Ceritasilat Novel Online

Gadis Gadis March 1

Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott Bagian 1



LITTLE WOMEN

by Louisa May Alcott

Gadis-Gadis March

oleh Louisa May Alcott

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

GM 40201140104

Hak cipta terjemahan Indonesia:

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Alih bahasa: Annisa Cinantya Putri dan Widya Kirana

Desain dan ilustrasi sampul: Ratu Lakhsmita Indira

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

anggota IKAPI, Jakarta, 2014

www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN 9786020310367

378 hlm; 20 cm

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab Percetakan

Daftar Isi

Kata Pengantar

1. Para Pengembara

2. Hari Natal

3. Laurence Boy

4. Beban Hidup

5. Menjadi Tetangga yang Baik

6. Beth Berpendapat Istana Itu Indah

7. Amy Dipermalukan

8. Jo Mendapat Pelajaran

9. Meg Pergi ke Pesta

10. P.C. dan P.O.

11. Eksperimen

12. Perkemahan Laurie

13. Istana-Istana Impian

14. Jo dan Laurie Menyimpan Rahasia

15. Telegram

16. Surat-Surat dari Rumah

17. Beth yang Patuh

18. Hari-Hari yang Gelap

19. Surat Wasiat Amy

20. Curahan Hati Anak-Anak March

21. Laurie Berulah dan Jo Menggalang Perdamaian

22. Hari yang Bahagia

23. Pertolongan Tak Sengaja dari Bibi March

Kata Pengantar

"Pergilah, Buku kecilku, dan tunjukkan kepada semua

Yang terhibur, mengharapkanmu, dan akan menyambut

Apa yang kausimpan rapat di dalam hatimu;

Dan berharap yang engkau tunjukkan kepada mereka menjadi berkat

Bagi mereka selamanya, dan membuat mereka memilih menjadi

Para Pengembara yang lebih baik daripada kau dan aku.

Ceritakan kepada mereka tentang Kasih; karena dialah

Yang telah memulai pengembaraannya sendiri.

Ya, biarkan para gadis muda belajar darinya untuk menghargai

Dunia yang akan mereka jelang, dan bersikap bijaklah;

Karena gadis-gadis muda yang membuat kesalahan akan mengikuti Allah

Menyusuri jalan-jalan yang telah ditapaki oleh kaki-kaki suci."

Diadaptasi dari John Bunyan

Para Pengembara

"Natal tak akan berkesan tanpa hadiah," gerutu Jo yang sedang berbaring di karpet.

"Sungguh tidak enak jadi orang miskin!" Meg mengeluh sambil memandang baju usangnya.

"Kupikir, tidak adil ada gadis-gadis yang punya banyak benda

indah, dan ada gadis-gadis yang tidak punya apa-apa," sahut Amy

kecil sambil mendengus kecewa.

"Tapi, kita punya Ayah dan Ibu, kita juga punya satu sama

lain," kata Beth tenang dari sudut tempatnya duduk.

Nyala api memantul dari keempat wajah muda yang seketika

berubah cerah mendengar kata-kata riang itu. Namun, ekspresi

mereka kembali muram ketika Jo berkata dengan nada sedih,

"Ayah tidak ada di sini sekarang. Kita tidak akan melihatnya

sampai lama sekali." Jo tidak berkata "mungkin tidak akan pernah bertemu lagi dengannya," tetapi diam-diam mereka masingmasing mengatakan itu di dalam hati, sambil memikirkan ayah

mereka yang berada jauh di medan pertempuran.

Selama semenit tak ada yang berbicara. Lalu, dengan nada yang

berbeda, Meg berkata,

"Kalian tahu, kan, mengapa Ibu mengusulkan agar kita tidak

membeli hadiah Natal tahun ini? Itu karena musim dingin nanti pasti berat bagi siapa pun. Menurut Ibu, tidak pantas jika kita

menghambur-hamburkan uang untuk kesenangan, sementara para

tentara kita menderita. Kita tidak bisa membantu banyak, tapi bisa

ikut berkorban meskipun pengorbanan kita kecil. Dan kita harus

melakukannya dengan sukarela. Sayangnya, aku tidak merasa begitu," Meg menggeleng-gelengkan kepalanya dan dengan sedih

membayangkan benda-benda indah yang didambakannya.

"Tapi, menurutku uang yang tidak jadi kita belanjakan takkan

berpengaruh banyak. Kita masing-masing punya satu dolar. Uang

sesedikit itu tidak banyak artinya untuk tentara kita. Aku setuju

untuk tidak mengharapkan hadiah dari Ibu atau dari kalian, tetapi aku ingin membeli Undine dan Sintram untuk diriku sendiri;

sudah sangat lama aku ingin punya buku-buku itu," ujar Jo si kutu

buku.

"Aku ingin membeli buku musik baru," kata Beth sambil

menghela napas lirih, hingga tak ada yang mendengar desahannya

selain sikat lantai dan pegangan ketel.

"Dan aku ingin membeli sekotak pensil warna Faber yang bagus; aku sangat memerlukannya," kata Amy tegas.

"Ibu tidak bilang apa-apa soal uang kita, ia pasti tidak berharap kita akan merelakan semuanya. Ayo, kita beli apa yang kita

inginkan dan bersenang-senang sedikit; kita sudah bekerja cukup

keras untuk memperoleh uang itu," seru Jo sambil mengamati hak

sepatu botnya dengan gaya tomboi.

"Aku memang bekerja keras?mengajar bocah-bocah bandel

hampir sepanjang hari, padahal aku ingin bisa santai di rumah,"

Meg mulai mengeluh lagi.

"Kerja kerasmu tidak ada setengahnya kerja kerasku," sergah

Jo. "Apa kau mau terjebak selama berjam-jam bersama nyonya

tua yang penggugup dan rewel, yang membuatmu harus mondarmandir ke sana kemari, yang tidak pernah puas dan terus-menerus

cemas sampai-sampai ingin rasanya aku melompat keluar jendela,

atau memukulnya sekalian?"

"Mengeluh memang tidak baik, tetapi menurutku mencuci

piring dan merapikan rumah adalah pekerjaan terburuk di dunia.

Pekerjaan itu membuatku kesal; tanganku jadi kaku, dan aku tidak

bisa berlatih dengan baik." Dan Beth menatap kedua tangannya

yang kasar sambil mengembuskan napas keras-keras hingga siapa

pun bisa mendengarnya.

"Kurasa penderitaan kalian semua tidak seberat yang kutanggung," seru Amy, "kalian tidak perlu bersekolah bersama gadisgadis sombong, yang mengejekku jika aku tidak mengerti suatu

pelajaran, menertawakan pakaianku, me-label Ayah karena ayah

kita bukan orang kaya, dan selalu mengolok-olokku karena hidungku jelek."

"Maksudmu mungkin libel alias mencerca, bukan label. Memangnya Pa botol acar?" kata Jo sambil tertawa.

"Aku tahu apa yang kumaksud, kau tidak perlu ?statiris? begitu. Lebih baik gunakan kata-kata sopan, dan tingkatkan vokabulirmu," balas Amy dengan sikap penuh percaya diri.

"Aduh, anak-anak, jangan bertengkar. Tidakkah kau berharap

kita masih punya uang Papa yang hilang waktu kita masih kecil,

Jo? Wah, alangkah bahagia dan enak rasanya jika tidak ada yang

perlu dicemaskan," kata Meg, yang masih ingat masa-masa ketika

mereka hidup berkecukupan.

"Kemarin kaubilang, kita lebih bahagia dibanding anak-anak

raja, karena mereka selalu bertengkar dan merasa cemas walaupun

punya banyak uang."

"Betul, Beth. Yah, kurasa kita memang bahagia; meskipun harus bekerja keras, kita masih bisa bersenang-senang dengan cara

kita. Seperti kata Jo, kita ini gadis-gadis ceria."

"Jo selalu suka menggunakan kata-kata aneh," kata Amy dengan pandangan tidak setuju ke arah sosok jangkung yang berbaring di karpet. Jo segera duduk, lalu memasukkan tangannya ke

dalam saku celemeknya dan mulai bersiul.

"Jo, jangan! Kau seperti anak laki-laki."

"Itu sebabnya aku bersiul."

"Aku tidak suka gadis kasar yang berperilaku tidak pantas."

"Aku tidak suka gadis kaku dengan sikap sopan yang berlebihan."

"Burung-burung di sarang kecil mereka setujuuuuu," Beth si

pendamai bersenandung dengan raut wajah lucu hingga membuat

kedua suara tajam itu melembut lalu berubah menjadi tawa. Sesaat, kedua "burung" itu berhenti saling mematuk.

"Kalian sama-sama salah," kata Meg, memulai ceramahnya dengan gaya kakak perempuan yang bijak. "Kau sudah cukup besar

untuk meninggalkan perilakumu yang tomboi, dan mulai bersikap

lebih baik, Josephine. Waktu kau masih kecil, gayamu itu tidak

masalah; tetapi sekarang kau sudah begitu tinggi, dan dengan rambut disanggul begitu, seharusnya kau sadar bahwa dirimu kini seorang wanita muda."

"Huh! Kalau menyanggul rambut membuatku jadi wanita

muda, aku akan mengepangnya sampai umurku dua puluh tahun,"

seru Jo. Ia melepas jaring rambutnya dan mengibaskan rambut

lebatnya yang berwarna cokelat tua. "Aku benci membayangkan

diriku menjadi dewasa, dipanggil Miss March, mengenakan rok

panjang, dan harus bersikap halus seperti porselen. Menjadi anak

perempuan saja sudah cukup buruk, karena aku suka permainan

anak laki-laki, aku suka hal-hal yang mereka kerjakan dan polah

tingkah mereka. Aku tidak pernah bisa berhenti menyesal karena

tidak terlahir sebagai lelaki, dan sekarang rasanya semakin parah.

Aku sangat ingin pergi bertempur bersama Papa, tetapi aku cuma

bisa duduk manis di rumah sambil merajut seperti nenek-nenek

yang membosankan." Jo menggoyang-goyangkan kaus kaki biru

tentara yang sedang dirajutnya hingga kedua jarumnya beradu

menimbulkan bunyi seperti bunyi kastanet, sementara gulungan

benang rajutnya menggelinding ke seberang ruangan.

"Jo yang malang, kasihan sekali kau! Tapi suka tidak suka begitulah dirimu. Kau harus puas dengan membuat namamu terdengar

seperti nama anak lelaki, dan berpura-pura menjadi saudara lelaki

bagi kami gadis-gadis manis ini," sahut Beth sambil mengusap bagian kasar di lututnya dengan tangan yang kasar karena pekerjaan

mencuci piring dan membersihkan rumah. Namun, sekasar apa

pun tangan itu... sentuhannya tetaplah lembut.

"Dan kau, Amy," lanjut Meg, "kau memang terlalu kritis dan

kaku. Sikapmu itu lucu sekarang, tetapi jika kau tidak hati-hati,

kau akan tumbuh menjadi angsa kecil yang menyebalkan. Aku senang dengan sikap santunmu dan kata-katamu yang manis, jika

kau tidak memaksakan diri untuk tampil anggun; tapi kata-kata

anehmu sama jeleknya dengan istilah-istilah Jo."

"Kalau Jo tomboi, dan Amy mirip angsa, lalu aku ini apa?" tanya Beth, siap menerima julukan baru dalam ceramah Meg.

"Kau anak manis, begitulah dirimu," jawab Meg lembut; dan

tidak ada yang menentang ucapan itu, karena si "Tikus" adalah

kesayangan keluarga.

Para pembaca muda pasti ingin tahu bagaimana "rupa tokohtokoh" itu, jadi kita akan mengambil waktu beberapa saat untuk

menggambarkan keempat saudari yang sedang duduk merajut dalam cahaya temaram, sementara di luar, dalam kegelapan, salju bulan Desember berguguran tanpa suara dan di dalam ruangan kayu

di perapian bergemeretak riang. Ruangan itu adalah ruangan tua

yang nyaman?meskipun karpetnya telah usang dan perabotnya

tidak indah?berkat satu-dua lukisan bagus yang digantungkan di

dinding, buku-buku yang mengisi celah-celah ruangan, serta bunga

seruni dan mawar Natal yang mekar di bendul jendela. Semuanya

membuat ruangan itu diliputi suasana damai dan menyenangkan.

Margaret, anak tertua dari keempat bersaudara, berusia enam

belas tahun dan sangat cantik. Perawakannya berisi dengan kulit

terang, sepasang mata lebar, dan rambut cokelat muda yang lebat.

Ia memiliki bibir yang indah dan sepasang tangan putih yang dibanggakannya. Jo, lima belas tahun, sangat jangkung, kurus, dan
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkulit kecokelatan. Perawakannya akan mengingatkan siapa pun

pada seekor kuda jantan muda. Ia selalu canggung dengan kedua

kakinya yang panjang, dan kecanggungan telah menjadi pembawaannya. Garis mulutnya tegas, hidungnya berbentuk lucu, dan

sepasang mata abu-abunya sangat awas melihat segala sesuatu, namun sorotnya selalu berubah-ubah antara tajam, lucu, atau serius.

Rambutnya yang panjang dan lebat adalah salah satu ciri kecantikannya, namun ia suka menggulung rambutnya di dalam jaring

agar tidak menghalangi gerak-geriknya. Kedua bahu Jo bulat, tangan dan kakinya besar, pakaiannya longgar, dan ia menampakkan

rasa tidak nyaman seorang remaja yang dengan cepat bertumbuh

menjadi wanita muda tetapi tidak menyukai perubahan itu. Elizabeth?atau Beth, begitu semua orang memanggilnya?adalah gadis

berusia tiga belas tahun dengan pipi kemerahan, rambut lurus, dan

sepasang mata cerah. Sikapnya malu-malu, suaranya tertahan, dan

raut wajahnya selalu menampakkan ekspresi damai yang hampir

tidak pernah terusik. Ayahnya menjulukinya "Ketenteraman Kecil", dan julukan itu amat cocok baginya karena Beth selalu tampak bahagia hidup di dalam dunianya sendiri, dan hanya sesekali

pergi keluar dunianya itu untuk menemui beberapa orang yang

sungguh-sungguh ia percaya dan sayangi. Amy, meskipun yang

termuda, adalah sosok yang paling penting, setidaknya menurut

pendapatnya sendiri. Dia tampak agak rapuh, kedua matanya berwarna biru, rambutnya kuning ikal menyentuh bahu; kulitnya

putih pucat dan perawakannya langsing, Amy selalu bersikap layaknya perempuan muda yang senantiasa menjaga perilakunya.

Selanjutnya, bagaimana karakter masing-masing empat bersaudari

itu akan kita ketahui nanti.

Jarum jam menunjukkan pukul enam. Setelah selesai menyapu

lantai perapian, Beth meletakkan sepasang sandal untuk dihangatkan. Entah bagaimana, sepasang sandal tua itu memberikan pengaruh baik kepada gadis-gadis itu, karena itu berarti sebentar lagi ibu

mereka pulang, dan semua bersiap menyambutnya. Meg berhenti

berceramah lalu menyalakan lampu, Amy bangkit dari kursi malas

tanpa diminta, dan Jo lupa betapa lelah dirinya saat ia duduk tegak

untuk mendekatkan sepasang sandal itu ke arah hangatnya api.

"Sandal ini sudah usang; Marmee harusnya punya sandal

baru."

"Kupikir aku akan membelikannya dengan uang satu dolarku,"

kata Beth.

"Jangan, biar aku yang beli!" jerit Amy.

"Aku yang paling tua," kata Meg, tetapi Jo memotongnya dengan nada tegas?

"Akulah ?pria? dalam keluarga ini sementara Papa pergi. Aku

yang akan membelikan sandal baru, karena sebelum pergi Papa

berpesan padaku untuk menjaga Marmee baik-baik."

"Aku punya ide," tukas Beth. "Sebaiknya kita masing-masing

membelikan sebuah hadiah Natal untuk Marmee dan tidak membelanjakan uang kita untuk diri sendiri."

"Idemu selalu bagus! Apa yang sebaiknya kita beli untuk Marmee?" seru Jo.

Mereka berpikir sungguh-sungguh selama semenit, kemudian

Meg mengumumkan sebuah ide, gagasan yang seolah diperolehnya dengan melihat sepasang tangannya yang cantik, "Aku akan

membelikan sepasang sarung tangan cantik."

"Sepatu bot militer, benda terbaik untuk dimiliki," seru Jo.

"Beberapa saputangan, semuanya dikelim," ujar Beth.

"Aku akan membeli sebotol kecil Kolonye; Marmee menyukainya, dan harganya tidak mahal, jadi aku akan punya sisa uang

untuk membeli sesuatu untukku sendiri," tambah Amy.

"Bagaimana kita akan memberikan hadiah-hadiah itu?" tanya

Meg.

"Taruh saja di mejanya, bawa Marmee ke kamar, dan kita temani ia membuka bungkusan-bungkusan itu. Kalian ingat, kan,

bagaimana senangnya kita membuka bungkusan hadiah-hadiah di

hari ulang tahun kita?" Jo menanggapi.

"Dulu aku selalu ketakutan saat tiba giliranku duduk di kursi

besar dengan mahkota di kepala, kemudian kalian semua datang

bergiliran memberikan hadiah dan ciuman. Aku suka hadiah dan

ciuman, tetapi rasanya aneh duduk dikelilingi kalian yang menungguiku membuka bungkusan hadiah-hadiah itu," kata Beth,

yang wajahnya menjadi sama panasnya dengan roti yang sedang

ia panggang untuk teman minum teh.

"Biar saja Marmee mengira kita membeli hadiah untuk diri

sendiri, lalu kita beri dia kejutan. Kita harus pergi berbelanja besok siang, Meg; banyak yang harus dilakukan untuk menyiapkan

drama malam Natal," kata Jo sambil berjalan hilir-mudik dengan

kedua tangan di punggung dan hidung terangkat.

"Aku tidak ingin berakting lagi setelah tahun ini; aku sudah

terlalu tua untuk hal-hal seperti itu," kata Meg serius, padahal se
sungguhnya ia sama girangnya dengan anak mana pun yang "berdandan khusus" di Malam Natal.

"Aku tahu kau takkan berhenti berakting selama kau masih

bisa bergaya mengenakan gaun putih indah dengan rambut terurai dihiasi perhiasan dari kertas emas. Engkau aktris kami yang

terbaik; semua akan berakhir jika kau mengundurkan diri," sergah

Jo. "Kita harus berlatih malam ini; ayo, Amy, peragakan adegan

pingsan, kau bisa sekaku tongkat saat melakukannya."

"Bisaku ya begitu. Aku belum pernah melihat orang pingsan,

dan aku tidak ingin membuat tubuhku memar-memar jika caraku

jatuh seperti caramu. Kalau aku bisa menjatuhkan diri tanpa sakit,

aku mau menjatuhkan diri; jika tidak, aku akan menjatuhkan diri

ke kursi dengan sikap anggun; aku tidak peduli walaupun Hugo

mendekatiku sambil menodongkan pistol," balas Amy, yang tidak

punya bakat bermain drama, tetapi dipilih karena ia cukup kecil

untuk menjerit-jerit sambil dipanggul sang pahlawan dalam cerita.

"Cobalah begini; tangkupkan tanganmu, lalu berjalanlah terhuyung-huyung menyeberangi ruangan sambil menangis panik,

?Roderigo! Selamatkan aku! Selamatkan aku!?" dan Jo pun keluar

ruangan sambil menjerit secara melodramatis. Gayanya benarbenar memukau.

Amy mengikuti, tetapi gerak tangannya canggung dan kaku; ia

melangkah seperti digerakkan mesin dan jeritan "Ooooo!"-nya terdengar seperti jeritan orang tertusuk peniti?bukan jerit putus asa

dan ketakutan. Jo mengerang kehabisan akal, Meg tertawa terpingkal-pingkal, sementara Beth membiarkan rotinya hangus karena

asyik memperhatikan tontonan menggelikan itu.

"Wah... payah kau! Lakukan sebisamu jika tiba saatnya ber?

akting, dan jika penonton berteriak-teriak, jangan salahkan aku.

Ayo, Meg."

Setelah itu, adegan berjalan lancar, berkat Don Pedro yang menantang dunia dengan pidato tanpa henti sepanjang dua halaman;

Hagar, si penyihir, yang mengucapkan mantra seram di atas kuali

penuh kodok mendidih yang menghasilkan efek aneh; Roderigo

memutus rantainya dengan gagah, dan Hugo mati dengan penuh

penderitaan karena rasa sesal dan racun arsenik, setelah sebelumnya tertawa liar: "Ha! Ha!".

"Inilah latihan terbaik sejauh ini," kata Meg, si penjahat yang

tadi mati kini pelan-pelan duduk dan mengusap-usap sikunya.

"Aku tidak tahu bagaimana kau bisa menulis dan berakting sebagus itu, Jo. Kau bagaikan Shakespeare!" seru Beth, yang amat

yakin bahwa saudari-saudarinya berbakat serta genius di semua

bidang.

"Tidak juga," sahut Jo merendah. "Memang kupikir The Witch

Curse, an Operatic Tragedy, adalah drama yang bagus; tetapi aku

ingin mencoba Macbeth, kalau saja ada pintu jebakan untuk Banquo. Aku selalu ingin memainkan adegan pembunuhan itu. ?Belatikah itu yang kulihat??" gumam Jo, sambil memutar-mutar bola

matanya, kemudian meraih udara, menirukan akting seorang pemeran tragedi termasyhur yang pernah dilihatnya.

"Bukan, itu garpu pemanggang dengan sepatu Ma di atasnya,

bukan roti. Beth kena pukau panggung!" seru Meg, dan latihan pun

berakhir dengan derai tawa.

"Senangnya melihat kalian begitu ceria, anak-anak," ucap sebuah suara riang di pintu. Para pemain dan penonton berpaling

untuk menyambut wanita keibuan betubuh tegap, dengan ekspresi

selalu siap menolong yang benar-benar menyenangkan. Ia bukan

wanita cantik, tetapi semua ibu tampak menawan di mata anakanak mereka, dan para gadis itu berpikir bahwa sosok yang mengenakan mantel abu-abu dan topi model kuno itu adalah wanita

paling cantik di dunia.

"Sayangku, bagaimana kalian hari ini? Pekerjaan begitu padat, harus menyiapkan semua bingkisan untuk dikirim besok, aku

sampai tidak sempat pulang untuk makan siang. Apakah ada yang

datang, Beth? Bagaimana flu-mu, Meg? Jo, kau tampak lelah sekali. Ke sinilah dan cium aku, Nak."

Sambil mengajukan pertanyaan-pertanyaan keibuan, Mrs.

March melepas sepatunya yang basah, mengenakan sandal rumah yang hangat, lalu duduk di kursi santai, mengangkat Amy

ke pangkuan, dan bersiap menikmati saat-saat terbaik di hari-harinya yang sibuk. Anak-anaknya langsung sibuk, dengan cara masing-masing berusaha membuat ibu mereka nyaman. Meg menata

ulang meja teh; Jo menambah kayu bakar ke perapian dan mengatur kursi-kursi; gerak-geriknya yang canggung membuat apa-apa

yang ia pegang jatuh dan menimbulkan bunyi berisik; Beth berjalan hilir-mudik antara ruang duduk dan dapur, diam namun sibuk;

sementara Amy mengarahkan kakak-kakaknya sambil duduk dengan tangan terlipat.

Setelah mereka semua berkumpul di sekeliling meja, Mrs.

March berkata dengan wajah cerah, "Setelah makan nanti, aku punya hadiah untuk kalian."

Senyum cerah merekah di wajah gadis-gadis itu, bagaikan secercah sinar matahari. Beth bertepuk tangan, lupa tangannya sedang memegang biskuit panas; Jo melempar serbetnya sambil berseru, "Surat! Surat dari Ayah! Tiga sorakan untuk Ayah!"

"Ya, surat panjang yang menyenangkan. Ia baik-baik saja, dan

memperkirakan bisa melalui musim dingin ini dengan lebih baik

daripada yang kita khawatirkan. Ia mengirim ucapan Selamat Natal penuh cinta dan pesan khusus untuk kalian, anak-anak," jelas

Mrs. March sembari menepuk kantongnya, seolah-olah ada harta

karun di dalamnya.

"Cepat, selesaikan makan kalian. Jangan berhenti untuk mempermainkan jari kelingkingmu dan bergaya dengan piringmu,

Amy," tandas Jo hingga tersedak oleh tehnya sendiri, membuat

rotinya jatuh dengan sisi bermentega menghadap ke lantai, saking

terburu-buru ingin segera membaca surat ayahnya.

Beth berhenti makan, lalu menjauh dan duduk di sudut kesukaannya yang remang-remang. Ia merenung membayangkan kegembiraannya nanti sambil menunggu yang lain selesai makan.

"Menurutku, baik sekali Ayah ditugaskan sebagai pendeta karena ia sudah terlalu tua untuk didaftar sebagai tentara dan tidak

cukup kuat sebagai prajurit," kata Meg dengan suara hangat.

"Oh, betapa aku ingin pergi sebagai penabuh drum, seorang vivan?apa itu namanya? Atau sebagai perawat, agar aku bisa berada

di dekatnya dan menolongnya," Jo berseru dengan nada mengeluh.

"Pasti tidak enak harus tidur di dalam tenda, makan makanan

yang tidak enak, dan minum dari cangkir kaleng," komentar Amy.

"Kapan ia akan pulang, Marmee?" tanya Beth. Suaranya sedikit bergetar.

"Masih berbulan-bulan lagi, Sayang, kecuali jika ia sakit. Ia

akan tetap di sana, melaksanakan tugasnya sebaik mungkin selama ia bisa, dan kita tidak akan memintanya pulang lebih cepat

dari yang diinginkannya. Sekarang, kemarilah dan dengarkan isi

suratnya."

Mereka semua mendekat ke arah perapian, Marmee duduk di

kursi besar dengan Beth di kakinya, Meg dan Amy masing-masing

mengambil tempat di lengan kursi, sementara Jo bersandar di bagian belakang kursi. Tidak akan ada yang bisa melihat reaksi emosinya, kalau-kalau isi surat itu menyentuh hati.

Di masa-masa sulit itu, sangat sedikit surat yang ditulis tanpa kesan menyentuh, terutama surat-surat yang datang dari para

ayah. Dalam surat yang satu ini, Ayah tidak banyak bercerita ten20

tang kesulitan yang ditemuinya, bahaya yang dihadapinya, ataupun perasaan rindu rumah yang berhasil diatasinya; suratnya bernada ceria, penuh harapan, dan diisi dengan gambaran yang sangat

mengesankan tentang kehidupan di barak, defile, dan kabar-kabar

militer. Barulah di akhir suratnya hati sang penulis membuncah

dengan cinta seorang ayah serta kerinduan terhadap anak-anak perempuannya di rumah.

"Sampaikan cinta dan ciumanku kepada mereka. Katakan bahwa aku memikirkan mereka sepanjang hari, berdoa untuk mereka

pada malam hari, dan menemukan rasa nyaman di tengah kasih

sayang mereka setiap saat. Satu tahun terasa seperti penantian

yang amat panjang sebelum aku bisa melihat mereka lagi, tetapi

ingatkan mereka bahwa sembari menunggu, kita bisa bekerja, jadi

hari-hari yang keras tidak akan berlalu sia-sia. Aku tahu, mereka

akan mengingat semua yang kukatakan, dan mereka akan menjadi

anak-anak manis untukmu, mengerjakan tugas-tugas dengan patuh, melawan musuh-musuh di dekat mereka dengan berani, dan

menaklukkan diri mereka dengan anggun, sehingga saat aku kembali nanti, aku akan semakin menyayangi mereka dan bangga akan

gadis-gadisku."

Semua terharu mendengar bagian surat itu; Jo tidak menyembunyikan sebulir besar air mata yang jatuh dari ujung hidungnya,

dan Amy tidak memikirkan rambut ikalnya menjadi kusut saat ia

membenamkan wajah di pundak ibunya dan terisak, "Aku memang

monyet egois! Tapi aku akan sungguh-sungguh berusaha menjadi

lebih baik, agar Ayah tidak akan pernah kecewa melihatku."

"Kita semua akan berusaha!" seru Meg. "Aku terlalu memikirkan penampilanku, dan malas bekerja, tetapi itu tidak akan terjadi

lagi, aku akan berusaha."

"Aku akan berusaha dan menjadi seperti panggilan sayangnya,

?gadis kecil?, dan berhenti bersikap liar serta kasar; akan kulaku21

kan tugasku di sini, aku tidak akan lagi mengangankan berada di

tempat lain," ujar Jo, sambil berpikir bahwa menjaga perilakunya

di rumah terasa lebih sulit ketimbang menghadapi satu atau dua

pemberontak nun di Selatan.

Beth tidak berkata apa-apa. Ia mengusap air matanya dengan

kaus kaki militer berwarna biru, lalu mulai merajut lagi dengan

penuh tekad, tidak menyia-nyiakan waktu sedetik pun untuk mengerjakan tugas yang ada di depan mata. Di dalam jiwanya yang

tenang, ia berjanji akan menjadi anak yang diharapkan akan dijumpai ayahnya ketika tahun ini lewat dan kebahagiaan datang

kembali.

Mrs. March memecah kesunyian yang menyusul kata-kata Jo.

Dengan riang ia berkata, "Ingatkah bagaimana kalian senang memainkan Perjalanan Pengembara saat kalian kecil? Kalian begitu

girang saat aku mengikatkan tas kain di punggung kalian, memberikan topi, tongkat, dan segulung kertas, kemudian membiarkan

kalian menjelajah rumah mulai dari ruang bawah tanah alias Kota
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kehancuran, terus sampai ke atas, tempat kalian menyimpan semua benda-benda indah dan menciptakan Kota Langit."

"Sungguh sangat menyenangkan, terutama saat harus melewati kumpulan singa, melawan Apollyon, dan melalui bukit tempat tinggal para hobgoblin," kata Jo.

"Aku suka adegan ketika bawaanku jatuh dan menggelinding

di tangga," sahut Meg.

"Adegan kesukaanku adalah saat kita keluar dari bagian atap

yang landai, tempat bunga-bunga, pergola, dan benda-benda indah

berada. Semuanya tegak berdiri dan bernyanyi bahagia di bawah

sinar matahari," Beth menimpali sambil tersenyum, seolah masa

indah itu hidup kembali di matanya.

"Aku tidak ingat banyak, kecuali betapa aku takut pada ruang

bawah tanah dan jalan masuknya yang gelap. Aku suka kue dan

susu yang kita simpan di loteng. Kalau saja aku belum terlalu besar, aku ingin memainkannya lagi," kata Amy. Di usianya yang

dua belas tahun, ia merasa sudah tumbuh menjadi seorang wanita

muda.

"Kita tidak pernah terlalu tua untuk itu, sayangku, karena

permainan itu selalu kita mainkan, meski dalam bentuk lain. Beban selalu ada, jalan selalu terbuka, dan keinginan atas kebaikan

serta kebahagiaan adalah hal-hal yang membimbing kita melalui

banyak kesulitan dan kesalahan, menuju kedamaian, Kota Langit

yang sesungguhnya. Nah, pengembara-pengembara kecilku, anggaplah kalian memulai lagi, bukan dalam permainan, tetapi dalam

kehidupan sehari-hari, dan lihatlah seberapa jauh kalian bisa mendekati tujuan sebelum ayah kalian pulang."

"Benarkah, Marmee? Di mana buntelan-buntelan kami?" tanya

Amy, yang selalu berpikir lurus.

"Masing-masing dari kalian baru saja mengungkapkan beban

yang kalian bawa. Kecuali Beth. Kurasa, ia tidak punya beban apa

pun," kata Mrs. March.

Beban Beth adalah beban yang begitu lucu, sampai-sampai semua merasa geli dan ingin tertawa. Tetapi mereka menahan diri,

karena tahu perasaan Beth akan sangat tersinggung.

"Ayo, kita lakukan," ujar Meg serius. "Ini hanya perumpamaan untuk usaha menjadi orang yang lebih baik. Lagipula kisah itu

mungkin membantu kita; karena meskipun kita berusaha, akan selalu ada kesulitan, lalu kita lupa dan tidak lagi bekerja keras."

"Malam ini, kita berada di tempat kita jatuh, dan Marmee datang menarik kita, seperti yang dilakukan Help di buku. Kita harus

punya tujuan, seperti layaknya umat Kristiani. Apa yang bisa kita

lakukan?" tanya Jo. Ia tampak senang membayangkan gambaran tersebut, yang menambah sedikit romantika terhadap suasana

membosankan di tempat kerjanya.

"Lihatlah di bawah bantalmu di pagi Hari Natal, dan kalian

akan menemukan panduan," kata Mrs. March.

Mereka membicarakan rencana baru itu, sementara Hannah

membersihkan meja. Kemudian, muncullah empat keranjang kecil. Jarum-jarum terangkat dan beradu ketika gadis-gadis itu membuat seprai untuk Bibi March. Pekerjaan itu tidak menarik, namun malam ini tidak ada yang mengeluh. Mengikuti Jo, mereka

membagi kain lebar itu menjadi empat bagian, dan menamainya

Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika. Dengan cara itu, pekerjaan mereka mengalami kemajuan yang amat baik, terutama saat mereka

mengobrolkan negara-negara tersebut sembari terus menjahit.

Sekitar pukul sembilan mereka berhenti. Kemudian, seperti

biasa sebelum tidur, mereka bernyanyi. Di antara mereka, hanya

Beth yang bisa memainkan piano tua itu; ia punya cara lembut tersendiri saat menyentuh tuts yang telah kekuningan itu dan mengiringi nyanyian mereka dengan melodi yang enak didengar. Suara

Meg mengalun bak bunyi suling. Ia dan ibu mereka memimpin

kor kecil itu. Suara Amy seperti bunyi jangkrik, sementara suara Jo berkelana di udara semaunya, selalu muncul di bagian yang

salah dengan nada dan getar suara yang bisa merusak lagu yang

paling murung sekalipun. Ritual ini telah dilakukan sejak mereka bisa melagukan, "Crinkle, crinkle, ?ittle ?tar." Lagu itu menjadi

ciri khas di rumah mereka. Mrs. March adalah penyanyi alamiah.

Suara pertama yang mereka dengar adalah suaranya, saat ia berjalan mondar-mandir di dalam rumah sambil bernyanyi bagaikan

seekor burung bersuara merdu; dan suara terakhir yang mereka dengar sebelum tidur adalah suara indah yang sama. Anak-anak itu

tidak akan pernah terlalu tua untuk mendengarkan lagu ninabobo

yang mereka kenal.

Hari Natal

o adalah yang pertama terjaga pada pagi Hari Natal yang kelabu. Tidak ada kaus kaki tergantung di perapian. Sesaat ia merasa kecewa, sama seperti bertahun-tahun lalu ketika kaus kakinya

jatuh karena begitu penuh dengan hadiah. Kemudian, ia teringat

janji ibunya. Jo menyelipkan tangan ke bawah bantal dan menarik keluar buku kecil dengan sampul berwarna merah hati. Ia sangat mengenal buku itu, karena berisi kisah lama tentang hidup

terbaik yang pernah ada, dan Jo merasa buku itu adalah panduan

sejati untuk para pengembara?siapa pun dia?yang akan memulai

perjalanan panjang. Ia membangunkan Meg dengan menyanyikan

"Selamat Hari Natal", dan memintanya melihat ke bawah bantal.

Sebuah buku bersampul hijau muncul, dengan gambar yang sama

di dalamnya, beserta tulisan beberapa patah kata dari ibu mereka, yang membuat hadiah itu menjadi sangat berharga bagi mereka. Tepat ketika itu, Beth dan Amy terbangun, mencari-cari, dan

menemukan buku-buku kecil untuk mereka?yang satu bersampul putih, yang satu biru. Kemudian mereka duduk-duduk sambil

memandangi dan membicarakan buku-buku itu, sementara pendar

kemerahan merekah di Timur seiring dengan datangnya hari baru.

Meskipun agak suka membanggakan diri, sesungguhnya Margaret berwatak manis dan saleh. Sifat ini tanpa disadarinya memengaruhi adik-adiknya, terutama Jo, yang amat mengasihi dan

mematuhinya karena nasihat-nasihat Meg selalu disampaikan dengan lemah lembut.

"Adik-adik," kata Meg dengan serius sambil mengalihkan pandangannya dari kepala yang sedang menunduk di sampingnya ke

dua kepala mungil yang masih mengenakan topi tidur di seberang

ruangan, "Marmee ingin kita membaca, menyayangi, dan menjalankan isi buku-buku ini, jadi kita harus mulai sesegera mungkin.

Dulu kita rajin menjalankan kewajiban kita, tapi sejak Ayah pergi

dan masalah perang membebani kita, banyak hal telah kita lupakan. Terserah kalian, tetapi aku akan meletakkan bukuku di meja

ini, dan membaca sedikit setiap pagi, segera setelah bangun tidur.

Aku percaya buku ini akan berguna untukku dan akan membantuku menjalani hariku."

Lalu Meg membuka buku barunya dan mulai membaca. Jo melingkarkan lengannya di pundak Meg. Kemudian, sambil menempelkan pipinya ke pipi Meg, ia ikut membaca. Wajahnya tenang,

menampilkan ekspresi yang sangat jarang terlihat karena sifatnya

yang kerap gelisah.

"Meg baik sekali! Ayo, Amy, kita tiru mereka. Aku akan membantumu membaca kata-kata yang susah, dan mereka bisa menolong menjelaskan hal-hal yang tidak kita mengerti," bisik Beth,

terkesan melihat buku-buku cantik itu dan teladan kedua kakaknya.

"Aku senang milikku berwarna biru," kata Amy. Setelah itu,

tidak ada suara lain di kamar mereka, kecuali bunyi halaman-halaman buku yang dibalik pelan-pelan. Sinar matahari musim dingin

menyorot masuk, menyentuh kepala-kepala dan wajah-wajah serius dengan ucapan "Selamat Hari Natal".

"Di mana Ibu?" tanya Meg setengah jam kemudian. Ia dan Jo

segera berlari turun untuk mengucapkan terima kasih atas hadiahhadiah itu.

"Entahlah. Tadi ada orang datang meminta-minta. Ibu kalian

langsung pergi melihat apa yang dibutuhkan orang itu. Tidak ada

wanita sebaik ibu kalian, yang mau memberikan makanan dan

minuman, pakaian, dan penghangat," kata Hannah. Hannah telah

tinggal bersama keluarga itu sejak Meg lahir. Keempat bersaudari

itu menganggapnya lebih sebagai teman ketimbang pelayan.

"Mungkin sebentar lagi Ibu pulang. Ayo, sajikan kue-kue kalian dan siapkan semuanya," perintah Meg sambil melihat ke arah

keranjang berisi hadiah yang disimpan di bawah sofa, siap untuk

diberikan pada waktu yang tepat. "He, mana botol kolonye dari

Amy?" kata Meg lagi saat matanya tidak melihat botol kecil itu.

"Amy mengambilnya tadi, lalu dibawanya pergi untuk diberi pita atau hiasan lainnya," sahut Jo. Ia berjalan mondar-mandir

di dalam ruangan, berusaha membuat sandal ala tentaranya yang

baru lebih lemas dan nyaman dipakai.

"Lihat! Saputangan ini indah sekali, kan? Hannah mencuci dan

menyetrikanya, lalu kutambahi sulaman karyaku sendiri," kata

Beth sambil dengan bangga memandangi huruf-huruf sulaman

yang tidak rata, yang telah dikerjakannya dengan susah payah.

"Sungguh engkau anak manis yang teberkati. Engkau menyulam kata ?Ibu?, bukan ?M. March?... lucu sekali!" seru Jo sambil menyambar saputangan itu.

"Memang harusnya begitu! Kupikir lebih baik begitu karena

inisial Meg juga ?M. M?. Lagi pula aku tidak mau orang lain menggunakan saputangan ini selain Marmee," sahut Beth dengan wajah

sedikit khawatir.

"Tidak apa-apa, Manis. Idemu bagus dan cerdik, dengan begitu, saputangan itu tidak akan tertukar. Marmee pasti senang sekali, percayalah," kata Meg sembari mengernyit ke arah Jo dan

tersenyum kepada Beth.

"Marmee datang! Sembunyikan keranjang itu, cepat!" Jo berseru ketika terdengar bunyi pintu ditutup dan detak langkah di ruang

depan.

Amy masuk dengan tergesa-gesa. Ia terlihat malu menemukan

saudara-saudaranya menunggunya.

"Dari mana saja kau? Apa yang kausembunyikan itu?" tanya

Meg. Ia terkejut melihat tudung dan mantel Amy; artinya si pemalas itu telah keluar rumah pagi-pagi sekali.

"Jangan tertawakan aku, Jo. Aku tidak ingin ini diketahui siapa

pun, sampai waktunya tiba. Aku tadi menukar botol kecil dengan

botol yang lebih besar. Aku telah menghabiskan semua uangku untuk itu. Aku akan terus berusaha agar tidak lagi hanya memikirkan

diriku sendiri."

Sambil berbicara, Amy menunjukkan botol cantik yang menggantikan botol murahan sebelumnya. Ia tampak begitu tulus dan

rendah hati dalam usahanya mengikis sikap egoisnya, hingga Meg

memeluknya saat itu juga dan Jo menjulukinya "si baik hati". Sementara itu, Beth berlari ke jendela lalu memetik setangkai mawar

terindah untuk menghias botol anggun itu.

"Sebenarnya aku malu karena hadiahku sangat sepele. Setelah

tadi pagi membaca tentang menjadi orang baik, aku keluar lalu lari

ke ujung jalan dan menukarkan botol yang tadi dengan yang ini.

Aku sangat senang karena sekarang hadiahku yang paling cantik."

Untuk kedua kalinya, terdengar bunyi pintu dibuka. Sekali lagi

keranjang hadiah disorongkan kembali ke bawah sofa dan anakanak berdiri mengelilingi meja makan, tidak sabar ingin segera

sarapan bersama.

"Selamat Natal, Marmee! Selamat Natal! Terima kasih untuk

buku-bukunya, kami sudah membaca sedikit dan akan terus membacanya setiap hari," mereka berseru bersamaan.

"Selamat Natal, anak-anakku! Senang sekali mendengar kalian langsung membaca buku-buku itu. Kuharap kalian akan terus

membacanya. Tapi ada yang ingin kusampaikan sebelum kita duduk. Tidak jauh dari sini ada seorang perempuan malang bersama

bayinya yang baru lahir dan enam anak berdesakan di atas satu

tempat tidur agar tidak membeku kedinginan.... Mereka tidak punya perapian, tidak punya makanan untuk dimakan. Tadi anak

laki-laki tertua datang ke sini, mengatakan mereka kelaparan dan

kedinginan. Anak-anak, bersediakah kalian memberikan sarapan

kalian sebagai hadiah Natal untuk mereka?"

Mereka semua merasa lebih lapar dari biasanya karena telah

menunggu hampir satu jam. Detik demi detik berlalu. Suasana begitu hening. Tak seorang pun bicara. Kemudian... kira-kira semenit kemudian... tiba-tiba Jo berseru,

"Aku senang Ibu datang sebelum kami mulai makan!"

"Bolehkah aku ikut ke sana dan membantu membawakan makanan untuk anak-anak malang itu?" Beth bertanya dengan penuh

semangat.

"Aku akan membawa krim dan muffin," Amy menambahkan

dan dengan penuh pengorbanan menyerahkan dua makanan kesukaannya.

Meg telah mulai menumpukkan roti gandum di sebuah piring

besar.

"Sudah kuduga, kalian pasti bersedia," ujar Mrs. March sambil

tersenyum senang. "Kalian semua boleh ikut dan membantu Ibu.

Pulang dari sana nanti, kita sarapan dengan roti dan susu, baru

nanti malam kita makan hidangan yang sedikit istimewa untuk

mengganti sarapan yang sederhana pagi ini."

Tak lama kemudian mereka siap berangkat. Iring-iringan itu

berjalan bergegas. Untunglah waktu itu hari masih pagi dan mereka mengambil jalan pintas, jadi tidak banyak orang yang melihat mereka, dan tidak ada yang menertawakan iring-iringan yang

ganjil itu.

Tempat yang mereka tuju sungguh mengenaskan, nyaris kosong tanpa perabot memadai. Jendela-jendelanya rusak, tidak ada

perapian, seprai dan selimutnya kumal dan compang-camping.

Seorang ibu yang sakit, bayi yang menangis, dan anak-anak yang

pucat kelaparan berdesakan di bawah sepotong selimut, berusaha

menghangatkan diri. Mata mereka membelalak dan bibir mereka

yang membiru tersenyum ketika keempat gadis bersama ibu mereka masuk!

"Ach, mein Gott! Oh, Tuhanku! Malaikat-malaikat yang baik telah datang!" perempuan miskin itu berseru dan menangis bahagia.

"Malaikat aneh mengenakan tudung dan sarung tangan," kata

Jo. Seisi kamar tertawa mendengar komentar Jo.

Beberapa menit kemudian, suasana di dalam pondok itu mulai

terasa hangat dan ceria, seakan malaikat-malaikat baik hati benarbenar datang ke pondok itu. Dengan kayu yang dibawanya Hannah menyalakan perapian, lalu mengganjal panel-panel yang rusak

dengan topi-topi tua dan syalnya sendiri. Mrs. March memberikan teh dan bubur kepada si ibu, sembari menghiburnya dengan

berjanji akan terus membantu wanita malang itu. Dengan sangat

lembut ia menyelimutkan mantel hangat ke tubuh si bayi, seakanakan bayi itu anaknya sendiri. Sementara itu, putri-putrinya menyiapkan meja, mengumpulkan anak-anak di sekeliling perapian,

lalu memberi mereka makan layaknya menyuapi burung-burung

kecil yang kelaparan; Meg dan adik-adiknya tertawa-tawa, mengobrol, dan berusaha keras memahami bahasa Inggris patah-patah

anak-anak yang malang itu.

"Das ist gute! Enak sekali!"; "Der angel-kinder! Malaikat baik!"

seru anak-anak malang itu sambil makan dan menghangatkan tangan-tangan mereka yang putih keunguan di depan nyala api. Belum pernah ada yang menyebut keempat gadis itu malaikat-malaikat kecil. Mereka menyukai sebutan itu, terutama Jo, yang sejak

kecil selalu dijuluki "si cowok". Sarapan itu sangat menyenangkan

bagi mereka, meskipun tidak satu pun dari keempat gadis itu yang

ikut makan. Dan ketika mereka pergi meninggalkan pondok yang

terasa nyaman itu, kupikir tidak ada orang lain di kota itu yang

lebih ceria daripada empat gadis muda yang telah merelakan sarapan mereka untuk anak-anak lain, dan merasa puas dengan menu

sarapan berupa roti dan susu di pagi Hari Natal.

"Inilah contoh menyayangi tetangga lebih dari diri sendiri,

dan aku menyukainya," kata Meg sambil menata hadiah-hadiah
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sementara ibu mereka sedang berada di lantai atas, mengumpulkan

pakaian untuk diberikan kepada keluarga Hummel yang malang.

Tidak ada kemewahan, tetapi ada cinta melimpah di dalam

bingkisan-bingkisan kecil itu; dan vas tinggi yang tegak di tengah

meja dengan kuntum-kuntum mawar merah, seruni putih, dan julaian ranting-ranting tanaman rambat membuat meja itu terlihat

cerah sekaligus anggun.

"Marmee datang! Bersiaplah, Beth. Buka pintunya, Amy. Tiga

kali sorakan untuk Marmee!" seru Jo. Ia melompat gesit, sementara Meg mempersilakan ibu mereka duduk di kursi kehormatan.

Beth menampilkan gaya berjalannya yang paling ceria, Amy

membuka pintu, dan Meg mendampingi ibu mereka berjalan ke

tempat duduk dengan penuh kebanggaan. Mrs. March terkejut sekaligus terharu. Matanya berkaca-kaca ketika ia membuka hadiahhadiahnya dan membaca catatan-catatan kecil di setiap bingkisan.

Sepasang sandal segera dikenakan, saputangan baru langsung masuk ke dalam saku setelah diperciki kolonye dari Amy, sekuntum

mawar disematkan di dada, dan sarung tangan baru itu menurutnya "pas dan nyaman dipakai".

Ruangan dipenuhi suara tawa berderai-derai, kecupan-kecupan diberikan, dan penjelasan-penjelasan disampaikan dengan cara

sederhana namun penuh kasih tulus, membuat perayaan Natal itu

terasa begitu menyenangkan dan begitu manis untuk dikenang kelak di kemudian hari. Lalu, semuanya kembali bekerja.

Acara amal mereka pagi itu, ditambah upacara penyerahan

hadiah, memakan banyak waktu, dan sisa hari dihabiskan untuk

menyiapkan perayaan di malam harinya. Gadis-gadis itu terlalu

muda untuk sering-sering pergi ke teater dan tidak punya cukup

uang untuk mengundang pementasan drama secara khusus. Karena itu, mereka berkonsentrasi bekerja, dan, karena kebutuhan melahirkan penemuan, mereka membuat sendiri apa pun yang mereka perlukan. Beberapa karya mereka benar-benar sangat cerdas dan

kreatif: gitar dari kardus, lampu antik dari wadah mentega model

kuno yang dilapisi kertas hias warna perak, jubah indah dari kain

katun tua ditempeli setrip-setrip kaleng tipis mengilat yang digunting dari merek pabrik acar, baju zirah berlapis bahan yang sama

berbentuk wajik yang digunting dari tutup botol-botol acar. Perabotan sudah sangat sering dijungkirbalikkan atau digeser ke sana

kemari, dan ruangan besar itu menjadi saksi kegembiraan mereka

yang murni.

Lelaki tidak diizinkan ikut, karena itu dengan senang hati Jo

memainkan tokoh pria. Ia merasa amat puas mengenakan sepasang sepatu bot kulit berwarna cokelat tanah. Sepatu itu pemberian

temannya, yang kenal seorang perempuan yang kenal seorang aktor. Sepatu bot itu, selembar kertas timah, dan sebuah rompi yang

pernah digunakan seorang artis berpose untuk suatu lukisan adalah harta Jo yang paling berharga dan selalu muncul dalam setiap

kesempatan. Jumlah pemain yang sedikit menuntut dua pemeran

utama untuk memainkan beberapa peran sekaligus; mereka sungguh layak mendapat pujian atas kerja keras mereka mempelajari

tiga sampai empat peran berbeda dan berkali-kali mengganti kostum sambil mengatur panggung. Kegiatan itu adalah latihan yang

bagus bagi ingatan mereka, hiburan yang tidak berbahaya dan bisa

membuat mereka sibuk selama berjam-jam. Tanpa kegiatan seperti

itu, mereka mungkin hanya akan duduk melamun, merasa bosan,

atau menghabiskan waktu dengan cara yang kurang bermanfaat.

Pada malam Hari Natal, selusin gadis berdesakan di tempat

tidur yang berfungsi sebagai tempat duduk penonton. Mereka

menghadap tirai kain berwarna biru-kuning, wajah-wajah mereka

tampak penuh harap, ingin segera menonton pertunjukan. Terdengar bunyi kerisik baju-baju bergesekan dan bisik-bisik dari balik

tirai, disusul sekepul asap yang bergulung keluar, lalu suara tawa

Amy terkikik-kikik. Amy selalu tertawa aneh jika sedang sangat

tegang dan terlalu bersemangat. Tak lama kemudian bel berbunyi,

tirai dibuka, dan Operatic Tragedy pun dimulai.

"Hutan kelam", menurut panduan acara, digambarkan dengan beberapa pot tanaman perdu, kain wol hijau yang terhampar di lantai, dan sebuah gua di kejauhan. Atap gua terbuat dari

rangka jemur?an kayu dan dindingnya dari meja-meja tulis yang

dimiringkan. Di dalam gua tampak sebuah tungku kecil menyalanyala dengan sebuah kuali hitam di atasnya. Seorang penyihir tua

membungkuk ke arah kuali itu. Suasana panggung gelap, nyala api

di tungku itu memberi efek yang begitu nyata, terutama karena

uap benar-benar mengepul keluar dari dalam kuali saat tutupnya

diangkat oleh si penyihir. Hening beberapa saat, waktu dibiarkan berlalu untuk meredakan reaksi awal, kemudian muncullah

Hugo si penjahat. Pedangnya yang terjuntai dari pinggangnya

berdenting-denting ketika ia berjalan masuk ke panggung. Hugo

berjanggut hitam lebat, mengenakan topi miring, jubah aneh, dan

sepasang sepatu bot. Setelah berjalan hilir-mudik dengan perasaan

kesal, ia memukul dahinya, lalu melolong liar. Sambil bernyanyi

ia meluapkan kebenciannya terhadap Roderigo, cintanya kepada

Zara, dan keputusannya untuk membunuh yang satu demi mendapatkan yang lain. Nada kasar dalam suara Hugo, dan teriakan-teriakannya ketika emosi yang begitu kuat menguasai dirinya, sungguh sangat mengesankan. Penonton bertepuk tangan ketika Hugo

berhenti untuk menarik napas. Sambil membungkuk dengan gaya

seseorang yang terbiasa menerima pujian dari penonton, ia kembali ke dalam gua dan dengan berteriak memerintahkan Hagar muncul ke panggung, "Hai, pelayanku! Aku memerlukanmu!"

Meg keluar, dengan rambut panjang berwarna abu-abu terjurai

menutupi wajahnya. Ia membawa sebatang tongkat dan mengenakan jubah merah-hitam berhiasan lambang-lambang sihir dan

membawa sebatang tongkat. Hugo menyuruh Hagar meracik ramuan yang akan membuat Zara jatuh cinta dan memujanya, dan

satu ramuan lagi untuk melenyapkan Roderigo. Dengan suara

dramatis dan penuh gaya, Hagar berjanji akan menyiapkan kedua

ramuan itu. Kemudian ia memanggil roh yang akan membawa ramuan cinta:

"Datang, datanglah, dari rumahmu,

Roh bebas, aku memintamu datang!

Terlahir dari bunga mawar, bersantap embun,

Mantra dan ramuan, bisakah kauciptakan?

Bawakan kepadaku dengan kecepatan peri,

Ramuan mewangi yang kubutuhkan;

Buatlah agar ia manis, cepat, dan kuat;

Roh, jawab laguku sekarang juga!"

Terdengar alunan lembut sebuah lagu. Kemudian, dari balik

gua, muncullah satu sosok mungil berbalut asap putih dengan sayap berkilauan, rambut keemasan, dan mahkota mawar di kepalanya. Sambil melambai-lambaikan sebatang tongkat, ia bernyanyi:

"Inilah aku,

Dari rumahku di cakrawala,

Nun di bulan perak;

Ambillah mantra ajaib ini,

Oh, gunakan dengan bijak!

Atau ia tidak akan berguna!"

Setelah menjatuhkan sebuah botol kecil di kaki si penyihir, roh

itu menghilang. Hagar bernyanyi lagi dan roh lain muncul?kali

ini bukan makhluk yang indah. Didahului bunyi ledakan, sesosok

makhluk hitam muncul. Ia berkata-kata dengan suara yang terdengar seperti raungan hewan liar, melemparkan sebuah botol berwarna gelap ke arah Hugo, lalu menghilang sambil tertawa mengejek. Setelah menggumamkan terima kasih dan memasukkan

ramuan-ramuan itu ke dalam sepatu botnya, Hugo pergi. Kepada

penonton Hagar berkata bahwa Hugo telah membunuh beberapa

temannya, karena itu ia mengutuknya. Diam-diam ia menyusun

rencana untuk menggagalkan niat Hugo dan membalas dendam

kepadanya.

Kemudian tirai diturunkan. Babak pertama selesai.

Penonton bersantai sebentar, mengulum permen sambil dengan kagum membicarakan babak pertama tadi.

Beberapa saat berlalu... terdengar bunyi palu memukul-mukul

sesuatu. Akhirnya tirai kembali dinaikkan. Penonton kembali memusatkan perhatian ke panggung dan mereka melihat karya pertukangan yang luar biasa. Tak ada yang merasa kesal meskipun

pertunjukan tertunda beberapa saat. Kali ini, tata panggung benarbenar hebat! Sebuah menara tegak menyentuh langit-langit; kirakira pada titik setengah tinggi menara terlihat sebuah jendela dengan lampu menyala di dalam ruangan berjendela itu. Lalu... dari

balik tirai putih muncullah Zara, mengenakan gaun cantik berwarna biru keperakan, menantikan Roderigo. Kemudian datanglah Roderigo dengan penuh gaya. Ia mengenakan topi berhiasan bulu burung dan jubah merah; rambutnya berwarna cokelat-kekuningan;

ia membawa gitar, dan... tentu saja, kakinya mengenakan sepasang

sepatu bot. Sambil berlutut di kaki menara, Roderigo melantunkan

balada bernada mengharukan. Zara menyahut dengan nyanyian

pula. Setelah mereka bertukar kata lewat lagu, Zara setuju untuk

kabur. Setelah itu, tibalah saatnya memamerkan efek paling dramatis dalam pertunjukan itu. Roderigo mengeluarkan tangga tali

dengan lima anak tangga, melemparkan satu ujungnya ke atas, dan

mengundang Zara untuk turun. Dengan sangat hati-hati, Zara turun lewat jendela, meletakkan tangannya pada bahu Roderigo, dan

hendak melompat turun dengan anggun ketika terdengar seruan,

"Awas! Awas, Zara!" Rupanya ia lupa menarik lepas ekor gaunnya

yang tersangkut di jendela... menara bergoyang-goyang, condong

ke depan, lalu runtuh berdebum, mengubur sepasang kekasih yang

sial itu di bawah puing-puingnya!

Jeritan serentak terdengar ketika sepasang sepatu bot berwarna cokelat tanah bergerak-gerak liar dari bawah reruntuhan. Sosok

pria berambut keemasan muncul dan berseru, "Sudah kubilang!

Sudah kubilang!" Dengan sikap luar biasa tenang, Don Pedro, sang

ayah yang kejam, melangkah masuk panggung dan menyeret putrinya ke sisinya.

"Jangan tertawa, bersikaplah seolah semua baik-baik saja!" Ia

menyuruh Roderigo berdiri, lalu mengusirnya dari wilayah kerajaannya sambil memaki-maki dan mengutuk pria itu. Meskipun ma36

sih terguncang akibat tertimbun menara, dengan berani Roderigo

melawan pria tua itu. Ia tak sudi diusir, ia tak mau beranjak pergi.

Sikapnya yang berani menular kepada Zara; gadis itu melawan

ayahnya. Akhirnya sang ayah mengirim mereka ke penjara bawah

tanah yang paling dalam di kastil itu. Seorang penjaga bertubuh

gemuk datang membawa rantai, lalu menggiring keduanya pergi.

Ia tampak sangat ketakutan, sampai lupa mengucapkan kata-kata

yang seharusnya ia ucapkan.

Babak ketiga menampilkan ruang singgasana di dalam kastil.

Hagar muncul lagi. Ia datang untuk membebaskan dua sejoli itu

dan menghabisi Hugo. Mendengar Hugo datang, Hagar cepatcepat bersembunyi. Ia melihat Hugo memasukkan ramuan racun

ke dalam dua cawan anggur dan memanggil seorang pelayan kecil

yang tampak ketakutan. Hugo memerintahkan, "Berikan ini kepada kedua tawanan itu di sel mereka. Katakan, aku akan segera

datang." Si pelayan mengisyaratkan agar Hugo pergi ke sisi panggung, lalu membisikkan sesuatu kepadanya. Ketika itulah, dengan

hati-hati Hagar menukar kedua cawan itu dengan dua cawan lain

berisi cairan yang tidak berbahaya. Ferdinando, si "pelayan kecil" membawa cawan-cawan itu pergi, dan Hagar diam-diam mengembalikan cawan-cawan yang sedianya akan diberikan kepada

Roderigo. Hugo, yang kehausan setelah banyak bicara, meneguk

isi cawan itu dan langsung kesakitan. Tubuh dan lengannya mengejang-ngejang selama beberapa saat, lalu ia terjatuh... mati. Kemudian lewat sebuah nyanyian indah berlirik kuat, Hagar mengatakan apa yang telah ia perbuat kepada Hugo yang kini tergolek

tak bernyawa.

Adegan tadi sungguh menegangkan; meskipun beberapa penonton mungkin berpendapat bahwa rambut panjang yang tibatiba terjurai dari balik topi Hugo telah sedikit merusak adegan tewasnya sang penjahat. Sebelum tirai diturunkan, Hugo dipanggil

untuk naik ke panggung. Hugo muncul di panggung sambil menggandeng Hagar, yang nyanyiannya terdengar paling indah dan

merdu dibandingkan para pemain lainnya.

Di babak keempat, Roderigo yang putus asa nyaris menusuk

dirinya sendiri, karena ia mendengar bahwa Zara telah meninggalkannya. Tepat ketika mata pisau akan menusuk jantungnya,

sebuah nyanyian merdu terdengar dari jendelanya, mengabarkan

bahwa Zara tetap setia namun berada dalam bahaya, dan Roderigo

dapat menyelamatkannya jika ia mau. Sebuah kunci dilemparkan

ke dalam ruangan, dan dengan penuh emosi Roderigo memutuskan rantai belenggunya, kemudian bergegas pergi untuk menyelamatkan kekasihnya.

Babak kelima diawali dengan adegan pertengkaran antara Zara

dan Don Pedro. Don Pedro ingin Zara masuk biara dan menjadi

biarawati di sana, tetapi Zara menolak keras. Dengan suara sedih ia memohon-mohon kepada ayahnya. Tepat ketika ia hampir pingsan, Roderigo muncul dan meminta izin untuk menikahi

Zara. Don Pedro menolak karena Roderigo miskin. Mereka saling

berteriak dan melakukan gerakan-gerakan dramatis, namun kesepakatan tak bisa dicapai. Roderigo bersiap hendak membawa pergi

Zara yang kelelahan, namun si pelayan penakut masuk membawa

sepucuk surat dan satu kantong dari Hagar, yang telah menghilang

secara misterius. Surat Hagar menyatakan bahwa ia mewariskan

kekayaan yang tidak disebutkan jumlahnya kepada pasangan itu

dan mengutuk Don Pedro jika pria itu menghalangi kedua kekasih itu untuk memperoleh kebahagiaan. Kantong itu dibuka... lalu

berjatuhanlah keping-keping uang timah hingga terserak menutupi lantai panggung. Begitu banyaknya... sampai-sampai lantai

panggung tampak mengilap. Warisan harta yang tak terduga itu

melembutkan hati sang ayah yang keras. Tanpa kata-kata ia mengisyaratkan bahwa ia menyetujui perkawinan mereka... lalu semua

menyanyikan lagu bahagia, dan tirai diturunkan ketika sepasang

kekasih itu berlutut untuk menerima restu Don Pedro. Sungguh

akhir yang sangat romantis dan mengesankan.

Bunyi tepuk tangan membahana panjang, lalu tiba-tiba berhenti karena sebuah insiden. Tempat tidur yang digunakan sebagai

"area penonton" tiba-tiba rubuh menjatuhi para penonton yang

sangat antusias itu. Roderigo dan Don Pedro segera melompat

mendekat, berusaha menyelamatkan penonton. Untunglah semua

selamat tanpa terluka, walaupun banyak di antara mereka yang

tertawa sampai tidak bisa berkata-kata. Suasana heboh belum mereda ketika Hannah datang dan mengumumkan, "Dengan sukacita

Mrs. March mengundang kalian semua untuk menghadiri jamuan

makan malam."

Sungguh suatu kejutan, bahkan bagi para pemain drama itu.

Ketika melihat apa yang tertata di meja, mereka saling berpandangan dengan wajah terkagum-kagum. Memang "Marmee" suka

memberi kejutan dan menyiapkan hidangan khusus bagi mereka,

tetapi kali ini semua begitu istimewa?sangat istimewa malah, karena itu belum pernah terjadi sejak hari-hari penuh kelimpahan

menghilang dan meninggalkan mereka. Ada es krim, malah dua

macam?merah muda dan putih?dan cake, dan buah-buahan, dan

bonbon Prancis yang menggiurkan, dan empat buket besar bunga

segar di tengah meja! Di tengah musim dingin begini, bungabunga itu pasti mahal.

Pemandangan itu membuat napas mereka tercekat. Mula-mula

mata mereka terpaku ke meja, kemudian beralih memandang ibu

mereka yang tampak amat menikmati momen tersebut.

"Apakah ada peri-peri?" tanya Amy.
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Santa Klaus," kata Beth.

"Marmee yang mengatur ini semua," kata Meg sambil memamerkan senyumnya yang paling manis, meskipun ia masih mengenakan jenggot abu-abu dan alis putih.

"Bibi March sedang berbaik hati, dan mengirimkan makan malam," seru Jo yang tiba-tiba mendapat inspirasi.

"Semuanya salah. Mr. Laurence yang mengirimnya," kata

Mrs. March.

"Kakek si bocah Laurence! Apa yang membuatnya punya pikiran aneh-aneh? Kita tidak kenal dia," kata Meg.

"Hannah bercerita tentang sarapan kalian kepada salah satu pelayannya. Ia pria tua yang nyentrik, tetapi cerita itu membuatnya

terkesan. Ia kenal ayahku, dulu... sekian tahun lalu. Maka sore tadi

ia mengirim surat bernada sopan. Katanya, ia berharap aku mengizinkannya mengungkapkan simpatinya kepada anak-anakku dengan mengirimkan makanan sekadarnya untuk menghormati hari

ini. Aku tidak mungkin menolak, itu sebabnya kalian bisa berpesta

malam ini untuk menebus sarapan roti dan susu pagi tadi."

"Pasti bocah itu yang menyarankan ini kepada kakeknya, aku

yakin! Dia anak baik, moga-moga saja kami bisa berteman. Menurutku dia ingin berkenalan dengan kita, tetapi dia pemalu, sementara Meg yang sangat sopan tidak akan membiarkan aku berbicara

dengannya jika kami melewati dia," kata Jo, sementara piringpiring berseliweran, dan es krim mulai menghilang dari pandangan diiringi seruan oh! dan ah! yang menyatakan kepuasan.

"Maksudmu orang-orang yang tinggal di rumah besar di sebelah, bukan?" tanya salah seorang gadis. "Ibuku tahu Pak Tua

Laurence, tapi katanya lelaki itu sombong dan tidak suka bergaul

dengan para tetangga. Cucunya dilarang pergi keluar, kecuali saat

naik kereta atau berjalan-jalan dengan tutornya. Lelaki tua itu memaksa cucunya belajar sangat keras. Kami pernah mengundangnya ke pesta kami, tetapi ia tidak datang. Ibu bilang ia anak baik,

walaupun tidak pernah berbicara dengan kami para gadis."

"Kucing kami pernah kabur dari rumah, dan ia datang mengantarkan kucing itu. Kami berbicara dari balik pagar. Kami sedang

mengobrol, membicarakan kriket dan lain-lain, ketika dia melihat

Meg datang, lalu ia pergi begitu saja. Kapan-kapan aku ingin berkenalan dengannya. Menurutku, dan aku yakin pendapatku benar,

ia perlu bersenang-senang," kata Jo dengan mantap.

"Aku suka perilakunya, dan kelihatannya dia benar-benar tulus

dan sopan. Karena itu, aku tidak keberatan kalian berkenalan dengannya jika ada kesempatan yang baik. Ia yang membawa bungabunga itu. Seharusnya tadi aku menawarinya masuk ke rumah...

ah, kalau saja aku tahu apa yang sedang berlangsung di lantai atas.

Wajahnya murung ketika pamit pulang. Rupanya ia mendengar

canda tawa kalian. Aku yakin, dia belum pernah punya pengalaman menyenangkan penuh canda tawa."

"Untung Ibu tidak mengundangnya masuk," kata Jo sambil

tertawa dan melihat ke arah sepatu botnya. "Tapi kita akan mengadakan pertunjukan lagi kapan-kapan, yang bisa ia tonton. Mungkin ia malah bisa ikut memainkan suatu peran. Menyenangkan,

bukan?"

"Aku belum pernah menerima buket bunga; cantik sekali,"

kata Meg sambil mengamati bunga-bunganya lekat-lekat.

"Memang indah, tetapi bagiku mawar-mawar dari Beth lebih

cantik," kata Mrs. March sambil mencium bunga-bunga layu di

ikat pinggangnya.

Beth duduk di pangkuan ibunya, lalu berbisik pelan, "Andaikan aku bisa mengirimkan bunga-bungaku kepada Ayah. Aku khawatir, Hari Natal bagi Ayah tidak semeriah Hari Natal kita."

Laurence Boy

"J

o! Jo! Di mana kau?" seru Meg dari dasar tangga loteng.

"Di sini," terdengar suara serak dari loteng. Meg berlari

naik dan menemukan adiknya sedang mengunyah apel dan menangis sambil membaca Pewaris Redcliffe. Tubuhnya terbalut selimut

dan ia duduk di sofa berkaki tiga yang terletak di dekat jendela

yang ditembus cahaya matahari. Itulah tempat kesukaan Jo. Di

loteng, ia senang menyendiri bersama setengah lusin apel musim

dingin dan sebuah buku, menikmati ketenangan, ditemani beberapa tikus yang tinggal di dekat situ, dan tidak keberatan berbagi

tempat dengan Jo. Saat Meg muncul, Scrabble mundur masuk ke

dalam lubangnya. Jo mengusap air mata dari pipinya lalu menunggu kabar dari Meg.

"Senangnya! Lihat! Ada undangan dari Mrs. Gardiner untuk

besok malam!" seru Meg sambil melambaikan kertas berharga itu,

kemudian membacanya dengan keriangan khas seorang gadis.

"?Mrs. Gardiner akan senang sekali menyambut Miss March

dan Miss Josephine pada acara dansa Malam Tahun Baru.? Marmee mengizinkan kita pergi. Nah, apa yang akan kita kenakan?"

"Kenapa bertanya? Kau kan tahu kita akan mengenakan gaun

poplin yang sama, karena kita tidak punya pakaian lain selain itu,"

sahut Jo dengan mulut penuh.

"Kalau saja aku punya gaun sutra!" keluh Meg. "Ibu bilang aku

mungkin bisa memiliki gaun sutra waktu umurku delapan belas

nanti, tapi menunggu dua tahun rasanya seperti menunggu selamanya."

"Aku yakin gaun poplin kita akan tampak seperti gaun sutra,

lagi pula masih cukup bagus. Gaunmu malah kelihatan seperti

baru, tapi aku lupa, di gaunku ada bekas terbakar dan bagian yang

sobek. Apa yang harus kulakukan? Bekas terbakar itu jelek sekali,

dan tidak mungkin dipotong."

"Kau harus duduk setenang mungkin, jaga agar punggungmu

tidak terlihat; bagian depannya tidak masalah. Aku akan menghias

rambutku dengan pita baru, dan Marmee akan meminjamiku bros

mutiara kecilnya, sandal baruku pasti tampak cantik, dan sarung

tanganku cukup pantas, meskipun tidak sebagus yang kuinginkan."

"Punyaku sudah ternoda sari jeruk, dan aku tidak bisa membeli

yang baru, jadi aku harus pergi tanpa sarung tangan," kata Jo, yang

tidak pernah terlalu memusingkan penampilan.

"Kau harus mengenakan sarung tangan, atau aku tidak mau

pergi," ancam Meg. "Sarung tangan adalah segalanya; kau tidak

bisa berdansa tanpa mengenakan sarung tangan. Dan jika kau tidak berdansa aku akan malu sekali."

"Kalau begitu aku akan duduk diam; aku tidak suka dansa ramai-ramai dan berderet-deret begitu; tidak asyik berputar-putar

begitu, aku lebih suka hilir-mudik dan melompat-lompat."

"Tidak mungkin kau minta sarung tangan baru pada Ibu, harganya mahal sekali, dan kau sangat ceroboh. Waktu kau mengotori

sarung tanganmu, ia berkata tidak akan membelikanmu yang baru

sepanjang musim dingin ini. Tidak bisakah dibersihkan?" Meg

bertanya cemas.

"Yah, aku bisa menggenggamnya erat-erat, jadi tidak ada yang

melihat nodanya. Ya, begitu. Eh... tunggu! Aku punya ide?kita

masing-masing mengenakan satu yang bagus, dan menggenggam

satu yang jelek, bagaimana?"

"Tanganmu lebih besar daripada tanganku, nanti sarung tanganku pasti akan mulur jelek sekali," kata Meg. Baginya, sarung

tangan adalah topik yang sensitif.

"Kalau begitu, aku tidak akan mengenakannya. Aku tidak peduli komentar orang-orang," balas Jo sambil memungut bukunya.

"Baiklah, baiklah! Tapi jangan sampai kotor, dan harus kau

jaga baik-baik, ya. Jangan menautkan kedua tanganmu di belakang

punggungmu, atau memandang seseorang lekat-lekat, atau berkata, ?Christopher Columbus!?, ya!"

"Jangan khawatir. Aku akan bersikap manis semanis porselen,

dan tidak akan merusakkan apa pun... kalau bisa. Pergi sana dan

jawab undangan itu... biarkan aku menyelesaikan cerita yang luar

biasa ini."

Begitulah. Meg turun untuk menulis jawaban "undangan diterima, terima kasih", memeriksa gaunnya, dan bernyanyi riang

sambil membetulkan renda gaunnya; sementara Jo menyelesaikan

bukunya, menghabiskan empat buah apel, dan mengejar-ngejar

Scrabble.

Pada Malam Tahun Baru, ruang duduk tampak kosong. Dua

gadis yang lebih muda sedang berperan sebagai pelayan pengurus

pakaian, sementara dua gadis lainnya berkonsentrasi penuh dalam

urusan penting "bersiap menghadiri pesta". Kamar rias mereka se44

derhana, tetapi ada kesibukan luar biasa di dalamnya, tawa dan

obrolan, bahkan aroma kuat rambut yang terbakar. Meg ingin ada

rambut ikal membingkai wajahnya, dan Jo menjepit rambut berlapis kertas itu dengan capit panas.

"Apakah memang harus berasap begitu?" tanya Beth dari tempat tidur.

"Itu aroma rambut basah yang mengering," kata Jo.

"Baunya aneh! Seperti bau bulu hangus," Amy berkomentar

sambil menyisir rambut ikalnya yang indah dengan sikap agak sok.

"Nah, sudah. Lepaskan kertas-kertasnya dan kau akan melihat

ikal-ikal manis di sini," Jo berkata sambil meletakkan penjepit itu.

Meg melakukan perintah Jo, tetapi tidak ada ikal-ikal manis

yang muncul, malahan helai-helai rambut Meg tampak menempel

pada kertas-kertas itu. Dengan wajah kaget bercampur ngeri, si penata rambut meletakkan sejimpit demi sejimpit rambut gosong itu

berjajar di atas meja, di hadapan si korban.

"Oh, oh, oh! Apa yang telah kaulakukan? Rusak sudah! Aku

tidak bisa pergi! Rambutku, aduh, rambutku!" Meg melolong, dan

dengan putus asa menatap ikal rambut yang tidak rata lagi di dahinya.

"Aku memang sial! Harusnya kau tidak memintaku melakukannya; aku selalu merusak segalanya. Aku sungguh menyesal,

tapi penjepit itu terlalu panas, jadi aku mengacaukannya," Jo yang

malang mengeluh dan menunjuk rambut gosong itu sambil menangis menyesal.

"Tidak apa-apa, kok; kau masih bisa menatanya, kemudian

mengikatkan pitamu sedemikian agar ujungnya sedikit terjurai di

dahimu, nanti malah akan terlihat seperti tren terbaru. Aku lihat

banyak gadis melakukannya," hibur Amy.

"Aku memang pantas sial begini karena terlalu memaksakan

diri. Kalau saja kubiarkan rambutku apa adanya," kata Meg kesal.

"Aku bersimpati padamu, rambutmu begitu halus dan indah.

Tapi tak lama pasti akan tumbuh lagi," kata Beth. Ia berjalan

menghampiri Meg untuk menciumnya dan menghibur kakaknya

yang sedih itu.

Setelah beberapa kemalangan kecil lainnya, Meg akhirnya selesai berdandan, dan dengan bantuan saudara-saudaranya, rambut Jo selesai disanggul dan gaunnya dikenakan. Mereka tampak

amat pantas dalam busana sederhana itu. Meg mengenakan gaun

berwarna keperakan, jaring rambut beludru berwarna biru, hiasan

renda, dan bros mutiara; sementara Jo mengenakan gaun warna

marun dengan kerah kaku yang maskulin, dan satu-dua kuntum

bunga seruni sebagai pemanis. Masing-masing mengenakan satu

sarung tangan yang indah, dan menggenggam satu yang bernoda,

dan semuanya sepakat bahwa mereka tampak "rileks dan manis".

Selop berhak tinggi milik Meg sempit dan membuat kakinya sakit, meskipun ia tidak mau mengakuinya, dan sembilan belas jepit

rambut di kepala Jo terasa menusuk-nusuk, sehingga ia tidak merasa nyaman. Tapi, yah, mereka harus tampil anggun atau mati.

"Selamat bersenang-senang, anak-anak," ucap Mrs. March,

saat kedua kakak-beradik itu berjalan dengan anggun. "Jangan makan terlalu banyak, dan pulanglah pada pukul sebelas, saat Hannah

datang menjemput kalian." Ketika pintu menutup di belakang mereka, sebuah suara terdengar dari salah satu jendela,

"Anak-anak! Apakah kalian sudah membawa saputangan saku

yang bagus?"

"Ya, ya, indah sekali, dan Meg telah memerciki saputangannya

dengan Kolonye," Jo menjawab nyaring sambil tertawa dan meneruskan berjalan. "Aku yakin, Marmee pasti akan menanyakan itu

bahkan jika kita melarikan diri dari gempa bumi."

"Itu contoh selera ningratnya yang baik, dan memang seharusnya begitu, karena wanita sejati bisa dilihat dari sepatu bot, sarung

tangan, dan saputangannya yang indah," balas Meg, yang juga punya cukup banyak "selera ningrat".

"Nah, jangan lupa menyembunyikan bagian pakaianmu yang

jelek, Jo. Apakah pita pinggangku sudah pas; apakah rambutku

tampak sangat buruk?" tanya Meg, sembari berputar di depan cermin, di dalam ruang rias di rumah Mrs. Gardiner, setelah cukup

lama mematut-matut diri.

"Aku pasti lupa nanti. Kalau kaulihat aku melakukan sesuatu

yang salah, ingatkan aku dengan kedipan, ya?" balas Jo. Ia menarik

lagi kerahnya dan dengan tergesa berusaha merapikan rambutnya.

"Tidak mau. Mengedip tidak pantas bagi seorang lady. Aku

akan menaikkan alisku jika ada yang salah, dan mengangguk kalau semuanya baik. Sekarang, luruskan pundakmu, dan berjalanlah

dengan langkah pendek-pendek. Dan jangan bersalaman saat kau

dikenalkan kepada seseorang, bukan begitu cara yang pantas."

"Bagaimana kau bisa mempelajari semua etiket yang benar itu?

Aku tidak pernah bisa. Hei, musik itu riang sekali, ya?"

Mereka lalu keluar, merasa sedikit takut, karena mereka tidak

sering menghadiri pesta-pesta. Meskipun suasananya tidak formal, namun acara tersebut tetaplah istimewa bagi mereka. Mrs.

Gardiner, seorang wanita tua yang anggun, menyambut mereka

dengan ramah, lalu mempertemukan Meg dan Jo dengan putri sulungnya, yang tertua dari enam anak perempuan. Meg mengenal

Sallie, dan segera saja mereka terlibat dalam obrolan yang akrab.

Namun, Jo, yang tidak pernah peduli pada gadis-gadis lain atau gosip-gosip khas para gadis, berdiri canggung dengan punggung menempel pada dinding. Ia merasa secanggung anak kuda di tengah

taman bunga. Di bagian lain ruangan itu, enam pemuda dengan

riang mengobrolkan kegiatan berseluncur. Jo sangat ingin menghampiri mereka dan ikut mengobrol karena berseluncur adalah salah satu kegemarannya. Ia mengisyaratkan keinginannya kepada

Meg, tetapi alis kakaknya naik penuh peringatan, sehingga Jo tidak

berani bergerak. Tidak ada yang datang untuk mengobrol dengannya. Satu demi satu, mereka yang tadinya berdiri di dekatnya pergi, sampai Jo akhirnya sendirian. Ia tidak bisa berkeliling ruangan

dan mencari hiburan, karena noda terbakar di gaunnya akan terlihat, jadi Jo hanya menatap orang-orang dengan pandangan muram

sampai acara dansa dimulai. Segera saja seseorang meminta Meg

berdansa, dan sepasang selop sempit itu pun bergerak lincah. Tidak

akan ada yang mengira bahwa pemakainya menahan sakit di balik

senyumnya. Jo melihat seorang pemuda berambut merah berjalan

ke arah tempatnya berdiri. Mengira pemuda itu akan menghampirinya, Jo menyelinap ke ceruk di balik tirai, berniat mengintip
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serta menikmati suasana dengan tenang. Sayang sekali, seorang

pemalu lainnya telah memilih tempat persembunyian yang sama.

Ketika tirai menutup di belakangnya, Jo mendapati dirinya bertatapan dengan si "Laurence Boy".

"Wah, aku tidak tahu ada orang di sini!" Jo tergagap, kemudian

beranjak hendak kembali ke luar secepat ia masuk tadi.

Namun, anak muda itu tertawa dan berkata dengan ceria, meskipun ia pun terlihat terkejut,

"Jangan pedulikan aku. Tetaplah di sini kalau kau mau."

"Apakah aku membuatmu terganggu?"

"Sama sekali tidak. Aku masuk kemari karena aku tidak kenal

banyak orang, dan awalnya tadi aku merasa aneh...."

"Aku juga. Tolong, jangan pergi, kecuali kalau kau ingin pergi."

Anak muda itu kembali duduk lalu memandangi sepatunya,

sampai Jo membuka mulut, mencoba bersikap sopan dan ramah,

"Aku rasa, aku pernah melihatmu. Kau tinggal di dekat rumah

kami, kan?"

"Di sebelah," ia mengangkat kepalanya dan langsung tertawa.

Sopan santun Jo terasa lucu ketika Laurence teringat obrolan me48

reka tentang kriket ketika ia mengantarkan kucing mereka yang

hilang.

Tawanya mencairkan sikap kaku Jo; ia ikut tertawa lepas, seperti yang sering ia lakukan.

"Kami senang sekali mendapat kiriman hadiah Natal darimu."

"Kakek yang mengirimnya."

"Tapi, kau yang menyarankan kepadanya, kan?"

"Bagaimana kabar kucingmu, Miss March?" tanya anak muda

itu, mencoba bersikap sok santun, padahal kedua matanya yang

hitam bersinar jenaka.

"Dia baik, terima kasih, Mr. Laurence. Tetapi, aku bukan Miss

March. Cukup Jo saja," balas si gadis.

"Aku bukan Mr. Laurence, cukup Laurie saja."

"Laurie Laurence; nama yang aneh."

"Nama pertamaku adalah Theodore, tapi aku tidak suka nama

itu karena orang-orang suka memanggilku Dora, jadi aku mengubahnya menjadi Laurie."

"Aku juga tidak suka namaku?terlalu sentimentil! Aku ingin

semua orang memanggilku Jo, bukan Josephine. Bagaimana kau

membuat anak-anak lelaki berhenti memanggilmu Dora?"

"Mereka aku paksa."

"Aku tidak bisa memaksa Bibi March, jadi sepertinya aku harus pasrah," kata Jo sambil mengembuskan napas.

"Apakah kau tidak senang berdansa, Miss Jo?" tanya Laurie,

berusaha memberi kesan bahwa ia berpendapat nama itu cocok untuk Jo.

"Tidak masalah jika ruangannya cukup luas dan suasananya

tidak begitu resmi. Di tempat seperti ini, aku pasti akan mengacaukan suasana, tak sengaja menginjak kaki orang lain, atau menabrak

sesuatu, atau lainnya. Karena itu, aku menghindari kemungkinankemungkinan itu dan membiarkan Meg tampil cantik. Apakah

kau suka berdansa?"

"Kadang-kadang. Aku tinggal di luar negeri beberapa tahun

dan masih belum paham kebiasaan kalian di sini."

"Di negara lain!" seru Jo. "Oh, ceritakan padaku! Aku senang

sekali mendengar kisah perjalanan orang lain."

Laurie tampak bingung dan tidak tahu dari mana memulai ceritanya, tetapi pertanyaan-pertanyaan Jo yang mendesak segera memicunya. Ia bercerita bahwa dulu ia bersekolah di Vevey, bahwa di

sana anak-anak lelaki tidak pernah memakai topi, bahwa mereka

sering berperahu di danau, dan masa liburan yang menyenangkan

diisi dengan berjalan kaki menjelajahi Swiss bersama guru mereka.

"Oh, aku ingin sekali berada di sana!" Jo berseru lagi. "Apakah

kau pergi ke Paris?"

"Musim dingin tahun lalu kami berlibur di sana."

"Kau bisa berbahasa Prancis?"

"Kami tidak diizinkan berbicara bahasa lain di Vevey."

"Katakan sesuatu. Aku bisa membacanya, tetapi tidak bisa

mengucapkannya."

"Quel nom a cette jeune demoiselle en les pantoufles jolis?" kata Laurie ramah.

"Bagus sekali! Coba kuterka?kau mengatakan, ?Siapa gadis

muda yang mengenakan sandal cantik itu?, ya kan?"

"Oui, mademoiselle."

"Ia kakakku, Margaret, dan kau tahu dia! Menurutmu dia cantik?"

"Ya. Ia mengingatkan aku pada gadis-gadis Jerman, dia kelihatan sangat segar sekaligus tenang, dan dia berdansa layaknya

seorang lady."

Jo senang mendengar pujian anak muda itu terhadap kakaknya.

Ia mengingat-ingat pujian itu untuk nanti disampaikan kepada

Meg. Mereka meneruskan mengintip, mengkritik, dan mengobrol,

sampai mereka merasa seperti sahabat lama. Perilaku Jo yang seperti anak lelaki membuat Laurie merasa santai, dan segera saja sikap malu-malunya hilang. Keceriaan Jo pun kembali, ia lupa pada

robekan di bajunya karena tak ada alis yang diangkat sementara pemiliknya memandang ke arahnya. Ia semakin merasa senang pada

"Laurence boy", dan beberapa kali memandangnya lekat-lekat agar

dapat menggambarkan sosok anak muda itu kepada adik-adiknya.

Mereka tidak punya saudara lelaki, sangat sedikit sepupu laki-laki,

dan anak lelaki pada umumnya hampir-hampir seperti makhluk

asing bagi mereka.

Rambut hitam ikal, kulit cokelat, mata hitam besar, hidung

mancung, gigi rapi, tangan dan kaki kecil, sama tingginya denganku; amat sopan untuk seorang anak lelaki, dan secara keseluruhan

menyenangkan. Kira-kira berapakah usianya?

Pertanyaan itu sudah ada di ujung lidah Jo, tetapi ia berhasil

menahan diri. Dengan sikap santun yang bukan merupakan kebiasaannya, ia mencoba bertanya dengan cara lain.

"Tak lama lagi kau akan kuliah, ya? Kuperhatikan kau ini kutu

buku?eh, maksudku, selalu belajar dengan giat," wajah Jo memerah karena kelepasan mengatakan "kutu buku".

Laurie tersenyum, namun tidak tampak terkejut. Ia menjawab

sambil mengangkat bahu,

"Masih dua atau tiga tahun lagi, yang jelas aku tidak akan mulai kuliah sebelum umur tujuh belas."

"Bukankah usiamu lima belas?" tanya Jo sambil memandang

anak muda bertubuh jangkung itu, yang disangkanya telah berusia

tujuh belas.

"Enam belas, bulan depan."

"Kalau saja aku bisa kuliah. Sepertinya kau tidak senang kuliah, ya."

"Benci sekali! Isinya hanya belajar keras dan saling mengolokolok, dan aku tidak suka cara keduanya dilakukan di negara ini."

"Apa yang kausukai?"

"Tinggal di Italia dan menikmati hidup dengan caraku sendiri."

Jo sangat ingin tahu apa yang dimaksud Laurie "dengan caraku

sendiri", tapi sepasang alis hitamnya yang bertaut memberi kesan

Laurie tidak suka ditanya soal itu, jadi Jo?sambil mengetuk-ngetukkan kakinya mengikuti irama?mengalihkan topik obrolan mereka dengan berkata, "Itu irama polka yang bagus sekali. Mengapa

kau tidak keluar dan mencoba berdansa?"

"Aku mau jika kau juga keluar," jawab Laurie sambil sedikit

membungkukkan badan dengan gaya Prancis yang aneh.

"Tidak bisa. Aku sudah berjanji pada Meg aku tidak akan berdansa, karena..." kata-kata Jo terhenti. Ia tampak kesulitan memutuskan untuk tertawa atau berterus terang.

"Karena apa?" Laurie bertanya ingin tahu.

"Kau tidak akan cerita kepada siapa-siapa?"

"Tidak akan!"

"Yah, aku sering sial jika berdiri di depan api, bajuku jadi terbakar dan yang satu ini ada noda hangusnya. Meskipun sudah ditisik baik-baik, bekasnya masih ada. Karena itu, Meg menyuruhku diam membelakangi dinding agar tidak ada yang melihat noda

hangus di punggung gaun ini. Kau boleh tertawa kalau mau, ini

memang lucu kok."

Tapi Laurie hanya diam. Beberapa saat ia memandang lantai.

Ketika ia membuka mulut, ekspresi wajahnya membuat Jo bingung. Katanya,

"Jangan khawatir. Aku ada ide. Di sana ada selasar panjang.

Kita bisa berdansa bebas di sana, tak ada yang akan melihat kita.

Ayolah, kumohon."

Jo mengucapkan terima kasih, lalu mengikuti Laurie dengan senang hati. Ketika melihat sarung tangan Laurie yang bagus dengan

warna seperti warna mutiara, dalam hati ia berharap malam itu ia

mengenakan sepasang sarung tangan cantik. Selasar itu kosong.

Mereka berdansa polka dengan riang dan santai. Laurie pandai berdansa. Ia membuat Jo senang dengan mengajarkan gaya Jerman

yang penuh ayunan dan lompatan. Setelah musik pengiring usai,

mereka duduk di undakan untuk mengatur napas. Laurie tengah

bercerita tentang festival pelajar di Heidelberg ketika Meg muncul

mencari adiknya. Ia memanggil dan Jo dengan enggan mengikutinya masuk ke dalam sebuah ruangan kecil. Di situ, Meg duduk di

sofa sambil memegangi kakinya. Wajahnya pucat.

"Pergelangan kakiku terkilir. Hak tinggi yang konyol ini berputar dan kakiku jadi terpuntir. Sakit sekali, aku nyaris tidak bisa

berdiri. Aku tak tahu apa aku bisa berjalan kaki pulang," katanya.

Tubuhnya terayun-ayun karena kesakitan.

"Sudah kuduga kau akan terkilir karena selop konyol itu. Maaf,

tapi sepertinya kau tidak bisa melakukan apa pun, kecuali memanggil kereta, atau menginap di sini malam ini," sahut Jo, sambil

dengan lembut mengusap-usap pergelangan kaki yang malang itu.

"Tidak mungkin memanggil kereta tanpa membayar mahal,

malah aku yakin kita tidak mungkin menyewa kereta. Kebanyakan orang-orang datang dengan kereta mereka sendiri, lagi pula letak istal cukup jauh dan tidak ada yang bisa dimintai tolong."

"Aku bisa ke sana."

"Jangan, sekarang sudah jam sepuluh lewat. Di luar gelap sekali. Aku tidak bisa bermalam di sini karena sudah penuh. Sallie

mengundang beberapa gadis untuk menginap. Aku akan beristirahat sampai Hannah datang menjemput lalu nanti aku akan berusaha sebaik mungkin."

"Aku bisa minta tolong pada Laurie, dia pasti mau," kata Jo,

tampak lega karena gagasan itu.

"Oh, tidak! Jangan minta tolong atau menceritakan ini kepada

siapa pun. Ambilkan sepatu botku dan taruh sandalku ini bersama

barang-barang kita yang lain. Aku tidak bisa berdansa lagi. Segera

setelah makan malam selesai, lihatlah apakah Hannah sudah datang. Segera beritahu aku begitu ia datang."

"Mereka sedang makan malam sekarang. Aku akan tetap di

sini menemanimu."

"Jangan, Sayang. Pergilah makan, lalu bawakan aku secangkir

kopi. Aku capek sekali, aku tidak bisa bergerak."

Kemudian Meg berbaring, sepatu botnya aman tersembunyi. Jo

pergi mencari ruang makan?yang ia temukan setelah tersasar ke

lemari penyimpan porselen dan membuka pintu ruangan pribadi

tempat Mrs. Gardiner tua sedang menikmati kudapan. Jo langsung

berjalan ke meja dan mengambil secangkir kopi. Kopi itu tumpah,

menodai bagian depan bajunya yang kini tampak seburuk bagian

belakangnya.

"Ya, ampun! Betapa cerobohnya aku!" seru Jo sembari berusaha membersihkan sarung tangan Meg dengan menggosokkannya

ke gaunnya.

"Bisa kubantu?" tanya sebuah suara ramah. Laurie muncul dengan secangkir minuman di satu tangan dan semangkuk es di tangan yang satunya.

"Aku hendak mengambilkan sesuatu untuk Meg yang sedang

kelelahan. Seseorang menyenggolku dan... beginilah aku... tampak

sangat anggun, kan?" sahut Jo sambil melirik muram ke arah gaunnya yang bernoda dan sarung tangan yang kini berwarna hitam.

"Sayang sekali! Aku ingin memberikan ini kepada seseorang.

Bolehkah aku memberikan ini kepada kakakmu?"

"Oh, terima kasih. Mari kutunjukkan di mana dia. Aku tidak

ingin membawa itu ke sana, karena pasti akan terjadi kecelakaan

lain jika aku yang membawanya."

Jo menunjukkan jalan. Dan, seolah sudah terbiasa melayani

wanita terhormat, Laurie mendekatkan sebuah meja kecil ke sofa,

mengambilkan secangkir kopi dan es untuk Jo, dan bersikap begitu

penuh perhatian hingga Meg yang biasanya suka menilai orang

bahkan menyebutnya "anak yang baik." Mereka berbincang seru

sambil menikmati bonbon, dan sedang asyik bermain "buzz" dengan dua atau tiga remaja lain yang tanpa sengaja masuk ke ruangan itu, ketika Hannah datang. Meg lupa akan sakitnya dan berdiri

begitu cepat sampai ia terpaksa berpegangan pada Jo sambil mengerang kesakitan.

"Ssst! Jangan katakan apa pun," bisiknya. Kemudian ia menambahkan dengan suara lebih keras, "Tidak apa-apa. Kakiku terkilir sedikit?itu saja," lalu ia berjalan terpincang-pincang ke lantai

atas untuk mengambil barang-barangnya.

Hannah mengomel, Meg menangis, dan kesabaran Jo nyaris

habis, sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengambil alih situasi. Ia menyelinap keluar lalu berlari turun untuk menemui seorang pelayan dan memintanya mencarikan kereta sewaan. Ternyata dia seorang pelayan sewaan, yang tidak mengenal lingkungan di

sana. Jo berkeliling mencari bantuan. Laurie, yang mendengar apa

yang dilakukan Jo, segera datang dan menawarkan kereta kakeknya yang baru saja sampai untuk menjemputnya.

"Malam belum larut?kau tidak ingin pulang sekarang, kan?"

kata Jo. Ia tampak lega, namun enggan menerima tawaran itu.

"Aku selalu pulang lebih awal?sungguh. Izinkan aku mengantarkan kalian pulang. Kita searah sejalan, bukan? Lagi pula di luar

hujan sekarang."

Alasan yang baik. Setelah menceritakan kemalangan Meg,

Jo dengan senang hati menerima bantuan Laurie. Segera ia naik

ke lantai atas lalu membawa rombongannya turun. Hannah sangat benci hujan seperti kucing, jadi ia tidak perlu dibujuk-bujuk.

Akhirnya mereka pulang naik kereta mewah itu dengan perasaan

senang dan merasa diri mereka bagaikan wanita-wanita anggun.
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Laurie duduk di depan agar Meg dapat menopangkan kakinya ke

tempat duduk. Sepanjang jalan kedua gadis itu dengan riang membicarakan pesta mereka.

"Aku senang sekali tadi. Kau bagaimana?" tanya Jo sambil

mengacak-acak rambutnya, mencoba membuat dirinya merasa lebih nyaman.

"Aku juga, sampai sebelum kakiku terkilir. Teman Sallie,

Annie Moffat, senang berkenalan denganku. Ia mengundangku

ke rumahnya untuk tinggal satu minggu bersamanya jika Sallie

sedang menginap di sana. Sallie akan ke sana musim semi nanti,

ketika ada pertunjukan opera. Pasti sangat menyenangkan jika Ibu

mengizinkan aku pergi," kata Meg. Ia merasa riang ketika ingat

undangan itu.

"Aku melihatmu berdansa dengan pemuda berambut merah

yang kuhindari. Apakah ia menyenangkan?"

"Oh, sangat! Rambutnya cokelat kemerahan, bukan merah. Ia

sangat sopan. Kami berdansa redowa dengan sangat seru!"

"Ia tampak seperti belalang panik ketika melakukan langkahlangkah baru. Laurie dan aku tak bisa menahan tawa melihat dia.

Apakah kau mendengar tawa kami?"

"Tidak, tapi itu kasar sekali. Apa saja yang kalian lakukan selama itu, bersembunyi di sana?"

Jo menceritakan pengalamannya. Tepat ketika ceritanya selesai, mereka sampai di rumah. Setelah berkali-kali mengucapkan

terima kasih, mereka mengucapkan "Selamat malam" lalu berjingkat-jingkat masuk ke rumah, berusaha tidak mengganggu siapa

pun. Namun begitu pintu dibuka, dua kepala bertutup topi tidur

melompat mendekat dan dua suara yang mengantuk namun bersemangat langsung terdengar,

"Ceritakan mengenai pestanya! Ceritakan!"

Jo sempat mengambilkan bonbon untuk adik-adiknya, meskipun Meg menyebutnya "sama sekali tidak sopan". Setelah mendengar peristiwa-peristiwa paling seru di pesta malam itu, kegaduhan mereka pun mereda.

"Kubilang, aku sungguh merasa seperti seorang lady, pulang

pesta naik kereta mewah dan duduk santai dalam pakaian ini sambil dilayani seorang pelayan," kata Meg, sementara Jo mengolesi

kakinya dengan ramuan arnica lalu menyisir rambutnya.

"Rasanya tidak ada seorang lady pun yang bersenang-senang lebih dari kita, walaupun dengan rambut terbakar, gaun tua, sarung

tangan masing-masing sebelah, dan selop kekecilan yang membuat

kaki terkilir... karena kita cukup konyol untuk itu semua." Dan

aku sependapat dengan Jo.

Beban Hidup

"A

duh, rasanya susah sekali bangun dan bekerja," keluh

Meg pada pagi hari setelah pesta. Masa liburan telah berakhir. Satu pekan bersenang-senang tidak cukup untuk mengangkat kembali semangatnya dalam mengerjakan tugas-tugas yang

tidak ia sukai.

"Kalau saja setiap hari adalah Hari Natal atau Tahun Baru,

pasti menyenangkan. Ya, kan?" sahut Jo sambil menguap dengan

wajah muram.

"Kita tidak boleh bermalas-malasan seperti sekarang. Tapi,

sepertinya enak jika mendapat kiriman makanan cukup mewah

dan buket bunga, pergi ke pesta, lalu pulang naik kereta kuda, lalu

membaca-baca dan bersantai, dan tidak perlu bekerja terlalu keras. Yah, seperti orang-orang lain. Aku selalu iri pada gadis-gadis

yang hidup seperti itu; aku suka kenyamanan," kata Meg, sambil

mencoba memutuskan yang mana di antara dua gaun tuanya yang

tampak lebih kurang lusuhnya.

"Yah, kita tak mungkin bisa meraih kehidupan seperti itu, jadi

marilah berhenti mengomel. Ayo, pikul beban kita dan lakukan

tugas kita dengan ceria seperti Marmee. Yah, Bibi March memang

suka mengomel dan menggerutu, tapi sebenarnya hanya itu masalahnya. Kurasa setelah aku belajar melayaninya tanpa mengeluh,

bebanku pasti akan berkurang dan makin lama akan makin terasa

ringan, begitu ringannya, sampai aku tidak akan merasakannya sebagai beban."

Gagasan itu menarik bagi Jo dan berhasil menyalakan semangatnya; namun, Meg tetap murung. Bebannya adalah mengurus

empat anak manja, dan sekarang itu terasa semakin berat, jauh lebih dari sebelumnya. Tidak seperti biasa, kali ini Meg bahkan kehilangan seleranya untuk berdandan. Ia malas mengenakan kalung

pita berwarna biru dan menata rambutnya semenarik mungkin.

"Apa gunanya tampil cantik jika tidak ada yang akan melihatku kecuali sepasukan kurcaci pemarah? Lagi pula, tidak ada yang

peduli apakah aku cantik atau tidak," gumamnya, lalu menutup

laci bajunya dengan gerakan keras. "Sepanjang hidupku aku akan

terpaksa bekerja keras, hanya sedikit bersenang-senang, lantas

menjadi perempuan tua bertampang buruk dan masam, karena

aku miskin tidak bisa menikmati hidup seperti gadis-gadis lain.

Sayang sekali!"

Akhirnya Meg turun dengan tampang kesal. Selama waktu

sarapan, sikapnya sangat menyebalkan. Semua orang bersikap tidak seperti biasanya dan lebih mudah marah. Beth merasa pusing,

kemudian ia berbaring di sofa bersama seekor induk kucing dan

tiga anaknya; Amy gelisah karena belum menguasai pelajaran dan

tidak bisa menemukan penghapusnya; Jo bersiul sambil membuat

kegaduhan saat ia bersiap-siap; Mrs. March sibuk menulis surat

yang harus dikirim sesegera mungkin; Hannah uring-uringan karena semalam ia tidur larut dan itu membuatnya sangat kesal.

"Belum pernah ada keluarga yang begitu pemarah!" seru Jo.

Kejengkelannya meledak setelah sikap canggungnya membuat

tempat tinta terguling, tali sepatunya putus, dan topinya ia duduki

sendiri.

"Kaulah orang yang paling pemarah di sini!" balas Amy, mencoret hasil hitungannya yang salah semuanya sambil menangis.

"Beth, kalau kau tidak mengurung kucing-kucing mengerikan

itu di ruang bawah, aku akan menenggelamkan mereka," ancam

Meg dengan marah, sambil mencoba mengusir seekor anak kucing

yang merambat ke punggungnya lalu bergelung seperti sebuah

gumpalan, jauh dari jangkauannya.

Jo tertawa, Meg bersungut-sungut, Beth memohon-mohon,

dan Amy menjerit, karena ia tidak bisa ingat berapa hasil perkalian

sembilan dengan dua belas.

"Anak-anak! Anak-anak! Diamlah sebentar. Aku harus mengirimkan surat ini dengan kiriman pos paling pagi, tapi kalian

membuat pikiranku buyar dengan segala keributan itu," seru Mrs.

March, sambil mencoret kalimatnya yang kacau untuk ketiga kalinya.

Suasana hening sejenak. Keheningan itu dipecahkan oleh Hannah yang berjalan masuk dengan langkah gaduh, dengan sikap

masa bodoh meletakkan dua kue pai panas di meja, lalu keluar lagi.

Hidangan itu sudah jadi tradisi; anak-anak menamainya "muffs",

karena hanya itu yang tersedia: kue pai tanpa isi berbentuk pastel.

Pada pagi hari yang dingin itu, kue pai panas itu terasa menyenangkan di tangan-tangan mereka. Hannah tidak pernah lupa memasaknya, sesibuk atau sekesal apa pun dia, karena dia tahu kedua

gadis itu harus berjalan jauh dalam cuaca yang tidak bersahabat;

anak-anak malang itu tidak punya bekal lain untuk makan siang,

dan jarang ada yang tiba di rumah sebelum pukul tiga.

"Bermainlah dengan kucing-kucingmu dan tunggu sampai sakit kepalamu sembuh, Bethy. Sampai jumpa, Marmee; kami me60

mang sekumpulan berandal pagi ini, tetapi waktu pulang nanti

sore kami akan menjadi malaikat-malaikatmu lagi seperti biasa.

Ayo, Meg," dan Jo pun berjalan keluar rumah dengan perasaan

seorang pengembara yang tidak memulai perjalanannya seperti seharusnya.

Mereka selalu menoleh ke belakang sebelum berbelok di sudut

jalan karena ibu mereka selalu berdiri di jendela, mengangguk, tersenyum, dan melambaikan tangannya. Entah mengapa, rasanya

tak mungkin mereka sanggup menjalani satu hari tanpa ritual itu.

Bagaimanapun suasana hati mereka, pandangan terakhir ke wajah

keibuan Marmee terasa bak siraman cahaya mentari.

"Kurasa pantas kalau Marmee menggoyangkan kepalan tangannya dan bukan memberikan ciuman jauh kepada kita. Kita

telah bertingkah seperti anak-anak nakal yang tidak tahu terima

kasih," kata Jo. Rasa sesalnya sedikit terlegakan karena jalanan

yang licin dan angin yang dingin menggigit.

"Jangan menggunakan ungkapan yang mengerikan begitu,"

ujar Meg dari balik kerudung tebal penahan dingin yang membuatnya tampak seperti seorang biarawati yang muak dengan dunia.

"Aku suka kata-kata yang bagus, tegas, dan bermakna kuat,"

jawab Jo, sambil berusaha menangkap topinya yang hendak terbang menghilang.

"Silakan sebut dirimu dengan kata apa pun yang kau suka, tetapi aku bukan berandal dan bukan anak nakal, dan aku menolak

disebut demikian."

"Kau ini sibuk bersungut-sungut dan benar-benar menyebalkan hari ini. Itu karena kau selalu menginginkan kehidupan yang

mewah. Kasihan sekali! Tunggu sampai aku berhasil memperoleh

kekayaan... maka kau boleh menikmati pelesiran naik kereta kuda,

es krim, sepatu berhak tinggi, acara baca puisi, dan berdansa dengan pemuda-pemuda berambut merah."

"Konyol sekali kau, Jo!" tetapi Meg tertawa mendengar oceh?

annya, dan perasaannya menjadi lebih baik.

"Memang ? dan kau beruntung karenanya; kalau tadi aku memutuskan memasang tampang masam dan bersikap muram, seperti engkau, pasti runyam. Untunglah, aku selalu menemukan

sesuatu yang lucu, bagaimanapun situasinya, dan karenanya aku

bisa menghibur diriku sendiri. Jangan mengeluh lagi, dan nanti

pulanglah dengan wajah ceria. Itu baru hebat."

Jo menepuk bahu kakaknya, memberi semangat, sebelum mereka berpisah jalan. Masing-masing menuju arah yang berbeda,

masing-masing memeluk bungkusan kecil berisi kue pai hangat,

dan mencoba bersikap riang di tengah udara yang dingin menusuk

tulang, menghadapi kerja keras, serta keinginan-keinginan masa

muda yang tidak terpuaskan.

Ketika Mr. March kehilangan propertinya karena mencoba

menolong seorang teman yang tertimpa kemalangan, dua putrinya

yang tertua memohon agar mereka diizinkan bekerja, setidaknya

untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Orangtua mereka

mengizinkan dengan keyakinan bahwa bekerja, memupuk pengalaman, dan mencicipi kemandirian sejak dini akan bermanfaat

bagi kedua gadis muda itu. Keduanya pun segera bekerja dengan

segunung tekad baik yang, dengan tantangan seberat apa pun, pasti

akan membuahkan keberhasilan pada akhirnya. Margaret diangkat

sebagai kepala pengasuh anak, dan ia merasa kaya dengan upahnya

yang kecil. Seperti dikatakannya sendiri, ia memang "senang pada

kenyamanan", dan kesulitannya yang terbesar adalah kemiskinan.

Dibandingkan dengan adik-adiknya, bagi Meg, kemiskinan lebih

sulit ditanggung, karena ia masih ingat masa-masa ketika rumah

mereka tampak cantik, ketika hidupnya penuh dengan kemudahan

dan kesenangan, serta keinginannya akan bermacam-macam hal

bisa terpenuhi. Ia berusaha keras untuk tidak merasa iri dan selalu

bersyukur, tetapi sangatlah wajar bagi seorang gadis muda untuk

menginginkan hal-hal indah, teman-teman yang menarik, pencapaian, dan kehidupan yang bahagia. Di rumah keluarga King,

setiap hari Meg melihat semua yang ia inginkan. Kakak-kakak

perempuan anak-anak asuhnya sering pergi keluar, dan Meg sering melihat gaun-gaun dansa yang cantik, buket-buket bunga, dan

mendengar gosip seru tentang teater, konser, acara-acara naik kereta seluncur, dan hal-hal seru lainnya. Ia juga melihat bagaimana

uang dihamburkan untuk barang-barang sepele, uang yang begitu

berharga bagi Meg. Meg yang malang jarang mengeluh, tetapi ada

rasa ketidakadilan yang terkadang membuatnya iri terhadap siapa

pun, karena ia belum belajar dan belum memahami betapa kaya

dirinya karena berkat yang dianugerahkan kepadanya, dan bahwa

berkat itu saja sudah cukup untuk membuat hidupnya bahagia.

Jo kebetulan cocok bagi Bibi March yang lemah dan memerlukan seseorang yang gesit untuk melayaninya. Wanita tua tanpa anak itu sempat menawarkan akan mengadopsi salah satu

dari empat bersaudari itu waktu nasib malang menimpa keluarga mereka, dan ia sangat tersinggung ketika tawarannya ditolak.

Teman-teman keluarga March mengatakan bahwa mereka telah

menyia-nyiakan kesempatan untuk dimasukkan ke dalam surat

wasiat perempuan tua itu, namun keluarga March yang saleh hanya berkata?

"Kami tidak bisa menyerahkan satu pun putri kami demi harta.

Kaya atau miskin, kami akan tetap bersama dan berbahagia dengan

kehadiran satu sama lain."

Lama wanita tua itu tidak mau berbicara dengan mereka. Namun, pada suatu hari ia kebetulan bertemu Jo di rumah seorang

teman, dan sesuatu di wajah Jo yang ekspresif dan sikapnya yang

apa adanya menarik hati Bibi March. Ia pun menawari Jo untuk

menjadi semacam asistennya, dengan tugas menemani dan me63

layaninya. Peran itu sama sekali tidak cocok untuk Jo; tetapi ia

menerimanya, karena tidak ada tawaran lain yang lebih baik. Jo

mengejutkan semua orang karena ternyata ia bisa akur dengan

kerabatnya yang pemarah itu. Sesekali mereka bertengkar, dan

pernah Jo berlari pulang dan berkata bahwa ia tidak tahan lagi;

namun Bibi March selalu dapat memperbaiki suasana dengan cepat, kemudian meminta Jo untuk kembali dengan desakan yang

tidak mungkin ditolak gadis itu, karena jauh di dalam hatinya, Jo

sesungguhnya menyukai wanita tua ketus itu.

Kurasa, daya tarik yang sesungguhnya ada pada sebuah perpustakaan besar penuh dengan buku-buku bermutu, yang kini berdebu

dan dipenuhi sarang laba-laba sejak Paman March wafat. Jo masih

ingat pria tua baik hati yang dulu membiarkannya membuat rel kereta api dan jembatan dari kamus-kamusnya yang besar, yang suka

mendongeng tentang gambar-gambar aneh di buku-buku berbahasa Latin, dan membelikannya roti jahe kapan pun mereka bertemu

di jalan. Ruangan remang-remang yang berdebu, dengan patungpatung menatap Jo dari atas rak-rak buku yang tinggi, kursi-kursi

yang nyaman, bola dunia, dan, yang terbaik, koleksi buku yang
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa membawa Jo ke mana pun ia suka, menjadikan perpustakaan

itu bagaikan taman Firdaus baginya. Begitu Bibi March beristirahat siang, atau sibuk dengan tamunya, Jo segera masuk ke ruangan

yang tenang itu. Lalu, sembari duduk bergelung di kursi besar yang

empuk, ia menyelami puisi-puisi, kisah-kisah cinta, sejarah, ceritacerita perjalanan, dan gambar-gambar, layaknya kutu buku sejati.

Akan tetapi, seperti semua hal yang menyenangkan, itu pasti akan

berakhir, dan berakhir dengan cepat. Setiap kali Jo sampai ke pertengahan sebuah cerita, atau larik-larik terindah sebuah lagu, atau

petualangan paling mendebarkan yang dialami si tokoh utama, sebuah suara tinggi melengking terdengar memanggil, "Josy-phine!

Josy-phine!" maka Jo harus segera meninggalkan taman Firdaus64

nya untuk menggulung benang rajut, memandikan anjing, atau

membaca Esai-Esai Belsham, dalam waktu satu jam.

Impian Jo adalah bisa melakukan sesuatu yang luar biasa; apa

tepatnya itu, ia tidak tahu. Jo memasrahkan itu pada sang waktu

sampai ia dapat menemukannya. Sementara itu, cobaan terbesar

baginya adalah fakta bahwa ia tidak bisa membaca, berlari-lari,

atau bersepeda sesering yang ia inginkan. Sifatnya yang mudah

marah, lidahnya yang tajam, dan jiwanya yang selalu gelisah mencari-cari kerap membuat Jo mendapat kesulitan. Hidupnya adalah

serangkaian pengalaman baik dan buruk, yang lucu sekaligus menyedihkan. Namun, hikmah yang ia dapat dari bekerja pada Bibi

March adalah benar-benar yang ia butuhkan. Dan, mengetahui

bahwa ia melakukan sesuatu untuk menyokong dirinya sendiri

membuat Jo senang?meskipun teriakan "Josy-phine!" berulang

terdengar dan seolah takkan berakhir.

Beth terlalu pemalu untuk bersekolah. Ayah-ibunya telah

mencoba menyekolahkannya, tetapi Beth menjadi begitu tersiksa

hingga mereka memutuskan untuk membiarkannya sesukanya.

Maka Beth pun belajar di rumah, dengan ayah mereka sebagai tutor. Bahkan setelah ayah mereka pergi, dan ibu mereka dipanggil

untuk menyumbangkan tenaga dan keahliannya pada Perkumpulan Bantuan Prajurit, Beth meneruskan belajar sendiri dengan sebaik-baiknya. Ia seperti ibu rumah tangga cilik, ia suka membantu

Hannah menjaga agar rumah mereka rapi serta nyaman bagi ibu

dan kakak-kakaknya yang pergi bekerja. Beth tidak pernah memikirkan imbalan apa pun, ia hanya ingin dicintai. Hari-harinya

panjang dan lama, tetapi ia tidak pernah merasa kesepian dan tidak

pernah berpangku tangan. Dunia kecil Beth diisi dengan temanteman khayalan. Secara alamiah, ia senang menyibukkan diri. Ada

enam boneka yang perlu diurus dan didandani setiap pagi, karena

dalam jiwanya sebenarnya ia masih seorang kanak-kanak. Ia me65

nyayangi keenam boneka itu. Tidak satu pun dari boneka-boneka

itu yang baru atau indah; mereka adalah boneka-boneka yang diabaikan sampai Beth mengambil mereka. Ketika kakak-kakaknya

bertumbuh dan tidak suka bermain boneka lagi, mereka memberikannya kepada Beth, karena Amy tidak mau mendapat apa pun

yang usang dan jelek. Justru karena itulah, Beth semakin menyayangi mereka semua. Ia bahkan mendirikan klinik bagi bonekaboneka yang terluka. Tidak ada jarum menancap di tubuh mereka

yang terbuat dari katun; tidak ada kata-kata kasar atau pukulan;

boneka dalam kondisi terburuk pun tidak pernah merasa terlantar, semua diberi makan dan pakaian, dirawat dan dibelai dengan

kasih sayang yang selalu tercurah. Sebuah boneka dalam keadaan

memilukan, dulu adalah milik Jo. Setelah menjalani masa penuh

penderitaan, boneka itu ditinggalkan di dalam karung, dalam keadaan rusak. Dari dalam tempat terakhirnya yang menyedihkan

itulah Beth menyelamatkannya. Boneka itu tidak punya penutup

kepala, maka Beth mengikatkan topi kecil yang manis di kepala

boneka itu. Ia menyembunyikan cacat si boneka tanpa lengan dan

kaki itu di balik selimut yang membungkusnya. Beth juga menyisihkan tempat terbaik di kasurnya untuk makhluk cacat itu.

Andaikan ada yang melihat bagaimana Beth mencurahkan kasih

sayangnya kepada boneka itu, aku yakin ia pasti akan tersentuh,

sekaligus tertawa. Beth memetik bunga untuk boneka itu, membacakannya cerita, membawanya berjalan-jalan menghirup udara

segar, menyembunyikannya di bawah mantel panjangnya, menyanyikan lagu pengantar tidur, dan ia tidak pernah tidur tanpa terlebih dahulu mengecup wajah boneka yang kotor itu, sembari berbisik lembut, "Semoga tidurmu nyenyak, sayangku yang malang."

Beth juga punya masalah, seperti kakak-kakaknya dan adiknya.

Sebagai gadis cilik biasa, bukan malaikat, Beth sering kali "menitikkan sedikit air mata," begitu istilah Jo, karena ia tidak bisa

les musik dan tidak punya piano yang bagus. Beth begitu mencintai musik. Ia berusaha sangat keras dan berlatih dengan tekun

untuk bisa memainkan alat-alat musik tua, sampai-sampai ia merasa bahwa seseorang (tanpa bermaksud menyindir Bibi March)

seharusnya menolongnya. Tetapi, tidak ada yang mengulurkan

tangan, dan tidak ada yang melihat Beth mengusap air mata di

atas tuts-tuts yang telah menguning dan bernada sumbang itu ketika ia sendirian. Beth suka bernyanyi bagaikan seekor burung kecil

ketika ia melakukan tugas-tugasnya. Ia tidak pernah terlalu lelah

untuk memainkan piano di depan Marmee dan ketiga saudarinya.

Setiap hari ia berkata kepada dirinya sendiri dengan penuh harap,

"Aku tahu, kalau aku selalu bersikap baik, suatu hari kelak aku

pasti akan mendapat piano."

Ada banyak Beth di dunia ini, pemalu dan pendiam, duduk

menyendiri hingga seseorang memanggil mereka, dengan riang

membaktikan hidupnya untuk orang lain dan tak ada yang melihat pengorbanan yang diberikannya sampai suatu ketika mereka

menjadi begitu lemah dan tak mampu berbuat apa pun. Kehadiran

mereka yang terasa manis dan ceria hilang?meninggalkan kesunyian dan kehampaan.

Apabila ada yang bertanya kepada Amy mengenai tantangan

terbesar dalam hidupnya, ia pasti langsung menjawab, "Hidungku." Ketika ia masih bayi, Jo tidak sengaja menjatuhkannya ke atas

wadah batubara, dan Amy berkeras kecelakaan itu telah merusak

hidungnya untuk selamanya. Hidungnya tidak besar dan tidak

merah, seperti milik "Petrea" yang malang; hidungnya hanya agak

pesek, dan cubitan sebanyak apa pun tidak bisa membuatnya lebih

mancung. Tidak ada yang memusingkan hidung itu selain Amy,

tetapi ia sungguh-sungguh merasa ingin memiliki hidung Yunani.

Untuk menghibur diri, ia sering menggambar berbagai bentuk hidung yang sempurna pada sehelai kertas.

"Raphael Kecil," begitu kakak-kakaknya menjulukinya, jelas

punya bakat menggambar. Ia suka sekali menggambar aneka bentuk bunga, menggambar peri, atau membuat karya-karya unik sebagai ilustrasi cerita. Guru-gurunya melaporkan bahwa alih-alih

mengerjakan soal-soal ilmu hitung, Amy lebih suka mengisi batu

tulisnya dengan gambar hewan; halaman-halaman kosong pada

atlasnya ia gunakan untuk menyalin peta, dan gambar-gambar karikatur dengan detail-detail menggelikan bermunculan dari bukubukunya pada saat-saat yang tak terduga. Amy melalui semua pelajarannya sebaik yang ia bisa, dan berhasil menghindarkan diri dari

teguran dengan memperlihatkan tingkah laku yang patut dicontoh. Ia adalah sosok favorit di kalangan teman-temannya, dengan

sifat yang baik dan keterampilan yang alami untuk menyenangkan

orang lain. Perilaku dan keanggunannya dikagumi banyak orang,

begitu pula dengan prestasinya. Selain menggambar, ia mampu

memainkan dua belas nada, merajut, dan membaca teks dalam bahasa Prancis tanpa salah mengeja lebih dari dua pertiga kata-kata

yang ada. Amy suka berkata, "Dulu, waktu Papa punya uang, kami

melakukan ini dan itu," dengan wajah murung dan nada sangat


Interograsi Maut Gas Room Karya Stephen Lima Sekawan Di Kota Hantu Walet Emas 02 Danyang Delapan Neraka

Cari Blog Ini