Inseparable Karya Laili Muttamimah Bagian 2
Gav meraih pundakku, " Tenang dulu, kita cari pelanpelan ya. Kita tanya Kak Ami."
Hari mulai gelap namun aku dan Gav masih berkutik di dalam perpustakaan mencari ponselku. Kami hampir menyerah, ditambah lagi tadi malah dapat cecaran ketika bertanya pada Kak Ami soal ponselku
" Jadi secara nggak langsung kalian menuduh saya? Begitu?"
Mendengar ia berkata begitu, aku langsung percaya bahwa ia tidak mungkin mengambilnya. Aku dan Gav langsung berbalik, tidak ingin berlama-lama berurusan dengan Kak Ami.
Aku benar-benar tidak enak pada Gav. Seharusnya sekarang ia sudah berada di rumah dan istirahat. Aku sudah mencoba menelepon ponselku dengan ponsel Gav, namun tidak tersambung.
" Sudahlah Gav, kita pulang aja," kataku dengan lesu.
" Tapi ponselmu?"
" Nggak apa-apa, ini salahku, aku memang ceroboh." Suaraku benar-benar terdengar sengau, rasanya ingin menangis saja. Bukan menangisi ponselku yang hilang, tapi menangisi sikapku yang ceroboh hingga selalu merepotkan orang lain.
Gav berjalan mendekat lalu merangkul bahuku. Rasanya ingin berbalik dan terisak di dadanya, namun aku tidak ingin membuatnya tambah khawatir.
" Nanti aku bantu jelasin ke orangtua kamu, jangan sedih ya. Ayo kita pulang."
Kelembutan suara Gav bagaikan mantra yang dengan sekejap membuat perasaan cemasku menguap. Kukunci jemariku di antara jemari Gav dan berjalan keluar perpustakaan dengan lesu.
" Cal, ada telepon buat kamu," seru Mama dari lantai bawah, membuatku yang sedang mencuci muka menghentikan gerakan. Tumben sekali ada yang meneleponku lewat telepon rumah, pasti orang itu sudah menelepon berkali-kali ke ponselku tapi tidak tersambung.
" Calya terima dari kamar, Ma!" sahutku sambil mengering kan wajah dengan handuk.
Kudekati meja telepon di kamarku dan meletakkan gagang telepon di telinga. " Halo...," seruku.
" Tadi itu suara mamamu, ya?"
Jantungku langsung berdegup cepat mendengar suara yang keluar dari ujung telepon. Suara cowok! Tapi suaranya terdengar asing di telingaku. Ia juga tidak mengenal suara Mama, besar kemungkinan orang yang menelepon ini tidak akrab denganku.
" Kamu siapa?" tanyaku datar.
" Nah, ini baru suara kamu! Kamu tahu? Aku sempat kaget waktu suara ibu-ibu menjawab teleponku," ujarnya sambil terkekeh.
" Kamu siapa? Dapat dari siapa nomor telepon rumahku?" tanyaku lagi, berusaha keras menjaga nada suara agar tidak terdengar emosi.
" Memangnya kamu nggak kenal suaraku? Jahat banget."
Aku mengerutkan kening. Aku benar-benar tidak mengenal suara di ujung telepon ini. Baru kali ini aku mendengarnya. Mana mungkin aku menghafal suara teman-temanku satu per satu? Lagipula hanya Gav yang sering meneleponku.
" Halo, kamu tidur ya? Dasar tukang tidur, kenapa sih kamu cepat banget ngantuk?" tanya cowok itu, aku masih bisa mendengar suara cekikikan kecilnya.
" Aku nggak tidur! Kamu siapa? Cepat jawab!!" Aku tidak bisa menahan emosiku lagi dan memilih untuk melontarkan pertanyaan yang sama pada cowok aneh itu.
" Jangan marah-marah dong, kamu nggak mau ponselmu balik?"
Apa? Apa dia bilang? Ponselku? Kenapa dia tahu soal ponselku? Astaga! Jangan-jangan...
" Kamu yang ngambil ponselku?!" Ia cekikikan, " Nggak juga." " Di mana ponselku?"
Kini cowok itu tergelak. Sial, kenapa dia malah meledekku? Tapi ada satu hal yang terungkap. Ponselku hilang di sekolah, besar kemungkinan cowok di ujung telepon ini satu sekolah denganku.
" Kamu mau ponselmu balik?" tanya cowok itu lagi. " Iya!" jawabku cepat.
" Datang ke tempat ponselmu hilang saat pergantian jam pelajaran kedua besok. Kamu bisa temukan ponselmu di sana."
" Maksudmu? Perpustakaan?" " Selamat Malam, Cal."
" Hei... tunggu dulu! Kamu belum jawab pertanyaanku!"
Seketika sambungan telepon terputus, menyisakan rasa penasaran di benakku. Cowok itu mencoba mempermainkanku, lihat saja besok! Aku akan membalasnya.
Kulangkahkan kakiku menuju tempat tidur, berbaring di sana dan membenamkan wajahku di balik selimut. Aku ingin pagi cepat datang. Aku benar-benar ingin mengetahui siapa cowok aneh itu.
ef
Love Moves In MysterIous Ways
" Love moves in mysterious ways, It s always so surprising. When love appears over the horizon, I ll love you for the rest of my days." MYMP
A ku tidak bisa tenang selama jam pelajaran sejarah
berlangsung. Mataku selalu tertuju pada jam tangan, menghitung tiap detik menuju pergantian jam pelajaran kedua. Kalau bukan karena ponselku, aku tidak mungkin segelisah ini. Meski sejujurnya aku masih penasaran dengan cowok yang menelepon itu.
Sepuluh menit berjalan sangat lamban sampai akhirnya telingaku menangkap bunyi bel yang amat merdu itu. Aku keluar dari kelas bahkan sebelum guru sejarahku keluar. Tidak sopan memang, tapi biarlah, yang penting bisa menemukan ponselku. Karena cowok itu bilang aku bisa menemukan ponselku di tempatnya hilang, maka aku berjalan menuju perpustakaan.
Sampai di sana, aku langsung masuk tanpa peduli tatapan curiga Kak Ami. Jujur, aku lagi malas berurusan dengannya. Dengan cepat aku berjalan menuju meja kemarin. Kosong. Tidak ada satu pun benda di atas meja panjang itu. Kudecakkan lidah, apa aku harus berkeliling perpustakaan untuk menemukan ponsel ituAku berjalan menyusuri barisan-barisan tinggi rak buku yang tertata rapi ini sambil mencari-cari cowok yang meneleponku. Berani bertaruh, aku tidak akan bisa menemukan ponselku dengan cara seperti ini. Akhirnya kuputuskan untuk menghampiri meja Kak Ami yang penuh dengan buku-buku tebal itu.
" Maaf Kak, apa aku boleh pinjam telepon perpusta kaan?" tanyaku seramah mungkin.
" Untuk apa?" balas Kak Ami, ketus seperti biasanya. Tahan, Cal.
Aku tidak punya waktu untuk berdebat dengan Kak Ami. " Mau cari ponselku, Kak, mungkin masih ada di sini. Aku udah nyari sekali lagi tapi belum ketemu. Mungkin bisa ketahuan kalau ponselku bunyi."
Walaupun Kak Ami masih menunjukkan wajah tak sukanya, ia mengizinkanku menggunakan telepon perpustakaan. Aku langsung memencet nomor ponselku dan membiarkan telepon perpustakaan itu tergeletak.
Samar-samar aku bisa mendengar suara alunan musik. Itu nada dering ponselku! Untunglah, ternyata ponselku benar-benar ada di sini. Namun suara itu terdengar sangat jauh. Aku meninggalkan meja Kak Ami lalu kembali berjalan menyusuri rak demi rak. Perlahan-lahan suara musik itu terdengar semakin jelas, itu tandanya ponselku semakin dekat. Kini aku berdiri di antara dua rak buku besar dengan telinga yang terbuka lebar. Suaranya sangat jelas, aku yakin ponselku ada di salah satu rak buku ini. Dengan teliti kulihat buku demi buku yang berbaris rapi di rak ini. Sekilas aku melihat sebuah benda berkedapkedip.
Itu ponselku!
Ponselku terselip di antara dua buku, sebuah buku dongeng dan buku ekonomi yang super tebal berwarna hitam. Kuambil buku ekonomi itu agar memudahkanku mengambil ponsel. Seketika sinar matahari dari jendela menerobos melalui celah buku tebal itu dan tampak seseorang sedang tertidur di sebuah bangku dekat jendela. Wajahnya bersinar tertimpa cahaya matahari, ia tampak seperti malaikat. Ini seperti deja vu. Kulirik buku dongeng yang ada di sampingku, Tristan and Isolde.
Otakku bisa menangkap apa yang sebenarnya terjadi. Orang yang mengambil ponselku, orang yang tadi malam meneleponku, dan orang yang bermain teka-teki denganku, pelakunya hanya satu. Tristan! Aku langsung berjalan menghampiri cowok yang sedang memiringkan kepala di atas lipatan tangannya itu. Benar saja, itu Tristan. Wajahnya tepat menghadap ke arahku. Mungkin sudah dua kali aku melihat wajah Tristan yang sedang tertidur, namun entah kenapa kali ini rasanya berbeda. Aku merasakan jantungku berdesir melihat keluguan wajahnya itu.
Aku menarik bangku di sampingnya dan duduk. Aku tidak tahu kenapa sampai melakukan ini, rasanya hatiku tergerak untuk memandangi cowok yang sedang tertidur pulas itu.
Apa tadi Tristan bolos waktu pelajaran sejarah? Astaga, bahkan aku tidak memperhatikannya. Terkadang aku heran kenapa Tristan bisa dengan mudah masuk dan tidur di perpustakaan tanpa terjebak kesinisan Kak Ami.
Mataku terus menatap Tristan. Aku bisa mendengar helaan napasnya, melihat dadanya yang mengembang dan mengempis. Mungkin sudah dua kali aku melihat wajah Tristan lekat-lekat. Aku baru menyadari kalau cowok itu punya bulu mata yang lentik juga bentuk bibir yang tipis berwarna pucat. Dia terlihat lucu ketika tidur.
Dengan pelan kuangkat telunjuk lalu menyentuh hidungnya. Bukan berniat untuk membangunkannya, aku melakukan ini karena sesuatu dalam diriku yang memintanya. Aku tidak tahu atas dasar apa aku selancang ini. Jantungku makin bergemuruh ketika kelopak mata Tristan bergerak dan perlahan terbuka. Mata hitam itu menatapku, begitu dalam hingga membuatku tenggelam di dalamnya. Berbeda dengan mata cokelat milik Gav yang hangat, mata hitam Tristan justru membuatku merasa dingin. Aku benci mengakuinya tapi kenyataannya diamdiam aku mulai membandingkan dirinya dengan Gav.
Rasanya aku makin sulit bernapas ketika telapak tangan Tristan menyentuh pipi kiriku. Tangannya terasa begitu dingin. Tristan mengusap pipiku, sekali, dua kali lalu beralih menuju daguku. Aku masih tidak mengerti kenapa aku tetap diam saat Tristan melakukannya. Seharusnya aku menghindar, seharusnya aku marah. Namun, aku merasa nyaman. Tristan pernah memelukku dan sekarang menyentuh wajahku. Tristan melakukan hal yang seharusnya hanya dilakukan oleh Gav dan anehnya aku merasa baik-baik saja.
" Sudah ketemu?" tanya Tristan dengan suara serak, tangannya masih berada di wajahku.
Aku mengangguk pelan tanpa membuang pandanganku darinya. Apa ini yang namanya tersihir? Ya Tuhan, aku begitu terpikat dengan tatapannya.
" Sayang ya...," ucap Tristan sambil menurunkan tangannya dari wajahku, " cewek secantik kamu... sudah ada yang punya."
Kini aku benar-benar tidak bisa bernapas mendengar ucapannya. Aku tidak tahu apakah Tristan serius mengatakannya atau hanya bergurau. Yang jelas aku tidak bisa memikirkan apa-apa untuk menjawabnya. Aku sadar seharusnya aku tidak begini, tidak menatapnya begitu dalam, tidak berada di sampingnya sedekat ini. Aku tidak ingin memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Karena sejujurnya, sampai sekarang aku tidak bisa melihatnya tanpa mengingat segala hal yang pernah dilakukannya kepadaku.
Namun benar-benar tidak mudah menolak kata hati. Hatiku yang meminta tetap di sini, menatapnya, bersa manya. Aku benar-benar bisa merasakan debaran jantungku juga kenyamanan dari setiap sentuhan jemarinya. Mungkin ini adalah hal yang salah, tapi aku tidak ingin membenarkan pernyataan apa pun tentang perasaanku. Mungkin saja perasaan ini hanyalah sebuah ilusi.
Jam pelajaran terakhir diisi dengan pelajaran kesukaanku yaitu olahraga. Kami langsung berbondong-bondong menuju lapangan setelah berganti pakaian. Aku sangat suka pelajaran olahraga di jam terakhir, karena hari mulai sore dan aku tidak harus berganti pakaian dua kali. Kebetulan materi olahraga kali ini adalah gymanstic, melakukan roll depan, roll belakang, dan sikap kayang. Aku sudah menguasai semua gerakan itu dan yakin akan mendapat nilai bagus.
Melihat teman-temanku melakukan roll depan benarbenar lucu, tak sedikit dari mereka yang tidak bisa berbalik atau bah kan malah menungging. Beberapa dari mereka memintaku me ngajari teknik melakukannya, dengan senang hati aku menunjukkannya di atas matras. Mungkin karena tubuhku mungil, aku jadi lebih mudah melakukan gerakan gymnastic.
Aku langsung menyambit nilai sempurna selesai praktek, membuat beberapa temanku iri lalu menyorakiku sambil tertawa. Dengan sabar aku mengajarkan mereka step by step. Sebenarnya untuk melakukan gerakan gymnastic, juga melakukan segala hal, yang dibutuhkan hanya satu, yaitu keberanian. Jika kita sudah mempunyai niat namun tidak berani mencoba, keberhasilan kita tetap saja akan tertunda.
Senyumku mengembang melihat beberapa temanku berhasil melakukannya, meski gerakan mereka masih kaku dan tampak ceroboh. Kulihat teman-teman cowok bisa melakukannya dengan baik.
Setelah praktek selesai, kami dipersilakan beristirahat karena waktu pulang masih setengah jam lagi. Siswa lakilaki langsung berkumpul di tengah lapangan dan bermain bola, sedangkan siswa perempuan hanya duduk-duduk di pinggir lapangan sambil menikmati minuman dingin dan mengobrol. Pikiranku tak sepenuhnya fokus pada teman-temanku, karena sesekali aku melirik Tristan yang sedang bermain bola. Wajahnya berubah serius ketika bermain bola, sesekali ia berhenti berlari untuk mengelap keringatnya dan menggiring bola yang dioper kepadanya. Tim Tristan masih tertinggal dua poin dari tim lawan.
Suasana lapangan makin memanas karena poin kedua tim seimbang. Mereka saling berebut bola, menendang, menggiring, berusaha mencetak gol, berteriak, dan banyak lagi. Kini siswa perempuan beralih menonton siswa lakilaki bermain bola sambil bersorak menyemangati mereka. Perlahan-lahan aku melihat ada sesuatu yang aneh terjadi pada Tristan. Cowok itu tidak lagi berlari, wajahnya tampak begitu kelelahan dan dia sulit mengatur napas. Dia berjalan dengan pelan sambil memegangi dadanya, tampak mengernyit kesakitan. Tiba-tiba saja tubuhnya... tumbang. Tristan terjatuh! Astaga, Tristan pingsan!!
" Tristan!!!"
Sontak guru olahraga dan teman-teman sekelasku berlari menghampirinya, tak terkecuali aku. Temantemanku langsung membopong Tristan menuju UKS, sisanya hanya bergeming di lapangan karena terlalu terkejut dengan kejadian barusan.
Ada apa dengan Tristan? Kenapa tiba-tiba ia pingsan? Apa ia sakit? Aku kembali mengingat pertemuanku dengannya di perpustakaan tadi pagi. Aku sadar kalau wajah Tristan agak pucat. Penasaran, aku menyusul ke UKS.
" Mau dibawa ke mana?" tanyaku pada Sam ketika kulihat Tristan dibopong keluar dari UKS dan dibaringkan di dalam mobil operasional sekolah. Wajah temantemanku berubah panik, sepertinya pingsan yang dialami Tristan bukan karena kelelahan atau semacamnya. Sampai sekarang Tristan belum sadarkan diri.
" Ke rumah sakit, kondisinya makin parah," jawab Sam sambil terengah-engah. Wajahnya benar-benar panik hingga berkeringat. Ia langsung masuk ke dalam mobil dan duduk menemani Tristan di kursi tengah bersama seorang temanku yang lain. Kulihat wali kelas kami berjalan tergesa-gesa menghampiri mobil sekolah sambil membawa tas. Sepertinya ia akan mendampingi Tristan ke rumah sakit. Mobil itu melaju cepat keluar gerbang sekolah, meninggalkan banyak mata yang memandang penuh tanya.
Seketika rasa takut menjalari diriku. Apa yang sebenarnya terjadi pada Tristan? Ya Tuhan, semoga segalanya akan baik-baik saja. Aku berharap ia hanya kelelahan atau penyakit ringan biasa. Aku belum pernah merasa sangat khawatir seperti ini, apalagi pada Tristan.
ef
CherIsh
" Romeo and Juliet, they never felt this way I bet. So don t underestimate my point of view." MYMP
E ntah sudah berapa kali aku mengaduk minuman di
hadapanku sampai bongkahan es batu itu mengecil. Aku menatap lurus ke arah lapangan, membiarkan semua yang ada sekitarku terlihat abu-abu. Pikiranku hanya tertuju pada Tristan. Sudah empat hari cowok itu tidak menginjakkan kakinya di sekolah, mengisi ruang kelas, dan duduk santai di bangkunya. Batang hidungnya tak lagi terlihat sejak kejadian itu. Tanpa sadar aku menantikan kehadirannya
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Tristan, mungkin teman-teman yang lain juga begitu. Tidak ada kabar apa pun mengenai Tristan sejak dilarikan ke rumah sakit. Aku juga tidak mengerti apa alasan Sam dan beberapa orang yang mengantar Tristan ke rumah sakit memilih tutup mulut rapat-rapat. Berkali-kali aku bertanya pada Sam tentang kondisi Tristan, namun cowok itu hanya menjawab kalau dia baik-baik saja dan butuh istirahat. Aku tidak bodoh. Aku tahu ada sesuatu yang disembunyikan tentang Tristan. Sesuatu yang membuatku takut.
" Cal, kamu kenapa sih? Kok ngelamun terus?" Suara Gav dengan cepat membuyarkan lamunanku. Sambil gelagapan aku menoleh padanya, ia menatap heran ke arahku. Hampir saja aku lupa keberadaan Gav, padahal hampir 20 menit kami duduk di kantin. Atau janganjangan sejak tadi Gav mengajakku ngobrol tapi kuabaikan? Astaga, sadarlah, Cal!
" Nggak apa-apa kok."
Kulihat Gav mengangguk pelan lalu menyeruput sedikit minumannya.
" Oh ya, teman sekelasmu ada yang pingsan waktu olahraga, ya?"
Sekujur tubuhku menegang, ternyata Gav pun tahu. Apa kini seluruh siswa di sekolah tahu tentang kejadian itu" Iya. Tristan."
" Tristan?" tanya Gav, " Yang mana orangnya?" Aku tersenyum tipis. Memang banyak yang tidak mengenal Tristan, aku pun baru mengenalnya sejak satu kelas. Seperti yang kubilang, Tristan tidak aktif dalam kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah. Tidak ikut klub, tidak pernah berkumpul dengan teman-teman, dan jarang sekali menampakkan diri di sekolah. Tristan bisa tiba-tiba menghilang lalu muncul dan menghilang lagi. Aku tidak tahu apa kesibukannya. Kurasa ia suka sekali menyendiri. Mungkin satu-satunya teman akrabnya adalah Sam.
" Tristan itu... hmm... yang kita lihat tidur di perpustakaan," jawabku, sedikit mengingat kenangan pertamaku tentang Tristan.
" Oh yang itu," Gav mengangguk cepat, " kenapa dia pingsan?"
Aku mengangkat bahu, " Nggak tahu, temen-temen juga gak ada yang tahu."
" Hmm, mungkin cuma kelelahan."
Semua orang berpendapat begitu, tapi aku yakin Tristan bukan cuma kelelahan. Ia tidak perlu dilarikan ke rumah sakit atau absen selama empat hari kalau hanya kelelahan. Tapi aku berusaha untuk berpikir positif meski rasanya sulit. Aku berharap semoga besok pagi aku bisa melihat Tristan duduk santai di bangkunya, dengan earphone di telinga, sambil tersenyum tipis padaku.
*** Kutatap tumpukan buku biologi di tanganku sambil mendengus, berat sekali. Karena hari ini kebagian tugas piket, jadi aku harus membawa tumpukan buku biologi itu ke ruang guru. Aku mengangkat buku-buku itu dengan hati-hati lalu berjalan pelan menuju ruang guru.
" Perlu bantuan?" tawar Sam yang berpapasan denganku. Tanpa pikir panjang aku mengangguk dan menyerahkan setengah buku di tanganku padanya.
" Hebat juga ya kamu, kecil-kecil bisa bawa buku seberat ini," ledek Sam.
Aku langsung melotot ke arahnya dan mencibir, " Siapa yang kamu bilang kecil?" Aku pura-pura melotot. Sam tertawa, " Sorry, bercanda."
Beberapa menit kemudian, kami tiba di ruang guru dan langsung menghampiri meja Bu Senja. Langkah kami terhenti ketika melihat seorang wanita paruh baya duduk berhadapan dengan wali kelas kami itu. Sepertinya orangtua murid dan pembicaraan mereka tampak begitu serius. Aku menoleh pada Sam, cowok itu bergeming di sampingku dengan tatapan yang sulit diartikan. Kulihat sorotan mata dan raut wajahnya lekat-lekat, dan aku bisa melihat Sam sedang gelisah. Ada apa dengan Sam? Kenapa ekpresinya berubah seperti ituKulihat Sam meneruskan langkahnya mendekati meja Bu Senja, aku ikut dan berdiri di sampingnya. Dari sini aku dapat melihat jelas ibu yang duduk di hadapan Bu Senja. Ibu itu berkulit putih, dengan rambut pendek mengombak. Wajah manisnya dilengkapi dengan mata bengkak juga hidung yang memerah. Ibu itu sedang menangis. Aku sedikit terkejut. Sesekali ia mengelap air matanya dengan tisu, lalu menangis lagi. Seakan tidak ada yang mampu menghentikan kesedihannya.
Sam langsung meletakkan tumpukan buku itu dan pamit dari hadapan Bu Senja. Aku tidak punya pilihan lain selain mengikuti Sam. Mungkin Sam tidak mau terlalu lama mengganggu Bu Senja dan tamunya. Namun raut gelisah belum hilang dari wajah Sam. Ia mengembuskan napas dengan berat ketika kami keluar dari ruang guru.
" Kamu kenapa sih, Sam?" tanyaku penasaran dengan perubahan sikap dan ekspresi Sam.
" Bukan kabar baik," jawabnya singkat. Lagi-lagi ia mengembuskan napas lalu mengusap pelipisnya dengan sebelah tangan.
" Maksud kamu?"
Sam tidak menjawab pertanyaanku, cowok itu malah berjalan mendahuluiku dengan langkah cepat. Aku tidak suka dibuat penasaran, jadi aku mengejar Sam. Dia masih terus berjalan menuju kelas.
" Sam, ada apa sih? Kenapa kamu nggak jawab?" tanyaku mulai kesal. Kutarik lengan baju Sam, membuat cowok itu menghentikan langkahnya.
Perlahan dia menoleh padaku, " Ibu yang tadi bersama Bu Senja, adalah orangtua Tristan."
Aku hanya membisu mendengar jawaban Sam. Dia kembali meneruskan langkahnya, meninggalkanku dengan seribu pertanyaan di benak. Jadi wanita itu adalah Ibu Tristan? Tapi kenapa menangis? Ya Tuhan, pasti sesuatu yang buruk telah terjadi pada Tristan.
ef
Every Breath You Take
" Since you ve gone I been lost without a trace, I dream at night I can only see your face. I look around but it s you I can t replace, I feel so cold and I long for your embrace." MYMP
S iaran kartun di televisi sama sekali tidak membuatku
terhibur. Bertoples-toples camilan yang tersedia di meja juga tidak kusentuh. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku seperti ini, terus memikirkan pertanyaan yang tak berhasil ku te mukan jawabannya. It s all about Tristan. Kenapa semua orang merahasiakan kondisinya? Kenapa Sam tidak memberitahuku agar aku berhenti menerkanerka? Rasanya aku hampir gila memikirkan Tristan.
" Matiin tv-nya kalau nggak ditonton," seru Kak Sandi sambil duduk di sebelahku. Sudah beberapa hari ini Kak Sandi di rumah, katanya jadwal kuliahnya sedang kosong. Cowok bertubuh tinggi itu asyik melahap camilan sambil mengganti saluran tv yang kutonton ke acara olahraga. " Hari Minggu Gav sibuk nggak, Cal? Kakak mau ajak dia main Playstation. Sudah lama nggak main sama Gav."
Aku hanya mengangkat bahu, tidak berniat menggubris ucapannya.
" Yeee, ditanya juga!" seru Kak Sandi sewot lalu melempar kan serpihan keripik kentang ke arahku, membuat rambutku kotor. Aku langsung membalas perlakuan usilnya dengan mengelitikinya. Kak Sandi paling nggak tahan kalau digelitik. Sedetik kemudian suasana ruang tengah rumah kami berubah ricuh karena aku dan Kak Sandi saling melempar bantal sofa.
Gerakan kami berhenti begitu saja ketika mendengar dering telepon rumah. Aku dan Kak Sandi saling bertatapan.
" Ada telepon tuh, kamu yang angkat sana!" " Ih, nggak mau! Kakak aja sana!" elakku sambil membenamkan wajah ke bantal. Kak Sandi langsung menarik bantal di tanganku, dan tertawa terbahak-bahak.
Telepon itu masih terus berdering, membuat kami risih. Kak Sandi kembali menatapku.
" Mungkin itu telepon dari Mama atau Papa, cepat sana angkat! Kamu kan adiknya."
" Aku ini adikmu bukan pembantu!" bentakku pada Kak Sandi.
Ternyata cowok itu tetap tidak mau mengalah, " Tapi aku yang lahir lebih dulu di rumah ini, jadi aku berhak menyuruh kamu!"
" Mungkin itu mantan pacarmu! Nanti kalau diangkat pasti langsung ditutup!" seruku tak mau kalah.
" Itu kan waktu SMA!" balas Kak Sandi. Ia memang pernah punya mantan pacar yang menyebalkan waktu SMA. Mantan pacarnya itu selalu menelepon ke nomor rumah kami, hampir setiap malam. Lalu ketika kami mengangkat teleponnya, sambungannya langsung terputus. Benar-benar cari perhatian. Kak Sandi bilang mantan pacarnya begitu karena masih sangat berharap padanya. Tapi kini kami tidak pernah mendapat telepon iseng darinya lagi.
Telepon itu masih saja berbunyi, sedangkan aku dan Kak Sandi masih sibuk bersuit untuk menentukan siapa yang kalah. Aku langsung tersenyum puas mendapati dirinya kalah suit dariku. Kak Sandi langsung beranjak dari sofa dengan malas dan berjalan menghampiri telepon.
" Halo... mau bicara dengan siapa?" tanyanya, nada suaranya benar-benar datar. Aku hanya menertawainya dari sofa.
" Oh, Calya? Iya dia ada... kamu siapa? Pacar barunya Calya?"
Mendengar namaku disebut, aku langsung melompat dari sofa dan menyambar gagang telepon yang masih menempel di telinga Kak Sandi. Ia mengernyitkan alis matanya dan menatapku sambil mendengus kesal.
" Jangan ngomong macam-macam!" sahutku pada Kak Sandi.
" Halo... ini Calya, siapa ya?" Kudengar seseorang di ujung telepon itu tertawa kecil.
" Hai, Cal, apa kabar?"
Mataku langsung membulat mendengar suara itu. " Tristan? Kamu Tristan, kan? Gimana keadaanmu? Kenapa kamu nggak masuk sekolah?" tanyaku bertubitubi. Dengan cepat kututup mulutku ketika menyadari Kak Sandi masih berdiri di belakangku, tersenyum usil. Aku benci senyumannya itu.
Tristan tertawa lagi, " Aku baik-baik aja, Cal. Kenapa? Kamu kangen, ya?"
Seketika pipiku menghangat. Aku berusaha keras menahan senyum dan mengatur detak jantung yang mulai tak beraturan. Hanya mendengar suaranya bisa membuatku bereaksi berlebihan seperti ini. Entah kenapa aku begitu senang, seakan-akan ia telah kembali setelah lama menghilang.
" Hmm... ya teman-teman di kelas kan kangen sama kamu," jawabku setelah memutar otak untuk menjawab pertanyaannya.
" Bukannya ada atau nggak ada aku di kelas rasanya sama aja?" tanya Tristan lagi, membuatku speechless. Lalu aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
" Oh ya, ngomong-ngomong ada apa nelepon aku, Tris?"
" Memangnya nggak boleh?"
" Boleh kok. Tapi aneh aja, tiba-tiba kamu telepon." Aku bisa mendengar helaan napas Tristan dengan samar-samar.
" Nggak tahu, Cal, tiba-tiba aja aku kepikiran kamu," jawabnya lirih.
Astaga, setelah membuat wajahku panas kini Tristan juga membuat kakiku terasa lemas.
" Oh ya...?" Hanya itu yang bisa kuucapkan. Otakku rasanya membeku.
" Kayaknya aku kangen kamu, Cal." Deg.
Kali aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Tristan juga hanya terdiam, tak melanjutkan kalimatnya. " Cal... Calya...," panggilnya.
Seperti bebas dari matra aku menjawab Tristan, " Oh... iya... hei... ada apa Tris?"
Dan cowok itu tertawa.
" Bercanda kok Cal... kamu ini langsung ge-er ya?" tanyanya usil, masih diiringi tawa renyahnya. " Tristaaan!!"
" Hahaha... ya sudah, besok aku masuk sekolah kok. Sampai ketemu besok ya, Cal! Oh iya, aku juga pinjam buku tugas dan catatanmu ya. Aku janji kali ini nggak bakal hilang."
Aku tersenyum lalu mengiyakan permintaan Tristan. Tanpa sadar senyum itu masih mengembang sampai sambungan telepon kami terputus. Jantungku masih berdebar kencang, perasaan senang pun seakan merebak di rongga dadaku. Aku berbalik dan secepat kilat menghapus senyuman itu ketika mendapati Kak Sandi masih berdiri di sana. Ia mengedipkan sebelah matanya sambil terus tersenyum ke arahku.
" Apaan sih?" tanyaku ketus.
Kak Sandi terkekeh, " Siapa tadi, Cal? Kayaknya kamu senang banget dapat telepon dari dia. Gebetan? Ya ampun, kamu kan udah punya Gav, Cal! Eh ngomong-ngomong dia jago main Playstation nggak, Cal? Kapan-kapan ajak ke sini, Cal, aku mau main sama di..."
Aku menutup telingaku rapat-rapat dan berlari menuju kamarku. Kak Sandi terus mengoceh seperti kereta. Aku merebahkan tubuhku di ranjang sambil terus tersenyum membayangkan bertemu dengan Tristan besok pagi. ***
" Ayo ulang lagi! Semangat latihannya, jangan lesu!" seru Kak Amora sambil menepuk tangannya untuk memberi semangat pada anggota tim cheerleader.
Aku mengusap keringat di kening lalu membetulkan kuncir rambut yang sudah tidak berbentuk. Kali ini kami mendapat izin untuk latihan di jam pelajaran, agar bisa konsentrasi karena biasanya lapangan sangat ramai di jam istirahat. Namun kenyataannya, sampai saat ini gerakan kami masih saja salah dan aku merasa lompatanku tidak sebagus biasanya.
Aku menoleh ke sisi lapangan yang lain. Di sana juga ada tim baseball yang latihan sama kerasnya. Menurutku permainan mereka sudah bagus namun mereka masih saja merasa kurang. Apalagi seseorang yang kini tengah memukul bola, selalu tampak sigap dan bersemangat menggenggam tongkat baseball-nya. Aku hanya tersenyum melihat Gav.
Latihan kami dimulai lagi, dan aku bersiap di posisiku. Cheerleader melelahkan namun entah kenapa selalu berakhir menyenangkan. Rasanya sangat puas menghibur dan menyemangati tim baseball yang sedang kelelahan. Apalagi bila salah satu anggota tim baseball adalah orang yang kita sayangi.
Aku sudah sampai di formasi paling atas dan bersiap memainkan pompom sambil bersorak. Namun tibatiba pandanganku tertuju ke pinggir lapangan, seketika jantungku mulai bereaksi tak karuan. Di sana duduk seorang cowok di bawah pohon sambil membungkukkan sedikit tubuhnya. Cowok itu menatapku tajam dan tersenyum, membuatku tidak bisa melepaskan pandangan darinya. Sedang apa Tristan di sana? Menontonku latihan? Seharusnya ia berada di kelas sekarang. Tapi apa yang ia lakukan di sanaKupulihkan debaran jantung dan kembali berkonsentrasi pada gerakanku. Namun, entah mengapa aku merasa begitu semangat setelah tahu Tristan berada di ujung sana dan melihatku. Melihat senyumnya yang mengembang seperti tadi membuat seluruh rasa lelahku hilang. Benarbenar menyihirku.
Tristan masih ada di sana sampai latihanku selesai. Aku tidak tahu apa maksudnya, yang jelas aku senang.
" Ke kantin, yuk? Aku haus," suara Gav mengalihkan pandanganku dari Tristan, kini jantungku berdetak berkalikali lebih cepat. Bisa gawat kalau Gav memergoki aku sedang memandangi Tristan.
" Iya, aku juga," jawabku. Gav menggandeng tanganku seperti biasa. Namun kini rasanya ada yang aneh ketika Gav memegang tanganku.
Kami berjalan menyusuri lapangan menuju kantin, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika melewati Tristan. Aku merasa luar biasa tidak nyaman. Entah kenapa aku merasa tidak enak pada Tristan. Perlahan-lahan aku menoleh ke arah cowok itu, ia masih duduk di sana sambil memandang lurus ke arahku. Aku tidak memalingkan wajahku meski rasanya sesak melihat sorotan mata yang kecewa itu. Aku tahu ada yang salah dalam diriku. Bergandengan tangan dengan Gav, namun memandang lurus pada Tristan. Tibatiba ucapan Tristan saat itu kembali terngiang di telingaku. Sayang ya...Cewek secantik kamu... sudah ada yang punya. ***
Aku mendapati Tristan sudah duduk di bangkunya ketika tiba di kelas. Cowok itu menatapku ketika aku berdiri di ambang pintu. Ada aura kikuk yang kurasa, namun Tristan malah tersenyum padaku.
Ini dia Tristan yang kurindukan. Tristan yang duduk santai di bangkunya dengan sepasang earphone di telinga, dan tersenyum ke arahku.
ef
Don t Dream It s Over
" There s a battle ahead, many battles are lost. But you ll never see the end of the road, while you re traveling with me." MYMP
B adanku rasanya sakit sekali, seolah seluruh tulangnya
akan remuk. Mungkin ini karena latihan yang terlalu keras. Kini jadwal latihan bertambah, sewaktu jam pelajaran dan sepulang sekolah. Pagi ini aku hanya duduk bersandar di boncengan motor Gav, berusaha memanjakan tubuhku yang terasa pegal. Bersandar di punggung Gav membuat rasa lelahku sedikit berkurang. Sampai saat ini, tidak ada punggung yang senyaman milik Gav. Entah kenapa hal itu membuatku menerka-nerka, apa punggung Tristan rasanya juga senyaman ini" Kamu harus lebih banyak istirahat, Cal. Jangan lupa minum vitamin," kata Gav dengan suara lembut. Aku mengangguk, " Hari ini kamu latihan?" " Iya, sepertinya hari ini aku nggak bisa antar kamu pulang. Kami mau melakukan sparing dengan tim baseball SMA 1. Jadi jam istirahat kedua nanti kami ambil dispensasi dan pergi ke SMA 1," jawab Gav. " Hmm, gitu ya. Kamu harus semangat ya!" Gav mengangguk, " Pasti! Tapi... nggak apa-apa kalau hari ini kamu pulang sendiri?"
" Nggak apa-apa kok. Ntar aku bisa minta Kak Sandi jemput. Dia lagi di rumah sekarang, nanyain kamu mulu."
" Oh ya? Udah lama aku nggak main game bareng Kak Sandi. Kalau ada waktu aku main ke rumah kamu ya." " Oke."
Percakapan kecil itu berhenti. Aku memang jarang bicara pada Gav akhir-akhir ini, padahal biasanya kami selalu mengoceh sepanjang jalan. Entahlah, aku merasa diriku sedang tidak ingin bicara banyak dengannya. Aku tidak tahu apa yang membuatku begitu, padahal Gav selalu bersikap baik padaku seperti biasanya.
Mungkin salah satu alasannya adalah Tristan. Ternyata dia menyimpan nomor ponselku. Jadi sekarang kami lebih sering berkomunikasi lewat ponsel. Tak jarang Tristan meneleponku di malam hari sampai aku terlelap, juga beberapa pesan kecilnya yang menyambutku di pagi hari. Sedikit demi sedikit aku makin mengenal Tristan. Ternyata dia lumayan perhatian dan humoris. Entah karena aku memang cepat merasa nyaman dengan orang lain atau Tristan yang memang bisa membuatku nyaman.
Aku tidak tahu apa yang terjadi antara kami, yang kutahu rasa nyaman ini nyata.
Pelajaran olahraga selesai dengan cepat dan kami boleh melakukan apa saja di jam olahraga kali ini. Mungkin karena kami sudah selesai mengambil nilai atau karena guru olahraga kami sedang tidak mood mengajar. Aku dan teman-teman memilih untuk bermain basket.
Aku melihat Tristan duduk manis di bangku besi di sisi lapangan. Ia masih mengenakan seragam sekolahnya, tidak mengganti pakaian olahraga seperti kami. Ia hanya duduk menyaksikan kami bermain basket sambil sesekali menimpali ucapan teman-temannya. Mungkin ia belum terlalu it untuk ikut olahraga. Kupikir Tristan masih butuh banyak istirahat karena wajahnya terlihat pucat.
Sebelum pulang, aku mengganti pakaian olahragaku dengan seragam sekolah. Keringat yang membasahi bajuku membuat sedikit risih. Aku langsung berjalan menuju gerbang sekolah dengan ponsel di telinga. Aku menelepon Kak Sandi dan memintanya untuk menjemputku. Namun sejak tadi panggilanku belum dijawabnya.
" Halo... Kak bisa jemput..." Belum sempat kuselesaikan ucapanku, Kak Sandi memotongnya dengan cepat. " Nggak bisa, Kakak lagi di salon nemenin Elisa." Rasa kesalku tiba-tiba muncul. Lihat? Bahkan kakak kandungku sendiri lebih memilih menemani pacarnya berjam-jam di salon dibanding menjemput adiknya yang kesusahan? Aku mengoceh panjang lebar memarahinya sampai akhirnya ia menutup telepon. Aku mendengus kesal. Jadi di sinilah aku. Duduk sendirian di depan sekolah sambil menunggu angkutan umum yang lewat.
" Mau pulang bareng?" tanya suara rendah itu. Tristan sudah berada di sampingku dengan sepedanya. Aku tak habis pikir kenapa ia malah naik sepeda ke sekolah dengan kondisi tubuhnya yang baru saja pulih.
" Rumahku jauh, Tris," jawabku.
" Tenang aja, daripada kamu naik angkutan umum sendirian? Tapi sepedaku nggak ada jok boncengnya, jadi kamu harus berdiri di penyangga kaki. Nggak apa-apa?"
Aku terdiam sebentar sambil memandang sepedanya. Buatku benar-benar tidak masalah mau berdiri atau duduk, yang terpenting aku cepat sampai di rumah. Tapi aku benar-benar tidak ingin merepotkannya. Ia lebih baik cepat pulang dan istirahat di rumah daripada harus mengantarku pulang. Aku masih belum menjawab, dan Tristan malah terlihat menunggu jawaban dariku. " Kamu yakin, Tris? Kamu kan masih sakit." " Astaga, perlu berapa kali aku bilang? Aku baik-baik aja, Cal. Nggak usah khawatir," ujar Tristan, suaranya melembut. Ia tersenyum seakan meyakinkanku. Aku pun mengangguk.
" Maaf ya aku berat," kataku setelah menaiki sepeda Tristan. Kini aku mendapati hatiku mulai deg-degan gak jelas.
" Kalau berat, mana mungkin anggota cheerleader mau angkat kamu?" balas Tristan sambil tertawa.
" Oh ya, waktu itu kamu lihat aku latihan, kan? Gimana menurutmu? Apa gerakanku sudah bagus?"
" Hmm...," Tristan pura-pura berpikir, " bagus kok, Cal."
Aku tersenyum lebar, " Serius? Syukur deh kalau begitu."
" Iya bagus, mirip badut sirkus."
Cowok itu langsung tertawa terbahak-bahak, membuatku memukuli punggungnya dengan gemas. Namun aku tidak bisa menghalangi senyuman yang terus mengembang di wajahku. Menyusuri jalan bersamanya terasa sangat menyenangkan sekaligus menegangkan. Langit yang mendung membuat udara menjadi sejuk di sekeliling kami. Perlahan kulingkarkan lenganku di lehernya sambil sesekali menanggapi ucapannya. Kini aku menyukai aroma tubuh dan wangi rambut Tristan yang mulai akrab di penciumanku.
" Tris, aku boleh tanya sesuatu?" Tristan mengangguk kecil, " Boleh." " Memangnya kamu itu pelari, ya?" " Tahu dari siapa?"
" Hmm... dari Sam. Kenapa kamu suka lari?" Tristan menghela napas, " Aku suka lari sama kayak kamu suka cheerleader. Rasanya sudah melekat di dalam diriku, susah buat dijelasin."
Inseparable Karya Laili Muttamimah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Jadi kamu sering ikut kompetisi lari? Maraton?" " Cuma lari jarak pendek, aku belum pernah ikut maraton."
" Kenapa?" aku memiringkan kepalaku untuk melihat wajahnya.
Tristan terdiam lalu mengalihkan pembicaraan, " Aku mau menunjukkan suatu tempat, kamu mau ikut?" " Tempat apa?"
" Rahasia. Kamu mau nggak?" Aku mengangguk cepat, " Ayo!" " Tapi kamu jangan norak, ya."
" Ih, Tristan!" seruku, memukuli punggungnya lagi. Tristan tertawa lalu mempercepat laju sepedanya, otomatis aku mempererat penganganku.
" Jangan ngebut-ngebut!" sahutku lagi.
" Setelah ini ada turunan, siap-siap ya, Cal!" seru Tristan dengan suara samar-samar. Laju sepeda semakin cepat sampai kami tiba di sebuah turunan jalan. Aku berteriak sekencang mungkin sambil terus memeluk lehernya, aku bisa mendengar suara gelak tawa Tristan yang menyatu dengan angin.
Ketika kami sudah melewati turunan, sepeda Tristan berjalan lurus dan kecepatannya berkurang. Perlahanlahan Tristan melepaskan kedua tangannya dari stang dan meregangkannya ke atas. Telapak tangannya menghadap ke arahku, maka kusambut dengan jemariku yang terkunci di celah jari-jarinya. Aku merasa sangat takut, namun perasaan bahagia lebih memenuhi rongga dadaku. Kami seperti sedang bermain atraksi sirkus. Mungkin seperti badut sirkus. Rasanya memang aneh namun benar-benar mengasyikkan.
Akhirnya kami sampai di tempat rahasia yang ingin ditunjukkan Tristan padaku. Tempat itu adalah arena latihan berlari, mirip stadion. Tempat itu sangat luas, dihiasi enam garis pelari berwarna merah yang dibatasi oleh garis tipis berwarna putih memutari lapangan. Ditambah rerumputan hijau yang dipangkas pendek di tengahtengah, membuat tempat itu terlihat rapi dan terawat. Bangku-bangku penonton memanjang di sisi lapangan.
Ternyata arena berlari itu tidak sepi, ada belasan orang berlari memutari lapangan, melatih kemampuan mereka.
" Duduk di sini, ya. Aku beli minum dulu," pesan Tristan ketika aku duduk di bangku penonton. Ia pergi ke sudut lapangan dan kembali beberapa menit kemudian dengan sebotol minuman jeruk di tangannya.
" Nih," kata Tristan sambil menyodorkan botol minuman dan duduk di sampingku.
" Makasih, Tris," ujarku menerima minuman itu. Tristan mendesah pelan, " Rasanya sudah lama nggak ke tempat ini."
" Jadi ini tempat latihanmu?"
Tristan mengangguk, " Iya, ini tempat latihanku sekaligus rumah keduaku. Aku suka tempat ini."
" Tempatnya luas banget ya," gumamku, memandangi sekeliling lapangan yang tampak lebih jelas dari bangku penon ton. Aku membayangkan Tristan sedang berlari dengan langkah yang bebas dan lepas mengelilingi arena latihan itu. Atau aku membayangkan dirinya berlari maraton di sepanjang jalan kota bersama pelari lainnya. Ia akan tersenyum lebar dan berteriak puas ketika berhasil mencapai garis inish sebagai yang tercepat. Aku yakin, suatu hari bayanganku tentang Tristan pasti jadi nyata.
" Di sini sering diadakan kompetisi lari, aku pernah ikut beberapa kali."
" Oh ya? Kapan itu?"
" Hmm, waktu aku SMP sampai kelas sepuluh. Setelah itu aku nggak pernah ikut kompetisi lagi."
Alisku terangkat, lalu menatap Tristan dengan heran, " Kenapa? Katanya kamu itu pelari."
Tiba-tiba raut wajah Tristan berubah. Cowok itu menarik na pas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Lalu ia memandang lurus menghadap langit sambil menerawang. Air mukanya tampak sedih, juga seperti memikirkan sesuatu yang mengganjalnya.
" Kegagalan itu... bikin aku nggak mau mencobanya lagi, Cal."
Aku menatapnya lurus-lurus, " Memangnya kamu pernah gagal?"
" Semua orang pasti pernah gagal," jawab Tristan sambil membungkukkan badannya hingga menyentuh lutut. " Dan pikiran itu selalu menghantuiku."
" Mental juara nggak akan pernah takut gagal, Tris. Kamu harus percaya kalau kamu bisa," ujarku mencoba meyakinkan Tristan.
Tristan tersenyum kecut lalu menegakkan tubuhnya, " Kupikir, untuk apa terus mencoba jika akhirnya aku selalu gagal? Selama ini aku belum berhasil memenangkan kompetisi lari yang kuikuti. Aku merasa payah dan nggak bisa berbuat apa-apa selain menyerah."
" Bukannya semua orang tahu kalau kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda?" tanyaku dengan nada serius.
" Kamu bisa bilang begitu karena kamu nggak ngerasain, Cal."
" Siapa bilang aku nggak ngerasain? Kamu pikir aku nggak pernah gagal? Aku pernah gagal waktu lomba cheerleader, aku pernah gagal waktu peringkatku turun, aku pernah gagal waktu nilai ulanganku jatuh, kamu pikir itu bukan kegagalan?" Nada bicaraku meninggi, aku merasa tersinggung dengan ucapan Tristan.
Tristan terdiam, tampak terhujam oleh ucapanku. Ia terus menerawang, seperti sedang memikirkan sesuatu. Jujur, aku benar-benar merasa tidak senang melihat kesedihan yang terpancar dari wajahnya.
" Semua orang punya mimpi, dan setiap mimpi pasti punya jalan untuk dicapai. Kamu harus percaya itu, Tris." Sudut bibir Tristan terangkat, lengkungan tipis tergambar di wajahnya, " Kamu benar, Cal. Aku pun punya mimpi yang sama seperti semua pelari. Aku ingin jadi pemenang dalam kompetisi."
" Kalau begitu buktikan! Jangan jadi pengecut yang menciut karena kegagalan!" ucapku dengan mantap, membuat Tristan menoleh ke arahku.
Perlahan tangannya terangkat dan mendarat di atas kepalaku. Ia tertawa kecil sambil mengacak-acak rambutku dengan kasar. Aku hanya diam saja ketika mendapati rambutku jadi berantakan. Tapi tidak apa-apa, yang terpenting aku bisa melihat Tristan tertawa.
Aku merapikan rambut lalu membuka tutup botol minuman jeruk yang diberikan Tristan. Minuman segar itu langsung membasahi tenggorokanku yang kering karena perdebatan kecil tadi. Baru saja aku ingin menutup kembali botol minuman itu, Tristan bergerak cepat merebut minuman itu dariku dan langsung meneguknya hingga hampir habis. Aku merasa luar biasa tegang ketika bibirnya menyentuh mulut botol yang tadi tersentuh oleh bibirku. Namun kuakui Tristan benar-benar tampak menarik ketika meneguk minuman itu.
Pikiran anehku tentang Tristan langsung buyar karena suara ponsel. Aku meraih ponsel itu dari dalam tas dan tubuhku menegang ketika melihat nama yang terpampang di layar.
Gav calling.
Bagaimana ini? Gav meneleponku! Aku benarbenar tidak ingin menjawab telepon darinya, apalagi saat bersama Tristan. Tapi aku juga tidak ingin ponsel ini terus berdering. Kenapa Gav tiba-tiba meneleponku? Dengan cepat kuletakkan kembali ponsel itu di dalam tas, untuk meredam suaranya. Beberapa detik kemudian, dering ponsel itu berhenti. Aku kembali mengambilnya dan menatap layar ponselku yang meninggalkan sebuah missed call dari Gav dan tiga pesan masuk dari pengirim yang sama. Pesan itu masuk setengah jam yang lalu, tapi aku tidak menyadarinya.
" Kenapa nggak diangkat?" tanya Tristan,
Aku menghela napas pelan lalu mematikan ponselku, " Nggak apa-apa."
Tristan hanya mengangguk lalu berdiri dari tempat duduknya, " Udah sore, pulang yuk."
Aku ikut beranjak dari tempatku lalu berjalan mengikutinya keluar arena latihan. Hari ini aku menyadari satu hal yang salah dalam hidupku. Untuk pertama kalinya, aku menomorduakan Gav, demi seseorang yang sebenarnya bukan siapa-siapa bagiku.
ef
Crazy For You
" Trying hard to control my heart,
I walk over to where you are. Eye to eye we need no words at all." MYMP
M otor Gav sudah terparkir di depan rumahku
lebih cepat dari biasanya. Gav memang selalu menjemputku setengah jam sebelum bel masuk sekolah berbunyi, tak jarang pula ia sarapan bersama keluargaku. Namun kali ini Gav datang lebih cepat. Ia memilih menungguku di teras, padahal biasanya di ruang tamu. Ia juga enggan diajak sarapan bersama. Aku kembali teringat tentang kejadian kemarin. Pada akhirnya aku tidak membalas satu pun pesan dari Gav, meski dia mengirim banyak pesan. Mungkin hal itu yang membuatnya agak aneh pagi ini.
Tapi Gav tersenyum padaku seperti biasa walaupun perjalanan kami menuju sekolah benar-benar tanpa suara. Aku bisa merasakan tubuh Gav menegang ketika memeluk pinggangnya, benar-benar tidak seperti biasanya.
" Gav, kamu kenapa?" tanyaku pada akhirnya, merasa tidak leluasa dengan sikap diam Gav.
" Harusnya aku yang tanya begitu. Kenapa kemarin kamu nggak balas sms dan angkat telepon dariku?" Gav balik bertanya dengan dingin.
Tiba-tiba aku merasa sulit bernapas.
" Mm... kemarin aku capek banget, Gav, jadi tidur lebih cepat dan nggak sempat balas sms kamu."
" Kalau sorenya? Kenapa kamu nggak angkat telepon?"
Bagaimana ini? Apa yang harus aku katakan pada Gav? Sepertinya Gav terlanjur tidak percaya padaku. Aku tidak mungkin bilang kalau pergi dengan Tristan. Otakku terlalu buntu untuk mencari alasan.
" Kemarin pulang sekolah... aku kerja kelompok di rumah Linda."
" Kerja kelompok apa lagi? Memangnya nggak bisa balas sms dulu?"
Aku mendecakkan lidah, " Ponselnya kutaruh di tas Gav, aku nggak dengar waktu sms kamu masuk." " Apa susahnya sih sekadar ngasih kabar, Cal?" " Kenapa sih aku harus selalu ngabarin kamu?" bentakku.
Sontak aku menutup mulutku sambil menyesali ucapan kasar yang keluar tanpa bisa kukendalikan. Astaga, kenapa aku membentak Gav? Aku belum pernah bicara kasar pada cowok itu sebelumnya. Kini Gav menghentikan motornya lalu membalikkan badan dan menatapku dengan tatapan tak percaya. Aku melihat kekecewaan terpancar dari sorot matanya. Tiba-tiba saja aku mendapati hatiku terasa tersayat-sayat.
Kupikir Gav akan balik membentakku atau menurunkanku di tengah jalan dan pergi meninggalkanku. Namun ternyata cowok itu malah tersenyum tipis ke arahku.
" Cal...," panggilnya, masih dengan senyum yang sama.
" Kamu tahu, kan? Kita harus saling jujur supaya hubungan kita bertahan," ucap Gav getir, matanya menatapku tajam.
Aku merasa ada sesuatu yang memukul hatiku. Apa yang sudah kulakukan? Kenapa kemarin aku bisa pergi dengan Tristan tanpa memikirkan perasaan Gav? Semakin lama aku merasa makin terjerat dalam kenyamanan yang diciptakan Tristan, hingga melupakan Gav sejenak. Namun aku tidak tahu kenapa tetap melakukannya meski tahu hal itu yang salah.
" Mulai sekarang, kamu harus selalu kabarin aku ke mana pun kamu pergi," ujar Gav sambil menyalakan mesin motornya. Aku hanya bergeming tanpa membalas ucapannya.
Waktu itu berlalu disertai sebuah perubahan. Begitu juga dengan sifat dan perasaan. Kini aku mulai menyadari bahwa cinta memang telah menunjukkan jalannya sendiri. Kini semuanya terasa jelas bahwa sebenarnya perasaanku pada Tristan bukan sekadar ilusi. Bahwa sebenarnya cintaku bukan berujung pada Gav atau Tristan seorang, namun berujung pada sebuah persimpangan yang harus kupilih.
Aku mendapati diriku sedikit kecewa ketika tidak menemukan Tristan duduk di pinggir lapangan untuk menyaksikanku berlatih. Biasanya ia selalu di sana, duduk sendirian menatapku dari kejauhan. Aku mendengus pelan sambil meraih pompom dari dalam kantung peralatan. Festival olahraga itu semakin dekat, maka latihan kami dengan otomatis jadi lebih keras. Tak jarang beberapa anggota timku jatuh sakit setelah latihan atau mendapatkan memar-memar di tubuhnya.
From: T
Semangat latihan, Cal!
Sebuah pesan singkat masuk ke inbox-ku. Dari Tristan. Baru saja aku mencari-cari keberadaannya, ternyata ia datang dengan sendirinya.
To: T
Kamu di mana, TrisKubalas sms Tristan dengan cepat sebelum anggota timku menyadarinya. Kami memang tidak diizinkan menggunakan ponsel ketika latihan. Selain itu aku harus menahan senyumanku agar tidak mengembang. From: T
Nggak usah nyariin aku. Sekarang aku ada di suatu tempat dan intinya aku lihat kamu :p
Pada akhirnya senyuman yang kutahan mengembang tanpa bisa kukendalikan, terlalu lebar malah. Kumasukkan ponselku ke dalam tas kecil dan berlari ke lapangan untuk berkumpul bersama anggota yang lain.
Dua jam kemudian latihan kami berakhir, tepat bersama bel istirahat kedua yang berbunyi nyaring. Aku membereskan tas lalu duduk di pinggir lapangan. Kuraih ponselku dari dalam tas, dan mendengus kecewa karena tidak ada pesan yang masuk.
To: T
Sekarang kamu di manaAku kembali mengetik pesan singkat untuk Tristan, lalu dengan cepat kumasukkan ponsel itu ke dalam saku seragam. Kini aku bukan takut ketahuan oleh anggota tim cheerleader, tapi takut ketahuan sama Gav yang sedang berlatih di tengah lapangan. Sejak tadi aku menyadari bahwa tatapan mata Gav sesekali tertuju padaku, padahal biasanya ia selalu fokus saat latihan.
Getaran ponsel membuatku kaget, ternyata ada sebuah pesan balasan dari Tristan.
From: T
Di tempat hp kamu hilang, ayo ke sini!
Aku tahu betul tempat yang dimaksudnya adalah perpustakaan. Sebelum beranjak menuju tempat itu, aku sedikit mencuri pandang ke arah Gav. Dan ketika memastikan cowok itu tidak melihatku, aku berlari secepat mungkin menuju perpustakaan. Untuk pertama kalinya aku mendapati perpustakaan lumayan ramai, beberapa adik kelas terlihat sedang membaca buku di meja dengan tenang. Kulihat Kak Ami berdiri di depan rak buku-buku kimia, sepertinya sedang membantu salah seorang adik kelas mencari buku. Aku langsung melangkah menuju Tristan. Aku hapal betul tempat yang didudukinya bila berada di perpustakaan. Sebuah bangku yang persis menghadap jendela, tersembunyi di balik buku-buku ekonomi yang tebal.
Senyumku merekah melihat Tristan duduk membungkuk sambil memainkan ponselnya. Sebotol air mineral berdiri di pojok mejanya. Kuhampiri cowok itu lalu duduk tepat di sampingnya. Ia mengangkat wajah dan balas tersenyum ke arahku. Lagi-lagi wajahnya terlihat pucat dan lesu.
" Latihannya sudah selesai?" tanyanya, aku mengangguk. " Maaf aku cuma bisa lihat kamu dari kelas tadi." Suara Tristan terdengar sengau, seperti orang terkena lu. Aku langsung menyentuh keningnya, mencoba merasakan suhu tubuhnya. Panas.
" Kamu nggak apa-apa, Tris?"
Tristan menggeleng lalu menegakkan tubuhnya, " Tenang aja, kamu nggak usah khawatir kayak gitu, aku nggak apa-apa." Lalu pandangan Tristan beralih pada jam tangannya, " Ah, sudah waktunya," gumamnya pelan.
Aku mengerutkan kening sambil menatap cowok itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak transparan berisi pil berada di genggamannya. Ia membuka kotak itu lalu mengeluarkan sebuah pil.
" Apa itu?" tanyaku cepat, sebelum Tristan memasukkan pil itu ke mulutnya.
" Ini permen," jawabnya dengan santai. Ia meraih botol air mineral di pojok meja lalu meneguknya.
" Aku nggak bodoh, Tris! Jelas itu obat bukan permen!" bantahku pada Tristan, aku tidak suka candaannya.
Tristan tersenyum kecil, " Kalau kamu tahu ini obat kenapa malah tanya?"
" Ya... maksudku, itu obat apa?"
" Kamu janji nggak akan bilang siapa-siapa?" Raut wajah Tristan berubah serius. Ia menatap mataku tajam, seakan memastikan bahwa aku berjanji padanya.
Aku mengangguk dengan ragu. Jantungku terus berdegup menunggu jawaban darinya.
" Ini pil panjang umur," bisiknya.
" Tristaaan!" semburku lalu memukul cowok itu dengan kencang. Tristan tertawa terbahak-bahak karena berhasil mengerjaiku.
" Bercanda kok, Cal. Ini vitamin."
" Memangnya minum vitamin pakai waktu?" Tristan mengangguk sambil tersenyum usil. " Kenapa kamu minum vitamin?"
" Biar nggak gampang capek. Aktivitasku kan padat," ujarnya sambil menyeringai, seakan menutupi kepucatan di wajahnya.
" Memangnya apa aktivitasmu? Kamu nggak ikut klub dan organisasi mana pun, kamu nggak ikut les tambahan dan bahkan akhir-akhir ini kamu nggak pernah ikut pelajaran olahraga."
" Aktivitasku bukan cuma di sekolah, Cal," jawab Tristan. " Aku bakal lari lagi."
" Serius?" tanyaku dengan tatapan tak percaya. Tristan mengangguk pelan, " Aku masih punya satu mimpi dan ingin mewujudkannya."
" Mimpi untuk jadi pemenang dalam kompetisi lari?" " Ya, dan mimpi untuk memenangkan maraton," ujar Tristan mantap, lalu matanya menerawang. " Aku ingin sekali ikut maraton, Cal. Sekali seumur hidup juga nggak apa-apa."
Entah kenapa aku merasa begitu senang mendengarnya. " Aku akan selalu dukung kamu, Tris!"
Sebuah senyum getir menghiasi wajah Tristan.
" Aku akan coba gapai impian kecil itu. Biar pun sulit, atau malah nggak mungkin, tapi aku akan berusaha."
" Nggak ada yang nggak mungkin, Tris. Jangan berpikir seolah-olah mimpi kamu sudah berakhir." Kuraih lengan Tristan lalu menggenggamnya erat.
" Kamu benar. Aku nggak mau gantung sepatu secepat itu," ujar Tristan. " Gantung sepatu adalah istilah bagi pelari yang sudah benar-benar menyerah. Dan aku nggak akan mau melakukannya sebelum mimpiku tercapai."
Kini aku menatapnya begitu dekat. Aku menemukan setitik ketidakpercayaan dalam mata hitam Tristan, namun ia berusaha menutupinya untuk meyakinkanku. ***
Waktu istirahat berakhir, aku dan Tristan menghentikan obrolan lalu kembali ke kelas. Tiba-tiba kakiku terhenti ketika melihat Gav berdiri di pintu perpustakaan bersama beberapa temannya. Ternyata latihannya sudah selesai, bahkan ia telah mengganti pakaiannya. Ia menatapku tajam tanpa berkata apa-apa. Beberapa temannya memandang kami berdua dengan bingung.
" Ng... Gav," sapaku kaku. Lalu aku merasakan Tristan menyelinap keluar dari sisiku dan pergi menjauh, meninggalkanku yang kini berhadapan dengan Gav. " Kamu ngapain di sini, Cal?" tanya Gav agak sinis. " Aku... habis baca buku. Mm... kamu?"
Gav masih menatapku tajam.
" Oh, aku mau cari buku sama teman-teman. Sudah ya," Gav melewatiku dan berjalan masuk ke perpustakaan diikuti teman-temannya. Aku masih bergeming sambil mengatur irama jantungku yang amat kacau.
Apa Gav marah padaku? Jangan-jangan ia sempat melihatku dengan Tristan. Gav tidak pernah bersikap sedingin itu. Itu artinya ia benar-benar marah.
Aku menarik napas kuat-kuat lalu mengembuskannya dan berjalan menuju kelas. Sudahlah, aku akan membiarkan semua ini mengalir saja.
ef
Burn
" I want you to burn, burn for me, Baby. Like a candle in my night, Oh burn."
S ore ini aku duduk manis di motor Gav sambil
memandangi jalan raya yang kami telusuri. Hubunganku dan Gav sebenarnya baik-baik saja, namun akhir-akhir ini sepertinya tidak ada topik pembicaraan yang menarik di antara kami. Aku sendiri, entah kenapa, tidak bisa memandang Gav seperti dulu. Apalagi setelah Tristan hadir mengisi sebagian hatiku. Aku memang masih memeluk Gav, namun selalu ada perasaan mengganjal yang benar-benar tidak kusukai.
" Cal, apa kamu pernah merasa takut kehilangan?" Suara serak Gav membuatku terkejut. Aku mengangkat wajah dan melihat langit mendung di atasku. Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini dan aku belum siap untuk membahasnya sekarang.
" Kenapa, Gav?"
" Apa kamu pernah merasa takut kehilangan?" Gav mengulangi pertanyaannya. Suaranya mulai bergetar. " Ya, pernah," jawabku ragu.
" Gimana kalau nantinya kamu kehilangan aku?" Tubuhku langsung menegang, jantungku berdebar keras mendengar ucapan yang keluar dari bibir Gav. Ia tidak pernah bicara tentang hal ini, namun kini ia bertanya bagaimana bila aku kehilangannyaAku memeluk pinggang Gav. Jangankan berpikir untuk menjawab pertanyaan Gav, membayangkan kehilangan Gav saja aku tak bisa.
" Jangan diam aja, Cal, aku mau dengar jawaban kamu," kata Gav lirih.
" Untuk apa? Kamu sudah tahu jawabanku, Gav," jawabku tegas. " Aku nggak mau kehilangan kamu." Kudengar Gav tertawa hambar.
" Nggak tahu kenapa ada sesuatu yang aku cemaskan akhir-akhir ini. Pikiranku nggak pernah bisa tenang tiap kali mikirin hubungan kita."
" Maksud kamu?"
Gav mengembuskan napas dengan berat, " Cal, gimana kalau kita tukaran ponsel? Tapi nggak usah tukar kartu." Aku mendecakkan lidah, " Buat apa, Gav?" " Buat jaga-jaga aja."
" Maksud kamu apa sih, Gav?"
Gav memperlambat laju motornya, aku melihat raut wajahnya yang berubah dari kaca spion.
" Kamu agak aneh akhir-akhir ini, Cal. Itu yang bikin aku nggak tenang."
Dengan cepat aku melepaskan pelukanku di pinggangnya, " Aneh gimana sih? Kamu sendiri berubah dingin akhir-akhir ini."
" Aku berubah karena kamu berubah!"
" Semua orang pasti bakal mengubah cara pikirnya seiring waktu berjalan! Kamu harus terima kenyataan itu!"
" Terus apa yang kamu ubah dari cara pikirmu? Sekarang apa yang kamu pikirkan tentang aku? Kamu nggak kayak Calya yang aku kenal dulu!"
" Sudahlah, Gav!"
Aku benar-benar ingin menghentikan perdebatan ini. Bisa-bisanya Gav mengajakku bertengkar ketika berada di atas motor. Apa ia tidak bisa menahannya sampai di rumahku nanti? Rasanya aku ingin turun dari motornya sekarang juga.
" Cal, apa sih salahku sampai bikin kamu berubah kayak gini? Sebenarnya yang berubah itu cara pikirmu atau perasaanmu?"
" Cukup, Gav!" Kutinggikan nada suaraku agar Gav mengerti bahwa aku benar-benar nggak mau berdebat tentang hal ini. Aku kesal saat ia menghakimiku telah berubah. Aku kesal ketika ia tidak berkaca bahwa ia juga berubah. Ia jadi lebih posesif dari sebelumnya dan mulai bersikap dingin padaku.
" Maaf, aku cuma punya rasa sayang buat kamu, yang mungkin sudah nggak ada artinya."
Kata-kata itu seakan menggerogoti hatiku. Sungguh nyeri mendengar nada suara Gav yang bergetar ketika mengatakannya. Seketika aku merasa begitu jahat pada Gav. Sejak awal aku tahu kalau yang kulakukan bersama Tristan itu salah. Namun aku hanya manusia biasa yang tidak bisa mengendalikan kapan dan kepada siapa perasaanku akan berlabuh. Aku hanya bisa menikmati ketika Gav dan Tristan membawa hatiku melayang jauh. Aku tidak ingin kehilangan Gav bila aku memilih Tristan. Aku pun tidak ingin merelakan Tristan bila memutuskan tetap berada di sisi Gav.
" Kompetisi lari jarak pendek?" tanyaku pada Tristan yang berada di ujung telepon. Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur sambil menyelipkan gagang telepon di telinga kiriku.
" Iya, cuma 400m di arena latihan. Banyak peserta dari berbagai daerah yang ikutan juga. Aku ingin ikut kompetisi itu, Cal!" suara Tristan terdengar begitu bersemangat.
Bibirku mengulas sebuah senyum, " Kamu harus semangat! Ngomong-ngomong kapan acaranya?"
" Tanggal 19 Mei. Sekitar tiga minggu lagi," jawab Tristan.
Aku terdiam. Tanggal 19 Mei kan festival olahraga.
Hari yang paling kutunggu-tunggu bersama tim cheerleader. Kami harus berada di festival itu sampai klub baseball menyelesaikan pertandingannya. Dan itu artinya aku tidak bisa datang untuk menyaksikan Tristan.
" Tapi Tris... hari itu kan festival olahraga," ujarku dengan gugup.
Kini gantian Tristan yang terdiam.
" Oh ya, kamu benar. Aku hampir lupa dengan festival olahraga itu. Nggak apa-apa kok kalau nggak bisa datang, lagian kamu nggak mungkin ninggalin festival itu, kan?" ucapnya sambil tertawa. Lagi-lagi tristan menyembunyikan kesedihannya dengan tertawa.
" Mm... tapi aku mau datang melihatmu."
" Nggak usah dipaksain, Cal. Aku tahu kamu sangat menunggu festival olahraga itu. Nggak usah pikirin aku. Aku memang ingin kamu datang, tapi kalau nggak bisa ya gak apa-apa."
Ucapannya semakin membuatku nelangsa. Lagi-lagi aku disodori dua pilihan yang membuat bingung. Ke mana aku harus pergi? Bagiku festival olahraga sangat penting dan ini terakhir kalinya aku turut serta dalam event itu. Namun kompetisi Tristan pun tak kalah pentingnya. Bagaimana ini? Aku tidak ingin keputusanku menyakiti orang lain. Aku ingin sekali ikut festival olahraga, tapi Tristan" Ya sudah, nanti aku pertimbangkan ya," jawabku akhirnya.
" Nggak usah dipaksain kalau nggak bisa, Cal." Benar yang dikatakan Tristan, memang tidak mudah meninggalkan tanggung jawabku dalam festival olahraga itu. Jujur, aku ingin sekali ikut festival olahraga itu, bersama teman-teman cheerleader-ku.
" Lombanya dimulai jam berapa?" " Mm, mungkin jam sepuluh pagi."
Sejenak aku memikirkan sesuatu. Mungkin aku bisa melakukan keduanya. Ya, aku bisa tetap mengikuti festival olahraga itu dan hadir untuk menyemangati Tristan di arena latihannya.
ef
EspecIally For You
" And now we re back together, together, I wanna show you my heart is oh so true. And all the love I have is especially for you." MYMP
" S emangat teman-teman! Hari ini latihan terakhir
kita!" seru Kynthia pada anggota timnya. Kami semua menyerukan semangat bersama-sama lalu mengambil posisi di tengah lapangan. Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Hari ini kami melakukan gladi bersih untuk festival olahraga, itu tandanya tidak boleh ada kesalahan dalam latihan terakhir ini. Gladi bersih kali ini disaksikan oleh banyak mata, hampir seluruh siswa di sekolahku berkumpul di lapangan untuk melihat atraksi kami.
Aku melupakan rasa lelah yang menumpuk dan mengembangkan senyum seceria mungkin. Kunci utama seorang cheerleader adalah senyuman. Kami diwajibkan untuk selalu tersenyum sambil memasang wajah riang tiap kali melakukan gerakan. Aku melihat Gav dan Tristan juga menonton latihan terakhirku dari tempat yang berbeda. Gav bersama teman-teman klubnya sedangkan Tristan berada di bangku besi di ujung lapangan. Aku mengalihkan pandangan dari dua cowok itu dan fokus pada gerakan yang akan kulakukan.
Rasanya begitu puas mendengar suara tepuk tangan yang menggema ketika kami selesai menunjukkan hasil latihan kami selama tiga bulan terakhir. Kak Amora pun tampak sumringah menyambut kami. Ia tak hentihentinya bertepuk tangan sambil memberikan semangat pada kami.
Setelah ini kami akan berkumpul di rumah Kynthia untuk itting kostum, karena yang akan kami kenakan kali ini adalah kostum baru. Aku semakin bersemangat untuk festival olahraga besok. Ditambah lagi, aku tidak sabar ingin menyaksikan kompetisi lari yang akan diikuti Tristan. Semoga semuanya bisa berjalan dengan baik dan lancar.
Stadion itu dipenuhi oleh banyak sekali orang yang ingin menampilkan kebolehannya dalam olahraga atau sekadar datang sebagai penonton. Mereka menduduki kursi sambil bercakap-cakap, menimbulkan suara bising juga sorakan. Festival olahraga berlangsung pukul sembilan, tapi sampai saat ini tidak ada tanda-tanda festival itu akan dimulai. Timku sudah duduk manis di bangku yang telah disediakan, sambil berusaha mengobrol untuk menghilangkan rasa deg-degan yang datang. Penonton di festival olahraga jauh lebih banyak daripada penonton waktu kami berlatih di lapangan. Lebih banyak mata yang akan memandang tiap detail gerakan kami, jadi kami harus melakukannya sesempurna mungkin. Kami saling mencuri pandang dengan tim cheerleader sekolah lain, seolah membandingkan siapa yang lebih baik.
Kostum berwarna putih-merah marun ini sangat pas di badanku, membuatku nyaman mengenakannya. Rambutku diikat kuda, dihiasi oleh pita berwarna merah. Gav duduk di sampingku sambil menikmati roti isinya, sepertinya cowok itu belum sempat sarapan.
" Aku tegang banget, Cal," ujar Gav tiba-tiba. Aku memiringkan kepala, menoleh padanya, " Kenapa? Ini kan bukan pertama kalinya buat kamu."
Gav menghela napas, " Nggak tahu, tiba-tiba aku pesimis."
" Jangan begitu. Kamu harus berpikir positif, do your best!"
Sebuah lengkungan senyum tergambar di wajah Gav. " Iya, aku akan lakukan yang terbaik. Aku nggak mau bikin coach kecewa."
" Memang seharusnya begitu, kalian kan sudah latihan keras."
" Dan semangatku makin bertambah karena kamu ada di sini." Gav mengelus pelan kepalaku, rasanya sudah lama sekali aku tidak mendapat perlakuan itu.
" Kamu semangat juga, ya!"
Aku tersenyum tipis lalu mengangguk. Kulirik arloji di tanganku, sudah jam sembilan lewat. Kenapa acara ini belum juga dimulai? Aku mengerang pelan ketika melihat panitia acara masih sibuk memajang piala-piala di atas meja. Lihat? Bahkan event besar seperti ini saja masih tidak tepat waktu. Tiba-tiba aku teringat Tristan. Kompetisinya dimulai pukul sepuluh sedangkan perlombaanku belum dimulai. Aku jadi gelisah sendiri, bagaimana kalau aku tidak bisa menyaksikan perlombaannya? Lalu kudengar suara seseorang berbicara di microfon, menandakan festival olahraga akan segera dimulai.
Setelah melewati sambutan beberapa pihak penyelenggara, tiba saatnya perlombaan cheerleader antar sekolah sekaligus penanda opening festival olahraga. Timku mendapat giliran nomor tiga, dan sekarang kami duduk rapi sambil mendengar pengarahan dari Kak Amora. Perasaan tegang dan gelisah mulai memenuhi benakku, tiba-tiba saja suhu tubuhku mendingin. Sepertinya temantemanku juga begitu, wajah mereka berubah jadi pucat. Kulirik jam tangan yang menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit. Astaga, rasa gelisah ini makin memuncak. Lalu debaran itu bertambah parah ketika nama sekolah kami disebut oleh pembawa acara.
" Semangat! Tunjukkan yang terbaik!" seru Kak Amora ketika kami berjalan ke tengah lapangan. Kami tersenyum mantap, meyakinkan kalau kami tidak akan membuatnya kecewa.
Musik mulai mengalun, perlahan kami mulai melakukan gerakan demi gerakan yang telah dilatih. Kami terus memasang senyuman lebar sambil menyerukan nama sekolah pada yel-yel yang kami buat.
Di tengah gerakan, tiba-tiba saja konsentrasiku membuyar. Aku melirik jam tanganku lagi yang menunjukkan pukul sepuluh tepat. Kompetisi Tristan sudah dimulai, apa cowok itu menungguku? Perasaanku mulai campur aduk, keringat dingin mulai mengucur. Tanpa sadar, gerakanku mulai tak sama dengan temantemanku. Tempoku jadi lebih lambat dan seketika aku melupakan gerakan selanjutnya.
" Cal, kamu kenapa sih?" bisik Kynthia ketika kami bersebelahan, aku hanya menggeleng sambil terus berusaha fokus pada gerakan.
Waktu terus berjalan, membuatku makin gelisah memikirkan Tristan. Pandanganku membuyar, tidak fokus seperti biasanya. Senyuman di wajahku berganti dengan kecemasan. Keseimbanganku sebagai lyer hilang. Debaran jantungku makin tak terkendali ketika tak sengaja terpeleset dan hampir terjatuh saat melakukan formasi Scorpion. Aku menyadari teman-temanku mulai menatap sinis ke arahku, namun aku seperti orang yang kehilangan arah. Sampai akhirnya musik berhenti mengalun, dan pertunjukkan kami selesai.
" hat was the worst performance ever!" erang Kynthia ketika kami berjalan ke tepi lapangan. " Ada apa sih denganmu?" Ia menatapku tajam seakan-akan siap menerkamku.
" Gerakanmu asal-asalan, Cal!" kini gantian Linda yang bersuara.
Lidahku terasa kelu, aku hanya membisu menatap teman-temanku. Amarah mereka benar-benar memuncak, kini tatapan tajam mereka tertuju padaku. Kualihkan pandanganku pada Kak Amora, perempuan itu sedang menatapku penuh kecewa dari tempatnya. Astaga, apa yang sudah kulakukan" Latihan keras kita selama ini sia-sia!" bentak Kynthia sambil mengibaskan tangannya dan berbalik meninggalkanku. Teman-teman yang lain pun meninggalkanku.
Inseparable Karya Laili Muttamimah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perasaan gelisah dalam diriku belum hilang. Sekali lagi kulirik jam tanganku, pukul sepuluh lewat sepuluh menit. Aku harus cepat pergi dari tempat ini. Aku harus menemui Tristan sekarang juga. Cepat-cepat aku menyambar tas dan berjalan menghampiri Kak Amora.
" Aku minta maaf Kak. Maaf sudah bikin kakak kecewa, aku benar-benar minta maaf," ujarku lirih. " Aku pergi dulu."
Aku langsung berlari meninggalkan Kak Amora dan teman-teman yang masih menatap dingin ke arahku. Aku bisa mendengar teriakan mereka memanggilku.
" Hei, kita belum selesai, Cal! Calya! Astaga, dasar egois!"
" Mana tanggung jawabmu, Calya?!"
" Bisanya cuma bikin masalah dan lari dari masalah!" " Nggak punya perasaan!"
Aku berusaha menjadi tuli sambil menahan air mataku yang hampir jatuh. Sebongkah rasa bersalah memenuhi hatiku, namun aku tidak bisa memperbaiki sesuatu yang sudah terjadi. Aku berlari masuk ke dalam toilet wanita, berganti pakaian, dan keluar dari stadion yang bising itu. Aku mencoba melupakan kejadian tadi dan memusatkan pikiranku pada Tristan. Aku berjalan secepat mungkin menuju jalan raya, tiba-tiba sebuah tangan menarik lenganku, hingga membuat langkahku terhenti. Aku meringis karena genggaman yang kuat itu lalu menoleh.
" Kamu mau ke mana?" tanya Gav, nada suaranya terdengar serius. Tatapannya tajam dan napasnya terengahengah karena mengejarku.
" Aku ada urusan," jawabku dengan gugup. Berusaha melepas genggaman tangan Gav, namun cowok itu malah semakin mengeratkannya.
" Urusan apa? Tugas kamu belum selesai!" bentak Gav. Ia menarikku dengan kuat hingga tubuhku kini berhadapan dengannya. Air mataku mulai mengalir, aku hanya menunduk tak berani menatap wajah Gav.
" Jawab pertanyaanku, Calya!" bentak Gav lagi sambil mengguncangkan tubuhku.
" Maaf, Gav, tapi aku harus pergi," isakku.
Gav mengerang lalu kembali menarik tanganku agar berja lan mengikutinya, " Kamu harus balik ke stadion!
Kamu sudah bikin kesalahan besar, Cal! Dan sekarang kamu mau lari begitu aja?"
Susah payah aku melepaskan genggaman tangan Gav dan berusaha menghentikan langkahku. Tangisku makin menjadi, aku seperti anak kecil yang dipaksa oleh orang tuanya pergi ke dokter gigi.
" Gav... lepasin..."
Gav menghentikan langkahnya dan berbalik. Dengan takut aku menatap wajah Gav. Kemarahan tergambar jelas dari raut wajahnya. Keningnya membentuk beberapa kerutan, matanya melotot tajam dan alisnya berkerut. " Jujur Cal! Sebenarnya kamu mau ke mana?!" " Aku... aku nggak bisa bilang, Gav." " Cal, aku ini pacar kamu!"
" Kamu cuma pacar aku dan aku punya urusanku sendiri!" bentakku penuh emosi. Dengan cepat aku melepaskan gengga man tangan Gav yang meregang dan pergi meninggalkan cowok yang masih mematung itu. Air mata menghujani wajahku, aku terus berlari menjauh dari Gav.
" Kamu lupa sesuatu tentang hari ini, Cal!" teriak Gav. Cowok itu tidak mengejarku. Aku tidak tahu ekspresi seperti apa yang ditunjukkannya. Kini aku hanya berdiri di trotoar, menunggu angkutan umum yang datang, sambil menutupi wajah dengan telapak tangan.
Kompetisinya sudah dimulai. Arena latihan yang besar itu benar-benar dipenuhi oleh manusia, melebihi jumlah manusia di stadion festival olahraga. Banyak orang berkumpul untuk menyaksikan kompetisi lari itu. Penonton juga mulai menyerukan dukungannya. Rasanya seperti menonton pertandingan bola liga Eropa. Aku berjalan menuju tribun dan duduk di nomor kedua dari depan, dari sini aku bisa melihat arena berlari dengan jelas.
Suara pria terdengar lantang dari speaker, mengomen - ta ri posisi peserta. Ternyata peserta yang ikut tidak sebanyak peserta maraton. Gerombolan peserta akan segera melintas di depanku. Mataku mencari-cari Tristan di antara peserta yang lewat. Satu pelari di posisi pertama, posisi kedua... dan perlahan senyumku mengembang ketika menemukan sosok yang kucari. Tristan sedang berlari di urutan keempat, ia mengenakan baju tanpa lengan berwarna putih dan celana training pendek berwarna hitam. Mendadak semua orang menjadi hitam putih, mataku hanya menatap Tristan.
Wajahnya mulai tampak kelelahan, namun aku menemukan kilatan semangat dari matanya. Aku meng hela napas lega lalu mengusap air mata yang muncul di ujung mataku. Akhirnya aku bisa menyaksikan Tristan berlari. Akhirnya aku bisa memberikan semangat padanya.
Karena ini adalah kompetisi lari jarak pendek maka pa ra pelari harus memutari arena latihan yang luas itu sebanyak lima kali. Banyak pelari yang mulai memperlambat lajunya ketika putaran ketiga, tapi tidak dengan Tristan. Cowok itu sudah mengambil putaran ketiga dan berada di posisi ketiga paling depan bersama dua pelari lainnya. Ia masih berlari dengan kecepatan stabil meski napasnya terengahengah.
Ayolah, semangat Tris! Jangan goyah!
Penonton ramai menyerukan jagoan mereka ketika peserta mulai memasuki putaran keempat. Aku terus menatap Tristan yang mulai tampak kelelahan, lajunya makin pelan, dan wajahnya terlihat pucat. Aku ingin berteriak, menyerukan semangat untuknya dengan lantang. Dan aku berdiri dari tempat duduk, tidak peduli dengan orang-orang di sekelilingku. Aku hanya ingin Tristan tahu kalau aku ada di sini untuk mendukungnya, menyemangatinya.
" Semangat Tristan! Kamu pasti menang! Ini mimpimu!" seruku sekencang mungkin. Mungkin suaraku kalah oleh ratusan suara di sekitarku, tapi aku yakin Tristan pasti bisa mendengarnya. Tristan pasti menangkap seruanku.
Betapa leganya aku ketika Tristan mempercepat laju larinya menyusul dua pelari yang ada di depannya. Beberapa detik kemudian, ia berhasil mencapai posisi kedua. Seruan penonton makin semarak, aku pun tak mau kalah untuk terus menyebut nama Tristan. Sebentar lagi mereka akan memasuki garis inish. Aku memejamkan mata rapatrapat, tidak kuasa melihat apa yang akan terjadi. Jantungku terus berdegup kencang, perlahan-lahan aku membuka mataku, dan di sanalah... Tristan berdiri sebagai seorang pemenang!
Aku langsung berteriak dan meloncat-loncat. Aku tidak peduli tatapan aneh orang-orang kepadaku. Dengan cepat aku berlari turun dari tribun dan menghampiri cowok itu. Kini peserta lain sibuk mengerumuninya, memeluknya erat sambil memberikan ucapan selamat. Tristan tertawa begitu lebar dengan keringat menghiasi wajahnya, meski makin lama wajahnya makin terlihat pucat dan lesu. Ketika kerumunan itu mulai menipis, aku berlari mendekat dan memeluknya. Kurasakan debaran jantungnya yang amat keras. Napas Tristan tersengalsengal, sepertinya terkejut karena kehadiranku.
" Cal... kamu datang...," ujar Tristan dengan lemah ketika aku melepaskan pelukanku. Suara Tristan hampir hilang, napasnya benar-benar tak beraturan. Ia meletakkan tangan kanannya di dada, seperti merasakan nyeri di dalam sana. Namun dengan susah payah ia masih membagi senyumnya padaku.
" Kamu kenapa?" tanyaku cemas melihat kondisinya. Tristan tersenyum lebih lebar, " Aku... terlalu senang, Cal."
Mendengar itu, aku menggenggam tangan Tristan dengan kuat, " Aku tahu kamu bisa, Tris. Congrat!"
Tristan mengangguk lalu mengelus kepalaku, " Ini semua berkat kamu. Makasih sudah banyak mendukungku."
Kami hanya saling menatap dalam diam, seolah menikmati suasana yang mendadak sunyi di sekeliling.
" Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan," seru Tristan memecah keheningan nyaman itu.
" Apa itu?" tanyaku dengan mata membesar. Tristan masih terus tersenyum kemudian berdiri membelakangiku, aku hanya menatap punggungnya sambil terus bertanya-tanya dalam hati.
" Akuuu... sukaaa... kamu, Calyaaa!" teriak Tristan dengan keras. Amat keras. Mengalahkan suara ratusan orang dalam arena berlari yang tadi masih bersorak. Aku merasa diriku tak mampu lagi bernapas atau mungkin arwahku telah terbang entah ke mana. Tristan menyatakan perasaannya padaku, dengan tegas dan kencang di depan semua orang. Rasanya aku ingin menangis karena begitu bahagia.
Sedetik kemudian kupeluk punggung Tristan yang sejak tadi membelakangiku, perlahan-lahan air mataku jatuh. Aku begitu terharu, tidak pernah menyangka akan sebahagia ini. Tristan berbalik dan mengacak rambutku dengan kasar sambil tertawa. Tiba-tiba aku mendapati diriku ingin jadi bagian hidupnya. Aku pun ingin jadi bagian mimpinya. Ternyata aku memang menyukai Tristan.
Semilir angin pantai menggelitik leherku, kugandeng tangan Tristan berjalan menyusuri pasir putih berkilau itu.
Birunya air laut yang tenang juga suara desiran ombak benar-benar menyejukkan hati. Suara burung-burung camar seakan memecah keheningan di sekitarnya. Hari ini adalah hari yang bersinar untuk Tristan karena berhasil memenangkan kompetisi lari itu. Aku pun turut bahagia akan keberhasilannya. Sebuah medali melingkar di leher Tristan. Aku terus mengembangkan senyuman sambil mempererat genggaman tanganku. Satu hal lain yang baru kusadari, bila tangan Gav terasa hangat ketika digenggam, tangan Tristan justru terasa dingin dan agak basah. Walaupun begitu, berada dalam genggamannya adalah satu hal yang membuatku nyaman.
Aku duduk di atas pasir pantai yang hangat. Kupeluk lututku sambil memandangi lautan luas di depanku. Tangan kiriku sibuk menggenggam pasir kemudian kulepaskan lagi. Beberapa menit kemudian, Tristan menghampiriku dengan dua buah es krim di tangannya. Ia menyerahkan es krim rasa vanilla kemudian duduk di sampingku. Kami menikmati es krim sambil terus memandangi ombak kecil yang berlomba-lomba sampai ke tepian. Ada satu pertanyaan yang sejak tadi berteriak ingin diungkapkan. Perasaanku benar-benar tak menentu sejak Tristan menyatakan perasaannya. Aku belum pernah merasa sebimbang ini sebelumnya.
" Tris, boleh aku tanya sesuatu?" Tristan mengangguk ringan, " Kamu boleh tanya apa aja."
" Mm... apa yang bikin kamu suka sama aku?" tanyaku lagi sambil mengatur detak jantungku yang berantakan.
Tristan berhenti menjilati es krimnya lalu tersenyum, " Karena kamu bikin duniaku berubah."
" Maksud kamu?"
" Sejak SMP hidupku selalu datar. Sedikit teman, nggak menonjol di sekolah, sendirian ke mana pun. Aku nggak pernah akrab dengan teman-teman, Sam sekalipun. Biarpun satu SMP, aku baru dekat dengannya waktu kelas sebelas," Tristan tertawa kecil lalu menerawang.
" Tapi hari itu, untuk pertama kalinya, aku merasa nyaman sama seseorang.Waktu dihukum bareng kamu, jujur aku merasa bersalah banget. Dan nggak tahu kenapa, sejak hari itu rasanya aku ingin ngelindungin kamu, supaya rasa bersalahku terbayar. Tapi semakin lama aku malah ingin terus dekat sama kamu, biarpun awalnya kamu selalu jutek. Ditambah lagi... kejadian sepulang dari rumah Retta waktu itu..."
Sedetik kemudian wajahku terasa panas. Aku bisa merasakan rona merah yang muncul di pipiku bersamaan dengan desiran dalam hatiku. Ingatanku kembali pada kejadian itu, di mana Tristan memelukku. Kejadian yang membuat Tristan perlahan hadir di hidupku.
" Aku benar-benar releks... meluk kamu. Sejak itu aku merasa sesuatu yang janggal."
Tristan menoleh ke arahku dan tersenyum lembut, " Sejak itu, di mataku kamu nggak pernah sama lagi."
Aku mengembuskan napas panjang, berharap hatiku akan terasa lega.
" Kita memang nggak pernah tahu kapan cinta itu datang," ujarku pelan.
Tristan mengangguk, " Cinta itu selalu susah dijelasin, nggak ada satu pun orang yang bisa jelasin secara utuh. Setiap orang punya deskripsinya masing-masing, dan nggak ada yang bisa menghakimi itu."
Seketika aku kembali mengingat seruan Tristan di arena latihannya tadi. Seruan yang membuat jantungku bergemuruh. Cara Tristan mengungkapkan perasaannya, benar-benar membuatku tak mampu bersuara. Dan kepurapuraan seakan tidak bisa mengalahkan rasa bahagia yang begitu nyata.
" Kamu sendiri, gimana perasaan kamu ke aku?" tanya Tristan.
Lama aku terdiam. Mencoba mengumpulkan kepingan-kepingan perasaanku pada Tristan. Bagaimana perasaanku pada Tristan? BagaimanaAku menatap Tristan dalam, mencari sesuatu di matanya yang selalu membuat hatiku berdebar.
" Aku nyaman sama kamu," ujarku sambil menggenggam cone es krim lebih erat. " Tapi soal perasaanku ke kamu... aku juga nggak tahu, Tris."
Tristan menghela napas pelan lalu mengusap kepalaku dengan lembut. " Aku paham kok, Cal."
" Aku rasa... kita nggak mungkin bisa... lebih dari teman, Tris."
Tristan terdiam, tangannya perlahan turun dari kepalaku menuju telapak tanganku.
" Kamu tahu? Rasa sayangku itu lebih besar daripada rasa inginku memilikimu. Buat aku, lebih dari teman atau nggak, semuanya akan tetap sama. Termasuk perasaanku." Lagi-lagi, kata-kata Tristan berhasil menyihirku. " Tapi... kenapa? Kenapa memilih aku? Kamu kan tahu kalau... aku sudah punya pacar."
Begitu berat untukku mengeluarkan kata-kata itu di hadapan Tristan. Namun, dia malah tersenyum.
" Justru itu yang aku sesalin. Bukan karena kamu sudah ada yang punya, tapi karena aku terlambat suka sama kamu."
Aku hanya bisa diam mendengar ucapan nya. Mata hit am itu ma sih terus menatapku lekat-lekat. Rasanya aku ingin memiliki mata hitam yang telah menenggelamkanku itu.
" Tapi ini sama aja aku mengkhianati kamu... dan Gav," kataku dengan suara serak. Aku tidak bisa menahan berton-ton rasa bersalah dalam diriku yang makin lama makin berat.
" Nggak ada seorang pun yang bisa mencegah cinta itu datang."
Dia benar. Bukan aku yang meminta untuk mencintai dua hati, Gav dan Tristan. Aku tidak bisa mengelak kalau hatiku memilih keduanya. Aku tidak kuasa untuk menghindari perasaanku sendiri. Aku tahu saatnya akan datang. Saat di mana aku harus memilih dan merelakan salah satu di antara mereka.
ef
Baby Don t You Break My Heart Slow
" I was believing in you, was I mistaken do you mean.
Do you mean what you say? When you say our love could last forever." MYMP
T ristan menghentikan sepedanya di depan rumahku.
Aku turun dari boncengan lalu berdiri di sampingnya. Lagi-lagi aku mendapati perasaan yang mengganjal ketika melihat wajahnya yang semakin lesu dan pucat. Bibirnya tidak lagi memutih, bahkan hampir membiru. Apa Tristan kelelahan? Kenapa ia masih memaksakan bersepeda dengan kondisi seperti ini" Makasih udah antar aku pulang. Aku senang banget hari ini," ujarku.
Tristan merapikan helai demi helai rambutku yang berantakan karena tiupan angin, " Aku jauh lebih senang daripada kamu. Makasih kembali, Cal. Hari ini rasanya kayak mimpi," katanya sambil tergelak.
Lalu gemuruh jantungku mulai bereaksi ketika perlahan Tristan mendekatkan wajahnya dan dengan lembut mencium keningku. Ia tersenyum usil lalu mengayuh sepedanya dengan cepat sebelum aku sempat berkatakata. Aku hanya tersenyum lalu melambaikan tangan pada Tristan sampai cowok itu menghilang di ujung gang.
Kubuka kunci pagar rumahku sambil berusaha menahan diri agar tidak tersenyum. Ketika pagar itu terbuka, mataku pun ikut membesar melihat sosok yang sedang duduk di bangku teras rumahku.
" G-Gav...?" pekikku dengan suara tertahan. Tatapan Gav seakan menusuk mataku. Seketika aku merasa takut dengan tatapan itu. Ia seperti bukan Gav. Gav tidak pernah menatap seberingas itu. Tapi cowok itu memang Gav. Ia tersenyum kecut lalu berjalan menghampiriku.
" Kamu baru pulang, Cal?" tanyanya, berdiri di hadapanku.
Jantungku seakan-akan berhenti bekerja. Syaraf-syaraf otakku rasanya tidak berfungsi. Aku hanya menatap Gav dengan tatapan takut sekaligus tak percaya.
" Sampai kapan kamu mau bohongin aku?" suara Gav meninggi. Aku mundur selangkah menghindarinya. Aku benar-benar takut dengan tatapannya. Bahkan suaranya pun terdengar menyeramkan.
" G-Gav... aku... aku..."
" Aku tahu semuanya, Cal! Aku sudah lama tahu bahkan sebelum kamu sadar! Cowok itu Tristan, kan? Kamu pikir bisa bohong sama aku?" seru Gav sambil memegang kedua pundakku. Aku hanya meringis menahan sakit.
" Aku tahu kamu di perpustakaan bareng dia. Aku juga tahu kamu senyum-senyum sendiri saat dapat sms dari dia. Aku tahu kalau dia juga sering melihatmu latihan. Yang lebih parahnya, aku tahu kalau berpapasan dengan dia, walaupun kamu lagi jalan sama aku, tangan kalian pasti bersentuhan. Aku tahu, Calya, Aku tahu semuanya!"
Pertahananku roboh. Serangan rasa bersalah dalam hatiku tak mampu lagi kutahan. Dan akhirnya airmataku jatuh. Gav belum pernah membentakku sekeras ini. Dia tidak pernah memandangku penuh kecewa seperti ini. Dadaku terasa begitu sesak, seperti berada di ruangan hampa udara. Rasanya seperti ada yang merobek hatiku dengan pisau dalam sekali gores, nyeri sekali. Kuletakkan tanganku di depan dada, berusaha menghilangkan sakit yang semakin terasa.
" Selama ini aku selalu diam. Aku mau kasih kamu kesempatan buat jujur, Cal! Tapi kenyataannya kamu makin melunjak dan terlena sama cowok itu! Kamu lupa sama aku, Cal, kamu berubah!" Gav benar-benar meluapkan seluruh kekecewaannya. Dan aku benar-benar tak mampu berkata-kata.
" Mungkin kamu sakit karena ucapanku ini, tapi aku berkali-kali lebih sakit karena kamu," ujar Gav dengan suara pelan. Aku menatap mata Gav dan ada air mata yang tergenang di situ. Gav menangis. Napasnya terengahengah menahan emosi.
Aku merasa jadi orang yang paling kejam di dunia. Aku benci diriku yang bodoh ini. Aku benci kenapa mulutku tertutup rapat dan tak bisa membalas ucapan Gav. Namun, aku sadar kalau Gav tak akan mau mendengar penjelasan apa pun, karena baginya aku hanya bisa mengelak atau berbohong. Tapi Gav harus tahu bahwa dilema ini benarbenar menyiksaku.
" Kita kalah, Cal. Sekolah kita nggak membawa pulang piala satu pun. Kita sudah bikin banyak orang kecewa!" seru Gav sambil tertawa getir.
" Aku nggak bisa fokus karena mikirin kamu yang tibatiba aja pergi. Itu bikin skor kami ketinggalan jauh dengan skor lawan. Selesai pertandingan aku langsung ke sini, tapi ternyata kamu nggak ada! Kamu egois banget, Cal. Bahkan kamu juga nggak tahu kan kalau teman-teman cheerleadermu menangis waktu kamu pergi!"
Gav menutupi wajahnya dengan telapak tangan, ia mengusapnya berkali-kali dengan kasar dan kembali menatapku nanar.
" Terusin aja permainanmu, Cal! Aku bakal tetap ada buat ikutin semuanya. Aku bakal tonton semua sandiwara yang kamu mainkan!"
Aku jatuh terduduk di hadapan Gav sambil menutupi wajahku dengan telapak tangan. Kakiku terasa lemas bahkan tak sanggup menopang tubuhku lagi. Namun, hatiku jauh lebih sakit dan tak berdaya. Tiba-tiba aku merasa diriku ditarik untuk berdiri. Tangan Gav begitu kuat mencengkram bahuku dan kembali menegakkan tubuhku. Kutundukkan kepalaku agar tidak menatap mata yang penuh amarah itu.
" Apa kamu nggak bisa konsisten? Sebenarnya kamu menetapkan hatimu pada siapa?" tanya Gav, suaranya bergetar.
Aku masih membisu dan terus terisak. Pikiranku jadi gelap, seakan seluruh saraf dalam otakku telah mati.
" Cal, cepat jawab! Jangan anggap sepele masalah ini! Calya... kamu dengar, kan? Cal!"
Gav melepaskan pegangannya pada pundakku dengan kasar. Ia memandangku muak sambil mengatur napasnya yang tak beraturan.
" Makasih buat kado terindah di hari jadian kita. Happy anniversary, Calya. Aku sayang kamu," ujarnya dengan nada sinis.
Gav berjalan menuju motornya yang diparkir cukup jauh dari rumahku. Betapa bodohnya aku karena tidak menyadari motor Gav berada di sana sejak tadi. Tiba-tiba saja ketakutan akan kehilangan Gav menyergapku. Aku seperti tersadar kalau aku benar-benar akan kehilangan Gav. Dan aku tidak bisa kalau tanpa Gav. Aku tidak bisa.
Kukejar Gav yang berjalan semakin jauh, lalu kupeluk tubuh tegap itu dari belakang. Gav menghentikan langkahnya namun bergeming. Tubuhnya kaku dan ikut bergetar. Aku menangis di punggung Gav sambil memeluknya erat. Aku tidak ingin kehilangan Gav, benarbenar tidak ingin. Gav sangat berarti untukku. Aku benarbenar tidak bisa merelakannya.
" Jangan pergi... aku nggak mau... hubungan kita berakhir, Gav," kataku sambil terbata-bata, dengan suara yang nyaris hilang.
Gav mengembuskan napasnya dengan berat, " Kalau kamu masih ingin hubungan kita bertahan, jauhin dia."
Aku mengangguk lemah. Aku akan melakukan apa saja asal Gav tidak pergi. Aku mencintai Gav... Dan...
Tristan.
ef
Last Chance
" This is the last chance for us. This is the moment that I just can t let end. Before I know that there s a chance were more than friends." MYMP
B iasanya bila kita sengaja menghindari sesuatu atau
seseorang, malah semakin sering kita bertemu dengannya. Pagi ini, ketika berjalan menuju kelas, aku berpapasan dengan beberapa teman cheerleader yang sedang mengobrol di taman depan kelasku. Aku tidak bisa melarikan diri dan hanya memasang muka tembok ketika lewat di depan mereka. Mereka benar-benar menatapku sinis, seperti membenciku sampai ke ubun-ubun.
" Coba lihat, pengecut yang kemarin kabur ternyata masih berani masuk sekolah!" seru Kynthia saat aku tepat berpapasan dengannya. Ia sepertinya sangat marah dan belum puas mengejekku.
Langkahku terhenti ketika mereka menghadang dan berdiri tepat di depanku. Kuberanikan diri untuk mengangkat wajah, menatap mereka. Mereka tampak siap memangsaku.
" Apa kamu nggak berniat minta maaf ?" tanya salah seorang temanku yang berdiri di samping Kynthia.
Baiklah, selesaikan ini, Cal. " Aku minta maaf, temanteman."
Kynthia mendengus, " Teman? Kamu bukan teman kami! Teman itu saling mendukung bukan menghancurkan, apalagi lari dari tanggung jawab!"
Aku tidak ingin menangis pagi ini. Air mataku sudah terkuras tadi malam. Astaga, aku benar-benar seperti orang gila sekarang.
" Ya, aku tahu aku salah. Aku benar-benar minta maaf karena pergi. Ada urusan mendadak yang bikin aku nggak bisa konsentrasi saat perlombaan. Aku juga menyesal. Aku juga merasa bersalah."
Lalu mereka berpandangan, tersenyum kecut sambil melirik ke arahku. Aku memilih pasrah menerima amarah mereka. Aku sadar ini salahku.
Kynthia maju selangkah mendekat dan menepuk pundakku.
" Selesaikan urusanmu dengan Kak Amora. Dia nungguin kamu pulang sekolah nanti." Setelah itu mereka berbalik lalu berjalan pergi.
Selanjutnya, aku kembali dipertemukan dengan orang yang paling ingin kuhindari. Tristan. Saat aku masuk kelas, kudapati Tristan sedang duduk dibangkunya dengan earphone di telinga. Tatapan kami bertemu, dan aku langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Aku berjalan ke bangkuku, meletakkan tas, lalu menelungkupkan kepala di meja, dan memejamkan mata. Guru kimia hari ini tidak datang, jadi jam pertama kami tidak akan belajar. Sebenarnya hari ini aku tak ingin masuk sekolah, tapi Mama tidak akan mengizinkan.
" Cal, guru kimia nggak masuk nih. Ke perpustakaan, yuk?"
Suara itu membuatku membuka mata. Tristan! Aku masih bergeming.
" Cal... kamu sakit?" tanyanya dengan nada khawatir. Kepalaku masih tetap menempel di meja. Jantungku berdegup kencang dan dadaku terasa sesak. Apa yang harus kulakukan" Calya...," panggil Tristan lembut. Aku masih tak merespon dan Tristan pun pergi meninggalkan mejaku.
Aku kembali menutup mata, menahan agar air mataku tak jatuh. Rasanya aku ingin memeluk Tristan dan menangis. Seakan ingin menumpahkan semua beban di benakku. Tapi, aku sadar.... hal itu tidak akan pernah terjadi. Karena, kalau hal itu terjadi maka aku harus rela kehilangan Gav.
Segelas teh manis yang tadinya hangat tersaji di depanku. Gav masih menyantap makan siangnya di sampingku, sedangkan makan siangku tak tersentuh. Aku hanya menatap kosong ke arah lapangan sambil sesekali menghela napas. Andai saja dengan mengembuskan napas bisa membuat rasa nyeri di dadaku hilang. Sejak tadi Gav memintaku makan, bahkan menyuapkan makanan itu, namun aku enggan membuka mulut karena selera makanku benar-benar hilang entah ke mana.
Walaupun Gav membujuk makan, aku tetap menolak dengan tegas. Jangankan makan, bernapas saja rasanya sangat berat. Aku yakin Gav tahu penyebabnya, namun ia tetap diam dan memilih untuk tidak mengungkitnya.
" Cal, kamu kenapa sih?" nada suaranya terdengar lelah. " Dimakan dong, nanti kamu sakit lagi," tambahnya.
Aku diam saja sambil menatap piring berisi nasi dan lauk di depanku.
" Kalau gitu minum tehnya aja, Cal!" Gav terdengar seperti menahan amarah. Kutatap matanya, lalu mengangguk. Ini bukan salah Gav, ingatku pada diri sendiri. Kuminum teh manis yang sudah dingin itu sampai setengah gelas.
" Gitu dong... yuk balik ke kelas," ucapnya sambil tersenyum.
Gav menggandeng tanganku ketika berjalan menyusuri lapangan. Ini hal yang biasa dilakukannya, namun terasa aneh bagiku. Aku terus menunduk. Entah kenapa hatiku terasa pedih ketika merasakan tangan hangat yang menggenggamku kini, bukannya tangan dingin seperti kemarin.
" Kamu pelajaran apa sekarang?" tanya Gav ketika kami sampai di depan pintu kelasku.
" Emmm... biologi," sahutku.
" Ya udah... aku ke kelas dulu ya." Dan tiba-tiba Gav mencium keningku. Aku terkejut dan releks menjauhkan diri darinya.
" Gav... ini kan di sekolah, malu, banyak yang lihat," bisikku.
" Memang aku sengaja, biar ada yang lihat." Aku tak mengerti maksud perkataan Gav. Dia menepuk pundakku lalu berjalan menuju kelasnya.
Aku menatap punggung Gav sampai dia membaur dengan siswa lainnya, lalu berbalik dan mendapati Tristan sedang menatapku dengan tajam. Seketika itu juga aku membeku. Perasaanku campur aduk antara rasa bersalah dan rasa rindu.
Tristan pasti melihat kejadian tadi. Jadi itu maksud perkataan Gav. Kualihkan pandanganku dari Tristan dan berjalan menuju bangkuku.
Tanpa terasa sudah seminggu aku menjaga jarak dari Tristan. Teleponnya tak pernah kuangkat dan pesanpesannya tak pernah kubalas. Namun, sekeras apa pun aku berusaha untuk menghindarinya, sekeras itu pula Tristan mencoba mendekatiku. Seperti saat ini, padahal aku sudah berusaha mempercepat langkah menuju laboraturium agar Tristan tidak melihatku, namun dia malah menunggu dan mencegatku di tengah jalan. Otomatis aku berhenti karena cengkraman tangannya kuat sekali.
" Kenapa kamu menghindar, Cal?" tanya Tristan sambil menatapku. Aku hanya menunduk dan memeluk buku panduan biologi dengan erat. Aku hanya ingin Tristan membaca situasi tanpa harus kuberitahu lagi.
Pendekar Rajawali Sakti 185 Geger Di Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Trio Detektif 55 Bintang Bola Basket
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama