Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott Bagian 5
begitu buruk, dan aku ingin mengantar Brooke pulang, jadi akan
menyenangkan bepergian di dalam kereta. Ayo, Jo, kau dan Beth
mau ikut, kan?"
"Tentu saja."
"Aku ingin sekali, tetapi aku sibuk," kata Meg sambil mengeluarkan jahitannya dari dalam keranjang. Ia setuju dengan ibunya
bahwa, setidaknya bagi dirinya, yang terbaik adalah untuk tidak
terlalu sering ikut berkeliling dengan pemuda itu.
"Adakah yang bisa kulakukan untukmu, Madam March?" tanya Laurie, membungkuk ke arah kursi Mrs. March dengan tatapan dan nada sayang yang selalu diperlihatkan Laurie kepadanya.
"Tidak, terima kasih, Nak. Hanya tolong mampirlah sebentar
di kantor pos, kalau bisa. Hari ini adalah hari kami menerima surat, tetapi pengantar pos belum tiba. Ayah seteratur matahari, tetapi mungkin ada sedikit hambatan saat pengantaran."
Dering tajam memotong kata-kata Mrs. March, dan satu menit
setelahnya Hannah datang membawa sepucuk surat.
"Salah satu telegram mengejutkan, Bu," katanya, memegang
benda itu seolah-olah akan meledak dan menimbulkan kerusakan.
Begitu mendengar "telegram", Mrs. March langsung merebut
kertas itu, membaca dua baris di dalamnya, kemudian terenyak
di kursinya dengan wajah pucat pasi, seakan kertas kecil tersebut
telah menembakkan peluru ke dadanya. Laurie berlari menuruni
tangga untuk mengambil air minum, sementara Meg dan Hannah
memeganginya, dan Jo membaca keras, dengan suara bergetar,?
"Mrs. March:
Suamimu sakit keras. Datanglah segera.
S. Hale,
Rumah Sakit Blank, Washington."
Betapa senyap ruangan itu saat semua orang mendengarkan
dengan napas tertahan! Betapa anehnya, bahkan langit di luar pun
menggelap! Dan betapa tiba-tibanya seisi dunia terasa berbalik,
ketika gadis-gadis itu mengerumuni ibu mereka, dengan perasaan seakan sumber kebahagiaan dan penopang kehidupan mereka
akan direnggut. Mrs. March segera menenangkan diri; ia membaca ulang pesan itu, merentangkan kedua lengan untuk merangkul
putri-putrinya dan berkata, dengan nada yang tidak akan pernah
mereka lupakan, "Aku akan segera berangkat, walaupun mungkin
sudah terlambat; oh, Anak-Anak, Anak-Anak! Bantu aku menanggung hal ini!"
Selama beberapa menit, tidak ada suara lain di ruangan itu kecuali isak tangis bercampur kata-kata menenangkan yang diucapkan terbata-bata, usaha meyakinkan akan adanya bantuan, serta
bisikan-bisikan penuh harap, yang menghilang lagi ditelan air
mata. Hannah yang malang adalah yang pertama pulih, dan dengan kebijaksanaan yang tidak disadarinya sendiri, ia memberikan
contoh baik kepada yang lain. Bagi Hannah, bekerja adalah penawar untuk sebagian besar kesulitan.
"Tuhan akan menjaga pria baik itu! Aku tidak akan menghabiskan waktu untuk menangis. Lebih baik kusiapkan barang-barangmu, Bu," katanya sungguh-sungguh, sambil mengusap wajah dengan kain celemeknya, memberi majikannya jabat tangan hangat
dengan tangannya yang kasar, kemudian berlalu untuk melanjutkan kerjanya, dan tampak benar-benar sangat sibuk, bagaikan ada
tiga perempuan dalam satu tubuhnya.
"Ia benar; tidak ada waktu untuk menangis sekarang. Tenanglah, Anak-Anak, dan biarkan aku berpikir."
Anak-anak malang itu mencoba untuk tenang sementara ibu
mereka duduk tegak, tampak pucat, namun tenang, dan menyingkirkan dukanya untuk berpikir serta membuat rencana.
"Di mana Laurie?" tanyanya, setelah selesai menata pikirannya, dan telah memutuskan hal pertama yang harus dilakukan.
"Saya di sini; oh, izinkan saya membantu!" seru anak itu, bergegas masuk dari ruang sebelah, tempatnya menunggu sebelumnya.
Ia merasa tidak berhak menyaksikan kesedihan keluarga March.
"Kirimkan sebuah telegram jawaban, mengatakan aku akan datang segera. Kereta berikutnya akan berangkat esok pagi-pagi; aku
akan naik kereta itu."
"Ada lagi? Kuda-kuda sudah siap; aku bisa pergi ke mana pun
juga,?melakukan apa pun juga," katanya, tampak siap untuk terbang, bahkan ke ujung dunia.
"Antarkan suratku untuk Bibi March. Jo, pena dan kertas."
Dengan merobek lembar kosong dari halaman-halaman yang
baru ditulisinya, Jo menarik meja ke hadapan ibunya. Ia tahu, uang
untuk perjalanan panjang dan sedih itu harus dipinjam, dan ia merasa ia mampu melakukan apa pun juga untuk sedikit memenuhi
kebutuhan ayahnya.
"Sekarang, pergilah, Nak; tapi jangan sampai melukai dirimu
karena memacu kudamu terlalu cepat; tidak perlu seperti itu."
Peringatan Mrs. March jelas tidak diindahkan; lima menit setelahnya, Laurie melintas dari balik jendela, di atas kudanya, dan
menunggangnya seolah-olah nyawanya bergantung pada kecepatan lari kuda itu.
"Jo, pergilah ke balai pertemuan, dan katakan kepada Mrs.
King aku tidak bisa datang. Dalam perjalanan, beli benda-benda
ini. Akan kutuliskan. Aku akan memerlukannya, dan aku harus
bersiap-siap untuk melakukan perawatan. Persediaan di rumah
sakit tidak selalu baik. Beth, pergi dan mintakan beberapa botol
anggur tua kepada Mr. Laurence; aku tidak malu harus meminta
untuk ayah kalian, karena ia harus mendapatkan yang terbaik dari
segalanya. Amy, katakan kepada Hannah untuk menurunkan koper hitam; dan Meg, bantu aku mencari barang-barangku, karena
aku merasa agak bingung saat ini."
Menulis, berpikir, dan memberikan perintah secara sekaligus
sepertinya memang membingungkan perempuan malang itu. Meg
memohon agar ibunya bersedia duduk diam sebentar di kamarnya,
dan membiarkan mereka bekerja. Semua orang bergerak ke sana
kemari, bagaikan daun-daun kering yang tertiup angin; ketenteraman dan kedamaian di rumah itu hilang seketika, seolah-olah
kertas tadi mengandung mantra jahat.
Mr. Laurence datang terburu-buru bersama Beth, membawa
segala macam bantuan yang bisa dipikirkan pria tua itu untuk Mr.
March serta janji-janji menenangkan untuk melindungi anak-anak
March selama ibu mereka pergi?sesuatu yang membuat Mrs.
March amat lega. Tidak ada yang tidak ditawarkan Mr. Laurence,
mulai dari pakaian tidurnya hingga dirinya sendiri sebagai pengawal dalam perjalanan. Namun, tawarannya yang terakhir mustahil
untuk diterima. Mrs. March menolak dengan tegas, perjalanan itu
terlalu panjang dan melelahkan untuk orang setua dia; namun ekspresi kelegaan tampak di wajahnya ketika Mr. Laurence memberikan tawaran itu, karena kegelisahan bukanlah teman yang baik dalam perjalanan. Mr. Laurence melihat ekspresi itu. Ia menautkan
alisnya, menggosok-gosokkan tangannya, dan tiba-tiba berbalik
pergi, sambil mengatakan ia akan segera kembali. Tidak ada yang
sempat memikirkannya lagi sampai, saat Meg terburu-buru memasuki ruangan dengan sepasang sepatu karet di satu tangan dan
secangkir teh di tangan lain, dan ia berpapasan dengan Mr. Brooke.
"Aku turut sedih mendengar kabar ini, Miss March," ujarnya.
Nada suaranya yang pelan dan lembut terdengar damai bagi jiwa
Meg yang sedang terguncang. "Aku datang untuk menawarkan
diriku mengawal ibumu. Mr. Laurence memberiku tugas untuk
kulakukan di Washington, dan aku akan sangat senang kalau bisa
membantu ibumu di sana."
Sepasang sepatu karet jatuh ke lantai, dan cangkir teh itu pun
nyaris mengikuti, ketika Meg mengulurkan tangannya, dengan
wajah penuh rasa syukur, sampai Mr. Brooke merasa ekspresi itu
layak diberikan untuk pengorbanan yang jauh lebih besar, ketimbang apa yang akan ia lakukan saat itu.
"Betapa baiknya kalian semua! Aku yakin, Ibu akan setuju; dan
sungguh melegakan mengetahui bahwa ada seseorang yang akan
menjaganya. Terima kasih, terima kasih banyak!"
Meg berbicara dengan sangat tulus, dan hampir lupa akan
dirinya sampai sesuatu di dalam tatapan sepasang mata cokelat
itu yang membuatnya teringat akan teh yang mendingin. Ia pun
mempersilakan Mr. Brooke masuk ke ruang duduk, dan berkata
akan memanggil ibunya.
Ketika Laurie tiba membawa surat dari Bibi March, segalanya
telah selesai diatur. Bersama surat tersebut dilampirkan uang sejumlah yang diminta, serta beberapa baris yang mengulang katakata yang sering diucapkan Bibi March, bahwa ia selalu tidak
setuju akan keputusan March bergabung di ketentaraan, selalu
meramalkan hal itu akan sia-sia, dan berharap lain kali nasihatnya
akan didengarkan. Mrs. March membakar surat tersebut, memasukkan uang ke dalam dompetnya, dan melanjutkan persiapan.
Bibirnya dikatupkan rapat-rapat, sesuatu yang pasti dipahami oleh
Jo jika ia ada di sana.
Sore yang singkat itu pun berlalu; semua barang telah dibeli,
dan Meg serta ibunya sibuk menyelesaikan beberapa jahitan pen259
ting, sementara Beth dan Amy membuat teh, dan Hannah menyelesaikan menyetrika baju dengan tergesa-gesa. Akan tetapi, Jo belum juga muncul. Mereka semua mulai gelisah; Laurie pergi untuk
mencarinya, karena tidak ada yang bisa menduga gagasan aneh apa
yang masuk ke kepala Jo. Akan tetapi, mereka tidak berpapasan,
dan Jo pun tiba dengan ekspresi misterius, campuran antara senang dan takut, puas serta penyesalan, yang membuat keluarganya
bingung saat melihat wajahnya?sebingung saat mereka melihat
gulungan uang yang diletakkan Jo di hadapan ibunya. Dengan terbata-bata, Jo berkata, "Itu sumbangan dariku agar Ayah bisa tetap
nyaman, dan supaya ia bisa pulang!"
"Sayangku, dari mana kau mendapatkannya? Dua puluh lima
dolar! Jo, kuharap kau tidak melakukan apa pun yang sembrono?"
"Tidak, sungguh, uang itu milikku. Aku tidak meminta, meminjam, atau mencurinya. Aku memperolehnya; dan kurasa kalian tidak akan menyalahkan aku, karena aku hanya menjual benda
milikku."
Sambil berbicara, Jo melepas topinya, dan serentak semua
orang menjerit menyaksikan rambut lebat Jo kini hilang.
"Rambutmu! Rambutmu yang indah!" "Oh, Jo, bagaimana
bisa? Rambut cantikmu," "Anakku sayang, ini sama sekali tidak
perlu." "Ia tidak seperti Jo yang biasa kukenal, tetapi aku sangat
menyayanginya untuk itu!"
Di tengah keributan semua orang, dan Beth yang merengkuh
lembut kepala kakaknya, Jo menampilkan sikap tak acuh, yang
tidak dapat menipu siapa pun. Katanya, sambil mengacak-acak
rambut cokelat pendek di kepalanya, dan berusaha mencoba tampak menyukai potongan barunya, "Rambutku tidak memengaruhi
nasib negara ini, jadi tidak perlu menangisinya, Beth. Pengorbanan ini bagus bagi diriku karena aku sudah menjadi terlalu bangga
akan rambutku. Pikiranku akan lebih jernih tanpa gumpalan tebal
di atasnya. Kepalaku terasa sangat ringan dan dingin, dan tukang
cukur tadi berkata tidak lama lagi rambut pendek ikal akan tumbuh, membuatku tampak seperti anak lelaki, menarik, serta mudah
diatur. Aku puas; jadi, kumohon, ambillah uang itu, dan mari kita
menikmati makan malam."
"Ceritakanlah segalanya, Jo; aku belum puas, tetapi aku memang tidak bisa memarahimu, karena aku tahu betapa engkau
dengan sukarela mengorbankan kebanggaanmu, sebagaimana katamu tadi, demi cintamu. Namun, sayangku, ini sungguh tidak
perlu, dan aku khawatir kau akan menyesalinya dalam beberapa
hari ini," kata Mrs. March.
"Tidak akan!" balas Jo tegas, merasa sangat lega bahwa perbuatannya tidak menuai kekesalan.
"Apa yang membuatmu melakukannya?" tanya Amy, yang
merasa lebih baik memotong kepala cantiknya daripada mencukur
habis rambutnya.
"Yah, aku begitu ingin melakukan sesuatu untuk Ayah," Jo
menjelaskan, sembari mereka duduk di sekeliling meja. Orangorang muda memang tetap mampu makan, bahkan di tengah kesulitan. "Aku tidak ingin meminjam uang banyak seperti Ibu, dan
aku tahu Bibi March pasti akan mengoceh. Ia selalu begitu kalau
ada yang meminta uang, bahkan meminjam beberapa sen pun akan
membuatnya mengomel. Meg telah menyerahkan upah tiga bulanannya untuk membayar pondokan Ibu di sana, dan aku hanya
punya beberapa potong baju. Lalu, tiba-tiba pikiran nakal menyergapku, dan aku bertekad untuk memiliki sejumlah uang, meskipun
harus menjual hidungku untuk itu."
"Kau tidak perlu merasa nakal, anakku, kau tidak punya perlengkapan musim dingin, hanya membeli benda-benda paling sederhana, dengan hasil kerja kerasmu sendiri," ujar Mrs. March,
dengan tatapan yang membuat hati Jo hangat.
"Tadinya, aku sama sekali tidak terpikir akan menjual rambutku. Aku hanya terus memikirkan apa yang bisa kulakukan, dan
rasanya aku bisa saja masuk ke sebuah toko mewah dan mengambili apa saja yang kuperlukan. Di jendela salon, aku melihat
buntut-buntut rambut dengan tanda harga tersemat; ada satu yang
berwarna hitam, panjang, tetapi tidak setebal rambutku, dihargai
empat puluh dolar. Gagasan itu muncul begitu saja, bahwa aku punya satu hal yang bisa kujadikan uang dan, tanpa berhenti untuk
berpikir, aku berjalan masuk, kemudian bertanya apakah mereka
membeli rambut, serta berapa yang akan mereka bayarkan untuk
rambutku."
"Aku tidak bisa membayangkan kau berani melakukannya,"
komentar Beth dengan nada terkagum-kagum.
"Oh, si tukang cukur adalah pria kecil yang sepertinya tujuan
hidupnya adalah meminyaki rambutnya. Awalnya, ia hanya menatapku, seolah-olah ia belum pernah melihat seorang gadis masuk ke tokonya dan menawarkan rambutnya. Ia berkata rambutku
tidak berguna, bahwa warnanya tidak sesuai mode, dan ia tidak
pernah membayar mahal untuk rambut apa pun juga; pekerjaan
mengolah rambutlah yang membuatnya mahal, dan seterusnya.
Hari sudah semakin sore, dan aku takut, jika tidak segera dilakukan, maka aku tidak akan pernah melakukannya. Dan kalian tahu,
bukan, bahwa sekali aku memulai sesuatu, aku melakukannya
sampai tuntas. Jadi, aku memohon kepadanya untuk mengambil
rambutku, kemudian menceritakan mengapa aku begitu terburuburu. Memang konyol, kuakui itu, tetapi ceritaku mengubah pikirannya. Aku menjadi bersemangat, dan menyampaikan ceritaku
dengan berantakan, dan istrinya turut mendengarkan, kemudian
berkata dengan baik hati,"?
"?Ambillah, Thomas, turuti gadis muda ini; aku sendiri akan
melakukan hal yang sama untuk Jimmy, kapan pun juga, kalau
saja aku punya segumpal rambut yang berharga untuk dijual.'
"Siapa Jimmy?" sela Amy, yang selalu meminta penjelasan di
tengah-tengah cerita.
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Anaknya, katanya, yang juga sedang menjadi tentara. Bukankah hal-hal seperti itu membuat orang asing menjadi ramah? Ia terus saja berbicara sementara suaminya memotong rambutku, dan
dengan begitu mengalihkan perhatianku."
"Tidakkah kau merasa gelisah waktu guntingnya mulai memotong rambutmu?" tanya Meg dengan suara bergetar.
"Aku menatap rambutku untuk terakhir kalinya ketika pria itu
menyiapkan peralatannya, dan itulah momen terakhirku. Aku tidak pernah menangisi hal kecil seperti itu; walau, harus kuakui,
aneh rasanya ketika aku melihat rambutku tersayang diletakkan
di atas meja, dan hanya bisa merasakan ujung-ujung rambut yang
kasar di kepalaku. Rasanya hampir seperti kehilangan kaki atau lengan. Istrinya melihatku menatap rambut itu, dan ia memilihkan
seikat rambut yang panjang untuk kenang-kenangan. Akan kuberikan kepadamu, Marmee, sebagai pengingat akan rupaku yang
dulu; rambut pendek ini terasa begitu nyaman, kurasa aku tidak
akan memelihara surai lagi."
Mrs. March melipat seikat rambut ikal berwarna cokelat kayu,
kemudian membaringkannya di samping seikat rambut pendek
berwarna abu-abu di mejanya. Ia hanya berkata, "Terima kasih, Sayang," namun ekspresi wajahnya membuat anak-anaknya
mengubah topik pembicaraan. Mereka berbicara riang mengenai
kebaikan hati Mr. Brooke, memikirkan hari yang cerah keesokannya, dan masa-masa bahagia yang akan dilalui saat kelak ayah
mereka pulang untuk memulihkan kesehatannya.
Tidak ada yang ingin pergi tidur. Pada pukul sepuluh malam,
Mrs. March akhirnya meletakkan pekerjaannya yang telah usai
dan berkata, "Ayo, Anak-Anak." Beth langsung duduk di depan
piano dan mulai memainkan himne kesukaan ayah mereka; semua orang bernyanyi dengan berani, namun satu per satu terdiam,
hingga tinggal Beth bernyanyi sendirian, bernyanyi dari hatinya,
karena musik selalu merupakan penghibur bagi Beth.
"Pergilah tidur, jangan berbicara lagi, karena kita harus bangun
pagi-pagi sekali besok, dan akan memerlukan istirahat yang cukup.
Selamat malam, anak-anakku," kata Mrs. March, setelah himne
itu berakhir dan tidak ada yang hendak menyanyikan lagu lain.
Satu per satu anak-anak March mencium ibu mereka dengan
lembut, lalu pergi tidur dalam diam, seolah-olah ayah mereka yang
sakit terbaring di ruang sebelah. Beth dan Amy segera tertidur
meskipun kesulitan besar mengadang, namun Meg berbaring dengan mata terbuka, memikirkan hal-hal serius yang belum pernah
ia ketahui dalam hidupnya yang muda. Jo berbaring tidak bergerak. Meg mengira ia telah tertidur, saat isakan lirih membuatnya
berseru tertahan, dan tangannya menyentuh pipi yang basah,?
"Jo, Sayang, ada apa? Apakah kau menangisi Ayah?"
"Tidak, tidak kali ini."
"Lalu apa?"
"Ram...rambutku," tangis Jo meledak, dan ia mencoba dengan
sia-sia untuk meredakan emosinya di atas bantal.
Tangisnya sama sekali tidak terdengar lucu di telinga Meg,
yang mencium dan mengelus lembut pahlawan yang terluka itu.
"Aku tidak menyesal," Jo memprotes sambil terisak. "Akan
kulakukan lagi besok, jika bisa. Hanya saja, diriku yang bangga
hati dan egois menangis dengan konyol begini. Jangan katakan kepada siapa pun?sudah berlalu sekarang. Kupikir kau sudah tidur,
jadi aku ingin mengeluarkan keluhan pribadi atas mahkotaku yang
hilang. Mengapa kau masih bangun?"
"Aku tidak bisa tidur, aku merasa sangat gelisah," Meg mengaku.
"Pikirkanlah sesuatu yang menyenangkan, dan kau pun akan
segera tertidur."
"Aku sudah mencoba, tetapi justru merasa semakin sulit tidur."
"Apa yang kaupikirkan?"
"Wajah-wajah tampan; khususnya mata," jawab Meg sambil
tersenyum kepada dirinya sendiri di dalam gelap.
"Warna apa yang paling kausukai?"
"Cokelat?biasanya?tetapi biru pun indah."
Jo tertawa, dan Meg dengan tajam langsung menyuruhnya
diam. Setelah itu, dengan senang hati Meg berkata akan mengeriting rambutnya, lantas ia jatuh tertidur dan bermimpi tinggal di
kastil impiannya yang indah.
Jam menunjukkan waktu tengah malam, tidak ada lagi suarasuara di setiap ruangan. Sebuah sosok berjalan pelan dari satu
tempat tidur ke tempat tidur lain, memperbaiki letak selimut di
sana-sini, membetulkan bantal, berhenti beberapa saat untuk
mengamati setiap wajah dengan lembut dan mengecup wajahwajah itu dengan bibir yang teberkati, diiringi doa khusyuk yang
hanya diucapkan oleh para ibu dalam keheningan. Ketika ia mengangkat tirai untuk mengintip ke arah kegelapan malam, bulan tibatiba muncul dari balik awan, dan bersinar bagaikan seraut wajah
yang menenteramkan hati anak manusia, seolah-olah berbisik di
tengah kesenyapan malam, "Tabahlah, hati yang baik! Akan selalu
ada cahaya di balik awan gelap."
Surat-Surat dari
Rumah
ada dini hari yang dingin, para gadis March menyalakan lampu mereka, dan membaca Alkitab dengan kesungguhan yang
belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Kini bayang-bayang
kesulitan telah tiba, dan menyadarkan mereka betapa hidup mereka selama ini begitu kaya akan sinar mentari. Buku-buku kecil itu
penuh dengan bantuan dan kata-kata penenang hati; dan, sambil
berpakaian, mereka bersepakat untuk mengucapkan selamat jalan
dengan ceria, penuh harap, serta melepas kepergian ibu mereka dalam perjalanan yang panjang itu tanpa dibebani air mata ataupun
keluhan. Semuanya terasa sangat aneh saat mereka turun; di luar
masih gelap dan senyap, sementara di dalam rumah begitu terang
dan gaduh. Sarapan terhidang pada jam yang tidak biasa, dan bahkan wajah akrab Hannah tidak tampak wajar, sementara ia sibuk
mengurus dapur sambil masih mengenakan topi tidurnya. Koper
besar sudah siap, tegak di sisi lorong. Mantel panjang dan topi
Mrs. March diletakkan di sofa, dan ibu mereka sendiri sedang duduk, mencoba untuk makan. Ia tampak begitu pucat dan lelah akibat kurang tidur dan rasa cemas, sampai-sampai para gadis March
merasa kesulitan untuk mempertahankan tekad mereka. Air mata
terus-menerus mengambang di kedua mata Meg, sementara Jo harus menyembunyikan wajahnya di balik kayu penggiling adonan
lebih dari sekali. Amy dan Beth tampak sedih serta bingung, seakan duka merupakan pengalaman baru bagi mereka.
Tidak ada yang berbicara banyak. Saat waktunya hampir tiba,
dan mereka duduk menunggu datangnya kereta kuda, Mrs. March
berbicara kepada anak-anaknya, yang semuanya bersibuk-sibuk di
sekitarnya. Satu anak melipat syal, anak yang lain meluruskan jaring-jaring rambut, anak ketiga memakaikan lapisan luar sepatu,
dan yang keempat mengencangkan kancing tasnya.
"Anak-anak, kutinggalkan kalian bersama Hannah, serta di bawah perlindungan Mr. Laurence. Hannah adalah contoh kesetiaan
dan keteguhan hati, sementara tetangga kita yang baik hati akan
menjaga kalian seolah-olah kalian darah dagingnya. Aku sama sekali tidak mencemaskan kalian, namun aku masih belum yakin
apakah kalian bisa menghadapi kesulitan ini dengan benar. Jangan
tenggelam dalam duka atau berkeluh kesah selama aku pergi, atau
mengira kalian bisa menenangkan diri dengan melamun, atau
mencoba untuk melupakan hal ini. Jadi, lakukanlah kegiatan kalian seperti biasa, karena bekerja merupakan hiburan yang ampuh.
Teruslah berharap, dan sibukkanlah diri; apa pun yang terjadi,
ingatlah bahwa kalian tidak akan pernah tak punya ayah."
"Ya, Ibu."
"Meg sayangku, kau harus bijaksana. Jaga adik-adikmu. Mintalah nasihat Hannah dan, apabila kau masih tidak yakin, mintalah
nasihat kepada Mr. Laurence. Bersabarlah, Jo, jangan berputus asa,
atau melakukan hal-hal ceroboh; sering-seringlah menulis kepada267
ku, dan jadilah anak gadisku yang pemberani, sigap membantu,
serta periang. Beth, silakan hibur dirimu dengan musik, dan teruslah kerjakan tugas-tugas rumahmu. Dan kau, Amy, bantulah
kapan pun kau bisa, jadilah anak yang patuh, dan tetaplah merasa
aman serta bahagia di rumah."
"Ya, Ibu! Akan kami turuti!"
Derak suara kereta kuda yang mendekat membuat mereka terdiam, menyimak. Itulah saat yang tersulit, tetapi anak-anak March
menjalankan peran mereka dengan baik; tidak ada yang menangis,
tidak ada yang berlari masuk, atau mengucapkan keluh kesah. Hati
mereka terasa amat berat saat mengirimkan pesan-pesan cinta untuk ayah mereka sementara dalam hati mereka tahu bahwa, saat
mereka berbicara, pesan-pesan itu mungkin sudah terlambat untuk
disampaikan. Mereka mencium ibu mereka dengan tenang, memeluknya dengan lembut, serta mencoba untuk melambaikan tangan
dengan ceria saat kereta itu bergerak menjauh.
Laurie dan kakeknya datang untuk mengucapkan selamat jalan
kepada Mrs. March, dan Mr. Brooke tampak begitu teguh, cerdas,
serta baik hati, hingga para gadis March menjulukinya "Tuan Hati
Besar" pada saat itu juga.
"Selamat tinggal, sayangku! Tuhan memberkati dan menjaga
kita semua," bisik Mrs. March, sembari mencium satu per satu wajah anak-anaknya, lantas bergegas masuk ke dalam kereta.
Saat kereta semakin menjauh, matahari terbit. Melihat ke belakang, Mrs. March melihat sinar mentari menerangi orang-orang
yang berdiri dekat pagar, bagaikan pertanda baik. Mereka juga
melihatnya, kemudian tersenyum dan melambai-lambai. Dengan
begitu, hal terakhir yang dilihat Mrs. March, ketika ia berbelok di
sudut jalan, adalah empat wajah cerah. Di belakang mereka, berdiri
bagaikan penjaga, adalah Mr. Laurence tua, Hannah yang tegar,
dan Laurie yang setia.
"Betapa baiknya semua orang terhadap kami," katanya, berbalik badan dan menemukan satu lagi bukti dari kata-kata itu di hadapannya, dalam bentuk simpati penuh hormat dari wajah seorang
pemuda.
"Aku tidak melihat alasan bagi mereka untuk berbuat sebaliknya," jawab Mr. Brooke sambil tertawa. Suara tawanya menular,
sehingga Mrs. March tidak mampu menahan senyumnya. Perjalanan panjang itu pun dimulai dengan tanda-tanda baik berupa sinar matahari, senyum, serta kata-kata indah.
"Rasanya seolah ada gempa bumi," kata Jo, setelah tetangga
mereka pulang untuk bersantap pagi, meninggalkan gadis-gadis
March untuk beristirahat dan menyegarkan diri.
"Memang, rasanya seperti setengah isi rumah ini telah pergi,"
tambah Meg, muram.
Beth membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, tetapi hanya dapat menunjuk tumpukan kaus kaki panjang yang telah ditisik rapi, yang terletak di meja ibu mereka. Kaus-kaus kaki itu
menjadi bukti bahwa, di saat-saat terakhir dan di tengah keserba?
tergesaannya pun, ibu mereka masih ingat dan mau memperbaiki
itu semua untuk mereka. Bukan sesuatu yang hebat, namun apa
yang dikerjakan Mrs. March langsung menyentuh hati mereka,
dan meskipun telah berjanji akan tetap riang dan tabah, mereka
tidak tahan lagi untuk tidak menangis sedih.
Dengan bijaksana, Hannah membiarkan mereka melepaskan
perasaan. Ketika tangisan mereka mulai mereda, ia datang untuk
menyelamatkan mereka, bersenjatakan sepoci kopi.
"Nah, gadis-gadis mudaku sayang, ingat kata-kata ibu kalian,
dan jangan mengeluh; mari nikmati secangkir kopi, lalu kita bekerja dan menjadikan diri kita kebanggaan keluarga."
Kopi memang manjur. Hannah menunjukkan kelihaiannya
menghadapi situasi dengan menyeduhnya pagi itu. Tidak ada yang
bisa menolak anggukan yang mengundang, ataupun aroma menggoda yang keluar dari ujung poci. Mereka pun mendekat ke meja,
menukar saputangan dengan serbet makan dan, dalam sepuluh
menit, pikiran mereka telah lurus kembali.
"?Terus berharap dan tetap sibuk,? itulah moto kita. Jadi, mari
kita lihat siapa yang paling baik mengingatnya. Aku akan pergi ke
rumah Bibi March, seperti biasa; oh, tapi, ia pasti akan menguliahiku!" kata Jo, sambil menyeruput kopi, dengan semangat yang
mulai bangkit.
"Aku akan pergi ke rumah keluarga King, walaupun aku lebih
suka berada di rumah dan mengurus segala sesuatu di sini," ujar
Meg, berharap matanya tidak terlalu merah.
"Tidak perlu. Beth dan aku bisa menjaga rumah baik-baik," sahut Amy, dengan lagak penting.
"Hannah akan membimbing kami, dan akan ada hidangan
enak saat kalian pulang," Beth menambahkan. Tanpa menunda
lagi, ia mengeluarkan pel dan ember.
"Kupikir, ketegangan sesungguhnya sangat menarik," Amy
menyimpulkan, sambil mengunyah gula dengan sikap serius.
Anak-anak yang lain tidak bisa menahan tawa, dan mereka pun
kemudian merasa lebih baik. Meg menggeleng-gelengkan kepala
ke arah gadis kecil yang menemukan penghiburannya dalam semangkuk gula.
Pemandangan yang berbeda membuat Jo murung lagi. Ketika
ia dan Meg berangkat untuk melakukan tugas harian mereka, dengan sedih mereka memalingkan wajah ke arah jendela, tempat
wajah ibu mereka biasa terlihat. Wajah itu tidak ada; namun Beth
ingat akan kebiasaan itu, dan di sanalah ia, mengangguk ke arah
kedua kakaknya, tampak seperti sekuntum bunga mawar segar.
"Memang begitulah Beth!" kata Jo, melambaikan topinya, dengan ekspresi berterima kasih. "Selamat berpisah, Meggy. Semoga
keluarga King tidak menyulitkanmu hari ini. Jangan khawatirkan
Ayah, Sayang," tambahnya, saat mereka mengambil jalan berbeda.
"Dan kuharap Bibi March tidak akan mengoceh. Rambutmu
memang menarik, dan tampak sangat jantan serta bagus," kata Meg,
mencoba tidak tersenyum ke arah kepala berambut ikal itu, yang
tampak amat kecil di atas pundak adiknya yang jangkung.
"Hanya itulah memang penghiburanku," dan, menyentuh
pinggir topinya meniru gaya Laurie, Jo pun berlalu, merasa bagaikan domba yang habis dicukur bulunya di hari yang dingin itu.
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Berita tentang ayah mereka membuat hati para gadis March
hangat; meskipun sakitnya parah, namun kehadiran dan kerja keras para perawat terbaik telah banyak membantu ayah mereka. Mr.
Brooke mengirim berita setiap hari dan, sebagai pemimpin keluarga, Meg berkeras bahwa dialah yang harus membacakan setiap
berita yang datang, yang dari hari ke hari sepanjang minggu itu
terasa semakin membahagiakan.
Pada awalnya, semua anak bersemangat menulis, dan amplopamplop tebal pun dimasukkan ke dalam kotak surat oleh salah
seorang gadis March yang merasa paling berkepentingan atas korepondensi dengan Washington. Mengingat salah satu surat itu
mengandung catatan-catatan yang khas dari gadis-gadis itu, marilah kita ambil satu dari masing-masing dan membacanya:?
"Ibuku yang Tercinta,?
"Rasanya tidak mungkin menggambarkan betapa bahagia
kami membaca suratmu yang terakhir. Kabar di dalamnya begitu
bagus, hingga kami tidak mampu menahan tawa dan tangis. Betapa baiknya Mr. Brooke, dan betapa beruntungnya kita karena
urusan Mr. Laurence menahannya begitu lama di sana, mengingat
besarnya bantuannya kepadamu dan Ayah. Anak-anak bersikap
sangat baik. Jo membantuku menjahit, dan memaksa mengerjakan macam-macam tugas berat. Kalau saja aku tidak mengenal
ketulusan niatnya, yang biasanya tidak bertahan lama, aku pasti
khawatir ia bekerja berlebihan. Beth mengerjakan tugas-tugasnya
sesetia sang waktu, dan tidak pernah melupakan pesan-pesanmu.
Ia sering sedih jika ingat Ayah, dan tampak muram, kecuali saat
berada di dekat piano kecilnya. Amy patuh kepadaku, dan aku
merawatnya baik-baik. Ia menata sendiri rambutnya, dan aku
mengajarinya membuat lubang kancing serta cara menambal kaus
kakinya. Ia berusaha keras, dan aku tahu Ibu akan sangat senang
melihat kemajuannya saat pulang nanti. Mr. Laurence mengawasi
kami seperti induk ayam?begitu istilah Jo; dan Laurie bersikap
amat baik serta ramah. Ia dan Jo menjaga keceriaan kami semua,
karena kadang kami pun merasa sedih, dan merasa seperti anakanak yatim piatu sejak kepergianmu. Hannah bagaikan orang suci;
ia tidak pernah mengomel, dan selalu memanggilku ?Miss Margaret?, yang memang cukup pantas, serta memperlakukan aku dengan hormat. Kami semua sehat serta sibuk; namun, setiap hari
dan setiap malam, kami menantikanmu untuk kembali. Tolong
sampaikan cinta hangatku kepada Ayah, dan tetaplah memercayaiku, anakmu,
Meg."
Surat itu ditulis dengan indah di atas kertas wangi. Secara keseluruhan benar-benar merupakan kebalikan dari surat selanjutnya,
yang ditulis di atas kertas asing yang lebar dan tipis, berhiaskan
banyak noda tinta, dengan huruf-huruf berukuran besar yang
ujungnya meliuk:?
"Marmee-ku yang Berharga,?
"?Hore? tiga kali untuk Ayah tersayang! Brooke hebat sekali
langsung mengirimkan telegram dan mengabari kami begitu Ayah
membaik. Aku bergegas ke loteng ketika telegram itu datang, dan
mencoba berterima kasih kepada Tuhan karena telah begitu baik
kepada kita, tetapi aku hanya bisa menangis dan berkata, "Aku bahagia! Aku bahagia!" Apakah ucapan itu sama baiknya dengan doa
yang biasa? Karena perasaanku sungguh bercampur aduk. Kami
mengalami saat-saat yang aneh dan menggelikan; tapi sekarang
aku dapat menikmatinya, karena setiap orang benar-benar sangat
baik, rasanya seperti hidup di sarang merpati. Ibu pasti akan tertawa melihat Meg duduk di kepala meja, mencoba bersikap keibuan.
Dari hari ke hari ia semakin cantik, hingga kadang-kadang aku
merasa jatuh cinta kepadanya. Beth dan Amy bagaikan malaikat,
seperti biasa, dan aku, yah, aku Jo, yang tidak mungkin menjadi apa pun selain diriku sendiri. Oh, harus kukatakan aku nyaris
bertengkar dengan Laurie. Aku mengutarakan pendapatku tentang
suatu hal konyol, lantas ia tersinggung. Aku benar, namun tidak
berbicara sebagaimana seharusnya. Ia kemudian bergegas pulang,
bersumpah tidak akan datang lagi sampai aku meminta maaf. Kukatakan kepadanya aku tidak akan memohon maaf, lalu aku merasa marah. Hal itu berlangsung sepanjang hari; aku merasa tidak
enak, dan begitu merindukanmu. Laurie dan aku sama-sama memiliki harga diri yang tinggi, sehingga sulit untuk meminta maaf;
tetapi kupikir itu salahnya sendiri, karena akulah yang benar. Ia
tidak datang; di malam hari, aku teringat kata-katamu ketika Amy
jatuh ke sungai. Aku membaca buku kecilku, merasa lebih baik,
dan bertekad tidak akan membiarkan hari itu berakhir dengan
amarah masih meraja di dadaku. Jadi, aku berlari untuk menyampaikan penyesalanku kepada Laurie. Aku bertemu dengannya
di pagar. Ia ternyata ingin menyampaikan hal yang sama. Kami
berdua tertawa, saling meminta maaf, dan dengan segera merasa
nyaman kembali.
"Kemarin, saat sedang membantu Hannah mencuci, aku
mengarang sebuah sajak. Ayah menyukai tulisan-tulisan konyolku, jadi kulampirkan di sini untuk menghiburnya. Sampaikan pelukan tererat untuknya, dan cium selusin kali untukmu, dari
Jo si Berantakan."
"Lagu dari Balik Busa Sabun
"Oh, Ratu Bak Cuci, dengan ceria aku bernyanyi
Sementara buih putih membumbung tinggi;
Dan aku mencuci dengan rajin, membilas, dan memeras
Lalu menjemur baju-baju
Di luar, kubiarkan mereka tertiup angin dan terkena panas
Di bawah langit cerah dan sinar matahari.
"Kalau saja kita bisa membersihkan hati dan jiwa
Dari noda yang sepanjang pekan menerpa
Biarkanlah air dan udara, dengan keajaiban keduanya
Membuat kita sesuci mereka
Jika begitu, pastilah di dunia
Akan ada hari mencuci yang luar biasa!
"Sembari menjalani hidup yang berguna,
Akankah hati lebih ringan terasa;
Pikiran yang sibuk tidak sempat merenungi
Rasa sedih, khawatir, ataupun muram
Dan akankah kegelisahan terusir pergi
Seiring sapu yang kita goyangkan.
"Aku senang memiliki tugas
Yang harus dikerjakan hari demi hari
Karenanya, aku menjadi sehat, kuat, dan penuh harap
Dan aku belajar berkata dengan ceria,?
?Kepalamu berpikir, hatimu merasa,
Tetapi tanganmulah yang akan bekerja!'"
"Ibu yang Tersayang:
"Hanya ada sedikit ruang untukku menyampaikan cintaku,
dan ada bunga-bunga pansy yang kuawetkan di rumah, agar Ayah
bisa melihat mereka nanti. Aku membaca setiap pagi, mencoba
agar tetap patuh sepanjang hari, dan mengantar diriku sendiri tidur dengan menyanyikan lagu Ayah. Aku tidak bisa menyanyikan
Land of the Leal lagi, karena lagu itu membuatku menangis. Semua
orang bersikap baik, dan kami berusaha tetap berbahagia, sejauh
yang kami bisa, tanpa Ibu. Amy ingin mengisi sisa halaman ini,
jadi aku harus berhenti sekarang. Aku tidak pernah lupa menutup wadah-wadah sendok dan garpu, memutar jam, dan membuka
jendela-jendela setiap hari agar angin menyegarkan kamar-kamar
kita.
"Sampaikan cium sayangku kepada Ayah, di pipi yang katanya hanya untukku. Oh, pulanglah segera kepada putrimu yang
mencintaimu,
Beth Kecil."
"Ma Chere Mamma:
"Kami semua baik-baik aku belajar setiap hari dan tidak
pernah mengecohi kakak-kakakku?menurut Meg maksudku
menggercokki jadi aku menaruh kedua kata itu di sini agar Mamma
bisa mengartikannya. Meg menjagaku dengan baik dan mengizinkan aku memakan jeli setiap malam bersama teh kata Jo makanan
itu bagus untukku karena menjaga perangaiku tetap baik. Laurie
tidak lagi bersikap sesongpan yang seharusnya, padahal aku sudan
memasuki usia remaja, ia memanggilku Chick dan menyakiti hatiku dengan mengoceh dalam bahasa Prancis begitu cepat saat aku
berkata Merci atau Bon jour seperti yang suka dilakukan Hattie
King. Lengan gaun biruku sudah kusam dan berwarna lebih biru
ketimbang baju itu sendiri. Aku merasa tidak enak tapi tidak mengeluh dan menanggung kesusahanku dengan baik namun begitu
kuharap Hannah mau menaruh kanji lebih banyak di celemekku
dan memboleh aku makan buck wheats setiap hari. Boleh, kan? Bukankah aku membuat poin yang bagus. Menurut Meg thanda baca
dan ejaanku memalukan dan aku pun jadi ktakutan tapi aku punya
begitu banyak tugas aku tidak bisa brenti. Adieu, kukirim cinta
yang melimpah untuk Papa.
"Putrimu yang menyayang,
Amy Curtis March."
"Miss March yang Terhormat:
"Aku cuma mau britahu smua di sini baek. Anak-anak sangat
cerdas dan sangat cepat menangkap. Miss Meg bakal jadi pengurus
rumah yang andal; ia ada minat untuk itu, dan cepat banget menangkap cara kerja banyak hal. Jo ngalahin smuanya karena slalu
mulai lebih dulu, tetapi ia tidak pernah hati-hati, dan kita tidak
pernah tahu apa yang akan ia lakukan. Dia nyuci setumpuk baju
hari Senin, tapi smua diberi kanji sebelum direndam, ia melunturkan warna biru pada baju cokelat muda sampai-sampai kukira
aku bakal mati ketawa. Beth gadis kecil terbaik. Melihatnya membuatku mrasa terbantu karena ia slalu sigap dan bisa diandalkan.
Ia suka belajar apa pun juga, dan jauh lebih maju dari usianya; ia
juga nyatet pengeluaran dengan bantuanku, dan cukup baik melakukannya. Sjauh ini, kami cukup hemat; aku tidak membiarkan
anak-anak ngopi, cuma sekali seminggu, sama dengan perintahmu, dan menghidangkan camilan yang sehat. Amy bertahan tanpa
mengeluh, make pakaiannya yang terbaik dan memakan makanan
manis. Mr. Laurie seperti biasa penuh dengan lelucon, dan sering
kali datang membuat rumah ramai; ia mengangkat semangat anakanak, jadi aku biarin mereka bermain puas. Si Pak Tua mengirimkan banyak sekali benda-benda, dan cukup bikin lelah, tetapi
maksudnya baek, dan bukan tugasku untuk berkomentar apa-apa.
Rotiku sudah ngembang, jadi cukup untuk sekarang. Sampaikan
salamku untuk Mr. March, kuharap sakit paru-parunya tidak datang lagi.
"Hormat,
Hannah Mullet."
"Kepada Kepala Perawat Bangsal II:
"Semuanya tenang di Rappahanock, para prajurit dalam kondisi prima, departemen operasional dijalankan dengan lancar,
Garda Dalam Negeri di bawah Kolonel Teddy selalu aktif, Komandan Jenderal Laurence mengulas kinerja para prajurit setiap
hari, Perwira Mullet menjaga ketertiban di barak, dan Mayor Lion
mengambil alih tugas piket malam. Salvo penghormatan ditembakkan dua puluh empat kali setelah menerima kabar baik dari
Washington, dan parade baju-baju pun dilaksanakan di markas besar. Komandan Jenderal mengirimkan salam hangat, yang diiringi
salam dari
Kolonel Teddy."
"Madam yang Terhormat:
"Anak-anak berada dalam keadaan baik; Beth dan cucuku melapor setiap hari; Hannah adalah pelayan yang luar biasa, menjaga
si cantik Meg bagaikan naga. Turut senang mendengar perkembangan baik yang terus berlangsung; kumohon, silakan manfaatkan jasa Brooke, dan andalkan aku untuk dana tambahan, jika pengeluaranmu melampaui perkiraanmu. Jangan biarkan kebutuhan
suamimu tertunda. Puji Tuhan ia membaik.
"Sahabat dan pelayanmu yang setia,
James Laurence."
Beth yang Patuh
elama sepekan, banyaknya kebajikan di rumah tua itu seolah
cukup untuk memenuhi lingkungan sekitar. Kelihatannya
memang benar-benar mengesankan. Semua orang tampak selalu punya niat dan pikiran baik, dan mendahulukan kepentingan
orang lain adalah satu-satunya hal yang menjadi mode pada waktu
itu. Merasa lega setelah kecemasan awal tentang keadaan ayah mereka mereda, gadis-gadis March dengan ceroboh mulai memberi
kelonggaran kepada diri mereka sendiri, dan mulai kembali kepada kebiasaan lama. Mereka tidak melupakan semboyan mereka;
hanya saja, terus berharap dan menyibukkan diri tidak lagi terasa
sulit. Lagi pula, setelah melalui masa yang luar biasa sulit, gadisgadis itu merasa usaha mereka layak mendapat liburan?dan itulah
yang mereka lakukan dengan sebaik mungkin.
Jo menderita flu berat karena ia tidak menutupi kepalanya yang
berambut sangat pendek itu sesering yang seharusnya. Bibi March
menyuruhnya tinggal di rumah sampai ia cukup sehat, karena
perempuan tua itu tidak suka mendengar suara orang membaca
dengan flu yang mengganggu. Jo menyukai perintah itu, dan setelah dengan bersemangat naik-turun dari loteng ke ruang bawah
tanah, ia pun bersantai dengan berbaring di sofa, menyembuhkan
penyakitnya dengan obat bikinan sendiri dan buku-buku. Amy
menyimpulkan bahwa tugas-tugas rumah dan seni tidak cocok,
jadi ia pun kembali membuat pai lumpur. Meg berkhayal setiap
hari, dan menjahit di rumah, walaupun sebagian besar waktunya,
sebenarnya, ia habiskan untuk menulis surat-surat panjang kepada
ibunya, atau membaca kabar-kabar dari Washington berulang kali.
Sementara itu, Beth tetap setia menjalankan tugas-tugasnya, dan
hanya sesekali tampak melamun atau bersedih. Semua pekerjaan
kecil dilaksanakannya setiap hari, juga sebagian besar tugas kakak
dan adiknya, karena mereka pelupa, dan rumah menjadi bagaikan
jam yang jarumnya sedang bepergian. Saat hatinya terasa berat
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena merindukan ibunya, atau mencemaskan ayahnya, Beth
mengurung diri di dalam lemari, menyembunyikan wajahnya di
dalam lipatan-lipatan gaun tua, lantas terisak sedikit, dan mengucapkan doa pelan-pelan. Tidak ada yang tahu apa yang menghiburnya setiap kali kesedihannya timbul, tetapi semua orang melihat
betapa baik dan ringan tangannya Beth, sehingga mereka kemudian berpaling kepadanya untuk sekadar mencari ketenangan ataupun nasihat untuk urusan-urusan sederhana.
Tidak ada yang menyadari bahwa pengalaman ini merupakan
ujian bagi kekuatan watak mereka. Saat ketegangan awal berakhir,
mereka lantas mengira telah berhasil, serta layak mendapat pujian.
Pikiran itu benar; akan tetapi, mereka salah saat berhenti bersikap
baik, dan pelajaran ini mereka petik setelah melalui satu masa penuh kecemasan dan penyesalan.
"Meg, mengapa kau tidak pergi dan mengunjungi keluarga
Hummel; kau kan tahu Ibu berpesan agar kita tidak melupakan
mereka," anjur Beth, sepuluh hari setelah keberangkatan Mrs.
March.
"Aku terlalu lelah untuk pergi sore ini," jawab Meg, berayun
nyaman di kursi goyang sambil menjahit.
"Bagaimana denganmu, Jo?" tanya Beth.
"Terlalu berangin untukku, dengan flu begini."
"Kukira, pilekmu sudah membaik."
"Memang cukup baik untuk berada di luar rumah dan bermain bersama Laurie, tetapi belum cukup sehat untuk berkunjung ke
tempat keluarga Hummel," balas Jo, tertawa, tetapi tampak sedikit
malu akan jawabannya.
"Mengapa bukan kau sendiri yang pergi?" tanya Meg.
"Aku sudah pergi ke sana setiap hari, namun bayi mereka sakit,
dan aku tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mrs. Hummel harus pergi bekerja, dan Lottchen yang merawatnya. Tetapi, keadaan
bayi itu bertambah parah, dan kupikir kau atau Hannah sebaiknya
berkunjung."
Beth berkata dengan sungguh-sungguh, sehingga Meg berjanji
ia akan menjenguk keluarga itu keesokan harinya.
"Mintalah Hannah membuat penganan sekadarnya, dan bawalah ke sana, Beth, udara luar akan baik untukmu," Jo menganjurkan, lalu menambahkan dengan nada menyesal, "Aku mau saja
pergi, tetapi aku harus menyelesaikan ceritaku."
"Kepalaku sakit, dan aku merasa letih. Tadinya, kupikir salah
satu dari kalian bersedia menggantikan aku," kata Beth.
"Amy akan datang sebentar lagi. Ia pasti mau ke sana mewakili
kita," saran Meg.
"Kalau begitu, aku akan beristirahat sebentar, dan menunggu
Amy."
Jadi, Beth pun berbaring di sofa, sementara gadis-gadis lain
meneruskan kegiatan mereka. Keluarga Hummel pun terlupakan.
Satu jam berlalu, tanpa tanda-tanda kedatangan Amy. Meg pergi
ke kamarnya untuk mencoba pakaian baru, Jo sibuk dengan tulisannya, dan Hannah tertidur lelap di depan perapian dapur, saat
Beth mengenakan tudungnya tanpa bersuara, mengisi keranjangnya dengan macam-macam makanan untuk anak-anak miskin itu,
kemudian pergi keluar dengan kepala berat. Sorot matanya yang
selalu sabar kini tampak muram dan sedih. Begitu melangkah keluar, ia disambut angin yang dingin menusuk tulang. Hari sudah
malam ketika Beth pulang, dan tidak ada yang melihatnya berjalan
naik ke atas, kemudian mengurung diri di kamar ibu mereka. Setengah jam setelah itu, Jo membuka "lemari Ibu" hendak mencari
sesuatu, dan di sana ia menemukan Beth duduk di atas kotak obat,
tampak sangat sedih, matanya memerah, dan tangannya menggenggam botol kamper.
"Christopher Columbus! Ada apa?" jerit Jo, saat Beth melambaikan tangannya, seolah-olah menyuruhnya agar tidak mendekat,
dan bertanya cepat,?
"Kau pernah menderita scarlet fever, kan?"
"Bertahun-tahun lalu, tertular dari Meg. Kenapa?"
"Akan kuceritakan?oh, Jo, bayi itu mati!"
"Bayi apa?"
"Bayi Mrs. Hummel; ia mati di pangkuanku, sebelum Mrs.
Hummel pulang," kata Beth sambil terisak-isak.
"Oh, sayangku malang, betapa mengerikannya hal itu untukmu! Seharusnya akulah yang pergi," kata Jo, lantas memangku
adik kecilnya, sambil duduk di kursi besar ibu mereka, dengan wajah penuh penyesalan.
"Tidak mengerikan, Jo, hanya sangat menyedihkan! Aku segera melihat bahwa si bayi bertambah sakit, tapi Lottchen berkata
ibunya telah pergi memanggil dokter, jadi aku menggendong bayi
itu, agar Lotty bisa beristirahat. Ia tampak seperti tertidur, namun
tiba-tiba menangis sedikit, gemetar, setelah itu diam sama sekali.
Aku berusaha menghangatkan kedua kakinya, dan Lotty berusaha
memberinya susu, tetapi ia tidak bergerak, dan aku tahu ia sudah
tiada."
"Jangan menangis, Sayang! Apa yang kaulakukan?"
"Aku hanya duduk dan memangkunya dengan lembut, tanpa
bergerak, sampai Mrs. Hummel datang dengan seorang dokter.
Dokter itu berkata si bayi telah tiada, dan ia menatap Heinrich
dan Minna, yang keduanya menderita sakit tenggorokan. ?Scarlet
fever, Nyonya; harusnya saya dipanggil lebih awal,? katanya kesal.
Mrs. Hummel berkata mereka sangat miskin, dan bahwa ia telah
mencoba menyembuhkan bayi itu sendiri, tetapi kini terlambat,
dan ia hanya bisa meminta si dokter untuk menolong anak-anaknya yang lain, serta menganggap amal baik sebagai bayarannya.
Kemudian dokter itu tersenyum ramah, dan bersikap lebih hangat,
tetapi suasananya begitu sedih, sehingga aku pun menangis bersama mereka, sampai dokter itu tiba-tiba berpaling kepadaku. Ia
menyuruhku pulang dan langsung meminum belladonna untuk
mencegahku tertular demam itu."
"Kau tidak akan tertular!" seru Jo, memeluk Beth erat-erat, dengan wajah ketakutan. "Oh, Beth, kalau kau sakit, aku tidak akan
pernah memaafkan diriku! Apa yang harus kita lakukan?"
"Jangan takut begitu, kurasa aku tidak akan sakit parah; aku
membaca di buku Marmee, dan melihat bahwa gejalanya dimulai dengan sakit kepala, nyeri tenggorokan, serta perasaan tidak
nyaman seperti yang kualami, jadi aku telah meminum belladonna.
Sekarang, aku merasa lebih baik," jelas Beth, menempelkan tangan
dinginnya pada dahinya yang panas, dan mencoba tampak sehat.
"Kalau saja Ibu ada di rumah!" Jo berseru, menyambar buku kesehatan, dan seketika merasa Washington begitu jauh. Ia membaca satu halaman, melihat ke arah Beth, merasakan suhu tubuhnya,
mengintip ke dalam tenggorokannya, dan berkata dengan murung,
"Selama lebih dari satu minggu, kau terus bersama bayi itu, serta
anak-anak lain dengan gejala serupa, jadi aku khawatir kau akan
tertular, Beth. Akan kupanggil Hannah; ia tahu segala hal mengenai penyakit ini."
"Jangan biarkan Amy masuk; ia belum pernah kena penyakit
ini, dan aku tidak ingin menjadi orang yang menularkannya. Apakah mungkin kau dan Meg tertular lagi?" tanya Beth cemas.
"Kurasa tidak; dan aku tidak peduli; ini hukuman yang pantas
untuk monyet egois seperti aku, membiarkanmu pergi, sementara
aku terus saja menulis sampah!" ucap Jo sambil berlalu untuk memanggil Hannah.
Hannah yang baik langsung terjaga saat itu juga, dan mengambil alih kendali dengan seketika. Ia meyakinkan Jo bahwa tidak
ada yang perlu dikhawatirkan; semua orang bisa terjangkit scarlet
fever dan, apabila dirawat dengan benar, tidak ada yang mati akibat
penyakit tersebut. Jo percaya pada semua keterangan itu, dan ia
merasa jauh lebih lega waktu mereka meninggalkan Beth untuk
memberitahu Meg.
"Nah, akan kuberitahukan apa yang perlu kita lakukan," kata
Hannah, setelah ia selesai memeriksa dan menanyai Beth; "kita
akan memanggil Dr. Bangs, agar ia bisa memeriksamu, Nak, dan
menentukan apakah kita telah memulai perawatan dengan benar.
Setelah itu, kita akan mengirim Amy untuk tinggal di rumah Bibi
March, untuk sementara waktu, agar ia aman. Salah satu dari kalian bisa tetap tinggal di rumah untuk menemani Beth selama satudua hari ini."
"Tentu saja, akulah yang harus tetap di sini, aku yang tertua,"
kata Meg, tampak khawatir dan kesal pada dirinya.
"Aku-lah yang sepantasnya di sini, adalah salahku ia jatuh sakit; aku telah berjanji kepada Ibu untuk melakukan tugas-tugas di
luar rumah, dan itu tidak kulakukan," kata Jo penuh tekad.
"Siapa yang kaupilih, Beth? Tidak perlu lebih dari satu orang,"
kata Hannah.
"Jo saja, tolong," dan Beth pun menyandarkan kepalanya kepada kakaknya itu, wajahnya tampak senang, dan dengan demikian
masalah itu pun selesai.
"Aku akan pergi dan memberitahu Amy," kata Meg, merasa
sedikit tersinggung, tetapi juga lega karena sesungguhnya ia tidak
suka merawat orang lain, sementara Jo justru menikmatinya.
Amy segera melawan. Dengan berapi-api, ia mengatakan bahwa ia lebih baik sakit daripada harus menginap di rumah Bibi
March. Meg membujuknya, memohon, dan memerintah?semuanya berakhir sia-sia. Amy memprotes, berkeras bahwa ia tidak
akan pergi. Meg meninggalkannya dengan putus asa, lantas pergi
untuk meminta nasihat Hannah. Sebelum Meg kembali, Laurie
masuk ke ruang duduk. Ia menemukan Amy sedang menangis,
dengan kepala dibenamkan ke bantal sofa. Amy menyampaikan
situasinya kepada Laurie, berharap menerima penghiburan. Akan
tetapi, Laurie malah memasukkan kedua tangannya ke dalam sakunya kemudian berjalan mengitari ruangan, bersiul pelan, sembari berpikir keras sampai kedua alisnya bertaut. Akhirnya, ia duduk di sebelah Amy dan berkata, dengan nada membujuk, "Nah,
sekarang, jadilah gadis muda yang pintar, dan turuti permintaan
mereka. Tidak, jangan menangis. Aku punya rencana hebat, coba
kaudengarkan dulu. Kau pergilah ke rumah Bibi March, dan aku
akan datang mengajakmu pergi setiap hari, berkuda, atau sekadar
berjalan-jalan, dan kita pasti akan bersenang-senang. Tidakkah itu
lebih baik daripada bermuram durja di sini?"
"Aku tidak ingin disuruh pergi, seolah-olah aku ini merepotkan," Amy merajuk dengan nada terluka.
"Terpujilah hatimu, gadis kecil! Mereka hanya ingin menjagamu agar tetap sehat. Kau tidak ingin jatuh sakit, kan?"
"Tidak, memang tidak; tapi, ada kemungkinan begitu, karena
aku selalu bersama-sama dengan Beth."
"Persis itulah alasan mereka memintamu segera menjauh, agar
kau lolos dari penyakit itu. Aku berani janji, perubahan udara dan
suasana akan menjagamu supaya tetap sehat; setidaknya, kalaupun
sakit, demam itu tidak akan membuatmu sakit parah. Kusarankan
kau pergi sesegera mungkin, karena scarlet fever bukan penyakit
main-main, Nona Kecil."
"Tapi suasana di rumah Bibi March begitu membosankan, dan
ia begitu pemarah," protes Amy lagi, tampak sedikit takut.
"Tidak akan membosankan kalau ada aku yang muncul setiap
hari untuk memberitahukan kabar tentang Beth dan mengajakmu
berjalan-jalan. Perempuan tua itu senang padaku, dan aku akan
berlaku amat cerdik di hadapannya, agar ia tidak akan mengganggu kita, apa pun yang kita lakukan."
"Apakah kau mau membawaku naik kereta bersama Puck?"
"Janji?demi kehormatanku sebagai pria sejati."
"Dan datang setiap hari?"
"Kau boleh lihat nanti."
"Dan segera membawaku pulang begitu Beth pulih?"
"Detik itu juga."
"Dan pergi ke teater, bagaimana?"
"Selusin teater, kalau memang bisa."
"Yah, kalau begitu, baiklah," kata Amy perlahan.
"Anak baik! Beritahu Meg, katakan kau menyerah," kata Laurie, sambil menepuk Amy?sesuatu yang membuat Amy kesal, lebih dari kata "menyerah".
Meg dan Jo datang berlari untuk menyaksikan keajaiban yang
baru saja terjadi. Amy, merasa begitu berharga dan berjasa karena
telah berkorban, berkata ia hanya akan pergi apabila dokter menyatakan Beth memang sakit.
"Bagaimana keadaan Beth kecil?" tanya Laurie; Beth adalah
anak kesayangan, dan kecemasan Laurie tampak dengan jelas, lebih jelas daripada yang ingin diperlihatkannya.
"Ia sedang berbaring di tempat tidur Ibu, dan merasa lebih
baik. Kematian si bayi mengganggunya, tetapi menurutku ia sekadar pilek. Itu juga kata Hannah, walaupun ia tampak cemas, dan
membuatku gelisah," Meg menjawab.
"Betapa dunia ini penuh kesulitan!" kata Jo, mengacak-acak
rambutnya dengan gelisah. "Belum lagi kita benar-benar lepas dari
satu kemalangan, kemalangan lain sudah tiba. Dengan kepergian
Marmee, rasanya tidak ada tiang yang bisa menjadi pegangan, jadi
aku benar-benar terombang-ambing."
"Yah, tapi kau tidak perlu mengubah rambutmu menjadi seperti bulu landak begitu, tidak bagus. Rapikan rambutmu, Jo, dan
katakan apakah aku perlu mengirim kabar kepada ibu kalian, atau
perlu melakukan sesuatu yang lain?" kata Laurie, yang belum juga
pulih dari rasa tidak nyaman sejak Jo memutuskan membabat
rambut indahnya.
"Itulah yang membuatku bingung," kata Meg. "Kurasa, kita
harus memberitahu Ibu bahwa sakitnya Beth serius, tetapi Hannah berkata sebaliknya, karena Marmee tidak bisa meninggalkan
Ayah, dan berita ini hanya akan membuat keduanya cemas. Beth
tidak akan sakit lama, dan Hannah tahu apa yang harus dilakukan. Marmee juga berpesan kita harus menurut pada Hannah, jadi
mungkin kita memang harus mendengarkan nasihatnya, tetapi bagiku, ini rasanya tidak benar."
"Hm, yah, aku tidak bisa memutuskan apa pun; bagaimana kalau kalian bertanya kepada Kakek, setelah dokter selesai memeriksa Beth?"
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan kami lakukan. Jo, pergilah dan bawa Dr. Bangs ke sini
segera," perintah Meg; "kita tidak bisa memutuskan apa-apa sampai situasinya diketahui dengan jelas."
"Tidak perlu, Jo; akulah pesuruh untuk rumah ini," Laurie berkata cepat sambil mengenakan topinya.
"Aku tidak mau mengganggu kesibukanmu," Meg berujar.
"Tidak masalah, pelajaranku untuk hari ini telah selesai."
"Kau tetap belajar selama masa liburan?" tanya Jo.
"Aku mengikuti contoh baik yang diperlihatkan para tetanggaku," adalah jawaban Laurie, sambil dengan cepat meninggalkan
ruangan.
"Aku punya harapan besar untuk anak itu," kata Jo sambil tersenyum senang, memperhatikan Laurie melompati pagar.
"Memang ia cukup baik?untuk ukuran seorang bocah," balas
Meg, hampir seperti tidak berterima kasih, karena topik itu tidak
menarik hatinya.
Dr. Bangs tiba. Ia mengatakan bahwa Beth menunjukkan gejala-gejala terserang scarlet fever, tetapi berpendapat kondisinya
tidak akan parah. Walaupun begitu, ia tampak khawatir ketika
mendengar apa yang menimpa keluarga Hummel. Amy segera
diperintahkan untuk pergi, dan diberi obat untuk menangkal penyakit. Gadis itu berangkat dengan tegar, bersama Jo dan Laurie
sebagai pengawalnya.
Bibi March menerima mereka semua dengan sikapnya yang
biasa.
"Apa mau kalian kali ini?" tanyanya, menatap tajam dari balik
kacamatanya, sementara si burung kakaktua, duduk di sandaran
kursi, berseru,?
"Pergi; anak lelaki tidak boleh ada di sini."
Laurie mundur ke arah jendela, dan Jo pun menyampaikan situasi yang terjadi.
"Sudah kuduga; itulah yang akan terjadi jika kalian berkeliaran
di antara orang-orang miskin itu. Amy boleh tinggal di sini dan
membuat dirinya berguna, kalau ia tidak sakit. Aku sih tidak ragu
ia akan tertular?kelihatannya memang begitu. Jangan menangis,
Nak, aku tidak senang mendengar orang terisak-isak dan menyusut hidung."
Amy memang nyaris menangis, tapi Laurie dengan nakal menarik ekor si burung kakaktua, menyebabkan Polly mengeluarkan
teriakan terkejut,?
"Kakiku copot!" dengan cara yang begitu lucu, hingga Amy
tertawa.
"Ada kabar apa dari ibu kalian?" tanya perempuan tua itu, gusar.
"Ayah sudah sangat membaik," balas Jo, berusaha tetap bersikap serius.
"Oh, begitu, ya? Yah, kurasa tidak akan bertahan lama; March
tidak pernah punya cukup stamina," adalah jawaban ceria dari perempuan tua itu.
"Ha, ha! Jangan bilang mati, ambillah sejumput bubuk, mari,
mari!" oceh Polly, sambil menari di atas tempatnya bertengger,
dan mencengkeram topi Bibi March setelah Laurie mencubitnya
dari belakang.
"Jaga bicaramu, dasar burung tak tahu diuntung! Dan Jo, sebaiknya kau pergi sekarang juga; tidak pantas kau berkeliaran pada
jam selarut ini dengan bocah gemblung seperti,?"
"Jaga bicaramu, dasar burung tak tahu diuntung!" seru Polly,
terguling dari atas kursi, terpelanting, lantas berlari untuk mema288
tuk anak lelaki "gemblung", yang tubuhnya terguncang-guncang
menahan tawa mendengar kalimat terakhir itu.
"Kurasa aku tidak akan tahan, tetapi akan kucoba," pikir Amy,
saat ia ditinggalkan dengan Bibi March.
"Bergabunglah, dasar penakut!" jerit Polly, dan mendengar
kata-kata kasar itu, Amy pun tak dapat menahan diri untuk tidak
menangis.
Hari-Hari yang
Gelap
eth ternyata memang mengidap scarlet fever, dan sakitnya
jauh lebih parah dari yang diduga oleh siapa pun, kecuali oleh
Hannah dan Dr. Bangs. Gadis-gadis lain tidak tahu apa-apa mengenai penyakit itu, dan Mr. Laurence tidak diizinkan menjenguk,
jadi Hannah melakukan segala sesuatu dengan caranya sendiri.
Dr. Bangs berusaha sekeras dan sebaik mungkin, namun ia menyerahkan sebagian besar tugas perawatan kepada Hannah yang
amat terampil. Meg tetap di rumah, agar tidak menulari anak-anak
keluarga King, dan menjaga kerapian rumah. Ia merasa gelisah,
juga sedikit bersalah, karena menulis surat tanpa menceritakan
sedikit pun tentang sakit yang diderita Beth. Menurutnya, berbohong kepada ibunya tidak bisa dibenarkan. Akan tetapi, ia telah diperintahkan untuk menurut kepada Hannah, dan Hannah
sangat melarang "Mrs. March dikasih tahu, lantas khawatir untuk hal kecil begini." Jo mengabdikan dirinya kepada Beth siang
dan malam; tugasnya tidak sulit, karena Beth sangat sabar, dan
menanggung penyakitnya tanpa mengeluh selama ia masih bisa
mengendalikan dirinya. Akan tetapi, ada saat-saat ketika serangan
demamnya memuncak, ia mulai berbicara dengan suara pecah dan
terpatah-patah, mencoba menekan-nekan selimut, seakan-akan ia
sedang memainkan piano kesayangannya, dan mencoba bernyanyi
dengan tenggorokan begitu bengkak hingga tidak ada nada yang
keluar. Ada pula saat-saat ketika ia tidak mengenali wajah-wajah
keluarganya, dan memanggil mereka dengan nama yang salah, kemudian memanggil-manggil ibunya dengan suara memelas. Dan
ketika itu terjadi, Jo menjadi ketakutan, Meg mulai merengek agar
diizinkan menceritakan keadaan mereka kepada Mrs. March, dan
bahkan Hannah berkata ia "akan mempertimbangkannya, walaupun belum ada bahaya." Sepucuk surat dari Washington menambah kegundahan mereka, karena kondisi Mr. March kembali menurun, dan sepertinya untuk waktu yang cukup lama ia belum bisa
dibawa pulang.
Hari-hari itu terasa gelap, rumah terasa sunyi dan mencekam.
Saat bekerja dan menunggu, hati gadis-gadis March terasa sangat
berat, sementara bayang-bayang kematian seolah melingkupi rumah yang biasanya penuh tawa riang itu! Pada saat itulah Margaret, duduk sendirian dengan air mata berkali-kali membasahi
pekerjaannya, menyadari betapa kayanya ia dahulu, dikelilingi
hal-hal yang lebih berharga daripada semua benda mewah yang
bisa dibeli dengan uang; ia merasa kaya akan cinta, perlindungan,
kedamaian, dan kesehatan, serta karunia sejati yang benar-benar
dibutuhkan dalam hidup. Lalu, giliran Jo, yang sepanjang waktu
duduk di dalam kamar yang remang-remang, menjaga dan merawat adiknya yang sedang menderita. Suara Beth yang mengibakan
terngiang-ngiang di telinga Jo, dan Jo pun melihat keindahan dan
kebaikan yang sesungguhnya dari watak Beth. Jo merasakan beta291
pa dalam dan lembutnya tempat yang diisi Beth di dalam hati mereka semua, dan ia pun mengakui betapa berartinya mimpi-mimpi Beth yang tidak egois; yang ingin hidup untuk orang lain, dan
menjaga seisi rumah tetap bahagia dengan memperlihatkan kebajikan-kebajikan sederhana yang sesungguhnya layak dimiliki setiap orang, layak dicintai, dan dihargai lebih dari bakat, harta, ataupun kecantikan. Sementara itu, Amy, di pengasingannya, begitu
merindukan rumah sampai merasa ia mau bekerja menggantikan
Beth, serta merasa bahwa pekerjaan apa pun tidak lagi terasa sulit
atau menyebalkan. Hatinya pedih saat ia teringat betapa seringnya
Beth dengan sukarela mengerjakan tugas-tugas yang diabaikannya.
Laurie selalu ada di rumah keluarga March di saat-saat tak terduga,
bagaikan hantu penunggu, dan Mr. Laurence mengunci piano besar di rumahnya, karena ia tidak tahan saat teringat pada seorang
tetangga cilik yang membuat sore-sorenya terasa menyenangkan
baginya. Semua orang merindukan Beth. Pengantar susu, tukang
roti, penjual sayuran, dan penjual daging menanyakan keadaannya. Mrs. Hummel yang malang datang untuk meminta maaf atas
kebodohannya, dan mengambil kain untuk membungkus jenazah
Minna; para tetangga mengirimkan aneka macam benda yang menurut mereka bisa menghibur Beth dan doa-doa tulus mereka panjatkan untuk gadis kecil itu. Banyaknya teman yang memperhatikan Beth mungil yang pemalu mengejutkan bahkan mereka yang
sehari-hari hidup bersamanya.
Sementara itu, Beth masih terbaring di tempat tidur, ditemani
Joanna di sisinya. Bahkan dalam sakitnya yang parah, Beth tidak
pernah melupakan anak asuhnya yang mengibakan itu. Beth juga
merindukan kucing-kucingnya, tetapi mereka tidak diizinkan
masuk karena bisa-bisa tertular. Dan pada saat-saat yang sunyi,
ia bahkan mengkhawatirkan Jo. Beth mengirimkan pesan-pesan
penuh rasa sayang kepada Amy, meminta saudara-saudaranya
mengirimkan pesan kepada ibu mereka bahwa ia akan menulis
kembali sebentar lagi; dan sering kali meminta pensil dan kertas
karena ingin mencoba menulis sesuatu sebab ia khawatir ayah mereka mengira ia telah melupakannya. Akan tetapi, kesadarannya
dengan cepat menurun, dan Beth pun terbaring jam demi jam, bergolek-golek gelisah sambil meracau, atau jatuh tertidur begitu rupa
hingga ia melewatkan makan dan minum. Dr. Bangs datang dua
kali sehari, Hannah terjaga sepanjang malam, Meg menyiapkan
kertas telegram di mejanya agar bisa dikirimkan sewaktu-waktu,
dan Jo tidak pernah beranjak dari sisi Beth.
Hari pertama di bulan Desember merupakan hari yang sangat
dingin bagi mereka. Angin kering bertiup kencang, salju turun lebat, dan tahun itu seolah bersiap untuk menghadapi hari terakhirnya. Ketika Dr. Bangs datang pagi itu, ia menatap Beth lekat-lekat
dan lama, menggenggam tangannya yang panas selama semenit,
lalu, sambil meletakkannya kembali, berkata dengan nada rendah
kepada Hannah,?
"Jika Mrs. March bisa meninggalkan suaminya, sebaiknya ia
diminta pulang."
Hannah mengangguk tanpa berbicara. Bibirnya bergetar gelisah. Meg terduduk di kursi seolah-olah segenap kekuatannya terisap habis saat mendengar kata-kata itu dan Jo, setelah berdiri sesaat
dengan wajah seputih kertas, berlari ke ruang duduk, menyambar
kertas telegram, mengenakan mantelnya, dan bergegas pergi menembus badai. Tidak lama kemudian ia kembali masuk rumah.
Tanpa suara, ia melepaskan mentelnya. Laurie datang membawa
surat yang mengabarkan bahwa kondisi Mr. March kembali membaik. Jo membacanya dengan rasa syukur, tetapi sebuah beban berat masih menggayuti hatinya, dan wajahnya terlihat begitu sedih
sampai Laurie bertanya cepat,?
"Ada apa? Apakah keadaan Beth memburuk?"
"Aku telah meminta Ibu pulang," kata Jo, melepaskan sepatu
botnya dengan ekspresi sangat sedih.
"Bagus, Jo! Apakah kau melakukannya atas inisiatifmu sendiri?" tanya Laurie lagi, sambil menuntun Jo untuk duduk di kursi
di lorong dan membantu melepaskan sepatunya, karena kedua tangan Jo gemetar begitu kencang.
"Tidak. Dokter yang menyuruh."
"Oh, Jo, apakah begitu buruk?" seru Laurie terperanjat.
"Ya. Ia tidak mengenali kami, bahkan tidak lagi berbicara tentang sekumpulan merpati hijau, julukannya untuk daun-daun anggur yang merambat di dinding. Ia tidak tampak seperti Beth adikku, dan tidak ada orang yang membantu kami untuk menanggung
beban ini; Ibu dan Ayah tidak ada, dan Tuhan terasa begitu jauh
sampai aku tidak tahu Dia ada di mana."
Air mata mengalir deras membasahi pipi Jo. Ia merentangkan
tangannya dengan putus asa, seakan sedang meraba-raba di tengah
kegelapan, dan Laurie meraihnya, berbisik, sebaik yang ia bisa dengan suara tercekat,?
"Aku di sini, berpeganglah kepadaku, Jo, sayang!"
Jo tidak mampu berkata-kata, tetapi ia menurut dan "berpegang." Genggaman hangat tangan seseorang yang dikenalnya menenangkan hatinya yang pedih. Tangan itu terasa seakan membimbingnya lebih dekat kepada tangan Yang Maha Kuasa, dan
hanya tangan itulah yang akan mampu mengangkatnya di tengah
segala kesulitan. Laurie ingin dapat mengeluarkan kata-kata lembut serta menghibur, tetapi tidak ada kata-kata pantas yang terlintas di benaknya. Ia hanya berdiri diam, dan dengan lembut mengusap-usap kepala Jo yang tertunduk, seperti yang sering dilakukan
Mrs. March. Itulah hal terbaik yang bisa dilakukan Laurie; jauh lebih ampuh daripada kata-kata apa pun, karena Jo dapat merasakan
simpatinya tanpa harus diungkapkan dengan kata-kata. Dalam
diam, Jo bisa merasakan dirinya dihibur dan hatinya yang pedih
ditenangkan; kasih sayang yang tulus mampu mengobati kesusahan. Tidak lama kemudian, ia mengeringkan air matanya, kemudian mengangkat kepala dengan ekspresi penuh rasa terima kasih.
"Terima kasih, Teddy; aku merasa lebih baik sekarang. Aku
tidak lagi merasa begitu sedih, dan akan kucoba menanggungnya
dengan lebih baik jika itu terjadi."
"Teruslah berharap untuk yang terbaik; itu akan sangat membantumu, Jo. Sebentar lagi, ibumu akan kembali berada di tengah
kalian, dan segalanya akan baik kembali."
"Aku senang sekali kondisi Ayah membaik; Ibu tidak akan merasa terlalu bersalah karena harus meninggalkannya. Astaga! Rasanya, semua kesusahan datang bertubi-tubi, dan akulah yang harus
memikul beban terberat," Jo menghela napas. Dibentangkannya
saputangannya yang basah di pangkuannya, agar mengering.
"Tidakkah Meg turut memikul beban ini?" tanya Laurie, tajam.
"Oh, tentu saja. Ia mencoba, tetapi ia tidak mencintai Bethy
sebagaimana aku; dan ia tidak akan merindukannya seperti aku.
Beth adalah hati kecilku, dan aku tidak sanggup kehilangan dia!
Tidak sanggup! Tidak sanggup!"
Jo kembali menutup wajahnya dengan saputangan yang basah,
dan ia kembali menangis tersedu-sedu. Sejauh ini, ia selalu berusaha tegar, tanpa pernah mengeluarkan setetes air mata pun. Laurie
mengusapkan tangannya pada matanya. Ia tidak mampu berbicara
sampai perasaan tercekat di lehernya terasa mereda, dan bibirnya
tidak lagi gemetar. Ia mungkin bersikap kurang jantan, tetapi ia
tidak mampu menahannya, dan aku senang untuk itu. Kemudian, setelah isak tangis Jo mereda, ia berkata penuh harap, "Aku
tidak percaya Beth akan mati; ia begitu baik, dan kita semua begitu
menyayanginya. Aku tidak percaya Tuhan akan mengambilnya
begitu cepat."
"Orang-orang baik dan dicintai selalu mati," keluh Jo, tetapi
ia pun berhenti menangis, karena kata-kata sahabatnya membuat
semangatnya bangkit, meskipun ia masih dibayangi keraguan dan
ketakutan.
"Kasihan kau! Kau kelelahan. Tidak biasanya kau begitu putus
asa. Tenangkanlah dirimu, akan kukembalikan keceriaanmu dengan segera."
Laurie turun, melompati dua anak tangga sekaligus, sementara
Jo membaringkan kepalanya yang lelah di atas tudung cokelat kecil
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
milik Beth. Tidak ada yang terpikir untuk memindahkan tudung
itu dari meja tempat Beth meninggalkannya. Tudung itu pastilah
mengandung sihir, karena roh penuh kepasrahan dari pemiliknya
seolah-olah merasuki Jo. Saat Laurie datang kembali membawa
segelas anggur, Jo menerimanya sambil tersenyum, lalu berkata
dengan tegar, "Aku minum demi kesehatan Beth! Kau memang
dokter yang baik, Teddy, dan sahabat yang sangat bisa diandalkan;
bagaimana aku bisa membalasmu?" tambahnya. Anggur itu terasa
menyegarkan tubuhnya, dan kata-kata Laurie menenangkan pikirannya yang kalut.
"Akan kukirimkan tagihanku nanti. Malam ini, akan kuberikan sesuatu yang akan menghangatkan sisi-sisi hatimu, lebih baik
ketimbang berliter-liter anggur," ujar Laurie, tersenyum lebar dengan ekspresi seakan menyembunyikan kepuasan.
"Apa itu?" seru Jo, untuk sesaat melupakan kesedihannya karena termakan rasa ingin tahu.
"Kemarin, aku mengirim telegram kepada ibumu. Brooke menjawab bahwa ibumu akan pulang dengan segera, dan akan tiba malam ini juga. Semuanya akan baik-baik saja. Apakah kau senang?"
Laurie berbicara begitu cepat. Wajahnya merona merah dan
untuk sesaat ia menjadi amat bersemangat. Ia telah menyimpan
rahasia ini karena takut akan mengecewakan gadis-gadis March,
atau melukai perasaan Beth. Wajah Jo langsung memucat. Ia melompat bangkit dari kursi, dan begitu Laurie berhenti berbicara, Jo
mengejutkannya dengan mengalungkan kedua lengannya ke sekeliling leher pemuda itu. Jo pun berseru-seru gembira, "Oh, Laurie!
Oh, Ibu! Aku sangat senang!" Ia tidak lagi menangis, melainkan
tertawa histeris, gemetar, lantas menggelantung pada sahabatnya
seolah-olah kabar mendadak itu membuatnya kebingungan. Laurie, yang jelas-jelas terkejut, tampak mampu mengendalikan diri
dengan baik. Ia menepuk-nepuk punggung Jo untuk menenangkannya dan, melihat sahabatnya telah pulih dari kesedihan, melanjutkan dengan satu atau dua kecupan malu-malu yang membuat Jo segera tersadar. Sambil berpegangan pada sisi tangga, ia
melepaskan pelukannya dan berkata, terengah-engah, "Oh, tidak!
Maafkan aku; aku sungguh tidak sopan. Tapi kau begitu baik karena telah melakukannya tanpa mengacuhkan Hannah, sampai aku
tidak bisa menahan diri. Ceritakanlah kepadaku, dan jangan beri
aku anggur lagi; kurasa anggur itulah yang membuatku hilang kendali!"
"Aku tidak keberatan!" Laurie tergelak sembari membetulkan
dasinya. "Yah, aku semakin gelisah melihat kalian, Kakek juga.
Kami pikir, Hannah terlalu jauh mengambil kendali, dan ibumu
harus tahu keadaan ini. Ia tidak akan memaafkan kita jika Beth
?yah, jika sesuatu terjadi. Jadi, aku meminta persetujuan Kakek
bahwa sudah saatnya kami bertindak, dan kemarin aku langsung
pergi ke kantor pos, karena kulihat dokter tampak sangat murung,
dan Hannah hampir memenggal kepalaku ketika aku mengusulkan untuk mengirim telegram. Aku tidak pernah bisa tahan diperintah, jadi kubulatkan keputusanku, dan langsung kulaksanakan.
Ibumu akan datang, aku tahu. Kereta terakhir tiba pada pukul dua
pagi. Aku akan menjemputnya, sementara kau mengendalikan
emosimu dan menjaga Beth agar tetap tenang, sampai ibumu tiba."
"Laurie, kau sungguh malaikat! Bagaimana aku bisa berterima
kasih kepadamu?"
"Coba peluk aku lagi; aku menyukainya," kata Laurie, tampak
jahil?sesuatu yang sudah cukup lama tidak ia tampilkan.
"Tidak, terima kasih. Akan kulakukan kepada orang terdekatmu, saat kakekmu datang. Jangan menggodaku. Pulanglah dan
beristirahatlah, kau akan terjaga separuh malam ini. Diberkatilah
engkau, Teddy; diberkatilah engkau!"
Jo bergerak mundur ke suatu sudut dan, begitu menyelesaikan
kata-katanya, menghilang ke dalam dapur. Di sana, ia duduk di depan lemari, dan memberitahu sekelompok kucing bahwa ia sedang,
"Bahagia, oh, sangat bahagia!" Laurie pergi dengan perasaan bahwa
ia berhasil menghibur sahabatnya.
"Dia bocah paling suka ikut campur yang pernah kulihat; tetapi aku memaafkannya, dan kuharap Mrs. March sedang berada
dalam perjalanan," ujar Hannah, menunjukkan kelegaan, saat Jo
memberitahukan kabar baik itu.
Meg sempat ribut sesaat, lalu merenungi surat tadi, sementara Jo membereskan kamar tempat si sakit terbaring dan Hannah
"menyiapkan beberapa kue pai kalau-kalau ada tamu mendadak."
Udara segar seolah berembus di rumah itu. Ada sesuatu yang mencerahkan kamar-kamar yang sunyi, lebih terang dari sang mentari.
Segalanya seketika kelihatan kembali penuh harapan; burung Beth
mulai bercicip lagi, dan setangkai mawar yang sudah separuh tertiup angin terlihat merekah di antara pot-pot Amy di jendela. Api
perapian seolah menyala dengan lebih ceria, dan setiap kali gadisgadis di rumah itu berpapasan, senyum merekah di wajah-wajah
pucat mereka, seiring dengan pelukan dan bisikan menyemangati,
"Ibu akan datang, Sayang! Ibu akan datang!" Setiap orang berbahagia, kecuali Beth. Ia masih terus diselubungi kabut tebal, tidak
sadar terhadap harapan maupun kegembiraan, keraguan ataupun
bahaya. Pemandangan yang memedihkan hati?wajah yang sebelumnya selalu merona lembut kini begitu berubah dan kosong,
tangan-tangan yang sebelumnya selalu sibuk kini lemas terkulai,
mulut yang tadinya tersenyum sekarang tanpa ekspresi, dan rambut yang tadinya cantik tertata, sekarang menjadi kasar dan kusut di atas bantal. Begitulah keadaannya sepanjang hari. Sesekali,
ia terbangun hanya untuk menggumamkan, "Air!" dengan bibir
begitu kering, hingga para penjaganya kesulitan memahami katakatanya. Sepanjang hari, Jo dan Meg mengawasi Beth, mengamati,
menunggu, dan memasrahkan keadaan kepada Tuhan serta ibu
mereka. Salju turun pada hari itu, angin dingin mengamuk, dan
waktu berjalan sangat lambat. Tapi, akhirnya, malam pun datang.
Setiap kali jam berubah, Jo dan Meg, yang masih duduk di kedua sisi tempat tidur, saling memandang dengan mata bercahaya,
karena setiap jam yang berlalu membawa ibu mereka kian dekat.
Dokter sempat datang, dan berkata bahwa perubahan, baik ataupun buruk, kemungkinan akan terjadi pada tengah malam?dan ia
akan datang lagi pada saat itu.
Hannah, yang kelelahan, berbaring di sofa yang terletak di kaki
tempat tidur, dan dengan segera tertidur. Mr. Laurence berjalan
mondar-mandir di ruang duduk, ia merasa lebih baik menghadapi
pemberontakan ketimbang kecemasan Mrs. March yang nanti
akan datang. Laurie berbaring di karpet, pura-pura beristirahat,
padahal ia memandang perapian dengan tatapan serius yang membuat kedua mata hitamnya yang indah tampak lembut sekaligus
jernih.
Kedua gadis March tidak akan pernah melupakan malam itu.
Rasa kantuk sama sekali tidak dapat menghinggapi mereka selama mereka berjaga, sementara hati mereka dikuasai perasaan tidak
berdaya, yang biasa kita rasakan pada saat-saat seperti itu.
"Jika Tuhan membiarkan Beth hidup, aku tidak akan pernah
mengeluh lagi," bisik Meg dengan sungguh-sungguh.
"Jika Tuhan membiarkan Beth hidup, akan kucoba untuk mencintai dan mengabdi kepada-Nya seumur hidupku," kata Jo, dengan semangat yang sama besar.
"Kalau saja aku tidak punya hati... rasanya sakit sekali sekarang," ucap Meg setelah terdiam sesaat.
"Kalau hidup sering ditimpa kesulitan seperti ini, aku tidak
tahu bagaimana kita bisa melaluinya," tambah adiknya, seolah kehabisan semangat.
Tepat ketika itu, jam menunjukkan pukul dua belas tengah malam, dan keduanya mengalihkan perhatian kepada Beth, karena
mereka mengharapkan perubahan terpancar pada wajahnya. Rumah begitu sunyi, sesunyi kuburan, dan hanya suara angin menderu-deru yang memecah kesenyapan. Hannah yang kelelahan terus tidur. Sebuah bayangan pucat seakan jatuh di atas tempat tidur
kecil itu, dan tidak ada yang menyaksikannya kecuali Jo dan Meg.
Satu jam berlalu, tanpa ada yang terjadi kecuali kepergian Laurie,
tanpa suara, ke stasiun. Satu jam lagi berlalu, dan masih belum
ada yang tiba. Jo dan Meg dihantui kegelisahan akan kemungkinan
terhambatnya ibu mereka akibat badai, atau kecelakaan dalam perjalanan atau, yang terburuk, sesuatu telah terjadi di Washington.
Jam menunjukkan pukul dua lewat ketika Jo, yang berdiri di
jendela dan berpikir betapa menjemukannya dunia ini di bawah
lapisan salju yang terhampar luas, mendengar suara gerakan dari
arah tempat tidur. Ia segera berbalik dan melihat Meg berlutut di
depan kursi santai ibu mereka, menyembunyikan wajahnya. Rasa
takut yang dingin menjalari Jo saat ia berpikir, "Beth sudah tiada,
dan Meg tak berani memberitahu aku."
Dengan seketika, Jo kembali ke sisi tempatnya berjaga. Di matanya yang sedang dilanda ketegangan, perubahan besar seakan
sedang terjadi. Rona merah akibat demam, dan ekspresi kesakitan,
sudah hilang. Terbujur diam tak bergerak, wajah mungil Beth tampak begitu pucat dan damai, hingga Jo tidak merasakan keinginan untuk menangis ataupun meratap. Membungkuk di atas wajah
adik kesayangannya, ia mencium dahi yang terasa lembap itu, dengan cinta di bibirnya, sambil berbisik pelan, "Selamat jalan, Beth
tersayang; selamat jalan!"
Seolah-olah dibangunkan oleh sesuatu, Hannah tiba-tiba terjaga. Ia bergegas menghampiri tempat tidur, menatap Beth, meraba nadinya, mendengarkan bunyi napas di bibirnya, kemudian,
sambil menutupi kepalanya dengan celemek, duduk bergoyanggoyang, dan mengoceh, "Demamnya telah pergi; ia tidur enak;
kulitnya berkeringat, dan ia bernapas lancar. Oh, puji syukur! Oh,
ya, ampun!"
Sebelum Jo dan Meg bisa memercayai kabar gembira itu, dokter datang dan mengatakan hal yang sama. Wajahnya tidak tampan, tetapi bagi Jo dan Meg, ia tampak sangat tampan ketika tersenyum, dan berkata, dengan pandangan kebapakan ke arah mereka,
"Ya, anak-anakku; kurasa gadis kecil ini akan bertahan. Jagalah
agar rumah tetap tenang; biarkan ia tidur, dan saat ia bangun, berikan..."
Keduanya tidak pernah mendengar apa yang harus diberikan;
mereka telah menghilang ke lorong yang gelap dan duduk di ujung
tangga, saling menggenggam tangan dengan erat, merayakan kabar gembira itu dalam diam, karena hati mereka terlalu penuh untuk bisa berbicara. Saat mereka kembali ke kamar untuk menerima
kecupan dan pelukan dari Hannah, mereka menemukan Beth berbaring dengan satu tangan mengalasi pipinya, seperti biasa. Pucatnya yang mengerikan telah hilang, dan Beth bernapas dengan
tenang, seakan ia baru saja tertidur.
"Kalau saja Marmee tiba sekarang juga!" kata Jo, seiring dengan mulai memudarnya malam musim dingin.
"Lihat ini," kata Meg, menghampiri Jo dengan setangkai mawar putih yang separuh mekar. "Kupikir, bunga ini akan siap untuk diletakkan di dalam genggaman Beth esok jika ia?meninggalkan kita. Tetapi, bunga ini mulai mekar tadi, dan sekarang akan
kuletakkan di jambangan di sini, agar saat Beth terjaga, hal pertama yang akan ia lihat adalah bunga kecil ini, serta wajah Ibu."
Di mata Meg dan Jo, belum pernah mentari terbit dengan begitu indahnya, dan belum pernah dunia terasa begitu membahagiakan, selain pada saat itu, ketika mereka menatap datangnya pagi
setelah malam yang begitu panjang dan menegangkan, tanpa tidur
sepicing pun.
"Di luar sana tampak bagaikan dunia peri," kata Meg, tersenyum pada diri sendiri, sembari berdiri di balik tirai, mengamati
pemandangan yang memukau itu.
"Terpujilah Tuhan!" seru Jo, sambil beranjak berdiri.
Ya, suara bel terdengar dari pintu di bawah, diikuti teriakan
Hannah, dan suara Laurie yang membawa berita gembira, "Hai
kalian! Ibu pulang! Ibu pulang!"
Surat Wasiat Amy
ementara banyak hal sedang berlangsung di rumah, Amy
mengalami masa-masa sulit bersama Bibi March. Penga
singan ini amat memengaruhinya dan, untuk pertama kalinya, ia
menyadari betapa ia begitu dicintai serta dimanjakan di rumah.
Bibi March tidak pernah memanjakan siapa pun; perempuan tua
itu tidak pernah menyukai sikap itu. Namun, Bibi March ingin
bersikap baik karena perilaku sopan Amy kecil membuatnya senang. Lagi pula, di hatinya yang tua, anak-anak kemenakannya selalu punya tempat istimewa, walaupun ia menganggap tidak pantas baginya untuk mengakuinya secara terbuka. Jadi, Bibi March
sungguh-sungguh mencoba untuk menyenangkan Amy. Tetapi,
aduh, betapa salah caranya! Ada orang-orang tua yang jiwanya tetap muda meskipun kulit mereka mengeriput dan rambut mereka
memutih, yang bisa menerima keceriaan dan kesembronoan anakanak, yang bisa membuat mereka merasa nyaman, yang mampu
menyembunyikan pelajaran bijak di balik cara-cara yang ringan,
serta memberikan dan menerima persahabatan dengan amat ma303
nis. Sayang, Bibi March tidak dikaruniai bakat seperti itu, hingga
ia membuat Amy gelisah setengah mati dengan banyaknya aturan
dan perintah, caranya yang kaku, dan ceramahnya yang panjang
serta bertele-tele. Amy yang di matanya lebih patuh dan ramah dibanding kakak-kakaknya, membuat Bibi March merasa berkewajiban untuk terus mencoba dan berusaha sekeras-kerasnya menghapus efek buruk dari pendidikan di rumah kemenakannya yang
penuh kebebasan sekaligus kemanjaan. Jadi, ia membimbing Amy
dan mengajarkan kepadanya pelajaran yang ia terima enam puluh
tahun yang lalu. Proses ini menimbulkan perasaan tak berdaya dalam diri Amy, dan membuat gadis kecil itu merasa bagaikan lalat
yang terperangkap di jaring laba-laba galak.
Setiap pagi Amy disuruh mencuci cangkir-cangkir, kemudian
mengelap sendok-sendok antik, poci teh bulat, serta kaca-kaca,
sampai semuanya mengilap. Setelah itu, ia harus membersihkan
kamar-kamar dari debu?tugas yang sungguh sulit! Tidak ada setitik debu pun yang lolos dari mata Bibi March. Semua perabot
di sana memiliki kaki-kaki berlekuk, serta banyak sekali ukiran,
yang tidak pernah dibersihkan dengan benar. Tugas berikutnya
adalah memberi makan Polly, menyisir anjing, dan naik-turun
tangga selusin kali untuk mengambilkan atau mengantarkan sesuatu. Bibi March tidak terlalu rajin, dan ia jarang meninggalkan
tempat duduknya di kursi kebesarannya. Setelah semua tugas yang
melelahkan itu, Amy harus belajar, dan inilah tantangan bagi segenap kekuatan moral yang dimilikinya, yang harus ia hadapi setiap hari. Setelah semua itu, barulah ia diizinkan beristirahat atau
bermain selama satu jam. Masa satu jam tersebut sangat ia nikmati. Laurie datang setiap hari, dan membujuk Bibi March begitu
rupa sampai Amy diperbolehkan pergi keluar dengannya. Mereka
berjalan-jalan, berkuda, dan bersenang-senang. Seusai makan siang, ia harus membaca dengan suara keras, kemudian duduk diam
sementara perempuan tua itu tertidur, biasanya selama satu jam,
setelah mendengarkan halaman pertama dibacakan. Sehabis membaca, muncul lagi tugas menyulam atau mengelap barang-barang,
kemudian Amy menjahit sampai petang. Dari luar ia tampak patuh, namun hatinya memberontak. Pada petang hari, ia diizinkan
bermain-main sampai tiba saatnya minum teh. Malam hari adalah
waktu yang terburuk karena Bibi March senang mendongeng panjang-panjang tentang masa mudanya. Ceritanya luar biasa membosankan, sampai-sampai Amy selalu berniat untuk menangisi
nasibnya sebelum tidur setiap malam, walaupun pada umumnya
ia sudah terlelap sebelum sempat mengeluarkan satu ada dua titik
air mata.
Kalau bukan karena Laurie dan Esther si pelayan tua, ia merasa tidak akan mampu melalui hari-hari yang sulit itu. Burung
kakaktua itu sendiri sudah cukup untuk membuat Amy merasa
kewalahan. Si burung, begitu menyadari Amy tidak menyukainya, langsung membalas dendam dengan menjadi senakal yang ia
bisa. Burung itu menarik rambut Amy saat ia berada di dekatnya,
menumpahkan roti dan susunya setelah sangkarnya dibersihkan
untuk membuat Amy kesal, dan membuat Mop menyalak dengan
mematuki anjing itu sementara Bibi March sedang terkantuk-kantuk. Si burung juga menjuluki Amy dengan macam-macam nama
di hadapan orang lain, dan secara umum berperilaku layaknya burung tua yang pantas mendapat hukuman. Selain itu, Amy juga
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak tahan melihat anjing gendut dan pemberang, yang mendesis
dan menggonggong kepadanya sementara Amy membersihkan pasirnya. Apabila ada sesuatu yang ingin ia makan, anjing itu akan
berbaring pada punggungnya, keempat kaki terjulur ke atas, dan
menampilkan ekspresi terdungu?kira-kira selusin kali dalam sehari. Koki di rumah itu seorang pemarah, sementara tukang kereta
sudah tuli, sehingga hanya Esther-lah satu-satunya yang memperhatikan keberadaan Amy.
Esther adalah perempuan Prancis yang telah tinggal bersama
"Madam"?begitu ia memanggil majikannya?selama bertahuntahun. Ia agak menguasai Bibi March, karena perempuan tua itu tidak sanggup berbuat apa-apa tanpa dirinya. Nama aslinya Estelle,
tetapi Bibi March memerintahkan agar nama itu diganti. Ia setuju,
dengan syarat ia tidak akan pernah diminta untuk berganti agama.
Esther menyenangi mademoiselle?si nona cilik. Jika Amy duduk
bersamanya, sementara ia merapikan renda-renda Madame, ia
menghibur Amy dengan cerita-cerita aneh mengenai kehidupannya di Prancis. Ia juga membiarkan Amy menjelajahi rumah besar
itu, melihat-lihat berbagai benda cantik serta unik yang disimpan
di dalam lemari-lemari dan laci-laci besar yang antik. Bibi March
orang yang suka menimbun barang, persis burung magpie. Kesukaan Amy adalah lemari bergaya India penuh dengan laci-laci ganjil,
lubang-lubang kecil, serta tempat-tempat penyimpanan rahasia
untuk macam-macam ornamen?sebagian berharga, sebagian lagi
unik, tetapi semuanya kurang-lebih adalah benda antik. Memperhatikan dan menata benda-benda itu memberikan rasa puas bagi
Amy, terutama tempat-tempat perhiasan. Di dalamnya, di atas
dudukan terbuat dari beludru, bersandarlah aksesoris yang menghiasi diri seorang gadis muda pada masa empat puluh tahun yang
lalu. Ada pula gaun merah tua yang dikenakan Bibi March saat ia
melakukan debutnya sebagai gadis lajang, mutiara yang diberikan
ayahnya pada hari pernikahannya, berlian dari kekasihnya, cincin
dan pin duka cita, bandul-bandul kalung berbentuk aneh berhiaskan foto-foto kawan-kawannya yang telah tiada, hiasan berbentuk
pohon dedalu yang terbuat dari rambut, dan gelang-gelang bayi
yang dahulu kala dikenakan putri kecilnya. Jam besar milik Paman
March, dengan segel merah yang sudah dimainkan oleh begitu ba306
nyak tangan kanak-kanak juga ada di sana. Kemudian, di dalam
sebuah kotak, berbaring sendirian, adalah cincin pernikahan Bibi
March, kini terlalu kecil untuk jarinya yang telah menggemuk.
Cincin itu disimpan dengan hati-hati, seakan merupakan perhiasan yang paling berharga dari semuanya.
"Mana yang akan dipilih oleh Mademoiselle, jika ia diizinkan?"
tanya Esther, yang selalu duduk di dekat Amy untuk mengawasi
serta menyimpan kembali benda-benda berharga itu.
"Aku paling suka berlian, tetapi di sini tidak ada kalung, padahal aku sangat suka kalung, karena kelihatannya sangat cantik.
Andaikan aku disuruh memilih, aku akan memilih ini," Amy
menjawab sambil dengan penuh kekaguman menatap serangkaian
manik-manik yang terbuat dari emas dan kayu eboni, dan yang
di ujungnya tergantung salib berat, terbuat dari bahan yang sama.
"Aku juga menyukainya, tetapi bukan sebagai kalung; ah, bukan! Bagiku, benda ini disebut rosario, dan karena itu akan kugunakan selayaknya seorang Katolik yang baik," kata Esther, ikut
menatap penuh harap benda indah itu.
"Apakah gunanya sama dengan serangkaian manik-manik
kayu beraroma harum yang digantung di atas kacamu?" tanya
Amy.
"Ya, benar, untuk berdoa. Para santo dan santa akan sangat senang jika seseorang menggunakan rosario sebagus ini, dan bukan
menggunakannya sebagai aksesori untuk bergaya."
"Esther, kau sepertinya selalu menemukan penghiburan dan
kedamaian dalam doa-doamu, dan selalu tampak tenang dan damai
sehabis berdoa. Kuharap aku bisa begitu."
"Jika Mademoiselle seorang Katolik, ia pun akan menemukan
kedamaian sejati. Namun, kau bukan seorang Katolik. Mungkin
ada baiknya jika kau menyisihkan waktu setiap hari untuk ber307
meditasi dan berdoa, seperti yang dilakukan majikanku yang baik
hati, kepada siapa aku bekerja sebelum di sini. Ia punya kapel kecil, dan di sanalah ia menemukan ketenangan jiwa saat menemui
kesulitan."
"Bolehkah aku melakukannya?" tanya Amy yang, di saat sendirinya, merasa membutuhkan bantuan dalam bentuk apa pun. Ia
juga menyadari bahwa, tanpa Beth untuk mengingatkan, ia dengan
mudah melupakan kitab kecilnya.
"Hal itu akan sangat bermanfaat. Dengan senang hati akan
kubereskan ruang pakaian yang kecil untukmu, kalau kau mau.
Tidak perlu mengatakan apa pun kepada Madame, tetapi saat ia
tidur, pergilah kau ke sana, duduklah untuk sesaat, dan pikirkan
hal-hal baik, kemudian mohonlah kepada Tuhan untuk menjaga
kakakmu."
Esther adalah pribadi yang saleh, dan nasihatnya diberikan dengan tulus. Hatinya memang pengasih, dan ia sangat bersimpati
kepada kakak-beradik March dalam masa sulit itu. Amy menyukai
usulnya, kemudian mengizinkan Esther membereskan ruang pakaian kecil di sebelah kamarnya, dan berharap hal itu akan membantunya.
"Kalau saja aku tahu ke mana benda-benda indah akan pergi
jika nanti Bibi March wafat," katanya, dengan perlahan meletakkan lagi rosario yang mengilap itu, dan menutup kotak-kotak perhiasan itu satu demi satu.
"Kepadamu dan kepada kakak-kakakmu. Aku tahu itu; Madam
yang mengatakannya kepadaku. Akulah saksi dalam surat wasiatnya, dan memang itulah yang akan terjadi," bisik Esther, tersenyum.
"Bagus sekali! Tapi seharusnya ia membiarkan kami memiliki?
nya sekarang. Pe-nun-da-an ini sangat disayangkan," ujar Amy,
melempar tatapan terakhir ke arah berlian-berlian.
"Masih terlalu dini bagi gadis-gadis muda untuk mengenakan
benda-benda ini. Anak pertama yang bertunangan akan mendapatkan mutiara?begitu kata Madame. Juga, kurasa, kau akan
mendapatkan cincin berwarna biru toska itu saat giliranmu tiba,
karena Madame menyukai perilaku baikmu serta sikapmu yang
memikat."
"Begitukah? Oh, pasti senang sekali kalau aku bisa memiliki
cincin itu sekarang! Kelihatannya jauh lebih cantik ketimbang cincin Kitty Bryant. Yah, sekarang, aku jadi menyukai Bibi March,"
dan Amy pun mencoba mengenakan cincin biru itu dengan wajah
gembira, serta tekad teguh untuk memilikinya.
Sejak hari itu, Amy menampakkan kepatuhan yang patut diteladani. Bibi March mengagumi keberhasilan bimbingannya dengan puas. Sementara itu, Esther meletakkan sebuah meja kecil
di ruang pakaian kecil, dan melengkapinya dengan bangku rendah untuk berlutut. Di atas meja, ia mendudukkan sebuah gambar,
yang diambilnya dari salah satu kamar yang tertutup. Bagi Esther,
gambar itu tidak bernilai apa pun. Namun, karena ingin menciptakan situasi ideal, ia pun meminjamnya. Ia tahu, Bibi March tidak
akan tahu, ataupun peduli. Akan tetapi, gambar itu sesungguhnya
adalah tiruan yang berharga dari salah satu gambar terkenal di dunia. Sepasang mata Amy yang mencintai keindahan tidak pernah
lelah memandangi seraut wajah lembut di antara wajah-wajah suci
lainnya, sementara pikiran-pikirannya sendiri sibuk berseliweran. Di atas meja, Amy menaruh Kitab Suci, buku lagu pujian, dan
sebuah jambangan bunga yang selalu diisi dengan bunga-bunga
terbaik yang dibawakan Laurie setiap hari. Amy menyempatkan
diri masuk ke ruangan itu setiap hari, untuk "duduk sendirian,
memikirkan hal-hal baik, dan berdoa agar Tuhan menjaga kakaknya." Esther memberinya rosario bermanik-manik hitam dan salib
perak, tetapi Amy hanya menggantungkannya dan tidak meng309
gunakannya, karena tidak tahu bagaimana rosario itu akan sesuai
dengan doa-doa Protestan.
Amy kecil melakukan ritual itu dengan sungguh-sungguh.
Berada sendirian di luar rumahnya yang nyaman, ia merasakan
kebutuhan akan uluran tangan, untuk digenggamnya erat-erat.
Dorongan alamiah membuatnya berpaling kepada sang Sahabat
yang kuat sekaligus lembut, yang cinta kebapakannya paling lekat
di hati semua anak-Nya yang masih kecil. Ia merindukan bimbingan ibunya untuk memahami serta mengatur dirinya sendiri.
Namun, ia sudah diajarkan ke mana harus mencari, dan dengan
sebaik mungkin ia mencoba menemukan jalan tersebut, serta berjalan di atasnya dengan keyakinan penuh. Di sisi lain, Amy adalah
pengembara muda, dan pada saat itu bebannya terasa terlalu berat.
Ia mencoba melupakan kesusahannya, mencoba selalu ceria dan
dengan senang melakukan tugas-tugasnya sebaik mungkin, walaupun tidak ada yang melihat ataupun memberinya pujian. Dalam usahanya untuk menjadi sangat, sangat baik, ia memutuskan
untuk membuat surat wasiat, seperti yang dilakukan Bibi March.
Amy berjaga-jaga kalau-kalau ia benar-benar sakit kemudian mati,
barang-barang peninggalannya dapat dibagikan dengan adil serta
murah hati. Hanya memikirkan ia harus menyerahkan benda-bendanya saja hatinya terasa tercubit. Baginya, benda-benda itu sama
berharganya dengan semua perhiasan Bibi March.
Pada salah satu jam istirahatnya, Amy menuliskan dokumen
penting itu sebaik mungkin, dengan sedikit bantuan dari Esther
untuk istilah-istilah hukum. Kemudian, setelah perempuan Prancis baik hati itu membubuhkan namanya, Amy pun merasa lega.
Ia lantas meletakkannya untuk diperlihatkan kepada Laurie, yang
diinginkan Amy sebagai saksi kedua. Hari itu hujan, jadi ia pergi ke atas untuk menghibur diri di dalam salah satu kamar besar,
bersama Polly untuk menemaninya. Kamar yang ia tuju kali itu
menyimpan satu lemari penuh dengan pakaian-pakaian tua. Esther
membiarkan Amy bermain dengan baju-baju tersebut, dan inilah
kegiatan yang paling disukai Amy. Ia senang membalut dirinya
dengan gaun-gaun brokat yang warnanya telah pudar, kemudian
berjalan di depan cermin panjang, membungkuk, lantas berkeliling
menyapukan ujung baju, menghasilkan suara gemerisik yang disenanginya. Amy begitu sibuk pada hari itu, hingga ia tidak mendengar Laurie membunyikan bel, ataupun melihat wajah Laurie
saat mengintipnya. Amy asyik berjalan hilir-mudik, mengibaskan
kipas tangan dan melemparkan kepalanya yang berlapiskan turban berwarna merah muda menyala, kontras dengan gaun brokat
berwarna biru dan gaun rajutan berwarna kuning. Ia mengenakan
sepatu berhak tinggi, sehingga harus berjalan dengan hati-hati. Sebagaimana diceritakan Laurie kepada Jo setelahnya, pemandangan
itu amatlah lucu?Amy berjalan hilir-mudik mengenakan jaket indah, dengan Polly mengepak dan mengikuti di belakangnya, meniru Amy semampunya. Sesekali, Polly berhenti untuk tertawa,
atau berseru, "Hebat, ya, kita? Ayo sini, penakut! Tahan lidahmu!
Cium aku, Sayang; ha! Ha!"
Setelah mati-matian menahan ledakan tawa agar tidak menyinggung tuan putri yang terhormat, Laurie mengetuk, dan dipersilakan masuk.
"Duduk dan beristirahatlah dulu sementara aku membereskan
barang-barang ini. Setelah itu, aku mau meminta nasihatmu atas
sesuatu hal yang sangat penting," kata Amy, usai menunjukkan
"harta karunnya" dan mengusir Polly ke sudut ruangan. "Burung
itu adalah cobaan dalam hidupku," lanjutnya, melepaskan gundukan kain dari kepalanya, sementara Laurie duduk melintang di sebuah kursi. "Kemarin, ketika Bibi sedang tidur, dan aku berusaha
sediam tikus, Polly mulai berteriak-teriak dan terbang di sangkar311
nya; jadi kubiarkan ia keluar. Di dalam sangkar, aku menemukan
seekor laba-laba besar. Kucolok-colok laba-laba itu sampai ia keluar, dan melarikan diri ke bawah rak buku. Polly segera berlari mengejarnya, menunduk dan mengintip ke bawah rak sambil berkata,
dengan caranya yang kocak dan satu mata terpicing, ?Mari keluar
dan berjalan-jalan, Sayang.? Aku tidak mampu menahan tawa, dan
tawaku membuat Polly mengumpat, membangunkan Bibi, serta
membuatnya memarahi kami berdua."
"Apakah laba-laba itu menerima ajakan si burung tua?" tanya
Laurie sambil menguap.
"Ya. Ia keluar, dan Polly lantas melarikan diri, ketakutan setengah mati, kemudian dengan susah-payah memanjat kursi Bibi
sambil berseru-seru, ?Tangkap dia! Tangkap dia! Tangkap dia!? sementara aku mengejar laba-laba itu."
"Bohong! Duh!" burung kakaktua itu berteriak sambil mematuki sepatu Laurie.
"Kalau saja kau milikku, hai makhluk penyiksa, sudah kupatahkan lehermu," seru Laurie, menggoyangkan tinjunya di muka
Polly, yang menelengkan kepalanya dan berkata parau, "Haleluyer! Teberkatilah kau, Sayang!"
"Nah, aku sudah siap," kata Amy, menutup lemari, dan mengeluarkan secarik kertas dari sakunya. "Tolong, aku ingin kau
membacanya dan katakan kepadaku apakah ini sudah sesuai hukum dan sudah benar. Aku merasa harus menuliskannya, karena
hidup penuh dengan ketidakpastian, dan aku tidak ingin ada perselisihan setelah aku mati."
Laurie menggigit bibirnya. Ia berpaling dari wajah serius Amy,
kemudian mulai membaca tulisan berikut, dengan tingkat kesungguhan yang patut dipuji, mengingat kesalahan eja yang tertera:
"SURAT WASIAT DAN PESANKU YANG TERAKHIR.
"Saya, Amy Curtis March, menulis ini dalam keadaan sehat,
dengan ini memberikan dan meninggalkan semua harta kepunyaan saya?kepada, yang disebutkan:?yaitu
"Kepada ayah saya, saya berikan karya-karya saya yang terbaik, sketsa, peta, dan benda-benda seni lainnya, termasuk pigura.
Saya tinggalkan pula uang senilai $100, yang bebas digunakannya
untuk apa pun juga.
"Kepada ibu, saya berikan semua pakaian saya, kecuali celemek biru dengan saku,?juga kesukaan saya, dan medali saya, dengan penuh cinta.
"Kepada kakak tercinta Margaret, saya berikan cincin toskha
(jika saya mendapatkannya), juga kotak hijau dengan merpati di
atasnya, dan sehelai renda sungguhan milik saya untuk menghias
lehernya, serta gambar sketsa wajahnya buatan saya, sebagai pengingat akan ?gadis kecilnya?.
"Kepada Jo, saya berikan bros, bros yang dibetulkan menggunakan lilin penyegel, tempat tinta terbuat dari perunggu?ia
menghilangkan tutupnya?dan kelinci gipsum saya yang berharga, karena saya sangat amat menyesal telah membakar tulisannya.
"Kepada Beth (jika ia hidup lebih lama dari saya) saya berikan
boneka-boneka dan meja kecil, kipas, kerah linen, dan sandal rumah yang baru, jika ia masih bisa mengenakannya dalam keadaan
kurus setelah sembuh nanti. Dan dengan ini, saya juga menyampaikan permintaan maaf saya karena pernah mengejek Joanna.
"Kepada sahabat dan tetangga saya Theodore Laurence, saya
tinggalkan kumpulan prakarya kertas, dan kuda terbuat dari tanah
liat, meskipun menurutnya kuda itu tidak memiliki leher. Juga,
sebagai balasan dari kebaikannya pada masa sulit, saya berikan
karya seni saya mana pun yang ia sukai?Noter Dame adalah yang
terbaik.
"Kepada penderma yang terhormat Mr. Laurence, saya tinggalkan sebuah kotak ungu dengan kaca pada tutupnya, yang akan
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cocok untuk pena-penanya, dan yang akan mengingatkannya akan
seorang gadis yang telah tiada, yang selalu berterima kasih kepadanya atas bantuannya kepada keluarganya, terutama kepada Beth.
"Kepada teman kesayangan saya, Kitty Bryant, saya tinggalkan celemek biru dan cincin bermanik berwarna emas, dengan
kecupan sayang.
"Kepada Hannah, saya berikan kotak yang ia inginkan, dan
semua kain perca, dengan harapan ia ?akan mengingat saya, saat
melihatnya.?
"Dan sekarang, setelah membagi harta benda saya yang paling berharga, saya harap semua pihak akan puas dan tidak akan
menyalahkan pihak yang telah pergi. Saya memaafkan kesalahan
semua orang, dan yakin kita akan bertemu kembali saat sangkakala dibunyikan. Amin.
"Pada wasyat dan pesin ini, saya bubuhkan tulisan dan tanda
tangan, tertanggal pada hari kedua puluh bulan Nov. Tahun Masehi 1861.
"Amy Curtis March.
"Saksi-saksi: Estelle Valnor, Theodore Laurence."
Nama yang terakhir itu ditulis menggunakan pensil, dan Amy
menjelaskan bahwa Laurie harus menulis ulang dengan tinta, lantas menyegelnya dengan benar untuk Amy.
"Apa yang menyebabkanmu menulis surat ini? Apakah ada
orang yang mengatakan kepadamu bahwa Beth membagi-bagikan
barang-barangnya?" tanya Laurie dengan muram, saat Amy meletakkan sedikit selotip merah, dengan lilin, batang stempel, dan alas
stempel di hadapannya.
Amy pun menjelaskan; lalu bertanya, gelisah, "Memang ada
apa dengan Beth?"
"Maafkan aku. Tetapi, aku telah mengatakannya, jadi akan
kuceritakan. Ia menjadi sangat sakit pada suatu hari, dan berkata kepada Jo bahwa ia ingin memberikan pianonya kepada Meg,
burungnya kepadamu, dan boneka tua malang itu kepada Jo, yang
akan menjaganya demi Beth. Ia meminta maaf karena hanya dapat
meninggalkan sangat sedikit barang, kemudian memberikan beberapa untai rambut untuk kami semua, serta cintanya untuk Kakek.
Ia tidak pernah berpikir untuk membuat surat wasiat."
Laurie berbicara sambil memberikan tanda tangan serta menyegel surat Amy. Ia tidak mengangkat wajahnya sampai sebulir
besar air mata jatuh ke atas kertas. Wajah Amy diliputi kecemasan
mendalam, tetapi ia hanya berkata, "Tidakkah terkadang ada yang
menambahkan pesan tambahan di dalam wasiat mereka?"
"Ya, pernyataan yang ditulis tangan, namanya codicil."
"Tambahkan satu di suratku ? bahwa aku mau semua rambutku dipotong dan diberikan kepada teman-temanku. Tadinya tidak
terpikir olehku; tetapi aku ingin melakukannya, meskipun hal itu
akan merusak penampilanku."
Laurie pun menambahkan pesan tersebut, tersenyum mendengar pengorbanan terakhir dan terbesar dari Amy. Setelah itu, ia
menemani dan menghibur Amy selama satu jam, dan sangat tertarik mendengar pengalamannya di rumah itu. Tetapi, saat tiba waktunya untuk pergi, Amy menahannya, dan dengan bibir gemetar ia
berbisik, "Apakah kondisi Beth sungguh-sungguh dalam bahaya?"
"Maafkan aku, tetapi sepertinya memang begitu. Tapi, kita
harus mengharapkan yang terbaik, jadi jangan menangis, Manis,"
dan Laurie pun merangkul Amy dengan sikap layaknya seorang
kakak lelaki. Rangkulannya terasa amat nyaman bagi Amy.
Sepulangnya Laurie, Amy masuk ke dalam kapel mungilnya.
Duduk di tengah keremangan, ia berdoa untuk Beth dengan air
mata mengalir deras dan rasa pedih di hatinya. Sejuta cincin toska
tidak bisa menghiburnya karena rasa kehilangan akan kakaknya
yang mungil dan lembut hati.
Curahan Hati
Anak-Anak March
ku tidak punya cukup kata yang bisa kupakai untuk menggambarkan pertemuan antara seorang ibu dan putri-putri
nya. Saat itu sangat indah untuk dialami, tetapi sangat sulit untuk
diceritakan, jadi akan kutinggalkan momen itu kepada imajinasi
pembaca. Aku hanya bisa mengatakan bahwa rumah keluarga
March seketika menjadi benderang karena hadirnya kebahagiaan
yang murni, dan bahwa harapan baik Meg akhirnya terwujud, karena saat Beth terjaga dari tidurnya yang panjang, dua hal pertama
yang dilihatnya adalah setangkai mawar kecil dan wajah ibunya.
Terlalu lemah untuk berpikir, Beth hanya tersenyum, lalu bergerak mendekat kepada lengan-lengan penuh cinta di sekelilingnya,
merasa bahwa kerinduannya yang mendalam akhirnya terpenuhi.
Setelah itu, ia kembali tertidur, sementara kedua kakaknya menunggui ibu mereka, karena Mrs. March tidak ingin melepaskan
sebuah tangan kurus yang bergayut padanya, bahkan di saat ia
tidur. Hannah, yang merasa tidak mampu mengungkapkan kegirangannya dengan cara lain, "menciptakan" sarapan yang luar
biasa lezat untuk sang musafir. Meg dan Jo menyuapi Mrs. March
layaknya burung-burung bangau yang setia, sambil mendengarkan ibu mereka bercerita dengan suara lirih tentang keadaan Mr.
March, janji Mr. Brooke untuk tetap tinggal dan merawatnya,
perjalanan pulang yang terhambat badai salju, serta rasa lega yang
sulit diungkapkan, yang dirasakan Mrs. March saat melihat wajah
penuh harap milik Laurie begitu ia tiba dalam keadaan letih, gelisah, dan kedinginan.
Betapa hari itu adalah hari yang aneh, sekaligus membahagiakan! Suasana sangat cerah dan ceria, dan seisi dunia seakan keluar
menyambut turunnya salju pertama. Di dalam rumah, suasana begitu sunyi dan berbeda; semua orang tertidur setelah lelah berjaga, dan keheningan hari Sabat melingkupi rumah itu, sementara
Hannah yang terkantuk-kantuk berjaga di depan pintu. Dengan
perasaan sangat lega karena beban berat mereka kini terangkat,
Meg dan Jo memejamkan mata-mata mereka yang lelah, berbaring
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Pendekar Rajawali Sakti 140 Mustika 01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama