From Paris To Eternity Karya Clio Freya Bagian 6
apartemen Andrew. Kesendirian yang mencekam, yang berbeda
dari malam demi malam yang pernah ia jalani seorang diri. Kesen?
dirian yang abadi, yang mendadak baru ia sadari setelah kesadaran
akan kehilangan sudah benar-benar menghinggapi perasaannya.
Fay menyeka air mata yang tahu-tahu saja sudah menetes dan
membasahi pipi.
Tiga hari sudah berlalu setelah kabar kecelakaan pesawat yang
merenggut nyawa orangtuanya disampaikan oleh Andrew. Masih
jelas dalam ingatannya bagaimana jantungnya sendiri seakan ber?
henti berdetak saat mendengar berita itu, seolah jiwanya ikut
terempas bersama pesawat yang membawa orangtuanya. Sejak itu,
ruang dan waktu seakan berjalan di dimensi yang berbeda dan
semua kesibukan yang terjadi di sekelilingnya hanya seperti
potongan-potongan gambar dalam film singkat bertema tragedi.
Fay tidak tahu berapa lama ia tidak sadarkan diri setelah men?
dengar kabar buruk tersebut?yang ia ingat kemudian, ia ter?
From Paris- 301
bangun di sofa dengan Andrew yang duduk di sisinya. Selama
beberapa detik setelah membuka mata, ia sempat bertanya dalam
hati apakah yang baru saja ia dengar semata mimpi buruk, tapi
begitu matanya beradu pandang dengan Andrew, detik itu juga
kesadaran menyergap bahwa semua yang ia dengar adalah nyata
dan ia pun langsung terisak histeris dalam dekapan Andrew.
Malam itu juga, Andrew menghubungkan Fay dengan Tante
Linda, ibunda Lisa. Tante Linda-lah yang pertama kali mendengar
tentang peristiwa nahas itu dari kerabat beliau yang bekerja di
Ke?dutaan Indonesia di Peru, yang sempat ditemui orangtua Fay
dalam kunjungan mereka ke Peru. Setelah mendengar berita itu,
Tante Linda langsung berusaha menghubungi Fay ke Institute de
Paris lewat nomor telepon yang beliau peroleh dari Mbok Hanim,
pengurus rumah Fay.
Ketika mendengar suara Tante Linda, Fay berusaha menguatkan
hati saat harus mendengar kembali berita buruk yang sama sekali
tidak pernah ia bayangkan akan singgah ke telinganya. Fay pun
kembali terisak histeris ketika harapan terakhirnya akan sebuah
kesalahpahaman pupus. Ia dihadapkan pada kenyataan pahit bah?
wa ia sebatang kara dalam menjalani hari-harinya ke depan. Di?
lahirkan sebagai anak tunggal dari seorang ibu yang juga anak
tunggal dan dari seorang ayah yang sudah memutuskan pertalian
darah dengan keluarga yang lain, Fay memang hanya memiliki
orangtuanya.
Sejak mendengar berita duka itu, Fay bermalam di apartemen
Andrew dan selama itu pula Andrew bisa dikatakan tidak pernah
lepas dari sisinya. Andrew mengirim satu tim pencari ke lokasi
jatuhnya pesawat di Peru dan meminta Fay untuk tetap tinggal
di Paris hingga kondisi emosinya stabil dan pencarian membuah?
kan hasil.
Fay mengusap air mata yang sudah kembali membasahi pipi.
Pengajian untuk mendoakan orangtuanya sudah diadakan kemarin
di rumahnya di Jakarta, tanpa kehadiran dirinya. Bagaimana
From Paris- 302
mungkin nasib begitu kejam dan membiarkan hal ini terjadi?
Bahkan hak untuk melepas kepergian orangtuanya sendiri untuk
terakhir kali saja seakan sudah dicabut dari tangannya!
Fay kembali terisak dalam hening, membiarkan pikirannya me?
nerawang ke titik saat semua jiwanya seakan ikut terempas. Me?
nurut informasi Kedutaan Besar Indonesia di Peru yang ia dengar
dari Tante Linda, orangtuanya sedang mengikuti sebuah tur udara
dengan pesawat charter yang melintasiazon saat peristiwa
nahas itu terjadi. Petugas menara kontrol kehilangan kontak de?
ngan pesawat setelah pilot memberi panggilan darurat dan me?
nyatakan pesawat akan jatuh. Pencarian lokasi jatuhnya pesawat
pun terkendala karena posisinya yang terpencil di pedalaman
Amazon. Berdasarkan kejadian-kejadian yang pernah ada sebelum?
nya, Kedubes RI di Peru menyatakan kemungkinan ada yang se?
lamat hampir tidak ada.
Amazon.
Fay tercenung. Kata itu selama ini hanya pernah ditemuinya
di buku-buku cerita berbahasa Inggris yang dibawa orangtuanya
sebagai oleh-oleh dari perjalanan bisnis mereka. Atau di buku
pelajaran geografi sekolah. Tidak pernah terbayang olehnya nama
itu bisa menyisip langsung ke telinganya, disertai bayangan bahwa
orangtuanya, atau apa pun yang tersisa dari mereka, telah ter?
baring di sana.
Fay mencoba menyelami perasaannya sekarang, dengan butir
air mata yang belum juga mengering. Relung perasaannya kini
seperti rentetan bilik kosong. Apakah ini rasa sedih atau rasa ta?
kut? Apakah ini rasa kehilangan atau rasa sepi? Apakah ini di?
sebabkan oleh ketidakpastian masa depan, atau karena kepiluan
akan kenangan masa lalu? Ia sama sekali tidak bisa memilah apa
yang bercokol di dalam sana. Yang ia tahu, kini ia hanya sendiri.
Menapaki dunia yang masih berputar, menjalani hari yang akan
terbentang, dan menatapi langit yang masih menaungi hari-hari?
nya di depan, sendirian.
From Paris- 303
Fay lagi-lagi membiarkan dirinya menangis, mengeluarkan se?mua
beban yang mengganjal batinnya. Betapa bodohnya ia selama ini,
mengutuki waktu-waktu yang tidak diberikan oleh orangtuanya dan
bukannya menikmati waktu yang masih sempat diberikan oleh me?
reka... Apa yang ada di kepalanya ketika ia sebenarnya punya pilihan
untuk bercengkerama dengan orangtuanya, tapi ia malah meng?
hindar dan memilih untuk menghabiskan waktu dengan para sa?
habatnya? Kenapa ia baru menyadari arti kebersamaan ketika ia su?
dah merasakan kehilangan? Andaikan ia bisa membalik waktu....
"Fay..."
Fay mendongak dan melihat Andrew yang ternyata sudah ber?
diri di dekat sofa tempatnya duduk. Andrew lalu duduk di se?
belahnya sambil mengulurkan saputangan.
Fay menerima saputangan yang diulurkan Andrew lalu meng?
usap air matanya sambil berusaha menghentikan isak tangisnya.
Andrew menyentuh bahu Fay dan berkata, "Fay, saya baru saja
menerima berita dari tim pencari. Mereka sudah berhasil menemu?
kan lokasi pesawat.... Namun evakuasi tidak bisa dilakukan karena
pesawat sudah habis terbakar dan tidak ada yang tersisa..."
Air mata Fay kembali mengalir dengan isak tangis yang se?
makin kencang.
Andrew menarik Fay ke dalam pelukannya. "I?m really sorry,
Fay. May they rest in peace," ucap Andrew lembut.
Fay membiarkan tangisnya pecah, membiarkan kesendirian
yang menyesakkan menggerogoti ruang batinnya, membiarkan
kesendirian yang sama mencabik-cabik rongga hatinya.
Keesokan harinya, Fay bangun dengan mata sembap dan me?
ngurung diri di kamar hingga hampir tengah hari. Setelah makan
siang, ia akhirnya memutuskan sudah tiba saatnya untuk pulang
ke Jakarta. Fay pun langsung menemui Andrew di ruang kerja.
From Paris- 304
"Kamu yakin ingin pulang sekarang?" tanya Andrew setelah
Fay mengutarakan keinginannya.
Fay mengangguk. Ia tahu duka di hatinya masih terbuka lebar,
tapi ia tahu cepat atau lambat harus menghadapi kenyataan pahit
yang masih akan menemani hari-harinya di depan.
"Seperti yang pernah saya katakan, saya tidak keberatan kamu
pulang bila kondisi emosi kamu sudah membaik. Apakah kamu
perlu ditemani?"
"Tidak usah, terima kasih. Saya... sudah lebih baik," jawab Fay
tanpa menatap Andrew. Fay tahu Andrew menatapnya lekat, jadi
ia pura-pura memperhatikan Swatch di pergelangan tangannya
sendiri untuk menghindari beradu pandang dengan Andrew.
Andrew akhirnya berkata, "Kalau kamu sudah merasa lebih
baik, tidak masalah. Kamu bisa pulang hari ini dengan pesawat
pribadi saya."
Fay terperanjat dan selama beberapa saat hanya bisa menatap
Andrew tanpa berkata satu patah kata pun. "Terima kasih," ucap?
nya kemudian dengan suara parau.
Pintu ruang kerja terbuka dan Reno muncul. Reno mendekati
Fay dengan cepat lalu langsung memeluknya erat. "I?m so sorry to
hear the news... May they rest in peace in heaven," ujarnya lem?
but.
Air mata Fay langsung keluar. Semua kilasan kejadian yang
menimpanya lagi-lagi berkelebatan dalam benaknya, membuka
kembali luka batin yang masih bersimbah duka. Fay pun akhirnya
membiarkan air matanya tumpah dalam dekapan Reno yang se?
makin mempererat pelukannya.
Reno menatap Fay sambil berkata lembut, "Aku tahu betapa
berat rasanya mencoba melewati semua ini seorang diri... Aku
ingin kamu tahu kamu tidak akan sendirian melewati ini semua
karena apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untuk men?
dampingi kamu."
Fay mencoba mengucapkan terima kasih, tapi tidak ada suara
From Paris- 305
yang keluar dari celah di antara kedua bibirnya. Air mata juga
mulai terasa kembali berkumpul di pelupuk mata.
Jari Reno mengusap pipi Fay lembut, menghapus air mata
yang mulai berjatuhan. Reno lalu mengecup kening Fay, "Be
strong, lil? sis..."
Andrew bertanya, "Reno, apa ada urusan di kantor yang harus
kamu selesaikan hari ini dan besok?"
"Tidak ada. Lusa ada sesi latihan dengan Steve pada pagi hari,
setelah itu saya kembali ke Zurich."
Andrew berkata, "Fay ingin pulang hari ini ke Jakarta."
Reno langsung menatap Fay dan berkata cemas, "Kenapa buruburu, Fay? Tinggal saja dulu hingga kamu merasa lebih baik."
Fay menggeleng. "Aku... aku harus pulang."
Andrew berkata kepada Reno, "Saya akan mengizinkan kamu
mengantar Fay hingga tiba di rumah. Setelah itu kamu harus se?
gera kembali ke Paris."
"Thanks, Uncle," ucap Reno.
"Sebaiknya kalian bersiap-siap sekarang. Kalian bisa berangkat
setengah jam lagi," ucap Andrew. Ia lalu menyodorkan satu kartu
nama kepada Fay, "Saya ingin kamu tahu saya akan selalu me?
nerimamu dengan tangan terbuka. Hubungi nomor ini kapan
pun kamu siap."
Fay menerima kartu nama yang disodorkan Andrew dan me?
masukkannya ke saku celana.
"Selamat jalan, young lady. Take care of yourself," ucap Andrew
kemudian sambil memeluk Fay.
Fay melayangkan pandangannya ke luar jendela pesawat, menatap
bentangan langit biru yang sangat megah. Matanya pun berkacakaca ketika membayangkan orangtuanya kini sudah menjadi ba?
From Paris- 306
gian keindahan yang ia lihat sekarang, menyatu dengan alam
Yang Mahakuasa, tak terjangkau pemahaman kehidupan.
"Fay...," tegur Reno.
Fay buru-buru menyeka matanya. "Ya...?"
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tahu kamu masih sangat berduka dan wajar untuk me?
rasakan semua kepedihan ini hingga tuntas. Tapi aku juga ingin
mengingatkan hari-hari kamu ke depan masih panjang dan duka
ini tidak boleh membuat kamu putus asa."
"Bagaimana aku tidak putus asa, Ren...? Aku masih nggak me?
ngerti kenapa ini terjadi padaku! Hidupku selama ini baik-baik
saja, aku pun tidak pernah melakukan hal-hal buruk dan jahat...
Tapi kenapa Tuhan menimpakan ini semua padaku!" sahut Fay
keras sambil mengempaskan tubuh ke sandaran kursi.
Reno terdiam sebentar lalu menjawab, "Tidak selamanya kita
bisa mempertanyakan keputusan Yang Mahakuasa. Selalu ada
maksud dari semua kejadian yang menimpa kita, tapi kita tidak
akan pernah tahu hingga Yang Mahakuasa memberikan penge?
tahuan itu. Satu hal yang kuyakini, pada detik kelahiran kita,
pada detik yang sama pula kematian kita sudah ditetapkan. Ke?
matian tidak bisa dihindari?caranya bisa beragam, tapi momen
itu tidak pernah sedetik pun meleset."
"Maksud kamu, waktu untuk orangtuaku di dunia ini memang
sudah selesai, dan kalaupun kecelakaan itu tidak terjadi, mereka
mungkin akan pergi dengan cara lain?" gumam Fay.
Reno menghela napas. "Entahlah, Fay... mungkin saja... yang
jelas, itulah yang aku yakini selama ini."
Fay terdiam sejenak, melayangkan pandangan ke langit biru
tak berbatas. "Aku sekarang tidak punya siapa-siapa lagi...," ucap
Fay dengan suara tercekat. Butir-butir air mata yang sudah ham?
pir keluar membuat Fay tidak bisa melanjutkan ucapannya.
"Aku pernah melalui kesedihan yang sama, Fay. Percayalah,
kesedihan ini akan berlalu. Kamu harus memercayakan semuanya
From Paris- 307
pada waktu, karena hanya waktulah yang bisa menyembuhkan
luka yang sekarang ada di hati kamu..." Reno memajukan tubuh.
"...dan, Fay, jangan lupa... kamu selalu mempunyai aku."
Sebuah ketulusan begitu terasa dari kalimat yang diucapkan
Reno dan dengan mata berkaca-kaca Fay berkata pelan,
"Thanks...."
Reno berkata lembut, "You?re welcome, lil? sis."
Setelah hening sesaat, Fay kembali bertanya, "Bagaimana kamu
dulu melaluinya... saat kamu kehilangan orangtua kamu? Kamu
kan masih sangat muda...."
Reno mengembuskan napas. "Aku beruntung karena sebelum
kejadian itu Andrew sudah menawariku menjadi bagian dari ke?
luarga McGallaghan dan aku sudah memutuskan untuk ber?
gabung dengan Andrew. Sedikit-banyak itu memaksaku pulih le?
bih cepat."
Fay mengerutkan kening. "Apa maksud kamu dengan kamu
sudah memutuskan sebelum kejadian itu? Aku pikir kamu ber?
temu Andrew setelah kecelakaan itu."
"Aku bertemu Andrew mungkin satu tahun sebelum ke?
jadian."
"Tapi kamu kan masih kecil! Baru sekolah dasar, kan?"
"Iya, rekrutmen anggota keluarga McGallaghan memang benarbenar satu hal yang tidak biasa. Agen-agen yang bekerja di kantor
direkrut pada usia minimal delapan belas tahun, tapi anggota ke?
luarga McGallaghan sudah mulai didekati saat masih belia, antara
tahun keempat sekolah dasar hingga tahun ketiga sekolah me?
nengah. Satu-satunya pengecualian adalah Kent."
"Bagaimana mungkin kalian memutuskan apa pun di usia se?
muda itu!" seru Fay. "Atau, apakah ada paksaan?"
"Tidak ada paksaan. Kami didekati selama satu tahun dan se?
lama setahun itu kami perlahan-lahan dikenalkan pada dunia
yang akhirnya kami jalani ini sambil diamati. Pada akhir satu
tahun itu kami diberi pilihan untuk terus atau berhenti."
From Paris- 308
"Aku masih tidak mengerti bagaimana anak sekecil itu bisa
memilih," ucap Fay sambil menggelengkan kepala.
Reno tersenyum. "Kedengarannya memang aneh, tapi kamu
jangan membayangkan penawaran itu dalam terminologi orang
dewasa... yang diperkenalkan terlebih dahulu adalah kenyamanan
hidup dan kesempatan untuk mewujudkan mimpi. Orang dewasa
pun kalau diberitahu ada cara untuk mewujudkan keinginan me?
reka dengan mudah pasti akan senang, apalagi anak kecil yang
disodori secara gamblang bahwa apa yang selama ini hanya ada
di mimpi mereka bisa menjadi kenyataan."
"Contohnya seperti apa?"
"Aku direkrut karena kemampuan fisikku sudah menonjol sejak
kecil. Hampir semua cabang olahraga yang umum dimainkan
sudah kukuasai dengan baik sejak di bangku sekolah dasar. Sejak
dulu aku selalu memimpikan petualangan dan ada satu masa da?
lam hidupku saat aku ingin jadi tentara.
"Andrew memperkenalkan kehidupan sempurna yang sebelum?
nya hanya ada di impianku, dengan cara membawaku bertualang.
Dia mengajakku mencoba semua jenis olahraga yang membangkit?
kan adrenalin, mulai dari mencoba arung jeram, panjat tebing,
melompat di air terjun, hingga terjun payung. Dia juga mengajak?
ku ke area latihan lapangan. Di sana aku diizinkan mencoba
semua jenis senjata bahkan menjajal lapangan latihan seperti agen
betulan. Untuk anak dengan cita-cita jadi tentara, itu serasa di
surga! Persis sebelum aku berangkat ke Bali, tawaran itu datang.
Kamu bisa bayangkan sendiri perasaanku saat mendengar apa
yang ada di impianku akan segera terwujud... tidak terlukiskan!
"Saat itu pun sebenarnya sudah aku iyakan, tapi Andrew me?
ngatakan aku tidak usah terburu-buru dan sebaiknya berpikir
masak-masak selama beberapa bulan ke depan karena ada konse?
kuensi dan kewajiban lain yang harus aku penuhi bila aku me?
nerima tawaran itu, termasuk tinggal jauh dari orangtuaku. Tapi
kecelakaan yang merenggut keluargaku sepulangnya dari Bali
From Paris- 309
mengubah segalanya dan kurang-lebih satu bulan setelah itu aku
sudah berada di bawah asuhan Andrew."
"Apakah kamu pernah menyesal?" tanya Fay hati-hati.
Reno terdiam sebentar sebelum menjawab, "Ada banyak masa
sulit, dan dalam masa-masa itu aku kadang berharap keadaan bisa
berbeda. Tapi aku menjalani apa yang sudah menjadi keputusan?
ku, jadi aku meyakini bahwa apa pun yang ada di sana adalah
hal yang patut dijalani?harga yang harus dibayar untuk per?
wujudan sebuah mimpi."
Fay mengangguk takjub. Rasanya waktu ia masih duduk di
bangku sekolah dasar, ia hanya plonga-plongo nggak keruan dan
main lari-larian dengan teman-teman... Tidak terbayang kalau di
saat itu ada seorang asing yang mendekati dan memintanya me?
lakukan hal-hal seperti yang disebutkan Reno.
Reno bersandar santai, lalu bertanya, "Jadi, apa yang akan
kamu lakukan begitu tiba di Jakarta?"
"Aku kayaknya mau ketemu dulu sama Tante Linda, ibunya
Lisa," jawab Fay. Sebelum berangkat tadi, Fay memang menelepon
Tante Linda dan telah menyampaikan rencananya untuk pulang
ke Jakarta.
"Apa yang mau kamu bicarakan dengan dia, dan apa rencana
kamu setelahnya?"
Fay tertegun. Ia baru sadar sebenarnya ia belum tahu apa yang
akan ia lakukan. Benaknya saat ini rasanya kosong, hanya di?
penuhi duka dan kenangan masa lalu.
"Belum tahu, Ren," jawab Fay ragu.
Reno tidak bertanya lebih lanjut.
Fay menyandarkan kepala, merebahkan kursi, lalu membiarkan
pikirannya berkelana. Pertanyaan Reno tadi mulai memicu per?
tanyaan-pertanyaan lain. Apa yang akan ia lakukan setelah ini,
kuliah seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa? Sanggupkah ia
menjalani hari-harinya seorang diri, dengan kesadaran bahwa ti?
From Paris- 310
dak ada lagi dua hati milik Papa dan Mama yang bisa diandalkan,
yang selalu siap mencurahkan perhatian kapan saja? Kenapa
kenangan-kenangan yang dipenuhi oleh kasih Papa dan Mama
yang selalu menyertai hidupnya baru bermunculan sekarang?
Kenapa ketika Papa dan Mama masih hidup, yang terus mengisi
benaknya adalah hal-hal yang tidak mereka lakukan, dan bukan?
nya cinta yang telah mereka berikan?
Fay pun kembali membiarkan air matanya mengalir dalam
diam.
"Fay, Tante turut berdukacita ya, Sayang.... Mudah-mudahan
orangtua kamu bisa beristirahat dengan tenang di sisi-Nya."
"Terima kasih, Tante. Dea ada, Tante?" sahut Fay.
"Wah, Dea sedang ikut bimbingan tes. Sekarang dia ikut yang
kelas intensif, jadi baru pulang nanti sore. Telepon lagi saja nanti
malam ya Fay."
"Ya, Tante. Terima kasih."
Fay menghela napas dan menutup telepon.
"Gimana?" tanya Reno.
Fay membuang pandangannya ke luar jendela mobil. Peman?
dangan sekitar bandara Halim di sore hari dengan mobil-mobil
yang berdesak-desakan di jalan sama sekali bukan pelarian yang
menyenangkan. Sambil mendesah Fay menjawab, "Dea juga
nggak ada di rumah."
"Kenapa teman kamu nggak ada yang bisa dihubungi?" tanya
Reno dengan nada agak kesal.
"Mana kutahu!" jawab Fay lebih kesal. Kalau Reno saja bisa
kesal, apalagi dirinya! Sesaat setelah pesawat mendarat tadi, ia
langsung menelepon rumah Lisa, tapi baik Lisa maupun Tante
Linda tidak ada di rumah. Pengurus rumah Lisa memberikan no?
mor telepon genggam Tante Linda, tapi begitu Fay mencoba
From Paris- 311
menghubungi nomor itu, ia disambut oleh sapaan mailbox. Tele?
pon genggam Lisa malah tidak bisa dihubungi sama sekali. Se?
telah itu Fay mencoba menghubungi Cici, dengan hasil tak jauh
beda.
Reno berdecak dan berkomentar, "Kalau orang-orang terdekat
kamu seperti itu, aku tidak tahu apa yang kamu cari di Ja?
karta."
Fay merasa kepalanya tersulut dan ia langsung membalas ketus,
"Mereka sahabat-sahabatku! Setidaknya aku masih punya me?
reka!"
Reno menanggapi dengan tak acuh, "Iya, tapi sepertinya ke?
balikannya tidak berlaku."
Sesuatu terasa menghantam dada Fay dengan ucapan itu. Fay
langsung membuang muka, membiarkan air mata keluar dari su?
dut matanya tanpa terlihat oleh Reno.
Sisa perjalanan dilalui dalam diam. Fay sama sekali tidak ber?
minat memulai percakapan dengan Reno dan Reno juga sibuk
mengamati sumpeknya kota Jakarta. Kadang Reno melempar ko?
mentar ketika melihat kemiripan Jakarta dengan Bangkok, tapi
Fay tidak mau menanggapi dan memilih untuk menutup mata
dan berpura-pura tidur.
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akhirnya mobil tiba di depan rumah Fay.
Fay langsung turun dan keningnya langsung berkerut melihat
serakan daun kering di halaman depan rumahnya yang tidak ter?
lalu luas. Sepanjang yang bisa ia ingat, Mbok Hanim tidak per?
nah sekali pun memulai hari tanpa menyapu pekarangan. Bisa
dibilang itu ritual kedua Mbok Hanim setiap pagi, sehabis shalat
Subuh.
Fay mengetuk pintu, tapi setelah beberapa waktu tidak ada ja?
waban.
Reno menunjuk lampu teras. "Lampu kamu menyala, padahal
hari belum gelap. Kamu yakin ada orang di rumah?"
Fay mencoba melihat lampu teras yang posisinya agak ter?
From Paris- 312
sembunyi. "Kok kamu tahu lampu terasku nyala? Nggak ke?
lihatan, Ren..."
Reno tersenyum tipis. "Kamu belum lulus Analisis Perimeter,
ya...? Lihat pantulannya di kaca, Fay."
Fay terdiam sejenak. Bukan karena fakta pantulan kaca, tapi
lebih karena istilah Analisis Perimeter yang disebutkan Reno.
Istilah itu bagai mengetuk sisi lain di hatinya, seakan mencoba
mengingatkan dirinya tentang keberadaan sebuah dunia berbeda
yang kini pun sebenarnya sudah menjadi bagian hidupnya.
Fay menepis perasaan yang timbul, lalu mengeluarkan telepon
genggam dan mencoba menelepon rumah. Terdengar sayup-sayup
dering telepon rumah berbunyi, namun tidak ada yang mengang?
kat hingga sambungan putus.
Fay kembali mencoba menelepon Tante Linda ke rumah dan
ke telepon genggam, namun masih juga tidak berhasil.
"Neng... rumahnya kosong," ucap sebuah suara dari arah ja?
lan.
Fay menoleh dan melihat Mbak Iyam, pengurus rumah sebelah
yang juga teman satu kampung Mbok Hanim sedang berdiri sam?
bil memegang sapu lidi.
"Mbok Hanim ke mana ya, Mbak?" tanya Fay.
"Pulang kampung, Neng, kemarin... ibunya mendadak sakit.
Kunci rumah Neng kalau nggak salah dititipin sama temen Neng
yang suka datang ke sini itu lho... yang orangnya mungil, putih,
cantik."
Lisa.
"Makasih, Mbak," ucap Fay pelan.
Setelah Mbak Iyam pergi, Reno bertanya, "Ada apa, Fay?"
Fay mengulang informasi yang ia terima ke Reno, lalu kembali
mencoba menghubungi Tante Linda, masih juga tanpa hasil.
Pengurus rumah Tante Linda yang mengangkat telepon juga tidak
tahu-menahu tentang kunci rumah Fay yang katanya dititipkan
ke Lisa.
From Paris- 313
Akhirnya Fay hanya berdiri di depan rumah, menatap rumah?
nya yang walaupun sudah ada di pelupuk mata namun terasa
begitu jauh. Tak bisa dipercaya... bagaimana mungkin sebuah je?
jak kenangan bersama orangtuanya sendiri seakan tidak berhak
untuk ia raih!
Reno bersuara, "Fay, sebaiknya kita pergi sekarang..."
Fay terdiam sebentar sebelum berkata lirih, "Pergi ke mana,
Reno? Ini rumahku sendiri... seharusnya aku pulang ke sini...."
Butir-butir air mata mulai menetes, melengkapi ironi.
Reno menarik Fay ke dalam pelukannya, lalu berkata lembut,
"Ayo... kamu ikut aku saja dulu. Aku akan memesankan satu ka?
mar lagi untuk kamu di hotel, jadi kamu bisa beristirahat sambil
mencoba menghubungi teman kamu. Kalau masih belum berhasil,
malam ini kita kunjungi rumahnya."
Fay mengangguk pasrah dan membiarkan Reno menariknya ke
mobil.
Fay menelan fettucinni yang terasa begitu hambar di lidah. Pada
hari-hari biasa ia mungkin akan berceloteh protes dan sibuk me?
nambahkan garam atau saus, tapi kali ini ia takbil pusing.
Fay melihat berkeliling. Restoran tempat ia dan Reno makan
sekarang terletak di lobi hotel dan tidak terlalu banyak pengun?
jung yang makan pada jam aneh seperti sekarang?sudah terlalu
telat untuk makan siang tapi masih terlalu awal untuk makan
malam. Fay kembali menyuap tanpa semangat sambil memper?
hatikan wajah-wajah yang menyantap dengan lahap. Ia tidak ingat
kapan terakhir makan dengan penuh selera.
Reno menatap Fay lekat. "Kamu nanti tinggal di mana? Di
rumah kamu yang tadi?"
Fay refleks mengangguk, "Iya."
"Rumah itu lumayan besar, Fay, dan kamu sendirian..."
From Paris- 314
Kalimat itu membuat Fay tertegun. Benar juga... Mbok Hanim
kan pulang kampung! Fay memperbaiki kucir rambutnya sambil
mengeluh dalam hati. Kenapa semua fakta rasanya begitu sulit
untuk dicerna otaknya sekarang?
Reno melanjutkan, "Fay, kamu satu-satunya keluargaku seka?
rang, dan melihat kondisi kamu sekarang, aku rasa kebalikannya
juga begitu. Aku tidak bisa membayangkan kamu berada di sini
sendirian tanpa punya siapa-siapa...."
"Lantas aku harus bagaimana lagi, Ren?" tanya Fay putus asa.
"Cuma ini pilihan yang aku punya!"
Reno tidak menjawab. Ia menyuap dan mengunyah makanan?
nya, lalu memandang Fay lekat. "Sebelum kita berangkat, Paman
memberimu kartu nama untuk dihubungi. Dia bilang akan selalu
menerimamu dengan tangan terbuka."
"Lantas?" tanya Fay sekenanya, lalu terdiam. Perlahan-lahan ia
menangkap maksud Reno dan matanya langsung terbelalak. "Apa?
kah itu maksud Andrew? Menawari aku tinggal di Paris?"
"Ya. Dia tidak mungkin memberikan kartu nama itu bila tidak
bermaksud memberimu pilihan untuk bergabung di kantor."
"Bergabung?" tanya Fay terbelalak. "Maksudmu... dia mau aku
bekerja dan melakukan tugas-tugas seperti kemarin?" tanya Fay
terbata-bata.
"Ya..."
"Kamu gila!" potong Fay keras.
Reno meletakkan garpu di tangannya dan menatap Fay tajam.
"Apa yang salah dengan pilihan itu? Tahun ini usiamu delapan
belas dan kamu semestinya sudah bisa memutuskan jalan hidup?
mu sendiri! Ini kesempatan bagimu untuk menetapkan pilihan
melangkah ke depan ketimbang tenggelam dalam masa lalu. Lagi
pula, kalau kamu tinggal di Paris, aku akan bisa bertemu dengan?
mu secara rutin di kantor. Dan aku pun lebih tenang karena ya?
kin kamu akan terjaga dengan baik."
"Tidak, tidak mungkin...," jawab Fay buru-buru.
From Paris- 315
"Kenapa tidak?"
Fay menggeleng. "Aku harus kuliah."
"Kata siapa itu keharusan? Semua yang ada di dunia ini adalah
pilihan."
Fay melotot. "Tentu saja aku harus kuliah... Mau jadi apa ka?
lau sekolah saja tidak benar!"
"Baik, kalau itu maumu, toh bisa dilakukan di Paris! Kenapa
kamu membatasi pilihanmu sendiri dengan mengharuskan dirimu
tinggal di Jakarta? Apa yang kamu cari di kota ini?! Setidaknya
di Paris kamu akan berada lebih dekat denganku, satu-satunya
orang yang benar-benar peduli dan menyayangimu."
Kent.
Fay terdiam ketika ingatan akan Kent merasuki benaknya?satu
lagi orang yang memang peduli dan menyayanginya, terlepas dari
akhir hubungan mereka.
Dering telepon genggam Fay mengalihkan perhatian.
Fay mengembuskan napas lega dan buru-buru mengangkat
telepon ketika melihat nama Lisa tercantum sebagai penelepon.
"Hai, Fay... aduh, sori ya gue baru telepon lagi. Gue turut ber?
dukacita ya, Fay. Gue dan Nyokap lagi sibuk nyiapin pesta ka?
winan salah seorang sepupu gue, jadi belum sempat nelepon."
"Nggak apa-apa, Lis..."
"Fay, gue sekarang masih di hotel, di tempat acara, dan belum
bisa balik ke rumah. Kunci rumah lo gue titip ke sopir ya, nanti
dia langsung ke rumah lo aja untuk mengantar kunci."
"Mbok Hanim kok bisa titip kunci segala?" tanya Fay.
"Mbok Hanim telepon nyokap gue waktu dapat kabar ibunya
di kampung sakit, jadi gue dateng untuk mengambil kunci."
"Thanks ya, Lis..."
"Sama-sama, Fay... Sori ya, gue belum bisa temenin lo."
"Nggak apa-apa. Omong-omong, tau nggak kenapa HP Cici
nggak bisa dihubungin?"
"Si Cici udah berangkat ke Jerman, jadi HP-nya gue rasa udah
From Paris- 316
dimatiin. Coba aja buka e-mail, kayaknya dia kirim e-mail ke?
marin... Eh, Fay, gue udah dipanggil nih... Nanti begitu acara
selesai, gue telepon lagi ya...."
"Oke, bye."
Fay memberitahu Reno apa yang dikatakan Lisa tentang kunci
rumah, tapi hati kecilnya yang terusik melarang mulutnya untuk
menyebutkan kenapa Lisa tidak datang dan hanya menitipkan
kunci pada sopir?untung Reno tidak bertanya lebih lanjut.
Fay dan Reno pun bergegas meninggalkan restoran dan tak
lama kemudian sudah dalam perjalanan kembali ke rumah Fay.
Setelah menerima kunci dari sopir Lisa yang sudah menunggu
di depan rumah, Fay segera membuka pintu dan melangkah ma?
suk ke rumah dengan langkah yang disarati duka.
Begitu pintu terbuka, bau lembap bercampur debu langsung
menyergap hidung. Rumah dua lantai yang biasanya terasa begitu
hangat menyambut hari-harinya pada masa lampau kini telah ke?
hilangan napas dan terasa sangat suram, bagai menyimpan ke?
piluan yang sama dengan apa yang sekarang memenuhi batin?
nya.
Fay menyalakan lampu untuk menghilangkan kesuraman dan
langsung tertegun ketika melihat satu bidang dinding kosong di
ruang tamu, yang sebelumnya terisi dengan sebuah foto keluarga
berukuran besar, berisikan Mama, Papa, dan dirinya.
Fay melanjutkan langkah ke ruang makan, dan langkahnya
terhenti saat melihat dua bidang kosong yang sebelumnya berisi
foto Mama dan Papa. Kini di dinding tersebut hanya ada foto
dirinya. Mungkin foto-foto itu diturunkan untuk keperluan pe?
ngajian beberapa hari yang lalu. Tapi, sekarang disimpan di
mana?
Air mata Fay menetes ketika dipaksa mengingat kesendirian
yang akan menemani hari-harinya ke depan. Tiba-tiba ia merasa
dadanya sesak. Bagaimana ia mampu bertahan di rumah ini, di?
From Paris- 317
kelilingi sejuta kenangan yang sekarang sudah membeku? Dengan
siapa ia tinggal di rumah sebesar ini?
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa bisa ditahan, sesak di dada Fay mulai memicu butirbutir air mata untuk keluar, dan Fay pun sedikit demi sedikit
membiarkan tangisnya tumpah hingga akhirnya tersedu sedan.
Sebuah tangan merengkuh Fay, membawanya ke dalam de?
kapan hangat.
Reno mengelus-elus punggung Fay, mencoba meredakan tangis
yang sudah meledak. "Sebaiknya kita pergi sekarang. Kamu bisa
beristirahat di hotel," ucap Reno lembut.
Fay tidak menjawab, membiarkan Reno menarik tangannya
menuju pintu keluar.
Fay baru saja merebahkan diri di kamar hotel ketika pintu di?
ketuk. Ia buru-buru berdiri dan membuka pintu, dan melihat
Reno berdiri di depan pintu sambil menenteng travelling bag.
Reno berkata, "Fay, aku harus kembali ke Paris sekarang
juga."
"Lantas, aku bagaimana?" tanya Fay dengan suara tercekat.
Reno mengusap kepala Fay. "Jangan khawatir. Aku sudah bi?
cara dengan Paman dan dia setuju kamu bisa tinggal di sini se?
lama yang kamu mau. Aku akan menghubungi kamu secepatnya
setibanya aku di Paris."
Fay mengangguk, tapi tak mampu mencegah butir-butir air
matanya berjatuhan satu demi satu.
Reno memeluk Fay. "Hei... it will be okay. Aku sudah janji
akan terus menjagamu... di mana pun kamu berada. Selama aku
pergi, pikirkan baik-baik apa rencana kamu selanjutnya."
"Oke," jawab Fay dengan suara serak. Tangannya mengucekucek matanya yang sudah basah.
Reno mengecup kening Fay dan berkata, "Take care, lil? sis.
From Paris- 318
Don?t do anything stupid while I?m gone...," ucap Reno sambil me?
lambaikan tangan.
Fay menyaksikan Reno berjalan menjauh dengan perasaan ham?
pa. Bagaimana mungkin ini semua terjadi? Ia sudah berada di
Jakarta, kota kelahiran dan tempat tinggalnya sendiri, tapi menga?
pa sebuah rasa kesendirian semakin mencabik-cabik batinnya de?
ngan setiap langkah Reno yang menjauh?
Fay akhirnya merebahkan diri di tempat tidur, membiarkan
kilasan-kilasan kejadian yang pernah dialami selama hidupnya di
Jakarta terputar dalam benaknya, silih berganti. Mulai dari mo?
men yang melibatkan kedua orangtuanya, momen yang terjadi di
sekolah, hingga momen berkesan nan ceria dengan ketiga sahabat?
nya?kisah manis yang tidak akan pernah terlupakan.
Momen demi momen yang dialami di Paris juga langsung tim?
bul ke permukaan?semua suka dan duka, pahit dan manis yang
ia rasakan bersama Kent, Reno, Andrew, bahkan Philippe.
Fay menghela napas panjang. Benarkah kehidupan yang pernah
ia miliki di Jakarta kini hanyalah tinggal puing-puing masa
lalu?
Di Jakarta masih ada para sahabatnya, tapi adakah pijakan ba?
tin yang teruji antara ia dan mereka, ketika kebersamaan selama
ini hanya terukir pada saat manis dan bukan pada masa sulit?
Apa yang pernah dilakukan para sahabatnya selain ber-ha-hahi-hi seputar urusan sekolah, cowok, dan pergaulan?
Akankah mereka rela berkorban untuk dirinya sebagaimana
yang dilakukan Kent?
Akankah mereka bersedia mempertaruhkan nyawa seperti yang
pernah dilakukan Reno?
Akankah mereka mau bersusah-payah menolong dirinya dari
cengkeraman maut seperti yang dilakukan Andrew? Terlepas dari
kenyataan bahwa Andrew adalah pria yang dulu menculiknya,
tidak bisa dimungkiri Andrew pula yang sudah berkali-kali menge?
luarkannya dari kesulitan.
From Paris- 319
Fay termenung selama beberapa waktu, kembali meresapi ke?
camuk semua perasaannya. Akhirnya ia mengeluarkan kartu nama
yang diberikan Andrew. Di kartu tertulis "Bobby Tjan" dan se?
buah nomor telepon berkode area Jakarta.
Masa depan macam apa sebenarnya yang ditawarkan oleh
Andrew? Seperti apa sebenarnya tempat yang disebut "kantor"?
Seperti apa hubungan dirinya dengan Reno dan Kent di tempat
yang disebut dengan "kantor" itu?
Fay menghela napas, mencoba mengisi kekosongan di hatinya.
Akhirnya ia menutup mata dan dengan sepenuh hati memohon
petunjuk kepada Yang Mahakuasa. Dalam keheningan yang pan?
jang dan damai itulah ia mendengar bisikan hatinya sendiri.
Detik itu juga ia tahu sekarang, di dunia ini, ia memang cuma
memiliki Reno dan Kent, dua orang dengan hati tulus yang me?
nyayanginya tanpa pamrih. Air mata langsung mengintip di sudut
mata saat ia menyadari saat ini tidak ada lagi yang pantas diper?
juangkan dalam hidupnya selain kedekatan hati dengan mereka
berdua.
Fay mengambil telepon genggam dan menekan tombol.
Terdengar nada sambung. Setelah lama tidak diangkat, akhirnya
sambungan terputus.
Fay duduk bersila di tempat tidur dan memutar nomor lebih
hati-hati, kali ini memastikan nomor yang ia tekan memang sesuai
dengan apa yang tertera di kartu nama. Terdengar nada sambung
dan karena ia yakin kali ini tidak mungkin salah tekan nomor,
antisipasinya semakin besar dan dadanya mulai berdebar.
Tidak ada yang mengangkat. Terdengar kembali nada pendekpendek menandakan sambungan terputus.
Fay menutup telepon dengan badan bergetar menahan
amarah.
Tidak adil! Kenapa Tuhan mempermainkan dirinya seperti ini!
Ia kini hanya memiliki Reno dan Kent! Apa yang harus ia
lakukan sekarang?!
From Paris- 320
Fay merasa air matanya kembali berkumpul di pelupuk mata
dan akhirnya sambil meringkuk di tempat tidur ia membiarkan
tangisnya pecah sambil mendekap telepon dan kartu nama itu di
pelukannya.
Ada yang mengetuk kepalanya.
Fay membuka mata dan sejenak terkena disorientasi lokasi.
Perlu beberapa detik hingga ia sepenuhnya tersadar sedang berada
di kamar hotel. Sekilas ia melihat telepon genggam yang tadi ia
gunakan beserta kartu nama yang berisi nomor Bobby Tjan terge?
letak tidak jauh dari posisinya tidur sekarang.
Fay berusaha menyimak suara ketukan yang tadi terdengar.
Apakah memang ada yang mengetuk pintu, atau itu hanya
mimpi?
Setelah telinganya tidak menangkap suara apa pun, Fay masih
sempat menggeliat di tempat tidur hingga ia mendengar suara
dari pojok ruangan. Detik berikutnya ia langsung tegak dan me?
lompat ke belakang hingga punggungnya menabrak sandaran
tempat tidur. Seorang pria berjaket sedang duduk di kursi di po?
jok ruangan!
Fay sudah membuka mulut untuk berteriak minta tolong ke?
tika pria itu berbicara.
"Tenang...."
Pria itu berdiri dan bersandar ke meja rias. Tubuhnya cukup
tinggi untuk ukuran orang Indonesia, berwajah oriental, dan ber?
penampilan rapi. Di balik jaketnya, ia memakai kemeja polos le?
ngan panjang dan celana bahan.
"A... Anda siapa?" tanya Fay dengan jantung berderu. Refleks
ia menarik selimut hingga menutupi tubuh.
"Kamu menghubungi saya beberapa jam yang lalu. Nama saya
Bobby Tjan."
From Paris- 321
Jantung Fay bagai melorot ke lantai dan ia bertanya terbatabata, "Ba... bagaimana Anda bisa masuk ke kamar ini?!"
"Tidak penting bagi kamu untuk mengetahui hal itu sekarang...
walaupun bisa saya jawab mudah saja melakukannya," jawab
Bobby enteng.
Bulu kuduk Fay meremang; benaknya mau tak mau bertanyatanya, sudah berapa lama Bobby ada di ruangan ini.
Bobby mengeluarkan satuplop dari saku jaketnya, lalu me?
lemparkannya ke tempat tidur. "Ini tiket kamu ke Paris, berang?
kat besok... Tiket sekali jalan."
Fay merasa jantungnya berhenti berdetak sesaat. Napasnya men?
dadak seperti terhambat dan seluruh benak dan perasaannya men?
dadak seperti dicengkeram ketakutan yangat sangat. Tiket
sekali jalan?
"Sebentar!" seru Fay dengan napas menggebu. "Saya tadi me?
nelepon untuk bertanya tentang... mm... ke... kemungkinan..."
"Bergabung?" potong Bobby.
Fay terdiam.
Bobby menatap Fay tajam. "Saya yakin Mr. McGallaghan mem?
beritahu kamu untuk menelepon saya hanya bila kamu sudah
siap."
"I... iya, tapi... saya tidak menyangka akan secepat ini!" seru
Fay panik.
"Itu asumsi yang kamu buat sendiri," ucap Bobby dingin. "Se?
karang yang dipertanyakan adalah keyakinan kamu dalam me?
milih jalan ini. Jadi, apakah kamu yakin?"
Fay menelan ludah dan dengan benak setengah menerawang
mengulurkan tangan untuk meraihplop yang tergeletak di
tempat tidur. Ia terpaku menatap tiket di tangannya. Ia tadi su?
dah memutuskan hidupnya di Jakarta hanyalah puing-puing masa
lalu yang tak bisa dikais lagi. Tapi, tiket sekali jalan? Benarkah
puing-puing masa lalu ini sudah sedemikian tak menyisakan ha?
rapan? Bagaimana dengan semua jejak kenangan selama hampir
From Paris- 322
delapan belas tahun ia tumbuh di kota ini? Di rumahnya sen?
diri?
"Saya akan menghubungkan kamu dengan Mr. McGallaghan.
Ingat, Fay, tidak ada jalan untuk kembali setelah kamu bicara
dengan beliau. Jadi, sekali lagi saya tanya, apakah kamu yakin?"
Fay terdiam ketika bayangan rumah besar yang dingin dengan
dinding-dinding berbidang kosong menghantui pikirannya. Akhir?
nya ia mengangguk.
Bobby menekan tombol di telepon genggamnya.
"Sir? Ada yang ingin bicara dengan Anda."
Bobby menyodorkan telepon genggam dan Fay menerimanya
dengan tangan gemetar.
"Fay, good to hear from you. How are you, young lady?"
"Fine, thanks...."
"Jadi, kamu sudah bicara dengan Bobby?"
"Eh... ya, begitulah."
"Good to hear that. Seperti yang pernah saya sampaikan, tangan
saya terbuka untuk menerimamu. Selamat bergabung, Fay. Sampai
jumpa di Paris segera."
Telepon ditutup.
Fay menyodorkan telepon kembali kepada Bobby dengan be?
nak tidak berada di tempat yang seharusnya. Tidak ada jalan
untuk kembali. Perkataan Bobby kini ia rasakan kebenarannya
setelah berbicara dengan Andrew.
Bobby berdiri dan berkata, "Walaupun kamu belum resmi ber?
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gabung hingga menandatangani kontrak, saya ucapkan selamat.
Sedikit nasihat dari saya... hiduplah untuk setiap detiknya... bila
dalam detik ini hidup tidak berpihak padamu, percayalah pada
detik berikutnya hidup akan menjadi lebih baik. Hanya dengan
kondisi mental positif seperti itulah kamu bisa lolos dari apa pun
yang menantimu di depan."
Fay terpana sejenak menatap Bobby dan akhirnya hanya meng?
gumamkan ucapan terima kasih.
From Paris- 323
Begitu Bobby berlalu dan menutup pintu, Fay langsung me?
nyandar dengan lemas. Apakah keputusannya tepat? Tiket sekali
jalan, berangkat besok.
Fay menarik dan membuang napas untuk menenangkan diri,
tapi tidak berhasil. Tidak ada jalan untuk kembali, Fay, jadi hidup?
lah untuk setiap detiknya! serunya panik pada diri sendiri.
From Paris- 324
The Bitter Truth
D?J? VU.
Fay mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang tengah
apartemen Andrew tempat ia sekarang berada. Ia menghela napas
dan mengempaskan tubuh ke sofa, kemudian bersedekap sambil
membiarkan pikirannya melayang tak menentu. Tiket sekali jalan.
Tidak terbayang sebelumnya ia akan menginjakkan kaki di
tempat ini lagi. Ia pun tidak punya bayangan sama sekali seperti
apa kehidupannya kini. Di mana ia akan tinggal? Apa yang akan
ia temui di depan? Bagaimana dengan kuliahnya?
Kuliah adalah rencana terakhir yang masih sempat ia buat ber?
sama-sama orangtuanya?melakukannya bukan hanya terasa se?
bagai keharusan, tapi jugaanah yang akan selalu menghubung?
kan jiwanya dengan jiwa mereka.
"Hai, Fay," sapa Andrew sambil berjalan mendekat. Andrew
mengenakan busana kerja berupa jas hitam yang sangat formal
dengan dasi. Di belakang Andrew ada dua pengawal, berbusana
serupa, berjas hitam dengan kemeja putih dan dasi.
From Paris- 325
Fay berdiri.
Andrew memeluk Fay. "Bagaimana kabar kamu?"
"Baik...."
Andrew tersenyum. "Saya senang kamu akhirnya mengambil
keputusan sendiri atas masa depan kamu."
"Apa yang akan saya lakukan mulai sekarang?" tanya Fay raguragu.
Andrew meletakkan tangan kirinya di pundak Fay, lalu men?
jawab, "Itu bisa menunggu."
Fay mengangguk sambil mencoba menyelami sepasang mata
biru milik Andrew ketika tangan Andrew yang masih ada di pun?
daknya mendadak mencengkeram bahunya.
Fay berteriak sambil mencoba mengibas bahkan mendorong
tangan Andrew dari bahunya, namun tangan Andrew sama sekali
tidak bisa digerakkan.
Di sela-sela perjuangan menahan rasa sakit yang meremukkan
bahunya, Fay melihat dua pengawal Andrew mendekat.
Terasa satu pukulan menghantam bagian belakang kepala.
Fay mengerang saat jatuh ke sebuah kedalaman yang pekat.
Badannya menyentuh lantai seperti ditarik ke tepi satu pusaran
yang berputar kencang, membuatnya hanya bisa melihat warna
abu-abu pekat yang siap menyambarnya ke dalam arus yang ber?
putar. Tergeletak di lantai seperti seonggok kayu mati, sayupsayup ia mendengar sebuah suara yang semakin mendekat, seperti
mengambang dalam air. Suara Andrew.
"Enter your new world, Fay."
Fay berusaha membuka mata, tapi sangat sulit untuk berkonsen?
trasi menggerakkan kelopak matanya dengan pusaran yang me?
nyeretnya semakin kencang. Ia mendengar suara gesekan sepatu
yang menyapu karpet tebal, mendekat ke arahnya... Terasa sebuah
tangan membalikkan tubuhnya, kemudian mencengkeram tengkuk?
nya. Sebelum ia sempat bersuara, murka kegelapan menerkam
dan hanya ada hitam.
From Paris- 326
Fay membuka matanya perlahan. Semua putih.
Mungkin masih bermimpi.
Fay mengatupkan mata, tapi anehnya malah merasa seperti
terbangun dari tidur. Ia pun segera membuka matanya lagi.
Semua masih putih.
Fay menyapukan pandangannya ke sekeliling ruangan yang
masih tampak berbayang di pelupuk mata. Kini ia berada di
tengah-tengah ruangan yang seluruhnya berwarna putih, mulai
dari lantai, dinding, plafon, hingga pintu, dengan penerangan
cahaya putih menyilaukan dari langit-langit. Bajunya pun kini
berwarna putih, seperti baju pasien di rumah sakit. Tidak butuh
waktu lama hingga ia tersadar sedang terduduk di atas kursi de?
ngan kedua tangan terikat ke belakang. Di sebelah kursi tempat?
nya duduk ada sebuah meja beroda yang di atasnya terdapat se?
buah baki logam kosong.
Sedikit demi sedikit potongan ingatan yang terserak mulai ter?
susun. Ketika semua keping ingatan itu bersatu dengan utuh, ia
merasa bagai diterjang deru angin yang menerpa wajah dan me?
nyentak benaknya. Kesadaran menjalari setiap senti tubuhnya
hingga saraf seluruh tubuhnya mengirimkan sinyal-sinyal untuk
mengingatkan otaknya atas apa yang terjadi sebelumnya. Saat itu
juga ia sadar bahwa putih yang dilihatnya dan apa yang dialami?
nya sekarang bukan mimpi.
Setelah pertemuan singkatnya dengan Andrew, Fay tahu-tahu
terbangun di sebuah lubang yang terasa seperti kuburannya sen?
diri?lubang tempatnya disekap itu gelap total, berkedalaman satu
meter, dan berukuran hanya lebih lebar sedikit daripada tubuh?
nya. Fay ingat bagaimana ia berusaha menggedor pintu besi di
atas kepalanya dan ketika ia akhirnya bernapas lega karena di?
keluarkan dari lubang, ternyata ia memasuki sebuah neraka
From Paris- 327
baru?ia dibawa keluar hanya untuk dihadapkan pada tiga orang
berpakaian serbahitam dan bertopeng ski hitam yang menghujani?
nya dengan berbagai pukulan dan tendangan tanpa alasan. De?
ngan perasaan hancur berkeping-keping Fay melihat Andrew
berdiri di pojok ruangan, hanya menyaksikan ketiga pria itu me?
nyiksanya, tanpa berkata-kata dan tanpa berusaha mencegah me?
reka. Fay pun menangis dan memohon, sambil berdoa dalam hati
semoga semua ini segera usai. Tak butuh waktu lama untuk tahu
bahwa air mata, rintihan, dan permohonannya sama sekali tidak
menggerakkan hati Andrew dan tidak akan mengubah nasib di
ujung tangan para penyiksanya yang tidak mengenal belas ka?
sihan. Setelah Andrew memberi tanda, ketiga pria itu berhenti
dan Fay pun dikembalikan ke lubang.
Setelah itu, dua kali kejadian yang sama terulang kembali.
Saat kembali ditarik keluar dari lubang untuk keempat kalinya,
Fay sudah berhenti memohon. Ia sudah yakin bahwa Tuhan me?
mang memilih untuk membiarkan ini terjadi, entah karena alasan
apa, dan ia hanya pasrah menerima semua yang terjadi, mengikuti
pesan Bobby untuk hidup pada setiap detiknya sambil berharap
pada detik selanjutnya keadaan akan lebih baik.
Suara pintu terbuka.
Pikiran Fay memijak kembali ke ruang putih dan Fay menoleh
untuk melihat siapa yang masuk ke ruangan.
Andrew.
Fay menggigil tanpa bisa dicegah.
Fay mencoba membuang muka ke arah lain dengan napas se?
sak penuh rasa takut yang tidak bisa dilukiskan. Tapi, pakaian
Andrew yang serbahitam ditambah warna pirang rambutnya mem?
buat pria itu tampak begitu berwarna dan tidak bisa diabaikan di
ruang serbaputih ini. Pertanyaan demi pertanyaan menghampiri
Fay seiring dengan langkah Andrew yang mendekat.
Apa yang ia lakukan di sini?
From Paris- 328
Salahkah keputusannya ketika memilih untuk menjalani ini
untuk masa depan?
Ia memilih tanpa punya pilihan. Masa depan macam apa ini?
Sampai kapan ia harus menjalani ini semua?
Apakah siksaan ini akan pernah berakhir?
Ke mana kini ia harus berpaling setelah tidak punya siapa-siapa
lagi?
Air mata perlahan mulai terasa mengintip dari kedua jendela
mata Fay. Satu-satunya pria yang diharapkan bisa menggantikan
posisi orangtuanya sudah mengecewakannya. Pria yang sama, yang
diharapkan bisa memberinya kehidupan baru, malah seperti ber?
usaha mengambil napas hidupnya?secara perlahan, dengan cara
yang paling menyakitkan.
Andrew kini berdiri tepat di hadapan Fay.
"Bagaimana keadaan kamu?"
Fay menatap lurus ke depan, tidak berniat membalas tatapan
Andrew atau menjawab pertanyaannya.
Plak!
Satu sengatan menyakitkan terasa di pipi kiri Fay seiring de?
ngan kelebatan tangan Andrew. Air mata Fay mengalir keluar di?
iringi pedih di dada.
Andrew mengulurkan tangan dan dengan lembut mengelus
pipi Fay yang terkena pukulannya. "Tadi saya bertanya, bagai?
mana keadaan kamu..."
Rasa takut yang sedemikian memenuhi relung batin Fay seakan
pecah. Tangis yang sudah sedari tadi berusaha ditahannya pun
meledak diiringi isakan yang membawa rasa pedih hingga ke tu?
lang. Susah-payah Fay mencoba menghentikan isakannya dan
dengan bibir bergetar ia menjawab di sela-sela tarikan napasnya,
"Tidak baik."
Andrew mengelus pipi Fay yang masih terasa sakit dan me?
nyentuh bibir Fay yang bengkak dengan ujung-ujung jemarinya.
From Paris- 329
Masih dengan kelembutan yang sama, ia berkata, "Bertahanlah.
Ini masih belum usai."
Dengan perasaan takut yang membuat isi perutnya seakan ter?
kuras, Fay menatap sepasang mata biru yang begitu menyejukkan
di hadapannya ini. Monster apa yang ada di dalam sana? Kenapa
kejahatan bisa bercokol di balik mata biru yang begitu menenang?
kan? Apa yang diinginkan pria di depannya ini? Bagaimana mung?
kin sebelumnya ia sempat berharap pria ini bisa mengganti?kan
sosok seorang ayah di sisinya?
Fay melihat Andrew kembali berdiri dengan tegak lalu menge?
luarkan dompet berwarna hitam dari kantong, mirip seperti yang
biasa dibawa oleh almarhum Papa bila bepergian ke luar negeri.
Andrew membuka ritsleting di ketiga sisi dompet dan meletak?
kan dompet itu dalam posisi terbuka di atas baki logam. Di satu
sisi dompet terlihat dua suntikan yang sudah terisi, satu berisi
cairan berwarna bening, dan satu lagi cairan berwarna biru. Di
sisi yang lain terdapat sebuah suntikan berukuran sama, hanya
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja semua bagiannya, bahkan badan dan tuas suntikan, mem?
punyai warna logam keperakan hingga tak terlihat isinya.
Suara Andrew memecah keheningan, "Cairan yang berwarna
bening akan mengundang kematian dalam waktu singkat, relatif
tanpa rasa sakit. Setelah disuntikkan ke tubuh, selama dua puluh
detik tidak ada perubahan apa pun yang bisa dirasakan, hingga
pada detik kedua puluh satu, otak memerintahkan semua organ
untuk menghentikan aktivitas secara serentak. Pada detik kedua
puluh lima, semua sudah berakhir. Sebuah cara yang sangat efek?
tif dan efisien untuk melepas nyawa."
Fay hanya diam dan berusaha mencerna kenapa Andrew mem?
beritahukan ini semua.
Andrew melanjutkan, "Cairan berwarna biru ini, oleh beberapa
orang yang tubuhnya pernah dialiri olehnya dan secara beruntung
bisa melaluinya, dijuluki The Grabber, atau Sang Perenggut...," ia
berhenti sebentar, "...bukan hanya karena cairan ini bisa mereng?
From Paris- 330
gut nyawa, tapi karena selama perjalanan cairan ini dalam tubuh,
apa pun yang dilewatinya terasa direnggut olehnya. Dimulai dari
setiap mili pembuluh darah yang terasa seperti ditarik hingga se?
perti akan putus, katup jantung yang seperti tercabut dari tempat?
nya, dan jantung yang seperti... tercabik-cabik. Dan ketika cairan
ini mulai masuk ke pembuluh darah di otak, kepala akan terasa
sangat sakit seperti akan pecah."
Fay menatap Andrew dengan kengerian yang serasa hampir
menggilas napasnya. Perkataan Andrew seperti terpantul-pantul di
dalam otak, membuat kepala Fay berdenyut-denyut. Berbagai ske?
nario sudah bermain di ujung benak Fay, tapi ia mencoba tidak
menggubris mereka dan menutup semua celah yang bisa me?
nyuarakan mereka.
Andrew menatap Fay dalam-dalam kemudian berkata, "Ke?
matian tentunya akan datang. Tapi sayangnya tidak secepat yang
diharapkan. Ironisnya, yang akan menyebabkan kematian itu bu?
kanlah cairan itu sendiri, tapi reaksi tubuh atas persepsi yang di?
bentuk otak setelah merasakan sakit itu. Bisa jadi diafragma akan
menutup karena otak merasa paru-paru akan dimasuki benda
asing. Atau mungkin pembuluh akan mempersempit diri dengan
kecepatan yang mengagumkan, menyumbat aliran darah dan
akhirnya memecahkan pembuluh. Atau mungkin otak merasa
jantung sudah bekerja terlalu keras sehingga memerintahkannya
untuk menurunkan kecepatan memompa darah sebelum akhirnya
berhenti sama sekali."
Fay kini merasa napasnya sesak. Desah kematian seperti sudah
mengelus telinganya, terasa begitu dekat.
Andrew kembali berucap, "Suntikan ketiga adalah penetralisir
bagi Sang Perenggut. Cairan di dalam suntikan logam ini bagai?
kan membasuh semua luka yang diakibatkan oleh cairan biru itu,
menegasi rasa sakit yang terasa dalam sekejap."
Andrew bergerak ke belakang Fay dan membuka pengikat ke?
dua tangan Fay.
From Paris- 331
Pria ini sudah gila! Kenapa Tuhan harus mempertemukan aku
dengan pria ini! Apa maksud ini semua?? Apa lagi yang akan dilaku?
kan oleh pria ini sekarang??
Perlahan Andrew membimbing Fay untuk berdiri.
Fay mengerang ketika sekujur tubuhnya terasa sakit ketika di?
gerakkan dan setiap sendi tubuhnya memberontak ketika ia ber?
diri. Dengan lunglai ia merosot ke lantai.
Andrew menangkap Fay tepat sebelum jatuh, mengangkat gadis
itu dengan kedua tangan, kemudian membopongnya menuju
dipan dari besi beralaskan matras di sisi dinding tepat di belakang
kursi. Dengan hati-hati Andrew menidurkan Fay di atas matras,
kemudian berjalan menuju meja.
Dengan tegang Fay melihat apa yang diambil oleh Andrew.
Sang Perenggut.
Andrew kembali mendekat dan meraih tangan Fay.
Tidak punya kekuatan untuk melawan, Fay menutup mata dan
menggigit bibirnya yang gemetar. Ketika ia merasakan sengatan
ringan seperti gigitan semut dan membuka mata, Andrew sudah
memegang suntikan kosong di tangannya. Segera Fay merasakan
panas secara perlahan menjalari tangannya dari titik tempat
Andrew tadi menyuntiknya.
"Kenapa...?" bisik Fay lemah.
"Hidup adalah sebuah pilihan, dengan segala konsekuensinya...
Terlalu sering seseorang menjatuhkan pilihan hidup tanpa bersedia
me?nerima konsekuensi atas pilihan itu. Ini jalan yang kamu pilih,
dan bila ternyata konsekuensinya menyakitkan, then be it," ucap
Andrew.
Fay menyaksikan Andrew melangkah menuju baki logam dan
menyimpan suntikan kosong di dalam dompet.
Andrew lalu mengeluarkan satu suntikan dan menggeletakkan?
nya di atas baki logam, kemudian berjalan mendekati Fay sambil
memasukkan dompet hitam ke jasnya. Ia lalu berkata, "Mari kita
lihat apakah kamu merupakan golongan orang-orang lemah yang
From Paris- 332
dikalahkan oleh nasib di jalan pilihan sendiri atau kamu akan
menjadi penggores nasib yang tidak terjebak dalam konsekuensi
pilihan kamu."
Fay membiarkan air matanya menetes saat Andrew berada tepat
di hadapannya. Bagaimana mungkin sebelumnya ia bisa meng?
gantungkan harapan begitu besar di pundak pria ini?
Andrew mencium kening Fay dan berkata lembut, "Selalu ada
cara untuk menyerah kalah, tapi hanya ada satu cara untuk me?
nang."
Fay menangis tanpa suara, membiarkan air mata membanjiri
wajahnya sambil menatap Andrew yang berjalan meninggalkan
ruangan hingga akhirnya lenyap di balik pintu putih yang lang?
sung tertutup rapat.
Sudah mulai terasa.
Fay menggigit bibirnya dan meremas tangannya yang panasnya
semakin bergolak. Detik berikutnya panas itu terasa seperti mulai
membakar tangannya dari dalam. Mulutnya langsung mengeluar?
kan jeritan kesakitan yang bahkan terlalu memilukan untuk di?
dengar telinganya sendiri. Terengah-engah menahan rasa sakit
yang menggerayanginya, mata Fay kini terfokus pada suntikan
berisi cairan bening yang tergeletak di atas baki.
Andrew melangkah ke ruang observasi. Di dalam ruangan, empat
Pilar COU lain sedang mengamati Fay lewat kaca satu arah sam?
bil bercakap-cakap.
Tepat setelah Andrew menutup pintu terdengar jeritan Fay di
pengeras suara. Percakapan di ruang observasi terhenti sejenak; se?
mua perhatian terarah kepada Fay yang kini sudah jatuh ke lantai,
sedang menggeliat menahan sakit dengan napas terengah-engah.
Steve yang pertama berbicara. "Ada yang berani bertaruh untuk
gadis ini?"
From Paris- 333
"Percuma saja," ujar Philippe menanggapi. "Saya rasa selain
Andrew, tidak ada yang yakin gadis ini bisa lolos... Kelihatannya
bahkan Andrew saja tidak berani mempertaruhkan uangnya untuk
yang satu ini."
Andrew tidak menanggapi ucapan Philippe dan memilih untuk
memperhatikan Fay dengan saksama, menyaksikan bagaimana Fay
perlahan-lahan merayap ke arah meja, dengan tubuh meregang
sambil merintih dan sesekali terisak.
Raymond memperhatikan Fay sambil menggeleng. "What a
waste. Saya percaya dia calon yang potensial. Tes ini terlalu berat
untuknya."
Terdengar kembali jeritan Fay di pengeras suara.
James mengernyit dan membetulkan posisi kacamatanya yang
melorot, lalu bangkit dari kursi dan memelankan volume, "That?s
awful."
Steve tertawa. "Kenapa kamu jadi sentimental seperti itu,
James? Ingat masa lalu?"
James hanya menggeleng dan menggumam tidak jelas, lalu
kembali duduk.
"Gentlemen, pay attention," ucap Raymond.
Di ruang sebelah terlihat Fay sudah hampir mencapai meja.
Philippe memainkan gelas anggur di tangannya dan berkata,
"Sayang sekali Andrew tidak berani bertaruh... Saya pasti me?
nang."
Raymond berdecak. "Philippe, kita sedang membicarakan nya?
wa seseorang... Sama sekali bukan hal yang layak untuk dijadikan
taruhan."
Philippe mengangkat bahu sambil melirik Andrew. "Bukan saya
yang punya usul memberi ujian Head or Tail kepada gadis ini."
Andrew tidak menanggapi sindiran Philippe, mengarahkan pan?
dangannya lekat ke arah Fay yang dengan susah-payah berusaha
merangkak dengan tubuh bergetar menahan sakit.
James mendekat ke arah kaca dan langsung mengeluarkan
From Paris- 334
suara tertahan ketika melihat Fay sudah berhasil tiba di kaki
meja, sedang berusaha menggapai suntikan yang ada di atas
baki.
"C?mon... don?t do that," ucap James sambil memegang rambut?
nya yang acak-acakan. "Andrew, apa tidak bisa kamu batalkan
saja tes ini sekarang?" tanyanya lagi dengan cemas.
Andrew mengeraskan volume pengeras suara. Tepat saat itu,
tangan Fay yang gemetar berhasil meraih baki logam namun baki
itu terdorong tangannya. Terdengar bunyi berkelontangan dari
logam yang beradu dengan lantai marmer; suntikan terlempar
agak jauh ke arah dinding.
"Damn!" maki Steve.
Terdengar teriakan putus asa Fay di sela-sela jeritan ke?
sakitannya. Terlihat Fay kembali merangkak, berusaha mendekati
suntikan yang kini tergeletak di lantai.
Philippe berkata, "Saya rasa ini kasus pertama seorang Direk?
torat Pusat gagal dalam penilaian profil... Well, selalu ada kali
pertama dalam segala hal."
Semua yang ada di ruangan tidak berbicara lagi, menyaksikan
kejadian di ruang sebelah dengan tubuh tegak.
Akhirnya Fay berhasil meraih suntikan. Susah-payah ia menyu?
sun jemarinya pada posisi yang seharusnya di suntikan.
James tampak putus asa dan memajukan wajah ke kaca. "No...
no... don?t do that... fight it...," ucapnya pelan seperti berkata ke?
pada diri sendiri.
"Ini dia saatnya," gumam Philippe. "Ucapkan selamat tinggal
kepada Fay Regina..."
Ucapan Philippe tidak selesai; ia tertegun ketika melihat Fay
menekan tuas suntikan, membiarkan butir-butir cairan mengucur
seperti air mancur ke udara.
Sejenak semua yang ada di ruangan terpana dan tak ada yang
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata-kata. Setelah hening beberapa saat, Steve berkomentar,
From Paris- 335
"Wow, I?ve never seen anything like that." Tangan Steve bergerak
untuk mengecilkan pengeras suara yang memperdengarkan isak
tangis Fay.
Andrew menepuk pundak Philippe dan berkata, "Jelas ini
bukan ?kali pertama? yang kamu maksud..."
Tanpa melepaskan pandangan ke Fay yang kini terbaring di
lantai dengan napas naik-turun, Philippe menjawab, "Saya pikir
kamu gila ketika mengusulkan memberi tes ini kepada Fay... dan
fakta bahwa Fay lolos hanya membuktikan kamu ternyata lebih
gila daripada yang saya sangka."
Steve tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Philippe.
Philippe menggeleng sambil mengangkat gelas anggurnya,
"Toast untuk menghormati Kepala Direktorat Pusat."
"Thank you, Philippe," ucap Andrew sambil tersenyum tipis.
James bersuara, "Andrew, sebaiknya kamu segera masuk dan
membantu Fay... Dia terlihat sangat kesakitan!"
"Saya rasa semua sudah setuju gadis ini dinyatakan lolos," tam?
bah Raymond.
Andrew melihat Bvlgari di tangannya. "Memang sudah saat?
nya." Sambil mengeluarkan suntikan penangkal dari dompet hi?
tam di jasnya, Andrew beranjak keluar dari ruangan, diikuti
Philippe.
Steve memperhatikan Andrew masuk ke ruang sebelah lalu
menggumam, "Hanya ada satu orang yang pernah bereaksi seperti
itu di bawah pengaruh Sang Perenggut, mengundang kehidupan
dengan membuang satu-satunya pilihan yang bisa melepaskan diri
dari kesengsaraan."
"Apa bedanya?" tanya James sambil mengerutkan kening.
"Yang penting Fay lolos."
Raymond menimpali, "Tentu beda, James. Kamu tentu masih
ingat bagaimana rasanya berada di bawah kuasa Sang Perenggut?
bukan satu hal yang bisa kita lupakan begitu saja. Walaupun kita
berusaha keras untuk menerima rasa sakit, kita masih ingin
From Paris- 336
pilihan untuk mengakhirinya masih tersedia. Yang dilakukan oleh
Fay adalah menghilangkan satu-satunya kesempatan itu, seolah
mengatakan ia siap menerima sisi terburuk yang ditawarkan oleh
hidup."
James menyipitkan mata, mencoba mengingat-ingat, lalu ber?
kata lamat-lamat, "Kamu benar... it was good to have the option
open. Steve, kamu tahu siapa yang pernah melakukan hal seperti
itu?"
Steve tidak langsung menjawab, memperhatikan Andrew yang
membopong Fay ke dipan setelah menyuntik Fay dengan suntikan
penangkal. Dengan sudut bibir terangkat sedikit, ia akhirnya men?
jawab, "Siapa lagi yang segila itu selain Andrew?"
Raymond tertawa kecil. "Mudah ditebak," ucapnya sambil me?
ngeraskan volume pengeras suara.
Terdengar suara Andrew di ruang sebelah, "Welcome to the
McGallaghans family, Fay."
From Paris- 337
Welcome Home
AY memajukan tubuh ke arah meja rias dan dengan hati-hati
memulas sekali lagi lipgloss warna pink di atas lipstik warna moka
yang sudah menghiasi bibirnya.
Fay melirik arloji di tangannya?harusnya ia sudah dijemput
dua puluh menit yang lalu, karena jamuan makan McGallaghan
sudah akan dimulai sepuluh menit lagi. Ia menarik napas panjang
untuk menghalau rasa gugup menghadapi acara yang akan segera
dimulai.
Malam ini akan menjadi pertemuan pertamanya dengan
Andrew setelah insiden menyakitkan di ruang serbaputih tempo
hari. Selama satu minggu sejak kejadian itu, ia dirawat intensif di
sebuah ruangan dengan peralatan seperti di rumah sakit. Di sana
luka dan cedera di tubuhnya diobati dan ia tidak diizinkan oleh
dokter untuk berbicara atau bertemu dengan siapa pun. Hari ini,
setelah diizinkan pulang oleh dokter, ia langsung dibawa ke kastil
Andrew di pinggir kota Paris dengan cara yang tidak umum. Bu?
kan hanya kendaraan yang ia naiki mengambil jalan berputarputar, ia juga harus berpindah-pindah kendaraan beberapa kali.
From Paris- 338
Tiba di kediaman ini dua jam yang lalu, ia disambut seorang
pelayan yang langsung membawanya ke kamar dan memberitahu?
nya tentang jamuan makan McGallaghan. Ia mencoba bertanya
ke mana Reno, Kent, bahkan Andrew, dan mendapat jawaban
singkat mereka semua sedang bersiap-siap dan akan datang ke
ruang duduk setengah jam sebelum jamuan makan malam di?
mulai.
Fay kembali mematut diri di depan cermin. Gaun merah muda
dengan kombinasi warna krem berbahan sifon yang sekarang me?
lekat di tubuhnya tersampir dengan rapi di atas tempat tidur saat
ia masuk ke kamar. Entah siapa yang memilihkan gaun ini, yang
jelas ukurannya sangat pas di tubuh dan berhasil membuat kulit
sawo agak matangnya jadi sedikit lebih cerah. Not bad at all.
Terdengar suara ketukan di pintu.
"Masuk," ucap Fay.
Pintu terbuka dan napas Fay langsung tertahan melihat
Andrew muncul di pintu.
"Hai, Fay. Bagaimana keadaan kamu, young lady?" Andrew ter?
senyum menghampiri Fay dengan tangan terentang.
"Ba... baik...," jawab Fay gugup sambil buru-buru berdiri dan
menyambut pelukan hangat Andrew. Yang bertanya dengan ramah
di depannya ini dan yang kini memeluknya hangat adalah pria
yang sama yang belum lama ini menyiksanya, bagaimana ia harus
menjawab?
"You look marvelous. Pilihan saya ternyata tidak salah," ucap
Andrew sambil menyapukan pandangan ke Fay.
Fay terdiam sebentar; bayangan Andrew yang berdiri bergeming
di pojok ruangan saat menyaksikan dirinya tengah disiksa lang?
sung bermain dalam benaknya. "Thanks," balas Fay singkat.
Andrew berdiri di hadapan Fay lalu berkata, "Ini rumah baru
kamu sekarang. Saya harap kamu bisa beradaptasi dengan baik
dengan semua aturan yang berlaku di keluarga ini. Saya yakin
kamu tidak akan menghadapi kesulitan yang berarti."
From Paris- 339
Fay hanya diam, tidak tahu bagaimana cara memuntahkan isi
kepalanya.
Andrew melanjutkan, "Saya tahu banyak pertanyaan yang ber?
kecamuk dalam pikiranmu. Saya akan memberimu kesempatan
untuk menanyakan hal yang mengganggu pikiranmu."
Fay menatap Andrew sebentar lalu mulai bicara, "Saya masih
tidak mengerti dengan apa yang saya jalani... Sebenarnya apa arti?
nya ketika saya diberi kartu nama untuk bergabung...?"
Andrew tersenyum tipis.
"Saya menawarkan pilihan untuk menjalani hidup di jalur yang
tidak biasa. Hanya itu yang perlu kamu ketahui sebelum me?
mutuskan untuk bergabung. Bahwa saya ingin menjadikanmu
bagian dari keluarga McGallaghan selain sebagai seorang agen
yang bekerja di kantor, itu urusan lain."
"Kenapa saya ditawari menjadi anggota keluarga McGallaghan?
Apa bedanya bagi saya?" tanya Fay ragu.
"Klan ini bukan keluarga biasa yang mendasari sesuatu ber?
dasarkan hubungan darah, tapi berdasarkan kontribusi yang bisa
diberikan oleh para anggotanya. Mereka yang terpilih untuk ber?
gabung dianggap punya kelebihan yang bisa mengembangkan
kejayaan klan McGallaghan dan meneruskannya ke generasi se?
lanjutnya. Menjadi seorang McGallaghan berarti mengukuhkan
nama kamu dalam sejarah peradaban manusia, karena memang
itulah yang menjadi tujuan keluarga ini."
Fay merasa bulu kuduknya berdiri dan ia berseru, "Tapi saya
tidak merasa punya kelebihan apa pun...."
Andrew tersenyum tipis. "Fay, kalau kamu tidak merasa punya
kelebihan apa pun, itu berarti kamu tidak menghargai hidupmu
sendiri. Semua orang lahir ke dunia ini dengan keunikan dan
kelebihan masing-masing. Semakin kamu menyadari di mana ke?
unikan dan kelebihan itu, semakin besar kesempatanmu untuk
menemukan tempat di dunia ini, tempat kamu bisa berperan
menggerakkan roda kehidupan?itulah bedanya orang-orang yang
From Paris- 340
menjadi penggores nasib dengan mereka yang mengaku menjadi
korban keadaan."
Andrew meletakkan dua tangannya di pundak Fay dan berkata,
"You are part of the family now. Pada detik pertama saya bertemu
kamu, pada detik itu juga saya tahu kamu seorang kandidat ke?
luarga McGallaghan."
"Dari mana Anda tahu?" tanya Fay takjub.
Andrew mengangkat bahu sambil lalu, "Bisa dibilang intuisi
yang sampai saat ini tidak pernah terbantahkan.... Seperti seekor
singa yang tahu kehadiran seekor singa lain di wilayahnya." Sudut
bibir Andrew terangkat sedikit, membentuk seulas senyum.
Fay akhirnya memaksakan diri untuk tersenyum. Sebelum ke?
jadian penuh kekerasan beberapa hari lalu terjadi, ia masih merasa
yakin bisa mengartikan gerak-gerik Andrew dengan tepat, tapi
tidak sekarang.
"Tapi tentu saja intuisi itu harus dibuktikan," lanjut Andrew.
"Dan sepanjang pengamatan saya sepanjang tiga tugas yang kamu
lakukan, kamu memang mempunyai kualitas yang diperlukan."
Fay bertanya pelan, "Apa yang terjadi minggu lalu? Why did
you do that to me?"
"Tidak mudah bagi saya meyakinkan anggota keluarga lain un?
tuk menerimamu menjadi bagian dari keluarga. Kamu memang
berhasil melakukan tugas, tapi itu hanya cukup untuk membuat?
mu diterima sebagai agen di kantor, tidak lebih.
"Semua anggota keluarga McGallaghan direkrut sejak usia ma?
sih sangat muda sedangkan usiamu sudah jauh di luar kriteria.
Kemampuan fisikmu juga tidak terlalu menonjol seperti anakanak lain, jadi saya perlu menunjukkan kepada mereka bahwa
kamu adalah pengecualian yang layak untuk dipertimbangkan?ti?
dak hanya sebagai agen yang bekerja di kantor, tapi juga sebagai
bagian dari keluarga. Untuk itu saya mengusulkan tes yang ming?
gu lalu kamu jalani?Head or Tail. Tes yang sebenarnya hanya
diberikan kepada calon pemegang posisi puncak di kantor. Saya
From Paris- 341
tahu tidak akan ada yang menolak proposal itu?mereka tahu
tidak sembarang orang bisa lolos dari Sang Perenggut karena me?
reka pernah menjalani tes yang sama dan juga menjadi saksi bagi
banyak kegagalan. Bisa dibilang kamu adalah pendobrak tradisi
sebagai orang termuda yang pernah menjalani tes ini. Saat ini
saya bahkan belum tahu apakah akan ada di antara para ke?
ponakan yang pada akhirnya harus terbaring di peti mati setelah
gagal menaklukkan Sang Perenggut."
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Fay terperanjat sesaat sebelum bertanya, "Jadi... Reno, Kent,
dan yang lain belum pernah menjalani tes itu?"
"Belum. Seperti saya katakan tadi, tes Head or Tail hanya di
??berikan kepada orang-orang tertentu ya ng akan menduduki
posisi-posisi penting di COU dan mereka belum sampai pada
level itu."
"Bagaimana kalau kemarin saya gagal?" tanya Fay lagi.
"Berarti penilaian saya tentang kamu salah."
Fay terdiam. Bulu kuduknya langsung meremang. Semudah
itukah keputusan atas nyawanya dibuat?
Andrew menambahkan dengan tajam, "Kamu dilarang mem?
buka mulut tentang pengalamanmu beberapa hari terakhir ini."
Fay buru-buru mengangguk.
"Saya tidak main-main dengan ancaman yang satu ini. Hanya
sedikit orang yang mengetahui tentang Head or Tail. Kamu dila?
rang untuk bahkan mengakui keberadaan tes itu bila berada di
luar kantor. Di kantor pun kamu hanya boleh membicarakannya
dengan saya atau petinggi lain. Kegagalan menjaga kerahasiaan ini
akan membuatmu kembali berada di ujung Sang Perenggut, dan
bila itu terjadi, tidak akan ada lagi suntikan penawar."
Fay menelan ludah dan mengangguk.
Andrew mengulurkan lengannya dan dengan gugup Fay me?
lingkarkan tangannya ke lengan Andrew, membiarkan pria itu
membawanya ke ruang duduk.
Fay berjalan di sisi Andrew, memikirkan ancamannya barusan.
From Paris- 342
Kenapa mudah sekali bagi pria di sampingnya ini mengeluarkan
ancaman untuk menghilangkan sebuah kehidupan? Padahal ke?
hidupan adalah milik Tuhan yang dikaruniakan terhadap seorang
manusia dan tidak ada yang berhak mencabutnya selain Dia.
Tugas manusia hanyalah mencintai kehidupan yang merupakan
pemberian-Nya itu.
Pengertian itu juga yang waktu itu membuat ia memilih untuk
membuang isi suntikan bening di ruang putih, karena ia tahu
kehidupan adalah karunia yang harus dijaga. Begitu Sang Pe?
renggut bekerja dan rasa sakit terasa merayap di dalam badan,
Fay tahu harus segera mengenyahkan suntikan bening itu sebelum
tergoda untuk bermain-main menjadi Tuhan dan mencabut nya?
wanya sendiri. Ia tahu keputusannya akan berakibat pada keseng?
saraan panjang, tapi ia percaya Tuhan Mahaadil dan tidak akan
membiarkan hamba-Nya telantar dalam penantian tak berkesu?
dahan.
"Ada hal lain yang ingin kamu tanyakan?" tanya Andrew.
Fay berpikir sebentar lalu bertanya, "Apa lagi yang akan terjadi
setelah ini?"
"Banyak hal yang harus kamu pelajari terkait dengan aturan
rumah dan kantor. Karena kamu anggota keluarga, pendidikan
kamu tidak hanya berlangsung di kantor, tapi juga di rumah.
Dan, Fay, akan ada tes-tes secara berkala sepanjang perjalananmu
di keluarga ini, jadi bersiaplah untuk selalu menunjukkan kemam?
puan yang terbaik."
Fay tidak bertanya lebih lanjut, membiarkan benaknya men?
cerna dan meresapi penjelasan Andrew, hingga tiba di depan
pintu tinggi ruang duduk.
Di dalam, baru ada tiga orang yang sedang duduk mengobrol,
Steve, James, dan Philippe. Ketiganya langsung berdiri dan
Philippe langsung berkomentar, "Well, well, look who?s here... our
new member. Welcome back, Fay."
Steve langsung bicara, "Apa kabar, Fay?"
From Paris- 343
"Baik," jawab Fay.
Steve tertawa dengan suara berat, "Tidak terdengar meyakin?
kan."
James Priscott ikut tertawa dengan suara khasnya yang seperti
tersedak berulang-ulang dan akhirnya Fay tersenyum.
Steve kembali bertanya, "Jadi, apakah Andrew sudah menjelas?
kan tentang Head or Tail dan kenapa kamu bisa ada di sini?"
Fay sudah membuka mulut untuk menjawab ketika sekilas ia
melihat wajah James yang sedikit menegang. Detik itu juga Fay
mengubah jawaban yang sudah ada di ujung lidah. "Head or Tail?
Never heard of it," jawabnya tak acuh dengan deru jantung yang
mendadak langsung berpacu.
Steve kembali tertawa.
James terlihat seperti mengembuskan napas lega diam-diam
dan wajahnya kembali santai dengan mata berbinar-binar di balik
kacamatanya.
"Very good, Fay," ujar Philippe sambil mengangkat gelas anggur?
nya dengan sudut bibir terangkat sedikit.
Steve berkomentar, "I guess you?re right, Andrew... She is indeed
a true McGallaghan."
Terdengar suara berisik dari arah pintu masuk, campuran an?
tara suara tertawa, menggerutu, berteriak, dan entah apa lagi.
"Sepertinya para pengacau sudah tiba," gumam Philippe.
Para keponakan masuk ke ruangan, diikuti Raymond yang
menggeleng-gelengkan kepala dengan frustrasi. Kedatangan
Raymond langsung disambut komentar Philippe.
"Kamu terlambat."
Sebelum Raymond sempat membalas, Steve sudah menimpali,
"Ha, sepertinya kamu tidak sadar, bukan hanya Raymond yang
terlambat. Selain Raymond ada juga semua berandalan itu,
Andrew, Fay, dan bahkan kamu pun tadi terlambat... Saya rasa ini
jamuan makan paling kacau sepanjang sejarah McGallaghan yang
saya tahu!"
From Paris- 344
"FAY..."
Fay menoleh dan langsung tersenyum melihat Reno mendekat.
"How are you, Fay? Kapan kamu datang?" tanya Reno sambil
memeluk Fay erat.
"Eh... mm... baru hari ini," jawab Fay gugup. Lewat sudut
matanya ia tahu lima pasang mata milik para paman mengamati?
nya tanpa kentara.
Kent mendekat dan langsung memeluk Fay hangat. "Good to
see you again. I?m so sorry about your parents. May they rest in
peace."
Fay sesaat larut dalam kedalaman biru sepasang mata Kent,
tapi begitu merasakan lima pasang mata di sekelilingnya menatap
lebih tajam, ia berhasil menepis rasa yang berusaha hadir. Ia se?
karang mengerti kenapa kebersamaan antara dirinya dan Kent ti?
dak boleh ada.
"Good to see you, too. Thanks, Kent," ucap Fay singkat sambil
tersenyum sopan.
Fay baru saja akan berbicara kepada Reno ketika terdengar bu?
nyi gong, tanda pintu ke ruang makan akan dibuka.
Andrew berkata, "Waktunya kita masuk. Kalian bisa bercakapcakap setelah makan malam."
Semua masuk berbondong-bondong ke ruang makan dan se?
telah semua duduk di posisi masing-masing, Andrew berbicara.
"Good evening everyone. Malam ini adalah malam yang isti?
mewa. Pertama, sepertinya hampir semua orang malam ini datang
terlambat..."
Terdengar suara gerutuan dari segala arah.
"...dan untuk membuat para keponakan bahagia, saya terpaksa
mengakui di antara para paman pun hanya dua yang datang tepat
waktu... dan saya bukan di antaranya..."
Terdengar suara tawa kecil di sana-sini.
"Jadi, supaya adil bagi semua, besok pagi kita akan mengada?
kan latihan bersama, dimulai jam lima pagi."
From Paris- 345
Suara gerutuan langsung terdengar lagi, diselingi keluh kesah
di sana-sini.
Andrew melanjutkan, "Yang kedua, malam ini saya ingin meng?
umumkan bahwa kita punya anggota keluarga baru."
Terdengar suara bisik-bisik di sepanjang meja dari para ke?
ponakan.
Andrew kembali bersuara, "I would like to have a toast... As
usual, wine is only for those above eighteen...."
Fay tersenyum geli mendengar suara gerutuan dari arah sebelah
kanan?pasti Elliot.
Empat orang pelayan bergerak, mengisi gelas di meja dengan
wine.
Setelah semua gelas terisi, Andrew berdiri sambil mengangkat
gelasnya untuk bersulang dan berkata, "For the glory of the
McGallaghans. The world is in our hands."
Fay menempelkan gelas di bibirnya dan sekilas melirik
Andrew.
Selama berada dalam perawatan, ia berpikir apakah keputusan?
nya untuk bergabung salah. Ia tidak tahu apakah ia sanggup
menjadi bagian dari keluarga yang tidak bisa menilai ketulusan
dengan gamblang, yang menjadikan kepura-puraan sebagai jiwa
dalam hubungan, dan yang menerima kekerasan sebagai ke?
seharian.
Tapi di akhir perenungan satu minggu itu akhirnya ia yakin
tidak ada yang salah dengan keputusannya, karena ketika memilih
untuk berada di dekat dua hati milik Reno dan Kent yang begitu
tulus menyertainya selama ini, ia telah memutuskan dengan
hati.
Ia tidak pernah meminta untuk menjadi bagian dari keluarga
ini. Ia tidak tahu apa maksud Tuhan memberi keluarga ini se?
bagai pengganti keluarganya, tapi ia percaya perkataan Reno be?
nar, "Tidak selamanya kita bisa mempertanyakan keputusan Yang
Mahakuasa. Selalu ada maksud dari semua kejadian yang me?
From Paris- 346
nimpa kita, tapi kita tidak akan pernah tahu hingga Yang Maha?
kuasa memberikan pengetahuan itu."
Andrew kembali mengangkat gelas anggurnya dan berkata,
"Please welcome our newest family member, Fay Regina...
McGallaghan."
Semua orang mengangkat gelas.
Fay mengangkat gelasnya, lalu menempelkannya ke bibir. Sam?
pai ia tahu maksud Tuhan menimpakan ini semua pada dirinya,
ia sebaiknya mencoba menikmati waktunya di tengah-tengah ke?
luarga gila ini.
Keluarganya.
From Paris- 347
EPILOG
ANDREW berjalan tanpa tergesa-gesa menyusuri lorong putih
L'H?pital du Dent Blanche, menikmati setiap gema yang di?
timbulkan ketukan sepatunya di lantai.
Dikelilingi puncak-puncak pegunungan Peninne Alps yang ber?
ada di bagian barat pegunungan Alpen distrik Valais di Swiss,
rumah sakit miliknya ini dilengkapi landasan pesawat sendiri dan
hanya bisa diakses lewat udara menggunakan helikopter atau jet
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pribadi. Dengan limitasi akses seperti itu, rumah sakit ini dikenal
oleh khalayak terbatas sebagai tempat peristirahatan dan pemu?
lihan kesehatan bagi kalangan atas.
Sepenuhnya benar. Hanya saja mereka tidak tahu bahwa dari
lima gedung utama yang berdiri di atas tanah berbukit dan ber?
lereng di antara dua gunung itu, hanya tiga gedung yang mem?
beri layanan kesehatan eksklusif yang bisa dinikmati oleh kalangan
berpunya, sedangkan dua gedung lain mempunyai fungsi lain.
Di salah satu gedung itulah Andrew kini berada. Unit Pemu?
lihan Khusus?sebuah fasilitas penting penunjang kegiatan COU
From Paris- 348
yang diperuntukkan hanya bagi pasien-pasien istimewa dengan
identitas tidak tercatat, mulai dari agen-agen COU yang sedang
dalam masa pemulihan baik fisik maupun mental, hingga seorang
menteri negara dunia ketiga yang mendadak "hilang".
Andrew berhenti di depan satu pintu dan menggunakan kartu
akses khusus untuk membukanya. Di dalam, terdapat peng?
amanan tambahan berupa pintu dan dinding kaca antipeluru se?
belum memasuki ruang perawatan yang tidak berjendela. Di balik
dinding kaca itu terlihat dua orang terbaring di dua tempat tidur,
pria dan wanita.
Andrew menggunakan akses khusus kedua berupa pin logam
yang dilengkapi smart card, berfungsi sebagai kunci, kemudian
masuk tanpa suara. Di dalam ruang ini hanya terdengar nada
"bip" yang teratur, dikeluarkan peralatan penunjang hidup yang
ada di ruangan.
Sambil mendekati tempat tidur, matanya sekilas melirik status
yang ditempelkan di tempat tidur. Di status mereka, di bawah
nomor registrasi pasien, tercantum nama Batman dan Cat?
woman?atau dengan kata lain, anonim. Andrew tersenyum. Para
pegawai administrasi rumah sakit ini memang sangat kreatif da?
lam memberi julukan bagi para pasien dengan identitas yang ti?
dak boleh diketahui?detail kecil yang berguna dalam keadaan
genting karena para dokter dan petugas akan lebih mudah meng?
ingat nama julukan para pasiennya ketimbang hanya berpatokan
pada nomor registrasi delapan angka.
Batman masih berada dalam kondisi koma?dan sampai detik
ini masih dijaga untuk tetap berada dalam kondisi itu, sedangkan
Catwoman sedang tertidur. Mengingat mereka baru saja terempas
ke tanah dari ketinggian 2.000 kaki, kondisi Catwoman yang ha?
nya menderita gegar otak ringan benar-benar sebuah keajaiban.
Tidak seperti Batman yang di sekujur tubuhnya dipenuhi kabel
dan alat penunjang hidup, tidak ada peralatan yang menempel
pada Catwoman selain infus dan perban di sebagian kepalanya.
From Paris- 349
Andrew berdiri di antara kedua tempat tidur yang diletakkan
berjejer dengan jarak tidak terlalu jauh, sejenak memperhatikan
keduanya. Akhirnya ia mendekati Catwoman dan membangunkan?
nya dengan satu tepukan ringan di bahu.
Catwoman membuka mata perlahan. Kelopaknya bergetar ke?
tika dia mencoba memfokuskan pandangan.
Andrew tersenyum. "Selamat pagi." Sekarang sebenarnya jam
sembilan malam, tapi dengan kondisi ruang tanpa jendela, tidak
penting apa yang ia katakan.
Catwoman merespons dengan baik sesuai harapan, "Selamat
pagi."
"Bagaimana keadaan Anda? Saya harap Anda sudah merasa le?
bih baik."
"Y... ya... Anda dokter?" tanya Catwoman ragu.
"Ah, maaf, betapa tidak sopannya saya tidak memperkenalkan
diri terlebih dahulu." Andrew mengangkat tangan sambil lalu un?
tuk memberi penekanan pada penyesalannya atas kealpaan yang
disengaja. "Nama saya Andrew, pemilik fasilitas yang merawat
Anda ini." Ia tidak repot-repot menjulurkan tangan, ia tahu ta?
ngan Catwoman pasti diikat ke tempat tidur di balik selimut?
nya?prosedur standar.
"Oh... berarti Anda bisa memberitahu saya di mana kami ber?
ada? Dan sudah berapa lama kami ada di sini? Saya sudah ber?
usaha bertanya ke semua dokter dan perawat yang datang kemari,
tapi tidak ada yang bersedia menjawab," tanya Catwoman
cemas.
Andrew memberikan senyumnya yang paling menenangkan.
"Mereka mungkin tidak menjawab karena tidak ingin Anda di?
bebani pikiran-pikiran yang tidak perlu. Kalau begitu, izinkan
saya menjelaskan. Anda sekarang berada di L'H?pital du Dent
Blanche yang berlokasi di Swiss...."
Catwoman tampak terkejut dan langsung memotong ucapan?
nya, "Bagaimana kami bisa sampai di Swiss?"
From Paris- 350
Andrew menjelaskan dengan sabar, "Pesawat yang Anda tum?
pangi jatuh dari ketinggian dua ribu kaki. Adalah suatu keajaiban
ada penumpang yang bisa selamat?dan dalam kenyataannya ada
dua keajaiban yang terjadi. Selanjutnya, saya tentu saja tidak bisa
mengandalkan rumah sakit kota kecil di negara berkembang
untuk membuat keajaiban berikutnya, jadi Anda dibawa ke fasi?
litas terbaik yang tersedia."
Catwoman tampak berusaha mencerna perkataan Andrew.
Akhirnya dia berkata, "Saya berterima kasih sekali atas kebaikan
Anda. Tapi bagaimana dengan... Anda tahu... masalah administrasi
yang berkaitan dengan ini semua...? Kemudian saya juga harus
memberitahu keluarga saya...."
Klasik. Andrew sudah tahu kecemasan wanita di depannya ini
akan mengarah ke mana.
Andrew kembali memberikan senyum terbaiknya. "Seperti yang
saya katakan tadi, Anda dihantui kecemasan yang tidak perlu.
Bila tebakan saya benar dan Anda sedang membicarakan tentang
biaya yang harus dikeluarkan, Anda tidak perlu khawatir. Fokus?
kan saja diri Anda untuk pulih."
Catwoman menatapnya dan berbicara perlahan, "Terima
kasih."
Mengagumkan. Ada sebuah keraguan yang ditangkap telinganya
dari ucapan wanita di depannya ini. Wanita ini cukup cerdas un?
tuk tahu ke mana arah pembicaraan ini. Bukan sesuatu yang ia
harapkan, tapi tentu saja ia tahu bagaimana menghadapinya.
Andrew berkata sambil lalu, "Kalau Anda tidak keberatan, ada
beberapa surat yang ingin saya minta untuk Anda tanda tangani.
Ini akan menjawab pertanyaan Anda tadi mengenai keluarga."
Keraguan kini terlihat dengan jelas di wajah wanita di depan?
nya ini. Matanya menyipit dan suaranya terdengar curiga ketika
bertanya, "Surat apa?"
Perlu pendekatan berbeda.
Andrew berkata ramah, "Izinkan saya menjelaskan semua sesuai
From Paris- 351
urutan yang terbalik. Saya akan menjelaskan dulu apa yang akan
terjadi bila Anda tidak menandatanganinya, kemudian saya akan
memperlihatkan kepada Anda isi surat-surat itu."
Tubuh wanita di depannya ini tampak lebih kaku karena anti?
sipasi. Tapi Andrew bisa memastikan tidak ada antisipasi yang
cukup untuk mengerti apa yang terjadi berikutnya.
Dengan tenang Andrew mendekati Batman dan lewat sudut
matanya ia bisa melihat Catwoman memperhatikan dengan raut
penuh tanya dan tubuh yang semakin kaku.
Andrew tersenyum tipis ke arah Catwoman seolah berkata
"everything will be alright". Tangannya meraih kabel penunjang
hidup Batman, kemudian dengan gerak cepat ia mencabutnya.
Terdengar nada panjang konstan yang dihasilkan alat penunjang
hidupnya.
"TIDAAAK...!" jeritan Catwoman yang melengking terdengar
membahana di ruang kecil ini.
Secepat kilat tangan Andrew memasang kabel pada tempatnya,
dan kembali terdengar nada putus-putus.
Catwoman terisak histeris.
Andrew bergerak ke arah Catwoman, menyibak selimut dan
membuka ikatan tangan kanannya, kemudian menegakkan san?
daran tempat tidur Catwoman sehingga dia berada dalam posisi
duduk. Andrew lalu mengambil tisu dan menyodorkannya kepada
Catwoman.
Catwoman berusaha berhenti menangis dan menyeka air mata?
nya. Dia kemudian menatap Andrew dengan sorot mata takut
bercampur marah.
Amazing. Bahkan kemarahan itu bisa dengan jelas terbaca, pi?
kir Andrew.
"Kenapa?" tanya Catwoman dengan suara bergetar.
"Pertanyaan itu tidak ada dalam perjanjian kita tadi," jawab
Andrew tenang. Ia merogoh jasnya dan mengeluarkan sebuah
amplop. Ia mengambil tiga berkas dokumen dari dalamplop
From Paris- 352
kemudian mengulurkannya kepada Catwoman, "Silakan ditanda?
tangani. Saya harap akan lebih mudah setelah tadi Anda tahu apa
yang akan terjadi kalau Anda menolak."
Catwoman menerima dokumen itu dengan tangan gemetar,
meletakkan dokumen itu di pangkuannya, kemudian dengan ge?
rakan kikuk karena hanya menggunakan satu tangan ia membalik
halaman pertama. Seketika itu juga dia terbelalak. "Apa-apan
ini...?" bisiknya lemah.
"Just sign them... please," ucap Andrew memberi penekanan.
Air mata mengalir di pipi Catwoman. Ia menoleh dan menatap
Batman dengan kepiluan yang begitu dalam. Dengan tangan
gemetar ia menandatangani ketiga berkas itu.
Andrew mengambil dokumen-dokumen itu dari pangkuan Cat?
woman kemudian menurunkan kembali tempat tidur seperti
posisi semula, memasang ikatan tangan Catwoman, membenarkan
posisi selimutnya, lalu beranjak ke pintu kaca.
Lebih mudah daripada yang kukira semula, pikirnya. Tanda ta?
ngan Catwoman di dokumen-dokumen ini sebenarnya tidak ber?
arti apa-apa dan tidak akan memengaruhi kejadian apa pun yang
telah dan akan bergulir di luar gedung putih L'H?pital du Dent
Blanche yang akan menjadi rumah Catwoman mulai sekarang.
Bila Catwoman bersikeras untuk menolak menandatangani doku?
men, Andrew dengan mudah bisa memerintahkan analis terbaik?
nya di COU untuk memalsukan tanda tangannya dengan sem?
purna. Tapi yang ingin dicapai dari tindakan sederhana berupa
pembubuhan tanda tangan adalah kondisi psikologis berupa ke?
pasrahan untuk menerima konsekuensi yang akan terjadi. Cat?
woman tahu apa yang akan dihadapinya ketika membaca doku?
men-dokumen itu. Ketika dia membubuhkan tanda tangan,
pi?kirannya secara sadar mengakui konsekuensi yang akan ia
terima setelahnya. Kondisi emosi yang Andrew perlukan untuk
menempatkan Catwoman?dan Batman kalau dia sadar?di ge?
dung sebelah Unit Eksperimen Pikiran dan Perilaku.
From Paris- 353
From Paris To Eternity Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Andrew mengeluarkan pin logam untuk membuka pintu ke?
dua. Sebelum melangkah ke luar ruangan, ia menyapukan pan?
dangannya kembali ke Catwoman lewat dinding kaca. Tubuh
wanita itu terguncang-guncang di atas tempat tidurnya?jelas
dia sedang menangis histeris walaupun dari tempat Andrew ber?
diri sekarang tidak ada suara yang bisa terdengar.
Andrew menutup pintu, turut bersimpati atas apa yang di?
rasakan Catwoman. Ia tidak bisa menyalahkan Catwoman. Wa?
jar saja seseorang bereaksi seperti itu bila harus menyerahkan
anak semata wayangnya kepada orang lain?satu hal yang ia
ketahui dengan persis bagaimana rasanya.
Dengan pikiran itu Andrew berlalu, membiarkan pintu ter?
tutup otomatis di belakangnya, kemudian kembali menapaki
lorong putih dingin dengan suara gema yang ia nikmati di se?
tiap ketukannya.
Kisah petualangan Fay belum berakhir,
nantikan kisah selanjutnya dalam
"Traces of Love"
Tamat
A Child Called It Karya Dave Pelzer Hong Lui Bun Karya Khu Lung Detektif Stop Teror Melanda Kelas 9a
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama