Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott Bagian 4
saja waktu bekerja dan bermain; jadikan setiap hari berguna sekaligus menyenangkan, dan buktikan bahwa kalian memahami nilai
waktu dengan memanfaatkannya sebaik mungkin. Maka, masa
muda akan berlalu penuh kesan, masa tua tidak diwarnai penyesalan, dan hidup akan membawa keberhasilan yang indah, meskipun
di tengah kekurangan."
"Akan kami ingat, Ibu!" dan itulah yang mereka lakukan.
Perkemahan Laurie
eth adalah penjaga kantor pos mereka. Sebagai anak yang
paling banyak berada di rumah, Beth memiliki waktu untuk
mengunjungi tempat itu secara teratur, dan ia sangat menyukai tugas mengunci pintu mungil itu setiap hari, kemudian membagikan
surat-surat yang masuk. Pada suatu hari di bulan Juli, ia datang dengan tangan penuh, lantas sibuk berkeliling di rumah membagikan
surat dan bingkisan, bagaikan petugas pos sungguhan.
"Ini bunga untuk Ibu! Laurie tidak pernah lupa," katanya, sambil meletakkan sebuket bunga segar ke dalam jambangan bunga
yang menghiasi "sudut Marmee", dan yang senantiasa diisi bunga
segar oleh pemuda yang baik hati itu.
"Miss Meg March, sepucuk surat untukmu, dan sebuah sarung
tangan," Beth melanjutkan sembari menyerahkan kedua barang
itu kepada kakaknya, yang sedang duduk di dekat ibu mereka sambil menjahit pergelangan tangan bajunya.
"Aneh, sepasang sarung tanganku tertinggal di sana, tetapi ini
hanya sebelah," ujar Meg sambil menatap sarung tangan katun
berwarna abu-abu.
"Mungkinkah kau tidak sengaja menjatuhkan yang sebelah di
kebun?"
"Tidak?aku yakin tidak. Hanya ada satu di kantor pos."
"Aduh, aku tidak suka sarung tangan yang hanya sebelah! Ah,
tidak apalah, nanti pasti kutemukan. Isi surat ini adalah terjemahan sebuah lagu Jerman yang kuminta. Kurasa, Mr. Brooke yang
mengerjakannya, karena tulisan ini tidak tampak seperti tulisan
Laurie."
Mrs. March melirik ke arah Meg, yang tampak sangat cantik
dalam gaun pagi dari katun bermotif kotak-kotak, dengan poni
ikal menghiasi dahinya. Meg juga terlihat sangat dewasa, menjahit
di meja kerja kecilnya yang penuh dengan gulungan putih rapi.
Tanpa mengetahui apa yang terlintas di pikiran ibunya, Meg terus
menjahit sambil bernyanyi. Jemarinya bergerak lincah sementara
di pikirannya berseliweran khayalan-khalayan khas seorang gadis muda, khayalan semurni dan sesegar bunga-bunga pansy yang
menghiasi ikat pinggangnya. Mrs. March tersenyum. Hatinya terasa damai.
"Ada dua surat untuk Dokter Jo, sebuah buku, dan sebuah
topi tua aneh yang membuat penuh isi kotak surat, sampai topi
itu mencuat keluar," kata Beth sembari tergelak saat ia memasuki
ruang belajar, tempat Jo sedang duduk menulis.
"Dasar Laurie jahil! Aku bilang kepadanya bahwa aku berharap
topi-topi lebar menjadi mode, karena kulit wajahku selalu terbakar
di hari-hari yang terik. Ia membalas, ?Kenapa pusing-pusing memikirkan mode? Pakai saja topi besar, dan jadilah dirimu sendiri!?
Kubilang, tentu saja, asalkan aku punya topi besar, dan inilah yang
ia kirim, untuk mengujiku. Topi ini akan kupakai untuk lucu193
lucuan, dan akan kutunjukkan kepadanya bahwa aku tidak peduli
mode." Lantas, setelah meletakkan topi bertepi lebar itu di kepala
patung Plato, Jo membaca surat-suratnya.
Satu surat datang dari ibunya?surat yang membuat pipinya
berseri-seri, dan air mata mengambang di matanya, karena berbunyi,?
"Sayangku:
"Aku menulis surat kecil ini untuk memberitahukan rasa
banggaku melihat usahamu mengendalikan perangaimu. Kau tidak mengeluarkan satu patah kata pun tentang percobaan, kegagalan, ataupun keberhasilanmu. Mungkin, kau berpikir tidak ada
yang melihatmu, kecuali Dia yang menjadi tempatmu meminta
bantuan setiap hari?sebagaimana yang kulihat dari buku tuntunanmu yang sampulnya kini lusuh. Tetapi, aku pun melihat apa
yang kaulakukan, dan dengan sepenuh hati meyakini ketulusan
tekadmu. Terutama, karena usahamu mulai menampakkan hasil.
Teruskanlah, Sayang, dengan tabah dan berani, dan percayalah selalu bahwa tidak ada orang yang bersimpati lebih dalam kepadamu
daripada aku yang mencintaimu:
Ibu."
"Betapa bahagia aku membacanya! Surat ini sama berharganya
dengan berjuta-juta uang, dan bergenggam-genggam pujian. Oh,
Marmee! Aku memang mencoba! Aku akan terus berusaha, dan tidak akan pernah bosan, terlebih karena aku memiliki engkau yang
selalu membantuku."
Membenamkan wajahnya di antara kedua lengannya, Jo membasahi buku cerita cintanya dengan beberapa tetes air mata bahagia. Ia benar-benar berpikir tidak ada yang melihat dan menghargai
usaha kerasnya untuk berubah menjadi lebih baik, sehingga pengakuan tersebut terasa berkali-kali lebih berharga, dan berkali-kali
lebih menyemangati. Apalagi, datangnya tak terduga, serta berasal
dari seseorang yang penilaiannya amat dihormati oleh Jo. Merasa
lebih kuat, lebih dari kapan pun juga, Jo menyematkan surat itu di
balik pita bajunya, sebagai pengingat sekaligus pelindung terhadap
amarah di hatinya, yang dapat datang sewaktu-waktu. Ia kemudian membuka suratnya yang lain, siap menghadapi berita baik
maupun buruk. Di dalam surat itu, dengan tulisan tangannya yang
besar dan indah, Laurie menulis,
"Dear Jo,
Halo!
Beberapa orang gadis dan pemuda dari Inggris akan datang
mengunjungiku besok, dan aku sudah berniat akan bersenangsenang. Jika semua lancar, aku akan mendirikan kemah di Longmeadow; aku akan mengajak mereka mendayung dan berperahu,
lalu makan siang, lalu bermain croquet?menyalakan api unggun,
bersenda gurau, bergaya ala gipsy, dan melakukan berbagai kegiatan menyenangkan lainnya. Mereka orang-orang baik, dan menyukai hal-hal tersebut. Brooke akan ikut, menjaga agar kami para
anak-anak lelaki tetap terkendali, sementara Kate Vaughn akan
menjadi teladan kesantunan bagi para gadis. Aku ingin kalian semua ikut; Beth tidak boleh ditinggal, apa pun alasannya, dan tidak ada yang akan mengganggunya. Akan kuatur soal makanan,
jadi kalian tidak perlu mengkhawatirkan hal itu?ataupun hal-hal
lain?pokoknya, hanya perlu datang. Aku yakin kalian, temanteman baikku, pasti bersedia!
Yang sedang terburu-buru,
Laurie, sahabatmu."
"Kabar seru!" jerit Jo, terbang keluar ruangan untuk menyampaikan undangan itu kepada Meg. "Tentu saja kami bisa pergi,
ya, Ibu! Pasti akan sangat membantu bagi Laurie, karena aku bisa
mendayung, dan Meg bisa menyiapkan makan siang. Amy dan
Beth juga pasti akan bisa membantu-bantu."
"Kuharap keluarga Vaughn bukan orang-orang dewasa yang
kaku. Apakah kau mengenal mereka, Jo?" tanya Meg.
"Aku hanya tahu mereka terdiri atas empat bersaudara. Kate
berusia lebih tua darimu, Fred dan Frank yang kembar kuranglebih sebaya denganku, dan ada seorang gadis kecil, Grace, yang
berusia sembilan atau sepuluh tahun. Laurie mengenal mereka saat
di luar negeri, dan ia menyukai kedua anak lelaki Vaughn. Tapi,
dugaanku, dari cara mulutnya mengerucut setiap kali berbicara
tentang Kate, Laurie tidak terlalu mengaguminya."
"Untunglah pakaian motif Prancis-ku bersih. Pakaian itu sedang tren, dan tampaknya menarik sekali!" kata Meg puas. "Apakah kau punya pakaian yang pantas untuk dipakai, Jo?"
"Baju mendayung merah tua dan abu-abu sudah cukup untukku. Aku akan mendayung dan banyak bergerak, jadi aku tidak
mau repot-repot memikirkan kepantasan bajuku. Kau ikut, kan,
Bethy?"
"Hanya kalau kau tidak akan membiarkan satu pun anak-anak
lelaki Vaughn berbicara denganku."
"Tidak satu pun!"
"Aku ingin menyenangkan hati Laurie, dan aku tidak takut
akan Mr. Brooke karena ia sangat baik. Tetapi aku tidak ingin bermain, atau bernyanyi, atau berkata apa pun juga. Aku akan bekerja
keras, dan tidak menyusahkan kalian; dan kau akan mejagaku, Jo,
jadi aku akan ikut."
"Adikku yang hebat; kau berjuang melawan rasa malumu, dan
aku menyayangimu untuk itu. Melawan kelemahan diri tidaklah
mudah, seperti juga kuketahui, dan kata-kata penghiburan bisa
menyemangatimu. Terima kasih, Ibu," Jo mencium pipi tirus ibunya dengan rasa syukur ? sesuatu yang lebih berharga bagi Mrs.
March ketimbang mendapatkan kembali rona dan bentuk wajahnya yang penuh.
"Aku mendapat sekotak permen cokelat, dan gambar yang
ingin kusalin," Amy mengumumkan isi suratnya.
"Dan aku mendapat surat dari Mr. Laurence, ia memintaku datang dan bermain piano untuknya malam ini, sebelum lampu-lampu dinyalakan. Aku akan memenuhi undangannya," tambah Beth,
yang persahabatannya dengan pria tua itu semakin akrab.
"Nah, sekarang, mari bersibuk-sibuk dan mengerjakan tugastugas dua kali lipat hari ini, agar besok kita bisa pergi dengan pikiran bebas," Jo menyarankan sambil bersiap mengganti penanya
dengan sapu.
Keesokan harinya, saat matahari mengintip ke dalam ruang tidur gadis-gadis itu untuk menyampaikan pesan bahwa hari itu cuaca akan cerah, ia menemukan pemandangan yang lucu. Masingmasing gadis March telah membuat persiapan untuk acara hari
itu dengan cara yang menurut mereka layak. Di atas dahi Meg,
terlihat kertas-kertas pengeriting rambut yang lebih banyak dari
biasanya; Jo mengoleskan krim dingin banyak-banyak pada wajahnya; Beth membawa Joanna tidur bersamanya untuk menyiapkan
boneka itu menjelang perpisahan mereka, dan Amy menampilkan
puncak dari kelucuan mereka dengan menjepit hidungnya menggunakan penjepit, demi sedikit memancungkan bagian wajah yang
memalukan itu. Penjepit itu merupakan jenis yang biasa dipakai
para pelukis untuk menahan kertas di atas papan gambar mereka;
sehingga, pemakaiannya kali ini, sebenarnya, cukup benar dan tepat. Pemandangan yang menggelikan tersebut, sepertinya, membuat sang mentari terhibur, karena ia muncul dengan cahayanya
yang benderang hingga Jo segera bangkit dan membangunkan saudari-saudarinya dengan tawa lepasnya setelah melihat hiasan di
hidung Amy.
Cuaca cerah dan tawa merupakan tanda-tanda baik bagi sebuah
acara. Tidak lama kemudian, persiapan yang gegap gempita pun
berlangsung di kedua rumah. Beth, yang siap paling awal, terus
melaporkan apa yang sedang terjadi di rumah sebelah, meramaikan ruang rias saudari-saudarinya dengan berkali-kali melemparkan surat dari balik jendela.
"Pria pembawa tenda baru saja berlalu! Aku melihat Mrs. Baker sedang merapikan makan siang di dalam keranjang besar yang
indah. Nah, sekarang Mr. Laurence menatap ke arah langit, lalu
ke ayam-ayaman penunjuk arah angin. Oh, kalau saja ia juga ikut!
Laurie tampak seperti pelaut?pemuda tampan itu! Oh, tolong
aku, itu datang kereta penuh orang?ada seorang gadis bertubuh
jangkung, seorang gadis cilik, dan dua pemuda mengerikan. Kasihan, yang satu agak lemah, ia mengenakan tongkat! Laurie tidak
memberitahukan itu kemarin. Ayo, cepatlah kalian! Nanti kita
terlambat. Tunggu, kulihat ada Ned Moffat. Lihatlah, Meg! Bukankah itu pemuda yang membungkuk kepadamu pada suatu hari
ketika kita sedang berbelanja?"
"Benar, itu dia. Aneh, mengapa ia ada di sini? Kupikir ia pergi
ke Mountains. Itu Sallie; syukurlah ia kembali tepat pada waktunya. Jo, apakah penampilanku sudah baik?" seru Meg panik.
"Manis seperti biasa; angkat ujung rokmu, dan luruskan topimu; letaknya yang miring begitu tampak sentimental, dan akan
membuatnya terbang begitu tertiup angin. Nah, sekarang, ayo!"
"Oh, oh, Jo! Kau tidak akan mengenakan topi jelek itu, kan?
Kelihatannya terlalu janggal! Kau tidak boleh tampak seperti anak
lelaki," protes Meg saat Jo, menggunakan pita merah, mengikatkan topi bergaya kuno dan bertepi lebar yang dikirimkan Leghorn
Laurie sebagai lelucon.
"Ah, tetap akan kupakai! Topi ini luar biasa, teduh, ringan, dan
besar. Akan menyenangkan, lagi pula, aku tidak keberatan menjadi lelaki, kalau memang nyaman." Dengan kata-kata itu, Jo berjalan pergi, dan anak-anak lain mengikuti?empat bersaudari yang
tampak cerah ceria, tampak memikat dalam pakaian musim panas
mereka yang terbaik, dengan wajah riang yang terlindung tepian
topi-topi cantik.
Laurie bergegas menyambut keempat gadis March dan memperkenalkan mereka kepada teman-temannya dengan sikap yang
sopan dan ramah. Halaman rumah berubah fungsi menjadi area
menerima tamu, dan untuk beberapa menit, sebuah adegan riuh
rendah berlangsung di sana. Meg senang melihat betapa Miss Kate,
meskipun berusia dua puluh, mengenakan pakaian bergaya sederhana yang pasti dapat ditiru oleh gadis-gadis Amerika; dan ia pun
tersanjung mendengar kata-kata Mr. Ned yang meyakinkannya
bahwa ia datang untuk menemui Meg. Sementara itu, Jo mengerti
kenapa Laurie "mengerucutkan mulutnya" saat berbicara tentang
Kate, karena gadis muda itu seolah mengisyaratkan sikap "jangan
dekati aku", dan tampak sangat berlawanan dengan perilaku gadisgadis lain yang bebas dan luwes. Beth secara khusus mengamati
kedua anak lelaki kembar itu, dan menyimpulkan bahwa anak bertongkat yang dilihatnya tadi tidaklah "mengerikan", melainkan
lemah lembut dan rapuh, dan karenanya Beth akan bersikap baik
kepadanya. Grace, di mata Amy, adalah gadis cilik yang sopan dan
ceria. Setelah keduanya saling menatap kikuk selama beberapa menit, tiba-tiba Amy dan Grace menjadi sepasang sahabat baru.
