Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya Bagian 5
sampai ke sana, pikirnya lega.
Dengan tak sabar ia meneruskan langkahnya lebih cepat. Di
! 8-15.236
kejauhan ia melihat beberapa pemuda yang berjalan ke arah?
nya dengan pelan, semuanya empat orang.
Ketika sudah semakin mendekat, sontak kakinya menghenti?
kan langkah saat matanya beradu pandang dengan salah se?
orang pemuda itu.
Itu pemuda yang mencegatku di stasiun Metro!
Pemuda itu mengenalinya dan meluncurkan rangkaian ka?
limat dalam bahasa Prancis yang tidak bisa diartikan secara
persis oleh Fay. Yang ia tahu dari percakapan dengan temantemannya selama mengikuti kursus bahasa Prancis, kata-kata
itu adalah makian.
Fay mundur beberapa langkah dan ketika melihat mereka
maju teratur dengan tatapan marah, ia membalikkan badan
dan lari sekencang-kencangnya. Terdengar derap langkah di
belakangnya saling susul-menyusul. Mereka mengejarnya!
Dengan napas memburu karena panik ia berlari menyusuri
jalan yang tadi dilaluinya, dengan harapan sampai ke jalan
yang lebih ramai, yaitu jalan tempat tadi ada toko bunga, di
tikungan depan. Matanya berkonsentrasi ke tikungan itu semen?
tara sudut matanya melihat sekilas apa saja yang dilaluinya.
Sepasang pria dan wanita yang berjalan ke arahnya, dilaluinya
dengan cepat. Orang tua yang sedang membaca koran di se?
berang, dilaluinya. Seorang pria membawa anjing, dilaluinya.
Seorang pemuda yang berjalan di pinggir... sebentar, itu
Reno!
Reno membentangkan tangan untuk menolongnya berhenti
dengan tatapan bertanya. Fay menabrak tangannya dan ber?
henti. Ia ingin menjelaskan apa yang terjadi, tapi tidak mampu
melakukannya dengan deru napas seperti itu. Sepertinya Reno
juga tidak perlu penjelasan karena dia segera melihat apa yang
menyebabkan Fay terengah-engah sambil memegang lututnya.
Gerombolan pemuda itu berhenti ketika melihat Reno.
Reno menarik Fay ke belakangnya dan berdiri, kemudian
mengatakan sesuatu dalam bahasa Prancis.
! 8-15.237
Kening Fay berkerut. Rasanya selama dua minggu ini kata
itu belum sekali pun diajarkan di kelas.
Salah satu pemuda itu membalas ucapan Reno dengan kedua
tangan ada di saku sambil mendongakkan kepala, menan?
tang.
Dengan dada berdebar Fay melihat Reno membalas ucapan
pemuda itu dengan keras. Hanya beberapa patah kata yang
berhasil ditangkapnya dari percakapan mereka ?ada apa",
"minggu lalu", "jangan ganggu", "adikku".
Harusnya Reno dan aku lari saja, pikir Fay mulai panik.
Pemuda itu menatap Reno sejenak, kemudian memberi
tanda kepada teman-temannya untuk pergi. Mereka pun ber?
lalu, melewati Reno dan Fay sambil menoleh, masih dengan
tatapan menantang yang sama.
Ketika akhirnya mereka berbelok dan tidak terlihat lagi, Fay
merasa seluruh tubuhnya lemas dan kakinya lunglai.
Reno menggamit lengannya supaya berjalan mengikutinya.
"Thanks ya, Reno. Untung ada kamu," ucap Fay ketika
napasnya mulai teratur.
Reno diam. Langkahnya lebar dan cepat hingga Fay sulit
mengikutinya dan harus setengah berlari supaya bisa menjajari
langkahnya.
"Reno...?" panggilnya lagi.
Reno tetap diam.
Fay menoleh dan melihat telinga dan wajah Reno yang me?
rah, dan ia memutuskan untuk mengerem mulutnya dulu.
Mendadak Reno berbelok ke sebuah gang kecil, masih de?
ngan langkah cepat. Fay tergopoh-gopoh mengikuti langkahnya
dan baru saja berniat untuk menanyakan ke Reno kenapa dia
mengambil jalan ini padahal seharusnya mereka berjalan lurus,
ketika mendadak Reno berhenti dan membalikkan badan, me?
natap Fay dengan tajam sambil maju perlahan dengan gerakan
mengancam. Fay yang kaget dengan gerakan Reno, mundur
beberapa langkah, hingga akhirnya punggungnya menyentuh
dinding.
! 8-15.238
Kini ia menatap Reno dengan perasaan takut yang tidak
bisa dijelaskan pikirannya. Mata Reno yang tajam menatapnya
seakan menyala dalam suatuarah.
Reno membentaknya dengan keras, "Bodoh sekali tindakan
kamu tadi! Berjalan tanpa tujuan, tidak memakai otak sama
sekali!"
Fay merasa sekelebat tangan Reno melayang dan ia memekik
ketika telinga kirinya merasakan desiran angin disertai bunyi
yang keras menghantam tembok tepat di sisi kepalanya. Tangan
Reno yang meninju tembok masih pada posisinya di tembok.
Wajah Reno sekarang persis berada di depan wajahnya.
Fay menatap Reno dengan napas yang tertahan dan dada
yang kembali mulai berdebar-debar.
Reno kembali membentaknya, "Jangan sekali-kali kamu
ulangi perbuatan tolol seperti tadi! Apalagi kalau alasannya
hanya karena seorang pemuda yang tidak kalah bodohnya de?
ngan kamu!"
Fay berkata pelan, "Tapi"
"Jangan membantah!" potong Reno keras. "Kalau aku tidak
datang, entah apa yang sudah mereka lakukan kepada dirimu,"
bentaknya lagi.
Fay terdiam, ia tahu Reno benar walaupun gengsinya terlalu
besar untuk mengakui hal itu.
Reno melanjutkan, "Kamu membahayakan diri sendiri hanya
karena pemuda bodoh yang tidak tahu cara menghargai kamu.
Jangan buang-buang waktu untuk menunggu pemuda seperti
itu. Untuk apa menyia-nyiakan diri demi seorang pemuda yang
merasa kamu tidak layak berada di sisinya! Lupakan dia,
Fay!"
Air mata Fay mulai menggenang mendengar perkataan
Reno. Masih dengan sisa-sisa keyakinan yang ia punya, ia mem?
bantah, "Tapi dia tidak seperti itu."
Reno menghardiknya lagi, "Mana buktinya?? Kalau dia me?
mang menghargai kamu, dia bisa memberitahu kamu bahwa
dia tidak bisa datang. Tidak perlu sampai membuat kamu me?
! 8-15.239
nunggu selama itu, seolah kamu yang mengemis-ngemis meng?
harapkan kehadirannya."
Fay menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Sakit
di dadanya yang sedari tadi berusaha ditahannya, memuncak
dalam isak tangis karena perkataan Reno itu.
Reno menghela napas dan menarik Fay ke dalam pelukan?
nya. Akhirnya dia berkata, "Maaf kalau aku berbicara terlalu
keras. Aku tidak punya hati untuk melihat harapan di mata
kamu dipupuskan begitu saja dan berganti menjadi kecewa."
Sebuah rasa sejuk menyiram hatinya sejenak dan Fay ber?
usaha menghentikan tangisnya.
"Sebaiknya kita kembali ke sekolah. Kita sudah terlambat
lima menit dan kamu harus membasuh diri dulu di kamar
mandi. Tentunya kamu tidak mau seisi kelas bertanya kenapa
mata kamu bengkak dan merah."
Fay mengangguk kemudian mengikuti Reno yang menarik
tangannya.
Pukul 16.20, Reno berjalan lambat-lambat menyusuri trotoar
Rue de Rivoli menuju Le Petit St. Antoine, sebuah kafe di
jalan Rue St. Antoine, tidak jauh dari tempatnya sekarang
berada. Berada di distrik Le Marais yang sangat populer dengan
tempat-tempat historis, kafe itu menyajikan salad dengan
daging salmon yang menurutnya terenak di seantero Paris. Plat
du jour atau "menu spesial hari ini" yang ditawarkan kafe itu
juga selalu berhasil memuaskannya dengan harga yang masuk
akal.
Kali ini ia datang memang untuk menikmati salad yang
menggoda selera itu, tidak seperti dua hari yang lalu saat ia
datang dengan sumbu emosi yang sudah terbakar, ketika siang?
nya ia menjumpai seorang laki-laki bernama Kent di lobi seko?
lah datang untuk menemui Fay, bahkan berani mengajak gadis
itu makan siang tepat di depan batang hidungnya.
! 8-15.240
Pikiran tentang hal itu membawanya kembali ke titik awal
semua ini bermula, hari Senin minggu lalu.
Senin pagi minggu lalu Reno masih meringkuk di atas tempat
tidur di apartemennya yang nyaman, sepuluh menit dari pusat
kota Zurich. Ia dibangunkan suara telepon genggamnya, yang
menandakan ada pesan masuk. Kaget, ia melirik ke jam digital
di samping tempat tidurnya. Pukul 04.00! Mengesalkan. Ia
bukan orang yang gampang tidur. Tadi malam saja ia baru
tidur pukul 01.00. Walaupun dibangunkan pukul 04.00 ini,
sudah pasti ia tidak bisa tidur lagi sampai tengah malam nanti.
"This gotta be important or I?ll smack whoever sent it the next time
we meet," gerutunya. Ia meraih telepon genggam itu dan mem?
baca pesannya. Kesalnya menguap ketika melihat pesan yang
masuk berasal dari nomor yang tidak dikenal, berkepala +254,
kode negara Kenya, Afrika Timur. Hanya satu orang yang
mungkin mengirim pesan ini, dan pastinya dia tidak berada di
Kenya. Ia tidak peduli untuk melihat nomor di belakangnya,
karena nomor itu selalu diacak.
"Miss u so much. Pls call me. Dinah."
Reno bahkan tidak perlu berpikir siapa perempuan yang di?
sebut Dinah. Nama pengirimnya juga tidak pernah dibuat
sama.
Ia langsung bangun, memakai jaket untuk menutupi kaus
tipis dan celana jinsnya, memakai bot dan menyambar dompet,
serta mengambil sarung tangan yang dipakainya sambil berjalan
keluar dari apartemennya dalam gelap pagi itu. Pagi buta di
musim panas di Zurich harusnya cukup hangat untuk kaus
tipisnya. Tapi entah kenapa sudah dua hari terakhir cuaca di
kota ini tidak mau mengikuti aturan yang digariskan alam. Se?
karang pun angin dingin subuh ini menusuk kulit mukanya. Ia
mengarah ke telepon umum di pojok jalan, mengangkat gagang
telepon tanpa ragu karena sarung tangannya sudah terpasang
! 8-15.241
dan menekan nomor telepon lokal. Setelah disambut suara
mesin, ia kembali menekan tombolnya, kali ini sembilan digit
angka. Ia menunggu beberapa saat. Sebentar lagi ia harus
menyebutkan nama dirinya beserta kodenya, kemudian suara?
nya akan diverifikasi sebelum akhirnya diizinkan untuk tersam?
bung. Terdengar nada bip dan ia pun memperkenalkan diri,
"Reno Cordero, code 45837."
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Verifikasinya diterima karena suara seseorang yang diharap?
kannya langsung menyapa, "Halo, Reno. Sudah bangun sepagi
ini?"
Sedikit kesal dengan humor pagi buta itu, ia pun men?jawab,
"Ha ha, lucu sekali." Reno meluruskan posisi berdirinya, me?
narik napas panjang dan melanjutkan, "Ada apa?"
"Perubahan rencana.bil pesawat paling pagi untuk kem?
bali ke Paris."
"Ada yang menarik?" Reno bertanya sekenanya.
"Kamu akan diberi pengarahan setelah tiba. Sampai jumpa
segera." Setelah itu telepon ditutup.
Jadilah ia di hari Senin pagi duduk di sofa empuk ruang
kerja pamannya di Paris. Paman yang mengambil dan meng?
asuhnya sejak ia kehilangan arti kehidupan di usia tiga belas
tahun. Paman yang selalu memberikan dirinya hanya yang ter?
baik sebatas kesanggupannya. Paman yang kesanggupannya ti?
dak terbatas karena sebagai pemilik Llamar Corp, kekayaannya
tidak bisa dihitung lagi dengan kalkulator biasa. Paman yang
juga atasannya di garis komando COU, organisasi yang oto?
matis menjadi rumah keduanya setelah masa berkabung yang
hanya satu minggu delapan tahun yang lalu. Paman yang meng?
ajarinya definisi kehidupan yang baru, yang ironisnya melibat?
kan banyak kematian.
Reno menatap Andrew yang masih berbicara di telepon di
meja kerjanya, sekilas mendengar pamannya memberi perintah
kepada seseorang untuk datang ke Paris. Mungkin tugas yang
sama. Mungkin juga tidak. Satu hal yang sudah dipelajarinya
tentang Andrew selama delapan tahun ini adalah jangan ber?
asumsi.
! 8-15.242
Andrew sudah selesai. Ia duduk di hadapannya dan langsung
menjelaskan, "Seorang gadis Asia berusia tujuh belas tahun
akan mengikuti kursus bahasa Prancis selama dua minggu ke
depan. Saya mau dia diawasi dengan Close Surveillance by
Intervension." Close surveillance by intervension atau "pengawasan
lekat dengan intervensi" adalah istilah di COU untuk peng?
awasan seseorang yang menjadi target dengan cara berinteraksi
secara dekat. Berarti agen yang diberi tugas harus membuat
kontak personal dan mengenal targetnya.
"Seberapa dekat saya harus mengenalnya?" tanya Reno.
"Kamu akan ada di kelas yang sama dengan dia, kelas pe?
mula."
"Debutant? Itu penghinaan, Paman," dengan kesal Reno me?
lihat ke arah pamannya. Bahasa Prancis sudah hampir seperti
bahasa ibu baginya sejak kepindahannya ke Paris delapan ta?
hun lalu. Berpura-pura bodoh dalam bahasa itu tidak akan
segampang yang diperkirakan.
Kembali Reno bertanya, "Informasi apa yang harus saya
korek dari dia?"
"Pekerjaan kamu bukan untuk mencari informasi, tapi untuk
mencegah suatu informasi diberikan oleh gadis itu ke pihak
mana pun selama dia berada di bawah pengawasanmu sepan?
jang waktu kursus itu."
"Informasi apa?" tanya Reno.
"Dia diculik kemarin, dilepaskan di hari yang sama. Semua
cerita yang berkaitan dengan kejadian itu tidak boleh sampai
terdengar oleh pihak mana pun."
Saat itu, dengan alis bertaut pertanda masih bingung, Reno
bertanya, "Siapa yang menculik dia dan mengapa? Dan apa
yang terjadi saat dia diculik?"
Andrew menjawab, "Saya yang memerintahkan penculikan
itu. Pertanyaan ?mengapa? dan ?apa? tidak ada dalam wewenang
kamu sebagai agen Level Dua."
"Dan bagaimana caranya saya bisa melakukan tugas ini kalau
! 8-15.243
Paman tidak mau repot-repot memberitahukan apa yang ter?
jadi?" tanya Reno masih dengan muka error.
Andrew menangkap tatapan Reno yang masih bingung dan
menghela napas. "Kamu mulai membuat saya kesal, Reno.
Kalau kamu mau memakai benda yang kamu sebut otak itu,
kamu akan tahu kamu tidak perlu detail lebih lanjut untuk
bisa melakukan tugas tadi."
"Sebentar, Paman... Saya masih belum mengerti kenapa saya
perlu menjadi pengasuh gadis itu. Kalau Paman hanya ingin
supaya dia tutup mulut, kenapa tidak mengancamnya saja?"
ujar Reno protes.
"Karena dia berada di bawah observasi saya. Saya ingin
mengetahui semua hal tentang dia selain dari yang bisa saya
peroleh di ruang interogasi. Jadi, awasi dia baik-baik."
Reno terdiam. "Observasi" di kamus COU berarti eksperi?
men perilaku, mengamati bagaimana seseorang bereaksi atas
suatu aksi, yang bisa berupa suatu kejadian yang tidak berhu?
bungan langsung atau suatu perlakuan terhadap orang tersebut.
Sebuah observasi akan menghasilkan profil, yang pada akhirnya
akan menentukan apa tindakan yang akan diambil terhadap
orang yang berada di bawah pengamatan tersebut.
Andrew menyambung perintahnya, "Satu lagi. Saya mau dia
mengatur makanannya. Kamu harus memastikan dia hanya
memakan ini sebagai makan siangnya," Andrew berkata sambil
menyodorkan bungkusan sachet kepada Reno. "Sebagai tam?
bahan, dia hanya boleh makan sayuran tanpa saus, dan tidak
boleh ada minuman bersoda, es krim...," Andrew pun terus
berbicara tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh di?
makan.
Di benak Reno saat itu, pamannya mungkin sudah gila.
"Dan bagaimana caranya saya bisa memaksa dia memakan
ini?" tanyanya dengan nada mulai meninggi.
Tatapan tajam Andrew mengguyur emosinya bahkan sebelum
pria itu membuka mulutnya.
"Jaga bicara kamu," ujar Andrew dengan nada keras.
! 8-15.244
"Maaf," jawab Reno pelan sambil memalingkan wajah.
Andrew kemudian berdiri sambil berkata, "Saya tidak peduli
bagaimana kamu melakukannya. Tugas kamu sudah diberikan,
sekarang gunakan imajinasi kamu. Saya menunggu laporan
kamu setiap hari segera setelah kelas selesai, dimulai hari
ini."
Ia sudah sampai. Reno berdiri di depan pintu masuk Le Petit
St. Antoine. Dengan pintu yang selalu tertutup, kafe itu me?
mang lebih mirip bar yang entah kenapa seperti didesain untuk
tidak menarik perhatian. Bila tidak ada tulisan di jendela dan
pintunya, dan bila tirainya tidak dibuka menampakkan meja
dan kursi kafe yang tersusun rapi, orang yang lewat mungkin
hanya berpikir bahwa tempat ini rumah biasa.
Reno meraih gagang pintu. Terdengar suara bel bergeme?
rincing ketika pintu kafe ia buka. Dengan cepat ia duduk di
tempat favoritnya dekat jendela dan memesan salad.
Pandangannya menyapu kafe dan jatuh pada tempat duduk
di sudut yang posisinya agak tersembunyi. Di sisi itu, tidak ter?
dapat kursi seperti yang didudukinya, melainkan bangku pan?
jang berhadap-hadapan dengan sandaran tinggi bagai sekat
kompartemen kereta. Ingatannya kembali melayang ke hari
Selasa dua hari yang lalu, ketika wajah yang dikenalnya sangat
baik sudah duduk di sana.
"Apa yang kamu lakukan di tempat kursus itu hari ini?" tanya?
nya tanpa basa-basi.
"Aku tidak berutang penjelasan apa pun padamu. Kamu sen?
diri, apa yang kamu lakukan?" Kent membalas dengan nada
keras. Dia masih menimbang-nimbang apakah akan berpurapura menerima perintah datang ke sana dari pamannya.
! 8-15.245
Reno mendadak memajukan badannya sambil membanting
botol minumannya ke meja hingga mengundang beberapa pa?
sang mata menoleh.
"HEI, aku ada di sana karena aku melakukan tugasku. Dan
dalam profil tugasku, tidak disebutkan bahwa kamu akan mun?
cul. Jadi jangan bermain seperti seorang bajingan sok pintar
yang tidak melakukan kesalahan. Kalau namamu muncul di
laporanku hari ini, kamu akan dapat kesulitan besar dari Pa?
man," ujarnya mengancam.
Kent terdiam. Dia tahu Reno benar. Kedatangannya ke se?
kolah Fay sama sekali di luar protokol.
Reno perlahan kembali menyandarkan badannya di sandaran
bangku. Ia menenggak minumannya kemudian berkata, "Kita
coba sekali lagi. Apa peran kamu di sini? Apa hubungan kamu
dengan Fay?"
Setengah hati Kent menjawab pertanyaan Reno, "Aku men?
jadi mentor Fay di rumah latihan."
Reno bertanya, "Apa yang kamu ajarkan dan kenapa?"
"Jadi kamu tidak tahu?" Kalau begitu, aku tidak perlu men?
jawab pertanyaan kamu, Kent merasa di atas angin.
"Sekarang giliranku. Apa peran kamu sendiri?" balas Kent.
Reno melihatnya dengan tajam. "Kamu tidak dalam posisi
untuk menuntut jawaban apa pun dari mulutku. Sekarang,
kamu akan jawab pertanyaanku, dan kita lihat nanti apakah
kamu cukup pantas untuk mendengar penjelasanku."
Kepala Kent seperti tersengat. Dia bisa merasakan mukanya
memanas dan yang dia yakin sekarang sudah memerah, dan
tanpa sadar tangannya sudah terkepal di bawah meja. Ingin
sekali rasanya saat ini ia menerjang Reno dan melayangkan
satu tinju yang akan mematahkan hidungnya. Butuh beberapa
detik bagi sisi lain dari kepalanya yang masih tetap dingin un?
tuk mengingatkan bahwa apa yang dikatakan Reno benar, dia
sama sekali tidak dalam posisi di atas angin. Reno sudah
seperti kakaknya sendiri, tapi itu di rumah. Di COU, ia adalah
agen Level Dua, satu tingkat lebih tinggi darinya yang baru
! 8-15.246
Level Tiga. Menyerang agen dengan level yang lebih tinggi
akan menyebabkannya terkena insubordinasi. Dan hukumannya
tidak ringan.
Menghela napas, akhirnya Kent melonggarkan kepalannya
dan mulai berbicara, "Paman memintaku mengajarkan dasardasar Analisis Perimeter dan membimbingnya mempelajari
profil satu gadis lain bernama Seena. Dia memerlukannya ka?
rena dia akan melakukan tugas infiltrasi ke sebuah kediaman
yang dimiliki target. Dia akan masuk dengan berpura-pura men?
jadi keponakan si target."
"Kenapa harus dia?" tanya Reno dengan kening berkerut.
"Wajahnya persis sekali dengan keponakan si target yang
orang Malaysia, tanpa perlu modifikasi apa pun."
"Ada informasi tentang targetnya?"
"Namanya Alfred Whitman, pria kebangsaan Inggris yang
tinggal di Paris sejak kematian istrinya. Aku sudah coba untuk
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencari informasi tentang pria itu di sumber-sumber umum.
Yang aku tahu, dia punya beberapa perusahan investasi di Ti?
mur Tengah dan tidak punya catatan kriminal. Satu-satunya
informasi yang mengaitkan pria itu dengan Paman adalah satu
pemberitaan di salah satu kolom berita investasi di surat kabar
tentang selentingan bahwa Llamar Corp. ingin membeli salah
satu perusahaan pria itu, tapi belum ada pihak yang mengon?
firmasi. Aku tidak yakin itu saja cukup untuk menjadikan pria
itu sebagai target operasi."
Reno berpikir sejenak. Dalam pekerjaan ini, perusahan inves?
tasi seringkali diasosiasikan dengan pencucian uang. Ia yakin
bukan bisnis pencucian uangnya, tapi pasti sumber uangnya,
yang menarik minat pamannya hingga sedemikian besar, walau?
pun tidak begitu jelas apa hubungannya dengan selentingan
berita yang disampaikan Kent.
Reno kembali bertanya, "Ada informasi yang berhasil kamu
peroleh dari kantor?" "Kantor" adalah istilah umum untuk
merujuk markas COU.
"Kamu tentunya tahu hal itu tidak bisa aku lakukan," jawab
! 8-15.247
Kent kesal. "Begitu aku mengetik ?Alfred Whitman? di kolom
?search?, aku akan langsung diseret ke ruang interogasi," lanjut?
nya lagi.
Reno menggeleng putus asa. Kent benar. Pertanyaannya sa?
ngat bodoh, dipicu rasa putus asa oleh ketidakmengertiannya
atas apa yang sedang terjadi. Data-data di COU diproteksi ti?
dak hanya dari kemungkinan penyusupan dari luar, tapi juga
dari dalam.
"Apakah kamu mengetahui kejadian waktu Fay diculik?"
Reno melanjutkan.
"Kapan terjadinya?" tanya Kent.
"Hari Minggu, minggu lalu."
Kent mengangkat bahu, tapi kemudian melanjutkan, "Aku
baru dihubungi hari Senin. Mungkin itu waktu Fay diberitahu
tugasnya apa. Sekarang giliranku. Bagaimana kamu bisa kenal
Fay?"
Reno menimbang-nimbang sejenak. Akhirnya ia memutuskan
untuk bertukar informasi dengan Kent secara wajar. "Close
surveillance by intervention."
"Kenapa? Informasi apa yang mungkin dia punyai yang menye?
babkan kamu mengawasinya dengan cara itu?" tanya Kent sam?
bil mengerutkan kening. Sepanjang pengetahuannya, Fay hanya
gadis biasa yang kebetulan terjebak dalam skenario pamannya.
Rasanya tidak mungkin ada informasi penting yang diketahui
gadis itu sehingga harus diawasi dengan cara itu.
"Dia sedang berada di bawah observasi Paman."
Kent tertegun, badannya langsung tegak. Jelas dia tahu apa
arti di balik kalimat Reno.
Kent akhirnya berkata perlahan-lahan, "Itu berarti ada ke?
mungkinan dia direkrut menjadi agen COU atau," dia ber?
henti.
"ini bisa jadi akhir baginya," sambung Reno. Ia merasakan
ketegangan yang sama dari kalimat yang ia ucapkan sendiri,
kemudian buru-buru menenggak minumannya.
Kent menatapnya, kali ini dengan pandangan mendesak,
! 8-15.248
"Apa saja yang kamu tulis di laporan yang kamu berikan ke
Paman?"
"Tidak ada yang istimewa. Aku hanya melaporkan apa yang
terjadi saat jam sekolah dan sejauh ini tidak ada yang luar
biasa. Tapi, kita tidak tahu apakah yang dicari Paman adalah
sesuatu yang aneh atau yang biasa. Kita tidak pernah bisa me?
nebak pikiran Paman," jawab Reno.
Mereka berdua terdiam sebelum akhirnya Reno berkata, "Ja?
ngan mendekati Fay lagi. Aku tidak mau dia sampai terlibat
kesulitan karena berhubungan dengan kamu."
"Aku sudah janji akan datang besok untuk makan siang lagi
dengannya," protes Kent.
"Jangan coba-coba! Kalau aku sampai melihat kamu lagi di
dekat Fay, nama kamu akan masuk ke laporanku," ancam Reno
sambil bangkit dan berlalu.
Seorang pelayan datang dan meletakkan salad-nya di meja.
Setelah mengatakan terima kasih, sambil tersenyum tipis Reno
mengucapkan selamat tinggal pada makanan bungkusan yang
dibencinya, yang terpaksa dimakannya hanya untuk memasti?
kan bahwa Fay memakannya juga. Sambil menyuap salad itu,
otaknya berputar mengulang keterangan Kent.
Menemukan alamat Alfred Whitman bukanlah hal sulit. Ia
bahkan sudah melewatinya satu kali kemarin. Dari pandangan?
nya sekilas ke kediaman itu, ia harus mengakui pengaturan
keamanan di sana terlihat terlalu berlebihan untuk seorang
pebisnis biasa. Pengaturan itu sekilas mendekati apa yang ada
di kediaman pamannya di Paris dan London; pamannya sendiri
bukan seorang pengusaha biasa dengan statusnya sebagai Ke?
pala Direktorat Pusat COU.
Secara pribadi, Reno setuju bahwa langkah pamannya untuk
mengirim seseorang masuk lewat pintu depan sudah tepat.
Hanya saja, kali ini pamannya sangat keterlaluan, mengirimkan
! 8-15.249
seorang gadis yang bahkan belum berusia tujuh belas tahun
dan belum berpengalaman sama sekali untuk mencoba per?
untungannya.
Reno menggeleng frustrasi.
Selain alamat, tidak ada informasi penting lain yang bisa
diperolehnya selama dua hari ini lewat sumber-sumber umum.
Sebenarnya Kent adalah sumber informasi yang paling lengkap,
mengingat aksesnya ke penugasan Fay memang resmi. Sayang?
nya dia tidak bisa menjaga kelakuannya dan membawa penga?
ruh buruk bagi Fay, pikir Reno geram sambil mengingat adegan
mereka berciuman di depan sekolah.
First things first, pikirnya lagi. Masalah Kent sudah beres,
setidaknya pemuda itu tidak akan berhubungan lagi dengan
Fay dan ia bisa menyingkirkan pemuda itu dari daftar masalah
yang harus dibereskannya. Sekarang prioritasnya adalah me?
nemukan cara supaya ia bisa tahu lebih banyak tentang tugas
yang diberikan kepada Fay, termasuk tentang apa yang akan
dilakukan olehnya di kediaman itu.
Reno memang tidak bisa melakukan apa-apa ketika kejadian
buruk menimpa Maria, tapi sekarang ia bisa. Dan ia akan me?
lakukannya.
Pukul 19.15. Dengan tatapan kosong Fay mengarahkan pan?
dangan ke piringnya yang penuh berisi salad. Jari-jarinya secara
otomatis memainkan garpu dengan lihai untuk menyurukkan
daun-daunan yang ada di sana, kemudian menyuapkannya ke
mulutnya. Mulutnya secara otomatis mengunyah tanpa merasa
perlu repot-repot mengecap rasa. Dan kerongkongannya mem?
biarkan makanan itu lewat tanpa perlawanan. Semua seakan
mengerti bahwa si gadis yang ditugaskan untuk menjadi penyer?
ta mereka di dunia saat ini sedang sibuk bermain dengan pikir?
annya. Sebuah permainan dengan satu objek bernama Kent,
dan dengan dialog yang berputar-putar membuat mereka bi?
ngung.
! 8-15.250
"Apakah Kent menyayangiku?"
"Rasanya iya. Kalau tidak, mana mungkin dia menciumku se?
perti itu?"
"Bagaimana kalau Reno benar dan Kent hanya mempermainkan
aku? Kalau dipikir-pikir, Kent memang terlalu agresif. Kami baru
kenal, tapi sudah berciuman."
"Tapi kan kami tidak hanya berciuman. Bagaimana dengan tatap?
annya, cara dia berbicara, saat-saat menyenangkan yang membuat?
nya kelihatan bahagia juga?"
"Tapi dia belum pernah bilang sayang padaku."
"Betul, tapi kan tidak harus dengan kata-kata. Walaupun itu
harusnya suatu permulaan yang baik."
"Mungkinkah dia terlibat kisah dengan banyak gadis lain seka?
rang seperti kata Reno? Itukah sebabnya dia tidak datang tadi
siang?"
"Bisa saja, tapi susah dibuktikan. Dia bisa dengan mudah me?
makai perintah pamannya sebagai alasan untuk segala hal. Dia
memakai alasan itu tadi siang, dan sore ini pun dia tidak datang,
pastinya dengan alasan yang sama, ?Paman menyuruhku melakukan
sesuatu.? Hah!"
"Tapi kalau dia sayang padaku, seharusnya dia tidak bohong."
"Apa buktinya kalau dia sayang sama aku, mengutarakannya
saja dia tidak pernah, padahal orang barat lebih ekspresif daripada
orang timur."
"Tapi kan tidak harus dengan kata-kata. Bagaimana dengan
tatapannya, cara dia berbicara, saat-saat menyenangkan yang mem?
buatnya kelihatan bahagia juga?"
"Eh Itu sepertinya kalimatku tadi."
"Fay!"
Suara Andrew yang keras menyentak lamunannya. Ia me?
negakkan badan dan menatap pria itu.
"Apa ada yang mengganggu pikiranmu? Sampaikan saja
kalau ada yang ingin kamu tanyakan tentang topik kemarin,
atau apa pun, sebelum kita lanjutkan lagi setelah makan."
! 8-15.251
"Tidak ada. Belum ada pertanyaan. Mungkin nanti," jawab
Fay cepat.
Andrew mengangguk tanpa melepas tatapannya dari Fay.
Fay menyadari Andrew menatapinya dan ia kembali mem?
buang pandangannya, lagi-lagi menatap piringnya yang dengan
kaget disadarinya sudah hampir kosong.
Setelah makan malam, Andrew memulai topik bahasannya,
"Sampai saat ini, kamu sudah diberikan berbagai fakta ten?
tang Seena dan Alfred. Sekarang, fokusnya adalah pengamatan
perilaku."
Dia melanjutkan, "Sekarang saya akan memperlihatkan ber?
bagai foto dan rekaman video yang menunjukkan berbagai foto
dan rekaman video yang menunjukkan berbagai kegiatan yang
diikuti Seena dan Alfred."
Gambar demi gambar pun berseliweran di depannya, dan
Fay sejenak lupa dengan masalahnya tadi pagi. Ia mendapati
dirinya berkonsentrasi penuh, berusaha untuk lebih jauh meng?
hayati perannya sebagai Seena dengan mengamati perilaku
gadis itu lewat bingkai demi bingkai gambar yang dipampang?
kan di depannya cara gadis itu tersenyum dan tertawa, cara
dia berbicara dengan teman dan orang yang lebih tua, cara dia
menolehkan kepala bila dipanggil, cara dia berjalan, bagaimana
tatapannya ketika sedang bersiaga untuk mendengarkan abaaba wasit sebelum mulai menggerakkan kaki dan memacunya,
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagaimana matanya tersipu ketika ada seorang pemuda menya?
panya, bagaimana ekspresinya ketika mendengarkan temantemannya berbicara, dan bagaimana antusiasmenya dalam
menyampaikan cerita saat duduk di kafe di mal bersama teman?
nya.
Andrew kembali melakukan hal yang sama, kali ini Alfred
sebagai topiknya. Fay melihat berbagai foto dan rekaman video
tentang Alfred, mulai dari foto saat dia berpidato di forum
ekonomi Davos, bertemu dengan tokoh-tokoh di suatu negara,
kebanyakan di Timur Tengah tempat bisnisnya berkembang,
hingga cuplikan video di sebuah pesta.
! 8-15.252
Satu hal yang disadari Fay, yang dikatakan Andrew di hari
Senin tentang Vladyvsky benar. Pengawal pribadi yang me?
nyertai Alfred kadang berganti-ganti, tapi tidak Vladyvsky. Pria
itu tidak pernah beranjak lebih dari sepuluh meter dari Alfred.
Fay bergidik memikirkan kemungkinan akan bertemu dengan
pria itu nanti dan cepat-cepat mengusir bayangan pria itu dari
pikirannya.
Gambar terakhir yang ditampilkan oleh Andrew adalah foto
Alfred yang memasuki salah satu gedung miliknya di pusat
kota Paris. Setelah Andrew menjelaskan sedikit tentang gam?
bar itu, dia menyatakan topik malam itu sudah selesai.
Andrew berkata, "Semua topik untuk mempersiapkan kamu
menjalani peran sebagai Seena sudah saya berikan. Besok sore
kamu tidak perlu datang karena kamu harus menyiapkan kebe?
rangkatan di hari Sabtu dari rumah Jacque dan Celine. Hari
Sabtu kamu akan dijemput untuk kembali ke sini dan kita
akan mengulang semua topik yang sudah kamu terima supaya
kamu lebih yakin dalam menjalankannya." Pria itu pun melan?
jutkan instruksinya tentang apa yang harus dilakukan oleh Fay
hari Sabtu pagi.
Fay mengangguk dengan perasaan lega. Ia tahu harusnya
perasaan itu tidak berhak menemaninya, karena itu berarti
waktunya untuk menjalankan peran Seena sudah semakin
dekat. Tapi pemikiran bahwa besok sore ia tidak usah datang
ke rumah latihan mau tak mau membuat beban di dadanya
terasa ringan barang sejenak.
Sampai di rumah, ia diterpa rasa lelah seperti yang biasa ia
rasakan di hari terakhir ujian di sekolah, sebuah rasa lelah
yang disirami perasaan terbebas dari suatu beban yang mengu?
ras tenaganya. Segera ia menuju kamarnya di atas dan begitu
kepalanya menyentuh bantal yang empuk, dalam hitungan de?
tik ia sudah tertidur pulas.
! 8-15.253
Refleksi
AY ada di rumah latihan, duduk di meja belajar di kamar?
nya sambil melihat ke luar jendela di hadapannya. Tidak ada
yang menarik di luar selain bahwa pemandangannya sangat
menyegarkan mata, kombinasi berbagai warna hijau pucuk pe?
pohonan dengan warna biru cerah yang dimiliki langit yang
sedang ceria.
Sambil lalu ia melirik jam yang melingkar di pergelangan
tangannya pukul 16.00, hari Sabtu. Yup, ia tidak salah lihat.
Sudah pukul 16.00. Kurang dari 24 jam lagi waktunya tiba
untuk menjalani perannya.
Ia mendesah dalam galau.
Waktu memang sangat tidak bersahabat pada dirinya di
minggu keduanya di Paris. Kejadian demi kejadian terjadi dan
lewat begitu saja. Waktu kecil ia selalu membayangkan bahwa
detik berjalan dan hari berganti karena sang waktu yang ber?
wujud sebuah beker yang sangat besar, diputar engkolnya oleh
seorang raksasa berjanggut yang memakai topi kurcaci. Itulah
sebabnya menjalani satu satuan waktu tidak pernah sama rasa?
nya. Suatu waktu raksasa itu memutarnya dengan malas sambil
! 8-15.254
tersandung-sandung mengantuk, di saat lain ia terburu-buru
menyelesaikan tugasnya, memutar engkol penggerak waktu de?
ngan cepat dan bersemangat, seperti saat ini.
Perpisahannya di sekolah kemarin sama sekali tidak berkesan
dan berlalu begitu saja. Selain Reno, teman sekelasnya yang
lain mengambil kelas empat minggu, jadi masih ada waktu dua
minggu lagi bagi mereka. Di jam makan siang, semua makan
bersama di kafeteria, termasuk M. Thierry. Reno segera men?
jadi pusat perhatian dengan kelucuan dan keramahannya, dan
Erika tidak ragu-ragu menunjukkan ketertarikannya pada Reno.
Fay sendiri mengambil tempat duduk di pinggir, sejauh mung?
kin dari Reno dan Erika, dan lebih banyak diam. Siang itu
diakhiri dengan foto bersama sebagai kenang-kenangan.
Reno juga seperti mengerti keengganan Fay untuk bercakapcakap setelah kejadian hari sebelumnya dan tidak banyak ber?
bicara dengannya. Hanya sekali saja ia sempat bercakap-cakap
dengan Reno kemarin, ketika Erika yang sebelumnya sibuk
mengganduli Reno pergi ke kamar mandi. Saat itu mereka
hanya bercakap-cakap sebentar seputar rencana menghabiskan
sisa liburan, kemudian mereka bertukar alamat e-mail. Sebelum
berpisah di sore hari, Reno mengecup kening Fay sambil ber?
bisik lembut supaya ia menjaga dirinya baik-baik. Entah perasa?
an saja atau bukan, Fay merasa tatapan Reno memancarkan
perhatian yang berbeda, yang tidak pernah diterima oleh diri?
nya yang dibesarkan sebagai anak tunggal. Tapi kalau seperti
ini rasanya diperhatikan oleh seseorang yang pantas menjadi
kakaknya, Fay tidak keberatan. Walaupun kadang Reno bisa sa?
ngat menyebalkan, pikirnya sambil tersenyum tipis mengingat
kejadian minggu itu.
Fay melirik kopernya yang tergeletak di sudut ruangan. Se?
cara resmi, ia sudah pergi meninggalkan Paris tadi pagi. Setidak?
nya menurut Jacque dan Celine, pikirnya.
Celine menemaninya membereskan koper itu tadi malam.
Fay tersenyum mengingat bagaimana Celine berusaha keras
membantunya supaya barang-barangnya tersusun rapi di koper.
! 8-15.255
Sambil memasukkan barang-barang itu, Celine mengulang kem?
bali pernyataannya dulu bahwa dia berpendapat tidak sepatut?
nya jadwal Fay terlalu padat liburan ini, sehingga ia jadi kurus
begitu. Tapi dia buru-buru menambahkan dia ikut senang de?
ngan perubahan itu. Yang membuat Fay agak menyesal adalah
ketika Celine mengatakan sayang sekali mereka tidak banyak
menghabiskan waktu bersama, padahal dia ingin sekali tahu
apa rasanya ada anak perempuan yang tinggal di rumahnya.
Saat itu Fay hanya menjawab kalau jadwalnya tidak sepadat
itu, ia pasti akan lebih sering ada di rumah.
Sementara Celine membantunya beres-beres, Jacque duduk
di kursi depan meja komputer dan bercerita dengan berse?
mangat tentang banyak hal, mulai dari toko bukunya yang ra?
mai sekali dikunjungi pelanggan selama dua minggu ini, hingga
partai buruh yang sudah sedemikian dekat memberi instruksi
mogok kerja. Pria itu berceloteh tidak berhenti?di sela-sela
ocehan Celine?seakan berusaha mengejar ketinggalan selama
dua minggu ini tidak bisa mengobrol dengannya. Fay menang?
gapi semua cerita pria itu dengan antusiasme yang diiringi pe?
rasaan bersalah.
Perasaan bersalah itu semakin memenuhi dirinya, saat me?
lihat Jacque dan Celine melambaikan tangan di depan rumah
setelah memeluknya erat, melepas kepergiannya dengan pan?
dangan hangat yang masih sama dengan saat mereka menyam?
butnya dua minggu yang lalu. Ia pun membalas lambaian ta?
ngan mereka dari dalam mobil yang membawanya ke bandara,
mobil yang sama dengan yang membawanya dua minggu lalu
ke rumah itu.
Setelah sampai di bandara dan diturunkan di terminal ke?
berangkatan, ia langsung masuk ke terminal. Ketika melihat
mobil yang mengantarnya berlalu, ia kembali keluar dan me?
nelepon ke satu nomor yang diberikan oleh Andrew. Tidak
lama kemudian Lucas datang dan dengan berat hati ia masuk
ke mobil dan membiarkan Lucas membawanya kembali ke ru?
mah latihan ini. Fay ingat ketika melangkah masuk ke ter?
! 8-15.256
minal, terpikir olehnya apa yang akan terjadi kalau ia nekat
check in dengan tiket yang ada di tangannya, kemudian naik
ke pesawat dan meninggalkan kota ini. Tapi pikiran itu entah
kenapa tidak membuat kakinya melangkah lebih jauh dan men?
coba pilihan tersebut.
Kembali Fay mendesah dan melirik jamnya. Sepuluh menit
lagi ia harus menemui Andrew di ruang kerjanya. Tadi pagi pria
itu sudah membahas ulang semua topik yang sudah diajarkan,
termasuk detail tentang Seena. Sore ini ia akan membahas
sekali lagi tugas yang harus dikerjakan Fay saat menjadi Seena
dan hal-hal yang harus diperhatikan saat melakukannya.
Untuk segala hal yang berkaitan dengan Andrew, lebih baik
datang lebih awal daripada terlambat, pikir Fay sambil beranjak
pergi.
Setelah makan malam, Fay merebahkan tubuh di tempat tidur
kamarnya di lantai dua. Ia menatap langit-langit sementara
pikirannya melayang, menapaki hari demi hari yang dijalani
sejak menginjakkan kaki di bumi Paris.
Tidak terhitung banyaknya kejadian yang telah terjadi dan
dialami selama dua minggu dirinya berada di tempat ini. Emosi?
nya sudah bergejolak naik-turun, fisiknya juga sudah terkuras
habis. Yang membuatnya kini bertanya-tanya adalah nasibnya
setelah besok. Rasanya seumur hidupnya ia tidak pernah se?
gundah ini menghadapi hari esok. Perasaan cemas mau ujian
tanpa belajar saja tidak pernah sebesar ini, pikirnya gelisah sambil
membalikkan badan, seolah menyiapkan diri untuk mendengar
kemungkinan terburuk yang akan segera diumbar pikirannya.
Seperti apa pertemuan dengan Alfred, yang akan menjadi
pamannya?
Bagaimana kalau ia gemetar hingga ketahuan?
Atau bagaimana kalau ia tidak sanggup berkata-kata karena
ketakutan ketika melihat Alfred?
! 8-15.257
Apa yang terjadi kalau ia ketahuan?
Apakah ia akan mati?
Apa kata Mama, Papa, dan teman-temannya?
Tapi kalau mati, ia tidak perlu lagi khawatir akan apa yang
mereka pikirkan.
Apakah mereka akan menangis kalau ia mati?
Apakah ia akan mereka lupakan?
Apakah mati itu rasanya sakit?
Apa rasanya dikubur di dalam tanah?
Dosanya banyak tidak ya?
Ia kan masih muda, apakah ia layak mati?
Pertanyaan yang terakhir dijawab dengan mudah oleh pikir?
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
annya sendiri. Bahwa semua orang bisa mati, Fay sudah tahu.
Berdasarkan keyakinan yang dianutnya, tidak ada yang pantas
menentukan kelayakan seseorang hidup di dunia kecuali yang
Mahakuasa, dengan alasan yang hanya Dia yang tahu. Tapi
kenapa rasanya penjelasan itu rasanya tidak berlaku baginya
saat ini? Seolah ada tangan lain yang berusaha ikut campur
dengan rencana-Nya.
Atau inikah rencana-Nya pada dirinya, menggunakan tangan
itu sebagai penentu nasibnya?
Fay membalikkan badan membelakangi pintu dengan geli?
sah. Kali ini yang muncul adalah Kent. Di dadanya kini ada
rasa perih. Batu besar yang sebelumnya sudah bercokol me?
nimpa dadanya hingga sakit, terasa seperti menambah massa?
nya.
Kenapa dia tidak muncul sama sekali tanpa penjelasan?
Tidak ada artinyakah ciuman yang dia berikan?
Tidak ada artinyakah semua yang mereka jalani minggu lalu
berdua?
Jujurkah dia ketika berkata tidak bisa datang karena ada
tugas dari pamannya?
Kalau Kent jujur, lantas sampai kapan Fay harus menunggu?
Bagaimana kalau ia mati tanpa pernah bertemu pemuda itu
lagi?
! 8-15.258
Betapa egoisnya Kent, membiarkan Fay menunggu tanpa
berani berkorban untuk dirinya.
Andrew memang kejam, tapi kalau Fay bisa berkorban un?
tuk pemuda itu, kenapa Kent tidak bisa melakukan hal yang
sama untuk dirinya?
Bayangan demi bayangan kejadian selama hampir dua ming?
gu bersama Kent berkelebatan di benak Fay, dimulai dari per?
temuan pertama mereka, saat-saat menjengkelkan sewaktu
Kent sengaja menyusahkannya, saat ia berdiri di depan Andrew
berusaha menjawab pertanyaannya sementara Kent melihat
dengan gelisah, saat mereka berdua menghadapi Andrew dan
merasa senasib ketika mendapat ganjaran pukulan di tangan,
saat Kent mengajarinya dengan sabar dan sungguh-sungguh di
Nice, saat mereka berciuman untuk pertama kalinya, saat Kent
datang mengajaknya makan siang, diakhiri dengan saat Kent
datang untuk memberitahunya dia tidak bisa pergi.
Air mata mulai menggantung di pelupuk mata Fay.
Bayangan Reno kemudian muncul.
Ketika ingatan akan perkataan Reno tentang Kent muncul
di benaknya, air mata itu tumpah tanpa ragu. Semua emosi
Fay tumpah ruah dalam tetes demi tetes air mata yang kini
sudah mengalir deras, membawa berjuta ketakutan, berjuta ke?
kecewaan, berjuta kesedihan, dan berjuta empasan mimpi akan
hari esok, tapi meninggalkan jutaan lainnya yang tidak ada
habisnya dalam hatinya.
Terdengar suara pintu terbuka. Andrew masuk.
Tidak seperti biasanya, kali ini hati Fay menolak untuk
menghentikan tangisnya. Kedatangan pria itu bagaikan meng?
hadirkan kembali jutaan perasaan buruk yang berusaha dilepas?
nya. Fay tetap terisak di tempat tidurnya, tidak peduli lagi apa
yang akan terjadi.
Dari sudut matanya yang kini sudah membiaskan semua
gambar lewat pantulan butir-butir air mata yang ada di sana,
ia melihat Andrew mendekat, berjalan mengitari tempat tidur
ke hadapannya. Andrew meraih lengan Fay, menariknya untuk
! 8-15.259
berdiri dan tanpa disangka-sangka olehnya, pria itu menariknya
ke dalam pelukannya. Tangisnya kembali pecah.
Andrew memeluknya erat, menenangkan Fay dengan sese?
kali mengusap punggungnya hingga akhirnya gadis itu bisa
mengatur isak dan napasnya. Kemudian pria itu mengajaknya
duduk di tepi tempat tidur.
Fay berkata dengan suara sengau dan gemetar, "Bagaimana
kalau saya tidak bisa melakukan tugas ini? Bagaimana kalau
saya ketahuan? Apa yang akan terjadi?"
Dengan lembut Andrew menjawab, "Fay, saya tidak bisa
menjawab semua pertanyaan kamu, tidak ada yang bisa men?
jawab apa yang akan terjadi hari esok. Tapi satu hal yang pas?
ti, saya sudah mempersiapkan kamu untuk melakukan tugas
ini, dan kamu memang sudah siap melakukannya."
Andrew kemudian melanjutkan dengan nada lebih tegas,
"Saya tidak pernah salah menilai orang dan penilaian saya
mengatakan bahwa kamu bisa melakukan tugas ini. Hasil tes
yang kamu kerjakan hari Minggu lalu di Nice juga mengonfir?
masikan keyakinan saya. Dan percayalah Fay, kalau ada setitik
ragu saja dalam diri saya, perjalanan kamu tidak akan sampai
sejauh ini."
Fay tidak tahu ia harus berbesar hati atau makin menciut
dengan pernyataan terakhir Andrew yang bisa diartikan ganda,
tapi akhirnya ia memilih untuk berbesar hati.
Andrew berdiri dan berkata, "Cobalah untuk beristirahat
malam ini. Buatlah agar pikiran kamu yang menguasai hati,
dan bukan sebaliknya." Dia menunduk, mengecup kening Fay,
kemudian berlalu sambil berkata, "Selamat istirahat."
Fay mendapati dirinya terbengong-bengong menatap pintu
yang ditutup oleh Andrew, tidak yakin apakah kejadian tadi
nyata atau hanya khayalannya akibat rasa putus asa.
Akhirnya ia berdiri.
Khayalan atau bukan, perkataan Andrew benar, pikirnya. Ia
harus mulai menggunakan pikirannya dan meninggalkan hati?
nya yang dipenuhi segudang kenangan tentang Kent, setidak?
nya sampai semua ini berakhir.
! 8-15.260
Reno juga benar. Ia tidak boleh menyia-nyiakan waktunya
untuk pemuda itu, terlebih sekarang ketika hari untuk men?
jalankan tugas ini sudah hampir terasa tiupannya.
Sekarang, ia akan menggunakan peralatan mandi Seena
untuk membasuh dirinya, kemudian menyemprotkan sebanyak
mungkin parfum Seena ke tubuhnya. Supaya malam ini ia tidur
bukan sebagai dirinya tapi sebagai Seena, pikirnya membulatkan
tekad sambil beranjak ke kamar mandi.
Kent duduk termenung di tepi tempat tidurnya, di kediaman
pamannya di pinggiran Paris. Matanya tepekur menatapi foto
yang dipegang di tangannya, yang dicetak dari gambar di tele?
pon genggamnya. Gambar ini adalah satu-satunya yang tersisa
dari kenangan akan seorang gadis bernama Fay, yang baru di?
kenalnya dua minggu belakangan ini namun telah membawa
begitu banyak pergolakan dalam dirinya. Baik dan buruk.
Baik, karena si ceriwis Fay yang ada di gambar itu, telah
menghangatkan hari-harinya dengan gelak tawanya, telah me?
luluhkan hatinya dengan sorot jenaka matanya, telah meng?
ingatkannya betapa berharganya detik demi detik yang dijalani
dengan cinta.
Kent tidak tahu bahwa rasa cinta masih bisa menyinggahi
dirinya, yang tidak pernah dicintai dan mencintai. Rasa yang
pada awalnya tidak diketahuinya ada, tapi rasa yang ketika ada
begitu menenangkan batinnya. Sebuah rasa yang mendadak
muncul saat melihat gadis itu berdiri dengan tegar di depan
pamannya dan melakukan pengorbanan bagi dirinya.
Ia tidak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaan?
nya tapi ia yakin Fay tahu dan juga menikmati saat-saat yang
mereka jalani berdua. Cara gadis itu tertawa, binar-binar yang
tertangkap matanya ketika gadis itu membalas tatapannya dan
kecupan bibirnya, rasanya tidak mungkin salah ia artikan.
Tapi ini juga berarti buruk, karena Kent tidak boleh mem?
! 8-15.261
biarkan dirinya jatuh cinta. Tidak mungkin, dengan hari-hari
yang akan dijalaninya. Cinta bisa melemahkannya. Rasa yang
indah itu pun sekarang sudah menjelma menjadi sakit yang
terasa hingga ke tulang, seperti jiwa dan raganya dikikis dari
dalam oleh entah apa.
Ia tahu rasa itu tidak boleh dibiarkan tumbuh, bahkan se?
belum kejadian dua hari yang lalu. Tangan kanannya tanpa
sadar menyentuh luka di bagian dadanya yang masih sakit.
Ingatan akan kejadian dua hari yang lalu memanggil ingatan
kejadian di hari Minggu yang mengawali semuanya.
Malam itu ia tiba di rumah pukul 18.50, setelah sebelumnya
menemani Fay menghabiskan sore dan mengalami saat-saat
yang terasa mengangkat hatinya hingga seringan kapas. Ia ber?
lari kecil menuju pintu, dengan langkah yang seringan hatinya.
Hampir pasti terlambat untuk ritual makan malam, mengingat
ia masih di pintu masuk, sama sekali belum bersiap-siap, dan
kamarnya ada di sayap lain dari rumah yang lebih cocok di?
sebut kastil itu. Langkahnya terhenti ketika berpapasan dengan
Andrew yang sedang menuruni tangga yang melingkar turun
ke ruang penerimaan tamu yang luas. Pamannya itu sudah ber?
pakaian rapi untuk makan malam dan menyambut kedatangan?
nya dengan tatapan dingin.
"Tidak seharusnya kamu menghabiskan waktu dengan Fay.
Tugas kamu mengawasi Fay sudah selesai ketika saya menyuruh
kamu pulang ke Paris tadi pagi."
Kent mengumpat dalam hati. Ia tidak mengerti bagaimana
pamannya bisa tahu padahal ia yakin tidak dibuntuti.
"Saya hanya mengajaknya berjalan-jalan di distrik Le
Marais. Fay belum sekali pun berkesempatan menikmati libur?
annya di Paris, jadi saya menemaninya melihat objek-objek
wisata di sekitar distrik itu," Kent berusaha berkata sedatar
mungkin seolah hal itu tidak penting, tapi ia mengutuk dirinya
dalam hati karena ia bisa menangkap nada ringan dan bahagia
yang ada di intonasinya.
"Itu bukan alasan."
! 8-15.262
"Maaf, Paman," katanya sambil menghindari tatapan paman?
nya. "Saya akan segera bersiap-siap untuk makan malam." Ia
pun berlalu, menaiki tangga yang melingkar itu. Ia sama sekali
tidak menyesal.
Keesokan harinya, pamannya mendadak memberitahunya
bahwa hari itu ia tidak perlu datang ke rumah latihan, dan
memberikannya tugas lain. Kent yakin hal ini pasti berkaitan
dengan kejadian di hari sebelumnya.
Hari Selasa, ia memutuskan untuk menemui Fay. Tanpa di?
sangka-sangka ia bertemu dengan Reno, yang kemudian meng?
ajaknya bertemu sore itu. Sebuah ajakan yang langsung ia tang?
gapi karena rasa ingin tahunya juga terusik dengan keberadaan
Reno di tempat yang sama. Jantungnya seperti berhenti ber?
degup ketika tahu Fay berada di bawah observasi pamannya.
Keesokan harinya, pamannya kembali memberikan tugas.
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kali ini menyita waktu Kent hingga seharian sehingga janji
makan siang dengan Fay terpaksa batal. Untungnya ia berhasil
menyempatkan diri untuk mampir dan bertemu gadis itu untuk
sejenak melepas resah sambil menyampaikan sendiri kabar ku?
rang menyenangkan itu. Ia saat itu sempat menimbang-nim?
bang untuk memberikan satu telepon genggam secara diamdiam yang bisa dipakainya untuk berkomunikasi dengan Fay
tanpa termonitor. Tapi ide itu ditepisnya sendiri, karena risiko?
nya terlalu tinggi. Sebenarnya ia masih bisa menanggung konse?
kuensinya, tapi ia tidak sanggup membayangkan bila Fay juga
sampai harus merasakannya.
Kamis pagi, Kent sudah berada di gerbang depan ketika pen?
jaga menyampaikan pesan pamannya yang menyuruhnya kem?
bali. Dengan heran ia memutar mobilnya dan kembali. Ketika
turun dari mobil, ia langsung disambut oleh dua orang penjaga
yang langsung berdiri di sisi kiri dan kanannya. Salah satu dari
mereka berkata padanya, "Silakan ikuti kami."
Jantung Kent berdegup, ada yang tidak beres. Sambil berusaha
berpikir apa kira-kira kesalahan yang ia buat, ia mengikuti me?
reka ke bawah melewati tangga batu yang ada di selasar me?
! 8-15.263
nuju ruang tengah. Melihat arah mereka berjalan, hanya ada
dua kemungkinan yang menjadi tujuan mereka saat itu, salah
satunya adalah The Meeting Room atau Ruang Pertemuan, se?
buah ruangan dengan meja besar dan kursi yang mengelilingi?
nya, yang hanya digunakan oleh Andrew beserta pamannya
yang lain bila mereka akan memutuskan sesuatu tanpa risiko
termonitor oleh pihak mana pun.
Pintu masuk ke Ruang Pertemuan tepat berada di sebelah
kanan mereka dan mereka melewatinya begitu saja. Jantung
Kent berdegup lebih kencang, berarti tujuan mereka adalah
The White Room atau Ruang Putih. Ruang ini adalah versi
yang lebih ringan dari ruang sejenis yang ada di markas COU,
dimasuki hanya oleh mereka yang berbuat kesalahan atau perlu
dipaksa untuk mengungkapkan suatu kebenaran. Di COU,
ruang ini juga dimasuki oleh seorang pimpinan operasi di akhir
tugas, tapi tidak di rumah. Dan mengingat bahwa tugasnya
belum selesai, Kent yakin bukan yang terakhir itulah alasan ia
dibawa ke sana.
Otaknya berpikir keras, berusaha mengingat tugas yang
akhir-akhir ini diberikan kepadanya dan apakah ia melakukan
kesalahan yang cukup fatal hingga harus memasuki ruang ini,
tapi tanpa hasil. Mereka berhenti di depan pintu masuk Ruang
Putih dan salah satu dari pengawal itu membuka pintu tanpa
suara. Sesuai namanya, ruang itu bernuansa putih, mulai dari
lantai, dinding, langit-langit, sehingga berada di dalamnya akan
terasa seperti melayang di tempat yang tak bertepi tanpa arah.
Mungkin memang itu tujuannya. Di tengah ruangan ada satu
kursi kayu yang terpatri ke lantai, yang merupakan satu-satunya
benda yang berada di ruangan itu. Ke sanalah kedua penjaga
itu sekarang mengarahkannya.
Mereka menyuruh Kent menanggalkan bajunya, menyuruh?
nya duduk, mengikat tangan dan kakinya dengan pengikat dari
kulit yang ada di kursi, setelah itu mereka keluar, salah satu
masih memegang bajunya, dan menutup pintu.
Kent menatap pintu yang tertutup, yang di sisi ini juga ber?
! 8-15.264
warna putih, dengan perasaan tegang menanti seseorang masuk,
sambil sesekali melirik ke kamera yang terpasang di atas pintu,
terarah ke kursi tempat ia sekarang terikat tidak berdaya. Ia
yakin Andrew atau seseorang pasti sedang memperhatikan diri?
nya di layar TV di suatu ruangan di kastil ini, dan tidak lama
lagi orang itu akan masuk untuk memberinya hukuman atas
entah apa yang telah ia lakukan. Tubuhnya terasa dingin dan
ia mulai gelisah.
Dugaan Kent tidak salah, selang tak berapa lama kemudian
pintu terbuka dan Andrew masuk. Jantung Kent kembali ber?
degup ketika melihat apa yang dibawa oleh Andrew. Di tangan?
nya ada benda yang ukurannya sebesar walkie-talkie, hanya saja
ujungnya bisa mengeluarkan arus listrik. Dan tidak seperti alat
sejenis yang akan membuat korbannya tidak sadarkan diri se?
jenak, alat ini dirancang untuk membuat korbannya tetap da?
lam keadaan sadar dan bisa merasakan gigitan demi gigitan
arus listrik yang merasuk hingga ke tulang.
Setelah menutup pintu, Andrew berjalan lurus ke arahnya.
Kengerian Kent tumbuh seiring dengan langkah kaki Andrew
yang makin mendekat ke arahnya, dan memuncak ketika
Andrew tanpa bicara sepatah kata pun, menempelkan alat ter?
sebut ke dadanya yang telanjang. Dengan penuh horor, Kent
menyaksikan jari pria itu membuka klip pengaman dan me?
nyentuh tombol merah yang ada di sana.
Selanjutnya Kent merasa napasnya terputus ketika tubuhnya
mengejang, setiap inci tubuhnya teregang, semua ototnya ter?
tarik, dan detak jantungnya seakan kehilangan irama. Entah
berapa lama alat itu menempel di dadanya, pastinya hanya be?
berapa detik walaupun rasanya seperti neraka yang takkan
pernah berakhir.
Mendadak Kent merasakan suatu kehampaan yang me?
legakan ketika alat itu ditarik dari tubuhnya, yang kini rasanya
seperti tidak bertulang, dan semua otot di sekujur tubuhnya
terasa gemetar. Suara teriakan yang sedari tadi sudah tertahan
pun keluar dari mulutnya, disusul dengan deru napas yang
memburu.
! 8-15.265
Kelegaannya tidak bertahan lama karena alat itu dilekatkan
lagi ke tubuhnya dan kembali napasnya terasa seperti ditarik
tangan-tangan tak terlihat di dadanya. Ototnya kembali tere?
gang seakan ingin melompat keluar dari tubuhnya yang ber?
gerak liar tanpa arah.
Ketika alat itu ditarik kembali, Kent sudah tidak punya nyali
untuk merasa lega. Suara napasnya yang memburu diselingi
erangan lirih menahan sakit di sekujur tubuhnya adalah satusatunya suara di ruangan itu, seakan berusaha menyesuaikan
tempo dengan jantungnya yang masih berdegup tanpa irama.
Suara Andrew yang tenang dan bening bagaikan membelah
ruangan, "Buang jauh-jauh pikiran itu."
Kent menatapnya dengan bingung, masih berusaha menye?
suaikan napasnya dan belum mampu mengeluarkan suara lain,
dan sepertinya Andrew membaca arti tatapannya. "Buang jauhjauh semua pikiran tentang Fay. Bagi kamu, dia tidak nyata.
Jadi apa pun yang kamu rasakan, tidak boleh ada."
Setengah tidak percaya Kent mendengarkan apa yang di?
katakan Andrew, sejenak lupa dengan segala rasa sakit yang
saat itu ada.
Ini tidak masuk akal, bahkan untuk mencintai saja aku ti?
dak punya hak!
Andrew melanjutkan kalimatnya, kali ini dengan nada tajam
sambil menatapnya tanpa berkedip, "Kalau kamu sekali lagi
menghubungi Fay tanpa perintah dari saya, yang akan duduk
di kursi ini adalah dia. Dan dia akan merasakan hal yang sama
dengan yang baru saja kamu rasakan, hanya saja rasa sakit itu
tidak akan disebabkan tangan saya, karena saya akan memasti?
kan tangan kamulah yang melakukannya. Jadi, kecuali kalau
kamu memang menikmati pikiran tentang Fay yang menjerit
kesakitan di ujung tangan?mu, saya sarankan kamu tetap meng?
ikuti protokol."
! 8-15.266
Kalimat yang sangat lugas maknanya, dan keluar dari mulut
Andrew, Kent tidak ragu bahwa itulah yang akan terjadi jika
ia tidak mundur.
Menghela napas, tangan kanannya meraih sepucuk korek api
yang tergeletak di meja kecil di samping tempat tidur. Dengan
tatapan yang masih lekat ke wajah Fay di foto, hanya dengan
satu tangan ia membuka lipatan koreknya, menyobek batang
korek dari tempatnya dan menggesekkannya hingga api tersulut
dan mulai menyala di pucuk batangnya.
Belum rela, ia membiarkan batang pertama itu hampir habis
di tangannya sebelum akhirnya ia tiup dan ia lempar ke tem?
pat sampah yang berada di sisi meja.
Ia menyulut batang kedua.
Lagi-lagi belum rela. Kembali dilemparkan batang yang ter?
sisa. Kali ini bahkan ia tidak melihat ke arah mana ia melem?
par.
Batang ketiga. Ia dekatkan apinya ke foto, ke sisi yang pa?
ling jauh dari wajah Fay, sehingga ia masih punya waktu untuk
menikmati senyum yang ada di wajah itu, Senyum yang begitu
menenangkan, batin Kent berkata sambil setengah berharap api
itu akan mati tiba-tiba sehingga ia bisa lebih lama lagi menik?
matinya.
Ketika api mulai menjilat gambar wajah Fay, Kent bangkit
dari tempat tidur dan membuang apa yang tersisa di tangannya
ke tempat sampah.
Ekspresi di wajahnya tidak berubah ketika ia membuka tas
yang tergeletak di tempat tidur dan mengeluarkan sepucuk sen?
jata.
Ia menepis bayangan Fay jauh-jauh. Ia sangat mencintai Fay,
amat sangat mencintainya, hingga ia tidak boleh melibatkan
Fay dalam hidupnya.
! 8-15.267
Andrew memperhatikan gerak-gerik Fay di laptopnya di ruang
kerja. Gadis itu baru saja keluar dari kamar mandi dan sedang
bersiap-siap untuk melakukan ritual agamanya.
Andrew tersenyum. Profil yang disusunnya tentang gadis itu
tidak meleset; gadis itu cenderung untuk melakukan ritualnya
dalam keadaan tertekan. Entah karena itu merupakan tempat
pelarian semata atau karena gadis itu menemukan kekuatan di
sana.
Well, bila dengan melakukan ritual itu Fay bisa melakukan
tugasnya lebih baik, saat ini Andrew tidakbil pusing.
Tangannya kemudian meraih salah satu berkas berisi laporan
Reno tentang pengamatannya terhadap Fay selama di L?ecole
de France. Ia membaca ulang cuplikan tulisan yang menarik
perhatiannya di minggu kedua
Selasa
...Kent datang ke sekolah dan pergi makan siang bersama Fay...
berciuman di depan sekolah.
memperingatkan Fay supaya tidak menganggap serius hu?
bungan dengan Kent dengan menimbulkan kesan seolah-olah Kent
hanya mempermainkannya... ditanggapi dengan kemarahan yang
tidak diungkapkan langsung (silent treatment)....
menghubungi Kent dan memperingatkannya untuk tidak da?
tang lagi ke sekolah (catatan Kent berencana untuk kembali meng?
ajak Fay makan siang besok).
Rabu
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Fay masih menunjukkan kemarahannya dengan diam... tidak
terlihat tanda-tanda dia akan mengungkap kemarahannya secara
terbuka....
Kamis?urgent?
Baru menerima laporan bahwa Kent tetap datang ke sekolah
kemarin, walaupun tidak makan siang bersama Fay.
Fay baru menunjukkan kemarahannya secara frontal ketika
dikonfrontasi....
! 8-15.268
Kamis
Kent tidak datang di jam makan siang. Fay mengekspresikan
kekecewaan dan kemarahan dengan berjalan cepat tanpa tujuan.
Dia bertemu empat pemuda yang mencegatnya minggu lalu di
stasiun Montgallet dan ketika mereka mengejarnya, Fay berlari
kembali ke arah jalan yang sebelumnya dilewati...
memberi peringatan lagi kepada Fay supaya tidak meng?anggap
apa yang terjadi pada Kent sebagai sesuatu yang serius...
pertahanannya akhirnya pecah dan dia menangis.
Andrew melirik kolom "Rekomendasi" di laptopnya yang
harus diisi dengan tindakan yang akan diambil sehubungan
dengan gadis ini, dan ia termenung sesaat.
Menurut pengamatannya selama dua minggu ini, Fay adalah
gadis yang belum terlalu matang, dengan emosi yang masih
meledak-ledak. Spontanitas gadis itu cukup tinggi; berarti dia
tidak pernah berpikir panjang sebelum melakukan sesuatu, dan
itu berarti dia belum terbiasa menimbang-nimbang risiko.
Kelebihan gadis ini sejauh pengamatan Andrew hanyalah
bahwa dia secara alami merupakan seorang pengamat yang baik,
dan hasil tes minggu lalu di Nice juga menunjukkan dia mem?
punyai daya analisis yang cukup tajam. Sayangnya dengan ke?
biasaannya yang sering kali tidak pikir panjang sebelum melaku?
kan sesuatu, kemampuannya yang terakhir itu jarang dipakai.
Fay juga mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar, dan
membuka diri terhadap suatu pengalaman baru, sesuatu yang
bisa berarti baik tapi bisa juga mematikan dalam bisnis ini.
Andrew bersandar ke kursi dan membiarkan otaknya ber?
putar sejenak mengingat Alfred Whitman yang akan menjadi
target operasinya besok, yang baru saja ditemuinya kemarin.
Fakta bahwa pria itu menunjukkan keberatan atas syarat yang
ia ajukan dalam penawaran pembelian saham dan mengusulkan
penjadwalan ulang untuk membahas masalah yang sama setelah
revisi, tidak membuktikan apa pun selain bahwa dia adalah
seorang negosiator yang teliti dan tahu cara berbisnis.
! 8-15.269
Bila pria itu memang seperti yang ditunjukkan, seorang peng?
usaha sukses biasa, maka rencana Andrew ini tidak akan me?
nempatkan gadis itu dalam posisi berbahaya. Tapi bila tidak,
risikonya akan sangat besar. Dalam kasus normal, ia akan me?
nyiapkan satu tim cadangan yang akan langsung menyerbu
masuk bila ada yang berjalan tidak sesuai rencana.
Akhirnya setelah menimbang-nimbang sesaat, Andrew me?
ngetik rekomendasinya
"Keselamatan dalam tugas bukan prioritas. Evaluasi ulang ke?
mungkinan eliminasi setelah tugas selesai."
! 8-15.270
Hari-H
CHARLES DE GAULLE, pukul 09.00, hari Minggu.
Lagi-lagi d?j? vu.
Fay sudah berada di samping ban berjalan, menunggu koper
Seena keluar.
"Koperku," katanya mengingatkan diri sendiri.
Dengan gugup Fay melihat arloji yang melingkar di per?
gelangan tangannya. Lagi-lagi ia kembali diingatkan pentingnya
hari ini, ketika yang ia lihat adalah arloji Gucci yang elegan,
bukan Swatch kesayangannya. Ia berdecak kesal.
Kegelisahannya sudah dimulai sejak pukul 06.00 tadi, saat
ia berdiri di ruang tamu, menunggu Andrew yang masih berada
di ruang kerja untuk menginstruksikannya masuk ke mobil
yang sudah menunggu di depan pintu. Rasanya ingin sekali
menggoyangkan kaki untuk menyalurkan kecemasan dan ke?
gugupannya, tapi otaknya melarang karena itu bukanlah apa
yang akan dilakukan seorang Seena, sebagaimana yang sudah
ditunjukkan penampilannya kini.
Selain arloji Gucci, Fay sudah memakai baju seperti yang
layaknya dipakai Seena. Sepasang anting bulat sederhana ber?
! 8-15.271
mata berlian dan kalung dari emas putih dengan liontin huruf
"S" yang juga bertatahkan berlian sudah dipakainya. Riasan
tipis sudah ia ulas ke mukanya seperti yang diajarkan Ms.
Connie minggu lalu. Semua kosmetik yang dipakainya itu ada
di dalam tas sachel Longchamp sportif berbahan kain yang di?
sandangkan di bahunya, bersama paspor Malaysia dengan visa
keluaran kedutaan besar Prancis di KL lengkap dengan cap
imigrasi bertanggal hari ini, identitas diri yang diterbitkan di
KL, tiket Air France kelas bisnis dengan rute KL-Paris-ZurichKL, dan satu boarding pass rute KL-Paris bertanggal kemarin.
Andrew menghampirinya dan berkata, "Fokus, Fay. Begitu
meninggalkan gerbang di depan, kamu sudah bukan Fay lagi.
Tiket masuk ke kediaman Alfred dan keluar dari sana dengan
selamat adalah memerankan Seena dengan sempurna, dan di
saat yang bersamaan menganalisis kondisi sesuai dengan apa
yang sudah kamu pelajari."
Fay kemudian dibawa dengan sedan hitam menuju bandara.
Di dalam bandara, mobil itu membawanya berbelok ke satu
jalan yang pastinya bukan jalan umum, kemudian melewati
beberapa gerbang yang memerlukan akses khusus. Diturunkan
di depan salah satu pintu, ia disambut oleh seseorang dengan
pakaian petugas bandara yang membawanya lewat berbagai
pintu, melewati gang-gang yang tidak dilewati orang umum.
Satu kali bahkan mereka melewati gang penuh pipa, mirip de?
ngan yang Fay lewati ketika diculik di hari pertamanya di Pa?
ris.
Satu pintu kemudian dibuka, dan Fay ternyata muncul di
dekat toilet di ruang tempatnya sekarang menunggu bagasi. Ia
tidak perlu melewati imigrasi lagi. Entah bagaimana caranya
Andrew bisa mengatur supaya kopernya bisa disusupkan di de?
retan bagasi penumpang pesawat ini.
Itu dia kopernya.
Fay meraih satu koper berukuran besar dan memindahkannya
ke kereta dorong. Ia segera berjalan keluar menuju area ke?
datangan tempat penjemputnya menunggu.
! 8-15.272
Ketika melihat pintu keluar, Fay melambatkan langkahnya
dan berhenti sejenak. Ia kemudian menghirup napas panjang
sambil menutup mata, mengucapkan bismillah dalam hati.
Matanya terbuka.
Namaku Seena Fatima Abdoellah.
Dengan tegak ia berjalan keluar, mencari penjemputnya.
Limusin yang membawanya berhenti di depan gerbang hitam.
Dua kamera terdapat di dua tiang yang kini mengapit mobil.
Sopir membuka jendela pengemudi dan jendela tempat ia du?
duk.
Gerbang itu terbuka dan mobil bergerak masuk, berhenti di
depan gerbang kedua yang masih tertutup rapat, sementara
gerbang pertama tertutup di belakang. Empat penjaga siaga di
antara kedua pagar ini, masing-masing memegang senjata oto?
matis.
Tiga kamera. Dua terletak di tembok yang mengapit
gerbang, yang sekarang menyorot sisi kanan dan kiri mobil.
Satu lagi di tembok bagian dalam di dekat gerbang pertama,
menyorot bagian belakang mobil.
Kunci mobil terbuka. Pintu sopir dan pintu di sisi tempat
dirinya duduk, dibuka oleh penjaga secara bersamaan. Pintu
bagasi juga begitu. Satu penjaga berdiri agak jauh bersisian de?
ngan mobil.
Genius, pikir Fay. Kalau ada sesuatu yang salah, tidak ada
celah untuk melarikan diri.
Keempat penjaga mengangkat tangan, memberi tanda bahwa
mobil bisa lewat, dan gerbang kedua terbuka.
Mobil berjalan pelan di atas jalan aspal menanjak yang di?
apit pohon rimbun yang tertata baik. Setelah belokan pertama,
muncul bangunan putih yang sangat besar. Bangunan yang ada
di depannya itu terlihat seperti tiga bangunan yang dibangun
saling menempel. Bagian tengah yang lebih menjorok ke depan
! 8-15.273
adalah bangunan yang paling besar, dengan bentuk simetris
antara lebar dan tinggi seperti sebuah bujur sangkar. Terdapat
tiang-tiang penyangga yang sangat besar di bagian depan,
menyangga bagian atap yang menaungi jalan masuk ke dalam
rumah. Dua bangunan di sisi kanan dan kirinya lebih rendah
dan lebar, seperti persegi panjang yang merebahkan diri.
Mobil berhenti di depan rumah. Seorang pria berdiri depan
pintu.
Vladyvsky.
Pria itu mendekat dan membukakan pintu.
Fay turun dan tersenyum.
Vladyvsky tersenyum sopan dan menyapanya dalam bahasa
Inggris dengan aksen yang terdengar agak kaku, "Selamat
datang, Miss, senang sekali bisa bertemu Anda lagi. Bagaimana
perjalanan Anda?"
"Despite the fact that it?s very boring, it was quite okay," jawab
Fay sambil tersenyum.
Vladyvsky berkata, "Pastinya begitu. Anda begitu segar.
Saya asumsikan perjalanan Anda menyenangkan. Mr. Whitman
menunggu Anda di ruang tamu besar."
Masuk ke rumah, Fay berada di area penyambutan tamu
atau foyer. Foyer ini besarnya hampir seperti aula olahraga di
sekolahnya di Jakarta. Ada satu tangga besar yang bercabang
dua di bagian atas.
Vladyvsky mengajaknya ke bukaan ruang di sebelah kiri,
menuju ruang tamu.
Alfred Whitman.
Pria itu menyambut dengan tangan terbuka lebar dan se?
nyum yang tak kalah lebar, "Seena, my dear, look at how you?ve
grown over the years."
"Hai, Pak Cik," jawab Fay tersenyum sambil menyambut
pelukan hangat pamannya.
"Bagaimana khabar Mak kamu? Sihat?" tanyanya lagi da?
lam bahasa Malaysia terpatah-patah.
"Alhamdulillah, Pak Cik. Semua sihat."
! 8-15.274
"Your big brother Aziz is still in US, isn?t he? How about your
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
little brother Sahar? The last time I met him, he?s still a young
boy," kata Alfred sambil memperhatikan gadis di depannya
dengan mata berbinar. Dia kemudian melanjutkan dalam ba?
hasa Inggris, "Kamu juga sudah dewasa sekarang. Terakhir kita
bertemu, kamu juga masih seperti anak-anak. Rasanya belum
lama saya menggendongmu di pundak, dan sekarang kamu
sudah jadi remaja yang cantik sekali," Alfred menggelengkan
kepala.
Fay tertawa dan berkata, "Pak Cik, tiga tahun lepas Pak Cik
dah tak dapat lagi mendukung saya di pundak." Ia kemudian
menjawab pertanyaan Alfred dengan bahasa Inggris sambil
berusaha memasukkan logat Melayu, "Bang Aziz masih di
Amerika, pulang hanya di Hari Aidil Fitri. Sahar baru saja
lulus dari junior high dan sudah mendaftar di beberapa senior
high."
"Kamu sudah sarapan, Sayang?" tanya pamannya lagi.
"Sudah, Pak Cik, saya makan di pesawat. Tadi disajikan roti
dan omelet," jawabnya mengarang cerita.
"Wah, kamu naik pesawat kelas bisnis, kan? Biasanya yang
disajikan lebih baik daripada hanya sekedar roti dan omelet,"
ujar Alfred agak kaget.
"Well, mungkin ada pilihan lain, saya tidak terlalu memper?
hatikan. Masih mengantuk," ucap Fay lagi, sempat tercekat,
tapi dengan cepat mengarang jawaban.
"Oh ya. Kamu sebaiknya istirahat dulu," kata Alfred lagi
sambil melambai ke Vladyvsky yang sedari tadi hanya berdiri
seperti patung di dekatnya.
Vladyvsky mengatakan sesuatu di headset yang dipakainya
dan tidak lama kemudian datang seseorang dengan seragam
hitam-putih pelayan.
"Julian akan menunjukkan kamarmu. Kalau kamu masih
lelah, kamu bisa minta supaya makan siang kamu diantar ke
kamar. Sampaikan saja ke Julian. Nanti malam saya ingin
mengajakmu makan malam di restoran favorit saya," ucap
Alfred.
! 8-15.275
Fay mengangguk dan berlalu setelah Alfred mengucapkan
selamat beristirahat dan mengecup keningnya.
Julian berjalan di sisinya. Pria itu kemungkinan berumur awal
tiga puluhan. Badannya tegap dan cara jalannya sangat kaku.
Fay memutuskan untuk membuka percakapan, "Wah, besar
sekali rumah ini. Saya rasa saya akan tersasar kalau ditinggal?
kan sendiri. Ada berapa lantai di rumah ini?"
"Ada tiga lantai, Miss. Lantai satu adalah ruang umum, se?
perti ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga, dan sebuah
aula besar yang disebut the ballroom. Lantai dua adalah kamarkamar. Ada delapan belas kamar tidur, delapan merupakan
kamar utama dan sisanya adalah kamar tamu. Di lantai tiga
terdapat ruang kerja Mr. Whitman, perpustakaan, dan ruang
museum tempat Mr. Whitman menyimpan semua koleksi ba?
rang antiknya."
"Wow, banyak sekali kamar tidurnya. Apakah ada tamu
lain?" tanya Fay lagi.
"Tidak, Miss. Mr. Whitman sangat jarang menerima tamu,
bahkan bisa dibilang tidak pernah ada yang menginap selama
saya bekerja di sini, sekitar tiga tahun."
"Kamar yang saya tempati, kamar utama atau kamar tamu?"
"Anda menempati kamar utama, Miss, di bangunan utama,
tepat di seberang kamar Mr. Whitman. Ada dua bangunan lain
yang merupakan perpanjangan bangunan utama, masing-masing
di sayap barat dan timur. Bangunan tambahan itu hanya terdiri
atas dua lantai. Di setiap bangunan itu, terdapat lima kamar
tamu."
"Apakah museum Pak Cik bisa dikunjungi?" tanya Fay
lagi.
"Saya rasa Anda harus menanyakannya kepada Mr. Whit?
man, atau Mr. Vladyvsky. Ruang museum itu satu-satunya
ruang yang selalu terkunci dan penjagaannya sangat ketat."
! 8-15.276
"Ada penjaganya?"
"Bukan, Miss. Kamera pengintai. Gang di lantai tiga itu ber?
akhir buntu. Tepat di atas tangga, sebelum memasuki gang itu,
ada satu kamera yang mengawasi siapa saja yang naik. Untuk
yang satu ini, saya tahu persis karena salah satu tugas rutin
saya adalah mengantarkan makanan ke ruang kontrol ke?
amanan."
"Ruang kontrol keamanan? Di mana lokasinya dan ada apa
di dalam sana?" tanya Fay, mulai khawatir Julian akan curiga
dengan keingintahuan dirinya yang sangat besar.
Julian menjawab bangga, "Ruang kontrol ada di dekat ger?
bang servis. Di sana adalah pusat kendali keamanan di seluruh
bangunan. Ada berpuluh TV yang dihubungkan dengan se?
luruh kamera yang ada di dalam dan di luar gedung."
Fay tidak mau menyia-nyiakan kesempatan.
"Ah, kamera yang mana, dari tadi saya tidak melihat satu
kamera pun," pancingnya lagi.
"Kamera ada di sekeliling gedung, Miss, dan di semua ruang
umum lantai satu. Di lantai dua, kamera hanya terdapat di
bagian atas kedua sisi tangga, yang salah satunya tadi kita
lewati," jawabnya.
Julian berhenti di depan kamar. Mereka sudah sampai.
"Ini kamar Pak Cik?" tanya Fay sambil menunjuk ke satu
pintu tepat di seberang pintu kamarnya.
"Betul, Miss. Itu kamar Mr. Whitman."
"Kenapa tidak ada kamera di sekitar sini?"
"Tentunya Mr. Whitman tidak ingin privasinya terganggu,
diawasi oleh sekuritinya sendiri setiap kali beliau akan keluarmasuk kamar."
Pintu dibuka dan Fay melihat kopernya sudah diletakkan di
dekat lemari baju.
"Miss, apakah Anda perlu bantuan untuk membereskan
koper? Saya atau teman saya, Mrs. Worth, bisa membantu,"
tanya Julian.
"Tidak usah, Julian, terima kasih."
! 8-15.277
"Baik, Miss, saya pergi sekarang. Kalau Miss butuh bantuan
apa pun, silakan panggil saya, Julian. Miss tinggal mengangkat
telepon. Selamat istirahat, Miss."
Fay menghela napas setelah pintu ditutup oleh Julian. Kamar?
nya sangat besar, bergaya klasik. Wallpaper bermotif bungabunga menghiasi dindingnya. Tempat tidurnya juga sangat
besar, dengan empat tiang yang dihiasi tirai berlipat-lipat, se?
perti tempat tidur putri-putri raja di buku cerita. Fay berjalan
mengelilingi kamar dan melihat lemari baju, rak TV, dan meja
tulis. Pemandangan dari jendelanya adalah sisi depan rumah.
Satu pintu yang ada di dalam kamar mengarah ke kamar man?
di yang juga sangat mewah, semuanya dilapisi marmer. Ia ber?
decak kagum, tidak bisa membayangkan seperti apa kamar
Alfred kalau kamarnya saja seperti ini.
Fay kemudian mengeluarkan laptopnya dan menjalankan
aplikasi yang akan dipakainya untuk menggambar denah rumah
Alfred. Ia mencoret-coret sebentar, kemudian mengetikkan in?
formasi yang sudah berhasil diperolehnya sejauh ini, mulai dari
kondisi penjagaan di pintu masuk, pengamatannya tentang ru?
mah itu sendiri, serta informasi yang diberikan Julian.
Fay mengeluarkan telepon genggamnya dan menyambungkan?
nya dengan kabel ke komputer. Di layar, ia membuka sebuah
blog yang berisi kumpulan puisi. Menurut penjelasan Andrew
tadi malam, blog ini adalah blog palsu yang dibuat khusus un?
tuk tugas ini. Di sisi kanan blog itu ada banyak link yang sebagi?
an besar terhubung ke website lain. Salah satu link tersebut bila
diklik akan membawanya ke halaman lain yang masih berada
di blog yang sama, berisi puisi dengan sebuah "counter" atau
penghitung jumlah pengunjung di pojok kanan atas. Yang
sebenarnya terjadi setelah ia mengklik link itu adalah, satu pro?
gram yang dijalankan oleh server tempat blog itu berada per?
tama-tama mengenali identitas komputernya, kemudian men?
! 8-15.278
jalankan program lain yang secara otomatis akan mengambil
file berisi denah yang sudah digambarnya. Proses upload itu
tidak terlihat, karena berjalan secara otomatis di background.
Untuk mengetahui apakah proses upload sudah selesai, Fay
tinggal memerhatikan counter yang ada di sana; bila nomor
yang tertera di counter bertambah satu, berarti proses itu sudah
selesai.
Sudah selesai, pikirnya lega.
Ia menimbang-nimbang apakah akan membongkar kopernya
terlebih dahulu atau langsung keluar untuk berjalan-jalan. Tapi
akhirnya ia memutuskan bahwa sebagai Seena, ia harus mem?
bereskan kopernya dulu, meletakkan semua baju dan sepatunya
di lemari, serta menyusun semua peralatan perang wanitanya
di meja rias serta kamar mandi.
Setengah jam kemudian, ia sudah keluar kamar. Ia beren?
cana menemui Alfred dan meminta izin berkeliling di dalam
dan di luar rumah.
Sampai di pinggir tangga, Fay baru terpikir bagaimana cara?
nya mencari pria itu. Pandangannya menyapu sekitarnya dan
jatuh di tangga menuju lantai tiga. Dengan penasaran ia men?
dekat dan melihat ke atas. Tangga itu tidak terlalu besar, lurus
ke atas, dengan ujung sebuah meja berisi bunga yang menem?
pel ke tembok, dengan kaca sebagai penghias. Terlihat satu
kamera yang dipasang di pojok, dekat kaca, mengarah ke mu?
lut tangga. Siapa pun yang muncul atau turun melewati mulut
tangga bagian atas, pasti langsung tertangkap kamera.
"Saya pikir kamu sedang beristirahat," satu suara di bela?
kangnya mendadak muncul.
Ia menoleh dan tersenyum. "Hai, Pak Cik. Saya baru saja
akan mencari Pak Cik."
"Ada apa, Sayang?" tanya Alfred.
"Saya tidak bisa tidur, jadi saya mau minta izin untuk ber?
keliling di dalam dan sekitar rumah," ucapnya.
"Seena, kamu tidak perlu minta izin. Tentu saja saya tidak
keberatan," jawab Alfred lagi. "Tapi saya minta maaf, Sayang,
! 8-15.279
tidak bisa menemani kamu jalan-jalan dan makan siang. Saya
ada undangan dan mendadak harus pergi. Makanan siap di?
sajikan jam dua belas tepat. Seperti yang saya bilang tadi,
kamu bisa minta supaya makanan diantar ke kamar kalau
kamu mau istirahat. Beritahu saja pelayan, pilihan mana yang
l?ebih kamu suka."
"Paman, tadi Julian bilang Paman punya perpustakaan ya?
Kalau boleh saya ingin membaca-baca."
"Perpustakaan ada di atas. Boleh saja kalau kamu mau, tapi
untuk ke atas, kamu harus minta ditemani oleh seorang pen?
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jaga," kata pamannya.
Fay pura-pura terkejut, "Kenapa? Apakah saya bisa tersasar
di sana?"
Alfred tersenyum.
"Di atas sana ada koleksi benda antik saya, sehingga semua
yang naik ke lantai atas diawasi oleh penjaga lewat kamera.
Kalau kamu tidak ditemani oleh seorang penjaga saat melewati
kamera, akan ada segerombolan penjaga yang akan langsung
datang menangkapmu."
"Wow, apakah saya boleh lihat koleksi Pak Cik nanti?" ujar
Fay pura-pura antusias.
"Tentu saja. Nanti kalau ada waktu, saya akan membawa
kamu melihat-lihat. Untuk siang ini, kalau setelah makan
siang kamu ingin keluar rumah, bicara dengan Vladyvsky. Dia
akan mengurus semuanya. Untuk malam nanti, saya sudah
membuat reservasi di restoran favorit saya. Saya harap kamu
bersiap-siap untuk berangkat jam tujuh malam. Sampai nanti,
Sayang," kata Alfred sambil mengusap rambut Fay lembut dan
mencium kepalanya.
Fay merasa ada satu desiran halus di dadanya, campuran an?
tara rasa haru dan bersalah. Papa saja tidak pernah seperti itu,
pikirnya.
Ia ikut turun bersama Alfred dan sampai di bawah, paman?
nya menegaskan sekali lagi di depan Vladyvsky bahwa kalau
Fay ingin pergi keluar rumah, pria itu akan mengatur segala?
nya.
! 8-15.280
Setelah Alfred pergi, Fay memutuskan untuk mengitari ru?
mah, kemudian masuk dari pintu lain, kalau ada. Baru setelah
itu ia akan mengamati bagian dalam rumah.
Saat menyusuri jalan setapak di samping rumah, ia berpapas?
an dengan dua penjaga yang sedang berpatroli keliling rumah
beserta seekor anjing penjaga. Anjing itu menggonggong tanpa
henti ke arah Fay hingga ia tanpa sadar mundur ketakutan.
Salah seorang penjaga menyapanya, "Maaf, Miss, anjing-anjing
ini memang selalu seperti itu terhadap semua orang yang tidak
dikenal."
Ingin sekali rasanya langsung kabur dari situ saat itu juga,
tapi Fay tahu harus menggunakan kesempatan ini. Ia pun akhir?
nya buka suara, "Ada berapa anjing penjaga di rumah Pak
Cik-ku ini?"
"Semuanya ada dua puluh, Miss," jawab pria itu.
"Apakah ada yang berkeliaran tanpa diikat?" tanya Fay kha?
watir. Kali ini tidak berpura-pura.
"Kalaupun tidak diikat, anjing itu sudah dilatih untuk men?
jaga area tertentu saja, dan pasti ada penjaganya tidak jauh
dari situ. Asal Miss tetap berada di jalan setapak, anjing itu
tidak akan menyerang kecuali disuruh, hanya akan menggong?
gong tanpa henti. Tapi kalau Miss maju selangkah saja ke area
kekuasaannya di luar jalan setapak, tanpa disuruh pun anjing
itu pasti langsung menyerang."
Fay mengangguk ngeri. Ide mengelilingi rumah ini sepertinya
tidak terlalu menarik lagi.
"Kalau anjing ini, kenapa diikat?" tanyanya lagi.
"Anjing yang diikat adalah bagian dari patroli. Kami ber?
patroli mengelilingi rumah setiap jam. Ada lagi teman lain
yang berpatroli di bagian lain dari kediaman ini."
"Di mana lagi? Saya harus tahu supaya tidak kaget lagi nan?
ti," potong Fay cepat.
"Patroli ada lagi di sisi paling luar dari kediaman ini, me?
nyusuri jalan setapak yang dibuat di sisi dalam pagar. Juga ada
! 8-15.281
di sekitar bangunan servis di bagian belakang, dekat rumah
penjaga," jawabnya.
"Baik kalau begitu. Terima kasih informasinya," sahut Fay
sambil berlalu, segera kabur sejauh-jauhnya dari binatang itu.
Ingat, jangan keluar dari jalan setapak, pikirnya.
Sampai di bagian belakang rumah, ia melihat teras belakang
yang terbuka luas, menghadap ke kolam renang. Ternyata se?
telah kolam renang ada turunan seperti lereng ke bawah. Di
bawah ia melihat dua anjing berkeliaran di sisi kiri dan kanan
tangga yang menuruni lereng itu, dan saat itu juga ia me?
mutuskan bahwa tidak ada satu orang pun di dunia yang bisa
memaksanya menuruni tangga itu, dengan risiko digonggongi
anjing kurang dari satu meter di kedua sisinya sepanjang jalan.
Tidak juga Andrew.
Fay berbalik hendak masuk ke dalam rumah dan seketika
teringat bahwa rumah itu sebenarnya berbentuk huruf L. Ter?
nyata di ujung rumah ada bangunan kecil yang dihubungkan
dengan bangunan utama lewat satu lorong pendek yang di?
selubungi kaca.
Ia mendekati bangunan itu, tapi tidak menemukan pintu di
sisi ini. Akhirnya dengan memantapkan hati ia menyusuri ja?
lan setapak yang mengitari bangunan itu sambil memerhatikan
posisi jendela. Di bagian depan ternyata ada jalan mobil, ber?
akhir di teras yang cukup luas, dengan pintu masuk yang juga
besar. Ia mendongak ke atas, melihat bahwa bangunan ini ter?
diri atas tiga lantai.
Pintu terbuka dan Julian keluar. Pria itu langsung mem?
bungkuk hormat sambil menyapanya, "Selamat siang, Miss.
Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan.
"Hai, Julian, saya sedang berkeliling untuk melihat-lihat ru?
mah Pak Cik. Ini bangunan apa?" tanya Fay.
"Ini bangunan servis, Miss. Di dalam sini ada dapur, kamar
para pelayan, tempat cuci, dan gudang bahan makanan."
"Kalau jalan aspal ini, mengarah ke mana? Rasanya tadi
waktu saya datang, tidak ada jalan masuk yang bercabang,"
tanya Fay lagi.
! 8-15.282
"Jalan ini mengarah ke pintu gerbang servis, di sisi yang le?
bih dekat ke arah kota," jawabnya.
"Tadi saya lihat banyak anjing penjaga. Kandangnya di se?
belah mana? Saya mau memastikan saya tidak ada di dekat
mereka," Fay bergidik, tidak pura-pura.
Julian tertawa ringan.
"Kandang mereka ada di rumah penjaga, di ujung jalan ini,
persis sebelum bertemu dengan pintu gerbang," Julian melan?
jutkan, "memang, Miss. Anjing-anjing itu sangat mengerikan.
Saya pernah melihat salah satu dari mereka menyerang seorang
pelayan baru. Pelayan itu mungkin tidak menyimak ketika
diberitahu jangan berjalan di atas rumput. Hasilnya adalah dua
puluh dua jahitan di pahanya."
Kening Fay berkerut. "Saya tidak mengerti kenapa aturannya
dibuat seperti itu? Kenapa anjing hanya menyerang di rumput
tapi tidak di jalan setapak? Bukankah itu malah membuka
jalan bagi orang yang berniat jahat untuk masuk dan berjalan
dengan bebas di jalan setapak?"
"Bukan seperti itu, Miss. Jalan setapak sudah diawasi dengan
kamera pengintai. Anjing-anjing itu dilepas di area yang lebih
luas supaya liputan area yang terjaga lebih besar, karena tidak
mungkin hanya mengandalkan kamera pengintai untuk area
seluas ini."
Bibir Fay membentuk huruf "o" tanpa bersuara. Ia tersenyum
dan berkata, "Oke, Julian, thanks untuk infonya. Apa saya bisa
masuk ke rumah lewat bangunan ini?"
"Silakan, Miss. Mari saya antar."
Fay mengikuti Julian melintasi dapur yang sangat besar. Dua
orang memakai topi koki tampak sedang memasak.
Akhirnya ia tiba di lorong berselubung kaca yang tadi ter?
lihat dari kolam renang. Tepat di bagian atas pintu masuk
yang ada di ujung lorong itu, terdapat sebuah kamera.
Sambil lalu ia bertanya, "Julian, itukah kamera pengawas
yang kamu sebut tadi?"
"Ya, Miss. Semua akses ke dalam rumah diawasi, baik pintu
! 8-15.283
maupun jendela. Di dalam rumah, semua ruang di lantai satu
dipasangi kamera. Tapi di lantai dua, hanya di tangga bagian
atas. Begitu juga di lantai tiga."
"Kamu yakin, di dalam kamar tidak ada yang mengintai
saya?" tanya Fay lagi, tapi ia langsung menyesal ketika melihat
tatapan Julian yang seperti agak kaget dan marah.
"Tentu saja tidak ada, Miss. Saya yakin paman Anda tidak
punya niat untuk mengintai tamu-tamunya sendiri dengan cara
seperti itu."
"Julian, jam berapa makan siang disajikan?" tanya Fay buruburu untuk mengalihkan topik pembicaraan.
"Jam dua belas siang makanan sudah siap disajikan, Miss.
Anda tinggal mengangkat telepon di dalam rumah dan mem?
beritahu kalau Anda ingin makan."
"Telepon itu dihubungkan ke dapur?" tanya Fay lagi. Ia ber?
harap dalam hati pertanyaannya tidak memancing kecurigaan
yang tidak perlu setelah insiden salah bicara tadi.
"Semua telepon masuk dan keluar diterima oleh operator
yang ada di rumah penjaga. Nanti dia yang akan menghubungi
dapur."
"Baik kalau begitu. Saya akan ke ruang makan jam dua be?
las nanti."
Julian pun pergi meninggalkannya setelah mengangguk so?
pan. Fay melanjutkan berkeliling, memasuki semua ruangan di
lantai satu dengan rasa ingin tahu seorang remaja tujuh belas
tahun. Sambil lalu matanya menyapu ruangan, mencatat baikbaik dalam benaknya posisi pintu, jendela, posisi perabotan
utama, sementara sudut matanya mencari lokasi kamera. Se?
telah selesai, ia naik ke kamarnya untuk melaporkan hasil?
nya.
Pukul 11.30, Fay sebenarnya ingin tidur-tiduran ketika ingat ia
seharusnya berganti pakaian dan berdandan dulu. Setengah
! 8-15.284
hati ia bangkit dari tempat tidur paling empuk yang pernah
ditidurinya, untuk melakukan ritual cuci muka dan dandan ala
Seena.
Tepat pukul 12.00 ia turun dengan kondisi lebih segar.
Julian sudah siap di ruang makan ketika ia masuk. Segera
setelah Fay duduk di salah satu dari dua belas kursi dari meja
makan yang memanjang itu, pria itu langsung menyampirkan
serbet di pangkuannya dan menghidangkan makan siangnya
satu per satu, dimulai dengan makanan pembuka, sup kental
berwarna krem dihias daun-daun hijau dan tetesan warna
oranye di atasnya, yang ternyata adalah labu.
Sepanjang makan, otak Fay berputar memikirkan apa yang
harus dilakukannya lagi setelah makan.
Setelah makanan penutupnya habis, chocolate mousse dengan
siraman cokelat putih di bagian atas, Fay merasa perutnya su?
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dah mau meletus, walaupun kalau untuk satu porsi lagi seperti?
nya masih ada celah. Tapi akhirnya ia menunda keinginannya
dan bangkit dari kursi. Ia akan berjalan-jalan di sisi kolam renang
hingga makanannya turun, pikirnya kemudian.
Sampai di kolam renang, ternyata ada Vladyvsky. Tidak
membuang waktu, Fay bertanya, "Hai, tadi Pak Cik pesan ka?
lau ingin ke perpustakaan, saya harus ditemani oleh penjaga.
Apakah ada yang bisa menemani saya sekarang? Saya ingin
membaca-baca sambil menurunkan makanan."
"Bisa, Miss. Saya akan menemani Anda."
Mereka naik dan Fay kembali bertanya, "Saya sebenarnya
agak bingung kenapa harus ditemani se?gala. Saya kan bisa naik
sendiri."
"Ada kamera pengawas di atas tangga. Aturannya adalah,
hanya Mr. Whitman dan saya yang bisa naik tanpa dikawal.
Yang lain harus atas seizin saya."
"Tapi tadi kata Pak Cik, saya bisa ditemani oleh penjaga
yang mana saja."
"Iya, tapi tetap petugas yang mengawasi di ruang kontrol
akan menginformasikan saya bahwa ada yang naik."
! 8-15.285
Sampai di tangga menuju lantai tiga, Vladyvsky menunjuk
ke arah kamera di atas kaca yang tadi sudah dilihat oleh Fay.
Fay mengangguk-angguk seperti baru tahu.
Sampai di atas, mereka sampai di sebuah lorong. Ada tiga
pintu, satu di sebelah kanan dan dua di sebelah kiri. Vladyvsky
menunjuk pintu di kanan mereka. "Ini ruang koleksi barang
seni dan barang antik Mr. Whitman. Yang bisa masuk hanya
Mr. Whitman sendiri."
"Kenapa tidak ada kamera di situ?" tanya Fay.
"Tidak perlu lagi. Di dalamnya ada pengamanan ekstra,"
jawab Vladyvsky singkat.
Pria itu berhenti di satu pintu di kiri dan membukanya. "Ini
ruang perpustakaan. Silakan."
Ruang itu berbentuk persegi panjang, tidak terlalu besar tapi
nyaman, dengan sofa tidur dan rak-rak tinggi berisi buku dari
bagian bawah hingga atas.
Vladyvsky berkata, "Sekarang, saya akan meninggalkan
Anda. Kalau perlu sesuatu, Miss bisa menyampaikannya ke
operator lewat telepon di ruangan ini."
"Kalau saya ingin keluar dan turun, apakah harus memanggil
penjaga lagi?" tanyanya.
"Tidak, Miss. Tapi kalau setelah turun dari anak tangga per?
tama Anda memutuskan untuk naik lagi, Anda perlu memang?
gil penjaga."
"Oke, thanks."
Setelah sepuluh menit mondar-mandir di dalam perpustaka?
an, Fay bergerak keluar. Ritme di dadanya mulai menyesuaikan diri dengan berdebar lebih kencang. Tangannya sekarang
sudah dingin, hingga terasa sangat kaku waktu membuka pin?
Lorong itu sekarang kosong.
Fay berjalan ke arah tangga dan mengintip ke bawah, sambil menjaga supaya dirinya tidak tertangkap kamera. Kosong.
Debar jantungnya sekarang sudah seperti sehabis berlari.
! 8-15.286
Tenang, Fay, ujarnya pada diri sendiri. Langsung ia berbalik
dan berlari melewati pintu perpustakaan, menuju satu pintu
lagi di ujung ruangan. Pintu ruang kerja Alfred.
Tangannya meraih gagang pintu. Tidak terkunci. Ia membuka
pintu dengan napas yang sudah memburu.
Sampai di dalam, matanya menyapu ruangan dengan cepat.
Ruang itu posisinya di sudut rumah. Ada dua sisi dinding yang
mempunyai jendela, masing-masing ada dua jendela, dengan
tirai tebal bertumpuk yang menyapu lantai yang kini terbuka
lebar, dan vitrage tipis yang menutupi pemandangan dari luar.
Ada satu set sofa dari kulit warna hitam di tengah ruangan
dengan meja persegi di tengah-tengah. Di depannya, tepat di?
apit dua jendela di depannya ada sebuah lemari dengan TV
dan audio. Di sebelah kanannya, juga diapit dua jendela, ter?
dapat meja kerja Alfred. Ada satu pintu lagi di sebelah kiri,
tepat di sebelah lemari yang menghiasi seluruh dinding dengan
sebuah panel yang dihias lukisan di tengah-tengahnya. Fay ber?
jalan ke sana dan membuka pintunya, ternyata sebuah kamar
mandi yang sangat besar, lengkap dengan bathtub dan pancuran
air terpisah.
Sebuah "kesempatan", pikirnya. Setidaknya ia bisa mengguna?
kan alasan ingin mencari kamar mandi kalau tepergok.
Sekarang ia beralih ke meja kerja Alfred. Ada baterai laptop
tergeletak di sana, tapi tidak ada laptop. Pasti Alfred mem?
bawanya.
Terdapat juga telepon tanpa kabel, sebuah lampu meja, se?
buah kalendar, sebuah notes, serta beberapa pemberat kertas,
dan sebuah jam meja yang mempunyai penyangga.
Fay berjongkok, mengamati bagian bawah meja kerja dan
tidak menemukan senjata, tombol bahaya, atau apa pun yang
dipasang di sana. Ia ingat instruksi Andrew, kalau di bagian
bawah meja ada sesuatu, jangan meletakkan penyadap di sana
karena berarti ada kemungkinan tangan Alfred akan menjamah
ke sana. Segera ia meraih bagian bawah celananya dan menge?
luarkan benda sebesar kancing berwarna hitam yang disimpan
! 8-15.287
di balik lipatannya yang seperti kantong. Benda itu kemudian
ia tempelkan di bawah meja kerja itu.
Ia bergerak ke sofa, kemudian berjongkok dan mengintip ke
kolong meja di depannya. Ada satu benda berwarna perak ber?
bentuk lingkaran berdiameter kira-kira lima belas sentimeter,
seperti kepingan uang logam raksasa. Ia ragu sejenak, tangan?
nya meraih untuk meraba, tapi akhirnya tidak jadi ia lakukan
karena ia sama sekali buta untuk apa benda itu dan seperti apa
cara kerjanya. Siapa tahu itu alarm yang akan berbunyi bila di?
sentuh, pikirnya lagi. Yang jelas, sudah pasti benda itu akan
masuk ke laporan yang akan dikirimnya nanti.
Ia kembali ke meja kerja dan memperhatikan. Akhirnya ia
mengeluarkan penyadap yang tersisa dan ditempelkan di jam
meja. Telepon sama sekali tidak disentuhnya karena pesan
Andrew adalah jangan meletakkannya di peralatan komunikasi,
karena di situlah mereka pertama akan mencari.
Setelah selesai, Fay langsung lari ke pintu, membukanya
perlahan dan setelah melihat tidak ada orang, lari secepat kilat
ke pintu perpustakaan dan masuk ke sana. Di dalam, ia men?
jatuhkan diri ke sofa baca sambil mengatur napas. Perlu tiga
menit hingga napasnya tidak memburu lagi, dan ia pun segera
keluar untuk turun menuju kamarnya.
Di kamar, ia segera mengeluarkan laptopnya dan menulis
laporannya. Setelah melihat angka di counter blog puisi ber?
tambah satu, Fay mengembuskan napas lega dan mendadak ia
merasa sangat letih. Dengan emosi yang sudah terkuras habis,
ia langsung rebah di tempat tidur dan tertidur tidak lama ke?
mudian.
Fay dibangunkan suara telepon. Perlu beberapa detik baginya
untuk menyadari bahwa ia sedang melakoni perannya dan se?
dang berada di kediaman Alfred.
Ternyata Julian yang meneleponnya, memberitahu bahwa
! 8-15.288
teh dan kue-kue sudah tersedia di teras belakang rumah. Fay
melirik arlojinya dan dengan kaget mendapati bahwa saat ini
sudah pukul 17.00.
Dengan malas ia turun setelah mencuci muka dan mem?
betulkan riasannya sedikit serta berganti baju. Setengah hati?
nya takut untuk turun dan bertemu dengan siapa pun yang ada
di bawah, mengingat apa yang sudah dilakukannya siang tadi.
Setengah yang lain penasaran, apakah ia memang telah melaku?
kannya dengan sukses dan bisa lolos. Pikiran itu membuatnya
berdebar sedikit ketika turun.
Sapaan ramah dari Julian yang sudah siap di teras membuat
debar jantungnya menguap entah ke mana dan Fay pun de?
ngan kepala lebih tegak dan senyum lebih lebar membalas
sapaannya. Setelah satu gelas teh dan dua buah pai, Fay kem?
bali ke kamarnya untuk bersiap-siap makan malam bersama
Alfred.
Untuk malam itu, ia menggunakan gaun elegan berwarna
biru muda dari Chloe, dan sepatu pesta dengan hak lima senti?
meter.
Sambil menuruni tangga, pikirannya mengucapkan terima
kasih kepada Ms. Connie, yang sudah menyuruhnya berlatih
menggunakan sepatu itu setiap malam, walaupun tidak selalu
ia lakukan.
Alfred menunggu di bawah tangga sambil tersenyum kagum.
"Kamu benar-benar cantik, Sayang. Saya rasa malam ini saya
akan menikmati tatapan iri para pemuda yang berharap mereka
adalah saya."
Fay hanya tertawa. "Terima kasih, Pak Cik. Saya juga yakin
malam ini banyak wanita yang melihat ke arah saya dengan
tatapan iri yang sama."
Alfred tertawa ringan, menyambut tangan Fay serta men?
dekatkannya ke bibirnya, mengecupnya.
Fay merasa pipinya panas oleh rasa tersanjung bercampur
malu, dan langsung mengajak Alfred bicara untuk mengalihkan
perhatian.
! 8-15.289
"Pak Cik, apakah restorannya jauh?"
"Kenapa? Kamu sudah lapar?"
"Belum. Malah saya masih kenyang karena tadi sore tidak
bisa menahan diri dan memakan dua pai. Habis enak sekali
sih," ujar Fay menyesal.
Alfred tertawa.
"Jangan khawatir. Kamu bisa makan sebanyak atau sesedikit
yang kamu mau. Kalau masalahnya adalah kamu takut berat
badan kamu naik, besok pagi kita bakar kalori yang masuk.
Kamu masih suka lari?"
"Masih dong," jawab Fay sambil tersenyum menang.
"Oke kalau begitu, saya tantang kamu lari besok ya," kata
Alfred.
"Boleh. Tapi harus ada taruhannya," kata Fay, dengan sesal
kemudian atas kenekatannya.
"Baik, apa taruhannya?" tanya Alfred antusias.
"Nanti ya, saya pikirkan dulu," kata Fay jail. Sudah telanjur,
ujarnya dalam hati.
Alfred tertawa dan membukakan pintu mobil.
"Take your time, my little princess."
Fay masuk dengan jantung yang kembali berdegup dan darah
yang dipenuhi desiran perasaan bersalah.
Fay dibawa ke sebuah restoran yang berada di puncak sebuah
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gedung tinggi, menghadap ke Menara Eiffel. Dengan kagum ia
melihat lantai yang berputar dengan pelan, sehingga semua
tamu akan bisa menikmati pemandangan 360 derajat. Cici
pernah bercerita dia makan di restoran yang lantainya juga
bisa berputar di Jakarta. Tapi Fay yakin pemandangannya tidak
akan seindah yang terlihat sekarang, dengan Menara Eiffel
yang menyala keemasan berdiri dengan anggun, siap ditatapi
dengan kagum oleh setiap pengunjung restoran ini.
! 8-15.290
Sebuah seruan terdengar dari belakang memanggil nama
Alfred.
Fay menoleh dan jantungnya serasa ingin melompat ke luar.
Alfred berbalik dan menyahut tidak kalah antusias sambil
memberi sambutan lebar,
"Andrew, my friend. How are you?"
Alfred dan Andrew berpelukan, dan berjabat tangan dengan
erat.
Fay merasa wajahnya pucat pasi dan angin dingin merayapi
tubuhnya.
"Alfred, siapa nona muda yang kamu bawa?" tanya Andrew
menggoda.
Alfred menoleh ke arahnya dan dengan bangga memper?
kenalkannya kepada Andrew, "Andrew, ini keponakan saya,
Seena. Ibunya adalah kakak kandung Zaliza."
"Very delighted to meet you, young lady," Andrew menjabat
tangan Fay sambil tersenyum.
Fay menyambut tangan Andrew sambil tersenyum, "Pleased
to meet you, too."
Alfred bertanya kepada Andrew, "Datang sendiri?"
"Sayangnya begitu. Saya tidak punya kesempatan untuk di?
temani seorang keponakan yang sangat menarik seperti dia,"
Andrew mengedipkan mata ke arah Fay dengan jail.
Alfred tertawa.
Fay tersenyum jengah. Dalam hati ia mengagumi Andrew
yang tampak sangat alami mengucapkannya.
Andrew berkata lagi, "Baiklah kalau begitu. Meja saya ada
di dekat piano. Saya tidak akan mengganggu kalian lagi."
Alfred mengangguk dan berkata, "Saya akan bicara dengan?
mu lagi minggu depan tentang akuisisi yang kamu usulkan ke
pemegang saham."
"Baik, tidak masalah. Bon apetite," jawab Andrew.
! 8-15.291
Segera setelah Alfred memesankan makanan untuk mereka
berdua, Fay bertanya, "Pak Cik, tadi itu siapa?"
"Oh, dia teman baik saya. Kami sering sekali main golf ber?
sama."
"Teman bisnis?" tanya Fay lagi.
"Belakangan ini iya. Perusahaannya membuat penawaran
untuk membeli salah satu anak perusahaan saya. Saya kurang
setuju dengan penawarannya. Kebetulan saya pemegang saham
terbesar," ujarnya lagi. "Tapi keputusan itu belum final, kami
masih ingin mendiskusikannya lagi.
"Cukup tentang bisnis," sambung Alfred lagi. "Bagaimana
dengan kamu? Apakah kamu sudah pasti akan bersekolah di
Zurich? Jurusan apa yang kamu minati?" tanyanya.
"Mmm Saya sudah menetapkan hati untuk memilih jurus?
an geografi. Mudah-mudahan kunjungan ke sana tidak mem?
buat saya menjadi berubah pikiran," ucap Fay.
Makanan mereka datang.
"Jadi, besok pagi kita jadi taruhan?" tanya Alfred.
"Boleh. Sekalian Pak Cik mengajak saya tur seputar rumah
supaya saya tidak tersasar. Apakah anjing juga menggonggong
kalau saya lewat bersama Pak Cik?"
Alfred tersenyum.
"Anjing-anjing itu memang dilatih untuk bersikap agresif
dengan orang yang tidak dikenal. Mereka sudah dilatih untuk
mengikuti perintah saya, jadi kamu tidak perlu kuatir. Saya
pasti tidak akan membiarkan mereka mengganggu kamu."
Mereka pun makan sambil mengobrol seputar keluarga
Seena. Alfred menanyakan kabar hampir setiap orang di ke?
luarga Seena, dan Fay jawab dengan fasih. Beberapa yang tidak
diketahui, dengan jujur dijawabnya tidak tahu. Alfred se?
pertinya juga menyadari bahwa dengan keluarga sebesar itu,
wajar bila di antara keluarga ada yang sudah lama tidak men?
dengar kabar yang lain. Beberapa yang lain, Fay karang cerita?
nya, sambil berharap ia bisa mengingat kebohongannya sendiri
nantinya.
! 8-15.292
Keesokan pagi, Fay berlari bersisian dengan Alfred tanpa ke?
sulitan sama sekali, mengitari jogging track yang dibuat menge?
lilingi rumah di sisi pagar tembok bagian dalam. Kalau saja
Andrew ada di depannya mungkin Fay akan sungkem, ber?
terima kasih atas jasa pria itu memaksanya lari setiap sore.
Ingatan akan latihan lari yang sudah dijalaninya, tekadnya un?
tuk melakoni Seena dengan sempurna, dan adrenalinnya yang
selalu siaga menunggu panggilan, ternyata berhasil membuat
larinya kali ini sangat stabil. Dengan tegap dan tenang Fay
menyamai kecepatan Alfred, sambil mengamati keadaan sekitar?
Pendekar Naga Putih 19 Asmara Di Ujung Kisah Cinta Karya Sherls Astrella Si Pisau Terbang Pulang Karya Yang Yl
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama