Ceritasilat Novel Online

Eiffel Tolong 3

Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya Bagian 3

jawab." Fay berhenti untuk mengambil napas.

Kent bergeming. "Tidak ada bedanya kamu diberitahu dari

awal atau tidak. Lagi pula, dalam waktu beberapa hari ini

kamu harusnya sudah tahu bahwa ketidakpatuhan adalah dosa

besar di rumah ini. Terserah kamu. Yang harus aku lakukan

cuma menelepon Paman dan setelah itu aku bisa duduk santai

untuk menyaksikan apa pun yang dia lakukan ke kamu. Yang

jelas, pasti tidak akan berupa push-up."

Fay terdiam. Kepalanya kini seperti dipenuhi gelembung pa?

nas nan rapuh, yang siap pecah dan mengalirkan air yang juga

panas dari kedua sudut bola matanya. Napasnya mulai tidak

teratur karena berusaha menyesuaikan dengan gerakan ge?

lembung-gelembung panas itu supaya tidak pecah. Kilasan ke?

jadian hari Senin langsung berseliweran di benaknya. Wajah

Andrew dengan pandangannya yang sedingin dan sepedih per?

mukaan es muncul begitu saja. Sambil menggigit bibirnya, de?

ngan emosi yang bercampur aduk, Fay mengambil posisi pushup, berusaha sekuat tenaga bukan untuk menyelesaikannya

dengan sempurna, tapi untuk menjaga supaya air matanya ti?

dak tumpah keluar. Setidaknya tidak di depan pemuda ini.

Setelah hitungan ke-21, Fay langsung berdiri dan sambil lalu

berkata ia ingin ke kamar mandi. Begitu kakinya melangkah

ke kamar mandi, air mata mengalir membasuh pipinya tanpa

permisi. Segera ia membuka keran wastafel dan membasuh

! 1-7.121

mukanya, menghilangkan jejak bulir-bulir air mata yang belum

sempat menyelesaikan tugasnya.

Fay tiba di rumah Jacque dan Celine pukul 20.00, lebih cepat

daripada biasanya yang mendekati pukul 21.00. Setelah mem?

beri tes tadi, Kent hanya sebentar membahas tentang Seena.

Fay bisa merasakan nyawa Kent tidak sepenuhnya ada di ruang?

an itu, pikirannya seperti menerawang dan dia agak gelisah.

Walaupun heran dengan sikap Kent, ia bersyukur dalam hati

waktu pemuda itu menyuruhnya pulang.

Jacque dan Celine sedang mengobrol dengan santai di ruang

tamu ketika Fay datang. Tadinya Fay berharap mereka ada di

dapur dan tidak mendengarnya masuk. Tapi Jacque memanggil?

nya dengan kehangatan yang terlalu sulit untuk ditolak. Jacque

menyinggung tentang telepon yang diterimanya hari ini dari

Institute de Paris mengenai perjalanan Fay ke Nice akhir pe?

kan ini. Jacque menunjukkan rasa khawatir akan jadwal Fay

yang terlalu padat. Tapi Fay berlagak riang dan mencoba me?

nunjukkan antusiasmenya akan perjalanan itu. Setelah obrolan

ringan tentang kegiatan Fay dan bagaimana pendapatnya ten?

tang hari-harinya di Paris, akhirnya Fay bisa mengakhiri per?

cakapan tanpa kentara dan masih dengan senyum lebar ia

menuju kamarnya.

Sampai di kamar, senyum itu langsung punah. Fay masuk

kamar mandi dan berganti baju. Setelah meminum vitaminnya,

ia mematikan lampu dan langsung tengkurap di atas tempat

tidur.

Ia sangat lelah.

Bukan kakinya yang sudah disuruh lari berkeliling entah

berapa puluh kali selama tiga hari terakhir ini. Bukan juga

tangannya yang sudah fasih melakukan gerakan push-up men?

dekati sempurna. Bukan juga otaknya yang sudah dipaksa un?

tuk memutar ulang semua rangkaian kejadian yang tidak masuk

! 1-7.122

akal ini dan masih belum berhasil menganalisisnya juga. Tapi

ada rasa lelah yang menekan di dadanya yang tidak pernah ia

rasakan sebelumnya seumur hidupnya. Rasa itu tidak muncul

ketika mama dan papanya harus pergi bertugas dan tidak bisa

merayakan ulang tahun bersamanya tahun lalu. Tidak juga ke?

tika ia sedang ribut dengan Lisa, Dea, atau Cici. Rasa itu tidak

ada ketika nilai ulangannya jeblok sebecek-beceknya?nilai

dua dari skala sepuluh untuk ulangan geografi?diperoleh ka?

rena ia sama sekali tidak ingat untuk bahkan mencolek buku?

nya di malam sebelum ulangan.

Rasa lelah yang kali ini dirasakannya, menimbulkan pedih,

seolah kulit yang ada di bagian dalam dadanya terkelupas per?

lahan-lahan.

Sekelebat bayangan Kent muncul di benak Fay, mengun?

dangnya untuk kembali menghampiri rasa yang tadi sempat

menghinggapinya ketika pertama kali pandangannya beradu

dengan mata biru nan dalam pemuda itu.

Mata biru yang sama yang menatapinya dan menyampaikan

hukuman tanpa ragu.

Mata biru yang seharusnya dikutuki dan disumpahinya, tapi

mata biru yang malah membuatnya kembali ke perasaannya

semula, melayang-layang dalam rindu, berusaha meraih baha?

gia.

Gelembung-gelembung yang sedari tadi sudah menyesaki

benaknya mendadak pecah. Dalam gelap Fay terisak tanpa

tahu kenapa. Yang ia tahu, gelembung-gelembung itu harus

segera enyah dari pikirannya yang semakin lama terasa mening?

galkannya sendiri tanpa ia bisa mengerti alasannya.

Kent pulang ke rumah dengan perasaan lebih puas dibanding?

kan dengan ketika sore tadi datang ke tempat latihan. Keadaan

sepertinya berbalik menjadi bersahabat dengan dirinya.

Niatnya untuk menyengsarakan gadis itu tercapai, walaupun

! 1-7.123

ia bisa lebih keras lagi kalau mau. Tidak hanya itu, ia bahkan

diserahi tanggung jawab dengan otoritas penuh atas gadis itu.

Kent tersenyum mengingat betapa tadi ia berusaha keras untuk

tidak bersorak ketika pamannya memerintahkan Fay untuk

melakukan apa yang diperintahkan dirinya, dan melihat eks?

presi gadis itu yang seperti direndam dalam air es. Yang ter?

akhir itu sepertinya ide yang menarik kalau ia punya waktu

besok. Ia bisa saja menyuruh Fay berenang melintasi danau

kecil yang ada di perbatasan rumah latihan. Walaupun ini mu?

sim panas, tapi air danau tetaplah air danau, dingin dan meng?

gigit, terutama bagi mereka yang berasal dari belahan dunia

yang berbeda.

Bonusnya yang kedua adalah ketika mendengar pamannya

tidak datang besok. Rencananya berarti berubah. Ia bisa men?

dapat kepuasan yang lebih besar, bukan dengan cara menyeng?

sarakan Fay, tapi dengan mengikuti workshop yang tadinya

terancam batal karena harus menjadi mentor bagi gadis itu,

yang sejak awal menjadi pemicu niatnya untuk membuat gadis

itu ikut sengsara bersamanya.

Sejenak pikirannya menerawang.

Salzburg.

Mozart.

Sonata in A Minor.

Sekelebat rasa ringan yang membahagiakan mendadak mem?

bawanya melewati kota Paris, melewati pegunungan Alpen di

Switzerland dan sebagian Austria, dan menukik turun, men?

darat di institut musim panas Universitat Mozarteum, Salz?

burg.

Di institut itu sedianya ia akan mengikuti workshop piano

tingkat lanjut oleh dua maestro piano dunia yang namanya

sudah melegenda, Philippe Entremont dan Alfred Brendel.

Workshop dua hari yang dimulai lusa itu diadakan untuk

kalangan terbatas, yaitu sepuluh remaja usia 13-18 yang dipilih

melalui seleksi ketat di lima negara yang berpartisipasi di Eropa

Inggris, Prancis, Italia, Jerman, dan Austria. Hanya dua orang

dari setiap negara yang mendapat kesempatan langka ini.

! 1-7.124

Dua bulan Kent berjuang mengikuti tahap seleksi, dimulai

dari seleksi di sekolahnya, sebuah sekolah privat di London

tempat ia terdaftar sebagai siswa kelas tiga SMA, kemudian

maju ke tingkat wilayah, hingga masuk ke putaran terakhir,

bersaing dengan lima siswa lain dari seluruh penjuru Inggris.

Dengan usianya yang menginjak delapan belas tahun tiga bu?

lan lagi, Kent sadar ini adalah kesempatan terakhir baginya

untuk berpartisipasi dan ia mencurahkan segenap hati dan

pikirannya pada partitur dan tuts yang menari di bawah sen?

tuhan jemarinya. Ia berhasil menempati urutan kedua, setelah

Lionel yang berusia lima belas tahun.

Perjuangan itu yang hampir menjadi sia-sia, digagalkan be?

gitu saja oleh satu perintah sederhana dari pamannya lewat

telepon Senin pagi itu, "Datang ke Paris segera." Penjelasan

singkat pamannya di telepon hanya menyebutkan bahwa Kent

ditugasi menjadi mentor bagi seorang gadis tujuh belas tahun

bernama Fay. Detail akan menyusul sesampainya di Paris.

Setelah menerima telepon itu, Kent segera keluar untuk ber?

diri di balkon kamarnya, di lantai dua estat milik pamannya

di Hertfordshire, sebuah wilayah pedesaan yang berada di se?

belah utara kota London. Dari tempatnya berdiri ini, ia bisa

dengan leluasa menikmati pemandangan sebuah danau kecil

dan hutan yang ada di halaman belakang estat seluas dua pu?

luh hektar itu.

Saat itu Kent menatap surga dunia yang ada di depannya

bukan untuk menikmati keindahan hijaunya pohon-pohon

yang pucuknya meliuk dielus angin. Bukan juga untuk merasa?

kan ketenteraman riak kecil air yang memantulkan sedikit ki?

lau matahari pagi. Ia ada di balkon itu karena tidak sanggup

melihat sepucuk undangan dan tiket British Airways untuk

keberangkatan pukul 14.00 hari itu yang tergeletak di meja

tulis kamarnya.

Kakinya terasa berat ketika dilangkahkan kembali ke dalam

kamarnya. Yang pertama dilihatnya adalah sebuah koper ber?

ukuran kecil yang masih dalam keadaan terbuka di lantai.

! 1-7.125

Baju-baju masih bertumpuk di tempat tidur. Ia sedang mema?

sukkan baju-baju itu ke koper ketika telepon berdering dan

harus mendengar perintah pamannya.

Pandangannya beralih ke meja tulis, melihat tiket dan un?

dangannya. Lama Kent menatapnya, hingga akhirnya ia memu?

tuskan untuk tetap mengantongi undangan itu sambil berharap

ada keajaiban sehingga tetap bisa menghadirinya hari Kamis.

Ia pun turun ke lantai bawah. Di sana terdapat mobil yang

akan segera mem?bawanya ke bandara. Bukan ke Heathrow,

tapi ke Gatwick, tempat jet pribadi pamannya diparkir.

Segera setelah Kent berada di dalam mobil, pikirannya kem?

bali berputar mengingat perkataan pamannya tadi pagi. Saat

itu, ia memang belum tahu apa yang diharapkan oleh paman?

nya dengan menjadikannya mentor gadis bernama Fay itu, tapi

satu hal sudah jelas, ia tidak akan membiarkan gadis yang

menghancurkan mimpinya itu hidup tenang di bawah peng?

awasannya.

Tapi sang keajaiban ternyata memilih untuk datang hari ini.

Ia bersyukur mengikuti instingnya untuk tetap membawa un?
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dangan workshop itu ke Paris.

Kent tersenyum dan pikirannya mendahuluinya, menyelam

ke dalam denting halus yang mengentak dari setiap tuts yang

disentuh perasaannya yang kini lepas tak terkekang.

! 1-7.126

Malaikat Penjaga

FAY terbangun dan melihat jam di samping tempat tidurnya.

Pukul 06.00, hari Kamis.

Entah kenapa, pagi ini mendadak ia terbangun, sepertinya

dibangunkan mimpi yang tidak terlalu baik, tapi ia tidak bisa

ingat sama sekali mengenai apa.

Setelah membalik bantal?trik yang diberikan oleh Dea,

menurutnya supaya mimpi buruk tidak berlanjut?Fay kembali

memejamkan mata dengan harapan bisa mengistirahatkan

nyawanya kembali barang sejenak. Tapi rupanya pikirannya

sudah melanglang buana tanpa bisa diatur dan sang nyawa se?

perti mengalah, menyerahkan kendali kepada sang pikiran.

Dengan kesal Fay mendapati pikirannya hanya menampilkan

sosok Kent, pemuda yang sekarang dibencinya setengah mati.

Tapi itu kata pikirannya. Kata hatinya lain lagi.

Pertentangan itu semakin membuat matanya menyala dalam

gelisah. Setelah membolak-balikkan badan puluhan kali,

akhirnya jam menunjukkan pukul 07.00. Fay pun bergegas ke

kamar mandi.

Entah karena mimpi itu, atau karena bayangan Kent yang

! 1-7.127

tidak mau sirna dan menguasai pikirannya selama hampir se?

jam tadi pagi, Fay merasa hatinya sangat suram dan tidak pu?

nya semangat sama sekali untuk menjalani hari itu. Dalam hati

ia bertanya-tanya apakah ini yang dirasakan Harry Potter ke?

tika berhadapan dengan makhluk Dementor di buku karangan

JK Rowling yang setiap bukunya sudah dibacanya paling tidak

tiga kali.

Untuk melengkapi kesuraman yang ia rasakan, dalam per?

jalanan menuju sekolah ia mengalami sebuah insiden kecil

yang menyebalkan. Di jalan bawah tanah yang mengarah ke

stasiun metro ia bertemu segerombolan pemuda yang menyo?

dorkan satu map yang diterima dengan polos oleh dirinya.

Ternyata mereka meminta sumbangan. Ketika Fay mengembali?

kan map itu sambil menggeleng, mereka marah dan berteriakteriak ke arahnya dengan suara keras. Untung salah seorang

dari mereka memberi tanda untuk membiarkannya lewat. Se?

tengah berlari dengan jantung yang mulai deg-degan Fay pun

melangkahkan kaki secepat mungkin, menjauhi mereka.

Tiba di sekolah, Reno menyambutnya dengan senyum; sebuah senyuman yang meniupkan sedikit keceriaan di pagi itu.

"Selamat pagi, Fay. Apa kabar pagi ini?"

Fay mengempaskan diri ke kursi dan menjawab, "Tidak ter?

lalu baik."

"Kenapa? Kamu sakit?" tanya Reno cemas.

"Aku tadi bertemu dengan segerombolan pemuda yang meng?

hadangku minta sumbangan," jawabnya.

Kening Reno berkerut. "Maksud kamu, menghadang seperti

apa?"

"Waktu aku lagi berjalan di lorong ke stasiun metro, ada

empat pemuda yang berdiri, masing-masing memegang kertas

yang dialasi satu papan. Waktu aku melewati mereka, salah

satu dari mereka menyodorkan papan itu dan aku terima."

Reno merasa satu bentuk kekesalan merayapinya. "Fay,

jangan pernah menerima apa pun dari orang yang ti?dak kamu

kenal."

! 1-7.128

"Yah, tadi aku terima. Waktu aku sadar mereka ternyata

meminta sumbangan dan mengharapkan aku menulis jumlah?

nya di kertas itu, langsung aku kembalikan lagi," Fay berhenti

untuk menarik napas.

"Kemudian apa yang terjadi?" tanya Reno tidak sabar.

"Pemuda itu berteriak ke arahku, untungnya dalam bahasa

Prancis sehingga aku tidak mengerti," ia terkekeh, kemudian

melanjutkan, "tapi kemudian dua temannya mendekat dan ber?

bicara ke pemuda itu, juga dalam bahasa Prancis, dan akhirnya

pemuda itu membiarkan aku lewat."

"Di mana kejadiannya, Fay?" tanya Reno.

"Di stasiun Montgallet. Sialnya, itu stasiun yang paling de?

kat dengan tempat tinggalku, jadi aku setiap hari harus ber?

jaga-jaga. Mungkin kalau aku datang lebih pagi seperti ke?

marin, aku tidak akan bertemu mereka," Fay mendesah kesal.

Reno menggeleng-geleng. "Fay, dengar aku baik-baik ya.

Jangan, JANGAN PERNAH, menerima apa pun dari orang

yang tidak kamu kenal. Oke?"

Dengan kaget, Fay menatap Reno yang melihat ke arahnya

dengan tampang sangat serius. Masih sambil cengengesan ia

menjawab, "Oke, Bos."

Reno mengambil salah satu buku Fay dan dengan gemas

membuat gerakan seolah-olah menepuk kepala Fay dengan

buku itu. Fay tertawa senang dengan kejutan itu. Selama ini

yang bisa memberikan perhatian seperti itu hanya Cici, Dea,

dan Lisa.

Dengan perasaan yang sedikit lebih ceria, Fay menyongsong

hari yang sepertinya baru saja dimulai.

Saat istirahat, Reno kembali mengajaknya makan siang ber?

sama. Di kafeteria Fay melihat teman-teman sekelasnya juga

sudah tidak bergerombol lagi dan itu sedikit menghilangkan

perasaan bersalahnya karena selama ini seperti tidak berusaha

berbaur dengan mereka. Di bagian dalam kafeteria, Erika

duduk dengan dua punggawanya, Phil dan Jose. Sedangkan di

salah kursi di teras terlihat Eliza dengan Julia. Pandangan Fay

! 1-7.129

berkeliling untuk mencari di mana Rocco, tapi tidak berhasil

menemukannya.

Reno bertanya, "Bagaimana kelas sore kamu kemarin, lan?

car?"

Dengan kaget Fay melihat ke arah Reno yang sedang sibuk

mengaduk makanan bungkusannya.

"Lancar-lancar saja," jawabnya singkat.

"Ada berapa orang di kelas kamu dan apa yang kamu pela?

jari di sana?" Reno kemudian menggeleng sambil menambah?

kan, "Aku masih saja tidak habis pikir kenapa kamu masih

mau menyengsarakan diri sendiri dengan ikut kelas tambah?

an."

Fay berpikir sebentar kemudian menjawab, "Hanya ada em?

pat orang di satu kelas, termasuk aku."

Andrew, Kent, Lucas, dan dirinya.

Sambil tersenyum simpul Fay melanjutkan, "Kata siapa

sengsara? Yang dipelajari memang tidak lebih menarik daripada

kelas di sini, tapi yang jelas ada seorang siswa yang sangat

keren di sana."

"Oo, pantas kamu sepertinya bersemangat sekali kalau sudah

menjelang sore. Apakah ada harapan untuk ?summer love??"

tanya Reno lagi sambil tersenyum iseng.

"Jauh. Apalagi kelakuannya tidak sebagus tampangnya, jadi

aku rasa sama sekali tidak ada harapan ke sana," ujar Fay de?

ngan rasa kesal yang sebenar-benarnya.

"Oh ya? Apa saja yang ia lakukan yang membuat kamu ber?

pikiran seperti itu?" tanya Reno lagi.

Fay berpikir sebentar untuk memodifikasi ceritanya sedikit.

"Waktu baru kenalan saja, entah kenapa dia sudah tidak ramah

kepadaku. Kemudian di dalam kelas, waktu setiap murid di?

suruh membuat pertanyaan untuk dijawab oleh yang lain, dia

sengaja memberi pertanyaan sulit yang tak bisa kujawab."

"Wah, kalau sesuatu terasa terlalu berlebihan, biasanya yang

terjadi malah sebaliknya," ujar Reno.

Fay mengangkat bahu sambil lalu. Kalau saja Reno tahu,

! 1-7.130

pikirnya getir sambil membayangkan apa yang dilakukan Kent

kemarin. Tapi Reno tidak tahu, dan ia harus segera mengakhiri

topik ini kalau tidak ingin Reno jadi tahu karena ia tidak bisa

menahan mulutnya.

"Komputer sudah betul belum ya?" tanyanya mendadak se?

perti baru teringat.

Dengan lega ia melihat Reno menjawab pertanyaannya dan

sisa siang itu mereka isi dengan perbincangan ringan seputar

komputer dan situs-situs Internet yang menjadi favorit masingmasing.

Di sore hari, seperti biasa Fay tiba pukul 16.00 di rumah latih?

an. Sampai di depan rumah, ia tidak melihat mobil Bentley

hitam diparkir di depan pintu seperti biasanya. Tidak ada juga

kendaraan lain. Fay bertanya dalam hati bagaimana cara Kent

datang ke sini.

Huh. Mengingat anak itu, Fay langsung bete. Sebagian diri?

nya, tentunya. Sebagian yang lain sedang bersiap-siap bersolek

untuk menyambut Kent.

Setelah berganti baju dan menunggu di luar, ia agak heran

ketika tidak melihat satu orang pun di sana selain Lucas yang

berdiri di sisi mobil. Fay menghampiri Lucas dan bertanya apa?

kah dia tahu di mana Kent, tapi Lucas hanya mengangkat

bahu tanda tak peduli. Sepertinya tugasnya memang hanya meng?

antar, pikir Fay. Ia pun masuk ke rumah, mencari Kent di

ruang tengah, di dalam ruang kerja Andrew, bahkan ia mem?

beranikan diri membuka lemari rahasia di ruang kerja itu. De?

ngan sedikit takut ia mencoba-coba menggeser buku-buku un?

tuk membuka lemari itu. Ia terlompat ke belakang waktu pintu

itu mendadak terbuka dengan bunyi yang menurutnya lebih

keras daripada biasanya. Di ruang belajar itu pun tidak ada

Kent.

Fay meraih map Seena dan dengan iseng membolik-balik

! 1-7.131

halaman tentang Seena. Hari ini seharusnya ia mempelajari

silsilah keluarga Seena dari pihak ibu. Ia melihat bagan silsilah

keluarga Seena. Pandangannya otomatis terarah ke satu nama

selain Seena yang dilingkari spidol hitam, Alfred Whitman.

Pria itu menikah dengan adik ibu Seena yang bernama Zaliza.

Mereka tidak punya anak hingga Zaliza meninggal dunia.

Hanya itu yang bisa disimpulkan dari bagan ini. Fay mem?

balik halaman. Ternyata ada keterangan yang lebih lengkap

tentang keluarga Alfred Whitman.

Alfred menikah dengan Zaliza selama dua belas tahun. Per?

nikahan mereka dilangsungkan di Hotel The Westin yang

berbintang lima di Kuala Lumpur, dihadiri oleh kerabat Zaliza.

Mereka tinggal di London hingga Zaliza didiagnosis menderita

kanker. Zaliza meninggal dunia tiga bulan kemudian. Alfred

mempersembahkan rumah kaca yang terdapat di kediamannya

di London sebagai tempat peristirahatan terakhir mendiang

istrinya. Di tengah-tengah rumah kaca yang menjadi tempat
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

favorit mereka menghabiskan waktu, Zaliza dikuburkan. Sejak

kematian istrinya, Alfred pindah ke Paris.

Fay membaca keterangan itu berulang-ulang. Fakta bahwa

seorang pria menguburkan istrinya di tengah-tengah rumah

kaca sebagai persembahan terakhir bagi istrinya benar-benar

membuatnya terkesima. Pria ini tentunya sangat mencintai

istrinya. Ia langsung membayangkan Alfred sebagai seorang

pangeran dalam cerita dongeng.

Kalau Alfred seorang pangeran, lantas Andrew siapa? Ia lang?

sung bergidik dengan pikirannya.

Cepat-cepat Fay menutup map Seena dan keluar. Sempat

terpikir apakah ia sebaiknya lari saja sendiri di jalur itu tanpa

perlu menunggu Kent atau siapa pun datang dan memberi pe?

rintah. Tapi ide itu langsung disambut dengan tawa terbahakbahak oleh pikirannya sendiri.

Udah mulai gila lo, Fay, ujarnya dalam hati.

Mendadak Fay teringat dengan onggokan e-mail di Yahoo!

yang sudah saatnya ia balas. Sekelebat ingatan hari Senin

! 1-7.132

lewat, tapi akhirnya ia membulatkan tekad untuk membalas

e-mail-e-mailnya. Kalau besok Andrew mempermasalahkan hal

ini, ia akan berdalih bahwa bila ia tidak membalasnya segera

mereka semua malah akan jadi curiga, pikirnya lagi.

Jadi, sore ini akan Fay habiskan di kamar, menulis balasan

e-mailnya di atas secarik kertas sambil tidur-tiduran. Baru nanti

malam ia akan menyalinnya ke Yahoo!. Dengan semangat ia

naik ke kamarnya.

Kent melirik jamnya. Sudah pukul 17.30 dan pesawatnya ma?

sih berada di atas Swiss.

Ia mendesah.

Sejak tadi malam, baru sekarang ini ia sempat memikirkan

kewajibannya yang lain. Yang berseliweran di benaknya sejak

kemarin hanyalah komposisi-komposisi yang akan dimainkan

oleh kedua maestro idolanya itu. Dan tentunya komposisi yang

dimainkannya pagi tadi, Sonata A Minor dari Mozart. Sebuah

komposisi kelam yang digubah oleh Mozart setelah kematian

ibunya.

Sejak ia bangun tadi pagi yang ada hanya gelisah, muncul

karena antusiasme yang tak tertahankan untuk menyongsong

hari ini. Ia tersenyum sendiri, mengingat betapa cepat kege?

lisahan itu melarikan diri begitu jemarinya menyentuh tuts

piano. Bahkan rasa gugup akibat bermain di bawah pengamat?

an dua pasang mata maestro itu pun hilang begitu ia merasa?

kan hanya ada keheningan yang menunggu satu nada pembuka

dipecahkan. Hasilnya juga tidak jelek. Salah satu dari mereka

bahkan memujinya dengan berkata bahwa dia sendiri di umur

seperti Kent tidak bisa bermain komposisi itu sebagus dirinya.

Tapi itu tadi.

Sekarang ia harus menghadapi tugas yang diberikan paman?

nya.

Kent termenung. Pamannya tidak pernah melarang kegiatan?

! 1-7.133

nya berpiano, tapi tidak pernah setuju untuk menjadikannya

sebagai jalan hidup. Keinginannya untuk melanjutkan sekolah

musik di Salzburg tidak pernah berani ia utarakan, karena ia

sudah tahu jawabannya.

Bagi pamannya, COU tetap prioritas nomor satu. Yang lain

ada di urutan selanjutnya. Kali ini Kent merasakannya sendiri,

cita-citanya adalah prioritas kedua. Ia sendiri sebenarnya tidak

pernah terlampau banyak memikirkan pilihan yang ia punya.

Dibesarkan oleh pamannya sejak berumur tiga tahun, masa

depan Kent sudah ditorehkan di hadapannya. Ia hanya tinggal

menjalaninya dengan baik, tanpa bertanya. Pertanyaan yang

tidak pada tempatnya akan menyebabkan dirinya mendapat

masalah besar dari sang paman. Hukumannya tidak pernah

ringan, semakin berat dengan pertambahan umurnya. Jadi ia

belajar untuk diam dan patuh.

Kent meregangkan jemari kedua tangannya dan mengamati

jari-jari nan panjang itu. Fakta bahwa sampai sekarang kese?

puluh jari tangannya masih utuh dan masih bisa digunakan

untuk memainkan tuts piano sudah merupakan keajaiban meng?

ingat posisinya di COU masih sebagai agen lapangan. Jari yang

menekan tuts dengan elegan itu adalah juga jari yang meng?

genggam senjata api, memainkan pisau, dan bertempur.

Sekarang, satu lagi rencana pamannya yang harus ia jalani.

Kembali mendesah, pandangan Kent menyapu langit di luar

yang masih tampak terang.

Hanya langit itu yang terang. Hatinya sama sekali tidak bisa

melihat keindahan yang terpancar dari setiap bias sinar mata?

hari yang menggubah cahaya bagai menggodanya, karena hati?

nya masih tertinggal di Salzburg dengan nada dalam gubahan?

nya.

Ia setengah mengharap Fay sudah bosan menunggunya dan

sudah pulang. Atau pesawat yang dinaikinya ini jatuh di

Alpen.

Jangan, jangan yang terakhir, pikir Kent. Ia masih ingin meng?

ikuti workshop itu besok. Malam ini ia akan pergi lagi ke

! 1-7.134

Salzburg, menumpangi pesawat carter yang sama dengan yang

membawanya sekarang. Besok pagi ia akan mengikuti workshop

itu, tapi ia harus segera meninggalkannya setelah makan

siang.

Pikiran yang terakhir itu menyakitinya dan ia memaki dalam

hati, sambil menerawang kembali ke luar jendela pesawat. Be?

sok pamannya baru datang setelah makan malam. Sore hari ia

akan tiba lebih cepat, dan memberi materi hari ini dan besok

ke gadis itu. Mungkin ia hanya akan menyuruh Fay lari satu

kali saja besok supaya waktunya cukup, pikirnya.

Fay baru selesai makan malam dan sudah hampir tertidur di

tempat tidur empuk kamarnya ketika ia mendengar suara mobil

masuk ke pekarangan berbatu dan berhenti di depan rumah.

Pukul 19.30.

Melompat dari tempat tidur, ia menuju jendela dan meng?

intip keluar. Posisi jendela kamarnya persis menghadap ke

bagian depan rumah dan ia melihat Kent turun dari mobil de?

ngan tergesa-gesa. Fay segera memakai sepatunya dan setengah

berlari turun ke bawah saat ia mendengar suara tidak sabar

cowok itu meneriakinya untuk turun.

Uh, benar-benar mengesalkan anak ini, pikir Fay jengkel. Yang

telat dia, yang marah-marah dia juga.

Sesampainya di bawah, perasaan jengkelnya langsung hilang

bagaikan diisap oleh langit. Terkesima ia melihat Kent berdiri

di sana, memakai jas hitam dengan kemeja putih lengan pan?

jang, celana hitam, sepatu hitam. Sebuah dasi garis-garis yang

sudah dilonggarkan melingkari kerahnya, yang kini kancing

teratasnya sudah terbuka.

Fay mendadak tersadar ia sudah menatapi Kent entah de?

ngan pandangan seperti apa dan ia merasakan muka dan

telinganya panas. Saat ini ia benar-benar bersyukur warna kulit?

nya sawo matang.

! 1-7.135

"Tadi kamu sudah latihan lari?"

"B...belum," jawab Fay gelagapan.

"Kalau begitu, dua puluh push-up. Sekarang," perintah Kent

datar.

"Tapi aku menunggu kamu datang"

"Itu bukan alasan. Lakukan sekarang."

Dadanya sakit, penuh rasa sakit seperti yang ia rasakan tadi

malam. Fay menggigit bibirnya. Matanya terasa panas. Dengan

air mata yang mulai terasa akan tumpah, ia mengambil posisi

push-up dan melakukan gerakan tanpa berhitung dengan ken?

cang. Di hitungan kelima, air matanya menetes ke lantai.

"Sekarang kamu latihan lari di jalur biasa. Tiga puluh lima

menit."

Fay langsung berlari ke luar, diterangi matahari malam yang

terangnya seperti senja di Jakarta.

Sama seperti kemarin, hari ini ia juga dipulangkan lebih

cepat, dengan aktivitas yang berkisar pada lari dan push-up.

Fay ingat instruksi Andrew kemarin, bahwa hari ini ia seharus?

nya menerima topik baru, Analisis Perimeter. Ingin rasanya ia

menanyakan hal itu ke Kent, tapi lidahnya serasa kelu ketika

sudah berhadapan dengan pemuda itu. Akhirnya setelah Kent

memberi instruksi untuk datang lebih cepat besok, ia buru-buru

masuk ke mobil tanpa bertanya sama sekali.

Kalau ada apa-apa, itu toh bukan salahnya, pikir Fay me?

nenangkan diri sendiri.

Di rumah, Fay membuka komputernya dengan perasaan agak

berdebar-debar, tapi memutuskan untuk tetap maju pantang

mundur.

Ia login ke Yahoo! dengan debar yang semakin kencang. Te?

nang Fay, ujarnya dalam hati.

Ternyata ada tiga e-mail baru. Dengan tidak sabar ia mem?

baca isinya satu per satu.

! 1-7.136

From Papa

Cc Mama

Hari Selasa

Fay, Papa sudah di Thailand. Kata Mama, kamu

belum kasih kabar ya? Terlalu asyik sepertinya di Paris.

Segera beri kabar ya.

Papa

Fay berdecak kesal. Garing betul, lagi pula

pertanyaannya tidak perlu ditanyakan, pikirnya sambil

bersungut-sungut.

Tangannya dengan tidak sabar mengarahkan

mouse-nya ke e-mail kedua.

From Lisa

Cc Cici, Dea

Hari Rabu

Wooooiiiii. Ke mana sih ni anak? Fay, masih hidup

nggak sih?

Lisa

Fay tersenyum. Tak sabar rasanya ingin membalas

e-mail si bawel yang satu ini. E-mail selanjutnya mem?

buat senyumnya makin lebar.

From Cici

Cc Lisa, Dea

Hari Rabu

Fay, gue udah di S?pore nih. Kok e-mail kita belum

ada yang dibalas sih? Kasih nomor telepon lo dong spy

bisa gue telepon.

Luv,
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cici

Ia berhenti sejenak, menunggu dering telepon dengan ta?

ngan yang sudah dingin.

! 1-7.137

Selang beberapa detik, setelah dering yang ditunggu tidak

datang, tangannya langsung menari di kibor, dimulai dengan

membalas e-mail teman-temannya.

To Cici, Lisa, Dea

Halo, gals. G kangen banget deh sama lo semua.

Sori ya baru bisa balas sekarang. Hari Minggu malam

g udah capek banget abis jalan-jalan. Apalagi ditambah

dengan jetlag.

Trus, hari Senin komputer yang ada di kamar g

rusak. Kena virus kayaknya, dan baru dibetulin hari

ini.

G agak bingung deh mau cerita apa. Soalnya semua?

nya seru ?

Di tempat kursus, teman sekelas g ada delapan orang.

Ada cewek yang asli nyebelin banget, namanya Erika.

Pasti lo pada ngetawain g ya, jauh-jauh ke Paris ketemu?

nya yang nyebelin kayak dia juga.

Tapiiiii di kelas g juga ada cowok keren banget,

namanya Reno. Guess what, duduknya persis di sebelah

g ? dan tiap siang makannya bareng g ?

Tapi jangan nyangkain g ngelaba ya walaupun

seneng juga dekat-dekat cowok yang kerennya kayak dia.

Buat g sih dia terlalu dewasa, mungkin kayak abangnya

si Dea.

Oh iya. Dea, trik loe ngebalik bantal abis mimpi

buruk nggak manjur tuh, tadi pagi malah gue nggak bisa

tidur lagi.

Udah ah, itu dulu. Tangan g udah pegel nih.

Ciaooo

Fay membaca e-mail itu sekali lagi dan tanpa terasa bebe?

rapa tetes air mata menyelinap keluar di kedua ujung matanya.

Ada perasaan bersalah melihat kebohongan yang telah diumbar

kepada teman-teman tersayangnya. Alasan komputer rusak ka?

! 1-7.138

rena virus adalah kebohongannya yang paling ringan kalau

dibandingkan dengan kesan bahagia penuh kepalsuan yang

membalut e-mail itu.

Kalau saja ia bisa berkata jujur, isi e-mailnya akan dipenuhi

bukan dengan keceriaan dan kebahagiaan, tapi dengan keluh

kesah, tangisan, dan jeritan putus asa. Tapi bagaimana caranya

mencurahkan isi hati yang sebenarnya tanpa membuka kebenar?

an yang ditabukan?

Sebuah pertanyaan retoris, pikirnya.

Ia harus berpuas hati dengan kebohongannya itu dan ber?

harap teman-temannya bisa menerima kepalsuan itu.

Bahkan untuk memberi nomor telepon Jacque saja ia tidak

berani. Ia yakin yang akan dilakukan begitu mendengar suara

temannya di telepon adalah menangis, dan tentunya itu tidak

boleh terjadi kalau ia tidak ingin mereka curiga ada yang tidak

beres. Sempat terpikir untuk menulis sedikit tentang Kent,

yang membuat jiwanya melayang tapi yang tindak-tanduknya

selalu membuat hatinya terempas berkeping-keping. Tapi lagilagi tidak jadi ia lakukan, karena hanya akan menambah daftar

kebohongannya kepada teman-teman yang paling disayanginya

itu. Apalagi mereka pasti akan bertanya banyak hal tentang

pemuda itu, mulai dari di mana Fay dan Kent bertemu, apa

saja yang telah mereka lakukan, seperti apa tampangnya, dan

sebagainya, dan pasti tidak semuanya bisa Fay jawab.

Fay buru-buru menghapus butir-butir air mata yang ada un?

tuk mencegah mereka memanggil anggota koloninya yang lain.

Sekarang, ia mau menulis e-mail untuk papa dan mamanya.

To Mama, Papa

Halo, Ma, Pa,

Sori baru sempat balas. Komputer Jacque rusak dan

baru dibetulkan hari ini. Jadwalku di sini memang padat

sekali. Pagi kursus dan sorenya harus mengerjakan tugas

dan PR. Capek juga, tapi senang sih jadi tambah te?

man.

! 1-7.139

Belum sempat jalan-jalan terlalu banyak, baru di se?

kitar Eiffel saja, itu pun hanya dari luar karena kalau

mau masuk antreannya panjang.

Papa & Mama apa kabar? Kapan pulang ke Jakarta?

Udah dulu ya. Bye.

Di saat yang sama, Reno berada di dalam Metro yang mem?

bawanya ke stasiun Montgallet.

Tiba lima belas menit kemudian, ia keluar dari kereta dan

menyusuri lorong jalan keluar yang menghubungkan perhentian

itu dengan dunia di atas. Tidak menemukan apa yang dicari,

ia kembali turun dan masuk ke jalan bawah tanah itu. Di pe?

ron, Reno melihat dua petugas sedang patroli, satu pria dan

satu wanita. Ia langsung menghampiri mereka, memasang wa?

jah seramah dan sesimpatik mungkin.

Tersenyum ramah, Reno berkata dalam bahasa Prancis, "Se?

lamat sore, apa kabar? Maaf kalau saya mengganggu kesibukan

Anda berdua. Saya harap Anda tidak keberatan kalau saya

bertanya sedikit."

Kedua petugas itu membalas senyumnya, dan petugas yang

wanita langsung berkata, "Tidak masalah. Ada yang bisa kami

bantu?"

"Begini. Adik saya yang baru berumur tiga belas tahun, tadi

pagi lewat di stasiun ini. Ada seorang pria dewasa yang men?

coba mengganggunya, sayangnya dia tidak ingat sama sekali

seperti apa orangnya."

Reno melihat kedua petugas itu mendengarkan ceritanya

dengan intensitas yang bertambah besar, dan ia pun me?

lanjutkan, "Untung saja ada beberapa orang yang meneriaki

pria itu, sehingga pria itu langsung pergi. Menurut adik saya,

penolongnya itu adalah beberapa orang yang meminta sumbang?

an kepada para pejalan kaki. Tapi karena dia masih sangat

ketakutan, dia langsung saja pergi, bahkan tanpa mengucapkan

! 1-7.140

terima kasih," kali ini wajah Reno menunjukkan penyesalan

yang dalam.

Petugas yang pria langsung bertanya, "Apakah Anda ingin

melaporkan kejadian ini secara resmi kepada polisi?"

"Tidak, Pak, karena adik saya sama sekali tidak ingat ciriciri pelakunya. Sebenarnya saya hanya ingin mengucapkan te?

rima kasih secara pribadi kepada para penolong adik saya. Tapi

saya lihat, mereka sudah tidak ada. Apakah Bapak atau Ibu

kebetulan tahu siapa mereka atau di mana saya bisa menemui

mereka?"

Petugas pria menjawab, "Banyak kelompok yang melakukan

itu, sebagian rutin dan sebagian lain hanya pada waktu-waktu

tertentu saja. Yang tadi pagi itu adalah kelompok yang me?

minta sumbangan rutin, menurut mereka untuk orang-orang di

Nigeria. Tapi mereka selalu berpindah-pindah dari satu stasiun

ke stasiun lain."

Petugas wanita menambahkan, "Sebentar. Biasanya kalaupun

berpindah-pindah, mereka hampir selalu ada di jalur kereta

yang sama. Mungkin bisa kita bantu cek ke teman-teman

lain."

Petugas wanita itu meraih radio dan menyampaikan pertanya?

annya ke operator, apakah ada "grup Nigeria" di stasiun lain

di jalur itu. Tidak lama kemudian, Reno sudah mendapatkan

jawabannya, mereka ada di perhentian kedua dari tempatnya

sekarang.

Dengan penuh rasa terima kasih, kali ini tidak bersandiwara,

Reno menyalami kedua petugas itu, sambil mengucapkan sela?

mat bertugas. Segera ia masuk ke kereta berikutnya, menuju

perhentian Faidherbe Chaligny.

Sampai di tujuan, segera setelah melalui mesin pengecekan

tiket, Reno melihat mereka. Ada empat orang, masing-masing

membawa sebuah alas tulis dari kayu yang di atasnya terdapat

kertas untuk menulis nama bila memberi sumbangan. Reno

menebak mereka semua berumur di awal dua puluhan, dengan

kata lain seumur dengannya. Dua orang dari mereka memakai

! 1-7.141

jaket, satu jaket berbahan parasut dan satu lagi bahan kaus

seperti jaket olahraga. Yang terakhir tampaknya paling senior

di antara mereka.

Reno berjalan mendekati si senior, dan mendadak terpeleset

tepat ketika si senior itu menyodorkan kertas beralas papan ke

hadapannya. Setengah limbung ia menabrak pria itu sebelum

akhirnya jatuh ke lantai, beserta papan yang tadi dipegang si

senior.

Si senior langsung berteriak, "Kamu mabuk ya?"

Berusaha berdiri, sambil memegangi papan itu, Reno me?

minta maaf dalam bahasa Prancis, "Maaf, maaf, saya memang

ceroboh sekali. Tadi saya sedang berpikir untuk meraih papan

ini ketika kamu berikan ke saya dan saya mendadak terpeleset.

Saya memang menderita penyakit ?ketidakseimbangan parsial?

karena ada saraf di gendang telinga saya yang rusak. Maaf

sekali ya." Reno kemudian membaca tulisan di papan itu.

Pria itu tidak menyia-nyiakan kesempatan, "Tidak masalah.

Kami kebetulan sedang mengumpulkan dana untuk saudarasaudara kami yang kurang beruntung di Nigeria. Mau ikut

menyumbang?"

"Tentu. Tadi sebenarnya saya sedang memikirkan mau me?

nyumbang berapa ketika terpeleset," jawab Reno sambil me?

rogoh kantongnya, mengeluarkan uang sepuluh Euro. Sambil

menuliskan jumlah uang yang disumbangkan di kertas itu,

Reno membuka percakapan, "Wah, kalau dilihat dari daftar

ini, sudah lumayan juga sumbangan yang masuk."

Pemuda itu menjawab, "Tidak terlalu buruk untuk hari ini,

tapi masih kurang untuk membantu semua saudara-saudara

kami di Nigeria."

"Jam berapa kalian biasanya selesai?" tanya Reno sambil

lalu.

"Sebentar lagi kami akan pulang."

"Oh ya, apakah kalian tinggal jauh dari sini?" tanya Reno

lagi. Ia sudah selesai menulis, tapi baik kertas maupun uang

sepuluh Euro belum ada yang diserahkan kembali ke pria itu.

! 1-7.142

Pria itu sekilas melirik ke tangan Reno yang masih belum

bergerak dari sisi tubuhnya, dan menjawab, "Tidak juga, sekitar

dua blok dari sini, ke arah selatan. Kamu sendiri bagaimana,

apakah tinggal di sekitar sini?"

Reno memberikan kertas dan uang itu sambil menjawab,

"Tidak terlalu jauh, sekitar dua blok juga dari sini, tapi ke arah
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berlawanan. Oke, kalau begitu, bon chance." Reno ber?

jalan meninggalkan pria itu, naik ke tangga yang membawanya

keluar dari jalan bawah tanah ke area terbuka di atas, kemu?

dian berbelok ke arah yang disebutkan pria tadi.

Ia berjalan menyusuri jalan itu sampai akhirnya menemukan

apa yang dicari. Sebelum sampai ke akhir blok pertama, tidak

jauh dari stasiun kereta tempatnya datang, Reno menemukan

sebuah gang kecil di sebelah kiri antara dua gedung yang men?

jadi akses ke area servis kedua gedung tersebut. Ada sebuah

kontainer berukuran sedang yang ada di mulut gang itu, me?

nutupi hampir separuh jalan masuk. Reno bisa melihat bahwa

ujung jalan itu buntu, tertutup dinding gedung lain yang ada

di sisi lain yang sejajar dengan jalan utama yang tadi dia

susuri. Di sisi dinding yang ada di kiri dan kanannya, masingmasing terdapat sebuah pintu yang hanya bisa dibuka dari

dalam. Ia berbalik, berjalan kembali ke arah stasiun Metro

tempatnya datang, tapi berhenti tidak jauh dari mulut gang

yang tadi ia tinggalkan, tepat di balik sebuah pohon besar. Se?

telah yakin dengan posisinya, ia menunggu dengan sabar.

Sepuluh menit kemudian, Reno melihat keempat pria tadi

berjalan dengan santai. Mereka berjalan dalam dua baris, si

senior berjalan di depan dengan temannya yang tidak memakai

jaket, dua lainnya berjalan di belakang mereka.

Reno membalikkan badan, membiarkan mereka lewat di

belakangnya. Setelah mereka lewat, Reno segera berjalan meng?

ikuti mereka dengan menjaga jarak. Ketika mereka sudah persis

berada di samping gang kecil tadi, Reno mendadak berlari

maju menerjang salah satu pria yang berjalan di belakang, me?

! 1-7.143

ninju tengkuknya dari belakang sehingga dia terjerembap ke

depan, menabrak si senior yang berada di depannya. Proses itu

berlangsung sangat cepat, disaksikan hanya oleh teman yang

tadi berjalan bersisian dengannya. Butuh waktu beberapa detik

sampai mereka semua menyadari apa yang terjadi. Dimulai dari

tatapan tak percaya pemuda yang berjalan di sebelahnya ketika

melihat temannya jatuh, si senior yang serta-merta menengok

ke belakang dengan ekspresi kaget, temannya yang menunjuk

ke arah dirinya sambil berbicara, hingga pandangan mereka

yang berubah bagaikan banteng yang melihat lambaian selen?

dang merah sang matador. Sementara itu terjadi, Reno berjalan

mundur, dan menghilang masuk ke gang.

Segera setelah tersadar, mereka langsung maju menyerbu

menyusul Reno ke arah gang sempit. Mereka mendadak ber?

henti dengan wajah puas ketika melihat gang itu buntu. Pe?

muda yang tadi dipukul Reno sekarang juga sudah masuk ke

gang, berdiri paling belakang sambil memegang tengkuknya.

Si senior maju ke depan, kedua tangannya ada di dalam

saku jaket.

"Hei, kamu orang yang di stasiun tadi. Apa masalahnya?"

Reno diam tanpa ekspresi.

Si senior tampak semakin marah, lalu bergerak maju, "Hei,

kamu tuli ya? Jangan belagak tolol. Mati kau!"

Reno tidak bergerak satu inci pun.

Si senior maju dengan marah, kali ini siap menyerang. Dia

mengeluarkan tangannya dari kantong, tapi Reno lebih siap.

Kaki Reno langsung melayang, tepat mengenai tangan si senior

yang sudah memegang pisau. Pisau yang sudah diketahuinya

ada di saku kanan jaket pria itu ketika tadi ia menabraknya di

stasiun Metro untuk mencari tahu senjata apa yang dimiliki si

pemimpin. Pisau itu terlempar ke tanah, dan satu detik kemu?

dian pria itu bernasib sama.

Dua temannya kaget dengan pemandangan itu dan maju

dengan membabi buta. Reno dengan cepat melayangkan kem?

bali kaki kanannya, kali ini lurus ke samping, tepat mengenai

! 1-7.144

perut penyerangnya. Kaki kanan itu kemudian langsung men?

jadi tumpuan sementara Reno berputar dengan sempurna de?

ngan kaki kiri yang mengayun, tepat mengenai muka penye?

rang berikutnya.

Tinggal satu pria lagi, yang tadi pertama kali dihantamnya

di jalan. Pria itu melotot melihat tiga temannya terkapar di

jalan dan mundur teratur, bersiap untuk kabur. Tapi Reno le?

bih cepat. Ia berlari mengejar pria itu dan kepalannya melaju,

kembali mengenai belakang kepala pria itu. Tidak cukup untuk

membuatnya pingsan, tapi cukup untuk membuatnya kehilang?

an keseimbangan sehingga jatuh ke tanah. Satu tendangan

berikutnya ke wajah membuatnya tidak mampu berdiri, menge?

rang kesakitan dalam kondisi setengah sadar.

Reno melihat ke belakang, ke arah ketiga pria yang sudah

dilumpuhkannya. Si senior masih terbaring di tanah tapi sudah

mulai bergerak, memiringkan posisinya untuk memudahkannya

bangun. Pria yang tadi merasakan tendangannya di perut seka?

rang juga sedang bersusah payah bangun.

Reno berjalan menuju si senior. Urusannya belum selesai.

Sambil lalu ia melayangkan tangannya untuk memukul teng?

kuk pria yang mulai bangun itu, mendaratkan pukulan tegak

lurus yang serta-merta membuat pria itu terjerembap kembali

ke tanah, kali ini sepenuhnya hilang kesadaran. Sesampainya

di depan si senior, Reno menendang perutnya hingga pemuda

itu berteriak kesakitan. Kemudian ia mengambil pisau lipatnya

sendiri yang selalu ada di kantong celananya. Satu tekanan di

tombol pengaman dan mata pisau itu melesat keluar dari kan?

dangnya.

Pisau itu dipegang di tangan kanannya sementara tangan

kirinya menarik lengan si senior, memaksanya berdiri. Kemu?

dian dilemparkannya pria itu ke dinding yang berada di balik

kontainer dan ditempelkannya pisau itu ke leher pria itu. Pria

itu membuka mulutnya dengan panik, "Sebentar, apa salah

kami?"

Reno menjawab datar, "Tidak ada. Saya cuma mau kalian

! 1-7.145

tidak berkeliaran di semua stasiun Metro sepanjang Jalur 8 se?

lama dua minggu ke depan. Apakah bisa dimengerti?"

"Tidak masalah," ujar si senior ketakutan.

"Yakin kamu bisa melakukannya?" tanya Reno lagi.

"Bisa, tidak masalah. Kami bisa mencari tempat lain," jawab?

nya lagi.

"Bagus. Kalau begitu kalian tidak akan melihat saya lagi."

Reno menjauhkan pisaunya dari leher pria itu dan mundur

perlahan. Kemudian ia berbalik dan pergi, berjalan ke arah

stasiun Metro yang sama, tapi melewatinya dan berjalan terus

hingga satu blok kemudian. Ia berhenti di halte bus dan naik

bus pertama yang membawanya menjauhi daerah tempatnya

berada saat ini.

Hari Jumat sore, sebagaimana instruksi Kent kemarin, Fay da?

tang lebih cepat setengah jam dari biasa. Ia tadi meminta izin

ke M. Thierry dengan bahasa Prancis terbata-bata untuk pu?

lang lebih dulu. Alasannya, tuan rumahnya di sini, Jacque &

Celine, ingin mengajaknya pergi ke Nice. Sambil tersenyum

ramah dan penuh semangat, M. Thierry langsung mengeluarkan

rentetan kalimat berbahasa Prancis yang hanya sebagian bisa

ia tangkap, bahwa Nice adalah kota pantai yang sangat me?

narik dan ada juga ucapan yang kemungkinan artinya "selamat

berlibur".

Sampai di depan rumah latihan, ia melihat Bentley hitam

Andrew ada di sana dan serta-merta ia merasa ada sesuatu ber?

putar dalam perutnya sejenak. Rasa takut sepertinya memang

selalu menyelimutinya bahkan hanya dengan menyadari ke?

beradaan pria itu.

Ia baru saja melangkahkan kaki ke pijakan tangga pertama

untuk menuju kamarnya di atas, sewaktu telinganya menangkap

suara-suara dari ruang tamu di sebelah kirinya. Fay bergerak

mendekati jalan masuk ke ruang tamu dan melongokkan ke?

! 1-7.146

palanya sedikit. Di ruangan itu ada Andrew dan Kent berdiri

berhadap-hadapan. Mendadak Andrew melayangkan satu pukul?

an di perut Kent, membuat pemuda itu mengeluarkan suara

kesakitan yang tertahan. Dia langsung jatuh dengan posisi ber?

lutut sambil membungkukkan badan, memegang perutnya.

Fay menahan napas.

Andrew berkata, "Saya baru saja menerima laporan dari

kepala keamanan rumah bahwa kemarin pagi-pagi buta kamu

pergi meninggalkan rumah dan tidak pulang ke rumah tadi

malam. Kamu tentunya tahu bahwa tidak kembali ke rumah

tanpa izin adalah pelanggaran yang cukup berat."

Andrew berhenti sejenak dan melihat ke arah Kent yang

masih memegang perutnya sambil terduduk di lantai. Kemudian

dia melanjutkan, "Tapi bukan itu yang ingin saya permasalah?

kan sekarang. Saat ini, yang ingin saya ketahui adalah apakah

kamu melakukan tugas yang saya instruksikan untuk mengawasi

Fay?"

"Ya, saya melakukan apa yang Paman suruh," jawab Kent

susah payah.

Andrew memegang kedua lengan Kent, memaksanya berdiri,

dan ketika dia sudah tegak kembali berdiri, Andrew kembali

melayangkan tinjunya ke ulu hati cowok itu.

Fay memekik dan refleks tangannya menutup mulutnya.

Suaranya tertutup teriakan tertahan Kent. Tubuh pemuda itu

ambruk ke depan, lututnya tidak mampu menopang badannya,

dan dia pun berlutut di lantai sambil mengerang.

Andrew kembali berkata, kali ini nada ancaman terdengar

jelas dari ucapannya, "Tidak pulang ke rumah setelah jam ma?

lam memang pelanggaran yang cukup berat, tapi masih tidak

ada apa-apanya dibandingkan dengan kelalaian dalam tugas,

dalam bentuk sekecil apa pun. Berharaplah saya tidak menemu?

kan bukti bahwa kamu lalai dalam tugas, atau kamu berhadap?

an dengan saya tidak di sini, tapi di kantor." Kemudian pria

itu meninggalkan Kent yang masih bersimpuh di lantai, menuju

ruang kerjanya.

! 1-7.147

Fay tidak bergerak. Ia masih terpaku di tempatnya, menyak?

sikan Kent berdiri dengan susah payah. Wajahnya merah, me?

ngernyit menahan sakit.

Ketika pemuda itu mulai bergerak ke arahnya, cepat-cepat

Fay naik tangga dengan dada yang masih berdebar-debar ka?

rena apa yang dilihatnya tadi.

Setelah berganti baju, Fay turun ke bawah dan bertemu

Andrew tepat ketika ia sampai di foyer.

Andrew menyapanya, "Halo, Fay, kamu datang lebih cepat

hari ini. Apakah sekolah selesai lebih cepat dari biasanya?"

"Ya," jawab Fay cepat dengan jantung yang mulai berdebar.

Ia tidak yakin apakah yang dilakukannya tepat. Ia tidak biasa
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbohong.

"Untuk target kali ini, saya harap kamu bisa menyelesaikan

jalur itu dalam waktu dua puluh lima menit. Garis akhirnya

adalah ruang kerja saya," Andrew memberikan instruksinya.

Fay bergerak melakukan apa yang disuruh dan sambil berlari

sepanjang jalur itu pikirannya memutar ulang kejadian yang

baru ia lihat. Perutnya mulas mengingat bagaimana Andrew

dengan datar memukul Kent, padahal pria itu belum tahu

apakah Kent melanggar perintahnya atau tidak. Ekspresi wajah

Kent saat terkena pukulan itu juga masih tergambar dengan

jelas dalam ingatannya. Rasanya pasti sakit sekali, pikirnya sam?

bil ikut mengernyitkan wajah.

Ia sekarang mulai menyesali dirinya yang tidak pikir panjang

waktu menjawab pertanyaan Andrew tadi. Seharusnya tadi aku

bilang saja kalau hari ini datang cepat karena diinstruksikan seperti

itu oleh Kent, pikirnya penuh sesal. Pasti Andrew akan lang?

sung bertanya kenapa, dan ia bisa dengan polos menjawab

bahwa kemarin Kent datang telat. Tapi pasti Kent akan men?

dapat masalah besar. Tadi ia dengar sendiri Andrew berkata

akan menghukumnya dengan keras kalau ketahuan Kent me?

! 1-7.148

lalaikan tugasnya. Fay bertanya dalam hati apakah keterlambat?

an Kent kemarin bisa dikategorikan melalaikan tugas dan ia

pun bergidik sendiri karena tahu jawabannya.

Lagi pula, mana mungkin ia mengadukan hal itu, seperti

anak SD mengadukan temannya? Tapi dia kan bukan teman,

pikir Fay lagi. Apalagi sejak pertemuan mereka dua hari yang

lalu, belum sekali pun pemuda itu berbaik hati. Tapi mengingat

perlakuan Andrew kepadanya tadi, rasanya ia tidak tega. Fay

menggeleng, frustrasi dengan perdebatan dalam pikirannya sen?

diri yang tak berujung.

Fay melirik jamnya sesaat sebelum masuk ke ruang kerja

Andrew. Setengah tak percaya ia melihat hanya terlambat tiga

menit.

Sampai di dalam ruangan, ia melihat Andrew berdiri di te?

ngah ruangan dan Kent duduk di sofa sambil menunduk.

Tanpa berkata-kata, Fay langsung melaksanakan hukuman?

nya.

Setelah Fay berdiri, Andrew bertanya, "Apa yang sudah

kamu pelajari dalam dua hari terakhir ini?"

Fay kaget dengan pertanyaan itu. Dari sudut matanya ia me?

lihat Kent mengangkat kepala dan menegakkan tubuh.

Fay berusaha menjawab dengan biasa tapi bisa merasakan

napasnya mulai pendek-pendek dan darahnya mengalir lebih

deras, "Seperti biasa, dimulai dengan lari, kemudian membahas

tentang Seena."

"Bagaimana dengan topik analisis perimeter?" Andrew me?

natap Fay dengan lekat.

"Tidak sempat diberikan, karena saya minta izin untuk isti?

rahat sebentar karena sakit kepala," jawab Fay. Sebuah ke?

bohongan bodoh yang meluncur begitu saja dari mulutnya.

Kepalang basah, keluhnya dalam hati. Ia merasa suaranya

mulai bergetar, tapi satu hal yang ia tahu dari sebuah buku

yang pernah dibacanya, sebagian besar kebohongan di dunia

ini terbongkar karena tatapan, setelah itu baru bahasa tubuh

yang lain. Jadi, walaupun debar jantungnya sudah tidak keruan,

! 1-7.149

ia tetap berusaha menatap Andrew lurus tanpa kedip, semen?

tara hatinya menyumpahi kebodohannya memulai kebohongan

ini.

"Baik. Kalau begitu mari kita lihat apa saja yang sudah

kamu pelajari. Saya akan memberi kamu pertanyaan, dan kamu

punya tiga detik untuk memikirkan jawabannya. Ada pertanya?

an?"

"" Tanpa sadar Fay menatap Andrew dengan pandangan

terperanjat.

Andrew menatapnya dengan tajam dan bertanya, "Ada

alasan kenapa saya tidak bisa melakukannya?"

"Tidak ada, tidak masalah," jawabnya gugup. Fay mengumpat

dalam hati. Kemarin Kent memberinya lima detik untuk setiap

pertanyaan dan itu pun ia hanya betul separuhnya. Jantungnya

sekarang mulai berlari, adrenalin berpacu dalam aliran darah?

nya. Dari sudut matanya, ia bisa melihat Kent mulai gelisah.

"Kita mulai sekarang... "

Kent menatap Fay yang berusaha menjawab pertanyaan paman?

nya. Ia tahu gadis itu gentar dan ketakutan, tapi dia berusaha

menutupinya.

Perasaannya campur aduk. Sebagian dirinya mengagumi ke?

gigihan gadis itu tapi sebagian dirinya marah. Marah kepada

dirinya sendiri, yang membiarkan kejadian yang ada di depan

matanya sekarang berlangsung tanpa berbuat apa-apa. Marah

kepada gadis itu, karena setelah apa yang menimpanya, dia

masih mempunyai kebesaran hati untuk melakukan pengor?

banan ini. Egonya terusik dengan fakta bahwa gadis yang su?

dah sengaja dibuatnya sengsara selama dua hari ini memilih

untuk diam dan tidak mengatakan apa-apa tentang kesalahan

dirinya dan sekarang malah menemui kesulitan akibat keputus?

annya itu.

Kent mencoba menenangkan diri dengan berpikir bahwa itu

! 1-7.150

adalah salah gadis itu sendiri, tidak ada yang menyuruhnya

untuk berbohong. Tapi rasa gelisah yang muncul sama sekali

tidak bisa disangkalnya.

Lima pertanyaan pertama dari Andrew adalah pertanyaan

yang sama dengan yang diberikan Kent hari Rabu malam. Fay

menjawab dengan lancar dan dengan heran Kent mendapati

dirinya sangat lega.

Tubuhnya menegang ketika mendengar pertanyaan keenam.

Pamannya sepertinya mulai beranjak ke topik yang seharusnya

diberikannya kemarin, yaitu tentang peran Alfred dalam keluar?

ga Seena dan kepribadian Seena. Agak terkejut Kent men?

dengar Fay tahu bahwa Alfred pindah ke Paris setelah kemati?

an istrinya. Pertanyaan ketujuh mengenai lokasi pernikahan

Alfred dan Zaliza juga secara mengejutkan dijawab dengan

benar oleh Fay.

Harapan Kent mulai tumbuh, tapi pupus di pertanyaan ke?

delapan, ketika pamannya meminta Fay untuk menyebutkan

makanan apa saja yang membuat Seena alergi. Dilanjutkan de?

ngan pertanyaan berikutnya, dan berikutnya, dan berikutnya.

Akhirnya setelah enam pertanyaan berturut-turut tidak bisa

dijawab oleh Fay yang saat ini sudah menjadi pucat pasi,

Andrew berhenti.

Kent menunduk, menunggu.

"Kent, berdiri di sini," kata pamannya sambil menunjuk ke

sebelah Fay.

Kent melakukan apa yang disuruh.

"Hasilnya benar-benar tidak bisa diterima," Andrew menatap

Fay dengan tajam. Fay sama sekali tidak berani membalas tatap?

annya, dan hanya melihat lurus ke depan, menembus dada

Andrew seolah pria itu tidak nyata.

Andrew beralih menatap Kent.

"Dan itu bukan kesalahan satu orang. Kamu seharusnya juga

memastikan bahwa materi yang kamu berikan sudah diterima

dan dimengerti dengan baik."

Kent tidak berkata-kata. Ia tahu pernyataan pamannya ada?

! 1-7.151

lah hal mutlak yang percuma untuk dibantah. Apalagi kali ini

ia memang punya porsi yang sangat besar dalam kesalahan

itu.

Andrew melanjutkan, "Besok pagi kamu dan Fay akan pergi

ke Nice. Cari waktu yang tepat untuk kembali membahas se?

mua topik itu sehingga Fay bisa menghafalnya luar kepala.

Hari Minggu pagi, saya akan memberikan tes ini sekali lagi.

Catat baik-baik Kent, untuk setiap hukuman yang akan di?

terima oleh Fay, kamu akan mendapatkannya dua kali lipat.

Jadi lakukan cara apa pun supaya dia bisa melakukannya de?

ngan baik. Mengerti?"

"Ya, Paman," jawab Kent pelan.

Andrew beralih ke Fay,

"Kamu mengerti?"

"Ya," Fay menjawab dengan suara tercekat di tenggorokan.

"Bagus." Andrew berjalan ke meja kerjanya dan menge?

luarkan sesuatu dari laci.

Fay menahan napas melihat apa yang dipegang pria itu. Se?

buah kayu seperti penggaris dengan panjang sekitar tiga puluh

senti, hanya saja berpenampang bundar, dengan diameter ha?

nya satu senti.

"Ini saya lakukan supaya kalian benar-benar mengerti apa

yang saya katakan, dan supaya kalian tahu saya sama sekali

tidak main-main dan seharusnya kalian juga begitu," kata

Andrew keras. Ia menoleh kepada Fay, "Berikan tangan kiri?

mu."

Fay mengangkat tangan kirinya dengan ragu. Andrew lang?

sung menyambar dan mencengkeram tangannya, membalik te?

lapak tangannya sehingga menghadap ke atas, dan sebelum Fay

sempat berpikir, kayu itu mengayun dengan bunyi "wusss" mem?

belah udara dan berakhir dengan satu bunyi keras yang tidak

pernah dia dengar sebelumnya dengan rasa seperti membelah

telapak tangannya juga.

Fay menjerit, tangannya langsung ia kepit di bawah lengan

kanannya, tapi sama sekali tidak membantu mengurangi sakit?

! 1-7.152

nya. Telapaknya terasa menebal, panas berdenyut-denyut hingga

ke tulang. Dan sekarang tangannya gemetar tidak terkontrol.

Andrew beralih ke Kent yang langsung memberikan tangan?

nya tanpa disuruh. Terdengar bunyi kayu menebas tangan yang

segera disusul oleh bunyi kedua. Kent sama sekali tidak ber?

suara.

Andrew berkata, "Untuk satu hukuman yang diterima Fay,

Kent akan menerima dua kalinya. Saya rasa sudah cukup jelas

apa artinya bagi kalian berdua. Sekarang, saya beri kalian

waktu dua puluh menit untuk menyelesaikan jalur di luar."

Andrew mengamati dari jendela, memperhatikan Fay dan Kent

menghilang masuk di antara pepohonan yang menaungi jalur

lari yang mereka tempuh.

Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja ter?

jadi. Matanya terlalu terlatih untuk dikelabui oleh seorang

gadis yang masih pemula di arena ini. Bahwa gadis itu ber?

bohong bisa langsung diketahuinya. Tapi kenapa? Kenapa Fay

mau bersusah payah berbohong untuk menutupi kesalahan ke?

ponakannya? Fay tidak bodoh, pasti dia tahu ada konsekuensi
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berat yang menantinya bila tertangkap basah berbohong. Tapi

kenapa dia tetap melakukannya?

Tidak sulit untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya.

Sudah jelas bahwa Fay tidak menerima semua materi yang se?

harusnya diajarkan oleh Kent. Tidak mungkin Fay yang me?

langgar aturannya, karena ia tidak menerima laporan adanya

penyelewangan protokol dari Lucas. Kemungkinannya tinggal

satu, Kent yang sudah melanggar aturannya, mungkin dia ter?

lambat datang, pulang lebih awal, atau tidak datang sama se?

kali. Tidak sulit untuk mengetahuinya dengan pasti karena ia

hanya tinggal mencari tahu dari Lucas. Tapi hal itu tidak men?

jawab pertanyaannya, kenapa Fay berbohong untuk keponakan?

nya?

! 1-7.153

Andrew melihat Bvlgari-nya. Sudah dua puluh menit, tapi

belum ada tanda-tanda salah satu dari mereka sudah tiba.

Andrew kembali mengamati dari jendela. Lima menit kemu?

dian, Kent muncul bersama-sama Fay.

Tidak bisa dipercaya, pikirnya takjub. Kent bisa menyelesaikan

putaran ini dalam waktu lebih cepat dari lima belas menit.

Tapi keponakannya itu memilih untuk menyamai kecepatan

Fay dan menerima konsekuensi perbuatannya. Apakah ini se?

kadar upaya balas budi ataukah ada hal lain?

Ia tidak suka dengan apa yang ia lihat.

Ada sesuatu yang terjadi di luar kendalinya dan ia akan se?

gera berbuat sesuatu untuk memastikan semua kembali dalam

genggamannya.

! 1-7.154

Akhir Minggu di Nice

SABTU pagi, dering beker yang biasanya datang sayup-sayup

diawali dengan belaian lembut di telinganya, kali ini langsung

menyeruduk genderang telinganya, mengguncang tubuhnya se?

hingga matanya langsung menyala saat itu juga.

Fay bangkit dari tempat tidur dengan perasaan meluap-luap

untuk segera memulai hari itu. Tidak ada keengganan seperti

yang sering kali disaksikan selimutnya selama satu minggu ini,

saat ia membuntalkan dirinya lagi, menyelinap ke dalam rang?

kulan hangat sepotong kain itu.

Bibirnya membentuk sedikit lengkungan senyum karena

siluet Kent yang terpatri di benaknya sejak pemuda itu mengi?

ringi larinya kemarin sore. Tergopoh-gopoh ke kamar mandi,

Fay pun bersiap-siap untuk menyambut hari.

Ia dijemput tepat pukul 07.30 oleh Lucas dan segera dibawa

melewati jalan-jalan kota Paris menuju pelabuhan udara Le

Bourget, di pinggiran kota. Mulai beroperasi sejak tahun 1919,

Le Bourget merupakan pelabuhan udara pertama di Prancis,

sebelum pemerintah membangun Orly, dan belakangan Charles

de Gaulle.

! 8-15.155

Fay mengarahkan pandangannya ke jalan yang dilalui. Jalan

itu kadang lebar dengan pemandangan luas yang seakan mem?

buat dirinya lepas dari kungkungan batas, kadang sempit ber?

batu dan berkelok-kelok seperti membawanya bertualang ke

labirin penuh imajinasi dengan dinding-dinding ramah yang

merentangkan tangan dengan hangat. Fay terkekeh sendiri ka?

rena pikirannya itu. Entah apa yang sudah mengenai otaknya,

yang jelas hari terasa indah.

Sampai di tujuan, dengan heran Fay melihat mobil yang

ditumpanginya langsung masuk ke area parkir pesawat, kemu?

dian berhenti di sisi sebuah pesawat putih berukuran kecil. Fay

turun dari mobil sambil bertanya-tanya dalam hati apakah

Lucas tidak tersasar, dan pertanyaan itu perlahan pupus ketika

Lucas menyerahkan koper kecil yang Fay pinjam dari Celine

ke seorang petugas yang berdiri di sisi pesawat yang menerima

dan memasukkannya ke bagasi pesawat. Pertanyaan itu tak

lama hilang sepenuhnya saat Fay melihat pramugari yang terse?

nyum ke arahnya di mulut tangga pesawat.

Lucas tidak salah jalan, ia akan dibawa ke Nice mengguna?

kan jet pribadi! Perlahan Fay menaiki anak tangga yang sebe?

narnya merupakan sisi pintu bagian dalam, menikmati langkah

demi langkah sambil mempersiapkan dirinya melihat bagian

dalam. Sampai di atas, dengan takjub ia melihat interior pe?

sawat yang sangat jauh berbeda dengan pesawat komersial.

Ruang ini lebih mirip ruang untuk mencoba peralatan audio

kelas satu yang pernah dilihatnya dari luar etalase kaca tembus

pandang showroom peralatan audio terkenal di salah satu mal

di Jakarta.

Interior pesawat ini bernuansa krem. Kursi penumpang yang

lebar-lebar dan tampak sangat empuk?dilapis kulit warna

krem?tidak semuanya berjajar menghadap depan seperti kursi

penumpang pada umumnya. Dua kursi di sebelah kanan ber?

sisian menghadap depan, dilengkapi sebuah meja. Dua kursi di

sebelah kiri berhadapan, juga dilengkapi meja di antaranya. Di

bagian belakang, dibatasi sekat di bagian tengah pesawat, ter?

! 8-15.156

dapat dua kursi lagi beserta satu kursi panjang, juga dengan

meja yang lebih panjang, persis seperti satu set sofa ruang ta?

Seumur hidup, Fay tidak pernah bermimpi akan duduk di

udara dalam kenyamanan pesawat pribadi seperti ini!

Fay segera duduk di kursi sebelah kiri, menghadap depan

dan segera pandangannya bertumbukan dengan dua layar LCD

raksasa yang diletakkan di dinding pesawat bagian depan.

Lima menit kemudian, pesawat tinggal landas. Fay merasa

wajahnya bukan menampilkan senyum lagi, tapi sudah sebuah

seringai. Entah karena sangat senang, sangat puas dengan kejut?

an ini, atau mungkin karena ia merasa semua ini hanya halusi?

nasi dan ia mulai gila.

Pesawat yang Fay tumpangi mendarat di Nice kira-kira satu

setengah jam kemudian. Masih dengan seringai senang atau

puas (atau gila) di wajahnya, dan dengan perut kenyang akibat

makan daging salmon asap dengan roti, ia turun dari pesawat

dan langsung disambut oleh seorang pengemudi yang berdiri di

sebelah limusin hitam.

Ketika naik ke mobil, lekuk bibir Fay menyusut sedikit tan?

pa bisa dilarang, berubah dari sebuah seringai menjadi senyum

tipis, kemudian kandas. Ia tidak terlalu ingat seperti apa limu?

sin hitam yang menculiknya minggu lalu, tapi yang jelas ba?

yang-bayang tak menyenangkan itu kembali datang.

Kecemasannya tidak berlanjut setelah mobil keluar jalan

raya bandara dan mulai memasuki Nice, sebuah kota kecil

yang sangat kesohor di kawasan Cote d?Azur, pesisir selatan

dataran Prancis. Kota ini memanjang di pesisir yang berkontur,

dari jauh terlihat seperti teluk yang didominasi bangunan ber?

warna putih yang naik-turun. Warna putih yang meliputi kota

itu terlihat sangat kontras dengan biru gelapnya lautan yang

membentang, hanya dibatasi cakrawala biru cerah. Peman?

! 8-15.157

dangan yang menyegarkan mata dan membuat Fay berdecak

kagum.

Mobil bergerak menanjak menjauhi kota dan akhirnya ber?

henti di depan sebuah rumah yang berdesain sangat modern.

Rumah itu tampak seperti balok-balok putih yang disusun sa?

ling melintang, dengan kaca-kaca bening persegi yang ter?

pasang acak di sisi-sisi balok-balok tersebut. Begitu pintu di?

buka, di foyer Fay disambut patung besar dari kayu yang lebih

tinggi daripada dirinya, berbentuk meliuk-liuk seperti sepasang

kekasih sedang berpelukan. Belum selesai mengagumi patung

itu, Fay sudah kembali dibuat ternganga saat keluar mendapati

dirinya ada di ruang tamu yang sangat besar dengan langitlangit yang tingginya berbelas bahkan berpuluh meter, seperti

di lobi hotel berbintang di Jakarta. Yang membuat dirinya ter?

nganga dengan norak bukan itu, melainkan apa yang mem?

batasi ruangan ini. Seluruh bagian dinding, dari kiri ke kanan,

dari atas ke bawah, hampir semuanya terbuat dari kaca tembus

pandang, dengan pemandangan laut biru.

"Selamat pagi, Fay. Bagaimana perjalananmu ke sini tadi?"

suara Andrew dengan sangat terpaksa menyeret Fay dari ke?

indahan di depan mata masuk ke sebuah kekuatiran.

"Selamat pagi. It was okay," jawabnya.

"Lima belas menit lagi, temui saya di ruang kerja di lantai

tiga. Pintu pertama di sebelah kanan," ujar Andrew. Dia pun

berlalu setelah Fay mengangguk.

Lima belas menit kemudian, Fay sudah berada di ruang kerja

pria itu. Di sana, ada seorang wanita yang duduk di kursi, yang

dikenalkan oleh Andrew sebagai Ms. Connie. Mendekati empat

puluh, demikian menurut perkiraan Fay, wanita itu berperawak?

an tidak terlalu tinggi untuk standar Eropa, tapi proporsional.

Rambutnya lurus, lebih panjang sedikit dari bahu, berwarna

pirang kecokelatan, dan diurai dengan elegan.

! 8-15.158

Wanita itu tersenyum ramah saat mengulurkan tangan, mem?

perkenalkan diri dengan menyebut namanya yang singkat.

Andrew berkata, "Miss Connie pagi ini akan mengajarimu

bagaimana bertindak-tanduk seperti Seena." Dia menoleh ke

Miss Connie, "Bisa dilakukan di kamar tidur di lantai dua."

Ms. Connie mengangguk dan tanpa ragu bangkit lalu ber?

jalan menuruni tangga?bukan tangga yang Fay lewati saat

naik tadi, melainkan di sisi berseberangan?kemudian masuk

ke salah satu kamar tidur di lantai dua yang menghadap ke

laut. Sepertinya bukan kunjungan pertama, pikir Fay.

Sampai di kamar, Fay lagi-lagi harus berdecak kagum me?

lihat pemandangan yang sangat menakjubkan dengan seluruh

dinding pembatas menghadap laut juga terbuat dari kaca. Ia

membayangkan betapa beruntungnya penghuni kamar ini, yang

setiap pagi disambut dengan keindahan yang memanjakan ma?

ta setelah puas terlena.

Ms. Connie langsung memulai penjelasannya.

"Yang akan kamu pelajari pagi ini adalah bagaimana menjadi

Seena. Bukan dari fakta-fakta tentang dirinya, tapi dari kebiasa?

annya sehari-hari. Seena adalah seorang gadis yang sangat

memperhatikan penampilan. Saya yakin kamu juga memperhati?

kan bahwa dalam acara apa pun dia selalu memoles wajahnya.

Hasilnya selalu memikat, membuatnya menjadi lebih ber?

sinar."

Fay menyimak penjelasan Ms. Connie dengan penuh minat.

Ia sendiri tidak suka berdandan, dan tidak bisa. Sepertinya ini

satu-satunya topik yang memang menarik perhatiannya dan

akan dengan senang hati diikuti tanpa paksaan.

Ms. Connie mengeluarkan empat tas kecil dari dalam se?

buah koper di sisi tempat tidur.

"Ada empat kategori yang akan kamu pelajari, yaitu peralat?

an mandi, perawatan badan, perawatan wajah, dan make-up."
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wanita itu meraih satu tas sambil berkata, "Tidak ada yang

istimewa dengan peralatan mandi Seena selain bahwa dia

sangat fanatik dengan satu merek tertentu. Dia sudah meng?

! 8-15.159

gunakannya sejak beranjak remaja dan tidak pernah berganti

hingga sekarang." Dengan takjub Fay melihat Ms. Connie

mengeluarkan satu demi satu peralatan mandi Seena.

Ternyata standar Fay memang beda jauh dengan Seena, ka?

rena definisi "tidak ada yang istimewa" hanya membuat Fay

membayangkan sabun, sampo, dan conditioner. Tapi ternyata

masih ada barang lain loofah sponge, sikat punggung, sabun

batang, sabun bubble bath, dan scrub badan. Fay meraih botol

sampo untuk membaca mereknya, L?Occitane. Ia sekilas me?

lihat merek yang sama juga tertera di botol sabun dan di kertas

pem?bungkus sabun batangan.

Ms. Connie meraih tas lain, kemudian kembali menjajarkan

isinya dengan dikelompokkan di satu sisi di meja rias, disusul

tas ketiga berisi perawatan wajah. Dengan takjub Fay melihat

botol-botol yang dijajarkan di meja rias, jumlahnya sudah tidak

terhingga hingga membuatnya sakit kepala.

Mulailah Ms. Connie menjelaskan satu demi satu barang

yang tergeletak di meja rias, mulai dari kegunaannya, cara me?

makainya, hingga kapan memakainya, dan Fay merasa dirinya

terseret ke dalam arus ritual yang selama ini hanya dilihatnya

dilakukan oleh orang lain, tapi tidak pernah dikenalnya.

Setelah penjelasan Ms. Connie selesai, dengan tercengang

Fay melihat handuk beserta peralatan mandi yang disodorkan

wanita itu. Sinting! Aku disuruh mandi pukul 11.00 supaya bisa

merasa seperti Seena, pikirnya tak percaya. Akhirnya Fay tidak

tahan lagi dan bersuara,

"Miss Connie, kenapa harus repot-repot mengikuti cara

mandinya segala? Toh itu semua dilakukan di kamar mandi,

tidak akan diketahui oleh siapa pun."

Ms. Connie menjelaskan, "Ada dua alasan, Fay. Yang per?

tama adalah supaya kamu bisa lebih meresapi peran sebagai

Seena. Percayalah, kamu akan lebih merasa percaya diri untuk

melakukannya bila kamu sendiri yakin kamu sudah melakukan

apa yang Seena lakukan dan wangi kamu pun sudah persis

sama seperti Seena. Yang kedua, ini salah satu identitas yang

! 8-15.160

melekat pada Seena, yaitu seorang gadis yang sangat teliti de?

ngan caranya merawat diri. Identitas ini harus ditampilkan

baik secara simbolis maupun riil, supaya tidak ada keraguan

bahwa kamu adalah Seena.

"Secara simbolis, semua peralatan ini harus ditampilkan su?

paya terlihat, misalnya dengan menjajarkan di meja rias di

kamar dan di kamar mandi. Pelayan yang membersihkan kamar

mungkin orang yang sama dengan yang pernah melayani Seena

di London dan tahu persis tentang kebiasaannya.

"Secara riil, identitas itu juga harus melekat di diri kamu.

Alfred atau orang lain mungkin punya kesan khusus terhadap

aroma Seena yang masih ada dalam ingatan mereka sampai

sekarang.

"Jadi, walaupun ini hal pribadi, bisa jadi ada orang yang

akan mengenali anomali sekecil apa pun."

Fay agak terperangah dengan kenyataan bahwa hal-hal se?

kecil itu ternyata juga diperhatikan, padahal itu tak pernah

terlintas di benaknya sama sekali. Ia yakin cuma dirinya satusatunya orang yang waras di rumah itu, tapi akhirnya ia ber?

gerak juga ke kamar mandi.

Keluar dari kamar mandi, Ms. Connie menyuruhnya men?

coba semua hal yang baru dia ajarkan, mulai dari yang paling

sederhana seperti mengoleskan losion ke tangan dan kaki,

hingga ritual yang rumit seperti menggosok tumit kaki dengan

kombinasi beberapa jenis sikat, air hangat, dan dua losion.

Setelah Fay mengeringkan rambut dan mem-blow-nya sedikit

sehingga agak mirip Seena, Ms Connie mengajarinya cara me?

makai make-up ala Seena. Dia meraih tas berisi make-up dan

kembali mengeluarkan isinya, menambah jajaran botol dan

peralatan perang wanita lain yang sejak tadi sudah berbaris di

meja. Selain peralatan standar seperti bedak, lipstik, dan sisir,

Fay sama sekali tidak punya ide untuk apa itu semua dan ia

tidak habis pikir ada orang yang mau bersusah payah menge?

nakannya.

"Make-up ini digunakan hanya untuk acara-acara resmi. Se?

! 8-15.161

ngaja saya mulai dari riasan jenis ini, karena inilah yang paling

sulit. Kalau kamu bisa melakukannya dengan baik, kamu tidak

akan menemui kesulitan untuk acara lain yang membutuhkan

riasan lebih tipis."

Dimulai dengan pelembap, kemudian foundation matte tipis,

kemudian foundation mata, bedak tabur, blush on, eye shadow,

eye liner, maskara, lipliner, kemudian lipstik, terakhir ditutup

dengan semprotan cairan yang katanya akan membuat make-up

tahan lama.

Fay melihat bayangan dirinya di kaca dan hampir terlompat

dari kursi meja rias ketika yang ia lihat di cermin bukanlah

bayangannya. Kalau sendirian di kamar itu mungkin ia sudah

kabur keluar karena rasanya menakutkan sekali melihat cermin

hanya untuk menemukan bayangan orang lain.

Sedang sibuk-sibuknya Fay mengagumi bayangannya, Ms.

Connie menyuruhnya menghapus semua make-up, tentunya

dengan ritual pencucian muka ala Seena dengan tiga botol

cairan, untuk kemudian memakai semua make-up itu sekali lagi

tanpa bantuan Ms Connie.

Siklus pertama diulang dengan sukses setelah Fay salah urut?

an, membubuhkan blush on sebelum menggunakan foundation.

Siklus kedua sampai kelima dinyatakan gagal oleh Ms. Connie,

setelah Fay mencolok matanya sendiri dengan eyeliner, mem?

bubuhkan blush on tidak simetris antara pipi kiri dan kanan,

dan menggambar bibirnya dengan lipliner miring-miring. Di

siklus keenam, keadaan sudah lebih baik, hanya saja terlihat

seperti topeng monyet karena olesannya terlalu tebal. Ms.

Connie akhirnya mengangguk sedikit setelah siklus ketujuh

dan tersenyum puas setelah siklus kedelapan.

Setelah itu, Ms. Connie mengajarinya membubuhkan riasan

harian, yang jauh lebih tipis dengan warna-warna lebih mu?

Ms. Connie benar, jauh lebih mudah daripada tadi, pikir Fay

setelah percobaan kedua dan dinyatakan lulus oleh wanita itu.

Ia kemudian dibawa ke lemari baju. Fay ternganga melihat

! 8-15.162

lemari itu penuh baju yang selama beberapa hari ini akan men?

jadi miliknya. Bahkan pakaian dalam lengkap saja ada di

sana.

"Ini baju-baju Seena. Kamu tentunya juga sudah tahu bahwa

dia sangat fanatik dengan beberapa merek tertentu, bahkan

untuk baju dalamnya. Sekarang saya akan memberitahu kom?

binasi apa saja yang boleh dan tidak boleh kamu pakai untuk

setiap jenis acara."

Kembali Fay mendengarkan penjelasan Ms. Connie tentang

pakaian yang dipakai di acara minum teh, sarapan pagi di ru?

mah, makan siang formal/informal, makan malam formal/infor?

mal, kunjungan ke galeri dan museum, olahraga, kunjungan ke

daerah pedesaan, tur dalam kota, pemakaman, pesta koktail,

peluncuran buku, dan sebagainya.

Fay kembali protes, "Tapi saya hanya akan tinggal di sana

selama dua malam."

Dengan sabar Ms. Connie menjawab, "Iya, Fay, tapi kan kita

tidak tahu apa saja agenda sang paman untuk keponakannya.

Semua mungkin terjadi. Dan mengingat teman kita si Seena

ini begitu canggih dalam hal pergaulan sosial, tidak mungkin

dia memilih busana yang salah atau kombinasi yang kurang

cocok untuk menghadiri suatu acara. Berarti kamu juga harus

begitu."

Fay berdecak dan menggelengkan kepala.

Ms. Connie melanjutkan penjelasannya dan menutupnya

dengan memberikan kuis, untungnya Fay bisa menjawabnya

dengan mudah.

Pelajaran terakhirnya adalah berjalan menggunakan sepatu

ala Seena. Sepatu dan sandal yang dipakai Seena sehari-hari

tidak berhak sehingga sama sekali tidak ada masalah bagi Fay.

Tapi untuk ke pesta, Seena memakai sepatu atau selop dengan

hak minimal 5 cm. Dan ini ternyata sangat menyiksa Fay yang

belum pernah menggunakan sepatu hak sama sekali.

Butuh waktu tiga puluh menit hingga Fay bisa berjalan nor?

! 8-15.163

mal dan lurus, tidak berjingkat, tidak membungkuk ke depan,

tidak menunduk, dan tidak oleng.

Ketika akhirnya Ms. Connie menyatakan waktunya sudah

habis, Fay mengembuskan napas lega, tapi betis, mata kaki,

dan telapak kakinya terus menjerit-jerit.

Sebelum turun, Ms. Connie memberikan pesan terakhir,

"Fay, saya mau kamu berlatih menggunakan sepatu itu setiap

hari. Setiap malam, cobalah untuk membiasakan diri berjalan

dengan sepatu pesta itu. Untuk bisa melakukannya dengan

sempurna, hanya bisa dengan latihan, latihan, dan latihan."

Fay mengikuti Ms. Connie menuruni tangga yang ada di

ruang tamu sambil memperhatikan sekelilingnya. Ia baru me?

nyadari bahwa pinggiran tangga di sebelah kirinya menempel

ke dinding kaca, sedangkan pinggiran tangga di sisi kanannya

juga dibatasi kaca yang membentang dari langit-langit yang

tinggi ke setiap pijakan tangga. Ia seperti berada dalam sebuah

akuarium manusia yang sangat modern dan mewah.

Sampai di bawah, Fay melihat Andrew berdiri di dekat sofa

dan keningnya langsung berdenyut-denyut diiringi semriwing

kesal di perutnya. Ia baru sadar ternyata ia sangat lapar.

Andrew bertanya sambil tersenyum, "Jadi, Nona-nona,

bagaimana sesi khusus wanita tadi, menyenangkan?"

Ms. Connie tersenyum dan menjawab, "Tentu saja menye?

nangkan, kami hanya berbicara tentang hal-hal menarik yang

tidak dimengerti para pria."

Andrew tersenyum simpul.

"Pastinya begitu." Dia kembali bertanya kepada Ms. Connie,

"Jadi, kamu masih tidak bersedia makan di sini? Apa ada yang

bisa saya lakukan untuk membuatmu berubah pikiran?"

"I wish there is. Saya benar-benar harus pergi sekarang," kata

Ms. Connie sambil melihat arlojinya kemudian tersenyum ke

arah Andrew.

"Saya antar kamu keluar," kata Andrew lalu menoleh ke

arah Fay, "makan siang sudah siap di ruang makan. Kamu bisa

mengambil sandwich di meja dan membawanya ke teras yang

! 8-15.164
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadap ke laut. Saya minta maaf tidak bisa menemani

kamu makan siang karena ada yang harus saya diskusikan

dengan Ms. Connie. Temui saya jam satu di ruang kerja saya."

Dia pun berlalu bersama Ms. Connie yang melambaikan

tangan sekilas ke arah Fay.

Di meja makan yang ada di lantai dua, Fay melihat makan

siang berupa beberapa bungkus sandwich yang tebal dan lebar,

serta beberapa macam minuman dalam kemasan karton dan

kaleng. Ia mengambil satu sandwich dan satu minuman kaleng,

sambil memikirkan makanan diet yang ada di kopernya. Salah

sendiri kalau Andrew lupa, pikirnya senang sambil tersenyum

sendiri.

"Hai, Fay."

Fay terlonjak kaget dan setengah melompat langsung ber?

balik.

Kent!

Debar di dadanya yang tadi muncul karena kaget, langsung

berlanjut.

Kent juga kaget, sambil tersenyum dia berkata, "Maaf ya,

aku tidak bermaksud membuat kamu kaget."

"Hai juga, nggak apa-apa kok. Sedang apa di sini?" tanya

Fay kikuk. Tapi kemudian ia sangat malu dengan pertanyaan?

nya yang garing dan basi itu. Bodohnya kamu, Fay, kamu kan

sudah tahu dia bakal datang, omelnya kepada diri sendiri.

"Masih ada utang yang belum selesai, aku harus mengajari

kamu dua topik yang waktu itu belum aku berikan."

"Kapan, setelah makan siang?" tanya Fay lagi.

"Belum tahu. Aku diminta untuk menemui Paman jam satu

siang nanti. Mungkin setelah itu."

"Iya, aku juga diminta datang."

Celaka, jawabannya terlalu standar.

! 8-15.165

Suasana terasa kikuk dan Fay mulai salah tingkah. Ia menge?

luh dalam hati. Kalau ia mempunyai keluwesan Lisa si bawel

sepersepuluhnya saja, pasti percakapan barusan tidak akan men?

jadi segaring itu.

"Mau makan di teras? Pemandangannya superbagus, dijamin

tidak menyesal," ajak Kent.

"Boleh. Tadi Andrew juga mengusulkan seperti itu," ujar Fay

lega.

Di teras ada dua meja bundar, masing-masing dengan tiga

kursi. Kent yang berjalan di depan menarik satu kursi di dekat

pintu yang menghadap ke laut, mempersilakan Fay duduk di

sana.

Fay duduk di kursi itu dengan rasa melayang-layang yang

membuat jiwanya seakan ingin melepaskan diri dari kungkung?

an tubuhnya. Kent kemudian menggeser satu kursi yang lain

sehingga mendekat ke arahnya dan duduk di sana

"Kamu sudah sering ke sini?" tanya Fay buru-buru untuk

menutupi rasa groginya.

"Tidak terlalu sering. Aku lebih suka pegunungan," jawab

Kent. Dia berhenti sebentar, seperti menimbang-nimbang se?

suatu, akhirnya melanjutkan, "Lagi pula, ini bukan rumah

Paman. Rumah ini milik salah seorang pamanku yang lain,"

Kent melihat ke arah belakang sekilas, seolah takut ada yang

mencuri dengar, "lebih gila daripada Andrew," lanjutnya

kocak.

Fay tertawa melihat ekspresinya. Untuk pertama kalinya ia

merasa santai di sebelah pemuda itu.

Kent tersenyum dan bertanya, "Kalau kamu sendiri bagai?

mana, lebih suka gunung atau pantai?"

"Aku lebih suka pantai."

"Kalau di pantai kamu melakukan apa? Berjemur?" tanya

Kent lagi.

"Tidak, tidak Kulitku sudah cokelat," jawab Fay sambil

tertawa. "Aku lebih suka main air, berenang-renang sambil

! 8-15.166

main ombak, atau surfing. Tapi aku masih belajar, berdiri saja

belum bisa," buru-buru ia menambahkan.

"Ah, kulit kamu tidak secokelat itu. Aku pernah lihat ada

yang kulitnya lebih gelap daripada kamu tapi tetap berjemur."

"Kalau kamu, kenapa suka pegunungan?" tanya Fay.

"Aku senang main ski. Sekarang aku sedang belajar skiboard?

ing. Mungkin rasanya mirip surfing juga, hanya saja dilakukan

di atas salju."

Mereka pun kemudian bercakap-cakap ringan seputar akti?

vitas yang sering dilakukan saat liburan.

Setelah sandwich mereka habis, Kent mengajak Fay masuk

ke ruang duduk. Kent langsung menghampiri sebuah grand

piano yang ada di sudut ruangan, membukanya, dan me?

mainkan tutsnya dari ujung ke ujung dengan ahli.

"Wow, kamu bisa main piano?" tanya Fay agak kaget. Ia

berjalan mendekat dan berdiri di samping piano.

"Bisa. Ada permintaan khusus lagu yang mau dimainkan?"

"Wah, apa ya? Apa saja deh, asal lagu yang tidak terlalu

berat."

Kent duduk dan memainkan intro sebuah lagu dengan satu

jari, yang disambut tawa mereka berdua. Dia memainkan

Twinkle-Twinkle Little Star, lagu anak-anak yang sebenarnya

juga merupakan musik klasik.

"Kamu bisa main alat musik?" tanya Kent.

"Tidak bisa, sama sekali," jawab Fay sambil meringis. Sebe?

narnya ia pernah belajar piano selama tiga tahun waktu masih

SD dulu, tapi melihat jari-jari Kent menari di atas tuts rasanya

terlalu memalukan untuk mengakui hal itu sekarang.

Kent meregangkan jari-jarinya dan memegang telapak kiri?

nya.

"Kenapa? Sakitkah?" tanya Fay sambil memegang telapaknya

sendiri yang masih agak nyeri.

"Tidak. Aku rasa aku harus bersyukur karena pukulan itu

telak di telapak tangan dan tidak menyentuh jariku sama se?

kali."

! 8-15.167

Kent menggeser duduknya sehingga dia menempati setengah

bagian kursi. "Duduk, Fay, aku mainkan musik-musik instrumen?

tal yang ringan. Setidaknya sambil menunggu makanan tu?

run."

Fay merasa dunia mendadak berhenti berputar selama satu

detik, kemudian melanjutkan putarannya dengan gerak lambat.

Tidak mampu berkata-kata, ia mendekat dan duduk di samping

Kent. Fay berdoa dalam hati semoga ia tidak pingsan dan mem?

permalukan diri sendiri, karena ia merasa sudah agak sulit

menarik napas. Bukan karena air matanya hampir keluar se?

bagaimana yang selama satu minggu ini sering terjadi, tapi

karena muncul gelembung-gelembung baru, kali ini bukan me?

menuhi kepalanya, tapi dalam dadanya. Gelembung-gelembung

itu dengan bahagia memompa diri semakin besar sehingga dada

Fay sesak terisi suatu bentuk eforia.

Fay memperhatikan jari-jemari itu melompat-lompat di atas

tuts.

Dalam diam, Fay mendengar alunan nada yang terasa meng?

angkat jiwa dan melepas nestapa.

Dalam diam, hati mereka bertaut, disatukan kesendirian,

direkatkan satu beban yang harus ditanggung bersama.

Sampai mereka sama-sama dikejutkan bunyi lain, yang tidak

sesuai dengan susunan denting nada yang sedang dinikmati,

suara alarm di jam Kent.

Sudah pukul 13.00.

Kent menutup piano dan tanpa aba-aba mereka mengarah

ke tangga menuju lantai tiga.

Di dalam ruang kerja, sudah ada Andrew. Tanpa basa-basi pria

itu berkata kepada Kent, "Waktu kamu untuk mengulang topik

Seena hanya nanti malam, setelah makan malam. Tes akan

saya berikan besok pagi setelah sarapan, jam sembilan pagi.

Tugas kamu selesai setelah tes dan kamu bisa kembali ke Paris

! 8-15.168

karena penyampaian topik Analisis Perimeter akan sayabil

alih. Ada pertanyaan?"

Kent menggeleng dan segera beranjak keluar.

Andrew mengalihkan pandangan kepada Fay dan menatap?

nya sebentar dengan sorot mata seolah menembus pikiran. Fay

merasa makhluk bernama gelisah mulai berputar-putar seperti

gasing dalam perutnya.

Akhirnya pria itu berkata, "Fay, saya tahu kamu mengirim

e-mail ke teman dan keluarga kamu hari Kamis. Saya tidak

akan mempermasalahkan hal itu karena kalau dilihat dari apa

yang kamu tulis, saya yakin kamu sudah mengerti batasanbatasan yang harus kamu jaga. Tapi mulai sekarang, saya tidak

mau ada kontak antara kamu dengan orangtua atau teman

kamu, jadi jangan membalas e-mail dari mereka atau menghu?

bungi mereka lagi."

Perkataan itu menghantam dada Fay dengan keras, memun?

culkan garis-garis retak dalam pikirannya seperti porselen yang

terluka.

"Kenapa? Bagaimana mungkin saya membiarkan e-maile-mail mereka bertumpuk tanpa dibalas?" tanyanya dengan mata

mulai berkaca-kaca. Bukan kenyataan e-mail bertumpuk itu

yang sebenarnya membuat matanya berkaca-kaca, tapi kenyata?

an bahwa satu-satunya tali penghubungnya dengan dunia yang

masih membuatnya merasa normal akan diputuskan begitu

saja.

"Saya tidak akan membahas panjang-lebar. Itu perintah, bu?

kan permintaan. Sekarang ada hal lain yang lebih penting

yang harus kamu lakukan," jawab Andrew datar sambil ber?

anjak ke pintu.

Fay mengikuti pria itu masih dengan perasaan tertekan, ma?

suk ke ruangan lain di lantai yang sama.

! 8-15.169

Empat jam kemudian, Fay keluar dari ruangan itu dengan otak

yang rasanya sudah membatu karena berpikir terlalu keras, tan?

pa jeda.

Di ruangan itu, ia tadi dihadapkan pada satu tes yang me?

lelahkan otaknya, beratus-ratus soal gila, yang merupakan kom?

binasi antara matematika, kemampuan analisis, logika, pe?

mahaman cerita, bentuk tiga dimensi, dan entah apa lagi.

Ia pun turun ke bawah dengan perut yang lagi-lagi baru ia

sadari sudah keroncongan.

Sesampainya di ruang duduk besar yang menghadap ke laut,

Fay mendapati Kent sedang duduk sambil minum teh, dilayani

oleh seorang pelayan pria.

"Hai, Fay," sapa Kent antusias.

Fay menyunggingkan senyum tipis, yang menyiratkan ke?

lelahan otaknya. Ia duduk sambil mengembuskan napas pan?
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jang, kemudian meminum teh yang disodorkan pelayan.

Kent bertanya kepada Fay, "Apa yang kamu lakukan tadi?

Kok kamu kelihatan lelah sekali?"

Fay menceritakan soal-soal gila tadi dan Kent mengangguk

sambil tersenyum geli.

"Kok kamu senyum-senyum sih? Aku capek betulan nih."

Dengan senyum yang makin lebar, Kent bertanya, "Jadi,

mana yang lebih menarik menurut kamu, tes tadi atau topik

Seena? Atau kamu lebih suka lari?"

Fay menangkap nada Kent yang agak menggoda dan merasa

agak tersipu. Untuk menyembunyikan rasa malunya, dengan

sewot ia menjawab, "Lebih baik aku ikut tes tadi sepuluh kali

lagi, setidaknya tidak ada yang mengada-ada menyuruhku pushup," sambungnya menang.

"Hei," Kent pun tertawa ringan, terpojok. "Salah kamu

sendiri waktu aku suruh push-up kamu malah bengong."

"Huh, dasar sok berkuasa," ujar Fay pura-pura marah.

Kent kembali tertawa dan menghirup tehnya, diikuti Fay.

Fay bertanya, "Tes besok pagi seperti apa ya? Aduh, kenapa

! 8-15.170

ya perutku selalu mulas setiap kali aku harus bertatap muka

dengan pamanmu?"

"Ha... ha! Jangankan kamu, Fay. Sampai detik ini pun,

kalau dia ingin berbicara berdua denganku, perutku serasa ter?

pelintir," jawab Kent.

Andrew masuk ke ruang duduk dan berjalan menuju tangga.

Sambil tetap berjalan dia berkata, "Kent, temui saya di ruang

konferensi sekarang. Fay, makan malam disajikan jam tujuh."

Kent langsung bangkit diiringi tatapan kuatir Fay. Pemuda

itu tersenyum ke arah Fay seolah ingin menenangkannya, ke?

mudian berkata singkat, "Sampai nanti ya."

Fay baru bertemu Kent dan Andrew lagi saat makan malam.

Rupanya Andrew sudah ingat dengan menu dietnya, karena

setelah mereka bertiga menikmati sup yang disajikan pelayan,

hanya Fay yang menerima satu piring salad. Sementara Fay

melihat Kent dan Andrew masing-masing menerima satu piring

berisi potongan calamari dan bola-bola entah apa, disusul de?

ngan satu piring berisi makanan yang terlihat terlalu sayang

untuk dimakan. Ada mashed potatoes yang dicetak berbentuk

silinder, di atasnya ditumpuk satu potong daging dengan ben?

tuk sama, di atasnya lagi terdapat sayuran, kemudian ada saos

putih yang disiramkan ke atasnya, dan dicipratkan ke bagian

piring yang masih kosong di sekeliling tumpukan itu. Fay me?

neguk ludah dan memakan salad yang rasanya jadi sangat polos

dan datar.

Mereka tidak banyak berbicara saat makan malam. Fay ha?

nya menunduk berusaha menikmati salad-nya. Tapi ia merasa

Andrew memperhatikan dirinya dan Kent dan pikiran itu mem?

buatnya makin tidak antusias untuk memulai pembicaraan.

Benaknya juga masih dipenuhi kerisauan akibat larangan

Andrew untuk mengontak teman-teman dan orangtuanya.

Setelah Andrew dan Kent menikmati makanan penutup?

! 8-15.171

Fay ditawari untuk menambah satu porsi salad sebagai peng?

ganti, yang ditolak olehnya?Andrew berkata, "Saya ada di

ruang kerja kalau kalian memerlukan saya. Kent, kamu bisa

menggunakan ruang konferensi untuk membahas topik

Seena."

Ketika masuk ke ruang yang disebutkan Andrew di lantai

tiga, Fay langsung setuju bahwa ruang itu memang sangat

cocok disebut ruang konferensi. Dengan satu meja oval di te?

ngah dikelilingi delapan kursi dengan sandaran tinggi dan

roda, dan enam layar LCD yang sangat besar berjajar di salah

satu dinding, ruang ini bahkan lebih mewah daripada ruang

rapat direktur di kantor papa Fay. Di tengah-tengah meja, ber?

diri tegak delapan layar LCD berukuran kecil, satu di hadapan

setiap kursi.

Begitu ia duduk, Kent langsung membahas topik Seena de?

ngan serius. Fay mendapati dirinya juga berusaha memahami

dengan keseriusan yang sama. Keduanya kini bagaikan dua

jalinan benang yang harus lolos dari lubang jarum yang sama,

hanya bisa melewatinya dengan menjalinkan diri satu sama

lain. Setiap kali Kent selesai membahas satu bagian topik, dia

memberikan tes yang harus dijawab oleh Fay. Kali ini tidak

ada hukuman. Dengan sabar Kent mengulang lagi bila Fay ma?

sih belum bisa menjawabnya dengan sempurna.

Akhirnya, ketika mereka sudah merasa cukup, dengan kaget

mereka melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul

22.00.

Kent baru saja ingin mengajak Fay mengobrol di teras ketika

mereka berpapasan dengan Andrew di tangga, "Sudah jam se?

puluh. Sudah waktunya kalian beristirahat."

Keluar dari mulut pamannya, ucapan itu lebih merupakan

perintah daripada usulan atau sapaan basa-basi biasa. Kent me?

nelan niatnya untuk menghabiskan waktu beberapa menit

bersama Fay.

"Sampai besok, Fay."

! 8-15.172

Pukul 09.00. Fay sudah duduk bersama Kent di ruang kerja.

Tidak ada yang mampu berkata-kata, keduanya dengan tegang

menunggu Andrew yang masih sibuk berbicara di telepon.

"Baik. Mari kita mulai," suara Andrew membuyarkan kete?

gangan yang sudah terkumpul. Fay merasa ketegangan itu

pecah di dadanya, memberi ruang bagi yang baru untuk tum?

buh lebih besar.

"Silakan berdiri di depan."

Fay melihat Andrew memegang sesuatu di tangannya tapi

tidak tahu apa. Perutnya langsung bereaksi, otot perutnya me?

lintir dan berputar seperti kain yang diperas, tidak menyisakan

ruang kelegaan sama sekali.

Kent berdiri di sisinya, persis seperti hari Jumat.

Andrew berdiri di depan mereka. Yang dipegang olehnya

tampak seperti bolpoin, berwarna perak. Pria itu kemudian

menarik ujungnya dan benda itu memanjang, persis seperti

antena. Andrew kemudian mengibaskan benda itu di udara

sehingga terdengar bunyi udara yang terbelah.

"Kent, kamu tunggu di luar."

Dengan panik Fay menatap Kent, yang juga terlihat kaget.

Kent membuka mulutnya, "Tapi, Paman"

"Tunggu di luar," potong Andrew.

Ingin sekali rasanya Fay memohon supaya Andrew mengizin?

kan Kent berada di sisinya. Tapi ia sadar itu sia-sia. Kepanikan

sudah menguasai dirinya sekarang.

"Kamu saya beri dua detik untuk berpikir," ujar Andrew.

Kent menempelkan telinga di pintu. Suara Andrew dan Fay

hanya terdengar seperti orang menggumam di kejauhan. Ia

mencoba berkonsentrasi, mencoba mendengarkan siapa yang

! 8-15.173

sedang berbicara. Setidaknya kalau ia bisa mengenali suara

Andrew dan Fay berbicara bergantian, berarti Fay bisa men?

jawab pertanyaan pamannya.

Mendadak, terdengar suara tumbukan dua benda disusul

teriakan Fay, membuat Kent terlompat ke belakang karena

kaget. Jantungnya sendiri kini semakin cepat berdetak dan ada

rasa marah bercampur takut yang mulai mengisi hati dan pikir?

annya.

Ia mengepalkan tinju karena frustrasi dan kembali menempel?

kan telinganya di pintu.

Suara Andrew disusul suara Fay

Suara Andrew disusul suara Fay

Suara Andrew disusul suara Fay

Suara Andrew disusul suara Fay

Suara Andrew

Sialan! Ia terlompat mundur. Bunyi keras yang sama kembali

mengejutkannya, langsung disusul teriakan Fay.

Kent menjauhi pintu, berjalan mondar-mandir dan dengan

tinju terkepal memukul tembok di sisi ruangan yang bersebe?

rangan.

Ia mengaduh-aduh kesakitan dan memutuskan untuk kem?

bali menguping di pintu, ketika mendadak pintu terbuka dan

Andrew menyuruhnya masuk.

Fay masih berdiri di tempat yang sama dengan wajah pucat

pasi.

"Dua kesalahan dari lima puluh pertanyaan. Tidak sem?

purna," Andrew menatap Kent.

"Dua puluh push-up untuk Fay. Dua kali lipat untuk kamu,"

ucap Andrew.

Mereka berdua melakukan push-up. Di hitungan kedua pu?

luh, Fay berdiri, sementara Kent menyelesaikan dua puluh hi?

tungan lagi.

Begitu berdiri dan melihat Andrew sudah berada di belakang

meja menyimpan benda yang tadi dipegangnya, Kent merasa

sebuah batu besar baru diangkat dari pundaknya.

! 8-15.174

Setelah Andrew mengizinkan mereka keluar, mereka pun

bergegas menuju teras.

Fay mengempaskan diri ke kursi sambil mengembuskan na?

pas lega.

Kent juga merasakan kelegaan yang sama.

"Fay, apa yang terjadi di dalam? Di luar aku mendengar

suara pukulan dan teriakanmu. Kamu dipukul?" tanya Kent.

"Tidak, aku tidak dipukul. Pamanmu memukulkan benda

yang dia pegang itu ke kaki meja yang ada di belakangku. Aku

kaget dan berteriak," jawab Fay.

Kent mengembuskan napas kemudian menunduk.

"Thanks, Fay," ucapnya tiba-tiba.

"Untuk apa?" tanya Fay kembali, agak kaget dengan ucapan

itu.

"Untuk melakukan apa yang kamu lakukan hari Jumat. Ke?

napa kamu melakukannya? Kalau kamu mengatakan aku da?

tang terlambat, kamu akan terbebas sama sekali dari masalah,"

tanyanya lagi.

Fay menimbang-nimbang apakah ia perlu mengatakan ke?

pada Kent bahwa ia melihat Andrew memukulnya sebelum itu.

Akhirnya ia memutuskan tidak perlu.

"Aku juga tidak tahu kenapa melakukannya, mungkin ka?

rena sebelumnya aku sudah terlanjur bohong. Sebelum aku

masuk ke ruangan, Andrew menanyakan apakah aku datang

cepat karena sekolah bubar lebih cepat. Waktu itu aku pikir

lebih mudah untuk mengucapkan ?ya?, karena dia tidak akan

bertanya lagi. Kalau aku bilang ?tidak?, kan pasti aku harus

cerita panjang-lebar kenapa aku datang cepat," jawab Fay ce?
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pat. "Aku tidak menyangka"

Fay melihat sosok Andrew muncul dari belakang Kent dan

ia tidak menyelesaikan kalimatnya.

"Kent, tugas kamu sudah selesai untuk hari ini. Kamu bisa

kembali ke Paris sekarang. Fay, temui saya di ruang konferensi

sekarang."

! 8-15.175

Kent bangkit dari kursi dan mengucapkan salam perpisahan

singkat. Fay segera mengikuti Andrew naik ke lantai tiga.

"Pagi ini saya akan memberikan pengantar untuk topik Ana?

lisis Perimeter," Andrew membuka penjelasannya, kemudian

melanjutkan, "dalam bentuk yang paling sederhana, Analisis

Perimeter, atau AP, adalah pengamatan terhadap lingkungan

di sekitar kita. Semua orang secara alami melakukannya seharihari tanpa disadari, secara refleks. Sebagai contoh, saat kamu

masuk ke ruang tunggu dokter yang dipenuhi orang di rumah

sakit, yang akan kamu lakukan adalah mencari tempat duduk

kosong. Setelah kamu duduk, kamu akan mencari di mana po?

sisi pintu masuk ke ruang dokter, mencari posisi orang yang

bisa dimintai informasi seperti asisten dokter atau suster, me?

ngira-ngira berapa banyak pasien yang menunggu dan berapa

lama lagi kira-kira giliranmu, mencari petunjuk apa saja fasi?

litas di ruang tunggu, mulai dari kamar mandi, TV, pengumum?

an, atau poster yang ditempel di dinding, dan mengamati

orang-orang yang menunggu."

Fay mengangguk setuju.

"Yang membedakan apa yang kamu lakukan sehari-hari itu

dengan AP adalah alasannya. Kalau dalam keseharian peng?

amatan itu dilakukan lebih untuk alasan kenyamanan, di AP

alasannya adalah untuk antisipasi, baik terhadap bahaya mau?

pun terhadap kesempatan. Perbedaan alasan ini otomatis akan

mengubah cara kamu melakukan pengamatan itu. AP itu sen?

diri bukanlah tujuan akhir, melainkan hanyalah alat untuk

mencapai tujuan.

"Langkah pertama dalam AP adalah menganalisis setiap

objek yang kamuati dan mengasosiasikannya dengan salah

satu dari tiga kategori ?threat?, ?opportunity?, atau ?undefined?.

"Threat atau ancaman adalah hal-hal yang bisa membahaya?

kan atau menggagalkan rencana kamu, apa pun itu.

! 8-15.176

"Opportunity atau kesempatan adalah kebalikannya, hal-hal

yang bisa membantu mewujudkan rencana kamu.

"Undefined adalah hal-hal yang BELUM bisa kamu kate?

gorikan sebagai ancaman atau kesempatan.

"Untuk contoh tadi, bila kamu masuk ke ruang tunggu itu

dengan tujuan melarikan diri dari kejaran seseorang, tentunya

fokus pertama kamu dalam mengamati ruangan tersebut beserta

isinya adalah pintu atau jalan akses. Katakanlah ada dua pintu

lagi selain jalan akses yang baru saja kamu lalui untuk masuk

ke ruang itu, yang satu adalah pintu ke ruang dokter dan yang

satu lagi adalah pintu kamar mandi. Menurut kamu, kedua

pintu tadi termasuk kategori yang mana?" tanya Andrew.

"Mm, mungkin kesempatan," jawab Fay ragu-ragu.

"Kenapa?" tanya Andrew lagi.

"Karena kalau saya dikejar, mungkin saya bisa sembunyi di

dalam sana," jawab Fay lagi, mulai malu dengan jawabannya

yang terdengar agak bodoh.

"Pintu yang mana yang akan kamu pilih terlebih dahulu dan

apa alasannya?"

"Saya akan memilih pintu kamar mandi, karena ada kemung?

kinan di dalamnya ada kompartemen kosong tempat saya bisa

sembunyi. Kalau saya memilih ruang dokter, akan menarik per?

hatian orang-orang yang sedang menunggu dan dokter serta

pasien di dalam juga pasti akan marah," jawab Fay yakin.

"Mari kita bahas pendapat kamu. Jangan lupa bahwa tujuan

kamu adalah melarikan diri. Jadi pastikan bahwa pilihan kamu

terhadap suatu kesempatan akan membuka kesempatan lain

dan demikian seterusnya hingga tujuan kamu untuk melarikan

diri bisa tercapai. Untuk contoh tadi, menurut kamu mana

yang lebih punya kemungkinan untuk memiliki jalan akses

meloloskan diri berikutnya seperti pintu yang lain atau jendela,

ruang dokter atau kamar mandi?"

Fay menjawab ragu, "Ruang dokter. Biasanya kamar mandi

tidak punya pintu atau jendela lagi, sementara ruang dokter

kemungkinan ada di bagian pinggir dan mempunyai jendela"

! 8-15.177

"Tepat sekali. Itu alasan dan pilihan paling logis dengan

kondisi pengamatan yang terbatas. Kesimpulan itu mungkin

berbeda bila kondisinya berbeda. Seorang agen yang ber?

pengalaman yang sudah melakukan pengamatan sejak dari luar

gedung mungkin sudah melihat jendela kecil yang biasanya

adalah jendela kamar mandi. Ketika dia masuk dan memetakan

posisi ruang dokter yang sebenarnya berada di tengah-tengah

bangunan, tanpa jendela, tentu saja dengan mudah dia me?

mutuskan untuk masuk ke kamar mandi."

Andrew berhenti sejenak, memberi waktu bagi Fay untuk

meresapi penjelasannya sebelum kembali berkata, "Sekarang,

bayangkan diri kamu sebagai seorang pengejar yang mengincar

seorang gadis tujuh belas tahun, dan sampai di ruang tunggu

itu. Menurut kamu apa yang akan dilakukan orang itu? Coba

lakukan Analisis Perimeter dari sudut pandang seorang penge?

jar."

Fay terdiam sejenak kemudian menjawab, "Kalau saya men?

jadi pengejar, saya akan melihat ke sekeliling ruangan untuk

melihat apakah ada jalan keluar dari sana. Kemudian saya

akan mencari gadis itu di antara pengunjung yang duduk. Ka?

lau tidak ada, saya akan melihat tempat-tempat gadis itu mung?

kin bersembunyi, seperti kolong meja, atau sisi lemari." Fay

terdiam lagi.

Andrew mengangguk sambil berkata, "Berikutnya, yang


Mahesa Kelud Delapan Surat Kematian Pengemis Binal 03 Bidadari Lentera Merah Roro Centil 21 Manusia Srigala Hantu

Cari Blog Ini