Harta Pusaka Cinta Karya Desni Intan Suri Bagian 1
Harta Pusaka Cinta
Desni Intan Suri
Ebook by pustaka-indo.blogspot.com
PENERBIT PT ELEX MEDIA KOMPUTINDO
HARTA PUSAKA CINTA
Desni Intan Suri 2014, PT Elex Media Komputindo, Jakarta Hak cipta dilindungi undang undang
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Elex Media Komputindo Kompas Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta 2014 188141957
ISBN: 978-602-02-4859-2 Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab percetakan
Kadangkala kita tidak memahami bahwa cinta yang sesungguhnya, bukanlah cinta yang sedang dicari-cari. Kadangkala kita tidak mengetahui bahwa arah kehidupan kita yang sebenarnya, bukanlah
kehidupan yang ingin dituju. Kadangkala kita tidak menyadari bahwa kebahagiaan yang kita idamkan sebetulnya bukanlah kebahagiaan yang sedang kita peroleh....
Satu
J akarta selepas Subuh. Bandara Soeta penerbangan
dalam negeri pagi ini tidak begitu penuh. Seorang gadis menjulurkan kepala ke bagian dalam ruang berkaca. Di sampingnya, seorang wanita setengah baya sedang sibuk menekan-nekan gadget dengan jari-jemarinya yang berkuku runcing dan berkuteks merah saga.
" Call Mami kalo udah nyampe, ya, Chin," kata wanita setengah baya itu tanpa mengalihkan perhatian dari gadget di tangannya.
" Rebes, Mi. Don t worry, deh. Aku pasti akan melaksanakan tugasku sebaik-baiknya," jawab gadis belia itu, masih tetap asyik melongok sana sini.
" Bener, lho, ya. Semua tingkah big city dalam dirim u harus dimusnahkan dulu ya, Chin. Mami betul-betul ngandalin kamu. Begitu kamu nyampe di tempat nenekmu, jadilah gadis manis yang penurut. Ingat! Mami cuma punya waktu lima bulan untuk lepas dari kekacauan ini. Kamu harus bantu Mami!"
Harta Pusaka Cinta
" Siap, Mi! Laksanakan! Asalkan Mami nggak lupa dengan bagianku!"
" Uh! Dasar cewek matre kamu!" " Siapa dulu yang ngajarin?"
" Hihihi& iya, ya. Emak dan anak sama matrenya, ya. Tapi kalo nggak matre, gimana kita bisa nikmatin hidup ini? Ya, nggak? Hmmm... pasti& pasti! Kamu akan dapat bagian. Yang jelas, kalau semua sudah ada di tangan, pembagian akan dilakukan seadil-adilnya...."
" Siiip! Daaag Mami...."
Dengan langkah lebar si gadis belia berjalan menuju boarding room. Wanita separuh baya berdandan gemerlap itu terus menatap si gadis belia tanpa berkedip sampai tubuh tinggi semampai itu lenyap dari pandangannya. Matanya menyorotkan kekhawatiran melihat cara gadis semampai itu berjalan. Tubuh gadis itu terbalut blus katun yang berwarna senada dengan rok klok sebatas betis. Serasi dengan kulitnya yang putih kemilau. Tapi langkahnya tidak sesuai dengan gaun feminin yang ia kenakan. Seharusnya ia berjalan dengan langkah kecil dan lenggok yang anggun, apalagi kakinya dihiasi sepasang sepatu high heel yang seharusnya bisa membantu langkahnya lebih berirama.
" Dasar anak susah diatur!" gerutu perempuan separuh baya itu sambil menuju tempat parkir mobil. Pikirannya terpusat pada hasil yang akan diterimanya nanti. Dalam hati ia sangat berharap semua yang ia rencanakan dapat berjalan lancar. Namun, hatinya
juga dirundung cemas bila mengingat hubungan yang sudah terputus sekian tahun dengan amaknya.
Harapannya kini ia gantungkan kepada anak gadis semata wayangnya. Mungkin Chintiya yang akan mengubah semuanya. Hatinya sempat ragu. Mampukah Chintiya mengembalikan hubungannya den gan Amak yang terputus begitu saja selama berpuluh tahun? Ah! Itu tidak penting. Tujuannya mengirim Chintiya ke sana bukan untuk itu.
Sebelum menghidupkan mesin mobil, ia mengambil sehelai kertas putih yang terselip di dalam hand bag-nya. Surat itu sudah lecek tidak beramplop. Amplopnya sudah ia berikan pada anak gadisnya itu tadi malam. Di belakang amplop tertera alamat yang harus dituju Chintiya, putrinya itu, sesampai di Padang. Dibacanya kembali isi surat itu.
Assalamualaikum wr. wb. Ananda Friska Aisyaharni....
Amak bahagia membaca suratmu. Ini suratmu yang kedua pada Amak setelah abakmu meninggalkan kita semua. Dulu setelah kau mengabari keberadaanmu di luar negeri, Amak anggap selanjutnya kau akan selalu menyurati kami. Ternyata tidak. Bahkan ketika abakmu meninggal dan kau kusurati, kau tak kunjung menjenguk kubur abakmu. Kau hanya membalas suratku dan meminta maaf belum bisa pulang. Sulit rasanya Harta Pusaka Cinta
mengungkapkan betapa kecewa dan sedihnya hatiku saat itu, Fris.
Hari ini kuterima suratmu lagi. Tak kusangka dia akan mengunjungiku dalam waktu dekat ini walau kedatanganmulah yang sesungguhnya sangat kuharapkan. Lebih terkejut lagi Amak ketika kau menyebutkan sudah tinggal di Jakarta sekarang. Ah... perubahan hidupmu selalu mengejutkan diriku.
Baiklah, akan kupersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kedatangan anak perempuanmu itu. Aku tak tahu apakah aku layak dipanggil nenek olehnya sehingga aku pun bisa merasakan kehadiran seorang cucu. Bukankah dia tak lahir di kampungmu yang kecil dan kolot ini? Separuh darahnya dari negeri yang kauagung-agungkan itu. Tapi lihatlah nanti. Kutunggu sajalah kehadirannya.
Wassalam Amak
Seharusnya ia menangis tersedu membaca surat ini. Anehnya, setelah menerima balasan dari Amak, ia malah tak menemukan kerinduan dalam dirinya. Yang dirasakannya, nada surat Amak itu masih saja melontarkan kesombongan dan keangkuhan orang
tua pada anaknya. Ataukah pemberontakan itu masih menggelora dalam dirinya? Perasaan ini membuatnya tak paham lagi apa arti keluarga bagi dirinya. Ia hanya merasakan jiwa yang kering. Berbagai tekanan membuatnya lebih condong memikirkan kebutuhankebutuhannya sendiri.
Sambil menyetir mobil, perempuan bernama komplet Friska Aisyaharni ini mencoba meyakinkan diri bahwa putri tunggalnya mampu menjadi jembatan penghubung dirinya dan ibu kandungnya. Setelah itu, urusan harta akan berjalan dengan lancar dan ia mendapat bagian yang sepatutnya sebagai anak perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara.
Bayangan lebih kurang dua puluh lima tahun yang lalu satu per satu membayang di pelupuk matanya. Ah, sudah lama sekali memang, tapi gambar-gambar itu tetap menoreh luka di tubuhnya.
Masih dibantahnya dengan keras, ini bukan salahnya. Ia merasa punya hak memilih. Jadi, ia pun punya hak untuk merasa benar. Rasa sakit hati karena diusir dan dipencilkan keluarga selama bertahuntahun masih membekas. Inilah yang membuatnya enggan menjejakkan kaki di tanah kelahirannya itu.
" Amak dan tentu saja Abak tetap tidak bisa menerimanya sebagai menantu!"
" Kenapa, Mak? Leo sudah mualaf sesuai permintaan Abak dan Amak!"
" Aku tahu Islamnya bukan karena ia mencintai agama Islam tapi karena menginginkan dirimu! Orang
Harta Pusaka Cinta
seperti itu tidak akan tahu makna agama untuk dirinya! Yakinlah, Fris, seorang pria yang den gan gampang menukar keyakinannya hanya karena perempuan takkan memperoleh kebaikan. Hanya kenistaan yang didapatnya. Aku bisa melihat siapa yang benarbenar menukar agama dengan hatinya dan siapa yang hanya karena maksud tertentu! Ingat, Fris, di Minang ini kita berpedoman pada agama Islam. Adat basandi sarak, sarak basandi Kitabullah! Itulah pepatah Minang yang kita junjung!"
" Pendapat Amak sangat tidak masuk akal dan mengada-ada. Aku sudah dewasa, Mak. Aku tahu mana yang baik untuk diriku dan aku tidak akan berubah pikiran!"
" Kau ini seperti tak mengenal agama dan adatmu saja. Kalau itu maumu, menikahlah dengannya tapi kau tetap tak mendapat restuku! Biar kakak laki-laki tertuamu yang mewakiliku menikahkanmu! Setelah menikah, pergilah kau bersama suamimu itu!" Abak lebih keras lagi menyambung.
Hatinya sakit sekali, apalagi dilihatnya Amak tidak sedikit pun membelanya. Ini berarti Amak mendukung keputusan Abak.
Saat itulah ia mulai merasa Amak bukan ibu kandung yang melahirkannya, melainkan musuhnya. Tak disangkanya Amak tak secuil pun berkeinginan membela. Dalam hati ia bersumpah takkan menjejakkan kaki lagi di kampung halaman.
" Baik, kalau itu yang Abak dan Amak inginkan! Sehari setelah menikah aku akan pergi dari rumah ini!" teriaknya dengan berurai air mata. Mata hatinya sudah digelapkan oleh cinta pada lelaki idamannya hingga siapa pun yang menghalangi dianggapnya seb agai orang-orang terjahat dalam hidupnya. Ditambah lagi ia merasa sudah melakukan upaya besar untuk membuat keluarganya menerima Leo. Hans Leonard Rubert, sosok yang membuatnya mabuk kepayang. Seorang pria bule kelahiran negeri Belanda.
Setelah menamatkan kuliah di Akademi Akunting Padang, ia diterima di sebuah perusahaan multinasional yang bekerja sama dengan perusahaan Belanda dalam bidang pengedaman laut. Saat itu di Pantai Bungus Padang didirikan sebuah bangunan untuk pengembangan bidang perikanan. Sebagian pantai harus didam untuk membangun tempat itu. Belanda memang terkenal ahli dalam hal pengedaman laut.
Di sanalah ia bertemu Leo, seorang insiyur berkewarganegaraan Belanda namun mempunyai darah Inggris dan Jawa.
" My mother is Javanese. I learnt Indonesian language from my mom, but she just knows a little bit about her hometown. My dad is half English and half Dutch, because my grandma is an English and my grandpa is a Dutch. So, I ve three kinds combine of blood in my body," itu perkataan pertama Leo saat perkenalan mereka.
" So, I just bisa sedikit-sedikit bahasa Indonesia. Can you teach me more, Friska?"
Harta Pusaka Cinta
Permintaan Leo itulah yang membuat hubungan mereka bertambah akrab. Dari hari ke hari hubungan mereka semakin serius.
" I want to marry you!" begitu pinta Leo padanya. Hubungan mereka memang sudah terlalu jauh. Ia benar-benar mabuk kepayang hingga seluruh jiwa raganya sudah ia serahkan pada Leo.
" Sebelum terlambat, Fris, Amak ingatkan sekali lagi, tidak ada dalam keturunan Amak maupun Abak yang mempunyai menantu bukan beragama Islam. Kita ini orang Minang asli, Fris. Satu-satunya agama yang kita pedomani hanyalah agama Islam. Haram bagi orang Islam menikah dengan orang yang berlainan agama!" Masih diingatnya perkataan Amak yang membuatnya merasa semakin jauh dari perempuan yang melahirkannya itu.
" Mengapa Amak tak pernah sehati denganku? Amak selalu membelakangiku. Bukankah di Minang ini anak perempuan yang dipentingkan, Mak?" teriaknya.
" Ya. Karena dipentingkan itulah kau sebagai anak perempuanku tak boleh salah langkah. Limpapeh rumah nan gadang, umbun puruak pegangan kunci, umbun puruak aluang bunian. Tumpuan curahan hati dan berkasih sayang keluarga dan masyarakat luas, pusat ilmu dan tempat bertanya, pengatur keuangan dan segala jenis peredarannya, dan sebagai lumbung penyimpanan harta benda keluarga besar secara turun-temurun. Itulah sifat dan sikap yang harus kita
pakai sebagai cerminan tanggung jawab perempuan Minang. Semua ini sudah Amak tuliskan di buku tulis tebal yang Amak berikan padamu. Di situ semua lengkap, tentang alam Minang, harato pusako, silsilah keluarga turunan seibumu, dan tanggung jawabmu kelak sebagai nagari yang beerpedoman pada garis keturunan ibu ini...."
Lagi-lagi Amak menjadikan agama, adat, dan budaya sebagai tameng segala tindakan dan keputusan. Ia semakin tak mengerti mengapa semua itu dibuat rumit. Ia sudah susah payah meyakinkan Leo untuk pindah agama agar hubungan mereka berjalan mulus. Usahanya seakan sia-sia. Tak sedikit pun dihargai oleh kedua orangtuanya. Padahal menurutnya tak gampang membuat orang bersedia pindah keyakinan.
" Aku akan meninggalkan kampung ini," katanya suatu malam pada Amak.
" Maksudmu, kau akan tinggal bersama dia? Jadi kau tetap memilih laki-laki peranakan itu daripada orangtuamu sendiri?"
" Abak dan Amak yang membuatku harus memilih. Tolong mengerti aku, Mak. Aku cinta Leo dan tidak ada laki-laki lain di hatiku selain dia. Kalau Abak dan Amak masih melarangku untuk ikut Leo, lebih baik aku mati saja, terjun ke Ngarai Sianok!"
" Astagfirullah, Fris! Sejauh inikah kau berkehendak memiliki lelaki yang jelas-jelas berbeda agama dengan kita? Apa yang sudah terjadi di belakang orangtuamu ini, Fris? Apakah sudah dahulu pulo bajak dari sapi?"
Harta Pusaka Cinta
Amak memakai pepatah Minang dalam menyindir seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang sebelum memasuki dunia perkawinan.
Ia merasa tak perlu menjawab pertanyaan Amak. Semua yang ia lakukan bersama Leo adalah tanggung jawab dirinya sepenuhnya. Tak perlu ia perdebatkan dengan orangtuanya. Ia memang sudah menyerahkan dirinya bulat-bulat pada Leo karena ia tahu Leo sangat mencintainya dan pasti bertanggung jawab akan apa yang mereka perbuat.
Akhirnya, mereka menikah secara Islam walau tak dihadiri Abak. Abang sulungnya, Uda Fahmi, yang mewakili kehadiran Abak. Friska tidak peduli. Saat itu yang diinginkannya hanyalah semua segera selesai. Menikah secara Islam baginya sudah lebih dari cukup untuk menghargai permintaan kedua orangtuanya.
Leo bukanlah orang yang picik seperti keluarganya dalam masalah agama. " It s no problem! I ll be a moslem. What religion we have, that isn t so important. Religion just teach us to be good people! All religions are the same. So, why this is be so important in your family?"
Begitulah isi pikiran dan pemahaman Leo tentang agama. Dan ia sangat setuju dengan pola pikir demikian. Dari kecil ia selalu dicekoki segala sesuatu yang berhubungan dengan ajaran agama Islam. Belajar agama dengan seluas-luas dan sedalam-dalamnya sudah menjadi keharusan di kampungnya. Pendapat adat di kampungnya mengatakan, bila tidak beragama Islam serta tidak mempelajari dan mengamalkannya
dengan baik, orang itu bukan orang Minang asli, tapi kaum pendatang. Baginya, pendapat adat ini merupakan pemaksaan dan mempersempit wawasan pemikiran seseorang.
Sejak mengenal Leo, ia mulai terasuki pikiran lelaki asing itu. Menganggap agama bukanlah hal terpenting dalam kehidupan manusia. Ia abaikan halhal yang dilarang agamanya. Ia anggap semua itu hal remeh-temeh yang bisa ditisik dengan alam pikiran duniawi yang modern. Semua didikan agama yang ia terima selama ini hilang tak berbekas dalam sekejap. Semua kewajiban ibadah yang ia jalani sejak kecil seakan tak pernah ada karena hadirnya seorang pria berperawakan tinggi besar berwajah Indo.
Keputusannya semakin bulat. Bujukan dan nasihat kedua kakak laki-lakinya, Fahmi dan Fatur, tidak digubrisnya sama sekali. Untuk apa? Bukankah Abak sudah mengusirnya? Selain itu, ia merasa kedua abangnya itu juga tak lagi berpihak pada dirinya. Dulu, apa pun kesalahannya, kedua abangnya selalu menjadi pembela utama dirinya. Bila ia diganggu anak lakilaki, kedua abangnya dengan beringas akan melayangkan tinju mereka pada anak laki-laki tersebut.
Ketika ia berniat melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, kedua abangnya pula yang mendukungnya. Semula Abak menyarankan ia masuk kursus menyulam dan menjahit, lalu mengambil pelatihanpelatihan berbisnis.
Harta Pusaka Cinta
" Tirulah amakmu yang tangannya terampil menyulam dan menjahit, sampai-sampai sulaman dan jahitannya terkenal di luar Ampek Angkek ini. Kau juga harus siapkan dirimu untuk menggantikan Amak mengurus rumah gadang dan mengelola harato pusako turun-temurunmu. Dirimu seorang yang berhak atas semua itu karena hanya kau anak perempuan di keluarga amakmu. Dengan menerampilkan dirimu, kau bisa berbisnis sambil melanjutkan tanggung jawabmu sebagai anak perempuan di Minang ini," itu alasan Abak.
" Tak apa juga Friska masuk perguruan tinggi dulu, Bak. Aku sarankan dia masuk akademi keuangan saja. Itu akan lebih memadai di zaman sekarang daripada hanya pelatihan. Kalau keterampilan, bisalah belakangan. Ditambah lagi kulihat si Fris sudah cukup terampil menjahit dan menyulam...." Ia masih ingat pembelaan Uda Fahmi yang membuat hatinya bersorak senang.
Tapi ketika ia memutuskan untuk menikah dengan Leo, tiba-tiba saja kedua abangnya itu menjadi musuhnya. Setiap saat mereka mengkritik kekasihnya itu.
" Kaulah anak perempuan satu-satunya di pihak Amak, Fris. Pikirkanlah baik-baik sebelum menikah dengan pria asing itu!" kata Uda Fatur, abangnya yang nomor dua.
" Dia jodohku!" teriaknya dengan perasaan tersinggung yang amat sangat.
" Baik. Tapi bagaimana dengan Amak? Kau satu-satunya anak perempuannya. Siapa yang akan melanjutkan tanggung jawabnya di rumah gadang dan mengu rus segala harato pusako yang sekarang di bawah pengelolaan Amak bersama mamak-mamak kita?" abang sulungnya angkat bicara pula setelah itu.
" Aku tak ada urusan dengan rumah gadang dan harta pusaka! Persetan dengan itu semua. Aku tak berminat mengurusnya. Takkan kutadahkan tanganku untuk meminta bagian dari semua harta itu kelak!"
Mengenang semua kilasan peristiwa ini membuat Friska tertekan. Ia menggigit bibir, menahan perasaan hatinya ketika bayangan demi bayangan itu berputar lagi dalam pikirannya. Digenggamnya setir mobil kuat-kuat dengan mata tetap berfokus ke jalan raya.
Diakuinya, menyuruh putri cantiknya, Chintiya, menemui Amak di Padang, sama saja dengan menjilat air ludah sendiri.
" Ahh... persetan!" teriaknya sambil menekan gas. Dengan berjalannya waktu, ternyata ia harus membuka mata lebar-lebar tentang jalan yang dipilihnya. Banyak pahit getir yang dialaminya. Setelah tahun-tahun berlalu, barulah ia menyadari bahwa Leo bukanlah yang terbaik untuk dirinya. Budaya kebebasan dunia Barat merupakan kiblat kehidupan Leo.
Semula ia berharap akan tetap merasakan kehidupan seperti di Indonesia karena ibu mertuanya seorang perempuan kelahiran tanah Jawa. Tapi begitu ia mengenal mama Leo lebih dekat lagi, tahulah ia
Harta Pusaka Cinta
bahwa harapannya tak terkabul. Ibu mertuanya itu sudah menanggalkan semua atribut budaya negara kelahirannya sendiri dan total menukarnya dengan budaya tanah kelahiran suaminya.
Ibu mertuanya seorang wanita bisnis di Amsterdam. Ia memiliki beberapa night club, butik, dan morning caf. Yang membuatnya harus benar-benar menyesuaikan diri, orangtua Leo adalah penganut kebebasan tulen dalam menjalani kehidupan. Ibu mertua dan ayah mertuanya sama-sama memiliki pasangan lain dalam kehidupan mereka. Tapi hubungan perkawinannya mereka tetap berjalan normal, seolah tak terjadi apa-apa. Mereka bahkan sering mengadakan pesta bersama-sama dengan menghadirkan pasangan masing-masing untuk bersenang-senang.
Hatinya terlalu cepat melonjak senang ketika kehadirannya disambut dengan sukacita sebagai bagian dari keluarga besar Leo. Setelah dua bulan dia sah menjadi menantu, ibu mertuanya memercayainya mengelola salah satu butik. Walaupun kepemilikan butik itu tetap berada di tangan ibu mertuanya, banyak hal berbisnis yang dapat dipelajarinya.
Namun, lama-kelamaan ia merasa gerah sendiri dengan gaya hidup Leo dan orangtuanya. Ia memang mencintai kebebasan tapi bukan kebebasan yang menyakiti diri sendiri. Kebebasan adalah untuk kesenangan dan kebahagiaan, bukan untuk kesakitan. Ini dirasakannya setelah kepindahannya dan Leo ke New York, mengikuti perkembangan bisnis Leo di sana.
Ketika ia sudah hamil, pertemuannya dengan Leo mulai berjarak. Leo lebih banyak menyibukkan diri di dunia bisnis dan pergaulan bebasnya. Leo sering dikirim ke negara-negara lain selama empat-lima bulan. Ia juga tidak pernah lagi diajak ke Amsterdam, tempat kedua orangtua suaminya itu menetap.
Leo sering meninggalkannya dalam kesendirian di negara Paman Sam ini, layaknya seekor burung dalam sangkar yang mewah. Gemerlap New York sebagai big city akhirnya menjadi pelariannya untuk membunuh kesepian ditinggal Leo selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan.
Suaminya itu juga memiliki jadwal khusus pribadi untuk cuti dan bersenang-senang. Sebagai istri, ia tak diizinkan terlibat di dalamnya. Kebiasaan Leo ini baru ia ketahui setelah mereka menetap di New York. Bila Leo sudah memutuskan untuk spend vacation sendirian di suatu tempat, ia harus menyetujui karena itulah kebiasaan keluarga Leo selama ini.
Semakin lama ia merasa Leo memang sengaja menjaga jarak dengannya. Ia mengetahui Leo sudah hidup bersama dengan seorang wanita berdarah Thailand. Hatinya berontak. Ia tak bisa menerima. Namun, dalam keluarga Leo kehidupan macam begini sah-sah saja. Saat itu ia baru saja melahirkan putri pertama mereka yang ia beri nama sendiri tanpa Leo. Freechintiya Rubert.
Bertahun-tahun ia merasa tertekan. Bertahuntahun ia dilanda kesepian di tengah keramaian
Harta Pusaka Cinta
kehidupan individulistis dunia asing yang belum pernah ia alami. Tapi ia tak menyerah. Dia harus survive dengan pilihan hidupnya. Bila terbayang wajah-wajah yang ada di kampung halamannya, hatinya tambah menggebu untuk tidak menyerah. " Mereka harus sadar bahwa pilihanku benar!" Itu tekad di hatinya.
Malangnya, perjalanan hidupnya semakin tersendat-sendat. Perceraian akhirnya terjadi juga. Ia tak mampu lagi menanggung goresan luka di hatinya yang semakin banyak.
Batinnya semakin dalam tertusuk ketika menyadari Leo cuma menjadikannya benda untuk bersenang-senang. Jika dianggapnya sudah usang dan membosankan, ia tak ada harganya lagi. Dulu ia berpikir Leo mencintainya karena ia gadis Indonesia. Dipikirnya, karena Leo berdarah Indonesia, tentulah berkeinginan mempunyai istri orang Indonesia pula. Tapi ternyata, setelah dirinya ada wanita-wanita Asia lain dalam kehidupan Leo.
Friska baru menyadari gaya hidup Leo yang selalu dikelilingi banyak wanita takkan lepas sampai kapan pun. Leo suka mengencani banyak wanita Asia. Leo mengaku terus terang bahwa ia sangat bergairah dengan wanita-wanita Asia. Selama ini ia bukannya tak tahu Leo sudah mengencani wanita China, India, Thailand, dan wanita-wanita Asia lainnya. Setelah putri mereka lahir, kebiasaan Leo tetap sama. Ia pun acap membawa wanita-wanita itu ke rumah dan me
ngencaninya di hadapan mata Friska. Rumah mereka sering dijadikan ajang pesta pora dengan dihadiri wanita-wanita Asia.
Diakuinya, materi yang diberikan pada dirinya lebih dari cukup. Karena itulah ia tetap bertahan. Namun, pertahanan itu jebol juga akhirnya. Sejauh mana pun telapak kakinya mengikuti sikap hidup suaminya, ia tetap berasal dari sebuah agama, adat, dan budaya yang kuat. Namun, ia mungkiri itu. Ia tetap bersiteguh bahwa ini hanya sebuah penggalan nasib, bukan karena keputusannya yang salah.
Karena itulah tak ada sedikit pun keinginannya untuk memberi tahu kehadirannya kembali di tanah air pada keluarganya, apalagi kembali ke kampung halaman untuk menetap di sana. Tak ingin hatinya dianggap sebagai manusia kalah atau manusia gagal! Ia memilih Jakarta.
Saat itu Chintiya masih berumur sepuluh tahun. Leo tidak berkeberatan menunjang kehidupannya di Jakarta, bahkan berjanji akan membiayai semua kebutuhan putrinya. Bagi Leo, hal itu bukan masalah.
Friska tahu, bukan rahimnya saja yang sudah dibuahi. Leo memiliki anak dari perempuan-perempuan yang ia kencani tanpa menikahi mereka. Semua dibiayainya dengan senang hati.
Bagi Leo, mengembangbiakkan keturunan di mana saja yang ia sukai merupakan sebuah kebanggaan akan nilai kelaki-lakiannya. Perkawinan, perceraian, atau hidup bersama tanpa ikatan dengan
Harta Pusaka Cinta
bertukar-tukar agama dan budaya merupakan petualangan yang membuatnya bergairah menjalani kehidupan bisnisnya.
Friska membelokkan mobilnya ke sebuah deretan ruko di kawasan Pondok Pinang. Mobilnya berhenti di depan sebuah tempat berpapan nama Friska s Beauty Boutique & Cafe. Sejenak ia berdiam diri, termangu memandangi papan nama itu.
" Kalau Chintiya tidak berhasil, apa keuntungan usaha bisnisku ini juga akan terkena dampaknya?" desisnya pada diri sendiri. Matanya nanar memandang papan nama ruko di hadapannya. Ia mengepalkan tangan, lalu memukul setir sambil melempar napas berat. Sesaat kemudian, ia membuka pintu mobil. Dengan langkah pelan ia menuju pintu masuk ruko yang di luarnya berkaca gelap itu.
" Pagi, Tante Friska...."
Kedatangannya disambut oleh seorang gadis muda yang duduk di belakang meja kasir di bagian depan ruko.
" Pagi, Denia. Ke ruanganku sebentar, ya." " Baik, Tante."
Ruko itu cukup besar, apalagi ia mengambil tiga ruko sekaligus. Di dalamnya ada etalase luas untuk memajang beraneka pakaian wanita berkualitas tinggi.
Lebih ke bagian dalam lagi, beragam pakaian terpajang di gantungan besi yang beroda. Di dinding yang berhadapan dengan pintu masuk terdapat kotak-kotak bertutup kaca. Semua kotak tersebut berisi pak aian-pakaian yang terlipat rapi dan dibungkus dengan plastik transparan.
Di bagian dalam ada sebuah ruangan tertutup. Friska mengayun langkah ke ruangan tersebut. Itu adalah ruangan pribadinya. Di samping ruangan tersebut ada sebuah tangga. Bila sampai di ruangan atas, terlihat sebuah studio pemotretan dengan segala fasilitasnya. Di sudut kiri terdapat sebuah ruangan yang ditutupi kaca transparan. Ruangan itu berfungsi sebagai ruang rias. Ada dua orang gadis muda di sana, sedang sibuk melayani dua wanita. Beberapa wanita duduk-duduk di kursi tunggu sambil membaca majalah.
Di bagian depan ujung kiri terdapat kafe yang menawarkan berjenis-jenis minuman dingin dan hangat. Ada juga berbagai makanan ringan siap saji. Ketiga pelayannya sigap melayani para tamu. Wanitawanita cantik itu duduk sambil mengobrol, dikelilingi beberapa kantong pakaian bermerek butik Friska. Tentu mereka baru saja memborong baju-baju yang masing-masing berharga di atas satu juta rupiah ini.
Ada pula dua orang wanita dengan kepala penuh rol rambut. Mereka sedang menunggu perawatan kecantikan berikutnya. Umumnya, para wanita yang masuk ke sini berwajah polos dan berbaju biasa.
Harta Pusaka Cinta
Begitu keluar, wajah dan penampilan mereka secara keseluruhan langsung berubah cantik dan gemerlap.
Bisnis Friska ini memang bisnis yang cerdik. Ia memahami betul keinginan orang-orang berduit, terutama wanita kelas atasnya. Lokasi dan penataan ruangan dibuat sedemikian rupa sehingga terkesan akrab dan santai. Orang akan merasa enggan keluar dari " rumah" bisnisnya kalau sudah berada di dalamnya.
Pelanggan yang disasar tentu saja kaum wanita. Mereka tak akan ke mana-mana lagi kalau sudah memasuki tempat ini karena segala fasilitas yang mereka inginkan sudah tersedia. Kehidupan wanita kalangan atas tak lebih hanya untuk bersenang-senang, bersantai ria, dan mengobrol ngalor-ngidul sepanjang hari sambil ditemani makanan dan minuman bergengsi.
Denia, gadis cantik semampai yang dipanggilnya tadi, sekarang sudah berada di ruangannya.
" Duduk, Nia," dengan mata tetap pada berkasberkas di mejanya, Friska menyuruh gadis muda itu duduk.
" Sepertinya ada yang penting, Tante," kata gadis itu sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan Friska. Roknya yang sebatas paha segera terangkat lebih tinggi lagi, memamerkan sepasang paha putih yang terbalut stoking cokelat muda.
" Sudah berapa tahun kamu ikut aku, Nia?" " Waaah & baru juga dua tahun, Tante."
" Tapi kamu udah dipercayai untuk memegang keuangan, kan?"
" Iya, Tante."
" Kamu satu-satunya orang kepercayaanku saat ini, Denia. Kamu juga yang paling tahu kondisi butik kita ini sekarang. Juga... kondisi keuanganku yang sangat mendesak saat ini...." Friska sejenak berhenti. Suaranya terdengar mendesah berat pada akhir kalimatnya.
" Aku paham, Tante. Maaf, ini mengenai pelunasan utang-utang pribadi Tante itu, kan?"
Friska hanya tersenyum. Namun, Denia sudah mengetahui apa yang dibutuhkan bosnya itu.
" Perputaran keuangan bisa Tante lihat dalam laporan keuangan yang kukirim ke email Tante. Semua memuaskan kok, Tan. Bisnis kita terus meningkat dari tahun ke tahun. Tenang aja, Tan. Nggak usah tertekan begitu. Utang-utang itu pasti terlunasi...."
Friska terdiam lama. Matanya menelusuri angkaangka yang tertera di kertas di hadapannya. Dalam hati ia mengakui apa yang dikatakan Denia. Ia sangat tertekan dengan utang-utang pribadi yang harus dibayar segera. Utang yang dibuatnya sendiri dengan nafsu duniawi tanpa memikirkan akibatnya di kemudian hari. Apakah keuntungan usahanya yang sedang naik daun ini akan berpindah begitu saja pada orang lain gara-gara utang" Baiklah, Denia. Akan kuteliti laporan keuanganmu."
Harta Pusaka Cinta
" Oke, Tan. Aku pasti akan terus membantu Tante sebisaku. Percayalah padaku, Tante. Sudah dua tahun aku bekerja di sini, Tante tentu sudah tahu bagaimana loyalitasku."
" Ya, aku percaya. Kau tetaplah berusaha memajukannya. Tentang utang-utang pribadiku, aku sedang mencari jalan lain untuk melunasinya."
Tahun pertama menetap di Jakarta, ia langsung membuka bisnis yang sama persis dengan bisnis mantan ibu mertuanya. Banyak orang mengatakan wanita Minang pintar berbisnis. Ternyata itu pun ada pada dirinya. Ditambah lagi pengalaman berbisnis semacam ini dari ibu mertuanya.
Selama setahun itu Leo masih mendanainya sesuai perjanjian dalam perceraian mereka. Leo juga men gabulkan permintaannya untuk membeli dua rumah, tiga mobil, dan berbagai benda mewah.
Tahun kedua, hidupnya masih gemerlap. Ia masih bisa bersenang-senang pelesiran ke luar negeri bersama teman-teman barunya di Jakarta. Menginjak tahun ketiga, Leo tak lagi mengirim dolar ke rekeningnya. Biaya untuk Chintiya dikirimnya langsung ke rekening putrinya itu.
" Fris, don t disturb me anymore. Ok? I will give all money you need, but this is the last. Don t you realize why I can t live with you? Kamu& kamu& wanita gila uang! Kamu hanya suka uang! So, I ll give what you want& after that finish! Ok?" ucap Leo padanya.
Saat itu ia sangat membenci Leo. Suka uang? Bukankah selama ini Leo sendiri yang menjadikannya boneka berbaterai uang? Sekarang, setelah ia terbiasa hidup dipenuhi uang dan uang, mantan suaminya malah memutuskan untuk tidak mendanainya lagi.
Akibatnya, dolarnya mulai menipis. Sementara itu, pola hidup gemerlap, berfoya-foya, dan nafsu berbelanja keliling dunia tak bisa ia hilangkan. Satu rumah dan satu mobil sudah terjual gara-gara kegilaannya berlibur ke luar negeri dan berbelanja banyak benda. Untunglah bisnisnya dikelola dengan baik oleh Denia dan asisten-asistenya.
Namun, kemudian ia terpengaruh oleh temantemannya sesama maniak belanja untuk meminjam uang secara gelap atau tak resmi. Pinjaman itu dapat cair dengan sangat mudah. Cicilan pertama dan kedua lancar. Ia meminjam dan meminjam lagi, bahkan dalam jumlah yang semakin lama semakin besar. Suatu ketika ia baru menyadari bahwa pinjamannya sudah sangat besar. Besarnya jumlah pinjaman itu bukan karena nilai peminjaman tapi akibat bunga yang cukup besar. Kalau ia mengabaikan tanggal jatuh tempo, bunganya akan berlipat ganda.
" Paling kurang Mbak harus bayar dua ratus juta sebulan!" kata Koh Ibeng yang selalu berurusan dengannya. Yang memiliki usaha peminjaman gelap itu bukan dia. Buktinya, Koh Ibeng mengancam akan menghadapkannya pada bos besar bila tak membayar segera.
Harta Pusaka Cinta
" Hati-hati ya, Mbak, berurusan dengan tempat ini. Sekali ada yang ingkar janji, niiih akibatnya!" kata Koh Ibeng sambil menggerakkan tangan ke lehernya sendiri.
Inilah awal penyesalannya terkait utang pada lintah darat komplotan Koh Ibeng. Ia terperangkap dalam sebuah pola penipuan baru yang targetnya adalah wanita-wanita kelas atas yang doyan menghamburhamburkan uang. Bisnis gelap ini hanya diketahui dari mulut ke mulut kalangan atas. Bujuk rayu dan kemudahan meminjam dalam jumlah besar membuat para wanita gila belanja ini terperangkap. Wanitawanita ini akan dibuat berutang seumur hidup atau membayar lunas utang-utang mereka dengan jumlah tiga kali lipat dari yang dipinjam.
Namun, penyesalan itu bukannya membuat Friska segera melunasi utang-utangnya. Sebaliknya, ia malah enggan melunasi. Ia tak ingin harta benda yang sudah ia punyai jatuh begitu saja kepada orang lain untuk membayar utang yang menjadi berlipat ganda karena bunga uang yang diberikan seenaknya.
Berhari-hari ia memutar otak agar dapat melunasi utangnya tanpa harus menguras harta benda yang ia punyai. Meminta bantuan pada Leo sudah tidak mungkin. Mantan suaminya itu tampaknya hanya mau berurusan dengan anaknya, bukan den gan dirinya. Baru minggu kemarin ia mendapat ide menyuruh Chintiya mengunjungi Amak di Ampek Angkek. Tujuannya bukan berurusan dengan Amak, tapi me
minta hak waris yang ia yakin melimpah di kampung halaman.
Ia yakin, setelah Abak meninggal, keluarganya tentu sudah menetapkan pembagian harata pusako atau warisan. Kedua abangnya pasti sudah mendapat bagian. Mungkin karena dirinya tidak berada di tanah kelahiran maka ia tidak mendapat jatah hak waris. Ini tak boleh terjadi.
Setahunya, hak waris di Minang hanya jatuh ke tangan anak perempuan. Kaum wanita dalam adat Minang lebih berhak memiliki harta dari pihak orangtua sendiri dan harta turun-temurun menurut silsilah keturunan ibu. Yang pasti, ia tak peduli tentang asalmuasal harta itu. Yang terpenting, ia harus menuntut haknya. Bukankah Abak pernah mengatakan bahwa dirinyalah yang berhak menempati rumah gadang dan mengelola harata pusakoF reechintiya Rubert seorang gadis produk masa
kini. Selalu tampil dinamis, energik, dan demokratis dalam bersikap. Seorang gadis yang terlahir dari campuran beberapa bangsa. Kepribadian yang datang dari pertemuan keturunan Eropa dan Asia. Namun, sikap hidupnya lebih menjurus pada gaya hidup bebas dunia Eropa.
Kecerdasan jelas terlihat di wajahnya. Namun, kecerdasan itu seakan terselimuti oleh sikap bebasnya yang frontal. Kesan yang tampil pada dirinya adalah kepribadian yang jauh dari tata krama budaya Timur. Sikap individualistisnya yang menonjol mengungkapkan setinggi apa tingkat percaya diri yang ia miliki.
Ia mahasiswa semester empat Fakultas Manajemen dan Informatika di sebuah universitas internasional terkenal yang bercabang di Jakarta. Otaknya sebetulnya encer. Mungkin kalau ia menekuni kuliahnya dengan baik, ia bisa lebih cepat menamatkannya. Tapi ia seperti tidak peduli dengan kecerdasannya. Di dalam dirinya hanya ada sikap santai, easy going,
bahkan terkesan menggampangkan segala permasalahan.
Mungkin ini karena semua kebutuhan hidupnya selalu terpenuhi dengan baik. Tidak ada permintaannya yang ditolak. Walaupun kedua orangtuanya sudah bercerai, mereka tetap memanjakan dirinya den gan kenikmatan materi. Uang begitu mudah mengalir ke sakunya. Ia hanya tahu hidup ini nikmat karena uang dan manusia hanya bisa hidup dengan uang.
Hari ini ia mendapat tugas dari maminya untuk menyampaikan sepucuk surat penting pada nenek yang sama sekali belum dikenalnya. Tapi ia dengan sukacita menerima tugas itu. Pertama, ia memang sangat suka bepergian ke tempat-tempat yang baru. Kedua, ada keingintahuan yang besar dalam dirinya tentang asal usul maminya. Selama ini, setiap ia bertanya maminya selalu enggan menjawab, bahkan terkesan menghindar.
Gadis semampai itu menjejakkan kaki di Bandara Internasional Minangkabau di siang yang terik. Mata bulatnya berputar-putar mencari kemungkinan yang paling tepat dan cepat untuk mencapai alamat yang ditujunya.
" Taksi!" panggilnya. Ia tunjukkan alamat yang tertera di amplop.
Sopir taksi mengangguk.
Tubuh semampai gadis itu langsung menyelinap ke dalam taksi yang akan membawanya menemui
Harta Pusaka Cinta
seorang wanita tua yang masih ia raba-raba perawakannya.
Setelah taksi melaju, hatinya tiba-tiba berdebar aneh, sama anehnya ketika ia baru menjejakkan kaki tadi di tanah Minangkabau ini. Entah mengapa ia merasa sudah pernah mengenal tanah ini. Samar, sebentuk wajah hadir bagai kilatan yang lewat di matanya. Hatinya penasaran, berdetak tak menentu dan diburu rasa ingin tahu yang semakin menggebu. Di mana ia menemukan perkotaan semacam ini? Dalam mimpikah" Nanti Nak Chintiya pergi ke Ampek Angkek ditemani anak Ibu." Begitu tadi kata ibu yang menyewa rumah neneknya di Padang ketika ia sampai di alamat yang diberikan maminya padanya. Ibu itu lalu memanggil anak gadisnya. Farida namanya.
Ini di luar dugaan Chintiya. Ternyata neneknya tidak tinggal di Padang tapi di Ampek Angkek.
" Nenek Nak Chintiya sudah lama tak tinggal di Padang. Beliau menjaga rumah gadang di kampung. Rumah gadang di Ampek Angkek perlu dihuni dan dijaga. Itu tanda kita beradat namanya," kata ibu itu.
Chintiya hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum. Jujur, dia sebetulnya tidak mengerti maksud ibu itu. Yang jelas, ia mulai merasa keadaan akan
lebih sulit daripada yang ia bayangkan. Semula ia berpikir tugas ini takkan berat karena lokasinya masih di perkotaan. Tapi sekarang ia harus masuk kampung atau mungkin desa kecil. Bisa jadi dusun yang terpencil dan dikelilingi hutan rimba. Ia tidak suka keadaan seperti itu.
Ia memang menyukai perjalanan tapi bukan ke kampung apalagi dusun terpencil. Pasti tempat-tempat itu minim fasilitas. Dia tidak bisa hidup tanpa fasilitas lengkap yang diinginkannya. Dalam hati ia dongkol pada Mami yang telah memberikan alamat ini padanya.
Sekarang ia sudah berada di dalam sebuah bus yang penuh sesak. Di sampingnya duduk Farida. Penampilan dua gadis ini sangat kontras. Kalaulah Chintiya masih mengenakan rok panjangnya, tentulah penampilannya akan sedikit menyamai Farida. Dikatakan sedikit menyamai karena kalau dirinci ada sangat banyak perbedaan antara kedua gadis tersebut.
Sejak dari Jakarta Chintiya sudah gerah memakai rok panjang yang lebar itu. Berkali-kali ia mengutuk diri sendiri karena menerima tawaran maminya untuk memakai rok ribet itu. Namun, membayangkan akan bertemu dengan seorang nenek kampung yang tak paham kehidupan kota besar, akhirnya dipakainya juga rok itu.
Unsur pemaksaan dari maminya itu diembel-embeli dengan ancaman pengurangan persentase " upah" yang akan diperolehnya. Namun, sesampai di bandara
Harta Pusaka Cinta
Padang, ia sudah tak tahan lagi. Rok panjang klok bermotif bunga dengan warna dasar pink itu segera ia tukar dengan atribut sehari-harinya di toilet bandara.
Jadilah sekarang penampilannya bertolak belakang dengan Farida. Gadis yang baru satu jam lalu dikenal Chintiya ini menampilkan sosok gadis muslimah sejati. Kepalanya memakai jilbab panjang sampai batas pinggang dan menutupi lengannya. Pakaiannya berupa gaun muslimah longgar yang tak memperlihatkan lekuk tubuh sedikit pun.
Bertolak belakang dengan Chintiya yang mengenakan kaus you can see. Kaus biru tua itu melekat ketat di tubuhnya. Warna biru tua itu menonjolkan kulitnya yang halus kuning langsat. Bawahannya celana terpal abu-abu yang sarat dengan kantong-kantong lebar. Sebuah topi terpal berwarna senada dengan celana, bertengger di kepalanya. Sebuah ransel serta koper dorong besar melengkapi penampilannya hingga persis turis bule yang sedang mengadakan journey ke seantero jagat raya.
" Wow... beautiful waterfall!" teriak Chintiya spontan. Matanya tak berkedip melihat air terjun Lembah Anai yang terkenal sebagai salah satu objek wisata di kawasan Jalan Raya Silaiang.
" Pemandangan menuju kota Bukittinggi memang indah, Mbak Chintiya," timpal Farida yang duduk bersebelahan dengannya.
" Ehh& ohh& iya& ya& hmm& memang indah. Eh, nggak usah panggil mbak, kali. Keliatannya
Harta Pusaka Cinta Karya Desni Intan Suri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita seumur. Panggil Chintiya aja," jawab Chintiya tergagap. Ia melempar senyum pada Farida. Ia baru menyadari lagi keberadaan gadis itu di sampingnya. Farida terlalu pendiam baginya. Dari tadi bicaranya hanya satu-satu dan sangat diaturnya. Terlalu sopan dan banyak basa-basi sehingga Chintiya bingung memilih topik pembicaraan.
Tapi sebetulnya tidak begitu dengan Farida. Mahasiswi keguruan itu tengah mencari waktu yang tepat untuk berakrab-akrab dengan kawan barunya yang datang dari ibu kota ini.
" Baiklah, kita saling sebut nama saja, ya. Tampaknya kita memang seumur. Hmm... baru kali ini, ya, Chintiya ke Sumbar?" Farida mulai melakukan pendekatannya. Logat Minangnya kental, menandakan bahwa dia memang gadis Minang asli.
" Iya, baru pertama kali. Ternyata kampung halaman mamiku indah sekali," jawab Chintiya sambil terus memandang keluar jendela. Ia sengaja memilih duduk di dekat jendela agar bisa lebih bebas memandang keluar.
Langit terlihat terang dengan awan putihnya yang berarak. Pemandangan di luar jendela didominasi oleh petak-petak sawah dengan padi yang menguning. Terkadang ada sepetak dua petak yang berwarna hijau. Kombinasi warna itu membuat mata terasa sejuk memandang lepas ke hamparannya.
Setiap mendekati keramaian pasar, bus berhenti sejenak. Pemandangan bertukar dengan rumah-rumah
Harta Pusaka Cinta
desa yang memperlihatkan kebersamaan. Tidak sama dengan rumah-rumah real estate perkotaan yang sudah ditembok dan dipagar tinggi.
" Ampek Angkek itu di mana, ya?" tanya Chintiya sambil menoleh pada Farida. Sempat Chintiya melirik buku kecil tebal yang sedang dibaca teman barunya itu. Ia tidak begitu tahu buku apa, tapi setidaknya ia mengenal huruf-huruf Arab yang berbaris rapi di buku kecil tersebut.
" Oh, Ampek Angkek itu berdekatan dengan kota Bukittinggi. Dari Bukittinggi kita masih menempuh perjalanan dengan bus kecil sekitar setengah jam lagi," Farida menjelaskan sambil menutup tafsir Al-Qur an mininya, lalu memasukkan ke tas sandangnya.
Chintiya melirik perbuatan Farida. Ia heran kenapa Farida memegang buku seukuran kamus mini itu dengan penuh kehati-hatian. Sebelum memasukkan buku kecil itu ke tas, Farida terlebih dahulu mendekap buku itu di dadanya.
" Udara di sana dingin, terutama pada malam hari," lanjut Farida.
" Orangtuamu juga punya rumah di Ampek Angkek itu?" tanya Chintiya.
" Bukan rumah orangtuaku tapi rumah keluarga besar dari pihak ibuku. Kami juga orang Ampek Angkek."
" Kamu sering dong ke Ampek Angkek?" " Tentulah. Namanya kampung halaman, ya harus sering ditengok. Di rumah gadang kami masih ada ne
nek dan tiga orang etekku. Tiga kakak perempuanku juga di sana bersama anak-anak dan suami mereka."
" Wow! Keluaga besar rupanya. Ng ... aku bingung, nih. Rumah gadang itu apa? Dan siapa itu etek?" tanya Chintya. Wajahnya menunjukkan rasa keingintahuan. Ia menatap lurus pada Farida, seakan tak sabar menunggu jawaban teman barunya itu.
Farida tersenyum mendengarnya. Rupanya beginilah cucu Anduang Rabiah dari anak perempuannya yang menikah dengan orang Belanda itu. Kentara sekali wajah bulenya. Cantik! Seperti bintang sinetron yang pada umumnya berwajah bule. Jelaslah gadis ini buta akan kampung halaman ibunya. Bahasa Indonesianya saja masih medok dialek asing, mana tahu dia kalau di Minang anak perempuan dianggap dekat dengan kampung, bahkan yang menempati rumah gadang.
" Rumah gadang itu adalah rumah yang ditempati secara turun-temurun oleh kaum perempuan di Minang. Nenekmu pun sekarang tinggal di rumah gadang keluargamu. Nenekmu aku panggil Anduang, artinya ya nenek juga. Etek adalah panggilan untuk saudara perempuan ibu kita. Kalau bahasa umumnya bibi, atau orang sekarang banyak yang memanggil dengan sebutan tante."
" Oh gituuu... that s interesting! Ini pengetahuan baru bagiku." Chintiya mengangguk-angguk sambil mengalihkan pandangannya kembali ke jendela.
Harta Pusaka Cinta
Farida ingat, semasa ia kanak-kanak, banyak orang tua membicarakan anak perempuan Anduang Rabiah yang dianggap durhaka dan meninggalkan kampungnya untuk kawin dengan laki-laki asing yang bukan Islam. Setelah Farida beranjak dewasa, cerita itu masih saja dibicarakan karena banyak yang bersimpati dengan nasib Anduang Rabiah yang sendirian di usia tuanya. Mungkin juga cerita itu tak pernah habis dibicarakan karena keberadaan Anduang Rabiah di kampungnya sangat diperhitungkan dan disegani.
Chintiya tampak berfokus dengan pemandangan alam di balik kaca bus yang membawanya ke tempat yang sama sekali belum dikenalnya. Diam-diam ia menyesali diri karena tidak mempelajari adat budaya kampung halaman Mami sebelum berkunjung ke sini. Sekurang-kurangnya ia bisa bertanya pada Mami. Tapi selama ini Mami selalu enggan bercerita banyak tentang tanah kelahirannya, bahkan terkesan tidak ingin siapa pun mengetahui asal usulnya. Namun, bulan lalu tiba-tiba Mami mendesaknya untuk segera menyisihkan waktu menengok neneknya di Padang.
" Kamu tau, kan, Chin, Mami sedang dibelit utang yang cukup besar," begitu kata Mami suatu malam, ketika mereka dinner bareng. Mereka jarang bisa bertemu untuk makan malam bersama. Biasanya mereka hanya bertemu pada pagi hari, di saat ia akan berangkat kuliah dan Mami berangkat ke ruko. Itu pun kalau Mami tidak ada jadwal ke luar negeri. Setiap bulan
pasti saja Mami terbang dari satu negara ke negara lain yang ia sukai.
Mereka lebih banyak berkomunikasi melalui telepon seluler. Kehidupan di era teknologi, apalagi di kota besar yang sibuk seperti Jakarta, membuat para penghuninya merasa lebih praktis untuk keep in touch dengan keluarga dan kerabat melalui perangkat komunikasi. Pertemuan face to face hanya untuk melempar senyum, sedangkan pembicaraan dilakukan dalam perjalanan menuju kantor, sekolah, atau kampus. Time is money sangat berlaku di kota besar yang sarat dengan persaingan. Siapa yang lebih awal, dia yang mendapatkan. Siapa yang lambat, akan selalu berada paling belakang atau takkan mendapat apa pun dalam kehidupannya.
" Aku tahu sebatas yang Mami kasih tau aja. Tapi Mami bisa mengatasinya, kan? Selama ini kulihat Mami bisa mengatasi persoalan keuangan seberat apa pun," jawab Chintiya waktu itu. Ia santai saja menjawab seperti itu karena ia tahu selama ini Mami selalu berhasil meminta suntikan dana kepada Papi di Holland. Walaupun kedua orangtuanya itu sudah bercerai, Papi selalu bersedia mengirimkan uang kepada mereka berdua.
" Untuk kali ini Mami kesulitan mengatasinya, Chin...."
" Kenapa tidak minta sama Papi aja?" Saat Mami tidak kunjung menjawab pertanyaannya, ia bertanya lagi, " Atau aku saja yang minta, Mi?"
Harta Pusaka Cinta
" Ah, jangan! Ini utang-utang Mami, jadi harus Mami selesaikan sendiri."
Ia tahu maminya sedang menyembunyikan ses uatu. " Kayaknya bukan itu, deh, alasannya," tebaknya. Mami terdiam lama ketika ia mencoba mengajak to the point dalam pembicaraan mereka. Ia paling tidak suka berbelit-belit. Ia maunya yang terbuka dan langsung saja.
" Papimu nggak mau lagi mendanai Mami...." " Kenapa?"
" Tanya sendiri pada papimu! Mami nggak mau ngemis-ngemis. Biarin aja. Kalo dipikir-pikir, pemberian papimu pada Mami sudah cukup banyak, kok. Bisnis Mami, kan, dimodali papimu. Mau ditaruh di mana harga diri Mami kalo masih minta lagi sama mantan suami? Yang penting, dana untukmu ngalir terus, kan?"
" Ya, sih. Kemaren juga Papi baru kirim sepuluh juta."
" Itu punyamu. So, Mami must keep going toh? Mami punya rencana lain untuk mendapat dana. Tapi rencana itu akan melibatkanmu, Chin."
" Rencana apa, Mi?" tanyanya waktu itu dengan rasa ingin tahu.
" Rencana untuk meminta harta warisan bagian Mami pada nenekmu di Padang."
Sesaat dia bengong mendengar rencana maminya itu. Tapi kata-kata " harta warisan" langsung menggoda hatinya. " Wow! Mami punya harta warisan?"
" Seharusnya begitu. Setahu Mami, di kampung halaman Mami semua harta warisan jatuh ke tangan anak perempuan. Mami ini, kan, satu-satunya anak perempuan dari kakek nenekmu di sana. Saudarasaudara Mami laki-laki semua. Cuma saja, mereka orang-orang yang sangat kolot. Pikiran mereka terlalu picik pada adat yang kuno!"
" Karena itukah Mami pergi dari tanah kelahiran Mami?" tanyanya kemudian
Ia ingat waktu itu wajah Mami langsung berubah murung dan pertanyaannya tidak dijawab. Dalam benaknya segera terpatri wajah sepasang laki-laki dan wanita tua yang lugu, kolot, dan sulit diajak berkomunikasi. Pastilah ayah dan ibu kandung Mami adalah orang-orang kampung yang jarang atau bisa jadi tidak mengenal kehidupan kota besar dan perkemb angan zaman. Kalau tidak demikian, pasti Mami sudah menghabiskan hidup di tanah kelahiran.
Chintiya tidak ingin bertanya lebih lanjut lagi. Ia mempunyai alasan pribadi untuk tidak memperpanjang pembicaraan ke arah itu. Ia paling tidak suka membicarakan masa silam, apalagi bila masa silam itu tidak menyenangkan. Selain itu, ia tidak tertarik mempelajari silsilah kedua orangtuanya. Untuk apa membicarakan silsilah? Sudahlah rumit, tidak ada untungnya pula. Ia sudah merasa enjoy dengan kehidupannya yang hanya mengenal Mami dan Papi serta sedikit tentang Granpa dan Grandma di Holland. Ia lebih tertarik membicarakan kerabat-kerabat dekat
Harta Pusaka Cinta
yang bisa diajak bersenang-senang dan berpesta ria. Dan ketiga, hmmm... lebih baik pembicaraan menjurus kepada harta warisan. Ini tampaknya lebih menarik!
Ia langsung mendesak Mami untuk melangkah pada perencanaan. Jadilah sekarang ia berada di kampung halaman Mami. Memandangi dan mengagumi keindahan alam dari bus umum yang padat. Itu tak menjadi soal. Ia menyukai perjalanan dalam bentuk apa pun. Ia pernah ke Thailand, Vietnam, dan India bersama kawan-kawan yang sehobi dengannya memotret, membuat film, dan menulis.
Ia memang suka sekali memotret. Hobinya itu didukung dengan peralatan fotografi yang komplet. Selain itu, Mami juga mempunyai studio. Banyak model untuk majalah yang dipotret di studio ini. Chintiya sering dilibatkan karena feeling seni pengambilan gambarnya sangat bagus. Hasil karyanya banyak dibeli oleh para pencinta foto.
Semua hasil fotonya dipajang di rumah bisnis Mami. Berpigura menarik dan tentu saja berkelas. Cocok untuk menghias dinding rumah orang-orang kaya atau perkantoran.
Ternyata peminatnya banyak juga walaupun harga yang ia tetapkan cukup menguras kocek. Pelanggan Mami memang bukan orang-orang sembarangan. Kebanyakan ibu-ibu pejabat atau wanita kelas atas yang rata-rata sudah luar negeri minded.
Jiwa seni Chintiya memang tinggi sekali. Buktinya, ia pun mampu menulis kisah perjalanan dengan detail dan menarik. Ada dua media cetak yang sering memintanya mengirim foto-foto perjalanannya. Mereka menawarkan kerja sama dengan imbalan yang tidak sedikit. Hanya saja, gadis ini memang sangat nyantai. Atau barangkali hidup ini sangat mudah baginya. Dia berbuat sesuatu hanya kalau ada mood, bukan karena uang. Chintiya tidak pernah kekurangan uang. Koceknya selalu tebal karena setiap bulan papinya mengirim sepuluh juta rupiah.
Kebebasan bergerak mutlak kepunyaan dirinya. Kehidupan yang nyaman membuatnya tidak termotivasi untuk berfokus dan serius, apalagi bekerja keras untuk menghadapi sesuatu.
" Hampir sampai di Bukittinggi." Farida menepuk pundak Chintiya, lalu mengemasi barang-barang bawaannya.
" Oh, ya. Hampir sampai, ya. Aku dari tadi asyik ngambil video, nih. It s amazing!" jawab Chintiya sambil mematikan kamera videonya.
" Iya, makanya aku ndak mau ganggu," jawab Farida sambil melirik benda-benda yang ada di ransel Chintiya. Ada sedikit rasa minder dalam dirinya melihat benda-benda kepunyaan Chintiya. Dari tadi ia
Harta Pusaka Cinta
mengagumi peralatan memotret dan video kepunyaan cucu Anduang Rabiah itu. Tentulah orangtuanya kaya raya, pikir Farida dari tadi. Meski begitu, tidak terlihat rona kecemburuan atau ingin memiliki di wajahnya. Gurat kedewasaan dan kematangan di wajahnya lebih kentara sehingga menutup gejolak rasa di hatinya.
" Jadi, kita turun di sini?" tanya Chintiya sambil membereskan kameranya.
" Iya. Sebentar lagi sampai di terminal Bukittinggi. Kita makan siang dulu, ya. Atau mungkin kamu mau jalan-jalan lihat kota Bukittinggi dulu?"
" Jalan-jalannya nanti aja. Aku udah laper banget." Farida tertawa mendengarnya. Kalimat yang jujur. " Jadi, sudah nahan lapar ya dari tadi? Kenapa tidak bilang? Kan tadi kita beberapa kali berhenti di terminal kabupaten. Tadi aku mau nawarin telur asin sama perkedel jagung padamu tapi takut kamu nggak suka."
" Hmmm& aku nggak gitu suka mengunyah di jalanan, apalagi di atas bus yang penuh sesak macam begini. Paling ngunyah permen aja atau minum& ." " Oh, begitu. Sering mabuk darat, ya?"
" Ah, nggak pernah! Nggak suka saja." Chintiya tidak mau memperpanjang pembicaraan. Sebenarnya ia tidak menyukai perjalanan yang memakan waktu cukup lama dengan bus umum yang terasa sempit dan sesak. Bus itu tidak memiliki pendingin udara dan jarak antarbangku sangat sempit untuk tungkainya yang panjang. Untung saja pemandangan selama per
jalanan menarik hatinya. Jadi, terlupakanlah ketidaksukaannya itu.
Akhirnya, bus berhenti di terminal. Chintiya mulai merasakan suasana Minang yang kental. Percakapan atau teriakan sopir, kenek bus, dan penjaja makanan terasa asing di telinganya. Walaupun Mami adalah orang Minang asli, belum pernah sekali pun ia mendengar Mami mengobrol dengan sesama orang Minang dalam bahasa Minang. Mami malah terlihat kurang suka bergaul dengan orang Minang.
Ia tahu ada seorang penenun Minang yang dipanggil oleh sekretaris Mami dengan nama Uni Salmiah. Wanita Minang itu beberapa kali datang ke butik Mami dan ngotot ingin kerja sama bisnis pakaian. Tapi Mami tidak tertarik. Untuk menemui penenun itu saja Mami menyuruh sekretarisnya. Ia merasa Mami tak ingin orang lain mengetahui daerah asalnya. Namun, sejauh itu Chintiya tidak mau ikut campur dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada maminya.
" Akan kuperkenalkan padamu makanan yang namanya nasi kapau," Farida tersenyum. " Nasi kapau itu terkenal dengan rasa dan cara penyajiannya yang khas."
" Oh ya? kedengaran menarik." " Tapi mungkin agak pedas bagimu."
" Tidak apa-apa. Aku suka makanan yang ada rasa pedasnya."
Harta Pusaka Cinta
Memang benar kata Farida. Lokasi penjual nasi kapau memang terlihat khas. Chintiya bisa melihat di segala sudut berderet-deret pedagang nasi kapau. Semuanya perempuan. Lauk-pauknya rata-rata berwarna oranye dan kemerah-merahan, menandakan bumbu dominannya adalah cabe merah. Lauk-pauk tersebut ditaruh dalam mangkuk-mangkuk besar. Disusun bertingkat-tingkat mengelilingi si pedagang. Yang membuatnya sangat menarik adalah cara penyajiannya yang unik.
Si pedagang siap melayani pembeli dengan sebuah sendok dari tempurung kelapa yang bertangkai panjang. Di sampingnya ada setumpuk piring bersih. Dengan sigap ia mengisi piring dengan nasi dan menyendok lauk pilihan si pembeli. Uniknya, si pedagang tetap duduk di kursi tinggi di belakang laukpauk yang mengelilinginya.
Semua kegiatan si pedagang nasi kapau tak luput dari jepretan kamera foto dan rekaman video Chintiya.
" Kamu mau lauk yang mana?" tanya Farida pada Chintiya.
Chintiya meneliti mangkuk-mangkuk besar di hadapannya satu per satu. Sejenak ia bingung karena semua terlihat pedas. Tapi ia tipe orang yang selalu ingin tahu dan ingin mencoba sesuatu yang belum ia rasakan.
" Aku pilih yang ini," ia menunjuk sejenis makanan yang belum pernah dicoba dan dilihatnya.
" Ah, pilihanmu tepat. Itu memang lauk khas nasi kapau. Namanya gulai tambusu," kata Farida. Ia meminta si pedagang mengambilkan makanan tersebut dalam bahasa Minang.
" Seperti sosis," kata Chintiya.
Farida tertawa mendengarnya. " Tapi itu bukan sosis. Itu adonan telur ayam dan telur itik yang dimasukkan ke usus sapi atau kerbau yang sudah dibersihkan. Kemudian dimasukkan ke santan yang sudah dibumbui dengan rempah-rempah khas lauk kapau. Kamu cobalah nanti rasanya gimana."
Chintiya mengangguk-angguk sambil mengamati pedagang nasi kapau itu menyendok gulai tambusu itu untuknya.
" Kamu mau makan pakai tangan atau sendok?" tanya Farida lagi.
Chintiya bingung mendengarnya. Ia belum pernah makan nasi dengan tangan.
" Menurut orang Minang, menyantap makanan Minang itu enaknya pakai tangan. Aku juga selalu pakai tangan kalau makan nasi yang berlauk-pauk," jelas Farida, paham dengan kebingungan Chintiya.
" Oh ya... pernah lihat orang makan nasi dengan lauk-pauk pakai tangan tapi aku sendiri belum pernah nyoba. Hmmm... oke. Siapa takut? Aku mau pake tangan juga."
Untuk kedua kalinya Farida tertawa. Ia mulai tertarik dengan teman barunya ini. Kelihatannya berkepribadian unik dan cukup menyenangkan.
Harta Pusaka Cinta
" Bagaimana? Enak?" tanya Farida dengan senyum dikulum. Dari tadi ia geli sekali melihat cara Chintiya mempergunakan tangan kanannya untuk menyuap nasi. Setiap mau menyuap, ia menoleh dulu pada Farida dan mencontohnya. Tapi ia tidak pernah bisa melakukan seperti yang dilakukan Farida.
" Rasulullah mengajarkan makan dengan tiga jari dan menjumputnya dengan ujung jari," Farida menjelaskan sambil mencontohkan.
" Oh... gitu. Hmm& Rasulullah itu siapa?" tanya Chintiya seraya meniru cara makan Farida.
Mendengar pertanyaan itu Farida tertegun. Matanya menatap lama pada Chintiya. Yang ditatap tak menyadari, asyik dengan pelajaran barunya menyuap nasi menggunakan tiga jari tangan kanan.
" Huuf& hhhhhaaah& henak... enak...." Chintiya menyuap lagi nasi dan tambusu ke mulutnya.
" Pedas, ya?" tanya Farida. Dilihatnya Chintiya mulai kelabakan dengan rasa pedasnya. Pipi dan hidungnya sudah kemerah-merahan seperti boneka Jepang. Dari dahinya keringat mengalir deras. Tapi nasi itu masih disuapnya juga dengan suapan-suapan kecil. Tambusu yang ada di piringnya sudah tinggal satu potong lagi. Hap! Nasi dan tambusu ludes dalam tempo sepuluh menit saja.
" Huuf... hoooh iniiihhh... rekor kecepatan hhhuh... makan yang tertinggihhh& yang pernah gue makan& huuuff hhuaaah...." kata Chintiya dengan
mulut megap-megap. Kesopanannya dengan berakuaku dari tadi lenyap pula. Aslinya mulai kelihatan.
Farida tertawa menatap wajah di sampingnya yang sudah seperti kepiting rebus.
" Kamu bilang agak pedas. Ini sih bukan agak tapi superpedas!"
" Oh, maaf. Aku lupa. Ukuran rasa pedas kita pasti berbeda, ya. Aku pesan teh manis hangat buatmu, ya, biar rasa pedasnya berkurang." Farida langsung memesan teh manis hangat pada si ibu pedagang nasi kapau.
" Padeh sedikit sajalah tuu. Kalau di Bukittinggi udaronya kan dingin, perlu makan yang padeh-padeh, Nak," si ibu pedagang ikut angkat bicara ketika melihat Chintiya berkali-kali mengangakan mulut, menghirup-hirup udara untuk melawan rasa pedasnya.
" Padeh itu pedas, ya?" bisik Chintiya pada Farida. Suaranya masih tersengal-sengal.
Farida mengangguk sambil tertawa kecil. " Iya, padeh ini, Bu& tapi saya suka," kata Chintiya menanggapi omongan si pedagang.
Ibu itu tertawa mendengarnya sambil mengangguk-angguk.
Memang benar. Setelah Chintiya meneguk teh manis hangat, rasa terbakar di lidahnya mulai berkurang.
" Bagaimana? Sekarang kamu jera makan nasi kapau?" tanya Farida dengan tersenyum lebar.
" Ah, nggak lah yaw... never give up! Aku pasti akan mencobanya lagi dan mencari yang lebih pedas," kata
Harta Pusaka Cinta
nya mantap. Padahal, sekujur wajahnya sudah merah seperti kepiting rebus.
Farida tertawa ambil menggeleng-geleng mendengar ucapan Chintiya. Dari tadi suara tawanya yang lunak menarik perhatian Chintiya. Tawa yang hampir mirip gumaman. Setiap tertawa, Farida selalu menut up mulut dengan tangan, membuat Chintiya berpikir di Ranah Minang ini tertawa harus seperti itu. Tak boleh keras-keras dan harus menutupi mulut dengan tangan.
Tak berapa lama, Farida melirik jam bulat yang tergantung di dinding di belakang si pedagang nasi kapau.
" Sudah masuk waktu Zuhur. Maaf, aku harus shalat dulu. Hmm& mau ikut ke masjid?" Farida ragu-ragu bertanya. Ia tidak tahu pasti agama yang dianut cucu Anduang Rabiah ini. Bukankah ayahnya orang Belanda? Itu yang pernah ia dengar. Pertanyaan Chintiya tadi tentang siapa Rasulullah membuat Farida semakin ragu akan agama yang dianut cucu Anduang Rabiah ini.
Sejenak Chintiya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa untuk menolak ajakan itu. Tapi kemudian ia mendapat alasan. " Ng... aku& aku nunggu di sini aja... ng& mau motret-motret lagi& ."
" Baiklah. Aku cuma ke masjid di depan sana. Kamu tunggu di sini sekitar lima belas menit, ya." " Oke. No problem."
Sepeninggal Farida, Chintiya tercenung. Perasaan aneh tiba-tiba menjalar di dirinya. Ini pertama kalinya ia diajak seseorang untuk shalat. Shalat? Selama ini ia hanya tahu agama itu sebatas perayaan.
Semasa kanak-kanak di Amsterdam, taman di belakang rumah yang luas dan mewah selalu dijadikan tempat perayaan Natal. Banyak kawan Papi dan Mami yang datang. Mereka menghabiskan malam dengan berbincang, berdansa, serta menyantap makanan dan menenggak minuman beralkohol termahal.
Di Jakarta, ia pernah beberapa kali diundang oleh kawan-kawannya yang beragama Islam untuk ikut merayakan Hari Raya. Yang dilihatnya di Hari Raya hanya acara salam-salaman memberi ucapan selamat dan memakan hidangan khas Hari Raya. Hanya itu. Selebihnya ia tidak tahu atau tepatnya tak ingin mengetahuinya.
" Yuk, aku sudah selesai."
Chintiya tersentak kaget. Fuih! ia baru menyadari selama ditinggal Farida ia tidak melakukan apa-apa, hanya berbengong ria.
" Eh... ohh& ng& kamu udahan? Ya udah, yuuuk...." jawabnya gelagapan.
Matahari mengeluarkan pendar cahayanya yang menyilaukan. Namun, pancaran teriknya tidak sampai membuat tubuh berkeringat kepanasan. Udara Bukittinggi yang sejuk tampaknya mampu meredam rasa panas yang menggigit saat matahari tepat di atas
Harta Pusaka Cinta
kepala seperti ini. Mungkin karena kota ini terletak di ketinggian 900 meter dari permukaan laut dan diapit oleh dua puncak gunung tinggi yaitu Gunung Singgalang dan Merapi.
Tiga
" I nilah Ampek Angkek, Chintiya. Salah satu ke
camatan di Kabupaten Agam, Sumatera Barat," begitu kata Farida ketika mereka sudah sampai di Ampek Angkek.
" Kira-kira masih jauh nggak rumah nenekku?" tanya Chintiya dengan perasaan tak sabar. Kepalanya tak henti-henti menoleh ke kanan dan ke kiri, mengi kuti keinginan matanya untuk memandang hamparan sawah nan cantik. Sesekali terlihat rumah penduduk. Ada yang sudah berupa rumah modern dengan dibata dan disemen, ada pula yang masih rumah kayu dengan ukiran serta atap melengkung seperti tanduk kerbau.
" Tidak begitu jauh lagi. Kira-kira sepuluh menit lagi sampai."
Mendengar itu, dada Chintiya mulai berdebardebar. Dalam hati ia mengira-ngira reaksi neneknya nanti. Jangan-jangan surat maminya tidak sampai pada neneknya.
Harta Pusaka Cinta
" Nah, sekarang sudah sampai." Farida menyetop bus kecil yang mereka tumpangi dan membayar ongkosnya.
" Kita harus berjalan kaki sedikit," kata Farida lagi. Chintiya diam tak bersuara, hanya mengikuti. Ia sedang sibuk mempersiapkan diri untuk pertemuan dengan neneknya nanti.
Di hadapannya sekarang terlihat sebuah rumah panggung yang panjang dan berhalaman luas. Rumah panggung dengan corak khas Ranah Minang. Setengah bagiannya terbuat dari kayu berukir. Di tengahtengahnya, sebuah tangga menjulang menuju pintu rumah. Dihitungnya ada delapan tangga yang harus dinaiki untuk menuju pintu kayu yang lebar.
Pintu yang terdiri dari dua daun pintu yang panjang itu tertutup rapat. Di samping kiri dan kanan pintu terdapat banyak jendela. Beberapa di antaranya terbuka, tapi masih ditutupi setengah dengan tirai berwarna merah muda. Rumah kayu yang terlihat kukuh itu dicat dengan warna merah berkombinasi kuning.
Pandangan Chintiya mengitari halaman yang terhampar luas. Hanya di sekitar tangga tanahnya disemen dan dikeramik, selebihnya tertutupi rumput yang terpotong rapi dan indah. Sepanjang jalan menuju rumah diberi kerikil kecil.
Di samping rumah ada sebuah pondok kecil yang berdiri terpisah dari rumah besar. Pondok itu juga berukir dan berwarna yang sama. Di ujung halaman
ada persawahan yang luas. Antara halaman rumah dan persawahan hanya dibatasi pagar bambu.
Tak jauh dari hamparan sawah terlihat beberapa kolam besar. Pada dua di antaranya terlihat ada pancuran bambu mengalirkan air yang deras. Suara gemerciknya membuat suasana terasa nyaman dan sejuk. Di sekeliling kolam ada beberapa pohon buahbuahan. Ada beberapa pohon pepaya yang buahnya ranum-ranum. Ada juga dua pohon rambutan yang buahnya masih berwarna hijau.
" Wooow... luas sekali... dan sangat alami," desisnya tak sengaja. Rumah itu seperti tidak punya batas halaman. Sejauh mata memandang tampak kebun, sawah, dan peternakan. Di samping kiri kolam-kolam ikan yang luas, berderet kandang ayam yang dihuni ayam-ayam kampung. Di dekat kandang ayam ada dua ekor kambing yang ditambatkan di pohon jambu yang buahnya sedang ranum-ranumnya.
Chintiya langsung jatuh cinta pada suasana rumah neneknya itu. Ia menyukai rumah yang menyatu dengan alam. Selain itu, diam-diam hatinya bersorak girang. Melihat rumah dengan halaman luas, terbayang olehnya duit ratusan juta yang akan dimiliki Mami kalau memang di Minang anak perempuan yang bakal dapat harta warisan.
" Ini rumah nenekku, ya?"
" Iya, ini rumah nenekmu. Rumah yang paling terbesar dan terlama di jorong ini. Nenekmu sangat memelihara kelestarian rumah gadang ini. Banyak
Harta Pusaka Cinta
rumah yang sudah direnovasi secara modern di kampung ini, tapi rumah nenekmu masih terjaga keasliannya. Rumah ini beberapa kali dipilih oleh kepala desa sebagai tempat penginapan pelajar-pelajar asing dari negara lain yang sedang menyelesaikan penelitian mereka atau dalam program pertukaran pemuda."
" O, ya? Apa nenekku yang melayani mereka semua?"
" Tidak. Pada dasarnya kegiatan-kegiatan tersebut adalah program kerja pemuda-pemudi di sini. Nenekmu itu orang nomor satu yang dituakan sebagai pembimbing dan penasihat kaum muda. Beliau memberi peluang seluas-luasnya bagi kami untuk memakai fasilitas apa pun yang beliau punyai untuk menunjang program kerja kami. Rumah gadang beliau ini boleh dikatakan sebagai rumah kaum muda di kampung ini untuk belajar dan mengolah ide-ide, sekaligus rumah persinggahan dan homestay bagi bangsa asing yang ingin meneliti adat budaya Minang atau sekadar menikmati alam Desa Ampek Angkek."
Chintiya ternganga mendengar penjelasan Farida. Pandangannya mulai berubah. Hatinya mulai bertanya-tanya. Sebetulnya yang akan ditemuinya ini seorang nenek kampungan, udik, dan kolot atau nenek modern, sih" Ayo, kita menemui nenekmu," kata Farida sambil mendahuluinya menaiki tangga. " Assalamualaikum," ujar Farida. Ia mengulangi ucapan itu ketika pintu tak juga dibuka. Ucapan kedua dibalas dari dalam rumah
dengan suara yang halus sambil berdeham beberapa kali.
" Waalaikumsalam," begitu ucapan yang keluar seiring dengan pintu yang terkuak.
Chintiya menatap tak berkedip ke arah pintu. Entah mengapa dadanya berdebar-debar menghadapi pertemuan ini. Seorang wanita tua berdiri di tengahtengah dua daun pintu yang terkuak. Tubuhnya tinggi semampai, berbalut baju kurung berwarna dasar krem bergaris-garis warna cokelat. Untuk bawahannya, ia menggunakan sarung batik. Kepalanya ditutupi selendang berwarna cokelat yang disilangkan ke samping kiri dan kanan sehingga membentuk lipatan bersilang di kepalanya.
" Eh& Cunda Ida ruponyo," kata wanita tua itu dalam bahasa Minang.
Mata Chintiya bersirobok dengan mata tua yang sudah dibantu kacamata itu. Sedetik dua detik mereka saling pandang. Tampak wajah wanita tua tegang sejenak. Tubuhnya berdiri kaku, matanya memandang lurus pada Chintiya.
" Anak Friska, ya?" wanita itu mengarahkan pertanyaannya langsung pada Chintiya.
" Iya, Nek. Aku Chintiya dan mamiku Friska," jaw ab Chintiya pelan. Ia berusaha menutupi kegugupannya dengan senyum yang mengembang. Tatapan mata wanita tua yang populer dengan panggilan Anduang Rabiah ini membuat debaran di dadanya terasa lebih kencang.
Harta Pusaka Cinta
" Jadi, kaulah Chintiya anak Friska?" tanya Anduang Rabiah seperti ingin meyakinkan dirinya sendiri. Matanya menatap anak gadis di hadapannya. Bolak-balik dipandangnya tubuh gadis itu dari atas ke bawah.
Chintiya salah tingkah. Ia hanya bisa berdiri tegak, tak tahu harus berkata atau berbuat apa.
" Namamu Chintiya, kan?" tanya Anduang Rabiah dengan suara pelan. Matanya tetap menatap gadis tinggi semampai di hadapannya.
" Iya, Nenek. Namaku Chintiya. Freechintiya Rubert. Mamiku Friska Aisyaharni dan papiku Hans Leonard Rubert." Chintiya akhirnya mampu mengendalikan diri. Dengan senyum mengembang dan suara lantang, dia memperkenalkan diri.
Anduang Rabiah tetap saja pada posisinya dengan kedua tangan di terlipat di belakang punggung, menatap Chintiya dengan tajam. Cara Anduang Rabiah menerima kunjungan cucunya itu membuat Farida merasa tak perlu ikut campur. Ia bergegas masuk ke rumah dengan membawa koper besar milik Chintiya. " Biar kubawa ke dalam, ya," katanya sambil lewat. Anduang Rabiah membiarkannya, sementara Chintiya hanya manggut-manggut dengan bibir yang masih saja tersenyum lebar kepada Anduang Rabiah.
" Mana mami dan papimu itu? Kenapa cuma kau sendiri yang datang ke sini?" tiba-tiba Anduang Rabiah bertanya dengan nada tajam. Suaranya berat dan berisi. Ciri khas suara orang-orang yang mempunyai
kemampuan bicara memukau. Biasanya orang-orang yang memiliki jenis suara seperti ini menjadi orator dan mempunyai pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan masyarakat.
Chintiya gelagapan beberapa saat sebelum menjawabnya. " Eng& mm& Mami di Jakarta dan Papi di... mmm mungkin di Holland. Mungkin di New York& mmm... bisa juga di Hong Kong, bergantung bisnisnya...."
" Jadi, keberadaan papimu bergantung tempat bisnisnya, ya?"
" Ehmmm... iya, Nek. Sejak aku ikut Mami, aku nggak tau jelas di mana Papi...."
" Ikut Mami? Maksudnya apa itu?" " Aku ikut Mami sejak mereka bercerai." Mendengar perkataan Chintiya, mata tua itu segera menyipit. Tatapannya yang semula tajam, perlahan meredup. Kedua tangan yang dari tadi dilipatnya di belakang punggung, sekarang menjuntai di kedua sisi tubuhnya. Terdengar helaan napas beratnya.
" Ayo masuk," kata Anduang Rabiah pelan. Tangannya menggamit bahu Chintiya.
Sesaat Chintiya tak mengerti dengan sikap wanita tua yang dipanggilnya nenek itu. Berubah lagi satu pandangannya tentang sosok seorang nenek. Ia merasakan ada kekuatan yang sangat memengaruhinya, kekuatan yang berasal dari perempuan tua ini. Saat ini saja, ketika bahunya digamit, ia mengikut saja
Harta Pusaka Cinta
tanpa dapat bicara. Mulutnya yang biasa bebas berkicau tiba-tiba tersumbat.
Setelah lama kemudian, barulah Chintiya berani bicara. Ini pertama kalinya ia merasa sulit memulai sebuah pembicaraan.
" Ini surat dari Mami, Nek," kata Chintiya sambil memberikan sebuah amplop putih panjang kepada neneknya.
" Oh, ya. Nanti Nenek baca, ya. Sekarang kaududuk dululah. Kubuatkan air teh dan ubi goreng hangat buat kalian berdua," kata Anduang Rabiah sambil beranjak dari duduknya.
" Ah, tak usahlah, Nduang. Kami sudah minum dan makan di Bukittinggi," kata Farida buru-buru. " Tak apalah. Sebentar juga selesai."
" Sudahlah, Nduang. Aku, kan, bukan orang lain. Anduang duduk sajalah di sini sama Chintiya melepas taragak. Biar aku yang buatkan," kata Farida lagi. Ia bergegas membimbing Anduang Rabiah untuk duduk di kursi di samping Chintiya. Setelah itu, ia bergegas menuju arah samping ruangan dalam rumah. Ruangan dalam itu ditutupi gorden panjang. Ketika gorden itu tersingkap, terlihatlah untuk menuju ke sana harus menuruni tangga.
Lagi-lagi Chintiya menjadi salah tingkah. Sikap Farida pada neneknya sangat sopan dan bertata krama. Sikap semacam ini baru baginya. Sikap kekeluargaan orang Minang yang sama sekali belum dikenalnya.
Setelah Farida menghilang dari ruang tamu, suasana berubah hening. Chintiya dan Anduang Rabiah sepertinya sama-sama sedang mencari kalimat-kalimat yang bisa membuat mereka tidak merasa asing satu sama lain.
" Sebaiknya Nenek baca dulu surat ibumu& eeh& Chintiya bukan panggil ibu, ya? Hmm& panggil apa tadi?"
" Mami, Nek."
" Hmm& ya, mami. Itu panggilan yang asing di telinga Nenek, tapi sama sajalah artinya, ya." Anduang Rabiah membuka amplop putih panjang di tangannya.
Chintiya tidak tahu harus menjawab apa. Rasanya kalimat itu tidak perlu dijawab. Bibirnya senyamsenyum saja menanggapi.
Diam-diam Chintiya merasa ada jurang pemisah yang dalam antara maminya dengan neneknya ini. Entah karena apa, tapi yang jelas ia merasa ada sesuatu yang janggal dari penerimaan neneknya padanya. Selama ini, silsilah keluarga dan cerita masa lalu kedua orangtuanya tidak menjadi perhatian baginya. Ia tak peduli, apalagi Papi dan Mami enggan mengisahkan padanya. Tapi di hadapan sang nenek saat ini, hatinya tergoda untuk mengetahui. Apa arti tatapan, cara bertanya, serta perubahan mimik dan tindakan neneknya tadi? Hal yang dulu tak ingin ia ketahui, sekarang menjadi hal yang sangat ingin ia ketahui.
" Friska... Friska& belum berubah juga kau...."
Harta Pusaka Cinta
Tiba-tiba Chintiya mendengar neneknya mendesis pelan. Hampir berupa keluhan yang penuh tekanan.
Harta Pusaka Cinta Karya Desni Intan Suri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Ada apa, Nek? Apa yang ditulis Mami di dalam surat itu?" tanya Chintiya segera. Dilihatnya mata Anduang Rabiah kelam. Bibir tuanya terlihat bergetar. Chintiya merasa ada gejolak dalam dada perempuan tua yang duduk di hadapannya ini
Anduang Rabiah hanya tersenyum dan menatap sekilas pada cucunya. Tampak sekali ia berusaha menyembunyikan hal yang sebenarnya.
" Tidak& tidak ada apa-apa. Surat itu hanya mengabarkan keadaan mamimu di Jakarta dan menyampaikan kedatanganmu ke sini."
" Benar begitu, Nek?" tanya Chintiya lagi. Ia mencoba mencari-cari jawaban yang pasti dari raut muka neneknya.
" Benar. Tak usahlah itu dipikirkan. Yang jelas, kau sekarang sudah di sini. Nah, nikmatilah masa liburmu. Kalau kau berkenan, pelajarilah adat istiadat, budaya, dan keindahan alam tanah kelahiran mamimu ini."
" Iya, Nek. Memang itu tujuanku datang ke sini. Aku akan mempelajarinya dengan baik, Nek& ." Ups! Chintiya kaget sendiri dengan kata-katanya barusan. Bagus sekali rangkaiannya. Tiba-tiba saja ia menjadi manusia bertata krama. Ditelitinya hatinya sendiri. Ah! Sepertinya kalimat itu memang keluar dari hati kecilnya. Ia mulai merasa ada seutas tali yang meng
hubungkan dirinya dengan neneknya. Tiba-tiba saja ia merasakan sebuah kedekatan.
" Naaah... ini teh hangat dan goreng ubi. Chintiya, cicipilah roti bersumbu ini." Dari ruangan dalam masuklah Farida dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman.
" Apa tadi? Roti bersumbu?" Chintiya melihat pada piring yang dibawa Farida.
" Ya. Ini roti bersumbu. Di Minang kita gelari sebagai roti bersumbu, kan ada uratnya di tengah. Nah, itu sumbunya. Ini sarapan wajib para petani sebelum ke sawah. Makan satu dua potong roti sumbu hangat dan segelas kopi atau teh, badan menjadi segar. Para petani akan siap mencangkul dan menanam padi di sawah mereka," jelas Farida sambil tertawa.
" Iya. Di sini roti yang seperti di Jakarta atau di negeri Belanda takkan laku. Walau ada warung yang menjualnya. Roti tradisional ini lebih enak di lidah, apalagi kalau kita memang lahir di sini, punya kampung halaman dan keturunan di sini, takkanlah roti negeri orang lebih enak daripada negeri sendiri," timpal neneknya sambil ikut tersenyum.
Chintiya hanya mengangguk-angguk. Tangannya meraih satu potong singkong goreng yang dihidangkan Farida, lalu mencicipinya.
" Memang enak, Nek, roti bersumbunya," katanya jujur. Rasanya memang sangat gurih.
" Ya enaklah. Itu Nenek olah dengan resep sendiri. Nenek selalu menyiapkan yang sudah siap digoreng di
Harta Pusaka Cinta
kulkas. Dengan membumbui dan mendiamkannya di kulkas selama beberapa hari, bila digoreng akan terasa gurih dan renyah. Tak kau saja yang Nenek hidangkan itu. Orang-orang asing yang ke sini pun selalu Nenek jamu dengan roti bersumbu ini. Alhamdulillah, mereka suka dan tiap hari minta digorengkan," kata Anduang Rabiah.
" Nanti kamu bisa belajar sama nenekmu ini, Chintiya. Anduang Rabiah sangat pintar mengolah makanan. Apa saja bahan mentah yang seperti tak bisa diolah, di tangan Anduang bisa terolah dengan baik dan lezat," Farida memuji-muji Anduang Rabiah yang sudah dikenalnya sejak ia masih kecil itu.
" Ah, kau ini pintar memuji, Cunda Ida. Apa kabar orangtuamu di Padang?" Anduang Rabiah menepuk bahu Farida. Anduang Rabiah terkadang suka menambahkan kata " cunda" yang kependekan dari kata " cucunda" di depan nama semua anak muda di kampung ini. Sebaliknya, anak-anak muda kampung selalu memanggilnya dengan sebutan " Nduang" .
" Alhamdulillah, sehat, Nduang. Ini aku bawa titipan dari Ibu." Farida menyerahkan sebuah amplop tebal ke tangan Anduang Rabiah. Setiap tiga bulan sekali ia diutus oleh orangtuanya untuk menyerahkan uang sewa rumah dan kongsi bisnis restoran kepada Anduang Rabiah.
" Ah, ya. Ibumu sudah menelepon kemarin. Terima kasih lah ya."
" Iya, Nduang. Insya Allah besok aku balik ke Padang, Nduang. Tapi dua hari lagi aku libur semester, aku akan pulang lagi."
" Iyalah, kautemuilah Cunda Fikar. Dia hanya ditemani Cunda Bachtiar memberi penyuluhan. Kalau ada kau, dia kan bisa lebih bersemangat."
" Duh... ndak ada hubungannya denganku, Nduang. Rencanaku menghabiskan libur semester di sini juga karena ada agenda malam kesenian pada program tahunan kami, Nduang...." Farida terlihat tersipu-sipu.
" Iyolaaah& kalau itu aku tahu. Tapi kau jangan mengatakan tidak. Orangtuamu sudah berkali-kali ingin merekatkan kalian segera."
" Haduuuh& itu tidak mungkin, Nduang. Fikar dan aku hanya sahabat dekat, sudah seperti kakak adik. Aaah& nantilah akan kutemui dia dan Uda Bachtiar."
" Naaah& macam tu laaah. Mau sahabat dekat atau seperti kakak adik, terserah kaulah tu. Yang jelas, kautemui sajalah dia dulu," balas Anduang Rabiah sambil terkekeh.
Farida hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng.
Sepanjang pembicaraan antara Farida dan neneknya, Chintiya hanya diam menyimak. Ia mencoba menyesuaikan pendengarannya dengan dialek Minang yang jarang didengarnya. Pernah beberapa kali ia dengar tapi entah di mana dan kapan. Mungkin
Harta Pusaka Cinta
dalam pergaulan sehari-hari atau sinetron-sinetron di TV yang sepintas-sepintas ia dengar. Namun, dari pembicaraan mereka ia dapat menyimpulkan bahwa hubungan keluarga Farida dengan neneknya ini sangat dekat.
" Apa sore ini kau mau ke rumah gadangmu?" Anduang Rabiah bertanya lagi pada Farida. Tampaknya ia kehabisan kata untuk bertanya-tanya pada cucunya sendiri sehingga lebih banyak berbicara dengan Farida. Farida sendiri merasakan kekakuan Anduang Rabiah pada Chintiya. Begitu pun dengan Chintiya.
" Iyolah, Nduang. Aku juga ingin melihat mak uwo, kakak-kakak, serta kemenakan-kemenakanku. Mudah-mudahan mereka sehat. Sudah tiga bulan aku disibukkan dengan kuliahku di Padang, taragak rasanya bersilaturahmi sama mereka."
" Insya Allah, sehatlah mereka tu. Jangan cemas. Udara dan alam terkembang di kampung halamanmu ini membuat masyarakatnya sehat. Sayangnya, banyak yang tak menyadari hingga lalai melestarikannya. Malah kaum muda banyak yang menghilang di tanah rantau& tidak balik lagi."
Farida terdiam mendengarnya. Sejenak diliriknya Anduang Rabiah. Kalimat itu sering ia sebutkan kepada anak-anak muda kampung yang ditemuinya.
" Tapi sekarang, kan, ada Chintiya yang menemani. Kamu lama liburan di sini, Chintiya?" Farida mengalihkan pembicaraan pada Chintiya, berusaha
menjembatani percakapan antara Anduang Rabiah dan cucunya itu.
" Ehh& nggak begitu lama. Paling seminggu. Aku juga harus kuliah," jawab Chintiya agak berbohong. Jelas bukan kuliah yang menjadi alasan ia cepat pulang ke Jakarta. Ia harus secepatnya mendapat hasil sesuai yang diinginkan maminya.
" Jangan seminggu saja. Kasihan nenekmu sendirian di sini," kata Farida lagi.
" Ahhh... ndak masalah lah tu. Nenek ini sudah biasa sendiri. Sudah biasa ditinggal anak-anaknya untuk kepentingan mereka sendiri. Mamimu tak pernah memikirkan kesendirianku. Tapi bagi Nenek ndak menjadi soal. Anak-anak kalau sudah dewasa memang memiliki diri sendiri. Orangtua hanya bisa mengikhlaskan agar hidup anaknya itu tetap diridai Yang Maha Esa. Nenek di sini tidak kesepian. Semua anak muda kampung ni cucu Nenek. Mereka senang bertandang dan belajar, bahkan menginap, di rumah Nenek. Insya Allah, bila Nenek dipanggil Allah nanti, banyak yang bantu mengafani dan menguburkan."
Farida dan Chintiya terdiam mendengarkannya. Mereka sama-sama tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Mereka sibuk dengan pikiran dan pendapat sendiri dalam memaknai kata-kata yang barusan dilontarkan oleh Anduang Rabiah. Farida yang sudah lama mengenal Anduang Rabiah bisa merasakan betapa sepinya hati orangtua ini tanpa anakanaknya di sampingnya.
Harta Pusaka Cinta
Di Minang, biasanya anak perempuan dianggap sebagai anak yang akan menghuni rumah gadang dan diharapkan akan merawat orangtua mereka. Tentu Anduang Rabiah juga mengharapkan hal yang sama pada anak perempuannya.
Chintiya menjadikan kata-kata neneknya sebagai jawaban pertama untuk mengungkapkan jurang pemisah macam apa yang membuatnya merasa ada jarak dengan neneknya ini. Kata-kata neneknya barusan seakan membuka tabir keburaman masa lalu yang sebelumnya tak hendak ia ketahui.
Hatinya tiba-tiba mengubah pola pikirnya. Tampaknya prinsip untuk mengabaikan masa lalu itu harus diubahnya sedikit mulai hari ini. Seperti rencana Mami, ia harus mampu mengambil hati neneknya ini. Kalau tidak, mereka takkan memperoleh harta war isan sepeser pun. Apakah ia harus mencari kunci masa silam lebih dulu agar pintu untuknya terbuka? Jika pintu sudah terbuka, rencana itu baru akan berjalan lancar.
" Sebaiknya kau besok saja ke tempat mak uwomu. Menginaplah semalam di sini. Hari sudah menjelang petang. Tak baik anak gadis bepergian menjelang Magrib," Anduang Rabiah berkata lagi pada Farida.
Farida terdiam sebentar sebelum menjawab, " Baiklah kalau begitu. Aku menginap saja di sini, hitunghitung menemani Chintiya semalam." Farida melirik Chintiya sejenak.
" Siplah! Dengan senang hati." Chintiya tersenyum pada Farida.
" Nah, sekarang sebaiknya kalian mandi dulu. Kita siap-siap ke surau untuk shalat Magrib. Hari ini Cunda Fikar yang di mimbar. Syukurlah kau tu, Ida. Sudah tambah pula gelarnya nanti sebagai ustaz mudo...."
" Ahhh& iyalah tu. Aku bersyukur sebagai kawannya," kata Farida sambil tertawa lunak.
" Ayo, Chintiya. Coba kaumasukkan barang-barangmu ke kamar yang paling ujung kanan sana," kata Anduang Rabiah pada cucunya.
Chintiya mengikuti saran neneknya. Ada yang mengganjal hatinya saat ia berjalan menuju kamar itu. Kata-kata neneknya, siap-siap ke surau untuk shalat Magrib. " Duh, bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?" bisiknya dalam hati. Dalam hati ia memaki-maki dirinya sendiri. " Mengapa hal ini tak terpikir olehku sebelumnya? Mengapa Mami tidak memperhitungkan hal ini? Pasti Mami tahu bahwa kehidupan beragama di kampung ini sangat kental, tapi kenapa Mami tidak memberi tahu apa-apa?" Chintiya pusing memikirkannya. Sejak tadi siang ia sudah kelabakan dengan masalah shalat.
" Duh& kenapa Mami nggak ngasih tau sebelumnya tentang ini?" gerutunya dalam hati. " Apa yang harus kulakukan untuk yang satu ini?"
Harta Pusaka Cinta
Menjelang Magrib terdengar jelas suara orang mengaji dari surau yang bersebelahan dengan rumah Anduang Rabiah. Beberapa meter saja jaraknya, dibatasi oleh rimbunnya pepohonan dan pagar semak sebatas pinggang. Dari jendela kaca kamar yang ditempati Chintiya, jelas terlihat penduduk desa yang berjalan kaki ke surau. Laki-laki dan perempuan, dewasa, remaja, serta kanak-kanak berjalan sendirisendiri atau berombongan.
Di perumahan elite tempat ia dan Mami tinggal, suara orang mengaji tidak terdengar. Pengembang perumahan tersebut memang membangun sebuah masjid besar dan mewah di pangkal jalan menuju perumahan. Hanya sesekali Chintiya mendengar suara orang mengaji dan suara azan dari masjid tersebut jika kebetulan sedang dalam perjalanan menuju atau keluar kompleks perumahan pas waktu shalat.
Sebetulnya, telinganya sudah tidak asing lagi mendengar suara orang mengaji atau azan. Tapi selama ini ia mendengar sambil lewat saja, sama seperti mendengar suara musik ketika ia lewat di depan toko kaset atau suara orang menjajakan dagangan.
Namun, petang ini ia merasakan sesuatu yang luar biasa dalam dirinya ketika mendengar dengan sangat jelas suara orang mengaji di surau. Matanya nanap memandang ke luar jendela. Banyaknya orang berjalan ke arah surau membuat perasaannya semakin bergemuruh. Para lelaki memakai kain sarung dan kopiah, sedangkan para wanita memakai telekung. Me
reka berjalan bergegas namun teratur. Anak-anak pun berjalan tanpa banyak tingkah.
Baru sekali ini ia melihat orang berbondong-bondong keluar rumah untuk menuju surau. Suara-suara orang yang mengobrol, tertawa-tawa, atau suara gelut anak-anak kecil hanya didengarnya sayup-sayup.
Tiba-tiba ia melihat beberapa orang perempuan tua dan muda memasuki pekarangan rumah neneknya.
" Assalamualaikum, Nduang. Ayuuuh, samo-samo barangkek awak ka surau."
Suara itu terdengar jelas dari kamarnya. Disimaknya diam-diam dialog itu. Ada yang ia tak paham karena berbahasa Minang.
" Waalaikumsalam. Iyo, sabanta...." terdengar olehnya jawaban neneknya. " Chintiya...."
Ia mendengar neneknya memanggil. Cepat-cepat ia beranjak dari jendela dan menuju pintu kamar yang tertutup. Dibukanya pintu itu. Matanya bersirobok dengan neneknya yang sudah siap dengan pakaian ibadah yang serbaputih. Tak jauh dari neneknya, Farida pun mengenakan pakaian yang sama.
" Ayo kita sama-sama ke surau," kata Nenek. " Ng... aku lagi... lagi hmm& mens...menstruasi. Nenek tau... hmmm& tau, kan?" katanya. Ia begitu saja mendapat inspirasi untuk menolak ajakan itu. Ia pernah mendengar dari kawannya bahwa wanita yang sedang haid tidak boleh shalat.
Harta Pusaka Cinta
Jawaban itu membuat Nenek menatapnya tajam. Chintiya menjadi salah tingkah. Ia merasa perempuan tua di hadapannya ini mengetahui ia berbohong.
" Ya sudah. Nenek dan Farida ke surau dulu. Kaududuk-duduklah dulu. Nenek juga ada televisi di ruang dalam. Tapi televisinya kecil dan beberapa siarannya tidak dapat ditangkap bersih. Kalau lapar, kaumakan saja dulu. Semua sudah dihidangkan di meja makan oleh Farida. Jangan mandi, ya. Cuci muka saja. Airnya dingin sekali. Kalau kau mau mandi juga, ambil saja air panas di termos besar di dapur," kata neneknya panjang lebar.
" Oh, ya, Nek. Beres. Nggak usah khawatir. Aku bisa ladeni diri sendiri, kok," jawab Chintiya sambil berusaha mengulas senyum manis untuk neneknya.
" Hmm& kalau kau mau telepon Mamimu, pakai telepon rumah Nenek juga boleh. Telepon itu baru tersambung tiga hari yang lalu. Belum ada yang tau nomornya. Pakailah, sekalian beri tahu mamimu bahwa di kampung buruk ini sudah lama masuk saluran telepon. Cuma Nenek memang baru sekarang bisa berlangganan."
" Oh& iya... iya, Nek. Aku juga bawa handphone, kok."
" Oh, ya sudah. Nanti kasih taulah nomor telepon Nenek pada mamimu. Mana tau tergerak hatinya mendengar suara ibunya ini." Anduang Rabiah berlalu setelah meninggalkan senyum tipisnya pada Chintiya.
Lima Sekawan 07 Petualangan Di Sirkus Naga Merah Karya Khu Lung Pedang Siluman Darah 5 Hidung Belang
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama