Ceritasilat Novel Online

Fight For Love 3

Fight For Love Karya Orizuka Bagian 3

" He? Uso!!" sahut Ryuu dari kejauhan, membuatku menoleh ke arahnya. Dia sedang mendengarkan cerita Satria bersama yang lain.

" Uso apaan?" tanya Satria kepada Hikari yang segera tertawa. " Uso artinya bohong," jawab Hikari.

" Nggak uso, beneran!" sahut Satria, membuat yang lain juga tertawa. " Wig-nya lepas beneran pas ngajar!"

Ryuu tertawa lepas menyambut kata-kata Satria. Wajahnya yang sedang tertawa persis anak kecil yang imut. Eh, tunggu dulu. Kenapa aku malah memerhatikan Ryuu??

Aku menggeleng-gelengkan kepala, lalu memijat-mijat leher. Kurasa aku sudah terlalu lelah.

" Star? Jawabnya mau kapan-kapan aja?" tanya Fariz menyadarkanku.

" Oh... eh... nggak Riz... sekarang aja," kataku cepat, lalu menarik napas dan menatap Fariz ragu. " Riz, kalo gue nolak lo, kita nggak temenan lagi? Karena kalo gitu, gue pasti nerima lo." Fariz menatapku bingung. " Itu maksudnya apa?" tanyanya.

" Kalo ternyata setelah gue nolak lo, lo menjauh dari gue, gue mau terima lo sekarang. Karena lo sepenting itu buat gue," kataku jujur.

Fariz menatapku untuk beberapa lama dengan dahi mengernyit, lalu akhirnya tersenyum dan mengacak rambutku. " Kita bakal tetep temenan kok, Star," katanya. " Gue janji nggak akan ngejauhin lo."

" Thanks," kataku, setengah mati lega mendengar jawaban Fariz. Aku senang bisa berteman dengannya. " Riz, lo tuh udah kayak kakak& ."

" Oh, jangan... jangan...," kata Fariz buru-buru. " Jangan pake alasan kakak. Temen aja udah cukup."

Aku terkekeh mendengar kata-kata Fariz. Fariz ikut tertawa bersamaku. Senang rasanya karena kecanggungan beberapa menit lalu sudah bisa dicairkan.

" Star, maaf ya, udah ganggu lo soal perasaan gue," kata Fariz kemudian, membuat suasana kembali kaku. Nice job.

" Nggak apa-apa kok, Riz," kataku, lalu menatapnya yang sudah kembali mencabuti rumput. " Riz? Boleh gue bilang I love you? Like I love basketball?"

Fariz menatapku sebentar, lalu mengangguk.

" I love you," kataku sambil tersenyum. Aku memang sangat menyayanginya.

" I love you too," balas Fariz. " Like basketball," tambahnya cepatcepat, membuat kami nyengir bersamaan. Acara cabut-mencabut rumput jadi lebih menyenangkan setelah itu. Fariz melempar rumput ke wajahku, membuatku tidak punya pilihan lain selain membalasnya.

" Woi, yang di sana! Mesra amat!" sahut Ayu, membuat acara perang rumput kami berakhir.

Ya ampun, memang ilm ini sedih banget! Aku sampai menghabiskan sepak tisu untuk mengelap air mata. Hikari yang ikut menonton bersamaku juga menangis, padahal dia sudah pernah menontonnya.

Malam Minggu ini, aku dan Hikari memutuskan untuk menonton ilm yang kemarin itu. Aku, yang awalnya yakin tidak akan memerlukan tisu, ternyata lebih membutuhkan handuk. Hikari bilang, dia malah membutuhkan Plas-Chamois. Aku terkekeh mendengarnya. Ternyata, Hikari bisa juga bercanda.

Awalnya, aku kaget karena ternyata ini bukan ilm yang dua setengah jam selesai, melainkan drama dengan sebelas episode. Aku sudah mau mati saat mengetahuinya dan sudah mau membatalkan rencana menontonnya, tapi Hikari bilang drama ini benar-benar membuat penasaran. Jadi, aku menontonnya dengan anggapan aku bisa tidur kapan pun aku mau.

Tapi, aku tidak tidur sampai pagi karena menghabiskannya dalam sekali tonton. Player di kamar sudah mau meledak saking panasnya dan kurasa warna layar TV-nya sudah tidak sama lagi. Aku juga mungkin tidak sama lagi karena drama itu membuatku harus lebih bisa menghargai hidup dan orang-orang di sekitarku. Maksudku, aku tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok kan? Bagaimana kalau besok aku tiba-tiba tersandung dan divonis menderita Spingo-sesuatu?

Akibat dari menonton drama itu, aku terbangun pukul dua belas keesokan harinya. Hikari sudah tidak ada di sebelahku. Mungkin dia bisa langsung tidur setelah menonton, sementara aku masih harus mereleksikan diri dan berpikir kalau besok aku harus menjadi orang yang lebih baik dan menjaga kesehatan sebaik mungkin.

Aku melangkah ke luar kamar dan orang pertama yang kulihat adalah Fernan. Dia baru pulang main skateboard, sepertinya.

" HUAA!!" sahutnya begitu melihatku. Dia melompat kaget sampai terbentur dinding di belakangnya.

" Apa sih?" sahutku kesal.

" Muka lo ngeri banget!" seru Fernan sambil bergidik. Ryuu tahu-tahu muncul dari tangga sambil menyeruput cokelat. Dia menatap Fernan bingung, lalu menoleh ke arahku dan tersedak. Setelah itu, dia memberiku tatapan yang tak kumengerti.

" Habis ngapain lo semalem?" tanya Fernan. " Muka lo jadi kayak rakun begitu!"

Ryuu mendengus, lalu memutuskan untuk cepat-cepat menyingkir sebelum aku melakukan kriminalitas tingkat tinggi pada Fernan. Fernan juga cepat-cepat ngacir sebelum aku sempat melemparnya dengan skateboard-nya.

Aku masuk ke kamar, lalu bercermin. Sekarang aku tahu mengapa mereka bersikap seperti itu. Wajahku horor sekali, persis wajah Aya beberapa hari lalu!!

Aku terduduk di tempat tidur dan menatap nyalang Michael Jordan yang masih setia nyengir kepadaku. Bagaimana bisa aku datang ke pesta barbeku nanti sore tanpa membuat teman-temanku

Seakan mau menjawab pertanyaanku, Ibu muncul sambil membawa baju-baju yang sudah disetrika.

" Star, disimpen yang AH!!" sahutnya ngeri begitu melihat wajahku. Baju-baju yang dibawanya berhamburan. Aku menghela napas pasrah. " Say-sayang& . Kamu kenapa?"

" Habis nonton drama itu," kataku sebal, menyalahkan si sutradara yang bisa-bisanya membuat drama yang menguras air mata itu.

" Oh," kata Ibu prihatin. " Ng& . Ibu ambil es dulu ya? Dikompres matanya biar nanti bengkaknya hilang."

Ibu lalu turun, seolah tidak mau berlama-lama berada di kamar yang sama denganku. Setelah mendesah, aku beranjak ke tempat baju-baju yang berhamburan, mengangkatnya, lalu memasukkannya ke lemari dengan paksa. Tidak lama kemudian, Ibu datang dengan es batu di dalam plastik. Aku segera mengompres mata. " Gimana dramanya, Star?" tanya Ibu kemudian.

" Sedih," komentarku. Ibu hanya mengangguk-angguk kecil. Aku menatapnya sebentar. " Bu," kataku lagi, membuat Ibu menoleh. " I love you."

Ibu menatapku penuh haru, matanya berkaca-kaca. Dia lalu mengusap-usap dahiku seperti yang sering dilakukannya waktu aku kecil.

" Ibu juga sayang banget sama Starlet. Starlet adalah bintang kecil Ibu," katanya, membuatku hampir saja menangis lagi. " Ibu pengin Starlet tahu kalau kamu punya penyakit yang sama dengan Aya, Ibu pasti bakal jadi ibu yang sama dengan ibunya Aya. Mendukung Starlet sampai akhir."

Oh, oke. Kupikir tadi seperti ada momen antara ibu dan anak, tapi kurasa aku akan melupakannya saja. Aku tidak mau kena penyakit itu cuma untuk membuktikan kalau Ibu bisa jadi ibu yang baik.

Sore ini, rumahku dipenuhi orang-orang untuk pesta barbeku. Hikari sudah berdandan sangat cantik, sampai Fariz mungkin saja naksir padanya setelah baru kemarin dia menembakku. Tapi, aku tidak akan menyalahkan Hikari walaupun dia membuat kami semua yang bertitel cewek jadi transparan.

" Kayaknya gue dianggep palem nih sama Fariz," keluh Firda, ternyata memiliki perasaan yang sama. " Dari tadi dicuekin terus."

" Gue juga," kataku setuju. Fariz memperlakukanku seakan aku bagian dari halaman sesorean ini. " Gue rasa kita udah kehilangan Fariz."

Firda terkekeh, lalu menikmati daging asapnya. Aku menyapukan pandangan ke seluruh halaman dan mendapati Ryuu sedang duduk sendirian di bangku taman. Dia tampak menutup ponselnya dengan raut wajah kesal, sehingga aku yakin dia baru dapat telepon dari Ibunya.

" Star, kemarin gue ketemu Chacha di bimbel," kata Firda, membuatku menatapnya.

" Chacha? Gimana dia?" tanyaku.

" Sibuk," kata Firda, wajahnya tampak keruh. " Dia bener-bener belajar buat masuk kedokteran."

" Oh." Aku mengangguk-angguk. " Apa itu sebabnya dia nggak mau main lagi?"

" Kayaknya begitu," kata Firda lagi. " Gue harap sih dia nggak nyesel karena ninggalin basket demi sesuatu yang nggak dia inginkan."

" Maksud lo?" tanyaku heran.

" Denger-denger, dia nggak mau masuk kedokteran. Orang tuanya yang dokter maksa dia," kata Firda, membuatku tercengang. " Ya ampun," kataku prihatin. " Kasihan banget dia." " Yah." Firda mengedikkan bahu. " Kita juga nggak bisa berbuat apa-apa, kan?"

Memang benar. Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan untuk membantunya. Walaupun demikian, aku bisa melakukan sesuatu supaya kami bisa bicara lagi tanpa harus saling menghindar kalau bertemu.

Hari sudah menjelang malam dan semua orang sudah kenyang. Sekarang, kami sedang asyik mengobrol sambil minum Cola.

" Minna-san 18 !" sahut Hikari sambil mendentingkan gelas. Kami semua berhenti mengobrol, lalu menatapnya. " Aku pengin ngucapin terima kasih sama kalian semua karena mau datang. Aku juga mau berterima kasih sama keluarga Setiawan yang sudah mau menerima aku. Arigatoo gozaimashita."

Dia menundukkan kepalanya kepada Ayah dan Ibu yang membalasnya dengan canggung. " Kebaikan kalian semua, aku tidak akan lupa," kata Hikari sungguh-sungguh. " Walaupun baru kenal, tapi aku ngerasa nyaman sama kalian. Kalian baik banget sama aku. Hontoo ni, arigatoo gozaimashita 19 ." Dia menundukkan kepala lagi. Kali ini kepada semuanya, jadi kami membalasnya kaku. Hikari hanya tersenyum menatap kami.

" Oke, untuk Hikari, ayo kita cheers!" sahut Fernan sambil mengangkat gelas berisi Cola-nya. " Cheers!"

" Kanpai 20 !!" sahut Hikari, lalu kami semua ikut mengangkat gelas.

Setelah itu, semua orang sibuk menyalami Hikari dan mengucapkan selamat tinggal, takut besok tidak bertemu lagi. Aku sendiri tidak ikut-ikutan, toh masih ada semalam lagi. Jadi, aku menyesap Cola-ku dan bermaksud untuk mencari tempat duduk.

Aku melihat Ryuu, masih duduk di bangku taman di pojokan, sedang menatap tanpa ekspresi layar ponselnya yang berkedipkedip. Aku menghampirinya, tapi dia tampak tidak menyadari kehadiranku. Aku mengintip layar ponselnya, tapi percuma saja karena tulisannya dalam bahasa Jepang. Tapi, kurasa itu Ibunya.

" Kok nggak diangkat?" tanyaku, membuatnya kaget dan menutup ponselnya cepat-cepat. Sepertinya, dia juga tidak sadar kalau aku tidak bisa membaca huruf kanji.

" Nggak penting," katanya singkat, lalu menghirup minumannya. Aku menatap Ryuu yang tampak banyak pikiran.

" Kenapa sih lo ke sini?" tanyaku. 19. ontoo ni, arogatoo goaimashita = Benar-benar terima kasih .

Ryuu menoleh dan menatapku tajam. " Lo udah pernah tanya itu."

" Dan jawaban lo nggak masuk akal. Orang liburan nggak cuma nonton TV di rumah," kataku lagi. " Dan nggak akan punya waktu untuk ngelatih tim basket."

" Kalo gitu mulai besok gue keluar rumah dan berhenti ngelatih tim basket lo," katanya, masih sedingin yang pertama. " Kenapa sih lo?" tanyaku sebal. " Kenapa lo malah sewot gini?" " Karena lo berisik," kata Ryuu, membuatku terkesiap. " Dan karena rencana liburan gue bukan urusan lo."

Aku menatap Ryuu tidak percaya, tapi Ryuu malah membuang muka.

" Lo tahu, tadinya gue khawatir kalo lo punya masalah. Tapi sekarang, gue ngerasa nyesel udah capek-capek khawatir," kataku sinis, lalu bangkit dan berderap pergi.

Aku tidak akan ikut campur lagi kalau itu yang dia mau. Mulai sekarang, aku akan berpura-pura kalau dia tidak pernah ada di rumahku.

Old Force

P engaruh dari pertengkaranku semalam mulai terlihat hari ini.

Ryuu tidak muncul di latihan kali ini. Mungkin saja dia bilang dia akan mengantar Hikari ke bandara, tapi aku yakin dia serius dengan perkataannya kemarin.

Aku sudah mengatakan perihal itu kepada semua anak basket cewek. Dan mereka tidak percaya kalau Ryuu sudah tidak mau melatih lagi. Aku bilang saja kalau cepat atau lambat, hal itu pasti terjadi karena Ryuu tidak akan berada di sini untuk selamanya. " Jadi, sekarang kita harus gimana?" tanya Ayu panik. " Yu, kita harus berusaha sendiri karena mulai sekarang nggak ada Ryuu yang bisa nolong kita," kataku. " Kita nggak bisa selamanya bergantung sama dia, oke? Bukan dia yang bikin kita kayak sekarang ini, tapi kita sendiri. Jadi, biar dia ada ataupun nggak, kita harus tetep berusaha. Oke?"

Ayu menatapku ragu sebentar, lalu mengangguk pelan. " Udahlah, Yu.... Kita jangan mengulang kesalahan yang sama." Firda menepuk bahu Ayu. " Kita jangan terpuruk kayak tahun lalu lagi."

