Ceritasilat Novel Online

Jurnalis Idola 3

Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN Bagian 3

ingat Andin. Segera ia mengambil HP dari saku celananya dan

mulai mengetik pesan.

Din, gw putus sm nicky. Lo bnr. Gw ngaku salah. Gw emang

kagum sm dia. Hny kagum! Gw br sadar itu hr ini. Dan itu krn

dia yg jujur sm gw. Ternyata dia jg gak cinta sm gw...

Sender: Ira

Ira segera mengirim pesan pendek itu pada Andin. Tak lama

kemudian ia mendapat balasan.

Lo serius udh putus? Knp putus? Kok cpt bgt sih? Lo sm dis

kan br jadian? Lo ada masalah, Ra? Lo cerita ya. Syp tau gw

bs bntu...

Sender: Andin

Gw gapapa. Cm hr ini gw mnt putus sm Nicky krn gw bimbang

sm perasaan gw. Dan gw gak sangka, dia malah buka mata

hati gw. Dia nyadarin gw ttg 1 hal...

Kita ketemuan aja yuk? Di rumah lo, gw otw ksna!

Sender: Ira.

ICO sedang asyik main gitar di rumahnya. Ia masih sedih kare?na

cintanya yang seharusnya diterima justru ditolak hanya gara-gara

orang lain.

Dentingan senar gitar yang mengalun pelan manggambarkan

suasana hati Nico yang sedih dan galau. Ia melirik sang kakak yang

tak sengaja mengganti channel TV ke program infotainment. Nico

langsung meloncat kaget saat mendengar Nicky diberitakan akan

bertunangan.

"Jangan diganti!" larang Nico sambil merebut remote dari tangan

kakak?nya. Kemudian ia membesarkan volume TV.

"Nicky Rendra yang belum lama dikabarkan menjalin kasih dengan

seorang gadis bernama Ira, kini tengah menjalin cinta dengan gadis

asal Surabaya. Saat tak sengaja dimintai penjelasan kemarin malam,

Nicky yang tengah asyik menghabiskan malam Minggu-nya bersama

gadis yang disapa Ayesa itu, dengan senang hati memperkenalkannya

kepada para wartawan. Senyum keduanya tampak malu-malu saat

menga?ku sudah berpacaran sekitar dua minggu. Rencananya bulan ini

mereka akan mempersiapkan pertunangan di salah satu hotel mewah

di Jakarta."

"Ini calon tunanganku, namanya Ayesa. Kami sudah pacaran

kira-kira dua minggu. Jadi Ayesa ini anak temannya Mama yang

dikenalkan ke aku. Ya... mungkin cinta pada pandangan pertama

kali ya, kami jadian deh setelah seminggu deket," tutur Nicky sambil tersenyum manis memandangi kekasih barunya.

"Lalu gimana mas dengan yang namanya Ira-Ira itu?"

"Seperti yang dulu aku katakan, aku memang berpacaran sama Ira.

Tapi, setelah kami saling jujur, ngomong ini dan itu, akhirnya kami

sepa?kat untuk menjadi teman saja. Aku malah lebih nyaman dia jadi

adik?ku. Dia sendiri bilang, merasa lebih bebas kalau aku jadi abangnya. Hahaha..."

"Mbak Ayesa sendiri gimana? Takut nggak suatu hari nasibnya

kayak Ira?"

"Hah?" Ayesa tampak kaget tapi langsung tertawa. "Sebenernya aku

sama Kiky sudah lama kenal. Sejak kecil. Hanya saja kita sudah lama

nggak ketemu. Dan baru ketemu beberapa minggu yang lalu. Kiky

cerita banyak tentang Emilya, Ira juga. Aku percaya kok sama dia.

Ka?lau aku nggak percaya, buat apa kami tunangan?" tutur Ayesa.

Nico makin yakin bagaimana menghadapi masalahnya yang

beran?takan. Ia bingung, kenapa Ira cepat sekali putus dengan Nicky.

Apa karena Nicky yang meninggalkan Ira demi cewek yang bernama Ayesa itu"Dasar! Playboy banget sih tuh artis!" gerutu Nico.

"Wajar kali kalau dia playboy. Tampangnya mendukung kok.

Apalagi statusnya sebagai artis. Emangnya lo? Tampang nggak

banget gini mau jadi playboy? Satu cewek aja nggak punya...," ledek

kakak Nico.

"Berisik lo!" Nico kesal dan masuk ke kamarnya diiringi tawa

kakaknya.

Nico mengintip ke dalam kelas Ira yang tampak ramai saat jam

istirahat. Ia mencari-cari Ira tapi cewek itu tak ada di kelas. Saat

ia berbalik hendak kembali ke kelas, ternyata Ira berdiri di bela?kangnya.

"Ngapain kamu ngintip-ngintip kayak maling?" tanya Ira.

"Aduh, kamu ngagetin aku aja. Aku dari tadi nyariin kamu

tahu."

"Nyari aku? Mau ngapain? Tentang profil artis? Iya nih, aku juga

lagi bingung mau wawancara siapa kali ini."

"Bukan tentang majalah sekolah."

"Terus?"

Nico mengajak Ira ke pinggir balkon sekolah dan bersandar di

sana. "Udah dengar berita Nicky mau tunangan?"

"Sudah. Aku diundang loh!" Ira bangga.

Tapi Nico justru bingung dengan sikap Ira. Ia menatap cewek

itu lekat-lekat. "Kok kamu malah seneng sih cowok kamu mau

tunangan?"

"Nico... aku sama Nicky udah putus tiga minggu yang lalu. Ke

mana aja sih kamu, kok baru tahu? Satu sekolah juga tahu aku

udah putus sama Nicky."

"Jadi... kamu udah putus dari dia?"

"Nicky nggak cinta sama aku. Aku juga nggak cinta sama dia."

"Maksudnya gimana sih? Aku jadi tambah bingung."

"Kamu bener. Andin juga nggak salah. Aku yang salah mengarti?kan perasaanku ke Nicky. Aku hanya kagum. Aku nggak bisa buktiin ucapanku kalau aku sayang sama Nicky. Nicky cuma idola aku

dan bukan orang yang aku cari."

"Oh..." Nico mengangguk-angguk sambil tersenyum seolah-olah

mengerti apa yang diucapkan Ira.

"Udah? Ngerti sekarang?"

"Hm. Aku kira dia ninggalin kamu demi cewek barunya..."

"Ya nggak mungkinlah. Gimana? Mau ikut nemenin aku datang

ke acara pertunangan Nicky nggak?"

"Maulah. Di sana pasti banyak artis datang. Jadi bakal banyak

foto yang aku dapat."

"Huu... dasar!"

"Oh iya, Ra, aku mau tanya. Kamu bilang kan kamu cuma kagum sama Nicky dan dia bukan orang yang kamu cari. Menurut

kamu... aku ini idola yang kamu kagumi atau orang yang kamu

cari?"

Ira kaget, tapi senang. Ia tersenyum sambil mengalihkan pandangan ke lapangan SMA Lokardatika yang ramai oleh siswa kelas XII

yang tengah bermain futsal.

"Apa ya? Kamu itu..." Ira terbata-bata.

Trrreeettt... Trrreeett...

Bel masuk berbunyi. Ira menahan jawabannya dan tersenyum

manis. Ira hanya mengangkat bahu dan masuk kelas. Nico ikut

tersenyum dan akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke kelas?nya.

Sebulan kemudian, di hotel mewah di pusat Jakarta.

Ira tersenyum menatap Nicky yang tampak berbahagia saat ini. Di

sebelahnya ada Nico yang tengah sibuk dengan kameranya memotret sana-sini. Kadang Ira merasa Nico itu gila, karena dalam keadaan seperti ini anak itu masih sempat-sempatnya memakai ID Card

Klub Jurnalistik SMA Lokardatika. Nico juga sempat meninggalkannya sendirian demi mewawancarai beberapa artis yang menjadi

tamu di acara resmi ini.

Pandangan Ira berhenti pada satu titik. Cewek cantik yang bernama Ayesa tampak manis dengan gaun putihnya, menyambut para

tamu dengan senyum memikatnya. Gaun tanpa lengannya itu memperlihatkan betapa putih dan halusnya kulit cewek itu. Dan Ira senang, Nicky mendapatkan seseorang yang pantas untuknya.

Ini adalah kejadian langka dalam hidupnya. Ira bisa kenal dekat

dengan Nicky Rendra. Idolanya yang ia suka beberapa tahun terakhir. Berawal dari wawancara dadakan itu yang justru berlanjut

sampai Ira menyandang status mantan pacar Nicky Rendra.

Ira mengajak Nico menghampiri Nicky untuk berpamitan. Ira

cukup puas bisa melihat Nicky bahagia. Bahkan ia tak sedikit pun

cemburu saat tangan indah Ayesa terus bergelayut di tangan Nicky

yang dulu pernah menggandengnya.

"Nicky," panggil Ira.

Nicky yang lagi ngobrol dengan tamunya menoleh. "Hei, RaGima?na? Udah makan atau cicipin makanan di sini?"

"Udah dong... aku sampai kekenyangan nih." Ira tertawa. "Aku

mau pamit pulang dulu ya."

"Lho kok buru-buru? Kayaknya Nico masih betah ambil gambar-gambar yang bagus di sini."

Ira melirik Nico yang masih asyik dengan kameranya, tidak

mengindahkan Ira dan Nicky. "Biarin aja! Mau aku tinggal aja deh

dia. Malu-maluin!"

"Malu-maluin tapi kamu suka dia, kan?"

"Nicky?" Ira kaget karena Nicky tahu tentang perasaannya. Pada?hal ia belum pernah jujur pada Nicky.

"Aku udah mengira hal itu sejak kamu antar dia ke stasiun wak?tu itu." Ira hanya diam memperhatikan. "Kamu nggak boleh nyerah!

Dia pasti juga lagi nunggu kamu untuk hari bahagia kalian." Katakata Nicky membuat Ira terus mengembangkan senyum. "Makasih

ya, kamu udah mau datang ke acara pertunanganku," tutur Nicky.

"Aku bahagia lihat kamu sama Ayesa. Dia lebih pantas ada di

sam?ping kamu ketimbang aku."

"Oh... jadi ceritanya masih berharap nih?" canda Nicky.

"Ya nggaklah! Kamu ada-ada aja. Kita kan sekarang adik-kakak.

Adik-kakak dilarang pacaran!"

"Hahaha... aku senang bisa kenal cewek kayak kamu. Rasanya...

aku kayak balik ke dunia SMA-ku dulu. Kamu yang semangat jadi

bikin aku ketularan semangat juga."

"Aku senang aku bisa memotivasi seseorang." Ira tersenyum. Dan

se?nyum itulah yang pernah memikat hati Nicky. "Keep in contact

ya?"

"Oke. Pasti. Sukses ya buat karier kamu. Oh iya, kalau mau liburan ke Bali atau bulan madu, jangan lupa ajak aku ya," Ira terkekeh.

"Hahaha, dasar ya... Makasih ya, Ra, buat semuanya."

"Sama-sama. Aku yang harusnya bilang begitu."

Ira kaget saat Nicky mendaratkan ciuman di salah satu pipinya.

Ia masih terdiam saat tubuhnya dipeluk erat Nicky. Ira bahagia bisa

me?rasakan hal itu. Bukan karena cinta tapi karena Nicky Rendra

ada?lah idolanya.

Hahaha... lengkap sudah kebahagiaanku, batin Ira. Ia pun berpamit?an dengan Ayesa sebelum akhirnya pulang.

"Kamu tuh malu-maluin, tahu nggak? Norak! Motret sana-sini!"

tutur Ira saat mereka berdua jalan sepulang dari pertunangan

Nicky.

"Yee... biarin aja. Namanya juga reporter. Di mana ada sesuatu

yang menarik, sikat aja! Daripada kamu, kerjanya cuma makan

mulu sama bengong."

"Muka kamu nih yang disikat, biar kinclong!" Ira menoyor pipi

Nico. Karena keasyikan bercanda, Ira sampai-sampai nggak sadar

tangan?nya sudah berada dalam genggaman Nico. Saat tersadar, keduanya saling menarik tangan masing-masing, menjadi salah tingkah dan tersenyum malu.

"Maaf, Ra."

"Ng-nggak pa-pa kok..."

"Hm... Ra." Nico menghentikan langkahnya. Ira ikut berhenti,

dan mereka berdiri berhadapan. "Aku mau tanya tentang..."

"Apaan?" Ira bingung. Tapi jantungnya berdegup cepat.

"Sebenernya..."

"Apa?"

"Sebenernya..."

"Duh, Nic, jangan lama deh!"

"Sebenernya kamu masih suka nggak sih sama aku?"

Waduh, mampus gue! Kok jadi pertanyaan itu yang keluar? Pantas

aja jantung gue nggak keruan! Gue jawab apa nih... jerit Ira dalam

hati.

"Sebenernya waktu kamu buat pengakuan di malam perkumpul?an Klub Jurnalistik waktu itu, dalam hati aku senang, Ra. Kamu

milih nama aku. Mungkin waktu itu aku belum sayang sama kamu.

Makanya aku nggak jawab pertanyaan Rama buat nerima kamu

atau nggak. Dan aku mau yakinin perasaanku dulu tanpa harus ada

orang lain yang tahu. Lambat laun, aku luluh juga karena kedekatan

kita. Itu karena aku emang pengin kenal kamu lebih jauh. Dan

setelah yakin, aku baru bilang ke kamu..."

"Tapi pas kamu yakin aku udah jadi milik Nicky?"

"Ya... begitulah."

Ira lega karena Nico mau terbuka padanya. "Nic, kalau aku bilang aku mau yakinin perasaanku dulu gimana?"
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu udah nggak suka sama aku lagi, Ra? Apa yang aku lakukan selama ini salah ya, makanya kamu nggak bisa terima aku

sekarang?"

"Bukannya nggak suka. Tapi aku mau menata dulu perasaanku

yang nggak keruan. Kamu tahu sendiri kan akhir-akhir ini aku ka?cau. Ya karena aku suka Nicky, gosip waktu itu, tentang kamu, dan

aku baru putus sama Nicky. Perasaanku masih acak-acakan. Apalagi

dulu aku pernah janji sama diri sendiri buat ngelupain kamu pelanpe?lan, walaupun itu agak susah. Kasih aku waktu untuk menarik

perasaan yang sudah aku lupakan itu pelan-pelan lagi."

"Duh, ribet deh ngomong sama wartawan. Bahasanya tinggi banget."

"Ih, lagi serius kok malah dibercandain sih!" Ira ngambek dan

berjalan meninggalkan Nico.

"Loh? Kok marah sih?" Nico tertawa geli sambil mengejar Ira.

Gadis itu terus saja ia ajak bercanda. "Oke, aku akan nunggu sampai kamu siap," jawab Nico.

"Makasih ya, kamu mau ngertiin aku."

"Tapi jangan lama-lama!"

"Lho kok nawar sih...? Kalau aku yakinnya pas nenek-nenek, ya

kamu mau nggak mau harus nunggu aku sampai kamu kakek-kekek

dong! Hahaha...!"

"Iya-iya...."

Nico merangkul bahu Ira dan mengacak-acak rambutnya yang

lurus. Ira gemas juga, kemudian ia mencubit pipi Nico sampai cowok itu berteriak minta ampun.

Mereka tertawa di bawah langit senja. Dalam hatinya Ira berharap bisa yakin pada perasaannya secepat mungkin, tanpa harus

membuat Nico menunggu lama.

Beberapa bulan kemudian...

UBUNGAN Ira dan Nico masih baik-baik saja. Mereka justru

terlihat lebih akrab meskipun Nico belum menjadi kekasihnya. Keduanya sama-sama menikmati hubungan tanpa status itu. Kedekatan Ira dan Nico pun sempat dicurigai oleh anggota Klub Jurnalistik. Mereka mengira Ira dan Nico sudah resmi pacaran. Tapi

lagi-lagi dugaan itu ditepis oleh mereka berdua dengan tawa dan

candaan. Susah sekali untuk diajak serius.

Dan tak terasa kini keduanya mulai disibukkan dengan ujian,

ujian, dan ujian... Rasanya baru kemarin Ira masuk SMA

Lokardatika dan mengenal Nico. Begitu pun Nico. Rasanya baru

kemarin ia berkenalan dengan Ira pada hari pertama tes wawancara

Klub Jurnalistik.

Sebulan menjelang ujian kenaikan kelas, Ira dan Nico selalu belajar bersama mereka. Rupanya, kerja keras mereka selama sebulan

itu membuahkan hasil. Keduanya naik kelas XI IPA dengan nilai

yang memuaskan. Keberhasilan itu pun mereka rayakan bertiga

bersama Andin?karena diterima di kelas IPA juga?dengan jalanjalan selama liburan.

Ira sudah sangat rindu disibukkan oleh kegiatan klubnya. Ma?-kanya

sehari sebelum masuk sekolah, ia nggak bisa tidur. Seperti baru

pertama kali masuk sekolah waktu SD.

SMA Lokardatika yang sempat sepi karena liburan, sekarang

sudah penuh sesak lagi dengan seliweran siswa-siswi. Ditambah lagi

dengan siswa baru, anak-anak kelas sepuluh, yang siap diorientasi

hari ini.

Dandanan mereka yang lucu-lucu mengingatkan Ira saat pertama

kali masuk ke SMA Lokardatika. Rambut dikepang, pakai kaos

kaki beda warna, tali sepatu warna ngejreng, ikat pinggang dari

petai dan terong, topi dari bola plastik. Ira nyengir sendiri melihat

calon adik-adik kelasnya yang tampak sibuk berkumpul di lapangan,

se?dang diatur oleh anak-anak OSIS.

Kelas XI IPA-3, kelas baru Ira. Ia bangga karena cita-citanya

ingin belajar di bidang IPA tercapai. Yang membuat ia sedih, teman

sebang?kunya bukan lagi Andin. Dia masuk kelas XI IPA-2 bersama

dengan Nico. Untung saja kelas mereka sebelahan. Jadi Ira masih

bisa sering-sering bertemu dengan sahabatnya itu.

Hari pertama masuk, jam pelajaran pun belum efektif. Masih

sibuk perkenalan dengan teman-teman baru dari campuran acak

kelas X-1 sampai X-9, juga sibuk memilih siapa yang akan jadi

peng?urus kelas.

Di kelas barunya, Ira tak banyak menemukan teman-temannya

dari kelas X-5, kelasnya dulu. Bisa dibilang hanya dia sendiri di

sini. Kebanyakan dari mereka berpencar di kelas IPS. Tapi sekitar

9-10 orang anggota Klub Jurnalistik "terpilih" untuk menemaninya

di kelas ini.

Salah satunya, Ine, teman sebangku Ira yang baru. Meskipun

nggak terlalu dekat dan dia agak pendiam, tapi Ira senang karena

masih ada yang bisa diajak ngobrol dan berdiskusi tentang beberapa

hal.

"Nggak terasa, Ne, sebentar lagi kita mau regenerasi klub," tutur

Ira di tengah rasa bosan karena kelas tampak ramai sendiri-sendiri.

"Iya ya, gue setuju kalau lo jadi ketuanya, Nico jadi wakilnya,

Raam jadi sekretarisnya, dan Vivi jadi bendaharanya. Hahaha..."

"Ada-ada aja lo!"

"Kan biar lo sama Nico nempel terus kayak prangko." Ine terkekeh.

Hari makin siang. Ira jadi bosan dengan suasana di dalam kelas.

Iseng-iseng Ira keluar kelas. Karena memang belum fokus belajar,

masih banyak anak-anak yang memilih mejeng di koridor ngeliatin

anak kelas X di-MOS. Ada pula yang sekadar nongkrong di kantin.

Ira yang baru keluar pintu kelas langsung mundur dan

bersembunyi di balik pintu. Ia mengintip ke arah kelas XI IPA 2

dan mendapati Nico asyik ngobrol berdua dengan seorang cewek.

Ra?sanya cewek itu belum pernah Ira lihat.

Ira masih mengintip mereka yang asyik dengan dunianya sendiri.

Bercanda, ngobrol sambil ketawa-ketawa. Akrab sekali.

Ia memandangi lekat-lekat cewek itu dengan matanya yang ta?jam. Cewek itu cantik dan berambut panjang. Tubuhnya tinggi dan

melekuk indah. Kulitnya putih bersih. Senyumnya manis dan bibirnya merah merona yang dilapisi lipgloss. Lesung yang ada di kedua

pipinya membuat cewek itu terlihat lebih manis.

Siapa sih dia? batin Ira. Hatinya gusar seperti nggak rela Nico

ada di sebelah cewek itu. Perasaan aneh ini makin memuncak saat

ia melihat Nico tertawa senang bersama cewek itu. Kesal, benci,

bete, dan kecewa. Ingin sekali marah, tapi Ira sadar ia bukan siapasiapa Nico. Ia tidak mungkin melarang cewek itu ngobrol dengan

Nico? Apalagi untuk marah-marah.

Huh, dengus Ira. Seketika ia terkejut saat tatapannya bertemu

dengan mata Nico. Nico mendapati Ira mengintipnya. Ira refleks

mengubah pandangan ke arah lain. Seolah tak melihat dia yang

sedang asyik ngobrol dengan gadis itu di luar kelas.

Ia melirik Nico yang masih memandanginya. Ia jadi tambah bete

karena merasa dicuekin. Ia yakin Nico tahu dirinya mengintip di

bela?kang pintu. Ira pun kembali ke tempat duduk dengan kesal.

Tangannya menopang dagu. Wajahnya cemberut.

"Kenapa, Ra?" tanya Ine.

"Bete," jawab Ira.

"Bete kenapa?"

"Nggak pa-pa. Udah, baca novel aja lagi! Nggak usah peduliin

gue."

Ine tersenyum bingung. Ia melirik seseorang yang tiba-tiba mun?cul di depan pintu kelas. "Eh, ada Nico tuh."

Ira kaget, melirik sekilas, lalu memutar badannya memunggungi

Nico yang berjalan ke arahnya.

"Hai," sapa Nico pada keduanya.

"Hai!" balas Ine seraya senyum. Ira ikut memaksakan senyum

yang malah terlihat sangat sinis.

"Nic, lo apain nih anak orang? Tahu-tahu cemberut begini," tutur

Ine.

"Ine!" Ira menyikut Ine.

"Lho, kenapa? Gue kan cuma mengutarakan fakta. Apa salahnya

sih ngadu sama cowok lo?" Ine terkekeh. Tapi itu nggak lucu buat

Ira. Entah kenapa rasa kesalnya tak juga hilang.

Ira bangkit dan beranjak pergi. Nico yang belum sempat ngo?mong

jadi bingung. Tapi, Nico sudah menyambar tangan Ira sebe?lum

cewek itu berhasil pergi, kemudian menggandengnya ke luar kelas.

"Kamu kenapa sih?" tanya Nico.

"Aku nggak apa-apa," jawabnya singkat tanpa memandang lawan

bicaranya.

"Nggak mungkin nggak pa-pa. Jutek begini..."

"Serius!"

"Ng... ke kantin yuk! Pasti lapar, kan? Udah jam sebelas nih,"

ajak Nico agar mood Ira kembali.

Ira masih tak menatap Nico. "Aku nggak lapar. Juga nggak haus.

Malas ke kantin." Nico makin yakin kalau Ira marah. Yang membuatnya bingung, ia tidak tahu penyebabnya. "Andin!" teriak Ira saat

melihat Andin yang baru keluar kelas. "Udah ya," pamit Ira dan

berlari ke arah Andin.

"Ra, tunggu dulu," panggil Nico lembut. Tapi Ira tidak menghiraukannya. Tanpa bicara apa-apa Andin langsung diseret Ira untuk

menjauh. Dia sempat menoleh ke arah Nico yang terpaku, bertanya

dengan isyarat, "ada apa sih". Nico hanya mengangkat ke?dua bahunya.

"Lo kenapa sih, Ra?" tanya Andin saat dirinya mulai memasuki

lorong perpustakaan. Mereka berhenti di salah satu lorong rak

buku.

Ira duduk di lantai, mengusap wajahnya kasar, mengambil satu

buku dengan asal. Ia membukanya dengan asal tanpa dibaca, lalu

menggeletakkannya di lantai, mengambil buku lain lagi, dan membiarkannya.

Setelah dihitung-hitung, hampir tujuh buku diambil oleh Ira.

Andin langsung menahannya. "Heh, kalau niat lo ke sini mau be?rantakin perpus doang, mendingan kita keluar deh. Sejak kapan lo

jadi suka sejarah, hah?"

Ira dan Andin berada di lorong rak buku-buku IPS. Ia menatap

Andin kesal. "Gue lagi bete, tahu nggak?"

"Iya, bete kenapa? Kalau lo nggak cerita, mana gue tahu!"

"Ya gue lagi sebel aja."

"Sama siapa? Nico? Lo lagi marahan ya sama dia? Kok sikap lo

sinis gitu sih ke dia?"

"Pokoknya gue sebel sama dia." Saking emosinya, volume suara

Ira tak terkontrol. Alhasil penjaga perpustakaan dan beberapa siswa

yang lagi asyik baca buku menegurnya.

"Lo sih...," bisik Andin. "Apa sih yang bikin lo bete sama NicoRasanya kemarin masih baik-baik aja."

Ira menghela napas. "Apa ya?" Ira mengangkat wajahnya dan ber?150

diri. Andin mengikutinya. Ira tak menyangka di perpustakaan ia

akan bertemu dengan penyebab kekesalannya dua kali.

Ira mengintip dari balik rak. Cewek itu tampak manja meminta

Nico yang ada di sebelahnya agar duduk di dekatnya, membaca

satu buku, dan mendiskusikannya bersama. Kenapa juga si Nico

sama tuh cewek harus ikutan ke perpus? batin Ira.

"Oh... jadi ini yang bikin lo... cemburu?" seru Andin.

"Gue? Cemburu? Nggak kok!" Ira menyangkal.

"Namanya Seilla. Dia anak baru di kelas gue. Dia pindahan dari

Surabaya, ikut orangtua ke Jakarta. Kebetulan dapat tempat duduk

kosong di depan kursi gue sama Nico. Nggak tahu kenapa tuh cewek emang maunya ngobrol sama Nico sejak pertama kali kenalan.

Agak ngeselin juga sih orangnya, karena terlalu banyak omong dan

manja. Childish." Sekilas Andin menceritakan tentang cewek yang

bernama Seilla itu.

"Siapa juga yang peduli?" tanya Ira berusaha menyembunyikan

kecem?buruannya.

"Tapi kalau gue nggak cerita sama lo, nanti lo malah salah paham sama Nico. Percaya deh, Nico nggak seperti yang lo pikirin

sekarang."

"Emangnya gue lagi mikir apa?"

"Lo pasti cemburu kan karena merasa Nico lebih perhatian sama

tuh cewek?"

"Hah, nggak juga...." Ira berbalik dan menjauh. Andin melirik

lagi ke arah Nico yang tampak kurang betah berada di sebelah

Seilla. Sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mengejar Ira yang

keluar perpustakaan.

***

Ruang Klub Jurnalistik, sepulang sekolah.

Tahun ajaran baru, ternyata nggak cuma murid kelas X yang ingin
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergabung dengan Klub Jurnalistik. Dari angkatan kelas XI juga

ada, dan beberapa di antaranya sudah hadir di ruangan.

Bayu sengaja mengajak calon anggota kelas XI untuk mengikuti

rapat klub yang diadakan siang ini. Jumlah mereka lebih sedikit

dibandingkan dengan calon anggota kelas X yang mencapai 40

orang. Minimal, Bayu akan memberikan sedikit penjelasan tentang

Klub Jurnalistik beserta tim yang telah bekerja sama agar saat diterima sebagai anggota nanti mereka mampu menjawab atau men?jelaskan jika anggota dari kelas X bertanya.

Rapat hampir dimulai, namun kursi di sebelah Ira masih kosong.

Partner reporternya belum juga datang. Sambil menunggu, Ira merenung. Ia berniat akan mengubah sikapnya yang sinis tadi pagi pada

Nico. Nggak enak juga marahan terus sama dia.

Tak lama kemudian, Nico tiba. Dan hal itu membuat senyum

Ira terkembang. Tapi ada sesuatu yang membuat Ira serta yang lain

penasaran.

"Ayo masuk!" Nico tampak sedang berbicara pada seseorang di

balik dinding ruangan. Semuanya penasaran, siapa sih yang malumalu itu? Nico kelihatan mencoba menarik tangan orang itu untuk

masuk secara halus.

"Ada anak baru nih, mau ikut klub kita. Kenalin, namanya

Seilla," ujar Nico setelah masuk.

Seilla hanya tersenyum malu. Tangannya masih digandeng Nico.

Ira menatap tajam ke arah genggaman itu. Nico yang sempat

melemparkan tatapan ke Ira, mulai tersadar bahwa tangannya masih

menggenggam tangan Seilla.

"Eh, sori," bisiknya pada Seilla.

"Nggak apa-apa kok." Seilla tersenyum manja, membuat Ira tambah muak melihatnya.

"Duh... ada yang cemburu nih karena punya saingan," seru Rama

dengan suara lantang. Ledekannya bener-bener nggak lucu buat Ira,

meskipun semuanya berteriak ciyeee pada Ira dan Nico.

"Duduk, Sell," pinta Nico dengan menunjuk kursi yang masih

kosong.

Setelah memastikan Seilla sudah mendapatkan kursi, Nico ber?anjak duduk ke kursinya yang sedari tadi kosong di sebelah Ira.

Namun langkahnya terhenti saat ada tangan yang menahannya.

"Nico, mau ke mana?" tanya Seilla.

"Mau duduk di sana. Itu... kursi gue," jawab Nico.

"Di sini juga kosong kok! Nico duduk di sini saja, temenin

Seilla," pintanya sambil menunjuk kursi kosong di sebelahnya.

Mata Ira mendelik melihat hal itu. Apa-apaan nih? Baru jadi

anak baru kok belagu amat, pikirnya kesal. Ia melirik Nico yang

juga menatapnya tak enak. Namun Seilla terus memaksa, akhirnya

Nico menurutinya. Rapat pun dimulai.

Dasar, cewek rese! Maunya apa sih tuh orang. Dari pagi udah

bikin gue naik pitam! Urgh..., batin Ira.

"Cemburu ya?" bisik Rama membuat Ira geli.

"Apaan sih!" kesal Ira sambil menjauhkan wajah Rama dari telinganya. "Berisik lo!"

Baru tadi gue bilang gue mau baikan sama Nico. Mungkin emang

nggak seharusnya gue punya niat kaya begitu! Kurang kerjaan aja,

pikir Ira.

Rapat kali ini membuat Ira tak bisa konsentrasi. Apalagi Bayu

hampir berkali-kali menghentikan penjelasannya demi menegur

para anggotanya yang masih meledek Ira. Ira jadi tambah bete saat

tahu Seilla sering berbisik pada Nico untuk mengajak ngobrol. Kok

tumben sih Nico lemah sama cewek? Dulu kalo gue berisik, gue diomelin mulu! Lah, ini Seilla malah didiemin aja. Dia kenapa sih...batin Ira kesal.

"Heh, bisa diem nggak? Berisik banget sih!" tegur Ira agak kasar,

membuat semuanya terdiam, juga Bayu yang lagi serius menjelaskan.

Semua orang di ruangan itu menatapnya, termasuk Seilla yang

merasa ditegur. "Kita lagi rapat. Tolong hargai Kak Bayu yang lagi

bicara di depan! Jangan ngobrol sendirian!" Tatapan Ira yang seolah-olah tak suka juga membuat Seilla sebal.

"Silakan dilanjutkan, Kak!" Ira mempersilakan Bayu untuk melanjutkan penjelasannya.

Tapi Ira nggak habis pikir karena telinganya masih menangkap

suara cekikikan Seilla yang sangat mengganggunya. Lebih tepatnya

mengganggu perasaannya.

ASAR cewek kecentilan, manja, keganjenan, berisik, cerewet,

cari muka, aarrgghh... Jadi anak baru tuh tahu diri sedikit kek! Rasanya pengin banget gue jambak tuh rambutnya! Sampai botak sekalian!" gerutu Ira sepanjang perjalanan pulang.

Hari semakin sore. Ira bukannya cepat-cepat pulang, justru memilih jalan-jalan sendirian sampai perempatan jalan raya. Padahal

jaraknya lumayan jauh. Hatinya butuh ketenangan. Meskipun percuma karena nantinya saat sampai rumah ia bakal disemprot habisha?bisan oleh mamanya karena pulang lebih malam.

Yang ia mau saat ini hanya satu. Sendirian.

Sepanjang jalan, ia cuma marah-marah. Nggak bisa ngebayangin

kalau Seilla benar-benar diterima jadi anggota Klub Jurnalistik yang

setahun ini sudah menjadi kegiatan paling nyaman untuknya. Jangan sampai kedatangan cewek itu membuatnya nggak betah berlama-lama di dalam ruang klub lagi.

"Aaaahhh!!! beteeee!!!" teriak Ira.

Din!!! Din!!!

"Aduh!" teriak Ira, kaget. Suara klakson motor membuatnya terkejut dan melompat mendadak. Hampir saja ia jatuh ke got. Untungnya ia masih bisa menjaga keseimbangan.

"Hahaha..." Terdengar seseorang tertawa melihat tingkahnya barusan. Sempat diliriknya sebentar, lalu Ira memutuskan untuk

mempercepat langkahnya.

"Ra, kamu kenapa sih? Jutek banget sama aku hari ini." Nico

mengikuti Ira dengan menjalankan motornya pelan-pelan.

"Jangan ngikutin aku!"

"Siapa yang mau ngikutin kamu? Aku mau pulang kok, kan jalan

pulang ke rumahku arahnya ke sini juga."

Ira tambah kesal mendengar tanggapan Nico. "Ya sudah, kalau

gitu jalan duluan sana. Ngapain sih jalan pelan-pelan di belakangku?" kesal Ira.

"Lho, terserah aku dong mau jalan duluan atau di belakang

kamu. Kan aku yang bawa motor."

"Aku lagi pengin sendirian, ngerti?" Ira berbalik tiba-tiba. Spontan Nico mengerem motornya. "Bisa kan ninggalin aku sendirian?!"

"Sori, Ra, aku nggak bisa. Sekarang udah mau maghrib, kamu

pa?sti dicariin mama kamu. Kamu lupa kamu nggak boleh pulang

malam? Nanti kamu dimarahin lho."

"Apa peduli kamu sih? Yang dimarahin kan aku!"

"Ra, aku tuh peduli sama kamu. Kenapa sih kamu jadi ngawur

begitu ngomongnya? Kamu kalau punya masalah sama siapa pun,

cerita dong ke aku. Aku itu ada buat dengerin semua keluh kesah

kamu, Ra. Bukan cuma ngerasain senangnya aja."

Ira menunduk, menggigit bibir bawahnya, dan menahan tangis.

Tiba-tiba ia berlari dan Nico yang kaget langsung mengejarnya.

Nico merasa ada yang tidak beres dan harus segera dibicarakan.

Nico memarkirkan motornya di depan tempat foto copy, menitipkannya sebentar pada pemiliknya, lalu mengejar Ira. Ira yang memang tidak sepenuhnya berniat lari berhasil ditahan Nico.

"Please, kamu jangan kayak gini! Kalau punya masalah sama aku,

kamu bilang dong, supaya aku ngerti," seru Nico yang tampak

kuatir.

"Lepasin! Aku mau pulang!" pinta Ira.

"Oke, kalau kamu mau pulang, aku bisa antar kamu sampai de?pan pintu rumah."

"Aku nggak mau pulang sama kamu. Aku mau sendirian!"

"Aku nggak percaya kamu akan langsung pulang kalau aku biarin

kamu sendirian, Ra! Kamu ini lagi bingung dan banyak pikiran.

Bisa-bisa kamu nggak pulang ke rumah tapi malah muterin Jakarta.

Aku akan antar kamu pulang biar aman!"

"Nggak!"

"Kalau nggak mau aku antar pulang, kamu harus cerita sebener?nya ada apa! Jangan bikin aku kuatir kayak gitu dong, Ra! Aku tuh

sayang sama kamu."

Ira terdiam. Rasanya lelah. Air matanya menetes. Tangis Ira pun

pecah. Nico memeluk cewek itu agar tenang. "Kita pulang saja,

ya!"

***

Malam harinya, di rumah Nico.

"Gue bener-bener nggak ngerti sama dia, Din. Seharian ini gue

dijutekin sama dia. Untung tadi gue ketemu dia di jalan, jadi gue

antar dia pulang. Dia nangis, Din. Mana mungkin gue nggak panik?" Nico menceritakan kejadian sore tadi ke Andin lewat telepon.

"Lo tahu nggak sih kenapa Ira jutek sama lo hari ini?"

"Kenapa?"

"Karena lo deket-deket sama tuh anak baru!"

"Hah? Jadi gara-gara gue deket sama Seilla? Ya ampun, Din, gue

sama Seilla tuh nggak ada apa-apa. Kenal aja baru tadi pagi," jelas

Nico.

"Gue juga tahu lo baru kenal sama dia. Lo juga sih, jadi cowok

nggak peka amat!"

"Kok jadi gue yang disalahin?"

"Emang lo yang salah! Harusnya lo cerita sama Ira, kenapa tuh

cewek deket-deket sama lo. Biar Ira nggak salah paham!"

"Ya mana gue tahu kalau dia salah paham gara-gara itu. Gue

juga maunya ngobrol sama dia. Tapi ya itu, dia jutek banget! Kalau

nggak gue paksa, mungkin dia nggak akan mau gue antar pulang.

Untung ketemu gue di jalan, kalau yang nemuin preman atau orang

jahat, gimana?"

"Iya-iya, gue ngerti lo kuatir."

"Lagian, kenapa Ira nggak mau cerita ke gue sih? Tahu-tahu dia

nangis. Kan gue jadi ngerasa bersalah banget. Takutnya, gue udah

berbuat fatal sampai dia kayak gitu."

"Ira bukannya nggak mau cerita sama lo, Nic. Dia cuma... cuma

nggak mau dibilang cewek yang suka ngatur-ngatur lo. Dia kan

belum jadi cewek lo, jadi dia ngerasa nggak berhak ngelarang lo

deket sama Seilla. Selama lo belum resmi jadi pacarnya, dia juga

menghargai status lo yang boleh deket sama cewek mana aja."

"Ya ampun, Din! Gue rela kok dilarang-larang sama dia kalau

itu bisa bikin gue nggak dijutekin seharian. Sumprit deh! Gue rela

dimarah-marahin atau dilarang-larang deket-deket sama tuh cewek

manja. Lagian, siapa juga yang mau ditempelin sama Seilla?"

"Hahaha... rasain! Makanya jadi cowok jangan gampangan

dong!"

"Enak aja! Gue cuma nggak tega ninggalin tuh cewek sendirian.

Dianya juga maunya ngobrol sama gue. Ya... gimana ya, udah risiko

jadi orang ganteng sih."

"Hueeek... kalo lo dibilang ganteng, gimana yang jelek? Eh, gue

kasih tahu ya, gue tuh sempet bingung nggak ketulungan, kenapa

banyak cewek yang mau jadi pacar lo. Nah, sekarang sahabat gue

ini jadi korbannya..."

"Sialan lo, Din! Emangnya gue jelek banget?"

"Hahaha... bercanda! Gitu aja diambil hati."

"Din, gue pikir-pikir, satu masalah di antara gue dan Ira itu ada?lah rasa nggak enak. Kalau kayak gini terus, bisa-bisa Ira tiap hari

nggak enak buat bilang ?jangan deket-deket sama Seilla? atau sekadar ngelarang gue ?jangan ngerokok lagi? gitu. Padahal gue mau banget dilarang-larang kayak gitu sama dia. Kapan dong temen lo itu

mau nerima gue jadi cowoknya?"

"Kenapa lo? Ngebet banget mau jadi cowoknya Ira? Lo nggak

kuat nungguin dia sampai nenek-nenek?"

" Ya ampun, Din... masa iya harus sampai tua sih?"

"Lo nggak nyaman sama hubungan lo yang sekarang?"

"Ya nggak juga sih... Cuma kan kalau HTS-an terus, kami nggak

bakal bisa saling terbuka... yang ada marah dipendam, cemburu

dipendam, kesal dipendam. Makan hati dong?"

"Lo pernah cemburu sama Ira? Gara-gara siapa?"

"Mau tahu aja lo!"

"Ya ampun, emangnya gue mulut ember! Awas lo besok-besok

ujian nggak gue kasih contekan!"

"Jahat banget sih lo jadi temen...!"

"Hahaha... makanya ngaku dulu dong!"

"Sama Rama! Sama Nicky juga...," jawab Nico cepat.

"Hahaha... hari gini cemburu sama artis? Sama sahabat sendiri

pula. Rama kan temen lo, Nic." Andin tertawa, geli pada jawaban

Nico.

"Iih, malah ngetawain gue!" ketus Nico.

"Eh, sori... Dasar, cowok ngambekan. Nggak asyik nih. Mau gue

kasih solusi?"

"Apa?"

"Ira suka mawar. Khususnya mawar pink atau putih. Lo bujuk
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

deh pakai itu."

"Yakin nih berhasil?"

"Yakin seratus persen! Gue tahu banget kesukaan dia."

"Oke deh, kalau gitu. Tapi, emangnya pagi-pagi toko bunga udah

ada yang buka?"

"Hehehe... beli bunganya di toko gue dong!" Andin tertawa menang.

"Dasar! Promosiii mulu tiap hari."

"Nggak pa-pa dong! Eh, gue denger-denger Seilla satu Klub Jurnalistik sama kalian berdua ya?"

"Nggak cuma Jurnalistik. Tuh cewek yang anggunnya kayak gitu,

rela ikut Klub Pencinta Alam demi bisa deket-deket gue!"

"Ih, pede gila lo!"

"Lo bayangin dong, Din, tuh cewek bakal teriak manja kayak apa

kalau tahu manjat tebing bikin badannya bau, kuku bagusnya patah, rambutnya lepek, badannya lecet, ya kan?"

"Hahaha... iya juga ya...."

"Udahlah! Malah ngebahas dia. Males banget. Eh, Din, sebentar

lagi Ira ulang tahun, kan?"

"Yups!"

Percakapan mereka pun berlanjut membicarakan kejutan untuk

Ira. Nico ingin memberikan sesuatu yang bisa membuat Ira kembali

ketawa. Dan Andin menyarankan surprise yang menarik.

Ira melangkahkan kakinya menuju kelas. Sesampainya di depan

pintu, ia berhenti karena seseorang menghalangi jalannya. Wajah

orang itu ditutupi oleh tiga tangkai mawar pink. Perlahan ketiga

tangkai itu turun dan wajah si pemilik mawar terlihat.

Nico tersenyum. Ira hanya diam tanpa ekspresi. Tentu ia sudah

tahu dari postur tubuhnya bahwa cowok itu Nico. Ia menunggu

Nico menjelaskan maksudnya. Tapi semuanya hancur seketika saat

terdengar teriakan melengking di dekatnya.

"Nicooo..." Tanpa harus menoleh, Ira pun tahu. Secepat kilat

Seilla merebut posisinya yang sedang berdiri di depan Nico. Kini

cewek itu berdiri di antara mereka berdua.

Ira melengos sebal, menarik napas menahan amarah. Ia berdiri

bersedekap memandangi tingkah anak baru itu.

"Nico lagi ngapain di sini? Seilla cari-cari Nico loh dari tadi,

ternyata di sini... Ayo temenin Seilla ke kelas XII IPA 2 ketemu Kak

Pandu. Kan Seilla mau isi formulir untuk ikutan Klub Pencinta

Alam...." Dengan santainya Seilla merangkul lengan Nico.

Ira mendelik tak percaya. Bukan hanya karena rangkulan tak

tahu malu itu, tapi karena mendengar cewek centil ini bergabung

dengan Klub Pencinta Alam . Pasti nih orang udah sakit jiwa!

"Ayo, Nico...." Seilla menariknya tapi Nico tak beranjak.

Ira bingung kenapa Nico diem aja dan nggak tegas. Bener-bener

berubah, dan itu hanya gara-gara cewek ini.

"Hah? Bunga mawar pink? Pasti buat Seilla ya? Aduh... Nico

tahu aja apa yang Seilla suka...." Kali ini tanpa rasa malu Seilla menyan?darkan kepalanya di lengan Nico sambil mencium bunga-bunga

itu.

"Bu-bunga ini... buat..."

"Permisi, Seilla mau lewat sama Nico." Dengan berani Seilla memo?tong omongan Nico dan menyuruh Ira minggir.

Ira tak beranjak, muak banget lihat gadis ini. Wajah sih cantik,

tapi kelakuan bener-bener bikin orang ingin menjambak rambutnya.

Nyebelin banget!

"Nggak denger ya?" Seilla meninggikan suara. Wajahnya mulai

se?ngak.

Saking kesalnya, Ira merebut bunga yang ada di tangan Seilla

dengan kasar, kemudian membuangnya ke tempat sampah. "LhoBunga Seilla kok dibuang?" protesnya.

"Bunga itu bukan buat lu!" Ira marah.

"Oh ya? Terus buat siapa? Buat kamu? Nggak mungkinlah! Jelasjelas Nico ngasih bunga itu ke Seilla!" seru Seilla dengan suara

meninggi.

"Yang gue lihat, Nico nggak ngasih bunga itu ke lu, tapi lu yang

ngerebut bunga itu dari tangan dia!!" balas Ira dengan suara yang

tak kalah tinggi.

Suasana makin tegang, anak-anak kelas XI mulai keluar kelas

untuk menonton. Tak seorang pun mau ketinggalan melihat keributan kecil ini. Bahkan beberapa siswa dari kelas X dan XII berdatangan dan berkerumun karena penasaran dengan keramaian di koridor

kelas paling ujung itu.

"Lo nyadar nggak sih kalau lo itu nyebelin? Sikap lo ini tuh be?ner-bener bikin orang muak!" Ira nggak bisa berpikir jernih lagi. Ia

melampiaskan kekesalannya pada cewek di hadapannya itu. "Lo

tahu diri dikit dong! Lo itu anak baru. Jadi jangan kecentilan! Lo

kira kehadiran lo di sini bisa bikin banyak cowok tergila-gila sama

lo? Ngaca dong! Ini sekolah, bukan salon atau ajang jadi model!

Jadi lo nggak perlu pakai makeup kayak ondel-ondel gitu!"

Seilla diam. Wajahnya pucat. Ingin sekali ia membalas ucapan

Ira, tapi mulutnya tidak terbuka sama sekali.

"Gue tahu lo anak baru. Tapi bukan berarti lo berhak jadiin

Nico baby sitter lo yang siap nganterin lo ke mana aja! Dia juga

punya waktu buat sendirian, bukan cuma buat lo!" tambah Ira.

"Kamu kenapa sih? Nico aja yang dimintai tolong nggak masalah, kok malah kamu yang marah-marah? Emangnya kamu siapaPacarnya? Bukan, kan?" balas Seilla.

Bukan hanya Ira yang kaget, tapi juga semua orang yang berkerumun di sekitar mereka. Kali ini Ira tersinggung. Ia sadar ia bukan

siapa-siapa Nico. Tapi, apakah ia nggak boleh cemburu kalau cowok

yang ia sayangi didekati cewek lain"Gue tahu gue bukan ceweknya Nico! Dan gue tahu diri kok.

Nggak kayak lo! Tapi paling nggak, lo tanya dong sama Nico, dia

punya cewek atau nggak, atau ada nggak cewek yang dia suka! Dan

kalau lo udah tahu tentang itu, tolong lo hargai gue! Kalau mau

mesra-mesraan jangan di depan gue, ngerti?" Ira merasa cukup dengan ucapannya. Ia juga yakin ucapannya nggak akan salah. Ira

bukan ge-er, Nico memang suka padanya. Setelah menatap Seilla

beberapa saat, ia berbalik dan melangkah pergi.

"Minggir!" bentak Ira pada semua orang yang menghalangi jalannya.

"Nico...." Seilla memanggil cowok yang masih ia rangkul itu. "Salah Seilla apa? Nico bisa kasih tahu?"

Tanpa menatap Seilla, Nico melepas paksa tangan cewek itu. "Lo

pikir aja sendiri." Nico pun pergi meninggalkannya sendirian. Seilla

melihat Nico yang menghampiri Andin, dan tak lama tampak

Andin menunjuk ke arah UKS.

Semua mata masih memandangi Seilla. Kali ini ia merasa pipinya panas dan matanya memejam, menitikkan air mata. Saat ia

membuka mata, Andin sudah berdiri di depannya.

"Jadi anak baru tuh jangan berlagu makanya. Gue kasih tahu ya,

Ira sama Nico itu saling suka. Jadi jangan harap lo bisa dapetin

Nico," seru Andin.

Seilla kesal dan mencibir pada Andin yang beranjak pergi.

UKS SMA Lokardatika.

Ira meminta izin pada Imel, anggotaR yang piket jaga UKS,

untuk tidur. Ia ingin tidur-tiduran di UKS dan tidak ikut pelajaran.

Awalnya Imel terlihat bingung dan ragu, tapi akhirnya ia mengizinkannya karena tak tega melihat cewek itu yang menangis sesengguk"Ra, gue harus masuk kelas. Lo serius mau di sini?" tanya Imel

yang Ira punggungi.

"Iya, lo masuk kelas aja. Jangan peduliin gue. Gue nggak sakit

kok. Gue cuma mau di sini, sendirian," jawab Ira yang tiduran di

tempat tidur. Isak tangisnya masih terdengar.

"Oke, kalau gitu, gue tinggal ya?"

Ira mendengar pintu UKS terbuka dan tertutup kembali. Ia

menangis sepuas hati. Ia bener-bener nggak tahu harus bagaimana.

Ia puas karena bisa marah-marah sama Seilla. Tapi ia sedih karena

Nico seperti membela Seilla dengan sikapnya yang diam saja.

Dulu, Ira tak langsung menerima Nico menjadi pacarnya bukan

karena ia tak yakin pada perasaannya. Ia malah yakin betul hatinya

ingin dimiliki dan memiliki Nico seutuhnya. Tapi Ira hanya ingin

mengujinya. Menguji cinta Nico. Ia hanya ingin tahu kesetiaan dan

keseriusan Nico dalam menyayanginya. Apakah Nico bisa menyayanginya meskipun sebulan, dua bulan, setahun, atau bahkan sepuluh tahun lagi Ira baru menerima cintanya.

Tapi sekarang ia justru merasa dibakar oleh api cemburu setiap

kali Seilla mendekati Nico. Sepertinya, Nico senang melihat Ira

menderita seperti sekarang, menangis sesenggukan, dan marah-marah di depan orang banyak seperti tadi. Sebenernya, apa sih yang

ada di otak Nico? pikir Ira. Ia terus menangis dan tidak mengikuti

pelajaran sampai jam istirahat.

Diam-diam, di jam pelajaran keempat, Nico dan Andin izin per?gi ke toilet, padahal mereka ingin menemui Ira yang tertidur di

UKS.

Andin sedih melihat sahabatnya. Nico jadi menyesal harus memberikan bunga mawar tadi pagi. Yang ia dapat bukan hubungan

yang membaik, justru berantakan seperti sekarang.

"Maafin aku, Ra...," bisik Nico sambil mengelus pelan kepala

Ira.

"Nic, jangan diganggu dulu. Nanti dia bangun," bisik Andin.

Nico mengerti maksud Andin. Ia memandang lekat-lekat Ira

yang terpejam. Matanya terlihat sembap, hidungnya merah, karena

terlalu lama menangis. Tidurnya tampak pulas sampai-sampai tidak

sadar ada Nico dan Andin yang menghampirinya.

Nico mengajak Andin agak menjauh dari tempat tidur. "Din, gue

nggak bisa ninggalin Ira sendirian. Tidurnya pulas banget. Dia bahkan nggak tahu kita datang. Gimana kalau ada yang berniat jahatin

atau usilin dia? Gue nggak tenang!"

"Terus, lo mau nungguin dia di sini?" tanya Andin bingung.

"Ya iya lah. Nggak mungkin gue ninggalin dia."

"Terus, kalau Pak Rois nanya lo ke mana?"

"Bilang aja lo nggak tahu, gampang, kan? Lagian, kita izin ke

toilet juga nggak barengan."

"Tapi ini kan kamar UKS cewek. Ntar gima..."

"Udah... lo nggak usah mikirin itu."

Andin berpikir sejenak, tapi mengangguk juga. Ia pun segera

kembali ke kelas. Nico mengambil kursi dan duduk di sebelah tempat tidur. Menjaga dan menunggu Ira sampai bangun dari tidurnya.

RA membuka matanya yang begitu berat. Kepalanya pusing. Sekilas cahaya menusuk matanya. Silau, pikirnya.

Ira mendelik saat menyadari dirinya ada di kamarnya sendiri. Jendela kamar yang terbuka membuat cahaya matahari langsung bersinar ke arahnya. Angin sepoi-sepoi terasa bertiup lewat jendela.

"Kok... gue...?" Ira duduk dengan bingung.

Pintu kamarnya terbuka, Haris masuk sambil membawa segelas

susu. "Udah bangun, Mbak?" Haris meletakkan susu hangat itu di

meja belajar Ira.

"Ris, Mbak kok ada di kamar? Seingatku, Mbak ada di sekolah...," tanya Ira.

"Kemarin siang Mbak diantar pulang teman Mbak Ira. Kalau

nggak salah namanya..."

"Siapa? Rama? Andin?"

"Bukan. Nico."

"Nico?" gumam Ira. "Kok bisa?"

"Kemarin kata Mama, Mbak Ira sakit. Badannya panas. Terus

Mbak diantar pulang Mas Nico karena Mbak nggak bangun-bangun pas tidur di UKS. Mama sampai panggil dokter ke rumah

loh, Mbak."

"Dokter?" Ira semakin bingung. "Sekarang Mama di mana?"

"Lagi masak bubur di dapur. Nih, Mbak, diminum." Haris mengambilkan susu hangat yang tadi ia taruh di meja.

Ira meminumnya sampai habis. Kemudian Haris pergi membawa

gelas bekas susu Ira ke dapur. Ira merenung sendirian di kamar.

Nico nganterin gue pulang? Ngapain sih dia sok baik? Emangnya dia

nggak dicariin Seilla? batin Ira. Ia segera membaringkan tubuhnya

lagi saat merasakan kepalanya kembali pusing.

Keesokan harinya....

"Mbak Ira, Mbak Andin datang nih," kata Haris dari balik pintu

yang sedikit terbuka.

Ira baru saja meminum obatnya saat Haris muncul. "Oh, suruh

masuk deh," jawab Ira.

Tak lama kemudian, Andin datang sambil membawakan apel

kesukaan Ira. "Ira...." Andin langsung memeluk Ira yang masih lemah.

"Hai," jawab Ira lemas.

"Gimana keadaan lo, Ra?"

"Udah mendingan sih. Pusingnya nggak terlalu terasa."

"Kok bisa sakit begini sih?"

Ira mengangkat bahu. "Baru balik dari sekolah?" tanya Ira karena

mendapati Andin masih mengenakan seragam.

"Iya. Sebenernya, niat gue sih mau datang bareng Nico, tapi dia

mendadak nggak bisa. Katanya ada urusan sama Seilla."

"Seilla lagi, Seilla lagi. Gue sakit aja dia nggak peduli, kan? Ah,
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

emang sia-sia gue ngasih dia harapan!"

"Jangan gitu, Ra. Nico sayang kok sama lo...."

"Basi ah! Aduh...!" Ira merintih sambil memegangi kepalanya.

"Kenapa? Pusing ya? Tiduran gih, gue pulang aja ya, biar lo bisa

istirahat."

"Din, gue kan baru ketemu sama lo...."

"Besok gue ke sini lagi deh. Oke? Sekarang lo istirahat aja ya."

"Hm... ya udah deh." Tak bisa dipungkiri lagi bahwa rasa sakit

di kepalanya memang dahsyat.

"Gue pulang dulu. Cepat sembuh ya!" pamit Andin. Tak lama

kemudian, Ira tertidur pulas karena efek obat yang diminumnya

tadi.

Seperti janji Andin kemarin, ia datang lagi menjenguk Ira. Saat

diberitahu Haris bahwa Andin datang bersama Nico, Ira langsung

menolak.

"Bilang sama Mbak Andin, Mbak nggak mau ketemu Nico!

Titik!" Haris pun menuruti. Ia segera keluar menemui Andin.

"Mbak Andin, Mbak Ira nggak mau ketemu sama Mas Nico...,"

bisik Haris.

"Oh gitu?" tanya Andin. "Ya udah, kamu temenin Mbak Ira dulu,

Mbak Andin mau ngomong sebentar sama Mas Nico."

Haris pun masuk kembali ke kamar Ira. Andin menatap Nico

nggak tega. "Ira nggak mau ketemu lo."

"Kenapa? Gue kan mau jenguk dia," protes Nico.

Tiba-tiba mama Ira menghampiri mereka berdua. "Maaf ya, Nak

Nico. Tante nggak bisa ngelarang Ira kalau maunya dia sudah se?perti itu. Tante sih nggak melarang Nak Nico menjenguk...," sambung mama Ira yang merasa tak enak hati.

Nico terdiam sebentar, lalu menghela napas. "Nggak apa-apa

kok, Tante. Mungkin Ira lagi kesal sama saya. Ya sudah, saya titip

salam saja buat Ira. Semoga dia cepat sembuh. Permisi, Tante."

Nico pun pulang dengan perasaan kecewa. Ia rindu sekali pada Ira,

tapi ia justru tak bisa menemuinya.

Setelah Nico beranjak, mama Ira mempersilakan Andin untuk

ke kamar Ira.

"Ada apa sih?" tanya Andin saat sudah di kamar Ira.

"Pokoknya gue nggak mau ketemu dia!" tolak Ira.

"Ra, kemarin-kemarin kan lo susah banget ngomong sama Nico,

gara-gara ada Seilla. Nah, selagi ada kesempatan buat ketemu, lo

malah ngusir dia..."

"Pokoknya gue nggak mau...!" Ira menutup wajahnya dengan

guling, membuat Andin tak bisa berbuat apa-apa. Andin tahu betul

sifat sahabatnya ini. Lebih baik dituruti, daripada nanti dia malah

kena omelan juga.

Drrrttt... Drrrttt...

"Ra, HP lo getar tuh," kata Andin.

Semoga kamu cepet sembuh. Aku kangen kamu, Ra.

Sender : Nico

Andin dan Ira bertatapan. Dengan segera ia menutup SMS itu

dan tak menghiraukannya. Ia tak punya niat untuk membalasnya.

Di kejauhan sana, Nico semakin putus asa karena tak juga mendapat balasan dari Ira.

Setelah dua hari absen, akhirnya Ira kembali ke sekolah, meski tubuhnya belum pulih benar dan suhu tubuhnya belum normal.

Dengan jaket pink kesayangannya, Ira melenggang ke kelas. Semua teman menyambutnya.

"Selama lo nggak masuk, tuh anak baru makin nempel sama

Nico, Ra," cerita Ine.

"Bodo ah!" tepis Ira pura-pura nggak peduli.

"Lo sakit apa?"

"Cuma demam kok."

"Untung Nico nemenin lo di UKS. Kalau nggak, nggak ada yang

tahu kalau lo ternyata pingsan...."

"Lo tahu dari mana?"

"Kami semua kan kuatir sama lo, Ra. Kami cuma bisa nanya

kabar lu ke Andin. Kan cuma dia yang bisa jenguk lo tiap hari."

"Oh...."

"Btw, kenapa Nico nggak boleh ketemu sama lo?"

"Gue nggak mau ketemu dia. Lagi pula, dia nggak perlu kok

repot-repot jenguk gue. Itu kan sama saja dia ngebuang waktu yang

harusnya bisa dia pake berdua dengan Seilla."

Ine menggeleng-geleng saat mendengar komentar Ira. Ia benarbe?nar bingung dengan kisah cinta kedua teman satu klubnya ini.

Sebulan kemudian. Ruang Klub Jurnalistik, sepulang sekolah.

Setelah menjalankan seleksi wawancara untuk calon anggota baru

Klub Jurnalistik, akhirnya tiba saat-saat yang paling mendebarkan

bagi mereka. Pengumuman penerimaan sudah disebar melalui selebaran dan mading sekolah. Salah satu finalis yang diterima adalah

Seilla.

Ira mendengus sebal membaca selebaran yang di dalamnya ter?tulis nama lengkap Seilla Amalia Dinda. Kok bisa sih dia diterima

jadi anggota? batin Ira.

Namun, ada hal yang menggembirakan. Ira bangga pada diri

sendiri karena dipercaya oleh teman-teman satu klubnya untuk

memegang jabatan Ketua Klub Jurnalistik. Tak pernah ia bayangkan

ia bisa menjadi pemimpin klub yang paling dibanggakannya.

Jabatan tertinggi, tugas berat dan menumpuk, sudah menjadi

tanggung jawab Ira sekarang, bukan lagi milik Bayu. Walaupun

beberapa minggu ini, Bayu masih suka membantu dan memberi

masukan di tengah kesibukannya sebagai siswa kelas XII.

Keberuntungan menjadi ketua tidak hanya datang untuk Ira.

Tahun ini Nico juga terpilih sebagai ketua di Klub Pencinta Alam

-nya. Dia memang terlihat paling bersemangat dan sangat mencintai

alam. Kesibukan juga menghampiri Nico, sama seperti Ira. Ira

tampak senang dengan jabatan baru Nico yang membuatnya lebih

banyak meluangkan waktu di Klub Pencinta Alam . Maka peluang

Seilla untuk lebih dekat dengan Nico semakin sempit.

"Rama!" sapa Ira sambil mendekati Rama yang sibuk dengan

tugasnya mengedit artikel untuk bahan majalah edisi tiga bulan ke

depan.

"Hai," balas Rama sambil terus mengetik. "Tumben ke sini? Padahal nggak ada rapat loh..."

"Gue kan udah dikasih jabatan tertinggi, jadi penting nggak penting, ada nggak ada rapat, harus sering-sering muncul di sini." Ira

duduk di sebelah Rama sambil melihat yang Rama kerjakan.

"Iya juga ya... Berarti, sebagai wakil lo gue juga harus sering-sering muncul di sini ya."

"Kita memang serasi ya!"

"Tapi lebih serasi kalau Nico yang dapat posisi gue."

Ira terdiam saat Rama menyinggung soal Nico. "Eh, editan lo

kapan nih kelarnya?" Ira mengalihkan pembicaraan.

"Seminggu lagi mungkin. Soalnya data dari Nico dan anak-anak

lain belum sampai ke tangan gue."

"Oh..." Ira manggut-manggut.

"Ra, lo sama Nico kenapa jadi menjauh sih? Nggak bareng-ba?reng lagi kayak dulu." Pertanyaan Rama benar-benar membuat Ira

malas. Ira pun bangkit. "Mau ke mana?" tahan Rama cepat.

"Pulang...!"

Rama berdiri. "Lo kenapa sih? Sumpah deh, Ra, lo itu nggak

se?perti Ira yang gue kenal, tahu nggak?"

"Peduli apa sih lo tentang gue? Tahu apa sih lo tentang gue?" Ira

kesal.

"Yang gue tau, lo itu sekarang pengecut! Nico juga pengecut!

Kalian sama-sama pengecut! Kalian sama-sama lari dari kenyataan.

Bisanya cuma saling menghindar. Nggak ada satu pun yang punya

inisiatif untuk menyelesaikan masalah. Gengsi aja yang ditinggiin!

Kalau kalian kayak gini terus, sampai kapan pun hubungan kalian

nggak akan pernah baik, Ra!" ujar Rama.

Ira hanya terdiam. Ia duduk di kursi, tak juga menanggapi ucapan Rama.

"Lo sayang nggak sih sama Nico?" tanya Rama tanpa pikir panjang.

Ira mengangguk pelan tapi pasti. Kali ini ia tak mungkin menghindar. Sedikit pun ia tak bisa membohongi perasaannya. Kalau

bukan sayang, buat apa ia nangis-nangis sampai jatuh sakit waktu

di UKS.

"Kalau lo sayang sama Nico, harusnya lo jangan menghindar

kayak gini, Ra. Lu bilang sama Nico sejujurnya. Dan... kalau lo

cemburu sama Seilla, lo bilang aja sama Nico, supaya Nico bisa

jaga perasaan lo. Nggak perlu deh marah-marah sama Seilla kayak

waktu itu. Karena kalau gue bilang sih, cewek manja macam Seilla

nggak akan mungkin ngerti omongan lo. Yang dia mau cuma nge?deketin Nico."

"Nggak mungkin, Ram! Gue nggak mungkin ngomong sama

Nico kalau gue marah, cemburu, kesal, bete, atau apa pun lah! Dia

bukan siapa-siapa gue... Gue bukan pacarnya, Ram...."

"Apa lo bilang? Jadi bener, lo sama dia masih HTS-an? Gila...

betah banget!"

"Tapi... untunglah kami belum jadian. Karena kalau kami udah

jadian, pasti Nico makin nggak enak buat mutusin gue cuma demi

bisa pacaran sama cewek secantik Seilla."

"Lo ngomong apa sih! Nggak mungkin Nico kayak gitu."

Ira bangkit dan mendekati jendela, melihat pemandangan di luar

sana. Di pinggir lapangan itu..., "Lo liat deh, di sana ada siapa...."

Rama penasaran dengan apa yang Ira lihat. Akhirnya matanya

mengikuti arah yang Ira tunjuk. Di sana ada sekumpulan anak-anak

Klub Pencinta Alam sedang latihan fisik. Di antara belasan anggota,

ada sepa?sang anggota yang tampak asyik saling membantu. Nico

terlihat tertawa-tawa dengan Seilla yang nggak bisa mengangkat

tubuhnya demi melakukan sit up dengan sempurna. Akhirnya

mereka justru bercanda-canda membuat orang lain iri melihatnya.

Ira menghela napas panjang memandangi orang yang disayanginya bersama cewek yang sangat dibencinya. Ia jadi teringat masa

lalu, ketika Nico selalu bersamanya. Kapan itu semua akan kembali? Rasanya seperti sudah terlupakan bertahun-tahun yang lalu.

Lamaaa... sekali.

"Gue pulang dulu, Ram." Ira keluar ruangan tanpa mendengar

ucapan Rama yang menyuruhnya untuk tetap tinggal.

Sebelum pulang Ira mampir ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Ia memutuskan untuk keluar ruang Klub Jurnalistik karena

tak ingin Rama melihat air matanya jatuh.

Ira menatap wajahnya di cermin wastafel, lalu mengusap air

matanya dengan tisu. Ia harus segera pulang karena harus mempersiapkan bahan-bahan untuk praktik biologi besok pagi. Belum lagi

tugas mengarang bahasa Inggris yang belum sempat ia sentuh.

Ira meraih gagang pintu hendak keluar dari sana. Tapi yang ia

dapat justru pintu kamar mandi yang terdorong ke dalam dengan

gerakan kasar dan mendadak. Alhasil kening Ira yang jadi sasaran

dan ia mengaduh kesakitan.

BRAK!

"Auw!" teriak Ira dan memegangi keningnya.

"Eh, maaf ya, Seilla nggak tahu ada or"

"Lo!" Ira langsung naik darah saat tahu Seilla yang membuka

pintu. "Buka pintu tuh pakai perasaan dikit dong!" bentak Ira.

"Hahaha... jangan marah-marah terus dong! Kenapa sih, kalau

Ira ketemu Seilla bawaannya marah-marah mulu?" ujar Seilla tanpa

merasa bersalah.

"Ya jelaslah gue marah-marah sama lo. Lo itu selalu bikin masalah! Apalagi, lo itu anak baru tapi belum juga ngerjain tugas klub!

Lo tahu nggak deadline majalah sebentar lagi? Jangan sampai gue

mecat lo karena ulah lo sendiri ya!" ancam Ira.

"Ahh... udah-udah! Berisik tahu! Minggir, Seilla kebelet!" Ira

membiarkan Seilla masuk ke kamar mandi.

"Untung tuh cewek sudah masuk. Kalau nggak... ugh!" kesal Ira.

Ira membuka pintu dan keluar. Ia berdiri di depan kamar mandi

agak lama sambil mengusap keningnya berkali-kali. "Duh... gila,

jidat gue bisa benjol nih!"

Ira melihat sekeliling sambil terus merutuki Seilla yang masih

ada di dalam. Tak disangka, seseorang berjalan setengah berlari ke

arahnya. Jantung Ira langsung berdegup kencang. Perasaan inilah

yang sudah beberapa minggu ini tidak ia rasakan.

"Nico?" gumamnya.
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ira masih terpaku sampai akhirnya cowok itu berdiri di hadapannya. Ia tak juga bersuara, menunggu Nico berbicara.

"Hai, Ra!" Akhirnya nama Ira disebut juga. Kelegaan memenuhi

hatinya saat ini. Rasanya plong bukan main. Ira semakin kaget saat

Nico meraih tangannya. Ia menatap Nico yang mulai membuka

mulut hendak bicara.

"Nico?"

Suara itu lagi!!! geram Ira dalam hati.

"Lagi ngapain di sini? Sama Ira lagi!" Seilla terdengar malas dengan keberadaan Ira. Tanpa pikir panjang, Ira langsung menepis

kasar tangan Nico dan beranjak pergi. Padahal cowok itu belum

sempat mengatakan apa yang ingin ia utarakan.

"Ra, tunggu!" Panggilan Nico tak ia hiraukan. Ira terus berjalan

meninggalkannya.

"Nico, masa tadi Ira marah-marah sama Seilla." Dengan santainya Seilla memeluk tangan Nico.

"Marah kenapa?" tanya Nico penasaran.

"Nggak tahu deh. Nggak jelas. Dia sempat ngomongin tentang

deadline majalah gitu deh...."

"Ya ampun!" teriak Nico tiba-tiba.

"Nico kenapa?"

"Gue belum wawancara ketua OSIS SMA 38!! Padahal harus

gue serahin besok ke Rama!" serunya.

"Duh, kirain apa! Nico nih panikan ya orangnya? Seilla kasih

tahu ya, masalah kayak gitu nggak usah diburu-buru deh, nanti

juga majalahnya terbit kok!"

Tiba-tiba Nico menepis kasar tangan Seilla. Ia menatap cewek

itu tajam. "Gue kasih tahu ya!" Seilla kaget dan bingung. "Deadline

bukan main-main! Jangan sampai gue atau siapa pun berani ambil

tindakan untuk mecat lo dari klub. Segera kerjakan apa yang bisa

lo kerjakan! Ngerti?" Nico pun pergi.

"Iiihh... Nico! Apa-apaan sih! Nggak penting, tahu nggak!" teriak

Seilla dengan manja. Namun Nico tak peduli. "Duh... gue dapat

tugas bikin komik. Gila apa! Nggak bisa gambar, tapi disuruh bikin

komik. Mati deh gue... Mana besok juga harus diserahin ke Rama...

Ah, bodo ah! Gue bolos aja!" ujar Seilla pada dirinya sendiri. Lalu

mengambil tas dan bergegas pulang ke rumah.

Beberapa hari berikutnya...

UMBEN banget sih ada rapat dadakan! Nggak pada mikir apa

kalau gue besok ada tugas presentasi biologi, PR disuruh nulis dialog bahasa Inggris, sama PR matematika dua puluh nomor! Nyebelin deh!" Ira terus berjalan menuruni tangga dengan kecepatan

tinggi. Ia yakin dirinya sudah telat setengah jam. Ia baru keluar

kelas karena guru fisika-nya, Bu Dini? memberinya materi tambah?an.

Ira berusaha berlari, tapi buku-buku IPA yang tebal di tangannya

ini sangat berat. Belum lagi rok panjang yang menahan langkahnya.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu.

"Loh, gue kan ketuanya... Kenapa gue nggak tahu kalau mau

rapat? Harusnya kan gue yang buat jadwal rapat. Tapi sekarangHuh! Siapa sih yang bikin jadwal rapat seenaknya? Nggak bilang180

bilang dulu!" Ira terus saja berbicara sendiri . Sampai akhirnya ia

sampai di depan ruang klub.

Ia membuka pintu. Sepi. Kosong. Tak ada satu pun orang di

dalam sana. Meja rapat tampak rapi. Seperti tak ada rapat di sini.

Ira bingung tapi tetap memutuskan masuk. Ia meletakkan bukubuku dan tasnya di meja. "Gimana sih? Katanya rapat? Kok sekarang nggak ada orang? Mana Rama?" gerutunya sebal pada Rama

yang tadi mengirimkan jarkom rapat padanya.

"SURPRISE!!!" Teriakan yang terdengar serentak dari belakangnya menuntut Ira untuk menoleh dan menutup mulutnya dengan

kedua telapak tangan. Ia tak menyangka teman-teman klubnya akan

membuat kejutan ulang tahun untuknya. Ira tak kuat menahan air

matanya agar tidak jatuh. Apalagi ada kue ulang tahun dengan lilin

angka 17 menghampirinya perlahan.

"Happy birthday... IRA...!!!" Lagu selesai dinyanyikan. Bayu yang

membawa kue menyuruh Ira untuk memejamkan mata, make a

wish sebelum meniup lilin.

Ira pun memejamkan matanya dan memohon.

Aku ingin bisa jadi penulis juga wartawan handal suatu hari nanti.

Aku juga ingin selalu bersama-sama dengan keluargaku. Aku juga

ingin Andin selalu jadi sahabat setiaku. Aku bahkan ingin Klub Jurnalistik tetap jaya. Dan aku... ingin Nico bisa menjadi seseorang yang

selalu ada di sisiku, baik suka maupun duka... Amin... ucap Ira dalam hati lalu ia membuka matanya.

"Tiup lilinnya!" seru Rama

Ira meniup lilinnya sambil menangis. Tapi senyuman tetap mengembang di wajahnya. Fuuuh... fuuuh!

"Yeee... Selamat ya, Ira!" seru semuanya. Satu per satu teman181

teman Ira mengucapkan selamat, menjabat tangannya. Beberapa

bahkan mencubit pipinya sesekali. Ia sangat bahagia.

Saatnya potong kue. Kue ulang tahun hasil patungan anggota

satu klub diletakkan di meja. Ira memegang pisau, siap memotong

kuenya. Rama mendampingi di sebelahnya. Mata Ira perlahan mencari-cari sosok Nico yang tak kelihatan sejak tadi.

"Buat siapa nih potongan pertamanya?" tanya Bayu.

Ira bingung harus memberikan potongan kue ini kepada siapa.

Nico nggak ada di sebelahnya. Padahal potongan kue ini hanya

ingin ia berikan ke cowok itu. "Buat Rama!" Ira mengulurkan potongan kue itu.

"Wah, jadi nggak enak!" Rama menerima kue itu. "Makasih ya!"

tuturnya sambil membelai kepala Ira lembut.

Ira tersenyum. "Sekarang, kuenya dibagi rata aja. Dimakan samasama!" ucap Ira dan pisau kue beralih pada Ine. Tangannya segera

memotong kue itu sama besar, menjamin semua anak dapat satu

potong.

Ira beranjak ke pintu, mencoba mencari-cari sosok Nico. Ia berharap cowok itu membuat kejutan lain untuknya. Hatinya langsung

tak tenang saat memperhatikan ruang klub dipenuhi orang. Rupa?nya Seilla juga tak ada di sana. Masa Nico lagi berduaan sama

Seilla? Ira bertanya-tanya.

"Kok sendirian di sini? Nggak ikut makan kue?" tanya Rama

yang tiba-tiba mendekatinya.

Ira menggeleng. "Nggak. Gue kenyang," jawab Ira beralasan.

"Enak loh. Kue ini gue yang milihin. Gue kan tahu lo suka

chocolate bluberry cake."

Ira tak berselera meskipun ia doyan banget kue itu. Kemudian

ia cemberut. "Tuh anak ke mana sih? Bener-bener nggak peduli

sama gue! Hari ini tuh hari paling spesial buat gue. Tapi dia malah

nggak ada di sini."

"Sabar ya! Lagi ada urusan kali,"

"Tahu ah!"

"Hubunganku sama Nico makin nggak jelas, Ky. Dia jadi jauh

banget dari aku. Padahal aku nggak mau kami jadi begini. Semuanya gara-gara cewek manja itu!" kesal Ira.

Sore ini Ira bolos les. Nicky mengajaknya makan ke sebuah cafe

di daerah Kemang. Meskipun sudah menikah, rupanya dia tetap

ingat ulang tahun Ira. Ira sudah menghabiskan dua gelas jus alpukat. Tapi ceritanya tentang Nico tak kunjung usai.

"Dulu aku nggak langsung nerima cinta Nico bukan untuk nge?liatin dia terus-terusan sama cewek lain, Ky! Kenapa sih dia nggak

sadar juga kalau aku tuh nggak suka lihat dia deket-deket Seilla!

Hargain dikit kek perasaanku," tambah Ira.

Nicky tersenyum. "Kalau boleh ngasih saran, aku rasa udah saatnya kamu menerima Nico jadi pacarmu, Ra. Nico cuma butuh kepastian dari kamu, itu aja. Dan sebagai cewek, kamu juga pasti

butuh kepastian dan ketegasan yang jelas, kan? Nah, kalau dari

kamunya sendiri belum bisa ngasih dia hubungan yang pasti, Nico

pun nggak akan bisa bersikap seperti yang kamu mau."

"Nggak segampang itu, Ky.... Nico udah nggak ingat lagi sama

aku. Aku rasa... dia udah suka sama Seilla. Dulu aku yang selalu

ada di deketnya. Tapi sekarang, ke mana-mana, Nico selalu

ditemani Seilla. Bahkan hari ini, mereka berdua nggak ada di pesta

kejutan tadi...."

Nicky memberikan Ira tisu lagi. Cewek itu mengusap air matanya. "Emangnya kamu tahu dari mana kalau Nico suka Seilla?"

"Aku kan cewek, Ky! Insting cewek itu selalu bener!"

"Oh ya? Nggak juga kali! Jangan percaya sama insting deh!

Kamu itu bukan percaya sama insting tapi justru negative

thinking!"

"Pokoknya Nico suka sama cewek lain!" ngotot Ira.

"Kenapa kamu jadi ngotot begitu sih? Berarti kamu mau dong

kalau hal itu terjadi?"

Ira menutup wajahnya dengan tangan. "Aku nggak mau.... Aku

cuma mau jujur sama Nico kalau aku sayang sama dia. Dulu, kemarin, sekarang, besok, mudah-mudahan seterusnya...."

"Ya-ya-ya, aku ngerti. Yang kamu harus lakukan sekarang, bilang

sejujurnya sama dia dan menerima dia jadi pacarnya. Selesai,

kan?"

"Nggak segampang itu, Ky! Semuanya udah terlambat!" kesal

Ira.

"Ra." Nicky meraih tangan Ira yang menutupi wajahnya.

"Nggak ada kata terlambat untuk bilang jujur sama orang yang kita

sayangi. Lebih baik jujur daripada akhirnya menyesal karena nggak

pernah melakukannya. Oke?" Nicky menatap mata Ira lekat-lekat.

"Kamu harus berjuang! Kamu sama Nico sudah memulainya bersama-sama. Jangan berhenti di tengah jalan hanya karena kesalahpahaman. Kalian harus mengakhiri masalah ini bersama-sama.

Dengan ketulusan. Itu aja kok!"

Ira termenung, memikirkan setiap kata-kata Nicky yang benar184

benar menyentuh hatinya. Sebuah lagu yang mengalun lembut,

menusuk hatinya, membuatnya makin teringat Nico.

Aku masih termenung di tengah kesepian

Berharap sesuatu yang tak pasti

Engkau sangat menjeratku

Sungguh ku hanya inginkan dirimu yang tlah memiliki

Iblis di dalam hati ini

Terus mengusik keyakinanku

Ku bertanya apakah aku bisa

Memiliki hatinya

Aku merasa tenang saat ku mencoba

Untuk selalu membayangkan wajahmu

(d?Masiv, Dilema)

Mobil Nicky berhenti di depan pagar rumah Ira. Setelah Ira merasa

tenang dan puas bercerita, akhirnya Nicky mengantar Ira pulang.

"Ky, makasih ya hari ini kamu mau dengerin curhatanku. Aku

nggak mungkin cerita sama Nico. Biasanya dia yang jadi tempat

curhatku, selain Andin."

"Sama-sama, Sayang. Duh... adikku ini jangan sampai nangis lagi

ya! Tahu nggak, muka kamu tuh lebih manis kalau tersenyum? Ayo

senyum!" seru Nicky sambil membelai kepala Ira.

Ira pun tersenyum pada Nicky. "Apaan sih kamu! Bikin aku geer

aja!"

"Oh iya, aku punya hadiah buat kamu."

"Apa?"

Nicky tampak berusaha mengambil bungkusan besar di kursi

belakang. Tak lama setelah menerima kado itu, Ira langsung membukanya. Sebuah boneka Teddy Bear berukuran setengah badan

kini ada dalam pelukan Ira. "Kamu suka?"

"Aku suka banget...." Ira langsung kegirangan.

"Hei, aku baru sadar kamu manggil aku Nicky lagi. Kan aku

udah bilang, panggil aku Kiky, oke?"

"Iya-iya... Maaf deh. Makasih ya!"

"Eh, kayaknya kamu kedatangan tamu deh, Ra?" seru Nicky sambil menerawang ke arah teras rumah, membuat Ira menoleh.

"Itu kan... Nico!" Ira kaget dan bertanya-tanya.

"Oh ya? Jangan-jangan dia udah nungguin kamu dari tadi sore."

"Sekarang jam berapa?"

Nicky melihat jam tangannya. "Hampir setengah delapan. Ya

udah, kamu samperin Nico, gih! Siapa tahu malam ini masalah

kalian bisa selesai. Aku pamit dulu ya?"

"Kamu nggak mau mampir?" Ira menahan gerakan tangannya

yang akan membuka pintu mobil.

"Hm... kayaknya nggak dulu. Ayesa udah nunggu aku di rumah."

"Oh, ya udah, kalau begitu. Salam buat Ayesa ya!"

"Iya. Dah!"

Ira keluar dari mobil Nicky dan melambaikan tangannya. Setelah

memastikan mobil cowok itu sudah berbelok di tikungan, Ira berjalan memasuki halaman rumah sambil kesulitan membawa kado

besar tadi.

Ira berhenti di teras, meletakkan kado, buku, dan tasnya di lantai, lalu menghampiri Nico yang rupanya tertidur di kursi teras.
Jurnalis Idola Karya Rara Indah NN di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cowok itu masih mengenakan seragam. Pasti nggak sempat pulang.

Bisa-bisanya sehabis kencan dengan Seilla, dia langsung ke rumah

Ira! Buat apa sihBangunin nggak ya? pikir Ira. Kayanya kecapekan gitu... jadi nggak

tega mau bangunin.

"Ni...Nico" Ira menggoyang-goyangkan bahu Nico pelan-pelan.

"Nico, bangun."

"Mmhh..." Perlahan mata Nico terbuka. Ia langsung berdiri saat

melihat Ira di depannya. "Eh, Ra, maaf aku ketiduran nunggu

kamu. Soalnya aku udah berkali-kali ketuk pintu nggak ada yang

bukain." Meskipun sudah berdiri, tapi Nico masih belum sepenuh?nya bisa menjaga keseimbangannya sehabis tidur. Hampir saja ia

jatuh. Untungnya Ira menahannya.

"Hati-hati...," ujar Ira."

"Makasih...."

"Haris kayaknya belum pulang les, Mama masih ke rumah saudara di luar kota, terus Ayah belum pulang kerja, lembur kayaknya,"

jelas Ira. "Kenapa nggak coba telepon aku? Apa dong gunanya

HP?"

"Kalau aku telepon kamu, aku takut nggak diangkat, Ra! Aku

takut kamu masih marah. Jadi aku putuskan untuk nunggu kamu

aja di sini."

"Kalau hari ini aku nggak pulang, kamu mau nunggu aku sampai

pagi di sini?"

"Hm... mungkin. Yang penting bisa ketemu kamu."

Jujur, Ira senang dengan perjuangan Nico. Tapi Seilla muncul

dalam benaknya secara tiba-tiba, membuat Ira bete lagi.

"Ada apa kamu datang kemari?" tanya Ira.

"Aku... mau minta maaf..."

"Maaf? Buat apa? Emangnya kamu ngelakuin kesalahan apa?" Ira

memancing Nico.

"Maafin aku, Ra! Aku baru sadar akhir-akhir ini sikap kamu

ber?ubah gara-gara aku yang nggak peka sama perasaan kamu. Meskipun kita belum resmi pacaran, harusnya aku lebih menghargai

kamu dengan nggak terlalu deket sama Seilla. Sumpah, Ra, aku

nggak ada hubungan apa-apa sama dia. Dia emang manja dan sela?lu minta aku nemenin dia. Aku... cuma nggak tega kalau nggak

nurutin maunya dia."

"Terus, kalau dia minta kamu jadi pacarnya, kamu mau nerima

ka?rena nggak tega?"

"Kalau yang itu beda kasus, Ra! Aku pasti tetep dengan pilihanku," jawab Nico mantap.

"Hm... bukan sepenuhnya salah kamu kok, Nic. Aku juga salah.

Aku terlalu cemburuan pas lihat kamu deket-deket Seilla. Kenapa

aku begitu? Karena aku nggak siap kehilangan kamu sekarang. Itu

aja. Aku cuma nggak mau Seilla merebut kamu dari aku. Makanya

aku jadi pengecut dan nggak mau ketemu kamu selama ada Seilla.

Aku takut kamu bilang kalau aku nggak berhak ngatur-ngatur

kamu deket sama dia...."

"Ra, udah... Kenapa sekarang kamu jadi nyalahin diri kamu sendiri sih? Kamu nggak salah. Aku nggak keberatan kok sama rasa

cemburu kamu. Aku nggak marah kalau kamu ngelarang aku deket188

deket Seilla. Lagi pula, siapa sih yang tahan dideketin cewek manja

kayak dia?"

Ira menarik napas panjang, lalu menunduk. Ia melirik perlahan

tangannya yang diraih Nico. Napasnya berhenti sesaat.

"Lihat aku, Ra!" pinta Nico. Ira pun menyanggupinya. Dilihatnya

kedua bola mata Nico yang bergerak-gerak.

"Ra, ada yang mau aku omongin sama kamu. Dan... emang ha?rus segera diomongin sih kalau menurutku. Mumpung nggak ada

Seilla yang selalu gangguin kita," tuturnya.

"Mau ngomong apa?" tanya Ira penasaran sambil membalas genggaman Nico.

"Sebenernya... harus sampai kapan aku harap-harap cemas dan

kuatir kayak gini untuk nunggu kepastian dari kamu?"

Ira menunduk. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Entah

karena bahagia atau bingung.

"Ra, jangan nunduk... Lihat aku!" pinta Nico lembut namun Ira

tetap menunduk. "Kenapa nunduk, Ra? Kamu nggak bisa jawabKamu nggak sayang sama aku ya? Kamu jangan-jangan udah punya

pacar?"

Ira mengangkat wajahnya perlahan, mencoba tersenyum pada

Nico yang terus menatapnya. "Aku sayang banget sama kamu...,"

bisik Ira sambil memeluk Nico.

"Ra?" Nico bingung dan kaget. Meskipun perlahan, tangannya

menyambut tubuh mungil yang memeluknya barusan.

"Aku sayang banget sama kamu. Puas?" ucap Ira lagi kemudian

melepas pelukannya.

"Apa?" tanya Nico, tak percaya.

"Nic, kalau bukan karena aku sayang kamu, buat apa aku nangis189

nangis kayak dulu, marah-marah sama Seilla di depan banyak

orang, dan memilih nggak ikut jadi juri buat wawancara Seilla.

Buat apa kalau bukan karena aku nggak mau kehilangan

kamu...?"

"Kamu serius, Ra?"

"Aku nggak pernah bohong sama kamu, Nic. Aku nggak pernah

merasa seyakin sekarang."

Nico tersenyum dan kembali memeluk Ira erat.

"Nic, maafin aku ya. Sebenernya waktu kamu tanya perasaan

aku dulu, aku yakin banget perasaan itu ada buat kamu. Tapi aku

pengin kamu ngerasain apa yang aku rasain dulu waktu nunggu

kamu, harap-harap cemas dan kuatir sama kamu...."

"Makasih, Ra, kamu udah nguji aku. Aku jadi tambah yakin aku

nggak sedikit pun punya niat untuk suka sama cewek lain."

"Nic," Ira melepas pelukan Nico dan menatapnya.

"Apa?"

"Aku mau dengar semua isi hati kamu...."

Nico tersenyum. "Aku sayang sama kamu." Ira membalasnya dengan senyum penuh kebahagiaan. "Selamat ulang tahun, ya...."

"Huh, kalau kamu tahu hari ini aku ulang tahun, kenapa nggak

ada di ruang klub sama yang lain tadi?"

"Hehehe maaf ya! Aku harus ke SMA 38 untuk wawancara

ketua OSIS-nya. Soalnya waktu disuruh kumpulin artikelnya beberapa hari lalu, aku belum sempat wawancara. Jadinya Rama hukum

aku."

"Dasar! Terus kapan mau dikasih ke Rama?"

"Malam ini juga!"

"Kenapa bisa lupa sih untuk wawancara ke SMA 38?"

"Aku lupa gara-gara bantuin Seilla ngurusin eskul barunya...."

"Huh, anak kayak gitu masih mau diturutin!" dengus Ira kesal.

"Gara-gara dia kepalaku kejedot pintu tahu!"

"Loh, kok bisa?"

"Iya pas ketemu kamu di depan kamar mandi itu. Kamu sih

Seilla mulu yang diurusin!"

"Iya-iya... maafin dia ya untuk kali ini. Jangan marah-marah lagi,

ya?" Nico menyentuh kedua pipi Ira dan memeluknya sekali lagi.

"Kamu pulang sana, kan udah selesai yang mau diomongin?"

seru Ira.

"Ya ampun, Ra, kamu jahat banget ngusir aku?" protes Nico.

"Aku bawa hadiah nih buat kamu." Nico meraih sesuatu di kursi

teras. "Nih, hadiah ulang tahun buat kamu. Spesial!"

Ira menerima kado dari Nico. Kado itu terbungkus plastik transparan. Ada sebuah boneka lumba-lumba ukuran medium, CD

d?Masiv yang belum dimilikinya, sekotak cokelat favoritnya, dan

yang paling membuatnya bahagia ada tiga tangkai mawar pink di

dalamnya.

"Mawar pink...." Mata Ira berbinar-binar. Jadi teringat tragedi

bunga mawar waktu itu, yang membuatnya naik darah dan jatuh

sakit.

"Makasih, Nic... Aku senang banget."

"Masa makasihnya gitu doang?"

"Terus gimana dong?" tanya Ira bingung.

Nico mendekatkan wajahnya dan menunjuk-nunjuk pipinya. Ira

mengerti apa maksud Nico.

"Iiihhh dasar Nico?" Ira menoyor lembut pipi Nico.

"Kamu kelamaan nih...," manja Nico sambil tetap memosisikan

pipinya. Ira tetap diam kemudian tertawa. Tak lama Nico mendekatkan pipinya ke bibir Ira. Ira yang merasa tak siap, refleks memundurkan kepala.

"Nico! Genit banget sih!" Ira malu dan langsung memukul bahu

Nico.

"Habis, kamu kelamaan... hahaha."

"Nyebelin, tahu!" Ira kemudian duduk di pinggir lantai teras rumahnya.

Nico mendekatinya. "Maaf deh...." Ia membelai lembut kepala

kekasihnya.

Mereka duduk bersebelahan, lalu Ira meletakkan kepalanya di

bahu Nico.

"Nic, kamu tahu cita-citaku?" tanya Ira sambil menatap langit

yang bertaburan banyak bintang. Berkelip-kelip seakan memandangi

me?reka berdua di bawah sini.

"Menjadi wartawan yang hebat. Juga penulis yang terkenal...," jawab Nico.

Ira tersenyum. "Seorang jurnalis yang bisa dibanggakan...."

"Sama aja, kan?"

"Iya sih... Nic, aku mau nulis novel!"

"Oh ya? Tentang apa?"

"Tentang aku."

"Tentang kamu gimana?"

"Aku punya banyak kenangan manis, pahit, asem, asin di usiaku

menjelang tujuh belas tahun." Ira tertawa. "Sejak aku ketemu kamu,

masuk Klub Jurnalistik kebanggaan aku, ditentang sama Mama,

terus ketemu sama Nicky, aku yang sempat merasakan gimana rasanya masuk TV...."

"Dasar!" Nico menggenggam tangan Ira. "And finally, kamu jadi

milik aku...."

"Lebih tepatnya, kamu yang jadi milik aku. Karena aku yang

punya cerita, tahu!" Ira nggak mau kalah.

"Hahaha... Seilla masuk dalam cerita?"

"Pastinya lah! Ngomong-ngomong tentang dia... sebenernya dia

itu layak nggak sih jadi anggota klub?"

Nico tersenyum. "Aku rasa... nggak."

Ira dan Nico tertawa bersama. "Aku mau tim inti klub mempertimbangkan posisi Seilla di klub. Kalau kerjanya cuma berisik dan

gangguin kamu, juga ngelama-lamain deadline, mendingan nggak

usah dipertahanin deh."

"Aku setuju."

Siapa sangka hari ini akan jadi hari bersejarah dalam hidup Ira.

Kebahagiaan yang dinantinya selama ini kini datang menghampiri.

Bersama Nico, ia takkan lagi rapuh. Ia tak perlu takut Seilla akan

merebut Nico dari genggamannya, karena mulai detik ini mereka

berdua akan selalu bersama menghadapi hari esok.

Aku percaya kamu

Melebihi apa yang orang katakan kepadaku

Kau percaya kamu

Tak peduli apa yang orang katakan tentang kamu

Yang ku tahu slalu sejukkan hatiku

Yang ku tahu kau slalu ada

Di saat ku membutuhkanmu

Kau selalu ada di saat ku jatuh (di saat ku rapuh)

Aku percaya kamu

Hidup ini tak kan berarti tanpa kau di sisiku

Aku percaya kamu

Kau tak kan pernah berhenti tuk selalu mencintaiku

(d?Masiv, Aku Percaya Kamu)

Tamat


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Lima Sekawan Harta Karun Di Galiung Pelarian Karya Alviorita

Cari Blog Ini