Ceritasilat Novel Online

From Paris To Eternity 2

From Paris To Eternity Karya Clio Freya Bagian 2

obsesi yang tersisa dari seseorang yang sudah mengejar mimpi

adalah pengakuan akan pencapaian, bukan uang. Nicholas Xavier

juga tercatat pernah menghubungi Andrew beberapa tahun lalu

untuk masalah pendanaan penelitiannya, tapi saat itu Andrew

yang sedang disibukkan oleh akuisisi dua perusahaan farmasi yang

menjadi cikal bakal Llamar Health & Life, tidak menggubris?

nya.

Andrew meletakkan gelas anggurnya di meja, lalu membuka

laptop-nya. Setelah terkoneksi dengan komputer di COU, ia mem?

buka bagan operasi yang diberi kode "Osiris". Operasi ini masih

berstatus nonaktif dan baru ia buat minggu lalu setelah membaca

profil Nicholas Xavier dan mempelajari segala hal yang bisa di?

peroleh tentang pria itu serta perusahaannya.

Satu hal yang pasti, konferensi pers tentang BioticX yang di?

jadwalkan oleh Nicholas minggu depan tidak akan terjadi?

Andrew akan memastikannya. Tidak seperti Mulier yang masih

menyisakan secercah warna biru cerah di langit di antara awanawan hitam dalam Storm at Sea, seolah berkata bahwa dalam

keadaan seburuk apa pun pasti ada harapan, Andrew sudah me?

mutuskan tidak akan membiarkan ada harapan yang tersisa bagi

seorang pria bernama Nicholas Xavier. Bagi pria itu, badai tidak

akan berhenti dan langit biru yang tersisa di langit segera akan

ditutupi gulungan awan hitam.

Perfect timing, pikir Andrew puas. Rencananya untuk memulai

rekrutmen Fay sekarang benar-benar tepat. Gadis itu lagi-lagi

akan berguna untuk mencapai tujuannya.

Dengan saksama Andrew menganalisis bagan strategi yang telah

ia susun itu dan setengah jam kemudian, status "Osiris" sudah

berubah menjadi aktif.

Andrew menyandarkan badannya ke kursi dan kembali me?

nyesap anggur merahnya dengan takzim. There?s a purpose for every

scene in life, pikirnya. Kejadian dalam hidup bagaikan susunan

kartu domino, setiap kartu menunggu dijatuhkan oleh kartu

domino yang lain, dan akan memengaruhi posisi kartu-kartu yang

lain. Yang bisa menghentikan efek domino hanyalah intervensi

tangan-tangan yang punya kuasa untuk membelokkan tuntutan

sang nasib, dan ia tahu tangannya adalah salah satu di antara?

nya.

Andrew kembali menyesap anggur merahnya lalu menutup

mata, membiarkan seluruh saraf perasanya terlena.

Demon & Angel

AY menatap sebutir air yang berada di punggung telapak ta?

ngannya tanpa berkedip. Sebutir air itu memiliki bentuk sangat

sempurna dengan permukaan melengkung memantulkan bayangan

di permukaan yang begitu bening. Fay mendongak dan melihat

satu lagi butiran air yang muncul di antara buraian udara begitu

saja, melesat ke arahnya bagaikan bilah yang dilempar langit yang

marah dan mendarat tepat di keningnya, kemudian langsung pe?

cah dan mengalir turun membasahi pipinya tanpa menunggu.

Fay menggeleng, tidak bisa percaya bahwa dari 365 hari dalam

satu tahun, butir-butir air ini memilih untuk menetesi bumi tem?

patnya berpijak pada hari ini, detik ini, pada satu masa di akhir

musim semi saat seorang Fay Regina Wiranata sedang tersesat

dalam hutan asing di sebuah negara di benua lain di seberang

lautan!

Menolak untuk menyerah, Fay tetap mendongak menantang

langit. Namun, butir demi butir air yang datang susul-menyusul,

semakin lama dengan interval semakin singkat, berhasil memaksa?

nya percaya bahwa nasib memang sangat tidak berpihak padanya.

Ia pun akhirnya berlari-lari kecil menuju sebatang pohon yang

ti?dak terlalu tinggi dan berdaun agak rimbun, dan berdiri di ba?

wah?nya.

Aturan pertama ketika hujan jangan berteduh di bawah pohon

supaya tidak tersambar petir, sisi pikiran Fay yang normal lang?

sung angkat bicara.

Yang bilang begitu pasti tidak sedang tersesat dalam kondisi

tertekan disuruh lari sama bule gila di bawah ancaman, sisi pi?

kirannya yang sudah jelas kurang waras serta-merta membalas.

Dan yang terakhir inilah yang didengarkan oleh Fay sekarang,

setelah menengadah kembali untuk memastikan tidak ada petir

atau kilat yang berseliweran di langit.

Sambil bersedekap, Fay memperhatikan hujan yang mulai tu?

run. Hujan tidak deras?seperti gerimis agak besar yang kon?

stan?memberi kesan seolah bisa berlangsung sepanjang malam.

Ia menghirup bau tanah bercampur tanaman yang basah dan me?

rasa tenang sejenak. Sejak kecil ia suka aroma lembap tanah ber?

campur tanaman yang diakibatkan hujan. Dulu ia sering kali

menyelinap ke teras rumahnya ketika hujan untuk menikmati

harum yang khas ini.

Fay menggigil saat sapuan angin menusuk kulit tangannya

yang telanjang. Ia mempererat sedekapan tangannya, berharap itu

saja cukup untuk menghindarkan dirinya dari rasa dingin yang

mencubit-cubit permukaan kulitnya, tapi tak butuh waktu lama

hingga ia tahu ia sudah kalah. Angin yang datang di sela-sela ge?

mercik air seakan sengaja membuatnya sengsara. Rasa dingin yang

menggerayangi permukaan kulitnya kini sudah menyebabkan rasa

ngilu di sekujur tubuh.

Di sela-sela gemeletuk giginya, Fay teringat pada cerita Bang

Dino, abang Dea sahabatnya, yang sudah sejak lama menjadi ang?

gota pecinta alam. Suatu kali Bang Dino bercerita tentang penga?

lamannya menolong seorang penderita hipotermia saat sedang

mendaki Gunung Rinjani di Lombok. Hipotermia adalah kondisi

saat seseorang kehilangan panas tubuh sehingga suhu badan me?

nurun drastis.

Menurut cerita Bang Dino, dalam kondisi yang sudah parah

seorang penderita hipotermia malah akan merasa kepanasan,

bukannya kedinginan, karena suhu tubuhnya sudah lebih rendah

daripada udara sekitar?teman pendaki yang ditolong Bang Dino

malah sudah buka baju segala. Bila keadaan sudah separah itu,

hanya ada satu cara yang bisa dilakukan dengan fasilitas terbatas,

yaitu menempelkan badan orang lain yang suhu tubuhnya masih

normal ke badan penderita supaya perpindahan panasnya terjadi

perlahan-lahan dan korban tidak shock.

Fay memonyongkan bibir. Kalau menilik cerita Bang Dino,

secara teoretis mestinya saat ini ia harus bersyukur karena setidak?

nya ia masih merasakan dingin. Tapi yang jelas, rasa dingin me?

nusuk yang membuat permukaan kulitnya seperti sudah menebal

dan terasa ngilu setiap kali tersentuh sama sekali tidak bisa mem?

buatnya lega. Kakinya yang sedari tadi sudah protes kini juga

sudah berteriak-teriak minta diistirahatkan.

Setelah celingak-celinguk beberapa kali, akhirnya Fay duduk di

salah satu akar pohon yang mencuat keluar tanah, sambil ber?

harap posisi tidak nyaman ini tidak akan berlangsung lama. Ha?

rapan itu semakin lama semakin terkikis hingga tak bersisa, ketika

ia melihat hujan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti,

sementara detik berlalu menjadi menit kemudian menjadi jam,

hingga gelap menyelimutinya tanpa kompromi.

Fay menyalakan lampu arlojinya dan menggigil?sudah hampir

tengah malam! Matanya sudah sedari tadi mulai beradaptasi de?

ngan gelap?pepohonan dan dedaunan di sekelilingnya mulai

muncul samar-samar sebagai siluet hitam yang lebih pekat dari?

pada udara yang sudah pekat. Hujan sudah berhenti tapi sesekali

tetesan air sisa hujan yang bergelantungan di cabang-cabang po?

hon di atasnya jatuh menimpa kepala dan Fay merasa kepalanya

seperti ditusuk dinginnya air. Udara dingin yang dihirup napasnya

juga menyakiti paru-parunya. Ingin rasanya ia menangis, tapi

rasanya hal itu sangat bodoh. Pelepasan emosi yang jangankan

memberi solusi, lega sesaat pun tidak.

Sampai kapan ia mampu bertahan dengan dingin yang meng?

gigit dan kegelapan yang pekat seperti ini? Di mana ia harus

mencari tempat berlindung untuk beristirahat? Mungkinkah ia

tidur dalam kondisi seperti ini, basah dan dingin? Bagaimana

caranya ia bisa menemukan tempat yang lebih kering, atau bah?

kan sekadar beranjak tanpa mencederai dirinya sendiri dalam

kegelapan seperti ini? Bagaimana kalau tidak ada orang yang men?

carinya? Bagaimana kalau Philippe memutuskan dirinya tidak

terlalu berharga untuk dicari?

Sepertinya menangis adalah salah satu pilihan jangka pendek

yang harus dijajal, pikir Fay frustrasi sambil menutup mukanya

dengan kedua tangan.

Atau berdoa.

Dengan perasaan agak tertekan Fay mencoba mengingat Tuhan,

memberanikan diri meminta bantuan-Nya untuk bisa keluar dari

kekacauan ini. Pikirannya melayang ke sajadah dan mukenanya

yang masih ada di koper, yang tidak dikeluarkan tadi siang karena

ia berpikir masih bisa menunda ibadahnya hingga sore. Shame on

you, Fay! pikirnya sebal.

Di tengah-tengah kekalutan pikirannya, terdengar suara te?

riakan di kejauhan. Fay menegakkan tubuh dan menajamkan

pendengaran. Benarkah itu suara orang, atau ia hanya berhalusi?

nasi positif karena habis berdoa?

Suara teriakan itu semakin dekat dan akhirnya terdengar jelas

suara seorang pria meneriakkan namanya.

Fay langsung berdiri dan sontak berteriak sekencang-kencang?

nya, "DI SINI... TOLOOONG!"

Terlihat di kejauhan sebuah cahaya kuning seperti berasal dari

senter, dan sayup-sayup terdengar suara pria berteriak, "Saya se?

gera sampai di sana. Tunggu di sana dan jangan bergerak ke

mana-mana!"

Fay mengembuskan napas lega. Dadanya terasa begitu ringan

dan beban yang sedari tadi bercokol di kepala dan perasaannya

kini sudah terangkat. Mendadak udara tidak terasa terlalu dingin

menyengat kulit dan paru-parunya tidak terasa sakit lagi karena

isapan udara yang dihirupnya. Bergerak-gerak mengentakkan kaki,

Fay menunggu pria itu tiba. Yang terbayang olehnya sekarang

adalah semangkuk sup hangat dan roti, kemudian tidur di kasur

empuk dengan pakaian kering di bawah selimut hangat.

Terdengar suara aneh yang baru disadarinya belakangan berasal

dari perutnya sendiri.

Fay meringis sambil memegangi perutnya. Sepertinya, bayangan

akan sepiring sup hangat dan roti sudah membangunkan macan

tidur di lambungnya.

Cahaya berwarna kuning semakin dekat dan akhirnya pria itu

tiba.

Fay mengangkat tangan melindungi matanya sambil mengerjap

ketika sorot senter yang menyilaukan diarahkan tepat ke muka?

nya.

"Kamu Fay Wiranata?"

Bukan, saya Cinderella.

"Iya," jawab Fay cepat setengah dongkol. Pake nanya-nanya,

lagi!

"Balikkan badan, berlutut, lalu letakkan kedua tangan di bela?

kang kepala."
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hah?

Hening sejenak.

Terdengar suara lolongan di kejauhan.

Terdengar suara gemeresik tumbuh-tumbuhan yang bergoyang

bergesekan.

"BALIKKAN BADAN, BERLUTUT, LALU LETAKKAN KE?

DUA TANGAN DI BELAKANG KEPALA!"

Hardikan pria ini menyadarkan Fay bahwa sedari tadi ia pasti?

nya hanya terdiam dengan bego tanpa bergerak sedikit pun se?

perti orang pandir. Tapi apa yang harus ia lakukan? Balikkan ba?

dan, berlutut, letakkan kedua tangan di belakang kepala, ulang

Fay kepada diri sendiri.

Fay pun akhirnya bergerak perlahan untuk melakukan apa

yang diperintahkan, tidak terlalu yakin mengerti sepenuhnya apa

yang diminta dan merasa sedikit tolol ketika melakukannya.

Begitu lututnya menyentuh tanah, Fay mengeluh dalam hati ke?

tika beceknya tanah yang basah terasa merembes melalui celana?

nya.

Terdengar suara langkah kaki mendekat dari belakang, disusul

sebuah bunyi klik di pergelangan tangan kiri Fay.

"Aww...!" Fay berteriak ketika kedua tangannya diturunkan de?

ngan kasar, kemudian disatukan di belakang punggung?pastinya

dengan sebuah borgol. Lengannya kemudian ditarik ke atas hing?

ga ia kembali berdiri.

"Target sudah ditemukan, kembali ke pusat sekarang," ucap

pria ini dengan suara berat.

Terdengar sebuah suara lain.

"SAM, apa-apan kamu ini? Lepaskan Fay, dia bukan ta?

hanan!"

Fay terpaku sejenak. Hatinya mengenali alunan suara yang per?

nah membuat dirinya melayang dalam bahagia sebelum pikiran?

nya sempat mencerna. Sekujur tubuhnya dijalari rasa hangat dan

ia seakan melayang dalam ruang waktu yang tak berbatas, diter?

bangkan suara melenakan yang menyapa telinganya itu.

Suara pria yang dipanggil Sam tadi membuat Fay kembali me?

napak bumi.

"Kamu dengar perintah Philippe tadi untuk membawa gadis

bernama Fay ini kembali ke rumah. Kamu kan tahu prosedur?

nya."

"Tapi tidak ada alasan untuk mengikatnya seperti itu!"

Sam tertawa ringan. "Listen to yourself! Kalau Paman men?

dengar kamu bicara seperti itu, kamu pasti dihajar habis."

Fay menahan napas. Ingin rasanya menoleh untuk melihat pe?

milik suara yang selalu ada di hatinya, tapi lehernya terasa kaku.

Apakah ini hanya mimpi? Benarkan itu suaranya?

Sam kembali berkata, "Dengar ya, aku nggak tahu apa yang

terjadi di antara kalian dan aku nggak mau tahu. Aku cuma di?

perintahkan untuk mencari dan membawa gadis ini kembali, dan

kecuali Paman memberikan instruksi khusus, cara inilah yang se?

suai dengan protokol."

Terdengar suara langkah kaki menapak di tanah yang basah

diselingi gemeresik rerumputan tersapu langkah yang semakin

mendekat. Fay terkesiap ketika mendadak sosok pemuda berambut

pirang dengan wajah tampan yang selama ini tidak pernah luput

mengisi semua sudut hatinya, sudah berada di hadapannya.

Kent.

Dimensi ruang bagaikan terlebur menjadi satu massa yang me?

nyesakkan benak dan perasaan Fay. Sebersit rasa yang selama ini

sudah berusaha ia pendam kembali hadir.

Tanpa berkata-kata Kent membuka jaket yang ia pakai dan

menyampirkan jaket itu di pundak Fay. Kent lalu menarik ritsle?

ting jaket secara penuh hingga ke leher Fay.

Fay menahan napas dan berusaha tidak melihat wajah Kent

saat wajah tampan itu berada begitu dekat dengannya. Rasa ha?

ngat langsung menjalari tubuhnya bahkan ketika yang bersen?

tuhan hanyalah ujung-ujung napas yang mereka embuskan, yang

bertautan bagaikan jemari yang berusaha mengetuk kembali ger?

bang hatinya. Susah-payah Fay berusaha menepis rasa apa pun

yang hadir dengan mencoba mengingat kekesalannya tahun lalu

kepada Kent. Gagal.

Sam memegang dan menarik lengan Fay, kali ini tidak terlalu

kasar, dan Fay mengikuti arahan Sam tanpa bicara. Kent meng?

ikuti di belakang mereka.

Fay merasa langkah kakinya setengah melayang, sebagian di?

sebabkan karena rasa bahagia yang dengan tak tahu diri muncul

begitu saja, dan sebagian karena tunas-tunas panik yang bermun?

culan dengan setiap langkah yang membawa mereka lebih dekat

ke rumah. Lengan jaket yang kosong terasa bergoyang-goyang di

kedua sisi tubuh Fay dan sesekali ranting-ranting terasa melibas

bagian lengannya, untungnya bagian itu terlindungi jaket Kent.

Wajah Kent yang tadi begitu dekat dengan wajahnya langsung

terbayang-bayang di benaknya dan dengan kesal Fay merasakan

ada desiran halus di dadanya setiap kali momen itu melintas.

Terdengar suara Sam, "Jadi, ini gadis yang menghebohkan itu,

ya?"

Fay tertegun mendengar pertanyaan Sam yang jelas ditujukan

pada Kent. Sambil berusaha menghindari ranting-ranting di se?

belah?nya, Fay menyimak.

"Shut up, Sam. You don?t know what you?re talking about!" Ter?

dengar gumaman Kent.

Sam tertawa. "Of course I don?t... officially. Tapi dinding kan

bisa bicara, terutama di rumah. Jadi, hubungan kalian seserius

apa?"

Fay tetap menyimak dengan debar jantung yang langsung mem?

buru mendengar pertanyaan yang dilontarkan Sam itu.

"Rasanya tadi kamu bilang kamu nggak mau tahu."

"Secara resmi aku tidak mau tahu... dan mungkin seharusnya

memang tidak usah tahu. Tapi jangan salahkan aku kalau pena?

saran gadis macam apa yang membuat nasib kamu satu tahun

terakhir ini buruk begitu. Bukan cuma aku yang penasaran, tapi

yang lain juga... Larry bahkan sudah membuka taruhan untuk

ini."

"Taruhan apa?!" Suara Kent terdengar lebih banyak kesal dari?

pada bingung.

"Tentang sejauh mana hubungan kalian. Semua menebak hu?

bungan kalian sudah serius karena kalau tidak untuk apa Andrew

repot-repot mengasingkan kamu satu tahun terakhir ini. Aku ber?

ganti pacar mungkin setiap tiga atau empat bulan sekali. Lou

sudah tiga tahun pacaran dengan gadis yang sama. Untuk dua

kasus itu, Andrew tidak pernahbil pusing. So tell me, kalian

sudah bertunangan diam-diam atau sebangsanya?"

"Kalian tidak punya topik taruhan lain, apa!"

Dengan dada berdebar nggak keruan, Fay tersenyum sedikit

mendengar gerutuan Kent. Wajah tampan yang serius dengan

kening berkerut dan bibir tipis yang mengerucut langsung me?

nari-nari di pelupuk mata.

"Tidak ada yang semenarik ini. Sejauh ini ada tiga pendapat.

Larry yakin kalian belum berbuat terlalu jauh dan kamu diasing?

kan semata untuk menjauhkan kamu dari... dia. Aku dan Lou

ada di kubu kedua, menurut kami kalian sudah bertunangan

diam-diam. Sedangkan si Elliot lebih parah lagi, menurut dia ka?

lian sudah menikah diam-diam... si geek satu itu sangat terobsesi

dengan ide tersebut dan dia yakin akan menang."

"Tolol sekali!"

Fay senyam-senyum ke-ge-er-an sendiri mendengar ucapan Sam

dan gerutuan Kent. Fakta bahwa ada taruhan yang khusus mem?

bahas hubungan dirinya dengan Kent membuktikan bahwa hu?

bungan mereka berdua memang istimewa walaupun tidak ber?

akhir seperti yang diharapkan, pikirnya senang agak-agak dangdut

dengan hati setengah melayang.

Hening sejenak.

Fay hanya mendengar degup jantungnya sendiri yang ia yakin

sudah terdengar hingga ke pinggir hutan.

"Jadi, siapa yang menang?" desak Sam.

"Tidak ada. Tutup saja taruhan kalian!"

"Dasar perusak kesenangan," ucap Sam menggerutu.

Mereka berjalan tanpa berkata-kata lagi, yang terdengar hanya?

lah keheningan yang diselingi suara-suara binatang malam dan

suara gesekan kaki mereka dengan rumput-rumput yang basah.

Fay membiarkan kakinya melangkah tanpa dirasa dan benaknya

bertanya-tanya tanpa mencerna. Apa maksud Sam dengan nasib

buruk yang menimpa Kent? Dan kenapa muncul pertanyaan ten?

tang keseriusan hubungan Kent dengan dirinya? Apakah keduanya

berkaitan? Memangnya sejauh mana hubungan mereka? Apakah

maksudnya Kent diasingkan? Diasingkan seperti apa? Apakah itu

sebabnya Kent menghilang begitu saja dan tidak pernah me?

ngontaknya?

Wujud rumah yang terang-benderang terlihat di antara pe?

pohonan dan segera mereka meninggalkan jalan setapak dan me?

masuki area halaman di belakang rumah. Seliweran pertanyaan di

benak Fay yang sudah tumpang-tindih langsung buyar, digantikan

sup dan roti seperti yang sebelumnya dibayangkan.

Sam menggiring Fay memasuki pintu belakang yang tembus

ke dapur.

Fay mengembuskan napas lega ketika merasakan kehangatan

menyapa, perlahan-lahan menyapu dingin yang sedari tadi ber?

cokol di kulitnya. Sekilas ia melirik ke meja dapur dan kompor.

Di atas kompor ada sebuah panci yang dengan sepenuh hati ia

harap berisi sup. Perutnya langsung keruyukan. Tidak ada ma?

kanan lain sejauh mata memandang.

Mendadak Kent sudah berdiri di depan Fay.

Fay lagi-lagi terkesiap dan serta-merta menahan napas ketika

Kent tanpa bersuara membukakan ritsleting jaket dan membantu

melepaskannya. Dengan dada berdebar kencang, Fay mencuri-curi

pandang ke Kent dan sukses kembali melayang tanpa daya me?

lihat wajah tampan dihiasi hidung mancung sempurna di antara

dua mata biru terang itu. Dasar norak! Ingat, Fay, dia ninggalin

lo begitu saja!

Omelan terakhir itu membuat Fay mengalihkan pandangan ke

Sam. Dengan cahaya benderang di dapur ini, baru terlihat bahwa

usia Sam ternyata masih muda, kemungkinan di awal dua pu?

luhan. Rambut Sam kecokelatan bergelombang dan raut wajahnya

sangat percaya diri, hingga bahkan dalam keadaan diam seperti

ini dia terlihat seperti cenderung mengejek. Pakaiannya sama de?

ngan Kent, hitam-hitam dengan sepatu bot yang juga berwarna

hitam. Sebuah headset melingkari telinga kanannya. Agak bergidik

Fay melihat sarung senjata berisi sepucuk senjata berwarna hitam

terpasang di tubuh Sam?sesuatu yang tidak ada di Kent.

Tepat saat mereka meninggalkan dapur, Philippe datang dari

arah berlawanan dan Fay langsung merasa jantungnya copot saat

beradu pandang dengan pria itu. Sorot marah dalam pandangan
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Philippe membuat pria itu terlihat siap menyantapnya kapan

saja.

"Kent, kembali ke kantor sekarang juga!" perintah Philippe.

Kent tampak seperti akan protes, tapi akhirnya urung dan ber?

jalan dengan langkah lebar ke arah foyer.

Fay menelan ludah melihat Kent berjalan meninggalkannya. Ia

merasa kepergian Kent memupuskan sisa-sisa keberaniannya yang

memang tinggal sedikit.

Sam mendorong lengan Fay, mengarahkannya ke ruang tengah.

Begitu melangkah masuk, Fay disambut tatapan dua pria lain,

berusia tiga puluhan dengan busana hitam-hitam seperti Sam.

Yang satu duduk di sofa dan yang satu lagi berdiri.

Pria yang berdiri berambut hitam yang dibiarkan gondrong

hingga hampir menyentuh bahu, dengan postur yang sangat pro?

porsional. Pria ini memperhatikan Fay dengan saksama dengan

sorot mata dingin.

Fay buru-buru mengalihkan pandangannya, beradu dengan ta?

tapan pria yang ada di sofa. Pria ini berwajah oriental dengan

rambut hitam disisir rapi dan tampak sangat terpelajar. Ekspresi

pria ini sangat tenang dan tatapannya tidak menghakimi dan ti?

dak terlihat dingin menyelidik seperti si gondrong. Fay merasa

langsung bisa menyukai pria ini, kalau saja keadaannya berbeda.

"AAARRGH...!" Detik berikutnya Fay berteriak ketika men?

dadak sebuah tangan mencengkeram pundak kirinya, begitu me?

nyakitkan, hingga ia merasa bahunya lepas dari tempatnya. Fay

berusaha menggeliat ke segala arah untuk melepaskan cengke?

raman itu, tapi dengan kondisi kedua tangan masih diborgol di

belakang tubuh, usahanya tidak membuahkan hasil. Sambil ber?

teriak, ia mencoba menahan rasa sakit hingga matanya berair.

Cengkeraman itu mendadak terlepas dan seseorang maju ke

depan Fay.

Philippe.

Fay merintih menahan sakit; bahunya seperti remuk terburai

dan ia sempat menoleh dengan rasa takut untuk memastikan apa?

kah bahunya masih ada di tempatnya. Susah-payah ia berusaha

menahan mulutnya untuk tidak bersuara. Dadanya perlahan-lahan

mulai sesak penuh kemarahan. Ia merasa sangat dilecehkan de?

ngan perlakuan kasar yang dilakukan Philippe di depan tiga pa?

sang mata yang mengamati reaksinya seolah ia tontonan di pasar

malam!

"Kamu lihat saja sendiri seperti apa gadis ini!" ucap Philippe

pada si pria oriental.

Pria oriental itu menanggapi dengan suara yang tenang dan

ringan, "Tidak perlu terburu-buru menyimpulkan apa pun. Fokus?

kan saja pada apa yang perlu diketahui saat ini, misalnya rencana

pelarian gadis ini."

Philippe mendelik, sepertinya kesal karena tidak mendapat du?

kungan sebesar yang diharapkan.

Fay mencoba berbicara, marahnya tadi mulai dicampuri rasa

panik, "Saya tidak melarikan diri... saya tersesat." Suaranya ter?

dengar pelan dan parau di telinganya sendiri.

"Tidak mungkin kamu ada di tempat kamu tadi kalau tidak

punya niat melarikan diri!"

Philippe menoleh kepada si pria oriental, "Saya ingin me?

minjam Russel malam ini."

"Silakan," jawab si pria oriental, kemudian berdiri. "Target su?

dah ditemukan, jadi kami akan pergi sekarang."

Philippe mengangguk kemudian berkata kepada si gondrong

yang ternyata bernama Russel, "Bawa dia ke basement."

Terdengar suara siulan kecil keluar dari mulut Sam.

Fay menoleh ke samping dan melihat pada wajah Sam terulas

cengiran yang semakin membuat ekspresinya tampak mengejek.

Sam menunduk, mendekatkan kepalanya ke telinga Fay, kemu?

dian menepuk-nepuk pundak Fay sambil berbisik, "Good luck.

Ada yang akan bersenang-senang malam ini dan pastinya bukan

kamu."

Fay merasa bulu kuduknya kembali meremang. Apa maksud?

nya?

"Sam...," tegur si pria oriental.

"Cuma ucapan ?good luck? biasa kok," ucap Sam sambil meng?

angkat tangan.

Philippe mendelik dengan raut kesal yang begitu kentara,

"Hilarious."

Diiringi tatapan Philippe yang menusuk, Sam buru-buru ber?

lalu mengikuti si pria oriental. Sepertinya Sam cukup familier

dengan omelan Philippe dan sudah tahu kapan harus menutup

mulut. Philippe mengikuti langkah Sam.

Russel menarik tangan Fay ke luar ruangan dan mereka ber?

henti di depan sebuah lemari di dekat tangga, tepat sebelum

memasuki foyer. Fay terbelalak melihat lemari itu sudah bergeser

dari tempatnya semula, menampakkan tangga batu yang meling?

kar ke bawah, diterangi cahaya remang-remang dari lampu kecil

yang menempel di dinding.

Perlahan Fay menuruni tangga melingkar dibantu oleh Russel.

Sampai di bawah, mereka tiba di satu area yang luasnya kuranglebih sama seperti foyer. Ada satu jalan menuju ruang lain yang

gelap gulita di sebelah kiri dan di sebelah kanan ada sebuah pintu

besi.

Russel menarik Fay ke arah pintu besi lalu membuka pintu,

menampakkan sebuah ruang dengan cahaya remang-remang dari

sebuah lampu kuning di langit-langit. Philippe sudah berdiri di

tengah ruangan dengan kedua tangan bersedekap.

Fay mengaduh ketika Russel menendang kakinya dari belakang,

memaksanya berlutut di hadapan Philippe. Benar-benar peng?

hinaan! Fay mendongak dengan marah dan perutnya langsung

terasa mual ketika matanya beradu pandang dengan sorot mata

Philippe yang dingin.

Philippe berkata, "Saya sudah memperingatkan kamu bahwa

saya tidak punya toleransi sama sekali terhadap kesalahan kecil,

dan usaha kamu untuk melarikan diri adalah pelanggaran yang

sangat berat."

Fay menggeleng dengan putus asa. "Saya tidak melarikan...

AARRGGHH!" Ia menjerit ketika sebuah tangan mencengkeram

pundaknya, persis di tempat yang sama dengan sebelumnya. Fay

berteriak sambil mencoba menggeliat untuk melepas cengkeraman

itu, tapi satu lagi tangan Russel mencengkeram tengkuknya, hing?

ga ia tidak berkutik. Fay akhirnya hanya merintih kesakitan sam?

bil memejamkan mata, mencoba menahan air matanya supaya

tidak jatuh bercucuran.

"Saya belum mengizinkan kamu bicara," ucap Philippe dingin.

"I?m sorry... please...," Fay mencoba memohon di sela-sela rin?

tihannya. Air mata kini sudah mengalir di pipinya.

Cengkeraman itu lepas.

"Ada banyak hal yang bisa saya lakukan untuk membuat kamu

bicara, tapi sebelum memulainya, saya akan memberikan kesem?

patan terakhir padamu. Pertama, saya ingin kamu mengakui

kamu melarikan diri. Kedua, saya ingin kamu mengatakan apa

rencana kamu dengan pelarian itu."

Fay menunduk dengan benak kalut dan tubuh gemetar. Bagai?

mana ia bisa menjelaskan kepada Philippe bahwa ia tersesat, bila

yang ingin didengar Philippe adalah sebuah pengakuan palsu? Ia

mencoba mengatur napasnya yang sudah mulai naik-turun, dipicu

rasa takut yang sudah menyeruak dari dalam perutnya.

"Apakah kamu melarikan diri?" tanya Philippe.

Fay menelan ludah dan menjawab dengan suara gemetar, "Ti?

dak..." Detik berikutnya tangan Philippe berkelebat ke arah Fay

dan Fay berteriak ketika sebuah sengatan panas terasa di pipi kiri?

nya. Belum sempat Fay memulihkan diri, tangan Russel sudah

mencengkeram rambutnya, memaksa kepalanya mendongak untuk

menatap Philippe.

"Bagaimana kamu menjelaskan bahwa kamu ditemukan hanya

beberapa ratus meter saja dari jalan raya?"

"Saya tersesat," jawab Fay dengan suara yang terdengar seperti

terkulum di telinganya sendiri.

Tanpa berkata-kata, Philippe berjalan ke sudut ruangan dan

menggeser sebuah meja kayu berukuran 1 x 1 meter ke tengah

ruangan. Di saat bersamaan, Russel menarik Fay hingga berdiri,

lalu membuka borgol yang menyatukan dua tangan Fay di pung?

gung.

Fay mengusap-usap pergelangan tangannya yang terasa perih,

namun tidak sempat merasa lega ketika melihat Philippe meraih

kantong jasnya lalu mengeluarkan sebuah dompet kulit berwarna

hitam.

Napas Fay langsung tercekat melihat apa yang diambil

Philippe. Sebuah pisau berukuran kecil dengan ujung tajam ber?

kilauan, seperti pisau bedah. Terasa satu desiran kuat di perut dan

Fay menahan napas. Akal sehatnya tidak bisa memberi penjelasan

yang masuk akal, tapi perasaannya mengatakan sesuatu yang bu?

ruk akan segera terjadi.

Detik berikutnya, tangan Russel menyambar pergelangan ta?

ngan Fay dan memitingnya ke belakang, dan satu tangan Russel

yang lain mendorong punggung Fay hingga ia terjerembap ke atas

meja.

Philippe menarik tangan kiri Fay dan merentangkannya dengan

paksa di atas meja.

Fay mencoba menggerakkan tangannya dengan panik dan ia

berteriak kesakitan ketika lengannya dipiting lebih keras oleh

Russel.

"Saya bersumpah tidak berusaha melarikan diri... saya tidak

membawa apa-apa... paspor, uang, apa pun!" sembur Fay seperti

meracau. Ia menatap mata Philippe dengan pandangan memohon

dan menangkap kilatan sangat keji pada sorot mata Philippe. Saat

itu juga ia tahu apa pun yang ia katakan tidak ada artinya.

Philippe tidak membutuhkan penjelasan apa-apa?pria ini me?

mang ingin menyakitinya! Kesadaran itu membuat Fay menggigil

dan air matanya tanpa bisa dicegah kembali mengintip dari sudut

matanya.

"Mari kita lihat sejauh mana kamu bisa bertahan," ucap

Philippe lagi.

Fay menggeleng sambil berusaha meredam isaknya yang jelas

tidak akan mengubah nasibnya malam ini. Dengan ngeri ia me?

nyaksikan pisau tajam berkilauan di tangan Philippe bergerak

mendekati tangannya. Fay menahan napas ketika merasakan di?

ngin logam menyentuh kulit tangannya.

"Good evening!" Mendadak terdengar sebuah suara tenang dan

berwibawa dari arah pintu masuk.

Fay menoleh dengan gemetar dan melihat Andrew berjalan

mendekat.

Philippe tetap membiarkan pisau menempel di tangan Fay dan

menyapa Andrew dengan kening berkerut, "Ada kunjungan ke?

hormatan rupanya."

"Kamu sepertinya cukup sibuk malam ini," ucap Andrew te?
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nang.

"Sangat sibuk! Gadis ini melarikan diri dan dia masih belum

mau mengakuinya. Saya juga tidak bisa menerima kesalahan se?

berat itu terjadi di bawah pengawasan saya!"

Andrew menatap Philippe dengan ekspresi yang tidak bisa di?

tebak dan kembali berkata dengan tenang, "Saya minta kamu ke

kantor sekarang, ada yang ingin saya bicarakan."

Philippe menatap Andrew tajam?terlihat sekali dia sangat ke?

beratan.

Fay menelan ludah sambil memandang mata pisau tajam yang

masih menempel di kulitnya, tanpa tanda-tanda akan disingkirkan

oleh Philippe.

"Sebaiknya kamu berangkat sekarang karena ada yang harus

kamu lakukan sebelum pertemuan itu?berkasnya sudah ada di

mejamu. Untuk urusan Fay malam ini bisa kamu serahkan ke

saya," tegas Andrew.

"Baik," jawab Philippe datar.

Fay mengembuskan napas lega diam-diam dan... "Aaarrgghh...!"

Fay berteriak ketika tanpa disangka-sangka ujung pisau melesak

ke dalam dagingnya. Butir demi butir darah keluar dari luka se?

panjang dua senti yang kini tertoreh di tangannya dan Fay lang?

sung merintih menahan sakit.

Philippe mengangkat kedua tangannya sambil menatap Andrew.

"Ups, sepertinya tangan saya tergelincir." Tanpa terburu-buru

Philippe menyimpan pisau di tangannya, lalu beranjak keluar

diikuti Russel.

Fay melihat luka sayatan di tangannya dan berusaha menyeka

darah yang keluar dengan jari tangan kanannya yang masih geme?

tar. Tapi, satu tangan putih kokoh milik Andrew mencegahnya.

Andrew mengangkat tangan kiri Fay yang terluka dan mem?

perhatikannya sejenak, kemudian mengeluarkan saputangan dari

sakunya dan membebat luka Fay dengan hati-hati. "Ini saja se?

harusnya cukup untuk menghentikan perdarahan sekarang juga.

Tidak perlu dijahit. Lukamu tidak dalam."

Fay tidak bisa bicara. Napasnya masih tersengal-sengal karena

tangisan yang siap dipecahkan di setiap ujung napasnya. Ia ber?

usaha keras untuk tidak kembali menangis dengan menggigit

bibirnya.

Tangan Andrew meraih dagu Fay dan mendorongnya sedikit

ke atas sehingga Fay menengadah menatapnya, lalu bertanya,

"Kamu tidak apa-apa?"

Nada khawatir di suara Andrew begitu jelas terdengar dan per?

tahanan Fay langsung pecah. Fay pun menutup wajahnya dengan

kedua tangan dan mulai terisak tanpa bisa berhenti.

Andrew menarik Fay mendekat lalu mendekapnya.

Untuk pertama kalinya di malam yang panjang ini Fay merasa

begitu hangat dan terlindungi. Rasanya ia tidak mau berhenti

menangis dan ingin melepas semua beban di dadanya lewat air

mata yang ia tumpahkan.

"It?s okay now," ucap Andrew berusaha menenangkan Fay, meng?

usap-usap punggung gadis itu hingga tangisnya reda.

"Sebaiknya kita naik sekarang. Saya sudah meminta Mrs. Rice

memanaskan sup dan menyiapkan roti serta segelas susu hangat.

Tentunya kamu harus makan dulu... luka kamu juga harus di?

bersihkan. Setelah itu baru kita pulang," lanjut Andrew.

Satu piring sup hangat dengan roti, ditambah susu hangat pula.

Sepertinya nasib sudah siap untuk berdamai, pikir Fay dengan

sedikit kelegaan di sela-sela rasa lelah yang muncul tiba-tiba.

Andrew meletakkan satu tangan di punggung Fay dan meng?

usap-usapnya sebentar, kemudian membimbingnya berjalan me?

nuju tangga dengan sebuah dorongan lembut di punggung.

Fay melihat Andrew yang tersenyum tipis seperti berusaha me?

nenangkannya, dan akhirnya ia mencoba tersenyum?bukan se?

nyum yang terkembang sepenuhnya, hanya seulas senyum se?

adanya di sela-sela rasa lelah, tapi cukup untuk menyampaikan

rasa terima kasihnya kepada Andrew atas penutup malam yang

panjang ini. Thank God... finally.

Andrew menyodorkan segelas anggur kepada Philippe, yang du?

duk di hadapannya, di ruang kerjanya di markas COU.

"Bagaimana jalannya latihan hari ini?"

"Saya masih tidak bisa terima dia punya nyali untuk melarikan

diri!" jawab Philippe keras, lalu menghirup anggurnya.

Andrew tidak menanggapi dan hanya tersenyum tipis.

Philippe menggeleng lalu kembali berkata, "Satu hal yang mem?

buat saya geram, dia tidak terlihat takut seperti yang seharusnya,

baik saat latihan maupun tadi, saat di basement."

"Mungkin kamu yang terlalu lunak sekarang...."

Philippe menangkap sebuah sindiran dalam nada suara Andrew

dan langsung membalas, "Kamu juga tidak memberi saya kesem?

patan untuk benar-benar keras kepada gadis itu!"

Sudut bibir Andrew terangkat sedikit ketika berkata, "Jangan

bilang kamu tidak sempat menikmati acara intim kalian tadi di

basement...."

"Sebenarnya bisa dikatakan saya belum mulai ketika kamu da?

tang." Philippe memainkan gelas di tangannya lalu menambahkan,

"Anyway, harus saya akui, saya cukup terkejut dengan cara gadis

itu bereaksi di bawah tekanan."

"Saat latihan atau saat di basement?"

"Dua-duanya. Saya cukup keras saat melatihnya, dan saya lihat

dia sama sekali tidak tergerak untuk berusaha lebih baik?seakanakan semua ancaman dan kekerasan yang dia terima tidak bisa

memengaruhinya sama sekali. Saat di basement juga kurang-lebih

sama?dia tidak setakut yang seharusnya."

Andrew mengangkat bahu dan bertanya sambil lalu, "Benarkah

begitu? Saya mendapat kesan dia sangat ketakutan saat berha?

dapan dengan kamu di basement."

Philippe berdecak. "C?mon, Andrew, kalau yang berdiri di ha?

dapan saya bukan dia, tapi gadis delapan belas tahun lain, mung?

kin mereka sudah meratap-ratap mintapun. Jangankan gadis

lain, Elliot saja kalau sampai harus berhadapan dengan saya se?

perti tadi pasti sudah kencing di celana!"

Andrew tertawa membayangkan reaksi Elliot, keponakan me?

reka yang paling muda.

Philippe kembali berkata, "Kalau hukuman dan kekerasan tidak

bisa menjadi motivasi bagi gadis ini untuk memberikan usaha

yang terbaik, ini semua hanya buang-buang waktu."

Andrew tersenyum tipis. "Relax, Philippe.... Masih ada be?

berapa hari lagi sebelum tugasnya dimulai. We shall see."

Kebimbangan Hati

UKUL sembilan pagi keesokan harinya, Fay sudah duduk

kembali di ruang tengah kediaman Philippe, siap dengan pakaian

latihan. Di kediaman Andrew pun sebenarnya ia sudah berlatih.

Sebelum sarapan, Andrew memintanya berlatih treadmill dan step

di ruang fitness, masing-masing selama lima belas menit, disusul

dengan latihan menaiki tangga ke lantai enam belas seperti yang

ia lakukan di hari pertama! Hasilnya tidak sebaik yang diharap?

kan. Untungnya hal terburuk yang ia terima dari Andrew adalah

dihujani tatapan tajam sambil diberi wejangan supaya lain kali

berusaha lebih keras.

Untung bukan Philippe yang mengawasi latihan tadi pagi, pikir

Fay sambil bergidik. Jemari Fay tanpa sadar mengelus-elus plester

yang menutupi luka kecil di tangan kirinya yang agak kelewat

nyeri untuk sebuah luka yang hanya dua senti dan tidak perlu

dijahit. Rasa "cenut-cenut" di lukanya bahkan lebih dominan

daripada nyeri di kakinya.

Fay menyapukan pandangan ke sekeliling ruangan; ruangan

yang sama tempat ia berada tadi malam tapi saat itu ia terlalu

terpaku pada orang-orang di sekitarnya. Matanya menangkap se?

buah piano di sisi ruangan, tertutup rapi. Kenangan akan den?

ting-denting halus yang pernah dimainkan Kent seakan ingin

kembali mengelus telinga dan Fay langsung mengalihkan pan?

dangan ke meja, di sana terdapat sebuah bingkai foto di sebelah

vas bunga.

Fay beranjak dari kursi untuk melihat lebih dekat. Sebuah foto

berwarna yang agak pudar menampilkan enam pemuda, menurut

tebakannya berusia awal dua puluhan, sedang berpose dengan

pakaian tim olahraga. Kening Fay sempat berkerut melihat tong?

kat-tongkat yang mereka genggam, tapi akhirnya ia mengenali itu

tongkat lacrosse?rasanya ia pernah melihat foto pangeran Inggris

berpose dengan tongkat yang sama. Yang ia kenali pertama dari

jajaran pemuda di foto itu adalah Andrew. Berdiri di tengah,

Andrew adalah satu-satunya pemuda yang tidak memakai topi

dan rambut pirangnya begitu bersinar. Fay berdecak kagum me?

lihat betapa tampannya dia dulu.

Di sebelah Andrew ada pemuda lain yang pasti adalah

Philippe. Fay serta-merta mengenali ekspresi merengut yang ter?

nyata memang sudah menghias wajah Philippe sejak dulu?mung?

kin benar dugaannya bahwa itu sudah bawaan sejak lahir! Fay

beralih ke wajah-wajah lain dan terheran-heran saat melihat pria

oriental tadi malam ada di foto, dengan wajah yang bisa dikata?

kan sama persis! Tiga pemuda lain di foto agak sulit diamati ka?

rena wajah mereka seperti tertutup bayangan dari topi.

Terdengar suara mobil memasuki jalan berkerikil dan Fay me?

nuju jendela untuk mengintip siapa yang datang. Sebuah sedan

berwarna biru metalik masuk ke halaman dan berhenti di depan

rumah. Degup jantungnya dengan tidak tahu malu langsung ber?

pacu ketika melihat sosok pemuda pirang yang ia kenali turun

dari mobil. Ia langsung dihampiri kegelisahan baru yang diselimuti

bahagia, bingung, dan kesal?entah mana yang lebih dominan.

Fay buru-buru duduk di sofa, menunggu dengan telapak ta?

ngan yang mulai terasa dingin. Mati deh! Apa yang harus ia kata?

kan kalau Kent masuk? Ia punya hak untuk marah setelah ditinggal?

kan Kent begitu saja tanpa penjelasan. Tapi masa mendadak marah

begitu saja? Apa nggak aneh, mengingat tadi malam pun ia diam

saja? Tapi kan tadi malam...

Kent muncul di ruang tengah.

Perdebatan di benak Fay raib begitu saja dan Fay merasa se?

kujur tubuhnya bagai dirayapi arus listrik. Napasnya seperti di?

tarik dengan paksa ketika sesaat udara serasa membeku, seakan

butir demi butir pasir waktu melayang tanpa batasan. Ia kembali

mengutuki hatinya yang berdegup tanpa malu-malu, sama sekali

tidak memberinya keleluasaan untuk menyelaraskan pikiran de?

ngan perasaan.

"Selamat pagi," sapa Kent.

Aduh, suara itu bikin lemas. "Selamat pagi," jawab Fay buruburu dengan norak. Ia melihat sudut bibir Kent terangkat sedikit

seperti seulas senyum yang enggan, tapi itu pun dengan sukses

membuat Fay ingin bersandar karena pusing. Ingat, Fay, lo kesal

karena tahun lalu dia pergi begitu saja! teriaknya kesal dalam

hati.

Kent duduk di kursi sofa di sebelah Fay. Ia mengenakan bu?

sana hitam-hitam persis seperti tadi malam, dengan sepatu bot

yang membuatnya makin terlihat gagah.
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Fay setengah menyesal kenapa tadi tidak menunggu di kamar

saja supaya tidak mempermalukan diri sendiri. Menyembunyikan

gugupnya, Fay pura-pura sibuk membetulkan tali sepatunya yang

sebenarnya masih terikat erat.

"Apa kabar, Fay?"

Fay terdiam sejenak saat udara tiba-tiba terasa begitu berat un?

tuk ditarik ke paru-paru. Yang duduk di sampingnya sekarang

adalah cowok yang pernah menghangatkan perasaannya dengan

menebar percik kebahagiaan hingga memenuhi batinnya, tapi

tahu-tahu menghilang begitu saja seperti tertelan bumi... Dan

sapaan yang keluar dari mulutnya adalah "apa kabar"?

"Fine, thanks," jawab Fay dengan suara seperti tercekat. Sambil

memarahi diri sendiri, ia balik bertanya, "Kabar kamu bagai?

mana?" Dan kenapa kamu menghilang begitu saja tanpa kabar ta?

hun lalu?

"Baik."

Is that it?

Fay terdiam. Adakah yang tersisa dari perasaan Kent terhadap

dirinya? Bagaimana mungkin Kent bersikap dingin seolah me?

mang tidak ada apa-apa? Bagaimana dengan perhatian yang Kent

tunjukkan tadi malam? Pikiran Fay dipenuhi kilasan-kilasan ke?

hangatan yang pernah dirasakan bersama Kent, saat dirinya dan

Kent menghabiskan waktu bersama dan saat Kent mengecupnya

lembut. Fay menarik napas untuk menghalau gemuruh di dada?

nya karena emosi yang tidak bisa diuraikan. Dalam hati ia ber?

sumpah tidak mau lagi bicara dengan cowok di sampingnya ini.

Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangan.

Fay dan Kent sontak menoleh dan ketika melihat Philippe tiba

dengan ekspresi wajah yang kaku, mereka berdua langsung berdiri

tanpa aba-aba.

Philippe memerintahkan Fay dan Kent untuk berdiri di ha?

dapannya. Perlahan Philippe mendekati Kent, kemudian tanpa

disangka-sangka melayangkan sebuah pukulan dengan kepalan

tangannya ke ulu hati Kent.

Terdengar suara erangan dari mulut Kent, bersamaan dengan

melorotnya ia ke lantai sambil memegangi perutnya.

Fay menggigit bibirnya untuk mencegah dirinya mengeluarkan

suara-suara panik yang tidak perlu, merasakan jantungnya sendiri

sudah berpacu tanpa kompromi.

"Saya membaca profil kalian berdua yang dibuat oleh Andrew

tahun lalu dan menemukan catatan tentang pelanggaran protokol

komunikasi," ucap Philippe tanpa melepaskan pandangan ke Kent

yang sudah hampir berhasil berdiri tegak kembali. "Saya tahu

kamu sudah menerima pelajaran sepantasnya untuk pelanggaran

kamu yaitu melakukan beberapa kontak tidak tercatat dengan Fay

tahun lalu, dan kamu harusnya sudah mengerti. Tapi saya ingin

menegaskan sekali lagi bahwa kalau kamu melakukan hal se?

macam itu lagi di bawah pengawasan saya, kamu akan menyaksi?

kan Fay berada di tangan saya."

Fay merasa bulu kuduknya berdiri. Sejumput sisa nyali yang

pernah dimilikinya raib diisap langit dan ia sama sekali tidak

mampu bersuara atau bergerak.

"Keluar sekarang juga! Latihan di Jalur Dua."

Fay cepat-cepat berlalu dari hadapan Philippe mengikuti Kent

yang berlari tidak jauh di depan. Benaknya sibuk memutar kem?

bali ucapan Philippe tadi.

Apa maksud Philippe saat menyinggung tentang kesalahan

Kent menyangkut "kontak tidak tercatat" dengan dirinya? Apa

kata Philippe tadi...? "...kamu akan menyaksikan Fay berada di

tangan saya..."

Fay bergidik ketika mengulang sendiri kalimat itu?potongan

kejadian di basement terputar kembali, namun segera tergantikan

permainan benaknya yang makin runyam seputar skenario apa

saja yang mungkin terjadi tahun lalu. Ia mengayunkan kaki tanpa

terlalu banyak mengamati keadaan sekitar, membiarkan kakinya

bekerja sendiri menjejaki jalur hingga beberapa saat kemudian ia

baru menyadari Kent masih berada tidak jauh di depannya.

Sekilas matanya menangkap papan penunjuk arah di sebuah

simpang tiga berupa panah yang mengarah ke kanan, dan kening?

nya berkerut sejenak?rasanya ia kemarin tidak melihat papan

itu.

Dasar bego, lari kayak orang buta! omel Fay pada diri sendiri.

Pi?kiran akan hal itu tidak lama-lama bercokol di benaknya karena

ia disadarkan kembali oleh bayangan Kent yang masih terlihat di

depannya.

Apa dia sengaja menjaga jarak?

Fay mencoba menguji dugaannya dengan berhenti ketika otot

pahanya mulai nyeri. Ia melihat Kent tetap melaju tanpa menoleh

hingga hilang di kelokan. Selang beberapa saat kemudian, Fay

kembali berlari dan ketika ia sampai di kelokan, Kent masih ada

di sana.

Fay tersenyum menang dalam hati?tidak mungkin Kent ma?

sih ada di sana kalau tetap berlari tanpa henti!

Jadi apa artinya? pikir Fay lagi dengan perasaan mulai dangdut

kege-eran.

Mendadak Fay merasa sesuatu tersentuh kakinya dan sebelum

menyadari yang terjadi, ia sudah tersuruk di tanah.

"Awww...!" Fay berteriak kesakitan sambil memegang betis kiri?

nya yang ototnya seperti tertarik. Matanya sekilas melihat apa

yang membuatnya tadi terjerembap, akar pohon yang agak men?

cuat ke arah jalan setapak. Mintapun, akar segede bagong gitu

nggak kelihatan!

"Ada apa, Fay?" terdengar suara Kent yang kini sudah berlari

mendekat ke arahnya.

"Aku tersandung dan sepertinya kakiku terkilir. Aku nggak

tahu bisa lari lagi atau tidak," keluh Fay sambil memegangi kaki?

nya.

Kent berjongkok dan meluruskan kaki Fay, mendorong telapak

kakinya hingga betis Fay kembali teregang.

"Aaaargh...!" teriak Fay kesakitan sambil berusaha menarik kaki?

nya kembali.

"Maaf," ucap Kent sambil melepas pegangannya. "Kita harus

segera kembali."

Kent jongkok di sebelah Fay dan melingkarkan tangannya di

pinggang gadis itu. Lalu Kent mengambil tangan Fay dan me?

lingkarkannya di leher sambil secara hati-hati menariknya hingga

berdiri.

Dengan kikuk Fay membiarkan dirinya dibantu, sambil me?

ngutuki sisi hatinya yang bersorak dan menikmati perlakuan ini.

Sisi hati yang sama dengan giat berdoa supaya momen ini ber?

langsung selama-lamanya, menghiraukan bagian lain dari hatinya

yang mencoba berteriak-teriak mengingatkannya tentang sakit

hatinya atas kejadian tahun lalu.

Perlahan Fay melangkah tertatih-tatih dibantu Kent. Mereka

berjalan perlahan tanpa berkata-kata dan setelah tersiksa beberapa

saat oleh keheningan yang menegangkan, Fay memutuskan untuk

melanggar sumpahnya sendiri dengan memulai percakapan ter?

lebih dahulu.

"Menurut kamu, kira-kira bagaimana reaksi Philippe kalau me?

lihat aku cedera seperti ini?" tanya Fay dengan nada biasa, me?

nutupi degup kencang di dadanya.

"Yang jelas kamu pasti diobati," jawab Kent.

"Tidak mungkin ya dia membiarkan aku seperti ini saja supaya

tidak usah latihan lagi?"

Kent tertawa pelan.

Fay merasa satu-satunya kaki yang masih bisa ia gunakan lang?

sung lemas mendengar tawa yang pernah menemani hari-hari?

nya.

"Uups... kamu nggak apa-apa, Fay?"

Suara Kent menyadarkan Fay bahwa lututnya memang lemas

betulan! Terasa pegangan Kent di pinggang dan tangannya men?

jadi lebih erat dan Fay merasa napasnya agak tersengal karena

sebuah kebahagiaan baru. Memalukan! umpat Fay pada diri sen?

diri.

Fay segera meluruskan posisinya dan menjawab buru-buru,

"Nggak apa-apa."

Kent bersuara, "Menjawab pertanyaan kamu barusan, aku rasa

Philippe tidak akan bersikap kelewat baik seperti itu, dengan

membiarkan kamu melewatkan latihan."

Fay mengangguk senang?berita apa pun terdengar menyenang?

kan dengan posisi dirangkul erat oleh Kent seperti ini! Namun,

sebuah bisikan hati mulai mengganggunya dengan sebuah tun?

tutan "Ayo, tanya ke dia apa yang terjadi tahun lalu, kenapa dia

pergi begitu saja."

Fay menepis bisikan itu dan menanyakan pertanyaan lain, "Apa

hubungan Philippe dengan Andrew?"

Kent menjawab, "Mereka berdua pamanku. Agak sulit untuk

menjawab pertanyaan kamu secara langsung, yang jelas mereka

masih famili."

"Aku tadi pagi melihat foto mereka di ruang tengah waktu

mereka masih muda. Ada empat orang lagi selain Andrew dan

Philippe di foto itu. Semuanya paman kamu?"

"Ya, semuanya pamanku."

"Aku lihat ada pria oriental yang sama dengan yang datang

tadi malam."

"Ya, Raymond Lang. Dia keturunan Vietnam-Cina dan

Amerika."

"Dia tampak... baik," gumam Fay agak bingung sendiri kenapa

juga ia harus menyampaikan penilaian atas pria yang belum per?

nah dikenalnya, semata atas kesan pertama yang ia tangkap.

Kent menanggapi, "Sikapnya memang tidak sekeras yang lain."

"Berapa usianya? Di foto sepertinya dia sepantaran dengan pa?

man kamu yang lain, tapi tadi malam wajahnya sama persis de?

ngan di foto, seakan dia tidak pernah menjadi tua."

"Sama seperti Andrew dan Philippe, mereka semua rata-rata

berusia empat puluhan. Raymond memang terlihat muda sekali

dan lebih mirip seorang pelajar yang sedang mengambil kuliah

PhD. daripada posisi yang dia pegang."

"Kalau pria yang disebut Russel tadi malam juga famili

kamu?"

"Tidak, dia bukan anggota keluarga. Dia hanya bekerja di...

yah kamu tahulah... kami menyebutnya ?kantor?. Semua anggota

keluarga bekerja di kantor, tapi tidak semua orang yang bekerja

di kantor adalah keluarga. Analoginya mungkin sama dengan se?

buah perusahaan keluarga. Para anggota keluarga pasti terlibat

dalam pengoperasian rutin perusahaan, bersama-sama dengan para

pegawai biasa yang memang dibayar untuk bekerja. Perbedaannya

terletak pada tanggung jawab yang dipikul?tanggung jawab ang?

gota keluarga pasti lebih besar dan mereka juga diharapkan untuk

berprestasi lebih baik daripada pegawai biasa."

Fay menangkap nada final dari penjelasan Kent, jadi ia me?
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mutuskan untuk menanyakan pertanyaan lain. "Di antara semua

paman kamu, siapa yang paling kamu sukai dan siapa yang paling

tidak kamu sukai?"

Kent tertawa ringan.

Oh, tidak, tertawa yang ITU. Jangan lemas lagi, pinta Fay pada

sang lutut sambil menguatkan hati.

"Kalau aku jawab lebih suka untuk hidup normal dengan

orangtua normal, tidak boleh ya?"

Fay menangkap nada Kent yang menggodanya sedikit?atau

mungkin ia saja yang ke-ge-er-an?dan sambil tersenyum dengan

perasaan melayang ia menjawab, "Tidak ada di pilihan."

"Aku paling suka pada Raymond, dan paling tidak suka pada

Philippe."

Fay terkekeh. "Jadi, ternyata bukan cuma aku yang berperasaan

tidak bisa menyukai Philippe. Dia itu yang paling galak, ya?"

"Istilah galak tidak tepat karena semua sama saja parahnya ka?

lau sudah marah, dengan cara yang tidak bisa dibandingkan satu

sama lain. Mungkin lebih tepat kalau dibilang Philippe lebih ba?

nyak aturan dan lebih kaku dalam menerapkannya."

Fay menelan ludah dan bertanya, "Bagaimana dengan pemuda

yang dipanggil Sam tadi malam? Apakah kalian punya hubungan

lain di luar... eh... pekerjaan-pekerjaan semacam itu? Dari cara dia

bicara tadi malam, kalian sepertinya cukup akrab." Mulai nyerem?

pet, pikir Fay agak gugup. Setengah hatinya yang menginginkan

penjelasan mulai melakukan tari kemenangan.

"Sam dan nama-nama lain yang disebutkan, adalah sepupuku,

anggota keluarga McGallaghan," jawab Kent.

Ayo, Fay, ini waktu yang tepat... tanyakan tentang makna ucapan

Sam tadi malam....

"Ada berapa orang sepupu kamu?" tanya Fay dengan dada ber?

debar. Sedikit lagi.

"Ada lima orang sepupu dekat."

"Semua sama seperti kamu, tidak punya keluarga lagi?" tanya

Fay lagi. Sabaaar.

"Tidak semua. Sam masih punya orangtua dan keempat sau?

dara kandungnya juga masih ada. Secara rutin dia pulang ke ru?

mah untuk mengunjungi mereka."

Fay terbelalak dan bertanya, "Apakah mereka tahu Sam melaku?

kan... pekerjaan-pekerjaan seperti... itu?"

Kent tersenyum. "Orangtua kamu bagaimana? Apakah mereka

sudah tahu kamu punya hobi baru, latihan lari di Paris di bawah

ancaman pamanku?"

Fay tersenyum. Ayo, tanya sekarang.

Fay membuka mulutnya kembali, "Kenapa kamu sekarang ikut

latihan dan bukannya mengawasi saja seperti tahun lalu?" Nyali

ciut, dasar pengecut! terdengar suara-suara marah yang berseliweran

di kepalanya.

"Tahun lalu peranku adalah sebagai mentor, dengan tugas un?

tuk membantu dan membimbing kamu dalam latihan. Sekarang

aku ikut latihan karena kebetulan sebentar lagi ada tugas yang

harus kulakukan."

Tubuh Fay langsung kaku. "Maksudnya, kamu akan terlibat

dalam tugas yang sama denganku?" Dengan gugup ia berkonsen?

trasi untuk melangkah ke depan. Suara-suara yang sedari tadi

mengipasnya untuk bertanya kepada Kent langsung tutup mulut,

sepertinya ikut panik.

"Bisa iya, bisa juga tidak, aku tidak tahu persis. Paman belum

menyinggung tentang tugasku sejak kedatanganku kemarin, dan

aku tidak berani berspekulasi apakah tugasnya sama dengan kamu

atau tidak."

Mereka tidak bercakap-cakap lagi sepanjang sisa jalan yang ti?

dak terlalu panjang. Ketika tiba di depan rumah, Philippe me?

nyambut mereka sambil mengerutkan kening, "Apa yang ter?

jadi?"

Sebelum Fay sempat menjawab, Kent sudah berbicara, "Fay

jatuh di koordinat lima dan kakinya cedera."

Philippe tampak sangat kesal dan memberi kode kepada Kent

untuk membawa Fay ke dalam rumah. Ia langsung berbalik dan

menghilang dengan cepat ke dalam rumah, diikuti Fay dan Kent

yang berjalan pelan.

Sesampainya ruang tengah, Philippe sudah berdiri di sebelah

kursi sofa dengan sebuah tas kecil berwarna hitam tergeletak di

atas meja.

Philippe berkata, "Tengkurap di sofa."

Fay merasa bukan hanya otot betis saja yang terpelintir, tapi

otot perutnya juga sudah terpengaruh. Tapi, ia segera melakukan

apa yang disuruh.

Philippe menaikkan celana panjang Fay dan meraba betis Fay

dengan dua jari, kemudian membuka tas hitam di meja.

Fay menoleh ke belakang dengan canggung berusaha melihat

apa yang dilakukan oleh Philippe dan terbelalak melihat suntikan

yang sudah ada di tangan Philippe. Ia tidak berani bersuara dan

memilih menyurukkan kepalanya ke sofa?setidaknya ia tidak

perlu menyaksikan jarum itu menembus kulitnya.

Satu sengatan ringan terasa di betis Fay, diikuti rasa kebas. Fay

tidak tahu apa lagi yang dilakukan Philippe setelahnya?ia hanya

merasa seperti sesuatu menggosok betisnya, entah apa.

"Sudah selesai," ucap Philippe. "Kamu tidak boleh menggerak?

kan kaki selama satu jam. Setelah itu latihan bisa dilanjutkan."

Philippe bangkit dari kursi kemudian meninggalkan ruangan.

Fay berusaha duduk, dan dengan ketakutan ia melihat ke arah

kakinya yang tidak terasa dan tidak bisa diperintah, hanya seperti

sebongkah batu yang mengganduli tubuhnya.

Kent tampak seperti ingin tersenyum dan tanpa disuruh lang?

sung mengangkat kaki Fay, membantu gadis itu supaya bisa du?

duk dengan benar. Ia meletakkan kaki Fay dengan hati-hati di

atas meja, disangga sebuah bantal, lalu duduk di sofa yang

sama.

Dengan sewot Fay melihat ke arah Kent yang masih berusaha

keras menyembunyikan seulas senyum. Sudut bibir Kent yang

melengkung ke atas, membuat wajahnya begitu melenakan.

"Kenapa kamu senyum-senyum?" tanya Fay berusaha kedengaran

ketus.

"Maaf, wajah kamu tampak lucu sekali tadi," ucap Kent sung?

guh-sungguh. Seulas senyum itu lenyap dari wajahnya.

Fay langsung menyesal kehilangan pemandangan indah, dan

buru-buru bertanya, "Barusan Philippe melakukan apa sih?"

Kent menjawab, "Dia mencoba meluruskan kembali urat kamu

yang terpelintir. Ada alatnya, bentuknya seperti pencapit. Pada

dasarnya, yang dia lakukan adalah memberikan ?pijatan? meng?

gunakan alat itu. Itu sebabnya dia memberikan bius lokal, supaya

kamu tidak merasa sakit."

"Berarti, sekarang kakiku sudah sembuh seperti semula?" tanya

Fay tak percaya. "Hebat juga dia," gumamnya tulus.

"Hampir semua pamanku bisa melakukan hal semacam itu dan

Philippe memang termasuk yang paling hebat. Beberapa sepupuku

juga sudah ada yang mulai belajar melakukannya. Setelah satu

jam, efek bius lokalnya akan hilang dan kamu bisa beraktivitas

seperti biasa, as if nothing had happened."

Fay memalingkan muka?ucapan Kent yang terakhir itu ter?

dengar begitu ironis di telinga.

Fay memajukan tubuh untuk meraih kakinya sendiri, kemudian

menepuk-nepuknya. "Tapi rasanya aneh sekali ya dibius seperti

ini. Seperti kesemutan tapi ya nggak mirip juga. Terasa tebal

dan... seperti agak nyeri tapi nggak sakit juga..." Ucapannya tidak

ia lanjutkan ketika terdengar suara tawa yang membuatnya lemas

itu. Untung lagi duduk, pikir Fay senang.

"Aku bisa bilang kamu cukup beruntung pagi ini, karena

Philippe memutuskan untuk membius kamu. Dengan profesi

Philippe yang sebenarnya adalah dokter bedah, bisa kamu bayang?

kan sakitnya bisa seperti apa kalau dia memang berniat untuk

menyakiti?dia tahu persis di mana posisi semua saraf sakit di

tubuh."

Fay langsung bergidik mendengar penjelasan Kent. Ia ingat

luka kecilnya yang terasa nyeri. Pisau berkilauan yang mengiris

kulitnya tadi malam langsung terbayang-bayang kembali. Entah

seperti apa nasibnya kalau Andrew tidak datang!

Fay melihat Kent menatapnya lekat dan dengan gugup Fay

menanyakan hal pertama yang dilihatnya saat mengalihkan pan?

dangan. "Punggung tangan kamu kenapa?" tanya Fay sambil me?

lihat luka di pucuk-pucuk tulang kepalan Kent.

"Nggak apa-apa. Cuma luka biasa saat latihan," jawab Kent

singkat. "Kamu terluka?" Kent balik bertanya sambil menatap

plester di tangan Fay.

"Iya, tadi malam Philippe membawaku ke basement dan..."

Ucapan Fay tidak diteruskan saat ia melihat Kent menegakkan

tubuh dengan kaku dan raut mukanya mengeras dengan sorot

mata dipenuhi kemarahan.

"Sam tidak memberitahuku kamu dibawa ke basement!" ucap

Kent keras.

Fay terperanjat, tidak mengerti kenapa Kent mengucapkan itu

seperti membentaknya. "Kenapa?" tanya Fay agak takut.

"Lamakah kamu di basement?" tanya Kent dengan suara ber?

getar, mengabaikan pertanyaan Fay.

Fay menjawab agak ragu, "Tidak terlalu lama. Aku ke basement

diantar Russel..."

Fay melihat rahang Kent mengeras dan dengan kaget ia meng?

hentikan ucapannya sejenak. Kent tampak sangat tegang?jemari

tangannya ditautkan dengan keras hingga urat tangannya menyem?

bul ke permukaan. Kent tetap menatapnya, menunggu.

Dengan gugup Fay melanjutkan ceritanya, "...di sana sudah

ada Philippe dan dia... mm... menanyaiku. Philippe berhenti se?

telah Andrew datang dan setelah itu aku diajak ke atas oleh

Andrew."

Kent menunduk hingga Fay tidak bisa melihat ekspresi wajah?

nya.

Fay juga hanya diam dan membiarkan benaknya bermain sen?

diri. Ia bertanya-tanya apa yang salah dengan ucapannya hingga

Kent bereaksi seperti itu, tapi tidak bisa mendapat jawaban yang

memuaskan.

Terdengar suara Philippe memanggil nama Kent dari arah foyer

dan Kent mengangkat kepala. Fay langsung tersentak melihat wa?

jah Kent yang merah padam.

Kent langsung berdiri dan berkata sambil lalu, "Aku ke

Philippe dulu." Tanpa melihat ke arah Fay lagi, ia berbalik me?

nuju foyer.

Fay terpaku menatap punggung Kent yang dengan cepat hilang

di balik dinding. Apa yang terjadi? Kenapa sikap Kent seperti itu?

Sebuah rasa pedih kembali mengintip di balik dada?Fay me?

rasa perasaannya dipermainkan dan jatuh ke jurang kepedihan

yang sama dua kali. Akhirnya ia menutup mata untuk melepas
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penat dan berusaha melupakan apa yang terjadi. Setelah satu jam,

ia mencoba menggerakkan kakinya dan tetap terkejut ketika men?

dapati kakinya melakukan perintahnya tanpa kesulitan. Sakit di

betisnya sudah lenyap tanpa jejak. Ia pun berdiri dan masih de?

ngan takjub naik menuju kamarnya di lantai dua untuk sekadar

membasuh muka sebelum makan siang, berharap percikan air

yang sama akan membasuh luka di hatinya juga.

Tepat pukul dua belas siang, Fay turun ke ruang makan. Philippe

dan Kent sudah duduk di kursi ruang makan saat Fay melangkah

masuk.

Fay baru saja akan menggeser kursi dan duduk ketika matanya

beradu pandang dengan Philippe yang menatapnya dari ujung ke?

pala sampai ujung kaki dengan sorot mata yang siap membakar?

nya. Jantungnya langsung berdegup kencang. Apa lagi salahnya?

"Kamu tidak akan duduk satu meja dengan saya dengan pa?

kaian seperti itu!" ucap Philippe keras. "Ganti pakaian kamu se?

karang juga atau kamu makan di istal tempat kamu lebih pantas

berada kalau ingin berpakaian seperti itu!"

Fay tertegun. Butuh waktu beberapa saat hingga otaknya selesai

mencerna perkataan Philippe. Setelah yakin otaknya sudah bekerja

dengan benar, Fay berbalik dengan dada sesak dipenuhi berjuta

kesal dan benci yang bergumpal-gumpal.

Pria itu keterlaluan! Apa salahnya dengan pakaian yang ia pa?

kai? Tank top dilapis kamisol dan celana jins kan pakaian normal

untuk cewek seumuran dirinya! Dan apa maksudnya ia harus ma?

kan di istal...? Apakah maksudnya ia lebih pantas makan dengan

kuda? Betul-betul tidak bisa diterima! Tidak ada seorang pun di

dunia ini yang pernah mengatakan hal sekasar itu padanya! Dan

Philippe mengatakan hal itu di depan Kent! Benar-benar tidak

punya perasaan!

Sambil menaiki tangga, dada Fay yang sesak mendesak air

mata untuk mulai mengintip dari sudut matanya.

Sampai di kamar, dengan gusar Fay membuka tas dan secara

serampangan mengeluarkan pakaian yang terpegang tangannya.

Sambil mencari, ia melempar semua pakaian yang lain ke lantai,

ke tempat tidur, ke mana saja yang ia bisa.

Masih dengan emosi yang belum sepenuhnya terlampiaskan,

akhirnya ia memilih blus putih berkerah lengan pendek dengan

aksen ikat pinggang kain dan celana katun warna cokelat tua. Ia

kemudian bergegas menyisir rambutnya dan turun dengan pe?

rasaan marah, kesal, malu, sedih, dan takut yang masih campur

aduk seperti adonan kue setengah jadi.

"Seperti ini lebih pantas," ucap Philippe dengan nada menusuk

saat Fay tiba kembali di ruang makan. "Duduk!"

Fay duduk sambil menunduk menatap meja untuk menyem?

bunyikan sorot matanya sendiri yang ia yakin sekarang bisa mem?

bakar siapa pun yang ia pandang, sampai lebih gosong daripada

terkena semburan api seekor naga.

Saat makanan pembuka dihidangkan, Fay baru menyadari ter?

nyata Philippe dan Kent sedari tadi belum mulai makan dan

menunggunya hingga ia selesai berganti pakaian. Kenyataan itu

entah kenapa membuat emosinya reda sedikit dan ia menyendok

supnya dengan lebih tenang.

Philippe tidak berkata-kata hingga makan siang usai dan Fay

menikmati ketenangan sesaat itu sambil berusaha menguasai

emosinya. Setelah makan, Philippe berkata singkat bahwa latihan

dimulai pukul dua siang, kemudian ia berlalu ke arah foyer, di?

ikuti Kent.

Fay beranjak dari kursi dan menuju ke luar rumah, berniat

mengelilingi rumah sambil menurunkan makanan. Saat ia sedang

menapaki halaman depan rumah yang dipenuhi kerikil tajam,

terdengar suara berisik gesekan kerikil di belakangnya. Fay me?

noleh dan jantungnya hampir melompat ke luar ketika melihat

Kent ternyata mengekor di belakangnya.

"Mau jalan ke mana?" tanya Kent dengan ekspresi yang tidak

bisa diartikan.

Fay menelengkan kepala sedikit mendengar pertanyaan itu.

Walaupun Kent bertanya dengan ramah, sepintas ia menangkap

kekakuan yang dingin dalam suaranya?atau itu perasaannya saja?

Entahlah.

"Hanya berkeliling rumah, menurunkan makanan," jawab Fay

sambil lalu, mengkhianati hatinya yang sudah mengepakkan sayap

kebahagiaan.

"Boleh aku temani?" tanya Kent lagi. Jelas Kent tidak meng?

harapkan jawaban, karena ia langsung menjajari langkah Fay.

"Boleh," jawab Fay singkat. Ia sendiri sibuk menenangkan diri

dan pikirannya, berusaha keras menyusun berbagai pertanyaan

yang berseliweran di benaknya.

Kent melangkah di sisi Fay dan berkata dengan nada meminta

maaf, "Aku tadi tidak sempat memberitahu kamu, Philippe paling

tidak setuju dengan busana jins, terlebih dipakai saat makan."

"Nggak apa-apa, bukan salah kamu," ucap Fay singkat, enggan

membahas masalah yang sudah mempermalukannya itu. Lagi pula,

bukan itu maaf yang ditunggu, imbuhnya pahit dalam hati.

Hening sejenak.

Pertanyaan-pertanyaan di benak Fay kini sudah siap dimuntah?

kan perasaannya namun masih ditahan akal sehatnya. Sebuah

penjelasan. Hanya sebuah penjelasan yang ingin ia dengar dari

mulut cowok di sisinya ini?kenapa cowok itu menghilang begitu

saja dan menarik kembali percikan-percikan kebahagiaan yang

pernah dihadiahkan kepada dirinya?

Fay mulai merasa jantungnya berpacu lebih cepat dan ia lang?

sung bersuara, "Sakitkah waktu Philippe memukulmu tadi

pagi?"

"Aku sudah terbiasa."

"Kayaknya bukan itu deh pertanyaanku," sergah Fay.

Kent tersenyum tipis. "Manusia beradaptasi dengan rasa sakit.

Yang lebih penting sebenarnya bukan rasa sakitnya, tapi bagai?

mana kita bereaksi terhadap rasa sakit itu. Dulu sih rasanya sakit

sekali... Kalau habis dipukul seperti itu, aku memegangi bagian

yang sakit sambil menyesali nasib, jadi secara tidak langsung aku

memilih untuk merasakan sakit itu. Tapi dengan aku beranjak

dewasa, tidak lagi. Aku pasti akan langsung berusaha berdiri, me?

milih untuk mengabaikan sakitnya dan mencoba fokus pada apa

yang akan terjadi selanjutnya."

Fay terdiam dengan dada seperti ditohok batang pohon. Ia

merasa disindir dengan telak?apakah itu maksud Kent dengan

perkataan itu? Pertanyaan yang sudah ada di ujung lidah Fay kem?

bali menggeliat membuat mulutnya sangat gatal. Setelah mencoba

berjuang antara memenangkan perasaan atau pikiran, akhirnya

Fay tidak tahan lagi.

"Apa yang terjadi tahun lalu? Kenapa kamu pergi begitu saja

tanpa kabar?"

Ada rasa menyesal mendengar pertanyaan itu meluncur keluar

begitu saja dari mulutnya, tapi Fay bergeming. Ia bertekad me?

nuntaskan semua pertanyaan yang selama satu tahun belakangan

ini sudah menyiksa batinnya, sekarang juga.

Fay menatap Kent yang berjalan perlahan di sisinya, menung?

gu. Kent memasukkan kedua tangan ke saku celana katun ber?

warna hijau tua yang tampak serasi dengan atasan rajut warna

krem bergaris yang sangat pas di badannya.

Dada Fay berdesir sedikit saat ia melirik dan menyadari busana

yang dipakai Kent membuat cowok itu tampak sangat dewasa,

bahkan bisa dibilang berwibawa. Garis wajah Kent juga terlihat

lebih tegas, walaupun kini tampak muram.

Sedikit-banyak Fay berterima kasih pada Philippe yang me?

maksa dirinya berganti baju tadi. Kalau saja ia masih memakai

tank-top dan jinsnya tadi, yang kalau dipikir-pikir memang sudah

agak kumal, sekarang ia pasti sudah minder dan berharap ditelan

bumi.

Ekspresi Kent tidak berubah. Ia tetap menyapukan pandangan?

nya dengan tenang ke depan seolah sedang menikmati peman?

dangan yang mereka lalui.

Sekonyong-konyong Kent menoleh.

Fay merasa jantungnya berhenti memompa dan kehilangan na?

pas selama beberapa saat waktu sorot mata mereka beradu.

"Apakah alasan penting? Bagaimana kalau aku bilang semua

yang terjadi tahun lalu tidak nyata dan sebaiknya semua memori

itu dikubur dalam-dalam saja?" ucap Kent.

Fay terpaku sejenak. Segera dadanya panas penuh kemarahan

dan ia balik bertanya, "Bagaimana aku bisa menganggap semua

itu tidak nyata kalau kenangan akan itu selalu ada?"

Kent mengalihkan pandangannya dari Fay dan menjawab,

"Anggap saja itu sebuah kesalahan."

Fay terdiam dengan perasaan remuk redam bagai dipalu go?

dam. Ia membuang muka, terlalu sakit hati untuk menatap wajah

cowok yang hampir membuatnya gila ini.

Kent kembali berkata, "Akan lebih mudah?untuk kebaikan

kamu sendiri?kalau kamu menganggap aku sebagai seseorang

yang tidak bertanggung jawab dan tidak layak untuk berada di

sisi kamu."

"Kalau itu yang aku pikirkan, aku tidak mungkin berbicara

dengan kamu sekarang seperti ini," sergah Fay.

"FAY, apa bedanya kamu tahu apa alasannya atau tidak?" tukas

Kent dengan wajah mengeras karena kemarahan yang tidak di?

mengerti oleh Fay. "Tidak perlu mencari alasan yang masuk akal

untuk suatu kejadian, yang lebih penting adalah akibatnya. Alasan

adalah masa lalu, sedangkan akibat adalah masa depan."

What? Fay terdiam sejenak dengan sebuah kemarahan yang su?

dah bergumpal-gumpal di dada. Saat ini ia punya berjuta maaf

yang siap diberikan begitu saja. Yang ia perlukan adalah alasan?

pembenaran untuk memutuskan apakah berjuta maaf itu akan

digelontorkan secara cuma-cuma atau tidak. ITU bedanya.

"Kamu mengalihkan topik bahasan!" tuduh Fay akhirnya. Ia

merasa sudah dijebak dalam permainan oleh kata-kata Kent, su?

paya cowok itu bisa lolos dari tanggung jawabnya memberi pen?

jelasan, bahkan hanya dalam bentuk yang paling sederhana. "Aku

cuma bertanya apa yang terjadi tahun lalu. Apa sulitnya men?

jawab pertanyaan itu!" tambah Fay.

Kent menghela napas kemudian berkata, "Kamu benar, tidak

sepantasnya aku berpura-pura semua kejadian tahun lalu itu tidak

nyata. Aku minta maaf atas semua yang terjadi."

Kabut yang menghuni sudut-sudut gelap di hati Fay mulai

terangkat?Fay menahan napas, menunggu.

Kent melanjutkan, "Tapi terlepas dari perasaan yang terlibat

saat itu, semua hanya kenangan masa lalu yang mungkin pantas

dikenang?tidak lebih."

Sesuatu menghantam dada Fay dari dalam. Kabut itu hilang,

bersamaan dengan sudut hatinya yang pecah berantakan.

Kent menambahkan, "Dan alasan yang masuk akal adalah hal

terakhir yang bisa kuberikan padamu."
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Fay merasa jantungnya terkoyak sebagian, seperti siksaan yang

tidak tuntas. Seluruh dirinya seakan terempas kembali ke palung

yang belum berdasar.

Setelah diam sejenak, Fay berkata perlahan, "Jadi, maksud

kamu, aku tidak berhak menerima penjelasan apa pun atas ke?

pergian kamu tahun lalu?" Ia berusaha terdengar tenang, tapi ia

tahu suaranya bergetar.

"Begitulah," ucap Kent singkat tanpa emosi.

"Itu sangat egois!" seru Fay.

"Kamu tentu punya hak untuk beranggapan apa pun tentang

diriku sebagaimana aku punya hak untuk tidak menjelaskan apa

pun padamu," ucap Kent kembali dengan tenang. "Sebaiknya kita

berkonsentrasi pada latihan dan tugas."

"Baik kalau begitu!" ucap Fay dengan suara bergetar sambil

berbalik, berjalan kembali ke arah rumah dengan langkah lebar.

Tidak ada gunanya lagi untuk berbaik-baik dengan cowok breng?

sek yang sudah menghancurkan perasaannya itu. Sekelumit bagian

hatinya berharap untuk mendengar suara Kent yang memanggil

namanya, tapi suara itu tidak pernah datang. Setetes air matanya

mulai keluar dan segera disusul yang lain. Begitu tiba di dalam

rumah, Fay segera melesat naik ke kamarnya sambil berharap da?

lam hati tidak pernah berkenalan dengan cowok busuk dan tidak

tahu diri bernama Kent itu.

Reno benar. Ia seharusnya tidak membiarkan dirinya larut da?

lam perasaan apa pun yang menyangkut Kent.

Ingatan akan perkataan Reno tahun lalu tentang cowok breng?

sek ini berkelebatan kembali dalam pikiran Fay. Begitu ia me?

nutup pintu kamar di belakangnya, tangisnya pecah tanpa

peringatan.

Kent berjalan perlahan menapaki jalan berkerikil tajam yang

mengarah ke hutan.

Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa sebuah tiket pe?

sawat sekali jalan dari London ke Paris yang diletakkan pamannya

dua hari yang lalu di atas meja tulis kamarnya akan membawanya

ke momen ini?momen saat ia lagi-lagi harus menyakiti perasaan

tulus gadis yang begitu dicintainya. Pamannya saat itu hanya ber?

kata singkat bahwa ada tugas yang akan menantinya, di Paris dan

di Peru. Kent sama sekali tidak membayangkan ia akan terlibat

kembali dalam kehidupan Fay, bahkan walaupun ia sudah tahu

secara tidak sengaja bahwa Fay akan ada di kota yang sama.

Satu tahun sudah berlalu sejak kisah tentang dirinya dan Fay

terpatri dalam garis nasib mereka, dengan akhir perpisahan yang

tidak berpihak pada kisah itu. Ia tadinya berpikir bahwa waktu

satu tahun cukup untuk mengubur semua rasa yang pernah ada

tanpa bersisa. Tapi ia ternyata salah. Saat matanya beradu dengan

sorot mata Fay dan ia menangkap semburat pilu di sana, detik

itu juga ia tahu setiap hari yang berlalu selama satu tahun ini

ternyata tidak bisa mengusir perasaan yang pernah ia miliki untuk

Fay. Mati-matian ia berusaha melupakan Fay selama satu tahun

ini, tapi rasa itu berkurang pun tidak. Sebuah rasa yang bercokol

bagaikan virus yang tidak bisa dienyahkan dan terus menduplikasi

diri hingga memenuhi hatinya.

Ia tahu betapa menyakitkan perkataannya tadi bagi perasaan

yang terus-menerus memancarkan cinta tanpa syarat. Ia tahu

bagaimana tersiksanya perasaan Fay setelah semua asa akan cinta

harus terempas begitu saja. Ia tahu, karena itulah juga yang ia

rasakan.

Andaikan ia bisa berteriak ke depan Fay bahwa hanya ada satu

alasan atas semua tindakan dan perkataan yang dilakukan dan

diucapkan dirinya, bahwa semua dilandasi cinta!

Tapi apa gunanya menjelaskan alasan yang begitu suci, bila

semua harus berakhir menyakitkan?

Tidak ada jalan lain.

Kebersamaan antara dirinya dan Fay tidak boleh ada. Sampai

mereka berdua bisa meyakini hal itu, ia tahu Fay akan tetap ter?

sakiti, entah dengan cara seperti apa.

Jam dua siang Fay turun ke lantai bawah tanpa semangat hidup,

berjalan dengan langkah terseok-seok memakai baju latihan baru

yang diantar Mrs. Rice ke kamarnya?untungnya setelah air mata?

nya kering dan baju-bajunya yang berserakan sudah ia sumpalkan

kembali ke tas. Di tubuhnya kini melekat kaus polos lengan pen?

dek berwarna hitam, dengan celana panjang berbahan terpal yang

juga berwarna hitam, sama persis dengan yang dipakai Kent. Yang

paling tidak ia sukai adalah sepatunya, bot berwarna hitam yang

walaupun pas di kakinya dan terasa empuk berkat kaus kaki tebal

yang dipakainya, tapi beratnya mintapun. Kakinya dalam kon?

disi tidak pegal saja belum tentu tidak protes, apalagi sekarang

setelah menjalani kerja paksa selama dua hari.

Latihan lagi-lagi dibuka dengan lari, sebuah aktivitas yang da?

lam keadaan normal mungkin sudah mulai bisa diterimanya, tapi

dengan bot sialan ini tercantel di kakinya, aktivitas ini tetap saja

menjadi sangat menyiksa.

Saat berlari, Fay sempat berpikir untuk menyembunyikan sepatu

olahraga yang biasa dipakainya di balik semak di dalam hutan,

kemudian mengganti sepatu bot yang lebih mirip batu ini dengan

sepatu olahraga ketika lari di hutan. Tapi khayalan nan indah itu

langsung pupus ketika ia ingat harus mengganti sepatu olahraga

itu dengan bot yang sama di pengujung jalur lari. Bodohnya!

Segera setelah pikiran bodoh tentang sepatu itu musnah, pi?

kiran tentang Kent merasuk perlahan mengisi benaknya. Dengan

dada yang rasanya teriris tipis-tipis Fay menyadari Kent sudah

tidak terlihat lagi di depannya. Keengganan Kent untuk me?

nunggunya seperti sebelumnya, mau tidak mau harus bisa ia

terima sebagai penutup episode yang melibatkan Kent dalam fase

hidupnya yang berantakan ini.

Tiba di halaman rumah, Fay disambut oleh tatapan kesal

Philippe?bukan sesuatu yang mencengangkan, jadi Fay mendekat

dengan pasrah.

"KAMU kira kamu sedang berlibur?! Lima puluh push-up, seka?

rang!"

Fay mengomel dalam hati. Seingatnya tahun lalu ia tidak per?

nah melakukan lima puluh kali push-up sekaligus! Ia mengambil

posisi dan melakukan push-up-nya diselingi sesekali tendangan tak

manusiawi yang dilayangkan Philippe, yang kali ini ia coba tang?

gapi dengan mengaduh sepelan mungkin.

Begitu Fay selesai, Philippe berkata tajam, "Saya akan memberi?

kan hukuman berdasarkan selisih waktu kamu dengan Kent...

semakin besar selisihnya, semakin berat hukuman yang kamu

terima. Sekarang, latihan di Jalur Tiga!"

Mereka berjalan sekitar lima menit ke arah hutan di belakang

rumah dan tiba di lapangan luas dengan atribut latihan tentara

ada ban berjejer yang harus dilewati dengan cepat, ada tempat

untuk latihan merayap yang dikelilingi kawat duri, ada jaring tali

yang harus dipanjat, ada papan besar yang harus dituruni dengan

tali, dan entah ada apa lagi di balik papan besar itu.

Fay mendadak merasa pusing... tanpa Philippe saja, latihan di

Jalur Tiga ini pasti akan membuatnya sengsara, apalagi dengan

Philippe yang mengawasi latihan. Rasanya ia ingin menjerit se?

kencang-kencangnya untuk menyalurkan rasa frustrasi yang kini

menguasai benaknya. Ia sama sekali tidak yakin bisa melewati

sore ini dengan selamat!

Philippe memberi perintah untuk melakukan tiga putaran dan

Fay dengan resah berlatih merayap, merangkak, melompat, me?

manjat, sambil berharap keajaiban menghampirinya?entah de?

ngan cara membuat Philippe terkena rabun siang lagi atau mem?

buatnya punya kekuatan dan kelincahan seorang superwoman.

Ternyata memang ada yang dinamakan keajaiban...

Tidak dengan cara yang dipikirkan oleh Fay tadi, tapi dengan

membuat seorang Kent menyertai perjalanannya. Dengan perasaan

campur aduk Fay melihat Kent memperlambat semua gerakan,

sehingga jarak di antara mereka tidak terlalu jauh. Ugh, apa sih

maunya cowok ini?! Fay semakin kesal ketika menyadari ada se?

bagian hati kecilnya yang dengan tololnya menjadi begitu terharu

dan kembali berbunga-bunga.

Akhirnya, di akhir putaran ketiga Fay dan Kent tiba di ha?

dapan Philippe dengan jarak yang hanya berselisih beberapa pu?

luh meter.

Philippe bersedekap sambil melihat ke tanah dengan ekspresi

wajah seperti merenung. Tanpa melihat ke arah Fay dan Kent,

dia beranjak sambil berkata seperti menggumam tanpa minat,

"Kembali ke halaman rumah."

Fay dan Kent melihat Philippe dengan ekspresi alis terangkat

yang kurang-lebih sama. Akhirnya mereka mengikuti Philippe

sambil diam, masing-masing sibuk memikirkan sikap Philippe

yang tidak seperti biasanya.

Ketika mereka sudah tiba di depan rumah dan sudah berdiri

di hadapan Philippe di jalan berkerikil, Philippe berjalan ke bela?

kang Kent, lalu tiba-tiba menendang bagian belakang lutut Kent

hingga cowok itu jatuh berlutut. Dengan satu gerak cepat,

Philippe yang masih berada di belakang Kent meraih tangan ke?

ponakannya itu, kemudian menelikung jari manis cowok itu ke

arah belakang melewati kepala, memaksa Kent untuk mendongak

ke arah belakang dengan posisi tubuh yang melengkung cang?

gung. Kent langsung berteriak kesakitan.

Fay terbelalak sambil menahan napas. Gila! Jari Kent bisa

patah!

"Kamu pikir saya sebodoh itu hingga tidak menyadari kamu

tidak memberikan usaha yang terbaik!" Dengan satu sentakan

kasar Philippe kembali mendorong jari manis Kent ke belakang,

membuat cowok itu kembali berteriak kesakitan.

Philippe melepas pegangannya ke Kent. Selanjutnya Fay yang

berteriak kaget ketika Philippe menendang bagian belakang lutut?

nya. Serta-merta Fay mengaduh ketika lututnya menghunjam

kerikil-kerikil runcing di jalan setapak itu.

"Letakkan tangan kalian di tengkuk! Kalian akan berada dalam

posisi ini sepanjang malam, TANPA makan malam! Jangan ber?

gerak hingga saya perintahkan!"

Philippe pun berlalu meninggalkan mereka sambil melirik ke?

sal, masuk ke rumah.

Fay merintih merasakan kerikil-kerikil di jalan setapak ini bagai

melesak ke dalam lutut dan ia berusaha menggeser posisi lutut?

nya, tapi ia kembali mengaduh. Percuma! ratap Fay putus asa

sambil menatap kerikil-kerikil tajam yang berserakan dengan ra?

pat, berlapis-lapis di atas tanah.

Kent berkata, "Fay, jangan bergerak. Philippe selalu serius de?

ngan ancamannya."

Fay menegakkan kepalanya dengan gengsi yang sudah tersulut

sampai ke kepala. Setelah apa yang dikatakan cowok ini tadi

siang, kenapa harus menunjukkan perhatian seperti ini...? Apa sih

maksudnya?! Dengan nyolot Fay menjawab, "Apa peduli

kamu?"
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cuma mengingatkan," jawab Kent datar.

Uuugghh... menyebalkan! Dasar cowok nggak punya perasaan!

Sambil merengut Fay menurunkan tangan untuk memegang

lututnya, dan ia langsung terperanjat ketika tangan Kent menahan?

nya dan mengembalikan tangannya kembali ke belakang kepala.

Langsung terasa desiran halus di dadanya.

"Apa-apaan sih kamu?!" seru Fay semakin nyolot, menutupi

debar di dadanya yang mulai mengusung keraguan atas sikapnya

menghadapi Kent.

Kent menjawab tidak kalah keras, "Fay, kalau Philippe sampai

melihat kamu gagal melakukan apa yang diperintahkannya, kamu

bisa lebih sakit lagi!"

"Dia kan tidak ada!" tukas Fay tak mau kalah.

Kent menunjuk ke ujung rumah dengan menggerakkan kepala?

nya, "Kamu lihat ada kamera di situ? Philippe bisa saja sedang

mengawasi. Coba kamu lupakan sejenak sakit di lutut kamu dan

kerikil-kerikil ini, dan pikirkan hal lain."

"Aku tidak seperti kamu! Mudah melupakan hal-hal yang me?

nyakitkan!" sergah Fay pedas tanpa berpikir. Ia tertegun sejenak

setelah mendengar kalimat itu meluncur dari mulutnya, tapi ia

langsung menyeringai puas karena bisa menyelepet Kent dengan

membalikkan perkataannya sendiri. Tau rasa! HAH!

Pintu rumah terbuka dan Philippe keluar dengan raut yang

lebih kesal daripada sebelumnya.

"FAY, berdiri!" perintah Philippe setengah menghardik.

Susah-payah Fay berdiri, hampir jatuh lagi ke tanah ketika me?

rasa lututnya terlalu lemas untuk menahan tubuhnya.

"Lari di jalur satu, sekarang!"

Fay melakukannya dengan sekuat tenaga sambil mengomel da?

lam hati?tentu saja diselingi keluh kesah pada diri sendiri saat

terpaksa harus berhenti karena paha, betis, dan lututnya nyeri.

Ketika putarannya usai, Philippe lagi-lagi memberi hukuman lima

puluh push-up.

Siklus yang sama terulang kembali dua kali, tapi di putaran

terakhir Fay benar-benar sudah tersuruk ke tanah ketika berhenti

di hadapan Philippe karena kakinya sudah tidak sanggup lagi di?

ayunkan. Kali ini Philippe tidak repot-repot menyuruhnya pushup, tapi langsung saja menendang sambil menyuruhnya bangun.

Fay bangkit dengan air mata sudah berkumpul di pelupuk

mata karena perlakuan kasar itu?lebih karena harga dirinya se?

rasa diinjak daripada karena sakit yang dirasakan. Fay merasa

darahnya naik ke kepala dan akhirnya ia mengalihkan pandangan?

nya supaya Philippe tidak melihat sorot marah di matanya.

"KENT, bangun!"

Kent berdiri tanpa banyak kesulitan.

"Sekarang juga kamu pergi ke kantor!" ucap Philippe kepada

Kent dengan ekspresi masih kesal. "Dan, Fay, kamu pulang seka?

rang!"

Fay bergegas masuk ke rumah untuk mengambil ranselnya. Ia

tidak berniat mandi dan berganti baju di sini, di tempat ada se?

orang pria gila yang sepertinya belum bosan untuk menyakiti

fisiknya, dan seorang cowok brengsek yang masih juga belum le?

lah menyakiti hatinya.

Lima menit kemudian limusin hitam yang dibawa Lucas sudah

melewati gerbang, meninggalkan mobil sport putih dan mobil

metalik biru yang masih diparkir di depan rumah.

Philippe melihat ke luar melalui jendela ruang kerjanya di lantai

dua. Terlihat limusin hitam bergerak meninggalkan rumah. Tak

lama kemudian, mobil biru metalik milik Kent juga mulai ber?

gerak ke arah gerbang.

Philippe mendengus?kedua anak itu sedang bernasib baik.

Kalau saja tadi Andrew tidak menelepon dan memintanya untuk

mengirim mereka pergi, ia bisa memastikan kedua anak itu akan

berhadapan dengan dirinya di basement tengah malam nanti de?

ngan lutut memar dan perut kelaparan.

Philippe kemudian mengangkat telepon untuk menghubungi

Andrew. Jari-jarinya mengetuk meja saat mendengar nada sam?

bung. Begitu telepon diangkat dan ia mengenali suara Andrew

yang menyapa di seberang, ia langsung bicara.

"Saya sudah mengirim mereka, Kent ke kantor dan Fay ke

apartemen kamu. Mereka baru saja berangkat."

"Jadi, apa yang kamu lakukan di antara waktu saya meminta

kamu melepas mereka hingga waktu mereka akhirnya pergi?"

Sudut bibir Philippe terangkat sedikit mendengar pertanyaan

Andrew?Andrew memang mengenalnya sangat baik. "Tidak ba?

nyak," jawabnya agak santai. "Saya hanya menyuruh gadis itu

untuk melakukan tiga putaran lagi... dan, hasilnya tetap me?

ngecewakan!" lanjutnya agak keras.

"Apa pendapat kamu tentang hal itu?" tanya Andrew.

"Seperti yang saya katakan kemarin, gadis itu tidak punya moti?

vasi. Hukuman yang bertubi-tubi atau ancaman sekeras apa pun

sejauh ini tidak bisa menggerakkannya."

Andrew kembali berbicara, "Bagaimana penilaian kamu tentang

kemampuan fisik Fay?"

"Dengan skala kemampuan fisik satu hingga sepuluh, nilai

terendah seorang agen yang pernah saya tangani di awal re?

krutmen adalah empat, tapi dia tidak lolos. Nilai terendah yang

berhasil lolos adalah enam. Kemampuan Fay ada di... antara ren?

tang empat hingga tujuh."

"Kenapa kamu memberi rentang?"

"Saya pribadi yakin fisiknya sebenarnya bernilai tujuh. Apalagi

dia baru delapan belas tahun jadi secara fisik masih bisa dibentuk

dengan benar. Tapi kurangnya motivasilah yang menyebabkan

nilainya sekarang hanya ada di angka empat."

"Bagaimana saya yakin kamu tidak bias ketika memberikan

nilai empat, bahwa nilai empatnya disebabkan kurang motivasi,

bukan karena keterbatasan fisik?"

"Saya beri satu contoh sederhana. Di putaran ketiga tadi, dia

terjatuh di depan saya seolah-olah kakinya sudah tidak kuat lagi

melangkah. Tapi begitu saya memberi tendangan sedikit saja, dia

langsung berdiri tegak kembali. Tenaganya sebenarnya masih ba?

nyak, tapi dia berlaku seperti orang yang sudah dibang batas

kecuali ada kejutan yang memaksanya untuk melangkah lebih

jauh!"

"Apakah itu berarti diperlukan tingkat kekerasan fisik yang le?

bih tinggi untuk membuat Fay mengeluarkan kemampuannya?"

"Berdasarkan pengamatan saya, tidak... dan itu dia masalahnya!

Kekerasan hanya akan membuat perubahan sesaat karena yang

terpicu dalam dirinya dengan tindak kekerasan adalah insting un?

tuk bertahan hidup, bukan motivasi untuk melakukan yang ter?

baik." Philippe berhenti sebentar sebelum melanjutkan, "Saya

tahu observasi adalah keputusan mutlak kamu selaku Kepala Di?

rektorat Pusat, tapi saya harus mengingatkan kamu, kalau keadaan?

nya tetap seperti ini saat dia mengikuti Program Latihan Dasar

COU, saya akan memberi rekomendasi terminasi untuknya bah?

kan sebelum program berakhir!"

"Jangan khawatir, Philippe. Serahkan masalah itu kepada

saya?lakukan saja yang perlu kamu lakukan. Pertanyaan terakhir,

bagaimana sikap Kent selama latihan?"

Philippe menjawab dengan keras, "Dia terlalu melindungi Fay!

Tadi saja dia berusaha menyamai kecepatan Fay di Jalur Tiga su?

paya selisih waktu tempuh mereka tidak terlalu lama dan hu?

kuman yang saya berikan kepada Fay lebih ringan. Kalau saja

saya tidak ingat tugasnya sebentar lagi, sudah saya patahkan jari?

nya tadi!"

Terdengar tawa Andrew.

"Easy, Philippe... kita masih membutuhkannya untuk main

piano sebelum makan malam keluarga besar."

Philippe merasa agak rileks. "Ada rencana untuk itu dalam

waktu dekat?"

"Mungkin?nanti akan saya kabari waktu tepatnya. Thanks."

Telepon ditutup.

Reno

RENO berjalan santai sambil menyandang ransel hijau di se?

lasar ruang kuliah Fakultas Ekonomi Universitas Zurich. Ini akhir

tahun ketiganya di sana. Langkah kakinya menggema di selasar

yang hampir kosong?hanya ada suara percakapan yang sayupsayup terdengar dari beberapa arah, seolah secara sia-sia berusaha

memecah hening yang mengambang di udara. Satu minggu ke

depan tidak ada jadwal kuliah karena ada ceramah maraton dari

tiga profesor tamu darierika. Karena sifat ceramah itu tidak

wajib, cukup banyak mahasiswa yang merencanakan kegiatan lain

di luar kuliah.

Sayang hanya satu minggu, pikir Reno. Ia memang akan meng?

gunakan waktu yang singkat ini untuk mengunjungi Quito, kota

kelahirannya. Seandainya liburan musim panas telah tiba, aku

pasti bisa menghabiskan waktu lebih lama di sana, pikirnya lagi.

Sudut bibir Reno terangkat saat ingatan tentang liburan musim

panas menyambangi pikirannya. Jadi, ke mana ia akan berselancar

tahun ini?

From Paris-2.indd 118

Dengan langkah yang terasa semakin ringan Reno menuruni

tangga menuju koridor ruang umum, membayangkan ombakombak yang deru deburannya seakan sudah hampir terasa di

gendang telinganya. Hawa musim semi ini langsung terasa lebih

lembap dari biasa, walaupun belum mendekati negara-negara Asia

yang pernah ia kunjungi. Di Thailand, tempat ia sempat tinggal

selama hampir satu tahun setelah kelulusan SMA, udara terasa

begitu menyesakkan, seakan semua cahaya yang dicurahkan mata?

hari dimampatkan menjadi partikel-partikel udara yang berdesakdesakan memaksa masuk ke jalur napasnya, menyebabkan ke?

ringatnya bercucuran tanpapun.

Terlepas dari semua itu, tidak ada yang bisa menghalangi niat?

nya untuk berselancar dan melebur dalam gulungan ombak?bah?

kan kalau itu menyebabkan ia harus terdampar di pantai selembap

apa pun di benua mana pun, dan membuatnya kering-kerontang

bagai busa diinjak gajah.

Reno tersenyum dalam hati. Selain Thailand, Hawaii sepertinya

menarik, pikirnya lagi. Atau bisa juga Bali.

Munculnya pilihan terakhir itu memaksa Reno berpikir lebih

dalam. Sembilan tahun berlalu sejak peristiwa yang merenggut

orangtua dan adik tersayangnya, Maria, persis setelah kepulangan

mereka dari Pulau Dewata. Sudah sanggupkah ia menginjakkan

kaki lagi di sana dan menapaki jejak-jejak kenangan yang ber?

serakan di setiap sudut pulau itu?

Mungkin tidak?setidaknya tidak sekarang. Berarti tinggal

Hawaii dan Thailand....

"Hai, Reno!"

Sebuah sapaan renyah terdengar dari sebelah kiri. Reno me?

noleh dan melihat seorang wanita muda berkulit putih pucat de?

ngan potongan kurus tinggi bak model dan rambut pirang men?

juntai yang diikat tinggi di atas kepala seperti ekor kuda Tsar. Si

seksi Yugo.

Gadis Yugoslavia yang nama aslinya Karina itu kini memam?

From Paris-2.indd 119
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pangkan senyum termanisnya, menatap Reno dengan kerlingan

sangat mengundang dan tidak bisa dilewatkan.

Reno tersenyum dan menghampiri Karina. Sejak dulu ia ter?

biasa menerima perhatian seperti ini. Tampak lebih matang dari

usianya yang 22 tahun, dengan rambut ikal yang dibiarkan sedikit

agak panjang, perawakan tinggi kokoh, dan kulit kecokelatan me?

rata yang diperoleh dari petualangan ke berbagai pantai untuk

memuaskan hasratnya berselancar, hampir tidak ada wanita yang

tidak menoleh untuk kedua kalinya bila melihat Reno. Dengan

sikap simpatik yang tidak pernah ragu ia keluarkan, hampir pasti

ia berhasil memenangkan wanita secantik apa pun?seperti saat

ini.

"Hai, Karina. Impressive hair style, as always. Wanita secantik

kamu harusnya berada di catwalk, bukan di koridor universitas

yang membosankan seperti ini."

Pancingan Reno mengena. Wajah Karina sekarang bersemu de?

ngan warna merah muda yang membuatnya sangat menggemas?

kan. Reno menggigit bibirnya sendiri sembari memperhatikan

bibir merah muda tipis Karina yang mengilap dan menawan, dan

mendengarkan susunan kata mengalun keluar dari celah yang ter?

bentuk di antaranya.

"Reno, rencananya nanti malam aku dan beberapa teman mau

hang-out di kelab. Kamu sudah ada rencana? Ikut yuk."

Reno tertawa. "Biar kutebak, kamu memilih tidak ikut kuliah

para profesor itu, ya?"

"Well, melewatkan satu hari kuliah saja kan tidak ada pengaruh?

nya. Lagi pula aku yakin kamu juga begitu... Sejak kapan seorang

Reno antusias menghadiri ceramah pilihan?" goda Karina.

Reno nyengir. "Bagian yang terakhir itu tidak terlalu salah...."

"Jadi, kamu bisa ikut, kan?"

"Aku belum tahu...," kalimat Reno terputus bunyi pesan sing?

kat yang diterima di telepon genggamnya. Ups. Mungkin Kaia,

wanita Turki yang sedang ia pacari.

From Paris-2.indd 120

Wanita mungkin memang diciptakan dengan insting berlebih,

pikir Reno heran sambil membuka telepon untuk melihat pesan

yang masuk. Sosok Kaia langsung lenyap dari pikirannya, di?

gantikan umpatan dalam hati ketika melihat nomor yang tidak

terdaftar di buku alamatnya, diawali dengan +254, kode negara

Kenya. Menarik napas panjang untuk mengusir kesalnya, ia se?

kilas membuka pesannya dan sama sekali tidak terkejut melihat

kalimat, "Miss u so dearly. Call me. Tania."

"So, bagaimana? Kamu bisa ikut?" tanya Karina penuh harap.

Reno menggeleng dengan rasa sesal yang tidak dibuat-buat,

"Sayangnya tidak bisa. Ada urusan keluarga yang mendesak.

Mungkin lain kali."

Karina tampak kecewa.

Reno kemudian mendekatkan kepalanya ke arah Karina dan

memasang wajah memelas. "Aku betul-betul mohon maaf, urusan

keluarga yang satu ini tidak bisa ditunda lagi, kalau aku masih

mau dianggap sebagai bagian dari keluarga. Kamu tentunya tidak

mau kan kalau aku muncul di depan kamarmu membawa ko?

per?"

Karina tertawa dan berkata menggoda, "Sejujurnya, aku tidak

terlalu keberatan."

Berhasil.

"Aku mau kamu bersumpah kamu tidak marah, dan lain kali

akan mengajak aku lagi," sambung Reno lagi dengan wajah lebih

memelas.

"Tapi aku tidak mau ditolak lagi," ucap Karina merajuk.

"Kalau itu terjadi lagi, keesokan harinya aku pasti sudah ada

di depan kamarmu, berlutut membawa bunga... dan mungkin

koper." Reno mengedipkan sebelah mata. "Gotta go now. Tschuss,"

ucapnya sambil melempar senyum terakhirnya kemudian berlalu,

diiringi lambaian tangan Karina yang masih tersenyum.

Dengan langkah cepat Reno kini berjalan menuju telepon

umum yang ada di area kampus. Mengirimkan pesan singkat dari

From Paris-2.indd 121

nomor telepon berawalan kode negara Kenya adalah cara me?

nyebalkan pamannya untuk memberitahukan ada pekerjaan yang

harus ia lakukan. Yang tertulis dalam pesan singkat itu sendiri

tidak penting, karena inti dari diterimanya pesan itu hanya satu,

yaitu ia harus segera menghubungi sang paman. Terkadang ia he?

ran kenapa pamannya tidak menelepon saja dan langsung mem?

beritahunya. Tapi, mengingat ia berurusan dengan Andrew

McGallaghan yang masuk ke kehidupannya sejak sembilan tahun

silam, ia tahu mengharapkan sesuatu yang normal adalah sesuatu

yang mendekati mustahil.

Tangan Reno meraih gagang telepon dan sesaat kemudian su?

dah berbicara dengan pamannya.

"Saya minta kamu datang ke Paris sekarang juga. Ada dua tu?

gas yang menanti kamu segera, satu berlokasi Paris dan satu lagi

di Peru," terdengar suara jernih Andrew berbicara.

"Sir, bulan lalu saya sudah mengajukan rencana off untuk me?

ngunjungi Quito dan sudah disetujui. Saya akan berangkat besok

sore!"

"Geser jadwal kunjungan kamu setelah tugas di Peru."

"Baik," ucap Reno dongkol. "Tugas apa kali ini?" tanyanya

sambil lalu. Pamannya biasanya tidak pernah menjelaskan apa-apa

di telepon. Pertanyaan itu ia ajukan lebih untuk membuat paman?

nya jengkel daripada untuk mendapatkan jawaban.

"Kamu akan menjadi mentor bagi Fay di Paris. Detail yang

lain akan saya sampaikan saat kamu melapor di kantor siang

ini."

Fay! Jantung Reno berdegup kencang. "Sebentar, Paman..."

"Sir!" potong Andrew keras.

"I?m sorry, Sir. Apakah tugasnya Close Surveillence by Inter?

vension seperti tahun lalu?" tanya Reno gugup. Pamannya me?

mang menerapkan panggilan yang berbeda untuk membedakan

kapasitasnya sebagai seorang paman di rumah dan seorang atasan

di garis komando COU.

From Paris-2.indd 122

Suara pamannya terdengar jauh lebih tidak sabar ketika men?

jawab, "Kamu tidak menyimak perkataan saya. Yang saya katakan

tadi adalah kamu akan menjadi mentor, satu hal yang sama sekali

berbeda definisinya dengan apa yang kamu sebutkan. Sampai jum?

pa siang ini." Telepon ditutup.

Lambat-lambat Reno berjalan meninggalkan area kampus, mem?

biarkan pikirannya menyeretnya pada kenangan sewaktu ia men?

dapat tugas untuk mendekati Fay tanpa membuka identitas yang

sebenarnya sebagai agen COU. Saat itu ia mendaftar di tempat

kursus yang sama dengan Fay dan memasang kedok sebagai te?

man sekaligus kakak di depan Fay.

Peran yang awalnya ia jalankan semata sebagai bagian dari tu?

gas, namun akhirnya ia lakoni dengan segenap jiwa ketika Fay

benar-benar menjadi adik dalam hatinya. Berkah yang menurut?

nya dilimpahkan dari Sang Buddha untuk meneruskan perannya

sebagai kakak di dunia setelah kepergian Maria.

Sekarang ia ditugaskan menjadi mentor bagi Fay, yang berarti

identitasnya sebagai agen COU akan terungkap. Bagaimana reaksi

Fay kalau tahu kemunculan Reno dalam hidupnya tahun lalu

merupakan bagian dari skenario Andrew? Apa yang harus ia kata?

kan nanti bila bertemu dengan Fay?

"Hai, Fay, aku akan menjadi mentor kamu... Pria yang men?

culik kamu tahun lalu adalah pamanku... Tentu saja yang kulaku?

kan tahun lalu adalah menipu kamu... Tapi tidak semuanya bo?

hong, jadi bagaimana kalau kita lupakan semua dan mulai dari

awal?"

Reno mengumpat dalam hati sambil berjalan cepat meninggal?

kan kampus. Mendadak satu pikiran lain menyergap dan meng?

hentikan langkahnya secara tiba-tiba.

Apa hasil observasi Fay? Apakah tugas sebagai mentor Fay kali

ini menandakan bahwa Fay sudah lolos dan akan bergabung di

COU? Ataukah observasi itu dilanjutkan tahun ini dengan ob?

server lain?

From Paris-2.indd 123

Reno kembali mengumpat dalam hati dan dengan langkah le?

bar ia melanjutkan perjalanannya. Ia akan mencari tahu jawaban?

nya begitu tiba di Paris siang ini. Segera.

Hampir sampai!

Fay mengembuskan napas lega melihat pengujung jalur larinya

sudah sedemikian dekat. Bangunan rumah di sela-sela pepohonan

di depannya sudah mulai terlihat. Bagai mendapat semangat baru

Fay pun mempercepat larinya. Ia sekarang sedang berlatih kembali

di Jalur Dua pada hari Selasa siang, setelah sepanjang pagi tadi

berlatih di Jalur Tiga?latihan yang benar-benar membuatnya

hampir gila!

Seakan belum puas menyiksa dengan semua perlakuan kejinya

itu, pagi ini Philippe memberi kejutan lain. Fay ingat betapa se?

sak napasnya tadi pagi saat melihat sebuah jalur merayap baru

yang khusus dibuat untuknya.

Dibuat persis di sebelah rintangan kawat yang lama, rintangan

kawat "istimewa" ini berukuran lebih panjang, dengan bukaan

lebih kecil yang dibuat sangat pas untuk mengakomodasi tubuh?

nya?bahkan untuk Kent saja tidak muat.

Fay bergidik mengingat bagaimana sepanjang latihan merayap

tadi Philippe terus-menerus meneriakinya untuk bergegas sambil

memukul-mukul kawat dengan tongkat, hingga ujung kawat ber?

duri yang tajamnya mintapun itu berkali-kali menyentuh le?

ngannya?beberapa malah memang menggores lengannya! Sin?

ting!

Sikap Philippe juga tidak melunak. Apalagi sekarang dia sudah

memegang catatan rekor Kent di Jalur Tiga, dan catatan itulah

yang digunakan sebagai referensi untuk menghukum Kent dan

Fay.

Fay mengembuskan napas sambil menggeleng mengingat la?

From Paris-2.indd 124

tihannya tadi pagi, dan mempercepat ayunan kakinya. Tepat ke?

tika ia sudah hampir sampai di ujung jalur setapak dan memasuki

area lapangan terbuka, matanya menangkap ada satu orang selain

Kent yang berdiri di depan rumah memakai baju latihan hitamhitam yang persis sama, ditambah topi. Sudah pasti bukan

Philippe, karena tubuhnya tidak sekurus dan setinggi Philippe.

Andrew? Dengan tidak yakin Fay bertanya pada diri sendiri.

Rasa ingin tahu dan harap-harap cemas membuat Fay bergegas

mendekat.

Pria bertopi itu menoleh dan Fay merasa ada ruang kosong

dalam otaknya yang tidak bisa ia cerna.

Reno?

Fay melihat Reno menjulurkan tangan ke arahnya.

Reno? Apa yang dia lakukan di sini?

Fay melihat tangannya sendiri terjulur ke depan untuk me?
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyalami Reno.

"Hai, Fay. Apa kabar?" terdengar suara renyah yang dikenal

menyapa.

Apa kabar? Apa maksudnya "apa kabar"?


Trio Detektif 43 Penculikan Kolektor Wiro Sableng 155 Sang Pemikat Pendekar Hina Kelana 35 Penghuni Goa

Cari Blog Ini