Aku mengangguk setuju dengan ucapan Firda. Aku senang karena akhirnya dia mengerti, ketiadaan pelatih bukanlah hal yang bisa membubarkan tim.

" Lagian, liat deh sisi positifnya," kata Nadya, membuat kami bingung. Dia mengedikkan kepalanya ke pinggir lapangan yang sepi. " Nggak ada kodok pake pita lagi."

Kami tertawa menyambut lelucon Nadya. Benar juga. Karena Ryuu tidak ada, maka tidak ada lagi cewek-cewek centil yang berisik di pinggir lapangan.

" Yup, ayo kita latihan!" sahutku bersemangat, lalu mengambil bola basket dan mendribelnya. Semua orang sekarang sudah mengikutiku.

Tahu-tahu, aku melihat Chacha yang sedang memandang ke arah lapangan.

" Sebentar, guys," kataku, lalu berlari-lari mendekati Chacha yang tersentak, mungkin kaget karena aku menghampirinya. Dia segera berjalan menghindariku. " Cha!" panggilku, tapi Chacha tidak mau berhenti. " Chacha!"

Aku berhasil mendahuluinya, lalu menghadangnya. Chacha menatapku sengit.

" Apa?" katanya judes. " Gue sibuk."

" Gue tahu. Bimbel, kan?" kataku, membuat Chacha terdiam. " Lo mau masuk kedokteran kan? Makanya lo nggak bisa masuk tim lagi?"

" Kenapa ?"

" Gue tahu dari Firda," potongku, membuat Chacha melirik Firda di kejauhan. " Dia peduli sama lo, makanya dia bilang ini ke gue. Kita semua peduli lo. Gue, Firda, Ayu, Tias."

Chacha menatapku lagi dengan tatapan skeptis. " Emang bener, gue nggak bisa main lagi karena gue bimbel."

" Gue ngerti," kataku. " Dan gue minta maaf karena nyangka lo udah nggak suka basket."

" Emang udah nggak suka," tukas Chacha, membuatku tersenyum.

" Oya?" kataku. " Terus tadi ngapain lo bengong ngeliatin kita

yang lagi latihan? Bukannya lo pengin latihan juga?"

" Star, jangan maksain gue masuk tim. Gue harus bimbel," kata Chacha lagi.

" Gue nggak maksa lo untuk masuk tim lagi. Tapi, Cha, kapan pun lo mau main walaupun sekadar iseng, lo diterima," kataku, membuat tatapan Chacha melunak. " Lo pasti nggak bisa melepaskan basket begitu aja, kan?"

Chacha terdiam, lalu menatap lapangan basket penuh rasa rindu. Aku menepuk bahunya.

" Ayo. Kita tanding three-on-three," kataku. " Sebelum lo masuk bimbel."

Chacha menatapku ragu, tapi akhirnya mengikutiku ke lapangan basket. Aku nyengir melihatnya berjalan takut-takut seperti itu. Kurasa dia malu. Tapi, ekspresinya berubah cerah ketika Firda, Ayu, dan Tias menggandeng dan menyeretnya masuk ke lapangan. Aku menatap mereka lega.

" Gue rasa, Starlet harus jadi kapten kita selanjutnya," kata Citra, mengagetkanku. Aku menatap ketiga anak baru itu yang semuanya sudah nyengir jail lalu terkekeh.

" Mungkin juga ya," kataku narsis, mengkhayalkan bagaimana kerennya aku diberikan tanggung jawab itu.

Aku bergabung dengan Firda, Chacha, Ayu, dan Tias untuk tanding three-on-three. Nadya memilih duduk menonton di bawah pohon, sementara Inez dan Citra ikut sebagai pemain pengganti. Kami main selama dua puluh menit. Dan sepanjang permainan, aku melihat senyuman Chacha yang akhir-akhir ini tidak pernah kulihat lagi.

Aku, Inez, dan Ayu menang 35-30 atas Chacha, Firda, dan Tias. Walaupun begitu, aku harus mengakui, kerja sama Chacha dan Firda masih sangat baik, sampai sedih rasanya mengingat keduanya tidak bisa berpasangan lagi.

Sekarang, kami sudah duduk-duduk di bawah pohon sambil menatap langit.

" Cha, berjuang ya biar masuk kedokteran," kataku. " Walaupun lo nggak pengin."

" Hah?" kata Chacha. " Emangnya siapa yang nggak pengin?" Aku menatap Chacha bingung. " Lho, bukannya lo nggak pengin masuk kedokteran? Bukannya lo dipaksa orang tua lo?"

Chacha terkekeh geli melihatku bengong. " Gue udah punya cita-cita jadi dokter semenjak gue bisa nulis diary," katanya. " Sampe sekarang pun, gue masih pengin jadi dokter. Gue pengin jadi kayak orang tua gue. Emangnya siapa yang bilang nggak pengin?"

" Tahu tuh, orang sok tahu." Aku melirik sebal ke arah Firda yang cengengesan, tapi lantas mendesah lega. " Kalo emang begini, gue bisa ngelepasin lo. Walaupun gue ngerasa sayang banget nggak bisa main lagi sama lo."

" Thanks, Star," katanya sambil tersenyum. " Gue juga mau minta maaf soal yang kemaren-kemaren. Gue udah ngomong yang nggaknggak sama lo. Terus terang, waktu itu gue masih bingung harus milih yang mana, antara basket dengan cita-cita gue."

" Dan lo pilih cita-cita lo," timpalku, membuat Chacha mengangguk. " Gue dukung lo, Cha. Dan jangan lupa, kalo lo masih bisa main sama kita-kita."

Chacha mengangguk lagi. " Ayo berjuang," katanya kepada kami.

" Lo harus dateng," ancamku. " Kecuali kalo lo terlalu sibuk belajar."

Yang lain terkekeh mendengar kata-kataku. Tiba-tiba, Ayu menunjuk ke pesawat terbang yang melintas.

" Kira-kira Hikari udah nyampe belum, ya?" tanyanya, membuatku teringat pada Hikari.

Semalam, dia sampai menangis terharu waktu aku memberinya pigura yang berisi fotoku dan Satria. Aku tidak tahu lagi harus memberi apa, lagi pula aku tidak punya barang berwarna pink. Jadi, aku memberikannya pigura itu lengkap dengan fotonya. Aku bisa mencetaknya lagi, jadi aku tidak khawatir.

Hikari sendiri memberiku wrist-band yang sekarang sudah melekat di tangan kiriku. Memang sih, wrist-band itu berwarna pink cerah, tapi aku tidak keberatan mengenakannya. Kurasa aku sudah terkena pengaruh dari drama sedih itu.

Hikari mungkin sudah sampai sekarang. Aku akan mengirim e-mail sepulang latihan nanti.

" Ryuu kok nggak ikutan pulang sih, Star?" tanya Inez, membuyarkan lamunanku. Sekonyong-konyong, awan di atasku membentuk wajah menyebalkan Ryuu.

" Masih mau liburan, katanya," jawabku pendek.

" Liburan? Tapi, perasaan gue nggak liat dia liburan," kata Tias. " Exactly." Aku mengamini. Selanjutnya, obrolan berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan Chacha tentang siapa Ryuu dan Hikari. Aku memilih tidur karena mendengar nama Ryuu membuatku sakit kepala.

" Tadaima," kataku begitu memasuki ruang keluarga. Ibu terlihat sibuk di dapur, sedangkan Fernan dan Satria sedang membantu Ayah di luar untuk memperbaiki mobil.

" Okaeri." Ryuu menjawab pelan tanpa berbalik. Dia sedang menonton TV salah satu kegiatan liburannya yang hebat.

Menganggap jawabannya sebagai angin lalu, aku melewatinya dan langsung naik ke kamar. Aku bisa melihat Ryuu melirikku, tapi aku tidak peduli.

Aku melempar tas asal, lalu membanting tubuh ke atas tempat tidur. Tahu-tahu, mataku menangkap sebuah kotak berwarna pink di atas meja belajar. Barang Hikari yang tertinggal?

Aku bangkit, lalu bergerak menuju meja belajar. Pada kotak itu terdapat namaku, tulisan tangan Hikari. Jadi, ini untukku. Aku membuka kotak itu dan mendapati kotak-kotak lain yang lebih kecil. Aku mengambil salah satunya, lalu membaca tulisan latin yang ada di sana. Nobuta wo Produce. Apaan sih ini?

Aku membuka kotak itu, lalu tercengang menatap isinya. Beberapa keping DVD. Jadi, ini salah satu drama Jepang yang lain. Selain itu, ada sekitar sepuluh kotak lagi yang ada di dalam kotak pink itu. Bagaimana Hikari bisa yakin kalau aku tidak akan mati duluan sebelum sempat menonton habis semuanya??

Di antara kotak DVD, aku menemukan kertas yang terselip. Aku mengambil dan membuka lipatannya.

Hoshi-chan, genki?

Waktu kamu buka Pandora s Box ini, aku pasti sudah pergi. Kamu jangan kaget ya lihat isinya. Ini dorama-dorama favoritku. Harus ditonton semua ya! Akan aku tagih kesan kamu kalau aku balik lagi ke Indonesia. Ja, mata itsu ka ne!

Lalu di bagian paling bawah, ada satu huruf kanji, yang kupikir artinya Hikari . Aku mendesah, lalu menatap pasrah kotak-kotak yang ada di dalam kotak pink itu. Hikari mau membunuhku pelanpelan, rupanya.

Aku membaca lagi surat itu. Hoshi-chan, genki? Apa sih artinya ini? Lalu ja, mata itsu ka ne juga apa? Kenapa Hikari menggunakan kata-kata yang tidak kumengerti? Dan aku juga tidak mau bertanya kepada Ryuu. Jangankan bertanya arti ini dan itu, menyapanya saja aku malas.

Aku menatap kotak yang kupegang, lalu beranjak ke depan TV. Aku sedang tidak punya pekerjaan lain, jadi kuputuskan untuk mulai menyicil menonton. Untuk berjaga-jaga saja, siapa tahu ketika Hikari datang dua tahun lagi, aku belum menyelesaikan satu drama pun.

Jadi, aku menyalakan player, memasukkan satu keping DVD, lalu mulai menonton. Awal-awal menonton, aku melongo melihat cowok yang menjadi pemeran utamanya. Maksudku, cowok ini terlihat lebih cantik dari cewek pemeran utamanya!! Aku ingin tertawa tiap kali melihat wajahnya, tapi karena ilm ini cukup seru, jadi kutahan-tahankan saja.

Cowok-cowok Jepang memang aneh. Entah mengapa, mereka senang bersolek. Mereka mengecat rambut, memotongnya dengan penuh gaya, mencukur alis, memakai lipgloss& . Aku benar-benar tidak tahu harus bicara apa karena aku yang cewek saja tidak

kan, keseimbangan gender. Aku harusnya tidak perlu mengeluh melihat cowok pakai pita karena cowok tidak pernah mengeluh lihat cewek pakai jeans.

Walaupun demikian, cowok Jepang yang kukenal tidak mengecat rambutnya. Rambutnya hitam pekat, nyaris berkilau, dan alisnya yang tebal dibiarkan begitu saja. Bibirnya merah juga bukan karena lipgloss.

Hm, tunggu. Kenapa aku malah memikirkan Ryuuichi lagi?? Aku segera berkonsentrasi pada drama yang kutonton. Selanjutnya, aku mengakak saat melihat pemeran cewek yang wajahnya horor mencoba tertawa, tapi malah terlihat seperti orang sakit perut.

Hari kedua Ryuu tidak melatih, kami masih baik-baik saja. Kami melakukan apa yang biasanya Ryuu suruh. Hanya saja, Ryuu tidak ada lagi untuk memuji jika tembakan kami berhasil masuk atau menghibur kalau tidak masuk. Bukan hanya aku yang merasa kehilangan, tapi semua orang.

Meskipun begitu, aku tidak bisa berbuat apa-apa karena tadi pagi Ryuu sudah tidak terlihat. Ibu bilang dia pergi ke pantai. Pantai apa yang mau dia lihat, Ancol? Tapi, kurasa itulah permulaan dari liburan Ryuu. Maksudku, aku kasihan kalau deinisinya soal liburan hanya menonton TV sepanjang hari.

Aku mengawasi keadaan lutut Firda yang akan menembak. Tapi sebelum sempat melayang, bola itu tergelincir dari tangannya.

Aku menatap heran Firda yang tatapannya kosong.

" Fir?" panggilku sambil melambai-lambaikan tangan di depan mukanya. Tapi, Firda bergeming, wajahnya melongo.

" Kak Endah," katanya pelan, membuatku menoleh secepat kilat ke arah yang dilihatnya.

Kak Endah tampak sedang berlari-lari ke arah kami. Mendadak, aku seperti kena dj vu. Itu Kak Endah. Kak Endah yang dulu. Hanya saja, sekarang rambutnya panjang terurai, tidak pendek terikat dan tertutup topi seperti dulu.

" Hai, guys!!" sahutnya riang, sementara aku, Firda, Ayu, dan Tias masih bengong menatap sosoknya. " Ya ampun, aku kangen banget sama kalian!"

" Kak& Endah," kataku dengan suara tersekat di tenggorokan. " Iya, ini aku!!" sahut Kak Endah sambil merentangkan tangan lebar-lebar. Ayu, Tias, dan Firda langsung menghambur ke arahnya untuk memeluk. Aku sendiri masih terpaku. Kak Endah melihatku. " Starlet?"

Setelah akhirnya aku yakin sosok itu benar-benar Kak Endah, aku nyengir, lalu menghampiri dan memeluknya erat-erat.

" Kak Endah, okaeri," ucapku kepadanya, yang segera terperangah. Tapi, hal itu tidak bertahan lama karena akhirnya, dia tersenyum. " Tadaima," katanya, lalu mengacak rambutku.

Aku tidak percaya ini. Aku benar-benar tidak percaya ini terjadi.

" Jadi, Kak Yamashita pindah kerja ke sini?" tanyaku. Sekarang, kami sedang duduk-duduk di pinggir lapangan. Aku sudah mengenalkan ketiga anak baru kepada Kak Endah. Aku juga sudah menceritakan jatuh-bangunnya tim selama Kak Endah pergi. Kak Endah sempat merasa tidak enak, tapi kami semua meyakinkannya kalau kami baik-baik saja, malah bertambah kuat.

" Iya," kata Kak Endah. " Bulan depan kami bakal pindah ke sini lagi."

" Serius??" seruku tidak percaya, tapi berikutnya suatu pikiran tidak masuk akal terlintas di benakku. " Jadi& . Apa Kak Endah bakalan& ."

" Ngelatih kalian lagi? Hanya kalo kalian setuju," katanya sambil tersenyum. Aku menekap mulutku tidak percaya, sementara yang lain sudah bersorak gembira.

