. Aku selalu membayangkan suasana super romantis saat ditembak. Candle light dinner. Aku dan dia duduk berhadapan. Dia akan memberikan pujian bertubi-tubi. Aku cantik, pintar, baik hati. Karena tiga hal itulah dia memintaku untuk menjadi pacarnya. Aku akan mengatakan " ya" , dan kami pun jadian. Aku selalu membayangkan yang seperti itu. Dan cowok yang ada dalam imajinasiku adalah Nathan.
" Kamu tahu aku suka Nathan," kataku akhirnya pada Aksel.
untuk beberapa saat kupikir Aksel tak mendengarku bicara. Dia bergeming. Namun sebentar kemudian dia menatapku lekat. " Dulu aku nggak nembak kamu karena aku tahu kamu suka cowok lain. Aku nggak mau maksa kamu suka aku. tapi pikiranku berubah. Kayaknya kamu memang harus dipaksa deh, Ces."
Aku tertawa mendengar kata-kata Aksel.
" Aku serius," kata Aksel setengah merajuk. tawaku segera kuhentikan dan aku memasang wajah serius.
Melihatku seperti itu, Aksel tertawa terbahak-bahak. " ya ampun, Cesa. Aku bercanda!"
" Sialan," kucubit lengan Aksel. Aku gemas sekali padanya.
" Aku bercanda, tapi serius juga," katanya lagi di sela tawa. " Kupikir kamu akan lebih cepat melupakan Nathan dan mulai menyukaiku jika kita jadian. Bukankah rasa sayang itu harus dirawat? Aku tahu kamu sayang aku meski sedikit. Dan aku yakin rasa sayang itu akan bertambah jika kita merawatnya."
Aku hampir tertawa lagi mendengar perkataan Aksel. tapi aku mengurungkannya saat melihat wajahnya yang sangat serius. " Kamu nggak keberatan aku masih suka Nathan?" tanyaku heran.
Aksel menggelengkan kepalaku. " tidak. Seperti yang sudah kubilang, rasa sayang atau rasa suka itu tidak bisa dipaksakan. tapi rasa itu bisa diusahakan. Aku memilih untuk mengusahakannya dengan memintamu jadi pacarku."
Aku termenung mendengarnya. Begitu ya? Mengusahakan rasa sayang? Mengusahakan rasa suka? Mengusahakan rasa cinta? Kedengarannya boleh juga. " Aku pikirkan dulu ya," jawabku akhirnya.
Aku tahu aku terdengar sangat bodoh. Seharusnya aku menyelamatkan diri dari Jinan dan Nathan dengan menerima cinta Aksel, dengan menjadi pacarnya. untuk apa aku meminta waktu untuk berpikir? Apa coba yang perlu kupikirkan? Dalam hal seperti ini aku sungguh iri dengan Jinan. Dia tak membutuhkan waktu sedetik pun untuk menjawab pertanyaan sepele semacam " kamu suka aku, nggak?" . Dia betul-betul tahu apa yang dirasakannya di hati dan tak akan mau membohongi dirinya sendiri. Sedangkan aku, ah aku masih harus mempertimbangkan banyak hal. Seperti misalnya, apakah ada kemungkinan Nathan menyukaiku dan akhirnya menjadi pacarku?
tangan kanan Aksel bergerak menyentuh poniku. Dia tersenyum dan berkata, " tentu saja, Cesa. Pikirkanlah baik-baik. Aku mau kok nunggu kamu. Aku tetap akan memperjuangkan kamu."
" Kenapa?" tanyaku takjub. Sejujurnya aku tak berharap sedikit pun reaksi Aksel akan seperti ini. Maksudku, ayolah, Aksel itu tampan, jangkung, menyenangkan, dan tidak pelit. Cewek mana pun akan menggilainya dan akan rela mengantri untuk jadi pacarnya. Aksel bisa memilih untuk pacaran dengan siapa pun. Jadi, demi alasan apa coba dia tetap akan memperjuangkanku?
" Alasannya cuma satu. Perasaanku nggak bisa kuperintah buat mencintai orang lain. Aku hanya cinta kamu, Cesa." jawab Aksel lirih.
Oke, boleh aku meleleh sekarang?
Seharusnya detik ini juga aku menerima cinta Aksel. Aku mau jadi pacarnya tanpa pertimbanganpertimbangan lainnya. tapi aku malah teringat Jinan. Aku masih ingin Nathan jadi pacarku. Karena aku tak mau Jinan memilikinya.
Sepertinya aku sudah berubah menjadi monster. *
Kejadiannya sudah lama sekali. Jinan kelas 2 SD mungkin. Itu berarti aku masih tK. Siang itu terasa lebih panas dari biasanya. Jinan dan aku membeli es krim di supermarket. Aku tak begitu ingat detailnya. Mungkin saat itu kami akan pergi bermain ke taman bermain di komplek perumahan tempat kami tinggal. yang kuingat aku sibuk menjilati es krim saat anak laki-laki seumuran Jinan menghampiriku dan tanpa berkata apa-apa, dia merebut es krimku.
Aku menangis tentu saja karena hanya reaksi seperti itu yang aku tahu sebagai anak berumur lima tahunan. Jinan berlari cepat entah dari arah mana. Semua terjadi begitu cepat. yang kulihat anak laki-laki itu tersungkur dan menangis. Jinan memukulnya berkali-kali. Es krimku jatuh di tanah berumput. tangisku semakin kencang.
" Ayo, kita beli lagi," ajak Jinan. tangannya menggandeng tanganku erat dan dia berjalan cepat sekali. Aku harus setengah berlari untuk menyamai langkah Jinan. Dia mengajakku pulang ke rumah dan memintaku menunggu di teras sementara dia masuk ke dalam kamar. Dan ketika kami sampai di supermarket, Jinan mengizinkan ku memilih es krim apa pun yang aku mau. Dia membelikanku es krim dalam kotak berukuran besar. Setelah aku lebih dewasa nantinya, aku tahu Jinan menghabiskan seluruh tabungannya untuk membelikanku satu kotak besar es krim.
Ada waktu-waktu tertentu ketika aku merasa sangat berhutang budi pada Jinan. Karena Jinan selalu melindungiku sejak kecil. Karena Jinan selalu mengalah padaku. Jinan melakukan banyak sekali hal demi aku saat kami kecil. Dan mungkin karena itulah, bahwa aku merasa berhutang budi padanya, aku kemudian selalu berusaha mengalah pada Jinan. Begitu kami beranjak dewasa, aku berusaha menebus semuanya. Sadar atau tidak, aku sering bersikap lebih dewasa dari Jinan. Gilirankulah untuk melindungi Jinan dari ketidakstabilan emosinya sendiri.
Jika aku bisa memutar ulang waktu, aku nggak ingin Jinan berkelahi untukku dulu. Aku nggak ingin merasa berhutang budi pada Jinan. Biar saja es krim itu diambil. Biar saja aku menangis berjam-jam. Aku tak ingin Jinan membelaku. Aku tak ingin Jinan membelikanku satu kotak besar es krim. Mungkin jika awalnya berbeda, termasuk insiden es krim itu, sekarang pun akan berbeda.
" Jika kamu bisa memutar ulang waktu, apa yang kamu inginkan? Apa yang ingin kamu ubah?" aku memandangi Aksel.
Dia menunjukkan ekspresi geli. " Apa ya..." Lalu Aksel balik memandangku dan tersenyum. " Banyak sekali yang ingin kuubah. Salah satunya, aku akan berusaha lebih gigih lagi untuk mendapatkan kamu. Aku akan pedekate sejak awal kita ketemu. Kalau aku melakukan itu, mungkin tadi aku nggak harus berantem sama Vendetta. Mungkin Ven nggak akan kege-eran dan bilang ke semua orang kamu miliknya. Dan mungkin juga kamu nggak akan cinta mati sama Nathan."
Cinta mati ya?
Mataku memandang Aksel, tapi pikiranku melayang ke Jinan dan Nathan.
Seandainya waktu memang bisa diputar ulang ya. Seandainya ada hal-hal yang bisa diubah. tapi nyatanya tak ada yang bisa diubah. Hidup kita yang sekarang merupakan susunan kotak-kotak kecil lego selama kita hidup. Bagaimana aku menjelaskannya ya? Begini, aku selalu menganalogikan hidup dengan lego. Kau tahu lego, kan? Permainan menyusun kotak-kotak menjadi suatu bentuk yang kau inginkan.
Hidup kita yang sekarang ini adalah hasil dari satu demi satu kotak lego yang disusun. Kalau kau ingin membuat sesuatu dengan lego, kau harus menentukan sejak awal kau ingin membuat apa. Apakah kau ingin membuat rumah, robot, atau bahkan Monas. Akan lebih bagus lagi jika kau punya gambar sebagai panduan. Selama menyusun, kau bisa sesekali melihat gambarnya. Jika tak ada gambarnya, pasti hasilnya akan lain. Dan jika tak punya imajinasi bagus, pasti hasilnya berantakan. Kurasa hidupku seperti itu. Kotak-kotak legoku kususun sembarangan, dan hasilnya hidupku berantakan sekarang.
" Ayo kita pulang," kataku akhirnya.
Aksellah yang pertama berdiri. Dia tersenyum dan mengulurkan tangannya. Aku menyambut uluran tangannya itu dan berjalan bersamanya. Kedua tangan kami bertautan.
" Kamu nggak khawatir nanti digosipin karena kita bergandengan tangan di sekolah?" tanya Aksel.
Aku menghirup napas dalam-dalam dan meng embuskannya perlahan. " I don t give a shit. Aku nggak peduli."
Aksel tertawa mendengar jawabanku. Kami berjalan ke parkiran sekolah, Aksel akan mengantarku pulang ke rumah. Saat-saat seperti ini membuatku merasa bodoh. Maksudku, untuk apa coba aku menggilai Nathan segitunya? untuk apa coba aku menunggunya? Padahal sudah jelas Nathan menyukai Jinan. Sudah jelas Nathan tergila-gila padanya. Sementara di sini, di sebelahku, ada Aksel yang sudah sangat jelas menyukaiku. Aku lebih memilih kata " menyukai" ketimbang kata " mencintai" . Enggak tahu ya. Di otakku mencintai itu hanya pantas dipakai pasangan yang akan menikah saja. Oh crap. Aku ngomong apa sih. Lama-lama aku jadi terdengar seperti Jinan.
Selama perjalanan kami ngobrol, tertawa, ngobrol, dan tertawa lagi. Rasanya seperti bebanku seharian ini menguap.
" Sudah sampai," kata Aksel ceria.
Aku menyunggingkan senyum. " terima kasih. Kamu baik banget deh...," seruku sambil mengerlingkan mata.
" Kalau aku emang baik banget, yuk jadi pacarku," Aksel menimpali. Dia tersenyum, tapi sumpah mati aku gagal mengartikan apakah senyumnya itu senyum bercanda atau serius.
Aku memaksakan sebuah senyum. " Aku butuh waktu. Ingat?" kukedipkan sebelah mataku dan melambaikan tangan tepat sebelum menutup pintu.
Mobil Aksel perlahan melaju. Kali ini aku tak menunggunya menghilang di tikungan. Kubuka pintu gerbang dan melangkah masuk dengan lesu. Belakangan ini aku sering merindukan aku yang dulu. Aku yang percaya diri. Aku yang benar-benar percaya bahwa diriku ini cantik, pandai, ramah, dan disukai banyak orang. Aku yang sekarang lumayan berbeda. Dan suka atau tidak, aku merasa semakin mirip Jinan. Mood-ku naik turun, meski tidak seekstrem roller coaster. Dulu aku termasuk orang yang tenang, tapi sekarang aku berubah menjadi reaktif. Persis seperti Jinan.
Aku menghela napas. Apakah perubahan sifat dan sikapku belakangan ini karena perceraian Papap dan Mamam? Oke, kedengarannya aku menyalahkan mereka. tapi memang itu salah mereka, kan? Maksudku, ayolah, dari sekian anak dari keluarga broken home, berapa persen sih yang tetap baik-baik saja? Papap memang jarang di rumah, aku tahu itu. Jadi sebenarnya ada Papap atau tidak sama saja bagiku. tapi tidak bagi Mamam. Nah, Mamam mengalami depresi yang lumayan parah karena perceraian itu. Aku malas menceritakannya. yah, siapa sih yang mau bercerita tentang ibunya yang menangis setiap hari? Membuat kue sambil menangis. Menonton tV sambil menangis. Melakukan apa pun sambil menangis. Aku lelah sekali melihatnya. Belum lagi jika bertambah satu orang lagi yang suka menangis di rumah " Jinan.
Sekarang kau bisa mengerti kenapa mood-ku jadi jumpalitan?
Pintu depan rumah terbuka setengah. Kerutan di keningku bertambah banyak. Aku yakin seperti itu. Jika Sisil tidak mengatakannya, aku nggak bakalan tahu kalau akhir-akhir ini keningku sering berkerut.
Apa yang kulihat di dalam rumah aneh sekali. Kata kikuk mungkin lebih tepat untuk mendeskripsikannya. terlihat koper besar yang kukenali milik Papap terbuka di ruang tamu. Beberapa potong baju teronggok begitu saja di satu sisi. Sisi lainnya berisi piringan hitam koleksi Papap. Lalu sosoknya terlihat. Papap. Dia melihatku, tapi tidak menyapaku sama sekali. Papap hanya meletakkan beberapa buku di koper dan berlalu begitu saja ke dalam kamar.
Mamam berdiri di ambang pintu dekat ruang makan. tangan kanannya menggenggam gumpalan tisu. Dia menyusut air matanya yang terus menerus meleleh dengan punggung tangan kirinya. Kurasa Mamam lupa fungsi tisu itu. Atau Mamam lupa dia menggenggam tisu. Jinan dan Nathan duduk di ruang tengah. tV menyala, tapi aku yakin sekali mereka tidak menontonnya. Mata mereka bergerak-gerak gelisah. Sikap duduk mereka kaku seperti patung. Belum sempat aku memutuskan apa yang akan kulakukan, Papap muncul di pintu kamar. Sorot matanya berpindah-pindah dari aku, Mamam, Jinan, dan akhirnya ke Nathan. untuk sesaat aku merasa telah melihat percikan api di matanya.
" Apa kamu pernah mendengarkanku? tidak!" suara Papap melengking tinggi. Aku tidak tahu siapa yang dimaksudkan dengan kamu di sini. Kutebak itu Mamam. yah, siapa lagi sih?
Mamam terisak. Sejak dulu seperti itu. Setiap kali Papap marah, setiap kali itu pula Mamam menangis.
" Kamu bahkan membiarkan hal yang tidak baik terjadi di rumah ini!" kata Papap masih dengan nada tinggi.
Hal yang tidak baik? Maksudnya? Keningku berkerut lagi. Kulihat kening Mamam juga berkerut.
" Dia," telunjuk Papap mengarah ke Nathan. " Kenapa kamu membiarkan anak laki-laki masuk ke rumah ini padahal kamu tahu ada dua anak perempuan di sini?" Isakan Mamam membesar dan dia terjatuh ke lantai. " Mam!" Jinan berlari ke arah Mamam. Aku bergeming. Otakku terlalu lambat memproses semuanya. Kulihat Papap bergegas berjalan ke arahku yang sedang terpaku di ambang ruang tamu.
" Setidaknya Nathan selalu ada untuk kami, Pap. tidak seperti Papap." Aku berucap sinis saat Papap berjalan melewatiku.
Papap tak berkomentar apa pun meski aku yakin dia mendengar setiap kata yang kuucapkan. Bunyi koper diseret terdengar. Papap pergi, meninggalkan kami sambil membanting pintu ruang tamu. Aku masih berdiri di tempat semula ketika Nathan menghampiriku dengan wajah yang sangat kusut. " Aku pulang saja. Maaf. Nanti kalau sudah reda, pamitkan ke Mamam dan Jinan," katanya lalu melangkah melewatiku.
Aku tak menjawab, pun tak mengangguk. Aku masih bergeming. Papap yang marah. Nathan yang salah tingkah. Mamam yang terisak. Jinan yang panik. Semuanya bercampur baur di otakku.
Mataku menghangat. Dadaku terasa sesak. Saat ini aku merasa sedang tamasya ke neraka.
ef
dua belas
R asanya sudah satu abad ketika akhirnya aku mengem
pas kan diriku ke sofa di ruang tengah. Mataku terpejam. Kupijit pelipisku berulangkali. Kepala ini terasa berat. Jika bisa, aku ingin mencopotnya barang sebentar.
Suara klik lampu-lampu yang dinyalakan memberitahuku malam sudah datang. Mamam masih terisak di dalam kamar. Suara isakannya sangat memilukan. Jinan menemaninya sejak tadi. tapi kini kudengar langkahnya berkeliling rumah, menutup jendela-jendela dan menyalakan lampu.
" Nggak bisa ya kamu bantuin aku?" tiba-tiba saja suara melengking Jinan terdengar. Kubuka mataku dan kutemukan sosoknya berdiri beberapa langkah dari sofa tempatku duduk.
" Bantu apa?" tanyaku tak mengerti.
" Nggak usah pura-pura bego deh. Kenapa kamu nggak bantuin aku? Mamam menangis dari tadi. Apa kamu bantu menenangkan dia? Enggak, kan? Apa kamu bantu menutup jendela? Enggak, kan? Apa kamu bantu menyalakan lampu? Enggak juga, kan?" suara Jinan masih melengking. Dadanya naik turun. Rahangnya mengeras.
Aku memberinya tatapan penuh kebencian. " Kenapa sih kamu harus marah-marah begitu? Kalau kamu nggak mau nolongin Mamam, ya nggak usah ditolongin. Kalau kamu nggak mau nutupin jendela, ya nggak usah ditutupin. Kalau kamu nggak mau nyalain lampu, ya nggak usah dinyalain. Gitu aja kok repot."
" BRENGSEK! KAMu BRENGSEK!" Jinan berteriak kalap. tubuhnya bergetar hebat. Giginya bergemeletuk menahan marah.
Serta merta aku berdiri. Bibirku terkatup. Dua tanganku mengepal. Aku merasakan marah yang begitu hebat. Belum pernah aku merasa semarah ini. " Maksud kamu apa, hah, ngatain aku brengsek?" aku ingin berteriak seperti Jinan, tapi aku nggak bisa. Isakan Mamam yang terdengar dari kamar membuatku mengurungkan niat untuk berteriak kalap.
Jinan tidak menyahuti pertanyaanku. Dia masih bergetar. Sekarang air matanya meleleh.
Kebencianku bertambah-tambah melihatnya seperti itu. " Sekarang kamu menangis. Kamu ingin dikasihani? Kamu ingin dipeluk? Kamu ingin aku selalu memaklumimu ketika kamu marah? Sampai kapan kamu begini? Sampai kapan kamu pakai alasan bipolar disorder sebagai tamengmu untuk marah-marah?" kataku keji. Aku tahu apa yang kukatakan itu akan membuat Jinan sakit. Sebenarnya aku tahu Jinan tidak begitu. tapi aku marah sekali dengan dia. Aku ingin dia tahu apa rasanya ketika orang lain marahmarah. Selama ini aku selalu bersabar dengan Jinan. Selama ini aku selalu memeluknya ketika dia tidak bisa mengontrol emosi. tapi tidak sekarang. Aku muak. Aku sudah nggak mau mengerti lagi.
" Kamu itu suka seenaknya sendiri, tahu nggak sih," napasku memburu sekarang. Aku menatap Jinan yang masih berdiri kaku dengan air mata yang terus meleleh. tangannya sibuk mengusap pipinya yang basah. " Bahkan tentang Nathan, kamu seenaknya. Hari ini bilang nggak suka Nathan, tapi besoknya cium Nathan. Apa sih maksudnya?"
Aku tahu perkataanku tentang Nathan tidak relevan dengan masalah yang kami ributkan. Dan aku tahu Jinan akan sakit mendengarnya. tapi sekali lagi, aku nggak peduli. Aku hanya ingin membuatnya sakit. Aku senang melihatnya menangis seperti itu. Aku sudah bosan jadi malaikat untuk Jinan.
Mata Jinan berkilat-kilat menatapku. Bibirnya bergetar menahan marah. " Kupikir kamu beda, Cesa. Kupikir kamu mengerti aku. tapi ternyata kamu sama saja dengan orangorang di luar sana. Kalian sama brengseknya. Apa kamu pikir aku nggak pernah berusaha untuk mengendalikan emosiku? Apa kamu pikir aku cewek egois pemarah yang selalu ingin dimaklumi? Apa kamu pikir aku cewek cengeng yang selalu jadikan bipolar disorder atau depresi atau apalah sebagai tameng untuk marah-marah seenaknya?"
Jinan menarik napas dalam-dalam. Air matanya mengalir semakin deras. " Kamu tahu kan aku sering jalan kaki dari kampus ke rumah. Aku jalan kaki berjam-jam. untuk apa coba aku melakukan itu? Kalau aku marah, kalau aku ingin teriak sekencang-kencangnya, aku akan jalan kaki. Kalau jalan kaki, aku bakalan capek. terlalu capek buat marah. Kalau udah capek begitu, aku nggak ingin marah lagi. Aku udah nggak ingat kenapa aku marah. Apa kamu masih berpikir aku cewek egois pemarah yang selalu ingin dimaklumi dan dimengerti? Brengsek kamu, Cesa!"
Jinan mengusap pipinya lagi. Setelah menyelesaikan kalimatnya, Jinan beranjak pergi. Mataku mengikuti sosoknya hingga masuk ke dalam kamar Mamam. Di ambang pintu, dengan suara terbata-bata dia berkata, " Kalau kamu mau deketin Nathan, silakan saja. Kalau Nathan suka sama kamu juga, dan kalian mau jadian, silakan saja. Aku nggak peduli lagi." Pintu pun ditutup dengan kasar.
Aku menghambur masuk ke kamarku, mengunci pintunya, dan menangis sejadi-jadinya. Aku merasa menjadi makhluk paling jahat sedunia. Aku merasa buruk terhadap diriku sendiri. Dulu aku tak pernah mengerti saat Jinan merasa buruk tentang dirinya sendiri. tapi sekarang aku tahu. Aku mengerti.
Mataku masih basah dengan air mata yang terus mengalir turun ketika ingatanku melayang ke satu titik waktu saat Mamam pulang dari Bali. Kejadian itu masih bisa kuingat dengan sangat jelas. Rasanya baru kemarin terjadi.
Bunyi pintu gerbang yang dibuka membuatku dan Jinan saling berpandangan. Siapa yang membuka pintu gerbang sepagi ini? Jinanlah yang pertama kali meloncat dari tempat tidur dan bergegas ke luar rumah.
Aku berlari menyusul Jinan. Dan hampir menabraknya yang berhenti tiba-tiba di pintu depan. Dari balik bahu Jinan kulihat Mamam sedang berdiri menutup pintu gerbang. Di sampingnya tergeletak satu koper lumayan besar dan satu tas tangan. Jinan bergegas menghampiri Mamam.
Dipeluknya Mamam dari belakang. Aku hanya berdiri mematung melihat adegan itu. Kadang aku iri dengan spontanitas yang dimiliki Jinan. Dia tak pernah mempunyai rasa ragu atau gengsi sedikit pun. tidak seperti aku, yang sekangen apa pun aku dengan Mamam, aku tak mau memeluknya karena masih merasa marah.
" Bantuin dong!" Jinan berteriak sambil menyeret koper. Dia menunjuk tas besar yang tadi tidak kulihat. Aku berjalan enggan. Mamam memandangku, lalu memelukku erat. Butuh waktu beberapa detik bagiku untuk memeluk balik Mamam.
Lalu tanpa berkata apa-apa, Mamam berjalan masuk ke dalam rumah. tas jinjingnya berayun-ayun. Aku menyeret tas besar ke dalam rumah dan meletakkannya begitu saja di samping sofa tempat Mamam berbaring. Jinan meletakkan satu gelas tes panas di meja.
" Mam pasti capek. Coba minum teh ini dulu. Nanti kan jadi lumayan segar," ujarnya sambil duduk di sofa dan mengelus-elus lengan Mamam.
Mamam duduk dan mengambil gelas yang mengepul itu. " terima kasih," katanya.
Aku duduk di sofa kecil yang biasa dijadikan tempat duduk Nathan. Kupandangi Mamam yang menyeruput teh panas itu pelan-pelan dan Jinan yang terus menerus mengelus-elus lengan Mamam.
" Mamam gagal," kata Mamam setelah meletakkan gelas itu di meja.
" Gagal?" Jinan mengerutkan kening.
" Mamam pergi ke Bali dengan harapan Papap akan menyusul dan kami akan kembali seperti dulu. Kita semua bisa jadi keluarga lagi. tapi Papap tidak melakukannya. Papap nggak nyusul Mamam."
Aku mendengus. Mamam sendiri yang mengajukan berkas perceraian. tapi dia jugalah yang pergi ke Bali, meninggalkan anak-anaknya dengan harapan akan disusul oleh suami. Suami yang nggak pernah lagi tinggal di rumah dan yang punya jutaan perempuan di luar sana. Aku jadi kesal sendiri.
" turut berduka, Mam. tapi Mamam nggak boleh sedih terus," Jinan mengusap pipi Mamam yang basah. " Ingat deh. Every cloud has a silver lining. Pasti ada hal baik yang bisa kita dapatkan dari situasi yang paling sulit dan paling menyedihkan sekali pun."
Silver linings. Mau tak mau aku tersenyum. Jinan pasti begitu terkesan dengan Pat Solitano karena dia percaya tentang silver linings. Dan Jinan memercayainya. Jadi kenapa aku tidak ikut memercayainya? Sekarang aku kesal pada diriku sendiri.
Kau tahu, Mamam itu drama queen, satu tingkat di bawah Jinan. Jadi secara logika, aku tentunya bisa menghibur Mamam. Setiap kali Jinan menangis dan bersedih, bukankah aku yang selalu menemaninya dan menghiburnya? Akulah yang selalu meyakinkannya bahwa semua baik-baik saja. tapi ketika Mamam yang bertransformasi menjadi drama queen, aku sama sekali tidak tergerak untuk menghiburnya seperti yang dilakukan Jinan sekarang ini.
Dan Jinan, ah kadang aku merasa takjub dengannya. Dia bisa berubah menjadi sosok yang begitu dewasa. Jika kuberitahu seseorang bahwa Jinan pernah berteriak di Blitz Megaplex, mungkin nggak akan ada yang percaya. Karena saat ini Jinan terlihat manis sekali.
Aku beranjak pergi meninggalkan mereka. tidak tahu kenapa aku masih merasa marah sama Mamam. Apalagi ke tika melihat Jinan menghiburnya seperti itu. Mungkin karena sejak kecil aku tahu bagaimana Mamam memperlakukan Jinan. Well, saat Jinan hampir bunuh diri, apa Mamam khawatir? Saat Papap mengunci Jinan di kamar mandi, apa Mamam mencegahnya? Saat Jinan terkena lemparan gelas, apakah Mamam melakukan sesuatu? Jawabannya tentu saja tidak. Mamam tidak melakukan apa-apa, tapi Jinan tetap menghiburnya seolaholah Mamam itu mama yang paling sempurna di dunia ini. Aku kesal pada diriku sendiri karena seharusnya aku merasa lega melihat Jinan bisa memaafkan Mamam. tapi nyatanya aku malah kesal melihat Jinan begitu baik sama Mamam.
Aku menyusut air mataku. Kupaksakan tubuhku untuk beranjak dari tempat tidur. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh. Aku bergegas ke kamar mandi dan dalam hitungan menit, aku sudah berdiri rapi di depan rumah menunggu taksi. Lebih tepatnya menunggu Nathan yang datang menjemputku dengan taksi.
Aku memutuskan untuk menghubungi Nathan tadi. Aku ingin mengajaknya bicara malam ini juga. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan. Aku ingin semuanya jelas. Perasaanku untuk Nathan. Perasaan Nathan untuk Jinan " atau bahkan untukku. Perasaan Jinan untuk Nathan. Ah, aku mendesah lelah. Kenapa semua bisa jadi serumit ini sih?
Lampu depan taksi yang mendekat ke arahku membuat mataku menyipit. Nathan membukakan pintu untukku. Dia tersenyum saat aku duduk di sampingnya. " Kita ke mana?" tanyaku.
" Grand Indonesia saja. Kamu suka Magnum, kan? Kita ke Magnum cafe" jawabnya. Senyum manisnya belum juga hilang.
Dadaku sekarang ini rasanya penuh dengan bunga.
Hal-hal seperti ini yang kusukai dari Nathan. Dia pandai sekali membuat hatiku senang. Belum apa-apa pikiranku sudah melayang ke sana kemari. Aku membayangkan Nathan akan menyatakan perasaannya padaku malam ini. Dia akan bilang kalau sebetulnya dia suka aku, alihalih Jinan. Dan aku akan menerima cintanya. Dan kami pun akan menikah dan hidup bahagia selama-lamanya. Oh sialan. Itu kan cerita puteri-puteri di negeri dongeng. Bukan ceritaku dan Nathan. Aku meringis.
" Kenapa?" tanya Nathan saat melihat ekspresiku. Aku menggelengkan kepala. " Nggak apa-apa. Cuma teringat sesuatu."
Jalanan cukup macet menuju Grand Indonesia, tapi untungnya saat kami berdua tiba di Magnum Cafe, tak ada antrian panjang seperti biasanya.
tak berapa lama kami sudah duduk berhadapan dengan pesanan yang telah datang. Nathan dengan Mini Crown Jewel-nya, sedangkan aku lebih memilih De Rainbow District. Mungkin karena hatiku sekarang sedang berwarna-warni seperti pelangi.
" Kamu baik-baik saja?" tanya Nathan setelah suapan pertamanya ditelan.
Aku tak langsung menjawab pertanyaan itu. Kupotong rainbow cake dan kumasukkan ke dalam mulut. Sementara aku mengunyah, Nathan diam memandangiku. " Nggak begitu baik," jawabku akhirnya.
" Kamu ingin bicara tentang perasaanmu?" tanyanya lagi.
Aku menggelengkan kepala. " Enggak. Aku malah ingin membicarakan perasaanmu." Kening Nathan berkerut. " Perasaanku?"
Wajah Nathan yang bingung membuatku tersenyum. " Iya, perasaanmu. Lebih tepatnya perasaanmu ke aku dan Jinan. Aku ingin tahu semuanya."
Ada ekspresi terkejut yang samar di wajah Nathan. tapi aku bisa melihatnya sebelum ekspresi itu hilang dengan cepat.
" Oh, itu," katanya singkat. tangannya mempermainkan es krim yang meleleh sebagian. " Sebelumnya aku minta maaf," katanya lagi.
Aku terkesiap. Minta maaf ? Perasaan tidak enak langsung menyelimutiku. Kupikir aku akan mendengar yang baik-baik, yang happy-happy, seperti misalnya Nathan menyukaiku, alih-alih Jinan. Bukankah tadi sempat kubilang? tapi permintaan maaf di awal cerita meng indikasikan aku akan mendengar hal-hal yang tidak meng enakkan.
" Aku sebetulnya sempat jadian sama Jinan," kata Nathan lirih.
" Apa?" aku tidak percaya dengan apa yang sudah kudengar.
" Aku sempat jadian sama Jinan," ulang Nathan masih dengan nada lirih yang sama.
" Kapan? Kenapa nggak bilang? Sekarang bagaimana?" rentetan pertanyaan keluar begitu saja dari mulutku. Mataku memanas. Sumpah mati aku berdoa agar tidak menangis di depan Nathan.
Nathan menghela napas. " Saat kamu melihatku dan Jinan, eh, berciuman, kami sudah jadian. Jinan memintaku untuk merahasiakan jadian kami dari kamu dan dari siapa pun karena dia nggak ingin nyakitin kamu. Dia tahu kamu suka aku, Cesa. untuk alasan itu pulalah Jinan nggak mau ja di pacarku."
" tapi Abim," kataku terbata-bata mengingat mantan Jinan.
" Itu hanya alasan dia saja. Awalnya Jinan memang masih teringat Abim. tapi lama-lama dia ingin melupakan Abim dengan menerimaku. Aku tidak keberatan dengan hal itu."
Aku jadi ingat Aksel. Nathan dan Aksel dua orang yang mirip satu sama lain.
" tapi kami jadian hanya sebentar," Nathan memandangku.
" Kenapa?"
" Karena Jinan tidak ingin menyakitimu, Cesa. Dia menyayangimu."
Kalimat Nathan barusan membuat dadaku sesak oleh perasaan bersalah. Kejadian sore tadi terputar ulang dengan jelas di benakku. Aku yang berteriak marah pada Jinan. Aku yang menyalahkannya. Aku yang menyudutkannya hingga dia menangis sedemikian rupa. Aku jahat sekali.
" Apakah kamu nembak dia di Warung Leko?" tibatiba aku teringat sesuatu.
Nathan menatapku, lalu berkata tenang, " Jinan menceritakannya padamu?"
" Iya, tapi dia bilang dia menolakmu," perasaan bersalah yang baru saja kurasakan tergantikan dengan perasaan benci. Jinan bohong. Selama ini Jinan nggak pernah bohong. Dan aku marah sekali karena ternyata Jinan berbohong tentang jadiannya dengan Nathan.
" Jinan nggak bohong," kata Nathan seolah-olah tahu apa yang kupikirkan.
Aku mengerutkan kening.
" Aku nembak Jinan berkali-kali," kata Nathan sambil tersenyum. " yang di Warung Leko itu yang pertama dan iya, memang Jinan menolak saat itu."
Rasanya aku ingin menangis. Kupikir Nathan menyukaiku. Kupikir Nathan menyimpan hati untukku, meski hanya sedikit. tapi ternyata tidak sama sekali. Rupanya selama ini aku hidup dalam imajinasiku sendiri. Banyak fakta yang menunjukkan Nathan memang menyukai Jinan seorang. tapi aku menolak untuk memahaminya. Aku selalu lari dari kenyataan. Aku selalu membangun duniaku sendiri melalui imajinasi-imajinasi yang kuinginkan.
" Kemarin malam Nathan nembak aku." Jinan memeluk kakinya. Dia duduk di sebelahku yang sedang membaca buku pelajaran sambil tiduran.
Rasanya jantungku berhenti berdetak mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Jinan. " Apa?" aku sungguh-sungguh berharap salah dengar. Buku di tanganku langsung kututup dan langsung duduk tegak memandang Jinan.
" Nathan nembak aku," katanya. ternyata aku tak salah dengar. " Semalam dia mengajakku dinner dan aku nggak curiga sama sekali. Kupikir dinner biasa seperti yang sering kami lakukan selama ini. Ayolah, maksudku makan malam itu kan biasa saja. Apalagi dia juga sering makan bareng kita di rumah. tapi tadi malam dia itu aneh sekali. Sampai-sampai aku merasa asing dengannya."
" Kalian makan di mana?" tanyaku. Aku menarik napas panjang. Mengisi paru-paruku dengan sebanyak mungkin udara. Berharap dadaku tidak akan sesesak ini. " Di dalam kereta api," sahut Jinan. " Kereta api?"
" Warung Leko. Di Grand Indonesia kan desainnya seperti kereta api. Nathan tahu aku belum pernah naik kereta api. Jadinya dia nembak di situ," Jinan tertawa. " Lalu kalian jadian?" tanyaku lirih.
Jinan menggeleng. " tentu tidak."
Aku mengerjapkan mata beberapa kali karena tak percaya dengan apa yang kulihat. Jinan menggelengkan kepalanya dan bilang tidak? Rasanya satu gerbong kereta api yang tadi menindih dadaku hingga aku sulit bernapas sudah diangkat. Aku bisa bernapas dengan lega sekarang.
" Aku masih kangen Abim. Bodoh ya?" Jinan bicara pada kakinya. Dia memeluk kedua kakinya begitu erat hingga dagunya menempel ketat di lutut. " Seharusnya aku menerima cinta Nathan. Dengan begitu aku akan lebih cepat melupakan Abim. tapi aku nggak tega berbuat seperti itu. Maksudku, Nathan berhak dengan yang lebih baik daripada sekadar pelarian setelah patah hati, bukan? Atau penyembuhan instan. Atau apalah namanya," Jinan mendesah.
Aku mendesah lega. " Jika menurutmu itu yang terbaik ya tidak apa-apa. Kupikir Nathan pasti mengerti."
" Aku juga berharap seperti itu. tapi sejak tadi malam hingga pagi ini dia mematikan ponselnya. Aku tidak mau kehilangan sahabat seperti dia," Jinan terlihat nelangsa. *
Diary Princesa Karya Swistien Kustantyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menatap Nathan lekat. Dia selalu saja terlihat tampan di mataku. tapi sekarang ada yang berbeda. Aku tak bisa menjelaskan apa yang berbeda. Mungkin perasaanku. Mungkin itu karena kecewa yang kurasakan sekarang.
Aku mengalihkan pandanganku ke sekelompok orang yang sedang melihat menu sambil tertawa-tawa. Mereka berempat cewek semua, seumuranku, dan tampak bahagia. Seandainya sekarang ini aku sebahagia mereka ya. Seandainya bisa seperti itu.
Melihatku yang diam, Nathan melanjutkan, " Kamu mau aku jujur?"
" Aku tak pernah memintamu untuk berbohong," kataku dengan masih menggunakan nada datar yang sama.
Nathan menghela napas. " Sebetulnya saat kita bertiga pertama ketemu dulu, aku menyukaimu, Cesa." Kalimat itu membuatku memandang ke arah Nathan. Kutatap matanya lekat-lekat. Nathan tidak berbohong. Dan entah kenapa fakta bahwa Nathan menyukaiku saat pertama kali bertemu membuat dadaku hangat.
" Lalu kenapa..." pertanyaanku dipotong oleh kalimat Nathan.
" Aku suka kamu, aku naksir kamu, Cesa. Dulu, saat kita bertemu. tapi aku nggak pede. terserah kamu mau percaya atau tidak. Princesa terlalu sempurna di mataku. Kamu cantik. Juga cerdas. Aku tahu dari caramu berbicara. Aku tidak punya keberanian untuk sekadar melakukan pedekate. Apalagi untuk berharap kamu mau jadi pacarku. Semula aku mendekati Jinan karena ingin dekat denganmu. Klasik ya? tapi memang itulah yang terjadi. Lama-lama aku menyukai Jinan. Bukan suka karena terbiasa. Bukan itu. tapi lebih karena kepribadian Jinan yang sangat menarik. Jinan itu baik hati. Sungguh baik hati. tapi tak semua orang menyadarinya. Bahkan bisa dibilang hanya sedikit sekali orang yang tahu kalau Jinan itu baik hati. Jinan itu berbeda. Aku jatuh cinta sama dia," Nathan mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum.
Rasa bahagia yang tadi sempat kurasakan menguap begitu saja. Aku sungguh-sungguh kecewa dengan apa yang dituturkan Nathan. Dia menyukaiku sebentar saja. Hanya naksir. It was only a crush. not love.
Acara kumpul-kumpul itu dijadwalkan mulai pukul tujuh tepat. tapi mana mungkin sih pukul tujuh malam itu tepat pukul tujuh di Jakarta? Well, jika kau tinggal di ibukota ini, kau pasti mengerti maksudku. Macet ditambah rintik hujan membuat pukul tujuh mundur satu jam menjadi pukul delapan.
Aku duduk sendirian di kursi yang disediakan panitia. Senior-senior di jurusan yang Jinan pilih untuk kuliah mengadakan acara gathering. tujuannya agar para senior dan junior saling mengenal. Itu tujuan sampingan kurasa. ya karena tujuan utama adalah cari gebetan. Cari pacar. Cari jodoh. Buktinya setiap junior diwajibkan membawa satu teman. Coba katakan apa tujuannya selain ajang cari jodoh? Jadilah Jinan mengajakku serta. Nggak mungkin kan dia ngajak Mamam?
" Boleh aku duduk di sini?" sebuah suara dari samping kanan membuatku menolehkan kepala. Dia berdiri di situ. Sosok yang membuat duniaku lupa berotasi.
Aku hanya mengangguk. Dia bisa membuatku mati gaya. Seorang Princesa yang percaya diri kini hanya bisa diam membisu. Aku kesal pada diriku sendiri.
" Aku Nathan. Kamu?" dia tersenyum dan mengulurkan tangan.
" Cesa. Princesa," kataku gugup. Kusambut uluran tangannya. untuk ukuran cowok, tangan Nathan itu lembut sekali.
" Kamu datang dengan siapa? temanmu?" Mata Nathan berkeliling pandang sebentar. Lalu matanya tertumbuk pada sosok Jinan yang berjalan ke arah kami. " Dia temanmu?" secercah senyum tampak di wajahnya. Aku tak tahu kenapa Nathan tersenyum ketika melihat Jinan datang.
" Hai, Nat. Kenalkan, ini adikku yang cantik, Princesa," suara Jinan terdengar ceria.
Nathan tertawa. " Sudah kenalan sendiri. Kupikir dia teman kita, Jinan. Padahal aku udah senang punya teman cantik."
" Memangnya aku kurang cantik?" Jinan memanyunkan bibirnya dan Nathan tertawa terbahak-bahak.
Ada satu hal yang membuatku sungguh iri dengan Jinan. Dia memiliki kemampuan untuk bergaul secara luwes dengan orang yang baru dikenalnya. Aku memang lebih ramah dibandingkan Jinan. tapi aku cenderung kaku di pertemuan pertama. Iya, benar. Aku bukanlah orang yang super menyenangkan ketika kau pertama kali bertemu denganku.
Jinan berbeda. Dia bisa memperlakukan orang yang baru dikenalnya seperti teman lama. Dia akan menyapa orang itu, menanyakan kabar, dan juga melemparkan beberapa pertanyaan tidak penting seperti " menurutmu, apakah hari ini akan turun hujan?" . Dia bisa mengajak seseorang mengobrol berjam-jam padahal mereka baru bertemu pertama kalinya. Menurutku kemampuan seperti itu sangat keren.
Saat aku memuji Jinan untuk kemampuannya itu, dia hanya tertawa. " Aku malah iri denganmu, Cesa. Kau bisa ramah pada semua orang. Aku kan hanya bisa menyenangkan di awalnya saja. Setelah itu aku akan menjadi aku yang biasanya. yang meledak-ledak. Dan yakin deh, nggak ada yang suka lagi berteman denganku setelah tahu aku ini seperti petasan."
" tapi kamu bisa menjadi orang yang sangat menyenang kan," kataku memuji Jinan lagi, " sementara aku ini orangnya biasa saja." Kadang aku berpikir kalau saja wajahku nggak cantik dan tubuhku nggak langsing semampai, apa akan ada cowok yang menyukaiku? Karena beneran deh aku ini orang yang sangat biasa saja. Aku bukan cewek berkarakter seperti Jinan.
" Aku malah ingin jadi orang yang biasa saja. Susah tahu, jadi orang biasa-biasa saja," tawa Jinan lepas ke udara.
Kemudian Jinan menjelaskan secara rinci kenapa dia iri padaku. Katanya aku ini poker face. Maksudnya aku punya wajah lempeng tanpa ekspresi. Berkebalikan dengan Jinan yang terlalu ekspresif. Bukankah sudah kubilang berteman dengan si poker face itu lebih menyenangkan? Karena kita tak perlu tahu apa yang ada di hati dan pikirannya. Poker face bisa membuat kita nyaman. Sedangkan orangorang seperti Jinan sering membuat orang lain merasa tak nyaman dengan ekspresi mereka yang terlalu jelas. Misalnya jika Jinan kesal sedikit saja, seluruh dunia akan tahu dari ekspresinya.
Aku memang lebih pandai menyembunyikan perasaanku. Aku jarang menunjukkan apa yang ada di hati dan otakku. Wajahku memang lempeng, jarang berekspresi. Dan ternyata Jinan iri padaku karena dia tak memiliki keahlian untuk memasang poker face. *
" Cesa," suara Nathan menarikku kembali dari pikiran yang sempat melayang-layang.
" ya?" tanyaku linglung.
" Es krim kita sudah meleleh," kata Nathan. Aku memandangi es krim yang sudah meleleh. Apa peduliku? Dibandingkan duniaku yang juga sedang meleleh, es krim itu tidak ada apa-apanya.
" Kita pulang saja," kataku lalu berdiri. tanpa menunggu persetujuan Nathan, aku melangkah keluar. Beberapa langkah dari Magnum Cafe, Nathan menyusulku. tanpa berkata-kata lagi, kami melangkah dalam diam.
Kau tahu apa yang kurasakan sekarang? Hatiku terasa kosong. Seperti ada lubang raksasa di sana. Aku tak tahu harus menutup lubang itu dengan apa agar hatiku kembali seperti semula. tiba-tiba saja bayangan seseorang melintas di benakku. Segera kuambil ponsel dari dalam tas. tak kuhiraukan Nathan yang terus menatapku. Aku mengetik satu kalimat dengan cepat, lalu mengirimkannya. aksel, kita jadian ya!
ef
tiga belas
S ebulan ini rasanya cepat sekali. Seperti ada tangan
gaib yang memencet tombol fast forward di remote dan hidupku jadi berjalan super cepat. Atau mungkin karena ada Aksel di hidupku ya, semuanya jadi lebih mudah dan lebih cepat. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya jika sebulan ini harus kulewati sendiri tanpa ada Aksel di sampingku. Mungkin aku merasa merana. Eerrr lebih tepatnya aku pasti bakalan merasa merana.
Aksel selalu tahu cara untuk membuatku tersenyum. Ia juga tahu cara menenangkanku saat aku menangis. Pernah suatu kali saat aku sedang PMS dan mood-ku benar-benar tak karuan, Aksel menemaniku di rumah, membawakanku ilm-ilm lucu, cokelat, dan membuatkanku segelas lemon tea hangat untuk menenangkanku. Pernah saat tak bisa tidur, aku menelepon Aksel tengah malam, dan ia bercerita untukku sampai aku ngantuk dan tertidur dengan telepon yang masih menyala. Dan pernah, saat pulang sekolah, hujan-hujanan, Aksel yang pada saat itu tidak membawa mobil mengantarku pulang naik motornya dan memakaikan jas hujannya untukku sehingga ia basah kuyup, lalu esok hari ia demam dan tak masuk sekolah. Banyak yang iri meli hat perhatian Aksel untukku. Sisil tak henti-hentinya bilang, " Cesaaa, kalian ini bikin aku iriii& Seandainya ada cowok yang segitu tergila-gilanya padaku." Aku hanya ter senyum tiap kali mendengar Sisil berkata seperti itu. Sisil tak tahu kalau jauh di dalam hatiku, Aksel tak ada di sana.
ya, aku memang selalu berusaha membalas perhatian dan kasih sayang Aksel. Aku selalu terlihat bahagia dan tertawa saat bersamanya. Namun, setiap kali aku bersama Aksel, aku berharap Nathan yang ada di sana. Setiap kali aku tertawa bersama Aksel, aku membayangkan apa yang akan dilakukan Nathan untuk membuatku tertawa. tak tahu diuntung, ya? tapi itulah yang aku rasakan. Klise memang, Aksel terlalu sempurna, terlalu baik, dan ia pantas mendapatkan seseorang yang lebih baik dariku. Seorang cewek yang bisa mencurahkan perhatian padanya tanpa ada cowok lain di hatinya. Dan itu bukan aku.
Nathan sudah tak pernah lagi datang ke rumah. ya, se jak hari itu. Hari ketika Papap mengemasi barang-barangnya dari rumah (sekaligus hari terakhir aku melihatnya), hari ke tika aku bertengkar dengan Jinan, dan hari ketika akhirnya aku tahu Nathan dan Jinan sempat jadian. Jika harus me mi lih satu kata untuk mendeskripsikan hari itu, aku akan memilih kata disaster. Aku sengaja memilih kata da lam bahasa Inggris karena menurutku kata itulah yang paling tepat. Aku tak ingin menerjemahkannya. Bukankah sense-nya berbeda jika diterjemahkan? Kata Jinan sih begitu.
Seminggu terakhir ini hubunganku dengan Jinan berangsur membaik. Hubungan kami sudah hampir seperti dulu lagi. Kubilang hampir karena belum sepenuhnya pulih seperti semula.
Mataku masih terpejam saat ponselku bergetar. Sekuat tena ga aku berusaha membuka mata. Sedetik kemudian aku berteriak nyaring, " Kau boleh membuka rolling doornya, Jinan."
Bunyi berisik rolling door pun terdengar. Dan di sanalah dia. Jinan yang kini berjalan menuju ke arahku.
Belakangan ini Jinan mempunyai kebiasaan baru. Mengi rimkan pesan setiap kali ingin membuka rolling door. Well, awalnya aku sih senang karena berarti itu kema ju an besar, bukan? Dulu dia seenaknya membuka dan me nu tup rolling door yang memisahkan kamar kami. tapi lama-lama aku jengkel juga karena Jinan tak akan berhenti me ngirimiku pesan di ponsel jika aku belum membalasnya atau jika aku belum berteriak membolehkannya membuka pintu.
Saat kubilang berhenti saja mengirimiku pesan seperti itu, Jinan mencibir dan berkata bahwa dia melakukan itu karena menghormati privasiku. Itu bagus sebetulnya. tapi jika pukul lima pagi seperti ini aku sudah harus berurusan dengan pesan di WhatsApp tentang rolling door, rasanya aku bisa gila.
" Aku sudah selesai membaca," katanya lalu duduk di tepian tempat tidurku.
Aku membuka mata lebar-lebar dan kulihat novel he Silver Linings Playbook di tangan kanannya. " Bagus?" tanyaku sekenanya. Pertanyaan pertama yang selalu kutanyakan setiap kali Jinan memberitahuku dia telah selesai membaca sebuah buku.
" Bagus. Bahasanya ringan. Kosakatanya tidak sulit. Jadi aku menikmatinya."
" Baguslah kalau begitu." Aku menarik selimut hingga menutupi wajah.
Boleh nggak sih aku tidur lima jam lagi? Ini kan hari Minggu.
" Cesa!" seru Jinan. Dia menarik selimutku. Aku mendesah. Kenapa sih dia harus bermonolog sepagi ini? " Hmm," aku bergumam.
" Aku merasa dulu aku ini seperti tifany. Maksudku yang di ilm ya. Aku lebih suka ilmnya daripada bukunya meski bukunya bagus. Dulu aku pemarah seperti dia itu. yeah, sekarang juga masih, tapi sudah agak lumayan. Jadinya sekarang aku merasa seperti Pat. Kadang menyenangkan, kadang tertawa saat merasa bahagia, tapi kadang berteriak saat frustrasi."
Jika begini, aku merindukan saat-saat ketika Jinan tak pernah mengoceh seperti ini. Hoaahhmm.
" Bangun ah. Sudah siang," kata Jinan sambil menarik paksa selimutku sekali lagi.
Aku mendengus. " Sejak kapan kamu peduli aku bangun jam berapa? Mamam saja nggak peduli."
" Sejak sekarang," Jinan benar-benar mengambil selimutku. Dia membawa selimut itu keluar dari kamar. Jinan tahu aku tak bisa tidur tanpa selimut tebal itu.
Kadang perintah Jinan melebihi titah para dewa. Aku harus menurutinya jika tak ingin dia terus mengoceh. Maka kuikuti dia saat memintaku bermain ayunan di kebun belakang. " Sudah lama kita tidak bermain ayunan. Kasihan ayunan itu berkarat nanti," katanya.
Aku mencuci mukaku di wastafel sebentar, lalu membuka kulkas dan menenteng satu kotak susu cokelat dan dua potong kue keju. Aku lapar sekali.
Langit cerah dengan angin sepoi-sepoi membuat pagi hari Minggu ini sempurna. Aku duduk sambil menikmati sarapanku sementara Jinan sibuk mengayun ayunan kami. " Nathan titip salam buat kamu," kata Jinan. Aku berhenti mengunyah. Nathan? Sebulan ini nama itu kukubur dalam-dalam di hatiku. Jinan juga tak pernah mengucapkannya. Rasanya menjadi lumayan aneh karena bisa dibilang Nathanlah yang menjadi penyebab utama aku dan Jinan bertengkar.
" Oh," sahutku. Aku tak tahu harus berkata apa selain
" Kalian bagaimana?" tanyaku akhirnya karena Jinan tampak menunggu respons yang lebih panjang dari sekadar oh.
" Kami tetap bersahabat," jawab Jinan sambil tersenyum, " meski awalnya susah, sekarang kami sudah ahli bersahabat."
" Maksudnya?" tanyaku tak mengerti.
" Sekarang ini hidupku terasa lebih ringan. Aku tak perlu berpura-pura tidak jatuh cinta sama Nathan. Mungkin terdengar konyol, tapi aku dan Nathan yakin jatuh cinta itu tidak harus selalu bersama. Maksudku dengan label pacaran atau jadian. Jika memang yang terbaik sekarang ini kami bersahabat, ya sudah. Every cloud has a silver lining. Di balik kesedihan pasti akan ada kebahagiaan dan hal-hal yang baik."
Aku menatap mata Jinan. " Kau bilang sekarang tak perlu berpura-pura tidak jatuh cinta sama Nathan. Berarti dulu kamu berpura-pura?"
Jinan menatapku, lalu tersenyum, " Iya. Dulu aku berpura-pura tidak jatuh cinta sama dia. tapi aku tak pandai melakukannya. Berpura-pura itu sangat melelahkan." " Kamu berpura-pura karena aku?" tanyaku cepat. Lagi-lagi Jinan tersenyum. " Aku sayang kamu, Cesa. Aku nggak pernah ingin menyakitimu."
tatapanku kualihkan ke langit. Segerombolan burung terbang dengan formasi V, melintasi awan-awan biru. Aku teringat sosok Nathan saat kami berdua pulang dari Magnum Cafe sebulan yang lalu.
Nathan memandangku. tangannya bergerak menyentuh pipiku. Sebentar saja. Lalu melepaskannya. " tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Cesa. Kamu jatuh cinta sama aku. Aku tahu itu. Dan kamu tahu aku dan Jinan saling jatuh cinta, tapi kami memikirkanmu," katanya.
Ada yang tidak kamu ketahui, Nathan. Barusan aku menerima cinta Aksel. Kataku dalam hati.
Nathan tersenyum lebar saat menatapku. Dengan senyum nya yang terkembang lebar seperti itu, Nathan terlihat tam pan sekali. tiba-tiba aku ingin menangis. Baru sekarang ini aku menyadari aku betul-betul jatuh cinta padanya. Aku betul-betul menyukainya. Jika semua rasa sukaku untuk man tan-mantanku dikumpulkan, rasa sukaku untuk Nathan se o rang masih jauh lebih besar. Benar. Aku bicara yang sesungguhnya.
Aku jadi tahu kenapa mereka menyebutnya jatuh cinta . Karena jatuh cinta itu seperti jatuh betulan. Sakit. Sekarang ini dadaku rasanya seperti terhimpit gerbong kereta. Dua gerbong kalau perlu.
" Every cloud has a silver lining," kata Nathan. " Jinan suka sekali dengan kalimat itu. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, bukan? Jika melihat apa yang terjadi sekarang, kita hanya akan melihat keruwetan dan rasa sakit yang teramat sangat. Aku tahu apa yang kamu rasakan saat ini, Princesa Sayang," dia menatapku lembut. tangannya bergerak mengusap pipiku yang basah. " Dadamu pasti sesak sekali. Hatimu seperti dipatahkan menjadi dua. Atau dihancurkan hingga pecah berkepingkeping. Rasanya pasti seperti itu. tapi seperti yang Jinan bilang, every cloud has a silver lining. Di balik kesedihan pasti akan ada kebahagiaan dan hal-hal yang baik."
Aku mengeluarkan sekantung tisu dari dalam tasku dan mencabut beberapa lembar. Kuusap air mata yang terus mengalir. Lalu aku menatap Nathan, berusaha tersenyum. " Boleh aku bertanya satu hal?"
Nathan mengangguk.
" Kau tahu kan Jinan menderita bipolar disorder. tapi kamu tetap mencintainya. Kenapa?"
Ada jeda yang mengudara.
" Cinta itu cinta saja. Nggak butuh kenapa dan karena. Aku pernah membacanya entah di mana. Lagi pula mereka yang menderita bipolar disorder bukan monster. Mereka memang tidak diberkati dengan emosi yang stabil. Mereka tidak diberkati dengan kontrol atas emosi mereka. tapi Cesa, mereka tak pandai berpura-pura. Karena sering tak bisa mengontrol emosi, karena tak punya saringan saat bicara, mereka jadi tak pandai berpura-pura. Menurutku itu sebuah berkah yang luar biasa. Lihat sekeliling kita. Kadang aku bosan dengan topeng-topeng yang dikenakan teman-temanku. Kadang mereka palsu. Fake. Atau apalah namanya. Aku juga seperti itu. Sering mengenakan topeng. Sering palsu. Hanya bersama Jinan aku bisa menjadi diriku sendiri."
Nathan tersenyum sekali lagi. " Sudah malam. Lain kali dilanjutkan lagi tanya jawabnya. Ayo kita pulang. Kuantar kamu pulang ke rumah," kata Nathan lalu menyetop taksi yang melintas di depan kami.
" Kamu betul-betul putus dari Aksel?" tanya Jinan.
Aku memandangnya sebentar, lalu meneguk susu cokelatku. " Iya," jawabku lirih.
Mata Jinan yang menatapku seolah mengajukan pertanyaan kenapa. " Seperti kamu yang tidak mau menyakitiku, aku juga nggak mau menyakiti Aksel lebih jauh lagi." Aku berusaha tersenyum.
" Kamu masih suka Nathan?" tanya Jinan dengan nada datar. Aku gagal menebak apa yang ada di hati dan pikiran Jinan karena dia jarang mengeluarkan nada datar seperti ini.
Aku menghirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. " Aku sudah berusaha move on. Sudah berusaha melupakan Nathan dengan mencoba berpacaran dengan Aksel. tapi ternyata enggak bisa. Aku masih jalan di tempat. Aku ini payah ya," aku tertawa. Jinan menghela napas.
" Apakah akan jadi masalah buatmu jika aku masih menyukai Nathan?" kutatap Jinan lekat.
Dia tersenyum mendengar pertanyaanku, lalu berkata dengan nada seriang mungkin, " Akan menjadi masalah jika aku menjadikannya masalah. tapi aku memilih untuk tidak menjadikan hal itu sebuah masalah. Kau bebas menyukai siapa saja, Cesa. Aku pun bebas menyukai siapa pun. Begitu."
Matahari semakin tinggi. Angin masih bertiup sepoisepoi. Kupandangi Jinan yang kini memejamkan mata. Dia kakakku. Aku menyayanginya. Dan aku juga menyayangi cowok yang dia sayangi. Memikirkan Jinan dan Nathan membuatku teringat kata-kata Bunda teresa yang pernah Jinan katakan dulu.
aku telah menemukan paradoksnya. Jika kau mencintai seseorang sampai terasa sakit, maka tak akan ada lagi rasa sakit, yang ada hanya lebih banyak lagi rasa cinta. ya, sakit memang mencintai Nathan yang jelas-jelas tidak pernah mencintaiku. tapi aku tetap merasa lega. Entahlah, aku merasa lega saat membiarkan diriku untuk belajar mencintai dan menerima saat tidak dicintai. Entah sampai kapan aku akan terus mencintai Nathan, entah aku akan menunggunya atau tidak, aku belum tahu. yang jelas perasaan tulus ini membuatku lebih tenang dan bahagia, walaupun ada sakit di baliknya.
Kurasa Bunda teresa benar. Sekarang ini ada lebih banyak lagi rasa cintaku untuk Nathan dan kakakku, Jinan.
-end
Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Pendekar Rajawali Sakti 208 Ancaman
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama