Ceritasilat Novel Online

God Speed 2

God Speed Karya Ghyna Amanda Bagian 2

yang ini harus dijawab serius karena penting," katanya sambil

menandai nomor lima, soal makanan. "Ini juga penting,"

lanjutnya sambil menandai nomor dua belas soal merek

camilan yang dimakan sehari-hari. "Lalu ini dan ini...." Total

ada sekitar delapan pertanyaan. "Perbaiki, ya," katanya, kemu?

dian disodorkannya kembali lembar tersebut pada Kai yang

hanya berdiri mematung.

"Perbaiki?" Kai menatap pasrah pada tiap nomor yang dico?

ret. Rasanya seperti mendapat nilai merah dalam ujian suatu

mata pelajaran, padahal malam sebelumnya ia sudah bela?jar

begitu keras. "Mm pertanyaannya kan nggak penting."

"Itu penting!" Ariana berdiri dengan gaya jemawa. "Aku

akan jadi penanggungjawabmu selama main di tim ini. Jadi

semua itu harus kuketahui secara mendetail," jelasnya mantap.

"Nah, sebelum semua pertanyaannya dijawab, kamu belum

boleh masuk lapangan."

Kedengarannya seperti ancaman, tapi sebenarnya tidak

juga. Kai hanya malas menjawab pertanyaan yang ia saja tidak

pernah terpikir apa jawabannya, tapi kelihatannya ini serius.

Jadi, daripada berlama-lama hanya bisa duduk menonton

latihan dari pinggir lapangan, cepat-cepat Kai mengambil

bolpoin dan mengisi kembali lembar pertanyaan tadi.

Hari ini persis seminggu sebelum babak penyisihan pertan?

dingan tingkat kota dimulai. Ariana bilang, ia sudah mema?

sukkan nama Kai ke dalam daftar pemain, tapi belum akan

menurunkannya sampai mendapat kepastian strategi yang

akan mereka pakai. Padahal Kai sudah mengajukan diri dengan

persyaratan: "Lima menit terakhir di kuarter kedua."

Setelah hampir seluruh anggota ekskul pulang, Ariana

mengajak Kai berdiskusi. Rey kebetulan ada di situ karena

dalam strategi ini Rey juga punya andil. "Kai akan masuk buat

gantiin posisi Leo sebagai point guard di lima menit terakhir

kuarter kedua."

"Lima menit?" protes Rey. "Apa nggak terlalu lama?"

"Aku bisa main lima menit," sergah Kai sebelum Ariana

menurunkan jatah mainnya. "Lima sampai sepuluh menit,

dokterku udah kasih izin."

Mendengar penjelasan Kai, Ariana mengangguk. "Tenang,

Rey, ini semua udah aku analisis." Walau kemampuan analisis?

nya baik, tetap saja analisis seorang Ariana tidak selalu tepat

seratus persen. "Kai main di lima menit terakhir kuarter kedua.

Kalau keadaan pertandingan membaik, Kai nggak perlu turun

lagi. Tapi kalau kita terdesak, Kai turun di lima menit terakhir

kuarter tiga dan empat. Begitu pula kalau keadaan masih

aman, Kai hanya turun di kuarter terakhir. Jadi, selalu tunggu

instruksi dariku."

Kai mengangguk. Ia merasa siap. Berarti ada jarak lima belas

menit di setiap kuarter untuknya beristirahat. "Aku siap."

"Tugasmu tahu, kan? Meng-assist Rey. Dan kamu cuma

boleh nge-push stamina kayak kemarin di kuarter terakhir."

Rupanya Ariana tahu bahwa permainan Kai kemarin memakai

full stamina. "Nah, untuk jadwal latihan, aku udah kasih tahu

anak-anak lain kalau jadwalmu kepisah. Tapi ini juga penting."

Lalu Ariana menyodorkan lembaran lain. "Jadwal latihan."

Kai mengambil lembaran itu lalu mengerutkan dahi. Dua

kali seminggu, setiap hari Kamis dan Minggu. "Aku nggak bisa

kalau hari biasa."

Alasan kerja kelompok sudah basi. Hari ini saja alasannya

pulang terlambat karena ada acara penyuluhan di sekolah.

Saat bilang seperti itu, ayahnya sudah memasang wajah

superkeruh.

"Sabtu dan Minggu?"

"Hari Sabtu aku ke rumah sakit."

Ariana menghela napas. Ia tidak yakin kalau hanya seminggu

sekali. "Kamu boleh joging, kan?"

Kai mengangguk pelan.

"Kalau gitu hari Minggu jadwal latihan denganku, sisanya

kamu joging sendiri setiap hari. Minimal lima menit setiap

sore. Bisa?"

Kai mengangguk lagi. "Oke, nggak masalah." Sekali lagi ia

menegaskan.

"Nah, Rey," Kini Ariana beralih pada Rey, "tugasmu jadi

pengawas Kai, oke!"

"Pengawas?"

"Kalian kan saudara, jadi kamu bisa ngawasin Kai dua puluh

empat jam. Terutama untuk jadwal lari sorenya."

Ucapan tersebut spontan membuat baik Kai maupun Rey

terdiam, lalu bertukar pandang sejenak.

"Nggak bisa," jawab Rey ragu. "Kami nggak tinggal se?

rumah."

Saat itulah Ariana mengetahui satu lagi fakta tentang si

kembar yang membuatnya mengerutkan dahi. Rasanya ia ingin

mengacak-acak rambut. Ternyata dua cowok ini terlalu unik

dan tidak pernah bisa ia tebak. Mereka hebat, memiliki kemam?

puan lebih?dan tentu saja mempunyai kehidupan yang

rumit. Oh, bukan, tapi sangat rumit.

"Oke...." Ariana berusaha tegar. "Akan kupikirkan lagi."

Match #7

da sebuah bangunan kecil dengan tiga ruangan ber?

jajar di samping gedung olahraga. Sejak lama, kepe?

milikan ketiga ruangan itu selalu diperebutkan para

pengurus ekstrakurikuler di SMA Serunai Raya. Ruangan

pertama akhirnya dimenangkan oleh ekskul pencinta alam

ka?rena mereka membutuhkan tempat untuk menaruh perleng?

kapan naik gunung. Ruangan kedua dimenangkan ekskul sepak

bola karena sepak bola memang ekskul nomor satu di sekolah

ini. Sedangkan yang ketiga, setelah perebutan sengit dengan

ekskul bulu tangkis dan futsal, akhirnya ekskul basket putra

bisa memenangkannya.

Di ruangan yang tidak begitu besar itu, biasanya Ariana

duduk-duduk mengatur administrasi pengurusan proposal dan

lembar kegiatan per semester, juga berbagai hal teknis lain di

luar latihan dan pertandingan. Ruangannya sederhana. Di

dinding tertempel beberapa sertifikat berbingkai atas prestasi

tim. Piala sudah masuk ke lemari di ruang kepala sekolah.

Untuk bersantai, digelar karpet tipis berwarna biru lengkap

dengan bantal-bantal.

Sayangnya, karena sebagian besar penghuni tempat ini

adalah cowok, terkadang tempat nyaman untuk santai sehabis

latihan seharian penuh itu malah jadi berantakan. Sore ini saja

Ariana harus menendang sepatu?entah milik siapa?keluar

dari karpet biru yang sudah dicucinya seminggu yang lalu

ketika ia melangkah masuk untuk menempel sesuatu.

"Apaan tuh, Na?"

Leo, yang kebetulan mengekor di belakangnya, melihat

segulung poster yang akan ditempelkan Ariana.

"Ah, kebetulan ada kamu, Le. Tolong bantu tempel dong!"

Ariana segera menyodorkan gulungan poster itu pada Leo.

Mau tak mau cowok itu segera menyambar poster itu selagi

Ariana memberi penjelasan. "Itu jadwal tanding sekaligus pem?

bagian babak pertandingan tingkat kota," jelasnya singkat.

"Hasil undian technical meeting kemarin?" tanya Leo lagi

yang kini sudah membentangkan poster di salah satu bagian

dinding kosong yang memang biasa ditempeli jadwal semacam

ini. "Lawan pertama kita, hm."

"SMA Mutiara Kasih." Ariana lalu menunjuk bagian terbawah

bagan pertandingan, tepat pada nama SMA Serunai Raya

berada. "Aku udah ngecek profil sekolahnya sih, katanya

mereka baru ikut tanding tahun ini."

"Wah, bagus itu!" Tiba-tiba saja Dion menyambar sambil

memasuki ruangan. Walau sama-sama kelas XI, tapi karena

berbeda kelas, cowok itu datang lebih telat daripada Ariana

dan Leo. "Kesempatan menang kita lebih besar!"

"Belum tentu, Yon. Siapa pun lawannya, kita nggak boleh

anggap remeh."

Setelah Dion, giliran Rendra dan Arieza yang datang.

Kemudian sang kapten menimpali ucapan sebelumnya. "Oh

iya, Na," Rendra mengalihkan perhatiannya pada Ariana,

"Kai jadi gabung dengan tim inti?"

Ariana tentu sudah memberitahu Rendra sang kapten, juga

sang kakak, Arieza. Namun, ia belum mengabari anggota yang

lain walau beberapa hari ini Kai selalu datang menonton latihan

sore sebentar.

"Hah, si sombong itu mau masuk tim inti?" Ekspresi terkejut

diungkap cepat oleh Leo yang sepertinya kurang suka pada

Kai. "Yang bener aja. Dia emang mainnya bagus, tapi kamu

nggak bisa gitu aja masuk-masukin orang dong, Na!"

"Kemarin-kemarin aku udah bicara kok sama Kai." Sebelum

protesan lebih banyak ia terima, Ariana cepat-cepat memberi

penjelasan. "Dia punya alasan kenapa waktu itu nolak buat

gabung, tapi akhirnya dia mau kok. Dan iya, Kai jadi cadangan

tim inti. Posisinya sama denganmu, Le." Ariana mengambil

napas sejenak. "Jadi nanti kalian mainnya gantian."

"Hah?" Kelihatannya Leo hampir memprotes lagi sebelum

terpotong oleh keriuhan gerombolan anak kelas X yang baru

datang. "Nggak salah, Na?"

"Ya nggak dong. Lagian kamu tuh point guard, tapi fokusnya

ke mana-mana. Mestinya kamu bisa perhatiin jalannya pertan?

dingan, bukan caper sama penonton cewek!" keluh Ariana

lagi. Ia sebenarnya sudah cukup bersabar dengan tingkah Leo

selama ini. Sedikit menyesal juga, kenapa Kai tidak bisa main

full. Padahal kalau bisa, mungkin Ariana tidak perlu susah-susah

mengkhawatirkan posisi penting yang masih dipegang Leo

itu.

"Itu bukan caper, Na!" Leo masih memprotes rupanya. "Itu

namanya"

"Aaah, udah, udah!" Dengan cepat pula Ariana memotong

sambil melengos. "Latihaaan!"

Seharian itu Leo menekuk wajah, khususnya ketika Ariana

mu?lai mengungkit-ungkit keberadaan Kai sebagai bagian tim

mereka. Kalau benar anggota tim, kenapa tidak latihan samasama? Mana ada anggota tim inti berseragam yang setiap

latihan cuma datang sebentar buat absen, terus mangkir entah

ke mana? Leo merasa diremehkan. Geramnya semakin parah

ketika melihat anak-anak kelas X yang sok bertingkah di sela

latihan pivot.

"Hoi! Kakinya jadi poros! Jangan badannya yang muter

semua!" serunya kemudian pada anak-anak yang menurutnya

amat payah itu. "Aaah, gimana mau bener kalau gini?"

"Le Le." Dion terpaksa menepuk bahu rekannya satu

itu. "Kalem, Le, kalem. Pamormu nggak akan jatuh cuma

karena keselip Kai kok."

"Bukan itu masalahnya, Yon!" Bagi Leo, masalah pamor
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebenarnya penting, tapi lebih penting lagi soal eksistensinya

di tim inti. Ariana seenaknya saja membagi jatah mainnya

dengan Kai, padahal dari segi kualitas kemampuan, Leo tidak

jelek-jelekat. Ia sebenarnya mengakui Kai mempunyai

kecepatan bergerak yang lumayan. Lebih dari itu, Kai juga bisa

mengimbangi kemampuan Rey. Tak aneh kalau akhirnya Ariana

jadi memanjakan kedua anak berwajah mirip itu.

"Terus?" Dion rupanya tak menyerah untuk menggoda Leo.

"Gara-gara Ariana lebih perhatian sama Kai? Ehm cemburu

nih?"

"Hah, nggak lah! Lagian, cewek ?rata? kayak Ariana itu mana

bagian asyiknya?"

"Woi!"

Rupanya komentar pedas Leo soal Ariana telah mengundang

si pemilik nama yang rupanya berdiri tak jauh dari sana. "Siapa

cewek ?rata? yang nggak asyik?!"

"Tuh, kan," Leo berbisik ke arah Dion. "Rata, nggak asyik,

galak pulaaa!" Terakhir terpaksa Leo berteriak karena Ariana

sudah hampir melemparnya dengan bola basket. Untung saja

ia sempat menghindar. Jika tidak, mungkin wajahnya yang

akan jadi korban.

Sebenarnya Kai merasa tidak enak harus masuk tim inti, walau

sebagai cadangan. Posisinya kini bahkan mungkin lebih berat

dibandingkan Rey. Walau masih sama-sama kelas X dan baru

bergabung pada awal semester ini, Rey selalu mengikuti

latihan rutin. Tidak seperti dirinya yang hanya menjalankan

latihan sebagaimana prosedur yang disarankan Ariana.

Kai joging hampir setiap sore selama sepuluh menit menge?

lilingi kompleks rumahnya. Ia bilang ini saran Dokter Wahyu

supaya staminanya tidak gampang turun. Dengan begitu, sang

ayah percaya dan tidak akan melarang. Namun kali ini, ketika

sedang asyik joging, langkah Kai terhenti di lapangan basket

dekat situ. Ia melihat beberapa anak SMP saling berebut bola

oranye, lalu berusaha memasukkannya ke dalam keranjang.

"Tembakannya keren!"

Bahkan ia tidak tahan untuk tidak memberikan pujian saat

salah satu anak berhasil memasukkan bola dengan tembakan

jarak dekat. Bagi Kai yang payah dalam melempar bola ke

keranjang, tentu saja hal itu keren.

Dipuji demikian, anak tadi tersipu sambil menggaruk-garuk

kepala. "Aaah... nggak kok. Cuma kebetulan." Alasan yang

sama seperti yang selalu Kai ucapkan. "Mau ikut main, Kak?

Kami mau tanding nih, tapi kurang satu orang!"

Sialnya tawaran macam itu datang. Jika dilihat dari jumlah,

memang kurang satu orang lagi untuk main three on three.

Spontan Kai mengangguk dan anak-anak ini mengatur pem?

bagian tim dengan cara hom-pim-pah.

Tim Kai kini beranggotakan dirinya, seorang anak bertubuh

tambun, dan satu lagi anak yang tadi berhasil menembakkan

bola. Mereka kelihatannya baru berusia sekitar dua belas tahun

alias baru masuk SMP. Awal permainan pun masih berantak?

"Oper sini, Kak!"

Si Tambun mengacung-acungkan tangan. Kai menoleh

sejenak, lalu mendribel bola sampai mendekati anak tersebut.

Bukan meremehkan, tapi ia sendiri khawatir operannya

melambung terlalu tinggi. Akhirnya bola sampai ke si Tambun,

dan dengan tergopoh-gopoh ia mendribel sampai ke bawah

ring, dan melemparkannya lagi pada Kai.

"Eh?" Haruskah Kai yang memasukkan bola ke dalam ring?

Ia sendiri tidak yakin. Short shoot itu susah?malah bagi Kai,

semua jenis tembakan itu susah. Yang sederhana macam layup saja jarang berhasil ia lakukan.

Namun anak-anak ini sepertinya telanjur memercayakan

bola padanya, mungkin karena ia lebih tinggi daripada yang

lain. Walau... tentu saja gagal. Bola hanya membentur bagian

pinggir ring dan terjatuh begitu saja.

"Aaah." Nada kecewa muncul. "Sori... aku nggak bakat

nembak," cengir Kai setelahnya. Memang benar, mau mencoba

sekeras apa pun, yang namanya tidak bakat ya tidak bakat

saja. Rey bahkan bilang bahwa Kai dimusuhi oleh si keranjang

di atas sana. Apa benar?

Permainan berlanjut. Anak-anak ini tidak percaya dengan

ucapan Kai sebelumnya. Tapi, melihat tembakan demi tem?

bakan yang gagal, mereka malah jadi menertawakan, menye?

but Kai payah karena tidak bisa melakukan hal sesimpel itu.

Beberapa anak pada akhirnya pamer bahwa mereka lebih jago

daripada Kai.

"Gini nih, Kak, caranya." Anak lain yang rambutnya plontos

kini siap memperagakan cara menembak yang benar. "Kalau

kata abangku, bolanya dipegang dengan ujung jari gini, jangan

semua telapak tangan." Ia memperlihatkan bagaimana cara

memegang bola. Bagian itu Kai jelas sudah paham. "Terus,

fokus sama targetnya. Kalau mau masukin ke ring, liat kotak

kecil itu." Lalu kini ujung jarinya mengarah pada garis kotak

kecil di bagian papan ring. "Arahin tembakannya ke sana.

Posisi tangan kayak gini." Anak itu siap dengan posisi

menem?bak: lutut tertekuk dan tangan kanan siap terkibas.

"Terus tembak!"

Ajaib, bola masuk ke dalam keranjang! Anak tadi beserta

anak-anak lainnya bersorak senang, lalu satu per satu mereka

mencoba. Sampai akhirnya bola dilemparkan pada Kai. "Coba

juga, Kak!"

Disemangati seperti itu membuat Kai yang tadinya ragu

akhirnya beranjak untuk mencoba. Secara garis besar, sebe?

narnya teori itu pernah ia praktikkan, tapi tak ada salahnya

mencoba. Kai mengikuti gerakan yang diajarkan anak-anak

tadi padanya, lalu?whuuuing.... Bola terlempar. Sayangnya

bunyi "drakkk!" menandakan bahwa lagi-lagi ia gagal.

"Aaah!" Nada kecewa yang sama. "Kayaknya aku emang

nggak bakat jadi shooter deh," ucap Kai dengan nada pas?

rah.

"Jangan nyerah, Kak!" Anak-anak ini tetap memberinya

semangat. "Kalau udah bisa kena pinggir ring, abangku bilang

berarti tinggal sedikit lagi. Mungkin Kakak cuma kurang kuat

ngibasin tangan kanan Kakak!"

Hal itu pernah Kai pikirkan. Mungkin tangan kanannya ku?

rang kuat saat melambungkan bola, atau mungkin ia melam?

bungkannya terlalu rendah. Kalau saja ada Rey di sini, ia pasti

minta diajari oleh saudaranya itu. Sayangnya Rey sibuk latihan

di sekolah. Lagi pula jarak rumah mereka terlalu jauh. Paling

mereka hanya bisa latihan bersama di hari Minggu, seperti

jadwal yang Ariana terapkan pada dirinya. Hari Senin nanti

mereka telah disapa pertandingan babak penyisihan.

"Iya, barangkali gitu." Kai terkekeh sendiri?menertawakan

kebodohannya. Bisa-bisanya ia kalah dari anak-anak ini, bahkan

putus asa duluan.

Akhirnya setelah latihan menembak yang sepertinya tidak

terlalu berbuah manis, ia dan anak-anak ini kembali tanding

three on three. Saat itulah seseorang dari luar lapangan me?

manggil namanya dengan nyaring.

"Kai!" Suara seorang cewek memanggil. "Hei, Kai!"

Suara itu membuat Kai menoleh, dan terkejut melihat siapa

yang berdiri di sana. "Kak Ariana?"

Hari ini Ariana pulang cepat. Jangan tanya kenapa. Sebenarnya

ia baru saja berbelok menuju kantor pusat KONI cabang daerah

untuk menyerahkan berkas tambahan pendaftaran yang

terlambat, juga yang paling penting: mencairkan dana bantuan

dari sekolah untuk pertandingan tingkat kota yang akan

berlangsung Senin besok.

Kembali ke sekolah memakan waktu agak lama, jadi Ariana

memutuskan pulang duluan. Kalau ke sekolah dulu, bisa-bisa

saat ia sampai anggota ekstrakurikuler basket sudah pulang.

Namun, persis saat melewati lapangan di kompleks rumahnya,

Ariana melihat sosok Kai.

Benar saja, begitu Ariana memanggil namanya, Kai menoleh

dan menyadari keberadaannya. Ini suatu kebetulan yang oke

juga. Mana Ariana tahu kalau ternyata ia dan Kai tinggal di

satu kompleks perumahan yang sama?

"Ternyata rumahmu di deket sini juga?" Ariana mendekat

setelah permainan Kai dan anak-anak itu selesai. Sebenarnya

belum selesai juga sih. Anak-anak itu masih bermain, tapi Kai

menyingkir sebentar untuk menemui Ariana.

"Iya, di belakang tikungan sana." Kai menunjukkan arah

yang dimaksud, tapi mau menjelaskan sedetail apa pun, Ariana

pasti tidak akan tahu. "Rumah Kak Ariana juga"

"Iya, deket sini," Ariana memotong cepat. "Agak jauh sih,

biasanya aku bareng Bang Eza naik motor. Tapi karena hari ini

aku pulang duluan, terpaksa jalan deh," jelasnya lagi. "Eh."

Tiba-tiba Ariana menyadari sesuatu. "Kamu sering main di

lapangan sini?"

Kai menggeleng. "Nggak juga. Sebenarnya baru sekarang

aja mampir. Sebelumnya aku kan nggak pernah joging soresore gini."

Benar juga, Ariana menyadari sesuatu. Kalau bukan karena

jadwal latihan yang diberikannya pada Kai, tidak mungkin

cowok ini berkeringat pada sore hari begini. Rupanya Kai orang

yang patuh. Mungkin ia benar-benar ingin bergabung dengan

tim. Demi stamina yang lebih baik, sedikit-sedikit dirinya mulai

berusaha.

"Terus tadi latihan shooting?"

Saat Ariana datang tadi, ia melihat beberapa kali Kai me?

nembakkan bola ke dalam ring, walau masih saja gagal. Seper?

tinya Kai belum bisa memecahkan masalahnya itu.

"Ya... awalnya sih, tapi kayaknya aku butuh waktu lebih

lama kalau mau jadi selihai Rey," ucap Kai dengan nada lesu.

"Aneh ya, kalau Rey bisa, kenapa aku malah payah banget?"

"Mmm" Alih-alih memikirkan keluhan Kai, Ariana malah

memikirkan hal lain. Benar juga, si kembar Rey dan Kai memiliki

wajah dan postur tubuh yangat mirip, tapi secara kemam?

puan mereka berbeda sekali. Padahal kalau Kai bisa menembak

lebih baik dan Rey bisa bergerak lebih lincah, mereka pasti

bisa lebih hebat daripada sekarang. "Ah!" Ariana tiba-tiba saja

mendapatkan secercah ide.

Kai memperhatikannya dengan wajah bingung, apalagi

ketika Ariana bangkit dengan bersemangat.

"Aku punya ide, Kai!" gadis itu berseru lantang. "Pokoknya,

mulai hari ini kamu latihan shooting! Pokoknya kamu harus

bisa jadi shooter!"

Kedengarannya memang mudah, tapi untuk Kai... apakah

mungkin?

Match #8

ai latihan menembak...?"

Minggu pagi, gedung olahraga sekolah seharusnya
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibuka khusus untuk tim basket putra karena esok

harinya mereka akan menjalani pertandingan babak pertama

penyisihan tingkat kota. Namun Ariana sudah mengatur agar

hari ini gedung olahraga hanya bisa digunakan oleh dirinya,

Kai, dan Rey. Sedangkan pertanyaan tadi terlontar dari mulut

Rey yang kebingungan dengan keputusan Ariana.

"Yep! Kai latihan menembak, dan kamu, Rey, latihan berge-rak!"

Ini sudah sering terjadi. Kai dan Rey bertukar pandang, tapi

kali ini dengan tambahan Kai yang mengangkat bahu. Tentu

saja Kai sudah tahu rencana Ariana beberapa hari lalu saat

mereka bertemu di lapangan basket kompleks rumahnya.

Ariana bilang ia punya ide bagus, yang sayangnya belum Kai

mengerti saat itu.

"Dengar, ini strategi rahasia kita bertiga." Sebelum menga?

takannya, Ariana sempat melirik ke kiri dan kanan. "Tapi sebe?

lum melaksanakan strategi ini, kalian harus bisa menguasai

kemampuan yang selama ini belum kalian kuasai."

Sekali lagi Kai dan Rey bertukar pandang lalu dengan pasrah

mengucapkan "Oke" secara bersamaan.

Entah apa yang Ariana pikirkan, mereka hanya bisa meng?

ikutinya. Mungkin akan tidak biasa, agak gila, bahkan berle?

bihan, tapi keduanya percaya Ariana pasti memikirkan yang

terbaik. Setidaknya untuk kemenangan tim mereka.

Kai merasa kedua tangannya mati rasa setelah berusaha me?

nembakkan puluhan bola ke ring. Ariana akan meniup peluit

setiap kali ada bola yang masuk. Dari puluhan bola tersebut,

hanya belasan yang berhasil masuk ke ring, sementara sisanya

harus menubruk papan ring, pinggiran ring, bahkan jatuh

duluan sebelum mencapai ring. Dengan sabar Ariana menjadi

asisten Kai?memungut bola, juga melemparkan bola kembali

padanya.

Sedangkan Rey merasa kedua kakinya pegal tidak keruan.

Lama juga ia tidak latihan dengan palang-palang yang dibuat

berjajar, kemudian bergerak zig-zag dengan cepat sambil

mendribel bola. Tidak hanya bergerak maju, kadang ia harus

mundur, kemudian melakukan pivot. Berulang-ulang ia mela?

kukan aktivitas beruntun yangat melelahkan.

Akhirnya kedua kembar itu terkapar di tengah lapangan,

berbaring menatap langit-langit sambil menunggu Ariana kem?

bali.

"Habis ini tanganku pasti nggak bisa dipake buat nulis deh,"

keluh Kai.

"Aku malah nggak yakin besok masih bisa gerak atau

nggak," tambah Rey.

Kemudian keduanya menghela napas bersamaan seperti

biasa. Memang yang namanya takdir kebisaan itu aneh. Dua

orang yang punya identitas identik saja kemampuannya bisa

berbeda jauh. Namun Ariana yakin, kalau Kai bisa, Rey juga

pasti bisa, begitu pula sebaliknya. Bahkan demi meyakinkan

mereka berdua, Ariana sampai harus berbicara tentang teori

kromosom dan genetika keturunan segala.

"Aku nggak ngerti kenapa ada orang seambisius dia,"

celetuk Kai tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.

Dan tentu saja sibisius yang Kai maksudkan di sini adalah

Ariana. "Kalau cuma pengin menang pertandingan, kenapa

nggak dia sendiri aja yang main?"

Dalam hal ini sebenarnya Rey tidak bisa menjawab. Sayang?

nya, ia sedikit-banyak tahu alasan Ariana bisa sampai seam?

bisius itu, dan mengapa Ariana harus susah-susah menjadi

manajer tim basket putra alih-alih bergabung dengan tim

basket putri. Rey juga dulu pernah mempertanyakannya, saat

Ariana memaksanya turun langsung sebagai pemain tim inti.

"Kamu nggak pernah perhatiin, Kai?" ucap Rey dengan

suara rendah, berharap saat mereka membicarakan ini Ariana

tidak tiba-tiba datang, lalu meniup peluit agar mereka bangkit

dan melanjutkan latihan.

"Perhatiin soal apa?"

"Kak Ariana lah..." Tentu saja cewek itu, siapa lagi? "Kamu

pernah main lawan dia, kan? Apa kamu pernah liat dia main

dengan tangan kanannya?"

Kai berusaha mengingat. Sejujurnya ia tidak begitu ingat,

atau lebih tepatnya memang tidak memperhatikan soal itu.

"Emangnya... kenapa?"

"Kamu nggak perhatiin kalau dia nggak pernah pake tangan

kanannya?"

Ucapan Rey barusan membuat Kai menoleh pada saudaranya

dan memusatkan perhatian. "Tangan kanannya...?"

Sebenarnya Rey merasa tidak enak kalau harus membicarakan

hal ini. Namun, seperti Ariana yang harus tahu kondisi Kai, Kai

juga harus tahu kondisi Ariana. Mereka kurang-lebih berada

dalam kondisi yang sama, walau tingkatannya berbeda.

"Kak Ariana pernah kecelakaan dan tangan kanannya harus

diamputasi. Sekarang dia pake tangan palsu. Makanya dia

nggak pernah lepas kardigan. Tapi masalahnya dia jadi harus

berhenti main basket."

Kemudian Rey menceritakan semua hal yang ia tahu tentang

"bu manajer" satu itu. Ariana pernah bergabung dengan tim

basket putri. Sejak kelas X ia sudah menjadi pemain inti.

Sebagai pemain, ia shooter yang baik dan mempunyai keahlian

untuk bergerak lincah. Sekolah dan tim mengandalkannya.

Namun kecelakaan itu terjadi, tangan kanannya harus diam?

putasi. Memang masih ada tangan kiri, tapi sebagai pengguna

tangan kanan, sulit bagi Ariana untuk beradaptasi. Dalam

basket pun sama, walau ia masih bisa mendribel atau menem?

bak dengan tangan kiri, kekuatan tangan kirinya tidak sebesar

jika kedua tangan digunakan bersama. Karena itulah Ariana

berhenti.

"Tapibisinya nggak berhenti begitu aja," Rey melanjutkan

pada kesimpulan. "Kak Ariana bilang, walau bukan dia yang

berlari buat mendribel atau menembak bola, dia yang akan

mengantar kita sampai tingkat nasional dan jadi juara."

Keduanya lalu terdiam lagi. Kai sedang mencerna dengan

baik ucapan yang baru saja Rey sampaikan. Mengenaibisi

Ariana yang menurutnya terlalu berlebihan, ternyata karena

ada hal yang ingin dicapainya walau tidak bisa dengan tangan

sendiri.

"Jadi bisa dibilang," akhirnya Kai membuat kesimpulan,

"kita ini perpanjangan tangannya?"

"Bukan," Rey mengklarifikasi. "Kita ini perpanjangan mim?

pinya."

Mimpi besar yang ternyata tidak semudah itu diredupkan.

uuu

Senin pagi, surat dispensasi sudah disebar ke kelas-kelas.

Seluruh pemain inti beserta pemain cadangan tim basket putra

SMA Serunai Raya menaiki bus sekolah menuju GOR KONI,

tempat diadakannya pertandingan penyisihan babak pertama

tingkat kota. Ariana duduk di bangku depan bersama Pak Sam.

Cewek itu masih sibuk mengecek kelengkapan peserta. Begitu

bus berhenti, ia segera menghilang di balik kerumunan untuk

melakukan daftar ulang.

"Oke, Teman-teman...." Sebagai pengganti juru bicara,

Rendra sang kapten yang biasanya hanya memberikan instruksi

di lapangan kini berdiri sebelum rombongan turun. "Ini per?

tandingan pertama kita. Walau pertama, kita tetap harus main

maksimal. Jaga kondisi karena mimpi kita masih panjang!"

Sambutan itu diiringi teriakan semangat dari mereka yang

kini tengah bersiap turun. Lalu mereka masuk ke ruang ganti

seiring instruksi Ariana yang sudah bersiap di muka pintu.

"Habis ganti baju, langsung ke lapangan, ya! Kita pemanasan,

terus briefing sebentar."

Tidak ada banyak komentar soal ini. Mereka lalu memasuki

ruang ganti, bersiap memakai seragam, mengencangkan tali

sepatu, memakai band di tangan, dan persiapan lainnya.

Bagi kebanyakan pemain basket, mungkin yang seperti ini

sudah menjadi hal biasa sehingga mereka masih bisa bercanda,

mengobrol, mengatur strategi darurat, bahkan tertawa. Na?

mun, tidak bagi Kai yang hanya bisa terbengong-bengong

melihat seragam biru dengan setrip kuning emas di tangannya.

Seragam bernomor sembilan itu diberikan Ariana tadi pagi.

Sejujurnya, ia masih tidak percaya ia boleh memakai seragam

tersebut.

"Udaaah, pake aja, Kai, jangan malu-malu!" Dion?yang

ter?kenal paling ramah di antara mereka?tiba-tiba datang

menggoda. "Atau mau Bang Dion bukain bajunya, sini?"

Melihat tingkah Dion, Kai hanya tertawa geli. Dulu ia pikir

Dion tipikal cowok-cowok cool yang mudah digandrungi para

cewek seperti Diandra, tapi ternyata ia lebih konyol daripada

Leo yang hanya bisa mencibirnya. Kai jadi berpikir, apa Diandra

tahu kelakuan Dion yang seperti ini? Kelihatannya sih tidak

karena Diandra selalu membangga-banggakan pacarnya yang

jangkung ini.

"Ng nggak usah.... aku pake sendiri aja."

Dengan canggung, Kai melepas kacamatanya, membuka

seragam sekolah, lalu menggantinya dengan seragam berno?

mor sembilan. Ia juga mengganti sepatunya dengan salah satu

sepatu Rey yang dipinjamkan padanya karena sebelum ini Kai

tidak pernah punya sepatu basket. Soalnya aneh kalau ia punya

sepatu basket. Bahkan kedatangannya ke tempat ini sebagai

salah satu pemain saja tidak diketahui sang ayah.

"Lho!" Dion lagi yang kali ini berseru. "Tunggu deh." Ia

menarik Kai, lalu membuatnya berdiri di samping Rey. "Kalian

kembar?"

Sampai saat itu, yang tahu Kai dan Rey kembar memang

hanya Ariana. Namun seharusnya sekali lihat semua orang bisa

tahu, kedua orang ini memang tidak hanya berwajah mirip,

tapi benar-benar sama dalam segi fisik. Kecuali penampilan

yang sedikit dimanipulasi oleh kacamata Kai dan rambut

berantakan Rey.

"Memang kembar!" celetuk keduanya bersamaan.

"Kok aku baru tahu?" Dion berseru lantang, seakan selama

ini dirinya sudah dibodohi. "Astagaaa! Kalian!" Walau begitu,

tingkah konyol Dion yang berlagak hiperbolis bak pemain

sinetron telah melunturkan rasa tegang di pertandingan per?

tama ini. Kekonyolan itu pun harus berakhir karena rupanya

Ariana sudah berteriak-teriak di depan pintu.

"Cepet ke lapangaaan!"

"Waah, nyonya besar udah manggil!" seru Dion lagi, lalu

bergegas.

"Makanya jangan ngelawak pagi-pagi, Yon!" Leo menyusul,

kemudian Rendra dan Arieza. Tersisa Rey dan Kai yang seper?

tinya masih berdiri ragu.
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kai?"

Si pemilik nama akhirnya mengangkat wajah. Menyadari

ruang ganti tempatnya berada sudah kosong.

"Yuk!" Akhirnya Rey yang menarik Kai keluar. "Nggak usah

khawatir, anggap aja latihan biasa. Toh kita cuma main kok."

Cuma main.

Karena bukan pertandingan final, penonton yang datang tidak

terlalu banyak. Malah terbilang agak sepi, apalagi mengingat

pertandingan ini dilaksanakan pada hari sekolah. Tidak semua

orang dapat surat dispensasi dengan mudah. Paling yang me?

nonton hanya anggota ekstrakurikuler basket yang tidak ke?

bagian main.

"Oke, semua...." Ariana di samping lapangan mulai membe?

rikan briefing singkat. "Ini pertandingan pertama kita, pintu

masuk buat mencapai kejuaraan nasional. Kita mulai dari sini,

jadi kita harus bisa kasih yang terbaik."

Semua sepakat dengan ucapan Ariana sehingga hanya bisa

mengangguk, diam, dan membiarkan sang manajer sekaligus

pelatih cadangan ini melanjutkan ucapannya.

"Dion, center. Bang Eza dan Rendra, forward. Leo, sesuai

strategi kita, kamu main gantian dengan Kai, guard. Dan Rey,

shooter." Walau masih geram, Leo kelihatannya tidak bisa

banyak protes. Ia hanya bisa pasrah kali ini. "Kita main kayak

biasa. Sampai benar-benar terdesak, baru Kai turun di kuarter

tiga atau empat."

Selesai dengan pendahuluan, sekali lagi Ariana mengumpulkan

tangan yang bertumpuk dalam lingkaran menjadi satu. Ia

kemudian menatap satu per satu wajah pemain tim intinya

yang kali itu bertambah. Ada senyum mengembang di wajah

cewek itu. Ia yakin itu senyum kemenangan.

"Serunai Raya!"

Teriakan itu lalu membawanya pada sahutan balasan, "FIGHT?

ING!" Dan pertandingan dimulai.

uuu

Kai duduk di bangku pemain cadangan bersama beberapa

anak kelas XI lainnya. Ia tampak gelisah. Dibandingkan kerutan

serius di wajah Ariana, bisa dibilang wajah Kai jauh lebih serius.

Kedua tangannya tergenggam, saling memijat.

Bunyi pantulan bola, gesekan sepatu yang berdenyit ngilu,

sorakan demi sorakan, pada akhirnya menjadi peramai di

ruangan besar itu. Masing-masing tim secara bergerombol

ataupun terpisah berpindah dari satu sisi ke sisi lain lapangan.

Suara peluit mengantar poin demi poin. Sekolah mereka masih

memimpin delapan angka pada kuarter pertama. Sampai di

situ Kai masih bisa menahan napas.

Tetapi, ketika kuarter kedua tiba, Kai sama sekali tidak bisa

tenang. Ia bolak-balik melirik Ariana, kemudian jam pertan?

dingan. Apakah Ariana akan menurunkannya pada lima menit

terakhir? Tapi kelihatannya tim mereka tidak terdesak sama

sekali. Masih memimpin sepuluh angka lebih tinggi malah. Hal

ini membuat Ariana tersenyum, sementara Kai hanya bisa

diam.

Kapan ia akan turun ke lapangan? Kapan dirinya akan ber?

main?

Tentu saja Kai ingin bermain. Ralat, sangat ingin bermain.

Ia ingin menggerakkan kaki dan tangannya, kembali bergerak

cepat, kemudian saling mengoper bola dengan Rey, dan mem?

buat saudaranya itu mampu mencetak skor terbaik.

Sayangnya, sampai memasuki kuarter ketiga, Ariana sama

sekali tidak memberikan tanda Kai harus bangkit dan mulai

bersiap-siap. Mungkin selama tidak diperlukan, Kai sama sekali

tidak akan bermain. Posisinya sama seperti beberapa pemain

cadangan lainnya. Jika tidak dibutuhkan, ya harus tetap duduk

manis sambil menunggu.

Baru kali itu Kai berharap timnya sedikit terdesak. Tidak

perlu menunggu tim lawan unggul terlalu banyak. Satu-dua

poin saja cukup sehingga Ariana akan memanggilnya untuk

mela?kukan pemanasan dan masuk ke lapangan walau seben?

tar.

Tiba-tiba Ariana duduk di samping Kai sambil mendesah.

Wajahnya tampak tidak puas. "Payah, ah. Lawannya ngalah

duluan," ucap Ariana layaknya gumaman.

"Maksudnya?" Kai yang kebetulan mendengar, mau tak

mau jadi menanggapi.

"Mereka menganggap remeh pertandingan ini. Aku nggak

tau, tapi kamu lihat, dari tadi mereka main santai banget.

Curiga deh"

Kai sama sekali tidak menyadari itu. Sedari tadi ia hanya

melirik jam dan Ariana. Menunggu keputusan, padahal seha?

rusnya ia memperhatikan jalannya pertandingan juga. Sampai

kuarter kedua, sebenarnya Kai masih memperhatikan, tapi

lama-lama ia khawatir sendiri pada nasibnya.

"Habis ini kamu siap-siap ya, Kai!" Ariana kembali bangkit

setelah menepuk bahu Kai. Hei, bukankah ini yang ia tunggu

sejak tadi? Instruksi dari sang manajer agar ia mulai bangkit

melakukan pemanasan?

Sayangnya, ucapan Ariana tadi malah membuat Kai khawatir

dengan keadaan pertandingan. Apa jangan-jangan lawan

mereka tidak menurunkan pemain andalan? Sementara Rey

sudah bermain sejak awal pertandingan. Apakah ini strategi

mereka? Ariana menunggu kapan serangan balik itu dilakukan.

Ia menahan Kai bahkan sampai peluit kuarter ketiga selesai.

"Kai, lima menit terakhir kuarter terakhir," Ariana meng?

ingatkannya lagi.

Kelihatannya tim lawan memang baru akan beraksi di babak

terakhir karena mereka berdiskusi dengan sangat alot walau

tidak melakukan pergantian pemain.

Setelah peluit tanda istirahat berakhir berbunyi, para pe?

main masuk ke lapangan. Terlihat sengiran kemenangan pada

tim lawan, dan Kai merasa ini akan berpengaruh buruk bagi

timnya. Karena itu, ia memutuskan untuk mulai pemanasan

ringan. Lima menit terakhir dirinya akan benar-benar turun

jika melihat ritme permainan yang kini tengah berlangsung.

"Fast break...," gumam Ariana pelan. Pandangannya lurus

ke arah lapangan. Satu tangannya mengepal, sementara

tangan yang lain tak pernah diperlihatkannya. Ariana juga

terlihat menggigit bibir ketika lawan mulai mencetak poin demi

poin. Sesekali ia melihat jam, lalu matanya kembali ke arah

lapangan.

"Aku bisa turun sekarang kok," tiba-tiba Kai angkat bicara.

Masih tujuh menit sebelum pertandingan usai, dan mereka

tersusul dua angka. "Aku bisa main cepat..."

"Ya, tapi nanti," Ariana menahannya.

Dua angka, empat angka, enam... kemudian menjadi sepu?

luh. Mereka tersusul sepuluh angka berkat permainan cepat

tim lawan. Kai tidak yakin apakah ia mampu membuat kedu?

dukan berbalik hanya dalam lima menit terakhir, tapi Ariana

tetap menyuruhnya menunggu.

Hingga giliran itu datang. Bola keluar dan Ariana meminta

pergantian pemain. Leo yang bernomor punggung tujuh harus

keluar, digantikan Kai.

"Dengar, Kai, ini hanya permainan."

Ucapan Ariana sama seperti yang dikatakan Rey sebelumnya.

Meskipun tidak mengerti apa maksud ucapan tersebut, yang

jelas kini Kai sudah bersiap merebut bola dan merebut poin

demi poin menjadi milik mereka.

Ariana memang sudah mewanti-wanti dirinya?juga timnya?

untuk tidak meremehkan lawan pertama mereka. Begitu juga

Kapten Rendra yang sejak awal bermain serius. Sayangnya,

rupanya lawan memilih strategi yang lebih dulu menguras

stamina, kemudian melancarkan fast break di kuarter terakhir.

Ini tidak pernah terpikirkan, khususnya untuk Rey yang selama

ini terbiasa dengan permainan stabil.

Alhasil, mereka tertinggal sepuluh poin hanya dalam lima

menit. Sebenarnya ini tidak baik, karena mau tak mau mereka

harus berkali-kali memasang pertahanan alih-alih balik me?

nyerang.

Barulah pada lima menit terakhir, Ariana menggiring Kai

masuk menggantikan Leo. Kai bisa menghela napas panjang.

Ia mengadu kepalan tangannya dengan Rey begitu mereka

berpapasan. Tim lawan takkan menyadari kemampuan Kai.

Rey yakin ini bisa jadi kejutan yang lebih hebat daripada

strategi fast breaker lawan.

"Siap, Rey?"

Tidak perlu menjawab, Rey hanya mengangguk dan berdoa

semoga Kai bisa bertahan. Kai pasti bisa. Ia lebih baik daripada

sebelumnya. Sangat baik.

Begitu Rendra mendapatkan bola dan melemparnya pada

Kai, si kacamata itu segera bergerak cepat. Ia mendribel bola

dengan lincah, melakukan pivot untuk menghindari lawan,

me?ngo?per pada Rey, dan menerimanya kembali. Sampai

keduanya berada di garis three point, ia mengembalikannya

pada Rey.

Tembakan bernilai tiga pun didapatkan dengan mudah. Dan

permainan berbalik. Sampai saat itu, gerakan cepat dan lincah

yang Kai lakukan belum ada yang bisa mengimbangi. Hampir

semua orang terpukau, dan Ariana tersenyum lebar. Memang

ini pertunjukan yang dinanti-nantikannya. Tim mereka unggul

lima angka menjelang akhir pertandingan.

SMA Serunai Raya maju ke babak selanjutnya.

Match #9

olos pertandingan penyisihan babak pertama sudah

menjadi suatu keharusan bagi mereka yang ingin melang?

kah terus sampai final kejuaraan nasional. Untuk penyi?

sihan tingkat kota saja minimal ada empat pertandingan,

kemudian pada tingkat provinsi ada sekitar enam pertandingan.

Di tingkat nasional semuanya jauh lebih keras, lebih berat, dan

lebih menantang. Tiada yang tahu lawan mereka akan berasal

dari pulau mana. Jadi tentu saja tidak ada acara santai-santaian

lagi untuk menghadapi pertandingan besar tersebut.

Babak penyisihan kedua diadakan seminggu lagi. Jarak yang

terbilang sangat dekat dengan lawan yang tentunya lebih

kuat.

"Lawan kita minggu depan SMA Negeri 19. Menurut catat?

anku, mereka cukup lihai. Tahun lalu bisa masuk sampai babak

semifinal. Pemain andalan mereka namanya Bagas. Dia forward

yang kuat."

Ariana membacakan profil sekolah yang akan bertanding

melawan mereka nanti. Sepertinya cewek itu sudah mencari

data sebanyak mungkin agar mereka bisa menyiapkan strategi

pertandingan yang tidak main-main.
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setahuku sih SMA 19 ini bukan tipe fast breaker. Mereka

biasanya pake strategi ?normal??maksudnya sama seperti

kita, sesuai alur. Tapi mereka bermain ofensif," Rendra menam?

bahkan. Ia tentu sudah mempunyai pengalaman dalam dua

tahun terakhir. "Jadi kita juga harus bikin strategi bertahan

yang oke."

"Siap, Kapten!" Dengan jempol teracung, Dion berseru

penuh semangat. Urusan pertahanan memang ia jagonya.

"Yuk, cepet latihan!" Namun urusan teori, rasanya Dion tak

bisa tahan lama. Daripada mendengarkan ceramah Ariana atau

tips-tips dari Rendra, ia lebih memilih segera masuk ke la?

pangan. Lagi pula, udara di dalam ruangan sempit ini terasa

pengap, tapi memang asyik buat mendikusikan sesuatu yang

penting seperti strategi.

Melihat Dion yang buru-buru kabur, Ariana hanya bisa meng?

hela napas pelan. "Oke, sekarang kita ke lapangan!"

Bersamaan dengan itu, terdengar suara ketukan pintu dan

sosok Kai yang menyembul dari baliknya. "Oh, halo..."

"Kai!" Ariana berseru agak kencang. "Tumben. Biasanya

kamu nggak bisa ikut latihan sore?"

"Iya, kebetulan yang jemput baru bisa nanti pukul lima.

Jadi... aku latihan dulu nggak apa-apa, kan?" jawab Kai kemu?

dian sambil menyapukan pandangan ke seluruh sudut ruangan

itu. "Lho, Rey ke mana?"

"Oh, Rey... tadi dia bilang ada remedial dulu."

Remedial? Ulangan perbaikan, maksudnya? Kai hanya bisa

bertanya dalam hati. Pasti pelajaran eksakta. Rey memang

payah dengan yang satu itu. Kai hanya mengangguk paham

kemudian mengikuti yang lain ke lapangan. Niat Kai hari ini

tentu saja mau latihan menembak lagi. Sejak pertandingan

penyisihan babak pertama sampai hari itu, setelah joging sore,

ia selalu menyempatkan diri latihan menembak dengan anakanak SMP di kompleks. Namun hari ini sepertinya ia akan pu?

lang telat karena mobilnya mendadak masuk bengkel. Jadi, ia

memutuskan untuk latihan di sekolah saja.

Alhasil, lapangan dibagi dua. Sisi kiri untuk latihan para pe?

main inti, sedangkan sisi kanan spesial untuk latihan Kai

menembak. Pada saat kedua tangan Kai teracung dan hampir

menembak, tiba-tiba saja Leo berjalan di belakangnya lalu

berbisik iseng, "Nggak usah dipaksain, Kai! Kalau emang tem?

bakanmu payah, ya udah, payah aja." Leo melengos pergi

setelah mendengus.

Kai tidak mengerti apa yang Leo maksud. Apa yang diingin?

kan Leo? Menyingkirkan Kai dari lapangan karena ia sudah

merebut setengah jatah main Leo? Sejak pertama kali Kai ber?

gabung dalam tim ini, hanya Leo yang tidak menyukai keber?

adaannya. Mereka memang menempati posisi yang sama, tapi

itu kan bukan maunya Leo.

Gara-gara memikirkan itu, Kai jadi tidak fokus saat menem?

bakkan bola ke ring. Alih-alih masuk ring, bolanya malah

memantul tepat di atas kepala Danu yang saat itu menjadi

asisten latihannya.

"Kai! Liat-liat dong!"

Baru ketika Danu berseru sambil mengelus kepala, Kai sadar

bahwa sejak tadi ia hanya melamun. "Eh, sori, Nu!"

"Kamu kenapa sih, Kai?" tanya Danu heran sambil mendekat.

"Perasan kamu udah setengah jam lebih latihan nembak, tapi

kok baru masuk lima?"

Benar juga, pikir Kai cepat. Sudah berapa banyak bola yang

ia lemparkan? Padahal ini baru tembakan santai dari lingkar

free throw, belum lay-up, short shoot, long shoot, apalagi jump

shoot. Apa karena dirinya benar-benar payah? Sulit fokus?

Kebanyakan memikirkan hal lain? Kai sendiri tidak mengerti.

Bagaimana Rey bisa menjadi shooter andal, sedangkan dirinya

tidak? Bukankah itu aneh? Mereka kan kembar.

"Mm nggak apa-apa kok. Istirahat dulu, yuk." Baru kali

ini Kai memutuskan berhenti bukan karena kondisi fisiknya

menurun atau staminanya habis. Ia ingin berhenti karena

merasa hanya membuang-buang waktu.

Lain dari Kai, ternyata Rey bisa lebih cepat beradaptasi dengan

latihan khusus yang Ariana berikan. Dalam sekejap, Rey sudah

bisa menguasai teknik melakukan pivot dengan cepat, juga

berlari dan menghindar dengan sangat lincah. Mungkin karena

selama dua minggu ini latihannya diforsir lebih keras diban?

dingkan yang lain. Rey bilang, ia bangun pagi-pagi sekali untuk

lari, lalu sore hari sebelum pulang ke rumah ia latihan lagi

sendiri.

Kadang-kadang hal itu pula yang membuat Kai kesal. Kalau

Rey sudah bisa menjadi seperti Kai, berarti Kai tidak dibutuhkan

lagi di sini, kan?

"Hari ini nggak ikut latihan lagi, Kai?" Tiba-tiba saja Rey

menghampiri Kai tepat saat Kai menuruni tangga. Namun, Kai

malah berbelok ke arah pintu gerbang.

"Hari ini aku harus ke dokter," Kai mencari-cari alasan.

Mendengar itu, Rey hanya bisa berkata "oh" sambil meng?

anggukkan kepala, paham dengan kondisi mereka yang

berbeda, dan tentu saja ia tidak bisa memaksa.

"Terus, gimana latihanmu?" Seakan mengantarkan saudara?

nya ini sampai pintu gerbang, Rey terus bertanya.

"Gimana apanya?"

"Perkembangannya?"

Ditanya begitu, Kai malah terdiam. Ia tidak tahu harus men?

jawab apa. Perkembangannya? Tentu saja sama sekali tidak

berkembang, malah semakin payah, gerutunya dalam hati.

"Nggak tahu deh, kayaknya aku emang nggak bakat ngeshoot bola. Kamu sendiri?"

"Mm" Rey terlihat canggung. "Kak Ariana bilang sih

lumayan."

"Kalau kamu sih bukan lumayan lagi, Rey," ucap Kai diiringi

senyum untuk menandakan pujiannya benar-benar tulus. "Ka?

mu lumayan banget!"

Sayangnya Rey menyadari senyum Kai adalah senyum yang

dipaksakan. Sebagai dua orang berwajah sama, tentu keduanya

memiliki ekspresi yang hampir sama. Ekspresi yang barusan

Kai tampilkan bukanlah ekspresi seseorang yang benar-benar

memuji. "Kamu... nggak apa-apa?"

"Maksudnya?"

"O-oh, nggak kok...." Pertanyaan tersebut disingkirkannya

cepat. Rey merasa ini bukan urusannya juga. Walau saudara

kembar identik sekalipun, mereka memiliki batas untuk tidak

mencampuri urusan satu sama lain. Rey menarik mundur

dirinya, tapi bukan berarti ia tak peduli.

Pertandingan penyisihan babak kedua berlangsung cepat.

Seperti biasa, Ariana memberikan ceramah panjang saat

briefing sebelum pertandingan dimulai, disusul dengan teriakan

penuh semangat untuk bisa meraih tiket menuju semifinal

minggu depan.

Bunyi peluit panjang serta lemparan bola ke atas oleh wasit

menandakan pertandingan dimulai. Dion berhasil mendapatkan

bola pertama, lalu melemparnya ke arah Leo yang menerus?

kannya kepada Rey. Namun seperti yang sudah diduga, lawan

hari ini memiliki pertahanan cukup kuat. Rey yang pastinya

sudah masuk ke dalam catatan sebagai shooter terbaik men?

dapat penjagaan cukup ketat. Ia yang tidak punya celah,

melemparkan kembali bola pada Leo.

Di bangku di pinggir lapangan, Ariana mulai gigit jari. Entah

merasa khawatir atau justru takut, yang jelas air mukanya tidak

menyenangkan. Sedangkan Kai kini tidak lagi sibuk melihat jam

atau bahkan menunggu instruksi Ariana. Ia sibuk menatap ujung

sepatu, masih memikirkan skill dan fisiknya yang terba?tas.

Lewat kuarter pertama, skor pertandingan hanya beda tipis

walau SMA Serunai Raya masih lebih unggul dua poin. "Kai,"

rupanya Ariana memutuskan dengan lebih cepat, "kamu turun

di kuarter kedua."

Kai yang awalnya tak berharap banyak seperti pertandingan

sebelumnya hanya mengangguk lemah, lalu mengambil

ancang-ancang untuk mulai pemanasan ringan. Ia juga sesekali

melihat keadaan di lapangan pada lima menit pertama kuarter

kedua. Rey bermain dengan baik. Ia kini lebih lincah daripada

sebelumnya yang kebanyakan menjadi mesin penembak

saja.

Permainan Rey semakin membaik sehingga Ariana seper?

tinya harus menahan Kai untuk sementara waktu di bangku

pemain cadangan. Benar, kan, pikir Kai lagi. Kalau Rey sudah

bisa seperti Kai, berarti Kai tidak diperlukan lagi di sini. Namun,

yang paling menyebalkan dari semua itu adalah sengiran Leo

yang berhasil main hingga kuarter ketiga tanpa mendapat

gangguan. Bahkan di sela istirahat, Leo sempat membuat Kai

kesal.

Sambil mendorong Kai kembali duduk, Leo berkata, "Udah,

Kai... duduk manis aja di sini. Temenin Pak Sam tuh, jadi

aksesori tim kita."

Kai tertegun sejenak mendengar ucapan itu. Aksesori?

Bahkan rasanya sebutan pemain cadangan saja lebih baik

daripada aksesori yang hanya berupa pajangan pemanis.

Tunggu, ia bukan pajangan. Kai di sini untuk bermain. Ia sudah

membuat perjanjian dengan Ariana bahwa ia akan bermain.

Dan satu-satunya alasan ia tidak diturunkan bukan karena ke?

mampuannya yang tidak dibutuhkan, tapi karena keter?batasan

fisiknya.

Kai nyaris terbawa emosi. Satu tangannya yang terkepal

erat siap menjotos wajah Leo. Namun belum sempat ia

bergerak, tiba-tiba saja seseorang menarik Leo dari belakang,

dan memukulnya hingga cowok itu mundur perlahan sambil

mengerang memegangi pipi.

"Rey!" Kai hanya dapat berseru kaget melihat apa yang

baru saja terjadi.

"Wah, sori, tanganku pegal. Tinggal satu putaran lagi, tapi

baru berapa bola yang masuk, coba?" Rey hanya mengibasngibaskan tangan pelan dengan nada datar, tanpa rasa bersa?

lah.

Leo hampir saja membalas, tapi Ariana keburu datang dan

menendang kakinya. "Berhenti kalian!" serunya lantang.

"Kalian mau kukeluarkan dari lapangan?"

"Sial!" decak Leo kesal. Ia masih marah, tentu saja. Salahnya

apa coba, sampai tiba-tiba mendapat pukulan? Pipinya masih

berdenyut nyeri. Ternyata seorang shooter andalan punya

kepalan tangan yang cukup lumayan.

"Rey, minta maaf!" titah Ariana yang mengetahui dalang

kejadian barusan. Namun Rey hanya membuang muka dengan

ekspresi keruh. "Rey, minta maaf!" Sayangnya Rey tetap tidak

menanggapi sehingga hampir saja Ariana menendang kaki

Rey, namun ditahan oleh Kai..

"Bukan salah Rey!" seru Kai tiba-tiba. "Tapi salahku," akunya
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat. "Maaf. Aku ingin cepat main, tapi Kak Leo nggak mau...

jadi kami berdebat." Tentu saja semua yang ia katakan hanya

kebohongan sehingga Rey menatapnya. "Rey cuma ngebela

aku. Bukan dia yang salah."

"Kai...." Hampir Rey protes, tapi dengan cepat pula Kai

menggeleng. Semua ini memang salahnya. Mungkin tadi Rey

mendengar apa yang Leo katakan. Seharusnya yang marah

itu Kai, tapi tiba-tiba saja jadi Rey yang mengambil tindakan.

"Dasar bocah!" bentak Ariana. "Awas kalau sampai terulang

lagi! Kutendang satu-satu dari lapangan!" ancamnya kemu?

dian.

Kai menghela napas panjang, sedikit lega karena masalah

tidak berbuntut panjang. Wasit yang tiba-tiba mendatangi

Ariana untuk menanyakan perihal pemukulan tadi pun akhirnya

memaklumi, tak mempermasalahkan karena dianggap masalah

internal.

Pertandingan dilanjutkan, namun Kai tidak lagi berharap

untuk bermain. Ia tidak lagi menunggu Ariana memanggil na?

manya. Cowok itu hanya memperhatikan dengan baik jalannya

pertandingan, khususnya Rey yang kelihatannya tidak bisa

bekerja sama dengan Leo. Apa karena persoalan tadi?

"Kai!" Ariana memanggil, dan Kai tahu inilah saatnya.

Leo keluar dari lapangan, berdecak kesal, lalu membuang

muka. Bukan keinginan Kai kalau sampai dirinya punya masalah

dengan kakak kelasnya itu, tapi Leo-lah yang selalu cari garagara. Sindiran Leo akhir-akhir ini memang agak keterlaluan.

Siapa yang tidak bisa diandalkan? Siapa yang cuma jadi pemain

aksesori? Kai akan membuktikan itu di sini, bahwa ia punya

kemampuan, bisa diandalkan, dan bukan pajangan.

Dalam lima menit terakhir pertandingan, seperti biasa Kai

memperlihatkan performa terbaiknya. Ia mencoba membaca

situasi lapangan, memecah pertahanan lawan, merebut bola,

dan mengopernya pada Rey.

Namun anehnya, Rey malah mengembalikan bola itu kepada?

nya saat mereka berdiri tepat di bawah ring. "Tembak, Kai!"

"Apa?" Kai yang... menembak? Waktu bergulir. Kai tak bisa

hanya berdiri mematung dengan bola di tangan. Tapi ia juga

tak bisa mengembalikan bola pada Rey karena saudaranya itu

sudah dikepung dua pemain lawan, sementara yang lain terus

membayangi dirinya demi mendapatkan rebound atau meng?

gagalkan tembakan.

Oh, lebih baik mereka bersiap dengan rebound karena

tembakan Kai pasti meleset. Kai tidak banyak berpikir. Ia hanya

fokus pada ring, mengarahkan bola dan melemparnya. Teringat

perkataan Rey sebelumnya, ini sama seperti permainan di

Game Master. Fokus, dan dapatkan poinnya!

PRIIIT! Suara peluit. Bola masuk.

Bolanya masuk! Kedua mata Kai berbinar begitu melihat

bola yang dilemparkannya tadi berhasil masuk ke dalam ring

dan kini memantul pelan di atas lantai kayu lapangan.

"Bagus, Kai! Kamu pasti bisa!" Tiba-tiba saja Rey merang?

kulnya erat.

Aku bisa melakukannya! Aku bisa menembakkan bola! Yang

tadi itu mungkin hanya kebetulan, tapi pada menit-menit

setelahnya pun ia bisa melakukan tembakan yang sama lagi

dan lagi. Kini bukan hanya Rey yang bisa menjadi Kai, tapi Kai

juga bisa menjadi Rey!

Dari sisi lapangan, Ariana mengembangkan senyum. Satu

tangannya mengepal penuh semangat. Ia tahu si kembar itu

pasti bisa melakukannya dengan baik. Mereka mungkin belum

melakukannya dengan sempurna. Tapi dengan sedikit keber?

hasilan ini, mereka berdua bisa menumbuhkan rasa percaya

diri.

Hanya Leo yang memasang wajah kesal. Nyeri di pipinya

masih terasa, berdenyut pelan seiring bunyi pantulan bola

yang terdengar di ruangan itu. Lalu ketika sorak-sorai keme?

nangan terdengar dari sesama anggota timnya, ia angkat kaki

dari tempat itu.

Match #10

ernyata yang salah dari tembakannya selama ini

adalah kekuatan tangannya. Kai biasa membuat

tumpuan di lengan bawah, sama ketika ia menahan

bola ketika mendribel. Sayangnya, yang seharusnya ia lakukan

dalam menembak adalah melambungkan bola ke atas, bukan

menahannya tetap di bawah. Kekuatan itu seharusnya terletak

pada kibasan telapak dan pergelangan tangan.

Pagi itu Kai mencoba tembakan yang sudah dipelajarinya

baik-baik. Memang ada beberapa yang gagal, tapi beberapa

lagi masuk dengan sempurna. Kalau begini, ia pasti bisa juga

melakukan tembakan lay-up atau jump shoot, bahkan dunk.

Yah tentu saja akan mengeluarkan tenaga lebih banyak.

Selang satu jam lebih, belum ada siapa pun di dalam gedung

olahraga itu selain dirinya. Memang, khusus untuk Minggu

pagi ini Kai sengaja datang lebih cepat untuk memuaskan diri

berlatih menembak. Biasanya ia datang sekitar pukul sembilan

dengan alasan kegiatan ekstrakurikuler. Ya, selama ini Kai

beralasan pada ayahnya bahwa ia ikut ekskul Karya Ilmiah

Remaja, dan tengah sibuk mengikuti lomba roket nasional.

Tidak ada tanggapan yang terlalu serius dari ayahnya soal ini.

Asalkan kegiatannya tidak melibatkan fisik seperti olahraga,

sang ayah tak pernah melarang.

Sayangnya, Kai berbohong. Sudah beberapa kali ia berbo?

hong. Namun ini kesempatan terakhirnya bermain basket

bersama Rey sebelum kembali ke Singapura akhir semester

nanti. Jadi, tentu ia akan melakukan yang terbaik, walau

berisiko bagi dirinya sendiri.

"Oooh. Jadi ini toh latihan rahasianya!"

Tiba-tiba saja sebuah suara menggema, mengalihkan

perhatian Kai pada seseorang yang baru saja masuk dengan

kedua tangan dimasukkan ke saku.

Melihat Leo di muka pintu, Kai menghentikan kegiatannya.

Ia sendiri tak tahu harus berkomentar apa. Apakah menyapa?

nya? Meminta maaf lagi soal kejadian di pertandingan waktu

itu? Atau...

"Tanding lawan aku, yuk!"

Lagi-lagi hal yang tidak terduga. Kai mengira Leo akan

marah-marah atau membalas dendam atas pukulan yang Rey

lakukan, ternyata malah mengajaknya bertanding. Kai masih

diam, tidak memberikan tanggapan sampai cowok yang lebih

tinggi beberapa senti daripada dirinya itu mendekat, kemudian

merebut bola dari tangannya. Tanpa diduga lagi, Leo segera

mendribel bola, berlari ke arah ring, dan memasukkannya de?

ngan lay-up ringan nan sempurna.

"Kalau kamu... pasti nggak bisa, kan?" ucap Leo lagi dengan

senyum meremehkan.

Lagi-lagi diremehkan! Tapi sebisa mungkin Kai meredam

emosi. Bukankah mereka akan bertanding? Setidaknya dengan

begitu ia bisa memperlihatkan pada kakak kelasnya ini kemam?

puan yang ia kuasai sebenarnya. Memang, kemampuan me?

nem?baknya masih payah, tapi kalau pertandingan one on one,

ia yakin itu lebih menguntungkan dirinya. Ia tidak akan pernah

membuat lawan bisa menyentuh bola.

"Oh, ya?" Lalu Kai mengambil bola yang menggelinding ke

dekat kakinya. "Gimana kalau dicoba aja." Ia menjawab

tantangan, kemudian melempar bola ke udara dan memulai.

Sayang, lompatan Leo ternyata lebih tinggi dan lebih cepat

sehingga ia berhasil mengambil bola lebih dulu, mendribelnya

sampai ke bawah ring, lalu siap melompat. Untung saja Kai

berhasil memotong dengan gerakan cepat dan lincah andal?

annya. Bola berhasil dicuri ketika Leo hampir melayangkan si

bulat oranye tersebut. Kini bola berpindah tangan. Giliran Kai

yang bergerak memainkan bola.

"Wah, wah..., boleh juga." Leo masih saja memasang wajah

remeh. "Sayangnya kamu nggak akan bisa setangguh itu!"

Kai tidak bisa menduga apa yang sebenarnya dipikirkan Leo

sampai tiba-tiba Leo sudah menyeruak ke dekatnya, dan

dengan satu tubrukan berhasil mengempaskan tubuh Kai ke

lantai. Bola yang melambung tinggi kemudian berhasil direbut

Leo.

"See...?" Ia memainkan bola di satu tangan, memutar de?

ngan ujung jari layaknya seorang profesional.

"Uuurghhh...." Kai masih setengah berlutut, memegangi

tulang rusuknya yang terkena siku Leo. Rupanya bisa juga Leo

main kasar. Jika pada pertandingan sebenarnya, manuver Leo

tadi bisa dianggap foul. Sayangnya tidak ada wasit di sini,

sehingga yang bisa Kai lakukan hanya bangkit dan merebut

bolanya kembali. Dan itu tak begitu susah walaupun dadanya

masih terasa sakit. Sesekali ia mengaduh ketika mendribel dan

mempertahankan bola dari Leo yang berkeras merebut.

"Mau coba lagi?" Belum sempat pertanyaan itu dijawab,

Leo menubruk Kai lagi. Kali ini dengan bahu hingga bola meng?

gelinding dan jatuh di kaki Kai. "Gimana rasanya, sakit?"

Sakit dia bilang? Memang sakit, tapi belum apa-apa. Kai tetap

diam, mencoba tidak menanggapi perlakuan Leo. Mungkin

tabiat dan cara main sang kakak kelas memang seperti ini.

Mungkin Leo hanya kesal padanya karena tidak bisa merebut

bola yang tengah ia kuasai hingga akhirnya memakai cara

kasar.

"Belum!" Seruan itu terlontar dari mulut Kai. Sekali lagi ia

bangkit berdiri, kemudian secepat mungkin merebut bola dan

mendribelnya sampai ke dekat ring. Tidak peduli mau sekuat

apa pun Leo menubruknya, atau mau seperti apa pun Leo

meng?halau, Kai akan tetap mempertahankan bolanya. Dan

setelah waktunya dirasa pas, Kai melompat untuk melempar

bola ke dalam ring.

Namun, lagi-lagi Leo mematahkan gerakannya. Kali ini

dilakukan dengan cara yang sama kasarnya. Ketika Kai melom?

pat sambil mengangkat kedua tangan untuk melempar bola,

tiba-tiba Leo muncul mengulurkan tangan untuk menepis bola

di tangan Kai hingga terlepas. Namun buruknya, dengan

sengaja bola tersebut ditepisnya ke arah wajah Kai.

Duaaakkk! Suara itu terdengar keras bersamaan dengan Kai

yang terjatuh sambil memegangi pelipis. Sementara sebelah

kacamatanya, yang hancur karena ikut terkena hantaman bola,

tergeletak begitu saja di lantai. Baru saat Leo menginjak

bingkai hitam tersebut hingga tak lagi berbentuk, Kai tahu

permainan kasar ini bukan sekadar gaya, tapi memang dise?

ngaja.

"Gimana, sekarang udah kerasa sakitnya?"

Leo menunduk, masih dengan ekspresi meremehkan. Lalu

ia membanting bola dan ekspresi wajahnya berubah kesal.

Kai tersentak. Kedua bahunya terangkat karena kaget. Sebe?
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lumnya ia hanya merasa sakit pada tulang rusuk dan tulang

dada yang Leo tubruk dengan keras. Namun kini ia merasa

degup jantungnya berdetak lebih cepat, diiringi rasa nyeri yang

merambat ke bagian tubuh sebelah kiri. Sial! Beberapa kali Kai

mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya ia harus sakit di saat

seperti ini, di depan Leo pula. Bagaimana kalau kakak kelasnya

ini sampai tahu?

"Heh!" Merasa tidak digubris, Leo mendekati Kai sekali lagi,

kemudian menarik kerah kaus Kai. "Sekarang baru kerasa kan,

sakitnya? Ini balasan buat kembaranmu yang nggak punya

otak itu!" Leo terus membentak, tapi bagi Kai, suara itu lebih

layak disebut dengingan di telinga. Fokusnya hilang sudah

karena kini ia sibuk mengatur napas. "Sebenarnya kalian itu

nggak jago-jagoat! Cuma karena Ariana ngerasa tim kita

terdesak, dia panik. Makanya seenaknya dia masuk-masukin

kalian jadi pema"

Hilang sudah. Suara Leo tak terdengar, dan wajahnya kini

hanya menjadi kabut. Kai hanya merasakan suara napasnya

sendiri yang berat. Tiba-tiba Leo menariknya berdiri dengan

terus mencengkeram kerah kausnya. Terlihat tangannya

menge?pal, mungkin siap memukul. Tapi sebelum itu tubuh Kai

sudah lemas duluan. Ia tak mampu berdiri sehingga sekali lagi

tersungkur. Kali ini tidak bergerak.

Pagi-pagi sekali, Rey diminta untuk mengantar ibunya ke pasar.

Konyolnya, di tempat yang sama Rey malah bertemu Ariana.

Gadis itu membawa kantong plastik berisi bahan-bahan mem?

buat kue. Heran, memangnya cewek yang cuma tahu soal

basket ini bisa membuat kue? Namun saat itu Ariana dengan

bangga mengatakan ia juga jago masak.

"Hari ini ulang tahun Bang Eza," cerita Ariana, "dan nanti

sore kami mau bikin perayaan kecil-kecilan di rumah."

"Ooo...." Rey tidak banyak komentar, hanya mengangkat

bahu. Mendengar cerita Ariana soal kue sepertinya lebih baik

daripada mendengar ocehan ibunya soal harga cabe dan

daging yang tidak pernah stabil. Pagi tadi, bahkan sang ibu

mengomel karena tukang tahu tak lewat di depan rumah. Jadi,

ibunya terpaksa ke pasar buat beli tahu. "Terus latihan hari ini

gimana?"

"Oh, tadi aku mau SMS kamu, tapi ketemu di sini. Kalau Kai

sih udah kukasih tau juga, tapi dia biasa dateng jam sembilan,

kan?"

Rey lalu melirik arloji di tangannya. Masih pukul sembilan

kurang. Mungkin sebaiknya ia cepat ke sekolah sebelum Kai

menunggu lebih lama. Sayang, ibunya tetap sibuk tawar-mena?

war harga daging, membuat Rey ingin melarikan diri dari

tempat itu secepat mungkin. "Ke sekolah bareng, mau nggak,

Kak?" Lalu dengan ide seadanya, Rey mencoba strategi mela?

rikan diri yang entah keberapa ini.

"Hah? Kamu kan sama ibumu tuh," ucap Ariana sambil me?

nunjuk sosok ibu Rey yang membelakangi mereka. "Lagian

aku harus taruh ini dulu ke rumah," lanjutnya lagi ketika meng?

angkat belanjaannya.

"Nanti kuantar deh." Rey merasa tidak punya banyak waktu.

Dengan menjadikan Ariana sebagai alasan, sang ibu pasti

memberi kelonggaran. Kebetulan ia membawa motor sendiri

hari itu. Peduliat kalau nanti kena cegat polisi di jalan. "Oke,

Kak?" Tanpa persetujuan Ariana, Rey segera mendatangi

ibunya dan beralasan harus mengantar Ariana pulang sejenak.

Sedikit kebohongan.

"Ketinggalan dompet?"

"Iya, temenku beli belanjaan banyak, terus dia ketinggalan

dompet jadi minta anter sebentar. Mama pulang naik angkot

nggak apa-apa ya, motornya kubawa dulu."

"Lho...?"

Tanpa sempat mendengar protes sang ibu, Rey segera ber?

lari menarik Ariana pergi dari tempat itu. Soal omelan bisa

nanti belakangan. Sekarang, yang penting kabur dulu.

Pukul sembilan lebih sepuluh menit. Baru lewat sepuluh menit,

tapi rasanya sudah terlambat berjam-jam. Seperti biasa, suasa?

na sekolah di hari Minggu tampak sepi. Paling hanya ada

bebe?rapa ekstrakurikuler yang mengadakan kegiatan, seperti

latihan privat yang dilakukan Rey, Kai, dan Ariana di pagi hari

ini.

"Rey! Buru-buruat sih?" seru Ariana dari belakang karena

Rey berjalan tergesa-gesa menuju gedung olahraga di bagian

belakang sekolah mereka. Ia sudah memarkir motor, menaruh

helm, dan mengecek kunci ganda motornya. Lalu tiba-tiba saja

ia berjalan dengan cepat. "Kai juga paling belum dateng,

kan?"

Saat itulah Rey teringat pada Kai. Benar juga, bisa saja Kai

terlambat walau firasatnya bilang Kai sudah datang sejak tadi.

Tapi siapa juga yang percaya pada firasat? Dirinya? Kakinya?

Kakinya tidak berhenti bergerak dan terus melangkah, sampai

mau tak mau Ariana harus berlari mengejar.

Tak terdengar apa pun dari arah luar gedung walau pintunya

terbuka. Namun, begitu Rey melangkah masuk, ia dikejutkan

dengan suara "bruukkk" yang begitu keras. Lebih buruknya,

suara itu ditimbulkan oleh sosok Kai yang terjatuh lemas ke

lantai.

"Kaaaiii!" Spontan Rey berteriak panik. Ia bergegas mende?

kati kembarannya dan mengecek kondisinya. Rey bahkan tidak

menghiraukan keberadaan Leo yang masih berdiri mematung

tak melakukan apa pun.

"Ambulans! Panggilbulans!"

Saat Rey berteriak-teriak panik, barulah Ariana sampai di

dalam. Sama seperti yang Rey lakukan sebelumnya, Ariana

juga berteriak, namun berusaha tetap tenang. Otomatis pan?

dangannya beralih pada Leo. "Kai kenapa, Le?!"

Leo melirik Ariana dengan wajah tegang. Tampangnya se?

perti habis membunuh seseorang tanpa direncanakan. Wajah?

nya pucat dan panik. Ia bahkan tak mampu mengatakan apa

pun untuk memberikan penjelasan.

"Panggilbulans! Kenapa kalian diem aja?! Kai bisa mati!!!"

Seruan Rey tak juga berhenti. Ia mengguncang-guncang tubuh

Kai dalam rangkulannya agar terbangun. Ini mimpi buruknya.

Rey tidak pernah tahu kapan kejadian seperti ini akan terjadi

lagi, tapi ia tahu ini pasti akan terjadi.

Ariana tidak bisa berpikir lebih jernih. Ia hanya cepat-cepat

mengambil ponsel dari tasnya, kemudian berusaha menelepon

nomor rumah sakit yang pernah Kai berikan pada lembar

pertanyaannya dulu.

"Tunggu... tunggu!" Ariana menenangkan Rey. Ia juga butuh

waktu menelepon rumah sakit yang anehnya malah berakhir

dengan nada sibuk. "Aaakh... sialan!"

"Kai, bertahan, Kai!"

Rey yakin Kai akan baik-baik saja. Mereka terlahir kembar,

kan? Kalau lahir sama-sama berarti mati pun harus sama-sama.

Itu janjinya pada Kai dulu dan seharusnya hal buruk seperti ini

tidak terjadi.

"Kai...," sekali lagi Rey memanggil, kali ini lebih pelan karena

tiba-tiba saja tangan Kai bergerak, mencengkeram lengannya.

"Kai! Kai!"

"O...bat...," Kai berbisik dengan suara terpenggal antara

napas dan bicara. "Rey o...bat...." Tangannya lalu menunjuk

ke arah pinggir lapangan, tempat ia tadi menaruh tas.

"Obatnya!" Rey menanggapi dengan cepat. "Obatnya di

dalam tas!"

Daripada menggantungkan nasib pada nomor telepon

rumah sakit yang tidak juga tersambung, cepat-cepat Ariana

berlari mengambil tas Kai dan merogoh isinya. Ia ingat, ada

dua jenis obat yang harus Kai konsumsi secara rutin dan satu

obat penenang di saat darurat seperti ini. Butuh waktu agak

lama bagi Ariana untuk mengingat obat mana yang harus ia

berikan, sampai ia membuka buku catatannya sendiri.

"Ah, ini!" seru Ariana ketika menemukannya. Ia yakin

obatnya benar, jadi cepat-cepat ia menyambar botol air mine?

ral milik Kai dan meminumkan obat itu pada Kai yang seper?

tinya sedang berusaha menahan sakit yang menjalar ke seluruh

tubuh bagian kirinya.

Tak lama, suara napas Kai yang tersengal-sengal kian mem?

baik. Bahunya yang menegang menjadi lebih rileks. Begitu juga

tangannya yang sejak tadi mencengkeram lengan Rey, kini

mulai melemas.

"Kai.... Kamu nggak apa-apa?"

Ditanya begitu, Kai hanya bisa menggeleng. Rey takut

kejadian dulu terulang lagi?kejadian tujuh tahun lalu yang

terjadi di depannya. Dan ternyata, baik saat itu maupun kini

ia sama sekali tidak bisa berbuat apa pun selain berteriak

panik. Rey menyalahkan dirinya atas kejadian ini tanpa tahu

hal sebenarnya.

Dan Leo masih berdiri mematung di sana.

Match #11

ereka membawa Kai ke rumah sakit dengan mobil

Rendra. Ariana terpaksa memanggil Rendra dan

kakaknya karena tak tahu lagi harus meminta

tolong pada siapa. Kemudian, semua ini berakhir dengan rapat

darurat di meja kantin rumah sakit untuk menentukan siapa

yang harus bertanggung jawab perihal tumbangnya Kai secara

tiba-tiba.

Dalam kasus ini, sebenarnya semua bersalah. Namun, tentu

saja ada dalang utama yang sejak tadi terdiam seperti orang

bisu.

"Kamu apain Kai, Le?!"

Sebagai satu-satunya orang di tempat kejadian perkara,

rasanya tidak aneh kalau Rendra melontarkan pertanyaan

interogasi itu pada Leo. Belum lagi sikap Leo yang mencurigakan

sejak tadi, mau tak mau makin menyudutkannya sebagai

tersangka. Namun ternyata Leo masih membisu, menundukkan

kepala penuh rasa bersalah.

"Leo!" Sampai-sampai Ariana harus ikut berseru. "Bilang,

Kai kenapa?!"

"Aku nggak tau, Na!" Akhirnya Leo membuka mulut. "Aku

nggak tau kalau Kai... punya penyakit...." Suara Leo bergetar.

Kedua tangannya tergenggam, seperti menahan takut. "Aku

cuma mau kasih pelajaran, cuma ngajak dia main, cuma..."

"Le! Yang bener aja! Jangan bilang kamu..." Ariana tidak

berhasil melanjutkan kata-katanya. Jelas ia tahu tabiat Leo jika

sudah benci pada seseorang. Bukan hanya melabrak, Leo juga

akan menghajar dengan dalih sportivitas. "Leo, kamu keter?

laluan! Gimana kalau Kai sampai mati?!"

"Kan udah kubilang, aku nggak tau!" Sampai di situ, Leo
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih membela diri. Memang ia bersalah, tapi kalau tahu Kai

serapuh itu, ia juga tidak akan melakukan hal yang berlebihan.

"Aku minta maaf, Na.... Aku nggak bermaksud bikin dia tum?

bang kayak gitu."

Ariana sebenarnya geram. Ia sudah coba menjaga Kai sebaik

yang ia bisa, tapi ternyata gagal. Kalau sudah begini, apa masih

bisa Kai bermain bersama mereka?

"Jangan minta maaf sama aku, Le," ucap Ariana lagi sambil

terus menahan emosi. "Kamu harus minta maaf sama Kai."

Setelahnya, ia hanya bisa menghela napas panjang, berharap

yang terbaik.

Dokter Wahyu bilang Kai hanya tidur, tapi Rey tidak percaya.

Ketika teman-teman yang lain memutuskan menunggu di

kantin sampai Kai terbangun, Rey tetap di samping tempat

tidur Kai. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi. Walaupun dokter

tidak memakaikan alat apa pun seperti pendeteksi detak

jantung, tetap saja Rey khawatir. Kai hanya dipasangi slang

oksigen. Kata dokter, untuk membantunya mendapat udara

yang cukup untuk menstabilkan pernapasan.

Suasana di ruangan itu terasa tenang. Tetapi Rey seakan

masih mendengar suara-suara teriakan Ariana yang memanggil

Rendra lewat telepon, derap langkah mereka yang terburuburu membopong Kai ke dalam mobil, kemudian perdebatan

ke mana mereka harus membawa Kai, sampai Ariana kembali

mengacu pada catatannya.

Ternyata lembar pertanyaan yang diberikan Ariana saat Kai

memutuskan untuk bergabung dengan tim ada gunanya. Gadis

itu mencatat dengan lengkap mulai dari nama dokter, nomor

telepon, obat, dan hal-hal yang harus dilakukan saat keadaan

genting seperti ini. Termasuk memberitahu ayah Kai?yang

juga ayah Rey?bahwa putranya kini ada di rumah sakit.

Seorang pria masuk ke dalam ruangan tersebut saat Rey

masih duduk menunduk sambil terus berdoa. Pakaiannya

santai, seperti para pekerja kantoran di akhir minggu yang

hanya mengenakan polo shirt biru muda dan celana jins long?

gar. Begitu masuk, pria itu langsung memanggil nama Kai.

Spontan Rey berbalik.

Keduanya bertukar pandang sesaat sebelum salah satu dari

mereka menyadarinya.

"Ayah?"

Rey tidak mungkin lupa bagaimana wajah ayahnya selama

tujuh tahun ini. Walau mereka tak pernah lagi saling menghu?

bungi, ibunya masih menaruh sebingkai foto keluarga seder?

hana di ruang tamu. Katanya, sebagai tanda bahwa walaupun

tinggal terpisah, mereka masih dalam satu keluarga yang

sama.

Namun seperti biasa, sang ayah bersikap dingin padanya.

Ternyata tidak ada yang berubah. Setelah ini pun sepertinya

Rey harus siap dengan berbagai tuduhan. Seperti yang dulu

pernah terjadi, saat ia membiarkan Kai terbaring lama karena

ia tak tahu sesuatu yang buruk dan mengancam nyawa tengah

terjadi pada saudaranya itu. Rey bahkan masih ingat tamparan

sang ayah yang mendarat di pipinya. Katanya, mungkin tam?

paran itu terasa sakit, tapi Kai jauh lebih sakit.

Tak mau mengganggu, akhirnya Rey bangkit dari kursi, lalu

mundur perlahan ke luar ruangan. Ia tidak akan kabur. Kalau

ayahnya mau memarahi, ia akan duduk tenang di luar. Seti?

daknya sampai Kai terbangun, memastikan saudaranya itu

baik-baik saja.

Lagi-lagi sang ayah tak menggubris.

Namun ketika Rey hampir menutup pintu, ia mendengar

ucapan samar, "Rey..."

Hanya panggilan, diucapkan oleh pria di dalam sana.

Kai terbangun tak lama setelah Rey meninggalkan ruang

perawatan. Yang menyampaikan hal itu perawat yang baru

saja masuk untuk mengecek keadaan Kai. Rupanya ruangan

besar itu masih terasa sesak untuk Rey sehingga ia pulang

tanpa sempat melihat Kai sekali lagi.

Esoknya di sekolah semua seakan berubah. Tak ada lagi

niatan Rey untuk memegang si bola oranye pada jam istirahat,

tak ada lagi semangat untuk melangkahkan kaki, bahkan

berlari. Rey seperti orang yang berduka, padahal ia tahu Kai

baik-baik saja. Kai akan kembali sehat, walau tidak tahu apakah

masih bisa bermain dengannya di lapangan. Mereka tidak ingin

menjadi yang terhebat, apalagi memenangkan pertandingan.

Mereka hanya ingin bermain bersama, itu saja.

"Rey."

Seseorang memanggilnya. Rey sedang ingin menyendiri,

jadi ia hanya berbalik dan menatap malas pada Leo.

"Sori," ucap Leo dengan suara bergetar. Ia memegang

kacamata berbingkai hitam yang gagangnya patah.

Sebelumnya Rey tidak pernah memikirkan ini. Kemarin, saat

menemukan Kai terbaring di lantai, ia terlalu panik sehingga

tidak memperhatikan keberadaan Leo di sana. Sampai kemu?

dian ia menyadari sesuatu: Leo-lah yang membuat saudaranya

kini terbaring di rumah sakit! Emosi Rey menjalar cepat. Tahutahu ia sudah bergerak mencengkeram kaus olahraga Leo.

"Ini salahmu, kan?! Kai sampai tumbang, ini salahmu, kan?!"

Digertak seperti itu, Leo tak mampu melawan. Mungkin

karena ia merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Kai.

Semua memang salahnya. Karena itulah Leo ingin meminta

maaf. Ia bahkan merasa tidak masalah jika Rey ingin balas

menghajarnya.

Satu kepalan tangan Rey siap melayang, tapi teriakan Ariana

menghentikannya. "Berhenti, Rey! Berhenti!"

Ariana buru-buru berlari mendekat sebelum ia kehilangan

anggota timnya.

"Kalian kenapa sih? Mau saling bunuh?!"

Pertanyaan dengan nada tinggi itu membuat Rey terpaksa

melonggarkan cengkeraman tangannya pada Leo, dan ter?

diam.

"Rey! Kamu pikir Kai bakal senang kalau kamu balas dendam

sama Leo?" Rey tidak menjawab. Lalu Ariana berpaling pada

Leo. "Leo! Seharusnya kamu minta maaf!"

"Ini aku lagi mau minta maaf, Na!" Leo merespons cepat

dengan nada frustrasi. "Tapi kalau Rey mau balas menghajarku,

aku nggak masalah."

Lalu tatapan Leo mengarah pada Rey yang hanya bisa buang

muka. "Sori, Rey.... Sumpah, aku nggak bermaksud nyakitin

Kai. Aku nggak ta"

"Nggak usah minta maaf!" potong Rey cepat sebelum Leo

melanjutkan kata-katanya. "Maafmu seharusnya kamu sampe?

in langsung pada Kai. Aku dan Kai bukan orang yang sama!"

Benar, mereka orang yang berbeda, walaupun terkadang

Rey merasa Kai bagian dari dirinya. Rey selalu ingin ikut campur

apa yang menjadi urusan Kai. Bukan karena sengaja ingin

mencampuri, tapi karena Rey tahu kondisi Kai saat ini. Ia hanya

ingin melindungi saudaranya itu walau ternyata tetap saja

gagal.

Suasana berubah dingin. Ariana rasanya ingin mengguyur

kepala kedua cowok itu dengan air es supaya mereka bisa

berpikir tenang. Pertandingan semifinal tinggal menghitung

hari dan Kai dipastikan tidak akan bisa ikut. Sementara

hubungan Leo dan Rey tidak juga membaik. Apa ini berarti ia

harus menyerah sampai di situ? Sejujurnya Ariana tidak mau.

Ia pasti bisa melakukan sesuatu, mendamaikan kedua cowok

bebal ini, dan mendapatkan kembali timnya.

Rey memandang ragu pintu berwarna cokelat bata yang ada

di hadapannya. Pintu tersebut seolah memiliki magnet dengan

kutub yang sama dengan dirinya sehingga ia ingin cepat-cepat

pergi, bahkan setelah tadi diketuknya pintu tersebut. Selang

beberapa saat memang tidak ada balasan dari dalam, tapi

konon sebelum tiga kali ketukan, berarti ia masih boleh men?

coba.

Sekali lagi, kalau masih tidak ada balasan dari dalam, ia akan

pulang. Rey menelan ludah. Rasanya tegang sekali. Lebih

tegang daripada menghadapi pertandingan semifinal hari

Minggu besok.

Tok tok tok!

Punggung tangannya mengetuk dua kali. Hening sesaat

sebelum terdengar suara langkah kaki dari dalam. Rey mundur

selangkah. Ia tahu siapa yang akan membuka pintu. Pintu

terbuka, dan ayahnya berdiri menatapnya dengan wajah

heran.

"Mm" Rey tak tahu harus bicara apa. Lidahnya seolah

ma?ti rasa.

Siapa coba yang punya ide menjenguk Kai dengan dalih

supaya mereka mendapatkan restu di pertandingan semifinal

nanti? Ya, siapa lagi kalau bukan Ariana?

"Ka-kami... mau..."

"Halo!" Tiba-tiba dari belakang Rey muncul Dion dengan

tubuh tingginya. "Maaf ganggu, Om! Kami temen-temen Kai

di sekolah. Mau jenguk, boleh? Ya, pasti boleh dooong!"

Rasanya seperti menyalakan kembang api di tengah malam

yang hening. Suasana canggung berubah menjadi sedikit huruhara ala anak SMA. Rey tidak bisa banyak bicara, tapi ia men?

syukuri kehadiran lima orang lain di belakangnya. Arieza,

Rendra, Dion, Ariana, bahkan Leo ikut bersamanya untuk

menjenguk Kai.

"Eh... iya, Yah. Kami mau jenguk Kai." Akhirnya Rey sendiri

yang mengatakan hal itu sehingga sang ayah membukakan

pintu lebih lebar agar mereka bisa masuk.

"Oh, silakan. Kai ada di kamarnya." Jemari pria itu menunjuk

sebuah pintu tak jauh dari ruang tamu sederhana di rumah

itu.

Tak ada foto keluarga di ruangan itu. Tidak seperti rumah

Rey yang dipenuhi foto-foto keluarga kecilnya. Di situ hanya

ada beberapa hiasan dinding berbentuk kaligrafi atau lukisan.

Selebihnya patung-patung mini macam oleh-oleh dari luar

negeri. Mungkin karena Kai dan Ayah hanya tinggal sementara.

Bukankah selama ini mereka tinggal di Singapura? Rey men?

coba berpikir positif. Ia tidak mau terlihat murung di depan

Kai karena sedikit kecewa.

Pintu kamar Kai terbuka, memperlihatkan cowok berkaca?

mata yang sedang duduk di tempat tidur sambil membaca

buku. Setelah mengetuk pintu dengan pelan karena tak ingin

membuat Kai kaget, satu per satu dari mereka masuk. Dimulai

dari Rey.

"Hai, Kai" Seperti biasa pula Rey bersikap canggung.

"Gimana kabarmu?"

"Lho?" Kai tidak terlihat seperti orang sakit walau wajah?

nya sedikit pucat. "Kalian dateng?" Lebih dari itu, ia malah

tampak senang dengan kehadiran kawan-kawannya. "Kenapa

nggak bilang dulu kalau mau dateng? Kan aku bisa ngeberesin
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamarku dulu"

"Hahaha! Nggak perlu, Kai. Biar nanti aku yang beresin,"

ucap Dion dengan tangan terkibas-kibas ala waria?seperti

biasa, ia menggoda Kai. Cowok itu tiba-tiba duduk di ujung

ranjang. "Tapi kamarmu lumayan rapi kok."

Kamar itu memang terlampau sederhana. Seperti ruang

ta?mu tadi, tak ada pajangan apa pun di dinding selain jam

berbentuk lingkaran. Seprai tempat tidurnya pun standar

rumahan. Hanya ada buku-buku menumpuk di meja belajar

dan sebuah foto berpigura yang membuat Rey akhirnya bisa

tersenyum. Keluarga kecil mereka di sana. Kalau tak salah,

foto itu diambil saat mereka tamasya ke kebun binatang. Rey

jelas masih ingat detail masa kecilnya yang begitu sempurna

itu.

"Jadi gimana kabarmu?" Giliran Ariana yang mengulang

pertanyaan Rey sebelumnya. "Katanya kamu nggak bisa main,

ya?"

"Oh... iya." Kai sedikit menundukkan wajah saat meng?

ucapkan itu. "Maaf ya semua, udah bikin kalian khawatir.

Dok?ter juga belum kasih izin buatku main lagi. Tapi pertan?

dingan final nanti, aku pasti main kok."

Ternyata semangat Kai tetap menyala. Ia belajar banyak dari

kawan-kawannya ini untuk tidak menyerah. Khususnya Ariana

yang selalu mendukungnya, padahal Kai hanyalah perpanjangan

mimpi yang tertunda dari cewek itu. Sebelum ini, Kai selalu

menyerah, mengatakan dirinya tidak akan kuat dan tidak akan

bisa. Namun melihat semangat kawan-kawannya, ia tahu ia

tidak boleh menyerah.

"Jadi," lanjut Kai, "kalian harus menang!"

"Pasti dong!" Dion menyambar penuh semangat. "Ya

nggak, Le?" Disenggolnya Leo yang sejak tadi hanya diam.

Sebenarnya Dion tahu Leo ingin mengatakan sesuatu, jadi

dengan sengaja ia membuat celah dengan memanggil Leo.

"Kai." Akhirnya Leo berani bicara. "Maaf ya, yang ke?

marin itu..."

Leo kira Kai akan marah seperti Rey padanya, tapi si kaca?

mata ini malah tersenyum. "Maaf juga, aku bukan orang yang

kuat."

Itu bukan kalimat sindiran untuk Leo yang selalu meng?

anggap Kai lemah dan banyak kekurangan, melainkan kalimat

yang menyatakan alasan Kai tidak selalu bisa turun ke la?

pangan. Leo sekarang mengerti. Ia rela-rela saja membagi jatah

tandingnya dengan Kai.

Di saat yang lain asyik meributkan berbagai hal untuk mem?

bangkitkan semangat Kai agar dapat kembali ke lapangan,

Rey justru ingin keluar dari kamar sejenak. Ia melihat sang

ayah sibuk sendirian di dapur menyiapkan minuman. Rasanya

masih canggung. Tapi bukankah mereka masih keluarga?

"Kubantu, Yah," ucap Rey ketika ayahnya menyiapkan

beberapa gelas di nampan, siap diisi dengan sirop jeruk

berwarna kuning cerah.

Selang beberapa saat, tak ada yang berbicara. Bisa dibilang,

sifat pendiam Rey menurun dari ayahnya, sedangkan sifat

supel Kai menurun dari ibunya. Beginilah Rey kalau bertemu

sang ayah. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani mem?

buka mulut lebih dulu untuk mencairkan suasana.

Rey pikir mereka pasti akan saling diam. Sampai ketika gelas

terakhir terisi, barulah pria di sampingnya ini membuka mulut.

"Gimana keadaanmu sama Mama?"

Pertanyaan itu memang sederhana, tapi cukup membuat

Rey menyunggingkan senyum. "Baik. Sekarang Mama punya

usaha butik sendiri. Ayah sama Kai juga... keliatannya baik."

"Ya... beginilah," ucap sang ayah sambil mengangkat bahu.

"Ayah nggak nyangka kalian satu sekolah. Kai juga nggak

pernah cerita."

"Mungkin Kai takut." Rey mengatakannya dengan suara

pelan, sambil menunduk dalam-dalam. "Sebenernya aku

juga takut."

"Takut?"

"Takut kalau Ayah dan Mama akan memisahkan kami

lagi."

Seperti kejadian tujuh tahun lalu. Sebuah keluarga sederhana

yang bahagia berubah menjadi malapetaka. Hanya karena

salahnya, lalu semua disalahkan.

"Di rumah kami masih pasang foto keluarga yang dulu.

Mama bilang kejadian waktu itu memang salahnya, tapi dia

selalu ingin kita bisa kayak dulu lagi."

Setelah mengatakan itu, Rey melangkah ke kamar Kai mem?

bawa nampan berisi gelas-gelas minuman untuk Ariana dan

yang lain. Rey sengaja tidak mendengarkan jawaban atau

bahkan komentar sang ayah karena ia tahu ayahnya pasti

mengatakan "tidak bisa". Selamanya kaca yang sudah pecah

tak mampu direkatkan kembali. Begitu juga keluarga mereka

yang telanjur berantakan. Namun Rey yakin, pasti ada masa

saat mereka bisa sama-sama seperti dulu walau hanya se?

saat.

Match #12

NI pertandingan pertama Rey tanpa kehadiran Kai. Walau

sebelum ini baru dua kali bertanding, tetap saja rasanya ada

yang berbeda. Belum lagi lawan di depan mata konon

mempunyai kemampuan tingkat nasional. Rey tidak yakin ia

bisa melakukannya sendiri. Tapi mengingat dirinya sudah

berlatih untuk bisa mengimbangi kemampuan Kai, ia merasa

tidak perlu ragu lagi.

"Hari ini kita main full team," ucap Ariana sebelum pertan?

dingan dimulai. Yang ia maksud dengan full team adalah tim

inti tanpa adanya pergantian permain, kecuali memang di?

perlukan. "Jadi, jaga stamina kalian dari awal sampai akhir. Ini

kesempatan kita buat dapet tiket ke final." Tatapannya tertuju

ke wajah para pemain yang mulai menampakkan ke?seriusan.

Hanya tinggal satu langkah lagi menuju final babak penyi?

sihan tingkat kota. Perjalanan mereka masih panjang, tentu

saja, tapi gerbang yang berat ini harus berhasil dibuka lebih

dulu untuk bisa sampai ke sana. Belum lagi mereka telah

berjanji pada Kai akan memenangkan pertandingan semifinal

ini. Sebaliknya, Kai juga telah berjanji akan bertanding di final

nanti.

Ariana ingat percakapannya dengan Kai saat ia bersama

anggota tim yang lain menjenguk cowok berkacamata itu di

rumahnya. Saat yang lain sibuk menghabiskan camilan di ruang

tengah Ariana berbicara empat mata dengan Kai.

"Apa yang bikin kamu semangat kayak gini, Kai?" tanya

Ariana sambil terkekeh pelan. Sebenarnya ia cuma ingin meng?

goda Kai yang tiba-tiba jadi menggebu-gebu. Kalau mengingatingat dulu, justru dirinya yang harus merayu Kai untuk bisa

masuk ekskul basket walau ditolak beberapa kali. Apa karena

akhirnya Kai dapat bermain dengan Rey di lapangan dalam

satu tim? Atau karena semua ini mulai menyenangkan?

Berbagai spekulasi jawaban muncul dalam benak Ariana.

Tapi ia tak menduga jawaban Kai adalah

"Karena kamu"

Ariana terkesiap, sampai-sampai harus mengerjapkan mata

beberapa kali. "Maksudnya... a-aku?" Bahkan ia sampai ter?

geragap. Tunggu, Kai bergabung dengan ekskul basket karena

dirinya? Tiba-tiba saja Ariana salah tingkah. Ah, masa sih?

"Iya" Wajah Kai berseri-seri ketika mengatakannya.

"Karena Kak Ariana, aku jadi semangat lagi," lanjutnya,

membuat degup jantung Ariana bertambah cepat. Untungnya

Kai melanjutkan ceritanya, "Waktu itu Rey bilang soal kondisi

Kak Ariana yang ehm... maaf, seperti sekarang ini"

Kai melirik ke arah tangan kanan Ariana yang selalu tertutup

kardigan kedodoran. Tangan itu memang sengaja disem?bu?

nyikan. Bentuknya memang sempurna seperti tangan pada

umumnya, tapi tetap saja tak bisa digerakkan. Ariana sendiri

tadinya merasa tak membutuhkan tangan pengganti. Percuma

saja, tangan palsu itu tetap tak memperbaiki keadaan. Hanya

kemudian ia tahu, tangan inilah yang sudah berkorban pa?

danya.

"Oh... soal itu." Nada bicara Ariana kini lebih pelan. Bukan

karena kecewa atas ucapan Kai, tapi karena ia teringat betapa

bodoh dirinya sebelum ini. "Aku janji pada diriku sendiri,

kehilangan satu tangan tak akan membuatku berhenti meraih

mimpi."

Ucapan itulah yang membuat senyum di wajah Kai semakin

lebar. "Karena itu, kami di sini jadi perpanjangan mimpi itu,

kan?" ucap Kai lagi, mengulang apa yang pernah Rey sam?

paikan padanya. "Kak Ariana aja dengan kondisi begini masih

sanggup meneruskan mimpi. Lalu kenapa aku harus berhenti?

Sebelum ketemu kalian, aku selalu mikir nggak akan bisa. Tapi

Kak Ariana bilang aku pasti bisa, Rey juga?dan semua. Kalian

semua yang membantuku bertahan sekaligus berkembang."

Sejenak Kai menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan

ucapannya.

"Walau ini yang terakhir, aku ingin kasih yang terbaik. Aku

ingin jadi perpanjangan mimpi yang selama ini Kak Ariana

harapkan."

Bukannya terkesan, Ariana malah tertegun dengan ucapan

itu. "Terakhir...?"

"Iya, terakhir," Kai membenarkan ucapan tersebut. "Semes?

ter depan aku pindah sekolah, jadi mungkin nggak akan bisa

main basket lagi. Ini kesempatan terakhirku buat bisa main...

bersama-sama kalian semua."

Kai dengan segala keterbatasannya saja mau memberikan

yang terbaik. Karena itu Ariana yakin ia dan timnya pasti bisa

menaklukkan lawan dan menjadi yang terbaik. Mereka masih

punya banyak langkah. Setiap langkah yang dilalui pasti akan

semakin menguatkan mereka.

Wajah-wajah itu... yang ia lihat di sini dengan tekad kuatnya.

Ariana yakin mereka pasti bisa.

Ariana kembali fokus ke timnya. "Kita pasti menang!"

serunya bersemangat dengan kepalan tangan teracung.

"Kalian harus menang!" ucapnya sekali lagi ketika peluit

berbunyi dan pertandingan dimulai.

Di pertandingan semifinal tingkat kota, SMA Serunai Raya

mendapat lawan yang benar-benar kuat, yaitu SMA Percon?

tohan Bangsa yang memiliki pemain berstandar nasional.

Kemampuan mereka imbang. Baru satu kuarter, kedudukan

sudah dua belas sama.

Pada pertandingan ini Rey tidak hanya berperan sebagai

shooter, tapi kembali mengambil alih permainan dengan gaya

yang biasa Kai lakukan sebagai point guard yang mampu

bergerak cepat dan lincah. Walaupun kemampuannya belum
God Speed Karya Ghyna Amanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyamai Kai, Rey berulang kali melakukan drive sehingga

pada kuarter kedua sebagian staminanya terkuras.

"Rey, kamu jangan main sendiri!" Ariana tegas memper?

ingatkan. Ia bisa tahu bagaimana Rey merasa terbebani

dengan absennya Kai kali ini, tapi bukankah masih ada Leo?

Apakah Rey masih belum bisa berbaikan dengan Leo?

"Maaf, aku cuma..."

Permintaan maaf yang disertai nada keras kepala itu tak

ditanggapi oleh Ariana. "Leo, kamu assist Rey sebisamu. Dion

sama Rendra, kalian fokus pertahanan. Bang Eza cari celah

buat menyerang, kasih umpan buat Rey, dan kalian bisa maju

sama-sama!"

Dinasihati seperti itu, Rey hanya bisa buang muka. Terpaksa

Leo yang membuka mulut. "Kamu masih marah, Rey?" Per?

tanyaan itu tidak digubris. "Nggak masalah kok. Yang penting

aku udah janji sama Kai bahwa aku akan gantiin dia di

pertandingan ini. Jadi, kamu bisa percaya sama aku."

Sebelumnya Leo tidak pernah bermain seserius ini. Biasanya

ia terkesan bermain santai, bahkan lebih santai daripada Dion

yang cengengesan di tengah pertandingan. Leo selalu

menganggap setiap pertandingan hanya permainan biasa.

Menang atau kalah urusan belakangan. Yang penting ia bisa

unjuk gigi, membuat orang kagum, dan berakhir dengan

pujian. Namun, kali ini iaat menginginkan kemenangan.

Bu?kan hanya Leo pastinya, tapi semua orang yang bertanding

hari ini, seluruh anggota timnya, pasti menginginkan kemenang?

Demi Kai, demi tiket menuju final, demi mimpi besar mere?

"Rey!" Sebelum wasit meniup peluit tanda kuarter ketiga

dimulai, Leo sengaja menjulurkan kepalan tangannya pada Rey

yang sepertinya belum mengambil keputusan. Ia menunggu

di sana, sampai akhirnya Rey mengadukan kepalan tangan itu

dengan miliknya, dan mereka kembali ke lapangan.

Kuarter ketiga berjalan lebih baik. Ariana bisa duduk tenang

walau senyuman belum terukir di wajahnya. Ia melihat pe?

ningkatan performa anggota tim inti. Mereka semua hebat,

semua membuatnya iri. Namun Ariana hanya bisa duduk diam


Dewi Ular 30 Tumbal Cemburu Buta The Bourne Supremacy Karya Robert Ludlum Pendekar Slebor 69 Kalung Setan

Cari Blog Ini