" Setuju... setuju! Pasti setuju, Kak!!" sahut Ayu histeris. " Ya kan, Star?"

" Ya iyalah!!" sahutku ikut histeris, lalu semua orang mulai berhore-hore. Aku menatap Kak Endah bahagia. Aku juga bisa merasakan air mataku mulai menitik. Kak Endah tersenyum, lalu merengkuhku. Aku langsung balas memeluknya.

" Kamu memang bisa diandalkan, Star," pujinya. " Kamu bisa menyatukan tim kita lagi. Kamu memang hebat."

Aku menggeleng, tidak mampu menjawab karena sedang menahan tangis.

" Karena ada momen ini, gue sekalian mau nyerahin jabatan," kata Firda tiba-tiba, membuatku menatapnya heran. " Starlet, sekarang lo kapten tim basket sekolah kita."

Akhirnya, aku nangis betulan. Pakai meraung-raung lagi. Tapi, aku tidak punya waktu untuk merasa malu, karena aku sekarang sangat terharu. Juga bahagia.

Most Precious Thing

" Apa, udah mau pulang??" protesku saat makan malam. Satria mengangguk sambil berusaha untuk tidak menatapku.

" Tahu-tahu ada tugas," kata Satria sambil menyumpit cah kangkung. " Sori, Star. I hate to, but I have to go."

Rasa makananku tiba-tiba tidak sama lagi. Lidahku sepertinya sudah mati rasa. Sebal rasanya setiap kali Satria bilang mau balik ke Australia. Tapi, kemudian aku sadar kalau aku tidak seharusnya membebaninya dengan sikap kekanak-kanakanku lagi. Aku kan sudah besar.

Lagi-lagi, rasanya ini berkat drama sedih itu.

" Harusnya lo bilang mau pergi dong, rumah lo kan di sini," kataku akhirnya. Satria dan keluargaku menatapku kaget, saling lirik, lalu tersenyum simpul.

" Iya, gue mau pergi dulu," katanya, lalu nyengir. " Adik gue udah gede ya?"

" Iya, kayaknya beratnya nambah beberapa kilo akhir-akhir ini," timpal Fernan tanpa diminta. Aku meliriknya sinis. Ternyata, efek drama itu padanya hanya berlaku satu malam saja. Sepertinya dia sudah lupa pernah memelukku dan menangis meraung-raung.

" He-eh, kayaknya Starlet udah dewasa," kata Ayah, membuatku menyuapkan nasi banyak-banyak ke mulut supaya tidak harus berkomentar. " Kayak bukan Starlet lagi."

" Bagus, kan? Jadi, Satria bisa pergi ke Aussie tanpa harus telat ke bandara lagi karena dipelukin Starlet," kata Ibu, membuat semua orang terkekeh, kecuali aku. Juga Ryuu. Saking diamnya, dia membuatku hampir melupakan keberadaannya.

" Kapan?" tanyaku, untuk mengalihkan pembicaraan aku-sudahdewasa ini.

" Besok pagi," kata Satria lagi, membuatku melotot. Tapi, aku segera menarik napas, lalu mengembuskannya pelan. Aku tidak boleh emosi.

" Lain kali, bilangnya jangan baru hari gini ya," kataku kalem, membuat melongo semua orang sekali lagi.

" Padahal, gue udah siap kena semprot," kata Satria. " Duh, kalo gini kok gue ngerasa lo udah nggak sayang sama gue ya? Udah punya cowok ya, Star?"

Oke. Cukup sudah semua akting ini. Aku meletakkan sendok keras-keras, lalu menatap Satria garang.

" Sat! Gue sayang sama lo, oke? Kalo mau gue, lo jangan balikbalik lagi ke Aussie! Lo nggak tahu betapa susah tadi gue berusaha dewasa!" sahutku dengan mata berair. Semua orang sekarang melongo lagi.

Aku berderap keluar rumah. Aku sangat kesal pada keluargaku. Maunya apa sih? Aku bersikap kekanakan, mereka protes. Aku bersikap dewasa, mereka heran. Lalu, aku harus bagaimana??

Tiba-tiba, sebuah tangan menahan dan membuatku berbalik. Satria. Dia menarikku, lalu memelukku erat-erat. Aku langsung menangis keras-keras, tidak peduli kalau dilihat tetangga.

" Star, maain gue ya," kata Satria sementara aku sesenggukan. " Maain gue, oke? Gue janji nggak bakal ngomong begitu lagi sama lo."

Satria memegang kepalaku dan menatapku lekat, membuatku mengangguk pelan. Satria mendesah, lalu memelukku lagi yang

" Star, nggak usah berusaha lagi ya? Di depan gue, lo cuma perlu jadi Starlet, adik gue yang gue kenal. Nggak apa-apa kekanakkanakan juga. Gue terima kok," kata Satria, membuatku mulai menangis lagi.

" Sat, maain gue juga ya," kataku. " Cuma lain kali, lo harus bener-bener bilang dari jauh-jauh hari. Jangan mendadak kayak tadi."

" Iya, gue janji." Satria menyeka air mataku. " Sekarang, lo ke lapangan basket, tunggu gue di sana. Gue mau ambil bola. Kita oneon-one. Oke?"

Aku mengangguk kuat-kuat. Aku menatap punggung Satria yang segera berlari ke rumah untuk mengambil bola basket. Aku benar-benar menyayanginya, sekaligus merasa kasihan pada Fernan karena tidak pernah memiliki momen ini. Suruh siapa dia menjadi anak yang menyebalkan.

Hari ini kami berlatih sendiri lagi karena Kak Endah harus mengurus sesuatu di kedutaan. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Ryuu, aku pun tidak begitu mau tahu. Kurasa dia sedang ke pantai lagi, menyempurnakan liburannya.

Aku baru akan melakukan three-point shot ketika Ayu berteriak histeris. Aku menoleh, lalu melihat apa yang membuatnya sebegitu heboh. Ryuu. Tidak tampak siap dengan baju untuk latihan, tapi toh dia datang juga.

" Hai," sapanya ke anak-anak lain, jelas-jelas menghindari pandanganku. " Baru dua hari ditinggal, apa yang baru nih?"

" Kita udah dapet pelatih, jadi lo nggak perlu dateng lagi," sambarku, membuat semua orang menatapku. Ryuu sendiri akhirnya menatapku walaupun dingin. " Jangan rusak rencana liburan lo dengan ngelatih tim basket."
Fight For Love Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Gue nggak inget nanya lo," kata Ryuu sinis, membuatku dan yang lain melongo. Ryuu lalu menoleh kepada Inez. " Jadi, udah dapet pelatih baru?"

Inez mengangguk ragu. " Kak Endah, pelatih yang dulu," jawabnya takut-takut. Mungkin dia juga baru tahu Ryuu bisa jadi berengsek seperti ini.

" Oh, oke. Sebenernya gue ke sini juga mau bilang kalo gue nggak bisa ngelatih kalian lagi karena gue harus pergi," kata Ryuu, membuat semua kaget, termasuk aku.

" Ke mana? Pulang?" tanya Citra.

" Bukan, gue mau nerusin rencana liburan gue." Ryuu melirikku tajam. " Jadi, gue pengin pamitan sama kalian. Siapa tahu kita nggak ketemu lagi."

" Jangan ngomong begitu dong," kata Ayu mewakili semua orang. Ryuu tersenyum, lalu menepuk pundaknya.

" Mukanya jangan gitu dong, gue jadi nggak enak," kata Ryuu. " Memangnya lo bakal langsung pulang ke Jepang abis liburan?" tanya Tias.

" Mungkin," jawab Ryuu. " Makanya gue mau sekalian pamitan. Dan gue mau ngasih ini."

Dia mengeluarkan sebuah bingkisan dari kantong kertas yang dibawanya, lalu memberikannya kepada Firda. Firda mengeluarkan isi bingkisan itu. Beberapa gantungan kunci berbentuk boneka cewek yang memakai seragam basket dan diberi nomor dada.

" Hikari yang bikin," kata Ryuu. " Ambil sesuai nomor punggung kalian."

" Wah." Firda berdecak kagum. " Thanks, Ryuu."

Ryuu hanya tersenyum, sementara yang lain berebutan mengambil gantungan kuncinya masing-masing. Hanya aku yang masih terdiam dan menatap Ryuu. Ryuu balas menatapku, tapi tidak mengatakan apa pun.

" Oke, kalo begitu, gue balik dulu ya," kata Ryuu akhirnya. " Gue seneng banget bisa ngelatih kalian walaupun cuma beberapa hari. Kalian hebat. Gue tunggu kabar kemenangan kalian."

" Gue, maksud gue... kita.... Kita berterima kasih banget lo udah mau ngelatih kita. Ya kan?" tanya Firda kepada semua orang yang langsung mengangguk. Aku masih terdiam menatap Ryuu yang melirikku sekilas. " Starlet?" tanya Firda, menyadarkanku. Tapi, aku tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

" Ya udahlah. Gue juga seneng kok," kata Ryuu. " Sampe ketemu lagi ya."

" Bakal ketemu lagi, kan?" tanya Citra. Ryuu hanya tersenyum, lalu melambai dan melangkah pergi.

" Star, kenapa sih lo diem aja?" tanya Tias setelah Ryuu tak tampak lagi. " Ada masalah?"

Aku tidak menjawab pertanyaannya.

" Eh, ngomong-ngomong... punya lo nggak ada lho, Star." Nadya memberi tahu sambil menunjukkan kotak bingkisan tadi.

Aku sudah tahu itu akan terjadi. Aku pun tidak mengharapkannya.

Aku berjalan pelan ke arah kamar Fernan. Anak itu sedang bermain PS2 di bawah. Aku melirik ke dalam kamar yang terbuka itu. Ryuu tampak sedang mengepak barang-barangnya. Pemandangan ini entah kenapa membuat hatiku terasa sakit.

" Lo bener mau pergi?" tanyaku, membuat Ryuu mendongak. Dia menatapku sebentar, lalu kembali membereskan carrier-nya. " Yup," kata Ryuu pendek.

" Pulang?" tanyaku lagi.

" Bukan, nerusin liburan yang seharusnya," kata Ryuu sinis, membuatku menatapnya sedih.

" Apa ini karena gue?" tanyaku. " Apa ini karena omongan gue kemaren? Karena kalo iya, gue minta maaf."

Ryuu berhenti mengepak, lalu menghela napas. " Bukan, bukan karena lo," katanya kemudian. " Dan harusnya, gue yang minta maaf."

" Oke, lo gue maain," kataku cepat, membuat Ryuu bengong. " Jebakan ya?" tanyanya. Aku mengangguk. Dia mendengus geli.

" Terus, kenapa lo mau pergi?" tanyaku lagi. Ryuu kembali menatapku.

" Gue ada urusan," katanya, kembali jadi sosok misterius. " Penting?" tanyaku.

" Penting," jawabnya, lalu menunduk, pura-pura sibuk dengan barang-barangnya.

" Bukannya mau liburan?"

" Bukan," jawab Ryuu lagi. Kali ini dia menatapku lama, lalu mengorek tasnya dan mengeluarkan sebuah bingkisan. Dia memberikannya kepadaku. " Buat lo."

Aku menatap bingkisan itu, merasa familier dengan bentuknya, lalu membukanya. Gantungan kunci yang mirip dengan yang diberikannya kepada anak-anak tadi. Hanya saja, gantungan kunci ini lebih besar dan pada bagian dadanya terdapat bintang yang besar. Aku menatap Ryuu heran.

" Gue rencananya mau ngasih itu pas lo tidur," kata Ryuu. " Takut lo buang soalnya."

" Mana mungkin gue buang," kataku cepat, lalu memegang gantungan kunci itu erat-erat. Ryuu memberiku tatapan ramah.

Selama beberapa saat, kami saling menatap tanpa berkata apa-apa. Kemudian, Ryuu mengambil sesuatu dari tasnya lagi dan menyerahkannya kepadaku. Sebuah CD.

" Apa nih?" tanyaku heran sambil membaca sampul CD berwarna oranye itu.

" CD," jawab Ryuu.

" Gue bingung, bukannya beg& CD apaan?" tanyaku cepat-cepat,

takut merusak suasana. Ryuu menatapku geli, sadar kalau tadi aku sudah mau mengamuk.

" Orange Range, salah satu band favorit gue. Band Jepang," tambahnya ketika aku menelengkan kepala, merasa tidak pernah mendengar nama band itu.

" Oh," kataku sambil meneliti CD yang cover-nya udah retak itu. " Untuk lo," katanya kemudian.

" Thanks," kataku, tapi berikutnya teringat sesuatu. " Bukannya lo pake iPod? Ngapain masih bawa CD?"

" Itu CD favorit gue soalnya. Dan juga jimat gue," tambah Ryuu. Aku menatapnya bingung. " Gue pernah hampir mati gara-gara ditusuk orang, tapi pisaunya kena CD itu. Waktu itu gue taro di saku jaket."

Aku melongo, lalu kembali mengamati cover CD yang retak itu. Aku cepat-cepat mengembalikannya kepada Ryuu.

" Gue nggak mau ah, nanti kena sial!" seruku, membuat Ryuu bengong. Melihat wajahnya, aku langsung nyengir. " Bukan gitu. Maksud gue, kalo lo nggak punya ini, ntar malah lo yang sial."

" Nggak apa-apa, gue udah nggak butuh itu," kataku. " Gue emang pengin ngasih CD ini ke lo. Dan track nomor dua belas buat lo."

Aku mencari ke track yang dimaksud, lalu memicingkan mataku kepada Ryuu.

" Apa bacaannya nih?" tanyaku sebal, karena di sana cuma ada satu huruf kanji.

" Hana 21 ," jawab Ryuu. " Artinya bunga."

" Oh," kataku, merasa sedikit malu karena sudah disamakan dengan bunga. Aku menatap CD itu lagi, lalu tiba-tiba sesuatu terlintas di benakku. " Ryuu! Tunggu sebentar ya!" sahutku, lalu segera pergi mengambil sesuatu di kamar dan kembali semenit berikutnya. Ryuu menatapku dengan dua alis tertaut.

" Kenapa?" tanyanya begitu aku menyerahkan sebuah kotak kepadanya.

" Untuk lo," kataku.

Ryuu membuka kotak itu. Isinya adalah kausku yang ditandatangani Michael Jordan sepuluh tahun yang lalu.

" Apaan nih?" tanyanya, belum sadar kalau benda itu sangat berharga. Tapi kemudian, matanya terpaku pada tulisan yang ada di bawah tanda tangan. " OH!"

Ryuu menatap kaus itu tidak percaya, lalu beralih kepadaku yang tersenyum lebar.

" Karena lo udah ngasih jimat lo ke gue, gue kasih jimat gue ke elo," kataku mantap.

" Tapi, ini nggak sepadan. Maksud gue, CD itu sama Michael Jordan& ." Ryuu menggeleng pelan.

" Sepadan kok," kataku, membuat Ryuu menatapku. Dia menghela napas, lalu mengangguk.

" Gue bakal jaga ini sampe mati," kata Ryuu akhirnya. " Jangan mati cepet-cepet ya," kataku, membuat Ryuu terkekeh. Sejurus kemudian, dia berhenti tertawa, lalu menatapku serius. " Star, soal masalah gue ini, gue& ." Ryuu tampak ragu.

" Nggak apa-apa. Lo nggak harus kasih tahu gue. Gue ngerti," kataku.

Ryuu terdiam sebentar, lalu mengangguk. " Thanks. Suatu hari pasti gue jelasin."

" Gue percaya," kataku, membuatnya tersenyum.

Tahu-tahu, pintu di belakangku menjeblak terbuka. Aku menoleh kaget. Ayah ada di sana dengan tampang yang tidak bisa dijelaskan. Maksudku, sudah lama sekali aku tidak melihat raut wajah Ayah seserius ini.

" Yah? Ada ap "

" Ryuu, turun!" perintah Ayah tegas, membuatku melotot. Aku menoleh ke arah Ryuu, yang wajahnya berubah pucat. Ada apa sih ini?

" Jangan-jangan& ," gumam Ryuu tidak jelas.

" Ayah kamu datang," kata Ayah, membuatku kaget. Ayah Ryuu? Ke sini?

Aku menoleh ke arah Ryuu yang tampak menegang. Ayah turun lebih dahulu, sementara Ryuu bergeming. Aku baru akan bertanya ketika Ryuu akhirnya melangkahkan kakinya. Walaupun bingung, aku mengikutinya menuruni tangga.

Ryuu berhenti tiba-tiba, membuatku menabraknya. Aku melihat ke arah yang dilihatnya: seorang pria tengah baya berwajah oriental yang sedang duduk tegak di kursi makan. Itu pasti Ayahnya Ryuu. Wajahnya menakutkan, terlihat jelas dia sedang marah.

Wajah itu tiba-tiba menoleh ke arah kami, membuatku tersentak kaget.

" Otoosan," kata Ryuu sambil mendekati Ayahnya yang tampak berang.

" Suware 22 ," katanya tajam, membuat Ryuu langsung duduk di depannya. Kupikir tadi Ayahnya menyuruhnya untuk duduk. " Omae.... Nani yattendayo 23 ?" tanyanya lagi, sementara Ryuu menolak menjawab maupun menatapnya.

Aku bisa merasakan ketegangan di rumah ini. Ayah dan Fernan bergeming di sofa, Ibu pun tidak meneruskan acara memasaknya. Aku sendiri masih terdiam di tangga.

" Oi!!" sahut ayah Ryuu keras, membuat semua orang terlonjak. Tapi, Ryuu tidak bergerak. " Nanka atta 24 ?? RYUU!!"

" Aku di-drop out dari universitas!" sahut Ryuu sama kerasnya, membuat semua orang kembali kaget. Tapi, kali ini bukan karena nada suaranya, melainkan kata-katanya.

Tahu-tahu Ayah Ryuu bangkit, menghampiri Ryuu, lalu menarik bajunya.

" NANI??" sahutnya berang. " Nandato 25 ??" serunya, masih mencengkeram baju Ryuu. Ayah segera turun tangan. Dia berusaha melepaskan tangan Ayah Ryuu dari baju Ryuu.

" Yamada-san, tenang." Ayah menengahi. Ayah Ryuu melepaskan Ryuu, tapi napasnya masih tersengal-sengal. Dia menatap Ryuu sengit.

" Kaero 26 ," katanya dengan nada mengancam.

" Iya da." Ryuu menjawab berani. Dia berdiri, lalu berderap pergi

22. Suare = Duduk! .

23. Omae.... ani yattendayo = amu.... Apa yang kamu lakukan? .

24. anka atta = Apa yang telah terjadi . 25. andato = apa katamu? .

ke luar rumah. Ayah Ryuu terduduk di kursi sambil mencengkeram dadanya.

" Bu, bawain air," kata Ayah, membuat Ibu tergopoh-gopoh membawakan air minum untuk Ayah Ryuu.

Aku sendiri segera mengejar Ryuu, takut sesuatu terjadi padanya. Bisa saja dia berbuat bodoh saat sedang marah. Aku keluar rumah, lalu memutuskan untuk ke lapangan basket karena selama ini Ryuu sering ke sana.

Benar saja. Ryuu duduk bersandar di bawah ring. Tangannya mencengkeram kepala. Aku mendekatinya pelan-pelan.

" Ryuu," kataku hati-hati, tapi Ryuu tidak bereaksi. " Ryuu, ini masalahnya?"

Ryuu akhirnya mendongak, lalu menatapku. " Ya. Ini masalahnya," katanya dingin.

Aku memberanikan diri untuk duduk di sebelahnya. Ryuu menoleh ke arahku.

" Oh, lo nggak perlu cerita," kataku cepat-cepat. " Gue cuma mau nemenin lo."

Ryuu menatap ring satunya lagi dengan pandangan kosong. Selama beberapa menit, kami hanya terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

" Otoosan," kata Ryuu membuatku kaget, menyangka Ayahnya datang. " Otoosan nyuruh gue masuk Todai dua tahun lalu."

Aku bengong. Pertama, karena aku kaget dia akhirnya mau bercerita. Kedua, aku tidak tahu apa itu Todai.

" Oh," kataku, tidak tahu harus berkata apa.

" Todai itu Tokyo Daigaku. University of Tokyo," jelas Ryuu, seperti tahu kebingunganku. " Universitas nomor satu di Jepang. Nggak sembarang orang bisa masuk."

Aku mengangguk-angguk tanda mengikuti cerita Ryuu. " Otoosan lulusan Todai," lanjut Ryuu. " Dan dia mau semua anaknya mengikuti jejaknya suatu hari. Jadi, dia nyuruh gue masuk Todai."

Sejenak Ryuu berhenti bercerita. Dia menjambak-jambak rambutnya.

" Dia ngejejelin gue sama buku-buku. Dia marahin gue kalo gue pulang telat. Dia ngerampas hal yang paling gue suka," kata Ryuu emosi, dan kurasa aku tahu jawabannya. " Dia ngerampas basket dari gue. Dia nggak memperbolehkan gue main basket lagi, kecuali kalo gue bisa masuk Todai.

" Jadi, gue belajar mati-matian demi ngedapetin apa yang udah dia rampas dan apa yang dia mau. Gue sempet mau nyerah dan mau kabur, tapi gue nggak bisa. Waktu itu, gue masih bingung. Gue nggak bisa ninggalin Hikari dan membuat dia nanggung apa yang mestinya gue tanggung. Gue nggak tega liat Hikari dipaksa masuk Todai juga. Jadi, gue bertahan."

Ryuu berhenti sebentar untuk mengambil napas. Aku menatap dan mendengarkannya baik-baik.

" Gue berhasil masuk Todai, entah kenapa. Otoosan seneng dan gue bisa main basket lagi. Tapi, ternyata nggak bisa sepenuhnya main karena untuk mempertahankan Todai sulit banget," keluhnya. " Di semester-semester awal gue nggak pernah dapet nilai bagus. Gue nggak tahu masuk Todai seberat itu. Gue nggak mau Otoosan tahu. Jadi, gue selalu bilang semuanya oke setiap kali dia tanya."

Nilai gue menurun drastis dan gue udah diperingatkan sama dosen-dosen. Gue bisa di DO kalau terus-terusan begitu. Gue nggak mau di-drop out atau Hikari bakal disuruh masuk Todai juga. Apalagi waktu itu, Hikari bilang dia mau masuk sekolah desainer dan Ayah udah setuju. Dan gue suka ngeliat wajah bangga Ayah setiap kali gue bilang nilai ujian gue bagus. Jadi, gue bener-bener nggak boleh kehilangan Todai."

Aku menatap Ryuu kasihan. " Dan akhirnya, sekali lagi, gue kehilangan basket. Gue hampir-hampir nggak pernah nyentuh bola basket lagi karena gue harus belajar dan mempertahankan Todai. Untungnya, selama satu setengah tahun gue berhasil bertahan. Tapi, puncaknya adalah semester ini," kata Ryuu lagi. " Gue udah nggak ngerti gimana caranya tetep bertahan di Todai tanpa bikin gue jadi gila. Kuliah tambah susah dan nilai-nilai gue kembali turun. Sampe akhirnya dosen gue menyerahkan gue ke dekan. Dan gue resmi di DO."

Ternyata, seberat ini beban yang ditanggungnya. Aku tidak pernah tahu.

" Otoosan belum tahu soal ini karena Okaasan yang nerima surat pemberitahuan dari Todai. Okaasan mau melindungi gue, makanya dia nggak bilang ke Otoosan. Karena nggak mau nyusahin dia, gue berencana kabur dan nyuruh dia pura-pura nggak tahu. Gue udah mau kabur sendirian waktu Hikari maksa ikut," kata Ryuu. " Hikari bilang kalo dia juga udah jadi beban gue, dan dia mau nanggung akibatnya bareng gue. Gue nolak karena Hikari udah masuk sekolah desainer waktu itu. Hikari nggak harus menanggung apa pun, tapi dia tetep maksa ikut. Akhirnya, gue ngebiarin dia ikut dengan pertimbangan mungkin dia akan jadi sasaran kemarahan Ayah kalo di rumah."

Aku paham sekarang, mengapa Ryuu terlihat begitu tegang kalau menerima telepon.

" Tadinya gue nggak tahu harus ke mana, tapi gue tiba-tiba inget Indonesia dan gue pengin balik. Gue pengin balik lagi ke masamasa bahagia gue, masa-masa SMA. Gue tadinya pengen nginep di rumah temen gue, tapi karena ada Hikari akhirnya gue nginep di sini dan bilang mau liburan. Gue tahu alamat dan nomor telepon rumah lo dari Okaasan, yang nyaranin kami untuk pergi ke sini," kata Ryuu lagi. " Okaasan tetep tutup mulut dan pura-pura nggak tahu keberadaan kami."

Aku jadi membayangkan bagaimana Ibu Ryuu harus menghadapi kemarahan suaminya yang tahu kalau kedua anaknya kabur. Makanya, Ibu Ryuu sering menelepon Ryuu di malam hari, mungkin menunggu saat rumahnya sepi.

" Gue nyuruh Hikari pulang buat keselamatan dia. Dia masih harus sekolah. Gue nyuruh dia bikin alasan kalo dia baru jalan-jalan sama temennya. Lebih baik begitu daripada ketahuan kabur sama gue. Dan dia nurut," katanya lagi. " Hikari pulang dengan selamat. Otoosan cuma memarahi dia karena dia pergi tanpa izin. Dia juga nanya apa Hikari liat gue, tapi Hikari jawab nggak. Beberapa hari lalu, gue ditelepon Nyokap gue, dia bilang Otoosan udah tahu. Tanpa sengaja dia ketemu dosen gue dan dia nanya perkembangan gue. Dosen gue bilang semuanya, kalo gue udah di DO dan dia udah ngirim pemberitahuan ke rumah. Akhirnya, Otoosan ngamuk di rumah dan dia menyalahkan Okaasan. Gue sebenernya benci diri gue sendiri karena ngebiarin Okaasan ngadepin Otoosan sendiri." Ryuu menoleh, menatapku yang sudah mulai berkaca-kaca. " Gue tahu, cepat atau lambat Otoosan bakal ke sini karena dia maksa Okaasan dan Hikari ngomong. Makanya, gue mau kabur

lagi," kata Ryuu. " Tapi, gue kalah cepet. Dia dateng duluan. Dia ingin mendengar kenyataan itu dari mulut gue sendiri. Dan dari situ, lo tahu apa yang terjadi."

" Ryuu& ," kataku, tidak tahu harus menghiburnya dengan cara apa. Mataku sekarang sudah berair.

" Gue nggak berguna ya?" kata Ryuu miris. " Gue cuma tahu ngehindar dari masalah."

" Lo takut, itu wajar," kataku. " Nggak ada anak yang bisa nerima tekanan kayak gitu."

Ryuu mendekap tubuhnya sendiri seperti orang yang menggigil kedinginan. Kepalanya tertunduk. Satu tangannya masih menjambak rambutnya.

" Gue muak, Star.... Gue muak hidup dalam ekspektasi berlebihan Otoosan," katanya dengan tubuh bergerak-gerak seperti orang frustrasi. " Gue bener-bener muak."

Kurasa Ryuu sudah mencapai batasnya. Walaupun tidak kentara, aku tahu dia menangis. Mungkin dia mengeluarkan perasaannya yang setelah sekian lama terpendam. Aku menarik kepalanya, lalu merengkuhnya. Aku membiarkannya menangis di pelukanku selama beberapa saat.

Aku melangkah pulang dengan gontai. Ryuu menolak untuk pulang kalau Ayahnya masih di rumah. Dia sekarang sudah lebih tenang dan tertidur dengan bersandar di tiang ring. Setelah

meletakkan jaket di atas tubuhnya, aku memutuskan untuk pulang.

Aku baru saja menutup pagar, lalu berbalik saat menemukan Ayah Ryuu sedang duduk di teras. Aku sampai melompat saking terkejut. Ayah Ryuu menatapku tajam sebentar, tapi tanpa kusangka, dia tersenyum lemah. Aku mengangguk sopan kepadanya.

Saat aku bermaksud untuk masuk ke rumah, aku malah duduk di sebelah Ayah Ryuu tanpa sadar.

" O& ." Aku baru akan memanggilnya Otoosan, saat sadar kalau dia bukan Ayahku. " Om Yamada," kataku akhirnya, tapi langsung merasa bodoh karena dia kan orang Jepang.

" Hoshi-chan," sapa Om Yamada sambil tersenyum kepadaku. Aku tidak percaya dia orang yang sama dengan yang diceritakan Ryuu dan yang mencengkeram Ryuu tadi. " Apa kabar?"

" Baik, Om," kataku segera, bersyukur karena Om Yamada bisa berbahasa Indonesia dengan baik.

" Yang tadi, maaf ya?" katanya. Aku langsung ingat kejadian di ruang makan, lalu mengangguk. Om Yamada mendesah. " Anak itu. Entah kenapa jadi seperti ini."

Aku menatap Om Yamada yang memandang kosong ke arah langit, lalu mengumpulkan keberanianku.

" Ini karena Om Yamada juga," kataku dengan suara yang bergetar aneh, mungkin karena terlalu takut. Om Yamada menoleh ke arahku, membuatku segera menunduk.

" Karena saya?" tanyanya.

" Om Yamada terlalu memaksakan dia," kataku, masih dengan suara asing. " Om Yamada memaksakan sesuatu yang dia nggak inginkan."

Om Yamada mengerjap sekali, lalu mendengus. " Tahu apa kamu?"

" Ryuu udah cerita sama saya," kataku cepat, membuat Om Yamada menatapku serius. " Ryuu udah cerita segalanya. Ryuu cerita gimana Om merampas hal yang paling dia sukai." " Merampas hal yang dia sukai?" tanya Om Yamada lagi. " Ya. Om mengambil basket," kataku mantap, membuat Om Yamada kembali mendengus geli.

" Basket. Memangnya apa guna basket demi masa depan dia?" tanyanya.

" Semuanya," tandasku, suaraku yang asli mulai kembali. " Mungkin Om pikir basket adalah hal yang remeh, tapi bagi sebagian orang, tidak begitu. Bagi Ryuu, basket adalah gairah hidup dia." " Lalu? Apa hubungannya dengan Todai?" tanya Om Yamada. " Om, semenjak dia masuk Todai, dia nggak bisa lagi main basket karena dia terlalu sibuk belajar. Dia pun nggak bisa sepenuhnya berkonsentrasi karena terpecah antara pelajaran dan kebenciannya sama Om karena sudah memisahkan dia dari basket," kataku lagi. Kupikir apa yang baru saja kubilang tidak masuk akal, tapi aku malah meneruskannya. " Apa Om nggak berpikir kalau nggak semua orang harus masuk Todai? Nggak semua orang harus meneruskan cita-cita Ayahnya? Kalau semua orang mempunyai cita-citanya sendiri?"

Om Yamada terdiam sambil terus menatapku tajam.

" Om, selama ini Ryuu berusaha keras agar Om nggak kecewa. Tapi, Ryuu sudah mencapai batasnya. Ryuu nggak bisa lagi melakukan sesuatu di luar kemampuannya. Kenapa Om sebagai orang tua nggak menyadarinya?" tanyaku.

" Om, saya mohon.... Om pikirkan perasaan Ryuu," kataku lagi. " Ryuu sudah berusaha keras. Terlalu keras. Ini demi Om juga."

" Bukan," tukas Om Yamada tiba-tiba. " Dia tidak peduli pada saya."

" Lantas untuk apa selama ini dia bertahan di Todai?!" seruku, hampir menjerit. " Memang setengahnya karena dia menginginkan basket dan agar Hikari nggak kena beban yang sama, tapi setengahnya lagi dia ingin menjawab tantangan Om!" Om Yamada terdiam lagi.

" Om, saya memang bukan siapa-siapa, tapi saya tahu Ryuu menyayangi dan menghormati Om. Saya juga tahu dia ingin menjadi seperti Om, tapi kapasitas orang berbeda-beda. Harusnya Om tahu kalau Ryuu sudah cukup menderita menjadi orang yang nggak diinginkannya!"

Kali ini, Om Yamada terpaku.

" Bukannya dia nggak mau berusaha, Om, tapi manusia juga ada batasnya," kataku dengan nada suara yang sudah menurun. " Dia juga "

" Star, cukup," kata seseorang, membuatku menoleh. Ryuu sudah berdiri di depan pagar, rahangnya mengeras. Om Yamada menatap anaknya tanpa ekspresi. Ryuu berjalan mendekati kami, tapi ternyata mau masuk ke rumah tanpa memedulikan Ayahnya.

" Ryuu," panggil Om Yamada, membuat Ryuu berhenti berjalan.

" Apa?" kata Ryuu tanpa menoleh.

" Pulang ke rumah. Kita akan bicarakan ini nanti," kata Om Yamada dengan suara yang jauh lebih lunak. " Tentang masa depan yang kamu inginkan."

Ryuu menoleh dan memandang Om Yamada tidak percaya, begitu pula aku. Aku malah melongo hebat, sementara Om Yamada pura-pura tidak melihat ekspresi bengong kami.

" Kamu juga harus minta maaf pada Okaasan," katanya lagi. " Dia sudah sangat cemas selama kamu pergi."

Ryuu menatap Om Yamada lama dengan tatapan yang sama, tatapan tidak percaya. Kemudian, dia mengangguk singkat. " Wakatta 27 ," katanya pendek, lalu masuk ke rumah. Aku menatap Om Yamada yang menghela napas berat. Aku benar-benar bangga padanya walaupun aku tidak tahu apa kata bangga cocok untuk mewakili perasaanku saat ini. Maksudku, dia kan ayah orang lain.

" Om," kataku, membuat Om Yamada menoleh. " Apa Om juga cemas waktu Ryuu pergi?"

Om Yamada tersenyum simpul, lalu menghela napas lagi. " Pasti. Anak itu tidak pernah mengatakan hal yang sebenarnya, bahkan waktu dia menderita."

Aku sekarang tahu apa masalah ayah dan anak ini. Mereka sama-sama tidak pernah menyampaikan apa yang ada dalam hati mereka. Like father like son.

" Om?" tanyaku lagi.

" Hm?" kata Om Yamada tanpa menoleh.

" Boleh Ryuu tinggal di sini untuk beberapa hari lagi?" pintaku. Om Yamada menoleh dan menatapku penuh selidik. " Onegai shimasu 28 ."

Om Yamada sepertinya agak terkesan padaku, yang menundukkan kepala dan bicara dalam bahasa Jepang yang kudapat dari drama. Aku mengintipnya dan melihatnya tersenyum.

" Ii yo 29 ," katanya. Aku menelengkan kepalaku, tidak mengerti, jadi dia menambahkan, " boleh."

" Serius, Om??" sahutku senang. Om Yamada mengangguk. " Horee!!"

" Memangnya mau apa?" tanya Om Yamada curiga. " Liburan," kataku, lalu mencium pipi Om Yamada yang tampak kaget. Setelah itu, aku buru-buru menundukkan kepala. " Arigatoo gozaimasu!"

Om Yamada balas mengangguk, wajahnya masih ling-lung, tapi aku sudah melesat masuk untuk memberi tahu Ryuu kabar gembira ini. Jantungku hampir copot saat melihat Ryuu duduk di sofa tepat di belakang jendela yang menghadap ke teras.

" Tenang aja, gue nggak bakal bilang Okaasan," katanya, membuatku bingung. Ryuu menunjuk pipinya sendiri. " Ciuman yang tadi."

Wajahku memanas. Aku menyerbu Ryuu yang tidak sempat mengelak, tapi Ryuu terus mengejekku dengan mengatakan chuu 28. Onegai shimasu = Aku mohon .

berulang kali.

" Tahu nggak lo, kayaknya Okaasan aja nggak pernah nyium dia lagi. Udah keriput," katanya, lalu tertawa melihat wajahku yang berubah masam.

" Itu kan karena gue seneng lo boleh tinggal lebih lama," kataku merajuk. Ryuu tertawa lagi.

" Iya... iya... sori." Ryuu mencubit pipiku. " Jadi? Liburan apa nih yang lo maksud?"

" Liburan yang sebenarnya," kataku sambil menerawang, memikirkan rencana liburan matang-matang. Di sampingku, Ryuu menatapku khawatir.

Sayonara?

" Asyik, pantai!!" sahut Ayu begitu sampai di Ancol. Kami semua mengikutinya keluar mobil, lalu melangkah ke arah pantai. Sesaat kemudian, kami menikmati pemandangan pantai yang tidak bisa dibilang indah, tapi cukup untuk melepaskan penat. Aku melirik Ryuu yang tampak tidak keberatan dengan pantai ini.

" Sori ya cuma Ancol, habis kita-kita nggak bisa kalo ke Anyer. Sekolah," kataku, sementara Ryuu tersenyum. " Lagian lo belum pernah ke sini, kan?"

" Belum, kemaren kesasar," kata Ryuu, menikmati angin yang berembus sepoi.

" Ngapain aja sih lo? Tujuh belas tahun di Jakarta, tapi belum pernah ke tempat yang begini," kataku, tidak habis pikir.

" Gue gede di lapangan streetbasket sama lapangan basket apartemen gue," kata Ryuu lagi. " Gue jarang banget jalan."

Benar-benar makhluk yang cinta basket. Kalau aku sih masih sempat datang ke tempat-tempat seru. Aku menghela napas, lalu menonton teman-temanku yang sibuk ciprat-cipratan air. Chacha, Fariz, dan Aya yang kuajak juga tampak akur bersama mereka. Hari ini, kami tidak latihan demi mengajak Ryuu berlibur.

" Sebentar lagi ada turnamen, lho," kataku. " Ini turnamen pertama kami setelah tim jalan lagi."

" Kalian pasti menang," kata Ryuu. " Gue yakin."

Aku nyengir, lalu menatap teman-temanku yang berlarian ke sana-kemari.

" Lo tahu?" kataku, teringat sesuatu. " Mereka semua naksir lo." " Dan lo nggak?" tanya Ryuu, membuatku berpikir.

" Lo pengin gue naksir lo?" Aku balas bertanya. Sekarang, Ryuu yang tampak berpikir.

" Nggak juga," katanya setelah berpikir beberapa saat. Dia menoleh ke arahku, lalu menempatkan satu tangannya di bahuku. " Anak kecil jangan naksir-naksiran dulu."

Aku memicingkan mata ke arahnya, lalu melirik tangannya yang masih seenaknya nangkring di bahuku. Pelan tapi pasti, aku seperti tenggelam di pasir karena tekanan tangannya itu.
Fight For Love Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Wakatta 30 ," kataku, lalu mengelak sehingga Ryuu oleng karena tangannya tiba-tiba terlepas. Aku mengakak saat melihatnya jatuh, dan langsung kabur saat dia mengejarku.

Semua temanku sudah pulang, termasuk Aya. Tadi, aku dan Ryuu disuruh membeli minuman, jadi kami pergi. Saat kami kembali, delapan anak sial itu sudah tidak ada di mana pun. Mobil milik Aya dan motor Fariz pun sudah hilang entah ke mana. Yang tertinggal hanya mobilku. Jadi, tadi ada enam anak yang harus bersempit-sempit ria di dalam Peugeot 206 milik Aya. Kalau ada dari mereka yang benjut-benjut, rasakan saja.

Sekarang, hanya tinggal aku dan Ryuu, menatap hampa sembilan kaleng minuman yang baru saja kami beli dengan harga dua kali lipat harga biasa. Untung saja Ryuu yang membayar. Karena kalau tidak, mereka tidak akan selamat besok.

3. akatta = Aku mengerti .

Aku dan Ryuu terduduk di pasir, mencoba mengambil kesempatan ini untuk menatap bintang yang bertaburan di langit. Suara ombak membuatku merasa rileks. Mendadak, aku ingat sesuatu.

" Ryuu, hoshi-chan itu apaan sih?" tanyaku kepada Ryuu yang sedang meminum cola-nya.

" Hoshi itu artinya bintang," jawab Ryuu. " Hoshi-chan pasti nama panggilan Hikari buat lo."

" Oh." Aku mengangguk-angguk. Bintang. Sesuai namaku. " Jadi, waktu gue tinggal besok," kata Ryuu, membuatku ingat kalau lusa dia sudah harus pulang.

" He-eh," kataku, lalu menghirup Cola-ku. " Jadi, lo mau ke mana?"

" Gue mau ke tempat irst date kita," kata Ryuu, membuatku bingung. Memangnya aku pernah date dengan dia di mana? Oh, tapi tunggu dulu. Rasanya aku ingat sesuatu& . " Dufan?" kataku tidak percaya.

" Pin pon 31 !" kata Ryuu, lalu menenggak sisa Cola-nya. " Oke. Tapi, lo harus ngikutin semua kemauan gue," kataku. " Kenapa?" tanya Ryuu. " Bukannya lo yang harusnya ngikutin semua kemauan gue?"

" Oh, nggak lagi," kataku licik. " Semenjak gue berhasil meyakinkan Ayah lo dan lo nggak ngucapin terima kasih, lo yang harus ikut apa kata gue."

31. in pon = Ting tong! .

Ryuu menatapku tidak suka sebentar, tapi akhirnya menghela napas. " Oke," katanya sambil membuka sekaleng Cola lagi.

" Bagus," kataku, lalu segera menyusun rencana karena besok waktunya sangat sempit. Paginya kan aku sekolah, jadi kami hanya punya waktu beberapa jam saja.

" Star," kata Ryuu tiba-tiba, membuat khayalanku buyar. " Apa?" tanyaku sebal.

" Yang kemarin, thanks," katanya sambil menatapku lekat-lekat. " Gue bener-bener terselamatkan sama lo."

Aku menatap Ryuu yang tampak benar-benar serius, lalu tersenyum.

" Jadi, besok naik Halilintar-nya tiga kali ya?" kataku. Wajah Ryuu langsung berbalik masam.

Keesokan harinya, setelah sekolah, aku cepat-cepat pulang. Aku tidak mau membuang satu menit pun saat-saat terakhirku dengan Ryuu. Saat sampai di rumah, Ryuu sudah siap. Aku melesat untuk berganti baju dalam waktu kurang dari semenit. Ibu sampai heran melihatku yang heboh seperti itu.

Hari ini, entah ada keajaiban apa, Jakarta tidak semacet biasanya. Perjalanan yang harusnya dua jam, jadi satu setengah jam saja. Kata Ryuu, ini kiseki 32 . Aku langsung menyimpannya dalam memoriku.

Begitu sampai di Dufan, aku langsung menarik Ryuu ke Halilintar. Kali ini, aku sudah membekalinya topi dan membawa satu gulungan besar tisu, siapa tahu dia mimisan lagi.

Dia memang tidak mimisan, tapi muntah beberapa kali setelah naik Halilintar untuk yang ketiga kalinya. Wajahnya jadi pucat dan aku merasa bersalah karena telah mencoba membunuhnya. Aku mengipasi Ryuu dengan brosur sementara dia mengompres kepala dengan minuman dingin yang tadi kubeli.

" Maaf," kataku, merasa berdosa. Ryuu tidak menjawab dan hanya melambaikan tangan singkat untuk mengisyaratkan kalau dia tidak apa-apa.

Selama beberapa saat, kami berdua terdiam karena aku sibuk merasa bersalah sambil mengipasi makhluk yang teler berat ini. Kemudian, aku menyadari sesuatu. Ryuu tampaknya sudah tertidur lagi di pangkuanku. Kaleng yang tadi dia pegang jatuh dan bergulir ke dekat kakiku.

Aku baru akan membangunkannya aku tidak mau kesemutan seperti dulu lagi ketika aku melihat wajah tidurnya. Imut, persis seperti anak-anak. Aku menghela napas, lalu membiarkannya seperti itu sampai dua jam ke depan.

" Untuk Ryuu, kanpai 33 !"

Ayah mengangkat gelas, diikuti olehku, Ibu, Fernan, dan Ryuu. Lalu, kami menenggak cola.

" Sankyu 34 ," kata Ryuu sambil mengangguk singkat dan menggaruk belakang kepala.

Kami sedang merayakan hari terakhir Ryuu di Indonesia karena besok dia pulang ke Jepang. Ayah Ryuu sudah pulang duluan kemarin karena dia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya lamalama.

Sekarang, kami menyantap opor ayam karena akhirnya Ryuu mengaku kepada Ibu kalau dia sebenarnya sangat ingin makan masakan Indonesia. Permintaannya sih sederhana; opor ayam. Tapi, Ibu menganggapnya berlebihan, makanya suasana meja makan lebih heboh daripada saat berlebaran.

Ibu tadinya sudah menyiapkan pesta juga untuk Ryuu, tapi dia menolak dengan halus. Dia bilang dia tidak mau merepotkan keluarga kami lagi. Katanya pesta kecil-kecilan saja, cukup dengan keluargaku karena Ryuu sudah berpamitan dengan semua orang.

Makan malam hari ini terasa sangat menyenangkan. Jarangjarang suasana makan malam kami dipenuhi tawa seperti ini. Ryuu seperti sudah bertransformasi menjadi orang lain setelah semua masalahnya selesai. Dia jadi lebih terbuka dan banyak bicara. Yang lebih mengherankan, sepanjang makan malam, dia terus melontarkan lelucon-lelucon yang membuat kami sakit perut. Mungkin memang seperti inilah Ryuu yang asli.

Setelah makan malam, kami mengobrol di ruang keluarga tentang apa yang mau Ryuu lakukan setelah pulang ke Jepang. Ryuu bilang dia mau sekolah lagi di sekolah musik. Aku benar-benar kaget ketika Ryuu bilang dia jago main gitar dan piano sekaligus.

Dia juga mengatakan ingin melatih anak-anak bermain basket. Aku sangat mendukungnya untuk hal yang satu ini. Aku tidak

ingin bakat basketnya terbuang percuma. Aku malah ingin dia masuk ke tim basket Jepang, walaupun Ryuu sendiri tampak tidak berminat.

Sekarang sudah pukul sebelas dan semua orang sudah masuk ke kamar tidurnya. Aku dan Ryuu masih menonton di ruang keluarga. Aku sendiri tidak begitu mengikuti acaranya. Pikiranku dipenuhi oleh satu pertanyaan. Apa Ryuu akan melupakanku dan semua yang telah terjadi di sini?

" Hei, nggak tidur?" Ryuu tahu-tahu muncul di tangga, mengagetkanku.

" Hm& belum ngantuk," kataku tanpa melepaskan pandanganku dari TV.

" Oh," kata Ryuu, lalu duduk di sampingku dan mengambil kamera digital milik Ayah yang tergeletak di meja. Ayah tadi baru memindahkan foto-foto perpisahan Hikari ke laptopnya. " Star."

Aku menoleh kepada Ryuu yang segera memotretku yang sedang bengong. Setelah itu, dia terkekeh melihat hasil jepretannya. Aku merebut kamera itu, melihat hasil potretannya, lalu menghapusnya kesal.

" Sini." Ryuu merebut kamera itu, lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku. " Cheese& ."

Aku spontan nyengir saat Ryuu menekan tombol kamera. Kami lalu melihat hasilnya dan tertawa. Di foto itu, aku nyengir kuda dengan wajah mengantuk, sedangkan Ryuu pasang tampang aneh dengan memonyongkan mulutnya. Aku menoleh ke arahnya.

" Gimana bisa lo monyongin mulut, padahal tadi lo bilang cheese," kataku heran.

Jelas-jelas aku mendengarnya bilang cheese.

" Hapus... hapus...." Aku menggapai kamera itu, tapi Ryuu mencegahku.

" Jangan, biarin aja begini," katanya sambil membuka laptop Ayah, bermaksud memindahkan foto itu.

" Kan bisa foto lagi yang lebih bagus," kataku sebal. " Muka gue kan lagi jelek di situ."

" Kalo nunggu muka lo bagus, bisa-bisa gue keburu pulang," kata Ryuu kejam. " Lagian, yang pertama diambil pasti yang paling bagus."

Aku memikirkan kata-katanya. Benar juga. Aku pernah mengulang-ngulang foto bersama dengan Ayu dan Tias di photobox. Tapi, semakin banyak mengulang, semakin kami yakin kalau foto pertamalah yang harusnya dicetak.

" Udah." Ryuu mematikan kamera digitalnya. " Besok gue ambil pake iPod."

Setelah mengatakannya, Ryuu bangkit. Aku menatapnya heran.

" Mau ke mana lo?" tanyaku.

" Tidur. Ngantuk banget nih," katanya sambil menahan kuap. " Gue tidur juga deh." Aku ikut bangkit. Ryuu menatapku dengan mata terpicing. Aku membalasnya heran. " Apa?"

" Lo nggak takut nonton sendirian di sini, kan?" kata Ryuu menyebalkan.

" Bawel ah! Ayo naik!" sahutku sambil mendorong punggung

Ryuu menaiki tangga, sementara dia tertawa-tawa. " Oyasumi 35 ," kata Ryuu ketika aku mau masuk kamar. " Oyasumi," balasku, lalu menutup pintu kamar.

Aku jadi bangga pada diriku sendiri yang bisa membalas katakatanya. Ini berkat drama-drama Jepang yang sudah beberapa hari ini kutonton sebelum tidur. Rasa-rasanya, aku sudah kecanduan drama-drama itu.

Aku naik ke tempat tidur, lalu menyalakan player dengan remote untuk menonton drama yang tersisa. Aku ingin mengumpulkan kosa kata Jepang sebanyak-banyaknya sebelum Ryuu pergi.

Hari ini, Ryuu pulang dan kami mengantarnya ke bandara. Aku dan Fernan sampai diperbolehkan bolos untuk mengantar Ryuu. Ayah juga izin sebentar dari kantornya.

Sepanjang jalan ke bandara, semua orang sibuk berceloteh, terutama Fernan yang kegirangan bisa bolos, sementara aku dan Ryuu terdiam. Aku hanya memandang ke luar jendela tanpa benarbenar tertarik pada yang kulihat.

Ini aneh. Seharusnya aku tidak merasakan apa pun. Seharusnya aku senang Ryuu pulang. Bukankah dulu aku sebal padanya? Bukankah dulu aku tidak pernah menyukainya ada di rumahku? Tapi, kenapa sekarang aku merasakan hal yang sama seperti waktu Satria akan pergi? Kalau aku tidak mau dia pergi?

" Ntar bisa disangka nenek-nenek lho," kata Ryuu

mengagetkanku. Dia tersenyum simpul, lalu menyentuh dahiku. " Ini."

Aku sadar kalau sedari tadi dahiku berkerut, tapi bukan itu yang kupedulikan. Ryuu tampaknya tenang-tenang saja. Malah, sekarang dia sudah nimbrung mengobrol bersama yang lain dan tertawa-tawa, seolah beberapa jam lagi dia tidak akan terbang ke Jepang.

Sebal rasanya melihat dia melakukan itu. Ternyata, dia senang bisa pulang dan tidak keberatan meninggalkan kami. Meninggalkanku.

Kami sampai di bandara setengah jam kemudian. Ryuu boarding lima belas menit lagi. Jadi, kami masih punya waktu untuk mengucapkan selamat tinggal kepadanya.

" Jadi," kata Ryuu sambil berbalik menatap kami. " Aku mau berterima kasih untuk semuanya selama beberapa minggu ini. Aku seneng banget bisa tinggal di rumah keluarga ini. Doomo arigatoo gozaimashita 36 ."

Ryuu menunduk, membuat kami serempak membalasnya. Aku juga membalasnya walaupun malas-malasan. Ryuu nyengir melihat wajah kami yang suram. Dia kemudian menghampiri Ayah, lalu memeluknya.

" Om, makasih banget," kata Ryuu.

" Iya. Jaga diri kamu baik-baik ya," kata Ayah, tidak kuasa menahan air mata. Ryuu mengangguk, lalu beralih pada Ibu. Ibu langsung menubruknya dan menangis habis-habisan. " Tante, makasih juga." Ryuu mengelus-elus punggung Ibu. " Ryuu, jangan sungkan main lagi ya," kata Ibu di tengah

isakannya. Ryuu mengangguk, lalu beralih pada Fernan. Mereka berpelukan. Ryuu menepuk pundaknya.

" Salam buat Hikari ya, Ryuu," kata Fernan, membuatku meliriknya sebal. Ryuu nyengir, lalu mengangguk.

Kurasa ini saatnya bagiku untuk mengucapkan kata perpisahan. Ryuu menatapku sebentar, lalu merentangkan tangannya sambil nyengir konyol. Aku tidak langsung menyambutnya. Hati kecilku menyuruhku untuk berteriak agar Ryuu jangan pergi, tapi aku tidak bisa melakukannya.

" Jangan lupa kabarin kalo udah sampe ya," kataku akhirnya, membuat Ryuu bengong, tapi sejurus kemudian tersenyum. Dia memasukkan tangan ke saku celananya, lalu mengangguk.

" Garing banget sih lo, Star," komentar Fernan disambut anggukan Ayah dan Ibu.

" Nggak apa-apa kok," kata Ryuu sambil mengacak rambutku. Tahu-tahu, nomor penerbangan Ryuu disebut. Ryuu menatap kami.

" Yah, kayaknya aku harus pergi," katanya sambil melirikku. " Hati-hati ya, Ryuu," kata Ibu, masih terisak. Ryuu mengangguk, lalu melirikku lagi. Keluargaku sekarang ikut-ikutan melirikku.

" Oh& ng& . Kita ke sana dulu ya?" kata Ayah kikuk, lalu menarik Ibu dan Fernan menjauh. Aku menatap mereka heran. Mau apa mereka?

Ryuu berdeham, membuatku menatapnya. Dia balas memberiku tatapan yang tidak kumengerti.

" CD yang gue kasih kemaren, didengerin ya," katanya, setelah

" Oh, oke," kataku pendek. Ryuu terdiam, padahal nomor penerbangannya sudah disebut lagi.

" Kimi no koto wasurenai yo 37 ," kata Ryuu tiba-tiba, membuatku mengerjap-ngerjap. Dia menggaruk kepalanya canggung. " Ya udah, kalo gitu gue pergi dulu."

Aku masih terbengong-bengong. Bukan karena aku tidak mengerti perkataannya barusan, tapi justru karena aku mengerti. Ryuu sudah mengangkut carrier-nya dan berbalik pergi.

" Gue ngerti," kataku, membuatnya memutar tubuh dan menatapku. " Gue ngerti apa yang lo omongin barusan."

Sekarang Ryuu yang bengong, tidak percaya. " Hontou ni 38 ?" tanyanya sangsi.

" Hontoo ni," kataku mantap. " Dakara, atashi mo, anata no koto, zettai wasurenai 39 ."

Tampang Ryuu seperti campuran antara terkesan, malu, sekaligus senang. Dia mengangguk-angguk kecil, tapi malas melihatku. Sepertinya dia tidak menyangka aku akan mengerti perkataannya.

" Ah soo 40 ," katanya, masih mengangguk-angguk, lalu nyengir. " Sore ja 41 ."

" Owakare ja nai yo ne 42 ," kataku lagi, sebelum Ryuu berbalik.

Ryuu terdiam sebentar, mengangguk, lalu melambai kepadaku

37. imi no koto asurenai yo = Aku tidak akan melupakanmu .

38. ontou ni = Benar? .

39. Dakara, atashi mo, anata no koto, ettai asurenai = Makanya, aku . juga tidak akan melupakanmu

4. Ah soo = adi begitu . 41. Sore ja = Aku pergi dulu .

dan keluargaku. Aku balas melambai, sementara Ryuu berbalik dan berjalan menuju pintu masuk. Aku tetap melambai sampai punggungnya menghilang.

" Matteru yo 43 !!" seruku setelah dia tidak terlihat lagi. Aku menghela napas, lalu merasakan tepukan di bahu. Aku menoleh dan mendapati tatapan penuh arti dari keluargaku. Seketika, perasaanku menjadi tidak enak.

" Apa?" tanyaku.

" Dari mana kamu bisa bahasa Jepang?" tanya Fernan curiga. Ayah dan Ibu juga sudah menatapku dengan tatapan penuh selidik.

" Ng& . dari drama yang dipinjemin Hikari," jawabku akhirnya, setelah merasa terpojok. Aku memang mati-matian menghafal kata-kata tadi khusus untuk momen ini.

" Nah ya! Akhirnya, suka juga sama Jepang!" goda Ibu sambil mencubit pipiku. Ayah dan Fernan ikut-ikutan mengejekku.

" Katanya sebel sama Jepang!" sahut Fernan, sementara aku sudah berjalan duluan. Mereka semua mengikutiku, masih sambil menggodaku.

Dan masih terus menggodaku sampai kami pulang ke rumah. Benar-benar keluarga yang merepotkan.

Final

A ku baru saja pulang dari sekolah. Badanku sakit semua. Akhir
akhir ini, kami berlatih lumayan ekstra karena sedang ada di tengah-tengah turnamen antar-SMA. Kami sudah berhasil masuk ke babak inal dan besok adalah inal kami.

Aku melempar tas, lalu menyalakan player. Aku menekan nomor dua belas dan sebuah track mengalun dari sana. Track Hana yang sudah menjadi lagu-tahun-ini-ku. Aku tidak pernah bosan mendengarnya karena membuatku teringat pada sosok yang kukenal hampir setahun yang lalu.

Aku melepaskan wrist-band pink pemberian Hikari, lalu meletakkannya di meja belajar. Mataku menangkap empat pigura yang terpajang di sana. Ada fotoku dengan Satria, fotoku dengan tim basket, fotoku dengan yang lain saat pesta perpisahan Hikari, dan fotoku dengan Ryuu.

Aku mengangkat fotoku dengan Ryuu yang kami ambil sehari sebelum Ryuu pergi, lalu terkekeh sendiri. Dalam foto itu kami tampak hancur-hancuran, tapi justru itu yang membuatnya berkesan. Aku meletakkannya lagi dan mendengarkan lirik Hana yang paling kusuka. Aku ikut bernyanyi.

" hanabira no you ni chiriyuku naka de

(di antara kita seperti bertaburan kelopak bunga) yume mitai ni kimi ni deaeta kiseki

(bertemu denganmu seperti keajaiban mimpi) ai shiatte kenka shite

(kita saling mencintai, kita bertengkar) iron na kabe futari de norikoete

umarekawattemo anata ni aitai"

(jika aku lahir kembali, aku ingin bersama denganmu)

Memang, aku belum bisa percaya kalau Ryuu memberikan lagu ini kepadaku. Aku menganggap Ryuu hanya menginginkanku mendengarkan lagu indah ini, tanpa bermaksud mempersembahkan artinya untukku.

Tahu-tahu, ponselku bergetar. SMS dari Firda, yang mengatakan akan menonton inal kami. Aku terharu karena dia mau datang jauh-jauh dari Yogyakarta untuk menonton kami.

Aku melirik fotoku bersama tim basket yang semuanya tampak gembira dengan piala di tangan dan medali di leher masingmasing. Foto yang diambil pada inal tahun lalu yang berhasil kami menangkan dengan susah-payah.

Sekarang, kami sudah berpisah dengan Firda karena dia berhasil masuk UGM. Chacha dengan gemilang masuk Kedokteran UI, sedangkan Adel masuk STAN dengan mendapatkan beasiswa.

Ponselku bergetar lagi. Kali ini Fariz yang mengatakan akan menonton inalku juga. Dia juga masuk UGM seperti Firda dan aku tahu ada sesuatu yang terjadi di antara mereka. Memang mereka tidak bilang apa-apa, tapi aku selalu tahu. Dan aku tidak akan kaget kalau di inal nanti mereka datang berdua.

" HOSHI-CHAN!" sahut Ibu, membuyarkan lamunanku. " Apa?" sahutku sambil melirik jam, dan mendadak aku tersentak.

" AYA UDAH DATENG TUH!!" sahut Ibu lagi, membuatku segera melompat untuk mengganti baju, lalu buru-buru menyiapkan

Setelah semua siap, aku melakukan ritual Michael Jordan, lalu segera turun. Aya sudah menatapku sengit.

" Kita bakalan telat nih!" sahutnya dengan mulut manyun. " Gomen 44 !" seruku, lalu menariknya keluar. " Ittekimasu 45 !" sahutku kepada Ibu.

" Itte irasshai 46 !" Ibu balas menyahut, sementara aku sudah memasukkan Aya ke mobilnya dan menyuruhnya tancap gas.

" Lo tahu kan kalo Hirose-sensei 47 nggak suka kalo kita terlambat," gerutu Aya.

" Iya... iya... maap, tadi gue ngelamun," kataku sambil membukabuka buku les.

Sudah beberapa bulan ini, aku mengambil les bahasa Jepang dengan Aya. Aku sempat mau menyerah di level-level awal, tapi Aya selalu membantuku. Aya malah berbaik hati mau berada di level yang sama denganku. Padahal dengan kepandaiannya, Aya bisa menempati dua level di atasku.

" Ngelamunin Ryuu ya?" tanya Aya tiba-tiba, membuatku berhenti membaca, tapi tidak menoleh. Aku berpura-pura sibuk dengan buku itu. Aya lalu menghela napas. " Udah setahun, masih nggak ada kabar juga, Star?"

Aku mengangguk tidak kentara, malas menjawabnya. " Mungkin lupa," kataku, mencoba untuk menyudahi topik ini walaupun aku tahu Aya.

44. omen = Maa

45. ttekimasu = Aku pergi dulu

46. Itte irasshai = ati-hati 47. Sensei = uru

" Mana mungkin lupa." Seperti yang kuduga, Aya membahasnya.

Membicarakan ini membuatku ingat kepada kata-kata Ryuu sebelum dia pergi. Bahwa dia tidak akan melupakanku. Dia bilang begitu, tapi harusnya dulu aku tidak usah begitu percaya. " Lo masih percaya sama dia, Star?" tanya Aya hati-hati. " Gue percaya dia bisa memilih mana yang penting, mana yang nggak," kataku lagi. Tulisan di bukuku jadi kabur. Aku tidak bisa fokus.

" Star, lo pasti penting buat dia. Harusnya setiap kali dia liat Bokapnya, dia inget lo," kata Aya. " Lo pasti penting. Dia pasti nggak bisa semudah itu ngelupain lo. Mungkin dia sibuk sama kuliahnya."

Mungkin saja. Tapi, apa sesibuk itu sampai tidak bisa mengirim e-mail? Atau menelepon biar hanya sekali?

" Ya, bisa kita nggak ngomongin ini lagi?" pintaku. Aya hanya menatapku simpati, lalu mengangguk pelan.

Aku memang tidak membenci Ryuu. Aku tetap menganggapnya Ryuu yang dulu walaupun tidak pernah menghubungiku. Bagaimanapun, Ryuu pernah menjadi bagian dari saat-saat menyenangkan dalam hidupku. Walaupun demikian, kebersamaan itu sifatnya hanya sementara. Aku tidak bisa mengharapkan sesuatu yang lebih darinya.

Aku hanya sedih Aya mengungkitnya lagi. Kupikir, aku sudah hidup tenang tanpa memikirkan hal-hal aneh tentangnya, tapi aku salah.

Hari ini adalah hari inalku. Semua orang sudah datang untuk mendukung, bahkan semua keluargaku dan para alumni. Aku sedang mengencangkan tali sepatuku ketika aku melihat keluargaku sedang melambai dengan heboh ke arahku. Kecuali Fernan, tentunya. Dia malah memisahkan diri kira-kira empat tingkat di atas keluargaku. Aku balas melambai singkat.

" Wah, semuanya dateng ya, Kak?" tanya seseorang, membuatku menoleh. Ternyata Chika, anak kelas sepuluh yang masuk tim dan menjadi pengganti yang bagus untuk Firda. Aku nyengir kepadanya.

" Iya nih, mana heboh sendiri gitu," kataku.

" Tapi, asyik kan ditonton sama keluarga," kata Nanda, anak kelas sepuluh lainnya. " Gue jadi ngiri."

Aku melirik keluargaku yang masih heboh mengibar-ngibarkan spanduk bertuliskan Ganbatte 48 Hoshi-chan , lalu nyengir sendiri. Memang benar. Keluargaku memang keluarga yang asyik walaupun kebanyakan noraknya. Tapi, kurasa aku beruntung memiliki keluarga seperti mereka yang ada kapan pun aku butuh.

" Cowok itu siapa, Star? Cowok lo ya?" tanya Tasya, anak kelas sepuluh lainnya lagi. Aku menatap ke arah yang ditunjuknya, lalu terkikik melihat Satria yang ikut-ikutan melambaikan spanduk. " Itu Kakak gue," kataku sambil memakai wrist-band dari Hikari. " Kakak lo? Keren gitu?" tanya Tasya lagi, tidak percaya. " Hei... hei.... Kalo kalian terus-terusan nanya Starlet, bisabisa kita nggak jadi inal," tegur Tias galak pada anak-anak kelas sepuluh yang langsung minta maaf. Aku nyengir penuh rasa terima kasih kepada Tias.

" Ayo, siap-siap," kataku kepada mereka, lalu bangkit dan bergabung dengan Tias, Ayu, Inez, Citra, dan Nadya.

Aku menatap wajah tegang anak-anak kelas sepuluh, lalu tersenyum simpul. Ini pertama kalinya mereka ikut pertandingan. Memang beberapa dari mereka dicadangkan dan bahkan tidak dimainkan, tapi aku masih bisa merasakan semangat mereka.

" Oke, girls," kata Kak Endah yang baru saja kembali dari sisi lawan, mengobrol dengan pelatihnya. " Starter kita kali ini Starlet, Nadya, Inez, Tias, Ayu."

Kami mengangguk, lalu mendengarkan pengarahan Kak Endah lebih lanjut. Tanpa kami sadari, gedung olahraga sudah penuh sesak oleh penonton. Aku juga bisa melihat Firda, Fariz, Chacha, dan Adel yang melambai kepada kami.

Peluit wasit berbunyi, membuat kami segera masuk ke lapangan dan berbaris rapi. Begitu juga dengan lawan, yaitu tim basket putri dari SMA Tunas Harapan. Aku nyengir ke arah kaptennya yang berdiri di depanku, yang bernama Sinta. Kami kenal baik karena sudah dua kali bertemu di inal.

Announcer menyebutkan nama kami satu per satu. Yang membuatku kaget, pada saat namaku disebut, mendadak gedung ini bergemuruh. Mungkin ini pengaruh keluargaku. Aku sih curiga Ibu membawa pengeras suara.

Sekarang, kami sudah ada pada posisi masing-masing. Sebelum bola dilempar, aku melemaskan pergelangan kaki sambil mengatur napas sebaik mungkin. Inez yang ada di depan untuk perebutan bola, menoleh canggung kepadaku, membuatku nyengir dan mengedip. Dia masih saja tegang. Padahal, ini inal keduanya.

Bola akan dilempar dan kami semua bersiap. Wasit akhirnya melemparnya, tanda pertandingan dimulai. Inez bisa merebutnya dan aku segera menangkap bola liar itu. Aku mengopernya kepada Tias yang bebas, lalu berlari menghindari Sinta yang bertugas menjagaku.

Tias berhasil melakukan awal yang baik. Jump shot-nya masuk sehingga kedudukan sementara 0-2 bagi kami. Aku menepuk kepala Tias gembira sambil kembali bertahan. Sebisa mungkin, aku menahan laju Sinta yang sangat gesit. Aku berhasil melakukan steal dan melemparnya sekuat tenaga kepada Inez yang berada di zona bebas. Inez melakukan lay up dan masuk. Seketika, gedung ini gegap-gempita.

Selama lima belas menit kuarter pertama, kami melakukan usaha yang baik. Skor sementara 20-27 bagi tim sekolah kami. Aku sendiri merupakan pencetak skor terbanyak sementara dengan 18 angka.

Kuarter kedua dimulai dan kami kecolongan enam angka berturut-turut. Aku yang sedang diistirahatkan, dimasukkan kembali oleh Kak Endah. Aku langsung membalas mereka dengan menciptakan three-point shot dua kali berturut-turut. Selanjutnya, Tias dan Ayu jadi mengingatkanku pada pasangan Firda dan Chacha dulu. Mereka melakukan permainan yang manis berdua, diakhiri dengan lay up cantik dari Ayu.

Kedudukan sekarang 47-55 bagi sekolah kami. Di kuarter ketiga, SMA Tunas Harapan bermain dengan strategi mengejutkan. Mereka bermain double play sehingga kami dibuat tidak berkutik. Inez selalu dikepung dua orang setiap kali mendapatkan bola dan tidak jarang tim lawan bisa melakukan steal. Bahkan, mereka membuat kami kehabisan waktu karena terlalu lama memegang

bola. Di kuarter ini, permainan kami memburuk karena strategi baru tim lawan. Kak Endah menyuruhku agar sebisa mungkin lolos dan menaikkan tempo permainan.

Aku melakukannya dengan bantuan teman-temanku. Aku banyak bergerak di dalam jagaan kedua pemain yang menghalangiku. Tidak jarang aku mencoba melakukan shoot sehingga para pemain itu terpaksa melakukan foul. Aku kemudian mendapat free throw, yang kesemuanya dapat kulakukan dengan mudah.

Keadaan mulai berbalik saat aku menemukan cara untuk mendobrak strategi double play mereka. Citra dan Tias mengoper dengan cepat kepadaku dan aku segera melakukan fade away sebelum aku dikepung. Berhasil.

Sekarang, kedudukan terpaut tipis, 77-79, dan kami memasuki kuarter keempat. Kak Endah masih dengan tenang menyampaikan strateginya, yaitu tetap menaikkan tempo permainan. Kami juga tetap mengandalkan fade away-ku untuk menghindari double play dari tim lawan.

Suasana sekarang sudah memanas. Masing-masing supporter berlomba-lomba mengelu-elukan tim jagoannya.

Kuarter keempat berjalan alot. Pertahanan masing-masing tim meningkat dan kebanyakan poin yang didapat adalah hasil free throw karena terlalu banyak pelanggaran yang terjadi. Aku sendiri sudah dapat tiga foul yang kebanyakan offensive, membuatku harus berhati-hati kalau tidak mau dikeluarkan.

Kedudukan sudah 82-83 dan waktu yang tersisa tinggal dua menit. Bola sekarang ada di tanganku dan sebisa mungkin, aku menurunkan tempo permainan untuk mencari celah. Tim lawan sudah tidak menggunakan strategi double play lagi. Aku mendribel

bola pelan di tengah lapangan, mengamati teman-temanku yang sudah tersebar dan dikepung dengan ketat. Aku melirik papan skor dan waktuku untuk memegang bola ini cuma sepuluh detik lagi. Aku menarik napas, mengembuskannya, lalu segera berlari sekuat tenaga, menerobos pertahanan tim lawan. Mendadak, Sinta muncul di depanku dan aku tidak punya pilihan lain selain mengoper bolaku kepada Inez, yang kebetulan bebas berdiri di area three-point. Aku benar-benar mengandalkannya sekarang.

Inez menerima bola itu tanpa benar-benar menyadarinya. Mungkin dia kaget karena tidak menyangka akan diberikan bola itu. Dia bengong sebentar, sementara para lawan mulai sadar dan menyerbunya.

" INEZ!!" sahutku, menyadarkannya. Dia segera memasang posisi, lalu menembak persis sebelum lawan mencoba merebut bola dan sepersekian detik sebelum waktu habis.

Seakan dalam adegan slow motion, kami semua menatap bola itu. Aku ragu dengan arahnya. Tadi Inez menembaknya dengan keadaan setengah tidak sadar, jadi aku tidak yakin. Tanpa kusadari, badanku bergerak mundur sendiri.

Bola itu memantul di ring, tepat seperti yang kuduga. Mendadak lututku terasa lemas. Bola itu direbut tim lawan, yang mengopernya dengan kecepatan penuh sehingga teman-temanku tidak sanggup mengejar. Tinggal aku sendiri yang ada di bidang pertahanan.

Aku harus menghentikannya, apa pun yang terjadi. Kalau satu bola ini masuk, tidak akan ada kesempatan lagi bagi kami. Aku melirik papan skor. Waktu kuarter empat tinggal enam belas detik lagi.

Sinta, yang sedang mendribel bola, sepertinya tidak menyadari

Dia mengoper bola kepada temannya yang tepat sejajar denganku, membuatku releks memotong bola itu. Aku sendiri tidak sadar bola itu ada di tanganku.

Aku baru sadar setelah Inez berteriak gembira di ujung yang berlawanan, sementara Tias menyerukan kata-kata yang tidak bisa kudengar karena suasana gedung sangat heboh.

Mendadak, aku melihat pergerakan dari tim lawan, membuatku sadar kembali kalau pertandingan cuma tersisa lima detik lagi. Sekuat tenaga, aku melemparkan bola itu ke sembarang arah dan detik berikutnya, terdengar bunyi terompet yang menandakan pertandingan selesai.

Suasana gedung berubah jadi gegap gempita. Semua temanku sekarang sudah menubruk dan memelukku gembira. Aku sendiri menangis saking senangnya. Tadi itu adalah inal terberat sekaligus terbaikku. Aku melakukan steal penyelamatan yang sangat spektakuler dan aku sangat senang bisa melakukannya.

" Tadi itu nakal," kata Kak Endah sambil menjentikkan jarinya ke dahiku. Aku mengusap dahi sambil nyengir bersalah.

" Emangnya kenapa, Kak?" tanya Inez. Yang lain ikut menatap Kak Endah dengan ekspresi keheranan.

Kami berkumpul bersama di pinggir lapangan dengan medali di leher masing-masing. Aku sendiri sedang memeluk piala bergilir erat-erat, sementara piala MVP tergeletak di dekat kaki. Tadi, orang-orang sibuk menyelamati kami, tapi sekarang gedung

" Starlet malah mundur ke belakang waktu Inez nembak," kata Kak Endah. " Itu perbuatan yang fatal. Bisa aja Citra berhasil rebound dan Starlet malah ada di belakang."

" Iya juga ya," gumam Tias setelah memikirkan kata-kata Kak Endah. " Gue tadi nggak kepikiran."
Fight For Love Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Gue juga," kataku. " Tadi gue nggak mikir, gue cuma pake insting."

" Lagian, Kak, kita menang karena insting nakalnya Starlet," kata Nadya, membuatku nyengir. " Jadi, ngapain kita bahas itu sekarang?"

" Bener," kata Kak Endah sambil tersenyum. " Kita menang. That s all that matters now. Sekarang, ayo kita foto dulu!"

Kami langsung bangkit dengan ceria, lalu Tias meminta tolong seseorang untuk memotret kami. Orang itu dengan senang hati melakukannya. " Siap? Satu& dua& ."

" YEAH!!" sahut kami berbarengan sambil mengangkat piala dan medali, lalu seketika kami bermandikan cahaya lampu blitz.

Aku sangat menikmati saat-saat ini dan kuharap, aku masih memiliki kesempatan untuk merasakannya lagi.

" Star? Mau ke mana?" tanya Ibu begitu aku turun dari kamar membawa bola basket.

" Main di lapangan." Aku mencomot pisang goreng buatan Ibu

yang tergeletak di meja. " Atsui 49 !" pekikku, lalu meniup jari yang seperti melepuh.

" Star, tadi hape lo bunyi," kata Fernan yang sedang menonton anime Naruto. Sepertinya dia baru membeli seluruh volume dan menontonnya sekaligus sampai DVD player-nya rusak dan akhirnya mengungsi ke sini.

" Hiaha?" tanyaku dengan mulut megap-megap karena pisangnya masih panas bahkan setelah kutiup lama-lama.

" Tahu. Emangnya gue peramal?" kata Fernan menyebalkan, membuatku mencibirnya sambil meraih ponsel yang tergeletak di meja makan. Semalam, aku meninggalkannya di situ.

" Emang lo bukan peramal, lo bego," gerutuku sambil mengecek siapa yang baru menghubungiku. " Emangnya lo buta huruf?"

Aku langsung tertegun melihat apa yang kubaca di layar ponsel. Nomor lokal yang tidak ada di memori ponselku. Berarti Fernan sudah melihatnya dan benar-benar tidak tahu siapa yang menghubungiku. Fernan menatapku sinis, tapi aku berlagak tidak tahu apa pun. Aku pantang mengambil kembali kata-kataku.

" Bu, ittekimasu!!" sahutku cepat-cepat untuk menghindari serangan balasan Fernan, lalu bergerak ke luar rumah.

Udara pagi ini sangat segar dan belum panas, padahal sudah pukul sembilan. Aku berjalan ke lapangan sambil sesekali mendribel bola. Aku jadi teringat pada inalku kemarin dan apa yang keluargaku lakukan sepulangnya.

Ayah dan Ibu menghadiahiku sebuah bola basket yang khusus untuk dipajang. Aku sampai terharu karena akhirnya Ibu 49. Atsui = anas

mendukungku bermain basket. Satria memberiku miniatur Michael Jordan yang sangat keren, sementara Fernan memberiku game PS2 tentang NBA. Yah, aku menghargai usahanya sih, walaupun rasanya sedikit mengejek karena aku tidak pernah bermain PS2. Aku juga baru ingat kalau kemarin adalah ulang tahunku. Jadi, aku berulang tahun persis di hari inal. Aku sampai melupakannya karena terlalu khawatir pada inal.

Kemenangan dan gelar MVP kemarin adalah hadiah ulang tahun yang paling mengesankan selama tujuh belas tahun hidupku. Aku tidak akan melupakan sensasi mengasyikkan saat namaku dipanggil sebagai MVP dan disoraki semua orang. Benar-benar hadiah paling indah yang pernah kuterima.

Aku menyalakan CD player, lalu langsung menekan tombol next sebanyak sebelas kali sehingga muncul track dua belas. Lagu Hana mengalun melalui headphone-ku dan menemani perjalananku sampai ke lapangan. Sampai di lapangan, aku melepas CD player itu dan meletakkannya di sebelah ring.

Aku melakukan pemanasan singkat, lalu berlari mengelilingi lapangan sebanyak tiga kali. Kemudian, aku mendribel bola dan mulai menembaknya dari berbagai arah. Aku harus mempersiapkan diri untuk pertandingan all-star antar-SMA. Aku ingin memenangkan lomba three pointer lagi, jadi aku harus melatih tembakan three-pointku. Saat latihan kemarin-kemarin, Inez berhasil mengalahkanku dengan memasukkan tujuh belas dari dua puluh tembakan, sedangkan aku hanya lima belas. Aku benar-benar tidak mau kalah dari juniorku.

Aku melempar bola dari jarak three-point dan masuk walaupun tidak sempurna. Kemarin, Inez melakukannya hampir sempurna. Bolanya tidak kena pinggiran ring sama sekali. Aku berlari-lari

" Lututnya kurang nekuk!" sahut seseorang di belakangku. " Iya!" sahutku, spontan menekuk lutut. Tapi sebelum menembak, aku tersadar. Bola yang kupegang tergelincir dan menggelinding keluar lapangan.

Tidak mungkin. Ini tidak mungkin terjadi. Aku pelan-pelan membalik badan dan mendapati seorang cowok yang dulu kukenal sedang berdiri dengan kedua tangan di saku celana. Dia menatapku sambil tersenyum simpul.

" Yo," kata Ryuu sambil melambai singkat. Senyumannya belum hilang, tapi aku tidak membalasnya. Aku hanya menatapnya kosong selama beberapa detik.

Ryuu balas menatapku, lalu senyumannya perlahan memudar. Dia menghela napas, sementara aku tidak kunjung bereaksi. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Ini semua terlalu mendadak. Aku sudah terlanjur menganggap Ryuu bagian dari masa lalu yang tidak akan pernah muncul lagi di depanku. Ryuu menatapku lama.

" Tadaima 50 ," katanya akhirnya, membuatku tersadar. Ryuu menatapku lagi, tatapannya seolah meminta maaf. Aku lalu mengetuk kepalaku sendiri. Aku harusnya ingat kalau Ryuu juga punya masalah sendiri. Harusnya aku tidak begitu bodoh dan menganggap Ryuu bersifat sementara, karena seorang teman tidak pernah bersifat sementara. Dalam hal ini, Ryuu mungkin lebih dari sekadar teman untukku. Dia penyelamatku dan satu-satunya orang yang bisa membuatku terus menunggu.

" Okaeri 51 ," kataku sambil tersenyum. " Osoi 52 ," candaku, membuat Ryuu nyengir.

" Gomen 53 ." Ryuu mengangguk singkat. Setelah itu, kami saling berdiam diri selama beberapa menit, masih dengan posisi terpisah tiga meter.

" Ada sedikit urusan ini dan itu," kata Ryuu. Aku mengangguk tidak jelas. " Jadi& baru bisa ke sini sekarang."

Aku mengangguk lagi, walaupun sangat ingin menanyakan kenapa selama itu dia tidak berusaha menghubungiku.

" Gue pengin ngasih kejutan," kata Ryuu lagi. " Makanya gue ke sini nggak bilang-bilang. Tadi di wartel gue iseng nelepon lo."

" Lo tahu nomor hape gue," selorohku, tergelincir begitu saja dari mulutku. Ryuu terdiam sebentar, lalu menggaruk kepala.

" Sori, selama ini gue nggak ngasih lo kabar." Ryuu tampak memahami maksudku. Damn yeah he s sorry. " Ini karena gue nggak mau lo nunggu hal yang nggak pasti."

Aku menatap Ryuu heran. " Apa maksudnya?"

" Gue pindah ke Osaka untuk sekolah," kata Ryuu. " Di sana gue juga kerja untuk membiayai tempat tinggal dan sekolah. Itu syarat dari Otoosan kalo gue mau sekolah musik. Dia mau gue belajar mandiri. Gue juga mau menebus semua kesalahan gue sama dia, makanya gue terima persyaratan itu. Di awal-awal pindah, gue kesulitan bertahan dan yang gue pikirin cuma lo. Tadinya gue mau nelepon lo dan cerita ini semua, tapi gue sadar, gue nggak bisa ganggu lo dengan hal-hal nggak penting ini."

Aku hanya bisa bengong mendengar cerita Ryuu. Aku tidak tahu kalau itu yang terjadi.

" Lo masih SMA dan belum seharusnya memikirkan hal-hal lain

selain belajar. Ditambah lagi lo punya tanggung jawab gede di tim basket lo. Jadi, gue mengurungkan niat nelepon lo. Gue pikir dengan nggak ngasih lo kabar selama setahun, lo bakal lupa ama gue." " Hampir," kataku jujur. " Tapi, nggak bisa karena Hana." Ryuu mengerjap sekali, lalu mengangguk-angguk. " Jadi, lo masih dengerin lagu itu?"

" Tiap kali inget," kataku, membuat Ryuu menatapku lagi. " Gomen," katanya. " Tapi, waktu itu gue bener-bener berpikir kalo gue nggak akan pernah berhasil. Jadi, gue nggak berani menjanjikan lo apa pun."

" Sekarang, lo udah berhasil?" tanyaku. " Karena lo ada di sini." " Gue ada di sini karena lo ulang tahun," kata Ryuu, membuatku kaget. Ryuu nyengir melihat tampangku. " Gue tahu dari Hikari. Dan ya, gue udah berhasil. Gue kerja jadi pelatih basket SMP dan hidup lumayan manusiawi."

Aku masih kehilangan kata-kata. Ryuu bergerak mendekatiku. " Tanjoobi omedetoo 54 ," ucapnya sambil memasang sesuatu yang harusnya di kepalaku, tapi dia sengaja memasangnya di mataku. Aku melepas benda itu, lalu terpesona pada sebuah head band yang kupegang. Head band itu berwarna merah dengan bintang putih di tengahnya.

Aku menatap Ryuu tidak percaya. Dia datang jauh-jauh dari Jepang untuk menyerahkan hadiah yang harusnya bisa dikirimkan pakai DHL?

" Itu hadiah pengalih," katanya. " Tahu nggak apaan hadiah sebenernya?"

" Apaan?" tanyaku lagi. Ryuu tersenyum licik.

" O-re 55 ," katanya sambil menunjuk dirinya sendiri, membuatku terperangah. Apa dia baru bilang kalau dia adalah hadiahku??

Ryuu terkekeh melihat ekspresiku, lalu berlari-lari kecil mengambil bola dan mendribelnya. Aku sendiri masih membatu. Ryuu lantas menyadari kekakuanku dan menatapku heran.

" Lo kenapa?" tanyanya, tapi matanya tiba-tiba melebar. " Oh, jangan bilang lo udah punya pacar!"

Aku melotot. " Emangnya kenapa?" seruku, pura-pura marah. " Lo kan suka sama gue, nggak mungkin lo pacaran sama orang lain!" sahut Ryuu lagi, membuatku melongo.

" Kepedean lo!!" sahutku, lalu mengejarnya. Ryuu segera berlari menghindar, tapi di tengah-tengah dia mendadak berhenti, berbalik, lalu menyetopku dengan cara menangkap wajahku dan menahannya.

" Ayo kita tanding three-point shot," katanya, sementara aku meronta-ronta membebaskan diri. " Yang kalah harus ngelakuin apa pun yang diminta yang menang. Dalam hal ini, lo bakal ngelakuin apa pun yang gue suruh."

Aku melongo lagi untuk kesekian kalinya pagi ini, lalu akhirnya bisa membebaskan diri.

" Kenapa gue yang ngelakuin apa pun yang lo suruh? Bukannya gue yang ulang tahun??" protesku. Ryuu hanya menanggapinya dengan tawa.

" Ulang tahun lo kan udah kemarin!" kata Ryuu. " Jadi sekarang, ayo kita tanding! Atau lo takut?"

" Enak aja! Bring it on!" sahutku, membuat Ryuu tergelak lagi. Aku dan Ryuu menghabiskan sesiangan ini dengan tanding three-point shot yang dimenangkan olehku. Ryuu tampak sengaja memelesetkan tembakan yang terakhir, sehingga aku menang. Tidak diragukan lagi, ini adalah ulang tahun paling menyenangkan dalam hidupku.

Sekarang, aku dan Ryuu sudah tidur-tiduran di rumput pinggir lapangan. Angin berembus sepoi-sepoi. Aku menatap wajah Ryuu, yang tertidur.

" Anata ni aete yokatta 56 ," kataku pelan. Aku pikir Ryuu masih tertidur, tapi tahu-tahu bibirnya bergerak. Aku melongo sebentar, lalu memukulnya. " Lo denger ya??"

Ryuu tertawa terbahak-bahak, sementara aku merengut kesal. Kenapa dia harus mendengar hal memalukan itu, sih??

Ryuu mengacak rambutku, lalu menatapku dalam-dalam walaupun masih ada sisa-sisa senyum di wajahnya.

" Ore mo 57 ," katanya. Aku memicingkan mata, takut dia cuma bercanda atau mau menggodaku. Tapi, Ryuu tampak bersungguhsungguh.

" Oh, oke," kataku, lalu kembali berbaring di rumput. Aku benar-benar malu sampai tidak berani memandang Ryuu. Kurasa wajahku juga sudah semerah tomat.

" Jadi, gimana tim basket?" tanya Ryuu kemudian. Aku senang dia cepat-cepat mengalihkan topik. Aku segera menceritakan semua yang terjadi selama setahun ini. Ryuu hanya mendengarkan dengan

56. Anata ni aete yokatta = Aku senang bisa mengenalmu 57. Ore mo = Aku juga

baik. Kadang dia tersenyum simpul, tapi tidak pernah menyelaku. Kupikir dia sedang menggodaku, jadi aku bertanya padanya. Tapi, dia menjawab dia hanya ingin mendengar bagaimana kabarku selama setahun ini. Aku bilang itu termasuk menggoda dan aku kembali menceritakan sisanya.

Aku tidak akan pernah melupakan umur ketujuh belasku dan semua yang pernah kulalui untuk sampai ke umur ini. Aku tidak pernah menyangka hidupku akan jadi semudah ini, tapi kupikir itu karena aku berusaha. Dan aku tidak akan pernah berhenti berusaha supaya hidupku akan terus seindah ini. I ve gotta ight for the win! Anatatachi mo, ganbatte ne 58 !!

58. Anatatachi mo, ganbatte ne = kaalian juga, berjuang ya!

Tamat


05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair Pasukan Mau Tahu 14 Misteri Berita Aneh

Cari Blog Ini