Ceritasilat Novel Online

Gadis Gadis March 2

Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott Bagian 2

menyentuh. Kalimat-kalimatnya yang panjang dianggap "sangat

anggun" oleh kawan-kawan perempuannya.

Amy dapat dikatakan dimanja karena semua orang memanjakannya, dan sedikit kesombongan serta keegoisannya justru berkembang ke arah yang baik. Namun begitu, ada satu hal yang menodai kebanggaannya: ia terpaksa mengenakan pakaian bekas dari

sepupu-sepupunya. Ibu Florence benar-benar tidak punya selera,

sehingga Amy harus menderita mengenakan topi merah alih-alih

biru, rok yang tidak menarik, dan celemek berdetail ramai yang

tidak pas. Semuanya masih bagus, berkualitas baik, dan sedikit

usang, tetapi dengan sepasang mata yang artistik Amy merasa

sengsara, apalagi di musim dingin ini, ketika pakaian sekolahnya

berwarna ungu pudar dengan bintik-bintik kuning dan tanpa hiasan apa pun.

"Satu-satunya yang membuatku senang," katanya kepada Meg

dengan air mata berlinang, "adalah Ibu tidak memendekkan lipat?

an rokku kapan pun aku nakal, seperti ibu Maria Park. Oh, itu

sungguh-sungguh menyeramkan; kadang-kadang ia begitu nakal,

sampai roknya dipendekkan hingga selutut, dan ia tidak bisa masuk sekolah. Jika aku membayangkan kememerostan itu, aku merasa

aku bahkan bisa menanggung hidung pesekku dan rok unguku dengan ledakan bintik-bintik kuningnya."

Meg adalah tempat Amy bercerita sekaligus pengawasnya,

dan, berkat daya tarik yang aneh antara dua pribadi yang berlawanan, Jo punya peran yang sama dengan Beth. Hanya kepada

Jo-lah Beth berbagi isi pikirannya, dan terhadap kakaknya yang

jangkung serta sembrono itulah Beth secara tidak sadar punya pengaruh lebih besar ketimbang terhadap siapa pun dalam keluarga

itu. Kedua gadis tertua amat saling menyayangi, namun masingmasing merupakan pengawas khusus terhadap adik-adik mereka,

dan menjaga adik-adik mereka dengan cara sendiri-sendiri. Mereka menamai peran itu "menjadi ibu"?dengan insting keibuan dua

wanita muda; adik-adik mereka menggantikan tempat para boneka

yang telah dibuang.

"Tidak adakah yang punya sesuatu untuk diceritakan? Hari ini

sungguh suram, aku ingin hiburan," kata Meg ketika mereka duduk-duduk sambil menjahit, sesudah makan malam.

"Pengalamanku dengan Bibi hari ini cukup aneh, karena tidak seperti biasa, kali ini justru mengasyikkan. Dengar, ya, akan

kuceritakan," kata Jo, yang amat senang bercerita. "Aku sedang

membacakan Belsham yang membosankan itu, dengan nada datar sebagaimana selalu kulakukan, karena dengan begitu Bibi pasti

segera mengantuk. Lalu, aku mengambil buku lain yang menarik,

dan membaca secepat kilat sampai ia terbangun. Pada akhirnya,

aku pun mengantuk. Sebelum ia mulai terkantuk-kantuk, aku ternganga hingga ia bertanya mengapa aku membuka mulut begitu

lebar sampai aku bisa menelan satu buku dengan sekali telan.

'Kalau saja aku bisa menelan sebuah buku dan langsung melupakannya,' kataku, mencoba tidak terdengar kasar.

"Kemudian ia memberiku ceramah panjang tentang dosadosaku, lantas menyuruhku duduk dan merenungkan itu semua,

sambil menunggunya ?terlena? sesaat. Biasanya Bibi March cukup

lama terlena. Jadi, begitu kepalanya mulai terangguk-angguk, seperti setangkai dahlia dengan mahkota bunga yang terlalu berat,

cepat-cepat aku mengeluarkan The Vicar of Wakefield dari sakuku

dan mulai membaca?satu mata ke buku dan satu mata mengawasi Bibi. Aku sampai di bagian ketika mereka jatuh ke dalam air

dan aku benar-benar lupa sedang berada di mana. Dengan spontan

aku tertawa keras-keras. Bibi terbangun, merasa lebih baik setelah

tidur sebentar, menyuruhku membaca sedikit, dan menunjukkan

betapa remeh bacaan yang kupilih dibandingkan Belsham yang

berharga dan penuh petuah. Aku berusaha keras, dan ia menyukainya, tetapi ia hanya berkata,?

"?Aku tidak mengerti maksudnya; kembali dan mulai lagi dari

awal, Nak.?

"Aku menurut, mencoba membuat semua Primrose di bacaan

itu semenarik yang kubisa. Sekali, aku usil dan berhenti di titik

cerita yang menegangkan, kemudian berkata pelan, ?Sepertinya

Anda tampak letih, Bibi; perlukah aku berhenti sekarang??

"Ia meraih rajutannya, yang terjatuh dari tangannya, memandangku dengan tajam dari balik kacamata, dan berkata, dengan

ketus seperti biasa,?

"?Selesaikan bab itu, dan jangan membangkang, Nona.?"

"Apakah ia mengakui ia menyukainya?" tanya Meg.

"Oh, tidak! Tetapi ia membiarkan Belsham tua beristirahat.

Ketika aku berlari kembali ke sana sore tadi untuk mengambil sarung tanganku yang tertinggal, kudapati dia sedang serius membaca Vicar, sampai-sampai tidak mendengarku tertawa sembari menari-nari di lorong. Ah... masa-masa menyenangkan akhirnya tiba

juga. Betapa menyenangkan hidupnya, kalau saja ia memilih demikian. Meskipun ia punya uang, aku tidak iri kepadanya, karena

kupikir, bagaimanapun juga, semua orang kaya punya kecemasan

yang sama banyaknya dengan orang miskin," tambah Jo.

"Aku jadi ingat," kata Meg, "aku juga punya cerita. Tidak lucu

seperti cerita Jo, tetapi aku memikirkannya dengan cukup serius

waktu berjalan pulang tadi. Di keluarga King hari ini, aku melihat

semua orang kebingungan. Salah satu anak yang kuasuh berkata

bahwa abang mereka yang sulung telah melakukan kesalahan fatal sampai Papa menyuruhnya pergi. Aku mendengar Mrs. King

menangis, dan Mr. King bicara dengan suara amat keras. Grace

dan Ellen memalingkan wajah saat berpapasan denganku, agar aku

tidak melihat betapa merah mata mereka. Tentu saja aku tidak bertanya apa-apa, tetapi aku merasa prihatin melihat keadaan mereka,

dan sedikit bersyukur karena aku tidak punya saudara lelaki liar

yang melakukan hal-hal gila dan mempermalukan keluarga."

"Kurasa, dipermalukan di sekolah jauh lebih meresah-gelisahkan ketimbang kenakalan anak-anak lelaki," sahut Amy sambil

menggeleng-geleng, seolah-olah pengalaman hidupnya begitu

berat dan mendalam. "Susie Perkins datang ke sekolah hari ini,

mengenakan cincin bermata batu carnelia yang cantik. Aku begitu

menginginkannya, sampai-sampai aku berharap dengan sungguhsungguh andai saja aku bisa jadi Susie. Yah, ia menggambar Mr.

Davis, dengan hidung luar biasa besar dan benjolan, dan kata-kata

?Nona-Nona Muda, aku mengawasi kalian!? keluar dari mulutnya,

dibingkai di dalam balon kata. Kami tertawa, dan tiba-tiba matanya betul-betul mengarah kepada kami. Ia menyuruh Susie membawa batu tulisnya ke depan. Susie terrpakkku ketakutan, tetapi

menurut, dan oh, tebak apa yang dilakukannya? Mr. Davis menjewer telinga Susie, telinganya! Bayangkan betapa mengerikannya!

Ia mengarahkan Susie ke atas panggung baca, dan memerintahkan

Susie berdiri di sana selama setengah jam, sambil memegangi batu

tulisnya, sedemikian, agar semua bisa melihat."

"Tidakkah anak-anak tertawa melihat gambar itu?" tanya Jo,

yang terhibur dengan cerita itu.

"Tertawa?! Tidak ada yang berani tertawa! Semua menunduk

diam, ketakutan. Dan Susie menangis sampai berember-ember,

aku tahu pasti. Ketika itu, aku tidak iri padanya, karena aku merasa

jutaan cincin bermata batu carnelia tidak akan membuatku bahagia

setelah kejadian itu. Aku tidak akan pernah dapat melupakan rasa

malu dan penderitaan seperti itu," lantas Amy meneruskan pekerjaannya, merasa bangga akan sikap bijaknya, dan keberhasilannya

mengucapkan kata-kata panjang dalam satu tarikan napas.

"Aku melihat sesuatu yang kusuka pagi ini. Aku ingin menceritakannya waktu makan malam tadi, tetapi lupa," ujar Beth

sembari membereskan keranjang Jo yang berantakan. "Ketika aku

pergi membeli tiram untuk Hannah, Mr. Laurence berada di toko

ikan. Ia tidak melihatku, karena aku bersembunyi di belakang

tong-tong ikan, dan ia sibuk berbicara dengan Mr. Cutter, si penjual ikan. Seorang perempuan miskin datang membawa ember dan

pel, dan bertanya kepada Mr. Cutter apakah ia boleh mengepel untuk mendapatkan sedikit ikan. Katanya, ia tidak punya makanan

untuk anak-anaknya, dan uang hasil kerjanya seharian tidak cukup

untuk membeli ikan. Mr. Cutter sedang terburu-buru. Ia menjawab, ?Tidak,? dengan nada kesal. Perempuan itu beranjak pergi,

tampak lapar dan sedih. Tahu-tahu Mr. Laurence mengambil se?

ekor ikan besar dengan ujung tongkatnya, kemudian menyerahkan

ikan itu kepadanya. Perempuan itu begitu kaget sekaligus senang.

Ia menerima ikan itu dengan kedua tangannya dan mengucapkan

terima kasih berkali-kali. Mr. Laurence mengatakan, ?Pergilah dan

masaklah ikan itu? dan perempuan itu pun segera pergi, wajahnya

tampak sangat gembira! Baik sekali, ya, Mr. Laurence? Oh, perempuan itu tampak lucu, sambil memeluk ikan besar dan licin itu

ia mendoakan semoga kelak Mr. Laurence mendapat tempat yang

?nyaman? di surga."

Mereka tertawa mendengar cerita Beth, lantas meminta ibu

mereka bercerita. Setelah berpikir sesaat, Mrs. March berkata dengan serius,?

"Hari ini, waktu aku duduk di ruangan besar di tempat kerjaku

dan memotong kain flanel biru untuk membuat mantel, aku merasa sangat cemas memikirkan ayah kalian. Aku berpikir betapa kesepian dan tidak berdayanya kita apabila sesuatu terjadi padanya.

Berpikir buruk bukanlah sesuatu yang patut dilakukan, tetapi aku

terus saja khawatir, sampai seorang lelaki tua datang membawa

perintah untuk beberapa hal. Ia duduk di dekatku, dan aku membuka pembicaraan, karena ia tampak sedih, lelah, dan gelisah.

"?Apakah Anda punya anak laki-laki yang bertugas di ketentaraan?? tanyaku setelah melihat bahwa perintah yang ia bawa bukanlah untukku.

"?Ya, Bu. Aku punya empat anak laki-laki, dua tewas terbunuh,

satu ditawan, dan aku hendak mengunjungi anakku yang satunya,

yang sedang sakit parah di rumah sakit di Washington,? ia menjawab pelan.

"?Anda telah berjasa besar bagi negara, Pak,? kataku kepadanya,

dengan perasaan hormat, bukan perasaan iba.

"?Tidak lebih dari yang diwajibkan, Bu. Kalau saja aku masih

berguna, aku sendiri pasti pergi ke medan perang. Sayang aku ti73

dak bisa, jadi aku memberikan anak-anakku, menyerahkan mereka

secara cuma-cuma.?

"Caranya bicara begitu riang, dan ia tampak amat tulus. Sepertinya, ia senang bisa melakukan apa yang ia lakukan sampaisampai aku merasa malu terhadap diriku sendiri. Aku hanya menyerahkan satu pria, dan selalu berpikir aku telah memberikan

terlalu banyak, sementara ia menyerahkan empat anaknya tanpa

mengeluh. Aku punya anak-anak perempuan untuk menghiburku

di rumah, sementara putranya yang terakhir sedang menanti, bermil-mil jauhnya, mungkin untuk mengucapkan ?selamat tinggal?

kepada ayahnya. Aku merasa begitu kaya, begitu bahagia, saat memikirkan berkat yang kupunyai. Kusiapkan bungkusan makanan

dan baju hangat untuknya, juga sedikit uang. Kuucapkan terima

kasih dengan hangat atas pelajaran yang telah ia berikan kepadaku."

"Beri kami cerita lain, Ibu, yang mengandung hikmah seperti yang baru saja Ibu ceritakan. Aku senang merenungkan ceritacerita seperti itu, tapi yang nyata terjadi, dan tidak bersifat menggurui," pinta Jo setelah mereka diam beberapa saat.

Mrs. March tersenyum, lalu segera memulai. Telah bertahuntahun ia bercerita untuk para pendengarnya itu, dan ia tahu bagaimana caranya menyenangkan mereka.

"Pada suatu waktu, ada empat orang gadis, yang punya cukup

makanan, air, dan pakaian. Mereka hidup nyaman dan suka bersenang-senang. Mereka punya teman-teman dan orangtua yang

baik, yang mengasihi mereka. Tetapi, hati mereka tidak tenang."

(Di bagian ini, para pendengar Mrs. March saling mencuri pandang, dan mulai menjahit dengan tekun.) "Anak-anak ini sangat

ingin menjadi anak-anak baik, mereka menyatakan banyak tekad

yang terpuji. Namun, entah bagaimana, mereka tidak melaksanakan niat mereka dengan baik, dan terus-menerus berkata, ?Kalau

saja aku punya ini,? atau ?Kalau saja aku bisa melakukan itu,? lantas

lupa betapa banyak yang sesungguhnya telah mereka miliki, betapa berlimpah hal-hal menyenangkan yang bisa mereka lakukan.

Jadi, kepada seorang wanita tua, mereka meminta mantra yang

bisa mereka gunakan untuk menyulap mereka menjadi bahagia.

Kata wanita itu, ?Ketika kau merasa tidak puas, hitunglah berkatmu dan bersyukurlah.?" (Sampai di situ, Jo mengangkat kepala dengan cepat, seakan hendak berbicara, tetapi berubah pikiran ketika

menyadari bahwa cerita itu belum selesai.)

"Sebagai anak-anak yang bijak, mereka memutuskan untuk

mempraktikkan nasihat itu. Dengan segera mereka melihat betapa kayanya mereka sesungguhnya. Satu anak menemukan bahwa uang tidak bisa menjauhkan rasa malu dan kesedihan dari rumah-rumah orang berpunya; anak lain berpikir bahwa, meskipun

miskin, tetapi ia jauh lebih bahagia dengan kemudaannya, kesehatannya, dan semangatnya yang tinggi; bahwa ia lebih bahagia

dibandingkan seorang wanita tua yang lemah dan cerewet, yang

tidak bisa menikmati kenyamanannya sendiri; anak ketiga, meskipun enggan membantu menyiapkan makan malam, menemukan

bahwa meminta-minta makan adalah cobaan yang lebih sulit; dan

anak keempat melihat bahwa cincin bermata batu carnelia tidaklah seberharga perilaku yang sopan. Dengan begitu, mereka setuju

untuk berhenti mengeluh. Mereka mensyukuri rezeki yang mereka miliki dan berusaha untuk membuat diri mereka pantas menerimanya, sebab jika tidak kenikmatan itu bisa hilang, alih-alih

bertambah. Dan aku percaya, mereka tidak pernah kecewa, atau

menyesal, telah mengikuti nasihat seorang wanita tua."

"Wah, Marmee cerdik sekali. Marmee mengubah pengalaman

kami menjadi wejangan tanpa perlu membuat cerita baru,?" kata

Meg.

"Aku suka wejangan seperti itu. Mirip wejangan yang biasa disampaikan Ayah," ujar Beth serius, kemudian menusukkan jarumjarumnya pada bantalan jarum milik Jo.

"Aku tidak mengeluh sebanyak kalian, dan sekarang aku akan

lebih berhati-hati. Aku telah mendapat perlajaran dari kesalahan

Susie," kata Amy dengan lagak alim.

"Kita memerlukan pelajaran seperti itu, dan kita tidak akan

melupakannya. Kalaupun ya, katakanlah kepada kami sebagaimana si Chloe dalam cerita Paman Tom,??Pikirkan rahmatmu,

Anak-Anak, pikirkan rahmatmu," tambah Jo, yang selalu bisa menemukan hal-hal lucu dalam sebuah wejangan, walaupun ia menganggap wejangan itu serius, sama seperti saudari-saudarinya.

Menjadi Tetangga

yang Baik

"A

pa yang akan kaulakukan sekarang, Jo?" tanya Meg pada

suatu sore yang bersalju, saat melihat adiknya berjalan

sepanjang lorong mengenakan sepatu bot karet, baju tua dan tudung, serta sapu di satu tangan dan sekop di tangan lain.

"Keluar, berolahraga," sahut Jo. Kedua matanya berkilau jahil.

"Bagiku, dua kali berjalan kaki jauh pagi ini sudah cukup. Di

luar dinginnya menggigit tulang, jadi kusarankan kau tetap berada di dalam rumah, hangat dan kering, di dekat perapian, seperti

selalu kulakukan," kata Meg dengan tubuh sedikit bergetar kedinginan.

"Tak pernah bisa indahkan saran; tak bisa duduk diam sepanjang hari, tak bisa bergelung malas seperti kucing, dan aku tidak

suka duduk terkantuk-kantuk di dekat perapian. Aku senang bertualang, dan aku akan mencari petualangan."

Meg kembali masuk untuk menghangatkan kakinya dan membaca Ivanhoe, sementara Jo mulai membersihkan jalan setapak dengan penuh semangat. Salju yang turun tidak cukup tebal. Dengan

sapunya, tidak lama kemudian, Jo telah membersihkan jalan setapak di sekeliling kebun, agar Beth bisa berjalan-jalan jika matahari

muncul, karena boneka-bonekanya yang cacat butuh udara segar.

Kebun itu memisahkan rumah keluarga March dengan rumah Mr.

Laurence. Kedua rumah itu terletak di pinggir kota yang suasananya masih menyerupai suasana pedesaan, dengan hutan-hutan
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecil dan padang-padang rumput, kebun-kebun luas, dan jalanjalan yang sepi. Pagar tanaman rendah memisahkan pekarangan

kedua rumah itu. Di satu sisi, berdiri rumah cokelat tua, tampak

sederhana dan lusuh tanpa tanaman rambat yang menutupi dinding-dindingnya di musim panas, dan bunga-bunga aneka warna

yang mengelilinginya di musim itu. Di sisi lain, terdapat rumah

megah terbuat dari batu, jelas-jelas menampakkan segala macam

kenyamanan dan kemewahan, mulai dari bangunan besar tempat

menyimpan kereta, taman yang terawat dan rumah kaca yang

luas, sampai benda-benda indah yang bisa terlihat dari balik tiraitirai yang cantik. Namun begitu, rumah itu justru terlihat sepi dan

seolah tak berpenghuni; tidak ada anak-anak yang riang bermain

di halamannya, tidak ada wajah keibuan tersenyum dari balik jendela, hanya ada seorang pria tua dan cucu lelakinya. Tak banyak

orang lain yang masuk ke rumah itu atau keluar dari sana.

Bagi Jo yang penuh imajinasi, rumah bagus itu bagaikan istana

dengan daya pikat yang menyihir, penuh dengan kemegahan dan

kesenangan yang tidak dinikmati oleh siapa pun. Telah lama ia

berangan-angan dapat melihat sendiri kemewahan tersembunyi

itu, serta mengenal "si Laurence", yang sepertinya ingin berkenalan tetapi tidak tahu cara memulainya. Sejak bertemu di pesta

malam itu, rasa ingin tahu Jo semakin besar. Ia membuat banyak

rencana untuk bisa berteman dengan anak itu. Sayangnya, akhirakhir ini Laurence tidak pernah terlihat. Jo mulai menduga-duga

bahwa Laurence telah pergi jauh. Tapi, pada suatu hari ia melihat

sebentuk wajah cokelat di balik jendela di tingkat atas, memandang penuh damba ke arah kebun mereka, tempat Beth dan Amy

sedang saling melempar bola salju.

"Anak itu sangat kesepian. Ia butuh teman dan keceriaan," kata

Jo pada dirinya sendiri. "Kakeknya tidak tahu apa yang ia butuhkan, dan membiarkannya terus-menerus sendirian. Ia butuh anakanak lelaki lain untuk bermain bersama, atau seseorang yang sebaya dengannya dan penuh semangat. Aku akan pergi ke sana dan

menyampaikan pikiranku ini kepada Mr. Laurence."

Gagasan itu membuat Jo senang. Jo selalu suka melakukan

hal-hal menantang dan sering membuat Meg malu karena tingkah

lakunya yang aneh. Rencana untuk "pergi ke sana" tidak pernah

terlupakan, dan ketika sore bersalju itu tiba, Jo bertekad untuk

mencobanya. Ia melihat Mr. Laurence pergi, lantas dengan cepat

Jo membersihkan salju sampai ke pagar tanaman. Lalu ia berhenti

sebentar dan mengamati keadaan. Suasana tampak sepi. Tirai-tirai

di jendela bawah diturunkan, para pelayan tidak terlihat, tidak ada

tanda-tanda adanya manusia lain selain kepala berambut hitam

ikal disangga satu lengan kurus, di jendela atas.

"Itu dia," batin Jo, "anak malang! Sendirian, dan sakit, di hari

yang murung ini! Sayang sekali! Coba kulempar bola salju agar ia

mau melihat ke luar, lalu aku akan menghiburnya."

Gumpalan salju dilontarkan. Langsung kepala itu menoleh,

ekspresi bosan seketika lenyap dari wajah anak itu. Sepasang matanya yang besar tampak bersinar-sinar dan mulutnya membentuk

senyuman. Jo mengangguk, lalu tertawa. Ia mengacungkan sapunya sambil berseru,?

"Apa kabar? Apakah kau sedang sakit?"

Laurie membuka jendela dan membalas berseru dengan suara

serak seperti suara burung gagak,?

"Sudah lebih baik, terima kasih. Aku terkena flu parah, dan sudah satu minggu tidak bisa keluar rumah."

"Sayang sekali. Dengan apa kau menghibur dirimu?"

"Tidak dengan apa-apa. Di atas sini sama membosankannya

dengan di kuburan."

"Apakah kau tidak membaca?"

"Hanya sedikit; mereka tidak mengizinkan."

"Tidak adakah yang bisa membacakan sesuatu untukmu?"

"Kakek, kadang-kadang. Tetapi buku-bukuku tidak menarik baginya, dan aku benci kalau selalu harus minta tolong pada

Brooke."

"Kalau begitu, undanglah seseorang untuk mengunjungimu."

"Aku tidak ingin bertemu siapa-siapa. Anak-anak lelaki terlalu

ribut, padahal kepalaku masih pening."

"Apakah tidak ada anak perempuan baik-baik yang bisa membaca untukmu dan menghiburmu? Anak-anak perempuan cukup

tenang, mereka senang berperan sebagai perawat."

"Aku tidak kenal siapa-siapa."

"Kau kenal aku," kata Jo, kemudian tertawa, lalu tiba-tiba berhenti.

"Kau juga kenal aku! Maukah kau datang?" seru Laurie.

"Aku tidak pendiam dan aku bukan anak yang tenang; tetapi

aku mau datang, jika Ibu mengizinkanku. Aku akan minta izin.

Tutuplah jendela itu layaknya anak yang patuh, dan tunggulah

aku."

Selesai mengatakan itu, Jo menyandang sapunya di satu bahu

lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Dalam hati ia bertanyatanya apa yang akan dikatakan keluarganya. Laurie sendiri segera

bersemangat hendak menyambut seorang tamu. Dengan cepat ia

bersiap-siap. Karena seperti kata Mrs. March, ia adalah seorang

"pria muda sejati" dan ia menghormati tamunya dengan menyisir

rambut ikalnya, berganti baju, dan berusaha merapikan kamarnya

yang, meskipun ada setengah lusin pelayan di rumah itu, tidak

pernah tampak rapi. Tidak lama kemudian, bel berdering nyaring,

lalu terdengar sebuah suara tegas menanyakan "Mr. Laurie." Seorang pelayan, dengan tampang kaget, berlari ke atas untuk menyampaikan kehadiran seorang gadis muda.

"Baik, antar dia ke atas, itu Miss Jo," kata Laurie sembari beranjak ke pintu kamar untuk menyambut Jo yang muncul dengan

wajah tampak menyenangkan, baik hati, dan santai. Ia membawa

hidangan berpenutup di satu tangan dan tiga ekor anak kucing milik Beth di tangan lain.

"Inilah aku, lengkap dengan barang bawaan," katanya ringkas.

"Ibu mengirimkan salam untukmu. Ia senang aku bisa membantumu. Meg ingin aku membawa sedikit puding buatannya; ia cukup

ahli membuatnya, dan Beth merasa kucing-kucingnya akan menghiburmu. Aku tahu kau akan berteriak kepada mereka, tetapi aku

tidak bisa menolak. Beth sangat ingin ikut berperan."

Maka begitulah yang terjadi. Kiriman Beth sungguh tepat. Tertawa geli melihat polah anak-anak kucing itu, Laurie jadi lupa akan

rasa malunya dan langsung bersikap ramah.

"Makanan itu tampak terlalu cantik untuk dimakan," katanya,

sambil tersenyum senang, katika Jo membuka tutup hidangannya

dan menunjukkan puding yang dihiasi daun-daun hijau dan bunga-bunga geranium merah dari Amy.

"Bukan apa-apa. Mereka hanya ingin membuatmu senang. Suruh pelayanmu menyimpan ini untuk temanmu minum teh nanti.

Ini makanan sederhana, kau bisa memakannya. Dan, karena sangat lembut, kau bisa menelannya tanpa membuat kerongkonganmu terasa sakit. Wah, ruangan ini nyaman sekali."

"Mungkin saja begitu, kalau dirawat secara teratur. Tetapi para

pelayan di sini malas, dan aku tidak tahu bagaimana caranya membuat mereka lebih peduli. Keadaan ruangan ini membuatku tidak

nyaman."

"Akan kubereskan dalam dua menit. Perapian hanya perlu disikat, begini?dan benda-benda di atas bingkai perapian perlu ditata,

begini?buku-buku dipindahkan ke sini, botol-botol ditata di sana,

sofamu dijauhkan dari cahaya, bantal-bantal ditepuk-tepuk sedikit. Nah, selesai sudah."

Dan memang benar; sembari tertawa dan berbicara, Jo sibuk

membetulkan letak barang-barang, dan berhasil mengubah suasana ruangan. Laurie memperhatikannya tanpa bersuara, dengan

rasa hormat. Ketika Jo memintanya duduk di sofa, Laurie bersandar sambil mengembuskan napas lega. Kemudian, dengan penuh

rasa terima kasih ia berkata,?

"Betapa baiknya kau! Ya, beginilah yang kuinginkan. Sekarang, silakan duduk di kursi besar itu, dan izinkan aku menghibur

tamuku."

"Jangan! Aku datang untuk menghiburmu. Kau mau dibacakan buku?" dengan pandangan hangat Jo melihat ke arah beberapa

buku menarik di dekatnya.

"Terima kasih, aku sudah membaca semuanya. Jika kau tidak

keberatan, aku lebih suka mengobrol," kata Laurie.

"Sama sekali tidak. Kalau kaubiarkan, aku bisa mengoceh seharian. Menurut Beth, aku tidak tahu kapan harus berhenti bicara."

"Apakah Beth anak yang tampak menyenangkan, yang lebih

banyak berdiam di rumah, dan terkadang keluar membawa keranjang kecil?" tanya Laurie, tertarik.

"Ya, itu Beth; ia favoritku. Anak itu selalu baik."

"Meg adalah yang cantik, dan kurasa Amy adalah yang rambutnya ikal?"

"Bagaimana kau tahu?"

Wajah Laurie memerah, tetapi ia menjawab dengan jujur,

"Yah, kau tahu, aku sering mendengar kalian saling memanggil.

Dan saat aku sendirian di atas sini, aku tidak tahan untuk tidak

melihat ke arah rumah kalian. Kalian semua kelihatan selalu bersenang-senang. Maaf kalau tingkahku tidak sopan, tetapi ada kalanya

kalian lupa menutup tirai di jendela tempat pot bunga-bunga itu.

Jika lampu kalian dinyalakan, aku merasa seperti melihat sebuah

lukisan indah: kalian duduk mengelilingi meja bersama ibu kalian.

Ia duduk persis menghadapku, dan tampak begitu anggun di antara bunga-bunga itu, aku tidak bisa tidak memandangi kalian. Kau

tahu, aku tidak punya ibu," dan Laurie pun menusuk-nusuk api

untuk menyembunyikan senyum sedih yang tidak dapat ia tahan.

Pandangan matanya yang penuh kesepian dan kepedihan langsung menyentuh hati Jo yang hangat. Jo selalu diajarkan untuk

selalu jujur hingga ia tidak punya pikiran-pikiran aneh, dan di usia

lima belas tahun sikapnya sepolos dan seterbuka kanak-kanak.

Laurie sakit dan kesepian; dan, merasa betapa kaya dirinya dengan

cinta keluarga dan kebahagiaan, Jo dengan senang hati mencoba

membagi harta berharganya itu dengan Laurie. Wajahnya yang

kecokelatan terlihat begitu ramah, dan suaranya yang biasanya

tajam kali ini terdengar lembut saat ia berkata,?

"Kami tidak akan pernah lagi menutup tirai itu, dan aku akan

memberimu kesempatan memandang ke rumah kami sesukamu.

Tetapi, kuharap, daripada hanya melihat dari jauh, lebih baik kau

datang bermain ke rumah kami. Ibuku sungguh luar biasa, ia akan

sangat berbaik hati kepadamu. Beth akan bernyanyi untukmu jika

aku memohon kepadanya, dan Amy akan menari; aku dan Meg

akan membuatmu tertawa melihat perlengkapan panggung kami,

dan kita pasti akan bersenang-senang. Apakah kakekmu akan

mengizinkanmu?"

"Kurasa ya, jika ibumu memintanya. Kakekku baik hati, meskipun dari luar kelihatannya tidak begitu. Sesungguhnya ia membiarkan aku melakukan apa saja yang aku suka. Ia hanya khawatir

aku akan mengganggu orang lain," kata Laurie, wajahnya pelanpelan tampak semakin cerah.

"Kami bukan orang lain, kami tetanggamu, dan kau tidak perlu

merasa takut akan mengganggu. Kami ingin mengenalmu, dan aku

sudah begitu lama mencari akal untuk mengenalmu. Kami juga

belum lama tinggal di sini, tetapi kami telah mengenal semua tetangga kecuali kau."

"Kau lihat, Kakek tinggal di antara buku-bukunya, dan tidak

terlalu memusingkan apa yang terjadi di luar sana. Mr. Brooke, tutorku, tidak tinggal di sini dan aku tidak punya siapa-siapa untuk

menemaniku berkeliling. Jadi, aku hanya berkeliling rumah dan

menjalani hari-hariku."

"Tidak enak sekali. Kau harus memberanikan diri dan pergi

berkunjung ke mana pun kau diundang. Dengan begitu, kau akan

punya banyak teman dan tempat-tempat yang mengasyikkan untuk dituju. Lupakan sikap kaku dan rasa malumu, toh itu tidak

akan bertahan jika kau terus bergaul."

Wajah Laurie memerah lagi, tetapi ia tidak tersinggung dituduh sebagai anak yang kaku dan pemalu. Jo jelas bermaksud baik;

tidak mungkin tidak menanggapi kata-katanya yang tajam dengan

baik, sebaik maksud di baliknya.

"Kau suka sekolahmu?" tanya Laurie, mengalihkan pembicaraan setelah suasana hening beberapa saat, sementara Laurie menatap perapian dan Jo memandang berkeliling dengan senang.

"Aku tidak sekolah; aku ini wirausahawan?wati, maksudku.

Aku membantu bibiku, wanita tua pemarah yang kusayangi," jawab Jo.

Laurie membuka mulut untuk mengajukan pertanyaan lain,

tetapi ia lantas ingat bahwa tidaklah sopan untuk terlalu banyak

bertanya tentang kehidupan orang lain. Jadi, ia menutup mulutnya

lagi, dan tampak salah tingkah. Jo menyukai sikap santun Laurie,

dan ia tidak keberatan menertawakan Bibi March. Karena itu, ia

menggambarkan secara terperinci sosok Bibi March yang rewel,

anjing pudelnya yang gendut, burung beonya yang berbicara dalam bahasa Spanyol, dan perpustakaannya yang sangat disukainya.

Laurie sangat menikmati ceritanya. Ketika cerita Jo sampai pada

seorang pria tua yang dengan sopan santun berlebihan datang untuk merayu Bibi March, dan bagaimana, di tengah rayuannya dengan kata-kata indah, Mr. Poll tak sengaja menarik wignya hingga

lepas, Laurie tertawa terbahak-bahak sampai air mata mengalir di

kedua pipinya, dan seorang pelayan mengintip ke dalam ruangan

untuk melihat apa yang terjadi.

"Oh! Ceritamu lucu sekali. Teruskanlah, kumohon," katanya,

sambil menggeser bantal sofa yang tadi digunakannya untuk menutupi wajahnya. Wajah itu kini tampak riang dan bersinar-sinar.

Merasa terpacu oleh keberhasilannya menghibur Laurie, Jo

"bercerita" tentang drama, pementasan, dan rencana-rencananya,

harapan dan kecemasannya akan nasib ayah mereka, dan hal-hal

menarik yang terjadi di dunia kecil tempat ia dan saudari-saudarinya tinggal. Kemudian, mereka mengobrolkan buku-buku. Jo

senang mengetahui Laurie suka membaca, bahkan telah membaca

lebih banyak dari dirinya.

"Jika kau benar-benar suka buku, mari ke bawah dan melihat

koleksi kami. Kakek sedang pergi, jadi kau tidak perlu takut," kata

Laurie sembari bangkit.

"Tidak ada yang kutakuti," balas Jo sambil mengibaskan rambutnya.

"Ah, aku tidak yakin!" seru Laurie sambil memandang Jo dengan kagum, meskipun diam-diam ia berpikir Jo akan punya cukup banyak alasan untuk merasa takut kepada kakeknya, apalagi
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jika ia bertemu kakeknya ketika orang tua itu sedang dalam suasana hati yang tidak baik.

Suasana rumah itu kini terasa cerah. Laurie memimpin berjalan dari ruangan ke ruangan, membiarkan Jo berhenti untuk memeriksa apa pun yang menarik perhatiannya. Akhirnya, tibalah

mereka di perpustakaan. Jo bertepuk tangan dan melompat-lompat

kecil, seperti kebiasaannya jika ia merasa sangat girang. Ruangan

itu penuh berisi bermacam-macam buku, ada gambar-gambar dan

patung-patung, lemari kaca kecil yang menarik penuh dengan koin

dan benda-benda asing lainnya, kursi-kursi berlengan yang empuk

dan sangat nyaman, meja-meja aneh, hiasan-hiasan perunggu, dan,

yang terbaik, sebuah perapian besar berlapis tegel antik di sekelilingnya.

"Indah sekali!" desah Jo, sambil membenamkan diri di kursi

empuk berlapis beludru dan memandang ke sekelilingnya. Ia tampak sangat puas. "Theodore Laurence, kau pasti anak paling bahagia di dunia ini," tambahnya dengan penuh perasaan.

"Orang tidak bisa hidup hanya dengan buku," sahut Laurie

sambil menggelengkan kepalanya. Ia duduk di meja di seberang Jo.

Sebelum Laurie sempat berkata apa-apa lagi, bel berbunyi, dan

Jo melompat berdiri sambil berseru penuh kewaspadaan, "Tolong

aku! Itu kakekmu!"

"Lalu kenapa? Kau kan tidak takut terhadap apa pun juga," ujar

Laurie, wajahnya tampak jahil sekarang.

"Kurasa aku sedikit takut kepada kakekmu, tapi aku tidak tahu

mengapa. Marmee mengizinkan aku kemari, dan kupikir kehadiranku tidak membuat keadaanmu jadi lebih buruk," kata Jo, menenangkan diri, meskipun pandangannya lekat ke arah pintu.

"Malah jauh lebih baik, seperti seharusnya. Aku hanya takut

kau bosan mengobrol denganku; rasanya sangat menyenangkan,

aku tidak ingin berhenti," kata Laurie, dengan penuh terima kasih.

"Dokter datang untuk memeriksamu, Tuan Muda," kata pelayan, memberi isyarat sembari berbicara.

"Apakah kau keberatan jika kutinggalkan sebentar? Kurasa aku

harus menemuinya."

"Jangan khawatirkan aku. Aku seperti seekor jangkrik yang kegirangan di sini," sahut Jo.

Laurie pergi, dan tamunya menghibur diri dengan caranya sendiri. Jo sedang berdiri di bawah sebuah potret indah seorang pria

tua ketika pintu membuka lagi. Tanpa menoleh, Jo berkata dengan

mantap, "Aku yakin sekarang aku tidak seharusnya takut kepadanya. Kedua matanya bersinar penuh kebaikan, meskipun senyumnya kaku, dan kelihatannya ia keras kepala. Ia tidak setampan kakekku, tetapi aku menyukainya."

"Terima kasih, Nona," ujar sebuah suara berat dan parau di

belakangnya. Jo berbalik, kaget sekali melihat Mr. Laurence tua

berdiri di dekat pintu.

Jo yang malang. Wajahnya merah sekali karena malu, begitu

merahnya sampai tak mungkin lebih merah lagi. Jantungnya berdebar kencang ketika ia ingat kata-kata yang tadi diucapkannya.

Untuk semenit, Jo disergap dorongan kuat untuk lari menjauh. Tetapi, itu tindakan pengecut, dan saudari-saudarinya pasti akan menertawakannya; jadi Jo menguatkan diri untuk tetap tinggal dan

berusaha melepaskan diri dari situasi konyol itu sebaik mungkin.

Menatap Mr. Laurence untuk kedua kalinya, Jo melihat bahwa sesungguhnya sorot kedua mata yang dipayungi alis abu-abu tebal

itu lebih lembut daripada yang terlihat di potret. Bahkan, ada kilat

jenaka di sana, yang membuat rasa takut Jo langsung berkurang.

Suara parau itu terdengar lebih parau lagi ketika pria tua itu tiba87

tiba memecah keheningan dengan bertanya, "Jadi, kau tidak takut

kepadaku, ya?"

"Tidak terlalu, Sir."

"Dan menurutmu aku tidak setampan kakekmu?"

"Benar, Sir."

"Dan aku keras kepala, ya?"

"Saya hanya menduga-duga."

"Tapi kau menyukaiku, walaupun menurutmu aku tidak tampan dan aku keras kepala?"

"Ya, betul, Sir."

Jawabannya membuat Mr. Laurence senang. Ia tertawa pendek, mengajak Jo berjabat tangan, kemudian menaruh satu jarinya

di bawah dagu Jo. Mr. Laurence mengangkat wajah Jo, mengamatinya lekat-lekat, kemudian melepaskannya dan berkata sambil

mengangguk, "Kau mewarisi semangat kakekmu, walaupun wajahmu tidak mirip dia. Ia memang pria tampan, Nak; tetapi yang

lebih baik lagi, ia orang yang berani dan jujur, dan aku amat bangga

menjadi temannya."

"Terima kasih, Sir," sekarang Jo merasa cukup nyaman karena

kata-kata Mr. Laurence itu.

"Apa yang kaulakukan terhadap cucuku, heh?" adalah pertanyaan berikutnya, yang diajukan dengan nada tajam.

"Hanya mencoba menjadi tetangga yang baik, Sir." Dan Jo

menceritakan bagaimana ia sampai berkunjung ke rumah itu.

"Jadi menurutmu ia perlu hiburan?"

"Ya, Sir. Ia kelihatan kesepian. Teman-teman sebaya mungkin

dapat menghiburnya. Kami hanya anak-anak perempuan, tetapi

kami senang membantu jika bisa, karena kami tidak pernah melupakan hadiah Natal luar biasa yang Anda kirimkan kepada kami,"

kata Jo bersemangat.

"Tut, tut, tut. Itu ide Laurie. Bagaimana kabar si wanita malang?"

"Keadaannya baik, Sir." Dan Jo pun mengoceh, berbicara dengan amat cepat tentang keluarga Hummel. Berkat ibunya, keluarga itu menerima bantuan dari teman-teman lain yang lebih kaya

dari keluarga March.

"Selalu berbuat kebajikan, persis ayahnya. Kapan-kapan aku

akan berkunjung ke rumah kalian dan menemui ibumu. Sampaikan begitu kepadanya. Itu bel tanda waktu minum teh. Laurie meminta teh sore ini disiapkan lebih cepat. Ayo ikut ke ruang duduk,

dan teruslah menjadi tetangga yang baik."

"Jika Anda mengizinkan, Sir."

"Aku yang seharusnya mengundangmu," kata Mr. Laurence

sambil mengulurkan lengannya dengan sikap santun gaya lama.

"Apa kata Meg jika ia melihatku sekarang?" pikir Jo saat ia dibimbing berjalan, kedua matanya bersinar-sinar gembira membayangkan dirinya menceritakan pengalaman ini di rumah nanti.

"Hei! Kau kerasukan setan atau apa?" kata Mr. Laurence ketika

melihat Laurie berlari menuruni tangga dan berhenti mendadak,

kaget sekali melihat pemandangan luar biasa: Jo menggandeng lengan kakeknya yang galak.

"Saya tidak tahu Anda sudah datang, Sir," Laurie menjawab

tergagap, sementara Jo memandangnya dengan sorot mata penuh

kemenangan.

"Itu jelas. Lihat saja caramu menuruni tangga dengan gaduh.

Tehmu sudah terhidang, Tuan, dan bersikaplah layaknya seorang

pria sejati," kata Mr. Laurence sambil merapikan rambut Laurie

dengan mengusapnya, kemudian meneruskan berjalan. Di belakang punggungnya, Laurie membuat gerakan-gerakan lucu yang

hampir membuat Jo meledak tertawa.

Pria tua itu tidak banyak berbicara saat ia menikmati empat

cangkir teh. Ia hanya mengamati kedua anak muda di hadapannya,

yang segera saja mengobrol layaknya dua kawan lama. Perubahan dalam diri cucunya tidak luput dari perhatian Mr. Laurence.

Wajah anak itu kini menampilkan rona, tanpa beban, dan tampak

hidup. Tingkah lakunya menjadi lincah, dan tawanya memperdengarkan gema keriaan yang murni.

"Gadis itu benar; Laurie memang kesepian. Akan kulihat apa

yang bisa dilakukan anak-anak perempuan itu baginya," pikir Mr.

Laurence, sembari memperhatikan dan mendengarkan. Ia suka

pada Jo, sikapnya yang terus terang dan terbuka cocok baginya.

Selain itu, rupanya Jo memahami Laurie dengan baik, seolah-olah

ia sendiri seorang anak laki-laki.

Kalaulah keluarga Laurence benar-benar "kaku dan membosankan" seperti istilah Jo, ia pasti tidak akan betah bertamu, karena

orang-orang demikian selalu membuatnya malu dan kikuk. Namun, melihat keduanya bersikap bebas dan terbuka, Jo pun dapat

bersikap wajar dan memberikan kesan yang baik. Ketika acara minum teh selesai, Jo beranjak berdiri dan mohon pamit untuk pulang. Tetapi Laurie berkata ia masih ingin menunjukkan sesuatu

kepadanya. Kemudian is mengajak Jo ke rumah kaca yang lampulampunya telah dinyalakan atas permintaannya. Tempat itu bagaikan negeri dongeng bagi Jo. Ia berjalan hilir-mudik di jalan setapak

dalam rumah kaca itu, menikmati bunga-bunga yang bermekaran,

cahaya temaram, udara sejuk beraroma wangi, dan sulur-sulur indah yang terjulur dari atas. Sementara itu, teman barunya memetik bunga-bunga terindah di sana hingga tangannya penuh. Laurie

mengikat tangkai bunga-bunga itu kemudian berkata, dengan ekspresi riang yang membuat Jo senang. "Tolong berikan ini kepada

ibumu, dan katakan kepadanya aku sangat menyukai obat-obatan

yang dikirimnya."

Mereka menemukan Mr. Laurence berdiri di depan perapian di

ruang duduk yang luas. Tetapi, perhatian Jo terarah pada sebuah

piano besar yang berdiri terbuka.

"Apakah kau suka memainkannya?" tanya Jo, menoleh ke arah

Laurie dengan ekspresi penuh hormat.

"Kadang-kadang," ia menjawab dengan rendah hati.

"Cobalah, kumohon, aku ingin mendengarnya agar bisa kuceritakan kepada Beth."

"Kau mau mencobanya terlebih dahulu?"

"Aku tidak bisa; terlalu bodoh untuk mempelajarinya, tetapi

aku suka musik."

Maka, Laurie pun memainkan piano, dan Jo mendengarkan dengan hidung terbenam di antara bunga-bunga heliotrope dan mawar. Rasa hormat dan pendapatnya tentang si "pemuda Laurence" meningkat berkali-kali lipat melihatnya bermain begitu baik,

tanpa sedikit pun bersikap sombong. Ia berharap Beth bisa mendengarnya, tetapi Jo tidak mengatakan apa pun. Setelah selesai,

Jo memuji-muji Laurie hingga anak itu malu, dan kakeknya harus

menyelamatkannya. "Sudah cukup, Nona Muda; terlalu banyak

kata-kata manis tidak baik untuknya. Permainannya tidak buruk,

tetapi aku berharap ia bisa berhasil sama baiknya dalam hal-hal

lain yang lebih penting. Pulang? Baik, aku berutang kepadamu,

dan kuharap kau mau berkunjung lagi. Salam untuk ibumu; selamat malam, Dokter Jo."

Ia menjabat tangan Jo dengan lembut, tetapi tampak seolaholah ada sesuatu yang mengganggunya. Di lorong, Jo bertanya kepada Laurie apakah tadi ia mengatakan sesuatu yang salah; Laurie

menggeleng.

"Tidak. Aku yang salah. Ia tidak suka mendengar aku bermain

piano."

"Kenapa?"

"Akan kuceritakan kapan-kapan. John akan mengantarmu pulang, karena aku tidak bisa."

"Tidak perlu; aku bukan seorang lady, dan rumahku hanya selangkah dari sini. Jaga diri baik-baik, ya?"

"Tentu saja. Kuharap kau mau datang lagi. Janji?"

"Kalau kau berjanji untuk datang dan mengunjungi kami setelah kau sembuh."

"Janji."

"Selamat malam, Laurie."

"Selamat malam, Jo, selamat malam."

Setelah petualangan sore itu selesai diceritakan, semua anggota

keluarga merasa tertarik untuk ikut berkunjung. Masing-masing

merasa menemukan sesuatu yang menarik di dalam rumah besar

di sisi lain pagar tanaman itu. Mrs. March ingin berbicara tentang

ayahnya dengan pria tua yang masih mengingatnya; Meg ingin

berjalan-jalan di dalam rumah kaca; Beth mendambakan piano besar; dan Amy sangat ingin melihat lukisan-lukisan dan patungpatung indah.

"Ibu, mengapa Mr. Laurence tidak suka mendengar Laurie bermain piano?" tanya Jo, yang selalu ingin tahu.

"Aku tidak tahu, tapi mungkin karena putranya, ayah Laurie,

menikah dengan seorang wanita Italia, seorang pemusik, dan pernikahan mereka tidak disetujui Mr. Laurence yang angkuh. Wanita itu baik hati, cantik, dan seorang musikus berbakat, tetapi Mr.

Laurence tidak menyukainya, dan ia tidak pernah menemui putranya setelah mereka menikah. Mereka berdua meninggal saat Laurie masih kecil, lalu sang kakek membawanya pulang. Kurasa anak

itu, yang dilahirkan di Italia, tidak terlalu kuat, sehingga kakeknya

takut kehilangan dia, dan itu membuatnya begitu berhati-hati. Kecintaan Laurie terhadap musik timbul secara alamiah, karena ia

mewarisi bakat ibunya, dan aku yakin kakeknya takut kalau-kalau

kelak Laurie ingin menjadi seorang pemain musik. Bagaimanapun

juga, kemampuan bermusik Laurie mengingatkannya pada wanita

yang tidak ia sukai, maka ia ?meradang?, seperti kata Jo."

"Oh, romantis sekali!" seru Meg.

"Benar-benar konyol," tukas Jo. "Biarkan ia menjadi pemain

musik jika itu yang diinginkannya, bukannya malah menyiksa hidupnya dengan mengirimnya ke sekolah yang ia benci."

"Kurasa, itu sebabnya ia punya sepasang mata hitam indah dan

perilaku yang menyenangkan; orang-orang Italia selalu menyenangkan," kata Meg, yang sedikit sentimentil.

"Tahu apa kau tentang mata dan perilakunya? Kau boleh dikatakan belum pernah bicara dengannya," sambar Jo, yang sama

sekali tidak sentimentil.

"Aku melihatnya di pesta, dan dari ceritamu, ia adalah pemuda

yang santun. Kata-katanya mengenai penawar sakit yang dikirimkan Ibu sungguh manis."

"Menurutku, yang ia maksud adalah puding buatanmu."

"Betapa bodohnya kau, anak kecil; tentu saja yang ia maksud

adalah engkau."

"Betulkah?" dan Jo membelalakkan matanya, seolah-olah hal

itu tidak pernah terpikir olehnya.

"Kau ini! Kau tidak mengenali pujian saat memperolehnya,"

ujar Meg dengan sikap bagaikan seorang wanita muda yang sangat

berpengalaman dalam hal tersebut.

"Kupikir kata-katanya sekadar basa-basi, dan aku akan berterima kasih kalau kau bisa tidak bersikap konyol dan merusak kesenanganku. Laurie adalah anak yang baik, aku senang padanya, dan

aku tidak mau mendengar hal-hal sentimentil tentang pujian dan

omong kosong lainnya. Kita semua akan berbaik hati kepadanya,

karena ia tidak punya ibu, dan ia boleh datang dan mengunjungi

kita, ya, kan, Marmee?"

"Ya, Jo, temanmu akan disambut dengan senang hati di sini,

dan kuharap Meg ingat bahwa anak-anak seharusnya tetap menjadi anak-anak selama mereka bisa."

"Aku tidak menyebut diriku anak-anak, dan aku belum memasuki usia remaja," kata Amy. "Bagaimana menurutmu, Beth?"

"Aku sedang memikirkan ?Perjalanan Pengembara? kita," jawab Beth, yang sedari tadi tidak mendengarkan obrolan mereka.

"Bagaimana kita keluar dari Rawa lalu bisa melewati Pintu Air

dengan tekad menjadi anak-anak baik, kemudian berusaha mendaki bukit; dan mungkin rumah di sana itu, yang penuh dengan

benda-benda indah, akan menjadi Istana Indah kita."
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita harus mengalahkan para singa terlebih dahulu," kata Jo,

seakan-akan hal itu membuatnya senang.

Beth Berpendapat

Istana Itu Indah

umah besar itu ternyata memang Istana Indah, meskipun dibutuhkan waktu cukup lama sampai semua anak bisa masuk

melihatnya, dan bagi Beth sendiri mengalahkan para singa terasa

sangat sulit. Mr. Laurence tua adalah singa terbesar; namun setelah ia datang berkunjung ke rumah mereka, mengatakan hal-hal

lucu dan bersikap ramah kepada gadis-gadis March, kemudian

mengobrol tentang masa lalu dengan ibu mereka, rasa takut mereka jauh berkurang, kecuali Beth yang pemalu. Singa lain adalah kenyataan bahwa mereka miskin dan Laurie kaya; perbedaan

ini membuat mereka merasa segan menerima bantuan yang tidak

bisa mereka balas dengan sepantasnya. Namun, seiring berlalunya

waktu, mereka melihat bahwa bagi Laurie justru merekalah yang

berperan sebagai penderma, bahwa anak itu merasa ia tidak bisa

berbuat cukup banyak untuk membalas kebaikan Mrs. March yang

keibuan, pertemanan mereka yang hangat, dan kegembiraan yang

ia rasakan di rumah keluarga March yang sederhana. Karena itu,

tidak lama kemudian, gadis-gadis itu melupakan gengsi mereka

dan meneruskan saling berbuat baik tanpa perlu memikirkan perbuatan siapa yang memiliki nilai lebih besar.

Banyak hal indah terjadi di sekitar masa itu, dan persahabatan mereka mekar bagaikan rumput segar di musim semi. Semua

orang menyenangi Laurie, dan Laurie pun diam-diam mengatakan

kepada tutornya bahwa "gadis-gadis March sungguh luar biasa."

Dengan antusiasme tinggi khas anak-anak, gadis-gadis itu menempatkan anak muda kesepian itu di tengah mereka, menyiraminya dengan perhatian, dan Laurie pun melihat pesona kuat di balik

pertemanan gadis-gadis berhati tulus itu. Tidak mengenal ibunya

sendiri dan tidak punya saudara perempuan, Laurie dengan cepat

merasakan pengaruh para gadis itu terhadap dirinya; kehidupan

mereka yang sibuk, penuh dengan kegiatan, membuatnya malu

akan cara hidupnya yang bermalas-malasan. Laurie bosan dengan

buku-buku. Ia kini merasa manusia lain jauh lebih menarik, sampai-sampai Mr. Brooke terpaksa menulis laporan yang kurang memuaskan tentang muridnya itu karena Laurie kerap membolos dan

kabur ke rumah keluarga March.

"Tidak masalah, biarkan dia berlibur, dan mengejar pelajarannya nanti," kata kakek Laurie. "Seorang gadis muda yang baik di

rumah sebelah berkata bahwa Laurie terlalu banyak belajar, bahwa

ia memerlukan teman-teman sebaya, hiburan, serta harus banyak

bergerak. Kurasa ia benar. Selama ini aku memanjakan anak itu

seakan-akan aku ini neneknya. Biarlah ia melakukan apa yang disukainya, asalkan ia bahagia. Ia tidak akan berbuat nakal di rumah

pengasuhan itu, dan Mrs. March memenuhi kebutuhannya lebih

dari yang kita bisa berikan."

Sungguh, betapa menyenangkan hari-hari mereka! Mereka bermain drama dan tablo; meluncur dengan kereta salju atau sepatu

skat; menghabiskan petang hari yang seru di ruang duduk tua, dan

sesekali mengadakan pesta kecil mengasyikkan di rumah Laurie

yang megah. Meg boleh masuk ke rumah kaca kapan saja dan

menikmati keindahan koleksi bermacam-macam bunga di sana;

Jo menjelajahi isi perpustakaan dengan rakus dan sesekali mengejutkan Mr. Laurence dengan kritik-kritiknya; Amy menyalin

gambar-gambar dan menikmati aneka keindahan sepuas mungkin,

dan Laurie memainkan perannya sebagai tuan rumah dengan amat

baik.

Akan tetapi, Beth, meskipun begitu ingin mencoba memainkan

piano besar itu, tidak sanggup mengumpulkan keberanian untuk

masuk ke dalam "puri kebahagiaan"?begitu julukan Meg untuk

ruangan itu. Beth pernah masuk ke ruangan itu sekali, bersama Jo,

tetapi pria tua yang tidak menyadari kelemahannya itu, menatapnya dalam-dalam dari bawah alisnya yang tebal, dan menegurnya,

"hei!" begitu keras hingga membuat Beth ketakutan dan "kakinya

bergetar di lantai," begitu cerita Beth kepada ibunya. Beth pun berlari pergi dan berkata bahwa ia tidak akan datang lagi ke rumah

itu, bahkan demi piano yang disukainya pun tidak. Tidak ada bujukan atau iming-iming yang bisa membuat Beth mengatasi rasa

takutnya. Suatu ketika, entah bagaimana caranya, Mr. Laurence

mengetahui apa yang terjadi dengan Beth, maka ia segera mengambil tindakan untuk memperbaiki suasana. Dalam salah satu

kunjungan singkatnya, Mr. Laurence dengan cerdik mengarahkan

pembicaraan ke topik musik. Ia bercerita tentang penyanyi-penyanyi hebat yang pernah ditontonnya dan permainan organ berkualitas yang pernah didengarnya. Ia juga menceritakan lelucon-lelucon yang begitu menarik, sampai-sampai Beth tidak tahan untuk

tetap duduk menyendiri di sudut ruangan. Ia beringsut mendekat,

makin lama makin dekat, seperti tersihir. Ia berhenti di belakang

kursi Mr. Laurence, dan berdiri mendengarkan dengan sepasang

mata terbuka lebar dan kedua pipi memerah, tenggelam dalam serunya cerita pria tua itu. Tanpa memperhatikan Beth, seolah anak

itu tidak lebih dari seekor lalat, Mr. Laurence berbicara lebih jauh

mengenai pelajaran dan guru-guru Laurie. Kemudian, dengan nada

seakan sebuah gagasan baru saja muncul di kepalanya, ia berkata

kepada Mrs. March,?

"Anak itu mengabaikan pelajaran musiknya sekarang, dan aku

justru senang, karena kupikir kemarin-kemarin pikirannya terlalu terpaku ke sana. Tetapi, piano di rumah jadi menderita karena

tak pernah dimainkan. Maukah anak-anakmu datang dan berlatih

bermain piano, kapan-kapan, sekadar memastikan nadanya tidak

sumbang?"

Beth mengambil satu langkah maju. Ia mengatupkan kedua

tangannya erat-erat untuk mencegah dirinya bertepuk tangan, karena di depan matanya terhampar godaan besar; bayangan dirinya

berlatih memainkan alat musik yang luar biasa itu membuatnya

terpikat. Sebelum Mrs. March sempat menjawab, Mr. Laurence

meneruskan bicaranya dengan anggukan dan senyum penuh arti,?

"Mereka tidak perlu bertanya atau minta izin kepada siapa pun,

silakan datang kapan saja, karena biasanya aku ada di ruang kerjaku yang terletak di ujung lain rumah. Laurie sering keluar, dan

para pelayan tidak pernah berada dekat-dekat ruang duduk setelah

pukul sembilan." Sampai di sini ia bangkit dan beranjak hendak

pergi. Beth pun membulatkan tekadnya untuk berbicara. Situasi

terakhir yang digambarkan begitu menggiurkan. "Tolong sampaikan tawaranku ini kepada anak-anak. Tapi, jika mereka tidak

berminat datang, yah, tidak apa-apa," ia berhenti bicara karena sebuah tangan kecil diselipkan ke tangannya, dan Beth menatapnya

dengan wajah penuh rasa terima kasih sambil berucap, dengan caranya yang tulus namun takut-takut,?

"Oh, Sir! Mereka sangat, sangat amat berminat!"

"Kaukah gadis penyuka musik itu?" tanya Mr. Laurence, tanpa

menyerukan "Hei!" yang membuat Beth takut, dan ia memandang

gadis itu dengan tatapan lembut.

"Saya Beth; saya sangat menyukai musik, dan saya akan datang jika Anda yakin tidak ada yang akan mendengar saya bermain?dan tidak ada yang akan merasa terganggu," tambahnya,

khawatir telah bersikap kasar, dan gemetar karena menyadari keberaniannya untuk angkat bicara.

"Tidak ada siapa pun, manis; rumah itu kosong di siang hari,

jadi datanglah dan bermainlah selama kau mau, dan aku akan

membuatmu nyaman."

"Anda sungguh baik, Sir."

Wajah Beth merona bagaikan mawar di bawah tatapan bersahabat Mr. Laurence, tetapi ia tidak takut lagi sekarang. Ia meremas

tangan besar itu penuh rasa terima kasih, karena ia tak mampu

mengucapkan kata-kata untuk menyatakan betapa ia bersyukur

mendapat hadiah seindah itu. Pria tua itu mengusap lembut rambut dari dahi Beth, kemudian, sambil membungkuk, menciumnya,

serta berkata dengan nada yang hanya pernah didengar oleh sedikit

sekali orang,?

"Dahulu aku punya seorang gadis kecil dengan mata sepertimu; Tuhan memberkatimu, sayangku; selamat siang, Bu," dan ia

pun pergi dengan tergesa-gesa.

Beth meluapkan kegembiraannya bersama ibunya, lalu berlari

ke atas untuk menyampaikan kabar hebat itu kepada boneka-boneka cacatnya, karena saudari-saudarinya yang lain belum tiba di rumah. Malam itu Beth bernyanyi riang, dan mereka semua tertawa

melihatnya, karena ia membuat Amy terbangun di malam hari

dengan memencet-mencet wajah Amy seakan wajah itu adalah

sebuah piano. Keesokan harinya, setelah melihat sendiri Mr. Laurence dan Laurie pergi dari rumah, dan setelah dua atau tiga kali

maju-mundur, Beth akhirya tiba di pintu samping rumah megah

itu. Lalu, tanpa suara bagaikan seekor tikus, ia berjalan ke arah ruang tamu, tempat pujaan hatinya berada. Tanpa sengaja, tentu saja,

beberapa buku musik berisi lagu-lagu indah dan mudah dimainkan

ia temukan di atas piano itu. Kemudian, dengan tangan gemetar,

dan setelah beberapa kali berhenti untuk memasang telinga dan

melihat sekeliling, Beth akhirnya menyentuh alat musik hebat itu.

Langsung rasa takutnya terlupakan, juga dirinya, juga segala hal

lain kecuali kesenangan tak terungkapkan yang ditimbulkan oleh

musik, yang bunyinya bagi Beth bagaikan suara seorang sahabat

terkasih.

Ia berada di sana sampai Hannah menjemputnya untuk makan

siang. Tetapi selera makan Beth hilang. Ia hanya mampu duduk

dan tersenyum riang kepada semua orang di ruangan itu. Seluruh

dirinya memancarkan kegembiraan.

Sejak itu, hampir setiap hari terlihat seorang gadis bertudung

cokelat mungil melewati pagar tanaman, masuk ke rumah sebelah,

dan ruang tamu yang luas itu pun bergema dengan lagu-lagu indah.

Gadis kecil itu datang dan pergi tanpa terlihat. Beth tidak pernah

tahu bahwa Mr. Laurence kerap membuka pintu ruang kerjanya

untuk mendengarkan lagu-lagu klasik kesukaannya; tidak pernah

melihat Laurie berjaga di lorong untuk mengusir para pelayan; tidak pernah menyangka bahwa buku-buku latihan dan buku-buku

musik yang baru yang ia temukan di rak telah diletakkan di sana

khusus untuknya; dan saat ia dan Laurie mengobrol tentang musik

di rumah, Beth hanya berpikir betapa baiknya Laurie karena sudi

menyampaikan hal-hal yang sangat berguna. Jadi, Beth pun menikmati hari-harinya dengan sepenuh hati. Beth merasa, dan ini jarang terjadi, bahwa keinginannya yang terkabul adalah satu-satunya hal yang ia inginkan. Mungkin, karena ia begitu bersyukur

atas hadiah yang didapatnya, maka ia tak pernah mengharapkan

apa-apa lagi. Bagaimanapun juga, Beth layak mendapat hadiah itu.

"Ibu, aku ingin membuatkan sepasang sandal untuk Mr. Laurence. Ia begitu baik kepadaku dan aku harus berterima kasih kepadanya, tetapi aku tidak tahu cara lain. Bolehkah aku melakukannya?" tanya Beth, beberapa minggu setelah kunjungan Mr.

Laurence yang sangat berarti baginya itu.

"Ya, Sayang; tentu ia akan senang menerimanya, dan itu akan

menjadi hadiah yang baik untuknya. Saudari-saudarimu akan

membantumu, dan aku akan membayar biaya bahan-bahannya,"

jawab Mrs. March, yang selalu merasakan kesenangan luar biasa

saat mengabulkan permintaan-permintaan Beth karena anak itu

amat jarang meminta sesuatu untuk dirinya sendiri.

Setelah berulang kali berdiskusi serius dengan Meg dan Jo, memilih motif bahan dan membelinya, pembuatan sepasang sandal

itu pun dimulai. Motif kumpulan bunga pansy yang tampak serius

namun sekaligus cerah, dengan latar warna ungu tua, dinilai sangat pantas serta indah. Beth pun segera memulai pekerjaannya.

Ia bahkan bekerja hingga larut dan mulai lagi pagi-pagi sekali. Ia

hanya sesekali berhenti di bagian-bagian yang sulit. Ia menjahit

dengan terampil, dan sandal itu pun selesai sebelum ada yang merasa bosan mengerjakannya. Kemudian, Beth menulis surat sangat

pendek dan sederhana dan pada suatu pagi, dengan bantuan Laurie,

surat dan sandal itu diselundupkan lalu diletakkan di meja kerja

Mr. Laurence sebelum pria tua itu bangun.

Setelah keseruan itu berakhir, Beth menunggu untuk mengetahui apa yang akan terjadi. Satu hari penuh berlalu, lalu setengah

hari keesokannya, sebelum sebuah balasan datang, dan Beth mulai

khawatir kalau-kalau ia telah membuat pria tua pemarah itu tersinggung. Pada sore di hari kedua, Beth pergi untuk melakukan

sesuatu sekaligus mengajak Joanna, salah satu bonekanya yang cacat, berjalan-jalan. Waktu ia kembali dan menyusuri jalan ke arah

rumahnya, ia melihat tiga?eh, empat kepala muncul dan menghi101

lang di balik jendela ruang duduk. Begitu mereka melihatnya, tangan-tangan dilambaikan, dan beberapa suara gembira berteriak,?

"Ini ada surat dari Pak Tua! Cepatlah dan bacalah sendiri!"

"Oh, Beth! Ia mengirimkan?" kata Amy, sambil memberi

isyarat dengan penuh semangat. Namun kata-katanya terputus karena Jo menyuruhnya diam dengan menutup jendela keras-keras.

Beth mempercepat langkahnya karena seruan-seruan menegangkan itu. Di pintu, saudari-saudarinya memegang tangannya

kemudian membimbingnya ke ruang duduk dengan gaya penuh

kemenangan. Semuanya menunjuk ke satu arah dan berbicara bersamaan, "Lihat itu! Lihat itu!" Beth melihat, langsung wajahnya

memucat menahan rasa senang sekaligus kaget. Di sana, berdiri sebuah baby piano, dengan sepucuk surat tergeletak di atas tutupnya

yang mengilat, ditujukan kepada "Miss Elizabeth March".

"Untukku?" Beth tersentak, berpegangan pada Jo, dan merasa

akan jatuh pingsan, karena segalanya terasa berlebihan.

"Ya, semua untukmu, adikku sayang! Bukankah ini luar biasa? Bukankah ia pria tua paling baik hati sedunia? Ini kuncinya

di dalam surat; kami tidak membukanya, tetapi penasaran ingin

tahu apa yang ditulisnya," seru Jo, sambil memeluk adiknya dan

menyodorkan sepucuk surat.

"Kau saja; aku tidak sanggup, rasanya aneh. Oh, ini terlalu luar

biasa!" dan Beth membenamkan wajahnya pada celemek Jo karena tak kuasa menahan gejolak emosinya melihat hadiah yang luar

biasa itu.

Jo membuka surat itu, lalu mulai tertawa, karena kata-kata pertama yang dilihatnya adalah:?

"'Miss March:

"'Madam yang terhormat?'"

"Betapa indah kedengarannya! Kalau saja seseorang menulis

seperti itu kepadaku!" komentar Amy, yang berpendapat sapaan

bergaya kuno itu sangat elegan.

"?Aku punya banyak sandal sepanjang hidupku, tetapi belum

pernah ada yang seindah sandal darimu,?"
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jo meneruskan.

"?Bunga pansy adalah bunga kesukaanku, dan sandal ini akan

senantiasa mengingatkanku kepada pemberinya yang pemurah.

Aku ingin membalas kebaikanmu, dan aku tahu kau akan mengizinkan "pria tua" ini untuk mengirimkan sesuatu yang dahulu merupakan kepunyaan cucu perempuanku yang telah tiada. Teriring

rasa terima kasih sedalam-dalamnya dan salam hangat dariku,

"?Temanmu yang berterima kasih dan pelayanmu yang setia,

"?James Laurence.?"

"Nah, Beth, aku yakin ini kehormatan yang patut dibanggakan!

Laurie bercerita betapa sayangnya Mr. Laurence terhadap cucu

perempuannya yang sudah meninggal itu. Ia menyimpan barangbarang gadis cilik itu dengan hati-hati. Bayangkan: ia memberikan

piano cucunya kepadamu! Itulah hikmah memiliki sepasang mata

biru besar dan kecintaan terhadap musik," ujar Jo, mencoba menenangkan Beth, yang gemetar dan tampak jauh lebih gembira dari

yang sudah-sudah.

"Lihat, ada tempat lilin yang dirancang dengan cerdas, kain sutra hijau yang cantik, dengan hiasan mawar emas di tengahnya,

tempat meletakkan buku musik dan kursinya yang indah, semua103

nya lengkap," timpal Meg, membuka alat musik itu dan memperhatikan keindahannya.

"?Pelayanmu yang setia, James Laurence;? bayangkan ia menulis itu untukmu. Aku akan menceritakan ini kepada teman-temanku; mereka pasti terkesima," kata Amy, yang benar-benar terkesan

dengan isi surat itu.

"Cobalah mainkan piano ini, Manis, dan mari kita dengarkan

bunyinya yang indah," ujar Hannah yang selalu terlibat dalam kegembiraan dan kesedihan keluarga itu.

Maka Beth pun memainkannya, dan semua orang menyatakan

bahwa piano itu mengeluarkan bunyi paling indah. Nada-nada

piano itu baru saja ditala dan semuanya diperbarui sesempurna

mungkin. Namun, meskipun benda itu sempurna, kurasa keajaibannya yang paling menakjubkan terletak pada satu wajah yang

tampak paling bahagia di antara wajah-wajah cerah lainnya, yang

sedang merubungnya dan menyaksikan betapa dengan penuh kasih jari-jari Beth memainkan tuts-tuts putih dan hitam, dan kakinya menekan pedal-pedal piano yang mengilat.

"Kau harus pergi ke sana dan berterima kasih kepadanya," kata

Jo, bercanda, karena ia tidak akan pernah menyangka Beth akan

benar-benar pergi.

"Ya, aku memang berniat begitu. Kurasa sebaiknya aku pergi

sekarang, sebelum aku menjadi ketakutan hanya karena memikirkannya." Dan, disaksikan oleh keluarganya yang tercengang, Beth

berjalan dengan mantap melintasi kebun, melewati sela pagar tanaman, dan tiba di depan pintu rumah keluarga Laurence.

"Wah, aneh sekali dia! Aku kaget sekali sampai nyaris mati!

Piano itu mengacaukan otaknya. Jika masih waras, ia tidak akan

berani ke sana," seru Hannah, memandang Beth dari belakang, sementara anak-anak yang lain terpaku melihat apa yang terjadi.

Mereka pasti akan lebih tercengang jika melihat sendiri apa

yang dilakukan Beth di rumah itu. Kalau kalian sudi percaya kepadaku, sebelum ia sempat membiarkan dirinya berpikir, Beth mengetuk pintu ruang kerja. Ketika sebuah suara parau menjawab,

"Masuk!" ia benar-benar masuk dan melangkah ke Mr. Laurence

yang kelihatan sangat kaget. Beth mengulurkan satu tangan, dan

berkata, dengan hanya sedikit getaran di suaranya, "Saya datang

untuk berterima kasih, Sir, karena?" tetapi ia tidak pernah menyelesaikan kalimatnya, karena Mr. Laurence tampak begitu ramah. Beth sampai melupakan kata-katanya. Ia hanya ingat Mr.

Laurence telah kehilangan seorang gadis kecil yang sangat dicintai,

dan Beth pun melingkarkan kedua lengannya memeluk leher Mr.

Laurence lalu mencium pria tua itu.

Mr. Laurence bahkan tidak mungkin sekaget itu jika atap rumahnya tiba-tiba terbang. Tetapi ia menyukainya?oh, ia menyukainya! Ia sangat senang; ia begitu terharu dan bahagia mendapat

kecupan yang tulus itu. Segala kekerasan dalam dirinya lenyap.

Mr. Laurence mengangkat Beth dan mendudukkannya di pangkuannya, kemudian menyandarkan pipinya yang telah berkerut pada

pipi Beth yang lebut memerah. Ia merasa seakan ia mendapatkan

kembali cucunya yang telah tiada. Pada detik itu, Beth tidak merasa takut lagi kepada pria tua itu. Ia duduk di pangkuan Mr. Laurence dan mengobrol dengan nyaman bersamanya, seakan ia telah

mengenal pria itu seumur hidupnya. Sungguh, cinta tulus mengalahkan rasa takut dan rasa terima kasih menaklukkan harga diri.

Ketika Beth pulang, Mr. Laurence mengantarkannya sampai ke

pagar rumah keluarga March, menjabat tangannya dengan sopan,

menyentuh sekilas tepi topinya, lalu berjalan kembali ke rumahnya dengan sikap tegap dan berwibawa, layaknya seorang pria tua

tampan yang gagah?dan memang demikianlah dirinya.

Ketika saudari-saudarinya melihat pemandangan itu, Jo mulai

berjoget untuk meluapkan rasa puasnya; Amy nyaris jatuh dari

jendela saking kagetnya, dan Meg berseru, dengan kedua tangan

menutupi mulutnya, "Aduh, kurasa dunia mau kiamat!"

Amy Dipermalukan

"I

a bagaikan Cyclops yang sempurna, bukan?" kata Amy suatu hari ketika melihat Laurie lewat menunggang kuda dan

pecutnya melambai-lambai.

"Beraninya kaubilang begitu, padahal kedua matanya bisa melihat! Dan ia punya sepasang mata yang indah," sambar Jo, yang

tidak menyukai komentar buruk sekecil apa pun tentang temannya.

"Aku tidak berkata apa-apa tentang matanya, dan aku tidak

mengerti mengapa kau marah-marah ketika aku mengaguminya

di atas kuda itu."

"Oh, ya, ampun! Yang dimaksud bebek kecil ini adalah centau
rus, dan ia malah menjulukinya Cyclops," seru Jo sambil terbahak.

"Kau tidak perlu kasar begitu. Kata Mr. Davis, itu hanyalah

?keselip lidah?," balas Amy dengan senjata kata-katanya. "Aku

hanya berharap aku punya sedikit saja dari uang yang dihabiskan

Laurie untuk kuda itu," tambahnya, seakan berkata kepada dirinya

sendiri, namun berharap kakak-kakaknya mendengarnya.

"Kenapa?" tanya Meg berbaik hati, sementara Jo terbahak untuk kedua kalinya mendengar Amy lagi-lagi salah memilih kata.

"Aku sangat memerlukannya; aku terbenam dalam utang, dan

giliranku untuk mendapat sedikit uang jajan masih sebulan lagi."

"Berutang? Amy, apa maksudmu?" tanya Meg dengan sikap

serius.

"Yah, aku punya utang setidaknya selusin acar limau, dan aku

tidak dapat membayarnya sampai aku punya uang. Marmee melarangku mengambil apa pun yang dijual di toko."

"Ceritakan semuanya. Apakah limau sedang digemari sekarang? Dulu kami menggumpalkan karet sedikit demi sedikit untuk

membuat bola," Meg mencoba menjaga ekspresi wajahnya agar

tetap tenang, sementara Amy tampak begitu serius dan punya persoalan penting.

"Begini, teman-temanku selalu membeli acar limau, dan kecuali jika kau mau dianggap pelit, kau harus membelinya juga. Semuanya menggunakan limau sekarang. Semua anak mengisapnya

di kelas, dan menukarnya dengan pensil, cincin manik-manik, boneka kertas, atau apa pun juga, pada waktu istirahat. Jika seorang

anak menyenangi anak lain, ia memberi anak itu limau. Jika ia

marah, ia memakan satu di depan teman yang tidak disukainya itu,

dan tidak membaginya sedikit pun. Mereka saling mentraktir, dan

aku sudah mendapat begitu banyak, tetapi belum membalas satu

pun juga, tetapi aku harus, karena berutang limau sama artinya

dengan berutang kehormatan."

"Berapa banyak yang kauperlukan untuk melunasinya?" tanya

Meg sembari mengeluarkan dompetnya.

"Seperempat dolar seharusnya cukup, sisa beberapa sen untuk

membelikanmu sedikit. Kau juga suka limau, kan?"

"Tidak terlalu; ambil saja bagianku. Ini uangnya?jangan habiskan sekaligus, aku tidak punya banyak, tahu."

"Oh, terima kasih! Pasti menyenangkan punya uang saku.

Aku akan bersenang-senang, karena aku belum menyentuh satu

pun minggu ini. Aku berhati-hati agar tidak menerima satu limau

pun karena aku tidak bisa balas memberi, padahal aku benar-benar

menginginkannya."

Keesokan harinya, Amy terlambat sampai di sekolah. Tetapi,

ia tidak bisa menahan keinginan untuk memamerkan, dengan rasa

bangga yang dapat dimaklumi, sebuah bungkusan kertas cokelat

yang agak basah sebelum ia memasukkannya ke sudut laci mejanya. Selama beberapa menit kemudian, gosip bahwa Amy March

membawa dua puluh empat butir limau lezat (ia menyesap satu

tadi di jalan), dan hendak membagi-bagikannya, beredar melalui

"geng"-nya. Perhatian teman-temannya terhadapnya menjadi sedikit berlebihan. Katy Brown langsung mengundang Amy untuk

menghadiri pestanya; Mary Kingsley memaksa agar Amy meminjam jamnya sampai jam istirahat, dan Jenny Snow, gadis muda

berlidah tajam yang pernah mengejek Amy karena tidak punya

sebutir limau pun, dengan segera mengenyahkan sikap permusuhannya, dan menawarkan untuk membetulkan jawaban-jawaban

Amy dalam soal-soal penambahan yang sulit. Tetapi, Amy tidak

melupakan komentar tajam Miss Snow tentang "beberapa orang

yang hidungnya terlalu rata untuk mencium limau orang lain, dan

orang-orang kaku, yang terlalu tinggi hati untuk memintanya"

dan Amy pun dengan cepat membalas "Nona Snow Sialan" itu

dengan mengirimkan pesan, "Kau tidak perlu mendadak bersikap

sopan, karena kau tidak akan mendapat satu limau pun."

Seorang penilik sekolah kebetulan mengunjungi sekolah Amy

pagi itu, dan peta Amy yang ia gambar dengan indah mendapat

pujian. Pujian terhadap musuhnya itu membakar hati Miss Snow,

sementara Miss March berlagak layaknya burung merak muda.

Tetapi, sayang! Sungguh sayang! Kesombongan selalu mendahu109

lui kejatuhan, dan balas dendam Miss Snow berhasil membalikkan keadaan. Baru saja tamu mereka selesai mengucapkan pujianpujian basi dan keluar dari ruangan, Jenny, berpura-pura hendak

mengajukan pertanyaan penting, memberitahu guru mereka, Mr.

Davis, bahwa Amy March menyimpan acar limau di laci mejanya.

Mr. Davis pernah mengumumkan bahwa acar limau adalah

benda terlarang, dan ia secara serius berikrar akan menghukum di

muka umum siapa pun yang terbukti melanggar peraturan itu. Pria

yang tekadnya sekuat baja ini telah berhasil menumpas permen karet setelah melewati perang sengit berkepanjangan, membuat api

unggun dari novel dan surat kabar sitaan, membubarkan kantor

pos pribadi, melarang aneka bentuk ejekan dengan ekspresi wajah,

julukan, dan karikatur, serta melakukan segala hal yang dapat dilakukan seorang pria untuk menjaga ketertiban lima puluh gadis

bandel. Semua orang tahu bahwa anak laki-laki adalah cobaan cukup besar bagi kesabaran! Tetapi anak perempuan jauh melebihi

anak laki-laki, khususnya bagi seorang pria penggugup, dengan

kecenderungan bersikap seperti tiran, dan bakat mengajar yang tidak melebihi "Dr. Blimber". Mr. Davis memiliki pengetahuan luas

dalam bahasa Yunani, bahasa Latin, Aljabar, serta cabang-cabang

ilmu pengetahuan lain. Jadi, dapat dikatakan bahwa ia adalah guru

yang baik. Di sisi lain, sopan santun, moral, perasaan, dan panutan

dianggap kurang penting. Momen itu adalah momen yang paling

tepat untuk mempermalukan Amy, dan Jenny tahu itu. Jelas pagi

tadi Mr. Davis mereguk kopi yang terlalu kental; dan angin timur

yang berembus kencang memengaruhi penyakit saraf yang diidapnya; dan di mata Mr. Davis murid-muridnya tidak menghormatinya seperti seharusnya. Jadi, meminjam istilah yang tidak elegan

namun biasa digunakan di kalangan anak sekolah, "ia segugup penyihir dan sepemarah beruang." Kata "limau" terdengar bagaikan

api di atas bubuk mesiu; wajah kuningnya langsung memerah, dan

ia mengetuk-ngetuk mejanya dengan penuh tenaga; membuat Jenny menyelinap kembali ke tempat duduknya dengan cepat?tidak

seperti biasa.

"Nona-Nona! Perhatian!"

Mendengar perintah tegas itu, kebisingan langsung lenyap.

Lima puluh pasang mata biru, hitam, abu-abu, dan cokelat menatap dengan patuh ke arah guru mereka yang memasang ekspresi

kesal dan masam.

"Miss March, silakan maju ke depan."

Amy bangkit dengan patuh. Sikap tubuhnya tenang, tetapi rasa

takut diam-diam menyelubunginya, dan limau-limau miliknya

menggantungi rasa bersalahnya.

Sebelum ia berjalan, sebuah perintah yang tidak terduga terdengar menuduhnya, "Bawa limau-limau yang ada di laci mejamu."

"Jangan bawa semua," bisik teman di sebelah Amy, seorang

gadis muda yang berhasil bersikap tetap tenang.

Amy cepat-cepat menuangkan setengahnya dan meletakkan sisanya di meja Mr. Davis. Amy mengira, siapa pun yang memiliki

hati manusia pasti akan mereda kemarahannya ketika mencium

aroma lezat acar limau. Sayangnya, Mr. Davis justru punya ketidaksukaan khusus terhadap aroma acar itu. Kini, rasa jijik bercampur dengan kemarahannya.

"Sudah semua?"

"Be..bel..lum," Amy tergagap.

"Bawa semua, cepat."

Amy menatap limau-limaunya dengan putus asa, lalu melaksanakan perintah itu.

"Kau yakin sudah tidak ada lagi?"

"Saya tidak pernah bohong, Sir."

"Begitu, ya. Sekarang, ambil benda-benda menjijikkan ini.

Ambil dua-dua, lalu buang ke luar jendela."

Helaan napas serentak terdengar, desah keras mengiringi hilangnya harapan terakhir mereka dan lenyapnya camilan lezat

yang seakan dirampas dari mulut-mulut mereka yang mendamba. Dengan wajah merah karena marah dan malu, Amy berjalan

bolak-balik dua belas kali. Dua belas pasang limau yang malang,

tampak begitu empuk dan berair, yang melayang dari tangan Amy

yang enggan, disambut oleh teriakan gembira dari arah jalan. Teriakan itu seolah melengkapi keputusasaan para murid, karena itu

berarti makanan mereka menjadi sumber sorak-sorai anak-anak

Irlandia, yang merupakan musuh bebuyutan mereka. Ini?ini semua keterlaluan. Anak-anak mencuri-curi memandang Mr. Davis

dengan marah atau menunjukkan pandangan memohon, namun

pria itu tidak dapat digoyahkan. Terdengar isak seorang pencinta

limau.

Setelah Amy menyelesaikan tugasnya, Mr. Davis memanfaatkan momen itu untuk berdeham, "hem", lalu berkata dengan sikap
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paling mengesankan,?

"Nona-Nona, kalian tentu ingat apa yang kukatakan seminggu

yang lalu. Maaf karena aku harus melakukan ini; tetapi aku takkan

pernah membiarkan peraturanku dilanggar, dan aku tidak pernah

tidak menepati kata-kataku sendiri. Miss March, julurkan tanganmu."

Amy menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggungnya, lalu berbalik menghadap Mr. Davis dengan pandang memelas, yang mengisyaratkan permohonannya dengan lebih baik

ketimbang kata-kata yang sulit diucapkannya. Amy adalah salah

satu murid favorit "Davis Tua"?begitu anak-anak menjulukinya.

Aku sendiri yakin, ia pasti akan melanggar kata-katanya sendiri

andai ia tidak mendengar desisan kesal muridnya itu. Desisan itu,

betapapun lirihnya, telah menyulut kemarahan Mr. Davis, dan

memastikan nasib Amy si pelaku.

"Tanganmu, Miss March!" adalah satu-satunya jawaban yang

diberikan terhadap permohonan Amy yang tanpa suara. Terlalu

tinggi hati untuk menangis ataupun memohon-mohon, Amy mengertakkan gigi, mengibaskan rambutnya ke belakang dengan sikap berani, dan bersiap menerima beberapa pukulan yang menyengat di telapak tangannya yang mungil. Pukulan itu tidak banyak,

dan tidak keras, tetapi rasanya tidak ada bedanya bagi Amy. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia mendapat pukulan. Rasa malu

tampak dalam sorot matanya, tertoreh dalam, seakan Mr. Davis

telah memukulnya hingga ia jatuh.

"Silakan berdiri di sini sampai jam istirahat nanti," kata Mr.

Davis, yang bertekad melaksanakan hukumannya selengkap

mungkin, setelah ia memulainya.

Perintah itu mengerikan; sudah cukup buruk bagi Amy untuk

kembali duduk dan melihat wajah teman-teman yang mengasihaninya, atau wajah-wajah puas para musuhnya. Tetapi untuk

menghadap seisi kelas, dengan rasa malu yang tak tertahankan, rasanya benar-benar mustahil. Sedetik ia merasa lebih baik ia duduk

di tempatnya berdiri, dan meluapkan perasaannya dengan menangis. Namun, meski pahit, Amy tahu ia bersalah, dan ia ingat pada

Jenny Snow. Dua hal itu membantunya untuk tegar berdiri. Sebagai si terhukum, Amy memakukan pandangannya pada cerobong

perapian di atas lautan wajah. Ia berdiri begitu diam dengan wajah

pucat pasi, sampai-sampai murid lain merasa sulit berkonsentrasi

di hadapan sosok mungil yang mengibakan itu.

Selama lima belas menit berikutnya, gadis kecil yang perasa

dan sedikit angkuh itu menderita rasa malu dan sakit hati yang

tidak akan pernah ia lupakan. Bagi anak-anak lain, pengalaman seperti itu mungkin tidak lebih dari suatu kekonyolan, atau masalah

kecil, tetapi bagi Amy, itu terasa sangat berat. Selama dua belas

tahun hidupnya, Amy hanya mengenal kasih sayang, dan hukum113

an semacam itu tidak pernah menyentuhnya. Rasa menyengat di

tangannya, dan rasa sakit di hatinya, terlupakan ketika Amy berkata dalam hati,?

"Aku harus menceritakan kejadian ini di rumah, dan mereka

pasti sangat kecewa pada diriku!"

Waktu lima belas menit terasa seperti satu jam. Tetapi, akhirnya siksaan itu berakhir, dan seruan "istirahat!" belum pernah terdengar semerdu waktu itu.

"Kau boleh pergi, Miss March," kata Mr. Davis. Perasaan tidak

nyaman tecermin di wajahnya.

Mr. Davis juga tidak akan dengan cepat dapat melupakan tatapan menuduh yang dilemparkan Amy kepadanya, sembari ia

pergi, tanpa mengucapkan apa pun kepada siapa pun, langsung

menuju ruang penghubung, mengambil barang-barangnya, dan

meninggalkan tempat itu "selamanya" begitu kata Amy dengan

sungguh-sungguh kepada dirinya. Dalam keadaan sedih Amy tiba

di rumah. Setelah kedua kakaknya pulang, beberapa waktu kemudian, sebuah pertemuan segera digelar. Rasa keadilan mereka terusik. Mrs. March tidak berkata banyak, hanya tampak terganggu.

Ia menghibur anak bungsunya dengan sikap selembut mungkin.

Meg membasuh tangan yang menjadi korban pukulan itu dengan

air mata dan mengolesinya dengan gliserin; Beth merasa, bahkan

anak-anak kucingnya yang lucu pun takkan mampu memberikan

penghiburan bagi kesedihan semendalam itu; dan Jo dengan marah

mengusulkan agar Mr. Davis ditangkap saat itu juga, sementara

Hannah menggoyangkan tinjunya untuk si "penjahat", kemudian

dengan geram melumat kentang untuk makan malam seolah-olah

Mr. Davis ada di bawah alat penumbuknya.

Tidak ada yang menyadari kepergian Amy, kecuali temanteman dekatnya. Tetapi murid-murid perempuan yang bermata

tajam itu melihat bahwa, tidak seperti biasa, sore itu Mr. Davis

bersikap terlalu ramah, sekaligus tampak terlalu gugup. Tepat sebelum sekolah tutup, Jo datang dengan wajah keruh. Ia berjalan

ke meja guru, menyerahkan surat dari ibunya, lalu berbalik dan

membereskan barang-barang Amy. Sebelum pergi, dengan sikap

tegas ia membersihkan noda lumpur dari sepatunya di atas keset,

seolah-olah sedang membuang debu tempat itu dari kakinya.

"Ya, kau boleh berlibur dari sekolah, tetapi aku ingin kau belajar sedikit setiap hari, bersama Beth," kata Mrs. March malam itu.

"Aku tidak suka hukuman fisik, khususnya terhadap anak-anak

perempuan. Aku tidak suka cara Mr. Davis mengajar, dan kupikir

teman-temanmu tidak membawa pengaruh baik bagimu. Jadi, aku

akan minta saran dari ayahmu sebelum mengirimmu ke sekolah

lain."

"Bagus! Kalau saja semua anak lain keluar, nama baik sekolah

Mr. Davis pasti hancur. Sungguh kesal rasanya jika ingat limaulimau itu," desah Amy, dengan tingkah bak seorang martir.

"Aku tidak menyesal kau kehilangan jajanan itu, karena kau

melanggar peraturan, dan layak dihukum atas ketidakpatuhanmu," adalah jawaban tegas yang diterimanya. Jawaban ini agak

mengecewakan bagi Amy yang berharap terus mendapat simpati.

"Maksud Marmee, Marmee setuju aku dipermalukan di depan

seisi kelas?" jerit Amy.

"Aku tidak akan memilih cara itu untuk meluruskan sebuah

kesalahan," jawab ibunya, "tetapi aku juga tidak yakin dampaknya akan kurang baik dibandingkan metode lain yang lebih ringan. Kau ini telah menjadi terlalu congkak dan merasa penting,

sayangku, dan sudah waktunya kau membetulkan sikapmu. Kau

dikaruniai banyak bakat dan kebaikan, tetapi tidak perlu kau memamerkannya, karena kesombongan merusak orang-orang yang

paling cerdas sekalipun. Bakat atau kebaikan yang tidak disadari

orang lain tidak akan menimbulkan kerugian; kalaupun demikian,

kesadaran bahwa kita memilikinya, dan menggunakannya dengan

baik, seharusnya cukup untuk memuaskan hati kita. Kualitas terbaik dari semua kekuatan adalah kerendahan hati."

"Betul," timpal Laurie, yang sedang bermain catur dengan Jo di

sudut ruangan. "Aku mengenal seorang gadis, yang punya bakat

musik luar biasa, meski ia tidak menyadarinya. Ia tidak pernah

tahu lagu-lagu indah yang dibuatnya saat ia sedang sendiri, dan

tidak akan percaya jika ada yang memberitahukan kepadanya."

"Kalau saja aku mengenal anak itu, mungkin ia mau membantuku. Aku ini sangat bodoh," kata Beth, yang sedang berdiri

di samping Laurie dan mendengarkan kata-kata anak itu dengan

sungguh-sungguh.

"Kau kenal dia kok. Dia membantumu lebih baik daripada

yang bisa dilakukan siapa pun," ujar Laurie, sambil menatap Beth

dengan sorot mata penuh makna dengan sepasang mata hitamnya

yang ceria. Rona merah seketika menjalari wajah Beth, dan ia segera menyembunyikan wajahnya di balik bantal sofa, terkejut mendengar penemuan yang sama sekali tidak diduganya.

Jo membiarkan Laurie menang, untuk membalas pujiannya terhadap Beth, yang tidak bisa dibujuk untuk memainkan musiknya

di hadapan mereka setelah menerima pujian itu. Jadi, Laurie melakukan yang terbaik, sebisa mungkin, dan bernyanyi dengan merdu. Suasana hatinya sedang gembira. Di depan keluarga March,

amat jarang ia menampilkan sifatnya yang uring-uringan. Setelah

Laurie pergi, Amy, yang termenung-menung sepanjang malam,

tiba-tiba berkata, seolah tersambar gagasan baru,?

"Apakah Laurie anak yang pandai?"

"Ya. Ia mendapat pendidikan yang bagus, dan punya banyak

bakat. Ia akan tumbuh menjadi pemuda yang baik, jika tidak terlalu dimanja," jawab Mrs. March.

"Dan ia tidak sok, ya?" tanya Amy.

"Sama sekali tidak. Itulah mengapa ia begitu menyenangkan,

dan kita semua suka padanya."

"Aku mengerti sekarang. Memang menyenangkan menjadi

anak pandai sekaligus tetap elegan; tidak bersikap pamer atau berlebihan," kata Amy dengan serius.

"Kepandaian akan selalu terlihat dan terasa dalam perilaku seseorang, juga dalam cara bicara dan isi pembicaraannya, apabila

digunakan dengan wajar. Tetapi, kita tidak perlu sengaja menunjukkannya," kata Mrs. March.

"Sama saja dengan jika kau mengenakan semua topi dan gaun

dan pita-pitamu sekaligus, agar orang-orang tahu kau memilikinya," Jo menambahi; dan nasihat itu pun berakhir dengan gelak

tawa.

Jo Mendapat

Pelajaran

"H

ai, kalian hendak ke mana?" tanya Amy ketika ia memasuki kamar mereka pada Sabtu sore, dan mendapati

saudari-saudarinya sedang bersiap hendak pergi. Sikap mereka

sungguh misterius, dan rasa ingin tahu Amy tergelitik.

"Bukan urusanmu! Anak kecil dilarang tanya-tanya," Jo menjawab dengan tajam.

Waktu kita masih kecil, kata-kata seperti itu bisa membuat

kita merasa dipermalukan, dan perintah "pergilah, manis" terasa

lebih menyakitkan lagi. Merasa tersinggung, Amy bertekad hendak membongkar rahasia kakak-kakaknya, tak peduli jika ia akan

terpaksa merengek satu jam penuh. Ia berpaling kepada Meg, yang

tidak pernah tahan berlama-lama menolaknya. Kepada Meg, Amy

merajuk, "Ceritakanlah kepadaku! Kau seharusnya mengajakku

juga. Beth sedang sibuk bersama boneka-bonekanya; tak ada apa

pun yang harus kukerjakan. Aku sungguh-sungguh kesepian."

"Tidak bisa, Manis, karena kau tidak diundang," kata Meg.

Jo, yang tidak sabar, langsung memotong, "Nah, Meg, diamlah, atau kau akan mengacaukan semuanya. Amy, kau tidak bisa

pergi. Berhenti bersikap seperti bayi, dan jangan merengek."

"Kalian akan pergi dengan Laurie ke suatu tempat, aku tahu.

Tadi malam kalian saling berbisik dan tertawa bersama-sama di

sofa, dan ketika aku masuk kalian langsung diam. Betul begitu,

kan?"

"Ya, kami akan pergi dengan Laurie. Sekarang, diam, dan berhenti mengganggu."

Amy menahan lidahnya, namun matanya awas; ia melihat

Meg menyelipkan kipas kecil ke dalam sakunya.

"Aku tahu! Aku tahu! Kalian akan pergi ke teater menonton

Tujuh Kastil!"seru Amy, lalu menambahkan dengan pasti, "Dan

aku akan pergi, karena Marmee berkata aku boleh menonton itu;

dan aku punya uang saku. Sungguh kejam kalian tidak mengajak

aku."

"Dengarkan aku dan bersikaplah layaknya anak baik-baik,"

kata Meg menenangkan. "Marmee tidak ingin kau pergi minggu

ini karena matamu masih belum cukup sehat untuk melihat kilau

cahaya dalam pertunjukan dongeng ini. Pekan depan kau bisa pergi

bersama Beth dan Hannah, dan bersenang-senang."

"Tidak akan seseru pergi bersamamu dan Laurie. Mohon biarkan aku ikut; sudah begitu lama aku menderita flu ini, dan terpaksa

diam saja di rumah. Aku sangat ingin bersenang-senang. Ayolah,

Meg! Aku akan bersikap baik," Amy memohon, menampilkan

ekspresi mengibakannya yang terbaik.

"Mungkin kita bisa mengajaknya. Kuyakin Ibu tidak akan keberatan, asalkan kita membuatnya tetap hangat," ujar Meg.

"Jika ia pergi, aku tidak ikut. Dan kalau aku tidak ikut, Laurie pasti tidak senang. Lagi pula sungguh tidak sopan; ia hanya

mengundang kita, lantas kita pergi sambil membawa Amy. Kupikir, harusnya Amy merasa malu memaksa ikut padahal dia tidak

diundang," kata Jo dengan kesal, karena ia tidak suka harus repotrepot mengawasi anak kecil yang banyak tingkah, di saat ia sendiri

ingin menikmati harinya.

Nada dan sikap Jo membuat Amy marah. Amy, yang telah mulai mengenakan sepatu botnya, berkata dengan nada paling menjengkelkan, "Aku akan pergi; Meg bilang aku boleh ikut. Dan jika

aku membayar sendiri, Laurie tidak punya hak melarangku."

"Kau tidak bisa duduk bersama kami, karena kursi-kursi kami

telah dipesan, tetapi kau juga tidak boleh duduk sendiri. Jadi, Laurie akan memberikan tempatnya kepadamu, dan dengan begitu

merusak acara kami. Atau, ia akan membelikan satu tempat duduk

lagi untukmu, dan hal itu tidak sopan, karena kau tidak diundang.

Kau tidak boleh beranjak sedikit pun, jadi tetaplah duduk di situ,"

Jo mengomel. Satu jarinya tergores karena ia terburu-buru, sehingga kekesalannya semakin menjadi-jadi.

Duduk di lantai dengan satu sepatu bot telah dikenakan di kakinya, Amy mulai menangis. Meg mencoba membujuknya ketika

Laurie berseru memanggil mereka dari ruang bawah. Dua orang

gadis tergesa-gesa turun, meninggalkan adik mereka menangis

memelas. Memang kadang-kadang Amy lupa bersikap layaknya

gadis sopan yang beranjak dewasa dan malah bertingkah seperti

bocah manja. Ketika ketiga remaja itu berjalan keluar, Amy muncul di birai tangga dan berseru dengan nada mengancam, "Kau

akan menyesal, Jo March! Lihat saja nanti."

"Omong kosong!" Jo membalas sambil membanting pintu.

Ketiganya menikmati saat-saat yang menyenangkan. Tujuh

Kastil di Tepi Danau Intan adalah pertunjukan yang cemerlang dan

luar biasa. Namun, meskipun dihibur dengan penampilan makhluk-makhluk lucu berpakaian merah, kurcaci yang berkilau-kilau,

serta tokoh putri cantik dan pangeran tampan, kegembiraan Jo terasa sedikit hambar. Rambut ikal pirang si ratu peri mengingatkannya pada Amy, dan sambil menonton adegan demi adegan,

pikiran Jo melayang-layang memikirkan apa yang akan dilakukan Amy untuk membuatnya "menyesal". Ia dan Amy memang

sering bertengkar karena keduanya sama-sama lekas marah dan

cenderung meledak-ledak begitu kemarahan mereka bangkit. Amy
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suka mengolok-olok Jo, dan Jo sering membuat Amy kesal, ada

kalanya percekcokan pecah dan setelah luapan emosi itu mereda

dua-duanya merasa malu. Meskipun usianya lebih tua, kendali diri

Jo justru lebih lemah. Ia sering kesulitan menahan gejolak jiwanya yang berapi-api, yang kerap membuatnya mendapat kesulitan.

Rasa marahnya tidak pernah bertahan lama dan, setelah mengakui

kesalahannya dengan rendah hati, dengan tulus ia akan menebus

kemarahannya dengan berusaha bersikap lebih baik. Saudari-saudarinya sering berkata mereka suka membuat Jo berang, karena

setelah marah ia akan menjadi sebaik malaikat. Jo yang malang

selalu berusaha keras untuk bersikap baik, namun musuh di dalam dirinya selalu siap menyala dan mengalahkannya. Perlu usaha

bertahun-tahun dan kesabaran luar biasa untuk menjinakkannya.

Setibanya di rumah, mereka menemukan Amy sedang membaca di ruang duduk. Ia menampilkan sikap seseorang yang sakit

hati; matanya tidak lepas dari buku yang dipegangnya, dan ia tidak

mengajukan satu pun pertanyaan. Rasa ingin tahu mungkin dapat

mengalahkan kemarahan, kalau saja Beth tidak ada di sana dan

mulai bertanya-tanya, kemudian mendapat cerita yang seru tentang pertunjukan yang mereka tonton. Kemudian Jo pergi ke atas

untuk menyimpan topinya yang terbagus. Begitu masuk ke kamar,

mata Jo segera terarah ke lemarinya. Dalam pertengkaran mereka

yang terakhir, Amy melampiaskan perasaannya dengan menarik

keluar laci teratas milik Jo dan membuang isinya ke lantai. Akan

tetapi, kali ini, semua barang ada di tempatnya. Setelah cepat-cepat

memeriksa macam-macam tempat penyimpanan, tas, dan kotakkotak, Jo menyimpulkan bahwa Amy telah memaafkan dan melupakan sikap kasarnya.

Ternyata, dugaan Jo keliru. Keesokan harinya, ia menyadari

sesuatu; sesuatu yang mengakibatkan keributan. Sore itu, Meg,

Beth, dan Amy sedang duduk-duduk ketika Jo menghambur masuk ke dalam ruangan, tampak gusar, kesal, dan napasnya terengah-engah. "Adakah yang mengambil buku ceritaku?"

Meg dan Beth langsung berkata "Tidak," dengan wajah kaget.

Amy mengorek-ngorek perapian tanpa mengatakan apa pun. Jo

melihat wajah Amy memerah. Langsung ia berjalan cepat mendatangi adiknya.

"Amy, kau yang mengambilnya!"

"Tidak."

"Kalau begitu, kau pasti tahu di mana buku ceritaku!"

"Tidak juga."

"Bohong!" jerit Jo, lalu mencengkeram pundak Amy. Wajahnya kelihatan galak, cukup untuk menakuti anak yang bahkan lebih berani daripada Amy.

"Aku tidak tahu. Benda itu tidak ada padaku, aku tidak tahu

ada di mana, dan aku tidak peduli."

"Kau pasti tahu sesuatu, dan sebaiknya kau segera mengaku,

atau akan kupaksa kau," sergah Jo sambil sedikit mengguncang

bahu adiknya.

"Silakan marahi aku sesukamu, kau tidak akan mendapatkan

buku cerita konyolmu itu lagi," seru Amy, mulai ikut gusar.

"Kenapa tidak?"

"Aku membakarnya."

"Apa?! Buku kecil yang sangat kusukai, yang dengan susah payah kutulisi cerita, cerita yang ingin kuselesaikan sebelum Ayah

pulang? Benarkah kau membakarnya?" sembur Jo. Wajahnya pucat pasi, matanya membelalak, dan tangannya masih memegang

bahu Amy dengan gugup.

"Ya, betul! Sudah kubilang kau akan menyesal karena marahmarah kepadaku kemarin, dan memang sudah kubakar, jadi..."

Kata-kata Amy terputus. Dengan rasa murka menguasai dirinya, Jo mengguncang-guncang adiknya sampai gigi-gigi Amy bergemeretak di kepalanya. Jo menjerit-jerit penuh kemarahan sekaligus kesedihan.

"Kau anak jahat dan kejam! Aku tidak akan bisa menulis lagi,

dan aku tidak akan memaafkanmu seumur hidupku."

Meg cepat-cepat mendekat untuk menyelamatkan Amy, dan

Beth bergerak untuk menenangkan Jo, tetapi Jo sedang tenggelam

dalam kemarahannya. Lantas, setelah mengayun-ayunkan tinjunya di dekat telinga adiknya, ia bergegas keluar ruangan, menuju

sofa tua yang terdapat di loteng, untuk meneruskan perkelahiannya seorang diri.

Mrs. March tiba di rumah, dan badai di lantai bawah rumah itu

pun mereda. Setelah mendengar seluruh kejadian itu, Mrs. March

segera menunjukkan kepada Amy kesalahan yang telah ia perbuat

terhadap kakaknya. Buku Jo adalah kebanggaan bagi anak itu, dan

dianggap oleh keluarga mereka sebagai benih-benih karya sastra

yang amat potensial. Tulisan di dalamnya hanya berjumlah selusin dongeng, namun Jo mengerjakan setiap cerita dengan tekun,

menuangkan segenap kemampuannya ke dalam cerita-cerita itu,

dan berharap bisa menghasilkan sesuatu yang cukup layak untuk

diterbitkan. Ia baru saja menyalin cerita-cerita yang ditulisnya itu

dengan penuh kehati-hatian ke dalam buku kecilnya, dan telah

menghancurkan tulisan aslinya. Apa yang dilakukan Amy menghancurkan sekian tahun pekerjaan yang dilakukannya dengan penuh cinta. Bagi orang lain, mungkin itu hanyalah kehilangan kecil.

Namun, bagi Jo, peristiwa itu adalah malapetaka yang sangat mengerikan, dan ia merasa tidak ada yang akan bisa memulihkan luka

hatinya. Beth sangat sedih, seakan seekor anak kucingnya mati,

Meg tidak mau membela adik kesayangannya, Mrs. March tampak murung dan kecewa, dan Amy merasa tidak akan ada yang

mau menyayanginya sampai ia meminta maaf atas tindakan yang

kini disesalinya. Ia tampak sangat menyesal dan sedih?lebih dari

Ibu dan kedua kakaknya yang lain.

Ketika bel tanda minum teh dibunyikan, Jo muncul, wajahnya

sangat muram dan dingin. Amy mengumpulkan seluruh keberaniannya lalu berkata lirih,

"Maafkan aku, Jo. Aku sangat, amat, menyesal."

"Aku tidak akan memaafkanmu," Jo menyahut dengan ketus,

dan sejak detik itu ia bersikap seakan-akan Amy tak ada.

Tidak seorang pun membicarakan pertengkaran antara Amy

dan Jo, tidak pula Mrs. March. Dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, semua tahu bahwa jika Jo sedang dalam suasana hati

seperti itu, kata-kata tidak ada gunanya. Cara yang paling bijaksana adalah menunggu sampai ada insiden kecil, atau sifat pemurah

Jo melembutkan kemarahannya, dan mendamaikan perselisihan

mereka. Malam itu tidak berlalu dengan ceria; meskipun mereka

menjahit seperti biasa, sementara ibu mereka membaca keraskeras tulisan Bremer, Scott, atau Edgeworth, tetap saja terasa ada

yang salah: keceriaan dan kedamaian manis di rumah itu telah terganggu. Mereka semua sangat merasakannya ketika tiba waktunya

untuk bernyanyi. Beth bermain piano dengan canggung tidak seperti biasa, Jo berdiri diam seperti batu, Amy menangis. Akhirnya,

hanya Meg dan ibu mereka yang bernyanyi. Meskipun keduanya

berusaha keras untuk menyanyi dengan riang, namun suara mereka tidak terdengar sepadu biasanya, nada-nadanya pun terdengar

sumbang.

Ketika Jo mendapat ciuman selamat malam dari ibunya, Mrs.

March berbisik lembut,

"Sayangku, jangan biarkan kemarahanmu berlanjut; bersikaplah saling memaafkan, saling membantu, dan esok hari mulailah

dengan lembaran baru."

Jo begitu ingin menyandarkan kepalanya ke dada ibunya, dan

membiarkan dirinya menangis sepuasnya sampai semua kesedihan dan kemarahannya tersapu bersih; namun berurai air mata bukanlah sikap yang jantan, dan ia merasa semakin terluka karena

saat itu ia belum bisa memaafkan Amy. Jadi, Jo mengedip-ngedipkan matanya, menggelengkan kepalanya, dan berkata dengan

suara parau, karena Amy menguping mereka,

"Perbuatannya sungguh tercela, dan ia tidak pantas dimaafkan."

Setelah berkata begitu, Jo cepat-cepat naik ke lantai atas. Malam itu, tidak ada celoteh riang atau gosip-gosip seru di kamar tidur.

Amy sendiri merasa tersinggung karena tawaran perdamaiannya ditolak mentah-mentah. Ia mulai menyesal telah bersikap

merendahkan diri dan kini hatinya semakin terluka. Sebagai kompensasi, ia menghibur diri dengan bersikap sok paling bermoral,

sok paling baik, sampai-sampai mengesalkan seisi rumah. Jo masih

tampak murung; wajahnya sekelam awan badai. Tidak ada sesuatu

pun yang berjalan dengan baik sepanjang hari esoknya. Pagi hari

itu cuaca dingin menusuk tulang; Jo menjatuhkan bekalnya yang

berharga di got, Bibi March luar biasa rewel, Meg tampak banyak

pikiran, Beth tampak gundah dan sedih saat ia pulang, dan Amy

terus-terusan berkomentar tentang orang-orang yang selalu berbicara tentang sikap baik, namun ternyata tidak mau mempraktikkannya padahal orang-orang lain telah memberikan contoh.

"Semua orang bersikap tidak enak, lebih baik aku mengajak

Laurie bermain skat. Ia selalu baik dan ceria, dan aku yakin, itu

akan membuatku merasa lebih baik," kata Jo kepada dirinya sendiri, lalu ia pun pergi.

Amy mendengar denting sepatu luncur, dan ia mengintip keluar sambil berseru kesal,

"Lihat! Jo telah berjanji aku yang boleh pergi, karena ini es terakhir yang akan ada. Tetapi, tidak ada gunanya meminta pada si

pemarah itu untuk mengajakku."

"Jangan berkata begitu; kau memang salah. Sulit baginya untuk

memaafkanmu karena kau membakar buku kecilnya yang berharga. Tapi, kupikir, mungkin ia akan bisa memaafkanmu sekarang,

kalau kau mendekatinya di saat yang tepat. Ya, mungkin ia akan

mau memaafkanmu," kata Meg. "Pergilah ke sana; jangan katakan

apa pun sampai Jo sudah tampak santai bersama Laurie. Setelah

itu, ambil kesempatan, dan ciumlah kakakmu, atau lakukan sesuatu yang membuatnya senang. Aku yakin, Jo pasti akan berteman

lagi denganmu, dengan sepenuh hati."

"Akan kucoba," kata Amy, merasa cocok dengan nasihat Meg.

Setelah bersiap-siap dengan terburu-buru, ia berlari mengejar kedua sahabat itu, yang baru saja menghilang di balik bukit.

Tempat berseluncur itu tidak jauh dari sungai, namun keduanya sudah siap bahkan sebelum Amy tiba di sana. Jo melihat kedatangannya, dan membalikkan punggungnya. Laurie, yang sedang

berseluncur dengan hati-hati di sepanjang tepian sungai, tidak melihat Amy. Anak itu sedang mengira-ngira ketebalan es di tepian itu, karena tadi udara sempat menghangat sebelum kemudian

menjadi dingin lagi.

"Aku akan pergi ke kelokan pertama di sana, dan melihat apakah semuanya aman, sebelum kita mulai berlomba," Amy mendengar Laurie berkata, sambil meluncur cepat menjauh. Anak itu

tampak seperti pemuda Rusia dengan mantel dan topinya yang

dilapisi bulu.

Jo mendengar Amy terengah-engah setelah berlari, mengentak-entakkan kaki, dan meniup-niup jarinya sambil mencoba

mengenakan sepatu luncurnya. Tetapi, Jo tidak menoleh. Ia malah meluncur zig-zag pelan-pelan menyusuri tepi sungai, sambil

merasakan kepuasan pahit, kepuasan yang tidak menyenangkan,

melihat kerepotan adiknya. Jo memupuk kemarahannya sampai

kemarahan itu menjadi begitu kuat menguasainya, seperti yang

selalu dilakukan pikiran dan perasaan jahat, kecuali jika keduanya

cepat-cepat dienyahkan. Ketika Laurie berbelok di kelokan sungai,

ia berseru,

"Tetaplah di tepian; bagian tengah tidak aman."

Jo mendengar peringatannya, namun Amy baru saja berhasil

berdiri, dan tidak menangkap satu kata pun. Jo melihat ke belakang sekilas, dan setan kecil dalam hatinya berbisik di telinganya,

"Tidak masalah Amy mendengar atau tidak, biarkan ia mengurus dirinya sendiri."

Laurie menghilang di kelokan; Jo baru saja hendak berbelok,

dan Amy, jauh di belakang, meluncur menuju lapisan es yang mulus di bagian tengah sungai. Selama satu menit, Jo berdiri terpaku.

Perasaan aneh berdesir di hatinya, tapi ia memutuskan untuk terus

maju. Tiba-tiba sesuatu menahannya dan membuatnya membalikkan badan, tepat ketika Amy mengangkat tangannya dan jatuh

terjerembap disusul bunyi derak keras es yang hancur, cipratan air,

dan jeritan yang membuat hati Jo seketika membeku ketakutan.

Ia mencoba memanggil Laurie, tetapi suaranya hilang; ia mencoba

meluncur maju, tetapi kedua kakinya terasa lemas tak bertenaga;

dan, selama sesaat, ia hanya bisa berdiri terpaku, dengan wajah

ngeri memandang tudung biru di atas permukaan air yang hitam.

Ada yang meluncur cepat di sisinya, dan suara Laurie terdengar,

"Ambil tongkat, cepat, cepat!"

Bagaimana Jo melakukannya, ia tidak pernah tahu. Selama beberapa menit kemudian, ia bergerak seperti kesetanan, setengah

tak sadar mematuhi semua perintah Laurie, yang juga tampak

seperti kesetanan. Berbaring tengkurap, Laurie menahan Amy

dengan lengan dan tongkat hokinya, sampai Jo menyeret papanpapan dari deretan pagar. Bersama-sama mereka menyeret Amy

dari air. Anak itu tampak ketakutan, namun tidak terluka.

"Sekarang, kita harus membawanya pulang secepat mungkin;

tumpukkan pakaian kita ke tubuhnya, sementara aku melepaskan

sepatu yang merepotkan ini," seru Laurie, sembari memakaikan

mantelnya kepada Amy, dan melepas tali pengikat sepatu luncur

yang tidak pernah terasa serumit itu sebelumnya.

Mereka membawa pulang Amy yang gemetar, basah kuyup,

dan menangis. Dan setelah saat-saat yang mendebarkan itu lewat,

Amy tertidur di dalam gulungan selimut, di depan perapian yang

panas menyala. Selama kehebohan itu, Jo hampir tidak bicara apa

pun. Ia hanya mondar-mandir, wajahnya panik dan pucat pasi. Ia

tampak awut-awutan, bajunya koyak, kedua tangannya memar

dan luka tergores pecahan es dan papan pagar kayu. Setelah Amy

tertidur tenang dan suasana rumah sepi, Mrs. March yang duduk

di dekat tempat tidur memanggil Jo untuk mengobati luka-luka di

tangannya.

"Apakah Marmee yakin ia aman?" bisik Jo, sambil memandang

dengan penuh penyesalan ke arah kepala berambut keemasan, yang

nyaris saja terseret hilang dari pandangannya untuk selamanya, di

bawah lapisan es yang berbahaya itu.

"Cukup aman, Sayang. Ia tidak terluka, dan kurasa ia bahkan

tidak akan terkena flu. Kau sangat pintar telah membalutkan man
telmu padanya dan membawanya pulang secepat mungkin," jawab

ibunya dengan ceria.

"Laurie yang melakukan semuanya. Aku yang membiarkan ia

jatuh. Ibu, kalau ia mati, akulah yang salah," dan Jo pun terkulai

di samping tempat tidur, air mata penyesalan meluncur deras. Ia

menceritakan semua yang terjadi, dengan pahit mengutuk hatinya
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang keras, dan terisak-isak bersyukur karena telah dihindarkan

dari hukuman berat yang mungkin saja menimpanya.

"Sifatku sungguh buruk! Aku telah berusaha memperbaikinya;

aku pikir aku telah berhasil, tapi kemarahanku meledak lagi, lebih

buruk dari yang sudah-sudah. Oh, Ibu! Apa yang harus kulakukan?! Apa yang harus kulakukan?!" tangis Jo yang malang dengan

putus asa.

"Ingatlah pengalamanmu ini dan berdoalah, sayangku. Jangan

pernah berhenti berusaha; dan jangan pernah berpikir kau tidak

akan bisa mengatasi kekuranganmu," kata Mrs. March, menarik

kepala dengan rambut kusut masai itu ke pundaknya, lalu mencium pipi basah Jo dengan lembut, hingga membuat Jo menangis

lebih keras lagi.

"Ibu tidak tahu! Ibu pasti tidak tahu betapa buruknya ini! Rasanya seperti aku bisa melakukan apa pun jika aku sedang marah.

Aku menjadi begitu buas, aku bisa menyakiti siapa pun, dan yang

lebih buruk, aku menikmatinya. Aku takut aku akan melakukan

sesuatu yang mengerikan suatu hari nanti, dan merusak hidupku,

dan membuat semua orang membenciku. Oh, Ibu! Tolong aku, kumohon, tolonglah aku!"

"Aku akan menolongmu, Nak; aku akan menolongmu. Jangan

berkata pahit begitu, namun selalu ingatlah peristiwa ini, dan bertekadlah, dengan segenap jiwamu, bahwa hari seperti ini tidak

akan pernah terjadi lagi. Jo, Sayang, kita semua punya godaan, ada

yang lebih besar darimu, dan sering kali butuh seumur hidup un129

tuk menaklukkannya. Kaupikir temperamenmu adalah yang paling buruk di dunia, tetapi temperamenku dulu persis seperti kau."

"Temperamen Ibu? Tidak mungkin! Ibu tidak pernah marah!"

dan, untuk sesaat, penyesalan Jo berganti dengan rasa terkejut.

"Sudah empat puluh tahun aku mencoba menyembuhkannya,

tapi aku baru berhasil mengendalikannya. Jo, hampir setiap hari

aku merasa marah. Tetapi, aku telah belajar untuk tidak menunjukkannya, dan aku masih berharap bisa belajar untuk tidak merasakannya, meskipun mungkin aku butuh empat puluh tahun lagi

untuk itu."

Kesabaran dan kerendahan hati yang terpancar dari wajah yang

begitu ia cintai mengajarkan lebih banyak kepada Jo ketimbang

kata-kata yang paling bijaksana atau teguran yang paling tajam.

Hati Jo kembali merasa hangat oleh simpati dan kepercayaan

yang diberikan kepadanya. Mengetahui bahwa ibunya memiliki

kelemahan seperti dirinya, dan juga selalu berusaha memperbaiki

diri, membuat beban Jo terasa lebih ringan untuk ditanggung. Tekadnya semakin kuat untuk memperbaiki diri dan mengatasi kelemahannya, meskipun bagi gadis berusia lima belas tahun, empat

puluh tahun adalah waktu yang sangat lama untuk berlajar dari

pengalaman dan berdoa.

"Marmee, apakah kau sedang marah jika kau merapatkan kedua bibirmu, dan kadang kala keluar dari ruangan ketika Bibi

March mengomel, atau ada orang yang membuatmu cemas?" tanya Jo, yang merasa lebih dekat dan lebih sayang kepada ibunya,

lebih dari sebelumnya.

"Ya. Aku belajar untuk menahan kata-kata tajam yang nyaris

terlontar dari mulutku. Jika aku merasa kata-kata itu tetap akan

meluncur keluar, lepas dari kendaliku, aku menyingkir beberapa

saat untuk meluruskan diriku karena aku telah begitu lemah dan

jahat," jawab Mrs. March sambil menghela napas dan tersenyum,

sementara dengan lembut tangannya mengelus dan merapikan

rambut Jo yang kusut.

"Bagaimana Marmee belajar untuk tetap diam? Itulah yang

mengkhawatirkanku?kata-kata tajam meluncur keluar begitu saja

sebelum kusadari. Dan semakin banyak yang kukatakan, semakin

buruk keadaannya, sampai ada rasa puas bahwa kata-kataku telah

menyakiti perasaan orang lain dan aku terus mengucapkan hal-hal

mengerikan. Katakan bagaimana Marmee-ku sayang melakukannya."

"Ibuku yang baik dulu selalu membantuku."

"Seperti Marmee membantu kami," potong Jo sambil mengecup pipi ibunya dengan penuh rasa terima kasih.

"Tetapi, ibuku meninggal ketika usiaku hanya sedikit lebih tua

darimu. Selama bertahun-tahun aku berjuang sendirian, karena

aku terlalu tinggi hati untuk mengakui kelemahanku kepada siapa

pun. Aku mengalami masa-masa sulit, Jo, dan telah menghapus

banyak air mata pahit karena kegagalanku. Apa pun yang kulakukan, aku merasa tidak pernah berhasil. Lalu, ayahmu datang, dan

aku merasa begitu bahagia sampai-sampai rasanya mudah sekali

menjadi pribadi yang baik. Namun, waktu berjalan. Aku punya

empat anak perempuan di sekelilingku, dan kita miskin, lalu masalah lamaku kembali muncul. Aku bukan orang yang sabar, dan

sungguh sulit bagiku melihat anak-anakku menginginkan banyak

hal."

"Ibuku yang malang! Lalu apa atau siapa yang membantumu?"

"Ayahmu, Jo. Kesabarannya tidak pernah habis, ia tidak pernah mengeluh atau meragukan diriku. Ia selalu penuh harapan dan


Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi Pendekar Rajawali Sakti 188 Warisan

Cari Blog Ini