Ceritasilat Novel Online

God Speed 1

God Speed Karya Ghyna Amanda Bagian 1



GOD.SPEED

Oleh Ghyna Amanda

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

GM 312 01 14 0054

? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Gedung Gramedia Blok 1, Lt.5

Jl. Palmerah Barat 29?37, Jakarta 10270

Cover oleh Ghynaanda

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

anggota IKAPI, Jakarta, Agustus 2014

www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN: 978 ? 602 ? 03 ? 0767 ? 1

224 hlm.; 20 cm

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab Percetakan

Ucapan Terima Kasih

Banyak penulis bilang, tiap naskah yang kita tulis akan me?

nemukan rumahnya sendiri. Sebelumnya saya nggak begitu

percaya, tapi setelah melalui beberapa bulan ini, saya cukup

percaya bahwa bahkan apa yang kita tulis akan memilih takdir

mereka. Ya, naskah god.speed ini semula saya tulis sekadar

iseng-iseng setelah menonton Digimon Frontier dan terinspirasi

tokoh Kouji dan Kouichi. Lalu, saya mengajukannya ke pener?

bit, tapi ternyata belum bisa diterima. Akhirnya saya terbitkan

melalui wattpad supaya bisa dibaca banyak orang dan respons

pembaca rupanya bagus juga. Lalu, apa yang salah dengan

naskah ini sampai ditolak?

Jawabannya mungkin karena belum berjodoh.

Yap, di bulan Maret 2014, saat-saat terberat dalam hidup

saya itu akhirnya berbuah manis. Melalui perkenalan dengan

Mbak Hetih selaku editor dari GPU lewat saudara kembar

terpisah saya, Orinthia Lee, akhirnya naskah god.speed menda?

patkan rumahnya. Dan dengan bantuan dari Mbak Vera serta

tim redaksi teenlit lainnya, god.speed dapat menjadi sebentuk

buku yang kini dapat dibaca dengan lebih leluasa.

Alhamdulillah, saya bersyukur kepada Allah SWT yang terus

memberikan kesempatan menulis dan memperkenalkan saya

dengan banyak orang hebat di dunia kepenulisan.

Terima kasih untuk kedua orangtua, adik perempuan, juga

keluarga besar saya yang selalu memberi dukungan moril

maupun materil, Orinthia Lee dan teman-teman GWP-nya yang

banyak membantu, teman-teman roleplayer di forum NewIndo?

hogwarts, khususnya penghuni roomchat #magerclaw, temanteman penulis di #KampusFiksi, teman-teman kuliah dan

sekolah yang sudah melanglang buana entah ke mana, juga

nama-nama lain yang kepanjangan kalau harus disebut satu

per satu?haha.

Dan sebesar-besarnya terima kasih tentu saya sampaikan

ke?pa?da para pembaca yang sudah mau meluangkan waktu

bersama Ariana, Kai, dan Rei dalam babak demi babak di

pertandingan mereka.

Lewat god.speed saya ingin bercerita bahwa masa remaja

bukan hanya tentang romansa di sekolah, tapi juga per?

saudaraan, persahabatan, dan sportivitas.

Godspeed?and good luck!

Selamat membaca!

Ghynaanda

Match #0

etiap orang berhak punya mimpi. Semustahil apa pun,

setinggi apa pun, meski tanpa kedua tangan yang mam?

pu menggapainya, setiap orang berhak punya mimpi

besar.

Mungkin memang terasa berat. Seperti mimpiku. Mimpi

besarku yang kemudian kandas di tengah jalan.

Lengan kiriku rasanya berat, sedangkan yang satunya tak

dapat kukontrol dengan baik. Aku selalu berputus asa karena

kondisi ini. Padahal aku sudah berjanji dalam hati akan mewu?

judkan mimpi-mimpiku.

Lalu sebuah tekad muncul saat melihatnya?bocah yang...

mengesankan. Kupikir, pastilah dia orang yang Tuhan berikan

untuk menjadi perpanjangan mimpi-mimpiku?mimpi yang

selama ini hanya bisa mendekam di sudut terjauh benakku.

Pasti dia orang yang bisa menjadi pengganti tangan kanan?

Dari situlah, kemudian aku berani kembali bermimpi.

Match #1

iuh penonton di gedung olahraga siang itu tidak

seramai saat pertandingan yang sebenarnya. Tentu

saja, ini hanya pertandingan persahabatan di awal

tahun ajaran yang bisa dibilang terlalu dini. Kebanyakan

penonton hanya anggota tim yang tidak ikut bertanding, anakanak kelas X yang baru saja mengisi formulir ekstrakurikuler,

atau cewek-cewek yang ingin cuci mata.

Sambil mendesah, Ariana duduk dengan malas di kursi

pinggir lapangan. Sejak tadi ia berteriak-teriak, meminta Leo

fokus pada bola. Bola! Bukan pada manajer tim lawan yang

seksi bak model papan atas. "Geez...! Dasar bocah!" Sekali lagi

Ariana menepuk jidat karena bola oranye itu terpaksa meng?

gelinding dan berhenti di ujung kakinya.

Merasa geram, Ariana akhirnya bangkit lalu memberikan

gestur time out pada wasit yang juga murid di sekolahnya.

Peluit ditiup kemudian kelima pemain berkumpul di dekat?

nya.

"Leo!"

Orang pertama yang ditegur Ariana itu segera mengalihkan

fokus padanya.

"Nindita emang cantik, tapi bisa nggak sih kamu nggak liat

ke sana terus?! Apa kamu mau aku pakein kacamata kuda biar

fokus?"

Dinasihati seperti itu, spontan Leo terkekeh. "Duh Ariana

cantik. Bilang aja kamu cemburu."

Saat kalimat itu terlontar, sebenarnya Ariana ingin sekali

melempar bola basket di tangannya ke wajah Leo. Bisa

dibilang, Leo ini salah satu pemain andalan. Tapi, kalau ada

cheerleader atau cewek cantik saat pertandingan, fokusnya

bisa dipastikan buyar. "Ini kan cuma pertandingan persa?

habatan, Ariana. Yaaa... playing for fun lah!"

Ariana berdecak kesal. "Kamu sih bukan playing for fun, tapi

playing for fans!" sanggahnya cepat. "Pokoknya nggak ada

lagi curi-curi pandang apalagi tebar pesona sama Nindita. Kalau

sampai kejadian lagi, habis ini kugantung terbalik kamu di

ring!"

Leo memasang wajah ngeri, sementara keempat anggota

tim lainnya hanya bisa tersenyum miris. Mereka tahu siapa

cewek kelas XI ini. Cewek yang berambisi besar membawa

sekolah mereka ke pertandingan basket tingkat nasional.

Tahun lalu, perjuangan itu terhenti karena mereka kalah dari

tim yang menjadi lawan hari ini. Namun, Ariana bertekad

mereka tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi.

"Oke. Nah, buat yang lain...," Ariana menepuk tangan dua

kali, demi mengembalikan fokus karena mereka tak punya

waktu banyak untuk membicarakan ini, "coba kalian

menyebar. Maksudku, jangan terfokus dengan si nomor 11

atau 10 aja." Ariana menyebutkan dua pemain di tim lawan

yang punya kemampuan lebih daripada lainnya. "Mereka

memang patut diwaspadai. Tapi kalau pertahanan terus yang

diperketat, kalian nggak akan punya waktu buat nyerang."

Kelima cowok?yang lebih tinggi daripada Ariana?itu

mengangguk bersamaan. "Dion kamu kan center. Tugasmu

jaga si nomor 10. Tapi, begitu ada kesempatan buatbil

rebound, kamu kasih ke Rendra atau Leo."

"Oke, sip!" Dion yang tentu saja paling tinggi daripada yang

lain mengacungkan jempol sebagai tanda persetujuan. "Kalian

siap-siap dapet operan maut, ya!"

"Yeah... gampang lah!" Leo melanjutkan tak mau kalah.

"Nanti kubuat dunk maut atau lay up maut, atau..."

"Oke, oke, pokoknya gitu." Sebelum Leo melanjutkan

kalimatnya, Ariana memotong cepat. "Nah, Bang Eza"?ke?

pada cowok ini, nada bicara Ariana berubah hormat. Tentu

saja, karena cowok bernama Arieza ini adalah kakaknya yang

duduk di kelas XII bersama Rendra, sementara sisanya murid

kelas XI. "Kayak biasa, siap-siap serang balik tiap dapet um?

pan."

Ucapan Ariana disambut anggukan cepat dari Arieza.

"Terus, Rey...," kata Ariana pada anggota terakhir yang ada

di sana, "tugasmu kayak biasa." Ia yakin tidak perlu men?

jelaskan lebih detail soal yang satu ini.

Setelah yakin dengan strategi yang telah disusunnya, Ariana

memandu kelima kawannya menyatukan tangan dalam

lingkaran kecil. Satu per satu dipandanginya wajah-wajah

penuh semangat itu. Bagus, pikirnya, dengan begini mungkin

mereka bisa mengambil kesempatan dan mengejar keterting?

galan. Oh, bukan hanya itu, tapi juga melampaui lawan me?

reka!

"Serunai Raya!" Ariana berseru kencang, disambut balasan

yang tak kalah kencang.

"FIGHTING!"

Skor ketertinggalan berhasil diminimalkan. Dari yang tadinya

lebih dari 20, kini tinggal setengahnya. Lumayan, tiga sampai

lima kali shoot lagi, skor pasti seimbang. Sayang, waktu tinggal

lima menit di babak terakhir ini. Dalam lima menit itu, tim mana

saja bisa menyusul lebih cepat atau mengejar ketertinggal?

"Lho, Kai?"

Seorang cewek memergoki Kai berdiri di samping pintu

keluar, jauh dari keramaian dan seharusnya tidak terlihat siapa

pun yang sedang terfokus pada pertandingan. Namun, teman

sekelasnya ini, Diandra, sepertinya tidak sepenuhnya mem?

perhatikan apa yang terjadi di lapangan. Barangkali ia hanya

datang untuk memberikan semangat pada cowok-cowok

jangkung pemain inti tim basket sekolah mereka, atau bahkan

tim lawan.

"Oh, hai...." Kai sedikit melirik Diandra. Ia mengangkat

tangan untuk membalas sapaan cewek itu. Kai sebenarnya

tidak tahu, ucapan Diandra tadi itu sapaan atau hanya ekspresi

keheranan, karena memang tidak biasanya Kai menonton

pertandingan basket.

"Tumben kamu ke sini. Katanya nggak suka olahraga?"

"Mm nggak juga sih." Seingatnya, ia tak pernah bilang

tidak suka. Hanya memang kalau untuk urusan olahraga, Kai

angkat tangan tinggi-tinggi, maksudnya menyerah. "Kalau
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cuma nonton kan nggak masalah." Ia mencoba mencari alasan

yang cukup realistis sebagai bentuk pertahanan pendapat.

Untungnya, jawaban itu membuat Diandra mengangguk. Tapi

yang menyebalkannya, Diandra malah berdiri di sampingnya.

"Kalau kamu?"

"Aku?" Diandra menunjuk dirinya sendiri. "Nonton juga...

yang itu!" Ia menunjuk salah seorang pemain tim sekolah

mere?ka yang bertubuh paling jangkung.

"Cowok kamu?" tebak Kai cepat. Analisisnya, delapan puluh

persen cewek-cewek yang menonton pertandingan ini datang

demi menyaksikan para pemain yang ganteng dan macho di

lapangan, sementara dua puluh persen lagi pasangan cowokcowok tersebut. Begitu juga dengan Diandra yang mengangguk

malu-malu. "Dia kelas XI, kan?"

"Iya, namanya Dion," jawab Diandra memperjelas.

Sebenarnya tidak penting juga sih. Toh Kai tidak begitu

peduli siapa nama si jangkung itu dan apa hubungannya

dengan Diandra. Bahkan ia menyesal sudah menyapa balik

teman sekelasnya ini.

"Tapi kalau anggota lainnya, aku nggak gitu tau, cuma..."

Tiba-tiba saja Diandra melanjutkan obrolan mereka, seperti

tengah mengingat sesuatu. "Liat cewek itu!"

Telunjuk Diandra mengarah pada satu-satunya cewek yang

berdiri di sisi lapangan, dekat Pak Sam, pelatih tim basket

sekolah mereka yang konon cuma "pelatih aksesori".

"Siapa?" Sejujurnya Kai tidak begitu tertarik, tapi demi

menjaga nama baik, akhirnya ia rela membiarkan obrolan ini

semakin panjang dan melupakan jalannya pertandingan yang

kian sengit.

"Manajer tim basket putra. Dia nyebelin!" Alih-alih menjawab

normal, Diandra malah terdengar seperti melaporkan kejahatan

orang lain?oh, bukan, ia sedang curhat rupanya. Hal ini mem?

buat sandaran Kai sedikit merosot, begitu juga kacamatanya

sehingga menyentuh ujung hidung. "Masa ya, dia nggak

ngebolehin aku ikutan jadi manajer. Cewek apaan tuh? Emang

sih, ekskul basket itu isinya cowok-cowok ganteng, udah gitu

kebanyakan tinggi pula. Tapi masa mau dia kuasain sen?

diri?"

Kepala Kai berdenyut agak nyeri. Bukan secara harfiah,

tentu saja. Tiba-tiba saja ia ingin bergeser, terus bergeser

hingga masuk ke dalam kerumunan supaya tak lagi mendengar

ocehan Diandra. Sayangnya, cewek itu mengikutinya. Bahkan

setelah mereka bergerak perlahan beberapa meter ke sam?

ping, protes Diandra soal cewek manajer itu tak juga selesai.

"Cuma karena Kak Arieza itu abangnya, makanya dia bisa

jadi manajer. Iya kalau mukanya cakep, dia itu kan di"

PRIIIT! PRIIIT! PRIIIT!

Ucapan Diandra terpotong suara nyaring peluit dan sorakan

kecewa. Ah, tim basket sekolah mereka kalah. Mungkin karena

tadi salah satu pemain terlalu sering mencuri pandang pada

manajer tim lawan yang menurut Diandra memang cukup

seksi. Ya, bisa saja sih yang semacam itu jadi pengalihan.

Namun, menurut Kai, bukan itu alasannya. Tim SMA Buana

Bhayangkara memang bukan lawan mudah, baik untuk sekadar

latih tanding maupun pertandingan yang sebenarnya. Mereka

bermain cepat, punya stamina kuat, dan tentunya didukung

strategi yang baik.

"Eh, Kai..."

Analisis Kai tertahan karena rupanya Diandra masih di

sana.

"Aku duluan, ya," tukas Kai sebelum Diandra mulai lagi

berceloteh. Cengiran terlukis di wajah Kai sambil menunjuk

para pemain yang sudah kembali ke bangku.

"Oh...." Diandra sedikit mengerti. "Oke." Ia tak bisa bicara

banyak, sadar Kai juga punya urusan lain. Dibiarkannya Kai

beranjak pergi.

Diandra tak tahu, apa pun "urusan" itu jadi tertahan karena

Kai tiba-tiba melihat seseorang di pinggir lapangan. Mata Kai

menyipit. Kacamata dinaikkannya ke posisi awal supaya ia bisa

lebih jelas menangkap sosok tersebut.

Seseorang yang dikenalnya. Ya, lebih tepatnya, sangat

dikenalnya!

"Rey?" ucapnya pelan. Sang pemilik nama tentu tidak

menyadari. "Sejak kapan?" Kai kaget. Entah karena Diandra

membuat fokusnya kabur atau karena matanya yang sudah

rabun, tapi ia melihat sosok Rey di sana, mengenakan seragam

biru dengan setrip kuning emas kebanggaan sekolah mereka.

Nomor punggung enam. Rey pemain inti?

Menjadi pemain inti dalam sebuah tim olahraga pastinya

impian banyak orang, apalagi bagi anggota yang baru ber?

gabung sekitar tiga minggu. Salah satunya Rey, yang mungkin

namanya telanjur terkenal karena ia sudah menjadi atlet basket

sejak SMP. Tiket emas untuk menjadi pemain inti bisa ia

dapatkan dengan mudah. Namun, tentu saja bukan hanya

karena ia sekadar atlet. Bukan. Rey punya hal lain yangat

diperlukan tim sekolahnya: kemampuan alamiah yang

terbentuk dengan sangat apik.

"Our Rookie Shooting Guard! Yeah!" Leo menepuk bahu Rey

saat acara berkabung atas kekalahan?yang untungnya tak

begitu telak?ini selesai.

"Berapa skormu hari ini, Rey?" Pertanyaan Leo ini bukan

untuk pamer prestasi, melainkan sindiran karena hari ini peran

Rey sebagai "ahli tembak" seolah tak berfungsi. "Ada tiga

puluh?"

Ujung mata Rey melirik Leo dengan malas sambil ia me?

masukkan botol minuman ke dalam tas. "Tepatnya tiga puluh

empat." Tapi, lalu skor itu diralat dengan cepat oleh Rey

sendiri. Sepuluh kali three point sesuai keahliannya dan dua

kali tembakan biasa. Untuk ukuran pertandingan melawan

juara bertahan tingkat kota, hal ini tentu belum apa-apa. Tapi

berkat Rey, mereka bisa mendapatkan poin di atas 40. Tidak

begitu memalukan karena beda skor hanya delapan poin.

"Lumayan." Sambil mengunyah permen karet, Leo melengos

setelah memberikan tepukan terakhir di bahu Rey.

Rey tidak mengerti kelakuan kakak kelasnya itu. Permainan

Leo berantakan. Terlalu banyak melirik yang tidak perlu se?

hingga beberapa kali bola berhasil direbut lawan atau tem?

bakan hanya menyentuh pinggiran ring. Lantas kenapa orang

yang sepertinya tidak punya niat bermain dengan "benar" itu

bisa masuk tim inti? Memangnya tim mereka kekurangan

orang? Rasanya tidak. Selain Rey, ada sekitar sembilan anak

kelas X lainnya yang Leo sebut rookie alih-alih newbie. Dari

sembilan orang itu, ada satu-dua orang yang kemampuannya

di atas Leo. Lalu kenapa? Jawabannya hanya ada pada Aria?

Cewek kelas XI itu adalah penguasa tim basket putra. Ariana

menggantikan posisi Pak Sam yang hanya bisa menjadi "pelatih

aksesori" dan mengatur segala hal yang ada di tim ini. Kalau

bukan karena Ariana, mungkin Rey juga tak akan mendapatkan

tiket emas untuk bergabung dengan tim inti dan mendapatkan

seragam kebanggaannya.

"Thanks buat hari ini, Rey!" Dion dan Rendra berseru

padanya sebelum mereka meninggalkan ruangan.

"Permainanmu bagus, Rey," tambah Arieza yang berjalan

melewatinya diikuti Ariana.

"Perlu dibantu, Kak?" Alih-alih membalas pujian Arieza yang

sudah entah ke mana, perhatian Rey langsung tertuju pada

Ariana yang kini sibuk membereskan handuk serta botol

minuman bekas. Ariana memang tidak mengerjakan itu sendiri.

Ada anak-anak kelas XI lain yang membantu. Tapi, Rey tidak

enak hati kalau langsung pulang. Menjadi bagian tim inti tidak

berarti lepas tanggung jawab sebagai junior.

"Hah?" Ariana telat merespons. Satu tangannya kini penuh

dengan handuk basah yang pasti berbau asam. "Oh... nggak

usahlah. Kamu pulang aja, istirahat."

Disuruh pulang malah membuat Rey semakin tidak enak. Ia

akhirnya mengedarkan pandangan pada teman-teman lain

yang sebagian adalah teman sekelasnya. Mereka sibuk me?

ngepel lantai, mengumpulkan bola, bahkan membersihkan

sampah-sampah yang ditinggalkan para penonton.

"Nggak apa-apa, aku bantu deh..."

Tanpa menunggu persetujuan Ariana, Rey segera menaruh

kembali tasnya lalu membantu teman-temannya membersihkan

gedung olahraga ini. Bukan karena ia terlalu baik dan lugu

atau bahkan ingin mencari perhatian Ariana. Tidak. Ia jelas

melakukan semua itu karena merasa tidak enak dengan temanteman lainnya. Siapa yang mau dijauhi karena dianggap

sombong? Tentu tidak ada. Makanya, ia bantu-bantu sebentar,

bertegur sapa, dan sedikit bercerita. Itu semua dijadikannya

kegiatan untuk meruntuhkan dinding kesombongan. Walau

sebenarnya ia cukup letih karena pertandingan tadi.

Untungnya, karena dikerjakan bersama-sama, acara beresberes ini selesai dengan cepat. "Aaah... untung dibantuin Rey,

ya!" Salah seorang temannya nyeletuk hingga Rey tersipu. Oh,

ia tidak tahu apakah itu pujian atau justru sindiran. Tiga minggu

bersekolah di sini dan bertemu orang-orang ini tidak menja?

dikan ia cukup paham maksud mereka yang sebenarnya.

"Ah, nggak...," Rey mengelak cepat. "Nambah satu orang

doang kenapa bisa jadi untung?" Ia tidak mau banyak tingkah,

apalagi dikira pencitraan. Sepertinya semua yang dilakukannya

salah.

"Tapi thanks lho, Rey," tiba-tiba Ariana ikut bicara. "Jarangjarang ada pemain inti yang habis tanding mau ikutan bantubantu." Kalau Ariana yang bilang, jelas ucapan tersebut jujur.

"Kalian juga!"

Lalu kesembilan orang lainnya terpaksa mematung demi

mendengar serangkaian nasihat dari Ariana. "Kalau udah jadi

pemain inti nanti, kalian harus humble kayak Rey ini. Jangan

langsung pergi dengan alasan sok capek!"

Hahaha! Saat itu sebenarnya Rey ingin tertawa miris, mener?

tawakan diri sendiri. Lari-lari selama hampir satu jam memang

capek lho. Mana ada ungkapan sok capek? Tapi ya sudahlah,

Ariana benar. Mungkin ia juga tidak boleh terus-terusan

menjadikan acara kerja bakti sehabis tanding sebagai suatu

keharusan. Mengapa? Karena kakinya kini lebih lelah daripada

sebelumnya.

"Kalau gitu...," Rey menyudahi acara pencitraannya, "aku

duluan, ya."

Tidak ada yang protes soal itu. Kebanyakan malah saling

menyahut untuk kabur. Padahal Ariana belum menyelesaikan

rangkaian nasihat panjangnya. Akhirnya cewek itu kini berdiri

mematung sendiri.

"Yapun!" Ariana menaruh satu tangannya di pinggang

sambil menggeleng. "Dasar cowok-cowok payah! Ruang pe?

nyimpanan kan belum dikunci!" Ia berdecak lagi. Sedikit kesal,

tapi ya sudahlah. Apa yang bisa dilakukannya? Mengejar ge?

rombolan anak kelas X itu agar kembali dan membantunya
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendorong keranjang besar berisi bola oranye tersebut? Tentu

tidak, kan?

Mau tak mau Ariana melakukannya sendiri. Ia mengunci

ruang penyimpanan lalu memastikan tidak ada yang tertinggal,

baik di lapangan maupun di tribun penonton. Ariana tak mau

kena semprot Pak Beni, pengurus sekolah, hanya karena ada

sampah botol plastik yang tertinggal.

"Tuh, kan." Betul saja, sampah itu ada, terselip di bagian

yang tak terlihat. Ariana segera mengambil botol yang ia

temukan di bawah tribun penonton dan membuangnya ke

tempat sampah. Namun gerakannya sedikit terhenti. Begitu

ia bangkit dari posisi menunduk, terdengar suara bola di?

dribel.

Spontan Ariana mengernyitkan dahi. Bulu kuduknya mere?

mang karena hawa mistis tiba-tiba saja melingkupinya. Pada

sore hari menjelang malam begini, siapa yang main basket di

lapangan? Belum lagi, seingatnya tadi semua bola sudah di?

masukkan ke keranjang. Ia juga sudah mengunci pintu gudang

penyimpanan dengan baik. Apa mungkin...

...hantu?

Saat berspekulasi demikian, Ariana hampir seperti orang

kehilangan akal sehat. Ia mengumpulkan keberanian lalu

menyembulkan kepala dari balik dinding tribun untuk melihat

siapa yang sedang bermain di lapangan. Apakah yang mendribel

itu manusia? Atau bola yang memantul-mantul sendiri?

"Ah!" Ariana melihatnya. Manusia! Ia yakin itu manusia!

Seorang... murid sekolahnya? Seorang cowok berkacamata

mengenakan jaket abu-abu yang melapisi seragam lengkap di

dalamnya. Cowok itu bergerak-gerak ringan sambil memainkan

bola basket di tangannya dengan lihai. Kemudian langkahnya

yang cepat itu mendekati ring. Namun, saat melemparkan

bola, gerakannya agak salah sehingga bola hanya memantul

tepat di papan ring.

Pertanyaan Ariana sekarang: Siapa cowok itu?

Match #2

ei!" Ariana masih bertengger di dinding tribun.

Satu tangannya membuat semacam corong di

samping mulut agar suaranya yang seadanya itu

dapat terdengar sampai bawah.

Gedung olahraga ini sebenarnya tak begitu besar sehingga

suara sekecil apa pun?di tempat yang kini berubah menjadi

sepi itu?pasti terdengar jelas. Namun, Ariana tetap berupaya

mengeraskan suara karena ia yakin cowok berkacamata di

bawah sana terlalu asyik bermain sampai-sampai tidak men?

dengar panggilannya.

Ternyata tidak juga. Si cowok segera menghentikan per?

mainan setelah berhasil me-rebound bola yang sebelumnya

gagal masuk ke dalam ring, kemudian berbalik pada Ariana.

Ekspresi wajahnya seperti kaget, tapi ia tidak bergerak dari

sana sampai Ariana bergegas turun untuk menemui cowok

itu.

"Dari mana kamu dapet bola itu?" tanya Ariana sambil buruburu lari mendekat sampai jaraknya tak begitu jauh dari cowok

itu. "Kayaknya udah kusimpen semua di" Ucapannya

terhenti. Jemarinya memang menunjuk gudang penyimpanan

di ujung ruangan, tapi mata Ariana tak lepas dari si cowok

berkacamata. "Kamu?"

"Oh, maaf." Cowok itu merespons cepat. "Bola ini tadi ada

di sana." Ia menunjuk ujung lain yang tidak Ariana datangi

sebelum ini. "Kukira nggak ada orang, jadi ya..." Kalimat itu

sengaja ia gantung.

Ariana tidak mendengarkan dengan jelas apa yang diucapkan

cowok itu. Ia sibuk mengingat-ingat sesuatu. Wajah yang begitu

familier ini mirip siapa ya? Apa mungkin kenalanku? Atau anak

ekskul basket juga? Ariana kebingungan sendiri. Ia terlihat

seperti orang linglung.

"A-ahhh." Ariana tersadar kembali. "Oh nggak apa-apa

kok. Iya, mungkin itu ketinggalan." Anak-anak kelas X memang

tidak menyisir dengan benar bagian-bagian ujung. Tak heran

ada bola yang terselip?di bawah bangku atau di belakang

tempat sampah?seperti ini. "Thanks bolanya."

"Ini." Tanpa banyak bicara, si cowok berkacamata segera

menyerahkan bola itu pada Ariana.

"Masih mau kamu mainin?" Justru yang keluar dari mulut

Ariana ungkapan lain yang tidak dikira cowok itu. "Oh iya,

siapa namamu? Kelas berapa?" Akhirnya Ariana menanyakannya.

"Namaku Ariana, kelas XI. Aku manajer tim basket sekolah

kita... kamu tahu nggak?" Ariana tidak yakin ia seterkenal itu,

tapi siapa tahu cowok itu menanyakan apa hak Ariana meminta

bola itu.

"Kai. Kelas X." Nama yang singkat, jawaban yang singkat.

Mengingatkan Ariana pada seseorang yang agak kabur dalam

otak kosongnya saat ini.

"Aku tahu kok," jawab cowok itu lagi atas keterangan yang

Ariana berikan tadi. "Makanya ini bolanya." Sedangkan

pertanyaan apakah si Kai ini masih mau main dengan bolanya,

tidak digubris dengan serius.

"Nggak mau kamu mainin lagi?" tawar Ariana lagi.

Kai menatap lama bola di tangannya yang sejak tadi sudah

terulur pada Ariana. Ini bukan akal-akalan untuk merekrut

orang, tapi Ariana punya analisis bagus terhadap bakat se?

seorang, khususnya di bidang basket. Ia bisa membaca

kemampuan menembak jitu Rey dan kali ini pada Kai ia juga

bisa tahu bahwa cowok itu punya kelebihan.

"Aku tadi lihat permainanmu," ucap Ariana lagi demi

memecah keheningan. Kelihatannya Kai ragu. Anak kelas X

banyak yang seperti itu. Mungkin sebenarnya Kai suka main

basket dan ingin bergabung dalam tim, hanya masih ragu.

Karena kalau dilihat dari penampilannya, Kai ini tipikal murid

yang rajin belajar. Siapa tahu ia terjerat problem memilih

antara akademis dan prestasi nonakademis. "Permainanmu

bagus. Gimana kalau," Ariana tidak pernah terpikir soal hal

ini, "main denganku?"

Itu tawaran kedua yang tidak pernah Kai pikirkan juga.

Hingga si cowok kacamata mengalihkan pandangan dari bola

oranye di tangannya kepada Ariana yang berdiri tepat di

depannya.

"Boleh."

Jawaban singkat itu lalu membawa Kai langsung melam?

bungkan bola di tangannya. Mereka sepertinya sama-sama

mengerti ini pertandingan one on one. Siapa yang lebih dulu

memasukkan bola ke dalam ring akan langsung menjadi peme?

nang. Entah soal peraturan lainnya, yang jelas Ariana kini asyik

bergerak mengikuti ritme Kai yang terbilang cukup baik.

Cukup? Ini sih bukan cukup lagi. Kai bergerak cepat?sangat

cepat.

Bola itu ada di belakang tempat sampah. Sebenarnya, Kai tidak

berniat kembali ke tempat ini setelah perpisahannya dengan

Diandra saat bunyi peluit tanda akhir pertandingan. Namun,

sosok Rey yang ternyata hadir di tempat itu terlalu menarik

rasa penasarannya. Kai lalu mengambil tempat di tribun, meng?

amati Rey, memperhatikan Rey yang sebelum pulang menyem?

patkan diri untuk membantu anggota lain membersihkan

ruangan.

Kai tidak ingat kapan terakhir kali bertemu Rey. Kalau tak

salah sekitar tujuh atau delapan tahun lalu saat mereka masih

SD. Ketika melihatnya lagi di sekolah ini, ada perasaan aneh

sekaligus ragu. Apa benar sosok yang dilihatnya itu adalah Rey

yang sama dengan beberapa tahun silam? Namun, Kai tidak

pernah salah. Ia punya keyakinan tersendiri soal ini.

Setelah segerombolan pembersih ruangan melengos pergi,

barulah Kai turun dari tribun dan tak sengaja menemukan bola

yang tertinggal. Kai tidak memastikan lagi apakah dirinya

benar-benar tinggal sendiri di sana atau masih ada orang lain.

Bola basket di tangannya seakan mempunyai sihir yang

membuatnya kembali bergerak. Rasanya lama lama sekali

ia tak pernah lagi memegang benda bulat tersebut, memantulmantulkannya di atas permukaan kayu yang telah dibersihkan,

kemudian melayangkannya sampai membentur tepi ring. Kai

memang payah dalam menembakkan bola ke dalam ring. Tidak

seperti Rey.

Lalu tiba-tiba seorang cewek datang. Ah, Kai ingat... ini

cewek yang tadi dibicarakan Diandra. Ia tidak begitu ingat

namanya. Tapi tanpa disuruh, cewek itu segera memperkenalkan

diri. Ariana, katanya, manajer tim basket sekolah mereka yang

tahu-tahu sudah jadi lawan mainnya sekarang.

One on one?Kai ingat, dulu ia sering memainkannya ber?

sama Rey walau dirinya selalu kalah. Karena itu, supaya tidak

kalah lagi dari Rey, ia berusaha bergerak cepat demi memper?

tahankan bola. Jika lemparannya gagal, bola bisa dengan cepat

kembali ke dirinya. Kai mengandalkan gerak cepat dalam

bermain. Namun lama-kelamaan, justru cara itu yang hampir

membunuhnya.

"Hahhh... hahhh." Ariana terengah-engah di depannya,

diam sejenak setelah pergulatan hebat memperebutkan bola

yang kini masih memantul ringan di tangan Kai. "Gerakanmu

luar biasa! Cepet banget!"

"Oh ya?" Sama seperti Ariana, sebenarnya Kai juga sudah

lelah. Ia bahkan ingin sekali melepas jaket yang melapisi

seragamnya.

Matahari begitu terik sehingga warna oranye cerahnya

masuk melalui jendela besar gedung olahraga itu. Pintu masih

terbuka. Tak ada siapa pun di sana, selain Kai dan Ariana yang

belum ingin menghentikan permainan karena tidak ada satu

pun dari mereka yang sudah mencetak angka. Bola terus

berada di tangan Kai walau berkali-kali gagal dimasukkannya

ke dalam ring. Kai pikir Ariana akan kewalahan, tapi ternyata

tidak. Cewek ini cukup tangguh.

"Kamu sendiri" Setelah mengatur napas, Kai kembali

bergerak dan menyempatkan diri untuk bicara?tepatnya

mem?balas ucapan Ariana barusan. "Kamu ternyata lumayan

juga."

Ariana menyunggingkan senyum. "Ya jelas dong, dulu aku

kan atlet basket juga!" Cewek itu membanggakan diri.

Lalu, ia bergerak cepat. Hampir berhasil memukul bola yang

melayang di antara tangan Kai dan lantai, namun dengan cepat

pula Kai memindahkan bola itu ke tangan satunya.

"Ah...!" Inginnya Ariana berdecak, tapi berkali-kali ia malah

terpukau. "Gerakanmu luar biasa!"

"Belum." Kai merasa belum cukup. Ia belum melampaui

Rey, belum pernah mencetak angka secara sungguh-sungguh

dengan gerakan yang baik. Belum, dan sepertinya memang

tidak akan pernah bisa.
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Belum, tapi pasti!" Anehnya, Ariana malah mengembalikan

ucapan tersebut dengan keyakinan penuh. "Ayo masuk tim

basket!"

"Hah?" Kai menangkap bola dengan kedua tangan, siap-siap

melakukan shoot dari jarak yang menurutnya lumayan dekat.

Kemudian, ia mencoba melompat. Saat itulah lagi-lagi dirinya

tertahan karena sebuah entakan pelan. Bola yang telanjur

melambung akhirnya meleset jauh, menabrak dinding, dan

terlempar ke luar lapangan.

"Waaah...." Sambil menghela napas dan membiarkan dirinya

terduduk di lantai, Ariana menggeleng-geleng pelan. Ia tahu

tembakan Kai barusan pasti akan meleset, jadi mungkin mere?

ka harus segera menyudahi tanding asal-asalan ini. "Kayaknya

kita udah sama-sama capek ya"

Kai berjalan lunglai lalu ikut duduk di samping Ariana. "Yah,

aku orangnya gampang capek juga sih...." Kai menghela napas

seiring dengan ucapannya.

"Stamina?" Ariana menebak apa yang menjadi masalah Kai.

"Kalau soal stamina, bisa dilatih. Yang penting kamu punya

dasar teknik yang kuat. Gimana?"

"Apa?" Kai sepertinya tidak paham dengan penawaran

Ariana.

"Masuk ekskul basket lah!"

Ariana memang selalu penuh percaya diri ketika menge?

luarkan jurus andalan untuk merekrut orang ke dalam ekstra?

kurikulernya, tapi Kai hanya terdiam menanggapinya. Lalu, ia

menggeleng pelan. "Aku nggak tertarik."

Ucapan singkat itu, yang diiringi bangkitnya Kai dari posisi

duduknya untuk bergegas pergi, membuat Ariana terbengong.

"Lho, kenapa?"

Ia lalu mengikuti Kai ke luar gedung. Lupa dengan masalah

bola yang masih tertinggal di dalam sana.

"Kan sayang, kemampuanmu oke.... Kita juga punya tim

yang oke. Mmm, ya, walau tadi kalah, itu udah lumayan,"

kejar Ariana.

Menurut Kai, sikap Ariana mirip sales atau agen asuransi.

Atau karena cewek, ia jadi lebih mirip ibu-ibu arisan yang suka

demo panci. Pokoknya tidak jauh beda lah. Bedanya cuma

Ariana tidak bicara soal penawaran panci, apalagi asuransi.

Ariana bicara soal basket yang sebenarnya membuat Kai ingin

berbalik dan menggubris cewek ini.

"Aku nggak tertarik." Sekali lagi Kai menjawab datar. Un?

tungnya yang seperti ini sering terjadi. Kai selalu bisa menolak

meskipun sangat suka basket dan kadang memainkannya

sendiri. Toh selama ini basket baginya memang bukan untuk

dipertandingkan, tapi hanya untuk bersenang-senang dan

sekadar mengenang masa ketika dulu ia sering memainkannya

bersama Rey. Tapi....

"Ada anak kelas X juga lho, yang jago kayak kamu!" Ariana

tiba-tiba saja mengungkit soal Rey.

Kai tahu benar siapa anak kelas X yang dimaksud Ariana.

Siapa lagi kalau bukan Rey? Di antara kelima pemain inti, hanya

Rey yang siswa kelas X dan hanya Rey yang punya kemampuan

di atas rata-rata.

"Terus?" Kali ini Kai berbalik, membuat wajah Ariana

semakin cerah karena merasa berhasil membujuknya.

"Terus kalau kalian main bareng, pasti seru! Oh, bukan,

pasti tim kita bakal lebih kuat. Aku bisa bayangin!" Ariana terus

mengoceh. "Kalian bisa kerja sama dengan baik. Kamu men?

dribel bola dengan cepat dan lincah sampai dekat ring, terus

dioper ke Rey, dan dia akan kasih tembakan terbaiknya!"

Kalimat menggebu-gebu soal strategi masa depan?yang

entah apa itu?dari mulut Ariana, hanya ditanggapi dengan

datar oleh Kai. Kalau bisa, ia mau?sangat mau malah?ber?

main bersama Rey di lapangan, bekerja sama saling mengoper

bola, dan memberi umpan agar Rey bisa melakukan tembakan

terbaiknya. Namun tidak bisa. Seperti apa pun Ariana mera?

yunya, Kai mempunyai alasan mengapa ia tidak bisa bergabung

dengan tim.

"Aku nggak bisa." Akhirnya Kai mengungkapkan hal itu.

"Kenapa nggak bisa?" tanya Ariana penasaran. Saat itu Kai

sudah kembali melangkah sehingga Ariana terpaksa meng?

ikutinya. "Kamu bukan nggak bisa main basketnya, kan? Kamu

cuma nggak bisa gabung dengan tim, kan? Kenapa? Ada yang

nggak kamu suka? Ada orang yang ingin kamu hindari?

Ada..."

"Nggak." Ocehan itu dipotongnya cepat. "Nggak ada apaapa. Cuma nggak bisa."

Dan Ariana kehilangan kata-kata. Rasanya ia sudah menge?

luarkan semua jurus ala sales promotion girl yang menjadi

andalannya dalam merekrut anggota. Namun nahas, semua

gagal. Kai melengos pergi, berbelok menuju pintu gerbang

tanpa menggubris Ariana lagi.

Ariana hanya bisa menghela napas panjang. "Dia kenapa

sih?" Rasa penasaran pada alasan Kai yang tidak masuk akal

masih hinggap di benak Ariana. Ya, bukan Ariana namanya

kalau tidak mudah penasaran?dan tentu tidak mudah menye?

rah.

Namanya Kai, kelas X. Ariana tidak tahu ada berapa banyak

anak bernama Kai di sekolah ini. Ia pun terpaksa mengambil

seluruh lembar daftar presensi anak kelas X yang ada di tujuh

kelas demi mencari nama Kai. Pastinya Kai bukan nama yang

berdiri tunggal, minimal hanya nama panggilan, kecuali orang?

tuanya iseng memberikan nama yang unik begitu.

"Hm...." Dahi Ariana mengerut ketika membolak-balik

lembar presensi. "Kai.... Kai.... Mana sih?"

"Liat apa sih, Na? Serius banget." Tiba-tiba saja Leo muncul

dan membuyarkan konsentrasi Ariana. "Cari anggota baru

lagi? Bukannya udah cukup ya anggota kita? Cadangannya aja

bejibun gitu."

Sore itu, seperti biasa mereka latihan sepulang sekolah.

Jadwal latihan khusus untuk tim inti diperketat menjadi empat

kali seminggu, sementara anggota lain berlatih setiap Kamis

dan Sabtu, kecuali yang mau iseng-iseng datang di hari Selasa

sore yang cerah ini.

Ariana duduk manis di bangku pinggir lapangan. Ia menye?

rahkan sistem latihan dan sebagainya pada abangnya, Arieza,

dan Rendra sang kapten. Namun siapa sangka ternyata ada

satu anak nyasar ke sini.

"Kamu latihan aja deh sana, Le!" Ariana menggeleng lagi

melihat tingkah Leo yang seperti biasa tidak bisa serius.

"Kita lagi istirahat, Na," sergah Leo cepat, lalu duduk di sam?

pingnya sambil mengulum bibir botol air mineral dan me?neng?

gak hampir setengah isinya. "Eh, jadi kamu lagi nyari apa?an?"

Ariana hanya bisa pasrah dengan kelakuan Leo. Ia mem?

biarkan cowok itu duduk di sampingnya bersantai-santai, se?

mentara anggota yang lain mengobrol di sisi lapangan setelah

pemanasan awal.

"Kemarin aku ketemu anak kelas X." Akhirnya Ariana memi?

lih bercerita. Ia berbicara dengan suara keras agar Rendra dan

yang lain dapat ikut mendengar. "Dia jago?oh, bukan sih,

lebih pas kalau dibilang teknik mainnya bagus. Dia punya

gerakan yang lincah dan cepat. Cepat banget malah!"

Ariana masih ingat bagaimana ia begitu kewalahan mengha?

dapi Kai kemarin. Bahkan tangannya sama sekali tidak Kai

biarkan menyentuh bola. Kai bergerak cepat, baik tangan, kaki,

maupun tubuhnya. Itu bukan teknik permainan biasa dan Aria?

na yakin Kai melatihnya dalam waktu yang lama.

"Siapa?" Arieza terpancing, lalu berbalik dan mendekati

adiknya yang masih duduk dengan santai. "Bukan anak bas?

ket?"

Ariana menggeleng. "Bukan. Aku udah coba ngajak dia, tapi

dia nggak mau." Kemudian ia menghela napas pelan sampai

sadar pada pertanyaan yang belum dijawabnya. "Oh iya, nama?

nya Kai! Aku udah cari di daftar presensi anak kelas X ini, tapi

belum ketemu juga."

"Kai?"

Seiring ucapan Ariana barusan, tiba-tiba saja Rey berbalik,

memperlihatkan wajah terkejut.

"Ah!" Ariana teringat sesuatu. Ia seolah baru menyadari.

"Kalian!" Wajahnya kini tertuju pada Rey. "Kalian mirip!"

Match #3

Mirip?kata itu tidak lagi aneh untuk Rey. Ia sudah

sering mendengarnya. Dulu, sampai ia berusia

delapan tahun dan akhirnya bisa terbebas dari

sesuatu yang mengikatnya. Bukannya mengelak dari nasib

atau?sebutlah?takdir, tapi Rey benar-benar senang ketika

ia akhirnya bisa berpisah dari Kai dan meninggalkan semua

beban berat itu di belakang. Ada kelegaan sekaligus ketakutan

ketika hal itu terjadi. Hal baik setelahnya, Rey tak pernah lagi

melihat hal buruk di depan matanya.

"Namanya Kai!"

Suara Ariana itulah yang kemudian mengacaukan kebebas?

annya kini.

Kai.... Tentu saja Rey tahu siapa yang Ariana maksudkan.

Oh, tidak! Ia tidak tahu dan mungkin tepatnya tidak usah tahu.

Tadinya Rey hanya samar-samar mendengar ocehan Ariana

soal anak kelas X yang punya teknik bermain basket bagus,

lincah, juga dapat bergerak cepat. Rey tidak terpikir siapa yang

dimaksud Ariana. Ia hanya menerka-nerka, barangkali Dimas

atau Robby, teman sekelasnya. Sampai kemudian nama Kai

disebut.

"Kai?" Spontan Rey berpaling pada Ariana, menunjukkan

wajah penuh keterkejutan. Bukan, sebenarnya Rey takut?

sangat takut kalau Kai yang dimaksud Ariana adalah Kai yang

ia kenal.

"Ah!" Wajah Ariana berubah kembali, kali ini dengan ekspre?

si seakan ia tahu sesuatu. "Kalian! Kalian mirip!"

Rey cepat-cepat membuang muka. Ia tidak pernah suka jika

ada orang lain yang mengatakan hal itu padanya. Apa

perubahan ini tak cukup? Gaya rambut gondrong berantakan

yang selalu hampir kena razia tiap Senin jika ia tidak menyia?

satinya dengan memakai topi, wajah yang dibiarkan kusam,

dan ekspresi wajah karut-marut seperti orang bosan hidup.

"Tunggu, tunggu!" Tiba-tiba Ariana berdiri kemudian me?

nyisir sebagian rambut Rey ke samping, membuatnya menjadi

lebih rapi. Dan... "Aidan!" serunya pada anak kelas X ber?

kacamata yang sedang sibuk memainkan bola. "Pinjam ka?

camatamu, cepat!" Tangan Ariana terulur sampai menda?

patkan kacamata berbingkai tipis itu lalu memasangkannya di

wajah Rey. "Nah! Benar, kan!"

"Hah?" Rey masih bingung dengan yang Ariana lakukan.
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini maksudnya apa...?"

"Kalian!" Ariana kembali berseru pada anak kelas X yang

kebetulan hadir sore itu. "Apa di kelas kalian ada anak yang

mukanya kayak gini?" Dan yang dimaksud "kayak gini" oleh

Ariana adalah Rey yang hanya bisa memasang tampang

bingung.

Tunggu, apa ini jangan-jangan...

"Si Kai!" Danu, anak kelas X bertubuh tambun yang bertugas

jadi pengumpul bola pada latihan hari ini, berseru mantap. "Di

kelasku ada, Kak! Namanya Kai Eh, betul juga ya, Rey mirip

Kai, kalau dipakein kacamata gitu!" celetuk Danu, menambah

apa yang menjadi jawaban dari kebingungan Rey.

Benar, rupanya Kai yang Ariana maksudkan adalah Kai yang

selama ini Rey kenal. Bukan hanya sekadar kenal, tapi sangat

kenal. Cepat-cepat Rey melepas kacamata minus yang

membuat kepalanya pusing, menyerahkannya pada Ariana,

lalu mengacak-acak rambutnya agar seperti semula.

"Kalian..."

Sebelum Ariana membuat kesimpulan, buru-buru Rey me?

ngelak, "Bukan!"

"Bukan?" Ariana balik bertanya. "Tapi, kenapa kalian mi?

rip?"

Rupanya kekhawatiran Rey agak berlebihan. Jantungnya

berdegup kencang tadi karena Ariana seperti tengah memer?

gokinya berbuat sesuatu yang buruk. Memang seharusnya

Rey menjadikan Ariana pengecualian. "Ibu manajer" satu ini,

walaupun punya daya analisis bagus serta strategi brilian untuk

tim basket sekolah, tetap saja terlalu lugu untuk menyimpulkan

spekulasi genius. Intinya, kalau dalam bahasa gaul, Ariana itu

lemot alias lemah otak.

"Mumungkin cuma kebetulan." Rey tidak mengelak,

hanya berusaha bersikap santai agar tidak menimbulkan

kecurigaan.

"Ho?oh sih.... Bisa jadi." Ariana mengangkat bahu, tak begitu

tertarik mengungkit hal tersebut. "Katanya, kita emang punya

kembaran?tiga atau empat orang lain yang mukanya mirip

gitu sama kita."

Selesai mengucapkan itu, Ariana beralih menginterogasi

Danu soal keberadaan Kai.

Ya, Ariana dan kebanyakan orang di tempat ini mungkin

hanya peduli pada Kai, bukan pada Rey atau hubungan

mereka. Namun ini semua membuat Rey tahu, cepat atau lam?

bat ia akan kembali ke dalam perangkap itu?sangkar yang

mengekangnya.

Kai kelas X-6, sedangkan Rey kelas X-2. Memang, selama tiga

minggu bersekolah di SMA Serunai Raya, Rey lebih sering

menghabiskan waktu untuk bermain basket sehingga ia tidak

mengenal banyak hal, termasuk siswa-siswa seangkatannya.

Jadi, tidak aneh kalau ia tidak tahu Kai bersekolah di tempat

yang sama. Namun, bagaimana dengan Kai? Apa Kai juga tidak

tahu Rey sekolah di sini? Atau Kai sengaja diam karena tak

mau mengungkit kejadian yang sama seperti tujuh tahun

lalu?

Langkah Rey bergerak cepat menaiki anak tangga ketika ia

memutuskan untuk mencari Kai sendiri. Ia hanya ingin memasti?

kan karena terkadang ucapan Ariana, bahkan Danu, kemarin

sore tidak dapat dipercaya. Siapa tahu keduanya hanya berniat

mengerjainya?tentu ini lebih tidak masuk akal?atau memang

"cuma kebetulan" seperti yang ia katakan dan diamini Aria?

Untungnya, sepulang sekolah hari ini, ketika anak-anak

berusaha kabur dari gerbang sebelum ditarik oleh kakak kelas

mereka untuk ikut ekstrakurikuler, Rey tidak punya kegiatan

apa-apa. Latihan hari ini libur. Seharusnya ia pergi ke toko

sepatu demi mengganti sneakers lamanya yang jebol karena

pertandingan Senin lalu. Tapi, urusan sepatu bisa belakangan.

Urusan Kai lebih penting.

Rey berhenti di depan pintu kelas X-6. Rupanya tak ada

siapa pun di dalam sana. Apa Kai sudah pulang duluan? Biasa?

nya Kai selalu menghindari keramaian, apalagi aksi saling

tubruk yang terjadi saat bubaran sekolah. Atau keadaannya

kini lebih baik? Atau... mungkin yang Ariana katakan benar. Ini

mungkin hanya sebuah kebetulan yang luar biasa.

Rey menghela napas panjang kalau itu benar. Ia tidak perlu

takut berada dalam situasi yang sama seperti dulu. Namun,

begitu ia hampir berbalik, seseorang memanggilnya.

"Rey?"

Suara rendah yang ringan, juga tenang. Warna suara yang

tidak jauh berbeda dengan suaranya sendiri. Spontan ia ber?

balik dan menemukan sosok itu di sana. Rey tahu intuisinya

tidak pernah salah, apalagi jika berhubungan dengan Kai.

Karena itu, saat melihat Kai berdiri tidak jauh darinya, ia hanya

bisa diam, mengatupkan mulut rapat-rapat, dan sekali lagi

membuang muka.

"Hei..." Lalu tiba-tiba Kai mendekat sehingga jarak mereka

tak seberapa jauh. "Rey?" Namun karena Rey tidak juga

menggubris, Kai lalu mendorong bahunya pelan. "Rey, kamu

nggak apa-apa?"

"Oh."

Saat itulah, bayangan mengerikan yang ada di benak Rey

memudar. Ia mengangkat pandangan dan menemukan sosok

Kai seperti yang Ariana ceritakan. Rambut Kai terpotong rapi.

Kini ia memakai kacamata. Dan tentu saja seragam dengan

atribut lengkap berbalut jaket yang menandakan ia siswa rajin,

bukan atlet urakan macam Rey.

"Ng nggak apa-apa." Rey akhirnya menjawab pertanyaan

Kai dengan kikuk.

"Lama ya kita nggak ketemu dan sekarang malah satu

sekolah," ucap Kai lagi, seperti ingin menghancurkan dinding

tak kasatmata yang ada di antara mereka. "Anehnya, walau

udah selama itu, kita masih aja..."

"Mirip," Rey melanjutkan ucapannya.

"Ya." Kemudian Kai terkekeh. "Kita masih aja mirip."

Seperti apa pun usaha keduanya mengubah penampilan

dan membuat image baru, tetap saja, yang namanya kembar

identik, sampai kapan pun akan tetap sama!

Setiap hari Kai sebenarnya punya jadwal yang cukup padat.

Tentu bukan karena ia seorang atlet seperti Rey atau karena

ia sibuk dengan urusan sekolah lainnya. Urusannya lebih pada

sesuatu yang disebut "menunggu", mengobrol sebentar,

kemudian istirahat di tempat tidur seperti orang mau mati

besok.

Jam pulang sekolah pun sebenarnya sangat ketat. Lima

menit sebelum bel berbunyi nyaring, Pak Rudi?sopir Kai?

pasti sudah menunggu di gerbang sekolah, kecuali pada hari

Senin lalu ketika diadakan pertandingan persahabatan tim

basket putra SMA Serunai Raya dengan SMA Buana Bhayang?

kara. Kaiat ingin menontonnya. Pertandingan basket yang

selama ini hanya ia tonton melalui televisi atau YouTube ada

di depan mata. Walau hanya pertandingan kecil, Kai bisa secara

langsung mendengar suara bola yang memantul-mantul dan

denyit karet sepatu yang bergesekan. Semua itu menimbulkan

sensasi tersendiri bagi Kai.

Hari Senin itu kemudian menjadi pengecualian. Izin yang

didapat Kai sebenarnya untuk mengerjakan tugas kelompok.

Tapi alasan apa pun sebenarnya tak masalah. Toh ayahnya juga

tidak akan begitu peduli.

Pun begitu, hari ini sepertinya Kai harus mengarang alasan

lain yang lebih masuk akal daripada kerja kelompok. Ia ragu

jika harus jujur bahwa keterlambatannya untuk pulang dise?

babkan oleh Rey. Ya, tahu-tahu saudara yang lama tak dite?

muinya itu ada di sini. Bukan di lapangan dengan seragam biru

setrip kuning emas seperti Senin lalu, tapi di depan pintu

kelasnya. Kai jelas tidak tahu mengapa Rey di sana. Mungkin

ada keperluan dengan teman-teman sekelasnya, atau... Rey

memang sengaja ke sini untuk menemuinya?

Kini, Kai tidak tahu apa yang membuatnya mau duduk ber?

sama Rey di bangku tribun gedung olahraga. Tiba-tiba saja

langkah mereka sampai di sini setelah serangkaian obrolan

ringan. Kai tahu, Rey bukan orang yang banyak bicara, apalagi

kalau mengingat kejadian tujuh tahun yang lalu ketika orangtua

mereka bercerai.

"Gimana keadaan kamu sama Mama?" Akhirnya Kai lagi

yang membuka mulut untuk memulai percakapan.

Sore ini, ruang gedung olahraga dipakai oleh para anggota

ekstrakurikuler bulu tangkis dan senam lantai. Bagaimanapun

SMA Serunai Raya hanya sekolah biasa dengan satu gedung

olahraga yang dipakai untuk berbagai kegiatan bersama.

Makanya, ada jadwal ekstrakurikuler agar gedung ini dapat

dipakai secara bergilir.

Kembali pada Rey. Kelihatannya ada banyak hal yang

dipikirkannya sehingga ia membutuhkan waktu agak lama

untuk menjawab pertanyaan Kai. Atau lebih tepatnya ia terlalu

banyak melamun sehingga baru bisa merespons selang

beberapa saat, "Hah? Ooh aku sama Mama baik. Kamu?

Bukannya kamu tinggal di Singapura?"

"Sampai SMP," Kai menjawab lugas. "Begitu masuk SMA,

Ayah pindah kerja lagi ke sini."

"Ooh...." Menanggapi informasi itu, Rey hanya mengangguk.

Lalu ia kembali meluruskan pandangan pada kok bulu tangkis

yang memantul dari satu jaring raket ke raket lainnya. "Te?

rus...," Rey pikir ia tidak akan pernah menanyakan ini, "ka?

barmu?"

Saat Rey menanyakan kabarnya, Kai tahu itu bukan sekadar

menanyakan "kabar", tapi sesuatu yang lebih detail tentang

itu. Tujuh tahun berselang seharusnya ada kabar yang lebih

baik. Kalau ia menjawab "baik", seharusnya memang benarbenar baik. Sayangnya, tidak ada yang berubah. Ada mungkin,

tapi menurutnya justru lebih buruk. Karena itu Kai hanya

melebarkan senyum.

"Hm... lumayan," jawab Kai apa adanya.

"Lumayan?" tanya Rey lagi, merasa kurang jelas. "Lebih

baik?"

"Ya, pastinya lebih baik," jawab Kai, antara bohong dan

bersikap demi kebaikan. Anggap saja sugesti daripada disebut

kebohongan. "Aku nggak apa-apa kok. Kamu sendiri, kemarin

kulihat jadi pemain inti, ya?"

Kai jelas mengalihkan pembicaraan dengan cepat sehingga

Rey terpaksa menghela napas. Mereka memang tidak pernah

bisa berbicara masalah itu, tapi soal yang satu ini rasanya juga

lebih tabu. "Eh, iya...." Rey sampai-sampai tak tahu harus

merespons bagaimana. "Kebetulan ada minat ada jalan."

"Ada bakat juga," tambah Kai cepat. "Permainanmu
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemarin keren! Katanya kalian mau ikut pertandingan tingkat

nasional?"

"Eh, iya." Lagi-lagi jawaban yang sama. Rey tidak berani

membanggakan diri karena ia tahu bagaimana perasaan Kai.

Dulu mereka sering bermain basket bersama, tapi karena

sesuatu hal, Kai tidak lagi bermain basket. Sebenarnya Rey

sendiri pernah memutuskan untuk berhenti, tapi rupanya ia

tidak bisa. Begitu masuk SMP, kariernya sebagai atlet muda

dimulai kembali. "Tapi sebelum itu, kami harus bisa sampai

tingkat kota dulu, terus provinsi, habis itu baru nasional."

Kai manggut-manggut pelan. "Hm... masih jauh juga ya."

Mungkin ia tengah berpikir mengenai perjalanan tim basket

sekolahnya, atau bisa saja memikirkan hal lain. "Kapan-kapan

kita main lagi, yuk!"

"Eh?" Ajakan tiba-tiba itu disambut dengan ekspresi terkejut

Rey. "B-boleh?"

"Ya boleh lah!" Kai mendengus dengan wajah yakin. "Nggak

apa-apa, sekarang aku lebih jago! Walaupun yah belum

bisa masukin bola ke dalam ring. Paling kalau masuk juga

kebetulan aja."

Mendengar itu, Rey spontan terkekeh pelan. Ia ingat bagai?

mana Kai selalu berusaha melempar bola ke dalam ring, tapi

sayangnya selalu gagal. Menurut Rey, Kai sebenarnya bisa

melakukannya, tapi tidak yakin. Makanya saat bola hampir

terlempar, ia kehilangan fokus sehingga arah bola jadi tidak

lagi lurus.

"Kubilang kan banyak-banyak main mini basket di Game

Master." Itu cara latihan menembak jitu ala Rey, walau harus

sedikit menguras kocek. "Ah, tapi nanti aku bisa ajarin kok.

Oh iya..." Tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Kemarin kamu ketemu

Kak Ariana?"

"Ari... siapa?" Kai mengulang nama yang terdengar samar

di telinganya karena suara sahutan para pemain bulu tangkis

di lapangan terlalu keras. "Oh!" Lalu ia ingat sepenggal nama

itu. "Kak Ariana yang manajer tim basketmu itu?"

Rey mengangguk cepat. "Kak Ariana bilang dia mau

ngerekrut kamu buat gabung sama tim basket kami. Be?

nar?"

Tawaran yang tanpa pikir panjang segera Kai tolak itu...

ternyata diketahui oleh Rey. Mungkin karena diberitahu

Ariana. Barangkali cewek itu juga sudah tahu bahwa Kai dan

Rey bersaudara.

"Ah, iya, kemarin dia nawarin. Tapi aku mau pikir-pikir dulu."

Kini jawaban yang Kai berikan berbeda, padahal kemarin ia

tegas menolak. Tapi setelah berbicara dengan Rey, ia malah

jadi ingin mempertimbangkannya lagi.

"Kamu yakin mau gabung ke tim basket?" tanya Rey sekali

lagi dengan raut wajah serius. Bukan hanya raut wajahnya,

tapi kali ini Rey benar-benar serius memikirkan keputusan

kembarannya itu nanti.

Kai dengan basket?juga dirinya?seperti satu kesatuan tak

kasatmata yang tidak bisa dipisahkan sejak dulu. Mereka

mengenal basket bersama-sama ketika Mas Adi?sepupu yang

tinggal di rumah selama mencari kerja?membelikan sebuah

bola berwarna oranye sebagai hadiah ulang tahun, beserta

ring yang dipasang di dinding garasi luar.

Semenjak itu, Kai dan Rey menjadi penguasa si bola oranye.

Hampir setiap hari mereka memperebutkan bola dengan cara

yang diajarkan Mas Adi. Ajaran itu kemudian mereka ketahui

sebagai basket?permainan memperebutkan bola dan berlom?

ba-lomba memasukkannya ke dalam keranjang tinggi.

Lalu seperti mempunyai bakat alamiah, Kai dan Rey beradap?

tasi cepat dengan basket. Keduanya mempunyai kelebihan

tersendiri yang lahir berkat kebiasaan. Rey memiliki gerak

tangan yang lentur. Iaat suka melompat sehingga berapa

kali pun ia melempar bola, pasti si bulat oranye itu dapat

masuk ke dalam ring dengan mudah. Sedangkan Kai yang

memang tidak suka melompat, mengejar ketertinggalan dari

Rey dengan bergerak cepat. Ia selalu bergerak agar Rey tidak

dapat menyentuh bola yang ada di tangannya, juga bergerak

cepat agar bisa merebut bola dari Rey walau tak pernah sekali

pun ia bisa memasukkannya ke dalam keranjang.

Pertanyaan Rey tadi sebenarnya masih menggantung. Kai

masih diam. Ia tidak menjawab apakah dirinya yakin. Ia sangat

ingin bisa bermain bersama Rey lagi dalam satu lapangan, tapi

ia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama.

Match #4

abak penyisihan pertandingan nasional tingkat kota

tinggal sebulan lagi. Ariana cukup optimis dengan tim

mereka tahun ini karena kini mereka memiliki Rey

dengan kemampuan shooting yang sangat mengesankan. Rey

sebenarnya memiliki teknik permainan yang standar, tapi jika

sudah menyentuh bola, asalkan tidak ada penghalang di

depan, Rey bisa dengan mudah melemparkannya ke dalam

ring. Kemampuan seperti itu tidak dimiliki banyak orang?atau

lebih tepatnya hanya dimiliki oleh tim basket putra SMA Se?

runai Raya.

"Kita pasti menang!"

Sekali lagi Ariana menutup ocehan panjangnya soal pertan?

dingan nasional ini dengan kata-kata penyemangat yang mem?

buat semua anggota ekstrakurikuler basket mengepalkan

tangan lalu mengacungkannya dengan seruan keras, "YOSH!"

"Yosh!" balas Ariana tak kalah semangat. "Oke, untuk hari

ini kita coba latih tanding. Tim inti gabung dengan tim ca?

dangan."

Lalu, Ariana menjelaskan teknis latihan mereka dengan

meng?gabungkan anggota tim inti dengan yang lainnya kemu?

dian mempertandingkan mereka. "Yang dicapai bukan besar

skor, tapi sejauh mana kalian bisa berkembang dan menguasai

la?pangan!"

Setelah semua situasian terkendali, barulah Ariana bisa

duduk santai. Ia mengambil botol minum dan mengistirahatkan

tenggorokan yang sejak pagi harus berkoar-koar supaya para

cowok malas itu mau bergerak untuk pemanasan.

Seharusnya ia tidak perlu bertingkah sebagai pelatih. Na?

mun, mau bagaimana lagi? Pak Sam yang sebenarnya pelatih

Pramuka harus banting setir menjadi pelatih tim basket putra

karena tak ada lagi orang yang bertanggung jawab terhadap

tim ini. Bukan sekolah tidak peduli, tapi katanya demi peng?

hematan. Guru olahraga lainnya lebih memilih tim basket putri

karena memang gurunya perempuan. Tersisalah Ariana yang

dengan sukarela menjadi manajer?atau sebutlah ia pelatih

cadangan?sedangkan Pak Sam sebagai "pelatih aksesori"

saja.

"Pendaftaran anggota pertandingan tingkat kota, hmm...."

Ariana membuka lembar demi lembar formulir pendaftaran

yang belum ia serahkan pada panitia pertandingan. Masih ada

beberapa hal yang mengganjal, khususnya untuk memasukkan

nama-nama pemain.

Ariana sejujurnya masih penasaran dengan cowok bernama

Kai yang tampangnyaat mirip dengan Rey. Bukan penasaran

akan hubungan Kai dengan Rey. Kalaupun mereka berdua ada

hubungan, itu bisa dipikirkan nanti. Hanya, ia masih penasaran,

mengapa Kai tidak bisa bergabung dengan tim basket seko?

lahnya? Berbagai spekulasi datang lagi dengan cepat?ini tidak

biasanya karena Ariana bukan tipe pemikir cepat.

"Apa jangan-jangan dia..." Selagi bergumam, Ariana meng?

edarkan pandangan sampai menemukan sesuatu. "Ah!" Ia

menemukannya. "Kai!"

Kebetulan sekali, yang dipikirkan tiba-tiba muncul dari balik

pintu gedung olahraga, lalu berjalan santai tanpa harus Ariana

seret masuk.

Tatapan Kai terlihat sedang menyapu seluruh ruangan.

Ketika Ariana memanggilnya, ia langsung berbelok menuju

bangku tempat cewek itu duduk. "Ya?"

"Ya? Cuma ya? Aku memanggilmu, hei!" protes Ariana cepat.

"Kupikir kamu ke sini gara-gara mau gabung!"

"Nggak, aku cuma mau nonton," jawab Kai lagi. Lalu, tanpa

meminta izin lebih dulu, ia duduk di samping Ariana. "Boleh,

kan?"

"Masa nggak boleh? Boleh laaah. Tapi daripada cuma

nonton, kenapa nggak ikut main?"

Penawaran lagi. Ariana benar-benar bisa membuat Kai

tergoda. Bukan karena penampilannya, tapi tawarannya.

Bermain basket?memang itu yang sebenarnya Kai inginkan.

Tapi tetap saja, mau dipaksa seperti apa pun, ia akan meno?

lak.

Oh, atau memikirkannya lagi? Bukankah beberapa hari

yang lalu ia bilang seperti itu pada Rey?

"Main, ya?" Kai menimbang-nimbang. "Kalau satu tim de?

ngan Rey, boleh?"

Ariana terbengong sejenak. Matanya mengerjap beberapa

kali, seakan tidak percaya dengan apa yang barusan Kai

katakan. "Serius?!" Cewek ini spontan berseru. "Serius kamu

mau main sama Rey?" Ini seperti strategi yang Ariana pikirkan.

Si penembak jitu dan si pemain cepat berada dalam satu tim.

Mereka pasti bisa bekerja sama dengan baik! batinnya berseru.

Tiba-tiba ia menjadi begitu bersemangat. "Tentu!"

Tanpa pikir panjang, Ariana segera bangkit dari tempat

duduk lalu meniup peluit agar pertandingan yang baru saja

berjalan dihentikan untuk sementara.

"Yaelah, kenapa sih, Na?" Leo memprotes lebih dulu, pada?

hal biasanya dia yang paling semangat.

"Berhenti! Kita atur ulang pertandingannya!"

Kai terpaku. Ia tidak menyangka dirinya malah mengacaukan

latihan yang sudah berlangsung. Pikirnya, Ariana tidak akan

mengizinkan, tapi ternyata gadis itu mempunyai pemikiran

yang berbeda dari orang kebanyakan.

"Rey! Kamu satu tim dengan Kai. Pilih tiga anak kelas sepu?

luh lainnya buat gabung dengan tim kalian!" Kalimat perintah

itu terlontar cepat dari mulut Ariana sebelum ia beralih pada

anggota tetap, murid kelas XI dan XII. "Bang Eza, Rendra,

Dion, dan Leo, kalian cari satu orang lagi dari anggota tetap

buat gabung dengan tim kalian." Kemudian Ariana menyeringai

lebar. Ia sudah menantikan ini.

"Tunggu!" tiba-tiba Rey protes. Buru-buru ia mendekati

Ariana karena merasa tidak sepakat dengan keputusan ini.

"Maksudnya apa? Kai ikut main?"

"Iya, Kai ikut main." Dengan penuh keyakinan, Ariana

menjawab. "Ya kan, Kai?" Ia meminta Kai meyakinkan Rey.

Kelihatannya begitu karena Kai hanya mengangguk lalu
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersiap-siap melakukan pemanasan ringan sebelum turun ke

lapangan.

Mulut Rey kembali terkatup. Ia tidak berhak melarang, tapi

jelas ia tahu apa yang mungkin terjadi setelah ini. Kejadian

yang sama dengan tujuh tahun lalu, apakah akan terjadi lagi?

pikir Rey.

"Kai..."

"Tenang, Rey." Dengan santai Kai mendekati Rey, menepuk

bahunya untuk membuat saudaranya itu lebih tenang. "Kita

belum pernah coba main kayak gini, kan?" Maksudnya bermain

dalam satu tim yang sama, karena sampai tujuh tahun yang

lalu keduanya hanya bermain untuk memperebutkan bola.

"Aku bisa main cepat, kamu tinggal cetak skor yang banyak.

Oke?"

Peluit panjang ditiup, tanda pertandingan dimulai. Bisa dibilang

ini pertandingan kelas X melawan kelas XI dan XII. Walau

pemain dari tim kelas XI dan XII terbilang kuat, Ariana yakin

mereka bisa sama-sama kuat berkat kehadiran Kai dan Rey.

Center tim kelas X adalah Danu yang bertubuh paling besar.

Justru karena tubuh besarnya itu, ia gagal mendapatkan bola

dari Dion yang lebih tinggi dan lebih bagus dalam segi teknik.

Dalam beberapa menit pertama, tim kelas XI dan XII sudah

mencetak lebih dari sepuluh angka, sedangkan tim kelas X

masih nol.

"Oper bolanya padaku!" Rey berseru pada kawan satu

timnya.

Kebanyakan dari mereka mengangguk. Mereka tahu harus

melakukan hal tersebut walau tidak akan bisa melakukannya

dengan mudah, apalagi jika bola terus dikuasai tim lawan.

Sedangkan, Kai di luar perkiraan. Satu-satunya pemain yang

memakai kemeja putih serta celana abu-abu itu justru terlihat

santai. Kai hanya berlari pelan, mengikuti arah bola, diam di

satu titik, lalu berlari pelan lagi.

Ini tidak seperti Kai yang Ariana hadapi hampir seminggu

yang lalu. Apa tiba-tiba saja kemampuannya itu hilang? Atau

ini Kai yang lain? Ariana tidak mengerti, ia hanya bisa duduk

menunggu aksi luar biasa dari kedua orang berwajah mirip itu,

Kai dan Rey.

Dalam latih tanding kali ini mereka hanya main setengah

waktu. Itu berarti mereka hanya punya kesempatan dua ba?

bak?yang kini hanya tersisa beberapa menit lagi untuk babak

pertama, dengan jarak skor yang terlampau jauh. Rey berhasil

memasukkan bola beberapa kali dengan skor three point, tapi

itu belum seberapa karena masih kurang setengah dari total

skor milik tim lawan.

"Kai." Sampai mungkin kira-kira dua menit terakhir, Rey

baru sadar sejak tadi Kai tidak melakukan pergerakan maksimal

seperti yang biasa dilakukannya. "Kamu nggak apa-apa?" Kini

Rey mulai khawatir.

"Oh, nggak apa-apa." Lalu pandangan di balik bingkai kaca?

mata itu melirik jam dinding yang ada di ruangan itu. "Dua

menit terakhir ini, Rey, kalau di Game Master, bisa masuk be?

rapa?"

"Hah?" Ditanya seperti itu tentu saja membuat Rey bingung.

"Maksudmu?" Perasaan Rey mendadak tidak enak. Jangan

bilang ini strategi yang Kai terapkan. Tunggu! Jadi sejak tadi Kai

sengaja tidak melakukan apa-apa?

Skor kini 30?14 untuk tim kelas XI dan XII. Tertinggal lebih

dari setengah, kemungkinan untuk menyusul tentu sangat

kecil. Perlu minimal tujuh kali shoot biasa atau lima kali three

point jika ingin menyeimbangkan skor.

"Sepuluh, Rey!"

Tiba-tiba saja Kai bergerak cepat?sangat cepat!?melewati

Rey, menyusup di antara kawanan lawan. Tanpa siapa pun

sadar, bola sudah beralih ke tangan Kai. Gerakan itu gerakan

tercepat yang pernah Ariana lihat! Sang manajer bangkit dari

bangku, kembali terpana dengan teknik yang Kai mainkan.

Bukan hanya cepat, tapi juga lincah. Sampai-sampai para pe?

main lawan?bahkan yang sejago Rendra dan Arieza?berkalikali gagal merebut bola dari tangan Kai.

"Rey, pass!" seru Kai tiba-tiba.

Bola melambung cepat dan kini sudah berpindah ke tangan

Rey. Tanpa perlu waktu lama, Rey tahu apa yang harus ia

lakukan begitu bola sampai ke tangannya. Shoot! Tembak dan

tiga poin ditambahkan ke skor mereka.

Lalu, gerakan yang sama terulang dengan cepat. Kai tidak

hanya lihai mempertahankan bola atau mencurinya dari lawan,

ia juga bisa merebut rebound dan kembali melemparkan bola

tersebut pada Rey.

Ini yang Ariana tunggu-tunggu. Ini yang ingin ia lihat.

Permainan ideal dari si gerak cepat dan si penembak jitu.

Setiap kali bola berhasil direbut Kai, cowok itu akan memper?

tahankannya sebaik mungkin sementara Rey bersiap dengan

posisi terbaik untuk menembak. Mereka bekerja sama dengan

baik sampai satu menit terlewati dan tiga kali tembakan three

point serta satu lay up berhasil dilakukan.

"Yeah!" Seruan tanda kepuasan disuarakan tim tersebut.

Kai terlihatat girang. Walau target mereka belum terca?

pai karena ternyata waktu dua menit berjalan terlalu cepat, ia

puas, sangat puas, karena akhirnya bisa bermain bersama Rey

dalam satu tim.

"Keren banget, Kai!" Beberapa orang mengerumuninya,

memujinya, karena siapa pun tidak menyangka si kacamata

ini mampu bermain dengan gerakan tak terduga.

"Kirain kamu cuma bisa bengong-bengong aja di lapangan,"

celetuk Dimas. "Ternyata mau kasih kejutan. Sok banget sih!"

Ucapan tersebut terlontar dengan tawa, tidak ada maksud

menyindir sama sekali.

"Hehehe" Sementara Kai tak bisa menahan diri untuk

tidak merasa senang, bahkan tertawa. "Nggak kok, bukan

mau kasih kejutan juga. Cuma demi jaga stamina."

Gerakan cepat Kai yang memadukan teknik ofensif dan

defensif secara bersamaan tentu menguras tenaga sangat

banyak. Dan dengan kondisi Kai yang seperti itu, Rei tak per?

nah menduga Kai akan mampu melakukannya. Makanya,

mungkin Kai memilih dua menit terakhir di babak pertama

agar setelah bergerak cepat ia bisa beristirahat sebelum me?

lanjutkan babak kedua.

"Tapi kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Rey yang masih

diliputi rasa khawatir.

Kai menyeringai dengan cukup bangga. "Kelihatannya

kenapa-kenapa, nggak?"

Hanya ada titik-titik keringat di pelipis Kai dan rambut yang

menjadi sedikit berantakan. Selebihnya tidak ada hal janggal

yang terlihat hingga Rey bisa menghela napas agak panjang.

"Kalau kenapa-kenapa cepet bilang, ya." Ia memberi per?

ingatan sekali lagi. Mungkin ini sekadar permainan, tapi bu?

kankah yang terjadi tujuh tahun lalu juga hanya permainan?

"Kalian kereeen!"

Belum sempat kalimat tadi direspons Kai, tiba-tiba saja

Ariana datang dan menyeruak di antara kedua saudara itu. Ia

merangkul Kai dengan satu tangan lalu dengan tangan yang

sama menepuk-nepuk kepala Rey bergantian.

"Itu yang kumau! Itu!" seru Ariana menggebu-gebu. "Gerak?

an cepat Kai, diakhiri dengan tembakan maut Rey?perfect!"

Satu jempolnya teracung-acung. "Kalau kalian main kayak gini

terus selama pertandingan, aku yakin kita bisa lolos seleksi

tingkat kota kemudian maju ke tingkat provinsi buat lanjut ke

nasional."

"Nggak bisa." Ucapan penuh semangat Ariana itu dipotong

cepat oleh Kai dengan suara bernada datarnya. "Aku nggak

bisa main terus-terusan."

"Lho, kenapa?"

Setelah percobaan pada pertandingan ini, ternyata Kai

masih kukuh pada pendiriannya. Ariana merasa sedikit jengkel.

Apa Kai berusaha menyombongkan diri? Jual mahal? Ingin

Ariana mengeluarkan uang untuk membayar Kai layaknya

pemain profesional? Memang sih kalau dibilang butuh, timnya

sangat butuh pemain yang seperti Kai ini, apalagi jika

dipasangkan dengan Rey. Hanya, kalau tingkahnya sok-sokan

seperti itu, rasanya lama-lama Ariana malas juga.

"Aku kan bilang, aku cuma mau main dengan Rey, bukan

ikut pertandingan nasional," jawab Kai lagi tanpa rasa bersalah.

"Aku nggak minat"

"Bohong!" Dengan cepat Ariana memotong. "Kamu minat,

tapi kamu jual mahal. Maumu apa sih?"

"Kak...." Di saat suasana tiba-tiba mendingin seperti ini, Rey

merasa harus ikut campur. Ia sendiri sebenarnya tak setuju

jika Kai bergabung dengan tim, lalu harus mengikuti serang?

kaian pelatihan demi pertandingan nasional. Kai bukan atlet

seperti dirinya, Kai hanya bermain karena ia menyukainya.

Namun, sepertinya Ariana tidak paham. Tentu tidak akan pa?

ham karena cewek itu punyabisi besar soal pertandingan

ini. "Kak Ariana, Kai nggak bermaksud buat..."

"Sssh!" Ariana menginstruksikan Rey agar diam dan tidak

ikut campur. "Ini urusanku." Urusannya sebagai manajer tim

yang juga turut mengatur pemain. "Coba bilang, apa yang

bikin kamu nggak minat? Aku kan udah kasih jaminan kamu

bisa main bareng Rey selama pertandingan. Kalian juga bakal

dipasangin dan pasti kita bisa jadi tim yang kuat."

"Bukan begitu," ucap Kai. Cowok itu mana pernah jual ma?

hal. "Aku cuma nggak bisa kalau harus bertanding kayak

kalian." Dan ia harap ini bisa menjadi jawaban final yang

membuat Ariana menyerah untuk merekrutnya. "Maaf." Lalu

Kai cepat-cepat angkat kaki dari sana.

"Aaah...! Bocah!" keluh Ariana yang lagi-lagi gagal menja?

lankan rencananya. Ia pikir kali ini pasti berhasil, tapi ternyata

tetap saja gagal.

"Rey!" panggilnya kemudian pada Rey yang kelihatannya

juga menyayangkan keputusan Kai barusan. "Kamu yang bujuk

deh. Kayaknya dia cuma mau nurut sama kamu." Ariana tidak

kehilangan akal rupanya. Ia masih punya banyak strategi untuk

membuat Kai bergabung dalam tim.

Namun, rupanya Rey sepakat dengan keputusan Kai. Ia

hanya menggeleng mantap lalu ikut melengos pergi. Daripada

mengkhawatirkan cewek itu, lebih baik ia mengkhawatirkan

keadaan Kai sekarang. Siapa tahu Kai tiba-tiba pergi bukan

untuk menyingkir dari ajakan Ariana, tapi ada hal lain yang

lebih gawat.

"Geez... dua bocah itu, bukan cuma mukanya yang mirip,

tapi tingkah lakunya juga sama aja!" Ariana menggeram kesal.

"Mau mereka apa sih?"
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Udah deh, Na...." Leo mendengus sambil berkali-kali meng?

geleng. "Tim kita nggak butuh bocah-bocah sombong kayak

mereka yang suka seenaknya. Apalagi si Kai tuh, aneh banget

kelakuannya."

"Nggak bisa, Le!" Ariana bersikeras terhadap pendiriannya.

"Dua bocah itu harus bisa kita taklukkan. Pokoknya harus!"

Ariana punyabisi dan ini salah satu cara untuk bisa mewu?

judkan semuanya. Walau kebanyakan orang memintanya

menyerah, ia tentu tidak akan melakukan itu dengan mudah.

Mungkin tidak sekarang dan mungkin ia membutuhkan cara

lain.

Match #5

angkah Kai melambat begitu ia berbelok ke arah kantin

hingga akhirnya bisa merebahkan diri di salah satu kursi

kosong. Napasnya agak tersengal-sengal setelah per?

mainan tadi. Padahal hanya dua menit terakhir ia bermain

dengan serius. Tapi, saat itu Kai benar-benar mengerahkan

seluruh kemampuannya agar bisa bergerak cepat, merebut

bola, mempertahankannya, lalu memberikannya pada Rey.

Dan sekarang ia masih merasaat lelah.

"Ah, payah banget...," gumamnya sambil terus mengeluh.

Kalau terus-terusan begini, memang lebih baik duduk diam

jadi penonton saja. Kai tidak mau kejadian tujuh tahun lalu itu

berulang. Makanya sebisa mungkin ia tidak melibatkan diri

lebih jauh dengan tim basket, pertandingannya, danbisi

sepihak Ariana.

Namun ia mengakui, permainan tadi sangat menyenangkan.

Kai sudah lama ingin melakukannya dan baru kali ini bisa

terlaksana. Ia sebenarnya sangat berterima kasih pada Ariana

yang barangkali sekarang sudah mem-black list namanya dari

daftar calon pemain. Padahal, kalau ia lebih rajin berlatih,

olahraga teratur, barangkali kelemahannya ini bisa teratasi.

Tetapi Kai tidak ingin mengambil risiko, setidaknya dalam

waktu dekat.

Setelah memastikan keadaannya sudah "aman", Kai kemu?

dian bangkit dari kursi. Sayang, lagi-lagi geraknya tertahan.

"Lho... Rey?"

Tidak tahu sejak kapan?tapi sepertinya sudah lama?Rey

berdiri di selasar lorong masuk ke kantin yang tidak terhalangi

apa pun. Berdiri mematung di samping pilar-pilar kayu ber?

warna oranye, ia memperhatikan Kai yang tiba-tiba saja ber?

jalan lunglai ke tempat ini, lalu duduk diam di sana.

"Bener kan, kamu kenapa-napa?" Raut wajah Rey menan?

dakan kekhawatiran yang... menurut Kai agak berlebihan.

Karena, saudaranya itu segera menyeretnya kembali duduk

dan bertanya dengan serius, "Bilang padaku, apa kamu sakit

lagi? Sesak napas lagi?"

"Hah, nggak..." Dengan cepat pula Kai menggeleng. "Aku

cuma duduk, nggak sakit." Ia mengelak sebisa mungkin. Me?

mang tadi agak sakit, tapi bukan sakit yang mengharuskannya

beristirahat lama. Hanya sedikit nyeri seperti tersenggol

sesuatu yang keras, tapi kemudian rasa itu menghilang lagi

dengan cepat. Soal sesak napas, sama sekali tidak. Paling

hanya sedikit terengah-engah. Tidak aneh karena dalam

sepuluh menit sebelumnya ia berlari-lari di tengah lapangan.

"Nggak, Rey... nggak kok," katanya sekali lagi dengan wajah

lebih meyakinkan.

Rey menghela napas panjang lalu menundukkan kepala.

"Terus habis ini kamu langsung pulang, kan? Dijemput? Pulang

sendiri? Kalau sendiri, bareng aku aja..."

Tingkah Rey yang seperti ibu-ibu mengkhawatirkan putri

tunggalnya itu spontan membuat Kai terkekeh geli. "Reeey!"

Masih di sela tawanya, Kai memanggil nama Rey. "Yang bener

aja, kamu sampe segitunya. Hahaha!"

"Apa yang lucu?" Wajah Rey masih keruh. "Aku serius. Kamu

pulang, makan, istirahat. Oh ya, jangan lupa minum..."

"Minum obat?"

Rey mengangguk mantap. Walau tujuh tahun telah berlalu,

Rey tahu tidak ada yang berubah dari mereka. Keadaan Kai

dan dirinya. Mereka yang terus berputar dalam kehidupan

seperti itu.

"Kamu cocok jadi dokter, Rey," celetuk Kai lagi, kemudian

melanjutkan tawa pelannya. "Iya, iya, aku nggak akan lupa,

tapi kamu nggak usah khawatir berlebihan gitu. Aku udah bisa

jaga diri kok sekarang." Setidaknya lebih baik daripada tujuh

tahun yang lalu saat ia masih seorang bocah kecil yang tidak

mengerti apa-apa.

Mendengar itu, Rey sekali lagi menghela napas panjang,

lega. Mungkin sikapnya memang berlebihan. Lupa bahwa

sekarang mereka sudah lebih besar, lebih dewasa.

"Soal basket" Tiba-tiba Rey mengungkit hal ini lagi. "Aku

nggak bisa ngelarang kamu buat main, tapi" Kalimatnya

menggantung. Rey sejenak mengalihkan pandangan. Ia tidak

tahu harus bilang apa.

"Kamu takut kejadian kayak dulu lagi?"

Ucapan lanjutan dari Kai itu membuat Rey terpaksa kembali

mengangkat wajah. Mereka mungkin berpikiran sama, berada

dalam ketakutan yang sama sehingga seharusnya tidak perlu

ada yang disembunyikan. Dan tanpa menjawab pun, rasanya

Kai tahu apa yang dipikirkan Rey saat itu.

"Emang sih, kalau terlalu capek, kondisiku kadang drop.

Tapi kamu nggak usah khawatir, "ujar Kai santai. "Aku juga

masih suka main kok. Main basket tentunya, walau diamdiam...." Senyumnya mengembang.

Rey mengerti apa yang dimaksud dengan "diam-diam".

Mereka juga melakukan itu dulu?dulu sekali, tiap kali sang

ayah tidak ada di rumah, atau saat pelajaran olahraga di

sekolah. Saat itu Kai agak memaksakan diri karena berambisi

tidak mau kalah dari Rey, tapi kini sepertinya ia sudah bisa

memberi batasan pada dirinya sendiri.

"Pantes aja kalau gitu." Rey tidak berminat mengungkit

kejadian-kejadian masa lalu. Sepertinya ia tidak mengkhawatirkan

Kai lagi. "Kupikir juga nggak mungkin tiba-tiba kamu jadi jago

kalau nggak latihan rutin."

"Tapi aku masih nggak mau kalah," ujar Kai dengan wajah

yang dibuat lebih serius.

"Kamu kan nggak kalah." Rey meresponsnya dengan te?

nang. "Cuma nggak bisa ngelempar bola ke dalam ring aja,

kan?" Lalu ia terkekeh, menertawakan apa yang menjadi

kelemahan Kai selama ini. Dari sekian banyak pemain basket

andal, mungkin hanya Kai yang bermusuhan dengan ring.

"Sialan!" Kai berseru kesal, tapi tetap tak mampu menahan

tawa.

Obrolan serius tentang sesuatu yang tak dipahami Ariana itu

kini berubah menjadi saling balas menyindir, ditingkahi tawa

nyaring yang terdengar ramai. Padahal sore hari begini kantin

sudah sepi. Para penjual mulai sibuk mencuci peralatan dan

menutup lapak sebelum meninggalkan kantin. Hanya konter

kecil penjual minuman yang masih buka, tapi penjaganya

malah sibuk menonton acara gosip di televisi. Sedangkan

Ariana masih sibuk menguping.

Ia berdiri di balik pilar setelah matanya menangkap kedua

cowok itu duduk sambil membicarakan hal serius. Kai dan Rey.

Siapa lagi? Karena kedua bocah berwajah mirip itu tiba-tiba

saja pergi dari gedung olahraga, mau tak mau Ariana yang

masih penasaran mengikuti mereka diam-diam. Ia tidak pernah

bermaksud jadi penguping. Tapi, bagaimanapun obrolan di

tempat sepi bisa terdengar jelas.

Awalnya Rey seperti orang yang sangat khawatir, lalu

mereka bicara soal keadaan dan obat. Eh, tunggu! Obat? Ariana

mengernyitkan dahi, memaksa bibirnya untuk tetap mengatup

demi mendengar lanjutan pembicaraan tersebut.

Apa boleh ia mengambil kesimpulan sekarang?

Ternyata Kai dan Rey bersaudara?kedengarannya begitu.

Jadi, mereka saudara kembar? Lalu alasan Kai tidak bisa

bergabung dengan tim basket sekolah mereka adalah karena ia

punya keterbatasan fisik? Maksudnya... Kai sakit?

Ariana sekali lagi menekankan telapak tangan ke mulut agar

tidak berseru spontan mendengar fakta yang diungkit oleh

kedua kembar itu. Ternyata banyak hal yang tidak ia ketahui.

Pantas saja Kai dan Rey terlihat akrab, kompak, dan saling

melengkapi. Bahkan, Rey membela Kai atas tuduhannya tadi

yang menyangka si bocah kacamata itu hanya jual mahal.

"Ternyata." Akhirnya Ariana membuka mulut walau hanya

berupa bisikan. Pikirannya mengawang-awang sejenak setelah

pendengarannya menyerap berbagai informasi yang mungkin

saja rahasia.

Ya, rahasia. Hingga ketika suara itu datang, kedua bahunya

tersentak naik.

"Kak Ariana?"

Dengan gerakan kaku dan tampang kikuk, Ariana menoleh

ke arah sumber suara. Astaga! Rey! Ariana memekik dalam

hati. Yang bisa dilakukannya kini hanya memasang wajah

semiris mungkin, lalu menunduk. "Ma-maaf!"

"Maaf?" Kini giliran Kai yang melontarkan pertanyaan

sampai pandangannya bertemu dengan Rey yang sama-sama

juga penasaran. "Maaf kenapa?"

"Ma-maaf karena aku udah"

Kedua kembar itu kembali berpandangan. "Kak Ariana

denger?"

"Maaf ya, Kai" Ariana menoleh pada Kai, menyesal karena

telah menuduhnya yang bukan-bukan, juga karena sudah

memaksa. "Rey..." Lalu ia menoleh pada Rey yang sepertinya

jadi ikut repot.

"Oh, soal itu" Kelihatannya Kai mengerti karena nada

bicaranya tetap tenang. "Nggak apa-apa. Lagian aku sama Rey

udah bikin keputusan."

Ariana mengangguk-angguk. Ia tahu keputusan apa yang

dibicarakan si kembar ini. Ia tidak boleh tenggelam dalam

ambisi pribadi sehingga membuat orang lain susah. Jadi, kini

Ariana berlapang dada dan tidak akan memaksa lagi.

"Aku mau bergabung dengan tim basket."

"Apa?!"

Tunggu, ucapan tadi terlontar dari mulut Kai, kan? Bukan Rey

yang pura-pura menjadi Kai? Ariana meyakinkan diri sendiri. Oh,

tentu tidak mungkin. Wajah mereka sama, tapi penampilan

sangat berbeda. Rey terlihat urakan, sedangkan Kai lebih rapi.

Tentu barusan aku hanya salah dengar.

"Kai bilang, dia mau gabung dengan tim basket kita." Rey

memperjelas segalanya, membuat Ariana makin tercengang.

"Serius?!" Tanpa bisa ditahan, ia akhirnya berseru lantang.

"Nggak salah?"
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kai menggeleng pelan. Wajahnya tidak meyakinkan me?

mang, karena setelahnya mulut itu kembali terbuka. "Tapi ada

beberapa hal yang mau aku jelaskan. Aku cuma main buat

meng-assist Rey"

"Itu bisa kuatur!" Ariana buru-buru menyahut dengan man?

tap.

"Dan...," sepertinya masih banyak syarat yang lain, "

jangan kasih tau yang lain soal ini."

"Soal... ini?" Soal yang mana? Di sini terlalu banyak persoalan

membuat Ariana bingung.

"Soal sakitku," akhirnya Kai memperjelas. "Kak Ariana udah

denger semua kan tadi? Aku punya keterbatasan stamina.

Dalam satu pertandingan penuh, aku paling cuma bisa main

kurang dari lima menit. Aku juga nggak bisa ikut latihan full

kayak yang lain, jadi..."

"Itu juga bisa kuatur!" Ariana berseru kembali, memotong

segala kekhawatiran Kai. "Semuanya bisa kuatur! Tapi sebe?

lumnya, aku harus tahu... emangnya kamu sakit apa?"

Sekali lagi Kai dan Rey saling melempar pandangan. Seper?

tinya mereka salah kira, atau terlalu jauh berspekulasi soal

"ibu manajer" ini. Ternyata, Ariana tidak mendengar semua

percakapan mereka tadi. Atau gadis itu mendengar, tapi tidak

begitu mengerti?

"Jantung," akhirnya Kai menjawab. Sebenarnya ia tidak

ingin membicarakan hal ini, tapi kalau keputusan tadi sudah

ia yakini, Ariana memang harus tahu. "Kelainan jantung."

Sekali lagi ucapan itu membuat Ariana terdiam, meredam

semangatnya yang tinggi.

Heart disorder?Ariana tentu saja tidak pernah mengenal kata

itu. Ia juga tidak pernah rajin-rajin mengecek jurnal kesehatan

di internet hanya untuk mengetahui lebih lanjut soal penyakit

yang Kai sebutkan. Kelihatannya sangat serius. Jika tidak, tak

mungkin Rey akan bersikap seprotektif itu pada saudaranya.

Kecuali kalau hubungan mereka ternyata sangat dekat. Tidak

aneh, anak kembar biasanya punya kedekatan di atas rata-rata

saudara kandung pada umumnya.

Menurut beberapa artikel yang dibacanya, Ariana dapat

menyimpulkan kondisi Kai tidak sesederhana yang ia kira.

Apalagi jika kelainan jantung yang dimaksud adalah bawaan,

ia tidak dapat main-main. Perlu konsultasi dengan dokter

pribadinya. Tapi tentu saja, Kai mana mau melakukan itu?

Dari perjanjian tadi terlihat jelas keputusan ini diambil secara

sepihak. Rey juga tampaknya tidak begitu setuju, tapi tak ingin

melarang. Entah karena apa, Ariana sendiri tidak mengerti.

Padahal sebelumnya Kai menolak dengan tegas, tapi kini

cowok itu sendiri yang mengajukan untuk bergabung.

"Hm... hm...." Lebih dari satu jam Ariana memelototi

berbagai artikel, mencatat apa saja yang diperlukan, lalu terus

begitu sampai punggungnya kram. "Aih, udah jam segini aja."

Akhirnya dia tersadar jarum jam di dinding hampir menunjukkan

pukul dua belas tepat.

Ariana menyerah. Ia mematikan perangkat komputernya

lalu merebahkan diri di tempat tidur. Setelah apa yang terjadi

selama ini pada dirinya, kenapa lagi-lagi ada batu penghalang

yang harus dihadapi?

Match #6

pa yang Kai katakan pada Ariana soal penyakitnya itu

benar. Dan itu bisa jadi masalah besar di kemudian

hari karena keputusan itu diambilnya tanpa berpikir

dua kali?keputusan untuk bergabung dengan tim basket.

Beberapa menit sebelumnya, di dalam gedung olahraga,

dengan tegas Kai sekali lagi menolak tawaran Ariana. Tapi

setelah berbicara dengan Rey, ia malah berbalik arah dengan

cepat.

"Menurutmu gimana?" Itu pertanyaan yang terlontar begitu

saja dari mulut Kai setelah tawanya berhamburan untuk men?

cairkan suasana.

"Apanya?" Rey menampakkan wajah bingung. "Kamu dan

basket?"

"Kita dan basket," anulir Kai cepat. "Kalau cuma sendiri,

aku bisa tahan. Tapi kalau udah lihat kamu main di lapang?

an"

"Kaki dan tanganmu gatal, pengen ikut main, gitu?"

Kai terkekeh. Kesannya ia bernafsu sekali ingin ikut mengejar

bola. Mau bagaimana lagi? Ia dan Rey tumbuh bersama

permainan ini. Walau sempat terpisah lama, pada akhirnya si

bola oranye dan keranjangnya pula yang membuat mereka

bisa bersama, kan?

"Aku sebenarnya pengin banget main sama kamu?sama

yang lain. Tawaran Kak Ariana itu buatku terlalu... menggoda."

Tawarannya ya, bukan orangnya. "Tapi aku nggak mau kejadian

kayak dulu keulang lagi, khususnya kalau kamu ikut terlibat

lagi."

Keduanya lalu menunduk. Mereka menghela napas bersa?

maan sebelum Rey mengangkat wajah kembali, seolah tahu

akan mengatakan apa. Tidak, sejujurnya Rey juga bingung

dengan keadaan ini. Tapi sekali lagi, ia tidak pernah punya hak

untuk melarang keputusan Kai. Rey ragu, tapi kalau ia selalu

begitu, Kai tidak dapat mengambil kepu?tusan.

"Makanya aku tanya, menurutmu gimana?" Sekali lagi perta?

nyaan itu terlontar dari Kai.

"Kan udah kubilang, aku nggak bisa ngelarang." Rey masih

tetap dengan jawaban awalnya. "Tapi... aku juga nggak bisa

diem aja kalau sesuatu terjadi?kayak dulu."

"Kalau gitu, kubuat ini jadi yang terakhir. Gimana?"

"Terakhir?" Rey mengerutkan dahi. Apa yang Kai maksudkan

dengan terakhir?

"Semester depan kayaknya aku balik ke Singapura. Ayah

cuma pindah kerja sementara, tapi nggak berani ninggalin aku

sendiri. Makanya pas ke sini semua ikut pindah," jelas Kai

mengenai kondisinya dan sang ayah. Sejak orangtua mereka

bercerai, otomatis ia dan Rey juga terpisah. Ia ikut sang ayah

ke Singapura untuk mendapatkan jaminan kesehatan lebih

baik, dan Rey ikut sang ibu untuk tetap tinggal di negeri sen?

diri.

"Jadi, kamu di sini cuma sementara?"

Kai mengangguk pelan. "Awalnya aku nggak tahu kalau kita

satu sekolah, jadi kayaknya nggak masalah buatku kalau cuma

sebentar di sini. Tapi ternyata"

"Kita satu sekolah, ya." Rey memalingkan wajah. Ia memi?

kirkan nasibnya dan sang ibu selama ini. Mereka kadang ber?

khayal apakah bisa bertemu dengan Kai lagi, apa yang terjadi

pada saudara kembarnya itu? Siapa sangka, ternyata jalannya

harus seperti ini. "Dan tiba-tiba Ariana nawarin kamu main..."

"Yah." Kai terkekeh pelan lagi. Ia merasa pertemuannya

dengan Ariana sore itu sangat lucu. "Ternyata asyik juga, bisa

main sama kamu."

"Aku nggak bisa ngelarang." Sekali lagi ucapan itu dilon?

tarkan Rey. "Aku juga ingin kita bisa main lagi?kayak dulu,

walau cuma"

"Satu semester ini. Kalau cuma sebentar, rasanya aku

kuat."

Wajah Rey terangkat, memastikan keyakinan yang terlukis

di wajah Kai. Wajah yang sama itu kadang membuatnya kesal

sendiri. Kenapa mereka harus terlahir kembar dengan nasib

berbeda?

"Aku bisa bilang sama Kak Ariana," ucap Rey tiba-tiba,

mengalihkan pembicaraan. "Dia pasti bisa bikin jadwal latihan

khusus buatmu. Dia juga bisa atur supaya kamu bisa turun di

pertandingan dengan batasan waktu." Kali ini Rey berucap

penuh semangat. Biasanya Rey yang paling diam dan tidak

begitu suka mengungkapkan isi pikirannya. Tapi untuk kepen?

tingan Kai, rasanya ia harus berbuat sesuatu.

"Dia bisa?" Kai merasa sedikit ragu. Ia tahu, Ariana pelatih

cadangan yang mengatur segala hal di ekstrakurikuler basket

putra sekolahnya, tapi ia sendiri tidak yakin. "Apa nggak kita

rahasiain aja?"

"Nggak." Rey menolak. "Dia harus tahu kondisimu."

Kai tidak bisa berbuat banyak ketika akhirnya Rey memberi

persetujuan asalkan ia mengatakan hal yang sebenarnya pada

Ariana. Ia pikir, ini bukan ide bagus karena Ariana malah mengi?

riminya puluhan daftar pertanyaan yang lebih detail daripada

anamnesis dokter. Pertanyaannya meliputi kebiasaan hidup,

makanan, jam tidur, jenis obat yang dikonsumsi, jadwal check

up ke rumah sakit, penanganan pertama pada keadaan daru?

rat, bahkan sampai ukuran celana. Maksudnya apa coba?

Daftar pertanyaan itu di-print dalam selembar kertas, dan

iseng-iseng Kai kerjakan sembari menunggu Dokter Wahyu di

ruang tunggu rumah sakit. Selama di Indonesia, Kai harus

check up seminggu sekali pada Dokter Wahyu yang merupakan

teman Dokter Charles?dokternya di Singapura. Hanya enam

bulan di sini memang, tapi ayahnya yang overprotektif itu

memang tidak bisa membiarkan Kai hidup tanpa pengawasan

dokter.

Akhirnya seorang perawat memanggil namanya, tanda

Dokter Wahyu sudah siap mendengar serentetan laporan

selama sepekan ini. Kai menilap kertas interogasi dari Ariana

lalu memasukkannya ke tas. Mungkin ia akan mengerjakannya

nanti, jika sudah pusing dengan tugas fisika yang sama sekali

belum disentuhnya.

"Halo, Kai. Duduk." Seperti biasa Dokter Wahyu menya?

panya dengan ramah.

Kai tidak membalas sapaan tersebut, hanya sedikit terse?

nyum, lalu duduk di kursi yang sudah disediakan.

"Gimana, obatnya sudah kamu minum rutin?"

"Sudah, Dok, tapi belum habis," jawab Kai tenang. Penge?

cekan rutin seperti ini sudah dilakukannya hampir dua bulan

sehingga ia tidak lagi tegang.

"Ada keluhan atau sakit lagi?"

Kai menggeleng. Mereka lalu melanjutkan pada pemeriksaan

fisik. Dokter Wahyu akan menyuruh Kai berbaring, memeriksa

denyut nadi dan tekanan darahnya. Setelah itu pengecekan

berat badan Kai, lalu Dokter akan mulai memberi nasihat soal

pola makan dan jam tidur yang harus sesuai jadwal. Pikir Kai,

Memangnya yang seperti itu penting ya? Tapi ya sudahlah, aku

mengalah saja.

"Buat obatnya, habiskan dulu saja yang itu."

Kai mengangguk pelan.

"Terus..."

"Oh iya, Dok." Sebelum nasihat sang dokter semakin pan?

jang, ada hal lain yang sebenarnya ingin Kai tanyakan. "Boleh
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saya tanya sesuatu?"

"Ya, silakan," Dokter Wahyu menanggapi dengan santai

sambil terus mengisi kartu riwayat kesehatan Kai.

"Dokter bilang kan sekali-sekali saya harus olahraga." Ujaran

awal Kai ini ditanggapi dengan anggukan dari sang dokter

yang langsung memusatkan perhatian padanya. "Apa ada

batasan soal itu?"

"Olahraga ringan, asal jangan sampai mem-push stamina

dan bikin kerja jantungmu lebih berat."

"Misalnya?"

"Misalnya... yoga?"

Kai mendengus sejenak, lalu tertawa pelan. "Yang bener

aja." Ia tentu tidak kepikiran untuk menjadi atlet yoga. Lagi

pula, memangnya ada? "Kalau bela diri?"

"Hm... pencak silat sepertinya nggak masalah." Lagi-lagi

Dokter Wahyu bercanda. "Atau yah, joging santai, berenang,

pokoknya asal sehat dan fun, nggak masalah."

"Kalau basket?" Akhirnya daripada lama-lama bercanda, Kai

mengutarakan maksudnya langsung. "Mmm nggak main

full sih, paling cuma beberapa menit tiap kuarter. Boleh?"

Dokter Wahyu mengeryitkan dahi sejenak, ekspresi wajah?

nya seperti sedang berpikir keras?atau lebih tepatnya, memi?

kirkan jawaban terbaik daripada bilang "tidak" karena saat ini

Kai tengah berharap. "Basket, ya...." Sang dokter mengulang

kata itu. "Apa posisimu? Forward?" Kelihatannya Dokter Wah?

yu juga tahu banyak soal basket.

"Yang jelas bukan center, Dok." Tubuh Kai tak begitu tinggi.

Yah, standar anak SMA pada umumnya. "Bukan juga for?

ward."

"Guard, then?"

"Saya belum tahu." Kai bilang mau bergabung saja baru

kemarin sore.

"Hm...." Dokter Wahyu berpikir kembali. "Sebenarnya

nggak ada masalah, asal jangan terlalu di-push. Kamu tahu lah

maksudnya. Kalau terasa sudah capek, berhenti ya."

"Nggak akan capek, Dok." Kayaknya sih. "Saya udah pesen

juga sama pelatihnya," pelatih cadangan, maksudnya, "su?

paya saya dikasih pengecualian."

"Memangnya kamu mau jadi atlet?"

Kai terkekeh lagi. Mana mungkin, kan? "Nggak lah, Dok.

Cuma main di lapangan. Main buat pertandingan, itu aja."

"Ya kalau itu sih nggak masalah. Asalkan ingat batasan."

Dan yang memberikan batasan itu adalah Kai sendiri.

Ariana bergaya seperti seorang guru yang baru saja mengecek

hasil ujian muridnya. Dengan saksama ia memeriksa setiap

poin pertanyaan yang Kai jawab seadanya. Seperti pertanyaan:

"Jam berapa kamu tidur?", dijawab dengan: "Sengantuknya".

Atau: "Apa menu makan pagimu?", dijawab: "Gimana Mbak

Nur buatin aja." Jawaban standar yang di luar perkiraan. Na?

mun, ada juga jawaban-jawaban serius, seperti cara penanggu?

langan di saat darurat, atau jenis obat yang dikonsumsi.

"Oke." Ariana sengaja menggunakan bolpoin merah

untuk mencoret-coret lembar pertanyaan tersebut. "Pertanyaan


Goresan Di Sehelai Daun Lanjutan Bu Kek Goosebumps Petualang Malam Wiro Sableng 153 Misteri Bunga Noda

Cari Blog Ini