Ceritasilat Novel Online

Jurnalis Idola 1

Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN Bagian 1



Jurnalis Idola

Oleh: Rara Indah NN

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

GM 312 01 14 0037

? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5

Jl. Palmerah Barat 29?33, Jakarta 10270

Ilustrator: Celvany

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

anggota IKAPI, Jakarta, Agustus 2014

www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN 978 - 602 - 03 - 0552 - 3

200 hlm; 20 cm

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab percetakan

"Wujudkan mimpimu dengan menuliskannya."

?Ollie

Untuk Almh. Mbah Ibu di surga

Terima kasih telah membisikkan cita-citaku langsung pada Allah.

Ini untukmu.

As always, special big thanks for my Allah SWT. Berkat "kun fayakun"Nya, aku terlahir ke dunia bersama dengan karya ini. Tanpa-Mu, aku

hanya butiran debu. Nothing.

Papa Agus Subekti dan Mama Murtiningsih, kalian adalah orang?tua

terhebat, ever and forever. Terima kasih untuk doa, dukungan, fasilitas,

kasih sayang, dan bakat menulis diam-diam kalian di masa muda yang

akhirnya menurun ke darahku. For my best brother, mu?sisi kecil kami

di rumah, Dhianudien Awalul Bektiputra, terima ka?sih sudah

membuat rumah nggak pernah sepi dengan petikan kawan-kawan

gitarmu. Kapan-kapan kita kejar The Changcuters sampai bisa jabatan

tangan! ^^

Semua keluarga Ciganjur: Mama Wik, Papa Yayat, Mufti, Mbak

Tika (Nama Lokardatika-mu ternyata hoki, Mbak! Sebagai gan?tinya,

ini hadiah untuk Raisa Zafirah Prameswari dari Tante Rara), Bulik

Eni karena pernah doain agar aku bisa seperti Zera Zettira (Haha!),

Uwak Dedi karena pernah nyeletuk kosakata "dekap" waktu aku lagi

asyik nulis. Keluarga Surabaya: Mas Dika (cita-cita?ku terkabul, Mas!),

Mbah Uti, Mas Farid, dan semuanya. I love U all!

Kedua sahabat sepanjang masa, Chairun Nisa Qorey dan Ayu

Mulyaningsih. Jangan pernah bosen jadi sahabat gue, always love you

both! Yang terkasih Rizky Ramadhani, kamu yang paling mengerti

gimana syok dan bahagianya aku pas tahu novel ini terbit! Haha.

Dua cewek yang pernah nganterin aku ke kantor Penerbit Gramedia

Pustaka Utama (GPU) naik kopaja sepulang sekolah dan masih pake

seragam, Ines Hari Stafuri dan Hakiki Mega Lazuardini. Tanpa kalian,

mungkin aku nggak berani mengantar naskah ini sendirian. Makasiiiih.

:* Untuk Acing, yang udah terharu nyaris meneteskan air mata waktu

aku kasih kabar gembira ini. ? Para tim penulis ulang: Asti, Wahyu,

Om Jin (Rizal), Ratih, Umi, Mila, dan Ardes. Yuk, kita makan-makan!

Tanpa kalian, novel ini nggak bisa dikirim soft copy-nya lho. Geng Manis Manja (Uu, Pipit, Fitri, Nyoo, Fauziah) yang bikin gue merasa

punya geng, hahaha.

Terima kasih untuk Facebook karena sudah mempertemukanku

dengan Mbak Vera pada tanggal 11 Maret 2014! GPU dan Tim

Gramedia Fiksi khususnya Teenlit. ? Untuk teman-teman pembaca

setia cerpen dan cerbungku di notes FB. Teman-teman SDN Cipedak

01 (Nisa, Nadia, Mega, Suci, Ovi, Dody, dll), SMPN 131 Jakarta (Eel,

Irma, Yunita, Fidha, Dian, Fajria, Ricky, Debi, dll). Teman-teman

SMAN 49 Jakarta, sekolah yang meng?in?spirasi banget novel ini! Thank

you so much sudah menerimaku sekolah di sana! Ayesa, Emil, Imel,

Riku, Dini Pite, Rabel, Sena, Munir, Ine, Tika, Yayhi, Kape, Haris Ijo,

Rico, dan semuanyaaahhh. :D

Ini dia, spesial banget pake telor, ekskul REPORTASE 49. Nuriza,

Demita, Luthfi, Kak Wahyu, dan Kak Fani, kalian meng?inspirasi aku

untuk membuat novel ini. Thanks! Juga untuk kamu yang singgah dan

pergi sebelum sempat saya miliki saat menulis novel ini. :?) *curcol*

Special thanks to Sastra Jawa UI 2010 beserta dosen pengajar. Patre

(novel kita berdua harus terbit, Tre!), Galuh Sasongko, Ken Kinasih,

Nina, Zenny, Salfia, Mas Dwi, dan semuanya pokoknya. Kepanjangan

kalau disebutin satu per satu. Kalian tetap yang paling eksis! Para

sahabat penaku: Disya, Mbak Riesta, Alia, Ainu, Dela, Gitta, Icha,

dll.

Teman-teman penulis yang menginspirasiku: Agnes Jessica, Aditia

Yudis, Orizuka, Intan Kirana, Ollie Salsabila, "Oka" Dara Prayoga,

Widyawati Oktavia, Ifa Avianty. And especially, kamu: ins?pirasi utama

hingga aku dapat melahirkan tokoh Nico. Terima ka?sih pernah memberiku kesempatan untuk kenal dan dekat dengan?-mu. Sukses untuk

kamu. Dan terakhir, terima kasih untuk teman-teman pembaca di luar

sana yang mau menyisihkan uang untuk membeli novelku, dan membaca novel ini meski lewat pinjam teman, hihihi. Aku percaya, setiap

novel pasti punya pembacanya sendiri. Lewat apa pun takdirnya.

Salam,

@wawawisky

Diary

Setiap malam aku berdoa, agar setiap mimpi

dan harapan tanpa sengaja tersihir oleh serpihan

keajaiban, sehingga aku bisa menempuh hari esok

dengan kebahagiaan...

Teriring dengan senyum, senyum yang selalu

mengingatkanku pada senyummu...

Senyum yang terindah, yang mampu membuatku

terus berjuang dalam mempertahankan perasaan

ini

Walau kutahu, ku tak mungkin memilikimu

RA membereskan buku-buku pelajarannya yang masih berantakan

di meja. Ia memasukkannya satu per satu ke tas ransel kesayangannya, hadiah ulang tahun ke-16 beberapa bulan lalu. Sejak pagi ia

terlihat tak bersemangat. Biasanya ia tersenyum dan menggebugebu untuk sekadar curhat tentang ekskul kesayangannya, Klub

Jurnalistik, pada sahabatnya. Tapi hari ini Ira tampak berbeda.

Sikap aneh Ira membuat Andin?sahabat setianya sejak SMP

sekaligus teman sebangkunya di kelas sepuluh saat ini?jadi heran.

Biasanya Ira paling senang kalau bel istirahat berbunyi, karena itu

tanda waktunya memberi makan cacing-cacing di perutnya. Tapi

hari ini Ira malas ke kantin. Ia hanya berdiam diri di kelas.

Ira juga senang bel pulang sekolah karena itu tanda waktunya

pulang, menenangkan diri, dan mengistirahatkan otak yang mengepulkan asap karena seharian mengerjakan soal-soal matematika,

fisika, dan pelajaran hitung-menghitung lainnya.

Andin masih duduk di kursinya dengan jemari sibuk mengSMS. Sesekali ia melirik Ira yang nggak selesai-selesai membereskan

buku.

"Makanya, kalau belajarnya apa, ya yang dikeluarin bukunya apa.

Jangan belajarnya matematika, semua buku di tas lo keluarin!" seru

Andin sambil mengklik "send" di layar HP-nya.

"Berisik ah!" sahut Ira dan memasukkan benda terakhir yang ada

di meja ke tasnya.

"Ra, lo kenapa sih? Sakit, ya?" tanya Andin sambil berdiri karena

melihat sahabatnya hendak ke luar kelas.

"Gue baik-baik aja. Cuma lagi suntuk."

"Nah, gitu dooong! Ngomong kek dari tadi. Jangan bikin gue

jadi pusing tujuh keliling gara-gara mikirin lo seharian ini." Andin

tersenyum.

Ira tertawa kecil. "Lo tuh ada-ada aja deh, Din. Emangnya gue

kenapa harus jadi beban pikiran lo seharian ini?"

Andin mengikuti Ira yang berjalan ke luar kelas. "Gue liatin seharian ini lo lesu banget, Ra. Terus, lo nggak seperti biasanya yang

suka heboh datang pagi-pagi cuma buat curhat ke gue. Hari ini lo

diem aja!"

"Sori deh, udah bikin lo kuatir. Gue cuma lagi capek, habis ngurus artikel-artikel semalam."

"Oh, Klub Jurnalistik lo itu, ya?"

"He-eh." Ira berdiri di anak tangga teratas. Kelas mereka me?mang terletak di lantai dua. "Hari ini gue ada rapat klub, jadi lo

balik duluan aja, nggak usah nunggu gue. Takutnya kesorean kayak

waktu itu."

"Oke deh. Daaah, Ira! Jangan lupa PR matematikanya dikerjain

ya. Besok gue nyontek elo!" Setelah tiba di lantai dasar, mereka

berpisah. Andin berbelok ke kiri menuju lobi sekolah, dan Ira ke

kanan menuju ruang klub.

Saat Ira masuk ke ruang Klub Jurnalistik, ruangan itu sepi. Belum

ada satu orang pun yang hadir. Mungkin ia terlalu cepat tiba, karena sebenarnya rapat baru akan dimulai setengah jam lagi.

Ia menarik satu kursi dari meja besar yang dikelilingi dua puluh

kursi di tengah-tengah ruangan, lalu duduk. Meja ini biasanya digunakan untuk rapat. Saat ini Klub Jurnalistik beranggotakan 20

orang, dari kelas sepuluh dan sebelas. Ruangan ini juga tidak terlalu

besar, tapi cukup untuk menampung dua puluh siswa.

Ira mengambil map yang berisi berkas-berkas artikel yang akan

menjadi konten majalah sekolahnya mid-semester ini. Karena para

anggotanya tetap memprioritaskan urusan pelajaran, Klub Jurnalistik belum mampu menerbitkan majalah setiap bulan, apalagi setiap

minggu. Jadwal terbit tiga bulan sekali saja sudah cukup menyita

tugas belajar mereka yang kian hari kian banyak.

Saat Ira sedang asyik membaca ulang artikel-artikel di tangannya,

datang seseorang tanpa mengetuk pintu. Orang itu ternyata Nico,

teman satu klub Ira. Bisa dibilang jabatan mereka berdua sama di

klub ini, yaitu reporter.

"Lho, yang lain mana? Kok baru kamu, Ra?" tanya Nico sambil

duduk di hadapan Ira.

Ira menoleh sebentar, lalu kembali fokus pada artikel di tangannya. Ia mengangkat bahu. "Nggak tahu. Mungkin masih di kantin,

makan siang."

"Kamu udah makan siang?"

"Belum. Nanti aja. Aku harus mengoreksi artikel-artikel ini

dulu," jawab Ira sambil tetap berkonsentrasi.

Nico tidak berkata-kata lagi. Ia memperhatikan Ira. Dari sudut

ma?tanya, Ira tahu Nico terus menatap dirinya. Ira jadi risi.

"Kenapa sih ngelihatin aku terus? Ada yang salah? Ada yang

aneh? Atau ada gajah di mataku?"

Ucapan Ira membuat Nico tertawa seketika. "Gajah kok dibawabawa!" sahutnya. "Bukan gajah yang ada di mata kamu, tapi

aku"

"Heh?" Ira meringis.

"Alah, masih nggak mau ngaku juga!" tambah cowok itu.

"Kamu apaan sih? Nggak lucu, tahu!" Ira menunduk, mencoba

berkonsentrasi lagi.

Nico masih tertawa di atas kegaduhan hati Ira. Meskipun berniat ingin fokus pada artikel yang ada di depan matanya, tetap saja

jantung Ira bergemuruh hebat. "Woiii! Berduaan aja!" seru Rama

yang tiba-tiba masuk dan mengagetkan Ira dan Nico. Mereka jadi

makin salah tingkah. Rama tidak datang sendiri, melainkan dengan

beberapa anggota yang lain.

Rama segera bergabung di meja rapat, sedangkan yang lain jus?tru asyik berkumpul di meja komputer di sudut ruangan.

"Heh, lagi ngapain kalian berdua di sini? Ada yang nggak beres

nih!" seru Rama sambil menatap Ira dan Nico bergantian.

Keduanya pun sama-sama memilih diam, sibuk dengan aktivitas

masing-masing. Ira sangat berharap ucapan Rama tidak membuatnya lebih salah tingkah.

"Nih, selesai!" Ira memberikan puluhan kertas pada Rama. Tugas?nya memeriksa artikel selesai sudah, dan kini giliran Rama untuk mengeditnya sebab cowok itu merupakan penanggung jawab

atau PJ editor klub.

Ira bangkit dan beranjak ke luar ruangan. Tiba-tiba Rama memanggilnya, "Hei, Ra! Mau ke mana? Rapat lima menit lagi nih."

Tanpa menghiraukan teriakan Rama, Ira bergegas menuju kantin

yang saat itu ramai dan sesak. Aroma harum makanan langsung

memenuhi indra penciuman Ira.
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cewek itu duduk di salah satu meja kantin yang kosong. Memesan satu teh botol dan menyedotnya perlahan.

Hatinya masih terbawa senang. Mau tak mau ia jadi teringat lagi

memori yang masih tersimpan dengan baik di otaknya. Kenangan

pada saat malam perkumpulan Klub Fotografi.

Nama lengkapnya adalah Nicolas Pradinata Alvika. Anak kelas X2 yang sama-sama ikut Klub Jurnalistik saat tahun ajaran baru,

enam bulan lalu. Nico dan Ira pertama kali bertemu saat calon

ang?gota klub dikumpulkan di sebuah kelas untuk tes wawancara

yang dilaksanakan selama tiga hari. Mereka duduk bersebelahan.

Saat tes wawancara hari pertama, Ira sekelompok dengan Nico.

Sepulang tes wawancara, mereka yang sudah sempat berkenalan di

kelas jadi tambah akrab. Sampai akhirnya keakraban mereka berlanjut ke suatu hari.

Saat itu Klub Jurnalistik mengadakan peluncuran majalah. Di

tengah acara perkumpulan itu, ada semacam games yang mewajibkan seluruh anggota klub mengikutinya. Games-nya sederhana.

Hanya permainan anak kecil, yaitu "domikado", permainan di mana

seluruh peserta duduk membentuk lingkaran. Tangan mereka diletakkan di atas kedua paha. Aturan permainannya, setiap tangan

kanan peserta harus berada di atas tangan kiri peserta di sebelah

kanan. Permainan pun dimulai dengan menepukkan tangan kanan

ke tangan kiri peserta di sebelah kirinya secara berurutan. Permainan ini diiringi lagu domikado dan setiap tepukan harus seirama

dengan lagunya.

Saat lagu berhenti, maka tangan terakhir yang menepuk harus

berhenti juga. Biasanya berhenti di tangan peserta lain. Tapi sayangnya, Ira tak menepuk tangan Nico yang ada di atas tangan kirinya.

Ira justru menepuk tangan kirinya sendiri, karena Nico de?ngan

seenaknya menyingkirkan tangan kanannya yang seharusnya tetap

diam dan ditepuk Ira. Tangan terakhir yang kena tepuk, akan

mendapat hukuman. Alhasil, Ira mendapat hukuman.

Ketua klub yang bernama Bayu, tidak memberitahukan apa hukuman yang akan diberikan pada setiap orang yang terkena sangsi

dalam permainan ini. Dan terkumpullah lima peserta yang kalah,

termasuk Ira. Mereka dikumpulkan di tengah lingkaran dan duduk

sejajar.

Ira terus saja menggerutu dalam hati. Ia merutuki Nico yang

menyebabkan dirinya harus duduk di tengah-tengah sini. Ia masih

kesal kenapa dirinya yang mendapat hukuman. Kalau tadi ia cepat

menepuk tangan Nico, pasti Nico yang diberi hukuman.

"Kak Bayu, hukumannya apa?" tanya salah seorang anggota klub

yang tak mendapat hukuman.

"Hukuman buat mereka berlima nggak susah. Buat seru-seruan

aja ya!" Bayu lalu tertawa di atas ketakutan kelima anggota di tengah lingkaran itu. "Kalian berlima cuma harus menjawab pertanyaan. Pertanyaannya, siapa orang yang ingin kalian jadikan pacar, jika

orang tersebut adalah salah satu anggota klub kita?"

Haaah? Pertanyaan macam apa tuh? Hati Ira terlonjak kaget.

Jantungnya langsung berdebar-debar. Keringat dingin mengucur

perlahan di keningnya.

Bukan pertanyaan sulit. Tapi tak mudah juga bagi Ira untuk

menjawabnya. Ia bahkan sudah menemukan jawabannya dengan

pasti. Tahu betul malah. Ia sangat yakin siapa nama cowok yang

akan disebutnya nanti saat gilirannya tiba. Tapi, Ira tak mungkin

menjawabnya.

"Nah, Ira, sekarang giliran kamu!" seru Bayu mengagetkannya.

Ira mulai salah tingkah lagi. "Hah? Aduh, Kak, pertanyaannya

yang lain aja deh!" Ira minta keringanan.

"Yah, nggak adil dong sama yang lain. Udah... tinggal jawab aja.

Gampang, kan?" seru Bayu.

"Uhh, gampang kepala Kakak!" seru Ira kesal bercampur gregetan. Gampang apanya! Ini sama aja gue bilang "aku suka kamu"

secara nggak langsung sama orangnya! seru hati Ira.

"Namanya..." Ira mulai menjawab. Aduh... ntar dulu deh! Gue ta?kut, cowok itu bakalan ngejauhin gue kalo gue sebut namanya. Atau

mungkin dia kegeeran? batin Ira berperang.

"Ra, lama banget sih. Udah sore lho! Kasihan yang lain kan,

harus pulang!" seru Rama.

"Uh, berisik! Lo kan nggak dihukum!" sahut Ira.

"Iya, Ra! Jawab dong cepetan! Kenapa sih? Grogi ya?" seru yang

lainnya.

"Nggak usah grogi dong! Ini kan cuma permainan, buat seruseruan aja. Nggak seserius yang kamu bayangin...," sambung yang

lain.

Mau nggak mau akhirnya Ira menjawab. Dengan segenap kebera?nian, ia menoleh ke arah Nico sebelum menjawab. Didapatinya

Nico tengah melihatnya lekat-lekat.

"Nico...."

Ira langsung menunduk setelah mengucap nama cowok itu. Ia

menutup mata, juga menutup telinganya karena seruan konyol dan

le?dekan terlontar dari semua mulut anggota klub. Tapi Ira tak bisa

menyembunyikan senyum yang terus mengembang di bibirnya.

"Ciyeee... ciye... Jadi Ira suka sama Nico?! Ciyeee...!" seru Rama,

membuat yang lain makin heboh. Ira melemparinya dengan kulit

kacang. "Hahaha! Nico, gimana nih? Diterima nggak?" tanya Rama

pada Nico yang juga senyum-senyum.

Ira menatap Nico yang sama-sama malu karena namanya disebut

barusan. Keramaian semakin menjadi saat Nico terus mengembangkan senyumnya yang manis. Membuat Ira lemas.

Ira tersenyum di balik keramaian. Ia merasa lega bisa menguta?rakan isi hatinya meskipun tak secara langsung. Nico sudah tahu

isi hatinya. Lalu bagaimana dengan isi hati Nico? Siapa yang Nico

suka? Dirinyakah? Atau cewek lain? Uhh... kalau suatu hari ia

menemukan jawabannya dan ternyata itu bukan dirinya, ia menyesal

telah membuat pengakuan malam ini.

"Saya lega, karena sebagai reporter, Ira melakukan tugasnya dengan

baik. Ketuntasannya juga membuat tim editor kita merasa terbantu

karena Ira menyerahkan artikel-artikelnya lebih cepat. Tepuk tangan

buat kita semua!" seru Bayu, dan tepuk tangan merebak di ruang

Klub Jurnalistik.

"Ra, semuanya kamu kerjakan sendirian?" tanya Bayu. Seketika

Ira melirik Nico yang mendadak kaget dan berubah pucat. Di klub,

Ira bersama dua temannya bertugas sebagai reporter. Rani, satu

orang dari angkatan senior yang menjabat sebagai PJ reporter, tugasnya hanya mengatur dan menyampaikan siapa saja yang harus Ira

dan teman lainnya wawancarai.

Selain Ira dan Nico, ada satu lagi reporter bernama Mira. Sudah

seminggu ini Mira berhalangan hadir karena mengikuti Olimpiade

Matematika di Surabaya. Maka, Bayu pun tahu hanya Ira dan Nico

yang bisa mengerjakan tugas ini. Sementara Nico selama ini lebih

banyak bermain dan bersantai daripada melaksanakan tugasnya.

Ira melihat Nico yang pucat dan pasrah karena pasti mendapat

teguran lagi dari Bayu akibat tidak melaksanakan tugas. "Saya mengerjakan tugas bersama Nico, Kak!" Jawaban Ira membuat Bayu

senang. Sementara Bayu bertanya lagi pada anggota lainnya, Ira tak

menoleh ke arah Nico yang kaget mendengar jawabannya. Nico

menatap Ira yang sibuk dengan obrolannya tentang desain majalah

dengan PJ ilustrasi. Jujur, Ira ingin menoleh dan melihat senyum

terima kasih Nico untuknya. Hanya saja keberanian itu tak kunjung

hadir.

"Ra, kita buat profil artis, yuk! Di majalah kita kan belum ada rubrik itu. Pasti majalah kita makin laku," ajak Rani saat mereka berdua berjalan menuju lobi sekolah selesai rapat.

"Hm... boleh juga! Mumpung masih dalam proses editing, usaha

buat wawancara artis masih bisa kok! Tapi, kita kesulitan nggak

buat cari alamat artisnya?" tanya Ira.

"Gampang! Gue punya dua alamat artis ternama. Dan gue udah

pernah survei ke rumah mereka."

"Ketemu juga sama mereka?"

"Ya nggak sih. Cuma ketemu sama mas-mas warung kopi atau

tukang ojek yang ada di sekitar rumah mereka."

"Hah? Mas-mas tukang ojek? Ngapain?" tanya Ira heran.

"Ya buat nanya sama mereka lah, apa bener itu rumahnya artisartis yang gue maksud."

"Dan mereka bilang apa?"

"Bener."

"Kalau gitu, kita gampang buat ketemu artisnya. Emangnya kita

mau wawancara siapa?"

"Nicky Rendra sama Renaldi Akbar!" jawab Rani mantap.

"Hah? Nicky Rendra? Mauuu..." Ira berteriak histeris sambil

loncat-loncat.

"Aduh-duh... tenang dong! Lo ngefans ya sama Nicky Rendra?"

"Bangeettt!"

"Hahaha... ya udah, kita wawancara dia aja. Besok diomongin

lagi deh. Gue balik duluan ya." Rani berlari menuju gerbang sekolah

dan segera naik angkot yang berhenti di depan sekolah.

Ira masih senyum-senyum sendiri sambil berjalan pelan menuju

gerbang. Ia tak menyangka, sebentar lagi akan bertemu idola?nya.

Artis yang ia suka sejak SMP. Nicky Rendra.

Gue nggak lagi mimpi, kan? Oh my God! Gue mau ketemu sama

Nicky Rendra? Wawancarain dia pula! Mimpi apa gue kemarin-kemarin, sampai-sampai terbuai kayak gini... Ira masih melamun di depan

gerbang.

"Woi, bengong!" seru Nico dari belakang.

"Duh, Nico! Kamu ngangetin aja!" Ira cemberut. Tapi langsung

senyum-senyum lagi mengingat Nicky Rendra.

"Kamu kenapa, Ra? Kok senyum-senyum?"

"Aku lagi senang."

"Senang kenapa?"

"Aaaa... Aku senang banget! Aku mau ketemu sama dia! Ketemu

orang yang aku suka sejak SMP!" Ira memeluk Nico tiba-tiba.

Nico kaget saat pelukan tiba-tiba mendarat padanya. Saat sadar,

Ira langsung menjauh sambil mendorong Nico.

"Ups... maaf, kelupaan." Ira terkekeh.

"Nggak apa-apa kok!" Nico tersenyum. Wajahnya merah tersipu

malu. "Ngomong-ngomong, makasih ya buat yang tadi waktu rapat.

Kamu udah bilang ke Bayu kalau aku ikutan kerja nyari berita."

"Sama-sama. Aku sih udah biasa sama kejadian kayak tadi. Habis, mau gimana lagi? Kamu kan emang nggak bantuin aku."

"Kenapa kamu nggak bilang aja sama Bayu yang sejujurnyaKamu nggak lagi ngebelain aku, kan?"

"Kamu nih, ditolong tapi ngomongnya begitu! Ya udah, nanti

aku telepon Kak Bayu untuk bilang yang sejujurnya!"

"Eh, jangan ding! Bercanda...," tahan Nico sambil menyentuh

tangan Ira. Ira melirik ke arah tangannya yang digenggam Nico.

Seketika Nico langsung menarik tangannya lagi.

"Maaf," ucap Nico.

"Nggak apa-apa." Ira tersenyum malu-malu. Lalu teringat apa

yang tadi ia katakan. "Aku cuma kasihan sama kamu. Aku nggak

mau kamu dimarahi melulu sama Kak Bayu. Lagi pula, kasihan

Kak Bayu-nya juga kalau rapat cuma buang tenaga marah-marah

sama kamu. Mau gimana lagi? Kamu emang lebih mementingkan

jiwa alam kamu."

"Jiwa alam?" Nico bingung.

"Kamu lebih tertarik sama ekskul Pencinta Alam kamu, kan?"

"Iya sih. Tapi bukan berarti aku nggak suka jurnalistik, Ra. Aku

suka kok..." Tiba-tiba Nico teringat kata-kata Ira tentang cowok

yang akan ditemuinya. Sebenernya siapa cowok itu? Apa Ira sudah

punya pacar? batin Nico.

"Ra, tadi kamu bilang mau ketemu orang yang kamu sukaSiapa? Bukannya... kamu sukanya sama aku?"

"Ih, pede gilaaa..." Ira tertawa geli melihat ekspresi Nico yang

berharap.

"Tapi bener, kan?" Nico menyikut Ira, bermaksud bercanda.

"Kamu nih ngaco! Aku mau ketemu Nicky Rendra."

"Nicky Rendra?" tanya Nico heran. "Siapa tuh?"

"Duh, masa Nicky Rendra aja nggak tahu. Dia tuh artis..."

"Artis?"

"Nggak pernah nonton TV ya?"

"Ya pernah lah. Sering malah. Tapi nggak nonton sinetron sama

infotainment kayak kamu!" Nico mencubit manja hidung Ira.

"Aduhhh... Sakit!" Ira mengusap-usap hidungnya yang mungkin

bertambah satu milimeter setiap harinya karena selalu ditarik Nico

setiap kali bertemu. "Kamu mau ikut wawancara dia nggak?"

"Kapan? Kalau besok aku nggak bisa, ada latihan fisik Pencinta
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alam. Kalau lusa ada materi Pencinta Alam. Setelah lusa..."

"Udah, nggak ikut juga nggak apa-apa kok. Kamu emang sibuk!"

potong Ira cepat.

"Yah, Ra, jangan gitu dong... Aku jadi nggak enak nih..."

"Beneran deh, Nic, nggak apa-apa kalau kamu nggak ikut." Ira

menunjukkan senyum lebarnya.

"Maaf, ya!"

"Oke."

"Mau ke mana?" tahan Nico saat Ira hendak melangkah maju

untuk menyetop angkot. Bikin Ira jadi deg-degan.

"Ya mau pulanglah..." jawabnya setelah diam beberapa menit.

"Jangan naik angkot! Aku antar pulang ya?"

Diary

Aku ingin cepat-cepat pergi tidur, cepat-cepat

berlari ke mimpi untuk menyampaikan pesan padamu

nanti...

Aku ingin pagi cepat tiba untuk bangunkan tidurku

yang lelap karena aku sudah tak sabar ingin bertemu

denganmu esok hari...

Ira menutup diary-nya dan merangkak ke balik selimut. Dengan

segera ia pejamkan mata, seolah-olah puisi yang baru ditulisnya

tadi merupakan instruksi untuknya. Tak lama kemudian, sosok

Nicky muncul dalam bunga tidurnya.

Pulang sekolah, di salah satu lorong SMA Lokardatika

A, hari ini kamu jadi mau wawancara Nicky Rendra?" tanya

Nico.

"Jadi dong! Masa aku udah semalaman bikin daftar pertanyaan,

tapi hari ini nggak jadi wawancarain dia!" Ira melenggang ke kantin.

Nico mengikuti. "Kamu tahu nggak? Aku udah nggak sabar pengin

cepat-cepat ketemu dia."

Nico duduk di salah satu meja kantin yang kosong, sementara

Ira duduk di hadapannya. Dua gelas es jeruk yang sama-sama dipesan tadi tengah mereka nikmati.

"Jangan senang dulu! Belum tentu kamu bisa ketemu dia tahu,"

celetuk Nico.

"Kamu aja yang jahat, doainnya yang jelek terus. Kamu cemburu?"

Mendengar pertanyaan Ira, mata Nico membelalak. Hampir saja

bola matanya mau keluar. "Cemburu? Hahaha..."

Huh! Kalo tahu bakal diketawain kayak gini, gue nggak usah tanya

sekalian. Nyesel gue, gerutu hati Ira.

"Biasa saja kalau mau ketemu artis ya!" Tiba-tiba Nico mengalihkan pembicaraan.

Kok tiba-tiba ngalihin pembicaraan, sih? Jangan-jangan Nico emang

cemburu... Heh? Siang-siang kok jadi narsis begini... pikir Ira. "Aku

juga udah tahu kok! Aku kan nggak norak kayak kamu kalau lagi

nonton konser d?Masiv."

"Lho kok jadi balik ngatain aku?" protes Nico tak terima.

"Hm... pokoknya senang banget deh hari ini. Udah hampir seminggu aku tunggu surat izin dari kepala sekolah untuk wawancara

ke luar sekolah. Akhirnya tiba juga saat-saat kayak gini..."

"Sesuka apa sih kamu sama dia?" Tiba-tiba Nico jadi serius.

Ira balas menjawab dengan serius, "Pokoknya aku suka banget

sama dia. Udah lama banget."

"Kalau suka sama aku udah lama juga?" tanya Nico dengan

pede-nya. Membuat Ira kali ini membelalak. Dan jantungnya jadi

berdetak di atas normal.

"Ra, nih pegang!" Tiba-tiba datang Rani sambil memberikan alat

pe?rekam dan kamera digital. Saking kagetnya, Ira hampir menjatuhkan kedua benda itu. "Gue yang bawa handycam-nya," tambahnya lagi.

"Aduh, lo tuh kalau mau kasih barang-barang mudah pecah ka?yak gini pelan-pelan dong! Jangan ngagetin gitu! Kalau jatuh gimana?" cetus Ira sambil memasukkan kedua benda itu ke tasnya

dengan hati-hati.

"Barang-barang mudah pecah? Gelas kali mudah pecah..." ledek

Nico.

"Diem kamu!" sewot Ira sambil mengerucutkan bibirnya.

"Yah ngambek..." Nico suka sekali meledek gadis di hadapannya

itu.

"Ran, kenapa lu yang bawa handycam?-nya? Emangnya yang mau

wawancarain Nicky Rendra itu gue?" tanya Ira sambil bangkit ber?diri.

"Ya iyalah, siapa lagi? Masa gue?" sahut Rani sambil menghabiskan es jeruk milik Ira dan Nico.

"Haus ya? Dua gelas dihabisin..." Ucapan Nico segera disambut

dengan jitakan Rani.

Sementara Nico mengaduh kesakitan sambil mengusap kepalanya, Ira masih saja tak percaya kalau nanti dia yang akan mewawancarai idolanya.

"Kenapa? Lo nggak mau? Ya udah, kita tukeran aja!" tawar

Rani.

"Jangan! Gue siap kok!" jawab Ira cepat.

"Nah gitu dong!" Rani melirik ke arah Nico yang masih mengusap kepalanya. "Lo ikut?"

"Hah? Gue? Nggak," jawab Nico.

"Udah gue duga lo bakal jawab begitu. Kapan sih lo ikut kerja?"

komentar Rani.

"Yah, Ran, sensi banget sama gue. Lo nggak tepat nyari waktunya... Hari ini kan jadwal gue materi PA alias Pencinta Alam..."

Nico mencoba membela diri.

"Lo-nya aja yang nggak mau berkorban satu kali saja demi klub

kita. Sekali nggak ikut materi PA kan nggak bakal dikeluarin."

Nico hanya tersenyum sabar mendengarkan celoteh Rani. Ira

ha?nya memandangi tanpa ekspresi.

"Ya udah, kami berangkat dulu!" Rani langsung menarik tangan

Ira yang belum sempat berpamitan dengan Nico.

"Eh...," Ira menoleh ke belakang. "Nico, aku pergi dulu ya...

Dadah!"

"Hati-hati ya, Ra!" teriak Nico sebelum kemudian bayangan

Rani dan Ira menghilang di balik tembok kantin. Ia menghela napas. Huft...

Plak. "Woi, kenapa lo?!" Seseorang menepuk bahu Nico dengan

keras. Namanya Dito, teman satu Klub PA-nya.

"Nggak apa-apa. Cuma lagi bingung."

"Bingung kenapa? Udahlah, lupain aja! Lo ditunggu sama yang

lain di ruang klub. Materi mau dimulai."

"Kenapa ya cewek itu susah ditebak?" Nico menggumam sambil

menatap jalan keluar-masuk kantin yang dilewati Ira tadi, namun

kini dilalui banyak orang.

Dito terkekeh mendengar gumaman sahabatnya. "Buat mereka,

orang kayak kita juga susah ditebak kok. Jadi impas, Sob."

"Apaan sih lo nyambung aja!" Nico menepis rangkulan Dito dan

berjalan menuju ruang Klub PA.

"Hahaha... Lagi jatuh cinta ya?"

Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit dari sekolah

menuju rumah target, akhirnya kedua reporter tiba di depan sebuah

rumah tingkat bercat putih dan berpagar dengan warna yang sama.

Rumah itu tampak tertutup rapat. Mungkin karena rumah ini

ditinggali oleh keluarga artis, jadi dibangun rapat karena takut terganggu privasinya.

Ira menyentuh dada kirinya. Jantungnya kembali berdebar-debar.

Padahal ia sudah berusaha sekuat mungkin untuk tetap tenang se?jak di angkot tadi.

Rani memunggungi Ira dan memencet bel di samping pintu gerbang. Pintu gerbang terbuka sedikit lalu seorang satpam menyuruh

keduanya masuk.

Satpam itu bertubuh tinggi besar dan hanya membiarkan mereka

masuk sampai halaman rumah. Masih di depan gerbang tapi sebelah dalam. Di situ ada banyak sekali penjaga. Serem... batin Ira.

"Permisi, Pak!" salam Rani disambut senyuman satpam itu.

"Siang, Dik. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.

Iseng-iseng Ira mengeluarkan kamera digitalnya dari dalam tas.

Lalu mengaktifkannya dan memotret perbincangan si satpam dengan Rani.

"Lho, lho, kok difoto-foto?" tanya satpam itu kaget.

Aduh, salah ya kalau gue foto nih satpam? batin Ira.

"Maaf, Pak. Sebenarnya ini yang mau saya jelasin," sambung

Rani, dan Ira memotret lagi. "Kami dari majalah sekolah SMA

Lokardatika bermaksud ingin bertemu dengan Nicky Rendra. Kami

mau wawancara dia, Pak."

"Oooh, sebelumnya kalian sudah membuat janji dengan Kiky?"

Kiky? Ira terkejut. Oh iya, Kiky itu kan nama akrabnya Nicky

Rendra.

"Kami memang belum membuat janji karena kami nggak tahu

nomor yang harus dihubungi, Pak. Tapi kami punya surat izin dari

sekolah untuk diperbolehkan wawancara, Pak," jelas Rani.

"Ya. Surat izin memang membolehkan kalian mewawancarai

Kiky. Saya yakin Kiky juga nggak keberatan untuk diwawancara.

Tapi, saya nggak bisa memastikan kalau hari ini kalian bisa lang?sung bertemu dia," jelas satpam itu.

"Memangnya Nicky Rendra nggak ada di rumah ya, Pak?" tanya

Ira.

"Kiky ada. Tapi subuh tadi dia baru pulang syuting. Takutnya

karena kelelahan, dia nggak mau nerima tamu."

Ira dan Rani berpandangan seolah bertanya "gimana nih?" pada

satu sama lain. Ira teringat kata-kata Nico tadi di kantin. Apa iya

dia bener-bener doain gue nggak jadi ketemu idola gue? Awas tuh

anak, batin Ira.

"Bagaimana, Dik? Atau... saya coba dulu tanya Kiky?" tawar sat?pam itu.

"Wah, boleh-boleh, kalau Bapak nggak keberatan mau bantu

kami!" jawab Ira cepat dan senang. Senyumnya yang tadi menciut

kini mengembang lagi.

"Tentu nggak keberatan. Adik-adik tunggu dulu di sini, ya?"

Satpam itu segera masuk ke rumah melalui pintu garasi.

Ira dan Rani menunggu di luar sambil ngobrol-ngobrol ringan.

Ter?kadang menjawab pertanyaan dari satpam lain atau penjaga yang

lagi asyik bersantai makan gorengan di posko satpam di sudut depan rumah ini.

Tak lama kemudian, satpam yang tadi kembali menemui mereka.

Rasa penasaran mulai menyelimuti Ira. Ia benar-benar nggak sabar

menunggu jawaban satpam itu.

"Gimana, Pak?" tanya Ira menggebu-gebu.

"Kebetulan banget. Kiky baru saja bangun tidur. Katanya dia

mau ketemu kalian."

"Hah? Serius, Pak?" tanya Ira dan Rani tak percaya secara bersama?an.

"Ya. Bapak dua rius malah."

Ira dan Rani saling berteriak kegirangan. Mereka berpelukan

sam?bil lompat-lompat. Akhirnyaaa... bisa ketemu Kiky! Ira berseru

dalam hati.

"Mari masuk!" Satpam itu mengantarkan mereka masuk ke

ruang tamu. "Nah, silakan duduk di sini. Tunggu saja Kiky di sini.

Bapak tinggal keluar ya?"

"Makasih, Pak," jawab keduanya bersamaan.

Ira duduk di sebelah Rani. Sejak tadi ia terus tersenyum. Hatinya benar-benar bahagia. Tak lama lagi ia akan bertemu Nicky

Rendra, idolanya.

Sambil menunggu, mata Ira berkeliling melihat seisi ruang tamu.

Wah, ruang tamu ini gede banget! Hush! Nggak boleh norak! Kalau

ketahuan, bisa malu banget sama Nico. Hm, ngomong-ngomong tentang Nico, biar tahu rasa tuh anak dengerin cerita gue tentang hari

ini! Gue berhasil ketemu Nicky Rendra. Hahaha... Ira terus saja membatin.

Tak lama kemudian, datang seorang cowok berwajah baby-face

bersetelan kaus dan jins selutut. "Sore, maaf jadi nunggu lama,"

sapa?nya membuat cewek-cewek ini langsung berdiri kaget.

"Kita kenalan dulu." Nicky mengulurkan tangan ke arah Rani.

De?ngan pede dan berwibawa, Rani mengucapkan namanya.

"Saya Rani dari SMA Lokardatika."

"Oke." Nicky tersenyum. Kini ia beralih pada Ira. Ia mengulurkan

tangan tapi tak juga disambut oleh Ira. Ini terlalu mengejutkan untuk Ira, membuatnya syok, membuatnya jadi nggak siap dan rasanya mau pingsan saat ketemu Nicky.

Nicky heran pada Ira. Ia tersenyum geli melihat gadis itu yang

terbengong-bengong. Sementara Rani merasa malu karena ulah

temannya itu.

"Maaf ya, teman saya memang suka gini, hehehe...," kata Rani.

"Nggak apa-apa." Nicky tersenyum. "Kamu namanya siapa?" Pertanyaan itu diajukan pada Ira. Dan barulah dia sadar dari lamunannya.
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, saya? Saya... duh, nama saya siapa ya? Eh, maksudnya...

nama saya Ira. Alveira," jawab Ira gugup sampai terbata-bata.

Nicky tertawa kecil. "Nama yang bagus. Unik. Siapa yang kasih

nama?"

"Papa. Nama Mas Nicky juga bagus kok...," Ira balas memuji.

"Silakan duduk!" kata Nicky. "Pasti haus ya, dari sekolah langsung datang ke sini? Tunggu sebentar ya. Kalian mau minum

apa?"

"Apa saja, Mas," jawab Ira.

Nicky pun langsung menghilang di balik dinding. Sepeninggalan

cowok itu, Ira langsung ditegur Rani.

"Heh, lo tuh malu-maluin gue aja sih! Biasa saja kenapa kalau

ketemu artis." Rani jadi gemas.

"Aaahhh, Rani, gue lemes tahu. Lihat nih kaki gue gemeteran!"

"Kalau mau jadi wartawan handal, profesional dikit dong! Masalah pribadi dan kerjaan harus dipisah."

"Hm... tapi, Ran, terkadang masalah pribadi dapat membantu

kita dalam masalah pekerjaan loh."

Rani sudah siap membuka mulut, ingin membalas ucapan Ira.

Sayangnya Nicky sudah kembali lagi ke ruang tamu dengan dua

gelas minuman di tangannya. "Silakan diminum!"

Keduanya pun langsung menenggak air sirup di dalam gelas itu.

Ira hanya minum sedikit. Dan kini siapa yang lebih memalukanLihat, gelas Rani langsung kosong.

"Haus, Mas." Rani terkekeh tanpa rasa malu.

"Mau tambah?" tawar Nicky yang siap berdiri hendak mengambil

sirup lagi untuk Rani.

"Nggak perlu, Mas, makasih. Rani ini kalau dikasih lagi, nanti

keenakan!" tolak Ira. Rani langsung manyun.

"Kalau emang dia mau ngasih gue minum lagi kan nggak apaapa. Gue masih haus tahu," bisik Rani kesal.

Dan lagi-lagi Ira hanya terkekeh.

"Gimana? Mau langsung dimulai saja wawancaranya?" tanya

Nicky.

"Boleh, Mas." Ira langsung menyalakan kamera digital dan alat

pe?rekam yang dibawanya. Rani pun langsung stand by dengan posisinya merekam semua perbincangan selama wawancara dengan

handycam-nya.

"Oke, Mas Nicky. Di sini kami datang mewakili majalah sekolah.

Kami sedang membuat rubrik baru yaitu profil artis. Dan bagusnya

lagi, Mas Nicky yang terpilih untuk diwawancara. Gimana perasaan

Mas terpilih sebagai artis untuk profil artis majalah kami?" Ira me?mulai sesi tanya jawab.

"Yaaa... senang pastinya. Soalnya, jarang-jarang aku diwawancara

un?tuk majalah sekolah. Aku juga nggak nyangka bakal terpilih. Suatu kebanggaan tersendirilah," jawab Nicky.

"Mas Nicky nggak keberatan kalau kami minta biodata lengkap?nya?"

"Boleh-boleh."

"Nama lengkap?"

"Nicky Aldiano Rendra."

"Tempat tanggal lahir?"

"Bandung, 12 Januari 1987."

"Alamat suratnya?"

"Boleh aku saja yang tulis di notes kamu?"

"Oh boleh." Ira memberikan notesnya dan membiarkan tangan

kanan Nicky menulis alamat suratnya di situ. "Oke, makasih, Mas."

"Kalau kamu yang nulis, pasti ribet," tambah Nicky.

Ira membaca alamat surat yang ditulis Nicky. Iya juga ya. Ya

sudahlah, kalau mau nulis surat kan tinggal datang ke sini dan langsung kasih ke satpamnya. Hahaha... pikir Ira senang.

"Hobi?" lanjut Ira.

"Main bola, dengerin musik, main gitar, dan nonton..."

"Hm... kalau nge-DJ, Mas?" tanya Ira membuat Nicky kaget dan

su?lit menjawab.

"Hahaha... kok kamu tahu sih?" tanya Nicky heran.

"Pernah baca di tabloid, Mas."

"Kalau nge-DJ, aku suka juga. Tapi nggak terlalu sering sih."

"Sejak kapan suka nge-DJ?"

"Sejak kapan ya? Paling baru setahun terakhir ini karena sering

lihat Papa main. Papa kan DJ, kebetulan di rumah ini ada studionya juga. Jadi aku suka latihan sedikit-sedikit."

"Wow, kereeennn...," sambung Rani disambut senyuman oleh

Nicky.

"Pacar?" lanjut Ira lagi.

"Harus dijawab?" Nicky nyengir.

"Ya iya dong! Siapa tahu cewek-cewek di luar sana banyak yang

suka sama Mas Nicky. Nah, kalau tahu Mas Nicky masih jomblo,

pasti majalah sekolah saya laku karena ada Mas Nicky-nya..."

"Hahaha, kamu bisa saja. Aku jomblo."

"Emang kenapa Mas putus sama Emilya?"

"Loh kok jadi wawancara gosip?"

Semuanya tertawa. "Bercanda kok, Mas," ucap Ira. Ia pun melanjutkan wawancara dengan pertanyaan lain. Terkadang Rani yang

tengah merekam perbincangan itu juga ikut melontarkan pertanyaan

tambahan yang tak kalah seru.

Ira memandangi Nicky yang tengah menjawab panjang salah satu

pertanyaannya. Ia benar-benar bahagia. Bisa duduk berhadapan

dengan orang yang selama ini hanya ia lihat di TV. Kalau boleh

meng?ajukan satu permintaan, ia ingin waktu berhenti berputar.

Agar selamanya ia bisa terus berada di dekat cowok pemilik wajah

baby-face ini.

Pukul 17.35, teras rumah Nicky.

Selesai juga akhirnya tugas Ira dan Rani mewawancarai Nicky. Cukup memakan waktu lama karena keasyikan ngobrol yang seru-seru

tentang pengalaman Nicky ketika dia sekolah dulu, sampai-sampai

lupa waktu untuk pulang. Maunya sih sampai besok pagi ngobrolnya. Sayangnya, itu hanya angan-angan.

Ira masih lekat dengan kamera di genggamannya, meminta

Nicky dipotret sekali lagi. Tidak sendirian, tapi bersama satpam

yang sudah mengizinkan mereka berdua masuk bertemu dengannya

tadi.

"Senyum ya... Cheeseeee..." seru Ira. Keduanya tersenyum dan

jepret! Hmm... foto yang menarik, bukan? Akan gue kasih usul ke

teman-teman editor tentang foto ini, mengenai kedekatan antara sang

majikan dengan sekuritinya. Hahaha... batin Ira dalam hati.

"Makasih ya, Pak, sudah kasih kami izin untuk ketemu Nicky,"

ujar Ira sambil menjabat tangan sang satpam.

"Ya, sama-sama. Semoga bisa jadi wartawan betulan suatu hari

nanti," balasnya.

"Amin," sahut Ira dan Rani.

"Mas Nicky, sekali lagi makasih banget sudah meluangkan waktunya buat ngeladenin kami. Hahaha... dikejar deadline nih," ucap

Rani.

"Oke, sama-sama. Aku senang kok ada yang mau main ke sini.

Ya, aku doakan semoga majalah sekolahnya sukses dan laku keras,"

ujar Nicky.

"Amin-amin-amin... Kami pamit dulu, Mas." Rani bersalaman

dengan Nicky dan juga satpam yang masih berdiri di sebelah cowok

itu.

Ira pun bersalaman dengan Nicky. Apa ini jabat tangan yang terakhir? tanya hati Ira resah. Gue harap nggak...

"Saya suka kamu," seru Nicky tiba-tiba. Ira sampai kaget mendengarnya. "Baru kali ini saya ketemu cewek sepolos kamu. Kamu

lucu dan baik. Sebagai wartawan, kamu punya potensi dan kemam?puan yang baik."

Hah? Nicky muji gue? Apaan tuh maksudnya? Dia suka sama gueTapi nggak mungkin banget. Baru hari ini kok kami ketemu. Yang

bener aja kalau sampai Nicky naksir gue... Tapi, ini nggak lagi mimpi,

kan? hati Ira berdebat sendiri.

"Pasti teman-teman kamu senang banget bisa punya teman kayak

kamu," tambah Nicky.

Itulah kata-kata terakhir Nicky yang didengar Ira sebelum akhirnya Rani menyeretnya pulang. Ya, memang harus diseret. Kalau

nggak, Rani pasti kena marah ibunya di rumah karena sampai sore

begini belum pulang.

Gara-gara pujian yang diterimanya, Ira jadi bengong sepanjang

perjalanan pulang di angkot. Bahkan omelan Rani tak sedikit pun

ditanggapi.

"Aduh! Susah deh kalau ngomong sama orang aneh," kesal Rani.

"IRA!"

"Apaan sih, Ran?"

"Lo nggak usah berlebihan gitu dong! Siapa tahu Nicky selalu

ngomong begitu setiap ketemu wartawan yang habis wawancara

dia," ujar Rani.

"Masa sih?" tanya Ira tak percaya. Tapi ia tak peduli. Toh ini

benar-benar suatu anugerah terindah untuknya. "Siapa tahu saja dia

emang naksir gue!"

"Huuuh, dasar! Mimpi aja lo sana!" kesal Rani.

"Hahaha..."

"Kalau suka, ya suka aja! Nggak usah berharap lebih jauh lagi.

Kita bisa ketemu buat wawancara aja udah beruntung banget."

"Hm... itu urusan nanti. Yang pasti gue mau mikirin yang sekarang dulu." Ira menerawang jauh ke luar jendela angkot. Tatapannya

yang tak tentu arah melihat jalanan yang dibasahi hujan, diiringi

senyum kasmaran sambil mengingat wajah baby-face Nicky. Benarbenar seperti orang gila. Tersenyum-senyum sendiri.

"Dari mana, Ra?" tanya Mama ketika Ira sampai rumah. Sambil

melepas sepatu di pintu belakang yang menghubungkan dapur dengan garasi, ia melihat mamanya sedang memasak untuk makan

malam. Ira tinggal bersama kedua orangtua dan seorang adik lakilakinya. Kebetulan malam ini ayahnya belum pulang kerja dan

adiknya, Haris, belum pulang dari tempat les bahasa Inggris-nya.

Ira belum menjawab pertanyaan mamanya, tapi ocehan lain sudah menyusulnya. "Jadi perempuan kok senang sekali pulang malam. Tahu nggak ini sudah jam berapa? Kenapa kamu pulang sampai jam setengah delapan!"

"Mama... tadi pagi kan aku sudah izin hari ini pulang telat.

Mungkin sampai malam. Hari ini aku ada tugas untuk wawancara

artis." Ira masuk ke rumah, kemudian mendekati lemari es hendak

minum air putih karena sejak tadi tenggorokannya terasa kering.

Mamanya meletakkan sepiring ayam goreng di meja makan.

"Mama tahu kamu senang dengan kegiatan kamu yang satu ini. Tapi

tolong kamu juga disiplin waktu dong! Kalau setiap hari begini,

kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Waktu belajar kamu juga

tersita, kan? Biasanya kalau pulang jam segini, sehabis mandi kamu

pasti makan malam dan langsung tidur. Kapan kamu belajar?"

Duh, nyokap nggak asyik nih! Pulang-pulang udah diomeli kayak

gini. "Ma, aku disiplin waktu kok. Aku pasti nggak akan lupa belajar. Kalau sejak dulu takut waktu belajarku tersita, aku pasti nggak

akan ikut kegiatan ini sejak awal, kan? Jadi Mama tenang saja deh."

Ira membela diri.

"Kamu ini gimana sih? Dibilangin orangtua kok jawabnya seperti

itu."

"Terus aku harus gimana? Nurut sama Mama dan keluar dari

klub? Aku nggak bisa, Ma..."

"Tapi kalau sampai nilai-nilai pelajaran kamu turun, Mama mau

ketemu ketua klub kamu! Masa ekskul saja sampai menyita waktu

belajar?!"

"Sudahlah, Ma, jangan bawa-bawa ketua klub aku. Biar ini aku

urus sendiri. Sudah risiko ikut klub ini. Apalagi aku jadi reporter,

kan?"

Mama Ira akhirnya diam meskipun di hatinya masih saja terasa

ada yang mengganjal. Seperti masih banyak yang harus dibicarakan

de?ngan putrinya ini. Sayangnya ia memutuskan untuk menghentikan pembicaraan tersebut lebih dulu dan memilih masuk ke kamar.

"Habis mandi, makan malam, Ra!" teriak mama Ira.

Ira menjatuhkan tubuhnya di kasur. Meski menentang habis-habisan kegiatan yang disukainya, tapi mamanya masih baik menawarinya makan malam. Ira betul-betul tak mengerti dengan pikiran

mamanya.

"Hei, semua yang ada di kamarku, apa ada yang tahu tentang

perasaanku sekarang?" Ira berceloteh sendiri. "Meskipun agak bete

gara-gara nyokap ngomel, tapi aku tetap senang. Kenapa? Karena

aku masih dikasih kesempatan oleh Allah untuk ketemu Nicky..."

Ira menutup wajahnya yang tak berhenti tersenyum dengan bantal.

Lalu ia berteriak bahagia. "Aaaa...!!!"

EESOKAN harinya, saat jam istirahat pertama tiba, Ira menceritakan pengalaman wawancaranya pada Andin. Hal itu membuat

Andin iri sekaligus tak percaya. Tapi Andin yakin temannya ini

pasti serius. Andin tahu seperti apa Ira.

"Lu serius, Ra? Nanti lo bohong...," komentar Andin.
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya ampun, Din, sejak kapan sih lo nggak percaya sama gueDan sejak kapan gue bohong sama lo? Jelas-jelas ini fakta! Gue

pu?nya buktinya kok!" Ira mencoba meyakinkan sahabatnya.

"Iya deh, percaya. Terus lo ngobrol apa saja sama dia?"

"Wah, banyak banget, Din. Gue nggak bisa ceritain satu-satu.

Dari hobinya, kebiasaannya, pengalamannya waktu masih sekolah,

banyak deh. Makanya, nanti lo beli aja majalahnya!" Ira begitu

menggebu-gebu.

"Yah, Ra, kelamaan kalau nunggu beli majalahnya. Kan terbitnya

tiga bulan sekali..."

"Tenang... kan udah tanggalnya, bulan ini pasti terbit."

Andin tersenyum melihat temannya bahagia. Matanya berkeliling

ke seluruh isi kantin. Tanpa sengaja ia mendapati sosok Nico tengah berjalan ke arahnya. Bukan ke arahnya, tapi pasti ke arah

Ira.

"Eh, gue ke kelas duluan ya?" Andin tiba-tiba bangkit dari duduknya, membuat Ira kaget.

"Loh, kenapa? Jam istirahat kan masih lama."

"Udah, lo di sini aja!"

"Gue ikut deh!"

"Jangan!" tahan Andin.

"Hai, Ra," sapa Nico yang tiba-tiba membuat Ira jadi tidak fokus

menahan Andin agar tidak pergi ke kelas tanpa dirinya.

"Hai, Nic." Setelah menyapa Nico, Ira celingukan mencari Andin.

Ternyata Andin sudah ada di depan pintu kantin tengah melambaikan tangannya. "Awas lo!" Ira menggerakkan bibirnya tanpa suara

dan seolah-olah akan melayangkan bogemnya.

Waktunya ia meladeni Nico. Kini cowok itu telah duduk di hadapannya. "Udah makan?" tanya Ira.

"Nanti aja pas istirahat kedua. Belum lapar kok," jawab Nico.

"Oh iya, kemarin gimana, Ra?"

"Sukses berat, Nic." Ira menyedot sisa es jeruknya.

"Aku mau lihat dong," pinta Nico.

"Lihat apa?"

"Lihat rekaman di rumah dia kemarin."

"Oh... Yah, handycam-nya dibawa Rani, Nic."

"Ya udah, kita ke kelas Rani sekarang yuk!" ajak Nico sambil

menggandeng tangan Ira dan tergesa-gesa. Sesampainya di kelas

Rani, rupanya cewek itu tidak ada di kelas.

"Rani ke mana ya?" tanya Nico agak kecewa.

"Mungkin lagi di perpustakaan. Atau di manalah... nggak tahu!

Nanti aja lihat videonya. Udah mau bel masuk nih," ucap Ira bersiap-siap melangkah menjauhi kelas Rani.

"Kamu kenapa sih, kok kayak menghindar dari aku?"

"Menghindar? Menghindar gimana? Nggak kok... biasa aja," ujar

Ira.

"Beneran?" tanya Nico meyakinkan.

"Iya." Ira tersenyum sambil menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya. "Yuk ke kelas?" Mereka pun berjalan menuju kelas beriringan.

"Kamu udah buat artikelnya?" Nico kembali membuka obrolan.

"Udah aku mulai, tapi belum selesai."

"Kira-kira muat berapa halaman di majalah?"

"Hm, sekitar dua halaman. Kan target kita satu sampai dua halaman." Ira melirik Nico. "Kenapa? Kamu mau bantuin?"

"Nggak ah, malas! Lagi pula, kalau yang mengerjakan ada hati

sama artikelnya kan pasti lebih mudah."

"Reporter macam apa sih kamu, Nic? Disuruh kerja nggak pernah mau." Ira mengeluh setengah mencibir.

Nico terkekeh. "Sebagai gantinya, pulang sekolah nanti aku trak?tir es krim di ujung jalan, gimana?"

Ira langsung menjawab tanpa berpikir untuk tawar-menawar lagi.

"Mauuu!"

Diary

Kini aku percaya, tak ada yang tak mungkin. Mimpi saja

bisa menjadi nyata, apalagi yang lebih dari mimpi...

Pertemuan pertama meninggalkan kesan indah di hati.

Tak mampu berkata apa-apa karena semua itu buku

mimpi...

Senyuman yang selalu kunantikan, suara yang selalu

ingin kudengar. Semua itu telah terjadi padaku...

untukku...

Serasa hati ini tak lagi sepi...

"Ira?!" tegur Bu Dini di depan kelas.

Ira kaget. Dengan segera ia menutup puisinya dengan buku lain.

"Ya, Bu?"

"Kamu ngapain? Lagi nulis apa?"

"Nulis...? Nggak nulis apa-apa kok, Bu," jawab Ira gugup. Kini

seisi kelas memandangi, membuatnya salah tingkah.

"Nggak nulis apa-apa tapi kok kayak lagi nulis? Saya kan memperhatikan kamu dari tadi. Sedikit pun kamu nggak memperhatikan

saya di depan sini. Kamu nggak suka kalau saya yang ngajar?"

Kata-kata Bu Dini terdengar menusuk telinga.

"Hah?" Ira makin kaget dan bingung. Rupanya Bu Dini mulai

tersinggung. Emang sih, guru Fisika yang seharusnya mengajar di

kelas Ira bukan Bu Dini, tapi Bu Janitha. Namun Bu Janitha berhalangan hadir karena harus mengantar suaminya ke rumah sakit.

Jadi Bu Dini menggantikan Bu Janitha mengajar di kelas Ira.

"Coba saya mau lihat, apa yang kamu tulis?" ucap Bu Dini sambil duduk di kursi guru.

Ira mulai panik. Ia tak tahu harus bagaimana sekarang.

"Kenapa tidak kamu perlihatkan ke saya? Kamu takut ketahuanMemang apa yang kamu tulis? Surat cinta?" tambahnya lagi.

"Ciyeee..." Suara ledekan teman-teman semakin mengusik telinga

Ira. Tetapi hal itu tak membuat Ira mengubah ekspresinya yang

pucat dan panik. Terlebih ia makin kesal saat melihat Andin terkikik geli di sampingnya.

"Jahat banget sih lo!" Ira menyikut sahabatnya.

"Eh, sori...," jawab Andin sambil menahan senyum.

"Heh, kamu lagi diajak bicara kok malah nyikut teman?" tegur

Bu Dini untuk kesekian kali. Beliau benar-benar memperhatikan

sekecil apa pun gerakan Ira.

Ira tak tahu harus bagaimana lagi. Ia hanya duduk terpaku menunduk. Pelajaran Fisika yang sangat dibencinya tetapi disukai teman-temannya jadi terhenti. Parahnya lagi, Bu Dini terus saja

mengomeli Ira dengan sindiran-sindiran maut.

Treeettt... Treeettt.. Treeettt...!

Ira menghela napas lega. Bel pulang akhirnya berbunyi dan membuat Bu Dini menghentikan omelannya.

"Kali ini saya baik loh, Ra, sama kamu karena saya cuma ngomong baik-baik nggak sampai mengusir kamu keluar," ucap Bu Dini

sambil membereskan buku-buku di mejanya.

Ngomong baik-baik? Kayak gini dia bilang ngomong baik-baik? dumel Ira dalam hati.

"Untung kamu bukan anak didik saya. Tapi di kelas sebelah nanti kita bertemu. Kamu jadikan ini pelajaran agar jangan main-main

kalau belajar sama saya. Selamat siang." Bu Dini akhirnya berjalan

keluar kelas. Beberapa anak berhamburan keluar kelas.

Ira lemas. Ia menelungkupkan wajah ke tangan. "Andiiin, salah

gue apa?"

"Makanya kalau lagi bahagia, lihat-lihat waktu dan tempat.

Udah, jangan lebay ah! Hantunya udah pergi kok," hibur Andin.

Ira tertawa geli mendengar Andin mengucapkan kata hantu untuk mengumpamakan Bu Dini.

"Lihat ah!" Tiba-tiba Ira kecolongan. Tanpa siap, Ira kecopetan

puisinya. Sena sudah merampasnya. Kini, Ira benar-benar lemas.

"Sena, jangan dibacaaa!" teriak Ira memohon. Andin mencoba

memegangi Ira yang berusaha merebut kertas puisi itu sambil tertawa geli mendengar Sena membacakan puisi Ira di depan kelas dengan gaya yang berlebihan, membuat semua orang memperhatikan

cewek itu.

Ruang Klub Jurnalistik, sepulang sekolah.

"Girang banget sih si Ira ketemu sama tuh artis! Biasa aja kali,"

komentar Nico saat melihat rekaman video yang dibawa Rani.

"Duh-duh-duh, ceritanya lo cemburu nih sama dia?" ledek

Rani.

"Dih, cemburu? Ya nggak lah! Ngapain cemburu sama artis?"

"Alah... ngaku aja deh! Sebenernya lo juga suka kan sama IraNggak usah ditutup-tutupin gitu deh..." Rani terus menyudutkan

Nico.

"Yeee, ngaco! Dia tuh yang suka sama gue!" ucap Nico dengan

pede-nya.

"Pede amat lo!"

"Loh, emang bener, kan? Udah terbukti juga kok."

"Oh ya? Apa buktinya?"

"Malam perkumpulan jurnalistik waktu itu," jawab Nico mantap.

"Yah... itu kan cuma games, Nic. Jangan serius gitu. Bisa aja kan

Ira nyebut nama cowok lain selain lo, kalau clue?-nya itu bukan dari

anak-anak klub kita," jelas Rani panjang-lebar.

Nico terdiam. Masa sih"Makanya, kalau suka, lo bilang dong ke orangnya. Jangan dipendam! Nanti keduluan sama Nicky Rendra loh. Dia cinta mati banget tuh kayaknya," tambah Rani.

"Berisik ah!" Nico kembali terdiam.

Suasana gaduh di ruangan itu tiba-tiba terhenti sejenak karena

keda?tangan Ira yang membuka pintu sehingga menimbulkan derit

melengking dan bising. Dasar pintu reyot! Minta cepat-cepat diganti

sana, gerutu Ira. Gara-gara kekesalannya tadi di kelas, pintu jadi

korban omelannya.

"Tuh, orangnya datang. Sana ngomong," seru Rani meledek Nico

yang tengah memperhatikan Ira.

Nico tak menanggapi ucapan Rani. Ia justru kuatir pada ekspresi

wa?jah Ira yang selalu tak terbaca.

Ira duduk di pojok ruangan dekat meja komputer. Sebenarnya

Nico berniat menghampiri Ira, tapi begitu melihat meja komputer

telah diduduki Rama, Nico pun mengurungkan niatnya.

"Kenapa lo?" tanya Rama ke Ira basa-basi sambil sesekali melihat

monitor.

"Bete! Ram, artikel profil Nicky Rendra gue tahan agak lama yaMungkin baru lusa atau setelahnya gue kasih ke lo." Ira terdengar

lesu dan tak bersemangat.

"Oh, ya udah." Rama melihat Ira. "Kenapa? Lagi ada masalah?"

"Iya! Gue kesel banget sama Bu Dini!" Ira pun bercerita pada

Rama tentang kesialannya di kelas tadi. Nico berusaha menajamkan

pendengaran agar bisa menguping obrolan mereka. Tapi tetap saja

telinganya tak bisa menangkap apa yang mereka bicarakan.

"Bmhff...!" Rama menutup mulutnya tiba-tiba, berusaha menahan

tawanya yang hampir meledak.

"Kalau mau ketawa jangan ditahan lah," izin Ira yang sudah siap

ditertawakan.

"Hahaha..." tawa Rama benar-benar pecah. Membuat seisi ruangan terdiam dan menoleh kaget ke arahnya. Langsung saja ia dimaki-maki karena telah menganggu ketenangan.

"Sori, sori..." kata Rama pada mereka. Nico semakin penasaran.

"Lo juga sih..." lanjut Rama pada Ira.

"Iya-iya, gue salah! Gue tahu kok gue salah! Tapi paling nggak,

Bu Dini kan nggak perlu ngomong kayak gitu sama gue. Namanya

juga lagi ketemu inspirasi," cerita Ira.

"Ingat kata-kata nyokap lo, Ra. Kalau nanti nilai lo jelek, nyokap

lo mau ketemu sama Bayu! Lo mau Bayu jadi santapan nyokap

lo?"

"Ya nggaklah... Kak Bayu udah baik banget sama gue, masa gue

kasih dia balasan kayak gitu? Jahat banget gue..."

"Harusnya lo senang dong puisi lo dibaca di depan kelas. Kok

malah bete?"

"Malu lah, Ram... Gue ini lagi jatuh cinta sama Nicky Rendra.

Artissss. Kalau mereka tahu, pasti nyangka gue gila."

"Emang iya," timpal Rama.

"Iiihhh...," kesal Ira sambil memukul Rama.

Rama hanya tertawa-tawa. "Ya udah, jangan diulangi lagi." Rama

melan?jutkan ketikannya. "Eh iya, mana? Sini!" Rama berhenti

mengetik, kemudian langsung merebut tas Ira dan mengacak-acak

isinya.

"Apaan, Ram?"

"Puisi lo lah... Gue kan juga mau baca," kata Rama sambil terta"Rama, jangaaan... Gue kan maluuu!"

Keakraban yang terlihat sempurna itu membuat mata Nico tibatiba jadi pedas. Daripada harus kesal dan makan hati melihat Ira

bersama Rama, ia pun memutuskan untuk pergi ke ruangan sebelah. Ruang Klub Pencinta Alam.

Ira yang hendak pergi ke toilet untuk mencuci muka, justru berhenti di depan ruang Klub Pencinta Alam yang pintunya sedikit terbuka. Didapatinya seseorang tengah merokok di dalam sana.

"Nico!" panggil Ira setengah berteriak.

Nico yang duduk memunggungi Ira seketika berdiri dengan wa?51

jah panik. Ia langsung ke pintu dan menutupnya. "Apa-apaan sih

kamu? Nggak usah teriak-teriak gitu! Aku kira siapa..."

"Masih bagus aku yang datang. Kalau guru yang nge?-gep kamu
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gima?na?"

"Ya aku bye-bye dari sekolah ini."

Ira kesal mendengar jawaban Nico yang begitu enteng.

Nico mematikan rokoknya lalu duduk di kursi sambil main gitar.

"Sini, duduk."

"Nggak mau. Pasti kamu bau rokok," tolak Ira ketus.

"Kenapa sih segitu bencinya sama rokok?" Kini nada bicara Nico

mulai naik.

"Ini sekolah, Nic!"

"Terus kenapa?"

"Ya kamu tahu diri sedikit dong! Di sekolah kan dilarang merokok. Lagi pula, kamu juga masih SMA. Belum tujuh belas tahun,

kan? Kamu seharusnya nggak berteman sama benda terkutuk kayak

gitu."

"Selama merokok itu nggak dosa, nggak masalah, kan?"

"Tapi itu sama aja kamu merusak dan menyakiti diri sendiri.

Kalau kamu aja nggak sayang sama diri sendiri, gimana kamu mau

sayang sama orang lain?"

"Sebenernya kamu siapa sih ngatur-ngatur aku?"

Ira terdiam mendengar kata-kata Nico barusan. Tampaknya Nico

juga menyesal telah berkata begitu. Mulut Ira terkatup rapat setelah

menganga beberapa saat. Lengkap sudah kesialannya hari ini.

"Aku cuma kasih saran kok. Bukannya pengin dianggap siapasiapa sama kamu." Ira berbalik membuka pintu dan menutupnya

dengan kasar dari luar.

BRAK!

Nico memejamkan mata sesaat. Ia meletakkan gitarnya dan bersandar. Ia merasa sangat bodoh karena telah berbicara seperti itu

pada Ira. Kekesalan hatinya pun langsung diredam dengan me?-nyulut sebatang rokok lagi.

Minggu siang menjelang sore.

RA menikmati hari liburnya dengan membaca novel Sepatu Kaca

karya Agnes Jessica, penulis idolanya. Novel itu baru saja dibelinya

kemarin. Dan hari ini ia berniat menyelesaikan bacaannya.

Lagi asyik-asyik membaca sambil tiduran di kasur, dentingan

lagu Dilema milik d?Masiv mengalun lembut, membuatnya nyaman

dan sedikit lupa dengan konflik batinnya tentang Nico. Sejak keributan di ruang Klub PA tiga hari lalu, Ira tampak sedikit tersinggung dan marah. Bahkan, sampai sekarang ia belum lagi menyapa

Nico jika mereka berpapasan di sekolah. Ira malas menyapa orang

yang sudah melukai perasaannya.

Suara decitan agak berisik terdengar dari pintu kamar Ira yang

dibuka mamanya. Meskipun bising, tapi suara itu masih kalah ramai dengan lagu d?Masiv kesukaan Ira yang berdentum keras di

kamarnya. Ira tak sadar mamanya tengah berdiri di depan pintu.

"Ra, kamu nggak ada janji mau pergi ke luar rumah, kan?" tanya

mama Ira sesudah mengecilkan volume tape recorder.

"Eh, Mama. Nggak ada kok." Ira menghentikan bacaannya lalu

duduk. "Kenapa memangnya?"

"Ini daftar belanjaan minggu ini. Keperluan di kulkas sudah ha?bis. Buat makan malam saja tinggal ada mi instan sama telur.

Kamu ke supermarket ya."

"Hah? Aku? Biasanya juga Mama yang belanja...," Ira mengeluh.

"Hari ini Mama nggak bisa, ada arisan di rumah Bu Andre. Itu

loh yang rumahnya di belakang perumahan kita. Deket kok, nggak

jauh."

"Mama gimana sih? Kan di luar panas terik. Kenapa nggak tadi

pagi saja nyuruh belanjanya?" Ira agak malas, kemudian tidur-tiduran lagi.

"Kamu ini disuruh belanja saja kok susah amat. Nih, Mama kasih lebih buat kamu jalan-jalan dulu di mal. Tapi nggak boleh pulang malam-malam!"

"Hah? Boleh jalan-jalan dulu?" Ira jadi semangat. Ia langsung

duduk kembali.

"Iyaaa... Mama berangkat ya. Jangan lupa kunci pintunya. Titip

saja kuncinya ke Bu Eni!" teriak mama Ira sambil berjalan menuju

ruang tamu, agaknya sedang terburu-buru.

Ira yang kegirangan segera mengganti baju, bersiap-siap berangkat ke mal untuk belanja. Seperti pesan mamanya, ia mengunci

pintu rumah dan menitipkan kuncinya pada Bu Eni, pemilik wa?55

rung yang ada di sebelah rumahnya persis. Keluarga Ira memang

sering menitipkan kunci rumah di sana.

"Bu Eni, aku titip kunci ya?" Ira memberikan kunci itu pada Bu

Eni yang sedang melayani pembeli.

"Mau ke mana, Mbak Ira?" Bu Eni menerima kunci itu, kemudian memberikan uang kembalian pada pembelinya.

"Mau belanja, disuruh Mama."

"Lho, di rumah nggak ada orang?"

"Nggak ada. Haris pergi sama Ayah. Aku pamit ya, Bu!

Assalamualaikum," pamit Ira dan bergegas.

"Ya, ya. Waalaikumsalam, hati-hati!"

Ira melenggang dengan senang. Bahagianya hari ini. Sesampainya

di mal, ia berkeliling sebentar di sekitar toko pernak-pernik untuk

sekadar cuci mata. Sudah lama sekali rasanya tak berkunjung ke

sini dan membeli beberapa pernak-pernik. Padahal baru kemarin

Ira ke mal beli novel.

Setelah puas jalan-jalan, Ira segera masuk ke supermarket. Dengan troli besar yang didorongnya, ia menuju tempat sayuran, lalu

melihat daftar belanjaan yang ditulis mamanya.

"Waduh, banyak juga ya. Ada kangkung, bayam, tomat, kentang,

bawang bombai, ikan, daging, tahu, nugget, sampai perlengkapan

mandi. Ya ampun... Mama, belanjaan sebanyak ini nyuruh aku belanja sendiri?" celetuk Ira.

Tanpa pikir panjang lagi, Ira mengambil semua sayur yang ia

per?lukan. Saat memilih sayuran, ia melihat orang-orang yang berlalu-lalang di supermarket ini. Asyik banget ya, bisa jalan-jalan berdua. Nggak sendirian kayak gue... Apalagi kalau belanjanya sama

pacar, pasti tambah asyik, nggak bete kayak gue sekarang. Hati Ira

terus saja ngedumel.

Ira mengambil dua ikat kangkung. Ia bingung memilih kangkung

yang kualitasnya lebih baik. Yang ada di tangan kanan yang kangkungnya lebih bersih atau... yang di tangan kiri, kangkungnya lebih

segar. Ira bingung.

"Hei." Seseorang menyentuh bahu Ira. Begitu Ira menoleh,

"Kamu..." Orang itu menahan Ira yang ingin mengucap sesuatu.

"Biar aku yang coba ingat-ingat. Hm, kamu itu... Al...Alveira, kanReporter yang mewawancarai aku beberapa hari yang lalu?"

Haaa? Mimpi apa gue semalam? Bener-bener dapat bonus gede

belanja di sepermarket ini, seru hati Ira. "I-iya, Mas Nicky...," sahutnya. Gue nggak nyangka Nicky masih ingat nama gue.

"Tuh kan, betul! Dari tadi aku perhatiin kamu dari jauh, tapi

ta?kut salah orang. Aku juga berusaha untuk ingat nama kamu.

Begitu nyapa, baru ingat deh nama kamu siapa," kata Nicky.

Ira hanya tersenyum sambil memalingkan wajah sebentar, menghi?langkan gugup. Kangkung di tangannya pun hanya jadi mainan.

"Kamu lagi ngapain? Belanja?" tanya Nicky begitu melihat dua

ikat kangkung yang tidak jelas kualitasnya dipegang Ira.

"Hah? Iya." Ira langsung memasukkan kedua ikat kangkung itu

sekaligus ke troli. Tak peduli lagi mana kangkung yang bersih atau

yang belum layu.

"Sendirian saja?" tanya Nicky lagi.

"Iya." Ira berpikir sejenak. Masa dari tadi gue cuma jawab iya-iya

aja? Gantian dong gue yang nanya sekarang, batinnya. "Mas Nicky

sendiri lagi ngapain?"

Nicky tertawa kecil. "Panggil Nicky saja. Jangan mas. Didengarnya agak aneh."

"Oh iya, Nic...ky?" Justru kini Ira yang merasa aneh menyebut?kannya.

"Aku juga lagi belanja keperluan untuk syuting di Bali besok

lusa."

"Sendiri juga?"

"Nggak, sama manajerku dan beberapa teman dari kru."

Lagi-lagi Ira tidak tahu harus menjawab apa dan hanya menggerakkan mulutnya mengucapkan "oh".

"Kamu ke sini naik apa? Motor?" tanya Nicky kemudian.

Ira menggeleng. "Nggak bisa naik motor." Ia nyengir.

"Mobil?"

Kali ini Ira yang tertawa kecil. "Aku mau banget kalau dibolehin

bawa mobil sendiri. Sayangnya belum boleh. Aku kan belum tujuh

belas tahun... Tahun ini baru akan tujuh belas."

"Ohh... Aku pikir kamu udah cukup umur. Hahaha..." Nicky

tertawa. Ira jadi ikut tertawa. "Kamu pulang dijemput?" Ira menggeleng lagi. "Taksi?" Kali ini Ira menemukan jawaban yang tepat. Sebab ia akan sangat kerepotan membawa banyak belanjaan jika naik

angkot.

"Oke. Kamu bisa tunggu aku di sini sebentar?" tanya Nicky.

"Hm... bisa."

"Lima menit lagi aku balik ke sini." Nicky langsung berbalik dan

menghampiri seseorang di salah satu rak makanan. Ira memperhatikan Nicky seperti sedang membicarakan sesuatu. Ia menebak pasti

orang itu manajer Nicky. Tapi ia tak bisa menebak apa yang sedang

mereka bicarakan.

Sambil menunggu, Ira bergeser untuk mengambil beberapa bawang bombai. Tak lama kemudian, Nicky kembali berdiri di sebelahnya. Ira pun kebingungan saat tiba-tiba pria itu mengambil alih

mendorong troli belanjaannya.

"Mau ngapain?" tanya Ira bingung.

"Aku mau menemani kamu belanja sampai pulang. Bahaya kalau

cewek pulang malam-malam sendirian. Naik taksi pula. Kalau ada

apa-apa, gimana?" seru Nicky.

Ira bengong, tak percaya Nicky begitu memperhatikannya. Mendadak ia jadi kegeeran. "Kamu sendiri sama manajer dan temanteman yang lain gimana?"

"Aku udah izin sama manajerku, semuanya beres."

Ira masih tak percaya. Ia berjalan di sebelah Nicky sambil terdiam. Jantungnya berdentam hebat. Kakinya tiba-tiba lemas. Ke?palanya juga mulai pusing. Apakah ini efek jatuh cinta"Apa lagi yang mau dibeli?" tanya Nicky mengagetkan Ira. Gadis

itu langsung tersadar dan berusaha bersikap "biasa saja". Nggak boleh norak... seru hati Ira berulang-kali.

"Ke tempat daging, Mas." Ira langsung menutup mulut. Nicky

juga memelototinya. Ia lupa dirinya dilarang memanggil Nicky dengan panggilan "mas". "Maksud aku... Nicky." Ira nyengir.

Sebuah cafe, di mal lantai 3.

"Majalahnya kapan mau terbit?"

Ira tak menyangka atas keberuntungan yang diterimanya. Sudah

be?lanja ditemani Nicky, kini ia diajak makan satu meja dengan cowok itu. Emang sih, dalam khayalannya ia menantikan saat-saat

se?per?ti ini. Hanya saja, mana ia tahu hal ini akan benar-benar terja"Belum tahu pastinya kapan. Tapi mungkin bulan ini terbit. Majalahnya masih proses editing," jawab Ira sambil mengambil potongan cumi goreng dengan sumpit.

"Kalau nanti udah terbit, aku beli satu ya? Jadi jangan lupa kasih

tahu aku."

"Oke... aku pasti akan antar majalahnya langsung ke rumah

kamu." Ira menyedot jus alpukatnya.

Nicky sedikit mengernyit mendengar jawaban Ira. Ia mengelap

mulutnya dengan tisu. "Hm... maksudnya bukan gitu. Eh, kamu

bawa HP?"

Ira berhenti mengunyah. "Bawa."

"Sini HP kamu!" pinta Nicky.

"Buat apa?"

"Udah... kasih dulu HP kamu ke aku!" pinta Nicky sekali lagi.

Meski bingung, Ira pun memberikan HP-nya pada Nicky.

Dilihatnya Nicky memandangi HP itu beberapa detik. Apakah

Nicky sedang membandingkan HP Ira dengan HP-nya? Tak lama

kemudian, Nicky mengembalikan HP Ira.

Ira memandangi HP-nya. Bingung. Kemudian menatap Nicky.

"HP aku kalah mahal kan sama HP kamu?"

"Hahaha... Apa-apaan sih kamu! Aku pinjam HP kamu bukan

untuk dibandingin sama HP aku."

"Ira menatap HP-nya lagi dengan bingung. "Terus?"

"Aku udah simpan nomor HP-ku di HP kamu. Nomor kamu

juga udah ada di HP-ku. So, kamu nggak perlu jauh-jauh datang

ke rumah kalau majalahnya udah terbit. Cukup kamu telepon aku,

maka aku akan langsung datang menemui kamu," jelas Nicky. Ia

tersenyum lalu melanjutkan makan.

Ira menatap HP-nya dengan sejuta perasaan. Ia melihat ada

nama Nicky Rendra beserta nomor teleponnya di phone book. Lengkap dengan nomor telepon rumah dan nomor alternatif lainnya.

Bener-bener ajaib! hati Ira berseru senang. Ira tersenyum menatap

cowok yang kini membuatnya panas-dingin.

"Makasih ya, Ky." Hanya itu yang bisa Ira katakan. Nicky membalasnya dengan senyuman.

"Jadi kamu tinggal di sini?" tanya Nicky saat taksi yang ia tumpangi

bersama Ira berhenti di depan gerbang rumah Ira.

"Iya, Ky." Ira membuka pintu taksi dan keluar mengambil kantong-kantong belanjaannya di bagasi. Nicky pun membantunya.

"Aku antar sampai masuk gerbang, ya?" tawar Nicky. Ia membawakan kantong-kantong itu sampai depan pintu rumah Ira. Sementara Ira semakin lemas memandanginya. Aduh... Nicky baik banget

sih, batinnya.

Ira berjalan di sebelah Nicky memasuki halaman rumahnya.

Hari mulai gelap. Ira melihat jam tangannya yang sudah menunjuk?kan waktu pukul 16.45. Pasti mamanya sudah di rumah. Apalagi

tadi siang mamanya berpesan agar ia tidak pulang terlalu malam.

Belanjaan yang tadinya Nicky bawakan, kini berpindah tangan.
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Makasih ya, Nicky, kamu udah mau nemenin aku belanja tadi,"

ucap Ira.

"Iya, sama-sama, Ra. Aku senang bisa ketemu kamu lagi. Makanya pas tahu kamu ada di supermarket tadi, aku sempatkan untuk

jalan bareng kamu."

"Kamu nggak malu jalan bareng aku? Aku ini anak SMA

loh..."

"Buat apa aku malu? Apa yang harus dipermasalahkan sama

anak SMA? Dulu aku juga anak SMA..."

"Aku rasa kamu sekarang masih kelihatan seperti anak SMA."

Ira melanjutkan ucapannya dengan tawa. Habisnya kamu baby-face

banget sih, jadi nggak kelihatan seperti mahasiswa. Apalagi kamu

umurnya empat tahun di atas aku, batin Ira.

"Bisa saja kamu." Senyum Nicky terlihat manis sekali malam ini.

"Kapan kita bisa ketemu lagi?"

Ira kaget sekaligus bahagia mendengar pertanyaan itu. Tak menyangka Nicky akan mengajaknya bertemu lagi. "Sebisa kamu saja.

Kita bisa ketemu kan tergantung jadwal kamu. Aku pasti bisa kapan saja untuk ketemu."

"Pertemuan berikutnya kamu mau aku ajak jalan-jalan, kan?"

"Boleh. Asal nggak pulang kemalaman, itu nggak masalah," jawab

Ira senang. Senyumnya mengembang.

Nicky tertawa kecil. "Ya udah, aku pamit ya, kalau begitu. Hari

ini cukup menyenangkan. Sedikit menghilangkan rasa jenuh karena

sibuk syuting selama sebulan ini."

"Aku juga seneng kok," balas Ira.

Nicky pun beranjak. Ira melihatnya masuk ke taksi, kemudian

dia melambaikan tangan dari jendela taksi yang terbuka. Tak ketinggalan senyum manis yang dia lemparkan untuk Ira. Taksi itu pun

membawanya pergi. Ira masuk ke rumahnya dengan perasaan berbunga-bunga.

"Assalamualaikum... Ma, aku pulang. Mama, gimana sih, belanjaan sebanyak ini kok nyuruh aku belanja sendirian?" seru Ira yang

baru saja masuk ke rumahnya lewat pintu dapur yang terbuka.

Terlihat mamanya yang sedang menuangkan jus ke gelas tertawa

melihat putrinya kewalahan membawa plastik belanjaan. Tiba-tiba

Haris muncul dan menghampir Ira.

"Wah, belanja ya, Mbak? Aku dibeliin apa?" tanya Haris.

"Dibeliin apa, gimana? Enak aja kamu nanya dibeliin apaan.

Belanjaan Mbak banyak tahu, bantuin kek," cetus Ira.

"Ya ampun... kamu ini. Baru disuruh belanja saja ngomelnya

melebihi Mama," sambung ayah Ira dari ruang tengah yang tak jauh

dari dapur.

"Iiiih, Ayah...."

"Sudah, sini belanjaannya. Makasih ya, Nak." Mama Ira mencium

kening putrinya.

Sebetulnya Ira tidak serius marah-marah. Ia justru merasa bersyukur mamanya telah menyuruhnya belanja ke supermarket hari

ini. Berkat belanjaan yang berat ini, ia bisa bertemu Nicky.

ENIN lagi, Senin lagi, batin Ira saat bersiap-siap di kamarnya

dengan tergesa-gesa. Hari ini ia kesiangan. Gara-gara semalam terlalu banyak melamun dan memikirkan kebahagiannya bertemu

Nicky.

"Mbak, cepetan dong, nanti aku telat! Aku kan piket hari ini,"

teriak Haris marah-marah di depan pintu kamar Ira sambil mengetuk-ngetuk pintu beberapa kali.

"Iya, iya! Bawel banget sih kamu!" semprot Ira sambil membuka

pintu. Ia membawa tas dan beberapa buku pelajarannya ke ruang

makan. Mamanya tengah menyiapkan sarapan untuknya, Haris, dan

ayahnya. "Lagian siapa suruh sih ambil piket Senin. Kan jadinya

buru-buru cuma untuk nurutin kamu!" Ira menggigit roti bakarnya.

"Mbak juga yang kesiangan!" jawab Haris tidak mau kalah.

"Sudah, jangan berantam terus! Sarapannya dihabiskan lalu

berangkat! Mama pusing kalau kalian masih di rumah jam segini!"

seru mama Ira sambil meletakkan dua gelas susu untuk Ira dan

Haris.

Hari Senin memang bikin bete. Bangun harus awal. Kalau

nggak, pasti kena macet di jalan. Sudah tradisi banget kalau Senin

semua orang pasti keluar. Selain berangkat kerja, kuliah, dan sekolah, orang-orang yang baru bangun tidur dan belum cuci muka

apalagi gosok gigi pun terkadang ikutan naik motor atau menyetir

mobil di jalan. Bikin jalan raya tambah padat saja.

Ira sampai di sekolahnya lima belas menit sebelum bel masuk.

Ia pamit kepada ayahnya lalu turun dari mobil. Terlihat banyak

sekali murid-murid yang baru datang, sama seperti dirinya. Ira

mempercepat langkah menuju kelas, ingin cepat-cepat curhat pada

Andin mengenai Nicky.

"Ira!" Seseorang berteriak dari kejauhan. Ia menoleh dan melihat

siapa yang memanggilnya. Ia mendapati Nico tengah berlari ke

arahnya. Dengan sesegera mungkin Ira berlari menaiki tangga. Ma?las kalau pagi-pagi harus bertemu teman satu klubnya itu.

"Ra!" panggil Nico sekali lagi. Bahkan cowok itu sudah ada di

bela?kang langkahnya. Ira menepis tangan Nico yang sempat me?nahannya agar mau berhenti. Anak ini mau apa sih? batin Ira kesal.

"Please, berhenti!" pinta Nico sambil menangkap kedua lengan

Ira dan memaksa Ira menghadap ke arahnya.

Ira kaget. Tenaga anak Pencinta Alam ini emang gede banget.

Ira memalingkan wajah ke arah lain, tanpa sedikit pun bertanya.

"Kamu masih marah sama aku?" Ira diam. "Aku minta maaf,

oke?"

Ira menepis tangan Nico kuat-kuat. Ia menatap Nico sebal dan

penuh kekesalan. "Udah ngomongnya?"

"Apaan sih, Ra? Aku serius ngomong sama kamu!"

"Seserius omongan kamu yang waktu itu, kan?"

"Oke. Aku ngaku salah. Aku tahu aku nggak seharusnya ngomong begitu sama kamu. Udah dong, jangan marah lagi. Aku

nggak bisa kalau kamu marah."

"Kenapa nggak bisa?"

"Kita partner reporter yang baik, kan?"

"Partner kamu bilang?"

"Iya."

Ira senyum sinis. "Ke mana aja kamu selama ini baru mengakui

kalau kita partner yang baik? Tapi sayang, aku nggak bisa merasakan arti kata-kata itu." Ira langsung pergi.

Nico masih mengikutinya. Namun terhenti saat bel masuk berbunyi nyaring.

Pelajaran pertama setiap Senin adalah Sejarah. Kebetulan sekali

hari ini gurunya berhalangan mengajar. Pas banget untuk Ira yang

lagi nggak mood belajar. Apalagi untuk mendengarkan dongeng

guru sejarahnya.

Sudah cukup tadi pagi Ira dibuat terburu-buru oleh Haris. Belum lagi kena macet yang membuatnya jadi waswas, takut telat

masuk sekolah. Dan tadi Nico sudah cukup menambah daftar alasan kebeteannya hari ini.

Bel masuk berbunyi lima menit lalu. Dan Andin yang dikiranya

sudah datang, justru baru muncul. Untung saja dia tidak telat dan

disuruh pulang oleh satpam.

"Kok tumben lo telat?" tanya Ira.

"Siapa yang telat?" tanya Andin sambil duduk di kursinya.

"Lo! Siapa lagi?"

"Gue nggak telat kok. Gue udah datang dari jam setengah tujuh.

Cuma ke kantin dulu buat sarapan. Eh pas bel bunyi, mau ke kelas

ketemu Nico. Ngobrol deh."

"Nico?" Ira melengos sebal. Dia lagi, dia lagi. Kenapa harus dia

sih! batinnya.

"Kenapa? Ada yang salah sama Nico?" tanya Andin.

"Ya ada lah!"

"Oh ya? Cerita dong sama gue."

Niat mau cerita tentang Nicky ke Andin malah berubah cerita

tentang Nico pagi ini, membuat Ira tambah bete. "Gue tahu kok

gue bukan siapa-siapa dia. Apa salah gue nyaranin dia untuk nggak

ngerokok lagi? Gue ngomong begitu kan untuk kebaikan dia juga,

Din. Eh, kok dia dengan seenak jidatnya bilang gue ini siapanya dia

berani ngatur-ngatur dia!" Ira duduk kesal sambil bersedekap.

"Santai aja. Nico nyesel loh ngomong begitu. Kenapa lo nggak

maafin dia?"

"Kenapa sekarang lo ngebelain dia sih?"

"Gue nggak ngebelain siapa-siapa di sini. Gue cuma ingin masalah ini cepat selesai. Nggak ada lagi kesalahpahaman. Apalagi permusuhan!"

"Salah paham gimana sih, Din? Gue sama Nico nggak lagi salah

paham. Jelas-jelas dia sadar dia ngomong begitu. Dia tahu nggak

sih dia udah bikin gue sedih?"

"Dia tahu, Ra. Makanya dia mau minta maaf."

Ira terdiam. Jujur, hatinya kesal karena ucapan Nico tempo hari.

Mentang-mentang dia tahu kalau Ira suka padanya, seenaknya saja

ngomong begitu.

"Ra," panggil Nico yang tengah menghampiri meja Ira.

Ira bengong. Nih anak nggak masuk kelas apa? batin Ira.

"Mau ngapain kamu ke sini?" tanya Ira sambil memalingkan wajah.

"Please, maafin aku. Aku udah ngaku salah, kan?"

"Ya. Tapi emangnya maaf kamu bisa bikin hati aku nggak terluka

lagi?" pertanyaan Ira membuat Nico sulit menjawabnya.

Andin heran kenapa masalah sepele seperti ini menyulitkan Nico

untuk dimaafkan. Nggak biasanya Ira bete nggak ketulungan seperti ini. Pasti ada sesuatu.

"Ra, aku tahu kamu marah. Tolong masalah ini jangan diperpanjang. Cukup tiga hari ini aja kamu marah sama aku. Jangan lebih

dari ini." Wajah Nico tampak serius, membuat Ira kasihan melihatnya. Hati Ira mulai luluh menatap mata Nico yang lembut itu.

Ira menunduk. "Ya udah. Aku maafin kamu."

"Serius?" tanya Nico agar lebih yakin.

Ira mengangguk. "Ada syaratnya!"

"Apa?" tanya Nico penasaran.

"Masa nggak tahu?" Ira menatap Nico dengan mata menyipit.

Andin kaget dengan kata-kata Ira. Apa iya Ira minta Nico jadi

pacar?nya? batin Andin. Sementara Nico juga sama bingungnya. Ia

berpikiran sama dengan Andin.

"Kamu mau supaya aku..." Nico terbata-bata.

"Traktir aku mi ayam sama es jeruk di kantin!"

Sesegera mungkin Andin dan Nico menghela napas seraya membulatkan mulutnya seperti huruf "O".

"Iya, nanti aku traktir." Nico mengusap kepala Ira lembut. Tak

lama kemudian ia dipanggil teman sekelasnya karena wali kelas

mere?ka sudah datang. Nico segera berlari dengan kecepatan tinggi

me?nuju kelasnya.

"Dasar lo, Ra! Bikin gue panik. Gue kira syarat buat Nico, dia

harus mau jadi pacar lo!" Andin berkomentar.

"Enak aja! Gue gak mungkin senekat itu."

"Habis... bikin gue takut."

"Kalau gue bisa senekat itu, sekalian aja dari dulu gue nembak

Nico." Ira tiba-tiba teringat kejadian kemarin. "Eh, gue punya cerita

baru tentang Nicky."

"Nicky? Nicky siapa?"

"Nicky Rendra..."

Andin tersenyum karena telah menemukan jawaban atas kebingungannya beberapa menit yang lalu. Jadi Nicky yang sudah membuat Ira menomorduakan Nico, batin Andin.

Jam istirahat tiba. Bukannya mencari Nico untuk minta ditraktir,

Ira justru pergi ke kelas XI IPA-2 menemui Rani. Kebetulan sekali

kedatangannya tepat saat Rani yang baru keluar kelas hendak ke

kantin bersama teman-temannya.

"Ran," panggil Ira.

"Hai, Ra! Ngapain ke sini? Tumben ke kelas gue," sambutnya.

"Lo mau ke kantin ya? Gue mau cerita sesuatu nih."

"Iya sih. Ya udah nanti aja deh ke kantinnya. Belum lapar banget

sih. Ada apa emangnya?"

"Lo tahu nggak, gue kemarin ketemu Nicky Rendra di mal! Te?rus kami jalan-jalan deh," jelas Ira.

"Hah? Kok bisa?" Rani kaget.

"Ceritanya panjang. Gue disuruh nyokap belanja, tahu-tahu ketemu dia."

"Asyik banget sih lo!"

"Dia pesan majalah kita satu. Dan dia akan ambil sendiri majalahnya ke gue."

"Hah? Serius lo? Gimana caranya lo kasih tahu dia kalo majalahnya udah terbit?"

"Ya ampun, Ran, masa gue sama dia udah jalan-jalan dan makan

bareng tapi nggak tahu nomor HP masing-masing sih?"

"Haaahhh? Lo tahu nomor HP-nya?"
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya dong!"

"Beneran nomornya? Kalau tahu-tahu nggak aktif gimana?"

"Kok lo mikir jelek gitu sih?"

"Ya namanya juga artis, nggak sembarangan kasih nomor HP ke

orang. Artis kan orang sibuk dan penting. Mereka nggak punya

waktu cuma buat ngeladenin anak SMA kayak kita."

"Jahat banget ah!"

"Ya udah, lo coba aja hubungin dia. Kalau emang bisa, bagus

deh! Gue ke kantin dulu ya! Dah...."

Ira memandangai Rani yang meninggalkan rasa khawatir di hatinya. Ira mengambil HP-nya dari saku rok, lalu melihat nomor HP

Nicky di phone book-nya. "Apa iya yang dibilang Rani itu benar?"

Ira segera memasukkan HPnya lagi ke saku rok, lalu melenggang

ke ruang klub kesukaannya. Niatnya ingin menyendiri. Tapi saat

membuka pintu ruang klub, ia mendapati Nico tengah duduk santai sambil membaca buku. Entah buku apa yang sedang dia baca.

Ira kaget. Selama beberapa menit mata mereka bertemu. Ia

menutup pintu dan langsung masuk menuju meja komputer.

"Lagi ngapain, Nic?" tanya Ira datar. Ini kali pertama ia yang

menyapanya setelah berbaikan tadi pagi.

"Menyendiri," sahutnya sambil membalik lembaran buku yang

dibacanya.

"Sama dong!"

"Oh iya, Ra, minggu depan aku berangkat."

"Berangkat ke mana?" tanya Ira sambil asyik mengeklik mousenya bermain solitaire.

"Naik gununglah..."

Ira kaget. Sesegera mungkin ia menoleh ke arah Nico yang masih santai membaca buku, dan langsung duduk di kursi di hadapan

Nico.

Nico mulai terusik oleh Ira. Ia sempat melirik cewek itu sebentar

dan melanjutkan bacaannya.

"Kamu serius minggu depan berangkatnya?" tanya Ira gusar.

"Hm," jawabnya santai.

"Berapa hari di sana?"

"Belum tahu juga. Ini kan baru rencana anak-anak Klub Pencinta

Alam."

"Minggu depan aku mau bolos," sahut Ira cepat.

Kata-kata Ira barusan membuat Nico menutup bukunya dan

fokus memandangi wajah gadis itu. "Hahaha... sampai segitunya

kamu suka sama aku, sampai-sampai aku nggak masuk, kamu ikutan nggak masuk juga?"

BRAK!

Ira melempar majalah yang ada di dekatnya ke arah Nico. D?engan sergap Nico menepis majalah itu sambil terkekeh. Ira makin

cemberut. "Kamu terlalu narsis jadi orang!"

"Loh, bener, kan? Kamu emang terlalu cinta sama aku." Nico

tertawa.

"Aku serius!"

Nico tersenyum sambil memainkan pulpen di atas meja. "Aku

juga serius."

"Aku mau ikut antar kamu ke stasiun."

"Macam-macam aja sih kamu!" Nico tersentak.

"Aku... aku cuma mau lihat kamu seperti apa sebelum berangkat.

Jadi aku bisa membandingkan dengan kamu sepulang dari gunung.

Dan aku menuntut kamu untuk nggak terluka sedikit pun."

Nico tertawa geli. "Makasih ya, kamu udah perhatian." Nico tersenyum mendengar ucapan Ira. Ia meraih tangan cewek itu berniat

menggenggamnya. Tapi, baru tersentuh ujung-ujung jari Ira saja,

Nico sadar meja rapat di hadapannya ini terlalu besar sehingga


Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Pendekar Bloon 11 Lima Utusan Akherat

Cari Blog Ini