Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya Bagian 2
pernah diantar satu kali oleh orangtuanya, ketika hari pertama
masuk SD. Setelah itu, mereka hanya menginjakkan kaki di
sekolah kalau terima rapor, bergantian setiap kali datang.
Ketika melangkahkan kaki ke dalam, kesan antik yang di?
pancarkan bagian luar gedung itu hampir tidak ada lagi. Fay
berada di area lobi yang luas dan sangat modern dengan cat
berwarna putih serta perabotan berdesain simpel. Sangat kon?
tras dengan desain jendela tinggi penuh ornamen, yang meng?
undang cahaya matahari tanpa ragu. Meja resepsionis tepat
berada di depannya, didominasi material kaca. Bangku-bangku
tanpa sandaran berbahan suede dengan kombinasi warna ungu,
merah, dan oranye tersusun sepanjang dinding. Fay melihat
berkeliling dan matanya menangkap tanaman-tanaman hijau
yang menyegarkan mata di setiap sudut ruangan. Di salah satu
sudut, terdapat papan pengumuman, dengan banyak brosur
yang tertempel tumpang tindih.
Bagi penggemar arsitektur abad pertengahan, pemandangan
ini mungkin suatu penghinaan, tapi bagi Fay, yang terasa
hanyalah rasa antusiasme yang riang dan ringan yang ditular?
kan ruangan itu kepada dirinya.
Wanita yang ada di balik meja resepsionis berpakaian sangat
santai, kaus tanpa lengan berwarna merah muda, dengan ce?
lana katun putih. Dengan ramah wanita itu menyapanya. Se?
lain selamat pagi, Fay tidak tahu apa lagi yang wanita itu
ucapkan. Fay hanya membalas dengan senyuman sambil menye?
! 1-7.64
rahkan surat keikutsertaannya. Wanita itu memberinya sebuah
brosur, yang ternyata peta ruangan sekolah. Dia membuka
brosur itu di hadapan Fay dan menjelaskan isinya. Anehnya,
tetap dengan bahasa Prancis, dibantu sesekali dengan bahasa
Inggris dan bahasa tubuh. Bukannya siapa pun yang mendaftar
di sini belum bisa bahasa Prancis? tanya Fay bingung kepada diri
sendiri.
Tanpa disangka-sangka, ternyata ia cukup menangkap pen?
jelasan wanita itu, terutama sangat terbantu gambar di brosur
yang informatif. Lantai bawah adalah area umum. Selain lobi,
terdapat kafeteria merangkap ruang duduk, perpustakaan, ruang
komputer lengkap dengan koneksi Internet, dan teras tempat
siswa bisa duduk di sekitar taman kecil dan berdiskusi. Di lan?
tai atas ada dua belas ruang kelas. Wanita itu menunjukkan
ruang kelas Fay di peta, kemudian memberikan buku pelajaran
yang akan digunakan selama dua minggu ke depan. Fay meng?
ucapkan "merci" atau terima kasih, kata kedua yang ia tahu
artinya selain "bonjour" atau selamat pagi, dan berlalu menuju
tangga di belakang resepsionis.
Ketika masuk ke kelas, Fay disambut oleh pria berperawakan
pendek, agak gemuk, dengan senyum riang yang selalu ada di
wajahnya, bahkan ketika diam. Pria itu memperkenalkan diri
sebagai Monsieur Thierry, gurunya, sambil menyalami, atau
tepatnya mengguncang tangannya dengan bersemangat.
Ruang kelas itu kecil, hanya ada delapan bangku disusun
berbentuk setengah lingkaran. Di bagian depan ada satu kursi
dan meja untuk gurunya, dan di dinding depan ada papan
tulis. Fay mengambil tempat di tengah-tengah, dengan harapan
kalau harus bergiliran bicara atau maju ke kelas, ia bukan yang
pertama.
Satu demi satu siswa datang. Seorang siswa dengan pipi agak
chubby bertampang Asia datang dan duduk di sebelah kanan?
nya. Seorang gadis bertampang serius datang, duduk di ujung
kanannya. Tak lama kemudian, datang seorang lagi gadis yang
agak gempal dengan wajah bulat yang dipoles make-up, duduk
! 1-7.65
di sebelah gadis tadi. Sekarang hanya tinggal empat bangku
kosong di sebelah kiri Fay. Dua siswa datang hampir ber?
barengan dan mengambil tempat di dua bangku di ujung kiri
Fay. Yang satu berambut hitam ikal dan yang lain berambut
cokelat kemerahan.
Sekarang yang kosong hanya tinggal dua bangku sebelah kiri
Fay. Tak lama, datang seorang gadis berambut pirang sangat
panjang, yang cantik luar biasa dengan badan tinggi lurus se?
perti model, memilih untuk duduk di sebelah pemuda tadi. Fay
agak merasa terganggu dengan kosongnya bangku di sebelah?
nya. Kenapa gadis pirang itu tidak mau duduk di sebelahnya?
Tidak bisa dicegah, pikiran itu melintas bolak-balik di kepala?
nya.
Pikiran itu langsung sirna ketika kelas dimulai. M. Thierry,
gurunya, ternyata memang kocak dan mampu mencairkan sua?
sana dengan cepat. Dia memberi contoh secara lisan cara
singkat memperkenalkan diri dan menyuruh mereka satu per
satu melakukan hal yang sama. Fay menyimak ketika temantemannya memperkenalkan diri.
Ada empat siswa perempuan, termasuk dirinya. Gadis cantik
yang terakhir datang itu adalah Erika, berasal dari Swedia.
Siswa perempuan yang agak gempal itu adalah Eliza, dari
Spanyol. Tubuhnya memang agak gempal, tapi dia memulas
parasnya yang sudah cantik dengan make-up tanpa cela dan
kelihatan sangat gaya dan tidak terganggu dengan tubuhnya,
yang menurut perkiraan Fay, lebih gemuk sedikit daripada diri?
nya. Dengan kagum Fay memerhatikan Eliza yang dengan per?
caya diri menggunakan tank top dan celana pendek. Dan harus
diakui, sangat menarik secara keseluruhan.
Satu lagi adalah Julia, darierika, yang duduk di bangku
paling kanan. Anak ini mengingatkan Fay pada Dea, si serius.
Atau kalau menurut istilah Lisa, "student banget deeeh". Bela?
kangan Fay tahu, bahwa ketiganya baru saja lulus SMA. Jadi
ia adalah yang paling muda di antara mereka.
Tiga siswa laki-laki masing-masing adalah Rocco, Jose, dan
! 1-7.66
Phil. Jose berasal dari Filipina, duduk di sebelahnya. Pemuda
itu berambut cepak dengan wajah chubby yang ramah, imut
banget menurut Fay. Rocco yang berasal dari Italia dan be?
rambut hitam, kelihatan paling muda di antara yang lain,
duduk di ujung sebelah kiri Fay. Yang terakhir adalah Phil,
berasal dari Australia, berkulit bintik-bintik dengan rambut
cokelat kemerahan, seperti tanaman yang meranggas.
Setelah perkenalan singkat itu, M. Thierry membuka buku
dan mulai mengajar dengan gaya yang lebih ekspresif lagi dari?
pada Jacque.
Baru halaman pertama, kening Fay sudah berkerut. Sungguh
ajaib! Apa yang tertulis sama sekali tidak menggambarkan apa
yang dibaca. Dan apa yang didengar sama sekali tidak bisa di?
tarik mundur ke apa yang tertulis. Bahkan menebak bagian
mana yang diucapkan M. Thierry pun ia tidak bisa.
Semakin lama kelas berjalan, semakin Fay merasa seperti
prajurit yang sudah sibuk mengibarkan bendera putih padahal
semua prajurit lain sedang duduk santai sambil minum kopi
karena genderang perang ditabuhkan saja belum.
Memasuki jam 10.00, ia sudah patah arang, terutama ketika
M. Thierry mengajarkan pelafalan kata secara benar, yang luar
biasa sukar dan tak masuk akal baginya. Untuk mengucapkan
huruf "u" secara benar, bibirnya harus dimonyongkan sedemiki?
an rupa sehingga lancip ke arah bawah, sehingga huruf u itu
menyisip keluar di antara gigi depannya dan meluncur dari
bibirnya dengan bunyi "u" yang lebih banyak mengandung
unsur "e" dan "i" daripada "u" itu sendiri. God, this is madness!
Memasuki jam 11.00, masalahnya berganti ke huruf "r". Hu?
ruf ini dilafalkan seperti tersangkut di tenggorokan. Tidak sam?
pai tertelan memang, lebih mirip suara kucing mendengkur.
Dalam hati Fay menggerutu, kalau saja ia dulu tahu suatu hari
nanti harus susah-susah menyangkutkan huruf itu di lehernya,
ia tidak akan susah payah latihan mengucapkan "r" secara pe?
nuh supaya dianggap tidak cadel ketika berumur empat tahun
dulu.
! 1-7.67
Jam 11.50 disambut dengan sorak sorai sukacita oleh sekujur
tubuh Fay, yang paling lega adalah otak, mulut, telinga, dan
matanya. Ia pun pergi ke kafeteria bersama teman-teman baru?
nya.
Pilihan makanan di kafeteria terbatas, tapi rasanya cukup
untuk digilir selama dua minggu ke depan. Roti-roti berada di
satu keranjang kayu, menunggu untuk ditunjuk dan diisi de?
ngan berbagai pilihan daging. Ada juga salad, sup, pasta, pizza,
dan yang paling mengoda adalah pie daging yang gendut meng?
giurkan dengan pinggiran yang menjuntai keluar dari mangkuk.
Fay baru saja akan menunjuk pie tersebut ketika teringat,
gimana cara nanya ini makanan dari daging apa? Dengan putus
asa, akhirnya Fay memesan croissant yang diisi dengan daun
selada dan cacahan daging ayam, serta satu gelas Coca-Cola.
Ia mengucapkan salam perpisahan kepada pie yang angkuh ter?
sebut sambil bersumpah akan bertanya kepada M. Thierry
besok pagi sebelum kelas dimulai bagaimana menanyakan hal
tersebut dalam bahasa Prancis.
Mereka bertujuh bergerombol mengisi dua meja di sudut
kafeteria. Fay tidak banyak bicara. Semua perhatian siswa le?
laki di kelasnya tertuju pada Erika, yang menikmati perhatian
itu dengan bercerita panjang-lebar tentang dirinya dalam ba?
hasa Inggris. Huh, nggak di Jakarta nggak di Paris, kenapa juga
harus ketemu makhluk seperti ini, pikirnya agak jengkel.
Phil menyelamatkannya dari percakapan makan siang satu
arah.
"Aku harus cek e-mail," ujarnya sambil berdiri. Fay tidak
menyia-nyiakan kesempatan,
"Aku juga."
Ruang komputer ada di dekat tangga di belakang meja resep?
sionis. Dua belas komputer berjajar mengelilingi sebuah meja
persegi yang besar di tengah ruangan. Meja itu tinggi tanpa
kursi, sehingga siapa pun yang ingin menggunakan komputer
harus berdiri. Mirip dengan yang Fay lihat di bandara Changi.
Posisi berdiri itu mau tak mau akan membuat orang tidak
! 1-7.68
terlalu betah untuk berlama-lama menggunakannya. Menurut
Fay, orang yang pertama merancang dan bisa memikirkan hal
ini pastinya sangat genius.
Ada satu komputer yang masih kosong. Ia benar-benar ingin
menulis e-mail ke teman-temannya, tapi ada rasa enggan
setelah kejadian tadi malam. Fay masih ingat rasa mengerikan
yang ditimbulkan ketika telepon itu datang dan ia masih tidak
habis pikir, kok bisa-bisanya Andrew tahu apa yang sedang
dikerjakannya.
"Fay, kamu mau pakai komputer?" Jose datang dan bertanya
sambil tersenyum ke arahnya.
"Nggak. Silakan, pakai saja," jawaban itu meluncur begitu
saja dari mulutnya dan ia pun beranjak keluar dari ruangan.
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akhirnya Fay masuk ke perpustakaan dan melihat-lihat buku
yang ada di sana. Ia sangat gembira menemukan komik Asterix
dan Obelix dalam versi bahasa Prancis. Yah, setidaknya ia bisa
menikmati gambar-gambarnya yang kocak.
Jam 14.00 kelas kembali dimulai. Dua jam sepuluh menit
hanya untuk istirahat siang. Fay ingat waktu istirahat di se?
kolahnya sendiri di Jakarta hanya lima belas menit. Cici per?
nah menyebutkan bahwa makan siang di Prancis diagungkan
seperti sebuah ritual tersendiri, sehingga memakan waktu hing?
ga dua jam lebih. Fay waktu itu bertanya, "Maksud lo pake
tidur siang, gitu?"
Cici melihatnya setengah melotot sehingga mata sipitnya
tampak seperti lensa cembung yang langsing. "Nggak. Maksud
gue ?makan siang? ya hanya makan siang. Mereka benar-benar
menikmati setiap gigit makanannya. Trus, mereka juga seneng
ngobrol. Pokoknya menikmati hidup banget deh."
Dengan gaya seperti seorang analis ulung, Dea menambahkan
dengan nekat, "Mungkin maksud Cici, mereka itu makannya
banyak."
Cici menatapnya dengan frustrasi. "Dea, itu sama sekali ti?
dak ada hubungannya dengan jumlah makanan mereka. Ce?
wek-cewek Prancis malah kalau makan dikit banget. Kalau
! 1-7.69
dibandingina porsi makan nasi lo, udah pasti nggak ada
yang bisa ngalahin lo, orang Eskimo sekalipun. Gini aja deh,
Prancis itu kan terkenal sebagai pusat kuliner dunia," ucapan?
nya tidak diteruskan. Fay tau kenapa. Mereka bertiga menatap
Cici dengan pandangan seperti melihat UFO di siang bolong
parkir di mal.
"Udah deh sekilas infonya. Percuma deh. Nanti ya gue lan?
jutin lagi kalau lo pada udah agak berbudaya dikit," ucap Cici
nyolot dengan putus asa.
Pintu kelas terbuka dan M. Thierry masuk bersama seorang
pemuda yang menurut perkiraan Fay berumur awal dua puluh?
an, bertubuh atletis, berkulit kecokelatan, dengan tampang
yang superkeren. Pemuda itu tersenyum tanpa ragu-ragu ke
seluruh kelas, memperlihatkan sederet gigi putih sempurna
yang menghiasi tampang isengnya. Rambutnya yang ikal agak
gondrong membuat dia tampak sangat menarik, agak bandel
tapi seksi. Fiuh! Fay sampai terbengong-bengong, tidak percaya
pemuda seganteng itu bisa sekelas dengannya dan bisa dilaba
setiap hari selama dua minggu ke depan. Ia langsung mem?
bayangkan foto bareng, trus dengan kampungannya menye?
barkan foto itu ke geng Tiara, biar tau rasa!
"Class, c?est Reno. Merci d?accueillir chaleureusement, Reno."
M. Thierry memperkenalkan siswa itu kemudian menyuruh
setiap orang kembali berlatih memperkenalkan diri, diakhiri
dengan siswa baru itu.
Dengan tegang Fay menunggu pemuda itu bersuara... cem?
prengkah? Falskah? Ternyata suaranya berat dan renyah. This
can?t be true, ujarnya dalam hati sambil senyum-senyum sendiri
membayangkan kehebohan teman-temannya dan jengkelnya
Tiara, hingga ia terpaksa menunduk supaya tidak terlihat ter?
lalu gila. Senangnya tidak berlangsung lama. Dengan jengkel,
Fay juga melihat bahwa teman-teman wanitanya yang lain su?
dah mulai menampakkan tanda-tanda ngelaba. Bahkan Erika
tanpa malu-malu mengangkat tasnya dari kursi sebelah, dan
memberi signal ke Reno untuk duduk di sana. Well, itu juga
! 1-7.70
berarti... di sebelah kirinya! Fay sampai hampir pingsan ketika
Reno menuju tempat duduk tepat di sebelah kirinya yang
ditunjuk Erika sambil tersenyum.
Reno pun duduk di sebelahnya, sekilas menoleh kepada Fay
sambil tersenyum?yang Fay balas dengan senyum manis yang
mungkin menurut Lisa sangat menjijikkan?kemudian sibuk
membuka-buka buku pelajaran yang masih baru itu.
Sisa hari itu dijalani Fay dengan lebih riang, sambil sesekali
melirik ke kiri untuk menikmati pemandangan bagus. Ia bah?
kan sampai lupa untuk mengutuki huruf "u" dan "r" dan alfa?
bet lain yang sebenarnya masih belum bisa ia ucapkan dengan
benar.
Perasaan riang itu perlahan-lahan terkikis antisipasinya ter?
hadap aktivitas sore ini, sejalan dengan jarum jam yang terus
bergeser, dan hampir tidak bersisa setelah jam menunjukkan
pukul 15.00. Fay mendapati dirinya mulai gelisah dan apa yang
diajarkan oleh M. Thierry hanya lewat begitu saja di depan?
nya.
Jam 15.20, kelas selesai. Fay merasa jantungnya mulai ber?
debar. Dengan cepat ia membereskan barang dan berjalan ke?
luar kelas menuju lobi. Ia bahkan sudah lupa sama sekali pada
Reno.
Di lobi, Fay membunuh waktu dengan melihat berbagai ma?
cam brosur yang tertempel di papan pengumuman. Sebuah
sapaan di belakangnya mengagetkannya.
"Hai. Maaf tadi aku tidak terlalu menangkap nama yang
kamu sebutkan. Nama kamu siapa?"
Ia menoleh dan hampir saja terlompat melihat siapa yang
menyapanya. Aih, si gondrong ganteng!
"Fay," jawabnya riang, sesaat lupa pada jantungnya yang tadi
baru saja mulai bekerja keras.
"Kamu dari Indonesia, ya?" tanya Reno ramah.
"Iya. Kamu dari mana?" tanya Fay balik.
"Asalku dari Ekuador, tapi aku sekarang tinggal di Swiss.
Kamu tinggal di kota apa? Aku cuma tahu Bali."
"Jakarta, ibukota Indonesia. Kalau Bali itu bukan kota, tapi
! 1-7.71
sebuah pulau. Kalau kamu sendiri, tinggal di kota apa di
Swiss?"
"Aku tinggal di Zurich."
Tepat saat itu, Erika datang diiringi Rocco dan Phil. Erika
langsung tersenyum lebar sambil bertanya dengan logat yang
terdengar kaku di telinga Fay tanpa malu-malu,
"Hai, Reno, kami baru saja mau minum kopi. Ikut yuk."
Sementara Erika berbicara, seorang pria masuk ke lobi. Seke?
tika itu juga Fay tahu bahwa pria itu penjemputnya. Pria yang
oleh Andrew dipanggil Lucas itu adalah salah satu penculiknya
kemarin. Dengan gugup, Fay berkata kepada Reno, "Aku harus
pergi sekarang. Bye."
Erika bertanya, "Oh, kamu nggak mau ikutan?"
Fay tahu itu pertanyaan basa-basi, yang sebenarnya artinya
adalah, "Oh, ada orang toh di sini, syukur deh lo nggak ikut,"
karena waktu berbicara dan mengajak Reno tadi, Erika bahkan
tidak sekali pun melirik ke arah Fay. Kalau saja kondisi Fay
tidak seperti ini, mungkin Erika sudah ia sambit. Tapi karena
ia juga sudah mulai panik, ia hanya berkata singkat, "Tidak,
terima kasih," kemudian berjalan menuju pintu ke arah pria
itu sambil melambaikan tangan, ke arah Reno tentunya.
Fay dibawa dengan mobil van putih ke pinggiran kota Paris.
Dari papan penunjuk arah, Fay melihat van itu mengambil
jalan menuju Dijon, tapi kemudian berbelok keluar dari jalan
utama dan masuk ke jalan pedesaan yang menjauhi jalan uta?
ma. Ketika akhirnya mobil itu kembali berbelok ke jalan yang
lebih kecil di sisi kanan jalan, seketika itu juga Fay terpana
dengan keindahan yang tampak sepanjang mata memandang.
Di kiri-kanan jalan yang lebarnya hanya pas untuk dua mobil
itu berjajar pohon-pohon dengan daun rimbun yang menaungi
jalan itu bagaikan payung besar nan megah. Cahaya matahari
menyisip di antara dedaunan, membuat jalan itu seperti lorong
! 1-7.72
panjang yang dipenuhi cahaya yang sedang menari. Serasa
memasuki negeri para peri.
Jalan itu berakhir persis ketika van yang dinaikinya berhenti,
di depan gerbang dua pintu dari besi yang dihiasi ornamen
singa di tengah setiap pintunya. Pengemudinya, Lucas, me?
nekan tombol remote yang digenggamnya, kemudian pintu
gerbang terbuka otomatis dan mobil itu pun bergerak masuk.
Di depannya, Fay melihat sebuah rumah besar?tampaknya
dua lantai?dengan halaman yang berbukit-bukit dan sangat
luas, hingga tidak terlihat di mana ujungnya. Mobil bergerak
perlahan di jalan berkerikil di halaman, hingga akhirnya ber?
henti di pintu masuk. Sudah ada satu mobil lagi parkir di sana,
sebuah Bentley dua pintu berwarna hitam.
Lucas turun dari mobil dan membukakan pintu van untuk?
nya. Segera Fay turun mengikuti Lucas yang berjalan menuju
pintu rumah yang langsung berada di sisi jalan masuk yang
berkerikil, tanpa teras.
Di dalam, ia sampai di area foyer. Ada satu tangga naik di
sana dan di sebelah kirinya ada jalan masuk yang ternyata me?
nuju ruang tamu tempat Andrew sudah menunggu. Sambil
menunggu Lucas yang berbicara dengan Andrew, Fay meng?
amati ruang tempatnya berada. Ruang itu cukup luas dengan
perabot yang lengkap. Terdapat sebuah meja dan sofa, sepasang
kursi dengan meja bulat kecil, sebuah credenza dengan sebuah
cermin besar terpasang di dinding di atasnya, dan satu lagi sofa
seperti tempat berbaring. Ada yang aneh dengan ruangan itu,
tapi Fay tidak bisa melihat apa yang menyebabkan dirinya
mempunyai perasaan itu. Setelah mengamati lebih lanjut, dia
kini tahu kenapa. Ruang itu tidak punya kepribadian. Tidak
ada satu pun ornamen yang sifatnya pribadi di sana, baik be?
rupa foto, pajangan, maupun lukisan. Pajangan yang ada hanya?
lah beberapa vas bunga yang seragam, tanpa bunga. Lukisan
abstrak yang ada di dinding juga terasa kosong dengan per?
mainan warna yang pucat. Ada lukisan orang berukuran besar
di dinding, tapi itu adalah lukisan Napoleon. Ruangan ini se?
! 1-7.73
perti sebuah rekayasa. Bulu kuduk Fay pun berdiri dengan
pikiran itu, dan ia menggelengkan kepala untuk mengusir rasa
takutnya.
Lucas berjalan meninggalkan ruangan dan Andrew bergerak
menuju pintu yang ada di salah satu dinding sambil menyuruh
Fay mengikutinya.
Ruang yang dimasuki itu terlihat seperti ruang duduk dan
ruang kerja yang menjadi satu. Satu set sofa dan lemari TV
ada di tengah ruangan, sedangkan di dekat jendela ada meja
kerja dengan tiga kursi yang berhadapan; satu kursi empuk
menghadap ruangan dan membelakangi jendela, serta dua kursi
lain menghadap jendela. Andrew sekarang berdiri di sisi di
meja kerja itu, menyortir beberapa surat.
Fay hanya berdiri di tengah ruangan, menunggu Andrew
mengatakan sesuatu atau menyuruhnya duduk. Ia memperhati?
kan ruangan itu dan cukup lega ketika tidak menemukan pe?
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rasaan yang sama seperti di ruang sebelumnya. Ada sebuah
lukisan kontemporer, bergambar pemandangan di sebuah desa
nelayan, dengan warna yang sangat cerah dan menampilkan
karakter yang kuat. Di rak di lemari TV berjajar beberapa
pajangan dan tempat lilin modern yang tampak mewah. Di
sudut meja kerja ada bola dunia dari logam, dan ada beberapa
pemberat kertas dengan desain yang unik. Ada juga satu lemari
besar yang menutupi seluruh dinding di sebelah kanannya.
Andrew beranjak dari sisi meja kerja setelah selesai melihat
surat terakhir. Perlahan dia berjalan ke arah Fay sambil meng?
gulung lengan kemejanya. Saat ini pria itu memakai baju
santai, kemeja lengan panjang warna cokelat muda bermotif
kotak-kotak dan celana panjang katun warna cokelat tua. Kaca?
mata yang tadi bertengger di kepala sudah dilepas, tergeletak
di meja kerja. Fay masih tetap merasa pria ini adalah pria pa?
ling tampan yang pernah ia lihat seumur hidupnya, kombinasi
antara Pierce Brosnan dan Brad Pitt.
Ketika Andrew sampai di depannya, mendadak Fay melihat
sekelebat tangan pria itu melayang ke arahnya, disertai bunyi
yang keras.
! 1-7.74
Plak!
Yang ia ingat berikutnya adalah ia sudah tersungkur di lan?
tai dengan pandangan berkunang-kunang dan dengan pipi yang
rasanya panas berdenyut-denyut. Ranselnya ikut terjatuh di
sampingnya. Belum sempat ia berpikir, Andrew sudah mem?
bungkuk, mencengkeram lengannya dan memaksanya berdiri.
Pria itu bergerak ke arah meja kerja, mengambil kursi yang ada
di sana, sambil tangannya tetap mencengkeram lengan Fay,
sehingga ia setengah terseret mengikutinya.
Aduh, aduh, aduh, cengkeraman Andrew begitu kuat, serasa
meremukkan lengan Fay. Air matanya tanpa diperintah sudah
mengalir perlahan dari sudut mata, hasil dari menahan sakit,
yang pastinya sudah gagal. Andrew memindahkan kursi itu ke
depan TV, kemudian mendudukkannya di kursi itu dan me?
lepaskan tangannya. Fay menarik napas lega sambil memegang
dan mengelus-elus lengannya yang masih berdenyut-denyut,
mengalahkan panas di pipinya.
Sekarang Andrew berdiri tepat di depannya.
Aduh, mati! Fay bisa merasakan jantungnya langsung menye?
suaikan diri dengan berdebar kencang. Ia tidak punya ke?
beranian sama sekali untuk menengadah dan melihat apa yang
tergambar di wajah pria itu. Fay mengatupkan kedua tangannya
yang sekarang sangat dingin.
Tangan Andrew bergerak sekali lagi dan Fay menahan napas
sambil menutup mata. Sekujur badannya kaku, menanti apa
yang akan terjadi.
"Aaarghh," Fay pun berteriak ketika mendadak rambutnya
disentakkan ke belakang dengan keras sehingga kepalanya me?
nengadah.
Ketika ia membuka mata, yang terlihat adalah sepasang
mata biru yang kini begitu dekat dengan wajahnya dengan so?
rot sedingin es yang membuatnya menggigil.
"Ini harga yang harus kamu bayar atas perbuatan kamu se?
malam. Dan saya sedang berbaik hati."
Andrew melepaskan cengkeraman pada rambut Fay dan
! 1-7.75
membalikkan tubuh, mengambil remote dan menyalakan TV.
Dia berjalan ke belakang Fay. Mendadak Fay merasakan kedua
tangan pria itu mendarat di pundaknya dan menariknya ke
belakang sehingga ia menyandar ke sandaran kursi. Kedua
tangan pria itu tidak bergerak, masih diletakkan di kedua pun?
daknya.
"Sekarang, perhatikan gambar yang terputar itu baik-baik.
Jangan menutup mata kamu, walaupun hanya sedetik."
Fay menatap TV tanpa berkedip. Terlihat seorang pria du?
duk di kursi dengan kedua tangan diikat di penyangga tangan
di kedua sisi badannya. Kedua kaki pria itu juga diikat ke kaki
kursi. Gambar itu kemudian mengecil seiring dengan kamera
yang bergerak menjauh, dan menampakkan gambar ruang yang
lebih luas. Andrew ada di depan pria itu, berdiri memegang
senjata di tangan kirinya. Andrew mengatakan sesuatu dalam
bahasa yang tidak dimengerti oleh Fay, dan pria yang diikat
menggeleng. Andrew mengangkat senjatanya, mengarahkannya
ke pria itu.
Fay merasa degup jantungnya semakin keras dan ia merasa
mual. Ia memalingkan muka dan menutup mata, tidak sanggup
menyaksikan apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Kedua ta?
ngan Andrew meninggalkan pundaknya dan serta-merta kepala
Fay kembali tersentak ke belakang.
"Aaaargh," Fay kembali berteriak kesakitan.
"Lihat!" kata Andrew dengan suara keras.
Ketika Fay membuka mata, yang pertama ia lihat adalah
sebilah pisau yang diayunkan di depan wajahnya oleh Andrew.
Kemudian ia merasa logam dingin itu ditempelkan di lehernya.
Fay pun kembali menatap TV dengan perasaan sangat takut
hingga jantungnya seolah mengerut.
Di TV, terlihat Andrew menembakkan senjata diiringi bunyi
letusan kencang, disertai raungan kesakitan pria yang diikat di
kursi. Darah mengalir keluar dari lutut pria itu dan segera
membanjiri lantai.
"TIDAK!" Fay berteriak, air matanya mengalir keluar di?
! 1-7.76
sertai isakan yang tidak terkontrol. Dadanya sesak dan napas?
nya memburu, tidak ingin membayangkan rasa sakit yang di?
rasakan pria itu, tapi tidak bisa melepaskannya dari benaknya.
Suara pria itu terus terdengar, meraung-raung kesakitan. Ia
ingin kembali menutup mata tapi lagi-lagi sentakan di kepala
memaksanya membuka mata. Di TV, terlihat Andrew berjalan
mengitari pria itu, dan berhenti tepat di belakangnya. Sen?
jatanya sudah tidak ada di tangannya dan sekarang terlihat ada
kilatan logam di tangannya. Pisau itu! Persis sama dengan yang
tadi diayunkan di depannya. Fay kembali memalingkan wajah
dan menutup mata.
Kepalanya langsung disentakkan kembali dan ia bisa merasa
dinginnya logam yang menekan lehernya lebih keras.
"Buka matamu!" Andrew kembali memerintahnya dengan
keras.
"Saya mohon, jangan," Fay pun memohon sambil terisak.
"Tolong jangan, saya tidak bisa melihatnya."
Entah berapa kali ia mengulang-ulang kalimat itu seperti
meracau, hingga akhirnya Andrew melepaskan rambutnya dan
menurunkan pisau. Kemudian dia bergerak dan berdiri di de?
pan Fay, menghalangi pandangan Fay dari TV.
Tepat saat itu, terdengar lolongan kesakitan pria yang ada
di TV, kemudian... hening.
Fay menutup mukanya dengan kedua tangan. Tangisnya ma?
kin kencang tanpa bisa dihentikan. Kejadian yang baru ia
saksikan begitu mengerikan. Apakah yang tadi terjadi? Me?
ngapa begitu hening? Apakah pria itu mati? Atau apakah film
itu habis? Kenapa pria itu begitu kesakitan? Fay tidak tahu
jawabannya dan ia tidak mau tahu. Kenapa Andrew begitu
jahat? Dan kenapa ini semua terjadi pada dirinya? Kenapa ter?
jadi pada dirinya, Fay, yang hidupnya selama ini biasa-biasa
saja? Pertanyaan yang bertubi-tubi tercampur aduk dan tidak
pernah terucap, tenggelam di antara isak tangisnya.
"Lihat saya, Fay," suara Andrew terdengar di antara isak?
nya.
Fay berusaha keras menghentikan tangisnya, menghapus air
! 1-7.77
matanya, mengatur napasnya, dan yang terberat dari semua,
memerintahkan dirinya memberanikan diri untuk melihat ke
arah Andrew. Akhirnya ia pun menengadah, setelah sebelum?
nya menarik napas panjang, berusaha supaya isaknya setidaknya
berhenti sejenak.
Matanya langsung beradu dengan sepasang mata biru yang
tajam dan menyayat itu. Rasa dingin melesak ke dalam tubuh?
nya, merayapi jengkal demi jengkal kulitnya dan menggigit
masuk hingga ke tulang.
Andrew berkata, "Memberikan tekanan psikologis disertai
kontak fisik yang menimbulkan rasa sakit hanyalah sebuah
permainan bagi saya. Dan saya yakin itu bukan sesuatu yang
sanggup kamu terima. Jadi, untuk terakhir kalinya, jangan
membuat saya kesal. Mengerti?"
Fay bahkan tidak bisa mengangguk. Kengeriannya tumbuh
semakin besar dan ia tidak berani untuk mencerna sepenuhnya
perkataan Andrew.
"Sekarang, saya akan memberi kamu waktu untuk mem?
benahi diri. Di bawah tangga di foyer ada kamar mandi. Se?
puluh menit lagi saya harap kamu sudah kembali ke sini."
Fay pun segera beranjak. Hampir ia jatuh terduduk lagi ka?
rena lututnya masih lemas, tapi ia memaksakan diri untuk se?
gera keluar dari ruangan ini, secepat mungkin menjauhkan diri
dari pria itu. Kengerian yang ia rasakan hampir membuatnya
gila.
Begitu kakinya menginjak kamar mandi, air matanya kem?
bali keluar dan Fay kembali menangis tersedu-sedan. Akhirnya
ia hanya menatap kaca sambil sesekali terisak. Matanya sem?
bap, rambutnya tidak keruan, dan pipi kanannya merah, masih
berdenyut-denyut. Sedikit lega Fay melihat lehernya masih
utuh. Berarti logam tadi sama sekali tidak menggoresnya. Pada?
hal rasanya sakit sekali, gimana kalau tergores betulan? pikirnya
dengan kelegaan yang mendadak raib.
Fay menutup matanya, berdiri tegak, menarik napas panjang
dan membuangnya, berkali-kali seperti sedang melakukan pen?
! 1-7.78
dinginan sehabis pelajaran olahraga. Tidak berhasil. Dadanya
masih sesak dengan degup yang juga masih kencang, tangannya
masih dingin, dan lututnya masih lemas. Setengah frustrasi, ia
membuka mata.
Akhirnya, Fay mencuci muka dan membetulkan ikatan ram?
butnya. Ia melihat jam dan menyadari bahwa waktunya hanya
dua menit lagi. Kakinya terasa sangat berat ketika dilangkah?
kan kembali ke ruang kerja itu.
Andrew baru saja hendak sekilas melirik Bvlgari-nya ketika
pintu terbuka dan Fay melangkah masuk. Gadis itu tampaknya
sudah berhasil menguasai dirinya. Good!
Andrew memperhatikan langkah demi langkah ketika Fay
berjalan mendekat. Kepala gadis itu sedikit menunduk ketika
berjalan ke arahnya, tapi ketika tepat berhadapan dengannya
tanpa disangka-sangka dia mengangkat kepala dan memandang?
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nya.
Unbelievable! Bahkan setelah apa yang terjadi tadi, gadis ini
masih punya nyali untuk menatapnya! Sebersit kagum hinggap
di benaknya. Andrew menatap Fay yang masih memandangnya
dengan sorot mata bertanya. Setidaknya kali ini ada pancaran
ketakutan dan keraguan di sorot mata gadis ini, dan itu mem?
buatnya puas.
"I see that you?ve managed to pull yourself together. Very good.
Sebentar lagi, kita akan melakukan latihan fisik. Di atas, pintu
pertama di sebelah kanan, ada sebuah kamar yang akan men?
jadi kamar kamu selama kamu di sini. Ganti baju kamu de?
ngan salah satu baju olahraga yang tersedia di lemari pakaian.
Juga, ganti jam kamu dengan yang ada di atas meja. Ada per?
tanyaan?"
Fay menggeleng.
"Sepuluh menit. Saya tunggu kamu di luar."
Fay pun bergegas meninggalkan ruangan sambil menyambar
tasnya yang masih tergeletak di lantai.
! 1-7.79
Kamar yang ditunjukkan Andrew tidak besar, kira-kira sama
ukurannya dengan kamarnya di rumah Jacque dan Celine. Pan?
dangan Fay langsung terarah ke meja, di sana tergeletak sebuah
jam tangan warna hitam dari karet. Jam tangan sport Adidas,
digital. Wow, dengan takjub Fay memegangnya. Andai kata
boleh dibawa pulang ke Jakarta, pikirnya setengah berharap. Ia
pun langsung melepas jam Swatch kesayangannya yang lang?
sung jadi kelihatan dekil dan kumuh.
Satu pintu yang ada di sebelah lemari ternyata menuju ka?
mar mandi. Ukurannya kecil, tapi lengkap dengan bathtub dan
wastafel.
Fay menghampiri lemari dua pintu yang ada di sebelahnya
dan lebih terkesima lagi ketika membukanya. Ada lima set
baju olahraga tergantung di lemari dengan warna yang be?
ragam, semuanya warna pastel. Di dasar lemari, tersusun dua
pasang sepatu olahraga berwarna putih. Fay meraih satu set
gantungan dan memerhatikan apa yang tergantung di sana. Di
setiap gantungan terdapat satu buah kaus olahraga, celana
training, jaket olahraga, dan kaus kaki. Dengan takjub dia me?
lihat bahwa semuanya mempunyai logo Adidas. Entah berapa
nilai semua barang ini, yang jelas Fay tidak pernah mimpi bisa
mempunyai barang-barang sebagus ini.
Buru-buru ia berganti baju dan segera mengagumi tidak saja
ketepatan ukuran baju itu dengan tubuhnya, tapi juga dengan
perubahan penampilannya yang menurutnya jadi superkeren.
Lama ia mematut-matut diri di kaca besar yang ada di dekat
pintu kamar mandi. Semakin lama, perasaannya semakin riang
dan puas. Sepatu itu pun pas dan bersahabat dengan kakinya.
Tidak lupa ia menyisir kembali rambutnya dan kembali ber?
putar-putar dengan norak di depan kaca, hingga ia tersadar
dan ooops, sudah sepuluh menit.
Fay langsung terbang ke tangga, turun meloncati dua anak
tangga sekaligus, dan hampir menabrak pintu rumah ketika
tangannya kalah cepat memutar gagang dari tubuhnya yang
masih terlontar ke depan. Di luar, Andrew sudah menunggu
! 1-7.80
dengan tak sabar. Pakaiannya sudah berganti dengan baju olah?
raga dan celana training warna abu-abu gelap.
"Kamu terlambat satu menit. Kalau saya bilang sepuluh
menit, berarti sepuluh menit, tidak lebih satu detik pun. Seka?
rang kita akan berlari di jalan setapak yang mengelilingi ru?
mah. Ikuti saya."
Andrew berlari menuju samping rumah dan mengambil jalan
setapak yang ada di antara pepohonan. Fay mengikuti dengan
semangat penuh. Semangat itu tinggal separuh setelah lima
menit, dan menukik turun menjadi seperempat dua menit se?
telah itu. Andrew sudah tidak terlihat karena jalan setapak itu
berbelok ke kanan di depan. Dengan napas tersengal-sengal,
Fay berhenti, membungkukkan tubuh sambil berusaha meng?
atur napasnya. Kemudian ia berjalan pelan sambil memegangi
perutnya yang terasa sakit.
Sialan, ia benar-benar benci lari. Pelajaran olahraga adalah
pelajaran yang paling ia benci di sekolah, terutama karena
pemanasannya selalu lari, dan sampai detik ini pun ia tidak
pernah terbiasa dengan itu. Fay pun kembali mencoba lari de?
ngan pelan sambil berbelok.
Di depannya, Andrew berhenti di tengah jalan setapak,
menghadapnya sambil bertolak pinggang. Tanpa melihat eks?
presinya pun Fay bisa tahu maksudnya, he?s not happy at all.
Aduh, nasib. Ditatap oleh Andrew dengan pandangan seperti
itu, mendadak Fay kangen dengan Pak Basuki, guru olahraga
yang dibencinya itu.
Andrew menggeleng-gelengkan kepala dan akhirnya berlari
di samping Fay tanpa berkata-kata. Entah berapa menit sudah
berlalu, Fay merasa kakinya sudah lunglai tanpa tulang. Akhir?
nya ia kembali berhenti sambil membungkukkan badan dan
memegang paha dan lututnya. Lewat ekor matanya, Fay bisa
melihat Andrew ikut berhenti sambil menatapnya takjub. Fay
pun melanjutkan perjuangannya karena gengsinya sudah ber?
teriak-teriak, merasa terhina. Dan tidak lama, ia pun berhenti
kembali.
! 1-7.81
Siklus itu berulang berkali-kali, hingga akhirnya mereka sam?
pai di sisi rumah yang berlawanan. Ketika akhirnya Andrew
berhenti di depan pintu, Fay mengembuskan napas lega.
Andrew lama menatapnya sebelum akhirnya berkata-kata.
"Saya tidak pernah melihat ada orang yang melakukan apa
yang baru saja kamu kerjakan dan masih punya keberanian
untuk menyebut itu ?lari?."
Kalau saja yang berbicara bukan Andrew, mungkin Fay akan
tertawa terguling-guling tanpa perasaan bersalah. Tapi kali ini
ia hanya diam, sambil berusaha mengatur napas.
Andrew melanjutkan, "Kita akan melakukannya sekali
lagi."
What?? Fay menatap Andrew dengan tatapan tidak percaya.
Keterlaluan! Bisa mati berdiri kalau begini caranya.
Andrew melihat tatapan Fay dan tidak terpengaruh sedikit
pun.
"Ayo."
Fay mengikuti dengan berat hati.
Ketika masuk ke jalan setapak, Andrew memberi jalan Fay
untuk lewat terlebih dahulu. Fay pun melewatinya dengan ke?
pala tegak, ditopang rasa gengsinya yang muncul tanpa per?
ingatan.
Seperti yang ditebak, gengsinya hanya tahan tidak lebih dari
lima menit dan akhirnya ia menyerah. Sekilas Fay menyem?
patkan diri untuk melihat ke belakang untuk sekadar tahu di
mana Andrew, dan seketika itu juga Fay terpaku.
Andrew masih berlari, kira-kira dua puluh meter di bela?
kangnya. Di tangannya terdapat ranting pohon yang panjang?
nya mungkin satu meter. Melihat Fay berhenti, dia mengayun?
kan ranting itu di depan badannya.
Mati gue! Fay pun dengan panik kembali berlari. Dan se?
makin panik ketika melihat ke belakang dan menyadari bahwa
jarak pria itu semakin dekat.
Akhirnya apa yang ditakutkan itu terjadi. Ranting itu me?
! 1-7.82
libas paha belakang Fay tanpapun, dan seketika itu ada
rasa perih yang panasnya mintapun.
Mungkin yang diperlukan kakinya memang rasa sakit itu,
karena setelah itu Fay berlari kencang hingga rasanya kakinya
sudah hilang. Ketika di depannya terlihat sebentuk atap rumah
muncul di antara pepohonan, rasanya ada lega yang tidak bisa
terungkapkan.
Lega itu hanya dirasakan sekitar dua puluh detik. Karena
ketika Andrew muncul dari balik pepohonan sambil terus
mengibaskan ranting itu tanpa mengurangi kecepatannya, Fay
langsung tahu bahwa penderitaannya belum berakhir. Ia pun
terpaksa mengulangi putaran itu, kali ini terkena sabetan ran?
ting dua kali.
Ketika akhirnya sampai kembali di depan rumah, Fay lang?
sungbruk ke tanah dengan napas tersengal-sengal. Belum
pernah rasanya sesulit ini untuk menarik napas, seolah ada
tangan-tangan halus yang menahan setiap helai udara yang
diisap paru-parunya. Fay terduduk di rumput di sisi jalan masuk yang berbatu, meluruskan kedua kakinya ke depan. Kaki
yang saat ini diyakininya sudah tidak terhubung dengan tubuh?
nya.
Dengan lega ia melihat Andrew yang berjalan ke arahnya
tanpa ranting sialan itu di tangan. Sampai di depan Fay yang
masih duduk di rumput, Andrew berkata, "Waktu terbaikmu
tiga puluh lima menit. Putaran pertama yang merupakan rekor
terburuk kamu, memakan waktu empat puluh lima menit dan
saya harap tidak akan terulang lagi selama dua minggu ini.
"Selama satu minggu ini, fokus latihan kamu adalah sta?
mina. Target kamu di akhir minggu adalah dua puluh menit
dengan kecepatan konstan. Untuk minggu depan, fokusnya
adalah kecepatan tempuh.
"Sekarang, kamu bisa membersihkan diri dan bersiap-siap
untuk makan malam yang disajikan pukul tujuh tepat, berarti
tiga puluh lima menit dari sekarang."
! 1-7.83
Andrew pun melangkah ke arah rumah, diikuti dengan su?
sah payah oleh Fay, yang berjalan seperti robot pincang.
Setelah sekujur tubuhnya diguyur air hangat, Fay merasa
lebih baik. Ada beberapa garis merah di belakang kakinya, tapi
tidak berdarah. Turun ke ruang makan lebih cepat lima menit,
ia melihat seorang pelayan yang sedang menyiapkan meja un?
tuk makan malam. Meja makan itu berbentuk persegi panjang.
Hanya ada dua kursi, berhadap-hadapan di sisi yang panjang.
Tidak ada lauk yang diletakkan di meja, hanya ada peralatan
makan yang menurut Fay tidak lengkap. Hanya ada satu sen?
dok dan satu garpu disusun di sekitar piring. Tidak ada pisau
dan sendok-garpu bermacam ukuran sebagaimana informasi
yang ia terima dari Cici minggu lalu.
Tepat pukul 19.00, Andrew muncul di ruang makan dan
langsung duduk. Fay mengikuti.
Pelayan masuk dan meletakkan piring sup di hadapan
masing-masing. Sup itu kental berwarna putih. Itu sup apa, Fay
tidak tahu, yang jelas rasanya enak dan kehangatannya di?
terima dengan sukacita oleh perutnya. Mereka makan tanpa
berkata-kata.
Ketika pelayan mengangkat mangkuk mereka, Andrew ber?
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanya, "Bagaimana kakimu?"
"Oke," jawab Fay garing, terlalu malas untuk memikirkan
kalimat yang lebih layak. Ia agak menyesal ketika melihat
Andrew menatapnya sambil mengangkat alis.
"Apa maksudmu dengan ?oke?? Apakah itu berarti kakimu
masih sakit tapi sudah lebih baik, atau itu berarti kakimu tidak
sakit sama sekali dan kamu berharap besok lebih sakit lagi?"
"Yang pertama," Fay menjawab salah tingkah. Rasanya ia
melihat sorot jenaka sedikit di mata pria itu, tapi yah, dengan
pengalaman singkatnya bersama Andrew hari ini, rasanya itu
terlalu mustahil.
Pelayan masuk kembali, kali ini mengantarkan salad. Fay
agak bingung, karena sepengetahuannya, salad dan sup samasama termasuk kategori appetizer atau makanan pembuka dan
! 1-7.84
biasanya disajikan salah satu saja. Bingungnya tidak berlang?
sung lama dengan penjelasan Andrew selanjutnya.
"Makan malam kamu akan dibatasi mulai saat ini. Supaya
bisa memainkan peran itu, kamu harus mengurangi berat ba?
dan."
Fay hanya mengangguk, walaupun agak-agak terhina. Makan
malamnya sebenarnya tidak pernah terlalu banyak, apalagi ia
sering kali hanya sendirian di rumah. Cemilan adalah makanan
utamanya.
"Jadi, tidak ada junk food, tidak ada soda, dan tidak ada
makanan ringan di antara makanan utama," Andrew menam?
bahkan.
Kali ini Fay melihat Andrew dengan tatapan horor. Celaka!
Gila aja kalo nggak bisa ngemil. Apalagi roti Prancis enak-enak
begitu. Air liurnya langsung terbit mengingat roti-roti sarapan
yang diberikan Celine, croissant di kafe yang kemarin dilewati?
nya, dan roti-roti yang tertumpuk manis di kafeteria sekolah?
nya. Belum lagi cokelat dan mi instan yang ada di kopernya.
Ini juga ia belum pergi ke supermarket untuk membeli biskuitbiskuit keluaran Prancis, Swiss, dan Belgia yang kata Cici,
"Mmmm, kalau digigit, yang lumer bukan cuma cokelat atau krim
di dalamnya, tapi rasanya seluruh badan lo ikut lumer."
Tatapan tajam Andrew mungkin memang bisa menembus
pikirannya, karena pria itu langsung menambahkan, "Fay, ini
tidak main-main. Hal terakhir yang kamu inginkan adalah se?
seorang yang mencurigai kamu, karena risikonya adalah nyawa
kamu dan mungkin nyawa orang lain. Saya akan melakukan
semua cara untuk memastikan bahwa kamu melakukan apa
yang sudah diperintahkan."
Fay merasa bulu kuduknya berdiri dan ia langsung menun?
duk, sibuk mengaduk-aduk salad-nya. Ketika salad itu mampir
ke mulutnya dan rasanya benar-benar hambar, Fay menyalah?
kan ucapan Andrew yang mengintimidasi tadi sebagai penye?
babnya.
Seusai makan, Andrew mengambil sebuah kantong kertas
! 1-7.85
dan meletakkan isinya di meja ruang tamu. Ada dua botol ber?
isi pil, dan satu pak makanan instan dalam bungkusan.
"Dua botol ini berisi vitamin. Yang satu dimakan di pagi
hari begitu kamu bangun tidur, dan yang satu lagi dimakan
malam hari sebelum tidur, berarti mulai malam ini."
Andrew menunjuk bungkusan makanan, "Ini makan siang
kamu. Sebagai tambahan, kamu hanya boleh makan salad atau
buah, polos. Itu berarti tanpa saus salad, keju, susu, es krim,
gula, bahkan daging. Hanya ikan yang boleh kamu tambahkan
ke salad."
Suara mobil datang memutuskan ucapan Andrew.
"Selamat malam, Fay. Sampai jumpa besok," ujar Andrew
singkat di pintu rumah.
Ketika mobil itu sudah memasuki jalan aspal selewat ger?
bang depan, tidak sampai dua menit kemudian, Fay sudah ter?
tidur pulas.
! 1-7.86
Seena
KEESOKAN harinya, Fay terbangun dengan kaki yang berat?
nya seperti batu dan rasa nyeri di setiap jengkal tubuhnya.
Kalau ini terjadi di Jakarta, mungkin ia sudah bolos sekolah
dan mengandalkan surat dokter dari papanya Lisa.
Dengan susah payah ia bangun dan segera matanya me?
nangkap botol vitamin yang ada di meja kecil di samping
tempat tidurnya. Untung tadi malam air putihnya masih ter?
sisa, ada di meja yang sama, sehingga ia tidak perlu usaha dulu
untuk mengambil air putih.
Berjalan ke kamar mandi juga merupakan perjuangan ter?
sendiri. Semua persendiannya terasa ngilu. Beringsut-ingsut
sambil meringis Fay menyeret kakinya ke kamar mandi dengan
jalan seperti orang berpantomim.
Sesampainya di bawah, Celine sudah menyediakan sarapan
pagi. Menu yang sama seperti ketika Fay tiba hari Minggu
pagi, yang belum juga membuatnya bosan. Setelah memakan
dua buah roti bulat yang diolesi mentega dan krim keju
dengan lahap, Fay pun berangkat dengan agak berdebar, karena
kali ini ia tidak diantar lagi oleh Jacque.
! 1-7.87
Ketika akhirnya membuka pintu untuk masuk ke sekolahnya,
Fay mengembuskan napas lega.
Seperti biasa, ia yang pertama datang di kelas, tapi garing?
nya kali ini tidak berlangsung lama, karena tak lama kemudian
terdengar sapaan ramah di pintu kelas.
"Bonjour," sapa Reno sambil tersenyum.
Fay membalas senyum dan sapaannya, "Bonjour. Comment ?a
va?"
"Bien, merci. How about yourself?" Reno nyengir jail setelah
meramu kedua bahasa itu dalam satu kalimat yang seolah
nyambung.
"Bien, merci."
Reno mengeluarkan bukunya dan berbicara dengan santai
dalam bahasa Inggris, "Kamu tahu nggak, kurasa aku membuat
kesalahan dengan mendaftar ke kursus ini. Aku menyadarinya
kemarin, sewaktu aku tidak bisa mencocokkan apa yang diucap?
kan Monsieur Thierry dengan apa pun yang tertera di buku."
Fay tersenyum lebar, "Kukira cuma aku satu-satunya yang
merasa seperti itu." Ia pun kemudian menceritakan komentar
penumpang pesawat yang ia dengar tempo hari dan mereka
berdua tertawa setuju.
"Bonjour. Well, well... what a lovely morning," Erika masuk
dengan tampang yang menurut Fay menyebalkan. Gadis itu
langsung memasang tampang semanis mungkin ketika melihat
ke arah Reno,
"Salut, Reno, comment ?a va?"
"Baik, terima kasih," kata Reno ramah.
Fay agak senang melihat bahwa Reno tidak terlalu kelihatan
ingin bercakap-cakap dengan Erika. Tau rasa! Untung siswa
yang lain segera masuk kelas dan perhatian Erika langsung ber?
alih ke dua siswa pria lain yang tampak begitu mengidolakan?
nya.
Begitu M. Thierry masuk, Reno langsung mencoret-coret
membuat catatan. Dia menyenggol Fay dan menggeser buku
catatannya. Tulisannya miring-miring dengan huruf cetak yang
! 1-7.88
langsing. Di sana terbaca, "Rescue me! Lunch together @
cafeteria?" Dia melihat ke arah Fay dengan tatapan bertanya
yang mendesak.
Fay mengangguk senang.
Topik pagi ini dibuka dengan angka. Angka satu sampai dua
puluh Fay serap dengan mudah, walaupun pengucapannya be?
lum fasih benar. Apalagi masalah "u" dan "r" kemarin belum
tuntas.
Masalah baru muncul ketika topik bahasan masuk ke angka
delapan puluh. Angka 80 sampai angka 99 di bahasa Prancis
diucapkan sebagai perkalian berbasis angka dua puluh. Delapan
puluh dalam bahasa Perancis adalah "quatre-vinq", atau "empat
dua puluh" bila diterjemahkan langsung. Dijabarkan sebagai
empat dikali dua puluh. Angka sembilan puluh lebih ajaib lagi,
diucapkan dengan "quatre vinq dix" atau "empat dua puluh se?
puluh". Maksudnya adalah empat dikalikan dengan dua puluh
kemudian ditambah sepuluh. Sinting!
Begitu kelas dibubarkan untuk makan siang, Reno langsung
memberi kode supaya Fay segera mengikutinya. Sampai di luar,
dengan kocak dia sprint ke tangga seolah ingin melarikan diri
secepat mungkin dari ruang kelas tempat mereka berada. Fay
tertawa terbahak-bahak sambil mengejarnya.
Di kafeteria, Fay sebenarnya sudah siap untuk melupakan
makan siang bungkusan pemberian Andrew, ketika Reno ber?
kata, "Fay, aku cuma makan ringan saja untuk makan siang.
Aku tunggu di teras ya." Sambil berkata, Reno mengeluarkan
bungkusan makanan instan persis seperti yang diberikan oleh
Andrew.
Fay langsung mengeluarkan makanannya sendiri. "Hei, ma?
kanan itu sama seperti punyaku," ucapnya bersemangat.
"Kalau begitu, aku tanyakan saja apakah ada cangkir atau
mangkuk yang bisa kita pakai," ujar Reno, langsung bertanya
kepada petugas yang ada di sana sambil memesan dua botol air
mineral.
Makanan itu berbentuk bubuk sereal berwarna cokelat, tam?
! 1-7.89
pak menggiurkan di awal tapi ternyata seperti bubur tanpa
bumbu ketika sudah dicampur air.
Fay tidak bisa menyembunyikan ekspresi anehnya ketika
menelan. Reno melihatnya santai, "Ini pertama kalinya ya
kamu memakan ini?"
"Yup," Fay menjawab singkat, berjuang memerintahkan
tangannya yang melawan untuk menyendokkan bubur itu ke
mulutnya.
"Jangan kuatir. Lama-lama kamu juga akan terbiasa kok.
Bayangkan saja rasa kertas daur ulang yang diblender."
"Yeak," Fay menatap Reno kesal, yang dibalas dengan cengi?
ran degil khasnya.
"Ceritakan sedikit tentang kamu, Fay. Bagaimana ceritanya
sampai kamu bisa ikut di kelas menyedihkan ini?" Reno ber?
tanya sambil menyendok buburnya.
"C?mon, kelasnya nggak seburuk itu kok, cukup menyenang?
kan walau susahnya mintapun," jawab Fay sebelum men?
jawab pertanyaan Reno.
Fay pun kemudian melanjutkan ceritanya.
"Orangtuaku bekerja sebagai konsultan di Jakarta, mereka
sering sekali bepergian. Awalnya, rencananya adalah aku pergi
dengan ibuku yang ditugaskan di Paris selama dua minggu. Se?
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benarnya ada pilihan dari ayahku untuk ikut dengannya yang
kebetulan bertugas juga ke Bangkok; tentunya aku memilih
Paris. Waktu semua sudah beres, mendadak penugasan ibuku
diubah ke Brazil. Itu sebabnya orangtuaku memutuskan aku
ikut kursus bahasa Prancis, karena tiketku tidak bisa diubah
lagi."
"Wah, enak sekali ya bekerja sebagai konsultan, bepergian
ke belahan dunia lain," Reno berkomentar.
"Enak untuk mereka mungkin, tapi pastinya tidak enak un?
tukku."
"Maksud kamu?"
"Pada dasarnya aku tumbuh tanpa mereka."
! 1-7.90
"Cukup seringkah mereka bepergian di waktu yang ber?
samaan seperti itu?"
"Lumayan sering. Contohnya waktu ulang tahunku yang ke?
enam belas bulan Juli tahun lalu."
"Jadi, apa yang kamu lakukan di ulang tahun kamu? Apa
kamu rayakan dengan pacar?" Kali ini Reno mengedipkan
mata dengan jail.
"Tidak," jawab Fay salah tingkah. "Aku rayakan dengan tiga
teman baikku di sekolah, Cici, Lisa, dan Dea. Mereka benarbenar my super duper very good best friend."
"Oke, aku menangkap pesan kamu." Reno tertawa kemudian
kembali bertanya, "Kalau mereka bepergian dalam waktu ber?
samaan, kamu tinggal dengan saudara?"
"Tidak, hanya dengan pembantu di rumah."
"Dan kamu mengeluh?? Itu harusnya dirayakan! Party all the
time," kata Reno mengangkat tangan ke atas sambil meng?
goyangkan tubuh.
"Ha... ha... bukan tipe aku."
"Oke, jadi kamu tipe anak baik-baik ya. Nerd!" katanya
jail.
"Hei, aku bukan nerd, aku cuma nggak suka keramaian," Fay
berdalih sambil senyum-senyum sendiri.
"Oke... oke...," jawab Reno sambil mengangkat kedua ta?
ngan, pura-pura menyerah.
"Sekarang giliranku," ujar Fay. "Pertama-tama, kalau kamu
memang segitu bencinya dengan bahasa Prancis, kenapa kamu
mendaftar ke kursus ini?"
"Pamanku yang ingin aku ikut kelas ini. Dia bilang akan
bagus untuk karierku nanti."
"Kamu tinggal dengan pamanmu?" tanya Fay.
"Ceritanya agak panjang. Orangtuaku meninggal delapan
tahun yang lalu, sejak itu aku tinggal dengan pamanku di Lon?
don sampai aku lulus dari sekolah menengah tiga tahun lalu.
Dia mengirim aku ke Bangkok selama setahun, kemudian aku
masuk ke Universitas Zurich, sampai sekarang. Jadi, sekarang
! 1-7.91
aku pria bebas yang tinggal sendiri di apartemen studio di
Zurich."
"I?m so sorry about your parents," gumam Fay pelan.
"Thanks. Aku sudah terbiasa dengan fakta itu setelah de?
lapan tahun," jawab Reno.
"Kamubil jurusan apa?" tanya Fay lagi.
"Ekonomi, dengan spesialisasi di Studi Asia."
"Kenapa Asia? Bukankah seharusnya kamu mendalami Studi
Eropa kalau kamu ada di Eropa?"
"Ha... ha good point. Aku memilih Asia karena aku selalu
terpesona dengan Asia, mungkin dari perjalananku ke Bangkok
dan Bali. Dan aku rasa kamu ada benarnya, mungkin aku
sebaiknya belajar tentang Asia di Asia. Mungkin nanti, kalau
aku melanjutkan ke tingkat master Itu pun kalau aku belum
bosan belajar terus-menerus," lanjutnya santai.
"Jadi, kamu pernah ke Bali? Kapan? Aku baru pergi ke sana
tahun lalu," ucap Fay dengan semangat.
"Sudah lama sekali," jawab Reno singkat. "Bagaimana libur?
an kamu di sana, kamu pergi dengan orangtuamu?" sambung?
nya lagi.
"Tentu saja bukan dengan mereka. Mereka saat itu ada di
mmm suatu tempat. Aku pergi dengan ketiga teman baik?
ku."
"Wow, pasti menyenangkan sekali. Jadi, petualangan seperti
apa yang kalian lakukan?" tanya Reno tertarik.
"Kami pergi ke hampir semua tujuan turis. Mencoba rafting
di Sungai Ayung, bungee jumping, kayaking, parasailing, dan
surfing," jawab Fay makin semangat.
"That?s great! Kamu benar berani mencoba itu semua?" Reno
melihatnya dengan pandangan menyipit seperti tidak percaya.
"Iya, masa aku bohong," ucap Fay sewot.
"Oke, oke, aku percaya kok, cuma tidak menyangka saja
kalau kamu seberani itu," kali ini Reno memunculkan senyum
jailnya. "Kamu bilang tadi kamu mencoba surfing ya. Gimana,
suka nggak? Berhasil dapat ombak bagus?" tanyanya lagi.
! 1-7.92
"Mmm untuk surfing, harus aku akui kalau aku kurang
sukses. Temanku Cici lebih berhasil. Aku bisa sih mendapat
ombak bagus, terbawa sampai pinggir. Tapi aku sama sekali
tidak bisa berdiri," jawabnya sedikit menyesal.
""
Satu suara yang diucapkan dengan nada-nada minor dan
kres, muncul di belakang mereka, "Ah, Reno, ternyata kamu
di sini. Aku mencari kamu ke mana-mana."
Uurrggh, Erika. Dengan sebal Fay menyunggingkan senyum
sopan seadanya. Dan ia langsung menyesal, karena Erika bah?
kan tidak meliriknya sama sekali. Gadis itu sibuk menerangkan
ke Reno bagaimana dia salah pesan makanan di kafeteria, dan
sambil berbicara, secara kasual dia menarik kursi dan duduk di
sebelah Reno. Posisi kursinya tidak persis berada di antara Fay
dan Reno, tapi sengaja dipepetkan di sebelah kursi cowok
itu.
Mendadak, Reno mengernyitkan muka tanda kesakitan sam?
bil memegang perutnya.
"Reno, kenapa? Kamu nggak apa-apa?" Erika memekik kaget.
Dengan sebal Fay melihat tangan gadis itu langsung disan?
darkan ke pundak Reno dengan tampang penuh perhatian.
Reno mengerang kesakitan sambil berkata dengan susah pa?
yah, "Perutku keram." Dia pun berdiri sambil agak membung?
kukkan badan, masih memegangi perutnya. "Nggak apa-apa
kok, aku cuma perlu ke kamar kecil." Dia melesat ke dalam
kafeteria sambil terus memegangi perutnya.
Erika menatap Fay dan bertanya, "Apa yang terjadi, Fay?"
"Nggak tau," Fay berkata singkat sambil meminum air mi?
neralnya.
"Aku sebaiknya ke dalam dan memeriksa apakah dia baikbaik saja," ujar Erika sambil berdiri.
Fay pun ditinggal sendirian.
Dengan sebal ia melihat buburnya. Lenyap sudah sekelumit
keinginan mulia untuk menghabiskan cairan kental itu.
! 1-7.93
Lima menit kemudian, Reno membuka pintu kamar mandi dan
mengintip keluar. Setelah yakin tidak ada yang memperhatikan,
ia segera menyelinap ke luar, berjalan dengan cepat menuju
lobi dan keluar dari satu-satunya pintu di sana.
Ia berjalan di trotoar jalan utama di depan sekolahnya se?
panjang dua blok, kemudian membelok ke satu jalan yang
lebih kecil, di sana terdapat sebuah kafe kecil dengan beberapa
tempat duduk di trotoar yang dilindungi payung yang juga
kecil. Kafe ini dimiliki oleh sepasang suami-istri setengah baya
yang berasal dari Italia. Bukan tempat favoritnya, tapi ini
adalah satu-satunya tempat yang diketahuinya menjual sandwich
dengan isi berukuran jumbo; satu hal yang sangat langka di
Paris. Menu itu bahkan bukan menu andalan kafe ini. Tapi
Reno tidakbil pusing.
Ia segera masuk dan duduk di kursi dekat jendela, posisi
favoritnya. Tidak persis di samping jendela sehingga tidak lang?
sung terlihat oleh orang yang ada di luar, tapi dari tempatnya
duduk ia bisa melihat keluar dengan jelas. Ia memesan satu
botol air mineral dan dua buah sandwich. Seorang teman ku?
liahnya pernah berkata,
"Kalau kamu ke restoran Italia, jangan pernah berpikir
untuk memesan pasta atau pizza bila ada risotto. Pasta dan pizza
ada di mana-mana, tapi sepiring risotto yang layak hanya bisa
dibuat oleh orang Italia di restoran Italia."
Kalau saja temannya ada di sini sekarang dan melihatnya
memesan bukan risotto, bahkan bukan pasta atau pizza, me?
lainkan sandwich, dia bisa mati berdiri.
Ternyata tidak butuh waktu lama untuk menyiapkan pesan?
annya. Tidak sampai lima menit kemudian, Reno sudah meng?
gigit sandwich yang dipegang dengan kedua tangannya dengan
lahap. Sandwich itu diisi dua bongkah daging tebal, dengan tiga
irisan tomat. Ia menggigit dengan suapan-suapan besar, tanpa
! 1-7.94
dikunyah terlalu banyak. Gumpalan-gumpalan besar sandwich
itu dengan cepat melewati kerongkongannya dengan bunyi glek
yang keras. Setelah sandwich yang ada di tangannya habis,
masih ada satu lagi yang menunggunya. Dia berpikir, setelah
memakan bubur dalam bungkusan tadi, sudah semestinya ia
memberikan hadiah bagi perut malangnya yang tadi sempat
keram.
Setelah selesai, ia segera berjalan kembali ke arah sekolah.
Sepertinya ia akan tiba di sekolah tepat pada waktunya, pikir
Reno puas setelah melirik jamnya.
Fay melihat jamnya dengan cemas. Satu menit lagi kelas sudah
hampir dimulai dan bangku Reno sampai detik ini masih
kosong. M. Thierry sekarang sudah berdiri di depan kelas, se?
dang membalik-balik buku untuk melihat materi yang akan
diajarkan.
Persis ketika M. Thierry akan menutup pintu, seseorang me?
nahan pintu itu tetap terbuka dari luar dan dengan lega Fay
melihat Reno masuk dengan tergesa-gesa sambil meminta maaf.
Fay berbisik ke arahnya, "Kamu nggak apa-apa?"
Reno mengangguk sambil tersenyum, tangan kanannya meng?
elus-elus perutnya dan tangan kirinya mengacungkan jempol.
Sama seperti hari sebelumnya, Fay memulai siang sudah de?
ngan konsentrasi pas-pasan dan tidak bersisa ketika kelas ber?
akhir. Perutnya mulai mulas. Segera ia berkemas-kemas dan
bergerak keluar kelas, kali ini masih sempat untuk meng?
ucapkan "sampai jumpa besok" kepada Reno.
Sampai di lobi, terdengar suara Reno di belakangnya,
"Hei, Fay, kamu buru-buru sekali. Ada rencana sore ini?"
"Iya," jawab Fay. Langsung ia sambung lagi, "Reno, di papan
pengumuman ini ada brosur tur keliling Paris. Tapi agak ma?
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hal." Fay berdoa dalam hati Reno tidak meneruskan pertanya?
annya.
! 1-7.95
"Yup. Aku rasa kamu bisa cari yang harganya lebih masuk
akal di koran."
"Wah, aku nggak yakin bisa mengerti apa yang tertulis di
sana, setidaknya hingga dua minggu lagi."
"Iya," Reno berkata singkat. "Jadi, kamu mau pergi ya?"
"Ya."
"Ke mana?" tanyanya lagi.
"Ke Institute de Paris. Aku mengambil kursus tambahan di
sana."
"Oh ya? Apakah itu kursus bahasa juga atau ada topik lain
yang diajarkan?"
"Topiknya berbeda, lebih ke budaya," tepat saat itu, Lucas
menongolkan muka di pintu.
"Reno, aku pergi dulu ya. Au revoir!" Fay langsung kabur
meninggalkan Reno. Saved by the bell, desahnya lega.
Perjalanan sore itu ke rumah latihan Fay jalani dengan ke?
cemasan yang semakin lama semakin meningkat. Kecemasan
itu sempat raib sejenak, ketika mobil memasuki jalan yang di?
naungi pohon rindang dengan sisipan sinar matahari, dan lang?
sung datang kembali dengan tiba-tiba saat mobil berhenti di
depan gerbang.
Pemandangan pertama yang dilihat adalah mobil Andrew
yang diparkir di depan rumah, yang langsung membuat perut
Fay melilit. Buru-buru ia masuk ke rumah, dan setelah tidak
melihat Andrew sama sekali di area foyer dan ruang tamu, ia
melesat ke kamarnya di lantai atas sambil mengembuskan na?
pas lega.
Setelah berganti baju, kali ini dengan satu set baju olahraga
berwarna hijau muda, Fay bertemu Andrew di depan rumah.
Begitu ia melihat pria itu tidak mengenakan setelan olahraga,
melainkan baju santai bernuansa biru, bayangan adegan pria
itu mengejarnya dengan dahan pohon seperti kemarin langsung
menguap dan Fay tersenyum dalam hati.
! 1-7.96
Andrew memberikan instruksinya, "Kamu akan berlari di
jalur yang sama seperti kemarin. Di putaran pertama ini, saya
harap kamu bisa mengulang rekor terbaik kamu kemarin, yaitu
tiga puluh lima menit. Ada pertanyaan?"
"Tidak ada," Fay menjawab sambil memikirkan kemungkinan?
nya melakukan itu dalam 35 menit, mengingat ia tidak punya
cukup motivasi karena lari tanpa ancaman. Jangankan 35 me?
nit, menyamai rekor terburuknya kemarin pun yang 45 menit
itu ia tidak terlalu yakin.
"Setiap menit keterlambatan kamu harus dibayar dengan dua
push-up. Dan saya akan memberikan hukuman lain kalau perlu,
kalau saya lihat kamu tidak berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk mencapai target," ucap Andrew tegas.
Fay mengeluh dalam hati. Kalimat itu langsung menghadir?
kan potongan gambar yang tidak menyenangkan dari kejadian
hari sebelumnya dan firasat buruk pun menghampirinya.
Firasatnya tidak salah. Walaupun ia sangat bangga dengan
pencapaiannya dan sudah merasa seperti juara ketika berhasil
menyelesaikan putaran pertama dalam waktu 44 menit, ter?
nyata keterlambatan hanya sembilan menit itu ditanggapi ber?
lebihan oleh Andrew. Pria itu menyuruhnya push-up delapan
belas kali sambil berhitung dengan suara keras.
Sambil merengut Fay mengambil posisi dan mulai berhitung
dengan gerakan setengah hati, "Satu, dua, tiga, empat, li,"
ia tidak bisa menyelesaikan hitungannya. Rasa sakit menyergap
ketika satu tendangan menyakitkan mendarat di pahanya dan
ia kehilangan kontrol atas tangannya sehingga mukanya ter?
jerembap ke tanah. Aduh, aduh aduh, erangnya sambil ber?
guling-guling ke samping dengan kedua tangan memegang pa?
ha kanannya, atau memeluk lebih tepatnya. Sialan!
Andrew jongkok di sampingnya. "Kalau kamu lakukan push?
up seperti itu lagi, saya akan membuat kamu merangkak se?
panjang malam. Lakukan seperti ini" Andrew pun meng?
ambil posisi push-up dan mencontohkan tiga hitungan gerakan
dengan sempurna sambil berhitung dengan suara lantang.
! 1-7.97
Andrew kemudian berdiri sambil terus menatapnya.
"Sekarang, young lady, coba lakukan. Mulai dari hitungan
lima."
Dengan pasrah, Fay kembali mengambil posisi. Dengan ekor
matanya, ia bisa melihat Andrew bergerak ke arahnya dan ber?
diri persis di sebelah kanannya. Lima, enam dua belas, ta?
ngannya pun mulai gemetar. Sinyal kelelahan yang diteriakkan
oleh otot bisepsnya itu tampaknya terbaca dengan jelas karena
Andrew langsung berkata, "Lanjutkan."
Air mata frustrasi mulai terasa mengaburkan pandangan Fay.
Di hitungan kelima belas, tangannya sudah tidak bisa diajak
kompromi dan tubuhnya terjatuh.
Andrew kembali berjongkok di sebelahnya dan berkata,
"Ayo, jangan menyerah. Kerahkan semua yang ada di diri
kamu untuk menyelesaikannya."
Fay tidak tahu gengsi ataukah rasa takut yang akhirnya mem?
buatnya menyelesaikan tiga hitungan terakhir itu.
Andrew menyuruhnya kembali mengulangi putaran itu, de?
ngan target yang sama. Di putaran ketiga Fay berhasil men?
capai 38 menit. Masih tiga menit lebih lambat dari target, tapi
mengingat kadar cintanya yang nol besar dengan pelajaran
olahraga, khususnya lari, enam kali push-up terakhir dilaku?
kannya dengan berbangga hati.
Setelah makan malam, Andrew mengajaknya ke ruang kerja.
Dengan enggan Fay melangkahkan kaki ke dalamnya. Rekaman
ingatan kejadian hari Senin sore langsung otomatis berputar
ketika matanya menangkap lemari TV.
Dengan tegang Fay melihat Andrew berjalan menuju meja
kerja, memeriksa surat-suratnya. Ia sendiri saat ini berdiri di
depan TV. D?j? vu.
Ketegangannya surut ketika melihat Andrew tidak berjalan
ke arahnya setelah memeriksa surat, melainkan ke sebelah
! 1-7.98
kanannya, tempat lemari buku menutupi dinding. Andrew me?
raih salah satu buku di rak dan dengan takjub Fay melihat bagi?
an tengah lemari bergeser, menampakkan ruangan lain di balik?
nya. Biasanya ia cuma melihat ini di film-film Hollywood asli
keren!
Fay segera mengikuti Andrew yang sudah menggerakkan
kepalanya sambil melihat ke arahnya sebagai tanda untuk
mengikutinya. Setelah ia sampai di dalam, Andrew menekan
tombol di dinding dan lemari itu pun menutup kembali.
Ruangan itu tidak terlalu luas, hanya lebih besar sedikit dari?
pada kelas bahasa Prancis Fay. Ada satu meja oval di tengah,
dengan empat kursi mengelilinginya. Di meja tersebut ada se?
buah laptop yang sudah terbuka dan menyala, beserta beberapa
map berwarna kuning muda yang ditumpuk. Di dinding sebelah
kanannya ada satu lemari kayu yang menutup seluruh dinding.
Di dinding sebelah kirinya terdapat sebuah layar LCD yang
sangat besar. Ruangan ini bernuansa putih terang, diperoleh
hanya dari lampu-lampu yang berjajar di sepanjang sisi langitlangit. Tidak ada jendela. Di dinding yang berada tepat di
hadapan Fay, tertempel kertas-kertas lebar dengan gambar se?
perti peta.
Andrew berkata, "Silakan duduk, Fay. Hari ini saya akan
memberikan sedikit pendahuluan tentang peran yang akan
kamu mainkan."
Fay duduk di dekat kertas-kertas yang ditempel di dinding
dan memperhatikan Andrew menekan salah satu tombol di
laptop.
"Perkenalkan, ini Seena," ucap Andrew sambil menunjuk ke
arah layar LCD yang sekarang sudah terang benderang.
Fay ternganga melihat sosok gadis di layar di depannya.
Video yang sedang terpasang sedang menampilkan wajah Seena
dari dekat. Muka Seena mungkin memang mirip mukanya,
walaupun Fay tidak 100% percaya bahwa tampangnya sendiri
seperti itu. Tapi gayanya sudah pasti beda. Gadis yang di TV
itu tampak sangat cantik dan centil, tampil sangat gaya dengan
! 1-7.99
make-up tipis nuansa pink dan biru muda. Rambut ikalnya diblow dan diurai seperti putri-putri dalam dongeng Cinderella
dan Barbie.
Adegan di layar berubah, kali ini menampilkan Seena se?
dang jalan-jalan di mal bersama lima temannya, diambil dari
jauh menampilkan seluruh badan. Fay berdecak kesal. Tidak
heran Andrew mati-matian menyuruhnya olahraga dan diet,
Seena punya potongan tubuh tanpa cela. Tidak sulit untuk
menarik kesimpulan bahwa Seena adalah gadis yang gaul abis,
dan dari sikapnya pastilah ia bintang sekolah.
Dan ia, Fay Regina Wiranata, diharapkan untuk menjadi
seperti gadis itu dalam waktu dua minggu?? Mereka pasti sudah
gila! Kalaupun bisa, ih, jijay abis! Membayangkan dirinya purapura jadi cewek gaul seperti itu langsung bikin perutnya mual.
Fay pun cemberut dan tidak bisa menyembunyikan kekesal?
annya.
Andrew melihat ekspresi Fay dan mengerutkan kening. "Ada
masalah?" tanyanya.
"Pertama-tama, saya sama sekali tidak terlihat seperti dia,"
protes Fay lalu menarik napas, masih tidak setuju. "Yang
kedua, saya tidak mungkin bisa menjadi seperti dia." Kali ini
benci dan minder jadi satu.
"Harus bisa, dalam waktu satu setengah minggu lagi," kata
Andrew singkat sambil memberikan map pertama dari tumpuk?
an di depannya. Dia kemudian melanjutkan, "Informasi di
dalamnya berisi fakta-fakta tentang gadis itu. Kita akan bahas
satu demi satu. Bagian pertama adalah sejarah keluarga.
"Nama gadis yang akan kamu perankan adalah Seena Fatima
binti Abdoellah, anak kedua dari Abdoellah bin Razak, se?
orang pengusaha properti di Malaysia. Seena berumur tujuh
belas tahun, baru saja lulus SMA Woodcity Highschool di
Kuala Lumpur. Saat ini dia dalam proses untuk mendaftar ke
Universitas Zurich, jurusan Geografi. Seena punya seorang
kakak laki-laki bernama Muhammad Aziz, dua puluh satu
tahun, yang sekarang sedang bersekolah di Universitas San
! 1-7.100
Diego,erika Serikat, mengambil jurusan Teknik Arsitektur,
dan seorang adik laki-laki bernama Muhammad Sahar, lima
belas tahun, baru saja mendaftar ke satu sekolah berasrama di
Turki dan ke sekolah yang sama dengan Seena, Woodcity
Highschool. Sampai dengan saat ini, belum ada kabar di mana
anak itu diterima dan yang mana yang dipilih."
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Andrew melanjutkan, "Di dalam map itu detail tentang
Seena dan rincian silsilah keluarga dari kedua orangtua
Seena."
Fay membuka map yang diberikan Andrew. Di dalamnya ada
dua set dokumen. Fay meraih set dokumen pertama.
Set pertama itu terdiri atas empat lembar biografi Seena,
mulai dari informasi TK tempat dia bersekolah hingga infor?
masi yang tadi disebutkan Andrew.
Fay menyisihkan set pertama itu dan meraih set kedua. Saat
pandangannya menyapu halaman pertama, seketika itu juga ia
merasa ide untuk masuk ke bumi dan menghafalkan deret
kimia sambil dikubur hidup-hidup sepertinya lebih menyenang?
kan. Halaman itu berisi bagan keluarga ayah Seena. Mimpi
buruknya dimulai dari dua kotak yang berada di paling atas,
kakek dan nenek Seena. Di baris kedua ada dua belas kotak,
menandakan keturunan langsung dari sang kakek. Setiap kotak
di baris kedua itu dihubungkan dengan satu kotak lain di sisi?
nya, menandakan pasangan hidup mereka. Hampir setiap kotak
di baris kedua dihubungkan dengan kotak-kotak di baris ketiga,
di mana Seena berada. Tidak sulit menemukan di mana posisi
Seena, karena kotak dengan namanya dilingkari spidol hitam
yang tebal.
Keinginan menghafal deret kimia itu terasa lebih kencang
ketika tangan Fay dengan nekat atas kemauan sendiri mem?
balik kertas itu untuk melihat halaman kedua, silsilah keluarga
dari pihak ibu Seena. Sama seperti halaman sebelumnya, bagan
dimulai dengan dua kotak berisi nama kakek dan nenek Seena
di bagian atas. Mereka mempunyai delapan anak, salah satunya
adalah ibu Seena. Fay melihat bahwa selain kotak berisi nama
! 1-7.101
Seena, ada satu kotak lain yang dilingkari Alfred Whitman.
Posisinya ada di baris kedua, di sebelah kotak bertanda silang
berisi nama "Zaliza". Tidak ada kotak di baris ketiga yang di?
hubungkan dengan kotak Zaliza ini.
Andrew berkata, "Seluruh isi map ini harus kamu hafalkan
luar kepala. Selain informasi tentang Seena sendiri, prioritasnya adalah keluarga inti Seena, kemudian keluarga ibu Seena,
baru keluarga ayah Seena. Informasi tentang Seena bukan
cuma harus kamu hafalkan, tapi harus kamu hayati hingga
kamu bisa menceritakan ulang dengan lancar tanpa harus ber?
pikir lagi.
"Di halaman tiga sampai sepuluh, ada informasi tentang se?
tiap keluarga yang kamu temui di dua bagan tadi. Informasi
yang ada sudah dipilah-pilah berdasarkan prioritasnya. Sebagai
contoh, kamu akan melihat tanggal lahir di keluarga inti
Seena, tapi hanya umur di keluarga yang lain. Contoh lainnya,
kamu akan melihat alamat lengkap di beberapa keluarga, tapi
tidak di keluarga yang lain. Bahkan ada yang dilengkapi de?
ngan foto. Ingat, Fay, semua harus dihafalkan luar kepala, tan?
pa kecuali.
"Di akhir minggu ini, kalau saya menunjukkan foto satu ru?
mah, kamu sudah harus tahu siapa saja yang tinggal di sana.
Dan kalau saya menyebutkan satu nama, kamu harus bisa
menyebutkan berapa umurnya, siapa kakak atau adiknya, di
mana dia tinggal, di mana sekolahnya, dan bagaimana hubung?
annya dengan Seena."
Fay tidak tahu harus mengatakan apa. Jantungnya tidak ber?
debar-debar. Tangannya tidak dingin. Bahkan ia tidak panik
sama sekali. Yang ia rasakan adalah udara di sekitarnya sangat
berat. Udara di dalam paru-parunya bahkan seperti enggan un?
tuk dipompa keluar-masuk.
"Sekarang kita akan bahas satu per satu. Kemudian saya
akan meninggalkan kamu setengah jam supaya kamu bisa
menghafalkan dan meresapi semua informasi yang saya beri?
kan."
! 1-7.102
Andrew menekan satu tombol di komputernya dan LCD di
depannya menampilkan gambar lain.
"Mari kita mulai," ucapnya membuka pembahasan.
! 1-7.103
Prince Charming
DERING beker yang tidak tahu diri membangunkan Reno
pagi ini, berteriak memanggil nyawanya untuk kembali bersatu
dengan raga. Rasanya Reno sadar ketika secara perlahan nyawa
itu merasuki tubuhnya, diawali dari kakinya, kemudian naik
sejengkal demi sejengkal, dan diakhiri dengan satu sentakan
yang menyengat di dadanya ketika akhirnya nyawa itu berhasil
masuk ke cangkang peraduannya.
Reno bangun dan terduduk di tempat tidur dengan sekujur
tubuh basah berpeluh. Napasnya masih terengah-engah, seperti
habis berenang pada kedalaman tanpa dasar. Dadanya juga
masih berdebar-debar, seperti seekor buruan yang baru lepas
dari kejaran pemangsa. Sudah lama ia tidak dihampiri mimpi
itu. Mimpi yang singgah hampir setiap hari delapan tahun
yang lalu, tapi semakin lama semakin berkurang hingga tidak
pernah menyapanya dua tahun belakangan ini. Perasaan ngeri
yang ditimbulkan pun masih sama dengan saat ia memimpi?
kannya untuk pertama kali delapan tahun yang lalu. Mimpi
yang dimulai sejak kejadian yang merenggut segenap jiwanya.
Usianya saat itu tiga belas tahun. Ia masih ingat menatap
! 1-7.104
bola api yang mendadak membubung di hadapannya bagai
kobaran neraka, dengan alasan hidup yang terempas berkepingkeping. Yang ia lihat sebagai bola api, tadinya adalah sebuah
mobil yang berada tepat di depan mobil yang membawanya
dari bandara di Quito, ibukota Ekuador, menuju rumah. Di
mobil yang sudah menjelma menjadi nyala lidah merah yang
berputar-putar bercampur gumpalan asap hitam itu ada kedua
orangtuanya dan Maria, adiknya yang berusia sembilan tahun.
Mereka baru saja pulang liburan dari Bali, sebuah pulau indah
yang ada di benua Asia.
Reno tidak menumpang mobil tersebut karena ikut mobil
pamannya, supaya bisa bercerita mengenai liburannya pada se?
pupunya, Eduardo.
Saat ini, delapan tahun kemudian, di apartemen yang baru
ditempatinya dua malam di Paris, perasaan itu muncul kembali,
menghantui setiap sudut hati dan pikiran Reno. Yang berbeda
kali ini adalah, ia sudah tidak menangis. Bukan karena air
matanya sudah kering, tapi karena air matanya sudah dihing?
gapi keengganan yang diakibatkan kematangannya menghadapi
hidup, yang tumbuh cepat selama delapan tahun terakhir.
Reno melirik bekernya. Pukul 07.30, satu jam sebelum kelas
bahasa Prancis-nya dimulai pukul 08.30. Sebenarnya hanya
butuh setengah jam untuk bersiap-siap, sudah termasuk sarap?
an. Dengan waktu tempuh ke tempat kursus yang hanya se?
puluh menit, sebenarnya ia bangun terlalu pagi. Tapi ia tidak
pernah bisa melupakan perkataan adiknya yang diucapkan dua
minggu sebelum liburan mereka ke Bali. Waktu itu Maria me?
rengek-rengek minta diantarkan ke tempat les balet naik se?
peda. Reno masih mengerjakan PR dan menurutnya masih ada
waktu setidaknya dua puluh menit lagi sebelum tiba waktunya
mengantarkan adiknya. Sambil cemberut, Maria berkata,
"Reno, aku mau jadi yang pertama datang. Aku tak suka kalau
ada yang datang lebih dulu dari aku dan aku diperhatikan me?
reka waktu masuk."
Dengan bingung Reno bertanya kenapa.
! 1-7.105
"Kan kalau aku duluan, aku bisa memperhatikan temantemanku waktu mereka datang satu per satu. Baju yang dipakai
mereka, sepatu mereka, jepit mereka. Lagi pula, mereka tak
punya kesempatan untuk membicarakan dan menertawakan
aku kalau aku sudah datang."
Saat itu, Reno meninggalkan PR-nya dan bergerak meng?
ambil sepeda. Bukan karena ia mengerti maksud adiknya, tapi
hanya untuk menghentikan ocehannya, selain karena ia me?
mang menyayangi Maria dan tidak bisa melihatnya kecewa.
Setelah kejadian mengenaskan itu, perkataan adiknya itu
meresap dalam relung hidupnya sebagai pesan terakhir yang
diucapkan si ceriwis yang manja itu dan harus dijalankan un?
tuk mengikat ingatan akan adik tersayangnya itu dalam hati.
Sekarang, setelah delapan tahun menerapkannya dan me?
metik banyak manfaat dari pesan sederhana itu, kebiasaan itu
sudah menyatu dengan dirinya.
Reno pun beranjak ke kamar mandi.
Di saat yang sama, Fay masih berada di kamarnya sambil me?
megang celana jins yang baru saja dipakainya dan menatapnya
dengan tatapan tak percaya. Baru minggu lalu ia terakhir
memakai jins itu, ketika pergi ke mal di Jakarta bersama Cici,
Lisa, dan Dea hari Selasa sore. Jins yang biasanya sangat pas
di tubuhnya itu sekarang betul-betul longgar. Ada jarak setidak?
nya dua sentimeter dengan perutnya dalam keadaan dikan?
cingkan. Setelah otaknya bisa mengkonfirmasi bahwa ia tidak
sedang bermimpi atau berhalusinasi, senyum lebar langsung
terpampang di wajahnya dan ia pun melompat-lompat kegirang?
an di dalam kamarnya, mengelilingi ruangan, melompati tem?
pat tidur, ke kamar mandi, dan berakhir kembali di depan
kaca. Ia turun ke bawah untuk sarapan sambil tetap memasang
senyum lebar di mukanya.
"Bonjour," ucapnya riang dan langsung dibalas dengan ha?
ngat oleh Celine.
! 1-7.106
"A lovely morning, isn?t it? You look very happy."
"Saya baru menyadari pagi ini berat badan saya sudah tu?
run," ujar Fay tanpa bisa menyembunyikan keriangannya.
"Dari ekspresi kamu, saya berasumsi itu sesuatu yang kamu
harapkan. Saya ikut senang." Celine kemudian buru-buru me?
nambahkan, "Tapi mudah-mudahan itu bukan berarti kamu
akan melewatkan sarapan yang saya siapkan."
Fay tertawa. "Saya tidak pernah melewatkan sarapan, ter?
utama kalau seenak ini." Tangannya langsung bergerak meng?
ambil roti bulat buatan Celine yang menjadi satu-satunya pe?
larian sejak diberikan makanan bungkusan itu oleh Andrew.
Makanan bungkusan yang kayaknya udah mulai gue cintai, pikir?
nya sambil senyum-senyum sendiri mengingat dua sentimeter
tadi.
Saat makan siang, rasa cinta yang mulai tumbuh terhadap
makanan bungkusan itu ternyata tidak membantu memperbaiki
rasanya. Fay mengernyit ketika rasa pahit bercampur apek yang
masih bersisa di mulutnya sudah harus diperbaharui lagi de?
ngan suapan kedua. Bubur di atas sendok yang mendekati
bibirnya juga secara tidak tahu diri mengirim aroma seperti
bau steril rumah sakit yang menyeruduk hidungnya yang sudah
mati-matian menahan napas.
Reno yang duduk di seberangnya tertawa terbahak-bahak.
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan hanya wajahnya yang tertawa, tapi juga seluruh tubuh?
nya seperti menertawakan kesengsaraan Fay. Dengan jengkel
Fay menatapnya, sambil melepas tujuh kurcaci yang membawa
pentungan dalam sorot matanya.
Dengan susah payah Reno berusaha menghentikan tawa.
"Maaf, Fay, habis kamu kelihatan lucu sekali." Kembali dia
tertawa, kali ini tidak seheboh tadi.
Reno menyendok buburnya sendiri, masih tersenyum. Ke?
mudian dia bertanya, "Kalau kamu memang tidak suka, kenapa
masih kamu makan?"
"Aku mau menurunkan berat badanku lagi," jawab Fay sing?
kat.
! 1-7.107
"Tapi kamu kelihatan baik-baik saja kok, kenapa sih harus
berjuang sekeras itu? Aku punya teman di kampus yang meng?
idap anoreksia. Dia sebenarnya baik-baik saja waktu pertama
kali masuk kuliah, tapi sekarang dia terlihat seperti tengkorak
berjalan. Aku tidak bisa mengerti apa yang kalian para wanita
pikirkan," katanya sambil menggeleng.
"Well, aku sih tidak berencana untuk sekurus itu, tapi aku
rasa akan menyenangkan kalau punya tubuh seperti Erika misal?
nya."
"Dia oke, tapi juga tidak ada yang salah dengan kamu."
"Kenapa ya kita mendiskusikan ini?" tanya Fay semakin nyo?
lot.
"Oke, oke. Maaf. Kita membicarakan yang lain saja."
"Aku mau cek e-mail setelah makan, ada e-mail dari orang?
tua dan teman-temanku yang belum sempat aku balas," kata
Fay.
"Kamu mau cerita apa tentang kelas bahasa ini? Betapa me?
narik dan mudah pelajarannya atau betapa gila teman-teman
kamu?" tanya Reno iseng.
"Mmm," Fay berpikir gimana caranya untuk mengucapkan
"ada deeeeh" dalam bahasa Inggris tapi tetap nggak bisa me?
nemukan kalimat yang tepat, akhirnya dia hanya berkata sing?
kat, "secret."
Reno menegakkan kepala. "Hei, aku pikir sudah tidak ada
rahasia lagi di antara kita," protesnya bercanda.
Fay berdiri membereskan mangkuknya sambil tersenyum.
"Ayo, buruan, nanti kita tidak kebagian komputer."
Prediksinya tidak meleset, sampai di sana hanya tinggal tiga
komputer yang tersisa. Satu di meja yang ada sisi pintu, dua
lainnya bersebelahan ada di sisi meja yang berseberangan. Fay
mengarah ke komputer yang terdekat, di sisi meja dekat pintu,
tapi Reno segera menariknya ke sisi seberang tempat ada dua
komputer bersebelahan. Keinginan protes Fay langsung surut
ketika tiba di depan komputer itu dan melihat browser dengan
alamat Yahoo! sudah terbuka, rupanya pemakai sebelumnya
! 1-7.108
tidak mau repot-repot menutupnya. Fay langsung login sambil
berpikir apa yang akan dilakukan. Pertama-tama ia akan mem?
baca semua e-mail-nya, baru kemudian ia akan mulai membalas
e-mail itu satu per satu. Ia juga mulai memikirkan kemungkin?
an untuk menceritakan pengalamannya, tapi ingatan tentang
hari Senin memupus keinginannya.
Wah, ada enam e-mail baru, pikir Fay semangat. Satu e-mail
yang pastinya sampah, langsung ditandai dan hilang dari kotak
suratnya. Dengan antusias ia membuka sisanya satu per satu.
From Mama
Hari Senin
Halo, Sayang, apa kabar? Wah, baru aja Mama buka
e-mail pagi ini di kantor, ternyata sudah ada e-mail kamu.
Gimana acara jalan-jalannya? Nggak nyangka anak mama
udah langsung jalan-jalan lihat Eiffel di hari pertama.
Semua baik, kan? Bagaimana rumah baru kamu?
Mudah-mudahan kamu betah ya.
Hati-hati ya, pintar-pintar jaga diri. Jangan keluar
malam-malam sendirian dan jangan ke tempat sepi seperti
taman, bahaya untuk anak gadis seperti kamu.
Have to go, Sayang, ada meeting sebentar lagi dengan
klien baru. Bye.
Love,
Mama
Hmmm, standar. Apa kira-kira reaksi Mama kalau tahu gue
diculik di hari pertama, digebukin di hari kedua, dan ditendang di
hari ketiga? Entah kenapa pikiran itu membuat Fay geli, dan ia
pun cekikikan dalam kepahitan.
"Kenapa, ada yang lucu?" Reno menoleh ke arahnya.
Fay hanya menggeleng, fokusnya tetap ke e-mail-e-mail di
hadapannya, yang sejenak membuatnya kembali ke dunia
normal yang dikenalnya sangat baik, dunianya yang biasa-biasa
saja.
! 1-7.109
From Cici
Cc Dea, Lisa
Hari Senin
Halo, Fay. Aduh, senangnya denger kabar dari lo.
Gaya deh, baru nyampe udah ke Eiffel segala. Sendirian,
lagi. Gimana, ketemu cowok keren nggak? Udah deh nggak
usah jaim-jaim, sikat aja, toh cuma summer love, hi...
hi
Cerita dong gimana jalan-jalannya, kamar lo, trus host
parent lo. Mereka baik nggak? Lo udah mulai sekolah
belum? Anak-anaknya gimana, oke nggak?
Buruan ya bales, udah nggak sabar niiih.
Luv,
Cici
From Dea
Cc Cici, Lisa
Hari Senin
Fay, lo tuh emang nekat banget ya jadi anak. Nggak
takut nyasar apa jalan-jalan sendirian? Jangan gila deeeh.
Kan lo belum bisa bahasa Prancis.
Udah, nasihat Cici nggak usah didengerin. Dia lagi
kumat karena nggak bisa nyusul lo dan sebentar lagi harus
ke S?pore ke acara bokapnya.
Cici, tapi kalau acaranya udah selesai, buruan balik ya
ke Jakarta. Kan si Sassy ulang tahun sebentar lagi. Gue
mau cari kado bareng lo aja.
Bye,
From Cici
Cc Dea, Lisa
Hari Selasa
Fay, buruan dong bales lo sibuk banget, ya? Gue
udah nggak sabar nih. Atau kasih nomor telepon lo di
! 1-7.110
Paris deh, ntar gue telepon dari S?pore. Gue berangkat
Rabu.
Luv,
Cici
From Lisa
Cc Cici, Dea
Hari Selasa
Buset deh ni anak. Ditungguin ceritanya kok nggak
nongol-nongol. Jangan kasih alasan sibuk ke gue deh. Lo
kan di sana belajar bahasa doang, bukannya tugas
menggambar pake Rotring. Pokoknya kalau besok nggak
ada balesan juga, gue nggak mau nulis e-mail lagi.
*dan gue ceramahin seharian kalau lo udah pulang -)
Love & kisses,
Lisa
Fay terdiam. Keempat e-mail temannya ia baca berulangulang, mengundang bayang mereka untuk menemaninya saat
ini, menjalani petualangannya yang belum berujung di Paris.
Air mata sudah mulai mengaburkan pandangannya. Andai
bayang-bayang itu bisa tampak kasat di depan mata, ia tidak
akan ragu menumpahkan air matanya dan mencurahkan semua
emosinya.
Sayangnya ia ada di dunia nyata tempat bayang-bayang pun
enggan menampakkan wujud.
Kembali ke pijakan nyata di ruang komputer sekolahnya,
Fay mulai membalas e-mail itu, diimulai dari e-mail mamanya.
Ditekannyalah tombol "reply" dan mendadak layar komputer
di depannya berubah hitam, diiringi umpatan-umpatan di se?
kelilingnya. Ternyata semua komputer di ruang itu mendadak
mati. Fay baru akan berbicara ke Reno ketika sadar Reno ter?
nyata sudah tidak ada di sampingnya.
Terdengar suara Reno di pintu, "Apa yang terjadi?"
! 1-7.111
"Entahlah. Mendadak komputer mati," seorang siswa me?
nyahut.
"Aku rasa virus," siswa lain menimpali.
Fay melihat layar komputernya sendiri. Layarnya gelap, de?
ngan kursor yang berkelip-kelip di pojok kiri atas. Ia me?
longokkan kepalanya melihat ke komputer Reno di kiri dan
komputer siswa lain di kanannya, ternyata sama.
Tidak lama kemudian, masuk seorang petugas administrasi
sekolah memeriksa komputer-komputer itu dan pria itu lalu
menelepon ke perusahaan komputer yang menjadi rekanan se?
kolah.
Dengan perasaan kecewa, Fay keluar dari ruangan itu di?
iringi oleh siswa-siswa lain.
"Kamu lihat apa yang terjadi? Aku cuma ke kamar mandi
sebentar, mendadak, ?boom?, semua mati," tanya Reno.
"Aku nggak tahu kenapa, mendadak layar jadi gelap. Mung?
kin yang dibilang siswa tadi benar, serangan virus," ujar Fay
tanpa bisa menyembunyikan kekecewaannya.
"Hmm, mungkin. Kalau begitu kita ke perpustakaan saja
yuk."
Fay mengangguk setuju dan mengikuti Reno menuju per?
pustakaan untuk menghabiskan siang itu.
Sore itu, dengan terengah-engah Fay berlari menanjak menyu?
suri jalan setapak yang tampaknya sengaja dibuat di bukit itu
untuk membuatnya sengsara. Masih jalan setapak yang sama
dengan yang dilaluinya pertama kali bersama Andrew hari
Senin dua hari yang lalu. Hanya saja di hari ketiga ini ke?
sadaran Fay akan kontur jalan setapak itu sudah tumbuh. Ia
sudah mulai hafal di bagian mana jalan agak menanjak, di
mana datar, dan di mana ia mendapat bonus jalan menurun.
Jalan menanjak di depannya ini adalah penanda garis akhirnya
sudah dekat.
! 1-7.112
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Fay berhenti sebentar, membungkukkan badan sambil meme?
gang lututnya, berusaha untuk menyelaraskan napasnya yang
hampir habis dan kakinya yang hampir tidak terasa. Ia melirik
ke jam Adidas yang masih melingkar dengan keren di tangan?
nya. Sialan, sudah terlambat hampir lima menit. Dengan sisa-sisa
kekuatannya, ia berlari menanjak. Dengan lega ia melihat atap
rumah muncul di depannya dan ia pun sudah sampai di area
halaman rumah.
Ketika berbelok ke depan rumah, Fay melihat bahwa ada
orang lain selain Andrew. Seorang pemuda, sepertinya seumur?
an dengan dirinya kalau dilihat dari cara berbusananya yang
santai memakai topi, celana jins, dan sepatu kets. Wajahnya
tidak terlihat karena dia agak menjauh dari Andrew dan ber?
diri membelakangi Fay. Dari gerak-geriknya, sepertinya dia se?
dang menelepon.
Andrew menatap Fay dengan datar.
"Kamu terlambat enam menit," ucapnya tanpa melihat
jam.
Tanpa disuruh Fay mengambil posisi push-up dan mulai
menghitung. Dua belas kali push-up bukan hal sulit setelah
pengalamannya kemarin.
Sudah dua belas hitungan. Fay pun berdiri sambil mengibaskan
kedua tangan, sibuk membersihkan debu jalan yang menem?
pel.
Suara Andrew menyadarkannya, "Fay, perkenalkan, ini
Kent."
"Kent," ujar pemuda yang membelakanginya tadi, yang seka?
rang sudah berada di sebelah Andrew. Tangan kirinya mem?
buka topi dan tangan kanannya dijulurkan ke depan untuk
bersalaman. Saat itu juga Fay merasa dunianya berhenti se?
jenak dan udara di sekelilingnya terisap ke dalam pusaran yang
seolah berpusat di dadanya. Ia merasa sesak seiring dengan
detak keras jantungnya yang seolah detak terakhir, karena
setelah itu sang jantung seperti lupa cara memompa darah
dengan benar dan Fay merasa ada kekacauan tidak berirama di
! 1-7.113
dadanya. Wajah pemuda itu tidak setampan Reno, tapi sangat
menarik dengan bola mata biru yang menatapnya tajam, mem?
buat bukan hanya darah Fay yang berdesir, tapi seluruh tubuh?
nya. Rambutnya sangat pirang, terang menyilaukan seperti
memantulkan setiap cahaya yang mendarat di setiap helai?
nya.
Fay mengulurkan tangannya yang sedingin es batu dan men?
jadi lebih panik ketika menyentuh tangan Kent yang ternyata
sangat hangat. Kehangatan itu perlahan-lahan menjalar dari
telapak tangan ke seluruh bagian tubuh Fay, memberi sensasi
ringan yang luar biasa, dan semakin membuat sang jantung
lupa akan tugas rutinnya.
Fay melihat kedua alis cowok itu bergerak naik, dan seketika
itu juga ia sadar sudah terlalu lama membiarkan tangannya
dan bahkan rahangnya menggantung dengan tatapan bego di
depan pemuda ini.
"Fay," gelagapan ia membalas, "Pleased to meet you," kemu?
dian menarik tangannya tiba-tiba. Aduh, terlalu mendadak nggak
ya, jangan-jangan ketara gue panik, pikirnya cemas.
"Kent akan menjadi mentor kamu dan membantu kamu da?
lam beberapa subjek selama pelatihan dua minggu ini," kalimat
Andrew membantu memutus kecemasan Fay.
Andrew melanjutkan, "Sekarang, satu putaran lagi."
Dengan patuh Fay berbalik dan mulai berlari. As if there?s
other option gitu loh, pikirnya getir.
Tiba kembali di depan rumah dengan waktu lebih baik dua
menit dari sebelumnya, hanya terlambat empat menit. Fay me?
lihat hanya ada Kent di sana.
Aduh, senangnya. Makhluk kecil dalam perutnya kembali
menari-nari, memberikan perasaan menggelitik di perut se?
kaligus perasaan ringan yang membuatnya ikut terbang. De?
ngan jantung berdebar tidak tahu diri ia berhenti di depan
! 1-7.114
Kent dengan niat untuk bertanya kepada pemuda itu di mana
Andrew. Niat yang disambut gegap gempita oleh jantungnya
yang kembali memompa darah dengan semangat hingga Fay
bisa merasakan arusnya yang mengalir deras di dalam tubuh?
nya. Belum sempat ia melaksanakan niatnya, Kent sudah ber?
kata, "Terlambat tujuh menit, berarti empat belas push-up."
Jantung Fay berhenti memompa secara mendadak dan me?
noleh sejenak, membuat darahnya terpental bagaikan arus de?
ras yang menabrak keran yang mendadak tertutup. Fay berkata
dengan gugup, "A Aku lihat jam hanya empat menit."
"Kamu salah lihat. Dan kalau kamu tidak mulai sekarang,
segera akan jadi delapan menit," ujar Kent masih dengan eks?
presi yang sama, datar.
Fay hanya bengong dengan bego menatap Kent dengan
tatapan setengah percaya. Otaknya belum mampu menerjemah?
kan berita yang diterima oleh saraf yang terhubung ke telinga?
nya. Atau belum mau menerima kenyataan, lebih tepatnya.
Mendadak pintu rumah di belakang Kent terbuka dan
Andrew keluar. "Bagaimana hasilnya?"
Dengan cepat Kent menjawab, "Masih meleset delapan me?
nit, Paman."
Refleks, Fay menggeleng dengan panik dan membuka mulut
untuk protes, tapi kalah cepat.
Andrew langsung berjalan ke depan Fay dan berbicara de?
ngan suara yang mulai meninggi, "Kamu harus menganggap
latihan ini sebagai hal yang serius. Setelah push-up, lakukan
satu putaran lagi. Kalau waktu kamu tidak membaik juga, saya
akan berbicara empat mata dengan kamu di ruang kerja."
Fay melihat Andrew yang menatapnya dengan kening ber?
kerut dan seketika keinginannya untuk membela diri surut. Ia
tahu posisinya sudah kalah bahkan sebelum Andrew meng?
ucapkan sepatah kata pun; ia sudah seorang terhukum ketika
Kent menjatuhkan vonis tujuh menitnya tadi. Tanpa berkatakata, Fay mengambil posisi push-up, melakukan enam belas
hitungan dengan sempurna, sesuatu yang tidak mungkin terjadi
! 1-7.115
tanpa pengaruh rasa marah yang mulai membakar sumbu di
dalam dadanya. Dengan sumbu yang mulai tersulut, ia berdiri
setelah mulutnya mengucapkan hitungan keenam belas dan
langsung berlari mengulangi putarannya dengan campuran rasa
marah, benci, kesal, dan takut menjadi satu.
Sambil berlari Fay sempat berpikir apakah dirinya yang tadi
salah melihat jamnya. Tapi rasanya tidak mungkin. Lagi pula,
apa maksud Kent tadi kalau ia tidak memulai push-up-nya
maka keterlambatannya jadi delapan menit? Berarti Kent se?
ngaja. Tapi kenapa? Berbagai analisis dan pertanyaan berputarputar di otak Fay dengan akhir yang kembali ke titik nol. Satu
hal yang ia mengerti dengan pasti adalah perkataan Andrew
terakhir tadi. Dan satu hal yang ia tahu pasti adalah ia tidak
mau sampai harus menghadapi pria itu di ruang kerjanya.
Rasa marah dan takut ternyata bahan bakar terbaik bagi
kakinya, karena begitu ia keluar dari jalan setapak, ia melirik
jamnya dan bernapas lega penuh kemenangan, terlambat hanya
dua menit. Sedikit cemas yang tersisa juga segera menguap ke?
tika matanya menangkap dua sosok pirang di depan rumah,
bukan hanya satu seperti sebelumnya.
"Dua menit, young lady. Masih meleset, tapi setidaknya ada
perbaikan," Andrew menyambutnya dengan wajah yang tidak
sekeras sebelumnya.
Sambil mengambil posisi push-up, Fay sempat melirik se?
bentar ke arah Kent dengan perasaan menang. Tampang anak
itu tidak berubah, tetap datar seperti ekspresinya ketika ber?
bohong ke Andrew tadi.
Otak Fay mengutuk pemuda itu.
Tidak berlangsung terlalu lama, karena sang otak segera ber?
alih mengutuk hatinya sendiri yang dalam kondisi seperti ini
masih berdebar dihinggapi perasan melayang-layang yang tetap
sama.
! 1-7.116
Seusai mandi, Fay segera turun menuju ruang kerja Andrew.
Sampai di depan pintu, ia berhenti.
Rasa enggan yang sama setiap kali berada di depan pintu itu
masih juga tak mau hengkang. Menarik napas panjang kemu?
dian mengembuskannya, Fay menyentuh gagang pintu, ber?
anjak masuk. Di dalam, Andrew dan Kent duduk berhadapan
di depan meja kerja, sedang berdiskusi. Andrew duduk di kursi
tinggi, menghadap ke pintu, sedangkan Kent duduk di kursi
yang berseberangan dengan Andrew, membelakangi pintu tem?
pat Fay masuk. Mendengar dirinya masuk, keduanya meng?
hentikan pembicaraan dan menoleh ke arahnya. Andrew
memberinya kode untuk duduk.
Fay berjalan menghampiri mereka dan duduk di kursi yang
ada di sebelah Kent. Ia memerhatikan di meja kerja itu ada
map yang persis seperti yang ia pegang kemarin, yang berisi
informasi tentang Seena.
Andrew membuka pembicaraan.
"Fay, ada urusan yang mengharuskan saya pergi segera. Besok
saya tidak bisa datang sama sekali dan lusa saya akan datang
terlambat. Kent yang akan menjadi pengawas kamu selama
saya tidak ada. Aktivitas kamu malam ini adalah mempelajari
tokoh Seena lebih dalam lagi. Untuk besok, selain lari seperti
biasa, akan ada topik baru yang akan kamu terima, tentang
Analisis Perimeter. Ada pertanyaan?"
Fay menggeleng. Tangannya mulai dingin, jari-jarinya ditaut?
kan rapat-rapat.
Andrew melanjutkan, "Hari Sabtu ada agenda yang sedikit
berbeda. Kamu akan menginap di luar kota selama satu malam.
Pagi ini Jacque dan Celine sudah diinformasikan bahwa seko?
lah kamu, Institute de Paris, mengadakan satu malam kunjung?
an budaya ke Nice. Semua transportasi dan akomodasi akan
diurus oleh sekolah. Kamu akan dijemput di rumah hari Sabtu
jam setengah delapan pagi, kemudian diantar kembali ke ru?
mah hari Minggu sore. Hanya itu yang perlu kamu ketahui.
Kalau ada pertanyaan Jacque dan Celine yang tidak bisa kamu
! 1-7.117
jawab, walaupun saya tidak berharap demikian, kamu bisa bi?
lang bahwa detailnya belum diberikan oleh sekolah dan me?
reka bisa menelepon ke sekolah kalau mereka mau. Sampai
sini ada pertanyaan?"
Fay kembali menggeleng.
"Saya sudah memberitahu Kent apa saja yang perlu kamu
pelajari hari ini dan besok." Andrew bangkit dari tempat
duduknya, menuju lemari yang menyembunyikan ruang belajar
di belakangnya. Kent segera berdiri mengikuti dan Fay terburuburu ikut berdiri juga, menyusul Andrew.
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu pintu lemari terbuka, Andrew berdiri di pinggir pin?
tu, memberi jalan kepada Fay dan Kent untuk masuk.
"Sampai jumpa hari Jumat," Andrew bersiap memutar tu?
buh.
"Paman, tunggu," Kent memanggil Andrew.
"Ya?" Andrew kembali menoleh.
"Saya cuma mau memastikan, apa otoritas yang saya punya
selama Paman tidak ada?" tanya Kent.
Andrew melihat ke arah Kent sambil mengerutkan kening.
"Kamu tahu aturannya, otoritas kamu terbatas hanya satu ting?
kat di atas posisi kamu sekarang."
"Saya tahu itu. Tapi Fay mungkin harus mengerti juga apa
maksudnya," tambah Kent buru-buru.
"Fay tidak perlu tahu sampai sejauh itu."
Andrew sekarang menatap Fay.
"Saya yakin kamu mengerti bahwa waktu saya berkata Kent
akan menjadi pengawas kamu menggantikan saya, berarti kamu
harus melakukan apa yang ia suruh. Betul?"
Fay hanya bisa mengangguk. Kali ini ada sedikit desiran rasa
panik di dadanya, seperti seekor buruan yang merasakan ke?
hadiran sang pemangsa.
"Bagus. Kalau begitu, sampai jumpa hari Jumat," ucap
Andrew singkat, kemudian beranjak pergi.
Fay melihat Kent duduk dan mengutak-atik laptop yang ada
di depannya. Desiran-desiran itu kembali menyapu dadanya
! 1-7.118
dari dalam, melumpuhkan sebagian dirinya, sementara sebagian
lagi tetap berusaha siaga.
Fay melihat punggung Andrew menghilang di balik pintu
ruang kerja yang ditutup olehnya, dan seketika itu juga ia
merasa bagaikan seekor anak singa yang baru ditinggal oleh
ayahnya. Begitu rapuh. Begitu tak berdaya.
Instingnya tidak salah.
"Sebelum mulai, aku akan memberikan tes," kata Kent sam?
bil lalu seolah itu hal biasa.
Fay hanya diam. Ia masih berdiri di ruangan itu, berjuang
melawan keinginan untuk memisahkan diri menjadi dua kepri?
badian, yang satu menyerah takluk pada makhluk di depannya,
dan yang satu marah atas kebohongan pemuda ini tadi.
Kent berdiri dan menutup pintu, kemudian berdiri di depan,
tangannya memegang beberapa lembar kertas yang sepertinya
berisi informasi tentang Seena.
Fay merasa tekanan di dadanya makin keras dan perutnya
mulai mulas.
"Aku beri kamu lima detik untuk berpikir, untuk setiap per?
tanyaan yang kuajukan."
Perut Fay makin mulas. Tangannya sekarang juga sudah di?
ngin.
Kent, "Nama saudara laki-laki Seena."
Fay, "Muhammad Aziz dan Muhammad Sahar."
Kent, "Nama sekolah Seena."
Fay, "Woodcity Highschool, Kuala Lumpur."
Kent, "Nama Ibu."
Fay, "Siti Halima."
Kent, "Ulang tahun ayah."
Fay, "" Sialan, sialan, sialan. Tebak. "24 Januari."
Kent, Salah. "Sekolah Muhammad Sahar."
Fay, "Universitas San Diego."
Kent, Salah. "Nama sahabat Seena."
Fay, "Lana and Sherly."
Kent, "Ulang tahun Seena."
! 1-7.119
Fay, "27 Feb."
Kent, "Siapa yang berulang tahun pada tanggal 18 Maret?"
Fay, "" Sialan, tebak. "Muhammad Aziz."
Kent, Tebakannya benar. "Alamat Seena."
Fay, "" Anjrit.
Kent, "Hobi Seena."
Fay, "Belanja, atletik."
Kent, "Tempat kumpul favorit dengan teman-teman."
Fay, "di mal di KL."
Kent, Kurang tepat. "SMP Seena."
Fay, "" Mati gue.
Kent, "SMA Muhammad Aziz."
Fay, "" Sialan, dia sengaja nih.
Kent, "TK Muhammad Sahar."
Fay, "" Makin sengaja, bikin bete.
Kent berhenti sebentar, menatapnya datar,
"Hasilnya benar-benar tidak bisa diterima. Tolong maju ke
depan."
Fay merasa napasnya berhenti sebentar ketika ia maju sambil
ditatapi oleh cowok ini.
Kent melanjutkan, "Dari empat belas pertanyaan, kamu ha?
nya bisa menjawab benar tujuh pertanyaan."
"Ulang tahun ayah Seena tanggal 22 Maret.
"Muhammad Sahar adalah adik Seena. Dia baru lulus dari
SMP dan sekarang sedang dalam proses mendaftar ke dua
SMA. Jawaban kamu tadi adalah ?Universitas San Diego?.
Kamu tertukar dengan kakaknya, Muhammad Azis.
"Seena tinggal di Jalan Damai No 7,pang, Kuala Lum?
pur.
"Tempat favoritnya untuk hang-out adalah Aseana Caf? di
Suria KLCC.
"SMP Seena adalah di Batari Elementary School, KL.
"SMA Muhammad Aziz adalah di Techpark High for Boys,
"TK Muhammad Sahar adalah di Batari, KL."
! 1-7.120
Kent berhenti.
Fay melihat lurus ke depan, sama sekali tidak berani melirik
sedikit pun ke pemuda itu. Ini benar-benar kacau, pikirnya.
Kent melanjutkan, "Tiga push-up untuk setiap pertanyaan
yang tidak bisa kamu jawab." Dia mundur, meletakkan kertas
yang dipegangnya di meja, kemudian bersedekap serta menatap
Fay dengan lekat.
Fay melihat ke arah Kent dengan sewot dan ia pun protes,
"Tapi itu tidak adil. Kamu tidak memberitahu aku akan ada
hukuman push-up untuk setiap pertanyaan yang tidak bisa ku?
Wiro Sableng 108 Hantu Muka Dua Gadis Hari Ke Tujuh Karya Sherls Roro Centil 26 Sukma Kala Wrenggi
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama