Rainys Days Karya Fita Chakra Bagian 3
Seharian itu, aku merenungkan kata-kata Marcell. Aku merasa sedang kejar-kejaran dengan waktu karena tidak segera mengungkapkan perasaanku. Tapi, di sisi lain aku merasa sudah kalah cepat menempati hatinya. Aku yakin, ada seseorang yang memiliki hatinya. Kalau begitu, apakah aku harus menyatakan cinta? Aku bisa saja lega setelah mengatakannya. Tapi kemungkinan besar, aku malah kecewa mendengar kenyataan. Kalau itu terjadi, kurasa aku ingin menghilang saja dari hadapannya saat itu juga.
Bab 13
Rainy
P agi-pagi Mama datang dengan wajah yang tegang.
Tanpa bertanya pun aku tahu, Mama tahu tempat tinggalku dari Ghea.
Aku membuka pintu ogah-ogahan. Sejak terakhir kali bertemu perasaanku pada Mama tak juga berubah. Aku masih kesal.
" Ada apa, Ma?" tanyaku tanpa basa-basi.
" Papa sakit," jawabnya pendek. Dengan anggun, Mama duduk di salah satu sofa.
" Sakit apa?" tanyaku santai. Bukan karena aku tidak sayang Papa, tapi karena kadang-kadang, Mama bisa sangat hiperbolis saat ingin mengatakan sesuatu yang penting. Mama bisa mengatakan bahwa antre berjamjam di supermarket adalah sesuatu hal yang mahapenting yang terjadi hari ini sehingga aku ingin tahu sebabnya. Tapi saking seringnya bersikap seperti itu aku tahu, mahapenting bagi Mama adalah hal yang sepele.
" Kamu ini, papamu sakit kok tanyanya seperti itu," omel Mama. " Jantung Papa& " ucap Mama tertahan di udara. Matanya mendadak berkaca-kaca. Mama mengambil tisu dari dalam tasnya dan mengusap sudut matanya
sebelum maskaranya luntur dan membuat rias matanya berantakan.
Jantungku serasa berhenti berdetak.
" Tengoklah papamu," Mama memohon. " Pulanglah." Tenggorokanku tercekat. Mendadak aku merasa dalam suasana kritis.
Ini pertama kalinya aku datang ke rumah sejak pindah ke apartemen. Sebelumnya, aku sudah berjanji tidak akan ke rumah sebelum bisa membuktikan bahwa aku bisa mencari uang dengan cara sendiri. Aku benar-benar berkeras karena tidak mau Mama dan Papa menyetir hidupku.
Rumah kami yang besar masih tetap seperti dulu saat terakhir kali aku melihatnya, sekitar tiga bulan yang lalu. Foto-foto masa kecilku bersama Mama dan Papa terpajang di dinding, berusaha menunjukkan hubunganku dan mereka baik-baik saja, meski kutahu itu hanya ilusi. Keramik-keramik memenuhi ruang tamu. Pajangan souvenir oleh-oleh perjalanan bisnis Papa keluar negeri semakin bertambah.
Aku masih disambut layaknya putri raja oleh para pekerja di rumah kami. Beberapa di antaranya malah tak kukenal. Mungkin orang baru, karena banyak yang tak tahan dengan kecerewetan Mama lalu berhenti bekerja.
Saat aku datang, Papa terbaring di tempat tidur di kamarnya. Wajahnya, entah mengapa terlihat sangat menua
meski baru terpaut beberapa bulan dari terakhir kali kami bertemu. Kerut-kerut di dahinya terlihat semakin jelas. Dia tampak lemah.
" Jangan bicara soal Ben atau keluarganya," pesan Mama. " Merekalah yang membuat papamu begini. Mereka memutuskan kesepakatan bisnis tiba-tiba. Dan kamu tahu itu karena apa." Mama berkata tajam.
Hatiku tersayat. Kalau itu salah Ben, mengapa aku yang harus merasa bersalah? Inikah cara Mama menekanku" Hai, Pa," sapaku kaku. Aku dan Papa tidak pernah seperti anak dan ayah. Aku hampir tak bisa mengingat saat berkesan yang pernah kami lakukan dulu. Hampir setiap hari Papa dan Mama sibuk. Bahkan raporku diambil oleh orang-orang kepercayaan mereka. Kadang aku berpikir, sebenarnya aku ini anak siapa" Rainy& sini," Papa melambaikan tangan. " Gimana keadaan Papa?"
" Beginilah. Seperti kaulihat," desahnya. " Papa sudah tua."
Senyap sesaat.
" Papa hanya ingin memberikan warisan berharga untukmu. Supaya kamu bisa hidup tanpa bekerja keras. Tapi rupanya ini tak berhasil," sesal Papa.
" Papa, warisan yang paling berharga dari orangtua buat anaknya hanyalah kasih sayang," tiba-tiba pikiranku melayang pada Kian, lelaki yang selalu mengenang kedua
orangtuanya dengan cara yang manis. Seandainya, aku bisa sepertinya.
Papa tersenyum.
" Papa akan bahagia, jika kamu berjodoh dengan Ben. Dia orang baik," kata Papa menggenggam tanganku. Aku menarik tanganku.
" Kenapa? Kamu bertengkar dengannya?" tanya Papa menyadari responku.
Aku menunduk. Bagaimana caranya aku bilang bahwa kami tak lagi bersama? Bagaimana caranya aku bilang Ben selalu menyakitiku? Aku menimbang-nimbang sekian lama sampai akhirnya memutuskan mengatakan atau tidak rasanya tidak akan mengubah apa pun. Jadi, aku diam saja.
" Kalau kamu menikah dengan Ben, semua kekayaan akan jatuh ke tangan kalian," kata Papa seperti sebuah janji.
Aku melempar pandang pada sebuah foto yang terpasang di dekat tempat tidur Papa. Foto saat Papa dan orangtua Ben bersama, menggambarkan seberapa dekat mereka. Rasanya aku ingin melempar foto itu.
" Papa nggak usah pikirkan hal-hal seperti itu. yang penting Papa sehat dulu," jawabku berusaha santai. Padahal jantungku berdetak sangat kacau.
" Papa mau istirahat," kata Papa.
Aku mengangguk. Membetulkan selimutnya hingga menutup dadanya. Ketika aku membalikkan badan, kulihat Mama di pojok ruang dalam diam. Matanya menatapku
dengan pandangan yang selalu kukenang seumur hidupku. Tanpa bicara, aku tahu Mama sudah menuntutku berbuat sesuatu.
Kian
Aku berdiri di depan kafe buku beberapa menit setelah kuliahku selesai. Sebelum masuk, aku sempat menimbangnimbang alasan yang akan kukatakan jika Rainy bertanya padaku. Tentu saja, aku tak akan mengatakan alasan sesungguhnya adalah untuk bertemu dengannya. Ting& ting& ting&
Semakin hari telingaku semakin akrab dengan bunyi lonceng di pintu kafe ini.
" Selamat sore." Nadia muncul dari dapur. " Oh, Kian." Dia menyembunyikan senyumnya saat melihatku, lalu masuk lagi.
Tak lama kemudian Rainy keluar. Aku menduga-duga, apa yang dikatakan Nadia tentangku padanya sehingga Rainy keluar. Kurasa, Nadia pun bertanya-tanya mengapa belakangan aku sering muncul di kafe ini, sesering aku menengok kebun bungaku.
" Hai," Rainy tersenyum.
Aku membalas senyumnya. Entah hanya perasaanku atau ini benar adanya, tapi aku sering melihat senyumnya belakangan ini. Kurasa ini kemajuan pesat. Sebelumnya, dia gadis termurung yang pernah kulihat.
" Ngerjain tugas lagi?" tanyanya.
" Bukan. Aku nunggu Marcell," kataku. " Kami janji ketemu di kafe ini."
Mulut Rainy membulat, membuat wajahnya terlihat lucu.
" Susu cokelat seperti biasa?"
Aku mengangguk. Dia hapal kesukaanku. Seharusnya tidak ada yang aneh dengan hal ini. Aku juga hapal bunga favorit pelanggan setia toko bungaku. Tapi, ini Rainy. Rainy yang dulu sangat membenciku hanya garagara kutegur saat melamun di balkon. Kalau dia hapal minuman kesukaanku, rasanya jadi istimewa.
Kadang-kadang, aku juga mengamati caranya menyapa pengunjung, menawarkan minuman dan makanan, atau menyajikan minuman. Lama kelamaan, aku hapal kebiasaannya me nu tup sebagian pipinya dengan helaian rambut tipis itu saat bertemu orang. Seakan-akan, dia tak ingin orang-orang meli hat pipinya yang putih pucat. Sekali waktu, matanya me ngerjap gugup, melirik ke pintu depan. Entah apa yang dikha watirkannya.
Tak lama, dia membawakan aku secangkir susu cokelat hangat.
" Susu cokelat, Winnie the Pooh, kebun bunga& Apa lagi sesuatu yang aneh yang belum kuketahui darimu?" tanyanya saat meletakkan cangkir itu. Dia berdiri di samping mejaku, mata bulatnya menuntutku menjawab. Aku tertawa.
" Kalau seorang cewek membuka percakapan dengan cowok
mengenai hal-hal pribadi, kemungkinan besar dia tertarik pada si cowok," tiba-tiba perkataan Marcell terdengar di telingaku. Waktu itu aku hanya tertawa. Tapi kini kurasakan perkataan Marcell itu mungkin benar, kecuali jika aku yang ke-GR-an.
" Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu," ujarku. " Apa mamamu mengizinkanmu kerja di sini?" Aku teringat be be rapa waktu lalu saat melihat mamanya datang dan dia keluar dari kafe tergesa-gesa.
" Mengizinkan atau tidak aku akan tetap bekerja di sini." Tangannya cekatan mengambil daftar menu dan buku yang tergeletak di meja sebelahku.
Seseorang masuk ke dalam kafe. Marcell.
" Nanti malam jangan lupa nonton aku nge-band ya!" Dia melem par gulungan kertas ke meja. " Hai!" Marcell menyapa Rainy.
Salah satu hal yang ingin kupuji dari Marcell adalah caranya menyapa cewek. Begitu santai dan alami. Tidak seperti aku yang terlalu gugup.
Rainy tersenyum kecil. Dia lalu berbalik meninggalkan kami.
Marcell duduk di hadapanku.
" Ternyata dia cantik juga, ya," celetuknya sambil memandangi Rainy dari kejauhan yang sedang duduk membaca buku. Saat kafe sedang sepi seperti ini aku sering menemukan dia menekuri buku. Aku menyukai rautnya yang tampak serius saat membaca buku.
Aku hampir tersedak mendengar pujian Marcell. Aku
sudah biasa mendengar dia memuji seorang cewek. Tapi kali ini, entah kenapa cemburu merambat di hatiku. Aku jadi berpikir Marcell tertarik Rainy. Kubuang jauh-jauh pikiran itu. Rainy buka tipe yang disukai Marcell. Marcell lebih suka cewek modis dan ceria, seperti Fey. Dan hei... kali ini dia serius dengan Fey.
" Santai Ian& nggak usah buru-buru minumnya." Marcell menertawakanku.
Aku hampir memakinya dan menyuruhnya diam, kalau tak ingat kami sedang berada di kafe. Salah satu nggak enaknya bersahabat terlalu lama dengan Marcell adalah dia bisa membaca pikiranku.
" Kau hanya mau ngasih ini?" Aku mengetukkan telunjukku ke brosur yang dibawanya.
" Ini istimewa! Penampilan pertama kami di kafe besar. he Margaritta! Kafe ngetop di kota ini. Kamu harus nonton," sergahnya serius.
Aku tidak suka pergi ke kafe untuk menonton pertunjukkan band rock macam band Marcell. Aku lebih suka tempat yang tenang. Musik hingar bingar di dalam kafe membuatku pusing. Rasanya udara jadi pengap. Apalagi kalau ditambah asap rokok di mana-mana. Tapi kali ini sepertinya aku harus mengalah. Marcell sahabatku.
" Ayolah, pergi saja sama Fey. Atau& " Dia melirik Rainy. " Hei!" panggilnya.
Salah satu kebiasaan buruk Marcell, dia seenaknya saja memanggil perempuan meski tahu namanya. Kecuali jika perempuan itu benar-benar menarik perhatiannya.
Rainy menoleh mendengar panggilannya. " Ya?"
" Oya. Mau ikut nonton band, Rainy? Nih," Marcell menunjukkan brosur lecek itu. Kurasa, sepanjang jalan dia memperlihatkannya ke semua orang yang ditemui. " Ehm& " Rainy ragu-ragu.
" Jangan khawatir. Aku yang bayar kok. Pergi sama Kian, ya," potong Marcell tak sabaran. " Aku harus latihan lagi. Biar penampilan oke."
Aku dan Rainy berpandangan. Aku tertawa melihat Marcell pergi.
" Marcell emang gitu," kataku diringi dengan tawa yang dipaksakan. " Jadi, bagaimana? Kamu tidak ada kerjaan kan malam ini?" Jantungku berdetak lebih kencang. Meski kaget dengan sikap Marcell, aku harus berterima kasih padanya karena mempermudah prosesku mengajak Rainy. Pipi Rainy bersemu merah.
" Baiklah. Jam 7 ya," katanya kemudian.
Kuat-kuat, kutahan keinginan meloncat di depannya. Yess!
Bab 14
Rainy
A ku nggak tahu mengapa aku mengiyakan tawaran
Kian untuk pergi bersamanya ke kafe malam itu. Seharusnya, kafe jadi tempat pertama yang kuhindari. Kafe yang sering menampilkan live performance adalah tempat favorit Ben. Bisa jadi, ada Ben di kafe itu. Apalagi kafe tempat Marcell tampil itu adalah kafe besar yang terkenal di kota ini.
Setelah berjam-jam mencari pakaian yang cocok untuk acara itu (aku tak tahu kenapa kali ini aku harus memikirkan kostum) akhirnya aku puas dengan jins dan blus biru muda berlengan pendek. Ben paling benci blus ini karena menurutnya, aku tak cocok mengenakan baju beraksen rules di leher dan lengan menggembung. Katanya, ini membuatku tampak gemuk. Oke, mungkin aku terlihat sedikit gemuk, tapi aku menyukai blus longgar ini.
Kian sudah menungguku di depan pintu pukul 7 malam tepat. Saat membuka pintu dan melihatnya mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru yang senada dengan blusku, mendadak aku salah tingkah. Aku berusaha menghalau pikiran yang tanpa sadar berpikir kami adalah pasangan serasi.
" Kita nggak janjian mengenakan pakaian berwarna biru, kan?" tanyanya geli.
Salah tingkahku bukannya mencair, malah makin menjadi. Aku berusaha menutupinya dengan tertawa.
" Mungkin pikiran kita nyambung," jawabku asal. Matanya menyipit saat tertawa, tapi aku merasa dia melihatku tajam.
" Kamu cantik pakai blus itu," pujinya sambil tersenyum malu. Aku jadi tambah malu.
" hanks."
Aku tak henti memaki diri sendiri dalam hati. Kami belum terlalu lama kenal tapi aku sudah terlanjur merasa nyaman dengannya setelah melewati berbagai peristiwa. Belakangan, aku mau diajak makan berdua dengannya dan anehnya, aku tidak ingin muntah.
Tapi kadang, aku malah takut kalau membiarkan perasaan itu. Aku khawatir akan terluka lagi seperti sebelumnya. Tapi tanpa kuduga, rasa itu malah menyesak semakin dalam. Aku seperti berdiri di pertengahan, berusaha menahan diri supaya tak melangkah lebih jauh, namun Kian justru menarikku mendekatinya seperti magnet bertemu kutub lawannya.
Kami berangkat ke he Margaritta naik motor Marcell. Sebenarnya, aku bisa saja menawarkan mengendarai mobilku. Namun, aku enggan melakukannya. Sebagian karena aku ingin mengurangi ketergantunganku pada benda-benda pemberian orangtuaku, sebagian lagi
karena naik motor dengar Kian rasanya sangat aman dan nyaman.
Perjalanan ke he Margaritta terasa begitu cepat. Padahal dari segi waktu memakan waktu hampir satu jam perjalanan. Kurasa begitulah cara waktu bekerja saat kita menikmatinya, berlalu begitu cepat. Aku pernah merasakannya bersama Ben, saat kami baru kenal. Setelah aku mengenalnya, waktu bersamanya jadi siksaan karena berjalan sangat lambat.
" Kamu yakin ini tempatnya?" Kian membaca lagi brosur yang diberikan Marcell. " Aku belum pernah ke tempat ini. Duniaku seputar kebun bunga dan toko." Dia mengambil helmku dan meletakkannya, lalu menungguku berjalan terlebih dahulu.
" Yakin. Nama kafenya kan benar, alamatnya juga." Bagaimana aku tidak tahu? Tempat ini sering kukunjungi waktu aku masih bersama Ben. Tanpa kusadari, aku berbohong pada Kian. Kurasa ini karena aku tak ingin dia mengetahui masa laluku.
Kian memandangku tepat di tengah mata. " Kamu kayak sering ke sini aja," ucapnya ringan. " Sebagian besar cewek yang kukenal tak hapal jalan, meski mereka sudah berkali-kali datang ke tempat yang sama. Itulah sebabnya cewek dibilang tak bisa baca peta," candanya.
Aku nyengir menanggapinya. Padahal hatiku berdetak lebih kencang. Sengaja aku melambatkan langkah supaya Kian bisa berjalan di dekatku. Entahlah, aku hanya merasa
nyaman di dekatnya.
Memasuki he Margaritta ingatanku kembali pada Ben.
" Ngapain, sih, kita ke sini?" tanyaku saat itu. " Supaya aku bisa ngenalin kamu pada teman-temanku," ucapnya.
Sesaat aku merasa melayang dengan perkataannya, sampai aku merasa harus menarik tubuhku supaya kakiku kembali menjejak bumi.
" Sini." Ben merangkulku. " Teman-temanku harus tahu, aku bisa mendapatkan cewek secantik kamu," ucapnya penuh percaya diri.
Aku malah merasa jengah dengan ucapannya. Selalu begini. Setelah memujiku dan membuatku melayang, aku merasa harus waspada. Ada hal tersembunyi dari ucapannya, dan aku tak suka. Aku sudah hapal, setiap kali Ben memujiku ada hal lain yang terlontar dari mulutnya sesudahnya. Seolah pujian itu harus berkaitan dengan cacian.
Ben menatapku, meneliti dandananku dari atas hingga bawah. Ini bagian yang paling kubenci.
" Kenapa kamu nggak pakai make up? Sembunyikan lingkaran hitam di bawah matamu itu. Kamu kayak orang nggak dikasih makan beberapa hari!" sentaknya.
Jantungku yang sudah mulai berdebar seakan melorot jatuh ke perut. Aku memang sengaja nggak makan demi terlihat kurus hari ini. Tapi dia sama sekali tidak menghargai pengorbananku.
Ben seperti bunglon yang bisa berubah warna setiap saat
ketika keinginannya tak terpenuhi. Secepat itu pulalah dia berubah. Bisa saja dia memuji lalu sedetik kemudian memaki. Bisa saja dia tertawa, lalu sedetik kemudian menampar. Yang mengherankan, aku masih saja berharap dia berubah jadi seperti yang kuinginkan.
Tepukan pelan di pundakku mengagetkanku. " Hei, bisa-bisanya melamun di tempat seperti ini," tegur Kian. " Setelah Marcell tampil kita langsung pulang, ya. Aku tak suka lama-lama di kafe. Berisik."
Aku mengangguk setuju. Sejujurnya, aku khawatir jika Ben atau salah seorang temannya mengenaliku di sini. Aku memang berniat menghilangkannya dari kehidupanku. Tapi masa lalu seolah membututiku terus. Seperti bayangan yang tak lepas dari tubuhku.
Dari kejauhan aku melihat Marcell dan Fey duduk. Aku merasa gugup ketika Fey melihatku. Kadang, aku merasa dia menyimpan perasaannya pada Kian meski tak menolak pergi bersama Marcell.
" Akhirnya kalian datang juga. Duduk saja di sini bareng Fey." Marcell menunjuk tempat duduk di samping Fey. Rupanya dia sengaja menyisihkan tempat duduk untuk kami.
" Hi, Fey," sapaku basa-basi.
Fey tersenyum sekilas. Pandangan matanya sama sekali tak lepas dari Kian. Kian memang berbeda dari biasanya. Dia tampak& ehm, lebih keren tanpa jaket jins kucel yang biasa dikenakannya. Dan kali ini, dia mengenakan sepatu mengilat berwarna cokelat.
" Kupikir kamu nggak suka datang ke tempat ramai seperti ini," ucapnya seperti menyindir aku dan Kian.
" Kalau bukan karena Marcell, aku nggak bakal datang," sahut Kian.
Fey melirikku dengan pandangan kalau-kau-karenaalasan-apaHingar bingar suasana membuatku tak mendengar cerocos Fey. Daripada melihat Fey yang tak suka melihat kedatanganku bersama Kian, aku memilih mengamati suasana. Kadang aku bertanya-tanya sedekat apakah mereka? Kadang muncul pula sedikit cemburu melihat Fey bicara apa saja pada Kian. Tapi aku berusaha mengabaikannya.
Dulu aku sering duduk di meja dekat panggung. Ben yang memilih tempat itu. Sebagai pecinta musik dia sering mengamati dan memberikan komentar tentang band yang tampil. Kadang-kadang dia bahkan mengomentari penampilan vokalisnya yang gak matching dengan konsep band-nya. Bahkan cara menyapa penonton seringkali dibilang, " Sampah! Dia gak tahu ya, cara ngambil hati penonton."
Aku kerap kali terpana mendengar perkataannya yang tak enak didengar. Namun aku lebih sering memaklumi karena sebagai calon pewaris perusahaan recording, dia punya kacakapan untuk menilai mereka.
Kali ini, aku bisa melihat meja di depan sudah terisi beberapa pasangan. Aku memincingkan mata, mencoba menajamkan penglihatanku dalam cahaya temaram
kafe. Di panggung seorang MC sedang membuka acara. Tubuhnya yang langsing dalam balutan dress mini di atas lutut membuatku teringat perkataan Mama tentang kerennya jadi model. Tak heran, dari kecil Mama selalu memantau penampilanku.
" Aku harus siap-siap nih," Marcell berdiri dan menggosok-gosok telapak tangannya. Dia gugup. " Main yang bagus, Bro," Kian menepuk pundaknya. Marcell menyambutnya dengan acungan jempol. Dia berlari menuju panggung.
Sepeninggalan Marcell, aku merasa jengah. Berada di antara Fey dan Kian membuatku langsung merasa gak enak saat Fey melirik Kian.
" Pesan saja minuman." Fey menggeser menu. " Kamu mau apa, Kian?" tanyanya. Padahal menu itu sedang kupegang.
Kian mencondongkan tubuhnya ke dekatku. Saat itu aku merasa tubuhku seolah dialiri listrik. Wangi parfumnya membuatku teringat bunga-bunga di kebun itu. Tapi ketika melihat lirikan Fey, aku mendadak tersudut. Aku tidak ingin Fey melihatku sebagai pihak ketiga yang menghalangi kedekatannya dengan Kian meski aku juga mulai gerah dengan kehadirannya.
" Aku mau ke toilet," kataku.
" Sebentar lagi band Marcell tampil," Kian mengingatkan.
Aku mengangguk, memastikan kalau aku gak bakal lama. Sempat kulihat Fey mengembuskan napas lega. Aku
bergegas menuju ke sisi panggung, mengikuti papan kecil bertuliskan " toilet" di dindingnya.
Di toilet aku membasuh wajahku dengan air. Dingin. Keteganganku sedikit mencair. Seorang cewek di sebelahku juga sedang membasuh wajah. Telingaku menangkap isakannya pelan.
Rambut panjangnya yang tebal menutupi sebagian wajahnya yang menelungkup di dekat wastafel. Kulihat pundaknya naik turun. Kukira itu karena dia bernapas. Tapi beberapa menit kemudian, ketika dia masih dalam posisi yang sama, aku baru menyadari isakannya.
Aku mendongak, tepat saat dia memandang cermin. Astaga! Pipinya lebam seperti dibalur blush on berwarna biru. Yang membuatku lebih kaget, dia adalah cewek yang pernah kulihat bersama Ben di Kafe Buku! Cewek yang dipanggilnya dengan sebutan " Laras" . Apa yang terjadi padanyaCewek itu memalingkan muka saat tahu aku memperhatikannya.
" Jangan tanya apa pun," sergahnya sebelum aku melontarkan pertanyaan. " Ini karena kebodohanku sendiri."
" Kenapa& " tanyaku mengambang di udara. Aku tidak mengenalnya, tapi aku mulai menduga sesuatu yang dulu terjadi padaku terjadi pula padanya.
Dia memandangku. Air matanya mengalir perlahan. Aku tahu dia terluka.
" Kalau seorang cowok berkata cinta tapi melukaimu,
kau harus meninggalkannya," katanya lirih.
Kilasan balik peristiwa melintas di benakku. Laras seperti aku dulu. Aku ingat bagaimana Ben menyakitiku, tak hanya dengan kata-kata pedas, tapi juga menampar dan menendangku. Mendadak tubuhku menggigil. Kurasa Ben jugalah yang telah melakukannya padanya. Laras mengusap air matanya dengan kasar. " Maaf& " Dia menyambar tasnya dan berlalu. Sekilas aku melihat tubuh langsingnya berbayang di cermin.
Perutku serasa diaduk-aduk. Mual. Aku sudah jarang merasakan mual dan nafsu makanku mulai normal. Kurasa ini bukan karena penyakit itu.
Kupandangi wajahku di cermin. Wajah lonjong dengan rambut tipis panjang kecokelatan dengan raut ketakutan terpantul di situ. Aku cemas memikirkan Ben berada di dekatku saat ini.
Aku keluar dari kamar mandi dengan perasaan tak karuan dan segera menuju tempat Kian duduk.
" Kenapa kamu?" tanya Kian menyadari keanehanku. " Kau sakit?"
Aku menggeleng. Perutku masih sedikit mual. Tapi aku menguatkan diri. Aku melawannya dengan mengingat saat-saat menyenangkan.
Suasana kafe semakin ramai. Penonton ikut menyanyikan lagu yang dimainkan oleh Marcell dan teman-temannya. Lampu berpijar menyorot Marcell yang dielu-elukan oleh para gadis. Lalu berpindah ke tempat lain berganti-ganti.
Ketika cahaya mengenai salah seorang penonton yang kebetulan berdiri membelakangi panggung sambil menepi dari lautan penonton, jantungku serasa berhenti berdetak. Aku mengenali sosok tinggi dengan rambut bergelombang yang tersisir rapi itu!
Aku memalingkan muka ke arah lain berharap dia tak melihatku. Namun cahaya lampu malah menghampiriku. Saat itulah dia itu melihatku. Dia berdiri dengan ponsel masih menempel di telinganya. Sinyal bahaya langsung membuat alarm ketakutanku berbunyi. Dengan tangan gemetar kucolek Kian.
" Aku mau pulang," kataku. Kian menatapku dengan cemas. " Astaga! Kamu kenapa Rainy? Sakit?"
" Lagu Marcell belum selesai," Fey mengingatkan. " Aku pulang sendiri saja, kalau kalian masih mau di sini," aku berkeras.
Berkali-kali aku melirik cowok itu, berharap bukan Ben yang kulihat. Tapi dia benar-benar nyata, bukan ilusi karena aku lapar atau merindukannya. Ben tampaknya juga tak yakin telah melihatku. Dengan cahaya yang temaram dan sorot lampu berganti-ganti arah, rasanya memang susah mengetahui seseorang yang berada sekitar sepuluh meter di depan kita. Apalagi pengunjung berjubel menghalangi pandangan. Tapi aku yakin, cowok dengan kemeja berwarna hijau tua itu adalah Ben.
Aku merasa isi perutku mendesak naik dari lambung ke kerongkongan. Aku terbatuk-batuk, berusaha menahannya
keluar. Kian memandangku dengan pandangan yang sulit kuartikan.
Kian menggamit lenganku.
" Fey, tolong pamitkan pada Marcell. Aku antar Rainy pulang. Dia sakit," ujarnya cepat.
Aku tak tahu bagaimana tiba-tiba aku dan Kian sampai di parkiran motor karena yang terasa setelahnya adalah rasa pusing yang teramat sangat. Tubuhku terasa limbung.
" Makasih, Kian," kataku. Aku baru tahu, suaraku pun bergetar.
" Sudahlah, jangan banyak bicara. Nanti jadi pusing," sahut Kian.
Ketika Kian menyalakan mesin, kulihat Ben terengahengah berlari ke depan kafe itu. Dia memandangku dari kejauhan dengan tatapan mata yang sulit kuartikan maksudnya. Aku merasa bahaya semakin mendekat. Kupejamkan mata untuk mengusir bayangan wajahnya yang terlihat geram itu.
Tidak seperti saat berangkat, perjalanan pulang kami lalui dengan berdiam diri. Kian membiarkanku menyandarkan kepala ke punggungnya selama perjalanan pulang. Dan aku merasa sedikit tenang berada di dekatnya. Kepalaku masih terasa berat, tapi rasa mual berkurang.
Bayangan Ben, cewek yang kutemui di toilet, dan pandangan Ben saat melihatku silih berganti melintas. Seharusnya, aku tak lari menghindarinya, karena menghindar justru membuat ketakutanku datang terus
menerus. Seharusnya aku bisa lebih kuat menghadapinya. Selama Ben masih hidup, aku tak bisa berharap tidak akan bertemu dengannya.
Sayangnya, aku tak tahu bagaimana cara menghadapi ketakutanku akan Ben.
" Rainy?" tanya Kian dalam deru motor. " Ya."
" Kamu nggak pingsan, kan?" tanyanya cemas. " Aku nggak mau lagi melihat kamu begini," katanya seperti memintaku berjanji padanya.
Mendadak, hatiku sehangat matahari pagi ketika mendengarnya.
Kian
Ketika Rainy minta pulang, aku tahu ada yang tak beres. Berkali-kali matanya melihat ke satu arah. Aku jadi bertanya-tanya, ada apa antara Rainy dan cowok itu? Cowok itu mirip sekali dengan seseorang yang dihindari Rainy saat aku menemukannya bersembunyi di balik tembok apartemen beberapa waktu lalu. Aku seperti pernah melihatnya sebelumnya, tapi tak ingat di mana selain di dekat apartemen kami. Awalnya aku tak yakin, tapi saat melihat Rainy gemetar, aku tahu ada yang tak beres.
Selama perjalanan pulang kubiarkan dia menyandarkan kepala di punggungku. Rambutnya yang tipis berlarian
pundakku. Saking cemasnya, aku lupa menyuruhnya mengenakan helm. Napasnya teratur mengembus menandakan dia masih sadar. Aku benar-benar khawatir dia pingsan.
" Kamu yakin kuat berjalan?" tanyaku ketika kami sampai di apartemen dan dia menolak kupapah. Dia mengangguk.
Di dalam lift kami hanya berdiam diri. Terus terang, aku bingung mau berkata apa. Aku takut bertanya-tanya, bukan karena takut dia marah, tapi karena aku khawatir pertanyaanku melukai hatinya.
Dia sedikit terhuyung keluar dari lift tapi berusaha tetap tegak.
" Maaf ya gara-gara aku, kau jadi melewatkan penampilan Marcell malam ini," katanya setelah kami sampai di depan pintunya.
Aku menggeleng cepat, tak ingin dia merasa bersalah. Lagipula, memang dia tak bersalah. Orang yang sakit tak bisa disalahkan.
" Marcell akan sering tampil nanti. Bahkan, aku bisa mengundangnya tampil sendiri di depanku. Aku masih punya banyak kesempatan menontonnya," aku mencoba melucu.
Dia tersenyum tipis. Sebagian anak rambutnya menjuntai di kening, sebagian lagi menutup pipinya saat dia menunduk. Aku semakin yakin, ada yang disembunyikannya. Rasanya sedih melihatnya seperti ini. Aku berniat menunggunya sampai masuk ke dalam
kamar, tapi tiba-tiba dia limbung saat membuka pintu. Sedetik kemudian dia terjatuh dalam pelukanku.
Tak ada pilihan lain selain membawanya masuk ke dalam kamar. Kubaringkan dia sambil menunggunya siuman. Selama itu pulalah, aku masih sibuk bertanyatanya apa yang sesungguhnya terjadi padanya.
Entah berapa lama aku tertidur saat aku mendengar kasur berderak. Mula-mula kepala Rainy bergerak gelisah. Lalu tangannya menggapai-gapai pinggir tempat tidur seolah ingin memegang sesuatu. Kudengar dia menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Ketika membuka mata, dia langsung duduk tegak. Menatapku seperti aku melakukan sesuatu yang sangat buruk padanya.
" Kian? Ngapain kamu di sini?" tanyanya panik. Matanya mengerjap. " Keluar!" usirnya ketakutan. Sekarang, dia meringkuk di pojok tempat tidurnya seperti kucing ketakutan.
" Tenang. Kamu tadi pingsan, jadi aku tak bisa mening - galkanmu sendirian," ujarku menjelaskan. " Nih, minum dulu," aku menyodorkan air putih padanya.
Rainy tampak mulai tenang. Tangannya berusaha mengambil gelas dariku tetapi aku tak yakin dia mampu memegangnya. Ta ngan nya gemetar.
" Biar aku aja yang pegang," aku mendekatkan gelas itu padanya dan dia meminum pelan-pelan. Wajahnya tak
sepucat tadi.
Rainys Days Karya Fita Chakra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Udah enakan? Kepalamu sakit?" Kulihat dia menguruturut pelipisnya.
Dia hanya menggumam.
" Sorry ya& ngerepotin kamu lagi," jawabnya tak enak hati.
" Rainy& tidak perlu minta maaf." Sudah berapa kali dia minta maaf sejak kami kembali ke apartemen.
Dia terdiam sambil memandangku, mau tidak mau aku jadi salah tingkah. Aku tidak tahu harus berkata apa atau berbuat apa. Aku hanya bisa menatap balik matanya.
" Tadi aku melihat mantan pacarku," ujarnya pelan, masih menatapku. " Kami putusnya gak baik-baik, dan aku masih sedikit trauma dengannya."
Itu bukan sedikit Rainy. Wajahmu pucat dan tubuhmu gemetar sampai pingsan. Pasti ada hal bruk yang terjadi di antara kalian, batinku
" Oh& jadi dia mantanmu? Yang pernah datang ke sini juga kan?" jawabku berusaha santai.
" Iya& tapi aku jadinya ikut kamu ke toko bunga." Dia tersenyum kecil.
Setakut itukah kau padanya Rainy? Memangnya apa yang telah dilakukannya padamuPertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di benakku. Tapi aku menahan diri, kalau Rainy sudah siap dia akan men ceri takannya padaku. Aku mengambil tangannya dan meng geng gam nya erat.
" Apa pun yang terjadi di antara kalian, kukira setiap
orang pantas bahagia," kataku tersendat. Perkataan itu seperti me nohokku. Aku sendiri, tidak pernah merasa bahagia saat meng ingat kedua orangtuaku. Mengatakannya pada orang lain mem buatku seperti orang munaik.
Sorot matanya berubah. Sekarang dia sepertinya akan me nangis.
" Kamu nggak tahu sih bagaimana rasanya disakiti orang yang kaucintai," sentaknya kesal. Sinis. Cewek ini selalu merasa dialah satu-satunya orang di dunia ini yang menderita.
" Siapa bilang? Aku tahu rasanya sejak kecil, waktu ayahku meninggalkanku karena menurutnya akulah penyebab kematian Ibu," kataku pelan. Baru kali ini aku berterus terang pada orang lain mengenai keluargaku. Dan ini membuat dadaku sedikit lega.
Rainy tersentak dan mengeratkan genggamannya. " Kian& "
" Aku memaksanya pergi malam-malam untuk membeli sesuatu dan Ibu tertabrak mobil. Seharusnya dia tak perlu naik motor."
" Tapi itu bukan salahmu," sergahnya. Aku mengangkat bahu.
" Sejak ayahku meninggalkanku pada adik Ibu, aku tahu ini salahku. Salahku atau bukan, tetap Ayah menyalahkanku." Aku memandangnya tepat di tengah matanya. Hening menyelimuti sekeliling kami. ***
" Ibu, aku mau makan donat buatan Ibu," rengekku.
" Gulanya habis, Sayang. Sudah malam. Besok saja ya bikinnya." Ibu membujukku.
" Ah, Ibu. Mau sekarang!"
Ibu memandangku. Seperti biasa, aku tahu hal yang bisa membuat Ibu menuruti keinginanku. Aku menangis keras. Meraung sambil menjejak-jejak kakiku ke lantai. Usiaku sudah sepuluh tahun, tapi menjadi anak semata wayang membuat keinginanku selalu terpenuhi.
" Baiklah. Ibu pergi sebentar, ya," Ibu langsung menyambar tas. " Ayahmu belum pulang. Bagaimana Ibu pergi?" dia menggumam sendiri.
Aku meredakan tangisku.
" Naik motor saja, Bu. Biar cepat," kata Mbok Iyem. " Ya, tapi& Ibu belum lancar naik motor." Ibu bimbang. Aku kembali meraung, supaya Ibu meluluskan keinginanku.
" Ya, ya& Baiklah, Ibu berangkat sekarang," ujarnya cepat.
Aku tak menyangka itulah terakhir kalinya aku melihat Ibu dalam keadaan sehat. Beberapa menit berselang, telepon dari salah seorang tetangga mengabarkan Ibu kecelakaan. Ibu tak bisa menghindar dari sebuah mobil yang melaju kencang dari arah berlawanan.
Bab 15
Rainy
S etiap kali hujan datang entah mengapa aku merasa
ketakutan. Angin yang menderu, awan yang menggelap. Mereka bergulung-gulung datang menyergapku. Udara lalu terasa sesak. Ketika kilat membentuk garis perak di udara lalu tak lama kemudian ditingkahi suara memekakan telinga,
Aku ingat suatu kali di tengah hujan aku dan Ben bertengkar untuk kesekian kalinya. Ralat, tepatnya, dia memarahiku.
" Ngapain sih, kamu ngobrol sama cowok-cowok itu?" teriak Ben di tengah hujan. Saat itu, aku turun dari mobilnya dan nekat berlari di saat hujan deras karena tak tahan dengan perlakuannya padaku.
" Aku hanya bicara tentang tugas, Ben!" balasku berusaha mengalahkan suara hujan.
Setelan Ben yang mahal basah kuyup. Tapi aku bisa melihat matanya memancarkan kemarahan. Aku pun sama marahnya. Sudah berkali-kali Ben menyakitiku. Tidak hanya menyakiti perasaanku, tapi juga memukulku.
" Omong kosong!"
Wajah Ben mengeras. Rahangnya terlihat lebih jelas menggeretak menahan marah. Dia menarik tanganku kasar.
Tapi aku berjingkat menghindar. Tubuhnya menghalangi jalanku.
Plak!
" Ben!" pekikku, antara marah dan kesakitan. " Jangan coba-coba mempermainkanku," Ben mengacungkan jarinya ke wajahku.
Yang kuingat selanjutnya hanyalah mobil menderu keras meninggalkan cipratan air di tubuhku. Lalu aku terduduk di pinggir jalan, meratapi nasib. Ketika hujan mereda, menyisakan titik-titik hujan, aku masih berada di sana. Menangis lebih deras dari sebelumnya.
Tanpa kusadari, sejak menceritakan sedikit tentang Ben pada Kian, aku mulai merindukannya. Setiap kali mendengar gemerincing lonceng di kafe buku, aku berharap melihat senyumnya yang khas di sana. Hari-hariku mulai terlihat cerah. Ben seolah menghilang dari lamunanku, berganti wajah Kian.
Kami mulai sering berbincang tentang segala hal. Tentang buku yang kubaca, tentang kebun bunga dan tokonya, tentang hasil fotonya. Ternyata Kian juga menyimpan luka di hatinya. Dan hal itu terjadi saat dia masih terlalu kecil. Aku jadi malu dengan diriku sendiri dan bertekad untuk sembuh. Aku mau sembuh, dari bulimia, dari Mama, dan dari Ben.
Akhir-akhir ini, aku tak tak lagi mengkhawatirkan tubuhku. Aku mulai bisa makan dengan normal. Hanya sesekali aku merasa mual, saat aku merasa tak nyaman, atau saat ingat ucapan Mama atau Ben.
Nadia yang juga menyadari kedekatanku dengan Kian mulai sering menggodaku.
" Dia menyukaimu," kata Nadia suatu hari. Tapi aku tak mau berharap terlalu banyak. Ben menyisakan banyak kenangan buruk dalam hatiku. Luka yang ditinggalkan nya membuatku lebih berhati-hati. Aku ingin meninggalkan kenangan itu. Tapi semakin berusaha, aku melihat tanda-tanda kehadiran Ben mendekat.
Entah kenapa aku jadi khawatir. Apakah Ben sempat melihat Kian waktu itu? Bagaimana kalau Ben berpikir Kian itu pacarku. Bagaimana kalau Ben melakukan sesuatu yang buruk pada Kian? Pikiran-pikiran itu selalu menggangguku. Aku ingin menyampaikan hal ini pada Kian tapi aku takut Kian malah khawatir denganku, atau bagaimana kalau Kian jadinya menjauhikuKian
Seharian aku tidak bisa berpikir. Aku seperti orang linglung.
Dari pagi, segala hal yang kulakukan terasa salah. Aku salah melihat jadwal kuliah sehingga terlambat mengikuti kuliah yang tak seharusnya kulewatkan. Aku terburu-buru berangkat karena bangun kesiangan. Dan aku seperti orang linglung di kampus.
Pikiranku benar-benar kacau. Firasat buruk
menghantuiku. Wajah Rainy terlihat di mana-mana. Tapi aku tak bisa menemukan sosoknya di kampus. Aku jadi khawatir kalau terjadi sesuatu padanya. Sejak kejadian itu memang kami selalu bersama. Aku selalu datang ke kafe dan berlama-lama di sana lalu ke toko bunga. Sepulang dari toko pun aku mampir ke kafe dan mengajaknya pulang bareng.
Tapi sudah dua hari ini aku tak melihatnya. Kata Nadia, dia minta cuti dua hari. Setiap aku mengetuk pintu apartemennya tidak ada jawaban. Mau kudobrak, takut kalau dia pingsan lagi, tapi aku ragu. Kalau memang dia pingsan dan tidak bisa dihubungi, pasti Ghea akan datang. Tapi Ghea juga tak pernah terlihat selama dua hari ini. Berarti Rainy baik-baik saja. Ke mana dia" Kenapa?" tanya Marcell dengan pandangan menyelidik.
Aku menggeleng, berusaha menyembunyikan wajahku dari tatapannya. Marcell tahu, aku pulang malam itu karena mengantarkan Rainy. Tapi dia tak tahu penyebabnya. Aku hanya bilang bahwa Rainy tak enak badan.
" Bengong aja dari tadi. Baru juga gak ketemu Rainy dua hari, udah kalang kabut gini."
Mukaku mendadak terasa panas. Aku tahu, ada sesuatu yang masih disembunyikannya dariku.
" Pulang, sana. Istirahat. Wajahmu itu pucat tahu. Kau tidak tidur selama dua hari ya?"
Aku hanya mengangguk.
" Oh... dasar cinta..." Marcell meloncat turun dari
duduknya dan meninggalkanku.
Aku terbengong-bengong beberapa menit kemudian. Lalu memutuskan pulang. Aku sudah jatuh cinta pada Rainy sebelum Marcell mengetahuinya. Masalahnya, aku tak tahu bagaimana harus mengatakannya kalau dia hanya menganggapku teman.
Bab 16
Rainy
A ku terbangun kaget malam-malam ketika mendengar
suara pintu diketuk keras. Tadinya aku bergeming. Biar saja yang mengetuk berpikir aku sudah tidur, meski baru pukul 10 malam.
" Rainy!"
Kian....
" Rainy... kalau kamu di dalam buka pintunya. Rainy..." Nada Kian terdengar khawatir. Sudah dua hari ini kami tidak bertemu atau sebenarnya sudah dua hari ini aku menghindarinya. Aku sengaja menginap di rumah Ghea dan meminta cuti dari kafe. Entah kenapa, aku takut terjadi sesuatu pada Kian karena dekat-dekat denganku. Aku takut Ben sedang menyelidikiku dan bagaimana kalau dia memergokiku sering bareng dengan Kian.
" Rainy..." Suaranya melemah, apa dia sakit? Segera aku turun dari tempat tidur dan membuka pintu.
" Kian..." Dia tampak lelah. Ada lingkar hitam di sekeliling matanya. Apa dia tidak tidur? Apa dia mengkhawatirkanku" Hei... apa kabar?" tanyanya sambil tersenyum
menatapku. Ada kelegaan yang terpancar di matanya. " Hei... kabar baik. Kau?"
" Kurang baik," jawabnya lemah. " Kau baik-baik saja? Aku tidak melihatmu selama dua hari. Kukira terjadi sesuatu padamu?"
" Aku baik-baik saja. Dua hari ini aku nginap di tempat Ghea." Aku sangat merasa bersalah karena pergi tanpa memberi kabar padanya.
" Syukurlah kalau kau baik-baik saja. Aku hanya ingin mengecek. Kalau begitu aku masuk dulu ya...."
" Kian...." Tanpa sadar aku menarik lengannya. " Jangan pergi," kataku dengan suara gemetar. " Aku takut." Aku terkejut mendengar suaraku yang parau dan gemetar.
Matanya memandangku iba. " Jangan takut, kamu akan baik-baik saja. Ketakutan itu berasal dari dirimu sendiri."
Aku mengangguk pelan, berusaha mencerna katakatanya.
" Panggil saja jika ada apa-apa," Kian menyentuh rambutku sekilas.
Dia menggenggam tanganku sebentar, untuk memastikan aku merasa nyaman. Pelan-pelan, kekuatanku muncul. Kubisikkan dalam hati supaya aku berani.
" Tidurlah. Nggak akan ada hal buruk yang terjadi," katanya.
Aku mengangguk, dengan mata basah.
Kian
Malam harinya, aku terbangun karena ponselku berbunyi. Mimpiku yang juga kacau terputus karena bunyi ponsel itu. Aku melihat nama Fey di layar ponselku.
" Kian! Ada orang marah-marah di depan pintu kamarku!" Suara Fey yang kencang langsung membuat mataku terbuka lebar. Aku menjauhkan ponsel dari telingaku. Berisik.
" Fey, kamu meneleponku hanya untuk bilang ini?" Aku melirik jam dinding, menjelang tengah malam. Entah sudah berapa lama aku tidur. Lelah setelah seharian beraktivitas membuatku langsung terlelap begitu menyentuh kasur.
" Bangun! Aku takut dia membuat kekacauan, Kian," suara Fey terdengar panik. " Memangnya kamu nggak dengar? Suaranya kencang sekali."
Aku menajamkan telinga. Beberapa detik kemudian aku baru mendengar suara gedoran pintu yang disambut dengan suara pintu terbuka. Sesaat tak ada suara terdengar.
" Sudah berhenti," sahutku hampir memejamkan mata lagi. " Sudah ya, aku ngantuk." Aku menarik selimut dan membaringkan tubuhku yang penat ke kasur. Belum sempat kumatikan ponsel, suara Fey terdengar lagi. Kali ini terdengar lebih panik dari sebelumnya.
" Kian! Kian& jangan tutup telepon dulu," Fey berteriak-teriak di ujung telepon. " Dia di depan kamar
Rainy!"
Mendengar nama Rainy, kesadaranku langsung pulih. Tubuhku tegak bersandar di kasur.
" Ngapain dia?" Pertanyaan konyol! Makiku dalam hati. Mana Fey tahu apa yang dilakukannya di depan kamar Rainy" Mereka bertengkar," ujar Fey.
Aku membayangkan Fey sedang mengintip dari kaca kecil di pintu kamarnya seperti yang biasa dilakukannya. Pada waktu lain, aku mungkin mengeluh mengenai kebiasaannya ini. Tapi kali ini, aku justru ingin mengetahui apa yang dilihatnya.
Plak!
Suara tamparan itu membuatku bangkit dari kasur. Masih dengan ponsel menempel di telinga, aku bergegas berjalan menuju pintu. Kudengar bunyi kursi berdebam. Tepat ketika tanganku menarik pegangan pintu, Fey menjerit tertahan.
" Ya ampun, dia menampar Rainy, Kian!"
Tanpa berpikir aku menghambur keluar. Ada dua orang yang menatapku begitu aku sampai di luar kamar. Rainy dengan mata sembapnya dan seorang cowok yang sepertinya pernah kulihat. Aku tercengang. Mengapa sekarang baru ingat, cowok itu adalah orang yang membeli anggrek di toko bungaku! Yang memintaku mengirimkan anggrek ungu pada Rainy. Kepalaku pening seketika. " Jangan ikut campur!" teriak cowok itu.
Kulihat tangan Rainy ditariknya kuat-kuat. Rainy
menjerit kesakitan. Aku kembali tercekat. Seumur hidupku, aku belum pernah melihat seorang lelaki mengasari perempuan seperti itu. Hatiku tersayat-sayat. Lebam di pipi Rainy membuat langkahku mendekat.
" Siapa pun kamu, tak berhak menyakiti perempuan," kataku tajam.
" Please, Kian. Pergi saja," bisik Rainy. " Jangan sampai kamu terluka. Dia bisa melakukan apa saja."
Aku menggelengkan kepala. Mana mungkin aku bisa pergi sementara dia disakiti di depan mataku? Cowok itu tertawa mengejek.
" Jadi dia? Dia yang membuat kamu lari dariku?" katanya sinis.
Aku merasakan hawa panas naik ke ubun-ubunku. Tanganku mengepal kuat. Belum pernah aku semarah ini pada seseorang. Bahkan ketika Ayah meninggalkanku, aku pun tak protes. Aku hanya mempertanyakan kesalahanku, sampai akhirnya aku yakin akulah yang paling bersalah.
Tubuh Rainy gemetar. Dia berusaha melepaskan tangannya dari lelaki itu. Tapi tentu saja, tenaganya tak sebanding. Sekali sentak, lelaki itu malah menariknya mendekat, sampai wajahnya hanya terpaut beberapa senti darinya. Rainy memalingkan wajahnya. Aku bisa melihat betapa jijiknya dia.
" Lepaskan aku, Ben!" jeritnya.
" Apa? Kamu mau mengelak? Mau melarikan diri ke mana lagi?" bentaknya kasar. " Ke mana pun kamu pergi, aku bisa menemukanmu. Jangan coba-coba!"
Rainy mulai menangis. Isakannya membuatku iba. Dalam keadaan biasa pun wajahnya sudah menyedihkan. Apalagi kini. Gigiku gemeletuk menahan marah. " Apa maumu?" tanyaku lebih mirip tuduhan. Lelaki yang disebut Ben oleh Rainy itu mendengus. Aku benar-benar muak melihatnya. Kini, baru kutahu mengapa mereka berdua berpisah.
" Aku mau Rainy kembali bersamaku," tegasnya. Rainy memberontak. Tangisnya terdengar lebih keras. " Cukup!" teriaknya. " Pergi! Jangan ganggu aku lagi!" Ben membelalak. Tampaknya dia tak menduga Rainy berkata sekeras itu padanya.
" Apa kamu bilang?"
" Pergi dari kehidupanku. Dan jangan kembali lagi," sergah Rainy tegas.
Aku melihat adegan itu dengan sesak di dada. Rasanya aku sudah tak sabar ingin mengusirnya. Tapi aku harus memberikan kesempatan pada Rainy dan Ben untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Aku hanyalah orang luar. Akhirnya aku hanya berdiri mengawasi, berjagajaga kalau lebih banyak setan yang merasuki Ben.
" Kamu nggak bisa mengusirku begitu saja. Keluargamu bergantung padaku," ujar Ben sinis. Ben menyeret Rainy menjauhi pintu kamarnya.
" Lepaskan aku!" tangis Rainy.
Ben mengamuk kesetanan. Dia terus menarik Rainy menuju ujung lorong, menyeretnya seperti membawa karung sampah. Aku tak tahan lagi.
" Hei!" teriakku. " Kamu nggak dengar katanya? Lepaskan dia!" Tubuhku gemetar menahan marah. Sekarang aku tahu mengapa Rainy ketakutan setiap kali melihat sosoknya. Ben memang keren. Tapi di saat seperti ini, dia lebih menyerupai singa marah daripada manusia.
Ben tak menghiraukan teriakanku. Dia malah melingkarkan tangannya ke leher Rainy, membuatnya sesak napas. Susah payah, dengan langkah tersaruk-saruk, dia membawa Rainy memasuki pintu menuju tangga darurat. Entah apa yang dipikirkannya melewati jalan itu. Mungkin dia hanya ingin supaya kehadirannya terhindar dari pandangan orang.
" Kian!" pekik Rainy. " Tolong!"
Napasku memburu berlomba dengan kakiku yang spontan mengejarnya.
" Hei!" aku menarik lengan Ben hingga dia meng hadapku.
" Lepaskan Rainy!!!"
Mata Ben menggelap. Rasanya aku ingin menamparnya.
" Apa kamu bilang?" Dia melepaskan Rainy dan mendorongnya kasar. Tampaknya dia kesal sekali padaku. " Kamu belum tahu siapa aku."
Dan tiba-tiba dia memukul wajahku. Belum sempat aku membalasnya, dia mendorongku. Tubuhku hilang keseimbangan dan terjatuh di depan pintu darurat.
Sebelum aku sadar apa yang terjadi, beberapa orang berdatangan, entah dari mana. Mereka memukul dan
kesempatan padaku untuk mengeluarkan jurus karate terhebatku. Aku merasa seperti dikeroyok sekompi pasukan.
Aku mendengar Rainy menjerit-jerit, memohon dan melolong ketakutan. Tapi orang-orang yang mengeroyokku mendorongku ke tangga darurat dan memegang semua tangan dan kakiku. Hingga tiba-tiba, salah seorang dari mereka menendangku keras.
Aku berusaha menggapai apa pun yang ada di dekatku. Namun yang kurasakan, aku melayang turun tanpa melewati tangga.
" Kiaan!!!!"
Aku mendengar teriakan Rainy dan langkah-langkah kaki bergegas menjauh dari tempat itu. Lalu tubuhku terempas keras di lantai yang dingin.
Setelah itu, semuanya gelap.
Bab 17
Rainy
A ku tak bisa mengingat dengan baik apa yang terjadi
kemudian.
Yang kutahu tiba-tiba saja Fey dan Marcell sudah berada di dekatku. Mereka berteriak, Fey panik meminta Marcell segera menghubungi rumah sakit dan polisi. Marcell mondar-mandir. Tapi selama itu aku hanya tergugu di samping Kian.
Aku menangis sejadi-jadinya. Kuguncang tubuhnya berkali-kali, tapi Kian hanya diam saja. Aku memeluk kepalanya. Ketika sesuatu yang hangat terasa di tanganku, aku baru menyadari ada darah di antara rambut tebalnya. Aku kembali menangis. Saat itu aku merasa Ben menjelma menjadi singa yang buas. Aku melihat sendiri dia mengajak teman-temannya untuk mengeroyok Kian. Dasar pecundang!
Aku benci Ben!
" Marcell, cepat, bawa Kian ke rumah sakit!" teriak Fey.
" Iya... aku lagi menghubungi rumah sakit," Marcel men jawab dengan telepon masih di telinganya. Suasana panik. Tak berapa lama, beberapa orang mulai berdatangan.
Suasana menjadi ramai. " Apa yang terjadi?" " Panggil security!"
" Ambulans sudah datang."
Suara-suara terdengar silih berganti. Mereka mengerumuni Kian yang terbaring diam. Aku terduduk di samping Kian. Celanaku terkena darah dari kepala Kian yang kupeluk di pangkuanku.
Suara-suara terdengar menjauh. Duniaku menyempit menjadi seputaran aku dan Kian. Mataku hanya terpusat padanya. Aku ingin berteriak memanggilnya, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Yang kurasakan air mataku berderai-derai dengan derasnya, berlomba dengan isak tangisku.
Bantuan datang, aku hanya memandang kosong ketika serombongan petugas medis membawanya pergi. Kerumunan orang memudar dalam gerak lambat meninggalkan lorong gelap di sepanjang tangga. Hanya Kian yang terlihat olehku, seolah ada cahaya yang menyoroti wajahnya. Senyumnya tak terlihat. Tak kusangka kali ini bukan dia yang mengharap senyumku.
Namun, aku. Akulah yang sekarang membutuhkan senyumnya.
" Rainy," tepukan tangan Ghea di pundakku membuatku tersentak.
Aku mengerjapkan mata, berusaha menahan kristalkristal bening di mataku yang sedari tadi mendesak keluar. Semalaman aku berkali-kali terbangun dengan perasaan tak enak. Tidur sambil menelungkupkan kepala di sisi ranjang membuat tengkukku sakit. Tapi aku tetap di sini.
" Rainy. Istirahat dulu," kata Ghea di balik pundakku. Sengaja, aku tidak segera berbalik. Aku tak mau Ghea melihatku menangis kali ini, meski sudah berkali-kali dia memergokiku berurai air mata saat aku bertengkar dengan Ben. Kali ini, aku hanya ingin menahan kesedihanku, berharap Kian akan bangun jika aku tak menangis. Dia selalu ingin melihatku tersenyum. Kurasa inilah saatnya aku membuktikan janjiku.
" Aku nggak mau pergi dari sini," ujarku berkeras. Kupandangi wajah Kian yang tampak tenang. Orang takkan tahu bahwa dia koma jika tak melihat kabel dan berbagai macam selang terpasang di tubuhnya. Napasnya teratur. Rambutnya menjuntai tak teratur di dahinya. Untuk menjahit luka di belakang kepalanya, dokter mencukur separuh rambutnya. Namun tetap saja dia tampak tampan di mataku.
Ghea duduk di sampingku. Menatapku dengan khawatir. Lalu matanya menelusuriku, berhenti sejenak pada kaus ungu yang kupakai sejak kemarin malam. Ini hari kedua aku mengenakannya dan belum berniat menggantinya.
" Kamu harus istirahat. Dan makan," tandas Ghea. " Ini kunci kamar Kian. Marcell memberikannya padaku.
Marcell memintaku untuk mengurus Browny, tapi aku belum mampir ke sana. Pulanglah Rainy, biar Kian aku yang jaga."
Aku menerima kunci itu dengan separuh hati. Kutatap Kian sebelum aku pergi.
" Aku pulang sebentar, ya. Cepatlah bangun," bisikku di telinganya, berharap matanya yang terpejam tiba-tiba terbuka.
Cepat-cepat, aku berjalan menuju pintu, takut akan berubah pikiran. Kalau tidak ingat Browny, kucing yang sudah seperti binatang peliharaan kami berdua, mungkin aku akan ngotot tinggal di rumah sakit. Aku hanya tak mau Browny kelaparan selama Kian terbaring koma.
" Telepon aku kalau ada perkembangan," pesanku pada Ghea.
Kian
Suasana terdengar tenang. Senyap.
Tapi aku bisa merasakan tangan Rainy tak lepas menggenggamku. Aku mendengar isakannya pelan, seolah dia berusaha menyembunyikannya dariku.
Aku ingin berkata, " Rainy, jangan menangis." Tapi, lidahku seperti terkunci. Dan bukan lidahku saja. Seluruh tubuhku tak bisa kugerakkan.
Bab 18
Rainy
I ni pertama kali aku masuk ke kamar Kian. Aku tak
pernah punya sahabat cowok atau kakak cowok. Tapi aku selalu membayangkan kamar lelaki itu jorok dan berantakan. Nyatanya, kamar Kian benar-benar rapi. Hanya kasurnya yang sedikit berantakan. Selimut terlempar di lantai dan seprai yang kusut serta lepas di ujung-ujungnya. Kurasa kejadian malam itu membuatnya terbangun.
Aku tersadar ketika bulu-bulu lembut Browny mengelus kakiku. Dia mengeong pelan seperti rengekan.
" Kamu kesepian ya, Browny?" tanyaku sambil mengangkat tubuhnya ke pelukan. Kuelus tengkuknya perlahan-lahan sampai terdengar dengkuran halus tanda dia merasa nyaman.
Aku berjalan mengelilingi ruangan. Mengamati beberapa foto yang tergantung di dinding. Kebanyakan foto Kian waktu kecil. Seorang lelaki yang mirip Kian sedang menyiram bunga bersamanya. Alisnya yang datar tebal serupa dengan alis Kian. Di pipinya terbentuk lubang kecil waktu melihat Kian berlarian di antara bunga-bunga. Lalu ada juga foto Kian kecil yang dipeluk seorang wanita. Pasti itu ibunya.
Di atas meja ada bunga mawar putih di dalam vas berisi air yang mulai rontok daunnya. Bunga itu diikat dengan pita sewarna kelopaknya, seolah ingin dikirimkan pada seseorang. Sebentuk kertas tebal berwarna pink terikat di ujung pita itu. Tanganku tergerak membacanya.
To: Rainy
Hanya mau bilang, hujan itu justru menghapus kesedihan.
Aku tercekat. Mataku menghangat. Butiran air mata membasahi pipiku. Aku tak menyangka, Kian ingin memberikan bunga ini padaku. Entah mengapa tak jadi diberikannya.
Browny melepaskan diri dari pelukanku, lalu berlari menuju sebuah meja. Seakan ingin menunjukkan sesuatu padaku. Aku mengikutinya, ada sebuah kotak kayu di meja itu. Browny menggesekkan punggungnya ke kotak itu. " Apa itu, Browny?" tanyaku.
" Meong& "
Aku membuka kotak kayu berwarna cokelat tua itu. Berat, sepertinya terbuat dari kayu jati. Mama punya beberapa kotak seperti ini yang lebih besar untuk menyimpan perhiasannya. Kurasa kotak ini sama berharganya dengan kotak perhiasan Mama.
Ketika tutup kotak itu terbuka, air mataku kembali menderas. Puluhan fotoku dalam berbagai pose ada di dalam kotak itu. Foto saat aku duduk di kampus, meringkuk memandang hujan, saat aku sedang melayani pembeli di tempatku bekerja, lalu saat aku berayun di taman bunga Kian.&
Kapan dia memotretkuAku menjajarkan foto-foto itu satu per satu di meja. Hasil foto Kian sangat bagus. Aku tak menyangka wajahku terlihat cantik dalam foto-foto berwarna sephia dan hitam putih itu. Aku bisa merasakan perasaan Kian saat mengambil foto-foto itu.
Perasaanku campur aduk. Ini sungguh ironis. Di saat aku tahu Kian benar-benar mencintaiku, dia sedang tak sadarkan diri. Dan akulah penyebabnya!
Dadaku terasa sesak. Air mataku tak henti mengalir. Aku memeluk Browny erat, tak peduli aku bisa sesak napas karenanya. Aku menyesal mengabaikan hati kecilku karena terlalu takut jatuh cinta lagi.
Kuraih satu-satunya foto Kian di dalam kotak itu. Foto saat dia sibuk melayani pembeli di toko bunganya. Mungkin Marcell yang mengambil fotonya. Jemariku sibuk menelusuri wajahnya di dalam foto itu. Setetes air mata menggulir jatuh di atas foto itu. Kupeluk foto itu sambil terus menangis sore itu. Hujan rintik-rintik membasahi balkon kamar Kian.
Aku semakin percaya, hujan membawa kesedihan.
Rainys Days Karya Fita Chakra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika aku sampai di rumah sakit, Ghea sudah tak ada di sana. Dia harus pulang karena mamanya memintanya pulang. Namun, yang membuatku terkejut adalah aku menemukan seseorang di samping tempat tidur Kian. Dia
berdiri membelakangiku, menggenggam tangan Kian.
Waktu dia membalikkan tubuh, aku langsung tahu, lelaki paruh baya itu adalah lelaki yang sama yang ada dalam foto di kamar Kian. Garis wajahnya sama persis, dengan tulang pipi yang tegas dan alis tebal mendatar. Yang membedakannya hanyalah rambutnya yang kini berwarna putih.
Keriput di keningnya tampak semakin jelas ketika dia melihatku.
" Maaf, saya masuk tanpa izin," katanya. " Tidak ada orang waktu saya datang."
Aku mengangguk sopan. Di balik kacamatanya, aku melihat matanya menelusuriku. Mungkin dia sedang menilai gadis macam apa yang sedang dekat dengan anaknya ini. Dari sampingnya aku bisa melihat jelas lubang kecil di kedua pipinya saat dia bicara.
" Saya& " ragu-ragu dia mengulurkan tangan. " Saya, Ayah Kian."
" Rainy."
Lelaki itu mengalihkan pandangan pada Kian. " Sudah berapa lama dia begini?" tanyanya canggung.
" Dua hari," jawabku. Dan belum ada kemajuan yang berarti, batinku. Kian sama sekali tidak menunjukkan respon saat mendengar suara. Seluruh tubuhnya hanya diam. Aku sungguh merindukan senyumnya.
Tiba-tiba lelaki itu terisak pelan. Pundaknya bergerak naik turun berusaha menahan isakannya. Namun tak
berhasil. Justru isakannya semakin berkejaran dengan air matanya yang menderas.
" Maaf," katanya menyusut air matanya. " Saya memang bukan Ayah yang baik untuk Kian. Mungkin& saya tidak bisa disebut ayahnya."
" Bukan salah Anda kalau Kian sakit," aku berusaha menenangkan. " Dia hanya butuh waktu untuk sembuh."
Lelaki itu memandang Kian, seolah sudah ratusan tahun tak bertemu dengannya. Ada rindu yang terpancar dari bola matanya.
" Waktu Kian kecil, dia pernah bertanya apakah kami akan selalu bersama." Mata lelaki itu menerawang. " Saya menjawab, tentu saja."
Aku mendengarkan dengan sabar, merasakan penyesalan yang keluar dari pengakuannya. Aku hanya tahu sedikit tentang ayah Kian. Tentang bagaimana dia meninggalkan Kian saat kecil sehingga Kian merasa dialah penyebab kematian ibunya. Tapi melihatnya dengan mata berkaca sungguh membuatku ingin memeluknya.
Kian beruntung bisa merasakan masa kecil yang indah bersamanya. Dalam hal materi aku mungkin berkecukupkan. Tapi aku tidak pernah merasakan kehangatan keluarga. Papa dan Mama selalu menghitung waktu saat bersamaku, hanya karena mereka tak mau melewatkan pekerjaan. Masa kecilku pun terlewat tanpa pelukan mereka. Saat Mama selalu mengingatkanku untuk mengenakan pakaian yang pantas, aku tahu itu bukan karena perhatiannya padaku. Tapi karena obsesinya ingin menjadikanku model.
" Lalu dia bertanya, meski aku sudah besar dan tidak tinggal lagi bersama Ayah dan Ibu?" lanjut lelaki itu mengenangnya. " Saya menjawab, keluarga, tetap akan menjadi keluarga di mana pun dia berada. Ayah akan tahu jika kamu sedih karena hati kita bertaut."
Dia menghela napas, mengatur emosi yang membuncah. Tangan Kian yang kurus kecokelatan karena terpanggang mata hari terkulai tanpa daya di sisinya. Perlahan dia mengelusnya.
" Dia masih suka ke kebun, ya? Pantas kulitnya gosong begini," gumamnya sambil tersenyum.
" Kian suka ke kebun bunga itu. Dia merawatnya dengan baik," ujarku memilah kalimat supaya lelaki itu tidak terlalu larut dalam kesedihan. Namun aku tahu, perkataanku justru membuatnya semakin menyesal.
" Ya, kamu benar. Dia merawat peninggalan kami dengan baik. Tapi aku malah meninggalkannya," sesalnya.
" Kian tahu, Anda ayah yang baik. Buktinya Anda datang ke sini untuk menengoknya."
Ayah Kian hanya mengangguk lemah sambil mengelus rambut Kian.
" Maafkan, Ayah. Ayah tidak bisa memenuhi janji untuk bersama, Kian. Tapi kali ini, Ayah berjanji, kalau masih ada kesempatan, Ayah akan memperbaiki diri. Segeralah sembuh." Dia menggenggam tangan Kian, meremasnya erat seolah ingin mengalirkan kehangatan dalam genggamannya.
Beberapa saat kami terdiam, seolah menunggu respon
Kian, namun nihil. Dia lalu mengangguk padaku sekilas, berpamitan dalam diam.
" Ini kunci apartemen Kian, Om," ujarku sambil menyerahkan kunci apartemen Kian. Ayahnya hanya terdiam menatap kunci di tangannya. Ia memandangku dengan tatapan terima kasih.
" Ada seeokor kucing di sana. Namanya Browny dan Kian...,"
" Browny?"
" Iya, namanya Browny, seperti nama kucing Kian waktu kecil," jelasku.
" Kian memelihara kucing?" Ayahnya tampak terkejut, lalu mengangguk-anggukan kepala dan menepuk pundakku.
" Terima kasih Rainy."
Aku hanya tersenyum sambil mengantarnya sampai pintu. Ayah Kian seperti ingin menangis ketika kubilang Kian memelihara kucing.
Aku berjalan ke arah ranjang dan duduk di sisi Kian, menopangkan kepalaku di atas lipatan tangan di kasurnya.
" Kamu tahu, Kian. Ayahmu berkunjung barusan. Dia menyesal meninggalkanmu. Kukira, dia pantas mendapatkan kesempatan kedua," bisikku.
Kutautkan tanganku ke tangannya. Jemariku menelusuri lipatan tangan dan merasakan kulitnya yang kasar. Aku yakin itu karena dia suka menghabiskan waktu untuk mencabuti rumput, memberi pupuk, dan begaul
dengan tanah serta akar tanaman.
" Cepatlah bangun. Aku rindu senyummu," bisikku lagi.
Saat aku hampir tertidur, kurasakan jemarinya bergerak perlahan. Seperti berdenyut. Pelan. Tapi aku bisa merasakannya.
Kian
Sudah berapa lama aku tak mendengar suara AyahRasanya sudah berabad-abad lamanya! Lalu ketika tadi men dengarnya, aku baru sadar merindukannya. Ingin aku memeluk dan memanggilnya, tapi seluruh ragaku bersekutu melawan keinginanku.
Hidupku selalu sunyi sejak Ibu meninggal dan Ayah pergi meninggalkanku. Selama bertahun-tahun setelahnya, aku terus bertanya mengapa ini terjadi padaku. Salah seorang temanku, ibunya meninggal karena sakit, tapi dia masih memiliki ayah. Sedangkan akuLama kelamaan, aku pun mengerti, Ayah tak akan pernah bisa memaafkanku. Lalu aku mulai menyalahkan diri sendiri. Karena akulah Ibu meninggal. Kalau saja aku tak merengek malam itu. Kalau saja Ibu tak mau menuruti keinginanku. Kalau saja& Ibu tak sebegitu sayangnya padaku hingga mau melakukan apa saja untukku. Semakin dewasa, aku mulai bisa menerima kenyataan
bahwa aku hidup tanpa ayah dan ibu. Tapi aku masih beruntung punya Om yang mau menyekolahkanku. Aku berutang budi padanya. Suatu saat, entah kapan masa itu datang, aku akan membalas semua kebaikannya padaku.
Aku terkejut ketika hari itu, hari di mana aku seperti berada di ruang kaca tanpa teman dan sepi, terdengar suara yang kurindukan sekian lama. Aku mengenalinya sebagai suara Ayah. Lembut, intonasi yang pas dan setenang air yang mengalir di kebun kami.
Ya, aku masih ingat dengan jelas suaranya. Meski terakhir kali kami bertemu, dia tak banyak bicara.
Tubuhku seperti tertarik kembali ke ujung lorong menuju ke sebuah sinar. Tapi tanganku hanya bisa menggapainya tanpa hasil. Dia terlalu jauh. Sayup-sayup, kudengar isakannya, menyesali diri karena meninggalkanku.
Ingin rasanya aku berteriak untuk mengatakan, " Ayah, aku sudah memaafkanmu sejak lama." Namun suaraku menghilang entah ke mana. Aku putus asa. Saat dia pergi, aku mendengar suara perempuan. Pelan, menyerupai bisikan. Suara Rainy.
Aku merasakan rambutnya yang tipis mengenai kulitku. Dia membisikkan sesuatu.
" Cepatlah bangun. Aku rindu senyummu." Aku ingin menjawab, " Aku juga rindu senyummu." Tapi seluruh tubuhku tak bisa diajak bekerjasama. Aku berjuang keras merespon ucapannya. Sekuat tenaga selsel otakku menangkap pesan itu, lalu menerjemahkannya ke seluruh tubuh. Berhasil! Beberapa jemariku bergerak
Sayangnya, Ayah tidak mengetahuinya. Tapi tak apa, ada Rainy saat itu. Kuharap dia tahu, aku masih ingin hidup.
Saat itu juga, aku merasa ada cairan hangat menetes di tanganku. Air mata Rainy.
Kucing malang itu mengeong-ngeong saja dari tadi. Padahal sudah kuberi susu dan kumandikan. Aku menatapnya dingin dan menjaga jarak. Sebenarnya aku tak suka kucing. Kucing memang mengingatkanku pada Ibu, tapi kucing juga mengingatkanku pada Ayah yang tega meninggalkanku. Aku benci kucing, aku benci Ayah.
Kucing ini juga mengingatkanku pada Kian yang berumur sepu luh tahun. Saat Ayah mengatakan kalau dia akan meninggalkanku, dunia di sekitarku seakan runtuh. Aku seperti anak kucing yang kehilangan induknya. Tiba-tiba aku merasa sendiri dan sangat merindukan Ibu.
Aku melihat Ayah meninggalkan rumah di saat hujan turun. Ayah tak mau menunggu sampai hujan reda, dia sepertinya tak mau berlama-lama berada di dekatku. Aku hanya melihatnya memasuki taksi dari jendela. Dan tiba-tiba dadaku terasa sesak.
Aku tak mau Ayah pergi.... aku minta maaf.... Ayah, aku salah....
Maafkan aku...
Ayah... jangan pergi...
Ayaaahh....
Tak sadar aku tengah berlari mengejar taksi yang melaju kencang di depanku. Sambil berteriak aku memanggil ayah, tapi taksi itu terus melaju di tengah derasnya hujan.
Aku tak ingat sejauh mana mengejar taksi itu. Karena kelelahan aku terduduk di pinggir jalanan yang becek dan basah. Hujan masih turun dengan derasnya, lalu seekor kucing mendekatiku sambil mengeong. Itu Browny, kucing kesayanganku dan Ibu. Juga kucing yang membuat Ayah alergi.
Aku menatap benci ke arah kucing itu. Air mataku mengalir semakin deras, karena kucing itu mengingatkanku pada Ayah dan entah mengapa sejak itu aku benci kucing.
Aku berdiri dan berjalan pulang ke rumah. Sesampainya di rumah aku melihat Om Bayu sedang berjalan mondar-mandir di teras. Aku hanya berdiri menatapnya dan menangis.
Om Bayu melihatku dan berlari ke arahku. Ia memelukku sambil mengusap-usap kepalaku.
Saat itu, aku sadar kalau Ayah tak lagi mencintaiku. Padahal aku sangat mencintainya....
Kulihat kucing yang baru kuselamatkan tadi berjalan ke arahku. Dia mengoyang-goyangkan ekornya.
" Aku tak mau memeliharamu. Kau akan kuserahkan pada cewek jutek di sebelah kamarku." Aku menatapnya tajam, tapi kucing itu hanya mengeong seperti paham perkataanku.
" Jangan memohon. Aku benar-benar tak bisa memeliharamu."
Bab 19
Rainy
D okter mengatakan belum ada kemajuan pada Kian.
" Dia bisa bangun kapan saja, juga bisa saja terti dur dalam waktu yang lama," katanya saat Ayah Kian me na nya kannya.
Itu artinya, tak ada yang tahu kapan Kian akan sadar. Tapi, sejak saat itu, hari ketika aku merasakan jemarinya berdenyut perlahan, aku mulai memandang hari dengan pikiran positif. Aku yakin, Tuhan punya rencana di balik ini semua.
" Sampai kapan kamu menunggu?" tanya Ghea padaku. Mungkin, dia sudah capek melihatku setiap hari bolakbalik ke rumah sakit. Tak bosan-bosannya aku bicara pada Kian seperti sedang mendongengkan sebuah cerita pada anak kecil. Kadang, aku mendapatkan respon kecil. Tapi, seringkali tidak. Barangkali, Ghea melihatku seperti orang gila yang bicara pada tembok.
Aku mengangkat bahu.
" Dokter saja tak tahu jawabannya. Apalagi aku," kataku. " Aku berusaha sebaik mungkin."
Ghea mendengus. Salah satu kebiasaannya saat dia tak percaya kata-kataku.
" Kamu banyak berubah sekarang. Asal nggak lupa makan saja. Lihat tuh, tubuhmu masih saja kurus kering
kayak pohon hampir mati," protesnya keras. " Setidaknya aku sudah bisa tertawa." " Ya. Itu bagus." Ghea menepuk pundakku. Ghea tak tahu, aku mulai memaksa diri untuk makan. Itu karena aku ingat janjiku pada Kian yang belum terpenuhi dulu. Tragisnya, aku baru memenuhinya sekarang, di saat dia dalam keadaan sakit.
Kian
Dari dulu, waktu merupakan elemen tetap yang berjalan dengan jangka yang sama setiap hari. Tapi bagiku, waktu bisa berjalan lebih cepat maupun lebih lambat, seringkali.
Seperti kali ini, aku merasakan waktu berjalan sangat lambat. Entah sudah berapa lama aku berada di sini. Aku hanya bisa mendengar. Ya, mendengar saja. Aku menunggu-nunggu kapan waktuku kembali seperti dulu. Namun dalam situasi seperti ini, aku bisa memikirkan banyak hal.
Aku sering berpikir, mengapa saat-saat terindah di dunia ini seringkali berlalu begitu cepat. Apakah karena kita terlalu menginginkannya, sehingga seberapapun waktu yang ada takkan pernah membuat kita puas? Mungkin.
Aku selalu ingat saat-saat bersama Ibu. Dan saatsaat itu berakhir tanpa sempat kucegah. Demikian juga kebersamaanku dengan Ayah. Kurasa, Ayah menganggapnya sebaliknya. Jadi dialah yang memutuskan untuk menghentikan waktu bersamaku.
Rainy, adalah kebahagiaanku yang berikutnya. Dia bukan sosok periang seperti Fey. Juga bukan sosok yang hangat seperti Ghea, sahabatnya, yang setiap kali melihatnya, aku teringat bakpau bulat hangat yang mengenyangkan. Ghea selalu punya cara membuat orang-orang di sekelilingnya merasa akrab.
Tapi senyum Rainy sangat berharga bagiku. Senyum itu terlalu berharga karena jarang kujumpai. Maka, ketika aku melihatnya, aku akan memungutnya dan menyimpannya seperti kenangan berharga yang tak boleh hilang.
Malam itu aku tahu mengapa dia terluka. Saat itu juga, aku berjanji untuk melindunginya terus. Seperti janjiku sebelumnya.
Aku hanya ingin melihat senyumnya. Supaya aku bisa meletakkannya bersama foto-fotonya di dalam kotak kayuku. Sampai tiba waktunya aku mengatakan perasaanku yang sesungguhnya.
Tapi seperti yang kubilang, kebahagiaan terasa begitu cepat berlalu. Sekarang, aku bahkan tak tahu kapan aku bisa mengatakannya. Aku hanya bisa mendengar suarasuara di sekelilingku bergantian membujukku membuka mata. Bukannya aku tak mau. Namun aku tak bisa.
Mungkin benar kata orang, tak perlu bicara, tak perlu men dengar. Aku hanya perlu merasakan dengan hatiku. Dan aku pun tahu, Rainy merasakan hal yang sama dengan ku.
Bab 20
Rainy
" S iang ini matahari bersinar sangat terik Kian. Kau
tahu, kemarin aku ke kebun dan memetik beberapa bunga daisy oranye. Kau bilang ini bunga yang cocok untukku." Aku terbiasa menyapa Kian dengan menceritakan kegiatanku padanya. Bunga daisy itu kuletakkan dalam vas yang berada di samping tempat tidur Kian. Setiap dua hari sekali aku pasti mengganti bunga di kamar Kian, dengan begitu kuharap dia tak terlalu khawatir dengan toko dan kebun bunganya.
Ayah Kian, Om Bayu, dan aku bergantian menjaga Kian. Sudah 3 mingguan lebih dia terbaring di sini, tanpa perubahan yang berarti. Tapi aku percaya, suatu hari nanti dia akan kembali membuka matanya.
" Rainy..." Sebuah suara memanggilku dari arah pintu. " Mama?" tanyaku kaget. " Dari mana Mama tahu aku di siniMama tak menjawab.
" Oh, pasti Ghea yang bilang," aku menjawab sendiri perta nyaanku.
Wanita dengan rambut yang ditata sempurna itu mengerjapkan mata, lengkap dengan bulu mata lentiknya
yang melengkung bak bulan sabit. Baru kali ini Mama terlihat gugup menghadapi anaknya sendiri.
" Rainy, Mama harus bicara," ujarnya cepat, seolah takut kalimat yang terususun di otaknya berlarian pergi sebelum dia mengatakannya.
" Ada apa Ma?"
Mama mengerjapkan mata sekali lagi, seperti ingin meng usir keresahannya.
" Maafkan Mama," ucapnya dalam satu tarikan napas. " Sema laman hati Mama tak tenang. Mama harus bicara pada mu segera."
Aku menatap Mama tak mengerti. Seumur hidupnya, baru kali ini Mama minta maaf. Biasanya wanita yang telah melahirkanku itu terlalu angkuh untuk minta maaf. Apalagi Mama selalu menganggap dirinya benar sehingga tak henti-hentinya mengatur hidupku.
" Untuk apa?"
Tarikan napas panjang terdengar. Mama menarik ujung rambut ikalnya berkali-kali, suatu perbuatan yang dilakukannya tanpa sadar saat gugup.
" Mama& " dia berhenti bicara, mengatur napas. " Ben& "
Oh, aku langsung tahu, ini bukan tentang diriku. Tapi tentang Ben.
" Kenapa dengannya?" tanyaku tanpa minat. Aku memandang cowok yang terbaring di kasur tanpa daya. Mengawasinya dari tempatnya tidur, kalaukalau pelupuk mata nya berdenyut pertanda dia merespon
lingkungan. Dia ma sih bernapas meski dengan alat bantu. Jatuh satu ting kat de ngan kepala menghantam lantai membuatnya koma ber minggu-minggu.
" Ghea menceritakan semuanya pada Mama. Semuanya. Tentang bagaimana Ben memperlakukanmu, tentang perasa an mu pada Mama& ," tuturnya. " Ghea juga memberitahu alasan kamu meninggalkan Ben."
Aku membelalak. Ingin rasanya kupanggil Ghea dan me numpahinya dengan sumpah serapah. Kutelan ludahku. Pahit.
" Mama tahu?" bisikku.
Mama mengangguk. Matanya meredup. Kali ini, eyeshadow dan eyeliner-nya tak bisa membuat matanya terlihat bercahaya.
" Kenapa kamu nggak bilang? Bagaimanapun kamu anak Mama. Mama tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padamu."
Aku memalingkan muka.
" Mama tak akan percaya padaku."
Wajah Mama memerah seketika. Aku yakin bukan karena blush on yang disapukannya.
" Maafkan Mama." Mama meraih tanganku. " Maafkan Mama, Sayang& " Air mata mengalir di pipinya, meluncur turun membuat bedaknya ternoda.
Aku mendengar nada sungguh-sungguh dari suaranya.
" Aku sudah memaafkan Mama," kataku akhirnya. " Sebenarnya& sebelumnya Mama sudah tahu tentang
Ben. Mama melihat sendiri dia menampar gadis saat dia berada di mal. Ben tidak melihat Mama. Saat itu Mama menyesal memojokkanmu. Tapi Mama masih terlalu egois untuk meminta maaf."
Aku termenung mendengarnya. Seketika berbagai hal buruk yang pernah terjadi menguap dalam benakku berganti sosok Mama yang baru. Bagaimanapun dia wanita yang melahirkanku. Mana mungkin aku tak memaafkannya? Aku memaklumi perhatian dan sifat kerasnya sebagai bentuk kasih sayangnya padaku. Mama hanya tak paham keinginanku karena mata hatinya tertutup obsesi. " Ini& " Mama itu menyodorkan surat kabar padaku. Aku menerimanya. Headline yang terpampang di depan mata membuatku terbeliak kaget.
" Ben ditangkap polisi? Kenapa, Ma?" Mama kembali menarik ujung rambutnya. " Kasus penipuan. Dia sama saja dengan ayahnya. Kabur setelah calon partner bisnisnya mentransfer uang untuk kerjasa ma bisnis yang telah disepakati."
Aku menelusuri kata demi kata dalam lembaran surat kabar tersebut. Akhirnya aku mengerti yang dimaksud Mama. Ben akan mendapatkan hukuman atas perbuatannya sendiri.
" Mama lega. Papa belum jadi menandatangani perjanjian kerjasama tersebut karena sakit," ucapnya kemudian.
Aku tersenyum. Pundakku terasa lebih ringan sekarang. Tuhan memang selalu memberikan sesuatu pada saat yang tepat. Tinggal menunggu waktu untuk tahu hukuman apa
yang akan diterima Ben atas kasus pengeroyokan pada Kian.
" Sudahlah, Ma."
Mama menyusut air matanya. Aku bisa merasakan beta pa pedih hatinya. Aku ingat bagaimana Mama memperlaku kanku bagai boneka, menganggapku sebagai benda tak bernyawa hingga bisa diatur dandanan dan impiannya. Tapi, sekarang Mama tak lebih dari seseorang yang lemah di hadapanku.
" Kamu& terlihat lebih sehat," Mama mengamatiku. " Kata Mama, aku seharusnya kurus, supaya bisa jadi model. Tapi, kurasa, aku nggak sekurus dulu." Mama menggeleng pelan.
" Kamu bisa jadi apa saja yang kamu mau. Mama menyesal membuatmu begini," tegasnya. " Mama nggak ingin kamu sakit lagi."
Aku memandang Mama, menemukan kesungguhan di dalam matanya. Aku selalu tahu kapan Mama berkata sungguh-sungguh ataupun tidak. Dan kali ini, aku melihat bola matanya bersungguh-sungguh. Aku selalu bisa mengandalkan mata. Mata tak pernah bisa bohong. " Maafkan Mama," Mama memelukku. Seketika hatiku diselimuti kehangatan. " Tentu, Ma."
" Semoga dia lekas sembuh, Rainy," katanya sebelum pergi. " Kelihatannya, dia anak yang baik."
Aku mengangguk meski Mama sudah tak melihatnya.
Sepeninggalan Mama, aku duduk di samping tempat tidur.
" Kamu dengar?" bisikku. " Mama mendoakanmu." Kian diam saja, seperti sebelum-sebelumnya. Entah apa yang ada di pikirannya. Atau apakah pikirannya masih berjalan seperti orang normal. Tak ada yang tahu.
" Cepatlah bangun. Tak ada yang perlu kukhawatirkan. Mulai sekarang, aku akan banyak-banyak tersenyum," celotehku.
Aku melihat sebutir bening air mata mengalir dari sudut matanya. Terkejut, aku bangkit untuk memastikannya. Ya benar, itu air matanya!
" Kamu dengar, Kian?" Aku menggenggam tangannya semakin erat.
Tak ada respon. Aku hanya memandangnya dalam diam sambil memanjatkan doa.
Entah berapa lama lagi aku harus menunggu. Dan apakah penantianku akan berakhir menyenangkan. Ataukah berakhir saat dokter menyatakan Kian pergiAku hanya harus menunggu jawaban Tuhan, dengan bersabar, sambil tetap memenuhi janji untuk tersenyum. Setidaknya, ada yang harus disyukuri. Hujan tak lagi terlihat begitu menyedihkan.
Aku menekan hidungku ke kaca jendela, menatap hujan yang turun tiba-tiba. Hembusan napasku membuat kabut di kaca itu. Kutempelkan kedua tanganku di jendela kuat-kuat sampai kuku-kukuku memutih.
" Lihat, Kian. Kamu benar, hujan tak selalu membawa
kesedihan," bisikku. Di bawah sana, dua orang anak jalanan berlarian sambil tertawa. Tampaknya air hujan membuat mereka riang. Seolah melunturkan semua masalah mereka.
Dia yang kuajak bicara tetap diam. Entah sampai kapan.
Kian
Aku senang mendengar Mama Rainy datang. Paling tidak aku tahu, mereka berbaikan. Rainy harus tahu, mamanya tidak seburuk yang dibayangkan.
Aku juga mendengar Rainy berceloteh tentang hujan. Kurasa, sekarang dia sependapat denganku. Hujan bisa menyenangkan, bisa juga menyedihkan. Tergantung darimana kita melihatnya.
Rainy Sayang, lain kali aku ingin menunjukkan hujan terindah untukmu. Supaya kamu tahu, namamu Rainy bukan karena kamu gadis yang muram. Tapi karena hujan bersamamu pasti terasa menyejukkan hati.
I love you, Rainy!
Epilog
S eperti melihat lukisan yang sama setiap hari.
Lelaki yang terbaring dengan selang-selang menjuntai di seluruh tubuhnya, diselimuti selimut tipis. Napasnya turun naik lembut. Matanya tertutup rapat. Dan, mulutnya sama sekali tidak mengeluarkan suara.
Sedangkan sang gadis, kontras dengannya, duduk di sisinya sembari berceloteh tentang segala hal. Mulai dari membujuknya untuk bangun, memarahinya karena melewatkan banyak momen istimewa, dan tertawa sendiri saat teringat hal lucu yang pernah mereka lalui. Terkadang, gadis itu membacakan cerita dari buku Winnie the Pooh yang dimilikinya, seperti seorang ibu membacakan cerita untuk anaknya. Bedanya, tak ada nada antusias dan cerewet meningkahinya. Ini karena sang lelaki hanya diam seribu kata.
Sang gadis, menautkan jemarinya pada jemari lelaki itu. Sekarang, gilirannyalah menjaga lelaki itu, yang dulu pernah menjadi malaikat penjaga. Dia berjanji pada diri sendiri untuk tetap menunggu. Demi cinta yang dijanjikannya pada sang lelaki.
Entah sampai kapan.
Tamat
Wiro Sableng 104 Peri Angsa Putih Pendekar Kembar Karya Gan K L
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama