Ceritasilat Novel Online

Inseparable 1

Inseparable Karya Laili Muttamimah Bagian 1

Inseparable

Laili Muttamimah 901 14 0746

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

Cetakan Pertama, Januari 2014

Penulis

Laili Muttamimah Penyunting

Winda Veronica Perancang Sampul Athaya Zahra

Penataletak Isi

Fernandus Antonius Aldy Akbar

MUTTAMIMAH, Laili Inseparable

Jakarta; Ice Cube, 2014 vi + 285hlm.,13 x 19 cm; ISBN 978-979-91-0651-3 Dicetak oleh PT Gramedia, Jakarta. Isi di luar tanggung jawab percetakan.

thanks to...

First of all, Allah SWT, atas segala keajaiban dan kemudahan hingga novel pertama ini lahir.

Especially, Ayah dan Ibu, yang nggak pernah berhenti mendukung dan mendoakan. Aku sayang kalian :) My sista, Irwina Indriani, don t give up to catch your dreams and be the best animator! Ganbatte!

For my inspiration: Nurul, Aghnia, Difa, Anis, Irfan, Rama, Beben, Ozone, Flascita, Unicorn and Treasure. You re my golden stars!

Absulotely, Kepustakaan Popular Gramedia dan Ice Cube Publisher, thanks for the best chance. Buat Kak Winda Veronica, terima kasih untuk masukan-masukannya :) And for the last, para pembaca yang berbaik hati menyempatkan diri untuk beli novel ini. Let s imagine and enjoy this story!

xoxo

So Perfect

How could I miss those eyes, that melt my heart away. You got a smile that brightness, till the end of the day. MYMP

Suara riuh terdengar menggema sampai segala sudut

sekolah. Pinggir lapangan siang itu dipenuhi oleh para siswa yang berbondong-bondong ingin melihat dua klub yang sedang berlatih, cheerleader dan baseball. Siswa kelas satu sampai kelas tiga bersorak memberi semangat pada kedua klub. Yang paling menarik perhatian adalah klub cheerleader yang sedang membentuk formasi. Banyak mata tertuju pada satu orang yang berdiri di formasi paling atas. Dan ketika sosok tersebut dilempar ke udara, serempak penonton menahan napas.

Hap!

Aku berhasil ditangkap dan suara tepuk tangan membahana di seluruh lapangan. Gegap gempita ini selalu terjadi ketika klub cheerleader sedang berlatih. Seakanakan tiap gerakan yang kami buat menjadi sihir untuk setiap mata yang memandang. Kebanyakan dari mereka adalah siswa laki-laki yang menatap kami tanpa berkedip sambil menopang dagu. Sebaliknya, siswa perempuan lebih memilih menonton klub baseball yang mengambil posisi di tengah lapangan, tak jauh dari klub cheerleader. Mereka sibuk meneriaki tim baseball dengan heboh sambil senyum-senyum centil.

" Siap, Cal?" tanya Linda yang berada di bawahku, aku pun tersenyum lalu mengangguk.

Tak lama kemudian, kami saling menghitung dan dengan tangkas teman-temanku melemparku hingga aku terbang ke udara untuk kedua kalinya. Suara tepuk tangan terdengar bergemuruh ketika aku berada dalam tangkapan teman-temanku.

" Keren, Cal!" seru Kynthia ketika kami bergerak membentuk formasi selanjutnya.

Kami bersiap di posisi masing-masing, lalu salah seorang tim cheers membantuku naik untuk membentuk posisi elevator. Kini aku berdiri dengan bertumpu pada ketiga temanku, lalu membentuk formasi Scorpion. Katanya, gerakan ini adalah gerakan yang paling sulit pada teknik cheerleader. Kalian harus melakukan gerakan gymastic dengan posisi kaki menyerupai ekor kalajengking yang menekuk ke atas. Kemudian kaki yang ditekuk itu ditahan oleh sebelah tangan dan tangan yang lain menunjuk ke depan. Butuh keseimbangan yang mantap untuk membentuk formasi Scorpion dan aku merasa puas karena bisa melakukannya.

" Good job!" seru pelatih kami, Kak Amora, sambil tepuk tangan ketika latihan selesai. Kami berjalan menuju sisi lapangan dan duduk melingkari perempuan cantik itu untuk melakukan evaluasi.

" Gerakanmu makin bagus, Cal," puji Kynthia lagi. Aku menyunggingkan seulas senyum. Kynthia adalah kapten klub cheerleader sekolah kami. Ia tidak hanya menguasai seluruh gerakan, tapi juga mampu membimbing dan mengarahkan teman-temannya. Itulah alasan kenapa kami memilihnya sebagai kapten.

Klub cheerleader adalah salah satu klub yang bergengsi di sekolah kami. Prestasi-prestasi yang telah kami capai mampu membawa nama tim melangit. Bagiku berkumpul dan melakukan latihan bersama sangatlah menyenangkan. Rasanya segala bebanku hilang ketika terlempar, dan aku merasa terbang ketika tubuhku melompat tinggi di udara. Aku dipilih menjadi lyer oleh Kak Amora sejak awal mengikuti klub, dan hingga kini aku tak pernah berhenti untuk belajar menguasai peran seorang lyer.

Pada dasarnya memang anggota yang lebih kecil dan ringan yang ditunjuk menjadi lyer, karena lebih mudah untuk diangkat dan dilempar. Namun sebenarnya kemampuan untuk menjaga keseimbangan dan menanggung berat adalah kunci utama menjadi seorang lyer. Seorang lyer juga harus melawan rasa takutnya akan ketinggian, dan harus beradaptasi dengan keadaan ketika anggota lain akan mengangkatnya sampai bertingkattingkat, lalu melemparnya ke udara.

Aku ingin memberikan yang terbaik, karena tak lama lagi kami akan mengikuti festival olahraga antar sekolah. Bisa dibilang festival olahraga itu adalah event terakhirku, karena setelah itu aku akan dinonaktifkan dari klub. Kami memang hanya diizinkan aktif dalam klub hingga pergantian semester menuju kelas dua belas, dan itu tidak lama lagi. Sedangkan festival olahraga itu masih berlangsung sekitar tiga bulan lagi, tepatnya tanggal 19 Mei.

Telingaku masih bisa menangkap ucapan Kak Amora, namun pandanganku sibuk mencari-cari sosok di antara pemain baseball yang sudah mengakhiri latihannya. Sudut bibirku otomatis terangkat ketika melihat Gav berjalan ke sisi lapangan sambil menjinjing tongkat baseball-nya. Cowok itu menghampiri sebuah bangku besi dan duduk sambil mengipasi diri dengan topi yang tadi ia kenakan. Aku melambaikan tanganku ketika pandangan kami bertemu.

Setelah Kak Amora menyelesaikan evaluasi, aku menghampiri Gav sambil membawa dua botol minuman yang telah kusiapkan sejak pagi.

" Kayaknya haus banget," kataku sambil menyodorkan botol minuman pada Gav.

Gav tersenyum kecil. " Duduk sini," kata cowok itu, menepuk bangku besi yang kosong tepat di sebelahnya. Aku mendapati jantungku berdesir ketika melihat Gav meneguk minuman dariku dengan rambut yang penuh keringat, dan ketika ia mengelap bibirnya yang basah dengan punggung tangan. Cepat-cepat aku memalingkan wajah, aku tidak mau Gav melihat wajahku yang merona dan ia akan menggodaku habis-habisan.

Gav adalah pacarku, kami sudah melewati kebersamaan hampir satu tahun. Banyak hal yang kusuka darinya. Matanya yang berwarna sedikit kecokelatan, alis tebalnya yang melengkung sempurna, juga sebuah lesung pipit yang muncul di pipi kanannya tiap kali ia tersenyum. Namun yang pasti, aku menyukainya karena ia telah menarik hatiku.

Aku dan Gav berada di kelas yang sama ketika duduk di kelas sepuluh. Dari situ kami jadi dekat, saling suka, dan akhirnya memutuskan untuk pacaran. Sikap Gav yang ramah membuatku selalu nyaman berada di dekatnya. Ditambah lagi ketika tangannya mengusap kepalaku, itu adalah hal yang selalu kutunggu tiap kali bersamanya.

Setelah naik ke kelas sebelas, aku dan Gav berada di kelas yang berbeda. Gav memilih jurusan IPS sedangkan aku memilih jurusan IPA. Aku sempat kesulitan ketika berada di kelas yang berbeda dengannya, meski Gav meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kelas yang berbeda membuat jadwal pertemuan kami pun berubah. Gav seringkali sibuk dengan kerja kelompoknya, begitu pun aku. Padahal dulu kami selalu berada dalam satu kelompok dan mengerjakan tugas bersama-sama.

" Ke kantin, yuk? Aku lapar nih," ajak Gav sambil beranjak dari tempatnya. Ia mengulurkan tangan kanannya padaku dan kusambut cepat.

Berjalan di sisi lapangan sambil menggenggam tangannya adalah hal yang biasa kulakukan, namun entah kenapa genggamannya selalu membuat wajahku memanas. Mungkin karena kehangatan tangan Gav yang menjalar menuju tanganku kemudian mengalir ke seluruh tubuh. Dengan menggenggam tangannya seperti ini, aku benarbenar merasa memilikinya. Aku suka ketika tanganku terlihat mungil dalam genggamannya.

Gav tahu apa yang akan kumakan, jadi ia langsung memesan tanpa bertanya lagi. Kami duduk bersebelahan di sebuah bangku panjang yang tersedia di kantin sekolah. Gav tak pernah membiarkan cowok lain duduk di sebelahku, maka ia selalu menempatkanku di bagian pojok bersebelahan dengan dinding. Beberapa menit kemudian, Gav datang dengan sebuah nampan berisi seporsi nasi pecel Jawa dan nasi bakar pedas, juga dua botol air mineral. Setelah duduk, Gav langsung memakan nasi bakar pedasnya dengan lahap. Aku mengaduk nasi pecelku sambil menatapnya. Entah kenapa aku juga suka setiap kali melihat Gav makan. Caranya memegang sendok dan memasukkan makanannya ke mulut, terlihat begitu lahap dan nikmat. Di tambah lagi pipinya yang bergoyang, membesar lalu mengecil tiap kali ia mengunyah makanannya.

" Kamu mau makan atau ngeliatin aku?" Gav tertawa kecil ketika memergoki aku tengah memperhatikannya. Cepat-cepat aku memalingkan wajah dan meneguk air mineralku.

" Habis kamu lucu," jawabku, meliriknya dengan gugup.

Gav hanya tersenyum. Ia mengangkat telapak tangan dan mengacak-acak rambutku. " Gimana latihannya tadi? Lancar?"

Aku mengangguk kecil, " Aku makin siap untuk festival olahraga itu. Kalau kamu?"

Kudengar Gav mendecakkan lidah lalu tersenyum kecut, " Coach marah besar tadi karena ada beberapa anggota yang kurang fokus, itu bikin kami payah."

" Itu wajar, Gav, Kak Amora juga sering marah sama kami. Kamu harus semangat! Nanti klubku kan jadi pemandu sorak kalian."

" Iya, aku yakin klub baseball pasti bisa menang dalam festival itu, Cal. Kami bakal pertahanin gelar sebagai juara bertahan."

" Nah, begitu dong, Gav!"

Kami segera menghabiskan makanan karena hari semakin sore. Pancaran jingga keemasan mulai terbersit di langit. Sinar matahari yang makin meredup membuat suasana sekolah mulai terasa gelap. Jam tanganku menunjukkan pukul setengah enam sore.

Keadaan ini membuatku mengingat sesuatu. Momen indah pernah terjadi di waktu yang sama. Momen yang terjadi hampir setahun yang lalu, antara aku dan Gav. ***

Saat itu aku dan Gav masih duduk di kelas sepuluh. Aku baru saja menyelesaikan tugas biologi yang menumpuk dan harus dikumpulkan esoknya. Ketika aku tersadar, suasana kelasku sudah sepi, hanya ada aku dan seorang cowok yang masih sibuk membolak-balik buku pelajarannya. Cowok itu duduk di belakangku, dengan tatapan fokus pada buku yang dibacanya. Cowok itu Gavin. Gav.

" Kamu belum pulang?" tanyaku, melirik sedikit ke arahnya.Gav menengadah, senyum menghiasi wajahnya. Sinar matahari sore yang memancar dari jendela membuat senyuman itu makin sempurna, " Aku nungguin kamu."

Sedetik kemudian wajahku memerah. Aku langsung memalingkan wajah dan berusaha mengatur detak jantung yang tak beraturan. Aku memang dekat dengan Gav akhir-akhir ini. Kami sering bertukar pesan-pesan kecil atau mengobrol lewat telepon sebelum tidur. Hal itu terjadi dengan sendirinya sejak sebulan yang lalu. Aku lupa bagaimana, intinya Gav lah yang mendekatiku. Sejujurnya aku pun tertarik pada Gav, seperti kebanyakan siswa perempuan di sekolah kami. Gav memang bukan cowok paling keren di sekolah, yang selalu dielu-elukan atau punya banyak penggemar. Tapi karena wajahnya yang tampan dan sikapnya yang ramah membuat banyak perempuan menoleh padanya. Termasuk aku.

" Tugasnya sudah selesai?" tanya Gav sambil membereskan buku-buku di atas mejanya. " Ayo pulang."

Ini pertama kalinya kami pulang bersama. Aku terlalu malu untuk mendekat pada Gav, makanya aku tidak pernah mengajaknya pulang bersama. Gav pun begitu. Di antara kami masih saling merasa malu untuk memulai lebih dulu.

Namun kini aku mendapati diriku berjalan di sebelah Gav menyusuri koridor sekolah yang sepi. Kami samasama mengunci mulut, membiarkan irama sepatu kami yang mengisi kesunyian. Lalu di tengah lobi sekolah, Gav menghentikan langkahnya. Aku pun otomatis ikut menghentikan langkah sambil menatap heran ke arahnya. Gav memalingkan wajahnya pada barisan jendela yang berada tepat di sebelah kirinya. Kulitnya yang putih berubah menjadi oranye karena pancaran sinar matahari sore, rambutnya berdesir pelan dihembus oleh angin dari ventilasi. Gav masih menatap ke arah jendela dan perlahan tersenyum.

" Kamu tahu, Cal? Di sana ada seseorang yang aku suka," ujar cowok itu tanpa memalingkan wajahnya. Lalu aku mengikuti arah pandang Gav menatap jendela. Keningku dengan otomatis mengkerut karena aku tidak menemukan siapa pun di sana.

" Aku suka dia, cewek manis yang manja dan sering ngambek." Tatapan mata Gav berubah jadi sangat dalam, senyumnya pun makin melebar. " Tapi dia lucu, Cal. Dia selalu bikin aku tertawa dan senang tiap kali bersamanya. Cewek itu juga bikin aku nyaman."

Aku masih tidak mengerti arah pembicaraan Gav, dan mengedarkan pandanganku ke seluruh arah untuk mencari sosok yang sejak tadi Gav bicarakan. Lagi-lagi aku tidak menemukan siapa pun di luar sana.

" Arah pandangmu salah, Cal. Bukan ke sana, tapi ke sini." Gav menunjuk bayangan dirinya yang terpantul dari kaca jendela. Aku memandangi pantulan diri Gav lalu mengikuti arah tatapannya itu. Baru kusadari, tatapan Gav mengarah pada sosok cewek berwajah oriental dengan rambut panjang dan poni agak berantakan, yang kini berdiri di sampingnya. Itu aku. Aku kembali menatap bayangan Gav yang masih memandangiku sambil tersenyum. Debaran cepat jantungku pun mulai bereaksi.

" Kamu sudah lihat, Cal?" tanya Gav, masih dari pantulan kaca. Aku mengangguk pelan sambil menatapnya dengan gugup. " Aku suka kamu, Calya."

Kata-kata itu meluncur dengan cepat dari bibir Gav. Aku langsung memalingkan pandangan dari jendela dan mengangkat wajah untuk menatap sosok nyatanya yang berdiri di hadapanku. Gav pun begitu, tatapannya kembali mengarah pada mataku sambil tetap tersenyum.

" Kedekatan kita akhir-akhir ini, bikin perasaan aku makin jelas. Jujur, aku nyaman sama kamu. Aku ingin lebih dekat denganmu, bukan sebagai teman lagi."

Tangan kanan Gav yang hangat meraih tangan kiriku, aku bagai tersihir dan hanya mampu menatapnya tanpa berkata apa-apa. Selama kedekatan kami, Gav memang belum pernah menyatakan apa pun padaku kecuali perhatianperhatian kecilnya. Kini aku membiarkan tanganku berada di atas tangannya, ujung jemarinya sedikit menggenggam jemariku. Kulihat Gav mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Perlahan ia membuka genggaman tangannya dan menunjukkan sebuah cincin plastik berwarna putih dengan mata cincin berbentuk bunga di tengahnya.

" Cincin ini memang cincin biasa, harganya nggak mahal dan gampang didapat. Tapi... semoga ungkapan perasaankulah yang bikin cincin ini jadi istimewa." Dengan lembut Gav menyematkan benda kecil itu di jari manisku. Aku tersenyum ketika melihat cincin putih itu melingkar indah di sana. Gav mengangkat telapak tanganku sejajar dengan matahari sore yang hampir terbenam di luar jendela. Matahari itu membentuk lingkaran indah di atas cincin putih di jemariku, bagaikan mutiara berwarna keemasan. Senyumku merekah semakin lebar melihat kejadian kecil itu. Aku tidak bisa memungkiri perasaanku yang semakin mendalam pada Gav.

" Maukah kau jadi pacarku?"

Bibirku terlalu kaku untuk menjawab, apalagi mengerjai cowok itu untuk pura-pura menolak cintanya. Untuk kali ini, aku membiarkan diriku mengikuti kata hati. Aku pun menginginkan Gav, aku ingin selalu bersamanya.

Bukankah hal yang paling indah adalah ketika kita memiliki perasaan yang sama dengan seseorang yang kita suka? Aku mengangguk.

" Ya& Gav."

Dan sampai sekarang, cincin bermata bunga itu masih melingkar cantik di jari manisku.

Berada di boncengan motor Gav sambil memandang punggung tegap cowok itu selalu saja membuatku mengantuk. Hembusan angin yang menggelitik, juga kehangatan tubuh Gav membuatku merasa nyaman hingga akhirnya terlelap. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya sambil melingkarkan lenganku di pinggangnya.

" Cal, jangan tidur dong. Bahaya di jalanan," sahut Gav yang hanya bisa tertangkap samar-samar di telingaku. Gav sadar kalau aku tertidur tiap kali kepalaku terpentuk helm yang dipakainya.

" Cal...Calya... duh, kamu ini kebiasaan suka tidur di motor."

Aku merasakan Gav menarik dan mengaitkan tanganku di pinggangnya lebih erat. Meski aku tidak menanggapi ucapan Gav, tapi perlahan-lahan senyumku mengembang. Entah kenapa aku mendapati perasaan bahagia yang luar biasa bila memeluk Gav seperti ini.

Aku otomatis terbangun ketika Gav mematikan mesin motornya, itu artinya kami sudah sampai di depan rumahku.

Aku mengerjapkan mata dengan berat dan mendapati Gav tersenyum ke arahku.

" Sudah bangun, Tuan Putri?" ledek Gav sambil mencubit pipiku, aku hanya cemberut dan balas mencubit pinggangnya.

" Mungkin besok aku harus bawa tali untuk ikat kamu di pinggangku. Habis kamu tidur terus kalau naik motor," tambahnya.

" Habis punggung kamu rasanya kayak bantal," balasku menjulurkan lidah.

Gav tertawa kecil lalu membelai rambutku, aku hanya tersenyum sambil menatapnya dalam-dalam. Keramahan yang memancar dari mata kecokelatan itu membuat siapa saja yang melihatnya jadi terkesima, dan aku bersyukur bahwa selain Gav, akulah pemilik mata kecokelatan itu.

" Istirahat yang cukup, ya. Jangan lupa belajar," kata Gav. Aku mengangguk pelan menanggapi perhatian kecil darinya.

Meski hubungan kami sudah berjalan hampir satu tahun, perhatian yang diberikan Gav padaku tak pernah berubah. Caranya menatapku, tersenyum padaku, menggenggam tanganku pun tetap sama. Tak ada keraguan atau kilatan kebosanan yang terpancar darinya. Aku memang tidak ingin memikirkan kemungkinan terburuk, karena aku ingin selalu seperti ini bersamanya.

ef

LIttle BIt

" I m always on a run to see you, would you allow me to. It wasn t my intention to hurt you.

This feeling is true."

S aat banyak orang sibuk menghabiskan jam pelajaran

kosong dengan menonton ilm, bermain game atau bergosip, aku lebih memilih untuk diam. Sudah hampir setengah jam aku merasa bosan di kelas mendengar teman-temanku yang perempuan sibuk menggosipkan guru olahraga kami yang baru yang mereka sebut tampan. Aku sama sekali tidak tertarik dengan topik itu, rasanya aku ingin keluar kelas saja.

Kutengok ponselku yang sejak tadi sama bisunya sepertiku. Aku menghela napas sambil terus menatap layar dengan wallpaper fotoku bersama Gav itu. Aku ingin sekali menelepon Gav, memintanya membawaku keluar dari kelas dan pergi entah ke mana. Tapi aku takut mengganggunya. Sayangnya rasa bosanku lebih dulu menang dibanding rasa engganku. Aku pun meneleponnya. Nada sambung mengalun pelan sampai akhirnya berhenti dan digantikan oleh suara yang akrab di telingaku.

" Ada apa, Cal?" tanya Gav, suaranya terdengar seperti bisikan.

" Kamu lagi pelajaran apa? Aku bosan nih." " Ekonomi, memangnya kelasmu nggak ada guru?" Aku menggeleng meski sadar Gav tidak bisa melihatnya, namun sepertinya Gav mengerti karena ia memintaku untuk menunggu dan mematikan sambungan teleponnya.

Benar saja, beberapa menit kemudian Gav sampai di depan kelasku. Ia berdiri di ambang pintu sambil menebar senyum ke arahku. Aku beranjak dari tempatku dan berjalan menghampirinya.

" Kamu bilang apa ke gurumu?" tanyaku ketika berada di hadapannya.

" Sakit perut. Aku bilang mau ke kamar mandi, hehehe. Nggak usah dipikirin, sekarang kita mau ke mana?"

" Hmm...ke perpustakaan aja, yuk? Di sana kan sepi, dingin lagi," ajakku sambil menarik tangan Gav.

Gav mengangguk lalu menyelipkan jemarinya di antara jemariku dan berjalan menyusuri lorong kelas sambil setengah berlari. Lagi-lagi aku menyukainya, ketika wajah Gav terkena sinar matahari pagi, membuat matanya yang kecokelatan semakin bercahaya. Gav itu seperti sebuah paket indah yang diberikan Tuhan untukku, dan aku akan terus menjaga pemberian Tuhan itu. Perpustakaan memang selalu sepi. Aku tidak tahu kenapa banyak orang menghindari perpustakaan padahal ini adalah tempat ternyaman nomor dua setelah kantin. Mungkin karena kita tidak bisa ngobrol puas atau tertawa terbahak-bahak bila berada di perpustakaan. Ditambah lagi sang penjaga perpustakaan, Kak Ami, adalah orang yang tegas dan benar-benar tidak suka keramaian. Seperti ketika aku dan Gav masuk ke perpustakaan, Kak Ami dengan sigap berdiri dan menatap tajam ke arah kami dari balik kacamatanya.

" Mau baca atau bikin keributan?" tanyanya dengan nada tak ramah.

Aku dan Gav hanya tersenyum ke arahnya. " Jangan galak-galak dong, Kak. Kami ke sini bukan bikin keributan kok." Kali ini Gav yang beraksi. Matanya yang hangat memandang Kak Ami dalam-dalam, mencoba membuat perempuan berusia sekitar 22 tahun itu meleleh. Sayangnya Kak Ami tidak menunjukkan tanda-tanda meleleh dengan tatapan Gav, mungkin karena ia adalah orang yang kaku.

" Perpustakaan itu tempat buat membaca, bukan tempat ngumpet ketika bolos jam pelajaran atau tempat pacaran!" sahut Kak Ami, membuat aku dan Gav saling menatap.

" Setelah ini aku ada ulangan sejarah Kak, jadi aku mau cari buku untuk tambahan belajar. Sedangkan kelas Calya sedang jam pelajaran kosong," Gav beralasan, dengan nada bicara dan raut wajah yang super ramah.

Kak Ami langsung duduk di bangkunya, membetulkan letak kacamatanya lalu membuka sebuah buku besar berisi catatan pengunjung perpustakaan. " Mana kartu perpustakaanmu?" tanyanya ketus.

Untunglah Gav membawa kartu itu di dompetnya. Maka kami lolos dari omelan Kak Ami dan bebas menikmati kenyamanan di perpustakaan.

Sebenarnya perpustakaan sekolah kami cukup bagus, tidak kotor dan terkesan nerd seperti perpustakaan kebanyakan sekolah. Karpet berwarna marun menjadi alas setiap sudut perpustakaan. Bangku-bangkunya tersusun rapi, beberapa ada di tengah perpustakaan, beberapa lagi menghadap ke jendela tersembunyi di balik rak-rak besar. Buku-bukunya juga menarik. Tapi tetap saja ruangan ini selalu sepi pengunjung, kecuali ketika menjelang ujian sekolah.

Aku dan Gav langsung duduk di bangku yang berada di tengah perpustakaan. Di sini lebih nyaman karena dekat dengan AC. Sekejap saja udara dingin itu membuatku mengucek mata dan mulai mengantuk.

" Eits, jangan tidur. Kamu kan minta aku ke sini buat nemenin kamu, bukan lihat kamu tidur," sanggah Gav membuat mataku kembali membulat.

Aku tertawa kecil lalu meletakkan dagu di atas lipatan kedua tanganku. " Gimana kalau kamu nemenin aku tidur?"

Selebihnya waktu yang kami lewati di dalam perpustakaan hanya untuk saling memandang dan mengobrol tentang banyak hal. Gav yang penyuka Real Madrid seringkali membahas tentang pertandingan liga Spanyol itu, yang sebenarnya tidak aku mengerti. Terkadang aku pun banyak mengoceh tentang gosip hangat di sekolah atau tentang ilm komedi yang kutonton semalam.

" Rasanya waktu berjalan cepat banget ya, Cal," tutur Gav yang tiba-tiba mengalihkan pembicaraannya, " Maksud kamu?"

Gav menyunggingkan seulas senyum, " Nggak terasa tiga bulan lagi kita bakal rayain hari jadian yang pertama."

Aku ikut tersenyum, " Semoga satu tahun itu adalah awal yang baik untuk tahun-tahun ke depannya ya." " Tapi aku mau kita putus delapan tahun lagi." Sontak aku menatapnya tajam. Telingaku mendengar sangat jelas ketika cowok itu menyebutkan kata " putus" . Astaga, apa ia sudah merencanakan untuk putus denganku" Kenapa?"

Suaraku benar-benar terdengar kesal. Aku tidak bisa menyembunyikan amarahku meski tidak bisa menebak raut wajah Gav.

" Karena delapan tahun lagi kita bakal nikah, bukan pacaran lagi," ujar Gav sambil tertawa dan menjulurkan lidahnya. Aku mendapati wajahku terasa panas dan memerah. Terkadang aku benci cowok usil ini, membuatku tidak tahan ingin memeluknya erat-erat.

" Tapi aku harus sukses dulu, baru setelah itu kita merancang masa depan sama-sama. Dan waktu untuk sukses itu nggak sebentar," tambahnya sambil memainkan jemariku.

" Aku tahu," jawabku, " Aku bakal nunggu kok. Aku juga punya mimpi dan ingin sukses. Kita jalani aja dulu yang sekarang, asal kamu nggak pernah berubah."

" Sekarang atau nanti perasaanku akan tetap sama. Aku nggak akan biarin waktu mengubahnya."

Aku merasakan atmosfer di sekitarku berubah menjadi begitu hangat, atau bahkan gaya gravitasi tak lagi berfungsi karena aku merasa melayang. Cowok di depanku mungkin hanya cowok biasa. Ya, biasa membuatku jatuh cinta padanya. Gav mempererat genggamannya. Sentuhan lembut jemarinya juga tatapan hangatnya seakan-akan menarikku ke dalam dirinya.

Suara bel pergantian pelajaran membuyarkan keheningan di sekitar kami.

" Balik ke kelas, yuk? Habis ini aku ada ulangan sejarah," ajak Gav, beranjak dari bangkunya.

Aku tidak ingin berada di perpustakaan sendirian meski setelah ini kelasku masih jam pelajaran kosong. Akhirnya aku beranjak dan berjalan mengikuti Gav. Namun ketika kami baru berjalan beberapa langkah, aku mendengar suara bersin yang cukup kencang. Otomatis langkahku dan Gav terhenti. Suara cowok? Apa sejak tadi ada orang lain di perpustakaan ini selain aku, Gav, dan Kak Ami" Biar aku yang lihat," kataku ketika Gav memandang penuh tanya.

Aku berjalan menyusuri rak-rak besar sambil mencari seseorang dari balik celah buku-buku tebal itu. Tanpa sadar aku berjalan semakin jauh menuju bagian pojok perpustakaan. Sedikit demi sedikit aku bisa melihat seseorang di balik rak buku-buku yang mulai usang. Aku mengerjapkan mata ketika mendapati sosok yang kucari. Seorang cowok sedang tertidur di atas dua bangku yang didempetkan. Cahaya matahari menerobos jendela tepat ke arah wajah cowok itu. Tidurnya tampak begitu pulas, membuatku tidak tega membangunkannya. Cowok itu Tristan, teman sekelasku. Aku tidak terlalu dekat dengannya dan hampir tidak pernah memperhatikannya. Apa sejak tadi Tristan ada di sini? Ternyata cowok itu memilih menghabiskan jam pelajaran kosong dengan tidur di perpustakaan.

Sebuah buku dengan cover berwarna krem bergambar gambar seorang pemuda memeluk seorang wanita tergeletak di bawah bangkunya. Dengan ragu aku mendekati Tristan untuk melihat buku itu, judulnya Tristan and Isolde, sepertinya buku dongeng. Aku bisa menerka bahwa Tristan membaca buku itu sebelum ia tertidur, dan buku itu mungkin terjatuh gara-gara ia bersin. Apa Tristan membaca buku yang nama tokoh utamanya sama dengannya? Entah mengapa aku merasa itu adalah hal yang lucu sekaligus aneh.

Aku membalikkan tubuhku dan mendapati Gav berdiri di ujung rak buku. Ternyata ia menyusulku. Sambil mengerutkan kening aku berjalan mendekati Gav dan keluar dari perpustakaan.

Bel pergantian jam pelajaran berbunyi, sekarang waktunya pelajaran kesenian. Dengan tertib teman-temanku menuju ruang kesenian dengan suling di tangan masing-maisng. Aku sendiri masih bersantai-santai di bangku sambil bermain ponsel. Jujur, aku tidak terlalu tertarik dengan pelajaran kesenian. Pasalnya aku tidak jago memainkan alat musik apa pun dan tidak berniat pula mempelajarinya. Aku lebih suka menari diiringi irama musik beat sambil membentuk gerakan-gerakan gymnastic.

" Kamu nggak ke ruang kesenian, Cal?" tanya Linda ketika berjalan melewati bangkuku.

" Nanti aku nyusul," jawabku.

Sesaat Linda pergi meninggalkan kelas, Tristan masuk dengan wajah ngantuk dan rambut yang berantakan. Cowok itu menggaruk-garuk kepalanya dengan cuek sambil berjalan ke bangkunya. Kupikir Tristan akan tidur di perpustakaan sampai jam sekolah berakhir.

Aku melihatnya dari sudut mataku, Tristan mengambil suling dari kolong mejanya, hendak ke ruang kesenian seperti teman-teman yang lain.

" Nggak ke ruang kesenian?"

Suaranya yang rendah membuatku cepat-cepat memalingkan pandangan pada ponsel di tanganku. Namun Tristan tampak menunggu jawaban karena cowok itu tak kunjung angkat kaki dari tempatnya berdiri.

" Nanti nyusul," jawabku dengan cuek, masih asyik meng otak-atik ponsel.

" Berani sendirian di kelas? Ya sudah, duluan ya." Tristan berjalan keluar kelas dengan santai, meninggalkanku yang kini berhenti memainkan ponsel. Aku menoleh ke sekeliling kelas yang sepi, membuatku ngeri sendiri. Kuhela napas dengan pelan lalu memasukkan ponselku ke saku. Dengan malas kuraih suling dari laci mejaku dan berjalan meninggalkan kelas.

Aku bertemu kembali dengan Tristan di lorong kelas menuju ruang kesenian. Aku membiarkannya berjalan di depanku dan tidak menyapanya. Aku memang tidak terlalu dekat dengan Tristan, juga teman-teman cowok yang lain. Sejak bersama Gav, aku hampir tidak pernah mengobrol atau bermain bersama mereka. Mereka pun tidak pernah mendekatiku. Jadi aku sendiri tidak tahu harus membahas apa kalau bersama mereka. Terkadang aku hanya menanyakan hal-hal yang penting atau berdiskusi bila ada tugas kelompok. Selebihnya, seperti orang yang tidak kenal.

Ketika sampai di ruang kesenian, Tristan langsung duduk di tengah ruangan, siap memainkan sulingnya bersama teman-teman yang lain. Aku heran kenapa banyak orang menyukai pelajaran kesenian, seperti memainkan musik karawitan. Dibanding teman-temanku, aku lebih suka duduk menonton mereka bermain alat musik. Aku lebih bersemangat mengikuti pelajaran olahraga dibanding kesenian. Alasannya jelas, karena aku tidak bisa memainkan satu pun alat musik, apalagi alat musik tradisional. Yang kupaham cuma bermain gong, namun alat musik itu biasa dimainkan oleh siswa laki-laki.

Terkadang aku iri melihat teman-temanku bisa memainkan alat musik tradisional dengan lincah. Seperti Tristan yang kini asyik memainkan sulingnya mengikuti arahan guru kesenian, atau Linda yang tengah membiarkan tangannya memainkan gamelan. Teman-temanku yang lain pun sudah memiliki bagiannya masing-masing. Ada yang bermain suling, menjadi sinden, juga bermain beberapa alat pukul yang aku sendiri juga tidak tahu apa namanya. Meski merasa iri, namun hatiku tidak tergerak untuk mempelajari alat-alat itu. Maka aku hanya bersandar pada dinding, mendengarkan alunan karawitan sambil memainkan ponselku.

" Calya, kamu selalu saja seperti itu! Cepat kemari, gabung sama teman-temanmu!" seru Pak Ade, guru kesenian kami, yang membuat teman-teman memandangku.

Aku hanya menyeringai lalu berjalan ke tengah ruangan dan duduk di sebelah Linda. Kudekatkan sulingku ke mulut seperti teman-teman yang lain, meski aku tidak bisa memainkannya.

" Coba kamu mainkan irama keempat pada sulingmu, Calya!" suruh Pak Ade dengan buku nilai di tangannya.

Keringat mulai mengucur di punggungku, aku benarbenar gugup. Aku menyesali diriku yang tidak pernah memperhatikan pelajaran kesenian..

" Petunjuknya ada di papan tulis, Cal. Untuk irama keempat kamu harus tutup semua lubang suling," bisik Linda. Dengan sabar dia mengajariku. Ternyata bermain suling cukup sulit. Betapa malunya aku ketika suara seperti pintu terjepit keluar dari sulingku, membuat seisi kelas tertawa.

" Ck, kamu ini harus belajar lagi, Calya!" sahut Pak Ade. Beliau menuliskan sesuatu di buku nilainya dan itu sepertinya bukan hal baik untukku. Kemudian Pak Ade kembali menyahut, " Tristan, coba kamu mainkan lagu Sapu Nyere Pegat Simpai dengan sulingmu."

Tristan langsung bersiap dengan sulingnya. Kini semua mata tertuju padanya, termasuk aku. Mungkin ini pertama kalinya aku memperhatikan cowok itu.

Dengan cekatan Tristan memainkan sulingnya. Irama lembut keluar dari benda silinder panjang itu, membuat siapa pun yang mendengarnya terbuai. Aku merasa seperti sedang duduk di saung dengan hamparan sawah yang hijau di sekelilingku. Lagu itu mengalun dengan nada yang pas, juga teknik permainan yang bagus. Seisi kelas bertepuk tangan, termasuk aku, setelah Tristan menyelesaikan permainannya.

" Kamu memang jago, Tris!" seru Linda dan beberapa teman yang lain. Tristan hanya tersenyum kecil dan berbincang sedikit dengan guru kesenian kami.

Ketika sedang memperhatikan seseorang, pasti di dalam pikiranmu terlintas cerita atau kenangan tentang orang itu. Tentang Tristan, rasanya aku tidak memiliki kenangan apa pun dengannya. Aku mengenalnya ketika ia menjadi teman sekelasku saat ini. Kebetulan aku tidak pernah satu kelompok dengannya, atau melakukan sesuatu bersamanya. Tristan juga sering absen, aku tidak tahu apa alasannya. Terkadang, malah aku tidak sadar Tristan ada atau tidak di kelas. Setahuku ia tidak pernah ikut bagian dalam kepanitiaan, tidak masuk dalam struktur organisasi kelas, dan sepertinya tidak mengikuti klub apa pun. Kulihat Tristan juga tidak punya banyak teman, mungkin hanya beberapa yang duduk di dekatnya.

Hanya cowok biasa.

Tapi ketika melihatnya bermain suling dan mengingat buku dongeng tadi, perlahan Tristan tampak menarik di mataku.

Pelajaran kesenian diakhiri dengan tugas kelompok membuat makalah tentang jenis-jenis musik di Indonesia, yang harus dikumpulkan minggu depan. Aku tidak terlalu memperhatikan siapa teman-teman kelompokku, hanya Alana yang kuingat. Setelah itu kami keluar dari ruang kesenian dan menghambur cepat menuju kantin.

ef

The Closer I Get To You

" The closer I get to you.

The more you ll make me see, by giving me all you got. Your love has captured me."

" P apamu suka yang warna perak atau emas?"

Sudah setengah jam aku dan Gav berada di dalam outlet jam terkenal di mal. Besok Papa Gav berulangtahun, dan Gav ingin membeli jam tangan sebagai hadiah.

" Sepertinya yang warna emas bagus," kata Gav sambil menunjuk jam tangan di dalam etalase. Sebuah jam tangan dengan rantai emas berukuran lumayan besar. Angka jam itu ditulis dengan huruf romawi berwarna keemasan dihiasi warna hitam di permukaannya.

Aku mengerutkan keningku lalu menggeleng dengan cepat, " Modelnya terlalu tua, papamu belum setua itu, Gav. Lihat! Gimana kalau yang itu?" seruku menunjuk salah satu jam yang letaknya tak jauh dari jam pilihan Gav.

Gav tampak menimbang-nimbang lalu bergeser menghampiri jam yang ukurannya lebih kecil dan berwarna perak. Hanya ada empat angka di dalam jam itu, yang membentuk sudut 90 derajat dan 180 derajat. Ditambah lagi jam itu diletakkan tepat di bawah lampu etalase, membuatnya tampak semakin menawan.

" Iya ya, itu emang lebih bagus dan kesannya elegan," ujar Gav setelah lama berpikir. " Aku ambil yang ini saja, Papa pasti senang dengan hadiah pilihan kamu."

" Aku memang nggak pernah salah pilih," ujarku sambil tersenyum bangga.

" Oh ya? Misalnya?"

" Aku nggak salah pilih kamu jadi pacarku," jawabku sambil menjulurkan lidah, kulihat wajah Gav memerah.

Gav menggenggam tanganku, lalu kami berjalan menuju kasir untuk membayar. Kami lalu keluar dari outlet itu sambil membicarakan pesta kejutan yang akan dibuat Gav untuk papanya. Karena Gav adalah anak satu-satunya maka ia ingin membuat sebuah pesta kecil yang mengesankan. Gav pun memintaku turut serta mempersiapkan pesta itu. Aku tidak menolak, jelas saja. Aku selalu merasa senang berada di dekat Gav. Semua hal yang kulakukan bersamanya selalu berakhir menyenangkan. Menghabiskan malam bersama Gav dan keluarganya juga bukan hal baru bagiku.

Aroma masakan Mama menggelitik hidung ketika aku membuka pintu. Kudengar suara spatula beradu dengan kuali dari arah dapur, sepertinya Mama sedang menyiapkan makan malam.

" Aku hafal aroma ini," gumam Gav yang berdiri di sampingku. Ia memang sering mampir ke rumahku sepulang sekolah bila tidak sibuk dengan latihan atau tugas-tugasnya. Biasanya kami mengobrol di ruang tengah atau bermain game.

Gav langsung menuju dapur, menghampiri Mama yang masih sibuk dengan masakannya. Gav merangkul bahu Mama dengan sebelah tangannya, bermaksud mengagetkan. Mama pun tertawa ketika menyadari Gav di sebelahnya. Perasaanku begitu bahagia melihat kejadian kecil itu. Gav memang dekat dengan Mama. Ia sering curhat pada Mama bila sedang punya masalah. Seperti ketika ia dimarahi papanya karena nilai sekolah yang jatuh.

" Asyik, Mama masak capcay! Tahu aja kalau Gav mau ke sini," sahut Gav ketika Mama menuangkan masakannya ke piring. Gav memang sangat suka capcay buatan Mama, dan Mama sangat senang tiap kali Gav memuji masakannya. Mungkin karena aku tidak pernah memuji capcay buatan Mama, sejujurnya aku tidak terlalu suka sayuran.

" Makan malam di sini aja, Gav. Kebetulan Mama masak banyak," ujar Mama sambil menata makanan di meja makan.

" Nanti saja makannya, sekarang masih sore," sahutku berjalan menghampiri mereka. " Nah, sekarang kita mau ngapain, Gav?"

Gav tampak berpikir lalu berjalan menuju ruang tengah, " Apa Kak Sandi punya game baru?" tanyanya sambil melongok pada rak berisi tumpukan DVD Playstation.

" Dia sudah lama nggak beli kaset game," gumamku lalu menghampiri Gav. Kak Sandi adalah kakakku yang saat ini kuliah di luar kota. Ia biasa pulang sebulan sekali karena letak universitasnya yang cukup jauh. Dan aku tidak menyukai saat-saat itu karena ia sangat menyebalkan. Ia sering menggangguku atau menyembunyikan barangbarangku. Tapi Gav begitu akrab dengannya. Mereka pernah main game bersama beberapa kali atau bahkan bersengkongkol untuk membuatku kesal. Aku tidak suka bila Kak Sandi menularkan virus usilnya pada Gav, membuat image Gav berubah jadi mirip dia.

" Hmm, kalau gitu kita main game yang ini aja!" seru Gav mengangkat sebuah DVD Playstation dengan semangat.

" Ah, aku nggak bisa main game bola!" balasku. " Ganti aja, kita main Harvest Moon."

" Itu udah kuno, lagian nggak bisa multiplayer. KenapaKamu takut kalah dari aku?"

Seketika virus menyebalkan Kak Sandi muncul pada diri Gav. Aku paling tidak suka ditantang, apalagi oleh pacarku sendiri. Padahal aku sudah beberapa kali dikalahkannya. Dasar curang! Ia memanfaatkan kelemahanku.

Akhirnya aku menerima tantangannya dan memu lai permainan. Aku duduk di sebelahnya sambil menggenggam stick Playstation dengan pandangan fokus pada layar. Gav masih tampak santai memilih klub bola kesukaannya, sedangkan aku menunggu giliran untuk melakukan hal yang sama.

" Kalau kamu kalah, kamu harus dihukum," timpal Gav sambil tertawa kecil. Untuk pertama kalinya aku tidak menyukai tawa Gav yang seakan meremehkanku itu.

" Lihat aja, aku pasti menang! Kalau kamu kalah, kamu harus kerjain semua PR-ku malam ini!" seruku sambil memilih klub bola yang akan kumainkan.

" Tenang aja, kalau cuma kerjain PR sih kecil. Kalau kamu kalah, kamu harus makan capcay Mama sampai habis! Deal!"

" A-Apa? Aku nggak mau!"

Gav mendecakkan lidahnya lalu menoleh padaku, " Perjanjian nggak bisa ditarik lagi. Ayo mulai permainannya!"
Inseparable Karya Laili Muttamimah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Satu jam kemudian kami sibuk menjalankan permainan dan saling balas meledek. Gav yang memegang Real Madrid sudah mencetak empat poin sedangkan aku yang memegang Barcelona belum mencetak gol satu pun. Aku tidak mengerti cara bermain bola, dan aku memukuli Gav tiap kali pemainnya merebut bola dari pemainku. Permainan kami berakhir di meja makan. Aku duduk dengan kaku sambil menatap sebuah piring berisi nasi dengan banyak capcay di atasnya. Benar-benar banyak! Aku hanya mencibir pada cowok di sampingku yang menikmati makan malamnya dengan lahap.

" Ayo habiskan, Cal!" seru Gav sambil tertawa.

ef

WIth You

" Not to worry on a rainy day, there s a promise it will go away.

What a joy, what a sunny day, having you takes the sadness away." MYMP

" C alya, boleh pinjam buku tugas dan catatan isika?"

Suara itu membuatku mengalihkan wajah dari ponsel dan menengadah. Aku mendapati Tristan berdiri di depan bangkuku dengan wajahnya yang datar. Tumben sekali ia meminjam catatan padaku.

" Aku mau pinjam punya Alana, tapi dia nggak masuk. Lusa ada ulangan isika, kan? Minggu lalu aku absen, jadi belum dapat materinya," ujar Tristan seakan bisa membaca pikiranku. Dengan malas aku membuka tas, mengeluarkan catatan dan buku tugas isika, lalu menyodorkannya pada Tristan.

" Tapi buku tugas itu harus dikumpulin besok," kataku agak sinis.

" Aku salin jam istirahat kedua, pasti selesai kok." Aku mendecakkan lidah, " Salin sekarang aja, Tris." Tiba-tiba suara berisik di kelasku berubah hening seketika. Aku melongokkan kepalaku ke arah pintu kelas lalu mendengus pelan. Guru kami berjalan memasuki kelas dengan wajah sumringah, tampak siap memulai pelajaran. Pandanganku beralih pada Tristan, cowok itu masih menatapku dengan datar.

" Miss Dwi udah keburu masuk. Aku bisa diomeli kalau ketahuan lagi nyalin catatan pelajaran lain," desak Tristan.

Itu catatanku, kenapa jadi dia yang maksa? Aku hanya diam lalu mengalihkan pandanganku darinya.

" Aku salin nanti, pasti selesai hari ini," ujarnya sambil berlalu dari bangkuku. Coba lihat, bahkan ia pergi seenaknya tanpa persetujuanku. Aku mendengus sekali lagi, mematikan ponselku dan meraih buku Bahasa Inggris dari dalam tas.

Terdengar suara riuh para siswa bermain bola di lapangan yang tertangkap oleh telingaku, kebetulan kelasku tepat menghadap ke lapangan. Aku menoleh keluar jendela lalu menyunggingkan seulas senyum tipis. Aku bisa melihat Gav yang tampak bersinar dengan baju olahraga penuh keringat. Ia sedang berlari menggiring bola kemudian mengoper bola itu pada salah satu temannya. Tak lama kemudian temannya mencetak gol dan menepukkan telapak tangannya pada tangan Gav. Gav benar-benar terlihat gembira. Tapi aku masih kesal padanya karena kemarin ia membuatku makan banyak capcay, yang akhirnya malah membuatku mual.

Tepat pukul 3 sore, bel pulang berbunyi. Aku membereskan barang-barangku dan bergegas menemui Gav. Pasti ia sudah menungguku. Senyumku langsung mengembang ketika melihat Gav berdiri di sisi lapangan sambil meng gendong tas dan berbincang seru dengan temantemannya. Setelah ini aku akan mampir ke rumah Gav untuk menyusun pesta kejutan untuk papanya. Hari ini adalah hari ulang tahun Papa Gav, dan kado untuk beliau sudah kami bungkus kemarin di rumahku. Rencananya setelah ini aku akan membuat kue bersama mamanya.

" Gav!" panggilku sambil melambaikan tangan. Cowok itu langsung menangkap panggilanku, berbicara sebentar dengan temannya lalu berlari menghampiriku.

" Ayo pulang, mamamu pasti nungguin aku," ajakku sambil menggandeng tangan Gav. Cowok itu mengangguk lalu berjalan menuju tempat parkir. Gav mengenakan helm hitamnya dan memintaku naik. Kemudian motor Gav melaju keluar gerbang sekolah setelah aku berada di boncengannya.

Mama Gav menyambut kami dengan senyum cerahnya. Seperti biasa wanita itu selalu terlihat cantik dengan rambut ikal memanjang dan wajah ramah seperti Gav.

Mama Gav masih tampak muda meski usianya menjelang 40 tahun.

" Ayo masuk! Mama sudah nunggu dari tadi," ujarnya ketika aku baru turun dari boncengan motor.

Beliau membuka tangannya lebar-lebar dan memberi pelukan singkat untukku. Aku pun membalas pelukan itu.

" Ayo ke dapur, Cal, Mama sudah siapin bahanbahannya," ajak Mama Gav, aku mengangguk lalu mengikutinya dari belakang.

Namun sebelum aku sampai ke dapur, Gav menahan lenganku, " Jangan buat Mama kecewa ya, tunjukkin bakat memasakmu," pesan Gav sambil tertawa. Aku mengangguk lalu memukul lengannya dengan pelan.

Gav menaiki tangga ke lantai dua menuju kamarnya. Ia ingin mandi untuk menghilangkan rasa gerahnya. Sedangkan aku berjalan menghampiri Mama Gav di dapur. Aku meraih celemek yang disediakan dan memakainya. Kini aku merasa jadi seorang istri yang akan menyiapkan makan malam untuk suaminya. Seperti Mama Gav atau Mamaku. Sambil membuat kue, aku dan Mama Gav saling berbincang mengenai banyak hal. Tentang keluargaku, hari-hari di sekolah, tentang Gav, sampai gosip di televisi.

" Sudah matang belum kuenya?" tanya Gav yang tibatiba muncul di dapur. Ia tampak segar setelah mandi, dan semakin tampan.

" Sebentar lagi, tinggal dihias," jawabku, sibuk mengoleskan adonan krim di atas kue.

Gav memandangku dari atas ke bawah, dan membuatku menatapnya dengan pandangan ada apa" Gak& celemeknya bikin kamu tambah cantik atau emang kamunya sendiri emang udah cantik ya?" Aku tahu Gav sedang menggodaku.

Aku menghela napas perlahan untuk mengurangi rasa grogiku. Gav mencolek krim kue dan mengoleskannya dengan lembut di pipiku. Aku balas melakukan hal yang sama pada Gav, namun cowok itu malah menyeringai dengan santai. Cepat-cepat kami berhenti saling mengoles krim ketika Mama Gav kembali ke dapur. Kami berdiri membelakangi Mama Gav sambil cekikikan, menertawai krim yang membuat wajah kami seperti badut.

" Kita buat gambar Papa, Mama, aku, dan kamu ya," ujar Gav, aku mengangguk cepat dan mulai menghias krim di atas kue ulang tahun itu.

Pesta kejutan itu sukses membuat Papa Gav terharu. Kami menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun, meniup lilin, dan memakan kue yang kami hias tadi. Setelah itu acara dilanjutkan dengan makan malam. Kami berempat mengobrol dan bercanda. Papa Gav juga suka banget dengan jam tangan itu. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 9.

Aku pamit pulang dan Gav mengantarku ke rumah. Remang-remang lampu jalanan juga dinginnya angin malam biasanya membuatku mudah terlelap, namun kini mataku masih terjaga meski wajahku bersandar di punggung Gav.

" Cal...," panggil Gav. " Iya?"

" Makasih banyak untuk hari ini ya, aku senang banget. Entah kenapa semua hal yang aku lakukan sama kamu selalu berkesan," ujarnya.

" Aku juga sama, Gav. Makasih juga sudah ngundang aku," balasku, mengeratkan pelukanku di pinggang Gav. " Cal...," panggil Gav lagi.

Gav menurunkan tangan kirinya lalu menggenggam telapak tanganku dengan erat, " Aku sayang kamu."

Ucapan lirih yang keluar dari bibir Gav bukan membuat hatiku senang, malah terdengar begitu menyesakkan. Gav mengatakan itu seolah-olah ia akan kehilanganku. Secepat kilat aku balas menggenggam tangannya, dan menopang wajahku di pundaknya.

" Aku juga sayang kamu, Gav."

ef

MagIcal FeelIng

" Heavy rains poured on me, lightning struck and hit me. Slap twice, step thrice.

It felt so real." MYMP

A Aku tidak tahu sudah berapa kali aku menguap,

mungkin tak terhitung. Ini semua karena Gav meneleponku dan kami mengobrol sampai larut malam. Aku hampir lupa kalau hari ini harus datang lebih pagi untuk latihan cheerleader, begitu pula dengan Gav yang harus berlatih baseball. Kini aku berdiri di lapangan dengan pompom di tanganku, meski pikiranku melayang entah ke mana.

" Calya, ayo fokus dong. Jangan melamun terus," sahut Kak Amora, membuatku cepat-cepat mengumpulkan kesadaran dan tersenyum malu.

Setelah mendapat pengarahan dari Kak Amora, kami mulai latihan. Seperti biasa, latihan selalu membuatku bersemangat, karena kami adalah penyemangat. Kami diminta untuk selalu tersenyum, benar-benar tersenyum, bukan senyum tipis atau senyum sinis. Kami diminta mengeluarkan suara sekencang-kencangnya saat bersorak dan melakukan gerakan seindah mungkin agar enak dilihat. Aku masih ingat saat perform pertama kali di hari ulang tahun sekolah. Saat itu aku duduk di kelas sepuluh dan masih sedikit takut ketika dilemparkan. Namun, senior selalu meyakinkan bahwa aku tidak akan jatuh karena anggota yang lain akan menjagaku. Berkat latihan yang giat, aku bisa melawan rasa takut dan menjaga keseimbangan ketika diangkat ataupun dilempar.

Meski berlatih untuk mewakili sekolah dalam festival olahraga, tetap saja kami tidak mendapat jam istirahat ekstra. Latihan selesai sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi. Waktu itu digunakan untuk berganti pakaian, bahkan terkadang kami menyempatkan diri untuk sarapan di kelas sambil menunggu guru masuk.

Setelah memastikan rambut tersisir rapi, aku kembali ke kelas bersama Linda. Ia satu-satunya anggota cheerleader yang satu kelas denganku.

" Tugas isikamu udah selesai, Cal?" tanya Linda ketika kami berada beberapa langkah dari kelas.

Aku mengangguk, " Udah aku kerjain minggu lalu bareng Gav, dan..."

Astaga! Aku lupa! Buku tugas dan catatan isikaku masih dipinjam Tristan! Aku langsung berjalan cepat memasuki kelas, meninggalkan Linda yang mungkin menatapku dengan heran. Aku menghampiri bangku Tristan dengan langkah besar, kulihat cowok itu sedang santai mendengarkan lagu di ponselnya dengan earphone. " Mana buku isikaku?" tanyaku galak.

Cowok itu masih menatap ponselnya sambil mengangguk-anggukan kepala, seperti mengikuti irama lagu. Aku mendecak kan lidah, berani bertaruh ia tidak mendengarku. Aku memukul mejanya agak keras dan Tristan menengadah lalu melepas earphone-nya.

" Mana buku isikaku?" Kuulangi pertanyaan yang sama sambil melipat tangan di depan dada.

Ujung bibir Tristan terangkat, bukan membentuk senyum, tapi cibiran. Dengan cuek tangannya menelusuri kolong meja, mencari-cari sesuatu di dalam sana. Aku menunggu dengan tak sabar sambil menatap kesal ke arahnya. Kulihat raut wajah Tristan berubah jadi panik, cowok itu melongok ke laci mejanya berkali-kali lalu beralih ke tasnya. Firasatku jadi tidak enak. Aku masih tetap berdiri di depannya sampai akhirnya Tristan berhenti mengubek-ubek isi tas dan menatapku.

" Di mana?" tanyaku sambil menodongkan tangan. " Dengerin dulu, aku bisa jelasin..." Wajah Tristan benar-benar panik, meski irasatku sudah menduga sesuatu yang buruk. " Kemarin aku udah salin semuanya sampai bel pulang, pas mau aku kembaliin, kamu udah nggak ada di bangkumu. Jadi aku taruh di laci meja supaya nggak ketinggalan di rumah."

Sontak mataku membulat, alisku mengkerut membuat tatapanku pada Tristan semakin tajam. " Jadi intinya... bukuku hilang?" tanyaku sekaligus membentak cowok itu.

" Biar aku cari dulu," ujar Tristan beranjak dari bangkunya.

Aku memutar kedua bola mataku, " Tapi pelajarannya sebentar lagi dimulai, Tris!"

Tristan mengabaikan ucapanku. Ia berjalan ke muka kelas lalu memukulkan tangannya di papan tulis untuk meminta perhatian.

" Ada yang bawa pulang buku isikanya Calya? Kemarin ketinggalan di laci mejaku dan sekarang sudah nggak ada. Tolong cek kolong meja kalian masing-masing, dong," ujar Tristan dengan suara lantang.

Aku hanya mendengus melihat respon teman-temanku yang serempak menggeleng atau menjawab, " Nggak ada" .

" Oh iya, pulang sekolah kemarin kelas kita kan dipakai buat rapat klub teater. Mungkin ada yang ngambil?" celetuk seorang temanku.

Namun aku tidak menggubris ucapan temanku itu. Pupus sudah harapanku untuk membuat buku isika itu kembali. Banyak sekali catatan dan tugas yang sudah kukerjakan. Sialnya, hari ini tugas itu harus dikumpulkan dan besok adalah ulangan isika. Aku butuh buku tugas dan catatanku!!

Amarahku pada Tristan benar-benar memuncak ketika meli hat guru isika kami memasuki kelas dan Tristan sama sekali belum menemukan bukuku. Aku memang bukan siswi paling rajin, tapi aku tetap gelisah ketika tugasku hilang.

" Anak-anak, kumpulkan tugas kalian," sahut Pak Bas, guru isika kami. Sedetik kemudian, teman-temanku berjalan dengan santai menuju meja guru dan meletakkan buku tugasnya di sana. Aku melirik ke arah Tristan, cowok itu hanya diam di bangkunya. Dari tatapan matanya, kulihat ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Kenapa Tristan tidak mengumpulkan tugasnya? Bukannya ia sudah selesai mengerjakan? Ralat, bukan mengerjakan, tapi menyalin! Dari punyaku!

" Siapa yang tidak mengumpulkan tugas?" tanya Pak Bas setelah menghitung jumlah buku tugas yang dikumpulkan. " Ada dua orang yang belum mengumpulkan."

Keringat dingin mulai mengucur di punggungku. Perasaanku benar-benar campur aduk. Sedih karena tidak mendapat nilai, takut menerima hukuman, dan kesal karena bukuku hilang. Ditambah lagi, Pak Bas adalah guru yang perfeksionis dan disiplin.

" Siapa yang tidak mengumpulkan tugas?" Pak Bas mengul ang pertanyaannya, kali ini nada bicaranya terdengar lebih tinggi.

Aku menghela napas lalu mengangkat tangan dengan ragu. Seketika seluruh pandangan tertuju padaku, membuatku malu seakan-akan aku adalah siswa paling malas di sekolah ini.

" Kenapa kamu tidak mengerjakan, Calya?" tanya Pak Bas, matanya menatap tajam ke arahku.

" Buku saya... hilang, Pak."

Kulihat Pak Bas mendecakkan lidah.

" Hilang bukan alasan! Setelah ini kamu tidak usah ikut pelajaran saya. Bapak hanya butuh siswa yang mau belajar. Masih ada satu orang yang belum mengumpulkan, cepat mengaku!"

Kini giliran Tristan yang berdiri sambil mengangkat tangannya. Ia menatap lurus ke arah Pak Bas tanpa berkedip dan tanpa rasa takut. Gantian seluruh pandangan beralih kepadanya.

" Tugas Calya hilang karena saya, Pak. Saya menyontek tugasnya dan kemarin bukunya tertinggal di kolong meja. Sekarang bukunya belum ditemukan. Jadi saya yang harus dihukum, bukan Calya."

" Saya tidak peduli. Saya hanya ingin kalian disiplin dengan kewajiban kalian. Saya tidak suka ada siswa yang menyepelekan tugasnya," sahut Pak Bas.

" Kalian berdua, cepat keluar dan berdiri di koridor sampai jam pelajaran saya selesai!" serunya tegas.

Aku langsung beranjak dari tempatku, begitu pula Tris tan. Kami berjalan keluar kelas diiringi tatapan seisi kelas.

Entah sudah berapa kali aku menggerutu di dalam hati dan mengeluarkan banyak dengusan untuk menunjukkan bahwa aku benar-benar kesal. Kini aku tidak bisa melakukan apa-apa selain berdiri di koridor sampai dua jam ke depan. Aku belum pernah dihukum, dan aku benci bila harus dihukum karena kesalahan orang lain. Seperti anak sekolah dasar, aku menuruti hukumanku dengan patuh, membiarkan setiap mata yang lewat tertuju padaku. Kutundukkan kepalaku untuk menahan rasa malu. Seharusnya aku ada di dalam kelas, belajar bersama temanteman, mendengarkan materi, dan mengerjakan soal. Tapi kenyataannya, aku berdiri di koridor yang hening dan gerah, bersama seorang cowok yang membuatku terjebak dalam masalah.

Kulirik Tristan, cowok itu berdiri dengan santai seperti biasa. Ia menyematkan sepasang earphone di telinganya, lalu memasukkan kedua tangannya di saku celana. Di saat seperti ini ia masih bisa bersikap santai? Hebat sekali! Apa ia tidak merasa bersalah padaku? Kenapa ia tidak meminta maaf ? Astaga, apa sih yang ia pikirkanKudecakkan lidahku sambil menatap Tristan dengan tajam. Sedetik kemudian, pandangan kami bertabrakan. Aku benci melihat tatapan polosnya, wajah datarnya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Lalu sebelah alisnya terangkat, membuat raut wajahnya berubah menyebalkan. " Apa lihat-lihat?" tanyanya ketus.

" Dasar nggak peka!" bentakku padanya. Wajahku memerah, amarahku memuncak hingga ubun-ubun.

Tristan menyandarkan punggungnya di dinding sambil menghela napas, " Masalah itu ada buat dihadapi bukannya malah lari."

Aku tidak suka digurui, apalagi dengan seseorang yang telah membuatku sial. Menurutnya siapa yang membuatku dihukum seperti ini, hah" Harusnya kamu jaga baik-baik sesuatu yang bukan milikmu! Sudah pinjam buku, terus hilang, nggak tanggung jawab pula," balasku makin ketus.

" Tenang aja, aku akan tanggung jawab. Setelah ini aku akan jelasin ke Pak Bas, semoga aja besok kita bisa ikut ulangan."

Ucapan Tristan itu tidak membuat amarahku surut. Aku hanya memalingkan wajah darinya dan ikut bersandar di dinding.

" Aku nggak bisa ulangan kalau buku catatanku nggak ada, Tris." Rasanya aku masih belum bisa berhenti menyalahkannya. Aku tidak ikhlas menerima hukuman ini.

Tristan tidak berkata apa-apa. Ia hanya menunduk menatap sepatunya dengan wajah datar. Aku terus menunggu jawaban darinya selama beberapa detik. Apa ia sedang memikirkan ucapanku? Atau malah ia tidak mendengar ucapanku karena earphone di telinganya? Kalau yang terakhir itu benar, maka aku akan mencekiknya.

" Maaf,memang aku yang salah. Harusnya kamu nggak di sini," ucap Tristan. Suaranya terlalu lirih untuk kudengar, namun aku merasa aneh ketika ucapannya itu tertangkap oleh telingaku. Aku memang menunggu permintaan maaf darinya, tapi ketika kata-kata itu keluar, aku lebih baik tidak pernah mendengarnya.

Aku hanya bisa menatap Tristan yang masih menunduk. Terpancar rasa sesal dari wajahnya. Aku pun memilih untuk diam, tidak tahu harus berkata apa.

" Ya sudah, kita nikmatin aja hukumannya," kata Tristan lagi sambil mengangkat wajahnya dan menoleh padaku. Ia tersenyum tipis lalu melepaskan sebelah earphone di telinganya dan memasangkannya di telinga kananku. " Suka Dream heater?" tanyanya.

Aku hanya melirik sekilas ke arahnya sambil berusaha beradaptasi dengan lagu aneh yang mengalun di telingaku. Aku tidak terlalu menyukai musik, apalagi genre yang sedang kudengarkan ini. Tapi pada akhirnya aku tidak menolak ketika ia menyodorkan lagu-lagu yang membuat telingaku panas hingga waktu hukuman kami berakhir. ***

Rasanya waktu di sekolah berjalan lebih lama dari biasanya. Mungkin karena mood-ku yang buruk sejak pagi, membuatku terus melirik jam tangan menanti waktu pulang tiba. Benar kata sebagian orang, sesuatu yang ditunggu justru akan lama datangnya. Aku langsung bergegas dari bangkuku ketika bel pulang berbunyi, tak lupa aku memeriksa laci meja takut ada sesuatu yang tertinggal, yang akan membuatku dihukum lagi.

Tristan langsung menemui Pak Bas ketika hukuman kami berakhir. Entah apa yang ia katakan pada guru isika itu, intinya kami diperbolehkan ikut ulangan dan mengumpulkan tugasnya besok. Aku tidak bicara apa-apa lagi dengan Tristan, meski ia sudah meminta maaf, rasa kesal itu belum juga hilang.

Sepulang sekolah aku mendapati Tristan mengejarku sampai ke depan kelas dengan dua buah buku di tangannya. Wajah nya tampak sedikit suntuk dan lelah, namun tetap datar seperti biasa.

" Ini buku tugas dan catatan kamu, sudah kusalin ulang kayak semula. Maaf, aku nggak bisa menyampulnya," ujarnya sambil menyodorkan dua buah buku di tangannya. Buku itu masih tampak baru, sepertinya ia sengaja membelinya untuk menggantikan bukuku.

" Makasih," jawabku singkat lalu berbalik dan berjalan pergi meninggalkannya. Aku tidak ingin menghabiskan waktu dengan cowok menyebalkan itu, lagipula aku tidak ingin Gav terlalu lama menungguku.

Sambil berjalan menuju kelas Gav, aku membuka buku cata tan pemberian Tristan. Aku memicingkan mata, memperhatikan tiap baris yang tertera di buku itu. Tulisan nya memang tidak terlalu bagus. Tapi aku tahu bah wa ia berusaha menulis dengan baik, meski makin lama tulisannya makin berantakan. Setidaknya catatan dan buku tugas ini berguna untuk keselamatan nilaiku besok. Dengan cepat kumasukkan dua buku itu ke dalam tas dan berlari menuju kelas Gav.

ef

Could Be Wrong

" If I could get it right, and tell you face to face. Would you think that I am true? Believe me when I say." MYMP

K etika bel pergantian jam pelajaran berbunyi,

serempak seluruh siswa di kelasku menghela napas lega. Ulangan harian itu berjalan dengan tidak lancar, menurutku. Ada beberapa soal yang tidak kukerjakan, karena waktu yang terbatas juga perhitungan yang rumit. Suasana tegang menyelimuti ruang kelas sepanjang ulangan, membuatku tidak mampu berpikir jernih. Aku pasrah dengan nilai yang bakal kudapat, setidaknya aku sudah berusaha dengan caraku. Mungkin juga ulanganku gagal karena buku catatanku yang hilang. Meski Tristan sudah menggantinya, entah kenapa rasanya aneh belajar dengan catatan yang bukan " milikku" . Aku menyalin ulang buku tugasku tadi malam karena tulisan di buku itu masih tulisan Tristan. Aku pun harus merelakan nilai-nilai yang dulu tertera di buku tugasku. Untung saja Pak Bas sudah merekapnya.

" Cal, kamu ingat tugas kesenian? Kita satu kelompok, kan?" tanya Alana yang berjalan menghampiri mejaku. Aku mengangguk.

Alana duduk di depanku sambil membetulkan letak kacamatanya, " Pulang sekolah nanti kita kerjain tugasnya di rumah Retta, yuk. Kamu bisa kan, Cal?"

Aku berpikir sebentar, lalu mengiyakan.

" Hmm... kita naik angkutan umum aja ya? Rumah Retta nggak terlalu jauh kok."

" Nggak apa-apa kok, Al. Oh ya, siapa aja anggota kelompok kita?"

" Selain kita berdua dan Retta, ada Sam dan Tristan." Aku mengangguk lagi. Aku termasuk beruntung berada satu kelompok dengan Alana dan Sam. Pasalnya mereka berdua adalah siswa paling rajin di kelas. Tapi aku benci mendengar nama yang terakhir disebut. Kenapa harus Tristan? Aku benar-benar malas berurusan lagi dengannya.

" Kutunggu sepulang sekolah, ya," ujar Alana, beranjak dari bangku yang ia duduki dan berjalan pergi. Aku mendengus pelan lalu menatap sebuah pesan masuk di ponselku. Dari Gav.

Kami memang sering balas-balasan pesan yang tidak jelas selama jam pelajaran berlangsung. Ini adalah salah satu cara kami agar bisa mengobrol saat jam pelajaran. Dulu, ketika masih satu kelas, kami seringkali mengoceh tentang apa pun sampai cekikikan dan ditegur oleh guru yang sedang mengajar. Namun kini kami tidak bisa melakukannya lagi.

To: Gav

Pulang sekolah nanti aku mau kerjain tugas kelompok di rumah Retta. Kamu pulang duluan aja Gav.

Sent.

Baru sekitar tiga detik aku meletakkan ponsel, pesan balasan dari Gav kembali masuk.

From: Gav

Naik apa? Aku antar yaAku mengulum bibir. Lalu mengetik pesan balasan dari Gav dengan cepat.

To: Gav

Nggak usah Gav, aku naik angkutan brg teman2 kok. Gav memang begitu, tak pernah membiarkanku sendirian. Ia selalu mengantar ke mana pun aku pergi, juga menjemputku pulang. Meski sebenarnya aku merasa tidak enak dengan hal itu. Aku tidak ingin waktu Gav terganggu karena mengantarku. Lagipula aku bukan anak kecil lagi. Tapi aku tahu, sikap Gav itu adalah salah satu bentuk perhatiannya padaku.

From: Gav

Ya udah. Kalau udah selesai sms aku ya? Nanti aku jemput.

Aku menghela napas lalu tersenyum tipis, padahal aku tidak mau merepotkannya. Tapi sudahlah, aku tidak punya pilihan selain menuruti permintaan Gav.

Kuregangkan tangan dan kakiku sambil bersandar di sofa milik Retta. Satu jam yang lalu kami masih sibuk mengerjakan makalah kesenian tentang aliran musik jazz, dan sekarang kami duduk bersantai di ruang tamu Retta sambil menonton tv karena tugas itu selesai. Dalam waktu satu jam kami berhasil menuntaskan makalah itu, pekerjaan kami terkontrol berkat Alana.

Teman-temanku tengah asyik mengomentari ilm yang sedang mereka tonton, sedangkan aku sibuk berbalas pesan dengan Gav. Rumah Retta cukup sulit ditemukan, jadi aku minta Gav menjemput di gerbang perumahan saja. Gav dalam perjalanan, karena itu aku harus bergegas pamit. Aku tidak ingin Gav sampai lebih dulu dan menungguku.

" Aku pulang duluan ya, teman-teman," pamitku pada keempat temanku yang masih fokus menonton.

" Sendirian, Cal?" tanya Alana sambil meneguk minuman.

" Nggak kok. Nanti Gav jemput di gerbang." " Mau kuantar sampai gerbang? Lumayan jauh loh, Cal," tawar Sam yang kebetulan membawa motor.

" Nggak usah, aku jalan aja. Nggak apa-apa kok," aku berusaha meyakinkan teman-temanku yang bersikeras ingin mengantar.

" Ya sudah kalau begitu, hati-hati ya, Cal!" pesan Retta, aku tersenyum lalu mengangguk dan berpamitan pada orangtuanya.

Aku baru saja akan membuka kunci pagar rumah Retta, ketika seseorang membukanya lebih dulu. Tristan. Ia membiarkan aku keluar duluan, setelah itu mengikuti dan kembali menutup pagar rumah Retta.

" Kamu pulang juga, Tris?" tanyaku,

Tristan mengangguk, " Tugasnya kan sudah selesai, buat apa aku lama-lama di sini?" Tristan malah balik bertanya, kini gantian aku yang mengangguk.

Satu hal yang baru kusadari, ternyata Tristan tidak pernah membawa kendaraan pribadi. Aku belum pernah melihatnya naik motor ke sekolah, tadi pun ia naik angkutan umum bersama kami. Malah kini ia berjalan kaki bersamaku menyusuri gang perumahan Retta. " Kamu kok nggak bawa motor, Tris?" " Kenapa?"

" Nggak apa-apa, biasanya anak cowok kan selalu naik motor."

" Naik motor cuma bikin kita jadi malas, selain nambah polusi juga bikin kita nggak bisa olahraga. Lebih baik jalan kaki atau naik sepeda."

" Oh, jadi kamu jalan kaki sampai rumah?" " Nggak lah, aku naik angkutan umum." Selain suka baca dongeng, ternyata Tristan juga suka naik angkutan umum. Sebenarnya aku malas berbasabasi dengan Tristan, tapi ada satu hal yang tiba-tiba membuatku penasaran.

" Kamu suka baca dongeng, Tris?" tanyaku dengan ragu.

" Nggak juga," jawab Tristan cepat.

" Tapi aku pernah lihat kamu baca dongeng di perpustakaan, emm... maksudnya ada buku dongeng tergeletak di dekat kamu. Kamu baca itu?"

Tristan terdiam sebentar, ujung bibirnya terangkat membentuk senyuman, " Jadi kamu sering perhatiin aku?"

" Nggak! Bukan begitu!" elakku, " Menurutku aneh aja kalau ada cowok yang suka baca dongeng."

" Maksudmu Tristan and Isolde?" tanyanya, Aku mengangguk cepat, " Kenapa kamu baca itu?" Sudut bibir Tristan terangkat semakin lebar, " Kalau kamu mau tahu, baca aja sendiri."

Aku hanya mengulum bibir dan tidak berniat menanggapi jawaban Tristan. Jawabannya benar-benar tidak sesuai harapanku. Lalu kami sama-sama mengunci mulut lagi sambil terus melangkahkan kaki.

Ketika semakin dekat dengan gerbang perumahan, suasana berubah ramai. Tiba-tiba saja terdengar suara deru motor yang amat kencang dari arah belakang. Aku menoleh dan mendapati beberapa motor besar melaju dengan kecepatan penuh, menuju ke arahku dan Tristan.

Lalu mereka membunyikan klakson dengan kencang. " Awas!!!"

Tiba-tiba tubuhku ditarik oleh seseorang dan didekap erat-erat. Samar-samar aku mendengar suara sorakan, decitan ban, dan laju motor yang kencang melewatiku. Tapi waktu terasa berhenti. Perlahan-lahan aku membuka mata, menengadah dan menangkap wajah khawatir Tristan di atasku. Ia tampak begitu gusar, bahkan aku sendiri bisa mendengar detak jantungnya. Kedua lengannya masih melingkari tubuhku, aku juga bisa merasakan suhu tubuhnya menjalar ke pori-pori kulitku. Tristan memelukku sangat erat hingga aku sulit bernapas, mungkin dia juga dapat merasakan tubuhku yang gemetar.

Perlahan pelukan Tristan meregang, ia menatapku dengan mata hitamnya yang dipenuhi kecemasan. Aku merasakan ada sesuatu yang salah pada diriku, ini pertama kalinya bagiku berdiri sedekat ini dengan cowok selain Gav. Tristan memang lebih tinggi dariku, dan aku bisa merasakan napas yang terengah-engah keluar dari hidungnya. Seketika kesadaran di antara kami kembali, secepat kilat Tristan menurunkan tangannya dan memalingkan wajah.

" Maaf."

Tristan berkata dengan lirih lalu bergegas meninggalkan ku. Aku hanya diam mematung di belakangnya, memandangi punggungnya yang berjalan menjauh. Lagi-lagi aku merasa ada sesuatu yang salah. Meski dirinya sudah melangkah pergi, kenapa debaran ini masih tetap tinggal? ***

Senyum Gav mengembang ketika melihatku berjalan mendekatinya, rupanya ia sudah sampai lebih dulu dan menungguku. Aku hanya membalas senyum Gav dengan lesu, membiarkan cowok itu mengusap lembut rambutku dan memintaku naik ke boncengan motornya.

" Kamu udah makan?" tanya Gav sambil mengendarai motornya, namun aku hanya bergeming sambil menatap punggung cowok itu.

Punggung itu, adalah punggung yang biasa kupeluk. Punggung yang akrab dengan penglihatanku. Namun tadi, aku baru saja melihat punggung yang berbeda. Perlahan-lahan kulingkarkan tanganku di pinggang Gav dan menyandarkan kepala di punggung itu. Namun tibatiba saja hatiku terasa sesak.

" Cal, kamu kok nggak jawab pertanyaanku?" " Iya?"

Kudengar Gav menghela napas pelan, " Kamu udah makan, kan?"

" Sudah kok."

Entah kenapa pikiranku tak pernah bisa lepas dari kejadian itu. Aku kembali melamun, membiarkan pikiranku membuyar entah ke mana. Aku benar-benar terkejut dan takut, karena tidak bisa mengendalikan diri tadi.

Mungkin Tristan melakukan hal itu semata-mata hanya ingin melindungiku. Namun aku merasa ada sesuatu yang janggal. Aku menunduk lalu mencium bahuku sendiri. Seketika rasa sesak itu semakin memenuhi rongga dadaku ketika aroma tubuh Tristan masih berbekas di bajuku. Bukan aroma parfum Gav seperti biasanya.

Rasanya aku ingin menangis, namun tidak akan kulakukan di depan Gav. Aku tidak mau ia khawatir dan bertanya macam-macam. Aku membisu, menatapi jalanan sore hari yang mulai ramai dengan tatapan kosong. Hanya Gav yang pernah memelukku, namun kini pelukannya tanpa sengaja direbut oleh orang lain. Aku benar-benar merasa bersalah, tapi kejadian tadi bukan inginku dan benar-benar di luar kendali.

Aku bertekad untuk melupakan kejadian itu. Tidak ada yang istimewa, semuanya pasti akan baik-baik saja.

ef

I ThInk I m FallIng

" You re the one that I should pursue.

My mind tells me no , but my heart only says that it s you." MYMP

K akiku terasa begitu berat melangkah menuju kelas,

mungkin karena terlalu lelah dan kurang tidur tadi malam. Aku lupa kalau ternyata ada banyak tugas matematika, jadi aku mengerjakannya sampai tengah malam. Suasana kelasku cukup ramai pagi ini, mungkin mereka sama sepertiku, lupa dengan tugas matematika yang harus dikumpulkan pada jam pertama. Mereka sibuk mengelilingi meja Alana untuk bertanya rumus atau minta diajarkan. Aku sendiri berjalan lesu menuju bangku kemudian membenamkan wajahku di atas meja. Aku benar-benar mengantuk.

Suara-suara di sekitarku semakin riuh saja. Aku mengangkat wajah ingin mengetahui apa yang sedang terjadi dan seketika rasa kantuk yang sejak tadi menggangguku menguap begitu saja. Pandanganku bertabrakan dengan Tristan. Cowok itu duduk menghadap ke arahku di bangku depan. Telinganya terpasang earphone namun ia tidak tampak menikmati lagu. Aku tidak tahan dengan tatapannya, tapi entah kenapa aku enggan memalingkan wajah. Mata hitam itu kemarin menatapku penuh kecemasan, namun kini aku tidak bisa mengartikan tatapannya. Aku mengerjap-ngerjapkan mata sambil mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Aku tidak ingin berlama-lama menatapnya.

Pikiranku terus melayang. Kenapa harus Tristan? Aku tidak pernah berpikir kalau akan merasakan hal ini dengan Tristan. Selama ini kami hanya saling mengenal sebagai teman sekelas dan tidak bertegur sapa jika bertemu. Aku juga jarang sekali mengobrol dengannya apalagi berpikir akan dipeluk olehnya. Rasa kesalku pada Tristan semakin memuncak mengingat ia telah lancang memelukku, namun di sisi lain aku berterima kasih padanya karena telah melindungiku.

Aku benar-benar tidak fokus memperhatikan pelajar an karena kantuk yang menyerang. Sesekali aku mengerjapkan mata, menutup mataku beberapa detik dan membukanya lagi. Ditambah lagi angin di luar berhembus lewat celah jendela, mengajakku untuk pergi ke alam mimpi. Temantemanku yang lain sibuk memperhatikan Bu Katya, guru matematika yang sedang menerangkan tentang li mit. Sungguh, pelajaran itu bukan hanya rumit namun juga membosankan. Aku akan meminjam catatan Alana atau Sam nanti, sekarang biarkan aku memanjakan mataku sebentar.

Seperti yang sudah banyak terjadi, seorang guru selalu teliti dan merasa senang memangsa muridnya yang hanya ingin " sedikit" beristirahat. Baru sekitar sepuluh menit terlelap, aku sudah mendengar guru matematika memanggil namaku.

" Calya, tadi malam kamu belajar sampai larut ya? Pantas saja kamu mengantuk. Kalau begitu bisa kamu jawab soal nomor dua di papan tulis?" tanya Bu Katya sambil menyodorkan spidol dan tersenyum puas melihat reaksiku yang gelagapan.

Aku langsung menunduk dan dengan cepat membuka catatan matematika. Oh sial, kenapa catatanku tidak lengkap? Kenapa tidak ada materi limit di catatan ini? Pandanganku beralih menelusuri buku paket matematika, mencoba mencari jawaban di sana. Aku merasa keringat dingin mengucur di punggungku. Kutatap soal di papan tulis dengan gugup. Limit dari x sama dengan nol dari dua dibagi x. Astaga! Berapa hasilnya" Cepat maju, Calya!" sahut Bu Katya sambil mengetukkan sepatunya.

Aku beranjak dari kursi dan berjalan ke muka kelas. Kini seluruh pandangan tertuju padaku. Aku berusaha mencuri-curi kesempatan untuk bertanya pada temanteman, namun mereka memilih untuk bungkam. Dasar pelit.

Dua menit kulewati dengan berdiri di depan kelas, telapak tanganku menggenggam spidol hingga berkeringat. Ya Tuhan, kenapa aku tidak bisa mengerjakannya? Padahal soal ini terlihat mudah.

" Substitusi angka nol di huruf x, jadi dua dibagi nol." Telingaku menangkap suara lirih seseorang. Ragu-ragu aku menoleh ke sumber suara, lalu mendapati Tristan menatap lurus ke arahku. Ia memang duduk tidak jauh dari papan tulis. Tiba-tiba saja perasaan aneh dalam diriku mulai bergejolak. Astaga! Sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. Tapi Tristan sepertinya mengatakan sesuatu padaku.

Apa? Alisku otomatis terangkat, meminta Tristan mengulangi kalimatnya tadi.

" Substitusi angka nol di huruf x," jawab Tristan dengan sangat lirih. Aku berhasil mendengarnya dan dengan cepat menulis angka nol sebagai jawabannya.

" Bukan itu!" bisik Tristan, suaranya benar-benar hampir hilang. " Dua dibagi nol hasilnya bukan nol, tapi tak terhingga."

Aku kembali mencuri pandang ke arahnya, keningku mengkerut berusaha menangkap apa yang diucapkannya.

" Tak terhingga..." Tristan memberi tanda tak terhingga dengan gerakan jari di udara, berusaha menjelaskan. Tibatiba pandanganku beralih pada sosok Bu Katya yang sedang berjalan ke arah Tristan.

Aku seperti kesetrum listrik ketika kesadaranku kembali. Aku menangkap sinyal dari Tristan dan menuliskan jawabannya di papan tulis. Beberapa detik kemudian aku menutup spidol dan menyerahkannya pada Bu Katya.

Bola mata Bu Katya membesar, lalu mendecakkan lidah.

" Astaga, Calya! Menjawab soal semudah itu saja butuh waktu dua jam? Sekarang kamu pergi ke toilet dan cuci muka. Saya tidak mau ada yang mengantuk saat jam pelajaran."
Inseparable Karya Laili Muttamimah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan patuh aku berjalan keluar kelas sambil terseokseok. Guru matematikaku itu benar-benar berlebihan, padahal waktuku menjawab pertanyaannya saja tidak sampai sepuluh menit. Tapi aku tidak mungkin bisa menjawab kalau Tristan tidak memberitahuku. Ya Tuhan, lagi-lagi Tristan! Kenapa cowok itu seperti penyelamatkuKubasuh wajah berkali-kali di wastafel kemudian memandangi pantulan diriku di cermin. Ada yang salah dalam diriku, ya aku benar-benar menyadarinya. Kenapa perasaan aneh ini selalu datang tiap kali aku memandang atau memikirkan TristanCepat-cepat kubasuh lagi wajahku. Bangunlah, Cal! Tidak akan ada yang terjadi antara kau dan Tristan. Ia hanya menolong karena kau ini temannya, dan tidak akan pernah lebih.

" Tahun depan kita sudah kelas dua belas, kamu sudah berpikir mau kuliah di mana, Cal?" tanya Gav ketika kami makan siang di kantin.

Aku menghentikan suapanku karena topik pembicaraan ini pertama kali dilontarkannya.

" Nggak tahu, belum kupikirkan," jawabku mengangkat bahu, " Kalau kamu?"

" Aku ingin kuliah hukum."

" Oh ya? Bagus dong! Jurusan itu cocok buatmu." Mata Gav berbinar-binar, " Beneran? Wah, aku jadi makin yakin dengan pilihanku."

" Di Jakarta? Atau luar Jakarta?"

Raut wajah Gav seketika berubah, ia menunduk lalu mengaduk-aduk makan siangnya.

" Hmm... di luar Jakarta."

Melihat reaksinya, perasaanku berubah jadi tidak enak. " Luar Jakarta? Di mana?"

Kulihat Gav memainkan bibirnya, menandakan ia sedang diselimuti keraguan, " University of Manchester, Cal."

Seketika jantungku berhenti berdegup. Aku menatap Gav lurus-lurus meski cowok itu tidak menatap balik ke arahku.

" Manchester? Inggris?" tanyaku dengan nada tak percaya,

Gav mengangguk pelan.

" Kenapa?" tanyaku lagi, masih terus menatapnya.

" Masih rencana sih. Tapi dari sekarang Papa sudah minta aku serius belajar buat dapetin beasiswa ke sana." " Tapi..."

" Cal, memang masih setahun lagi. Tapi nggak ada salahnya kan kalau aku mulai merancang masa depanku?" Bukan, bukan begitu!

Bukannya aku tidak suka Gav mengejar cita-citanya. Aku hanya tidak mau ia berada jauh dariku. Bagiku di luar kota saja sudah cukup menyiksa, apalagi di luar Indonesia? Aku hanya tidak ingin berpisah dengannya. Aku sudah terbiasa bergantung dengan keberadaannya.

" Tapi... kita tetap sama-sama, kan?"

Gav tersenyum, menampilkan sebuah lesung di pipinya.

" Kamu ngomong apa sih, Cal? Kita akan selalu samasama. Berpikir positif aja, aku yakin hubungan kita tetap bertahan biar pun kita jauh."

Tapi itu ucapanmu sekarang, Gav, bagaimana nanti? Waktu akan terus berjalan, mengubah keadaan dan bisa pula mengubah perasaan. Ketika harinya tiba apa kamu juga akan berkata seperti itu? Kata-kata itu terus terlontar di dalam hatiku.

Namun kenyataannya aku hanya diam, berusaha menutupi rasa kecewa dalam hati. Gav berhak punya citacita, ia berhak mengejarnya sampai ujung dunia. Kalau menurut pada perasaan, aku berharap Gav membatalkan niatnya dan memilih kuliah di Indonesia saja.

Sungguh, aku benar-benar tidak bisa membayangkan bila aku dan Gav terpisah jauh. Kami hanya saling berhubungan lewat telepon, Skype atau social media lainnya. Ya Tuhan, aku sudah terbiasa dengan kehadirannya di setiap hariku. Aku biasa memperhatikannya lekat-lekat dan menggenggam tangannya. Tapi kalau Gav berada di negara yang berbeda dengankuAku tetap bergeming, tak berniat menanggapi ucapannya. Aku sadar aku egois, tapi untuk kali ini saja biarkan rasa egoisku yang menang.

Gav tampaknya mengerti, ia mengusap kepalaku. " Nggak usah dipikirin, Cal, itu baru rencana. Semuanya bisa berubah, kok."

Suaranya yang lembut benar-benar membuat hatiku mencair. Aku tersenyum, membiarkan tangannya turun dari kepalaku perlahan-lahan. Aku menarik napas dalamdalam dan mengembuskannya dengan berat. Meski kecewa pada Gav, aku tidak pernah mempunyai alasan untuk menghentikan langkahnya.

ef

Constantly

" Why do I feel this way? When I know you have someone that you re seeing each and everyday." MYMP

S inar matahari menerobos ventilasi kamar dan

menyilaukan pandanganku. Dengan berat aku mengerjapkan mata, mengulet perlahan lalu kembali menarik selimut. Aku benar-benar tidak berniat beranjak dari ranjang hari ini. Premenstrual syndrom menyiksaku sejak malam. Aku tidak ingin pergi ke sekolah, hanya ingin berbaring karena perutku terasa sakit sekali. Aku selalu merasakan sakit setiap bulan saat menstruasi, mungkin banyak perempuan juga merasakan hal yang sama. Perutku rasanya kram seperti ada yang memerasnya kuat-kuat, membuat tubuhku lemas dan mual. Jujur, aku benar-benar iri dengan banyak perempuan yang bisa beraktivitas di hari pertama menstruasi. Sedangkan aku hanya bisa tergolek lemas di ranjang.

Kulihat pintu kamar terbuka, Mama datang dengan nampan berisi sepiring roti dan segelas teh hangat. Mama hafal kalau aku butuh teh hangat tiap kali menstruasi. Teh membuat perutku terasa lebih baik.

" Kamu izin sekolah aja ya? Barusan Mama bilang sama Gav kalau kamu sakit, jadi dia berangkat duluan," ujar Mama sambil duduk di sisi ranjangku.

" Calya cek jadwal dulu, Ma," jawabku, meraih jadwal mata pelajaran. Begitu kecewanya aku ketika mendapati mata pelajaran isika tertera di jadwal hari ini, itu tandanya aku harus masuk. Tidak ada satu pun siswa yang berani tidak masuk saat pelajaran Pak Bas, karena setiap harinya beliau melakukan pengambilan nilai dari soal-soal latihan yang diberikan. Kalau kami tidak hadir dalam pertemuannya, maka nilai kami akan dikosongkan. Dan beliau tidak mau menerima alasan apa pun.

" Biar Mama yang telepon ke sekolah, lebih baik kamu istirahat," kata Mama ketika aku menjelaskan alasanku tentang Pak Bas.

Kalau tidak peduli pada nilai maka aku akan menyetujui saran Mama dan melanjutkan tidur. Namun, aku beranjak menuju kamar mandi dan bersiap pergi ke sekolah dengan kondisi seperti ini. Perutku makin nyeri, membuatku meringis menahan sakit.

" Nggak usah dipaksain, Cal. Istirahat aja," Mama terlihat sangat cemas, namun aku tetap bersikeras pergi sekolah. Demi pelajaran isika, aku tidak ingin lagi berurusan dengan Pak Bas.

Akhirnya Mama setuju dan mengantarku ke sekolah. Sepanjang jalan aku hanya menahan perutku dengan sebelah tangan, mencoba menikmati rasa mual dan nyeri yang datang. Tiba-tiba saja mood-ku berubah jadi makin buruk ketika melihat gerbang sekolah ditutup, menyisakan beberapa siswa yang tidak berhasil masuk. Kulihat seorang guru piket sedang mengabsen para siswa yang terlambat dan siap memberikan hukuman. Apakah hari ini adalah hari tersialku? Aku harus menghadapi sakitnya menstruasi dan lelahnya hukuman di waktu yang sama.Aku bersikeras meminta Mama pulang dan meyakinkannya kalau aku akan baik-baik saja.

Ketika Mama berlalu, aku berjalan mendekat menuju gerbang yang masih ditutup rapat. Ternyata aku tak sendiri, di sana ada beberapa teman sekelasku seperti Sam dan juga Tristan. Lihat, bahkan siswa serajin Sam pun datang terlambat. Ia sedang berbicara dengan guru piket, berusaha membela diri bahwa kemacetanlah yang membuatnya terlambat. Aku hanya terdiam di tempat sambil sedikit melirik ke arah Tristan. Penampilan cowok itu terlihat sedikit kacau hari ini. Rambutnya berantakan seperti tak sempat disisir, wajahnya suntuk, dan seragamnya lusuh. Ia juga melirik sekilas ke arahku, lalu kami sama-sama mengalihkan pandangan.

" Kenapa kamu terlambat, Calya?" tanya guru piket padaku.

" Mm... perut saya sakit, Bu, datang bulan. Awalnya mau izin nggak masuk, tapi hari ini ada mata pelajaran yang penting," jawabku dengan suara pelan. Aku tidak ingin teman-teman yang lain tahu kalau aku sangat lemas ketika menstruasi.

Guru piket itu menghela napas, " Seharusnya kamu tidak perlu memaksakan diri. Tapi Ibu tidak bisa pilih kasih, kamu harus tetap ikut hukuman lari keliling lapangan bersama anak-anak yang lain. Ibu beri keringanan, kamu boleh jalan kalau tidak kuat."

Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan guru piket itu, meski tidak yakin sanggup menjalankan hukuman ini. Perutku terasa makin sakit, rasanya aku ingin duduk dan meregangkan kedua kaki. Berdiri lama-lama membuat perutku makin nyeri, apalagi lari keliling lapangan.

Aku mencoba berdiri tegak, melupakan rasa nyeri untuk sementara, dan ikut lari keliling lapangan bersama teman-teman yang terlambat. Ayolah, Cal, setidaknya satu putaran! Sambil mengatur napas yang tersendat-sendat, aku mulai melangkahkan kaki dan siap untuk berlari. Namun tiba-tiba, seseorang menarik lenganku dengan kuat, membuatku menghentikan langkah.

" Duduk aja, nggak usah dipaksain," ucap Tristan. Ia langsung berlari sebelum aku membalas ucapannya. Aku hanya memandangi Tristan. Cowok itu sedang berlari dengan langkah besar sambil terlihat mengatur napasnya. Ia menolongku, lagi. Kenapa harus selalu Tristan? Kenapa akhir-akhir ini sosoknya seperti datang perlahan memasuki hidupkuAkhirnya aku duduk di salah satu bangku di sisi lapangan sambil terus menatap Tristan yang belum berhenti berlari. Kulihat keringat sudah mulai mengucur di keningnya, tapi ia harus menyelesaikan dua putaran lagi. Ia benar-benar menggantikanku menerima hukuman. Seketika perasaan tidak enak perlahan muncul. " Nggak usah khawatir soal Tristan."

Tiba-tiba saja Sam sudah berdiri di sampingku. Matanya ikut tertuju pada Tristan sambil menyunggingkan seulas senyum. Sepertinya Sam sudah menyelesaikan hukumannya.

" Maksud kamu?"

" Tristan itu pelari. Dia biasa ikut kompetisi-kompetisi lari. Jadi hukuman kayak begini cuma hal kecil buatnya."

Benarkah? Tristan seorang pelari? Benar-benar tidak terduga. Aku memang belum mengetahui banyak hal tentang Tristan, seperti yang kubilang karena kami memang tidak dekat. Kupikir Tristan tidak menonjol di bidang apa pun kecuali bermain suling.

" Kamu tahu dari siapa?" tanyaku pada Sam, yang telah duduk di sebelahku.

" Tristan itu temanku sejak SMP, kami satu kelas waktu kelas 9."

Aku mengangguk mendengar jawaban Sam. Kupikir Tristan juga tidak punya teman, karena ia tidak terlihat akrab dengan siapa pun. Ia memang tidak pernah terlihat berkumpul atau pergi bersama teman-temannya, kecuali kalau ada hal yang penting seperti kerja kelompok. Tapi ternyata ia dan Sam adalah teman lama.

" Tapi kamu hebat, Cal, rela masuk sekolah demi pelajaran Pak Bas. Benar,kan?" timpal Sam, membuatku tersenyum mendengarnya.

Mataku langsung menangkap wajah kelelahan Tristan ketika ia berhasil menyelesaikan hukuman. Ia berjalan menghampiri kami sambil mengelap keringat di wajahnya dengan tisu. Napasnya terengah-engah, bahkan ia sampai memejamkan mata.

" Dadaku... rasanya... nyeri," katanya sambil terengahengah.

" Cuma kelelahan, duduk sini," seru Sam, lalu Tristan duduk di sampingnya dengan patuh.

" Cowok memang harus begitu, peka dengan situasi kalau ada cewek kesusahan," ujar Sam sambil menepuk pundak Tristan.

Mendengar ucapan Sam, gejolak aneh itu kembali muncul di hatiku. Benar juga, Tristan mengerjakan hukumanku tanpa diminta. Tidak seperti cowok lain yang biasanya tidak peduli dan hanya memikirkan nasibnya sendiri. Harus kuakui sikapnya tadi mendapat satu poin plus.

" Mm... makasih banyak ya, Tris." Rasanya bibirku begitu sulit mengucapkan kata-kata itu, ada rasa gengsi yang menghambatnya. Aku jadi merasa canggung dengan Tristan sejak ia memelukku.

Tapi Tristan tak mengacuhkan ucapanku, cowok itu hanya menatap lurus ke arah lapangan sambil mengatur napasnya yang terengah-engah dengan telapak tangan di dadanya.

" Ya sudah, ayo ke kelas. Pelajaran pertama pasti sudah mulai." Sam menggendong tasnya lalu beranjak pergi. Aku tahu betul kalau cowok rajin seperti dia tidak ingin melewatkan satu detik pun jam pelajaran. Semakin lama sosok Sam menghilang di balik dinding, menyisakan aku dan Tristan yang masih bergeming.

Aku kembali menatap Trisan, cowok itu tak lagi memegangi dadanya. Ia mulai tampak rileks, berkali-kali menghirup udara lalu mengembuskannya. Pandangan kami bertemu, membuatku sedikit gugup.

" Mau kuantar ke UKS?" tanya Tristan dengan wajah datarnya.

Aku menggeleng cepat, " Nggak perlu, aku nggak apaapa kok."

" Bagus deh kalau begitu, repot kan kalau sakitmu tambah parah gara-gara harus lari keliling lapangan."

Aku menelan ludah untuk membasahi tenggorokan yang kering, suasana di sekitarku benar-benar seperti hampa udara.

" Sekali lagi, makasih ya, Tris."

Senyum Tristan mengembang tipis, namun aku bisa melihat pancaran ketulusan di sana, " Senang bisa bantu kamu, Cal."

Mungkin Tristan sudah beberapa kali menolongku, tapi baru kali ini aku merasa benar-benar beruntung telah mengenalnya. Melihat tatapan mata dan senyumannya yang begitu tulus untuk pertama kalinya, rasanya sangat beruntung. Ya Tuhan, kenapa selama ini aku mengabaikan cowok seperti Tristan? Siapa sangka di balik wajah datar dan sifat cueknya, ternyata tersimpan seorang Tristan yang hangat. Tanpa sadar senyumku ikut mengembang sambil menikmati tatapan mata Tristan yang begitu dalam. ***

Sudah sekian detik aku menatap kertas di genggamanku, melihat sebuah nilai yang tertera dengan pulpen merah di sana. Hasil ulangan isikaku 75. Nilai itu termasuk jelek untuk Pak Bas, namun lumayan untukku. Kami hanya akan mendapat sedikit senyuman darinya bila mendapat nilai yang sempurna, dan mungkin satu-satunya orang yang merasakan itu hanya Alana.

" Mukamu pucat, Cal. Sakit?" tanya Linda ketika melewati bangkuku. Kulirik sedikit kertas ulangannya, ia mendapat nilai lebih bagus dariku.

Aku menggeleng pelan, " Cuma menstruasi." " Lebih baik kamu izin pulang, nanti tambah sakit." " Nggak usah, Lin, sakit kayak begini kan sudah biasa."

Linda tersenyum lalu mengelus pundakku pelan dan berjalan kembali ke bangkunya. Aku menghela napas sambil menyandarkan punggungku di kursi. Tiba-tiba saja pandanganku tertuju pada Tristan, jantungku hampir melompat ketika mata kami bertemu. Ia tetap memasang wajah datar seperti biasa lalu membalikkan kertas ulangan di tangannya ke arahku. Mataku membulat melihat nilai yang tertera di kertas ulangan Tristan, 95. Kukerjapkan mata berkali-kali, berharap salah lihat. Tapi kenyataannya ia memang mendapat nilai 95, nyaris sempurna. Ini benarbenar curang. Ia meminjam catatanku, menghilangkannya, menyalin yang baru, dan mendapat nilai lebih tinggi dariku. Dengan kesal aku menjulurkan lidah ke arah cowok itu lalu memalingkan wajah.

ef

Game of Love

" A little bit of laughs, a little bit of pain.

I m telling you, my Babe. It s all in the game of love." MYMP

K uteguk air mineral dingin sambil mengistirahatkan

otot-otot di bangku besi di pinggir lapangan. Karena rasa sakit menstruasi kemarin sudah berakhir, aku bisa berlatih cheerleader dengan maksimal. Latihan kali ini sangat melelahkan, kami harus mempelajari formasi baru dan itu tidak mudah. Kulihat tim inti baseball masih latihan dengan serius. Mereka belum berhenti sejak siang tadi. Mataku tertuju pada seseorang yang sedang berkonsentrasi dengan tongkat baseball-nya. Wajah Gav benar-benar tampak lelah, napasnya pun terengah-engah. Sebenarnya tidak hanya Gav, aku pun merasakan hal yang sama.

Latihan tim baseball memang sangat keras dan disiplin, tak jarang tenaga para pemain terkuras habis setelah latihan. Tim baseball kami selalu jadi juara bertahan sejak tiga tahun terakhir dalam festival olahraga, dan tahun ini mereka pun tidak ingin gelar itu direbut oleh sekolah lain. Sedangkan pada opening di festival olahraga, berlangsung lomba cheerleader antar sekolah. Maka kami sama-sama berjuang keras untuk memberikan yang terbaik.

Sudah jam 4 sore, namun aku tidak akan pulang tanpa Gav. Tapi aku tidak ingin menunggunya di sini, lebih baik aku mencari tempat yang lain.

Sepertinya perpustakaan masih buka, batinku. Tanpa pikir panjang, aku langsung berjalan menuju perpustakaan dan menunggu Gav di sana. Lagipula letak perpustakaan tidak terlalu jauh dari lapangan, Gav pasti mudah menemukanku.

Seperti biasa aku menemukan Kak Ami duduk di bangkunya sambil membaca sebuah buku tebal, entah apa judulnya yang pasti buku itu terlihat membosankan seperti dirinya. Ia tidak menyadari kedatanganku, mungkin terlalu asyik dengan buku yang dibacanya. Lagipula aku hanya ingin istirahat di sini, tidak akan membuat keributan. Kaki yang lelah ini membawaku berjalan menuju bangku yang biasa kutempati. Udara sejuk di sini langsung membuat mataku sayup-sayup. Terkadang aku benci dengan diriku yang cepat sekali mengantuk.

Kukeluarkan ponsel untuk mengirim pesan pada Gav memberitahu bahwa aku ada di perpustakaan. Sepertinya latihan Gav masih lama, lebih baik aku tidur sebentar daripada berlumut menunggunya. Berhubung Kak Ami sedang tidak memperhatikan, ini adalah saat yang tepat untuk tidur. Lagipula hanya sebentar dan aku tidak mendengkur saat tidur, jadi tidak akan mengganggunya. Suasana yang amat sunyi membuatku sedikit risih. Kumainkan sebuah lagu dengan volume kecil di ponsel. Kuletakkan ponsel itu tepat di samping, dan kelopak mataku mulai menutup.

Ini mimpi atau bukan? Aku merasakan sebuah tangan menepuk pundakku. Semakin lama gerakannya makin kasar, mengganggu mimpiku. Apa ini tangan Gav? Janganjangan ia sudah selesai latihan. Kalau memang benar, kalian harus tahu bahwa rasanya senang banget ketika terbangun dan disambut oleh senyum hangat milik orang yang kalian cintai. Namun betapa terkejutnya aku begitu membuka mata dan mendapati sosok serigala bertaring dan berkacamata sedang berdiri di depanku. Kak Ami.

" Perpustakaan bukan hotel, sana pulang dan tidur di rumah!" ucapnya ketus sambil melipat kedua tangan di depan dadanya.

Kesadaranku belum sepenuhnya kembali, aku tidak bisa mencerna kata-kata Kak Ami dengan jelas. Namun melihat ekspresi wajahnya, nampaknya ia sangat terganggu dengan ulahku.

" Cal, sudah lama nunggu, ya? Ayo kita pulang." Tibatiba saja Gav muncul di depan pintu perpustakaan lalu berjalan mendekat dengan senyum lebarnya.

Aku menegakkan tubuhku dan mengerjapkan mata berkali-kali, kulirik jam tangan yang menunjukkan pukul lima sore kurang. Astaga, ternyata hampir satu jam aku tertidur.

" Sorry, aku ketiduran," ucapku pada Gav dan Kak Ami.

Gav tertawa kecil, " Nggak apa-apa, aku tahu kamu pasti capek."

Namun respon Kak Ami berbanding terbalik dengan Gav. Ia mendecakkan lidahnya lalu berkata sambil berkacak pinggang, " Mulai besok perpustakaan dilarang untuk siswa yang hanya ingin bersantai-santai." Kemudian dia berbalik pergi menuju bangkunya.

Lagi-lagi Gav tertawa, kali ini karena melihat reaksi Kak Ami.

" Yuk, pulang, keburu malam," ujar Gav sambil mengacak-acak rambutku.

Aku mengangguk, meraih tas dan siap beranjak dari tempat duduk. Tunggu dulu, aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Kutelusuri meja panjang di depanku, ada sesuatu yang hilang... Astaga! Di mana ponselkuKurogoh kantung celana olahraga, juga laci-laci meja perpustakaan. Aku tahu betul ponselku ada di sampingku tadi.

" Ada apa, Cal?" tanya Gav ketika melihatku berubah gelisah.

" Ponselku... ponselku... kamu lihat ponselku?" Gav mengerutkan alisnya lalu menggeleng, " Aku kan baru datang. Aku nggak lihat ponselmu."

" Kamu serius? Ponselku hilang!" " Lho? Kok bisa?"

" Tadi aku taruh di samping untuk dengerin lagu, tapi sekarang nggak ada. Duh, gimana nih? Orangtuaku pasti marah kalau ponsel itu hilang, Gav."


Gone With Gossip Lupus Karya Hilman Pendekar Rajawali Sakti 49 Gelang Naga Taiko Karya Eiji Yoshikawa

Cari Blog Ini