Ceritasilat Novel Online

Selir Yang Dihadiahkan 1

Selir Yang Dihadiahkan Karya Widi Widayat Bagian 1

12

Kolektor E-Book

Aditya Indrajaja

Foto Sumber oleh Awie Dermawan

Editing oleh D.A.S3

SELIR YANG

DIHADIAHKAN karya Widi Widayat

4

Hak Pengarang dan Hak Mencetak buku ini dipegang

sepenuhnya oleh Pustaka Penerbit "ANALISA" c.v. ?

Jakarta

dibawah naungan UNDANG-UNDANG.

Harga Rp. 120,?5

I. SELIR AYU YANG MALANG

RAGAPADMI, seorang wanita cantik Madura

yang berhasil merebut hati Raja Bidarbo sebagai selir.

Begitu cinta dan begitu kasih Raja Bidarbo terhadap

selir muda yang ayu laksana bidadari turun dari langit

ini. Yah, siapa tak gandrung menyaksikan paras ayu

dan badan langsing, yang dimiliki Ragapadmi. Ia

merupakan wanita tanpa tandingan di seluruh pulau

Madura dan merupakan bunga indah nan menarik

dalam kraton Pucangan.

Tapi kini bunga indah dalam kraton Pucangan ini

menderita amat hebat. Seluruh tubuh yang indah itu

dipenuhi oleh luka yang bernanah dan menyebarkan

bau busuk dan memabukkan.

Mula-mula Ragapadmi cuma menderita bisul
bisul kecil yang tumbuh diatas permukaan kulit yang

kuning halus itu. Sejak itu prabu Bidarbo telah

berusaha untuk menyembuhkan, tapi sia-sia. Bisul
bisul kecil itu kemudian mengandung nanah dan

darah. Dan kemudian pecah menyebarkan bau tak

enak. Tubuh yang indah itu rusak karenanya, dirusak

oleh luka-luka. Dan tubuh yang indah dihiasi oleh

kemontokan dadanya itu kini tiada lagi. Telah ditutup6

oleh luka-luka yang mengerikan. Dan bibir yang

semula mungil dan menjedapkan itu, kini telah pecah
pecah dan luka-luka disekitarnya merusaknya.

Bunga menarik kraton Pucangan itu kini tinggal

merupakan "tengkorak hidup" yang menjijikkan. Akan

tetapi prabu Bidarbo masih amat cinta terhadap selir

yang malang ini. Karena itu masih selalu berusaha

untuk menyembuhkannya. Namun demikian sampai

sekarang ini, bukannya sembuh oleh pengobatan,

malah luka itu tambah parah.

Dan kalau bibir Ragapadmi yang telah pecah
pecah itu mengeluarkan rintihan, hati prabu Bidarbo

bagai disayat sembilu.

Rintihan yang amat mengharukan, keluhan

yang amat menusuk hati. Ragapadmi yang telah amat

rusak itu terbaring diatas tempat tidurnya dengan

pakaian yang menutupi tubuhnya itu melengket ke

luka. Ragapadmi mengerang amat menyedihkan,

karena amat sakit apabila bergerak.

"Sinuwun, ampunilah segala dosa hamba.

Sinuwun, tak kuatlah hamba menderita lebih lama

lagi. Terasa sakit seluruh raga hamba. Sinuwun,

merasa bahagialah hamba apabila paduka berkenan7

mengakhiri hidup Ragapadmi, bunuh sajalah hamba

yang tak berguna ini," kata Ragapadmi sedih.

Sebenarnya kecantikan selir muda ini telah

lenyap sama sekali, yang dapat disaksikan kini8

tingggallah tengkorak hidup yang menjijikkan. Namun

demikian prabu Bidarbo masih cinta sepenuh hati.

Prabu Bidarbo masih penuh keyakinan bahwa suatu

waktu Ragapadmi akan mendapat pertolongan.

Ragapadmi akan dapat sembuh kembali.

"Padmi, kuatkan hatimu," hibur prabu Bidarbo

terharu. "Padmi, kau tak bersalah mengapa harus

diampuni? Dan sebenarnya Padmi, kau tahu juga daya

upaya yang telah kulakukan untuk menyembuhkan

sakitmu. Namun masih juga belum berhasil."

"Sinuwun, hamba percaya akan kebijaksanaan

paduka. Tapi pada nyatanya segala usaha itu belum

juga berhasil. Jangan lagi menyembuhkan,

mengurangi penderitaan saja belum. Karena itu

Sinuwun jalan satu-satunya cuma mengijinkan hamba

mati."

"Padmi... jangan kau putus-asa. Menganggap

tiada jalan lain kecuali mati. Tahukah kau Padmi

bahwa kehidupan dalam dunia ini tak kenal abadi?

Manusia wajib berusaha untuk mencapai maksud.

Percayalah Padmi, bahwa kau masih akan bisa sembuh

kembali."

"Duh Sinuwun, apa saja yang akan hamba

jadikan pegangan untuk percaya bahwa hamba dapat9

sembuh? Telah berapa lama hamba menderita sakit

ini, dan berapa saja orang datang mengobati? Namun

nyatanya tak sedikitpun penderitaan hamba ini

berkurang."

Terkejut Raja Bidarbo mendengar jawaban

Ragapadmi yang tepat itu. Jawaban itu

menyadarkannya, bahwa seluruh Pendeta dalam

wilayah Madura telah pernah berikhtiar untuk

menyembuhkan luka Ragapadmi. Tapi ternyata segala

usaha yang dilakukan para pendeta itu tak pernah

berhasil, luka-luka busuk masih tetap memenuhi raga

Ragapadmi. Segala usaha para Pendeta itu tak juga

dapat mengurangi penderitaan Ragapadmi. Luka

busuk dan mengeluarkan nanah itu masih tetap

melekat dan merusak tubuh Ragapadmi.

Raja Bidarbo dapat membenarkan

kekhawatiran selirnya yang amat dicinta itu. Tapi

bagaimanapun, Raja masih berusaha agar dapat

menghibur selirnya, katanya : "Padmi, tahukah kau

bahwa pada nyatanya obat yang mujarab itu

sebenarnya kepercayaan yang hidup dalam dada?

Sedang obat yang tampak dipandang mata itu

merupakan syarat untuk penyembuhan? Sebab itu

Padmi, pabila kau masih memiliki kepercayaan untuk10

sembuh, niscaya kau akan dapat kembali seperti sedia

kala."

Ragapadmi menangis sedih, dan airmata

menggenangi luka-luka yang memenuhi muka itu.

Luka busuk dan bernanah pula.

Kasihan benar putri Ragapadmi yang ayu itu,

kini harus menderita sakit yang merusak

keindahannya. Hidupnya sekarang ini terasa telah tak

berguna lagi, semua orang dalam kraton Pucangan jijik

dan benci, kecuali Raja Bidarbo seorang yang masih

bisa membesarkan hatinya. Ragapadmi pun juga

heran, mengapa abdi yang paling dipercaya kini tak

suka lagi menunggui dalam kamarnya. Kalau selesai

melayani kebutuhannya, cepat meninggalkan kamar

itu.

Raja Bidarbo menghela napas terharu. Lalu

minta diri, melangkahkan kakinya dengan terhuyung.

Sedih benar hati Raja Bidarbo ini memikirkan seorang

selirnya menderita sedemikian rupa. Lalu ia ingat

bahwa semua Pendeta dalam wilayah Pucangan telah

diundang. Japamantra dan obat telah diberikan.

Sampai sedemikian jauh, derita Ragapadmi belum

juga berkurang. Dan luka busuk Ragapadmi makin11

menjadi. Makin hari keadaan Ragapadmi lebih

menjedihkan.

Raja Bidarbo tak bisa berpikir lagi. Duduk lesu

dan pikiran melayang jauh. Kepada peristiwa
peristiwa nikmat beberapa waktu yang silam,

kalamana Ragapadmi baru memasuki kraton.

Ragapadmi selir muda lagi ayu yang dapat merebut

hatinya.

Ragapadmi yang banyak kali disambung,

Ragapadmi yang dapat memberikan kebahagiaan.

Kecantikan selir muda ini tiada saingan dalam kraton

Pucangan. Dan keayuan Ragapadmi keseluruhannya

milik Raja. Dan Raja itu selalu berharap agar

Ragapadmi dapat hidup seribu tahun tanpa mengenal

hari tua.

Akan tetapi baik harapan Raja, baik harapan

Ragapadmi tak ada yang terkabul. Belum seribu tahun.

Belum seratus tahun. Malah belum lima puluh tahun,

dan belum tiga puluh tahun. Kecantikan yang

dibanggakan Ragapadmi, dan kecantikan yang

menguasai hati Raja, kini telah musnah dirusak oleh

kuman-kuman busuk.

Dan kini baik Ragapadmi maupun Raja yang

amat cinta terhadap selir muda ini diamuk oleh12

gelombang sedih. Taman yang banyak berjasa waktu
waktu lalu, dikala menikmati kebahagiaan hidup

dengan Ragapadmi, sekarang dipandangi dengan lesu

oleh Raja. Taman yang indah dfimukanya itu kini tak

memberi kenikmatan hidup lagi.

Lalu Raja melangkah dari tempat duduk, hilir

mudik disekitarnya. Tapi tak lama, dibantingkan

pantatnya diatas kursi itu lagi. Lalu mengeluh!

Dadanya kembang-kempis, terasa amat sesak. Dalam

hati Raja terdapat pengakuan bahwa harapan

Ragapadmi tipis sekali.

Tiba-tiba seperti tersentak dari impiannya yang

indah, ia menyapu ruangan dengan pandangan

matanya. Sebab lalu mengiang suara patih Bangsapati

yang mengajukan pendapatnya. Yah suara patih

Bangsapati dua hari yang lalu.

"Gusti, semua pendeta dalam praja Pucangan

telah paduka undang. Akan tetapi demikian jauh

usaha para pendeta itu tak juga membawa hasij. Gusti,

ampunilah hamba, sudilah paduka berkenan

menengok keadaan para kawula Pucangan. Sungkawa

paduka menjadikan sendi-sendi praja Pucangan

keseluruhannya lesu, dan para kawula gelisah

menyaksikan usaha paduka yang tak membawa hasil.13
Selir Yang Dihadiahkan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gusti, hamba khawatir bahwa hal ini akan kian

berlarut dan langsung mempengaruhi keadaan negara

Gusti, berkenanlah paduka mendengar pendapat

hamba. Tak mungkin gusti Ragapadmi sembuh lagi.

Tak mungkin para pendeta dapat menolong.

Raja Bidarbo terengah-engah. Dadanya kembang

kempis.

Baginda lalu tertunduk. Tak tahu apa yang harus

dilakukan menghadapi sakit Ragapadmi yang aneh itu.

Cuma luka-luka kecil, tapi mengapa berbau busuk dan

merata seluruh tubuh?

Dalam hati penuh pengakuan, bahwa

Ragapadmi masih dicintai. Tapi keadaannya sekarang

telah sedemikian rupa. Usaha pengobatan tak

membawa hasil. Lalu Raja Bidarbo dapat

membenarkan pendapat patih Bangsapti. Dan

Ragapadmi tak berguna lagi dalam kraton. Mau

diapakan kalau Ragapadmi tak bedanya tengkorak

hidup yang mengerikan? Kalau Ragapadmi diusir dari

kraton, amat kasian ia telah tak dapat bangkit dari

tidurnya. Siapa yang akan merawat dan siapa yang

sudi menolong? Tapi dalam kraton, Ragapadmi

sekarang cuma menjebabkan hatinya sedilh.

Raja Bidarbo mengeluh!14

Lalu Raja bangkit dan melangkah perlahan
lahan. Akhirnya sampail di pendapa agung. Angin

halus itu mengusap-usap seluruh tubuh, terasa agak

segar. Raja memandang sekeliling, dan dilihatnya

seorang pemuda sedang lewat. Yah, ia abdi terdekat

dan di cintai, Bangsacara. Dipanggillah Bangsacara,

dan pemuda ini memberikan sembah lalu jalan

berjongkok dalam pendapa agung itu. Raja duduk

diatas kursi, dan Bangsacara duduk bersila dilamai.

Raja Bidarbo menghela napas, lalu menyusuri

tubuh Bangsacara penuh perhatian. Lalu katanya :

"Cara, kau tak perlu terkejut kupanggil. Kau takkan

mendapat marah Raja, tapi kau akan kuberi hadiah

yang amat besar."

"Sinuwun, pahala yang telah hamba terima

telah lebih dari cukup. Hamba mengakui bahwa

pahala yang hamba terima itu menyebabkan hamba

malu, justru dalam pengabdian dihadapan paduka

masih belum cukup," jawab Bangsacara penuh

hormat.

Raja Bidarbo tersenyum, lalu katanya :

"Ketahuilah bahwa apa yang telah kau terima itu

bukan merupakan hadiah. Apa yang telah kuberikan

kepadamu sebenarnya baru merupakan upah sebagai15

buah jerih-payahmu mengerjakan pekerjaanmu. Upah

bukan hadiah. Dan juga ketahuilah Cara, bahwa

bagaimanapun orang memberikan jasa dan

pengabdiannya, tapi apabila orang itu tak mendapat

kasih dan hati dari pemegang kekuasaan, laiklah

mungkin jasa dan pengabdianyja itu dicatat dan

diterima oleh penguasa. Karena itulah Cara, maka

semua itu tergantung kepada penguasa. Dan apabila

kau merasa belum pernah memberikan jasa-jasamu

kepada negara Pucangan, hal itu bukan alasan untuk

tidak menerima hadiah. Sebab aku yang berkuasa

dalam segala hal."

Raja Bidarbo kembali menyusuri seluruh raga

Bangsacara, dan katanya lagi : "Cara, kau tentu telah

tahu dan mendengar bahwa Ragapadmi kini

menderita sakit. Semua pendeta telah kuminta datang

mengobati luka-luka yang merusak tubuhnya itu,

namun segala usaha itu tak membawa hasil. Keadaan

Ragapadmi sekarang ini sangat menyedihkan. Apabila

Ragapadmi kuserahkan pada seseorang, aku kasian

terhadapnya takut kalau disia-siakan. Sebab itu Cara,

aku tak dapat mempercayai lain kecuali kau sendiri.

Tolonglah Cara, terimalah Ragapadmi sebagai

hadiahku yang terbesar selama ini, dan cintailah

Ragapadmi. Aku percaya bahwa kau sedia menerima16

Ragapadmi, dan sedia mencinta seperti kepada dirimu

sendiri. Yah, hanya kaulah yang berhak menerima

Ragapadmi untuk kau peristeri. Dan aku juga percaya

bahwa dalam tanganmu nanti, Ragapadmi akan dapat

sembuh kembali."

Raja Bidarbo kembali mengusap-usap tubuh

pemuda ini dengan pandangan matanya. Dalam hati

Raja Bidarbo telah menduga, bahwa hadiah yang

diberikan kepada Bangsacara itu akan diterima

dengan senang hati. Sebab hadiah seorang selir Raja

bukan sembarang orang dapat mengharapkan.

Tak disadari oleh Raja Bidarbo, pemuda ini amat

terkejut mendengar keputusan Raja itu. Amat

menyedihkan bahwa yang dikatakan hadiah terbesar

itu ialah seorang selir yang kini, menderita sakit yang

menjijikkan. Ragapadmi dulu ayu tapi sekarang amat

mengerikan. Kalau Raja telah berusaha untuk

menyembuhkan tak membawa hasil, apalagi seorang

miskin seperti dia. Bangsacara amat sedih

menghadapi suatu hal diluar dugaannya ini.

Hadiah yang amat menjedihkan! Hadiah yang

amat kejam! Tidakkah amat kejam hadiah yang

diberikan Raja itu, justru wanita yang hampir mati dan17

tak berguna lagi harus diterima sebagai istri yang

dicinta sepenuh kasih?

Raja Bidarbo tampak tak sabar menunggu

jawaban Bangsacara yang lama tak diberikan itu. Lalu

menatap tajam seraya katanya : "Cara, bisukah kau tak

memberi! jawaban? Aku heran kau menerima hadiah

sebesar itu dengan kemasygulan."

Bangsacara gugup, memberikan sembahnya,

lalu jawabnya gemetar : "Sinuwun, ampunilah hamba.

Bukannya hamba masygul dan kecewa paduka berikan

pahala yang amat besar ini, tapi karena terkejut

hamba menjadi takut, apabila seseorang iri dengan

pahala paduka sebesar ini."

Prabu Bidarbo tersenyum puas mendengar

jawaban Bangsacara itu. Katanya kemudian : "Cara,

tak seorangpun akan berani mengusik dan iri atas

hadiah yang kuberikan padamu. Berjanjilah Cara,

bahwa kau akan mencintai Ragapadmi."

"Titah paduka akan hamba laksanakan sepenuh

hati. Gusti Ragapadmi hamba berikan cinta kasih, dan

gusti Ragapadmi sajalah cuma istri hamba selama

hidup ini," jawab Bangsacara sedih.18

"Bersiap-siaplah kau membawa pulang

Ragapadmi. Peliharalah Ragapadmi, dan aku berharap

dalam tanganmu ia akan menjadi sembuh."

Raja Bidarbo bangkit, lalu melangkah menuju

kamar Ragapadmi. Sedang Bangsacara mengeluh,

amat sedih, mengapa harus memperisterikan seorang

bekas selir Raja yang hampir mati? Tapi yah,

bagaimanapun, siksaan batin yang berat itu harus

diterima. Bangsacara insyaf, bahwa penolakan

terhadap hadiah yang diberikan itu berarti hukuman

penjara yang harus diterima paling untung, dan salah
salah malahan harus mati ditengah algojo-algojo

Pucangan atau harus mati oleh tali tiang gantungan.

Bangsacara cuma dapat mengeluh, lain tidak!

Dan dalam pada itu, Raja Bidarbo telah masuk

kamar Ragapadmi. Disaksikannya Ragapadmi tidur

terlentang memandang kedatangannya dengan sayu

dengan matanya yang agak membengkak dicelah luka
luka yang berbau.

Dengan tak merasa ngeri dan jijik sedikitpun,

Raja Bidarbo duduk di tepi ranjang itu, menyusuri

wajah yang penuh luka, lalu katanya perlahan :

"Padmi, wanita yang kusanjung dan kukasihi. Aku

datang lagi untuk bicara hal yang amat penting.19

Ketahuilah Padmi, aku telah menerima petunjuk

Dewata dalam usaha penyembuhanmu."

Ragapadmi berusaha tersenyum tapi rasanya

sakit, lalu dari bibirnya yang pecah-pecah itu meluncur

pernyataan gembira: "Sinuwun, hamba merasa hidup

lagi mendengar titah paduka. Berkenankah paduka

memberitahukan, apa yang harus hamba perbuat?"

Raja Bidarbo tersenyum lalu katanya :

"Kekasihku, dengarlah. Saran untuk penyembuhanmu

itu menurut petunjuk Dewata, kau harus kuserahkan

kepada orang lain. Kau harus diperisterikan

Bangsacara..."

Kalau Ragapadmi tak sakit, ia akan menjerit

sekuat-kuatnya. Tapi mulutnya terasa sakit, maka jerit

itu cuma lirih dan airmata menitik dari mata yang

membengkak karena luka itu, menyasar ke bantal

yang sudah kumal. Ragapadmi amat sedih, Ragapadmi

amat tertusuk hatilnya. Mengapa sekarang harus

diperisterikan oleh seorang Lurah Punakawan,

seorang budak hina itu?

"Siiuwun... bunuh... bunuh sa... ja...lah hamba...

yang hi... n... na ini." kata Ragapadmi terputus-putus.

"Bunuh... bun...bunuh sa...jalah hamba. Sinuwun...

bunuh..."20

Ratap Ragapadmi ini amat menusuk hati Raja.

Baginda menghela napas, mengeluh! Sedang

Ragapadmi sedu-sedan.

Tapi Raja Bidarbo cepat dapat menguasai diri,

lalu bujuknya : "Kekasihku, jangan kau lekas putus-asa.

Padmi, apa yang telah kukatakan adalah petunjuk

Dewata. Bukan aku bermaksud akan membuangmu.

Tidak! Aku tak pernah menyia-nyiakanmu. Kau

kekasihku, tapi kehendak Dewata tak dapat kubantah.

Itu sajalah sarana yang harus kau terima agar kau

dapat sembuh kembali. Manis, percayalah bahwa kau

akan bahagia disamping Bangsacara. Kau akan

merasakan hidup sebenarnya disamping seorang

suami yang akan mencintaimu sepenuh hati. Akan

lebih bahagia disamping Bangsacara daripada
Selir Yang Dihadiahkan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuperisterikan. Percayalah Padmi, bahwa petunjuk

Dewata itu benar."

Dalam keadaannya yang sekarang, Padmi sadar

bahwa Raja tak membutuhkannya lagi. Dirasakannya

apa yang diderita sekarang ini merupakan suatu

kenyataan yang tak dapat dibantah, bahwa hidupnya

laksana selembar daun pisang. Ketika masih

dibutuhkan, ditempatkan pada tempat yang amat

bagus dan tak boleh kotor. Tapi setelah tak

dibutuhkan, dibuang secara kejam. Tak berguna21

bersedih dan masygul. Toh hidup yang masih dapat

dikenyamnya sekarang ini, tinggal beberapa hari lagi.

Maut akan segera datang mencengkam. Apalagi yang

harus disesalkan? Apalagi yang harus dipikirkan?

Airmata Ragapadmi tiba-tiba kering, katanya

tegas : "Sinuwun, hamba amat gembira sekarang,

kemanapun hamba akan jatuh akan hamba

laksanakan penuh kebahagiaan. Hamba minta diri

kepada paduka."

Raja Bidarbo amat gembira mendengar

jawaban Ragapadmi yang tegas itu. Setelah tersenyum

katanya : "Terima kasih Padmi, kau tak membantah

perintahku. Nyata benar kau seorang wanita yang

susah dicari gantinya. Harapanku, bahagialah kau

hidup disamping Bangsacara."

Ragapadmi dilboyong oleh Bangsacara keluar

kraton, dengan sebuah tandu yang dipikul oleh empat

orang. Sedang sebuah peti berisi barang-barang milik

Ragapadmi diusung oleh dua orang punggawa dari

kraton. Bangsacara berjalan kaki dipenuhi kesedihan

dalam dadanya. Ia tak mau berdekatan dengan

Ragapadmi, karena merasa tak tahan oleh bau yang

berhamburan dari luka-luka Ragapadmi. Sekalipun

luka-luka yang memenuhi tubuh Ragapadmi itu cuma22

kecil-kecil sebesar kedele, tapi baunya amat tak enak.

Dalam pada itu Bangsacara merasa ngeri melihat

keadaan Ragapadmi yang sudah demikian rusak dan

menjijikkan.

Bangsaca akan merasa bersyukur dan lebih

senang apabila setibanya dirumah nanti, Ragapadmi

menghembus napas yang penghabisan. Cuma

kematian Ragapadmi itu sajalah merupakan jalan

satu-satunya untuk membebaskan diri dari siksaan

yang amat kejam ini.

Dan apabila tidak merasa takut terhadap Raja,

wanita yang mengerikan ini sampai dirumah nanti

dibunuh saja cukup! Matinya Ragapadmi bukan

merupakan kehilangan sesuatu yang susah dicari. Apa

kebahagiaan yang akan dikenyamnya memperisteri
kan wanita bekas selir Raja yang hampir mati itu?

Kiranya takkan menyamai memperisteri salah seorang

perawan didesanya, tak harus memelihara sakitnya

yang telah parah seperti Ragapadmi.

Kemasygulan hatinya itu dibawa terus hingga

tiba di rumah. Dan wajah yang melukiskan

kemasygulan itu mengejutkan nyai Jagahastana, ibu

Bangsacara yang telah tua. Ia menyambut kedatangan

anaknya bertanya-tanya, apa sebab kedatangan sekali23

ini lain dari biasa. Lalu bertanyalah ibu yang telah tua

itu gugup : "Mengapa sedih? Marahkah Raja

padamu?"

Bangsacara tak segera menyawab. Matanya liar

memandang pelataran lewat pintu. Tapi tandu

Ragapadmi masih belum tampak, pelataran rumahnya

masih kosong.

"Ada apa?" tanya ibu tua itu lagi seraya ikut

memandang keluar. "Mengapa kau tak menyawab

anakku, diusirkan oleh Raja?"

Bangsacara menatap ibunya, lalu jawabnya

sedih : "Yung (biyung ? ibu), aku mendapat hadiah

yang amat besar dari Raja. Salah seorang selirnya

diberikan untuk istriku."

"O o, untung besar!" seru ibu tua itu seraya

memukuli pantatnya. "Maka anakku, dimana ia

sekarang? Ah, selir Raja tentu cantik. Ah, bahagia

hidupku bermenantukan seorang cantik..."

"Huh! Cantik...?" Bangsacara mengeluh. "Jijik!

Ngeri! Jangan lagi harus kuperisteri."

"Oh, mengapa kau lancang mulut anakku?"24

Orang pemikul tandu dan peti telah masuk

pelataran. Ibu tua itu lari-lari kecil menyambut

kedatangannya. Tapi...

"Ya Allah," seru ibu tua itu setelah menyaksikan

wanita yang duduk di atas tandu. Wanita yang amat

mengerikan, penuh luka dan berbau pula. Sadarlah ibu

tua ini mengapa anaknya masygul, mengapa mulutnya

lancang tak mau mengambilnya jadi isteri.

Namun demikian ibu tua ini bukannya ngeri dan

jijik menyaksikan wanita yang penuh luka itu. Malah

iba hati ibu tua ini, malah kasih, dan diusapnya rambut

Ragapadmi, lalu tanyanya : "Mengapa putri menderita

luka-luka begini?"

Ragapadmi tak dapat memberi jawaban,

malahan lalu tersedu-sedu. Mengapa menangis? Yah,

hatinya terharu ada seorang yang mau

memperhatikan keadaannya. Ada orang yang masih

menunjukkan rasa iba atas penderitaannya.

Ibu tua ini minta kepada pemikul tandu agar

membawanya masuk ke rumah. Dan Bangsacara cepat

menyingkir seraya menutup lobang hidung, matanya

dibuang ketempat lain.

"Putri, sayang benar kau menderita," kata ibu

tua itu setengah berbisik menahan keharuan. "Tapi25

jangan bersedih dan khawatir. Aku sedia berusaha

untuk kesembuhanmu."

Ragapadmi menatap nyai Jagahastana dengan

pandangan matanya yang sayu, lalu jawabnya tak

lancar: "Bu... terimakasih. Tapi... tak perlu ibu ber...

susah-susah. Saya tak... akan hid... hidup lebih... lama

lagi..."

"Jangan! Jangan kau lekas putus-asa," kata nyai

Jagahastana gugup. "Kau masih muda, masih berhak

hidup lama lagi."

Ragapadmi akan mengucapkan sesuatu, tapi,

Bangsacara telah lebih dahulu mengucapkan kata-kata

begitu keras : "Yung, aku bersumpah lebih rela hancur

seperti debu daripada memperisteri Ragapadmi..."

Dan segenggam pasir ditaburkan kepelataran.

Nyai Jagahastana sangat terkejut, diburunya

Bangsacara, dipeluk seraya katanya gemetar :

"Jangan... jangan anakku. Oh... cabutlah sumpahmu

itu. Mengapa... mengapa? Aku takkan memaksa...

demi Allah aku tak memaksa... tapi anakku... jangan

kau bersumpah... cabutlah sumpahmu. Oh... ingatlah

anakku manusia hidup ini tak lepas... tak dapat

menghindari... malapetaka yang datang tiba-tiba.

Manusia... tak selalu sehat, bisa sakit... dan kau juga26

bisa menderita seperti dia... cabutlah anakku...

cabutlah sumpahmu."27

Tapi jawab Bangsacara angkuh : "Aku tak sudi

menjilat ludah. Aku tak akan mencabut sumpahku.

Selamat tinggal Yung..."

Bangsacara lari. Tak menggubris teriakan ibu

tua memanggil. Dan para punggawa pemikul tandu

dan peti tadi, tergopoh-gopoh mengikuti jejak

Bangsacara.

Nyai Jagahastana mengikuti Bangsacara dengan

pandangan mata sedih dan saju. Setelah menghilang,

barulah ibu tua ini melangkahkan kaki masuk rumah

terhujung-hujung. Lalu berpegangan pada tiang,

dadanya kembang kempis, napasnya terengah-engah.

Baru setelah dadanya agak lapang, ia melangkah

mendekati Ragapadmi.

Lalu dirangkulnya wanita yang malang ini penuh

kasih. Tapi segera dilepaskan ketika Ragapadmi

merintih kesakitan. Ibu tua ini baru sadar bahwa leher

Ragapadmi juga penuh luka. Lalu ditatapnya wanita

yang malang ini, tuturnya "Putri, jangan kau sedih.

Benar aku telah tua tapi aku masih sanggup mengobati

penyakitmu. Mudah-mudahan oleh tanganku. Dewata

memberi ijin kau dapat sembuh."

Air mata Ragapadmi membanjir dengan hati

terharu. Di tengah isaknya menyawab: "Terimakasih28

bu, tapi saja menyesal... mengapa ibu harus lebih

repot..."

"Oh tidak! Kehadiranmu malah menggembira
kan hatiku," kata nyai Jagahastana seraya ketawa.

"Oleh kehadiranmu ini tak lagi aku kesepian dalam

rumah ini. Anakku cuma seorang, cuma Bangsacara.

Dan sekarang tambah kau, tak perlu kau menyesal,

walaupun ia membencimu."

"Terimakasih bu," jawab Ragapadmi. "Tapi, saja

dalam keadaan begini rupa. Tak berguna, tipis harapan

saya sembuh kembali."

"Tidak anakku, kau akan segera sembuh. Aku

akan berusaha sepenuh tenaga. Benar aku telah tua

tapi masih sanggup berikhtiar."

"Tapi, saja telah menderita lama dalam kraton.

Usahapun tak kurang. Beberapa pendeta telah

memberi japamantra dan ramuan obat. Namun begitu

semuanya tak memberi hasil."

Nyai Jagahastana tersenyum, lalu tanyanya :

"Tidakkah kau curiga terhadap sekelilingmu?"

"Curiga? Ada apa saya harus tak mempercayai

lain orang'"29

"Bukankah selir Raja banyak jumlahnya? Dan

siapakah selir yang amat dekat dengan Raja?"

"Bu, selir Raja sepuluh lebih. Dan yang terdekat

saya, karena paling muda dalam kraton."

"Itulah sebabnya kau harus mencurigai

sekelilingmu."
Selir Yang Dihadiahkan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ragapadmi tak mengerti maksud ibu tua ini,

tanjanya heran: "Mengapa bu? Karena saya dicinta

Raja itukah saja menderita semacam ini?"

Nyai Jagahastana mengangguk seraya

tersenyum. Ragapadmi makin tak mengerti.

Ditatapnya ibu tua ini penuh pertanyaan.

"Anakku, seorang diperebutkan oleh beberapa

orang wanita. Tentu akan menjebabkan timbulnya

permusuhan. Kalau permusuhan itu dalam hati

masing-masing, akan terjadi perang dingin," ibu tua itu

memberi penjelasan kepada Ragapadmi. "Dan kau

merupakan selir yang paling dekat dengan Raja. Tentu,

selir-selir yang lain merasa iri atas keberuntunganmu.

Mereka itu tak berani memprotes kepada Raja, tapi

cukup benci padamu."

Nyai Jagahastana mengusap rambut Ragapadmi

lalu sambungnya : "Lalu mereka berusaha menjatuh-30

kanmu dengan cara-cara yang licik. Diusahakan agar

kau menderita sesuatu penyakit. Air yang biasa kau

pergunakan mandi, telah diisi dengan sesuatu, hingga

jadilah kau menderita luka-luka seperti ini. Terang kau

telah dimusuhi oleh beberapa orang yang

menyelenggarakan persekutuan."

"Jadi, beberapa orang telah merusak saya bu,

dengan usaha sekeji itu?"

"Benar anakku, dan bukan terbatas dalam

kalangan kraton, tapi meluas hingga keluar. Para

pendeta ikut serta didalamnya."

"Oh," seru Ragapadmi terkejut. "Mengapa

mereka ikut serta?"

"Jah. kalau para pendeta yang telah datang

mengobatimu tidak ikut serta bersekutu, obat yang

diberikan memang obat benar. Tapi kemudian obat itu

dibuang dan diganti orang dengan barang lain yang tak

berguna bagi penyakitmu. Tapi bagi para pendeta

yang termasuk berhati jahat, ia cepat menerima

tawaran musuh-musuhmu akan sesuatu hadiah dan

pendeta itu memberikan obat yang cuma pura-pura.

Mengapa aku berpikir demikian jauh anakku, justru

aku heran dan curiga. Penyakit yang kau derita ini31

cuma semacam gudig biasa yang tak berbahaya. Tapi

mengapa obat-obat itu tidak dapat me


duduk. Jagahastana pula yang menanggalkan baju

yang dipakainya. Luka-luka yang tak tertutup pakaian

ini oleh ibu tua itu dibersihkan dengan menggunakan

kapas yang dicelupkan dalam air panas. Terasa sakit,

tapi Ragapadmi berusaha menahannya. Dan

kemudian Ragapadmi merasa seperti anak kecil yang

baru berumur tiga tahun, ketika wanita ini tanpa rasa

jijik membersihkan luka pada bagian tubuh lain.

Benar kata ibu tua itu, bau luka berkurang

setelah dibersihkan. Pada permulaan ini usaha nyai

Jagahastana baru untuk mengurangi rasa sakit

Ragapadmi. Ia belum mempunyai obat yang akan

dipergunakan menyembuhkan penyakit itu. Besok

pagi masih akan dibelinya dulu ke pasar. Tapi

sekalipun luka-luka itu belum dibubuhi obat, rasa sakit

Ragapadmi banyak berkurang. Kalau semula ia hanya

terlentang melulu sekarang ia bisa memiringkan

tubuhnya.

Malam pertama ia tidur dalam rumah buruk ibu

ini, ternyata bagi Ragapadmi lebih nikmat dibanding

dengan didalam kraton. Ia dapat tidur agak pulas,32

karena tidak begitu diamuk oleh kuman-kuman yang

memenuhi luka-lukanya.

II. BANGSACARA MENJILAT LUDAH

PAGI itu nyai Jagahastana telah pergi ke pasar.

Dibelinya "prusi" dan daun "sambilata." Untuk orang
orang desa seperti nyai Jagahastana ini, cukup itu

sajalah untuk melawan kuman-kuman gudig. Daun

sambilata yang amat pait itu direbus, dipergunakan

untuk mandi, sedang prusi itu sebagai obat yang

sebenarnya untuk luka itu. Dan prusi itu oleh

Jagahastana lebih dahulu dibakar hingga putih

warnanya, sebab kalau tidak dibakar akan terasa amat

perih.

Pengobatan yang amat sederhana ini ternyata

membuat luka-luka yang semula amat sakit dan

berbau busuk itu, kini berkurang, sedang bau busuk itu

sekarang tiada lagi.

Sebagai pernyataan rasa kegembiraannya,

Ragapadmi menyembunyikan mukanya dalam

pangkuan ibu tua itu dengan menangis. Tangan yang33

telah berkerinjut itu lalu membelai-belai rambutnya

penuh kasih.

"Betapa bahagia hatiku bu, seakan mimpi," kata

Ragapadmi seraya menjeka air mata, ketika ia telah

kembali duduk. "Sekarang saya baru tau, bahwa

beberapa pendeta yang mengobati tidak melebihi

kepintaran ibu. Padahal semula saya tak percaya

bahwa saya akan dapat sembuh seperti sekarang ini,

harapan saya cuma mati."

"Seperti aku pernah katakan padamu, bahwa

komplotan dalam kraton telah berusaha untuk

menyingkirkanmu," jawab ibu tua ini seraya menatap

wajah Ragapadmi yang kini berbintik-bintik putih

bekas luka. "Bukan aku lebih pandai, tapi akibat

palsunya obat-obat yang diberikan padamu. Tapi

masih untung anakku bahwa dalam usahanya itu tak

menggunakan racun untuk membunuhmu.."

"Yah, aku kini makin insaf, Bu. Bahwa hidup

dalam kraton sebagai selir Raja banyak musuh," kata

Ragapadmi, "Derita yang telah kurasakan hampir mati

merupakan kebenaran yang tak terbantah. Dan

apabila saja tak diboyong oleh kakang Bangsacara

keluar kraton, mungkin sekali ajalku telah sampai,

karena saja telah tak kuat menderita."34

"Jadi kau tak ingin kembali ke kraton?" tanya

ibu tua itu seraya memperhatikan. "Aku tak keberatan

anakku kalau kau menginginkan kembali hidup

disamping Raja."

"Tidak ibu, tidak." Jawab Ragapadmi, kemudian

menangis lagi dan menutup mukanya dengan dua

belah telapak tangannya. "Kraton merupakan tempat

siksaan yang amat kejam."

"Baik, terima kasih apabila kau lebih suka hidup

dalam rumah bobrok ini," ujar ibu tua itu seraya

memeluknya.

Tengkorak hidup yang berbau busuk itu kini

sudah dapat tersenyum, sudah dapat ketawa, dan

ratap kesakitan sudah tak pernah terdengar lagi. Ia

telah dapat bebas bergerak seperti manusia lain.

Namun meski sekarang telah sembuh dan telah

terbebas dari derita yang amat celaka itu, rasa kecewa

dan kemasygulan sekarang menyesak dada.

Ragapadmi insaf, bahwa bintik-bintik pulih bekas luka

itu merusak keayuan yang pernah dimilikinya dulu. Ia

merasa bahwa meski sekarang dapat sembuh tak

dapat disebut seorang ayu lagi.

Tapi kemasygulan Ragapadmi itu cuma

diketawakan saja oleh ibu tua yang pintar ini. Lalu35

katanya pasti: "Kau tak perlu kawalir. Aku masih bisa

berusaha menghilangkan seluruh bintik putih itu."

Mata Ragapadmi bersinar bening, dan sekulum

senyum menyungging wajahnya. Ditatapnya

Jagahastana dan tanyanya : "Benarkah bu, benarkah

bintik-bintik putih ini dapat hilang?"

"Betul!" Jawab ibu tua itu pasti. "Aku punya

cara untuk menghilangkan semua itu."

"Apa yang harus kulakukan bu?" tanya

Ragapadmi tak sabar.

"Bukankah kau tau dalam beberapa hari ini aku

telah mengumpulkan akar obat-obatan (empon
empon) yang terdiri dari "puyang emprit" dan "temu

giring"? Dan kau juga yang mengupasnya serta

membikin kepingan. Semua itu tak lain akan

kupergunakan untuk keperluanmu."

"Oh!" seru Ragapadmi keheranan. "Saya kira itu

akan ibu jual ke pasar. Lalu untuk diapakan itu bu?"

"Kepingan-kepingan temu giring dan puyang

emprit itu setelah kering nanti, kita tumbuk halus. Dan

bubuk itu nanti kau campurlah dengan sedikit air, dan

pergunakan untuk menggosok kulitmu pada tiap mau

mandi. Sudah tentu telapak tanganmu akan menjadi36

kuning, sebab memang ramuan itu mempunyai warna

kuning yang sukar luntur. Kulit yang kau gosok pun

akan menjadi kuning. Tapi anakku, kesemuanya itu

membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Kau tahu

sendiri hasilnya nanti."

Gembira sekali Ragapadmi mendapat

keterangan Jagahastana. Ternyata sekalipun orang

desa, dia lebih pintar. Dia lebih tahu daripada ia

sendiri. Dalam hati merasa malu, dan karena itu

menjadikan lebih menebal dan mendalam rasa cinta

kasih Ragapadmi terhadap ibu tua ini.

Petunjuk nyai Jagahastana itu diperhatikan

benar-benar dan dilakukan pula secara tekun.

Ragapadmi sangat ingin agar keayuan wajah dan

tubuhnya yang pernah hilang itu dapat menjelma

kembali seperti semula.

Nyatanya, memang kata-kata nyai Jagahastana

itu bukan obrolan kosong. Baru beberapa hari

dilakukan, bintik-bintik putih bekas luka yang

mengembangi kulitnya itu telah samar-samar. Kalau

dilakukan terus, bintik-bintik putih itu akan hilang.

Dan nyai Jagahastana kagum menyaksikan

perobahan-perobahan Ragapadmi. Nyata benar

dibalik tubuh rusak berbau dan mengerikan pada37

pertemuannya yang pertama itu, tersembunyi

keayuan yang sangat menggairahkan. Taklah
Selir Yang Dihadiahkan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengherankan apabila Ragapadmi dalam kraton lekas

dapat merebut hati Raja, merupakan seorang selir

yang paling dikasihi. Dan nyai Jagahastana juga dapat

mengerti, mengapa selir-selir yang lain berusaha

untuk menjatuhkannya dengan perbuatan-perbuatan

keji.

***

Sementara itu punakawan kesayangan Raja

yang bernama Bangsacara itu, bekali-kali sudah

bermimpi ketemu ibunya. Lalu rasa rindu menyesak

dada dan ia takut ibunya menderita sakit terbayang

dimukanya. Ia mohon cuti.

Raja Bidarbo tak keberatan dan menyangka,

bahwa Bangsacara telah kangen kepada Ragapadmi.

Diberinya pula sejumlah uang. Tapi sebenarnya

Bangsacara mengeluh, apa guna membawa uang itu

justru Ragapadmi orang yang paling ia benci. Kalau

saja Bangsacara tak merasa kangen kepada ibunya, tak

sudi pulang dan ketemu dengan Ragapadmi.

Gembira sekali nyai Jagahastana anak laki
lakinya pulang. Dan disamping wajah berkerinjut itu

berseri-seri, anak laki-laki itu dipeluk amat kasih.38

Bangsacara gembira ibunya diketemukan sendirian

dan tak tampak sakit, menyangka Ragapadmi telah

mati dimakan luka-lukanya.

"Telah beberapa hari ini kuharapkan

kedatanganmu," mulai ibu tua itu setelah duduk.

Bangsacara tersenyum, lalu telinganya

mendengar suara orang lagi menenun, ia menatap

ibunya seraya tanyanya heran: "Bu, siapa yang

menenun itu?"

Nyai Jagahastana ketawa terkekeh, dan tidak

menyawab pertanyaan Bangsacara malah memanggil

orang itu : "Kakang-mu datang Padmi, berhentilah

dulu."

Suara kecil menjahut, suara perkakas tenun

lenyap, dan...

Bangsacara hampir pingsan menyaksikan

keayuan wanita yang baru muncul dari tempat

menenun itu. Dan apalagi ketika wanita itu melukis

senyum manis pada bibirnya yang merah merekah,

Bangsacara setengah mati

Nyai Jagahastana tersenyum, lalu katanya

bangga: "Itulah Ragapadmi yang sekarang. Tidakkah

kau bangga mempunyai adik yang demikian cantik?"39

Bangsacara masih belum kuasa mengucapkan

kata-kata. Tapi ketika Ragapadmi telah duduk di

dekatnya secara tak sadar menyanjung: "Kau cantik

sekarang. Laksana Supraba turun dari Suralaya."40

Ragapadmi gelisah oleh kata-kata Bangsacara

itu. Mukanya disembunyikan dengan menundukkan

kepala.

Nyai Jagahastana memperhatikan tingkah laku

anak laki-lakinya, mata Bangsacara menyusuri tubuh

Ragapadmi itu tak puas-puasnya dengan sinar yang

liar. Lalu kata ibu tua ini: "Itulah adikmu sekarang. Ia

anakku yang kedua, aku merasa bahagia sekarang,

satu anak laki-laki dan satu perempuan yang amat

cantik. Beberapa pemuda telah melamar, tapi

Ragapadmi masih suka sendirian."

Lalu perintahnya kepada Ragapadmi : "Ambillah

daun sirih, suguhilah kakangmu agar berkurang

kehausannya."

Ragapadmi bangkit, langkahnya gemulai

dengan kepala menunduk. Dan Bangsacara mengikuti

dengan pandangan matanya yang penuh keheranan.

Yah, tak disangkanya bahwa tengkorak hidup dibawa

dari keraton itu sekarang menjadi seorang wanita ayu

yang menghias rumahnya. Tak pernah disangkanya

Ragapadmi yang mengerikan itu dapat hidup lagi. Hati

Bangsacara tertusuk, sukar dicari wanita ayu seperti

Ragapadmi. Tapi, lalu mengiang kembali suara yang

pernah diperdengarkannya sendiri ketika itu, ketika ia41

mengucapkan sumpah tak sudi memperisterikan

Ragapadmi. Menyesal ia kini, mengapa mulutnya

lancang. Mengapa dulu menyia-nyiakan Ragapadmi.

Hati Bangsacara lebih gelisah lagi ketika

Ragapadmi mengangsurkan racikan daun sirih itu

kepadanya. Tangannya gemetaran menerimanya.

Keayuan wajah Ragapadmi, dan senyuman yang

dipamerkan itu menyiksa dirinya. Bangsacara

mengunjah daun sirih itu rasanya gigi tak kuasa

mengoyaknya, matanya terpaku menyusuri tubuh

Ragapadmi yang amat indah itu.

Nyai Jagahastana seakan tak memperdulikan

tingkah laku Bangsacara itu, memerintahkan

Ragapadmi agar membersihkan kamar tidur yang

biasa dipergunakan Bangsacara kalau pulang. Perintah

ini amat menyenangkan Ragapadmi, berarti dapat

menghindari pandangan Bangsacara yang

menggoncang hatinya itu.

Pandangan Bangsacara liar, sejurus

memandang pintu dan sejurus pula ia menatap Ibunya

yang berseri-seri itu, menunjukkan rasa bangga

dengan hasil jerih payahnya merawat Ragapadmi.

"Anakku sekarang telah lengkap laki-laki dan

perempuan. Sekarang dua, lain waktu jika kau telah42

kawin dan Ragapadmi juga, anakku akan tambah dua

lagi jadi empat. Ah amat bahagia aku sekarang," kata

nyai Jagahastana seperti kepada diri sendiri.

Dan Bangsacara acuh tak acuh, memberikan

jawaban tak tentu arah : "Yah, itu baik."

Tapi gelora hati muda dalam dadanya makin tak

tertahan menyaksikan keayuan wajah Ragapadmi.

Tiba-tiba Bangsacara bangkit, langkahnya cepat

masuk ke rumah belakang. Lalu berdiri ditengah pintu

kamar yang sedang diatur Ragapadmi, pandangannya

menyusuri tubuh indahnya. Hati Bangsacara telah

terkoyak-koyak oleh senyum Ragapadmi, dada

Bangsacara telah terluka oleh tembusan mata

Ragapadmi, karena itu Bangsacara tak kuasa lagi untuk

menyembunyikan rasa gandrung kepada Ragapadmi.

"Manis, berilah aku senyum. Berilah aku tempat

dalam hatimu. Aku laki-laki yang hina ini Padmi,"

merayu Bangsacara dengan melangkah perlahan.

Ragapadmi terkejut, berusaha lari keluar, tapi

jalan satu-satunya telah ditutup oleh Bangsacara.

Hatinya berdebar dan ketakutan menguasai dadanya.43

"Kakang, jangan kau berusaha menggangguku.

Ingat kakang, aku adikmu sendiri. Mengapa? Mengapa

kau segila ini?" kata Ragapadmi agak gemetar.

Bangsacara tersenyum, lalu : "Lupakah kau

Padmi, akan perintah Raja kala itu? Bukankah kau

harus kuperisterikan? Padmi, aku takut Raja marah

kalau tak kuturut perintahnya."

Bangsacara merangsang maju, Ragapadmi

memukul dengan gagang sapu. Bangsacara meringis,

pandangannya terpusat kepada muka dan dada lalu

bujuknya: "Manis, berilah aku cium. Istriku, hatiku

telah luka, hatiku telah parah. Berilah istriku, berilah,

sekedar obat kerinduan. Manis..."

"Ingatlah akan sumpah kakang, jangan kau

berusaha menerobos pagar larangan," kata

Ragapadmi gemetar. "Aku takut! Aku takut kakang,

kau akan hancur... seperti debu itu... kakang, jangan

kau segila itu. Ingat! Ingat aku bukan istrimu, aku

adikmu sendiri..."

"Tapi manis, perintah Raja... perintah Raja kau

istriku. Kekasihku, cuma kaulah tempat berlindung.

Manis, cuma kau yang berhak menerima cintaku.

Berilah, berilah aku cinta kasihmu."44

Bangsacara melangkah maju. Pukulan sapu itu

diterima dengan tangan kiri seraya tersenyum.

Ragapadmi menjerit.

Bangsacara melangkah keluar kamar

terhuyung-huyung. Dibantingkan pantatnya keatas

kursi, dadanya kembang kempis, menghela napas dan

mengeluh.

Dan Ragapadmi cepat keluar dari kamar itu, lari

menuju kamarnya terus meniarap diatas balai,

airmata membanjir. Ragapadmi menangis,

kedatangan Bangsacara menyedihkan hatinya.

Tak tahu apa yang harus dilakukannya, sumpah

Bangsacara ketika itu masih diingatnya benar-benar,

dan pandangannya yang jijik ketika itu juga masih

sangat berkesan dalam dadanya. Yah, Ragapadmi

masih ingat benar sikap angkuh Bangsacara

terhadapnya, dan dirinya tak punya harga lagi.

Ragapadmi juga masih belum lupa akan kebencian

terhadapnya, tapi mengapa sekarang Bangsacara

melupakan semua itu? Bangsacara merayu,

Bangsacara berusaha menanam kasih, dan Bangsacara

berusaha minta dikasihani.

Anak muda itu duduk lunglai, pandangan

matanya ingin menembusi dinding kamar Ragapadmi.45

Ingvin dapat melihat keayuan wajah Ragapadmi yang

kini sembunyi dalam kamarnya. Ingin dapat

mengusap-uasap rambutnya dan ingin menikmati

tubuh yang indah itu.

Kini ia menyesali perbuatannya yang lama telah

lewat. Mengapa dulu mengucapkan sumpah itu.

Mengapa dulu memandang Ragapadmi dengan jijik.

Mengapa dulu menyia-nyiakannya. Mengapa dulu

merasa ngeri melihat Ragapadmi.

Ternyata semua itu dikalahkan oleh ibunya yang

telah tua, yang berhasil menyembuhkan lukanya.

III. MANUSIA TAMAK.

PAGI itu amat bening. Matahari menyinari bumi

dengan cahaya menyilaukan. Desa Bangsacara dihiasi

kicau burung yang asyik diatas ranting-ranting bambu.

Suara orang menumbuk padi terdengar nyaring, dan
Selir Yang Dihadiahkan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua ekor anjing Bangsacara yang bercanda dipelataran

itu sering memperdengarkan salaknya.

Bangsacara membuka matanya, menggeliat,

tapi istrinya telah tak ada disampingnya lagi. Tapi46

Bangsacara masih malas bangun, kembali ia

meramkan matanya lagi. Ia ingin menikmati seluruh

kebahagiaan hidup selama dirumah ini, mengenyam

cinta dengan Ragapadmi dan rasanya amat sayang

untuk berpisah dan kembali ke kraton menunaikan

tugasnya.

Ragapadmi ayu, Ragapadmi amat setia

kepadanya, memberikan cinta sepenuh hati. Amat

sayang untuk mengakhiri pandangan yang

menyedapkan, meninggalkan rumah ini hingga

beberapa bulan. Jangan lagi berbulan-bulan,

seharipun Bangsacara tak pernah mimpi untuk

meninggalkan istri yang molek itu.

Lalu terdengar pintu kamar terbuka, tapi

Bangsacara tak membuka mata. Ia telah mengerti

tentu istrinya masuk kamar untuk membangunkan

dan memberitahu bahwa kopi dan sarapan pagi telah

tersedia.

Benar juga sebentar kemudian terdengar

langkah lembut mendekati tempat-tidurnya, lalu

tempat-tidur itu bergerak perlahan dan ia merasa

tangan halus meraba dada. Disertai suara yang lembut

nikmat masuk lobang telinga Bangsacara.47

Bangsacara membuka mata, dan tangannya

cepat mendekap istrinya itu dan bibir dari mulut

mungil Ragapadmi itu lalu dikecupnya berulang-ulang.

Ketika dilepaskan, sekulum senyum menyungging

bibir dan menggairahkan. Ah. Bangsacara merasakan

kebahagiaan yang amat sangat, memiliki seorang istri

yang ayu ini. Istri bekas selir Raja wanita pilihan yang

sukar dicari dalam seluruh wilayah pulau Madura. Dan

apalagi semasa Ragapadmi masih dalam kraton, ia

merupakan kesajangan Raja, merupakan bunga indah

yang menghiasi kraton Pucangan. Seluruh penghuni

dalam kraton Pucangan itu tak mendekati kecantikan

Ragapadmi.

Dan selama Bangsacara dirumah ini, Ragapadmi

tak segera dapat menjelesaikan kain tenunannya.

Karena Bangsacara juga selalu nakal.

Akhirnya sampai pada suatu siang, kalamana

Bangsacara dan Ragapadmi duduk bersanding dalam

rumah, terkejut oleh salak anjing Cantuk dan Ceplok di

pelataran. Bangsacara cepat bangkit ingin tahu apa

yang terjadi. Lalu berlarian Bangsacara menuju rumah

muka. Ragapadmi ingin tahu juga apa yang terjadi, tapi

cepat-cepat masuk rumah lagi setelah mengetahui

siapa tamu yang datang. Patih Bangsapati sedang

turun dari kuda dan suaminya datang menyambut.48

Lalu Ragapadmi lari-lari kecil mencari nyai

Jagahastana.

Dan Bangsacara yang menyambut kedatangan

Patih Bangsapati, amat keheranan justru tidak seperti

kepergian yang biasanya, kedatangannya seorang diri.

Dengan sangat menghormat, Bangsacara menerima

kuda patih Bangsapati itu lalu ditambatkannya pada

sebatang pohon, dan kemudian mempersilahkan

tamu terhormat itu masuk rumah muka.

"Hamba amat terkejut, justru kedatangan

paduka seorang diri," kata Bangsacara seraya

menatap tamunya. "Ampunilah hamba gusti Patih,

agaknya paduka membawa kabar penting."

Patih Bangsapati tersenyum, menyusuri wajah

dan tubuh lurah Punakawan ini, lalu jawabnya : "Aku

datang tidak sendirian Bangsacara, tapi para pengiring

menunggu diluar desa. Aku tak ingin mengejutkan

para penduduk, dan tak ingin membikin kau repot.

Ketahuilah Bangsacara, atas perintah paduka Raja

supaya aku menyambangi keselamatanmu. Paduka

Raja amat khawatir akan keselamatanmu, justru telah

lebih dua bulan belum juga kau kembali ke Pucangan.

Syukurlah aku bertemu sekarang ini ternyata kau49

sehat-sehat. Tampaknya kau malah lebih gembira

selama di rumah."

"Gusti, hamba lama di desa melakukan perintah

Paduka Raja. Mohon ampun gusti, beberapa bulan

yang lalu Paduka Raja menganugerahkan gusti

Ragapadmi yang sedang sakit itu untuk hamba

peristerikan. Itulah sebabnya hamba tak segera

kembali, sibuk merawat penyakitnya."

"Akupun telah mengerti soal itu. Yah, syukurlah

apabila perintah Paduka Raja itu tak kau abaikan. Lalu

sekarang, sudah sembuhkah Ragapadmi?"

"Doa dan berkah dalam Paduka Raja dan gusti

Patih, harapan hamba terkabul. Ragapadmi telah

sembuh kembali."

Ketilka itu muncullah Ragapadmi membawa

hidangan kapur sirih. Sebenarnya Ragapadmi tak ingin

melakukannya, tapi mertuanya memaksa untuk

menyuguh tamu terhormat itu.

Bangsacara tersenyum bangga dapat

mempamerkan keadaan Ragapadmi yang sekarang

kepada patih Bangsapati. Dan tamu terhormat ini

ketika menyaksikan munculnya Ragapadmi dari dalam

jadi gelagapan, terkejut dan tak mempercayai

matanya sendiri menyaksikan wanita berparas ayu50

dengan sekulum senyum datang kejurusannya. Dalam

hati Bangsapati sangat heran, mengapa wanita yang

penuh luka itu kini dapat sembuh kembali, memiliki,

wajah ayu dan bentuk tubuh yang menggiurkan.

"Terimakasih," ujar patih Bangsapati setelah

mengambil racikan sirih itu dari baki yang diangsurkan

Ragapadmi. Lalu dikunyahnya, dan terasa segar dalam

mulut.

Ragapadmi telah kembali ke dalam rumah,

Bangsacara berseri-seri, dan patih Bangsapati masih

mengunyah kapur sirih seraya berkata : "Ya kau

beruntung dapat memperisterikan bekas selir Paduka

Raja yang amat cantik. Mudah-mudahan kau dapat

hidup rukun, kasih mengasihi dan bahagialah

hidupmu."

"Hamba sangat berterima kasih atas pangestu

paduka."

"Aku segera kembali Bangsacara, dan bersyukur

pula bahwa kau selamat. Perintah Paduka Raja, aku

harus menyambangi keselamatanmu. Sekarang telah

bertemu dan selamat, ijinkan aku pulang dan jangan

lupa dalam waktu singkat ini kau harus segera kembali

kekraton. Sebab Paduka Raja telah rindu padamu."

"Hamba akan melaksanakan titah paduka gusti."51

Kepergian patih itu diiringkan Bangsacara

hingga hampir pinggir desa.

***

Tapi Bangsacara tak juga memenuhi perintah

Raja itu untuk kembali ke kraton sekalipun beberapa

hari telah lalu. Ia sangat berat untuk berpisah dengan

Ragapadmi, ia amat masygul kalau tak dapat

menyaksikan keayuan wajah istrinya barang sehari.

Mengapa istri yang cantik itu harus ditinggalkan?

Mengapa istri yang ayu itu harus tak disanjung tiap

hari? Dalam hati Bangsacara malah timbul pikiran

untuk tidak kembali mengabdi kepada Raja, tetapi

akan hidup sebagai petani di desa. Hidup disamping

Ragapadmi yang ayu dan setia.

Kemudian tibalah hari yang amat mengejutkan

Bangsacara, dengan kedatangan patih Bangsapati

yang membawa perintah agar ia seorang diri berburu

ke pulau Mandangin. Perburuan itu telah ditentukan

harinya pula dan dalam waktu sehari itu harus dapat

mengumpulkan rusa sebanyak tiga ratus ekor. Alasan

yang diajukan dalam perintah itu, karena Raja akan

menyelenggarakan pesta dengan seluruh punggawa,

dan daging rusa itu akan dipergunakan sebagai52

hidangan dalam pesta yang akan diselenggarakan

seminggu kemudian.

Bangsacara menghempas diatas balai-balai

dalam rumah muka itu, amat sedih, ia telah insyaf

bahwa perintah itu merupakan hukuman Raja akibat

melalaikan tugasnya, kesengsam berkasih-kasihan

dengan Ragapadmi, kesengsam ia menyusuri

keindahan tubuh dan wajah ayu Ragapadmi dengan

pandangan matanya. Sekalipun benar telah beberapa

lama ia bersanding dengan istrinya itu, tapi ia merasa

belum puas dan amat sayang untuk meninggalkan

desa itu kembali ke keraton. Akibatnya datang

perintah yang sangat mengejutkan itu.

Masih mengiang dalam rongga telinganya

perintah patih Bangsapati: "Cara, ketahuilah bahwa

kedatanganku kali ini membawa perintah Raja

untukmu. Raja berkeinginan untuk menyelenggarakan

pesta dengan seluruh punggawa Pucangan seminggu

yang akan datang. Karena itu maka Raja membutuh
kan tenagamu, untuk menyelenggarakan perburuan di

pulau Mandangin. Tapi ketahuilah bahwa perburuan

itu atas perintah Raja harus kau selenggarakan

sendirian, dilarang untuk mengajak orang lain. Dalam

pada itu juga ketahuilah Bangsacara, bahwa

penyelenggaraan perburuan itu harus kau selenggara-53

kan lima hari setelah perintah ini kau terima, dan

selesai pula mengumpulkan rusa sejumlah 300 ekor

dalam waktu sehari. Kau tak perlu khawatir, karena di

Mandangin terdapat ribuan rusa liar, hingga tidak

begitu sukar kau melaksanakan perintah Raja itu.

Sedang pengangkutan rusa ke Pucangan pun kau tak

perlu mengusahakan, karena akan dikirim beberapa

orang kuli dengan alat pengangkutannya. Itulah

perintah Raja yang harus kusampaikan padamu, dan

harus pula kau lakukan tepat pada waktunya. Cara,
Selir Yang Dihadiahkan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau adalah abdi kekasih Raja, jangan sekali-kali kau

mencoba untuk tidak melaksanakan perintah ini, agar

Raja tidak murka kepadamu."

Demikian itulah perintah Patih Bangsacara yang

menyampaikan perintah Raja Bidarbo. Dalam waktu

sehari harus dapat mengumpulkan 300 ekor rusa liar,

seorang diri dan dilarang mengajak orang lain.

Pekerjaan yang amat mustahil, perintah yang sukar

dilaksanakan. Bangsacara sangat heran, mengapa

hukuman yang harus diterima demikian berat? Rusa
rusa dalam hutan pulau Mandangin memang amat

banyak, beribu-ribu jumlahnya. Tapi rusa-rusa itu liar,

akan sukarlah orang dan sendirian pula melakukan

penangkapan. Sejumlah 300 ekor sehari, berarti tiap
tiap duabelas menit harus bisa menangkap 5 ekor54

rusa. Padahal tidaklah mungkin seorang dapat bekerja

terus-menerus dalam waktu sehari, tanpa berhenti

minum, makan dan mengaso.

Bangsacara gelisah diatas balai-balai ini

memandang keatas, memandang langit-langit rumah

dan mengeluh. Apa yang harus dilakukannya

menghadapi persoalan yang amat berat ini? Harus

memilih satu diantara dua kemungkinan. Pertama,

melaksanakan tugas itu dengan segala ketabahan, dan

berarti menepati wajib sebagai kawula yang tunduk

kepada perintah Raja, menyadari kesalahannya telah

melalaikan kewajiban. Kedua, tidak melaksanakan

tugas itu, mengingkari wajib, dan melarikan diri kelain

daerah. Sebab kalau masih hidup dalam praja

Pucangan, punggawa Pucangan akan datang menang
kapnya. Dan mengingkari perintah Raja, hukuman

yang akan diterima tiang gantungan atau kepala

dipenggal oleh algojo-algojo Pucangan.

Bangsacara menghela napas. Dadanya terasa

sesak, tak habis mengerti atas kesalahannya sekecil itu

saja harus menerima hukuman yang sangat berat.

Hukuman yang tak adil, hukuman yang sangat

mengherankan hatinya.55

Lama sekali ia gelisah. Tak seorangpun

mengusiknya, justru kala itu istri dan ibunya tak ada di

rumah, sedang pergi ke ladang untuk memungut hasil

ladang sejak habis makan siang tadi. Kawan yang

masih ada dirumah sekarang ini cuma dua ekor

anjingnya yang setia Cantuk dan Ceplok. Tapi anjing
anjing itu tak dapat bicara, tak dapat diajak berpikir.

Tapi ketika Bangsacara ingat kepada anjingnya

ini, ia tersenyum. Yah, terdapat titik api terang dalam

dadanya yang menjebabkan hatinya agak gembira.

Bangsacara berpikir, bahwa larangan Raja cuma

berlaku kepada orang, berarti tidak berlaku kepada

anjing. Sedang dua ekor anjingnya ini telah

berpengalaman dalam perburuan, anjing-anjing itu

akan memberi bantuan yang amat besar kepadanya.

Lalu ia duduk, dua ekor anjingnya sedang tidur
tiduran. Bangsacara bersiul, dan anjing-anjing itu

dengan mengibaskan ekarnya datang dan mencium

tangannya. Lalu kedua belah tangannya menepuk
nepuk kepala dan punggung anjing itu, seraya katanya

setengah berbisik : "Bantulah aku menunaikan tugas

dan bantuanmu sangat berguna bagiku. Maukah kau

Ceplok dan kau Cantuk berburu kepulau Mandangi?"56

Dua ekor anjing itu seakan-akan dapat

menangkap kata-kata tuannya, mereka menatap dan

menyalak kecil seakan-akan menyanggupkan diri.

Bangsacara tersenyum gembira, kedua anjing

itu ditepuk-tepuk perlahan penuh kasih.

Lalu Bangsacara sangat terpesona menyaksikan

wajah istrinya lebih ayu dari biasanya, dihiasi oleh

pipinya yang memerah kena sinar matahari itu.

Ragapadmi mengenakan caping diatas kepalanya,

pakaiannya serba lurik, punggungnya diberati oleh

tenggok berisi hasil ladang. Bangsacara cepai bangkit

seraya tersenyum menyambut senyuman manis

isterinya. Tenggok yang memberati punggung

Ragapadmi diambilnya, dan mulut Bangsacara yang

nakal kemudaan mengecup bibir isterinya yang merah

itu.

Tepat pada waktu itu nyai Jagahastana masuk

rumah muka, dan cepat tangan Ragapadmi menghalau

pelukan Bangsacara lalu lari kecil masuk rumah

belakang agak malu.

Malam itu diluar demikian gelap. Pohon-pohon

dimuka rumah itu menghantu, serba hitam. Malam

gelap kali ini sama pula dengan kegelapan Bangsacara

dalam menghadapi istrinya, untuk minta diri57

melaksanakan perintah Raja berburu rusa di pulau

Mandangin. Bangsacara yang kini duduk sendirian

diatas kursi kaju panjang itu, sedang berpikir keras apa

yang harus diJakukannya. Ia tahu apabila istrinya

diberitahu soal ini tentu ikut serta, tak mau

ditinggalkan dirumah. Tapi apabila pergi secara diam
diam, ia takut kalau-kalau istrinya bingung dan

mencari.

Bangsacara gelisah. Hati Bangsacara gelap,

sama gelap dengan malam pada saat itu. Ketika

istrinya menyusul dan duduk merapat disisinya,

Bangsacara berusaha untuk menyembunyikan

kegelisahannya itu. Dipandanginya Ragapadmi lama
lama, lalu sama-sama tersenyum, dan kemudian dagu

dan pipi yang kuning halus itu disapu perlahan dengan

hidungnya.

Ragapadmi bercerita sekitar ladang yang

dilihatnya siang tadi. Jagung mendekati panen, pohon

ubi kayu telah setinggi dada, ketela rambat telah

menjalar kesana-sini, sedang sayur-sayuran telah

dapat diambil. Ragapadmi asyik menceritakan

keadaan ladang itu, dihiasi senyum dan wajah berseri
seri. Semua tanaman dalam ladangnya itu akan

memberi hasil yang tidak saja lumayan tapi lebih dari

cukup.58

Bangsacara mencoba untuk memperhatikan

cerita-cerita istrinya itu, untuk ikut gembira bahwa

ladangnya mendapat kemajuan, tapi ternyata hatinya

yang resah iitu sangat kuat pengaruhnya. Cerita

Ragapadmi yang biasanya menarik itu kini malah

merupakan siksaan yang maha hebat. Siksaan ja,

justru besok malam istrinya tak akan dapat lagi!

bercerita seperti ini, besok malam Ragapadmi akan

tergolek tidur gelisah di pembaringannya, besok

malam Ragapadmi akan merasa kesepian dan

kehilangan.

Malam yang gelap sekarang ini merupakan

malam pertemuan terakhir selama menjalankan tugas

berburu itu, dan baru dapat menikmati malam-malam

yang begini apabila selesai tugasnya nanti. Tak lebih

dua minggu termasuk perjalanannya pulang balik, tapi

waktu selama itu bagi Bangsacara merupakan waktu

yang amat panjang. Selama itu tak dapat menyusuri

wajah dan keindahan tubuh istrinya dengan

pandangan matanya. Selama itu tak dapat membelai

rambut Ragapadmi yang ikal itu. Selama itu tak bisa

mencium bibir Ragapadmi yang mungil itu. Selama itu

tak akan bisa mengusap-usap pipi dan dagu

Ragapadmi dengan hidungnya. Sangat menyedihkan!59

Karena itu sekalipun Bangsacara berusaha

untuk menyembunyikan keresahan hatinya, tidak

berhasil! Ragapadmi dapat menyelam, dapat merasai,

karenanya seraya memeluk Bangsacara ia mendesak

terus agar memberitahukan apa sebabnya gelisah.60

"Padmi, dengarlah. Kekasihku, jangan kau

terkejut. Manis, jangan kau bersedih hati apabila aku

telah menceritakan secara benar. Wong ayu,

tenangkan hatimu. Siang tadi ketika kau tak ada di

rumah datang lagi gusti Patilh Bangsapati..."

"Oh! Datang lagi?" seru Ragapadmi terkejut.

"Ada apa?"

"Ia datang terus minta suguhan kapur sirih.

Segera kuambilkan tapi... tampak kekecewaan

terbayang pada mukanya, mengapa aku sendiri yang

mengambilkan. Aku tahu maksudnya yang benar,

ingin menikmati wajahmu tapi kau tak di rumah...."

"Oh!" seru Ragapadmi lagi. Lalu Ragapadmi

menjembunyikan mukanya dalam dada Bangsacara

dan terisak-isak, Bangsacara menghela napas seraya

membelai-belai rambut Ragapadmi yang ikal.

Bangsacara tak tahu apa sebab istrinya tiba-tiba

menangis. Karena itu dibiarkan memuaskan hatinya.

Tapi setelah agak lama tangis itu masih belum reda,

tanya Bangsacara: "Manis, mengapa kau menangis?"

"Kau cemburu..." jawab Ragapadmi setengeh

menjerit ditengah isaknya.

"Oh, kau salah terima manis, bukan begitu

maksudku," kata Bangsacara sedih.61

"Tak cemburu? Mengapa..." jerit lirih Ragapadmi

"Diamlah Dstriku, jangan kau menangis.

Kuterangkan hal lebenarnya. Aku tak cemburu,

belahlah dadaku pabila kau tak percaya. Tak ada kata
kata cemburu dalam hatiku," hibur Bangsacara seraya

mengangkat kepala istrinya, lalu disapunya airmata

yang membasahi pipi, dan kemudian dikeringkan

dengan hidungnya.

Ragapadmi masih terisak, dan Bangsacara

menghela napas.

"Aku benci padanya. Dan cinta padamu,"

menegaskan Ragapadmi seraya terisak. "Tak rela mata

liar itu menyusuri tubuhku...."

"Aku tahu manis, aku tahu..."

"Tapi... mengapa kau cemburu?" tukas Ragapadmi.

Bangsacara mencoba tersenyum, lalu

mengusap-usap dagu istrinya dan katanya : "Wong
Selir Yang Dihadiahkan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dewa Arak 60 Perawan Perawan Persembahan The Iron Fey 1 Iron King Karya Julie Pusaka Tongkat Sakti Karya Tjoe Beng

Cari Blog Ini