Ceritasilat Novel Online

Jurnalis Idola 2

Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN Bagian 2

menghalanginya untuk menggenggam tangan Ira.

Ira kaget Nico berusaha menyentuh tangannya. Ia tak menanggapi ucapan cowok itu, hanya memandangi tangannya yang kini

bersentuhan dengan tangan Nico. Wajah Ira tersipu malu. Seulas

senyum manis terkembang di sudut bibirnya.

Pulang sekolah, kantin.

Ira yang sedang membeli minuman kotak di kantinnya dikejutkan

HP-nya yang bergetar dalam saku. Ia segera melihat siapa yang

menghubunginya.

Nicky calling....

"Halo...," sapa Ira.

"Halo, Ra? Kamu di mana?" tanya Nicky.

"Aku di sekolah, Ky."

"Coba tebak, sekarang aku ada di mana?"

Ira berpikir sejenak. Tapi tak sedikit pun bisa mengira Nicky

ada di mana. "Di mana?" Ira penasaran.

"Di parkiran sekolah kamu."

"Hah? Kamu serius?"

"Ya serius dong! Kamu ke sini deh sekarang."

"Nanti dulu, kok kamu bisa masuk ke sekolahku? Tahu dari

mana aku sekolah di sini?"

"Kamu lupa pernah kenalan di rumahku waktu wawancaraKamu gimana sih? Kan kamu sendiri yang kasih tahu sekolah

kamu di mana."

"Oh iya. Ya udah, aku ke sana sekarang."

"Plat mobilku B 1201 NR ya."

"Iya."

Klik.

Ira berlari sesegera mungkin menuju parkiran sekolahnya, dan

men?cari-cari mobil Nicky. Saat menemukan mobil Nicky, Ira segera

mengetuk-ngetuk kaca mobil itu.

Nicky membukanya dan Ira benar-benar tak menyangka. "Hai!"

"Kamu nekat! Gimana ceritanya bisa masuk sini? Nggak dilarang

satpam?"

"Aku bilang mau jemput kamu. Satpam juga bilang, kalau mau

masuk, aku harus ada di mobil terus. Takut bikin kehebohan di

sini."

"Kamu terkenal juga ya! Sampai-sampai satpam aja tahu kamu

artis."

"Ayo naik, kita makan siang. Kamu belum makan siang, kan?"

"Duh, Ky, hari ini aku ada rapat klub... Kan sebentar lagi majalah mau terbit..."

"Oh, ya udah. Aku tunggu kamu di mobil."

"Kamu mau nungguin aku?" tanya Ira tak percaya.

"Ya iyalah, ngapain lagi? Aku mau ajak kamu jalan-jalan."

"Nggak ngerepotin kamu?"

"Sama sekali nggak. Udah sana, nanti kamu ditunggu yang lain."

"Oh, ya udah, kalau gitu. Aku ke ruang klub dulu ya. Tungguin!"

"Oke!"

Ira segera melesat ke ruang klub yang sudah dipenuhi banyak

orang. Rupanya ia terlambat karena rapat sudah dimulai. "Maaf,

Kak, telat. Aku dari toilet."

"Ya sudah. Oh iya, Ira, mana artikel profil artis?" tanya Bayu,

me?nagih artikelnya.

Ira segera merogoh tas dan mengeluarkan artikel yang diminta

Bayu. Ia memberikannya dan duduk di kursi kosong di sebelah

Nico. Kursi itu memang biasa mereka tempati. Anak-anak satu

klub sudah menobatkannya. "Beneran tadi dari toilet, Rani bilang

tadi kamu gak ada di sana?" tanya Nico saat Ira baru saja duduk.

"Masa sih? Mungkin aku pas lagi pipis, jadi dia nggak lihat," jawab Ira bohong.

"Oh...."

"Ira, Nico, jangan ngobrol sendiri dong!" tegur Bayu serius membuat keduanya kaget. Tapi malah disambut ledekan dari teman-te?man satu klub.

"Ciyeee...." Terdengar suara Rama yang paling kencang. Dengan

segera Ira mencubit pinggang Rama yang duduk di sebelah kanannya sehingga dia langsung berteriak, "Waduuuh!"

"Huh, makanya jangan rese!" geram Ira. Rama ikutan geram karena tidak terima dicubit seperti itu lalu balas mencubit Ira. Melihat

tingk?ah Ira dan Rama, lagi-lagi hati Nico menciut.

Setelah dua jam, akhirnya rapat selesai juga. Nico menghampiri

Ira yang baru keluar ruangan.

"Ra," panggilnya.

Ira menoleh. "Ya?"

"Tugas kita sebagai reporter kan sudah selesai, makan-makan

yuk!"

"Kapan?"

"Ya sekarang, kapan lagi? Besok aku ada latihan fisik. Yuk!" Nico

meng?gandeng tangan Ira.

"Tunggu dulu, Nic!" Ira menahan langkah Nico. "Kamu tuh

main tarik tangan orang aja, aku kan belum iyain ajakan kamu..."

"Tapi mau, kan?"

"Mau banget. Tapi hari ini aku nggak bisa, udah ada janji."

"Sama siapa?"

"Yaaa... ada lah pokoknya. Orangnya udah nungguin aku."

Nico agak kecewa tapi akhirnya tangan Ira dilepaskan juga dengan berat hati.

"Maaf ya... Tapi lain kali pasti bisa. Aku duluan, dah..."

Ira berjalan memunggungi Nico yang sedikit kecewa.

Nico pun membiarkan Ira berjalan menjauh, kemudian pergi ke

kan?tin yang masih buka dan makan mi ayam sendirian.

Jam 16.45, di cafe, Kemang.

"Deadline makin deket, Ky. Aku lagi sibuk-sibuknya. Untungnya sih

tugasku sebagai reporter sudah selesai. Tapi masih suka dikasih

tugas sih, disuruh wawancara sana-sini untuk bahan terbitan edisi

selanjutnya." Ira bercerita sambil menyuapkan makanan Jepang-nya

dengan sumpit ke mulut. Nicky yang duduk di hadapannya juga

tengah lahap menyantap makanannya.

"Kamu lapar banget ya?" seru Ira.

"Iya. Kelihatan ya?" tanya Nicky balik.

"Banget, Ky," Ira tersenyum. "Maaf ya, bikin kamu jadi nahan

lapar kayak gini."

"Gak apa-apa. Tapi, kamu lama juga ya rapat klubnya? Aku sam?pai ketiduran lho nungguin."

"Masa?"

"Maklum, kemarin baru pulang syuting."

"Maaf ya. Oh iya, katanya kamu mau syuting ke Bali? Kok masih ada di Jakarta?"

"Nggak jadi minggu ini. Syutingnya ditunda, soalnya ada salah

satu artis yang mendadak berhalangan. Jadi filmku ditahan sementara."

"Emangnya siapa?"

"Itu lho, artis cewek yang suka jadi lawan mainku di FTV. Ayu

Chintya."

"Oh iya-iya, aku tahu. Kalian sih emang cocok kalau main berdua."

Nicky menghentikan makannya dan menyedot mochaccino. Ia

tersenyum melihat Ira yang sedang makan di hadapannya. "Ra,

makasih ya mau jalan sama aku."

"Aku senang kok. Siapa sih yang nggak mau jalan sama artis beken? Hehehe...." Ira terkekeh.

"Jadi cuma gara-gara itu kamu mau nerima ajakanku?"

"Bercanda Ky."

"Aku juga nggak serius kok." Nicky dan Ira sama-sama tersenyum

malu. "Tapi, kamu nggak takut, Ra, kepergok wartawan lagi jalan

sama aku? Wartawan-wartawan itu ganas loh..."

"Kamu nyindir aku?" Ira cemberut, merasa tersinggung karena

secara tak langsung Nicky juga menyebutnya wartawan ganas.

"Maksudnya bukan gitu. Kamu tahu sendiri wartawan yang suka

meliput artis. Mereka suka seenaknya. Mau tahu aja urusan orang.

Lagi jalan sama siapa, lagi apa, di mana, semuanya harus di ekspos!"

Ira tersenyum mendengar cerita Nicky. "Aku harap sih, aku kuat

meng?hadapi itu. Selama ada kamu yang mendampingi, aku nggak

masalah."

Nicky balas memandang Ira sekarang. "Aku senang bisa kenal

kamu. Oh iya, mulai sekarang panggil aku Kiky aja ya. Itu panggilan akrabku."

Ira tersipu malu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Seandainya

Andin tahu yang dikatakan Nicky padanya. Pasti ia nggak akan

percaya. "Kamu serius? Emangnya aku boleh manggil kamu Kiky?"

Nicky mengangguk dan mengembangkan senyum manisnya.

Ira terbengong-bengong sekarang. Ada apa dengan Senin yang

dilewatinya kali ini? Tadi pagi ia bener-bener bete mendengar kebawelan adiknya. Juga kemacetan dan kekesalannya pada Nico. Tapi

siang ini ia berbaikan dengan Nico, dan Nicky mengajaknya jalan.

Terlebih lagi, Nicky meminta Ira memanggilnya dengan nama akrab.

Ira sangat membenci hari Senin, tapi siapa sangka ia jadi sangatsangat mencintai hari Senin. Obrolan pun berlanjut sampai akhirnya mereka memutuskan pulang. Ira sadar kebahagian tengah menyelimuti hatinya.

Ruang Klub Jurnalistik, sepulang sekolah.

RA tiba di ruang Klub Jurnalistik dan duduk di kursi favoritnya

sambil menunggu anggota lain datang. Ia senang karena hari ini

majalah sekolahnya yang memuat artikel profil idolanya sudah selesai cetak. Bayu yang menghubunginya semalam. Ira sudah tidak

sabar ingin memberitahu Nicky. Hampir seminggu sejak Nicky

mengajaknya makan waktu itu, mereka belum lagi bertemu ataupun

saling menghubungi.

Tak lama, Nico datang bersama Rama. Kehadiran Nico sedikit

membuyarkan lamunan Ira tentang Nicky.

"Ra, rubrik profil Nicky jadi keren banget loh! Lo pasti senang

lihatnya," bisik Rani yang juga baru sampai dan duduk di sebelahnya. Tempat yang biasa diduduki oleh Rama.

Ira langsung semangat mendengar berita Rani. "Serius? Emangnya lo udah lihat majalahnya ya?"

"Iya. Kemarin gue sama Bayu ke percetakan berdua. Cuma mau

memastikan majalahnya udah selesai dicetak atau belum. Eh, kami

malah dikasih lihat salah satunya. Ya udah, kami lihat deh. Sumpah

deh, Ra, Nicky keren banget!"

"Foto-foto yang lain bagus nggak?"

"Top deh!" Rani mengacungkan kedua ibu jarinya.

Jantung Ira jadi deg-degan. Nggak sabar mau melihat majalah

sekolahnya yang di dalamnya ada wajah seseorang yang membuat

hatinya jadi berbunga-bunga akhir-akhir ini. Nicky pasti senang,

batin Ira.

Nico tak sengaja melirik ke arah Ira yang tengah senyum-senyum sendirian. "Woi!" Nico menjentikkan jari di depan wajah

cewek itu, membuat Ira mengerjapkan matanya berkali-kali.

"Ngapain sih kamu?!" tanya Ira sambil menatap Nico aneh.

"Lho? Harusnya aku yang tanya, ngapain kamu senyum-senyum

sendiri?" Nico tersenyum.

Ira tersenyum dan melamun lagi, mencoba mengabaikan katakata Nico. Dan lagi-lagi Nico sebal karena dicuekin Ira, pertanyaannya tidak dia jawab. Nico pun melanjutkan obrolan dengan

Rama.

Usai rapat, Ira pulang ke rumah. Sesampainya di depan pintu

dapur yang biasa ia lewati untuk keluar-masuk, ia bertemu Haris,

yang siap berangkat les bahasa Inggris. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Haris baru selesai mencuci piring sehabis

ma?kan siang. "Mbak, minta duit dong buat ongkos?"

Ira yang baru melepas sepatu kaget bukan main. "Heh! Mbak

kan baru pulang, kok sudah kamu mintai ongkos. Mbak mana punya!"

"Yah, Mbak bohong nih! Mama nggak ngasih ongkos tahu!"

"Jangan bohong! Jatah kamu dari Mama kan selalu lebih kalau

ada jadwal les. Pasti dibuat main game online lagi ya di warnet?"

Haris nyengir. Dasar adik nggak tahu malu, geram Ira dalam hati.

"Berangkat sana jalan kaki!" Ira masuk ke rumah.

"Yah, Mbak, aku beneran nggak ada ongkos..."

Ira mengambil segelas air putih dan duduk di meja makan. "Lagian sih, kamu juga salah! Makanya jangan boros."

"Iya iya!"

"Iya-iya apa? Siapa sih yang ngajari kamu main game online?"

"Mba Ira, kan?" tuduh Haris mantap.

Ira menjitak kepala Haris. "Jangan bercanda. Rasanya Mbak mau

datangi teman-teman kamu itu."

"Ya sudahlah, Mbak, sudah jam empat nanti aku telat. Dari sini

ke tempat les kan jauh."
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ira menatap adiknya gemas. "Berapa?"

"Lima belas ribu."

"Hah? Banyak banget!" Ira kaget.

"Kan ongkos bolak-balik sepuluh ribu. Terus jajan lima ribu."

"Nggak. Nggak ada. Bohong banget! Naik angkot dari sini ke

sana kan cuma dua ribu lima ratus. Bolak balik berarti lima ribu.

Emang pakai jajan? Jajannya dua ribu aja. Nih!" Ira membuka dom?pet dan mengeluarkan uang sejumlah tujuh ribu rupiah.

"Yah, masa segini kurang! Genapin aja jadi sepuluh ribu. Buat

jaga-jaga kalau ada pengamen."

Urghhh, dasar adik matre! Nggak tahu diri, batin Ira gemas bukan

main. Dengan berat hati Ira mengeluarkan tiga lembar uang seribuan, membiarkan adiknya berpamitan dan pergi. "Hati-hati! Pulangnya langsung pulang!"

"Ya iyalah! Duit segini mana bisa buat kelayapan," serunya sambil

berjalan ke luar rumah.

Urghhh, masih bisa ngejawab lagi! Ira segera masuk kamar dan

merebahkan tubuh di kasur. Ia teringat Nicky dan ingin sekali

meng?hubunginya.

Ia meraih HP di saku roknya, mencari nama Nicky, dan meneleponnya.

Tut

Tut

Tut

Tak diangkat. Tak ada jawaban. Ira mencoba sekali lagi.

Dua kali

Tiga kali

Dan jawaban masih sama. Ia hanya mendengar tut-tut-tut yang

membosankan.

"Nicky ke mana sih? Kok nggak diangkat?" Ira melempar HPnya ke kasur. Menatap langit-langit kamarnya dengan kecewa. Tak

lama kemudian ia terpejam. Nicky pun datang dalam mimpinya.

"Sudah tiga hari nih gue telepon Nicky nggak diangkat-angkat.

Terakhir kali coba telepon HP-nya nggak aktif. Dia ke mana, ya?"

curhat Ira pada Andin.

"Itulah risikonya deket sama artis. Apalagi lo kan kenalnya baru82

baru ini. Jadi, penting nggak penting deh buat dia. Pikiran dia

nggak cuma majalah klub lo aja, Ra. Profesi dia itu yang jadi prioritas utamanya."

"Dia gimana sih? Waktu itu minta supaya dihubungin kalau majalahnya udah terbit. Tapi sekarang apa? Ditelepon nggak nyambung-nyambung," gumam Ira sambil menatap lapangan SMA

Lokardatika yang sepi.

Saat hati Ira sedang suntuk berat, tanpa sengaja ia melihat Nico

berjalan di pinggir lapangan, membuatnya teringat sesuatu yang

hampir ia lupakan.

"Nico," gumam Ira, "Kok jalannya kayak buru-buru gitu sih? Kayak lagi sibuk sama sesuatu" Ira mendapati Nico masuk ke ruang

Klub Pencinta Alam-nya di lantai dasar. Terlihat ia sempat bertemu

dengan beberapa anak Klub Pencinta Alam dan mereka berpencar

ke sana kemari. Ada yang ke ruang guru, TU, ruang kelas. Ada apa

sih"Eh, hari apa ini?" Ira kaget teringat sesuatu.

"Ya Jumat lah," jawab Andin.

"Jumat? Oh iya lupa! Loh-loh-loh berarti Senin udah lewat,

kan? Kok Nico masih di sin" Tanpa menyelesaikan ucapannya,

Ira segera melesat ke lantai dasar, menuju ruang Klub PA yang

kelihatannya ramai.

Ira berpapasan dengan Nico yang membawa kertas-kertas.

"Nico," panggilnya.

"Hai!" balas Nico menyapa Ira.

"Lagi sibuk ya?"

"Nggak terlalu sih, cuma mau nempelin ini di mading sama di

kelas-kelas anak kelas sepuluh."

Ira melihat lembaran itu. Benar dugaannya. "Jadi kamu nggak

jadi berangkat Senin kemarin?"

"Nggak. Tapi besok, hari Minggu."

"Apa? Minggu?" teriak Ira.

"Iya. Kenapa? Mau titip oleh-oleh?"

Ira merasa aneh mendengar pertanyaan Nico. "Emangnya di hutan ada toko oleh-oleh?" sindirnya. "Berangkat jam berapa?"

"Jam enam pagi dari sekolah."

"Hah? Jam enam pagi?" Ira memukul lengan Nico yang ber?otot.

"Lho, aku serius"

"Kalau gitu, aku ikut antar kamu ya sampai stasiun?"

"Nggak usah ah. Macam-macam aja."

"Aku serius, Nico!"

"Aku juga serius! Kamu kira aku bercanda melarang kamu!"

Ira terdiam mendengar tanggapan Nico yang serius dan bernada

tinggi itu. Aduh masa hari Minggu besok berangkatnya? Nico

nggak kasih izin gue buat antar dia lagi uhhh bisa sepi banget

di sekolah nggak ada Nico, batin Ira.

"Kenapa kamu, Ra?" tanya Nico menyadarkan lamunannya.

Ira mendengus sebal, "Huh, kamu beneran jadi ikut naik?"

"Nggak."

"Hah? Serius? Kamu nggak ikut?" tanya Ira senang.

"Kamu tuh aneh deh. Ya jelas aku ikut dong, Ra. Ini saat-saat

yang aku nantikan sejak dulu. Pertanyaan kamu tuh suka aneh."

Nico melangkah menuju mading.

Ira mengikutinya dari belakang sambil memutar otak, bagaimana

cara bicara yang pas agar Nico mengizinkannya untuk mengantar

ke stasiun.

"Nic, aku boleh ikut ke Gambir ya?" tanya Ira.

Nico menempel pamflet yang dipegangnya ke mading. "Aku bilang nggak boleh, ya nggak boleh, Ra." Nico mencoba berbicara

dengan nada yang lebih halus.

"Hari Minggu kan libur, Nic." Ira menyatukan kedua tangannya, memohon. "Please, Aku cuma mau liat kamu berangkat dalam

keadaan baik-baik aja." Ira menunduk.

Nico bingung, sekaligus tersenyum melihat gadis manis di depannya. "Bantuin aku nempel pamflet yuk!" Nico menggandeng tangan

Ira, membuat cewek itu kaget. Belum sempat Ira bertanya, Nico

sudah bicara lebih dulu. "Iya, aku izinin kamu nganter."

Ira bengong tapi langkahnya terus mengikuti Nico. Hatinya berseru riang. Senyum Ira mengembang perlahan. Tangannya menyambut tangan Nico dan siap membantu cowok itu. Bukan hanya hari

ini, kapan pun ia sanggup.

Ira sibuk di kamarnya pagi ini. Bahkan kamarnya sudah seperti

kamar yang tak pernah diurus bertahun-tahun, mirip kapal pecah.

Sangat berantakan. Apalagi kalau bukan karena ia bangun kesiangSemalam ia terlalu banyak melamun. Seharusnya pagi ini ia sudah mengantar Nico ke stasiun. Tapi jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang, sedangkan Nico berangkat dari sekolah pukul

enam. Dan sekarang Ira belum berangkat dari rumah.

Ira pamit seadanya pada mama dan ayahnya. Ia segera mempercepat langkah menuju sekolah. Ira yakin betul Nico sudah berangkat bersama teman-temannya, meninggalkannya.

Sekitar dua puluh menit kemudian, Ira tiba di sekolah. Apa yang

ia dapat? Sekolahnya sepi! Bahkan tak ada mobil besar yang akan

ditumpangi anak-anak Klub Pencinta Alam untuk ke Gambir. Satpam sekolah Ira bilang, ia ketinggalan. Seluruh anggota Klub Pencinta Alam sudah berangkat sekitar pukul 06.15 tadi.

Dengan sesegera mungkin Ira menyusul ke Gambir naik taksi.

Ira melirik jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul 07.30. Sementara jarak dari sekolah ke Gambir memakan waktu satu sampai

satu setengah jam, sengaret-ngaretnya dua jam. Dan kereta Nico

akan berangkat jam sembilan. Apa iya Ira bisa mengejar Nico"Ke stasiun, Pak!" serunya pada supir taksi dan taksi pun melesat. Ira benci kemacetan yang menghalanginya untuk cepat-cepat

bertemu Nico.

Tepat pukul 09.00 Ira sampai di stasiun, dan segera berlari masuk. Berkali-kali ia meminta maaf karena menabrak orang-orang

yang berjalan tak searah dengannya.

Ia agak kesulitan mencari Nico karena tubuhnya yang kurang

tinggi. Pandangannya terus berkeliling ke segala arah. Betapa kagetnya ia saat menemukan Nico yang menggendong tas carrier besarnya sudah masuk dan bersiap-siap naik ke peron di lantai dua

bersama teman-temannya. Terlihat dua satpam yang berjaga di pintu keberangkatan.

Ira segera berlari, berniat menerobos satpam-satpam penjaga itu.

Namun, ia sedikit terusik oleh getar HP-nya. Ada telepon masuk

dari NICKY!

Ira semakin bingung. Langkahnya terhenti. Bagaimana sekarangMengangkat telepon dari Nicky yang hampir seminggu tak bisa

dihubungi atau berusaha mengejar NicoIra melihat Nico yang melangkah menuju tangga, sesekali tertawa riang bersama Dito, sahabatnya.

"Oh, damn!" dengus Ira lalu mengangkat telepon itu. "Nicky, telepon aku sepuluh menit lagi!" Ira langsung memutus sambungan

telepon itu lalu berlari lagi.

"Nico..."

Teriakan Ira yang lantang bertabrakan dengan suara pengumuman. "Nico tunggu!!!" teriaknya lagi.

BRUK!

"Sial!" Ira terjatuh karena tersandung kakinya sendiri. Lututnya

terasa nyeri. Dengan setengah pincang, ia masih berusaha melangkahkan kakinya. Ira merintih kesakitan sambil melihat Nico yang

kini sudah menghilang.

"Nicooo!!!" teriaknya lantang dan kali ini semua orang menoleh

ke arahnya. Ira nggak peduli.

Akhirnya Ira tertunduk menyerah sambil memegangi lututnya

yang sakit. Beberapa saat kemudian, Ira mendongak dan mendapati

Nico berdiri di bawah tangga dan tersenyum dan melambaikan tangannya ke arahnya. Nico berlari menghampiri Ira setelah sebelumnya meminta izin pada sekuriti untuk keluar sebentar.

"Aku mau berangkat," ujar Nico saat sampai di hadapan cewek

itu. Ia memperhatikan dandanan Ira yang acak-acakan. Rambut

cewek itu berantakan. Senyumnya tersembunyi di balik wajah gelisah dan raut ketakutan. "Habis lomba teriak ya, Neng?" ledek

Nico.

"IYA!" jawab Ira kesal. "Nyebelin banget sih pertanyaannya.

Jelas-jelas aku takut banget kamu udah berangkat. Makanya aku

buru-buru datang ke sini. Aku bersyukur kamu belum berangkat"

Ira mengusap air matanya.

"Jalur dua, Kereta Api Gajayana tujuan Cirebon, Purwokerto,

Tugu Yogyakarta, Solo Balapan, Madiun, Kertosono, Kediri,

Tulungagung, Blitar, Wlingi, sampai dengan Malang Kota Baru siap

untuk diberangkatkan. Bagi penumpang yang masih berada di luar,

dimohon untuk segera mempersiapkan diri. Jalur dua, Kereta Api

Gajayana tujuan akhir Malang Kota Baru"

"Aku harus naik." Nico membuka suara.

Ira berusaha mengatur napasnya. "Aku mau kamu balik dengan

keadaan yang sama seperti sekarang! Aku nggak mau tahu!"

"Ya iyalah, Ra"

"Kamu harus hati-hati. Jangan lupa makan. Pakai terus jaket

kamu karena Ayah pernah cerita di puncak gunung itu dingin banget. Dan istirahat kalau sudah waktunya."

"Oke..."

"Nico, ayo naik!" teriak Dito yang ternyata sudah berdiri di dekat sekuriti.

Nico dan Ira bertatapan, sama dalamnya.

Nico menyentuh bahu Ira. "Dengar, Ra. Aku cuma pergi naik

gunung beberapa hari. Dan aku pasti akan balik lagi ke sini. Kamu

nih, kayak mau aku tinggal ke luar negeri aja."

"Habis...." Ira nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Entah kenapa

air mata Ira mengalir lagi, seperti mau berpisah selamanya dengan

Nico.

Nico menarik tubuh Ira pelan ke pelukannya. Ira membalas

pelukan itu dengan erat.

Entah mengapa, semua terjadi begitu singkat. Kini Nico tengah

berdiri di pintu kereta, memandangi Ira yang berdiri sendirian.

"Kamu langsung pulang ya! Hati-hati! Jaga diri jangan sampai ada

orang yang berani ganggu kamu!" teriaknya. Ira mengangguk senang, tak peduli berapa pasang mata yang memperhatikannya. Nico

melambaikan tangan lalu berjalan menaiki tangga.

Hampir setengah jam Ira duduk di kursi tunggu penumpang. Ia

memandangi layar HP-nya yang tak kunjung dihubungi oleh Nicky.

Bahkan ia seakan lupa pada pesan Nico yang menyuruhnya untuk

segera pulang setelah ia berangkat. Ia justru termenung di tengah

keramaian.

"Ra...," Seseorang memanggil sambil menepuk bahunya. Ira menoleh kaget saat tahu siapa yang ia lihat. Dan itu membuatnya sedikit

melupakan kesedihannya.

"Jadi tadi kamu ngantar teman kamu yang mau berangkat naik gunung?" tanya Nicky dalam perjalanan menuju rumah Ira.

"Iya. Namanya Nico." Ira mengangguk. "Ngomong-ngomong kok

tadi kamu bisa ada di Gambir sih? Dari manaNicky tidak memedulikan pertanyaan Ira. "Kelihatannya, kamu

sedih banget dia pergi. Kamu suka dia ya?"

Ira menatap Nicky. "Cuma sedih aja kok. Soalnya dia teman

baikku. Seru aja kalau ada dia di sekolah. Besok aku pasti kesepian

di sekolah. Dan... nggak bisa ngomentarin bareng majalah sekolah

yang udah terbit nanti."

"Oh... gini aja. Biar kamu nggak kesepian, pulang sekolah besok

kita jalan-jalan gimana?"

Ira tersenyum mengiyakan, lalu kembali larut dalam lamunannya
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil menatap ke luar jendela mobil sampai tiba di rumah.

Mobil Nicky memasuki halaman rumah Ira. Ia segera mengajak

Nicky untuk masuk ke rumahnya. Kedatangan Nicky disambut

baik oleh keluarganya.

"Assalamualaikum, Ma, Yah, aku pulang!" teriak Ira.

Mama Ira yang baru saja selesai memasak untuk makan siang

langsung menyambut putrinya. Begitu melihat putrinya datang bersama seorang cowok, ia agak kaget. Ayahnya pun keluar dari kamarnya bersama Haris. Mereka berdua juga sama terkejutnya.

"Ma, Yah, jangan kaget gitu dong. Sini, Ira kenalin." Ira mengajak

Nicky mendekat ke kedua orangtuanya. "Nicky, ini mamaku. Dan

ini ayahku." Ira menatap kedua orangtuanya. "Ma, Yah, ini Nicky

Rendra."

"Siang, Om, Tante." Nicky menyalami kedua orangtua Ira.

"Wah, senang sekali Nak Nicky mau mampir ke sini. Maaf kalau

rumah Ira agak berantakan dan kecil." Mama Ira tertawa kecil.

"Mari, Dik Nicky. Silakan duduk! Tidak usah sungkan. Anggap

saja rumah sendiri," kata ayah Ira.

"Makasih Om, Tante. Nicky juga senang kalau Tante dan Om

menyambut Nicky baik seperti ini." Nicky tersenyum.

"Kami tinggal dulu ya." Mama Ira kemudian pergi meninggalkan

Ira dan Nicky berdua. Sementara ayah Ira ke kamarnya mengajak

Haris.

"Tunggu, aku belum dikenalin sama pacar Mbak," seru Haris

men?dekat. Kata-katanya barusan membuat Ira kaget bukan main.

"Pacar?" tanya Nicky.

"Haris!" seru Ira. "Sory, Ky, ini Haris, adikku."

"Halo. Nicky."

"Haris, Mas," jawab Haris. "Pacarnya Mbak Ira, kan?"

"Haris!" tegur Ira lagi. Tapi tidak dihiraukan oleh bocah itu.

Nicky tersenyum. "Bukan. Kami temenan."

"Hm... nanti dari temen bisa jadi demen loh!" kata Haris lagi,

membuat Ira geram. Tapi Nicky justru tertawa.

"Sudah masuk sana!" suruh Ira.

"Haris...," panggil Ayah dari dalam kamar.

"Iya, Yah!" sahut Haris kemudian pergi, namun sempat iseng

mencubit pinggang Ira.

"Aduh! Ih dasar!" kesal Ira.

Nicky tertawa, kemudian duduk bersama Ira di sofa yang sama.

"Orangtua kamu baik, adik kamu juga lucu."

"Orangtua aku emang baik. Tapi kalau Haris, jangan kamu puji

begitu. Bisa besar kepala nanti dia."

"Hahaha...."

"Kamu mau minum apa?"

"Apa aja."

"Kamu tunggu di sini. Aku sekalian ganti baju ya? Panas."

"He-eh."

Ira bangkit dan masuk ke kamarnya, duduk di pinggir ranjang

dan termenung, memikirkan Nico. Tak lama ia segera menepis

lamunannya, teringat pada tamunya di ruang tamu.

Ira kembali dengan segelas sirup untuk Nicky. Kini ia mencoba

untuk lebih ceria. "Maaf ya, lama."

"Nggak apa-apa kok. Kamu udah lebih tenang?"

Ira mengangguk. "Oh iya, kamu tadi belum jawab pertanyaanku.

Kamu kok bisa ada di stasiun tadi?"

"Tadi waktu aku telepon kamu, aku dengar suara kereta. Untuk

memastikan kamu di mana, aku telepon ke rumah kamu. Mama

kamu bilang kamu ke Gambir."

"Oh." Ira mengangguk-angguk. "Oh iya, ini majalahnya. Udah

terbit." Ira memberikan majalah sekolahnya pada Nicky.

Nicky melihatnya dengan saksama, lalu membuka lembaran demi

lembaran, dan berhenti di rubrik profil artis. Ia tersenyum.

"Kamu suka?" tanya Ira pada Nicky yang begitu serius memandang gambar dirinya.

"Aku suka. Malah aku seneng banget fotoku yang belum mandi

ini terlihat lebih baik."

"Apa kamu bilang? Belum mandi?" Ia tak menyangka waktu itu

Nicky belum mandi. Ira tertawa geli tak percaya.

"Iya. Aku kan baru bangun tidur..."

"Ya ampun!"

"Tapi masih tetep ganteng, kan?"

"Hah? Ternyata seorang Nicky Rendra..."

"Ssst diem-diem aja! Ini rahasia kita, oke?" Nicky terkekeh,

membuat Ira geli dan tertawa. Wajah Nicky terlihat lucu, benarbenar membuatnya semakin terpikat.

"Kenapa beberapa hari yang lalu teleponku nggak pernah diangkat?" tanya Ira.

"Aku lagi syuting di Bali. Kebetulan, HP-ku ketinggalan di apartemen. Aku juga nyesel nggak bawa HP."

"Kapan kamu balik dari Bali?"

"Kemarin malam. Maaf ya, aku nggak angkat telepon kamu. Aku

sempat kaget lihat banyak missed call dari kamu di HP-ku.

Ira tersenyum. "Nggak apa-apa. Yang penting aku masih bisa

ketemu kamu" Ira menyandarkan kepalanya di bahu Nicky. Bersama-sama mereka melihat majalah sekolah Ira dan saling memberi

komentar. Sedikit membuatnya lupa akan kesedihan yang baru saja

menyelimuti hatinya.

Diary

Senyum itu meninggalkan kenangan, tinggalkan pula

kesedihan yang tak jua menepi...

Waktu terasa amat lambat membuat hati terasa sepi,

kosong, dan hambar.

Senyum yang kala menghiasi, kini ada jauh dan tak

mampu untuk kutemui...

Yang ada hanya embusan angin

Antarkan sejuta kegelisahan menanti dirinya yang

membawa pergi kebahagiaan

Ira menutup diary-nya dan berbaring, mencoba memejamkan mata.

Sejenak ia melupakan Nico yang terus saja mengusik hatinya, membuatnya kuatir sedang apa cowok itu sekarang. Kemudian Ira terlelap. Malam pun terasa berjalan begitu lambat.

Suatu malam, di bukit yang agak curam, Nico terus mendaki menuju puncak gunung. Udara semakin dingin dan malam semakin

larut. Ini hari kedua untuk Nico dan teman-temannya melanjutkan

pedakian. Mereka sengaja mendaki pada malam hari karena ingin

melihat matahari terbit.

Di sini sangat dingin. Nico berusaha untuk terus mendaki dan

bergerak, karena jika ia diam di tempat, suhu dingin yang mengelilinginya akan sangat terasa menusuk dan membuatnya mati kedingin?an. Dengan semangat, Nico terus mendaki.

"Maju terus, Nico! Matahari menantimu di sana! Dan di kejauhan sana, ada seseorang yang menunggumu, menuntutmu membawakan sesuatu yang bisa membuatnya bahagia!" kata Nico pada dirinya sendiri sambari melawan dinginnya malam.

"Nic, istirahat dulu!" seru Dito memberitahunya. "Lo jangan

terla?lu nafsu gitu! Kita harus mempertimbangkan tenaga juga!"

"Oke!" Nico duduk di atas batu besar bersama Dito. Ia bersama

seluruh tim mengelilingi api unggun kecil yang dibuat oleh pembimbing mereka.

"Nic, lo kok semangat banget sih ngedakinya? Emangnya apa

yang lo kejar?" tanya Dito sambil menenggak air mineralnya.

"Matahari. Dia lagi bersembunyi di balik langit malam. Dia

bilang sama gue, bahwa gue harus segera sampai puncak kalau mau

lihat kecantikannya."

"Jiah... puitis banget lo," ledek Dito.

Nico tersenyum menantap langit malam. Gue harus berusaha!

Demi matahari dan kecantikannya. Juga demi senyumnya, batin

Nico.

DA kabar gembira, teman-teman!" seru Bayu saat Klub Jurnalistik sudah dipenuhi oleh anggota-anggotanya. "Majalah kita laku

keras!" teriaknya dan disambut tepuk tangan meriah.

"Bahkan tim humas ngasih laporan, banyak yang bilang majalah

kita keren banget! Selain itu, para pembaca suka dengan rubrik

baru kita!" tambah Bayu.

Ira tersenyum senang saat bayu menatapnya. "Terima kasih atas

ker?ja keras kamu, Ra," seru Bayu.

"Sama-sama, Kak. Rubrik profil artis nggak akan pernah ada

kalau Rani nggak mengusulkannya ke saya," jelas Ira.

"Terima kasih juga buat Rani," tambah Bayu.

"Sama-sama, Bay," sahut Rani.

Ira melihat sekelilingnya. Semua orang tertawa menyambut ke?menangan mereka. Hasil yang memuaskan. Sebagai murid kelas

sepuluh, ia bangga bisa mewujudkan impian anak-anak Klub

Jurnalis?tik yang ingin dikenal dan dihargai oleh pembaca, khususnya

siswa-siswi SMA Lokardatika.

Namun, tak sepenuhnya Ira bahagia. Sedikit rasa sepi mengham?piri. Itu karena seseorang membuat kursi di sebelahnya kosong,

juga hati dan hari-harinya. Padahal Ira masih mengharapkan ajakan

Nico untuk makan-makan. Saat itu, waktunya kurang tepat. Tapi

Ira yakin, kalau Nico ada di sini dan mengajaknya sekarang, ia pasti

akan menerimanya.

Majalah kita laku keras, Nic... Ira tersenyum seraya membatin.

Kalau dihitung-hitung, ini sudah hari kelima sejak Nico naik gunung bersama Klub Pencinta Alam-nya. Ira ingin sekali menghubungi Nico. Tapi sepertinya hal itu tak mungkin dilakukan. Selama

mendaki, tak ada yang boleh berkomunikasi dengan keluarga ataupun teman selain anggota Klub Pencinta Alam. Lagi pula, belum

tentu juga ada sinyal.

Sungguh sadis ekskul yang satu ini. Untung Ira nggak ikut gabung. Ia nggak terlalu suka capek. Meskipun sebenarnya ia suka

sekali dengan jalan-jalan dan pemandangan.

Sebenarnya Ira sedikit tertekan dengan perasaan yang mengusik

hatinya itu. Perasaannya terhadap Nico semakin besar. Namun

hampir setahun mengenal cowok itu, Ira juga tak bisa menebak,

apakah dia akan membalas perasaan Ira atau tidak.

Ira sedih. Hatinya seperti tersayat saat menyadari Nico belum

menjadi miliknya. Sikap yang selama ini Nico tunjukkan sedikit

mem?buat Ira berpikir cowok itu merespons perasaannya. Tapi Ira

nggak mau kegeeran. Takut kalau suatu hari dugaannya salah dan

hal itu akan menambah rasa sakit di hatinya.

Nico selalu bersikap baik. Semakin hari dia semakin perhatian,

dan semakin hari Ira semakin menyukainya. Walau terkadang terselip perih di dadanya ketika melihat Nico dikelilingi cewek-cewek.

Mungkin karena sifat cowok itu yang asyik diajak ngobrol dan mudah bergaul.

Ira jadi teringat pada malam perkumpulan klub. Kenangan itu

terus berputar dalam benaknya. Dan hanya itulah satu-satunya obat

yang bisa mengembalikan senyum Ira saat sedih.

Ira sadar Nico sudah tahu perasaannya. Lalu, apa lagi yang Nico

tunggu? Atau jangan-jangan dia memang tidak menyukai Ira, makanya selama ini dia diam sajaPerlahan Ira pun menyadari, dirinya hanya gadis biasa, bukan

malai?kat atau manusia sempurna. Ia bisa merasa lelah. Bahkan ia

bisa menangis karena tidak bisa menahan perih yang teramat dalam

di hatinya. Mungkin ini waktu yang tepat untuk meninggalkan se?mua itu. Sudah waktunya Ira melupakan Nico pelan-pelan. Meskipun susah, setidaknya ia harus mencoba. Ira berharap usahanya ini

berhasil dan ia terbebas dari semua hal tentang Nico.

Tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Ira hampir

saja jatuh karena kaget. Untungnya, ia cepat tersadar dari lamunan.

Ia melihat seseorang turun dari mobil itu. Saat melihatnya, Ira menyam?but dengan senyuman.

"Aku telat ya? Maaf...," ujar Nicky.

Ira hanya tersenyum, tak memedulikan kata-kata Nicky. Toh ia

memang nggak bisa marah sama cowok yang satu ini.

"Nggak apa-apa. Aku juga baru keluar kelas kok," balas Ira.

"Hari ini nggak ada rapat klub?"

"Nggak ada." Ira memperhatikan Nicky dari atas sampai bawah

sambil cekikikan. "Kamu lucu deh pas pakai kumis." Ira terkikik

geli.

Nicky menyamar untuk datang menjemput Ira sepulang sekolah.

De?ngan kumis tipis di atas bibir, juga topi fedora, membuatnya

terlihat seperti detektif.

"Tapi ganteng nggak?"

"Ya pasti dong!" Ira mencubit kedua pipi Nicky dan tersenyum.

"Duh Ira, mesra banget," komentar Rama yang tiba-tiba muncul.

Mem?buat Ira jadi gugup dan menjauhkan tangannya dari pipi

Nicky. "Dijemput?" tanyanya.

"Hmm... i-iya," jawab Ira gugup, malu-malu.

"Kenalin dong," ledek Rama sambil menyenggol tangan Ira

pelan.
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh iya. Maaf... gue lupa." Ira menatap Nicky yang mencoba

menutupi wajahnya. Takut penyamarannya ketahuan karena ia merasa banyak orang mulai memandanginya. "Ky, ini Rama, teman klub

aku."

"Rama." Rama menyambut tangan Nicky. "Nicky Rendra, kan?"

ucap Rama berbisik.

Nicky dan Ira spontan melotot. "Ssst, Ram, jangan ngomongngomong ya," pinta Ira.

"Ngomong ke siapa? Nico?" tanya Rama balas beribisik.

Ira kaget. "Kok Nico?"

"Tenang aja. Gue nggak akan kasih tahu siapa-siapa kok. Duluan, ya," pamit Rama kemudian pergi.

Ira masih syok mendengar Rama menyebut nama Nico. Duh...

jadi ingat lagi, gumamnya dalam hati.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Nicky. Ira menggeleng. "Yuk, pulang?"

"Tunggu! Kita makan dulu yuk? Aku lapar nih..."

"Oh, ya udah." Nicky membukakan pintu mobil untuk Ira. Dan

di belakang kemudinya, Nicky siap mengantar Ira ke tempat ma?kan. "Kita mau makan di mana?"

"Aku kangen sama baksonya Pak Dodo. Kita ke sana sekarang

ya?"

"Pak Dodo?" tanya Nicky bingung. Tapi ia menurut saja.

Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit, akhirnya

Ira dan Nicky sampai di tempat penjual bakso yang mangkal di

pinggir jalan. Karena agak ramai, Nicky yang tadinya menurut saja,

jadi berubah pikiran. Ira mencoba meyakinkan Nicky bahwa tak

akan ada orang yang mengenalinya. Akhirnya, Nicky dan Ira makan

di sana.

Sambil sesekali bercuap-cuap atau sekadar ngejayus nggak jelas,

bakso dalam mangkuk masing-masing pun habis. Hari semakin

sore, tapi Ira tak juga ingin beranjak pulang. Rasanya ngobrol dengan Nicky kali ini membuatnya ingin berlama-lama.

"Hmm... kamu syuting lagi besok, Ky?" tanya Ira mengganti to?pik pembicaraan.

"Iya. Hari ini aku emang lagi free, makanya bisa jemput kamu."

"Aku nonton FTV kamu yang berlatar di pantai Bali loh."

"Oh ya? Terus menurut kamu gimana?"

"Aku suka jalan ceritanya. Akting kamu makin bagus, Ky."

Nicky tersenyum. "FTV yang ini ditonton juga ya nanti?"

"Judul yang sekarang apa?"

"Kasih Tak Sampai. Kali ini jalan ceritanya agak melodramatis,

sedi?kit mengumbar air mata. Hehe... padahal aku paling susah kalau disuruh nangis."

Jawaban Nicky kembali membuat Ira teringat Nico. Kasih Tak

Sampai? Seperti apa jalan ceritanya? Apa iya seperti dirinya yang

menyukai NicoNicky tampak bingung. Ia melihat Ira yang terdiam memandang

gelas kosong. Apa yang lagi Ira pikirin? Apa dia udah menduga

kalau hari ini aku bakal menyatakan semuanya. Apa dia nunggu aku

jujur? batinnya. Ia melihat Ira lagi lekat-lekat. Sejenak kemudian ia

berdeham, mengatur suara dan napasnya. "Ra, kamu mau nggak

jadi pacarku?"

Ira samar-samar mendengar suara Nicky. "Iya?" Ira kembali sadar

dari lamunannya.

"Kenapa sih kamu membuat aku harus mengulang kalimat itu

dua kali?" gumamnya.

"Kamu ngomong apa tadi?" Ira bertanya lagi.

Nicky kembali berdeham. "Kamu mau nggak jadi pacarku?"

ulangnya sambil menatap tajam mata Ira.

"Hhhh...haaah?" Ira tercekat dan lemas. Setelah berhasil mengatasi kekagetannya, senyumnya yang malu-malu mulai mengembang.

Ia menarik napas panjang sambil menggaruk kepalanya yang nggak

gatal. Bingung, senang, kaget, sekarang semuanya campur aduk. Ia

pasti bermimpi. "Kamu bercanda, kan?"

Nicky tertawa kecil. Tangannya meraih jemari Ira, lalu mengecupnya hangat.

Mati gue... batin Ira tegang, dan lupa lamunannya tentang

Nico.

"Wuaaa..." Ira berteriak senang di kasurnya. Wajahnya yang tertutup bantal membuat suaranya tak terdengar keras sampai ke luar

kamar. Kemudian ia loncat-loncat di atas kasur sambil terus berteriak senang.

BRUK!

Ira akhirnya menjatuhkan tubuhnya dan berbaring. Tangannya

terentang lebar. Ia menarik napas, mencoba mengatur emosinya.

"Gue... jadian. Sama artisss..." Ira tertawa lagi. "Ah... gue bener-bener nggak nyangka! Gue nggak mimpi, kan?" Ira mencubit pipinya.

Sakit! "Tuh... nggak mimpi...!"

Akhirnya kesampain juga apa yang diinginkannya selama ini.

Bisa bertemu dan dekat dengan Nicky, lalu sekarang ia jadi pacar

Nicky. Momen ini benar-benar tak pernah ia duga dalam hidupnya.

Rapat-rapat, masih ia menyembunyikan kebahagiaan itu dari siapa

pun. Termasuk orangtuanya. Ira belum siap kalau harus memberitahu mereka sekarang.

Kini hari-hari Ira selalu ditemani Nicky. Meskipun sibuk, Nicky

me?nyempatkan waktu untuk bertemu Ira walau sekadar menjemput

Ira sepulang sekolah, lalu balik lagi ke lokasi syuting.

Siang ini Nicky memiliki waktu agak lama untuk break syuting.

Ia menyempatkan menjemput Ira dan mengajaknya ngobrol di ta?man sebentar. Baru beberapa hari tak bertemu kekasihnya, Ira merasa kangen sekali.

"Jadi, kamu ngefans berat sama aku sebelum kita ketemu?" tanya

Nicky yang duduk di kursi taman di sebelah Ira.

"Iya, Ky. Sejak pertama kali aku lihat kamu di sinetron pertamamu, aku langsung jatuh cinta sama kamu."

"Huuu... gombal!" ledek Nicky. Tangan Nicky terus menggenggam tangan Ira. Keduanya sama-sama tak ingin melepaskan.

"Habis kamu imut sih, Ky, makanya aku suka banget sama

kamu." Ira menyandarkan kepalanya di bahu cowok itu.

"Emang imut dari dulu kali...," bangga Nicky.

"Ih, dasar pede banget!"

"Buktinya kamu suka, kan?"

Ira tersenyum malu. Nicky benar-benar membuatnya salting. Bingung mau menjawab apa.

"Aku juga nggak tahu, Ra, kenapa bisa sesayang ini sama

kamu."

Ira mengangkat wajahnya, lalu menatap Nicky lekat-lekat. "Ini...

bukan kata-kata dalam skenario, kan?"

"Ya bukan lah! Aku tulus ngomong begini. Kenapa? Kamu takut

aku cuma main-main sama kamu?"

Ira mengangguk. "Ya pastilah, Ky. Masalahnya, kamu ini bukan

orang biasa. Kadang aku masih nggak percaya sama apa yang aku

alami sekarang. Rasanya ajaib."

"Emangnya aku tukang sihir," celetuk Nicky.

"Hehe... Aku harap, kamu pacaran sama aku bukan untuk kamu

jadikan pelampiasan semata karena kamu baru putus dari

Emilya."

"Hahaha..." Nicky tertawa. "Dasar anak SMA." Nicky menjitak

kepala Ira pelan, lalu mengelusnya lembut. "Aku nggak mungkin

tega nyakitin cewek sebaik dan sepolos kamu, Ra. Aku bukan tipe

cowok macam itu. Lagi pula, nggak semua artis berpikiran picik

be?gitu."

"Aku harap begitu." Ira tersenyum mendengar kata-kata Nicky,

se?perti membawanya terbang ke langit. Senyum Ira semakin merekah saat bibir Nicky mendarat di keningnya. Seketika jantung Ira

berdegup kencang. Darahnya seolah-olah berhenti mengalir. Dan ia

tak bisa berpikir apa-apa. Mereka jadi canggung. Sejenak kemudian

Nicky berusaha mencairkan kembali suasana.

"Kita nonton yuk!" ajak Nicky.

Ajakan Nicky untuk nonton ke bioskop pun diterima Ira. Sesampainya di mal, ia tak berani jalan jauh-jauh dari Nicky. Tangannya terus digandeng Nicky. Ia jadi salah tingkah saat semua orang mulai

menatap ke arah mereka. Ira jadi minder karena yang ada di sebelahnya adalah artis keren, terkenal pula. Mungkin semua orang

akan berpikir bahwa Nicky sudah frustrasi dan berpindah selera

sejak putus dari Emilya.

Emilya... Eh? batin Ira.

Iya, bener. Emilya... Cewek itu! Artis cantik itu! Mantan pacar

Nicky! Gimana kalau dia ada di sini dan melihat Nicky jalan sama

gue? Gandengan kayak sekarang... Mungkin Emilya bakal marah-ma?103

rah sama gue, ngejek-ngejek gue, caci maki gue, jambak rambut gue,

haaahhh... Tapi, apa iya sehina itu diri gue, sampai-sampai Emilya

ba?kal berbuat begitu? Ira makin gusar.

"Oh iya, Mil, kamu mau nonton apa?"

Seketika Ira melotot ke arah Nicky yang masih asyik melihat

daf?tar film. Ira yakin betul pendengarannya tidak salah. Atau Ira

memang salah dengar? Tapi nggak mungkin... Ira berani bersumpah

Nicky baru saja memanggilnya "Mil". "Ra" sama "Mil" kan beda

jauh!

"Kamu kok bengong sih?" tanya Nicky lagi sambil merangkul

Ira.

Ira menatap Nicky takut-takut. "Mungkin nggak sepantasnya

aku marah. Nggak seharusnya aku lakukan. Tapi... salah nggak,

kalau aku sedih saat mendengar kamu manggil aku ?Mil??" Kini Ira

menatap Nicky yang berubah pucat. Senyumnya hilang.

"Apa... aku bilang begitu?" tanya Nicky.

Ira tersenyum. Berusaha tetap tegar. Tapi rasanya sulit sekali. Ia

menjauhkan tangan Nicky yang masih merangkulnya mesra. "Ky,

sebaiknya kita pulang saja." Ira jadi nggak minat nonton film.

"Kamu marah sama aku?" tanya Nicky tapi Ira diam. "Aku minta

maaf, Ra... Kalau emang aku bilang begitu... Aku nggak bermak..."

"Aku mau pulang, Ky!" Ira ngotot. Kesabarannya tiba-tiba lenyap.

Emosinya justru meluap. Ia membatin, kalau sampai kamu masih

merengek minta maaf dan berusaha untuk jelasin kenapa nama

Emilya yang kamu sebut, aku akan pulang sendiri, Ky!

"Oke-oke, kita pulang."

Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir, Ira merasakan dadanya sesak. Ia menahan tangis sekuat hati. Baru tiga hari menjadi

pacar Nicky, tapi masalah sudah menimpanya. Sekarang ia jadi tak

yakin bahwa Nicky sudah melupakan Emilya dan bahwa hanya

dirinya yang seutuhnya mengisi hari-hari Nicky.

Ira yang murung tiba-tiba kaget saat sejumlah wartawan menghampiri mereka. Bagai semut yang mengerubungi makanan manis.

Jalan mereka pun terhalang dengan jutaan sapa dan pertanyaan.

Para wartawan penasaran dengan gadis yang ada di belakang

Nicky, mencoba berlindung dan menyembunyikan wajahnya yang

tak siap dan memang tak mau disorot kamera. Nicky pun menggandeng tangan Ira, takut cewek itu kenapa-kenapa.

"Permisi... Aku mau lewat!" seru Nicky sambil berjalan pelanpelan. Walaupun para wartawan menyebalkan itu terus menghalangi

langkahnya.

"Mas Nicky, kasih tahu dong namanya?"

"Pacar baru ya, Mas?"

"Namanya siapa, Mas?"

"Sudah berapa lama pacarannya, Mas?"

"Artis juga, Mas? Teman kuliah?"

Berbagai pertanyaan terus menghujani Nicky. Ira pun sadar dirinya membuat para wartawan itu penasaran.

"Mas, beneran udah putus dari Emilya?"

Nicky diam saja. Ira mulai kesal. Minggir, wartawan-wartawan

rese, batin Ira kesal.

"Mas Nicky, bener nggak, kalau Mas putus dari Emilya gara-gara

orang ketiga?"

"Hah?" Nicky berhenti. Ira jadi kesal karena Nicky mulai meladeni para wartawan itu. "Itu nggak bener. Aku putus sama Emilya

memang karena sudah nggak cocok. Sudah ya! Lagi buru-buru

nih...." Nicky berjalan lagi, menarik tangan Ira.

"Terus ini siapa, Mas?"

Nicky menatap Ira yang mencoba ramah pada wartawan yang

terlan?jur menyorot wajah manisnya. Ira mendengus sebal, ini udah

risiko gue pacaran sama Nicky, harus sabar....

"Namanya Ira. Sudah ya." Nicky segera menjauh dari kerumunan

wartawan. Tangan Ira masih dalam gandengannya. "Kamu nggak

apa-apa?" tanyanya.

Ira menggeleng tak bersuara. Meskipun sudah terbebas dari

wartawan, entah mengapa hati Ira tetap sesak. Ira menoleh ke belakang, para wartawan masih memotret mereka. Dilihatnya beberapa

dari wartawan itu kurang puas dengan jawaban Nicky.

"Maaf ya," ucap Nicky, takut Ira akan tambah marah padanya.

Ira menatap Nicky dan tersenyum kecil lalu menunduk. Menyembunyikan air matanya yang mulai menggenang. Ia merasa sangat

bodoh karena harus secengeng ini.
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pukul 10.00, Stasiun Gambir.

ERETA jurusan Malang-Jakarta akhirnya tiba juga. Sejak jam

08.00, Ira duduk menunggu di kursi tunggu stasiun. Akhirnya seseorang yang ditunggu-tunggu datang juga.

Sejak tadi matanya mencari-cari seseorang. Ia melangkah maju

mendekati pintu keluar saat matanya menangkap satu per satu anggota Klub Pencinta Alam SMA Lokardatika.

Senyuman kini mengembang di wajah Ira, menyapa teman-teman seangkatan dan juga kakak kelasnya yang baru sampai Jakarta.

Untung saja kemarin Ira sempat main ke ruang Klub Pencinta

Alam. Tanpa sengaja pertemuannya dengan beberapa anggota yang

tidak ikut ke Malang, membuatnya tahu bahwa hari ini Nico dan

teman-te?mannya pulang mendaki.

Sambil menyapa mereka, Ira menunggu Nico yang tak juga keli?107

hat?an batang hidungnya. Tak lama kemudian, ia pun menemukan

sosok Nico yang baru keluar dan terkejut.

"Ira?" seru Nico sambil menurunkan carrier?-nya dari gendongIra tersenyum dan berlari ke arah cowok itu dan memeluknya

erat. Nico mengangkatnya berputar-putar seperti adegan mesra di

FTV.

"Kamu jemput aku?" tanya Nico.

Ira mengangguk. "Iya." Senyumnya terus mengembang. Ia menatap Nico tiada henti. "Aaaahhh... kamu masih sama seperti yang

terakhir kali aku lihat."

"Iya dong!" Nico memeluk Ira sekali lagi. Begitu erat. Meskipun

awal?nya Ira kaget, tapi kemudian pelukan itu ia sambut hangat.

"Kangen sama kamu, Ra!" bisik Nico.

Ira mendelik. Tangannya masih memeluk Nico. "Sa...sama kok."

Senyumnya mengembang lagi diam-diam. Ia makin bingung saat

Nico tak juga melepas pelukannya. Namun, tak bisa Ira pungkiri

bahwa rasa nyaman dan bahagia menghampirinya.

Ruang Klub Jurnalistik. Pukul 15.35.

Semenjak pulang dari pendakian, ada sedikit perubahan dalam diri

Nico. Itulah yang dirasakan Ira sekarang. Awalnya, Ira bingung dan

merasa aneh. Hatinya bertanya-tanya, ada apa dengan cowok ituMeng?apa Nico jadi lebih memperhatikannya. Bahkan, sekarang

Nico mulai sering bertukar cerita dengannya, dari hal yang penting

hingga yang biasa saja. Terkadang Nico mengajak Ira pulang bersa?ma naik motor bebeknya jika ada waktu luang, atau sekadar mentraktirnya makan es krim dan bakso di pinggir jalan. Ada hal yang

paling mengherankan, kini Nico berubah menjadi rajin mengerjakan

tu?gasnya sebagai reporter dan membantu Ira menyelesaikan berbagai artikel.

Ira tersenyum dalam hati melihat perubahan itu. Baguslah, kalau

begitu, Ira tak perlu merasa kelelahan dikejar deadline sendirian.

Harus Ira akui, kini ia baru merasakan bahwa mereka berdua partner yang baik. Semoga saja perubahan ini akan terus berlanjut.

Meskipun Ira agak takut perasaannya pada Nico tumbuh lagi.

"Hayo, ngelamun aja!" Nico mengibaskan telapak tangan di de?pan

wajah Ira yang terdiam. Ira jadi tergagap. "Ngelamunin apa nih...?"

"Maaf...," Ira tersenyum. Nico duduk di sebelahnya seperti biasa.

Teman-teman yang lain sudah menempati posisinya, mempersiapkan

diri untuk rapat. "Apa itu yang ada di tangan kamu?"

"Oh iya...." Nico memberikan lembaran artikel pada Ira. "Nih,

aku nulis artikel tentang perjalananku bareng Klub Pencinta Alam

kemarin. Kamu harus baca. Ceritanya beda dari pendakian yang

kema?rin-kemarin. Kali ini aku nulisnya sungguh-sungguh, Ra!"

"Bedanya apa? Berarti kemarin-kemarin kamu nggak sungguhsungguh nulis artikel untuk majalah kita?" tanya Ira balik.

"Yah... nggak begitu maksudnya. Kemarin-kemarin kan emang

kamu terus yang ngerjain."

"Hahaha... sadar juga kamu! Bedanya di mana, Nic?"

"Bedanya, saat perjalanan kemarin kami bisa-bisanya kekurangan

bahan makanan, Ra! Pendakian juga nggak sesuai dengan rencana

kegiatan. Wah... pokoknya hancur deh!"

"Terus, kalian makan apa di sana?"

"Berkat ilmu survival yang sering kali diajarkan pada saat materi,

akhirnya kami mempraktikkannya. Ya, kami makan apa aja yang

bisa di makan di sana. Apalagi kalau bukan daun-daunan, lumut,

katak, larva kumbang, belalang...," cerita Nico semangat.

"Iiihh...." Cerita Nico terdengar begitu menjijikan. "Terus?"

"Rencana kegiatan anak Klub PA kan mau pengenalan alam un?tuk anak kelas sepuluh. Tapi nggak jadi karena melihat cuaca buruk

dan hujan gede. Tenda aja berkali-kali dipasang. Mau nggak mau,

kami semua kehujanan pas mendirikan tenda."

"Hah? Serius? Serem banget! Di gunung dingin, kan?"

"Dingin banget! Walaupun hujan gede, pendakian menuju puncak tetap dilanjutkan kok, tapi setelah cuaca membaik. Pokoknya

kita semua nggak ada yang mau ketinggalan untuk lihat matahari

te?rbit. Akhirnya kesampaian juga dengan perjuangan panjang. Tahu

nggak apa yang kami rasakan saat sampai puncak dan lihat

sunrise?"

Ira menggeleng, semakin penasaran.

"Yang namanya capek, lapar, haus, semuanya hilang! Nggak tera?sa sama sekali karena kami puas banget melihat pemandangan yang

tiada duanya itu, Ra! Tapi..." Nico menahan ceritanya.

"Tapi apa?"

"Begitu turun puncak, beberapa jatuh sakit." Ira serius mendengarkan cerita Nico di bagian terakhir itu. "Baru deh kami merasakan yang namanya perut melilit, masuk angin, kedinginan, aaah...

banyak deh!"

"Penuh perjuangan ya?" kagum Ira sambil menatap Nico.

"Pemandangan itu cantik luar biasa, Ra. Saking menakjubkannya,

matahari yang aku lihat kemarin bener-bener nggak bisa kulukiskan

dengan kata-kata. Cantik banget, Ra."

Ira menatap Nico yang tengah mengingat-ingat pendakiannya

tempo hari. Ia bangga sekali pada cowok itu yang bisa menuliskan

penga?lamannya mendaki untuk artikel majalah Klub Jurnalistik.

Pada?hal selama ini, Nico paling malas datang rapat, apalagi menulis

artikel. Kalau bukan Ira yang memaksa datang, siapa lagi? Posisi

Nico juga sempat terancam. Dia yang sering absen membuat Bayu

ingin mengeluarkan Nico dari klub. Termasuk sore ini. Bayu yang

me?mimpin rapat rutin berniat membuat keputusan untuk mengeluarkan Nico. Lagi-lagi, Ira yang membantu dan membela.

"Kak Bayu, mungkin Nico emang jarang kerja dan datang rapat.

Tapi, paling tidak, kita lihat juga sisi baik Nico. Dia punya kemampuan bicara yang sangat baik sebagai reporter. Dia juga mampu

menguasai suasana rapat yang kacau. Ayolah, Kak... Mungkin dia

butuh gertakan dan ketegasan saja. Urusan Nico biar jadi tanggung

jawab saya sebagai sesama tim reporter. Bagaimana?" Rupanya ucapan Ira berhasil meyakinkan Bayu dan urung mengeluarkan Nico

dari klub. Ira senang jika kehadirannya berguna bagi orang lain. Ia

hanya berharap, suatu hari Nico mampu menjadi lebih baik.

Artikel Nico pun sudah dibaca Ira dan Rama. Dengan senang

dan bangga pada Nico, Rama memberi judul pada artikel itu, "Perjuangan di Gunung Semeru".

"Semangat banget sih tadi ceritanya? Sampai muncrat-muncrat

gitu...," ledek Ira setelah Nico memarkirkan motornya di halaman

warnet. Mereka berencana mem-browsing beberapa sumber sebagai

bahan membuat artikel lainnya.

"Weits, enak aja! Namanya juga lagi bahagia bisa nulis untuk

majalah." Nico terkekeh. "Hei, selama aku nggak ada, kamu kesepian nggak?"

"Hahaha...," Ira tertawa. "Ngaco kamu! Aku pikir setelah tinggal

di gunung beberapa hari, kepedean kamu ikutan ilang..."

"Hehe... Aku pikir kamu kesepian, gitu..."

"Udah dong, Nic, dari tadi masalah kesepian mulu." Ira jadi

salah tingkah.

"Kamu tahu nggak, Ra? Waktu sakit di gunung kemarin, rasanya

aku udah mau nyerah aja. Nggak kuat!"

"Hush! Jangan ngomong begitu!"

"Kenapa? Kamu takut aku mati sekarang?"

"Nico...," Ira mulai gemas dan berancang-ancang akan menonjok

cowok itu jika masih terus meledeknya.

"Hehehe... Ampun deh!"

Ira mendelik. "Terus kenapa kamu bisa sembuh? Dikasih obat

pakai daun-daun yang ada di sana ya?"

"Hm... nggak juga sih. Selain berdoa minta pertolongan, aku juga

berusaha untuk selalu ingat ka..."

Drrrttt... Drrrttt... Kauhancurkan aku dengan sikapmu... Drrtt...

Drrtt... Tak sadarkah kau telah menyakitiku... Drrrtt... Drrtt... Lelah

hati ini meyakinkanmu... Drrtt... Cinta ini membunuhku... Drrtt...

Tiba-tiba saja handphone Ira berdering. Ringtone lagu d?Masiv

membuat ucapan Nico tertahan sementara.

Ira melihat nama Andin di layar handphone-nya. "Bentar, Nic.

Dari Andin."

"Aku masuk ke warnet duluan deh, kalau begitu," pamit Nico.

"Oh, ya udah." Ira mengangkat telepon dari Andin. "Halo,

Ndin...."

"Ra. Di mana lo?"

"Lagi di depan warnet ujung jalan nih. Kenapa?"

"Ra, lu jadian sama Nicky Rendra?" Seketika pertanyaan itu

membuat lehernya tercekik. Ira benar-benar syok mendengarnya.

Dari mana Andin tahu tentang hubungannya dengan Nicky? Rasanya sampai hari ini ia belum menceritakannya pada siapa pun.

Termasuk orangtuanya.

"Haha..." Suara tawa Ira terdengar agak memaksa. "Ngaco lo...

Kata siapa emangnya?" Keringat dingin mulai membanjiri tubuh

Ira.

"Gue lihat sendiri dengan mata kepala gue, Ra. Lo jadian sama

Nicky, gandengan, mesra!"

"Lihat di mana?"

"Iraaa... Iraaa... Lo pasti kaget banget kalau lihat wajah lo sekarang di-close up di infotainment kesukaan kakak gue!"

"APA?" Kali ini Ira benar-benar merasa tercekik lehernya. Jantungnya langsung berdetak dua kali lebih cepat. Bukan. Tiga kali,

empat kali, lima kali. Sepuluh kali! Kaki Ira gemetaran. Ia duduk

di kursi panjang di depan warnet.

"Lo lagi sembunyi di belakang Nicky, Ra. Wartawan terus aja

maksa supaya Nicky jawab siapa nama lo. Halo? Ra, lo masih dengerin gue, kan?"

"Y-ya... m-masih...," Ira tercekat. Bingung. Kaget. Campur aduk.

Lidahnya pun kelu. Otaknya tak mampu berpikir apa-apa. Mulutnya tak bersuara.

"Ra? Lo kok diem aja sih?"

Ira tak menjawab tanya Andin.

"Ra?" panggil Andin lagi. "IRA!" bentaknya keras.

"So-sori... Din, Nico manggil gue nih. Dadah..."

"Nico? Lo lagi sama dia?"

"Udah ya." Klik. Ira memutus telepon.

Ira masuk ke warnet dan duduk di kursi kosong yang dipesan

Nico. Ira masih tak bersuara, masih kaget.

Kegelisahan terus saja berputar di benaknya, membuat konsentrasinya untuk mencari bahan majalah jadi buyar. Ia linglung karena

sekarang dirinya ada di TV, ditonton oleh banyak orang.

Kira-kira berita apa yang diangkat para wartawan menyebalkan itu

ya? tanya hati Ira.

Ira membuka situs Yahoo dan mengecek emailnya. Ada beberapa

pesan baru yang belum ia baca. Semuanya dari Nicky.

From: kiky_aldyano@ymail.com

To: alveira@yahoo.com

Subject: jadwal syuting gila-gilaan

Minggu ini aku mulai syuting lagi, tapi untuk sinetron terbaruku.

Mungkin sekitar dua atau tiga bulan lagi tayang di TV. Aku takut, Ra.

Takut kesibukanku menyita waktu untuk ketemu kamu. Pasti aku bakal

sibuk banget dan nggak ada waktu untuk ketemu kamu. Tadinya aku

mau nolak tawaran sinetron ini, tapi... kayaknya sayang. Aku kan udah

lama nggak main sinetron.

Ra, aku akan usahain untuk telepon kamu kalau lagi break. Walaupun

cuma bentar, gak apa-apa yaAku kangen banget sama kamu, Ra.

Ira membuka pesan Nicky yang lain.

From: kiky_aldyano@ymail.com

To: alveira@yahoo.com

Subject: jadwal syuting gila-gilaan

Laptop selalu aku bawa kalau syuting, Ra. Habis... nggak sempat

kalau harus pulang ke rumah. Udah tiga hari aku tidur di mobil. Sedih

deh... Oh iya, kalau nanti ada waktu ketemu kamu, aku mau ajak

kamu ketemu Mama.
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sayang kamu.

Ira membuka pesan yang lain. Lagi dan lagi. Isinya tak jauh

beda. Jujur, Ira merindukan kekasihnya yang supersibuk itu. Tapi

ia nggak tahu harus membalas apa. Ia bingung mau menulis apa di

ba?dan ? email. Di kepalanya hanya ada berita dari Andin. Jika ia

menceritakan hal ini lewat email, rasanya percuma.

"Aduh... Kepalaku pusing...," rintih Ira.

Keesokan harinya, yang bisa Ira lakukan hanya menunduk saat berjalan memasuki area sekolahnya sendiri. Mendadak seluruh warga

SMA Lokardatika menjadikan ia selebritis. Semua mata memandanginya. Tak heran bila banyak sekali yang bergosip di belakangnya, mengolok-olok mungkin. Pasti para fans Nicky Rendra kecewa

dan siap membunuh Ira kapan saja.

Kemarin malam, Ira sempat nonton TV di kamarnya. Sekitar

jam sepuluh lewat, tanpa sengaja ia menemukan program

infotainment khusus malam hari. Betapa terkejutnya dia saat melihat

dirinya benar-benar masuk TV.

Wajah pucat pasi itu... senyum terpaksa itu... keadaan terusik

itu... masih bisa ia rasakan dengan jelas. Ira melihat dirinya yang

bersembunyi di belakang Nicky. Tak ingin sedikit pun wajahnya

disorot kamera. Tangannya juga terus tersemat dalam genggaman

Nicky.

Satu hal yang membuat Ira kesal saat melihat tayangan itu, rupanya para wartawan membuat keadaan yang sebenarnya menjadi salah kaprah. Dengan seenaknya mereka mengatakan bahwa Ira adalah orang ketiga penyebab putusnya hubungan Nicky dan Emilya.

Emilya pun sempat dimintai komentar para wartawan mengenai

kedekatan Nicky dengan Ira. Kata-kata yang diluncurkan Emilya

pun "direkam" Ira dengan baik.

"Nicky punya pacar?" tanyanya sambil menatap balik wartawan

yang bertanya padanya. "Oh, bagus dong. Kalau dia bahagia, aku

juga ikut senang kan."

"Mbak Emil nggak cemburu?"

"Aku? Hahaha... nggak kok.... Ngapain aku cemburu? Toh memang itu pilihan Nicky. Aku cuma bisa berdoa, semoga mereka

langgeng."

"Bener nggak, kalau Mbak putus dari Nicky karena orang ketigaApakah ada hubungannya dengan pacar baru Nicky?"

"Aduh... aku nggak mau komentar apa-apa ah. Aku nggak tahumenahu. Nggak mau ikut campur."

"Memang apa alasan Mbak putus dari Mas Nicky?"

"Kami putus baik-baik. Aku sih merasa kami udah nggak ada

kecocok?an lagi. Ya masalah orang ketiga itu mungkin cuma Nicky

yang tahu. Aku nggak tahu apa-apa. Lagi pula, kami putus karena

memang nggak jodoh kali ya... Aku nggak mau mempermasalahkan

hal ini lagi."

Ira terenyuh mendengar pengakuan Emilya, orang yang selama

ini belum pernah ia temui dan sedikit pun tak pernah punya niat

untuk ia ajak bertemu. Ucapan terakhir Emilya benar-benar membuatnya kaget setengah mati. Ira merasa memang ialah penyebab

mereka berdua putus. Dalam suasana dan tempat berbeda, Nicky

juga sempat diwawancarai. Tetapi Nicky hanya tersenyum dan mengatakan bahwa Ira memang pacar barunya, lalu pergi dan tak

ber?komentar apa-apa lagi.

"Ya, Ira memang pacarku. Minta doanya saja, supaya aku sama

dia baik-baik saja. Oke? Sudah ya!" seru Nicky lalu masuk mobil.

Sekilas ingatan tadi malam langsung Ira tepis. Ia tak mau mengingat-ingat lagi. Kata-kata Emilya cukup membuat hatinya teriris.

Ira masuk ke kelasnya. Baru sampai depan pintu, Andin langsung menghampirinya. Apa lagi kalau bukan untuk membahas gosip kemarin"Ra, lo udah nonton gosipnya belum?" tanya Andin berbisik.

"Hm...." Ira duduk di kursinya. "Gue kesel sama Emilya, mantannya Nicky!"

"Dia kenapa?"

"Semalam gue lihat dia lagi diwawancara gitu buat ngomentarin

hu?bungan gue sama Nicky. Tahu nggak dia jawab apa?"

"Apa?"

"Dia bilang... AH! NYEBELIN DEH POKOKNYA! Seolaholah dia setuju sama wartawan-wartawan rese itu bahwa gue memang orang ketiga di antara mereka berdua!"

"Sebenernya gimana sih kejadiannya kok sampai kalian kepergok

lagi berdua? Lo beneran jadian sama Nicky?"

"Ya iyalah. Gue waktu itu lagi jalan-jalan sama dia di mal, niat

mau nonton tapi nggak jadi!"

"Hah? Sakit jiwa lo, Ra!"

"Kenapa emangnya?"

"Terus Nico gimana?"

"Gimana apanya? Apa lagi sih yang harus dipertahanin dari cowok macam dia? Gue udah cukup sabar, Din, nunggu dia. Gue

capek. Udah habis kesabaran gue. Emangnya enak kalau digantungin kayak gini?" Ira kesal.

"Kalau ternyata penantian lo ini membawa berkah, gimana? Ka?lau ternyata diem-diem Nico juga suka sama lo, gimana?"

"Udah deh, Din. Pagi-pagi nggak usah ngomongin hal yang

nggak mungkin. Udah cukup perlakuan dari Nico yang gue terima.

Dia emang baik sama semua cewek. Lo juga tahu itu, kan? Jadi

ke?napa harus dibikin pusing? Dia nggak cuma baik sama gue, you

know?"

"Emangnya lo betulan suka Nicky?"

"Please deh, Din! Kalau gue nggak sayang sama Nicky, buat apa

gue pacaran sama dia?"

"Dia artis, Ra!"

"Gue tahu dia artis. So?"

"So, bukannya lo cuma kagum?"

"Sakit jiwa lo, Din! Gue tulus sayang sama Nicky. Dulu emang

gue kagum, tapi sori, gue belum cerita sama lo kalau akhir-akhir

ini gue emang merasakan sesuatu yang lebih. Gue-sayang-dia!"

"Bukan karena dia artis, dan... lo cuma pengin numpang beken?"

BRAK! Ira memukul meja dan berdiri. "Stop, Din! Hari ini lo

bener-bener bikin gue kecewa. Katanya lo sahabat gue? Katanya lo

ngertiin gue? Jadi ini sahabat yang gue akui dari dulu? Hah?"

"Gue cuma nggak mau lo salah ambil keputusan dan tindakan,

itu aja!"

"Tindakan apa? Keputusan apa? Gue sadar kok, Din, gue nggak

salah memilih. Gue tulus sayang Nicky. Gue juga nggak punya niat

untuk numpang beken kayak yang lo bilang, ngerti?" Ira keluar

kelas meninggalkan Andin begitu saja.

Andin kesal, lalu duduk di kursinya. "Ah... salah mulu! Apa-apa

salah. Gue kan cuma kasih saran."

Ira berjalan ke ruang Klub Jurnalistik. Berharap akan ada yang

meng?hiburnya di sana. Ia benar-benar sebal dengan Andin yang

tidak sedikit pun membelanya. "Kenapa sih gue harus berurusan

sama wartawan gosip? Udah sekolah mahal-mahal, kok cuma jadi

wartawan pencari gosip. Gosip berengsek! Murahan!" kesal Ira sepanjang melewati lorong. Tak peduli banyak orang yang mencibir?nya.

ULANG sekolah, masih dengan perasaan kesal dan bete, Ira

mempercepat langkahnya menuruni tangga menuju Ruang Klub

Jurnalistik. Tapi niatnya untuk bersembunyi dari tatapan tajam

yang mengusiknya itu tak bisa ia lakukan. Di sana banyak orang,

padahal hari ini tak ada jadwal rapat. Mungkin mereka sedang mengerjakan sesuatu untuk bahan majalah.

Ira melihat semua orang di ruangan itu menatapnya penuh mak?na. Ia jadi kesal karena semua orang percaya pada gosip murahan

itu.

Ia berbalik hendak keluar ruangan. Tiba-tiba saja Nico masuk

dan mereka bertabrakan. Lembaran-lembaran yang dibawa Nico

pun jatuh berantakan ke lantai. Maklum, kecepatan langkah Ira

terlalu tinggi, sehingga tabrakan itu membuat Nico agak kaget.

Ira segera memunguti kertas-kertas itu. Nico ikut membantunya.

Saat sudah terambil semua, Ira memberikannya pada cowok itu.

"Maaf ya!" Ira meminta maaf dan hendak keluar.

Nico menahan tangan Ira. "Ada yang mau aku omongin."

"Apa?" Ira menatapnya.

"Sejak kapan kamu jadian sama narasumber kamu?"

Ira menepis kasar tangan Nico. "Dia punya nama, oke? Namanya

Nicky," jawab Ira sinis.

"Iya, aku tahu."

"Kenapa emangnya?"

"Kenapa kamu jadian sama dia?"

"Karena aku suka sama dia lah, Nic!" Ira tertawa sinis. Merasa

aneh dengan pertanyaan Nico.

"Bukan karena Nicky selingkuh dari Emilya?"

"Jadi kamu nonton gosip juga kayak ibu-ibu?" Ira kesal. "AKU

BU?KAN PENYEBAB MEREKA PUTUS, CO!" Emosi Ira tak

bisa ditahan. "Aku jadian sama Nicky di saat dia udah nggak pacaran sama Emilya lagi. Emilya-nya aja yang salah sangka! Kenapa sih

orang kayak kamu bisa ikut-ikutan percaya gosip murah?an itu?"

"Karena aku suka dan sayang sama kamu, Ra!" jawab Nico dengan ? berteriak. Perdebatan di pintu ruang Klub Jurnalistik pun

berhenti seketika. Semua orang yang sejak tadi memandangi mereka

langsung terdiam kaget.

Ira terkejut bukan main. Mulutnya ternganga. Ia terdiam dan

teringat lagi pada kata-kata Andin tadi pagi di kelas.

"Aku ngerti, aku tahu kamu udah jengkel sama aku yang nggak

per?nah merespons kamu. Tapi itu karena aku nggak mau kehilangan kamu. Aku merasa kamu lebih santai kalau kita nggak bahas

masalah perasaan masing-masing. Aku takut kamu malah benci

sama aku!"

Ira terdiam menunduk. Air matanya perlahan mengalir. Ia kesal

pada Nico. Tapi entah kenapa ia lebih kesal pada diri sendiri.

"Kamu tau, Ra?" Nico mencengkeram lengan Ira tiba-tiba. Kertas-kertas yang tadi mereka pungut bersama pun berserakan lagi ke

mana-mana. Ira menatap mata Nico yang tajam. "Waktu pendakian

kemarin, apa yang membuat aku bertahan? Karena aku selalu ingat

kamu, Ra! Apa yang ngebuat aku semangat untuk lihat matahari

terbit? Karena aku mau ceritain itu semua ke kamu, Ra! Pemandangan matahari yang aku lihat itu luar biasa cantiknya, sama seperti kamu, yang akhirnya bisa membuat aku jatuh cinta! Seperti

aku jatuh cinta sama matahari!"

Ira masih menangis. Ia menggigit bibir bawahnya. Jantungnya

berdetak nggak keruan. Tubuhnya gemetar. Badannya lemas. "Kamu

itu bego! Idiot! Bodoh! Tau nggak?" teriak Ira. "Kenapa baru seka?rang kamu ungkap perasaan kamu, Nic? Padahal kan kamu udah

tahu aku suka kamu dari dulu. Malam perkumpulan klub waktu

itu udah jelas banget kan, Nic? Aku udah dengan lantang nyebut

nama kamu! Tapi kenapa kamu baru sadar sekarang?!"

"Aku cuma nyari waktu yang tepat, Ra! Akhir-akhir ini kita

sama-sama sibuk. Aku nggak mau ganggu kamu. Dan rencananya

sepulang dari pendakian aku mau bilang ke kamu. Tapi kamu justru udah pacaran sama artis itu!"

"Jangan salahin aku, Nic! Aku kayak gini gara-gara siapa!"

"Aku nggak yakin sepenuhnya kamu jatuh cinta sama Nicky, Ra!

Aku yakin, kamu cuma lihat dia dari sisi artis. Kamu cuma kagum,

Ra!"

"Terserah kamu mau bilang apa. Maaf, Nic, aku harus pulang.

Kamu udah cukup nambahin beban pikiran dalam hidupku!" Ira

menepis tangan Nico yang mencengkeram lengannya. Ia membuka

pintu dan keluar. Sementara Nico memungut lagi kertas-kertas

yang ada di lantai dan meletakkannya di meja rapat dengan kasar.

"Argh!!!" teriak Nico sambil menendang kaki meja, membuat

beberapa orang di ruangan kaget dan memilih untuk diam.

Ira menangis sepanjang perjalanan. Hatinya sedih karena Nico

mem?buatnya seperti telah salah mengambil keputusan. Namun, ada

perasaan lega dalam hatinya. Akhirnya ia bisa mendengar pengakuan Nico.

Namun Ira merasa Nico sia-sia telah mengungkapkan perasaannya. Ia juga benci pada dirinya sendiri harus mengetahui hal itu di

saat dirinya sudah menjadi milik Nicky.

"Nico...." Sesampainya di rumah Ira menangis di kamarnya.

"Kamu nyebelin banget sih...?" Kemudian ia menarik napas panjang.

"Kenapa baru sekarang... Kenapa nggak sebelum berangkat pendakian aja kamu bilang kalau kamu suka sama aku...?" Ira memejamkan matanya. "JAHAT!!!"

Malamnya Ira berbaring di kamar, mencoba menenangkan kepalanya yang masih pusing karena masalah yang menimpanya. Apalagi

Nicky tak juga menghubunginya walau hanya lima menit. Pacarnya

sibuk bukan main.

Seharian ini memang hari terberat buat Ira. Tayangan gosip murah?an itu terus saja ditayangkan di TV. Pagi, siang, sore, malam,

mungkin sampai dini hari. Hal itu membuat Ira makin jengkel dan

ingin sekali menghilang dari bumi. Ingin melenyapkan pula semua

TV yang ada di sekitarnya.

Ditambah lagi tentang pengakuan Nico yang terlambat. Apalagi

sekarang, Andin, sahabatnya sudah tahu kalau dirinya berpacaran

dengan Nicky. Parahnya lagi, baru sejam yang lalu Ira disidang oleh

kedua orangtuanya. Tentang apa? Tentang dirinya yang nongol di

TV, menjadi pembicaraan banyak orang.

"Mama kan sudah bilang, jangan terlalu akrab sama wartawan,"
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ucap mamanya.

"Kenapa kamu nggak cerita kalau pacaran sama Nicky?" tanya

ayahnya.

"Waktu itu nggak sengaja, Ma, Yah. Kami berdua ketemu wartawan... Mungkin mereka penasaran sama aku, jadi mereka nyerbu.

Sudahlah, Ma, Yah, nggak usah terlalu dipikirin. Nanti juga hilang

sendiri gosipnya...."

"Nggak usah dipikirin bagaimana? Kamu ini dewasa sedikit

dong! Jangan menyepelekan masalah!" seru mamanya.

"Terus aku harus gimana, Ma? Aku juga pusing mikirin gosip

yang nggak berhenti dibicarain di TV. Aku juga nggak mau kok

muncul di TV. Tolong Mama sama Ayah jangan sepenuhnya nyalahin aku. Aku juga nggak mau kayak gini..."

"Sekarang Nicky di mana? Di saat pacarnya lagi uring-uringan

ka?yak begini, dia di mana?" Ira tambah kesal karena mamanya mulai menyalahkan Nicky.

"Jangan salahin Nicky! Dia lagi kerja, nggak usah diganggu! Go?124

sip itu akan hilang dengan sendirinya kok kalau kita nggak ladeni!"

Ira langsung masuk kamar, menyelesaikan sidangnya secara sepihak.

Marah. Kesal. Benci. Semuanya membuatnya hatinya sesak.

Ira kembali menangis kalau mengingat ayah dan mamanya yang

marah-marah. Juga karena tayangan gosip murahan itu. Dan tentang perasaan Nico yang ternyata juga menyukainya.

Ira merasakan kepedihan ini sendirian. Ia ingin menceritakannya

pada Andin, tapi malu. Pagi tadi mereka bertengkar hebat. Sedangkan Nicky? Ia terus saja sibuk syuting. Tak ada kabar, tak ada telepon. Hatinya benar-benar bimbang...

Ting... Tong....

Ira mendengar suara bel rumahnya berbunyi. Ia segera keluar

ka?mar. Berharap saat ia membuka pintu yang ditemui adalah

Nicky.

"Nico?" Ira tercekat.

"Malam, Ra."

Ira menunduk. "Ada apa malam-malam ke sini?"

"Ra, aku ke sini cuma mau minta maaf. Mungkin pengakuan

aku tadi siang terlambat. Tapi untuk minta maaf, aku nggak mau

terlambat, Ra..."

Ira hanya diam. Air matanya menetes lagi. Ia mengusapnya.

"Maafin aku, Ra, karena aku bilang sayang ke kamu pas kamu

udah jadi milik Nicky..."

Ira lemas dan mengerjapkan mata untuk menahan air matanya.

Tubuhnya nyaris jatuh sebelum Nico menangkapnya dengan sigap,

menahan tubuh Ira agar tidak ambruk ke lantai. Perlahan, tangan

Ira memeluk Nico erat dan menangis di dadanya.

"Aku benci kenyataan ini. Aku kesal sama diri sendiri, Nic! Aku

pa?caran sama Nicky, tapi dia nggak pernah ada buat aku di saat

aku lagi butuh. Dia selalu ada di saat aku bahagia aja. Dia terlalu

sibuk sama dunianya. Aku ngerti, itu memang risiko buat aku. Tapi

apa dia nggak bisa luangin lima menit aja buat telepon aku? Sedangkan kamu... kenapa kamu baru ungkap semuanya sekarang?" Ira

mengusap air matanya. "Sejak jadian sama Nicky, aku jadi tertekan,

Nic... Aku nggak siap harus dibicarakan banyak orang. Tapi aku

udah janji sama Nicky, aku akan siap dan kuat ngadepin ini semua

kalau dia ada di samping aku...." Air matanya kembali menetes.

"Kamu sabar ya, Ra..." Nico mempererat pelukannya di tubuh

Ira yang kecil. Membiarkan tangis gadis yang disayanginya itu

lebur.

Saat

Saat

aku tertawa di atas semua

aku menangisi kesedihanku

ingin engkau selalu ada

ingin engkau aku kenang

Selama aku masih bisa bertahan, masih bisa bernapas

Ku kan selalu memujamu

Meski ku tak tahu lagi, engkau ada di mana

Dengarkan aku ku merindukanmu

Saat aku mencoba mengubah segalanya

Saat aku meratapi kekalahanku...

(d?Masiv, Merindukanmu)

EMUA orang ngomongin aku, Ky. Dan yang mereka bahas itu

nggak bener. Aku nggak siap harus kayak gini...."

Lima belas menit yang lalu, saat Ira tengah asyik menenangkan

pi?kiran dari masalahnya sambil menggoreng kentang di dapur bersama Haris, tiba-tiba Nicky menelepon.

"Siap nggak siap, kamu harus siap dengan ini semua, Ra. Kamu

harus bisa ngertiin aku, profesi aku. Bukannya kamu sendiri yang

bilang kamu siap berhadapan sama wartawan? Iya, kan?"

"Aku siap, Ky. Sangat siap, kalau kamu ada di sebelah aku.

Support aku kalau berita itu nggak bener. Buktiin ke semua orang

kalau berita itu murahan!"

"Ya, tapi kamu kan tahu aku syuting setiap hari. Ini aja bisa telepon kamu karena aku lagi break. Kamu tahu aku di mana? Panti

pijat. Badanku kecapekan, Ra..."

"Kamu tega banget, Ky! Aku di sini nungguin kamu, nangis-na?ngis karena gosip murahan itu. Berharap kamu datang support aku,

nye?mangatin aku, dukung aku, hibur aku. Tapi kamu malah enakenakan di panti pijat?"

"Ra, aku sakit. Kamu kira aku kerja nggak capek?"

"Oke, kalau kamu sakit. Aku coba untuk ngerti sama profesi

kamu yang supersibuk dan menyita waktu kamu buat aku. Tapi

aku nggak mau dengar lagi ada gosip yang bilang aku penyebab

kamu dan Emilya putus!"

"Ra, kalau kamu nggak ngerasa jadi penyebab aku dan Emilya

putus, kamu nggak perlu hiraukan gosip. Kamu masih punya banyak waktu untuk bikin hidup kamu lebih bahagia daripada harus

mikirin berita yang kamu bilang nggak bener, kan?"

"Tapi apa kamu ngerasain apa yang aku rasain? Nggak, Ky! Aku

diomongin tetangga, teman-teman di sekolah, para guru, mungkin

sekarang Emilya juga lagi jelek-jelekin aku!"

"Ra..."

"Udah, Ky. Aku nggak mau dengar apa-apa lagi. Lebih baik

kamu kerja aja yang fokus, nggak usah terlalu pusing mikirin aku.

Aku coba saran kamu untuk bikin hidup aku lebih bahagia,

TANPA KAMU!"

Klik.

Tut... Tut... Tut... Telepon terputus. Di seberang sana, Nicky

melengos pasrah tak berdaya. Kepalanya juga penat. Masalah tak

hanya datang dari lokasi syuting dan Ira. Tapi juga keluarga dan

fisiknya.

Ira mematikan teleponnya. Kemudian duduk di meja makan dan

memijat-mijat pelipisnya. Haris tampak sibuk dengan kentang

gorengnya yang hampir matang, lalu membawanya ke hadapan

kakaknya.

"Udah matang, Mbak," seru Haris sambil mengambil satu ken?tang goreng dan melahapnya.

"Maaf ya, jadi kamu yang goreng."

"Nggak pa-pa. Aku ngerti kok Mbak Ira lagi banyak masalah."

Ira tersenyum dan mencoba menelan kentang goreng yang dikunyahnya dengan tak berselera. Pikirannya terus dipusingkan oleh

tayangan gosip murahan yang hampir dua hari ini masih ada di

"Yang telepon siapa, Ra?" tanya mama Ira yang baru keluar kamar. Mungkin dia mendengar anaknya berbicara dengan emosi.

"Nicky, Ma."

"Akhirnya telepon juga dia."

"Ya, tapi nggak sesuai harapan."

"Kamu kenapa? Kok mijit pelipis terus?"

"Pusing, Ma," jawab Ira, masih memijit pelipisnya.

"Sama gosip itu?"

Ira mengangguk. "Aku harus gimana ya, Ma? Selain karena gosip,

aku juga kepikiran hal lain."

"Apa?" tanya mamanya sambil duduk di kursi kosong di sebelah?nya.

"Ma, sebelum pacaran sama Nicky, aku suka sama teman satu

Klub Jurnalistik di sekolah. Namanya Nico. Orangnya baik dan

menyenangkan. Tapi, selama ini dia kayak nggak ada respons ke

aku. Tapi kemarin dia ngaku kalau..."

"Dia sayang sama kamu," sambung mamanya cepat.

Air mata Ira menggenang lagi dan akhirnya jatuh. "Tapi aku

udah pacaran sama Nicky, Ma. Takdir memilih aku untuk tahu itu

belakangan."

"Kamu menyesal saat tahu hal itu setelah kamu jadian sama

Nicky?"

Ira mengangkat kedua bahunya sambil menggeleng kaku. "Aku

nggak tahu. Aku bingung... Yang aku rasain, justru sekarang kami

jadi jauh. Padahal dulu kami selalu sama-sama."

"Kenapa jadi jauh? Kamu jauhin dia?"

"Nggak mungkin aku bisa jauhin Nico, Ma. Selama ini aku dekat dan nggak bisa tanpa dia. Walaupun sibuk sama kegiatan pencinta alamnya, tapi dia selalu meluangkan waktu buat aku. Ngobrol

walau cuma sebentar. Atau nraktir makan es krim di depan sekolah..." Suara Ira bergetar karena beradu dengan isak tangis.

Mama Ira membelai rambut anak gadisnya, mengusap air matanya dengan sedih. "Kamu masih sayang Nico?"

Ira menahan kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. "Salah

nggak sih, Ma, kalau aku bilang... iya?"

Mamanya tersenyum. "Tentu saja nggak salah. Sebaiknya kamu

jadikan hal ini sebagai pelajaran. Untuk ke depannya jangan terlalu

mudah menerima cinta orang. Apalagi ketika kamu sendiri masih

suka sama orang lain."

"Terus aku mesti gimana, Ma?"

"Kejujuran itu penting dalam sebuah hubungan. Sebaiknya kamu

jujur sama Nicky. Kamu bicarakan masalah ini baik-baik dan jangan sampai menyinggung perasaannya. Kamu renungi dulu perasaan kamu, coba deh tanya hati kecil kamu, kamu harus gimana..."

Ira terdiam. Kalau tahu jawabannya, Ira pasti nggak akan bertanya pada mamanya. Tapi mamanya justru menyuruhnya untuk

bertanya pada hati kecilnya. Aduh... sekarang ia malah bingung

mau ngapain dan harus gimana. Yang ia inginkan hanya pilihan

tepat yang akan membawanya dalam ketenangan.

Ira duduk menunggu dengan ditemani segelas jus sirsak kesukaannya di sebuah kafe. Hampir satu jam ia duduk di sini sendirian.

Gelas kedua jus sirsaknya pun hampir habis.

Sekitar setengah jam kemudian, orang yang ia tunggu datang

juga. Jantung Ira langsung berdegup kencang. Apalagi saat senyuman itu hadir di hadapannya. Cowok itu datang sambil membawa

bunga, membuat hati Ira tak bisa melampiaskan amarah yang hampir seminggu ini terpendam.

Jujur, Ira rindu sekali pada kekasihnya ini....

"Maaf, aku telat. Aku agak sulit untuk minta izin keluar sebentar

sama sutradara. Manajerku juga sempat marah-marah, tapi karena

ini demi kamu, aku mohon-mohon banget sama mereka. Dan aku

punya waktu sebentar, Ra, buat ketemu kamu."

Sesibuk itukah kamu, Ky? batin Ira. "Nggak apa-apa. Aku jamin

aku nggak lama ketemu kamu."

"Hei, kok ngomongnya sinis gitu sih?" Nicky kemudian menggenggam tangan Ira, dan Ira membalas genggamannya. "Aku senang

banget, Ra, kamu ngajak aku ketemuan. Tumben banget... tapi aku

berterima kasih sama kamu. Karena kamu, aku bisa break syuting

dan bisa ngelepas kangen..."

"Ada yang mau aku bicarakan..."

"Tentang apa? Masih tentang gosip yang waktu itu? Tenang, Ra,

kalau kamu masih terbebani dengan masalah itu, weekend nanti aku

mau buat konferensi pers sama Emilya untuk meluruskan gosip

yang beredar. Aku nggak mau kamu dipusingin sama berita murahan itu."

Ira tidak memedulikan kata-kata Nicky. Tekadnya sudah bulat.

"Ky, kita putus, ya?" Ira menunduk setelah mengatakan itu.

Nicky tersenyum. "Hei, kok nunduk sih? Lihat aku, Ra...," ucap

Nicky lembut. Ira menatap Nicky takut dan serbasalah. "Maafin

aku ya, aku jadi beban buat kamu."

"Bukan itu maksudku, Ky..."

"Ada yang aku sembunyikan dari kamu, Ra."

Ira kaget dan bingung. "A-apa?" Ira mulai penasaran. Rasa takutnya pun memuncak.

"Sebenernya aku nggak serius pacaran sama kamu."

Ira kaget bukan main. "Maksud kamu apa?"

"Dengar dulu... jangan sampai kamu salah paham lagi." Nicky

men?coba menenangkan Ira. "Aku pacaran sama kamu, hanya karena

ingin tahu seberapa tulus kamu sayang sama aku. Dan aku udah
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

te?muin jawabannya. Kamu tulus, Ra, tapi ketulusan kamu hanya

sebatas mengagumiku sebagai idola. Hanya sebatas suka, nggak lebih. Yang aku rasa, justru rasa sayang kamu itu untuk orang lain."

"Jadi kamu nggak suka atau sayang sama aku?" Ira agak kecewa.

"Aku membuat perjanjian dengan diri sendiri. Aku nembak

kamu, meminta kamu menjadi pacarku. Kebetulan waktu itu aku

emang suka sama kamu. Tapi cuma suka yang aku rasain. Aku

suka karena kamu baik dan penuh semangat. Dan... saat aku tahu

kamu juga cuma sebatas suka sama aku, aku nggak bisa merasakan

lebih dari itu. Tapi aku pernah berjanji, jika suatu hari aku tahu

kamu beneran sayang sama aku, aku akan mencoba untuk membalas perasaanmu."

"Tapi... tapi sikap kamu..." Ira memutar otaknya dan mengingat

semua perlakuan Nicky sejak pertama kali ketemu sampai hari ini.

Lalu ia tertawa geli. "Bodoh! Hahaha... Setelah aku pikir-pikir,

emang iya juga sih, Ky. Aku sama sekali nggak bisa buktiin ucapanku yang katanya sayang sama kamu, cinta sama kamu. Aku emang

bodoh. Padahal aku cuma mengagumi kamu."

"Jadi? Nggak ada yang terbebani kan?"

"Ya... mungkin begitulah. Aku jadi lega sekarang." Ira tersenyum.

"Aku harap, lain kali kamu bisa mengambil keputusan yang tepat

buat kamu. Jangan langsung ambil tindakan tanpa pikir panjang.

Kamu harus yakin dulu sama perasaan kamu kalau kamu ditawari

cinta oleh seseorang."

"Makasih, Ky. Kamu udah membuka mataku untuk bedain antara cinta dan kekaguman. Kamu juga baik sama aku selama ini.

Dan, aku minta maaf karena marah-marah tempo hari. Aku cuma

lagi bingung dan nggak tahu mesti ngapain."

Nicky tersenyum. "Sama-sama. Aku senang kok kenal sama

kamu."

"Oh iya, Ky, kamu mau pesan majalah sekolahku edisi berikutnya

nggak?" Ira tersenyum sambil menaik-turunkan sebelah alisnya,

membuat Nicky tertawa geli melihatnya.

"Aku juga menyukai semangat kamu menjual majalah sekolah.

Mau jadi adik seorang Nicky?" tanya Nicky.

"Mauuu..."

***

Ira melenggang pulang sendirian. Hatinya lega sekarang. Rasanya

bebas dan ringan.

Ira bahagia bisa mengenal seorang Nicky Rendra. Apalagi bisa

dekat dan menjadi pacarnya. Walau ternyata cuma karena iseng.

Hahaha...

Nico lagi apa ya? batinnya. Senyumnya perlahan pudar. Ia jadi

teringat cowok itu. Kira-kira apa yang akan ia lakukan jika bertemu

Nico? Bilang pada cowok itu bahwa ia sudah putus dan mau menerima Nico sebagai pacarnya? Serius mau bilang seperti itu? Rasanya

nggak mungkin. Dan sepertinya... ia harus menunggu lagi. Ia ter
Pendekar Kelana Sakti 3 Iblis Lengan Dewa Linglung 20 Pinangan Iblis Kembali Ke Ithaca Odisei Buku Kelima

Cari Blog Ini