Tenda-tenda, bekal makan siang, dan alat-alat croquet telah dikirim terlebih dahulu, sehingga rombongan itu dapat segera ber?
angkat. Dua buah perahu bertolak bersama-sama, meninggalkan
Mr. Laurence melambai-lambaikan topinya di tepian sungai, di
belakang rumah. Laurie dan Jo mendayung di satu perahu. Mr.
Brooke dan Ned mengambil alih perahu kedua, dan Fred Vaughn,
salah satu anak kembar yang jahil, terus-menerus berusaha mengganggu keduanya dengan mondar-mandir di atas perahu, bagaikan
seekor kutu air yang tengah panik. Topi Jo yang lucu layak menda199
pat ucapan terima kasih karena kegunaannya yang beragam; topi
itu memecah kekakuan di awal perkenalan dengan memancing
tawa semua orang; menciptakan semilir yang menyegarkan karena
tepinya berkelepak ke atas dan ke bawah, dan, seperti kata Jo, bisa
melindungi semua orang apabila hujan turun. Kate tampak takjub
melihat tingkah laku Jo, terutama saat ia berteriak, "Christopher
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Columbus!" ketika dayungnya tergelincir jatuh dan Laurie bertanya, "Temanku yang baik, apakah aku menyakitimu?" saat ia tersandung kaki Jo ketika mereka bertukar tempat. Namun, setelah
mengenakan kacamatanya dan memperhatikan Jo yang nyentrik
dengan saksama, Miss Kate pun menyimpulkan bahwa gadis itu
"aneh, tetapi cerdas," kemudian ia tersenyum ke arah Jo dari kejauhan.
Meg berada di perahu yang lain, dan tempat duduknya sangat
menguntungkan karena berhadapan langsung dengan para pendayung, yang sama-sama menyukai pengaturan itu. Mereka pun
menangani dayung masing-masing dengan "keterampilan dan kegesitan" tinggi. Mr. Brooke adalah pemuda serius dan pendiam,
dengan sepasang mata cokelat yang indah dan suara yang terdengar menyenangkan. Meg menyukai sikapnya yang tenang, dan
menganggapnya bagaikan ensiklopedia berjalan karena penuh dengan pengetahuan berguna. Mr. Brooke tidak banyak berbicara dengan Meg; tetapi pemuda itu sering melihat ke arahnya, dan Meg
merasa yakin Mr. Brooke bukannya tidak menyukainya. Kemudian, ada Ned, yang telah kuliah, dan tentu saja memperlihatkan
tingkah laku yang dianggap perlu dimiliki oleh semua mahasiswa
baru. Ned bukanlah pemuda yang sangat bijak, namun perangainya baik dan ceria. Ia orang yang cocok diajak berpiknik. Sallie
Gardiner sibuk menjaga agar gaun piqu? putihnya tetap bersih
sembari mengobrol dengan Fred yang tidak bisa duduk diam, dan
membuat Beth tidak berhenti ketakutan melihat tingkahnya.
Perjalanan ke Longmeadow tidaklah jauh, namun, setibanya
di sana, tenda dan gawang-gawang kecil sudah didirikan. Padang
hijau yang indah terhampar luas, dengan tiga pohon ek rindang
di tengahnya, dan rumput rata yang cocok untuk bermain croquet.
"Selamat datang ke Perkemahan Laurence!" seru tuan rumah
muda itu dengan nada gembira ketika mereka semua berlabuh.
"Brooke akan menjadi komandan, dan aku komisaris jenderal,
sementara pria-pria lain di sini adalah para perwira. Kalian, para
gadis, akan menjadi tamu kami. Kemah di sana didirikan untuk
kalian, dan pohon ek di sana akan menjadi ruang berkumpul. Di
sini adalah tempat kita bersenang-senang, dan pohon ek yang itu
adalah dapur perkemahan. Nah, sekarang, mari kita memulai permainan sebelum cuaca terlalu panas, lalu kita akan menikmati santap siang."
Frank, Beth, Amy, dan Grace, duduk menonton permainan
yang dilakukan delapan orang lainnya. Mr. Brooke memilih Meg,
Kate, dan Fred, sementara Laurie memilih Sallie, Jo, dan Ned.
Anak-anak Inggris bermain dengan baik, tetapi anak-anak Amerika lebih baik lagi, dan mengungguli setiap inci area permainan
seakan-akan semangat ?76 merasuki mereka. Jo dan Fred beberapa
kali berselisih, dan mereka nyaris bertengkar. Jo menghampiri gawang terakhir, namun pukulannya meleset, dan ia merasa kesal
karenanya. Fred berada tidak jauh di belakangnya, dan gilirannya
tiba sebelum Jo. Fred memukul, bolanya memantul dari gawang,
kemudian mendarat masuk sedikit di sisi lapangan yang salah. Tidak ada orang di dekatnya. Setelah berlari untuk memeriksa, Fred
mendorong pelan bola tersebut dengan ujung kakinya, membuat
bola itu masuk lagi sedikit ke sisi lapangannya.
"Bolaku masuk! Nah, Miss Jo, akan kukejar nilaimu, dan sekarang aku memukul lebih dulu," seru pria muda itu sembari mengayunkan tongkat palunya, bersiap-siap memukul bola.
"Kau mendorong bolamu; aku melihatmu. Sekarang giliranku," sahut Jo tajam.
"Berani sumpah aku tidak menggerakkannya! Yah, mungkin
bola itu bergulir sedikit, tetapi itu, kan, diizinkan. Sekarang, tolong berdiri di pinggir dan biarkan aku memukul."
"Kami di Amerika tidak bermain curang, tapi kau boleh, jika
memang memilih begitu," kata Jo dengan marah.
"Semua orang tahu, orang-orang Yankee jelas-jelas yang paling
berakal bulus. Nah, begitu," balas Fred sambil memukul bola Jo
sampai jauh.
Mulut Jo membuka, dan ia hendak mengucapkan sesuatu yang
kasar, namun berhasil menahan diri. Parasnya merona sampai ke
dahi. Jo berdiri sesaat, lantas memukul sebuah gawang sekeras
mungkin. Sementara itu, bola Fred terpantul lagi. Fred mengumumkan bahwa bolanya keluar lapangan dengan kegirangan berlebih. Jo pergi mengambil bola di balik semak-semak, terpaksa cukup lama mencari. Namun, ketika kembali, ia tampak tenang. Ia
lalu menunggu gilirannya dengan sabar. Butuh beberapa pukulan
untuk meraih kembali posisinya seperti semula, dan saat ia tiba,
tim lawan hampir menang. Bola Kate adalah bola terakhir dan bola
itu tergolek di dekat tiang.
"Astaga, semuanya bergantung kepada kita! Selamat tinggal,
Kate; Miss Jo berutang satu padaku; permainanmu selesai sekarang," seru Fred, bersemangat, saat mereka semua mendekat untuk
menyaksikan garis akhir.
"Orang-orang Yankee punya cara untuk bermurah hati kepada
lawan mereka," ujar Jo, dengan pandangan yang membuat wajah
Fred memerah, "terutama saat kami mengalahkan lawan," tambahnya. Tanpa menyenggol bola Kate, Jo memenangkan permainan itu dengan satu pukulan yang cerdik.
Laurie melemparkan topinya. Namun, tiba-tiba ia teringat bahwa merayakan kekalahan tamu-tamunya bukanlah ide yang baik;
karenanya sorakannya tiba-tiba terhenti dan ia berbisik kepada Jo,
"Baguslah, Jo! Ia memang curang, aku juga melihatnya. Kita
tidak bisa mengatakan itu kepadanya, tetapi ia tidak akan mengulangi perbuatannya, percayalah kepadaku."
Meg menarik Jo, berpura-pura memintanya membantu menjepit kepang yang lepas, dan berkata dengan puas,?
"Kejadian tadi sungguh mengerikan; tetapi kau berhasil mengendalikan amarahmu, dan aku senang sekali, Jo."
"Jangan puji aku, Meg, karena rasanya aku bisa meninju telinganya menit ini juga. Sudah pasti aku akan mendidih kalau saja
tadi aku tidak berdiam di dekat semak-semak di sana, sampai amarahku berhasil kutekan dan lidahku bisa kutahan. Perasaan itu sudah menguap sekarang, jadi kuharap ia tidak akan menggangguku
lagi," sahut Jo, menggigit bibirnya, sambil membelalak menatap
Fred dari bawah topi besarnya.
"Saatnya makan siang," kata Mr. Brooke sembari melihat ke
arah jamnya. "Komisaris Jenderal, bersediakah kau membuat api,
dan menyiapkan air, sementara Miss March, Miss Sallie, dan aku
menyiapkan meja. Siapa yang bisa menghidangkan kopi yang
enak?"
"Jo bisa," jawab Meg, merasa senang bisa mengusulkan adiknya. Jo, yang merasa yakin bahwa pelajaran memasaknya akhirakhir ini akan memberinya keberhasilan, pergi mengurus poci
kopi, sementara anak-anak lain mengumpulkan kayu kering, dan
anak-anak lelaki membuat api serta mengambil air dari mata air
di dekat sana. Miss Kate membuat sketsa, dan Frank mengobrol
dengan Beth, yang sedang membuat alas-alas kecil dari anyaman
rumput sebagai piring.
Sang Komandan dan para perwiranya segera menghamparkan
alas piknik dan meletakkan berbagai macam hidangan dan minuman di atasnya. Penataan hidangan dipercantik dengan hiasan
daun-daun hijau. Jo mengumumkan bahwa kopi mereka telah siap
dan semua orang pun duduk untuk menikmati santapan lezat itu.
Kemudaan tidak mengenal gangguan pencernaan, dan berolahraga
mampu memancing selera makan yang besar. Acara santap siang
berlangsung gembira, dan segala hal tampak segar dan lucu. Derai
tawa berkali-kali terdengar hingga mengejutkan seekor kuda tua,
yang sedang merumput di dekat mereka. Peralatan makan mereka
tampak berantakan, namun menggelikan, dan banyak kekacauan
terjadi pada gelas-gelas dan piring-piring; biji pohon ek jatuh ke
dalam susu, semut-semut hitam kecil turut menikmati hidangan
manis tanpa diundang, dan ulat-ulat bulu berayun dari ranting pohon, untuk melihat apa yang sedang terjadi. Tiga bocah berambut
amat terang mengintip dari balik pagar dan seekor anjing nakal
menggonggong ke arah mereka dari seberang sungai, sekeras dan
sekuat mungkin.
"Ada garam di sini, jika kau mau," kata Laurie sambil menyodorkan sepiring buah beri kepada Jo.
"Terima kasih; aku pilih laba-laba," balas Jo, mengangkat dua
ekor laba-laba kecil yang tenggelam di saus krim. "Teganya kau
mengingatkan aku akan acara santap siang yang kacau itu, padahal
acaramu ini berlangsung begitu baik," tambah Jo, tertawa bersama
Laurie, dan makan bersama dari satu piring, karena peralatan makan yang dibawa tidak cukup.
"Anehnya, aku merasa sangat bersenang-senang pada hari itu,
dan belum dapat melupakannya. Hari ini tidak terjadi berkat aku.
Aku tidak melakukan apa pun. Semua ini adalah hasil kerjamu,
Meg, dan Brooke, dan aku sungguh-sungguh berutang kepadamu.
Setelah kita tidak lagi sanggup mengunyah, apa lagi yang bisa dilakukan?" tanya Laurie, yang menyadari bahwa makan siang adalah
kartu hiburannya yang terakhir.
"Mengadakan permainan, sampai cuaca tidak panas lagi. Aku
membawa permainan kartu ?Para Penulis?, dan kuyakin Miss Kate tahu
permainan lain yang baru dan menyenangkan. Pergi dan bertanyalah
kepadanya; ia tamu, dan kau seharusnya lebih sering meladeninya."
"Bukankah kau tamu, juga? Kupikir ia akan cocok dengan
Brooke; tetapi pemuda itu tidak berhenti berbicara dengan Meg,
dan Kate terus saja mengamati keduanya melalui kacamata konyolnya. Tentu saja aku akan menghampirinya, kau tidak perlu
berkhotbah soal kesopanan kepadaku, Jo, tidak cocok."
Miss Kate ternyata memang mengetahui beberapa permainan
baru. Kemudian, karena para gadis tidak akan, dan para pemuda
tidak dapat, mengunyah apa-apa lagi, mereka pun berpindah ke
ruang berkumpul untuk bermain rigmarole.
"Satu orang akan menyampaikan sebuah cerita, mengarang
sesuka hati?kalau mau?dan bercerita selama yang ia inginkan,
asalkan berhenti di satu titik yang seru. Orang berikutnya melanjutkan cerita itu, dan melakukan hal yang sama. Setelah semua
mendapat giliran, cerita itu pasti akan lucu karena merupakan
campuran komedi dan tragedi. Silakan memulai, Mr. Brooke,"
kata Kate dengan gaya memerintah, yang membuat Meg kaget, karena ia memperlakukan sang tutor dengan rasa hormat yang sama
dengan yang ia berikan kepada pria mana pun.
Sambil berbaring di rumput, di dekat kaki kedua gadis muda
itu, Mr. Brooke dengan patuh memulai ceritanya. Sepasang mata
cokelatnya yang tampan menatap permukaan air sungai yang berkilau tertimpa sinar matahari.
"Pada suatu ketika, seorang kesatria pergi menjelajahi dunia
untuk mencari kekayaan, karena yang ia miliki hanyalah sebilah
pedang dan sebuah perisai. Ia bepergian jauh dan lama, hampir dua
puluh delapan tahun, dan mengalami banyak kesulitan, sampai ia
tiba di sebuah istana milik raja tua yang baik hati. Sang raja menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menjinakkan dan
melatih seekor kuda muda tampan, namun liar, yang amat disukai
sang raja. Kesatria itu setuju untuk mencoba. Usahanya berjalan
lambat, namun pasti. Kuda muda itu adalah hewan yang gagah,
dan ia segera mulai menyayangi tuan barunya, meskipun hewan
itu kadang-kadang bertingkah aneh dan galak. Setiap hari, sambil
memberikan pelajaran kepada hewan kesayangan sang raja, sang
kesatria menunggangnya berkeliling kota. Di atas punggung si
kuda, ia mencari-cari ke segala penjuru seraut wajah cantik yang
berkali-kali dilihatnya dalam mimpinya, namun tidak pernah ditemukannya. Pada suatu hari, ketika sedang menyusuri jalan yang
sepi, ia melihat seraut wajah cantik di balik jendela sebuah kastil tua. Hati sang kesatria melonjak senang. Ia mencari tahu siapa yang tinggal di dalam kastil itu, dan diberitahu bahwa sebuah
mantra telah menawan beberapa putri di sana. Mantra itu membuat mereka memintal sepanjang hari, mencoba mengumpulkan
uang untuk membeli kebebasan mereka. Sang kesatria sungguhsungguh berharap ia dapat membebaskan mereka, namun ia sendiri miskin, dan hanya mampu pergi ke kastil itu setiap hari, dari
kejauhan mengamati salah satu wajah di sana, dan berkhayal ia
bisa melihat wajah itu di bawah cahaya mentari. Akhirnya, ia memutuskan untuk masuk ke dalam kastil itu dan bertanya bagaimana ia bisa membantu putri-putri itu. Ia pergi dan mengetuk pintu
kastil tua itu, lalu pintu besar terbuka dan ia melihat..."
"Seorang gadis luar biasa cantik, yang berseru dengan penuh
kebahagiaan, ?Akhirnya! Akhirnya!?" Kate, yang pernah membaca
novel-novel Prancis dan menyukai gaya berceritanya, melanjutkan. "?Dialah putri pujaanku!? seru Count Gustave, dan kesatria
itu pun berlutut di depan kaki sang putri dengan kebahagiaan meluap-luap. ?Oh, bangkitlah!? kata sang putri, sambil mengulurkan
tangannya yang seputih pualam. ?Tidak akan! Tidak, sampai kau
memberitahuku bagaimana caranya aku bisa menolongmu,? sang
kesatria berkata mantap sambil tetap berlutut. ?Apa yang dapat
kaulakukan? Nasib yang kejam mengutukku tetap berada di sini
sampai sang tiran dapat dilenyapkan,? ?Di mana penjahat itu?? ?Ia
berada di ruang duduk bercat lembayung; pergilah, kesatria pemberani, dan selamatkan aku dari keputusasaan.? ?Perintahmu akan
kujalankan, dan aku akan kembali, menang, atau mati!? Setelah
mengucapkan kata-kata berani itu, sang kesatria bergegas pergi.
Dengan keras ia mendorong pintu ruang bercat lembayung itu,
lalu melangkah hendak masuk ketika..."
"Sebuah kitab tua besar dan tebal berbahasa Yunani dipukulkan ke kepalanya oleh seorang pria tua berjubah hitam," kata Ned.
"Dengan segera, kesatria kita bangkit, melempar sang tiran ke luar
jendela, dan berbalik hendak kembali kepada sang putri dengan
membawa kemenangan, kecuali memar di satu alisnya; tetapi ia
menemukan pintu yang terkunci, lalu ia merobek tirai, mengubahnya menjadi tali untuk meluncur turun. Ia telah menuruni separuh
tinggi dinding kastil itu, ketika tali tirai itu putus, dan ia pun jatuh
dari ketinggian 20 meter, dengan kepala di bawah, ke dalam parit
yang mengelilingi kastil itu. Berenang bagaikan seekor bebek, ia
meluncur mengelilingi kastil sampai tiba di depan sebuah pintu
kecil yang dijaga dua lelaki bertubuh kekar. Ia mengadu kepala
mereka sampai pecah bagaikan dua butir kacang. Kemudian, dengan kekuatannya yang luar biasa, ia mendobrak pintu, menaiki
tangga batu yang tertutup debu setebal satu kaki, katak-katak sebesar tinju, dan laba-laba yang pasti akan membuatmu histeris, Miss
March. Di puncak tangga, ia bertemu sesosok makhluk yang membuat napasnya tertahan dan darahnya serasa membeku..."
"Sosok itu jangkung, berpakaian serbaputih, dengan cadar menutupi wajahnya, serta lentera di tangannya yang telah mati," Meg
meneruskan. "Sosok itu menyuruh sang kesatria mengikutinya,
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalu meluncur tanpa suara sepanjang lorong yang gelap dan dingin
bagaikan kuburan. Bayang-bayang patung-patung berbaju zirah
berdiri di kedua sisi lorong, kesunyian terasa mencekam, cahaya
lentera berubah menjadi biru. Setiap beberapa saat, sosok bagaikan
hantu tersebut memalingkan wajahnya ke arah sang kesatria dan
menunjukkan sepasang mata yang menyorot jahat dari balik cadar putihnya. Mereka sampai di depan sebuah pintu yang ditutupi
tirai, dan suara musik indah terdengar dari balik pintu itu. Sang
kesatria melompat untuk masuk, tetapi sosok mengerikan itu menariknya mundur, dan dengan gerakan mengancam, di hadapan
sang kesatria ia melambaikan..."
"Kotak bubuk," kata Jo, dengan suara rendah menyeramkan,
yang membuat semua pendengarnya bergidik. "?Terima kasih,?
kata sang kesatria dengan sopan. Ia mengambil sejumput bubuk,
kemudian ia bersin tujuh kali, begitu kerasnya sampai kepalanya jatuh terlepas. ?Ha! Ha!? tawa sang hantu; kemudian, setelah
mengintip melalui lubang kunci dan melihat para putri yang sedang memintal demi kelangsungan hidup mereka, roh jahat itu
mengangkat tubuh korbannya dan memasukkannya ke dalam peti
timah besar, tempat sebelas kesatria lainnya terbaring berdempetan tanpa kepala, bagaikan ikan sarden. Tiba-tiba dua belas kesatria
tanpa kepala itu bangkit dan mulai..."
"Berdansa ala pelaut," sambar Fred saat Jo berhenti untuk
mengambil napas; "dan, ketika mereka sedang menari-nari, kastil
tua bobrok itu berubah menjadi kapal perang yang siap siaga. ?Tegakkan layar, gulung tali, kemudikan kapal mengikuti arah angin,
dan bersiagalah di balik meriam,? raung sang Kapten ketika bajak laut Portugis muncul dengan bendera sehitam tinta berkibarkibar dari tiang utama kapalnya. ?Serbu, dan rebut kemenangan,
Anak-Anak,? perintah sang Kapten. Pertempuran gila-gilaan segera berkobar. Tentu saja, pasukan Inggris menang?mereka selalu
menang. Mereka menawan kapten bajak laut itu, lalu berlayar melewati sekunar musuh, yang geladaknya penuh dengan mayat, dan
dari lubang airnya mengalir darah, sesuai perintah sang Kapten
yang berbunyi, ?Tebaskan pedangmu, menanglah atau mati.? ?Kelasi, ambil ujung tali layar itu. Naikkan penjahat ini jika ia tidak
mau mengakui kejahatannya dengan cepat,? perintah sang Kapten
Inggris. Sang perompak Portugis mengatupkan mulutnya rapatrapat dengan keras kepala. Ia berjalan menyusuri papan yang terjulur ke laut, sementara para awak kapal bersorak-sorai gegap gempita. Tapi, penjahat licik itu tiba-tiba terjun ke laut. Ia berenang
ke bawah kapal perang itu lantas membalikkannya. Kapal itu pun
tenggelam, dengan layar-layar yang masih terkembang. Ia tenggelam, terus ke dasar laut, laut, laut, tempat..."
"Oh, ya, ampun! Apa yang bisa kukatakan?" seru Sallie, saat
Fred mengakhiri ceritanya, yang campur aduk tidak keruan dan
penuh dengan istilah-istilah dan fakta-fakta kelautan, yang ia ambil dari salah satu buku cerita kesukaannya. "Yah, mereka tenggelam sampai ke dasar, dan seorang putri duyung yang baik hati
menyambut mereka, namun putri duyung itu menjadi sedih ketika menemukan sebuah peti besar berisi dua belas sosok kesatria
tanpa kepala. Dengan baik hati, ia mengawetkan para kesatria itu
dengan air laut, berharap ia bisa mengurai misteri tubuh-tubuh itu.
Sebagai perempuan, ia merasa ingin tahu. Kemudian, pada suatu
hari, datanglah seorang penyelam, dan putri duyung itu berkata
kepadanya, ?Akan kuberikan peti mutiara ini kepadamu jika kau
bisa mengangkatnya ke permukaan.? Putri duyung itu sangat ingin
tubuh-tubuh malang itu kembali hidup, namun ia tidak sanggup
memikul bobot peti itu sendirian. Jadi, sang penyelam mengangkatnya, dan betapa kecewanya ia ketika membuka kotak itu dan
tidak menemukan sebutir mutiara pun. Ia meninggalkan peti itu
di sebuah padang luas nan sepi, dan peti itu lalu ditemukan oleh..."
"Gadis kecil penggembala angsa, yang memiliki seratus angsa
gemuk di padang itu," kata Amy, setelah Sallie kehabisan bahan
cerita. "Gadis kecil itu merasa iba kepada mereka, dan bertanya kepada seorang perempuan tua, apa yang harus dilakukannya terhadap mereka. ?Angsa-angsamu akan memberitahu engkau, mereka
mengetahui segalanya,? kata perempuan tua itu. Jadi, gadis itu pun
bertanya apa yang harus ia gunakan sebagai kepala baru, karena
kepala-kepala lama telah hilang entah ke mana, dan seratus angsa
pun membuka seratus paruh mereka, dan berseru..."
"Kubis!? Laurie langsung melanjutkan. ?Tepat sekali,? kata si
gadis kecil, lalu ia berlari ke kebunnya untuk memetik dua belas
kubis. Ia menaruh kubis-kubis itu di setiap tubuh dan para kesatria
itu pun bangkit seketika serta mengucapkan terima kasih kepadanya. Mereka merayakan kebangkitan mereka, tidak merasa ada
yang janggal, karena di dunia ini terdapat begitu banyak kepala
kubis, sehingga tidak ada yang menganggap kepala mereka sebagai keanehan. Kesatria di awal kisah kita kembali ke kastil untuk
menemui gadis cantik yang dirindukannya. Di sana ia mengetahui
bahwa para putri telah berhasil menyelesaikan pintalan dan membeli kebebasan mereka, dan mereka semua telah menikah, kecuali
satu. Pikiran sang kesatria terasa jernih, dan ia pun menaiki kudanya, yang setia bersamanya melalui senang dan susah. Ia bergegas pergi ke kastil untuk melihat siapa yang tertinggal. Mengintip
melalui pagar tanaman, ia melihat putri yang dirindukannya se210
dang memetik bunga-bunga di kebun. ?Maukah kau memberikan
setangkai mawar kepadaku?? tanyanya. ?Kaulah yang harus datang
dan mengambilnya; tidak pantas jika aku yang datang kepadamu,?
sahut gadis itu dengan suara semanis madu. Sang kesatria mencoba memanjat melalui pagar tanaman, tetapi pagar itu sepertinya
tumbuh semakin tinggi; dan ketika ia mencoba menembusnya, pagar itu tumbuh semakin tebal, sampai akhirnya ia putus asa. Jadi,
dengan sabar, ia mematahkan ranting demi ranting, sampai akhirnya sebuah lubang kecil pun tercipta. Ia mengintip dan berkata
memohon, ?Biarkan aku masuk! Izinkan aku masuk!? Akan tetapi,
putri cantik tersebut tampaknya tidak mengerti, karena ia terus
saja memetiki bunga-bunga mawar dengan tenang, dan membiarkan sang kesatria berjuang masuk sendiri. Apakah dia berhasil atau
tidak, akan kubiarkan Frank menceritakannya."
"Aku tidak bisa; aku tidak mau bermain, aku tidak pernah melakukannya," kata Frank, gugup karena perkembangan permainan
itu, yang memerlukan perannya untuk menentukan nasib pasangan aneh dalam cerita itu. Beth menghilang ke balik tubuh Jo, sementara Grace telah tertidur.
"Jadi, kesatria malang itu dibiarkan terjebak di dalam pagar
tanaman, ya?" tanya Mr. Brooke, masih mengamati sungai, dan
memain-mainkan sekuntum mawar liar di lubang kancingnya.
"Kurasa, beberapa saat kemudian, sang putri memberinya sekuntum bunga dan membukakan pintu untuknya," kata Laurie,
tersenyum sendiri, sembari melempari tutornya dengan buahbuah ek.
"Luar biasa omong kosong yang kita buat! Dengan sedikit
latihan, kita mungkin bisa melakukan sesuatu yang pintar. Ada
yang tahu ?Katakan Sejujurnya???? tanya Sallie, setelah tawa ceria
mereka karena cerita itu mereda.
"Kuharap semuanya jujur," kata Meg, serius.
"Maksudmu, permainan?"
"Apa itu?" tanya Fred.
"Kita menumpukkan tangan, memilih angka, lalu satu per satu
menarik tangannya. Orang yang urutan tangannya sesuai dengan
angka yang dipilih harus menjawab dengan jujur pertanyaan apa
pun yang diajukan oleh pemain lain. Seru sekali."
"Ayo kita coba," kata Jo, yang menyukai eksperimen.
Miss Kate dan Mr. Brooke, Meg, dan Ned menolak; namun
Fred, Sallie, Jo, dan Laurie menumpukkan tangan mereka dan memulai permainan; dan angka pertama jatuh kepada Laurie.
"Siapa saja pahlawanmu?" tanya Jo.
"Kakekku dan Napoleon."
"Gadis mana yang menurutmu paling cantik?" kata Sallie.
"Margaret."
"Siapa yang paling kau suka?" adalah pertanyaan Fred.
"Jo, tentu saja."
"Konyol sekali pertanyaanmu!" dan Jo pun mengangkat bahu
dengan kesal sementara yang lain tergelak mendengar nada jawaban Laurie yang wajar.
"Ayo teruskan! Permainan ini cukup menyenangkan," kata
Fred.
"Dan sangat cocok untukmu," balas Jo dengan suara rendah.
Berikutnya adalah giliran Jo.
"Apa kekuranganmu yang terbesar?" tanya Fred, jelas-jelas
berniat menguji kekuatan watak Jo, yang tak dimilikinya.
"Perangaiku yang mudah marah."
"Apa yang paling kauinginkan?" kata Laurie.
"Sepasang tali sepatu bot," balas Jo, yang sudah menebak maksud pertanyaan itu, dan menghindarinya.
"Bukan jawaban jujur; kau harus mengatakan apa yang sangat
kauinginkan."
"Cerdas; tidakkah kau berharap kau bisa memberikannya kepadaku, Laurie?" dan ia pun tersenyum jahil ke arah wajah kecewa
Laurie.
"Karakter apa yang paling kaukagumi pada diri seorang pria?"
tanya Sallie.
"Keberanian dan kejujuran."
"Sekarang giliranku," ucap Fred, yang gilirannya tiba paling
akhir.
"Ayo, kita balas dia," bisik Laurie kepada Jo, yang mengangguk, dan langsung bertanya,?
"Bukankah kau tadi curang saat bermain croquet?"
"Yah, sedikit."
"Bagus! Bukankah ceritamu tadi diambil dari buku The Sea
Lion? tanya Laurie.
"Kira-kira begitu."
"Tidakkah, menurut orang Inggris, mereka adalah bangsa yang
sempurna dalam segala hal?" tanya Sallie.
"Aku akan malu jika tidak."
"Ia adalah John Bull sejati. Nah, Miss Sallie, kini giliranmu,
tanpa harus diundi. Pertama-tama aku ingin menggodamu sedikit
dengan bertanya apakah menurutmu kau ini seorang penggoda,"
kata Laurie, sementara Jo mengangguk ke arah Fred, sebagai tanda
tawaran perdamaian.
"Kau bocah nakal! Tentu saja tidak," seru Sallie, dengan tingkah laku yang menunjukkan hal sebaliknya.
"Apa yang paling tidak kausukai?" tanya Fred.
"Laba-laba dan puding beras."
"Apa yang paling kausukai?" tanya Jo.
"Berdansa dan sarung tangan Prancis."
"Yah, kupikir ?Katakan Sejujurnya? adalah permainan konyol.
Mari memulai permainan yang lebih menarik, ?Para Penulis?, untuk menyegarkan pikiran kita," Jo mengusulkan.
Ned, Frank, dan kedua gadis yang lebih kecil turut dalam permainan tersebut. Sementara itu, ketiga orang yang lebih tua duduk
terpisah dan mengobrol. Miss Kate mengambil buku sketsanya
lagi, dan Margaret mengamatinya, sementara Mr. Brooke berbaring di rumput dengan sebuah buku yang tidak dibacanya.
"Indah sekali sketsamu. Kalau saja aku bisa menggambar," komentar Meg. Nada suaranya bercampur antara kekaguman dan
penyesalan.
"Mengapa tidak mempelajarinya? Kupikir, kau pasti punya selera dan bakat untuk itu," Miss Kate menjawab dengan murah hati.
"Aku tidak punya cukup waktu."
"Ibumu lebih suka melihat keberhasilan di bidang lain, ya. Ibuku juga, tetapi aku membuktikan kepadanya bahwa aku punya bakat, yaitu dengan mengambil beberapa pelajaran diam-diam, dan
setelah itu dia mengakui bahwa sebaiknya aku mengembangkan
bakatku. Tidakkah kau bisa melakukan hal yang sama dengan governess atau guru pribadimu?"
"Aku tidak punya guru pribadi."
"Oh, aku lupa. Gadis-gadis Amerika umumnya pergi bersekolah, lebih banyak dibandingkan gadis-gadis di Inggris. Menurut
Papa, sekolah yang ada di sini bagus-bagus. Kurasa, kau pergi ke
sekolah swasta?"
"Tidak. Aku sendiri seorang guru pribadi sekaligus pengasuh."
"Oh, begitu!" ucap Miss Kate. Di balik ucapannya tersirat katakata, "Ya ampun, sungguh malang!" karena itulah yang ditunjukkan oleh nada suaranya. Sesuatu di wajahnya membuat wajah Meg
merona, dan ia pun menyesal telah bersikap terlalu terbuka.
Mr. Brooke mengangkat kepalanya dan cepat-cepat berkata,
"Gadis-gadis muda di Amerika menyukai kemerdekaan, sama seperti nenek moyang mereka, dan dikagumi serta dihormati karena
mampu menyokong diri sendiri."
"Oh, ya, tentu saja! Kupikir, hal itu sangat baik dan sudah selayaknya. Di Inggris pun ada banyak gadis muda yang terhormat dan
sangat berbakat, yang melakukan hal serupa. Mereka dipekerjakan
oleh kaum ningrat karena, sebagai putri-putri para pria terhormat,
mereka memiliki keturunan yang baik dan sangat terampil," kata
Miss Kate, dengan nada menggurui. Nada suara dan kata-katanya
melukai harga diri Meg, membuat pekerjaannya terasa bukan hanya tidak menyenangkan, tetapi juga rendah.
"Sukakah kau pada lagu Jerman itu, Miss March?" tanya Mr.
Brooke untuk memecah keheningan yang canggung.
"Oh, ya! Sangat indah, dan aku sangat berterima kasih kepada
siapa pun yang menerjemahkannya untukku." Wajah Meg yang
sempat murung kembali bersinar saat ia berbicara.
"Tidakkah kau membaca dalam bahasa Jerman?" Miss Kate
bertanya, dengan ekspresi terkejut.
"Tidak terlalu bisa. Ayahku, yang mengajariku, sedang pergi,
dan pelajaranku tidak begitu laju saat sendirian, karena tidak ada
yang memperbaiki pelafalanku."
"Ayo kita coba sekarang. Di sini ada Mary Stuart karya Schiller,
serta seorang tutor yang gemar mengajar," dan Mr. Brooke pun
meletakkan buku itu ke pangkuan Meg sambil tersenyum menawarkan bantuan.
"Aduh, sulit sekali, aku takut mencobanya," ujar Meg, berterima kasih, tetapi juga malu di hadapan gadis muda serbabisa yang
duduk di sampingnya.
"Aku mau membaca sedikit, untuk menyemangatimu," dan
Miss Kate lantas membaca salah satu baris terindah dalam karya
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. Pengucapannya sempurna, namun tanpa ekspresi.
Mr. Brooke tidak berkomentar sedikit pun ketika Kate mengembalikan buku itu kepada Meg, yang berkomentar polos,?
"Kupikir ini puisi."
"Sebagian isinya memang puisi. Coba baca bagian ini."
Mulut Mr. Brooke membentuk senyum misterius saat ia membuka halaman yang berisikan curahan hati Mary yang malang.
Meg, dengan patuh mengikuti gerakan rumput panjang yang
digunakan sang tutor untuk menunjuk, membaca dengan pelan
dan malu-malu, dan tanpa sadar berusaha menciptakan puisi dari
kata-kata sulit itu, melalui nada bicaranya yang lembut dan mengalun. Rumput yang memandunya turun ke bawah mengikuti katakata, kemudian, tenggelam dalam bacaan yang menggambarkan
adegan sedih, Meg lupa akan pendengarnya. Ia membaca seakanakan sedang seorang diri, memberikan sedikit sentuhan tragedi
pada kata-kata sang Ratu yang sedang bersusah hati. Kalau saja
saat itu ia melihat bagaimana sepasang mata cokelat menatapnya
penuh kekaguman, pastilah ia langsung berhenti membaca; namun
Meg tidak pernah mengangkat kepalanya dari buku itu, dan pelajaran itu tidak mengalami gangguan.
"Sangat bagus!" kata Mr. Brooke, saat Meg berhenti. Ia mengabaikan sejumlah kesalahan Meg dan sungguh-sungguh terlihat
sebagai orang yang "gemar mengajar".
Miss Kate mengenakan lagi kacamatanya dan, setelah mengamati tableau di hadapannya, ia menutup buku sketsanya kemudian
berkata, dengan nada meremehkan,?
"Aksenmu bagus. Kelak, kau akan menjadi pembaca yang pintar. Aku menyarankan agar kau terus belajar, karena bahasa Jerman adalah keterampilan yang berharga untuk guru mana pun.
Nah, aku harus melihat Grace, karena ia berlarian entah ke mana,"
dan Miss Kate pun berlalu. Ia berkata kepada dirinya sendiri sam
bil mengangkat bahu, "Aku tidak datang untuk menjadi pendamping seorang governess, walaupun ia memang muda dan memesona. Orang-orang Yankee ini memang aneh! Jangan-jangan Laurie
mendapat pengaruh tidak baik dari mereka."
"Aku lupa bahwa orang-orang Inggris suka menyombong di
hadapan para governess, dan tidak memperlakukan mereka sebagaimana kita memperlakukan para governess kita," kata Meg sambil
memandang sosok Miss Kate yang menjauh dengan ekspresi kesal.
"Tutor pun mengalami kesulitan di sana, seperti yang pernah
kualami. Tidak ada tempat seperti Amerika untuk kami para pekerja, Miss Margaret," dan Mr. Brooke tampak begitu puas serta
riang, sampai Meg merasa malu telah mengeluh tentang kesusahannya.
"Kalau begitu, aku bersyukur hidup di sini. Aku tidak menyukai pekerjaanku, tetapi aku cukup puas melakukannya, jadi aku tidak akan mengeluh; aku hanya berharap aku menyukai mengajar
seperti engkau."
"Kurasa kau pun akan menyukainya, kalau kau punya murid
seperti Laurie. Aku akan sangat kehilangan dirinya tahun depan,"
ujar Mr. Brooke yang sibuk membuat lubang di rerumputan.
"Apakah ia akan pergi kuliah?" pertanyaan itulah yang keluar
dari mulut Meg, meskipun matanya berkata, "Lalu apa yang akan
kaulakukan?"
"Ya, sudah waktunya ia pergi, karena ia sudah hampir siap, dan
begitu ia berangkat, aku akan mendaftar sebagai prajurit."
"Wah, aku senang mendengarnya!" seru Meg. "Kupikir, semua
pria muda pasti ingin pergi; walaupun berat rasanya bagi para ibu
dan saudara perempuan yang tinggal di rumah," ia menambahkan
dengan berat hati.
"Aku tidak punya ibu dan tidak punya saudara perempuan, aku
juga tidak punya banyak teman. Tidak ada yang akan terlalu peduli apakah aku hidup atau mati," Mr. Brooke menjelaskan dengan
pahit, sementara dengan spontan tangannya meletakkan sekuntum mawar layu ke dalam lubang yang telah ia buat, kemudian
menutupi lubang itu, seakan menguburkan mawar itu.
"Laurie dan kakeknya pasti peduli, dan kami semua akan turut bersedih jika sesuatu yang buruk menimpa dirimu," kata Meg
sungguh-sungguh.
"Terima kasih; senang sekali mendengarnya," ucap Mr. Brooke,
kini tampak ceria lagi. Namun, sebelum ia bisa meneruskan kalimatnya, Ned datang, mengendarai seekor kuda tua. Ia hendak memamerkan ketangkasannya berkuda di hadapan para gadis muda,
dan suasana tenang pada hari itu pun usai sudah.
"Apakah kau senang berkuda?" tanya Grace kepada Amy, saat
mereka berdiri beristirahat, setelah berlomba mengelilingi lapangan, dipimpin oleh Ned.
"Suka sekali; kakakku Meg senang berkuda waktu Papa masih
punya banyak uang, tetapi kami tidak punya seekor pun sekarang
?kecuali Ellen Tree," tambah Amy, sambil tertawa.
"Ceritakanlah tentang Ellen Tree. Apakah dia seekor keledai?"
tanya Grace, ingin tahu.
"Yah, begini, Jo sungguh tergila-gila pada kuda, dan aku pun
begitu, tetapi kami hanya punya satu pelana samping yang sudah
tua, tanpa seekor kuda pun. Di luar, di kebun kami, terdapat pohon
apel, yang satu dahannya terletak cukup rendah; jadi aku meletakkan pelana itu di sana, mengikatkannya di bagian dahan yang
menonjol, dan kami pun berkendara di atas Ellen kapan pun kami
mau."
"Lucu sekali!" Grace tergelak. "Aku memiliki seekor kuda poni
di rumah, dan menungganginya hampir setiap hari di kebun bersa218
ma Fred dan Kate. Sangat menyenangkan. Teman-temanku sering
main ke rumahku dan ikut naik kuda poni, dan gelanggang kami,
The Row, penuh dengan gadis-gadis dan anak-anak lelaki."
"Wah, kedengarannya menyenangkan! Mudah-mudahan aku
bisa pergi ke luar negeri suatu hari nanti, tapi aku lebih ingin pergi
ke Roma ketimbang ke Row," kata Amy, yang sama sekali tidak
tahu apa itu The Row, dan tidak berniat menanyakannya.
Frank, yang sedang duduk di belakang kedua gadis cilik itu,
mendengar obrolan mereka. Ia mendorong tongkatnya dengan gerakan tak sabar, sambil menonton pemuda-pemuda lain melakukan
gerakan-gerakan gimnastik yang konyol. Beth, yang sedang merapikan kartu-kartu permainan "Para Penulis", mengangkat kepalanya
dan berkata, dengan sikapnya yang malu-malu namun ramah,
"Barangkali kau lelah; bisakah kuambilkan sesuatu?"
"Kumohon, berbicaralah denganku. Bosan sekali duduk sendirian di sini," jawab Frank, yang jelas telah terbiasa menjadi pusat
perhatian di rumah.
Bagi Beth yang luar biasa pemalu, permintaan Fred itu sama
sulitnya dengan permintaan agar ia berpidato dalam bahasa Latin.
Tetapi, tidak ada tempat baginya untuk bersembunyi, tidak ada Jo
di situ, jadi ia tidak bisa bersembunyi di balik punggung kakaknya
itu, dan pemuda itu menatapnya dengan begitu sungguh-sungguh,
hingga Beth pun dengan berani bertekad untuk mencoba.
"Apa yang ingin kaubicarakan?" tanyanya, tangannya dengan
gugup memegang kartu-kartu itu, dan ia menjatuhkan separuh
kartu saat mencoba mengikatnya menjadi satu.
"Yah, aku ingin mendengar soal kriket, berperahu, dan berburu," ujar Frank, yang belum mampu menyesuaikan minatnya dengan kemampuan fisiknya.
"Astaga! Apa yang harus kulakukan? Aku tidak tahu apa pun
mengenai hal-hal itu," pikir Beth. Dalam kepanikannya, Beth lupa
akan kemalangan anak lelaki di hadapannya, dan ia pun mencoba membuat Frank bercerita, "Aku tidak pernah melihat kegiatan
berburu, tapi kurasa kau tahu segala hal tentang berburu."
"Iya, dulu aku suka berburu; tetapi aku tidak akan pernah berburu lagi, karena aku terluka saat melompati pagar jelek berpalang
lima. Jadi, tidak akan ada lagi menunggang kuda atau berburu
untukku," Frank menjawab dengan helaan napas yang membuat
Beth menyalahkan dirinya sendiri karena membuat kesalahan dengan mengajukan pertanyaan itu.
"Rusa-rusa kalian jauh lebih cantik ketimbang bison-bison
kami di sini," katanya, mencoba mengalihkan topik ke arah padang rumput, dan merasa senang ia telah membaca salah satu buku
cerita anak lelaki yang disukai Jo.
Menyebut soal bison ternyata menenangkan dan memuaskan.
Lalu, dengan semangat ingin menyenangkan orang lain, Beth menekan rasa malunya. Ia bahkan tidak menyadari keterkejutan dan
kegembiraan kakak-kakaknya saat melihat pemandangan unik berupa Beth yang mengoceh kepada salah satu anak lelaki mengerikan, yang pada awalnya mati-matian ia hindari.
"Terpujilah hatinya yang mulia! Beth iba kepadanya, jadi ia
bersikap baik kepada anak itu," kata Jo, tersenyum cerah sambil
memandang Beth dari lapangan croquet.
"Aku selalu bilang, ia memang malaikat kecil," tambah Meg,
seolah-olah hal itu tidak perlu diragukan lagi.
"Sudah begitu lama aku tidak mendengar Frank tertawa begitu keras," kata Grace kepada Amy saat mereka berdua duduk
mengob?rolkan boneka, dan membuat perlengkapan minum teh
dari buah-buah ek.
"Kakakku Beth bisa mencelat, jika ia mau," kata Amy, bangga akan keberhasilan Beth. Kata yang Amy maksudkan adalah
"menawan", tetapi, karena Grace tidak benar-benar mengerti arti
kedua kata itu, maka "mencelat" pun terdengar cukup hebat dan
meninggalkan kesan yang baik.
Sebuah sirkus mendadak, seekor rubah dan angsa, serta pertandingan croquet yang ceria, menutup acara mereka sore itu. Ketika
matahari mulai terbenam, kemah pun dirubuhkan, keranjang-keranjang piknik dibereskan, gawang croquet diangkat, perahu-perahu dimuati, dan rombongan itu kembali menyusuri sungai sambil bernyanyi senyaring mungkin. Ned, yang mulai terbawa perasaan,
menyanyikan sebuah lagu romantis yang sarat makna tersirat,?
"Sendiri, sendiri, ah! Sedihnya rasa sunyi,"
dan saat sampai di baris ?
"Kami sama-sama muda, kami sama-sama menaruh hati
Oh, mengapa kita harus saling berjauhan?"
ia menatap ke arah Meg dengan ekspresi penuh harap, yang
membuat Meg tertawa seketika dan merusak kesungguhan Ned
yang bernyanyi dengan penuh perasaan.
"Bagaimana bisa kau begitu kejam terhadapku?" bisiknya, suaranya tenggelam oleh koor berisik di bagian utama lagu. "Seharian
tadi kau terus-terusan bersama gadis Inggris yang sok itu, dan sekarang kau mengejekku."
"Aku tidak bermaksud begitu, tetapi kau tampak begitu lucu
hingga aku tidak bisa menahan tawa," jawab Meg, mengabaikan
bagian pertama kata-kata Ned. Memang benar ia sengaja menghindari pemuda itu, karena teringat pesta di rumah keluarga Moffat
dan pembicaraan yang ia dengar setelahnya.
Ned merasa tersinggung. Ia berpaling kepada Sallie, berharap
mendapat penghiburan, dan berkata kepadanya dengan nada kesal,
"Dia benar-benar tidak bisa digoda, ya?"
"Tidak sedikit pun; namun ia sungguh baik hati," jawab Sallie,
membela temannya, meskipun sekaligus mengakui kekurangannya.
"Ya, memang bukan hatinya yang terserang," kata Ned, mencoba terdengar cerdik, dan berhasil?sebagaimana biasanya para
lelaki muda.
Rombongan itu berpisah di halaman yang sama tempat mereka
berkumpul, diiringi salam perpisahan yang santun, yakni ucapan
selamat malam dan selamat jalan, karena anak-anak Vaughn akan
pergi ke Kanada. Saat keempat gadis March berjalan pulang melintasi kebun, Miss Kate memandang ke arah mereka, dan berkata,
tanpa ada nada mengejek dalam suaranya, "Meskipun sikap mereka begitu terbuka, gadis-gadis Amerika sangat menyenangkan
setelah kita mengenalnya."
Kata-kata itu disambut oleh Mr. Brooke, "Aku setuju denganmu."
Istana-Istana Impian
aurie berbaring santai, bergolek ke kiri dan ke kanan dalam
hammock?tempat tidur gantung?pada suatu sore yang hangat
di bulan September. Pikirannya melayang ke rumah tetangganya
dan apa yang sedang mereka lakukan, namun ia terlalu malas untuk pergi dan mencari tahu. Suasana hatinya sedang tidak enak.
Hari itu berjalan tanpa manfaat dan tidak memuaskan, dan Laurie
berandai-andai kalau saja ia bisa mengulanginya dari awal. Cuaca yang panas membuatnya malas. Ia melalaikan pelajarannya,
menguji kesabaran Mr. Brooke hingga ambang batas, membuat kakeknya kesal dengan bermain piano hampir sepanjang siang, dan
membuat para pelayan takut setengah mati dengan mengatakan
bahwa salah satu anjingnya terserang rabies. Kemudian, setelah
memarahi pengurus kuda karena salah satu kudanya menurutnya
kurang terawat, ia melemparkan diri ke hammock, menyumpahi kebodohan dunia pada umumnya, sampai kedamaian hari yang indah
itu menenangkannya, meskipun sesungguhnya hatinya tetap resah. Sambil memandang hijaunya daun-daun pohon horse-chestnut
yang rimbun di atasnya, pikirannya melayang-layang bebas. Ia
sedang membayangkan dirinya berada di samudera luas dalam sebuah perjalanan mengelilingi dunia ketika suara-suara mengembalikan dirinya ke dunia nyata. Mengintip dari balik jaring-jaring
hammock-nya, ia melihat gadis-gadis March berjalan keluar, seolaholah hendak melakukan ekspedisi.
"Apa lagi yang akan dilakukan gadis-gadis itu sekarang?" Laurie membatin, membuka kedua matanya yang tadinya mengantuk
agar bisa melihat lebih jelas, karena dilihatnya ada sesuatu yang
tidak biasa dalam penampilan para tetangganya. Masing-masing
gadis itu mengenakan topi lebar yang berkibar-kibar, menyandang
tas dari kain linen cokelat di satu pundak, dan menenteng tongkat panjang. Meg membawa bantalan kursi, Jo membawa buku,
Beth membawa gayung, dan Amy membawa buku gambar. Semua
berjalan tanpa suara melintasi kebun, lalu keluar melalui gerbang
hitam kecil, kemudian mulai mendaki bukit yang terletak di antara
rumah dan sungai.
"Wah, keren!" kata Laurie kepada dirinya sendiri. "Mereka
berpiknik dan tidak mengajakku. Mereka pasti tidak akan menggunakan perahu, karena tidak memegang kunci rumah perahu.
Mungkin mereka lupa; akan kubawakan kepada mereka dan akan
kulihat apa yang sedang terjadi."
Laurie punya setengah lusin topi, cukup lama ia memilih-milih
sampai menemukan topi yang dianggapnya tepat. Kemudian ia
mencari-cari kunci tumah perahu, yang akhirnya ia temukan di dalam sakunya. Ketika Laurie melompati pagar dan berlari mengejar
mereka, gadis-gadis March sudah tak kelihatan. Laurie mengambil
jalan pintas ke arah rumah perahu dan menunggu sampai mereka muncul; tetapi, tidak ada yang datang. Ia naik ke bukit untuk
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengamati suasana. Sekelompok pohon cemara menutupi sebagian bukit, dan dari tengah-tengah titik hijau itu terdengar suara
yang lebih keras ketimbang desir lembut daun-daun cemara yang
bergesekan atau derik malas para jangkrik.
"Pemandangan yang menarik!" kata Laurie dalam hati, ketika
ia mengintip dari balik semak, kantuknya lenyap sama sekali dan
suasana hatinya membaik.
Memang, pemandangan yang ditemukannya terlihat cantik; gadis-gadis March itu duduk bersama-sama di bagian yang teduh,
sinar matahari dan bayang-bayang menimpa mereka, angin yang
menebarkan keharuman daun cemara memainkan rambut dan meniup pipi mereka, dan semua makhluk hutan berkegiatan seperti
biasa seolah-olah para gadis itu adalah sahabat lama mereka, bukan
makhluk asing. Meg duduk di bantalan kursinya, menjahit dengan
sikap anggun, tangannya yang putih bergerak lembut. Tampak
sesegar dan semanis bunga mawar dengan gaun merah mudanya,
ia duduk di tengah-tengah kehijauan itu. Beth sedang memilah
biji-biji cemara yang terhampar tebal di bawah pohon di dekatnya,
dan membuat benda-benda indah dari biji-biji itu. Amy membuat
sketsa sekelompok tanaman pakis, sementara Jo merajut sembari
membaca keras-keras. Sambil mengamati mereka, pelan-pelan wajah Laurie berubah menjadi suram. Ia merasa harus pergi karena ia
tidak diundang. Akan tetapi, ia ingin bertahan karena rumahnya
terasa amat sepi, dan kelompok yang tenang di keteduhan pohonpohon cemara itu justru mengusik jiwanya yang selalu resah. Ia
berdiri begitu diam, sampai-sampai seekor tupai yang sedang sibuk
memanen dan berlari menyusuri sebatang pohon di dekatnya, tibatiba melihatnya dan terkejut mundur, lantas mencicit dan mengomel begitu keras hingga membuat Beth menengok. Beth melihat
wajah muram Laurie di balik dahan-dahan pohon birch, lalu mengundangnya bergabung dengan senyum ramah.
"Bolehkah aku bergabung? Ataukah aku hanya akan mengganggu?" tanya Laurie, perlahan-lahan mendekat.
Meg mengangkat kedua alisnya, tetapi Jo melotot ke arahnya
dengan ekspresi tegas, lalu segera menyahut, "Tentu saja boleh.
Kami seharusnya mengajakmu juga, tetapi kami pikir kau tidak
akan tertarik dengan acara khusus para gadis seperti ini."
"Aku selalu suka dengan acara kalian; tapi jika Meg tidak
menginginkan kehadiranku, aku akan pergi."
"Aku sih tidak keberatan, asal kau melakukan sesuatu; aturannya adalah kau tidak boleh sekadar melamun di sini," jawab Meg,
sungguh-sungguh, tetapi ramah.
"Akan kupatuhi; akan kulakukan apa pun jika kau mengizinkan aku tinggal sebentar di sini, karena saat ini rumahku terasa
sama membosankannya dengan Gurun Sahara. Aku bisa menjahit,
membaca, mengumpulkan biji cemara, menggambar, atau mungkin melakukan semuanya sekaligus? Tidak masalah; aku siap,"
dan Laurie pun duduk dengan ekspresi pasrah yang menyenangkan untuk dilihat.
"Selesaikan cerita ini sementara aku meneruskan rajutanku,"
kata Jo, menyerahkan bukunya kepada Laurie.
"Ya, Bu," Laurie menjawab lirih, lalu ia memulai, mencoba
sebisa mungkin membuktikan rasa terima kasihnya karena telah
diperbolehkan bergabung dengan "Perkumpulan Lebah Sibuk".
Cerita yang dibacanya tidak panjang, dan, setelah usai, ia meminta izin untuk mengajukan pertanyaan sebagai hadiah dari sikap baiknya.
"Kumohon, Bu, beritahukanlah kepadaku apakah institusi
yang sangat instruktif dan menawan ini merupakan perkumpulan
baru?"
"Siapa yang bersedia menjelaskan kepadanya?" tanya Meg kepada adik-adiknya.
"Ia akan tertawa," Amy memperingatkan.
"Siapa peduli?" sahut Jo.
"Kurasa, ia akan menyukainya," Beth menambahkan.
"Tentu saja aku akan menyukainya! Aku berjanji tidak akan
tertawa. Katakanlah, Jo, dan jangan takut."
"Mana mungkin aku takut kepadamu?! Yah, seperti kau tahu,
kami memainkan ?Perjalanan Pengembara? dan kami menjalankannya dengan sungguh-sungguh sepanjang musim dingin dan
musim panas."
"Ya, aku tahu," kata Laurie, mengangguk dengan sikap bijaksana.
"Siapa yang memberitahumu?" selidik Jo.
"Para roh."
"Bukan; akulah yang memberitahu dia. Aku ingin menghiburnya pada suatu malam saat kalian semua sedang pergi, dan ia sedang ingin dihibur. Ia memang menyukainya, jadi jangan mengomel, Jo," kata Beth takut-takut.
"Kau memang tidak bisa menyimpan rahasia. Ya, sudahlah;
jadi aku tidak perlu repot-repot sekarang."
"Teruskanlah, kumohon," pinta Laurie, saat Jo kembali sibuk
dengan pekerjaannya dan tampak sedikit kesal.
"Oh, Beth belum menceritakan tentang rencana baru kami?
Hmm, kami mencoba untuk tidak menyia-nyiakan masa liburan
ini. Masing-masing dari kami memilih tugas tertentu dan mengerjakannya kapan pun kami mau. Masa berlibur hampir usai, periode
itu sudah selesai, dan kami sangat senang kami tidak menganggur."
"Ya, tentu saja," kata Laurie sambil menyesali hari-hari yang
dilaluinya dengan bermalas-malasan.
"Ibu senang jika kami berada di luar rumah sesering mungkin,
jadi kami membawa pekerjaan kami ke sini, dan menjalani saatsaat tenang di sini. Untuk menghidupkan suasana, kami membawa barang-barang kami dengan tas seperti ini, mengenakan topi
bergaya kuno, menggunakan tongkat untuk mendaki bukit, dan
berpura-pura menjadi pengembara, seperti yang biasa kami lakukan bertahun-tahun yang lalu. Kami menjuluki bukit ini ?Gunung
Aspirasi?, karena kami dapat melihat jauh dari sini, dan memandang tempat yang kami harap dapat kami tinggali suatu saat nanti."
Jo menunjuk, dan Laurie duduk tegak untuk mengamati arah
yang ditunjukkan. Melalui celah di hutan sana, ia bisa melihat sungai lebar dengan airnya yang biru?padang luas di seberangnya
?dan pandangannya tak terhalang sampai ke pinggir kota, sampai
ke lembah-lembah hijau nan jauh membentang hingga menyentuh
kaki langit. Matahari musim gugur menggantung rendah di langit
yang gemilang berkilau-kilauan. Mega-mega ungu keemasan bertengger di puncak-puncak bukit yang tampak menjulang menyentuh cahaya-cahaya itu dan di ketinggian berubah menjadi putih
keperakan, bersinar bagaikan menara Kota Langit yang terbuka.
"Betapa indahnya!" kata Laurie pelan. Ia memang sangat peka
dan dapat dengan cepat melihat serta merasakan keindahan luar
biasa yang terhampar di hadapannya.
"Memang sering kali begitu; dan kami senang mengamati pemandangan ini, karena kelihatannya tidak pernah sama, namun
senantiasa luar biasa," jawab Amy, berharap ia mampu melukis
pemandangan tersebut.
"Jo suka bicara tentang pedesaan yang ingin kami tinggali kelak pada suatu waktu; yang ia maksudkan adalah suasana pedesaan
sungguhan, dengan babi dan ayam-ayam, dan gulungan-gulungan
besar jerami kering. Pastilah menyenangkan, tetapi aku berharap
tempat yang cantik di atas sana juga nyata, dan kita bisa sampai ke
sana," renung Beth.
"Ada tempat yang bahkan lebih cantik dari itu semua, dan kita
semua akan tiba di sana, pada waktunya, jika kita cukup baik untuk
itu," Meg berkata dengan suaranya yang manis.
"Rasanya begitu lama untuk dinanti, dan begitu sulit untuk
dilakukan; aku ingin terbang sesegera mungkin, seperti burungburung walet, dan hinggap di atas gerbang megah itu."
"Kau pasti akan sampai, Beth, cepat ataupun lambat. Jangan
khawatir," kata Jo. "Akulah yang harus berjuang dan bekerja keras, mendaki dan menunggu, dan mungkin tidak akan pernah bisa
memasukinya."
"Ada aku yang akan menemanimu, kalau itu bisa membuatmu
merasa lebih baik. Aku pasti akan banyak bepergian sebelum bisa
tiba di hadapan Kota Langit. Apabila aku tiba terlambat, kau akan
mengucapkan hal baik untukku, kan, Beth?"
Ada sesuatu pada wajah Laurie yang membuat teman kecilnya
gelisah; namun Beth menjawab dengan ceria, matanya menatap
awan-awan yang berarak, "Siapa pun yang ingin pergi ke sana, dan
sungguh-sungguh mencoba sepanjang hidup mereka, kurasa mereka pasti akan berhasil masuk; menurutku, pintu itu tidak memiliki
kunci, ataupun penjaga. Aku selalu membayangkannya sebagaimana disajikan dalam gambar-gambar, dengan sosok-sosok bersinar menjulurkan tangan-tangan mereka untuk menyambut umat
Kristiani malang yang datang dari arah sungai."
"Tidakkah akan menyenangkan jika semua istana yang kita
khayalkan bisa menjadi nyata, dan kita bisa hidup di dalamnya?"
kata Jo, setelah mereka semua terdiam beberapa saat.
"Aku membayangkan begitu banyak, rasanya akan sulit memilih yang mana yang ingin kumasuki," ujar Laurie, berbaring di
tanah, melemparkan buah-buah cemara ke arah tupai yang tadi
membuatnya ketahuan.
"Kau harus memilih satu yang paling kau suka. Apakah itu?"
tanya Meg.
"Kalau kuberitahukan, akankah kau mengatakan apa yang paling kau suka?"
"Ya, jika yang lain juga menceritakan pilihan mereka."
"Setuju. Ayo, Laurie!"
"Setelah melihat dunia sebanyak yang kuinginkan, aku ingin
menetap di Jerman, dan memiliki sebanyak mungkin musik untuk
kupilih. Aku akan menjadi musikus terkemuka, dan semua orang
akan berkumpul untuk mendengarkan aku; aku tidak harus memikirkan uang ataupun perusahaan, selain cukup menikmati diriku
sendiri dan hidup dengan cara yang kusuka. Itulah impian pilihanku. Bagaimana denganmu, Meg?"
Margaret tampak kesulitan ketika hendak menceritakan khayalannya. Ia menggoyangkan beberapa ranting daun di dekat
wajahnya, seolah-olah ingin mengusir serangga khayalan, lalu
berkata, lambat-lambat, "Aku menginginkan rumah yang cantik,
penuh dengan benda-benda mewah; makanan enak, pakaian bagus,
perabot indah, orang-orang yang menyenangkan, dan setumpuk
uang. Aku akan menjadi nyonya rumah, dan mengatur rumah itu
sebagaimana kusuka, dengan banyak pelayan, agar aku tidak usah
bekerja sedikit pun. Aku pasti menikmatinya! Aku tidak akan sekadar melamun, melainkan berperilaku baik, dan membuat semua
orang menyukaiku."
"Bagaimana dengan tuan rumah untuk istanamu itu?" tanya
Laurie, dengan cerdik.
"Aku sudah mengatakan ?orang-orang yang menyenangkan, ya
kan," dengan hati-hati Meg mengikat tali sepatunya sambil berbicara, agar tidak ada yang melihat rona di wajahnya.
"Mengapa kau tidak berkata kau ingin memiliki suami yang
tampan, bijaksana, dan beberapa anak-anak yang manis seperti
malaikat? Kau tahu istanamu tidak akan sempurna tanpa mereka," sergah Jo, yang belum pernah memiliki khayalan-khayalan
romantis, kecuali dari apa yang ia baca di buku-buku, dan ia justru
meremehkan pikiran semacam itu.
"Pastilah istanamu akan penuh dengan kuda, tempat tinta, dan
buku-buku cerita," sergah Meg.
"Tentu saja! Aku akan memiliki sebuah istal penuh dengan
kuda-kuda Arab, ruangan-ruangan berisi buku-buku, dan aku akan
mencelupkan penaku ke dalam tempat tinta ajaib, agar karya-karyaku sama terkenalnya dengan musik Laurie. Aku ingin melakukan sesuatu yang mengesankan sebelum aku tinggal di dalam
istana itu?sesuatu yang hebat, atau luar biasa?yang tidak akan
dilupakan orang setelah aku mati. Aku tidak tahu apa, tetapi aku
pasti akan menanti kesempatan untuk itu, dan telah berniat untuk
membuat kalian semua terperangah suatu hari nanti. Mungkin,
aku akan menulis buku, menjadi kaya dan terkenal; hal itu akan
cocok untukku, jadi itulah mimpiku yang paling kusuka."
"Mimpiku adalah tinggal di rumah, aman bersama Ibu dan
Ayah, dan membantu merawat keluarga," kata Beth, sederhana.
"Apakah kau tidak menginginkan hal lain?" tanya Laurie.
"Sejak aku memiliki piano kecilku, aku merasa cukup puas.
Aku hanya berharap kita semua berada dalam keadaan sehat, dan
terus bersama-sama. Itu saja impianku."
"Aku punya banyak khayalan; yang paling kusukai adalah
menjadi pelukis, pergi ke Roma, dan menghasilkan lukisan-lukisan indah, kemudian menjadi pelukis terbaik di dunia," dan itulah
keinginan rendah hati dari Amy.
"Kita ini orang-orang penuh ambisi, ya? Semuanya, kecuali
Beth, ingin menjadi kaya dan terkenal, dan menjadi yang terbaik
dalam segala hal. Aku jadi ingin tahu, apakah ada di antara kita
yang harapannya kelak terkabul," Laurie berkomentar sambil mengunyah rumput bagaikan sapi yang penuh perenungan.
"Aku punya kunci menuju istana impianku; tetapi apakah aku
akan mengunci pintunya atau tidak, aku masih belum tahu," Jo
menambahkan dengan nada misterius.
"Aku punya kunci untuk istanaku, tetapi aku tidak diizinkan
mencobanya. Peduli amat dengan kuliah!" gumam Laurie sembari
menghela napas dengan gusar.
"Ini kunciku!" Amy menggoyang-goyangkan pensilnya.
"Aku tidak punya kunci apa pun," kata Meg, muram.
"Tentu saja kau punya," Laurie menyambar seketika.
"Di mana?"
"Di wajahmu."
"Konyol. Wajah ini tidak ada gunanya."
"Tunggu saja dan lihatlah betapa wajah itu akan membawa sesuatu yang berharga bagimu," tambah Laurie, sambil tertawa memikirkan rahasia kecil yang, ia yakin, ia ketahui.
Wajah Meg merona dari balik daun-daun cemara, tetapi ia tidak bertanya apa-apa lagi, dan memilih menatap ke seberang sungai dengan ekspresi penuh penantian, seperti yang ditampilkan
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mr. Brooke pada hari ketika ia menyampaikan cerita tentang sang
kesatria.
"Jika kita masih hidup sepuluh tahun dari sekarang, marilah
bertemu, dan melihat seberapa banyak keinginan-keinginan kita
yang telah terkabul, atau seberapa dekat kita dengan harapanharapan itu, dibandingkan hari ini," kata Jo, yang tidak pernah
kehabisan rencana.
"Wah! Aku pasti sudah tua sekali waktu itu?dua puluh tujuh
tahun!" seru Meg, yang pada saat itu pun sudah merasa dewasa,
karena telah mencapai usia tujuh belas tahun.
"Kita berdua akan berusia dua puluh enam, Teddy; Beth dua
puluh empat, dan Amy dua puluh dua; wah, sungguh kelompok
yang antik!" ucap Jo.
"Kuharap pada saat itu aku sudah melakukan sesuatu yang
membanggakan. Tapi aku sangat, sangat malas, aku khawatir, jangan-jangan aku akan terus menunda-nunda, Jo."
"Ibuku berkata, kau hanya perlu motivasi; dan begitu kau mendapatkannya, ia yakin kau akan bekerja dengan amat baik."
"Begitukah? Demi Jupiter, akan kulakukan, kalau saja aku
mendapat kesempatan itu!" seru Laurie, tiba-tiba duduk dengan
penuh semangat. "Aku pasti akan merasa senang kalau bisa membuat Kakek bangga. Selama ini aku telah berusaha sangat keras;
itu sungguh sulit bagiku dan hasilnya tidak seberapa. Ia ingin agar
aku menjadi pedagang di India, seperti dirinya, dan aku merasa
lebih baik aku mati ditembak. Aku benci teh, sutra, rempah-rempah, dan macam-macam barang sampah di dalam kapal-kapalnya,
dan saat aku menjadi pemilik kapal-kapal itu, aku tidak akan peduli walaupun semua kapal itu dengan cepat tenggelam di lautan.
Berkuliah seharusnya sudah cukup untuk menyenangkannya; empat tahun harusnya memadai baginya untuk melepaskan aku dari
bisnisnya, tetapi tekadnya sungguh bulat. Aku harus melakukan
apa yang dulu ia lakukan, kecuali aku memberontak dan memilih
menyenang-nyenangkan diriku, sebagaimana yang dulu dilakukan
ayahku. Kalau saja ada anggota keluarga lain yang dapat menemani pria tua itu, besok pagi aku pasti langsung pergi."
Laurie berbicara dengan bersemangat, dan tampaknya siap mewujudkan ancamannya dengan sedikit saja dorongan. Ia tumbuh
dewasa dengan cepat dan, meskipun berwatak santai, ia tidak suka
dipaksa-paksa. Seperti anak muda pada umumnya, jiwanya gelisah
ingin mencoba mengarungi dunia seorang diri.
"Kusarankan kau berlayar dengan salah satu kapalmu tanpa
pernah pulang sampai kau puas mencoba jalan hidupmu," kata Jo,
yang imajinasinya terpicu oleh kata-kata berani Laurie, dan terbangkitkan simpatinya oleh apa yang disebutnya "Ketertindasan
Teddy."
"Jangan begitu, Jo, kau tidak boleh berbicara begitu, dan Laurie
tidak boleh menuruti nasihatmu yang buruk. Kau harus tetap melakukan apa yang diinginkan kakekmu, anakku," kata Meg dengan
nada suaranya yang paling keibuan. "Berusahalah sebaik mungkin
dalam kuliahmu, dan saat ia melihat bahwa kau sungguh-sungguh
berusaha menyenangkannya, aku yakin ia tidak akan bersikap
terlalu keras, atau tidak adil terhadapmu. Seperti katamu sendiri,
tidak ada orang lain yang akan tinggal bersamanya dan mencintainya, dan kau tidak akan memaafkan dirimu sendiri jika pergi
tanpa restunya. Jangan marah, atau mengeluh. Teruslah kerjakan
tugasmu, dan kau akan mendapatkan hadiahmu, sebaik yang didapatkan Mr. Brooke, yaitu rasa hormat dan kasih sayang."
"Apa yang kau tahu tentang Mr. Brooke?" Laurie bertanya,
bersyukur atas nasihat yang baik itu, tetapi keberatan dengan gaya
Meg yang menggurui, dan merasa lega dapat mengalihkan pembicaraan dari dirinya sendiri, setelah tadi mengoceh panjang tidak
seperti biasa.
"Hanya dari apa yang diceritakan kakekmu kepada Ibu; bahwa
ia merawat baik-baik ibunya sampai sang ibu tutup usia, dan menolak berangkat ke luar negeri sebagai tutor untuk seseorang yang
baik hati karena ia tidak mau meninggalkan ibunya; dan bahwa ia
kini membiayai hidup wanita tua yang dulu merawat ibunya. Ia
tidak pernah menceritakan hal ini kepada siapa pun, tetapi tetap
bermurah hati, bersabar, dan bersikap sebaik yang ia mampu."
"Ya, begitulah dia, guruku tersayang!" kata Laurie sungguhsungguh, saat Meg berhenti bercerita, wajahnya merona dan tam234
pak tulus. "Khas Kakek, mencari tahu segala sesuatu tentang dia,
tanpa memberitahu yang bersangkutan, lalu menceritakan semua
kebaikannya kepada siapa pun, agar orang-orang menyukainya.
Brooke tidak pernah mengerti mengapa ibumu begitu baik kepadanya, memintanya datang ke rumah kalian bersamaku, dan
memperlakukannya dengan caranya yang ramah dan menyenangkan. Menurut Brooke, ibu kalian sungguh sempurna, dan ia akan
membicarakannya selama berhari-hari, juga membicarakan kalian
semua, dengan sangat ekspresif. Kalau harapanku terkabul, kalian
akan melihat apa yang akan kulakukan untuk Brooke."
"Kau bisa mulai sekarang juga, yaitu dengan tidak menyusahkannya," ujar Meg tajam.
"Bagaimana kau tahu aku menyusahkannya, Nona?"
"Aku mengetahuinya dari wajahnya saat ia berjalan pulang.
Jika kau bersikap baik, ia tampak puas, dan berjalan dengan lincah;
jika kau mengganggunya, ia tampak muram, dan berjalan gontai,
seolah-olah ia ingin kembali ke rumahmu dan memperbaiki pekerjaannya."
"Wah, aku suka itu! Jadi kau mencatat sikap baikku dan sikap burukku dari ekspresi wajah Brooke, ya! Aku suka melihatnya
membungkuk dan tersenyum saat ia melewati jendelamu, tetapi
aku tidak tahu kalian saling bertukar surat."
"Kami tidak bertukar surat; jangan marah dan, oh, jangan ceritakan apa pun kepadanya! Aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku peduli tentang kemajuanmu, dan semua yang diucapkan
di sini adalah rahasia, tahu," seru Meg, tiba-tiba merasa khawatir
akan apa yang dapat terjadi nanti, akibat kata-katanya yang terlalu
lepas.
"Aku bukan pengadu," balas Laurie, dengan sikap "terhormat
dan bermartabat", sebagaimana julukan Jo untuk sikap tertentu
yang sesekali diperlihatkan Laurie. "Hanya saja, kalau Brooke ada235
lah patokanmu, maka aku harus berhati-hati dan selalu menunjukkan cuaca hati yang baik agar dapat ia laporkan baik-baik."
"Kumohon jangan tersinggung; aku tidak bermaksud berkhotbah atau menguliahimu, ataupun bersikap konyol; aku hanya berpikir Jo mendorongmu ke arah perasaan yang, pada suatu saat kelak, akan kausesali. Kau begitu baik kepada kami, bagaikan seorang
saudara, dan karenanya kami mengutarakan pikiran kami apa adanya; maafkan aku, aku bermaksud baik!" dan Meg pun menyodorkan tangannya dengan sikap penuh kasih sayang, sekaligus kikuk.
Malu karena kemarahannya yang timbul sesaat, Laurie meremas tangan mungil itu, dan berkata jujur, "Akulah yang harus
dimaafkan; aku sedang kesal, dan sepanjang hari ini hatiku terasa
galau. Aku ingin kalian memberitahukan semua kesalahanku, dan
bersikap layaknya saudara-saudara perempuan; jadi jangan khawatir apabila aku kadang kala tampak gusar; aku tetap merasa berterima kasih."
Bertekad membuktikan bahwa ia tidak tersinggung, Laurie
menampilkan sikap sebaik mungkin. Ia menggulung benang katun untuk Meg, membacakan puisi untuk Jo, merontokkan buahbuah cemara untuk Beth, dan membantu Amy menggambar pakis
?pendek kata, ia membuktikan dirinya pantas menjadi anggota
"Perkumpulan Lebah Sibuk". Di tengah-tengah perbincangan seru
tentang kebiasaan kura-kura (dan salah satu kura-kura ini berjalan
dari arah sungai), suara bel yang dibunyikan Hannah dari kejauhan memberitahukan bahwa pelayan itu telah menyingkirkan
teh dan kue-kue, dan mereka hanya akan mendapat jatah makan
malam.
"Bolehkah aku datang lagi?" Laurie bertanya.
"Ya, jika kau bersikap baik, menekuni buku-bukumu, sebagaimana diperintahkan kepada murid-murid di sekolah," kata Meg
sambil tersenyum.
"Akan kucoba."
"Kalau begitu, kau boleh datang, dan akan kuajari kau merajut seperti yang dilakukan orang Skotlandia; kebutuhan akan kaus
kaki sedang meningkat," Jo menambahkan, sambil melambaikan
rajutannya, yang tampak bagaikan kain wol biru lebar, saat mereka
berpisah di dekat pintu pagar.
Senja itu, Beth bermain piano untuk Mr. Laurence di bawah
sinar matahari yang akan tenggelam. Laurie berdiri di dalam bayang-bayang tirai, mendengarkan David kecil, yang musik sederhananya selalu mampu menenangkan jiwanya yang gelisah. Ia
mengamati kakeknya yang duduk santai; kepalanya yang telah
beruban disangga satu tangan, memikirkan kenangan-kenangan
indah akan seorang anak yang telah meninggal dan dulu amat dicintainya. Teringat akan pembicaraan pada siang hari itu, Laurie
berkata kepada dirinya sendiri, dengan niat agar pengorbanannya
terasa ringan dan menyenangkan, "Akan kulepaskan impianku,
dan aku akan tinggal bersama pria tua ini selama ia masih membutuhkan aku, karena hanya akulah satu-satunya miliknya."
Jo dan Laurie
Menyimpan Rahasia
khir-akhir ini Jo amat sibuk di loteng. Udara di hari-hari bulan Oktober mulai dingin, dan sore hari menjadi lebih singkat. Selama dua atau tiga jam, cahaya matahari menghangatkan
jendela tinggi, menerangi Jo yang duduk di sofa tua, sibuk menulis, kertas-kertas berserakan di atas koper di hadapannya. Sementara itu, Scrabble, si tikus peliharaan, singgah bersama anak
sulungnya, berkeliaran di tiang-tiang di atas Jo. Ia adalah tikus
muda yang tampan, yang jelas-jelas amat bangga akan kumisnya.
Tenggelam dalam pekerjaannya, Jo terus menulis hingga halaman
terakhir penuh. Ia lalu menandatangani karyanya dengan bersemangat, kemudian melempar penanya sambil berseru,?
"Sudah, aku sudah melakukan yang terbaik! Kalau karya ini
masih belum layak, aku harus menunggu sampai merasa mampu
menghasilkan yang lebih baik."
Berbaring di sofa, dengan hati-hati Jo membaca ulang naskahnya, membuat coretan di sana-sini, dan menaruh tanda seru yang
tampak bagaikan balon di berbagai tempat. Kemudian ia menggulung kertas-kertasnya dan mengikatnya dengan pita merah, setelah itu ia duduk selama semenit, sekadar mengamati hasil kerjanya
dengan ekspresi serius dan penuh harap, yang jelas-jelas menunjukkan betapa sungguh-sungguh kerjanya selama itu. Meja yang
digunakan Jo di loteng adalah bekas lemari dapur yang terbuat
dari alumunium, yang dipakukan ke dinding. Di dalamnya, ia menyimpan kertas-kertas serta beberapa buku, aman dari jangkauan
Scrabble yang, sebagai sesama pencinta sastra, gemar berkeliling
perpustakaan yang berupa buku-buku yang tertinggal di sana-sini.
Dengan senang hati ia menikmati karya sastra dengan mengerikiti
halaman-halaman buku-buku itu. Dari laci lemari dapur itulah Jo
mengeluarkan naskah lain. Kemudian, setelah memasukkan keduanya di dalam sakunya, ia menuruni tangga perlahan-lahan, meninggalkan kedua temannya di atas untuk mengerati penanya dan
mencicipi tintanya.
Sepelan mungkin, tanpa menimbulkan suara, ia mengenakan
topi dan jaketnya lalu, setelah berjalan menuju jendela di belakang,
keluar dan hinggap di atap beranda yang rendah, melompat turun
ke rerumputan, kemudian mengambil rute memutar ke jalan raya.
Setibanya di sana, ia mengatur sikapnya, menghentikan bus yang
lewat, dan pergi menuju kota, tampak begitu ceria sekaligus misterius.
Jika ada yang mengamatinya, orang itu pasti menganggap gerak-gerik Jo tidak wajar. Setelah turun dari bus, Jo berjalan dengan
kecepatan tinggi sampai ia tiba di sebuah rumah dengan nomor
tertentu, di suatu jalan yang sibuk. Dengan sedikit kesulitan, Jo
menemukan alamat yang dicarinya, lalu ia berdiri diam selama
beberapa saat. Tiba-tiba Jo berlari lagi ke arah jalan, dan berge239
rak menjauh secepat ia datang. Manuver ini diulanginya beberapa
kali, di bawah pengamatan penuh rasa tertarik seorang pria muda
bermata hitam, dari balik jendela gedung seberang. Setelah kembali untuk yang ketiga kalinya, Jo memantapkan diri, menarik topi
menutupi matanya, dan berjalan menaiki tangga, tampak seolah ia
akan kehilangan semua giginya pada saat itu juga.
Memang ada plakat tanda tempat praktik dokter gigi, di antara
plakat-plakat yang lain, yang menempel di pintu masuk. Setelah
beberapa saat mengamati sebuah rahang buatan yang membuka
dan menutup serta menampakkan sederetan gigi indah, pria muda
itu mengenakan mantelnya, mengambil topinya, lalu turun ke bawah dan menempatkan diri di depan pintu masuk gedung di seberang jalan. Ia berkata kepada dirinya sendiri, sambil tersenyum
sementara tubuhnya agak menggigil kedinginan,?
"Khas dia, datang sendirian. Tapi, jika hasilnya buruk, ia akan
perlu seseorang untuk membantunya pulang."
Kira-kira sepuluh menit kemudian, Jo berlari menuruni tangga.
Wajahnya amat merah, dan secara umum ia memang tampak seperti seseorang yang baru saja melalui suatu kesulitan. Ketika melihat si pria muda, ia tampak kesal, dan hanya melewatinya sambil
menganggukkan kepala. Namun, pria muda itu mengikutinya, kemudian bertanya dengan nada penuh simpati,?
"Apakah tadi berlangsung buruk?"
"Tidak juga."
"Cepat juga kau selesai."
"Memang, syukurlah!"
"Mengapa kau pergi sendirian?"
"Aku tidak ingin diketahui siapa pun."
"Kau ini benar-benar aneh. Berapa gigimu yang dicabut?"
Jo menatap temannya, seakan-akan ia tidak dapat memahami
pertanyaan itu; lalu, ia mulai tertawa, seolah mendadak terhibur
oleh sesuatu.
"Ada dua yang ingin kukeluarkan, tetapi aku harus menunggu
seminggu."
"Mengapa kau tertawa? Kau pasti hendak melakukan kejahilan, Jo," kata Laurie, tampak heran.
"Kau juga. Sedang apa kau, Tuan, berada di bar dan tempat
biliar itu?"
"Maaf, Nona, itu bukan bar dan tempat biliar, melainkan gimnasium, dan aku mengambil pelajaran anggar."
"Senang aku mendengarnya!"
"Kenapa?"
"Karena kau akan bisa mengajarkannya kepadaku; lalu, jika kita
memainkan Hamlet, kau bisa berperan sebagai Laerters, dan kita
akan bisa menampilkan adegan pertarungan anggar yang seru."
Laurie meledak tertawa, memperdengarkan tawa lepas khas
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak lelaki, dan membuat beberapa pejalan kaki tersenyum tanpa
sadar.
"Akan kuajari kau, dengan atau tanpa Hamlet. Memang menyenangkan. Olahraga mengajarkan disiplin tanpa basa-basi. Tapi
aku tidak percaya cuma itu alasanmu berkata, ?senang aku,? dengan
cara yang begitu puas; bukankah begitu?"
"Oh, tidak begitu; aku senang kau tidak berada di sebuah bar,
karena aku berharap kau tidak akan pernah mengenal tempat seperti itu. Apakah kau pernah berkunjung ke bar?"
"Tidak sering."
"Ah, aku malah berharap tidak pernah."
"Tidak berbahaya, Jo, aku punya meja biliar di rumah, tetapi
tentu saja tidak mengasyikkan kalau tidak ada lawan-lawan yang
bagus. Jadi, karena aku menyukai olahraga itu, sesekali aku pergi
dan bermain bersama Ned Moffat, atau beberapa pemuda lain."
"Ya ampun. Menyesal aku mendengarnya. Karena kau hanya
akan semakin menyukainya, kemudian menghamburkan uang
dan waktu, lalu tumbuh seperti anak-anak menyebalkan itu. Aku
sungguh berharap kau tetap menjadi pemuda yang terhormat dan
menyenangkan di mata teman-temanmu," Jo berkomentar sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak bolehkah seseorang sekadar bersenang-senang sesekali,
tanpa kehilangan martabatnya?" Laurie berujar, tampak tersinggung.
"Tergantung bagaimana dan ke mana ia pergi. Aku tidak suka
Ned dan teman-temannya, dan aku berharap kau menjauh dari
mereka. Ibu tidak pernah mengizinkannya masuk ke rumah kami,
walaupun ia ingin bertamu, dan kalau kau menjadi seperti dia, Ibu
pun tidak akan membiarkanmu berkumpul bersama kami seperti
sekarang."
"Benarkah?" tanya Laurie, cemas.
"Betul. Ia tidak tahan melihat pemuda-pemuda yang hanya
suka bergaya. Bagi Ibu, lebih baik ia mengurung kami di dalam
peti daripada membiarkan kami berkawan dengan mereka."
"Hmm, ibumu tidak perlu mengeluarkan petinya; aku bukan
bagian dari kelompok suka bergaya itu, dan aku tidak ingin begitu. Tetapi, aku memang suka bergaul sesekali, sekadar bersenangsenang. Tidakkah kau meyukainya?"
"Ya, tidak ada yang berkeberatan, jadi silakan saja, tetapi jangan menjadi liar, ya? Atau persahabatan kita bisa-bisa berakhir."
"Kalau begitu aku akan menjadi orang suci, dan menjalani dua
kali penahbisan."
"Aku tidak tahan dengan orang suci; cukuplah kau menjadi teman yang apa adanya, jujur, dan terhormat, dan kami tidak akan
meninggalkanmu. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika
kau mulai bertingkah seperti anak lelaki Mr. King; ia punya banyak uang, tetapi tidak tahu cara menghabiskannya, lalu memilih
bermabuk-mabukan, berjudi, lantas melarikan diri, dan kalau tidak
salah memalsukan nama ayahnya?pendek kata, mengerikan."
"Apakah menurutmu aku bisa melakukan hal seperti itu? Ah,
aku memang pantas kaunasihati."
"Tidak begitu?oh, sungguh, tidak!?tetapi, aku mendengar
orang-orang berbicara bahwa uang bisa menjadi godaan besar, dan
adakalanya aku berharap kau orang miskin, agar aku tidak usah
mencemaskanmu."
"Apakah kau mencemaskanku, Jo?"
"Sedikit, terutama jika sesekali kau tampak gusar atau gelisah.
Kemauanmu keras. Jika sekali saja kau mendapat awal yang buruk,
aku takut kau akan sulit dihentikan."
Laurie berjalan dalam diam selama beberapa menit. Jo memperhatikannya, menyesal tidak bisa menahan lidahnya, karena dilihatnya kedua mata Laurie memancarkan sinar marah, meskipun
bibirnya masih tersenyum, seolah masih mendengarkan nasihatnya.
"Apakah kau akan menguliahiku sepanjang jalan pulang?" tanya Laurie setelah itu.
"Tentu saja tidak. Kenapa?"
"Karena, jika ya, aku akan naik bus. Tapi, jika tidak, aku akan
berjalan bersamamu, dan menceritakan sesuatu yang amat menarik."
"Aku tidak akan berkhotbah, dan aku sangat ingin mendengar
ceritamu."
"Baik; marilah. Ini rahasia, dan jika kuceritakan rahasia ini kepadamu, kau pun harus menceritakan rahasiamu."
"Aku tidak punya rahasia," Jo membuka mulut, tetapi tiba-tiba
menahan lidahnya, karena teringat bahwa ia memang menyimpan
sesuatu.
"Tentu saja kau punya; kau tidak bisa menutupi apa pun, jadi
akui saja dan berceritalah, atau aku tidak akan mengatakan apaapa," ujar Laurie.
"Apakah rahasiamu mengasyikkan?"
"Oh, sudah pasti! Rahasia ini tentang seseorang yang kaukenal,
dan sungguh seru! Kau harus mendengarnya, dan aku sudah gelisah ingin menceritakan ini sejak lama. Ayolah! Kau duluan."
"Kau tidak akan menyampaikannya kepada siapa pun di rumah, kan?"
"Tidak akan."
"Dan kau tidak akan menggodaku saat kita hanya berdua?"
"Aku tidak pernah menggodamu."
"Selalu; kau ini tidak pernah tidak mendapatkan apa yang kau
mau dari orang-orang. Aku tidak tahu bagaimana kau melakukannya, tetapi kau sangat berbakat membujuk orang."
"Terima kasih; sekarang, ceritakan!"
"Yah, aku tadi menyerahkan dua cerita kepada petugas surat
kabar, dan ia akan memberikan jawabannya pekan depan," bisik Jo
di telinga pendengarnya.
"Hore untuk Miss March, penulis Amerika terkenal!" seru
Laurie, melempar topinya lalu menangkapnya lagi, di bawah tatapan dua ekor bebek, empat ekor kucing, lima ekor ayam, dan setengah lusin bocah-bocah Irlandia. Jo dan Laurie telah keluar dari
daerah kota sekarang.
"Hus! Kurasa, kisah-kisah itu tidak akan menjadi apa-apa; tetapi aku tidak bisa tenang kalau belum mencoba, dan aku tidak mengatakan apa-apa soal ini, karena aku tidak ingin orang lain merasa
kecewa."
"Tidak akan gagal! Jo, karya-karyamu bagaikan Shakespeare
dibandingkan sampah yang setiap hari muncul di surat kabar. Tidakkah akan menyenangkan melihat tulisanmu dicetak; dan tidak
bolehkah kami merasa bangga terhadap sang penulis?"
Sepasang mata Jo berkilau. Perasaan dipercaya selalu menggembirakan, dan pujian seorang teman terasa lebih manis ketimbang selusin pujian di surat kabar.
"Nah, jadi apa rahasiamu? Kau harus adil, Teddy, atau aku tidak akan memercayaimu lagi," kata Jo, mencoba memadamkan
harapan yang menyala-nyala setelah mendengar kata-kata penyemangat tadi.
"Aku akan mendapat kesulitan karena menceritakan hal ini;
tapi aku tidak pernah berjanji untuk merahasiakannya, jadi akan
kusampaikan juga, karena pikiranku tidak pernah tenang kalau belum menceritakan kabar apa pun yang kupunya. Aku tahu di mana
pasangan sarung tangan Meg."
"Hanya itu?" kata Jo, tampak kecewa, sementara Laurie mengangguk dan mengedip, dengan wajah menampilkan ekspresi jahil
sekaligus misterius.
"Untuk saat ini, rahasia itu saja sudah cukup, dan kau akan
setuju setelah kuberitahukan di mana sarung tangan itu berada."
"Katakanlah."
Laurie menunduk dan membisikkan tiga kata di telinga Jo,
yang dengan seketika menyebabkan perubahan drastis. Jo berdiri dan menatap Laurie selama semenit, tampak terkejut sekaligus
kesal, lantas meneruskan berjalan sambil bertanya tajam, "Bagaimana kau tahu?"
"Aku melihatnya."
"Di mana?"
"Saku."
"Selama ini?"
"Ya; bukankah itu romantis?"
"Tidak; itu mengerikan."
"Kau tidak suka?"
"Tentu saja tidak; konyol sekali, dan tidak seharusnya diperbolehkan. Yang benar saja! Apa yang akan dikatakan Meg?"
"Ingat, kau tidak boleh mengatakan hal ini kepada siapa pun."
"Aku tidak berjanji apa-apa."
"Kukira kau sudah paham, dan aku memercayaimu."
"Yah, aku tidak mengatakan apa-apa untuk saat ini. Tapi aku
tidak suka mendengarnya. Aku jadi menyesal kau telah menceritakannya kepadaku."
"Kukira, kau akan senang."
"Senang karena seseorang hendak mengambil Meg dari kami?
Tidak, terima kasih."
"Kau pasti tidak akan merasa begitu saat kelak seseorang datang dan mengambilmu."
"Huh, coba saja, aku ingin tahu," sahut Jo, keras kepala.
"Aku juga!" dan Laurie pun tertawa membayangkannya.
"Sepertinya aku tidak boleh menyimpan rahasia; kepalaku rasanya kacau sejak kau menceritakan hal tadi," kata Jo, sama sekali
tidak berterima kasih.
"Ayo, kita berlomba menuruni bukit ini, nanti kau akan baikbaik saja," usul Laurie.
Tidak ada orang lain selain mereka; jalanan yang mulus terbentang menggoda di hadapan Jo dan, tidak tahan melihatnya, Jo berlari kencang?topi dan hiasan rambutnya segera melayang-layang
di belakangnya, juga jepit-jepit rambutnya. Laurie lebih dulu sampai di tujuan, dan ia merasa cukup puas dengan keberhasilan usulnya; Atlanta-nya datang dengan rambut beterbangan, mata menyala-nyala, pipi merona merah, dan tidak ada lagi tanda-tanda
kekesalan di wajahnya.
"Ah, kalau saja aku seekor kuda; aku bisa berlari bermil-mil jauhnya dalam udara segar ini, tanpa kehilangan napas. Seru sekali;
tetapi berlari tadi membuatku berantakan. Sana, ambilkan barangbarangku dan bersikaplah seperti malaikat," kata Jo, terduduk di
bawah pohon maple, daun-daunnya yang berwarna merah menutupi tepian sungai.
Dengan santai, Laurie pergi mengambil barang-barang Jo yang
terjatuh. Jo merapikan kepang rambutnya, berharap tidak ada
yang akan melihatnya sampai penampilannya sudah kembali pantas. Namun, ternyata, ada seseorang yang melintas, dan siapa lagi
orang itu kalau bukan Meg, tampak sangat feminin mengenakan
baju rapi karena ia baru pulang dari bertamu.
"Sedang apa kau di sini?" tanyanya kepada adiknya yang tampak berantakan, memperlihatkan ekspresi terkejut yang terlatih
dengan baik.
"Memunguti daun," jawab Jo pelan sambil mengambil segenggam daun merah yang baru saja ia singkirkan.
"Dan jepit rambut," tambah Laurie, melemparkan kira-kira
setengah lusin jepit rambut ke pangkuan Jo. "Jepit-jepit rambut
tumbuh di jalan ini, Meg, begitu pula sisir dan topi jerami berwarna cokelat."
"Jo, kau habis berlari?! Bagaimana bisa? Kapan kau akan meninggalkan tingkah lakumu yang liar?" Meg melontarkan kritiknya sambil membetulkan ujung lengan bajunya dan merapikan
rambutnya, yang tadi sempat dipermainkan angin.
"Tidak akan, sampai tubuhku kaku dan tua, dan aku harus
menggunakan tongkat untuk berjalan. Jangan paksa aku untuk
menjadi dewasa sebelum waktunya, Meg; sudah cukup sulit bagiku harus melihatmu berubah dengan tiba-tiba. Biarkanlah aku
menjadi gadis kecil selama yang aku bisa."
Sambil berbicara, Jo, menunduk ke arah dedaunan di genggamannya, untuk menyembunyikan getaran bibirnya; akhir-akhir ini,
ia memang merasakan Meg telah berubah terlalu cepat menjadi
seorang wanita dewasa, dan rahasia Laurie membuatnya ketakutan
akan dekatnya perpisahan yang sudah pasti akan datang pada suatu waktu. Melihat kegelisahan pada wajah Jo, Laurie mengalihkan
perhatian Meg dengan bertanya, "Hendak ke manakah engkau,
tampak begitu rapi begini?"
"Aku dari rumah keluarga Gardiner. Sallie selalu menceritakan
segalanya tentang pernikahan Belle Moffat. Katanya, acara tersebut berlangsung luar biasa, dan mereka pergi menghabiskan musim dingin di Paris. Bayangkan... betapa indahnya!"
"Apakah kau merasa iri kepadanya, Meg?" tanya Laurie.
"Harus kuakui, iya."
"Senang mendengarnya!" gumam Jo, mengikatkan topinya dengan sekali sentakan.
"Kenapa?" tanya Meg, tampak terkejut.
"Karena, jika kau begitu peduli terhadap kekayaan, maka kau
tidak akan pernah pergi untuk menikah dengan seorang pria miskin," sahut Jo, sambil mengerutkan dahi ke arah Laurie, yang tanpa suara berusaha memperingatkan Jo untuk berhati-hati dengan
kata-katanya.
"Aku tidak akan pernah ?pergi untuk menikah dengan seseorang?," sahut Meg, lalu melanjutkan berjalan dengan kepala tegak,
sementara Jo dan Laurie mengikutinya sambil tertawa, saling
berbisik, melompati batu-batu, dan "bertingkah laku kekanakan,"
seperti yang dikatakan Meg kepada dirinya sendiri, meskipun ia
mungkin akan tergoda untuk bergabung dengan keduanya kalau
saja ia tidak sedang mengenakan gaunnya yang terbaik.
Selama satu atau dua minggu kemudian, Jo berlaku sangat aneh
sehingga membuat saudara-saudaranya kebingungan. Setiap kali
tukang pos membunyikan bel, ia akan tergesa-gesa membukakan
pintu; ia bersikap kasar kepada Mr. Brooke kapan pun mereka
bertemu; ia sering duduk menatap Meg dengan ekspresi pilu, kemudian sesekali mendatanginya untuk berjabat tangan dan mencium pipinya dengan cara yang amat mengherankan. Jo dan Laurie
juga kerap bertukar kode, dan berbicara tentang "Melepas ElangElang", sampai gadis-gadis lain yakin keduanya telah kehilangan
kewarasan. Pada suatu Sabtu, Jo keluar rumah melalui jendela.
Meg, yang sedang duduk menjahit di depan jendela, melihat sendiri pemandangan Laurie mengejar-ngejar Jo berkeliling kebun, dan
akhirnya menangkapnya di bawah pergola Amy. Meg tidak bisa
melihat apa yang berlangsung di sana, tetapi ia dapat mendengar
gelak tawa, diikuti gumaman suara-suara, dan bunyi surat kabar
dibuka-tutup.
"Apa yang bisa kita lakukan terhadap anak itu? Ia tidak akan
pernah berlaku selayaknya seorang gadis muda," Meg mengeluh
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sembari menonton kedua anak yang berlari-larian itu dengan ekspresi tidak setuju.
"Aku malah berharap ia tetap begitu; Jo sangat lucu, manis, dan
apa adanya," kata Beth, yang tidak pernah mengungkapkan perasaan bahwa ia sedikit terluka melihat Jo memiliki rahasia dengan
orang lain selain dirinya.
"Memang berat melihatnya, tetapi kita tidak akan pernah bisa
membuatnya comme la fo," tambah Amy, yang sedang menata gaya
rambut baru untuk dirinya sendiri. Rambut ikalnya diikat dengan
gaya yang amat menawan?dua hal yang disukai Amy, sehingga
membuatnya merasa lebih elegan dan dewasa.
Beberapa menit kemudian, Jo masuk, membaringkan dirinya
di sofa, dan melanjutkan membaca.
"Ada yang menarik?" Meg bertanya dengan nada merendahkan.
"Tidak ada, hanya ada sebuah cerita; kurasa tidak begitu seru,"
kata Jo, dengan hati-hati menyembunyikan nama surat kabar itu.
"Bagaimana kalau kau membacakannya keras-keras? Kami
akan terhibur, dan kau akan terhindar dari berbuat kenakalan,"
ujar Amy dengan nada bicara paling dewasa yang bisa dihasilkannya.
"Apa judulnya?" kata Beth, bertanya-tanya mengapa Jo menyembunyikan wajahnya di balik lembaran tersebut.
"Para Pelukis yang Bersaing."
"Kedengarannya bagus; bacalah," pinta Meg.
Setelah berdeham keras dan menarik napas panjang, Jo mulai
membaca dengan amat cepat. Gadis-gadis March yang lain mendengarkan dengan sepenuh hati, karena kisah yang dibacakan sangatlah romantis, dan sedikit sedih, karena sebagian besar tokoh
cerita mati di akhir kisah.
"Aku suka bagian tentang lukisan yang indah," Amy berkomentar dengan nada senang, saat Jo berhenti membaca.
"Aku lebih suka bagian percintaan. Viola dan Angelo adalah
dua nama favorit kita; tidakkah itu aneh?" kata Meg, sambil mengusap matanya, karena "bagian percintaan" disampaikan secara tragis dalam kisah tadi.
"Siapa yang menulisnya?" tanya Beth, yang sempat melihat
ekspresi wajah Jo.
Sang pembaca tiba-tiba duduk, melemparkan surat kabar tersebut. Wajahnya merona. Kemudian, dengan gaya lucu bercampur
serius serta senang, ia menjawab dengan suara lantang, "Saudaramu ini!"
"Kau?!" seru Meg, menjatuhkan pekerjaannya.
"Bagus sekali," kata Amy menanggapi.
"Sudah kuduga! Sudah kuduga! Oh, Jo, kakakku, aku sangat
bangga!" dan Beth pun berlari untuk memeluk kakaknya, merayakan keberhasilan gemilang itu.
Dan betapa mereka semua sangat gembira. Meg menolak percaya sampai ia melihat sendiri nama "Miss Josephine March", tertera di halaman surat kabar itu. Amy mengeluarkan puja-puji tentang bagian-bagian artistik dalam kisah tersebut, dan memberikan
usulan untuk sebuah kisah lanjutan, yang sayangnya tidak bisa
dilakukan karena tokoh-tokoh utamanya telah mati. Beth begitu
bahagia, ia melompat-lompat dan bernyanyi riang. Hannah datang
dan berseru, "Ramai sekali, belum pernah begini!" dan sangat terkesima oleh "kerja Jo". Mrs. March sendiri amatlah bangga saat
ia mendengar kabar itu. Jo tertawa, air mata mengalir di pipinya,
dan berkata ia bisa berubah menjadi seekor merak seketika itu juga,
dan berpuas diri untuk selamanya. Jo juga berujar betapa "Elang
yang Lepas" mungkin sedang mengepakkan sayapnya penuh kemenangan di atas atap rumah keluarga March, saat surat kabar itu
berkeliling dari satu tangan ke tangan yang lain.
"Ceritakanlah." "Kapan terbitnya?" "Berapa bayaran yang
kaudapat?" "Apa yang akan dikatakan Ayah?" "Laurie pasti tertawa," seru semua orang serempak, sementara mereka berdiri mengelilingi Jo. Orang-orang sederhana yang penyayang itu memang
selalu menjadikan keberhasilan sekecil apa pun sebagai perayaan
meriah.
"Berhentilah mengoceh, kalian semua, dan akan kuceritakan
segalanya," kata Jo, sambil bertanya-tanya apakah Miss Burney
akan merasa lebih gembira lagi dengan tulisan Jo yang berjudul
Evelina ketimbang Para Pelukis yang Bersaing. Setelah menyampaikan kisahnya, Jo menambahkan,?"Dan ketika aku datang untuk
meminta jawaban, orang di sana berkata ia menyukai kedua ceritaku, tetapi mereka tidak dapat membayar penulis pemula. Mereka
hanya akan menerbitkannya di surat kabar, dan menyebarluaskan
namaku. Katanya, ini latihan yang bagus; dan, seiring dengan
bertambahnya pengalaman, siapa pun akan mau membayar. Jadi,
aku lantas menyerahkan dua ceritaku, dan hari ini aku mendapat
kiriman surat kabar. Laurie melihatku memegangnya, kemudian
memaksa ikut melihat, jadi aku mengizinkannya. Menurutnya,
ceritaku bagus, dan aku harus menulis lebih banyak. Ia akan berusaha agar karyaku berikutnya mendapat bayaran dan oh?aku begitu bahagia, karena kelak aku akan dapat menopang hidupku, juga
membantu saudara-saudaraku."
Napas Jo habis sampai di situ; dan, mendekatkan surat kabar
itu ke kepalanya, ia membasahi halamannya dengan beberapa tetes
air mata spontan. Kemandirian, dan pujian dari orang-orang yang
ia cintai, adalah harapan terbesar di dalam hati Jo, dan hari ini terasa bagaikan langkah pertama menuju akhir yang bahagia.
Telegram
"N
ovember adalah bulan yang paling tidak enak sepanjang
tahun," ucap Margaret, berdiri di dekat jendela pada suatu sore yang terasa hambar, sambil menatap ke arah kebun yang
tertutup es.
"Justru karena itulah aku terlahir pada bulan ini," Jo menyahut
dengan serius, tidak menyadari ada noda tinta di hidungnya.
"Apabila sesuatu yang menyenangkan terjadi pada bulan ini,
maka November layak dianggap menyenangkan," kata Beth, yang
pandangannya terhadap apa pun selalu positif, termasuk terhadap
bulan November.
"Mungkin saja. Tetapi, tidak ada hal baik pernah menghampiri
keluarga ini," balas Meg, yang sedang gusar. "Kita bersusah payah hari demi hari, tanpa perubahan, dan hanya sedikit bersenangsenang. Terus berputar seperti itu, tidak ada bedanya."
"Ya, ampun, betapa muramnya kita ini!" seru Jo. "Memang tidak heran, sayangku yang malang, karena kau melihat gadis-gadis
lain bersenang-senang, sementara kau harus bekerja dan bekerja,
sepanjang tahun. Oh, betapa aku berharap dapat memperbaiki nasibmu, sebagaimana yang kulakukan untuk tokoh-tokoh perempuanku! Kau cukup cantik dan pantas, jadi akan kukarang agar ada
seorang kerabat kaya meninggalkan harta kekayaannya untukmu,
tanpa diduga-duga. Setelah itu, kau akan menjadi seorang ahli waris yang mendadak jadi kaya, bisa memarahi siapa pun yang membuatmu tersinggung, berpelesir ke luar negeri, pulang kembali dan
menjadi nyonya dari seorang pria, dan bermandikan kemewahan
serta keanggunan."
"Tidak ada lagi harta kekayaan yang ditinggalkan dengan cara
seperti itu sekarang ini. Para pria harus bekerja, dan para wanita
menikah demi uang. Dunia ini sungguh tidak adil," ujar Meg dengan pahit.
"Jo dan aku akan mendulang kekayaan untuk kalian semua.
Tunggulah sepuluh tahun lagi dan lihat saja nanti," kata Amy,
yang duduk di sudut membuat "pai lumpur", demikian julukan
Hannah untuk burung-burung, buah-buahan, dan macam-macam
wajah yang dibuatnya dari tanah liat.
"Tidak sabar rasanya, dan maaf, tapi aku tidak punya cukup
banyak keyakinan terhadap tinta dan tanah liat, meskipun aku sangat berterima kasih atas niat baik kalian."
Meg menghela napas, lantas memalingkan lagi wajahnya ke
arah kebun yang membeku oleh cuaca dingin. Jo mengerang, dan
menelekan kedua sikunya di atas meja, dengan sikap putus asa.
Namun, Amy justru bertepuk-tepuk penuh semangat; dan Beth,
yang duduk di tepi jendela lain, berkata dengan tersenyum, "Dua
hal menyenangkan akan terjadi sebentar lagi; Marmee akan muncul dari jalan itu, dan Laurie sedang berjalan melintasi kebun, seolah-olah ia punya kabar baik untuk disampaikan."
Kedua orang tersebut tiba. Mrs. March masuk dan mengucapkan pertanyaannya yang biasa, "Ada surat dari ayah kalian,
Anak-Anak?" dan Laurie berkata, dengan gayanya yang memikat, "Adakah dari kalian yang ingin ikut berkeliling? Sedari tadi
aku mengerjakan soal-soal matematika sampai kepalaku terasa
berputar, dan aku ingin menyegarkan diri dengan berjalan-jalan
sebentar. Hari ini memang terasa hambar, tetapi udaranya tidak
Roro Centil 13 Dendam Si Manusia Palasik Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama