Inseparable Karya Laili Muttamimah Bagian 3
" Aku salah apa? Kenapa kamu nggak angkat teleponku? Aku bingung harus gimana lagi, Cal."
Air mata menggenang di pelupuk mataku. Aku berbalik dan mengangkat wajahku, memandang Tristan dalamdalam. Alis cowok itu berkerut, menandakan dirinya kebingungan.
" Kamu nggak salah, aku yang salah, Tris. Aku minta maaf, aku memang bodoh," ucapku dengan berat sambil terus menatapnya. " Tolong jauhi aku, Tris."
Aku mengatakannya. Kata-kata yang menyakitkan itu akhirnya keluar dari bibirku. Tapi aku merasakan sakit ketika memintanya menjauhiku. Aku selalu mengatakan pada diri sendiri bahwa aku tidak benar-benar menyukai Tristan, tapi kenapa hatiku terasa perihPerlahan-lahan genggaman Tristan meregang. Ia masih menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Kulihat sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kecut yang tidak kusuka. Seminggu yang lalu baru saja aku melihat Tristan yang begitu bersinar, kini aku malah membuat wajahnya kembali ditutupi kabut gelap.
" Aku paham. Aku sudah menebak kalau akhirnya bakal kayak gini," ujar Tristan dengan getir. " Maaf sudah lancang masuk ke hidup kamu. Maaf sudah bikin hubungan kamu berantakan, dan maaf sudah bikin kamu bingung."
" M-Maaf Tristan..." Kuseka air mata yang perlahan turun. Aku tidak ingin menatap Tristan lagi, aku benarbenar tidak kuasa menahannya.
" Hidup kamu sempurna sebelum aku datang merusak semuanya. Aku minta maaf ya, Cal. Aku memang egois. Aku cuma mentingin perasaan sendiri dan lupa dengan orang lain di hati kamu."
Tristan menepuk bahuku dua kali lalu mengelusnya dengan lembut. " Aku aku bakal jauhin kamu, Cal, seperti yang kamu minta."
Senyumnya. Lagi-lagi senyum itu bagaikan sebuah sihir untukku. Sebuah senyuman yang memberi kelegaan dalam hatiku. Aku tahu Tristan tersenyum untuk menutupi segala rasa sakit dalam hatinya. Aku tahu Tristan sedang berusaha merelakanku meski tidak mudah. Sambil bergeming, aku memandangi punggung Tristan yang berjalan menjauh. Sebuah punggung yang pernah kupeluk, punggung tempatku bersandar, dan punggung yang seakan berkata selamat tinggal. Kuangkat jemari tanganku tepat ke arah punggungnya. Aku ingin menggapainya, aku ingin berlari pada sosok itu. Namun ia berjalan semakin jauh. Aku hanya bisa kembali mengepalkan telapak tanganku dan meletakkannya di dada.
Selamat tinggal, Tristan.
ef
No OrdInary Love
" I get so weak when you look at me, I get lost inside your eyes. Sometimes the magic is hard to believe,
but you re here before my very eyes." MYMP
H ari-hari kelabu itu sudah berakhir meski masih
menyisakan sepercik lara di hatiku. Hampir satu bulan aku menjauhi Tristan. Cowok itu pun terlihat jelas-jelas menghindari segala sesuatu yang bersangkutan denganku. Sebulan bukanlah waktu yang sebentar untuk menahan rasa sakit bercampur rindu akan sosoknya. Aku dan Tristan hampir seperti orang asing dari planet yang berbeda, sama-sama mengunci mulut. Tristan tak pernah terlihat memandangku lagi meski terkadang aku curicuri pandang ke arahnya. Tristan lebih sering menyendiri dengan ponsel dan earphone di telinganya. Dia kembali jadi dirinya yang dulu, yang selalu tertutup pada orang lain.
Tidak hanya itu, Tristan bahkan sering absen. Ia terlihat duduk di bangkunya hanya sekitar dua sampai tiga hari dalam seminggu. Aku tidak tahu apa penyebab jelasnya. Ia juga sering pergi keluar kelas di jam pelajaran, cukup lama menghilang lalu kembali lagi dengan wajah yang luar biasa pucat. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada Tristan.
Kini aku resmi menjadi siswi kelas dua belas, dan satu kelas dengan Tristan juga teman-teman sekelas yang dulu. Posisi duduk kami benar-benar berubah. Aku duduk sendirian di bangku nomor tiga dari belakang sedangkan Tristan duduk di baris depan bersama Sam. Aku mencoba untuk tidak memfokuskan diri padanya lagi. Sekarang kami sudah kelas dua belas dan harus memantapkan langkah menuju universitas. Tak sedikit teman-temanku yang mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah termasuk Gav. Sedangkan aku hanya mengikuti les privat bersama guru pembimbing.
Bicara soal Gav, ia semakin mantap pada impiannya untuk mengejar beasiswa ke University of Manchester. Kali ini aku mendukung penuh cita-citanya. Aku tidak ingin menghalangi Gav, maka aku mencoba untuk tidak mengeluh bila kini ia sibuk dengan bimbingan belajar, kerja kelompok atau les tambahan lainnya.
Selain itu, aku pun tak lagi mengikuti ekstra kurikuler cheerleader. Hubunganku dengan Kynthia dan yang lain mulai membaik. Aku telah berbicara baik-baik dengan Kak Amora, bersedia melakukan apa saja untuk memperbaiki kesalahanku. Tidak apa-apa, aku tidak akan menyesali yang telah terjadi.
Walaupun kelasku tetap terisi dengan wajah-wajah yang sama seperti tahun kemarin, namun sepertinya ada sesuatu yang berbeda. Aku sempat dilanda ketegangan yang luar biasa ketika mengetahui wali kelasku yang baru. Pak Bas. Hari pertama beliau masuk ke kelasku sebagai wali kelas benar-benar terkesan kaku. Guru isika bertubuh tambun itu hanya memberikan setengah jam waktunya untuk menyusun struktur organisasi kelas dan sisanya untuk belajar. Tak sedikit teman-teman yang mengeluh mendapat wali kelas seperti Pak Bas, namun keluhan mereka pada akhirnya tak dapat mengganti sosok guru nan perfeksionis itu.
" Alana, boleh pinjam buku tugas dan catatan isika?" Kepalaku berputar cepat menoleh pada sumber suara, mataku membesar menatap cowok yang berdiri di seberang bangkuku, tepatnya di bangku Alana. Kejadian ini, seperti deja vu. Aku pernah mengalami kejadian yang sama dengan seseorang yang sama. Aku hanya bisa memandangi Tristan yang tengah menerima dua buah buku milik Alana. Cowok itu tersenyum, begitu manis, pada Alana. Tiba-tiba jantungku berdebar kencang melihat senyuman itu. Astaga, rasanya sudah lama sekali aku tidak melihat senyumannya. Setitik perasaan kecewa muncul karena senyuman manis itu tak lagi ditunjukkan padaku.
Aku beranjak dan berjalan cepat keluar kelas. Rasanya aku ingin menenangkan diri, ke mana saja. Pikiranku semrawut, rasa sesak itu pun kembali. Aku hanya mengikuti ke mana kaki membawaku pergi. Aku berjalan menuruni tangga, melewati sisi lapangan, sampai akhirnya tiba di suatu tempat yang sejenak membuatku terkesiap. Perpustakaan. Tempat itu adalah salah satu tempat yang penuh kenangan, tentang aku dengan Gav, tentang aku dengan Tristan. Ragu-ragu aku masuk ke ruangan yang sepi itu. Aku tak lagi mengunjungi perpustakaan sejak sebulan terakhir. Padahal biasanya aku selalu menghabiskan waktu jam pelajaran kosong di tempat ini. Aku ingat kalau pernah bolos jam pelajaran bersama Tristan dan bersembunyi di perpustakaan. Kami memutar otak mencari akal untuk membohongi Kak Ami yang selalu saja curiga. Tak ada yang kulakukan bersama Tristan di perpustakaan selain ngobrol. Kami juga pernah bermain tebak-tebakan judul buku atau petak umpet di balik rak-rak besar itu layaknya anak kecil. Ya Tuhan, aku sangat merindukan saat-saat bersamanya.
Kutulis namaku di buku nama pengunjung perpustakaan yang ada di meja Kak Ami. Tidak hanya nama, kami juga harus menulis waktu kunjungan dan tujuan. Ternyata perempuan itu seenaknya membuat peraturan baru. Dengan laporan nama-nama pengunjung, pihak sekolah bisa tahu siapa saja siswa yang mengunjungi perpustakaan di jam pelajaran tanpa tujuan yang jelas.
" Sudah lama ya nggak lihat kalian," kata Kak Ami dengan lirih, membuatku menegakkan tubuh untuk menatapnya. Perempuan itu tidak menatapku, hanya sibuk membolak-balik buku yang dibacanya.
" Kalian?" tanyaku tak mengerti.
Kak Ami berdeham pelan lalu mengangkat wajahnya untuk memandangku, " Iya, kamu dan cowok yang sering tidur di perpustakaan. Kalian nggak datang bersama lagi?"
Bibirku mengulas sebuah senyum kecut. Aku tahu betul yang dimaksud Kak Ami adalah Tristan. " Nggak, dia lagi...sibuk," jawabku.
Kak Ami hanya mengangguk. Karena aku rasa ia tidak akan bertanya lagi, maka aku berjalan pergi dari mejanya. Rasanya aneh, ini pertama kalinya Kak Ami bersikap sedikit ramah padaku. Aku menghela napas ketika sampai di tempat aku dan Tristan sering menghabiskan waktu. Dua buah bangku yang berada agak terpojok, di balik rak-rak besar berisi buku-buku yang tebal dan tepat menghadap ke jendela. Baiklah, kini aku yang kebingungan sendiri harus melakukan apa di tempat ini.
Aku memutuskan untuk berjalan menyusuri rak-rak besar itu, sampai akhirnya mataku menangkap sebuah buku yang terapit di tengah-tengah dua buku tebal. Sebuah buku berwarna krem dengan gambar seorang pemuda memeluk seorang wanita di cover-nya. Aku kenal buku itu. Buku yang pertama kali membuatku memikirkan Tristan. Buku dongeng berjudul Tristan and Isolde.
Aku hanya memandangi buku itu selama beberapa menit tanpa mencoba membukanya. Seperti apa isinya? Bagaimana ceritanya? Aku menyandarkan punggungku ke kursi sambil mengusap lembut buku itu. Kalau kamu mau tahu, baca aja sendiri.
Tiba-tiba ucapan Tristan saat itu terngiang di telinga ku. Saat itu aku tidak benar-benar berpikir akan membacanya. Tapi kali ini, aku mendapati diriku membuka halaman pertama buku dongeng bergambar itu.
Semua berawal dari kisah seorang putri raja Irlandia yang bernama Isolde, yang telah bertunangan dengan seorang raja bernama Mark dari Cornwall. Namun Isolde tak benar-benar mencintai Mark.
Sampai suatu hari, Mark meminta keponakannya yang bernama Tristan, untuk mengawal Isolde dari istananya menuju Cornwall. Di perjalanan, Isolde menceritakan segala keluh kesahnya kepada Tristan.Untuk menghormati Isolde sebagai tunangan pamannya, Tristan mendengarkan cerita gadis itu dengan setia. Tanpa mereka sadari, kedekatan itu justru membuat mereka saling jatuh hati. Namun Isolde harus menepati janjinya untuk menikah dengan Mark. Dan cinta yang terlarang itu terus berlanjut sampai akhirnya Mark mengetahui pengkhianatan Tristan. Mark kemudian memaafkan Isolde namun ia mengusir Tristan ke Brittany, berniat menjauhkan keduanya.
Mataku terus bergerak mengikuti tiap baris kata menuju cerita selanjutnya. Ilustrasi dalam buku itu pun semakin membuatku tenggelam dalam ceritanya.
Di Brittany, Tristan tertarik pada seorang gadis bernama Iseult yang diceritakan hampir memiliki banyak kesamaan dengan Isolde. Tristan memutuskan untuk menikah dengan Iseult, tetapi semakin lama ia sadar bahwa ia tidak merasakan kebahagiaan yang sama ketika bersama Isolde. Sampai suatu hari, Tristan mengidap sakit keras. Ia mengirim pesan bahwa hanya Isolde yang bisa menyembuhkannya. Ia mengirimkan dua buah kapal ke Cornwall, sambil membuat perjanjian dengan Isolde. Apabila Isolde setuju dengan permintaan Tristan untuk menemuinya, maka ia akan datang dengan kapal berwarna putih, namun bila Isolde menolak maka ia harus mengirim kembali kapal yang berwarna hitam.
Iseult terbakar api cemburu mengetahui rencana Tristan itu. Ia membohongi Tristan dengan mengatakan bahwa Isolde telah mengirim kapal berwarna hitam kepadanya. Tristan sangat kecewa dan akhirnya meninggal dunia karena penyakitnya juga rasa sakit di hatinya. Mendengar kabar tersebut, Isolde pun menyusul kematian Tristan karena kesedihannya yang begitu dalam.
Aku mematung ketika menyelesaikan paragraf terakhir cerita itu. Kisah cinta yang tergambar dalam dongeng itu mirip seperti kisah cintaku. Namun, aku masih belum tahu bagaimana akhir dari cerita cintaku. Aku sendiri masih tidak mengerti alasan Tristan membaca buku dongeng itu. Atau hanya sekadar membacanya? Entahlah.
Kupeluk buku dongeng itu erat-erat, membayangkan bahwa Tristan berada dalam pelukanku. Kenapa rasanya masih seperti ini? Apa semua usaha yang kulakukan untuk menjauhi Tristan sia-sia? Percuma aku menjaga jarak darinya kalau perasaanku padanya tetap seperti dulu. Sambil menarik napas, perlahan aku memejamkan mataku.
Tristan, apa rasanya sesulit ini melepaskan cintamuef
If You Asked Me To
" I could love someone. I could trust someone. I said I d never let nobody near my heart again, darlin . I said I d never let nobody in."
M ataku memicing membaca tulisan yang terpampang
di papan tulis pagi ini, PEMENTASAN DRAMA AKHIR TAHUN. Seketika suasana kelasku berubah jadi ramai, teman-teman sibuk berbisik-bisik atau mengoceh membahas topik tersebut. Aku hanya menopang dagu sambil terus memandangi Alana yang sedang memberikan penjelasan di depan kelas.
" Baiklah, teman-teman. Aku baru saja kembali dari ruang wakil kepala sekolah dan diberi amanat untuk menyampaikan pesan ini. Kita siswa kelas dua belas, diwajibkan membuat sebuah pementasan drama sebelum kelulusan. Pementasan ini akan ditampilkan satu bulan sebelum ujian nasional," jelas Alana panjang lebar.
Kami hanya mengangguk sambil bergumam setelah mendengar penjelasan Alana. Kulihat Alana sibuk menanggapi berbagai pertanyaan atau pendapat yang terlontar dari teman-teman yang lain. Alana memang hebat, ia masih bersedia campur tangan sebagai perwakilan kelas. Menurutku, siswa kelas dua belas seharusnya terbebas dari berbagai kepanitiaan dan hanya fokus belajar.
" Setiap kelas wajib mementaskan sebuah drama dengan judul yang berbeda. Nah, sekarang kita rembukkan tentang tema dan judul yang akan kita pilih untuk pementasan drama kelas ya," ujar Alana lagi.
" Gimana kalau Cinderella?" tanya salah seorang temanku, yang dengan cepat dibalas dengan sorakan seisi kelas. Alana hanya tertawa melihatnya.
" Cinderella sudah sering, ada usul yang lain?" Langsung teman-teman sekelasku menyerukan pendapat mereka dengan lantang, menyerbu Alana yang tampak kewalahan.
" Rapuzel!"
" Bikin drama tentang fabel aja!"
" Gimana kalau Sangkuriang? Atau Bawang Merah dan Bawang Putih?"
" Atau kita bikin drama komedi aja?"
" Menurutku drama tentang detik-detik proklamasi lebih keren!"
" Ah, jangan itu! Sudah kuno!" " Ganti yang lain!"
Aku hanya bisa tersenyum mendengar perdebatan teman-teman sekelasku. Kini beberapa dari mereka sibuk menuliskan judul yang mereka usulkan di papan tulis dan bersikeras untuk meminta voting. Namun Alana masih terlihat belum puas dengan usul mereka, meski tetap tersenyum menanggapinya. Aku mendengus pelan lalu menolehkan pandanganku ke luar jendela. Langit hari ini agak mendung dan semilir angin menerbangkan dedaunan dari pohon-pohon di halaman sekolah. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Tiba-tiba saja sebuah ide muncul di otakku.
" Gimana kalau drama Tristan dan Isolde?" Kata-kata itu meluncur dengan cepat dari bibirku tanpa bisa dicegah. Ditambah lagi tanganku terangkat dengan sendirinya, membuat pandangan seluruh kelas tertuju padaku. Aku langsung salah tingkah dan cepatcepat menurunkan tanganku. Mataku menangkap sosok yang duduk jauh di barisan depan. Tristan sedang menatap datar ke arahku. Astaga, aku hampir lupa kalau ia masuk hari ini!
" Tristan dan Isolde? Hmm... aku pernah nonton ilmnya. Tapi belum pernah dengar ceritanya dalam bentuk dongeng," gumam Alana sambil mengusap-usap dagunya. " Menurutku ceritanya unik dan juga romantis."
" Tapi aku nggak tahu ceritanya," timpal salah satu temanku.
" Iya, cerita itu belum terlalu familiar bagi banyak orang," kali ini Linda yang menyahut.
" Justru itu, ceritanya nggak akan mudah ditebak dan nggak akan terlihat klise karena belum banyak orang yang tahu," ujar Alana lalu kembali menatapku, " Calya, bisa kamu jelasin cerita lengkapnya?"
Dengan ragu aku mengangguk dan beranjak dari tempat duduk berjalan ke muka kelas. Aku berdiri begitu tegang dan jantungku berdebar kencang. Seluruh perhatian terfokus padaku saat aku menjelaskan kisah Tristan dan Isolde versi buku dongeng itu. Aku berusaha keras untuk tidak menjatuhkan pandangan pada Tristan selama berbicara di depan. Aku tidak ingin melihat bagaimana reaksinya.
Selesai menjelaskan, kulihat teman-temanku tampak menimbang-nimbang. Beberapa dari mereka ada yang langsung mengangguk setuju, ada yang tampak tidak puas, dan ada juga yang hanya diam menerima keputusan dengan ikhlas.
" Baiklah, usulan Calya akan aku masukkan ke dalam daftar voting. Nah sekarang, ayo keluarkan kertas kecil dan mulai memilih judul drama yang akan kita pentaskan," pinta Alana.
Setelah melewati proses penghitungan suara, akhirnya kelas kami mencapai kesepakatan. Drama yang akan kami tampilkan dalam pementasan akhir tahun adalah Tristan dan Isolde.
Kulirik jam tangan yang menunjukkan pukul lima sore. Sudah dua jam aku duduk menemani Gav di kafe yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Cowok itu masih asyik mengerjakan soal-soal ekonomi, membiarkan lembaran jawabannya berserakan memenuhi meja. Cofee latte di hadapanku tinggal seperempat gelas, kentang goreng yang kami pesan juga sudah habis. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali menunggu Gav selesai. Aku sendiri hanya memainkan game di ponsel Gav untuk menghilangkan kejenuhan. Kukira niat Gav mengajakku ke sini untuk bersantai sambil mengobrol, ternyata ia malah mencari suasana baru untuk mengerjakan soal-soal yang rumit itu. Gav sangat giat belajar, terlalu giat malah. Kupikir ia terlalu memforsir dirinya belajar. Kini bagi Gav, weekend hanyalah hari Minggu, karena hari Sabtu ia masih bimbingan belajar.
" Oh ya Gav, kelas kamu mau pentasin drama apa?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel Gav.
" Hmm, hasil kesepakatannya sih Romeo dan Juliet," gumam Gav, " Kalau kelas kamu?"
Aku berdehem pelan, " Tristan dan Isolde." Sedetik kemudian aku melihat wajah Gav menegang, namun cowok itu berusaha menenangkan diri. " Oh, gimana ceritanya?"
" Lihat aja nanti," balasku sambil tertawa kecil. " Kamu dapat peran apa, Cal?"
" Belum tahu. Kita belum ada pembagian peran." Gav mengangguk, " Aku harap peranmu cuma iguran aja, Cal."
" Memangnya kenapa?" " Nggak apa-apa sih, biar kamu nggak terlalu sibuk. Kamu kan harus les privat juga."
Aku mendecakkan lidah lalu menyeruput minumanku sampai habis. Sebenarnya aku pun tidak terlalu berharap mendapat peran penting, tapi aku tidak mau kalau hanya jadi iguran yang hanya sekali lewat. Lebih baik aku di belakang panggung, mengurusi properti dan kostum. " Kalau kamu dapat peran apa, Gav?"
" Hmm..." Gav tampak berpikir, lalu menatapku, " Teman-teman sih minta aku untuk jadi Romeo, tapi belum aku jawab."
" Kenapa nggak kamu jawab?"
" Aku masih bingung, Cal. Romeo bakal ngelakuin banyak adegan romantis dengan Juliet."
Aku mendengus pelan, " Terus?"
" Memangnya kamu nggak apa-apa kalau lihat aku begitu?"
" Itu kan cuma drama, Gav."
Gav tidak menanggapiku, ia malah sibuk memencet tombol-tombol di kalkulatornya dan menulis jawaban di kertas. Lagi-lagi aku hanya bisa mendengus pelan. Ini bukan pertama kalinya Gav mengabaikanku demi tugastugasnya. Bukannya aku berlebihan, tapi semakin lama jadi jenuh dengan sikapnya. Entah kenapa rasanya aku tidak bisa menatap Gav secara utuh seperti dulu lagi. Tapi aku tidak ingin kehilangannya, aku ingin tetap berada di sisinya. Sejenak aku menyadari sesuatu. Mungkin keinginanku untuk memiliki Gav lebih besar daripada keinginanku untuk menyayanginya.
Alana dan beberapa temanku sepakat mengadakan casting untuk menentukan para pemeran utama. Beberapa orang mendaftarkan diri sebagai Tristan dan Isolde. Sementara aku sama sekali tak berminat.
" Cal, kamu ikutan casting jadi Isolde ya," seru Alana dari depan kelas. Aku yang baru saja masuk kelas sehabis istirahat siang bukan main terkejut.
" Al...," panggilku, tapi Alana sengaja tak melihat lambaian tanganku yang mengatakan " tidak mau" .
" Udah... kan masih casting, Cal. Ikutin aja dulu, kasihan Alana dari kemarin udah nyari-nyari pemeran buat di-casting," seru Linda yang berdiri di belakangku.
Linda benar. Tidak mudah untuk membagi waktu antara belajar dan mengurusi pementasan drama bagi siswa tingkat akhir. Aku pasrah saja dan berjalan menuju bangkuk dan mendengar Alana kembali meminta sesorang untuk ikut casting.
" Tristan, kamu ikutan casting jadi Tristan ya... please," Alana sampai mengatupkan kedua telapak tangannya dan memasang tampang memelas. Kulirik Tristan yang juga terkejut dengan kalimat Alana itu dan hanya menggelenggeleng.
" Ayo dong... yang daftar jadi Tristannya cuma ada dua orang. Kamu ikutan ya... ayo dong Tristan..." Alana sepertinya tak mau menyerah.
" Iya... ikut aja Tris... kan masih casting," Linda kembali mengeluarkan jurusnya tadi, yang berhasil membuatku nurut. Ternyata jurus itu juga berlaku bagi Tristan. Dia mengangguk dengan tampang bete.
Lucu..., ungkapku dalam hati.
" Oke teman-teman... aku tadi udah minta izin sama guru supaya kita bisa mengadakan casting sekarang juga. Kita cuma punya waktu 30 menit ya...," suara Alana membuat kami serentak diam dan memandangnya. Lalu bel tanda istirahat berakhir terdengar, pas banget.
" Kita mulai casting-nya ya. Untuk pemeran Isolde ada Retta, Bianca, Vani, dan Calya. Yang tadi aku sebutin namanya ke depan ya." Kami berempat serempak berdiri dan maju ke depan kelas. Alana menyodorkan selembar kertas yang berisi dialog Isolde.
" Baca yang Wahai Baginda Raja ya. Retta giliran pertama, lalu Bianca, Vani, dan terakhir Calya. Oke... siap... action!" seru Alana mantap. Kami hanya senyam-senyum sendiri melihat Alana yang tampak sangat semangat dengan pementasan drama ini.
Aku tidak begitu memperhatikan ketiga temanku yang membaca dialog itu. Aku terlalu tegang dan hanya mengulang-ulang dialogku. Sebentar lagi giliranku, aku jadi was-was. Bukannya takut tidak terpilih, aku justru takut bakal mempermalukan diri sendiri.
" Calya, sekarang giliran kamu," panggil Alana setelah Vani menyelesaikan dialognya. Kulipat kertas itu lalu mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya.
" Wahai Baginda Raja, aku benar-benar minta maaf telah mengkhianati janjiku. Tapi aku tidak bisa berbohong lagi, Baginda. Aku mencintai Tristan, aku ingin pergi menemuinya sekarang." Seperti ketiga peserta yang lain, aku juga mendapatkan tepuk tangan dari teman-teman. Alana hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum padaku.
" Oke untuk pemeran Isolde akan kami rembukkan sebentar lagi. Sekarang giliran pemeran Tristan ya...," seru Alana sambil membacakan nama-nama peserta casting.
Mungkin karena ketegangan yang kurasakan tadi mereda, perut jadi sedikit sakit. Aku permisi ke kantin untuk membeli teh manis hangat. Dan memang sengaja, aku tidak ingin melihat Tristan yang akan membacakan kalimat kalau Tristan mencintai Isolde. Aku tak mau rasa yang telah susah payah kutekan ini kembali mekar hanya gara-gara sebaris kalimat.
Sepuluh menit kemudian aku kembali ke kelas dan mendengar teman-temanku sedang bertepuk tangan sambil bersorak.
" Oke... untuk pemeran Isolde jatuh pada....," Alana sengaja menggantung kalimatnya sambil melihatku yang berdiri tepat di pintu.
Oh sudah mengumumkan pemeran, batinku. Aku berjalan masuk...
" ...Calya!!!" lanjut Alana. Dan serempak teman-teman bertepuk tangan sambil memandangiku. Aku hanya tersenyum kaku menanggapi mereka.
" Untuk jadwal latihan akan diumumkan sepulang sekolah ya... Selamat buat Tristan dan Calya...," seru Alana sambil meminta teman-teman yang lain untuk tenang.
Mataku langsung melihat ke arah Tristan dan mendapati dirinya juga sedang menatapku. Ekspresinya tak terbaca. Aku menelan ludah dan berjalan menuju bangkuku.
Ini benar-benar gawat. Aku dan Tristan?ef
I ll Never Go
" Every single day, you always act this way. For how many times I told you, I love you for this all I know." MYMP
" C ut!" seru Sam lantang, dan kami menghentikan
latihan drama. Sam terpilih jadi sutradara. Dan Alana mengajukan diri sebagai koordinator di belakang panggung. Untuk pemeran Raja Mark yang terpilih adalah Keynal, sedangkan pemeran Iseult adalah Retta.
Kuteguk air mineral sambil menatap Sam yang sedang memberikan pengarahan pada Tristan. Cowok itu tampaknya tidak bersemangat melakukan latihan karena sejak tadi akting nya sangat payah. Aku tidak habis pikir kenapa Alana dan kru lain memilihnya jadi pemeran utama dengan akting seburuk itu. Tristan benar-benar tidak terlihat niat melakukan pementasan drama ini. " Cepat ulang kalimatnya!" seru Sam pada Tristan. Tristan hanya mendengus lalu kembali membaca dialognya, " Tenang saja Isolde, aku akan selalu ada untuk mendengarkan keluh kesahmu," ucap Tristan tanpa perasaan.
" Astaga! Jangan datar begitu! Mainkan intonasi dan ekspresinya!" erang Sam lalu meminta Tristan mengulang adegannya. Tristan hanya menuruti Sam dengan patuh dan kembali mengulang kesalahan yang sama.
Sam mendecakkan lidah, " Sudahlah, sekarang kita istirahat sebentar."
Kulihat Tristan menutup naskah dramanya lalu mengejar Sam. Mereka tampak membicarakan sesuatu. Bisa kubaca dari raut wajah Tristan kalau cowok itu bersikeras untuk mengundurkan diri dari perannya sedangkan Sam menolak dengan tegas. Kenapa Tristan be gitu ingin mengundurkan diri? Apa karena malu? Atau kare na ia harus beradu akting dengankuTristan berjalan lesu ke bangkunya sambil mengeluarkan ponsel dan memainkannya. Sepertinya ia kalah debat dengan Sam dan akhirnya pasrah dengan tuntutan perannya. Kuperhatikan Tristan dalam-dalam. Ada satu hal yang berubah darinya, entah kenapa aku merasa tubuhnya makin kurus dan sering terlihat lesu. Oh ya, tidak hanya itu. Bahkan sekarang aku mendapati Tristan tidak pernah lagi ikut pelajaran olahraga. Dia hanya duduk di pinggir lapangan atau pergi entah ke mana.
Ada apa dengannya? Ya Tuhan, sampai kapan aku terus bertanya-tanya dalam hati seperti ini? Rasanya aku ingin menanyakan langsung padanya. Sempat terpikir untuk menanyakannya pada Sam, namun aku merasa canggung. Jadi, aku hanya bisa menerka-nerka bagaimana kondisinya, yang menurutku makin melemah setiap harinya.
" Kita lanjutin latihannya jam istirahat kedua, ya!" seru Alana lalu membereskan naskah-naskah yang berserakan di meja.
Aku hanya mengangguk lalu duduk di tempatku sambil membaca adegan-adegan yang nantinya akan kumainkan. Ada sebuah adegan yang membuatku sedikit bimbang, adegan yang langsung kutandai dengan stabilo kuning dan kubaca berulang kali. Adegan di mana aku harus menggenggam tangan Tristan sambil menatapnya dalam-dalam. Untungnya tidak ada adegan romantis yang lain, karena untuk saling menggenggam saja pasti akan sulit dilakukan.
Pandanganku beralih pada Tristan tepat ketika cowok itu berdiri dari duduknya dan berjalan pergi ke luar kelas dengan langkah gontai. Sebenarnya aku ingin tahu ke mana ia akan pergi, tapi aku lebih memilih tinggal di kelas dan menyimpan rasa penasaranku rapat-rapat. ***
" Di mana Tristan?" tanya Alana ketika kami telah berkumpul di depan kelas untuk melakukan latihan drama lagi.
Kepalaku berputar mencari sosok itu di kelas, ternyata ia belum kembali. Ia pergi cukup lama bahkan sempat melewatkan pelajaran Pak Bas. Rasanya aku ingin meneleponnya sekarang, memintanya kembali ke kelas dan jangan menghilang lagi.
" Tristan di UKS, tadi dia bilang mau istirahat sebentar," kata Sam.
" Dia pergi dari tadi," gumam Retta.
" Hmm, kita nggak bisa mengulur waktu lagi. Calya, bisa tolong panggilkan Tristan di UKS?" pinta Alana, yang dengan cepat kutolak.
" Kenapa harus aku?"
Alana menatapku tanpa ekspresi, membuatku jadi salah tingkah sendiri. " Memangnya kenapa, Cal?" tanya Alana, memiringkan kepalanya.
" Nggak apa-apa... ya sudah... aku... aku panggil dia sekarang."
Dengan terpaksa aku menuju UKS untuk menemui cowok itu. Kenapa harus aku? Apa yang harus kukatakan? Sedangkan aku dan Tristan hampir dua bulan tidak saling bicara. Sambil terus melangkah, otakku berputar untuk menemukan susunan kata yang akan aku ucapkan pada Tristan.
" Alana cari kamu, latihan dramanya mau dimulai," ucapku sedatar mungkin ketika sampai di UKS. Sedetik kemudian aku membisu melihat Tristan sedang terkulai lemah di ranjang dengan wajah pucat. Ia melipat kedua tangannya di depan perut, matanya terpejam namun tidak seperti tertidur.
" Tris..."
Akhirnya aku memberanikan diri untuk bersuara lagi. Perlahan kulihat Tristan bergerak bangun dan menegakkan tubuhnya dengan susah payah. Bibirnya membiru dan tatapan matanya kosong. Ia tak menatapku apalagi menyahut panggilanku. Dengan lemah ia turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi kecil yang berada di samping UKS. Aku mengikuti langkahnya sampai di depan kamar mandi. Di sana aku begitu terkejut melihat Tristan berdiri di depan kloset, menopang tubuhnya dengan sebelah tangan bersandar di dinding, lalu muntah.
Akhirnya latihan dramanya dibatalkan. Tristan kembali terbaring di atas ranjang UKS sambil menutupi wajahnya dengan sebelah tangan. Sudah hampir lima belas menit aku, Sam, dan Alana menemaninya ketika perawat baru saja pegi setelah memeriksa keadaannya.
" Minum dulu, Tris," ujar Alana sambil meletakkan segelas teh hangat di meja dekat ranjang. Namun Tristan tetap bergeming, sepertinya ia sudah terlelap.
Aku menarik bangku ke sisi di sisi ranjang yang ditiduri Tristan. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan, namun sangat ingin memandang wajahnya. Kalau boleh, aku pun ingin menyentuh pipinya yang pucat itu. Aku bisa merasakan uap panas yang keluar dari hidung Tristan, suhu tubuh laki-laki itu memang panas sekali. Keringat terus mengucur dari dahinya, dengan cepat Alana langsung mengelapnya sebelum titik air itu jatuh. Tristan bergerak sedikit, namun tidak membuka matanya.
Alana dan Sam pamit balik ke kelas dan tinggal aku yang membisu di sampingnya, mendengarkan helaan napasnya, dan memperhatikan tiap lekuk wajahnya.
Entahlah, sebagian diriku kembali terasa utuh ketika kembali dekat dengannya. Melihatnya terkulai lemah seperti ini menimbulkan kecemasan yang luar biasa dalam hatiku. Aku kembali teringat segala kejadian aneh yang dialami Tristan. Di mana ia pingsan saat olahraga, meminum pil yang ia sebut vitamin sampai menghentikan segala aktivitasnya. Aku tidak tahu apakah Tristan masih lari atau sudah berhenti. Intinya keadaan Tristan benar-benar memburuk meski aku tidak tahu seperti apa jelasnya.
Aku tidak bisa menahan diri lagi. Perlahan kusentuh wajah Tristan dengan telunjuk. Rasanya benar-benar mendebarkan, seperti pertama kali aku melakukannya di perpustakaan. Tristan masih membisu ketika aku terus menelusuri wajahnya dengan jemariku. Rasanya aku ingin menangis melihat kondisi Tristan. Sedikit demi sedikit aku mulai sadar, sekeras apa pun usahaku untuk menjaga jarak dari Tristan, dan sekeras apa pun usaha Gav untuk menjauhkanku dari Tristan, aku tidak akan pernah pergi. Karena perasaan ini hanya berputar dan pada akhirnya kembali di titik yang sama. Bagaimanapun pada akhirnya aku akan tetap kembali pada kenyataan tentang dua pilihan yaitu Gav atau Tristan.
ef
EmotIon
" I m there at your side, a part of all the things you are. But you have a part of someone else, you gotta ind your shining star." MYMP
B anyak orang terlihat sibuk lalu-lalang di aula
sekolah. Kami tengah melakukan latihan drama gabungan bersama kelas dua belas yang lain. Aku duduk di samping Retta sambil menghafal naskahku. Sesekali dia membetulkan bagian yang salah kuucapkan. Aku benar-benar grogi, padahal ini hanya latihan biasa yang kebetulan ditonton lebih banyak orang. Setidaknya aku harus menunjukkan hasil latihan yang telah kulakukan dengan maksimal. Pandanganku tertuju pada Gav. Cowok itu sedang sibuk mengarahkan teman-temannya tak jauh dari panggung yang ada di tengah aula. Panggung itulah yang nantinya akan kami gunakan untuk pementasan.
Gav menjadi sutradara sama seperti Sam. Ia tidak jadi mengambil peran Romeo, dengan alasan ingin menjaga perasaanku. Padahal aku sungguh baik-baik saja. Aku hanya ingin Gav memberikan totalitasnya pada tugas akhir ini. Tapi keputusan Gav sudah bulat untuk tidak menerima peran Romeo.
Beberapa menit sebelum tampil, aku melihat Tristan masih duduk membaca naskahnya dengan earphone di telinga. Hari ini kondisinya terlihat membaik dan wajahnya tidak sepucat kemarin. Syukurlah, mungkin Tristan memang hanya butuh banyak istirahat. Lalu kudengar tepukan tangan Sam, tanda kami harus berkumpul untuk bersiap-siap. Sekali lagi, ini hanyalah latihan biasa tapi kenapa jantungku berdebar luar biasaKetika narator selesai membacakan awal cerita, aku dan Keynal memasuki panggung dan mulai berakting. Aku berusaha berakting sebaik mungkin. Untunglah aku sudah menghafal dialog bagian depan. Keynal juga begitu, tampak santai memerankan Raja Mark. Berkatnya, aku benar-benar dapat menjiwai peran sebagai Isolde.
Lalu narator membacakan narasi di mana aku dan Tristan berkenalan di perjalanan. Bagiku setiap adegan yang kulalui bersamanya terasa sangat sulit, meskipun Tristan tampak cuek seperti biasa. Kulihat ia juga berakting dengan maksimal, ia bisa menghafal dialognya dengan baik. Tapi aku dan Tristan selalu menghindari kontak mata. Setiap mata kami tak sengaja bertemu, pasti salah seorang langsung mengalihkan pandangannya. Rasanya begitu canggung, padahal kami berdua adalah pemeran utama yang nantinya paling diperhatikan.
Sampai tiba saatnya adegan yang paling kutakut kan. Adegan yang kutandai dengan stabilo warna ku ning. Ade - gan di mana aku dan Tristan saling menggenggam tangan dan bertatapan. Aku mulai tak bisa mengendalikan diri ketika Tristan berdiri di hadapanku. Tampaknya ia juga begitu, beberapa kali ia memalingkan wajahnya lalu berbicara dengan terbata-bata. Degupan jantungku sangat kencang sampai aku takut Tristan akan mendengarnya. Ia mengulurkan tangannya dan aku menyambut lalu menggenggamnya erat. Dingin dan basah. Ternyata setelah sekian lama tak pernah menggenggamnya, tangannya masih terasa seperti dulu. Perlahan-lahan kuangkat wajahku untuk menatap wajah Tristan. Kini mata hitam itu mulai membuatku tenggelam. Rasanya sebagian diriku seperti tersihir mata gelap itu, membuatku tak ingin mengerjapkan mata. Aku takut ketika menutup mata dan membukanya sosok itu akan hilang. Aku benar-benar tidak mau ia menghilang. Aku menikmati tatapan Tristan yang makin lama makin merasuk dalam diriku hingga membuatku terbawa suasana.
Tiba-tiba saja sebuah tangan menyambar lenganku dengan kencang. Genggamanku terlepas dari genggaman Tristan dan tertarik ke belakang. Aku terkejut lalu menatap sosok yang membawaku cepat ke belakang pang gung. Sosok itu berbalik lalu mencengkram erat bahuku.
" Jadi kayak begitu peran yang kamu mainkan? Kenapa kamu harus berpasangan sama dia?" bentak Gav keras, membuatku meringis kesakitan karena cengkramannya makin mengencang.
" Lepasin... Gav..."
" Kamu lupa sama janji kamu, Cal? Kamu janji buat nggak dekat sama cowok mana pun! Apalagi sama dia! Kamu lupa?"
Amarah Gav benar-benar memuncak. Matanya menatapku garang, membuatku tak berani menengadah. Gav tampak benar-benar menyeramkan ketika marah. " Ganti peran kamu, Cal!"
" A-Apa? Aku nggak mau..."
" Ganti peran kamu sekarang! Aku nggak suka!" " Gak mungkin Gav, pementasannya sebentar lagi!" jawabku tak mau kalah.
" Jadi kamu mau kayak begitu? Pegangan tangan dengan cowok lain? Di depan aku? Kamu nyadar nggak sih, Cal!"
" Astaga, Gav! Itu cuma akting!"
Aku balas membentak Gav dengan mata berkacakaca.
" Aku juga dapat peran yang sama kayak kamu, tapi aku tolak buat jaga perasaan kamu! Aku nggak mau bikin kamu cemburu! Tapi kamu? Dengan gampangnya terima peran itu dan pegangan tangan dengan orang lain!"
" Jangan berlebihan, Gav! Aku ngelakuin ini demi kelasku! Demi pementasan terakhir kami!"
Gav tertawa sinis, ia melepaskan cengkramannya lalu menatapku tajam. Aku mundur selangkah dari hadapannya. Aku benar-benar takut melihat sosoknya yang tampak berbeda.
" Jadi kamu lebih pilih teman-teman sekelasmu daripada aku? Ya sudah kalau begitu, lihat aja, aku nggak bakal mau nonton pementasan kamu!" seru Gav.
Aku mengepalkan tangan kuat-kuat untuk menahan rasa kesal dan sakit yang menggerogoti hatiku. Aku melakukan peran ini bukan karena Tristan, bukan karena siapa pun. Aku melakukannya karena ingin memberikan kesan terakhir di sekolah ini. Tapi kenapa Gav menghakimiku bahkan sebelum mendengarkan penjelasan.
" Ya sudah..." aku tersenyum kecut, " Biar gimanapun, aku akan tetap jadi Isolde. Aku akan berperan sebaik mungkin."
Gav tampak tak percaya dengan jawabanku. Ia hanya menatapku dengan mata yang membesar dan bibir yang bergetar. Untuk kali ini, aku hanya tidak ingin selalu tunduk padanya. Aku ingin melakukan sesuatu yang kuinginkan. Untuk kali ini, aku ingin benar-benar bebas.
ef
Tell Me Where It s Hurt
" I hate to see you so down, oh Baby. Is it your heart? Oh that s breakin all in pieces.
Makin you cry, makin you feel blue. Is there anything that I can do?" MYMP
S ejak pertengkaran hebat dengan Gav, aku tak lagi
menghubungi cowok itu. Gav pun melakukan hal yang sama, tidak mencoba mendekatiku. Ia tak lagi menjemput dan mengantarku pulang. Kami juga tak lagi makan siang di kantin. Bahkan kami tak saling menyapa saat berpapasan. Aneh, hal ini terjadi selama beberapa hari dan aku merasa baik-baik saja. Aku tidak pernah bertengkar hingga berhari-hari seperti ini dengan Gav. Biasanya kami saling meminta maaf ketika melakukan kesalahan sekecil apa pun. Tapi kini rasanya terlalu enggan untuk melakukan itu, aku lebih memilih diam daripada minta maaf padanya. Lagipula ia yang memulainya lebih dulu. Gav bukan lagi Gav yang kukenal dulu. Perubahan sifatnya sangat drastis.
Jam istirahat kedua ini kuisi dengan bermain game sampai bosan di ponselku. Aku tidak berniat keluar kelas karena malas bila bertemu Gav. Aku mengerang ketika jagoan dalam game yang kumainkan sudah berkali-kali mati. Namun aku tetap memainkannya dari awal. Terus begitu sambil menunggu bel masuk pelajaran berbunyi. " Calya!!!"
Sebuah pekikan dari arah pintu kelas membuat jantungku hampir terlonjak. Retta berdiri sedikit membungkuk sambil mengatur napasnya yang tersengalsengal.
" Gavin dan Tristan... berkelahi! Di gedung belakang.... cepat ke sana!" Suara Retta yang serak itu tertangkap jelas oleh telingaku. Gav dan Tristan? Berkelahi? Ya Tuhan! Aku berlari sekencang mungkin menuju tempat yang disebut Retta.
Kulihat kerumunan orang berkumpul di sana sambil menyoraki juga berdesas-desus. Aku berlari ke arah kerumunan itu dan mendesak mereka agar memberiku celah untuk masuk. Aku berusaha jadi tuli ketika beberapa siswa menyindirku dengan sinis dan berpura-pura jadi buta dengan tatapan tajam yang terarah padaku.
Aku melihat kejadian yang membuatku merinding. Gav sedang memukul wajah Tristan yang menyebabkan cowok itu jatuh ke tanah. Gav tampak benar-benar marah, wajahnya memerah dan kebencian terpancar dari sana. Tristan hanya terkulai lemah, tidak mencoba membalas perlakuan Gav. Ia berusaha berdiri tetapi Gav kembali memukul dan menendangnya berkali-kali. Orang-orang di sekelilingku dengan bodohnya malah bersorak-sorai, bukan melerai mereka.
" Gav! Berhenti Gav!" Teriakan yang keluar dari mulutku tak menghentikan Gav. Ia terus memukuli Tristan dengan keras. Tristan makin tampak tak berdaya, ia menyentuh dadanya sambil meringis kesakitan.
Aku berlari menghampiri mereka dan dengan cepat menahan lengan Gav yang terarah ke Tristan sekuat tenaga. Mungkin tenagaku tak ada artinya bila dibandingkan dengan Gav, namun cowok itu perlahanlahan menurunkan tangannya meski aku bisa merasakan ketegangan dari tangan itu.
" Kalau kamu masih nggak bisa hargain kesabaran aku dan perbaiki kesalahanmu, hal yang sama bakal terulang lagi, Cal! Kali ini aku serius!" bentak Gav padaku lalu menatap Tristan dengan nanar. Secara isik, Gav luar biasa baik-baik saja. Sedangkan Tristan... astaga! Aku benar-benar tak kuasa melihatnya. Tristan terduduk sambil menahan perut dan juga dadanya. Sudut bibirnya mengeluarkan darah yang menodai kemeja putihnya. Tristan menatapku tajam, sampai membuatku takut. Tristan tidak pernah menatapku setajam itu.
Gav menarik tanganku dengan kuat dan membawaku pergi meninggalkan tempat itu. Ia menerobos kerumunan sambil menghentakkan kakinya. Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan. Hatiku terasa seperti tercabik-cabik. Kenapa aku tidak bisa melakukan apa-apa? Kenapa aku hanya diam? Kenapa aku membiarkan Tristan tergeletak tak berdaya? Aku menangis di belakang Gav, membiarkannya membawaku pergi meninggalkan Tristan. Membawa jarakku kembali menjauh dengan Tristan.
" Lepasin, Gav!" pekikku sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan Gav yang kuat.
Gav menghentikan langkahnya lalu berbalik mena tapku. Matanya menatapku... bingung. Lalu dia mendengus dan wajahnya tampak melunak.
" Gav... lepasin aku...," ujarku pelan dengan nada memohon. Perlahan cengkramannya meregang. Aku menatapnya dalam.
" Maaf Gav...," ujarku lalu pergi meninggalkannya. ***
Ruangan itu benar-benar sepi. Aku melangkah masuk sambil mengusap air mata yang terus jatuh. Menurutku perpustakaan adalah satu-satunya tempat yang cocok untuk meredakan emosiku. Untunglah Gav tidak mengejarku. Aku benar-benar sedang emosi. Kembali terlintas bayangan Tristan yang benar-benar mengenaskan. Harusnya aku tetap di sana, membelanya, membantunya berdiri. Tapi aku tidak ingin Gav semakin menyerangnya.
Kubenamkan wajahku di meja. Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa atas kejadian itu. Apakah aku benarbenar tidak bisa dekat dengan Tristan sekalipun itu hanya dalam drama? Egoiskah aku? Inikah yang membuat segalanya hancur berantakan" Kamu kenapa?" tanya seseorang di belakangku. Aku hafal suara itu. Aku langsung menegakkan badan dan mendapati Kak Ami berdiri di belakangku sambil memeluk buku.
" Nggak apa-apa, Kak."
Inseparable Karya Laili Muttamimah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kak Ami hanya terdiam menatapku. Wajahnya datar tanpa senyum, namun juga tak terlihat sinis. Aku memalingkan wajah darinya.
" Mau cerita?"
Betapa terkejutnya aku ketika ia melontarkan tawaran itu. Lagi-lagi aku hanya bisa menatapnya, mencari-cari ketulusan di balik tatapan matanya. Aku bisa menemukan sorotan dari mata hitam itu, bukan sorotan iba melainkan kepedulian. Aku menimbang-nimbang dalam hati untuk menerima tawarannya. Aku tidak yakin akan menemukan solusi yang tepat jika cerita padanya, tapi aku benar-benar butuh seseorang untuk mendengar keluh kesahku saat ini. Setidaknya bila ia bisa jadi pendengar dan penjaga rahasia yang baik, aku sungguh berterima kasih.
Akhirnya kuceritakan semuanya pada Kak Ami. Semuanya. Tak ada yang terlewat sedikit pun. Sejak pertama aku mengenal Gav sampai kami berpacaran. Lalu sejak Tristan datang ke hidupku dan membuat segalanya berbeda. Tanpa kuduga, Kak Ami terus mendengarkan ceritaku, tidak memotong pembicaraan dan membiarkan aku cerita sampai selesai.
" Jadi sampai sekarang kamu belum tahu siapa yang sebenarnya kamu pilih?"
Aku hanya menggeleng lemah.
" Siapa di antara keduanya yang bikin kamu nyaman?" " Dua-duanya."
" Saat kamu bersama mereka, siapa yang lebih mengerti kamu?"
Aku terdiam sejenak. " Mereka memahami sifatku dengan caranya sendiri. Gav selalu baik tapi dia cenderung memperlakukan aku seperti anak kecil. Sedangkan Tristan cenderung cuek tapi dia memperlakukanku seperti diriku sendiri."
" Nah, sekarang siapa yang paling kamu sayang?" Aku terdiam beberapa saat. Rasanya sulit menjawab pertanyaan itu, karena sampai sekarang aku belum menemukan jawabannya dalam diriku.
" Aku nggak tahu. Selama ini aku selalu berpikir bahwa hanya Gav yang kusayang. Aku hanya tahu bahwa aku mencintai Gav dan akan selalu Gav. Tapi semuanya nggak sama lagi sejak Tristan hadir."
" Berarti itu bukan cinta," ujar Kak Ami cepat, membuat ku terkesiap memandangnya. " Cinta itu nggak akan buat kamu berpaling. Kamu akan tetap memandangnya tanpa pernah menoleh ke siapa pun. Mungkin perasaan yang selama ini kamu rasakan dengan Gav hanya kenyamanan semata yang tanpa sadar sudah berjalan satu tahun, yang kamu pikir cinta."
Aku masih membisu menatap Kak Ami yang perlahan tersenyum. Kini wajah perempuan itu terlihat luar biasa cantik. Entah kenapa aku merasa senang bisa melihatnya tersenyum.
" Jadi maksud kakak... sebenarnya aku nggak cinta sama Gav, gitu?"
" Mungkin belum cinta, hanya rasa nyaman biasa. Karena Gav selalu ada buat kamu, karena Gav selalu mengerti kamu, dan memberi perhatiannya untukmu. Kamu nggak akan berpaling ke Tristan kalau kamu benarbenar cinta sama Gav," jelas Kak Ami. " Hidup memang harus memilih, sekarang tinggal gimana caranya kamu netapin pilihan tanpa menyesalinya."
Aku tersenyum lebar mendengar ucapan perempuan itu. Rasa gundahku seketika mencair, berubah jadi kelegaan. Siapa sangka perempuan yang kupikir kutu buku, tidak sensitif , dan sinis itu ternyata begitu baik dan bijak. Aku telah salah menilai Kak Ami. Ia tidak kaku, hanya tidak suka diganggu. Perkataannya tadi benar-benar membuatku sadar. Membantuku mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini berputarputar di benakku.
ef
WaItIng In VaIn
" So don t treat me like a puppet on a string,
cause I know how to do my thing. Don t talk to me as if you think I m dumb, I wanna know when your gonna come." MYMP
A ula sekolah benar-benar dipadati oleh guru, siswa,
dan orangtua siswa. Mereka duduk rapi, bersiap menyaksikan pementasan drama kami. Panggung di tengah aula telah dihias dan diberi tirai layaknya pertunjukan teater, meski dengan lighting yang sederhana.
Aku mematut diri di depan cermin sambil tersenyum memandangi tubuhku berbalut gaun berwarna cokelat muda. Ruang make up juga penuh dengan orang-orang yang berlalu-lalang, membuat suasananya jadi agak sesak. Maklum saja, semua pemain berada dalam satu ruangan yang sama untuk berdandan. Giliran kelasku masih lumayan lama, jadi aku masih bisa sedikit lebih santai.
" Kamu cantik banget, Cal!" sahut Retta ketika aku menghampirinya yang sedang di make-up.
" Kamu juga cantik kok, Ret," balasku sambil tersenyum.
" Aku deg-degan banget nih, takut lupa dialognya." " Jangan dibawa nervous, Ret, anggap aja kita lagi latihan."
Setelah berbincang sebentar dengan teman-temanku yang lain, aku keluar dari ruangan yang padat itu. Tiba-tiba bayangan Tristan terlintas di benakku, apa ia sudah selesai berganti pakaian? Dengan langkah kecil aku berjalan menuju ruang ganti cowok, lalu menimbang-nimbang apakah harus membuka pintunya atau tidak. Sebenarnya aku tidak berniat apa-apa, hanya ingin melihat Tristan.
Kuputar kenop ruang ganti itu lalu perlahan pintunya terbuka. Aku mematung di tempatku melihat pemandangan di depan mataku. Sam terlihat sedang memegang handycam sedangkan Tristan baru saja berhenti berbicara dan memalingkan wajah dari handycam itu. Mereka berdua tampak seperti dua orang yang kepergok melakukan sesuatu yang abnormal. Apa yang sebenarnya mereka lakukanMenyadari mereka masih terus menatapku, aku langsung buru-buru menutup pintu. Kusandarkan tubuhku di pintu sambil menghela napas pelan. Setitik senyuman muncul di wajahku, begitu tersipu melihat Tristan yang tampak gagah dengan kostum pangerannya. Meski rasanya menyedihkan tidak bisa menatapnya dari jarak dekat.
Tristan tetap cuek seperti biasanya, namun sejak perkelahiannya dengan Gav, Tristan seratus persen menjauhiku bahkan bersikap dingin. Luka di wajahnya memang sudah menghilang, namun aku tahu luka di hatinya sama sekali belum sembuh. Menjalani hari-hari penuh kebisuan dengan Tristan adalah mimpi buruk. Tristan tak pernah lagi menatapku. Ia tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun padaku. Tristan benarbenar tampak asing, tidak seperti yang kukenal dulu. Dia cukup tahu diri untuk tidak lagi mendekatiku. Tinggallah aku yang menghitung jejak kepergiannya.
Kami hanya berbicara jika sedang berakting dan tak pernah berbasa-basi tentang apa pun. Jika aku bertanya, ia tidak pernah menjawab. Jika aku menyapa, ia tidak pernah menyahut. Aneh, ia sebenarnya dekat tapi kehadirannya terasa sangat jauh. Atau mungkin ia tak pernah lagi menganggapku ada di dekatnya. Kini dua orang yang pernah ada di hatiku, malah menjauhiku secara bersamaan.
Giliran kelas kami akhirnya tiba. Kubuang jauhjauh rasa gugup dan gelisah, berusaha tersenyum untuk penonton di aula itu. Pementasannya berjalan lancar. Kami berhasil berakting dengan baik. Aku merasa segalanya sudah maksimal. Tidak ada dialog yang terlewat, juga ti dak ada adegan-adegan ceroboh lainnya. Semuanya berjalan sempurna sesuai dengan rencana, termasuk adeganku bersama Tristan. Hanya di atas panggung sandiwara aku bisa berbicara dengannya, menggenggam tangannya, dan menatap dalam matanya. Aku hanya bisa menikmati detik demi detik bersamanya sampai pementasan kami berakhir dengan tepuk tangan yang meriah.
" Good job, guys!" seru Alana ketika tirai panggung sudah ditutup. Aku tersenyum puas sambil menyeka keringat di dahiku dengan tisu. Teman-temanku pun tampak gembira karena pementasannya berjalan lancar.
Tiba-tiba aku merasa seseorang menyentuh le nganku. Aku menoleh dan mendapati Tristan berdiri di sampingku.
" Mau foto?" tawar Tristan sambil menunjuk kamera yang sedang dipegang oleh Sam.
Ia mengajak foto bersama!!
Dengan gugup aku mengangguk. Kami berdiri cukup dekat sampai akhirnya kamera itu menjepret. Setelah jepretan pertama, Tristan langsung berjalan mendekati Sam untuk melihat hasil fotonya. Ia tersenyum tipis sambil menepuk bahu Sam dan berjalan ke belakang panggung. Ia meninggalkanku tanpa berbicara sepatah kata pun. Hatiku kembali terasa seperti ditusuk-tusuk.
Tanpa sadar aku mendapati kakiku bergerak mengejar Tristan. Susah payah aku berlari-lari kecil, berusaha mengejarnya dengan gaun yang masih kupakai. Cowok itu tampak berjalan santai di depanku, rasanya aku ingin memeluknya. Aku ingin mengakhiri perang dingin dengannya, aku tidak ingin menjaga jarak darinya lagi. " Tristan!" panggilku.
Tristan menghentikan langkahnya, namun ia tidak menoleh.
Aku berjalan pelan mendekatinya, " Sampai kapan kamu mau jauhin aku?"
" Aku cuma ikutin permintaan kamu," ujarnya. " Tapi ini bukan mauku, Tris! Aku nggak mau kayak gini."
" Sudahlah, Cal..."
" Kalau ada sesuatu yang mau kamu omongin, omongin aja, Tris."
Aku mendengar Tristan tertawa kecil namun tetap tidak menoleh ke arahku.
" Nggak ada. Bukannya semua sudah jelas? Jadi aku nggak perlu bilang apa-apa lagi," sahutnya ringan.
Aku masih terus menatap punggung cowok itu. Sungguh, aku merasa ada sesuatu yang disimpan Tristan, yang sebenarnya ingin sekali ia ungkapkan. Aku tahu, ia tidak mengungkapkannya karena takut semuanya kembali berantakan.
" Apa... apa selama ini kamu baik-baik aja?" tanyaku gugup.
Tristan mengangguk, " Lihat aja sendiri, aku baik-baik aja, kan? Sudah kubilang, nggak usah mikirin aku. Aku tetap tertawa, mengobrol, dan bersenang-senang kayak biasanya, kan?"
Hatiku kembali terasa nyeri. Benarkah Tristan merasa begitu? Selama ini aku selalu merasa sedih karena harus menjaga jarak darinya. Aku selalu memutar kenangan tiap kali melewati tempat-tempat yang pernah kulalui bersamanya. Aku selalu memikirkannya tiap kali bersama Gav. Tapi ia merasa baik-baik saja layaknya tidak terjadi apa-apa. Tristan memang kerap terlihat tertawa bersama teman-temannya, tapi soal hati siapa yang tahu" Kamu nggak usah bohong! Sebenarnya kamu nggak baik-baik aja, kan?" tanyaku dengan suara agak keras, sulit bagiku mengendalikan emosi saat ini.
Tristan membalikkan badannya dan menatapku, " Buat apa aku bohong? Nggak ada gunanya, Cal. Kamu sudah pilih dia dan apalagi yang bisa aku lakukan?"
" Aku nggak pilih dia, Tris! Maksudku... belum memilih siapa pun!" tegasku. Bibirku bergetar menahan tangis.
" Sudahlah, Cal, mungkin memang dia yang terbaik buat kamu."
" Nggak Tris... nggak begitu."
Akhirnya air mata itu tumpah juga, membuat dadaku terasa sangat sesak. Kututupi wajahku dengan telapak tangan sambil terisak kecil. Aku tidak tahu seperti apa ekspresi Tristan ketika melihat aku menangis, yang jelas aku tidak bisa menahannya lagi. Aku sangat ingin semuanya kembali seperti dulu, ketika aku masih bersamanya.
" Selama ini aku coba buat tertawa... menyibukkan diri... aku coba buat... buat nikmatin semuanya tanpa kamu. Tapi... aku sadar, perasaanku malah makin kacau saat kita berjauhan. Aku nggak bisa kalau harus lanjutin ini semua Tris, aku nggak bisa kalau harus berjauhan lebih lama lagi. Semuanya jadi beda waktu kamu nggak ada." " Jangan bilang begitu," suara Tristan berubah serius, " Kamu memang harus belajar untuk nggak bergantung dengan kehadiran orang lain. Karena belum tentu orang itu ada untuk kamu selamanya."
Tristan kembali membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauhiku. Aku hanya bisa menatap sosoknya dari balik mataku yang basah.
" Tris... jangan pergi lagi... aku nggak tahan kalau harus begini, Tris..."
Sekali lagi Tristan menghentikan langkahnya, " Kamu pasti bisa, Cal. Kamu pasti bisa tanpa aku." Lalu kulihat ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. " Bulan Juni nanti aku akan ikut Jakarta Marathon, Cal, doain aku ya."
Sebelum aku sempat menjawab, Tristan sudah kembali berjalan. Kini langkahnya benar-benar cepat, membuatku harus berlari mengejarnya. Ia terus berjalan menyusuri koridor dan aku tidak ingin berhenti mengejar. Semakin lama pandanganku semakin kabur karena air mata. Hingga akhirnya, Tristan tak lagi terlihat... Aku benar-benar sudah ditinggalkan.
ef
Love Stood StIll
" Now you ask me to say,
I ll always feel this way. Now then nothing has ever changed." MYMP
M otor Gav terparkir di depan rumahku. Kulihat ia
duduk di teras sambil memandangku. Apa lagi yang diinginkannya? Dengan cepat aku masuk ke dalam rumah tanpa menoleh ke arahnya.
" Cal..." panggilnya sambil menahan lenganku, yang kutangkis dengan cepat. Aku malas bila harus bertengkar dengannya lagi.
" Cal, aku minta maaf."
" Lebih baik kamu pulang, Gav."
" Cal, aku benar-benar minta maaf sudah kasar sama kamu. Aku benar-benar nggak bisa ngendaliin emosi. Maain aku," ujar Gav sambil mengiba.
Aku hanya bergeming menatapnya. Kulihat kesedihan terpancar jelas dari matanya, membuatku seketika melupakan amarah.
" Cal... aku janji bakal berubah."
Aku menghela napas pelan lalu mengangguk, " Ya, aku juga minta maaf Gav atas semua kesalahan yang pernah aku buat."
Kulihat ujung bibir Gav terangkat lalu memelukku singkat. Aku tidak menolak, hanya membiar kan diriku tenggelam dalam pelukannya tanpa membalas. Tapi aku makin yakin, tentang hati yang pada akhirnya akan kupilih. Karena meski aku memaksakan diri berada di samping Gav, perasaanku padanya tak pernah sama lagi. Hatiku sudah jatuh pada Tristan.
Maafkan aku, Gav.
Pagi ini Alana berdiri di muka kelas dengan sebuah kaleng biskuit di tangannya, yang tentu saja membuat seluruh kelas bertanya-tanya.
" Buat apa kaleng biskuit itu, Al?" tanya seseorang. " Ini untuk time capsule," jawab Alana santai. " Time... apa?" tanya yang lain.
" Time capsule. Kan sebentar lagi kita akan berpisah. Aku pengen mengumpulkan segala hal tentang kebersamaan kita sebelum ujian nasional dimulai. Kita bisa mengumpulkan denah bangku, foto, rekaman atau apa pun yang penting bisa disimpan di kaleng ini," jelas Alana.
" Lalu gunanya untuk apa, Al?" " Hmm... untuk lashback. Time capsule ini akan disimpan oleh Pak Bas dan akan kita buka sama-sama lima tahun kemudian. Kakak kelas kita yang sudah lulus juga pernah membuat time capsule."
" Terus apa saja yang harus kita tulis?"
" Apa aja. Kenangan, pesan-pesan, harapan, impian di masa depan bahkan perasaan yang ingin kalian ungkapkan satu sama lain. Tenang aja, aku yakin Pak Bas akan menjaga ketat time capsule ini dan rahasia kita nggak akan terbongkar."
Kudengar beberapa temanku memekik senang dan mulai menuliskan sesuatu di buku catatannya. Ini benarbenar menarik. Aku bisa menuliskan harapanku di masa kini, dan pastinya akan seru ketika membukanya nanti. Pasti banyak yang berubah dalam waktu lima tahun. Ini akan jadi sesuatu yang tak terlupakan.
" Time capsule ini aku buka sampai besok pagi ya... kalau ada yang mau masukin sekarang juga gak apa-apa. Tapi yang sudah dimasukkan tidak boleh diambil lagi loh," jelas Alana.
Aku pun merobek selembar kertas dari buku tulis. Lama kupandangi kertas itu. Seketika aku bingung harus menulis apa. Cita-citaku? Harapan di masa depan? Aku sendiri belum memikirkannya. Tiba-tiba mataku beralih ke arah Tristan. Cowok itu duduk dengan santai dan mulai sibuk menuliskan sesuatu di atas kertas putih. Apa ya yang ditulisnya? Tiba-tiba aku jadi penasaran. Aku terus memandangi Tristan dan melupakan kertasku sejenak.
Tak lama kemudian, Tristan beranjak dari bangkunya dan memasukkan sesuatu ke dalam kaleng time capsule. Alana langsung menutup kaleng itu tanpa melihat tulisan Tristan. Benar-benar rahasia.
Dadaku berdebar hebat ketika Tristan berjalan menghampiriku. Aku terus menatapnya tanpa senyum. Dia berdiri di sampingku dan terus menatapku tanpa berkedip.
" Aku boleh minta sesuatu?" tanyanya dengan suara pelan.
Aku mengangguk kecil.
" Bisakah kamu tulis... siapa orang yang kamu pilih untuk ada di masa depanmu? Aku atau Gav? Aku akan tunggu lima tahun lagi," ujarnya sambil tersenyum tipis. Aku tak bisa mengeluarkan kata-kata.
" Tulis sesuai dengan kata hatimu, Cal. Tenang aja, aku akan terima jawabanmu sesakit apa pun itu," tambah Tristan, lalu ia berbalik dan berjalan menuju bangkunya.
Tinggal aku yang kebingungan harus menulis siapa yang harus kupilih. Mungkin Tristan memang butuh kejelasan dariku agar perasaannya tidak menggantung. Namun aku belum berani memutuskan. Aku tidak ingin ada yang tersakiti dengan keputusanku meskipun harus ada yang dikorbankan. Kali ini aku harus memantapkan hati.
Karena pada akhirnya aku harus memilih.
ef
MIss You
" Everyday and every night, this feeling I d ight. Try as I might but won t win, I surrender, I d die. You are winning here alright."
A ku duduk termenung di ruang tengah rumah Kakek
Gav bersama anggota keluarganya. Hari ini Gav sengaja mengajakku ke acara keluarganya. Seminggu lagi Gav akan berangkat ke Inggris, dan dia mengadakan pesta kecil-kecilan dengan keluarganya.
Pandanganku terus tertuju ke arah televisi yang sedang menyiarkan event Jakarta Maraton untuk memperingati ulang tahun kota Jakarta. Lokasi lomba di Silang Monas Barat Daya sebagai titik start dan inish. Maraton berjarak 10KM itu melintasi Jalan M.H. hamrin juga Jalan Sudirman. Aku tahu Tristan pasti ada di sana. Ia pasti sedang bersiap-siap untuk mengejar impian terbesarnya. Harusnya aku pun ada di sana, tapi pada akhirnya aku malah berkumpul dengan keluarga besar Gav. Aku melakukan ini semata-mata demi orangtua Gav. Aku tak ingin membuat mereka kecewa.
Padahal aku sangat ingin melihat Tristan, menyemangatinya dalam event yang besar itu. Aku ingin melihatnya menang, melihatnya berteriak puas di garis inish. Tapi aku malah terus berada di sisi Gav, bertahan bersamanya dengan segala kepura-puraan yang kugenggam. Peristiwa demi peristiwa yang telah terjadi semakin meyakinkan bahwa aku menyayangi Tristan dan tak akan pernah bisa pergi darinya. Sebesar apa pun usaha Gav untuk menjauhkanku dari Tristan, aku tidak akan pernah pergi.
Aku masih duduk dengan kaku sambil terus menatap kosong ke layar kaca. Keluarga besar Gav masih terus berbincang seru. Kadang aku juga diajak ngobrol tapi aku hanya menanggapi pertanyaan mereka sesekali. Gav mungkin mengerti kenapa aku bersikap seperti ini, namun sepertinya ia berusaha tidak peduli.
Aku menatap jam dinding di ruang tengah, menunjukkan pukul sepuluh. Tanpa terasa aku sudah berada di sini selama dua jam. Jakarta Maraton dimulai sejak pukul delapan tadi, lalu bagaimana Tristan sekarang? Ia sudah berlari sejauh mana? Apa ia berhasil berada di urutan yang pertama? Benakku terus ditimbun dengan berbagai pertanyaan yang aku sendiri tidak tahu apa jawabannya.
Tiba-tiba ponselku bergetar, sepertinya ada telepon masuk. Kukeluarkan ponsel itu dari saku dan melihat nama yang terpampang di layar. Sam" Maaf, ada telepon mendesak," ujarku pada keluarga besar Gav dan beranjak dari kursi.
" Ada apa, Sam?" tanyaku pelan, aku mendapati Gav berdiri di sampingku. Mungkin dia curiga aku mendapat telepon dari Tristan.
Aku berusaha mengabaikan Gav, " Sorry Sam... suaramu nggak jelas di sana berisik banget... Bisa menjauh sebentar? ...oke aku udah lumayan jelas... ada apa?"
Bola mataku membesar, rasanya napasku terhenti saat itu juga. Tanganku menggenggam ponsel dengan kaku dan keringat mulai membasahi keningku, " Tristan... pingsan?" pekikku. Aku langsung menatap Gav, cowok itu balik menatapku dengan alis yang berkerut.
" Di mana... apa? Rumah sakit... jantung? Ya, aku ke sana sekarang, Sam," ucapku dengan getir. Kumatikan sambungan telepon dari Sam lalu kembali menatap Gav, " Aku harus pergi, Gav."
Melihatku terburu-buru, Gav menahan lenganku, " Kamu pamit dulu sama keluarga aku, Cal. Nggak enak main pergi aja."
" Gav! Tristan pingsan dan sekarang belum sadarkan diri. Aku... aku... akh! Aku harus pergi sekarang, Gav!" sahutku sambil berusaha menahan emosi yang menumpuk dalam dadaku.
" Dia hanya pingsan biasa, Cal. Nggak perlu secemas itu!" balas Gav, nada biacaranya meninggi.
" Dia ada di rumah sakit jantung, Gav! Itu pasti bukan pingsan biasa!" seruku sambil berjalan dari luar rumah Gav. Aku benci sikap Gav yang tidak bisa membaca situasi. Aku benar-benar khawatir dengan kondisi Tristan, apalagi saat Sam bilang dia belum sadarkan diri.
Ya Tuhan, semoga tidak terjadi apa-apa pada Tristan. Jangan biarkan sesuatu yang buruk terjadi padanya. Sebagian diriku merasa tidak enak pada keluarga besar Gav, namun Tristan jauh lebih penting.
Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di sampingku, aku menoleh menatap si pengendara dengan mataku berkaca-kaca. Gav menyodorkan helm padaku dengan wajah datar.
" Pakai ini, aku antar kamu," katanya.
Gav langsung menancapkan motornya setelah aku duduk di belakangnya. Gav mengendarai motornya dengan kecepatan penuh dan aku tak henti-hentinya berdoa di tengah perjalanan. Pikiranku melayang entah ke mana, memikirkan sesuatu yang buruk akan terjadi.
Percayalah, Cal, Tristan pasti kuat! batinku, berusaha menenangkan diri.
Kami tiba di depan rumah sakit jantung yang dikatakan Sam. Gav hanya bergeming di atas motornya, akhirnya aku turun dan melepas helm. Ketika aku menyerahkan helm yang kupakai pada Gav, cowok itu menatapku dengan tatapan sedih yang amat mendalam.
" Gav... aku masuk sebentar, ya?" tuturku pada Gav dengan suara serak.
" Kali ini, ikuti kata hatimu, Cal. Temui Tristan sekarang, dia jauh lebih membutuhkan kamu," ujar Gav dengan suara yang amat getir, membuat dadaku nyeri mendengarnya.
" Apa maksud kamu, Gav?Aku akan kembali la..." " Cepat pergi, Cal! Nggak usah pikirin aku. Aku pasti akan baik-baik aja tanpa kamu," seru Gav sedikit mendorongku.
" Bohong! Jangan munaik begitu, Gav!" balasku. " Seseorang memang harus jadi munaik untuk merelakan orang yang disayanginya pergi!" sahut Gav yang membuat hatiku terpukul.
Aku hanya bisa menatapnya tanpa suara.
Gav memegang bahuku, " Cal... cepat pergi sebelum aku menangis di sini." Suara Gav yang melunak justru membuat hatiku makin sakit. Namun bayangan Tristan yang terbaring lemah terlintas di benakku. Aku mundur beberapa langkah menjauhi Gav kemudian berbalik dan berlari memasuki rumah sakit tanpa menoleh pada Gav lagi.
ef
Forever Blue
" Don t wanna be alone, I need someone to hold on to. And share my dreams with a love, a love that s always true." MYMP
A roma obat di dalam rumah sakit benar-benar menu
suk hidungku. Aku berlari secepat mungkin menuju ruang ICU. Rumah sakit cukup ramai hari ini, aku bersusah payah menerobos orang-orang yang berlalu lalang di koridor. Ketika sampai di depan ruang ICU aku mendapati Sam, Alana, Retta sedang duduk di sana.
" Akhirnya kamu datang, Cal. Syukurlah, Tristan sudah sadar," sahut Sam. Aku masih sibuk mengatur napas meski dalam hati aku bersyukur penuh kelegaan. Teman-teman yang lain berjalan menghampiriku.
Kubuka pintu ruang ICU dengan amat pelan hingga tidak menimbulkan suara. Aku mendapati seorang wanita yang sepertinya adalah Mama Tristan sedang mengelus kepala putranya. Mama Tristan menatapku dengan bingung, aku menganggukan kepala sambil tersenyum. Begitu sadar akan kedatanganku, Tristan mengucapkan sesuatu pada Mamanya. Tak lama kemudian, mamanya tersenyum padaku dan keluar dari ruang ICU.
" Tris... apa yang terjadi?" tanyaku sambil memandangnya dari kepala sampai kaki. Aku duduk di sebuah bangku di sisi ranjangnya.
Tristan menggenggam tanganku. " Aku nggak apa-apa, Cal."
Perlahan-lahan tangannya yang dingin menyentuh wajahku. Mata hitamnya mulai menelusuri mataku, membuatku tertarik ke dalamnya.
" Aku kangen kamu, Cal... kangen banget," ujarnya pelan.
Ucapan Tristan membuat air mataku jatuh, namun hatiku terasa bahagia. Aku bahagia karena bisa kembali menatapnya, melihat senyumnya juga mendengar suaranya. Bahagia karena bisa bersamanya, seutuhnya.
" Aku gagal, Cal. Aku gagal mencapai mimpiku," tutur Tristan sedih, tangannya menyeka air mata di pipiku dengan lembut.
" Nggak, Tris. Masih banyak kesempatan. Percayalah, ini bukan akhir dari mimpimu," ucapku setenang mungkin. " Maaf karena nggak bisa menepati janjiku untuk lihat kompetisimu. Aku minta maaf karena nggak datang mendukung kamu.Tolong jangan marah."
" Nggak perlu minta maaf, kamu sudah banyak kasih aku dukungan, Cal. Kamu sudah membuatku berani bermimpi lagi. Kamu selalu percaya bahwa aku pasti bisa." Suara rendah Tristan terdengar menggema di telingaku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
" Maaf atas sikap dinginku selama ini, Cal. Aku cuma berusaha konsisten dengan janjiku untuk jauhin kamu. Jangan pergi lagi, Cal. Rasanya sedih kalau kamu nggak ada," pintanya. Aku mengangguk sambil terus tersenyum, tak kuasa menjawab ucapannya.
" Kalau aku sudah sembuh nanti, kita pergi ke arena latihan lagi ya. Atau makan es krim di pinggir pantai? Atau naik sepeda bersama? Kamu mau yang mana?"
" Aku mau melakukan itu semua, Tris. Asal sama kamu."
Tristan tersenyum lebih lebar dari sebelumnya, " Kalau begitu tunggu aku ya, Cal." Tangannya beralih menuju kepalaku.
" Jangan ceroboh lagi ya, jangan taruh ponsel sembarangan, jangan hilangin buku catatan lagi."
" Kan kamu yang hilangin buku catatanku!" seruku sambil tertawa, meski air mata ini tak henti-hentinya membasahi wajahku. " Besok aku datang ke sini lagi, bawa es krim. Kamu mau rasa apa?" tanyaku sambil menyentuh tangan kanannya yang dimasuki jarum infus.
" Jangan, nggak usah datang ke sini besok. Aku sudah nggak ada di sini," sahut Tristan, masih sambil tersenyum.
Dahiku berkerut, " Memangnya kamu mau ke mana, Tris?"
" Besok aku pulang, Cal. Jadi nggak perlu ke sini." Aku mengangguk, " Gimana kalau besok aku datang ke rumahmu aja? Boleh, kan? Aku belum pernah ke rumah kamu."
Kini gantian Tristan yang mengangguk, " Boleh kok." " Kamu tahu, Tris? Mungkin ini terdengar gila, tapi aku ingin hidup kamu kayak limit dari dua dibagi nol. Tak terhingga," tuturku dengan getir, sambil menyeka air mata yang hampir jatuh lagi.
Kudekatkan wajahku untuk mencium kening Tristan. Aku masih ingin terus menggenggam tangannya, mengunci jemariku di antara jemarinya dan tak akan pernah lagi melepaskannya. Aku berjanji, mulai sekarang aku akan selalu berada di samping Tristan.
Mama Tristan menyambut dengan senyuman ketika aku keluar dari ruang ICU. Beliau memintaku duduk di sampingnya untuk membicarakan sesuatu. Raut wajahnya terlihat serius dan dipenuhi oleh kesedihan meski berusaha menutupinya.
" Hari itu, saat Tristan pingsan di sekolah, pihak sekolah langsung menelepon dan meminta tante datang ke rumah sakit tempat Tristan dilarikan. Sebelumnya dia memang sudah sering mengeluh kalau dadanya nyeri dan kepalanya pusing," ujar Mama Tristan dengan lirih. " Dokter bilang Tristan mengidap penyakit jantung."
" Jantung..." Mataku membesar mendengar penyakit Tristan.
" Iya... Tristan sakit jantung," ujar mamanya lemah. Aku benar-benar tak mampu berkata-kata, hanya menatap wanita berwajah lesu itu dengan teng gorok an tercekat. Kuraih tangan Mama Tristan dan meng genggam nya dengan erat. Rasanya dingin, seperti tangan Tristan.
Mendadak ingatan tentang Tristan seperti berputarputar di dalam benakku. Tristan yang selalu terlihat pucat, Tristan yang sering kali tampak terkulai lemah. Ternyata karena penyakit itu, penyakit yang benar-benar menyeramkan. Pantas saja Sam selalu merahasiakannya dariku, ternyata penyakit yang diidap Tristan bukanlah penyakit ringan biasa.
" Tante benar-benar takut kehilangan dia. Dialah hara pan keluarga kami satu-satunya. Tante masih ingin melihatnya tumbuh dewasa. Tante... tante tidak bisa membayangkan kalau suatu saat dia akan pergi," ujar Mama Tristan dengan getir, air mata mulai mengucur turun dari matanya.
Seketika aku merasakan hal yang sama. Perasaan takut itu menjalari diriku, membuatku langsung memeluk Mama Tristan, berusaha menenangkan wanita itu sekaligus melepaskan rasa cemas di hatinya. Aku dapat merasakan tubuhnya yang gemetaran.
Koridor sepi itu diisi dengan suara tangisan kami, tidak ada lagi yang kami lakukan selain berpelukan sambil terus mendoakan kesembuhan Tristan.
Kakiku yang terasa gontai membawaku berjalan keluar dari rumah sakit. Langit mulai gelap, remang-remang lampu jalanan mulai menyala. Teman-temanku sudah pulang sejak tadi, namun aku enggan angkat kaki dari sisi Tristan. Tristan bersikeras menyuruhku pulang. Dia tidak ingin aku bermalam di sini. Tristan tidak mengerti betapa aku ingin selalu bersamanya.
Aku mendengus pelan. Baiklah, aku akan kembali besok dan membawa sekotak es krim.
Aku berjalan menuju trotoar sambil memandangi angkutan umum yang lewat. Uangku tidak cukup untuk naik taksi, jadi mau tidak mau aku harus naik angkutan umum. Kurapatkan sweater abu-abuku sambil memeluk kedua lengan. Kenapa angkutan umumnya lama sekali? Padahal aku ingin cepat-cepat sampai di rumah.
Tiba-tiba aku ponselku bergetar di dalam tas. Ada telepon masuk. Sebuah inisal huruf yang amat kukenal menghiasi layar ponselku. Mataku menyipit, kenapa Tristan meneleponku? Barusan ia memintaku untuk pulang, sekarang kenapa ia malah menelepon? Kuangkat panggilan itu. Terdengar suara berisik yang tidak jelas di ujung sana.
" Halo? Tristan?"
Tidak ada sahutan. Suara aneh itu makin terdengar jelas di seberang ponselku diikuti bunyi " ngiiing" yang amat nyaring. Suara apa ini? Aku seperti mengenalnya. Seketika aku merasa sesuatu memukul hatiku. Jantungku berdegup sangat cepat hingga keringat membasahi telapak tanganku. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang buruk terjadi. Semoga saja bukan...semoga saja...
Aku berlari masuk kembali ke rumah sakit dan menuju ruang ICU yang baru beberapa menit kutinggalkan. Telepon dari Tristan masih terhubung dan ponselku masih tertempel di telinga. Aku terus berlari mencapai ruangan itu, sambil memanggil Tristan dari ujung telepon. Tidak ada yang terdengar selain suara bising yang membuat telingaku terasa sakit.
Sampai akhirnya aku melihat sesuatu yang amat menyesakkan. Aku benar-benar tidak mampu bernapas lagi, jantungku seakan berhenti memompa darah, syaraf otakku benar-benar mati dan tidak bisa menangkap sinyal lagi.
Aku berdiri tepat di depan pintu ruang ICU yang kini dikerumuni oleh orang-orang berpakaian putih. Mereka saling berseru bahkan meneriakkan sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh telingaku. Mama Tristan sedang menangis meraung-raung tak jauh dariku, beberapa keluarga Tristan yang datang mencoba menenangkannya. Aku tidak bisa melihat Tristan dari sini. Perlahan aku melihat seorang dokter sedang menempelkan alat yang mirip seperti setrikaan tepat di dada Tristan. Kulihat Tristan terlonjak namun tak juga membuka matanya. Aku bisa melihat alat pendeteksi denyut jantung yang tersambung di tubuhnya kini menyisakan garis lurus.Telepon dari Tristan masih terhubung. Suara berisik makin terdengar di ujung teleponku.
" Tris... apa kamu bisa dengar? Aku di sini... jangan pergi, Tris! Tris...Tristaaan!"
Ponsel malang itu terjatuh dari telingaku diikuti dengan tumbangnya tubuhku. Aku benar-benar tak berdaya lagi, suasana di sekitarku tampak abu-abu. Kini yang terlihat hanya garis lurus yang ditunjukkan oleh alat pendeteksi denyut jantung itu. Aku menangis sekeras mungkin, berteriak menyerukan namanya sekencang mungkin, namun tidak ada seorang pun yang menggubrisku. Mungkin kini jantungku sama tidak berfungsinya seperti jantung Tristan, sebagian dari diriku terasa lumpuh. Kugigit bibirku sekencang mungkin agar rasa sakit dalam dadaku mereda. Dengan pelan kututupi wajahku dengan telapak tangan, bersamaan dengan seorang suster yang menutupi wajah Tristan dengan kain putih bersih.
" Kenapa kamu malah pulang ke sana...," raungku lirih.
ef
Only RemInds Me of You
" I ve tried ti run from your side,
but each place I hide. It only reminds me of you." MYMP
A ku menatap sepasang sepatu berwarna abu-abu yang
kugenggam dengan lesu. Aku berbalik meninggalkan pusara yang basah dan dipenuhi bunga berwarna merah itu. Meski mataku bengkak, air mata tak pernah bosan mengalir. Orangtua Tristan menyerahkan sepatu lari itu padaku, mereka bilang ini adalah permintaan Tristan sebelum pergi.
Kulihat Gav berdiri di depan gerbang sambil menunduk. Ia sempat mengirimkan doa di depan pusara Tristan tadi, dan sepertinya sekarang menungguku. Aku berjalan ke arahnya dan melihat senyum tipis Gav menyambutku. " Mau temani aku, Gav?"
" Tentu, mau ke mana?" Aku tersenyum tipis, " Yuk!" Tak lama kemudian aku sudah berada di arena latihan yang besar itu. Gav berjalan di belakangku sambil tetap mengunci mulutnya. Tempat ini adalah satu bukti nyata kebersamaanku dengan Tristan. Tempat aku melihat Tristan berhasil meraih juara, tempat Tristan memelukku erat, tempat Tristan menyatakan cintanya padaku. Banyak sekali kejadian di tempat ini yang makin membuatku sulit melepas Tristan.
Aku melangkah menuju pagar besi perbatasan antara lapangan dengan bangku penonton. Kutatap sepatu lari milik Tristan sekali lagi lalu mengikatnya di pagar besi itu. Aku membiarkan sepatu itu menggantung di sana. Tristan tidak mungkin berlari lagi meski kuyakin ia pasti belum menyerah. Ia pernah berkata bahwa tidak akan menggantung sepatunya, namun, kini akulah yang menggantungnya. Menggantung sepatu sama saja menggantungkan harapannya menjadi seorang pemenang. Rasanya hatiku seperti teriris, melihat sepatu yang selalu digunakan Tristan kini tergantung seakan-akan tak bernyawa lagi.
" Mau ke pantai?" Tiba-tiba Gav menawarkan. Aku hanya mengangguk.
Duduk di pantai berpasir putih itu bukannya membuang rasa gundahku, justru memutar kembali kenangan bersama Tristan di sini. Kini rasanya jauh berbeda, bukan Tristan yang duduk di sampingku melainkan Gav. Dan tidak ada es krim di antara kami. Aku harap angin laut yang berhembus bisa membuatku lebih tenang, meski sejak tadi aku hanya diam menghitung ombak datang yang menghampiri.
" Kamu bisa teriak kalau kamu mau, Cal," kata Gav sambil menatapku.
Aku menggeleng. Jangankan untuk berteriak, mengeluarkan suara saja rasanya sangat berat untukku. " Gav...," panggilku dengan suara sengau. " Ya?"
" Kenapa sampai sekarang kamu masih di sisiku?" Sedetik kemudian Gav membuang pandangannya. Cowok itu menghirup udara sebanyak-banyaknya. Gav memang selalu berada di dekatku, meski telah memintaku untuk pergi. Dia masih memberiku perhatian, seperti dulu. Masih bersikap baik meski aku selalu mengabaikannya. Sebetulnya aku benar-benar sadar, Gav bersikap seperti itu karena belum ada kata putus yang terlontar di antara kami.
" Memangnya kenapa, Cal?" tanyanya dengan suara rendah.
Inseparable Karya Laili Muttamimah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Aku cuma nggak mau menyakiti kamu lebih dalam lagi. Kenapa kamu bertahan selama ini?"
Gav mengangkat sudut bibirnya membentuk sebuah senyum kecut, " Aku nggak peduli dengan rasa sakit yang aku rasain kemarin. Intinya sampai sekarang perasaanku ke kamu tetap sama."
" Tapi... aku sudah menyakiti kamu berkali-kali." " Sesakit apa pun, aku tetap berharap mimpi ini cepat berakhir dan kamu kembali jadi Calya yang kukenal."
Aku tertawa hambar, kalau saja segala yang terjadi selama ini hanyalah mimpi belaka maka aku akan dengan cepat terbangun dan menemukan Tristan kembali berada di sisiku. Tapi ini dunia nyata, Gav! Kamu harus tahu itu.
" Lebih baik kamu cari pengganti yang jauh lebih baik dariku, Gav."
Gav tidak menjawab, ia beranjak dari tempatnya lalu membersihkan pasir yang menempel di celananya. Matanya menghadap lurus ke lautan luas di depannya kemudian beralih padaku.
" Kamu tahu, Cal? Rasanya sakit mendengar seseorang yang dulu selalu memintaku berada di sisinya, kini menyuruhku pergi."
Aku bergeming mendengar ucapan Gav. Lalu ia mengusap kepalaku pelan dan menatapku dalam. Gav menarik napas panjang dan mengembuskannya. Ia berdiri lalu berjalan pergi meninggalkanku. Aku menatap punggung Gav yang makin lama makin menjauh.
" Maaf Gav.... tapi aku nggak bakal bisa kembali jadi Calya yang kamu kenal dulu...," ucapku lirih.
Aku tetap duduk sambil menatap ombak yang mendekat. Ingin rasanya aku hanyut bersama barisan ombak itu.
Tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang, sangat erat sampai membuatku sulit bernapas. Dengan susah payah aku menoleh dan mendapati Gav.
" Gav..."
" Aku minta maaf. Aku minta maaf kalau selama ini terlalu posesif sama kamu. Aku... aku bersikap kayak itu karena nggak mau kehilangan kamu, Cal."
Gav terisak. Sangat kencang. Membuat bahuku basah karena air matanya dan membuat hatiku sakit melihatnya. Sudah dua kali aku menyaksikan Gav menangis, karenaku. Dan kini rasanya pun begitu perih untukku.
" Jaga diri baik-baik ya, Cal. Aku ingin lihat kamu selalu sehat setelah aku pergi nanti," ujar Gav lalu melepaskan pelukannya dan berlari meninggalkanku.
Dengan gerakan lamban, aku melepas cincin putih bermata bunga yang sekian lama tersemat di jemariku. Aku hanya menatap kepergian Gav dengan mata yang basah sambil terus mengikuti bayangannya yang perlahan menghilang dari pandangan.
ef
For All of My LIfe
" All of my life you are the one, I ll give you my greatest love. For all of my life." MYMP
Lima tahun kemudian.
A ku sibuk mematut diri di depan cermin sambil
berkali-kali memutar tubuh. Blus biru tua dan rok berwarna senada ini sebenarnya tampak bagus, namun aku rasa ada yang kurang. Aku melihat kenop pintu kamar bergerak dan seorang cewek muncul dengan kausnya yang kebesaran.
" Cie, yang mau microteaching. Good luck, ibu guru," ledeknya sambil memegang bahuku. " Perfecto, Cal. Sana berangkat, nanti terlambat!" lanjutnya.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk pada cewek cerewet itu. Namanya Nara, ia adalah teman kosku sejak semester dua. Aku memutuskan untuk ngekos meski jarak dari rumah ke kampus tidak terlalu jauh. Kami cepat akrab karena sama-sama menyukai ilm hailand. Biasanya di waktu libur, kami akan membeli DVD ilm hailand sebanyak-banyaknya dan menontonnya sampai puas.
Aku benar-benar merindukan masa kuliah. Tanpa terasa, kini aku sudah lulus dari universitas dan akan melakukan microteaching di salah satu SMA swasta di Jakarta. Aku mengambil jurusan Pendidikan Matematika. Entah kenapa rasanya aku ingin membalaskan dendamku semasa SMA dulu. Aku ingin membuktikan bahwa siswi yang dulu tidak tahu berapa limit dari x sama dengan nol dari dua dibagi x kini bisa jadi guru matematika.
Kuambil map berwarna kuning di atas meja dan melihat sebuah undangan berwarna nude di bawah map itu. Aku tersenyum simpul menatapnya. Itu adalah undangan pernikahan Gav yang akan diadakan bulan depan. Aku belum memutuskan untuk pergi atau tidak.
" Jangan dilihatin terus, nanti kamu cemburu. Sudah berangkat sana. Kamu harus semangat supaya diterima di sekolah bergengsi itu!" sahut Nara penuh semangat.
" Iya, iya," jawabku kembali memasukkan undangan itu ke dalam lemari lalu bergegas ke sekolah.
Meski awalnya merasa gugup menghadapi muridmurid di sekolah tempatku akan mengajar, untunglah microteaching berjalan lancar. Aku cepat bersosialisasi dengan para siswa. Aku pernah merasakan lelahnya duduk di bangku SMA. Di mana aku tidak pernah memperhatikan guru dan selalu menyelinap keluar kelas diam-diam. Kini aku sadar betapa rasanya sangat dihargai bila siswasiswaku memperhatikan ketika aku sedang menjelaskan, apalagi bila mereka langsung mengerti dengan materi yang kuberikan.
Aku mampir ke sebuah kafe sepulang microteaching. Secangkir cofee latte pasti bisa menenangkanku. Aroma kopi dan latte yang kusuka langsung menyambut ketika aku membuka pintu kedai. Kupesan secangkir cofee latte lalu duduk di dekat jendela. Kukeluarkan ponsel dari tas dan mengetik pesan singkat pada Nara kalau microteachingku berjalan lancar.
" Calya?"
Dengan cepat aku mengangkat wajah mendengar seseorang memanggil namaku. Aku menatap lelaki di depanku lekat-lekat. Sosok bertubuh tinggi dengan kumis tipis di wajahnya. Hidungnya masih mancung dan tegas seperti dulu, alisnya tetap tebal, hanya model rambutnya yang berubah.
" Gav!" sahutku kaget. Gav nggak pernah bilang kalau dia bakal balik ke Jakarta.
" Ngapain kamu di sini?" tanyaku sambil mencium pipi kiri dan kanan Gav. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Dia kini berdiri di hadapanku. Aku masih bisa mencium aroma parfumnya yang telah berubah, tapi senyum Gav tak pernah berubah. " Iya... aku udah di Jakarta sejak tiga hari lalu. Boleh duduk di sini?" tanyanya sambil menunjuk bangku kosong di depanku.
" Duduk aja."
Gav mengangguk lalu duduk di depanku. " Apa kabar, Calya?" tanyanya lembut. Sejak lulus SMA, ini pertama kali aku bertemu lagi dengan Gav. Selama ini kami hanya berhubungan melalui media sosial saja. " Baik, Gav," jawabku sambil menatap matanya. " Kamu datangkan ke nikahanku bulan depan?" Tiba-tiba aku ingat dengan undangan pernikahan Gav.
" Oh iya... ya ampun. Gimana kabar Abigail? Dia di Jakarta juga?"
" Iya, sekarang lagi di rumah. Lagi sibuk ngurusin baju sama Mama. Kamu bakal datangkan, Cal?"
" Iya... kalau nggak ada halangan aku bakal datang kok," jawabku sambil tersenyum, padahal dalam hati aku belum memutuskan.
" Kamu masih sendiri?" tanya Gav ketika pelayan yang baru saja meletakkan pesananku pergi.
Aku mengangguk sambil mengaduk minumanku, meniupnya lalu menyesapnya perlahan-lahan. " Masih...?" tanya Gav lagi, takut-takut.
Lagi-lagi aku mengangguk, " Payah, ya? Lima tahun belum cukup buat melupakannya," ujarku sambil tertawa hambar.
Aku menatap Gav yang tampak menerawang, tak lama kemudian ia tersenyum padaku.
" Relakanlah Cal. Kamu harus percaya, kalau Tristan sudah bahagia di sana, dan sekarang waktunya buat kamu melepasnya."
Gav adalah contoh lelaki yang bergerak dari masa lalunya dan mencari jalan yang baru. Tidak sepertiku yang hanya berjalan di tempat dan bimbang harus melangkah maju atau tetap diam.
Mataku menyipit ketika melihat sekeliling SMA-ku dulu. Teriknya matahari siang ini mengingatkanku pada masa-masa latihan cheerleader. Bangunan sekolahku kini jauh lebih bagus dibanding dulu, mungkin sudah banyak direnovasi. Aku berjalan menyusuri lorong-lorong kelas yang ternyata masih tetap sama, hanya dicat ulang. Memori yang pernah terekam dalam otakku kini berputar layaknya sebuah trailer ilm. Suara tawa dan kekonyolan seakan-akan menggema di telingaku.
Aku sampai di depan sebuah ruangan yang kukenal sebagai kantor guru, tempat Pak Bas berada. Temanteman langsung menyambut begitu aku masuk ke dalam. Aku tersenyum menatap mereka yang kini tampak berbeda dan dewasa. Aku melihat Sam yang semakin tinggi dengan potongan rambutnya yang rapi. Dan Alana yang semakin cantik dengan balutan blus putihnya. Tiba-tiba aku teringat Tristan.
Mengingat nama itu, membuat segalanya terasa abuabu. Seharusnya sosoknya berada di sini, berkumpul bersama untuk membuka time capsule yang kami buat lima tahun lalu. Namun, Tristan hanya menyisakan sebuah nama dalam daftar absen, juga dalam denah bangku kelas yang kami buat.
Jantungku berdegup cepat ketika Pak Bas membuka time capsule yang mulai usang itu. Aku langsung meraih kertas milikku. Secarik kertas dengan nama seseorang yang sangat berarti di dalamnya.Tristan.
Andai Tristan ada di sini, bagaimana reaksinya melihat jawaban pada kertasku? Saat itu ia memintaku menulis nama seseorang yang kupilih untuk jadi ada di masa depanku, dan aku memilihnya. Hatiku kembali terasa teriris ketika sadar Tristan telah pergi bahkan sebelum tahu bahwa aku memilihnya.
" Cal, aku rasa ini buat kamu," gumam Alana sambil menyodorkan sesuatu padaku. Fotoku bersama Tristan ketika selesai melakukan pementasan drama. Foto aku mengenakan gaun putri dan ia mengenakan pakaian pangeran. Senyumnya tampak sangat manis di foto itu.
Perlahan-lahan kubalik foto itu dan air mataku kembali menggenang ketika membaca tulisan tangan Tristan:
Finally, I found my princess. I promise I will marry her someday.
Mendadak tubuhku membeku dan hatiku serasa dihantam palu besar.
" Calya, bisa bicara sebentar?" Sam memanggilku pelan. Aku mengangguk dan mengikutinya.
Kami berdua duduk di bangku pinggir lapangan yang dipayungi oleh pepohonan rindang. Sam membungkukkan badannya sambil menghela napas. Sebuah senyum tersungging di bibirnya. Aku hanya menatapnya sambil terus menunggu sesuatu yang ingin ia katakan. " Kamu masih ingat dia?" tanya Sam, " Aku selalu mengingatnya."
Senyum Sam berubah kecut. " Jakarta Maraton adalah pertemuan terakhirku dengannya. Aku benar-benar nggak bisa berpikir ketika melihat dia pingsan di tengah perlombaan. Biarpun saat itu aku sudah tahu tentang penyakitnya," ujar Sam lalu menghela napasnya dengan berat.
" Sebelum maraton itu dimulai, aku tahu dia nungguin kamu, Cal. Dia terus mondar-mandir dan melihat sekeliling, berharap kamu ada di sana. Tapi ternyata kamu nggak datang."
Aku bergeming mendengarkan ucapan Sam. " Tapi Tristan bilang, Biarpun Calya nggak datang, aku percaya kalau dia pasti terus mendoakanku , saat itu aku tahu kalau perasaannya buat kamu benar-benar tulus," lanjut Sam. Lalu ia meraih tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Sebuah handycam.
" Mau lihat sesuatu, Cal?"
Aku merasakan suhu tubuhku berubah dingin ketika Sam memainkan sebuah video di handycam itu. Jantungku berdegup cepat ketika melihat wajah yang amat kukenal muncul di video itu. Tristan tampak kikuk. Ia mengenakan pakaian pangeran dan sepertinya berada di ruang ganti. Jangan-jangan... video ini diambil ketika aku memergoki mereka. Ternyata ini yang mereka lakukan? Pantas saja Tristan terlihat seperti tertangkap basah setelah aku datang.
" Kamu yakin, Sam? Aku malu!" seru Tristan samarsamar di video itu. Ia berkali-kali menutupi kamera dengan telapak tangannya.
" Sudah cepat bilang!" jawab Sam, hanya terdengar suaranya.
Kulihat Tristan berdehem pelan, gerak-geriknya seperti orang salah tingkah. Ia terlihat malu dan juga bimbang. Namun akhirnya ia mulai bicara.
" Ng... Hai Cal, gimana kabarmu? Aku harap kamu akan menonton video ini... jangan tertawa, Sam! Cal, kamu tahu kan kalau aku nggak jago bikin kata-kata? Jadi... mmm... aku harap kamu maklum kalau video ini terlihat agak... absurd. Hei, jangan tertawa, Sam! Ehm... Cal, aku harap bisa ada di dekat kamu saat menonton video ini. Tapi kalau aku nggak ada di sana, itu tandanya aku pasrah dengan garis hidupku. Aku tahu keadaan bisa berubah seiring berjalannya waktu, dan aku takut bila suatu hari takdir memutuskan... agar aku nggak ada di dekatmu lagi..."
Raut wajah Tristan menunjukkan kegelisahan, aku terus menatap video itu sambil menahan air mata.
" Oh ya, Cal... makasih ya sudah mengusulkan drama tentang Tristan dan Isolde. Aku senang banget, karena... karena kamu jadi Isoldeku! Hehehe... setelah ini kita harus tampilkan drama itu sebagus mungkin, Cal! Mm... Cal, kamu hanya perlu tahu kalau semuanya terasa sempurna ketika kamu ada. Biarpun aku tahu perasaanku untuk kamu akan selalu salah dan tetap salah, tapi aku selalu ingin mempertahankannya. Entahlah, mungkin ini yang orang sebut sebagai cinta.
" Cal, setelah ini aku akan ikut Jakarta Maraton. Aku akan mencapai mimpi terbesarku, Cal! Pegang janjiku ini, ya. Setelah aku berhasil menaklukkan Jakarta Maraton, aku akan berhenti mengikuti kompetisi. Kamu tahu kenapa? Karena impian terbesarku sudah tercapai. Setelah aku berhasil menjadi seorang pemenang di Jakarta Maraton, tinggal aku yang berlari menggapai kamu. Dan ketika aku sudah berhasil menggapai kamu, saat itulah aku akan menggantung sepatuku dan nggak akan berlari pada siapa pun...."
Seketika ucapan Tristan terhenti karena suara pintu yang terbuka. Ia menoleh pada satu arah dengan tatapan seperti orang tertangkap basah. Aku tahu, saat itulah aku datang ke ruang ganti untuk melihatnya.
Aku tertawa sambil menangis ketika video itu berhenti. Aku tak habis pikir Tristan akan membuat video seperti itu untukku.
" Tadinya video ini ingin diberikan padamu saat kelulusan, tapi Tristan tiba-tiba membatalkannya dan menyuruhku menghapusnya. Tapi aku nggak pernah menghapus video ini. Aku rasa sekarang dia pasti marah padaku," gumam Sam sambil tertawa, lalu ia menoleh ke arahku. " Kalau kamu gimana setelah kepergiannya?"
Aku tersenyum, menyeka air mata lalu menghela napas, " Hidupku baik-baik aja, biarpun awalnya sulit tapi semakin lama aku berusaha terbiasa tanpa dia."
Sam mengangguk lalu memasukkan handycam itu ke tasnya, " Kamu memang harus bergerak, Cal. Kamu nggak boleh terjebak di masa lalu."
Aku hanya menatap langit biru di atas sana. Dalam hati aku mengulang-ulang perkataan Sam... aku harus bergerak... seperti Gav yang sudah menemukan cintanya, aku juga pasti bisa menemukan cinta yang baru....
" Setidaknya kalian pernah mengukir kenangan bersama, itulah satu-satunya peninggalan yang nggak akan pernah hilang, Cal. Mungkin barang-barang pemberiannya padamu bisa hilang, tapi kenangan nggak akan pernah bisa hilang. Kecuali kalau kamu amnesia total," sahut Sam lalu tergelak.
Aku hanya tersenyum sambil tetap menatap langit. Mungkin ini salahku yang terlalu bergantung dengan kehadiran Tristan dan tidak pernah mempersiapkan diri kalau suatu saat ia akan pergi. Dan ketika sosoknya sudah tidak ada, hanya aku yang kelelahan menunggunya, memikirkannya, dan memutar kembali kenangannya. Aku telah kehilangan Tristan bahkan sebelum aku memilikinya.
Aku membiarkan air mataku terus merebak sambil memungut dan menyatukan kembali seluruh cerita yang pernah terukir antara aku dan Tristan. Aku pun tahu, di balik langit biru yang cerah, Tristan sedang tersenyum padaku.
End
Perangkap Karya Kho Ping Hoo Lima Sekawan 01 Mencari Warisan Ratu Pendekar Rajawali Sakti 108 Harga
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama