Ceritasilat Novel Online

From Paris To Eternity 1

From Paris To Eternity Karya Clio Freya Bagian 1



FROM PARIS TO ETERNITY

(lanjutan "Eiffel, Tolong!")

Oleh Clio Freya

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

GM 312 01 14 0056

? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Gedung Gramedia Blok 1, Lt.5

Jl. Palmerah Barat 29?37, Jakarta 10270

Cover oleh maryna_design@yahoo.com

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

anggota IKAPI, Jakarta, Februari 2010

Cetakan kedua Februari 2012

Cetakan ketiga September 2014

www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

360 hlm., 20 cm.

ISBN 978 - 602 - 03 - 0878 - 4

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab Percetakan

From Paris to Eternity Copyright CU 4

Ucapan Terima Kasih

The Almighty?for the presence in my heart.

Denny, thanks for everything.

Raisa, I will always be in your heart, just like yours is in mine.

Tuty, I know you don?t like some mumbo-jumbo-meaningless words

and prefer action. Still, my words to you "I **** you" J

Seriously, thank you, dear friend. May God bless you and be in your

heart always.

Eva, thanks for everything and wish you the best for your life

ahead.

My big family, thanks for the love and support.

Bisanto fam Mom & Dad, bro & sis, Mas Taswin & Ani, and

all the cuties in the family (Abang, Kakak, Rasyid, Adeqi).

Thambas fam Mom & Dad, Lya & Dedy, and little princess

Keya.

Mbak Vera, Mbak Donna, Mbak Fia, thanks for the patience and

everything.

Mbak Maryna, thanks for the beautiful illustration that holds a

story in itself.

All of my fb friends and readers, apologize if sometimes I can?t

address you one by one. Thanks for your inspiring encouragement,

always.

Paulo Coelho, my favourite writer, thanks for your decision years

ago to stick real hard to writing, making it possible for this

civilization (including me, of course) to enjoy your work and be

inspired.

Thanks to everyone who have influenced me or inspired me or helped

me in any way that possibly can.

Be thankful for the past, for it has built the present.

Be hopeful for tomorrow, for it holds the dream.

Embrace the present, for it doesn?t last.

Always be grateful

For despite what happens, life is beautiful.

And God is listening.

Cerita sebelumnya

Siapa sih yang nggak bakalan melonjak-lonjak kegirangan kalau

ditawari liburan musim panas di Paris tanpa orangtua selama dua

minggu?

Itu juga yang dilakukan Fay Regina Wiranata?yang baru saja

naik kelas 3 SMA?ketika orangtuanya memberitahukan bahwa

dia sudah didaftarkan kursus bahasa Prancis selama dua minggu

di Paris.

Namun, setelah menginjakkan kaki di kota Paris, kegembiraan

Fay berubah seketika; ia diculik seorang pria yang memintanya

berpura-pura menjadi seorang gadis Malaysia bernama Seena. Se?

jak itu Fay menjalani kehidupan ganda selama dua minggu kursus

bahasa pada pagi hari dan latihan menjadi Seena pada sore hari.

Masalah mulai muncul ketika Fay jatuh cinta pada Kent, pe?

muda asal Inggris yang juga keponakan si penculik. Hidup Fay

juga makin runyam ketika muncul Reno, teman kursusnya yang

secara terang-terangan menentang hubungannya dengan Kent.

Ketika tiba waktu memerankan Seena, Fay berhasil melakukan

apa yang diminta Andrew membuat peta kediaman paman Seena

yang dijaga bak istana presiden dan memasang penyadap di ruang

kerja pria itu. Semua berjalan hampir sempurna, hingga Seena

yang asli mendadak muncul tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Fay langsung dibawa ke sebuah rumah pertanian tua di pinggiran

Paris untuk diinterogasi.

Kent berhasil menemukan tempat Fay disekap dan meng?

informasikan lokasi itu kepada Andrew. Reno juga muncul di

lokasi dan berhasil mengulur waktu hingga tim yang diketuai

Andrew tiba.

Setelah semua berakhir, Fay akhirnya diizinkan pulang oleh

Andrew. Namun, ia harus menelan pil pahit ketika campur ta?

ngan Andrew menyebabkan Kent meninggalkannya tanpa sepatah

kata pun....

Panggilan Nasib

AY REGINA WIRANATA melirik arloji Swatch kesayangan

yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Ia berada di pengujung

tahun ketiganya di SMA, tepatnya sedang berusaha menyelesaikan

tiga soal yang tersisa dari lembar soal ujian kimia yang merupakan

mata pelajaran terakhir yang harus dilewati dari rangkaian ujian

yang melelahkan. Dua menit lagi bel akan berbunyi, tanda lembar

jawabannya harus dikumpulkan sekaligus juga tanda berakhirnya

tahun ajaran yang menyesakkan ini. Selama setahun terakhir,

hidupnya hanya berkisar pada les-les tambahan dengan berbagai

bentuk. Semuanya demi sebuah angka yang tercetak di selembar

kertas dan gengsi dari perguruan tinggi papan atas yang dipercaya

punya pengaruh pada kesuksesan hidup seseorang.

Fay menghela napas dan menyandarkan tubuh ke kursi sambil

memperbaiki kucir yang menjaga supaya rambut sebahunya yang

ikal tidak mengganggu konsentrasinya.

Percuma! Fay melirik tiga soal cerita yang dibaca saja belum

sambil mengucapkan selamat berpisah. Ingin rasanya ia bangkit

dari kursi sekarang juga dan menyerahkan lembar jawaban itu

kepada Bu Lusi, guru kimianya yang kebetulan menjaga kelas,

tapi ingatan akan ucapan-ucapan pedas yang selalu dilontarkan

guru itu kepada siswa-siswi nonfavorit mengurungkan niatnya

dalam sekejap.

Fay membayangkan apa yang akan menjadi sasaran Bu Lusi

kalau ia nekat maju ke depan kelas. Tidak ada ciri-ciri fisik yang

terlalu menonjol pada dirinya?beratnya sedikit di atas rata-rata,

56 kg dengan tinggi 160 cm, tapi rasanya masih kurang untuk

menjadi target celaan pedas. Mungkin Bu Lusi akan menghantam

warna kulitnya yang sawo matang, "Kenapa kamu cepat-cepat

keluar? Mau menggosok kulit kamu supaya lebih terang?" Fay

bergidik dengan khayalannya sendiri.

Suara bel memecah kesunyian.

Sontak kelas menjadi riuh rendah penuh suara gerutuan dari

segala arah. Para siswa secara serabutan mempercepat gerak tangan

untuk menulis di lembar jawaban.

Bu Lusi menggedor papan tulis dan tangan-tangan yang me?

nulis segera meletakkan pensil dan bolpoin, diiringi gerutuan

yang terdengar makin keras. Satu per satu siswa maju dan me?

letakkan lembar jawaban di meja. Fay sempat melirik Bu Lusi

saat meletakkan lembar jawaban. Di wajah Bu Lusi terpancar

ekspresi puas, seakan-akan menyengsarakan siswa adalah suatu

pencapaian luar biasa dalam hidupnya.

Fay bergegas meninggalkan kelas. Begitu tiba di selasar, ia

langsung celingukan mencari para sahabatnya.

"Fay, bisa jawab semua?" teriakan Lisa langsung menyambut.

"Ya nggak laaah...," jawab Fay sambil tersenyum lebar.

Lisa melirik Bu Lusi yang keluar dari kelas sambil memegang

lembar jawaban, kemudian sambil memelankan suara berkata,

"Idih, si bulu halus (kepanjangan dari "Bu Lus") itu kok ada di

kelas lo? Ih, jijik bin jijay. Gue bisa diare deh kalau kebagian di?

jaga dia."

Fay tertawa.

Di kejauhan, tampak dua sahabat Fay yang lain, Dea dan Cici,

melambaikan tangan sambil berusaha menyelinap di antara para

siswa yang tumpah ruah di koridor kelas lantai tiga. Tidak sulit

menemukan mereka di antara kerumunan karena tinggi Dea yang

di atas 170 cm itu.

Dea langsung berkeluh kesah, "Gimana ujiannya, pada bisa

semua nggak? Aduh, gue kesel banget deh, nggak sempat periksa

ulang semua jawaban gue. Jawaban untuk tiga soal terakhir belum

sempat dilihat, lagi."

Fay dan kedua temannya yang lain kini melotot ke arah Dea

yang tampaknya akan segera melanjutkan keluh kesahnya dan

mungkin akan segera membahas semua jawaban untuk menge?

tahui apakah yang ditulisnya sudah benar atau belum.

Lisa langsung memotong, "Dea, tolong ya toleransi sedikit

sama gue, yang separuh soal pilihan ganda cuma pakai cara tebak

kancing dan separuh soal cerita cuma bisa mengandalkan jawaban

si Ruben karena gue nyontek sama dia!"

Cici dan Fay tertawa terbahak-bahak. Giliran Dea yang melotot

dengan shock ke arah Lisa.

Satu suara tidak harmonis terdengar dari belakang Cici dan

memutus tawa mereka.

"Ci, lo liburan ke mana? Gue mau ke Eropa nih sama Nyo?

kap. Ikutan dong, biar kita bisa jalan dan belanja bareng, pasti

seru."

Tiara. Dengan dongkol Fay menatap cewek cantik yang tam?

pak kenes dengan rambut panjang yang digerai sebagian ke de?

pan, dan tangannya sibuk membetulkan rok yang sengaja dibuat

kependekan.

Tiara adalah ketua geng borju yang dari dulu tidak pernah

putus asa mengajak Cici yang menyandang status anak konglo?

merat, untuk bergabung dengan gengnya. Tiara juga tidak pernah

lupa cari gara-gara dengan Dea, Lisa, atau Fay, yang dianggap

menghalangi keinginannya untuk mendekati Cici. Sepertinya

cewek ini tidak pernah mengerti bahwa ada kecocokan lain yang

mungkin bisa dijadikan pertimbangan dalam berteman selain jum?

lah uang yang ada di rekening orangtua.

Cici menjawab santai, "Gue ada rencana pergi, tapi kayaknya

sih masih lama. Mungkin Fay mau pergi." Cici menoleh ke arah

Fay. "Fay, lo ke Paris lagi nggak liburan ini?"

Sebelum Fay sempat menjawab, Tiara langsung memotong, "Ya
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

udah deh, Ci. Kalau lo berubah pikiran, kabari gue, ya! Ma?

yaaaaang...!" Tiara pun berbalik dan berlalu sambil berteriak me?

manggil salah satu anggota geng borju lain yang sudah seperti

dayangnya.

Lisa melotot ke punggung Tiara yang segera menghilang di

antara kerumunan siswa. "Iiih, nggak sopan banget sih, tuh anak?

Heran deh gue, dari dulu nggak pernah berubah. Nggak pernah

sekali pun dia menghargai orang lain!"

Cici menengahi, "Udah deh, mengharapkan Tiara berubah jadi

beradab sama dengan mengharapkan Bu Lusi jadi Ibu Peri

Cinderella. Sekarang kita ngomongin yang seru-seru aja, seperti

liburan. Fay, lo belum jawab pertanyaan gue tadi. Liburan ini lo

ikut kursus bahasa lagi nggak di Paris?"

"Nggak," jawab Fay singkat. Ingatannya otomatis melayang

sejenak ke liburan kenaikan kelas tahun lalu, saat ia belajar bahasa

Prancis selama dua minggu di Paris.

Lisa menatap Fay dengan sewot. "Udah deh. Kalau Fay sih

nggak usah ditanya, percuma! Pergi jauh-jauh ke Paris ceritanya

garingat. Udah gitu, dua minggu di Paris fotonya nggak lebih

dari sepuluh. Alasannya nggak masuk akal, lagi! Sibuk kursus ka?

rena ikut kelas tambahan sore. Padahal yang namanya kursus ba?

hasa itu kan cuma kelas iseng-iseng, bukannya kayak kelas bim?

bingan belajar kimia. Dasar sableng!"

Fay hanya meringis menanggapi omelan Lisa. Andai saja me?

reka tahu, pikirnya.

Di hari pertamanya di Paris tahun lalu, Fay diculik oleh se?

orang pria bernama Andrew. Pria itu memintanya berpura-pura

menjadi seorang gadis Malaysia bernama Seena yang akan singgah

ke rumah pamannya yang bernama Alfred Whitman. Selama dua

minggu, sepulangnya dari kursus bahasa, Fay mengikuti latihan

yang diberikan Andrew. Dan untuk menutupi aktivitas "latihan

tambahan" itu, Andrew memberikan alasan yang sempurna untuk

dipampangkan ke keluarga dan teman-teman Fay Fay mendapat

bonus untuk mengikuti kelas tambahan sore di Institute de Paris,

institusi yang dikepalai Monsieur Guillard?baik lembaga maupun

pimpinannya sama-sama fiktif?yang bergerak di bidang penga?

jaran bahasa dan budaya.

"Fay, ortu lo pergi?" tanya Cici lagi, menyelamatkan Fay dari

berondongan tatapan Lisa yang tak kenalpun.

"Iya, mereka mau ke Peru. Katanya mau ketemu calon klien.

Abis itu mau sekalian liburan juga," jawab Fay.

"Mereka kayaknya lebih sibuk lagi ya sekarang, sejak buka

perusahaan konsultan sendiri?" tanya Cici.

Fay menjawab singkat, "Gitu deh."

"Lha, lo nggak ikut sekalian?" tanya Lisa dengan nada yang

lebih berdamai.

Fay baru akan menjawab pertanyaan Lisa, tapi Dea sudah me?

nyahut, "Mana bisa liburan begitu? Kan nggak lama lagi kita

ujian seleksi masuk ke perguruan tinggi. Gue juga nggak pergi ke

mana-mana. Paling ikut les tambahan aja."

"Aduh, Dea, kayak kurang aja ya lo jadi juara umum!" sambar

Lisa gemas. "Dua universitas yang udah memohon-mohon supaya

lo mau masuk ke tempat mereka, cuma dianggap angin, ya? Gue

doain lo masuk surga deh!"

"Udah... udah...," ucap Cici, "...nanti kita ngobrol lagi deh.

Sekarang, gue mau pulang dulu. Daaah... Ayo, Fay!"

Fay pun mengikuti Cici yang rumahnya memang searah de?

ngan dirinya.

Di mobil, Cici memasang lagu dari Jason Mraz sambil ber?

tanya, "Fay, lo jadi pilih universitas negeri di sekitar Jakarta?"

"Jadi. Memang mau ke mana lagi?" Fay balik bertanya.

"Kan ada Bandung."

"Nggak boleh sama ortu gue. Mereka kan selalu bepergian,

jadi waktu mereka ketemu gue di Jakarta sudah terbatas. Kalau

gue ke Bandung, bisa-bisa setahun nggak pernah ketemu."

"Kan ke Bandung sekarang cuma dua jam."

Fay terdiam sebentar sebelum berkata, "Mungkin mereka pikir

buang-buang waktu kalau harus menghabiskan dua jam ekstra

untuk gue." Seulas rasa pedih mengintip di dada dan Fay segera

balik bertanya untuk meredamnya, "Kalau lo gimana? Jadi kuliah

keerika?"

"Belum tahu. Anyway, gue baru daftar tahun depan."

"Lho, kok lo nggak pernah cerita baru akan kuliah tahun de?

pan?"

Cici mengangkat bahu. "Gue juga baru tahu minggu lalu. Bo?

kap datang khusus dari Singapura untuk diskusi masalah ini sama

gue. Bokap bilang, ada perubahan strategi dalam rencana bisnis?

nya. Lima tahun lagi fokusnya ekspansi ke pasar Eropa, bukan ke

Amerika. Dia minta guebil kuliah teknik industri di Jerman,

setelah itu dia mau gue belajar manajemen di Swiss."

"Terus, satu tahun ini lo mau ngapain?"

"Belajar bahasa Jerman. Kemungkinan sih sekalian belajar ba?

hasa Prancis. Paling juga habis itu gue pingsan," ucap Cici sambil

meringis hingga mata sipitnya hilang.

Fay terkekeh.

Mobil berhenti tepat di depan rumah Fay.

"Ci, thanks ya," ucap Fay sambil menyambar tas dan membuka

pintu.

"My pleasure, dear Fay. Nanti gue telepon ya.... Mungkin kita

bisa janjian jalan bareng besok. Daaah!"

Mobil Cici segera melaju lagi.

Gerbang rumah Fay dibuka oleh Mbok Hanim, wanita paruh

baya yang sudah tinggal sepuluh tahun di sana sebagai pengurus

rumah.

Di dalam rumah, Fay melihat pintu menuju ruang tengah ter?

buka dan sayup-sayup terdengar suara bercakap-cakap. Fay

mengintip dan melihat kedua orangtuanya sedang berbicara serius

dengan seorang pegawai yang bekerja di perusahaan mereka.

Fay segera beranjak ke kamarnya di lantai dua. Yang dilakukan?

nya pertama-tama di dalam kamar adalah membuka tas dan mem?

balikkannya sehingga isinya bertebaran di lantai, mulai dari buku

pelajaran, berbagai alat tulis, dompet, agenda, hingga uang receh.

Fay tersenyum lebar melihat serakan berbagai barang di lantai,

hasil kebiasaan aneh setiap akhir semester untuk merayakan ke?

bebasannya. Sebenarnya itu tidak berlaku semester ini, karena akan

ada ujian seleksi masuk perguruan tinggi yang harus diikuti, tapi

setidaknya masih ada waktu satu bulan lagi. Fay langsung duduk

di depan komputernya di sudut kamar dan setelah menyambung

kabel telepon, segera memeriksa e-mail-nya di Yahoo!.

Hanya ada satu e-mail baru dari Reno, teman kursusnya tahun

lalu.

Hai, Fay

Bagaimana ujian kamu? Sukses? Mudah-mudahan keber?

untungan kamu dalam pelajaran kimia lebih besar daripada

keberuntunganku di sekolah dulu. J

Tiketku untuk ke Quito sudah confirmed untuk Rabu.

Akhirnya, setelah tiga tahun aku pulang juga!

Jangan lupa beritahu aku rencana liburan kamu ya (*ya ya

ya... aku tahu kamu harus menyiapkan diri untuk masuk ke

universitas.... Tapi, kalau kamu tidak ada rencana ke Paris

lagi?atau Eropa?siapa tahu aku mendadak punya ide untuk

ke Jakarta!). Just let me know, okay?

Gotta go now. Ciao lil? sis. Take care, always.

?r?

PS never accept anything from stranger!

Seulas senyum menghias bibir Fay saat membaca panggilan "lil?

sis" atau adik kecil yang tak pernah lupa dicantumkan Reno di

akhir setiap e-mail-nya. Dalam waktu hanya dua minggu, Reno

sudah menempati sudut yang istimewa dalam hati Fay; bukan

hanya sebagai seorang kakak, tapi juga sebagai malaikat pelindung

yang telah menyelamatkan dirinya. Selama satu tahun belakangan

ini, Reno tidak pernah lupa mengontaknya secara rutin melalui

e-mail dan mereka sering bertukar cerita. Fay meringis saat ingat

tatapan iri bercampur sirik bin mupeng para sahabatnya saat me?

lihat foto Reno dan mendengar ceritanya sepanjang tahun ini

tentang cowok keren itu.

Pintu kamar mendadak terbuka.

Fay mengangkat alis melihat mama dan papanya masuk sambil

tersenyum lebar.

"Fay, Mama bangga sekali padamu...," ucap Mama dengan

mata berbinar-binar.

Setengah melongo, Fay menatap orangtuanya. "Apaan sih? Pe?

rasaan pengumuman kelulusan juga belum deh," ucapnya sambil

mengerutkan kening. Mengingat ujian kimia tadi, rasanya kalimat

tadi tidak ditujukan ke sana, pikirnya lagi.

Mama menyodorkan satu surat yang baru datang dan Fay

membukanya. Apa yang ditangkap pertama kali oleh matanya

membuat jantungnya serasa mau lompat keluar.

Tulisan Institute de Paris ada di kop surat!

Fay otomatis melihat ke bagian bawah surat, dan ia membaca

nama sang direktur, M. Guillard!

Dengan tangan yang rasanya membeku dan tatapan yang terasa

mengabur, Fay mulai membaca.

Inti surat tersebut adalah ia terpilih untuk mengikuti kursus

singkat selama satu minggu di institut tersebut karena karangan

berbahasa Prancis-nya yang pernah diikutkan di lomba tahun lalu

berhasil terpilih menjadi karya asing berbahasa Prancis terbaik

kategori remaja.

Fay semakin pucat. Menulis karangan dalam bahasa Indonesia

pun cuma kalau terpaksa dalam pelajaran bahasa, apalagi dalam

bahasa Prancis!

Setengah melayang Fay melihat mamanya berbicara, dengan

gerakan bibir bagaikan frame film dalam gerak lambat. Ia tidak

bisa menangkap satu patah kata pun yang keluar dari mulut

mamanya. Sayup-sayup ia mendengar suara telepon, suara Papa

berbicara di telepon, kemudian suara Papa memanggil namanya.

Ia masih sempat melihat lembar kedua dan ketiga surat tersebut,

sebuah surat berbahasa Prancis yang ditujukan ke pihak imigrasi

Prancis dan tiket elektronik atas namanya, untuk keberangkatan...

yapun, mata Fay terbelalak, besok malam!

"Fay, telepon untuk kamu, Sayang."

Telepon cordless yang disodorkan Papa mengembalikan Fay ke

dunia.

Fay menerima telepon itu, "...H... halo..."

"Hello, Fay! How are you doing, young lady? It?s been a while."

Napas Fay tercekat.

Andrew!

Fay menggigil. Angin dingin seperti lewat menembus tubuh?

nya.

"Saya yakin kamu sudah membaca surat yang dikirim oleh M.

Guillard beserta tiket pesawat untuk keberangkatan besok malam.
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kamu tidak perlu khawatir tentang visa, karena sebentar lagi akan

ada kurir yang datang untuk mengambil paspormu untuk keper?

luan aplikasi visa. Dengan rekomendasi yang tepat, pengurusan

visa itu tidak akan memakan waktu lebih dari dua jam, jadi yang

perlu kamu lakukan sekarang hanyalah berkemas-kemas. Apakah

cukup jelas, Fay?"

"Ya," jawab Fay dengan suara tersangkut di tenggorokan.

"Bagus. Sekarang, M. Guillard ingin menyampaikan kabar baik

ini secara langsung kepada orangtuamu, jadi tolong berikan tele?

pon ini kepada salah satu dari mereka. Dan, Fay, tolong gunakan

ekspresi yang agak ceria ketika kamu melakukannya atau setidak?

nya tunjukkan sedikit antusiasme. Sampai jumpa segera."

Hari Sabtu, Fay menatap cakrawala tak bertepi dari jendela pesa?

wat yang membawanya terbang dari Bandara Soekarno-Hatta di

Jakarta ke Bandara Changi, Singapura, dilanjutkan dengan pener?

bangan ke Bandara Charles de Gaulle di Paris.

Kedua orangtuanya sudah berangkat dini hari tadi. Fay tidak

punya kesulitan untuk bangun dan mengucapkan salam per?

pisahan kepada kedua orangtuanya, karena ia sendiri tidak bisa

tidur semalaman, dibayangi rasa cemas menyongsong hari ini.

Sebelum berangkat, Mama sempat dengan heboh berkata,

"Aduh, Fay, Mama senang sekali kamu pergi ke Paris malam

nanti. Mama tadinya sempat merasa bersalah karena pergi berdua

dengan Papa saja, meninggalkan kamu sendirian di rumah. Tapi...

ini semua Mama dan Papa lakukan demi kamu juga. Kalau

Mama dan Papa berhasil dapat klien ini, wah, kehidupan kita

pasti akan lebih baik lagi. Untunglah semua berjalan baik dengan

sendirinya."

Mendengar kalimat itu disebutkan mamanya, Fay hanya ter?

senyum pahit. Ini bukan pertama kali mereka bepergian tanpa

mengikutsertakan dirinya. Kalau dihitung-hitung, mungkin dari

52 minggu dalam satu tahun, ia hanya bertemu orangtuanya se?

lama sepuluh minggu. Selebihnya mereka pergi bergantian, me?

ninggalkannya sendiri menjalani rutinitas hidup dengan pem?

benaran "toh semuanya demi kamu juga". Dulu ia pernah protes,

tapi protesnya berhenti setelah kelulusan SD, setelah menjalani

perayaan akan prestasinya sebagai juara umum di sekolah seorang

diri. Setelah itu ia lebih suka menyingkir ke dalam kamar atau

berkumpul dengan teman-temannya bila mereka ada. Dan kini,

untuk pertama kalinya sejak kelulusan SD-nya, Fay membayang?

kan betapa menyenangkan kalau saja antusiasme yang ia lihat

bergulir di depan matanya ini miliknya juga.

Mama seperti menangkap jeritan hati Fay?setidaknya se?

bagian?karena setelah melihat Fay tidak menanggapi ucapan itu,

Mama langsung bertanya, "Kenapa sih, Fay, kamu kok lemas se?

kali? Harusnya kamu bangga, karena kesempatan seperti ini tidak

datang dua kali lho. Mama dan Papa bangga sekali sama

kamu."

Fay pun hanya menjawab sekenanya, "Senang kok, Ma, cuma

masih ngantuk aja."

Akhirnya setelah kehebohan di kiri-kanan, termasuk saling me?

nyalahkan tentang kunci koper, paspor, dan tiket, orangtua Fay

berangkat juga. Perjalanan mereka ke Peru akan memakan waktu

lebih dari 24 jam dengan transit di sana-sini.

Setelah pintu pagar ditutup dan deru mobil yang ditumpangi

orangtuanya berlalu, yang tersisa hanya rasa hening yang begitu

mencekam dan membuat perasaan Fay tertekan. Seolah di dalam

hening itu sang kegelapan berteriak mengingatkan bahwa ia akan

segera memasuki masa-masa kelam, yang dipenuhi ketakutan yang

hanyalah miliknya seorang. Perasaan tertekan itu semakin nyata

dengan berlalunya setiap jam. Apalagi setelah Fay menelepon para

sahabatnya dan menyampaikan berita kepergiannya ke Paris itu.

Yang Fay telepon pertama kali adalah Cici, tapi sayangnya Cici

tidak mengangkat telepon genggam. Telepon kamarnya pun tidak

diangkat. Akhirnya setelah menarik napas panjang, Fay mem?

beranikan diri menelepon Lisa, yang langsung menanggapi dengan

heboh, dibuka dengan jeritan panjang dan disambung dengan

cerocosan yang tidak berkesudahan.

"Aaaaaaaaarrrrrrrrgggghhhhhhhhh... Fay, lo bener-bener gila ya!

Kemarin lo bilang kalau lo nggak ke mana-mana liburan ini, eh,

tau-tau lo mau ke Paris lagi. Kapan, Fay?"

"Nanti malam..."

"Aaaaaaaaaaarrrrrggggghhhhhh... Emang kebangetan lo ya, ke

Paris lo anggap kayak ke pasar inpres! Pokoknya awas ya kalau lo

bilang ke gue lo nggak sempat pergi-pergi lagi. Jangan kasih

alasan kalau lo nggak sempat, gue tahu yang namanya kunjungan

model begitu pasti di agendanya terselip kunjungan wisata. Dan

kali ini lo harus foto yang banyak. Gue nggak mau tau!"

Saat itu Fay setengah menyesal tidak menelepon Dea saja. Tapi

ia ingat ceramah Dea yang mungkin akan lebih panjang lagi ten?

tang perlunya belajar sebelum tes masuk perguruan tinggi. Akhir?

nya, kata demi kata omelan Lisa ia terima dengan sebersit haru

dan sedih yang kali ini begitu menenangkan, membuatnya merasa

masih berpijak di bumi yang normal.

Begitu sesi bersama Lisa usai, Fay langsung membalas e-mail

Reno, mengabari bahwa ia akan pergi ke Paris untuk kursus ba?

hasa. Walaupun ia tahu sangat tipis kemungkinan bertemu Reno,

harapan untuk bertemu dengan cowok itu adalah satu-satunya

pelarian ke dunia normal dalam kunjungan ke Paris kali ini.

Fay kembali menghela napas entah untuk keberapa kalinya hari

ini. Sebelum ia mendengar kembali suara Andrew yang menyapa?

nya kemarin, bayangan seluruh kejadian di Paris sudah sedemi?

kian mengabur, hanya bagaikan potongan cerita yang pernah ia

baca tapi dijalankan oleh raga yang berbeda. Kini, ia bagaikan

ditarik masuk ke mimpi buruk baru, yang menghantuinya dengan

kecemasan yang tak bisa dijelaskan.

Benak Fay perlahan-lahan menampilkan siluet yang matimatian berusaha ia lupakan; seorang pemuda berambut pirang

bermata biru yang pernah membuatnya melayang dalam bahagia,

tapi juga telah mengempaskan semua rasa bahagia itu ketika

pemuda itu menghilang begitu saja tanpa mengucapkan kata ber?

pisah, tanpa memberi sedikit pun kabar.

Fay mendesah galau, sambil mencoba menghalau bayangan

yang mencoba lewat. Matanya kini lekat memandang semburat

jingga di hamparan cakrawala, yang entah kenapa dalam pan?

dangannya kini tidak memperindah, melainkan menodai langit.

Pertemuan

EPAT pukul delapan pagi hari Minggu, pesawat Air France

dari Singapura mendarat dengan mulus di Bandara Charles de

Gaulle, Paris.

D?j? vu, pikir Fay masam sambil mempercepat langkah.

Setengah jam kemudian, Fay sudah berada di depan meja infor?

masi, tidak jauh dari pintu keluar. Dada Fay berdegup sedikit

ketika mengenali seorang pria yang sudah pasti adalah penjemput?

nya. Lucas, pria yang sama dengan yang mengantar-jemputnya ke

rumah latihan selama ia berada di kota ini tahun lalu.

Setelah menyapa singkat, Lucas meminta Fay menunggu di

luar, sementara dia pergi untuk mengambil mobil. Tak lama ke?

mudian, mobil datang?sebuah limusin hitam.

Fay mengeluh dalam hati. Sampai kapan pun ia takkan bisa

merasa nyaman dijemput dengan kendaraan mewah yang pernah

menculiknya. Dijemput pakai ojek sepeda aja masih mending! Sam?

bil mengomel-omel dalam hati Fay pun masuk ke limusin.

Dari papan petunjuk yang terbaca sepanjang jalan, Fay tahu

Lucas membawanya ke pusat kota Paris. Semakin lama, jalan

yang dilalui semakin ramai dengan gedung-gedung yang semakin

rapat, disertai kerumunan orang dengan kesibukan ala kota

Paris.

Di taman-taman terlihat orang-orang menggerombol, menik?

mati aksi para seniman jalanan yang tak berkesudahan, baik pan?

tomim, konser kecil dengan instrumen lengkap, atau sekadar go?

resan kuas para pelukis di pinggir jalan.

Para wanita dan pria berpotongan seperti model berseliweran

bagaikan etalase berjalan yang menampilkan rancangan desainer

papan atas, tampak mencolok bila dibandingkan dengan para

turis yang menggerombol di berbagai penjuru dengan baju santai

yang sama sekali tidak seperti Parisiens, julukan untuk penduduk

kota Paris.

Sejenak Fay terbius dengan suasana yang begitu sempurna un?

tuk dinikmati dan melupakan kecemasannya. Tapi, beberapa saat

kemudian mobil berbelok memasuki area dengan jalan yang lebih

sempit dan lengang, lalu berhenti tepat di depan sebuah ba?

ngunan tinggi yang menyatu dengan bangunan-bangunan lain di

sekitarnya.

Fay masuk ke gedung melalui sebuah pintu kaca putar di?

dampingi Lucas. Ia tiba di area penerimaan tamu bernuansa me?

rah yang tidak terlalu luas namun mewah. Dua lampu kristal

yang bercabang-cabang menggantung di langit-langit yang tinggi,

seperti pucuk pohon rindang yang tumbuh terbalik dengan dasar

langit-langit.

Lucas menuju pintu lift di sebelah kiri, lalu menekan satu tom?

bol di sisi pintu dan berbicara dengan bahasa Prancis lewat mikro?

fon yang tertempel di dinding.

Fay melongo. Bagaimana mungkin! Hanya beberapa patah kata

yang bisa ditangkap telinganya. Keterlaluan, dasar otak batu! Ia

sudah lupa semua bahasa Prancis-nya!

Pintu lift yang terbuka menyelamatkan Fay dari omelan pada

dirinya sendiri. Begitu melangkah masuk, perhatian Fay langsung

tersita interior lift yang hampir semuanya dilapisi kayu dengan

ukir-ukiran dan ornamen klasik. Aroma kayu yang tidak familier

menyergap hidungnya; harum dan tebal seperti orang tua yang

bijak. Tidak ada satu pun tombol bertuliskan angka nomor lantai

di panel lift, hanya ada satu tombol darurat dan satu tombol un?

tuk berbicara di mikrofon.

Pintu lift tertutup otomatis dan lift bergerak naik perlahan.

Ketika akhirnya pintu terbuka, Fay langsung berdecak kagum.

Pemandangan pertama yang terlihat adalah sebuah ornamen

oriental berbentuk cakram besi yang menempel di permukaan

dinding lima meter di depan lift. Begitu melangkah ke luar lift

dan melewati ruang berdinding cakram, Fay ternganga dengan

lebih norak ketika tiba di area terbuka dengan tangga di sisi

kanannya. Fay menengadah dan melihat bukaan yang sangat la?

pang dengan atap kaca yang meneruskan sinar mentari pagi yang

hangat. Terlihat bahwa kediaman ini terdiri atas tiga lantai. Baru?

lah Fay sadar ia berada di area foyer atau ruang penerima tamu

sebuah kediaman mewah berupa apartemen atau suite. Berarti lift

tadi merupakan lift pribadi! pikirnya takjub.

"Selamat pagi. Saya Mrs. Nord, pelayan di rumah ini."

Fay menoleh dan melihat seorang wanita berumur yang ber?

tubuh agak bulat berjalan ke arahnya. Wanita ini mengenakan

baju lengan panjang putih bermotif bunga-bunga kecil dengan

panjang selutut, yang sebagian tertutup celemek putih. Rambut?
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya yang berwarna putih disanggul dan sebentuk kacamata ber?

bingkai bundar bertengger di hidung.

Mrs. Nord mengangguk ramah lalu kembali berkata dengan

bahasa Inggris beraksen kental yang sama sekali tidak terdengar

familier, seperti diucapkan berundak-undak di akhir setiap kata,

"Kamarmu ada di lantai dua. Mari, saya akan mengantarmu ke

atas."

Fay mengikuti Mrs. Nord, diikuti Lucas yang menjinjing koper

dengan satu tangan. Diakses dari pintu pertama yang ditemui di

lantai dua, ruangan ini berukuran lebih besar daripada kamar Fay

di Jakarta, dengan nuansa retro yang chic dan didominasi warna

ungu.

Lucas meletakkan koper di samping lemari baju dan meninggal?

kan ruangan.

Mrs. Nord berkata sambil membuka pintu lemari baju, "Saya

sudah menyusun baju-bajumu di lemari dan saya rasa sudah tidak

ada tempat lagi untuk baju-baju yang ada di koper ini."

Setengah melongo Fay melihat baju yang tertumpuk dan tergan?

tung rapi di lemari. Butuh beberapa saat hingga ia mengenali bahwa

itu adalah baju-baju yang ia gunakan saat menjadi Seena. Waduh,

masih muat nggak ya? pikirnya cemas, mengingat berat badannya

sekarang, yang kalau diibaratkan sedang mendaki gunung, mungkin

sudah menancapkan bendera kebangsaan di puncak.

Mrs. Nord kembali berkata, "Mari saya antar ke ruang tengah.

Saya akan memberitahu Mr. Andrew kamu sudah datang."

Sambil mengeluh dalam hati, Fay mengikuti Mrs. Nord. Benda

seperti gasing berputar di perutnya, yang tadi sepertinya sudah

kehabisan semangat hidup kini mendapat tenaga baru dan kem?

bali berputar kencang.

Diakses dari foyer, ruang tengah berukuran cukup luas, ber?

desain klasik dengan perabotan yang didominasi warna ungu tua

dan abu-abu, terkesan anggun dan sangat menyejukkan. Terdapat

seperangkat sofa yang dialasi karpet bermotif warna ungu ke?

merahan menghadap lemari besar dengan panel kayu yang ber?

fungsi sebagai latar sebuah layar LCD raksasa. Di salah satu din?

ding terdapat rak besar berisi jajaran buku.

Fay menyapu pandangannya ke sekeliling ruangan dan matanya

menangkap lilin-lilin yang ditata di hampir semua meja dan

lemari dengan berbagai wadah berwarna perak, membuat desain

ruangan yang dimasukinya ini begitu berkelas.

"Hello, young lady, very pleased to see you again. How are you?"

Fay terlompat dan berbalik saat mendengar suara yang begitu

ia kenal. Lututnya langsung terasa sangat lemas saat menyaksikan

Andrew berjalan ke arahnya, masih dengan ketampanan yang tan?

pa cela dengan rambut pirang yang berkilau dan mata biru terang

yang memancarkan sorot tajam. Penampilan pria berusia di per?

tengahan empat puluhan itu santai namun sangat rapi, dengan

rompi berbahan rajut berwarna krem di atas baju berwarna biru

tua dan celana katun yang berwarna senada dengan rompinya.

Andrew tersenyum hangat dan Fay merasa tempurung lututnya

seakan lenyap.

Sambil menguatkan hati menatap Andrew dan berusaha me?

nyunggingkan senyum sopan, Fay menjawab singkat, "Baik."

Dengan dada mulai berdebar ia melihat Andrew berjalan mende?

kat lalu... memeluknya! Fay terpaku dan hanya diam membatu

sambil berusaha mencerna apakah perlakuan hangat Andrew ini

hanya halusinasi.

"Silakan duduk," ucap Andrew sambil menunjuk ke salah satu

sofa besar di tengah ruangan.

Perlahan-lahan Fay duduk di sofa sambil memperhatikan

Andrew yang duduk tepat di hadapannya, masih dengan wajah

yang memancarkan kewibawaan yang menenangkan. Ia berusaha

memperhatikan lebih saksama dan merasa agak aneh ketika tidak

bisa menemukan kesan dingin yang membekukan di balik mata

biru Andrew. Yang ada sekarang hanya keramahan yang malah

bisa dibilang begitu hangat. Entah kenapa ini malah membuatnya

makin gelisah. Gue mulai buta, kali, pikir Fay cemas sambil

menggeser posisi kaki dan menegakkan badan.

Andrew menuang teh ke dalam dua dari tiga cangkir yang su?

dah disiapkan di meja dan segera aroma mint merebak, terbawa

kepulan asap yang keluar dari permukaan cangkir.

"Bukan rasa favorit saya untuk dinikmati di pagi hari, tapi

masih bisa diterima di akhir musim semi seperti sekarang."

Andrew menatapnya. "Gula?"

Fay terserang kepanikan saat matanya beradu dengan mata biru

tajam milik Andrew dan ia buru-buru mengangguk. Ia kembali

mengubah posisi kakinya.

Andrew mengambil gula balok yang tersedia dengan sebuah

penjepit logam berdesain unik dengan lubang-lubang di sepanjang

sisinya, menambahkan masing-masing satu balok ke setiap cangkir.

Kemudian Andrew menyodorkan cangkir teh kepada Fay yang

dengan agak gugup langsung menerimanya. Andrew lalu mengam?

bil cangkirnya sendiri dan menghirup isinya, lantas bersandar dan

bertanya dengan santai, "Bagaimana perjalanan kamu ke sini, apa?

kah semua lancar? Tidak ada masalah dengan imigrasi?"

"Semua lancar... tidak ada masalah," jawab Fay.

Andrew menatap Fay sambil tersenyum kemudian berkata,

"Kamu sudah terlihat lebih dewasa sekarang. Mengherankan me?

mang, bagaimana waktu satu tahun punya arti yang tidak sama

untuk umur manusia yang berbeda-beda. Di usia anak-anak hing?

ga belasan tahun seperti kamu, waktu satu tahun membawa

perubahan yang cukup berarti. Tapi ketika seseorang menginjak

usia tiga puluhan, segalanya terkesan stagnan. Waktu satu tahun

kembali terasa berharga dan memberi dampak ketika seseorang

menginjak usia lima puluhan, tapi tentu saja dengan grafik ke?

hidupan yang sudah berlawanan arah, menuju degradasi."

Fay hanya mengangguk-angguk, berusaha tersenyum sopan.

Karena tidak tahu bagaimana menanggapi ucapan Andrew, ia me?

milih untuk menghirup tehnya. Sensasi mint yang dingin mem?

beri rasa menyegarkan dan menenangkannya sejenak.

Andrew bertanya, "Bagaimana ujianmu?"

"..." Fay hampir saja tersedak! Perlahan ia menyandarkan cang?

kir teh di pangkuan sambil tetap memegangnya erat.

"Oke," jawab Fay dengan suara tertahan.

"Bagaimana kabar orangtuamu? Mereka seharusnya sudah per?

gi, kan? Ibumu sangat antusias ketika berbicara dengan saya ten?

tang rencana perjalanan bisnis dan liburan mereka. Saya telah

meyakinkan mereka bahwa mereka tidak perlu mengkhawatirkan

kamu selama kepergian mereka. You?re in good hands," ucap

Andrew lagi dengan santai kemudian menghirup tehnya.

Fay mengangguk sambil menatap Andrew dengan takjub. Ka?

lau saja tahu apa yang telah terjadi, Mama pasti sudah menjeritjerit histeris!

Andrew kembali bertanya, "Apa kamu sudah menentukan pi?

lihan untuk kuliah di jurusan apa?"

Fay mengangguk. Napasnya tertahan sedikit.

Andew menatap Fay sambil mengangkat alis.

"Eh... mm... saya berencana untuk mengambil jurusan teknik

industri," ucap Fay buru-buru.

"Kenapa kamu tertarik dengan fakultas teknik? Saya tahu nilai?

mu selalu tinggi untuk pelajaran eksakta, terutama matematika?

hanya nilai kimia yang agak rendah walaupun tidak separah nilai

biologi. Tapi kalau hanya itu, seharusnya bukan jadi alasan untuk

pilihanmu."

Fay menahan napas ketika cangkirnya bergoyang di pangkuan?

nya. Bagaimana Andrew tahu!

Andrew melanjutkan, "Hanya karena kamu memiliki nilai baik

di bidang tertentu di sekolah bukan berarti bidang itu tepat di?

jadikan sebagai pilihan hidup. Sekolah hanya mengajarkan segelin?

tir dari sekian banyak pilihan yang ditawarkan kehidupan. Tetap?

kan dulu pilihan hidupmu, baru cari jalan untuk mencapainya.

Destination should NOT be determined based on the map you have.

Destination should be determined first, only then you can find the

right map."

Muka Fay langsung panas! Untung kulit gue sawo agak ma?

tang, pikirnya menghibur diri. Fay melihat Andrew menghirup

tehnya, kemudian mendadak Andrew menatapnya dengan lekat.

Fay mencoba membalas tatapan Andrew, tapi sepasang mata biru

itu menusuk terlalu dalam hingga akhirnya Fay mengalihkan pan?

dangan ke cangkir tehnya.

"Apakah kamu sudah siap mengikuti ujian masuk perguruan

tinggi bulan depan?"

"Eh... mm... saya rasa saya siap...," jawab Fay dengan muka

yang terasa agak panas dengan ucapannya yang tidak meyakinkan

itu. Malu-maluin!

"Believe it, then do it. Otherwise, leave it. Saya berharap per?

siapan kamu sudah tuntas, karena dengan kedatangan kamu di

sini, praktis kamu tidak punya waktu untuk memikirkan masalah

itu lagi."

Andrew meletakkan cangkirnya di meja dan melanjutkan,

"Saya rasa kamu sudah bisa menebak bahwa kamu diminta da?

tang karena ada satu hal yang ingin saya minta kamu lakukan."

Fay menyimak dengan ketegangan yang begitu terasa di sekujur

tubuhnya. Suara Andrew tetap terdengar santai, tapi kesan dingin

yang begitu ia kenal mulai terasa.

"Saya ingin kamu mengambil satu barang milik seseorang.

Detail akan diberikan nanti, pada saatnya. Tugas kamu akan di?

lakukan beberapa hari lagi dan sama seperti sebelumnya, kamu

akan diberi latihan yang diperlukan. Sebenarnya tidak dibutuhkan

keterampilan khusus untuk melakukan tugas ini, lagi pula kamu

akan mendapat bantuan pada saat melakukannya, jadi kamu tidak

perlu khawatir." Andrew menuang kembali teh ke cangkirnya

yang hampir kosong di meja, kemudian mengambil dan meng?

hirup isi cangkirnya.

Fay hanya bisa terdiam dan duduk membisu, mencoba mem?

bayangkan nasib seperti apa lagi yang sudah digariskan baginya.

Apa pun antisipasinya sebelum bertemu dengan Andrew, tidak

ada yang bisa mempersiapkannya untuk menerima berita ini?dua

hari yang lalu ia masih seorang anak normal yang baru selesai

ujian, tapi dalam waktu dekat ia akan menjadi kriminal! Pikiran

Fay tanpa bisa dicegah melayang membayangkan apa yang sedang

dilakukan teman-teman dan kedua orangtuanya saat ini. Apa

reaksi mereka kalau mendengar kabar ia dipenjara karena tertang?

kap mencuri di negeri orang? Sementara pria yang duduk di

depannya ini enak saja memberitahunya untuk "tidak perlu kha?

watir"!

"Satu hal lagi yang perlu kamu ingat, kamu tidak diizinkan

berhubungan dengan siapa pun menggunakan cara apa pun dan

semua bentuk komunikasi akan dimonitor. Kamu sudah pernah

menjalani hal yang sama, jadi saya yakin kamu tahu ini perintah

dan sudah tidak perlu diingatkan lagi apa yang akan terjadi bila

larangan ini dilanggar," tandas Andrew dengan tatapan tajam yang
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu menusuk.

Fay mengalihkan pandangan ke cangkir tehnya ketika kepingan

kenangan buruk waktu Andrew menghukumnya datang tanpa

diundang. Bayangan para sahabat dan orangtuanya langsung me?

mudar dari benaknya. Bayangan pertemuannya dengan Reno se?

bagai satu-satunya hal normal yang tadinya masih begitu ia harap?

kan, ikut pupus dengan ucapan itu. Dadanya terasa sesak dengan

rasa takut akan sebuah kesendirian saat menapaki perjalanan yang

belum berujung ini. Siapa lagi yang bisa ia harapkan?

Kent?

Huh, apa yang bisa diharapkan dari cowok yang mendadak

hilang ditelan bumi...?

"Ada pertanyaan?"

Suara Andrew langsung memutus semua pikiran yang ber?

seliweran di benak Fay.

"Kenapa... mm... harus saya? Apakah tidak ada orang lain yang

bisa melakukannya?" tanya Fay dengan suara yang terdengar agak

serak di telinganya sendiri. Ia berdeham pelan sambil menguatkan

hati menatap Andrew.

Andrew tersenyum. "Pertanyaan yang menarik. Tidak seperti

tugas sebelumnya, saat memang peran kamu sangat spesifik, tugas

kali ini sebenarnya bisa dilakukan orang lain. Alasan saya memilih

kamu hanya satu, yaitu karena saya memang ingin kamu yang

melakukannya.... Tentunya kamu tidak beranggapan saya melupa?

kan kamu begitu saja setelah apa yang kamu lakukan tahun

lalu."

Fay mengambil cangkirnya dan menghirup isinya perlahan,

mencoba menutupi rasa dingin di sekujur badannya setelah men?

dengar jawaban itu.

Andrew kembali berkata, "Ada banyak urusan penting yang

harus saya selesaikan minggu ini, jadi selama beberapa hari ke

depan kamu akan berlatih tidak di bawah pengawasan saya, me?

lainkan di bawah pengawasan rekan saya, Philippe Klaan. Otoritas

yang dimiliki Philippe sama dengan saya. Sikapnya agak ke?ras,

jadi kamu perlu ekstra hati-hati dalam menyikapi semua perintah?

nya. Lakukan saja semua yang diperintahkan tanpa pertanyaan

dan tanpa kecuali."

Fay mendongakkan kepala, sekadar meyakinkan diri sendiri ia

tidak salah dengar. Apa maksud kalimat "sikapnya agak keras"?

Sikap Andrew sendiri sepanjang ingatan Fay sangat jauh dari kate?

gori lemah lembut. Kalau Andrew saja berpandangan demikian

terhadap pria yang dipanggil Philippe itu, Fay sama sekali tidak

bisa membayangkan seperti apa pengawasnya itu!

Andrew menambahkan, "Kamu akan bermalam di sini dan

akan berangkat ke tempat Philippe seusai sarapan setiap paginya.

Siapkan baju secukupnya untuk dibawa ke tempat Philippe, un?

tuk berjaga-jaga kalau-kalau kamu harus bermalam di sana."

Tepat setelah itu terdengar suara langkah kaki dari arah jalan

masuk ke ruangan. Seorang pria berambut abu-abu serta berkumis

tipis masuk dan berjalan mendekati sofa. Pria itu berumur kira-kira

sama dengan Andrew, mengenakan kaus turtle neck lengan panjang

berwarna hitam dan celana hitam yang tidak hanya tampak serasi

dengan rambut abu-abu dan mata hitamnya yang memancarkan

pesona yang berbeda, tapi juga tampak begitu menyatu dengan

karisma yang terpancar dari ruangan ini. Andrew berdiri untuk

menyambutnya dan ketika pria itu berhenti di sebelah Andrew,

baru terlihat posturnya lebih tinggi sedikit daripada Andrew.

Fay juga buru-buru berdiri.

Andrew menyapa pria itu, "Saya tadi sudah mulai khawatir

kamu tidak bisa siap tepat pada waktunya."

Pria itu tersenyum tipis kepada Andrew kemudian mengarah?

kan pandangan kepada Fay. Senyum tipis itu langsung hilang dan

alis pria itu terangkat sedikit.

Gawat, apa yang salah?

Jantung Fay langsung berdegup kencang. Ada kesan meng?

hakimi yang sama sekali tidak berpihak pada dirinya dalam sorot

mata pria di depannya ini. Fay buru-buru mengalihkan pan?

dangannya kepada Andrew.

Andrew berkata, "Philippe, ini Fay."

Pria itu mengulurkan tangan dan Fay memaksakan diri untuk

kembali menatap kedua matanya, menahan rasa terpelintir di pe?

rutnya ketika tatapan pria itu bagai menembus ke dalam kepala?

nya.

"Philippe Klaan," ucap pria itu lalu bertanya kepada Andrew,

"Apa saja yang sudah diberitahukan kepada Fay?"

"Hanya yang mendasar, memastikan dia kali ini mengikuti

protokol komunikasi yang sudah ditetapkan."

"Apakah protokol itu pernah dilanggar?" Kening Philippe ber?

kerut dan nada heran jelas terdengar dalam suaranya yang bening

dan berat.

Andrew mengangguk.

"Bila saya yang berada di sana saat dia melanggar aturan itu,

saya bisa memastikan dia tidak akan mampu berdiri dengan te?

nang di ruangan ini seperti sekarang!" ucap Philippe tajam.

Aduh, mati gue! Fay mengalihkan pandangannya ke meja.

"Saya yakin Fay sudah mengerti bahwa ada konsekuensi yang

tidak ringan untuk setiap perintah yang dilanggar," ujar Andrew

menanggapi ucapan Philippe dengan tenang.

Lewat sudut mata, Fay bisa merasakan Philippe mengarahkan

pandangan kepadanya, menatapnya dari ujung kepala hingga

ujung kaki. Lagi-lagi Fay menangkap ketidaksukaan terpancar dari

Philippe, dan jantungnya berdegup lebih kencang?ia sama sekali

tidak berani mengalihkan pandangan dari meja.

Philippe mengeluarkan telepon genggam dan memberi instruksi

dalam bahasa Prancis yang bisa ditangkap oleh Fay sebagian, me?

merintahkan siapa pun orang yang diteleponnya itu untuk da?

tang.

Berikutnya terdengar suara Philippe bertanya kepada Andrew,

"Kamu yakin dia bisa melakukan tugas ini?"

Kesan merendahkan terdengar begitu jelas dalam nada suara

Philippe, dan Fay merasa setengah harga dirinya bangkit dengan

kalimat yang terdengar lebih seperti hinaan daripada sekadar per?

tanyaan. Di saat yang bersamaan, ia tahu setengah harga diri yang

sama juga langsung menciut.

"Kamu punya kewenangan untuk memastikan Fay bisa melaku?

kan apa yang diharapkan," jawab Andrew tajam.

Philippe menggeleng tak sabar dan berkomentar, "Kewenangan

itu merupakan imbas dari penilaian yang kamu buat."

"Penilaian saya tidak pernah salah!"

Philippe melirik Fay dan berkata datar, "Mungkin tidak ber?

laku kali ini."

Fay merasa dadanya terhantam mendengar kalimat yang diucap?

kan Philippe itu. Sembarangan aja ngomong... penghinaan!

Terdengar suara langkah mendekat dan Lucas muncul. Philippe

berbicara dalam bahasa Prancis yang terdengar seperti rentetan

lagu terkulum, sama sekali tidak bisa dipilah-pilah telinga. Fay

membayangkan kalau di atas kertas, pastinya kalimat itu mem?

punyai banyak huruf bertopi kutip satu, dengan huruf vokal yang

tidak diucapkan di setiap akhir kata dan langsung disambung de?

ngan kata berikutnya?sesuatu yang sampai detik ini masih dirasa?

nya tidak masuk akal bila diucapkan.

Tiga pasang mata menatapnya.

Fay tersentak dari lamunannya ketika tersadar semua yang ada

di ruangan itu melihat ke arahnya seperti menunggunya melaku?

kan sesuatu. "...A... ada apa?" Sebuah pertanyaan harakiri.

Philippe mengerutkan kening ketika berkata, "Kamu dengar

apa yang saya katakan ke Lucas. Lakukan sekarang!"

Rasa dingin mulai terasa merayapi tulang. Fay berkata dengan

suara pelan, "Saya tidak mengerti apa yang dikatakan tadi."

Philippe sontak menoleh ke arah Andrew, "Kamu bilang gadis

ini sudah bisa berbahasa Prancis!"

Fay melihat wajah Andrew mengeras dan ia langsung mencoba

membela diri, "Tapi saya sama sekali tidak pernah berbahasa

Prancis lagi selama satu tahun ini. Saya... sudah lupa."

Andrew berbicara datar dalam bahasa Inggris, "Philippe ingin

kamu mengikuti Lucas turun ke lantai dasar, kemudian naik kem?

bali ke lantai ini menggunakan tangga. Lakukan sekarang juga."

Fay tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk segera meng?

hilang dari pandangan Philippe dan Andrew. Terburu-buru ia pun

segera berlalu ke arah Lucas yang sudah menunggu di lorong

menuju foyer.

Begitu berada dalam lift dan pintu tertutup, yang pertama Fay

lakukan adalah mengembuskan napas lega, menikmati detik demi

detik lift ini menjauhi lantai tempat dua pria setengah gila itu.

Pikirannya bermain seputar apa yang ia rasakan tentang Philippe.

Kenapa Philippe tidak menyukainya? Kenapa ia merasakan ada

kemarahan dalam setiap sapuan pandangan Philippe, padahal me?

reka baru bertemu? Apakah ini perasaannya saja?

Pintu lift terbuka dan Lucas mengajak Fay ke arah belakang

meja resepsionis, membuka satu pintu besi yang posisinya agak

tersembunyi di ujung lorong, tepat di sebelah pintu keluar me?

nuju taman kecil di belakang.

Tangga darurat.

Fay menengadah dan sepanjang mata memandang, hanya ada

pegangan tangga yang tampak seperti tak berujung. Ia baru ingat

bahwa ia tidak tahu posisi kediaman tadi, terlebih di lift yang

dinaikinya tidak tercantum nomor lantai. "Lucas, lantai berapa

kediaman tadi?"

"Enam belas," jawab Lucas tanpa menghentikan langkah cepat?

nya yang sudah setengah perjalanan ke lantai dua.

Yapun! Fay mengerang tanpa malu-malu. Di sekolah saja ia

tidak pernah absen untuk mengeluarkan omelan sambil mengeluh

kalau harus naik ke laboratorium yang ada di lantai empat. Dan

sekarang ia disuruh menaiki tangga hingga lantai enam belas!

Mendengar angka itu disebutkan saja, ia bisa merasa lututnya

bergetar bahkan sebelum melangkahkan kaki ke anak tangga per?

tama.

Fay berdecak dan berkacak pinggang, kembali menengadah

untuk melihat putaran tangga. Akhirnya, setelah beberapa detik

berkeluh kesah pada diri sendiri, ia melangkahkan kaki dan me?

mulai perjalanan yang masih sangat panjang itu.

Dua puluh menit berlalu dan gadis itu belum muncul juga.

Philippe melirik arlojinya lalu menghirup teh; wajahnya menger?

nyit ketika indra perasanya tersapu cairan beraroma mint yang

sudah tidak hangat. Cangkirnya langsung ia letakkan dan ia bang?

kit menuju telepon untuk menghubungi Mrs. Nord di dapur dan

meminta teh serta cangkir baru.

Kembali duduk di sofa, Philippe melirik Andrew yang sedang

sibuk mengetik sesuatu di telepon genggam. Rekannya ini, yang

juga sepupunya, masuk jajaran salah satu orang terkaya di Eropa

dengan statusnya sebagai pemilik Llamar Corp. dan waktunya
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah pasti tidak pernah terbuang sia-sia. Terlebih Andrew juga

merupakan pimpinan tertinggi di Core Operation Unit atau

COU, sebuah unit rahasia dengan kemampuan yang setara de?

ngan badan intelijen negara maju. Membawahi lebih dari tiga

ribu orang yang tersebar di hampir seluruh belahan bumi, COU

dibentuk di bawah bendera salah satu anak perusahaan Llamar

Corp. untuk memuluskan visi korporasi itu sebagai penguasa per?

ekonomian dunia.

Baru saja dua jam lalu ia dihubungi oleh Andrew lewat tele?

pon, saat sedang menyempurnakan gerakan neuvieme dan riposte

dalam permainan anggarnya. Secara singkat Andrew memintanya

melatih seorang gadis remaja tanggung yang tidak berpengalaman

untuk melakukan sebuah operasi yang akan segera digulirkan.

Sebagai pemegang jabatan Kepala Direktorat Unit Kontrol

(Control Unit?CU) di COU, ia memang bertanggung jawab atas

semua masalah internal di COU, termasuk pelatihan dan pe?

rekrutan.

Tanpa bertanya lebih lanjut, tadi pagi Philippe langsung me?

nyimpan sabre-nya?-jenis pedang dalam permainan anggar?lalu

bergegas menuju ruang kerja untuk membaca sekilas profil gadis

bernama Fay itu.

Segera informasi yang dibacanya di baris pertama membuat

keningnya berkerut Fay berada dalam observasi Andrew.

Observasi adalah satu bentuk rekrutmen yang tidak biasa di

COU, dengan pilihan akhir yang juga tidak biasa, yaitu pena?

waran atau kematian. Mereka yang selama menjadi target obser?

vasi berhasil memenuhi kriteria profil yang telah ditetapkan akan

mendapat tawaran untuk menjadi agen COU?yang sebenarnya

lebih tepat disebut "pemberitahuan" daripada "penawaran" karena

tidak tersedia ruang untuk memilih. Sedangkan bagi mereka yang

dinilai tidak memenuhi kriteria, satu-satunya akhir yang tersedia

adalah kematian.

Hanya segelintir orang yang bergabung dengan COU meng?

gunakan cara ini. Dengan pilihan sebuah akhir yang begitu ter?

batas, otoritas untuk menetapkan seseorang berada dalam obser?

vasi hanya dimiliki oleh Andrew selaku pimpinan tertinggi di

COU. Rekan-rekan Andrew yang lain, termasuk Philippe, yang

juga memegang posisi kunci di COU, hanya bisa memberikan

usul, semua keputusan ada di tangan Andrew?termasuk hasil

akhir dari observasi itu sendiri.

Setelah membaca profil Fay lebih lanjut, Philippe kembali

menggelengkan kepala. Fakta bahwa Fay sempat berada di bawah

observasi saja sudah mengejutkannya, apalagi dengan fakta bahwa

Fay berhasil lolos; berarti Andrew sudah memutuskan Fay akan

direkrut menjadi agen COU. Itu juga artinya gadis yang jelasjelas tidak kompeten ini akan berada di bawah tanggung jawab

direktorat yang ia pimpin!

"Teh Anda sudah siap, Sir." Mrs. Nord masuk sambil mem?

bawakan teko dan cangkir-cangkir baru. Dengan cekatan Mrs.

Nord menuang teh yang masih hangat dari teko dan dengan efek?

tivitas seorang pelayan yang sudah mengabdi puluhan tahun,

langsung mengangkat cangkir-cangkir yang berserakan di meja

dan berlalu tanpa mengganggu dengan pertanyaan-pertanyaan

yang tak perlu.

Philippe mengambil cangkirnya dan sesaat ditenangkan oleh

sensasi pahit yang disertai aroma mint. Setelah beberapa teguk,

pikirannya kembali mengevaluasi Fay.

Ia masih tidak mengerti apa yang menjadi landasan keputusan

Andrew untuk menempatkan gadis bernama Fay ini dalam obser?

vasi. Selain umurnya masih terlalu muda untuk direkrut sebagai

agen COU, secara fisik pun tidak ada yang bisa diunggulkan dari

Fay. Postur tubuh Fay terlalu kecil, sebagaimana bangsa Asia pada

umumnya. Tinggi dan beratnya pun tidak proporsional, tanpa

ada tanda-tanda menjaga stamina dengan latihan fisik secara

rutin. Dari profil yang dibacanya tentang Fay, tidak juga ada ke?

lebihan nonfisik lain yang terlalu menonjol di luar kemampuan

analisis yang tajam.

Philippe melirik Andrew yang sedang memasukkan telepon

genggam ke saku, kemudian berkata, "Sudah lebih dari dua puluh

menit dan gadis ini belum muncul juga. Kemampuan fisiknya

benar-benar jauh di bawah standar. Saya tidak tahu kualitas apa

yang kamu nilai dari gadis ini sehingga kamu menempatkannya

dalam observasi dan kamu loloskan."

"Saya punya pertimbangan sendiri ketika menempatkan Fay

dalam observasi. Keputusan untuk meloloskan Fay juga sudah

saya buat tahun lalu?Fay akan bergabung dengan COU setelah

lulus dari sekolah menengah, berarti tahun ini. Umurnya pun

segera akan menjadi delapan belas tahun. Tentunya kamu tahu

keputusan itu sudah final."

"Andrew, umur Fay masih terlalu muda. Saya tahu dalam pro?

tokol rekrutmen disebutkan bahwa usia minimal agen COU ada?

lah delapan belas tahun, tapi dalam praktiknya kita hanya me?

rekrut mereka yang berumur di atas dua puluh satu tahun, dan

bukannya tanpa alasan. Di umur dua puluh satu tahun, kita bisa

berharap seseorang sudah matang dan bisa menimbang risiko

serta menerima konsekuensi atas tindakan yang diambil."

"Umur bukanlah faktor penentu. Kita punya banyak agen

muda lainnya," ucap Andrew menanggapi dengan santai.

"Mereka bukan anggota COU biasa!" tandas Philippe dengan

kening berkerut. "Mereka keponakan kita, anggota keluarga

McGallaghan. Mereka kita rekrut sejak usia masih sangat muda

dengan cara yang berbeda dan kita didik dengan metode berbeda,

melalui program khusus di kantor dan di rumah yang memang

dirancang untuk itu. Kalaupun Fay nanti lolos program pen?

didikan dasar COU dan sama-sama berkantor dengan para ke?

ponakan kita, jelas Fay tidak bisa dibandingkan dengan me?

reka!"

Andrew tersenyum tipis. "Saya tahu. Saya hanya meminta

kamu membuka diri terhadap anomali umur yang terjadi. Semua

pengecualian terhadap praktik standar sudah dipikirkan secara

matang sebelum diputuskan. Dalam kasus ini, yang harus dilaku?

kan hanyalah membuat penyesuaian dalam program latihannya."

Philippe bersikeras, "Saya juga membuka diri terhadap pilihan

itu, hanya saja saya berharap dengan pengecualian yang kamu

buat ini, yang akan berdiri di hadapan saya adalah seseorang de?

ngan kualifikasi jauh di atas rata-rata!"

Fay masuk ruangan.

Philippe melirik jam tangannya. Dua puluh delapan menit. Na?

pas Fay yang terengah-engah terdengar begitu jelas oleh telinga

Philippe dan mungkin masih bisa ditangkap dengan jelas dari

jarak berpuluh meter!

Fay berjalan mendekati Philippe dengan tertatih-tatih sambil

meringis dan begitu berada tepat di hadapan pria itu, langsung

membungkuk memegangi lutut.

Segera Philippe meletakkan cangkirnya dan berdiri. Ketika me?

lihat Fay masih memegangi lututnya tanpa berusaha untuk tegak

dan menatapnya,arahnya segera bangkit.

Gadis ini tidak disiplin sama sekali!

"Hampir setengah jam hanya untuk naik ke lantai ini?"

Susah-payah Fay menegakkan tubuh, melawan rasa sakit di

otot pahanya yang semakin teregang ketika ia meluruskan pung?

gung. Satu-satunya kekuatan untuk melakukannya hanya di?

peroleh dari rasa gengsi yang tersulut sejak berkenalan dengan

Philippe tadi. Fay menggigit bibir untuk menahan mulutnya me?

ngeluarkan erangan yang ia yakin hanya akan membuat harga

dirinya semakin terinjak.

Philippe menyapu Fay dengan pandangan yang seakan mengu?

litinya kemudian berkata, "Latihan kamu akan dilakukan di ke?

diaman saya, dimulai jam dua siang. Jangan terlambat!"

Andrew mendekati Fay kemudian merangkul dan menepuk

pundak Fay sambil berkata, "Lucas akan mengantar kamu seka?

rang dan kamu bisa berhenti di salah satu kafe atau restoran yang

dilalui untuk makan siang. Jaga diri kamu baik-baik, young lady.

Jangan lupa membawa pakaian dan perlengkapan seperlunya un?

tuk ditinggalkan di rumah Philippe?hanya untuk berjaga-jaga.

Sampai jumpa nanti malam."

Fay hanya bisa mengangguk sebelum berbalik sambil mengem?

buskan napas lega. Tidak ada hukuman tambahan! Mungkin

Philippe tidak seburuk yang dikatakan Andrew, walaupun judes?

nya nggak nahan, pikirnya sambil berlalu.

"Fay...," terdengar suara Philippe memanggilnya lagi.

"Ya?" Fay sontak berbalik dan menahan napas.

"Berharaplah waktu beberapa hari ke depan cukup untuk mem?

perbaiki semua kekurangan kamu, karena jika tidak, saya akan

membuat kamu menyesal pernah bertemu dengan saya."

Philippe memperhatikan Fay meninggalkan ruangan. Begitu gadis

itu hilang dari pandangan, ia mendengus, "Satu hal yang pasti,

dia harus diajari tentang disiplin! Dia juga harus tahu dia sedang

berhadapan dengan siapa. Kamu pasti terlalu lunak tahun lalu

hingga gadis itu masih punya nyali untuk bersikap seperti yang

dia tunjukkan tadi."

"Kamu punya beberapa hari untuk memperbaiki sikapnya ka?

lau memang kamu anggap perlu. Lakukan saja apa yang memang

perlu dilakukan. She?s all yours," kata Andrew santai.

Philippe berdecak, "Dengan kemampuan seperti itu, bila dia

disandingkan dengan agen lain, dia hanya akan menjadi beban!"

"Tugasmulah membuatnya tidak menjadi beban bagi siapa pun,"

ucap Andrew sambil tersenyum tipis kemudian berjalan ke arah

jendela. Andrew menyingkap tirai jendela. Terlihat limusin yang

tampak begitu kecil berlalu meninggalkan lokasi, menyisip masuk

di antara mobil boks putih dan sebuah sedan biru metalik.

"Apa saja yang sudah dia ketahui tentang COU?"

"Saya belum memberitahunya," jawab Andrew singkat.

Philippe mengerutkan kening lalu langsung menanggapi.

"Kamu belum memberitahunya tentang COU, tapi malah mem?

berinya tugas terlebih dahulu? Ada banyak agen lain yang terlatih,

yang siap melakukan tugas apa saja!"

"Waktu yang tepat untuk membuka informasi tentang COU

kepada Fay akan saya tentukan nanti. Sebelumnya, saya terlebih

dulu ingin mendengar pendapat kamu selama melatihnya be?

berapa hari ke depan dan setelah mengevaluasi kinerjanya dalam

melaksanakan tugas."

Philippe menghirup tehnya, meletakkan cangkirnya di meja,

lalu beranjak pergi tanpa berkata-kata lagi.

Andrew berkata sambil lalu, "Saya tunggu laporan kamu setiap

malam."

"Jangan mengharapkan berita baik," ucap Philippe tanpa me?

noleh atau menghentikan langkahnya.

Andrew tersenyum tipis menyaksikan Philippe meninggalkan

ruangan membawa kemarahan yang begitu kentara. Sepupunya

yang satu ini memang terkenal sangat tidak sabaran dan tampak?

nya ia tadi sudah menyulut sumbu yang tepat untuk menjalankan
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rencananya.

Keputusan untuk meloloskan Fay dan membuatnya menjadi

bagian dari COU sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Andrew

sudah punya rencana untuk Fay, tapi waktu dan caranya harus

tepat kalau ia ingin hasilnya sesuai harapan. Sampai waktunya

tiba, ia harus tampak bagai malaikat, begitu suci, hingga Fay ti?

dak akan ragu untuk bahkan menitipkan nyawa ke tangannya.

Terusik

IMUSIN yang dibawa Lucas bergerak perlahan dan tak lama

kemudian sudah berada di tengah keramaian pusat kota, mencoba

menyelinap dengan kaku di antara seliweran mobil-mobil yang

memiliki beragam model, warna, dan ukuran. Suara klakson yang

frekuensinya bermacam-macam sesekali terdengar dan ikut me?

nemani perjalanan.

Fay membiarkan pikirannya menerawang tak menentu, berlom?

patan antara kejadian masa lalu dan skenario masa depan, ter?

utama dengan akan hadirnya seorang pria gila bernama Philippe

dalam hari-harinya ke depan!

Sayang bukan Andrew saja yang mengawasi latihan, desah Fay

sambil membetulkan kucir rambutnya. Hidup memang berputar

dengan aneh. Sebelum bertemu Andrew tadi pagi, ia menyesali

goresan nasibnya yang mengharuskan dirinya bertemu dengan

pria itu. Tapi kini ia malah menyesali goresan nasibnya yang

baru, yang sebenarnya merupakan harapannya di awal perjalanan

ini, yaitu berada sejauh mungkin dari Andrew.

Jadi, mau lo apa sih, Fay! omel Fay pada diri sendiri, lalu

mengembuskan napas dan mencoba berkonsentrasi pada jalan

yang dilalui.

Itu gedung Opera!

Fay langsung menegakkan tubuh dengan benak yang sepenuh?

nya menapak kembali ke masa kini melihat gedung Opera?ter?

lihatnya gedung itu adalah penanda ia akan segera memasuki area

tempat kursusnya dulu. Perasaan antusias menjalari Fay yang mu?

lai bersemangat memperhatikan gedung demi gedung dan jalan

yang dilewati, berusaha mencari bentuk-bentuk yang familier de?

ngan perasaannya.

Itu stasiun Opera!

Fay memajukan badannya ke arah jendela dan mengamati sta?

siun Metro yang menjadi tujuannya setiap pagi untuk mencapai

tempat kursus. Stasiun itu pun dilewati dengan cepat oleh Lucas

yang sama sekali tidak berniat memperlambat laju mobil.

Gedung L?ecole de Paris!

Sebersit rasa haru menghampiri Fay melihat bangunan ber?

desain gotik tempat ia menjalani hari-harinya ketika kursus. Lucas

mulai memperlambat laju mobil dan Fay punya waktu cukup

untuk menghayati perasaannya sambil mengamati jalan di depan

pintu sekolah yang di hari Minggu ini tertutup rapat.

Gedung itu pun dengan cepat berganti menjadi gedung lain,

disusul gedung lain, dan gedung lain, hingga beberapa blok kemu?

dian mobil menepi dan berhenti di sisi trotoar.

Lucas turun dari mobil kemudian membukakan pintu untuk

Fay. "Pukul satu siang harap tiba kembali di sini, dan harap hatihati. Copet ada di mana-mana," ucap Lucas.

Fay menatap Lucas sambil mengangkat alis. Seingatnya, pria

ini tidak pernah bersikap seolah ia bukan hanya barang yang per?

lu dibawa-bawa. Ia bahkan tidak ingat kalau Lucas pernah ber?

bicara dengannya.

"Merci," jawab Fay singkat.

Fay melangkah di trotoar dan mulai menapaki jalan. Perlahan

namun pasti, kakinya melangkah menuju satu tempat yang sama

sekali tidak ingin dihampiri pikirannya namun dikalahkan dengan

mudah oleh panggilan hatinya?sebuah kafe tempat ia pernah

makan siang bersama Kent. Ruang waktu seakan tidak nyata saat

ia melangkah, dan ketika waktu sudah kembali berwujud dalam

kekinian, ia mendapati dirinya sudah berada di depan tempat

itu.

Fay berhenti sejenak. Di kaca jendela terbaca "Caf? du

Temps"?nama ini bahkan tidak sempat ia perhatikan saat masuk

bersama Kent dulu. Fay mengatupkan kedua tangannya yang men?

dadak terasa dingin. Berada di depan sebuah tempat yang begitu

disesaki kenangan indah yang sekarang hanya menyisakan pedih

membuatnya sudah tidak tahu lagi apa yang ia harapkan. Bagai?

mana kalau Kent ada di dalam...? Apa yang harus ia lakukan dan

katakan kalau bertemu Kent? Tapi kalau Kent tidak ada, akankah

ada kesempatan untuk bertemu cowok itu lagi? Jadi, mana yang

ia pilih bertemu Kent sekarang atau tidak?

Fay menggeleng sebal. Whatever! Tangannya bergerak meraih

gagang pintu.

Pintu dibuka dengan suara bergemerencing dan begitu berada

di dalam, mata Fay menyapu ruangan dengan cepat. Rasa kecewa

segera menyelisip masuk ke hatinya ketika tidak melihat sosok

yang ia kenali. Saat itu juga ia menepis bayangan Kent yang men?

coba lewat di benaknya.

Fay langsung menempati satu-satunya meja kosong yang ada

di sisi tembok, mendudukkan ranselnya di kursi, kemudian meme?

san makanan satu porsi salad tuna dengan pilihan roti croissant

dan minuman bersoda. Pesanannya datang tidak lama kemudian

dan saat ia sedang setengah menerawang sambil menikmati salad?

nya, terdengar sapaan yang ditujukan padanya dalam bahasa

Prancis dengan lafal kaku.

"Excuse-moi... syesyesyefakang?"

Fay menoleh dan setengah melongo melihat seorang cowok

berambut hitam dengan potongan model tentara sedang berdiri

di depannya dan menatapnya dengan ramah sambil tersenyum.

"Pardon me?" tanya Fay dalam bahasa Inggris, sambil me?

ngutuki kebodohannya. Hanya bagian "excuse-moi" yang bisa di?

tangkap telinganya, sedangkan sisanya, lupakan saja!

Cowok itu membalas dalam bahasa Inggris, "Boleh aku duduk

di sini? Tidak ada lagi kursi kosong di kafe ini dan...," dia meme?

gang perutnya dengan wajah memelas, "...aku sudah kelaparan."

Waduh. Peringatan Lucas tentang copet tadi langsung ter?

ngiang-ngiang di telinga.

Jangan bodoh, Fay, mana ada copet yang minta izin duduk di

tempat calon korban.

Fay mencoba tersenyum dan menjawab singkat, "Silakan." Se?

gera Fay mengangkat ranselnya dari kursi dan meletakkannya di

pangkuan. Lebihan begini, pikir Fay sambil memeluk tasnya.

Lagi pula, lumayanlah daripada nungguin makhluk yang nggak

pantas ditunggu, pikirnya sinis kepada sisi hatinya yang masih

berharap bertemu dengan Kent.

"Fiuh, thanks ya..." Cowok itu tampak lega lalu mengempaskan

diri ke kursi. Dengan bahasa Prancis terbata-bata dia langsung

memesan satu menu pembuka berupa sup dan satu menu utama

sandwich kebab.

Fay memperhatikan cowok ini sejenak. Kulit mukanya putih

dan mulus, dengan rambut hitam yang agak jabrik karena di?

potong model tentara. Cowok ini memakai T-shirt biru tua yang

ukurannya pas di badan, dengan sebuah kalung etnik melingkari

lehernya. Di tangannya juga ada gelang etnik dengan batu-batu

yang menutupi sebuah tato yang melingkari pergelangan tangan?

nya. Hmm, not too bad.

Mendadak tangan cowok ini terulur ke arahnya. "Enrique. Very

pleased to meet you."

Fay tersentak dan dengan jengah menyambut uluran tangan

Enrique sambil berharap Enrique tidak sadar tadi sedang ia per?

hatikan. "Fay. Pleased to meet you too."

"Fay? Cukup unik. Kamu berasal dari mana?" Enrique bertanya

dalam bahasa Inggris yang kental dengan aksenerika Selatan.

"Aku dari Indonesia. Kalau kamu dari mana?"

"Aku dari Venezuela. Memangnya kentara sekali ya aku bukan

penduduk Paris?" tanya Enrique dengan raut jenaka dan aksen

yang masih juga begitu kental.

Fay tertawa.

Enrique ikut tertawa kemudian kembali bertanya, "Kamu lagi

liburan di Paris?"

"Iya," jawab Fay singkat. Ia agak enggan memulai suatu ke?

bohongan. Dan sebelum terpaksa harus melakukannya, ia lang?

sung balik bertanya, "Kalau kamu, liburan juga?"

"Yap. Aku sekarang sedang ikut kursus bahasa Prancis. Aku di

sini tinggal beberapa hari lagi, kemudian aku akan mampir ke

Brazil sebelum pulang ke Venezuela."

"Wah, itu sih agendaku tahun lalu," ucap Fay sambil menyen?

dok saladnya. Ia mulai santai.

"Yang mana agenda kamu, kursus bahasa, pergi ke Brazil, atau

pergi ke Venezuela?" tanya Enrique sambil mengangkat alis.

"Kursus bahasa..."

Enrique memotong dengan bersemangat, "Kalau begitu, kamu

bisa membantu aku berlatih bahasa Prancis...."

Ganti Fay yang memotong dengan panik sambil melambaikan

tangannya yang masih memegang pisau, "Tidak... tidak... aku

sudah lupa sama sekali. Sudah satu tahun aku tidak berbahasa

Prancis. Kalau membaca atau mendengar orang bicara, kadangkadang aku bisa, tapi kalau disuruh merangkai kata-kata dan

bicara, aku menyerah."

Enrique melirik tangan Fay yang melambai-lambai di udara.

"Oke. Aku tidak akan meminta hal mustahil seperti itu lagi?aku

tidak mau kalau sampai terluka," ucapnya pura-pura serius.

Fay meringis dan meletakkan pisau di tangannya. "Sorry."

Pelayan datang dan meletakkan pesanan Enrique di meja. Sup?

nya kental berwarna krem, disajikan dengan satu iris roti baguette.

Kebab pesanan Enrique tampak sangat menarik dengan roti agak

kecokelatan dan menggembung dipenuhi dedaunan hijau dan

ungu, serta daging.

Fay menelan ludah dan menyendok saladnya yang tinggal se?

dikit.

Enrique kembali bertanya sambil mengaduk-aduk supnya,

"Kamu kursus bahasa di mana tahun lalu?"

"Di L?ecole de Paris, tidak jauh dari sini."

"Hei, itu tempat kursusku juga," cetus Enrique cepat.

Fay bertanya dengan bersemangat, "Oh ya? Yang mengajar

kamu siapa, Monsieur Thierry, bukan?"

"Bukan, nama guruku Monsieur Leonard. Monsieur Thierry

sudah pindah dan tidak mengajar lagi di sana. Waktu perkenalan

di hari pertama Monsieur Leonard cerita bahwa dia guru baru,

menggantikan Monsieur Thierry yang pindah ke Seychelles," ce?

rita Enrique sambil mencelupkan roti ke dalam sup.

"Hah, ke mana?" tanya Fay terbelalak. Nilai geografinya me?

mang tidak terlalu bagus, tapi ia yakin Dea yang nilainya selalu

sempurna saja mungkin tidak pernah mendengar nama yang baru

disebutkan Enrique?atau setidaknya tidak bisa menunjukkan

posisinya di peta.

"Seychelles, negara kepulauan di Samudra Hindia. Posisinya di

lepas pantai sebelah timur benua Afrika."
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu pernah ke sana?" tanya Fay lagi sambil melirik sup

Enrique yang permukaannya turun dengan cepat.

"Tahun lalu aku ke sana. Sebenarnya tujuan utamaku adalah

mengunjungi famili dan surfing di Wild Coast, Afrika Selatan,

tapi sebelumnya aku mampir ke Seychelles. Pemandangan di sana

benar-benar spektakuler dengan pantai berpasir putih dan laut

yang sangat biru," jawab Enrique sambil menghirup habis supnya,

lalu beralih ke kebab.

Fay memperhatikan kebab yang gendut itu masuk ke mulut

Enrique. Sambil bersumpah dalam hati untuk memesan makanan

itu kalau lain kali datang ke sini, Fay bertanya, "Kamu sering

surfing, ya?" Ia baru memperhatikan dada Enrique yang bidang

dan lengannya yang tampak keras, mirip postur Reno.

"Iya, itu sih sudah aku lakukan sejak aku kecil. Mendiang ayah?

ku malah pernah bilang dia curiga aku bahkan mulai surfing

waktu masih di perut ibuku, karena aku melintir-lintir hingga

terlilit tali pusar."

Fay tidak tahu ia harus tertawa karena lelucon itu atau harus

menunjukkan simpati dengan fakta bahwa ayah Enrique sudah

meninggal, dan akhirnya ia memilih untuk mengajukan per?

tanyaan yang dirasanya cukupan, "Kamu sekarang tinggal di

Venezuela?"

"Iya. Aku tinggal berdua bersama ibuku di Maracay, kota in?

dustri di utara Venezuela, sejak ayahku meninggal beberapa tahun

yang lalu."

"Kamu sekolah atau sudah kerja?" tanya Fay lagi, berharap bisa

mendapat petunjuk tentang umur Enrique tanpa terlalu kentara.

"Dua-duanya. Aku bekerja pada salah satu teman ayahku. Dia

yang membiayai kuliahku serta kehidupan aku dan ibuku."

"Wah, baik sekali dia. Pasti hubungan dia dengan ayahmu sa?

ngat baik," Fay menanggapi. Ia sendiri tidak pernah terbayang

siapa yang akan menjadi tumpuannya bila dihadapkan pada si?

tuasi serupa.

"Begitulah," jawab Enrique singkat sambil menyuap kebab ter?

akhirnya.

"Kamubil jurusan apa?" tanya Fay lagi.

"Ekonomi, baru akan masuk ke tahun kedua," jawab Enrique,

kemudian tersadar, "Hei, dari tadi aku terus yang bercerita. Seka?

rang giliran kamu dong." Ia melap mulutnya dan bertanya,

"Kamu sudah kuliah atau belum?"

Fay menjawab sambil setengah protes, "Memang aku kelihatan

seperti masih sekolah, ya? Aku akan kuliah sebentar lagi." Ia ber?

henti sebentar lalu melanjutkan sambil nyengir, "Yah, mudahmudahan sih, kalau aku lulus."

Enrique tersenyum tipis dan berkata menenangkannya, "Iya,

aku tahu bangsa Asia biasanya tampak lebih muda daripada usia

yang sebenarnya, makanya aku tanya apakah kamu sudah kuliah."

Ia melanjutkan, "Rencananya kamu mau kuliah jurusan apa?"

"Aku inginbil jurusan teknik industri."

Di pintu masuk terlihat beberapa orang berdiri dengan mata

mencari tempat duduk kosong. Fay mengajak Enrique membayar

apa yang mereka pesan kemudian mereka segera keluar.

Begitu mereka melangkahkan kaki di luar, udara terasa begitu

segar; sangat berbeda dengan suasana di dalam yang mulai di?

penuhi asap rokok.

Enrique berkata, "Aku mau berjalan-jalan di sekitar sini seben?

tar. Mau temani aku?"

"Wah, aku harus pergi lagi pukul satu siang," jawab Fay

ragu.

"Ayolah, sekarang kan baru pukul setengah satu, kita bisa keli?

ling blok sebentar dan kembali ke tempat ini lagi," ajak Enrique

lagi.

Fay berpikir sebentar kemudian mengangguk. Mereka berjalan

perlahan menyusuri jalan sambil bertukar cerita. Tidak butuh

waktu lama hingga Fay merasa nyaman berbicara dengan Enrique.

Rasanya seperti bercakap-cakap dengan seorang sahabat lama dan

topik yang bahkan begitu sederhana, seperti cuaca dan suara

klakson mobil lewat, mengalir seperti air.

Saat tiba kembali di depan kafe, Fay berkata, "Sudah hampir

pukul satu, aku harus pergi sekarang."

"Okay. It?s been very nice talking to you," ucap Enrique.

"Likewise." Fay berdiri sebentar, berharap Enrique akan me?

nanyakan cara mengontaknya. Walaupun ia kini tidak bisa mem?

berikan apa-apa selain alamat e-mail-nya di Yahoo! yang juga ti?

dak diperkenankan oleh Andrew untuk dibuka, setidaknya ia akan

bisa menghubungi Enrique lagi setelah sampai di Jakarta.

"I hope we can bump into each other again one of these days,"

ucap Enrique ramah.

Sebuah kekosongan langsung memenuhi rongga hati Fay. "Sam?

pai jumpa lain waktu. Bye," balas Fay singkat sambil berbalik

menuju mobil. Fay masih menyempatkan diri untuk menoleh saat

membuka pintu mobil, berniat untuk melambaikan tangan, tapi

Enrique sudah berjalan menjauh ke arah berlawanan, melewati

sebuah mobil berwarna biru metalik yang diparkir tidak jauh di

belakang limusin.

Dengan perasaan agak terganggu Fay masuk ke mobil.

Apakah ia begitu membosankan hingga Enrique berlalu begitu

saja tanpa menanyakan cara mengontaknya kembali? Sepertinya

tidak ada yang salah dengan percakapan dan perjalanan mereka

tadi, walaupun memang tidak ada yang istimewa. Atau apakah ia

yang berharap terlalu banyak dari perkenalan biasa yang harusnya

malah bersifat anonim, seperti dua orang asing yang bercakapcakap tanpa mencoba mengenal satu sama lain? Apakah itu juga

yang dirasakan oleh Kent hingga cowok itu pergi begitu saja dan

memilih untuk menghilang tanpa kabar?

Pertanyaan Fay yang terakhir mengundang beban yang me?

nekan dadanya, menggugah butir-butir air mata untuk mulai

berkumpul di pelupuk mata. Fay buru-buru mengusap matanya

untuk menghilangkan jejak perasaan yang tertuang di sana, dan

mencoba lari dari apa pun yang sekarang mengganggu perasaan?

nya dengan memperhatikan jalan yang dilalui.

Lucas membawa limusin hitam yang ditumpangi Fay menjauh

dari pusat kota Paris, keluar dari jalan raya, dan masuk ke jalanjalan kecil pedesaan. Jalan yang dipilih semakin kecil dengan

suasana semakin lengang, hingga empat puluh menit kemudian

akhirnya mobil berhenti di depan sebuah gerbang besi tinggi yang

sudah berkarat. Di balik gerbang hanya terlihat satu jalan me?

nanjak dinaungi rimbunnya pepohonan yang tidak teratur. Rum?

put ilalang berada di sana-sini, menegaskan ketidakpedulian siapa

pun yang menjadi pemilik lahan itu.

Agak takjub Fay mendapati gerbang terbuka otomatis tanpa

diiringi bunyi derit logam berkarat. Dalam pikirannya tadi, dengan

kondisi setua itu, gerbang ini mempunyai gembok besar yang harus

dibuka manual dengan sedikit perjuangan karena sudah berkarat.

Begitu mobil sampai di puncak tanjakan, barulah terlihat ke?

diaman yang secara mengejutkan ternyata sangat bertolak bela?

kang dengan apa yang terlihat di sekelilingnya. Rumah dua lantai

ini tampak mungil tanpa teras dan balkon, didominasi warna pu?

tih dan krem, dengan bunga-bunga warna ungu menghiasi setiap

jendela di kedua lantai, lengkap dengan cerobong asap; sangat

terawat dan tampak apik seperti yang biasa dibaca di buku-buku

anak-anak.

Fay tersenyum sedikit?dalam bayangannya, pemilik rumah ini

seharusnya sepasang kakek-nenek bermuka ramah, bertubuh bun?

dar, bermuka juga bundar, dengan kacamata yang lagi-lagi bundar

bertengger di hidung.

Senyum Fay tidak bertahan lama. Ketika matanya melihat satu

mobil sport dua pintu berwarna putih diparkir tidak jauh dari

pintu masuk. Bayangan kakek-nenek langsung pudar, digantikan

bayangan Philippe yang judes dan jutek.

Dengan enggan Fay turun dari mobil dan menapaki jalan ber?

kerikil tajam di depan rumah, sama sekali tidak punya keinginan

untuk menjejakkan kaki di dalam rumah yang tampak sangat

bersahabat itu.

Begitu pintu rumah dibuka, Fay mau tak mau tersenyum kem?

bali saat melihat seorang wanita berumur yang bertubuh bulat

berdiri menyambutnya?sangat mirip dengan sosok ideal peng?

huni rumah yang ia bayangkan sebelumnya. Wanita ini lebih

bulat daripada Mrs. Nord, menggunakan celemek putih di atas

seragam hitamnya dengan rambut cokelat disanggul. Wanita ini

mengangguk dan menyapa Fay ramah dengan bahasa Inggris,

"Selamat siang. Saya Mrs. Rice, pelayan di rumah ini. Silakan

masuk."

Dengan keengganan yang sudah berkurang karena keramahan

wanita ini ditambah rasa geli karena disambut oleh seorang wa?

nita dengan nama yang kalau diterjemahkan berarti "Nyonya

Nasi", Fay pun melangkah masuk dan mendapati dirinya tiba di

foyer dengan kesan yang sama seperti yang tampak dari luar ru?

mah, rapi dan sangat apik.

"Saya akan menunjukkan dulu kamarmu di lantai dua," kata

Mrs. Rice sambil mengarah ke tangga batu di sebelah kanan, naik

menuju sebuah kamar yang tampak kosong?hanya ada sebuah

ranjang dengan satu meja nakas dan lemari baju. "Mr. Klaan

mengharapkan kehadiranmu di ruang tengah tepat pukul dua

siang, siap dengan pakaian latihan?sudah saya siapkan di le?

mari."

Fay mengangguk dan Mrs. Rice keluar dari kamar. Dengan

perasaan tertekan Fay mengganti pakaiannya dengan satu setel

pakaian olahraga lengkap dengan sepatu, dan segera turun. Ia se?

tengah melompat di anak tangga terakhir yang membawanya ke

foyer ketika langkahnya terhenti... Ups, Philippe! Sontak jantung?

nya berdegup kencang.

Philippe berdiri tegap di tengah foyer mengenakan kaus lengan

panjang warna hitam, celana kanvas berwarna hitam, dan sepatu

bot yang juga berwarna hitam. Fay maju perlahan mendekati

Philippe dan jantungnya serasa mau copot melihat sebuah tongkat

kayu sepanjang setengah meter ada dalam genggaman Philippe.

Philippe menjulurkan tongkat itu ke depan, memberi kode

supaya Fay berdiri di hadapannya, kemudian berkata, "Hanya ada

satu aturan di rumah ini, yaitu aturan yang saya buat. Saya tidak

punya kesabaran sebagaimana yang dimiliki Andrew sebagai se?

orang pengawas, jadi jangan harapkan toleransi bila kamu me?

lakukan kesalahan, terlepas kamu sebut itu sebuah kelalaian atau

ketidaksengajaan."

Fay merasa degup jantungnya dengan cepat mulai beradaptasi.

Ia kini menatap lurus ke depan, seolah tatapannya menembus

dada Philippe.

Philippe menambahkan, "Saya tidak punya keyakinan kamu

punya kemampuan untuk melakukan tugas yang akan diberikan.

Tapi keputusan sudah diambil?pastinya bukan oleh saya?dan

saya harus terima kalau tidak setiap saat bisa mendapat anak didik

dengan kualitas seperti yang saya harapkan. Jadi jangan harap hariharimu ke depan akan bisa kamu nikmati layaknya liburan!"

Fay merasa dadanya bagai dipukul saat mendengar perkataan

Philippe itu. Sebagian dirinya langsung menciut. Lewat sudut
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matanya ia melihat Philippe menyapukan pandangan ke arahnya

mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki dan ia merasa seperti

sapi yang telah gagal dalam sebuah inspeksi kelayakan sebagai

hidangan, menyebabkan sebagian kecil dirinya yang masih belum

menciut merasa begitu terhina.

Detik berikutnya Fay berteriak ketika melihat kelebatan tong?

kat dalam genggaman Philippe mengarah ke wajahnya. Benda itu

berhenti tepat sebelum menyentuh lehernya dan dengan deru na?

pas memburu Fay merasakan kayu keras itu ditempelkan oleh

Philippe di bawah dagunya. Tongkat itu ditekan ke atas, memaksa?

nya untuk mendongak menatap Philippe yang kini sudah maju

hingga hanya berjarak dua langkah di depan.

"Aturan pertama berdiri tegak kalau saya ada di ruangan yang

sama dan jangan bergerak sampai saya perintahkan. Ke halaman,

sekarang!"

Philippe menuju ke luar rumah dan Fay dengan tergesa-gesa

mengikuti. Fay segera berdiri di hadapan Philippe sambil menautkan

jemari kedua tangannya yang sudah dingin di depan badan.

"Berdiri tegak!" ucap Philippe sambil mengayunkan tongkat di

tangannya hingga terdengar bunyi berdesis membelah udara.

Fay tersentak ketika ujung kayu yang keras terasa kembali di

bawah dagunya.

Philippe memberi tekanan ringan hingga kepala Fay men?

dongak sedikit. Kemudian pria itu berjalan perlahan mengitari

Fay sambil mengayunkan tongkat kayu di tangannya, memberi

tepukan ringan di pundak, punggung, kaki, dan perut Fay. Di

setiap tepukan, Fay tersentak sambil membetulkan posisi berdiri?

nya, yang ternyata jelas belum memenuhi syarat bagi Philippe.

Kembali berdiri di depan Fay, Philippe berkata, "Di kediaman

ini terdapat tiga jalur lari. Jalur Satu adalah jalur lari yang me?

ngitari halaman di depan rumah, berbatasan dengan hutan, Jalur

Dua adalah jalan setapak yang memotong dan masuk hutan, dan

Jalur Tiga adalah jalur rintangan yang ada di belakang rumah.

Untuk latihan pembuka, saya ingin kamu berlari tiga putaran di

Jalur Satu. Ada pertanyaan?"

"Tidak ada."

"Lakukan sekarang!"

Fay segera menapakkan kaki di jalan berkerikil tajam yang di?

buat mengitari halaman depan rumah. Tidak butuh waktu lama

hingga ia merasa betis dan pahanya protes?olahraga tidak pernah

menjadi pelajaran favoritnya. Fay sekilas menoleh dan melihat

Philippe masih berdiri di tempat yang sama, mengawasinya.

Aduh, gawat! Fay mencoba menahan rasa nyeri dan tegang di

kakinya, tapi akhirnya ia tidak tahan lagi dan menghentikan

ayunan langkahnya. Setelah beberapa saat mencoba berjalan cepat,

ia melanjutkan larinya. Begitu seterusnya hingga akhirnya ia me?

lintas kembali di hadapan Philippe?tentunya dengan tubuh lebih

tegak dan ayunan langkah lebih lebar daripada sebelumnya. Ia

sudah bersiap melakukan putaran kedua ketika terdengar suara

Philippe, "Berhenti!"

Fay berhenti tepat di hadapan Philippe dengan napas terengahengah, tapi langsung mengatupkan mulut ketika melihat sorot

mata Philippe.

Philippe berjalan mengitari Fay sambil berkata, "Siapa bilang

kamu boleh berhenti berlari di tengah-tengah latihan?"

"Kaki saya sakit!" protes Fay. Mendadak terasa satu sengatan

panas di paha Fay dan Fay langsung mengaduh-aduh sambil me?

megangi kakinya.

"ITU baru namanya sakit," ucap Philippe pedas. "Dan kata

siapa kamu punya hak untuk bergerak bila belum saya perintah?

kan? Berdiri tegak!"

Fay menggigit bibir dan menegakkan badan ketika tongkat di

tangan Philippe kembali diposisikan di dagunya.

"Sekarang, lanjutkan dua putaran kamu. Saya tidak mau me?

lihat kamu berhenti hingga dua putaran itu selesai!"

Fay melakukan apa yang diperintahkan dengan tekad yang cu?

kup kuat, tapi segera kakinya punya pikiran sendiri. Tidak butuh

waktu lama hingga ia terpaksa menuruti keinginan kakinya, tapi

kali ini ia berhasil memaksa si kaki untuk tidak terlalu berlamalama bersantai. Di pengujung putaran kedua ini, dengan perut

yang terasa terpelintir?karena capek dan panik?Fay melintas di

depan Philippe sambil berdoa semoga pria itu terkena rabun siang

sehingga tidak melihatnya lewat. Agak terkejut Fay mendapati

Philippe tidak mengatakan apa-apa dan membiarkannya lewat.

Jangan-jangan memang ada penyakit rabun siang, pikirnya lagi.

Setelah putaran ketiga yang begitu menyengsarakan dan tentu?

nya diselingi dengan jalan cepat beberapa kali, Fay tiba kembali

di hadapan Philippe. Saat itu juga ia tahu deru jantungnya yang

masih belum pulih setelah lari sepertinya tidak akan pernah pulih

ketika melihat ekspresi tidak setuju yang begitu jelas terbaca di

wajah Philippe.

"Push-up tiga puluh kali!"

Fay memosisikan dirinya lalu mencoba melakukannya dengan

sesempurna mungkin, tapi sudah gagal di hitungan kedelapan

belas?tangannya mulai gemetar dan kehilangan tenaga untuk

menopang tubuhnya. Dua tendangan yang dilayangkan Philippe

ke kakinya berhasil memaksa tangannya melanjutkan dengan baik

hingga hitungan ke-25. Di hitungan ke-26, Fay kembali ter?

jatuh.

Fay baru saja mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan pushup-nya ketika mendadak sepatu Philippe sudah menapak di atas

punggung telapak tangannya dan menginjaknya dengan keras.

"Aargh...!" teriak Fay sambil berusaha menarik tangannya de?

ngan jemari yang rasanya sudah remuk di bawah sepatu bot

Philippe.

Philippe menekan kakinya lebih keras dan Fay kembali ber?

teriak sambil berusaha menarik tangannya.

"Kenapa berhenti? Lanjutkan sekarang!" bentak Philippe.

Orang gila! Air mata merembes dari sudut mata Fay dan ia

pun memaksakan diri untuk melanjutkan push-up-nya sambil me?

nahan sakit. Di hitungan ketiga puluh, barulah Philippe melepas

injakan kakinya.

Fay langsung menghapus sisa-sisa air mata di wajahnya lalu

berdiri tegak, berusaha mengabaikan rasa sakit di punggung tela?

pak tangannya. Tulang-tulangnya terasa sudah berserakan. Ia ber?

tekad untuk tidak terlihat kalah dan tidak akan memberikan ke?

sempatan pada Philippe untuk merasa puas setelah melakukan

hal-hal tidak manusiawi ini padanya!

"Sekarang kamu akan berlatih di Jalur Dua. Jalur itu dimulai

di sana...," Philippe menunjuk satu jalan setapak tepat di sebelah

kiri rumah yang terlihat jelas mengarah ke arah pepohonan rim?

bun, "...dan berakhir di sana." Philippe menunjuk ke arah sebelah

kanan rumah.

Mata Fay menyipit mengikuti arah yang ditunjuk.

"Jalur ini agak panjang. Ikuti saja jalan setapak dan penunjuk

arah yang ada di sepanjang jalan."

Fay berlari di jalan setapak yang mengarah ke hutan. Begitu ia

memasuki area dengan pepohonan yang semakin rapat dan sudah

yakin dirinya telah menghilang dari pandangan Philippe, ia lang?

sung berhenti, memberi kesempatan pada kakinya untuk istirahat

sejenak.

Fay mengelus-elus pahanya yang terasa panas dan meregangkan

jemari tangannya yang terasa nyeri. Pria itu lebih gila daripada

Andrew... tidak, tidak cuma lebih gila, tapi juga jahat, pikir Fay

sambil mulai berlari secara perlahan. Udah gila, jahat, jutek pula!

Kenapa untuk segala hal harus melibatkan kekerasan?! Benarbenar penghinaan terhadap intelektualitas! Dasar manusia barbar!

umpat Fay lagi dengan sebal.

Fay kembali mengayunkan langkah, berlari-lari kecil. Setelah

beberapa waktu, langkah kakinya terhenti ketika melihat jalur di

depannya berbelok ke kiri dengan sebuah cabang ke arah kanan,

tapi tanpa banyak berpikir ia memilih jalur kiri setelah melihat

betapa sempitnya jalur di sebelah kanan dengan pepohonan yang

lebih rapat.

Pikiran Fay kembali melayang ke Philippe. Sampai detik ini ia

masih tidak tahu apa yang menyebabkan sikap Philippe sungguh

tidak berpihak padanya. Pasti bukan karena ia melakukan ke?

salahan, karena sikap Philippe sudah seperti itu sejak pertama kali

mereka bertemu. Mungkin dari orok udah jutek begitu, kali, pikir

Fay kesal, sambil menyesali kenapa bukan Andrew saja yang ber?

ada di sini?bukan pilihan yang terbaik, tapi setidaknya Andrew

lebih manusiawi.

Cukup lama Fay membiarkan benaknya bermain sendiri hingga

ia disadarkan kembali oleh paha dan betisnya yang mulai protes.

Ia segera berhenti dan mengistirahatkan kakinya sejenak sambil

mengatur napas. Ketika ia akan kembali memulai perjalanannya,

ia terpaku.

Di depannya terlihat jalur terbagi dua; jalur di kiri mengarah

ke bawah sedangkan jalur di kanan agak menanjak.

Mati deh! Yang mana yang harus ia pilih?

Fay berpikir sejenak. Philippe tadi berkata jalur ini mengelilingi

rumah ke arah belakang dan di awal tadi ia berlari ke arah ka?

nan. Berarti kalau ia secara konsisten mengambil arah ke kanan,

jalurnya akan berbentuk lingkaran dan pasti pada akhirnya ia

akan tiba di rumah lagi.

Fay memutuskan untuk mencoba jalur yang mengarah ke ka?

nan dan sepuluh menit kemudian ia terbelalak ketika tiba di

persimpangan yang sama.

Sialan, jalurnya hanya memutar!

Fay mengomel-ngomel sambil mengayunkan kaki ke jalur yang

mengarah ke kiri. Sambil mengeluh dalam hati, ia berusaha

mengusir bayangan Philippe yang ia yakini akan menemukan cara

menghukum yang paling kreatif untuk sepuluh menit yang sia-sia

ini.

Kent mengibaskan kedua tangannya, berusaha membersihkan

serpihan tanah yang tadi melumuri tangannya dan yang kini ber?

jatuhan bagaikan hujan serbuk bagi semut-semut kecil yang mung?

kin bersembunyi di tanah.

Tidak masalah. Bisa dicuci saat melalui sebuah sungai kecil ti?

dak jauh di depan, pikirnya.

Sekilas ia melihat papan penunjuk arah dari kayu yang kini

terpasang kembali dengan rapi di tempatnya, berada di tengahtengah persimpangan antara dua jalur, berbentuk seperti anak

panah yang menunjuk ke kanan dan disangga sebuah pasak kayu

yang tertanam di tanah. Pesan yang disampaikan papan itu sangat

jelas; semua orang yang melewati tempat ini, bahkan untuk me?

reka yang baru pertama kali, akan langsung tahu yang harus di?

lewati adalah jalur sebelah kanan yang sekilas tampak lebih suram

karena pohonnya lebih rimbun dan jalannya lebih sempit.

Kecuali Fay.

Tanpa penunjuk jalan, Fay tadi tanpa ragu memilih jalur di

sebelah kiri. Kent tahu persis, karena ia tadi memperhatikan Fay

lewat dari sebuah lekuk pohon yang posisinya agak terlindung

dari pandangan siapa pun yang berada di jalan setapak.

Fay-nya.

Gadis yang tahun lalu telah berkorban untuk dirinya, membuat
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekujur tubuhnya dijalari rasa hangat yang penuh dengan berjuta

kasih yang siap dipancarkan saat itu juga.

Gadis yang akhirnya membuatnya mengenal kembali arti cinta

setelah selama lima belas tahun ia menutup hati untuk percaya

dan tidak bersedia membiarkan perasaannya menjadi tempat per?

semaian bagi sebentuk kasih dalam wujud apa pun.

Gadis yang sudah menghangatkan hari-hari dinginnya dengan

tawa dan tatapan tulus yang melepaskan berjuta rasa cinta yang

tanpa ragu ia reguk kehangatannya.

Gadis yang pada akhirnya harus ia campakkan begitu saja!

Sekonyong-konyong Kent menghantam batang pohon dengan

kepalan tangannya untuk melampiaskan kemarahan yang men?

dominasi kepala dan perasaannya. Terdengar bunyi berderak yang

labil, campuran antara bunyi retak kulit pohon yang sudah tua

dan rapuh dengan bunyi gemeretak tulang di kepalan tangan?

nya.

Kent mengumpat sambil memperhatikan pucuk-pucuk tulang

kepalannya yang kini mengeluarkan darah. Ia lalu menarik napas

panjang, berdiri tanpa bergerak dengan kedua tangan memegang

kepalanya yang serasa akan meledak, dipenuhi berbagai kontra?

diksi yang semuanya melibatkan gadis yang begitu dicintainya.

Sudah sejak pagi tadi ia mengikuti Fay, dimulai saat gadis pu?

jaannya itu menjejakkan kaki di Charles de Gaulle. Secara tidak

sengaja ia tahu Fay akan datang ke Paris hari ini, bersamaan de?

ngan kedatangan dirinya ke Paris untuk sebuah tugas. Ia tidak

tahu apa yang ia harapkan dari pertemuan dengan Fay sebelum

tugasnya resmi dimulai, tapi desakan hati itu tidak tertahankan.

Dadanya berdegup dengan kencang ketika melihat Fay masuk

mobil yang dikendarai Lucas dan ia pun langsung memacu mobil?

nya membuntuti Fay.

Ia ingat betapa bergemuruh dadanya siang tadi, penuh rasa

bahagia yang terkungkung saat melihat Fay masuk ke Caf? du

Temps, tempat mereka tahun lalu menghabiskan siang bersama.

Ternyata Fay belum melupakan dirinya dan memilih menapaki

tempat yang memberikan begitu banyak kebahagiaan bagi mereka.

Namun, beberapa saat kemudian rasa itu terempas berkepingkeping ketika ia melihat Fay keluar dari tempat tersebut ditemani

seorang pemuda.

Siapa pemuda itu? Apakah Fay sudah membuat janji untuk

bertemu dengan pemuda itu sebelumnya? Kenapa harus tempat

ini yang dipilih? Fay-kah yang memilih atau pemuda itu?

Ingin rasanya Kent menerjang pemuda itu dan menghantamkan

kepalanya ke beton pembatas jalan. Betapa lancang pemuda itu

berjalan dengan gadis yang begitu ia dambakan keberadaannya

dan mencuri momen indah yang seharusnya menjadi miliknya!

Andaikan Fay tahu betapa sulitnya ia tadi menahan diri untuk

tidak menginjak pedal gas saat pemuda brengsek itu melintas di

depan mobilnya!

Kent kembali menghela napas, lalu melirik arlojinya.

Lima belas menit sudah berlalu sejak Fay mengambil jalan

yang salah ke arah kiri. Dengan sedemikian banyak persimpangan

yang akan ditemui setelah itu, sudah mustahil untuk menemukan

jalan yang akan mengarahkan Fay kembali ke jalur yang benar

tanpa bantuan siapa pun. Cuaca yang saat ini memilih untuk ti?

dak bersahabat juga akan membuat hari menyongsong gelap lebih

cepat daripada biasa. Ia bisa membayangkan bagaimana perasaan

Fay nanti ketika sadar sudah tersesat dan telah diselimuti ke?

gelapan?Kent tahu persis seperti apa rasanya ketika hidup begitu

enggan menyisakan harapan.

Kent kembali mengibaskan tangan. Ia lalu berbalik dan meng?

ayunkan langkah dengan cepat meninggalkan lokasi, mencoba

melarikan diri dari usikan sebuah nurani.

Andrew sambil lalu melirik Bvlgari yang melingkari pergelangan

tangannya. Ia sedang berada di ruang kerja apartemennya dan

baru saja hendak beranjak dari kursi ketika telepon genggamnya

berbunyi. George, asisten pribadinya di Llamar Corp.

"Yes, George?"

"Sir, saya baru saja dihubungi oleh kontak kita di Bio-Element.

Dia menginformasikan bahwa Monsieur Nicholas Xavier menolak

undangan yang Anda ajukan. Tidak hanya Anda yang ditolak, Sir.

Rupanya di saat bersamaan ada satu undangan lain yang ditolak,

yaitu dari Bruce Redland, pemilik perusahaan farmasi berbasis di

Swiss yang sekarang tinggal di Capetown, Afrika Selatan."

Hening sejenak.

"Apa ada yang bisa saya lakukan lagi untuk Anda, Sir?" tanya

George akhirnya.

"Ada informasi tentang aktivitas Nicholas Xavier sekarang?"

tanya Andrew sambil lalu.

"Dokumen legal sedang disusun oleh pengacara Nicholas, tapi

Nicholas sendiri sudah pergi berlibur ke Brazil sejak kemarin.

Konferensi pers akan dilakukan minggu depan, setelah Nicholas

pulang."

"That will be all, George. Akan saya urus sisanya."

"Terima kasih, Sir."

Andrew menutup saluran telepon lalu beranjak ke sudut ruang

kerjanya dan menuangkan segelas anggur merah untuk dirinya.

Ia tidak suka penolakan, bahkan untuk yang telah diprediksi

sekalipun.

Sedikit demi sedikit sebuah gejolak yang begitu ia kenali mulai

mengalir di darahnya; sebuah gejolak yang sama dengan apa yang

dipancarkan salah satu koleksi lukisannya yang berharga Storm at

Sea oleh Mulier, Pieter the Younger, seorang pelukis dari Belanda

yang hidup di Italia pada abad ketujuh belas. Lukisan ini secara

resmi tercatat berada di Galeri Nasional Slovenia di Ljubljana,

hanya saja yang sekarang tergantung di sana adalah salinannya.

Lima tahun lalu Andrew membayar seorang pelukis Italia untuk

membuat tiruan lukisan itu. Butuh waktu tiga tahun untuk mem?

buat senti demi senti lukisan itu seperti aslinya dan delapan bulan

lalu pertukaran itu dilakukan tanpa jejak, tepat setelah dilakukan

restorasi terhadap lukisan yang asli.

Menggambarkan laut yang sedang dipenuhiarah, ombak

tinggi berwarna hitam dengan buih putih yang marah di sana-sini

berusaha mengempas apa pun yang bisa dijamah pucuk ombak

yang pecah di tebing yang menjulang tinggi. Sebuah kapal yang

sedang terombang-ambing, berusaha bertahan dengan sia-sia di

sebelah kapal lain yang sudah kandas terempas ke tebing. Be?

berapa pelaut yang selamat berada dalam sekoci penyelamat, ma?

sih berjuang dan mencoba bertahan dalam kehendak alam, ber?

tumpu pada secercah harapan yang digambarkan dengan cantik

oleh Mulier melalui sekelumit langit biru cerah yang mengintip

dari sela-sela awan hitam pekat yang memenuhi langit.

Andrew kembali duduk di kursi meja kerjanya lalu menyesap

anggur merahnya, membiarkan setiap ujung saraf perasa dalam

mulutnya mengecap rasa hangat menggigit yang melenakan sem?

bari merasakanarah yang dibawa gulungan ombak merasuk ke

dalam tubuhnya dan menghuni setiap sendi dalam badannya.

Benaknya menyusuri awal semua ini bermula, sebuah laporan

yang masuk ke e-mail-nya minggu lalu tentang penemuan obat

generasi baru bernama BioticX. Baru dua bulan sebelumnya

Llamar Corp. menuntaskan pendirian Llamar Health & Life, hasil

dari akuisisi dan merger dua perusahaan farmasi besar di Eropa,

dan berita penemuan semacam itu tentu tidak bisa diabaikan

begitu saja.

Menurut apa yang ia baca di laporan itu minggu lalu, pe?

nemuan BioticX dimotori oleh seorang pria bernama Nicholas

Xavier, peneliti sekaligus pemilik perusahaan biokimia kecil ber?

nama Bio-Element. Obat itu dibuat dari sebuah spesimen ta?

naman yang dirahasiakan, yang ditemukan secara tidak sengaja

oleh Nicholas di hutanazon.

Laporan itu juga menyebutkan dua keunggulan utama BioticX,

yaitu kemampuan untuk bekerja dengan efektivitas sama pada

virus dan bakteri, serta sifatnya yang tidak akan menyebabkan

resistensi terhadap sel?sebuah terobosan yang luar biasa besar di

bidang kedokteran dan pengobatan.

There?s always the first time for everything, pikir Andrew. Tanpa

berpegang pada prinsip itu, tidak akan ada penemuan teknologi

di dunia dan manusia tidak pernah sampai ke bulan.

Saat itu juga Andrew langsung memberikan instruksi kepada

George untuk mengusahakan pertemuan dengan Nicholas Xavier.

Ia akan memberikan penawaran pembelian saham pada Nicholas.

Di saat yang bersamaan, ia meminta analis terbaiknya di COU

untuk menyusun profil Nicholas Xavier.

Awalnya Andrew cukup yakin Nicholas tidak akan menolak

angka yang akan ia sodorkan. Tapi setelah menerima profil leng?

kap Nicholas Xavier beserta semua informasi yang terkait dengan

Bio-Element, keyakinan itu hampir tak bersisa.

Keahlian Andrew dalam membaca profil seseorang tidak pernah

diragukan oleh siapa pun dan dari apa yang ia baca tentang

Nicholas Xavier, ia tahu pria itu tidak bisa dibeli. Menjadi se?

orang peneliti adalah mimpi pria paruh baya itu, dan satu-satunya


Death Du Jour Karya Kathy Reichs Pendekar Seribu Diri Karya Aone Roro Centil 17 Pedang Asmara Gila

Cari Blog Ini