Kota Kertas Paper Town Karya John Green Bagian 5
Kami empat detik lebih cepat dari jadwal. Dan persis pit stop
NASCAR, kami saling melakukan tos dan menepuk punggung.
Perbekalan kami cukup. Ben punya banyak kontainer yang bisa di
kencinginya. Aku memiliki jatah dendeng sapi yang memadai. Lacey
mendapatkan Mentos-nya. Radar dan Ben punya kaus untuk dipakai
di luar toga mereka. Minivan ini telah menjadi sebuah biosfer?beri
kami bensin, dan kami bisa melaju selamanya.
Jam Kelima
OKE, barangkali persediaan kami rupanya tidak cukup. Saking ter
buru-burunya, ternyata Ben dan aku melakukan kesalahan cukup
besar (meskipun tak fatal). Dengan Radar di depan sendirian, Ben
dan aku duduk di jok belakangnya membongkar setiap tas dan me
nyerahkan isinya kepada Lacey di belakang kami. Sedangkan Lacey
memilah-milahnya menjadi tumpukan berdasarkan skema penyu
sunan yang hanya dapat dimengerti olehnya.
"Kenapa NyQuil tidak di tumpukan yang sama dengan NoDoz?"
tanyaku. "Bukankah seharusnya obat-obat disatukan?"
"Q, Sayang. Kau itu cowok. Kau tidak tahu cara melakukan hal-hal
seperti ini. NoDoz bersama cokelat dan Mountain Dew, karena
semuanya mengandung kafein dan membantumu tetap terjaga.
NyQuil bersama dendeng sapi karena makan daging membuatmu
letih."
"Mengesankan," komentarku. Setelah menyerahkan makanan ter
akhir dari tasku kepada Lacey, dia bertanya, "Q, di mana makanan
yang?tahu kan?sehat?"
"Hah?"
Lacey mengeluarkan salinan daftar belanjaan yang dituliskannya
untukku dan membacanya. "Pisang. Apel. Kranberi kering. Kismis."
"Oh," kataku. "Oh, benar. Kelompok makanan keempat bukan
kraker."
"Q!" seru Lacey, berang. "Aku tidak bisa makan satu pun dari ini!"
Ben memegang siku Lacey. "Yah, tapi kau bisa makan biskuit
Grandma?s. Itu tidak buruk bagimu. Mereka kan buatan Grandma.
Nenek tidak akan menyakitimu."
Lacey meniup seuntai rambut dari wajahnya. Dia tampak benarbenar jengkel. "Lagi pula," kataku padanya. "ada GoFast. Makanan
itu diperkaya vitamin!"
"Yeah, vitamin dan kira-kira tiga puluh gram lemak," balasnya.
Dari depan Radar berkata, "Jangan kau menjelek-jelekkan GoFast.
Apa kau mau aku menyetop mobil ini?"
"Kapan pun aku makan GoFast," kata Ben, "Aku selalu membatin,
?Jadi seperti ini rasa darah bagi nyamuk.?"
Aku membuka separuh GoFast fudge brownie dan memeganginya
di depan mulut Lacey. "Coba cium," kataku. "Cium kelezatan ber
vitaminnya."
"Kau akan membuatku gemuk."
"Juga jerawatan," kata Ben. "Jangan lupakan jerawatan."
Lacey mengambil GoFast dariku dan dengan enggan menggigitnya.
Dia terpaksa memejamkan mata untuk menyembunyikan kenikmatan
luar biasa yang menyertai saat mencicipi GoFast. "Oh. Tuhanku.
Rasanya seperti harapan."
Akhirnya, kami membongkar tas terakhir. Isinya dua kaus besar yang
membuat Radar dan Ben sangat kegirangan, karena itu artinya me
reka bisa jadi orang-yang-memakai-kaus-kedodoran-di-atas-toga-ko
nyol bukannya hanya orang-yang-memakai-jubah-konyol.
Tetapi ketika Ben membuka lipatan kausnya, ada dua masalah
kecil. Pertama, ternyata kaus besar di pom bensin Georgia tidak sama
dengan kaus ukuran besar di, misalnya, Old Navy. Kaus pom bensin
itu berukuran raksasa?lebih mirip kantong sampah dibandingkan
kaus. Lebih kecil dari toga wisuda, tapi bedanya tak terlalu jauh.
Namun masalah itu nyaris tidak apa-apanya dibandingkan dengan
persoalan satunya, yaitu kedua kaus tersebut disablon timbul dengan
gambar bendera Konfederasi besar. Di atas bendera tersebut tercetak
kata-kata HERITAGE NOT HATE.
"Oh, kau tidak melakukan itu," kata Radar ketika kuperlihatkan
kenapa kami berbahak-bahak. "Ben Starling, sebaiknya kau tak mem
belikan sobat berkulit hitammu kaus rasis."
"Aku cuma menyambar baju pertama yang kulihat, bro."
"Jangan panggil aku bro sekarang," tukas Radar, tapi dia meng
geleng-geleng dan terkekeh. Aku memberinya kaus itu dan dia meng
geliat memakainya sambil menyetir dengan lutut. "Semoga aku di
hentikan polisi," katanya. "Aku kepengin melihat bagaimana respons
polisi melihat orang berkulit hitam memakai kaus Konfederasi di
atas gaun hitam."
Jam Keenam
UNTUK suatu alasan, bentangan jalan I-95 di selatan Florence,
South California, menjadi tempat untuk mengemudikan mobil pada
Jumat petang. Kami terjebak kemacetan sejauh beberapa mil, dan
meskipun Radar sangat kepengin melanggar batas kecepatan, dia
beruntung bila bisa melaju sampai tiga puluh mil per jam. Radar dan
aku duduk di depan, dan kami berusaha menepis kecemasan dengan
memainkan permainan yang baru saja kami ciptakan bernama Lakilaki Itu Adalah Gigolo. Dalam permainan ini, kita membayangkan
kehidupan orang-orang di mobil sekeliling kita.
Kami berkendara di samping seorang perempuan Hispanik dalam
Toyota Corolla butut. Aku memperhatikannya menembus awal ke
gelapan. "Meninggalkan keluarganya untuk pindah ke sini," kataku.
"Ilegal. Mengirimkan uang ke rumah pada Kamis ketiga setiap bulan.
Dia punya dua anak?suaminya pekerja migran. Saat ini laki-laki itu
tinggal di Ohio?hanya melewatkan tiga atau empat bulan setahun
di rumah, tapi mereka tetap rukun."
Radar mencondongkan tubuh ke depanku dan menatap perem
puan itu sekejap. "Ya Tuhan, Q, tidak semelodramatis itu kok. Dia
sekretaris di firma hukum?lihat cara berpakaiannya. Dia butuh lima
tahun, tapi sekarang dia hampir meraih gelar sarjana hukum. Dan
dia tak punya anak, atau suami. Tapi dia punya pacar. Laki-laki itu
agak plinplan. Takut pada komitmen. Berkulit putih, terutama agak
senewen karena tertarik pada perempuan berkulit hitam."
"Dia pakai cincin kawin," aku mengingatkan. Sebagai pembelaan
untuk Radar, aku bisa memandangi perempuan itu lebih baik. Dia
di kananku, tepat di bawahku. Aku bisa melihatnya dari balik jendela
berkaca gelapnya, dan aku memperhatikan dia bernyanyi mengikuti
suatu lagu, matanya tak berkedip menatap jalan. Ada begitu banyak
orang. Mudah untuk melupakan betapa penuhnya dunia ini dengan
manusia, penuh sesak, dan masing-masing dari mereka dapat diba
yangkan dan terus-menerus salah dibayangkan. Aku merasa seolah
ini gagasan penting, salah satu gagasan yang harus dicerna otakmu
perlahan-lahan, seperti cara makan ular piton, tapi sebelum aku bisa
berpikir lebih lanjut, Radar berbicara.
"Dia hanya memakainya supaya orang mesum seperti kau tidak
menggodanya," Radar menjelaskan.
"Mungkin." Aku tersenyum, mengambil batangan GoFast yang
baru separuh dimakan di pangkuanku. Suasana agak sepi untuk se
mentara waktu, dan aku berpikir mengenai cara bagaimana kau bisa
dan tidak bisa melihat seseorang, tentang jendela berkaca gelap antara
aku dan perempuan ini yang masih menyetir tepat di sisi kami, kami
berdua dalam mobil dengan semua jendela dan cermin di mana-mana,
selagi dia merangkak lamban bersama kami di jalanan padat ini. Ke
tika Radar mulai bicara lagi, aku menyadari bahwa tadi dia pun
berpikir.
"Masalah dari Laki-laki Itu Adalah Gigolo," kata Radar, "maksudku,
masalahnya sebagai permainan, adalah pada akhirnya itu malah lebih
mengungkapkan orang yang membayangkan dibandingkan dengan
orang yang dibayangkan."
"Yeah," kataku. "Aku juga barusan memikirkan itu." Dan mau tak
mau aku merasa bahwa puisi Whitman itu, dengan semua jargon
keindahannya, barangkali agak kelewat optimistis. Kita bisa men
dengarkan yang lain, kita bisa bepergian menuju mereka tanpa ber
gerak, kita bisa membayangkan mereka, dan kita semua terhubung
dengan satu sama lain oleh sistem akar sinting seperti begitu banyak
bilah rerumputan?tapi permainan itu membuatku bertanya-tanya
apakah kita benar-benar bisa sepenuhnya menjadi orang lain.
Jam Ketujuh
AKHIRNYA kami melewati truk yang melintang di jalan dan bisa
kembali mengebut, tapi Radar memperhitungkan dalam kepala bahwa
kami harus mencapai kecepatan rata-rata 77 mil per jam dari sini
sampai Agloe. Sudah satu jam penuh berlalu sejak Ben mengumumkan
dia harus buang air kecil, dan alasannya sepele: dia tidur. Tepat pukul
enam sore, dia menenggak NyQuil. Dia berbaring di jok paling bela
kang, kemudian Lacey dan aku mengikatkan kedua sabuk pengaman
di tubuhnya. Hal itu membuat dia makin tak nyaman, tapi 1. Itu
demi kebaikannya sendiri, dan 2. Kami semua tahu bahwa dalam
dua puluh menit lagi, tak ada ketidaknyamanan yang penting baginya,
sebab dia sudah tidur nyenyak. Dan begitulah dia sekarang. Dia akan
terbangun tengah malam. Sekarang aku harus menempatkan Lacey
di tempat tidurnya di jok belakang, pukul 21.00, dengan posisi yang
sama dengan Ben. Kami akan membangunkan dia pukul 02.00. Ren
cananya adalah semua orang tidur satu sif supaya besok pagi kami
tidak perlu mengelem kelopak mata agar tetap terbuka ketika kami
memasuki Agloe.
Minivan ini telah menjadi semacam rumah yang amat mungil: aku
duduk di jok depan, yang merupakan ruang santai. Inilah, menurutku,
tempat terbaik di dalam rumah: cukup lapang, dan kursinya lumayan
nyaman.
Berserakan di karpet di bawah jok penumpang adalah kantor,
berisikan peta Amerika Serikat yang didapatkan Ben di BP, petunjuk
arah yang kucetak, serta lembaran kertas bertuliskan perhitungan
Radar soal kecepatan dan jarak. Radar duduk di kursi pengemudi.
Ruang duduk. Ini sangat mirip ruang rekreasi di rumah, hanya saja
kita tidak bisa sesantai ini ketika berada di sana. Juga lebih bersih.
Di antara ruang duduk dan ruang santai, kami punya konsol te
ngah, atau dapur. Di sini kami menyimpan cukup banyak persediaan
dendeng sapi, berbatang-batang GoFast, dan minuman berenergi
ajaib bernama Bluefin, yang dimasukkan Lacey dalam daftar belanja.
Bluefin dikemas dalam botol kaca kecil indah berkontur, dan rasanya
mirip arum manis biru. Minuman tersebut juga lebih manjur mem
buat kita terjaga dibandingkan apa pun dalam sejarah manusia,
meskipun menyebabkan kita agak kedutan. Radar dan aku sepakat
untuk terus meminumnya sampai dua jam sebelum periode istirahat
kami. Jadwalku dimulai tepat saat tengah malam, ketika Ben bangun.
Jok belakang pertama adalah kamar tidur pertama. Kamar yang
tak terlalu diinginkan, lantaran dekat dengan dapur dan ruang duduk,
tempat orang-orang terjaga dan mengobrol, dan kadang-kadang ter
dengar musik dari radio.
Di belakangnya ada kamar tidur kedua, yang lebih gelap dan sepi,
sehingga jauh lebih istimewa dibandingkan kamar tidur pertama.
Dan di belakangnya ada kulkas, atau kotak pendingin, yang saat
ini berisi 210 bir yang belum dikencingi Ben, sandwich kalkun-yangmirip-ham, dan sejumlah Coke.
Rumah ini punya banyak kelebihan. Dilapisi karpet seluruhnya.
Ada AC terpusat dan pemanas. Seluruh ruangan dilengkapi surround
sound. Harus diakui, luasnya hanya sekitar lima meter persegi. Na
mun tidak ada yang bisa mengalahkan skema ruang terbuka.
Jam Kedelapan
TEPAT setelah kami melaju memasuki South Carolina, aku me
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mergoki Radar menguap dan bersikeras untuk bertukar menyetir.
Lagi pula, aku senang mengemudi?kendaraan ini memang minivan,
tapi ini minivan-ku. Radar beringsut pindah dari kursinya dan me
masuki kamar pertama, sementara aku meraih kemudi dan me
nahannya agar tetap stabil.
Bepergian, aku mendapati, mengajari kita banyak hal mengenai
diri sendiri. Contohnya, aku tidak pernah menyangka diriku tipe
orang yang buang air kecil di botol minuman berenergi Bluefin yang
hampir kosong selagi mengemudi melintasi South Carolina dengan
kecepatan 77 mil per jam?tapi ternyata aku tipe orang seperti itu.
Juga, aku tak pernah tahu bahwa jika kita mencampurkan banyak
air seni dengan sedikit minuman berenergi Bluefin akan menghasilkan
warna pirus cemerlang yang indah. Saking indahnya aku kepengin
memasang tutup botolnya dan menaruhnya di penyangga gelas agar
Lacey dan Ben bisa melihatnya ketika mereka terjaga.
Namun Radar berpendapat lain. "Kalau kau tidak membuang
sampah itu ke luar jendela sekarang juga, aku akan mengakhiri per
sahabatan sebelas-tahun kita," katanya.
"Itu bukan sampah," bantahku. "Itu air seni."
"Buang," katanya. Dan aku pun buang sampah sembarangan. Dari
kaca spion, aku bisa melihat botol itu menghantam aspal dan pecah
berkeping-keping mirip balon air. Radar juga melihatnya.
"Oh, Tuhanku," ucap Radar. "Semoga saja itu seperti salah satu
peristiwa traumatis yang sangat merusak jiwaku sehingga aku lang
sung melupakan bahwa itu pernah terjadi."
Jam Kesembilan
AKU tak pernah tahu bahwa seseorang bisa muak menyantap
nutrition bar GoFast. Tetapi ternyata itu mungkin. Aku baru dua kali
menggigit GoFast keempatku ketika perutku mual. Aku membuka
konsol tengah dan memasukkannya kembali ke sana. Kami menyebut
bagian dapur tersebut sebagai sepen.
"Seandainya saja kita punya apel," ucap Radar. "Ya Tuhan, sekarang
ini apel pasti enak sekali, kan?"
Aku mendesah. Kelompok makanan keempat sialan. Juga, meski
pun aku sudah berhenti menenggak Bluefin beberapa jam lalu, aku
masih kedutan parah.
"Aku masih agak kedutan," kataku.
"Yeah," sahut Radar. "Aku tak bisa berhenti mengetuk-ngetukkan
jemariku." Aku menatap ke bawah. Dia mengetuk-ngetukkan jemari
tanpa suara di lutut. "Maksudku," katanya, "aku benar-benar tak bisa
berhenti."
"Oke, yeah aku tidak capek, jadi kita begadang saja sampai jam
empat lalu kita bangunkan mereka dan kita akan tidur sampai jam
delapan."
"Oke," kata Radar. Ada jeda sejenak. Kini jalanan lengang; hanya
ada aku dan truk semi-trailer, dan rasanya otakku memproses infor
masi sebelas ribu kali dari kecepatan biasanya, dan terpikir olehku
bahwa apa yang kulakukan sangat gampang, bahwa menyetir di jalan
tol adalah hal paling mudah dan menyenangkan di dunia: yang harus
kulakukan hanyalah tetap berada di antara garis, memastikan tidak
ada kendaraan yang terlalu dekat denganku, dan aku tak terlalu dekat
dengan kendaraan mana pun, serta terus melaju. Barangkali seperti
ini jugalah yang dirasakan Margo, tapi aku tak bisa merasa seperti
ini sendirian.
Radar memecahkan keheningan, "Nah, kalau kita tidak akan tidur
sampai jam empat..."
Aku menyelesaikan ucapannya, "Yeah, mungkin sebaiknya kita
buka saja sebotol Bluefin lagi."
Dan itulah yang kami lakukan.
Jam Kesepuluh
TIBA waktunya untuk perhentian kedua kami. Saat ini pukul 00.13
pagi. Jemariku tak lagi terasa seperti terbuat dari jemari; rasanya
seperti terbuat dari gerakan. Aku menggelitiki setir selagi mengemudi.
Setelah Radar menemukan BP terdekat di perangkat genggamnya,
kami memutuskan untuk membangunkan Lacey dan Ben.
Kubilang, "Hei, Teman-teman, kita akan berhenti." Tak ada reaksi.
Radar memutar tubuh dan memegang bahu Lacey.
"Lace, waktunya bangun." Tak ada reaksi.
Aku menyalakan radio. Aku menemukan stasiun yang menyiarkan
tembang-tembang lama. Lagu The Beatles. Judulnya "Good Morning."
Aku mengeraskan volumenya sedikit. Tak ada respons. Jadi Radar
mengeraskannya lagi. Kemudian lagi. Lalu korus mengalun, dan dia
mulai ikut bernyanyi. Dan aku pun ikut bernyanyi. Menurutku leng
kingan sumbangkulah yang akhirnya membangunkan mereka.
"HENTIKAN ITU!" teriak Ben. Kami mematikan musik.
"Ben, kita berhenti. Apa kau mau kencing?"
Ben diam sejenak, dan ada keributan dalam kegelapan di belakang
sana, aku bertanya-tanya apakah dia punya strategi fisik untuk menge
cek volume kandung kemihnya. "Kurasa aku baik-baik saja, sebenar
nya," ujarnya.
"Oke, kalau begitu kau yang mengisi bensin."
"Sebagai satu-satunya pemuda yang belum kencing di mobil, aku
mau ke toilet duluan," kata Radar.
"Ssst," gumam Lacey. "Ssst. Berhentilah mengobrol."
"Lacey, kau harus bangun dan kencing," kata Radar. "Kita berhenti."
"Kau bisa beli apel," kataku padanya.
"Apel," gumamnya senang dalam suara gadis kecil yang menggemas
kan. "Aku syuka apel."
"Dan setelah itu giliranmu menyetir," ujar Radar. "Jadi kau harus
benar-benar sadar."
Lacey duduk, dan dalam suara Lacey yang biasa, dia berkata, "Aku
tidak terlalu syuka itu."
Kami melintasi jalan keluar dan jaraknya 0,9 mil dari BP, yang
kelihatannya tidak jauh tapi kata Radar itu mungkin menyita empat
menit waktu kami, dan lalu lintas South Carolina merugikan kami,
maka bakal ada masalah besar dengan area perbaikan jalan yang
menurut Radar berada satu jam di depan kami. Namun aku tidak
boleh cemas. Lacey dan Ben kini sudah cukup sadar dari tidur mereka
untuk mengantre di sebelah pintu geser, sama seperti sebelumnya,
dan begitu kami berhenti di depan pompa bensin, semuanya berham
buran ke luar, aku pun melemparkan kunci pada Ben, yang menang
kapnya.
Ketika Radar dan aku melangkah cepat melewati laki-laki kulit
putih di balik konter, Radar berhenti ketika menyadari orang itu
memperhatikan. "Benar," ucap Radar tanpa sungkan. "Aku memakai
kaus HERITAGE NOT HATE di atas toga wisudaku," katanya.
"Omong-omong, apa kalian menjual celana di sini?"
Kasir itu tampak terheran-heran. "Kami punya celana loreng dekat
oli mesin."
"Bagus sekali," ujar Radar. Kemudian dia berbalik ke arahku dan
berkata, "Tolong ya ambilkan aku beberapa celana loreng. Dan mung
kin kaus yang lebih bagus?"
"Beres dan beres," jawabku. Celana lorengnya, ternyata, ukurannya
tidak bernomor seperti biasa. Hanya medium dan besar. Aku meng
ambil celana medium, lalu kaus pink besar yang bertuliskan WORLD?S
BEST GRANDMA. Aku juga menyambar tiga botol Bluefin.
Aku menyerahkan semuanya kepada Lacey ketika dia keluar dari
toilet kemudian masuk ke toilet itu karena Radar masih di toilet
laki-laki. Aku tidak ingat apakah aku pernah berada dalam toilet
perempuan di pom bensin.
Bedanya:
Tidak ada mesin kondom
Lebih sedikit grafiti
Tidak ada urinal
Baunya kurang lebih sama, yang agak mengecewakan.
Ketika aku keluar, Lacey tengah membayar sedangkan Ben me
mencet klakson, dan setelah kebingungan sejenak, aku berlari kecil
menuju mobil.
"Kita terlambat satu menit," kata Ben dari jok penumpang depan.
Lacey kembali memasuki jalur yang akan membawa kami lagi ke
jalan tol.
"Sori," sahur Radar dari belakang, tempat dia duduk di sebelahku,
menggeliat-geliut memakai celana loreng barunya di balik toga. "Sisi
positifnya, aku dapat celana. Dan kaus baru. Mana kausnya, Q?"
Lacey memberikan kaus kepadanya. "Lucu banget." Radar melepas
toga dan menggantinya dengan kaus nenek sementara Ben mengeluh
tidak ada yang membelikan dia celana. Bokongnya gatal, ujarnya.
Dan kalau dipikir-pikir lagi, dia memang harus buang air kecil.
Jam Kesebelas
KAMI tiba di area perbaikan jalan. Jalan menyempit menjadi satu
lajur, dan kami terjebak di belakang traktor-trailer yang melaju sesuai
dengan batas kecepatan jalan yang diperbaiki yaitu 35 mil per jam.
Lacey adalah sopir yang tepat untuk situasi ini; kalau aku pasti sudah
menggebuki setir, tapi dia hanya mengobrol santai dengan Ben sampai
dia berputar sedikit dan berkata, "Q, aku benar-benar harus ke toilet,
lagi pula kita kehilangan waktu di belakang truk ini."
Aku hanya mengangguk. Aku tidak bisa menyalahkan dia. Aku
pasti sudah dari tadi memaksa kami berhenti seandainya mustahil
bagiku untuk buang air kecil di botol. Sungguh heroik dia bisa me
nahannya sampai saat ini.
Lacey memasuki pom bensin yang buka sepanjang malam, dan
aku meregangkan kaki lemasku. Ketika Lacey berlari kembali ke
minivan, aku sudah duduk di kursi pengemudi. Aku bahkan tak tahu
bagaimana aku bisa duduk di kursi itu, kenapa aku yang berada di
sana bukannya Lacey. Dia memutari pintu depan, melihatku di sana,
jendelanya terbuka, dan aku berkata, "Aku bisa menyetir." Lagi pula,
ini mobilku dan misiku. Dan Lacey berkata, "Sungguh, kau yakin?"
dan kubilang, "Yeah, yeah, aku baik-baik saja," dan dia langsung
membuka pintu geser lalu berbaring di jok belakangku.
Jam Kedua Belas
SEKARANG pukul 02.40. Lacey tidur. Radar tidur. Aku menyetir.
Jalanan lengang. Bahkan mayoritas sopir truk sudah tidur. Kami
melaju bermenit-menit tanpa melihat lampu depan mendekat dari
arah berlawanan. Ben memastikanku tetap terjaga, berceloteh di
sisiku. Kami mengobrol tentang Margo.
"Pernahkah kau berpikir bagaimana kita bisa menemukan Agloe?"
tanyanya padaku.
"Uh, aku punya perkiraan lokasi persimpangan itu," kataku.
"Dan itu tak lebih daripada sekadar persimpangan."
"Dan dia hanya akan duduk di sudut bagasi mobilnya, bertopang
dagu, menunggumu?"
"Itu jelas akan membantu," jawabku.
"Bro, aku harus bilang agak cemas kau mungkin?kalau ini tidak
berjalan sesuai rencanamu?kau mungkin akan sangat kecewa."
"Aku hanya kepengin menemukan dia," kataku, karena memang
benar. Aku ingin dia selamat, hidup, ditemukan. Seluruh daya upaya
telah dikerahkan. Yang lainnya nomor dua.
"Yeah, tapi?entahlah," ucap Ben. Aku bisa merasakan dia menoleh
menatapku, menjadi Ben yang Serius. "Hanya?hanya saja ingatlah
bahwa kadang-kadang, pikiranmu mengenai seseorang bukanlah diri
mereka yang sebenarnya. Contohnya, aku selalu menganggap Lacey
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangat seksi, mengagumkan, dan keren, tapi kini ketika benar-benar
bersamanya... rasanya tidak persis sama. Orang jadi berbeda ketika
kau bisa mencium aroma mereka dan melihat mereka dari dekat,
tahu kan?"
"Aku tahu itu," sahutku. Aku tahu berapa lama aku salah mem
bayangkan dirinya dan betapa keliru bayanganku mengenai dirinya.
"Aku hanya mengatakan bahwa gampang bagiku menyukai Lacey
sebelumnya. Mudah menyukai seseorang dari kejauhan. Tapi ketika
dia tak lagi menjadi sosok mengagumkan yang tak tersentuh atau
apalah, dan mulai menjadi sekadar gadis biasa yang agak senang me
merintah yang punya hubungan aneh dengan makanan dan sering
rewel?maka pada dasarnya aku harus mulai menyukai seseorang
yang benar-benar berbeda."
Aku merasakan pipiku memanas. "Maksudmu aku tidak benarbenar menyukai Margo? Setelah semua ini?aku sudah dua belas
jam dalam mobil ini dan kau tidak menganggap aku peduli padanya
karena aku tidak?" Aku menyetop ucapanku. "Kaupikir mentangmentang punya pacar kau bisa berdiri di puncak gunung tinggi dan
menceramahiku? Kau itu kadang-kadang bisa?"
Aku berhenti bicara karena melihat dalam sorot terjauh lampu mobil
sesuatu yang akan segera menewaskanku.
Dua sapi berdiri tak acuh di jalan raya. Mereka terlihat sekaligus,
seekor sapi bintik-bintik di lajur kiri, dan di lajur kami ada makhluk
besar, selebar mobil kami, berdiri bergeming, kepalanya menoleh ke
belakang sembari mengamati kami dengan tatapan kosong. Sapi itu
putih mulus, dinding sapi putih besar yang tak bisa kami panjat,
susupi bawahnya, atau elakkan. Hanya bisa kami tabrak. Aku tahu
Ben juga melihatnya, karena aku mendengar napasnya terhenti.
Kata orang kehidupan kita akan berkelebat di depan mata, tapi
bagiku bukan itu yang terjadi. Tidak ada yang berkelebat di depan
mataku selain bulu seputih salju yang membentang amat lebar, kini
hanya sedetik dari kami. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Bukan,
bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah tidak ada yang bisa dilaku
kan, selain menghantam dinding putih ini dan membunuhnya dan
kami, sekaligus. Aku menginjak rem keras-keras, tapi hanya lantaran
kebiasaan bukan karena berharap: sama sekali tidak ada cara untuk
menghindari ini. Aku mengangkat kedua tangan dari kemudi. Entah
kenapa aku melakukan itu, tapi aku mengangkat tangan seolah me
nyerah. Aku memikirkan hal yang paling biasa di dunia: aku berpikir
bahwa aku tidak mau ini terjadi. Aku tidak mau mati. Aku tidak
mau teman-temanku mati. Dan sejujurnya, saat waktu melambat dan
kedua tanganku di udara, aku mendapat kesempatan untuk memikir
kan satu hal lagi, dan aku memikirkan dia. Aku menyalahkan dia
karena pengejaran konyol yang fatal ini?karena membahayakan
kami, karena membuatku jadi berandalan yang begadang semalaman
dan menyetir terlalu kencang. Aku tidak akan tewas kalau bukan
gara-gara dia. Aku akan berada di rumah, seperti biasanya, dan aku
akan selamat, dan aku akan melakukan satu hal yang sejak dulu ingin
kulakukan, yaitu tumbuh dewasa.
Setelah menyerahkan kendali kendaraan, aku terkejut melihat ada
tangan yang memegang kemudi. Kami berbelok sebelum aku menya
dari kenapa kami berbelok, lalu aku menyadari bahwa Ben memutar
kemudi ke arahnya, membelokkan kami dalam upaya sia-sia meng
hindari sapi itu, dan kemudian kami berada di bahu jalan, lalu di
rumput. Aku bisa mendengar ban berputar ketika Ben menggerakkan
kemudi dengan keras dan cepat ke arah berlawanan. Aku berhenti
menyaksikan. Aku tidak tahu apakah mataku terpejam atau hanya
berhenti melihat. Perut dan paru-paruku beradu di tengah dan saling
meremukkan. Sesuatu yang tajam mengenai pipiku. Kami berhenti.
Entah apa sebabnya, tapi aku menyentuh wajah. Kutarik tanganku
lagi dan ada noda darah. Kusentuh kedua lengan dengan kedua ta
ngan, memeluk diri sendiri, tapi aku hanya memeriksa untuk me
mastikan keberadaan mereka dan mereka masih ada. Aku menatap
kakiku. Mereka masih ada. Ada pecahan kaca. Aku mengedarkan
pandang. Botol-botol pecah. Ben menatapku. Ben menyentuh wajah
nya. Kelihatannya dia baik-baik saja. Dia memeluk tubuhnya seperti
aku. Tubuhnya masih berfungsi. Dia hanya menatapku. Dari kaca
spion, aku bisa melihat sapi itu. Dan sekarang, agak terlambat, Ben
berteriak. Dia menatapku dan berteriak, mulutnya terbuka lebar, dan
teriakannya rendah, menggelegar, dan ketakutan. Dia berhenti ber
teriak. Ada yang tidak beres padaku. Aku merasa pening. Dadaku
terbakar. Kemudian aku menarik napas. Aku lupa bernapas. Dari
tadi aku menahan napas. Aku merasa jauh lebih baik setelah kembali
bernapas. Tarik napas dari hidung embuskan lewat mulut.
"Siapa yang terluka?!" seru Lacey. Dia membebaskan diri dari posisi
tidurnya yang dikencangkan dengan sabuk pengaman dan mencon
dongkan tubuh ke jok di belakangnya. Ketika aku berputar, aku bisa
melihat bahwa pintu belakang terbuka, dan aku sempat berpikir
bahwa Radar terlempar dari mobil, tapi kemudian dia duduk. Dia
mengusapkan kedua tangan di wajah, dan berkata, "Aku oke. Aku
oke. Apa semua orang oke?"
Lacey bahkan tak merespons; dia melompat maju, ke tengah Ben
dan aku. Dia membungkuk di atas dapur apartemen, dan menatap
Ben. Katanya, "Sayang, kau terluka di mana?" Matanya berair mirip
kolam renang pada hari hujan. Dan Ben menjawab, "AkubaikakubaikQ
berdarah."
Lacey menoleh ke arahku, dan aku tidak seharusnya menangis
tapi aku menangis, bukan karena sakit, tapi karena aku takut, dan
aku mengangkat tangan, dan Ben menyelamatkan kami, dan sekarang
gadis ini menatapku, dan dia menatapku dengan sorot mata mirip
seorang ibu, dan seharusnya itu tidak membuatku runtuh, tapi itulah
yang terjadi. Aku tahu luka di pipiku tidak parah, dan aku mencoba
mengatakannya, tapi aku teurs menangis. Lacey menekan luka itu
dengan jarinya, langsing dan lembut, dan berteriak pada Ben untuk
mengambilkan sesuatu yang bisa dipakai sebagai pembalut, kemudian
secarik kecil bendera Konfederasi ditekankan di pipiku tepat di kanan
hidungku. Lacey berkata, "Pegangi saja di sana keras-keras; kau baikbaik saja ada lagi yang sakit?" dan kubilang tidak. Saat itulah aku
menyadari bahwa mesin masih menyala, dan tuas transmisi masih
di posisi D, mobil berhenti hanya karena aku masih menginjak rem.
Aku menggeser tuas transmisi ke posisi P lalu mematikan mesin.
Ketika melakukannya, aku mendengar cairan mengalir?bukan me
netes-netes tapi tumpah.
"Mungkin sebaiknya kita keluar," kata Radar. Aku memegangi
bendera Konfederasi di wajah. Bunyi cairan tumpah ke luar mobil
terus terdengar.
"Itu bensin! Mobilnya mau meledak!" teriak Ben. Dia cepat-cepat
membuka pintu penumpang dan keluar, berlari panik. Dia melompati
pagar kayu dan berderap melintasi ladang jerami. Aku juga keluar,
tapi tidak secepat dia. Radar pun keluar, dan ketika Ben lari tunggang
langgang, Radar terbahak. "Itu bir," katanya.
"Apa?"
"Birnya pecah semua," ulangnya, dan mengangguk ke arah kotak
pendingin yang terbelah, bergalon-galon cairan tumpah dari dalam
nya.
Kami mencoba memanggil Ben tapi dia tak bisa mendengar kami
lantaran kelewat sibuk berteriak. "MOBILNYA MAU MELEDAK!"
seraya berlari melintasi ladang. Toga wisudanya berkibar naik di fajar
kelabu, bokong telanjang cekingnya terpampang.
Aku berbalik dan menatap jalan ketika mendengar ada mobil
datang. Monster putih dan temannya yang berbintik-bintik sudah
berhasil melenggang santai ke keamanan di bahu jalan seberang, ma
sih tanpa emosi. Ketika berbalik lagi, aku menyadari bahwa minivan
itu menabrak pagar.
Aku sedang meneliti kerusakan ketika Ben akhirnya melangkah
gontai kembali menuju mobil. Ketika mobil berputar tadi, kami pasti
menggesek pagar, karena ada lekuk dalam di pintu geser, cukup dalam
sehingga jika diamati dengan teliti kita bisa melihat bagian dalam
van. Tetapi selain itu, mobilku tampak sempurna. Tidak ada penyok
lain. Tidak ada kaca pecah. Tidak ada ban kempis. Aku berjalan me
mutar untuk menutup pintu belakang dan mengamati ke-210 botol
bir yang pecah, masih berbuih. Lacey menghampiriku dan merangkul
ku. Kami berdua memandangi bir berbuih yang menganak sungai
memasuki selokan di bawah kami. "Apa yang terjadi?" tanyanya.
Aku memberitahunya: kami sudah mati, kemudian Ben berhasil
membelokkan mobil ke arah yang tepat, mirip balerina kendaraan
yang brilian.
Ben dan Radar merayap ke bawah minivan. Tak seorang pun dari
keduanya yang tahu soal mobil, tapi kurasa itu membuat mereka
merasa lebih baik. Keliman toga Ben dan betis telanjangnya terjulur
ke luar.
"Dude," seru Radar. "Kelihatannya mobil ini baik-baik saja."
"Radar, " kataku, "mobilnya berputar-putar mungkin delapan kali.
Jelas mobil ini tidak baik-baik saja."
"Yah, sepertinya baik-baik saja."
"Hei," kataku, menarik sepatu New Balance Ben. "Hei, keluar dari
sana." Dia beringsut ke luar, dan aku mengulurkan tangan mem
bantunya bangkit. Tangannya legam oleh kotoran mobil. Aku menarik
dan memeluknya. Seandainya aku tidak melepaskan kemudi, dan
seandainya dia tidak mengambil alih mobil dengan tangkas, aku yakin
aku pasti sudah mati. "Terima kasih," ucapku, memukul punggungnya
mungkin agak terlalu keras. "Itu gaya menyetir dari jok penumpang
terbaik yang pernah kusaksikan seumur hidup."
Dia menepuk pipiku yang tak terluka dengan tangan berminyak.
"Aku melakukannya untuk menyelamatkan diri sendiri, bukan diri
mu," sahutnya. "Percayalah kalau kubilang bahwa tak sekali pun kau
tebersit di benakku."
Aku terkekeh. "Begitu juga aku," ujarku.
Ben menatapku, mulutnya hampir tersenyum, dan kemudian dia
berkata, "Maksudku, sapinya besar sekali. Itu bahkan bukan sapi tapi
paus darat." Aku terbahak.
Kemudian Radar beringsut ke luar. "Dude, aku benar-benar ber
pendapat mobilnya baik-baiknya. Maksudku, kita hanya kehilangan
sekitar lima menit. Kita bahkan tidak perlu melaju dengan kecepatan
yang paling efisien."
Lacey menatap penyok di minivan, bibirnya mengerucut. "Bagai
mana menurutmu?" tanyaku padanya.
"Pergi," katanya.
"Pergi," Radar ikut memilih.
Ben menggembungkan pipi dan mengembuskan napas. "Sebagian
besar karena aku rentan terhadap pengaruh orang lain: pergi."
"Pergi," kataku. "Tapi sudah jelas aku tidak akan menyetir lagi."
Ben mengambil kunci dariku. Kami masuk ke minivan. Radar
menuntun kami menaiki tanggul yang landai dan kembali ke jalan
tol. Kami 542 mil dari Agloe.
Jam Ketiga Belas
SETIAP beberapa menit Radar berkata, "Apa kalian ingat waktu
kita semua pasti akan mati kemudian Ben menyambar kemudi lalu
menghindari sapi raksasa dan membelokkan mobil seperti wahana
komidi putar cangkir di Disney World dan kita tidak tewas?"
Lacey mencondongkan tubuh melintasi dapur, tangannya me
megang lutut Ben, dan berkata, "Maksudku, kau itu pahlawan, apa
kau menyadarinya? Mereka menganugerahkan medali untuk hal-hal
semacam itu."
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sudah bilang sebelumnya dan aku akan mengulanginya lagi:
aku tidak memikirkan satu pun dari kalian. Aku. Ingin. Menye
lamatkan. Diriku."
"Dasar pembohong. Dasar pembohong heroik menggemaskan,"
ucap Lacey, kemudian mendaratkan ciuman di pipi Ben.
Radar berkata, "Hei, apa kalian ingat waktu tubuhku diikat dua
sabuk pengaman di jok paling belakang lalu pintu terbuka dan bir
berjatuhan tapi aku selamat tanpa luka sedikit pun? Bagaimana itu
bahkan bisa terjadi?"
"Ayo main I Spy metafisika," kata Lacey. "I Spy with my little eye
jantung seorang pahlawan, jantung yang berdetak bukan hanya demi
dirinya tapi demi semua umat manusia."
"AKU BUKAN SOK MERENDAH. AKU CUMA TIDAK
MAU MATI," seru Ben.
"Apa kalian ingat bahwa pada suatu waktu, di minivan, dua puluh
menit lalu, bahwa entah bagaimana kita tidak tewas?"
Jam Keempat Belas
BEGITU rasa terguncang awal kami berlalu, kami pun bersih-bersih.
Kami mencoba menggiring sebanyak mungkin pecahan kaca dari
botol Bluefin ke selembar kertas lalu mengumpulkannya dalam satu
tas untuk dibuang nanti. Karpet minivan basah oleh Mountain Dew,
Bluefin, dan Diet Coke yang lengket, dan kami berusaha menyerapnya
dengan sedikit tisu yang kami kumpulkan. Tetapi akan dibutuhkan
pencucian mobil besar-besar, setidaknya, dan tak ada waktu untuk
itu sebelum Agloe. Radar sudah mencari informasi biaya penggantian
panel samping mobil dan aku akan membutuhkan: $300 ditambah
cat. Ongkos perjalanan ini semakin membengkak saja, tapi aku akan
membayarnya dengan bekerja di kantor ayahku selama musim panas,
dan omong-omong, itu tebusan yang murah yang harus dikeluarkan
demi Margo.
Matahari terbit di sisi kanan kami. Pipiku masih berdarah. Bendera
Konfederasi kini melekat di luka, jadi aku tak perlu lagi memegangi
nya.
Jam Kelima Belas
DERETAN tipis pepohonan ek menghalangi pandangan dari ladang
jagung yang membentang hingga ke cakrawala. Lanskap telah ber
ubah, tapi hanya itu. Jalan tol besar seperti ini membuat negeri men
jadi satu tempat: McDonald?s, BP, Wendy?s. Aku sadar bahwa mung
kin seharusnya aku membenci jalan tol dan mendambakan hari-hari
tenang dan damai zaman dulu, masa ketika kita bisa bergelimang
warna lokal di setiap tikungan?tapi masa bodoh. Aku suka ini. Aku
suka konsistensi. Aku suka dapat menyetir lima belas jam dari rumah
tanpa dunia berubah terlalu drastis. Lacey memasangkan dua sabuk
pengaman di tubuhku di jok paling belakang. "Kau perlu istirahat,"
katanya. "Banyak sekali yang kaualami." Sungguh luar biasa belum
ada seorang pun yang menyalahkanku karena tidak bersikap lebih
proaktif dalam pertempuran melawan si sapi.
Ketika mulai terlelap, aku mendengar mereka membuat satu sama
lain tertawa?bukan kata-katanya, tapi iramanya, hilang timbulnya
lempar olok-olok mereka. Aku senang hanya mendengarkan, hanya
bermalas-malasan di rerumputan. Dan kuputuskan bahwa bila kami
tiba di sana tepat waktu tapi tidak menemukan dia, itulah yang akan
kami lakukan: kami akan berkendara keliling Catskills dan mencari
tempat untuk duduk-duduk dan nongkrong, bermalas-malasan di
rerumputan, mengobrol, bercanda. Barangkali pengetahuan pasti
bahwa dia masih hidup membuat semua itu kembali mungkin?
meskipun aku tak pernah melihat buktinya. Aku hampir bisa mem
bayangkan kebahagiaan tanpa dia, kemampuan untuk merelakan dia,
merasakan akar kami bertaut walaupun seandainya aku tak pernah
melihat bilah rumput itu lagi.
Jam Keenam Belas
AKU tidur.
Jam Ketujuh Belas
AKU tidur.
Jam Kedelapan Belas
AKU tidur.
Jam Kesembilan Belas
KETIKA aku terbangun, Radar dan Ben tengah memperdebatkan
nama mobil keras-keras. Ben kepengin menamainya Muhammad Ali,
karena, persis dengan Muhammad Ali, minivan ini mendapatkan
pukulan dan tetap bertahan. Radar bilang tidak boleh memberi nama
mobil dengan nama tokoh bersejarah. Menurutnya mobil itu se
harusnya dipanggil Lurlene, karena kedengarannya pas.
"Kau mau menamakannya Lurlene?" tanya Ben, suaranya meninggi
karena ngeri. "Memangnya kendaraan malang ini belum cukup men
derita?!"
Aku membuka satu sabuk pengaman dan duduk. Lacey berputar
ke arahku. "Pagi," sapanya. "Selamat datang di negara bagian New
York yang hebat."
"Jam berapa sekarang?"
"Sembilan empat puluh dua." Rambutnya diekor kuda, tapi helaihelai yang lebih pendek lepas dari ikatan. "Bagaimana keadaanmu?"
tanyanya.
Aku memberitahunya. "Aku takut."
Lacey tersenyum padaku dan mengangguk. "Yeah, aku juga. Rasa
nya terlalu banyak hal yang bisa terjadi untuk mempersiapkan diri
menghadapi semuanya."
"Yeah," kataku.
"Kuharap kau dan aku tetap berteman selama musim panas ini,"
ucapnya. Dan itu membantu, untuk suatu alasan. Kita tidak pernah
tahu apa yang bisa membantu.
Radar kini berkata bahwa mobil itu seharusnya dinamai Angsa
Abu-Abu. Aku mencondongkan tubuh ke depan sedikit agar semua
orang bisa mendengarku, "Dreidel. Semakin keras kita memutarnya,
semakin bagus performanya."
Ben mengangguk. Radar memutar tubuh. "Menurutku kau se
harusnya menjadi petugas pemberi-nama."
Jam Kedua Puluh
AKU duduk di kamar pertama bersama Lacey. Ben menyetir. Radar
menavigasi. Aku tidur ketika terakhir kali mereka berhenti, tapi me
reka mendapatkan peta New York. Agloe tidak ditandai, tapi ada
lima atau enam persimpangan di utara Roscoe. Aku selalu menduga
New York merupakan metropolis yang terbentang dan tak berakhir,
tapi di sini hanya ada perbukitan hijau subur yang bergelombang
yang berjuang didaki minivan ini dengan heroik. Ketika ada jeda
dalam percakapan dan Ben meraih kenop radio, aku berkata, "I Spy
metafisika!"
Ben memulai. "I Spy with my little eye sesuatu yang benar-benar
kusukai."
"Oh, aku tahu," sahut Radar. "Rasa testikel."
"Bukan."
"Rasa penis?" tebakku.
"Bukan, bodoh," ucap Ben.
"Hmm," ujar Radar. "Apa bau testikel?"
"Tekstur testikel?" tebakku.
"Ayolah, idiot, ini tidak ada hubungannya dengan genitalia. Lace?"
"Hmm, perasaan karena mengetahui kau baru saja menyelamatkan
tiga nyawa?"
"Bukan. Dan kupikir kalian sudah kehabisan tebakan."
"Oke, jadi apa?"
"Lacey," ucap Ben, dan aku bisa melihat temanku menatap Lacey
dari kaca spion.
"Dasar bodoh," kataku, "ini kan seharusnya I Spy metafisika. Harus
sesuatu yang tidak bisa dilihat."
"Memang," sahut Ben. "Itulah yang benar-benar kusukai?Lacey
tapi bukan Lacey yang kasatmata."
"Oh, huek," kata Radar, tapi Lacey membuka sabuk pengaman
dan membungkuk di atas dapur untuk membisikkan sesuatu di
telinga Ben. Temanku tersipu-sipu karenanya.
"Oke, aku janji tidak akan bersikap norak," kata Radar. "I Spy with
my little eye sesuatu yang kita semua rasakan."
Aku menebak, "Capek luar biasa?"
"Bukan, tapi itu tebakan bagus."
Lacey berkata, "Perasaan yang kita alami gara-gara kebanyakan
kafein sehingga rasanya debaran jantung kita tak sebanyak debaran
sekujur tubuh kita?"
"Bukan. Ben?"
"Hmm, apa kita merasakan kebelet kencing, atau cuma aku?"
"Itu, seperti biasanya, cuma kau. Ada tebakan lain?" Kami diam.
"Jawaban yang benar adalah kita semua merasa kita akan lebih ba
hagia setelah menyanyikan Blister in the Sun secara a cappella."
Dan itulah yang terjadi. Kendati mungkin buta nada, aku menyanyi
senyaring yang lain. Dan ketika selesai, aku berkata, "I Spy with my
little eye ada cerita seru."
Tidak ada yang berucap untuk beberapa saat. Hanya ada bunyi
Dreidel melahap aspal sementara melaju menuruni bukit. Dan setelah
beberapa lama Ben berkata, "Cerita tentang ini, kan?"
Aku mengangguk.
"Yeah," kata Radar. "Selama kita tidak mati, ini akan jadi cerita
superseru."
Akan membantu jika kita bisa menemukan dia, pikirku, tapi aku
tak berkata apa-apa. Ben akhirnya menyalakan radio dan menemukan
stasiun lagu rok yang menyiarkan lagu balada sehingga kami bisa
ikut bernyanyi.
Jam Kedua Puluh Satu
Setelah menempuh jalan tol lebih dari 1100 mil, akhirnya sudah
waktunya keluar. Sama sekali tidak mungkin mengemudi dengan
kecepatan 70 mil per jam di jalan raya dua lajur yang membawa kami
lebih jauh ke utara, mendaki menuju Catskills. Tetapi kami akan
baik-baik saja. Radar, sebagai ahli strategi brilian, telah menabung
tiga puluh menit tanpa memberitahu kami. Di atas sini indah, cahaya
matahari akhir pagi menyirami hutan perawan. Bahkan bangunan
bata di kota kecil bobrok yang kami lewati tampak baru di bawah
cahaya ini.
Lacey dan aku menceritakan pada Ben dan Radar segala-galanya
yang bisa kami ingat dengan harapan dapat membantu mereka me
nemukan Margo. Mengingatkan mereka akan dirinya. Honda Civic
peraknya. Rambut cokelat kemerahannya yang sangat lurus. Ke
sukaannya terhadap bangunan terbengkalai.
"Dia membawa buku catatan hitam," kataku.
Ben berputar ke arahku. "Oke, Q. Kalau aku melihat cewek yang
persis Margo di Agloe, New York, aku tidak akan melakukan apa-apa.
Kecuali dia membawa buku catatan. Itulah petunjuknya."
Aku tak menggubrisnya. Aku hanya ingin mengenang Margo.
Untuk terakhir kalinya, aku ingin mengenang dia sementara masih
berharap untuk bertemu dengannya lagi.
Agloe
BATAS kecepatan berkurang dari 55 ke 45 lalu jadi 35 mil per jam.
Kami melewati beberapa rel kereta api, dan kami pun berada di
Roscoe. Kami menyetir perlahan melintasi kota sepi yang memiliki
satu kafe, satu toko pakaian, satu toko serba-satu dolar, dan dua toko
yang bagian depannya ditutupi papan.
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku mencondongkan tubuh ke depan dan berkata, "Aku bisa
membayangkan dia di sana."
"Yeah," aku Ben. "Man, aku benar-benar tidak kepengin membobol
masuk. Kurasa aku takkan cocok berada di penjara New York."
Meskipun begitu, bayangan menjelajahi bangunan-bangunan ini
bagiku tidak terlalu menakutkan, mengingat seantero kota sepertinya
kosong. Tidak ada yang buka di sini. Setelah melewati kota, sebuah
jalan tunggal membagi dua jalan raya, dan di jalan itulah terletak
satu-satunya permukiman Roscoe dan sebuah sekolah dasar. Rumahrumah kayu sederhana dikerdilkan oleh pepohonan, yang tumbuh
besar dan tinggi menjulang di sini.
Kami berbelok memasuki jalan raya yang lain, dan batas kecepatan
kembali naik secara bertahap, tapi Radar tetap menyetir pelan-pelan.
Belum sampai satu mil kami melaju ketika melihat ada jalan tanah
di sebelah kiri kami yang tak dilengkapi papan petunjuk agar kami
bisa mengetahui namanya.
"Mungkin ini dia," kataku.
"Itu kan jalan masuk," sahut Ben, tapi Radar tetap saja berbelok
menyusurinya. Tetapi sebenarnya tempat itu kelihatannya memang
jalan masuk dari tanah padat. Di sisi kiri kami, rumput yang tak
dipangkas tumbuh setinggi ban; aku tidak melihat apa-apa, meskipun
aku cemas mudah saja bagi seseorang untuk bersembunyi di mana
pun di padang itu. Kami berkendara beberapa lama dan jalan berakhir
di sebuah rumah pertanian bergaya Victoria. Kami berbelok dan
kembali menuju jalan raya dua lajur, lebih jauh ke utara. Jalan raya
menjadi Cat Hollow Road, dan kami melaju hingga melihat jalan
tanah yang mirip dengan yang sebelumnya, kali ini di sisi kanan jalan,
mengarah ke sebuah bangunan runtuh mirip gudang pertanian dari
kayu kelabu. Silinder besar bal-bal jerami berderet di padang di kedua
sisi kami, tapi rumput sudah mulai kembali tumbuh. Radar menyetir
tak sampai lima mil per jam. Kami mencari-cari sesuatu yang tidak
biasa. Suatu cacat dalam lanskap indah dan sempurna ini.
"Apa menurutmu itu mungkin Toko Kelontong Agloe?" tanyaku.
"Gudang pertanian itu?"
"Yeah."
"Entahlah," sahut Radar. "Apa toko kelontong mirip gudang per
tanian?"
Aku mengembuskan napas dari bibir yang dirapatkan. "Entahlah."
"Apa itu?sial, itu mobilnya!" Lacey berteriak di sebelahku. "Ya ya
ya ya ya mobilnya mobilnya!"
Radar menyetop minivan saat aku mengikuti arah jari Lacey ke
seberang padang, di belakang bangunan itu. Ada kilauan warna perak.
Mencondongkan tubuh hingga wajahku di sebelah wajah Lacey, aku
bisa melihat lengkungan atap mobil. Hanya Tuhan yang tahu bagai
mana kendaraan itu bisa sampai ke sana mengingat tak ada jalan ke
arah itu.
Radar berhenti, aku pun melompat ke luar dan berlari ke belakang
ke arah mobil Margo. Kosong. Tak terkunci. Aku membuka bagasi.
Kosong juga, selain koper terbuka dan melompong. Aku mengedarkan
pandang, dan berderap menuju apa yang kini kuyakini sebagai sisasisa Toko Kelontong Agloe. Ben dan Radar melewatiku ketika aku
berlari melintasi padang yang dipangkas. Kami memasuki gudang
bukan melewati pintu tapi melalui salah satu dari sejumlah lubang
menganga karena dinding kayu yang rontok.
Di dalam, matahari menyinari segmen-segmen lantai kayu yang
lapuk lewat banyak lubang di atap. Saat mencari dia, aku mendaftar
berbagai hal: lantai kayu yang lembap. Aroma buah badam, seperti
Margo. Sebuah bak berendam berkaki cakar di sudut. Lubang di
mana-mana sehingga tempat ini adalah bagian dalam sekaligus luar.
Aku merasakan ada yang menarik keras-keras bajuku. Aku memu
tar kepala dan melihat Ben, tatapannya berpindah-pindah antara aku
dan suatu sudut ruangan. Aku harus menatap melewati pilar lebar
cahaya putih terang yang menyorot masuk dari langit-langit, tapi aku
bisa melihat sudut itu. Dua panel panjang Plexiglas setinggi dada
yang kotor dan bernuansa kelabu bersandar pada satu sama lain
membentuk sudut lancip dan sisi lainnya ditahan oleh dinding kayu.
Itu kubikel segitiga, kalau hal semacam itu ada.
Dan inilah masalahnya dengan jendela berkaca gelap: cahaya masih
bisa menembus masuk. Maka aku bisa melihat adegan mengguncang
kan, meskipun dalam nuansa kelabu: Margo Roth Spiegelman duduk
di kursi kantor kulit hitam, membungkuk di atas meja sekolah, me
nulis. Rambutnya jauh lebih pendek?dia memangkas poni di atas
alis dan semuanya awut-awutan, seolah untuk menegaskan ke
asimetrisan?tapi itulah dia. Dia hidup. Dia memindahkan kantornya
dari kompleks ruko telantar di Florida ke gudang pertanian terbeng
kalai di New York, dan aku menemukannya.
Kami melangkah mendekati Margo, kami berempat, tapi sepertinya
dia tak melihat kami. Dia terus menulis. Akhirnya, seseorang?Radar,
mungkin?memanggil, "Margo. Margo?"
Dia berjinjit, kedua tangannya memegang bagian atas dinding
kubikel darurat itu. Seandainya dia terkejut melihat kami, sorot
matanya tidak menunjukkan itu. Di sinilah Margo Roth Spiegelman,
tak sampai dua meter dariku, bibirnya kering pecah-pecah, tanpa
makeup, kukunya kotor, matanya membisu. Aku belum pernah me
lihat matanya kosong seperti itu, tapi kalau dipikir-pikir lagi, mungkin
aku belum pernah melihat matanya. Dia menatapku. Aku yakin dia
menatapku bukan Lacey atau Ben atau Radar. Aku belum pernah
ditatap seperti ini sejak mata kosong Robert Joyner memperhatikanku
di taman Jefferson Park.
Dia berdiri membisu di sana cukup lama, dan aku terlalu ngeri
pada matanya untuk terus mendekat. "Aku dan misteri ini di sinilah
kami berdiri," tulis Whitman.
Akhirnya dia berkata, "Beri aku lima menit," lalu kembali duduk
dan melanjutkan menulis.
Aku memperhatikan dia menulis. Selain agak dekil, dia tampak
seperti biasanya. Entah kenapa, tapi aku selalu menganggap dia akan
tampak berbeda. Lebih tua. Bahwa aku akan hampir tak mengenalinya
ketika bertemu dengannya lagi. Namun di sanalah dirinya, dan aku
memperhatikan dia dari balik Plexiglas, dan dia persis Margo Roth
Spiegelman, gadis ini kukenal sejak usiaku dua tahun?gadis ini yang
merupakan gagasan yang kucintai.
Dan baru sekarang, ketika dia menutup buku catatan dan me
naruhnya dalam ransel di sebelahnya lalu berdiri dan melangkah
menghampiri kami, aku menyadari bahwa gagasan itu bukan saja
keliru tapi berbahaya. Sungguh suatu hal yang berbahaya meyakini
bahwa seseorang itu lebih daripada seseorang.
"Hai," dia menyapa Lacey. Dia memeluk Lacey dulu, lalu menjabat
tangan Ben, kemudian Radar. Dia menaikkan alis dan berkata, "Hai,
Q," kemudian memelukku, cepat dan tak erat. Aku ingin menahannya.
Aku ingin peristiwa penting. Aku ingin merasakan dia terisak-isak
di dadaku, air mata melelehi pipi berdebunya ke bajuku. Namun dia
hanya memelukku cepat dan duduk di lantai. Aku duduk di seberang
nya, dengan Ben dan Radar dan Lacey mengikutiku, jadi kami semua
duduk menghadap Margo.
"Senang bertemu denganmu," ucapku beberapa saat kemudian,
merasa seolah menyela doa batin.
Margo menepis poninya ke samping. Sepertinya dia sudah memu
tuskan apa tepatnya yang akan dia katakan sebelum mengucapkannya.
"Aku, uh. Uh. Aku jarang kehabisan kata-kata, kan? Tidak terlalu
sering bicara dengan orang lain belakangan ini. Um. Kurasa mungkin
kita harus mulai dari, apa sebenarnya yang kalian lakukan di sini?"
"Margo," kata Lacey. "Ya Tuhan, kami cemas sekali."
"Tidak perlu cemas," jawab Margo riang. "Aku baik-baik saja." Dia
mengacungkan dua jempol. "Aku OKE."
"Kau bisa saja menelepon kami dan memberitahu itu pada kami,"
kata Ben, suaranya diwarnai rasa frustrasi. "Supaya kami tidak perlu
jauh-jauh berkendara."
"Menurut pengalamanku, Ben Berdarah, ketika kita meninggalkan
suatu tempat, lebih baik langsung pergi. Omong-omong, kenapa kau
pakai gaun?"
Ben tersipu. "Jangan panggil dia itu," bentak Lacey.
Margo menatap Lacey. "Oh, Tuhanku, apa kau pacaran dengannya?"
Lacey tak berkata apa-apa. "Kau tidak benar-benar pacaran dengan
nya," ucap Margo.
"Sebenarnya, ya," jawab Lacey. "Dan sebenarnya dia baik. Dan
sebenarnya kau menyebalkan. Dan sebenarnya, aku mau pergi. Se
nang bertemu denganmu lagi, Margo. Terima kasih sudah membuatku
ketakutan dan merasa tidak enak hati selama bulan terakhir tahun
seniorku, dan kemudian bersikap menyebalkan ketika kami melacak
mu untuk memastikan kau baik-baik saja. Benar-benar menyenangkan
mengenalmu."
"Kau, juga. Maksudku, tanpamu, bagaimana aku bisa tahu se
berapa gemuknya aku?" Lacey bangkit dan berderap pergi, langkah
kakinya terasa bergetar di lantai yang runtuh. Ben menyusulnya. Aku
menoleh, dan Radar juga sudah berdiri.
"Aku tidak pernah mengenalmu sampai aku mengenalmu lewat
petunjuk-petunjukmu," ucap Radar. "Aku lebih suka petunjuk-petun
juk itu ketimbang kau."
"Apa sih yang dibicarakannya?" tanya Margo padaku. Radar tidak
menjawab. Dia pergi begitu saja.
Seharusnya aku juga pergi. Mereka teman-temanku?lebih dari
pada Margo, tentu saja. Tetapi aku punya pertanyaan. Ketika Margo
berdiri dan mulai melangkah kembali ke kubikelnya, aku mengawali
nya dengan pertanyaan yang paling jelas. "Kenapa kau bertingkah
seperti anak manja begitu?"
Dia berbalik dan mencengkeram kausku lalu berteriak di depan
wajahku, "Berani-beraninya kau datang ke sini tanpa peringatan apa
pun?!"
"Bagaimana bisa aku memperingatkanmu kalau kau menghilang
begitu saja dari muka bumi ini?!" Aku bisa melihat kerjapan panjang
dan tahu bahwa dia tak punya respons untuk ucapan itu, maka aku
terus melanjutkan. Aku marah besar padanya. Karena... karena,
entahlah. Karena tidak menjadi Margo yang sesuai harapanku. Tidak
menjadi Margo yang kupikir akhirnya kubayangkan dengan tepat.
"Aku yakin sekali ada alasan kuat kenapa kau tidak menghubungi
siapa pun setelah malam itu. Dan... ini alasan kuatmu? Agar kau bisa
hidup seperti gelandangan?"
Dia melepaskan bajuku dan menjauh dariku. "Nah, sekarang siapa
yang jadi anak manja? Aku pergi dengan satu-satunya cara seseorang
bisa pergi. Kau mencabut lepas hidupmu sekaligus?seperti BandAid. Dan kemudian kau bisa menjadi dirimu dan Lacey bisa menjadi
Lace dan semua orang bisa menjadi semua orang dan aku bisa menjadi
diriku."
"Hanya saja aku tidak bisa menjadi diriku, Margo, karena kupikir
kau sudah mati. Lama sekali. Jadi aku terpaksa melakukan berbagai
hal yang tak pernah kulakukan."
Kini dia membentakku, berpegangan pada bajuku agar dia bisa
sejajar dengan wajahku. "Oh, omong kosong. Kau ke sini bukan untuk
memastikan aku baik-baik saja. Kau ke sini karena ingin menye
lamatkan Margo kecil malang dari diri mungilnya yang bermasalah
sehingga aku akan oh-sangat-berterima-kasih kepada kesatria berbaju
zirahku lalu aku melucuti bajuku dan memohonmu untuk menggasak
tubuhku."
"Omong kosong!" teriakku, dan sebagian besarnya memang benar.
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau hanya mempermainkan kami, kan? Kau hanya kepengin me
mastikan bahwa bahkan setelah kau pergi untuk mengejar kese
nanganmu, kau masih menjadi poros tempat kami beredar."
Dia balas membentak, lebih nyaring daripada yang kupikir mung
kin terjadi. "Kau bahkan bukan marah kepadaku, Q! Kau marah
pada pikiran mengenai diriku yang kausimpan dalam otakmu sejak
kita masih kecil!"
Dia mencoba berbalik menjauh dariku, tapi aku mencengkeram
bahunya, memeganginya di depanku, dan berkata, "Apa kau bahkan
pernah memikirkan tentang apa arti kepergianmu? Tentang Ruthie?
Tentang aku atau Lacey atau semua orang lain yang peduli padamu?
Tidak. Tentu saja kau tidak memikirkan itu. Sebab kalau itu tidak
terjadi padamu, itu juga tidak terjadi pada siapa pun. Begitu kan,
Margo? Begitu, kan?"
Kini dia tak melawanku. Dia hanya menurunkan bahu, berbalik,
dan kembali melangkah ke kantornya. Dia menendang dinding
Plexiglas, dan dua-duanya menabrak meja dan kursi sebelum merosot
ke lantai. "TUTUP MULUT TUTUP MULUT DASAR BA
JINGAN."
"Oke," kataku. Ada sesuatu dari Margo yang kehilangan kendali
diri sepenuhnya membuatku mendapatkan kembali kendali diriku.
Aku mencoba bicara meniru ibuku. "Aku akan tutup mulut. Kita
berdua marah. Banyak, uh, masalah yang belum terselesaikan di pi
hakku."
Dia duduk di kursi, kakinya memijak apa yang tadinya menjadi
dinding kantornya. Dia menatap satu sudut gudang pertanian. Se
tidaknya tiga meter di antara kami. "Bagaimana kau bisa menemukan
aku?"
"Kupikir kau ingin kami menemukanmu," jawabku. Suaraku begitu
lirih sehingga aku heran dia bahkan mendengarku, tapi dia memutar
kursi untuk memelototiku.
"Jelas sekali aku tidak ingin itu."
"Song of Myself," kataku. "Guthrie membawaku ke Whitman.
Whitman membawaku ke pintu. Pintu membawaku ke ruko. Kami
menemukan cara membaca grafiti yang ditutup cat. Aku tidak me
mahami ?kota kertas?; itu bisa juga berarti subdivisi yang tidak pernah
dibangun, jadi kupikir kau pergi ke salah satunya dan takkan pernah
kembali. Kupikir kau sudah mati di salah satu tempat itu, bahwa kau
bunuh diri dan entah apa alasannya menghendaki aku menemukanmu.
Jadi aku pergi ke beberapa subdivisi, mencarimu. Tapi kemudian aku
mencocokkan peta di toko suvenir dengan lubang-lubang bekas pin.
Aku mulai membaca puisi itu lebih teliti, menduga kau mungkin
bukan berlari, hanya bersembunyi, membuat rencana. Menulisi buku
itu. Aku menemukan Agloe di peta, melihat komentarmu di laman
Omnictionary, melewatkan wisuda, dan menyetir ke sini."
Dia menyisir rambutnya ke bawah, tapi rambutnya tak lagi cukup
panjang untuk menutupi wajahnya. "Aku benci model rambut ini,"
katanya. "Aku kepengin tampak berbeda, tapi?ini kelihatan konyol."
"Aku suka," ujarku. "Membingkai wajahmu dengan baik."
"Maaf aku bersikap sangat menyebalkan," katanya. "Kau harus
mengerti?maksudku, kalian datang ke sini tiba-tiba dan membuatku
ketakutan setengah mati?"
"Kau kan bisa saja berkata, misalnya, ?Teman-teman, kalian mem
buatku ketakutan setengah mati,?" ucapku.
Dia cemberut. "Yeah, benar, soalnya itulah Margo Roth Spiegelman
yang dikenal dan disayangi semua orang." Margo membisu sejenak,
dan kemudian berkata, "Aku tahu seharusnya tidak menulis itu di
Omnictionary. Aku hanya berpikir pasti lucu jika mereka menemu
kannya di kemudian hari. Kupikir entah bagaimana polisi pasti bisa
melacaknya, tapi tidak dengan cepat. Ada sejuta halaman di Omnic
tionary. Aku tidak pernah berpikir..."
"Apa?"
"Menjawab pertanyaanmu, aku sering sekali memikirkanmu. Dan
Ruthie. Dan orangtuaku. Tentu saja, oke? Mungkin aku orang paling
egois dalam sejarah dunia ini. Tapi ya Tuhan, apa menurutmu aku
akan melakukannya kalau tidak perlu?" Dia menggeleng. Sekarang,
akhirnya, dia mencondongkan tubuh ke arahku, menopangkan siku
di lutut, dan kami pun mengobrol. Dari kejauhan, tapi tetap saja.
"Aku tidak bisa menemukan cara lain agar aku bisa pergi tanpa diseret
pulang."
"Aku senang kau tidak mati," kataku padanya.
"Yeah. Aku juga," balasnya. Dia menyeringai, dan untuk pertama
kalinya melihat senyum yang lama sekali kurindukan. "Itulah sebab
nya aku harus pergi. Sepayah apa pun hidup, selalu ada alternatif
lain."
Teleponku berdering. Dari Ben. Aku menjawabnya.
"Lacey mau bicara dengan Margo," katanya padaku.
Aku menghampiri Margo, menyerahkan ponsel, dan tetap di sana
selagi dia duduk dengan bahu dibungkukkan, mendengarkan. Aku
bisa mendengar suara-suara dari telepon, kemudian kudengar Margo
menyelanya dan berkata, "Begini, aku benar-benar minta maaf. Aku
hanya sangat ketakutan." Dan kemudian hening. Akhirnya Lacey
mulai bicara lagi, dan Margo tertawa, mengucapkan sesuatu. Aku
merasa mereka seharusnya mendapatkan privasi, maka aku pun pergi
menjelajah. Di dinding yang dijadikan kantor tapi di sudut yang
berlawanan, Margo membuat semacam tempat tidur?empat palet
forklif di bawah kasur udara jingga. Tumpukan kecil pakaiannya yang
dilipat rapi diletakkan di samping tempat tidur di palet tersendiri.
Ada sikat gigi dan pastanya, bersama gelas plastik besar dari Subway.
Benda-benda itu berada di atas dua buku: The Bell Jar karya Sylvia
Plath dan Slaughterhouse-Five karya Kurt Vonnegut. Aku tidak per
caya dia hidup seperti ini, dalam perpaduan yang tak dapat disatukan
antara kerapian suburbanalitas dan pelapukan yang menakutkan.
Namun kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak percaya berapa banyak
waktu yang kusia-siakan meyakini bahwa dia hidup dengan cara lain.
"Mereka menginap di motel di taman. Lace menyuruhku memberi
tahumu mereka akan pergi besok pagi, dengan atau tanpamu," kata
Margo dari belakangku. Ketika dia mengatakan kau dan bukan kita
barulah aku memikirkan untuk pertama kalinya apa yang terjadi
setelah ini.
"Sebagian besar kebutuhanku tercukupi di sini," katanya, kini
berdiri di sisiku. "Ada kakus di luar, tapi kondisinya tak terlalu bagus,
jadi biasanya aku pergi ke kamar mandi di perhentian truk di timur
Roscoe. Mereka juga menyediakan pancuran di sana dan pancuran
cewek lumayan bersih soalnya tidak banyak sopir truk perempuan.
Ditambah lagi, di sana ada internet. Rasanya seperti ini rumahku,
dan perhentian truk itu rumah pantaiku." Aku tertawa.
Dia melangkah melewatiku dan berlutut, melongok ke bawah palet
di bawah tempat tidur. Dia mengambil senter dan sekeping benda
plastik tipis persegi. "Hanya dua barang ini yang kubeli selama se
bulan ini selain bensin dan makanan. Aku hanya mengeluarkan se
kitar tiga ratus dolar." Aku mengambil benda persegi itu darinya dan
akhirnya menyadari bahwa itu pemutar piringan hitam bertenaga
baterai. "Aku membeli beberapa album," katanya. "Tapi aku akan
membeli lebih banyak lagi di City."
"City?"
"Yeah. Aku mau pergi ke New York City hari ini. Makanya aku
menulis seperti itu di Omnictionary. Aku akan benar-benar memulai
perjalanan. Awalnya, hari ini adalah hari aku meninggalkan
Orlando?aku berniat menghadiri wisuda lalu melakukan semua
kejailan rumit pada malam wisuda bersamamu, kemudian aku pergi
keesokan paginya. Tapi aku sudah tak tahan lagi. Aku benar-benar
tidak tahan walaupun satu jam lagi. Dan kemudian aku mendengar
tentang Jase?aku berpikir, ?Aku sudah merencanakan segala-galanya;
aku hanya mengubah harinya.? Tapi aku minta maaf karena mem
buatmu takut. Aku berusaha tidak membuatmu takut, tapi bagian
akhirnya dijalankan secara terlalu terburu-buru. Bukan hasil karya
terbaikku."
Sebagai rencana pelarian terburu-buru yang penuh dengan petun
juk, menurutku itu cukup mengesankan. Namun, aku paling terkejut
mengetahui dia juga berniat melibatkanku dalam rencana awalnya.
"Barangkali kau mau menceritakannya padaku," kataku, berhasil
mengulas senyum. "Aku, tahu kan, bertanya-tanya. Mana yang diren
canakan dan mana yang tidak? Apa artinya apa? Kenapa petunjuknya
ditujukan untukku, kenapa kau pergi, hal-hal semacam itulah."
"Hmm, oke. Oke. Untuk cerita itu, kita harus mulai dari kisah
yang berbeda." Dia bangkit dan aku mengikuti langkahnya saat dia
dengan cekatan menghindari petak-petak lapuk lantai. Kembali ke
kantornya, dia merogoh ransel dan mengeluarkan buku catatan
moleskin hitam. Dia duduk di lantai, kakinya bersila, dan menepuknepuk lantai di sebelahnya. Aku duduk. Dia mengetuk-ngetuk buku
yang tertutup ini. "Jadi ini," katanya, "ini sudah berlangsung sejak
lama. Ketika aku kira-kira kelas empat, aku mulai menulis cerita di
buku ini. Semacam cerita detektif."
Aku berpikir seandainya aku merebut buku itu dari Margo, aku
bisa memakainya sebagai alat pemerasan. Aku bisa memakainya
untuk membawa dia kembali ke Orlando, kemudian dia bisa mencari
pekerjaan musim panas dan tinggal di apartemen sampai kuliah di
mulai, dan setidaknya kami akan memiliki musim panas itu. Namun
aku hanya mendengarkan.
"Maksudku, aku tidak senang membesar-besarkan, tapi ini karya
literatur brilian yang tidak biasa. Aku bercanda. Ini sekadar ocehan
konyol aku yang berusia sepuluh tahun dengan pemikiran ajaib dan
penuh harapan. Tokohnya gadis ini, namanya Margo Spiegelman,
yang persis dengan aku yang berusia sepuluh tahun hanya saja orang
tuanya baik, kaya, dan membelikan apa saja yang dikehendakinya.
Margo naksir cowok bernama Quentin, yang sangat persis denganmu
kecuali dia tak kenal takut, heroik, dan rela mati demi melindungiku
dan segalanya. Selain itu juga ada Myrna Mountweazel, yang persis
Myrna Mountweazel tetapi memiliki kekuatan magis. Misalnya,
dalam cerita itu, siapa saja yang membelai Myrna Mountweazel tidak
akan bisa berbohong selama sepuluh menit. Dia juga bisa bicara.
Tentu saja dia bisa bicara. Apa pernah bocah sepuluh tahun menulis
buku tentang anjing yang tidak bisa bicara?"
Aku tertawa, tapi masih memikirkan soal Margo yang berusia
sepuluh-tahun yang naksir diriku yang berusia sepuluh-tahun.
"Jadi, dalam cerita itu," lanjutnya, "Quentin dan Margo dan Myrna
Mountweazel menyelidiki tewasnya Robert Joyner, yang kematiannya
persis dengan kematiannya di dunia nyata hanya saja bukan dia yang
menembak wajahnya sendiri, ada orang lain yang menembak wajah
nya. Dan cerita itu tentang kita mencari tahu siapa pelakunya."
"Siapa pelakunya?"
Margo tertawa. "Kau mau aku membocorkan seluruh ceritanya
kepadamu?"
"Yah," kataku, "aku lebih suka membacanya." Dia membuka buku
itu dan menunjukkan satu halaman padaku. Tulisannya tak terbaca,
bukan lantaran tulisan Margo jelek, tapi karena di atas baris tulisan
horisontal juga ada tulisan vertikal yang mengarah ke bawah. "Aku
menulis secara bersilang," katanya. "Sangat sulit bagi pembaca non333
Margo untuk memecahkannya. Jadi, oke, akan kubocorkan ceritanya
untukmu, tapi pertama-tama kau harus janji tidak akan marah."
"Janji," kataku.
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ternyata kejahatan itu dilakukan oleh saudara laki-lakinya sau
dara perempuan mantan istri Robert Joyner yang alkoholik, yang jadi
sinting gara-gara dirasuki oleh roh jahat kuno kucing rumah Mesir.
Seperti kubilang tadi, benar-benar cerita jempolan. Tapi, omongomong, dalam cerita itu, kau, aku, dan Myrna Mountweazel pergi
mengonfrontasi si pembunuh, dan dia berusaha menembakku, tapi
kau melompat ke depan peluru, dan tewas secara heroik dalam de
kapanku."
Aku terbahak. "Hebat. Cerita ini awalnya menjanjikan dengan
gadis cantik naksir padaku dan semua intriknya, dan kemudian aku
mati."
"Yeah, begitulah." Dia tersenyum. "Tapi aku terpaksa membunuhmu,
karena satu-satunya akhir lain yang mungkin adalah kita bermesraan,
yang pada umur sepuluh tahun aku belum siap secara emosional
untuk menuliskannya."
"Cukup adil," komentarku. "Tapi dalam revisinya, aku mau men
dapatkan sedikit aksi."
"Setelah kau tertembak oleh orang jahat, mungkin. Satu ciuman
sebelum tewas."
"Baik sekali kau." Aku bisa berdiri, mendekat, dan menciumnya.
Aku bisa. Namun masih terlalu banyak yang harus dihancurkan.
"Nah, omong-omong aku menyelesaikan cerita ini saat kelas lima.
Beberapa tahun kemudian, aku memutuskan kabur ke Mississippi.
Kemudian aku menuliskan semua rencanaku untuk peristiwa besar
ini di buku catatan di atas cerita lamaku, lalu aku akhirnya melaku
kannya?membawa mobil Mom dan memakainya menempuh seribu
mil serta meninggalkan petunjuk di dalam sup. Aku bahkan tidak
suka melancong, sungguh?rasanya sangat sepi?tapi aku senang
melakukannya, kan? Jadi aku mulai menulis bersilang lebih banyak
skema?kejailan dan ide untuk mencomblangi cewek tertentu dengan
cowok tertentu, melakukan kampanye besar menisu-toiletkan rumahrumah, lebih banyak lagi perjalanan rahasia, dan macam-macam lagi.
Bukuku sudah terisi setengah pada awal tahun junior, dan saat itulah
kuputuskan untuk melakukan satu hal lagi, satu tindakan besar, dan
kemudian pergi."
Dia berniat mulai bicara lagi, tapi aku harus menghentikannya.
"Kurasa aku penasaran apakah itu gara-gara tempat atau orangorangnya. Bagaimana seandainya orang-orang di sekitarmu berbeda?"
"Bagaimana caramu memisahkan hal itu? Orang-orang adalah
tempat dan tempat adalah orang-orang. Lagi pula, menurutku tidak
ada orang lagi untuk diajak berteman. Menurutku semua orang entah
takut, seperti kau, atau cuek, seperti Lacey. Dan?"
"Aku tidak setakut yang kaupikirkan," kataku. Dan itu benar. Aku
baru menyadari bahwa itu benar setelah mengucapkannya. Tetapi
tetap saja.
"Ceritaku baru mau sampai ke sana," ucapnya, hampir mengeluh.
"Jadi, waktu aku kelas satu SMA, Gus mengajakku ke Osprey?"
Aku menelengkan kepala, bingung. "Kompleks ruko itu. Dan aku
mulai pergi ke sana sendiri sepanjang waktu, hanya nongkrong dan
menulis rencana. Dan pada akhir tahun, seluruh rencana tersebut
mulai mengerucut menjadi pelarian terakhir ini. Dan aku tidak tahu
apakah itu gara-gara aku membaca cerita lamaku saat melakukannya,
tapi aku sejak awal melibatkanmu dalam rencana-rencana tersebut.
Idenya adalah kita akan melakukan semua hal ini bersama?misalnya
membobol masuk SeaWorld, itu ada dalam rencana awal?dan aku
akan mendorongmu menjadi jagoan. Satu malam ini akan mem
bebaskanmu. Kemudian aku bisa menghilang dan kau akan menge
nangku untuk itu.
"Rencana ini akhirnya jadi sepanjang tujuh puluh halaman, dan
akan segera terlaksana, awalnya rencana itu tersusun sangat rapi. Lalu
aku mengetahui tentang Jase, dan kuputuskan untuk pergi. Secepat
nya. Aku tidak perlu lulus. Apa gunanya lulus? Tapi pertama-tama
aku harus membereskan semua urusan yang belum selesai. Jadi sepan
jang hari itu di sekolah aku mengeluarkan buku catatan, dan berusaha
mati-matian menyesuaikan rencana untuk Becca, Jase, Lacey, dan
semua orang yang ternyata bukanlah temanku seperti yang kukira,
berusaha menemukan ide untuk memberitahu semua orang betapa
marahnya aku sebelum aku mencampakkan mereka selama-lamanya.
"Tapi aku masih ingin melakukannya bersamamu; aku masih me
nyukai gagasan barangkali setidaknya aku bisa menciptakan gema
dari pahlawan jagoan dari cerita bocah-kecilku dalam dirimu.
"Dan kemudian kau mengejutkanku," ucapnya. "Selama bertahuntahun ini, di mataku kau adalah cowok kertas?dua dimensi seperti
karakter dalam buku dan sosok dua dimensi yang berbeda, tapi tetap
saja datar. Namun malam itu ternyata kau nyata. Dan malam itu
akhirnya jadi sangat ganjil, menyenangkan, dan magis sehingga aku
kembali ke kamarku pagi itu dan aku rindu padamu. Aku ingin ke
rumahmu, nongkrong dan mengobrol, tapi aku sudah memutuskan
untuk pergi, jadi aku harus pergi. Dan kemudian pada saat terakhir,
aku mendapat ide agar kau pergi ke Osprey. Untuk meninggalkan
Osprey bagimu agar bisa membantumu mencapai lebih banyak ke
majuan dalam hal tidak-menjadi-kucing-penakut.
"Jadi, yeah. Itu saja. Aku menyusun rencana secepat mungkin.
Melekatkan poster Woody di belakang kerai, melingkari lagu di
piringan hitam, menandai dua baris puisi Song of Myself memakai
warna berbeda dengan bagian yang kutandai ketika aku benar-benar
membacanya. Kemudian, setelah kau ke sekolah, aku memanjat ma
suk lewat jendelamu dan menyelipkan robekan koran di pintumu.
Lalu pagi itu aku pergi ke Osprey, sebagian karena aku belum merasa
siap pergi, dan sebagian lagi karena aku ingin membersihkan tempat
itu untukmu. Maksudku, masalahnya, aku tidak mau kau khawatir.
Itulah sebabnya aku mengecat grafitinya; aku tidak tahu kau bisa
melihat tulisan di baliknya. Aku merobek halaman kalender meja
yang kupakai, dan aku juga mencopot peta, yang kupasang di dinding
sejak melihat ada Agloe di sana. Setelahnya, karena aku capek dan
tak punya tempat tujuan lain, aku tidur di sana. Sebenarnya, akhirnya
aku tinggal dua malam di sana, berusaha memupuk keberanianku,
kurasa. Dan juga, entahlah, kupikir siapa tahu entah bagaimana kau
bisa menemukan tempat itu dengan cepat. Lalu aku pergi. Butuh dua
hari untuk tiba di sini. Sejak saat itulah aku tinggal di sini."
Sepertinya ceritanya sudah selesai, tapi aku punya satu pertanyaan
lagi. "Dan kenapa di sini dari semua tempat yang ada?"
"Kota kertas untuk gadis kertas," jawabnya. "Aku membaca tentang
Agloe dalam buku ?fakta-fakfa menakjubkan? waktu umurku sepuluh
atau sebelas. Dan aku tak pernah berhenti memikirkannya. Sebenar
nya, setiap kali aku naik ke puncak SunTrust Building?termasuk
ketika terakhir kali bersamamu?aku tidak benar-benar menatap ke
bawah dan berpikir bahwa segala-galanya terbuat dari kertas. Aku
menatap ke bawah dan berpikir bahwa aku terbuat dari kertas. Aku
lah sosok yang tipis dan bisa dilipat, bukan orang lain. Dan itulah
masalahnya. Orang-orang menyukai gagasan seorang gadis kertas.
Mereka sejak dulu menyukainya. Dan yang terburuk adalah aku juga
menyukainya. Aku membudidayakannya, tahu tidak?
"Karena sepertinya hebat, menjadi gagasan yang disukai semua
orang. Tapi aku takkan pernah bisa menjadi gagasan itu bagi diri
sendiri, tidak sepenuhnya. Dan Agloe adalah tempat di mana sosok
kertas menjadi nyata. Satu titik di peta menjadi tempat yang nyata,
lebih nyata daripada yang pernah dibayangkan oleh orang yang men
ciptakan titik tersebut. Kupikir mungkin potongan kertas berbentuk
seorang gadis juga bisa mulai menjadi nyata di sini. Dan sepertinya
itu satu cara untuk mengatakan pada gadis kertas itu yang peduli
soal popularitas, pakaian, dan semua hal lainnya: ?Kau akan pergi ke
kota-kota kertas dan takkan pernah kembali lagi.?"
"Grafiti itu," kataku. "Astaga, Margo, aku menjelajahi begitu banyak
subdivisi telantar mencari tubuhmu. Aku benar-benar menyangka?
aku benar-benar menyangka kau sudah mati."
Dia bangkit dan mengorek-ngorek ranselnya sejenak, lalu meraih
dan mengambil The Bell Jar, dan membacakannya untukku.
"?Tetapi ketika mempertimbangkannya dalam-dalam, kulit perge
langan tanganku tampak begitu pucat dan tak berdaya sehingga aku
tak kuasa melakukannya. Rasanya seakan apa yang hendak kubunuh
bukan di kulit atau di urat nadi biru yang berdenyut di bawah ibu
jariku itu, tapi di suatu tempat lain, lebih dalam, lebih tersembunyi,
dan jauh lebih sulit dicapai.?" Margo kembali duduk di dekatku,
menghadapku, kain celana jins kami bersentuhan tanpa lutut kami
benar-benar beradu. Margo berkata, "Aku memahami apa yang di
bicarakannya. Sesuatu yang lebih dalam dan lebih tersembunyi.
Seperti retakan dalam dirimu. Seperti garis sesar tempat hal-hal tidak
menyatu dengan benar."
"Aku suka itu," kataku. "Atau seperti retakan di lambung kapal."
"Betul, betul."
"Yang pada akhirnya menenggelamkanmu."
"Tepat," ucapnya. Kini kami bertukar kata begitu cepat.
"Aku tidak percaya kau tak menginginkan aku mencarimu."
"Sori. Kalau ini bisa membuatmu lebih baik, aku terkesan. Juga,
senang rasanya ada kau di sini. Kau teman bepergian yang baik."
"Apa itu tawaran?" tanyaku.
"Mungkin." Dia tersenyum.
Jantungku sejak tadi mengepak-ngepak mengelilingi dada sehingga
mabuk jenis ini hampir seakan bisa berlangsung dalam waktu lama?
tapi hanya hampir. "Margo, kalau kau mau pulang selama musim
panas?orangtuaku bilang kau boleh tinggal bersama kami, atau kau
bisa mencari pekerjaan dan apartemen selama musim panas, lalu
kuliah dimulai, dan kau tak pernah harus tinggal lagi bersama orang
tuamu."
"Bukan hanya mereka. Aku akan kembali terisap ke dalam," kata
nya, "dan aku takkan pernah bisa keluar lagi. Bukan hanya soal gosip,
pesta, dan semua sampah itu, tapi seluruh daya pikat dari kehidupan
yang dijalani dengan selayaknya?kuliah, pekerjaan, suami, anakanak, dan semua omong kosong itu."
Masalahnya aku percaya pada kuliah, pekerjaan, dan bahkan mung
kin anak-anak pada suatu hari nanti. Aku percaya pada masa depan.
Barangkali itu sebuah cacat karakter, tapi bagiku itu sudah bawaan
sejak lahir. "Tapi kuliah memperluas kesempatanmu," ucapku akhir
nya. "Bukan membatasinya."
Margo menyeringai. "Trims. Konselor Universitas Jacobsen," kata
nya, lalu mengubah percakapan. "Aku terus-terusan memikirkan kau
di Osprey. Apakah kau akan terbiasa dengan tempat itu. Tidak lagi
mencemaskan tikus."
"Memang," kataku. "Aku mulai menyukainya. Aku melewatkan
malam prom di sana, sebenarnya."
Margo tersenyum. "Keren. Kubayangkan pada akhirnya kau akan
menyukainya. Di Osprey tak pernah membosankan, tapi itu karena
nantinya aku harus pulang. Sesampainya di sini, aku memang jadi
bosan. Tidak ada yang harus dikerjakan; aku banyak sekali membaca
sejak tiba di sini. Aku juga jadi makin gelisah, tidak kenal siapa-siapa
di sini. Dan aku terus menantikan kesepian dan kegelisahan tersebut
membuatku kepengin pulang. Tapi itu tak kunjung terjadi. Itu satu
hal yang tidak bisa kulakukan, Q."
Aku mengangguk. Aku memahami ini. Aku membayangkan berat
rasanya kembali begitu merasakan benua di telapak tangan kita. Te
tapi aku tetap mencoba sekali lagi. "Tapi bagaimana dengan setelah
musim panas? Bagaimana dengan kuliah? Bagaimana dengan sisa
hidupmu?"
Dia mengedikkan bahu. "Kenapa dengan itu?"
"Apa kau tidak mencemaskan tentang, misalnya, selamanya?"
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Selamanya tersusun dari masa kini-masa kini," katanya. Aku tidak
bisa merespons itu; aku baru memikirkannya ketika Margo berkata,
"Emily Dickinson. Seperti kubilang tadi, aku banyak sekali membaca."
Menurutku masa depan pantas mendapatkan keyakinan kita. Na
mun sulit berdebat dengan Emily Dickinson. Margo berdiri, menyan
dang ransel di satu bahu, mengulurkan tangan ke arahku. "Ayo
jalan-jalan." Ketika kami berada di luar, Margo meminjam ponselku.
Dia menekan sederetan angka, dan aku mulai menjauh untuk mem
biarkannya bicara, tapi dia meraih lengan bawahku dan menahanku
tetap bersamanya. Maka aku pun melangkah di sisinya menuju pa
dang selagi dia bicara dengan orangtuanya.
"Hei, ini Margo.... Aku di Agloe, New York, dengan Quentin....
Uh.... tidak, Mom, aku hanya mencoba memikirkan cara untuk men
jawab pertanyaan Mom dengan jujur.... Mom, ayolah.... Entahlah,
Mom.... Aku memutuskan pindah ke tempat fiktif. Itulah yang ter
jadi.... Yeah, kurasa aku tidak mengarah ke sana, bagaimanapun juga....
Bisa aku bicara dengan Ruthie?... Hei, buddy.... Yeah, aku lebih me
nyayangimu.... Yeah, maafkan aku. Itu kesalahan. Kupikir?aku tidak
tahu apa yang kupikirkan, Ruthie, tapi itu kesalahan dan sekarang
aku menelepon. Aku mungkin tidak menelepon Mom, tapi aku akan
meneleponmu.... Rabu?... Kau sibuk hari Rabu. Hmm. Oke. Hari
apa yang cocok bagimu?... Selasa kalau begitu.... Yeah, setiap Selasa....
Yeah, termasuk Selasa ini." Margo memejamkan mata rapat-rapat,
giginya terkatup. "Oke, Ruthers, bisa kasih teleponnya ke Mom lagi?...
Aku menyayangimu, Mom. Aku akan baik-baik. Sumpah.... Yeah,
oke, Mom juga. Bye."
Dia berhenti melangkah dan menutup telepon tapi memeganginya
sejenak. Aku bisa melihat ujung jemarinya memerah muda karena
eratnya cengkeramannya, kemudian dia menjatuhkan ponsel ke tanah.
Jeritannya singkat tapi memekakkan telinga, dan setelahnya aku me
nyadari untuk pertama kalinya kesenyapan Agloe yang mengenaskan.
"Dia seolah berpikir tugasku untuk menyenangkannya, dan bahwa
seharusnya itulah keinginan terbesarku, dan ketika aku tidak me
nyenangkan dia?aku dikucilkan. Dia mengganti kunci. Itulah hal
pertama yang dikatakannya. Ya Tuhan."
"Aku ikut menyesal," kataku, menepis rumput kuning-hijau selutut
untuk mengambil ponsel. "Tapi senang bicara dengan Ruthie, kan?"
"Yeah, dia lumayan menggemaskan. Aku agak benci pada diri
sendiri karena?tahu kan?tidak bicara padanya."
"Yeah," kataku. Dia mendorongku main-main.
"Kau seharusnya membuatku merasa baikan, bukan lebih parah!"
katanya. "Itu tugasmu!"
"Aku baru sadar tugasku adalah menyenangkanmu, Mrs. Spiegel
man."
Dia tertawa. "Ooh, disamakan dengan Mom. Menyebalkan. Tapi
cukup adil. Jadi bagaimana kabarmu? Kalau Ben pacaran dengan
Lacey, pasti kau berpesta orgi tiap malam bersama lusinan pemandu
sorak."
Kami melangkah perlahan melintasi tanah tak rata padang ini.
Kelihatannya tidak luas, tapi ketika kami berjalan, aku menyadari
bahwa sepertinya kami tak kunjung mendekati rimbunan pepohonan
di kejauhan. Aku bercerita padanya tentang meninggalkan acara
wisuda, tentang putaran ajaib Dreidel. Aku bercerita padanya tentang
prom, pertengkaran Lacey dengan Becca, dan malamku di Osprey.
"Pada malam itulah aku benar-benar yakin kau pernah di sana,"
kataku padanya. "Selimut itu masih beraroma seperti dirimu."
Dan ketika aku mengucapkan itu tangannya menyentuh tanganku,
dan aku menggenggamnya karena kini rasanya tak terlalu banyak lagi
yang harus dihancurkan. Dia menatapku. "Aku harus pergi. Aku tidak
perlu membuatmu takut, itu bodoh, dan aku seharusnya pergi dengan
cara yang lebih baik, tapi aku memang harus pergi. Apa kau sudah
memahaminya?"
"Yeah," kataku, "tapi kupikir sekarang kau bisa kembali. Sungguh."
"Tidak, kau tidak berpikir begitu," jawabnya, dan dia benar. Dia
bisa melihatnya di wajahku?sekarang aku mengerti bahwa aku tak
bisa menjadi dia dan dia tak bisa menjadi aku. Barangkali Whitman
mempunyai bakat yang tidak kumiliki. Sedangkan aku: aku harus
menanyakan kepada orang yang terluka di mana yang terasa sakit,
karena aku tidak bisa menjadi orang yang terluka itu. Satu-satunya
orang terluka yang aku bisa menjadi dirinya adalah diriku sendiri.
***
Aku menginjak-injak rumput dan duduk. Margo berbaring di
dekatku, ranselnya menjadi bantal. Aku ikut merebahkan diri. Dia
mengeluarkan sepasang buku dari ransel dan mengulurkannya ke
padaku agar aku juga memiliki bantal. Selected Poems of Emily
Dickinson dan Leaves of Grass. "Aku punya dua," ujarnya, tersenyum.
"Puisinya bagus sekali," kataku padanya. "Kau tak mungkin me
milih puisi yang lebih baik lagi."
"Sungguh, itu cuma keputusan impulsif pagi itu. Aku ingat sedikit
tentang pintu dan berpendapat puisi tersebut sempurna. Tapi kemu
dian, setelah tiba di sini aku membacanya ulang. Aku belum mem
bacanya lagi sejak pelajaran bahasa Inggris kelas dua, dan yeah, aku
menyukainya. Aku sudah mencoba membaca banyak puisi. Aku
mencoba untuk mencari tahu?misalnya, apa dari dirimu yang mem
buatku terkejut malam itu? Dan untuk waktu yang lama aku berpikir
bahwa itu ketika kau mengutip T.S. Eliot."
"Tapi ternyata bukan," kataku. "Kau terkejut oleh ukuran biseps
dan caraku keluar jendela yang anggun."
Dia nyengir. "Tutup mulut dan biarkan aku memujimu, dasar
brengsek. Bukan gara-gara puisi atau bisepsmu. Yang mengejutkanku
adalah, terlepas dari serangan kepanikanmu dan semua itu, kau persis
Quentin dalam ceritaku. Maksudku, aku sudah menulisi silang cerita
itu selama bertahun-tahun, dan setiap kali menulis di atasnya, aku
juga membaca halaman itu, dan aku selalu tertawa, seolah?jangan
tersinggung, tapi, seolah, ?Ya Tuhan, aku tak percaya pernah berpikir
Quentin Jacobsen itu superseksi, pembela kebenaran superloyal.? Tapi
kemudian?tahu kan?ternyata memang begitulah kau."
Aku bisa berbaring menyamping, dan dia mungkin akan berbaring
menyamping juga. Kemudian kami bisa berciuman. Namun apa
gunanya mencium dia sekarang? Itu tidak akan mengarah ke mana
pun. Kami berdua menatap langit tak berawan. "Tidak ada yang
pernah terjadi sesuai dengan yang kita bayangkan," ucapnya.
Langit bagaikan lukisan kontemporer monokromatik, menarikku
dengan ilusi kedalamannya, menghelaku bangkit. "Yeah, itu benar,"
ucapku. Tetapi kemudian, setelah merenungkannya sejenak, aku me
nambahkan, "Tapi kalau dipikir-pikir lagi, jika kita tidak membayang
kan, tidak akan ada yang pernah terjadi." Membayangkan memang
tak sempurna. Kita tidak mungkin bisa memahami orang lain se
penuhnya. Aku takkan pernah membayangkan amarah Margo ketika
ditemukan, atau cerita yang ditulisnya. Namun membayangkan men
jadi orang lain, atau dunia menjadi sesuatu yang lain, adalah satusatunya cara untuk memahami. Itulah mesin yang membunuh para
fasis.
Margo berputar ke arahku dan merebahkan kepala di bahuku,
dan kami pun berbaring di sana, seperti khayalanku berbaring di
rumput SeaWorld lama berselang. Kami butuh ribuan mil dan ber
hari-hari, tapi di sinilah kami: kepalanya di bahuku, napasnya di
leherku, kelelahan menumpuk dalam diri kami berdua. Kami kini
persis dengan yang kuharapkan bisa kami lakukan waktu itu.
Ketika terbangun, cahaya hari yang meredup membuat segala-galanya
terasa penting, mulai dari langit yang menguning sampai bilah-bilah
rumput di atas kepalaku, melambai pelan bagaikan ratu kecantikan.
Aku berguling menyamping dan melihat Margo Roth Spiegelman
bertumpu pada kedua tangan dan lututnya beberapa langkah dariku,
celana jins tertarik ketat di kakinya. Aku butuh sejenak untuk me
nyadari bahwa dia tengah menggali. Aku merangkak mendekatinya
dan mulai menggali di sebelahnya, tanah di bawah rumput sekering
debu di jemariku. Margo tersenyum padaku. Jantungku berdebar
dengan kecepatan suara.
"Apa yang kita gali?" tanyaku.
"Itu bukan pertanyaan yang tepat," sahutnya. "Pertanyaannya. Kita
menggali untuk siapa?"
"Oke, kalau begitu. Kita menggali untuk siapa?"
"Kita menggali kuburan untuk Si Kecil Margo dan Si Kecil
Quentin dan Si Kecil Myrna Mountweazel dan si malang Robert
Joyner," jawabnya.
"Aku bisa mendukung pemakaman itu, kurasa," kataku. Tanahnya
bergumpal-gumpal dan kering, menembus jalan serangga yang mirip
sarang semut telantar. Kami menggali tanah dengan tangan telanjang
berkali-kali, setiap genggam tanah ditemani sedikit awan debu. Kami
menggali lubang yang lebar dan dalam. Kuburan ini harus layak.
Segera saja aku membuat lubang sedalam siku. Lengan bajuku ber
debu ketika aku mengelap keringat dari pipi. Pipi Margo memerah.
Aku bisa mencium baunya, dan aromanya seperti malam itu tepat
sebelum kami melompat ke parit SeaWorld.
"Aku tidak pernah menganggap dia sebagai sosok yang nyata," kata
Margo.
Ketika dia bicara, aku memanfaatkan kesempatan itu untuk ber
istirahat, dan berjongkok. "Siapa, Robert Joyner?"
Margo terus menggali. "Yeah. Maksudku, dia adalah sesuatu yang
terjadi padaku, tahu kan? Tapi sebelum dia menjadi tokoh minor
dalam drama kehidupanku, dia adalah?tahu kan, tokoh sentral da
lam drama kehidupannya sendiri."
Aku juga tidak pernah benar-benar menganggapnya sebagai sosok
yang nyata. Laki-laki yang bermain di tanah seperti aku. Laki-laki
yang jatuh cinta seperti aku. Laki-laki yang senarnya putus, yang
tidak merasakan akar dari bilah rumputnya terhubung dengan tanah,
laki-laki yang retak. Seperti aku. "Yeah," kataku sesaat kemudian
seraya kembali menggali. "Sejak dulu dia hanya sesosok tubuh bagiku."
"Seandainya kita bisa berbuat sesuatu," ucap Margo. "Seandainya
kita bisa membuktikan betapa heroiknya kita."
"Yeah," timpalku. "Pasti menyenangkan bila bisa berkata kepadanya
bahwa, apa pun itu, itu tidak perlu menjadi akhir dunia."
"Yeah, meskipun pada akhirnya sesuatu akan membunuhmu."
Aku mengedikkan bahu. "Yeah, aku tahu. Aku tidak bilang bahwa
segala-galanya bisa bertahan. Hanya bahwa segala-galanya bisa ke
cuali hal yang terakhir." Tanganku kembali menggali, tanah di sini
jauh lebih hitam daripada di kotaku. Kulemparkan segenggam tanah
ke gundukan di belakang kami, dan duduk. Aku merasa berada di
tubir suatu gagasan, dan aku berusaha meyakinkan diriku untuk
melakukannya. Aku belum pernah berbicara sepanjang ini sekaligus
pada Margo selama hubungan panjang dan bersejarah kami, tapi
inilah dia, manuver terakhirku untuknya.
"Ketika aku memikirkan soal dia tewas?yang kuakui tidak se
ring?aku selalu memikirkannya dengan cara seperti ucapanmu,
bahwa semua senar dalam dirinya putus. Tapi ada seribu cara untuk
memandangnya: mungkin senar-senar itu putus, atau mungkin kapal
kita karam, atau mungkin kitalah rumput?akar kita saling bergan
tung pada satu sama lain begitu erat sehingga tidak ada seorang pun
mati selama ada seseorang yang masih hidup. Kita tidak kekurangan
metafora, itulah yang kumaksud. Tapi kau harus berhati-hati memilih
metafora, karena itu penting. Kalau kau memilih senar, artinya kau
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membayangkan dunia di mana kau bisa pecah tanpa dapat diperbaiki
lagi. Kalau kau memilih rerumputan, kau mengatakan kita semua
terhubung, bahwa kita bisa memanfaatkan sistem akar itu bukan
hanya untuk memahami satu sama lain tapi juga menjadi satu sama
lain. Metafora itu memiliki implikasi. Apa kau memahami maksud
ku?"
Margo mengangguk.
"Aku suka metafora senar. Sejak dulu. Sebab memang seperti itulah
rasanya. Tapi senar membuat penderitaan tampak lebih fatal daripada
yang sebenarnya, menurutku. Kita tidak serapuh senar. Dan aku juga
suka metafora rerumputan. Metafora rerumputan mengantarku ke
padamu, membantuku membayangkan dirimu sebagai sosok yang
aktual. Tapi kita bukan tunas yang berbeda dari tumbuhan yang
sama. Aku tidak bisa menjadi kau. Kau tidak bisa menjadi aku. Kau
bisa membayangkan orang lain dengan baik?tapi tidak pernah de
ngan sempurna.
"Barangkali ini lebih mirip dengan ucapanmu sebelumnya, kita
semua retak. Seolah, kita semua berawal sebagai wadah kedap air.
Dan hal-hal ini terjadi?orang-orang ini meninggalkan kita, atau
tidak menyayangi kita, atau tidak memahami kita, atau kita tidak
memahami mereka, dan kita kalah, gagal, dan saling menyakiti. Dan
wadah itu mulai retak di beberapa tempat. Dan maksudku, yeah,
begitu wadah itu retak, akhir pun tak terelakkan. Begitu hujan mulai
turun di dalam Osprey, tempat itu takkan pernah direnovasi. Namun
masih ada waktu antara saat retakan mulai membelah dan ketika
kita akhirnya hancur berantakan. Dan baru pada saat itulah kita bisa
melihat satu sama lain, karena kita memandang ke luar diri kita lewat
retakan-retakan kita dan menatap orang lain melalui retakan-retakan
mereka. Kapan kita bertatapan wajah-dengan-wajah? Sampai kau
melihat ke dalam retakanku dan aku melihat ke dalam retakanmu.
Sebelum itu, kita sekadar menatap gagasan satu sama lain, seperti
menatap kerai jendelamu tanpa pernah melihat isi kamarmu. Namun,
begitu wadahnya retak, cahaya bisa masuk. Cahaya bisa keluar."
Margo mengangkat jemari ke bibir, seolah berkonsentrasi, atau
seolah menyembunyikan mulutnya dariku, atau seolah untuk merasa
kan kata-kata yang diucapkannya. "Kau lumayan hebat," katanya
akhirnya. Dia menatapku, mataku dan matanya dan tak ada apa pun
di antara mereka. Tidak ada yang akan kudapatkan dari menciumnya.
Tetapi aku tidak lagi berharap mendapatkan apa-apa. "Ada sesuatu
yang harus kulakukan," kataku, dan dia mengangguk sekilas, aku pun
menciumnya.
Ciuman kami berakhir cukup lama setelahnya ketika dia berkata,
"Kau boleh ikut ke New York. Pasti seru. Rasanya bakal mirip ber
ciuman."
Dan kubilang, "Ciuman itu lumayan hebat."
Dan dia bilang, "Kau menolak."
Dan kubilang, "Margo, seluruh hidupku di sana, dan aku bukan
kau, dan aku?" Tetapi aku tak bisa bicara karena dia menciumku
lagi, dan pada saat dia menciumku itulah aku tahu pasti bahwa kami
menuju arah yang berlainan. Dia bangkit dan berjalan ke tempat
kami tidur tadi, menghampiri ranselnya. Dia mengeluarkan buku
catatan moleskin, kembali menuju kuburan, dan meletakkannya di
tanah.
"Aku akan merindukanmu," bisiknya, dan aku tak tahu apakah dia
bicara padaku atau buku itu. Aku juga tak tahu kepada siapa aku
bicara ketika berkata, "Begitu juga aku."
"Tuhan memberkati, Robert Joyner," kataku, dan menjatuhkan
segenggam tanah ke buku catatan.
"Tuhan memberkati, Quentin Jackson muda dan heroik," ucap
Margo, melemparkan tanah di genggamannya.
Segenggam lagi seraya aku berkata, "Tuhan memberkati, Margo
Roth Spiegelman dari Orlando yang pemberani."
Dan segenggam lagi sambil dia berkata, "Tuhan memberkati,
Myrna Mountweazel si anak anjing ajaib." Kami mendorong tanah
menutupi buku itu, memadatkan tanah yang longgar. Rumputnya
akan segera kembali tumbuh, menjadi rambut pekuburan yang elok
dan tak dipangkas bagi kami.
Kami berpegangan dengan tangan yang kotor oleh tanah ketika kem
bali ke Toko Kelontong Agloe. Aku membantu Margo mengangkut
barang-barangnya?sepelukan baju, perlengkapan mandi, dan kursi
kantor?ke mobilnya. Berharganya momen itu, yang seharusnya
membuat berbicara lebih mudah, menjadikannya lebih sulit.
Kami berdiri di luar parkiran motel satu lantai ketika perpisahan
menjadi tak terelakkan. "Aku akan membeli ponsel, dan meneleponmu,"
katanya. "Dan mengirim e-mail. Dan memposting kalimat misterius
di laman diskusi Kota Kertas di Omnictionary."
Aku tersenyum. "Aku akan mengirimimu e-mail begitu kami tiba
di rumah," ucapku, "dan aku mengharapkan balasan."
"Aku janji. Dan aku akan menemuimu. Kita belum selesai bertemu
dengan satu sama lain."
"Akhir musim panas, mungkin, aku bisa bertemu denganmu di
suatu tempat sebelum kuliah dimulai," kataku.
"Yeah," ucap Margo. "Yeah, gagasan bagus." Aku tersenyum dan
mengangguk. Dia berbalik, dan aku bertanya-tanya apakah dia serius
dengan ucapannya ketika melihat bahunya merosot. Dia menangis.
"Kalau begitu sampai ketemu nanti. Dan sementara itu aku akan
mengirimimu surat."
"Ya," ucap Margo tanpa berbalik, suaranya berat. "Aku juga akan
menyuratimu juga."
Mengucapkan hal-hal semacam inilah yang mencegah kami runtuh.
Dan barangkali dengan membayangkan masa depan ini kami bisa
mewujudkannya, dan mungkin juga tidak, tapi bagaimanapun juga
kami harus membayangkannya. Cahaya menghambur ke luar dan
membanjir masuk.
Aku berdiri di parkiran ini, menyadari bahwa aku belum pernah
sejauh ini dari rumah, dan di sini ada gadis yang kucintai dan tak
bisa kuikuti. Aku berharap inilah tugas seorang pahlawan, karena
tidak mengikutinya adalah tindakan terberat yang pernah kulakukan.
Aku terus berpikir Margo akan masuk mobil, tapi ternyata tidak,
dan akhirnya dia berbalik ke arahku dan aku melihat mata basahnya.
Ruang fisik antara kami menguap. Kami memainkan senar putus
instrumen kami untuk terakhir kalinya.
Aku merasakan tangannya di punggungku. Hari sudah gelap ketika
aku menciumnya, tapi aku membuka mata dan begitu juga Margo.
Dia cukup dekat denganku sehingga aku bisa melihatnya, sebab se
karang pun ada tanda lahiriah dari cahaya tak kasatmata, bahkan
pada malam hari di parkiran di pinggiran Agloe ini. Setelah ber
ciuman, dahi kami bersentuhan saat kami menatap satu sama lain.
Ya, aku bisa melihat dia hampir dengan jelas di kegelapan retak ini.
CATATAN PENGARANG
Aku mengetahui tentang kota kertas ketika kebetulan bertemu salah
satunya sewaktu melancong saat tahun juniorku di universitas. Teman
seperjalananku dan aku bolak-balik menyusuri jalan raya lengang
South Dakota, mencari-cari kota yang tercantum di peta?seingatku,
kota itu bernama Holen. Akhirnya, kami menyusuri satu jalan masuk
dan mengetuk pintu. Perempuan ramah yang membukakan pintu
sudah pernah ditanyai hal serupa. Dia menjelaskan bahwa kota yang
kami cari hanya ada dalam peta.
Kisah Agloe, New York?seperti yang ada dalam buku ini?se
bagian besarnya nyata. Agloe bermula sebagai kota kertas yang di
ciptakan sebagai perlindungan terhadap pelanggaran hak cipta. Tetapi
kemudian orang-orang yang memiliki peta Esso lama terus-terusan
mencarinya, jadi seseorang membangun sebuah toko, membuat Agloe
nyata. Bisnis kartografi telah banyak berubah sejak Otto G. Lindberg
dan Ernest Alpers menemukan Agloe. Namun banyak pembuat peta
masih memasukkan kota kertas sebagai jebakan hak cipta, seperti
yang dibuktikan oleh pengalamanku yang membingungkan di South
Dakota.
Toko yang dulunya adalah Agloe kini tak lagi berdiri. Tetapi aku
yakin bahwa jika kita memasukkan Agloe lagi dalam peta kita, pada
akhirnya seseorang akan membangunnya lagi.
Tamat
Wiro Sableng 096 Utusan Dari Akhirat Pendekar Naga Putih 09 Mencari Jejak Trio Detektif 28 Misteri Kemelut Kembar
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama